laporan : kajian kebijakan penentuan pelabuhan · pdf filekebijakan penentuan pelabuhan...

173
LAPORAN : KAJIAN KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI PINTU MASUK IMPOR PRODUK TERTENTU Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2012

Upload: vudien

Post on 30-Jan-2018

231 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

LAPORAN :

KAJIAN KEBIJAKAN PENENTUAN

PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI PINTU

MASUK IMPOR PRODUK TERTENTU

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

Jakarta – 2012

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Gedung Utama Lt. 16 Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693

KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI PINTU MASUK IMPOR PRODUK TERTENTU

Banyaknya kesepakatan perdagangan bebas yang dilaksanakan Indonesia

dengan negara mitra dialog baik secara bilateral maupun regional menyebabkan tarif

bea masuk preferensi semakin rendah. Saat ini rata-rata tarif bea masuk Indonesia

adalah 7,73%. Rendahnya tarif ini menyebabkan maraknya produk impor masuk ke

pasar dalam negeri, baik berupa produk hasil industri maupun pertanian. Seiring

dengan berjalannya waktu, terdapat kecenderungan kenaikan impor baik untuk produk

industri maupun produk pertanian khususnya produk hortikultura. Pada tahun 2010,

impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011, telah mencapai USD

13,4 miliar. Walaupun impor barang konsumsi ini hanya 7,55 persen dari total impor

Indonesia, namun demikian alangkah baiknya apabila hal ini dapat dipasok oleh industri

di dalam negeri. Impor terbesar didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan

barang modal (18,65 %).

Dalam rangka menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim usaha yang

kondusif dan peningkatan tertib administrasi impor, Kementerian Perdagangan

menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor. 57 tentang ketentuan Impor

Produk Tertentu yang mengatur impor produk makanan dan minuman, obat tradisional

dan herbal, kosmetik, pakaian jadi, alas kaki, elektronika dan mainan anak-anak hanya

dapat dilakukan melalui pelabuhan laut Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas,

Tanjung Perak, Soekarno-Hatta Makassar, Dumai dan Jayapura dan/atau seluruh

pelabuhan udara internasional.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, impor produk makanan dan minuman

mengalami kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010 yaitu dari USD 0,404 miliar

menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk kosmetik kenaikan terjadi sebesar 35,63

persen. yaitu dari USD 0,303 miliar pada tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar

pada tahun 2011. Produk pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan

dibadingkan tahun 2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD

0,286 miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011 mengalami

kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika kenaikan impor tahun 2011

sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun 2010. Untuk mainan anak-anak, kenaikan

tahun 2011 adalah sebesar 33,02 persen.

Adapun untuk produk pertanian dalam hal ini produk hortikultura, juga

mengalami kenaikan impor. Selama 5 tahun terakhir (2007-2011), impor produk

hortikultura cenderung mengalami peningkatan sebesar 19,2 persen per tahun. Impor

produk hortikultura terbesar adalah melalui pelabuhan laut Tanjung Priok dengan

pangsa pada tahun 2011 mencapai 64,2 persen dengan nilai USD 1.077 juta, diikuti

oleh pelabuhan laut Tanjung Perak dengan pangsa 23,4 persen, pelabuhan laut

Belawan (5,6 %), Pelabuhan dumai (2%), Pelabuhan Batu Ampar (1,7%) dan bandar

udara Soekarno-Hatta (0,3%). Hampir sebagian besar produk Hortikultura Indonesia

(47,1%) diimpor dari China. Negara asal impor produk Hortikultura Indonesia lainnya

dari Thailand (12,9%), AS (8,3%), India (5,1%), dan Australia (3,2%), dimana keempat

negara tersebut merupakan negara-negara mitra dagang FTA.

Peningkatan impor produk hortikultura tersebut dikhawatirkan tidak hanya

mengancam kelangsungan produksi produk sejenis di dalam negeri, namun juga

mengakibatkan masuknya Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK)

eksotik yang tidak pernah ada di Indonesia, yang pada akhirnya mengakibatkan

turunnya produktifitas produk hortikultura dalam negeri.

Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil industri

maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan produsen dalam negeri

karena dapat mengganggu dan mengurangi daya saing barang lokal sejenis di pasar

dalam negeri.

Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri dan memberikan

perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri agar barang lokal

sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor, diperlukan suatu kebijakan

yang mengatur tentang pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk produk impor

tertentu. Terkait hal tersebut, tujuan dari kajian ini adalah mengidentifikasi kriteria ideal

penetapan pelabuhan yang ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hasil industri

dan pertanian/hortikultura, menganalisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan

ditetapkan dengan sentra produksi dan sentra industri dan menganalisis potensi

dampak ekonomi dari kebijakan penetapan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai

pintu masuk impor produk hasil industri dan pertanian/ hortikultura.

Berdasarkan analisis, kriteria utama dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu

masuk impor produk industri dan hortikultura berturut-turut mulai dari yang paling

prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan, (2)

kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut , (4)

kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal , dan (5) kriteria Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut. Masing-masing kriteria utama tersebut terdiri dari beberapa sub

kriteria dengan bobot/prioritas masing-masing. Hasil penentuan kriteria pelabuhan

tersebut dapat dijadikan rujukan kriteria bagi pengambil keputusan untuk menentukan

pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hortikultura dan

industri.

Dari hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung

Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) secara umum

pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi standar pada kriteria prioritas pertama

(Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua

(Ketersediaan Sumberdaya Manusia). Di lain pihak pada kriteria lainnya yaitu kriteria

Fasilitas Pelabuhan Lau; kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut belum

memenuhi standar.

Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung Perak

Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) akan dijadikan pintu masuk

produk-produk hortikultura dan industri, saran top prioritas yang harus diperbaikinya di

seluruh pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal. Khususnya di

pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-pelabuhan

tersebut berada di sentra produksi terbesar dari produk-produk hortikultura yang

tercakup pada Permentan No.89 Tahun 201. Sementara Batam, termasuk sentra

produksi produk-produk industri dan memiliki fasilitas distribusi yang baik untuk

distribusi ke seluruh wilayah Indonesia.

Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Tanjung Perak,

Belawan Medan dan Batam lebih tinggi dibandingkan dengan pelabuhan sampel

lainnya sehingga untuk memproteksinya diperlukan peraturan khusus sebagaimana

diterapkan di Jawa Timur. Dalam hal ini Propinsi Jawa Timur untuk

meningkatkan proteksi terhadap produk hortikultura lokalnya telah menerapkan

Peraturan Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk

Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Efektifitas dari

regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi antara Gubernur

dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang waktu, jenis dan

jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim. Selanjutnya masukan tersebut

menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam memberikan rekomendasi kepada Menteri

Perdagangan.

Berdasarkan analisis kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan Ditetapkan

dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri, maka wilayah yang sangat sensitif

dijadikan pintu masuk impor buah-buahan dan sayuran segar berdasarkan Permentan

No.89 adalah Tanjung Perak (Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena

kedua wilayah tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah produsen

terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia.

Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan Tanjung Perak (Jawa Timur) juga pasti akan

mempengaruhi daerah produsen terbesar kedua dari produksi buah-buahan dan

sayuran segar di Indonesia yaitu Jawa Barat. Dengan demikian, penetapan Tanjung

Perak dan Belawan sebagai pintu masuk masuk impor produk buah-buahan dan

sayuran segar di Indonesia berdasarkan Permentan No.89 menjadi sangat sensitif

terhadap daya saing produk buah-buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di

wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kondisi Tanjung Perak (Jawa

Timur) ini diperparah oleh perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar

yang tercakup dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama periode

2008-2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun. Nampaknya pintu masuk Tanjung

Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga memiliki dampak juga terhadap daya saing

produk-produk buah-buahan dan sayuran segar di daerah Jawa Barat, yang ternyata

telah mengalami trend penurunan produksi yang cukup menyolok yang produksinya

menurun sebesar 19,6% per tahun.

Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing produk lokal, maka

pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam (Riau), Belawan (Sumut) dan

Tanjung Perak (Surabaya). Dua pelabuhan lainnya yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno

Hatta (Makasar), nilai sensitivitasnya medium sehingga diperkirakan tidak memberikan

dampak negatif yang besar terhadap daya saing produk lokal. Walaupun Batam,

bukan termasuk wilayah sentra produksi utama buah-buahan dan sayuran segar di

Indonesia, namun nilai sensitivitasnya yang tinggi terkait dengan adanya kemudahan

faslitas dalam mendistribusikan buah-buahan dan sayuran segar dari Batam ke

seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, Batam termasuk salah satu wilayah produksi

produk-produk industri.

Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha melakukan impor produk

hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi permintaan konsumen. Alasan penting

urutan kedua dari melakukan impor produk-produk hortikultura dan industri adalah

karena konsisten dalam supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan

derajat kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu produk

impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah.

Dari analisis semantic differential, diketahui bahwa daya saing produk

hortikultura lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Atribut-

atribut dari produk hortikultura lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai

dari yang sangat urgent adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan

kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai

masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Demikian pula daya saing produk

industri lokal ternyata lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Atribut-atribut

dari produk industri lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang

sangat urgent adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)

kemasan/packaging produk.

Untuk meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas

pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain

untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor

untuk lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)

penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamanan investasi.

Para pihak yang diperkirakan akan diuntungkan atau menerima dampak positif

dari kebijakan penetapan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk produk-produk

tertentu ini berturut-turut mulai dari yang paling besar menerima dampak positifnya

adalah (1) para produsen dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain

pihak, stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari kebijakan ini

brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak negatif paling besar adalah (1)

para importir, (2) industri pengolah, dan (3) para konsumen di dalam negeri. Namun

demikian, secara sistem, kebijakan ini diperkirakan akan dapat memberikan dampak

positif secara nasional yang relatif tidak besar.

Untuk menetapkan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk produk-produk

hortikultura dan industri, kriteria utama yang perlu dijadikan dasar penetapan tersebut

berturut-turut mulai dari yang paling prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan,

dan Pelayanan Pelabuhan, (2) kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria

Fasilitas Pelabuhan Laut , (4) kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal , dan (5) kriteria

Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut.

Berdasarkan analisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan

dengan sentra produksi hortikultura dan sentra industri, maka pelabuhan yang sangat

sensitif dijadikan pintu masuk impor adalah Tanjung Perak (Jawa Timur), Belawan

(Sumatera Utara) dan Batam. Oleh karena itu, di pelabuhan-pelabuhan tersebut perlu

diback up oleh peraturan daerah (Gubernur) dan peraturan lainnya untuk lebih

melindungi daya saing produk lokalnya yang masih jauh lebih rendah dibandingkan

produk impor.

Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal yang

harus segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan

kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai

masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal,

atribut-atribut produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1) merk/brand;

(2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4) kemasan/packaging produk. Untuk

meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas pertama

untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain untuk

meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk

lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)

penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

Pemindahan pintu masuk impor produk hortikultura dari Pelabuhan Tanjung

Priok ke pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya pengangkutan produk.

Pemindahan pintu masuk impor akan menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 80 - 100

juta/kontainer 40” untuk produk hortikultura. Sedangkan untuk produk industri akan

menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 50 - 77 juta/kontainer 40”.

Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah perbaikan yang perlu dilakukan

agar pelabuhan yang disurvei memenuhi kriteria sebagai pelabuhan impor adalah

meningkatkan Fasilitas Pelabuhan Laut dan Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut,

dan apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung Perak

Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) akan dijadikan pintu masuk

produk-produk hortikultura dan industri, saran prioritas utama yang harus diperbaikinya

di seluruh willayah pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal.

Khususnya di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-

pelabuhan tersebut berada di sentra produksi terbesar dari produk-produk hortikultura

yang tercakup pada Permentan No.89 Tahun 2011.

Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal yang harus

segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran,

(3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai masih lebih

mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal, atribut-atribut

produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1) merk/brand; (2) kualitas

produk; (3) model/tipe produk; dan (4) kemasan/packaging produk. Untuk

meningkatkan daya saing produk industri lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas

pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain

untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor

untuk lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)

penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

Secara total, kebijakan ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan dampak

positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk terus

diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara periodik, dan disempurnakan serta

diperkuat dengan peraturan-peraturan lainnya untuk meningkatkan efektifitasnya dalam

meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan industri lokal.

Untuk memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri yang

daya saingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk impor, diperlukan

peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non tariff barriers antara lain

persyaratan sertifikat halal dan keamanan pangan untuk produk-produk makanan dan

minuman; penerapan SNI wajib serta pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya

rekomendasi dari Kementrian terkait juga harus lebih selektif.

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan.

Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil

industri maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan produsen

dalam negeri karena dapat mengganggu dan mengurangi daya saing barang lokal

sejenis di pasar dalam negeri. Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri

dan memberikan perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri

agar barang lokal sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor,

diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang pelabuhan impor tertentu

sebagai pintu masuk produk impor tertentu. Penentuan pelabuhan tertentu sebagai

pintu masuk impor produk tertentu, memerlukan perbaikan diantaranya yaitu

peningkatan dayasaing produk local, khususnya di pelabuhan Tanjung Perak

Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra

produksi terbesar dari produk-produk hortikultura.

Secara total, kebijakan penentuan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk

impor produk tertentu ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan dampak

positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk terus

diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara periodik, dan disempurnakan

serta diperkuat dengan peraturan-peraturan lainnya untuk meningkatkan

efektifitasnya dalam meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan

industri lokal.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk tahap

pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa yang akan datang. Besar

harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat dalam kajian ini

dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Jakarta, Desember 2012

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

ii

DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar .......................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................... ii

Daftar Tabel .............................................................................................. vi

Daftar Gambar ........................................................................................... x

Daftar Lampiran ........................................................................................ xix

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................... 5

1.3 Tujuan Kajian ................................................................. 5

1.4 Output dan Manfaat Penelitian....................................... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................. 6

1.6 Sistematika Penulisan .................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional.................................... 8

2.1.1 Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional ............ 8

2.1.2 Sebab-sebab Terjadinya Perdagangan Internasional ...... 9

2.1.3 Ketentuan Perdagangan Internasional ............................ 11

2.1.3.1 Bidang Ekspor ................................................................ 11

2.1.3.2 Bidang Impor ................................................................. 12

2.1.4 Jenis-jenis Perdagangan Internasional ........................... 13

2.1.5 Keunggulan Bersaing ..................................................... 16

2.1.6 Daya Saing Produk ......................................................... 21

iii

2.2 Teori Pelabuhan ............................................................. 30

2.2.1 Pengertian Pelabuhan ..................................................... 30

2.2.2 Jenis-jenis Pelabuhan ..................................................... 31

2.2.3 Fasilitas Pelabuhan ......................................................... 34

2.2.4 Pihak-pihak di Pelabuhan ............................................... 37

2.3 Karantina ........................................................................ 37

2.3.1 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Proses .............................. 37

2.3.2 Sarana Karantina ............................................................ 38

2.4 Logistik .......................................................................... 41

2.5 Penelitian Sebelumnya ................................................... 48

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................... 53

3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................... 54

3.3 Metode Analisis Data ..................................................... 55

3.3.1 Analisis Multi Atribut Angka Ideal dan Semantic

Differential ..................................................................... 55

3.3.2 Metode Pembobotan Eckenrode .................................... 57

BAB IV. GAMBARAN UMUM .................................................. 59

4.1 Kondisi Pelabuhan di Indonesia ..................................... 59

4.2 Kondisi Industri Elektronika dan Makanan ................... 65

4.3 Kondisi Produk Hortikultura .......................................... 75

4.4 Kondisi Daerah yang Menjadi dan Diusulkan sebagai

Pintu Masuk Impor Produk Tertentu ............................. 81

4.4.1 Bitung – Manado ............................................................ 81

iv

4.4.2 Surabaya ......................................................................... 83

4.4.3 Medan ............................................................................. 85

4.4.4 Makassar ........................................................................ 87

4.4.5 Batam ............................................................................. 88

4.4.6 Mataram ......................................................................... 90

4.5 Kondisi Port of Rotterdam ............................................. 91

4.6 Kondisi Port of Singapore .............................................. 93

BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN

TERTENTU SEBAGAI PINTU MASUK PRODUK

TERTENTU

5.1 Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu

Masuk Impor Produk Hasil Industri dan

Pertanian/Hortikultura .................................................... 96

5.2 Hasil Penilaian Pelabuhan sebagai Pintu Masuk Impor

Produk Industri dan Hortikultura ................................... 101

5.2.1 Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya .............................. 103

5.2.2 Pelabuhan Bitung, Manado ............................................ 106

5.2.3 Pelabuhan Belawan, Medan ........................................... 109

5.2.4 Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar .............................. 112

5.2.5 Pelabuhan Batam ............................................................ 116

5.3 Kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang Akan Ditetapkan

dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri .................. 120

5.4 Daya Saing Produk Impor terhadap Produk Lokal ........ 123

5.5 Daya Saing Produk Hortikultura dan Industri Lokal ..... 124

5.6 Prioritas Penanganan Bidang Masalah ........................... 127

5.7 Penilaian Potensi Dampak Kebijakan ............................ 128

v

5.8 Analisis Dampak Potensi Ekonomi Kebijakan Penetapan

Pelabuhan Tertentu sebagai Pintu Masuk Impor Produk

Tertentu .......................................................................... 129

5.8.1 Produk Hortikultura ....................................................... 129

5.8.2 Produk Hasil Industri (Makanan dan Elektronika) ........ 135

5.9 Dampak Permendag No. 57 Tahun 2010 terhadap

Perkembangan Impor Produk Industri ........................... 141

BAB VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan .................................................................... 144

6.2 Rekomendasi .................................................................. 148

vi

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 4.1 Cakupan Wilayah dan Pelabuhan dibawah Pengaturan

Perum Pelabuhan ............................................................... 60

Tabel 4.2 Data Kinerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama :

Kargo Dalam Negeri ......................................................... 63

Tabel 4.3 Rasio Waktu Kerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama 64

Tabel 4.4 Perkembangan Luas Panen Komoditas Hortikultura Lingkup

Permentan No. 89 Tahun 2012.......................................... 76

Tabel 4.5 Perkembangan Produksi Produk Holtikultura Lingkup

Permentan No. 89 Tahun 2012.......................................... 78

Tabel 4.6 Produksi Produk Hortikultura Lingkup Permentan No. 89

Tahun 2012 di Beberapa Sentra Produksi ......................... 79

Tabel 5.1 Prioritas Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai

Pintu Masuk Impor Produk Hasil Industri dan Hortikultura 97

Tabel 5.2 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada

Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelabuhan ................ 97

Tabel 5.3 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada

Kriteria Sumber Daya Manusia ......................................... 98

Tabel 5.4 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada

Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut ...................................... 99

Tabel 5.5 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada

Kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal........................... 100

Tabel 5.6 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada

Kriteria Wilayah Perairan Pelabuhan Laut ....................... 101

Tabel 5.7 Hasil Penilaian Kriteria pada Pelabuhan Bitung, Tanjung

Perak dan Tanjung Priok ................................................... 102

Tabel 5.8 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Tanjung Perak untuk

Dijadikan sebagai Pintu Masuk Produk Industri

dan Hortikultura ............................................................... 103

vii

Tabel 5.9 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan

Tanjung Perak ................................................................... 104

Tabel 5.10 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,

Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan

Tanjung Perak ................................................................... 105

Tabel 5.11 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak.................... 105

Tabel 5.12 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Bitung sebagai

Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura ................. 107

Tabel 5.13 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado .................. 107

Tabel 5.14 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan

Bitung Manado .................................................................. 108

Tabel 5.15 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Belawan Medan

untuk sebagai Pintu Masuk Produk Industri

dan Hortikultura ................................................................ 110

Tabel 5.16 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan

Belawan Medan ................................................................. 110

Tabel 5.17 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan ................. 111

Tabel 5.18 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,

Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan

Belawan Medan ................................................................. 112

Tabel 5.19 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Sukarno Hatta

untuk sebagai Pintu Masuk Produk Industri

dan Hortikultura ................................................................ 113

Tabel 5.20 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno

Hatta Makassar .................................................................. 114

viii

Tabel 5.21 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makassar .... 115

Tabel 5.22 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,

Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan

Sukarno Hatta .................................................................... 116

Tabel 5.23 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Batam untuk sebagai

Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura ................. 118

Tabel 5.24 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas

Pelabuhan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam ..... 119

Tabel 5.25 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah

Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam ........ 120

Tabel 5.26 Daftar Produk Hortikultura yang Tercakup dalam

Permentan No. 89 Tahun 2011.......................................... 122

Tabel 5.27 Produksi Produk Hortikultura yang Tercakup dalam

Permentan No. 89 Tahun 2011 di Wilayah Propinsi

Pelabuhan Masuk .............................................................. 122

Tabel 5.28 Nilai Sensitivitas Terhadap Daya Saing Produk Lokal

Dari Masing-masing Pelabuhan Masuk ............................ 123

Tabel 5.29 Alasan Melakukan Impor dari Para Pelaku Usaha

Hortikultura dan Industri ................................................... 123

Tabel 5.30 Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran

Daya Saing Produk Hortikultura Impor Dibandingkan dengan

Produk Lokal ..................................................................... 125

Tabel 5.31 Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran

Daya Saing Produk Industri Impor Dibandingkan dengan

Produk Lokal ..................................................................... 127

Tabel 5.32 Perkiraan Potensi Dampak Kebijakan ............................... 129

Tabel 5.33 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura

dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke Jakarta ........ 131

Tabel 5.34 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura

dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta ...................... 132

ix

Tabel 5.35 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura

dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta ................................. 133

Tabel 5.36 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura

dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta ....................... 134

Tabel 5.37 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-

Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Tanjung Perak,

Surabaya ke Jakarta ........................................................... 137

Tabel 5.38 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-

Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Belawan, Medan

ke Jakarta ........................................................................... 138

Tabel 5.39 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-

Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Makassar

ke Jakarta ........................................................................... 139

Tabel 5.40 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-

Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Bitung, Manado

ke Jakarta ........................................................................... 140

x

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1.1 Perkembangan Impor Produk Hasil Industri Sesuai

Permendag No. 57 tahun 2010 .......................................... 2

Gambar 1.2 Perkembangan Impor Produk Hortikultura ...................... 3

Gambar 1.3 Impor Produk Hortikultura Berdasarkan Pelabuhan ......... 4

Gambar 2.1 Sistem Logistik ................................................................. 41

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Pembentuk Sistem Logistik 42

Gambar 2.3 Aliran Informasi Logistik .................................................. 47

Gambar 3.1 Kerangka Pikir .................................................................. 54

Gambar 4.1 Neraca Perdagangan Produk Elektronika ......................... 74

Gambar 4.2 Neraca Perdagangan Produk Makanan dan Minuman ...... 75

Gambar 4.3 Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia ........ 80

Gambar 4.4 Perkembangan Ekspor Impor Produk Buah-buahan ......... 80

Gambar 4.5 Perkembangan Ekspor Impor Produk Sayuran ................. 81

Gambar 5.1 Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Hortikultura

Ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi

Pelabuhan Impor ............................................................... 135

Gambar 5.2 Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Makanan dan

Elektronika ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi

Pelabuhan Impor ............................................................... 141

Gambar 5.3 Perkembangan Impor Produk-produk Industri ................. 143

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Banyaknya kesepakatan perdagangan bebas yang dilaksanakan

Indonesia dengan negara mitra dialog baik secara bilateral maupun

regional menyebabkan tarif bea masuk preferensi semakin rendah. Saat ini

rata-rata tarif bea masuk Indonesia adalah 7,73%. Rendahnya tarif ini

menyebabkan maraknya produk impor masuk ke pasar dalam negeri, baik

berupa produk hasil industri maupun pertanian. Seiring dengan berjalannya

waktu, terdapat kecenderungan kenaikan impor baik untuk produk industri

maupun produk pertanian khususnya produk hortikultura. Pada tahun 2010,

impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011, telah

mencapai USD 13,4 miliar. Walaupun impor barang konsumsi ini hanya

7,55 persen dari total impor Indonesia, namun demikian alangkah baiknya

apabila hal ini dapat dipasok oleh industri di dalam negeri. Impor terbesar

didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan barang modal (18,65

%).

Dalam rangka menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim

usaha yang kondusif dan peningkatan tertib administrasi impor,

Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor. 57 tentang ketentuan Impor Produk Tertentu yang mengatur impor

produk makanan dan minuman, obat tradisional dan herbal, kosmetik,

pakaian jadi, alas kaki, elektronika dan mainan anak-anak hanya dapat

dilakukan melalui pelabuhan laut Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas,

Tanjung Perak, Soekarno-Hatta Makassar, Dumai dan Jayapura dan/atau

seluruh pelabuhan udara internasional.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, impor produk makanan

dan minuman mengalami kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010

yaitu dari USD 0,404 miliar menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk

kosmetik kenaikan terjadi sebesar 35,63 persen. yaitu dari USD 0,303 miliar

2

pada tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar pada tahun 2011. Produk

pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan dibadingkan tahun

2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD 0,286

miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011 mengalami

kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika kenaikan impor

tahun 2011 sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun 2010. Untuk mainan

anak-anak, kenaikan tahun 2011 adalah sebesar 33,02 persen.

Perkembangan impor produk-produk tersebut sebagaimana terlihat pada

gambar 1.1.

Gambar 1.1. Perkembangan Impor Produk Hasil Industri Sesuai Permendag No. 57 Tahun 2010

ManMin Obat Kosmetik Pakaian Alas Kaki Elektronika Mainan

2007 0,31 0,07 0,19 0,10 0,06 1,30 0,06

2008 0,43 0,09 0,26 0,18 0,10 3,20 0,08

2009 0,31 0,10 0,23 0,17 0,07 3,25 0,06

2010 0,40 0,09 0,30 0,23 0,12 4,49 0,08

2011 0,52 0,08 0,41 0,29 0,16 5,09 0,10

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Juta

USD

2007 2008 2009 2010 2011

Sumber:BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Adapun untuk produk pertanian dalam hal ini produk hortikultura,

juga mengalami kenaikan impor. Selama 5 tahun terakhir (2007-2011),

impor produk hortikultura cenderung mengalami peningkatan sebesar 19,2

persen per tahun.

3

Sebagaimana terlihat pada gambar 1.2, perkembangan impor produk

hortikultura semakin meningkat setiap tahunnya baik untuk kelompok buah-

buahan, sayuran, tanaman hias maupun tanaman obat.

Gambar 1.2

Perkembangan Impor Produk Hortikultura

Sumber:BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Pada gambar 1.3 menunjukkan bahwa impor produk hortikultura

terbesar adalah melalui pelabuhan laut Tanjung Priok dengan pangsa pada

tahun 2011 mencapai 64,2 persen dengan nilai USD 1.077 juta, diikuti oleh

pelabuhan laut Tanjung Perak dengan pangsa 23,4 persen, pelabuhan laut

Belawan (5,6 %), Pelabuhan dumai (2%), Pelabuhan Batu Ampar (1,7%)

dan bandar udara Soekarno-Hatta (0,3%).

4

Gambar 1.3 Impor Produk Hortikultura Berdasarkan Pelabuhan

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Hampir sebagian besar produk Hortikultura Indonesia (47,1%)

diimpor dari China. Negara asal impor produk Hortikultura Indonesia lainnya

dari Thailand (12,9%), AS (8,3%), India (5,1%), dan Australia (3,2%),

dimana keempat negara tersebut merupakan negara-negara mitra dagang

FTA.

Peningkatan impor produk hortikultura tersebut dikhawatirkan tidak

hanya mengancam kelangsungan produksi produk sejenis di dalam negeri,

namun juga mengakibatkan masuknya Organisme Pengganggu Tumbuhan

Karantina (OPTK) eksotik yang tidak pernah ada di Indonesia, yang pada

akhirnya mengakibatkan turunnya produktifitas produk hortikultura dalam

negeri.

Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil

industri maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan

produsen dalam negeri karena dapat mengganggu dan mengurangi daya

saing barang lokal sejenis di pasar dalam negeri.

Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri dan memberikan

perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri agar

5

barang lokal sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor,

diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang pelabuhan impor

tertentu sebagai pintu masuk produk impor tertentu. Terkait hal tersebut,

akan dilakukan kajian yang komprehensif tentang kebijakan penentuan

pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk tertentu.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Kajian ini dilakukan dalam rangka untuk menjawab beberapa

pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan sebagai pintu

masuk impor produk hasil industri dan pertanian/hortikultura.

b. Bagaimana kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan

dengan sentra produksi dan sentra industri.

c. Bagaimana potensi dampak ekonomi kebijakan penetapan pelabuhan

tertentu yang ditunjuk sebagai pintu masuk impor produk hasil industri

dan pertanian/hortikultura.

1.3. Tujuan Kajian

Tujuan kajian ini adalah:

a. Mengidentifikasi kriteria ideal penetapan pelabuhan yang ditetapkan

sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan

pertanian/hortikultura.

b. Menganalisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan

dengan sentra produksi dan sentra industri.

c. Menganalisis potensi dampak ekonomi dari kebijakan penetapan

pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk

hasil industri dan pertanian/ hortikultura

6

1.4. Output dan Manfaat Penelitian

Adapun output dari kajian ini adalah laporan hasil kajian yang

komprehensif tentang pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk

tertentu. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pemangku

kepentingan (stakeholders) dalam memperoleh gambaran dan informasi

tentang kriteria ideal penetapan pelabuhan impor dan potensi dampaknya

dari kebijakan penentuan pelabuhan impor tertentu untuk produk impor

tertentu, yang diharapkan akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan

bagi kebijakan penentuan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor

produk tertentu (produk hasil industri dan pertanian/hortikultura).

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup kajian yang akan dilakukan adalah sebagai

berikut:

a. Aspek Produk

Produk-produk hasil industri yaitu produk elektronika dan produk

makanan minuman dan produk pertanian khususnya hortikultura yaitu

buah dan sayuran.

b. Aspek Ekonomi

i. Analisis kinerja perdagangan produk hasil industri dan produk

holtikultura

ii. Identifikasi kriteria ideal untuk penentuan pelabuhan impor untuk

produk impor tertentu

iii. Analisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan

dengan sentra produksi dan sentra industri

iv. Analisis potensi dampak ekonomi dari kebijakan penetapan

pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk

hasil industri dan pertanian/ hortikultura.

7

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan laporan kajian ini disusun sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang dilakukannya kegiatan ”Kajian Kebijakan

Penentuan Pelabuhan Tertentu sebagai Pintu Masuk Impor Produk

Tertentu”, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, output dan manfaat

penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini mengulas teori mengenai perdagangan internasional,

kepelabuhanan, daya saing dan kebijakan impor.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini meliputi kerangka pemikiran, metode analisis yang digunakan, dan

jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam kegiatan analisis.

Bab IV Gambaran Umum Kinerja Impor Produk Hasil Industri dan

Produk Holtikultura

Bab ini mendeskripsikan perkembangan impor Produk Hasil Industri dan

Produk Holtikultura.

Bab V Analisis Kebijakan Penentuan Pelabuhan Tertentu Sebagai Pintu

Masuk Produk Tertentu

Bab ini menjelaskan mengenai kriteria ideal pelabuhan impor untuk produk

industri dan produk hortikultura, kesesuaian pelabuhan dengan sentra

produksi dan sentra industri serta analisis dampak potensial penentuan

pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk impor produk industri dan

hortikultura.

Bab VI Kesimpulan dan Saran

Bab ini menyimpulkan keseluruhan hasil kajian dan memberikan saran

rekomendasi kriteria yang ideal untuk menentukan pelabuhan sebagai pintu

masuk impor produk hasil industri dan produk hortikultura serta upaya untuk

mengatasi potensi dampak yang akan timbul.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh

penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar

kesepakatan bersama. Penduduk yang dmaksud dapat berupa antar

perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah

suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara

lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri,

maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan

ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:

Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan

Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara kenegara lainnya

melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari

pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.

Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam

bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam

perdagangan dan sebagainya.

2.1.1. Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional

Setiap negara yang melakukan perdagangan dengan negara lain

tetntu akan memperoleh manfaat bagi negara tersebut. Manfaat tersebut

antara lain:

Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di

setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya: Kondisi geografi,

iklim, tingkat penguasaan IPTEK dan lain-lain. Dengan adanya

perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi

kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

Memperoleh keuntungan dari spesialisasi

9

Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk

memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun

suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya

dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik

apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar

negeri.Sebagai contoh:Amerika Serikat dan Jepang mempunyai

kemampuan untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat

memproduksi dengan lebih efisien dari Amerika Serikat. Dalam

keadaan seperti ini, untuk mempertinggi keefisienan penggunaan

faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi produksi

kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang. Dengan

mengadakan spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat

memperoleh keuntungan sebagai berikut

Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan

dengan lebih efisien. Setiap negara dapat menikmati lebih banyak

barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.

Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan

Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat

produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi

kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk

mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat

menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan

produk tersebut keluar negeri.

Transfer teknologi modern

Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk

mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara

manajemen yang lebih moderen.

2.1.2. Sebab-sebab Terjadinya Perdagangan Internasional

Setiap negara dalam kehidupan di dunia ini pasti akan melakukan

interaksi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Biasanya bentuk kerja

10

sama atau interaksi itu berbentuk perdagangan antar negara atau yang

lebih dikenal dengan istilah perdagangan internasional. Beberapa alasan

yang menyebabkan terjadinya perdagangan antar negara (perdagangan

internasional) antara lain:

Revolusi Informasi dan Transportasi

Ditandai dengan berkembangnya era informasi teknologi, pemakaian

sistem berbasis komputer serta kemajuan dalam bidang informasi,

penggunaan satelit serta digitalisasi pemrosesan data, berkembangnya

peralatan komunikasi serta masih banyak lagi.

Interdependensi Kebutuhan

Masing-masing negara memiliki keunggulan serta kelebihan di masing-

masing aspek, bisa di tinjau dari sumber daya alam, manusia, serta

teknologi. Kesemuanya itu akan berdampak pada ketergantungan

antara negara yang satu dengan yang lainnya.

Liberalisasi Ekonomi

Kebebasan dalam melakukan transaksi serta melakukan kerja sama

memiliki implikasi bahwa masing-masing negara akan mencari peluang

dengan berinteraksi melalui perdagangan antar negara.

Asas Keunggulan Komparatif

Keunikan suatu negara tercermin dari apa yang dimiliki oleh negara

tersebut yang tidak dimiliki oleh negara lain. Hal ini akan membuat

negara memiliki keunggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber

pendapatan bagi negara tersebut.

Kebutuhan Devisa

Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan

akan devisa suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya

setiap negara harus memiliki cadangan devisa yang digunakan dalam

melakukan pembangunan, salah satu sumber devisa adalah

pemasukan dari perdagangan internasional.

11

2.1.3. Ketentuan Perdagangan Internasional

Membahas tentang perdagangan internasional tentunya tidak

terlepas dari pembicaraan mengenai kegiatan ekspor-impor. Dalam

melakukan kegiatan ekspor impor tersebut perlu diperhatikan ketentuan-

ketentuan yang berlaku di bidang tersebut.

2.1.3.1. Bidang Ekspor

Ketentuan umum di bidang ekspor biasanya meliputi hal-hal yang

berhubungan dengan proses pengiriman barang ke luar negeri. Ketentuan

tersebut meliputi antara lain:

Ekspor

Perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam ke luar

wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuanyang

berlaku.

Syarat-syarat Ekspor

Syarat-syarat Ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan

Umum Di Bidang Ekspor adalah sebagai berikut:

Memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

Mendapat izin usaha dari Kementerian Teknis/Lembaga

Pemerintah Non-Kementerian

Tanda Daftar Perusahaan

Nomor Pokok Wajib Pajak

Eksportir

Pengusaha yang dapat melakukan ekspor, yang telah memiliki SIUP

atau izin usaha dari Kementeriann Teknis/Lembaga Pemerintah

Non-Kementerian berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Eksportir Terdaftar (ET)

Perusahaan yang telah mendapat pengakuan dari Menteri

Perdagangan untuk mengekspor barang tertentu sesuai ketentuan

yang berlaku.

12

Barang Ekspor

Seluruh jenis barang yang terdaftar sebagai barang ekspor dan

sesuai dengan ketentuan perpajakan dan kepabeanan yang berlaku.

2.1.3.2. Bidang Impor

Ketentuan umum di bidang Impor biasanya meliputi hal-hal yang

berhubungan dengan proses pengiriman barang ke dalam negeri.

Ketentuan tersebut meliputi antara lain:

Impor

Perdagangan dengan cara memasukan barang dari luar negeri ke

dalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang

berlaku.

Syarat-syarat Impor

Memiliki izin impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka

Pengenal Importir (API) berupa:

Angka Pengenal Impor Umum (API-U) diberikan kepada perusahaan

yang melakukan impor barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan

Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) diberikan kepada

perusahaan yang melakukan impor barang untuk dipergunakan

sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong,

dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.

Importir

Pengusaha yang dapat melakukan kegiatan perdagangan dengan cara

memasukan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean

Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.

Kategori Importir meliputi: Importir Umum, Importir Terdaftar, Importir

Produsen, Produsen Importir dan Agen Tunggal.

Barang Impor

Seluruh jenis barang yang terdaftar sebagai barang impor dan sesuai

dengan ketentuan perpajakan dan kepabeanan yang berlaku.

13

2.1.4. Jenis-Jenis Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional atau antara negara dapat dilakukan

dengan berbagai macam cara diantaranya:

Ekspor

Dibagi dalam beberapa cara antara lain:

Ekspor Biasa

Pengiriman barang keluar negeri sesuai dengan peraturan yang

berlaku, yang ditujukan kepada pembeli di luar negeri,

mempergunakan L/C dengan ketentuan devisa.

Ekspor Tanpa L/C

Barang dapat dikirim terlebih dahulu, sedangkan eksportir belum

menerima L/C harus ada ijin khusus dari Kementerian Perdagangan

Barter

Pengiriman barang ke luar negeri untuk ditukarkan langsung dengan

barang yang dibutuhkan dalam negeri.

Jenis barter antara lain:

Direct Barter

Sistem pertukaran barang dengan barang dengan menggunakan alat

penentu nilai atau lazim disebut dengan denominator of value suatu

mata uang asing dan penyelesaiannya dilakukan melalui clearing

pada neraca perdagangan antar kedua negara yang bersangkutan.

Switch Barter

Sistem ini dapat diterapkan bilamana salah satu pihak tidak mungkin

memanfaatkan sendiri barang yang akan diterimanya dari pertukaran

tersebut, maka negara pengimpor dapat mengambil alih barang

tersebut ke negara ketiga yang membutuhkannya.

Counter Purchase

Suatu sistem perdagangan timbal balik antar dua negara. Sebagai

contoh suatu negara yang menjual barang kepada negara lain, maka

negara yang bersangkutan juga harus membeli barang dari negara

tersebut.

14

Buy Back Barter

Suatu sistem penerapan alih teknologi dari suatu negara maju

kepada negara berkembang dengan cara membantu menciptakan

kapasitas produksi di negara berkembang, yang nantinya hasil

produksinya ditampung atau dibeli kembali oleh negara maju.

Konsinyasi (Consignment)

Pengiriman barang dimana belum ada pembeli yang tertentu di luar

negeri. Penjualan barang di luar negeri dapat dilaksanakan melalui

Pasar Bebas (Free Market) atau Bursa Dagang (Commodites

Exchange) dengan cara lelang. Cara pelaksanaan lelang pada

umumnya sebagai berikut:

1) Pemilik barang menunjuk salah satu broker yang ahli dalam salah

satu komoditi.

2) Broker memeriksa keadaan barang yang akan di lelang terutama

mengenai jenis dan jumlah serta mutu dari barang tersebut.

3) Broker menawarkan harga transaksi atas barang yang akan

dijualnya, harga transaksi ini disampaikan kepada pemilik barang.

4) Oleh panitia lelang akan ditentukan harga lelang yang telah

disesuaikan dengan situasi pasar serta kondisi perkembangan

dari barang yang akan dijual. Harga ini akan menjadi pedoman

bagi broker untuk melakukan transaksi.

5) Jika pelelangan telah dilakukan broker berhak menjual barang

yang mendapat tawaran dari pembeli yang sana atau yang

melebihi harga lelang.

6) Barang-barang yang ditarik dari pelelangan masih dapat dijual di

luar lelang secara bawah tangan

7) Yang diperkenankan ikut serta dalam pelalangan hanya anggota

yang tergabung dalam salah satu commodities exchange untuk

barang-barang tertentu.

8) Broker mendapat komisi dari hasil pelelangan yang diberikan oleh

pihak yang diwakilinya.

15

Package Deal

Untuk memperluas pasaran hasil terutama dengan negara-negara

sosialis, pemerintah adakalanya mengadakan perjanjian

perdagangan (trade agreement) dengan salah satu negara.

Perjanjian itu menetapkan junlah tertentu dari barang yang akan di

ekspor ke negara tersebut dan sebaliknya dari negara itu akan

mengimpor sejumlah barang tertentu yang dihasilkan negara

tersebut.

Penyelundupan (Smuggling)

Setiap usaha yang bertujuan memindahkan kekayaan dari satu

negara ke negara lain tanpa memenuhi ketentuan yang berlaku.

Dibagi menjadi 2 bagian:

1) Seluruhnya dilakuan secara ilegal

Penyelundupan administratif/penyelundupan tak kentara/

manipulasi (Custom Fraud)

2) Border Crossing

Bagi negara yang berbatasan yang dilakukan dengan persetujuan

tertentu (Border Agreement), tujuannya penduduk perbatasan

yang saling berhubungan diberi kemudahan dan kebebasan

dalam jumlah tertentu dan wajar. Border Crossing dapat terjadi

melalui:

a) Sea Border (lintas batas laut)

Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang

memiliki batas negara berupa lautan, perdagangan dilakukan

dengan cara penyebrangan laut.

b) Overland Border (lintas batas darat)

Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang

memiliki batas negara berupa daratan, perdagangan dilakukan

dengan cara setiap pendudik negara tersebut melakukan

interaksi dengan melewati batas daratan di masing-masing

negara melalui persetujuan yang berlaku.

16

2.1.5. Keunggulan Bersaing

Konsep keunggulan bersaing dalam perdagangan suatu komoditas

atau produk antar negara telah mengalami perkembangan yang cukup

pesat. Konsep yang pertama dimulai dari keunggulan absolut dari Adam

Smith yang menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan

dari perdagangan apabila karena faktor-faktor alamiahnya masing-masing

dapat menyiapkan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan

apabila memproduksinya sendiri. Dengan kata lain, suatu negara dapat

memperoleh keuntungan dari perdagangan apabila total biaya sumber daya

untuk memproduksi suatu barang secara absolut lebih rendah dari biaya

sumber daya untuk memproduksi barang yang sama di negara lain. Oleh

karena itu, menurut konsep tersebut, setiap negara hendaknya

mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang yang paling efisien

yaitu barang-barang yang diproduksi dengan biaya paling murah

(Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua

negara masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan, bahkan apabila

salah satu negara tersebut memiliki keunggulan absolut dalam

memproduksi semua komoditas atau produk tersebut. Dipicu oleh realitas

tersebut, kemudian muncul konsep keunggulan komparatif dari David

Ricardo yang menyatakan bahwa apabila suatu negara dapat memproduksi

masing-masing dari dua barang dengan lebih efisien dibandingkan dengan

negara lainnya, dan dapat memproduksi satu dari dua barang tersebut

dengan lebih efisien, maka hendaknya mengkhususkan diri dan

mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih efisien, yaitu

komoditas yang memiliki keunggulan absolut terbesar. Sebaliknya, negara

yang memiliki efisiensi yang lebih rendah hendaknya mengkhususkan diri

dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah

inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam

ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

17

Terdapat perbedaan antara keunggulan komparatif dan kompetitif

suatu komoditas atau produk serta cara mengukurnya (Asian Development

Bank, 1992). Indikator keunggulan komparatif digunakan untuk mengetahui

apakah suatu negara memiliki keuntungan ekonomi untuk memperluas

produksi dan perdagangan suatu komoditas atau produk. Di sisi lain,

keunggulan kompetitif merupakan indikator untuk melihat apakah suatu

negara akan berhasil dalam bersaing di pasar internasional suatu

komoditas atau produk.

Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang

dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi

sumber daya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr,

1992). Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan

pendekatan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya

Sumberdaya Domestik (BSD). BSD merupakan ukuran biaya imbangan

sosial dari penerimaan satu unit marjinal bersih devisa, diukur dalam bentuk

faktor-faktor produksi domestik yang digunakan baik langsung maupun

tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Di lain pihak, keunggulan

kompetitif diukur dengan menggunakan rasio biaya privat atau Private Cost

Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan

nilai tambah output dari biaya input yang diperdagangkan pada harga

finansial.

Untuk memperoleh nilai BSD dan PCR maka analisis yang biasa

digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang telah diperkenalkan

oleh Monke dan Pearson (1996). Kelebihan analisis tersebut, di samping

dapat memperoleh nilai BSD dan PCR, analisis tersebut juga dapat

menghasilkan beberapa indikator lainnya yang erat kaitannya dengan

daya saing seperti koefisien proteksi output nominal (NPCO), koefisien

proteksi input nominal (NPCI), dan koefisien proteksi efektif (EPC). Pada

PAM, maka penerimaan, biaya, dan keuntungan dikelompokkan

berdasarkan harga finansial, dan harga sosial. Selisih dari perhitungan

berdasarkan harga finansial dengan harga sosial merupakan angka transfer

18

untuk mengukur dampak dari kebijakan pemerintah yang diterapkan pada

suatu komoditas. Analisis PAM pernah digunakan untuk mengetahui

kondisi daya saing mangga segar Indonesia (Suprihatini, 1999) dan nenas

kaleng Indonesia (Suprihatini, 1998).

Selanjutnya, muncul konsep keunggulan kompetitif yang merupakan

penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada konsep

keunggulan kompetitif, keunggulan suatu negara tidak hanya bersumber

dari faktor alamiah saja. Konsep keunggulan kompetitif yang terkenal

dicanangkan oleh Porter (1990) yang mengemukakan bahwa daya saing

suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan

dari empat atribut yang dimilikinya yang terkenal dengan sebutan The

Diamond of Porter yang terdiri dari: (1) kondisi faktor; (2) kondisi

permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; dan (4) strategi, struktur, dan

persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama

dan ditambah dengan kesempatan, serta kebijakan pemerintah yang

kondusif untuk mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut

tersebut kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan bersaing suatu

industri di suatu negara.

Untuk mengetahui posisi suatu produk di pasar dunia dalam konteks

pertumbuhan, komposisi, distribusi, dan persaingan, salah satu cara yang

dapat digunakan adalah dengan menganalisis pangsa pasar suatu produk

menggunakan Constant Market Share Analyses (CMSA). Pada analisis

CMSA, menurut Leamer dan Stern (1970) kegagalan ekspor suatu negara

yang pertumbuhan ekspornya lebih rendah dari pertumbuhan ekspor dunia

disebabkan oleh tiga alasan yaitu (1) ekspor terkonsentrasi pada

komoditas-komoditas yang pertumbuhan permintaannya relatif rendah; (2)

ekspor lebih ditujukan ke wilayah yang mengalami stagnasi; dan (3)

ketidakmampuannya bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya.

Asumsi dasar dari analisis CMSA adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu

negara di pasar dunia tidak berubah antar waktu. Oleh karena itu,

perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan

19

pertumbuhan yang mungkin terjadi apabila suatu negara dapat

mempertahankan pangsa pasarnya merupakan efek dari daya saing. Nilai

daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal

dalam mempertahankan pangsa pasarnya dan sebaliknya untuk nilai positif.

Efek daya saing pada analisis CMS ini lebih bersumber dari daya saing

harga.

Pengembangan lebih lanjut dari aplikasi model CMSA dilakukan oleh

Chen dan Duan (1999) yang menggunakan dekomposisi dua tahap. Efek

dari dekomposisi pertama dapat diuraikan menjadi (1) efek struktural, yang

terdiri dari efek pertumbuhan, pasar, komoditi, dan interaksi, (2) efek daya

saing yang terdiri dari efek daya saing murni dan khusus, dan (3) efek

order-kedua yang terdiri dari efek order-kedua murni dan efek sisaan

struktural dinamik.

Seperti umumnya pada setiap model, model CMSA juga memiliki

beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari model CMSA ini telah

dikemukakan oleh Muhammad dan Habibah (1993) antara lain adalah

bahwa persamaan yang digunakan sebagai basis untuk menguraikan

pertumbuhan ekspor adalah persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-

alasan dari terjadinya perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi

dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan analisis

CMSA lainnya adalah mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu

yang terdapat di antara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian,

analis ini sangat berguna untuk indikasi arah daya saing.

Dalam kondisi pasar global yang semakin kompetitif maka teknologi

memainkan peran yang sangat penting untuk memenangkan kompetisi

nasional (Porter, 1994). Demikian pula Gumbira-Sa’id (1999) memerinci

beberapa peranan teknologi yaitu: (1) peningkatan nilai tambah; (2)

pengembangan produk; (3) pembukaan lapangan kerja; (4) pembukaan

dan penetrasi pasar; (5) pengembangan pusat perekonomian; dan (6)

penghasil devisa negara. Porter (1994) berpendapat bahwa teknologi akan

meningkatkan keunggulan bersaing jika memiliki peran yang nyata dalam

20

menentukan posisi biaya relatif atau diferensiasi produk relatif. Teknologi

akan berpengaruh pada biaya atau diferensiasi jika berpengaruh pada

faktor-faktor penentu biaya atau faktor-faktor penentu keunikan aktivitas

nilai atau rantai nilai. Alat pokok untuk memahami peran teknologi dalam

keunggulan bersaing adalah rantai nilai. Perubahan teknologi akan

mempengaruhi persaingan melalui dampaknya terhadap hampir setiap

aktivitas dalam rantai nilai. Oleh karena itu, teknologi harus dikelola

sedemikian rupa sehingga menghasilkan keunggulan bersaing.

Calori (1992) juga berpendapat bahwa teknologi berperan dalam

menciptakan inovasi proses, inovasi produk, dan adaptasi terhadap

segmen pasar baru yang akan meningkatkan pangsa pasar dan besarnya

pasar. Selanjutnya peningkatan ukuran dan pangsa pasar tersebut akan

meningkatkan skala ekonomi dan efek belajar yang keduanya akan

menurunkan biaya. Dengan kata lain, teknologi akan menggeser kurva

pasokan dalam jangka panjang. Efek penurunan biaya tersebut selanjutnya

akan mendukung upaya-upaya dalam perbaikan teknologi sehingga

merupakan suatu siklus dalam rangka meningkatkan pangsa dan ukuran

pasar yang dapat dilakukan secara terus menerus.

Deming (1986) menekankan peranan peningkatan kualitas produk.

Pengertian kualitas dalam hal ini selalu berfokus pada pelanggan

(customer). Produk-produk didisain, dan diproduksi untuk memenuhi

keinginan pelanggan. Suatu produk dikatakan berkualitas apabila sesuai

dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta

diproduksi dengan cara yang benar dan baik. Peningkatan kualitas akan

menurunkan biaya proses ulang, penurunan tingkat kesalahan, penurunan

keterlambatan, sehingga produktivitas meningkat. Adanya peningkatan

kualitas dan penurunan biaya akan mendorong peningkatan penguasaan

pasar yang menyebabkan peningkatan bisnis dan akhirnya dapat

menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi serta meningkatkan tingkat

pengembalian investasi. Kolarik (1995) juga menekankan pada upaya

peningkatan kualitas produk yang ditunjukkan melalui peningkatan

21

penampilan produk, penurunan biaya, dan peningkatan ketepatan waktu

penyerahan.

Peranan peningkatan kualitas dikemukakan juga oleh Gasperz

(1997). Perhatian penuh pada perbaikan kualitas akan memberikan

dampak positif kepada perusahaan minimal melalui dua cara, yaitu (1)

dampak terhadap biaya produksi; dan (2) dampak terhadap pendapatan.

Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses pembuatan produk

yang memiliki derajat kesesuaian yang tinggi terhadap standar-standar

sehingga bebas dari kemungkinan kerusakan atau cacat. Dengan demikian

proses produksi yang memperhatikan kualitas akan menghasilkan produk

berkualitas yang bebas dari kerusakan. Hal ini akan menghindarkan

terjadinya pemborosan (waste) dan inefisiensi sehingga ongkos produksi

per unit akan menjadi rendah yang pada gilirannya akan membuat harga

produk menjadi lebih kompetitif.

Dampak terhadap peningkatan pendapatan terjadi melalui

peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif.

Produk-produk berkualitas yang dibuat melalui suatu proses yang

berkualitas akan memiliki sejumlah keistimewaan yang mampu

meningkatkan kepuasan konsumen atas penggunaan produk tersebut.

Setiap konsumen akan memaksimumkan kepuasan dalam mengkonsumsi

produk, sehingga hanya produk-produk yang berkualitas tinggi dengan

harga yang kompetitif yang akan dipilih oleh konsumen. Keadaan ini akan

meningkatkan penjualan dari produk-produk yang akan meningkatkan

pangsa pasar sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan

perusahaan.

2.1.6. Daya Saing Produk

Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam

pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi sehingga

dapat memuaskan suatu keinginan atau suatu kebutuhan. Konsep produk

mengandung tiga karakteristik yaitu karakter eksplisit, implisit, dan eksternal

22

(Rosenberg, 1977). Termasuk ke dalam karakter eksplisit antara lain

bentuk fisik, kemasan, dan merek. Karakter implisit lebih mengarah pada

penilaian subyektif dari konsumen terhadap produk yang antara lain

tercermin dari penilaian kepuasan, simbol, dan persepsi. Pada karakteristik

eksternal, produk dilihat berdasarkan dampaknya bagi masyarakat secara

keseluruhan yang menilai pengaruh produk terhadap kesejahteraan

individu, dan masyarakat secara keseluruhan. Produk sebagai obyek fisik,

dalam pandangan pembeli memiliki lima karakteristik yaitu tingkat kualitas,

ciri, model, merek, dan kemasan (Radiosunu, 1986). Berdasarkan pembeli,

produk terdiri dari produk konsumsi dan produk industri. Produk konsumsi

adalah semua produk yang biasa digunakan langsung oleh individu, dan

rumah tangga, sedangkan produk industri adalah semua produk yang

dimanfaatkan untuk memproduksi produk lain oleh pabrik, pengecer,

pemerintah dan sebagainya.

Pengelompokkan berbagai jenis produk/komoditi pertanian telah

ditetapkan melalui suatu Keputusan Menteri Pertanian Nomor

511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan

Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan

Direktorat Jenderal Hortikultura (terlampir). Jumlah komoditas yang

menjadi binaan Direktorat Jenderal Hortikultura seluruhnya berjumlah 317

komoditas. Daftar komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal

Hortikultura tersebut dikelompokkan lagi menjadi 4 kelompok komoditas

yaitu (1) komoditas buah-buahan yang terdiri dari 60 komoditas, (2)

komoditas sayuran yang terdiri dari 80 komoditas, dan (3) komoditas

biofarmaka yang terdiri dari 66 komoditas, dan (4) komoditas tanaman hias

yang terdiri dari 111 komoditas.

Atribut produk adalah karakteristik atau sifat suatu produk yang

umumnya mengacu pada karakteristik yang berfungsi untuk evaluasi dalam

pengambilan keputusan membeli suatu produk (Engel et al., 1994).

Terdapat dua macam penilaian atribut makanan yaitu penilaian obyektif dan

penilaian subyektif (Soehardjo, 1980). Penilaian makanan dengan

23

menggunakan alat-alat pengukur seperti penggunaan alat pengukur cahaya

untuk mengukur warna, penggunaan alat penetrometer untuk mengukur

tekstur, penggunaan alat viscometer untuk mengukur kekentalan,

kesemuanya disebut cara penilaian obyektif. Di lain pihak, penilaian yang

didasarkan pada penilaian panca indera manusia (indera pelihat, pencium,

peraba, dan pendengar) disebut dengan penilaian subyektif.

Menurut Nasoetion (1980) pada dasarnya terdapat dua macam cara

menentukan daya penerimaan makanan secara subyektif sebagai berikut.

a. Menguji atau menjajagi kesukaan konsumen terhadap suatu produk

makanan pada umumnya, disebut dengan istilah consumer preference

test. Dapat dilakukan dengan cara observasi, survey atau angket

(consumer panel). Dengan catatan bahwa konsumen telah mengenal

atribut produknya.

b. Menguji dengan penekanan pada penggunaan alat indera secara

intensif, disebut organoleptik atau sensory test.

Penilaian kenampakan buah-buahan dapat dilihat dari beberapa

atribut yaitu (1) bentuk, (2) ukuran, (3) kerataan ukuran dan warna, (4)

kesegaran dan kebersihan, dan (5) rasa (manis, asam, segar). Cara

penilaian kenampakan (appearance) adalah sebagai berikut.

a. Bentuk dan ukuran harus sesuai dengan jenisnya dan sesuai dengan

standar. Bentuk dan ukuran tersebut semakin merata akan semakin

baik.

b. Penilaian warna dan keadaan. Makin banyak yang berwarna menarik,

cerah, segar, akan semakin baik.

c. Produk hortikultura harus bersih, tidak mengandung kotoran tanah atau

benda asing lainnya

Terdapat lima tingkat produk mulai dari tingkat dasar yaitu (a)

produk dasar yang dibeli konsumen karena manfaat dasarnya; (b) produk

generik yang merupakan versi dasar dari produk; (c) produk yang

diharapkan, yaitu kumpulan atribut dan kondisi umum yang diharapkan bila

membeli produk tersebut; (d) produk yang lebih baik atau yang diperluas

24

karena memberikan manfaat tambahan yang membedakan dengan produk

pesaing; dan (e) produk potensial, yang mencakup segala perluasan dan

evolusi produk yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang

(Kotler, 1993).

Persaingan pasar produk saat ini berada pada tingkat produk yang

diperluas atau lebih baik, sedangkan di kebanyakan negara berkembang

persaingan umumnya terjadi pada tingkat produk yang diharapkan. Produk

yang lebih baik akan mendorong produsen dan pemasar untuk melihat

kepada sistem konsumsi total pembeli. Dengan cara ini para produsen dan

pemasar akan dapat mengenali peluang untuk memperluas penawaran

produknya yang efektif.

Dalam rangka memasuki pasar global, Keegan (1989)

mengemukakan lima strategi penyesuaian produk dan promosi untuk pasar

asing yaitu: (a) perluasan langsung, dengan memperkenalkan produk di

pasar asing tanpa perubahan apapun; (b) adaptasi komunikasi, hanya

dengan menyesuaikan promosi; (c) adaptasi produk, dengan merubah

produk untuk memenuhi kondisi atau pilihan setempat; (d) adaptasi ganda,

dengan merubah produk maupun promosi; dan (e) penemuan produk baru,

dengan menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan strategi perluasan

langsung sering mengalami kegagalan besar. Untuk strategi adaptasi

produk maupun adaptasi ganda, banyak perusahaan raksasa yang

mendapatkan kesuksesan, antara lain perusahaan General Foods yang

telah meramu kopi secara berbeda bagi orang-orang Inggris (yang

meminum kopi dengan susu, atau yang lebih suka kopi hitam), dan orang-

orang Amerika Selatan yang menyukai rasa chicory.

Ciri-ciri produk adalah karakteristik yang mendukung fungsi dasar

produk. Ciri-ciri produk merupakan alat kompetitif untuk produk perusahaan

yang terdiferensiasi. Beberapa perusahaan sangat inovatif dalam

penambahan ciri-ciri baru ke produknya. Satu dari faktor kunci keberhasilan

perusahaan-perusahaan Jepang adalah karena mereka secara terus

menerus meningkatkan ciri-ciri tertentu pada produknya. Penambahan ciri-

25

ciri baru dinilai merupakan satu dari cara-cara yang sangat efektif untuk

memenangkan persaingan (Kotler, 1993).

Cara suatu perusahaan mengidentifikasi dan memilih ciri-ciri baru

yang cocok adalah dengan terus berhubungan dengan pembeli dan

menanyakan seperangkat pertanyaan-pertanyaan antara lain mengenai

alasan memilih dan menyenangi produk tertentu, menanyakan ciri-ciri

produk yang baik, dan kesediaan konsumen untuk membayar ciri produk

yang baru. Cara tersebut akan memberikan daftar segar mengenai ciri-ciri

potensial. Selanjutnya, untuk memutuskan ciri potensial yang mana yang

akan ditambahkan, perlu dihitung nilai pelanggan dibandingkan dengan

biaya penambahan ciri tersebut (Kotler, 1993).

Kinerja produk mengacu kepada tingkat karakteristik utama pada

saat digunakan. Terdapat empat tingkat kinerja produk yaitu rendah, rata-

rata, tinggi, dan superior. Terdapat tiga alternatif strategi mengatur kualitas

produk sepanjang waktu yaitu strategi terus menerus memperbaiki kualitas

produk, mempertahankan kualitas produk, dan menurunkan kualitas (Kotler,

1993). Strategi terus menerus memperbaiki kualitas merupakan strategi

yang sering memberikan hasil dan pangsa pasar tertinggi, sedangkan

strategi penurunan kualitas yang biasanya karena alasan peningkatan

biaya, akan menurunkan keuntungan dalam jangka panjang.

Dalam pengembangan produk cara tradisional, bagian pemasaran

suatu perusahaan mengembangkan produk yang dibutuhkan kemudian

melewati bagian rekayasa yang akan menyiapkan disain dan teknologi

proses produksinya. Dengan cara tersebut, bagian pemasaran dan bagian

proses bekerja secara terpisah dan tidak terintegrasi sehingga tidak jarang

menghasilkan produk yang kurang memuaskan konsumen. Dengan metode

Concurrent Engineering (CE), tiga departemen utama yaitu pemasaran,

disain, dan proses, bekerjasama melalui tahap-tahap iterasi (Ciptono dan

Pujiwasono, 2000). Dengan demikian, untuk tujuan memuaskan

konsumen, CE menekankan bekerja melalui teamwork dan melibatkan

seluruh pihak yang terkait sejak awal.

26

Kusiak (1993) dalam Ciptono dan Pujiwasono (2000) mendefinisikan

bahwa CE sebagai suatu pendekatan sistematik dalam mengintegrasikan

disain dan proses dari produk dengan mengoptimalkan pandangan seluruh

elemen yang terlibat dalam siklus hidup produk. Tujuan dari CE adalah

untuk meminimalkan waktu dan biaya dalam pengembangan produk mulai

dari konsep disain hingga produksi dan pemasaran. Misi dari CE adalah

untuk mengembangkan produk berkualitas tinggi dan membawanya ke

pasar global yang penuh persaingan dengan harga bersaing dan dalam

waktu lebih cepat (Parsaei dan Sullivan,1993 dalam Ciptono dan

Pujiwasono, 2000).

Terdapat empat kunci dimensi dari CE yaitu: (1) organisasi; (2)

komunikasi; (3) kebutuhan-kebutuhan; dan (4) pengembangan produk.

Pada dimensi organisasi, tim harus menerima kewenangan dan tanggung

jawab dari keputusan mereka, dan anggota harus konsekwen terhadap

keputusan tim secara keseluruhan. Pada aspek komunikasi, komunikasi

yang baik selalu penting dan infrastruktur membuat komunikasi

memungkinkan: hubungan orang-orang, ide-ide, spesifikasi, proses, dan

umpan balik. Pada aspek kebutuhan, fokusnya adalah kebutuhan

konsumen, dalam rangka memberikan kepuasan konsumen. Pada aspek

pengembangan produk, merupakan suatu proses yang berkesinambungan.

Dengan demikian, lingkungan CE adalah dimensi dari filosofi (organisasi

dan komunikasi) dan metodologi (kebutuhan-kebutuhan dan

pengembangan proses).

Ranky (1994) dalam Ciptono dan Pujiwasono (2000) mengemukakan

bahwa dalam rangka mencapai tujuan CE, perusahaan harus mengetahui

prinsip-prinsip CE sebagai berikut:

a. Mengembangkan komunikasi dengan konsumen saat ini dan konsumen

potensial serta pengguna. Pada dasarnya, prinsip ini menghubungkan

kebutuhan konsumen kepada spesifikasi produk yang spesifik,

kebutuhan kualitas, proses, fungsi, kebutuhan estetika, dan lain-lain.

b. Membentuk tim disain produk multi disiplin

27

c. Mendisain proses secara simultan

d. Melibatkan pemasok dan sub-kontraktor mulai tahap awal dari disain

e. Mensimulasikan penampilan produk dan proses produksi sedini

mungkin pada tahap disain.

f. Menggunakan teknik-teknik kualitas seperti metode taguchi

g. Menggunakan pengalaman-pengalaman dari produk sebelumnya ke

dalam produk baru.

Terdapat beberapa pendekatan untuk mengimplementasikan CE,

antara lain Quality Function Deployment (QFD), Taguchi Method (Robust

Design), Design for Manufacture/Assembly (DFM/DFA), dan Failure Mode

and Effect Analysis (FMEA). QFD pertama kali dikembangkan di Jepang

pada tahun 1966 dan pertama kali diaplikasikan pada awal tahun 1972 di

Industri berat Mitsubishi. QFD adalah suatu pendekatan yang sistematis

untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan secara tepat dihubungkan

dengan disain teknik, rencana produksi dan proses produksi. Secara

prinsip, QFD membantu untuk mendengarkan suara pelanggan dan sangat

berguna sebagai sesi brainstorming dengan tim pengembangan produk

dalam rangka menentukan upaya-upaya terbaik untuk melayani keinginan

pelanggan (Parsaei dan Sullivan, 1993).

Penerapan konsep QFD akan menghasilkan matriks kebutuhan

pelanggan dan kebutuhan teknis dari pihak perusahaan yang disebut

dengan House of Quality (HOQ). Dengan membangun HOQ maka

perusahaan dapat mengetahui secara persis apa yang menjadi kebutuhan

pelanggan pada saat sekarang dan bagaimana perusahaan dapat

mengalokasikan segenap sumber daya yang dimilikinya untuk memenuhi

kebutuhan pelanggan. HOQ juga dapat digunakan sebagai dokumen yang

menjadi acuan pengembangan produk di masa yang akan datang (Sadono

et al., 2000).

Perilaku konsumen merupakan tindakan yang langsung terlibat

dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa,

termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan

28

tersebut (Engel et al., 1994). Cohen (1981) mendefinisikan perilaku

konsumen sebagai semua aktivitas konsumen di pasar dan merupakan

studi yang menjawab apa, mengapa, dan bagaimana konsumen bertindak

demikian. Mengerti dan mengadaptasi motivasi dan perilaku konsumen,

keduanya merupakan kebutuhan untuk memenangkan persaingan pasar.

Keputusan konsumen untuk membeli suatu produk dapat dilakukan

melalui beberapa tahap antara lain (a) tahap pengenalan kebutuhan; dan

(2) tahap evaluasi alternatif (Engel et al., 1994). Pengenalan kebutuhan

terjadi ketika konsumen didorong oleh kesadaran akan perbedaan antara

keadaan aktual dengan keadaan idealnya yang dapat terjadi melalui

aktivasi internal seperti terhadap keadaan diri sendiri, atau stimulus yang

bersifat eksternal seperti iklan dan promosi (Loudon dan Dellabitta, 1982).

Dalam evaluasi alternatif, konsumen mengevaluasi alternatif

berkaitan dengan manfaat yang diharapkan. Untuk itu, konsumen harus

menetapkan atribut-atribut yang relevan dengan keinginannya. Atribut

tersebut dapat berupa rasa, warna, harga, bentuk, keamanan pangan, dan

jaminan produk (Evans dan Bermnan, 1982).

Model sikap multi atribut menggambarkan rancangan yang berharga

untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan produk yang dimiliki

konsumen (kepercayaan terhadap produk) dan sikap terhadap produk

berkenaan dengan ciri atau atribut produk (Engel et al., 1994). Pada model

sikap angka ideal menyajikan informasi mengenai produk ideal dan

bagaimana produk yang sudah ada dipandang oleh konsumen

(pengetahuan konsumen mengenai produk). Sikap yang dipegang oleh

konsumen terhadap berbagai atribut produk misalnya sikap terhadap

kekuatan rasa, warna, dan kenampakan, memainkan peranan penting

dalam menentukan sikap produk tersebut.

Pengetahuan produk merupakan gabungan dari banyak jenis

informasi yang berbeda. Pengetahuan produk tersebut antara lain

mencakup (a) atribut atau ciri produk; dan (b) kepercayaan akan suatu

merek spesifik. Secara umum, pemasar sangat berkepentingan terhadap

29

pengetahuan konsumen akan atribut dan merek serta daya saingnya (Engel

et al., 1994). Analisis mutli atribut sangat berguna bagi perencanaan dan

tindakan pasar. Analisis tersebut dapat memberikan informasi yang

diperlukan untuk beberapa jenis informasi peluang pasar yang terabaikan,

dan implikasi dalam pengembangan produk.

Sikap dan tindakan masyarakat terhadap suatu produk termasuk

produk hortikultura dan rempah Indonesia, sangat ditentukan oleh

kepercayaan mereka terhadap produk tersebut. Citra produk merupakan

sekumpulan kepercayaan, dan impresi yang dianut seseorang terhadap

suatu produk (Kotler, 1993). Metode yang paling populer untuk penelitian

citra produk adalah semantic differential yang mencakup langkah-langkah

sebagai berikut.

a. Mengembangkan sekumpulan dimensi yang relevan. Peneliti

menanyakan anggota masyarakat untuk mengidentifikasi dimensi-

dimensi yang mereka gunakan dalam berfikir mengenai produk tersebut

dengan menggunakan skala yang bersifat bipolar, misalnya tampilan

warna bunga potong yang sangat baik pada satu sisi dan warna yang

sangat jelek pada sisi lain. Skala dapat dikembangkan menjadi lima

atau tujuh angka.

b. Memilih dan menyaring dimensi yang relevan. Dimensi tertentu harus

dibuat tetap kecil untuk menghindari kebosanan responden yang harus

menentukan tingkat object n pada skala m.

c. Menentukan instrumen untuk responden sampel. Responden diminta

membuat tingkat/nilai atas satu per satu kriteria obyek.

d. Membuat hasil rata-rata.

e. Memeriksa variasi citra, karena setiap citra merupakan sebuah garis

rata-rata, sehingga tidak memperlihatkan variabel yang sebenarnya.

Oleh karena itu, perlu suatu analisis variasi citra.

Setelah diketahui posisi citra suatu produk atau merek, kemudian

ditetapkan citra yang dikehendaki, dan dilakukan analisis kesenjangan.

30

Setiap dimensi citra perlu dikaji ulang pada beberapa aspek sebagai

berikut:

a. Kontribusi yang akan diberikan untuk menutup kesenjangan citra.

b. Strategi yang akan digunakan untuk membantu menutupi kesenjangan

citra.

c. Besarnya biaya yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan citra

tersebut.

d. Waktu yang dibutuhkan untuk menutupi kesenjangan citra tersebut.

2.2. Teori Pelabuhan

2.2.1. Pengertian Pelabuhan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di

sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan

pemerintahan dan kegiatan ekonomi dipergunakan sebagai tempat kapal

bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang

yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan

penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar

moda transportasi (Suyono, 2005).

Selanjutnya, Suyono (2005) menyatakan bahwa kepelabuhanan

meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan

pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan

untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas

kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat

perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi.

31

2.2.2. Jenis-jenis Pelabuhan

Menurut Suyono (2005), jenis-jenis pelabuhan dapat dibedakan

berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

Alamnya

Pelabuhan Terbuka

Pelabuhan terbuka adalah pelabuhan dimana kapal-kapal bisa

masuk dan merapat secara langsung tanpa bantuan pintu-pintu air

Pelabuhan Tertutup

Pelabuhan tertutup adalah pelabuhan dimana kapal-kapal yang

masuk harus melalui beberapa pintu air.

Pelayanannya

Pelabuhan Umum

Pelabuhan umum adalah pelabuhan yang diselenggarakan untuk

kepentingan masyarakat umum.

Pelabuhan Khusus

Pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk

kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.

Lingkup Pelayaran yang Dilayani

Pelabuhan Hub Internasional

Pelabuhan internasional hub adalah pelabuhan utama primer yang

berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan laut nasional

dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan pelayaran yang

sangat luas serta merupakan simpul dalam jaringan transportasi laut

internasional.

Pelabuhan Internasional

Pelabuhan internasional adalah pelabuhan utama sekunder laut

nasional dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan

pelayanan yang luas serta merupakan simpul dalam jaringan

transportasi laut internasional.

32

Pelabuhan Nasional

Pelabuhan nasional adalah pelabuhan utama tersier yang berfungsi

melayani kegiatan dan alih muat angkutan laut nasional dan

itnernasional dalam jumlah menengah serta merupakan simpul

dalam jaringan transportasi tingkat provinsi.

Pelabuhan Regional

Pelabuhan regional adalah pelabuhan pengumpan primer yang

berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan laut nasional

dalam jumlah yang relatif kecil serta merupakan pengumpan dari

pelabuhan utama

Pelabuhan Lokal

Pelabuhan lokal adalah pelabuhan pengumpan sekunder yang

berfungsi melayani kegiatan angkutan laut regional dalam jumlah

kecil serta merupakan pengumpan pada pelabuhan utama dan/atau

pelabuhan regional.

Kegiatan Perdagangan Luar Negeri

Pelabuhan Impor

Pelabuhan impor adalah pelabuhan yang melayani masuknya

barang-barang dari luar negeri

Pelabuhan ekspor

Pelabuhan ekspor adalah pelabuhan yang melayani penjualan

barang-barang ke luar negeri.

Kapal yang diperbolehkan singgah

Pelabuhan Laut

Pelabuhan laut adalah pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan

luar negeri dan dapat disinggahi oleh kapal-kapal dari Negara

sahabat.

Pelabuhan pantai

Pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang tidak terbuka untuk

perdagangan dengan luar negeri dan hanya dapat dipergunakan

oleh kapal-kapal dari Indonesia.

33

Wilayah Pengawasan Bea Cukai

Custom Port

Custom Port adalah pelabuhan yang berada di bawah pengawasan

Bea Cukai.

Free Port

Free port adalah pelabuhan yang berada di luar pengawasan Bea

Cukai.

Kegiatan Pelayarannya

Pelabuhan Samudera

Pelabuhan samudera adalah pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta

dan Tanjung perak di Surabaya.

Pelabuhan Nusantara (pelabuhan interinsuler) adalah pelabuhan

Banjarmasin di Kalimantan Selatan.

Pelabuhan Rakyat adalah pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan,

Jakarta.

Perannya dalam Pelayaran

Pelabuhan Transito adalah pelabuhan yang mengerjakan

transhipment cargo.

Pelabuhan Ferry adalah pelabuhan penyebrangan.

Menurut Suyono (2005), kriteria suatu pelabuhan dibedakan

berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:

Banyaknya muatan yang dikerjakan dalam satu tahun

Jumlah harga dari muatan yang dikerjakan dalam satu tahun

Banyaknya kapal yang keluar masuk dalam satu tahun

Jumlah tempat sandar kapal yang tersedia

Besarnya kapal yang dapat dikerjakan oleh pelabuhan

Banyaknya petikemas yang ditangani oleh pelabuhan dalam satu

tahun.

34

2.2.3. Fasilitas Pelabuhan

Suatu pelabuhan harus mempunyai berbagai fasilitas. Menurut

Suyono (2005), fasilitas-fasilitas suatu pelabuhan adalah:

Penahan Gelombang

Penahan gelombang adalah konstruksi dari batu-batuan yang kuat dan

dibuat melingkar memanjang kearah laut dari pelabuhan utamanya yang

dimaksudkan sebagai pelindung pelabuhan itu. Gunanya adalah untuk

menahan ombak dan gelombang, karena di dalam pelabuhan terdapat

dermaga-dermaga tempat kapal-kapal sandar. Dengan demikian, dalam

pelabuhan cuacanya lebih tenang dari luar karena terlindungi.

Jembatan (Jetty)

Jembatan atau jetty adalah bangunan berbentuk jembatan yang dibuat

menjorok keluar kea rah laut dari pantai atau daratan. Biasanya dibuat

dari beton, baja, atau kayu dan dibuat untuk menampung sementara

barang yang akan dimuat/dibongkar dari/ke kapal yang sandar di

jembatan itu. Karena menjorok ke luar dari daratan, air di pinggir

jembatan jetty lebih dalam dari di pinggir sehingga kapal mudah sandar.

Bila menjoroknya jauh keluar dari pantai biasanya berbentuk T.

Dolphin

Dolphin adalah kumpulan dari tonggak-tonggak dari besi, kayu atau

beton agar kapal dapat bersandar disitu untuk melakukan kegiatan

bongkar/muat ke tongkang(lighter). Biasanya terdiri dari konstruksi dua

tonggak yang menahan kapal di bagian muka dan belakangnya.

Mooring Buoys (Pelampung Pengikat)

Mooring buoys adalah Pelampung dimana kapal ditambatkan untuk

melakukan suatu kegiatan.

Tempat Labuh

Tempat labuh adalah tempat perairan di mana kapal melego jangkarnya

untuk melakukan kegiatan. Tempat labuh juga berfungsi sebagai tempat

menunggu untuk masuk ke suatu pelabuhan.

35

Single Buoy Mooring (SBM)

SBM adalah pelampung pengikat dimana kapal tanker dapat muat

bongkar muatannya melalui pipa di pelampung itu yang

menghubungkan ke daratan atau sumber pasokan.

Tongkang (Lighter)

Tongkang adalah perahu-perahu kecil yang dipergunakan untuk

mengangkut muatan atau barang dari atau ke kapal yang

dimuat/dibongkar, yang biasanya ditarik oleh kapal tunda.

Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan

Alur kapal adalah bagian dari perairan di pelabuhan tempat

masuk/keluarnya kapal.

Rambu Kapal

Rambu kapal adalah tanda-tanda yang dipasarng di perairan menuju

pelabuhan untuk memandu kapal berlabuh. Bila letak rambu-rambu

kurang jelas maka dapat mengakibatkan kapal kandas, juga bila kapal

berlabuh, jangkarnya dapat menggaruk kabel komunikasi atau kabel

listrik di bawah air, atau terjadi kapal berlabuh di daerah yang terlarang.

Gudang

Gudang adalah tempat penampungan barang yang tertutup agar

terlindung dari cuaca. Namun ada juga gudang terbuka untuk barang

tertentu atau petikemas. Gudang merupakan bagian yang penting dari

suatu pelabuhan, karena dalam gudang inilah barang yang akan dimuat

atau setelah dibongkar dari kapal untuk sementara disimpan, kecuali

bila muatan dimuat dalam petikemas (container)

Dermaga:

Dermaga Konvensional

Dermaga konvensional adalah dermaga yang digunakan untuk

melakukan aktivitas bongkar muat kapal kargo. Dermaga

konvensioanl terdiri dari pelataran dermaga, gudang-gudang,

lapangan terbuka dan perlengkapan dengan kran-kran (portal-crane)

untuk membantu pembongkaran/pemuatan kapal. Dermaga

36

konvensional dipakai untuk kapal kargo biasa, yaitu kapal-kapal yang

dilengkapi dengan peralatan bongkar muat dan membawa berbagai

jenis muatan yang memerlukan pemadatan khusus bila disimpan

dalam palkanya (karung, peti). Petikemas juga ada yang dibongkar di

dermaga konvensional namum karena pelataran antara dermaga dan

gudang sempit akan menimbulkan kesukaran dalam angkutan

maupun pergerakannya.

Dermaga Petikemas

Dermaga petikemas adalah dermaga yang digunakan untuk

melakukan bongkar muat kapal-kapal petikemas. Dermaga petikemas

terdiri dari lapangan yang terbuka dan dilengkapi dengan keran-keran

untuk membongkar/ memuat peti kemas. Keran-keran tersebut

dinamakan gantry crane. Dermaga ini juga dilengkapi dengan alat-alat

angkat khusus petikemas dan juga alat untuk memindahkan dan

menumpukkan secara mekanis.

Dermaga Khusus

Selain kapal petikemas dan general cargo, ada juga kapal-kapal

dengan muatan khusus, seperti kapal ferry dan Ro-Ro. Biasanya

untuk kapal-kapal ini disediakan dermaga khusus. Kapal-kapal

pengangkut minyak atau tanker juga disediakan tempat khusus untuk

aktivitasnya, terpisah dari kapal-kapal lainnya karena tanker biasanya

mengangkut bahan bakar yang bisa membahayakan kapal-kapal

lainnya.

Perairan

Bongkar/muat dapat juga dilakukan di perairan. Di sini muatan

diangkut dari dan ke kapal menggunakan tongkang. Kapal melakukan

lego jangkar, diikat di pealmpung atau pada tonggak pengikat

(dolphin). Kegiatan bongkar muat ini dinamakan midstream activities.

Namun apabila pengangkutannya lebih mudah menggunakan

angkutan darat, agar kegiatannya bisa dilakukan lebih cepat, maka

bongkar muatnya dilakukan di dermaga.

37

2.2.4. Pihak-pihak di Pelabuhan

Untuk dapat menjalankan kegiatan operasionalnya, berbagai pihak

ada di pelabuhan. Suyono (2005) menyatakan bahwa beberapa pihak yang

ada di pelabuhan di antaranya adalah: Perusahaan Pelayaran, Perusahaan

Bongkar Muat (PBM), Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan Freight

Forwarder, Perusahaan Angkutan Bandar, Perusahaan Angkutan Darat,

Perbankan, Surveyor, Jasa Konsultan, Perusahaan Persewaan Peralatan,

Pemasok, dan Karantina.

2.3. Karantina

2.3.1. Tujuan, Ruang Lingkup, dan Proses

Salah satu fasilitas di pelabuhan adalah karantina untuk hewan dan

tumbuhan yang bertujuan antara lain untuk mencegah masuknya

Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), hama dan penyakit

hewan karantina (HPHK) dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik

Indonesia. Pada saat ini, Indonesia masih bebas dari sekitar 560 jenis

OPTK dan 15 jenis HPHK yang masuk dalam daftar World Health

Organization of Animal (WHOA) atau Office Internationale des Epizootic

(OIE).

Penyebaran OPTK/HPHK dari satu negara ke negara lain terutama

melalui perdagangan internasional, yaitu melalui produk-produk pertanian

yang diperdagangkan sebagai media pembawa OPTK/HPHK yang utama.

Pelaksanaan karantina tumbuhan dan hewan merupakan tanggung jawab

Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian dan dilakukan oleh unit

pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian. Setiap media pembawa

OPTK/HPHK yang dimasukkan ke dalam wilayah negara RI melalui

pelabuhan laut dan pelabuhan udara harus melalui tindakan karantina.

Tindakan karantina ini meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan,

perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.

Pemeriksaan karantina seringkali belum berjalan efektif karena tidak

tersedianya instalasi karantina tetap yang berada dalam kawasan

38

pelabuhan dan berada dalam rentang kendali pengawasan di pelabuhan.

Apabila komoditas pertanian impor yang diperiksa memerlukan

pemeriksaan laboratorium lebih lanjut yang memerlukan waktu yang relatif

lama, dan komoditas tersebut harus ditahan sementara, terjadi kesulitan

untuk penentuan tempat penahanan yang relatif aman sehingga

OPTK/HPHK tidak menyebar ke tempat lain.

Keterbatasan jumlah petugas teknis sering menyebabkan

keterlambatan pemeriksaan fisik karena lokasi instalasi karantina

sementara yang relatif jauh dan tersebar. Lokasi tempat pemeriksaan fisik

yang berada sangat jauh akan meningkatkan biaya operasional, terutama

transportasi petugas, dalam melakukan pemeriksaan. Apabila setelah

diperiksa kesehatannya, ternyata komoditas pertanian tersebut harus diberi

perlakuan (diobati) atau dimusnahkan atau direekspor, maka hal ini akan

menimbulkan permasalahan baru.

Untuk memperkecil risiko penularan dan penyebaran OPTK/HPHK

diperlukan instalasi karantina tetap di lokasi yang relatif dekat dengan

kawasan pelabuhan. Lokasi pemeriksaan fisik komoditas pertanian impor

yang berada di tempat/gudang pemilik atau IKHS yang seringkali jauh di

luar Jakarta dan berada di dekat sentra-sentra pertanian, mengakibatkan

pelaksanaan tindakan pemeriksaan dan tindakan karantina lainnya tidak

optimal.

2.3.2. Sarana Karantina

1. Sarana angkutan dan bongkar muat

Tersedia alat angkut terdiri dari head truck dan chasis trailler.

Tersedia reachstacker untuk lift on/off di blok refeer, dan di non

refeer.

Tersedia forklift untuk striping dan stuffing di hanggar karantina

tumbuhan, dan hanggar karantina hewan.

Tersedia hand pallet untuk membantu striping dan stuffing.

Tersedia peralatan bongkar muat.

39

2. Sarana Tindakan Karantina

Tersedia gedung/hanggar terpisah untuk komoditas/produk

tumbuhan dan komoditas/produk hewan untuk tempat dilakukannya

pemeriksaan fisik peti kemas, kajian risiko produk, dan penentuan

tindak lanjut pemeriksaan komoditas pada ruang tertutup sesuai

dengan temperatur yang diperlukan serta tingkat risiko.

Ruang/Sel tertutup dengan temperatur kurang dari −18oC untuk

melakukan pemeriksaan daging/jeroan beku.

Ruang/Sel tertutup dengan temperatur −8oC sampai −4oC untuk

melakukan pemeriksaan produk hewan lain.

Gedung/Ruang tertutup dengan temperatur 25oC sampai 28oC untuk

melakukan pemeriksaan produk hewan.

Ruang/Sel tertutup dengan temperatur −4oC untuk melakukan

pemeriksaan produk tumbuhan.

Gedung/Ruang tertutup dengan temperatur 25oC sampai 28oC untuk

melakukan pemeriksaan produk tumbuhan.

Meja dan peralatan pemeriksaan untuk komoditas hewan dan

tumbuhan

Ruang untuk tindakan perlakuan (fumigasi, desinfeksi, dll) untuk

komoditas tumbuhan.

Ruang untuk tindakan perlakuan (desinfeksi) untuk komoditas

hewan.

3. Sarana tindakan pemusnahan (incinerator).

Ruang penyimpanan dengan temperatur –22 oC sampai –18oC untuk

penyimpanan sementara sample uji/contoh komoditas hewan

sebelum dikirimkan ke laboratorium.

Ruang penyimpanan dengan temperatur –4oC untuk penyimpanan

sementara sample uji/contoh komoditas tumbuhan sebelum

dikirimkan ke laboratorium.

40

4. Sarana Pengolahan Limbah

Tersedia Waste Water Treatment Plan (WWTP).

5. Sarana Suci Hama

Tersedia fasilitas car wash, hygine personal, dan sprayer tekanan tinggi

untuk pembersih kontainer.

6. Sumber Listrik

Memiliki cadangan tenaga listrik untuk keperluan cold storage, air

condition, ruang pemeriksaan, penerangan ruangan, jalan dan

lingkungan, dan pemeliharaan peralatan.

Memiliki cadangan generator set sebagai pengganti bila sewaktu-

waktu terjadi pemadaman listrik oleh PLN.

7. Sumber Air

Tersedia sumber air untuk memenuhi kebutuhan yaitu Car wash,

Container cleaning, Pembersihan sarana kerja, dan Keperluan hygenitas

lainnya.

8. Sarana Kerja

Hanggar pemeriksaan yang lengkap, nyaman dan terkendali.

Ruang Kerja untuk fungsional karantina pertanian

Ruang seminar/diskusi untuk fungsional karantina pertanian

Scanner jenis terbaru

Ruang dan alat laboratorium

Sarana detektor X-ray scanning

Gedung analysis/operator x-ray scanning

Bahan dan alat pemeriksaan

Bahan untuk suci hama

Peralatan untuk pengambilan sampel.

Alat transportasi

Alat komunikasi (HT, telepon, Internet) terhubung dengan UPT induk

Peralatan kantor (PC, Lemari, meja kerja, dll)

Peralatan sarana kebersihan.

41

9. Sarana Penunjang

Kantor Pengelola, Kantor Bea dan Cukai, Kantor Karantina Pertanian,

Kantor Polsek, Perkantoran Importir/PPJK, Bank, Kantin/rumah makan,

Tempat ibadah, Akses jalan Boulevard, Pemadam kebakaran, dan

Keamanan 24 jam.

2.4. Logistik

Logistik atau manajemen logistik merupakan bagian dari proses

supply chain yang merencanakan, mengimplementasikan, dan

mengendalikan efisiensi dan efektivitas aliran dan penyimpanan barang,

jasa, dan informasi terkait dari titik awal sampai ke titik konsumsi untuk

memenuhi keperluan pelanggan (Council of Logistics Management (CLM),

1986).

Gambar di bawah ini menunjukkan suatu sistem logistik secara

sederhana.

Gambar 2.1 Sistem Logistik

Sumber: Setijadi, 2009

Pada prinsipnya, dalam suatu sistem logistik terdapat dua aliran

utama. Aliran pertama adalah aliran barang dari pemasok, ke pabrik atau

manufakturing, hingga ke pelanggan. Berlawanan dengan aliran barang,

terdapat aliran informasi yang mengalir dari pelanggan, ke pabrik, hingga

ke pemasok. Selain memperhatikan aliran barang, manajemen logistik juga

memperhatikan proses penyimpanan barang tersebut.

42

Sebagai sebuah sistem, logistik terdiri atas beberapa subsistem atau

komponen-komponen utama, yaitu Persediaan, Pergudangan,

Transportasi, dan Sistem Informasi (Setijadi, 2009). Gambar berikut ini

menunjukkan keterkaitan di antara komponen-komponen utama pembentuk

sistem logistik tersebut.

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Pembentuk Sistem Logistik

Sumber: Setijadi, 2009

Berikut ini adalah penjelasan singkat masing-masing komponen

tersebut:

1. Persediaan

Persediaan (inventory) adalah stok atau item-item yang digunakan

untuk mendukung produksi (bahan baku dan barang setengah jadi),

kegiatan-kegiatan (perawatan, perbaikan, dan operating supplies), dan

pelayanan pelanggan (barang jadi dan suku cadang). Dalam theory of

contraints, item-item tersebut dibeli untuk dijual kembali, mencakup barang

jadi, barang setengah jadi, dan bahan baku (APICS Dictionary, 10th ed.)

43

Keberadaan persediaan berdampak terhadap biaya yang harus

dikeluarkan. Namun demikian, persediaan harus diadakan dengan

beberapa alasan, yaitu: (1) economies of scale, yaitu pengadaan akan

bersifat ekonomis jika mencapai jumlah tertentu, (2) keseimbangan jumlah

pasokan dan permintaan, (3) spesialisasi, (4) melindungi dari

ketidakpastian, dan (5) sebagai penyangga (buffer) sepanjang rantai pasok.

Persediaan dapat dibedakan atas beberapa jenis atau tipe, yaitu:

persediaan siklus (cycle stock), persediaan in-transit, persediaan

pengaman atau penyangga (safety atau buffer stock), persediaan spekulatif

(speculative stock), persediaan musiman (seasonal stock), dan dead stock.

Konsekuensi dari adanya persediaan adalah munculnya biaya-biaya yang

harus dikeluarkan. Biaya utama persediaan dapat dibedakan atas:

inventory carrying costs, order/setup costs, expected stock-out costs, dan

in-transit inventory carrying costs. Inventory carrying costs mencakup: biaya

modal (capital cost), biaya ruang penyimpanan (storage space cost), biaya

pelayanan persediaan (inventory service cost), dan biaya risiko persediaan

(inventory risk cost).

Jumlah persediaan harus dikelola pada suatu tingkat yang optimal.

Jumlah persediaan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan berdampak

terhadap biaya atau risiko tertentu.

Jumlah atau tingkat persediaan yang tinggi memang memberikan

beberapa keuntungan, seperti jaminan terpenuhinya pasokan untuk

kegiatan produksi atau pemenuhan permintaan pelanggan. Namun,

konsekuensi dari tingkat persediaan yang tinggi adalah biaya besar

yang harus ditanggung, baik biaya modal maupun biaya risiko

persediaan. Risiko persediaan mencakup risiko-risiko: kehilangan,

kerusakan, dan keusangan (obsolescence).

Dengan jumlah atau tingkat persediaan yang rendah, berarti biaya

modal yang dikeluarkan juga rendah. Namun, jumlah atau tingkat

persediaan yang rendah berdampak terhadap jaminan pasokan yang

rendah untuk produksi dan pemenuhan permintaan pelanggan. Apabila

44

produksi dan pemenuhan permintaan pelanggan terganggu, maka

terjadi kehilangan peluang penjualan (lost of sales) hingga kehilangan

pelanggan (lost of customers).

2. Pergudangan

Gudang merupakan fasilitas penting dalam sistem logistik yang

mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyimpanan barang atau

produk. Barang atau produk disimpan sementara waktu sebelum digunakan

atau dikirimkan ke tempat yang membutuhkan.

Dalam sistem pergudangan terdapat tiga kegiatan utama penanganan

barang, yaitu di bagian penerimaan, di dalam gudang, dan di bagian

pengiriman. Penanganan barang tersebut membutuhkan berbagai metode

dan peralatan.

Fungsi gudang dapat dibedakan sebagai terminal konsolidasi, pusat

distribusi, break-bulk operation, in-transit mixing, dan cross-dock operation.

Terminal konsolidasi: gudang digunakan untuk mengumpulkan

beberapa macam barang dari masing-masing sumber untuk selanjutnya

dikirimkan ke tempat tujuan.

Pusat distribusi: gudang digunakan untuk mengumpulkan beberapa

macam barang dari masing-masing sumber untuk selanjutnya

dikirimkan ke beberapa tempat tujuan.

Break-bulk operation: gudang digunakan untuk menerima barang atau

produk dalam jumlah atau volume besar, kemudian dipecah-pecah atau

dibagi-bagi dalam jumlah atau volume yang lebih kecil dan selanjutnya

dikirimkan ke beberapa tempat tujuan.

In-transit mixing: gudang digunakan untuk menerima atau

mengumpulkan beberapa macam barang dari masing-masing sumber,

kemudian dibagi-bagi dan digabungkan atau dikombinasikan dengan

variasi jenis dan jumlah yang sesuai dengan masing-masing

permintaan, serta selanjutnya dikirimkan ke beberapa tempat tujuan

(asal permintaan) masing-masing tersebut.

45

Cross-dock operation: gudang digunakan untuk menerima barang atau

produk dari masing-masing sumber untuk selanjutnya segera dikirimkan

ke tempat tujuan masing-masing tanpa mengalami proses

penyimpanan di gudang tersebut.

Hal penting berkaitan dengan gudang adalah penentuan jumlah,

lokasi, dan kapasitas. Jumlah gudang harus dipertimbangkan secara

optimal. Selain akan mempengaruhi biaya operasional, jumlah gudang akan

mempengaruhi pula pola, frekuensi, dan biaya transportasi. Lokasi

dipertimbangkan dengan mempertimbangkan akses, baik akses dari

tempat-tempat pasokan maupun akses ke tempat-tempat permintaan atau

tujuan. Kapasitas gudang berkaitan dengan jumlah dan dimensi barang

atau produk yang akan disimpan. Semua hal yang dipertimbangkan

tersebut akan mempengaruhi kinerja pergudangan maupun sistem logistik

secara keseluruhan.

3. Transportasi

Dalam sistem logistik, transportasi berperan dalam perencanaan,

penjadwalan, dan pengendalian aktivitas yang berkaitan dengan moda,

vendor, dan pemindahan persediaan masuk dan keluar suatu organisasi.

Pemilihan moda merupakan permasalahan yang penting. Pemilihan

moda dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti kondisi

geografis, kapasitas, frekuensi, biaya (tarif), kapasitas, availabilitas, kualitas

pelayanan dan reliabilitas (waktu pengiriman, variabilitas, reputasi, dll.).

Secara umum, moda transportasi dibedakan atas kereta api, truk,

transportasi air, transportasi udara, dan pipa.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam transportasi adalah mengenai

local pickup and delivery serta long-haul movements. Perusahaan terkait

biasanya memperhatikan perbedaan karakteristik jangkauan atau jarak ini

dengan strategi transportasi yang berbeda. Untuk local pickup and delivery,

perusahaan biasanya menggunakan armada sendiri. Untuk long-haul

movements, biasanya menggunakan outsourcing kepada penyedia jasa

logistik (third-party logistics provider).

46

Dalam transportasi, pertimbangan ekonomis mencakup jarak, volume

berat, kepadatan (density), dan bentuk (stowability). Pertambahan jarak,

misalnya, akan berakibat bertambahnya biaya. Namun, pertambahan jarak

tidak berbanding lurus dengan pertambahan biaya. Pertambahan biaya ini

cenderung akan berkurang ketika jarak terus bertambah.

Volume berat barang atau produk akan mempengaruhi ekonomisasi

transportasi, yaitu biaya per satuan berat barang. Semakin berat barang,

maka biaya per satuan berat barang akan cenderung semakin murah.

Tingkat kepadatan dan kemudahan bentuk barang atau produk untuk

disusun dalam moda transportasi juga akan mempengaruhi ekonomisasi

transportasi. Semakin mudah penyusunan barang atau produk tersebut

berarti transportasi semakin ekonomis, karena barang atau produk tersebut

akan semakin memaksimalkan penggunaan kapasitas moda.

4. Sistem Informasi

Sistem informasi merupakan saling keterkaitan perangkat keras dan

perangkat lunak komputer dengan orang dan proses yang dirancang untuk

pengumpulan, pemrosesan, dan diseminasi informasi untuk perencanaan,

pengambilan keputusan, dan pengendalian (APICS Dictionary, 10th ed.)

Sistem informasi diperlukan untuk mengintegrasikan komponen-

komponen dan kegiatan-kegiatan dalam sistem logistik. Efektivitas proses-

proses dalam sistem logistik sangat dipengaruhi oleh kualitas informasi

yang digunakan. Kualitas informasi dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: (1)

ketersediaan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan-

keputusan terbaik, (2) keakuratan informasi, (3) efektivitas komunikasi.

Aliran informasi dalam sistem logistik dapat dijabarkan pada Gambar

berikut ini.

47

Gambar 2.3 Aliran Informasi Logistik

Sumber: Coyle, dkk., 2003.

5. Supply Chain Management

Supply Chain Management adalah pengelolaan seluruh kegiatan

produksi, distribusi dan pemasaran yang dengan kegiatan tersebut

konsumen mendapatkan produk yang diinginkannya (Woods, 2004).

Folkerts and Koehorst (1998) lebih detail mendefinisikan supply chain

sebagai satu set pelaku yang saling tergantung yang bekerjasama untuk

mengatur arus produk-produk dan jasa bersama rantai nilai tambah dari

produk pertanian dan makanan untuk tujuan merealisasikan nilai pelanggan

yang terbaik (superior) dengan biaya seminimal mungkin. Value chain

adalah kontribusi dari kegiatan-kegiatan fungsional dalam rantai ke

pengembangan dari nilai pelanggan.

Menurut Porter (1996) diperlukan upaya-upaya peningkatan efektivitas

SCM antara lain peningkatan logistik, peningkatan sistem informasi dan

perbaikan flow informasi, penurunan biaya transaksi, perbaikan kualitas

produk, dan pemeliharaan integritas rantai. Selanjutnya AFFA et al (2002)

telah mengidentifikasi enam prinsip kunci untuk keberhasilan SCM yaitu (1)

48

fokus pada pelanggan dan konsumen; (2) rantai dan nilai terdistribusi

dengan baik ke seluruh pelaku; (3) produk yang dihasilkan sesuai dengan

spesifikasi yang diinginkan pelanggan; (4) logistik dan distribusi yang

efektif; (5) informasi dan strategi komunikasi termasuk pada semua rantai;

dan (6) hubungan efektif yang memberikan pembangkitan dan rasa

memiliki.

Pada sektor hortikultura, terdapat beberapa periode fokus perhatian.

Pada periode 1980-1990 perhatian lebih fokus pada masalah peningkatan

produktivitas tanaman. Pada periode 1990-2000 fokus perhatian adalah

pada kualitas produk. Pada periode 2000-2004 fokus perhatian mulai

beralih ke sustainability dan pengetahuan rantai supply. Selanjutnya pada

tahun 2004 hingga saat ini fokus perhatian tertuju pada optimalisasi supply

chain.

Beberapa lingkungan yang dihadapi supply chain management dari

produk-produk hortikultura meliputi (1) tuntutan konsumen antara lain

tuntutan akan produk yang aman untuk dimakan, berkualitas, keragaman

produk, sertifikasi produk, sertifikasi proses, kelengkapan informasi produk,

kesegaran produk dan beberapa kunggulan lainnya yang perlu

ditambahkan pada suatu produk; (2) lingkungan perkembangan teknologi

yang perlu terus diikuti antara lain teknologi pemuliaan, budidaya, proses,

pengemasan, transportasi, dan teknologi informasi; (3) lingkungan bisnis

antara lain tuntutan untuk menurunkan hambatan-hambatan perdagangan

baik tariff maupun non tariff, dan standarisasi produk untuk retail; dan (4)

lingkungan pemerintah dan masyarakat, antara lain tuntutan kelestarian,

manfaat sosial, dan dampak positif bagi lingkungan ekologi.

2.5. Penelitian Sebelumnya

Hasil kajian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan

Luar Negeri, Departemen Perdagangan (2007) tentang Kajian Daya Saing

Produk Hortikultura dan Rempah-rempah Indonesia di Pasar Internasional

mengemukakan beberapa hasil sebagai berikut.

49

Dari hasil analisis CMSA selama periode 2001-2006, hanya produk-

produk buah olahan yang memiliki kekuatan daya saing tinggi, pengaruh

distribusi pasar dan pengaruh komposisi komoditas yang semuanya

memiliki nilai positif khususnya untuk produk dengan nomor HS 200820

(Pineapples nes, o/w prep or presvd, sugared, sweetened, spirited or not).

Kelemahan utama dari produk hortikultura dan rempah-rempah Indonesia

adalah pengaruh distribusi pasarnya yang memiliki angka negatif yang

menunjukkan bahwa selama ini ekspornya kurang ditujukan ke negara-

negara yang memiliki pertumbuhan impor tinggi.

a. Dari analisis supply chain, produk hortikultura dan rempah-rempah

impor berpotensi memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan

produksi dalam negeri karena jalur tata niaga dari produk-produk impor

lebih simpel. Adanya pengemasan yang baik pada produk impor dapat

menekan biaya transportasi, handling, dan risiko kerusakan mutu.

b. Terkait dengan trend impor yang meningkat, terdapat beberapa alasan

utama dari para pelaku usaha melakukan impor produk hortikultura dan

rempah-rempah secara umum. Alasan yang paling utama adalah (1)

karena supply dari produk impor sangat konsisten dan (2) untuk

memenuhi permintaan konsumen domestik. Alasan lainnya dengan

derajat kepentingan yang lebih rendah adalah karena secara ekonomi

lebih menguntungkan terkait dengan tingginya permintaan, marjin

keuntungan dan rendahnya resiko akibat kerusakan produk. Di tingkat

pasar swalayan, ketersediaan buah impor lebih dominan yang

mencapai 60% dari volume perdagangan.

c. Dari analisis kepercayaan konsumen terhadap produk hortikultura

impor yang dibandingkan dengan produksi dalam negeri, diketahui

bahwa daya saing produk dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan

dengan produk impor. Dengan demikian, subtitusi impor dalam jangka

pendek dan jangka menengah belum memungkinkan.

d. Dari analisis Diamond Porter, terdapat beberapa faktor yang dinilai

masih lemah yang menjadi penyebab lemahnya daya saing produk

50

hortikultura dan rempah-rempah Indonesia yaitu faktor sumber daya

dan faktor industri penunjang serta kebijakan pemerintah yang dinilai

kurang kondusif.

e. Beberapa kelemahan pada faktor sumber daya adalah teknologi

pemuliaan yang lemah, teknologi panen dan handling produk segar

yang belum berkembang serta kurangnya fasilitas antara lain fasilitas

pendingin, dan kurangnya fasilitas permodalan.

f. Pada faktor kebijakan pemerintah, salah satu kelemahan yang fatal

adalah masih banyaknya produk hortikultura dan rempah-rempah yang

belum ada SNI nya. Kondisi ini terutama terjadi pada produk-produk

buah segar, sayur segar dan rempah-rempah. Hambatan birokrasi dan

keamanan investasi masih menjadi temuan di lapangan. Untuk

kebijakan perdagangan, perlu diupayakan agar produk-produk dalam

negeri dengan kualitas lebih rendah harganya di tingkat konsumen tidak

lebih tinggi dibandingkan produk impor.

g. Pada faktor industri penunjang, perlu insentif investasi dan

kemudahan birokrasi perijinan dari pemerintah untuk pengembangan

industri input faktor khususnya industri kemasan yang diperlukan oleh

industri pengolahan hortikultura dan rempah-rempah Indonesia.

h. Terdapat urutan prioritas penanganan masalah untuk meningkatkan

daya saing produk hortikultura dan rempah-rempah Indonesia. Prioritas

pertama diberikan pada faktor pendukung yang selama ini memiliki

derajat kinerja yang rendah, namun urgensi penanganannya tinggi yaitu

(1) adanya standar mutu, (2) ketersediaan dan kemudahan akses

modal, (3) kebijakan perdagangan yang kondusif, (4) ketersediaan

teknologi maju, dan (5) penyederhaan birokrasi dan peningkatan

keamaan investasi. Untuk faktor-faktor yang derajat kinerjanya dinilai

cukup tinggi namun urgensi terhadap peningkatan daya saingnya tinggi

digolongkan termasuk faktor prioritas kedua yaitu (1) perbaikan sarana

transportasi, (2) ketersediaan fasilitas yang memadai, dan (3)

pengurangan pajak dan pungutan.

51

i. Berdasarkan kinerja penguasaan pangsa pasar, kondisi daya saing dan

ukuran pasar di pasar dunia, terdapat urutan prioritas untuk

penanganan komoditas/produk. Komoditas/produk yang termasuk

sebagai prioritas utama untuk ditangani dalam rangka peningkatan

ekspor adalah cengkeh, pala, kayu manis dan nenas kaleng. Prioritas

kedua adalah terongan, polongan, bunga potong, cauliflowers, lettuce,

timun, pisang, jambu, mangga, manggis, strawberri, buah dikeringkan,

jams, fruit jellies, fruit & veg juicenes, mixtures of juices unfermented,

fermented beverages, undenatured ethyl alcohol, ethyl alc & other spirit,

vinegar, aneka saus, food prep. dan mucilages. Prioritas ketiga adalah

kolompok komoditas/produk yang memerlukan upaya khusus yaitu

lada, vanili, agar-agar dan kol.

Hasil kajian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa

Timur (2011) tentang Pengembangan Pelabuhan Regional Yang Tidak

Diusahakan Sebagai Pengungkit Perekonomian Di Jawa Timur

mengemukakan beberapa hasil sebagai berikut:

Kondisi sarana dan prasarana Pelabuhan Probolinggo lebih baik jika

dibandingkan dengan pelabuhan Branta dan Lamongan.

Kinerja Pelabuhan Probolinggo untuk bongkar muat kapal antar pulau

adalah kedatangan kapal per hari 7-8 kapal, waktu kapal di pelabuhan

cukup pendek yaitu 7 jam/kapal, ton per kapal dipelabuhan 3,3 ton/jam,

dan tonase per kapal 28,5 ton/kapal. Kinerja Pelabuhan Brondong

untuk bongkar muat kapal antar pulau adalah kedatangan kapal per

hari 2-3 kapal, waktu kapal di pelabuhan diatas 20 jam/kapal, ton per

kapal dipelabuhan 1,09 ton/jam, dan tonase per kapal 44,125 ton/kapal.

Keberadaan Pelabuhan Brondong dan Probolinggo berpengaruh

terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, dimana faktor yang paling

berpengaruh adalah kunjungan kapal.

Aspek yang perlu dikembangkan di Pelabuhan Probolinggo, Lamongan

dan Branta adalah pengembangan di prasarananya yaitu alur

pelayaran, dermaga, gudang, lapangan penumpukan dan perlatan

52

bongkar muat. Untuk Pelabuhan Brondong yang perlu dikembangkan

adalah alur masuk ke pelabuhan karena saat ini kedalamannya hanya

3,5 meter LWS, kedalaman alur perlu ditambah menjadi paling tidak 7

meter LWS. Aspek lain yang perlu ditambah di Pelabuhan Brondong

adalah perlu menambah kolam pelabuhan di luar alur yang ada dengan

kedalaman minimal 7 meter LWS agar kapal-kapal dengan bobot besar

bisa masuk.

Untuk Pelabuhan Branta, yang perlu dikembangkan adalah

penambahan fasilitas bongkar muat yang lebih modern karena saat ini

proses bongkar muat barang masih menggunakan cara-cara yang

konvensional yaitu masih mengandalkan tenaga manusia. Selain itu,

pengelolaan pergudangan perlu dilakukan dengan sistem pengelolaan

gudang terbuka dan pengelolaan gudang tertutup. SDM di bidang

teknis dan nautika perlu ditambah. Fasilitas dermaga umum perlu

diperbaiki dengan menambah panjang dermaganya agar kapal-kapal

besar bisa sandar dan labuh.

Untuk Pelabuhan Probolinggo perlu dikembangkan aksesibilitas keluar

masuk barang dari dan ke pelabihan, artinya perlu segera dibangun

jalan yang menghubungkan pelabuhan dengan jalan raya dengan

sistem jalan layang dan bebas hambatan. Selain itu perlu juga

dikembangkan prasarana terminal penumpang dan dermaga karena

saat ini belum memadai. Armada kapal yang ada juga masih bersifat

tradisional dan dikelola secara perorangan. Perlu dilakukan

standardisasi bentuk dan konstruksi kapal dari sisi ekonomi dan

kelaiklautan kapal, serta kemudahan perizinan dan operasional.

53

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Impor merupakan aktifitas memasukkan barang dari luar kedalam

wilayah pabean suatu negara. Idealnya impor dilakukan manakala produk

tersebut belum dapat diproduksi didalam negeri atau kebutuhan lebih besar

daripada barang yang tersedia (demand lebih besar dari supply). Namun

demikian dalam kenyataannya barang impor antara lain produk inustri

tertentu dan hortikultura banyak yang masuk meskipun barang tersebut

banyak tersedia didalam negeri. Oleh karena itu, banyak faktor yang

mendorong aktifitas impor, antara lain harga, kualitas, kontinyuitas suplly

dan lain sebagainya.

Terjadinya peningkatan impor khususnya untuk produk hasil industri

dan hortikultura tersebut mengganggu kinerja industri di dalam negeri,

sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor baik untuk produk

hortikultura maupun produk industri. Kebijakan tersebut meliputi penentuan

cakupan produk yang dapat diimpor, tata cara pemberian rekomendasi

impor dan penentuan pelabuhan sebagai pintu masuk barang impor.

Kajian ini akan melihat kebijakan impor dari sisi penentuan

pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk tertentu, yaitu dalam

hal ini produk hasil industri khususnya produk elektronikan dan makanan

minuman serta produk hortikultura khususnya buah dan sayuran.

Tujuan dari kajian ini sebagaimana telah diuraikan pada bab

pendahuluan adalah untuk mengetahui kriteria ideal pelabuhan yang

digunakan sebagai pintu masuk produk impor dan menganalisis kesesuaian

pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor. Untuk

mencapai tujuan tersebut, akan dilihat fasilitas pelabuhan dan karantina,

posisi dari sentra produksi produk yang sama dengan produk impor,

rencana pengembangan pelabuhan masuk dalam MP3EI serta nilai impor

produk hasil industri dan produk hortikultura. Dari 4 hal tersebut diatas,

54

akan dianalisis potensi dampak kebijakan ekonomi penetapan pelabuhan

tertentu sebagai pintu masuk impor produk industri dan hortikultura,

khususnya produk makanan minuman, elektronika, buah dan sayuran. Dari

hasil analisis ini akan direkomendasikan kebijakan impor untuk produk

industri dan produk hortikultura, sebagaimana tersaji dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kerangka Pikir

Trend Peningkatan Impor

Produk Hortikultura dan

Produk Tertentu

Kebijakan Impor Produk

Hortikultura dan Produk

Tertentu

Penentuan

cakupan produk

Tata cara

rekomendasi Penentuan pintu

masuk pelabuhan

Fasilitas

Pelabuhan dan

Karantina

Pertanian

Posisi dari

Sentra Produksi

Rencana

Pengembangan

Pelabuhan Masuk

Dalam MP3EI

Nilai dan Volume

Impor Produk

Tertentu dan

Hortikultura

Potensi Dampak Kebijakan dan Daya Saing Produk Lokal

Bahan Rekomendasi Kebijakan Impor Produk

Tertentu dan Produk Hortikultura

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam kajian ini terbagi menjadi dua jenis,

yaitu data primer maupun data sekunder. Adapun data primer bersumber

55

dari hasil wawancara dengan responden dan Focus Group Discussion

(FGD) dengan para pemangku kepentingan terkait (stakeholders),

sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan publikasi

yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian,

Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian

Koordinator Perekonomian, serta jurnal yang berasal dari jurnal

internasional.

3.3. Metode Analisis Data

3.3.1. Analisis Multi Atribut Angka Ideal dan Semantic Differential

Untuk menilai prospek dampak suatu kebijakan secara sederhana

dapat menggunakan analisis multiatribut angka ideal (Engel et al., 1994)

dan skala diferensi semantik (semantic differential scale) (Kotler, 1993)

yang dapat digambarkan secara simbolis sebagai berikut:

PI = Wi (Ai - Bi)

dengan:

PI = Nilai dampak kebijakan

Wi = Pentingnya kriteria i pada penilaian dampak kebijakan yang

dihitung menggunakan metode pembobotan Eckenrode

Ai = Nilai kepercayaan setelah aplikasi kebijakan pada kriteria i

Bi = Nilai kepercayaan kebijakan pada saat ini (sebelum aplikasi)

pada kriteria i

Analisis multiatribut angka ideal (multiattribute expextancy-value

models) ini merupakan salah satu model kompensasi (compensatory

model) yang menganalisis biaya dan manfaat dimana fitur negatif dapat

dikompensasi dengan yang positif. Dengan kata lain, analisis multiatribut

angka ideal ini juga merupakan suatu model yang memberikan informasi

mengenai “kebijakan ideal” atau bisa juga “atribut ideal” dan pandangan

para responden terhadap kebijakan atau atribut yang sudah ada.

Dengan analisis multiatribut angka ideal ini para responden diminta

menempatkan skala terhadap derajat atau tingkat atribut yang menonjol

56

yang dimiliki oleh suatu kebijakan. Para responden memiliki kecenderungan

untuk memberikan bobot yang lebih banyak terhadap atribut yang

mendukung dengan tujuan mereka.

Berdasarkan analisis ini, semakin dekat penilaian aktual dengan

penilaian ideal, maka sikap tersebut semakin mendukung. Sebaliknya, jika

semakin jauh penilaian aktual dengan penilaian ideal, maka sikap tersebut

tidak mendukung. Sementara itu, jika penilaian aktual sama dengan

penilaian ideal, maka menunjukkan kecocokan yang sempurna dengan

konfigurasi atribut yang ideal (Engel et al., 1994).

Karena sikap, perilaku, dan nilai kepercayaan merupakan variabel

kualitatif, maka pengukurannya menggunakan penyekalaan guna

mengurangi subjektifitas para responden. Skala diferensi semantik

(semantic differential scale) merupakan salah satu skala yang digunakan

untuk mengukur sikap dan persepsi para responden di antara sifat-sifat

bipolar (dua kutub) yang berlawanan dalam mengevaluasi efektivitas

penerapan kebijakan penentuan pelabuhan impor tertentu.

Skala diferensi semantik ini pertama kali dikembangkan oleh Charles

Osgood, George Suci, dan Percy Tannenbaum, dimana dalam

penggunaanya skala diferensi semantik dimulai dengan penentuan konsep/

objek untuk dinilai dan kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kata atau

frase yang berlawanan yang digunakan untuk menggambarkan

konsep/objek. Selanjutnya, para responden menilai atau memilih konsep

dalam suatu skala (pada umumnya 1-7). Rata-rata dari tanggapan tersebut

dihitung dan diplot sebagai suatu profil visual (diagram ular) atau skala linier

numerik (McDaniel and Gates, 2010).

Selain itu, skala modifikasi diferensi semantik digunakan dalam

kajian ini guna memberikan gambaran informasi perkiraan dampak

kebijakan penetapan pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk produk

tertentu dengan penggunaan skala positif dan negatif (Simamora, 2008).

57

3.3.2. Metode Pembobotan Eckenrode

Metode pembobotan Eckenrode adalah salah satu metode

pembobotan yang digunakan untuk menentukan derajat kepentingan/bobot

dari setiap kriteria yang ditetapkan dalam pengambilan keputusan.

Penentuan bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai

total akhir dari setiap pilihan keputusan. Bobot merupakan nilai preferensi

tujuan tak berdimensi. Bobot memiliki sifat sebagai berikut:

0 ≤We ≤1, dimana We = bobot ke-e, dan e = 1,2, …, k

k

e

We1

1

Keterangan: We > Wk, artinya tujuan/kriteria Ze lebih penting dari

tujuan/kriteria Zk. Ketika We = Wk, artinya tujuan/kriteria Ze

sama penting dari tujuan/kriteria Zk.

Konsep yang digunakan dalam metode pembobotan ini adalah

dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai dimana urutan 1 dengan

nilai tingkat (nilai) tertinggi, urutan 2 dengan tingkat (nilai) di bawahnya, dan

seterusnya. Adapun langkah-langkah dalam metode perhitungan bobot

Eckenrode adalah sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung, 2003), yaitu:

Responden diminta untuk meranking setiap kriteria.

Pembuatan tabel sebagai berikut:

Kriteria Jumlah Ranking Nilai Bobot

R1 R2 R3 … Rn

K1 Jr11 Jr12 Jr13 ….. Jr1n N1 B1

K2 Jr21 Jr22 Jr23 …. Jr2n N2 B2

K3 Jr31 Jr32 Jr33 …. Jr3n N3 B3

….. …. …. …. …. ….. …. ….

Km Jrm1 Jrm2 Jrm3 ….. Jrmn Nn Bn

Faktor

Pengali

Rn-1 Rn-2 Rn-3 ….. Rn-n Total

Nilai

1,00

58

Penghitungan bobot (B1…..Bn) dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

n

Ni = Jrij * Rn-1

j=1

m

Total Nilai = Ni

i=1

dimana:

Bi = Ni/Total Nilai

Ni = Nilai untuk kriteria ke i

Jrij = Jumlah yang memilih ranking ke j, untuk kriteria ke i

Rn-1= Faktor Pengali

59

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Pelabuhan di Indonesia

Kondisi pelabuhan di Indonesia terlihat dalam laporan yang dibuat

oleh USAID (2008), dimana menyebutkan bahwa sistem pelabuhan

Indonesia disusun menjadi sebuah sistem hierarkis yang terdiri atas sekitar

1700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan

‘strategis’ utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dikelola

oleh empat BUMN, Perum Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV dengan

cakupan geografis sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 di bawah ini.

Selain itu, terdapat juga 614 pelabuhan diantaranya berupa Unit Pelaksana

Teknis (UPT) atau pelabuhan non-komersial yang cenderung tidak

menguntungkan dan hanya sedikit bernilai strategis.

Di samping itu, terdapat pula sekitas 1000 “pelabuhan khusus’ atau

pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan

saja (baik swasta maupun milik negara) dalam sejumlah industri meliputi

pertambangan, minyak dan gas, perikanan, kehutanan, dan sebagainya.

Beberapa dari pelabuhan tersebut memiliki fasilitas yang hanya sesuai

untuk satu atau sekelompok komoditas (misal. Bahan kimia) dan memiliki

kapasitas terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak ketiga. Namun

demikian, pelabuhan yang lain memiliki fasilitas yang sesuai untuk beragam

komoditas, termasuk, dalam beberapa hal, kargo peti kemas. Saat ini,

Pelindo menikmati monopoli pada pelabuhan komersial utama yang

dilegislasikan serta otoritas pengaturam terhadap pelabuhan-pelabuhan

sektor swasta. Pada hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak

baik sebagai operator maupun otoritas pelabuhan tunggal, mendominasi

penyediaan layanan pelabuhan utama sebagaimana tercantum di bawah

ini:

Perairan pelabuhan (termasuk urukan saluran dan basin) untuk

pergerakan lalu lintas kapal, penjangkaran, dan penambatan.

60

Pelayaran dan penarikan kapal (kapal tunda).

Fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, pengurusan

hewan, gudang, dan lapangan penumpukan peti kemas; terminal

konvensional, peti kemas dan curah; terminal penumpang.

Listrik, persediaan air bersih, pembuangan sampah, dan layanan

telepon untuk kapal.

Ruang lahan untuk kantor dan kawasan industri.

Pusat pelatihan dan medis pelabuhan.

Tabel 4.1 Cakupan Wilayah dan Pelabuhan

di Bawah Pengaturan Perum Pelabuhan

No. Perum

Pelabuhan Cakupan Wilayah (Provinsi) Pelabuhan-Pelabuhan yang Diatur

1 Pelindo I Aceh, Sumatera Utara, Riau Belawan, Pekanbaru, Dumai, Tanjung Pinang, Lhokseumawe

2 Pelindo II Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jakarta

Tanjung Priok, Panjang, Palembang, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon, Jambi, Bengkulu, Banten, Sunda Kelapa, Pangkal Balam, Tanjung Pandan

3 Pelindo III Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (sebelumnya Timor Timur)

Tanjung Perak, Tanjung Emas, Banjarmasin, Benoa, Tenau/Kupang

4 Pelindo IV Sulawesi (Tengah dan Utara), Maluku, Irian Jaya

Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon, Sorong, Biak, Jayapura

Menurut laporan USAID tersebut, berdasarkan data dari

Kementerian Perhubungan (Dephub) diperoleh bahwa total tonase yang

ditangani di pelabuhan-pelabuhan Indonesia meningkat dari 582 juta ton

pada tahun 2002 menjadi 736 juta ton pada tahun 2006, dengan rata-rata

peningkatan tahunan sekitar 6 persen. Selama jangka waktu tersebut,

jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri meningkat sekitar

11,5% per tahun, lebih dari dua kali lipat dari peningkatan jumlah barang

yang diangkut dengan tujuan ke luar negeri yang hanya sebesar 4,1

persen. Dalam tahun-tahun belakangan, peningkatan jumlah barang yang

diangkut untuk tujuan dalam negeri sangat besar di Indonesia bagian timur.

61

Secara nyata, jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri dan

luar negeri mengalami peningkatan sekitar 77 juta ton dalam kurun waktu

empat tahun tersebut.

Selanjutnya, di 11 terminal peti kemas utama (yang memiliki mesin

derek peti kemas dan dinyatakan oleh Departemen Perhubungan sebagai

‘Terminal Peti Kemas’, total volume peti kemas meningkat sebesar satu juta

selama kurun waktu 2005-2007 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan

sekitar 12 persen. Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta mewakili hampir

setengah jumlah peti kemas dalam sistem pelabuhan Indonesia. Pada

tahun 2007, total volume peti kemas pada empat terminal di pelabuhan

hanya di bawah 3 juta TEU dan diharapkan mencapai 3,7 juta TEU.

Indonesia tidak memiliki pelabuhan pindah muat (trans-shipment)

yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua

(large trans-oceanic vessels), meski pemerintah telah lama merencanakan

pembangunan fasilitas tersebut di Bojonegara (di sebelah barat Jakarta)

dan di Bitung (di Sulawesi Utara) dan berbagai tempat lain di Indonesia.

Bahkan, sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus

dipindahmuatkan melalui pelabuhan penghubung di tingkat daerah. Di

Indonesia, pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dijadikan sebagai

pelabuhan penghubung utama untuk kawasan timur Indonesia (dari

Kalimantan ke Papua).

Keterlambatan waktu di pelabuhan-pelabuhan Indonesia merupakan

sebuah masalah besar bagi para pengusaha angkutan laut. Pada tahun

2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas di Pelabuhan

Jakarta, misalnya, adalah sekitar 30-40 peti kemas/jam. Peningkatan dalam

hal teknis dan operasional menunjukkan peningkatan produktivitas, pada

pertengahan tahun 2007 pemindahan peti kemas per jam mencapai sekitar

60 peti kemas. Akan tetapi, meningkatnya lalu lintas peti kemas dan

kemacetan di pelabuhan disertai permasalahan yang berkaitan dengan

berbagai masalah ketenagakerjaan serta keterlambatan pabean

62

menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas per

jam di paruh pertama tahun 2008.

Para pengusaha jasa angkutan laut interansional Indonesia

menikmati pelayanan pemindahmuatan (trans-shipment) yang sangat

bersaing di Singapura dan Malaysia, tetapi harus membayar biaya jasa

bongkar muat yang tinggi terutama karena tingginya biaya pelabuhan di

Indonesia. Sebuah kajian tentang rantai pasokan (supply-chain)

menunjukkan bahwa upaya untuk mengakses pelabuhan-pelabuhan

penghubung di tingkat regional merupakan persentase biaya yang tidak

proporsional dari jumlah total biaya angkutan internasional. Carana (2004)

memperkirakan sekitar 20-50 persen dari biaya angkutan internasional

untuk tujuan ekspor dikeluarkan pada 1000 mil pertama saat melewati

pelabuhan-pelabuhan penghubung di tingkat regional. Salah satu

contohnya, 600 mil dari Pelabuhan Semarang (Jawa Tengah) ke Singapura

hanya 10 persen dari total jarak yang harus ditempuh, tetapi biaya yang

dikeluarkan untuk menempuh jarak 600 mil tersebut lebih dari 45 persen

dari keseluruhan biaya pengangkutan untuk ekspor mebel tersebut ke

pasar tujuan akhir di Valensia, Spanyol.

Meskipun mengakses data kinerja pelabuhan gerbang utama

Indonesia tetap sulit, beberapa data kinerja tersedia untuk sebagian besar

dari 25 ‘pelabuhan strategis’ lainnya. Dari 19 pelabuhan pada daftar 25

pelabuhan ini yang data lengkapnya tersedia (kecuali pelabuhan-pelabuhan

yang dikelola oleh Pelindo II), dapat dilihat bahwa pemberian jasa

pelabuhan pada pengguna selama ini memprihatinkan, dan hanya ada

sedikit perbaikan sejak akhir tahun 1990an. Hal ini tercermin dalam

beberapa indikator kinerja utama seperti rasio-rasio tingkat okupansi

tambatan kapal atau berth occupancy rate (BOR), waktu persiapan

perjalanan pulang kapal atau vessel turn-around time (TRT) dan waktu

kerja atau working time (WT).

63

Tabel 4.2 Data Kinerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama: Kargo Dalam Negeri

PELABUHAN 1999 2006 1999 2005/6

BOR BOR TRT TRT WT PT AT NOT ET IT

% % JAM JAM JAM JAM JAM JAM JAM JAM

Belawan 62,7 52,4 77,9 72,6 1,4 16,6 1,7 22,4 29,8 0,9

Dumai 73,6 74,0 83,4 81,5 4,2 26,8 9,6 11,4 27,3 2,4

Lhokseumawe 43,2 22,4 88,8 62,7 0,8 5,8 1,3 25,8 27,4 1,6

Pekan Baru* 59,2 51,3 109,9 96,5 1,4 14,5 11,4 45,4 22,5 1,2

Tanjung Pinang 82,9 90,3 84,4 82,9 0,0 2,3 2,0 58,4 16,0 4,2

Banten 41,6 39,1 57,9 65,1 1,0 0,8 7,8 34,5 21,1 0,0

Palembang* 62,9 34,7 73,6 61,8 0,1 0,0 17,7 20,0 23,3 0,7

Banjarmasin 81,0 74,7 55,0 52,0 1,0 1,0 6,0 23,0 21,0 0,0

Benoa 60,1 56,0 22,0 137,0 0,0 0,0 1,0 122,0 14,0 0,0

Tenau/Kupang 74,4 65,7 79,0 167,0 10,0 1,0 6,0 65,0 85,0 0,0

Tanjung Emas 79,0 27,8 51,0 77,0 1,0 2,0 2,0 11,0 49,0 12,0

Tanjung Perak 63,0 69,0 99,0 38,0 0,0 5,0 4,0 9,0 20,0 0,0

Ambon 60,2 54,2 62,1 54,8 0,1 0,3 0,3 24,0 29,6 0,6

Biak 71,2 49,5 96,0 80,0 1,0 0,0 1,0 10,0 67,0 1,0

Bitung 65,1 70,2 95,6 60,5 0,6 0,4 28,0 31,6 0,0

Jaya Pura 65,2 70,9 164,5 103,5 0,4 0,1 0,5 23,7 33,9 44,6

Makassar 53,8 43,2 66,7 124,3 0,0 0,0 3,0 15,2 93,4 12,6

Samarinda* 64,0 68,9 93,0 88,8 7,3 0,0 5,0 10,0 59,2 7,3

Sorong 72,4 80,0 38,3 50,0 6,0 0,0 1,0 20,0 22,0 1,0

Average 65,0 57,6 78,8 81,9 2,0 4,0 4,3 30,4 36,5 4,7

Catatan: BOR adalah rasio penggunaan tambatan kapal, TRT adalah waktu

persiapan perjalanan pulang kapal, WT adalah waktu tunggu, PT adalah waktu

tunda (yang disebabkan administrasi pelabuhan), AT adalah Waktu Pelayanan

Panduan, NOT adalah waktu jeda, ET adalah waktu kerja efektif dan IT adalah

waktu tidak efektif. Sumber: Departemen Perhubungan (2006)

64

Secara keseluruhan, rata-rata sederhana tingkat okupansi tambatan

kapal untuk pelabuhan-pelabuhan ini pada tahun 2006 adalah 57,6 persen,

yang turun dari 65 persen pada tahun 1999, tetapi bagaimanapun juga

masih jauh melampaui angka yang dianggap Nathan Associates (2001) dan

lainnya sebagai standar maksimum yang dapat diterima secara

internasional, yaitu 40 persen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa

pertumbuhan dalam volume peti kemas, tanpa peningkatan mutu yang

memadai dalam kapasitas, akan menyebabkan keterlambatan dan waktu

tunggu kapal yang semakin bertambah.

Rata-rata waktu pulang-pergi kapal (suatu ukuran yang

menjumlahkan seluruh waktu yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk

waktu tunggu, waktu pelayanan panduan, waktu tidak efektif, waktu kerja

dll) juga menandakan kinerja pelabuhan yang buruk dengan kapal-kapal

memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan (kira-kira 3,5 hari), lebih lama

dari rata-rata 79 hari pada tahun 1999. Untuk daftar lengkap 25 ‘pelabuhan

strategis’ (termasuk pelabuhan Pelindo II), waktu persiapan perjalanan

pulang pada tahun 2006 untuk pelayaran dalam negeri adalah 74 jam (3,1

hari), lebih lama dari 65 jam (2,7 hari) pada tahun 2007. Waktu kerja

sebagai persentasi waktu pulang-pergi memiliki rata-rata sekitar 44,5

persen pada tahun 2005/6, yang berarti bahwa untuk waktu kapal berada di

pelabuhan, kapal tersebut hanya dilayani (yakni bongkar/muat) kurang dari

separuh waktu tersebut (Tabel 4.3). Angka yang sama untuk tahun 1999

sedikit lebih tinggi yaitu 44,7 persen, menandakan bahwa hanya sedikit

atau sama sekali tidak ada perbaikan dalam indikator penting ini di tahun-

tahun terakhir.

Tabel 4.3 Rasio Waktu Kerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama

1999 2005/6

Waktu kerja efektif / Waktu persiapan perjalanan pulang

44.7% 44.5%

Waktu kerja efektif / (Waktu persiapan perjalanan pulang – waktu pelayanan panduan)

46.9% 47.0%

65

Kesimpulan sederhana yang ditarik dari analisis di atas adalah bahwa

armada kargo Indonesia menghabiskan terlalu banyak waktu untuk tidak

beroperasi atau menunggu di pelabuhan. Waktu berlayar rata-rata antara

ke-19 pelabuhan yang terdaftar pada tabel dan pelabuhan-pelabuhan

pengumpan (feeder) utama Jakarta dan Surabaya berkisar pada rata-rata

1-2 hari (Lembaran Negara Pelayaran Indonesia, 3 Maret 2008). Informasi

ini, dipadukan dengan data TRT yang didapati di tabel, menunjukkan

bahwa banyak kapal kargo domestik Indonesia akan menghabiskan paling

sedikit separuh, mungkin tiga-perempat, waktu mereka di pelabuhan.

4.2. Kondisi Industri Elektronika dan Makanan

Industri elektronika di Indonesia meliputi industri elektronika

konsumsi, industri elektronika bisnis, dan komponen elektronika. Adapun

pengelompokannya dibagi atas kelompok indutri hulu, kelompok industri

antara dan kelompok industri hilir.

Adapun neraca perdagangan untuk industri elektronika secara

keseluruhan sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 senantiasa defisit. Pada

tahun 2011, ekspor untuk industri ini mencapai USD 3.202,55 Juta,

sedangkan impornya mencapai USD 5.093,22 Juta, sehingga neraca

perdagangan untuk industri elektronika defisit sebesar USD 1.890,67 Juta,

sebagimana terlihat pada gambar 4.1.

Tahun 2011 industri barang elektronik konsumsi mengalami

peningkatan yang cukup tinggi. Menurut data Electronic Marketer Club

(EMC), realisasi nilai penjualan produk elektronik selama bulan Januari

hingga November 2011 mencapai Rp 22,65 triliun. Angka penjualan

tersebut mengalami kenaikan 27% dibandingkan dengan penjualan pada

periode yang sama tahun lalu.1

Pertumbuhan penjualan tersebut banyak ditunjang oleh peningkatan

penjualan yang signifikan untuk produk-produk flat panel TV, kulkas dan

mesin cuci. Penjualan flat panel TV terutama terjadi karena adanya

1 Gabungan Elektronik Indonesia, 2012

66

kecenderungan perpindahan dari televisi tabung (CRT) yang lebih boros

energi listrik ke flat panel yang terdiri dari LCD, LED, dan plasma.

Gambaran pasar elektronik tahun depan rupanya juga tidak kalah

optimistis bila dibanding tahun ini. Kalangan industri elektronik umumnya

optimisis bahwa, penjualan berbagai produk elektronik di tahun depan akan

tumbuh antara 15% hingga 25%.

Optimisme itu didasarkan pada langkah beberapa merek yang akan

memperbesar kapasitas mesin cuci, lemari es pada tahun depan. Selain itu,

pasar elektronik di dalam negeri juga diyakini masih akan terus meningkat.

Namun ada beberapa potensi kendala yang bisa menurunkan

penjualan barang elektronik pada tahun 2012. Pertama, krisis yang

belakangan ini melanda sejumlah negara dan mengarah ke krisis global

kemungkinan akan ada dampaknya. akan terasa di kuartal I-2012. Kkrisis

global dierkirakan akan mendorong penguatan nilai tukar dollar AS

terhadap rupiah. Penguatan dollar AS ini akan mendorong kenaikan harga

elektronik. Bila demikian, bisa dipastikan, kenaikan harga tersebut akan

memangkas pertumbuhan penjualan.

Saat ini perkembangan teknologi industri televisi terus berkembang

pesat sehingga mendorong peningkatan permintaan. Industri televisi

mengalami banyak perkembangan dari yang menggunakan teknologi

tabung sinar katoda (CRT) yang berlayar cembung hingga kehadiran TV

yang berlayar datar, dan kini muncul TV Plasma Display Panel (PDP) dan

Liquid Crystal Display (LCD).

Awal tahun 2000-an merupakan era baru bagi industri TV. Para

produsen televisi mulai memproduksi dan memasarkan pesawat televisi

dengan teknologi terbaru yang dikenal dengan Plasma dan LCD. Kehadiran

dua varian terbaru pesawat tv ini semakin menggairahkan pasar televisi

dan terbukti mampu mendorong pertumbuhan industri televisi di dalam

negeri.

Pada 2007 penjualan TV meningkat 12,5% yaitu naik menjadi

4.600.000 unit dari sebelumnya 4.000.000 unit. Peningkatan penjualan ini

67

didorong oleh sejumlah produsen yang meluncurkan varian-varian baru

untuk produk LCD serta memberikan diskon besar-besaran terutama

menjelang tutup tahun. Varian baru LCD yang menyerbu pasar diantaranya

Scarlet dari LG, Aquos dari Sharp dan lain-lain.

Meningkatnya pasar LCD di Indonesia, mendorong para produsen

menjadikan Indonesia sebagai basis bagi produksi LCD mereka. Sejak

2005 PT. LG Electronics Indonesia memiliki fasilitas produksi LCD

berkapasitas 50.000 unit per bulan.

Sebelumnya pasar TV domestik didominasi oleh produsen dengan

principal asal dari Jepang seperti Sharp, Toshiba, Sony dan lainnya.

Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, LG Electronic Indonesia

(LGEIN) dan Samsung Electronics Indonesia dengan principal dari Korea

telah berkembang sangat pesat dan telah mampu menyalip dominasi

teknologi Jepang.

Menyusul pesatnya perkembangan teknologi pada industri TV,

mendorong pertumbuhan kapasitas produksi yang cukup tinggi. Para

produsen berlomba meningkatkan kapasitasnya guna memenuhi

permintaan pasar yang semakin tinggi seiring dengan kemajuan teknologi.

Sebagian besar produsen ini tidak hanya memproduksi televisi, melainkan

juga produk elektronik lainnya seperti peralatan listrik dan peralatan rumah

tangga.

Pada 2002 kapasitas produksi televisi tercatat masih sekitar 3.358

ribu unit per tahun. Namun pada 2007 kapasitas melonjak hingga mencapai

sekitar 12.727 ribu unit per tahun, atau meningkat sebesar 279%.

Peningkatan yang cukup tinggi tersebut merupakan kontribusi dari

sejumlah produsen besar seperti Samsung, LG, Panasonic dan lainnya

terus menambah kapasitasnya dalam periode tiga tahun terakhir. Terutama

setelah teknologi TV Plasma dan kemudian diikuti oleh LCD yang berbasis

digital diluncurkan ke pasar. Teknologi digital tersebut sangat menarik minat

konsumen sehingga permintaan terhadap produk tersebut cukup tinggi.

68

Peningkatan pangsa pasar TV yang dipicu oleh pergeseran selera

pasar dari TV konvensional type CRT menjadi LCD, harga yang semakin

terjangkau dan kompetitif, dan varian yang semakin beragam. Hal ini

mendorong sejumlah produsen besar menambah kapasitas produksinya

untuk memenuhi permintaan pasar.

Ekspansi yang cukup besar dilakukan oleh PT. Sharp Electronics

Indonesia yang menambah kapasitasnya menjadi 1.7 juta unit per tahun

dari sebelumnya hanya 180 ribu unit saja. Demikian juga dengan PT.

Toshiba Consumer Product Indonesia saat ini memiliki kapasitas produksi

sebesar 1, 5 juta unit per tahun, padahal enam tahun lalu hanya 70 ribu

unit.

Sebelumnya industri televisi di dalam negeri didominasi oleh vendor

asal Jepang, namun belakangan raksasa-raksasa elektronik asal Korea

Selatan mulai menggerogoti keperkasaan Jepang. Di Indonesia, vendor

asal Korea seperti Samsung dan LG mulai mampu melakukan penetrasi

pasar. Hal ini terlihat dari ekspansi yang dilakukan keduanya. PT.

Samsung Electronics Indonesia mendongkrak kapasitasnya menjadi 1.340

ribu unit per tahun dari sebelumnya hanya 400 ribu unit per tahun.

Sedangkan PT. LG Electronics Indonesia dari 1 juta unit per tahun

menambah kapasitas produksinya menjadi 1.150 ribu unit per tahun.

Dalam periode lima tahun terakhir, produksi televisi di dalam negeri

diperkirakan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 6,3% per tahun

dengan tingkat produksi mencapai 5 juta hingga 6 juta unit per tahun.

Menurut data Kementerian Perindustrian, dalam periode 2005-2007

beberapa produsen melakukan ekspansi dengan menambah kapasitas

produksinya. Pada 2005 Toshiba menambah kapasitas produksi televisi

dengan menambah produksi TV LCD dan Plasma sebanyak 200 ribu unit

per tahun. Sehingga total kapasitasnya mencapai 2,2 juta unit per tahun.

Tahap awal dilakukan perluasan pabrik dari 4 ribu m2 dengan investasi

US$ 5 juta dan selanjutnya 16 ribu m2 dengan investasi sekitar US$ 20

69

juta. Ini digunakan untuk menampung relokasi pabrik TV Toshiba di

beberapa negara ke Indonesia.

Selain di Indonesia, saat ini Toshiba memiliki basis produksi di

Jepang, Amerika Serikat, Cina, Vietnam dan Inggris. Namun, dari beberapa

negara tersebut, dari segi volume produksi TV, Indonesia yang terbesar.

Pada 2007 Hitachi menambah kapasitas sebesar 396.000 unit per

tahun dengan investai sekitar US$ 7,8 juta. Selain itu, Samsung juga terus

melakukan ekspasni dengan menambah kapasitas produksi 360.000 unit

per tahun dengan investasi sebesar Rp 1, 6 triliun.

Mulai April 2008 LGEIN menghentikan tiga lini produksi televisi layar

cembung (CRT) menyusul naiknya biaya produksi dan turunnya segmen

pasar TV tersebut di dalam negeri. Naiknya harga bahan baku seperti

plastik yang mencapai sekitar 70%, kaca, dan lain-lain menyebabkan biaya

produksi meningkat. Pada saat yang bersamaan harga TV layar datar (flat)

hampir menyamai harga TV konvensional (CRT). Meski hanya menjual

25.000 unit televisi layar cembung pada tahun lalu, konsumsi televisi layar

cembung di pasar lokal terus merosot dan digantikan oleh model televisi

layar datar. Penjualan televisi layar cembung LG pada 2007 merosot 60%,

sebab biaya produksi tidak efisien dan bahan bakunya sulit didapat,

sedangkan trennya sudah habis.

Fasilitas produksi ini akan dialihkan ke televisi layar datar di pabrik

Cibitung, Bekasi. dengan menambah investasi untuk teknologi moulding

(cetak) yang dibeli dari Jerman, seharga Rp8 miliar per lini produksi dengan

kapasitas produksi 500.000 unit per lini produksi per tahun.

Dengan akan diberhentikannya produksi TV konvensional maka

LGEIN hanya akan memasarkan sisa produksi TV konvensional yang ada.

Biaya produksi CRT mahal, padahal dengan material plastik dan kaca yang

sama bisa memproduksi TV flat dengan harga lebih tinggi. Penghentian

produksi TV konvensional tidak akan menurunkan produksi TV LGEIN,

karena jalur produksi TV konvensional yang mencapai sekitar 30 ribu unit

per bulan, langsung dialihkan untuk memproduksi TV flat.

70

Menurut Gabungan Elektronik (Gabel), selama 2009- 2010 penjualan

elektronik naik signifikan. Pada 2009, total penjualan TV mencapai

3,859,785 unit, naik 5% menjadi 4,034,178 unit pada 2010. Kenaikan

sangat signifikan dibukukan dari penjualan AC. Pada 2009 penjualan AC

mencapai 1,211,311 unit, naik 33% menjadi 1,610,384 unit pada 2010.

Kenaikan penjualan yang cukup signifikan juga dibukukan produk

lemari es dan mesin cuci. Untuk lemari es, pada 2009 terjual 2,486,431

unit, naik 22% menjadi 3,026,378 unit pada 2010. Begitu juga, penjualan

produk mesin cuci naik 21%, dari 1,227,236 unit menjadi 1,490,594 unit.

Secara keseluruhan nilai penjualan elektronik pada 2009 mencapai Rp

20,135,194 triliun, naik 17% menjadi Rp 23,491,013 pada 2010.

Sebenarnya, walaupun terjadi peningkatan penjualan, pangsa pasar

produk lokal masih lebih kecil dibandingkan produk impor, terutama produk

selundupan dan non-standar. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir,

pangsa pasar produk elektronik lokal cenderung menyusut sekitar 5%-8%

per tahun. Menurut data Gabel, pada 2009 pangsa pasar lokal hanya

mampu menguasai 34% senilai Rp 9,8 triliun dari total konsumsi Rp 28,9

triliun.

Pada 2010 pangsa pasar produk lokal hanya berkisar 40% dengan

nilai Rp 12,7 triliun dari total omzet domestik yang menembus Rp 31,8

triliun. Sisanya dikuasai produk impor dan selundupan serta produk non-

standar dari RRT dengan harga lebih murah. Tak hanya itu, gairah produk

elektronik lokal yang mulai menunjukkan sinyal positif tersebut kembali

meredup pasca perjanjian kesepakatan perdagangan bebas Asean-China

(Asean-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada awal tahun lalu.

Pasalnya, produk elektronik lokal kalah bersaing dengan produk RRT.

Akibatnya, produk RRT mulai menguasai pasar domestik, sementara

produk lokal mulai terdesak. Pasar domestik yang menjadi tumpuan industri

lokal akan tergerus.

Sebaliknya, di Indonesia industri elektronik kurang mendapatkan

dukungan dari pemerintah untuk bisa tumbuh. Beberapa kebijakan

71

pemerintah malah cenderung memperberat kinerja industri nasional.

Misalnya, soal pencabutan capping tarif listrik bagi industri hingga beragam

kebijakan fiskal dan perpajakan, seperti tarif bea masuk untuk bahan baku

elektronik justru lebih tinggi daripada produk yang lebih hilir (produk rakitan/

semifinished dan produk jadi), dan pajak barang mewah (PPnBM) yang

masih tinggi. Kalau pun ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada

industri nasional, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)

Nomor 56 Tahun 2008 tentang pengetatan impor, dalam kenyataan masih

perlu dipertegas dan diperketat di lapangan.

Menurut catatan Gabel, industri elektronik merupakan primadona

ekspor kedua, dengan nilai ekspor mencapai sekitar US$ 8 miliar pada

2010. Selain memiliki potensi ekspor yang tinggi, industri elektronik juga

mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan mampu menyerap tenaga

kerja yang banyak.

Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah

untuk mendorong dan meningkatkan daya saing produk elektronik nasional

yaitu:

1. Pemerintah harus dapat memberi jaminan bahwa kurs Dollar tetap

stabil, tingkat suku bunga bank di dalam negeri harus ditekan agar

penjualan barang secara ritel dapat diberikan dengan harga yang

terjangkau. Ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan

daya beli masyarakat, khususnya menengah ke bawah.

2. Pemerintah harus memberikan kelonggaran pembayaran pajak dan

retribusi lainnya untuk dialokasikan ke pengembangan dan pembinaan

sumber daya manusia di internal perusahaan.

3. Bank harus mengutamakan penyaluran kredit ke perusahaan sektor riil

yang bisnisnya berkaitan dengan masyarakat luas (manufacturing dan

retail). Jika kurs dolar stabil dan pemerintah konsisten melaksanakan

Permendag No 56/2008 serta memperketat penyelundupan di setiap

pelabuhan, maka pelaku industri bisa tetap optimistis terhadap kondisi

pasar. Dengan begitu industri elektronik dalam negeri bisa terjaga dan

72

mengisi pasar dalam negeri. Dan industri konsumer elektronik (alat

rumah tangga) bisa menjadi basis produksi untuk diekspor.

4. Pastikan tidak ada penyelundupan di setiap pelabuhan-pelabuhan, dan

pastikan barang-barang yang beredar di pasaran ada pajaknya dan

setiap kemasan (kardus) dicantumkan nomor NPWP-nya.

5. Pemerintah harus memberikan bantuan untuk modal kerja yang

diperlukan untuk perluasan pabrik, ekspor maupun pembelian mesin-

mesin. Pemerintah juga harus memberi dukungan dalam hal pajak, dan

menganjurkan untuk impor peralatan mesin-mesin produksi elektronik

diberikan bebas bea masuk.

Saat ini, umumnya mesin-mesin yang digunakan para produsen

elektronik lokal masih menyewa, karena untuk membeli harganya mahal

sekali. Pembebasan bea masuk untuk mesin impor itu sejalan dengan

PMK 176/ 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin

Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan Atau Pengembangan

Industri dalam Rangka Penanaman Modal, hanya berlaku dalam rangka

penanaman modal, yakni penanaman modal asing (PMA) dan

penanaman modal dalam negeri (PMDN), seta perluasan usaha

sebesar 30% atau lebih.

6. Pemerintah harus membantu pengembangan pabrik komponen (suku

cadang), sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor terus menerus.

Kendati bervariasi, kebanyakan perusahaan elektronik Indonesia

memiliki kandungan impor di atas 60%. Tingginya kandungan impor ini

menunjukkan bahwa keterkaitan industri ini dengan industri

pendukungnya masih lemah. Karena memang komponennya tidak

diproduksi di dalam negeri. Industri komponen dan pendukung

elektronik merupakan titik lemah dalam industri ini dan perlu

ditingkatkan di masa mendatang.

Tentunya, kalau pabrik komponen ini mau dibangun di Indonesia mesti

mencari investor yang bersedia berinvestasi untuk membangun pabrik

komponen. Di sini, pemerintah mesti berperan dan mendukung

73

masuknya pemodal. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban

memproteksi sehingga mereka merasa betah dan nyaman berinvestasi

di Indonesia.

7. Pemerintah harus mempercepat implementasi Standar Nasional

Indonesia (SNI) bagi semua produk elektronik. Pentingnya segera

penerapan SNI adalah untuk membendung impor produk tidak

berstandar dan kualitas rendah. Mengingat kasus-kasus beredarnya

produk non-standar sampai saat ini belum terselesaikan.

8. Pemerintah juga bisa mendukung perkembangan industri elektronik

dengan menciptakan budaya kerja profesional, menghilangkan budaya

pungli (pungutan liar), dan sikap-sikap yang menghambat iklim investasi

lainnya.

9. Pemerintah juga diharapkan turut membantu membangun merek

nasional dalam bentuk mempromosikan brand, sehingga merek

nasional tersebut bisa lebih terkenal dan citranya meningkat. Dengan

begitu, merek nasional juga bisa bersaing dengan merek-merek

internasional dan penjualan meningkat. Jika merek nasional sudah

terkenal di pasar internasional, ada dua dampak positif yang bisa diraih:

bisa ekspor dan merek nasional bisa berkibar di negara lain, serta

ekspansi untuk investasi pabrikan suku cadang.

10. Seperti banyak diusulkan kalangan pelaku bisnis dan lembaga terkait

(Gabel), pemerintah harus segera menurunkan dan menghapus PPn-

BM terhadap tujuh produk elektronik rumah tangga. Pentingnya

pengurangan atau penghapusan pajak PPnBM ini agar harga elektronik

lebih terjangkau. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara di

Asean yang mengenakan PPnBM hingga 20%. Padahal, Malaysia,

Singapura, dan Filipina telah menghapuskan seluruh PPnBM untuk AC,

lemari es, mesin cuci, dan televisi. Thailand hanya mengenakan PPnBM

untuk produk AC, itu pun tak lebih dari 15%.

74

Gambar 4.1. Neraca Perdagangan Produk Elektronika

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Untuk industri makanan dan minuman, neraca perdagangan untuk

industri ini senantiasa surplus sejak tahun 2007 sampai tahun 2011. Sejak

tahun 2007, ekspor akan makanan dan minuman senantiasa lebih besar

daripada impornya. Disini terlihat sebelum maupun sesudah adanya

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 56/2008 yang direvisi

dengan Permendag No 57/2010, impor akan makanan dan minuman lebih

kecil dari ekspor.

75

Gambar 4.2. Neraca Perdagangan Produk Makanan dan Minuman

-

500,00

1.000,00

1.500,00

2.000,00

2.500,00

3.000,00

2007 2008 2009 2010 2011

Juta

USD

ekspor impor neraca

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

4.3. Kondisi Produk Hortikultura

Produk hortikultura yang akan dibahas dalam kajian ini terbagi atas 3

kelompok yaitu buah-buahan, tanaman sayuran dan tanaman hias.

Kelompok buah-buahan terdiri dari Durian, Jeruk, Mangga, Nanas, Pepaya,

Pisang, Anggur, Apel, Melon dan Lengkeng. Adapun untuk sayuran terdiri

dari Bawang Merah, Bawang Putih, Kubis, Cabe Besar, Cabe rawit,

Kentang dan Wortel serta untuk kelompok tanaman hias terdiri dari

Anggrek, Krisan dan Heleconia.

Total areal hortikultura di Indonesia untuk komoditas buah-buahan

dan sayuran segar yang tercakup dalam Permentan No.89 Tahun 2012

yang diperbaharui dengan Permentan No 42 Tahun 2012, mencapai

876.860 ha. Diantara kelompok tanaman tersebut, tanaman sayuran

merupakan tanaman yang memiliki areal panen terluas yang pada tahun

2010 mencapai areal seluas 509.766 ha, kemudian diikuti oleh tanaman

buah-buahan seluas 367.094 ha (Tabel 4.4). Perkembangan areal panen

76

komoditas tersebut selama periode 2006-2010 mengalami sedikit

penurunan sebesar 0,1% per tahun. Kelompok komoditas sayuran

mengalami peningkatan sebesar 4,12% per tahun, sementara komoditas

buah-buahan mengalami penurunan areal panen sebesar 4,28% per tahun.

Komoditas buah-buahan yang mengalami penurunan areal yang cukup

signifikan adalah nanas, mangga dan jeruk.

Tabel 4.4. Perkembangan Luas Panen Komoditas Hortikultura Lingkup Permentan No.89 Tahun 2012

2006 2007 2008 2009 2010

A. Buah-buahan

Durian 48.212,0 47.674,0 56.655,0 61.849,0 46.290,0 -1,00

Jeruk 72.390,0 67.592,0 68.673,0 60.190,0 57.083,0 -5,29

Mangga 195.503,0 203.997,0 190.793,0 215.387,0 131.674,0 -8,16

Nanas 21.368,0 18.957,0 14.271,0 12.611,0 12.141,0 -10,80

Pepaya 8.021,0 7.984,0 9.388,0 9.571,0 9.225,0 3,75

Pisang 94.144,0 98.143,0 107.791,0 119.018,0 101.276,0 1,89

Anggur 0,0 0,0 400,0 258,0 205,0

Apel 0,0 0,0 2.751,0 3.089,0 3.828,0

Melon 3.189,0 3.637,0 3.109,0 4.859,0 5.372,0 17,11

Total Buah-buahan 442.827,0 447.984,0 453.831,0 486.832,0 367.094,0 -4,28

B. Tanaman Sayuran

Bawang Merah 89.188,0 93.694,0 91.339,0 104.009,0 109.634,0 5,73

Bawang Putih 3.107,0 2.690,0 1.922,0 2.293,0 1.816,0 -10,39

Kubis 57.732,0 60.711,0 61.540,0 67.793,0 67.531,0 4,24

Cabe Besar 113.079,0 107.362,0 109.178,0 117.178,0 122.755,0 2,14

Cabe Rawit 91.668,0 96.686,0 102.388,0 116.726,0 114.350,0 6,19

Kentang 59.748,0 62.375,0 64.151,0 71.238,0 66.531,0 2,84

Wortel 23.069,0 23.695,0 24.640,0 24.095,0 27.149,0 4,42

Total Sayuran 437.591,0 447.213,0 455.158,0 503.332,0 509.766,0 4,12

Total A + B 880.418,0 895.197,0 908.989,0 990.164,0 876.860,0 -0,10

Produk HortikulturaLuas Panen (Ha) Perkembangan

(% per tahun)

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

77

Dari sisi produksi untuk produk hortikultura lingkup Permentan No 89

Tahun 2012, walau areal panen tanaman buah-buahan lebih kecil

dibandingkan dengan areal panen sayuran, namun produksinya memiliki

kontribusi terbesar yang pada tahun 2010 mencapai produksi sebesar 12

juta ton. Produksi sayuran pada tahun 2010 hanya mencapai 6,6 juta ton

(Tabel 4.5). Dari aspek perkembangan produksinya, selama periode 2006-

2010 cenderung sedikit meningkat sebesar 0,8% per tahun. Produksi

sayuran yang cenderung meningkat significant sebesar 3% per tahun

sejalan dengan adanya peningkatan areal panen. Di lain pihak, produksi

buah-buahan cenderung menurun sebesar minus 0,3% per tahun karena

adanya penurunan areal panennya yang cukup significant.

Wilayah sentra produksi dari komoditi hortikultura lingkup Permentan

No.89 Tahun 2012 terpusat di Propinsi Jawa Timur sebagai sentra

produksi terbesar dengan kontribusi produksi sebesar 3 juta ton, disusul

oleh Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 2,8 juta ton dan Sumatera

Utara dengan kontribusi produksi sebesar 2 juta ton (Tabel 4.6).

78

Tabel 4.5. Perkembangan Produksi Produk Hortikultura Lingkup Permentan No.89 Tahun 2012

2006 2007 2008 2009 2010

A. Buah-buahan

Durian 747,8 594,8 682,3 797,8 492,1 -8,5

Jeruk 2.565,5 2.625,9 2.467,6 2.131,8 2.028,9 -5,2

Mangga 1.622,0 1.818,6 2.105,1 2.243,4 1.287,3 -5,2

Nanas 1.427,8 2.237,9 1.433,1 1.558,2 1.406,4 -0,4

Pepaya 643,5 621,5 717,9 772,8 675,8 1,3

Pisang 5.037,5 5.454,2 6.004,6 6.373,5 5.755,1 3,6

Anggur 0,0 0,0 22,0 9,5 11,7 -23,4

Apel 0,0 0,0 160,8 262,0 190,6 9,3

Melon 55,4 59,8 56,9 85,9 85,2 13,5

Total A 12.099 13.413 13.650 14.235 11.933 -0,3

B. Tanaman Sayuran

Bawang Merah 794,9 802,8 853,6 965,2 1.048,9 8,0

Bawang Putih 21,1 17,3 12,3 15,4 12,3 -10,4

Kubis 1.267,7 1.288,7 1.323,7 1.358,1 1.385,0 2,3

Cabe 1.185,1 1.128,8 1.153,1 1.378,7 1.328,9 3,0

Kentang 1.011,9 1.003,7 1.071,5 1.176,3 1.060,8 1,2

Wortel 391,4 350,2 367,1 358,0 403,8 0,8

Total B 5.857,1 5.720 5.934 6.630 6.569 3,0

Total A + B 17.957 19.133 19.585 20.865 18.502 0,8

Jenis HortikulturaProduksi (Ribu Ton) Pertumbuhan

(%/th)

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

79

Tabel 4.6. Produksi Produk Hortikultura Lingkup Permentan No 89 Tahun

2012 di Beberapa Sentra Produksi

2008 1.941.315 3.592.881 3.475.280 268.203 501.023 15.468

2009 1.892.090 3.605.025 3.657.091 303.854 530.029 20.157

2010 2.006.910 2.969.271 2.793.967 295.144 459.629 27.061

Riau (Ton)

Perkembangan

(%/tahun)3,4 -17,4 -19,6 10,0 -8,3 74,9

Tahun Sumut (Ton) Jatim (Ton) Jabar (Ton) Sulut (Ton) Sulsel (Ton)

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Dari aspek perdagangan, sampai dengan tahun 2011, neraca

perdagangan hortikultura Indonesia (gambar 4.3) masih mengalami defisit

secara total sebesar USD 1.400 juta. Defisit neraca perdagangan tersebut

terus meningkat pesat selama periode 2006-2011. Produk hortikultura

yang mengalami defisit neraca perdagangan yang terbesar adalah produk

buah-buahan (Gambar 4.4) kemudian diikuti oleh produk sayuran (Gambar

4.5). Dengan demikian, sangat diperlukan upaya untuk dapat mensubtitusi

produk-produk hortikultura impor tersebut dengan produk-produk

hortikultura lokal yang pada tahap awal melalui kebijakan proteksi terlebih

dahulu simultan dengan upaya peningkatan daya saing produk-produk

hortikultura lokal.

80

Gambar 4.3. Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia

-102,9-81,5

-200,1

-363,3

-250,3

-474,7

-522,4

-625,9

-87,1 -82,0

-148,4

-205,0

-260,7 -245,5

-408,0

-581,6

6,6 7,6 9,8 4,9 6,4 7,0 7,3 10,59,8 6,9 6,6 5,5 8,9 10,816,5

-3,9

-700

-600

-500

-400

-300

-200

-100

0

100

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ju

ta

US

$Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia

BUAH-BUAHAN

SAYURAN

TANAMAN HIAS

TANAMAN OBAT

Sumber : Kementerian Pertanian (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Gambar 4.4.

Perkembangan Ekspor Impor Produk Buah-Buahan

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

81

Gambar 4.5. Perkembangan Ekspor Impor Produk Sayuran

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

4.4. Kondisi Daerah Yang Menjadi dan Diusulkan Sebagai Pintu Masuk

Impor Produk Tertentu

4.4.1. Bitung – Manado

Pelabuhan Bitung terletak di Propinsi Sulawesi Utara, dimana

komoditi yang banyak diimpor oleh Propinsi Sulawesi Utara adalah Jeruk,

Apel, Sayuran dalam hal ini Wortel. Disamping mengimpor, Sulawesi Utara

juga merupakan sentra produksi untuk sayuran serta buah dan saat ini

tengah dikembangkan produksi kentang dan wortel organik agar dapat

bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Selama ini produk

sayuran yang diproduksi dari Sulut telah dikirim ke Papua dan Maluku.

Produk ekspor utama dari Sulawesi Utara adalah produk perikanan

dalam hal ini ikan beku, ikan kaleng, kelapa sawit dan turunannya, minyak

tepung kopra, bungkil kopra, serta rumah kayu.

Saat ini, Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut telah memiliki

laboratorium untuk pemeriksaan residu dan pestisida. Badan Karantina

Bitung juga telah memiliki laboratorium untuk pemeriksaan buah dan

82

sayuran impor, tetapi sumber daya manusia sedang dalam masa training.

BPOM Sulut juga telah memiliki laboratorium yang terakriditasi KAN yang

dapat memeriksa pestisida, logam berat, flatoksin namun untuk

pemeriksaan flatoksin, masih menunggu pengadaan alat.

Sesuai UU Pelayaran, dengan menganut asas cabotage, hanya

pelabuhan tertentu yang dapat sebagai pelabuhan impor. Untuk

mengembangkan pelayaran nasional, untuk pelayaran antar pulau harus

menggunakan armada nasional. Berdasarkan asas tersebut pelabuhan

yang melayani rute internasional, telah ditetapkan 2 pintu utama yaitu hub

Bitung dan hub Kuala Tanjung.

Sesuai master plan, pengembangan pelabuhan Bitung, panjang

dermaga Bitung akan mencapai 2000 meter. Saat ini panjang dermaga

Bitung 350 meter yang dapat menampung 2 kapal. Sedang dalam

pengerjaan perluasan dermaga sehingga dapat menampung 3 kapal.

Panjang dermaga untuk konvensional (multi purpose) sepanjang 800 meter.

DiBitung sudah ada fasilitas plug in untuk river container. Secara

keseluruhan, kemampuan pelabuhan Bitung untuk bongkar muat selama

ini cukup bagus. Permasalahan yang ada saat ini adalah jalanan yang

macet dari Bitung ke Manado dan pasokan listrik.

Kriteria pelabuhan impor menurut para narasumber di Sulawesi

Utara adalah : (a). kesiapan sumber daya manusia, (b). tempat

penimbunan dan fasilitas pelabuhan termasuk kesiapan alat (c).

kemudahan akses container menuju pelabuhan Bitung (d). resiko

pelayanan dan pengawasan, serta (e). dukungan kelistrikan.

Baik pelaku usaha maupun instansi pemerintah dan swasta setuju

jika Bitung dijadikan sebagai pintu masuk impor baik untuk produk industri

maupun hortikultura. Hal ini dikarenakan posisi Bitung yang strategis dalam

arus lalu lintas kapal, prasarana fisik dan non fisik yang siap. Jika masih

ada kekurangan fasilitas, dapat dikembangkan sejalan dengan

berkembangnya arus barang yang masuk dan keluar Bitung.

83

4.4.2. Surabaya

Jawa Timur merupakan sentra produksi hortikultura dimana di Jawa

Timur terkenal sebagai penghasil Apel, Mangga, Pepaya, Jeruk, Cabai,

Tomat, Kentang dan Bawang Merah serta Anggrek. Dimana 30 persen

kebutuhan akan produk hortikultura Indonesia di supply dari Jawa Timur.

Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan utama di Jawa Timur

untuk kegiatan ekspor dan impor memiliki sarana dan prasarana fasilitas

pelabuhan cukup baik dan sangat representative tetapi sudah sangat

overload. Sehingga waktu tunggu untuk bongkar barang saat ini

memerlukan waktu selama 6 hari karena cukup ramainya proses bongkar

muat di pelabuhan tersebut. Jika pelabuhan Tanjung Perak ditetapkan

sebagai salah satu pintu masuk impor khususnya untuk produk hortikultura,

diperlukan pengembangan areal minimal untuk karantina dan plug untuk

river container walaupun saat ini fasilitas plug river cukup banyak.

Saat ini, pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak, diarahkan ke

Madura. Selain Madura, pengembangan juga diarahkan ke ke Teluk

Lamong dan Kali Miren Gresik. Rencana pengembangan tersebut harus

ditunjang dengan pembuatan tol laut dan pengerukan kedalaman laut, dan

jalur kereta api. Pengembangan pelabuhan saat ini ke arah Teluk Lamong

dimana telah dilakukan penambahan 50 Ha dari 350 Ha yang

direncanakan. Pengembangan ke arah Madura dilakukan oleh pihak

swasta, namun terdapat hambatan yaitu mengenai pasokan listrik dan

bagaimana mengatur sentra industri karena akan menimbulkan tambahan

biaya jika memindahkan sentra industri yang sudah ada ke Madura dan

adanya penolakan dari masyarakat Madura.

Pelabuhan alternatif selain Tanjung Perak di Jawa Timur adalah

Pelabuhan Banyuwangi dan Pelabuhan Probolinggo. Pelabuhan

Banyuwangi merupakan pelabuhan internasional tetapi selama ini belum

dimanfaatkan dengan baik. Untuk Pelabuhan Probolinggo, . kedalamannya

cukup sehingga dapat dijadikan sebagai pelabuhan impor tetapi

sendimentasi di pelabuhan Probolinggo tinggi, harus memutar sehingga

84

menambah biaya dan interland kurang mendukung walau sudah ada

pembangunan dermaga tetapi pengoperasiannya belum diserahkan ke

Pelindo. Sejak ditetapkan menjadi pelabuhan internasional pada tahun

2007, tidak ada muatan balik dari Probolinggo.

Selama ini, untuk impor produk hortikultura melalui jalur merah

dimana harus ada surat pemeriksaan barang dari Karantina, kemudian

barang dapat dibongkar. Dengan adanya penunjukan Pelabuhan Tanjung

Perak sebagai salah satu pelabuhan sebagai pintu masuk impor produk

hortikultura, Gubenur jawa Timur mengeluarkan peraturan Gubenur Jawa

Timur No 22 tahun 2012 tentang pengendalian impor produk hortikultura,

dimana impor hortikultura ke Jawa Timur dapat dilakukan diluar masa

panen petani di Jawa Timur dan jenis produk hortikultura yang

diperbolehkan untuk diimpor adalah yang tidak dihasilkan oleh petani di

Jawa Timur dan harus produk yang berkualitas atau hasil panen baru dari

negara asal.

Terkait dengan adanya peraturan Gubernur tersebut, terdapat

wacana bahwa buah dan sayur impor harus dibawa ke sentral agro untuk

memudahkan pengawasan dan bahwa kebijakan mengenai impor buah dan

sayur adalah melalui kuota dimana impor tidak boleh melebihi produksi

buah lokal. Disamping itu bisa juga melalui kebijakan bahwa buah impor

yang dibongkar di tanjung Perak tidak boleh untuk konsumsi di Jawa Timur,

untuk pengawasannya bisa memanfaatkan jembatan timbang yang ada.

Importir buah dan sayur serta makanan dan minuman

mengharapkan pelabuhan impor tidak dipindahkan jauh dari Jawa Timur

karena akan menambah biaya. Disisi lain petani mengharapkan impor

jangan didekatkan dengan sentra produksi.

85

4.4.3. Medan

Pelabuhan Belawan di bawah PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I)

melayani bongkar muat untuk kegiatan perdagangan domestik maupun

internasional. Untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan

internasional, Pelabuhan Belawan tidak dapat dikembangkan karena

memiliki keterbatasan ruang dan terjadi pendangkalan alur pelayaran.

Pendangkalan yang terjadi disebabkan oleh letak pelabuhan yang berada

diantara dua sungai sehingga terjadi sedimentasi didasar laut. Rata-rata

kedalaman laut di dermaga mencapai 9 meter, jauh dari kondisi ideal

kedalaman pelabuhan internasional yang mencapai 12 meter. Pelindo I

setiap tahun mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk pengerukan

laut. Akibatnya, operasional pelabuhan tidak dapat tercapai secara

maksimal.

Di masa depan, Pemerintah Pusat dan Daerah serta Pelindo I

berencana untuk mengembangkan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan

internasional yang baru. Rencana pengembangan tersebut telah tertuang

dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia (MP3EI). Kuala Tanjung memiliki letak yang sangat strategis dan

kedalaman laut yang dimiliki telah secara alami terbentuk sehingga tidak

membutuhkan biaya yang besar untuk pengerukan. Pelabuhan Kuala

Tanjung diproyeksikan akan menjadi pelabuhan ekspor produk CPO dan

akan terintergrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus Semangke yang akan

menjadi kluster industri pengolahan kelapa sawit di masa yang akan

datang.

Balai Besar Karantina Pertanian Belawan bertanggung jawab untuk

memeriksa setiap barang hasil pertanian yang memasuki wilayah pabean

negara Republik Indonesia. Pemeriksaan dilakukan agar organisme

pengganggu tanaman yang berasal dari negara lain dan terbawa oleh

produk impor dapat dicegah penyebarannya. Sampai saat ini, Balai

Karantina Belawan telah melakukan sosialisai terkait kebijakan impor

produk Hortikultura, antara lain Permentan Nomor 88 tahun 2011 tentang

86

Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran

Pangan Segar Asal Tumbuhan, Permentan Nomor 15 Tahun 2012 dan

Permentan Nomor 16 Tahun 2012 tentang Perubahan Permentan Nomor

42 Tahun 2011 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan

Buah Segar Sayuran Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia,

Permentan Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan

untuk Pemasukan Sayuran Umbi Lapis ke Dalam Wilayah Negara Republik

Indonesia.

Pihak Balai Karantina Pertanian Belawan merasa siap untuk

melaksanakan kebijakan impor produk Hortikultura tersebut. Keberadaan

fasilitas dan sumber daya manusia yang ada dirasakan cukup untuk

mendukung aktifitas karantina tumbuhan. Fasilitas yang dimiliki oleh Balai

Karantina Pertanian Belawan antara lain instalasi karantina pertanian,

tempat penampungan container sementara, tempat penahanan container,

laboratorium, alat berat seperti reach tracker, foorklif dan trucking.

Sementara itu, jumlah sumber daya manusia yang ada saat ini berjumlah

155 orang. Sedangkan laboratorium yang tersedia yakni Gas

Chromatography Mass Spectometry untuk menguji residu pestisida, High

Performance Liquid Chromatography untuk menguji residu pestisida dan

carbamat, Atomic Absorption Spectrophometer untuk menguji logam berat,

Flurometer untuk menguji aflatoksin, dan Ruang Asam untuk preparasi

bahan laboratorium.

Untuk mensinergikan kebijakan yang ada dengan instansi terkait

lainnya, Balai Karantina Pertanian Belawan telah berkoordinasi dengan

pihak Pemerintah daerah propinsi/kota, Bea dan Cukai Belawan, Polri,

Kejaksaan, dan Pelindo I. Pertemuan-pertemuan dan pembahasan teknis

telah dilakukan secara berkala dengan berbagai pihak terkait. Kantor Bea

dan Cukai Belawan akan melaksanakan kebijakan impor produk tertentu

pada saat kebijakan ini diterapkan pada bulan September 2012. Ketika

kebijakan tersebut dicantumkan dalam Indonesia National Single Window

(INSW), Bea dan Cukai sebagai ujung tombak bagi kegiatan importasi akan

87

memeriksa setiap kelengkapan administrasi yang disyaratkan. Untuk itu,

Bea dan Cukai akan bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian dan

Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk teknis pelaksanaan di

lapangan.

Khusus mengenai fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Belawan,

hingga saat ini fasilitas pelabuhan di Sumatera Utara tersebut terus

dilakukan peningkatan dan pembenahan. Panjang dermaga yang ada saat

ini tidak dapat dikembangkan mengingat keterbatasan lahan yang ada.

Disamping itu, setiap tahun Pelabuhan Belawan mengalami pendangkalan

akibat posisi pelabuhan yang berada diantara dua sungai. Untuk itu, perlu

alternatif pelabuhan diluar Pelabuhan Belawan sebagai pintu masuk

kegiatan ekspor dan impor di Propinsi Sumatera Utara.

4.4.4. Makassar

Impor melalui pelabuhan Sukarno Hatta Makassar hampir jarang

terjadi. Selama ini tidak ada impor langsung ke pelabuhan makassar.

Impor yang ada adalah impor barang modal dan impor gandum. Pada

tahun 2012, ada impor bawang merah dan impor bawang putih, melalui

Surabaya tetapi pemeriksaan bea cukai dan karantina di Makassar. Selama

ini impor langsung yang melalui Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar

adalah impor gandum, impor pupuk, dan besi baja. Impor banyak dilakukan

melalui Jakarta dan Surabaya sehingga proses pemeriksaan dilakukan di

Jakarta atau Surabaya. Hal ini dikarenakan jika langsung impor ke

Makassar, biaya pengangkutan lebih mahal karena container kembali dari

Makassar kosong dan tidak ada direct shipment ke Makassar. Eksportir dari

luar negeri tidak mau pengiriman langsung ke Makassar. Dipelabuhan

Soekarno Hatta Makassar telah ada fasilitas gudang penimbunan

sementara, sudah ada plug in untuk container refer tetapi belum ada

gudang limbah B3. Masalah listrik juga tidak terkendala karena telah ada

supply yang cukup dari PLTU Supa dan ada genset.

88

Di Pelabuhan Sukarno Hatta Makassar belum ada instalasi

karantina, selama ini pemeriksaan dilakukan di laboratorium di luar

pelabuhan. Waktu pemeriksaan paling cepat 1 minggu karena ada sample

untuk pengujian PSAT (pangan segar asal tumbuhan) yang harus diperiksa

ke Jakarta. Disamping laboratorium Unit Pelayanan Teknis Karantina

Kermenterian Pertanian, BPOM Makassar juga sudah bisa memeriksa

tetapi importir lebih suka diperiksa di Jakarta sebagai pembanding.

Pengalihan pelabuhan bongkar dari Tanjung Priok Jakarta ke

Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, mengakibatkan waktu bongkar bisa

mencapai 15 hari sampai di Makassar. Disamping itu, selama ini jika

melalui Jakarta jauh lebih cepat proses bongkarnya. Jika impor langsung ke

Makassar, alurnya lebih cepat tetapi investasi di infrastruktur mahal. Telah

mencoba untuk masuknya direct call ke makassar tetapi belum berhasil

karena imbalan cargo atau muatan baliknya tidak banyak dan biaya logistik

di Makassar mahal karena banyaknya retribusi.

Untuk menggerakkan impor melalui Pelabuhan Makssar diperlukan

peran kadin agar eksportir dan importir bisa bekerjsama untuk konsolidasi

cargo.

4.4.5. Batam

Batam merupakan pusat industri manufaktur dan elektronik. Sesuai

dengan hal itu impor bahan baku penolong yang paling besar adalah

spareparts untuk kedua industri tersebut. Untuk industri makanan dan

minuman memang belum berkembang sehingga jika impor buah dan sayur

semata-mata hanyalah untuk konsumsi domestik dan produk yang tidak

tesedia di Batam. Batam memiliki pelabuhan resmi sebanyak 21 pelabuhan

(termasuk yang berdasar pada PP 10/2012 sebagai pengganti PP 2/2009.

Pelabuhan bertaraf internasional contohnya Harbour Bay, Nongsapura, dan

Batam Center. Fasilitas yang diberikan oleh BP Pelabuhan Batam berupa

dermaga, gudang kelas 1, crane dan lapangan container.

89

Untuk meningkatkan aktifitas ekspor dan impor di Batam, BP

Pelabuhan sudah memiliki masterplan yaitu berupa pengembangan

infrastruktur pelabuhan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil agar menjadi

lebih besar kapasitasnya.

Pengawasan ekspor dan impor di Batam masih sulit dilaksanakan

karena tingkat kebocoran kegiatan impor masih tinggi. Hal ini terkait masih

banyaknya kegiatan di pelabuhan illegal (sebanyak 42 buah) sedangkan

yang resmi hanya 4 buah (Sekupang, Batuampar, Kabil, dan Bandara Hang

Nadim). Kasus yang pernah terjadi adalah impor gula yang berasal dari

Singapura yang ternyata dilakukan oleh INKOPAD.

Balai Karantina taat menjalankan aturan terkait penundaan larangan

sayur dan buah impor selama 30 hari. Khususnya pasca keluarnya

PerMenDag No.60 yang merupakan revisi dari PerMenDag No. 30/M-

DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Namun

tetap melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap penyakit dan

keamanan pangan terhadap produk yang masuk ke Batam.

Balai Karantina dalam kegiatan pemeriksaan dan pengawasan

terhadap penyakit dan keamanan pangan di Batam hanya mengawasi 10

pintu pelabuhan dari 42 pintu yang disebutkan Dewan Kawasan Batam.

Sehingga dari perbandingan tersebut, kinerja dari Balai Karantina masih

perlu ditingkatkan mulai dari jumlah SDM serta infrastruktur penunjang.

Barang impor yang datang kemudian dikeluarkan ke gudang untuk

kemudian diperiksa oleh Balai Karantina sesuai prosedur. Laboratorium

pengujian yang bekerjasama masih berasal dari swasta (Bogor dan

Surabaya), hal ini karena 12 laboratorium yang dimiliki pemerintah belum

ada yang menyaingi. Mereka mengharapkan agar efisiensi waktu dan

biaya, laboratorium industri BP Batam bisa dijadikan solusi laboratorium.

pengujian.

Perlunya pengembangan infrastruktur pelabuhan Batu Ampar agar

kinerja sebagai pelabuhan impor bisa semakin baik. Permasalahan yang

harus segera dibenahi bila dijadikan pelabuhan impor tertentu adalah

90

infrastruktur (fasilitas dan transportasi), SDM, dan penegakan hukum.

Posisi daya saing produk lokal harus segera harus lebih baik, dengan cara

perbaikan kualitas dan kuantitas produk tersebut. Sehingga diharapkan

mampu bersaing dengan produk impor.

4.4.6. Mataram

PT. Pelabuhan Indonesia III (PERSERO) Cabang Lembar

merupakan feeder port yang bertugas menjamin kelancaran lalu lintas kapal

dan tempat berlabuh, pemanduan kapal, gudang-gudang, lapangan

penumpukan dan peralatan bongkar muat barang, menyediakan daya listrik

dan distribusi air minum di pelabuhan, khususnya untuk keperluan kapal

umum, pemadam kebakaran dan lain-lain dan sebagai Sistem Informasi

Pelabuhan. Selain itu dermaga yang ada saat ini lebih banyak untuk

kegiatan bertambat dan pelayanan bongkar muat barang dan hewan

(khususnya untuk perdagangan antar pulau) serta penyediaan fasilitas naik

turunnya penumpang, belum dimanfaatkan sebagai kegiatan ekspor dan

impor. Pelabuhan Lembar ini masih sangat potensial untuk dikembangkan

karena selain untuk pelabuhan penyeberangan juga digunakan sebagai

pelabuhan barang yang dari tahun ke tahun terjadi peningkatan arus

petikemas (teus), dari 392 teus di tahun 2009 menjadi 8.129 teus pada

tahun 2010.

Rencana pengembangan pelabuhan Lembar dimulai dengan

dibangunnya Packing Plant Indocement di wilayah yang berada di Daerah

Lingkungan Kerja (DLKR) Pelabuhan Lembar dengan kapasitas 250.000

ton pertahun dan juga dibangun untuk Docking Repair kapal-kapal dengan

Dead Weight Tonage (DWT) kapal rata-rata ukuran 1000 – 1500 TonDan

pada bulan Maret 2012 telah dibangun Ground Breaking Pembangunan

Silo dan Pabrik Pengepakan Semen Bosowa di Kawasan Pelabuhan

Lembar.

Produk impor yang masuk ke NTB lebih banyak berupa produk

pangan, salah satunya yang terbesar saat ini kedelai. Selama Januari-Juli,

91

jumlah kedelai impor yang masuk ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),

sudah mencapai 5.980 ton kedelai. Impor tersebut masuk melalui

Pelabuhan Lembar, namun terlebih dahulu melewati Pelabuhan Tanjung

Perak, Surabaya. Biasanya yang melakukan impor itu adalah distributor.

Namun selain melakukan impor, NTB juga menjual produk lokalnya ke luar

daerah seperti ke Kalimantan Selatan, NTT, Jawa Timur dan Sulawesi

Selatan.

Untuk pengembangan pelabuhan Lombok sebagai pelabuhan impor

dirasa saat ini belum sesuai karena dermaga yang dimiliki khususnya

untuk bongkar muat barang adalah panjangnya 262,50 m dan lebarnya

hanya 30 m. Selain itu, pelabuhan lembar masih memiliki kelemahan pada

kualitas infrastruktur dan produktivitas bongkar muatnya (waktu tunggu

untuk berlabuh jauh lebih lama ketimbang waktu untuk berlayar).

4.5. Kondisi Port of Rotterdam

Belanda memiliki 5 port/pelabuhan (Eemhaven, Harlingen,

Amsterdam, Rotterdam, Vlissingen) dan 2 airport (Schiphol dan Maastricht)

sebagai pintu masuk produk impor. Rotterdam merupakan pelabuhan

terbesar di Belanda dan juga terbaik di Eropa, merupakan pintu masuk

impor untuk semua jenis barang. Port ataupun airport yang lain hanya

sebagai pintu masuk impor produk tertentu karena adanya keterbatasan

fasilitas yang dimiliki sehingga tidak bisa sebagai pintu masuk impor

dengan kapasitas besar dan beragam jenis barang.

Kapasitas bongkar muat di pelabuhan Rotterdam mencapai 430 juta

ton per tahun, dapat menampung kapal sebanyak 34.895, dengan panjang

pelabuhan 40 Km dengan luas lahan mencapai 10.500 hektar, dimana 5

ribu hektar merupakan kawasan komersial, 3.500 hektar perairan dan 2 ribu

hektar adalah untuk jaringan kereta api, jalan dan ruang hijau. Untuk

menyewa lahan di Rotterdam diberikan masa sewa selama 25 tahun dan

dapat menyewa kembali selama 25 tahun. Saat ini sedang dilakukan

92

proses reklamasi diatas lahan seluas 2 ribu hektar yang akan

dipriorotaskan untuk terminal peti kemas dan industry kimia.

Pendapatan pelabuhan Rotterdam mencapai 551 juta Euro (Rp. 6,61

triliun) per tahun yang berasal dari pendapatan operasional dan

pendapatan kontrak. Pendapatan operasional diperoleh dari pemanfaatan

pelabuhan oleh perusahaan pelayaran dan pendapatan kontrak berasal dari

sewa lahan di wilayah pelabuhan.

Kebijakan dalam pemeriksaan barang impor yang ada di Belanda

sama dengan yang berlaku di Uni Eropa pada umumnya. Semua barang

yang masuk melalui Port Rotterdam harus melalui pemeriksaan oleh NVWA

untuk melihat kesesuaian dengan standard yang telah ditetapkan Uni

Eropa, walaupun barang tersebut tidak untuk tujuan Belanda dan

penyelesaian administrasi bea cukai dapat dilakukan di negara tujuan

barang tersebut. Di Belanda tidak ada kebijakan untuk membatasi impor

(free market) semua barang dapat masuk asalkan sesuai dengan standard

yang telah ditetapkan. Penerapan standard untuk produk yang masuk dari

luar Belanda juga berlaku untuk produk lokal yang diproduksi di Belanda.

Untuk produk lokal yang dihasilkan di Belanda, pemeriksaan akan

standard dilakukan mulai dari level produsen, industri manufaktur, tempat

menjual dan gudang. Pemeriksaan akan kesesuaian standard dilakukan

secara public private partnership, dimana para food base operator (FBO)

dapat memilih menggunakan standard yang telah mereka miiki atau

menggunakan guides to good practice yang diterbitkan oleh asosiasi dari

sektor industry. Pemerintah hanya memeriksa kesesuaian standard yang

digunakan dengan realita yang ada.

Pelabuhan Rotterdam memiliki laboratorium pemeriksaan untuk

menguji apakah barang yang masuk melalui pelabuhan tersebut telah

sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Pemeriksaan fisik

secara acak dilakukan khususnya untuk produk-produk veterinary dan

foodstuff. Ada beberapa produk seperti mainan anak, dimana Belanda telah

memiliki kesepakatan dengan negara eksportir, sehingga hasil uji dari

93

negara pengekspor dapat digunakan dan tidak dilakukan pengujian ulang.

Selama dilakukan pemeriksaan, container tetap berada di area pelabuhan

Rotterdam. Pemeriksaan ditekankan pada certificate of health, labeling dan

pemeriksaan fisik. Waktu pengujian antara 1-2 hari tetapi bisa juga sampai

1 minggu, dimana biaya uji tiap pelabuhan berbeda-beda dan biaya

pengujian dibebankan pada importir. Waktu uji bisa lebih cepat dengan

biaya yang lebih mahal. Biaya uji mencapai 200 – 1000 Euro.

Di pelabuhan Roterrdam telah dikembangkan sistem informasi berbasis

teknologi, yang dapat menghubungkan antara importir, import controller,

bagian pemeriksaan dan bea cukai, sehingga dapat ditelusuri keberadaan

barang dan dokumen atas barang tersebut.

Jika ada barang impor yang masuk dan tidak sesuai dengan

standard yang telah ditetapkan, maka kebijakan yang diambil adalah 1)

mengembalikan barang tersebut ke negara asal, 2) mengirimkan barang

tersebut ke negara lain atas permintaan importir dan ada surat persetujuan

dari negara tersebut, 3) menghancurkan barang tersebut, dengan biaya

ditanggung oleh importir, 4) untuk makanan bisa dialihkan untuk makanan

hewan dan 5) membersihakn produk tersebut, missal untuk kacang, dicuci

dibersihkan dari kulitnya.

Fasilitas yang harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan impor adalah

harus ada investasi dan lahan yang cukup luas yang diperlukan untuk

tempat penyimpanan dan pemeriksaan dengan kondisi yang higienis,

peralatan yang memadai, system logistic yang bagus dan juga didukung

dengan bea cukai yang baik.

4.6. Kondisi Port of Singapore

Singapura memiliki 1 port/pelabuhan yang pada tahun 1972 hanya

memiliki 1 terminal, saat ini pada tahun 2012 memiliki 5 terminal yaitu

Tanjong Pagar, Keppel, Brani, Pasir Panjang 1, dan Pasir Panjang 2

sebagai pintu masuk produk impor, dengan 52 container berths dan 192

dermaga derek. Port of Singapore atau PSA Singapore adalah terminal

94

utama dari PSA International, salah satu kelompok pelabuhan global

terkemuka, dengan investasi di 29 proyek pelabuhan di 17 negara di Asia,

Eropa dan Amerika. Terpilih sebagai " Best Container Terminal (Asia)"

untuk yang ke-23 di Asian Freight & Supply Chain Awards tahun 2012 dan "

Port Operator Award " di Lloyd's List Awards, Asia untuk yang ke-11 kalinya

pada tahun 2011. PSA Singapore juga merupakan pusat transhipment

tersibuk di dunia dengan sekitar satu-tujuh dari jumlah laju data kontainer

dunia pengangkutan, dan 5% dari laju data kontainer global. Pada tahun

1972, port of Singapore hanya mampu menangani perpindahan sekitar 25

ribu kontainer tetapi pada tahun 2012 meningkat menjadi 29,4 milyar

kontainer, dengan jumlah karyawan lebih dari 800 orang.

Lima terminal di port of Singapore berdiri di area seluas 600 hektar

dengan panjang dermada 15,5 km, kedalaman maksimum pada pembatas

sedalam 16 meter dan jumlah crane sebanyak 192 buah, yang mampu

menampung 35 juta TEUs dan memiliki 52 dermaga container. Mobilitas di

port of Singapore sangat tinggi, setiap hari menangani pelayaran ke

amerika sebanyak 2 kali, ke Eropa 5 kali, ke Jepang 4 kali, ke kawasan

Asia Selatan 7 kali, ke kawasan Asia Tenggara 32 kali, dan ke Cina,

Hongkong, Taiwan sebanyak 13 kali, atau dengan kata lain port of

Singapore menawarkan koneksi ke 600 pelabuhan internasional.

PSA Singapore juga mengoperasikan terminal multi-tujuan (MPT)

yang terdiri dari Terminal Otomotif Pasir Panjang dan dermaga

Sembawang. MPT memiliki kapasitas untuk menangani lebih dari satu juta

kendaraan per tahun. Selain itu, dermaga Sembawang menyediakan

sejumlah pelabuhan yang terkait solusi logistik. Terminal Pasir Panjang

adalah terminal PSA yang paling maju. Hal ini dilengkapi dengan tempat

berlabuh hingga 16 meter dan dengan crane dermaga mampu mencapai 22

baris kontainer untuk menampung kapal-kapal terbesar di dunia Setiap

kontainer yang akan memasuki kawasan port of Singapore, dapat

menginformasikan melalui web site mengenai jenis barang, no kontainer,

no truck yang membawa kontainer, sehingga tidak terjadi kemacetan dan

95

petugas hanya mencocokkan informasi yang telah diinformasikan melalui

web site dengan yang nayta terlihat melalui cctv di pintu masuk port of

Singapore.

Di Singapura, tidak diatur menegenai kebijakan impor, kecuali untuk

produk alkohol. Setiap produk impor yang masuk khususnya produk

makanan harus memenuhi standard yang telah ditetapkan oleh Agri food

and vertinary authority. Setiap barang impor khususnya makanan yang

masuk melalui port of Singapore dan bukan barang transhipment akan

diperiksa oleh Agri food and vertinary authority. Secara umum ijin impor di

Singapore diberikan oleh Singapore Custom dan syarat-syarat untuk

melakukan impor dapat dilihat dari web site dan hal ini cukup efektif bagi

trader dan importir.

96

BAB V

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI

PINTU MASUK PRODUK TERTENTU

5.1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu Masuk Impor

Produk Hasil Industri dan Pertanian/hortikultura

Hasil analisis data tentang kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan

sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan hortikultura lengkap

dengan nilai kriteria, bobot dan tingkat prioritasnya disajikan pada Tabel

5.1. Kriteria utama (ranking 1) dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu

masuk tersebut adalah kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan. Kriteria berikutnya dengan prioritas kedua (ranking 2) adalah

kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Kriteria dengan prioritas ketiga

(ranking 3) adalah Fasilitas Pelabuhan Laut . Kriteria dengan prioritas ke

empat (ranking 4) adalah Proteksi terhadap Produk Lokal , dan prioritas

kelima (ranking 5) adalah Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Dari

hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,

Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)

secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi standar pada

kriteria prioritas pertama (Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua (Ketersediaan Sumberdaya

Manusia). Di lain pihak pada kriteria yang bukan top prioritas dengan

urutan prioritas ketiga (Fasilitas Pelabuhan Laut), keempat (Proteksi

terhadap Produk Lokal ) dan kelima (Wilayah Perairan untuk Pelabuhan

Laut) secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi

standar.

97

Tabel 5.1 Prioritas Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu Masuk Impor Produk Hasil Industri dan Hortikultura

Kriteria Utama Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

456 0,214185 1

Ketersediaan Sumber Daya Manusia

456 0,213984 2

Fasilitas Pelabuhan Laut 420 0,197141 3

Proteksi terhadap Produk Lokal 400 0,187705 4

Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut

398 0,186834 5

Terdapat enam sub kriteria yang menyusun kriteria Keamanan,

Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan. Uraian sub kriteria berdasarkan

prioritasnya dari kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

sebagai kriteria yang paling prioritas disajikan pada Tabel 4.2. Diantara sub

kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan tersebut ternyata

sub kriteria yang paling prioritas adalah keamanan, yang disusul oleh sub

kriteria kualitas pelayanan kepabeanan dan sub keriteria ketahanan

nasional masing-masing sebagai sub kriteria prioritas kedua dan ketiga.

Tabel 5.2. Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelabuhan

Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan

Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Keamanan 467 0,031307 1

Kualitas pelayanan kepabeanan 458 0,030837 2

Ketahanan nasional 460 0,030301 3

Kualitas pelayanan pengkarantinaan 458 0,030167 4

Pelayanan kepelabuhanan 24 jam 452 0,029899 5

Kualitas pelayanan pelayaran 446 0,030971 6

98

Selanjutnya, empat sub kriteria pada kriteria Sumberdaya Manusia

sebagai kriteria prioritas kedua disajikan pada Tabel 5.3. Pada kriteria ini,

sub kriteria yang yang paling prioritas adalah sub kriteria Ketersediaan

sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan.

Selanjutnya sub kriteria ketersediaan sumberdaya manusia pada bidang

kepabeanan (prioritas 2); bidang pelayaran (prioritas 3), bidang karantina

(prioritas 4).

Tabel 5.3 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada Kriteria Sumber Daya Manusia

Kriteria Sumberdaya Manusia Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Ketersediaan sumber daya manusia di

bidang teknis pengoperasian pelabuhan 458 0,053731 1

Ketersediaan sumber daya manusia di

bidang kepabeanan 457 0,053613 2

Ketersediaan sumber daya manusia di

bidang pelayaran 456 0,053496 3

Ketersediaan sumber daya manusia di

bidang karantina 453 0,053144 4

Dua puluh delapan sub kriteria pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut

lengkap dengan nilai, bobot dan prioritasnya disajikan pada Tabel 5.4.

Pada kriteria ini, sub kriteria yang yang paling prioritas mulai dari urutan

pertama hingga urutan ke lima berturut turut adalah dermaga; terminal peti

kemas; Fasilitas pemadaman kebakaran; Kepabeanan; dan Areal

pengembangan pelabuhan.

99

Tabel 5.4 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut

Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Dermaga 460 0,007709 1

Terminal peti kemas 457 0,007659 2

Fasilitas pemadaman kebakaran 443 0,007424 3

Kepabeanan 442 0,007408 4

Areal pengembangan pelabuhan 441 0,007391 5

Ketersediaan kapal pengangkut 439 0,007357 6

Gudang lini 1 439 0,007357 6

Laboratorium pengujian karantina 438 0,007341 7

Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) 437 0,007324 8

Ketersediaan transportasi penghubung 437 0,007324 8

Unit Pelaksana Teknis Karantina 437 0,007324 8

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi 437 0,007324 8

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah 436 0,007307 9

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage 434 0,007274 10

Lapangan penumpukan lini 1 429 0,007190 11

Jaringan jalan dan rel kereta api 429 0,007190 11

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah 415 0,006955 12

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan

Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP) 413 0,006922 13

Tempat tunggu kendaraan bermotor 409 0,006855 14

Kawasan perdagangan 407 0,006821 15

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya

dan Beracun (B3) 398 0,006670 16

Kawasan industry 395 0,006620 17

Kawasan perkantoran 392 0,006570 18

Fasilitas pos dan telekomunikasi 390 0,006536 19

Fasilitas bunker 389 0,006519 20

Terminal ro-ro 386 0,006469 21

Terminal penumpang 373 0,006251 22

Fasilitas pariwisata dan perhotelan 361 0,006050 23

100

Dua sub kriteria pada kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal lengkap

dengan nilai, bobot dan prioritasnya disajikan pada Tabel 5.5. Pada

kriteria ini, sub kriteria yang yang paling prioritas adalah Jarak terhadap

sentra produksi.

Tabel 5.5 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada Kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal

Proteksi terhadap Produk Lokal Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Jarak terhadap sentra produksi hortikultura 160 0,094118 1

Jarak terhadap sentra industri 158 0,092941 2

Terdapat empat belas sub kriteria pada kriteria Wilayah Perairan

untuk Pelabuhan Laut lengkap dengan nilai, bobot dan prioritasnya

disajikan pada Tabel 5.6. Pada kriteria ini, sub kriteria yang yang paling

prioritas urutan pertama hingga ke lima adalah (1) Alur pelayaran, (2)

Perairan tempat labuh, (3) Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan

olah gerak kapal, (4) Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka

panjang, dan (5) Perairan tempat alih muat kapal.

101

Tabel 5.6 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut

Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut Nilai Bobot Tingkat

Prioritas

Alur pelayaran 457 0,015318 1

Perairan tempat labuh 444 0,014882 2

Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah

gerak kapal 432 0,014480 3

Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka

panjang 431 0,014447 4

Perairan tempat alih muat kapal 428 0,014346 5

Perairan untuk kegiatan karantina 405 0,013508 6

Perairan alur penghubung intrapelabuhan 403 0,013575 7

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan

pemeliharaan kapal 393 0,013173 8

Perairan untuk kapal yang mengangkut

Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) 390 0,013072 9

Perairan untuk keperluan darurat 384 0,012871 10

Perairan untuk kapal pemerintah 382 0,012804 11

Perairan pandu 360 0,012067 12

Perairan untuk tempat uji coba kapal 355 0,011899 13

Perairan tempat kapal mati 310 0,010391 14

5.2. Hasil Penilaian Pelabuhan sebagai Pintu Masuk Impor Produk Industri

dan Hortikultura

Berdasarkan nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria

dalam pentuan kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan sebagai pintu

masuk impor produk industri dan hortikultura sebagaimana telah diuraikan

pada Sub Bab 5.1, dan hasil survey pada penilaian kinerja masing-masing

pelabuhan yang telah disurvey yaitu (1) Pelabuhan Bitung Manado, (2)

Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, (3) Pelabuhan Belawan, Medan, (4)

Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar, dan (5) Pelabuhan Batam, maka dapat

disusun penilaian masing-masing pelabuhan yang dapat dijadikan pintu

masuk impor sebagaimana disajikan pada Tabel 5.7.

102

Dari Tabel 5.7, nampak apabila dibadingkan dengan standar,

umumnya nilai pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi syarat

untuk dijadikan pintu masuk pelabuhan produk-produk hortikultura dan

industri. Apabila dilihat lebih detail, ternyata kelemahan terjadi pada kriteria

yang bukan top prioritas. Umumnya pada kriteria yang top prioritas yaitu

(1) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan; dan (2)

Ketersediaan Sumberdaya Manusia, umunya pelabuhan-pelabuhan

tersebut sudah memenuhi standar. Namun pada kriteria dengan prioritas

lainnya yaitu krieria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan;

kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan Kriteria Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut hasil penilaiannya masih berada di bawah standar.

Dengan program-program perbaikan tertentu pada beberapa kriteria yang

masih di bawah standar tersebut, pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat

dijadikan pintu masuk produk-produk tersebut. Perbaikan terutama harus

dilakukan untuk meningkatkan kinerja pada kriteria yang belum memenuhi

standar yaitu fasilitas pelabuhan laut, proteksi terhadap produk lokal, dan

wilayah perairan untuk pelabuhan laut.

Tabel 5.7. Hasil Penilaian Kriteria pada Pelabuhan Bitung, Tanjung Perak dan Tanjung Priok

KriteriaUtama

Bitung Tj Perak Belawan Soeta Makassar

Batam Standard

Ketersediaan SDM

0,66 0,66 0,66 0,66 0,64 0,64

Keamanan,ketahanan &

pelayaran pelabuhan

0,65 0,60 0,62 0,62 0,65 0,64

Fasilitaspelabuhan

laut

0,49 0,56 0,55 0,56 0,42 0,59

Proteksi terhadap

produk lokal

0,45 0,41 0,41 0,42 0,34 0,56

Wilayah perairan

untuk pelabuhan

laut

0,50 0,52 0,51 0,52 0,46 0,56

Total 2,76 2,75 2,76 2,79 2,52 2,99

103

5.2.1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

Apabila pelabuhan Tanjung Perak akan dijadikan pintu masuk impor

produk industri dan hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan.

Perbaikan yang perlu dilakukan berdasarkan prioritas (Tabel 8) adalah

pada kriteria (1) Proteksi terhadap Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan

untuk Pelabuhan Laut; (3) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan, dan (4) Fasilitas Pelabuhan Laut. Di lain pihak, kriteria

Ketersediaan Sumberdaya Manusia sudah sesuai standar. Untuk

memperbaiki proteksi terhadap produk lokal karena Jawa Timur

merupakan sentra produksi produk-produk hortikultura, maka Peraturan

Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk

Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim

diperkirakan akan sangat efektif untuk meningkatkan kinerja kriteria

Proteksi terhadap Produk Lokal di Pelabuhan Tanjung Perak. Pergub

tersebut akan sangat tergantung pada kumunikasi antara Gubernur Jatim

dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang waktu,

jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim.

Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam

memberikan rekomendasi kepada Menteri Perdagangan.

Tabel 5.8. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Tanjung Perak untuk Dijadikan sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura

Kriteria Utama Tj Perak Standard Perbedaan dengan nilai

Standar

Prioritas Perbaikan

Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,015 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & pelayaran pelabuhan

0,60 0,64 - 0,036 3

Fasilitas pelabuhan laut 0,56 0,59 - 0,035 4

Proteksi terhadap produk lokal

0,41 0,56 - 0,154 1

Wilayah perairan untuk pelabuhan laut

0,52 0,56 - 0,042 2

104

Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah

perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub

kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki

nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.9. Khusus untuk sub

kriteria Alur Pelayaran; Perairan untuk Kegiatan Karantina; dan Perairan

alur penghubung intrapelabuhan dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.9 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak

Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut

Perbedaan Nilai

dg Standar

Perairan tempat labuh -0,00087543

Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,00271503

Perairan tempat alih muat kapal -0,00253166

Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan

Beracun (B3)

-0,00571915

Perairan pandu -0,00075417

Perairan untuk kapal pemerintah -0,00240079

Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,00902914

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,00411653

Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,00371850

Perairan tempat kapal mati -0,00324714

Perairan untuk keperluan darurat -0,00724007

Perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di Pelabuhan

Tanjung Perak adalah perbaikan pada kriteria Keamanan, Ketahanan, dan

Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub

kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel

5.10.

105

Tabel 5.10 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Perak

Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

Kekurangan

Nilai dari

Standar

Keamanan

-0,00184156

Ketahanan nasional

-0,00578199

Pelayanan kepelabuhanan 24 jam

-0,00378762

Kualitas pelayanan

-0,01064714

Kualitas pelayanan pelayaran

-0,00747469

Kualitas pelayanan kepabeanan

-0,00364369

Kualitas pelayanan pengkarantinaan

-0,00361214

Selanjutnya perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan

adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang

harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif

sebagaimana disajikan pada Tabel 5.11 Khusus untuk sub kriteria

Dermaga; Gudang lini 1; Terminal penumpang ; Terminal peti kemas ; dan

Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.11 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak.

Fasilitas Pelabuhan Laut

Kekurangan Nilai

Lapangan penumpukan lini 1 -0,00095864

Terminal ro-ro -0,00149288

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,00267506

Fasilitas bunker -0,00162985

Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00053032

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) -0,00205238

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan

Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)

-0,00106487

Kawasan perkantoran -0,00093853

Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,00093374

106

Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,00121003

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,00146477

Jaringan jalan dan rel kereta api -0,00335523

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,00292284

Areal pengembangan pelabuhan -0,00211169

Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,00182789

Kawasan perdagangan -0,00045474

Kawasan industri -0,00044133

Kepabeanan -0,00049384

Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,00122064

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,00242453

Ketersediaan kapal pengangkut -0,00226381

Ketersediaan transportasi penghubung -0,00169012

Laboratorium pengujian karantina -0,00104866

5.2.2. Pelabuhan Bitung, Manado

Gambaran umum perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Bitung

dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.12. Apabila pelabuhan

Tanjung Perak akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan

hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu

dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap

Produk Lokal; (2) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (3) Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut. Di lain pihak, pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya

Manusia; dan kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

sudah sesuai standar. Nilai negatif terhadap proteksi terhadap produk lokal

di pelabuhan Bitung Menado apabila dibandingkan dengan pelabuhan

Tanjung Perak Surabaya nampaknya masih relatif lebih ringan, sehingga

belum perlu diback up oleh suatu Peraturan Gubernur tentang

Pengendalian Produk Import khususnya Hortikultura sebagaimana telah

diterapkan di Jawa Timur. Di Sulawesi Utara, cukup dilakukan penerapan

pemeriksaan karantina yang betul-betul sesuai aturan yang berlaku dan

didukung oleh fasilitas laboratorium karantina yang sesuai standar.

107

Tabel 5.12. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Bitung untuk Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura

Kriteria Utama Bitung Standard Perbedaan dengan nilai

Standar

Prioritas Perbaikan

Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,019 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & pelayaran pelabuhan

0,65 0,64 0,006 Sudah sesuai

Fasilitas pelabuhan laut 0,49 0,59 -0,098 2

Proteksi terhadap produk lokal

0,45 0,56 -0,110 1

Wilayah perairan untuk pelabuhan laut

0,50 0,56 -0,056 3

Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah

perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus

diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif

sebagaimana disajikan pada Tabel 5.13. Khusus untuk sub kriteria

Dermaga; dan Kawasan industri dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.13. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado

Fasilitas Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Gudang lini 1 -0,0026754

Lapangan penumpukan lini 1 -0,0026145

Terminal penumpang -0,0011366

Terminal peti kemas -0,0006963

Terminal ro-ro -0,0029405

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,0069552

Fasilitas bunker -0,0026078

Fasilitas pemadaman kebakaran -0,0024748

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) -0,007504

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan Sarana Bantu

Navigasi-Pelayaran (SNBP)

-0,0027687

Kawasan perkantoran -0,0021899

Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,0050837

Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,0047057

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,0036619

108

Jaringan jalan dan rel kereta api -0,0093467

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,0043843

Areal pengembangan pelabuhan -0,0022173

Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,0022849

Kawasan perdagangan -0,0053053

Kepabeanan -0,0036778

Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,0016275

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,0048491

Ketersediaan kapal pengangkut -0,0024525

Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) -0,0065101

Ketersediaan transportasi penghubung -0,0048826

Laboratorium pengujian karantina -0,0032625

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan adalah

perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub

kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki

nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.14 Khusus untuk sub

kriteria Alur pelayaran; Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah

gerak kapal; Perairan tempat alih muat kapal dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.14 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado.

Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,0054118

Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun

(B3)

-0,0116199

Perairan untuk kegiatan karantina -0,0040725

Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,004912

Perairan pandu -0,004525

Perairan untuk kapal pemerintah -0,001164

Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,0057786

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,0052692

Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0054087

Perairan tempat kapal mati -0,0083127

Perairan untuk keperluan darurat -0,0058506

109

5.2.3. Pelabuhan Belawan, Medan

Gambaran umum perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Belawan

Medan dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.15. Apabila pelabuhan

Belawan Medan akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan

hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu

dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap

Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut; (3) Fasilitas

Pelabuhan Laut; dan (4) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan. Hanya pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia yang

telah sesuai standar.

Nilai negatif terhadap proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan

Belawan Medan apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung Perak

Surabaya nampaknya nilainya setara, sehingga untuk memproteksinya

diperlukan peraturan khusus sebagaimana diterapkan di Jawa Timur. Hal

ini diperlukan mengingat Propinsi Sumatera Utara merupakan sentra

produksi hortikultura di Indonesia sebagaimana Propinsi Jawa Timur.

Dalam hal ini Propinsi Jawa Timur telah menerapkan Peraturan

Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk

Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Pergub

tersebut mengatur secara detail kapan, berapa banyak, mutu produk dan

jenis hortikultura yang dapat masuk ke Jawa Timur. Disamping itu, dengan

peraturan tersebut Jatim juga mempersiapkan pembinaan dan

pemberdayaan agribisnis hortikulturanya untuk secara bertahap

meningkatkan daya saingnya terhadap hortikultura impor. Efektifitas dari

regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi antara

Gubernur dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang

waktu, jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim.

Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam

memberikan rekomendasi kepada Menteri Perdagangan.

110

Tabel 5.15. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Belawan Medan untuk Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura

KriteriaUtama

Belawan Standard Perbedaan dengan nilai

Standar

Prioritas Perbaikan

Ketersediaan SDM

0,66 0,64 0,02 Sudah sesuai

Keamanan,ketahanan & pelayaran pelabuhan

0,62 0,64 - 0,02 4

Fasilitaspelabuhan laut

0,55 0,59 - 0,03 3

Proteksi terhadapproduk lokal

0,41 0,56 - 0,15 1

Wilayah perairan untuk pelabuhan laut

0,51 0,56 - 0,04 2

Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah

perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub

kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki

nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.16. Hanya Khusus untuk

sub kriteria Alur pelayaran yang dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.16. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan

Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,00078328

Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,00241336

Perairan tempat alih muat kapal -0,00226517

Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya

dan Beracun (B3)

-0,00580993

Perairan untuk kegiatan karantina -0,00258574

Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,00071095

Perairan pandu -0,00134075

Perairan untuk kapal pemerintah -0,00284538

Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,00882849

111

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,00439097

Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0039664

Perairan tempat kapal mati -0,00577269

Perairan untuk keperluan darurat -0,00757131

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di

pelabuhan Belawan Medan adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria

yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.17.

Khusus untuk sub kriteria Dermaga; Gudang Lini 1; Terminal penumpang;

Terminal peti kemas; dan Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT)

yang dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.17. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan

Fasilitas Pelabuhan Laut

Kekurangan Nilai

Lapangan penumpukan lini 1 -0,00084586

Terminal ro-ro -0,00215638

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,00278206

Fasilitas bunker -0,00186269

Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00092805

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan

Beracun (B3)

-0,0026681

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan

Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)

-0,00092289

Kawasan perkantoran -0,00082121

Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,00122553

Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,00177946

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,00129245

Jaringan jalan dan rel kereta api -0,00380636

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,00343864

Areal pengembangan pelabuhan -0,00230966

Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,00201606

112

Kawasan perdagangan -0,00080248

Kawasan industri -0,00077882

Kepabeanan -0,00043574

Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,00048826

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,00282862

Ketersediaan kapal pengangkut -0,00196197

Ketersediaan transportasi penghubung -0,00146477

Laboratorium pengujian karantina -0,00045879

Perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan di pelabuhan

Belawan Medan adalah perbaikan pada kriteria Keamanan, Ketahanan, dan

Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub

kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel

5.18. Khusus untuk sub kriteria Keamanan, dan Pelayanan

kepelabuhanan 24 jam dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.18. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Belawan Medan.

Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

Kekurangan

Nilai

Ketahanan nasional -0,001623

Kualitas pelayanan -0,009050

Kualitas pelayanan pelayaran -0,006294

Kualitas pelayanan kepabeanan -0,001549

Kualitas pelayanan pengkarantinaan -0,003070

5.2.4. Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar

Secara umum, perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Sukarno

Hatta Makasar dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.19. Apabila

pelabuhan Sukarno Hatta Makasar akan dijadikan pintu masuk impor

produk industri dan hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan.

Perbaikan yang perlu dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria

(1) Proteksi terhadap Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan untuk Pelabuhan

113

Laut; (3) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (4) Keamanan, Ketahanan, dan

Pelayanan Pelabuhan. Hanya pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya

Manusia yang telah sesuai standar.

Nilai negatif dari proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan

Sukarno Hatta Makasar apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung

Perak Surabaya dan Pelabuhan Belawan Medan nampaknya masih masih

relatif lebih ringan, sehingga belum perlu diback up oleh suatu Peraturan

Gubernur tentang Pengendalian Produk Import khususnya Hortikultura

sebagaimana telah diterapkan di Jawa Timur. Di Sulawesi Selatan, cukup

dilakukan penerapan pemeriksaan karantina yang betul-betul sesuai aturan

yang berlaku dan didukung oleh fasilitas laboratorium karantina yang sesuai

standar.

Tabel 5.19. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Sukarno Hatta Makasar untuk Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura

Kriteria Utama Sukarno Hatta

Makassar

Standard Perbedaan dengan nilai

Standar

Prioritas Perbaikan

Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,022 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & pelayaran pelabuhan

0,62 0,64 -0,021 4

Fasilitas pelabuhan laut 0,56 0,59 -0,028 3

Proteksi terhadap produk lokal

0,42 0,56 -0,138 1

Wilayah perairan untuk pelabuhan laut

0,52 0,56 -0,039 2

Perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah perbaikan

pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang

harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif

sebagaimana disajikan pada Tabel 5.20. Hanya Khusus untuk sub kriteria

114

Alur pelayaran dan sub keriteria Perairan Pandu yang dinilai sudah sesuai

standar.

Tabel 5.20. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makasar

Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,0007087

Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah

gerak kapal

-0,0032605

Perairan tempat alih muat kapal -0,002172

Perairan untuk kapal yang mengangkut

Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3)

-0,0062249

Perairan untuk kegiatan karantina -0,0006171

Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,0006033

Perairan untuk kapal pemerintah -0,0019206

Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka

panjang -0,0079456

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan

pemeliharaan kapal

-0,0032932

Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0029748

Perairan tempat kapal mati -0,0046759

Perairan untuk keperluan darurat -0,0054195

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di

pelabuhan Sukarno Hatta Makasar adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas

Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria

yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.21.

Khusus untuk sub kriteria Dermaga; Gudang Lini 1; Terminal penumpang;

Terminal peti kemas; dan Fasilitas pemadaman kebakaran; serta

Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) dinilai sudah sesuai standar.

115

Tabel 5.21. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makasar

Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Kekurangan

Lapangan penumpukan lini 1 -0,0004229

Terminal ro-ro -0,0008626

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,0018547

Fasilitas bunker -0,0009313

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun

(B3)

-0,001334

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan Sarana Bantu

Navigasi-Pelayaran (SNBP)

-0,0004614

Kawasan perkantoran -0,0008212

Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,000817

Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,0010677

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,0012924

Jaringan jalan dan rel kereta api -0,0033834

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,002579

Areal pengembangan pelabuhan -0,0018477

Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,0016128

Kawasan perdagangan -0,0004012

Kawasan industri -0,0003894

Kepabeanan -0,0004357

Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,0014648

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,0032327

Ketersediaan kapal pengangkut -0,0014715

Ketersediaan transportasi penghubung -0,0014648

Laboratorium pengujian karantina -0,002159

Perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan di pelabuhan

Sukarno Hatta Makasar adalah perbaikan pada kriteria Keamanan,

Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki

adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana

disajikan pada Tabel 5.22. Hanya pada sub kriteria Keamanan di

Pelabuhan Sukarno Hatta dinilai sudah sesuai standar.

116

Tabel 5.22. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Sukarno Hatta

Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

Kekurangan

Nilai

Ketahanan nasional -0,0034264

Pelayanan kepelabuhanan 24 jam -0,0016834

Kualitas pelayanan -0,0079387

Kualitas pelayanan pelayaran -0,0049831

Kualitas pelayanan kepabeanan -0,0016301

Kualitas pelayanan pengkarantinaan -0,0015352

5.2.5. Pelabuhan Batam

Secara umum, perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Batam

dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.24. Apabila pelabuhan Batam

akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan hortikultura maka

diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan

berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap Produk

Lokal; (2) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (3) Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut. Sementara pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya

Manusia dan kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan

dinilai telah sesuai standar.

Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Batam

apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan

Belawan Medan nampaknya nilainya lebih tinggi, sehingga untuk

memproteksinya diperlukan peraturan khusus. Hal ini diperlukan

mengingat melalui Batam nampaknya merupakan jalur transportasi yang

paling mudah untuk mendistribusikan produk-produk industri dan

hortikultura tersebut ke seluruh Nusantara sehingga dapat mengganggu

daya saing produk lokal hampir di seluruh sentra produksi di Indonesia.

Oleh karena itu, Pelabuhan Batam ini kurang disarankan sebagai pintu

masuk pelabuhan khusus untuk produk industri dan hortikultura.

Perlu dibuat aturan yang lebih ketat untuk impor produk industri dan

hortikultura melalui Batam, misalnya impor hanya diperkenankan untuk

117

memenuhi kebutuhan konsumsi di Batam saja secara terbatas, tidak

diperkenankan untuk didistribusikan ke wilayah lain di luar Batam tanpa

persyaratan khusus. Persyaratan khusus antara lain adalah bahwa impor

produk-produk industri dan hortikultura melalui Batam wajib memperhatikan

aspek-aspek berikut secara intensif yaitu:

Keamanan pangan produk hortikultura dengan menerapkan SNI

wajib tentang Batas Maksimum Residu (BMR/MRL) khusus di

wilayah Batam

Ketersediaan produk di dalam negeri. Dalam hal ini Menteri

Pertanian dan Menteri Perindustri harus memonitor data

ketersediaan produk indutri dan hortikultura tertentu di Dalam Negeri

secara total dan merekomendasikan kepada Menteri Perdagangan

kapan dan berapa banyak yang perlu diimpor melelui Batam.

Penetapan sasaran konsumsinya dari produk-produk yang diimpor

dari Batam

Harus memperhatikan persyaratan kemasan dan pelabelan

Menerapkan standar mutu SNI wajib khusus di wilayah Batam

Ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan

manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan.

118

Tabel 5.23. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Batam untuk Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura

Kriteria Utama Batam Standard Perbedaan dengan nilai

Standar

Prioritas Perbaikan

Ketersediaan SDM 0,64 0,64 0,00 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & pelayaran pelabuhan

0,65 0,64 0,00 Sudah sesuai

Fasilitas pelabuhan laut 0,42 0,59 -0,165 2

Proteksi terhadap produk lokal

0,34 0,56 -0,217 1

Wilayah perairan untuk pelabuhan laut

0,45 0,56 -0,102 3

Perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan di Pelabuhan Batam

adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang

harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif

sebagaimana disajikan pada Tabel 5.25. Khusus untuk sub kriteria

Ketersediaan kapal pengangkut dan sub keriteria Laboratorium pengujian

karantina yang dinilai sudah sesuai standar.

119

Tabel 5.24. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas Pelabuhan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam.

Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Kekurangan

Dermaga -0,002569777

Gudang lini 1 -0,004904922

Lapangan penumpukan lini 1 -0,004793193

Terminal penumpang -0,008335016

Terminal peti kemas -0,011488579

Terminal ro-ro -0,008625512

Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,006955157

Fasilitas bunker -0,006519412

Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00371221

Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya

dan Beracun (B3) -0,013340494

Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan

Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)

-0,006921638

Kawasan perkantoran -0,002189897

Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,006536172

Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,008066865

Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,002441288

Jaringan jalan dan rel kereta api -0,007189789

Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,007307105

Areal pengembangan pelabuhan -0,004927268

Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,006854601

Kawasan perdagangan -0,006821082

Kawasan industri -0,003309984

Kepabeanan -0,004938441

Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,002441288

Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,014547172

Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) -0,002441288

Ketersediaan transportasi penghubung -0,007323864

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di

pelabuhan Batam adalah perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria

120

yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.26.

Khusus untuk sub kriteria Alur pelayaran; Perairan tempat alih muat kapal;

Perairan pandu; Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;

Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; serta

Perairan untuk tempat uji coba kapal dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.25. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam.

Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,004960788

Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,009653425

Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan

Beracun (B3)

-0,013072347

Perairan untuk kegiatan karantina -0,027150258

Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,006754046

Perairan untuk kapal pemerintah -0,025608392

Perairan tempat kapal mati -0,020781679

Perairan untuk keperluan darurat -0,006435617

5.3. Kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan Ditetapkan dengan

Sentra Produksi dan Sentra Industri

Pemasukan atas produk Buah-buahan dan /atau Sayuran Buah

Segar telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)

No. 89/Permentan/OT.140/12/2011, sedangkan produk Sayuran Umbi

Lapis Segar diatur melalui Permentan No. 90/Permentan/OT.140/12/2011.

Daftar produk buah-buahan dan sayuran segar tersebut disajikan pada

Tabel 5.27.

Produksi buah-buahan dan sayuran segar yang tercantum dalam

Permentan No 89 tersebut di wilayah sekitar pelabuhan laut yaitu Belawan

(Sumatera Utara), Tanjung Perak (Jawa Timur), dan Sukarno Hatta

(Sulawesi Selatan) serta beberapa pelabuhan laut lainya yang dijadikan

wilayah survey pada kajian ini yaitu Batam (Riau), dan Bitung (Sulawesi

121

Utara) semuanya disajikan pada Tabel 5.28. Dari Tabel 5.28, terlihat

bahwa wilayah yang sangat sensitif dijadikan pintu masuk impor buah-

buahan dan sayuran segar berdasarkan Permentan No.89 adalah Tanjung

Perak (Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena kedua wilayah

tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah produsen

terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di

Indonesia. Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan Tanjung Perak (Jawa

Timur) juga pasti akan mempengaruhi daerah produsen terbesar kedua

dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia yaitu Jawa

Barat. Dengan demikian, penetapan Tanjung Perak dan Belawan sebagai

pintu masuk masuk impor produk buah-buahan dan sayuran segar di

Indonesia berdasarkan Permentan No.89 menjadi sangat sensitif terhadap

daya saing produk buah-buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di

wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Kondisi Tanjung Perak (Jawa Timur) ini diperparah oleh

perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar yang tercakup

dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama periode 2008-

2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun. Nampaknya pintu masuk

Tanjung Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga memiliki dampak juga

terhadap daya saing produk-produk buah-buahan dan sayuran segar di

daerah Jawa Barat, yang ternyata telah mengalami trend penurunan

produksi yang cukup menyolok yang produksinya menurun sebesar 19,6%

per tahun.

Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing

produk lokal (Tabel 5.29), dimana semakin tinggi nilai negatif

sensitivitasnya maka diperkirakan semakin tinggi perkiraan dampak

negatifnya terhadap daya saing produk lokal, maka terlihat bahwa

pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam (Riau), Belawan

(Sumut) dan Tanjung Perak (Surabaya). Namun, dua pelabuhan lainnya

yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno Hatta (Makasar), nilai sensitivitasnya

medium sehingga diperkirakan tidak memberikan dampak negatif yang

122

besar terhadap daya saing produk lokal. Walaupun Batam, bukan

termasuk wilayah sentra produksi utama buah-buahan dan sayuran segar

di Indonesia, namun nilai sensitivitasnya yang tinggi mungkin terkait dengan

adanya kemudahan faslitas dalam mendistribusikan buah-buahan dan

sayuran segar dari Batam ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu,

sensitivitas dari pelabuhan Batam ini lebih diperuntukkan bagi produk-

produk industri sebagaimana tercakup dalam Permendag Nomor 57/M-

DAG/PER/12/2010.

Tabel 5.26. Daftar Produk Hortikultura yang Tercakup dalam Permentan No.89 Tahun 2011

No Jenis Hortikultura No Jenis Hortikultura

1 Anggur 12 Bawang Bombay

2 Apel 13 Bawang Merah

3 Durian 14 Bawang Putih

4 Jeruk 15 Kubis

5 Lengkeng 16 Cabe

6 Mangga 17 Kentang

7 Melon 18 Wortel

8 Nanas 19 Anggrek

9 Mardi backross solo (betik solo) 20 Krisan

10 Pepaya 21 Heliconia

11 Pisang

Tabel 5.27. Produksi Produk Hortikultura yang Tercakup dalam Permentan No.89 Tahun 2011 di Wilayah Propinsi Pelabuhan Masuk

Tahun Sumut (Ton) Jatim (Ton) Jabar (Ton) Sulut (Ton) Sulsel

(Ton)

Riau

(Ton)

2008 1.941.315 3.592.881 3.475.280 268.203 501.023 15.468

2009 1.892.090 3.605.025 3.657.091 303.854 530.029 20.157

2010 2.006.910 2.969.271 2.793.967 295.144 459.629 27.061

Perkem

bangan

(%/thn)

3,4 -17,4 -19,6 10,0 -8,3 74,9

123

Tabel 5.28. Nilai Sensivitas terhadap Daya Saing Produk Lokal dari Masing-masing Pelabuhan Masuk

Pelabuhan Pintu Masuk Produk

Industri dan Hortikultura

Nilai Dampak Negatif terhadap

Daya Saing Produk Lokal

Bitung, Manado -0,1107492 (Medium)

Sukarno Hatta, Makasar -0,1381608 (Medium)

Belawan, Medan -0,15475104 (Besar)

Tanjung Perak, Surabaya -0,15449778 (Besar)

Batam, Riau -0,21781601 (Besar)

5.4. Daya Saing Produk Impor terhadap Produk Lokal

Hasil analisis data survey menunjukkan bahwa terdapat beberapa

alasan utama dari melakukan impor produk-produk hortikultura dan industri

secara umum. Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha

melakukan impor produk hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi

permintaan konsumen. Alasan penting urutan kedua dari melakukan impor

produk-produk hortikultura dan industri adalah karena konsisten dalam

supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan derajat

kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu produk

impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah. Beberapa responden

juga menyebutkan alasan impor karena belum ada produk lokal yang setara

dengan produk impor sehingga belum ada subtitusi impornya.

Tabel 5.29. Alasan Melakukan Impor dari Para Pelaku Usaha Hortikultura dan Industri

Alasan Impor Total Skor Prioritas

Permintaan konsumen 307 1

Konsisten dalam supply 299 2

Mutu lebih baik 288 3

Harga lebih murah 287 4

Belum ada substitusi produk lokal 273 5

124

5.5. Daya Saing Produk Hortikultura dan Industri Lokal

Hasil analisis citra atau multi atribut angka ideal produk hortikultura

disajikan pada Tabel 5.31. Beberapa atribut utama yang digunakan

konsumen untuk memilih dan membeli produk hortikultura segar baik buah

maupun sayur dengan tingkat kepentingan tinggi (skor 5) adalah (1)

tampilan kesegaran; (2) rasa; (3) konsistensi supply; dan (4) konsistensi

mutu. Atribut lainnya dengan tingkat kepentingan lebih rendah (skor 4)

adalah (1) harga, (2) aroma, dan (3) tampilan warna. Dari analisis

kepercayaan konsumen terhadap produk hortikultura impor yang

dibandingkan dengan produk lokal, diketahui bahwa daya saing produk

lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Nilai

sikap konsumen terhadap produk lokal mencapai nilai skor 37, sedangkan

skor sikap konsumen terhadap produk impor betul-betul mencapai angka

seperti yang diidealkannya secara sempurna yaitu skor nol. Semakin ideal

suatu produk berdasarkan persepsi konsumen maka nilai sikapnya

mendekati angka nol. Pada skor nol tersebut berarti tidak terdapat

perbedaan nilai antara nilai yang diinginkan (nilai ideal) dengan fakta

produk yang dinilai, atau dengan kata lain produk tersebut sudah menjadi

produk ideal dari berbagai atribut yang digunakan untuk penilaian. Dengan

demikian, produk hortikultura impor sudah dianggap sebagai produk ideal.

Di lain pihak, produk hortikultura lokal masih jauh dari produk ideal. Masih

diperlukan upaya dan kerja keras agar produk hortikultura lokal dapat

bersaing dengan produk impor. Atribut-atribut dari produk hortikultura lokal

yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent

adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran, (3)

rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai

masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Di lain pihak, produk

hortikultura impor dari semua atribut yang digunakan untuk memilih produk

hortikultura semuanya sudah dianggap ideal oleh konsumen.

Dari analisis multi atribut angka ideal tersebut, dapat disimpulkan

bahwa daya saing produk-produk hortikultura lokal masih jauh di bawah

125

produk-produk hortikultura impor. Untuk dapat bersaing dengan produk-

produk hortikultura impor masih diperlukan perbaikan jangka panjang mulai

dari perbaikan pemuliaan tanaman, teknologi handling untuk menjaga

kesegaran, efisiensi supply chain, fasilitas pendinginan hingga kebijakan

perdagangannya khususnya non tarif barriers dari impor hortikultura.

Dengan demikian, prospek produk-produk hortikultura lokal untuk keperluan

subtitusi impor dalam jangka pendek dan menengah belum memungkinkan.

Buah segar yang pangsa impornya tinggi adalah apel, pir, dan jeruk,

sedangkan untuk sayuran adalah bawang putih, bawang bombay, bawang

merah, wortel dan kentang.

Tabel 5.30. Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran Daya Saing Produk Hortikultura Impor Dibandingkan dengan Produk Lokal

AtributKepentingan

(Wi)

Angka Ideal(Ii)

Kepercayaan

Lokal Impor

1. Tampilan Warna Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

4 6 5 6

2. Tampilan Kesegaran Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

5 6 5 6

3. Rasa Sangat tidak baik (1) –sangat baik (6)

5 6 5 6

4. Aroma Sangat tidak baik (1) –sangat baik (6)

4 6 5 6

5. Konsistensi Supply Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

5 6 4 6

6. Konsistensi Mutu Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

5 6 5 6

7. Harga Murah (1) – sangat mahal(6)

4 4 5 4

Sikap (Ab) 37 0

Hasil analisis citra atau multi atribut angka ideal produk industri disajikan

pada Tabel 5.32. Beberapa atribut utama yang digunakan konsumen untuk

memilih dan membeli produk industri dengan tingkat kepentingan tinggi

126

(skor 5) adalah (1) kualitas produk; dan (2) tanggal kadaluarsa khusus

untuk produk makanan dan minuman, obat-obatan dan produk konsumsi

lainnya. Atribut lainnya dengan tingkat kepentingan lebih rendah (skor 4)

adalah (1) harga, (2) model/tipe produk, (3) label halal, (4) informasi produk,

(5) kemasan/packaging, (6) merk/brand. Dari analisis kepercayaan

konsumen terhadap produk industri impor yang dibandingkan dengan

produk lokal, diketahui bahwa daya saing produk lokal ternyata lebih rendah

dibandingkan dengan produk impor. Nilai sikap konsumen terhadap produk

lokal mencapai nilai skor 34, sedangkan skor sikap konsumen terhadap

produk impor mencapai angka skor 21. Semakin ideal suatu produk

berdasarkan persepsi konsumen maka nilai sikapnya mendekati angka nol.

Masih diperlukan upaya dan kerja keras agar produk industri lokal dapat

bersaing dengan produk impor. Atribut-atribut dari produkindustri lokal

yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent

adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)

kemasan/packaging produk.

Dari analisis multi atribut angka ideal tersebut, dapat disimpulkan

bahwa daya saing produk-produk industri lokal masih di bawah produk-

produk impor. Untuk dapat bersaing dengan produk-produk industri impor

masih diperlukan perbaikan mulai dari perbaikan teknologi produksi, desain,

promosi, hingga kebijakan perdagangannya khususnya non tarif barriers

dari impor produk-produk industri.

127

Tabel 5.31. Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran Daya Saing Produk Industri Impor Dibandingkan dengan Produk Lokal

AtributKepentingan

(Wi)

Angka Ideal

(Ii)

Kepercayaan

Lokal Impor

1. Kualitas produk Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

5 6 5 6

2. Harga Murah (1) – sangat mahal (6) 4 4 5 5

3. Model/tipe produk Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

4 6 5 6

4. Tanggal kadaluwarsa Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

5 6 5 5

5. Label Halal Tidak ada (1) – ada dan sangat baik (6)

4 6 6 5

6. Informasi Produk Tidak ada (1) –ada dan sangat lengkap (6)

4 6 5 5

7. Kemasan/ Packaging Sangat tidak baik (1) – sangat baik (6)

4 6 5 6

8. Merk/Brand Tidak ada (1) – sangat terkenal (6)

4 6 4 5

Sikap (Ab) 34 21

5.6. Prioritas Penanganan Bidang Masalah

Terdapat berbagai masalah dalam upaya peningkatan daya saing

produk hortikultura dan industri Indonesia. Kinerja yang rendah dari

beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing merupakan salah satu

sebab dari lemahnya daya saing produk-produk hortikultura dan rempah

Indonesia. Namun karena keterbatasan sumber daya untuk mengatasinya,

diperlukan tingkat prioritas dari penanganan masalah tersebut. Dari hasil

analisis data survey diketahui terdapat empat prioritas penanganan bidang

masalah.

Prioritas pertama diberikan pada faktor pendukung yang selama ini

memiliki derajat kinerja yang rendah, namun urgensi penanganannya tinggi.

Faktor-faktor yang termasuk prioritas pertama tersebut adalah (1) perbaikan

distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan kecepatan dan

128

efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk lebih melindungi

produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4) penyederhaan

birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

5.7. Penilaian Potensi Dampak Kebijakan

Dari hasil survey terhadap stakeholders agribisnis hortikultura dan

industri tentang penilaian potensi dampak kebijakan dari penerapan

Penentuan Pelabuhan Tertentu Sebagai Pintu Masuk Produk

Hortikultura dan Industri disajikan pada Tabel 5.33. Kriteria dengan

bobot yang paling menonjol adalah kriteria dampak bagi produsen dalam

negeri. Secara keseluruhan, diperkirakan kebijakan ini akan memberikan

net dampak positif, namun tidak besar. Para pihak yang diperkirakan akan

diuntungkan atau menerima dampak positif dari kebijakan ini berturut-turut

mulai dari yang paling besar menerima dampak positifnya adalah (1) para

produsen dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain

pihak, stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari

kebijakan ini brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak negatif

paling besar adalah (1) para importir, (2) industri pengolah, dan (3) para

konsumen di dalam negeri. Namun demikian, secara sistem, kebijakan ini

diperkirakan akan dapat memberikan dampak positif secara nasional yang

relatif tidak besar.

129

Tabel 5.32. Perkiraan Potensi Dampak Kebijakan

Kriteria Dampak BobotKriteria

SkorDampak(Modus)

Nilai Dampak

Dampak bagi produsendalam negeri 0,17250324 3 0,517510

Dampak bagi konsumendalam negeri 0,15304799 -2 -0,306096

Dampak bagi eksportirproduk dalam negeri 0,17120623 1 0,171206

Dampak bagi importir 0,16990921 -3 -0,509728

Dampak bagi pemerintah 0,16731518 3 0,501946

Dampak bagi industripengolah 0,16601816 -2 -0,332036

Total 1 0,042802

5.8. Analisis Dampak Potensi Ekonomi Kebijakan Penetapan Pelabuhan

Tertentu Sebagai Pintu Masuk Impor Produk Tertentu

5.8.1. Produk Hortikultura

Pangsa pasar utama produk pertanian/hortikultura impor adalah

wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pangsa pasar untuk wilayah ini

diperkirakan mencapai hingga 80% dari volume produk yang diimpor.

Pemindahan pintu masuk impor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke

pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya bagi pihak-pihak yang

mendistribusikan produk pertanian/hortikultura impor tersebut. Peningkatan

biaya ini terjadi terutama karena adanya biaya-biaya tambahan, yaitu:

1. Biaya transportasi domestik

Biaya transportasi domestik dalam hal ini adalah biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk mengirimkan produk dari pelabuhan impor ke Jakarta

sebagai tujuan utama produk hortikultura. Jenis dan besaran biaya

130

domestik ini tergantung dari moda transportasi yang digunakan sesuai

dengan ketersediaan moda dan jenis armada yang digunakan. Moda

yang digunakan bisa berupa moda transportasi laut atau darat.

2. Biaya kerusakan produk

Pengalihan pelabuhan impor berdampak pula terjadinya beberapa kali

proses “handling” (bongkar muat) dan waktu transportasi yang lama.

Kedua hal ini bisa berdampak terhadap kondisi produk. Kerusakan

produk bisa bertambah akibat kondisi jalan yang buruk, sehingga

produk-produk hortikultura (terutama buah) saling berbenturan.

Benturan-benturan produk ini mengakibatkan buah menjadi “memar”

sehingga kualitas produk menurun. Penurunan kualitas produk ini

diperkirakan sekitar 10%-15%.

Pada bagian di bawah ini dipaparkan perubahan biaya pengiriman

produk hortikultura setelah pemberlakuan pembatasan pintu impor produk

tersebut dari Pelabuhan Tanjung Priok menjadi ke beberapa pelabuhan

berikut ini. Perhitungan hanya memasukkan tambahan biaya transportasi

domestik dan biaya kerusakan produk. Biaya shipping dari negara asal

dianggap tetap. Biaya customs clearance juga dianggap tetap, walaupun

dalam wawancara dengan importir diperoleh informasi adanya kenaikan

biaya dari PPJK (Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang cukup

siginifikan di pelabuhan impor yang baru dibandingkan biaya di Pelabuhan

Tanjung Priok sebelumnya.

1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

Pengiriman produk dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Jakarta

dapat dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku

tidak memilih penggunaan kereta api, antara lain karena “handling” yang

lebih banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk juga bukan tanpa

risiko. Waktu perjalanan Surabaya-Jakarta sekitar 2-3 hari berpotensi

menurunkan kualitas (kondisi) produk, terutama buah. Potensi kerusakan

131

ini semakin bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam

perjalanan tersebut.

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk

hortikultura apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung

Priok ke Pelabuhan Tanjung Perak. Sampel yang digunakan adalah produk

hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.33 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000 Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000 Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (trucking)

17.500.000

46.300.000

Risiko kerusakan produk (10%)

28.800.000

Total Biaya 42.000.000 Total Biaya 88.300.000

Perubahan Biaya

110%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 46.300.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 110% dari biaya sebelumnya.

2. Pelabuhan Belawan, Medan

Pengiriman produk dari Pelabuhan Belawan, Medan, ke Jakarta dilakukan

dengan menggunakan transportasi darat (truk) atau transportasi laut

(kapal). Dari dua alternatif ini, penggunaan kapal lebih memungkinkan

karena pengiriman dengan reefer container membutuhkan plugging (untuk

pengisian listrik) yang tersedia di kapal. Fasilitas plugging ini tidak tersedia

dalam perjalanan darat dengan menggunakan truk dari Medan ke Jakarta.

132

Walaupun sama-sama menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor

langsung ke Pelabuhan Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Belawan

berdampak terhadap biaya dan waktu untuk proses bongkar muat.

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk

hortikultura dari China apabila pelabuhan impor dipindahkan dari

Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Belawan. Sampel yang digunakan

adalah produk hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.34. Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya

(Rp)

China Biaya shipping dari 132egara asal

24.000.000 Biaya shipping dari 132egara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000 Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (laut)

13.000.000

41.800.000

Risiko kerusakan produk

28.800.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 83.800.000

Perubahan Biaya

100%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 41.800.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 100% dari biaya sebelumnya.

3. Pelabuhan Makassar

Pengiriman produk dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta dilakukan dengan

menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama

menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan

133

Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Makassar berdampak terhadap

biaya dan waktu untuk proses bongkar muat.

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk

hortikultura dari China apabila pelabuhan impor dipindahkan dari

Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Makassar. Sampel yang digunakan

adalah produk hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.35 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya

(Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000 Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (laut)

30.000.000

58.800.000

Risiko kerusakan produk

28.800.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 100.800.000

Perubahan Biaya

140%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 58.800.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 140% dari biaya sebelumnya.

4. Pelabuhan Bitung, Manado

Pengiriman produk dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta dilakukan

dengan menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama

menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan

Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Bitung berdampak terhadap biaya

dan waktu untuk proses bongkar muat. Berikut ini adalah perhitungan

134

“sampel” biaya pengiriman produk hortikultura dari China apabila pelabuhan

impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Bitung.

Sampel yang digunakan adalah produk hortikultura dari China dengan

kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.36 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000 Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (laut)

38.000.000

66.800.000

Risiko kerusakan produk

28.800.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 108.800.000

Perubahan Biaya

159%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 66.800.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 159% dari biaya sebelumnya.

5. Perbandingan Antar Pelabuhan

Perbandingan biaya pengiriman produk hortikultura ke wilayah Jakarta dari

beberapa lokasi pelabuhan impor di atas ditunjukkan pada gambar berikut

ini.

135

Gambar 5.1. Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Hortikultura Ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi Pelabuhan Impor

Berdasarkan perbandingan pada gambar di atas, biaya pengiriman produk

hortikultura ke wilayah Jakarta yang paling murah setelah Pelabuhan

Tanjung Priok adalah Pelabuhan Belawan, diikuti Pelabuhan Tanjung

Perak, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan Bitung.

5.8.2. Produk Hasil Industri (Makanan dan Elektronika)

Pangsa pasar utama produk industri, termasuk produk makanan-

minuman dan elektronika adalah wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Pemindahan pintu masuk impor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke

pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya bagi pihak-pihak yang

mendistribusikan produk industri tersebut, yaitu:

1. Biaya transportasi domestik.

Biaya transportasi domestik dalam hal ini adalah biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk mengirimkan produk dari pelabuhan impor ke Jakarta

sebagai tujuan utama produk industri. Jenis dan besaran biaya

136

domestik ini tergantung dari moda transportasi yang digunakan sesuai

dengan ketersediaan moda dan jenis armada yang digunakan. Moda

yang digunakan bisa berupa moda transportasi laut atau darat.

2. Biaya kerusakan produk

Pengalihan pelabuhan impor berdampak pula terjadinya beberapa kali

proses “handling” (bongkar muat) dan waktu transportasi yang lebih

lama. Kedua hal ini bisa berdampak terhadap kondisi produk.

Kerusakan produk bisa bertambah akibat kondisi jalan yang buruk,

sehingga produk-produk (kemasan) saling berbenturan. Penurunan

kualitas produk ini diperkirakan sekitar 2,5%, yang bisa dibebankan

sebagai biaya asuransi (terutama untuk elektronika).

Namun, karena variasi nilai produk yang sangat besar untuk

makanan-minuman dan elektronika, dalam perhitungan ini tidak

dimasukkan biaya kerusakan produk tersebut.

Pada bagian di bawah ini dipaparkan perubahan biaya pengiriman produk

industri apabila dilakukan pembatasan pintu impor produk tersebut dari

Pelabuhan Tanjung Priok menjadi ke beberapa pelabuhan berikut ini.

Perhitungan hanya memasukkan tambahan biaya transportasi domestik

dan biaya kerusakan produk. Biaya shipping dari negara asal dianggap

tetap. Biaya customs clearance juga dianggap tetap.

1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

Pengiriman produk dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Jakarta

dapat dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku

tidak memilih penggunaan kereta api, antara lain karena “handling” yang

lebih banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk juga bukan tanpa

risiko. Waktu perjalanan Surabaya-Jakarta sekitar 2-3 hari berpotensi

mengakibatkan kerusakan produk. Potensi kerusakan ini semakin

bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam perjalanan

tersebut.

137

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk industri

apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke

Pelabuhan Tanjung Perak. Sampel yang digunakan adalah produk industri

dari China dengan kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.37 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke

Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (trucking)

16.000.000

16.000.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 58.000.000

Perubahan Biaya

38%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 16.000.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 38% dari biaya sebelumnya.

2. Pelabuhan Belawan, Medan

Pengiriman produk dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta dapat

dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku tidak

memilih penggunaan kereta api, antara lain karena “handling” yang lebih

banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk lebih efisien (tidak

terjadi double handling) dan waktu lebih cepat daripada menggunakan

kapal laut. Potensi kerusakan ini semakin bertambah karena kerusakan

jalan di beberapa tempat dalam perjalanan tersebut.

138

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk industri

apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke

Pelabuhan Belawan. Sampel yang digunakan adalah produk industri dari

China dengan kontainer berukuran 40’.

Tabel 5.38 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (trucking)

12.000.000

12.000.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 54.000.000

Perubahan Biaya

29%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 12.000.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 29% dari biaya sebelumnya.

3. Pelabuhan Makassar

Pengiriman produk dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta dilakukan dengan

menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama

menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan

Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Makassar berdampak terhadap

biaya dan waktu untuk proses bongkar muat. Berikut ini adalah perhitungan

“sampel” biaya pengiriman produk hortikultura dari China apabila pelabuhan

impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Makassar.

Sampel yang digunakan adalah produk hortikultura dari China dengan

kontainer berukuran 40’.

139

Tabel 5.39 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (laut)

28.000.000

28.000.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 70.000.000

Perubahan Biaya

67%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 28.000.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 67% dari biaya sebelumnya.

4. Pelabuhan Bitung, Manado

Pengiriman produk dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta dapat

dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku tidak

memilih penggunaan kapal laut, antara lain karena mengurangi “double

handling” yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan kapal laut

dari Bitung ke Surabaya, lalu menggunakan truk Surabaya-Jakarta.

Penggunaan kapal laut juga bukan tanpa risiko. Potensi kerusakan ini

semakin bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam

perjalanan tersebut.

Berikut ini adalah perhitungan “sampel” biaya pengiriman produk industri

apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke

Pelabuhan Bitung, Manado. Sampel yang digunakan adalah produk industri

dari China dengan kontainer berukuran 40’.

140

Tabel 5.40 Perhitungan “Sampel” Biaya Pengiriman Produk Makanan-Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta

Negara Asal

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan

Jenis Biaya Jumlah

Biaya (Rp) Jenis Biaya

Jumlah Biaya (Rp)

Jumlah Perubahan Biaya (Rp)

China Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya shipping dari negara asal

24.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya customs clearance

18.000.000

Biaya transportasi domestik (trucking)

35.000.000

35.000.000

Total Biaya 42.000.000

Total Biaya 77.000.000

Perubahan Biaya

83%

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi

peningkatan biaya sebesar Rp 35.000.000 per kontainer berukuran 40’ atau

sebesar 83% dari biaya sebelumnya.

5. Perbandingan Antar Pelabuhan

Perbandingan biaya pengiriman produk makanan-minuman dan elektronika

ke wilayah Jakarta dari beberapa lokasi pelabuhan impor di atas

ditunjukkan pada gambar berikut ini.

141

Gambar 5.2. Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Makanan dan Elektronika Ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi Pelabuhan Impor

Berdasarkan perbandingan pada grafik di atas, biaya pengiriman produk

hortikultura ke wilayah Jakarta yang paling murah setelah Pelabuhan

Tanjung Priok adalah Pelabuhan Belawan, diikuti Pelabuhan Tanjung

Perak, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan Bitung.

5.9. Dampak Permendag No. 57 Tahun 2010 terhadap Perkembangan

Impor Produk Industri

Perkembangan impor produk-produkindustri yang tercakup dalam

Permendag No 57 Tahun 2010 disajikan pada Gambar1. Permendag No

57 Tahun 2010 tersebut berlaku sejak 1 Januari 2011. Dari Gambar 5.34

terlihat bahwa adanya Permendag tersebut belum mampu menghambat

laju peningkatan impor dari produk-produk tersebut.

Impor barang konsumsi meningkat secara signifikan. Pada tahun

2010, impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011

impor barang konsumsi mencapai USD 13,4 miliar. Pangsa impor barang

konsumsi sebesar 7,55 persen dari total seluruh impor Indonesia. Impor

142

terbesar didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan barang

modal (18,65 %).

Pada tahun 2011, impor produk makanan dan minuman mengalami

kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010 yaitu dari USD 0,404

miliar menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk kosmetik kenaikan terjadi

sebesar 35,63 persen pada tahun 2011, yaitu dari USD 0,303 miliar pada

tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar pada tahun 2011. Produk

pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan dibandingkan

tahun 2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD

0,286 miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011

mengalami kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika

kenaikan impor tahun 2011 sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun

2010. Untuk mainan anak-anak, kenaikan tahun 2011 adalah sebesar 33,02

persen.

Dengan demikian, Permendag No 57 tahun 2010 tersebut belum

efektif untuk mengurangi laju impor produk-produk industri. Untuk

memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri yang

dayasaingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk impor,

diperlukan peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non tariff

barriers antara lain persyaratan sertifikat halal dan keamanan pangan

untuk produk-produk makanan dan minuman; penerapan SNI wajib serta

pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya rekomendasi dari

Kementrian terkait juga harus lebih selektif.

143

Gambar 5.3. Perkembangan Impor Produk-produk Industri

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

144

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

1. Kriteria utama dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu masuk impor

produk industri dan hortikultura berturut-turut mulai dari yang paling

prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan

Pelabuhan, (2) kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria

Fasilitas Pelabuhan Laut , (4) kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal ,

dan (5) kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Masing-

masing kriteria utama tersebut terdiri dari beberapa sub kriteria dengan

bobot/prioritas masing-masing. Hasil penentuan kriteria pelabuhan

tersebut dapat dijadikan rujukan kriteria bagi pengambil keputusan

untuk menentukan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu

masuk impor produk hortikultura dan industri.

2. Dari hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan

Medan, Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung

Manado) secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi

standar pada kriteria prioritas pertama (Keamanan, Ketahanan, dan

Pelayanan Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua (Ketersediaan

Sumberdaya Manusia). Di lain pihak pada kriteria lainnya yaitu kriteria

Fasilitas Pelabuhan Lau; kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan

kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut secara umum

pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi standar.

3. Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,

Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)

akan dijadikan pintu masuk produk-produk hortikultura dan industri,

saran top prioritas yang harus diperbaikinya di seluruh pelabuhan

tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal. Khususnya di

pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena

pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra produksi terbesar dari

145

produk-produk hortikultura yang tercakup pada Permentan No.89

Tahun 201. Sementara Batam, termasuk sentra produksi produk-

produk industri dan memiliki fasilitas distribusi yang baik untuk distribusi

ke seluruh wilayah Indonesia.

4. Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Tanjung

Perak, Belawan Medan dan Batam lebih tinggi dibandingkan dengan

pelabuhan sampel lainnya sehingga untuk memproteksinya diperlukan

peraturan khusus sebagaimana diterapkan di Jawa Timur. Dalam

hal ini Propinsi Jawa Timur untuk meningkatkan proteksi terhadap

produk hortikultura lokalnya telah menerapkan Peraturan Gubernur

Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk Import

Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Efektifitas

dari regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi

antara Gubernur dalam memberikan masukan kepada Menteri

Pertanian tentang waktu, jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk

hortikultura di Jatim. Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan

pertimbangan Mentan dalam memberikan rekomendasi kepada

Menteri Perdagangan.

5. Berdasarkan analisis kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan

Ditetapkan dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri, maka wilayah

yang sangat sensitif dijadikan pintu masuk impor buah-buahan dan

sayuran segar berdasarkan Permentan No.89 adalah Tanjung Perak

(Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena kedua wilayah

tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah

produsen terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan

sayuran segar di Indonesia. Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan

Tanjung Perak (Jawa Timur) juga pasti akan mempengaruhi daerah

produsen terbesar kedua dari produksi buah-buahan dan sayuran

segar di Indonesia yaitu Jawa Barat. Dengan demikian, penetapan

Tanjung Perak dan Belawan sebagai pintu masuk masuk impor produk

buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia berdasarkan Permentan

146

No.89 menjadi sangat sensitif terhadap daya saing produk buah-

buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di wilayah Jawa Timur,

Jawa Barat dan Sumatera Utara.

6. Kondisi Tanjung Perak (Jawa Timur) ini diperparah oleh

perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar yang

tercakup dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama

periode 2008-2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun.

Nampaknya pintu masuk Tanjung Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga

memiliki dampak juga terhadap daya saing produk-produk buah-buahan

dan sayuran segar di daerah Jawa Barat, yang ternyata telah

mengalami trend penurunan produksi yang cukup menyolok yang

produksinya menurun sebesar 19,6% per tahun.

7. Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing produk

lokal, maka pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam

(Riau), Belawan (Sumut) dan Tanjung Perak (Surabaya). Dua

pelabuhan lainnya yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno Hatta (Makasar),

nilai sensitivitasnya medium sehingga diperkirakan tidak memberikan

dampak negatif yang besar terhadap daya saing produk lokal.

Walaupun Batam, bukan termasuk wilayah sentra produksi utama

buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia, namun nilai

sensitivitasnya yang tinggi terkait dengan adanya kemudahan faslitas

dalam mendistribusikan buah-buahan dan sayuran segar dari Batam

ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, Batam termasuk salah satu

wilayah produksi produk-produk industri.

8. Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha melakukan impor

produk hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi permintaan

konsumen. Alasan penting urutan kedua dari melakukan impor

produk-produk hortikultura dan industri adalah karena konsisten dalam

supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan derajat

kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu

produk impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah.

147

9. Dari analisis semantic differential, diketahui bahwa daya saing produk

hortikultura lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan

produk impor. Atribut-atribut dari produk hortikultura lokal yang harus

segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent adalah

(1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran, (3) rasa,

(4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai

masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma.

10. Demikian pula daya saing produk industri lokal ternyata lebih rendah

dibandingkan dengan produk impor. Atribut-atribut dari produk industri

lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat

urgent adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe

produk; dan (4) kemasan/packaging produk.

11. Untuk meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang

termasuk prioritas pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan

distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan kecepatan dan

efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk lebih melindungi

produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)

penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

12. Para pihak yang diperkirakan akan diuntungkan atau menerima

dampak positif dari kebijakan penetapan pelabuhan tertentu sebagai

pintu masuk produk-produk tertentu ini berturut-turut mulai dari yang

paling besar menerima dampak positifnya adalah (1) para produsen

dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain pihak,

stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari

kebijakan ini brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak

negatif paling besar adalah (1) para importir, (2) industri pengolah, dan

(3) para konsumen di dalam negeri. Namun demikian, secara sistem,

kebijakan ini diperkirakan akan dapat memberikan dampak positif

secara nasional yang relatif tidak besar.

13. Pemindahan pintu masuk impor produk hortikultura dari Pelabuhan

Tanjung Priok ke pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya

148

pengangkutan produk. Pemindahan pintu masuk impor akan

menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 80 - 100 juta/kontainer 40”

untuk produk hortikultura. Sedangkan untuk produk industri akan

menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 50 - 77 juta/kontainer 40”

6.2. Rekomendasi

1. Pelabuhan-pelabuhan yang disurvei telah memenuhi standar pada

kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan dan kriteria

Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Yang perlu diperbaiki agar

pelabuhan tersebut memenuhi kriteria sebagai pelabuhan impor adalah

meningkatkan Fasilitas Pelabuhan Laut dan Wilayah Perairan untuk

Pelabuhan Laut

2. Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,

Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)

akan dijadikan pintu masuk produk-produk hortikultura dan industri,

saran prioritas utama yang harus diperbaikinya di seluruh willayah

pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal.

Khususnya di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan

karena pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra produksi

terbesar dari produk-produk hortikultura yang tercakup pada Permentan

No.89 Tahun 2011.

3. Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal

yang harus segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi

supply, (2) tampilan kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5)

tampilan warna, (6) harganya yang dinilai masih lebih mahal dari

produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal, atribut-atribut

produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1)

merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)

kemasan/packaging produk.

4. Untuk meningkatkan daya saing produk industri lokal, faktor-faktor

yang termasuk prioritas pertama untuk segera ditangani adalah (1)

149

perbaikan distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan

kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk

lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi ,

dan (4) penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

5. Secara total, kebijakan ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan

dampak positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan

untuk terus diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara

periodik, dan disempurnakan serta diperkuat dengan peraturan-

peraturan lainnya untuk meningkatkan efektifitasnya dalam

meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan industri lokal.

6. Untuk memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri

yang daya saingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk

impor, diperlukan peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non

tariff barriers antara lain persyaratan sertifikat halal dan keamanan

pangan untuk produk-produk makanan dan minuman; penerapan SNI

wajib serta pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya

rekomendasi dari Kementrian terkait juga harus lebih selektif.

DAFTAR PUSTAKA

AFFA (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Australia), University of Queensland, and National Food Industry Strategy 2002. Forming and managing supply chains in agribusiness: learning from others. Canberra, AFFA.

APICS Dictionary, 10th ed.

Asheghian, P and B. Ebrahimi. 1990. International Business. Harper and Row, Publishers, Inc., New York.

Asian Development Bank. 1992. Comparative advantage study of selected industrial crops in Asia. Competitive and comparative advantage in tea: Indonesia and Sri Lanka. RETA 5382. The Pragma Corporation. Falls church, VA 22046.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur. 2011. Ringkasan Laporan Akhir Kajian Pengembangan Pelabuhan Regional Yang Tidak Diusahakan Sebagai Pengungkit Perekonomian Di Jawa Timur.

Brouwers. 2006. Stakeholder Analysis. Paper presented in Market Access and Sustainable Development Course. Wageningen International, November 6 – 17, 2006.

Chen, K dan Y. Duan. 1999. Competitiveness of Agri-food Exports Against Competitors in Asia: 1980-97. Project Report, Department of Rural Economy, University of Alberta, Edmond, Canada.

Calory, R. 1992. Effective Strategies in Emerging Industries in The Strategic Management Technological Innovation. John Willey & Sons Ltd., England.

Ciptono , W.S. and P. Pujiwasono. 2000. Concurrent engineering : method for developing new products. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 15 (1), p : 115-132.

Cohen, D. 1981. Consumer Behavior. Random House Business, New York.

Deming, W.E. 1986. Out of Crisis. MIT, Center for Advanced Engineering Study, Cambridge.

Engel, F.J.; R.D. Blackwell; and P.W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi keenam, jilid 1. Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta.

Evans, J. and B. Berman. 1982. Marketing. Macmillan Publishing, USA

Folkerts, H and Koehorst, H. 1998. Challenges in international food supply chains: vertical co-ordination in the european agribusiness ad food industries. British Food Journal, 100.

Gasperz, V. 1997. Manajemen Kualitas. Penerapan Konsep-konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Yayasan Indonesia Emas dan Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gumbira Sa’id, E. 1999. Kebijakan teknologi di Indonesia. Materi Kuliah Manajemen Agroindustri pada Program S3 Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Keegan, W.J. 1989. Multinational Marketing Management. Percentice Hall, Engle Wood Cliffs, New York.

Kolarik, W.J. 1995. Creating Quality: Concepts, System, Strategies, and Tools. Mc.Graw-Hill International Editions, New York.

Kotler,P. 1993. Manajemen Pemasaran. Analisa, Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian. Terjemahan A. Zakaria Afiff. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Leamer, E.E. and R.M. Stern. 1970. Quantitative International Economics. Aldine Publishing Company, Chicago.

Ma’arif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta: PT Grasindo.

Marimin. 2003. Pengambilan Keputusan Berbasis Indeks Kinerja. Teori Keputusan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Grasindo

McDaniel Jr., Carl. and Gates, Roger. 2010. Marketing Research Essentials, 7th Edition. USA: John Wiley & Sons.

Monke, E.A. dan S.R. Pearson. 1996. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca and London.

Muhammad, H.A. dan S. Habibah. 1993. The constant market share analysis: an an application to NR export of major producing countries. J. Nat. Rubb. Res. 8 (1): 68-81.

Nasoetion, A. 1980. Metode penilaian citarasa I. Departemen Ilmu Kesehatan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press. A Division of Macmilan, Inc., New York.

Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta.

Porter, M. 1996. What is strategy?. Harvard Business Review 74 (6).

Parsaei, H.R. and W.G. Sullivan. 1993. Concurrent Engineering: Contemporary Issues and Modern Design Tools. Chapman and Hall.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan. 2007. Kajian Daya Saing Produk Hortikultura dan Rempah-rempah Indonesia di Pasar Internasional.

Rosenberg, L.J. 1977. Marketing. Prentice Hall Inc., New Jersey

Sadono, S.M; G.T. Mulyati; dan W. Purwanto. 2000. Implementasi konsep Quality Function Deployment (QFD) untuk meningkatkan kualitas produk usaha bakery. Agritech 20(4).

Setijadi (2009). Sistem Logistik. Bandung. Universitas Widyatama.

Simamora, Bilson. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Soehardjo. 1980. Penilaian makanan secara obyektif. Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Suyono (2005). Shipping: Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut. Jakarta. Penerbit PPM.

Suprihatini, R. 1998. Analisis daya saing nenas kaleng Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 17 (2).

Suprihatini, R. 1999. Analisis daya saing mangga segar Indonesia. Jurnal Hortikultura 9 (3).

Suprihatini, R. 2005. Daya saing ekspor teh Indonesia di pasar teh dunia. Jurnal Agro Ekonomi 23 (1).

Tyers, R., P. Phillips; and D. Lim. 1985. ASEAN-Australia trade in manufactures: a constant market share analysis, 1970-1979. In Lim, D. (ed). 1985. ASEAN-Australia Trade in Manfactures. Longman Chashire, Melbourne.

USAID. 2008. Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan UU Pelayaran Tahun 2008.

Warr, P.G. 1992. Comparative advantage and protection in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 28 (3), p : 41-70.

Woods, E.J. 2004. Supply-chain management: understanding the concept and its implication in developing countries. In Agri-product Supply-Chain Management in Developing Countries. ACIAR Proceedings No.119. Australian Center for International Agriculture Research