laporan isi surakarta (melsya)

35
LAPORAN APRESIASI laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Apresiasi Musik Disusun oleh : Melsya Firtikasari (0704588) JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Upload: mecha-cutedevil

Post on 19-Jun-2015

774 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

LAPORAN APRESIASI

laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah Apresiasi Musik

Disusun oleh :

Melsya Firtikasari (0704588)

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2010

Page 2: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya

saya dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Apresiasi Musik.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa pelaksanaan tugas ini tidak akan terwujud

manakala tidak ada pertolongan dari semua pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang senantiasa telah membantu saya dalam

menyelesaikan laporan ini. Semoga Allah memberikan pahala yang belipat ganda atas

amal kebaikan mereka.

Saya akui bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, atas dasar itu saya

memohon untuk saran dan kritikan yang sifatnya membangun. Mudah-mudahan

laporan ini berguna khususnya bagi saya dan umumnya bagi masyarakat.

penulis

Page 3: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Tujuan

1.3. Manfaat

BAB II Institut Seni Indonesia

2.1. Sejarah Institut Seni Indonesia Surakarta

2.2. Visi dan Misi Institut Seni Indonesia Surakarta

2.3. Prestasi ISI Surakarta

2.4. Fasilitas Pendukung Proses Belajar dan Mengajar di ISI Surakarta

2.5. Sistem Pendidikan di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

BAB III Uji Kompetensi Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan

Karawitan

3.1. Waktu dan Tempat

3.2. Pemateri

3.3. Materi

3.4. Tanya Jawab Seputar Materi yang Disajikan

BAB IV Penutup

4.1. Kesimpulan

Page 4: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai calon pendidik dan sebagai mahasiswa yang sedang menekuni bidang

musik, tentunya kita diharuskan untuk mempelajari, mendalami dan memperkaya

wawasan pengetahuan mengenai seni musik, khususnya seni tradisi daerah kita

sendiri maupun seni tradisi dari daerah luar. Salah satu caranya adalah dengan

mengadakan apresiasi seni. Dan dalam hal ini adalah kunjungan ke Institut Seni

Indonesia ( ISI ) Surakarta. Disana, kita bisa melihat langsung proses pembelajaran

yang mereka lalui dan bisa melihat pertunjukkan komposisi, aransemen dan gending-

gending yang dibawakan oleh beberapa mahasiswa dibidang seni Karawitan sebagai

Tugas akhir mahasiswa S1.

1.2 TUJUAN

Tujuan dibuatnya laporan ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Apresiasi Bahasa dan Seni. Selain itu, laporan ini dibuat untuk membantu khususnya

para mahasiswa atau umumya bagi masyarakat yang ingin mengetahui bagaimana

tentang seni tradisi karawitan Jawa dan bagaimana proses pembelajaran yang ada di

ISI Surakarta.

Page 5: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

BAB II

Institut Seni Indonesia Surakarta

2.1 Sejarah Institut seni Indonesia Surakarta

Institut Seni Indonesia Surakarta merupakan satu dari tiga perguruan tinggi

negeri sejenis yang ada di Indonesia.

Lembaga ini telah lama berdiri walaupun statusnya sebagai Institut baru diperoleh

sejak September 2006. Cikal-bakal ISI Surakarta bermula dari Lembaga Konservatori

Surakarta, yang selanjutnya menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), dan

Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang didirikan oleh Gendhon Hoemardhani.

Penambahan bidang studi Seni Rupa dapat dilakukan setelah pada tahun 1983

lembaga ini menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Rektor yang

memimpin saat ini adalah Prof. Dr. Soetarno.

Bidang studi yang dapat diambil di ISI Surakarta pada saat ini adalah :

Fakultas Seni Pertunjukan

SeniTari: Koreografer, peneliti, penari.

Seni Karawitan : Kompetensi utama: Pengrawit, composer

Kompetensi pendukung : pelatih, kritikus.

Etnomusikologi : Kompetensi utama : Peneliti

Kompetensi pendukung : Jurnalis, produser documenter.

Seni Pedalangan : Dalang, penyusun naskah, peneliti

Kompetensi pendukung : pengrawit pedalangan, creator /

innovator pedalngan, sutradara pertunjukan wayang.

Seni Tari dan Karawitan (internasional)

Teater : masih dalam persiapan

Fakultas Seni Rupa dan Desain

Kompetensi utama: desainer interior rumah tinggal interior publik Disainer

Furnitur, konsultan interior.

Desain Komunikasi Visual : masih dalam persiapan.

Page 6: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Jurusan Televisi dan Film : Kompetensi utama : Pengarahan kamera, editor

multimedia, pengaraha acara TV, penulis naskah.

Jurusan Fotografi : Masih dala persiapan

Seni Tari dan Karawitan (internasional)

Kriya Seni

Desain

Pengkajian Seni (Pascasarjana)

Penciptaan Seni (Pascasarjana).

ISI Surakarta menjadi pemrakarsa Pentas Tari 24 Jam pada tanggal 29 April 2007

untuk memperingati Hari Tari Internasional. Dalam pagelaran ini ditampilkan

berbagai tari dari berbagai wilayah Indonesia dan juga dari sejumlah perwakilan

negara lain.

2.2 Visi dan Misi Institut Seni Indoneisia Surakarta

Institut Seni Indonesia mempunyai visi dalam 10 tahun mendatang mampu

berperan sebagai pusat unggulan kehidupan kreativitas dan keilmuan seni budaya

bagi kemaslahatan manusia.

Misi ISI Surakarta:

Membangun pendidikan, penelitian dan kekaryaan, pengabdian kepada

masyarakat di bidang seni budaya yang bermutu, bertaraf nasional dan

regional.

Mendinamisasikan kehidupan seni budaya masyarakat.

Mewujudkan tat kelola institut yang profesional dan akuntabel.

Mengembangkan pusat informasi seni budaya yang akurat dan terpercaya.

2.3 Prestasi ISI Surakarta

ISI Surakarta menjadi penanggung jawab Asian Composer League, Indonesian

Art-Summit, SEAMEO-SPAFA, ASEAN Flagship Voyager, Sonic Order, BBC

Promenade Concert, Island to Island Festival, Womad Festival (Inggris),Warana

Festival (Australia), Festival Internasional Borobudur/Prambanan, Festival

Wayang Internasional dalam rangka penetapan wayang sebagai World Heritage

Page 7: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Humanity (UNESCO), New Wafe Appex (Amerika), dan IPAM (International

Performing Art Mart).

ISI Surakarta juga menjadi penentu penetapan keris sebagai World Heritage

Humanity karena merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi di dunia

yang menyelenggarakan pendidikan bidang perkerisan.

Prestasi yang diraih oleh ISI Surakarta tidak lepas dari SDM yang mendukung

proses belajar mengajar (Dosen). Dosen yang mengajar di ISI Surakarta sebagian

besar telah berkualifikasi S-3 dan S-2, juga didukung oleh para empu dantenaga

professional. SDM ISI Surakarta sangat reputatif baik sebagai seniman, desainer,

composer, koreografer, maupun performer di tingkat nasional maupun

internasional.

2.4 Fasilitas Pendukung Proses Belajar Mengajar di ISI Surakarta

ISI Surakarta menempati tiga lahan kampus seluas 25 ha meliputi: Kampus

Kentingan, Kampus Kepatihan, dan Kampus Mojosongo. ISI Surakarta memiliki

dua Gedung Kantor Administrasi berlantai tiga, Gedung Galeri Seni dan

Multimedia berlantai tiga, 14 ruang kuliah berlantai dua dan tiga, Teater Besar

(kapasitas 500 orang), Teater Kecil (kapasitas 250 orang), Teater terbuka,

Pendapa Ageng, Perpustakaan pusat, Perpustakaan Jurusan-jurusan dan

Perpustakaan Pascasarjana, yang mana masing-masing perpustakaan tersebut

menyediakan referensi tertulis dalam bentuk buku, jurnal/majalah kaset audio-

visual, dan CD/VCD/DVD/PH.

Proses belajar mengajar juga didukung Laboratorium (Lab) Bahasa, Lab

Komputer, Lab Fotografi, Lab Penyiaran Televisi (TV Broadcast), Studio TV

(Indoor dan Outdoor), Studio Editing Multimedia, Studio Kriya Kayu, Studio

Kriya Kulit dan Logam, Studio Desain Interior, Studio Lukis,

Studio Pedalangan, Studio Karawitan, Studio Tari, dan beberapa studio lain lengkap dengan 14 set gamelan dan koleksi pakaian tari nasional serta property yang lengkap.

2.5 Sistem Pendidikan di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

Jurusan Karawitan merupakan jurusan tertua yang lahir sekitar tahun

1950an. Tujuan dari ISI Surakarta yang pada saat itu bernama STSI Nusantara

ialah memayungi kesenian nusantara, maka dari itu tidak hanya kesenian

Page 8: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

karawitan Jawa gaya surakarta saja yang dipelajari tetapi Seni Sunda, Bali,

Makasar pun dipelajari sebagai mata kuliah minor dan gaya Surakarta sebagai

mata kuliah mayor. Setiap mahasiswa jurusan Karawitan wajib mempelajari

“gendher”, “kendhang”, “rebab”, dan “vokal sinden”, yang disebut dengan

“Tabuh Sendiri” (TS). TS memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam menabuh.

Dari keempat TS, mahasiswa wajib menguasai dua jenis. Bila sudah menguasai

TS maka kemungkinan besar dapat menabuh waditra pendukung lain dalam

“Tabuh Bersama” (TB). Keempat TS “miji rijikan” (pilihan keahlian) merupakan

jembatan menuju tugas akhir (TA) dilihat dari kemampuan yang paling menonjol

(paling dikuasai).

Para mahasiswa bisa memilih tiga pilihan untuk TA yaitu:

1. Skripsi : menganalisis dan menjelaskan materi.

2. Komposisi : menciptakan lagu baru sesuai konsep materi.

3. Pengrawit : penyajian gending Surakarta berdasarkan materi yang dipilih

Sebelum menuju TA, para mahasiswa melakukan seleksi tentang TS. Hasil dari

penyeleksian itu, manakah yang paling dikuasai dari mahasiswa yang akan

mengikuti TA. Setelah diseleksi barulah dilanjutkan dengan latihan wajib bagi

para pendukung penyajian TA tersebut.

Page 9: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

BAB III

Uji Kompetensi Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan

Karawitan

3.1. Waktu dan Tempat

Waktu : 11 November 2009

Pukul : 19.30-22.30 WIB

Tempat : gedung Teater Besar Surakarta

3.2. Pemateri

Ada beberapa penyaji yang menempuh dalam Tugas Akhir S1 di ISI

Surakarta diantaranya:

minat komposer

1. Dwi Wahyudi    (angkatan 2004)

minat pengrawit

1. Sigit Setiawan   (angkatan 2005)

2. Sidik Sudaryoko   (angkatan2005)

3. Nur Handayani (angkatan2003)

3.3. Materi Pengrawit

Latar belakang gendhing meliputi ; informasi tentang waktu penciptaan

gendhing, fungsi gendhing, jenis gendhing, dan sajian gendhing pada umumnya.

Gendhing dalam karawitan Jawa gaya Surakarta merupakan istilah yang digunakan

untuk menyebut komposisi gamelan, atau sering juga digunakan untuk menyebut

komposisi karawitan dengan struktur kethuk 2 kerep sampai kethuk 4 arang,

sedangkan gendhing-gendhing dengan bentuk lebih kecil sering kali disebut sesuai

dengan bentuknya. Contohya, ladrang  Wilujeng, ketawang Puspawarna, tidak

Page 10: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

menyebut gendhing ladrang  Wilujeng. Gendhing dapat juga dartikan suara yang

dihasilkan dari gamelan jawa.

Sifat dari ghending itu sendiri adalah bentuk musik yang berkesinambungan

dan merupakan siklus yang terus berputar, dan itu terdapat di Gendhing dalam

Karawitan Jawa Gaya Surakarta. Para etnomusikolog Barat dan lokal mencoba

meneliti dan mengkaji tentang karawitan sebagai karya ilmiahnya. Dari beberapa hasil

kajian tersebut salah satu kajian ilmiah dalam karawitan adalah pemetaan bentuk-

bentuk dalam karawitan Jawa.

Ada beberapa bentuk dalam karawitan Jawa antara lain:

1.   Lancaran

2.   Sampak

3.   Srepegan

4.   Ayak-ayakan

5.   Kemuda

6.   Ketawang

7.   Ladrang

8.   Mérong, terdiri dari :

a)   Kethuk 2 ( loro atau kalih) kerep

b)   Kethuk 2 arang (atau awis)

c)   Kethuk 4 ( papat atau sekawan )

d)   Kethuk 4 arang

e)   Kethuk 8 (wolu) kerep, terdapat dalam repertoar gendhing pelog

9. Inggah, terdiri dari :

a)   Kethuk 2

b)   Kethuk 4

c)   Kethuk 8 

Kethuk 16 (nembelas) terdapat dalam repertoar gendhing pelog.

            Selain beberapa bentuk yang disebutkan diatas terdapat pula bentuk

lain dalam penyajian klenèngan seperti jineman, palaran, dan langgam. Gendhing

merupakan salah satu dari beribu karya budaya yang ada. Karya budaya yang lahir

dari seniman-seniman ulung pada zamannya.

Nama-nama gendhing dalam karawitan Jawa gaya Surakarta merupakan

cerminan dari karakteristik dan simbol-simbol  yang ada dalam gendhing itu sendiri.

Unsur-unsur yang terkait dengan ghending tersebut antara lain, suasana gendhing,

Page 11: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

kontek penyajian, dan kesan rasa musikal. Contohnya, Ladrang Wilujeng dalam

kebiasaan masyarakat karawitan digunakan sebagai salah satu repertoar gendhing-

gendhing upacara perkawinan adat Jawa. Gendhing ini digunakan sebagai

penghormatan jika mempelai pria datang. Secara tidak langsung nama gendhing

Wilujeng merupakan permohonan doa kepada Tuhan agar dalam upacara nanti dapat

berjalan lancer dan selamat. Tetapi tidak semua nama gendhing selalu berhubungan

dengan nama, suasana gendhing, kontek penyajian, dan kesan rasa musikal, ada pula

nama gendhing yang tidak ada hubungan sama sekali atau hanya sekedar sebagai

pembeda dengan nama-nama gendhing yang lain.

Berdasarkan waktu, rangkaian gendhing  dibagi menjadi dua macam, yaitu

rangkaian gendhing siang hari dan rangkaian gendhing malam hari. Klenèngan siang

hari biasanya disajikan pada pukul 09.00-16.00. Pukul 09.00-11.00 disajikan

gendhing pelog pathet barang dengan sisihan sléndro pathet manyura, dalam

penyajian gendhingnya belum menggunakan kendhang ciblon. Pada pukul 11.00-

14.30 disajikan gendhing yang berpathet pelog nem dengan sisihan sléndro sanga.

Dalam penyajiannya sudah menggunakan kendhang ciblon. Gendhing yang disajikan

dipilih gendhing yang mempunyai karakter senang dan meriah. Pada pukul 14.30-

16.00 disajikan gendhing yang berpathet pelog barang dan sléndro manyura.

Sedangkan klenèngan malam hari disajikan antara pukul 19.30-02.00. Pembagian

pathetnya sebagai berikut. Pukul 19.30-22.30 disajikan gendhing pelog pathet lima

dengan sisihan sléndro pathet nem. Penyajiannya belum menggunakan kendhang

ciblon. pada pukul 22.30-12.30 disajikan gendhing pelog pathet nem dengan sisihan

sléndro pathet sanga. Pukul 12.30 menyajikan gendhing-gendhing yang berpathet

pelog pathet barang dengan sisihan sléndro pathet manyura. Dalam rangkaian ini

dipilih gendhing-gendhing yang mempunyai karakter gumyak.

            Berikut akan disampaikan secara sekilas latar belakang sejarah kapan

gendhing-gendhing dalam penyajian ini diciptakan serta perkembangan garap yang

ada pada saat ini. 

A.   Gendhing Gendhing Klenèngan :

Kagok Laras, gendhing kethuk 2 kerep minggah 4 kalajengaken Playon

ladrang an laras  Pelog pathet lima .

Disebutkan dalam Wedhapradangga bahwa gendhing Kagok Laras merupakan

gendhing rebab yang diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Ada

keistimewaan dalam gendhing ini, trdapat sesuatu yang menarik dalam penyajian

Page 12: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

inggah yaitu, cengkok sindhénan, cengkok gendèran, cengkok rebaban  dan sajian

kendhang yang mengacu pada satu melodi yang hampir sama. Kagok adalah

nanggung, tanggung, diantara pasti dan tidak pasti, diantara ya dan tidak, laras dalam

kontek ini dapat diartikan sebagai tangga nada. Artinya ada dua tangga nada yang

masuk dalam gendhing ini, yaitu pelog lima dan pelog barang sehingga apabila

gendhing ini disajikan terkesan tidak ada kepastian dan keyakinan laras. Dalam

penyajiannya, gendhing ini dirangkai dengan ladrang  Playon garap bedhayan.

   Mongkog Dhélik  Gendhing kethuk 4 awis minggah

Randhamaya laras sléndro pathet nem.

Wedhapradangga menyebutkan bahwa Mongkog Dhélik berasal dari kata

Mongkog Dheli atau Randhamaya. Mongkog Dhélik atau Randhamaya, merupakan

salah satu gendhing yang diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV.

Sedangkan Randhamaya sendiri adalah inggah dari gendhing Mongkog Dhélik. Secara

etimologi, Mongkog mempunyai arti senang, karena keinginannya tercapai.

Sedangkan dalam kamus bahasa Jawa kata mongkog berarti rasa puas karena

mendapat pujian dan dhélik adalah dua suku kata yang dijadikan satu kata, gedhé dan

cilik diambil suku kata terakhir menjadi dhé-lik. Inggah dari gendhing ini adalah

Randhamaya. Randha dalam bahasa  Jawa adalah sebutan untuk menyebut seorang

perempuan yang ditinggal suaminya, entah bercerai atau mati. Kata maya dalam

bahasa Jawa berarti kuning.  Kata maya dalam kebiasaan masyarakat jawa sering

digunakan sebagai kata untuk mengungkapkan warna kulit dan kecantikan seorang

wanita, contohnya dalam kalimat ayu kuning bentrok maya-maya. Maya tersebut

mengandung pengertian kecantikan seorang wanita. Maka Randhamaya dapat

diartikan atau ditafsirkan, seorang janda yang cantik berkulit kuning bersinar.

Nama gendhing Mongkog Dhélik dan Randhamaya  apabila dikorelasikan

terdapat hubungan arti kata yang jelas, yaitu mongkog dhélik  yang bermakna senang

dengan Randhamaya berarti janda yang cantik. Dari paparan tersebut dapat

ditafsirkan pencipta lagu ini merasa senang karena sedang jatuh cinta kepada seorang

jandha yang cantik dan berkulit kuning. Penafsiran nama tersebut bila dikaitkan

dengan suasana irama gendhing Mongkog Dhélik minggah Randhamaya dari awal

hingga akhir alur lagunya seperti meloncat-loncat atau tidak tenang, mirip ketika

seseorang sedang jatuh cinta. 

Page 13: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Gendhing Lonthang dalam kebiasaan masyarakat karawitan, sering disajikan

dalam laras sléndro, hal ini dapat diamati dalam setiap kegiatan klenèngan tradisi

gaya Surakarta , seperti Pujangga laras, karawitan Mangkunegaran hingga dalam

gendhing penyajian di Jurusan karawitan. Nama Lonthangsapu sendiri diambil ketika

seorang guru karawitan bernama Kyai Mlaya mengajar karawitan kepada anak cucu

kemlayan sambil menyapu halaman.

Kata Lonthang dapat dihubungkan dengan kata lontang. Lontang dalam kamus

bahasa jawa mempunyai arti corak lorek berwarna-warni. Gendhing Lonthang bagian

inggah mempunyai garap yang kompleks. Kekomplekkan tersebut identik dengan arti

kata lontang yaitu warna-warni.

Nama Lonthang dalam karawitan jawa gaya Surakarta terdapat lebih dari satu

gendhing antaralain Lonthang, Lonthangsapu, dan Lonthang kasmaran. Buku Notasi

Mloyowidodo dijumpai beberapa jenis Lonthang yaitu, Lonthang gendhing kethuk

sekawan kerep minggah wolu laras sléndro pathet nem. Lonthang yang kedua adalah

gendhing kethuk sekawan awis minggah wolu laras pelog pathet nem. Yang ketiga

adalah Lonthang kasmaran gendhing kethuk sekawan kerep minggah wolu laras

sléndro pathet sanga.  Sedangkan penyaji  menyajikan gendhing Lonthang sléndro

nem yang dialih laraskan menjadi pelog nem, dalam Wedhapradangga disebut dengan

nama Lonthangsapu.

Ladrang  Peksikuwung dalam penyajiannya sering disajikan dalam laras

sléndro, Penyajian ladrang peksi kuwung laras pelog pathet nem dalam

irama wilet juga disebabkan karena adanya cengkok khusus dalam garap

sindhénan. Cengkok tersebut adalah cengkok gangga-gangga mina dst.

Rangkaian selanjutnya, adalah Ayak-ayak Panjang Mas.. Penyajian Ayak-ayak

Panjang Mas diawali dan diakhiri melalui penyajian ayak-ayak pelog nem. Dalam

penyajian ini, ayak-ayak sléndro nem disajikan dalam laras pelog, pada prinsipnya

garap ricikan pada umumnya tidak mengalami perubahan. Alih laras tersebut hanya

berpengaruh pada ricikan lagu seperti rebab dan vokal baik swarawati atau

wiraswara terutama dalam memilih wiletan yang sesuai dengan garap laras pelog.

Palaran adalah tembang macapat disajikan secara tunggal (solo)   disertai

dengan sajian ricikan struktural dengan pola srepegan, ricikan garap dan

penghias (selain rebab) dan senggakan oleh wiraswara dan sebaliknya.

Tembang yang digunakan adalah sekar macapat Gambuh, Dhandhangula

Panglejar dan Durma Rangsang laras pelog pathet nem. Pathetan

Page 14: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

disajikan  setelah ladrang  Peksi Kuwung serta sebagai jembatan untuk

masuk pada penyajian Ayak-ayak Panjang Mas, srepegan dan Palaran.

 

gendhing Mawur, Mawur dalam kamus jawa-Indonesia versi Purwadi

mempunyai arti berhamburan, menyebar. Arti kata mawur apabila dikaitkan dengan 

suasana musikal dalam kontek penyajian ini tidak ada hubungannya sama sekali.

Penyaji belum menemukan korelasi yang jelas antara nama dan suasana musikal

gendhing. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari garap gendhing secara keseluruhan

yang sangat tenang, mengalir sehingga tidak terkesan berhamburan yang identik

dengan kata tidak teratur. Penyaji dapat menafsir gendhing ini diciptakan tidak

berdasarkan rasa musikal tetapi tercipta karena terinspirasi dari fenoma atau kejadian

sehari-hari, misalnya melihat bunga melati yang berhamburan sehingga ada keinginan

mencipta gendhing ini. Kebiasaan para pengrawit, sering menyajikan gendhing

Mawur mrabot dirangkai dengan ladrang Gonjang-Ganjing Lik-tho. Penyajian ini

tidak menghadirkan ladrang Gonjang-Ganjing Lik-Tho sebagai rangkaian akhir tetapi

dirangkai dengan ladrang  Candra Upa. Kata Candra dalam bahasa jawa nama lain

dari bulan dan mempunyai arti lain sebagai kata perumpamaan. Upa dalam bahasa

jawa berarti sebutir nasi. Apabila dikorelasikan, kata Candra Upa lebih dekat dengan

arti candra yang berarti umpama dan upa yang mempunyai arti sebutir nasi. Menurut

hemat penulis ladrang ini tercipta sebagai sebuah penggambaran dari sebutir nasi.

Ada persamaan dengan kasus gendhing mawur, dirasa tidak ada hubungan yang jelas

antara kesan rasa musikal dengan nama ladrang Candra Upa.  Penyaji menafsirkan

ladrang ini dicipta kemungkinan terinspirasi dari sebutir nasi.

Jineman Glathik Glindhing, Kuwung-kuwung, gendhing kethuk 2 kerep

minggah 4, kalajengaken Tedhak saking ladrang an laras pelog pathet

barang.

Gendhing ini merupakan salah satu gendhing yang bersumber dari gendhing

trebang, gendhing ini disajikan dalam sajian klenèngan yang tergolong dalam

gendhing rebab dan juga disusun sebagai karawitan tari atau gendhing beksan

gambyong. Kuwung-kuwung dalam karawitan Jawa Gaya Surakarta terdapat beberapa

versi, antara lain versi klasik gaya Surakarta , dan versi Nartosabdan. Versi Surakarta

sendiri sebenarnya masih terbagi menjadi beberapa sub versi. Perbedaan tersebut

tampak pada sajian mérong, umpak, garap inggah, jalan sajiannya serta cakepan

gérongan.

Page 15: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Pada sajian mérong menggunakan gérongan dengan cakepan kinanthi dan

pada bagian inggah menggunakan gérongan Puspanjala dengan garap andhegan pada

pertengahan kenong ke tiga, garap yang tidak lumrah dalam karawitan gaya Surakarta

untuk kasus inggah kethuk sekawan kerep. Pada bagian mérong setelah satu rambahan

gérongan mérong lalu menuju sajian inggah, pada sajian mérong selanjutnya apabila

tidak menyajikan gérongan pasti seseg menuju sajian inggah. Versi ke-dua gendhing

Kuwung-kuwung gaya Surakarta adalah terdapat pada angkatan menuju inggah.

Artinya tetap menyajikan mérong secara utuh gaya klasik Surakarta hanya pada

rambahan gong ketiga disajikan gérongan kinanthi.

Rangkaian sebelumnya merupakan jineman Glathik Glindhing dan rangkaian

selanjutnya adalah ladrang Tedhaksaking. Jineman adalah, lagu vokal (lagon) dengan

menggunakan teks wangsalan dan parikan yang telah memiliki keutuhan musikal dan

tidak terikat pada bentuk gendhing tertentu, yang secara tradisi dalam sajiannya

disertai instrument gadhon. Antara lagu vokal dan instrumen merupakan satu

kesatuan yang saling berinteraksi dan merajut dalam satu kesatuan musikal.

Glathik Glindhing, jineman ini dapat disajikan disemua pathet kecuali pathet

lima .Pada sajian klenèngan Jineman Glathik Glindhing sering disajikan dalam laras

sléndro pathet sanga, hal ini dimungkinkan karena perpindahan pathet dari sléndro

nem ke pathet sanga sebelum menyajikan gendhing-gendhing (kethuk kaléh kerep

keatas) selalu menyajikan gendhing-gendhing ringan seperti langgam dan jineman.

Salah satu jineman  yang sering disajikan adalah jineman glathik glindhing. Selain

vokal sebagai tekanan utama dalam penyajian jineman ini, teks merupakan hal yang

tidak kalah penting. Dalam manuskrip Marta Pangrawit, jineman glathik glindhing

ditulis dengan menggunakan teks wangsalan Kawis pita wus begjane…..dst. Selain

teks yang menggunakan wangsalan, juga ada teks dengan tidak menggunakan teks

wangsalan atau disebut sendhon seperti 1) singa tirta mangsa janma…dst. 2) ginupita

kang kukila….dst.

Sajian terakhir dari rangakain gendhing ini adalah Ladrang  Tedhak saking

dan ditutup dengan pathetan pelog barang jugag. Dilihat dari namanya gendhing ini

dapat ditafsirkan sebagai gendhing penghormatan akan datangnya seseorang. Tedhak

dalam bahasa jawa dapat diartikan datang atau turun, dan saking adalah penunjuk kata

tempat, dari. Jadi  apabila dikorelasikan adalah datang/ turun dari. Gendhing ini

dicipta sebagai tanda penghormatan seseorang, apabila dalam konteks kraton bisa

Page 16: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Raja, Pangeran, atau bangsawan kraton yang mempunyai kedudukan dan pengaruh

pada jamannya.

Gendhing Tedhak saking merupakan salah satu gendhing yang digunakan

sebagai tanda berakhirnya pahargyan manten. Pahargyan mantu akan diakhiri dengan

turunnya kedua mempelai dari pelaminan ke bagian pintu depan pahargyan untuk

mendapat ucapan selamat dari tamu undangan.

B.   Gendhing-Gendhing Pakeliran

1.   Klenèngan Patalon, Rembun, gendhing kethuk 4 kerep minggah Éség-

Éség, kalajengaken Siyem ladrangan, Kinanthi Sandhung Ketawang trus

ayak-ayak, srepegan kaseling palaran Pangkur Paripurna, sampak, laras

sléndro pathet manyura.

 

Paket Patalon merupakan aplikasi dari pemahaman penyaji tentang gendhing-

gendhing patalon yang sering disajikan sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai.

Deskripsi dari patalon adalah sebagai sajian gendhing yang menghantarkan penonton

maupun apresiator wayang, dari suasana klenèngan menuju ke suasana wayangan.

Pembentukan suasana wayangan sudah dibangun sejak patalon dengan menggunakan

kendhang sabet (kendhang wayangan) dari awal hingga akhir sajian gendhing.

Menurut pendapat Suwito, sajian patalon adalah sajian gendhing yang belum

melibatkan wayang tetapi dengan pembentukan rasa musikal sudah seperti sajian

wayangan. Letak perbedaan sajian tersebut antara lain terletak pada penggunakan

instrumen kendhang, kecér, dan penyajian laya yang lebih seseg dibandhing laya

dalam penyajian klenèngan. Patalon pada konsep penyajiannya menggunakan

kendhang sabet. Ada juga yang mengartikan bahwa pengertian patalon adalah

gendhing yang disajikan sebagai tanda bahwa pertunjukan wayang kulit akan segera

dimulai. Berdasarkan  beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan, gendhing patalon

adalah gendhing yang dalam penyajian awal hingga akhir sudah menggunakan

kendhang sabet dan berkesan rasa musikal wayangan.

Penyajian patalon yang pada sajian inggah digarap wilet juga terdapat pada

sajian gendhing yang lain. Blacius Subono menuturkan bahwa sewaktu masih aktif

sebagai pengrawit di desa, sebelum  pertunjukan wayang kulit dimulai sering

menyajikan gendhing klenèngan tetapi dilanjutkan ke ayak-ayak talu.

Konsep sajian terakhir tersebut digunakan sebagai pijakan dalam penyajian ini.

Letak perbedaan tersebut bila diamati adalah pada perbedaan garap. Melihat

Page 17: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

kasusnya, seperti tidak adil ketika sajian patalon pada sajian gendhing masih

menggunakan garap klenèngan, karena patalon sendiri sebenarnya masuk dalam

frame garap wayangan. Untuk menjembatani kedua pemahaman diatas, konsep

klenèngan patalon mempunyai tiga alternatif garap. Alternatif tersebut antara lain

adalah sebagai berikut ; 1) garap klenèngan disajikan sampai bagian inggah

selanjutnya disajikan garap wayangan, 2) garap klenèngan disajikan hingga ladrang

selanjutnya disajikan garap wayangan, dan 3) garap klenèngan disajikan hingga

ketawang selanjutnya disajikan garap wayangan. Sebagai acuan garap pada penyajian

ini, diambil pada alternatif garap ketiga, yaitu garap klenèngan disajikan hingga

ketawang selanjutnya disajikan garap wayangan.

Ladrang  Siyem, perkembangan dari ladrang  Siyem digunakan sebagai

pendukung seni pertunjukan lain seperti Dramatari dan Wayang Kulit. Ladrang

Siyem digunakan sebagai pendukung sajian dramatari Raramendut dengan garap

gérongan yang sesuai dengan adegan yang didukung, ini dilakukan oleh Bambang

Soma Darmaka pada awal tahun 60-an.  

            Rangkaian sebagai kelanjutan dari Ladrang  Siyem adalah Kinanthi Sandhung,

ketawang laras sléndro pathet nem. Kinanthi Sandung merupakan salah satu

gendhing yang sering digunakan dalam berbagai keperluan. Selain disajikan dalam

keperluan klenèngan juga sering disajikan sebagai gendhing tari dan pewayangan.

Dalam karawitan tari dan pakeliran sering disajikan untuk mendukung suasana atau

adegan kasmaran, gandrungan. Pada keperluan ini, Kinanthi Sandhung juga digarap

gandrungan. Pertama gandrungan alus adalah penggambaran suatu tokoh tertentu

yang sedang jatuh cinta pada tokoh lainnya dan tokoh lainnya tersebut menanggapi

tokoh utama. Contoh seperti gandrungan Abimanyu-Siti Sendari. Garap karawitan

pada gandrungan ini biasanya sering menyajikan bentuk ketawang kendhang kaléh.

Gandrungan yang kedua adalah gandrungan gagahan yaitu penggambaran suatu

tokoh tertentu yang sedang jatuh cinta pada tokoh lainnya dan tokoh lainnya tersebut

tidak menanggapinya. Contoh seperti gandrungan Burisrawa, gandrungan Niwata

Kawaca, dalam wayang gedhog seperti tokoh Klana Sewandana. Tokoh-tokoh

tersebut termasuk dalam tokoh gagahan sehingga garap gandrungannya digarap

seperti rog-rog asem dengan garap balungan sabet yang mengikuti akhir kalimat lagu

atau plesetan nada berikutnya. Sebagai acuan dalam penyajian ini, menggunakan

garap penyajian Kinanthi Sandhung versi Ngripto Raras yang menyajikan gedhing

kinanthi dengan garap gandrungan. Sedangkan talu merupakan satu paket gendhing

Page 18: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

yang terdiri dari Ayak-ayakan, Srepegan, dan sampak laras sléndro pathet manyura

yang disajikan secara berurutan.

Palaran yang disajikan adalah Pangkur Paripurna. Palaran ini merupakan

palaran yang sangat popular dikalangan masyarakat karawitan. Setiap penyajian

patalon, bila menghendaki menggunakan palaran, pasti yang keluar (entah disengaja

atau tidak) berdasarkan pengalaman atau tidak, menggunakan macapat Pangkur

Paripurna. Pencarian seleh gong yang tepat juga merupakan hal yang tidak mudah

bagi pengendhang sehingga seorang pengendhang otomatis harus menguasai ragam

macapat serta mengerti seleh-seleh lagu yang harus digongkan. Pangkur Paripurna

dengan seleh gong disetiap baitnya merupakan suatu kemudahan tersendiri bagi

seorang pengendhang.

2.   Alas-alasan, Jineman Klambi lurik, Ketawang cakrawala trus ayak-ayak, 

Ladrang jangkrik ginggong, kemudarangsang, srepeg, sampak laras sléndro

pathet sanga.

Alas-alasan merupakan salah satu adegan dalam pewayangan baik siang

maupun malam hari. Dalam adegan pewayangan digambarkan seorang ksatria yang

telah mendapat pencerahan, baik dari sowan  dari pertapan atau bertapa sendiri,

diikuti panakawan dari pertapan kemudian masuk hutan bertemu dengan denawa,

yaksa, dan terjadi perang dimenangkan oleh pihak ksatriya. Perang tersebut lazim

disebut sebagai adegan perang kembang. Adegan perang kembang ini merupakan

cerminan manusia yang melawan hawa nafsunya sendiri. Adegan perang kembang ini

dapat diganti atau sebagai alternatif lain adalah pertarungan antara ksatria dengan

binatang buas atau dengan tokoh sabrangan.

Sajian gendhing alas-alasan ini dimulai dari adegan pamitan hingga berjalannya

ksatria dari pertapan. Awal sajian menyajikan jineman Klambi lurik yang dilanjutkan

Ketawang Cakrawala.  Kandungan makna teks berisi tentang kekaguman terhadap

sosok swarawati yang memakai baju lurik. Jineman Klambi lurik secara singkat bila

diamati dari teks yang digunakan merupakan sebuah sanjungan untuk seorang gadis

desa yang cantik, pintar, cerdas sebagai contoh pribadi yang baik. Dalam menciptakan

ketawang Cakrawala ini terinspirasi dari fenomena kehidupan di dunia. Kehidupan

yang dimaksud adalah keadaan alam dan kegiatan manusia di pagi hari; seorang

petani berangkat ke sawah, seorang pedagang yang berangkat ke pasar, dan

sebagainya. Contohnya, Fenomena pada suatu pagi terlihat matahari muncul terlihat

merona kemerahan dari balik gunung. Seakan memberi suatu tanda untuk memulai

Page 19: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

aktifitas masing-masing manusia. Ada yang ke sawah membawa kudhi, dengan sapi

peliharaannya untuk membajak sawah, ada yang berdagang ke pasar, ada yang

mengambil air. Demikianlah sangat beragam kegiatan manusia. Sajian berikutnya

adalah ayak-ayak, srepegan, sampak, yang disajikan menurut kebutuhan.

C.  Gendhing Tari

1.  Bedhayan Éndhol-éndhol, gendhing kethuk 2 kerep minggah 4,

kalajengaken Manis ladrang an, suwuk. Buka celuk, dhawah Kaum Dhawuk,

Ketawang laras pelog pathet barang.

Éndhol-éndhol merupakan salah satu gendhing karawitan tari Bedhaya. Tidak

dapat diketahui secara pasti kapan gendhing ini diciptakan dan siapa penciptanya,

karena terlalu lamanya jarak dari masa penciprtaannya dengan sekarang.

Rangkaian gendhing bedhayan Éndhol-éndhol, merupakan rangkaian gendhing yang

dilanjutkan ladrang  Manis dan ketawang Kaum Dawuk atau Santri Brai. Menurut

Wedhapradangga, ladrang  manis dicipta pada masa PB VIII, bersamaan dengan

diciptakannya tari Serimpi dengan gending sebagai karawitan tari adalah ladrang 

Manis. Dijelaskan pula bahwa teks (cakepan)  yang digunakan adalah dari Cerita

Mintaraga. Ketawang Kaum Dhawuk atau Santri Brai dicipta pada masa

pemerintahan Paku Buwana V dan termasuk dalam gendhing trebangan sebagai awal

dan akhir sajian pertunjukan. Gendhing Santribari(?)/ Santribrai dicipta pada masa PB

IX dan merupakan interprestasi PB IX dari ketawang Kaum Dhawuk. Suyadi,

mengatakan Gendhing Éndhol-éndhol memang dicipta sebagai karawitan tari

bedhaya. Tekanan penciptaan gendhing ini tidak pada keperluan klenèngan atau

pakeliran.

Komposisi

SINOPSIS KARYA KOMPOSISI

“CAWUH”

OLEH: DWI WAHYUDI

NIM: 04111125

 

 

 

Cawuh adalah kosakata yang dapat mewakili situasi yang seringkali dirasakan

di dalam kehidupan sehari-hari. Apabila sebuah sistem yang belum matang namun

Page 20: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

tetap dipaksakan pelaksanaanya dalam kehidupan masyarakat maka akan

menimbulkan situasi yang tidak biasa atau rancu. Jika terjadi perbedaan pendapat

antar pribadi baik dalam hal kecil maupun besar mungkin akan menimbulkan

kesalahpahaman, serta pemikiran yang saling bertolak belakang. Belum lagi

permasalahan pribadi yang menimbulkan suasana pikiran yang rumit atau ruwet, hal-

hal ini sering terjadi dan dirasakan oleh manusia, sehingga mengakibatkan berbagai

beban pemikiran yang saling bercampur aduk.

Namun, situasi yang tidak biasa atau rancu dan saling bercampur aduk tidak

selamanya mengakibatkan sesuatu yang negatif dalam kehidupan sehari-hari. Namun

itu bisa menimbulkan sesuatu yang baru, warna dan kesan baru pula, seakan akan

membentuk ritme dan melody tersendiri di dalam alam pikir manusia. Terkadang

dalam kondisi seperti ini bisa menimbulkan “rasa” yang bisa menciptakan gagasan

atau ide yang bermanfaat.

Di hubungkan dengan makna cawuh di atas, penyusun mendapatkan sebuah

ide untuk mengolah sebuah konsep yang disajikan ke dalam bentuk karya musik baru

yang bersumber dari berbagai warna suara yang saling bercampur aduk, serta irama

yang saling sahut menyahut serta tumpang tindhih (dhumpyuk) yang menggambarkan

situasi yang cawuh. Di dalam karya ini, penyusun  mencoba menghubungkan kata

cawuh yang biasanya identik dengan  situasi yang ruwet menjadi sebuah sajian musik.

3.4 Tanya Jawab Seputar Materi yang Disajikan

1. Mengapa pada karya yang dimainkan, bunyi gong selalu tidak tepat ketukan

dan tidak bersamaan dengan tabuhan waditra lain?

Jawab: hal tersebut merupakan hal yang benar menurut kacamata orang jawa.

2. Mengapa para wanita duduk bersila?

Jawab: sebab lebih efektif dan tidak cepat lelah.

3. Bagaimana persiapan yang dilakukan menuju TA?

Jawab: persiapannya yaitu;

Materi dapat pertimbangan dari jurusan.

Page 21: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Materi diambil dari awal semester.

Materi berupa bahan mentah yang masih perlu diolah dan dicari

notasinya.

Penentuan materi dilakukan dengan ujian, hal ini dilakukan melalui

proses latihan yaitu 10 kali latihan.

Dilanjutkan dengan ujian penyajian.

Keseluruhan waktu yang dibutuhkan yaitu sekitar 3 bulan.

4. Apakah sebelumnya para pemateri sering tampil?

Jawab: para pemateri sudah sering manggung sesuai denga keahlian masing-

masing, sehingga penghasilan yang didapat dari acara manggung tersebut

bisa ditambahkan untuk biaya Tugas Akhir.

5. Mengapa pengrawit hanya memainkan gaya Surakarta?

Jawab:

Dari pemateri:

Sebab sudah dikonsikan dengan perangkat gamelan jawa dan merasa

sudah punya feel, lagipula kita adalah mahasiswa IsI Surakarta, jadi terasa

lebih pantas. Tapi tidak menutup kemungkinan ada pemateri yang

memiliki latar belakang kebudayaan luar Surakarta untuk menyajikan

gendhing-gendhing yang mereka inginkan.

Dari jurusan:

Pada semester 6 saat pemilihan jalur TA ada seleksi, salah satunya yaitu

dari 44 SKS harus lulus 34 SKS. Materi karawitan Surakarta memiliki

bobot SKS yang lebih besar. Gayanya ada beberapa jenis, seperti

karawitan Sunda, Bali, banyumas dan lain-lain. Namun, gaya Surakarta

merupakan mata kuliah mayor sedang yang lain hanya sekon mayor.

Yang jelas dalam pemilihan materi TA, lebih diutamakan gaya-gaya yang

masih seputar Jawa sebab sebagai pencerminan instansi yang ada di

wilayah Jawa Tengah.

6. Apakah setiap repertoar ada maknanya? Bagaimana pemaknaannya?

Page 22: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

Jawab: Setiap gendhing ada sejarahnya dan pemateri mencoba mendekati

sejarah tersebut. Materi yang disajikan juga dilatarbelakangi oleh

filosofi budaya Surakarta.

7. Bagaimana penggarapan TA untuk pilihan komposisi?

Jawab: Materi yang digunakan merupakan materi campuran. Artinya, tidak

Slendro, Pelog maupun diatonis. Alat yang digunakan diperoleh dari

membeli di tukang rongsok. Alat-alat tersebut dipilih sesuai dengan

keinginan pemateri untuk menghasilkan bunyi yang diinginkan.

8. Mengapa ada pepatah yang mengatakan bahwa gamelan yang sukses ialah

yang biasa membuat para penontonnya tertidur?

Jawab: sebab gamelan jawa memang biasa mempengaruhi psikologi

manusia. Hal ini sedang ditindaklanjuti dengan bekerja sama dengan pihak

psikolog untuk meneliti gamelan sebagai terapi.

Page 23: Laporan Isi Surakarta (Melsya)

BAB IV

4.1. Penutup

Kesimpulan

Indonesia dikenal dengan beragam suku dan budaya. Alangkah lebih baiknya

jika kita mempelajari dan mengenal ragamnya suku dan budaya yang kita punya.

Untuk mengenal ragamnya suku dan budaya, salah satunya yaitu dengan melakukan

kunjungan ke daerah-daerah yang menjungjung tinggi adat istiadat dan kebudayaanya

atau melakukan studi banding keperguruan tinggi yang mempelajari tentang jurusan

kesenian. Kami mahasiswa dan mahasiswi yang bergelut dibidang kesenian

mengunjungi salah satu perguruan tinggi yang aada diSurakarta, Institut Seni

Indonesia Surakarta merupakan satu dari tiga perguruan tinggi negeri sejenis yang ada

di Indonesia. Lembaga ini telah lama berdiri walaupun statusnya sebagai Institut baru

diperoleh sejak September 2006. Cikal-bakal ISI Surakarta bermula dari Lembaga

Konservatori Surakarta, yang selanjutnya menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia

(ASKI), dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang didirikan oleh Gendhon

Hoemardhani. Penambahan bidang studi Seni Rupa dapat dilakukan setelah pada

tahun 1983 lembaga ini menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.

Rektor yang memimpin saat ini adalah Prof. Dr. Soetarno. Bidang studi yang dapat

diambil meliputi jurusan seni karawitan, Seni Tari, seni pedalangan, seni tari dan

karawitan (internasional), seni rupa, kriya seni, desain, komunikasi visual, pengkajian

seni (pascasarjana), penciptaan seni (pascasarjana). Pada tanggal 11 November 2009,

pukul 19-30-2230 WIB yang bertempat di gedung Teater Besar Surakarta melihat

pertunjukan karawitan dari mahasiswa yang sedang mengikuti Tugas Akhir mahasiwa

S1. Materi yang disajikan yaitu pengrawit dan komposisi. Setelah pertujukan

digelarkan, besoknya kami mengadakan acara tanya seputar materi yang disajikan

juga dari Upi pun menampilakan seni wayang golek yang didalangi oleh salah satu

mahasiswa UPI.