laporan akhir praktikum · web viewlaporan akhir praktikum. dari sambatan menuju “sambat”?...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
DARI SAMBATAN MENUJU “SAMBAT”?
Disusun oleh :
Monika Btari Pramaninggar (18/430844/SP/28688)
Putri Berlyanti (18/424752/SP/28300)
Jelena Jasmine (18/424746/SP/28294)
Rahman Kurnia Saputra (18/428313/SP/28522)
Dimas Septian Atmaja (18/424740/SP/28288)
Rainhard Sitohang (16/399471/SP/27604)
MATA KULIAH : Metode Penelitian Kualitatif 1
DOSEN PEMBIMBING : Prof. Tadjuddin N.E
Dr. Suharko
Fuji Riang Prastowo, S.sos, M.Sc.
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… 2
BAB I . PENDAHULUAN…………………………………………………………… 3
1.1 Latar Belakang..…………………………………………………………… 3
1.2 Rumusan Masalah……………………………………….………………… 4
1.3 Metodologi Penelitian………………………..…………………………… 4
a. Metode Penelitian………………………..………….………………… 4
b. Data dan Sumber Data………………………………………………… 4
c. Teknik Pengumpulan Data………………………………………..…… 4
1.4 Kajian Terdahulu (Literatur Review)……………………………………… 5
1.5 Teori……………………………………………………………………….. 7
BAB II. DESKRIPSI WILAYAH………..…………………………………………… 9
BAB III. ANALISIS………………………………………………………….………. 12
3.1 Kerja Sosial……………………………………………………………..… 12
3.2 Sosialisasi…………………………………………………………….…… 13
3.3 Partisipasi……………………………………………………………….… 15
3.4 Alasan Ikut…………………….………………………………………..… 21
3.5 Tekanan Sosial terhadap Pemuda…………………………………….....… 22
3.6 Makna Kerja Sosial…………………………….………………………..… 24
BAB IV. KESIMPULAN……………………………………..………….…………… 27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….………… 29
LAMPIRAN……………………………………………………………………...…… 30
A. Daftar Informan………………….……………………………………… 30
B. Poster………………………………………..…………………………… 31
C. Data Networking Kelompok……………………..……………………… 32
D. Data Networking Individu…………………………….………………… 33
E. Daftar Data Kompilasi Tugas Individu……………………………..…… 38
LAMPIRAN FOTO…………………………………………………………………… 39
2
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerja sosial atau yang kerap disebut dengan “Sambatan” merupakan kegiatan yang
masih dilakukan oleh masyarakat pedesaan maupun masyarakat peralihan. Gotong royong
merupakan salah satu contoh dari kerja sosial, di masyarakat Jawa, gotong royong merupakan
sebuah bentuk kewajiban moral sehingga warga secara tidak langsung memiliki kewajiban
untuk berpartisipasi di dalamnya. Di pedesaan khususnya, masih sering diadakan “sambatan”
atau biasa disebut gotong royong maupun kerja sosial. Gotong royong pada masyarakat
pedesaan Jawa merupakan sebuah gambaran relasi sosial yang bersifat tradisional, harmonis,
dimana pekerjaan diselesaikan melalui hubungan timbal balik, saling membantu, dan
masyarakat ini termotivasi oleh etos kerja dan semangat untuk mencapai kepentingan serta
tujuan bersama.
Nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pedesaan seakan mewajibkan adanya
kegiatan yang dilaksanakan oleh para pemuda desa sebagai generasi penerus. Kagiatan ini
dapat bersifat rutin maupun kondisional, mulai dari acara dengan skala kecil, hingga skala
besar. Bentuk kerja sosial yang dilakukan oleh pemuda di desa antara lain yakni gotong
royong, menjadi panitia acara tujuh belasan, nyinom atau laden, olah raga bersama, halal
bihalal, kumpulan atau rapat pemuda, nyumbang, arisan rutin dan masih banyak lagi.
Jumlah partisipan dalam kerja sosial di desa masih terbilang tinggi, mereka tergabung
dalam keanggotaan karang taruna di desa maupun dusun masing-masing. Anggotanya banyak
dari kalangan anak SMP, SMA hingga mahasiswa. Tak hanya dalam jumlah secara
administratif, jumlah partisipan yang berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan kepemudaan
maupun kegiatan di desa memang terbilang tinggi.
Dari pemaparan latar belakang di atas, kami ingin mengetahui mengenai motivasi-
motivasi para pemuda untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan kerja sosial di desa serta
bagaimana mereka memaknai kerja sosial itu sendiri.
3
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana partisipasi pemuda terhadap kerja sosial yang ada di desa?
1.3 Metodologi Penelitian
a. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan
grounded theory. Pendekatan ini melihat realita secara langsung di lapangan
melalui observasi bukan untuk membuktikan teori yang sudah ada. Daripada
membuktikan hipotesis, metode ini memulai observasinya tanpa prasangka dan
stigma (Babbie, n.d.). Dalam penelitian ini terdapat enam orang informan yang
diwawancarai dalam waktu dua hari, yakni pada 27 dan 28 April 2019 di Desa
Girikerto. Peneliti melakukan wawancara informan yang dipilih secara acak dari
tiga dusun yang ada di desa tersebut. Informan terpilih terdiri atas pemuda yang
kebetulan menjadi pengurus karang taruna di dusun, pemuda pemudi yang
berpartisipasi aktif dan pemuda pemudi yang kurang berpartisipasi secara aktif
dalam kerja sosial, hal ini memberikan gambaran yang cukup menggambarkan
bagaimana partisipasi pemuda desa terhadap kerja sosial yang ada.
b. Data dan sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian terdiri atas :
1. Data primer : Data primer dalam penelitian ini didapatkan secara langsung
melalui wawancara dan observasi lapangan di tiga dusun di desa Girikerto.
2. Data sekunder : Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari data
kependudukan dan data pemilih mula atau pemuda yang ada di desa Girikerto.
c. Teknik pengumpulan data
Teknik yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan yakni
melalui teknik :
1. Wawancara : peneliti melakukan wawancara secara langsung informan
yang dipilih secara acak di tiga dusun di desa Girikerto. Jenis wawancara yang
digunakan yakni wawancara semi terstruktur. Sebelum terjun ke lapangan,
peneliti telah menyiapkan interview guide wawancara dan pada saat di
lapangan peneliti dapat mengajukan pertanyaan lain yang dirasa perlu untuk
menggali informasi dari informan.
4
2. Observasi : peneliti melakukan observasi atau pengamatan setting sosial
yang ada di tiga dusun di desa Girikerto. Hal ini dilakukan guna melihat latar
belakang lingkungan tempat informan tinggal dan berinteraksi.
3. Dokumentasi : Peneliti melakukan pengambilan dokumentasi sebagai data
tambahan berupa foto setting sosial di tiga dusun di desa Girikerto serta
rekaman wawancara informan.
1.4 Kajian Terdahulu (Literature Review)
Masyarakat daerah peralihan dengan pendapatan yang cenderung menengah ke bawah
(upper-middle-class-suburban) memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat di
perkotaan dan pedesaan. Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah kebudayaan
yang mereka anut. Masyarakat peralihan dari pedesaan dan perkotaan cenderung menjunjung
kultur dan tata nilai tradisional yang kuat seperti di pedesaan, sekaligus sudah mengenal
pembagian kerja dengan gotong royong. Bentuk masyarakat peralihan dengan pendapatan
menengah ke bawah lebih peduli terhadap orang lain di sekitarnya, sehingga berita mengenai
seseorang karena cenderung rigid atau kaku mengenai “benar” dan “salah” atas tindakan
seseorang yang dianggap tidak mengikuti norma atau adat yang telah biasa dilakukan oleh
masyarakat tersebut.
Pada kenyataanya, perilaku manusia secara signifikan dipengaruhi oleh aspek non-
material seperti emosi dan keyakinan, resiko hukuman yang mungkin ia dapatkan, arti
penting etika yang berlaku, visibilitas seseorang yang kurang etis, identitas sosial, reputasi,
dan timbal balik (Cremene & Dumitrescu, 2014). Interaksi sosial manusia diatur oleh norma-
norma moral yang mendefinisikan kewajiban dan hak seorang individu. Norma-norma ini
ditegakkan oleh sebuah hukuman pada orang yang menyimpang dan pemberian penghargaan
pada orang yang menaati. Namun, pada umumnya dorongan untuk memberikan hukuman
atau penghargaan terhadap perilaku seorang individu seringkali tidak jelas, utamanya ketika
orang tersebut tidak terlihat secara pribadi dan dampak aktual sanksi terhadap pelaku tidak ia
saksikan secara langsung (Chapuisat, 2016).
Ciri khas masyarakat pedesaan yang sering dijumpai masyarakat peralihan, salah satunya
adalah mereka memiliki rasa kekeluargaan yang kuat. Rasa kekeluargaan ini dijabarkan oleh
Durkheim dalam jurnal yang ditulis oleh Anna S. Mueller dan Seth Abrutyn (2016)
mengakatan bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi kekeluargaan termasuk dalam
masyarakat yang berintegrasi tinggi. Konsekuensi masyarakat dengan integrasi tinggi yang
cukup terbilang ketat dan mengikat, seperti menuntut keterlibatan anggota secara lebih intens,
5
pengorbanan yang lebih banyak, pemberlakuan aturan yang ketat dan kaku, memberikan
hukuman dan ekspektasi yang tinggi sehingga menimbulkan penurunan kualitas, kepercayan,
identitas dan tata kelakuan individu (Portes & Vickstrom, 2011). Di pedesaan masih sering
diadakan “sambatan” atau biasa disebut gotong royong. Gotong royong pada masyarakat
pedesaan Jawa merupakan sebuah gambaran relasi sosial yang bersifat tradisional, harmonis,
dimana pekerjaan diselesaikan melalui hubungan timbal balik, saling membantu, dan
masyarakat ini termotivasi oleh etos kerja dan semangat untuk mencapai kepentingan serta
tujuan bersama. Gotong royong pada masyarakat pedesaan Jawa termasuk sebuah kewajiban
moral dan diterapkan sebagai ideologi negara hingga saat ini (Bowen, 1986). Bentuk gotong
royong ini dijunjung tinggi karena muncul anggapan bahwa dalam sebuah norma sosial yang
bersifat koperatif, kelalaian seorang individu dalam menjalankan tugasnya dirasa
memberikan dampak yang lebih kecil bila bekerja dalam sebuah kelompok (Ferh &
Fischbacher, 2004).
Norma moral ada dimanapun, hal tersebut menentukan kewajiban dan hak seorang
individu dalam berbagai hal terkait dengan kerugian, kepedulian, keadilan, timbal balik,
kesetiaan, rasa hormat terhadap otoritas dan kemurnian norma itu sendiri. (Graham J, Haidt J,
Iyer R, Koleras, Ditto PH, 2011 dalam Chapuisat, 2016). Hukuman biasa diberikan kepada
seorang individu yang dianggap tidak melaksanakan kewajiban moral ya terhadap norma
sosial yang berlaku di lingkungan tersebut, secara umum, hukuman yang berlaku di
masyarakat terdiri atas denda dan bentuk pengucilan (Sasaki & Uchida, 2013). Menurut
Durkheim dalam jurnal yang ditulis oleh Anna S. Mueller dan Seth Abrutyn (2016), ia
menjabarkan bahwa lingkungan atau struktur sosial dapat mempengaruhi seseorang, salah
satunya secara emosional. Durkheim juga menyatakan bahwa orang-orang yang merasa
dikucilkan atau tidak menjadi bagian dari masyarakat tersebut akan memiliki kemungkinan
untuk merasa tertekan. Pengucilan banyak digunakan dan dianggap ampuh untuk memberi
hukuman di masyarakat, perilaku pengucilan ditunjukan dengan aksi pengusiran,
penggunjingan, penggusuran, dan pengabdian terhadap seseorang. Secara individu,
pengucilan dilakukan untuk membedakan antara individu dan memperjelas siapa yang harus
berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pembagian kerja serta manfaat bersama yang
sangat penting dan di harapkan oleh anggota masyarakat tersebut (Sasaki & Uchida, 2013).
Selain pengucilan, masyarakat seringkali memberikan hukuman yang bersifat altruistik demi
menegakkan norma sosial yang dianut di lingkungan tersebut. Hukuman bersifat altruistik
merupakan salah satu mekanisme hukuman untuk menegakkan kerja sama dalam masyarakat.
Hukuman di katakan bersifat altruistik bila membuat seorang pelaku “membayar”
6
kesalahannya dan bila perilaku sang pelaku sengaja dirubah demi kepentingan bersama.
Contohnya, dengan menegur dan meminta seorang penyerobot antrian untuk tetap berada
sesuai dengan barisanya (Gachter, 2002).
1.5 Teori
Keteraturan sosial bertujuan untuk mengendalikan, mengawasi dan mengontrol tindakan
masyarakat. Semua itu memiliki satu payung tujuan besar yaitu pengendalian sosial atau yang
biasa disebut dengan kontrol sosial agar masyarakat dapat mematuhi norma dan nilai yang
berlaku di lingkungannya dan bagaimana mereka bersikap. Kontrol sosial ini bersifat
memaksa agar masyarakat dapat mematuhinya. Masyarakat tidak akan bisa terbentuk jika
tidak ada kontrol sosial yang mengatur mereka dan norma-norma sosial yang membentuk
mereka.
Kontrol sosial dapat tersampaikan dan dijalankan karena adanya sosialisasi pada
masyarakat. Sosialisasi tentang norma-norma, peraturan yang berlaku, maupun cara bersikap
di masyarakat sudah dilakukan sejak dini. Apa yang akan terjadi jika masyarakat gagal dalam
mematuhi ataupun mengikutinya? Masyarakat akan dikenai sebuah sanksi sosial yang
mengingatkan betapa pentingnya untuk mematuhi kontrol sosial yang ada. Sanksi sosial yang
mereka dapatkan jatuh dalam bentuk dikucilkan, dijauhi, digunjingkan, dan berbagai hal
lainnya. Masyarakat yang tidak mematuhi kontrol sosial akan diberikan sanksi sosial, lalu
bagaimana dengan masyarakat yang mematuhinya? Mereka akan mendapatkan reward
berupa pujian, hubungan yang lebih erat dengan masyarakat sekitar, bahkan social
popularity.
Sosial kontrol tidak akan berjalan jika masyarakat tidak menerimanya atau
mensosialisasikannya dengan baik. Internalisasi nilai-nilai yang dilakukan sejak dini akan
terpatri dalam diri warga yang berada di masyarakat tersebut hingga menjadi bagian darinya.
Sosial kontrol dibutuhkan agar masyarakat tetap berjalan tanpanya, masyarakat akan
terganggu dan menciptakan chaos di dalamnya. Sosial kontrol juga dibutuhkan untuk
menjaga nilai-nilai atau values of society agar tetap ada dan berjalan. Penting untuk mengatur
sikap maupun sifat individu sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Rasa solidaritas
yang ada di masyarakat pun dapat meningkat.
Masyarakat peralihan dari desa dan kota yang memiliki karakteristik menjunjung tinggi
kultur dan tata nilai tradisional yang masih kuat, walaupun begitu masyarakat peralihan juga
sudah mulai memahami dan menerapkan sistem pembagian kerja seperti masyarakat kota.
Lingkungan atau struktur sosial yang ada dapat mempengaruhi keadaan emosional seseorang,
7
jika dikucilkan atau diberikan sanksi sosial akan besar kemungkinannya untuk merasa
tertekan. Hal itu disebabkan juga dari rasa kekeluargaan yang erat.
Selain melihat dari kontrol sosial, dalam penelitian ini juga dilihat dari sudut pandang
teori voluntarisme. Voluntarisme sendiri yakni teori yang meyakini bahwa tindakan
seseorang terkait dengan pilihan, tujuan dan keputusan merupakan hal yang sulit diprediksi
dan individu tersebut memiliki kontrol atas hal tersebut secara penuh. Konsep Voluntarisme
bertentangan dengan konsep determinisme yang menganggap sesuatu memang terjadi karena
sebuah keharusan dan tidak terelakkan. Voluntarisme memberikan hak dan kebebasan kepada
individu untuk membuat batasan mereka sendiri, dan menjadi subjek terpenting dalam
aktivitas yang dilakukan.
8
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH
Praktikum untuk mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif I telah dilaksanakan pada
27 April 2019 sampai dengan 28 April 2019 di Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Girikerto memiliki 13 Padukuhan. Penelitian ini
mengambil sampling di tiga padukuhan yaitu Nangsri, Daleman, dan Karanggawang.
Wilayah Desa Girikerto terletak di utara Yogyakarta, mengarah ke Gunung Merapi. Letaknya
yang berada di dekat kaki Gunung Merapi, Desa Girikerto, terutama di Dusun Nangsri,
Daleman, dan Karanggawang memiliki suhu yang cukup rendah, sehingga baik untuk
perkebunan. Dengan begitu, ciri khas di Desa Girikerto, yaitu kebun salak, dapat berkembang
dengan baik.
Gambar 2.1 Peta daerah Nangsri
Gambar 2.2 Peta Daerah Daleman
Gambar 2.3 Peta daerah Karanggawang
Gambar 2.4 Peta daerah Desa Girikerto dengan Dusun
Karanggawang, Daleman, Nangsri
Sumber : Google Maps
9
Gambar 2.5 Gapura Nangsri Gambar 2.6 Masjid Al-Qodr di Nangsri
Salah satu pembeda dari 3 (tiga) dusun yang menjadi lokasi observasi peneliti adalah
adanya desa wisata. Dusun Daleman memiliki desa wisata, sedangkan Dusun Karanggawang
dan Dusun Nangsri tidak memiliki desa wisata. 3 (tiga) dusun yang menjadi lokasi observasi
peniliti cenderung sama dengan adanya ciri khas dari Desa Girikerto, yaitu kebun salak.
Selain itu, pengairan di Desa Girikerto terjaga kebersihannya karena dirawat oleh komunitas
alam. Berdasarkan informasi dari peneliti, dusun-dusun terlihat asri karena sedang diadakan
Lomba Desa pada saat bulan April (bertepatan dengan tanggal pelaksanaan praktikum).
Lomba Desa ini adalah lomba untuk menentukan dusun apa dan dimana yang paling asri, lalu
akan diumumkan pemenangnya.
Gambar 2.8 Lapangan Voli di Karanggawang
Gambar 1.7 PLTA di Daleman
10
Secara umum, akses jalan umum atau jalan raya di Desa Girikerto terbilang sudah
bagus karena beraspal dan memiliki lebar jalan rata-rata ± 3 meter. Selain itu, jarak antar
rumah warga tidak jauh, dan biasanya terdapat kebun salak milik pribadi. Berdasarkan
informasi dari peneliti, di jalan umum atau jalan raya Desa Girikerto, penerangan jalan sangat
minim dan hanya mengandalkan penerangan dari warung dan rumah di pinggir jalan.
Gambar 2.8 Kebun Salak milik Desa Gambar 2.9 Kebun Salak milik
(Komunitas Salak) pribadi
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Berdasarkan hasil wawancara peneliti, walaupun banyak warga yang bekerja diluar
sektor perkebunan salak, tetapi perkebunan salak menjadi mata pencaharian yang paling khas
dari Desa Girikerto. Saat memasuki daerah Girikerto, perkebunan salak menjadi
pemandangan pertama yang menarik perhatian pengunjung. Dari hasil wawancara peneliti,
sektor perkebunan salak dibagi menjadi dua kepemilikan, yaitu milik pribadi dan milik
komunitas. Seperti pada Gambar 2.8, kebun salak milik komunitas cenderung lebih luas
karena kebun tersebut milik bersama dan dirawat bersama-sama, sedangkan pada Gambar
2.9, kebun salak milik pribadi biasanya berukuran lebih kecil dan yang mengurus adalah
pihak pemilik kebun, dan letaknya tidak jauh dari rumah pemilik.
11
BAB III
ANALISIS
Dalam bab ini peneliti memaparkan hasil analisis dari wawancara dan observasi guna
mengetahui bagaimana partisipasi pemuda desa dalam kegiatan kerja sosial yang ada di desa.
Penelitian dilakukan dengan mewawancarai 6 informan yang dipilih secara acak dari tiga
dusun di desa Girikerto. Dalam pembahasan ini akan dijabarkan subbab mengenai kerja
sosial yang ada di desa, dilanjutkan dengan sosialisasi dari kerja sosial pada pemuda,
berlanjut membahas partisipasi pemuda, alasan mengikuti kerja sosial, tekanan yang
didapatkan oleh individu dan diakhiri dengan pembahasan mengenai makna kerja sosial bagi
pemuda.
3.1 Kerja Sosial
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan yang tersebar di 3 dusun yang
berbeda lebih tepatnya di dusun Nangsri, Daleman, dan Karanggawang. Diketahui dari para
informan yang bahwa ada banyak kegiatan atau kerja sosial yang dilakukan pemuda di desa
baik yang tergabung dalam karang taruna maupun yang tidak tergabung dalam karang taruna
setempat.
Informan yang berada di Dusun Nangsri tepatnya Dusun Nangsri Lor, mengatakan
bahwa yang disebut sebagai kegiatan dan kerja sosial adalah sesuatu yang membantu dan
bersifat untuk bersama, Kegiatan dan kerja sosial yang dilakukan pemuda-pemuda menurut
informan yang berada di Nangsri Lor yang pertama adalah kerja bakti. Kerja bakti ini rutin
dilakukan selama satu bulan sekali dan berlangsung selama 8 jam, dimulai dari jam 8 pagi
dan berakhir pada jam 3 sore biasanya, adapun kegiatan yang dilakukan pada saat kerja bakti
adalah bersih-bersih desa dengan cara membersihkan masjid, sekolan, jalanan, kuburan dan
fasilitas-fasilitas yang ada di desa. Selain itu informan juga menyebutkan bahwa 2 bulan
belakangan ini pemuda Dusun Nangsri Lor dibantu warga Dusun Nangsri Lor bersama-sama
membuat gapura yang berlokasi di depan jalan masuk Dusun Nangsri Lor. Kedua adalah
kegiatan yang disebut dengan nyimon, informan mengatakan bahwa nyinom merupakan
kegiatan yang dilakukan secara ikhlas dengan tujuan membantu meringankan beban salah
satu warga yang sedang melangsungkan / melakukan kegiatan seperti kenduri (pesta
pernikahan) ataupun pengajian. Informan memberikan beberapa contoh nyinom yang sering
12
dilakukan oleh pemuda di Dusun Nangsri Lor seperti membantu memasak dan
mempersiapkan makanan untuk tamu,
Selanjutnya informan yang berada di Dusun Daleman. Informan mengkategorikan
kegiatan dan kerja sosial yang ada di Dusun Daleman menjadi 2 yaitu yang dilakukan
Pemuda dan yang dilakukan oleh warga Dusun Daleman. Menurut informan contoh kegiatan
dan kerja sosial yang dilakukan oleh pemuda di Dusun Daleman adalah menjadi panitia pada
acara perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau yang mereka sebut dengan pitulasan (Tujuh
belas-an), laden/sambatan nikahan (membantu dalam suatu pesta pernikahan), Mengatur lalu
lintas jalan dan menjaga parkiran kendaraan ketika ada suatu acara di desa, berolahraga
bersama, pelestarian sungai dengan cara membersihkan sampah dibantaran sungai,
membangun fasilitas-fasilitas yang ada di Dusun seperti gazebo (gubuk kecil), membuat
taman desa dan penanaman sekaligus perawatan tanaman yang ada di Dusun Daleman.
Sedangkan kegiatan dan kerja sosial yang dilakukan secara bersamaan dengan warga Dusun
Daleman adalah kerja bakti membersihkan dusun, dan halal bihalal (maaf-maafan) pada hari
raya idul fitri
Berikutnya Informan terakhir yang tinggal di Dusun Karanggawang. Informan
mengatakan kegiatan dan kerja sosial yang ada di Dusun Karanggawang ada 3 yaitu, Kerja
bakti, Olahraga bersama dan membantu event-event tertentu seperti pesta kenduru dan
khitanan.
Jika dilihat dari apa yang sudah di sampaikan oleh beberapa informan diatas, dapat
kita ketahui bahwa bentuk kegiatan dan kerja sosial yang paling dominan diantara yang
lainnya adalah kerja bakti.. Kerja bakti disini memiliki artian suatu kegiatan yang dilakukan
secara bersamaan atau bersifat gotong royong. Kerja bakti memegang peran yang cukup
penting dalam membangun rasa kebersamaan, toleransi sekaligus mempererat tali silaturahmi
antar warga Dusun.
3.2 Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses pembelajaran nilai melalui interaksi dan keikutseraan
dalam masyarakat. Melalui sosialisasi, individu mendapatkan nilai-nilai yang berguna untuk
menentukan sikap dalam prosesnya dengan masyarakat. Sosialisasi sendiri menjadi
instrument untuk mentransfer nilai-nilai yang telah disepakati bersama dan menjadi acuan
dalam bertindak. Meskipun dalam prosesnya, akan terjadi sikap superordinasi, dominasi,
sikap inferior, dan lain sebagainya, hal ini merupakan dampak berkelanjutan dari proses
sosialisasi dan interaksi yang akan . Dalam kaitannya dengan penelitian yang dilakukan
proses sosialisasi terjadi di tiga wilayah yaitu Nangsri, Daleman, dan Karanggawang. Secara 13
umum tidak ada karakteristik khusus yang dimiliki setiap dusun dalam proses sosialisasinya.
Proses dapat terjadi melalui interaksi langsung dengan pertemuan dan juga melalui social
media seperti grup whatsapp.
Di dusun Nangsri, Daleman, dan Karanggawang, terdapat karang taruna yang
mewadahi kegiatan setiap pemuda. Biasanya kegiatan meliputi gotong royong hingga
kegiatan di masjid. Priyanto, salah satu narasumber di dusun Karanggawang mengatakan
bahwa biasanya pemuda di dusunnya sudah biasa bermain voli bersama ketika sore setelah
bekerja. Pembicaraan mengenai kegiatan gotong royong biasanya juga dibicarakan ketika
mereka bertemu. Belum lagi grup whatsapp yang digunakan oleh pemuda dusunnya juga
digunakan untuk membicarakan kegiatan di dusun. Biasanya, menurut Priyanto, ketua karang
tarunanya aktif mengajak setiap anggota untuk berpartisipasi. Simmel mengatakan bahwa
setiap struktur dalam masyarakat mampu membantu proses transfer nila yang terjadi di
dalamnya. Melalui garis-garis interaksi yang dibentuk struktur mempertegas peran-peran
setiap anggota dengan orientasi yang sudah disepakati bersama.
Namun, Priyanto sendiri mengatakan bahwa meskipun aktif di dusunnya, ia tetap
memiliki pekerjaan yang tetap menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Priyanto bekerja
sebagai perawat kebun di salah satu daerah wisata di Merapi. Meskipun begitu, hal ini
membuatnya tidak merasa keberatan untuk tetap mengikuti gotong royong di dusunnya. “Ya
srawung lah mas. Istilah jawa disini kan srawung. Yang penting kumpul. Bisa tetepungan
bareng. Tetepungan itu maksudnya saling menaga hubungannya hehe” begitu alasan beliau
ketika ditanya mengapa tetap ikut gotong royong setelah pulang kerja. Simmel sendiri
mengatakan, kelompok atau masyarakat kecil cenderung mengikat individu. Namun, pada
masyarakat yang lebih luas, individu cenderung terlibat dalam sejumlah kelompok, yang
masing-masing hanya mengontrol sebagian kecil dari kepribadian.
Dalam prosesnya, proses sosialisasi menuntut setiap individu untuk melakukan
interpretasinya sendiri terhadap nila-nilai yang dihadapi. Ketika ingin mengajak anggota
untuk gotong royong membersihkan lingkungan misalnya, tak jarang terdapat beberapa
anggota yang izin tidak dating dengan alasan tertentu. Hal ini terjadi di tiga dusun yakni
Nangsri, Daleman, dan Karanggayang. Menurut Herbert blummer manusia bertindak
berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. Makna diciptakan dalam
interaksi antar manusia dan dimodifikasi melalui interpretasi.
14
Story Box
Mas Eka adalah pemuda asli Bogor. Beliau sudah berpindah daerah dari
Bogor, Boyolali, Solo, dan Yogyakarta karena keberadaan orang tuanya yang
berbeda tempat tinggal. Pada kala itu, Mas Eka pindah ke Yogyakarta karena
pendidikan dan memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta, di Desa Girikerto
padukuhan Nangsri. Dalam memenuhi kebutuhannya, Mas Eka bekerja sebagai
freelance bidang programming. Untuk mengisi waktu luangnya, Mas Eka ikut serta
dalam Karang Taruna dan berperan aktif. Menurut Mas Eka, mengikuti Karang
3.3 Partisipasi
Masyarakat pedesaan menjadikan “sambatan” atau gotong royong sebagai aktivitas
utama guna menjaga kekeluargaan tetep kuat. Gotong royong dilakukan dengan partisipasi
atau keikutsertaan warga untuk menjalani aktivitas-aktivitas yang sudah disepakati bersama.
Partisipasi masyarakat dalam gotong royong sangat dibutuhkan, karena gotong royong ingin
mencapai tujuan kekeluargaan dan tidak dapat dilakukan sendiri. Maka dari itu, gotong
royong harus dibarengi dengan partisipan yang banyak dan partisipasi yang baik.
Salah satu informan bernama Mas Eka, menyatakan bahwa gotong royong yang ada
di dusun Nangsri (terkhususnya) dibagi menjadi beberapa kalangan, yaitu umum, ibu-ibu, dan
pemuda pemudi. Terutama gotong royong untuk pemuda pemudi dinamakan Karang Taruna.
Di Dusun Nangsri, Karang Taruna memiliki nama sendiri, yaitu Sri Manunggal Bhakti.
Karang Taruna sendiri memiliki pengertian menurut Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor : 77 / Huk / 2010 Tentang Pedoman Dasar Karang Taruna, yaitu organisasi
sosial kemasyarakat yang diperuntukan oleh pemuda guna mengembangkan kesadaran dalam
berkehidupan sosial. Untuk umum dan ibu-ibu, tidak ada organisasi atau komunitas yang
mengikat, sehingga bersifat bebas.
Story box:
Setiap Karang Taruna di tiga dusun yang diwawancarai umumnya memiliki grup
whatsapp dan sering bertemu satu sama lain. Biasanya pembicaraan mengenai kegiatan
di dusun sudah biasa dilakukan melalui grup whatsapp dan juga ketika bermain
bersama.
15
Taruna sudah menjadi kebutuhan dan tradisi sebagai warga desa, karena terdapat
pepatah “ra ketok ya rabimu sepi” (tidak kelihatan ya pernikahanmu sepi).
Walaupun begitu, tidak ada paksaan untuk selalu hadir dalam kegiatan jika memiliki
kesibukan yang lainnya. Ketika melakukan wawancara dengan Mas Eka, pemuda
juga sedang berkumpul di Masjid ketika usai menjalankan ibadah salat ‘Ashar
(sholat yang dijalankan di sore hari sebelum matahari terbenam).
Secara umum, Karang Taruna dengan Gotong Royong sama, yang membedakan
hanya partisipannya saja. Gotong royong bersifat umum untuk segala kalangan, sedangkan
Karang Taruna hanya untuk pemuda pemudi. Menurut Mas Rahmad, Anggota Karang Taruna
lebih banyak pemuda (laki-laki) daripada pemudi (perempuan). Hal tersebut dikarenakan
sering kali waktu kumpul Karang Taruna dilakukan ketika malam hari, sehingga cukup sulit
memastikan kehadiran perempuan, kecuali jika dijemput.
Membahas mengenai kehadiran anggota Karang Taruna, pemuda atau pemudi tidak
bisa menjadi patokan bahwa pemuda yang paling aktif, sedangkan pemudi tidak.
Ketidakhadiran pemuda pemudi atau warga dalam melaksanakan gotong royong atau Karang
Taruna menjadi sorotan masyarakat. Menurut Mas Hendri, Anggota Karang Taruna di Dusun
Nangsri berjumlah 50 orang jika semua aktif, sayangnya masih ada saja yang kurang aktif
atau bahkan tidak aktif sama sekali. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Mbak Ambar,
ada pemuda pemudi di Dusun Nangsri yang kerap tidak hadir kumpul Karang Taruna
dikarenakan orang tuanya kurang mendukung untuk ikut serta Karang Taruna. Mas Eka juga
mengatakan bahwa ada salah satu warga di Dusun Nangsri yang tidak ikut gotong royong.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa gotong royong sudah menjadi tradisi, maka partisipasi
warga menjadi hal yang sangat krusial. Wajar saja jika tidak hadirnya salah satu anggota atau
warga dalam ikut serta gotong royong menjadi sorotan.
“Iya kan mau gimana kalo dianya udah bener-bener nolak gak mau sama kita ya
gakbisa diapa-apain. Kita ikut di organisasi, kalau lu gakmau ikut yaudah kita gapapa.” –
Mbak Risti (Nangsri, 27 April 2019)
Berdasarkan kutipan diatas dari informan Mbak Risti, sebenarnya tidak ada paksaan
dalam mengikuti Karang Taruna atau gotong royong. Tetapi, karena sudah tradisi dan
kesepakatan dari masyarakat bahwa jika tidak aktif di Desa atau tidak terlihat, tetap akan
memperoleh sanksi sosial berupa dikucilkan dan menjadi bahan gunjingan. Maka dari itu,
16
mau tidak mau warga wajib dan seharusnya sudah menjadi kesadaran sendiri bahwa gotong
royong serta mengikuti Karang Taruna (terkhususnya pemuda pemudi) sangat sangat
diharuskan untuk menghindari sanksi sosial.
“Nah itu pas bersihin itu loh, nah itukan kita gotong-royong, gempurin itu, bersihin
batu-batunya, batu bata itu dibuang gitu, kita ngebersihin semua, gotong- royongnya disitu.”
– Mas Hendri (Nangsri, 27 April 2019)
Gambar 3.3.1 Peneliti sedang mewawancarai Mas Hendri
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Membahas mengenai aktivitas dalam gotong royong akan dibahas secara terpisah,
dari umum, ibu-ibu, lalu Karang Taruna. Secara garis besar, aktivitas yang dilakukan di
dalam 3 (tiga) lingkup tersebut sama, karena tidak jauh dari aktivitas bersih-bersih serta
pembangunan. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan, kegiatan gotong royong
terdiri dari bersih-bersih desa, bercocok tanam, membersihkan rumput, mengadakan acara,
mebantu terlaksananya acara salah satu warga, memperbaiki rumah jika rusak, mengadakan
acara keagamaan, dan menjalankan tradisi (seperti Merti Dusun; memperingati hari lahirnya
Dusun Nangsri dari sumber mata air, yaitu curug). Menurut Mas Priyanto, acara keagamaan
yang dilakukan di desa lebih merujuk pada agama Islam karena mayoritas, sehingga untuk
agama yang lain dilakukan di komunitas mereka. Mas Hendri mengatakan bahwa acara
keagamaan yang kerap diadakan di Dusun Nangsri adalah pengajian, halal bi halal (setelah
lebaran), dan buka puasa bersama (ketika bulan puasa). Masyarakat wajib berperan aktif
dalam acara keagamaan tersebut, karena acara tersebut ditujukan untuk acara bersama-
bersama. Untuk acara pernikahan dan hajatan, warga ikut serta jika memang yang
mengadakan acara tersebut membutuhkan bantuan.
17
Story Box
Pada bulan April 2019, di Desa Girikerto sedang mengadakan lomba desa.
Lomba desa tersebut diadakan untuk menentukan padukuhan mana yang paling
bersih dan asri. Mbak Ambar, seorang pemudi yang berusia 22 tahun dan bekerja
sebagai pegawai warung menceritakan singkat mengenai lomba desa. Lomba desa
tersebut baru diadakan tahun 2019 dan rencananya akan dijadikan acara tahunan.
Pada saat lomba desa berlangsung, warga-warga membersihkan jalanan,
membersihkan rumput, menanam tanaman bunga di dekat jalan raya dan lain-lain.
Tidak hanya itu, lomba desa juga membuat kegiatan gotong royong berjalan hingga
tiga hari berturut-turut saat lomba desa dimulai di 3 (tiga) hari awal di bulan April.
Gotong royong yang dilaksanakan oleh ibu-ibu tidak memiliki banyak perbedaan
dengan gotong royong umum di Desa Nangsri. Yang membedakan hanya partisipannya,
karena ibu-ibu dan pemudi. Gotong royong ibu-ibu dilakukan rutin setiap hari Minggu di
Dusun Nangsri. Kegiatannya pun juga sama dengan gotong royong umum, seperti bersih-
bersih, bercocok tanam, dan lain-lain
Untuk Karang Taruna sendiri, secara garis besar kegiatannya sama dengan gotong
royong umum, yang membedakan adalah partisipannya yang mayoritas pemuda pemudi.
Kegiatan Karang Taruna yang tidak dimiliki pada gotong royong umum dan ibu-ibu adalah
mengumpulkan barang bekas (barkas) bersama-sama (anggota), sistematikanya adalah
keliling desa, menanyakan ke warga apakah memiliki barang bekas, lalu dikumpulkan. Selain
itu, pembagian kerja saat gotong royong juga diterapkan dalam pelaksanaan acara, seperti
pemuda pemudi menjalankan tugas di lapangan, sedangkan bapak-bapak atau ibu-ibu
menjalankan tugas yang merujuk kepada bagian sosialisasi atau bercakap-cakap.
“Khusus pemuda itu biasanya terus laden (melayani tamu) sama, ya bantu-bantu
nata, trus buat yang lain-lain itu biasanya bapak- bapak yang kayak jadi humas atau jadi
among tamu (menjamu tamu) gitu, pasti yang sepuh-sepuh (tua-tua). Jadi ya, kalau yang
pemuda tu, lebih kayak di kerja lapangan aja” – Mas Rahmad (Dalem, 27 April 2019)
18
Gambar 3.3.2 Aktivitas ibu- sedang menjemur gabah di pagi hari
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pelaksanaan gotong royong umum juga memiliki waktu tertentu. Menurut informasi
dari Mbak Ambar, kegiatan gotong royong rutin dilaksanakan sebulan sekali jika tidak ada
acara. Tetapi, jika sedang diadakan acara, gotong royong bisa terlaksanakan 2 (dua) minggu
sekali atau bahkan beberapa hari berturut-turut. Gotong royong yang terlaksana sampai
beberapa hari berturut-turut dikarenakan adanya lomba desa selama satu bulan. Untuk
memenangkannya, tentu dengan kegiatan gotong royong sebulan sekali atau 2 (dua) minggu
sekali tidak akan cukup. Selain itu, gotong royong ibu-ibu dilaksanakan secara rutin setiap
hari minggu untuk menjaga kekeluargaan (untuk perempuan yang ada di desa).
Lain hal dengan Karang Taruna yang tidak rutin melaksanakan acara atau gotong
royong (khusus pemuda pemudi). Kadang bisa sebulan sekali, tiga bulan sekali, dua minggu
sekali, jadi tidak rutin. Kumpul setiap pekan pun dikarenakan ada acara, jika tidak ada acara,
kumpul menjadi tidak rutin. Informasi dari mas Rahmad, biasanya waktu kumpul Karang
Taruna adalah setelah salat Isya’ atau pada malam hari. Untuk kegiatannya, Karang Taruna
punya jadwal sendiri untuk melakukan kegiatan, sehingga tidak dapat dipastikan kapan saja
Karang Taruna melakukan kegiataannya. Tetapi, ketika gotong royong berlangsung, pemuda
pemudi dari Karang Taruna berperan aktif dalam melaksanakan kegiatannya.
“Pemuda, apa ya. Karang taruna mas. Biasanya kalo disini kan mayoritas muslim ya.
Biasanya pengajian sih mas. Ehh lebih ke kegiatan2kegiatan agama. Tapi sekaranag
berkurang sih mas. Udah kerja juga, sibuk. Ada yang keluar juga dari desa mas. Udah kerja
gitu.” – Mas Priyanto (Karanggawang, 27 April 2019)
Partisipasi masyarakat melakukan gotong royong sangat krusial. Menurut Mas
Rahmad, dengan seiring berjalannya waktu, partisipasi dan partisipan itu sendiri semakin
19
menurun. Hal tersebut dikarenakan kesibukan dan rasa malas. Pekerjaan memang menjadi
prioritas hidup karena bekerja adalah cara memperoleh nafkah untuk mencukupi kebutuhan
hidup. Terlalu banyak kesibukan, terkadang membuat manusia menjadi lebih pasif. Apalagi
jika memilih bekerja diluar desa, tentu kesibukan akan lebih menimpa. Disaat waktunya
kumpul atau ikut serta dalam gotong royong, akan lebih mendahulukan kesibukan pekerjaan
tersebut daripada yang lainnya.
Begitu pula rasa malas yang melanda, menjadi salah satu faktor menurunnya
partisipasi dalam gotong royong. Hal tersebut dikarenakan dapat mengganggu produktivitas
kegiatan, seperti datang terlambat, sambat (mengeluh), melakukan aktivitas yang tidak
sepatutnya dilakukan ketika acara berlangsung (seperti bermain game). Berdasarkan
informasi dari Mas Rahmad, kemalasan seperti itu semakin marak dari waktu ke waktu. Hal
tersebut juga dapat merusak kekeluargaan yang sudah terbentuk sejak dahulu.
S. Mueller dan Seth Abrutyn (2016) mengemukakan bahwa masyarakat pedesaan
menjunjung tinggi kekeluargaan serta memiliki integritas tinggi. Teori ini sesuai dengan
bentuk partisipasi warga dalam menjalankan gotong royong, dan adanya Karang Taruna,
ikatan kekeluargaan juga semakin kuat (terutama pemuda pemudi antar dusun). Apalagi
dengan adanya lomba desa, warga juga semakin berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan
bersih-bersih dan bercocok tanam untuk memperindah desa. Warga juga tentunya antusias
dalam mengikuti lomba tersebut, kekeluargaan serta integritas di desa akan terus
berkembang.
Tetapi, melihat keadaan partisipasi yang kian menurun dari waktu ke waktu, teori ini
bisa saja tidak sesuai. Dengan adanya faktor dari luar (kesibukan pekerjaan) dan faktor dari
dalam (rasa malas), kekeluargaan dan integritas yang sudah terbangun sejak dahulu bisa saja
runtuh secara perlahan. Hal tersebut dapat diperbaiki dengan menumbuhkan kesadaran dari
diri masing-masing, mengatur skala prioritas, memperkenalkan budaya daerah ke daerah lain
atau media soaial, serta mengadakan acara-acara yang meriah dan bermanfaat (seperti lomba
desa), sehingga dapat meningkatkan keinginan untuk ikut berpartisipasi.
20
3.4 Alasan Ikut
Menurut wawancara yang telah dilakukan pada beberapa informan di Desa Girikerto
diperoleh informasi mengenai alasan para pemuda untuk turut serta berpartisipasi dalam kerja
sosial. Salah satu informan di Dusun Nangsri mengutarakan pendapatnya mengenai alasan
berpartisipasi dalam kerja sosial. Menurutnya alasan ia mengikuti kerja sosial karena
dorongan teman-teman disekitarnya. Selain itu ia juga menambahkan bahwa sistem undangan
yang disebar ke setiap rumah yang dilakukan desa setempat membuat para orang tua
terdorong untuk meminta anaknya berpartisipasi dalam kerja sosial. Jadi dengan sistem
tersebut membuat informan mau tidak mau untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Dalam
pandangan Hendri, ia mengutarakan pendapatnya mengenai alasan keikutsertaan dalam kerja
sosial bukan karena dorongan teman-teman disekitar lingkungan rumah. Alasannya
mengikuti kerja sosial karena jika kita hidup di dusun memang sudah seharusnya untuk ikut
gotong royong atau srawung. Ia menganggap bahwa bergabung dengan kegiatan tersebut
merupakan suatu kewajiban serta dapat menjaga tali persaudaraan antar pemuda di Desa
Girikerto agar nantinya lebih akrab. Sama seperti apa yang diutarakan oleh Priyanto, alasan ia
ikut turut serta dalam kerja sosial yaitu lebih pada menjaga hubungan antar warga agar tetap
harmonis. Ia menambahkan dengan turut serta dalam kerja sosial dapat merekatkan hubungan
nya dengan tetangga-tetangga disekitarnya. Priyanto menganggap tetangga merupakan
keluarga terdekat yang dimiliki, jadi akan lebih baik jika menjaga hubungannya agar tetap
harmonis. Jadi semisal kita memiliki masalah, tetangga menjadi orang terdekat yang dapat
membantu menyelesaikan masalah tersebut. Berbeda dengan Rahmad yang tinggal di Dusun
Daleman, alasan ia ikut serta dalam kerja sosial karena merasa tidak enak hati jika tidak ikut
kegiatan tersebut. Rahmad juga menambahkan memang sudah seharusnya jika hidup
bertetangga wajib membantu antara satu dengan yang lain. Dengan adanya kerja sosial, dirasa
dapat meningkatkan keakraban antar warga dusun yang bersangkutan. Selain itu, tuntutan
orang tuanya yang mengharuskan untuk ikut serta dalam kerja sosial menjadi alasan ia ikut
serta. Ia memilih ikut meskipun terkadang merasa malas, namun ia tetap menjalankan
daripada dimarahi orang tuanya dirumah. Namun disisi lain Rahmad senang dengan paksaan
orang tuanya untuk ikut serta dalam kerja sosial, dengan ini mengingatkan dirinya betapa
pentingnya untuk senantiasa bersosialisasi dengan warga sekitar.
Dikaitkan dengan ciri masyarakat perdesaan dalam jurnal yang ditulis Anna S.
Mueller dan Seth Abrutyn (2016) bahwa masyarakat perdesaan menjunjung tinggi rasa
kekeluargaan dan termasuk dalam masyarakat yang berintegrasi tinggi. Hal ini selaras dengan
21
apa yang dilakukan salah satu informan yang ditemui di Dusun Nangsri, hanya karena
dorongan teman disekitar lingkungan ia tinggal, menjadikan alasan ia ikut berpartisipasi
dalam kerja sosial. Karena kedekatannya yang begitu kuat dengan teman-teman disekitarnya
ia menganggap jika bergabung dalam kerja sosial merupakan bentuk empatinya demi
menjaga hubungan kekeluargaan antara satu dengan yang lain. Pasalnya dengan ia menolak
tawaran temannya untuk bergabung dalam kerja sosial, ia beranggapan akan dijauhi dan
mendapat sanksi soial berupa cemoohan yang dirasa akan mengganggu kehidupan
bermasyarakatnya. Hal ini menggambarkan bahwa integrasi dalam masyarakat tersebut yang
begitu kuat serta rasa kekeluargaan yang tinggi.
3.5 Tekanan Sosial terhadap Pemuda
Masyarakat di wilayah mana pun memiliki satu kesamaan yaitu mereka memiliki nilai
dan norma yang berlaku di dalamnya. Nilai dan norma yang berada di dalam itu mengatur
segala sesuatu di masyarakat seperti bagaimana seharusnya bersikap, selain itu nilai dan
norma juga membentuk identitas masyarakat (McDonald dan Crandall 2015 ). Aturan-aturan
yang ada sudah disepakati secara bersama dan dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kondisi
lingkungan masyarakat. Warga yang melenceng dari nilai dan norma bersama akan
mendapatkan sanksi sosial. Salah satu alasan mengapa warga mengikuti norma dan nilai yang
ada adalah untuk menghindari tanggapan negatif dari warga yang lain (Peggy 2008). Oleh
karena itu, bisa disimpulkan bahwa nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat bersifat
mengatur dan memaksa (Popitz 2017 ).
Di Dusun Nangsri terdapat beberapa kerja sosial yang mereka lakukan bersama-sama
seperti gotong royong, nyinom atau laden, arisan pemuda, kenduri, event gereja, tirakatan,
lomba desa paling asri, nyadran dan yang lainnya. Informan bercerita bahwa sudah menjadi
tradisi di Dusun Nangsri untuk melakukan gotong royong dalam setiap kegiatan desa. Di
Dusun Nangsri sendiri terdapat organisasi karang taruna pemuda yang cukup aktif. Hampir
Story box :
Alasan para informan untuk ikut serta dalam kerja sosial memang beragam.
Karena adanya dorongan dari pihak luar, akhirnya membiasakan kegiatan
tersebut menjadi suatu kebutuhan yang seharusnya dipenuhi. Memang pada
awalnya ada unsur keterpaksaan, namun pada akhirnya mereka merasa bahwa
kerja sosial merupakan salah satu kebutuhan bagi mereka sendiri
22
semua pemuda di Dusun Nangsri mengikuti organisasi karang taruna tersebut walaupun tidak
selalu mengikuti kegiatan yang ada. Alasan mengapa pemuda mengikuti kegiatan tersebut
bermacam-macam seperti sukarela karena paham bahwa hal tersebut adalah kewajiban,
suruhan orang tua, ajakan teman, atau takut dikucilkan.
Gotong royong dan kerja sosial lainnya sudah menjadi tradisi di Dusun Nangsri
sehingga nilai-nilai itu terinternalisasi ke dalam warganya sehingga yang sering tidak
mengikuti kerja sosial disana akan mendapatkan sanksi sosial. Sanksi sosial yang didapatkan
jika sering tidak mengikuti adalah akan menuai grenengan (cibiran) dan pastinya akan
dikucilkan oleh warga yang lainnya. Ketiga informan kelompok kami yaitu Risti,xx, dan xx
bercerita dan membenarkan bahwa dulunya pernah ada pemuda dari Nangsri yang tidak
pernah mengikuti kerja sosial apapun bahkan walaupun sudah diajak,akhirnya ketika ia
menggelar acara pernikahan tidak ada satupun pemuda yang membantu nyinom. Hal itu
popular dengan sebutan “Ra Srawung Rabimu Suwung” yang memiliki arti jika tidak bergaul
maka acara nikahanmu tidak akan ada yang datang. Hal lain yang menarik adalah pada waktu
itu para pemuda yang lainnya bersepakat untuk kompak tidak membantu nyinom acara
nikahan tersebut.
Adanya sanksi sosial yang akan didapatkan jika pemuda tidak sering mengikuti
kegiatan sosial yang ada membuat mereka mengikuti kegiatan tersebut. Berbeda dengan
alasan awal yang ‘sukarela’ nyatanya mereka mengikuti karena tidak ingin mendapatkan
sanksi sosial dari teman-temannya sendiri. Peer group pemuda juga mempunyai peran dalam
keikutsertaan pemuda dalam kegiatan sosial. Adanya peer pressure dalam peer group
membuat pemuda melakukan hal agar mereka tetap diterima oleh peer group mereka dan
Story box
Risti adalah salah satu pemuda di Dusun Nangsri yang cukup aktif dalam
mengikuti berbagai macam kegiatan yang ada di desa. Setiap desa mengadakan
acara Risti selalu ikut membantu. Jika ada acara nikahan ia ikut membantu
nyinom,kalau ada acara lomba bersih-bersih pasti ia ikut membantu, sewaktu bulan
ramadhan Risti dan teman-temannya yang lain turut serta mengajar anak-anak
mengaji di masjid. Risti mengeluh sedih karena semakin hari semakin sedikit
pemuda yang ikut aktif dalam kegiatan desa, berawal dari 50-an orang hingga
hanya 20 orang saja yang aktif. Namun, Risti paham betul bahwa mereka yang
tidak begitu aktif juga mempunyai kegiatan lain selain di desa.
23
menghindari sanksi (Manzoni, Lotar dan Ricijas 2011). Begitu juga jika peer group pemuda
aktif dalam berpartisipasi dalam kegiatan sosial, maka orang-orang didalamnya secara tidak
langsung akan aktif juga karena menghindari adanya sanksi. Kontrol sosial yang dilakukan
oleh peer group adalah kontrol sosial yang sifatnya informal (Peggy 2008). Informan
bercerita bahwa ia sering diajak untuk mengikuti kerja sosial oleh temannya, mereka rupanya
saling mengajak dan mengingatkan.
3.6 Makna Kerja Sosial
Dari hasil wawancara terhadap beberapa informan yang berasal dari tiga dusun yang
berbeda, didapatkan informasi bahwa para informan memaknai kerja sosial sebagai sebuah
kegiatan yang memang telah seharusnya dilakukan secara ikhlas tanpa paksaan. Informan di
tiga dusun yang berbeda ini pun sependapat bahwa kerja sosial merupakan kegiatan yang
penting demi kemaslahatan masyarakat bersama di daerah tersebut. Tiga orang informan di
dusun Nangsri, tepatnya Nangsri Lor menjabarkan bahwa kerja sosial mereka maknai sebagai
hal yang membuat para informan ini merasa senang karena dapat berinteraksi atau biasa
mereka sebut srawung dengan warga masyarakat di dusun tersebut, srawung dan kegiatan-
kegiatan yang mendukung interaksi ini dirasa sangat penting guna menjaga tali silaturahmi
dan hubungan serta merekatkan rasa kekeluargaan antar warga dusun. Kegiatan-kegiatan
sosial ini pun mereka ikuti secara ikhlas dan senang hati. Anna S. Mueller dan Seth Abrutyn
(2016) mengakatan bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi kekeluargaan termasuk dalam
masyarakat yang berintegrasi tinggi. Konsekuensi masyarakat dengan integrasi tinggi yang
Story Box
Risti kembali bercerita pada awal ikut karang taruna dulu, ia merasa canggung karena
tidak banyak anak-anak yang seumuran dengannya. Akan tetapi, kakak-kakak yang
lebih tua umurnya merangkul Risti dan sering mengajaknya untuk ikut acara desa.
Sewaktu Risti sedang sibuk sekolah full day oleh karena itu ia sudah tidak ada lagi
waktu untuk mengikuti acara di desa. Ia juga menjadi takut untuk bertemu teman-
temannya yang lain karena takut dibenci atau dikucilkan karena sudah lama tidak
pernah berpartisipasi dalam acara desa sehingga Risti hanya berdiam diri di rumah
saja. Di luar dugaan, ternyata teman-temannya pergi ke rumahnya dan mengajaknya
kembali untuk ikut.
24
cukup terbilang ketat dan mengikat, seperti menuntut keterlibatan anggota secara lebih intens,
pengorbanan yang lebih banyak, pemberlakuan aturan yang ketat dan kaku, memberikan
hukuman dan ekspektasi yang tinggi sehingga menimbulkan penurunan kualitas, kepercayan,
identitas dan tata kelakuan individu (Portes & Vickstrom, 2011).
Makna kerja sosial yang dinarasikan oleh informan-informan yang ada di dusun
Nangsri seakan turut di iyakan oleh informan-informan di dusun lain, seperti seorang
informan di dusun Daleman yang mengatakan bahwa memang sudah seharusnya kerja sosial
dilakukan tanpa paksaan hingga lama-kelamaan dirasa menjadi sebuah kebutuhan bagi
individu untuk terus turut serta berpartisipasi mempererat hubungan antar masyarakat yang
ada di dusun maupun desa. Infroman dari dusun Karanggawang juga menjabarkan beberapa
keuntungan dari kerja sosial yang telah ia rasakan, seperti sang informan merasa lebih dapat
belajar bagaimana berinteraksi dengan berbagai golongan masyarakat, public speaking dan
kerja tim serta merasa lebih peka terhadap keadaan yang ada di dusun maupun di desa.
Pada kenyataanya, perilaku manusia secara signifikan dipengaruhi oleh aspek non-
material seperti emosi dan keyakinan, resiko hukuman yang mungkin ia dapatkan, arti
penting etika yang berlaku, visibilitas seseorang yang kurang etis, identitas sosial, reputasi,
dan timbal balik (Cremene & Dumitrescu, 2014). Tak hanya terikat pada sanksi sosial, hal ini
pun berlanjut pada adanya norma sosial yang secara langsung maupun tidak langsung
mengikat para informan yang berpartisipasi. Interaksi sosial manusia diatur oleh norma-
norma moral yang mendefinisikan kewajiban dan hak seorang individu. Norma-norma ini
ditegakkan oleh sebuah hukuman pada orang yang menyimpang dan pemberian penghargaan
pada orang yang menaati. Namun, pada umumnya dorongan untuk memberikan hukuman
atau penghargaan terhadap perilaku seorang individu seringkali tidak jelas, utamanya ketika
orang tersebut tidak terlihat secara pribadi dan dampak aktual sanksi terhadap pelaku tidak ia
saksikan secara langsung (Chapuisat, 2016). Hampir semua informan mengakui awal mula
mereka turut berpartisipasi merupakan sebuah tuntutan sosial dengan ancaman sanksi sosial
serta dorongan dari orang-orang terdekat kepada informan secara terus menerus, akan tetapi,
setelah mengikuti banyak kegiatan dan kerja sosial yang ada di dusun maupunn desa, mereka
berubah memaknai kerja sosial sebagai sebuah kebutuhan disamping beberapa dari informan
yang masih merasa sedikit tertekan dengan adanya ancaman sanksi sosial yang mungkin
mereka dapatkan apabila tidak berpartisipasi.
25
Story box
“Yen ra tau srawung, mengko rabine suwung”, para pemuda sekaligus
partisipan dalam kerja sosial di desa mendefiniskan makna kerja sosial
sebagai bentuk “srawung” atau bersosialisasi, yang mana mereka merasa
membutuhkannya. Selain itu tuntutan masyarakat dalam bentuk saling
membantu juga memberikan tekanan sekaligus makna tersendiri bagi para
pemuda.
26
BAB IV
KESIMPULAN
Kerja sosial atau yang biasanya disebut dengan “Sambatan” merupakan
kegiatan yang masih dilakukan oleh masyarakat pedesaan maupun masyarakat peralihan.
Gotong royong pada masyarakat pedesaan Jawa merupakan sebuah gambaran relasi sosial
yang bersifat tradisional. Nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pedesaan seakan
mewajibkan adanya kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh para pemuda desa sebagai
generasi penerus. Berdasarkan hasil penelitian di Dusun Nangsri, Daleman dan Girikerto
warga disana masih sering melakukan apa yang disebut dengan “Sambatan” terutama para
pemudanya. Kegiatan sosial menurut pemuda disana adalah sesuatu yang membantu dan
bersifat untuk bersama.
Kerja sosial yang biasanya dilakukan oleh para pemuda adalah kerja bakti yang
dilakukan secara rutin sebulan sekali. Kerja bakti tersebut melakukan gotong royong untuk
membersihkan masjid, selokan, jalanan, kuburan dan fasilitas-fasilitas lain yang ada di desa.
Selain kerja bakti, pemuda juga melakukan nyinom, kenduri, menjadi panitia pitulasan (tujuh
belas-an) dan masih banyak lainnya. Kerja sosial tersebut membangun rasa kebersamaan
pemuda di desa dan mempererat tali silaturahmi. Sosialisasi untuk melakukan kerja sosial
dilakukan para pemuda dilakukan secara langsung ataupun melalui social media seperti group
whatsapp.
Partisipasi dari pemuda untuk kegiatan sosial seperti gotong royong cukuplah tinggi
walaupun jumlah partisipasi pemuda lebih banyak dibandingkan pemudi. Alasan pemuda
melakukan gotong royong adalah karena dorongan dari teman-teman sekitarnya, sistem
undangan yang disebar di setiap rumah yang membuat orang tua menyuruh anaknya untuk
turut berpartisipasi. Selain itu, salah satu informan menganggap bahwa berpartisipasi dalam
kegiatan sosial di desa adalah suatu kewajiban untuk dapat menjaga tali persaudaraan yang
ada antar pemuda di desa.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, nilai dan norma yang berlaku di dalam
masyarakat membentuk identitas masyarakat. Aturan-aturan yang ada sudah disepakati
bersama secara tidak langsung harus dilakukan, jika dilanggar maka warga akan
mendapatkan sanksi. Berdasarkan penjelasan informan jika tidak aktif berpartisipasi di
kegiatan desa akan memperoleh sanksi sosial berupa dikucilkan, menjadi bahan gunjingan,
hingga yang paling ekstrim seperti tidak ada yang datang untuk nyinom saat pernikahannya.
Ucapan “ ra srawung rabimu suwung” yang berarti jika tidak bergaul maka pada saat acara
pernikahanmu tidak ada yang datang, benar adanya dan sudah terbukti. Pemuda di desa ingin
27
diterima oleh masyarakat sekitar sehingga mereka tidak berani untuk melanggar norma dan
nilai yang ada.
Makna dari kerja sosial sendiri berbeda-beda setiap pemuda. Informan yang berasal
dari Nangsri mengatakan kerja sosial bermakna sebagai hal yang membuat para informan ini
senang karena dapat berinteraksi atau apa yang disebut dengan “Srawung”. Hampir semua
informan mengakui awal mula mereka turut berpartisipasi merupakan sebuah tuntutan sosial
dengan ancaman sanksi sosial serta dorongan dari orang-orang terdekat kepada informan
secara terus menerus, akan tetapi, setelah mengikuti banyak kegiatan dan kerja sosial yang
ada di dusun maupunn desa, mereka berubah memaknai kerja sosial sebagai sebuah
kebutuhan disamping beberapa dari informan yang masih merasa sedikit tertekan dengan
adanya ancaman sanksi sosial yang mungkin mereka dapatkan apabila tidak berpartisipasi.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bowen, John R. (1986). On the Political Construction of Tradition : Gotong Royong in
Indonesia. Journal of Asian Studies. 545-562
Chapuisat, Michel. (2016). No Evidence for Moral Reward and Punishment in an
Anonymous Context. PLOS ONE. 1-9
Cremene, Marcel, Dumitrescu & Cremene. (2014). A strategic Interaction Model of
Punishment Favoring Contagion of Honest Behavior. PLOS ONE. 1-11
Fehr, E., & Fischbacher, U. (2004). Third-Party Punishment and Social Norms.
Evolution and Human Behavior , 25, 63-87.
Encyclopedia. (1998). Voluntarisme. (O. University, Producer,) Retrieved March 24,
2019, from A Dictionary of Sociology: https://www.encyclopedia.com/social
science/dictionaries-thesauruses-pictures-and-press-release/voluntarism
Kementrian Sosial RI. (2017). Karang Taruna. Jakarta Pusat, DKI. Diakses dari
https://kemsos.go.id/content/profil-karang-taruna
Mueller, A. S., & Abrutyn, S. (2016). Adolescents Under Pressure: A New Durkheimian
Framework for Understanding Adolescent Suicide in a Cohesive Community.
American Sociological Assiciation , 81 (5), 877-899.
Ritzer, George.,& Goodman, J. Douglas. (2004). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Sasaki, Tatsuya & Uchida. (2013). The Evolution of Cooperation by Social Exclusion. The
Royal Society. 1-7
Wellman, D. (1988). Symbolic Interaction. The Politics of Herbert Blumer's Sociological
Methods, 59-68.
29
LAMPIRAN
A. Daftar Informan
1. Nama Informan : Risti
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Nangsri, Girikerto
Pewawancara : Jelena Jasmine
2. Nama Informan : Arvian Rahmad H.
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Daleman, Girikerto
Pewawancara : Putri Berlyanti
3. Nama Informan : Hendri
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Nangsri, Girikerto
Pewawancara : Rahman Kurnia Saputra
4. Nama Informan : Dendi
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Nangsri, Girikerto
Pewawancara : Dimas Septian Atmaja
5. Nama Informan : Ambar
Waktu Wawancara : Minggu, 28 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Nangsri, Girikerto
Pewawancara : Monika Btari Pramaninggar
6. Nama Informan : Eka
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Nangsri, Girikerto
Pewawancara : Monika Btari Pramaninggar
7. Nama Informan : Priyanto
Waktu Wawancara : Sabtu, 27 April 2019
Lokasi Wawancara : Dusun Karanggawang, Girikerto
Pewawancara : Rainhard Sitohang
30
B. Poster
31
C. Data Networking Kelompok
32
D. Data Networking Individu
1. Jelena Jasmine 18/424746/SP/28294
33
2. Putri Berlyanti 18/424752/SP/28300
3. Rahman Kurnia Saputra 18/428313/SP/28522
34
4. Dimas Septian Atmaja 18/424740/SP/28288
35
5. Monika Btari Pramaninggar 18/430844/SP/28688
36
6. Rainhard Sitohang 16/399471/SP/27604
37
E. Daftar Data Kompilasi Tugas Individu
NAMA
Jelena Jasmine
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
Data Networking V
Field note V
Putri Berlyanti
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
Data Networking V
Fieldnote V
Rahman Kurnia Saputra
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
Data Networking V
Fieldnote V
Dimas Septian Atmaja
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
Data Networking V
Fieldnote V
Monika Btari Pramaninggar
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
Data Networking V
Fieldnote V
Rainhard Sitohang
Verbatim Transcript V
Indexing V
Coding V
38
Data Networking V
Fieldnote V
LAMPIRAN FOTO
39
40
41
42