laporan kemajuan - lppm.uns.ac.idlppm.uns.ac.id/kinerja/files/pemakalah/lppm-pemakalah-2013... ·...
TRANSCRIPT
LAPORAN KEMAJUAN
PENELITIAN MADYA
MODEL PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERKOTAAN
(KASUS SOLO GREEN CITY)
Tahun ke I dari rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim
Dra. Inna Prihartini,M.S NIDN
Rita Noviani, S.Si. M.Sc. NIDN 0010107508
Pipit Wijayanti,S.Si.M.Sc NIDN 0003061176
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
TAHUN 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Model Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Perkotaan (Kasus Solo Green City)
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Dra. Inna Prihartini, M.S
NIDN : 0010107508
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Pendidikan Geografi
Nomor HP : 082134424444
Alamat surel (e-mail) : [email protected]
Anggota (1)
Nama Lengkap : Rita Noviani,S.Si.M.Sc
NIDN : 0010107508
Perguruan Tinggi : UNS
Anggota (2)
Nama Lengkap : Pipit Wijayanti, S.Si.M.Sc
NIDN : 0006117603
Perguruan Tinggi : UNS
Tahun Pelaksanaan : Tahun keI dari rencana 2 tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp. 45.000.000,-
Biaya Keseluruhan : Rp. 100,000.000,-
Surakarta, 9 september 2013
Mengetahui,
Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat
Prof. Dr. Ir. Darsono, MSi
NIP. 19660611 199103 1002
Ketua,
Dra. Inna Prihartini, M.S
195702071983032002
RINGKASAN
Kota Solo yang mempunyai keinginan kuat untuk menjadi kota hijau
(green city). Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian penting dari struktur
pembentuk kota hijau. Perkembangan kehidupan perkotaan yang pesat
mengakibatkan berkurangnya lahan peruntukkan dan pemanfaatan RTH kota. Hal
tersebut secara langsung telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan.
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan RTH
perkotaan, dengan rincian kegiatan mengidentifikasi ketersediaan dan kebutuhan
serta menyusun tipologi RTH, fungsi dan manfaat RTH, potensi dan
permasalahan pengembangan RTH serta menyusun model spasial RTH perkotaan.
Penelitian dilakukan di Kota Solo dengan tiga pendekatan (1)
Morphological Approach, (2) Spatial Approach, dan (3) Policy Approach. Semua
pendekatan dilakukan dengan comparative perspective, yaitu membandingkan
tipologi RTH berdasarkan peruntukan fungsi ruang kota. Metode pengumpulan
dan analisis data meliputi : (1) Pemetaan dan Sistem Informasi Geografi (SIG),
(2) teknik grafis dan visual, (3) metode survey dan RRA (Rapid Rural Appraisal),
(4) Indepth interview dan (5) analisis statistik. Masing-masing metode digunakan
sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini selain memberi output solusi
pragmatis, juga menyusun asumsi-asumsi atau teori-teori tentang pembangunan
RTH, sehingga tidak terperangkap dalam jebakan teori barat yang seringkali jauh
dari realitas empiris Indonesia, serta kasus Kota Solo dapat diterapkan di kota-
kota lain di Indonesia.
PRAKATA
Puji syukur kepada Alloh SWT atas limpahan, petunjuk, serta hidayah_Nya. Atas
ijin_Nya jualah penelitian yang berjudul “Analisis Dinamika Sistem Perkotaan
Dan Transformasi Wilayah Untuk Penentuan Model Pembangunan Wilayah Solo
Raya ” ini selesai ditulis.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi stakeholders perencanan
pembangunan, khususnya di kawasan SOLO RAYA, praktisi pembangunan
wilayah, serta diharapkan menjaadi landasan pembangunan penelitian-peneltian
sejenis selanjutnya.
Akhirnya tidak ada segala sesuatu di muka bumi ini yang sempurna, demikian
juga halnya dengan tulisan ini.Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran
dari pembaca untuk memperbaiki tulisan ini agar lebih tajam dan akurat. Hanya
kepada Alloh penuliis berserah diri, semoga segala sesuatu yang telah penulis
lakukan mendapat ridho_Nya. Amin.
Surakarta
Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu isu utama pembangunan kota adalah eksistensi keberadaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang secara signifikan. Di pihak
lain keberadaan RTH perkotaan sangat diperlukan membentuk kota yang ramah
lingkungan, nyaman dan sehat. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka
publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang
terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan
meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), menurunnya
produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang
tersedia untuk interaksi sosial. Untuk itu, perlu reorientasi visi pembangunan kota
lebih mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun
kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi lahan dari
kawasan hijau menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan.
Kota Solo memiliki keinginan kuat untuk menjadi kota hijau (green city)
yang ramah lingkungan, yang dicirikan dengan keberadaan kawasan hijau yang
proporsional. Sulitnya mencari alternatif pengelolaan RTH di perkotaan karena
belum adanya penelitian khusus yang menjelaskan karakteristik atau pola serta
daya dukung RTH dan implikasinya, khususnya bagaimana model pengembangan
RTH. Akibatnya, upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan
lingkungan perkotaan yang terus diupayakan para praktisi seringkali menghadapi
jalan buntu.
Selama ini studi-studi tentang perkotaan lebih diletakkan dalam kerangka
perbaikan perkonomian kota dan kajian-kajian disain kota. Sedangkan studi
tentang problem lingkungan dan penyediaan RTH serta implikasinya belum
banyak mendapat perhatian. Oleh karena itu berbagai studi harus terus dilakukan
untuk mengembangkan model-model pengembangan RTH di Indonesia, agar
upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan persoalan perkotaan di Indonesia tidak
begitu saja terjebak menggunakan teori-teori dari barat yang belum tentu tepat
untuk konteks Indonesia.
Dari uraian di atas diperoleh formulasi pertanyaan penting yang menjadi
fokus penelitian, antara lain :
1) Bagaimanakah karakteristik dasar perkembangan kota Solo dan kaitannya
dengan eksistensi RTH.
2) Bagaimanakah karakteristik, pola, bentuk dan proses perubahan RTH yang
terjadi di wilayah perkotaan tersebut, antar tipologi RTH.
3) Bagaimanakah keseimbangan atau daya dukung RTH serta bagaimanakah
polanya menurut struktur kota.
4) Faktor-faktor apa sajakah menentukan lokasi RTH perkotaan.
5) Bagaimanakah konsepsi atau model dasar pembangunan RTH perkotaan di
Indonesia. Adakah konsepsi RTH kota Solo dapat diterapkan untuk perkotaan
lain di Indonesia?.
6) Bagaimanakah mekanisme pengaturan atau pengelolaan pembangunan RTH
di wilayah perkotaan.
Dalam konteks makro, kajian terhadap beberapa pertanyaan di atas diharapkan
akan membantu memperkaya kaidah ilmiah (research) dan solusi praktis dalam
memahami proses dan implikasi pembangunan RTH dalam pembangunan kota,
khususnya dalam upaya mewujudkan green city.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN RTH
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open spaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan
atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian (KLH,2001).
Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan
tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem
perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lanskap kota (Rustam,
2004)
Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa
terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung
yang cenderung berpola “kontainer” (container development) yakni bangunan
yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti
Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan
antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang
“percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu (Rustam, 2000).
Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir
disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai
10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan,
arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau
harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.
Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan
penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui
berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat
perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan
berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota
tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per kapita
dari 1 m2 menjadi 55 m
2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota
tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan
pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali
lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH
yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.
Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek
lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau.
Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan
seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan
(Danisworo, M, 1998). Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan
masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya.
Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang
terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merubahnya.
Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi
(Danoedjo, 1990 dan KLH, 2001):
1. Bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan
2. Bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan
kota, lapangan olah raga, pemakaman
Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi :
1. Bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan
2. Bentuk RTH jalur ( koridor, linear),
Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi
:
1. RTH kawasan perdagangan,
2. RTH kawasan perindustrian,
3. RTH kawasan permukiman,
4. RTH kawasan pertanian, dan
5. RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga,
alamiah.
Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (Anonim, 2008):
1. RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan
yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan
2. RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan
milik privat.
2.2. FUNGSI RTH
Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya,
arsitektural, dan ekonomi (Rustam, 1996 dan KLH, 2001). Secara ekologis RTH
dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara,
dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi
ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan
sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi
sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang
berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman
kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb.
Secara estetika RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan
kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur
hijau di jalan- jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi,
baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan
pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau
perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan
konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi
ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung,
perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH
dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti
pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan,
RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional.
Penentuan luas ruang terbuka hijau ada yang mengacu pada jumlah
penduduk dan kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota
ditetapkan seluas 1,9 M2/penduduk; di Jepang ditetapkan sebesar 5,0
M2/penduduk; Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 M
2/penduduk;
Amerika menentukan luasan hutan yang lebih fantastis yaitu 60 M2/penduduk;
sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolah
raga sebesar 1,5 M2/penduduk (Green for Life: 2004). Perhitungan dengan issu
kebutuhan rauang gerak per individu tersebut mudah diterima secara logis
sehingga akan diperoleh luasan ruang terbuka hijau sesuai dengan jumlah
penghuninya. Semakin besar penduduk semakin luas RTH yang harus tersedia.
2.3. KAJIAN RTH DI DALAM DAN LUAR NEGERI
2.3.1. Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri
Tulisan berikut disampiakn dari Robinette, J (1983) yang menulis
tentang Lanscape Planning For Energy Conservation.Kesadaran pembangunan
perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung
dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam
bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan
pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung
Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-
taman perumahan.
Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum,
Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi
masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa
saat itu. Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai
tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman
Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan
detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga
implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota
Paris menjadi panutan dunia.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman
kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang
terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert
Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan
mendunia.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang
tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan
keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke
hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar
mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, atau 1.200
m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang (Grove, 1983) .
Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut
diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan
Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan
kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai
69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177
Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha
per 1.000 orang (Chiara, 1988).
Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan
industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo
sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman
tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang. Sementara itu,
pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India,
dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang
Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.
Menurut Ciara, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa
apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di
dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
Daerah tempat pertemuan warga
Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama
seluruh warga masyarakat
Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang
terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman
sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang
sangat penting bahkan dibutuhkan.
Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai
8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang
Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat. Untuk menentukan standar
RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang
berlaku di negara lain (Ciara, 1998).
Tabel 1. Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar
No. Kota Populasi
(juta jiwa)
RTH (m2/jiwa)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
Kobe
Tokyo
2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
1,40
11,80
7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
8,10
2,10
Sumber : Liu Thai Ker, 1994 (dalam Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno.
1998)
2.3.1. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan
dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan
bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%,
termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan,
danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang
merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.
Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung
berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan
yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui
merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang,
harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan
melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga
komunitas pada level kota.
Penurunan kualitas ruang terbuka public, terutama ruang terbuka hijau
(RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35%
pada awal tahun 1970 an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada
sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan
jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman
baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per
kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia
(Anonim, 1995)
Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi
eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang
terbuka hijau pekarangan) (Gunadi, 1995). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim
Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk
Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman,
jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata
lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang
terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan
dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000
saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk (Pemerintah Kota Surabaya, 2003)
Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil
inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya
sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota,
kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka
rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya
menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.
Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali
pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih
lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61
m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka
hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi
pemanfaatan lahan Kota.
2.4. DAMPAK BERKURANGNYA RTH DAN KEBIJAKAN
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam
pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan pada umunya dan di
kawasan permukiman pada khususnya (Purnomohadi, 2002). Perencanaan tata
ruang seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang
secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian
lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana
(prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam
lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang
terbuka, baik hijau maupun non-hijau.
Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau
secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, seperti
menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan kota dan di lingkungan
permukiman warga, bencana banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial
masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas
dan vandalisme.
Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah,
tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang
secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara
ekologis (Haeruman, 1995). Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir
dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya
sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air
permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan
tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan
hidup masyarakat.
Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di
antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat
disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan
interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat
perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang
terbuka publik, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas
sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan.
Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan dengan penyelenggaraan
RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan
RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,
kurangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta
terbatasnya ruang/ lahan di kawasan permukiman yang dapat digunakan sebagai
RTH (Rustamk, 2000).
Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan masih
kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka,
maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia.
Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya
aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam
penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di
samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat
memelihara dan mengelola RTH secara lebih professional.
Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR),
mewajibkan setiap kota menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30
persen dari luas wilayah kota (Anonim, 2008). Peraturan ini kemudian
diaplikasikan ke dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
DKI Jakarta 2011-2030. Dalam Perda RTRW DKI Jakarta, RTH sebanyak 30
persen tersebut terdiri dari 10 persen lahan privat, 14 persen publik, dan 6 persen
lahan privat yang bisa dimanfaatkan untuk publik. Namun, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sendiri hingga kini mengaku masih kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan RTH untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota hijau (green city)
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penataan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk mendukung pembangunan kota berkelanjutan,
khususnya menyangkut proses pembangunan kota dan keinginan pemerintah kota
solo menjadi kota hijau (green city). Secara khusus, tujuan umum tersebut dapat
dijabarkan menjadi empat tujuan yakni
1. Mengidentifikasi karakteristik dan dinamika perkembangan ketersediaan
ruang terbuka hijau di kota Solo
2. Menganalisis daya dukung atau keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan
ruang terbuka hijau di kota solo
3. Pengembangan model alokasi keruangan dinamika perkembangan
ketersediaan ruang terbuka hijau di kota Solo
4. Menyusun arahan kebijakan penataan ruang terbuka hijau untuk menuju
solo kota hijau (green city)
BAB IV
METODE PENELITIAN
1.1. Pendekatan Dan Metode Penelitian
Secara umum penelitian bersifat deskriptif-evaluatif dengan menggunakan
tiga pendekatan yaitu pendekatan Morphological Approach, Spatial Approach,
dan Policy Approach. Pendekatan pertama berkaitan dengan kajian aspek
lingkungan fisik perkotaan, seperti perubahan penggunaan lahan dan tata ruang,
bentuk landscape, gedung, permukiman, open space dan lain-lain. Pendekatan
kedua untuk kajian keruangan atau spasial keberadaan RTH beserta
kebutuhannya. Pendekatan ketiga adalah analisis kebijakan (policy analysis), yang
mengkaji tentang kebijakan pembangunan green city dan RTH Perkotaan
berbasis daya dukung perkotaan.
Penelitian dilakukan dalam batas administrasi kota Solo, dengan
menggunakan unit analisis satuan lingkungan kota atau blok peruntukan ruang
dan jenis RTH, yaitu dengan menyusun tipologi RTH perkotaan sebagai berikut :
Tabel 2 : Penentuan unit analisis lokasi penelitian, berdasarkan tipologi RTH dan
blok peruntukan ruang perkotaan
Blok Peruntukan Ruang Kota RTH Private RTH Public
Permukiman Tipe1 Tipe1
Perdagangan dan jasa Tipe2 Tipe2
Industri Tipe3 Tipe3
Pendidikan Tipe4 Tipe4
Lainnya Tipe ke-n Tipe ke-n
Berdasarkan kriteria di atas, direncanakan untuk mengambil sampel pada
tipe yang telah ditentukan. Selanjutnya di masing-masing kasus tipologi tersebut
akan diperbandingkan (Case and Comparative Studies). Dari pendekatan ini
diharapkan suatu pemahaman yang mendalam mengenai isu-isu yang muncul
dalam penelitian, sehingga dapat dideskripsikan dan dianalisa secara mendalam,
khususnya untuk menganalisis karakter, tipologi, dan dinamika keberadaan RTH
beserta dan kebutuhannya. Lebih lanjut, dapat dikembangkan suatu hipotesa
ataupun konsep-konsep dan model baru mengenai isu yang RTH perkotaan
sebagai basis pengembangan green city.
Adapun metode atau teknik penelitian (pengumpulan dan analisis data)
yang digunakan akan dipakai gabungan antara studi literatur, metode survey, RRA
(Rapid Rural Appraisal), indepth interview, Pemetaan dan Sistem Informasi
Geografi (SIG), teknik dokumentasi, dan analisis statistik.
1.2. Tahapan Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam empat tahap, diantaranya :
1. Tahap pertama, akan dilakukan studi literatur yang intensip menyangkut
topik penelitian. Dalam studi literatur ini akan dikaji lebih lanjut isu-isu dan
kebijakan mengenai RTH di Indonesia, konsepsi RTH, manfaat dan tipologi
RTH, dan implikasi pengembangan RTH dalam pembangunan perkotaan di
Indonesia. Diharapkan dengan studi literatur yang lebih mendalam akan
dirumuskan parameter yang lebih tajam mengenai karakteristik RTH, manfaat
dan tipologinya. Selain itu, tahap pertama penelitian ini juga diharapkan akan
dapat memunculkan beberapa hipotesis kerja yang menjadi pedoman
penelitian lapangan selanjutnya. Merupakan bagian dari tahap pertama
penelitian, akan dilakukan penyusunan riset disain yang rinci dimana indikator
dan variabel penelitian, daftar-daftar pertanyaan, kuesener, serta peta-peta
dasar untuk penelitian lapangan disiapkan dan disusun secara benar.
2. Tahap kedua penelitian, akan dilakukan penelitian lapangan baik berupa
analisis situasional (pemetaan), observasi lapangan, dokumentasi,
pengumpulan data lapangan, maupun wawancara (survei). Selanjutnya pada
bagian awal penelitian lapangan, akan dilakukan penelitian pendahuluan,
terutama untuk menguji daftar pertanyaan penelitian yang telah disusun pada
tahap pertama penelitian, serta menentukan sampel atau studi kasus. Data-data
yang dikumpulkan meliputi segala hal yang terkait dengan karakteristik dan
tipologi RTH.
3. Tahap ketiga penelitian, akan dilakukan analisa data serta diskusi intensif
dengan stakeholder tentang hasil penelitian sementara. Tahap ini bertujuan
untuk memodifikasikan serta mengkomparasikan temuan-temuan dari studi
kasus. Diharapkan bahwa pada tahap ini beberapa kesamaan umum serta
variasi dari kasus-kasus studi sudah dapat dirumuskan sehingga dapat
digunakan untuk menyusun model alokasri ruang bRTH perkotaan. Pada tahap
ini juga dilakukan kajian-kajian pengembangan dari penelitian, khususnya
terhadap temuan-temuan baru dan riset lanjutan.
4. Tahap keempat penelitian adalah finalisasi serta penulisan akhir. Pada tahap
ini, hasil penelitian sudah harus dirumuskan dan dipresentasikan dalam format
laporan penelitian yang baik dan benar. Bagian terpenting dalam tahap
terakhir ini adalah tersusunnya sejumlah rumusan kebijakan (policy) yang dpat
digunakan secara aplikatif oleh Pemerintah Kota untuk mengembangkan
RTH. Selengkapnya tahadap penelitian dapat dilihat pada diagram alir
penelitian sebagaimana ditampilkan dalam diagram berikut (diagram 1)
Ruang Kota
Kawasan
Budidaya
Demografi Ekonomi Sosial
Kawasan
Lindung
Daya Dukung RTH Kota
Ketersediaan Suplay
Ruang Terbuka Karakteristik
RTH
- Jenis
- Letak
- Luas
- Tanaman
- Fungsi/
manfaat Tipologi Fungsi Kota
Tipologi RTH
Kebutuhan Demand
Pemodelan RTH
Kasus Solo Kota-Kota di
Indonesia
Green City Policy
Konsepsi Model RTH
Fungsi Kota
- Perdagangan
dan jasa
- Permukiman
- Industri
- Pendidikan
Tahap/Tahun II
Tahap/Tahun I
BAB V
HASIL YANG DI CAPAI
Peta Sebaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Solo
Arti penting penelitian ini dapat dipahami dari manfaat, baik bagi
pengembangan konsep (teoritis) maupun aplikasi.Dari sisi pengembangan konsep
dan teori, penelitian ini memberikan kontribusi dalam upaya strategi
pembangunan perkotaan yang ramah lingkungan dengan mengembangkan model
penataan ruang terbuka hijau. Hingga saat ini, pembangunan perkotaan lebih
menekankan atau bias kepada aspek ekonomi, menggusur banyak ruang publik
termasuk RTH sehingga memberikan kecenderungan penurunan kualitas
lingkungan yang terus-menerus. Cara pandang seperti ini tidak terlepas dari
pemahaman teori-teori perkotaan yang banyak dipakai (dibanding dengan teori
lingkungan) dan juga kepentingan pemilik modal yang kuat.
Penelitian ini menawarkan reorientasi baru dalam memandang strategi
pembangunan perkotaan, yaitu merubah atau menggeser dari paradigma economic
city oriented menjadi environment based secara terintegrasi dalam pembangunan
kota. Pengembangan model ini menggunakan cara pandang yang lebih luas
dengan mengintegrasikan berbagai macam karaktersitik sosial-ekonomi yang
berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang integral. Model ini sangat tepat di
dalam kerangka menyambut era otonomi daerah dan meredam konflik antara
kepentingan publik dengan pemilik modal perkotaan, sehingga dapat meredam
munculnya disintegrasi sosial dan degradasi lingkungan.
Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat secara praktis,
khususnya dalam membangun kerangka pikir dan perumusan kebijaksanaan
pembangunan perkotaan secara lebih terintegrasi antara economic dan
environmenmt values, sehingga dapat meredam berbagai macam potensi konflik
perkotaan. Harapan lebih lanjut kasus model RTH kota Solo ini dapat diterapkan
di kota-kota lain di Indonesia, sehingga semakin mendukung Solo sebagai kota
pencontohan pengembangan RTH.
Penelitian ini diyakini dapat memberikan sumbangan baik kepada
kepentingan ilmu pengetahuan (konsep dan teori) maupun kepentingan praktis bagi
masyarakat dan pengambil kebijakan. Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan
berasal dari originalitas tema penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek
metodologis yang diterapkan dalam studi, dan penemuan-penemuan empiris
lapangan. Terhadap masyarakat luas, khususnya pengambil kebijakan, penelitian ini
berkontribusi pada andil dalam pemahaman yang lebih baik dan meluas tentang
model pembangunan wilayah.
Penelitian ini dapat dijadikan acuan dasar dan reorientasi bagi
pengembangan studi pembangunan wilayah dan perkotaan, khususnya untuk
meningkatkan integrasi lingkungan yang dapat menjamin pembangunan perkotaan
dan daerah sekitarnya secara terpadu dan berkesinambungan dan disinilah letak
keaslian penelitian. Kekhasan atau originalitas penelitian ini juga tampak dari
pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, yaitu mengintegrasikan
tinjauan makro, meso, dan mikro, dengan pendekatan fisik dan sosial serta analisis
kebijaksanaan, disamping analisis case and comparative studies terhadap
dinamika sistem perkotaan sehingga dapat dicapai perolehan hasil yang lebih
komprehensif.
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Beberapa target ruang lingkup penelitian menurut tahapannya adalah:
1. Pada tahun pertama penelitian, penelitian difokuskan untuk mengetahui
dan mengkaji secara keruangan karakter dan dinamika perkembangan
ketersediaan RTH, yang meliputi karakteristik dasar tentang bentuk (pola)
dan proses perkembangan lingkungan RTH serta tipologinya di daerah
perkotaan, termasuk pada tahap selanjutnya adalah menganalisis atau
mengkomparasikannya dengan kebutuhan RTH, sehingga dapat ditemukan
nilai daya dukung RTH kota solo sebagai bahan dasar untuk menyusun
model alokasi RTH.
2. Tahun kedua penelitian, dikonsentrasikan untuk melakukan
pengembangan model alokasi RTH pada tingkat mikro-detil, termasuk
meneliti manfaat yang didapatkan. Dalam tahap ini penelitian diarahkan
untuk menganalisis indikator-indikator penentu penempatan RTH dengan
mempertimbangkan besarnya manfaat RTH bagi perbaikan lingkungan
perkotaan. Selain itu juga disusun kebijakan penataan RTH untuk menuju
solo kota hijau (green city)
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Tidak ada keseimbangan antara ketersediaan RTH dengan Kebutuhan
RTH
2. Daya Dukung RTH kota Solo tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan
Saran
Perlu diciptakan RTH di kota solo untuk memenuhi daya dukung RTH
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1987. Departemen Dalam Negeri, 1987. Instruksi Menteri Dalam Negeri
(Inmendagri) No. 14, Tahun 1987, tentang Penataan RTH di Wilayah
Perkotaan.
Anonim, 1995. RTH Kota – Jakarta. Majalah Konstruksi, Maret 1995, Rubrik
Lingkungan.
Anonim, 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, Penerbit Harvarindo.
Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1988. Urban Planning and Design
Criteria. Van Nostrand Reinhold Company, NY.
Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1998. Site Planning Standard. McGraw-
Hill Book Company, NY.
Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap
perkotaan di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota
Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal
Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998. Dasar-Dasar Ako-Arsitektur,
Konsep Arsitektur Berwawasan Lingkungan serta Kualitas Konstruksi dan
Bahan Bangunan untuk Rumah Sehat dan Dampaknya Atas Kesehatan
Manusia. Penerbit Kanisius, Soegijapranata University Press. ISBN 979-
672-127-9, cetakan ke-5.
Gunadi, Sugeng. 1995. Arti RTH Bagi Sebuah Kota. Makalah pada Buku:
“Pemanfaatan RTH di Surabaya”, bahan bacaan bagi masyarakat serta
para pengambil keputusan Pemerintahan Kota.
Grey, Jane W. & Frederick C. Deneke: 1978. Urban Forestry. John Wiley & Sons
Book Company, InC
Haeruman, Herman. 1995. Pembangunan Kota yang Berwawasan Lingkungan.
Bahan dipersiapkan untuk artikel di majalah SERASI, diterbitkan sebagai
majalah berkala oleh kantor KLH.
Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose. Jurnal Arsitektur
Lansekap Indonesia nomor 04 tahun 1998.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Pedoman Kebijakan dan Strategi
Pengembangan RTH dan Penghijauan Kota (Draft 3). 15 November 2001.
(Tidak dipublikasikan).
Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.
Lynch, Kevin. 1967. Site Planning. Houghton Mifflin Company, Boston.
Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape
Architecture).
Pemerintah Kotamadya DT II Malang,, Sejarah Perencanaan Kota Malang Sejak
Jaman Kolonial Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek Pertamanan.
Jakarta, 23 Agustus 1990.
Pemerintah Kota Surabaya 2003, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta.
Purnomohadi, Ning. 2002. Pengelolaan RTH Kota dalam Tatanan Program
BANGUN PRAJA Lingkungan Perkotaan yang Lestari di NKRI.
Widyaiswara LH, Bidang Manajemen SDA dan Lingkungan. KLH.
Rustam Hakim, 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
Kota DKI Jakarta, Thesis. Institut Teknologi Bandung.
Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur
Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta
Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan,
penerbit Bina Aksara Jakarta
Robinette, J., 1983. Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand
Reinhold Co., New York.
Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Jambatan Jakarta.