laporan itto project tfl-pd · laporan kegiatan 2.1: nilai memenuhi syarat lembaga yang ada untuk...

72
KEMENTERIAN KEHUTANAN, REPUBLIK INDONESIA 2011 ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M) Lembaga Independen untuk memantau pelaksanaan Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk sumber kayu dari hutan masyarakat dan hutan tanaman rakyat yang diusulkan Stepi Hakim (Consultant) LAPORAN Kegiatan 2.1: Penilaian terhadap lembaga yang memenuhi syarat sebagai pemantau pelaksanaan SVLK Kegiatan 2.2: Analisa peran dan pelaksanaan lembaga pemantau pelaksanaan SVLK MANGGALA WANABAKTI KEMENTERIAN KEHUTANAN- JAKARTA

Upload: lamthu

Post on 16-May-2018

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LAPORAN

Kegiatan 2.1: Nilai memenuhi syarat lembaga yang ada untuk memantau pelaksanaan TLAS

Kegiatan 2.2: Review peran dan operasi lembaga.

KEMENTERIAN KEHUTANAN, REPUBLIK INDONESIA

2011

ITTO Project TFL-PD

010/09 REV. 1 (M) Lembaga Independen untuk memantau pelaksanaan

Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk sumber kayu dari hutan masyarakat dan hutan

tanaman rakyat yang diusulkan Stepi Hakim (Consultant)

LAPORAN

Kegiatan 2.1: Penilaian terhadap lembaga yang memenuhi syarat sebagai pemantau pelaksanaan SVLK Kegiatan 2.2: Analisa peran dan pelaksanaan lembaga pemantau pelaksanaan SVLK

M A N G G A L A W A N A B A K T I K E M E N T E R I A N K E H U T A N A N - J A K A R T A

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

2

Contents 1.1 Pendahuluan ........................................................................................................................... 3

1.2 Tujuan .................................................................................................................................... 4

1.3 Output yang diharapkan ......................................................................................................... 5

1.4 Metodologi .............................................................................................................................. 5

1.5 Periode Studi ........................................................................................................................... 5

1.6 Hasil ......................................................................................................................................... 6

1.7 Diskusi ................................................................................................................................... 12

1.8 Kesimpulan ............................................................................................................................ 18

Lampiran 1. Profil NGO .................................................................................................................... 20

Lampiran 2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No: P.02//VI-BPPHH/2010

(Lampiran 4 & 5) ............................................................................................................................... 50

Lampiran 3. Catatan Rapat di Semarang – 12 November 2010 ....................................................... 59

Lampiran 4. Catatan Rapat di Surabaya– 12 November 2010 ......................................................... 63

Lampiran 5. Catatan Rapat di Bandung – 1 Desember 2010 ........................................................... 68

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

3

1.1 Pendahuluan Kementerian Kehutanan merilis Peraturan Menteri Nomor P. 38/Menhut-II/2009 tentang

sertifikasi manajemen hutan lestari (PHL) dan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (LK) untuk

produk kayu. Hal ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan

Produksi tentang Kriteria dan Pedoman sertifikasi PHL dan LK (P.6/VI-Sec / 2009) pada tahun

2009 dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan sertifikasi PHL dan LK (P.02 / VI-BPPHH/2010) pada

tahun 2010.

Peraturan di atas adalah pondasi dasar untuk pelaksanaan Standard Verfikasi Legalitas Kayu

(SVLK) Indonesia di lapangan. Sebagai program nasional baru yang secara langsung

mempengaruhi pangsa pasar produk kayu Indonesia di pasar internasional, SVLK membutuhkan

persiapan serius sebelum diimplementasikan.

SVLK Indonesia memiliki karakter standar spesifik dan unik yang tidak mudah dimengerti oleh

masyarakat umum yang tidak akrab dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Telah diakui

bahwa para pemangku kepentingan (instansi pemerintah, pelaku sektor swasta seperti

perusahaan-perusahaan kehutanan dan badan-badan verifikasi; dan masyarakat sipil) yang

terlibat dalam pelaksanaan SVLK harus memiliki keterampilan teknis yang memadai, baik itu

sumber daya manusia dan sumber lainnya untuk memenuhi tanggung jawab mereka.

Untuk kondisi yang memungkinkan, SVLK dan standarnya harus diperkenalkan dengan lingkup

yang luas pada para pemangku kepentingan melalui proses diseminasi. Jika sosialisasi tidak

dipersiapkan dengan seksama, maka akan tidak efektif, dan akan membuang-buang uang dan

tidak dapat mencapai target.

Pelaksanaan SVLK akan melibatkan KAN (Komite Akreditasi Nasional) sebagai lembaga

terakreditasi, LP & VI (sertifikasi independen dan tubuh verifikasi) sebagai lembaga bersertifikat,

IM sebagai pemantau independen, IUPHHK atau IUI sebagai unit manajemen, dan Departemen

Kehutanan selaku pemerintah dan pembuat sistem.

Menurut Pasal 14 (Ayat 1, 2 dan 3) dari P.38/Menhut/II/2009,

menyatakan bahwa masyarakat sipil atau organisasi non-

pemerintah (LSM) berhak untuk menjadi pemantau

independen (IM) dalam proses penilaian SVLK. Jika

masyarakat atau LSM keberatan dengan hasil penilaian

sertifikasi, maka keberatan tersebut harus disampaikan

kepada badan sertifikasi independen dan verifikasi (LP & VI)

dalam waktu 20 hari. Jika keberatan tidak dapat diselesaikan

maka LSM atau masyarakat bisa mengajukan klaim kepada

Komisi Akreditasi Nasional (KAN).

Pemantauan independen diharapkan mampu untuk memberikan jaminan kepada semua pihak

yang berkepentingan bahwa sistem tersebut bekerja seperti yang direncanakan dan mampu

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

4

menjaga kredibilitasnya. Lembaga sepeti itu belum terbentuk karena badan pemantau

independen harus lah menjadi lembaga yang independen, non-politik, dan memiliki

keterampilan yang diperlukan dalam menjamin independensi dan obyektifitasnya.

Dalam memonitor pelaksanaan SVLK Indonesia, lembaga tersebut harus; (i ) memeriksa semua

aspek dengan menggunakan praktik audit terbaik; (ii) mengidentifikasi ketidaktaatan dan

kegagalan sistem, dan (iii) melaporkan hasil temuannya kepada pemerintah.

Organisasi masyarakat sipil di sektor kehutanan independen dapat memantau verifikasi legalitas

dan penerbitan sertifikat legalitas. Namun, pedoman / protokol untuk memantau implementasi

SVLK oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil belum dirumuskan.

Mengapa kita perlu pemantauan independen? Monitoring independen merupakan komponen

penting dari verifikasi yang efektif. Hal ini dapat:

• memberikan kepastian kepada pemerintah dan masyarakat mengenai kebenaran klaim;

• memberikan umpan balik kepada para manajer untuk meningkatkan kinerja;

• memperkuat legitimasi sistem verifikasi, dan

• meningkatkan kredibilitas produk kayu di pasar

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, keberadaan pemantau independen sangat dibutuhkan

dalam sistem verifikasi. Namun, sampai saat ini belum ada lembaga atau organisasi yang

melaksanakan pemantauan implementasi SVLK di lapangan. Pada

kenyataannya, memang sudah ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang

secara khusus memiliki peran dalam membantu masyarakat untuk

memperoleh sertifikasi hutan mereka. Namun, peran mereka (LSM yang

membantu masyarakat tersebut) akan sedikit berbeda dengan LSM yang

nantinya melaksanakan pemantauan implementasi SVLK. Oleh karena

nya akan penting untuk memisahkan peran LSM-LSM tersebut dan

mendefinisikan peran dan tanggung jawab masyarakat sipil / LSM dalam pemantauan

implementasi SVLK, termasuk pedoman, mekanisme dan prosedur. Konsultasi publik dan diskusi

kelompok perlu dilakukan dalam rangka mendefinisikan kriteria dan indikator untuk lembaga

atau organisasi yang memenuhi syarat sebagai pemantau independen bagi pelaksanaan SVLK.

Laporan ini, di sisi lain, bertujuan untuk menentukan peran dan tanggung jawab masyarakat sipil

/ LSM sebagai Pemantau Independen bagi pelaksanaan SVLK. Diskusi dan pertemuan dilakukan

dengan masyarakat sipil di tiga provinsi yang berbeda. Isu yang terkait dengan kelayakan untuk

pemantauan independen telah dibahas dengan para lembaga dan organisasi masyarakat. Ada

sekitar 24 organisasi termasuk perkumpulan petani berpartisipasi dalam pertemuan tersebut.

1.2 Tujuan: Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Untuk menilai instansi terkait yang ada dan kelayakan untuk memantau pelaksanaan SVLK

1.2.2 Untuk mengkaji peran dan pelaksanaan lembaga yang memenuhi syarat untuk diusulkan

sebagai lembaga independen

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

5

1.2.3 Untuk melakukan diskusi dengan pihak terkait sebagai mitra Dephut dalam melakukan

kegiatan serupa

1.2.4 Untuk melaksanakan pertemuan / diskusi kelompok pemangku kepentingan di tiga provinsi

dihadiri oleh para pemangku kepentingan yang relevan untuk berbagi informasi tentang

lembaga pemantauan independen

1.2.5 Untuk menganalisis profil kandidat lembaga pemantau independen, termasuk profil

lembaga-lembaganya, sumber keuangan, kegiatan dll, (track record dalam melakukan

pemantauan independen)

1.2.6 Untuk memberikan saran bagaimana meningkatkan sistem pengawasan yang independen.

1.3 Output yang diharapkan 1.3.1 Dianalisa dan diusulkannya kelayakan lembaga pemantau independen dari kelompok

masyarakat di tiga provinsi (Barat, Tengah, dan Jawa Timur)

1.3.2 Ditinjau dan ditetapkannya peran dan pelaksanaan lembaga yang memenuhi syarat untuk

diusulkan sebagai badan independen

1.4 Metodologi 1.4.1 Wawancara (semi-struktur) dan pertemuan akan dilakukan selama konsultasi

1.4.2 Fokus diskusi kelompok akan digunakan dalam rangka untuk menentukan peran dan

tanggung jawab organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan pelaksanaan SVLK.

Selama diskusi, peraturan Direktorat Jenderal BUK (P.02/VI-BPPHH/2010) akan digunakan

sebagai acuan utama, terutama Lampiran 4 dan 5 tentang Pemantauan Independen dan

Tata Cara Pengaduan di Proses Sertifikasi dan Verifikasi, masing-masing. Peraturan tersebut

disajikan pada Lampiran 1 pada rencana kerja.

1.4.3 Desktop studi dan pengumpulan data akan dilakukan untuk memperoleh profil organisasi

masyarakat sipil termasuk kegiatan mereka yang berkaitan dengan pemberdayaan

masyarakat.

1.5 Periode Studi Kegiatan sudah dimulai sejak minggu kedua bulan November 2010 sampai minggu pertama

Januari 2011. Kegiatan detail disajikan sebagai berikut:

November 2010 December 2010 Jan 2011

Kegiata 2 3 4 1 2 3 4 1

Desktop Studi dan Pengumpulan Data

Presentasi Dephut (Usulan Kegiatan)

Focus Group Discussion di Jawa Tengah (Semarang)

Focus Group Discussion di Jawa Timur (Surabaya)

Focus Group Discussion di Jawa Barat (Bandung)

Presentasi Dephut (Temuan

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

6

Fakta)

Menganalisis Data

Penulisan Laporan

Menyelesaikan Laporan

1.6 Hasil

Tiga lokakarya formal telah dilakukan di tiga lokasi yang berbeda. Pertemuan Semarang

dilakukan pada tanggal 16 November 2010. Pertemuan Surabaya dilakukan pada tanggal 24

November 2010, sedangkan lokakarya di Jawa Barat dilakukan di Bandung pada 1 Desember

2010. Komunikasi pribadi dan diskusi dengan LSM dan pengamat dilakukan melalui telepon,

email, dan pertemuan langsung dengan lembaga-lembaga tersebut. Dua pertemuan lain

dilakukan di Bogor (21 Desember) dan Semarang (23 Semarang) sebagai pertemuan tambahan

untuk pengembangan kode etik untuk pemantauan independen. Ada beberapa LSM yang

berpartisipasi dalam lokakarya. Pertemuan putaran pertama di tiga tempat yang berbeda, total

LSM berpartisipasi dalam pertemuan adalah 20 LSM dan dua kelompok tani. Pertemuan

tambahan untuk putaran kedua di Bogor dan Semarang dihadiri oleh 24 LSM dan 1 donor

(MFP2/DfiD).

First Round Meeting NGOs Farmer Group Auditor Donor Government

16.11.2010 – Semarang 7 1 - - 2

24.11.2010 – Surabaya 8 1 1 - 2

01.12.2010 – Bandung 5 - 1 - 2

Total 20 2 2 6

Second Round Meeting

21.12.2010 – Bogor 7 - - 1 -

23.12.2010 – Semarang 17 - - - -

Total 24 - - 1 -

Catatan Rapat untuk pertemuan putaran pertama tersedia pada Lampiran.

1.6.1 Profil LSM

Jawa Tengah & Yogyakarta

Berdasarkan LSM yang berpartisipasi dalam workshop, sebagian besar adalah LSM-LSM yang

berurusan dengan pemberdayaan masyarakat di Hutan Jawa. Beberapa dari mereka

memfasilitasi para petani untuk mencapai sertifikasi pengelolaan hutan lestari. PERSEPSI,

misalnya, adalah sebuah LSM lokal yang didirikan pada tahun 1993 yang telah memfasilitasi

16 kelompok tani di Jawa. 10 dari 16 kelompok tani tersebut telah mencapai sertifikasi

Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) untuk hutan rakyat. Persepsi telah memfasilitasi dan

memberdayakan masyarakat untuk memastikan kayu berasal dari sumber daya yang

berkelanjutan. Peningkatan kapasitas dan peningkatan kesadaran juga disediakan oleh

Persepsi. Dalam rangka sertifikasi hutan masyarakat, Persepsi menggunakan standar LEI dan

FSC.

LSM lain serupa memberikan pemberdayaan masyarakat di Jogyakarta dan Jawa Tengah

adalah ARuPA. LSM ini didirikan pada tanggal 16 Mei 1998 di Yogyakarta. Pengalaman LSM

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

7

ini adalah mempromosikan desentralisasi sumber daya hutan kepada masyarakat lokal.

Fasilitasi yang disediakan oleh ARuPA kepada masyarakat adalah untuk meningkatkan

keterampilan negosiasi masyarakat dalam posisi tawar masyarakat dengan Perusahaan

Negara (Perum Perhutani), untuk memberdayakan organisasi masyarakat, dan untuk

mengembangkan kebijakan komunitas hutan. ARuPA bersama dengan Shorea dan PKHR

UGM dalam memfasilitasi Koperasi Wana Manunggal Lestari

untuk memperoleh Sertifikat PHBML (Pengelolaan Hutan

Berbasis Masyarakat). Sertifikat diberikan pada tahun 2006.

ARuPA memfasilitasi masyarakat (Paguyuban Kelompok Tani

Sekar pijer) di Desa Girisekar untuk sertifikat tersebut

(401,87 ha) 1.

Yayasan Shorea, di sisi lain, secara aktif memberdayakan masyarakat dalam rangka untuk

memastikan hutan dikelola secara berkelanjutan. Hutan pribadi yang lebih dikenal sebagai

Hutan Rakyat di Gunungkindul, difasilitasi oleh Shorea untuk mendapatkan hutan

bersertifikat. Luas hutan di Desa Dengok meliputi 229,10 ha yang dikelola oleh Kelompok

Tani Hutan Ngudi Lestari di mana kelompok ini difasilitasi dan diberdayakan oleh yayasan

Shorea. Pada tahun 2006, hutan ini memperoleh sertifikat LEI PHBML (di bawah Koperasi

Wana Manunggal Lestari). Para kelompok tani hutan Ngudi Lestari adalah anggota dari

Koperasi Wana Manunggal Lestari). Yayasan ini juga memfasilitasi masyarakat untuk

mengembangkan hutan tanaman berbasis masyarakat (HTR), hutan desa (HD), hutan

kemasyarakatan (HKm), Hutan Kota (HK), dan Hutan Adat (HA).

Dalam rangka menyebarluaskan pelajaran yang dipetik dari kegiatan LSM untuk masyarakat

yang lebih luas di Jawa, ada jaringan dari berbagai LSM yang disebut dengan JAVLEC (Java

Learning Center) yang dibangun pada tahun 2005. Kegiatan-kegiatan JAVLEC lebih kepada

memperhatikan perkembangan dari setiap inisiatif kehutanan masyarakat yang berbasis di

Jawa. JAVLEG awalnya dikembangkan oleh Yayasan Paramitra - Malang (Jawa Timur);

lesehan - Madiun (Jawa Timur); SUPHEL - Surakarta (Jawa Tengah); Shorea Foundation -

Yogyakarta; ARUPA - Yogyakarta; YBL Masta - Magelang (Jawa Tengah); dan PKKL Asketik -

Banten. Sampai saat ini jaringan memiliki 24 anggota. Jaringan juga didukung oleh 18 LSM

dan 18 orang individu. JAVLEC memiliki tiga divisi: INFOJAWA, CEF (Pemberdayaan

Masyarakat Fasilitas), dan PDF (Program Pengembangan Fasilitas). Melalui tiga divisi

tersebut, JAVLEC mencoba untuk memberikan pelayanan kepada para pemangku

kepentingan kehutanan informasi, dukungan keuangan kepada masyarakat, akses pasar, dan

pengembangan program.

PKHR2 UGM (Pusat Studi Masyarakat Kehutanan) adalah bagian dari unit teknis di bawah

Departemen Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Unit ini terutama untuk melaksanakan

penelitian dan pengembangan masyarakat di hutan masyarakat. Unit ini telah menghasilkan

jurnal komunitas kehutanan, buku-buku tentang kehutanan masyarakat, dan modul untuk

pelatihan kehutanan masyarakat. Sejak November 2008 PKHR bersama dengan Shorea dan

1 http://fwi.or.id/?p=64

2 http://pkhr.ugm.ac.id/

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

8

ARuPA telah mulai memfasilitasi masyarakat dalam rangka memperluas sertifikasi hutan di

Kedungkeris, Girisekar dan Desa Dengok. Petani-petani hutan desa tersebut kemudian

mendirikan koperasi yang disebut Wana Manunggal Lestari. Pada tahun 2006 Koperasi

memperoleh sertifikat LEI PHBML untuk 815,18 ha hutan.

STANBALONG3 adalah singkatan dari Serikat Tani Hutan Banyumas Pekalongan (serikat

petani hutan Banyumas Pekalongan). Serikat ini dibangun dalam rangka untuk

mempromosikan hak-hak petani pada sumber daya hutan di Jawa. Serikat buruh ini telah

mengembangkan plot demonstrasi bagi petani tentang bagaimana membangun hutan

tanaman. Pengembangan kapasitas melalui pelatihan untuk ternak pengusaha pemula dan

sekolah petani (SEKAR) yang difasilitasi oleh Serikat ini.

Yayasan lain yang secara aktif untuk meningkatkan keterampilan petani dalam mengelola

sumber daya hutan adalah Yayasan Damar4. Misi yayasan adalah untuk meningkatkan

kualitas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia melalui beberapa program atau

kegiatan: penelitian, advokasi kebijakan, pemberdayaan masyarakat, pengetahuan dan

penyebaran informasi dan publikasi.

NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan

Pengembangan Masyarakat

Peningkatan Kapasitas

Kampanye & Peningkatan Kesadaran

Mekanisme Resolusi Konflik

ARuPA √ √ √ √ √

Shorea √ √ √ √ √

Persepsi √ √ √ √ -

Suphel √ √ √ √ √

Damar - √ √ √ -

PKHR UGM √ √ √ √ -

PPHJ Jateng - √ √ √ √

Bioma - √ √ √ √

Paguyuban Petani HkM “Bukit Seribu”

- - √ - √

JAVLEG - √ √ √ √

Stan Balong - √ √ √ √

Jawa Timur

Tidak seperti LSM di Jawa Tengah, sebagian besar peran LSM di Jawa Timur lebih kepada

pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pengembangan masyarakat, peningkatan

kapasitas, peningkatan kesadaran / kampanye, dan resolusi konflik. Hanya ada beberapa

LSM di Jawa Timur yang memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh sertifikasi hutan.

Sehingga, beberapa LSM di Jawa Tengah dan Yogyakarta memperluas kegiatan mereka

untuk membantu LSM-LSM di Jawa Timur untuk kegiatan sertifikasi hutan seperti Persepsi.

Organisasi ini memiliki lokasi lahan di Pacitan, Magetan, Tulungagung, Trenggalek, Kediri,

Jombang, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Pamekasan, dan Bangkalan.

3 http://stanbalong.blogspot.com/

4 www. damar.or.id

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

9

Organisasi lain seperti YBKM, LP3M Algheins, HISPAM, PWP Pacitan, dan LPKP Malang,

sebagian besar fokus dalam pengembangan masyarakat, peningkatan kapasitas, peningkatan

kesadaran, dan mekanisme resolusi konflik. Beberapa LSM-LSM lain yang memberdayakan

masyarakat yang tinggal sekitar Hutan Negara (Perhutani) diantaranya adalah Yayasan

Paramitra. Yayasan ini telah memfasilitasi masyarakat dalam mencapai 37,5 ha lahan untuk

pemanfaatan hutan hak. Organisasi ini membangun dan memberdayakan lembaga

masyarakat lokal dalam rangka meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterampilan

negosiasi masyarakat dengan Perhutani.

NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan

Pengembangan Masyarakat

Peningkatan Kapasitas

Kampanye & Peningkatan Kesadaran

Mekanisme Resolusi Konflik

YBKM - √ √ √ √

LP3M Algheins - √ √ √ √

Paramitra - √ √ √ √

HISPAM - √ √ √ √

PWP Pacitan - √ √ √ √

LPKP Malang - √ √ √ √

Persepsi Jatim √ √ √ √ -

Kel. Tani Lestari - √ √ √ √

PESAT - √ √ √ √

Jawa Barat

Di Jawa Barat, ada banyak LSM berurusan dengan sertifikasi hutan seperti LEI (The

Indonesian Eco-labeling Institute), Telapak, WWF Indonesia, Tropenbos Indonesia, dan LATIN

(Lembaga Alam Tropika Indonesia). Namun, lokus kegiatan LSM-LSM yang tidak hanya di

Jawa Barat, tetapi juga mencakup tingkat nasional.

NGOs/Services Fasilitasi Sertifikasi Hutan

Pengembangan Masyarakat

Peningkatan Kapasitas

Kampanye & Peningkatan Kesadaran

Mekanisme Resolusi Konflik

LEI √ √ √ √ √

Tropenbos Indonesia

√ - √ √ √

Telapak √ √ √ √ √

JPIK √ - √ √ √

GRES Garut - √ √ √ -

Akar Kuningan - √ √ -

KANOPI Kuningan

- √ √ - -

KpSHK - √ √ √ -

LATIN √ √ √ √ √

Forest Watch Indonesia

- - √ √ √

LEI dikenal sebagai organisasi berbasis konstituen yang mengembangkan pertama sertifikasi

standar sukarela hutan di Indonesia. Standar ini tidak hanya untuk hutan alam, tetapi juga

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

10

untuk hutan tanaman dan hutan hak. LEI juga mengembangkan standar lacak balak. Sampai

dengan September 2010, 1,1 juta ha hutan alam telah disertifikasi dengan standar LEI,

sedangkan 704 205 ha hutan tanaman dan 25 000 ha hutan masyarakat telah disertifikasi

masing-masing.

Organisasi lain yang merupakan bagian dari program yang menangani sertifikasi di Indonesia

adalah Tropenbos Indonesia. The Indonesia Tropenbos (TBI Indonesia) adalah sebuah LSM

Belanda yang beroperasi di Indonesia. Tujuan khusus dari program Indonesia TBI adalah

untuk memasok Pemerintah Indonesia dengan informasi suara dan memadai untuk

merumuskan dan melaksanakan kebijakan berbasis pengetahuan yang sesuai dan

meningkatkan pengelolaan kawasan lindung untuk kepentingan orang,

konservasi dan pembangunan berkelanjutan. The Indonesia TBI secara aktif

mempromosikan HCVF (Nilai Tinggi Konservasi Hutan) di Indonesia. HCVF

adalah salah satu tool standar dari Forest Stewardship Council (FSC)

mengenai pengelolaan hutan yang digunakan untuk menggambarkan

hutan-hutan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip

dan Kriteria FSC. Organisasi ini telah menerbitkan Pedoman Identifikasi Nilai

Konservasi Tinggi di Indonesia (HCV Toolkit Indonesia). HCV Toolkit

Indonesia dimaksudkan untuk melayani sebagai protokol standar untuk melakukan penilaian

HCV yang menjamin kualitas transparansi, dan integritas tinggi. Hal ini dilakukan dengan

menjelaskan langkah yang diperlukan dari penilaian HCV; mendefinisikan hak dan tanggung

jawab pihak yang terlibat, dan memberikan pedoman tentang minimum standar

pengumpulan data untuk menghasilkan output berkualitas tinggi secara efisien. Toolkit ini

telah ditulis secara luas dan berlaku untuk memungkinkan penggunaannya dalam berbagai

sektor, termasuk usaha kayu konvensional, perkebunan kelapa sawit atau pulp,

pertambangan dan perencanaan penggunaan lahan.

Telapak5 adalah sebuah organisasi yang bekerja pada monitoring dan advokasi pengelolaan

hutan, khususnya pembalakan liar dan perusakan hutan, selain itu juga mengembangkan

alternatif penangkapan untuk menghindari penangkapan ikan yang merusak;

mempromosikan praktek manajemen sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat

lokal pada DAS (DAS) dan Hasil Hutan Bukan Kayu; pemantauan perdagangan ilegal, serta

efektivitas dan pelibatan masyarakat dalam proyek kehutanan yang dibiayai dana hibah di

Indonesia, dan pemantauan keterlibatan masyarakat sipil Indonesia dalam inisiatif

internasional memerangi illegal logging.

Dengan dukungan dari Telapak dan jaringan, JPIK didirikan pada bulan September 2010 di

Bogor. JPIK singkatan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Jaringan ini

mengklaim bahwa telah memiliki 29 anggota dalam jaringannya. Salah satu tujuan jaringan

adalah dengan memonitor kegiatan kehutanan terutama proses sertifikasi hutan di

Indonesia.

LSM lain yang aktif di Jawa Barat bagian selatan adalah GReS (Lembaga Sosial dan

5 http://telapak.blogspot.com/1997/09/about-us.html

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

11

Lingkungan Keadilan). Program GReS adalah untuk mempromosikan pendidikan dan

pelatihan bagi masyarakat sipil di komunitas hutan untuk melakukan penelitian dan studi,

mendorong sekolah alternatif, dan untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat sipil

khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan kampanye.

LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) adalah LSM lainnya yang berurusan dengan

masalah kehutanan masyarakat dan pelatihan. LSM Ini didirikan pada tahun 1989 di Bogor.

Organisasi ini telah memberikan beberapa pelatihan untuk organisasi atau individu. Tematik

pelatihan yang diberikan oleh organisasi adalah sebagai berikut: perencanaan lahan

partisipatif, pemberdayaan masyarakat, GIS, analisis pemangku kepentingan, manajemen

konflik, pemetaan partisipatif, rehabilitasi hutan partisipatif, monitoring dan evaluasi

partisipatif, dan penelitian tindakan. LATIN mendukung pengembangan CBFM (pengelolaan

hutan berbasis masyarakat). Kanopi Kuningan yang mengembangkan model PHBM di

Kuningan adalah salah satu mitra LATIN's.

Singkatan KpSHK6 adalah Konsorsium Pendukung

Hutan Swasta. Ini adalah jaringan organisasi yang

didirikan pada tahun 1997 sebagai inisiatif dari

beberapa organisasi non-pemerintah, organisasi

masyarakat adat, peneliti dan individu yang peduli masalah pemanfaatan sumber daya alam,

terutama hutan di Indonesia. Sejak berdiri, KpSHK memainkan peran penting sebagai sebuah

organisasi gerakan yang dinamis untuk mendukung pengembangan hutan yang dikelola oleh

masyarakat adat dan komunitas lokal.

Kanopi adalah LSM lainnya yang berbasis di Kuningan Jawa Barat. Kanopi terutama

memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat hutan di Kuningan. Dua desa (Cileuya dan

Sukasari) dipilih sebagai model untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM). Desa-

desa tersebut difasilitasi oleh Kanopi. Pada tahun 2006, Kanopi memperoleh penghargaan

CBFM dari Departemen Kehutanan. Sampai saat ini, organisasi tersebut telah memfasilitasi

10 desa7 di kabupaten ini. Pada tahun 2007 dan 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Barat

memberikan piala lingkungan terhadap Kanopi sebagai kelompok masyarakat yang peduli

dengan kondisi lingkungan di Jawa Barat.

Forest Watch Indonesia8 (FWI) adalah jaringan independen untuk memantau pengelolaan

hutan di Indonesia. FWI telah membentuk beberapa program pendukung, seperti: a)

membangun kapasitas teknis dari konstituennya, b) membangun organisasi, dan c)

penggunaan output FWI untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan kebijakan. Sampai

sekarang, FWI telah menyediakan beberapa database nasional untuk informasi hutan seperti

database industri kehutanan, database hutan HPH, dan peta interaktif perubahan

punutupan hutan Indonesia.

6 http://en.kpshk.org

7 http://www.latin.or.id/grs/kanopi-site-kuningan

8 http://fwi.or.id/english/

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

12

1.7 Diskusi Pada bagian ini, proses konsultasi dengan LSM dieksplorasi dan dibahas. Setiap isu dan topik

yang terkait dengan pengembangan pemantauan independen untuk TLAS Indonesia di Pulau

Jawa dibahas dengan LSM. Bagian ini juga akan menguraikan isu-isu yang berkaitan dengan

kelayakan organisasi untuk menjadi sebagai pemantauan independen TLAS untuk masing-masing

provinsi di Pulau Jawa. Peran dan tanggung jawab dari LSM-LSM tersebut disajikan juga dalam

bagian ini.

1.7.1 Isu yang terkait dengan kelayakan Pemantau Independen

Pemantau Independen untuk TLAS tidak seharusnya dipilih atau ditetapkan oleh Pemerintah.

Pemantau independen dapat dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Beberapa LSM dan CSO bisa mengembangkan jaringan

dan menyatakan sebagai pemantauan independen untuk kehutanan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: P. 38/Menhut-II/2009 dan P.02/VI-BPPHH/2010,

definisi pemantau independen adalah sebagai berikut:

- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat sipil dalam sektor kehutanan

yang dapat berfungsi sebagai pemantau independen

- Pemantau Independen termasuk pengamat kehutanan, LSM yang terdaftar sebagai

lembaga lokal Indonesia, masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan di

mana pemegang izin atau pemilik hutan hak beroperasi, dan warga negara Indonesia

lainnya yang peduli terhadap sektor kehutanan.

- Pemantau independen seharusnya tidak memiliki hubungan langsung maupun tidak

langsung atau dengan LP & VI dan pemegang lisensi

Bagaimana dan siapa yang akan menentukan kelayakan organisasi untuk menjadi sebagai

pemantau independen? Pertanyaan ini muncul selama konsultasi. Secara umum, LSM atau

CSO bisa menyatakan sebagai pemantauan independen untuk SVLK. Namun, apakah

pengakuan dari orang-orang LSM atau organisasi masyarakat sipil tersebut dapat diakui oleh

pihak-pihak yang berkepentingan? Tanpa pengakuan terutama dari otoritas, dampaknya

adalah banyak kasus yang dilaporkan oleh LSM tidak akan ditindaklanjuti oleh pihak yang

berwajib.

Selama diskusi dan konsultasi, sebagian besar LSM dan CSO termasuk kelompok tani sepakat

bahwa kelayakan menjadi Pemantau Independen harus didefinisikan oleh LSM atau CSO dan

harus melalui konsensus atau kesepakatan termasuk Kriteria dan indikator untuk kelayakan

bersangkutan. Pemerintah dipersilahkan untuk memberikan masukan sehubungan dengan

kelayakan tetapi keputusan yang diambil harus berdasarkan konsensus dari LSM dan CSO.

Dengan kata lain, tidak akan diperbolehkan adanya intervensi dari Pemerintah terkait

keputusan terhadap kelayakan tersebut.

Dalam rangka untuk memastikan organisasi atau warga negara sebagai pemantau

independen, pendaftaran bagi lembaga yang berminat menjadi pemantau diperlukan.

Namun, kepada siapa itu harus didaftarkan adalah masalah lain. Bersama ini beberapa isu

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

13

yang berkaitan dengan kelayakan seperti pendaftaran, ruang lingkup pemantauan, jaringan

akan disajikan di bawah sebagai berikut:

1.7.2 Pendaftaran & Jaringan

Definisi pendaftaran telah diperdebatkan selama konsultasi dengan para LSM dan CSO. LSM

mengklaim bahwa organisasi mereka sebagai pemantau independen tidak perlu didaftarkan

kepada Pemerintah. Ini akan melemahkan peran LSM dalam memantau SVLK di lapangan. Di

sisi lain, Pemerintah akan menghadapi kesulitan untuk mengidentifikasi LSM yang akan

melakukan pengawasan di lapangan. Selain itu, jika ada konflik antara LSM dan LP & VI, hal

tersebut akan mempersulit kepada Pemerintah untuk menentukan apakah LSM tersebut

adalah organisasi yang terdaftar sebagai Pemantau Independen untuk SVLK atau bukan.

Ada saran bahwa LSM akan mengembangkan pendaftaran sendiri, termasuk kode etik bagi

organisasi untuk menjadi sebagai pemantauan independen. Untuk menghindari intervensi

dari pemerintah, sistem pendaftaran untuk pemantauan independen akan dikembangkan

dan diatur oleh LSM dan CSO. LSM berbasis di Jawa Tengah dan Yogyakarta akan

mengembangkan jaringan LSM untuk pemantauan

independen untuk wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta

Region. Begitu LSM telah didaftarkan, jaringan akan meminta

kepada Pemerintah untuk mengakui para anggota jaringan

menjadi sebagai pemantau independen di sektor kehutanan.

Dengan kata lain, LSM tidak akan mendaftar ke Pemerintah,

tetapi sebenarnya Pemerintah diminta untuk mengakui LSM.

Berdasarkan diskusi dengan LSM / CSO di tiga tempat yang berbeda, disepakati bahwa

pemantauan independen harus dalam bentuk sebuah organisasi jaringan. Hal ini akan

membantu koordinasi organisasi efisien dalam memantau proses sertifikasi di seluruh

negeri.

Berdasarkan pertemuan yang dilakukan di Semarang pada tanggal 23 Desember 2010, para

peserta sepakat untuk membentuk jaringan untuk pemantau independen. Anggota untuk

jaringan akan mencakup tiga provinsi (Tengah dan Jawa Timur, dan Yogyakarta). Para

anggota mungkin disertakan untuk LSM dari Jawa Barat. Prosedur Perekrutan untuk menjadi

sebagai anggota jaringan itu dibahas dalam konsultasi di Bogor (21 Desember 2010) dan

Semarang (23 Desember 2010).

Siapakah yang berhak untuk menjadi anggota dari jaringan untuk pemantau independen?

Menurut P.38/2009 dan P.02/2010, pemantauan independen bisa sebagai berikut:

- Organisasi Non Pemerintah

- Masyarakat Sipil termasuk pengamat kehutanan, masyarakat sekitar hutan dimana

sedang terjadi pengelolaan hutan, dan warga negara Indonesia yang peduli terhadap

sektor kehutanan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

14

Ada sebuah argumen bahwa individu tidak boleh sebagai pemantau independen karena

akan sulit untuk menjamin netralitas orang sehubungan dengan keberatan yang dikeluhkan

oleh yang bersangkutan.

Namun, mayoritas peserta setuju dengan pembebasan individu sebagai pemantauan

independen. Setiap orang memiliki hak untuk memantau pelaksanaan SVLK. Semakin banyak

orang memantau SVLK, maka kredibilitas lebih bagus dan system tersebut akan lebih mudah

dipantau oleh Pasar. Dengan demikian, disepakati bahwa pengamat individu atau pengamat

bisa sebagai pemantau independen untuk SVLK.

Peserta juga mempertanyakan dengan LSM yang tidak

berhubungan dengan sektor kehutanan yang ingin menjadi

pemantau independen. Disepakati bahwa LSM tersebut tidak

akan dapat sebagai pemantau independen. Namun, jika LSM

tersebut menemukan kegiatan tidak teratur dalam SVLK, maka

kemudian LSM bersangkutan bisa melaporkan temuan mereka

kepada LSM lain yang berhubungan dengan sektor kehutanan.

Latar belakang akademik kehutanan tidak merupakan persyaratan dasar untuk menjadi

sebagai pemantau independen. Sebagian besar LSM di Jawa Timur menyatakan bahwa staf

lapangan mereka yang memiliki potensi sebagai pemantau independen sebagian besar latar

belakan akademik pertanian bukan kehutanan. Hal ini disepakati bahwa hanya LSM yang

berhubungan dengan kehutanan dan lingkungan yang memenuhi syarat untuk menjadi

anggota dari jaringan pemantauan independen.

Ada pertanyaan tentang Paguyubuan (sekelompok orang dengan minat yang sama, tetapi

tidak memiliki status hukum sebagai sebuah organisasi) apakah memenuhi syarat untuk

menjadi anggota jaringan atau tidak. Para peserta sepakat bahwa Paguyubuan layak menjadi

bagian dari jaringan untuk memantau SVLK. Namun, untuk menjamin netralitas kelompok,

LSM akan membuat kriteria dan indikator untuk kelayakan organisasi untuk menjadi anggota

jaringan untuk memantau SVLK di Jawa.

Berdasarkan diskusi di Semarang (23 Desember 2010), individu atau LSM / CSO yang

memohon sebagai pemantauan independen dapat mendaftar sebagai anggota dari jaringan

jika persyaratan minimum dipenuhi. Persyaratan untuk menjadi anggota adalah sebagai

berikut: a) individu perorangan, kelompok masyarakat, dan organisasi non-pemerintah bisa

menjadi anggota jaringan, akan tetapi mereka harus direkomendasikan oleh minimal 2

institusi, dan disepakati minimal sebesar 50% + 1 dari anggota jaringan; b) kejelasan status

pemohon apakah sebagai pribadi atau sebagai perwakilan dari organisasi; dan c) jika

pemohon adalah dari organisasi, maka surat keterangan sebagai perwakilan dari organisasi

diperlukan.

1.7.3 Lingkup Monitoring

Berdasarkan P.38/2009 dan P.02/2010, ruang lingkup pemantauan untuk monitor

independen adalah hanya untuk memantau proses sertifikasi dan verifikasi hutan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

15

Keterlibatan pemantauan independen dalam proses sertifikasi mulai dari pengumuman

publik yang dilakukan oleh LP & VI mengenai awal penilaian sampai dengan penerbitan

sertifikasi. Pemantauan independen ini juga untuk memantau kinerja perusahaan hutan atau

industri setelah mereka menerima sertifikat. Jika aktivitas tidak teratur ditemukan, maka

pemantau independen dapat melaporkan kepada LP & VI untuk mengusulkan audit khusus.

Kredibilitas sertifikat kemudian akan ditantang.

Di sisi lain, sistem sertifikasi tidak hanya tentang proses untuk mendapatkan sertifikat, tetapi

juga pada pengembangan standar termasuk proses prosedur pengaduan. Walaupun proses

akreditasi bukan merupakan bagian dari proses sertifikasi, akreditasi untuk LP & VI harus

dimonitor untuk memastikan kredibilitas dan transparansi dari proses akreditasi dilakukan

oleh KAN. Dalam hal ini, Pemantau Independen juga harus menjadi bagian dari itu.

Aksesibilitas dari informasi yang diperoleh pemantauan independen dibahas dalam LSM /

CSO. Menurut ARuPA, sulit untuk memperoleh data yang tepat dari konsesi hutan di

Kalimantan Timur pada penilaian SVLK. Ketika LSM lokal, Yayasan PADI bertanya ringkasan

publik dari hasil penilaian SVLK ke LP & VI yang ditunjuk, perusahaan audit tidak dapat

menyediakannya.

Data seperti pemegang lisensi, peta konsesi hutan, dll yang diperoleh LP & VI dari

perusahaan seharusnya dapat diakses juga oleh pemantau independen. Dengan demikian,

pemantau akan mampu membenarkan data tersebut untuk validasi dan konsistensi data

yang diberikan. Validasi dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, dan penyelidikan.

Rekaman, foto, dan laporan dapat digunakan sebagai data pendukung untuk validasi. LSM

dan CSO di Jawa Timur sepakat juga bahwa LSM yang terdekat dengan terjadinya penilaian

SVLK akan sesuai menjadi pemantau independen di situs tersebut. Pengalaman dan keahlian

organisasi-organisasi tersebut akan membantu proses verifikasi lebih kredibel, transparan,

dan representatif.

Karena peraturan yang ada (P.38/2009, P.06/2009,

dan P.02/2010) belum mendukung pemantau

independen untuk melihat proses akreditasi, LSM

dan masyarakat sipil sepakat bahwa peraturan

tersebut harus direvisi. Ruang pantauan untuk

pemantau independen harus mencakup tidak hanya

proses sertifikasi tetapi juga proses akreditasi

termasuk prosedur pengaduan. LSM dan CSO juga mengusulkan bahwa ketika proses

sertifikasi dilakukan, pada saat yang sama pemantauan ini terjadi.

1.7.4 Pembiayaan Pemantau Independen

Selama konsultasi, masalah untuk membiayai kegiatan pemantau independen masih

diperdebatkan. Dikarenakan pemantauan independen adalah bagian dari TLAS, maka

kegiatan pemantauan disarankan untuk didanai oleh pengembang TLAS, yaitu Pemerintah.

Di sisi lain, jika dana tersebut dari Pemerintah, maka intervensi dari pemerintah mengenai

hasil proses sertifikasi mungkin bisa terjadi. Jika ada ketidaksepakatan dengan hasil

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

16

pemantauan, maka pemantau independen mungkin bertentangan dengan Pemerintah (lihat

Kotak 1 di bawah).

Dalam kasus di Kamboja, donor asing khawatir tentang korupsi dalam bisnis kehutanan.

Pemerintah Kamboja kemudian menyewa Global Witness di tahun 1999 sebagai pemantau

independen. Namun, dalam periode pemantauan, Global Witness memberikan bukti bahwa

terjadi penebangan komersial di hutan Kamboja meskipun pada saat itu moratorium

penebangan pohon sedang berlaku di Kamboka. Global Witness telah mendokumentasikan

pelanggaran oleh perusahaan yang sering dikaitkan dengan para pejabat Kamboja dan yang

beroperasi dalam kawalan dari petugas kehutanan, dimana hal tersebut telah membuat

Global Witness berhadapan yang berisiko tinggi dengan pemerintah Phnom Penh9.

Akibatnya, Bank Dunia mengancam untuk menghentikan seluruh bantuannya yaitu AS $

20mil (RM76mil) untuk Kamboja kecuali pemerintah mengambil langkah dramatis untuk

melindungi hutan, termasuk pengembangan rencana untuk mengatur penebangan dan

melanjutkan kerjasama dengan kelompok para pemantau.

Box 1. Global Witness sebagai pemantau independen di Kamboja10

IFM di Kamboja (1999-2003)

Global Witness telah ditunjuk sebagai pemantau independen resmi sektor kehutanan Kamboja pada tahun 1999 dan memainkan peran ini

hingga tahun 2003. Unit Pemantau Kejahatan Kehutanan dibentuk setelah pertemuan 1999 Consultative Group untuk mengembangkan

kapasitas pemerintah Kamboja untuk mendeteksi dan menekan pembalakan liar, dan untuk menyediakan masyarakat internasional

dengan pengawasan independen dari proses ini, melalui penunjukan Global Witness sebagai Monitor Independen . Para FCMU terdiri dari

tiga komponen: 1. Kantor di Departemen Kehutanan dan Satwa Liar (DFW), yang dikenal sebagai Hutan Monitoring Crime Kantor (FCMO) yang dipantau

kejahatan hutan di hutan produksi 2. Kantor di Kementerian Lingkungan Hidup, yang dikenal sebagai Departemen Inspeksi (DI) yang dipantau kejahatan hutan di kawasan

lindung. 3. Monitor independen. peran Global Witness 'selama pelaksanaan proyek ini adalah untuk secara independen memantau kinerja badan-

badan di atas.

Secara teori, dua kantor pemerintah dioperasikan sistem informasi pelacakan paralel. kantor mereka provinsi dan kabupaten diharapkan

memberikan informasi, secara bulanan, ke dalam unit pengawasan. Informasi ini telah dimasukkan ke dalam sistem komputerisasi

pelacakan kasus, sehingga dalam serangkaian 'terbuka' kasus yang pemerintah Kamboja telah berkomitmen untuk mengambil tindakan. Namun, selama pelaksanaan seluruh proyek, ada masalah utama yang berhubungan dengan kurangnya kerjasama ditunjukkan oleh FCMO

untuk Monitor Independen dan DI, bersama-sama dengan kegagalan oleh DFW untuk melaporkan kegiatan ilegal oleh perusahaan konsesi.

Sebagian besar kasus terhadap HPH yang dilaporkan oleh Global Witness dan lagi tindak lanjut oleh DFW mengecewakan, dalam semua

kecuali satu kasus mereka gagal untuk mengambil tindakan yang sesuai terhadap perusahaan yang terlibat. Pada bulan April 2003, pemerintah Kamboja dihentikan peran Global Witness 'sebagai resmi Independen Monitor, melanggar ketentuan

Bank Dunia untuk pencairan lebih lanjut Struktural Bank Penyesuaian Kredit ke Kamboja. Global Witness terus bekerja pada negara dan

masih berkomitmen untuk memastikan bahwa hutan Kamboja dikelola untuk kepentingan semua, bukan hanya beberapa yang kuat.

Berdasarkan pengalaman Kamboja, dukungan keuangan dari Pemerintah untuk pemantauan

independen di Indonesia mungkin sebagai pilihan di mana organisasi akan dipekerjakan oleh

Pemerintah. Organisasi bisa ditunjuk melalui seleksi atau penawaran.

9 http://www.ecologyasia.com/news-archives/2003/mar-03/thestar_20030318_2.htm 10 http://www.globalwitness.org/campaigns/environment/cambodia/ifm-cambodia

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

17

Dalam hal sumber keuangan/pembiayaan, ada dua pilihan untuk membiayai pemantauan

independen yang muncul selama konsultasi adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah

Pemerintah akan mendukung kegiatan pemantauan selama proses sertifikasi. Dana

tersebut mungkin bersumber dari Anggaran Tahunan Kementerian (APBN). Sampai

saat ini, proses sertifikasi pertama untuk beberapa perusahaan HPH dan pabrik kayu

yang didanai oleh Pemerintah (Kementerian Kehutanan). Namun, untuk

perpanjangan sertifikasi, maka bagi perusahaan dan pabrik-pabrik akan didanai

sendiri. Dalam hal ini, disarankan bahwa anggaran untuk pemantauan independen

akan menjadi bagian dari anggaran untuk proses sertifikasi. Dengan kata lain, ketika

Pemerintah memberikan anggaran untuk proses sertifikasi, anggaran tidak akan

hanya mencakup untuk penilaian LP & VI, tetapi juga termasuk untuk kegiatan

pemantauan independen. Namun, prosedur tentang cara untuk mencairkan

anggaran untuk pemantauan independen baik melalui penawaran atau langsung

ditunjuk belum dibahas.

2. Dana Sendiri & donor internasional

Untuk menghindari intervensi baik dari pemerintah atau sektor swasta, pemantau

independen dapat menggunakan anggaran sendiri untuk kegiatan seperti

pemantauan, investigasi, dan kunjungan lapangan. Berdasarkan P.38/2009,

anggaran untuk TLAS bisa dari sumber eksternal

seperti donor. Ini berarti bahwa komunitas donor

internasional dapat mendukung TLAS melalui

penyediaan dukungan keuangan untuk pemantau

independen di Indonesia. Sampai sekarang, MFP 2

dengan kehutanan program DFID di Indonesia telah

memfasilitasi beberapa LSM menjadi pemantau

independen, sedangkan proyek ITTO telah mendukung LSM di Pulau Jawa untuk

hutan rakyat dan hutan tanaman negara berbasis masyarakat. Kapasitas tentang

cara memantau TLAS diberikan juga dari donor ke LSM.

Dana Uni Eropa (sekitar 500.000 EUR) melalui FLEGT VPA Persiapan dengan

mendukung partisipasi organisasi masyarakat sipil nasional akan proyek potensial

untuk mendukung pemantauan independen terhadap TLAS di Indonesia.

1.7.5 Peran LSM (Pemberdayaan versus Monitoring)

Hal ini telah diketahui bahwa sebagian besar LSM di Jawa, terutama di Jawa Tengah, Jawa

Timur dan Yogyakarta berurusan dengan pemberdayaan masyarakat, khususnya dengan

petani hutan. Beberapa LSM seperti ARuPA, Persepsi, PKHR UGM, dan Shorea Foundation

mendukung masyarakat dalam memperoleh hutan mereka untuk disertifikasi.

Di sisi lain, untuk menjadi sebagai pemantau independen untuk SVLK, maka organisasi/

lembaga harus tidak ada hubungan langsung maupun tidak langsung atau dengan LP & VI

dan pemegang lisensi. Dalam konteks ini, LSM yang memberdayakan masyarakat dalam

mendapatkan sertifikasi hutan tidak seharusnya sebagai pemantau independen. Masalah ini

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

18

telah diperdebatkan dalam peserta selama pertemuan.

Sebagian besar peserta enggan untuk memisahkan antara peran mereka sebagai fasilitator

untuk pemberdayaan masyarakat dan sebagai pemantau untuk penilaian SVLK. Mereka

berpendapat bahwa jumlah LSM dalam menangani sertifikasi hutan sangat terbatas di Jawa

Tengah dan Yogyakarta. Akibatnya, LSM yang akan menangani pemantauan SVLK akan

menjadi tidak ada.

Berdasarkan diskusi, disepakati bahwa sampai saat ini belum ada pemisahan peran LSM

(baik sebagai fasilitator maupun sebagai pemantau). LSM tidak diperbolehkan untuk

melakukan pemantauan SVLK di desa di mana LSM melakukan pemberdayaan masyarakat.

Namun, seorang individu dari LSM bisa memberikan keluhan kepada LP & VI (auditor) jika

dia berpikir bahwa proses sertifikasi tidak kredibel.

LSM dan CSO dalam pertemuan pada tanggal 23 Desember 2010 juga menyatakan bahwa

Lampiran 4 titik E.1.c tentang definisi pemantau independen ("Lembaga (termasuk personil

lembaga) atau individu menjadi seorang pemantau independen seharusnya tidak memiliki

hubungan langsung maupun tidak langsung atau dengan LP & VI dan pemegang lisensi ")

harus dihapus. Hal ini karena siapa saja yang menyangkut dengan masalah kehutanan

memiliki hak untuk berpartisipasi sebagai pemantau independen. Dengan kata lain, setiap

orang dapat sebagai pemantau independen asalkan persyaratan minimum sebagai monitor

terpenuhi.

1.8 Kesimpulan Setelah konsultasi dengan 24 LSM di tiga tempat yang berbeda (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

Jawa Barat), semua LSM tertarik untuk menjadi sebagai pemantauan independen untuk TLAS di

Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat tingginya tingkat partisipasi LSM-LSM untuk setiap pertemuan

yang dilakukan. Pertemuan putaran pertama dihadiri oleh 20 LSM. Jumlah ini meningkat menjadi

24 LSM untuk menghadiri pertemuan putaran kedua.

Sebagian besar LSM dan organisasi masyarakat sipil diundang di Jawa Tengah dan Yogyakarta

sudah familiar dengan fasilitasi dari sertifikasi hutan bagi masyarakat, sedangkan LSM dan

organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur yang akrab dengan advokasi dan pemberdayaan

masyarakat. Tidak seperti LSM-LSM di Jawa Timur dan Jawa Tengah / Yogyakarta, wilayah kerja

LSM berbasis di Jawa Barat meliputi tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga tempat-tempat lain

(luar pulau Jawa / nasional). Beberapa dari mereka adalah memiliki keahlian dalam

pengembangan sistem sertifikasi hutan seperti LEI atau Telapak untuk monitoring hutan dan

penyidikan. Beberapa LSM lainnya memiliki keahlian dalam fasilitasi sertifikasi hutan masyarakat

di Jawa Tengah / Yogyakarta seperti Persepsi, Shorea, PKHR UGM, dan ARuPA.

Kelayakan organisasi untuk menjadi pemantauan independen dibahas dalam konsultasi, namun

tidak banyak dieksplorasi lebih jauh. LSM dan masyarakat sipil percaya bahwa setiap orang yang

memiliki perhatian dengan masalah kehutanan dapat sebagai pemantau independen. Namun,

agar menjadi efektif, transparan, dan kredibel, kode etik pemantauan independen harus

dibangun dan ditetapkan serta disetujui oleh LSM yang terlibat. Beberapa isu-isu seperti

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

19

pendaftaran, networking, dukungan keuangan, dan ruang lingkup pemantauan dibahas selama

proses konsultasi. Dalam rangka meningkatkan pemantauan TLAS, LSM menyarankan bahwa

lingkup pemantauan tidak hanya selama proses tempat sertifikasi dilakukan, namun juga selama

proses akreditasi dan proses pengaduan yang disampaikan.

LSM dan masyarakat sipil sepakat bahwa bentuk organisasi pemantau independen di Pulau Jawa

untuk hutan swasta dan perkebunan berbasis masyarakat adalah sebuah organisasi jaringan.

Jaringan ini memiliki persyaratan minimum untuk setiap orang atau organisasi untuk

mengajukan sebagai pemantau independen. Salah satu persyaratan adalah bahwa pemohon

harus dicalonkan oleh organisasi (bila pemohon adalah suatu organisasi) dan harus disahkan

oleh anggota jaringan yang ada (50% + 1 anggota jaringan). Prosedur administrasi ini diperlukan

untuk menghindari organisasi palsu yang mengklaim sebagai pemantau independen selama

proses sertifikasi.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

20

Lampiran 1. Profile NGOs

1. AR u PA Alamat ARUPA : Jl. Magelang km.5 Dsn. Karanganyar RT.10 RW.29 No.200 A Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta DIY 55284 Indonesia E-mail: [email protected] Telephone: 0274 551571 Fax: 0274 551571 Sumber : www.arupa.or.id

An NGO established May 16th, 1998 based in Yogyakarta that striving to improve national forestry, resource management paradigms, and policies by promotes government and the other parties to reform its uniform-centralized tenurial system into more local specific and participatory policies.

AR u PA's vision is the sustainable, fair, and democratic natural resources management. The mission is to save and sustain natural resources management based on communities' sovereignty. ARuPA also promoting conflict resolution mechanism between villagers and state owned Forest Company, while strengthening the negotiating abilities of local people, empowering local community organization, and developing community-based forest policies. The board of institution and executive board are appointed in an extraordinary meeting, which is the highest forum in ARuPA. The meeting is held once in two years. ARuPA has three site programs, which are: Wonosobo and Blora District in Central Java Province and Gunungkidul District in Yogyakarta Province. Arupa develops assisstance to community forest management to achieve sustainable forest management and conflict resolution to support forest farmers involving various parties such as local government, local assembly, local NGOs, academicians and farmers groups. In the middle of 2006, community forest in Gunung Kidul was rewarded ecolabel certificate for sustainable community based forest management from TuV International Indonesia under The Indonesian Ecolabelling Institute (LEI) certification standard. This certificate becomes recognition for the capability of community in managing community forest sustainably. In the implementation of its working program, ARuPA is involved and actively plays a role in some working network at national level, which are: • Forest Watch Indonesia (FWI) Forest Watch Indonesia represents a forest monitoring network commited to materialize the sustainable forest management for the purpose of developing data and forestry information transparency in Indonesia . Since its foundation, FWI Jawa node in 2001, ARuPA acts as host and its personnel acts as coordinator of the node.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

21

• Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)/ Consortium for supporting community based forest management KpSHK represents a working network to strengthen the position of community in managing the forest resources. ARuPA becomes an active member of KpSHK since 2001 and actively plays a role in the promoting the community based forest management in both people forest and in state owned forest. • Java Learning Center (JAVLEC) It makes use of the solid ex Java working group network, and JAVLEC is founded. JAVLEC is formal name of ex Java working group network. It consists of the organizations commited to the save guarding Java forest. The idea continuation of the community is the supporting schema for the empowerment of people organisation through the scheme of learning network (JSC = Java Study Centre ), the information network (INFO JAVA= Information on Forestry in Java ), and the middle grand scheme (CEF=Community Empowerment Facilities). • Asia Forest Network (AFN) ARuPA represents an active network partner of AFN (Asia Forest Network) in Indonesia . ARuPA and AFN have collaborated in the development and the implementation, documentation and publication of the CBFM initiative in Wonosobo district. ARuPA has been actively involved in the AFN regional meetings. These meetings are considered as the AFN partners forum as a media to exchange information and experiences on community forest management practices.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

22

2. PERSEPSI Jl. Klaten-Jatinom Km. 3 Kwaren, Ngawen, Klaten PO BOX 196, Jawa Tengah- Indonesia Telp. 0272-322211 Fax. 0272-322865, HP. 0812 2617 823 E-mail : [email protected] Teguh Suprapto ( Direktur) : HP: 081 2261 7823 Email: [email protected]

Latar Belakang Sejarah dan Pembentukan. Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) merupakan penjelmaan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Cabang Klaten. Sedangkan latar belakang sejarahnya adalah bahwa pada tahun 1979 – 1984 berstatus sebagai pelaksana proyek dari LP3ES Jakarta, tahun 1989 – 1992 berstatus sebagai cabang dan sejak Mei 1993 secara organisasi telah menjadi organisasi baru, yang telah terpisah dari LP3ES Jakarta, selanjutnya bernama PERSEPSI. Secara hukum PERSEPSI telah dicatat dalam Akte Notaris Hendricus Subekti SH dengan badan hukum Perkumpulan atau Perhimpunan sejak tahun 1993, dengan tambahan berita Negara RI nomor 3 pada tanggal 10/10 tahun 2000.

Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO yang embrionya berasal dari LP3ES, maka PERSEPSI tetap melanjutkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang telah dirintis LP3ES sejak tahun 1979. Sejak menjadi PERSEPSI, telah 4 kali pengalami pergantian kepengurusan dengan mengalami perubahan yang berarti ditilik : 1. Pada awalnya program-program yang dikembangkan masih berperspektif peningkatan

pendapatan masyarakat, kini telah meluas tidak saja pengembangan usaha kecil dan mikro (UKM), tetapi mencakup perspektif lingkungan hidup, gender, demokrasi dan hak azasi manusia, sebagai bentuk menyikapi atas perubahan iklim global, degradasi hutan dan lahan yang mempengaruhi pengelolaan Sumberdaya Air (SDA.

2. Keanggotaan PERSEPSI telah meluas bukan saja mewadahi para aktivis NGO tetapi telah menarik dengan masuknya beberapa anggota dari kalangan praktisi maupun kalangan intelektual atau akademisi yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup.

3. Wilayah program telah menjangkau wilayah yang semakin luas yang semula terkonsentrasi di provinsi Jawa Tengah kini telah meluas di Jawa Barat dan Jawa Timur termasuk sampai Madura.

Visi dan Misi Adapun visi yang ingin diujudkan adalah : terwujudnya masyarakat sejahtera, makmur dan merata dengan tatanan kehidupan yang demokratis, berkeadilan gender, menjunjung tinggi hak azasi manusia dan lingkungan hidup.

Sedangkan misi yang ingin diujudkan adalah : 1. Mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan gender dan bertumpu pada

sumberdaya lokal. 2. Meningkatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya politik, ekonomi,

lingkungan dan budaya. 3. Meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat sipil melalui pendidikan kritis dan

advokasi.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

23

4. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengeloalan lingkungan hidup yang berkelanjutan

Dalam upaya mewujudkan visi dan misi tersebut PERSEPSI menganut nilai-nilai; keadilan, kebebasan, demokrasi, kesetaraan, solidaritas dan kelestarian. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari yaitu; adanya partisipasi yang menjunjung tinggi HAM, keberpihakan yang rasional, keragaman, kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan, transparansi, akuntabilitas dan wawasan lingkungan.

Perkumpulan ini dipimpin oleh suatu Badan Pengurus yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang anggota pengurus. Pengurus adalah anggota perhimpunan yang dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Anggota (RUA). Jangka waktu Kepengurusan adalah 3 tahun dan hanya dipilih dalam masa jabatan 2 kali berturut-turut. Dalam melaksanakan kegiatan opersional, Pengurus mengangkat Pelaksana harian yaitu seorang Direktur, satu oarang wakil Direktur, tiga orang Manajer Program, yaitu Program Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup(PKLH) Program Pemberdayaan Perempuan dan Pengembangan Usaha Kecil Mikro (PP-UKM), Program Pelayanan Jasa Konsultasi dan Pelatihan serta Manajer Keuangan dan Umum. Dalam teknis opersional di lapang selanjutnya mengangkat Tim Pelaksana Program (TPP) yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Program Yang Dikembangkan dan Mitra Secara umum program-program yang dikembangkan oleh PERSEPSI dikemas menjadi 3 bagian yang diorganisir menjadi :

1. Bidang Pertanian, Kehutanan Dan Lingkungan Hidup ( PKLH) 2. Bidang Pemberdayaan Perempuan Dan Usaha Kecil Mikro (PP-UKM) 3. Pelayanan Jasa Konsultasi, Penelitian, Pelatihan dan Pengembangan Jaringan .

Berbagai proyek atau program yang dikembangkan diorganisir menjadi 3 bagian tersebut sebagai upaya mewujudkan visi dan misi yang telah diemban. Program yang telah dikembangkan sejak semasa LP3ES sampai menjadi PERSEPSI sekarang ini khususnya yang relevan dengan program Pengelolaan Sumberdaya lahan dan hutan, lingkungan hidup dan pengembangan sumberdaya lokal berbasis masyarakat (Community Based Development) secara garis besar dalam 3 hal berikut.

Pertama, program yang dilaksanakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan berbasis masyarakat telah dilaksanakan di 16 kabupaten yakni; Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo dan Sragen (Jateng), Kabupaten Pacitan, Magetan, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Jombang, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Pamekasan, Bangkalan (Jatim) dan Kabupaten Garut provinsi Jawa Barat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut bekerjasama dengan dinas, LSM lokal maupun motivator /kader dari masyarakat. Namun Tenaga Pendamping Program (TPP) yang bekerja penuh di PERSEPSI untuk mengorganisasikan pelaksanaan kegiatan sebanyak 19 orang. Mereka adalah sarjana dari beberapa disiplin ilmu termasuk sarjana pertanian dan kehutanan.

Kedua, pelaksanaan program diawali dari kabupaten Wonogiri sejak tahun 1985 dan terus berkembang kepada beberapa kabupaten sebagaimana disebut diatas dan telah mendampingi sebanyak 78.885 petani yang terorganisir dalam 1.972 kelompok tani.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

24

Ketiga, dari rangkaian pelaksanaan kegiatan tersebut terdapat beberapa hasil kegiatan diantaranya:

1) PERSEPSI sebagai sebuah LSM yang mendampingi kelompok tani hutan hingga memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari/PHL (Sustainable Forest Management) untuk hutan rakyat pertama kali di Indonesia pada Oktober 2004 di Kabupaten Wonogiri, dan atas keberhasilan terus bergulir pada beberapa kabupaten lainnya. Sebagaimana diketahui Sertifikat PHL tersebut dikeluarkan oleh Lembaga sertifikasi dengan sistem penilaian yang telah diakui secara internasional. Dari 16 hutan rakyat yang memperoleh sertifikat PHL di Indonesia sampai saat ini (Agustus 2010) 10 diantaranya atas pendampingan PERSEPSI. Sertifikasi PHL diantaranya menekankan pentingnya pemberlakuan sistem lacak balak untuk memastikan asal usul dan legalitas sumber kayu. Secara khusus pengalaman pendampingan dalam bidang tersebut serta pendampingan dalam program kehutanan dapat dilihat pada tabel terlampir.

2) Atas pendampingan yang dilakukan PERSEPSI terhadap pengelolaan lahan milik masyarakat di daerah tangkapan air telah membantu: 1) penurunan tingkat erosi dengan meningkatnya volume tanaman konservasi dari semula kurang dari 50 pohon/ha kini telah menjadi diatas 425 pohon / ha, 2) meningkatnya debit sumber air yang ada, dan menghidupkan yang telah mati dan memunculkan sumber mata air baru pada hutan yang telah disertifikasi, yang menjadi pemasok air bagi kebutuhann komunitas, sejumlah waduk dan serta Perusahaan Daerah Air Minum, 3) menjadi pemasok kayu bagi kebutuhan industry tanpa merusak sumber air yang ada, 4) menjadi kelompok rujukan bagi pengembangan konservasi daerah tangkapan air waduk.

3) PERSEPSI memprakarsai penyusunan Rencana Konservasi Tanah di Desa (RKTD) sebagai dokumen dasar di tingkat masyarakat maupun Arahan Konservasi DAS dalam rangka Good Governance in Water Resources Management (GGWRM) melalui kerjasama dengan Uni Eropa untuk pertama kalinya di Indonesia di Kab. Temanggung DAS Progo, dan kemudian disebarluaskan di 24 desa pada 6 Sub DAS yang masuk ke Waduk Wonogiri serta beberapa desa di kabupaten Garut, Banjarnegara, Kebumen dan lain-lain. Di samping memiliki kapasitas pada penyusunan rencana, PERSEPSI juga memiliki kapasitas untuk fasilitasi implementasinya melalui penggalangan kontribusi para pemangku kepentingan di Kabupaten Wonogiri dan DAS Solo.

4) PERSEPSI memiliki pengalaman sebagaimana point 3) di atas yang kemudian dijadikan dan dirujuk sebagai Panduan Nasional dalam Penyiapan Masyarakat di tingkat Kabupaten untuk Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dimana Ditjen SDA menjadi leading sektornya, dan mendorong munculnya Konsorsium 8 BUMN untuk mendukung konservasi daerah tangkapan air dengan model di Sub DAS Keduwang DAS bengawan Solo di Wonogiri.

5) PERSEPSI memiliki jaringan dengan sejumlah LSM dan Lembaga Penelitian baik di dan luar Jawa, dan aktif dalam Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air (TKPSDA), Forum Peduli DAS Solo dan Forum DAS Nasional serta aktif di kamar Pemerhati pada Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang memungkinkan kerjasama dan pemantauan dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Sumberdaya dan Prasarana Sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan program yang dikembangkan PERSEPSI berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang beragam baik dari unsur LSM, Perguruan Tinggi dan Swasta.

Sedangkan tenaga atau staf yang bekerja secara penuh waktu (termasuk Tenaga Pendamping Masyasakat) sebanyak 34 orang. Mereka telah berpengalaman 5 sampai 15 tahun sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat khususnya dalam bidang pengelolaan sumberdaya air, Pertanian Lahan Kering, Perhutanan Sosial dan pengembangan usaha kecil

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

25

dan Mikro. Mereka memiliki latar belakang ilmu yang beranekaragam baik pertanian, kehutanan, ilmu ekonomi, sosial, hukum akuntansi dan lain-lain. Dari seluruh staf yang ada 80 % memiliki pendidikan formal sarjana / sarjana muda.

Prasarana kerja yang dimiliki, berupa tanah, bangunan kantor dan gedung Pertemuan (di Klaten dan Wonogiri), komputer (22 unit) dan peralatan kantor (Telephone/Faximile, Email, LCD, meja kursi, filling Cabinet, white boart dsb.), Mobil 3 buah, dan sepeda motor (18 buah), sarana pendukung program lainnya (buku perpustakaan lebih dari 1.000 judul, OHP, foto digital dsb.) cukup memadai untuk mendukung kegiatan / program PERSEPSI yang dilaksanakan.

Oleh karenanya PERSEPSI semakin dikenal kalangan luas sebagai LSM yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam pengembangan masyarakat (community development) dalam bidang kehutanan, pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan dengan beberapa kantor perwakilan di provinsi Jawa Barat (Garut), Jawa Tengah (Klaten, Wonogiri, Kudus) dan Jawa Timur ( Tulungagung) dengan mitra yang sangat beragam maka soal transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting.

Sejak tahun 2003 Laporan Keuangan PERSEPSI setiap tahun telah diaudit oleh Akuntan Publik. Selama lima tahun terakhir (2005-2009) oleh Akuntan Publik tersebut Laporan Keuangan PERSEPSI dinyatakan secara Wajar dalam semua hal yang material serta telah menerapkan prinsip-prinsip dan standar akuntansi sebagaimana berlaku di Indonesia.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

26

3. SHOREA (PERKUMPULAN SHOREA) Alamat Kantor: Jombor Baru Blok VI /17 Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55283 Phone (0274) 749 0310, Fax. (0274) 864 254 email: [email protected] CC: [email protected]

Perhimpunan Shorea atau “small home of rural empowerment activists” merupakan lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan.

Visi dan Misi 1. Visi Perhimpunan adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis

masyarakat yang adil dan berkelanjutan. 2. Misi Perhimpunan adalah menumbuh kembangkan kesadaran dan partisipasi aktif

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui penguatan wacana, advokasi kebijakan dan penguatan kelembagaan masyarakat.

Tujuan 1. Menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam

yang adil dan berkelanjutan. 2. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berpihak kepada

masyarakat dan lingkungan. 3. Mewujudkan keperhimpunanan masyarakat yang kuat dan mandiri dalam pengelolaan

sumberdaya alam.

Aktivitas 1. Pendampingan masyarakat 2. Advokasi kebijakan 3. Penelitian dan pengembangan 4. Pelayanan konsultasi dan informasi 5. Pelayanan pendidikan dan latihan 6. Pengembangan bisnis ekonomi 7. Menjalin kerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai visi dan tujuan yang sama

dengan Perhimpunan.

Program Yang Sedang Berjalan (On-going Activities) Penguatan Hutan Rakyat Bersertifikat Shorea melakukan pendampingan di unit manajemen hutan rakyat Desa Dengok Kec. Playen (zona tengah/Ledok Wonosari) seluas 400 hektar yang dikelola oleh Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat Ngudi Lestari. Shorea tergabung dalam Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari di kabupaten Gunungkidul untuk mensertifikasikan seluruh kabupaten. Pada saat ini sedang dilakukan inisiasi pengembangan hutan rakyat bersertifikat melalui fasilitasi akses pasar, perluasan areal, dan fasilitasi jaringan unit manajemen. Penguatan dan Pengembangan Hutan Kemasyarakatan

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

27

Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan program pemerintah dalam usahanya untuk memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan hutan negara. Pengembangan HKm di DIY sudah sampai pada pemberian izin definitif (IUPHKm) oleh bupati. Sampai saat ini, lahan HKm Kabupaten Gunungkidul yang telah dikerjakan oleh masyarakat sekitar hutan dan sudah mendapatkan ijin tetap seluas 1.089,95 hektar. Izin Pemanfaatan HKm (IUPHKm) tersebut dikeluarkan oleh bupati dan diperuntukkan kepada 35 kelompok tani HKm di Gunungkidul dan 7 kelompok tani HKm Kulonprogo. Pada saat ini Shorea melakukan advokasi perluasaan areal HKm untuk meraih sisa areal seluas 3.100 hektar untuk didorong menjadi areal HKm. Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Desa Hutan Tanaman Rakyat di Yogyakarta dialokasikan pada eks tanah AB (Afkiren Boschs) yang saat ini sudah ditetapkan menjadi Hutan Produksi Tetap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000. Areal model yang dikembangkan Shorea untuk skema HTR seluas 327,73 ha. Beberapa desa yang dikembangkan model HTR adalah Balong, Purwodadi, Wunung, Pacarejo, Candirejo, dan Jepitu. Saat ini Shorea sedang melakukan advokasi terbitnya surat izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu HTR. Pada kawasan tanah AB tersebut, juga diinisiasi adanya model skema hutan desa. Pada saat ini Shorea sedang melakukan identifikasi kawasan dan kelembagaan untuk didorong menjadi model hutan desa. Ke depan 4 desa akan didorong menjadi model hutan desa yaitu Krambilsawit, Kanigoro, Kepek, dan Jetis seluas 357,70 ha. Pengembangan Hutan Kota Shorea melakukan advokasi hutan kota dengan mendorong terbitnya kebijakan daerah tentang hutan kota di D.I Yogyakarta. Shorea membuat areal model hutan kota di Kabupaten Gunungkidul. Munculnya Surat Keputusan Bupati Nomor 169/KPTS/2007 tentang penetapan areal taman kota dan hutan kota Kabupaten Gunungkidul, merupakan dasar untuk mengembangkan hutan kota. Luas areal hutan kota ditetapkan tujuh hektare. Sejalan dengan inisiasi surat keputusan tersebut, Shorea berhasil memasukkan klausal hutan kota pada ruang terbuka hijau yaitu minimal 10% dari ruang terbuka hijau ke dalam rencana peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Ini merupakan sebuah kemajuan yang signifikan yang berhasil didorong oleh parapihak, termasuk Shorea, untuk landasan kebijakan jangka panjang pengembangan hutan kota. Pengembangan Hutan Konservasi Shorea melakukan pendampingan areal hutan konservasi dan kelembagaan Desa Wisata di Beji Ngawen Gunungkidul. Shorea memfokuskan pada penanganan Hutan Wonosadi sebagai hutan konservasi dan pengelolaannya oleh pemerintah desa. Hutan Wonosadi seluas 25 ha dengan areal penyangga seluas 27,80 ha telah menyimpan keanekaragaman hayati. Hutan Wonosadi adalah salah satu hutan konservasi yang berada di luar kawasan. Masyarakat desa sepakat menetapkan hutan seluas 25 hektare menjadi hutan Adat Konservasi. Hutan tersebut tidak diusik sedikit pun oleh karena kesadaran masyarakat sekitar hutan terhadap pentingnya manfaat hutan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

28

4. Java Learning Center (JAVLEC) Jl. Kaliurang Km 6,5 Gg. Timor Timur Plemburan RT 05 / RW 25 No. 41 Sariharjo, Ngaglik, Sleman Phone : +62 274 7100 722 Fax : +62 274 327 2001 Email : [email protected]

Java Learning Center (JAVLEC) is initiated by KPPHJ (Komunitas Pendukung Penyelamatan Hutan Jawa - supporting group for saving Java’s forest), a network of non government organizations (NGO) which concern on supporting CBFM development in Java. They are: Paramitra Foundation – Malang (East Java); LeSEHAN – Madiun (East Java); SUPHEL – Surakarta (Central Java); Shorea Foundation – Yogyakarta; ARUPA – Yogyakarta; YBL Masta – Magelang (Central Java); and PKKL Asketik – Banten.

In collaboration with other stakeholders, these NGOs have worked actively in achieving their vision and mission since 1999. Some activities which had been run, between 1999 and 2008, are: 1. As KPH Jawa (Kelompok Pemerhati Hutan Jawa – Java’s forest observer group)—

initiating meeting between forest villagers and other stakeholders in Malang (East Java) in 2000;

2. Working together with State Forest Corporation (Perum Perhutani) in facilitating workshop to initiate Joint Forest Management at PUSDIKLAT (Pusat Pendidikan dan Latihan – center of training and learning) Perhutani Madiun (East Java) on February 2000;

3. Initiating Forum Hutan Jawa (Java Forestry Forum): communication forum among non government organization (NGO), local government, forest villagers, State Forest Corporation (Perum Perhutani) in order to improve Community Based Forest Management (CBFM)

4. Initiating Pokja Jawa (Kelompok Kerja Jawa – Java’s task force) in FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat – communication forum on community forestry): its task is for saving Java’s forest (2000 – 2002);

5. Working together with MFP – DFID (Multi-stakeholders Forestry Program – Department for International Development), Pokja Jawa (Kelompok Kerja Jawa – Java’s task force) facilitated meeting among Local Parliaments in Java and Madura (February 2001) in order to improve their awareness about condition of Java’s forest;

6. Facilitating “Multi-stakeholder Dialogue: The Chance of Community Forestry in Sustainability Forest Management in Java” (February 2002) in cooperation with State Forest Corporation (Perhutani). Participants which came from 10 districts in Java were State Forest Corporation (Perhutani), forest villagers, Local Government, and NGOs.

7. Facilitating shared learning among forest peasants (September – October 2002) which was held in Sukabumi (West Java), Wonosobo (Central Java), Gunungkidul (Yogyakarta), and Malang (East Java). Starting 2004, other forestry stakeholders joined to this event. Shared learning among forest peasants and stakeholders was performed in four packs till 2006. In 2007, one pack was held with only forest peasants involved in. JAVLEC and forest peasants design sekolah rakyat (school of community) to continue this shared learning.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

29

8. September 19 to 22, 2006 JAVLEC and Forestry Faculty of Gadjah Mada University held PRHM (Pekan Raya Hutan dan Masyarakat – community forestry festival and summit) in Grha Sabha Pramana – Yogyakarta. This event was funded by Ford Foundation and MFP DFID (Multi stakeholders Forestry Program – Department for International Development) and supported by NGOs, community organizations, education institutions, private sectors, and Government. It demonstrated all variants of CBFM (community based forest management) in Indonesia such as PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat – CBFM variant in Perhutani), HKm (Hutan Kemasyarakatan – CBFM variant in district government forest), community based conservation forest management (PKKBM – Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat), village forest (Hutan Desa), rural forest (Hutan Adat), private forest (hutan rakyat – CBFM variant in private land), and other initiatives. Many kinds forum were performed such as workshop, seminar, information expo, non timber forest product expo, parade of environment film, traditional art, popular art, shadow puppet, etc.

9. At December 15, 2007, vice president Jusuf Kalla gave 61 groups in Yogyakarta, Lampung, and West Nusa Tenggara definitive rights to manage forest through Hutan Kemasyarakatan (HKm) scheme. JAVLEC and its network encouraged this scheme actively, especially HKm progress in Yogyakarta. These 61 community groups are now equal with Perhutani and other forest company in outer Java that hold right on forest management. It’s a great opportunity and challenge for communities to show that community forestry can be a solution for forest management problems in Indonesia.

JAVLEC is opened membership organization and now has 24 members. JAVLEC is also

supported by 18 persons (as individu penopang – supporting persons) and 18 organizations

(as lembaga penopang – supporting organization). Legally, JAVLEC was founded at June 23rd

2005 by notarial act Suastutiningsih A Wijayanto, SH Number 05/June 23rd/2005. JAVLEC has

three divisions: INFOJAWA, CEF (Community Empowerment Facilities), and PdF (Program

Development Facilities). Through these three divisions, JAVLEC tries to give services to

stakeholders on forestry information, financial support to the community, market access,

and program development.

Vision To be a community foundation which takes strategic part in developing democracy and civil

society due to reach community prosperity through program development facilities,

knowledge improvement, economic empowerment, and policy development.

Mission 1. To support human resource development through capacity building of civil organization

due to develop good natural resources governance;

2. To facilitate policy development for democratic and equitable natural resources

management which is based on responsibility and objective scientific researches;

3. To support access right for community on natural resources management in order to

develop fair benefit distribution for increasing community prosperity;

4. To facilitate knowledge improvement for learning and public awareness through

knowledge management, system of information management, information networking

and dissemination, campaign, and promotion;

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

30

5. To support community businesses development through network improvement,

partnership, and business inter-mediation for increasing access of market and finance

which is simple, fair, transparent, and accountable; and

6. To mobilize resources through network improvement, partnership, and business

development in order to support sustainable services to civil organization.

Strategy Due to achieve its vision and missions, JAVLEC develops programs and provides some

facilitation for stakeholders:

1. Capacity building, assistance, course, shared learning, information dissemination,

scientific publication, and alternative education;

2. Continues research on policy and strategic issues;

3. Knowledge management for providing alternative and constructive ideas;

4. Networking activities;

5. Economic empowerment through facilitation access of finance, market, technology and

information, business capacity building, and business inter-mediation.

From 2007 to 2011, JAVLEC has six clusters of program: (1) Good forestry governance, (2)

Acceleration on environment development for supporting livelihood, (3) Securing access

right for community, (4) Poverty alleviation, (5) Increasing community based forestry

business, (6) Improving access on information and communication.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

31

5. GReS (Institute for Social and Environmental Justice) Jl. Patriot No. 32 Kelurahan Sukagalih Kecamatan Tarogong Kidul kabupaten Garut 44151 West Java - INDONESIA. Phone: 0262 543482, email:[email protected], Website http://gresgarut.webs.com

GReS Established on April 21, 2000 in Garut regency, West Java. GReS stood on the basis

of individual awareness of social conditions, economy and culture in the Garut district is

still underdeveloped, it is caused by the access of civil society in the Garut district of the

management of natural resources and the environment is still low. Whereas Garut

district has the potential of natural resources and environment that is very abundant.

So far, access to natural resources management and environment have been handed

over to a handful of people that often led to conflict and vulnerable to human rights

violations.

Vision

Realize socio-economic conditions and culture of civil society more just, prosperous

participation in managing natural resources and environment and sustainable and

equitable gender.

Mission

1. Open space in rural democratization through education for civil society in rural

2. Opening the participation of civil society in rural areas to engage in the development

process.

3. Doing strengthening civil society organizations in rural

4. Conducting advocacy related to the issue of human rights violations and the

Environment.

5. Campaign issues relating to human rights violations, Environment, Food, Agrarian and

Education.

6. Cooperation Network opens local, national and international.

Program

1. Conducting education and training for civil society in rural and forest communities.

2. Conducting studies and research on social conditions and economic rural communities

in the area of forest and mining areas.

3. Do escort policy, especially in policy making at the district level about with natural

resources management, mining and the environment.

4. Encouraging alternative school that was built by a group of civil society organizations

in the region south of Garut.

5. Strengthening civil society organizations is growing awareness and encourage people

to organize.

6. Creating media and publicity campaigns such as the web site, newsletters, booklets,

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

32

position papers, posters, stickers etc..

Organization forms

These organizations form associations, to stand by Irdawati Notary Bachtiar, SH No. 73 in

Garut Regency West Java - INDONESIA

Management Structure:

Chief Executive of : Dadan Kurnia Wirahadikusuma

Financial staff : Yaya

Staff Administration : Ai Rosmawati

Field Campaign and the Network: Husen Suhendar

Field Advocacy : Agus Rahmat

Education and Training : Mulyana

Research and Development : Tika Kursita

Cooperation Network

The Samdhana Institute - INDONESIA

INDIES (Institute for Social and Democratic Studies) - INDONESIA

WALHI (Indonesian Forum for the Environment)

JATAM (Mining Advocacy Network)

JAVLEC (Java Learning Center)

JAVA collapse

LBH Bandung

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

33

6. KANOPI Kuningan Perum KORPRI Blok C, Jln. Srikaya III No. 440 RT 15/RW 06 Kuningan, Jawa Barat (45517) Telp. & Fax. : (0232) 888 16 09 E-mail : [email protected]

KANOPI Kuningan merupakan lembaga non-pemerintah yang bersifat independen dan non-

profit.

Lembaga ini berkedudukan di Kabupaten Kuningan dan beranggotakan orang-orang yang

memiliki visi terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan adil untuk

kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Sedangkan misinya adalah meningkatkan dan

melindungi kelestarian sumberdaya alam, meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian

sosial ekonomi masyarakat, mengembangkan kualitas dan potensi sumberdaya manusia,

serta mempromosikan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.

Pada awalnya lembaga ini bernama Jaringan Masyarakat Peduli Kampung Halaman (JMPKH)

yang pendiriannya telah diinisiasi sejak tanggal 19 September 1999. Namanya kemudian

diubah menjadi KANOPI Kuningan pada tanggal 4 November 2000 dengan badan hukum

Yayasan. Akta notaris terakhir telah disesuaikan dengan Undang-undang Yayasan terbaru

yakni Akta Notaris Nomor 14 Tahun 2009 dari Notaris Ny. Itjeu Tresnawiah, SH.

Pendirian lembaga ini berbarengan dengan proses yang saat itu sedang diinisiasi di

Kabupaten Kuningan yakni proses membangun model pengelolaan sumberdaya hutan

kolaboratif yang kemudian disebut Sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

KANOPI Kuningan merupakan salah satu inisiator lahirnya sistem tersebut, terutama dalam

membangun model percontohan bentuk aplikasi Sistem PHBM di tingkat lapangan/desa.

Terdapat 2 (dua) desa sekitar hutan yang sejak tahun 2000 difasilitasi oleh KANOPI Kuningan

untuk dijadikan sebagai desa model implementasi Sistem PHBM di Kabupaten Kuningan,

yakni Desa Cileuya dan Sukasari.

Beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan sampai saat ini adalah peningkatan dan

perlindungan kelestarian sumberdaya hutan, pemberdayaan masyarakat desa hutan,

peningkatan kapasitas dan pengetahuan masyarakat, pengembangan kolaborasi dalam

pengelolaan sumberdaya hutan, serta promosi dan publikasi praktek pengelolaan hutan

yang lestari. Secara umum program dan bidang kegiatan KANOPI Kuningan mencakup:

1. Pelestarian dan Perlindungan Sumberdaya Alam; 2. Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif; 3. Pendidikan Lingkungan Hidup; 4. Advokasi Kebijakan dan Lingkungan; 5. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan 6. Promosi dan Publikasi.

Penghargaan yang pernah diterima: a) Piagam penghargaan dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai nominasi

peraih

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

34

Community Based Forest Management (CBFM) Award untuk kategori Lembaga Non

Pemerintah Tahun 2006.

b) Piagam penghargaan dan trophy dari Gubernur Jawa Barat sebagai Masyarakat Peduli

Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.

c) Piagam penghargaan dari Bupati Kuningan atas terpilihnya LSM KANOPI Kuningan

sebagai

Masyarakat Peduli Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2007.

d) Piagam penghargaan dan trophy dari Gubernur Jawa Barat sebagai Kelompok

Masyarakat yang Peduli terhadap Lingkungan Hidup di Jawa Barat Tahun 2010

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

35

7. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat (LP3M) ALGHEINS Jalan Ir. Juanda No. 132 A Tonatan Ponorogo Telp. & Fax. : 0352 4850679 E-mail : [email protected] Kontak person: Indrimastiti, 08123440837, [email protected]

Profesi Keahlian

Berpengalaman dalam bidang petanian Pertanian

Ahli Budidaya tanaman Hortikultura

Ahli PRA dan metodologi action research

Ahli Pengelolaan DAS MIKRO

Ahli dalam bidang pengembangan masyarakat, gender dan UMKM

Ahli dan berpengalaman dalam aplikasi komputer dan pengolahan data

Berpengalaman dalam bidang administrasi keuangan

Berpengalaman Administrasi kantor

Berpengalaman bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

Ahli dalam bidang advokasi dan Perlindungan HAM

Ahli dalam pengorganisasian rakyat

Ahli dalam bidang pengembangan UMKM dan Koperasi

Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat

Berpengalaman dalam bidang PRA

Berpengalaman dalam bidang Gender

Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok

Ahli dalam bidang pengembangan UMKM dan Koperasi

Berpengalaman Administrasi kantor

Berpengalaman pada bidang operasional komputer

Ahli Akuntasi keuangan

Ahli dalam bidang kearsipan

Berpengalaman dalam bidang keadministrasian

Ahli bidang operasional komputer

Berpengalaman dalam bidang pendokumentasian

Ahli dalam pengoperasionalan komputer

Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat

Berpengalaman dalam bidang PRA

Berpengalaman dalam bidang Gender

Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok

Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat

Berpengalaman dalam bidang PRA

Berpengalaman dalam bidang Gender

Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok

Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat

Berpengalaman dalam bidang PRA

Berpengalaman dalam bidang Gender

Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok

Berpengalaman dalam bidang pendampingan masyarakat

Berpengalaman dalam bidang PRA

Berpengalaman dalam bidang pengorganisasian masyarakat / kelompok

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

36

8. YBKM (Yayasan Badan Keswadayaan Masyarakat) Jl. KH. Sholeh 643 Plumpang Tuban Jawa Timur Kode Pos 62382 Telp. & Fax. : 0356 -811227 E-mail : [email protected] Kontak person: Muhtarom (08123402932)

Yayasan Badan Keswadayaan Masyarakat (YBKM) adalah sebuah Lembaga Non_Pemerintah

(ORNOP) dan Non_Partisan. Lembaga ini didirikan di Tuban pada Tanggal 28 Pebruari 2000,

dengan Akte Notaris Nurul Yakin, SH Nomor 30 Tahun 2000 oleh para aktivis dan para

Tokoh_Tokoh (baik kaum agamawan maupun usahawan) yang peduli terhadap kaum yang

termarginalisasi oleh proses_proses pembangunan. Lembaga ini bergerak dibidang

penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Pengembangan Usaha Kecil, Pendidikan

dan Pelatihan serta Pendampingan terhadap Rumah Tangga Miskin Rentan (RTMR) dan

Rumah Tangga Miskin Berpotensi (RTMB).

YBKM memandang bahwa banyak program_program penanggulangan kemiskinan

dilaksanakan, namun belum mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil yang

dinginkan. Evaluasi terhadap proyek_proyek pengembangan masyarakat menunjukkan

sulitnya sesuatu kegiatan berkembang dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena

kelembagaan masyarakat belum dapat menjadi media yang cukup efektif dalam

menumbuhkembangkan terhadap perilaku masyarakat. Lembaga belum menjadi mediator

dan komunikator terhadap persoalan_persoalan masyarakat.

YBKM mempunyai keyakinan bahwa peran serta masyarakat yang semakin kuat harus

didukung oleh peningkatan kapasitas kelembagaan yang ada di komunitas warga. Karena

dengan semakin baik peran serta masyarakat, maka akan menjadi modal social dan strategis

dalam rangka membangun cara_cara alternatif kearah demokratisasi pembangunan yang

berkeadilan dan berkelanjutan. Nilai_nilai keadilan social, pemberdayaan masyarakat dan

peran serta warga yang tumbuh selama ini adalah mutlak harus dilindungi dan

dikembangkan untuk mencapai tujuan bersama yaitu tata kehidupan masyarakat yang

demokratis dan berkeadilan.

Visi

Terbangunnya peran serta masyarakat secara optimal dalam kegiatan penanggulangan

kemiskinan melalui usaha_usaha nyata yang berkesinambungan dalam sebuah lembaga

masyarakat yang kokoh menuju masyarakat madani mandiri

Misi

Pemberdayaan masyarakat dan forum warga

Menfasilitasi proses pencerahan masyarakat secara menyeluruh dalam berperan

mewujudkan kedaulatan rakyat

Advokasi kebijakan public dan masalah_masalah masyarakat

Pendidikan dan pelatihan

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

37

Tujuan

YBKM didirikan dengan tujuan ;

Berperan menjadi wahana musyawarah dialogis bagi komunitas dalam mengelola,

menyelesaiakn berbagai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan upaya_upaya

penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan

Berperan menjadi lembaga kemitraan masyarakat dalam upaya pengembangan

usaha_usaha produktif serta demokratisasi ekonomi secara berkelanjutan

Berperan menjadi lembaga keswadayaan masyarakat di dalam perencanaan

pembangunan, pemeliharaan prasarana dasar lingkungan dan hunian masyarakat

secara berkelanjutan

Strategi

Untuk mewujudkan Visi, Misi dan Tujuan tersebut diatas, maka strategi dan focus kegiatan

YBKM digambarkan sebagai berikut :

Meningkatkan kemampuan SDM lembaga melalui pengembangan kapasitas

intelektual, professional, dan meneguhkan komitmen ideologis demokratis

Melakukan pendampingan kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk

meningkatkan SDM, sumber daya ekonomi, posisi tawar, dan kesadaran kritis atas

segala macam bentuk hegemoni

Membangun dan memperluas jaringan dengan kelompok civil society dalam rangka

gerakan demokratisasi dengan memperkasai lahirnya forum_forum warga di

Kabupaten Tuban serta aliansi jaringan strategis baik dengan Perguruan Tinggi,

Perbankkan, dunia usaha jaringan LSM local, Nasional maupun Internasional serta

kelompok_kelompok lainnya

Memperluas jaringan kerjasama dengan pemerintah, funding agency, dan

pihak_pihak lain yang selaras dengan visi lembaga

Bentuk dan Sifat

Lembaga ini berbentuk yayasan yang bersifat independent, non_politis dan sectarian dan

tidak bernaung dibawah lembaga pemerintah dan lembaga lainnya.dengan akte notaries

Nurul Yakin, SH Nomor 30 Tahun 2000, kemudian disempurnakan dengan Akte Notaris

Miqdarurridho, SH Nomor 3 Tahun 2001.

Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan lembaga diantaranya ;

a. Pendampingan masyarakat miskin

Pendampingan untuk Rumah Tangga Miskin_Rentan (RTMR) maupun Rumah Tangga

Miskin_Berpotensi (RTMB) dengan pendekatan forum warga, dengan melihat potensi

yang ada pada masing_masing RTMR/RTMB yang ada

b. Pengembangan ekonomi rakyat

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

38

Pendampingan untuk pengembangan usaha kecil dan advokasi kebijakan ekonomi

kerakyatan dengan melakukan study banding mapun magang di lembaga lain untuk

menambah pengetahuan dan ketrampilan warga dan akses pemasarannya

c. Pendidikan dan pelatihan

Pendidikan_Pelatihan dengan pendekatan pendidikan orang dewasa meliputi pelatihan

calon pendamping masyarakat, pelatihan pengembangan ekonomi rakyat, pelatihan bagi

kelompok swadaya masyarakat, pelatihan manajemen organisasi nirlaba dan pendidikan

politik rakyat

d. Gerakan kampanye penanggulangan kemiskinan

Gerakan untuk membangun sinergi dalam upaya mengurangi beban biaya pendidikan

maupun kesehatan bagi keluarga miskin dengan bekerjasama dengan pihak_pihak

terkait, baik Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, Ngo, Pemerintah, BAZIS, maupun kelompok

masyarakat peduli lainnya dengan memberikan bantuan beasiswa maupun pengobatan

gratis.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

39

9. Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan Jawa Timur (LPKP Jawa Timur) Wisma LPKP Jatim Lantai 1 Perumahan Karanglo Indah Blok I-4 Malang Telp. : 0341- 472557; Fax: Fax : 0341 - 414450 E-mail : [email protected] Kontak Person : Sutiah ( Direktur Eksekutive) Anwar Sholihin ( Ketua Yayasan) Tahun Pendirian: 1988, dinotariskan pada tahun 1989 dengan nomor 133/YYS/1989

SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA LPKP Jawa Timur adalah lembaga kader yang lahir dari kelompok studi “Kembang Rakyat”

yang anggotanya mahasiswa dari Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan

IKIP MALANG. Kelompok Studi ini berkiprah terbatas dalam membahas dan mendiskusikan

tugas-tugas perkuliahan yang berkaitan dengan situasi kemasyarakatan.

Pada tahun 1988, anggota inti dari Kelompok Studi tersebut bersepakat untuk

memformalkan organisasi menjadi organisasi sosial (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM)

yang memiliki akses yang luas dalam ikut serta memikirkan permasalah masyarakat.

Organisasi tersebut dinamakan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan

Jawa Timur yang disingkat LPKP Jawa Timur.

Pada tahun 1989 LPKP secara resmi disyahkan oleh Notaris Komalasari S.H , dengan nomor :

YYS/133/1989.

VISI

Ikut serta mewujudkan masyarakat yang terbebas dari kemiskinan, kebodohan,

ketertindasan, diskriminasi dan ketidakadilan gender serta beberbagai ketidakadilan lain

dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.

MISI 1. Ikut serta mewujudkan pemberdayaan rakyat miskin, lemah dan marginal yang

berperspektif HAM (hak anak), gender dan lingkungan. 2. Mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan, kebodohan,

diskriminasi, ketertindasan dan ketidakadilan yang lain. 3. Memerankan diri sebagai pendamping pengembangan sumberdaya manusia dalam

peningkatan ekonomi rakyat, pengorganisasian masyarakat dengan bertumpu pada kearifan tradisional.

4. Menunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, keadilan,keterbukaan, kesetaraan, loyalitas, demokratis dan mengembangkan sikap rasional,kreatif,kerja keras dan tanggungjawab.

BIDANG KERJA

Sesuai dengan visi dan misi yang diemban di atas, bidang kerja LPKP yang diwadahi dalam

beberapa divisi sebagai berikut:

1. Divisi Pengembangan Lingkungan Lestari Beberapa pengembangan program yang telah dijalankan dan dikembangkan diantaranya

adalah menangani bidang pertanian, yang menekankan pada pertanian berkelanjutan

melalui pengembangan pupuk organik, bibit lokal dan pengurangan input luar dengan

mendorong tumbuh kembangnya usaha peternakan sebagai bagian dari input pertanian

serta pengembangan infrastruktur perkotaan termasuk sanitasi dan air bersih,

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

40

pengembangan biogas rumah tangga, yang bertumpu pada pengembangan partisipasi

masyarakat.

Program pemberdayaan perempuan dan peningkatan pendidikan bagi keluarga miskin

perkotaan, pemberdayaan masyarakat sipil yang bertumpu pada strategi penguatan

kelembagaan dan institusi lokal, program penanganan anak jalanan yang belum

memperoleh pendidikan yang layak..

2. Divisi Pengembangan Demokratisasi dan Penguatan Hak Sipil Pengembangan Program yang berkaitan dengan pengembangan demokratisasi dan

penguatan hak-hak masyarakat sipil yang saa ini dikembangkan LPKP adalah terkait dengan

mendorong partisipasi mamsyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran,

pendidikan politik, perlindungan perempuan dan anak serta berbagai program yang terkait

dengan pemenuhan hak-hak sipil. Program pendidikan non formal dan kesehatan bagi anak-

anak dan pekerjaan anak dari keluarga miskin di pedesaan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

41

10. Lembaga Paramitra Jawa Timur Jl. Raya Mojorejo 98, Junrejo, Batu Telp/Fax. 0341-594792 Email : [email protected], [email protected], Website : http //www.paramitra.org Kontak Person : Hari Cahyono (HP : 081252222070, E-mail : [email protected], [email protected]), Mainul Sofyan (HP : 08123573893, E-mail : [email protected])

Perkembangan issue kehutanan dan lingkungan hidup pada rakyat yang termarjinalisasi oleh

alat kekuasaan tidak mampu melakukan fungsi kontrol. Untuk itulah kegiatan aksi Paramitra

difokuskan pada : Raising Awareness, upaya pelibatan para pihak/stakeholders (stakeholder)

dan membangun opini publik agar terdorong kesadarannya untuk berpartisipasi aktif dalam

penentuan arah kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup. Capacity Building dan

Pengorganisasian, Penguatan kapasitas kelembagaan tingkat masyarakat lebih diutamakan

untuk menjamin keberlanjutan kegiatan pasca pendampingan. Local Knowlege dan Local

Value masing-masing site dampingan merupakan bahan dasar untuk dikembangkan

bersama.

Berbagai kegiatan dan program yang telah dikembangkan :

1. Fasilitasi proses perjuangan hak-hak sipil masyarakat desa hutan dalam akses SDH

(ruang kelola) yang berakhir dengan pemberian hak kelola atas lahan hutan negara oleh

Perhutani seluas 37,5 Ha.

2. Pengorganisasian warga masyarakat pemetik manfaat (user groups) dalam wadah

organisasi kelompok tani hutan (KTH).

3. Peningkatan ketrampilan teknis dan kapasitas warga masyarakat dalam pola wana tani

(agroforestry).

4. Fasilitasi proses resolusi konflik (conflic resolution) antara rakyat dengan aparat petugas

kehutanan (Perhutani) tentang sistem pola tanam kayu hutan.

5. Bersama-sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) memfasilitasi

Workshop Penyusunan Altenatif Model Pengelolaan SDH di Jawa Pasca Penjarahan.

6. Bersama-sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Kelompok Kerja Jawa

(FKKM POKJA Jawa) menginisiasi berbagai forum dialog kebijakan.

7. Menginisiasi pengembangan kehutanan masyarakat (community forestry), atas

dukungan MFP – DFID (Mei – Desember 2003).

8. Sebagai salah satu inisiator pembentukan Komunitas Pendukung Penyelamatan Hutan

Jawa (KPPHJ), suatu jaringan kerja NGO yang aktif mendorong perubahan system

Pengelolaan SDH secara lestari dan berkeadilan di pulau Jawa.

9. Pengiriman relawan penanggulangan bencana yang terjadi di Malang, Blitar, Situbondo,

Jember maupun di Bantul Jogjakarta.

10. Pengembangan program mitigasi bencana longsor di daerah lereng G.Semeru, G.Arjuno

dan G.Argopuro melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan pengembangan ekonomi

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

42

alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan (sumber daya

alam).

11. Rehabilitasi lahan kritis dikawasan Lereng Gunung Arjuno Lalijiwo dan Argopuro secara

paritsipatif, melalui pengembangan kebun bibit desa, dukungan dari Kementrian

Lingkungan Hidup RI.

12. Bersama-sama dengan Jawa learning Centre (JAVLEC) membantu pemulihan pasca

bencana alam di Jogja, Malang, Blitar, Jember dan Situbondo.

13. Mewujudkan agenda pengembangan kehutanan masyarakat dengan dukungan para

pihak atas dukungan MFP-DFID dan SGP-PTF UNDP (Februari 2005 – Mei 2007).

14. Mendorong pengembangan mekanisme insentif jasa lingkungan hulu-hilir di Das

Brantas.

15. Mendorong keterlibatan Private Sector mekanisme CSR

16. Aktif melakukan kampanye Bangga Konservasi di wilayah Taman Nasional Bromo

Tengger Semeru atas dukungan RARE Indonesia.

17. Dan lain-lain.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

43

11. KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) Jl. Sutiragen V No.14, indraprasta I – Bogor. Jawa Barat. Indonesia 16153 Tel: 0251-8380301, Fax: 0251-8380301 Email: kpshk[at]kpshk.org Mohammad Djauhari (Ketua Eksekutif KpSHK)

KpSHK adalah sebuah organisasi jaringan yang didirikan pada tahun 1997 atas inisiatif

beberapa ornop, organisasi masyarakat adat, kalangan peneliti dan individu yang peduli

dengan persoalan sumber-sumber kekayaan alam, khususnya hutan di Indonesia. Sejak

berdiri, KpSHK diposisikan sebagai sebuah motor gerakan yang mendukung secara sistematik

cara-cara pengelolaan hutan yang dikembangakan secara turun-temurun oleh masyarakat

adat maupun masyarakat lokal di dalam dan di sekitar hutan.

Terwujudnya kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber kekayaan alam, khususnya hutan

adalah visi KpSHK. Dalam mencapai visi tersebut, KpSHK mengemban misi untuk: (a)

melakukan revitalisasi hukum adat dan kelembagaan pengelola agar memiliki daya lenting

yang dapat merespon setiap tawaran-tawaran perubahan dengan baik; (b) memberikan

dukungan teknis dan metodologis dalam rangka pengembangan model-model pengelolaan;

(c) pemberdayaan ekonomi kerakyatan kelompok pelaku SHK berbasiskan sumber kekayaan

yang mereka miliki; (d) memperjuangkan kedaulatan rakyat dengan mengakui, menghormati

dan melindungi hak-hak rakyat melalui pembaruan kebijakan yang relevan dan dukungan

publik, serta mengawal implementasi kebijakan yang sudah menjamin kedaulatan rakyat; (e)

pengembangan jaringan antarpelaku dan pendukung SHK melalui tukar-menukar

pengalaman, dokumentasi dan media-media komunikasi.

Perangkat organisasi KpSHK terdiri dari Forum Anggota (FA) yang merupakan lembaga

tertinggi organisasi dan dilakukan sekali dalam tiga tahun, Board KpSHK yang merupakan

representasi anggota dari pegiat dan komunitas pelaku SHK, dan Ketua Eksekutif KpSHK yang

merupakan pelaksana dari keputusan-keputusan organisasi dan dipilih untuk masa kerja tiga

tahun.

KpSHK mengajak semua pihak, baik kalangan birokrat, pengusaha, akademisi, media massa,

ornop, lembaga dana maupun masyarakat luas untuk secara bersama-sama melakukan

percepatan dan perluasan wilayah kelola rakyat dalam rangka memulihkan sumber-sumber

kehidupan rakyat. Percepatan dan perluasan wilayah kelola rakyat dilakukan melalui

pendaftaran dan pendataan wilayah SHK, promosi dan festival SHK, serta pengakuan dan

pengukuhan SHK baik secara ekonomi maupun politik.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

44

12. LATIN Jl. Sutera No.1 Situgede - Bogor Barat Bogor 16115 Telp. 0251-8425523-22 Fax. 0251-8626593 Indonesia email: [email protected]

"Mewujudkan Kesejahteraan & Kemandirian Masyarakat Melalui Pengelolaan Sumberdaya

Alam yang Adil dan Lestari dengan Pendekatan Kolaboratif"

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) merupakan lembaga swadaya masyarakat yang

didirikan pada tanggal 5 Oktober 1989.

LATIN mempunyai misi (1) Memperjuangkan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, (2)

Mengembangkan kegiatan pengelolaan hutan yang lestari, (3) Mengembangkan kemampuan

dan kapasitas lembaga dan masyarakat, (4) Membangun kemandirian lembaga dan

masyarakat.

Pada awalnya LATIN bergulat di isu pengelolaan sumber daya alam, namun sesuai dengan

perkembangan yang ada kemudian para penggiat LATIN (Latiners) memutuskan beberapa

perubahan penting bagi organisasi LATIN sebagai sebuah lembaga. Maka mulai pertengahan

tahun 90 an LATIN mulai memfokuskan diri pada isu pengembangan Komuniti Forestri (KF).

Semenjak itu LATIN lebih fokus serta terlibat aktif di beberapa program dan kegiatan yang

berkaitan ataupun bertujuan untuk pengembangan komuniti forestri di Indonesia, antara

lain dengan mendampingi masyarakat di Krui (Lampung Barat), Jember (Jawa Timur)

tepatnya masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri yang boleh dikatakan merupakan

pengembangan inisiatif awal sejenis di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon (Pandeglang,

Prop. Banten). Selain itu secara nasional, LATIN aktif juga menggalang kerjasama dengan

mitra regional dan internasional yang berkaitan dengan isu Komuniti Forestri. Sampai kini

setelah kurang lebih 19 tahun kiprahnya, LATIN telah "bekerja" di 7 lokasi lainnya yang

tersebar di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat.

Sejak awal berdiri sampai sekarang bertekad untuk memberantas kemiskinan yang terjadi

pada masyarakat sekitar hutan dan sekaligus melestarikan sumberdaya alam dan

lingkungan.

LATIN meyakini bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan hutan bukanlah masalah yang

sederhana. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan yang tidak memberi ruang

kepada masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan adalah masalah utama dunia

kehutanan Indonesia.

Selain itu masalah lainnya adalah lemahnya organisasi masyarakat sekitar hutan, kurangnya

sinergi di antara stakeholder, budaya korupsi, pembiaran pelanggaran HAM yang terjadi

pada masyarakat sekitar hutan, kurang berkembangnya pengetahuan pengelolaan hutan

yang mampu menjawab tantangan yang terjadi di lapangan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

45

13. Telapak Jl. Pajajaran No. 54 Bogor 16143, Jawa Barat, Indonesia Phone : +62 251 8393 245 Fax : +62 251 8393 246 Email : [email protected]

Telapak is an association of NGO activists, business practitioners, academics, media affiliates

and leaders of indigenous peoples, fishers, and farmers of Indonesia towards sustainability,

sovereignity, and integrity.

Telapak’s Movement is an organization’s official document which established as a source of

inspiration and activities framework for members of Telapak Community.

The legal basis of the organization is LETTER OF DECISION from MEETING MEMBERS OF

TELAPAK No.06/KPTS/RAP-Telapak/II/2008 About Telapak’s Movement which established in

Meeting of Association Members at Wakumoro Village, Muna Regency, Southeast Sulawesi

Province 17th February 2008. The content as include in an organization’s official document of

Telapak’s Movement, basically is a manifestation from core clauses of Articles of Association

and Bylaws, specifically rules about signs of vision achievements, which is:

1. The state guarantee people rights for social services and nature of ecology.

2. The state acknowledge and guarantee existence of local communities as an

autonomous social unity to control and manage itself and natural resource in their

area.

3. State policy about people’s life made with political process which participatory-

democratic.

4. Decentralized and transparent government enforcement.

5. Use, manage, and control local economic resources that based on nature source for

inhabitants sustainable livelihood.

6. Every economic activities in local community regional which involve investment

from others have to get permission and through meeting process with local

communities (free and prior-informed consent). Local communities are still in charge

and control key of business.

7. Price of natural resources commodity have to be higher from production cost (social

and ecological externalities), which largest margins of profit will be received by

communities as producer.

8. For continuity of consumption, consumer will responsible and ensure the

preservation production resources that based on commodity that produced from

sustainable management of natural resources.

9. Local communities able to produce and reproduce knowledges in control and

manage the local ecosystem.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

46

10. Law and legal pluralism that guarantee and acknowledge the local laws in

management of natural resources.

With the existence of Telapak’s Movements as a source of inspiration and activities

framework to all of Telapak’s member, so in order to actualize that vision, there are several

association tools, which is:

1. Groups and civilians alliances

2. Cooperation

3. Business entity

4. Mass media, and;

5. Political and state institution

All campaign activities by Telapak intend to actualize good governing management and to

ensure implementation of policies that support sustainable and fair management of nature

resources. Telapak do the policy advocacy in campaign process based on fact that collected

from investigative research on field. The target of advocacy is the policy makers and other

parties that can influence the policy makers in every level, from local, national, and

international.

All approach that Telapak use in doing policy advocacy is:

Workshop with several parties. Telapak actively doing workshop and roundtable meetings with interested parties in issue of natural resources management, especially civilians and indigenous people. The results from workshop are aspirations and recommendations from civilians, then continued with lobbying to regulators. Telapak believes that informations transparency and civilians involvement in process of policy making is important to actualize good governing management.

Political lobbying Telapak also actively doing political lobby to strategic parties that have authorities in policy-making and regulator also others party that can influence the process of policy making. Political lobbying is done in every level, from regional, national, and international.

Legal drafting To ensure the aspirations from civilians adopted in policy that government made, Telapak also involve in policy making and also public consultation in making policy.

Take part in several strategic forums in nature resources sectors and also participate in national and international forums which are related to several issue that we working on.

Several example of Telapak involvement in policy advocacy are:

Framing of Ministerial Regulation No. 38/2009 on the Standards and Guidelines for

Performance Assessment of Forest Management and Sustainable Production of

Timber Legality Verification

Framing Bylaws no. 27/2007 on The Management of Coastal Zones and Small Islands

Member of Negotiation Team on Treaty Indonesia-EU Cooperation in the handling of

illegal logging and illegal timber trade

Member of National Forestry Board

Member of National Water Resource Board

Member of Working Group on Monitoring and Evaluation of Implementation in

Legality Verification System

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

47

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

48

14. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Jl. Taman Bogor Baru B IV/12 Bogor Indonesia Telp: +62 251 8 340 744 Fax: +62 251 8 325 872 | E-mail: [email protected]

The Indonesian Ecolabelling Institute (LEI-Lembaga Ekolabel Indonesia) is a non-profit con-

stituent based organization that develops forest certification systems that promote our mis-

sion of just and sustainable forest resource management in Indonesia. As a constituent

based organization LEI retains independence and transparency, both necessary for the credi-

bility of forest certification.

Vision:

To become an organization striving for just and sustainable natural resource management.

Mission:

1. To develop forest certification schemes and monitoring systems for natural resource

management.

2. To promote and support just and sustainable natural resource management in

Indonesia.

3. To support multi-stakeholder natural resource management models that include

participation of indigenous communities.

LEI’s certification includes schemes for:

1. Natural forest certification

2. Plantation forest certification

3. Community forest certification

4. Chain of Custody (COC), a log tracking system for industries that process forest prod-

ucts such furniture, plywood, sawn wood and pulp and paper.

LEI has 4 (four) chambers that represents Indonesian forest stakeholders that support

LEI in using certification as a tool in achieving sustainable forest management:

1. Business Chamber.

2. Traditional community and forest farmer Chamber

3. NGOs Chamber.

4. Eminent Person Chamber.

There are five basic stages in the certification process, designed to separate data collection

from decision making, while involving stakeholders.

Step 1: Contact certification bodies – and choose the certifier you will work with

Step 2: Field pre-assessment.

involving document evaluation, field scoping, and expert panel recommendations over

whether to continue the audit.

Step 3: Field assessment and public input.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

49

The certification body carries out a field audit and facilitates the community input

process for the expert panel.

Step 4: Performance Evaluation and certification decision making

The management unit is evaluated by the expert panel based on all collected

documentation.

Step 5: Certification decision

The expert panel finalizes the certification decision which is then announced publicly by

the certification body. A surveillance schedule is put in place.

Any objection to the certification process or decision will be facilitated by LEI accredited

certifiers and the Certification Review Council

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

50

Lampiran 2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No:

P.02//VI-BPPHH/2010 (Lampiran 4 & 5)

Lampiran 4. : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan

Nomor : P.02/VI-BPPHH/2010

Tanggal : 10 Februari 2010

Tentang : Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

dan Verifikasi Legalitas Kayu

PEDOMAN PEMANTAUAN INDEPENDEN

DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN

PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (LK)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi Legalitas Kayu (LK) yang

telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 dan Peraturan

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 serta DPLS KAN 13 dan 14,

ISO/IEC GUIDE 65, ISO 17011, dan 17021 memerlukan pedoman dalam pelaksanaannya. Salah satu

pedoman yang dibutuhkan adalah pedoman pemantauan oleh pemantau independen atas

pelaksanaan Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK.

B. TUJUAN

Pedoman ini dimaksudkan sebagai panduan bagi Pemantau Independen dalam melakukan

pemantauan atas proses dan hasil penilaian dalam Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK yang

dilakukan oleh LP&VI.

C. RUANG LINGKUP

Pedoman ini menjadi acuan bagi Pemantau Independen dalam pelaksanaan pemantauan proses dan

hasil Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi LK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.38/Menhut-II/2009, Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009,

DPLS 13, DPLS 14, ISO/IEC Guide 65, ISO/IEC Guide 17011, dan ISO/IEC Guide 17021.

D. ACUAN

1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat

Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari Hutan Hak

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.33/Menhut-II/2007.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan

yang berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

51

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.43/Menhut-II/2009

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 tentang

Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo. Nomor P.9/Menhut-II/ 2009

tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.

5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada

Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 tentang Standard

dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

7. ISO/IEC Guide 23:1982 Methods of Indicating Conformity with Standards for Third-Party

Certification Systems.

8. ISO/IEC Guide 65:1996 General Requirement for Bodies Operating Product Certification System.

9. ISO/IEC 17011:2004 Conformity Assessment - General Requirements for Accreditation Bodies

Accrediting Conformity Assessment Bodies.

10. ISO/IEC 10002:2004 Quality management. Customer Satisfaction. Guidelines for Complaints

Handling in Organizations. Guidelines for Complaints Handling in Organizations.

11. ISO/IEC 17021:2006 Conformity Assessment – Requirement for Boodles Providing Audit and

Certification of Management Systems.

12. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 13 Rev. 0 adalah Syarat dan Aturan Tambahan

Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

13. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 14 Rev. 0 adalah Syarat dan Aturan Tambahan

Akreditasi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu.

E. PENGERTIAN

1. Pemantau Independen :

a) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan

dapat menjadi pemantau independen.

b) Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati

kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau

sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga

negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.

c) Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada

kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.

d) Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang

berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat

PHPL atau Sertifikat LK.

2. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah perusahaan berbadan hukum

milik negara atau swasta yang diakreditasi untuk melaksanakan Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan/atau verifikasi legalitas kayu.

3. Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai

dan Verifikasi Independen (LP&VI).

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

52

4. Sertifikat Legalitas Kayu (LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin

atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah

mengikuti standar legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu.

5. Sertifikat PHPL adalah surat keterangan yang menjelaskan tingkat keberhasilan pelaksanaan

pengelolaan hutan lestari.

6. Pemegang izin adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemegang

izin usaha industri.

7. Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi pemegang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam disingkat IUPHHK-HA (d.h. HPH),

pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hutan Tanaman disingkat IUPHHK-HT

(d.h. HP-HTI), pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Tanaman Rakyat

disingkat IUPHHK-HTR, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi

Ekosistem disingkat IUPHHK-RE, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dalam

Hutan Kemasyarakatan disingkat IUPHHK-HKm sebagaimana dimaksud dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008

8. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 3 Tahun 2008.

9. Pemegang Izin Usaha Industri Lanjutan (IUI Lanjutan) adalah perusahan pengolahan hasil

hutan kayu hilir, dengan produk antara lain furnitur.

II. KEGIATAN

A. PELAKSANAAN

1. Kegiatan pemantauan yang diatur dalam pedoman ini adalah kegiatan pemantau terkait

dengan kegiatan verifikasi LK dan Penilaian Kinerja PHPL yakni sertifikasi dan Penilaian

Kinerja PHPL 3 (tiga) tahun ke belakang serta sertifikasi dan verifikasi LK 1 (satu) tahun

ke belakang yang dilakukan oleh LP&VI.

2. Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses

pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK.

3. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan

sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses

informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk

informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang

informasi.

5. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan

baik oleh LP&VI maupun KAN.

6. Demi keamanan dan keselamatan sumber informasi, Pemantau Independen dapat

merahasiakan identitas responden dan/atau informan.

B. PELAPORAN

1. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi

keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan

dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

53

2. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang

untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau

sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI.

3. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20

(dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian.

4. Dalam hal LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan

dapat disampaikan kepada KAN.

5. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian

(sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari

Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

54

Lampiran 5. : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan

Nomor : P.02/VI-BPPHH/2010

Tanggal : 10 Februari 2010

Tentang : Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

dan Verifikasi Legalitas Kayu

PEDOMAN PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN

DALAM PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN

PRODUKSI LESTARI (PHPL) DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (LK)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberatan merupakan pernyataan ketidakpuasan secara tertulis oleh pihak pengaju keberatan

dengan mengajukan keberatannya dengan disertai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut- II/2009, pemegang izin dan pemantau

independen (lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat madani di bidang kehutanan) dapat

mengajukan keberatan terhadap hasil penilaian yang dilaksanakan oleh Lembaga Penilai dan

Verifikasi Independen (LP&VI).

B. Tujuan

Pedoman ini bertujuan untuk :

1. Membangun suatu mekanisme pengajuan dan penyelesaian keberatan.

2. Mewujudkan manajemen transparansi dan pertanggungjawaban atas berjalannya proses

dan hasil Penilaian Kinerja PHPL dan verifikasi legalitas kayu (LK) yang dilakukan oleh

LP&VI.

3. Alat kontrol bagi kelayakan Sertifikat PHPL dan LK yang diterbitkan oleh LP&VI pada

pemegang izin atau pemilik hutan hak.

C. Ruang Lingkup

Penilaian Kinerja PHPL dan Sertifikat LK harus sesuai dengan keadaan lapangan yang diketahui dan

dialami oleh para pihak berkepentingan. Pedoman ini berisikan tata laksana pengajuan dan

penyelesaian keberatan atas status Sertifikat PHPL dan LK untuk menjadi panduan bagi pengajuan

dan penyelesaian keberatan.

Ruang lingkup proses penyelesaian keberatan adalah :

1. Keberatan yang disampaikan oleh pemegang izin atas laporan hasil penilaian.

2. Keberatan yang disampaikan oleh lembaga pemantau independen atas proses dan hasil

penilaian.

D. Acuan

1. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat

Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

55

Hutan Hak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan

Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009.

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.43/Menhut-

II/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-

II/2007 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan

Kayu.

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 jo. Nomor P.9/Menhut-

II/2009 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.

5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan

Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas

Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 tentang

Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan

Verifikasi Legalitas Kayu.

7. ISO/IEC Guide 23:1982 Methods of Indicating Conformity with Standards for Third-Party

Certification Systems.

8. ISO/IEC Guide 65:1996 General Requirement for Bodies Operating Product Certification

System.

9. ISO/IEC 17011:2004 Conformity Assessment - General Requirements forAccreditation

Bodies Accrediting Conformity Assessment Bodies.

10. ISO/IEC 10002:2004 Quality management. Customer Satisfaction. Guidelines for

Complaints Handling in Organizations. Guidelines for Complaints Handling in

Organizations.

11. ISO/IEC 17021:2006 Conformity Assessment – Requirement for Boodles Providing Audit

and Certification of Management Systems.

12. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 13 Rev.0 adalah Syarat dan Aturan

Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

13. Daftar Penunjang Lembaga Sertifikasi (DPLS) 14 Rev.0 adalah Syarat dan Aturan

Tambahan Akreditasi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu.

E. Pengertian

1. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) adalah perusahaan berbadan hukum

milik negara atau swasta yang diakreditasi untuk melaksanakan Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan/atau verifikasi legalitas kayu.

2. Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan adalah tim yang berwenang untuk melakukan

pengecekan dokumen, konsultasi dengan pihak-pihak terkait dan melakukan verifikasi

lapangan atas materi keberatan yang disampaikan pihak pengaju keberatan.

3. Pemantau independen:

a. LSM atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau

independen.

b. Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati

kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

56

sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga

negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.

c. Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada

kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan perusahaan LP&VI dan

pemegang izin/unit manajemen.

d. Pemantau independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan

dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau

Sertifikat LK.

4. Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai

dan Verifikasi Independen (LP&VI).

5. Sertifikat legalitas kayu (Sertifikat LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada

pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan kahwa pemegang izin atau

pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam

memperoleh hasil hutan kayu.

6. Sertifikat PHPL adalah surat keterangan yang menjelaskan tingkat

keberhasilanpelaksanaan pengelolaan hutan lestari.

7. Pemegang izin adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan

pemegang izin usaha industri.

8. Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi pemegang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam disingkat IUPHHK-HA (d.h. HPH),

pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Tanaman disingkat

IUPHHK-HT (d.h. HP-HTI), pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan

Tanaman Rakyat disingkat IUPHHK-HTR, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Restorasi Ekosistem disingkat IUPHHK-RE, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu Dalam Hutan Kemasyarakatan disingkat IUPHHK-HKm sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 3 Tahun 2008.

9. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 3 Tahun 2008.

10. Pemegang Izin Usaha Industri Lanjutan (IUI Lanjutan) adalah perusahan pengolahan hasil

hutan kayu hilir, dengan produk antara lain furnitur.

II. KEGIATAN

A. Pengajuan Keberatan

1. Materi Keberatan

a. Keberatan yang dapat ditindaklanjuti adalah setiap ketidakpuasan pihakpihak tertentu yang

disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan terkait proses dan atau

keputusan sertifikasi yang ditetapkan oleh LP&VI.

b. Materi Keberatan yang diajukan harus mengacu pada tahapan-tahapan penilaian, yaitu

bagaimana LP&VI melaksanakan tahapan-tahapan penilaian PHPL dan verifikasi LK

berdasarkan Standar dan Pedoman Penilaian PHPL dan Verifikasi LK serta kesimpulan-

kesimpulan yang ada di dalam hasil penilaian.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

57

c. Keberatan dapat dibuktikan dan didukung dengan data/informasi atau dokumen

pembanding baru yang belum digunakan dalam proses penilaian.

2. Pihak Pengaju Keberatan

Pihak-pihak yang dapat mengajukan keberatan atas proses dan atau keputusan

sertifikasi adalah sebagai berikut :

a. Pemegang Izin terhadap laporan hasil penilaian.

b. Pemantau Independen terhadap proses dan hasil penilaian (sertifikat)

3. Masa Pengajuan Keberatan

a) Keberatan dari pemegang izin diajukan selambat-lambatnya 10 hari kalender setelah

hasil penilaian LP&VI diterima pemegang izin.

b) Keberatan dari pemantau independen diajukan selambat-lambatnya 20 hari kalender

setelah pengumuman penerbitan sertifikat.

c) Dalam hal terdapat temuan baru dari pemantau independen setelah 20 hari kalender,

sejak diumumkannya sertifikat dapat diajukan kepada Departemen Kehutanan dan

LP&VI.

4. Tata Cara Pengajuan Keberatan

a. Keberatan disampaikan secara tertulis kepada LP&VI, dengan dilengkapi data pendukung.

b. Keberatan yang diajukan harus (1) mengacu pada tahapan-tahapan penilaian dan/atau pada

hasil pemenuhan standar (kriteria dan indikator) serta (2) didukung dengan data/informasi

baru yang belum digunakan dalam proses penilaian dan dapat dipertanggungjawabkan.

c. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh

LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN.

B. Penyelesaian Keberatan

1. Penyelesaian Keberatan

a. LP&VI membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pemegang

izin dan mekanisme lainnya untuk penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Lembaga

Pemantau Independen.

b. Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan

• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan adalah tim yang berwenang untuk melakukan

pengecekan dokumen, konsultasi dengan pihak-pihak terkait dan melakukan verifikasi

lapangan atas materi keberatan yang disampaikan pihak pengaju keberatan.

• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan dibentuk oleh LP&VI, secara tidak permanen (ad hoc)

untuk membantu LP&VI yang bersangkutan dalam menyelesaikan keberatan.

• Auditor dan Pengambil Keputusan (LP&VI), pengaju keberatan, serta para pemegang izin

tidak dapat menjadi Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan.

• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan berjumlah ganjil dan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang,

yang minimal satu diantaranya mengerti, memahami persoalan dan kepentingan daerah

tempat obyek keberatan berada.

• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan

beberapa orang anggota.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

58

• Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan wajib memberikan penjelasan/ tanggapan atas laporan

penyelesaian keberatan yang dibuatnya.

• Anggota Tim Ad Hoc Penyelesaian Keberatan harus:

- Independen, mewakili para pihak dan ahli di bidang yang sesuai dengan materi

keberatan, dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.

- Memiliki kemampuan melakukan penilaian terhadap informasi yang terdapat pada

materi keberatan;

- Memahami Sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK;

- Memiliki kemampuan mediasi resolusi konflik;

- Memiliki wawasan interdisipliner dan mampu bekerja sama dengan anggota lain;

- Memiliki integritas tinggi dan menjunjung objektivitas dalam proses penyelesaian

keberatan;

2. Masa Penyelesaian Keberatan

a. Keberatan dari Pemegang Izin diselesaikan oleh LP&VI selambat-lambatnya 10 hari kalender

terhitung dari diterimanya laporan keberatan oleh LP&VI.

b. Keberatan dari Lembaga Pemantau Independen diselesaikan oleh LP&VI selambat-

lambatnya 10 hari kalender terhitung dari diterimanya laporan keberatan oleh LP&VI;

c. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh

LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN untuk

diselesaikan sesuai prosedur penyelesaian keberatan yang ada di KAN

3. Tata Cara Penyelesaian Keberatan

a. Penyelesaian keberatan oleh LP&VI meliputi tahap:

o verifikasi keabsahan keberatan dan

o verifikasi materi keberatan.

b. Dalam tahap verifikasi keabsahan keberatan, dilakukan pemeriksaan relevansi materi dan

pengaju keberatan.

c. Keberatan dinyatakan relevan apabila:

• data dan informasi yang disampaikan relevan dan

• disampaikan oleh pihak yang relevan.

d. Keberatan ditolak apabila dinilai tidak relevan atau bukan merupakan bukti baru (novum).

e. Dalam tahap verifikasi materi keberatan, dapat dilakukan konsultasi dengan pihak-pihak

yang terkait dan melakukan verifikasi lapangan pada obyek keberatan, serta mediasi

terhadap pihak-pihak terkait dalam materi keberatan yang diajukan.

f. Penyelesaian keberatan oleh LP&VI dilakukan dengan membuat dan menetapkan keputusan

penyelesaian keberatan secara terulis berdasarkan hasil tahap (a) verifikasi keabsahan

keberatan dan/atau (b) verifikasi materi keberatan. Laporan yang berisi keputusan

penyelesaian keberatan oleh LP&VI disampaikan kepada pihak pengaju keberatan secara

tertulis.

g. Dalam hal keberatan dari Lembaga Pemantau Independen tidak dapat diselesaikan oleh

LP&VI, Lembaga Pemantau Independen dapat mengajukan keberatan kepada KAN untuk

diselesaikan sesuai prosedur penyelesaian keberatan yang ada di KAN.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

59

Lampiran 3. Catatan Rapat di Semarang – 12 November 2010

Minutes of Meeting 12 November 2010 Venue: Hotel Gracia Semarang Participants:

1. Naryo, Head Division of Forest Management , Provincial Forestry Service of Central Java

2. Jansen T., Ministry of Forestry

3. Heru Jatmiko, Provincial Forestry Service of Central Java

4. Yudi Nugroho, Damar Foundation

5. Exwan, Shorea Foundation

6. Pudhji R. , Farmer Network HkM

7. Edi Jampres, ARuPA

8. Priastuti, A forest farmer

9. Panji Arum, Farmer Association of Private Forest (Telapak)

10. Imam Suyono, Ministry of Forestry

11. Berdy, Suphel Foundation

12. Teguh, Persepsi

13. Lasmini, Project Coordinator ITTO

14. Stepi Hakim, Consultant ITTO Background

Ministry of Forestry just released P.38/Menhut-II/2009 regarding sustainable forest management certification (PHL) and timber legality verification certification (LK) for timber products. It is followed up by the Decree of Director General Management of Forest Production on Criteria and Guidelines for PHL and LK certification (P.6/VI-Sec /2009) in 2009 and technical guidelines for implementation of PHL and LK certification (P.02/VI-BPPHH/2010) in 2010. Those above regulations are basic foundation for the implementation of Indonesian Timber Legality Assurance System (TLAS) in the fields. According to Article 14 (point 1, 2 and 3) of P.38/Menhut/II/2009, it states that civil society or non-government organizations (NGOs) are entitled to be an independent monitor in the process of TLAS assessment. If the society or NGOs object with the result of the certification assessment, the claim objection has to be submitted to the independent certification and verification body (LP&VI) within 20 days. If the objection cannot be settled then the NGOs or the society could bring the claim to the National Accreditation Commission (KAN). Up to now there is no existing institutions or organizations yet to monitor TLAS implementation in the fields. In fact, there are several NGOs in Java Island that in particular have roles in empowering communities to obtain their forests to be certified. However, their roles (NGOs in empowering) might slightly be different in monitoring TLAS. It is necessary then to define role and responsibility of civil society/NGOs in monitoring TLAS implementation, including its guidelines, its mechanisms and the procedures. Public consultations and group discussions are required to define criteria and indicators for the institutions or organizations to be eligible as independent monitoring on SVLK. According to P.02/VI-BPPHH/2010, the definition of independent monitoring is as follows:

Non Governmental Organizations (NGOs) or civil society in forestry sector can serve as independent monitor.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

60

It may include forestry observer, NGO with an Indonesian corporate body, the community living inside or around the area where license holders or owners of right forest are located/operating, and other Indonesian citizens who concerned about forestry sector.

an independent monitor should have no direct or indirect relationship to or with LP&VI and license holders

Independent Monitoring Activities During the assessment, the scope of monitoring activities is as follows:

verification of LK (for the past 1 year) and PHPL Performance Assessment (for the past 3 years)

a close look at the process and result of LP&VI assessment, decision-making process and decision on LP&VI in issuing PHPL/LK certificate

develop their own monitoring methods

can access any required public information/document and can submit an application for obtaining other required information/documents in writing to holder of the information

monitor the developments in handling of report on objections both from LP&VI and NAC (National Accreditation Council)

Reporting The independent monitoring would produce a report with the specific requirements as follows:

a report containing objections to the process and/or result of LP&VI assessment on license holder

Material for objections is the result of monitoring activity for the past 1 (one) year for verification of LK or for the past 3 (three) years for PHPL Performance Assessment

submitted to LP&VI no later than in 20 (twenty) calendar days since the announcement of the assessment result

can be submitted to NAC if LP&VI could not resolve the objections

new findings can be reported as new monitoring result (after 20 calendar days the issuance of the certificate) to MoF and LP&VI

Existing Challenges

no existing institutions or organizations yet to monitor TLAS implementation in the fields

Just recently 23-09-2010, there is a network called as JIPK (Independent Forestry Monitoring Network) consisting 29 NGOs that would perform monitoring public service in forestry sector.

no complaints or objections from IM emerged regarding PHL and or LK certification assessment process and its issuance

In fact, there are several NGOs in Java Island that in particular have roles in empowering communities to obtain their forests to be certified

However, their roles (NGOs in empowering communities) might slightly be different in monitoring TLAS

Objectives The objectives of the meeting are as follows:

Disseminate regulation of Directorate General of Forest Management Development, Ministry of Forestry No: P.02/VI-BPPHH/2010, particularly on Independent Monitoring (Annex 4) and Guideline on Complaint Procedure in SVLK (Annex 5).

Formulate minimum criteria & indicator for civil society organizations to become as independent monitoring for SVLK

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

61

Formulate mechanism on monitoring including independency of the organization and source financing system for the organization/network.

Discussions The meeting was started with the brief introduction of the ITTO project to the participants. The introduction was presented by Ms. Lasmini, Project Coordinator of ITTO. The institutional arrangement for SVLK was explained briefly by Mr. Jansen from Ministry of Forestry. The main presentation on independent monitoring was provided by Mr. Stepi Hakim, a consultant ITTO. Issues There are several issues during the meeting that are discussed as follows: 1. Registration The definition of registration was debated during the course. The NGOs claims that their organizations are not necessary to be registered to the Government. It would weaken the role of NGOs in monitoring SVLK in the fields. On the other hand, Government would face difficult to identify the NGO that would perform monitoring in the fields. In addition, if there is a conflict between the NGO and the LP&VI, it would be difficult also to the Government to define whether that NGO is a capable organization as an Independent Monitoring for SVLK. There was suggestion that the NGOs would develop their own registration, including code of conduct for the organization to be as independent monitoring. In order to avoid intervention from the Government, the registration system for independent monitoring would be developed and arranged by the NGOs. The NGOs based in Central Java and Yogyakarta would develop a networking NGO for independent monitoring for the region of Central Java and Yogyakarta Region. As soon as the NGO has been registered, the network would request to the Government to acknowledge the members of the network to be as independent monitoring in forestry sector. In other words, the NGOs would not register to the Government, but in fact the Government is requested to acknowledge the NGOs. It was agreed by participants that the further requirements for the registration would be discussed in the next meetings. 2. Membership Who is eligible to be a member of the network for independent monitoring? According to P.38/2009 and P.02/2010, the independent monitoring could be as follows: - Non Government Organization - Civil Society includes forestry observer, community living surround the forest operated, and Indonesian citizens who concerned about forestry sector. There was an argument that individual person should not be as an independent monitor because it would be difficult to ensure the neutrality of the person regarding to the objection complained by her/him. However, majority participants disagreed with the exemption of individual person as independent monitoring. Everyone has a right to monitor the implementation of SVLK. The more people watch the SVLK the more credibility of the system seen by the Market. Thus, it is agreed that individual observer or an observer could be as an independent monitor for SVLK. Participants also questioned with NGOs that are not dealing with forestry sector to be as independent monitor. It was agreed that such NGOs would not be able to be as independent monitor. However, if the NGOs found any irregular activities in the SVLK then they could report their findings to other NGOs that are dealing with forestry sector. There was questioned about Paguyubuan (a group of people with the same interest, but it does not have any legal status as an organization) whether it is eligible to become a member of the network or not. The participants agreed that Paguyubuan is eligible to be part of the network to monitor

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

62

SVLK. However, in order to ensure the neutrality of the group, the NGOs would set up criteria and indicator for eligibility of organizations to become a member of the network for monitoring SVLK in Central Java and Yogyakarta. 3. Role of NGO (Empowering versus Monitoring) It is well known that most of NGOs in Central Java and Yogyakarta are dealing with community empowerment, particularly with forest farmers. Several NGOs such as ARuPA, Persepsi, KOLING, and Shorea Foundation are supporting community in obtaining their forests to be certified. On the other hand, in order to become as an independent monitor for SVLK the organization has to be no direct or indirect relationship to or with LP&VI and license holders. In this context, the NGOs that are empowering community in getting forest certification are not supposed to be as independent monitors. This issue was debated within participants during the meeting. There was suggestion that the NGO that is currently empowering its community in village A, it is not allowed to conduct a monitoring SVLK in the same village (Village A). However, this NGO is able to monitor SVLK in other villages (such as village B, C, D, etc.). Majority of the participants are reluctant to separate their roles between as a facilitator for community empowerment and as a monitor for SVLK assessment. They argued that the number of NGOs in dealing with forest certification is very limited in Central Java and Yogyakarta. As a result, the NGOs that would deal with monitoring SVLK would be none. Based on the discussions, it was agreed that up to now there is no separation of the NGOs’ roles. However, the NGO is not allowed to carry out monitoring SVLK at the village in which the NGO is conducting community empowerment. 4. Networking (FKD versus New Network on Independent Monitoring) In Central Java and Yogyarakarta, there is a stakeholder forum developed by LEI called Forum Konsultasi Daerah (Forum of Local Consultation). The forum is aimed to gather information from wider stakeholders during the LEI certification process. The participants were considering to the FKD as the network for monitoring SVLK in Central Java and Yogyakarta. However, Jampes from ARuPA suggested that they could use the existing Network for Forest Independent Monitoring (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan/JPIK) based in Bogor, West Java to be a part of their network in Central Java and Yogyakarta. JPIK is a network established in September 2010 by 29 NGOs across the country committing to monitor forestry sector in Indonesia. So, the participants agreed that they would discuss further the two options (between FKD and JPIK) in the next meeting. 5. Accessibility to the information The NGOs in Central Java and Yogyakarta are questioning to the Ministry of Forestry regarding the accessibility of the information. According to ARuPA, it was difficult to obtain precise data of the forest concession in East Kalimantan during the SVLK assessment. When the local NGO, PADI Foundation was asking the public summary of the result of SVLK assessment to the LP&VI, the auditing company was not able to provide it. The Ministry (here was represented by Mr. Jansen) said that any information obtained by the LP&VI should also be available for the Independent Monitoring. Concluding Remarks It is agreed that there would be a next meeting to discuss as follows:

Code of conduct of NGOs, individual observers, paguyubuan or other public groups to become as independent monitor

Defining Training Need Assessments for NGOs in monitoring SVLK.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

63

The next meeting would be carried out in Semarang in December 2010. The number of participants

to be invited would be increased.

Lampiran 4. Catatan Rapat di Surabaya– 12 November 2010

Minutes of Meeting 24 Nopember 2010 Tempat: Hotel Ibis Rajawali Surabaya Peserta: 1. Bambang Sukmananto, Kementerian Kehutanan

2. Dodi, Ka. Bagian Pengusahaan Hutan, Dinas Kehutanan Jawa Timur

3. Jansen T., Kementerian Kehutanan

4. Heru, PWT – Pacitan

5. Nurdin R., Tani Lestari

6. Muhtarom, YBKM

7. Indtrimastuti, LP3M – Algheirns

8. Imam Suyono, Kementerian Kehutanan

9. Yudi, HISPAM

10. Sugeng, BP2HP – Jawa Timur

11. Rafi, BP2HP – Jawa Timur

12. M. Solehkhan, LPKP Malang

13. Hari C., Paramitra

14. Wahyu Hidayat, Paramitra

15. Nuryahya, Persepsi

16. AH Suprayitno, PESAT

17. Tony, BP2HP – Jawa Timur

18. Isabella, ITTO

19. Ditha Astriani, ITTO

20. Agus Heri, BP2HP – Jawa Timur

21. Lasmini, Project Coordinator ITTO

22. Stepi Hakim, Consultant ITTO Latar Belakang Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan Menteri ini kemudian diikuti dengan Keputusan Dirjen Bina Usaha Kehutanan tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.6/VI-Set/2009) dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.02/VI-BPPHH/2010). Ketiga peraturan tersebut merupakan dasar hukum terhadap pelaksanaan system jaminan legalitas kayu Indonesia di lapangan. Berdasarkan Pasal 14 (Ayat 1) dari P.38/Menhut/II/2009, disebutkan bahwa lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan.

Dalam Ayat 2, kemudian disebutkan bahwa dalam hal LSM atau masyarakat madani bidang kehutanan keberatan terhadap hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberatan dimaksud diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja kepada LP&VI untuk mendapat penyelesaian. Apabila keberatan tersebut tidak dapat diselesaikan , maka LSM dapat melaporkan hal tersebut kepada Komisi Akreditasi Nasional (KAN). Pengertian Pemantau Independen dalam P.02/VI-BPPHH/2010, adalah sebagai berikut:

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

64

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen

Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.

Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.

Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.

Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan baik oleh LP&VI maupun KAN. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian. Apabila LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan dapat disampaikan kepada KAN. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian (sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI. Pada bulan September 2010, sektiar 29 LSM yang berasal dari berbagai daerah membentuk suatu jaringan yang disebut Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Bogor. Sampai sekarang, walaupun sejumlah industri kayu telah memperoleh sertifikasi SVLK yang diterbitkan oleh LP&VI, namun belum ada keberatan yang muncul dari pemantau independen terhadap proses sertifikasi bersangkutan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena prosedur teknis lapangan terhadap pemantauan sertifikasi SVLK belum tersedia. Dalam kenyataannya, ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang mempunyai peran sebagai pendamping bagi masyarakat pemilik hutan rakyat dalam rangka sertifikasi hutan lestari. Peran LSM tersebut sebagai pendamping sedikit berbeda dengan sebagai pengawas proses sertifikasi hutan. Oleh sebab itu perlu adanya identifikasi peran dan tanggung jawab masyarakat mandani/LSM dalam pengawasan pelaksanaan SVLK, termasuk petunjuk pelaksana, mekanisme pelaksanaan, dan prosedur pengawasan. Konsultasi public dan diskusi kelompok diperlukan untuk menentukan criteria dan idikator bagi organisasi atau lembaga yang memenuhi syarat sebagai Pemantau Independen untuk SVLK.

Tujuan Diskusi Tujuan dari Diskusi Kelompok Terarah ini adalah sebagai berikut:

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

65

Sosialisasi Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan P.02/VI-BPPHH/2010 yang lebih terfokus pada Pemantau Independen (Lampiran 4) dan Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dalam SVLK (Lampiran 5).

Merumuskan prasyarat minimum criteria & indicator suatu LSM atau Masyarakat Madani untuk menjadi Pemantau Independen.

Merumuskan mekanisme pelaksanaan pemantauan independen termasuk diantaranya konsistensi dalam independensi pemantauan dan system pendanaan untuk pemantauan.

Hasil Diskusi Pertemuan dimulai dengan paparan singkat mengenai Proyek ITTO terkait SVLK dari Project Coordinator ITTO, Ibu Lasmini Adi. Tata kelola dan mekanisme kelembagaan dalam SVLK dipaparkan oleh Bapak Jansen T., dari Kementerian Kehutanan. Presentasi utama mengenai Pemantau Independen disampaikan oleh Bapak Stepi Hakim, selaku konsultan ITTO. Isu-isu selama diskusi Isu-isu yang dikemukakan hampir sama apa yang telah didiskusikan di Semarang, beberapa isu selama pertemuan di Surabaya adalah sebagai berikut: 1. Latar Belakang sebagai Pemantau Independen Hal pertama yang dipertanyakan dalam diskusi adalah tentang latar belakang sebagai Pemantau Independen. Apakah Pemantau Independen harus memiliki latar belakang Kehutanan dan atau Pertanian? Berdasarkan dari paparan konsultan, pemantau independen tidak harus memiliki latar belakang kehutanan atau Pertanian. Yang lebih penting bahwa Pemantau mengerti dan mengetahui isu-isu kehutanan dan permasalahan kehutanan terutama menyangkut proses sertifikasi dan verifikasi legalitas kayu. 2. Lembaga yang eligible menjadi Pemantau Independen Para peserta diskusi mempertanyakan siapa dan lembaga apa saja yang boleh menjadi Pemantau Independen. Eligilitas sebagai pemantau independen telah dipaparkan konsultan berdasarkan P.02/VI-BPPHH/2010. Namun, mekanisme pemilihan lembaga atau perorangan untuk menjadi pemantau independen belum dipaparkan secara rinci pada peraturan Dirjen BUK tersebut. Siapa atau lembaga apa saja yang memenuhi persyaratan sebagai Pemantau Independen? Berdasrakan P.38/2009 and P.02/2010, Pemantau Independen dapat berasal dari:

- Lembaga atau Organisasi Non Pemerintah (LSM) - Masyarakat Mandani, termasuk di dalamnya adalah Pengamat Kehutanan ,

masyarakat setempat yang hidup dan tinggal di sekitar dimana hutan tersebut beroperasi, dan masyarakat pemerhati di bidang kehutanan.

Pada saat konsultan memberikan gambaran singkat terhadap hasil diskusi di Semarang mengenai usulan Ornop untuk membuat “code of conduct” untuk menjadi pemantau independen, nampaknya para peserta di Surabaya menyambut baik usulan tersebut. Para ornop di Jatim berharap ada pertemuan lanjutan dalam kaitannya untuk membicarakan dan mendiskusikan lebih lanjut “code of conduct” untuk pemantau independen Jawa Timur.

3. Proses penyampaian keberatan setelah 20 hari kalender

Para peserta mempertanyakan apa yang akan terjadi apabila keberatan disampaikan setelah 20 hari kalender sejak sertifikat diumumkan. Konsultan menjelaskan bahwa Pemantau masih memiliki kesempatan dalam pengajuan keberatan setelah 20 hari kalender sertifikat diumumkan. Pengajuan keberatan setelah 20 hari itu harus diikutsertakan dengan adanya temuan baru yang bisa

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

66

mempengaruhi keputusan sertifikat yang telah diberikan. Apabila temuan tersebut diterima, maka audit khusus terhadap unit managemen bersangkutan harus dilakukan. 4. KAN Apa itu KAN? Ini menjadi pertanyaan bagi para peserta mengenai status KAN dalam system SVLK. Pak Jansen dari Kementerian Kehutanan menjelaskan bahwa KAN adalah Komisi Akreditasi Nasional yang telah memiliki ISO 17011 dimana lembaga bersangkutan telah lulus Standar Internasional sebagai lembaga Akreditasi. Sampai saat ini KAN telah meluluskan 5 lembaga sertifikasi untuk verifikasi legalitas kayu diantaranya adalah BRIK, Sucofindo, TUV International Indonesia, Mutu Hijau, dan Mutu Alam Lestari. Sistem akreditasi KAN diawasi oleh Badan Akreditasi International melalui Peer Review yang dilakukan pada periode tertentu.

5.Pembiayaan untuk kegiatan Pemantauan Beberapa peserta mempertanyakan mengenai efektifitas pemantauan dalam artian pembiayaan mobilisasi pemantauan. Pemantauan ini bersifat independen, dengan arti bahwa tidak adanya keberpihakan dari pihak manapun dalam kegiatan pemantauan proses sertifikasi. Dengan demikian, pemantau menggunakan dana operasional sendiri dalam melakukan kegiatan pemantauan. Apabila operasional kegiatan pemantauan difasilitasi oleh Pemerintah, maka kegiatan pemantauan tersebut akan menjadi tidak independen (cenderung berpihak kepada Pemerintah). Usulan untuk memperoleh dana operasional pemantauan dari lembaga donor menjadi wacana bagi para ornop-ornop Jawa Timur. 6. Pembekalan terhadap Lembaga Pemantau Para peserta Ornop mempertanyakan terhadap peranan pemerintah dalam memberikan peningkatan kapasitas bagi para pemantau independen di Jawa Timur. Diharapkan adanya pelatihan terhadap para Ornop tersebut terutama pada teknik pemantauan, pelaporan, penyampaian keberatan, dan sebagainya. Ibu Lasmini selaku project coordinator untuk ITTO menjelaskan bahwa dalam project ini ada kesempatan yang diberikan kepada Ornop, PNS, dan para pengguna SVLK (petani hutan dan industry) untuk memperoleh peningkatan kapasitas melalui pelatihan. “Code of conduct” yang telah tersusun akan diuji-cobakan oleh para pemantau di lapangan. 7. Instrumen Pemantauan Para peserta mempertanyakan obyek pemantauan dan instrumen apa yang dipakai dalam kegiatan pemantauan. Konsultan memaparkan bahwa Pemantau Independen dalam melakukan kegiatan pemantauan tidak hanya memantau proses sertifikasi dan verifikasi saja, tetapi juga memantau proses akreditasi serta proses pengajuan keberatan. Sedangkan Instrumen yang dapat dipakai dalam pemantauan adalah verifier-verifier yang terdapat pada Perdirjen BUK P.02/VI-BPPHH/2010. 8. Motivasi terhadap Pemantauan Pada akhir pertemuan, para peserta meminta kepada konsultan untuk melakukan diskusi tersendiri dengan para Ornop setelah acara selesai. Konsultasi dengan para Ornop ini lebih mempertanyakan tentang latar belakang terbitnya SVLK. Konsultan memberikan penjelasan singkat terhadap latar belakang terbitnya Permenhut P.38/Menhut-II/2009. Para peserta Ornop mempertanyakan tentang efektivitas pemantauan apabila pembiayaan pemantauan dibebankan kepada lembaga sendiri. Akhirnya disepakati agar dalam meningkatkan efektivitas pemantauan, lembaga yang melakukan pemantauan proses sertifikasi adalah lembaga yang mempunyai basis kegiatan di daerah bersangkutan. Disepakati bahwa pembiayaan pemantauan yang berasal dari Pemerintah akan menurunkan kredibilitas independensi dari lembaga pemantauan. Keberpihakan pada pihak tertentu bisa terjadi apabila pembiayaan tidak dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab. 9. Peran para LSM (Pendampingan versus Pemantauan)

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

67

Telah banyak diketahui bahwa sebagian besar LSM lingkungan di Jawa Timur melakukan penguatan atau pendampingan masyarakat, khususnya kelompok tani hutan. Beberapa LSM seperti Paramitr dan Persepsi Jawa Timur adalah lembaga-lembaga yang melakukan pendampingan pada masyarakat tani hutan dalam rangka untuk memperoleh sertifikasi hutan lestari. Sampai saat ini sudah terdapat 5 unit hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikasi PHBML denga skema LEI. Di lain pihak, untuk menjadi Pemantau Independen SVLK, maka lembaga atau organisasi harus tidak memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan LP&VI dan atau dengan pemegang ijin atau pemilik hutan. Dalam hal ini, LSM yang melakukan pendampingan sertifikasi hutan terhadap masyarakat pemilik hutan seharusnya tidak boleh menjadi pemantau independen. Peran LSM sebagai pendamping dan sekaligus sebagai pemantau untuk proses SVLK menjadi perdebatan selama diskusi. Sama seperti yang telah didiskusikan di Semarang, maka para Ornop Jawa Timur akhirnya menyutujui bahwa LSM yang sedang atau telah melakukan pendampingan di Desa A, maka LSM bersangkutan tidak diperbolehkan untuk melakukan pemantauan pada Desa tersebut (Desa A). Namun, LSM tersebut boleh melakukan pemantauan di Desa lainnya (B, C, D, dsb) yang bukan menjadi dampingannya. Namun, para Ornop Jawa Timur mengusulkan agar permasalahan ini akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Kesimpulan Diskusi Telah disepakati bahwa akan dilaksanakannya Pertemuan Lanjutan, dimana bahan diskusinya adalah:

“Code of conduct” dari LSM, pemerhati kehutanan, paguyuban, serta perkumpulan atau perserikatan lainnya untuk menjadi Pemantau Independen.

Memformulasikan keperluan pelatihan bagi LSM dalam rangka Pemantauan SLVK

Para peserta berharap bahwa pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan di Surabaya pada bulan Desember 2010 dengan jumlah peserta yang diharapkan lebih banyak dari pertemuan ini.

Konsultan diharapkan mengirimkan kisi-kisi bahan pertemuan sebelum pertemuan dilaksanakan.

Para Ornop akan mengirimkan profile lembaga mereka kepada konsultan ITTO sebelum pertengahan bulan Desember 2010.

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

68

Lampiran 5. Catatan Rapat di Bandung – 1 December 2010

Minutes of Meeting 1 Desember 2010 Tempat: Hotel Lingga Bandung – Jawa Barat Peserta: 1. Jansen T., Kementerian Kehutanan

2. Avo Juhartono, AKAR Kuningan

3. Cecep Saefullah, Konsultan ITTO

4. Beni Sarbini, KANOPI Kuningan

5. Beben TC, Dishut Provinsi Jawa Barat

6. Yeyep, Dishut Provinsi Jawa Barat

7. Jozsef Miscki, Konsultan ITTO

8. Bob Purba, Telapak

9. Nana Suherna, BP2HP DKI Jakarta

10. Haris A., BP2HP DKI Jakarta

11. Gladi Hardiyanto, LEI

12. Dadan Kurnia, GRES (Institute for Social and Environment Justice)

13. Isabella, ITTO

14. Ditha Astriani, ITTO

15. Lasmini, Project Coordinator ITTO

16. Stepi Hakim, Consultant ITTO Latar Belakang Bandung Jawa Barat merupakan tempat ke-3 dari Pembekalan dan diskusi Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan para organisasi non pemerintah (ornop) lingkup kegiatan di Jawa Barat yang difasilitasi oleh ITTO. Pada September 2009, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan Menteri ini kemudian diikuti dengan Keputusan Dirjen Bina Usaha Kehutanan tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.6/VI-Set/2009) dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (P.02/VI-BPPHH/2010). Ketiga peraturan tersebut merupakan dasar hukum terhadap pelaksanaan system jaminan legalitas kayu Indonesia di lapangan atau yang lebih dikenal sebagai SVLK (Standar Verifikasi Legalitas Kayu). Berdasarkan Pasal 14 (Ayat 1) dari P.38/Menhut/II/2009, disebutkan bahwa lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan. Dalam Ayat 2, kemudian disebutkan bahwa dalam hal LSM atau masyarakat madani bidang kehutanan keberatan terhadap hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberatan dimaksud diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja kepada LP&VI untuk mendapat penyelesaian. Apabila keberatan tersebut tidak dapat diselesaikan , maka LSM dapat melaporkan hal tersebut kepada Komisi Akreditasi Nasional (KAN). Pengertian Pemantau Independen dalam P.02/VI-BPPHH/2010, adalah sebagai berikut:

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

69

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen

Pemantau independen dari LSM atau masyarakat madani adalah LSM pemerhati kehutanan berbadan hukum Indonesia, masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi, dan warga negara Indonesia lainnya yang memiliki kepedulian di bidang kehutanan.

Lembaga (termasuk personil lembaga) atau individu pemantau independen tidak ada kaitan baik langsung maupun tidak langsung ke atau dengan LP&VI dan pemegang izin.

Pemantau Independen (PI) menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan untuk penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.

Pemantau Independen mencermati proses dan hasil penilaian LP&VI, proses pengambilan keputusan serta keputusan LP&VI dalam penerbitan Sertifikat PHPL/LK. Pemantau Independen dapat menggunakan dan mengembangkan metode pemantauan sendiri yang dapat menghasilkan hasil pemantauan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan kegiatan, Pemantau Independen dapat mengakses informasi/dokumen publik yang dibutuhkan dan dapat mengajukan permohonan untuk informasi/dokumen lainnya yang dibutuhkan secara tertulis kepada pemegang informasi. Pemantau Independen juga memantau perkembangan penanganan laporan keberatan baik oleh LP&VI maupun KAN. Laporan pemantauan dari Pemantau Independen merupakan laporan yang berisi keberatan terhadap proses dan/atau hasil penilaian LP&VI atas pemegang izin, dan dilengkapi dengan identitas pelapor serta bahan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Materi keberatan merupakan hasil pemantauan kegiatan 1 (satu) tahun ke belakang untuk verifikasi LK atau 3 (tiga) tahun ke belakang untuk Penilaian Kinerja PHPL atau sesuai dengan cakupan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI. Penyampaian laporan pemantauan disampaikan kepada LP&VI selambatlambatnya 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian. Apabila LP&VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, maka laporan pemantauan dapat disampaikan kepada KAN. Sesudah masa waktu 20 (dua puluh) hari kalender sejak diumumkannya hasil penilaian (sertifikat), temuan baru dapat dilaporkan sebagai hasil pemantauan baru dari Pemantau Independen kepada Departemen Kehutanan dan LP&VI. Pada bulan September 2010, sektiar 29 LSM yang berasal dari berbagai daerah membentuk suatu jaringan yang disebut Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Bogor. Sampai sekarang, walaupun sejumlah industri kayu telah memperoleh sertifikasi SVLK yang diterbitkan oleh LP&VI, namun belum ada keberatan yang muncul dari pemantau independen terhadap proses sertifikasi bersangkutan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena prosedur teknis lapangan terhadap pemantauan sertifikasi SVLK belum tersedia. Dalam kenyataannya, ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang mempunyai peran sebagai pendamping bagi masyarakat pemilik hutan rakyat dalam rangka sertifikasi hutan lestari. Peran LSM tersebut sebagai pendamping sedikit berbeda dengan sebagai pengawas proses sertifikasi hutan. Oleh sebab itu perlu adanya identifikasi peran dan tanggung jawab masyarakat mandani/LSM dalam pengawasan pelaksanaan SVLK, termasuk petunjuk pelaksana, mekanisme pelaksanaan, dan prosedur pengawasan. Konsultasi public dan diskusi kelompok diperlukan untuk menentukan criteria dan idikator bagi organisasi atau lembaga yang memenuhi syarat sebagai Pemantau Independen untuk SVLK. Tujuan Diskusi Tujuan dari Diskusi Kelompok Terarah ini adalah sebagai berikut:

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

70

Sosialisasi Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan P.02/VI-BPPHH/2010 yang lebih terfokus pada Pemantau Independen (Lampiran 4) dan Pedoman Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dalam SVLK (Lampiran 5).

Merumuskan prasyarat minimum criteria & indicator suatu LSM atau Masyarakat Madani untuk menjadi Pemantau Independen.

Merumuskan mekanisme pelaksanaan pemantauan independen termasuk diantaranya konsistensi dalam independensi pemantauan dan system pendanaan untuk pemantauan.

Hasil Diskusi Sedikit berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan para Ornop Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan pada bulan November lalu, pada pertemuan kali ini di Jawa Barat Ornop yang hadir tidak begitu banyak. Dari 20 lembaga yang diundang dalam pertemuan kali ini, hanya 5 lembaga yang hadir yaitu Telapak, Lembaga Ekolabel Indonesia, AKAR Kuningan, KANOPI Kuningan, dan GRES dari Garut. Pertemuan dimulai dengan paparan singkat mengenai Proyek ITTO terkait SVLK dari Project Coordinator ITTO, Ibu Lasmini Adi. Tata kelola dan mekanisme kelembagaan dalam SVLK dipaparkan oleh Bapak Jansen T., dari Kementerian Kehutanan. Presentasi utama mengenai Pemantau Independen serta penjelasan singkat tentang peran Pemantau dalam SVLK disampaikan oleh Bapak Stepi Hakim, selaku konsultan ITTO. Isu-isu selama diskusi Isu-isu yang dikemukakan hampir sama apa yang telah didiskusikan di Semarang dan Surabaya, beberapa isu selama pertemuan di Bandung adalah sebagai berikut: 1. Aksesbilitas infomasi dalam Pemantauan

Peserta mempertanyakan sampai sejauh mana para Pemantau boleh memperoleh informasi terkait proses sertifikasi dimana ada klausul dalam aturan sertifikasi bahwa auditor tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan informasi pihak yang di audit kepada pihak ketiga. Konsultan menegaskan bahwa pada dasarnya pemantau memperoleh akses yang kurang lebih sama dengan informasi yang diperoleh oleh auditor. Hal ini disebabkan karena peran pemantau adalah tidak hanya memantau proses sertifikasi yang sedang berlangsung tetapi juga memantau proses akreditasi serta proses pengajuan keberatan. Hasil penilaian yang dilakukan oleh Auditor sepatutnya dapat dipantau oleh Pemantau sehingga proses sertifikasi lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsultan menambahkan dokumen yang telah disetujui dan ditandatangani oleh pejabat public, maka dokumen tersebut dapat diakses oleh public. Dalam aturan ISO Guide 65 disebutkan sebagai berikut: “4.10.2 Kecuali disyaratkan dalam Pedoman ini atau oleh peraturan perundang-undangan, informasi yang diperoleh selama kegiatan sertifikasi untuk produk atau pemasok tertentu tidak boleh dipaparkan kepada pihak ketiga tanpa izin tertulis dari pemasok tersebut. Jika perundang-undangan mensyaratkan informasi harus dipaparkan kepada pihak ketiga, maka pemasok harus diberitahu tentang informasi yang diberikan, selama diizinkan oleh perundang-undangan yang berlaku” Berarti, dari paparan tersebut bahwa sebenarnya Pemantau berhak meminta informasi terkait kegiatan sertifikasi kepada pihak auditor karena informasi yang bersifat public dapat diakses oleh pihak umum sesuai dengan peraturan perundangan berlaku (mislanya UU Informasi). Pak Jansen dari Kementerian Kehutanan menambahkan bahwa walaupun belum ada regulasi terhadap penjelasan lebih rinci cakupan informasi yang dapat diakses untuk public, pemantau independen mempunya akses yang sama halnya seperti pihak auditor. 2. Siapa Pemantau Independen? Apa perlu diformalkan? Para peserta diskusi mempertanyakan siapa dan lembaga apa saja yang boleh menjadi Pemantau Independen. Eligilitas sebagai pemantau independen telah dipaparkan konsultan berdasarkan

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

71

P.02/VI-BPPHH/2010. Namun, mekanisme pemilihan lembaga atau perorangan untuk menjadi pemantau independen belum dipaparkan secara rinci pada peraturan Dirjen BUK tersebut. Siapa atau lembaga apa saja yang memenuhi persyaratan sebagai Pemantau Independen? Berdasrakan P.38/2009 and P.02/2010, Pemantau Independen dapat berasal dari:

- Lembaga atau Organisasi Non Pemerintah (LSM) - Masyarakat Mandani, termasuk di dalamnya adalah Pengamat Kehutanan ,

masyarakat setempat yang hidup dan tinggal di sekitar dimana hutan tersebut beroperasi, dan masyarakat pemerhati di bidang kehutanan.

Perlukah pemantau independen itu diformalkan? Peserta berpendapat bahwa pemantau perlu diformalkan tapi tidak berarti bahwa formalitas tersebut mengartikan pemantau harus terdaftar pada lembaga pemerintahan tertentu. Usulan dari peserta adalah mekanisme pemantau akan di atur dalam “code of conduct” yang akan disusun oleh para NGOs and CSOs.

3. Obyek Pemantauan Para peserta mempertanyakan apa yang menjadi obyek pemantauan. Seperti yang telah dijelaskan pada paparan sebelumnya, pemantau independen tidak hanya memantau proses sertifikasi PHAPL dan Verifikasi Legalitas Kayu, tetapi juga proses akreditasi dan proses pengajuan keberatan. Dalam pemantauan proses sertifikasi dan verifikasi, maka pemantauan dimulai semenjak 7 hari sebelum kegiatan audit dilakukan atau pengumuman pelaksanaan auditing diumumkan oleh website kementerian kehutanan sampai dengan hasil sertifikasi diumumkan. Obyek pemantauan adalah hal-hal yang tercantum dalam penilaian verifier pada P.02/VI-BPPHH/2010. Verifier-verifier dalam peraturan Dirjen tersebut dapat dipakai sebagai tools dalam kegiatan pemantauan. 4. Seberapa besar kepercayaan bahwa laporan Pemantau Independen di follow up oleh pihak bersangkutan? Apabila tidak difollow up, apa sanksi bagi lembaga bersangkutan? Dalam peraturan perundangaan (P.38/Menhut-II/2009) disebutkan bahwa laporan keberatan dari Pemantau Independen diberikan kepada pihak auditor (LP&VI) dalam kurun waktu 20 hari setelah sertifikat diluarkan. Apabila laporan tersebut tidak digubris, maka Pemantau dapat meneruskan laporan tersebut kepada KAN. Pemantau juga dapat minta klarifikasi kepada KAN terhadap perkembangan laporan mereka yang tidak digubris oleh LP&VI bersangkutan. Jika terbukti bahwa LP&VI telah melakukan sesuati di luar tanggung jawabnya sebagai lembaga auditor, maka KAN berhak mencabut akreditasi lembaga bersangkutan sebagai LP&VI. Ini merupakan salah satu bentuk sanksi yang dapat diberikan oleh KAN apabila LP&VI tidak mampu mempertahankan kredibilitas mereka sebagai lembaga auditor untuk SVLK. 5. Pembiayaan untuk kegiatan Pemantauan Hal yang sama juga ditanyakan oleh para peserta dari Jawa Barat yaitu pendanaan untuk efektifitas kegiatan Pemantauan. Pemantauan ini bersifat independen, dengan arti bahwa tidak adanya keberpihakan dari pihak manapun dalam kegiatan pemantauan proses sertifikasi. Dengan demikian, pemantau menggunakan dana operasional sendiri dalam melakukan kegiatan pemantauan. Apabila operasional kegiatan pemantauan difasilitasi oleh Pemerintah, maka kegiatan pemantauan tersebut akan menjadi tidak independen (cenderung berpihak kepada Pemerintah). 6. Apakah Lembaga Pemantau juga sebagai Lembaga Pengajuan Keberatan? Ya. Dalam pengajuan keberatan ada dua pihak yang mempunyai hak untuk itu, yaitu pihak yang diaudit dan pihak yang melakukan pemantauan. Penyampaian Keberatan dari Pihak yang diaudit (Auditee) Pihak ini mempunyai hak untuk mengajukan keberatan kepada auditor apabila hasil penilaian (sebelum sertifikat dikeluarkan) tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh auditee.

Penyampaian Keberatan dari Pihak Pemantau Indepeden Pihak ini mempunyai kesempatan untuk memantau proses sertifikasi sejak 7 hari sebelum audit dilaksanakan. Penyampaian keberatan

Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia ITTO Project TFL-PD 010/09 REV. 1 (M)

72

kepada lembaga auditor (LP&VI) dalam kurun waktu 20 hari setelah sertifikat SVLK dikeluarkan. Laporan keberatan setelah 20 hari itu juga bisa dilakukan oleh Pemantau apabila ada temuan baru yang mempengaruhi proses sertifikasi. 7. Apakah Pemantauan Independen bagian dari pengembang standar? Jika iya, maka pendanaan kegiatan pemantauan diperoleh oleh inisiator pengembang standar (pemerintah)? Dalam Permenhut P.38/Menhut-II/2009, Pemantau Independen merupakan salah satu bagian dari system sertifikasi dan verifikasi legalitas kayu. Hasil dari pantauan para Pemantau independen dapat dijadikan masukan untuk perbaikan system. Bagaimana dengan pendanaan kegiatan pemantauan yand dibiayai oleh Pemerintah? Disepakati bahwa pembiayaan pemantauan yang berasal dari Pemerintah akan menurunkan kredibilitas independensi dari lembaga pemantauan. Tetapi kemudian pertanyaan yang muncul adalah apakah lembaga-lembaga pemantau sekarang mempunyai cukup pembiayaan untuk pemantauan? Diharapkan selain dari pembiayaan sendiri (self-finance), Pemantau independen dapat mencari sumber pendanaan dari para negara donor dengan tetap memperhatikan indepedensi dalam penyampaian keberatan (lihat no 5 di atas). 8. Peran para LSM (Pendampingan versus Pemantauan) Pertemuan di Bandung tidak banyak membahas terhadap perbedaan peran para LSM apakah sebagai Pendamping atau sebagai Pemantau. Namun, isu ini tetap menjadi catatan peserta diskusi agar bisa dibawa dan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya.

Kesimpulan Diskusi

Usulan dari Pak Jansen untuk mengadakan pertemuan lanjutan untuk membahas lebih rinci terhadap “code of conduct” disepakati oleh para peserta. Pertemuan selanjutnya akan diumumkan oleh panitia kepada peserta secepatnya. Diharapkan pada pertemuan nanti agar jumlah peserta dari kalangan LSM lebih banyak lagi (LSM yang hadir pada kali ini hanya 5 organisasi dari Kuningan, Garut, dan Bogor).