laporan buku negara centeng, negara dan saudagar di era globalisasi

33
NEGARA CENTENG Negara dan Saudagar di Era Globalisasi I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta LAPORAN BUKU NEGARA CENTENG Negara dan Saudagar di Era Globalisasi I.Wibowo (2010). Kanisius, Jogjakarta JUDUL BUKU : NEGARA CENTENG PENULIS : I WIBOWO PENERBIT : KANISIUS, JOGJAKARTA TAHUN : I, 2010 JUMLAH BAB : IV BAB TEBAL : VIII DAN 270 HALAMAN BAB I PENDAHULUAN Tidak mungkin membayangkan tanpa organisasi yang disebut “negara”. Negara dimaknai sebagai organisasi yang memberi perlindungan bagi warganya. Sejak Thomas Hobbes pada abad ke- 17 konsep negara terus dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada suatu priode pada abad ke-20, negara benar-benar memberikan welfare kepada warganya. Tetapi datanglah globalisasi, ide globalisasi adalah bagaimana membuat dunia sebagai tempat dimana orang bisa menggalang dana dari mana saja di dunia, mananamkannya di mana saja di dunia, dan sekaligus juga memasarkan produk di seluruh dunia. Tentu saja berbarengan dengan itu juga menggali sumber daya dan memperkerjakan buruh dimana saja berada. Mungkin saja gejala inilah yang dilihat oleh Kenichi Omahe sehingga ia mengatakan dalam bukunya yang berjudul (The End of Nation State) bahwa negara Laporan Buku Oleh Sawaludin/1006995 PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Upload: ojie-lombok

Post on 27-Jun-2015

406 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

LAPORAN BUKU

NEGARA CENTENG

Negara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo (2010). Kanisius, Jogjakarta

JUDUL BUKU : NEGARA CENTENG

PENULIS : I WIBOWO

PENERBIT : KANISIUS, JOGJAKARTA

TAHUN : I, 2010

JUMLAH BAB : IV BAB

TEBAL : VIII DAN 270 HALAMAN

BAB I

PENDAHULUAN

Tidak mungkin membayangkan tanpa organisasi yang disebut “negara”. Negara

dimaknai sebagai organisasi yang memberi perlindungan bagi warganya. Sejak Thomas

Hobbes pada abad ke-17 konsep negara terus dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada

suatu priode pada abad ke-20, negara benar-benar memberikan welfare kepada warganya.

Tetapi datanglah globalisasi, ide globalisasi adalah bagaimana membuat dunia sebagai tempat

dimana orang bisa menggalang dana dari mana saja di dunia, mananamkannya di mana saja

di dunia, dan sekaligus juga memasarkan produk di seluruh dunia. Tentu saja berbarengan

dengan itu juga menggali sumber daya dan memperkerjakan buruh dimana saja berada.

Mungkin saja gejala inilah yang dilihat oleh Kenichi Omahe sehingga ia mengatakan dalam

bukunya yang berjudul (The End of Nation State) bahwa negara akan lenyap. Dia juga

mengataka negara adalah the artefact of the 18th and 19th centuries (batu peninggalan abad

ke-18 dan ke-19).

Ketika suatu negara berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti pejabat dari IMF,

World Bank, WTO, maupun COE dari perusahaan multinasional yang hanya bercita-cita

mencari profit, di situlah muncul masalah. Sanggupkah negara melindungi warga negaranya

terhadap sergapan korporasi-korporasi internasional yang besar dan kuat? Atau sebaliknya,

negara malah melindungi korporasi-korporasi?

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 2: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Negara centeng adalah negara yang berpihak pada korporasi, dan memberi

perlindungan penuh, kalau perlu dengan mengorbankan warga negara. Seperti layaknya

seorang centeng.

Hipotesa yang mau diajukan sepanjang buku ini adalah bahwa negara – karena tuntutan

para saudagar global – memilih untuk menjadi pelindung para saudagar global dari pada

pelindung bagi para warga negaranya. Negara memang tidak lenyap, negara juga telah

menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah kehilangan ciri utamanya

sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan perlindungan warga negaranya. Biar

bagaimanapun pengusaha masih membutuhkan keamanan (security). Ini merupakan public

good yang tidak ingin dipikul oleh pengusaha karena sifatnya yang non-excludable.

Negaralah yang harus menyediakan keamanan.

Seperti yang dikatan diatas negara sudah berubah menjadi centeng, menjadi pelindung

bayaran sekelompok kecil saudagar, nasional maupun global. Yang dilakukan oleh negara

adalah menyediakan keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa

uang yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara.

Ini sangat berbeda dari “negara penjaga malam” karena negara penjaga malam masih

membela dan melindungi warga negaranya, ia tidak ikut cmpur tangan dalam bidang

ekonomi. Negara centeng memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum saudagar saja,

mirip dengan executive committee yang diajukan oleh Karl Marx. Tetapi negara centeng

bukan sebuah panitia yang bisa mempunyai otonom. Ia sama sekali dikuasai oleh kaum

saudagar, terutama saudagar global, sedemikian rupa sehingga ia tanpa malu-malu melupakan

tugasnya sebagai penjaga kedaulan nasional.

Buku yang dilaporkan ini terdiri dari IV bagian besar. Bagian pertama mengenai awal

dari kemerosotan kedaulatan negara, dan bagaimana gerakan meminggirkan negara

dilangsungkan. Bagian kedua mengenai aktor-aktor internasional yang dengan sekuat tenaga

berusaha menghimpit lalu menundukkan negara. Bagian ketiga mengenai efek globalisasi

pada kelompok-kelompok lemah di negara Indonesia, dan negara Indonesia tidak berkutik.

Sedangkan bagian keempat disajikan masalah-masalah global yaitu tentang kemiskinan

global.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 3: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAB II

PEMBAHASAN

A. RUMUSAN ISI POKOK PEMIKIRAN PENULIS

Buku ini terdiri dari IV bagian, yang secara umum memuat tentang Negara di

Tengah Momok Globalisasi. Berikut ini kami rumuskan isi pokok pemikiran penulis

buku yang diuraikan dengan menelusuri bagian demi bagian.

BAGIAN I NEGARA

Ruang lingkup pada bagian pertama ini, penulis mencoba memperlihatkan

kampanye ”emoh negara” yang dilakukan oleh beberapa pihak, dan selanjutnya tentang

wacana globalisasi yang tidak hanya mendorong “emoh negara”, tetapi juga menciutkan

prannya menjadi “centeng”.

Permasalah yang paling mendasar di angkat dalam buku ini adalah tentang

Negara yang merupakan organisasi yang amat kuat dan kokoh. Di dalamnya ada banyak

unsur, seperti penduduk, wilayah, angkatan bersenjata, sistem birokrasi dan sebagainya.

Negara pada dasarnya adalah gejala modern, yang diperlukan oleh menusia modern

untuk mengorganisir kehidupan bersama secara modern. Dalam varian apa pun, negara

mempunyai kedudukan yang sentral dalam masyarakat modern. Entah orang suka tidak

suka, kehidupan modern membutuhkan organisasi yang disebut “negara”. Para

pengusaha yang tidak suka membayar pajak, membutuhkan negara karena negara dapat

memberikan keamanan dan kepastian hukum, terutama hukum hak atas milik pribadi.

Negara menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan di Eropa Barat, bahkan menyediakan

pelayanan kesehatan dan pensiunan masih dapat meminta tunjangan dan subsidi.

Menariknya, sejak tahun 1980-an kehadiran negara dianggap bermasalah.

Pendapat seperti ini pada umumnya ditiupkan oleh para ekonomi neo-libral yang

mengemukakan alasan state failure untuk menyingkirkan negara. Banyak masalah

ekonomi maupun non-ekonomi, kata mereka berakar pada adanya negara. Misalnya

Milton Friedman, dalam tulisanya yang dibaca oleh setiap ekonom yang mangatakan: “A

libral is fundamentally fearful of consentrated power. He is suspicious of assgning to

gavermnet any funtionthat can beperformed though the market, both because this

subtitutes coercion for valuntary co-opration in the area in question and because, by

giving goverment an increased role, it threatens freedom in other areas.” Pendiriannya

tegas, ganti negara dengan pasar, dan semua orang akan bahagia.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 4: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Dalam era globalisasi pandangan “emoh negara” ini mendapat dukungan luas

dari para aktor internasional. Ketika para pendukung fanatik globalisasi berpendapat

bahwa dunia akan lebih sejahtera dan makmur karena pasar bebas dan perdagangan

bebas, mereka segera manarik kesimpulan bahwa kedaulatan dan kekuatan negara harus

dipatahkan. Ada dua kekuatan yang menghendaki dibubarkannya negara, dan dua

kekuatan ini saling menguatkan. Yang pertama dari paham ekonomi neo-liberal, dan

yang kedua dari paham globalisme. Keduanya setuju bahwa negara harus dihilangkan,

atau kalau tidak sekurang-kurangnya disiutkan ukurannya.

1. Kampanye “Emoh Negara”

Lewat observasi biasa, orang segera melihat ada sikap “emoh negara” yang

amat kuat di Indonesia yang sebenarnya sudah ada sejak zaman rezim Orde Baru

diamana rakyat begitu menderitaakibat aneka penindasan kejam oleh militer sehingga

mereka mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan negara. Tetapi setelah rezim itu

jatuh pada tahun 1998 sikap “emoh negara” seakan menemukan pelampiasannya.

Sementara itu, diberbagai surat kabar besar beredar seruan-seruan untuk

mengadakan “liberalisme ekonomi” yang dilontarkan oleh analis-analis ekonomi

maupun oleh pengusaha. Secara bertubi-tubi, dituntut agar negara mengurangi

intervensi negara, membiarkan mekanisme pasar bekerja, meningkatkan kompetisi

dan sebagainya. Wacana-wacana yang menghiasi halaman muka koran-koran pada

tahun 1999-2000, semuanya serba mencurigai berulangnya intervensi negara dan

mendorong kearah sikap “emoh negara” dalam ekonomi. Hal ini dianggap oleh

banyak orang masuk akal sebagai bagian dari gerakan “emoh negara”. Secara vulgar

malah sering dikatakan oleh analis-analis bahwa demokrasi sama dengan kapitalisme,

yang manjalankan demokrasi berarti harus memeluk juga kapitalisme.

Tujuan dari “emoh negara” ini pada akhirnya benar-benar melucuti negara

sedemikian rupa sehingga pemenang terakhir adalah sekelompok kecil elit politik dan

pelaku bisnis, lokal maupun global. Korban yang tak terelakkanadalah orang-orang

yang tergolong dalam kelas bawah yakni petani dan buruh.

“Emoh Negara” terjadi juga dibeberapa negara barat seperti di Inggris dan AS

pada tahun 1970-an dan semakin menguat sejak amruknya Uni Soviet dan Blok

Timur, termasuk di negara Cina. Di Inggris terjadi pada tahun 1979, negara harus

mundur dari semua keterlibatan di bidang yang dianggap sebagai biang keladi

merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit belanja negara dan seterusnya.

Kemudian di Cina terjadi sejak tahun 1980, dilancarkan usaha-usaha besar-besaran Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 5: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

untuk melucuti negara. Tidak lama setelah Cina, Uni Soviet mengikuti jejak Cina

dalam memperteli negara dari perannya di bidang ekonomi.

Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunis sudah berguguran di

negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara satelit Uni Soviet. Mulai dengan

Polandia, negara-negara lainnya menyusul satu persatu mengganti sitem komunisme

manjadi sistem kapitalisme. Secara idiologis peristiwa ini sering dirayakan sebagai

kemenangan sebuah sistem terhadap sistem tandingan, tetapi sama dengan yang

terjadi di Amerika Serikat maupun Eropa, inilah saat negara dijadikan kambing hitam

atas kegagalan ekonomi. Bersama-sama mengatakan “emoh negara”.

Ada beberapa pola keterlibatan negara dalam ekonomi yang dibuat oleh

Peirson, antara lain:

Negara sebagai pemilik, bahwa negara mempunyai dampak dalam ekonomi tentu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa negara memiliki baik tanah maupun modal. Negara-negara modern pada umumnya adalah pemilik tanah terbesar.

Negara sebagai pemilik dan produsen, yang dimaksud disini adalah perusahaan-perusahaan milik negara. Di negara-negara sosialis (Uni Soviet, Eropa Timur, Cina dan sebagainya) perusahaan milik negara menjadai pilar utama dalam perekonomian.

Negara sebagai majikan, meningkatkan jumlah perusahaan negara berarti dengan sendirinya juga meningkatkanperanan negara sebagai majikan (employer).

Negara sebagai regulator, negara tidak hanya diam dan berbuat apa-apa di bidang ekonomi. Ia diberi kekuasaan untuk mengadakan intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar.

Negara sebagai redistributor, kekayaan memang tidak dibagi rata pada masyarakat. Maka negara mempunyai negara untuk menjalankan tugas untuk pemerataan kekanyaan itu dengan cara penarikan pajak.

Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi, setelah perang dunia ke II banyak negara Barat maupun non-Barat menetapkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada prilaku ekonomi. Pertama, negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi. Kedua, negara menetapkan kebijakan-kebijakan moneter. Ketiga, beberapa juga menetapkan kebijakan di bidang pendapatan (income). Keempat, kebijakan negara yang disebut industri policy yang mempunyai pengaruh langsung kepada industri.

Segala macam campur tangan (intervention) negara yang ada diatas itu dikritik

dan ditolak oleh para ekonom beraliran neo-klasik atau yang disebut dengan

“neoliberal”. Menurut pandangan mereka, mekanisme pasar (market mechanism) pada

dasarnya sudah cukup untuk menggerakkanroda ekonomi, atau bahwa invisible hand

cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan

hanya akan menimbulkan distorsi.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 6: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Ada dua teori yang terjadinya “emoh negara” yaitu comparative advantage

dan compatitive advantage yang mengatakan bahwa negara tidak hanya berdagang

tetapi juga bersaing. Dengan dukungan yang kuat dan kokoh dari teori ini maka pasar

harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran bahwa pasar harus bebas dimana

dengan menggunduli negara inilah yang menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme”.

Pendapat yang sering disamakan dengan “fundamentalisme” (market fundamentalism)

ini memang tidak menghendaki negara hilang sama sekali, tetapi negara harus

menjadi “minimal state”. Kalau toh negara dibutuhkan, maka negara hanya perlu

memainkan tiga peran: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan

menjamin keamanan (defense). Sering sikap ini disingkat dengan slogan “laissez

faire” tetapi secara fundamental ini sama dengan penolakan negara atau “emoh

negara”.

Kendati semua teori di atas benar, tidak semuan pemimpin negara, terutama

negara-negara non-Barat dapat diyakinkan. Di negara-negara wilayah Asia Timur

misalnya, negara tetap memainkan peran yang dominan. Dipakai istilah

“developmental state” untuk menggambarkan cara dan modus intervensi negara di

Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Cina. Istilah yang dipakai

untuk menerangkan “Asian Mircle” ini pada dasarnya bertentangan secara diametral

dengan yang dipraktekkan di Inggris maupun Amerika Serikat, dua negara yang

begitu bersemangat dalam melucuti negara.

Setelah selesainya perang Dunia II di negara Amerika Serikat muncul istilah

liberalisasi perdagangan, namun hal ini tidak berlangsung lama. Maka muncullah

semacam “kampanye” agar pasar bebas maupun perdagangan bebas diterima dimana-

mana. Ini paling nampak pada kampanye World Bank yang dalam World

Development Report (1995) mengatakan bahwa cara terbaik untuk mengatasi keadaan

kaum pekerja di dunia adalah dengan semakin membuka lebar pada kesempatan-

kesempatan yang ditawarkan oleh ekonomi dunia, ditambah dengan kebijakan-

kebijakan yang “sehat”.

Apa yang dikatakan oleh saudara kembarnya juga tidak berbeda. Sebagaimana

institusi internasional, Iternational Monetary Fund (IMF) terkenal menuntut

“structural adjustment programme”, yakni sebuah program yang ditimpakan pada

negara penghutang untuk menjalankan tiga hal: liberalisme perdagangan, privatisasi,

dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dengan tuntutan ini karena dalam

keadaan tidak berdaya, dan ini cara yang paling efektif untuk mengkikis peran negara Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 7: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

sampai ketingkat paling minimal. Pengalaman di Indonesia membuktikan hal ini, dan

juga negara-negara lain yang menerima bantuan dari IMF. Selain itu, yang

berkepentingan langsung dengan masalah perdagagan dan investasi adalah WTO

(World Trade Organitation).

Agar supaya tekanan untuk meng-emoh-kan negara makin cepat lagi, di dunia

saat ini dikenal berbagai macam “lembaga konstitusi” yang membuat daftar peringkat.

Misalnya, lembaga konstitusi internasional, PERC (Politik and Economic Risk

Consultancy).

Pada awal abad ke-21 ini pemimpin-pemimpin negara setiap hari cuman

mendengar lima kata kunci saja yang berfungsi juga sebagai mantra: 1). Pasar bebas;

2). Perdagangan bebas; 3). Pajak yang rendah; 4). Privatisasi; 5). Deregulasi. Dengan

mengikuti kata ini, maka “emoh negara benar” mendapatkan realisasinya paling

puncak. Negara minggir, sementara para pengusaha (global maupun lokal) bebas

beroprasi kemana saja tanpa restriksi apapun. Negara kini memang sudah menjadi

centeng pera pengusaha yang siap mengusir siapa saja yang coba mengganggu

kenyamanan mereka. Emoh negara pada akhirnya adalah sikap mereduksi negara

menjadi centeng, dan membuang perannya sebagai pengayom bagi seluruh bangsa. Di

sisilah nampak ironi, dan sekaligus kontrasiksi negara modern. Di satu pihak negara

dikerdilkan, tapi dilain pihak negara diperlukan menjadi “centeng” perusahaan asing

(MNC).

2. Negara Centeng dan Globalisasi

Ada dua hipotesa mengenai dampak globalisasi ekonomi pada negara.

Hipotesa yang pertama adalah hipotesa yang dramatis, yang dikemukan oleh Kenichi

Omae. Ia berpendapat bahwa akibat dari globalisasi dirumuskan sebagai gempuran

dari “Four I-s” akan lenyap disebut nation-state. Hipotesa ini memang cocok untuk

dikatakan sebagai “dramatis” karena ia meramalkan suatu hal yang menakutkan yang

menimpa sesuatu yang besar. Hipotesa yang kedua yang dikemukakan oleh Noreena

Hertz (Silent Takeover and the Death Of Demokrasy) kiranya lebih masuk akal. Ia

mengatakan bahwa akibat globalisasi ekonomi, akan terjadilah “the death of

demokrasy”. Para pemimpin negara saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih

oleh rakyat, tatapi mereka lebih memilih sibuk untuk “melayani” pelaku bisnis global

yang tidak memilihnya. Hartz juga mengatakan bahwa para pemimpin negara pada

akhirnya memang tidak berbeda dari “salesman” atau “makelar”. Meraka

menjajakkan negaranya, dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan: lalu lintas mata Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 8: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

uang yang bebas, pajak yang rendah, buruh yang terkontrol, dan sebagainya. Dengan

kata lain, pemimpin negara itu benar-benar telah “menjual” negaranya kepada

kapitalis global demi kursi empuk yang mereka nikmati. Demokrasi telah mati!

Pemimpin negara (PM dan Presiden) yang nampaknya dipilih oleh rakyat, dan untuk

mengabdi kerakyat, telah membelokkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok

kapitalis global yang tidak memilihnya.

3. Pertarungan Dua Kubu

Di dunia kini telah dikenal “World Social Forum” sebuah konfrensi yang

diadakan persis bersamaan ketika diselenggarakan “World Economic Forum” yang

terkhir ini diadakan di gedung mewah di Davos, Swiss dan dihadiri oleh para pelaku

bisnis dan kepala negara yang merancang rencana menguras kekayaan global.

Sementara yang pertama diadakan di kota kecil, Porto Alegre, brasil yang dihadiri

individu maupun LSM dari seluruh dunia yang perihatin akan kehancuran dan

kesengsaraan global akibat ulah kapitalis global. Dua forum ini saling berhadapan

satu sama lain, yang masing-masing memiliki pengikut yang kuat.

Titik perdebatan antara dua kubu meruncing dan mengarah kepada tiga pilar

dari sistem ekonomi liberal/neoliberal: World Trade Organitation (WTO), World

Bank, dan IMF. Orang-orang yang tergabung dalam World Economic Forum

memandang tiga organisasi multilateral itu sebagai “kunci” sukses dari sistem

ekonomi liberal. Dunia akan makmur dan sejahtera karena bantuan dari tiga organisasi

itu yang menjalankan supervisi. Sementara mereka yang ada dalam World Social

Forum mengkritik habis kehadiran kedua-duanya. Tokoh-tokoh seperti Walden Bello

bahkan mengatakan bahwa tiga institusi itu harus dibubarkan. Kesengsaraan petani

dan buruh, kerusakan lingkungan adalah akibat dari diterapkannya peraturan dan

ketentuan yang dibuat oleh WTO, WB, dan IMF.

BAGIAN II AKTOR DAN PREDATOR GLOBAL

Pada bagian keduan ini, penulis berusaha menerangkan dan mengupas tentang

dua hal yaitu, Pertama, organisasi-organisasi dunia yang menjadi aktor dan predator

global seperti Korporasi, IMF, WTO dan yang Kedua tentang korupsi global.

1. Organisasi-organisasi Dunia (IGO: Intenational Governmental Organization)

Pada mulanya yang ada hanyalah negara, tidak ada yang sekarang disebut “aktor

global”. Negaralah satu-satunya aktor internasional. Negara dan negara saling berintraksi

dan berembuk untuk menyelesaikan masalah antar mereka, waktu itu, yaitu perang.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 9: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Diplomasi bertujuan untuk menyelasaikan perang. Pertemuan-pertemuan internasional

bertujuan untuk menghentikan perang.

Namun seiring dengan meningkatnya kegiatan manusia di tingkat internasional,

muncullah yang disebut “Organisasi Internasional Pemerintahan” (IGO: Intenational

Governmental Organization). Seiring dengan jumlah organisasi internasional juga

muncul istilah “non-governmental organitation” (INGO) dan yang terakhir disebut

TGO, yang terdiri dari aktor-aktor pemerintah tetapi mereka tidak dikendalikan oleh

kebijakan luar negeri dari negara mereka, seperti Inter-Parlementary Union, Interpol.

Selain itu, ada aktor internasional lain yang sangat menonjol yaitu perusahaan

multinasional atau multinational corporation (MNC). Pertumbuhan perusahaan ini

sangat pesat, baik dalam hal jumalah perusahaan maupun jumalah aset yang dikuasai.

Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas

perekonomian global. Sebanyak 500 korporasi besar papan atas mengendalikan 70

persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80

persen hasil industri dunia. Karena kuatnya ekonomi dari MNC, yang bahkan bisa

melebihi ekonomi sebuah negara, MNC dipandang sebagai aktor yang penting di zaman

globalisasi saat ini.

Ada banyak aktor internasional lain yang tidak dibicarakan dalam buku ini,

seperti teroris internasional, global international crime, dan individu. Yang paling

menarik dibahas dalam buku ini adalah bagaimana aktor global itu menimbulkan negara

centeng. Penulis juga mengutip pembicaraan Ngaire Wood yang berbicara tentang tiga

IGO yang disebutnya globalizers, yang memaksakan globalisasi kepada negara-negara,

terutama negara lemah. Mereka ini adalah IMF, World Bank, dan WTO. Hal ini dapat

dikatakan yang menjalankan tugas untuk membuat gerak globalisasi sukses. Negara-

negara di seluruh dunia, terutama negara-negara Dunia Ketiga, mereka paksa untuk

menjalankan “Washington Consensus”, sebuah kata sandi untuk mengatakan tiga

kebijakan neoliberalisme, yaitu deregulasi, privatisasi, dan perdagangan bebas. Asalkan

tiga kebijakan ini dijalankan dengan konsisten, maka dunia ini akan menjadi tanah

lapang luas tanpa sekat-sekat, dan peran negara dikikis sampai ketingkat paling minimal.

Globalisasi akan menjasi the only game in town.

Selain mengutip perkataan Ngaire Wood penulis juga mengutip tulisan David

Korten (when corporations rule the world) yang menjalaskan secara gamblang sepak

terjang MNC ditingkat Dunia sedemikian rupa sehingga banyak negara, terutama negara

Dunia Ketiga, yang kewalahan menyusun kebijakan yang menguntugkan rakyatnya. Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 10: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Misalnya beberapa MNC besar ini sebenarnya telah mebangun sebuah jaringan monopoli

yang dengan mudah mengatur harga dan menguasai pasar global. Perusahaan tingkat

nasional dengan skala yang lebih kecil tidak mungkin bersaing dengan mereka. Yang

terjadi malah mereka bersaing satu sama lain untuk memperolah order dari MNC sebagai

bagian dari strategi outsourcing. Inilah persaingan yang menggorok leher yang

mengiring pada jurang kehancuran para buruh dan lingkungan hidup (istilahnya : race to

the bottom).

Negara yang sudah dicukur perannya oleh IMF, World bank, dan WTO tidak

berkutik, tidak manpu berbuat apa-apa, mengahadapi gerakan MNC ini. Juga seandainya

negara ingin berbuat sesuatu. Negara harus memilih atau dia membiarkan semua ini

berjalan seperti apa adanya, atau dia kehilangan sumber pemasukan yang dari perusahaan

itu. Tentu negara memilih yang pertama, bahkan juga negara-negara demokratis. Sekali

lagi, persoalannya adalah survival of the state. Demi yang satu ini negara rela menjadi

centeng bagi para pengusaha, pengusaha lokal, maupun pengusaha global.

2. Korupsi Global

Penulis dalam hal ini mengambarkan tentang bagamana kuropsi terjadi di

berbagai belahan dunia yang mambuat kita terkejut dan tercengang dengan apa yang

terjadi secara global di berbagi negara. Seperti yang terjadi di Tanaka pada tahun 1971,

dimana seorang Perdana Mentri jatuh dari jabatan gara-gara kasus suap oleh perusahaan

Lockheed Corporation (AS). Selain di Tanaka ada beberapa kasus lain yang berturut-

turut muncul yang memperlihatkan betapa pelaku bisnis internasional telah melakukan

korupsi (suap) kepada sebuah pemerintah negara lain. Peraturan di Jerman sangat ironis

dengan peraturan di AS, Jerman memberikan keringanan membayar pajak kepada

perusahaan yang mengeluarkan dana untuk menyuap dengan syarat mencantumkan nama

orang yang memberi suap. Di Amerika Serikat terkenal dengan UU yang melarang

perusahaan Amerika memberikan suap, terbukti tidak bebas dari suap menyuap ini. AS

mendapat nilai 5,3 dari skala 10. Menurut majalah Forum pula, nilai ini sama buruknya

dengan yang diperoleh oleh pengusaha-pengusaha Jepang, tapi lebih buruk dari pada

nilai yang diperoleh perusahaan-persahaan dari Perancis, Spanyol, Jerman, Singapura,

dan Inggris. Yang paling sedikit melakukan suap adalah perusahaan-perusahaan dari

Australia, Swedia, Swis, Austria, Kanada, Belanda, dan Belgia.

Negara-negara di Dunia Ketiga yang sedang giat membangun merupakan

makanan empuk bagi koruptor global. Tidak terlepas juga di Indonesia yang akhir-akhir

ini sudah masuk dalam 5 besar negara-negara terkorup di Dunia.Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 11: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Yang paling penting dalam pambahasan bab ini, penulis menggunakan istilah

predator global kepada negara-negara yang mengeruk keuntung terhadap negara-negara

yang sedang berkembang dengan dalih investasi dan bantuan (negara-negara yang

terkena bencana) yang diberikan kepadanya dalam jumlah yang tidak sedikit. Suatu

contoh yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana negara dalam kedaan cengkraman-

cengkraman perusahaan asing. Bank-bank utama di Indonesia (sejumlah 23) kini telah di

kuasai oleh bank-bank asing dengan ukuran lebih dari 44,5 persen sahamnya dikuasai

oleh bank asing. Kekanyaan alam berupa minyak, tembaga, nikel, telah dikuasai oleh

MNC seperti Exxon, Chepron, Freeport, Newmont. Semuanya hanya memberikan

keuntungan yang sangat kecil kepada Indonesia.

BAGIAN III NEGARA CENTENG DAN WARGA NEGARA

Ruang lingkup bagian ketiga ini penulis mengupas terkait dampak globalisasi

pada warga negara mulai dari petani, buruh, hingga penduduk asli.

Penulis dalam menggambarkan tentang warga negara mengutip tulisan T.H.

Marshall, salah seorang sosiolog penting yang mangamati munculnya konsep warga

negara, semua hak warga negara itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: Civil, Political,

Social. Yang pertama adalah hak warga negara untuk menikmati kebebabasan,yang

kedua adalah hak untuk ikut dalam pelaksanaan kekuasaan dan yang ketiga hak untuk

memperoleh segala pelayanan sosial, bahkan termasuk hak untuk hidup sebagai manusia

yang beradab. Tentu saja ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dari manusia

dari perang Dunia II usai. Sampai sekitar tahun 1980-an negara tidak lagi dapat begitu

saja menindas, manganiaya atau mencampakkan warga negaranya.

Munculnaya individualisme pasar, paham negara sedikit demi sedikit tergerus,

begitu pula paham warga negara. Begitu negara memainkan peran sebagai “centeng” dan

sebagai “makelar”, komitmennya terhadap warga negaranya menyusut. Karena tugasnya

adalah menjadi centeng perusahaan multinasional, maka warga negara akan dihalau pergi

jika warga negara mangadakan tindakan yang membahayakan perusahaan itu. Karena

tugasnya sebagai makelar bagi perusahaan multinasional, maka warga negara akan

dihitung dalam paket yang ditawarkan dan dijual kepada perusahaan tersebut. Begitulah,

negara melepaskan tanggung jawabnya terhadap warga negara.

Petani dalam Jeratan Globalisasi Pertanian

Masuknya MNC industri pangan ke Dunia Ketiga ini selalu dikampanyekan

sebagai berkat karena mereka modal dan teknologi. Produksi pangan dapat ditingkatkan

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 12: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

lewat bioteknologi sehingga secara teoritis dunia tidak akan mengalami kelaparan. Tetapi

apa yang terjadi! Malah sebaliknya kedatangan MNC justru menggoncang pertanian

negara yang didatangi, disamping kehancuran ekologi, belum lagi amsalah sosial yang

menjadi akibatnya. Seperti nampak pada contoh-contoh di atas globalisasi industri

pangan malah membuat petani menderita, bahkan kelaparan.

Pertanyaan yang sangat fundamental dalam bab ini adalah nampaknya ada

hubungan sebab-akibat antara kesengsaraan petani dan negara. Lho, mengapa begitu?

Jawabannya adalah karena negara telah “menjerumuskan” petani dalam kesengsaraan

karena negaralah yang menentukan menentukan ekonomi makro. Kedua, negara pula

yang memberi ijin masuknya MNC industri pangan kewilayahnya untuk beroprai.

Negara nampaknya tidak berpihak kepada warganya, bahkan menorbankan mereka!

Globalisasi dan Dampaknya Pada Buruh dan Masyarakat Lokal

Pada awalnya tidak ada “globalisasi”, yang ada hanya perdagangan antar pulau,

dan perdagangan antar negara. “Globalisasi” dalam arti sesungguhnya – intensif,

ekstensif, dan cepat – baru muncul sekitar tahun 1990-an, ketika seluruh dunia, tanpa

kecuali masuk dalam pusaran itu. Hal ini didorong, secara kebetulan oleh runtuhnya Blok

Uni Soviet dengan sistem sosialisnya.

Seiring dengan berkembangnya globalisasi, banyak negara yang manjadikan ini

sebagai tujuan yang akan dan harus dicapai dengan berbagai macam cara. Kalau proyek

pemabangunan nasional dijalankan oleh pemerintah nasional dan terarah kepada

kepentingan nasional, Proyek Globalisasi berarti mambangun seluruh dunia dan isinya

menuju kesejahteraan global. Caranya memakai mekanisme pasar bebas dan pelakunya

adalah perusahaan multinasional, institusi internasional (WB, IMF dan WTO), dan juga

LSM (lokal maupun internasional).

Apa dampaknya semua itu pada perburuhan dan masyarakat lokal? Bagian ini

mencoba untuk menjawab pertanyaan itu dan menajawab dalam empat langkah.

Pertama, seluruh dunia tersedot pusaran “proyek globalisasi”. Kedua, proyek globalisasi

ini mendorong munculnya pasar tenaga kerja diseluruh dunia yang dapat dikeruk oleh

pengusaha lokal maupun internasional. Ketiga, karena mekanisme pasar bebas itu

dijalankan, maka diterapkan pola produksi yang menganut lean produktion. Peralihan ini

menyebabkan buruh terpuruk-puruk! Pada akhirnya, keempat ditanyakan dimana peran

negara. Mengapa negara diam? Tidak menulurkan tangan kepada para buruh?

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 13: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAGIAN IV MENYIKAPI GLOBALISASI

Dalam ruang lingkup bab ini, ada beberapa permasalahan yang paling disoroti

oleh penulis yaitu terkait dengan tilisan Jeffrey Sachs dalam bukunya yang berjudul The

End of Poverty, beliau seorang ekonom kondang dari Universitas Columbia. Dalam

bukunya ia mengatakan bahwa orang miskin adalah bukan orang miskin itu sendiri,

melainkan merupakan urusan banyak orang, urusan global. Dan sisi lain, ia mengatakan

situasi kemiskinan harus dipahami sebagai suatu yang menjebak. Dan istilah yang

dipakai adalah jebakan kemiskinan (poverty trap). Betapa pun orang ingin keluar dari

jebakan, ia tidak mampu melakukan hal itu dengan kekuatan sendiri. Benar-benar seperti

hewan hutan yang tertangkap masuk jebakan.

Selanjutnya Sachs mengusulkan bahwa jebakan kemiskinan harus langsung

ditangani dan digarap, yaitu dengan memberikan bantuan langsung. Tetapi dia tidak

mengatakan ingin menciptakan sikap ketergantungan kepada bantuan. Namun disamping

itu, ada dua pendekatan yang digunakan oleh Sachs. Pertama, dia menempatkan peran

“public sector” dalam seluruh proses menagatasi kemiskinan. Bantuan yang dibagikan

kepada public sector itu diarahkan untuk modal manusia (kesehatan, pendidikan, dan

nutrisi), infrastruktur (jalan, listrik, air dan sanitas, perlindungan lingkungan), modal

alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem) modal lembaga publik

(administrasi publik yang dikelola baik, sistem pengadilan, polisi), dan bagian dari modal

pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi, pertanian, cuaca dan ekologi).

Dan yang Kedua adalah ia menghidupkan peran PBB.

Dari sudut yang berbeda, asumsi Sachs sangat bertentangan dengan asumsi IMF

maupun World Bank. Dua organisasi ini kini lebih suka berbicara “global governance”

yang tetap mengandalkan mekanis pasar, sementara Sachs cendrung memakai “global

government” di samping pasar untuk menyelesaikan masalah kemiskinan.

Selain pandangan Jeffrey Sachs, dalam bab ini juga penulis memetakan 10

keperhatinan dan 10 pelanggaran besar yang ditimbulkan oleh perusahaan multinasional

(MNC) di zaman globalisasi. Pada 10 bidang ini MNC telah menimbulkan masalah

sosial, dan meninggalkan jejak yang mengerikan.

Sepuluh Keprihatinan

New Democracy merupakan alternatif terhadap demokrasi yang sekarang ada.

Demokrasi baru ingin membuat rakyat benar-benar berdaulat, dengan membuat pelaku

bisnis (domestik maupun internasional) tunduk kepada kontrol rakyat.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 14: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Masih segaris kedaulatan rakyat, Subsidiarity berarti menuntut agar apa yang

dapat diputuskan ditingkat bawah, tidak diputuskan ditinggkat atas. Saat ini banyak

keputusan diambil oleh pusat tanpa menghiraukan daerah atau lokal. Lewat Subsidiarity

diperjuangkan otonomi dan independensi penduduk setempat.

Model ekonomi yang disebut “ekonomi pertumbuhan” mengandaikan sumber

daya alam yang tak terbatas, yang dapat dikeruk dan dikuras sampai tandas. Ternayata

asumsi ini meleset jauh. Ekonomi pertumbuhan terbukti mendorong terjadinya

penghancuran lingkungan: sungai, gunung, lautan, dan udara. Stelah hancur dan habis,

tidak ada kelanjutan (Ecological Sustainability).

Yang keempat adalah Common Heritage (warisan bersama), suatu hal yang

langsung bertabrakan dengan program privatisasi. Umat manusia memiliki warisan

bersama ini berupa ekologi, kebudayaan dan pengetahuan, sumberdaya modern yang

berupa pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Bahaya besar yang sedang

mengancam sekarang bahwa warga negara harus membayar untuk memakai semua itu

akibat privatisasi yang didalangi oleh MNC.

Tentang Diversity atau keragaman: sekalipun tidak direncanakan sedemikian

rupa, globalisasi ekonomi secara sistematis tidak hanya mengancam warisan bersama

umat manusia tetapi juga menghilangkan keregaman. Hal ini dianggap sebagai hambatan

besar oleh MNC.

Human Rights, banyak orang yang kehilangan hak-hak asasi mereka seperti

perumahan, makanan, air bersih, dan sebagainya, itupun disebabkan oleh ulang

globalisasi yang mendukung MNC.

Jobs, Livehood, Employment, hal ini terkait langsung dengan kaum buruh. Ketika

MNC merambah dunia, buruh-buru diseluruh dunia seakan menemukan kepahitan dan

cengkraman yang menakutkan bekerja denagan mereka.

Food security and safety, pada zaman sekarang produksi makanan juga

mengalami komodifikasi dan privatisasi. Memang produksi makanan meningkat seiring

dengan kemajuan teknologi, tatpi hal ini justru tidak mengurangi orang menderita

kelaparan. Hal ini terjadi karena sepak terjang dari MNC yang sengaja merugikan dan

menindas kaum petani.

Equality (kesamaan) yang terjadi sekarang adalah ketimpangan skala global.

Begitu banyak orang yang terpinggirkan dari globalisasi ekonomi dan begitu sedikitnya

orang yang menikmati mamfaat dari globalisasi ekonomi. Terjadi jurang pemisah yang

mengerikan terjadi antara si miskin dan si kaya.Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 15: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Kerusakan yang menimpa masyarakat dan lingkunagn saat ini sudah terlalu parah

ketika ditemukan. Suangai disemari bahan kimia beracun dari sebuah perusahaan

diminum dan dipakai bertahun-tahun. Ketika banyak orang sakit dan mati, baru orang

tersadar tetapi terlambat. Peristiwa ini sudah terlalu sering terjadi karena semua ini

berkaitan dengan teknologi. Ketika sejenis teknologi ditemukan dan dipakai orang tidak

menyadari akibat yang ditimbulkan. Precautionary Principle mengatakan bahwa

perusahaan sejak dini harus memberi tahu kepada masyarakat semua resiko dari

teknologi yang akan dan sedang kita pakai. Seandainya suatu perusahaan tidak

menerapkan perinsip ini, maka perusahaan itu dapat dituntut.

Sepuluh Pelanggaran

Sepuluh pelanggaran ini terkait dengan dengan apa yang diuraikan diatas yaitu

MNC melanggar demokrasi, tidak menjalankan subsidiaritas, tidak melindungi lingkunga

hidup, merusak common heritage, menghancurkan keragaman, melanggar hak-hak asasi

manusia, merusak pekerjaan, kehidupan dan kesempatan kerja, tidak menyediakan

kecukupan pangan dan keselamatan pangan, melanggar kesamaan, dan tidak menerapkan

“Precautionary Principle”.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 16: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

B. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan didalam buku ini adalah bahwa

peran negara saat ini sudah mulai pudar dan di kerucutkan, itu di mulai dengan

datangnya istilah era globalisme dan era neoliberalisme. Kedua kekuatan ini saling

menguatkan satu sama lain, sehingga negara dibuatnya tidak berkutik, bahkan dijadikan

“centeng” bagi para saudagar kaya atau dengan kata lain globalisasi membuat negara

menjadi semakin kerdil. Dan para pemimpinnya mau tidak mau harus menjadi

“salesman” atau makelar untuk negaranya. Di lain pihak kedua kekuatan ini setuju

dengan pendirian Friedman bahwa ganti negara dengan pasar, atau dengan kata lain

“emoh negara” negara harus dihilangkan, atau kalu tidak sekurang-kurangnya diciutkan

ukurannya.

Seiring dengan meningkatnya peran globalisasi dan neoliberal muncul juga istilah

“aktor dan predator global” yang senantiasa bergerak untuk mendirikan “negara

centeng”. Yang paling besar pengaruhnya terhadap kehidupan bernegara saat ini adalah

perusahaan multinasional atau multinational corporation (MNC), IMF, WB, dan WTO.

Mereka ini dapat dikatakan sebagai penggerak globalisasi sukses. Di Indonesia menurut

Siswono saat ini berada dalam cengkraman perusahaan asing. Bank-bank utama di

Indonesia (sejumlah 23) kini telah di kuasai oleh bank-bank asing dengan ukuran lebih

dari 44,5 persen sahamnya dikuasai oleh bank asing. Kekanyaan alam berupa minyak,

tembaga, nikel, telah dikuasai oleh MNC seperti Exxon, Chepron, Freeport, Newmont.

Semuanya hanya memberikan keuntungan yang sangat kecil kepada Indonesia.

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh aktor global diatas. Pertama,

seluruh dunia tersedot pusaran “proyek globalisasi”. Kedua, proyek globalisasi ini

mendorong munculnya pasar tenaga kerja diseluruh dunia yang dapat dikeruk oleh

pengusaha lokal maupun internasional. Ketiga, karena mekanisme pasar bebas itu

dijalankan, maka diterapkan pola produksi yang menganut lean produktion. Peralihan ini

menyebabkan buruh terpuruk-puruk!

Kesimpulan terkhir dari pembahasan buku ini adalah negara saat ini berada dalam

momok globalisasi yang lambat laun akan melenyapkan negara.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 17: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAB III

TANGGAPAN TERHADAP ISI BUKU

Setelah membaca buku berjudul “NEGARA CENTENG, Negara dan Saudagar di

Era Globalisasi” yang ditulis oleh I. Wibowo, Ph.D, di terbitkan oleh Kanisius,

Jogjakarta Tahun: I, 2010 dan tebal bukunya adalah 270 halaman. Kami seakan

mendapat pencerahan yang sangat dalam. Dengan bahasa ilmiah yang lugas dan mudah

dicerna, penulis menjelaskan dengan mendalam tanpa ada kesan berpanjang lebar.

Disinilah letak kelebihan dari buku ini. Pembaca tidak akan bosan membaca, karena

uraian pada tiap bagian sangat singkat namun padat dan kaya makna.

JUDUL buku ini amat provokatif: Negara Centeng! Bagaimana eksistensi negara

di tengah pusaran globalisasi menjadi fokus buku ini. Mengandalkan pendekatan

struktural, analisis ekonomi dan politik ditangani bersamaan, tidak terpisah. Negara

centeng merupakan metafora yang bermakna pelindung bayaran dari sekelompok kecil

saudagar, nasional, maupun global (hlm 7). Negara centeng lahir dari dampak globalisasi

yang merekomendasikan pasar bebas dan perluasan kekuasaan ekonomi-politik

(http://radjanusantara.blogspot.com). Di mana kedudukan negara centeng di antara

literatur tentang negara? Arief Budiman dalam Adnyana (Jawa Pos, 2010:6) membagi

teori negara menjadi dua kelompok besar. Pertama, teori yang menekankan negara

sebuah lembaga mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Kedua, teori

yang mengatakan negara bukan lembaga mandiri. Negara hanya arena bagi kekuatan-

kekuatan sosial bertarung untuk saling menguasai.

Pada kelompok kedua itu, terdapat dua varian. Pertama, kaum pluralis yang

menganggap negara hanya melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam di

masyarakat. Dalam cara pandang tersebut, kebijakan negara merupakan hasil kompromi

dari kekuatan-kekuatan sosial itu. Kedua, varian kaum Marxis, yang mengatakan negara

dikendalikan kelompok paling dominan, yakni kaum kapitalis. Negara centeng termasuk

varian Marxis dari kelompok teori kedua. Menurut saya, negara centeng mirip gagasan

negara panitia borjuisnya Karl Marx. Bedanya, negara centeng tidak otonom. Negara

centeng sama sekali dikuasai kaum saudagar, terutama saudagar global. Dengan

demikian, konsep negara centeng cenderung bersifat determinis. Para penyokong

globalisasi meyakini kemakmuran masyarakat terwujud bila mekanisme pasar menjadi

satu-satunya aturan main dalam perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada tiga

tugas pokok: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan keamanan.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 18: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Lima kata kunci bagi pemerintah adalah pasar bebas, perdagangan bebas, pajak

yang rendah, deregulasi, dan privatisasi (hlm 53). Ajaran bahwa pasar harus bebas di

mana-mana dengan menggunduli peran negara itulah yang menjelma menjadi ajaran

”neoliberalisme”. Ekonom yang haluannya berseberangan telah membantah kisah sukses

globalisasi dan neoliberalisme (Jawa pos, 2010:6). Perusahaan multinasional atau

multinational corporations (MNC), lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank,

dan WTO), dan pemerintah negara-negara maju merupakan pendukung utama

globalisasi. Kerja sama ”segi tiga” antara pemerintah negara maju, lembaga keuangan

internasional, dan MNC menekan pemerintah di negara (berkembang) membuka akses

pasarnya. Biasanya, lembaga keuangan internasional memberikan pinjaman dengan

imbalan pemerintah negara bersangkutan membuat kebijakan membuka akses pasar

domestiknya. Pada kasus Indonesia, IMF menuntut ”structural adjustment programme”,

yakni program yang ditimpakan pada negara pengutang untuk menjalankan tiga hal:

liberalisasi pasar, privatisasi, dan deregulasi (hlm 47). Kekuatan saudagar global tidak

bisa dipandang enteng. Pada 1983 lima bank sentral (Amerika Serikat, Jerman, Jepang,

Inggris, dan Swiss) digabung untuk menguasai cadangan devisa USD 139 miliar,

sedangkan kekuatan pasar uang cuma USD 39 miliar. Tetapi, pada 1986 keduanya telah

mencapai titik seimbang dan 1992 kekuatannya telah bergeser. Lima bank sentral hanya

memiliki cadangan devisa USD 278 miliar, sedangkan di pasar uang beredar USD 623

miliar. Kini para pedagang di pasar memiliki kekuatan 2:1 terhadap bank sentral (hlm

58). Selain pasar uang, 200 korporasi papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas

perekonomian global. Sebanyak 500 korporasi papan atas mengendalikan 70 persen

perdagangan dunia dan 1.000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 persen hasil

industri dunia (hlm 88).

Jumlah MNC dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 1988 tercatat 18.500

MNC. Belum sampai 10 tahun, angkanya sudah melambung menjadi 59.902. Pada 2000

jumlah MNC telah mencapai 63.000 (hlm 100). Penulis mengidentifikasi beberapa

kebijakan nasional sejalan dengan agenda globalisasi. Misalnya, UU No 13/2003 tentang

Ketenagakerjaan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7/2004 tentang

Sumber Daya Air, UU No 2005/2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No

25/2007 tentang Badan Hukum Pendidikan. Begitu pula penguasaan aset ekonomi dan

kekayaan alam oleh asing kian bertambah. Saham bank-bank utama di Indonesia (23

buah) kini telah dikuasai bank-bank asing hingga 44,5 persen lebih. Kekayaan alam

berupa minyak, tembaga, dan nikel dikuasai korporasi multinasional seperti Exxon, Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 19: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Chevron, Freeport, dan Newmont. Ironisnya, Indonesia membuka pasarnya lebar-lebar

untuk produk-produk seperti daging sapi, susu, kedelai, bawang putih, tebu, buah-

buahan, dan garam (hlm 133-134). Dengan kekuatan ekonominya, MNC mampu

mengadu negara satu dengan negara lain, politikus satu dengan politikus lain, memilih

mana yang memberikan syarat-syarat lebih ringan. MNC mendatangi kepala-kepala

pemerintahan, menawarkan lapangan pekerjaan, investasi di bidang infrastruktur, dan

pertumbuhan ekonomi. MNC akan melihat pemerintah mana yang mampu memberikan

penawaran tertinggi. Jika sebuah negara menetapkan upah buruh tinggi, pajak yang

tinggi atau syarat-syarat ketat dalam mendirikan pabrik, MNC akan ”mengancam”

hengkang dari negara tersebut (hlm 62-63). Globalisasi merugikan rakyat kelas bawah.

Kepentingan MNC yang menekan upah akan merugikan kalangan kaum pekerja.

Kepentingan MNC membayar pajak serendah-rendahnya akan mengurangi pendapatan

negara. Selanjutnya, kemampuan pemerintah memberikan tunjangan sosial bagi rakyat

kelas bawah jadi berkurang. Dampak globalisasi bagi demokrasi sangat memprihatinkan.

Dalam literatur lain dikatakan bahwa kekuatan globalisasi ekonomi atau globalisasi

kapitalisme adalah liberalisme ekonomi. Ilmuwan menyebutnya kapitalisme pasar bebas.

Berbeda dengan kapitalisme kesejahteraan, yaitu kapitalisme yang diregulasi dan

direformasi, kapitalisme ini tidak membiarkan pasar berjalan sebebas-bebasnya tanpa

kendali, tapi perlu diatur agar kapitalisme memberikan keuntungan dan keadilan sampai

orang-orang dibawah tingkat kesejahteraan (http://najwalia.multiply.com).

Persoalannya, kepada siapa sesungguhnya pemimpin negara itu mengabdi?

Noreena Hertz mengatakan, globalisasi ekonomi menjadi lonceng ”kematian demokrasi”.

Pasalnya, hasil akhir kebijakan negara cenderung menguntungkan kelompok dominan

(kaum kapitalis). Para pemimpin politik yang dipilih rakyat ternyata sibuk melayani

pelaku bisnis global daripada rakyat yang memilihnya. Gejala itu tidak berarti sistem

demokrasi telah mati.

Partai politik tetap eksis. Pemilu reguler tetap terselenggara. Pers relatif bebas dan

seterusnya. Namun, semua itu hanya kamuflase atau pertunjukan teater saja. Di balik

semua itu, yang terjadi sesungguhnya pertarungan antarkapitalis. Partai-partai

mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai pada akhirnya adalah

kemenangan kelompok kapitalis tertentu. Buku ini memberikan wacana alternatif tentang

negara di tengah hiruk-pikuk demokrasi dan globalisasi yang kian menderu-deru.

Di bagian akhir penulis mengatakan, buku ini tidak mendukung fasisme,

otoritarianisme, komunisme, atau varian-varian lainnya. Semua bentuk kesewenang-Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 20: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

wenangan harus ditolak, terutama oleh negara. Sistem demokrasi dengan segala

kekurangannya harus tetap didukung sebagai sitem yang dapat diapakai untuk

membangun negara yang kuat. Di dunia saat ini ada banyak contoh negara yang kuat

dengan sistem demokrasi yang bagus. Pesan ini seakan membuat kita optimis dengan

pendidrian bahwa negara akan tetap berjaya menghadapi segala macam cengkraman,

rongrongan, dan bantaian dari segala penjuru dengan tetap berpegang pada asas-asas

demokrasi yang benar.

Namun ada yang perlu dingat yaitu perkataan Paul Valery, filsuf Prancis yang

mengatakan “Si l’État est fort, il nous écrase; s’il est faible, naus pérrisons”. Kalau

negara itu perkasa, kita digilas. Kalau ia lunglai, kita binasa.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Page 21: Laporan BUKU NEGARA CENTENG, Negara Dan Saudagar Di Era Globalisasi

NEGARA CENTENGNegara dan Saudagar di Era Globalisasi

I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

DAFTAR PUSATAKA

Wibowo. I. (2010). Negara Centeng, Negara dan Saudagar di Era Globalisasi.

Jogjakarta. Kanisius.

Adnyana. Y. (2010). Negara di Tengah Momok Globalisasi. Jawa Pos. Edisi Minggu 5

September 2010. Halaman 6.

Najwalia. (2008). Pengaruh Globalisasi terhadap kehidupan Bangsa dan Negara. http://

najwalia.multiply.com/journal/item/78. Diakses pada tanggal 16 Nopember 2010.

........ (2008). Negara & Mitos Globalisasi. http://radjanusantara.blogspot.com/2008.html.

Diakses pada tanggal 16 Nopember 2010.

Laporan BukuOleh Sawaludin/1006995PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia