laporan itto project tfl-pd · laporan kegiatan 2.1: nilai memenuhi syarat lembaga yang ada untuk...
TRANSCRIPT
LAPORAN
Kegiatan 2.1: Nilai memenuhi syarat lembaga yang ada untuk memantau pelaksanaan TLAS
Kegiatan 2.2: Review peran dan operasi lembaga.
KEMENTERIAN KEHUTANAN, REPUBLIK INDONESIA
2011
ITTO Project TFL-PD
010/09 REV. 1 (M) Lembaga Independen untuk memantau pelaksanaan
Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk sumber kayu dari hutan masyarakat dan hutan
tanaman rakyat yang diusulkan Stepi Hakim (Consultant)
LAPORAN
Kegiatan 2.1: Penilaian terhadap lembaga yang memenuhi syarat sebagai pemantau pelaksanaan SVLK Kegiatan 2.2: Analisa peran dan pelaksanaan lembaga pemantau pelaksanaan SVLK
M A N G G A L A W A N A B A K T I K E M E N T E R I A N K E H U T A N A N - J A K A R T A
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
2
Contents 1.1 Pendahuluan ........................................................................................................................... 3
1.2 Tujuan .................................................................................................................................... 4
1.3 Output yang diharapkan ......................................................................................................... 5
1.4 Metodologi .............................................................................................................................. 5
1.5 Periode Studi ........................................................................................................................... 5
1.6 Hasil ......................................................................................................................................... 6
1.7 Diskusi ................................................................................................................................... 12
1.8 Kesimpulan ............................................................................................................................ 18
Lampiran 1. Profil NGO .................................................................................................................... 20
Lampiran 2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No: P.02//VI-BPPHH/2010
(Lampiran 4 & 5) ............................................................................................................................... 50
Lampiran 3. Catatan Rapat di Semarang – 12 November 2010 ....................................................... 59
Lampiran 4. Catatan Rapat di Surabaya– 12 November 2010 ......................................................... 63
Lampiran 5. Catatan Rapat di Bandung – 1 Desember 2010 ........................................................... 68
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
3
1.1 Pendahuluan Kementerian Kehutanan merilis Peraturan Menteri Nomor P. 38/Menhut-II/2009 tentang
sertifikasi manajemen hutan lestari (PHL) dan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (LK) untuk
produk kayu. Hal ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan
Produksi tentang Kriteria dan Pedoman sertifikasi PHL dan LK (P.6/VI-Sec / 2009) pada tahun
2009 dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan sertifikasi PHL dan LK (P.02 / VI-BPPHH/2010) pada
tahun 2010.
Peraturan di atas adalah pondasi dasar untuk pelaksanaan Standard Verfikasi Legalitas Kayu
(SVLK) Indonesia di lapangan. Sebagai program nasional baru yang secara langsung
mempengaruhi pangsa pasar produk kayu Indonesia di pasar internasional, SVLK membutuhkan
persiapan serius sebelum diimplementasikan.
SVLK Indonesia memiliki karakter standar spesifik dan unik yang tidak mudah dimengerti oleh
masyarakat umum yang tidak akrab dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Telah diakui
bahwa para pemangku kepentingan (instansi pemerintah, pelaku sektor swasta seperti
perusahaan-perusahaan kehutanan dan badan-badan verifikasi; dan masyarakat sipil) yang
terlibat dalam pelaksanaan SVLK harus memiliki keterampilan teknis yang memadai, baik itu
sumber daya manusia dan sumber lainnya untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Untuk kondisi yang memungkinkan, SVLK dan standarnya harus diperkenalkan dengan lingkup
yang luas pada para pemangku kepentingan melalui proses diseminasi. Jika sosialisasi tidak
dipersiapkan dengan seksama, maka akan tidak efektif, dan akan membuang-buang uang dan
tidak dapat mencapai target.
Pelaksanaan SVLK akan melibatkan KAN (Komite Akreditasi Nasional) sebagai lembaga
terakreditasi, LP & VI (sertifikasi independen dan tubuh verifikasi) sebagai lembaga bersertifikat,
IM sebagai pemantau independen, IUPHHK atau IUI sebagai unit manajemen, dan Departemen
Kehutanan selaku pemerintah dan pembuat sistem.
Menurut Pasal 14 (Ayat 1, 2 dan 3) dari P.38/Menhut/II/2009,
menyatakan bahwa masyarakat sipil atau organisasi non-
pemerintah (LSM) berhak untuk menjadi pemantau
independen (IM) dalam proses penilaian SVLK. Jika
masyarakat atau LSM keberatan dengan hasil penilaian
sertifikasi, maka keberatan tersebut harus disampaikan
kepada badan sertifikasi independen dan verifikasi (LP & VI)
dalam waktu 20 hari. Jika keberatan tidak dapat diselesaikan
maka LSM atau masyarakat bisa mengajukan klaim kepada
Komisi Akreditasi Nasional (KAN).
Pemantauan independen diharapkan mampu untuk memberikan jaminan kepada semua pihak
yang berkepentingan bahwa sistem tersebut bekerja seperti yang direncanakan dan mampu
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
4
menjaga kredibilitasnya. Lembaga sepeti itu belum terbentuk karena badan pemantau
independen harus lah menjadi lembaga yang independen, non-politik, dan memiliki
keterampilan yang diperlukan dalam menjamin independensi dan obyektifitasnya.
Dalam memonitor pelaksanaan SVLK Indonesia, lembaga tersebut harus; (i ) memeriksa semua
aspek dengan menggunakan praktik audit terbaik; (ii) mengidentifikasi ketidaktaatan dan
kegagalan sistem, dan (iii) melaporkan hasil temuannya kepada pemerintah.
Organisasi masyarakat sipil di sektor kehutanan independen dapat memantau verifikasi legalitas
dan penerbitan sertifikat legalitas. Namun, pedoman / protokol untuk memantau implementasi
SVLK oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil belum dirumuskan.
Mengapa kita perlu pemantauan independen? Monitoring independen merupakan komponen
penting dari verifikasi yang efektif. Hal ini dapat:
• memberikan kepastian kepada pemerintah dan masyarakat mengenai kebenaran klaim;
• memberikan umpan balik kepada para manajer untuk meningkatkan kinerja;
• memperkuat legitimasi sistem verifikasi, dan
• meningkatkan kredibilitas produk kayu di pasar
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, keberadaan pemantau independen sangat dibutuhkan
dalam sistem verifikasi. Namun, sampai saat ini belum ada lembaga atau organisasi yang
melaksanakan pemantauan implementasi SVLK di lapangan. Pada
kenyataannya, memang sudah ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang
secara khusus memiliki peran dalam membantu masyarakat untuk
memperoleh sertifikasi hutan mereka. Namun, peran mereka (LSM yang
membantu masyarakat tersebut) akan sedikit berbeda dengan LSM yang
nantinya melaksanakan pemantauan implementasi SVLK. Oleh karena
nya akan penting untuk memisahkan peran LSM-LSM tersebut dan
mendefinisikan peran dan tanggung jawab masyarakat sipil / LSM dalam pemantauan
implementasi SVLK, termasuk pedoman, mekanisme dan prosedur. Konsultasi publik dan diskusi
kelompok perlu dilakukan dalam rangka mendefinisikan kriteria dan indikator untuk lembaga
atau organisasi yang memenuhi syarat sebagai pemantau independen bagi pelaksanaan SVLK.
Laporan ini, di sisi lain, bertujuan untuk menentukan peran dan tanggung jawab masyarakat sipil
/ LSM sebagai Pemantau Independen bagi pelaksanaan SVLK. Diskusi dan pertemuan dilakukan
dengan masyarakat sipil di tiga provinsi yang berbeda. Isu yang terkait dengan kelayakan untuk
pemantauan independen telah dibahas dengan para lembaga dan organisasi masyarakat. Ada
sekitar 24 organisasi termasuk perkumpulan petani berpartisipasi dalam pertemuan tersebut.
1.2 Tujuan: Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Untuk menilai instansi terkait yang ada dan kelayakan untuk memantau pelaksanaan SVLK
1.2.2 Untuk mengkaji peran dan pelaksanaan lembaga yang memenuhi syarat untuk diusulkan
sebagai lembaga independen
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
5
1.2.3 Untuk melakukan diskusi dengan pihak terkait sebagai mitra Dephut dalam melakukan
kegiatan serupa
1.2.4 Untuk melaksanakan pertemuan / diskusi kelompok pemangku kepentingan di tiga provinsi
dihadiri oleh para pemangku kepentingan yang relevan untuk berbagi informasi tentang
lembaga pemantauan independen
1.2.5 Untuk menganalisis profil kandidat lembaga pemantau independen, termasuk profil
lembaga-lembaganya, sumber keuangan, kegiatan dll, (track record dalam melakukan
pemantauan independen)
1.2.6 Untuk memberikan saran bagaimana meningkatkan sistem pengawasan yang independen.
1.3 Output yang diharapkan 1.3.1 Dianalisa dan diusulkannya kelayakan lembaga pemantau independen dari kelompok
masyarakat di tiga provinsi (Barat, Tengah, dan Jawa Timur)
1.3.2 Ditinjau dan ditetapkannya peran dan pelaksanaan lembaga yang memenuhi syarat untuk
diusulkan sebagai badan independen
1.4 Metodologi 1.4.1 Wawancara (semi-struktur) dan pertemuan akan dilakukan selama konsultasi
1.4.2 Fokus diskusi kelompok akan digunakan dalam rangka untuk menentukan peran dan
tanggung jawab organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan pelaksanaan SVLK.
Selama diskusi, peraturan Direktorat Jenderal BUK (P.02/VI-BPPHH/2010) akan digunakan
sebagai acuan utama, terutama Lampiran 4 dan 5 tentang Pemantauan Independen dan
Tata Cara Pengaduan di Proses Sertifikasi dan Verifikasi, masing-masing. Peraturan tersebut
disajikan pada Lampiran 1 pada rencana kerja.
1.4.3 Desktop studi dan pengumpulan data akan dilakukan untuk memperoleh profil organisasi
masyarakat sipil termasuk kegiatan mereka yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat.
1.5 Periode Studi Kegiatan sudah dimulai sejak minggu kedua bulan November 2010 sampai minggu pertama
Januari 2011. Kegiatan detail disajikan sebagai berikut:
November 2010 December 2010 Jan 2011
Kegiata 2 3 4 1 2 3 4 1
Desktop Studi dan Pengumpulan Data
Presentasi Dephut (Usulan Kegiatan)
Focus Group Discussion di Jawa Tengah (Semarang)
Focus Group Discussion di Jawa Timur (Surabaya)
Focus Group Discussion di Jawa Barat (Bandung)
Presentasi Dephut (Temuan
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
6
Fakta)
Menganalisis Data
Penulisan Laporan
Menyelesaikan Laporan
1.6 Hasil
Tiga lokakarya formal telah dilakukan di tiga lokasi yang berbeda. Pertemuan Semarang
dilakukan pada tanggal 16 November 2010. Pertemuan Surabaya dilakukan pada tanggal 24
November 2010, sedangkan lokakarya di Jawa Barat dilakukan di Bandung pada 1 Desember
2010. Komunikasi pribadi dan diskusi dengan LSM dan pengamat dilakukan melalui telepon,
email, dan pertemuan langsung dengan lembaga-lembaga tersebut. Dua pertemuan lain
dilakukan di Bogor (21 Desember) dan Semarang (23 Semarang) sebagai pertemuan tambahan
untuk pengembangan kode etik untuk pemantauan independen. Ada beberapa LSM yang
berpartisipasi dalam lokakarya. Pertemuan putaran pertama di tiga tempat yang berbeda, total
LSM berpartisipasi dalam pertemuan adalah 20 LSM dan dua kelompok tani. Pertemuan
tambahan untuk putaran kedua di Bogor dan Semarang dihadiri oleh 24 LSM dan 1 donor
(MFP2/DfiD).
First Round Meeting NGOs Farmer Group Auditor Donor Government
16.11.2010 – Semarang 7 1 - - 2
24.11.2010 – Surabaya 8 1 1 - 2
01.12.2010 – Bandung 5 - 1 - 2
Total 20 2 2 6
Second Round Meeting
21.12.2010 – Bogor 7 - - 1 -
23.12.2010 – Semarang 17 - - - -
Total 24 - - 1 -
Catatan Rapat untuk pertemuan putaran pertama tersedia pada Lampiran.
1.6.1 Profil LSM
Jawa Tengah & Yogyakarta
Berdasarkan LSM yang berpartisipasi dalam workshop, sebagian besar adalah LSM-LSM yang
berurusan dengan pemberdayaan masyarakat di Hutan Jawa. Beberapa dari mereka
memfasilitasi para petani untuk mencapai sertifikasi pengelolaan hutan lestari. PERSEPSI,
misalnya, adalah sebuah LSM lokal yang didirikan pada tahun 1993 yang telah memfasilitasi
16 kelompok tani di Jawa. 10 dari 16 kelompok tani tersebut telah mencapai sertifikasi
Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) untuk hutan rakyat. Persepsi telah memfasilitasi dan
memberdayakan masyarakat untuk memastikan kayu berasal dari sumber daya yang
berkelanjutan. Peningkatan kapasitas dan peningkatan kesadaran juga disediakan oleh
Persepsi. Dalam rangka sertifikasi hutan masyarakat, Persepsi menggunakan standar LEI dan
FSC.
LSM lain serupa memberikan pemberdayaan masyarakat di Jogyakarta dan Jawa Tengah
adalah ARuPA. LSM ini didirikan pada tanggal 16 Mei 1998 di Yogyakarta. Pengalaman LSM
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
7
ini adalah mempromosikan desentralisasi sumber daya hutan kepada masyarakat lokal.
Fasilitasi yang disediakan oleh ARuPA kepada masyarakat adalah untuk meningkatkan
keterampilan negosiasi masyarakat dalam posisi tawar masyarakat dengan Perusahaan
Negara (Perum Perhutani), untuk memberdayakan organisasi masyarakat, dan untuk
mengembangkan kebijakan komunitas hutan. ARuPA bersama dengan Shorea dan PKHR
UGM dalam memfasilitasi Koperasi Wana Manunggal Lestari
untuk memperoleh Sertifikat PHBML (Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat). Sertifikat diberikan pada tahun 2006.
ARuPA memfasilitasi masyarakat (Paguyuban Kelompok Tani
Sekar pijer) di Desa Girisekar untuk sertifikat tersebut
(401,87 ha) 1.
Yayasan Shorea, di sisi lain, secara aktif memberdayakan masyarakat dalam rangka untuk
memastikan hutan dikelola secara berkelanjutan. Hutan pribadi yang lebih dikenal sebagai
Hutan Rakyat di Gunungkindul, difasilitasi oleh Shorea untuk mendapatkan hutan
bersertifikat. Luas hutan di Desa Dengok meliputi 229,10 ha yang dikelola oleh Kelompok
Tani Hutan Ngudi Lestari di mana kelompok ini difasilitasi dan diberdayakan oleh yayasan
Shorea. Pada tahun 2006, hutan ini memperoleh sertifikat LEI PHBML (di bawah Koperasi
Wana Manunggal Lestari). Para kelompok tani hutan Ngudi Lestari adalah anggota dari
Koperasi Wana Manunggal Lestari). Yayasan ini juga memfasilitasi masyarakat untuk
mengembangkan hutan tanaman berbasis masyarakat (HTR), hutan desa (HD), hutan
kemasyarakatan (HKm), Hutan Kota (HK), dan Hutan Adat (HA).
Dalam rangka menyebarluaskan pelajaran yang dipetik dari kegiatan LSM untuk masyarakat
yang lebih luas di Jawa, ada jaringan dari berbagai LSM yang disebut dengan JAVLEC (Java
Learning Center) yang dibangun pada tahun 2005. Kegiatan-kegiatan JAVLEC lebih kepada
memperhatikan perkembangan dari setiap inisiatif kehutanan masyarakat yang berbasis di
Jawa. JAVLEG awalnya dikembangkan oleh Yayasan Paramitra - Malang (Jawa Timur);
lesehan - Madiun (Jawa Timur); SUPHEL - Surakarta (Jawa Tengah); Shorea Foundation -
Yogyakarta; ARUPA - Yogyakarta; YBL Masta - Magelang (Jawa Tengah); dan PKKL Asketik -
Banten. Sampai saat ini jaringan memiliki 24 anggota. Jaringan juga didukung oleh 18 LSM
dan 18 orang individu. JAVLEC memiliki tiga divisi: INFOJAWA, CEF (Pemberdayaan
Masyarakat Fasilitas), dan PDF (Program Pengembangan Fasilitas). Melalui tiga divisi
tersebut, JAVLEC mencoba untuk memberikan pelayanan kepada para pemangku
kepentingan kehutanan informasi, dukungan keuangan kepada masyarakat, akses pasar, dan
pengembangan program.
PKHR2 UGM (Pusat Studi Masyarakat Kehutanan) adalah bagian dari unit teknis di bawah
Departemen Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Unit ini terutama untuk melaksanakan
penelitian dan pengembangan masyarakat di hutan masyarakat. Unit ini telah menghasilkan
jurnal komunitas kehutanan, buku-buku tentang kehutanan masyarakat, dan modul untuk
pelatihan kehutanan masyarakat. Sejak November 2008 PKHR bersama dengan Shorea dan
1 http://fwi.or.id/?p=64
2 http://pkhr.ugm.ac.id/
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
8
ARuPA telah mulai memfasilitasi masyarakat dalam rangka memperluas sertifikasi hutan di
Kedungkeris, Girisekar dan Desa Dengok. Petani-petani hutan desa tersebut kemudian
mendirikan koperasi yang disebut Wana Manunggal Lestari. Pada tahun 2006 Koperasi
memperoleh sertifikat LEI PHBML untuk 815,18 ha hutan.
STANBALONG3 adalah singkatan dari Serikat Tani Hutan Banyumas Pekalongan (serikat
petani hutan Banyumas Pekalongan). Serikat ini dibangun dalam rangka untuk
mempromosikan hak-hak petani pada sumber daya hutan di Jawa. Serikat buruh ini telah
mengembangkan plot demonstrasi bagi petani tentang bagaimana membangun hutan
tanaman. Pengembangan kapasitas melalui pelatihan untuk ternak pengusaha pemula dan
sekolah petani (SEKAR) yang difasilitasi oleh Serikat ini.
Yayasan lain yang secara aktif untuk meningkatkan keterampilan petani dalam mengelola
sumber daya hutan adalah Yayasan Damar4. Misi yayasan adalah untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia melalui beberapa program atau
kegiatan: penelitian, advokasi kebijakan, pemberdayaan masyarakat, pengetahuan dan
penyebaran informasi dan publikasi.
NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan
Pengembangan Masyarakat
Peningkatan Kapasitas
Kampanye & Peningkatan Kesadaran
Mekanisme Resolusi Konflik
ARuPA √ √ √ √ √
Shorea √ √ √ √ √
Persepsi √ √ √ √ -
Suphel √ √ √ √ √
Damar - √ √ √ -
PKHR UGM √ √ √ √ -
PPHJ Jateng - √ √ √ √
Bioma - √ √ √ √
Paguyuban Petani HkM “Bukit Seribu”
- - √ - √
JAVLEG - √ √ √ √
Stan Balong - √ √ √ √
Jawa Timur
Tidak seperti LSM di Jawa Tengah, sebagian besar peran LSM di Jawa Timur lebih kepada
pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pengembangan masyarakat, peningkatan
kapasitas, peningkatan kesadaran / kampanye, dan resolusi konflik. Hanya ada beberapa
LSM di Jawa Timur yang memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh sertifikasi hutan.
Sehingga, beberapa LSM di Jawa Tengah dan Yogyakarta memperluas kegiatan mereka
untuk membantu LSM-LSM di Jawa Timur untuk kegiatan sertifikasi hutan seperti Persepsi.
Organisasi ini memiliki lokasi lahan di Pacitan, Magetan, Tulungagung, Trenggalek, Kediri,
Jombang, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Pamekasan, dan Bangkalan.
3 http://stanbalong.blogspot.com/
4 www. damar.or.id
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
9
Organisasi lain seperti YBKM, LP3M Algheins, HISPAM, PWP Pacitan, dan LPKP Malang,
sebagian besar fokus dalam pengembangan masyarakat, peningkatan kapasitas, peningkatan
kesadaran, dan mekanisme resolusi konflik. Beberapa LSM-LSM lain yang memberdayakan
masyarakat yang tinggal sekitar Hutan Negara (Perhutani) diantaranya adalah Yayasan
Paramitra. Yayasan ini telah memfasilitasi masyarakat dalam mencapai 37,5 ha lahan untuk
pemanfaatan hutan hak. Organisasi ini membangun dan memberdayakan lembaga
masyarakat lokal dalam rangka meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterampilan
negosiasi masyarakat dengan Perhutani.
NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan
Pengembangan Masyarakat
Peningkatan Kapasitas
Kampanye & Peningkatan Kesadaran
Mekanisme Resolusi Konflik
YBKM - √ √ √ √
LP3M Algheins - √ √ √ √
Paramitra - √ √ √ √
HISPAM - √ √ √ √
PWP Pacitan - √ √ √ √
LPKP Malang - √ √ √ √
Persepsi Jatim √ √ √ √ -
Kel. Tani Lestari - √ √ √ √
PESAT - √ √ √ √
Jawa Barat
Di Jawa Barat, ada banyak LSM berurusan dengan sertifikasi hutan seperti LEI (The
Indonesian Eco-labeling Institute), Telapak, WWF Indonesia, Tropenbos Indonesia, dan LATIN
(Lembaga Alam Tropika Indonesia). Namun, lokus kegiatan LSM-LSM yang tidak hanya di
Jawa Barat, tetapi juga mencakup tingkat nasional.
NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan
Pengembangan Masyarakat
Peningkatan Kapasitas
Kampanye & Peningkatan Kesadaran
Mekanisme Resolusi Konflik
LEI √ √ √ √ √
Tropenbos Indonesia
√ - √ √ √
Telapak √ √ √ √ √
JPIK √ - √ √ √
GRES Garut - √ √ √ -
Akar Kuningan - √ √ -
KANOPI Kuningan
- √ √ - -
KpSHK - √ √ √ -
LATIN √ √ √ √ √
Forest Watch Indonesia
- - √ √ √
LEI dikenal sebagai organisasi berbasis konstituen yang mengembangkan pertama sertifikasi
standar sukarela hutan di Indonesia. Standar ini tidak hanya untuk hutan alam, tetapi juga
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
10
untuk hutan tanaman dan hutan hak. LEI juga mengembangkan standar lacak balak. Sampai
dengan September 2010, 1,1 juta ha hutan alam telah disertifikasi dengan standar LEI,
sedangkan 704 205 ha hutan tanaman dan 25 000 ha hutan masyarakat telah disertifikasi
masing-masing.
Organisasi lain yang merupakan bagian dari program yang menangani sertifikasi di Indonesia
adalah Tropenbos Indonesia. The Indonesia Tropenbos (TBI Indonesia) adalah sebuah LSM
Belanda yang beroperasi di Indonesia. Tujuan khusus dari program Indonesia TBI adalah
untuk memasok Pemerintah Indonesia dengan informasi suara dan memadai untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan berbasis pengetahuan yang sesuai dan
meningkatkan pengelolaan kawasan lindung untuk kepentingan orang,
konservasi dan pembangunan berkelanjutan. The Indonesia TBI secara aktif
mempromosikan HCVF (Nilai Tinggi Konservasi Hutan) di Indonesia. HCVF
adalah salah satu tool standar dari Forest Stewardship Council (FSC)
mengenai pengelolaan hutan yang digunakan untuk menggambarkan
hutan-hutan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip
dan Kriteria FSC. Organisasi ini telah menerbitkan Pedoman Identifikasi Nilai
Konservasi Tinggi di Indonesia (HCV Toolkit Indonesia). HCV Toolkit
Indonesia dimaksudkan untuk melayani sebagai protokol standar untuk melakukan penilaian
HCV yang menjamin kualitas transparansi, dan integritas tinggi. Hal ini dilakukan dengan
menjelaskan langkah yang diperlukan dari penilaian HCV; mendefinisikan hak dan tanggung
jawab pihak yang terlibat, dan memberikan pedoman tentang minimum standar
pengumpulan data untuk menghasilkan output berkualitas tinggi secara efisien. Toolkit ini
telah ditulis secara luas dan berlaku untuk memungkinkan penggunaannya dalam berbagai
sektor, termasuk usaha kayu konvensional, perkebunan kelapa sawit atau pulp,
pertambangan dan perencanaan penggunaan lahan.
Telapak5 adalah sebuah organisasi yang bekerja pada monitoring dan advokasi pengelolaan
hutan, khususnya pembalakan liar dan perusakan hutan, selain itu juga mengembangkan
alternatif penangkapan untuk menghindari penangkapan ikan yang merusak;
mempromosikan praktek manajemen sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat
lokal pada DAS (DAS) dan Hasil Hutan Bukan Kayu; pemantauan perdagangan ilegal, serta
efektivitas dan pelibatan masyarakat dalam proyek kehutanan yang dibiayai dana hibah di
Indonesia, dan pemantauan keterlibatan masyarakat sipil Indonesia dalam inisiatif
internasional memerangi illegal logging.
Dengan dukungan dari Telapak dan jaringan, JPIK didirikan pada bulan September 2010 di
Bogor. JPIK singkatan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Jaringan ini
mengklaim bahwa telah memiliki 29 anggota dalam jaringannya. Salah satu tujuan jaringan
adalah dengan memonitor kegiatan kehutanan terutama proses sertifikasi hutan di
Indonesia.
LSM lain yang aktif di Jawa Barat bagian selatan adalah GReS (Lembaga Sosial dan
5 http://telapak.blogspot.com/1997/09/about-us.html
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
11
Lingkungan Keadilan). Program GReS adalah untuk mempromosikan pendidikan dan
pelatihan bagi masyarakat sipil di komunitas hutan untuk melakukan penelitian dan studi,
mendorong sekolah alternatif, dan untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat sipil
khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan kampanye.
LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) adalah LSM lainnya yang berurusan dengan
masalah kehutanan masyarakat dan pelatihan. LSM Ini didirikan pada tahun 1989 di Bogor.
Organisasi ini telah memberikan beberapa pelatihan untuk organisasi atau individu. Tematik
pelatihan yang diberikan oleh organisasi adalah sebagai berikut: perencanaan lahan
partisipatif, pemberdayaan masyarakat, GIS, analisis pemangku kepentingan, manajemen
konflik, pemetaan partisipatif, rehabilitasi hutan partisipatif, monitoring dan evaluasi
partisipatif, dan penelitian tindakan. LATIN mendukung pengembangan CBFM (pengelolaan
hutan berbasis masyarakat). Kanopi Kuningan yang mengembangkan model PHBM di
Kuningan adalah salah satu mitra LATIN's.
Singkatan KpSHK6 adalah Konsorsium Pendukung
Hutan Swasta. Ini adalah jaringan organisasi yang
didirikan pada tahun 1997 sebagai inisiatif dari
beberapa organisasi non-pemerintah, organisasi
masyarakat adat, peneliti dan individu yang peduli masalah pemanfaatan sumber daya alam,
terutama hutan di Indonesia. Sejak berdiri, KpSHK memainkan peran penting sebagai sebuah
organisasi gerakan yang dinamis untuk mendukung pengembangan hutan yang dikelola oleh
masyarakat adat dan komunitas lokal.
Kanopi adalah LSM lainnya yang berbasis di Kuningan Jawa Barat. Kanopi terutama
memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat hutan di Kuningan. Dua desa (Cileuya dan
Sukasari) dipilih sebagai model untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM). Desa-
desa tersebut difasilitasi oleh Kanopi. Pada tahun 2006, Kanopi memperoleh penghargaan
CBFM dari Departemen Kehutanan. Sampai saat ini, organisasi tersebut telah memfasilitasi
10 desa7 di kabupaten ini. Pada tahun 2007 dan 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
memberikan piala lingkungan terhadap Kanopi sebagai kelompok masyarakat yang peduli
dengan kondisi lingkungan di Jawa Barat.
Forest Watch Indonesia8 (FWI) adalah jaringan independen untuk memantau pengelolaan
hutan di Indonesia. FWI telah membentuk beberapa program pendukung, seperti: a)
membangun kapasitas teknis dari konstituennya, b) membangun organisasi, dan c)
penggunaan output FWI untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan kebijakan. Sampai
sekarang, FWI telah menyediakan beberapa database nasional untuk informasi hutan seperti
database industri kehutanan, database hutan HPH, dan peta interaktif perubahan
punutupan hutan Indonesia.
6 http://en.kpshk.org
7 http://www.latin.or.id/grs/kanopi-site-kuningan
8 http://fwi.or.id/english/
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
12
1.7 Diskusi Pada bagian ini, proses konsultasi dengan LSM dieksplorasi dan dibahas. Setiap isu dan topik
yang terkait dengan pengembangan pemantauan independen untuk TLAS Indonesia di Pulau
Jawa dibahas dengan LSM. Bagian ini juga akan menguraikan isu-isu yang berkaitan dengan
kelayakan organisasi untuk menjadi sebagai pemantauan independen TLAS untuk masing-masing
provinsi di Pulau Jawa. Peran dan tanggung jawab dari LSM-LSM tersebut disajikan juga dalam
bagian ini.
1.7.1 Isu yang terkait dengan kelayakan Pemantau Independen
Pemantau Independen untuk TLAS tidak seharusnya dipilih atau ditetapkan oleh Pemerintah.
Pemantau independen dapat dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Beberapa LSM dan CSO bisa mengembangkan jaringan
dan menyatakan sebagai pemantauan independen untuk kehutanan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: P. 38/Menhut-II/2009 dan P.02/VI-BPPHH/2010,
definisi pemantau independen adalah sebagai berikut:
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat sipil dalam sektor kehutanan
yang dapat berfungsi sebagai pemantau independen
- Pemantau Independen termasuk pengamat kehutanan, LSM yang terdaftar sebagai
lembaga lokal Indonesia, masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan di
mana pemegang izin atau pemilik hutan hak beroperasi, dan warga negara Indonesia
lainnya yang peduli terhadap sektor kehutanan.
- Pemantau independen seharusnya tidak memiliki hubungan langsung maupun tidak
langsung atau dengan LP & VI dan pemegang lisensi
Bagaimana dan siapa yang akan menentukan kelayakan organisasi untuk menjadi sebagai
pemantau independen? Pertanyaan ini muncul selama konsultasi. Secara umum, LSM atau
CSO bisa menyatakan sebagai pemantauan independen untuk SVLK. Namun, apakah
pengakuan dari orang-orang LSM atau organisasi masyarakat sipil tersebut dapat diakui oleh
pihak-pihak yang berkepentingan? Tanpa pengakuan terutama dari otoritas, dampaknya
adalah banyak kasus yang dilaporkan oleh LSM tidak akan ditindaklanjuti oleh pihak yang
berwajib.
Selama diskusi dan konsultasi, sebagian besar LSM dan CSO termasuk kelompok tani sepakat
bahwa kelayakan menjadi Pemantau Independen harus didefinisikan oleh LSM atau CSO dan
harus melalui konsensus atau kesepakatan termasuk Kriteria dan indikator untuk kelayakan
bersangkutan. Pemerintah dipersilahkan untuk memberikan masukan sehubungan dengan
kelayakan tetapi keputusan yang diambil harus berdasarkan konsensus dari LSM dan CSO.
Dengan kata lain, tidak akan diperbolehkan adanya intervensi dari Pemerintah terkait
keputusan terhadap kelayakan tersebut.
Dalam rangka untuk memastikan organisasi atau warga negara sebagai pemantau
independen, pendaftaran bagi lembaga yang berminat menjadi pemantau diperlukan.
Namun, kepada siapa itu harus didaftarkan adalah masalah lain. Bersama ini beberapa isu
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
13
yang berkaitan dengan kelayakan seperti pendaftaran, ruang lingkup pemantauan, jaringan
akan disajikan di bawah sebagai berikut:
1.7.2 Pendaftaran & Jaringan
Definisi pendaftaran telah diperdebatkan selama konsultasi dengan para LSM dan CSO. LSM
mengklaim bahwa organisasi mereka sebagai pemantau independen tidak perlu didaftarkan
kepada Pemerintah. Ini akan melemahkan peran LSM dalam memantau SVLK di lapangan. Di
sisi lain, Pemerintah akan menghadapi kesulitan untuk mengidentifikasi LSM yang akan
melakukan pengawasan di lapangan. Selain itu, jika ada konflik antara LSM dan LP & VI, hal
tersebut akan mempersulit kepada Pemerintah untuk menentukan apakah LSM tersebut
adalah organisasi yang terdaftar sebagai Pemantau Independen untuk SVLK atau bukan.
Ada saran bahwa LSM akan mengembangkan pendaftaran sendiri, termasuk kode etik bagi
organisasi untuk menjadi sebagai pemantauan independen. Untuk menghindari intervensi
dari pemerintah, sistem pendaftaran untuk pemantauan independen akan dikembangkan
dan diatur oleh LSM dan CSO. LSM berbasis di Jawa Tengah dan Yogyakarta akan
mengembangkan jaringan LSM untuk pemantauan
independen untuk wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta
Region. Begitu LSM telah didaftarkan, jaringan akan meminta
kepada Pemerintah untuk mengakui para anggota jaringan
menjadi sebagai pemantau independen di sektor kehutanan.
Dengan kata lain, LSM tidak akan mendaftar ke Pemerintah,
tetapi sebenarnya Pemerintah diminta untuk mengakui LSM.
Berdasarkan diskusi dengan LSM / CSO di tiga tempat yang berbeda, disepakati bahwa
pemantauan independen harus dalam bentuk sebuah organisasi jaringan. Hal ini akan
membantu koordinasi organisasi efisien dalam memantau proses sertifikasi di seluruh
negeri.
Berdasarkan pertemuan yang dilakukan di Semarang pada tanggal 23 Desember 2010, para
peserta sepakat untuk membentuk jaringan untuk pemantau independen. Anggota untuk
jaringan akan mencakup tiga provinsi (Tengah dan Jawa Timur, dan Yogyakarta). Para
anggota mungkin disertakan untuk LSM dari Jawa Barat. Prosedur Perekrutan untuk menjadi
sebagai anggota jaringan itu dibahas dalam konsultasi di Bogor (21 Desember 2010) dan
Semarang (23 Desember 2010).
Siapakah yang berhak untuk menjadi anggota dari jaringan untuk pemantau independen?
Menurut P.38/2009 dan P.02/2010, pemantauan independen bisa sebagai berikut:
- Organisasi Non Pemerintah
- Masyarakat Sipil termasuk pengamat kehutanan, masyarakat sekitar hutan dimana
sedang terjadi pengelolaan hutan, dan warga negara Indonesia yang peduli terhadap
sektor kehutanan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
14
Ada sebuah argumen bahwa individu tidak boleh sebagai pemantau independen karena
akan sulit untuk menjamin netralitas orang sehubungan dengan keberatan yang dikeluhkan
oleh yang bersangkutan.
Namun, mayoritas peserta setuju dengan pembebasan individu sebagai pemantauan
independen. Setiap orang memiliki hak untuk memantau pelaksanaan SVLK. Semakin banyak
orang memantau SVLK, maka kredibilitas lebih bagus dan system tersebut akan lebih mudah
dipantau oleh Pasar. Dengan demikian, disepakati bahwa pengamat individu atau pengamat
bisa sebagai pemantau independen untuk SVLK.
Peserta juga mempertanyakan dengan LSM yang tidak
berhubungan dengan sektor kehutanan yang ingin menjadi
pemantau independen. Disepakati bahwa LSM tersebut tidak
akan dapat sebagai pemantau independen. Namun, jika LSM
tersebut menemukan kegiatan tidak teratur dalam SVLK, maka
kemudian LSM bersangkutan bisa melaporkan temuan mereka
kepada LSM lain yang berhubungan dengan sektor kehutanan.
Latar belakang akademik kehutanan tidak merupakan persyaratan dasar untuk menjadi
sebagai pemantau independen. Sebagian besar LSM di Jawa Timur menyatakan bahwa staf
lapangan mereka yang memiliki potensi sebagai pemantau independen sebagian besar latar
belakan akademik pertanian bukan kehutanan. Hal ini disepakati bahwa hanya LSM yang
berhubungan dengan kehutanan dan lingkungan yang memenuhi syarat untuk menjadi
anggota dari jaringan pemantauan independen.
Ada pertanyaan tentang Paguyubuan (sekelompok orang dengan minat yang sama, tetapi
tidak memiliki status hukum sebagai sebuah organisasi) apakah memenuhi syarat untuk
menjadi anggota jaringan atau tidak. Para peserta sepakat bahwa Paguyubuan layak menjadi
bagian dari jaringan untuk memantau SVLK. Namun, untuk menjamin netralitas kelompok,
LSM akan membuat kriteria dan indikator untuk kelayakan organisasi untuk menjadi anggota
jaringan untuk memantau SVLK di Jawa.
Berdasarkan diskusi di Semarang (23 Desember 2010), individu atau LSM / CSO yang
memohon sebagai pemantauan independen dapat mendaftar sebagai anggota dari jaringan
jika persyaratan minimum dipenuhi. Persyaratan untuk menjadi anggota adalah sebagai
berikut: a) individu perorangan, kelompok masyarakat, dan organisasi non-pemerintah bisa
menjadi anggota jaringan, akan tetapi mereka harus direkomendasikan oleh minimal 2
institusi, dan disepakati minimal sebesar 50% + 1 dari anggota jaringan; b) kejelasan status
pemohon apakah sebagai pribadi atau sebagai perwakilan dari organisasi; dan c) jika
pemohon adalah dari organisasi, maka surat keterangan sebagai perwakilan dari organisasi
diperlukan.
1.7.3 Lingkup Monitoring
Berdasarkan P.38/2009 dan P.02/2010, ruang lingkup pemantauan untuk monitor
independen adalah hanya untuk memantau proses sertifikasi dan verifikasi hutan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
15
Keterlibatan pemantauan independen dalam proses sertifikasi mulai dari pengumuman
publik yang dilakukan oleh LP & VI mengenai awal penilaian sampai dengan penerbitan
sertifikasi. Pemantauan independen ini juga untuk memantau kinerja perusahaan hutan atau
industri setelah mereka menerima sertifikat. Jika aktivitas tidak teratur ditemukan, maka
pemantau independen dapat melaporkan kepada LP & VI untuk mengusulkan audit khusus.
Kredibilitas sertifikat kemudian akan ditantang.
Di sisi lain, sistem sertifikasi tidak hanya tentang proses untuk mendapatkan sertifikat, tetapi
juga pada pengembangan standar termasuk proses prosedur pengaduan. Walaupun proses
akreditasi bukan merupakan bagian dari proses sertifikasi, akreditasi untuk LP & VI harus
dimonitor untuk memastikan kredibilitas dan transparansi dari proses akreditasi dilakukan
oleh KAN. Dalam hal ini, Pemantau Independen juga harus menjadi bagian dari itu.
Aksesibilitas dari informasi yang diperoleh pemantauan independen dibahas dalam LSM /
CSO. Menurut ARuPA, sulit untuk memperoleh data yang tepat dari konsesi hutan di
Kalimantan Timur pada penilaian SVLK. Ketika LSM lokal, Yayasan PADI bertanya ringkasan
publik dari hasil penilaian SVLK ke LP & VI yang ditunjuk, perusahaan audit tidak dapat
menyediakannya.
Data seperti pemegang lisensi, peta konsesi hutan, dll yang diperoleh LP & VI dari
perusahaan seharusnya dapat diakses juga oleh pemantau independen. Dengan demikian,
pemantau akan mampu membenarkan data tersebut untuk validasi dan konsistensi data
yang diberikan. Validasi dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, dan penyelidikan.
Rekaman, foto, dan laporan dapat digunakan sebagai data pendukung untuk validasi. LSM
dan CSO di Jawa Timur sepakat juga bahwa LSM yang terdekat dengan terjadinya penilaian
SVLK akan sesuai menjadi pemantau independen di situs tersebut. Pengalaman dan keahlian
organisasi-organisasi tersebut akan membantu proses verifikasi lebih kredibel, transparan,
dan representatif.
Karena peraturan yang ada (P.38/2009, P.06/2009,
dan P.02/2010) belum mendukung pemantau
independen untuk melihat proses akreditasi, LSM
dan masyarakat sipil sepakat bahwa peraturan
tersebut harus direvisi. Ruang pantauan untuk
pemantau independen harus mencakup tidak hanya
proses sertifikasi tetapi juga proses akreditasi
termasuk prosedur pengaduan. LSM dan CSO juga mengusulkan bahwa ketika proses
sertifikasi dilakukan, pada saat yang sama pemantauan ini terjadi.
1.7.4 Pembiayaan Pemantau Independen
Selama konsultasi, masalah untuk membiayai kegiatan pemantau independen masih
diperdebatkan. Dikarenakan pemantauan independen adalah bagian dari TLAS, maka
kegiatan pemantauan disarankan untuk didanai oleh pengembang TLAS, yaitu Pemerintah.
Di sisi lain, jika dana tersebut dari Pemerintah, maka intervensi dari pemerintah mengenai
hasil proses sertifikasi mungkin bisa terjadi. Jika ada ketidaksepakatan dengan hasil
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
16
pemantauan, maka pemantau independen mungkin bertentangan dengan Pemerintah (lihat
Kotak 1 di bawah).
Dalam kasus di Kamboja, donor asing khawatir tentang korupsi dalam bisnis kehutanan.
Pemerintah Kamboja kemudian menyewa Global Witness di tahun 1999 sebagai pemantau
independen. Namun, dalam periode pemantauan, Global Witness memberikan bukti bahwa
terjadi penebangan komersial di hutan Kamboja meskipun pada saat itu moratorium
penebangan pohon sedang berlaku di Kamboka. Global Witness telah mendokumentasikan
pelanggaran oleh perusahaan yang sering dikaitkan dengan para pejabat Kamboja dan yang
beroperasi dalam kawalan dari petugas kehutanan, dimana hal tersebut telah membuat
Global Witness berhadapan yang berisiko tinggi dengan pemerintah Phnom Penh9.
Akibatnya, Bank Dunia mengancam untuk menghentikan seluruh bantuannya yaitu AS $
20mil (RM76mil) untuk Kamboja kecuali pemerintah mengambil langkah dramatis untuk
melindungi hutan, termasuk pengembangan rencana untuk mengatur penebangan dan
melanjutkan kerjasama dengan kelompok para pemantau.
Box 1. Global Witness sebagai pemantau independen di Kamboja10
IFM di Kamboja (1999-2003)
Global Witness telah ditunjuk sebagai pemantau independen resmi sektor kehutanan Kamboja pada tahun 1999 dan memainkan peran ini
hingga tahun 2003. Unit Pemantau Kejahatan Kehutanan dibentuk setelah pertemuan 1999 Consultative Group untuk mengembangkan
kapasitas pemerintah Kamboja untuk mendeteksi dan menekan pembalakan liar, dan untuk menyediakan masyarakat internasional
dengan pengawasan independen dari proses ini, melalui penunjukan Global Witness sebagai Monitor Independen . Para FCMU terdiri dari
tiga komponen: 1. Kantor di Departemen Kehutanan dan Satwa Liar (DFW), yang dikenal sebagai Hutan Monitoring Crime Kantor (FCMO) yang dipantau
kejahatan hutan di hutan produksi 2. Kantor di Kementerian Lingkungan Hidup, yang dikenal sebagai Departemen Inspeksi (DI) yang dipantau kejahatan hutan di kawasan
lindung. 3. Monitor independen. peran Global Witness 'selama pelaksanaan proyek ini adalah untuk secara independen memantau kinerja badan-
badan di atas.
Secara teori, dua kantor pemerintah dioperasikan sistem informasi pelacakan paralel. kantor mereka provinsi dan kabupaten diharapkan
memberikan informasi, secara bulanan, ke dalam unit pengawasan. Informasi ini telah dimasukkan ke dalam sistem komputerisasi
pelacakan kasus, sehingga dalam serangkaian 'terbuka' kasus yang pemerintah Kamboja telah berkomitmen untuk mengambil tindakan. Namun, selama pelaksanaan seluruh proyek, ada masalah utama yang berhubungan dengan kurangnya kerjasama ditunjukkan oleh FCMO
untuk Monitor Independen dan DI, bersama-sama dengan kegagalan oleh DFW untuk melaporkan kegiatan ilegal oleh perusahaan konsesi.
Sebagian besar kasus terhadap HPH yang dilaporkan oleh Global Witness dan lagi tindak lanjut oleh DFW mengecewakan, dalam semua
kecuali satu kasus mereka gagal untuk mengambil tindakan yang sesuai terhadap perusahaan yang terlibat. Pada bulan April 2003, pemerintah Kamboja dihentikan peran Global Witness 'sebagai resmi Independen Monitor, melanggar ketentuan
Bank Dunia untuk pencairan lebih lanjut Struktural Bank Penyesuaian Kredit ke Kamboja. Global Witness terus bekerja pada negara dan
masih berkomitmen untuk memastikan bahwa hutan Kamboja dikelola untuk kepentingan semua, bukan hanya beberapa yang kuat.
Berdasarkan pengalaman Kamboja, dukungan keuangan dari Pemerintah untuk pemantauan
independen di Indonesia mungkin sebagai pilihan di mana organisasi akan dipekerjakan oleh
Pemerintah. Organisasi bisa ditunjuk melalui seleksi atau penawaran.
9 http://www.ecologyasia.com/news-archives/2003/mar-03/thestar_20030318_2.htm 10 http://www.globalwitness.org/campaigns/environment/cambodia/ifm-cambodia
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
17
Dalam hal sumber keuangan/pembiayaan, ada dua pilihan untuk membiayai pemantauan
independen yang muncul selama konsultasi adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah
Pemerintah akan mendukung kegiatan pemantauan selama proses sertifikasi. Dana
tersebut mungkin bersumber dari Anggaran Tahunan Kementerian (APBN). Sampai
saat ini, proses sertifikasi pertama untuk beberapa perusahaan HPH dan pabrik kayu
yang didanai oleh Pemerintah (Kementerian Kehutanan). Namun, untuk
perpanjangan sertifikasi, maka bagi perusahaan dan pabrik-pabrik akan didanai
sendiri. Dalam hal ini, disarankan bahwa anggaran untuk pemantauan independen
akan menjadi bagian dari anggaran untuk proses sertifikasi. Dengan kata lain, ketika
Pemerintah memberikan anggaran untuk proses sertifikasi, anggaran tidak akan
hanya mencakup untuk penilaian LP & VI, tetapi juga termasuk untuk kegiatan
pemantauan independen. Namun, prosedur tentang cara untuk mencairkan
anggaran untuk pemantauan independen baik melalui penawaran atau langsung
ditunjuk belum dibahas.
2. Dana Sendiri & donor internasional
Untuk menghindari intervensi baik dari pemerintah atau sektor swasta, pemantau
independen dapat menggunakan anggaran sendiri untuk kegiatan seperti
pemantauan, investigasi, dan kunjungan lapangan. Berdasarkan P.38/2009,
anggaran untuk TLAS bisa dari sumber eksternal
seperti donor. Ini berarti bahwa komunitas donor
internasional dapat mendukung TLAS melalui
penyediaan dukungan keuangan untuk pemantau
independen di Indonesia. Sampai sekarang, MFP 2
dengan kehutanan program DFID di Indonesia telah
memfasilitasi beberapa LSM menjadi pemantau
independen, sedangkan proyek ITTO telah mendukung LSM di Pulau Jawa untuk
hutan rakyat dan hutan tanaman negara berbasis masyarakat. Kapasitas tentang
cara memantau TLAS diberikan juga dari donor ke LSM.
Dana Uni Eropa (sekitar 500.000 EUR) melalui FLEGT VPA Persiapan dengan
mendukung partisipasi organisasi masyarakat sipil nasional akan proyek potensial
untuk mendukung pemantauan independen terhadap TLAS di Indonesia.
1.7.5 Peran LSM (Pemberdayaan versus Monitoring)
Hal ini telah diketahui bahwa sebagian besar LSM di Jawa, terutama di Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Yogyakarta berurusan dengan pemberdayaan masyarakat, khususnya dengan
petani hutan. Beberapa LSM seperti ARuPA, Persepsi, PKHR UGM, dan Shorea Foundation
mendukung masyarakat dalam memperoleh hutan mereka untuk disertifikasi.
Di sisi lain, untuk menjadi sebagai pemantau independen untuk SVLK, maka organisasi/
lembaga harus tidak ada hubungan langsung maupun tidak langsung atau dengan LP & VI
dan pemegang lisensi. Dalam konteks ini, LSM yang memberdayakan masyarakat dalam
mendapatkan sertifikasi hutan tidak seharusnya sebagai pemantau independen. Masalah ini
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
18
telah diperdebatkan dalam peserta selama pertemuan.
Sebagian besar peserta enggan untuk memisahkan antara peran mereka sebagai fasilitator
untuk pemberdayaan masyarakat dan sebagai pemantau untuk penilaian SVLK. Mereka
berpendapat bahwa jumlah LSM dalam menangani sertifikasi hutan sangat terbatas di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Akibatnya, LSM yang akan menangani pemantauan SVLK akan
menjadi tidak ada.
Berdasarkan diskusi, disepakati bahwa sampai saat ini belum ada pemisahan peran LSM
(baik sebagai fasilitator maupun sebagai pemantau). LSM tidak diperbolehkan untuk
melakukan pemantauan SVLK di desa di mana LSM melakukan pemberdayaan masyarakat.
Namun, seorang individu dari LSM bisa memberikan keluhan kepada LP & VI (auditor) jika
dia berpikir bahwa proses sertifikasi tidak kredibel.
LSM dan CSO dalam pertemuan pada tanggal 23 Desember 2010 juga menyatakan bahwa
Lampiran 4 titik E.1.c tentang definisi pemantau independen ("Lembaga (termasuk personil
lembaga) atau individu menjadi seorang pemantau independen seharusnya tidak memiliki
hubungan langsung maupun tidak langsung atau dengan LP & VI dan pemegang lisensi ")
harus dihapus. Hal ini karena siapa saja yang menyangkut dengan masalah kehutanan
memiliki hak untuk berpartisipasi sebagai pemantau independen. Dengan kata lain, setiap
orang dapat sebagai pemantau independen asalkan persyaratan minimum sebagai monitor
terpenuhi.
1.8 Kesimpulan Setelah konsultasi dengan 24 LSM di tiga tempat yang berbeda (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Jawa Barat), semua LSM tertarik untuk menjadi sebagai pemantauan independen untuk TLAS di
Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat tingginya tingkat partisipasi LSM-LSM untuk setiap pertemuan
yang dilakukan. Pertemuan putaran pertama dihadiri oleh 20 LSM. Jumlah ini meningkat menjadi
24 LSM untuk menghadiri pertemuan putaran kedua.
Sebagian besar LSM dan organisasi masyarakat sipil diundang di Jawa Tengah dan Yogyakarta
sudah familiar dengan fasilitasi dari sertifikasi hutan bagi masyarakat, sedangkan LSM dan
organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur yang akrab dengan advokasi dan pemberdayaan
masyarakat. Tidak seperti LSM-LSM di Jawa Timur dan Jawa Tengah / Yogyakarta, wilayah kerja
LSM berbasis di Jawa Barat meliputi tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga tempat-tempat lain
(luar pulau Jawa / nasional). Beberapa dari mereka adalah memiliki keahlian dalam
pengembangan sistem sertifikasi hutan seperti LEI atau Telapak untuk monitoring hutan dan
penyidikan. Beberapa LSM lainnya memiliki keahlian dalam fasilitasi sertifikasi hutan masyarakat
di Jawa Tengah / Yogyakarta seperti Persepsi, Shorea, PKHR UGM, dan ARuPA.
Kelayakan organisasi untuk menjadi pemantauan independen dibahas dalam konsultasi, namun
tidak banyak dieksplorasi lebih jauh. LSM dan masyarakat sipil percaya bahwa setiap orang yang
memiliki perhatian dengan masalah kehutanan dapat sebagai pemantau independen. Namun,
agar menjadi efektif, transparan, dan kredibel, kode etik pemantauan independen harus
dibangun dan ditetapkan serta disetujui oleh LSM yang terlibat. Beberapa isu-isu seperti
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
19
pendaftaran, networking, dukungan keuangan, dan ruang lingkup pemantauan dibahas selama
proses konsultasi. Dalam rangka meningkatkan pemantauan TLAS, LSM menyarankan bahwa
lingkup pemantauan tidak hanya selama proses tempat sertifikasi dilakukan, namun juga selama
proses akreditasi dan proses pengaduan yang disampaikan.
LSM dan masyarakat sipil sepakat bahwa bentuk organisasi pemantau independen di Pulau Jawa
untuk hutan swasta dan perkebunan berbasis masyarakat adalah sebuah organisasi jaringan.
Jaringan ini memiliki persyaratan minimum untuk setiap orang atau organisasi untuk
mengajukan sebagai pemantau independen. Salah satu persyaratan adalah bahwa pemohon
harus dicalonkan oleh organisasi (bila pemohon adalah suatu organisasi) dan harus disahkan
oleh anggota jaringan yang ada (50% + 1 anggota jaringan). Prosedur administrasi ini diperlukan
untuk menghindari organisasi palsu yang mengklaim sebagai pemantau independen selama
proses sertifikasi.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
20
Lampiran 1. Profile NGOs
1. AR u PA Alamat ARUPA : Jl. Magelang km.5 Dsn. Karanganyar RT.10 RW.29 No.200 A Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta DIY 55284 Indonesia E-mail: [email protected] Telephone: 0274 551571 Fax: 0274 551571 Sumber : www.arupa.or.id
An NGO established May 16th, 1998 based in Yogyakarta that striving to improve national forestry, resource management paradigms, and policies by promotes government and the other parties to reform its uniform-centralized tenurial system into more local specific and participatory policies.
AR u PA's vision is the sustainable, fair, and democratic natural resources management. The mission is to save and sustain natural resources management based on communities' sovereignty. ARuPA also promoting conflict resolution mechanism between villagers and state owned Forest Company, while strengthening the negotiating abilities of local people, empowering local community organization, and developing community-based forest policies. The board of institution and executive board are appointed in an extraordinary meeting, which is the highest forum in ARuPA. The meeting is held once in two years. ARuPA has three site programs, which are: Wonosobo and Blora District in Central Java Province and Gunungkidul District in Yogyakarta Province. Arupa develops assisstance to community forest management to achieve sustainable forest management and conflict resolution to support forest farmers involving various parties such as local government, local assembly, local NGOs, academicians and farmers groups. In the middle of 2006, community forest in Gunung Kidul was rewarded ecolabel certificate for sustainable community based forest management from TuV International Indonesia under The Indonesian Ecolabelling Institute (LEI) certification standard. This certificate becomes recognition for the capability of community in managing community forest sustainably. In the implementation of its working program, ARuPA is involved and actively plays a role in some working network at national level, which are: • Forest Watch Indonesia (FWI) Forest Watch Indonesia represents a forest monitoring network commited to materialize the sustainable forest management for the purpose of developing data and forestry information transparency in Indonesia . Since its foundation, FWI Jawa node in 2001, ARuPA acts as host and its personnel acts as coordinator of the node.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
21
• Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)/ Consortium for supporting community based forest management KpSHK represents a working network to strengthen the position of community in managing the forest resources. ARuPA becomes an active member of KpSHK since 2001 and actively plays a role in the promoting the community based forest management in both people forest and in state owned forest. • Java Learning Center (JAVLEC) It makes use of the solid ex Java working group network, and JAVLEC is founded. JAVLEC is formal name of ex Java working group network. It consists of the organizations commited to the save guarding Java forest. The idea continuation of the community is the supporting schema for the empowerment of people organisation through the scheme of learning network (JSC = Java Study Centre ), the information network (INFO JAVA= Information on Forestry in Java ), and the middle grand scheme (CEF=Community Empowerment Facilities). • Asia Forest Network (AFN) ARuPA represents an active network partner of AFN (Asia Forest Network) in Indonesia . ARuPA and AFN have collaborated in the development and the implementation, documentation and publication of the CBFM initiative in Wonosobo district. ARuPA has been actively involved in the AFN regional meetings. These meetings are considered as the AFN partners forum as a media to exchange information and experiences on community forest management practices.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
22
2. PERSEPSI Jl. Klaten-Jatinom Km. 3 Kwaren, Ngawen, Klaten PO BOX 196, Jawa Tengah- Indonesia Telp. 0272-322211 Fax. 0272-322865, HP. 0812 2617 823 E-mail : [email protected] Teguh Suprapto ( Direktur) : HP: 081 2261 7823 Email: [email protected]
Latar Belakang Sejarah dan Pembentukan. Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) merupakan penjelmaan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Cabang Klaten. Sedangkan latar belakang sejarahnya adalah bahwa pada tahun 1979 – 1984 berstatus sebagai pelaksana proyek dari LP3ES Jakarta, tahun 1989 – 1992 berstatus sebagai cabang dan sejak Mei 1993 secara organisasi telah menjadi organisasi baru, yang telah terpisah dari LP3ES Jakarta, selanjutnya bernama PERSEPSI. Secara hukum PERSEPSI telah dicatat dalam Akte Notaris Hendricus Subekti SH dengan badan hukum Perkumpulan atau Perhimpunan sejak tahun 1993, dengan tambahan berita Negara RI nomor 3 pada tanggal 10/10 tahun 2000.
Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO yang embrionya berasal dari LP3ES, maka PERSEPSI tetap melanjutkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang telah dirintis LP3ES sejak tahun 1979. Sejak menjadi PERSEPSI, telah 4 kali pengalami pergantian kepengurusan dengan mengalami perubahan yang berarti ditilik : 1. Pada awalnya program-program yang dikembangkan masih berperspektif peningkatan
pendapatan masyarakat, kini telah meluas tidak saja pengembangan usaha kecil dan mikro (UKM), tetapi mencakup perspektif lingkungan hidup, gender, demokrasi dan hak azasi manusia, sebagai bentuk menyikapi atas perubahan iklim global, degradasi hutan dan lahan yang mempengaruhi pengelolaan Sumberdaya Air (SDA.
2. Keanggotaan PERSEPSI telah meluas bukan saja mewadahi para aktivis NGO tetapi telah menarik dengan masuknya beberapa anggota dari kalangan praktisi maupun kalangan intelektual atau akademisi yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup.
3. Wilayah program telah menjangkau wilayah yang semakin luas yang semula terkonsentrasi di provinsi Jawa Tengah kini telah meluas di Jawa Barat dan Jawa Timur termasuk sampai Madura.
Visi dan Misi Adapun visi yang ingin diujudkan adalah : terwujudnya masyarakat sejahtera, makmur dan merata dengan tatanan kehidupan yang demokratis, berkeadilan gender, menjunjung tinggi hak azasi manusia dan lingkungan hidup.
Sedangkan misi yang ingin diujudkan adalah : 1. Mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan gender dan bertumpu pada
sumberdaya lokal. 2. Meningkatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya politik, ekonomi,
lingkungan dan budaya. 3. Meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat sipil melalui pendidikan kritis dan
advokasi.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
23
4. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengeloalan lingkungan hidup yang berkelanjutan
Dalam upaya mewujudkan visi dan misi tersebut PERSEPSI menganut nilai-nilai; keadilan, kebebasan, demokrasi, kesetaraan, solidaritas dan kelestarian. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari yaitu; adanya partisipasi yang menjunjung tinggi HAM, keberpihakan yang rasional, keragaman, kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan, transparansi, akuntabilitas dan wawasan lingkungan.
Perkumpulan ini dipimpin oleh suatu Badan Pengurus yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang anggota pengurus. Pengurus adalah anggota perhimpunan yang dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Anggota (RUA). Jangka waktu Kepengurusan adalah 3 tahun dan hanya dipilih dalam masa jabatan 2 kali berturut-turut. Dalam melaksanakan kegiatan opersional, Pengurus mengangkat Pelaksana harian yaitu seorang Direktur, satu oarang wakil Direktur, tiga orang Manajer Program, yaitu Program Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup(PKLH) Program Pemberdayaan Perempuan dan Pengembangan Usaha Kecil Mikro (PP-UKM), Program Pelayanan Jasa Konsultasi dan Pelatihan serta Manajer Keuangan dan Umum. Dalam teknis opersional di lapang selanjutnya mengangkat Tim Pelaksana Program (TPP) yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Program Yang Dikembangkan dan Mitra Secara umum program-program yang dikembangkan oleh PERSEPSI dikemas menjadi 3 bagian yang diorganisir menjadi :
1. Bidang Pertanian, Kehutanan Dan Lingkungan Hidup ( PKLH) 2. Bidang Pemberdayaan Perempuan Dan Usaha Kecil Mikro (PP-UKM) 3. Pelayanan Jasa Konsultasi, Penelitian, Pelatihan dan Pengembangan Jaringan .
Berbagai proyek atau program yang dikembangkan diorganisir menjadi 3 bagian tersebut sebagai upaya mewujudkan visi dan misi yang telah diemban. Program yang telah dikembangkan sejak semasa LP3ES sampai menjadi PERSEPSI sekarang ini khususnya yang relevan dengan program Pengelolaan Sumberdaya lahan dan hutan, lingkungan hidup dan pengembangan sumberdaya lokal berbasis masyarakat (Community Based Development) secara garis besar dalam 3 hal berikut.
Pertama, program yang dilaksanakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan berbasis masyarakat telah dilaksanakan di 16 kabupaten yakni; Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo dan Sragen (Jateng), Kabupaten Pacitan, Magetan, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Jombang, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Pamekasan, Bangkalan (Jatim) dan Kabupaten Garut provinsi Jawa Barat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut bekerjasama dengan dinas, LSM lokal maupun motivator /kader dari masyarakat. Namun Tenaga Pendamping Program (TPP) yang bekerja penuh di PERSEPSI untuk mengorganisasikan pelaksanaan kegiatan sebanyak 19 orang. Mereka adalah sarjana dari beberapa disiplin ilmu termasuk sarjana pertanian dan kehutanan.
Kedua, pelaksanaan program diawali dari kabupaten Wonogiri sejak tahun 1985 dan terus berkembang kepada beberapa kabupaten sebagaimana disebut diatas dan telah mendampingi sebanyak 78.885 petani yang terorganisir dalam 1.972 kelompok tani.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
24
Ketiga, dari rangkaian pelaksanaan kegiatan tersebut terdapat beberapa hasil kegiatan diantaranya:
1) PERSEPSI sebagai sebuah LSM yang mendampingi kelompok tani hutan hingga memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari/PHL (Sustainable Forest Management) untuk hutan rakyat pertama kali di Indonesia pada Oktober 2004 di Kabupaten Wonogiri, dan atas keberhasilan terus bergulir pada beberapa kabupaten lainnya. Sebagaimana diketahui Sertifikat PHL tersebut dikeluarkan oleh Lembaga sertifikasi dengan sistem penilaian yang telah diakui secara internasional. Dari 16 hutan rakyat yang memperoleh sertifikat PHL di Indonesia sampai saat ini (Agustus 2010) 10 diantaranya atas pendampingan PERSEPSI. Sertifikasi PHL diantaranya menekankan pentingnya pemberlakuan sistem lacak balak untuk memastikan asal usul dan legalitas sumber kayu. Secara khusus pengalaman pendampingan dalam bidang tersebut serta pendampingan dalam program kehutanan dapat dilihat pada tabel terlampir.
2) Atas pendampingan yang dilakukan PERSEPSI terhadap pengelolaan lahan milik masyarakat di daerah tangkapan air telah membantu: 1) penurunan tingkat erosi dengan meningkatnya volume tanaman konservasi dari semula kurang dari 50 pohon/ha kini telah menjadi diatas 425 pohon / ha, 2) meningkatnya debit sumber air yang ada, dan menghidupkan yang telah mati dan memunculkan sumber mata air baru pada hutan yang telah disertifikasi, yang menjadi pemasok air bagi kebutuhann komunitas, sejumlah waduk dan serta Perusahaan Daerah Air Minum, 3) menjadi pemasok kayu bagi kebutuhan industry tanpa merusak sumber air yang ada, 4) menjadi kelompok rujukan bagi pengembangan konservasi daerah tangkapan air waduk.
3) PERSEPSI memprakarsai penyusunan Rencana Konservasi Tanah di Desa (RKTD) sebagai dokumen dasar di tingkat masyarakat maupun Arahan Konservasi DAS dalam rangka Good Governance in Water Resources Management (GGWRM) melalui kerjasama dengan Uni Eropa untuk pertama kalinya di Indonesia di Kab. Temanggung DAS Progo, dan kemudian disebarluaskan di 24 desa pada 6 Sub DAS yang masuk ke Waduk Wonogiri serta beberapa desa di kabupaten Garut, Banjarnegara, Kebumen dan lain-lain. Di samping memiliki kapasitas pada penyusunan rencana, PERSEPSI juga memiliki kapasitas untuk fasilitasi implementasinya melalui penggalangan kontribusi para pemangku kepentingan di Kabupaten Wonogiri dan DAS Solo.
4) PERSEPSI memiliki pengalaman sebagaimana point 3) di atas yang kemudian dijadikan dan dirujuk sebagai Panduan Nasional dalam Penyiapan Masyarakat di tingkat Kabupaten untuk Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dimana Ditjen SDA menjadi leading sektornya, dan mendorong munculnya Konsorsium 8 BUMN untuk mendukung konservasi daerah tangkapan air dengan model di Sub DAS Keduwang DAS bengawan Solo di Wonogiri.
5) PERSEPSI memiliki jaringan dengan sejumlah LSM dan Lembaga Penelitian baik di dan luar Jawa, dan aktif dalam Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air (TKPSDA), Forum Peduli DAS Solo dan Forum DAS Nasional serta aktif di kamar Pemerhati pada Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang memungkinkan kerjasama dan pemantauan dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Sumberdaya dan Prasarana Sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan program yang dikembangkan PERSEPSI berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang beragam baik dari unsur LSM, Perguruan Tinggi dan Swasta.
Sedangkan tenaga atau staf yang bekerja secara penuh waktu (termasuk Tenaga Pendamping Masyasakat) sebanyak 34 orang. Mereka telah berpengalaman 5 sampai 15 tahun sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat khususnya dalam bidang pengelolaan sumberdaya air, Pertanian Lahan Kering, Perhutanan Sosial dan pengembangan usaha kecil
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
25
dan Mikro. Mereka memiliki latar belakang ilmu yang beranekaragam baik pertanian, kehutanan, ilmu ekonomi, sosial, hukum akuntansi dan lain-lain. Dari seluruh staf yang ada 80 % memiliki pendidikan formal sarjana / sarjana muda.
Prasarana kerja yang dimiliki, berupa tanah, bangunan kantor dan gedung Pertemuan (di Klaten dan Wonogiri), komputer (22 unit) dan peralatan kantor (Telephone/Faximile, Email, LCD, meja kursi, filling Cabinet, white boart dsb.), Mobil 3 buah, dan sepeda motor (18 buah), sarana pendukung program lainnya (buku perpustakaan lebih dari 1.000 judul, OHP, foto digital dsb.) cukup memadai untuk mendukung kegiatan / program PERSEPSI yang dilaksanakan.
Oleh karenanya PERSEPSI semakin dikenal kalangan luas sebagai LSM yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam pengembangan masyarakat (community development) dalam bidang kehutanan, pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan dengan beberapa kantor perwakilan di provinsi Jawa Barat (Garut), Jawa Tengah (Klaten, Wonogiri, Kudus) dan Jawa Timur ( Tulungagung) dengan mitra yang sangat beragam maka soal transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting.
Sejak tahun 2003 Laporan Keuangan PERSEPSI setiap tahun telah diaudit oleh Akuntan Publik. Selama lima tahun terakhir (2005-2009) oleh Akuntan Publik tersebut Laporan Keuangan PERSEPSI dinyatakan secara Wajar dalam semua hal yang material serta telah menerapkan prinsip-prinsip dan standar akuntansi sebagaimana berlaku di Indonesia.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
26
3. SHOREA (PERKUMPULAN SHOREA) Alamat Kantor: Jombor Baru Blok VI /17 Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55283 Phone (0274) 749 0310, Fax. (0274) 864 254 email: [email protected] CC: [email protected]
Perhimpunan Shorea atau “small home of rural empowerment activists” merupakan lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan.
Visi dan Misi 1. Visi Perhimpunan adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat yang adil dan berkelanjutan. 2. Misi Perhimpunan adalah menumbuh kembangkan kesadaran dan partisipasi aktif
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui penguatan wacana, advokasi kebijakan dan penguatan kelembagaan masyarakat.
Tujuan 1. Menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam
yang adil dan berkelanjutan. 2. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berpihak kepada
masyarakat dan lingkungan. 3. Mewujudkan keperhimpunanan masyarakat yang kuat dan mandiri dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
Aktivitas 1. Pendampingan masyarakat 2. Advokasi kebijakan 3. Penelitian dan pengembangan 4. Pelayanan konsultasi dan informasi 5. Pelayanan pendidikan dan latihan 6. Pengembangan bisnis ekonomi 7. Menjalin kerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai visi dan tujuan yang sama
dengan Perhimpunan.
Program Yang Sedang Berjalan (On-going Activities) Penguatan Hutan Rakyat Bersertifikat Shorea melakukan pendampingan di unit manajemen hutan rakyat Desa Dengok Kec. Playen (zona tengah/Ledok Wonosari) seluas 400 hektar yang dikelola oleh Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat Ngudi Lestari. Shorea tergabung dalam Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari di kabupaten Gunungkidul untuk mensertifikasikan seluruh kabupaten. Pada saat ini sedang dilakukan inisiasi pengembangan hutan rakyat bersertifikat melalui fasilitasi akses pasar, perluasan areal, dan fasilitasi jaringan unit manajemen. Penguatan dan Pengembangan Hutan Kemasyarakatan
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
27
Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah dalam usahanya untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan hutan negara. Pengembangan HKm di DIY sudah sampai pada pemberian izin definitif (IUPHKm) oleh bupati. Sampai saat ini, lahan HKm Kabupaten Gunungkidul yang telah dikerjakan oleh masyarakat sekitar hutan dan sudah mendapatkan ijin tetap seluas 1.089,95 hektar. Izin Pemanfaatan HKm (IUPHKm) tersebut dikeluarkan oleh bupati dan diperuntukkan kepada 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul dan 7 kelompok tani HKm Kulonprogo. Pada saat ini Shorea melakukan advokasi perluasaan areal HKm untuk meraih sisa areal seluas 3.100 hektar untuk didorong menjadi areal HKm. Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Desa Hutan Tanaman Rakyat di Yogyakarta dialokasikan pada eks tanah AB (Afkiren Boschs) yang saat ini sudah ditetapkan menjadi Hutan Produksi Tetap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000. Areal model yang dikembangkan Shorea untuk skema HTR seluas 327,73 ha. Beberapa desa yang dikembangkan model HTR adalah Balong, Purwodadi, Wunung, Pacarejo, Candirejo, dan Jepitu. Saat ini Shorea sedang melakukan advokasi terbitnya surat izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu HTR. Pada kawasan tanah AB tersebut, juga diinisiasi adanya model skema hutan desa. Pada saat ini Shorea sedang melakukan identifikasi kawasan dan kelembagaan untuk didorong menjadi model hutan desa. Ke depan 4 desa akan didorong menjadi model hutan desa yaitu Krambilsawit, Kanigoro, Kepek, dan Jetis seluas 357,70 ha. Pengembangan Hutan Kota Shorea melakukan advokasi hutan kota dengan mendorong terbitnya kebijakan daerah tentang hutan kota di D.I Yogyakarta. Shorea membuat areal model hutan kota di Kabupaten Gunungkidul. Munculnya Surat Keputusan Bupati Nomor 169/KPTS/2007 tentang penetapan areal taman kota dan hutan kota Kabupaten Gunungkidul, merupakan dasar untuk mengembangkan hutan kota. Luas areal hutan kota ditetapkan tujuh hektare. Sejalan dengan inisiasi surat keputusan tersebut, Shorea berhasil memasukkan klausal hutan kota pada ruang terbuka hijau yaitu minimal 10% dari ruang terbuka hijau ke dalam rencana peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Ini merupakan sebuah kemajuan yang signifikan yang berhasil didorong oleh parapihak, termasuk Shorea, untuk landasan kebijakan jangka panjang pengembangan hutan kota. Pengembangan Hutan Konservasi Shorea melakukan pendampingan areal hutan konservasi dan kelembagaan Desa Wisata di Beji Ngawen Gunungkidul. Shorea memfokuskan pada penanganan Hutan Wonosadi sebagai hutan konservasi dan pengelolaannya oleh pemerintah desa. Hutan Wonosadi seluas 25 ha dengan areal penyangga seluas 27,80 ha telah menyimpan keanekaragaman hayati. Hutan Wonosadi adalah salah satu hutan konservasi yang berada di luar kawasan. Masyarakat desa sepakat menetapkan hutan seluas 25 hektare menjadi hutan Adat Konservasi. Hutan tersebut tidak diusik sedikit pun oleh karena kesadaran masyarakat sekitar hutan terhadap pentingnya manfaat hutan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
28
4. Java Learning Center (JAVLEC) Jl. Kaliurang Km 6,5 Gg. Timor Timur Plemburan RT 05 / RW 25 No. 41 Sariharjo, Ngaglik, Sleman Phone : +62 274 7100 722 Fax : +62 274 327 2001 Email : [email protected]
Java Learning Center (JAVLEC) is initiated by KPPHJ (Komunitas Pendukung Penyelamatan Hutan Jawa - supporting group for saving Java’s forest), a network of non government organizations (NGO) which concern on supporting CBFM development in Java. They are: Paramitra Foundation – Malang (East Java); LeSEHAN – Madiun (East Java); SUPHEL – Surakarta (Central Java); Shorea Foundation – Yogyakarta; ARUPA – Yogyakarta; YBL Masta – Magelang (Central Java); and PKKL Asketik – Banten.
In collaboration with other stakeholders, these NGOs have worked actively in achieving their vision and mission since 1999. Some activities which had been run, between 1999 and 2008, are: 1. As KPH Jawa (Kelompok Pemerhati Hutan Jawa – Java’s forest observer group)—
initiating meeting between forest villagers and other stakeholders in Malang (East Java) in 2000;
2. Working together with State Forest Corporation (Perum Perhutani) in facilitating workshop to initiate Joint Forest Management at PUSDIKLAT (Pusat Pendidikan dan Latihan – center of training and learning) Perhutani Madiun (East Java) on February 2000;
3. Initiating Forum Hutan Jawa (Java Forestry Forum): communication forum among non government organization (NGO), local government, forest villagers, State Forest Corporation (Perum Perhutani) in order to improve Community Based Forest Management (CBFM)
4. Initiating Pokja Jawa (Kelompok Kerja Jawa – Java’s task force) in FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat – communication forum on community forestry): its task is for saving Java’s forest (2000 – 2002);
5. Working together with MFP – DFID (Multi-stakeholders Forestry Program – Department for International Development), Pokja Jawa (Kelompok Kerja Jawa – Java’s task force) facilitated meeting among Local Parliaments in Java and Madura (February 2001) in order to improve their awareness about condition of Java’s forest;
6. Facilitating “Multi-stakeholder Dialogue: The Chance of Community Forestry in Sustainability Forest Management in Java” (February 2002) in cooperation with State Forest Corporation (Perhutani). Participants which came from 10 districts in Java were State Forest Corporation (Perhutani), forest villagers, Local Government, and NGOs.
7. Facilitating shared learning among forest peasants (September – October 2002) which was held in Sukabumi (West Java), Wonosobo (Central Java), Gunungkidul (Yogyakarta), and Malang (East Java). Starting 2004, other forestry stakeholders joined to this event. Shared learning among forest peasants and stakeholders was performed in four packs till 2006. In 2007, one pack was held with only forest peasants involved in. JAVLEC and forest peasants design sekolah rakyat (school of community) to continue this shared learning.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
29
8. September 19 to 22, 2006 JAVLEC and Forestry Faculty of Gadjah Mada University held PRHM (Pekan Raya Hutan dan Masyarakat – community forestry festival and summit) in Grha Sabha Pramana – Yogyakarta. This event was funded by Ford Foundation and MFP DFID (Multi stakeholders Forestry Program – Department for International Development) and supported by NGOs, community organizations, education institutions, private sectors, and Government. It demonstrated all variants of CBFM (community based forest management) in Indonesia such as PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat – CBFM variant in Perhutani), HKm (Hutan Kemasyarakatan – CBFM variant in district government forest), community based conservation forest management (PKKBM – Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat), village forest (Hutan Desa), rural forest (Hutan Adat), private forest (hutan rakyat – CBFM variant in private land), and other initiatives. Many kinds forum were performed such as workshop, seminar, information expo, non timber forest product expo, parade of environment film, traditional art, popular art, shadow puppet, etc.
9. At December 15, 2007, vice president Jusuf Kalla gave 61 groups in Yogyakarta, Lampung, and West Nusa Tenggara definitive rights to manage forest through Hutan Kemasyarakatan (HKm) scheme. JAVLEC and its network encouraged this scheme actively, especially HKm progress in Yogyakarta. These 61 community groups are now equal with Perhutani and other forest company in outer Java that hold right on forest management. It’s a great opportunity and challenge for communities to show that community forestry can be a solution for forest management problems in Indonesia.
JAVLEC is opened membership organization and now has 24 members. JAVLEC is also
supported by 18 persons (as individu penopang – supporting persons) and 18 organizations
(as lembaga penopang – supporting organization). Legally, JAVLEC was founded at June 23rd
2005 by notarial act Suastutiningsih A Wijayanto, SH Number 05/June 23rd/2005. JAVLEC has
three divisions: INFOJAWA, CEF (Community Empowerment Facilities), and PdF (Program
Development Facilities). Through these three divisions, JAVLEC tries to give services to
stakeholders on forestry information, financial support to the community, market access,
and program development.
Vision To be a community foundation which takes strategic part in developing democracy and civil
society due to reach community prosperity through program development facilities,
knowledge improvement, economic empowerment, and policy development.
Mission 1. To support human resource development through capacity building of civil organization
due to develop good natural resources governance;
2. To facilitate policy development for democratic and equitable natural resources
management which is based on responsibility and objective scientific researches;
3. To support access right for community on natural resources management in order to
develop fair benefit distribution for increasing community prosperity;
4. To facilitate knowledge improvement for learning and public awareness through
knowledge management, system of information management, information networking
and dissemination, campaign, and promotion;
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
30
5. To support community businesses development through network improvement,
partnership, and business inter-mediation for increasing access of market and finance
which is simple, fair, transparent, and accountable; and
6. To mobilize resources through network improvement, partnership, and business
development in order to support sustainable services to civil organization.
Strategy Due to achieve its vision and missions, JAVLEC develops programs and provides some
facilitation for stakeholders:
1. Capacity building, assistance, course, shared learning, information dissemination,
scientific publication, and alternative education;
2. Continues research on policy and strategic issues;
3. Knowledge management for providing alternative and constructive ideas;
4. Networking activities;
5. Economic empowerment through facilitation access of finance, market, technology and
information, business capacity building, and business inter-mediation.
From 2007 to 2011, JAVLEC has six clusters of program: (1) Good forestry governance, (2)
Acceleration on environment development for supporting livelihood, (3) Securing access
right for community, (4) Poverty alleviation, (5) Increasing community based forestry
business, (6) Improving access on information and communication.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
31
5. GReS (Institute for Social and Environmental Justice) Jl. Patriot No. 32 Kelurahan Sukagalih Kecamatan Tarogong Kidul kabupaten Garut 44151 West Java - INDONESIA. Phone: 0262 543482, email:[email protected], Website http://gresgarut.webs.com
GReS Established on April 21, 2000 in Garut regency, West Java. GReS stood on the basis
of individual awareness of social conditions, economy and culture in the Garut district is
still underdeveloped, it is caused by the access of civil society in the Garut district of the
management of natural resources and the environment is still low. Whereas Garut
district has the potential of natural resources and environment that is very abundant.
So far, access to natural resources management and environment have been handed
over to a handful of people that often led to conflict and vulnerable to human rights
violations.
Vision
Realize socio-economic conditions and culture of civil society more just, prosperous
participation in managing natural resources and environment and sustainable and
equitable gender.
Mission
1. Open space in rural democratization through education for civil society in rural
2. Opening the participation of civil society in rural areas to engage in the development
process.
3. Doing strengthening civil society organizations in rural
4. Conducting advocacy related to the issue of human rights violations and the
Environment.
5. Campaign issues relating to human rights violations, Environment, Food, Agrarian and
Education.
6. Cooperation Network opens local, national and international.
Program
1. Conducting education and training for civil society in rural and forest communities.
2. Conducting studies and research on social conditions and economic rural communities
in the area of forest and mining areas.
3. Do escort policy, especially in policy making at the district level about with natural
resources management, mining and the environment.
4. Encouraging alternative school that was built by a group of civil society organizations
in the region south of Garut.
5. Strengthening civil society organizations is growing awareness and encourage people
to organize.
6. Creating media and publicity campaigns such as the web site, newsletters, booklets,
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
32
position papers, posters, stickers etc..
Organization forms
These organizations form associations, to stand by Irdawati Notary Bachtiar, SH No. 73 in
Garut Regency West Java - INDONESIA
Management Structure:
Chief Executive of : Dadan Kurnia Wirahadikusuma
Financial staff : Yaya
Staff Administration : Ai Rosmawati
Field Campaign and the Network: Husen Suhendar
Field Advocacy : Agus Rahmat
Education and Training : Mulyana
Research and Development : Tika Kursita
Cooperation Network
The Samdhana Institute - INDONESIA
INDIES (Institute for Social and Democratic Studies) - INDONESIA
WALHI (Indonesian Forum for the Environment)
JATAM (Mining Advocacy Network)
JAVLEC (Java Learning Center)
JAVA collapse
LBH Bandung
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
33
6. KANOPI Kuningan Perum KORPRI Blok C, Jln. Srikaya III No. 440 RT 15/RW 06 Kuningan, Jawa Barat (45517) Telp. & Fax. : (0232) 888 16 09 E-mail : [email protected]
KANOPI Kuningan merupakan lembaga non-pemerintah yang bersifat independen dan non-
profit.
Lembaga ini berkedudukan di Kabupaten Kuningan dan beranggotakan orang-orang yang
memiliki visi terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan adil untuk
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Sedangkan misinya adalah meningkatkan dan
melindungi kelestarian sumberdaya alam, meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian
sosial ekonomi masyarakat, mengembangkan kualitas dan potensi sumberdaya manusia,
serta mempromosikan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Pada awalnya lembaga ini bernama Jaringan Masyarakat Peduli Kampung Halaman (JMPKH)
yang pendiriannya telah diinisiasi sejak tanggal 19 September 1999. Namanya kemudian
diubah menjadi KANOPI Kuningan pada tanggal 4 November 2000 dengan badan hukum
Yayasan. Akta notaris terakhir telah disesuaikan dengan Undang-undang Yayasan terbaru
yakni Akta Notaris Nomor 14 Tahun 2009 dari Notaris Ny. Itjeu Tresnawiah, SH.
Pendirian lembaga ini berbarengan dengan proses yang saat itu sedang diinisiasi di
Kabupaten Kuningan yakni proses membangun model pengelolaan sumberdaya hutan
kolaboratif yang kemudian disebut Sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).
KANOPI Kuningan merupakan salah satu inisiator lahirnya sistem tersebut, terutama dalam
membangun model percontohan bentuk aplikasi Sistem PHBM di tingkat lapangan/desa.
Terdapat 2 (dua) desa sekitar hutan yang sejak tahun 2000 difasilitasi oleh KANOPI Kuningan
untuk dijadikan sebagai desa model implementasi Sistem PHBM di Kabupaten Kuningan,
yakni Desa Cileuya dan Sukasari.
Beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan sampai saat ini adalah peningkatan dan
perlindungan kelestarian sumberdaya hutan, pemberdayaan masyarakat desa hutan,
peningkatan kapasitas dan pengetahuan masyarakat, pengembangan kolaborasi dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, serta promosi dan publikasi praktek pengelolaan hutan
yang lestari. Secara umum program dan bidang kegiatan KANOPI Kuningan mencakup:
1. Pelestarian dan Perlindungan Sumberdaya Alam; 2. Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif; 3. Pendidikan Lingkungan Hidup; 4. Advokasi Kebijakan dan Lingkungan; 5. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan 6. Promosi dan Publikasi.
Penghargaan yang pernah diterima: a) Piagam penghargaan dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai nominasi
peraih
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
34
Community Based Forest Management (CBFM) Award untuk kategori Lembaga Non
Pemerintah Tahun 2006.
b) Piagam penghargaan dan trophy dari Gubernur Jawa Barat sebagai Masyarakat Peduli
Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
c) Piagam penghargaan dari Bupati Kuningan atas terpilihnya LSM KANOPI Kuningan
sebagai
Masyarakat Peduli Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.
d) Piagam penghargaan dan trophy dari Gubernur Jawa Barat sebagai Kelompok
Masyarakat yang Peduli terhadap Lingkungan Hidup di Jawa Barat Tahun 2010
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
35
7. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat (LP3M) ALGHEINS Jalan Ir. Juanda No. 132 A Tonatan Ponorogo Telp. & Fax. : 0352 4850679 E-mail : [email protected] Kontak person: Indrimastiti, 08123440837, [email protected]
Profesi Keahlian
Berpengalaman dalam bidang petanian Pertanian
Ahli Budidaya tanaman Hortikultura
Ahli PRA dan metodologi action research
Ahli Pengelolaan DAS MIKRO
Ahli dalam bidang pengembangan masyarakat, gender dan UMKM
Ahli dan berpengalaman dalam aplikasi komputer dan pengolahan data
Berpengalaman dalam bidang administrasi keuangan
Berpengalaman Administrasi kantor
Berpengalaman bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
Ahli dalam bidang advokasi dan Perlindungan HAM
Ahli dalam pengorganisasian rakyat
Ahli dalam bidang pengembangan UMKM dan Koperasi
Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat
Berpengalaman dalam bidang PRA
Berpengalaman dalam bidang Gender
Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok
Ahli dalam bidang pengembangan UMKM dan Koperasi
Berpengalaman Administrasi kantor
Berpengalaman pada bidang operasional komputer
Ahli Akuntasi keuangan
Ahli dalam bidang kearsipan
Berpengalaman dalam bidang keadministrasian
Ahli bidang operasional komputer
Berpengalaman dalam bidang pendokumentasian
Ahli dalam pengoperasionalan komputer
Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat
Berpengalaman dalam bidang PRA
Berpengalaman dalam bidang Gender
Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok
Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat
Berpengalaman dalam bidang PRA
Berpengalaman dalam bidang Gender
Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok
Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat
Berpengalaman dalam bidang PRA
Berpengalaman dalam bidang Gender
Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok
Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat
Berpengalaman dalam bidang PRA
Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
36
8. YBKM (Yayasan Badan Keswadayaan Masyarakat) Jl. KH. Sholeh 643 Plumpang Tuban Jawa Timur Kode Pos 62382 Telp. & Fax. : 0356 -811227 E-mail : [email protected] Kontak person: Muhtarom (08123402932)
Yayasan Badan Keswadayaan Masyarakat (YBKM) adalah sebuah Lembaga Non_Pemerintah
(ORNOP) dan Non_Partisan. Lembaga ini didirikan di Tuban pada Tanggal 28 Pebruari 2000,
dengan Akte Notaris Nurul Yakin, SH Nomor 30 Tahun 2000 oleh para aktivis dan para
Tokoh_Tokoh (baik kaum agamawan maupun usahawan) yang peduli terhadap kaum yang
termarginalisasi oleh proses_proses pembangunan. Lembaga ini bergerak dibidang
penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Pengembangan Usaha Kecil, Pendidikan
dan Pelatihan serta Pendampingan terhadap Rumah Tangga Miskin Rentan (RTMR) dan
Rumah Tangga Miskin Berpotensi (RTMB).
YBKM memandang bahwa banyak program_program penanggulangan kemiskinan
dilaksanakan, namun belum mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil yang
dinginkan. Evaluasi terhadap proyek_proyek pengembangan masyarakat menunjukkan
sulitnya sesuatu kegiatan berkembang dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena
kelembagaan masyarakat belum dapat menjadi media yang cukup efektif dalam
menumbuhkembangkan terhadap perilaku masyarakat. Lembaga belum menjadi mediator
dan komunikator terhadap persoalan_persoalan masyarakat.
YBKM mempunyai keyakinan bahwa peran serta masyarakat yang semakin kuat harus
didukung oleh peningkatan kapasitas kelembagaan yang ada di komunitas warga. Karena
dengan semakin baik peran serta masyarakat, maka akan menjadi modal social dan strategis
dalam rangka membangun cara_cara alternatif kearah demokratisasi pembangunan yang
berkeadilan dan berkelanjutan. Nilai_nilai keadilan social, pemberdayaan masyarakat dan
peran serta warga yang tumbuh selama ini adalah mutlak harus dilindungi dan
dikembangkan untuk mencapai tujuan bersama yaitu tata kehidupan masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan.
Visi
Terbangunnya peran serta masyarakat secara optimal dalam kegiatan penanggulangan
kemiskinan melalui usaha_usaha nyata yang berkesinambungan dalam sebuah lembaga
masyarakat yang kokoh menuju masyarakat madani mandiri
Misi
Pemberdayaan masyarakat dan forum warga
Menfasilitasi proses pencerahan masyarakat secara menyeluruh dalam berperan
mewujudkan kedaulatan rakyat
Advokasi kebijakan public dan masalah_masalah masyarakat
Pendidikan dan pelatihan
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
37
Tujuan
YBKM didirikan dengan tujuan ;
Berperan menjadi wahana musyawarah dialogis bagi komunitas dalam mengelola,
menyelesaiakn berbagai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan upaya_upaya
penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan
Berperan menjadi lembaga kemitraan masyarakat dalam upaya pengembangan
usaha_usaha produktif serta demokratisasi ekonomi secara berkelanjutan
Berperan menjadi lembaga keswadayaan masyarakat di dalam perencanaan
pembangunan, pemeliharaan prasarana dasar lingkungan dan hunian masyarakat
secara berkelanjutan
Strategi
Untuk mewujudkan Visi, Misi dan Tujuan tersebut diatas, maka strategi dan focus kegiatan
YBKM digambarkan sebagai berikut :
Meningkatkan kemampuan SDM lembaga melalui pengembangan kapasitas
intelektual, professional, dan meneguhkan komitmen ideologis demokratis
Melakukan pendampingan kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk
meningkatkan SDM, sumber daya ekonomi, posisi tawar, dan kesadaran kritis atas
segala macam bentuk hegemoni
Membangun dan memperluas jaringan dengan kelompok civil society dalam rangka
gerakan demokratisasi dengan memperkasai lahirnya forum_forum warga di
Kabupaten Tuban serta aliansi jaringan strategis baik dengan Perguruan Tinggi,
Perbankkan, dunia usaha jaringan LSM local, Nasional maupun Internasional serta
kelompok_kelompok lainnya
Memperluas jaringan kerjasama dengan pemerintah, funding agency, dan
pihak_pihak lain yang selaras dengan visi lembaga
Bentuk dan Sifat
Lembaga ini berbentuk yayasan yang bersifat independent, non_politis dan sectarian dan
tidak bernaung dibawah lembaga pemerintah dan lembaga lainnya.dengan akte notaries
Nurul Yakin, SH Nomor 30 Tahun 2000, kemudian disempurnakan dengan Akte Notaris
Miqdarurridho, SH Nomor 3 Tahun 2001.
Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan lembaga diantaranya ;
a. Pendampingan masyarakat miskin
Pendampingan untuk Rumah Tangga Miskin_Rentan (RTMR) maupun Rumah Tangga
Miskin_Berpotensi (RTMB) dengan pendekatan forum warga, dengan melihat potensi
yang ada pada masing_masing RTMR/RTMB yang ada
b. Pengembangan ekonomi rakyat
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
38
Pendampingan untuk pengembangan usaha kecil dan advokasi kebijakan ekonomi
kerakyatan dengan melakukan study banding mapun magang di lembaga lain untuk
menambah pengetahuan dan ketrampilan warga dan akses pemasarannya
c. Pendidikan dan pelatihan
Pendidikan_Pelatihan dengan pendekatan pendidikan orang dewasa meliputi pelatihan
calon pendamping masyarakat, pelatihan pengembangan ekonomi rakyat, pelatihan bagi
kelompok swadaya masyarakat, pelatihan manajemen organisasi nirlaba dan pendidikan
politik rakyat
d. Gerakan kampanye penanggulangan kemiskinan
Gerakan untuk membangun sinergi dalam upaya mengurangi beban biaya pendidikan
maupun kesehatan bagi keluarga miskin dengan bekerjasama dengan pihak_pihak
terkait, baik Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, Ngo, Pemerintah, BAZIS, maupun kelompok
masyarakat peduli lainnya dengan memberikan bantuan beasiswa maupun pengobatan
gratis.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
39
9. Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan Jawa Timur (LPKP Jawa Timur) Wisma LPKP Jatim Lantai 1 Perumahan Karanglo Indah Blok I-4 Malang Telp. : 0341- 472557; Fax: Fax : 0341 - 414450 E-mail : [email protected] Kontak Person : Sutiah ( Direktur Eksekutive) Anwar Sholihin ( Ketua Yayasan) Tahun Pendirian: 1988, dinotariskan pada tahun 1989 dengan nomor 133/YYS/1989
SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA LPKP Jawa Timur adalah lembaga kader yang lahir dari kelompok studi “Kembang Rakyat”
yang anggotanya mahasiswa dari Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan
IKIP MALANG. Kelompok Studi ini berkiprah terbatas dalam membahas dan mendiskusikan
tugas-tugas perkuliahan yang berkaitan dengan situasi kemasyarakatan.
Pada tahun 1988, anggota inti dari Kelompok Studi tersebut bersepakat untuk
memformalkan organisasi menjadi organisasi sosial (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM)
yang memiliki akses yang luas dalam ikut serta memikirkan permasalah masyarakat.
Organisasi tersebut dinamakan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan
Jawa Timur yang disingkat LPKP Jawa Timur.
Pada tahun 1989 LPKP secara resmi disyahkan oleh Notaris Komalasari S.H , dengan nomor :
YYS/133/1989.
VISI
Ikut serta mewujudkan masyarakat yang terbebas dari kemiskinan, kebodohan,
ketertindasan, diskriminasi dan ketidakadilan gender serta beberbagai ketidakadilan lain
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
MISI 1. Ikut serta mewujudkan pemberdayaan rakyat miskin, lemah dan marginal yang
berperspektif HAM (hak anak), gender dan lingkungan. 2. Mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan, kebodohan,
diskriminasi, ketertindasan dan ketidakadilan yang lain. 3. Memerankan diri sebagai pendamping pengembangan sumberdaya manusia dalam
peningkatan ekonomi rakyat, pengorganisasian masyarakat dengan bertumpu pada kearifan tradisional.
4. Menunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, keadilan,keterbukaan, kesetaraan, loyalitas, demokratis dan mengembangkan sikap rasional,kreatif,kerja keras dan tanggungjawab.
BIDANG KERJA
Sesuai dengan visi dan misi yang diemban di atas, bidang kerja LPKP yang diwadahi dalam
beberapa divisi sebagai berikut:
1. Divisi Pengembangan Lingkungan Lestari Beberapa pengembangan program yang telah dijalankan dan dikembangkan diantaranya
adalah menangani bidang pertanian, yang menekankan pada pertanian berkelanjutan
melalui pengembangan pupuk organik, bibit lokal dan pengurangan input luar dengan
mendorong tumbuh kembangnya usaha peternakan sebagai bagian dari input pertanian
serta pengembangan infrastruktur perkotaan termasuk sanitasi dan air bersih,
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
40
pengembangan biogas rumah tangga, yang bertumpu pada pengembangan partisipasi
masyarakat.
Program pemberdayaan perempuan dan peningkatan pendidikan bagi keluarga miskin
perkotaan, pemberdayaan masyarakat sipil yang bertumpu pada strategi penguatan
kelembagaan dan institusi lokal, program penanganan anak jalanan yang belum
memperoleh pendidikan yang layak..
2. Divisi Pengembangan Demokratisasi dan Penguatan Hak Sipil Pengembangan Program yang berkaitan dengan pengembangan demokratisasi dan
penguatan hak-hak masyarakat sipil yang saa ini dikembangkan LPKP adalah terkait dengan
mendorong partisipasi mamsyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran,
pendidikan politik, perlindungan perempuan dan anak serta berbagai program yang terkait
dengan pemenuhan hak-hak sipil. Program pendidikan non formal dan kesehatan bagi anak-
anak dan pekerjaan anak dari keluarga miskin di pedesaan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
41
10. Lembaga Paramitra Jawa Timur Jl. Raya Mojorejo 98, Junrejo, Batu Telp/Fax. 0341-594792 Email : [email protected], [email protected], Website : http //www.paramitra.org Kontak Person : Hari Cahyono (HP : 081252222070, E-mail : [email protected], [email protected]), Mainul Sofyan (HP : 08123573893, E-mail : [email protected])
Perkembangan issue kehutanan dan lingkungan hidup pada rakyat yang termarjinalisasi oleh
alat kekuasaan tidak mampu melakukan fungsi kontrol. Untuk itulah kegiatan aksi Paramitra
difokuskan pada : Raising Awareness, upaya pelibatan para pihak/stakeholders (stakeholder)
dan membangun opini publik agar terdorong kesadarannya untuk berpartisipasi aktif dalam
penentuan arah kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup. Capacity Building dan
Pengorganisasian, Penguatan kapasitas kelembagaan tingkat masyarakat lebih diutamakan
untuk menjamin keberlanjutan kegiatan pasca pendampingan. Local Knowlege dan Local
Value masing-masing site dampingan merupakan bahan dasar untuk dikembangkan
bersama.
Berbagai kegiatan dan program yang telah dikembangkan :
1. Fasilitasi proses perjuangan hak-hak sipil masyarakat desa hutan dalam akses SDH
(ruang kelola) yang berakhir dengan pemberian hak kelola atas lahan hutan negara oleh
Perhutani seluas 37,5 Ha.
2. Pengorganisasian warga masyarakat pemetik manfaat (user groups) dalam wadah
organisasi kelompok tani hutan (KTH).
3. Peningkatan ketrampilan teknis dan kapasitas warga masyarakat dalam pola wana tani
(agroforestry).
4. Fasilitasi proses resolusi konflik (conflic resolution) antara rakyat dengan aparat petugas
kehutanan (Perhutani) tentang sistem pola tanam kayu hutan.
5. Bersama-sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) memfasilitasi
Workshop Penyusunan Altenatif Model Pengelolaan SDH di Jawa Pasca Penjarahan.
6. Bersama-sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Kelompok Kerja Jawa
(FKKM POKJA Jawa) menginisiasi berbagai forum dialog kebijakan.
7. Menginisiasi pengembangan kehutanan masyarakat (community forestry), atas
dukungan MFP – DFID (Mei – Desember 2003).
8. Sebagai salah satu inisiator pembentukan Komunitas Pendukung Penyelamatan Hutan
Jawa (KPPHJ), suatu jaringan kerja NGO yang aktif mendorong perubahan system
Pengelolaan SDH secara lestari dan berkeadilan di pulau Jawa.
9. Pengiriman relawan penanggulangan bencana yang terjadi di Malang, Blitar, Situbondo,
Jember maupun di Bantul Jogjakarta.
10. Pengembangan program mitigasi bencana longsor di daerah lereng G.Semeru, G.Arjuno
dan G.Argopuro melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan pengembangan ekonomi
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
42
alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan (sumber daya
alam).
11. Rehabilitasi lahan kritis dikawasan Lereng Gunung Arjuno Lalijiwo dan Argopuro secara
paritsipatif, melalui pengembangan kebun bibit desa, dukungan dari Kementrian
Lingkungan Hidup RI.
12. Bersama-sama dengan Jawa learning Centre (JAVLEC) membantu pemulihan pasca
bencana alam di Jogja, Malang, Blitar, Jember dan Situbondo.
13. Mewujudkan agenda pengembangan kehutanan masyarakat dengan dukungan para
pihak atas dukungan MFP-DFID dan SGP-PTF UNDP (Februari 2005 – Mei 2007).
14. Mendorong pengembangan mekanisme insentif jasa lingkungan hulu-hilir di Das
Brantas.
15. Mendorong keterlibatan Private Sector mekanisme CSR
16. Aktif melakukan kampanye Bangga Konservasi di wilayah Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru atas dukungan RARE Indonesia.
17. Dan lain-lain.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
43
11. KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) Jl. Sutiragen V No.14, indraprasta I – Bogor. Jawa Barat. Indonesia 16153 Tel: 0251-8380301, Fax: 0251-8380301 Email: kpshk[at]kpshk.org Mohammad Djauhari (Ketua Eksekutif KpSHK)
KpSHK adalah sebuah organisasi jaringan yang didirikan pada tahun 1997 atas inisiatif
beberapa ornop, organisasi masyarakat adat, kalangan peneliti dan individu yang peduli
dengan persoalan sumber-sumber kekayaan alam, khususnya hutan di Indonesia. Sejak
berdiri, KpSHK diposisikan sebagai sebuah motor gerakan yang mendukung secara sistematik
cara-cara pengelolaan hutan yang dikembangakan secara turun-temurun oleh masyarakat
adat maupun masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan.
Terwujudnya kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber kekayaan alam, khususnya hutan
adalah visi KpSHK. Dalam mencapai visi tersebut, KpSHK mengemban misi untuk: (a)
melakukan revitalisasi hukum adat dan kelembagaan pengelola agar memiliki daya lenting
yang dapat merespon setiap tawaran-tawaran perubahan dengan baik; (b) memberikan
dukungan teknis dan metodologis dalam rangka pengembangan model-model pengelolaan;
(c) pemberdayaan ekonomi kerakyatan kelompok pelaku SHK berbasiskan sumber kekayaan
yang mereka miliki; (d) memperjuangkan kedaulatan rakyat dengan mengakui, menghormati
dan melindungi hak-hak rakyat melalui pembaruan kebijakan yang relevan dan dukungan
publik, serta mengawal implementasi kebijakan yang sudah menjamin kedaulatan rakyat; (e)
pengembangan jaringan antarpelaku dan pendukung SHK melalui tukar-menukar
pengalaman, dokumentasi dan media-media komunikasi.
Perangkat organisasi KpSHK terdiri dari Forum Anggota (FA) yang merupakan lembaga
tertinggi organisasi dan dilakukan sekali dalam tiga tahun, Board KpSHK yang merupakan
representasi anggota dari pegiat dan komunitas pelaku SHK, dan Ketua Eksekutif KpSHK yang
merupakan pelaksana dari keputusan-keputusan organisasi dan dipilih untuk masa kerja tiga
tahun.
KpSHK mengajak semua pihak, baik kalangan birokrat, pengusaha, akademisi, media massa,
ornop, lembaga dana maupun masyarakat luas untuk secara bersama-sama melakukan
percepatan dan perluasan wilayah kelola rakyat dalam rangka memulihkan sumber-sumber
kehidupan rakyat. Percepatan dan perluasan wilayah kelola rakyat dilakukan melalui
pendaftaran dan pendataan wilayah SHK, promosi dan festival SHK, serta pengakuan dan
pengukuhan SHK baik secara ekonomi maupun politik.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
44
12. LATIN Jl. Sutera No.1 Situgede - Bogor Barat Bogor 16115 Telp. 0251-8425523-22 Fax. 0251-8626593 Indonesia email: [email protected]
"Mewujudkan Kesejahteraan & Kemandirian Masyarakat Melalui Pengelolaan Sumberdaya
Alam yang Adil dan Lestari dengan Pendekatan Kolaboratif"
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) merupakan lembaga swadaya masyarakat yang
didirikan pada tanggal 5 Oktober 1989.
LATIN mempunyai misi (1) Memperjuangkan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, (2)
Mengembangkan kegiatan pengelolaan hutan yang lestari, (3) Mengembangkan kemampuan
dan kapasitas lembaga dan masyarakat, (4) Membangun kemandirian lembaga dan
masyarakat.
Pada awalnya LATIN bergulat di isu pengelolaan sumber daya alam, namun sesuai dengan
perkembangan yang ada kemudian para penggiat LATIN (Latiners) memutuskan beberapa
perubahan penting bagi organisasi LATIN sebagai sebuah lembaga. Maka mulai pertengahan
tahun 90 an LATIN mulai memfokuskan diri pada isu pengembangan Komuniti Forestri (KF).
Semenjak itu LATIN lebih fokus serta terlibat aktif di beberapa program dan kegiatan yang
berkaitan ataupun bertujuan untuk pengembangan komuniti forestri di Indonesia, antara
lain dengan mendampingi masyarakat di Krui (Lampung Barat), Jember (Jawa Timur)
tepatnya masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri yang boleh dikatakan merupakan
pengembangan inisiatif awal sejenis di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon (Pandeglang,
Prop. Banten). Selain itu secara nasional, LATIN aktif juga menggalang kerjasama dengan
mitra regional dan internasional yang berkaitan dengan isu Komuniti Forestri. Sampai kini
setelah kurang lebih 19 tahun kiprahnya, LATIN telah "bekerja" di 7 lokasi lainnya yang
tersebar di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat.
Sejak awal berdiri sampai sekarang bertekad untuk memberantas kemiskinan yang terjadi
pada masyarakat sekitar hutan dan sekaligus melestarikan sumberdaya alam dan
lingkungan.
LATIN meyakini bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan hutan bukanlah masalah yang
sederhana. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan yang tidak memberi ruang
kepada masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan adalah masalah utama dunia
kehutanan Indonesia.
Selain itu masalah lainnya adalah lemahnya organisasi masyarakat sekitar hutan, kurangnya
sinergi di antara stakeholder, budaya korupsi, pembiaran pelanggaran HAM yang terjadi
pada masyarakat sekitar hutan, kurang berkembangnya pengetahuan pengelolaan hutan
yang mampu menjawab tantangan yang terjadi di lapangan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
45
13. Telapak Jl. Pajajaran No. 54 Bogor 16143, Jawa Barat, Indonesia Phone : +62 251 8393 245 Fax : +62 251 8393 246 Email : [email protected]
Telapak is an association of NGO activists, business practitioners, academics, media affiliates
and leaders of indigenous peoples, fishers, and farmers of Indonesia towards sustainability,
sovereignity, and integrity.
Telapak’s Movement is an organization’s official document which established as a source of
inspiration and activities framework for members of Telapak Community.
The legal basis of the organization is LETTER OF DECISION from MEETING MEMBERS OF
TELAPAK No.06/KPTS/RAP-Telapak/II/2008 About Telapak’s Movement which established in
Meeting of Association Members at Wakumoro Village, Muna Regency, Southeast Sulawesi
Province 17th February 2008. The content as include in an organization’s official document of
Telapak’s Movement, basically is a manifestation from core clauses of Articles of Association
and Bylaws, specifically rules about signs of vision achievements, which is:
1. The state guarantee people rights for social services and nature of ecology.
2. The state acknowledge and guarantee existence of local communities as an
autonomous social unity to control and manage itself and natural resource in their
area.
3. State policy about people’s life made with political process which participatory-
democratic.
4. Decentralized and transparent government enforcement.
5. Use, manage, and control local economic resources that based on nature source for
inhabitants sustainable livelihood.
6. Every economic activities in local community regional which involve investment
from others have to get permission and through meeting process with local
communities (free and prior-informed consent). Local communities are still in charge
and control key of business.
7. Price of natural resources commodity have to be higher from production cost (social
and ecological externalities), which largest margins of profit will be received by
communities as producer.
8. For continuity of consumption, consumer will responsible and ensure the
preservation production resources that based on commodity that produced from
sustainable management of natural resources.
9. Local communities able to produce and reproduce knowledges in control and
manage the local ecosystem.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
46
10. Law and legal pluralism that guarantee and acknowledge the local laws in
management of natural resources.
With the existence of Telapak’s Movements as a source of inspiration and activities
framework to all of Telapak’s member, so in order to actualize that vision, there are several
association tools, which is:
1. Groups and civilians alliances
2. Cooperation
3. Business entity
4. Mass media, and;
5. Political and state institution
All campaign activities by Telapak intend to actualize good governing management and to
ensure implementation of policies that support sustainable and fair management of nature
resources. Telapak do the policy advocacy in campaign process based on fact that collected
from investigative research on field. The target of advocacy is the policy makers and other
parties that can influence the policy makers in every level, from local, national, and
international.
All approach that Telapak use in doing policy advocacy is:
Workshop with several parties. Telapak actively doing workshop and roundtable meetings with interested parties in issue of natural resources management, especially civilians and indigenous people. The results from workshop are aspirations and recommendations from civilians, then continued with lobbying to regulators. Telapak believes that informations transparency and civilians involvement in process of policy making is important to actualize good governing management.
Political lobbying Telapak also actively doing political lobby to strategic parties that have authorities in policy-making and regulator also others party that can influence the process of policy making. Political lobbying is done in every level, from regional, national, and international.
Legal drafting To ensure the aspirations from civilians adopted in policy that government made, Telapak also involve in policy making and also public consultation in making policy.
Take part in several strategic forums in nature resources sectors and also participate in national and international forums which are related to several issue that we working on.
Several example of Telapak involvement in policy advocacy are:
Framing of Ministerial Regulation No. 38/2009 on the Standards and Guidelines for
Performance Assessment of Forest Management and Sustainable Production of
Timber Legality Verification
Framing Bylaws no. 27/2007 on The Management of Coastal Zones and Small Islands
Member of Negotiation Team on Treaty Indonesia-EU Cooperation in the handling of
illegal logging and illegal timber trade
Member of National Forestry Board
Member of National Water Resource Board
Member of Working Group on Monitoring and Evaluation of Implementation in
Legality Verification System
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
48
14. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Jl. Taman Bogor Baru B IV/12 Bogor Indonesia Telp: +62 251 8 340 744 Fax: +62 251 8 325 872 | E-mail: [email protected]
The Indonesian Ecolabelling Institute (LEI-Lembaga Ekolabel Indonesia) is a non-profit con-
stituent based organization that develops forest certification systems that promote our mis-
sion of just and sustainable forest resource management in Indonesia. As a constituent
based organization LEI retains independence and transparency, both necessary for the credi-
bility of forest certification.
Vision:
To become an organization striving for just and sustainable natural resource management.
Mission:
1. To develop forest certification schemes and monitoring systems for natural resource
management.
2. To promote and support just and sustainable natural resource management in
Indonesia.
3. To support multi-stakeholder natural resource management models that include
participation of indigenous communities.
LEI’s certification includes schemes for:
1. Natural forest certification
2. Plantation forest certification
3. Community forest certification
4. Chain of Custody (COC), a log tracking system for industries that process forest prod-
ucts such furniture, plywood, sawn wood and pulp and paper.
LEI has 4 (four) chambers that represents Indonesian forest stakeholders that support
LEI in using certification as a tool in achieving sustainable forest management:
1. Business Chamber.
2. Traditional community and forest farmer Chamber
3. NGOs Chamber.
4. Eminent Person Chamber.
There are five basic stages in the certification process, designed to separate data collection
from decision making, while involving stakeholders.
Step 1: Contact certification bodies – and choose the certifier you will work with
Step 2: Field pre-assessment.
involving document evaluation, field scoping, and expert panel recommendations over
whether to continue the audit.
Step 3: Field assessment and public input.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
49
The certification body carries out a field audit and facilitates the community input
process for the expert panel.
Step 4: Performance Evaluation and certification decision making
The management unit is evaluated by the expert panel based on all collected
documentation.
Step 5: Certification decision
The expert panel finalizes the certification decision which is then announced publicly by
the certification body. A surveillance schedule is put in place.
Any objection to the certification process or decision will be facilitated by LEI accredited
certifiers and the Certification Review Council
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
50
Lampiran 2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No:
P.02//VI-BPPHH/2010 (Lampiran 4 & 5)
Lampiran 4. : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Nomor : P.02/VI-BPPHH/2010
Tanggal : 10 Februari 2010
Tentang : Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
dan Verifikasi Legalitas Kayu
PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN
DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN
PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (LK)
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi Legalitas Kayu (LK) yang
telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 dan Peraturan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 serta DPLS KAN 13 dan 14,
ISO/IEC GUIDE 65, ISO 17011, dan 17021 memerlukan pedoman dalam pelaksanaannya. Salah satu
pedoman yang dibutuhkan adalah pedoman pemantauan oleh pemantau independen atas
pelaksanaan Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK.
B. TUJUAN
Pedoman ini dimaksudkan sebagai panduan bagi Pemantau Independen dalam melakukan
pemantauan atas proses dan hasil penilaian dalam Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK yang
dilakukan oleh LP&VI.
C. RUANG LINGKUP
Pedoman ini menjadi acuan bagi Pemantau Independen dalam pelaksanaan pemantauan proses dan
hasil Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.38/Menhut-II/2009, Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009,
DPLS 13, DPLS 14, ISO/IEC Guide 65, ISO/IEC Guide 17011, dan ISO/IEC Guide 17021.
D. ACUAN
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari Hutan Hak
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.33/Menhut-II/2007.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan
yang berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
51
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.43/Menhut-II/2009
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 tentang
Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo. Nomor P.9/Menhut-II/ 2009
tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.
5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.
7. ISO/IEC Guide 23:1982 Methods of Indicating Conformity with Standards for Third-Party
Certification Systems.
8. ISO/IEC Guide 65:1996 General Requirement for Bodies Operating Product Certification System.
9. ISO/IEC 17011:2004 Conformity Assessment - General Requirements for Accreditation Bodies
Accrediting Conformity Assessment Bodies.
10. ISO/IEC 10002:2004 Quality management. Customer Satisfaction. Guidelines for Complaints
Handling in Organizations. Guidelines for Complaints Handling in Organizations.
11. ISO/IEC 17021:2006 Conformity Assessment – Requirement for Boodles Providing Audit and
Certification of Management Systems.
12. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 13 Rev. 0 adalah Syarat dan Aturan Tambahan
Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
13. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 14 Rev. 0 adalah Syarat dan Aturan Tambahan
Akreditasi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu.
E. PENGERTIAN
1. Pemantau Independen :
a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan
dapat menjadi pemantau independen.
b) Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati
kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau
sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga
negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.
c) Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada
kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.
d) Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang
berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat
PHPL atau Sertifikat LK.
2. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah perusahaan berbadan hukum
milik negara atau swasta yang diakreditasi untuk melaksanakan Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan/atau verifikasi legalitas kayu.
3. Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai
dan Verifikasi Independen (LP&VI).
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
52
4. Sertifikat Legalitas Kayu (LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin
atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah
mengikuti standar legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu.
5. Sertifikat PHPL adalah surat keterangan yang menjelaskan tingkat keberhasilan pelaksanaan
pengelolaan hutan lestari.
6. Pemegang izin adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemegang
izin usaha industri.
7. Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam disingkat IUPHHK-HA (d.h. HPH),
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hutan Tanaman disingkat IUPHHK-HT
(d.h. HP-HTI), pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Tanaman Rakyat
disingkat IUPHHK-HTR, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem disingkat IUPHHK-RE, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dalam
Hutan Kemasyarakatan disingkat IUPHHK-HKm sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
8. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008.
9. Pemegang Izin Usaha Industri Lanjutan (IUI Lanjutan) adalah perusahan pengolahan hasil
hutan kayu hilir, dengan produk antara lain furnitur.
II. KEGIATAN
A. PELAKSANAAN
1. Kegiatan pemantauan yang diatur dalam pedoman ini adalah kegiatan pemantau terkait
dengan kegiatan verifikasi LK dan Penilaian Kinerja PHPL yakni sertifikasi dan Penilaian
Kinerja PHPL 3 (tiga) tahun ke belakang serta sertifikasi dan verifikasi LK 1 (satu) tahun
ke belakang yang dilakukan oleh LP&VI.
2. Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses
pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK.
3. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan
sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses
informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk
informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang
informasi.
5. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan
baik oleh LP&VI maupun KAN.
6. Demi keamanan dan keselamatan sumber informasi, Pemantau Independen dapat
merahasiakan identitas responden dan/atau informan.
B. PELAPORAN
1. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi
keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan
dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
53
2. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang
untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau
sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI.
3. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20
(dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian.
4. Dalam hal LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan
dapat disampaikan kepada KAN.
5. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian
(sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari
Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
54
Lampiran 5. : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Nomor : P.02/VI-BPPHH/2010
Tanggal : 10 Februari 2010
Tentang : Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
dan Verifikasi Legalitas Kayu
PEDOMAN PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN
PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (LK)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberatan merupakan pernyataan ketidakpuasan secara tertulis oleh pihak pengaju keberatan
dengan mengajukan keberatannya dengan disertai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut- II/2009, pemegang izin dan pemantau
independen (lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat madani di bidang kehutanan) dapat
mengajukan keberatan terhadap hasil penilaian yang dilaksanakan oleh Lembaga Penilai dan
Verifikasi Independen (LP&VI).
B. Tujuan
Pedoman ini bertujuan untuk :
1. Membangun suatu mekanisme pengajuan dan penyelesaian keberatan.
2. Mewujudkan manajemen transparansi dan pertanggungjawaban atas berjalannya proses
dan hasil Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi legalitas kayu (LK) yang dilakukan oleh
LP&VI.
3. Alat kontrol bagi kelayakan Sertifikat PHPL dan LK yang diterbitkan oleh LP&VI pada
pemegang izin atau pemilik hutan hak.
C. Ruang Lingkup
Penilaian Kinerja PHPL dan Sertifikat LK harus sesuai dengan keadaan lapangan yang diketahui dan
dialami oleh para pihak berkepentingan. Pedoman ini berisikan tata laksana pengajuan dan
penyelesaian keberatan atas status Sertifikat PHPL dan LK untuk menjadi panduan bagi pengajuan
dan penyelesaian keberatan.
Ruang lingkup proses penyelesaian keberatan adalah :
1. Keberatan yang disampaikan oleh pemegang izin atas laporan hasil penilaian.
2. Keberatan yang disampaikan oleh lembaga pemantau independen atas proses dan hasil
penilaian.
D. Acuan
1. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
55
Hutan Hak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan
Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009.
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.43/Menhut-
II/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-
II/2007 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan
Kayu.
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo. Nomor P.9/Menhut-
II/2009 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.
5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 tentang
Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu.
7. ISO/IEC Guide 23:1982 Methods of Indicating Conformity with Standards for Third-Party
Certification Systems.
8. ISO/IEC Guide 65:1996 General Requirement for Bodies Operating Product Certification
System.
9. ISO/IEC 17011:2004 Conformity Assessment - General Requirements forAccreditation
Bodies Accrediting Conformity Assessment Bodies.
10. ISO/IEC 10002:2004 Quality management. Customer Satisfaction. Guidelines for
Complaints Handling in Organizations. Guidelines for Complaints Handling in
Organizations.
11. ISO/IEC 17021:2006 Conformity Assessment – Requirement for Boodles Providing Audit
and Certification of Management Systems.
12. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 13 Rev.0 adalah Syarat dan Aturan
Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
13. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 14 Rev.0 adalah Syarat dan Aturan
Tambahan Akreditasi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu.
E. Pengertian
1. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah perusahaan berbadan hukum
milik negara atau swasta yang diakreditasi untuk melaksanakan Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan/atau verifikasi legalitas kayu.
2. Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan adalah tim yang berwenang untuk melakukan
pengecekan dokumen, konsultasi dengan pihak-pihak terkait dan melakukan verifikasi
lapangan atas materi keberatan yang disampaikan pihak pengaju keberatan.
3. Pemantau independen:
a. LSM atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau
independen.
b. Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati
kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
56
sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga
negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.
c. Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada
kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan perusahaan LP&VI dan
pemegang izin/unit manajemen.
d. Pemantau independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan
dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau
Sertifikat LK.
4. Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai
dan Verifikasi Independen (LP&VI).
5. Sertifikat legalitas kayu (Sertifikat LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada
pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan kahwa pemegang izin atau
pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam
memperoleh hasil hutan kayu.
6. Sertifikat PHPL adalah surat keterangan yang menjelaskan tingkat
keberhasilanpelaksanaan pengelolaan hutan lestari.
7. Pemegang izin adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
pemegang izin usaha industri.
8. Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam disingkat IUPHHK-HA (d.h. HPH),
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Tanaman disingkat
IUPHHK-HT (d.h. HP-HTI), pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan
Tanaman Rakyat disingkat IUPHHK-HTR, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Restorasi Ekosistem disingkat IUPHHK-RE, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Kemasyarakatan disingkat IUPHHK-HKm sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008.
9. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008.
10. Pemegang Izin Usaha Industri Lanjutan (IUI Lanjutan) adalah perusahan pengolahan hasil
hutan kayu hilir, dengan produk antara lain furnitur.
II. KEGIATAN
A. Pengajuan Keberatan
1. Materi Keberatan
a. Keberatan yang dapat ditindaklanjuti adalah setiap ketidakpuasan pihakpihak tertentu yang
disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan terkait proses dan atau
keputusan sertifikasi yang ditetapkan oleh LP&VI.
b. Materi Keberatan yang diajukan harus mengacu pada tahapan-tahapan penilaian, yaitu
bagaimana LP&VI melaksanakan tahapan-tahapan penilaian PHPL dan verifikasi LK
berdasarkan Standar dan Pedoman Penilaian PHPL dan Verifikasi LK serta kesimpulan-
kesimpulan yang ada di dalam hasil penilaian.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
57
c. Keberatan dapat dibuktikan dan didukung dengan data/informasi atau dokumen
pembanding baru yang belum digunakan dalam proses penilaian.
2. Pihak Pengaju Keberatan
Pihak-pihak yang dapat mengajukan keberatan atas proses dan atau keputusan
sertifikasi adalah sebagai berikut :
a. Pemegang Izin terhadap laporan hasil penilaian.
b. Pemantau Independen terhadap proses dan hasil penilaian (sertifikat)
3. Masa Pengajuan Keberatan
a) Keberatan dari pemegang izin diajukan selambat-lambatnya 10 hari kalender setelah
hasil penilaian LP&VI diterima pemegang izin.
b) Keberatan dari pemantau independen diajukan selambat-lambatnya 20 hari kalender
setelah pengumuman penerbitan sertifikat.
c) Dalam hal terdapat temuan baru dari pemantau independen setelah 20 hari kalender,
sejak diumumkannya sertifikat dapat diajukan kepada Departemen Kehutanan dan
LP&VI.
4. Tata Cara Pengajuan Keberatan
a. Keberatan disampaikan secara tertulis kepada LP&VI, dengan dilengkapi data pendukung.
b. Keberatan yang diajukan harus (1) mengacu pada tahapan-tahapan penilaian dan/atau pada
hasil pemenuhan standar (kriteria dan indikator) serta (2) didukung dengan data/informasi
baru yang belum digunakan dalam proses penilaian dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh
LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN.
B. Penyelesaian Keberatan
1. Penyelesaian Keberatan
a. LP&VI membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pemegang
izin dan mekanisme lainnya untuk penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Lembaga
Pemantau Independen.
b. Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan
• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan adalah tim yang berwenang untuk melakukan
pengecekan dokumen, konsultasi dengan pihak-pihak terkait dan melakukan verifikasi
lapangan atas materi keberatan yang disampaikan pihak pengaju keberatan.
• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan dibentuk oleh LP&VI, secara tidak permanen (ad hoc)
untuk membantu LP&VI yang bersangkutan dalam menyelesaikan keberatan.
• Auditor dan Pengambil Keputusan (LP&VI), pengaju keberatan, serta para pemegang izin
tidak dapat menjadi Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan.
• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan berjumlah ganjil dan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang,
yang minimal satu diantaranya mengerti, memahami persoalan dan kepentingan daerah
tempat obyek keberatan berada.
• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan
beberapa orang anggota.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
58
• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan wajib memberikan penjelasan/ tanggapan atas laporan
penyelesaian keberatan yang dibuatnya.
• Anggota Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan harus:
- Independen, mewakili para pihak dan ahli di bidang yang sesuai dengan materi
keberatan, dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
- Memiliki kemampuan melakukan penilaian terhadap informasi yang terdapat pada
materi keberatan;
- Memahami Sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK;
- Memiliki kemampuan mediasi resolusi konflik;
- Memiliki wawasan interdisipliner dan mampu bekerja sama dengan anggota lain;
- Memiliki integritas tinggi dan menjunjung objektivitas dalam proses penyelesaian
keberatan;
2. Masa Penyelesaian Keberatan
a. Keberatan dari Pemegang Izin diselesaikan oleh LP&VI selambat-lambatnya 10 hari kalender
terhitung dari diterimanya laporan keberatan oleh LP&VI.
b. Keberatan dari Lembaga Pemantau Independen diselesaikan oleh LP&VI selambat-
lambatnya 10 hari kalender terhitung dari diterimanya laporan keberatan oleh LP&VI;
c. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh
LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN untuk
diselesaikan sesuai prosedur penyelesaian keberatan yang ada di KAN
3. Tata Cara Penyelesaian Keberatan
a. Penyelesaian keberatan oleh LP&VI meliputi tahap:
o verifikasi keabsahan keberatan dan
o verifikasi materi keberatan.
b. Dalam tahap verifikasi keabsahan keberatan, dilakukan pemeriksaan relevansi materi dan
pengaju keberatan.
c. Keberatan dinyatakan relevan apabila:
• data dan informasi yang disampaikan relevan dan
• disampaikan oleh pihak yang relevan.
d. Keberatan ditolak apabila dinilai tidak relevan atau bukan merupakan bukti baru (novum).
e. Dalam tahap verifikasi materi keberatan, dapat dilakukan konsultasi dengan pihak-pihak
yang terkait dan melakukan verifikasi lapangan pada obyek keberatan, serta mediasi
terhadap pihak-pihak terkait dalam materi keberatan yang diajukan.
f. Penyelesaian keberatan oleh LP&VI dilakukan dengan membuat dan menetapkan keputusan
penyelesaian keberatan secara terulis berdasarkan hasil tahap (a) verifikasi keabsahan
keberatan dan/atau (b) verifikasi materi keberatan. Laporan yang berisi keputusan
penyelesaian keberatan oleh LP&VI disampaikan kepada pihak pengaju keberatan secara
tertulis.
g. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh
LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN untuk
diselesaikan sesuai prosedur penyelesaian keberatan yang ada di KAN.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
59
Lampiran 3. Catatan Rapat di Semarang – 12 November 2010
Minutes of Meeting 12 November 2010 Venue: Hotel Gracia Semarang Participants:
1. Naryo, Head Division of Forest Management , Provincial Forestry Service of Central Java
2. Jansen T., Ministry of Forestry
3. Heru Jatmiko, Provincial Forestry Service of Central Java
4. Yudi Nugroho, Damar Foundation
5. Exwan, Shorea Foundation
6. Pudhji R. , Farmer Network HkM
7. Edi Jampres, ARuPA
8. Priastuti, A forest farmer
9. Panji Arum, Farmer Association of Private Forest (Telapak)
10. Imam Suyono, Ministry of Forestry
11. Berdy, Suphel Foundation
12. Teguh, Persepsi
13. Lasmini, Project Coordinator ITTO
14. Stepi Hakim, Consultant ITTO Background
Ministry of Forestry just released P.38/Menhut-II/2009 regarding sustainable forest management certification (PHL) and timber legality verification certification (LK) for timber products. It is followed up by the Decree of Director General Management of Forest Production on Criteria and Guidelines for PHL and LK certification (P.6/VI-Sec /2009) in 2009 and technical guidelines for implementation of PHL and LK certification (P.02/VI-BPPHH/2010) in 2010. Those above regulations are basic foundation for the implementation of Indonesian Timber Legality Assurance System (TLAS) in the fields. According to Article 14 (point 1, 2 and 3) of P.38/Menhut/II/2009, it states that civil society or non-government organizations (NGOs) are entitled to be an independent monitor in the process of TLAS assessment. If the society or NGOs object with the result of the certification assessment, the claim objection has to be submitted to the independent certification and verification body (LP&VI) within 20 days. If the objection cannot be settled then the NGOs or the society could bring the claim to the National Accreditation Commission (KAN). Up to now there is no existing institutions or organizations yet to monitor TLAS implementation in the fields. In fact, there are several NGOs in Java Island that in particular have roles in empowering communities to obtain their forests to be certified. However, their roles (NGOs in empowering) might slightly be different in monitoring TLAS. It is necessary then to define role and responsibility of civil society/NGOs in monitoring TLAS implementation, including its guidelines, its mechanisms and the procedures. Public consultations and group discussions are required to define criteria and indicators for the institutions or organizations to be eligible as independent monitoring on SVLK. According to P.02/VI-BPPHH/2010, the definition of independent monitoring is as follows:
Non Governmental Organizations (NGOs) or civil society in forestry sector can serve as independent monitor.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
60
It may include forestry observer, NGO with an Indonesian corporate body, the community living inside or around the area where license holders or owners of right forest are located/operating, and other Indonesian citizens who concerned about forestry sector.
an independent monitor should have no direct or indirect relationship to or with LP&VI and license holders
Independent Monitoring Activities During the assessment, the scope of monitoring activities is as follows:
verification of LK (for the past 1 year) and PHPL Performance Assessment (for the past 3 years)
a close look at the process and result of LP&VI assessment, decision-making process and decision on LP&VI in issuing PHPL/LK certificate
develop their own monitoring methods
can access any required public information/document and can submit an application for obtaining other required information/documents in writing to holder of the information
monitor the developments in handling of report on objections both from LP&VI and NAC (National Accreditation Council)
Reporting The independent monitoring would produce a report with the specific requirements as follows:
a report containing objections to the process and/or result of LP&VI assessment on license holder
Material for objections is the result of monitoring activity for the past 1 (one) year for verification of LK or for the past 3 (three) years for PHPL Performance Assessment
submitted to LP&VI no later than in 20 (twenty) calendar days since the announcement of the assessment result
can be submitted to NAC if LP&VI could not resolve the objections
new findings can be reported as new monitoring result (after 20 calendar days the issuance of the certificate) to MoF and LP&VI
Existing Challenges
no existing institutions or organizations yet to monitor TLAS implementation in the fields
Just recently 23-09-2010, there is a network called as JIPK (Independent Forestry Monitoring Network) consisting 29 NGOs that would perform monitoring public service in forestry sector.
no complaints or objections from IM emerged regarding PHL and or LK certification assessment process and its issuance
In fact, there are several NGOs in Java Island that in particular have roles in empowering communities to obtain their forests to be certified
However, their roles (NGOs in empowering communities) might slightly be different in monitoring TLAS
Objectives The objectives of the meeting are as follows:
Disseminate regulation of Directorate General of Forest Management Development, Ministry of Forestry No: P.02/VI-BPPHH/2010, particularly on Independent Monitoring (Annex 4) and Guideline on Complaint Procedure in SVLK (Annex 5).
Formulate minimum criteria & indicator for civil society organizations to become as independent monitoring for SVLK
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
61
Formulate mechanism on monitoring including independency of the organization and source financing system for the organization/network.
Discussions The meeting was started with the brief introduction of the ITTO project to the participants. The introduction was presented by Ms. Lasmini, Project Coordinator of ITTO. The institutional arrangement for SVLK was explained briefly by Mr. Jansen from Ministry of Forestry. The main presentation on independent monitoring was provided by Mr. Stepi Hakim, a consultant ITTO. Issues There are several issues during the meeting that are discussed as follows: 1. Registration The definition of registration was debated during the course. The NGOs claims that their organizations are not necessary to be registered to the Government. It would weaken the role of NGOs in monitoring SVLK in the fields. On the other hand, Government would face difficult to identify the NGO that would perform monitoring in the fields. In addition, if there is a conflict between the NGO and the LP&VI, it would be difficult also to the Government to define whether that NGO is a capable organization as an Independent Monitoring for SVLK. There was suggestion that the NGOs would develop their own registration, including code of conduct for the organization to be as independent monitoring. In order to avoid intervention from the Government, the registration system for independent monitoring would be developed and arranged by the NGOs. The NGOs based in Central Java and Yogyakarta would develop a networking NGO for independent monitoring for the region of Central Java and Yogyakarta Region. As soon as the NGO has been registered, the network would request to the Government to acknowledge the members of the network to be as independent monitoring in forestry sector. In other words, the NGOs would not register to the Government, but in fact the Government is requested to acknowledge the NGOs. It was agreed by participants that the further requirements for the registration would be discussed in the next meetings. 2. Membership Who is eligible to be a member of the network for independent monitoring? According to P.38/2009 and P.02/2010, the independent monitoring could be as follows: - Non Government Organization - Civil Society includes forestry observer, community living surround the forest operated, and Indonesian citizens who concerned about forestry sector. There was an argument that individual person should not be as an independent monitor because it would be difficult to ensure the neutrality of the person regarding to the objection complained by her/him. However, majority participants disagreed with the exemption of individual person as independent monitoring. Everyone has a right to monitor the implementation of SVLK. The more people watch the SVLK the more credibility of the system seen by the Market. Thus, it is agreed that individual observer or an observer could be as an independent monitor for SVLK. Participants also questioned with NGOs that are not dealing with forestry sector to be as independent monitor. It was agreed that such NGOs would not be able to be as independent monitor. However, if the NGOs found any irregular activities in the SVLK then they could report their findings to other NGOs that are dealing with forestry sector. There was questioned about Paguyubuan (a group of people with the same interest, but it does not have any legal status as an organization) whether it is eligible to become a member of the network or not. The participants agreed that Paguyubuan is eligible to be part of the network to monitor
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
62
SVLK. However, in order to ensure the neutrality of the group, the NGOs would set up criteria and indicator for eligibility of organizations to become a member of the network for monitoring SVLK in Central Java and Yogyakarta. 3. Role of NGO (Empowering versus Monitoring) It is well known that most of NGOs in Central Java and Yogyakarta are dealing with community empowerment, particularly with forest farmers. Several NGOs such as ARuPA, Persepsi, KOLING, and Shorea Foundation are supporting community in obtaining their forests to be certified. On the other hand, in order to become as an independent monitor for SVLK the organization has to be no direct or indirect relationship to or with LP&VI and license holders. In this context, the NGOs that are empowering community in getting forest certification are not supposed to be as independent monitors. This issue was debated within participants during the meeting. There was suggestion that the NGO that is currently empowering its community in village A, it is not allowed to conduct a monitoring SVLK in the same village (Village A). However, this NGO is able to monitor SVLK in other villages (such as village B, C, D, etc.). Majority of the participants are reluctant to separate their roles between as a facilitator for community empowerment and as a monitor for SVLK assessment. They argued that the number of NGOs in dealing with forest certification is very limited in Central Java and Yogyakarta. As a result, the NGOs that would deal with monitoring SVLK would be none. Based on the discussions, it was agreed that up to now there is no separation of the NGOs’ roles. However, the NGO is not allowed to carry out monitoring SVLK at the village in which the NGO is conducting community empowerment. 4. Networking (FKD versus New Network on Independent Monitoring) In Central Java and Yogyarakarta, there is a stakeholder forum developed by LEI called Forum Konsultasi Daerah (Forum of Local Consultation). The forum is aimed to gather information from wider stakeholders during the LEI certification process. The participants were considering to the FKD as the network for monitoring SVLK in Central Java and Yogyakarta. However, Jampes from ARuPA suggested that they could use the existing Network for Forest Independent Monitoring (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan/JPIK) based in Bogor, West Java to be a part of their network in Central Java and Yogyakarta. JPIK is a network established in September 2010 by 29 NGOs across the country committing to monitor forestry sector in Indonesia. So, the participants agreed that they would discuss further the two options (between FKD and JPIK) in the next meeting. 5. Accessibility to the information The NGOs in Central Java and Yogyakarta are questioning to the Ministry of Forestry regarding the accessibility of the information. According to ARuPA, it was difficult to obtain precise data of the forest concession in East Kalimantan during the SVLK assessment. When the local NGO, PADI Foundation was asking the public summary of the result of SVLK assessment to the LP&VI, the auditing company was not able to provide it. The Ministry (here was represented by Mr. Jansen) said that any information obtained by the LP&VI should also be available for the Independent Monitoring. Concluding Remarks It is agreed that there would be a next meeting to discuss as follows:
Code of conduct of NGOs, individual observers, paguyubuan or other public groups to become as independent monitor
Defining Training Need Assessments for NGOs in monitoring SVLK.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
63
The next meeting would be carried out in Semarang in December 2010. The number of participants
to be invited would be increased.
Lampiran 4. Catatan Rapat di Surabaya– 12 November 2010
Minutes of Meeting 24 Nopember 2010 Tempat: Hotel Ibis Rajawali Surabaya Peserta: 1. Bambang Sukmananto, Kementerian Kehutanan
2. Dodi, Ka. Bagian Pengusahaan Hutan, Dinas Kehutanan Jawa Timur
3. Jansen T., Kementerian Kehutanan
4. Heru, PWT – Pacitan
5. Nurdin R., Tani Lestari
6. Muhtarom, YBKM
7. Indtrimastuti, LP3M – Algheirns
8. Imam Suyono, Kementerian Kehutanan
9. Yudi, HISPAM
10. Sugeng, BP2HP – Jawa Timur
11. Rafi, BP2HP – Jawa Timur
12. M. Solehkhan, LPKP Malang
13. Hari C., Paramitra
14. Wahyu Hidayat, Paramitra
15. Nuryahya, Persepsi
16. AH Suprayitno, PESAT
17. Tony, BP2HP – Jawa Timur
18. Isabella, ITTO
19. Ditha Astriani, ITTO
20. Agus Heri, BP2HP – Jawa Timur
21. Lasmini, Project Coordinator ITTO
22. Stepi Hakim, Consultant ITTO Latar Belakang Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan Menteri ini kemudian diikuti dengan Keputusan Dirjen Bina Usaha Kehutanan tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.6/VI-Set/2009) dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.02/VI-BPPHH/2010). Ketiga peraturan tersebut merupakan dasar hukum terhadap pelaksanaan system jaminan legalitas kayu Indonesia di lapangan. Berdasarkan Pasal 14 (Ayat 1) dari P.38/Menhut/II/2009, disebutkan bahwa lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan.
Dalam Ayat 2, kemudian disebutkan bahwa dalam hal LSM atau masyarakat madani bidang kehutanan keberatan terhadap hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberatan dimaksud diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja kepada LP&VI untuk mendapat penyelesaian. Apabila keberatan tersebut tidak dapat diselesaikan , maka LSM dapat melaporkan hal tersebut kepada Komisi Akreditasi Nasional (KAN). Pengertian Pemantau Independen dalam P.02/VI-BPPHH/2010, adalah sebagai berikut:
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
64
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen
Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.
Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.
Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.
Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan baik oleh LP&VI maupun KAN. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian. Apabila LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan dapat disampaikan kepada KAN. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian (sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI. Pada bulan September 2010, sektiar 29 LSM yang berasal dari berbagai daerah membentuk suatu jaringan yang disebut Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Bogor. Sampai sekarang, walaupun sejumlah industri kayu telah memperoleh sertifikasi SVLK yang diterbitkan oleh LP&VI, namun belum ada keberatan yang muncul dari pemantau independen terhadap proses sertifikasi bersangkutan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena prosedur teknis lapangan terhadap pemantauan sertifikasi SVLK belum tersedia. Dalam kenyataannya, ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang mempunyai peran sebagai pendamping bagi masyarakat pemilik hutan rakyat dalam rangka sertifikasi hutan lestari. Peran LSM tersebut sebagai pendamping sedikit berbeda dengan sebagai pengawas proses sertifikasi hutan. Oleh sebab itu perlu adanya identifikasi peran dan tanggung jawab masyarakat mandani/LSM dalam pengawasan pelaksanaan SVLK, termasuk petunjuk pelaksana, mekanisme pelaksanaan, dan prosedur pengawasan. Konsultasi public dan diskusi kelompok diperlukan untuk menentukan criteria dan idikator bagi organisasi atau lembaga yang memenuhi syarat sebagai Pemantau Independen untuk SVLK.
Tujuan Diskusi Tujuan dari Diskusi Kelompok Terarah ini adalah sebagai berikut:
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
65
Sosialisasi Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan P.02/VI-BPPHH/2010 yang lebih terfokus pada Pemantau Independen (Lampiran 4) dan Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dalam SVLK (Lampiran 5).
Merumuskan prasyarat minimum criteria & indicator suatu LSM atau Masyarakat Madani untuk menjadi Pemantau Independen.
Merumuskan mekanisme pelaksanaan pemantauan independen termasuk diantaranya konsistensi dalam independensi pemantauan dan system pendanaan untuk pemantauan.
Hasil Diskusi Pertemuan dimulai dengan paparan singkat mengenai Proyek ITTO terkait SVLK dari Project Coordinator ITTO, Ibu Lasmini Adi. Tata kelola dan mekanisme kelembagaan dalam SVLK dipaparkan oleh Bapak Jansen T., dari Kementerian Kehutanan. Presentasi utama mengenai Pemantau Independen disampaikan oleh Bapak Stepi Hakim, selaku konsultan ITTO. Isu-isu selama diskusi Isu-isu yang dikemukakan hampir sama apa yang telah didiskusikan di Semarang, beberapa isu selama pertemuan di Surabaya adalah sebagai berikut: 1. Latar Belakang sebagai Pemantau Independen Hal pertama yang dipertanyakan dalam diskusi adalah tentang latar belakang sebagai Pemantau Independen. Apakah Pemantau Independen harus memiliki latar belakang Kehutanan dan atau Pertanian? Berdasarkan dari paparan konsultan, pemantau independen tidak harus memiliki latar belakang kehutanan atau Pertanian. Yang lebih penting bahwa Pemantau mengerti dan mengetahui isu-isu kehutanan dan permasalahan kehutanan terutama menyangkut proses sertifikasi dan verifikasi legalitas kayu. 2. Lembaga yang eligible menjadi Pemantau Independen Para peserta diskusi mempertanyakan siapa dan lembaga apa saja yang boleh menjadi Pemantau Independen. Eligilitas sebagai pemantau independen telah dipaparkan konsultan berdasarkan P.02/VI-BPPHH/2010. Namun, mekanisme pemilihan lembaga atau perorangan untuk menjadi pemantau independen belum dipaparkan secara rinci pada peraturan Dirjen BUK tersebut. Siapa atau lembaga apa saja yang memenuhi persyaratan sebagai Pemantau Independen? Berdasrakan P.38/2009 and P.02/2010, Pemantau Independen dapat berasal dari:
- Lembaga atau Organisasi Non Pemerintah (LSM) - Masyarakat Mandani, termasuk di dalamnya adalah Pengamat Kehutanan ,
masyarakat setempat yang hidup dan tinggal di sekitar dimana hutan tersebut beroperasi, dan masyarakat pemerhati di bidang kehutanan.
Pada saat konsultan memberikan gambaran singkat terhadap hasil diskusi di Semarang mengenai usulan Ornop untuk membuat “code of conduct” untuk menjadi pemantau independen, nampaknya para peserta di Surabaya menyambut baik usulan tersebut. Para ornop di Jatim berharap ada pertemuan lanjutan dalam kaitannya untuk membicarakan dan mendiskusikan lebih lanjut “code of conduct” untuk pemantau independen Jawa Timur.
3. Proses penyampaian keberatan setelah 20 hari kalender
Para peserta mempertanyakan apa yang akan terjadi apabila keberatan disampaikan setelah 20 hari kalender sejak sertifikat diumumkan. Konsultan menjelaskan bahwa Pemantau masih memiliki kesempatan dalam pengajuan keberatan setelah 20 hari kalender sertifikat diumumkan. Pengajuan keberatan setelah 20 hari itu harus diikutsertakan dengan adanya temuan baru yang bisa
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
66
mempengaruhi keputusan sertifikat yang telah diberikan. Apabila temuan tersebut diterima, maka audit khusus terhadap unit managemen bersangkutan harus dilakukan. 4. KAN Apa itu KAN? Ini menjadi pertanyaan bagi para peserta mengenai status KAN dalam system SVLK. Pak Jansen dari Kementerian Kehutanan menjelaskan bahwa KAN adalah Komisi Akreditasi Nasional yang telah memiliki ISO 17011 dimana lembaga bersangkutan telah lulus Standar Internasional sebagai lembaga Akreditasi. Sampai saat ini KAN telah meluluskan 5 lembaga sertifikasi untuk verifikasi legalitas kayu diantaranya adalah BRIK, Sucofindo, TUV International Indonesia, Mutu Hijau, dan Mutu Alam Lestari. Sistem akreditasi KAN diawasi oleh Badan Akreditasi International melalui Peer Review yang dilakukan pada periode tertentu.
5.Pembiayaan untuk kegiatan Pemantauan Beberapa peserta mempertanyakan mengenai efektifitas pemantauan dalam artian pembiayaan mobilisasi pemantauan. Pemantauan ini bersifat independen, dengan arti bahwa tidak adanya keberpihakan dari pihak manapun dalam kegiatan pemantauan proses sertifikasi. Dengan demikian, pemantau menggunakan dana operasional sendiri dalam melakukan kegiatan pemantauan. Apabila operasional kegiatan pemantauan difasilitasi oleh Pemerintah, maka kegiatan pemantauan tersebut akan menjadi tidak independen (cenderung berpihak kepada Pemerintah). Usulan untuk memperoleh dana operasional pemantauan dari lembaga donor menjadi wacana bagi para ornop-ornop Jawa Timur. 6. Pembekalan terhadap Lembaga Pemantau Para peserta Ornop mempertanyakan terhadap peranan pemerintah dalam memberikan peningkatan kapasitas bagi para pemantau independen di Jawa Timur. Diharapkan adanya pelatihan terhadap para Ornop tersebut terutama pada teknik pemantauan, pelaporan, penyampaian keberatan, dan sebagainya. Ibu Lasmini selaku project coordinator untuk ITTO menjelaskan bahwa dalam project ini ada kesempatan yang diberikan kepada Ornop, PNS, dan para pengguna SVLK (petani hutan dan industry) untuk memperoleh peningkatan kapasitas melalui pelatihan. “Code of conduct” yang telah tersusun akan diuji-cobakan oleh para pemantau di lapangan. 7. Instrumen Pemantauan Para peserta mempertanyakan obyek pemantauan dan instrumen apa yang dipakai dalam kegiatan pemantauan. Konsultan memaparkan bahwa Pemantau Independen dalam melakukan kegiatan pemantauan tidak hanya memantau proses sertifikasi dan verifikasi saja, tetapi juga memantau proses akreditasi serta proses pengajuan keberatan. Sedangkan Instrumen yang dapat dipakai dalam pemantauan adalah verifier-verifier yang terdapat pada Perdirjen BUK P.02/VI-BPPHH/2010. 8. Motivasi terhadap Pemantauan Pada akhir pertemuan, para peserta meminta kepada konsultan untuk melakukan diskusi tersendiri dengan para Ornop setelah acara selesai. Konsultasi dengan para Ornop ini lebih mempertanyakan tentang latar belakang terbitnya SVLK. Konsultan memberikan penjelasan singkat terhadap latar belakang terbitnya Permenhut P.38/Menhut-II/2009. Para peserta Ornop mempertanyakan tentang efektivitas pemantauan apabila pembiayaan pemantauan dibebankan kepada lembaga sendiri. Akhirnya disepakati agar dalam meningkatkan efektivitas pemantauan, lembaga yang melakukan pemantauan proses sertifikasi adalah lembaga yang mempunyai basis kegiatan di daerah bersangkutan. Disepakati bahwa pembiayaan pemantauan yang berasal dari Pemerintah akan menurunkan kredibilitas independensi dari lembaga pemantauan. Keberpihakan pada pihak tertentu bisa terjadi apabila pembiayaan tidak dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab. 9. Peran para LSM (Pendampingan versus Pemantauan)
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
67
Telah banyak diketahui bahwa sebagian besar LSM lingkungan di Jawa Timur melakukan penguatan atau pendampingan masyarakat, khususnya kelompok tani hutan. Beberapa LSM seperti Paramitr dan Persepsi Jawa Timur adalah lembaga-lembaga yang melakukan pendampingan pada masyarakat tani hutan dalam rangka untuk memperoleh sertifikasi hutan lestari. Sampai saat ini sudah terdapat 5 unit hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikasi PHBML denga skema LEI. Di lain pihak, untuk menjadi Pemantau Independen SVLK, maka lembaga atau organisasi harus tidak memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan LP&VI dan atau dengan pemegang ijin atau pemilik hutan. Dalam hal ini, LSM yang melakukan pendampingan sertifikasi hutan terhadap masyarakat pemilik hutan seharusnya tidak boleh menjadi pemantau independen. Peran LSM sebagai pendamping dan sekaligus sebagai pemantau untuk proses SVLK menjadi perdebatan selama diskusi. Sama seperti yang telah didiskusikan di Semarang, maka para Ornop Jawa Timur akhirnya menyutujui bahwa LSM yang sedang atau telah melakukan pendampingan di Desa A, maka LSM bersangkutan tidak diperbolehkan untuk melakukan pemantauan pada Desa tersebut (Desa A). Namun, LSM tersebut boleh melakukan pemantauan di Desa lainnya (B, C, D, dsb) yang bukan menjadi dampingannya. Namun, para Ornop Jawa Timur mengusulkan agar permasalahan ini akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Kesimpulan Diskusi Telah disepakati bahwa akan dilaksanakannya Pertemuan Lanjutan, dimana bahan diskusinya adalah:
“Code of conduct” dari LSM, pemerhati kehutanan, paguyuban, serta perkumpulan atau perserikatan lainnya untuk menjadi Pemantau Independen.
Memformulasikan keperluan pelatihan bagi LSM dalam rangka Pemantauan SLVK
Para peserta berharap bahwa pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan di Surabaya pada bulan Desember 2010 dengan jumlah peserta yang diharapkan lebih banyak dari pertemuan ini.
Konsultan diharapkan mengirimkan kisi-kisi bahan pertemuan sebelum pertemuan dilaksanakan.
Para Ornop akan mengirimkan profile lembaga mereka kepada konsultan ITTO sebelum pertengahan bulan Desember 2010.
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
68
Lampiran 5. Catatan Rapat di Bandung – 1 December 2010
Minutes of Meeting 1 Desember 2010 Tempat: Hotel Lingga Bandung – Jawa Barat Peserta: 1. Jansen T., Kementerian Kehutanan
2. Avo Juhartono, AKAR Kuningan
3. Cecep Saefullah, Konsultan ITTO
4. Beni Sarbini, KANOPI Kuningan
5. Beben TC, Dishut Provinsi Jawa Barat
6. Yeyep, Dishut Provinsi Jawa Barat
7. Jozsef Miscki, Konsultan ITTO
8. Bob Purba, Telapak
9. Nana Suherna, BP2HP DKI Jakarta
10. Haris A., BP2HP DKI Jakarta
11. Gladi Hardiyanto, LEI
12. Dadan Kurnia, GRES (Institute for Social and Environment Justice)
13. Isabella, ITTO
14. Ditha Astriani, ITTO
15. Lasmini, Project Coordinator ITTO
16. Stepi Hakim, Consultant ITTO Latar Belakang Bandung Jawa Barat merupakan tempat ke-3 dari Pembekalan dan diskusi Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan para organisasi non pemerintah (ornop) lingkup kegiatan di Jawa Barat yang difasilitasi oleh ITTO. Pada September 2009, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan Menteri ini kemudian diikuti dengan Keputusan Dirjen Bina Usaha Kehutanan tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.6/VI-Set/2009) dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.02/VI-BPPHH/2010). Ketiga peraturan tersebut merupakan dasar hukum terhadap pelaksanaan system jaminan legalitas kayu Indonesia di lapangan atau yang lebih dikenal sebagai SVLK (Standar Verifikasi Legalitas Kayu). Berdasarkan Pasal 14 (Ayat 1) dari P.38/Menhut/II/2009, disebutkan bahwa lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan. Dalam Ayat 2, kemudian disebutkan bahwa dalam hal LSM atau masyarakat madani bidang kehutanan keberatan terhadap hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberatan dimaksud diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja kepada LP&VI untuk mendapat penyelesaian. Apabila keberatan tersebut tidak dapat diselesaikan , maka LSM dapat melaporkan hal tersebut kepada Komisi Akreditasi Nasional (KAN). Pengertian Pemantau Independen dalam P.02/VI-BPPHH/2010, adalah sebagai berikut:
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
69
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen
Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.
Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.
Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.
Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan baik oleh LP&VI maupun KAN. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian. Apabila LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan dapat disampaikan kepada KAN. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian (sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI. Pada bulan September 2010, sektiar 29 LSM yang berasal dari berbagai daerah membentuk suatu jaringan yang disebut Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Bogor. Sampai sekarang, walaupun sejumlah industri kayu telah memperoleh sertifikasi SVLK yang diterbitkan oleh LP&VI, namun belum ada keberatan yang muncul dari pemantau independen terhadap proses sertifikasi bersangkutan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena prosedur teknis lapangan terhadap pemantauan sertifikasi SVLK belum tersedia. Dalam kenyataannya, ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang mempunyai peran sebagai pendamping bagi masyarakat pemilik hutan rakyat dalam rangka sertifikasi hutan lestari. Peran LSM tersebut sebagai pendamping sedikit berbeda dengan sebagai pengawas proses sertifikasi hutan. Oleh sebab itu perlu adanya identifikasi peran dan tanggung jawab masyarakat mandani/LSM dalam pengawasan pelaksanaan SVLK, termasuk petunjuk pelaksana, mekanisme pelaksanaan, dan prosedur pengawasan. Konsultasi public dan diskusi kelompok diperlukan untuk menentukan criteria dan idikator bagi organisasi atau lembaga yang memenuhi syarat sebagai Pemantau Independen untuk SVLK. Tujuan Diskusi Tujuan dari Diskusi Kelompok Terarah ini adalah sebagai berikut:
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
70
Sosialisasi Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan P.02/VI-BPPHH/2010 yang lebih terfokus pada Pemantau Independen (Lampiran 4) dan Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dalam SVLK (Lampiran 5).
Merumuskan prasyarat minimum criteria & indicator suatu LSM atau Masyarakat Madani untuk menjadi Pemantau Independen.
Merumuskan mekanisme pelaksanaan pemantauan independen termasuk diantaranya konsistensi dalam independensi pemantauan dan system pendanaan untuk pemantauan.
Hasil Diskusi Sedikit berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan para Ornop Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan pada bulan November lalu, pada pertemuan kali ini di Jawa Barat Ornop yang hadir tidak begitu banyak. Dari 20 lembaga yang diundang dalam pertemuan kali ini, hanya 5 lembaga yang hadir yaitu Telapak, Lembaga Ekolabel Indonesia, AKAR Kuningan, KANOPI Kuningan, dan GRES dari Garut. Pertemuan dimulai dengan paparan singkat mengenai Proyek ITTO terkait SVLK dari Project Coordinator ITTO, Ibu Lasmini Adi. Tata kelola dan mekanisme kelembagaan dalam SVLK dipaparkan oleh Bapak Jansen T., dari Kementerian Kehutanan. Presentasi utama mengenai Pemantau Independen serta penjelasan singkat tentang peran Pemantau dalam SVLK disampaikan oleh Bapak Stepi Hakim, selaku konsultan ITTO. Isu-isu selama diskusi Isu-isu yang dikemukakan hampir sama apa yang telah didiskusikan di Semarang dan Surabaya, beberapa isu selama pertemuan di Bandung adalah sebagai berikut: 1. Aksesbilitas infomasi dalam Pemantauan
Peserta mempertanyakan sampai sejauh mana para Pemantau boleh memperoleh informasi terkait proses sertifikasi dimana ada klausul dalam aturan sertifikasi bahwa auditor tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan informasi pihak yang di audit kepada pihak ketiga. Konsultan menegaskan bahwa pada dasarnya pemantau memperoleh akses yang kurang lebih sama dengan informasi yang diperoleh oleh auditor. Hal ini disebabkan karena peran pemantau adalah tidak hanya memantau proses sertifikasi yang sedang berlangsung tetapi juga memantau proses akreditasi serta proses pengajuan keberatan. Hasil penilaian yang dilakukan oleh Auditor sepatutnya dapat dipantau oleh Pemantau sehingga proses sertifikasi lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsultan menambahkan dokumen yang telah disetujui dan ditandatangani oleh pejabat public, maka dokumen tersebut dapat diakses oleh public. Dalam aturan ISO Guide 65 disebutkan sebagai berikut: “4.10.2 Kecuali disyaratkan dalam Pedoman ini atau oleh peraturan perundang-undangan, informasi yang diperoleh selama kegiatan sertifikasi untuk produk atau pemasok tertentu tidak boleh dipaparkan kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemasok tersebut. Jika perundang-undangan mensyaratkan informasi harus dipaparkan kepada pihak ketiga, maka pemasok harus diberitahu tentang informasi yang diberikan, selama diizinkan oleh perundang-undangan yang berlaku” Berarti, dari paparan tersebut bahwa sebenarnya Pemantau berhak meminta informasi terkait kegiatan sertifikasi kepada pihak auditor karena informasi yang bersifat public dapat diakses oleh pihak umum sesuai dengan peraturan perundangan berlaku (mislanya UU Informasi). Pak Jansen dari Kementerian Kehutanan menambahkan bahwa walaupun belum ada regulasi terhadap penjelasan lebih rinci cakupan informasi yang dapat diakses untuk public, pemantau independen mempunya akses yang sama halnya seperti pihak auditor. 2. Siapa Pemantau Independen? Apa perlu diformalkan? Para peserta diskusi mempertanyakan siapa dan lembaga apa saja yang boleh menjadi Pemantau Independen. Eligilitas sebagai pemantau independen telah dipaparkan konsultan berdasarkan
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
71
P.02/VI-BPPHH/2010. Namun, mekanisme pemilihan lembaga atau perorangan untuk menjadi pemantau independen belum dipaparkan secara rinci pada peraturan Dirjen BUK tersebut. Siapa atau lembaga apa saja yang memenuhi persyaratan sebagai Pemantau Independen? Berdasrakan P.38/2009 and P.02/2010, Pemantau Independen dapat berasal dari:
- Lembaga atau Organisasi Non Pemerintah (LSM) - Masyarakat Mandani, termasuk di dalamnya adalah Pengamat Kehutanan ,
masyarakat setempat yang hidup dan tinggal di sekitar dimana hutan tersebut beroperasi, dan masyarakat pemerhati di bidang kehutanan.
Perlukah pemantau independen itu diformalkan? Peserta berpendapat bahwa pemantau perlu diformalkan tapi tidak berarti bahwa formalitas tersebut mengartikan pemantau harus terdaftar pada lembaga pemerintahan tertentu. Usulan dari peserta adalah mekanisme pemantau akan di atur dalam “code of conduct” yang akan disusun oleh para NGOs and CSOs.
3. Obyek Pemantauan Para peserta mempertanyakan apa yang menjadi obyek pemantauan. Seperti yang telah dijelaskan pada paparan sebelumnya, pemantau independen tidak hanya memantau proses sertifikasi PHAPL dan Verifikasi Legalitas Kayu, tetapi juga proses akreditasi dan proses pengajuan keberatan. Dalam pemantauan proses sertifikasi dan verifikasi, maka pemantauan dimulai semenjak 7 hari sebelum kegiatan audit dilakukan atau pengumuman pelaksanaan auditing diumumkan oleh website kementerian kehutanan sampai dengan hasil sertifikasi diumumkan. Obyek pemantauan adalah hal-hal yang tercantum dalam penilaian verifier pada P.02/VI-BPPHH/2010. Verifier-verifier dalam peraturan Dirjen tersebut dapat dipakai sebagai tools dalam kegiatan pemantauan. 4. Seberapa besar kepercayaan bahwa laporan Pemantau Independen di follow up oleh pihak bersangkutan? Apabila tidak difollow up, apa sanksi bagi lembaga bersangkutan? Dalam peraturan perundangaan (P.38/Menhut-II/2009) disebutkan bahwa laporan keberatan dari Pemantau Independen diberikan kepada pihak auditor (LP&VI) dalam kurun waktu 20 hari setelah sertifikat diluarkan. Apabila laporan tersebut tidak digubris, maka Pemantau dapat meneruskan laporan tersebut kepada KAN. Pemantau juga dapat minta klarifikasi kepada KAN terhadap perkembangan laporan mereka yang tidak digubris oleh LP&VI bersangkutan. Jika terbukti bahwa LP&VI telah melakukan sesuati di luar tanggung jawabnya sebagai lembaga auditor, maka KAN berhak mencabut akreditasi lembaga bersangkutan sebagai LP&VI. Ini merupakan salah satu bentuk sanksi yang dapat diberikan oleh KAN apabila LP&VI tidak mampu mempertahankan kredibilitas mereka sebagai lembaga auditor untuk SVLK. 5. Pembiayaan untuk kegiatan Pemantauan Hal yang sama juga ditanyakan oleh para peserta dari Jawa Barat yaitu pendanaan untuk efektifitas kegiatan Pemantauan. Pemantauan ini bersifat independen, dengan arti bahwa tidak adanya keberpihakan dari pihak manapun dalam kegiatan pemantauan proses sertifikasi. Dengan demikian, pemantau menggunakan dana operasional sendiri dalam melakukan kegiatan pemantauan. Apabila operasional kegiatan pemantauan difasilitasi oleh Pemerintah, maka kegiatan pemantauan tersebut akan menjadi tidak independen (cenderung berpihak kepada Pemerintah). 6. Apakah Lembaga Pemantau juga sebagai Lembaga Pengajuan Keberatan? Ya. Dalam pengajuan keberatan ada dua pihak yang mempunyai hak untuk itu, yaitu pihak yang diaudit dan pihak yang melakukan pemantauan. Penyampaian Keberatan dari Pihak yang diaudit (Auditee) Pihak ini mempunyai hak untuk mengajukan keberatan kepada auditor apabila hasil penilaian (sebelum sertifikat dikeluarkan) tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh auditee.
Penyampaian Keberatan dari Pihak Pemantau Indepeden Pihak ini mempunyai kesempatan untuk memantau proses sertifikasi sejak 7 hari sebelum audit dilaksanakan. Penyampaian keberatan
Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)
72
kepada lembaga auditor (LP&VI) dalam kurun waktu 20 hari setelah sertifikat SVLK dikeluarkan. Laporan keberatan setelah 20 hari itu juga bisa dilakukan oleh Pemantau apabila ada temuan baru yang mempengaruhi proses sertifikasi. 7. Apakah Pemantauan Independen bagian dari pengembang standar? Jika iya, maka pendanaan kegiatan pemantauan diperoleh oleh inisiator pengembang standar (pemerintah)? Dalam Permenhut P.38/Menhut-II/2009, Pemantau Independen merupakan salah satu bagian dari system sertifikasi dan verifikasi legalitas kayu. Hasil dari pantauan para Pemantau independen dapat dijadikan masukan untuk perbaikan system. Bagaimana dengan pendanaan kegiatan pemantauan yand dibiayai oleh Pemerintah? Disepakati bahwa pembiayaan pemantauan yang berasal dari Pemerintah akan menurunkan kredibilitas independensi dari lembaga pemantauan. Tetapi kemudian pertanyaan yang muncul adalah apakah lembaga-lembaga pemantau sekarang mempunyai cukup pembiayaan untuk pemantauan? Diharapkan selain dari pembiayaan sendiri (self-finance), Pemantau independen dapat mencari sumber pendanaan dari para negara donor dengan tetap memperhatikan indepedensi dalam penyampaian keberatan (lihat no 5 di atas). 8. Peran para LSM (Pendampingan versus Pemantauan) Pertemuan di Bandung tidak banyak membahas terhadap perbedaan peran para LSM apakah sebagai Pendamping atau sebagai Pemantau. Namun, isu ini tetap menjadi catatan peserta diskusi agar bisa dibawa dan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya.
Kesimpulan Diskusi
Usulan dari Pak Jansen untuk mengadakan pertemuan lanjutan untuk membahas lebih rinci terhadap “code of conduct” disepakati oleh para peserta. Pertemuan selanjutnya akan diumumkan oleh panitia kepada peserta secepatnya. Diharapkan pada pertemuan nanti agar jumlah peserta dari kalangan LSM lebih banyak lagi (LSM yang hadir pada kali ini hanya 5 organisasi dari Kuningan, Garut, dan Bogor).