laporan kasus morbus hirsprung

27
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga terjadi obstruksi fungsional. 1 Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusomo Jakarta. 2 Angka kejadian penyakit Hirschsprung banyak dilaporkan pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai apabila dalam >24 jam pertama kehidupan tidak terjadi pengeluaran mekonium secara alamiah oleh seorang bayi muda. Walaupun barium enema digunakan untuk menegakan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standart untuk menegakan diagnosis Hirschsprung. Setelah diagnosis dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan membuat anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan proksimal usus yang memiliki inervasi saraf yang sehat. 3 1

Upload: puteri-rara-balerna-pratiwi

Post on 05-Jan-2016

92 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

laporan kassus morbus hirsprung

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan

ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga terjadi

obstruksi fungsional.1

Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit

Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran

hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka

diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono

mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto

Mangunkusomo Jakarta.2

Angka kejadian penyakit Hirschsprung banyak dilaporkan pada masa neonatus.

Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai apabila dalam >24 jam pertama kehidupan tidak

terjadi pengeluaran mekonium secara alamiah oleh seorang bayi muda. Walaupun barium

enema digunakan untuk menegakan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standart untuk

menegakan diagnosis Hirschsprung. Setelah diagnosis dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar

adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan membuat anastomosis dengan

menyambung rektum bagian distal dengan proksimal usus yang memiliki inervasi saraf yang

sehat.3

1

Page 2: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

BAB II

LAPORAN KASUS

1. Identitas penderita Nama penderita : An. AJenis kelamin : Laki - lakiUmur : 2 hariBerat Badan Lahir : 2900 gramPanjang Badan : 50 cmLingkar kepala : 33 cmLingkar dada : 34 cm

2. Identitas orang tuaNama ibu : Ny. YM Nama Ayah: Tn. F YUmur ibu : 36 tahun Umur ayah : 45 tahunPendidikan: S1 Dayak Pendidikan : S1Pekerjaan : PNS Pekerjaan : PendetaGol. Darah: O Gol. Darah : AAlamat : Jln. Paus Raya Palangka Raya

I. ANAMNESIS

Alloanamnesis dengan ayah dan ibu penderita, pada tanggal 1 Juli 2014, pukul 14.00 WIB.

1. Keluhan utama: Muntah

2. Riwayat penyakit sekarang:

Pasien bayi rujukan bidan datang dengan keluhan utama muntah. Keluhan muntah

sebanyak >4x sebanyak 1 sendok makan sejak tadi malam berupa air susu formula

karena bayi tidak menyusui dan muntah tanpa disertai darah. Sebelumnya pasien

diberikan ibu nya air susu formula lalu selang beberapa saat setelah diberikan minum

pasien muntah. Sebelumnya bayi tidak pernah muntah seperti ini. Perut bayi terlihat

kembung. Ibu pasien juga mengeluh pasien jarang sekali BAB namun pasien hanya

BAK 4x sejak lahir. Keluhan demam (-), sesak (-), kejang (-), batuk (-).

3. Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun, pasien juga tidak pernah mengalami

sakit serupa.

4. Riwayat antenatal

Pasien lahir dari ibu G1P0A0 hamil aterm secara spontan per vaginam di klinik bidan.

Bayi lahir langsung menangis dengan apgar score 8/9 dengan riwayat ANC (+) dan

2

Page 3: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

tanpa disertai penyakit selama kehamilan. Tidak didapati cacat fisik, anus (+),

pemberian salep mata gentamisin dan Vit. K setelah kelahiran (+).

5. Riwayat imunisasi

Pasien belum diberikan imunisasi hepatitis B0.

6. Riwayat pemberian makanan

Sebelum pasien muntah, ibu pasien memberikan pasien susu formula sebagai pengganti

ASI sebanyak 2x. Setelah pemberian susu formula ke empat, pasien langsung muntah-

muntah dan segera dirujuk ke RS.

7. Riwayat keluarga

Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Orang tua dan kakak pasien sehat

dan diketahui tidak memiliki kelainan serupa dengan pasien.

8. Riwayat sosial lingkungan

Pasien dan keluarga pasien tinggal di rumah milik pribadi dengan dinding permanen

dan alas keramik. Bermukim di daerah perumahan yang cukup padat. Rumah pasien

jauh dari sungai, rawa-rawa, tempat pembuangan sampah.

II. PEMERIKSAAN FISIK

3

Page 4: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil laboratorium pada tanggal 1 Juli 2014 :

4

1. Keadaan umum : Cukup, gerakan aktif, menagis merintih.

2. Tanda-tanda vital

Denyut jantung : 135 kali/ menit

Suhu : 36,4˚ C (aksila)

Pernapasan : 35 kali/ menit

Antropometeri

Berat badan : 2900 gram

Panjang badan : 48 cm

3. Kepala

Kepala : Mesosefal, UUB datar

Konjungtiva tak anemis, sklera ikterik (-/-), mata cekung

(-), nafas cuping hidung (-).

Mulut : Mulut normal, tidak sianosis, mukosa bibir lembab.

4. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,

5. Toraks

Inspeksi : Simetris, retraksi (+) pada daerah intercostalis dan

epigastrika.

a. Paru : Bentuk simetris, inspirasi dan ekspirasi tidak memanjang,

tidak ada ketinggalan gerak, frekuensi napas 35 kali/

menit, regular. Sonor +/+ Suara napas vesikuler normal,

tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing

b. Jantung : Iktus kordi tidak terlihat. Batas Jantung normal,

kardiomegali (-), frekuensi jantung 135 kali/ menit,

regular, S1-S2 tunggal, tidak ada gallop dan murmur.

6. Abdomen : Cembung (+), distensi (+), venektasi (-), kontur usus (-),

meteorismus(+), Bising usus menurun, Hepar dan lien

sulit dinilai, Timpani, kembung (+) shifting dullness (-)

7. Ekstremitas : Akral hangat, capillary reffil time < 2”

8. Genitalia & anus : Laki-laki , Anus (+)

Page 5: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Hb : 15,2 g/dL

Ht : 45,7 %

Trombosit : 327.000 /uL

Leukosit : 16.900 /uL

MCV : 103 NM3

MCH : 34,2 Pg

MCHC : 33,2 %

GDS : 85 mg/dL

III. Diagnosa

a. Diagnosa banding

b. Diagnosa kerja

- Morbus hirschsprung disease

IV. Penatalaksanaan

- IVFD KAEN 4A 20 tetes (mikro)

per menit

- Inf. Aminofusin paed 30cc/24 jam

- Inj. Cefotaxim 3 x 100 mg

- Inj. Gentamycin 2 x 8 mg

- Inj. Cimetidin 3 x 30 mg

- OGT terpasang

- Rectal tube spoiling pagi dan sore

V. Usul pemeriksaan

1. Barium enema

2. Colon in loop

VI. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia et bonam

Quo ad functionam : Dubia et bonam

Quo ad sanationam : Dubia et bonam

VII.Pencegahan

- mencegah bayi aspirasi

- menjaga kebersihan botol susu dan tempat penyimpanan susu

5

meteorismus

Morbus Hirschsprung disease

Meconium plug syndrome

Meconium illeus

Page 6: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

- menjaga kebersihan area genital dan anus sewaktu mengganti popok

VIII. Follow Up (Terlampir)

IX. Pemeriksaan Radiologi

1. Foto rontgen dilakukan pada tanggal 1 juli 2014.

2. Colon in loop

Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2014

- Tampak dilatasi dari usus dengan jumlah udara yang meningkat

- Tampak penyempitan kaliber lumen rectum pada bagian distal kurang lebih

1,3 cm

- Kesan : curiga Morbus Hisrchsprung short segmen distal rectum

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah dan Insidensi

Tahun 1886 Harold Hirschspring melaporkan perjalanan klinis sampai saat

kematian dua orang pasien dengan gangguan fungsi usus yang berat, masing-masing

berusia 8 dan 11 bulan. Laporan terserbut disertai dengan rinci penampilan

makroskopis kolon yang mengalami dilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschsprung

dinilai sebagai penyebab primer gangguan fungsi usus. Diuraikan pula keadaan rektum

yang tidak mengalami dilatasi dan tampak lebih kecil dengan mukosa yang mengalami

ulserasi, inflamasi serta edema.3

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1

diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat

kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan

penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang

dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. Laki-laki lebih

6

Page 7: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada

kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%.2.4

B. Anatomi

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Kolon dibagi lagi menjadi

kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Vaskularisasi usus besar diatur

oleh arteri mesenterika superior dan inferior. 2

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus

yang diatur secara voluntar. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan

sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis

mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas

refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan

Aurbach) dan interkoneksinya. Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari

3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.4.5

C. Etiologi & Patologi

Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit

Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik

ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik

yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Terdapat dua teori dasar yang banyak

dianut mengenai defek embriologis penyakit Hirschsprung. Pertama teori kegagalan

migrasi sel-sel krista neural, kedua teori imunologi dan hostile enviroment.2

Pada penyakit ini, kolon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian usus

yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik

intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap

sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang

normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. 6

Pleksus mesenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak

ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltic usus dan funsi lainnya. Sel ganglion

enteric berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal,

neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan

7

Page 8: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi

Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya

menuju usus bagian distal. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion

tidak ditemukan sehingga control intrinsic menurun, menyebabkan peningkatan control

persarafan ekstrinsik. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsic, peningkatan tonus tidak

diimbangi dan mengakibatkan ketidak seimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic

yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fungsional. 2.4.5

D. Manifestasi klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia, dan gejala klinis

yang mulai terlihat pada :

a. Periode Neonatal

Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus

cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium

yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang

terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Pada

lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama,

namun pada lebih dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24

jam. 2.5.7

b. Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di

dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar

menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang

air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.2

E. Diagnosis

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakan sedini mungkin. Keterlambatan

diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus,

dan sepsis yang menjadi penyebab kematian tersering. Menurut Ehrenpresis dalam

tesisnya tahun 1946, penyakit Hirschsprung dapat ditegakan pada masa neonatal. 2.4.5.7

Anamnesis

o Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya keluar >24 jam.

o Adanya muntah berwarna hijau.

8

Page 9: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

o Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi

semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.

o Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya

anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat

defekasi.2

Pemeriksaan Fisik

Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila

dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot

keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kembali

mengecil.2.4

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit

Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus

letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah

24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah

terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan

pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka

barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

F. Penatalaksanaan

Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan

pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-

komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita

sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pada dasarnya penyembuhan

penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan, berupa pengangkatan

segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis

hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit Hirscshsprung

dapat berupa bedah sementara dan bedah definitif. 6

Tujuan terapi medis pada pasien ialah:

9

Page 10: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

1. Mengobati komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak diketahui dan tidak

terobati.

2. Menatalaksana sampai dilakukannya operasi

3. Menatalaksana fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.2

Penanganan operatif

Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang biasanya

membutuhkan biopsy rectal full-thickness. Pada umumnya, penatalaksanaan awal yaitu

dengan membuat colostomy dan ketika anak bertumbuh dan memiliki berat lebih dari

10 kg, operasi definitif dapat dilakukan. 3.7

Untuk penggunaan terapi antibiotik harus komprehensif dan mencakup seluruh

patogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu

oleh tes kultur darah dan sensitivitas. 2

G. Diagnosis Banding

Diagnosa banding selalu dipikirkan bila didapati neonatus dengan gejala dan tanda

hambatan pasase usus letak rendah. Keadaan ini dapat diakibatkan pula oleh hambatan

mekanis seperti atresia setinggi ileum atau lebih rendah, stenosis anal, ileus mekonium,

dan lain-lain. Obstruksi usus letak rendah akibat gangguan fungsi motilitas usus juga

dapat tampak menyerupai Hirschsprung, seperti prematuritas, enterokolitis nekrotikans,

sepsis dengan gangguan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme, obstipasi psikogenik.2

H. Komplikasi

Enterocolitis dapat terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus

halus. Gejala klinisnya berupa diare eksplosif, distensi abodimen, demam, muntah, dan

letargi. Setelah operasi, kebanyakan bayi dan anak-anak melepaskan feses secara

normal. Beberapa dapat mengalami diare, tetapi setelah beberapa waktu feses akan

menjadi lebih padat. “toilet training” dapat mengambil waktu lama karena beberapa

anak-anak memiliki kesulitan mengkoordinasikan otot-otot yang digunakan untuk

melepaskan feses. Ini meningkat pada kebanyakan anak-anak seiring waktu. Konstipasi

dapat berlanjut pada beberapa anak-anak, meskipun laksativ seharusnya membantu.

Makan makanan tinggi serat juga dapat membantu pada diare dan konstipasi. Anak juga

berada pada resiko peningkatan enteroloitis dalam kolon atau usus halus setelah

operasi. Gejala dan tanda dari enterocolitis yakni berupa demam, perut kembung

muntah, diare, perdarahan dari rectum.2.5.7

I. Prognosis

10

Page 11: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Akibat yang dihasilkan setelah perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitif

adalah sulit untuk determinasi karena terjadi konflik pada laporan dalam literature.

Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan tinggi. Sementara yang lain melaporkan

kejadian yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Umumnya, lebih dari 90%

pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.1.3.9

BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini dilaporkan seorang bayi laki-laki usia 2 hari dengan berat badan

2900 gram yang di rawat di ruang Perinatologi RSU Dorys Sylvanus Palangka Raya.

Bayi A dibawa orang tua dengan keluhan utama muntah. Keluhan muntah sebanyak

lebih dari 4x dan perut bayi A terlihat kembung. Pasien juga dikeluhkan jarang BAB

sejak lahir.

11

Page 12: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dicurigai menderita

penyakit kongenital yakni Morbus Hirschsprung. Hal ini berdasarkan dari tanda dan

gejala yang didapat menggambarkan adanya pengeluaran mekonium yang terhambat,

distensi abdomen, tetapi tidak ditemukan muntah hijau pada bayi A. Pada gambar 1,

digambarkan kondisi fisik anak dengan penyakit Hirschsprung berumur 3 hari. Yang

paling menonjol adalah di terlihat distensi dan venektasi pada abdomen. Pada bayi A,

kondisi pasien menunjukan gambaran yang sama yakni distensi pada abdomen.

Gambar 1. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya. Sumber : Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta,2000.

Etiologi terjadinya Morbus Hirschsprung pada pasien ini diduga karena

kegagalan pembentukan Sel ganglion intra uterine. Faktor yang mempengaruhinya pun

masih ditelusuri, mengingat berdasarkan alloamanesa kepada orang tua pasien, sang ibu

saat mengandung juga rutin ANC (+) dan tidak mengalami gangguan selama

kehamilan. Hingga saat ini, teori yang berkembang seputar penyakit Morbus

Hirschsprung berupa teori kegagalan migrasi sel-sel krista neural dan teori imunologi

dan hostile enviroment.2

Untuk menegakan diagnosis pada pasien A dengan curiga Morbus

Hirschsprung, dilakukan pemeriksaan radiologi. Setelah difoto polos abdomen, didapati

hasil kecurigaan Morbus Hirschsprung. Namun pada pasien A hasil foto polos abdomen

tersebut belum terlalu menyakinkan sehingga direncakan untuk pemeriksaan radiologi

12

Page 13: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

lanjutan yakni colon in loop pada hari selanjutnya. Menurut pembagian klasifikasi

penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut :

a. Hirschsprung segmen pendek : daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid,

ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan

pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.

b. Hirschsprung segmen panjang : daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari

sigmoid.

c. Hirschsprung kolon aganglionik total: bila daerah aganglionik mengenai seluruh

kolon.

d. Hirschsprung kolon aganglionik universal : daerah aganglionik meliputi seluruh

kolon dan hampir seluruh usus halus.8

Pada perawatan hari ketiga pasien keadaan umum bayi masih kembung. Bayi A

sudah dipuasakan lalu dilakukan pemeriksaan colon in Loop. Hasil dari pemeriksaan ini

memang mengarah pada Morbus Hirschsprung dengan segmen pendek pada distal

rektum. Pada Hirschsprung dengan segmen pendek, daerah aganlionik meliputi rektum

hingga sigmoid atau dikenal dengan Hirschsprung klasik yang memang angka

insidensinya lebih tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Pemeriksaan

standart lain yang dapat dilakukan untuk menegakan penyakit Hirschsprung adalah

barium enema dan biopsi. Tetapi pada pasien bayi A tidak dilakukan pemeriksaan ini.8

Apabila dilakukan pemeriksaan barium enema, pada Hirschsprung pada bayi ini

kemungkinan akan dijumpai 3 tanda khas seperti pada gambar :

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah

dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. 6

13

Page 14: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Gambar 2. Foto rontgen pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung.(gambar kiri) gambar barium enema penderita Hirschsprung (gambar kanan). Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.Sumber: http://radiopaedia.org/cases/hirschsprung-disease

Diagnosis patologi anatomi dengan metode biopsi dilaporkan oleh Swenson pada tahun

1955 dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, sehingga pleksus mienterik dapat

diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam spesimen biopsi, menyingkirkan diagnosis penyakit

Hirschsprung. 2

Pada pemeriksaan darah hari pertama pasien datang, tidak ditemukan kelainan pada

pasien bayi A. Angka leukosit masih dalam batas normal untuk usia neonatus. Hal yang

perlu diperhatikan saat pemeriksaan laboratorium khususnya darah, adanya peningkatan

sel darah putih sebagai penanda infeksi. Karena pada pasien dengan Morbus

Hirschsprung dapat terjadi komplikasi infeksi.2

Pada saat pasien dirawat pertama kali, pasien diberikan terapi di IGD IVFD KAEN 4A

sebanyak 20 tetes mikro per menit. Untuk kebutuhan cairan anak usia tersebut pasien

seharusnya mendapatkan cairan sebanyak 80x/kgBB/hari. PenggunaanIVFD 4A sudah sesuai

dengan usia bayi <6 bulan. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kebutuhan cairan bayi A hari

ke dua sebanyak 232 cc/24 jam atau dikonversi kedalam tetesan mikro menjadi 10 tetes per

menit selama 24 jam. KAEN 4A merupakan jenis cairan infus rumatan untuk bayi dan anak

dengan kandungan komposisi per 100 ml : Na 30 mEq/L, Cl 20 mEq/L, Laktat 10 mEq/L, dan

glukosa 40gr/dL.10

Pada pasien diberikan infus Aminofusin paed 30cc/24 jam sebagai tambahan

nutrisi parenteral yang mengandung protein bagi pasien. Bayi A juga ditatalaksana

dengan antibiotik Cefotaxim (50-100 mg/kgbb/hari) dan Gentamycin (2,5-5

mg/kgbb/hari) sesuai dengan dosis obat. Penggunaan antibitiotik dimaksudkan untuk

mengurangi risiko infeksi pada bayi dan diberikan injeksi cimetidin yakni obat

penghambat histamin pada reseptor H2 karena pasien muntah-muntah. Bayi A dipasang

OGT dengan tujuan dekompresi lambung, mengetahui isi cairan lambung dan pada

pasien bayi baru lahir dapat dipakai sebagai intrument mendeteksi apakah ada kelainan

kongenital lain misalnya atresia esofagus.9

14

Page 15: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Setelah perawatan hari ke empat dan kelima pasien ditatalaksana seperti hari

sebelumnya. Pada kasus ini harus dilakukan tindakan bedah. Terapi yang dilaksanakan sejauh

ini hanya berupa terapi non bedah yang ditujukan menghindari komplikasi-komplikasi yang

terjadi untuk memperbaiki keadaan umum pasien sebelum di lakukan pembedahan. Pada

pasien bayi A, belum didapati tanda terjadinya komplikasi karena jumlah leukositnya tidak

mengarah ke arah infeksi. Pada hari ke enam perawatan, pasien memaksa untuk pulang atas

permintaan sendiri pada hari kelima perawatan dan menolak untuk dilakukan operasi.

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama

dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.

Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan

kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi

abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan

melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian

melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah

rektum.2

Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan

hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik

yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik

yang dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting. 3.7

Pada kasus bayi A ini, diagnosa kerja Morbus Hirschsprung didiagnosis banding

dengan Meconium plug syndrome dan meconium illeus. Pada mekonium plug syndrome

didapati mekonium yang terlalu pekat dan lengket didaerah kolon distal. Sindrom ini diduga

akibat kekurangan tripsin atau kelainan akibat mobilitas kolon tanpa kelainan pada sel ganglion

seperti pada Hirschsprung. Pada foto polos abdomen, yang nampak pelebaran usus tanpa

disertai bayangan kalsifikasi dan tanpa bayangan busa sabun seperti pada mekonium illeus.

Mekonium illeus didapati gejala yang sama berupa pengeluaran mekonium yang terlambat. 2

Komplikasi pada Morbus Hirschsprung harus ditatalaksana secara tepat.

Menatalaksana komplikasi seperti mencegah terjadinya distensi usus yang berlebihan,

gangguan cairan dan elektrolit, dan komplikasi seperti sepsis dengan menggunakan

antibiotik ,dekompresi dengan menggunakan NGT, dan memberikan antibiotik bila ada

indikasi atau tanda-tanda terjadinya infeksi. Pada pasien ini, sebelum di lakukan operasi

sudah dipasang OGT yang memliliki banyak fungsi yakni dekompresi, fungsi

15

Page 16: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

monitoring cairan lambung, dan memasukan makanan secara oral apabila

memungkinkan. Pemberian antibiotik juga harus dipantau apakah memberikan respon.

Pada bayi A, angka leukosit tidak menurun setelah diberikan antibiotik cefotaxim dan

gentamycin selama perawatan.

Monitoring pada pasien ini terbagi menjadi tahapan sebelum operasi, dan

sesudah dilakukan operasi. Pada pasien bayi A karena tidak dilakukan tindakan

operatif, dan pulang sebelum ditatalaksana lebih lanjut tidak dilakukan monitoring yang

kedua. Hal yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum bayi, tanda vital, pemberian

nutrisi dan pemenuhan cairan, serta mencegah terjadinya infeksi akibat penyakit

Morbus Hirschsprung yang mendasarinya. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dan

sudah dilakukan pada kasus bayi A yang segera diikuti dengan tindakan dekompresi.

Dekompresi dilakukan agar tidak terjadi komplikasi enterokolitis.

Prognosis pada pasien ini apabila tidak diterapi definitif dapat meningkatkan angka

kematian pada bayi dengan Morbus Hirschprung. Mengingat komplikasi-komplikasi yang

dapat mengancam pasien apabila tidak segera diterapi. Walaupun telah di bedah, komplikasi

bedah pasca operasi juga dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ

sekitar serta risiko anaestesi. Belum lagi terdapat penyulit pasca bedah pada pasien dengan

penyakit Hirschsprung. 2.5

BAB V

PENUTUP

16

Page 17: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

Demikian telah dilaporkan kasus dengan Morbus Hirschsprung dari seorang

bayi An. A, berusia 2 hari dengan berat badan 2900 gram yang dirawat di ruang

perinatologi RSU Dorys Sylvanus Palangka Raya. Bayi A datang dengan keluhan

utama muntah sebelum masuk rumah sakit. Keluhan muntah disertai dengan jarang

BAB sejak lahir.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan

penujang berupa pemeriksaan radiologi. Setelah dirawat 5 hari, anak ini diterapi untuk

mencegah komplikasi sebelum dilakukan terapi pembedahan. Tetapi keluarga pasien

menolak untuk operasi definitif dan pulang atas permintaan sendiri.

Penyakit Hirschsprung adalah penyakit tidak adanya sel-sel ganglion dalam

rektum atau bagian rektosigmoid colon. Dengan ketidakadaan ini menimbulkan

abnormalitas usus yakni tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara normal.

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit bawaan pada neonatus dengan angka

kejadian lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Prinsip

penatalaksanaan adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan membuat

anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan proksimal usus yang

memiliki inervasi saraf yang sehat.

Apabila tidak dilakukan terapi pembedahan untuk memperbaiki fungsi kolon

pada Hirschsprung angka kematian masih tetap tinggi mengingat komplikasi-

komplikasi pada penyakit ini. Monitoring yang dilakukan mencakup keadaan sebelum

dan sesudah operasi baik dari segi keadaan umum, tanda vital, tanda infeksi, dan faktor

penyulit. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk membantu pasien ini sebelum

dilakukan operasi berupa dekompresi untuk mengurangi kesakitan dan komplikasi,

mencegah bayi aspirasi, menjaga kebersihan botol susu dan tempat penyimpanan susu,

menjaga kebersihan area genital dan anus sewaktu mengganti popok.

17

Page 18: LAPORAN KASUS morbus hirsprung

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel

modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993

2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta,2000: 1-62

3. Lee Steven, MD, Chief, Pediatric Surgery, Department of Surgery, Kaiser-Permanente,

Los Angeles Medical Center. Hirschsprung Disease. [cited July 2014] : last update :

July 12, 2014. Available at http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview

4. Swenson O.Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatric 2002;109:914-918

5. Sabiston. Buku Ajar Bedah Penyakit kolon dan rektum. Edisi 2. EGC. Jakarta.1994:14-

18.

6. Jong W, Syamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.2000: 670-671.

7. Ashcraft K. Pediatric Surgery Elsevier Saunders. Ed.4. Philadelphia: 2002. 477-489.

8. Wylie R. Motility disoders and hirshsprung disease. In: Kliegman RM, Jenson HB,

Berhman RE, Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18 th edition.

Philadelphia: Elsivier Saunders; 2007:1565-1567.

9. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi :Konsep Klinis, Proses-Proses

Penyakit. EGC, Jakarta. 1995:109-12.

10. PT. Otsuka Indonesia. Jenis Cairan Infus. Edisi VII.2004.

18