laporan hasil penelitian mendapat bantuan dana · pdf filea. identifikasi masalah ... jika...

23
PENDAPAT IMAM AL-SYAFI`I TENTANG HUKUMAN BAGI PELAKU PEMBUNUHAN TERHADAP KHUNTSA LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana dari DIPA UIN SGD Bandung Tahun Anggaran 2007 DRS. ATEP MASTUR NIP. 150 217 966 LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2007

Upload: nguyenxuyen

Post on 06-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

PENDAPAT IMAM AL-SYAFI`I TENTANG HUKUMAN BAGI

PELAKU PEMBUNUHAN TERHADAP KHUNTSA

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Mendapat Bantuan Dana dari DIPA UIN SGD

Bandung Tahun Anggaran 2007

DRS. ATEP MASTUR NIP. 150 217 966

LEMBAGA PENELITIAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2007

Page 2: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

2

A. Identifikasi Masalah

Imam Al-Syafi`i berijtihad pada abad ke dua hijrah. Kondisi sosial pada

waktu sangat berbeda dengan yang ada sekarang. Pada waktu itu jenis kelamin

menjadi bahan pertimbangan yang amat dominan dalam setiap aspek penetapan

hukum yang diduga berhubungan dengan jenis kelamin. Pria, wanita dan khuntsâ

disimpan pada kotak yang berbeda dan diperlakukan berbeda, termasuk dalam

masalah hukuman karena pembunuhan.

Tampaknya, dewasa ini, membedakan bobot hukuman bagi pembunuh hanya

karena pertimbangan jenis kelamin merupakan suatu tindakan yang kurang tepat.

Karena, secara moral yang ia merupakan landasan bagi Hukum Islam, jiwa manusia

itu semuanya dihormati tanpa harus mempertimbangkan jenis kelamin, usia, ras dan

lain sebagainya.

Latar belakang masalah di atas menunjukkan bahwa tidak seperti dalam

Hukum Pidana Barat yang kini diaplikasikan di Indonesia yang mayoritas

penduduknya Muslim, dalam Hukum Pidana Islam jenis kelamin korban menjadi

faktor penentu dalam penentuan bobot hukuman. Dari latar belakang di atas telah

diketahui pula bahwa Imam Al-Syafi`i dalam karyanya Al-Umm (t.t., IX) sudah

membahas tentang hukuman bagi pelaku pembunuh khuntsâ. Penelitian tentang

pendapat ulama yang fokus utamanya pada aspek metodologis adalah merupakan

bagian dari disiplin ilmu yang penulis tekuni di jurusan Perbandingan Madzhab dan

Hukum.

Penelitian ini akan diarahkan kepada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat Imam al-Syafi`i tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan

terhadap khuntsâ baik dalam bentuk qishâsh maupun diyat?

Page 3: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

3

2. Apa dasar hukum yang digunakan oleh Imam al-Syafi`i dalam menetapkan

hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ?

3. Bagaimana metode istinbâth hukum yang digunakan oleh Imam al-Syafi`i dalam

menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ?

B. Metodologi Penelitian

Pemilihan metode penelitian yang akan digunakan dalam suatu penelitian

senantiasa bergantung kepada jenis penelitian itu sendiri, apakah penelitian yang

akan dilakukan termasuk penelitian lapangan, atau penelitian kepustakaan, atau

dilihat dari jenis datanya penelitian yang akan dilakukan itu termasuk penelitian

kualitatip, atau penelitian kuantitatip. Sesuai dengan judulnya, penelitian yang akan

penulis lakukan ini adalah penelitian normatip, yaitu penelitian yang menjadikan

norma-norma sebagai objek penelitian. Penelitian ini merupakan bagian dari

penelitian kepustakaan.

Karena penelitian ini akan menganalisis pendapat Ulama tentang suatu objek,

yakni pendapat Imam Al-Syafi`i tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap

khuntsâ, maka berdasarkan litelatur-litelatur metode penelitian, metode yang paling

sesuai untuk digunakan dalam peneltian ini adalah metode deskriptif analitik.

Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder. Keduanya bentuk kitab berbahasa Arab dan buku-buku

berbahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan sumber data primer di sini adalah bab-

bab tertentu dari kitab-kitab yang secara langsung ditulis oleh Imam Al-Syafi`i,

yakni Al-Umm dan Al-Risâlah.

Page 4: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

4

Sedangkan yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah kitab-kitab

dan buku-buku yang mengoleksi data-data dari tangan pertama atau dari sumber data

primernya. Yang dijadikan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah bab-bab

tertentu yang ditulis oleh para ulama Syafi`iyah (para pengikut Imam Syafi`i), antara

lain adalah (1) Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imâm al-Syâfi`i, karya Al-Syairazi, (2) Al-

Majmû` Syarh Muhadzdzab, karya Al-Nawawi, (3) Kifâyah al-Akhyâr karya Imam

Taqiyuddin, (4) Fiqh al-Syâfi`i, karya Ahmad Idris, (5) Al-Bâjuri Ibn al-Qâsim karya

Al-Bajuri, (6) Fath al-Wahhâb karya Zakaria Anshari, (7) Al-Muhadzdzab karya Abi

Ishak Ibrahim, (8) Al-Iqnâ` karya Muhammad Syarbini Khatib, (9) Sejarah

Keagungan Madzhab Syafi`i karya Sirajudin Abbas, (10) Fath al-Mu`in karya

Zainuddin ibn al-Aziz, (11) I`ânah al-Thâlibîn karya Thalib, dan kitab-kitab serta

buku-buku lainnya yang ditulis oleh para Ulama pengikut Imam Al-Syafi`i.

Penelitian yang menggunakan kitab-kitab dan buku-buku sebagai sumber

data, maka teknik pengumpulan data yang paling relevan untuk digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik survey buku (book survey). Berdasarkan atas kenyataan

bahwa penelitian seperti ini dilakukan di perpustakaan dimana buku-buku dan

dokumen itu dikoleksi, maka penelitian seperti ini dalam beberapa litelatur penelitian

sering pula disebut sebagai penelitian perpustakaan (library research). Lebih

jelasnya, dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan cara menelaah karya-karya

Imam Al-Syafi`i dan karya-karya para Ulama pengikut Imam Al-Syafi`i yang

relevan dengan masalah yang sedang diteliti.

Secara keseluruhan, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-

data kualitatip. Oleh sebab itu, pendekatan yang akan digunakan dalam menganalisis

Page 5: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

5

data adalah pendekatan kualitatip. Adapun teknik analisis yang akan digunakan

adalah teknik analsis isi (content analysis).

Dalam pelaksanaannya, penganalisisan data ditempuh melalui tahapan-

tahapan sebagai berikut:

a. Mengkaji semua data yang terkumpul, baik dari sumber data primer maupun dari

sumber data sekunder;

b. Mengklasifikasikan seluruh data ke dalam satuan-satuan sesuai dengan pertanyaan

penelitian;

c. Mengkorelasikan data-data yang sudah diklasifikasikan dengan kerangka

pemikiran; dan

d. Menarik kesimpulan yang diperlukan dari data-data yang dianalisis dengan

mengacu kepada perumusan masalah dan tujuan penelitian yang sudah

dirumuskan sebelumnya.

C. Hasil Penelitian

1. Hukuman Bagi Pembunuh Khuntsâ menurut al-Syafi`i

Al-Syafi`i dalam kitabnya Al-Umm (t.t., IX: 190) berpendapat bahwa

hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ musykîl dengan sengaja adalah

qishâsh, karena khuntsâ itu tidak dihitung laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud

dengan khuntsâ musykîl menurut Al-Rabi sebagaimana dikutip oleh Ismail Yakub

(t.t., IX: 190) adalah “orang yang mempunyai kemaluan perempuan dan laki-laki”.

Kemudian, menurut Imam Al-Syafi`i (t.t., IX: 190) jika para wali menuntut

tebusan (diyat ), maka diyat-nya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Pertama,

jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan dengan

Page 6: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

6

diyat-nya perempuan, karena itulah yang yakin; tidak disamakan dengan diyat-nya

laki-laki dan tidak ada tambahan atas diyat-nya perempuan, yakni setengah dari

diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108), karena itu adalah meragukan (syak ).

Kedua, apabila khuntsâ yang dibunuh itu jelas memiliki kelamin laki-laki, maka

diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Ketiga, jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ

musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang dominan adalah kelamin laki-lakinya,

maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya laki-laki (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190),

yakni jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ yang merdika dan muslim, 100 ekor unta

bagi pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik

domba, 1000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200

setel pakaian bagi pemilik pakaian. Jenis apa pun yang ditunaikan oleh orang yang

terkena diyat, harus diterima oleh para wali si korban, menskipun para wali si korban

bukan pemilik dari barang tersebut, sebab si pelaku pembunuhan telah menunaikan

kewajibannya secara prinsip (Sabiq, 1990, X: 93).

2. Dalil-dalil yang Digunakan Imam al-Syafi`i dalam Menentukan Hukuman

bagi Pembunuh Khuntsâ

Dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan

terhadap khuntsâ, Imam Al-Syafi`i menggunakan qiyâs sebagai sumber hukum atau

dalil (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190-191). Ini dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i karena

ketentuan hukuman tentang masalah tersebut tidak ditemukan dalam sumber-sumber

hukum lainnya yang harus lebih diprioritaskan dalam penggunaannya, yaitu Al-

Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma` para Shahabat.

Page 7: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

7

3. Metode Istinbâth Hukum yang Digunakan Imam Al-Syafi`i dalam

Menetapkan Hukuman bagi Pembunuh Khuntsâ

Diyat (hukuman pengganti) bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau

khuntsâ, oleh Imam Al-Syafi`i ditentukan melalui metode qiyâs. Dalam hal ini Imam

Al-Syafi`i mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban pembunuhan kepada laki-laki atau

kepada perempuan bergantung kepada qarînah-qarînah atau tanda-tanda yang ada

pada korban pembunuhan tersebut. Jika kelamin yang dominan pada khuntsâ itu

adalah laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Sebaliknya, jika

kelamin yang dominan pada khuntsâ tersebut adalah wanita, maka diyat-nya

disamakan dengan diyat-nya wanita. Dalam hal ini Imam Al-Syafi`i dalam Al-Umm

(t.t., VI; 26-27) mengatakan sebagai berikut:

“Jika dia pertama kali membuang air kecil sebagaimana laki-laki membuang

air kecil dan ada tanda-tanda kelaki-lakian padanya lebih kuat, maka saya hukumkan

baginya diyat laki-laki. Kemudian jika dia musykîl yang memiliki kelamin laki-laki

dan perempuan, kemidian tumbuh seperti kelamin perempuan atau sesuatu yang

menyerupainya, maka saya menggunakan kelebihan itu dari diyat wanita, kalau dia

buang air dari kedua kelamin itu tidak terdahulu salah satu keduanya dari yang lain

dan terputus (selesai buang air) bersama-sama antara keduanya. Jika terdahulu salah

satu dari keduanya dari yang lain, maka dihukumkan menurut yang lebih dahulu.

Jika keduanya saling dahulu, kemudian salah satu keduanya terputus sebelum yang

lain, maka yang digunakan sebagai qarînah dalam menentukan hukum adalah yang

ketinggalan, yakni yang paling lama terhenti air seninya”.

Pendapat Imam Al-Syafi`i di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga langklah

dalam mengqiyâskan khuntsâ kepada laki-laki atau perempuan. Langkah yang

Page 8: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

8

pertama, melihat dengan mata kelamin yang dimiliki oleh khuntsâ, apakah yang

dominan itu kelaminnya laki-laki atau wanita. Jika yang lebih dominan itu adalah

kelaminnya laki-laki, maka disamakan kepada diyat-nya laki-laki, atau sebaliknya.

Langkah yang kedua, jika ternyata dilihat dari kelaminnya secara lahiriah sama,

yakni terdapat kelamin laki-laki dan perempuan dalam kadar yang sama, maka

dilihat fungsi dari kedua kelamin tersebut, mana yang lebih dominan. Kedominannya

ini dilihat dari kelamaannya dalam mengeluarkan air seni. Jika yang lebih lama

berfungsi dalam membuang air seni itu adalah kelamin laki-lakinya, maka disamakan

kepada diyat-nya laki-laki atau sebaliknya, yakni jika yang lebih lama berfungsi

dalam membuang air seni itu adalah kelamin wanita, maka disamakan kepada diyat-

nya wanita. Langkah ketiga, jika dilihat dari kelaminnya ternyata sama, ada kelamin

laki-laki dan wanita, juga fungsinya sama, yakni mulai dan berhenti mengeluarkan

air seni sama-sama, maka diyat-nya disamakan kepada diyat-nya wanita, karena yang

demikian menurut Imam Al-Syafi`i lebih jelas

4. Analisis

a. Analisis terhadap Pendapat Imam Al-Syafi’i tentang Bentuk Hukuman

bagi Pelaku Pembunuhan terhadap Khuntsâ

Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, Imam Al-Syafi`i

berpendapat bahwa hukuman bagi pembunuh khuntsâ musykîl dengan sengaja adalah

qishâsh, karena khuntsâ itu tidak dihitung laki-laki dan perempuan (t.t., IX: 190). Ini

dilakukan jika orang yang berhak menuntut atau memaafkan, yaitu ahli waris

`ashâbah bi nafsih (menurut Imam Malik) atau para ahli waris lainnya baik laki-laki

maupun perempuan (menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i, dan Imam Ahmad

Page 9: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

9

bin Hanbal) menuntut qishâsh. Hak ini menurut para ulama jatuh ke tangan

pemerintah (al-sulthân) jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali,

karena pemerintah adalah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali (Djazuli, 1997:

149).

Menurut penulis, pendapat Imam Al-Syafi`i ini sangat tepat, karena dalam

Al-Qur’an Allah Swt. menjelaskan bahwa diberlakukan qishâsh adalah untuk

memelihara jiwa (hifzh al-nafs). Penjelasan tersebut terdapat dalam surat Al-Baqarah

ayat 179 yang berbunyi sebagai berikut:

“Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai

orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa (Soenarjo dkk., 1990: 44).

Dilihat dari aspek jiwa, khuntsâ itu tidak ada bedanya dari manusia lainnya,

baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu jiwanya harus dilindungi

sebagaimana jiwanya non-khuntsâ, dan pemeliharaan jiwa ini sebagaimana

dikemukakan dalam ayat Al-Qur’an di atas direalisasikan melalui pemberlakuan

qishâsh. Perlu ditekankan di sini mengenai pandangan orang Barat pada umumnya

yang mengatakan bahwa Hukum Pidana Islam Islam sangat kejam dan tidak

manusiawi. Ini adalah sebuah pandangan yang sangat keliru, bertentangan dengan

Al-Qur’an. Bahkan, secara empiris penerapan Hukum Pidana Islam di suatu negara

benar-benar telah terbukti mampu mengurangi angka kejatan di negara yang

bersangkutan. Di Saudi Arabia di mana Hukum Pidana Islam diterapkan misalnya,

menurut Tajul Arifin (1999: 97) rata-arata angka kejahatan dalam setiap tahun jauh

Page 10: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

10

di bawah angka kejahatan rata-rata dunia. Jumlah pembunuhan rata-rata dunia dalam

setiap tahun 4 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi Arabia, sedangkan jumlah

pencurian rata-rata dunia 650 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi Arabia dan

angka kejahatan seksual rata-rata dunia 5 kali lebih tinggi dari yang terjadi di Saudi

Arabia. Secara lebih jelas, Tajul Arifin (1999: 97) menyatakan:

“ ... for murder, the world rate is about four times the rate in Saudi Arabia.

For property crimes, the world rate is about six hundred fifty times the rate in Saudi

Arabia. And for sexual offences, the world rate is about five times the rate in Saudi

Arabia ...”.

Yang kurang penulis setujui adalah pendapat Imam Al-Syafi`i jika hukuman

berpindah dari yang asal, yaitu qishah kepada diyat. Di mana sebagaimana telah

dikemukakan di atas Imam Al-Syafi`i berpendapat bahwa jika para wali menuntut

tebusan (diyat ), maka diyat-nya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian. Yang

pertama, jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan

dengan diyat-nya perempuan, karena itulah yang yakin; tidak disamakan dengan

diyat-nya laki-laki dan tidak ada tambahan atas diyat-nya perempuan (Al-Syafi`i, t.t.,

IX: 190), yakni setengah dari diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108), karena itu

adalah meragukan (syak ). Yang kedua, apabila khuntsâ yang dibunuh itu jelas

memiliki kelamin laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki. Yang ketiga,

jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang

dominan adalah kelamin laki-lakinya, maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya

laki-laki (Al-Syafi`i, t.t., IX: 190).

Pendapat Imam Al-Syafi`i di atas mencerminkan patriarki masyarakat

Muslim pada waktu itu. Kaum wanita dianggap sebagai manusia kelas dua bukan

Page 11: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

11

hanya dalam dunia sosial, tetapi juga di hadapan hukum. Dalam kaitannya dengan

masalah ini Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah-nya (1990, X: 108-109) mengutip

Hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a., Ali r.a., Ibnu Mas`ud r.a., dan Zaid Ibn

Tsabit r.a. dimana dia mengatakan sebagai berikut:

... Mereka telah berpendapat tentang diat perempuan adalah sebanyak

setengah diat lelaki. Dan ternyata tidak ada satu riwayat pun dari kalangan para

shahabat yang tidak sependapat dengan mereka, sehingga pendapat ini dikategorikan

sebagai ijma’ para shahabat. Dan lagi karena mengingat bahwa dalam pewarisan pun

orang perempuan menerima setengah dari bagian orang lelaki (Sabiq, 1990, X: 108-

109).

Keberatan penulis terhadap pendapat Imam Al-Syafi`i tentang hukuman

pengganti bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ dengan menyamakannya

kepada laki-laki atau perempuan berdasarkan argumen-argumen sebagai berikut:

Pertama, khuntsâ dan perempuan yang menjadi korban pembunuhan

dihadapan hukum tidak harus dibedakan dari laki-laki dalam hal jumlah diyat yang

harus dibayarkan, karena yang membedakan manusia di sisi Allah bukan jenis

kelaminnya melainkan taqwanya. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat

Al-Hujurat ayat 13:

Kedua, tujuan diberlakukannya hukuman seperti qishah dan penggantinya

adalah untuk memelihara jiwa dengan cara membuat para pelaku tindak kejahatan

pembunuhan jera. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Qur’an

surat Al-Baqarah ayat 179 sebagaimana telah dikutip di atas.

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial menunjukkan

bahwa semakin berat hukuman yang diancamkan, maka semakin berkurang jumlah

Page 12: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

12

kejahatan. Sebagai ilustrasi, mengapa jumlah kejahatan yang berhubungan dengan

penyalahgunaan obat-obat terlarang di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di

negara tetangga kita Malaysia. Salah satu jawabannya adalah karena hukuman yang

diancamkan di negara kita terhadap pelaku kejahatan yang sama lebih ringan

daripada yang diancamkan di Malaysia.

Jiwa kaum khuntsâ dan wanita sama harus dipelihara dengan jiwanya kaum

laki-laki. Mengapa diyat yang dikenakan kepada para pembunuhnya harus

dibedakan? Dengan pembedaan seperti ini, menurut penulis, tidak menutup

kemungkinan di negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam para kriminal

akan lebih mudah melakukan pembunuhan terhadap khntsa dan wanita daripada

kepada kaum laki-laki, karena diyat yang diancamkan lebih ringan, yakni setengah

dari yang diancamkan kepada pembunuh laki-laki.

Ketiga, alasan mengqiyâskan tentang pembedaan diyat yang diancamkan

kepada pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ dan wanita dari laki-laki kepada

masalah waris sebagaimana dalam ijma` shahabat di atas sangat tidak tepat. Dalam

masalah waris, laki-laki memperoleh dua kali perempuan, bukan semata-mata karena

jenis kelaminnya, melainkan karena tanggung jawabnya dalam rumah tangga yang

lebih besar daripada kaum wanita. Kaum laki-laki harus menanggung nafkah anak-

anak dan isterinya, sedangkan kaum wanita tidak. Ini sesuai dengan firman Allah

dalam surat Al-Nisa ayat 34:

Jadi posisi laki-laki dan perempuan dalam masalah waris jelas berbeda,

sedangkan dalam hal jiwanya sama-sama harus dipelihara, dilindungi dari berbagai

kerusakan apa lagi kematian. Argumen ini akan semakin terasa ketepatannya jika

Page 13: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

13

dihubungkan dengan firman Allah Swt. yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat

32:

Dalam ayat itu digunakan lafazh ‘âm, yaitu orang. Secara jelas, dalam ayat

itu dikatakan bahwa orang yang membunuh seseorang, artinya baik dia itu adalah

laki-laki, perempuan atau khuntsâ, diidentikkan dengan membunuh ummat manusia

seluruhnya. Ini menggambarkan bahwa jiwa manusia semuanya harus dilindungi

dengan berbagai cara, dan salah satu caranya adalah mengancamkan hukuman yang

berat kepada pelaku pembunuhan.

b. Analisis terhadap Dalil-dalil yang Digunakan Imam Al-Syafi`i dalam

Menentukan Hukuman bagi Pelaku Pembunuhan terhadap Khuntsâ

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam menentukan

hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ, Imam Al-

Syafi`i menggunakan qiyâs sebagai sumber hukum atau dalil (Al-Syafi`i, t.t., IX:

190-191). Langkah ini ditempuh oleh Imam Al-Syafi`i karena ketentuan yang qath`i

(pasti) tentang masalah ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma`

para Shahabat.

Yang dimaksud dengan qiyâs di sini adalah salah satu dalil atau sumber

hukum yang digunakan oleh para Ulama dalam menentukan hukum. A. Djazuli dan

I. Nurol Aen (1997: 97) mendefinisikan qiyâs dengan “mempersamakan hukum

sesuatu waqî`ah/kasus yang tidak dinaskan dengan hukum waqi`ah lain yang

dinaskan karena persamaan illat hukum”.

Mengenai kehujjahan qiyâs, menurut A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 98-

111) para Ulama dapat dikelompokkan kepada dua kelompok. Kelompok pertama,

Page 14: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

14

yaitu Jumhũr Ulamâ, mengatakan bahwa qiyâs adalah hujjah syara`. Sedangkan

kelompok yang kedua, yaitu para Ulama dari madzhab Nizhomiyah, Zhahiriyah,

Syi`ah Imamiyah, dan sebagian Mu`tazilah menolak qiyâs sebagai cara untuk

menetapkan hukum.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Jumhûr Ulama dalam mendukung

pendapat mereka antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Nisa ayat 59:

Menurut kedua Guru Besar Fakultas Syari`ah IAIN Sunan Gunung Djati

Bandung tersebut di atas, kata faruddûhu dalam ayat 59 surat Al-Nisa itu berarti

mengembalikan kepada Allah dan Rasulnya yang juga meliputi pengembalian

kepada kaidah-kaidah syara` yang umum dan mengembalikan hal-hal yang tidak

dinaskan kepada yang dinaskan karena ada persamaan illatnya. Dan ini, kata

keduanya berati menggunakan qiyâs (Djazuli dan Aen, 1997: 99).

Kedua, firman Allah Swt. dalam surat Al-Hasyr ayat 2:

Dalam ayat di atas, Allah Swt. mengemukakan apa yang telah menimpa Bani

Nazhir kemudian Allah menyatakan: fa`tabirû, yang berarti qiyâskanlah dirimu,

karena kamu juga adalah manusia seperti mereka. Jika kamu juga melakukan

perbuatan seperti yang mereka lakukan, maka kamu pun akan mengalami seperti

yang mereka alami (Djazuli dan Aen, 1997: 100).

Sebenarnya masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang oleh Jumhûr Ulama

dinilai sebagai argumen tentang kehujjahan qiyâs, seperti ayat 78-79 surat Yasin,

ayat 179 surat Al-Baqarah (tentang illat), ayat 37 surat Al-Ahzab (tentang illat), dan

ayat 7 surat Al-Hasyr (tentang illat) (Djazuli dan Aen, 1997: 100-101).

Page 15: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

15

Ketiga, banyak Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw.

menggunakan qiyâs, yang diantaranya adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam

Al-Nasa’i di bawah ini:

.������� ������ �� �� ������ ��� ����� �� ����� �� ���� !"#

“Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang

berkumpul. Maka sekarang boleh makan, menyimpan, dan menyedekahkannya”

(Hadits Riwayat Al-Nasa’i) (Djazuli dan Aen, 1997: 101).

Dalam Hadits di atas dikatakan bahwa banyaknya orang yang berkumpul

yang membutuhkan daging kurban menjadi illat dilarangnya menyimpan daging

kurban. Sebaliknya, jika tidak ada orang yang berkumpul, maka jadi boleh

menyimpan sebagian daging kurban. Jadi, hukum ada jika ada illatnya, dan hukum

tidak ada dalam arti mubah jika tidak ada illatnya. Dari sini muncul kaidah kaidah

ushul yang sangat populer:

�$��� ����� %� � &$ ���' ����

“Hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya illat” (Djazuli dan Aen,

1997: 101).

Keempat, para shahabat pun menggunakan qiyâs. Abu Bakar r.a. misalnya,

mengkiyaskan kakek dengan bapak dalam hal warisan. Demikian pula Umar r.a.

memerintahkan kepada Musa al-Asy`ari r.a. dengan mengatakan:

Page 16: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

16

(�) �"� ��$�� *� + ,�-"��� .�/0�� 1�2

“Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya,

kemudian kiyaskanlah perkara-perkara tersebut” (Djazuli dan Aen, 1997: 102).

Kelima, qiyâs dapat dibuktikan kebenarannya dengan akal. Dalam

hubungannya dengan masalah ini, A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 103)

mengatakan sebagai berikut:

Pertama, Allah Swt. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hamba-

hamba-Nya, apabila ada persamaan antara waqi`ah/kasus yang tidak dinaskan

dengan yang dinaskan di dalam illat gukumnya, maka adalah adil dan bijaksana

untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka melaksanakan kemaslahatan tadi.

Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang karena memabukkan

dalam rangka memelihara akal dan minum-minuman lain yang memabukkan

dibolehkan karena tidak dinaskan, padahal kedua-duanya sama memabukkan dan

menyebabkan tidak terpeliharanya akal.

Kedua, nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan

peristiwa dan perkembangan manusia terus terjadi. Maka, untuk memecahkan

masalah-masalah yang tidak dinaskan, penggunaan qiyâs sangatlah dibutuhkan asal

pemecahan tersebut masih di dalam ruang lingkup syari`at menuju kemaslahatan

manusia.

Dengan demikian, qiyâs pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nash-

nash di dalam ruang lingkupnya yang luas, bukan menambah nash tapi

menafsirkannya.

Page 17: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

17

Berdasarkan atas argumen-argumen di atas, dari aspek dalil yang digunakan,

penulis sangat setuju atas penggunaan qiyâs sebagai dalil oleh Imam Al-Syafi`i

dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau khuntsâ.

Karena pada bagian ini maksud penulis adalah untuk menunjukkan tentang

keabsahan qiyâs sebagai salah satu dalil, maka penulis di sini tidak perlu

mengemukakan dalil-dalil yang digunakan oleh para Ulama yang tidak mengakui

eksistensi qiyâs sebagai dalil. Tetapi sebagai gambaran umum, untuk membantu para

pembaca, para Ulama yang menolak qiyâs menggunakan beberapa ayat Al-Qur’an

al-Karim sebagai argumen penolakannya. Ayat-ayat tersebut antara lain adalah ayat

49 surat Al-Maidah, ayat 38 dan 59 surat Al-An`am, ayat 89 surat Al-Nahl, dan ayat

6 surat Hud (Djazuli dan Aen, 1997: 105-106).

c. Analisis terhadap Metode Istinbâth Hukum yang Digunakan Imam Al-

Syafi`i dalam Menetapkan Hukuman bagi Pelaku Pembunuhan terhadap

Khuntsâ

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa hukuman pengganti

(diyat) bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ, oleh Imam Al-Syafi`i ditentukan

melalui metode qiyâs. Yakni, mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban pembunuhan

kepada laki-laki atau kepada perempuan bergantung kepada qarînah-qarînah atau

tanda-tanda yang ada pada korban pembunuhan tersebut. Jika kelamin yang dominan

pada Khuntsâ itu adalah laki-laki, maka diyat-nya disamakan dengan laki-laki.

Sebaliknya, jika kelamin yang dominan pada khuntsâ tersebut adalah wanita, maka

diyat-nya disamakan dengan diyat-nya wanita.

Page 18: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

18

Untuk melihat tepat atau tidaknya qiyâs yang dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i

dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pembunuh khuntsâ, di sini perlu terlebih

dahulu dikemukakan rukun qiyâs. Menurut A. Djazuli dan I. Nurol Aen (1997: 111-

115) rukun qiyâs itu ada empat.

Pertama, Ashal. Ialah sesuatu yang dinaskan hukumnya yang menjadi ukuran

atau tempat menyerupakan/mengkiyaskan yang dalam istilah ushul fiqh disebut

ashal, atau maqîs `alaih atau musyabbah bih. Menurut sebagian ahli ushul, ashal itu

harus berupa nash, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah atau Ijma`. Namun demikian,

menurut sebagian Ulama Malikiyah diantaranya Ibn Rusyd membolehkan qiyâs

dijadikan ashal untuk qiyâs yang lain. Akan tetapi, meluaskan ashal ini bisa jatuh

kepada hal-hal yang tidak pada tempatnya, disamping tidak ada faedahnya

menjadikan qiyâs sebagai ashal (Djazuli dan Aen, 1997: 112).

Kedua, Far`un/cabang. Ialah sesuatu yang tidak dinaskan hukumnya, yang

diserupakan atau diqiyâskan. Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far`u, atau al-maqîs,

atau al-musyabbah. Cabang ini harus memenuhi syarat-syarat: (1) tidak mempunyai

hukum yang tersendiri, (2) illat yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada

pada ashal, (3) tidak lebih dahulu daripada ashal, dan (4) hukum cabang sama

dengan hukum ashal (Djazuli dan Aen, 1997: 112).

Ketiga, hukum ashal. Ialah hukum syara` yang dinaskan pada pokok yang

kemudian akan menjadi hukum pula pada cabang. Menurut para Ulama ahli ushul

fiqh, hukum ashal harus memenuhi syarat-syarat: (1) merupakan hukum syara` yang

amaliyah, (2) harus ma`qûlul ma`na dalam arti pensyari`tannya rasional, (3) bukan

hukum yang khusus, dan (4) masih tetap ada. Kalau hukum ashal sudah dimansukh,

maka tidak mungkin melakukan qiyâs (Djazuli dan Aen, 1997: 112-113).

Page 19: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

19

Keempat, illat. Ialah sesuatu atau sifat yang ada pada ashal yang menjadi

landasan atau sebab adanya hukum dan dengan adanya sifat-sifat itulah diketahui

adanya hukum pada cabang-cabang. Dengan kata lain, illat adalah “sesuatu sifat yang

nyata dan tertentu yang bertalian (munâsabah ) dengan ada atau tidak adanya

hukum” (Djazuli dan Aen, 1997: 113).

Semua rukun qiyâs di atas tampaknya telah terpenuhi oleh Imam Al-Syafi`i

dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pembunuh khuntsâ dengan

sengaja.

Ashalnya adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap laki-laki atau

perempuan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178.

Cabangnya adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap khuntsâ.

Hukum asalnya adalah membayar diyat 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200

ekor sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik domba, 1000 dinar bagi

pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200 setel pakaian bagi pemilik

pakaian, jika yang dibunuh itu adalah laki-laki Muslim yang merdika (Sabiq, 1990,

X: 93). Sedangkan jika yang dibunuh itu adalah perempuan, maka diyat-nya adalah

setengah dari diyat-nya laki-laki (Sabiq, 1990, X: 108).

Illatnya adalah kelamin atau fungsinya dalam membuang air seni. Jika

khuntsâ musykîl itu memiliki dua kelamin (laki-laki dan perempuan) dan ternyata

yang dominan adalah kelamin laki-lakinya, maka yang demikian disamakan kepada

laki-laki dan sebaliknya. Tapi, apabila kedua kelaminnya itu sama-sama besarnya,

dilihat mana yang paling befungsi dalam membuang air seni. Jika yang dominan

fungsinya adalah kelamin laki-lakinya maka dia disamakan kepada laki-laki dan

sebaliknya.

Page 20: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

20

Metode istinbâth hukum yang digunakan oleh Imam Al-Syafi`i yaitu qiyâs

dalam menetapkan hukuman pengganti bagi pelaku pembunuhan terhadap khuntsâ

telah memenuhi rukunnya. Dengan demikian dapat diterima. Akan tetapi,

sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, yang penulis kurang

setujui adalah hukum asalnya, mengapa jika yang terbunuh itu diyat-nya setengah

dari diyat-nya laki-laki.

D. Kesimpulan

Berdasarkan atas uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis akhirnya dapat

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukuman bagi pelaku pembunuhan terhadap waria atau khuntsâ musykîl dengan

sengaja menurut Imam Al-Syafi`i adalah qishâsh. Jika para wali menuntut tebusan

(diyat), menurut dia, maka diyat-nya bisa tiga kemungkinan. Kemungkinan

pertama, jika khuntsâ-nya itu adalah khuntsâ musykîl, maka diyat-nya disamakan

dengan diyat-nya perempuan yaitu setengah diyat-nya laki-laki. Kemungkinan

kedua, jika khuntsâ yang dibunuh itu jelas memiliki kelamin laki-laki, maka diyat-

nya disamakan dengan laki-laki, yaitu 100 ekor unta bagi pemilik unta, 200 ekor

sapi bagi pemilik sapi, 2000 ekor domba bagi pemilik domba, 1000 dinar bagi

pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak, atau 200 setel pakaian bagi

pemilik pakaian. Kemungkinan ketiga, jika yang dibunuh itu adalah khuntsâ

musykîl, namun setelah diteliti ternyata yang dominan adalah kelamin laki-

lakinya, maka diyat-nya disamakan dengan diyat-nya laki-laki atau sebaliknya.

2. Dalil atau sumber hukum yang digunakan oleh Imam Al-Syafi`i dalam

menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap

Page 21: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

21

khuntsâ adalah qiyâs. Ini dilakukan oleh Imam Al-Syafi`i karena ketentuan

hukuman tentang masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah,

dan Ijma` para Shahabat.

3. Dalam menentukan hukuman pengganti (diyat ) bagi pelaku pembunuhan terhadap

khuntsâ, Imam Al-Syafi`i menggunakan qiyâs sebagai metode istinbâth hukum.

Dalam hal ini Imam Al-Syafi`i mengqiyâskan khuntsâ sebagai korban

pembunuhan kepada laki-laki atau kepada perempuan bergantung kepada

qarînah-qarînah atau tanda-tanda yang dominan yang ada pada korban

pembunuhan tersebut.

Page 22: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

22

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajudin (1972), Sejarah Keagungan Madzhab Syafi`i, Pustaka Tarbiyah,

Jakarta.

Abdul Aziz, Zainuddin Ibn (t.t.), Fath al-Mu`in, Syirkah Al-Ma`arif wa al-Nayr,

Bandung.

Al-Aini, Muhammad Mahmud bin Ahmad (1990), Al-Binayah fi Syarh al-Hidayah,

Dar al-Fikr, Beirut.

Al-Bajuri, Ibn Qasim (t.t.), Al-Bajuri Ibn al-Qasim, Syirkah al-Nur, Asia, Indonesia.

Ali, Lukman dkk. (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Al-Jarjani, Ali bin Muhammad (t.t.), Al-Ta`rifat, Al-Hadamin, Jiddah.

Al-Nasa’i, Al-Hafizh Abi Abdurrahman bin Sa`id (t.t.), Sunan Al-Nasa’i al-Mujtaba,

Jilid VIII, Syirkan Maktabah wa Mathba`ah Mushthafa al-Halabi, Mesir.

Al-Syafi`i, Muhammad bin Idris (t.t.), Al-Risâlah, Dar al-Fikr, Beirut.

Al-Syafi`i, Muhammad bin Idris (t.t.), Al-Umm, Jilid IX, Alih Bahasa Ismail Yakub,

Victory Agencie, Kuala Lumpur.

Al-Syairazi, Al-Syaikh al-Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Ali ibn Yusuf al-Fairuzi

'Abadi (t.t.), Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi`i, Dar al-Fikr, Beirut.

Anonimous (1993), Ensiklopedi Islam, Vol. II dan IV, Ikhtiar Baru van Hoeve,

Jakarta.

Anshari, Abi Yahya Zakaria (t.t.), Fath al-Wahhab, Dar al-Ihya, Indonesia.

Arifin, Tajul (1999), “The Application of Shari’ah Law in Muslim Countries” dalam

Cik Hasan Bisri (ed.) Islamic Law in Muslim Countries. Research Center

State Institute for Islamic Studies Sunan Gunung Djati, Bandung: 85-104.

Audah Abdul Qadir (t.t.), Al-Tasyri` al-Jina`i al-Islami, Jilid II, Mu’assasah Al-

Risâlah, Beirut.

Cholil, Munawar (1992), Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Bulan Bintang,

Jakarta.

Djazuli, A. (1993), Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar, Orba Shakti, Bandung.

Djazuli, A. (1997), Fiqh Jinayah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 23: LAPORAN HASIL PENELITIAN Mendapat Bantuan Dana · PDF fileA. Identifikasi Masalah ... jika yang meninggal dunia korban tidak memiliki wali, ... Penjelasan tersebut terdapat dalam surat

23

Djazuli, A. dan I. Nurol Aen (1997), Ushul Fiqh, Gilang Aditya Press, Tanjungsari.

Echols, John M. dan Hassan Shadily (1990), Kamus Indonesia Inggris, Gramedia,

Jakarta.

Hassan, A. (1994), Terjemah Bulughul Maram, Jilid II, Diponegoro, Bandung.

Idris, Ahmad (1969), Fiqh al-Syafi`i, Wijaya, Jakarta.

Marzuki (1982), Metodologi Riset, BP. Fakultas Ekonomi Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta.

Nasution dan Thomas (1977), Buku Penuntun Membuat desertasi, Thesis, Skripsi,

Report, Paper, CV. Jemmars, Bandung.

Rusyd, Ibn (1990), Bidayah Al-Mujtahid, Jilid III, Alih bahasa M.A. Abd. al-

Rahmanm dkk., Al-Syifa, Semarang.

Sabiq, Sayyid (1990), Fikih Sunnah, Jilid X, Alih Bahasa A. Ali, Al-Ma`arif,

Bandung.

Soenarjo dkk., (1990), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penterjemah dan

Pentafsir Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.

Surakhmad, Winarno (1994), Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.

Thalib (t.t.), ‘I`anah al-Thalibin, Usaha Keluarga, Semarang.