laporan akhir penelitian hibah institusionalrepo.apmd.ac.id/480/1/hybrid institusion.pdf · booming...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH INSTITUSIONAL
Judul:
Hybrid Institution Sebagai Enabling Factor Ekosistem Inovasi
(Studi Kasus BUM Desa “Sejahtera” Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Gunung Kidul
Sebagai BUM Desa berbasis IPTEK)
Peneliti:
Drs. Sumarjono, M.Si. (0017025810)
Drs. Parwoto, M.Si. (...)
Untuk Diajukan Kepada:
Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA
JUNI 2018
2
Halaman Pengesahan
Judul : Hybrid Institution Sebagai Enabling Factor Ekosistem Inovasi
(Studi Kasus BUM Desa “Sejahtera” Desa Bleberan, Kecamatan
Playen, Gunung Kidul Sebagai BUM Desa berbasis IPTEK)
Kode/ Rumpun Ilmu Peneliti : Ilmu Sosial dan Politik
a. Nama : Drs. Sumarjono, M.Si.
b. NIP/NIDN : 19580217196021001/0017025810
c. Pangkat/Gol. : III/C
d. Jabatan Fungsional : Lektor
f. Program Studi : Ilmu Pemerintahan
g. Telpon/HP :
h. Alamat email : [email protected]
Institusi Mitra Kerja
Nama Institusi Mitra : Pemerintah Desa Bleberan
Alamat Institusi Mitra : Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul
Lama Penelitian : 6 Bulan
Biaya penelitian : Rp. 10.000.000,-
Sumber Dana Penelitian dari
STPMD “APMD:
: Rp. 10.000.000,-
Menyetujui Yogyakarta, 21 Juni 2017
Kepala P3M
Sekretaris P3M
Peneliti
Dra.Widati, lic.rer.reg Drs. Sumarjono, M.Si.
Mengetahui,
Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan
Gregorius Sahdan, SIP, M.A.
3
RINGKASAN HASIL
Kajian ini bertujuan menguji daya kelembagaan BUM Desa sebagai hibryd institution bagi
tumbuhnya inovasi dalam pengembangan ekonomi lokal di Desa Bleberan, Gunung Kidul.
Studi-studi terdahulu tentang tautan kelembagaan ekonomi dan inovasi menunjukkan
faktor inovasi menjadi kunci bagi penguatan kelembagaan ekonomi. Studi ini justru berbeda
dari kajian terdahulu yang menempatkan kelembagaan ekonomi justru menjadi faktor
menentukan dalam membangun ekosistem inovasi. Desain hybrid institution yang melekat
pada BUM Desa meyajikan sejumlah peluang berupa keunggulan kelembagaan yang dapat
didayagunakan untuk mengatasi limitasi penguatan ekonomi desa. Kajian ini menemukan
bahwa dalam kasus BUM Desa “Sejahtera” prasyarat format hybrid institution belum
terpenuhi yang disebabkan oleh lemahnya kapasitas dalam melembagakan aturan main
yang mengikat para pelakunya dan justru menyeret para pelakunya terlibat dalam konflik
kepentingan yang tidak terkelola. Alhasil, BUM Desa “Sejahtera” gagal dalam menjadi
inkubator bagi tumbuhnya inovasi desa. Inovasi warga yang pada awalnya tumbuh tidak
berkembang karena tidak ditangkap dengan baik oleh BUM Desa.Studi ini merupakan
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus instrumental yang
diorientasikan memperkaya khazanah teoritik tentang kelembagaan
ekonomi.Denganmetodependekatanstudikasus, penelitian yang
dilakukandapatlebihmendalammengeksplorasisecaralebihterperinci, mendalam,
danjelassehinggadapatmenjawabrumusanmasalah yang diajukan.
4
Daftar Isi
HalamanPengesahan…………………………………………………………………………………………………….. ii
RingkasanHasil............................................................................................................. iii
Daftar Isi.............................................................................................................................. iv
Bab 1 Pendahuluan............................................................................................................. 1
A. LatarBelakang.............................................................................................................. 1
B. RumusanMasalah Dan TujuanPenelitian................................................................... 6
C. LuaranPenelitian.......................................................................................................... 6
Bab 2 Kajian Pustaka........................................................................................................... 7
A. Review PenelitianTerdahulu........................................................................................ 7
B. Kerangka Teoritik .......................................................................................................... 10
B.1. Hybrid Institutions........................................................................................................ 10
B.2. Inovasi Dan Ekosistem Inovasi..................................................................................... 13
C. KerangkaPikirPenelitian.............................................................................................. 16
Bab 3 Metode Penelitian..................................................................................................... 18
A. PendekatanPenelitian.................................................................................................. 18
B. Sumber Data, TeknikPengumpulan Data, Dan Informan............................................. 19
C. TeknikAnalisa Data....................................................................................................... 20
D. UjiKeabsahan Data....................................................................................................... 20
Bab 4 SosialEkonomiDesaBleberan……………………………………………………………………………… 22
A. Setting SosialEkonomiDesaBleberan……………………………………………………………………... 22
B. Riwayat Bum Desa “Sejahtera “Dan Bentuk Model Bisnis………………………………………… 26
B.1. SejarahBumdesBleberan: AntaraprakarsaLokal Dan KoridorRegulasi…………………. 26
B.2. KepemilikanKolektifWarga- PemerintahDesa……………………………………………………….. 28
B.3. DikelolaDemokratis-Teknokratis…………………………………………………………………………… 30
B.4. Komersial –Sosial…………………………………………………………………………………………………… 32
Bab 5 PengembanganEkosistemInovasiOleh Bum Desa……………………………………………… 34
A. Kepemimpinan……………………………………………………………………………………………………….. 34
5
B. Sistem Social Budaya………………………………………………………………………………………………. 37
C. Pendidikan…………………………………………………………………………………………………………… 38
D. Etika Dan EtosKerja……………………………………………………………………………………………….. 39
E. Pendanaan…………………………………………………………………………………………………………… 40
F. Regulasi…………………………………………………………………………………………………………………… 41
Bab 6 Menguji Format BUM Des dalamPengembanganEkosistemInovasi …………………… 43
A. Kapasitas BUM Desasebagai Hybrid Institution………………………………………………………. 43
B. Model BUM DesaInovatif……………………………………………………………………………………….. 45
C. MemetakanPosisi BUM Desa Sejahtera dalam Model BUM DesaInovatif.................................................................................................................
49
Bab. 7 Simpulan dan Rekomendasi 52
A. Simpulan............................................................................................................ 52
B. Rekomendasi................................................................................................... 53
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………………… 55
Lampiran-Lampiran 59
Daftar Gambar
Gambar 1. KerangkaPengujian Bum DesaSebagai Enabling Factor EkosistemInovasi..... 17
Gambar6.1 Model BUM DesaInovatif…………………………………………………………………………………. 44
DaftarTabel
Tabel 4.1. JumlahPendudukDesaBleberanBerdasarkanUmurTahun 2016………………….. 22
Tabel 4.2. Tingkat PendidikanPendudukDesaBleberanTahun 2015……………………………….. 22
Tabel 4.3. JumlahPengunjungdanPendapatan Unit Usaha Wisata………………………………….. 30
Tabel 6.1. Overview Kondisi BUM Desa “Sejahtera” …………………………………………………………… 42
Tabel 6.2. Matrik Perkembangan BUM Desa Inovatif................................................................... 47
6
BAB I
PENDAHULUAN
D. Latar Belakang
Kajian ini akan menguji pengaruh kelembagaan ekonomi desa terhadap
tumbuhnya inovasi bagi penguatan ekonomi desa. Secara spesifik, kajian ini fokus pada
upaya menguji daya kelembagaan BUM Desa sebagai hibryd institution bagi tumbuhnya
inovasi sosial ekonomi dalam pengembangan desa wisata di Desa Bleberan, Kecamatan
Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Studi-studi terdahulu tentang pertautan kelembagaan
ekonomi dan inovasi justru menunjukkan bahwa faktor inovasi menjadi kunci bagi
penguatan kelembagaan ekonomi. Studi ini justru berangkat dari standing point
berpunggungan dengan sejumlah studi terdahulu. Kajian ini hendak menempatkan
kelembagaan ekonomi justru menjadi faktor yang menentukan keberhasilan (atau
kegagalan ) bertumbuhnya ekosistem inovasi yang kondusif. Ringkasnya, kajian ini akan
menguji kelembagaan BUM Desa sebagai ekosistem bagi produksi inovasi-inovasi desa.
Terbitnya UU No. 6/2014 Tentang Desa, dengan asas rekoginisi dan subsidiaritas,
telah membuka ruang bagi desa memiliki kewenangan lokal skala desa dalam
pengembangan berbagai potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Dampaknya, terjadi
booming pendirian dan pengembangan BUM Desa di Indonesia. Hanya dalam kurun
waktu 2 tahun, Kementrerian Desa mencatat jumlah BUM Desa telah mengalami
kenaikkan mencapai 14 kali lipat dari 1.022 unit pada tahun 2014 menjadi 14.686 unit
pada tahun 2016 (Rusiana, 2017). Pendirian dan pengembangan BUM Desa memang
merupakan salah satu prioritas dari pemanfaatan Dana Desa yang bersumber dari APBN
sebagaimana mandat dari UU Desa. Target pemerintah pusat hingga tahun 2019, BUM
Desa akan ditingkatkan menjadi 20.000 unit (Yazid, 2016).BUM Desa sebenarnya telah
ditawarkan pemerintah sejak tahun 2005 silam, namun eksistensi BUM Desa kembali
mendapat perhatian setelah ditetapkannya UU Desa (Purwadi, 2016).
Dalam kerangka tersebut, BUM Desa dimaksudkan sebagai wadah usaha desa,
dengan spirit kemandirian, kebersamaan, dan kegotongroyongan antara pemerintah
desa dan masyarakat, yang mengembangkan aset lokal untuk memberikan pelayanan
kepada warga masyarakat dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa
(Eko, 2014). Dengan lain perkataan, BUM Desa menjadi wadah kelembagaan ekonomi
bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya desa agar dapat mendorong;
peningkatan jenis usaha warga desa, meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes),
integrasi pemasaran dan promosi, peningkatan industri kreatif, pemanfaatan serta
sumber daya alam secara berkelanjutan (Kemendes, 2016b).
7
Mandat sebagai wadah kelembagaan ekonomi desa telah menempatkan BUM
Desa sebagai pelaku sentral dan strategis bagi pencapaian upaya kemandirian Desa.
Mengapa BUM Desa diletakkan sebagai pilar utama penggerak ekonomi Desa?
Pertanyaan tersebut menuntun pada sejumlah argumen yang mendasari BUM Desa
sebagai hybrid institution. Pertama, BUM Desa lahir dari regulasi negara sekaligus
berangkat dari prakarsa lokal. Ini artinya BUM Desa memiliki struktur peluang yang
kehadirannya dijamin dengan payung hukum sekaligus memberikan pengakuan bagi
tumbuhnya prakarsa lokal. Pengalaman masa lalu menunjukkan penguatan
kelembagaan ekonomi desa dengan pendekatan top-down dengan menghadirkan
lembaga-lembaga korporatik desa seperti KUD maupun program –program pemerintah
pusat seperti KCK, Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) hingga hingga PNPM tidak
pernah memiliki konektivitas dengan prakarsa lokal yang berciri bottom up yang
ditopang dengan modal sosial warga. Kedua entitas tersebut seperti berjalan sendiri-
sendiri. Kehadiran BUM Desa tentunya bukan hanya menjembatani namun juga
membuka pengintegrasian bahkan meleburkan dua entitas tersebut. Peleburan tersebut
tampak dari regulasi tentang pendidrian BUM Desa yang mensyaratkan adanya inisiatif
lokal baik oleh pemerintah desa dan atau warga yang disesuaikan dengan potensi dan
kebutuhan desa serta dilembagakan secara partisipatoris dan deliberatif dalam wadah
musyawarah desa sebagai institusi pengambilan keputusan tertinggi desa.
Kedua, kelembagaan BUM Desa didesain sebagai usaha desa yang bercirikan
kepemilikan kolektif, bukan hanya dimiliki pemerintah desa atau masyarakat atau
individu namun menjadi milik pemerintah desa dan masyarakat desa (Eko, 2014). Desain
tersebut membawa konsekuensi diintegrasikannya pemberdayaan ekonomi berbasis
komunitas dengan pemerintah desa. Sebagaimana dalam program-program
pemberdayaan ekonomi desa terdahulu seperti PNPM, program-program tersebut
dikritik bersifat hanya memberdayakan komunitas secara sektoral sehingga tidak merata
dan tidak dapat menjamin keberlanjutannya (Eko, 2014). Dari berbasis komunitas dan
terlepas dari pemerintah desa menjadi terintegrasi ke dalam sistem pemerintahan desa
melalui wadah BUM Desa menjadi letak pergeseran kewenangan pemberdayaan
masyarakat desa. Dengan kedudukannya yang dinilai strategis, BUM Desa diharapkan
mampu memerankan fungsinya sebagai motor penggerak perekonomian desa, sehingga
mendorong mengentaskan kemiskinan, menyejahterakan warga desa, dan menjadi desa
mandiri dengan segala potensi desa yang dimilikinya (Kemendes, 2016a). Dengan
pengintegrasian tersebut, maka BUM Desa dimiliki dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh
pemerintah desa dan warga desa.
Sebagai ilustrasi, sejak tahun 2015 terjadi pergeseran paradigma pembangunan
desa dari berbasis komunitas menjadi terintegrasi dengan pemerintah desa telah terjadi
dalam pengelolaan potensi desa. Pada periode pemerintahan sebelumnya yakni 2009-
2014, Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Pariwisata melalui PNPM
8
Mandiri Pariwisata telah mengembangkan desa wisata di seluruh wilayah Indonesia
dengan pendekatan berbasis kelompok/komunitas (Kemenpar, 2014). Setelah UU No 6
Tahun 2014 ditetapkan Pemerintah Pusat, Kementerian Pariwisata tidak lagi fokus pada
pengembangan desa wisata (Dewi, 2016a). Selain karena PNPM Mandiri Pariwisata
mengalami terminasi, program tersebut dinilai hanya mampu menjangkau sebagian kecil
dari keterlibatan masyarakat desa karena hanya dinikmati kelompok (komunitas)
tertentu.
Ketiga, BUM Desa dikelola secara demokratis dan teknokratis (Eko, 2014).
Bagaimanapun sebagai wadah usaha bersama, BUM Desa membutuhkan pendekatan
teknokratis yang tampak dari pentingnya manajerialisme dalam pengelolaan BUM Desa.
Pendekatan teknokratis tersebut tampak dari penggunaan metode-metode ilmiah dalam
memandu pengelolaan organisasi bisnis, manajemen SDM, manajemen usaha,
manajemen keuangan, hingga promosi dan pemasaran. Namun demikian, pendirian dan
pengembangan BUM Desa tidak cukup didekati dengan pendekatan teknokratis dan
manajerial semata. BUM Desa yang dibangun serentak oleh pemerintah dari atas juga
tidak serta merta bisa bekerja dengan baik meskipun memiliki kapasitas manajerial yang
baik (PATTIRO, 2010). Pada titik inilah pendekatan demokrasi ekonomi yang berwatak
politis menjadi penting ditempatkan yang tidak hanya tampak dari pelembagaan
musyawarah desa, namun juga dari sisi akuntabilitas (Eko, 2014). Pengalaman masa lalu
menunjukkan pengelolaan sumber daya desa rentan terjebak dalam elite capture yang
problematik dari sisi akuntabilitas. Kehadiran BUM Desa diyakini mampu membangun
pengelolaan sumber daya desa ekonomi secara akuntabel. Hal ini ditampakkan dari
pemisahan aset dan organisasi BUM Desa dari pemerintah desa menjadi komponen
penting untuk menjaga akuntabilitas BUM Desa.
Keempat, BUM Desa mendapat mandat untuk melakukan pelayanan sosial
sekaligus mengembangkan potensi ekonomi lokal berskala desa. Dengan mandat
semacam itu, terdapat kesan BUM Desa dituntut memainkan peran menyediakan
layanan publik bersifat sosial namun juga dituntut untuk menghasilkan profit.
Pandangan tersebut sesungguhya tidak sepenuhnya memadai. Kehadiran BUM Desa
diharapkan bukan hanya menghasilkan laba, namun juga prime mover bagi
pengembangan ekonomi yang menghasilkan dampak kesejahteraan warga. Pada titik ini,
BUMDesa dituntut untuk mampu membangun perimbangan antara fungsi sosial dan
ekonomi.
Berpijak dari hal itu, kajian ini berangkat dari argumen bahwa BUM Desa
menghadirkan enabling factor bagi lahirnya inovasi-inovasi di desa. Desain sebagai
hybrid institution yang melekat pada BUM Desa meyajikan sejumlah peluang berupa
keunggulan kelembagaan yang dapat didayagunakan untuk mengatasi limitasi
pengembangan creative capital dan creative space yang berkontribusi bagi penguatan
ekonomi desa. Secara teoritis-normatif, argumen ini menantang sejumlah pendekatan
9
ekonomi kelembagaan mainstream yang selama ini menatap pesimistik terhadap usaha
pemberdayaan ekonomi desa. Bagi para ekonom, penguatan ekonomi desa mengalami
involusi karena adanya hambatan struktural berupa skala usaha dan kapasitas yang
terbatas serta tidak efisien dari sisi manajemen ekonomi (Eko, 2014).
Pada titik inilah, argumen tersebut perlu diuji. Secara faktual, BUM Desa belum
menjadi pilihan bagi banyak desa di Indonesia. Dari jumlah total 74.250 desa yang ada di
Indonesia, sampai akhir tahun 2016 hanya sekitar 29% yang telah merintis berdirinya
BUM Desa. Dari 29% desa yang telah merintis pembentukan BUM Desa, hanya sebesar
39% yang BUM Desa-nya mampu aktif dalam kegiatan ekonomi produktif. Artinya,
sebesar 61% masih BUM Desa normatif, sekadar memiliki legalitas AD/ART dan baru
terbatas ditopang alokasi penyertaan modal dari APBDes yang jumlahnya tidak signifikan
(Yulianto, 2017). Data tersebut menujukkan bahwa, tidak semua kelembagaan ekonomi
desa dalam format BUM Desa dapat mendayagunakan hybrid institution sebagai faktor
pemampu dalam melakukan inovasi yang berdampak pada perubahan-perubahan
strukural menuju desa yang mandiri.
Dalam kajian ini, desa wisata dipilih sebagai kasus yang diangkat untuk menguji
argumen kajian ini dengan beberapa pertimbangan. Pertama, desa wisata telah
memenuhi aspek regulasi sekaligus menimbang fakta bahwa banyak desa wisata lahir
dari prakarsa lokal. Pengaturan tentang desa wisata telah diatur dalam Permendesa No
4 Tahun 2015 Tentang BUM Desa, 2015 sebagai salah satu usaha bersama dalam
mengelola dan mengembangkan sumber daya lokal berupa sumber daya aset dan
potensi desa melalui BUM Desa. Dengan kewenangan tersebut, banyak desa-desa di
Indonesia yang mulai merintis dan mengembangkan desa wisata melalui wadah BUM
Desa (J. Nugroho, 2013). Bahkan, selama tahun 2015-2019, Pemerintah Pusat
berkomitmen untuk mengembangkan desa wisata sebanyak 4.000 desa (Asdhiana,
2016).Pada tahun 2009-2014, Kementerian Pariwisata telah mengembangkan desa
wisata sebanyak 1.400 desa dengan total anggaran mencapai Rp 406 Milyar melalui
PNPM Mandiri Pariwisata (Kementerian Pariwisata, 2014). Masalahnya, Kemendes
mencatat bahwa sampai saat ini pemerintah telah mengembangkan hampir 1.000-an
desa wisata di seluruh provinsi di Indonesia. Namun desa wisata yang bisa berkembang
baik dan menjadi wisata yang populer, jumlahnya masih sangat sedikit. Dalam konteks
tersebut, perlu diuji kembali apakah format BUM Desa sesungguhnya dapat menjadi
motor inovasi guna mendorong pengembangan desa-desa wisata yang ada.
Kedua, jenis usaha wisata digaungkan sebagai sebagai sektor ekonomi inklusif
dengan melibatkan multi aktor dari pelaku lokal, pemerintah, hingga pelaku industri
wisata yang diorientasikan bagi pengembangan ekonomi lokal. Secara faktual
masyarakat lokal hanyalah ditempatkan sebagai penonton dari hiruk-pikuk industri
wisata. Partisipasi masyarakat lokal di sektor ini kerapkali dibajak oleh dominasi elit
lokal dan pemodal yang memanipulasi kepentingan komunitasnya demi mengawal
10
kepentingan pemodal dan elit lokal sendiri. Pariwisata haruslah dilihat sebagai
sumberdaya lokal, sehingga pengelolaannya bukan hanya harus didasarkan pada
kepentingan masyarakat lokal tetapi juga pada kemampuan mereka menyediakan
tenaga dan modal sosial yang lain (Brohman, 1996 dalam Damanik, 2005). Dengan
gambaran kondisional tersebut, memunculkan pertanyaan apakah format BUM Desa
mampu mendorong kepemilikan usaha wisata sebagai milik bersama, antara pemerintah
desa dan warganya sekaligus memenuhi dimensi akuntablitas pengelolaan usaha desa.
Pemenuhan terhadap perihal diatas penting dilakukan dengan asumsi kepemilikan dan
akuntablitas akan membangun gairah pengembangan usaha melalui inovasi-inovasi yang
dihasilkan para pelakunya.
Ketiga, jenis usaha pariwisata dinobatkan sebagai salah satu sub sektor ekonomi
kreatif yang prospektif dimana menuntut inovasi secara berkelanjutan. Sebagai sub
sektor ekonomi kreatif, maka jenis usaha ini mensyaratkan daya saing di tengah
tingginya iklim kompetisi. Usaha jenis ini memang menuntut pengembangan creative
capital (modal kreatif) dan creative space (ruang kreatif) yang memberi nilai tambah
bagi faktor-faktor produksi seperti sumber daya manusia (human capital), sumber daya
alam dan budaya (natural and cultural resource), organisasi, pembiayaan, infratruktur
dan teknologi. Hal ini tentu menarik untuk diuji apakah format BUM Desa mampu
mendorong peningkatan daya saing yang mensyaratkan penciptaan iklim kreatif dengan
inovasi-inovasi yang dihasilkan ditengah pandangan skeptis bahwa dengan skala usaha
terbatas, desa miskin kapasitas dan kurang efisien dalam mengelola usaha.
Dalam konteks kajian ini, BUM Desa Sejahtera di Desa Bleberan, Kecamatan
Playen, Kabupaten Gunungkidul dijadikan sebagai pembelajaran dalam mengelola
potensi desa wisata. BUM Desa Sejahtera mengelola dan mengembangkan potensi desa
wisata dipilih sebagai lokasi penelitian karena dirasa relevan sebagai salah satu
representasi praktik di lapangan atas isu kontemporer yang sedang berkembang di atas.
Pada tahun 2015, Bleberan menerima penghargaan sebagai desa wisata terbaik Se-DIY
dan mampu menghasilkan pendapatan milyaran per tahun (Jogjapos, 2015). Desa
Bleberan ini dijadikan sebagai studi banding hampir dari seluruh daerah Indonesia untuk
belajar mengelola desa wisata alam melalui BUM Desa, antara lain; Maluku, Morowali,
Papua, Kalimantan, Palembang, Aceh, dan juga berbagai daerah dalam pulau Jawa
(Zamroni, Anwar, Yulianto, Rozaki, 2015). Pada tahun 2017, Desa Wisata Bleberan yang
dikelola dan dikembangkan melalui BUM Desa Sejahtera menjadi salah satu wisata
terbaik versi Kementerian Desa berkategori IPTEK (Hadi, 2017). Meski demikian,
penelitian tidak dimaksudkan hanya mengeskplorasi berbagai cerita sukses di Bleberan
saja. Sejalan dengan orientasi penelitian ini yang bersifat pengujian, praktik baik (good
practise) di Bleberan tentu akan disandingkan dengan bad practise yang berkembang
untuk dijadikan pembelajaran. Dengan demikian, urgensi penting hasil penelitian ini
adalah memberikan gambaran konsep model dan mekanisme kerja BUM Desa Sejahtera
11
agar dapat dijadikan sebagai pedoman bagi desa-desa di Indonesia yang berbasis pada
pengembangan desa wisata.
E. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan argumentasi dan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah penelitian yang diajukan yaitu: Format BUM Desa semacam apa yang dapat
menjadi enabling factor bagi produksi inovasi di desa? Sedangkan penelitian ini
diorientasikan dengan tujuan yaitu:
1. Melakukan pengujian terhadap kelembagaan BUM Desa sebagai enabling factor
dalam menghasilkan inovasi.
2. Merumuskan prototype model kelembagaan BUM Desa yang dapat menghasilkan
inovasi dalam pengembangan potensi desa wisata.
F. Luaran Penelitian
Sebagaiamana dipersyaratkan dalam Panduan Penelitian STPMD “APMD” Tahun
2017 untuk skim Penelitian Hibah Institusional maka terdapat beberapa luaran
penelitian:
1. Laporan Hasil Penelitian
2. Publikasi satu artikel ilmiah jurnal terakreditasi nasional yang akan dipublikasikan
pada Jurnal Siasat Bisnis, Universitas Islam Indonesia dengan status jurnal
terakreditasi B, dan alamat akses:
http://jurnal.uii.ac.id/JSB/index.
3. Poster yang memuat hasil penelitian
4. Hak atas Kekayaan Intelektual atas hasil penelitian ini
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
D. Review Penelitian Terdahulu
Sebagian besar hasil penelitian tentang kelembagaan ekonomi desa dalam
format BUM Desa baru bergerak pada upaya mempromosikan keberhasilan atau
mencari faktor kegagalannya. Baik studi tentang cerita sukses atau kegagalan BUM Desa
masih bergerak pada nalar mengeksplorasi berbagai faktor dan kemungkinan tentang
BUM Desa sebagai model kelembagaan ekonomi yang diyakini ideal. Belum banyak
studi tentang BUM Desa yang diorientasikan untuk menguji BUM Desa sebagai
kelembagaan ekonomi desa yang compatible dengan kepentingan penguatan isu
kemandirian Desa. Studi ini bergerak pada orientasi bahwa penting menguji daya
kelembagaan BUM Desa untuk memperkuat ekonomi desa dengan menautkannya
dengan kapasitas BUM Desa menghasilkan inovasi. Argumen pokok yang ingin dibangun
adalah adanya keyakinan bahwa inovasi menjadi variabel penting dalam merubah
stuktur ekonomi desa menuju kemandirian. Namun, faktor inovasi tidak ditempatkan
sebagai variabel independen, namun justru meletakkan kelembagaan BUM Desa sebagai
ekosistem yang menentukan bagi lahirnya inovasi-inovasi desa.
Studi tentang “kegagalan atau keberhasilan” BUM Desa mengembangkan potensi
desa telah banyak dilakukan peneliti sebelumnya. Kegagalan atau keberhasilan sebuah
BUM Desa memiliki karakteristik sesuai dengan variasi jenis usaha yang telah dijalankan,
sehingga membuat perbedaan hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan fokus
masalah, jenis usaha, serta dinamika sosial yang terjadi. Seperti di Indragiri Hilir Riau,
dinamika terjadi sangat bervariasi dengan ragam kegiatan ekonomi yang dijalankan dari
program UED-SP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak ekonomi sepenuhnya
belum dirasakan semua warga miskin, namun modal sosial menjadi kunci sukses BUM
Desa dalam pemberdayaan warganya (Mampanini, Pudjiharjo, Susilo, Dwiarianto, 2016).
Di Kabupaten Tabanan, secara kuantitatif telah mengembangkan BUM Desa di 50 desa
sebagai percontohan dan dinilai sukses mendorong partisipasi kelompok tani serta
mampu meningkatkan perekonomian mereka melalui pelaksanaan program IBW yang
telah dikelola (Suryana, Setiyono, & Murdoyuwono, 2015). Di Desa Babadan, Kecamatan
Karangrejo, Kabupaten Tulungagung dinilai sukses melaksanakan program simpan
pinjam kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) dalam mengembangkan bisnis usaha
melalui BUM Desa (D. A. Nugroho, 2015). Di Kabupaten Malang, penelitian BUM Desa
dilakukan di Desa Ketindan, Wonorejo, Lawang, Wangir, dan Gondowangi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa; (1) BUM Desa memaksimalkan profit (keuntungan), (2)
memiliki kecenderungan memprioritaskan kelompok dengan modal sosial sebagai
13
preferensi individu, (3) kedudukan BUM Desa yang diluar struktur Pemerintah Desa tidak
selalu stabil dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada warga, (4) petugas atau
karyawan lebih pada motivasi dan orientasi berdasarkan non-material, yaitu rasa hormat
dan penghargaan sosial dan politik dari ekonomi (Hardijono, Maryunani, Yustika, &
Ananda, 2014). Di Sumatra Utara, di Desa Rawang V dan Joman Baru, hasil penelitian
menunjukkan bahwa BUM Desa menjadi penguatan kelembagaan, pelatihan teknis
bimbingan telah mendorong pemberdayaan dan peningkatan perekonomian desa,
peningkatan PADes, sesuai kebutuhan masyarakat desa dan potensi desa yang
dimilikinya (Hardijono, Maryunani, Yustika, 2015).
Tidak hanya sebatas kisah sukses seperti di atas, namun kisah gagal dan berbagai
kendala juga dialami daerah lain, seperti yang terjadi di Desa Landungsari, Kecamatan
Dau, Kabupaten Malang menunjukkan bahwa keberadaan BUM Desa memang sudah
sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Malang dan ditindaklanjuti melalui
Peraturan Desa. Akan tetapi semua bidang usaha yang dijalankan saat ini tidak berjalan
dan tidak dapat menyokong pendapatan desa, sehingga dapat dikatakan eksistensi dari
BUM Desa hanya sebatas papan nama saja (Heru Ribawanto, 2013). Di Desa Warung
Bambu, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang memiliki BUM Desa namun
selama ini belum mampu memberdayakan dan meningkatkan perekonomian warganya
(Purnamasari, Yuliana, 2016). Di Kabupaten Jombang, BUM Desa dinilai mampu
memberikan kontribusi terhadap PADes dan membuka peluang usaha, namun BUM
Desa belum dikelola secara profesional karena manager maupun petugas pengelola
tidak memiliki pengalaman dan latarbelakang yang sesuai dengan pendidikannya,
sehingga masih belum mampu mengembangkan bisnis pembangunan desa (Hidayati,
2015). Di Kabupaten Jepara, BUM Desa sudah berjalan sesuai dengan tujuan
pembentukan BUM Desa dan mampu membantu meningkatkan perekonomian desa.
Namun masih terdapat kendala dalam pengelolaan BUM Desa beberapa daerah seperti
jenis usaha yang dijalankan masih sangat terbatas, keterbatasan sumber daya manusia
yang mengelola BUM Desa dan partisipasi masyarakat karena rendahnya pengetahuan
mereka(Kushartono, 2016).
Di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul banyak yang
menilai juga sukses mengembangkan BUM Desa-nya. BUM Desa di Bleberan dinilai
sebagai model mengentaskan kemiskinan berkelanjutan, karena dapat membangun desa
dengan modal sosial dalam komunitasnya (Prabowo, 2014). BUM Desa menjadi wadah
pengelola modal sosial sehingga dapat dijadikan sebagai model pengerak perekonomian
desa Bleberan (Sidik & Gama, 2015). Sebelum dan sesudah dikembangkan desa wisata
Bleberan dalam kegiatan ekonomi warga terutama dukuh Manggoran telah
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata pendapatan (Ratnawati,
2015). Secara kelembagaan, kapasitas BUM Desa di Bleberan dinilai memenuhi
kebutuhan organisasi yang ideal dalam mencapai tujuan (Wibawati, 2015). Dasar BUM
14
Desa di Bleberan dibentuk karena memiliki keunggulan wisata alam dan beroreintasi
profit dengan modal sosial menjadi kuncinya (Rachmawati, 2015). Meskipun modal
sosial yang dimiliki dikatakan baik oleh beberapa peneliti, namun dalam pengelolaan
pendapatan desa wisata belum dikelola secara transparan dan akuntabel oleh BUM Desa
Bleberan (Sidik, 2015).
Sementara itu, penelitian yang membahas BUM Desa Tirta Mandiri di Desa
Ponggok masih sangat terbatas termasuk hasil publikasinya. Diantaranya, yaitu; hasil
penelitian yang dilakukan Pamungkas menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan
kolam renang Umbul Ponggok dinilai memuaskan dari aspek pelayanan yang diberikan
(Pamungkas, 2016). Yulianto membuktikan pengaruh antara fasilitas, iklan dan kepuasan
pengunjung terhadap loyalitas pengunjungnya (Yulianto, 2016). Dewi menunjukkan
dampak pengembangan obyek wisata umbul ponggok terhadap perekonomian
masyarakat desa ponggok (Dewi, 2016). Haryati telah menunjukkan strategi bauran
komunikasi pemasaran pemerintah desa ponggok menarik wisatawan (Haryati, 2015).
Astuti menujukkan proses pembentukan pengawas mempengaruhi kinerja pengawasan
karena berpengaruh terhadap kualitas seorang pengawas karena diselenggarakan secara
obyektif dengan menggunakan standar yaitu tool administrasi, serta pengawasan
dilakukan secara periodik yang tersusun dalam program kerja tahunan (Astuti, 2017).
Sedangkan, studi lain tentang kelembagaan ekonomi desa dalam tautannya
dengan inovasi, baru diletakkan dalam kerangka bahwa inovasi menjadi variabel
pengubah kelembagaan ekonomi desa. Beberapa studi tersebut mengajukan fenomena
desa inovatif sebagai obyek kajiannya, menunjukkan bahwa inovasi yang menyentuh
faktor-faktor produksi baik alam, manusia, maupun institusi telah mendorong
perubahan kelembagaan ekonomi desa. Studi yang dilakukan Suprihadi dkk (2014)
tentang perubahan platform pemasaran produk-produk pertanian warga Desa
Mlatiharjo Demak melalui pasar digital yang dikelola BUM Desa menunjukkan bahwa
introduksi teknologi digital telah mengindikasikan penguatan kelembagaan ekonomi
desa. Kesimpulan tersebut, sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Tsani
(2016)tentang pengelolaan air bersih oleh BUM Desa Tirta Kencana, Karangrejek,
Wonosari, Gunung Kidul.
Kajian-kajian lain juga menunjukkan peran inovasi yang menyentuh pada ranah
institusi ekonomi desa. Seperti studi yang dilakukan oleh Wibawati (2017) dengan
kajiannya di Desa Panggungharjo, Bantul menunjukkan bahwa inovasi di ranah
proses/tatakelola, unit usaha/produk dan nilai merupakan kunci sukses untuk
mempertahankan keberadaan BUMDesa Panggung Lestari di tengah masyarakat dan di
tengah persaingan bisnis yang dinamis. Demikian pula dengan kajian oleh Sucipto (2017)
yang menemukan pendayagunaan jaringan stakeholder menjadi kunci strategi inovasi
kelembagaan yang secara efektif dan telah terbukti memajukan Desa wisata
Pentingsari, Sleman. Sedangkan Studi Rahmat (2017) di sejak awal menempatkan inovasi
15
pengorganisasian komunitas sebagai faktor kunci dalam pengembangan Desa Wisata
Nglanggeran. Hal serupa ditunjukkan Triambodo (2015) dalam kajiannya tentang
peguatan kelembagaan ekonomi desa wisata melalui strategi pengembangan Ekonomi
kreatif.
Berdasarkan hasil review, kajian ini berbeda dengan argumen kajian-kajian
terdahulu. Penenelitian ini hendak menempatkan kelembagaan “hybrid” BUM Desa
sebagai ekosistem bagi pengembangan inovasi kemandirian desa yang diorientasikan
untuk menguji daya kelembagaan ekonomi desa. Penelitian ini sekaligus mencoba
memformulasikan prototype bagi model penguatan institusi ekonomi desa dalam format
BUM Desa. Dengan demikian, penelitian ini memiliki kontribusi baru atas ruang yang
belum terisi, seperti hasil review penelitian-penelitian terdahulu tersebut.
E. Kerangka Teoritik
B. 1. BUM Desa Sebagai “Hybrid Institutions”
BUM Desa dijadikan sebagai wadah kerjasama berbagai stakeholder desa dalam
mengelola dan mengembangkan sumber daya potensi desa, yang notabene adalah
barang milik bersama (common pool resource). BUM Desa tidak hanya bisa ditempatkan
sebagai lembaga sosial (social intitutions) maupun lembaga komersial (comercial
institutions), akan tetapi BUM Desa juga dapat ditempatkan sebagai lembaga manjemen
sumber daya milik bersama dalam menangani konflik yang melibatkan berbagai
stakeholder desa pada kegiatan wisata desa yang telah diselenggarakan (seperti; BUM
Desa Tirta Mandiri menyelenggarakan wisata desa berupa pemandian umbul ponggok).
BUM Desa menjadi wadah yang mengatur keterlibatan stakeholder untuk mendukung
kegiatan secara kolektif warganya. Pada konteks ini, tim peneliti mengadaptasi teori dan
mekanisme kerja “hybrid institutions”(German & Keeler, 2009) sebagai penjelas
mengenai peran dan fungsi BUM Desa dalam mengelola sumber daya milik bersama.
Mekanisme kerja “hybrid institutions” dipilih sebagai dasar penjelas karena memiliki
relevansi dengan peran, fungsi, dan karakteristik dari mekanisme kerja BUM Desa.
Alam sebagai sumber daya milik bersama yang dipergunakan manusia, Hardin
telah menjelaskan dalam tulisan artikelnya “The Tragedy of the Commons” bahwa
apabila sumber alam tersebut tidak bisa dikontrol dan dikelola dengan baik maka akan
menimbulkan sebuah bencana (Hardin, 2010). Dalam artikel ini, Hardin mengajukan tesis
utama pada masalah bertambahnya penduduk yang tidak bisa diselesaikan secara
teknis, dimana sebuah tragedi sosial akan terjadi ketika setiap individu secara bebas dan
pada gilirannya memaksimalkan sumber daya terbuka dan terbatas untuk kepentingan
pribadi mereka, kemudian mendorong perebutan antara satu sama yang lainnya
(Hardin, 2010). Privatisasi atau oleh negara yang mengatur (state regulation) mengenai
pembatasan dan pelarangan, mengenakan pajak, dan kesepakatan dengan pengguna
(user) merupakan saran dari Hardin agar tidak terjadi tragedi (Hardin, 2010). Sementara,
16
Ostrom berpandangan berbeda, dalam penggunaan sumber daya milik bersama
(Common Pool Resource) tidak akan terjadi tragedi manakala dikelola melalui organisasi
komunitas (communal governance)dengan menerapkan delapan prinsip, yakni; clearly
defined boundaries, proportional equivalence between benefits and costs, collective-
choice arrangements, monitoring, graduated sanctions, conflict-resolution mechanisms,
minimal recognition of rights to organize, nested enterprises (for resources that are parts
of larger systems) dalam institusi yang dibentuk secara kolektif serta mampu mengatur
sendiri atau disebut self-governing(Ostrom, 2010). Menengahi kedua pandangan
tersebut, pada dasarnya mengelola sumber daya milik bersama adalah diskursus tentang
manajemen konflik antara individu-komunitas-negara (German & Keeler, 2009).
Dalam diskursus di atas, peraturan kelembagaan (institutional regulation)
dibutuhkan sebagai solusi mengatasi masalah konflik yang terjadi terutama pada
komunitas, seperti yang telah dijelaskan Bishop bahwa:
“With the institutional regulation it implies, is capable of satisfactory
performance in the management of natural resources and institutions might be
helpful in the solution of present problems of natural resources policy”(Bishop,
1973).
Kemudian, Wade melakukan investigasi dan menunjukkan bahwa kegiatan kolektif
sebuah komunitas dalam organisasi sosial dibutuhkan dorongan pemerintah berupa
kerangka kerja hukum pada sistem lokal mereka agar dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya milik bersama (Wade, 1987). Sebab,
Wade menjelaskan bahwa mengelola dengan privatisasi atau pemerintah sering kali
tidak efektif dan membutuhkan biaya mahal, sehingga organisasi lokal yang mewadahi
collective action dari masyarakat dapat dijadikan sebagai alternatifnya (Wade, 1987).
Mengelola sumber daya milik bersama baik itu secara individual, komunitas, maupun
negara dinilai masih kurang efektif ketika menghadapi sebuah konflik yang terjadi, maka
perlu digunakan kelembagaan campuran atau dalam hal ini disebut “hybrid institutions”
(German & Keeler, 2009).
German dan Keeler menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hybrid
institutions” adalah sebuah institusi campuran yang menjembatani kegiatan kolektif dan
formal regulation dalam mengelola sumber daya milik bersama dengan berbagai aktor
yang terlibat didalamnya. German dan Keeler mendefinisikan, sebagai berikut;
“We define as an institutional arrangement governing the interdependencies
among discrete property holders and regimes, whether defined by structure
(linkage among entities with jurisdiction over discrete property regimes) or mode
of governance (balance between self-organization and formal regulation as
complementary instruments of governance)” (German & Keeler, 2009).
17
Dalam konteks “hybrid institutions”, yang dikelola adalah sumber daya berupa barang
milik bersama yang berkaitan dengan; (1) common or connected interests within other
forms of property (public, private), (2) the interdependencies among discrete units or
forms of property (public-private-communal), dan (3) other types of common goods that
are not forms of natural capital, but nevertheless influence natural resource
management (German & Keeler, 2009). Kemudian, aktor yang terlibat dalam mengelola
sumber daya tersebut adalah kerjasama (kombinasi) antara (individuals, the state, local
institutions) dengan pendekatan peraturan formal yang mengikat dalam “hybrid
institutions” (German & Keeler, 2009). Mekanisme kerja “hybrid institutions” yakni
memperhatikan “moral commitment, collective standards, social norms, and network
processes”, maka sebagai “hybrid institutions” pada dasarnya mambangun prinsip kerja
yang mengatur tata kelola sumber daya milik bersama dengan adanya sebuah “combine
self-organization with more formal regulatory approaches”(German & Keeler, 2009).
Pendekatan konseptual teori di atas sangat relevan dengan kedudukan
Pemerintah Desa yang memiliki wewenang mendirikan dan mengembangkan BUM Desa
sebagai institusi kerjasama dengan warganya dalam mengelola sumber daya milik
bersama, terutama potensi desa. BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset desa, jasa pelayanan,
dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa (Permendesa
No 4 Tahun 2015 Tentang BUM Desa, 2015). Desa dapat mendirikan dan
mengembangkan BUM Desa berdasarkan Peraturan Desa (Pasal 4 Ayat 1), dengan
mempertimbangkan inisiatif masyarakat desa, potensi usaha ekonomi, sumberdaya
alam, sumber daya manusia yang mengelola, dan penyertaan modal dari Pemerintah
Desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola
sebagai bagian dari usaha BUM Desa (Pasal 4 Ayat 2). BUM Desa didirikan melalui
musyawarah desa (Pasal 5), dan susunan kepengurusan BUM Desa dipilih oleh
masyarakat Desa melalui Musyawarah Desa sesuai dengan peraturan yang berlaku
(Pasal 19). Kedudukan organisasi pengelola BUM Desa ini terpisah dari organisasi
Pemerintahan Desa (Pasal 9) dengan susunan pengurus terdiri dari penasihat, pelaksana
operasional, dan pengawas (Pasal 10).
Pada pelaksanaanya, BUM Desa berpedoman dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang ditetapkan melalui musyawarah bersama (Pasal
12 Ayat 1), sehingga mengikat secara hukum. BUM Desa digunakan sebagai institusi
pengelola kegiatan bersama (kolektif) yaitu kombinasi kerjasama antara (pemerintah
desa (state)-individu-komunitas lokal) yang secara hukum formal (formal regulation)
terikat melalui peraturan desa sesuai dengan kharakteristik, dan memuat bagaimana
rincian prinsip, mekanisme kerja dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya
18
milik bersama. Dengan demikian, dalam konteks ini, BUM Desa secara konseptual teori
maupun mekanisme kerjanya dapat dikatakan sebagai “hybrid institutions”.
B.2. Inovasi dan Ekosistem Inovasi
Terma inovasi pertama kali diperkenalkan oleh Schumpeter (1983) yaitu sebagai
kreasi dan adopsi ‘kombinasi baru’ yang merujuk pada produk, jasa, proses kerja, pasar,
kebijakan dan sistem baru. Inovasi memberikan nilai tambah baik pada organisasi
maupun masyarakat. Sementara OECD (1995) memberikan definisi inovasi sebagai
implementasi produk maupun proses baru yang mampu meningkatkan kapasitas pasar.
Penciptaan proses dan produk baru mendayagunakan kajian ilmiah, kemajuan
teknologi, sumber daya organisasi, serta kekuatan finansial. Sedangkan Oslo Manual
(2005) merumuskan inovasi sebagai “implementasi dari suatu produk (baik berupa
barang maupun jasa), proses, metode pemasaran, atau metode organisasi yang baru
yang telah diimprovisasi secara signifikan”. Karena itu, Inovasi selalu dihubungkan
dengan invention (temuan) dimana temuan dapat dinyatakan sebagai inovasi apabila
memiliki nilai tambah. Nilai manfaat ini selanjutnya menjadi basis bagi penguatan
kapasitas, peningkatan produktifitas serta kesejahteraan secara ekonomi dan sosial.
Oleh karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan dan
implementasi sesuatu yang baru (dalam de Jong & den Hartog, 2003), sedangkan istilah
‘baru’ dijelaskan Adair (1996) bukan berarti original tetapi lebih ke newness (kebaruan).
Dengan inovasi maka seseorang dapat menambahkan nilai dari produk, pelayanan,
proses kerja, pemasaran, sistem pengiriman, dan kebijakan, tidak hanya bagi
perusahaan tapi juga stakeholder dan masyarakat (dalam de Jong & Den Hartog,
2003).Ruang lingkup inovasi (Axtell dkk dalam Janssen, 2003), bergerak mulai dari
pengembangan dan implementasi ide baru yang mempunyai dampak pada teori,
praktek, produk, atau skala yang lebih rendah yaitu perbaikan proses kerja sehari-hari
dan desain kerja. Oleh karenanya, penelitian inovasi dalam organisasi dapat dilakukan
dalam 3 level yaitu inovasi level individu, kelompok, dan organisasi (Adair, 1996; de
Jong & Den Hartog, 2003).
Selanjutnya, karena kajian ini memfokuskan pada bagaimana inovasi dapat
berkembang, maka perlu pula mengupas konsep tentang ekosistem inovasi.
Sebagaimana ekosistem alam, maka terdapat elemen-elemen pendukung dan adanya
interaksi antar elemen-elemen tersebut secara berimbang. Absennya salah satu elemen
tentu akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam ekosistem inovasi, terdapat
elemen-elemen yang diperlukan yakni: Kepemimpinan, Pendidikan (kapasitas), sistem
etika dan etos kerja, Sistem Sosial budaya, Kebijakan Inovasi, dan Pendanaan yang
seluruhnya bekerja mendukung pengembangan riset dan inovasi. Pertumbuhan
ekonomi yang berwawasan inovasi hanya akan tercipta apabila terjadi interaksi yang
19
menggerakkan ekosistem inovasi ini menjadi sebuah sistem yang harmonis dan
produktif.
Interaksi ini sering digambarkan dalam sebuah model inovasi yang disebut Triple
Helix. Inovasi, sebagaimana dijelaskan di muka, merupakan outcomes dari interaksi
aliran pengetahuan. Di antara pelbagai model inovasi berbasis pengetahuan yang ada,
model hubungan triple helix menyediakan framework yang lebih memudahkan analisa
hubungan jaringan pengetahuan dan interaksi dalam proses inovasi. Model yang
dikembangkan oleh Henry Etzkowitz (dalam Zuhal, 2013) ini, secara tradisional melihat
inovasi sebagai hasil dari jejaring kerja sama antara A (academics) - B (business) – G
(government) dimana dunia akademik berperan sebagai penyedia knowledge, bisnis
sebagai lokus dari produksi menjadi pemanfaat knowledge, sementara pemerintah
bertugas sebagai fasilitator yang mengkondisikan interaksi sinergis antara pemasok dan
pemanfaat knowledge. Interaksi triple helix universitas-industri-Pemerintah merupakan
kunci tumbuhnya inovasi di dalam masyarakat berbasis pengetahuan yang semakin
berkembang.
Jalinan triple helix menjadi kunci pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang
ditopang dengan inovasi. Jalinan ketiganya menghasikan energi untuk menggenjot
pertumbuhan ekonomi (Sasaerila dkk, 2014). Knowledge ditangan akademisi
bertransformasi menjadi produk komersial berkat pemanfaatan oleh industri serta
distimulasi oleh dukungan kebijakan pemerintah yang pada gilirannya mendongkrak
produktivitas—melalui penciptaan produk-produk bernilai tambah tinggi. Interaksi
antara A-B-G dalam model triple helix memiliki banyak manfaat antara lain (Zuhal,
2013):
1. Terbuka kesempatan bagi terjadinya sirkulasi dan sharing pengetahuan antara
sektor akademik, pelaku bisnis, dan pejabat Pemerintah.
2. Riset akademik akan lebih terkait dengan praktik bisnis, sehingga para peneliti
secara langsung dapat memecahkan masalah yang ada di pasar.
3. Terciptanya budaya wirausaha melalui jaringan inovasi, yakni munculnya
perusahaan-perusahaan baru berkat kemitraan pengetahuan sesama aktor
inovasi.
4. Inisiatif kebijakan baru dapat muncul di dalam jaringan, yang memberi
kesempatan kepada Pemerintah untuk mengerti lebih baik di mana dana riset
harus dialokasikan. Ini adalah peluang bagi Pemerintah untuk mendesain
strategi riset nasional baru, yang benar-benar menjawab persoalan masyarakat.
5. Akselerasi penguatan kelembagaan mencakup aspek konsepsi, strategi dan
program aksi sehingga tercipta lingkungan kondusif untuk mendorong program
STI, serta tumbuhnya partisipasi komunitas melek inovasi
20
6. Terciptanya upaya sinergis antar pelaku STI dari kalangan triple helixsehingga
memperkaya peta jalan teknologi Indonesia dan menumbuhkembangkan
partisipasi komunitas dalam menghasilkan berbagai upaya inovatif.
7. Terciptanya kelembagaan yang mapan untuk melakukan evaluasi dan
perencanaan secara berkelanjutan dalam penguatan STI, untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Namun demikian konsep Triple Helix bekerja kurang bekerja dengan baik di
banyak negara berkembang yang belum ditopang budaya inovasi. Bagaimanapun juga,
inovasi yang lahir akibat kuatnya permintaan masyarakat yang berubah mengikuti.
Suatu produk inovasi tentu bergantung pada kebutuhan masyarakatnya sebagai
pengguna knowledge yang mengikuti perubahan dinamikan sosial, ekonomi, dan
budaya yang dinamis. Hal ini mengakibatkan terjadinya evolusi antara produk inovasi
dan selera masyarakat yang berujung pada lahirnya inovasi baru. Ko-evolusi ini – antara
pengetahuan dan teknologi dengan selera dan kebutuhan masyarakat – secara alamiah
telah mentransformasi model inovasi triple helix menjadi model yang baru yang disebut
quadruple helix, dimana masyarakat masuk sebagai salah satu elemen penggerak roda
inovasi (Sasaerila dkk, 2014).
Perkembangan model quadruple helix ini ditunjukkan dengan fenomena bottom
up melalui open innovation yang lahir dari masyarakat di luar skema A-B-G. Berbeda
dengan skema triple helix yang memfokuskan pada produk inovasi berbasis high-tech,
karakteristik model ini berorientasi pengguna (use-oriented innovation approach).
Quadruple helix fokus pada inovasi dengan mendayagunakan pengetahuan dan
teknologi yang sudah ada, serta memanfaatkan pengguna pengetahuan itu sendiri
yakni masyarakat. Intinya, modelini melibatkan pengguna dalam proses inovasi atau
open innovation. Penggunaan model ini lebih berpihak pada pelaku bisnis mikro dan
kecil karena dapat mempersingkat waktu inkubasi, dan meminimumkan biaya dan
resiko yang berkolaborasi dalam menghasilkan inovasi.
Kehadiran open innovation dalam skema quadruple helix jelas bermanfaat dalam
menumbuhkan gagasan inovatif dalam mendorong eksperimentasi yang menghasilkan
prototipe produk inovatif. Sebab skema ini melibatkan menghadirkan atmosfir riset
yang ditopang dengan kolaborasi banyak pebisnis dan masyarakat. Ada lima elemen
kunci peranan open innovation dalam mekanisme model quadruple helix, yakni
(Sasaerila dkk, 2014): a) terbentuknya jaringan kemitraan; b) terjadinya kolaborasi yang
melibatkan mitra, kompetitor, universitas dan pengguna; c) munculnya para pengusaha
berbasis enterprise, yang meningkatkan corporate venturing, starts-up dan spin-off; d)
Pengelolaan HKI secara proaktif; dan e) berkembangnya strategi Connect and develop
(C&D) yang bertujuan untuk mencapai tingkat competitive advantages di pasar.
21
C. Kerangka Pikir Penelitian
Secara konseptual, BUM Desa sebagai “hybrid institutions” menjadi wadah
kerjasama stakeholder dalam kerangka penguatan kelembagaan ekonomi desa. BUM
Desa didirikan dan dikembangkan oleh Pemerintah Desa setempat sesuai dengan
karakteristik potensi desa masing-masing agar cita-cita kemandirian menemukan
relevansinya dengan kepentingan Desa. Karena menjadi salah satu program prioritas
pemerintah pusat, role model dari best practices BUM Desa sangat dibutuhkan agar
dapat dijadikan sebagai pedoman belajar bagi desa-desa yang mengembangkan potensi
desa menjadi urgensinya. Meski demikian, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk
menemukan resep keberhasilan namun justru melalukan pengujian terhadap
kelembagaan BUM Desa. Pengujian ini dilakukan justru untuk menilai daya
kelembagaan BUM Desa dalam menjawab ragam tantangan yang ada. Tantangan
pertama, desa dihadapkan pada tuntutan membangun kemandirian melalui penguatan
kelembagaan ekonomi desa. Sementara pada tataran praktik-empiris, mendirikan dan
mengembangkan BUM Desa tidaklah mudah.Faktanya masih banyak BUM Desa yang
belum berhasil secara mandiri, aktif, dan produktif. Kedua, bagaimanapun juga
perkembangan zaman mensyaratkan pengembangan ekonomi berbasis inovasi. Melalui
inovasi, upaya penguatan ekonomi yang diorientasikan pada pertumbuhan ekonomi
menemukan peluang keberlanjutannya. Dengan kata lain, penelitian ini hendak menguji
apakah format hybrid institution yang melekat pada BUM Desa, compatibel dengan
tuntutan tersebut. Untuk itu tim peneliti mengajukan kerangka pikir sebagai berikut
22
Gambar 1. Kerangka Pengujian BUM Desa Sebagai Enabling Factor Ekosistem Inovasi
BUM Desa
“Hybrid
Institution”
Bisnis
Komunitas
Akademik
Pendidikan
Pendanaan
Sistem Etika
dan Etos Kerja
Kepemimpinan
Kebijakan
Inovasi
Sistem Sosial
Budaya
Pemerintah Masyarakat Regulasi
Formal
Prakarsa
Lokal
23
BAB III
METODE PENELITIAN
E. Pendekatan Penelitian
Jenis kajian menggunakan penelitian kualitatif yang memilih strategi studi kasus
sebagai metode kajiannya. Studi kasus sendiri merupakan studi tentang kekhususan
sekaligus kompleksitas suatu kasus, untuk membangun pemahaman subyek dalam
kondisi alamiah yang menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data (Stake, 2005,
dan Yin, 1996). Pendeknya, studi kasus adalah suatu kajian tentang pengujian secara
rinci terhadap sebuah latar, subjek atau peristiwa tertentu (Bogdan dan Bikien, 1982).
Karakteristik penelitian studi kasus sebagaimana dinyatakan oleh Yin (1996) dan
Creswell (2007), dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, mendudukkan subyek kajian
sebagai kasus. Stake (2005) menyatakan studi kasus adalah memilih kasus sebagai target
penelitian dan bukan soal memilih metoda penelitian. Pernyataan tersebut mengandung
syarat bahwa penelitian ini menuntut pengkajinya memahami cara menempatkan target
kajiannnya secara tepat sebagai kasus. Kasus itu diletakkan dalam pengertian sebagai
suatu kesatuan yang holistik, sekaligus menjumpai batas-batas berupa kerangka konteks
tertentu (Creswell, 2007).
Kedua, berangkat dari setting alamiah subyek kajiannya. Studi kasus meneliti
kompleksitas seluruh aspek yang terdapat melingkupi subyek yang diteliti, baik tidak
langsung maupun langsung atau bahkan tak memiliki keterkaitan dengan hal yang
diteliti. Ringkasnya, kajian studi kasus menyelidiki subyek sesuai dengan setting
alamiahnya. Ketiga, kasus yang diangkat adalah fenomena kontemporer dimana kasus tersebut
tengah berlangsung atau telah purna, namun dampaknya masih dapat dirasakan pada
saat kajian dilangsungkan. Ringkasnya, studi kasus dibatasi dan hanya difokuskan pada
hal-hal yang berada dalam batas berupa ruang dan waktu yang terkait.
Keempat, mendudukan teori sebagai acuan penelitian untuk menentukan
konteks, arah maupun hasil posisi kajian. Kajian teoritik dalam studi kasus dapat
dilakukan pada tahap awal, tengah dan akhir suatu proses kajian. Pada tahap awal, teori
digunakan untuk memandu untuk membangun hipotesis, seperti halnya yang
dilakukan pada paradigma deduktif atau positivistik (Lincoln dan Guba, 2000).
Sementara pada bagian tengah, teori dipergunakan untuk membangun posisi temuan-
temuan kajian atas teori yang berkembang (Creswell, 2007). Dan pada bagian akhir, teori
menjadi penentu posisi hasil kajian atas teori yang ada dan telah berkembang (Creswell,
2007). Kelima, mengkombinasikan beragam sumber data. Penggunaa beragam sumber
data diorientasikan membangun kualitas data secara substansial dengan cara
memperoleh data rinci dan komprehensif yang menyangkut obyek yang diteliti yang
24
diorientasikan bagi tercapainya kredibilitas kajian. Data dapat berupa hasil wawancara,
observasi, hasil dokuemtasi tertulis maupun bahan visual.
Sebagaimana Stake (2005) menyatakan domain metode studi kasus ialah
partikularisasi bukan generalisasi. Karakteristik tersebut didudukkan dalam konteks
kekhasan sekaligus kompleksitas tindakan yang diteliti. Tetapi generalisasi bukan tidak
dibuka peluangnya dalam studi kasus. Generalisasi dalam studi ini adalah generalisasi
teoritis untuk pengembangan teori sebagaimana dinyatakan Yin (1996). Kecenderungan
generaliasasi analitis merupakan salah satu jenis studi kasus yakni jenis instrumental dan
kolektif (Stake, 2005). Dalam konteks tersebut terdapat tiga jenis studi kasus. Pertama,
jenis intrinsik yaitu apabila kasus memuat aspek kekhususan yang berasal dari kasus itu
sendiri. Kedua, jenis intrumental saat kasus yang diteliti dapat untuk menyempurnakan
teori atau membangun teori baru. Ringkasnya, kasus yang tengah diteliti menjadi
sumber dalam membangun teori. Ketiga, studi kasus kolektif ketika kasus yang diteliti
merupakan sejumlah kasus yang diorientasikan untuk mencari pola-pola atau
karakteristik umum.
Meski demikian masing-masing kasus tetap memiliki karakteristik secara
variatif. Kajian ini menempatkan jenis studi kasus instrumental yang diorientasikan
untuk memperkaya khazanah teoritik tentang kelembagaan ekonomi dengan menguji
pengaruh BUM Desa sebagai hybrid institution sebagai ekosistem inovasi Desa. Dengan
metode pendekatan studi kasus, penelitian yang dilakukan dapat lebih mendalam
mengeksplorasi secara lebih terperinci, mendalam, dan jelas (Bungin, 2006), sehingga
dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan.
F. Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Informan
Guna menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, tim
peneliti menggunakan multisumber bukti yang akan dimanfaatkan (Yin, 2012) yakni
sumber data primer dan sekunder (Sugiyono, 2013). Data tersebut akan dikumpulkan
menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview), observasi, dan
dokumentasi (Sugiyono, 2013). Pada operasionalisasinya di lapangan, tim peneliti akan
melakukan kegiatan sebagai berikut;
1. Mengumpulkan sumber data sekunder yang digunakan, antara lain; profil desa, profil
BUM Desa, dokumen peraturan BUM Desa, laporan pertanggungjawaban BUM Desa,
penelitian terdahulu berupa jurnal, maupun buku, laporan artikel berupa berita baik
nasional maupun lokal.
2. Observasi akan dilakukan peneliti secara kunjungan maupun live in selama dua
minggu guna memahami konteks dinamika sosialnya. Kegiatan yang akan diamati tim
peneliti antara lain; situasi dan kondisi desa wisata yang telah dikembangkan, ruang
25
kerja pengurus BUM Desa dan pengelola desa wisata, serta kegiatan yang
dilakukanya.
3. Mengumpulkan sumber data primer melalui wawancara mendalam kepada:
a. Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
b. Pengelola BUM (Pengawas, Pengurus maupun Pengelola Unit Wisata BUM Desa)
c. Kelompok Sadar Wisata (Pedagang makanan dan sovenir di lokasi desa wisata)
d. Tokoh Masyarakat (Ketua PKK, Ketua RT/RW, dan Tokoh Pemuda)
e. Dinas Pariwisata Kabupaten Gunung Kidul.
Informan kunci yang digunakan, antara lain; Kepala Desa, Sekretaris Desa, Direksi
BUM Desa, Pengawas BUM Desa, dan Ketua Pengelola Unit Desa Wisata. Informan ini
dipilih dan dijadikan sebagai key person penelitian karena memiliki kewenangan dan
pelaksana dalam pengelolaan dan pengembangan BUM Desa dan pengelolaan desa
wisata sebab mereka sangat memahami situasi dan kondisi terhadap fokus masalah
yang akan diteliti.
G. Teknik Analisa Data
Setelah data primer dan sekunder yang dibutuhkan di atas diperoleh, tim peneliti
dalam melakukan analisis data menggunakan rangkaian kerja menurut Miles dan
Huberman (Punch, 2009) dalam desain kualitatif, meliputi tahapan; data reduction, data
display, dan conclusion/verification. Mekanisme langkah kerja analisis data yang
dilakukan tim peneliti disini yaitu setelah semua data primer dan sekunder berhasil
dikumpulkan, maka langkah pertama yaitu memilah atau menyeleksi (data reduction)
data yang dibutuhkan dan difokuskan sesuai dengan fokus rumusan penelitian. Setelah
data diseleksi, hasil analisis data disajikan berupa kutipan hasil wawancara, tabel,
maupun gambar. Setelah tahap pertama dan kedua selesai, tim peneliti melakukan
penarikan kesimpulan (conclusion/verification) atas data yang telah berhasil diorganisir
sebagai pada tahap akhir analisisnya. Dari serangkaian kegiatan analisis data yang telah
dilakukan, maka tim peneliti baru dapat menggunakan hasilnya untuk menjawab
rumusan masalah yang telah diajukan.
H. Uji Keabsahan Data
Tim peneliti melakukan uji keabsahan data terhadap hasil penelitian di atas
dengan menggunakan teknik triangulasi (Patton, 1987). Dalam operasionalisasi uji
keabsahan data ini, tim peneliti melakukan pemeriksaan data dengan cara
membandingkan dan mengecek balik antara hasil data satu dengan data yang lainnya
dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi agar terintegrasi dan sinergis,
sehingga saling mendukung dan menguatkan satu dengan yang lainnya. Dengan langkah
uji keabsahan data tersebut, penelitian ini memiliki tingkat kredibilitas tinggi (dapat
26
dipercaya), objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan oleh tim peneliti selaku
instrumen utama dalam penelitian ini.
27
BAB IV
SETTING SOSIAL EKONOMI DESA BLEBERAN
Bab ini memuat deskripsi setting sosial ekonomi di lokasi penelitian yakni Desa Bleberan,
Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Penggambaran setting sosial ekonomi ini
dilakukan dengan menghadirkan lanskap sosial ekonomi masyarakat setempat sebagai
konteks yang membentuk model kelembagaan ekonomi yang ada yakni BUM Desa. Adanya
kebutuhan untuk mengembangkan potensi dan aset-aset produktif Desa telah mendorong
Pemerintah Desa membentuk BUMDesa. Namun demikian, proses pembentukan BUMDesa
di Bleberan tidak sepenuhnya mengikuti model sebagai lembaga hibryd yang membawa
dampak munculnya berbagai paradoksal. Format BUMDes di Bleberan dibentuk oleh sejarah
dengan prakarsa lokal yang kuat oleh Pemerintah Desa namun sedikit abai terhadap koridor
tata kelola usaha yang baik.
A. Setting Sosial Ekonomi Desa Bleberan
Desa Bleberan terletak di wilayah Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Dengan luas
wilayah 16,62 Km2 yang terdiri dari 11 pedukuhan, lanskap Desa Bleberan sebagian besar
yaitu 90 % terdiri dari dataran dan hanya sekitar 10 % berupa kawasan perbukitan. Jenis
tanah pertaniannya beragam, namun didominasi oleh tanah margalit. Oleh karena itu setiap
musim kemarau lapaisan tanah mengalami retak – retak yang berkorelasi negatif dengan
tingkat kelembaban dan kandungan bahan organik (RPJM Desa Bleberan 2016-2021, 2016).
Ringkasnya, tanah di Bleberan cenderung tandus. Tidak mengherankan jika sebagian besar
lahan pertanian hanya berupa lahan tegalan seluas 489.217 Ha dan tanah sawah tadah
hujan seluas 493 Ha, hanya 15 Ha berupa sawah dengan irigasi teknis (RPJM Desa Bleberan
2016-2021, 2016).
Terkait dengan kependudukan di Desa Bleberan, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Gunungkidul mencatat hingga tahun 2016, Desa Bleberan memiliki jumlah penduduk
sebanyak 5.036 jiwa, yang terdiri dari 2.469 laki-laki dan 2.567 perempuan (BPS, 2017).
Sedangkan jumlah KK di desa tersebut mencapai 1456 yang artinya rata-rata jumlah anggota
tiap KK hanya 3 orang/KK. Dengan luas 16,26 Km2 kepadatan penduduk mencapai 310
jiwa/Km. Sementara dengan jumlah 11 pedukuhan, rata-rata penduduk di setiap pedukuhan
adalah 486 jiwa/pedukuhan (BPS, 2017). Sedangkan berdasarkan kelompok umur, meski
didominasi penduduk usia produktif yakni 15-64 tahun, namun angka penduduk usia non
produktif juga tinggi, sebagaimana tersaji dalam tabel 4.1. Angka Penduduk usia 0-14 tahun
mencapai 964 jiwa dan angka penduduk dengan usia 65 ke atas mencapai 704 jiwa.
Gambaran demografis tersebut menunjukkan angka rasio ketergantungan cukup tinggi yakni
45, 43 %.
28
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Desa Bleberan Berdasarkan Umur Tahun 2016
No Jenis Kelompok Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0 – 1 5 2 7
2 1 – 4 102 104 206
3 5 – 9 195 205 400
4 10 – 14 188 163 351
5 15 – 19 219 181 400
6 20 – 24 222 189 411
7 25 – 29 222 181 403
8 30 – 34 212 195 407
9 35 – 39 202 181 383
10 40 – 44 207 187 394
11 45 – 49 176 218 394
12 50 – 54 157 153 310
13 55 - 59 134 161 295
14 60 - 64 129 145 274
15 65 - 69 93 139 232
16 70 - 74 90 94 184
17 75 < 135 153 288
Total 2668 2651 5339
Sumber: RPJMDesa Bleberan 2016-2021
Sementara itu, tingkat pendidikan penduduk Desa Bleberan, sebagian besar masih
berpendidikan rendah yakni hanya sampai pendidikan dasar atau belum tamat sekolah
dasar. Hanya sedikit warga yang mengenyam pendidikan tinggi seperti data yang tersaji
pada tabel 4.2. Dari data tersebut diketahui, hanya 3,7 % warga Desa Bleberan atau 198 jiwa
yang telah menamatkan pendidikan tinggi terhitung dari diploma hingga jenjang doktoral.
Sedangkan penduduk usia dewasa sebagian besar hanya menempuh pendidikan dasar yakni
sebanyak 63,16 % atau sekitar 3369 jiwa. Dari jumlah tersebut, mereka paling banyak adalah
penduduk yang belum sekolah serta tidak tamat SD, sebagian tamat SD dan paling tinggi
hanya tamat SMP.
Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bleberan Tahun 2015
No Jenis Kelompok Laki-laki Perempuan Jumlah
1 TIDAK / BELUM SEKOLAH 518 667 1185
2 BELUM TAMAT SD/SEDERAJAT 375 387 762
29
Sumber: RPJMDesa Bleberan 2016-2021
Perekonomian Desa Bleberan sebagian besar ditopang oleh aktivitas pertanian, disusul
sektor peternakan dan pariwisata. Hal ini ditunjukkan dari berbagai data yang ada. Meski
dengan kondisi tanah yang tandus, sektor pertanian masih menjadi andalan masarakat Desa
Bleberan. Tercatat rumah tangga menurut sektor kegiatan utama, penduduk Desa Bleberan
paling dominan adalah pertanian (1.382), Industri (14), Bangunan/Konstruksi (7),
Pertambangan Penggalian (3), Perdagangan (30), Angkutan (4), lembaga keuangan (1), jasa
lainnya (9) (BPS, 2017). Dengan dominasi sektor Pertanian, kontribusi sektor ini
menyumbang 50% penghasilan warga, disusul sub sektor peternakan (sapi dan kambing)
sebesar 30%, perikanan 10% dan jasa 10% (RPJM Desa Bleberan 2016-2021, 2016).
Selain itu, dua sisi Desa Bleberan berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan telah
mendorong terjalinnya kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul untuk
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang bertujuan untuk mengentaskan
kemiskinan. Kepemilikan lahan pertanian rata–rata masarakat hanya memiliki lahan 0,25 ha
untuk tiap KK (RPJM Desa Bleberan 2016-2021, 2016). Terlebih, berdasarkan data daftar
penduduk Desa Bleberan penerima beras miskin pada tahun 2017 sebanyak 613 orang dari
jumlah total penduduk yang tersebar di sebelas padukuhan yang ada. HKM telah membuka
peluang bagi warga dapat memperluas lahan tegalan untuk ditanam berbagai komoditas
seperti jagung, kedelai, ketela serta sayur-mayur seperti cabe, kacang panjang, ketimun,
terong. Kerja sama yang sifatnya non formal berupa Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat cukup mendongkrak pendapatan masyarakat dalam mendukung swasembada
pangan.
Selain sektor pertanian, dalam 10 tahun terakhir tumbuh pula sektor wisata Desa Bleberan.
Pemerintah Desa Bleberan mengelola potensi desa tersebut melalui BUM Desa “Sejahtera”
yang didirikan sejak tahun 2008.Sektor pariwisata di Desa Bleberan sudah dikelola dengan
cukup baik melalui BUMDesa sehingga sudah mampu memberikan kontribusi bagi
pembangunan desa. Sektor pariwisata Desa Bleberan memang sangat berkembang pesat
yang ditandai dengan semakin banyaknya kunjungan wisatawan domestik maupun manca
3 TAMAT SD / SEDERAJAT 645 667 1312
4 SLTP/SEDERAJAT 547 527 1074
5 SLTA / SEDERAJAT 504 306 810
6 DIPLOMA I / II 33 33 66
7 AKADEMI/ DIPLOMA III/S. MUDA 12 13 25
8 DIPLOMA IV/ STRATA I 51 50 101
9 STRATA II 3 2 5
10 STRATA III 0 1 1
TOTAL 2688 2653 5341
30
negara di salah satu obyek wisata yakni air terjun Sri Gethuk, terutama akhir pekan dan hari-
hari libur.
Dalam kurun 5 tahun terakhir kunjungan wisatawan domestik maupun asing telah mencapai
100an ribu pengunjung setiap tahunnya. Daya tarik wisata di Bleberan adalah susur sungai
oyo dengan pearahu sepanjang 450m dengan menikmati tebing indah setinggi 50m di
sepanjang s.oyo yang kemudian berakhir menikmati air terjun Srigethuk.Hal ini membawa
dampak bagi terbukanya lapangan kerja baru dan munculnya usaha-usaha baru seperti
warga yang terserap dalam pengelola wisata, pedagang, pemilik warung makan, serta
usaha-usaha pendukung wisata lainnya. Bahkan dampak konkrit dari perkembangan sektor
ini telah mampu memberikan kontribusi pendapatan asli bukan hanya kepada Desa dalam
bentuk PADes namun juga untuk daerah dalam bentuk PAD.
Keberadaan obyek wisata di Bleberan sebenarnya juga memperkuat posisi Kecamatan
Playen sebagai salah satu destinasi wisata di Gunung Kidul. Kecamatan Playen adalah
kecamatan yang kaya akan tempat – tempat wisata yang telah dikembangkan antara lain
Hutan wanagama serta rest area dibunder. Wisata di desa Bleberan telah di kembangkan
sebagai pendukung wisata – wisata yang sudah ada di kecamatan Playen. Selain Air Terjun
Sri Gethuk dan Goa Rancang Kencono, potensi obyek wisata di Desa Bleberan antara lain
Gua Soang Oya, Goa Cabak, situs purbakala megalitikum dan Bendung Tanjung.
Sedangkan untuk sektor-sektor yang lain seperti industri mulai menggeliat seiring dengan
perkembangan pariwisata di Desa Bleberan. Pengolahan hasil pertanian merupakan andalan
usaha yang dijalanan oleh masyarakat untuk mendukung sektor pariwisata (laporan
Pertanggungjawaban BUM Desa Sejahtera, 2017). Melalui berbagai pelatihan dan
pendampingan ini, usaha masyarakat mulai dikenal. Selain industi kecil pengolahan
makanan, jenis industri lainnya juga teersedia meski pertumbuhannya, masih kecil. Ada
beberapa kelompok antara lain Industri alat pertanian, kerajinan kulit, mebel, dan home
industri lainnya. Namun kelemahan sektor ini terkendala pemasaran dan hanya dapat
melayani pasar lokal desa. Hanya beberapa produk seperti hasil industri pande besi dan
olahan makanan telah mulai menembus pasar luar wilayah desa.
Sedangkan Desa Bleberan juga memiliki kekayaan tradisi budaya seperti berbagai ritual
sosial keagamaan seperti ritual nyadranan di padukuhan Bleberan yang dilaksanakan setiap
bulan ruwah dalam penanggalan Jawa dengan upacara Gunungan Pisang dan apem yang di
arak ke makam, upacara tumpeng robyong di Padukuhan Bleberan yang dilaksanakan
khusus dengan kenduri khusus perempuan, kelompok seni Doger, Reog, dan Hadrah
Slawatan. Sementara penduduk menurut agama, sebagian besar penduduk Desa Bleberan
memeluk agama Islam yakni mencapai 98,19%, sedangkan sisanya Kristen mencapai 1,45%,
dan Katholik (0,36%) (BPS, 2017).
31
Desa Bleberan juga memiliki potensi sumber daya manusia dan organisasi kemasyarakatan
yang menggerakkan dinamika sosio kultural di Desa Bleberan. PKK, Gapoktan, Karang
Taruna merupakan organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dan partisipatif
dalam pembangunan desa. Desa Bleberan bahkan sudah mengkampanyekan ‘Desa Ramah
Anak dan Perempuan’. Masyarakat mulai sadar jika kelompok perempuan yang mayoritas
tergabung dalam PKK Desa merupakan kelompok strategis Desa karena mereka menjadi
tulang punggung bagi bekerjanya program-program desa. Karena itu di Desa Bleberan juga
mulai mendorong perempuan untuk dapat aktif terlibat secara langsung dalam pengambilan
kebijakan di desa.
B. Riwayat BUM Desa “Sejahtera “dan Bentuk Model Bisnis
Lahirnya BUM Desa di Bleberan memiliki sejarah yang cukup unik dimana ia lahir jauh
sebelum terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kondisi tersebut berdampak desain
BUMDes di Desa Bleberan tidak sepenuhnya mengikuti model hibrid BUMDes sebagaimana
dimaksudkan dalam UU Desa. Bagian ini akan menyajikan gambaran ringkas tentang
bagaimana BUMDes di Bleberan terbentuk dari situasi khas tersebut.
B.1 Sejarah BUMDes Bleberan: AntaraPrakarsa Lokal dan Koridor Regulasi
BUMDes Desa Bleberan terbentuk karena kuatnya prakarsa lokal dalam mengelola urusan
ekonominya. Terdapat sejumlah hal yang merujuk pada kondisi tersebut. Pertama, BUM
Desa di Bleberan lahir karena dorongan inisiatif lokal untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan kesejahteraan desa dan bukan karena imperatif peraturan perundangan semata.
Regulasi yang diterbitkan pemerintah, oleh Desa Bleberan saat itu ditangkap sebagai bentuk
peluang desa untuk mendayagunakan aset-aset produktifnya.
BUM Desa Bleberan yang kemudian diberi nama BUM Desa “Sejahtera” tersebut, bahkan
pada awalnya hanya berbekal Surat Keputusan Kepala Desa Nomor 06/KPTS/VI/2008
tentang BUM Desa tertanggal 05 Juni 2008. Baru tahun 2010 tersusunlah Perdes nomor
05/2010 tentang tatacara pendirian BUMDes. Perubahan dasar regulasi tersebut terjadi
bukan hanya karena adanya dinamika dan perubahan regulasi oleh pemerintah supra desa
(baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) sehingga membuat pemerintah desa
harus melakukan penyesuaian. Namun terdapat upaya untuk memperkuat kerangka hukum
BUM Desa yang disahkan dengan peraturan desa sebagai produk legislasi di tingkat desa.Hal
ini menunujukkan prakarsa lokal mendahului regulasi yang diterbitkan terlebih dahulu.
Kedua, sebagai lembaga ekonomi desa, BUM Desa “Sejahtera” Desa Bleberan justru lahir
belakangan, ketimbang unit usaha dibawahnya. Dua unit usaha yang dimiliki BUM Desa,
yakni Pengelolaan Air Bersih (PAB) dan Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) , justru
lahir lebih dahulu.PAB terbentuk pda 2004 dan UED-SP didirikan sejak tahun 2006. Kedua
unit tersebut langsung dikelola oleh Pemerintah Desa sebelum ada BUMDesa. Sedangkan
32
pendirian unit wisata hampir bersamaan dengan BUMDesa “Sejahtera”. Namun yang patut
dicatat, aktivitas wisata di Bleberan sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum pendirian
BUMDesa. Hanya saja saat itu langsung dikelola oleh kelompok masyarakat setempatdan
belum tertata dengan baik.
Pada waktu itu, Tri Harjono selaku Kepala Desa memang sengaja membiarkan dulu warga
yang mengelola, namun ketika pada saatnya akan dikelola oleh BUM Desa. Tri Harjono
mengakui bahwa dengan posisinya saat itu, sebagai kepala desa memiliki posisi sangat
strategis dan lebih leluasa dalam mengatur dan mengembangkan unit wisata (termasuk
penyelenggaraannya) karena rangkap jabatan masih bisa dilakukan (Sidik, 2017). Saat itu,
pemerintah desa Bleberan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah
untuk mengembangkan potensi objek Goa Rancang Kencana dan Air Terjun Sri Gethuk.
Namun pengelola mengalami kendala dari tokoh agama yang tidak mengizinkan karena
khawatir pengunjung akan memberi dampak buruk yang dapat mengikis nilai-nilai sosial dan
budaya setempat. Tri Harjono menuturkan selaku ketua unit pengelola wisata berinisiatif
menjalin komunikasi intensif pada tokoh agama yang menentang yang pada akhirnya setuju
namun dengan syarat. Syarat tersebut berupa, merubah rancangan visi desa Bleberan
dengan menambah rumusan “Religius” (Wawancara Tri Harjono, Februari 2018). Untuk
merealisasikan desa wisata ini, kemudian mengubah visi pemerintah desa Bleberan menjadi
“Pembangunan Desa Wisata Yang Produktif, Indah, Tertip, Aman, dan Religius
(PINTAR)”.Setelah BUM Desa “Sejahtera” berdiri, ketiga unit wisata tersebut dibawah
naungan BUM Desa.
Melihat proses pembentukan BUM Desa “Sejahtera” Bleberan menunjukkan bahwa
prakarsa lokal menjadi kunci bagi eksistensi BUM Desa. Prakarsa lokal di Desa Bleberan
menjadi energi positif untuk mendorong perubahan-perubahan melalui berbagai inovasi
seperti layanan air bersih, kredit mikro, serta pengembangan desa wisata. Bahkan terkesan
“jalan dahulu, diatur belakangan”. Namun demikian, dalam konteks hibryd, prakarsa lolal
tersebut juga membutuhkan kerangka pelembagaan yang kuat agar inisiatif yang tumbuh
tetap berkembang dalam koridor regulasi. Regulasi dalam konteks ini diperlukan agar
prakarsa lokal tidak tumbuh secara liar yang justru menciptakan kontradiksi di dalam
pelembagaan BUM Desa sendiri.
Dalam perkembangannya, proses historis tersebut berdampak pada pembentukan formasi
atau model bisnis BUMDes yang khas di Bleberan. Prakarsa lokal yang kuat justru
mengabaikan eksistensi kelembagaan BUMDes sendiri. Kondisi ini berdampak pada
pengabaian aspek penataan relasi kelembagaan antara Pengurus BUMDesa “Sejahtera” dan
unit-unit usaha. Apalagi, kehadiran BUM Desa justru lahir kemudian, dibandingkan unit-unit
usaha yang telah eksis terlebih dahulu.
33
Hubungan yang terbangun justru menghasilkan relasi yang cenderung menempatkan unit
usaha terkesan otonom ketika berhadapan dengan pengelola BUM Desa. Model bisnis
semacam ini, hanya menempatkan BUMDes sebagai wadah formal unit-unit usaha Desa.
Unit usaha terkesan berjalan sendiri tanpa melibatkan pengurus BUMDesa manakala
mengambil keputusan di lingkungan manajemen unit masing-masing. Praktis kontrol antara
pengelola BUMDes terhadap unit usaha hanya berlangsung satu tahun sekali manakala
memasuki siklus Laporan Pertanggungjawaban tahunan.
Model bisnis semacam ini memiliki keunggulan sekaligus keterbatasan. Otonomi membuat
unit-unit yang ada lebih fleksibel dalam pengambilan keputusan terkait dengan manajemen
termasuk keputusan strategis. Unit-unit yang ada lebih mudah melakukan proses adaptasi
dalam menghadapi tuntutan perubahan dan tantangan yang mengemuka; serta lebih
mudah dalam mencipta inovasi-inovasi memenuhi tantangan yang ada. Sebagai deskripsi,
pengembangan desa wisata membutuhkan sumber daya yang besar termasuk pendanaan.
Dalam konteks tersebut, prakarsa pengelola unit wisata cukup inovatif yakni menggandeng
pemerintah baik pusat maupun daerah dengan berbagai bantuan program yang
digelontorkan ke Desa Bleberan serta perusahaan melalui skema Corporate Social
Responsibilities(CSR) untuk mengembangkan Desa Wisata.
Namun pada saat bersamaan, lemahnya kontrol Pengelola BUMDesa bisa berdampak pada
terjebaknya unit usaha dalam berbagai praktik-praktik buruk pengelolaan usaha yang
berujung pada ancaman miss-manajemen bahkan korupsi. Dalam kasus pengelolaan unit
wisata terdapat anggapan unit usaha ini nyaris tidak dapat “disentuh” atau diintervensi
untuk melakukan perubahan manajemen yang akutabel. Salah satu anggota BPD yang juga
menjadi bendahara BUMDes, Sardjana menuturkan ketika desa masih dipimpin Tri Harjono,
pengelolaan Sri Gethuk tertutup atau tidak transparan kepada: “karena tidak transparan itu,
dana bantuan yang diperoleh itu tidak pernah dilaporkan”(Wawancara Bendahara BUM
Des, Sardjana, Maret 2018).
Model bisnis semacam inilah yang menjadi setting bekerjanya ekosistem inovasi terjadi di
BUM Desa “Sejahtera” Desa Bleberan. Otonomi unit usaha yang terlalu kuat dan cenderung
dibiarkan membuat unit usaha memiliki ruang fleksibel dalam pengembangan namun juga
rentan terjebak dalam praktik-praktik buruk. Di satu sisi, BUMDes hanya ditempatkan
sebagai lembaga payung atau wadah formal unit-unit usaha. Ini artinya BUMDes tidak
memiliki kendali yang efektif dan memadai terhadap unit-unit usaha yang ada.
B.2. Kepemilikan Kolektif Warga- Pemerintah Desa
Lahirnya BUMDesa “Sejahtera” lebih didorong oleh kehendak Pemerintah Desa Bleberan.
Saat itu Pemerintah Desa Bleberan melihat regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah dibaca sebagi struktur peluang untuk memperkuat
kelembagaan ekonomi desa melalui format BUMDes. Pilihan penguatan ekonomi Desa
34
melalui format BUMDes saat itu sebetulnya merupakan terobosan baru. Tidak banyak desa
di Indonesia yang mengambil langkah membentuk BUMDes sebagai pilihan strategis
penguatan ekonomi Desa sebelum terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dasar hukum pendirian BUM Desa saat itu masih mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 72
Tahun 2005 Tentang Desa. Dalam PP tersebut, pada Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa
“Desa dapat mendirikan BUM Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”. Di
Kabupaten Gunung Kidul, PP dijabarkan lebih jauh dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Gunungkidul No 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan BUM Desa menjadi pedoman di
wilayahnya. Sementara Pemerintah Pusat baru menerbitkan peraturan turunan atas PP baru
pada tahun 2010 dengan diterbitkannya Permendagri No 39 Tahun 2010 tentang BUM Desa.
Di Desa Bleberan, pembentukan BUMDes berangkat dari inisiatif Pemerintah Desa dengan
menimbang konteks kebutuhan masyarakat. Mantan Kepala Desa Bleberan, Tri Harjono,
yang juga sebagai pengelola unit wisata menuturkan pengalamannya saat mendirikan
BUMDes. Tri Harjono menyatakan bahwa pedirian BUMDesa dilatarbelakangi bahwa Desa
Bleberan saat itu terisolasi, tingkat kemiskinan tinggi yang ditandai dengan banyak warga,
terutama pemuda menganggur (Wawancara Tri Harjono, Februari 2018). Bahkan desa juga
semakin kekurangan sumber daya manusianya karena banyak yang merantau ke kota
(urbanisasi). Hal itulah yang mendorongdigerakkan aktivitas ekonomi warga, termasuk
melalui BUMDesa.
Dalam perjalanannya, BUMDesa “Sejahtera” memang dikenal oleh masyarakat sebagai
lembaga ekonomi desa. Sebagai lembaga publik desa yang diberi mandat mengurus dan
mengembangkan potensi ekonomi desa, BUMDes di Bleberan memang menjalankan fungsi-
fungsi tersebut. Namun demikian, warga desa Bleberan belum merasa sebagai pemilik
BUMDes. Situasi tersebut tercermin dari persepsi warga bahwa BUMDes merupakan bagian
dari Pemeritah Desa.
Salah satu peristiwa di Bleberan menunjukkan gambaran tersebut. Dalam kasus pengelolaan
obyek wisata Sri Gethuk, banyak warga Bleberan menilai kemanfaatan obyek wisata
tersebut hanya dinikmati oleh sebagian kecil warga, terutama warga Padukuhan Menggoran
1 dan Menggoran 2 di mana obyek wisata tersebut berada. Sekalipun dikelola oleh BUMDes
melalui unit usaha wisata, senyatanya hanya warga padukuhan setempat yang memiliki
akses kesempatan berusaha di lokasi wisata. Selain warga di luar padukuhan tersebut, tidak
diperkenankan untuk menempati lahan-lahan untuk berdagang, atau membuka warung dan
kios cinderamata, kecuali warga di luar padukuhan yang memiliki lahan di lokasi wisata.
Tenaga kerja yang terserap di lokasi wisata pun hanya sedikit orang dari pedukuhan
tersebut. Selain itu, dampak dari aktivitas wisata berupa rusaknya jalan menuju ke lokasi
wisata. Situasi tersebut memuncak dengan lahirnya gerakan Forum Peduli Bleberan yang
menolak hak eksklusif pengelolaan wisata oleh warga di pedukuhan tersebut.
35
Deskripsi tersebut, menunjukkan bahwa protes warga bukan dialamatkan pada BUMDes
yang seharusya memiliki tangungjawab dalam melakukan fungsi kontrol terhadap unit-unit
usaha yang dinaunginya. Protes warga ditujukan terhadap para segelintir pelaku usaha
wisata yang memonopoli pengelolaan obyek wisata Sri Gethuk. Dalam konteks tersebut,
protes digerakkan oleh proses eksklusi, sehingga sebagian besar warga tidak merasa
menikmati pemanfaatan potensi desa tersebut.
Upaya untuk memperbaiki manajemen unit wisata sebenarnya telah didesakkan oleh
pengurus BUMDes, namun belum membuahkan perubahan tata kelola yang transparan dan
akuntabel. Upaya untuk meredam protes warga misalnya, akhirnya diselesaikan dengan
adanya kesepakatan bagi hasil pengelolaan obyek wisata untuk seluruh padukuhan yang
dikenal dengan Dana pengembangan potensi yang telah berlangsung selama 4 tahun
terakhir ini sejak 2015 lalu. Namun, upaya tersebut tidak mengubah pendangan warga
bahwa BUMDes menjadi milik Pemerintah Desa.
B.3. Dikelola Demokratis-Teknokratis
Sebagai lembaga publik desa yang diberi mandat untuk mengelola potensi ekonomi desa,
BUMDes seharusnya memang dikelola secara demokratis yang ditunjukkan dengan
pengambilan keputusan melalui musyawarah desa sebagai mekanisme untuk memenuhi
aspek akuntabilitas dan transparansi. Pembentukan BUMDes ‘Sejahtera” saat itu, memang
belum melalui musyawarah desa, namun telah dibentuk dengan perarturan desa
berdasarkan persetujuan kepala desa dan BPD. Hal ini tidak mengurangi derajat pengelolaan
BUMDes yang demokratis di Bleberan.
Dalam perjalannya, pengelolaan unit wisata di Bleberan tidak transparan. Pengembangan
Desa Wisata Bleberan mendapatkan banyak suntikan dana dari berbagai pihak. Pada tahun
2011 melalui bantuan program PNPM Desa Pariwisata Tahun 2011, unit wisata mendapat
bantuan sebesar Rp 65.000.000,00 dan Rp 100.000.000,00 pada tahun 2012 (Mamiek,
2012), dan pada tahun 2013 sebesar Rp 75.000.000,00. Pada tahun yang sama desa wisata
Bleberan menerima bantuan dari Provinsi dengan jumlah total Rp 1,15 Milyar (Sidik, 2017).
Bank BNI 46 juga memberikan hibah melalui program "Coorporate Social Responsibility"
(CSR) Rp 495.000.000,00 untuk pengembangan desa wisata (Sutarmi, 2014).
Bantuan tersebut memang digunakan untuk pembangunan bebagai fasilitas pendukung
wisata seperti pembangunan kios, sarana MCK, areal parkir, papan informasi wisata
pembelian perahu SAR dan pengadaan seragam pengelola, pembangunan jalan setapak
menuju lokasi wisata, pembangunan talud, ruang tunggu dermaga, pengadaan life
vest(pelampung untuk pengunjung), dan sebagainya (LPJ BUMDes Sejahtera, 2013).
Disamping untuk pengadaan, bantuan-bantuan tersebut juga digunakan pengembangan
kapasitas pengelola dengan kegiatan pelatihan dan menghidupkan kelompok-kelompok
kesenian sesperti pemeblian alat hadroh untuk kelompok di padukuhan Menggoran 1,
36
pembelian gamelan dan wayang, kegiatan pementasan doger, reog, jathilan, dan wayang
kulit.
Namun demikian, mekanisme pengelolaan dana bantuan tersebut, tidak melalui BUMDes,
namun langsung masuk ke ketua pengelola unit wisata yang dijabat Tri Harjono sekaligus
sebagai Kepala Desa. Dana bantuan yang diberikan kedapa pemerintah desa untuk
pengembangan desa wisata tidak melalui bendahara BUM Desa, sebagaimana sesuai
dengan aturan-prosedur yang seharusnya dilakukan, sebab unit usaha desa wisata telah
resmi secara legal/formal dikelola dan dikembangkan dibawah kewenangan BUM Desa
Sejahtera pada tahun 2010. Hal ini dikeluhkan oleh Bendahara BUMDes “Sejahtera”,
Sardjana: “Saya selaku bendahara, tidak pernah sama sekali menerima dana-dana bantuan
yang diperoleh masuk kerekening BUM Desa, termasuk LPJ-nya sampai sekarang ini. Bahkan
saya sama sekali tidak dilibatkan dalam pembangunan yang dikerjakan”(Wawancara
dengan Bendahara BUMDesa Sejahtera, Sardjana, tanggal 16/02/2018).
Pengelolaan dana bantuan tersebut hanya sedikit melibatkan sedikit orang dalam lingkaran
kekuasaan Kepala Desa Tri Harjono saat itu, sehingga penyimpangan yang terjadi tidak bisa
dikontrol masyarakat. Pertanggungjawaban pengelolaan unit usaha wisata baru dilaporkan
mulai tahun 2013, setelah adanya tekanan dari masyarakat yang mempertanyakan
pendapatan wisata. Saat itu pengawas BUMDes, BPD, LPMD, Perangkat Desa, mengancam
akan melaporkan pihak-pihak yang terlibat untuk mengembalikan uang atau berurusan
dengan hukum. Salah seorang pengawas BUMDes menyatakan: “Kita sudah siap
melayangkan surat tindak pidana korupsi pada waktu itu. Karena uangnya tidak ada, hanya
laporannya saja”. (Wawancara Pengawas BUMDes, Agus Jurianto Desa, 16/02/ 2018).Situasi
dan kondisi yang telah terjadi ini, memicu konflik secara internal organisasi dalam tubuh
BUM Desa maupun eksternal, yaitu dari masyarakat yang terus menekan atau menuntut
transparansi-pertangunggjawabannya (Sidik, 2017).
Selain dana bantuan, pengelola unit wisata juga tidak melaporkan pertanggunjawaban
pendapatannya pada tahun 2011-2012. BUM Desa tidak dapat melaporkan
pertanggungjawaban pendapatan unit wisata. Padahal tahun tersebut, adalah masa
booming kunjungan wisata ke Bleberan yang mencapai angka 120.000 orang dengan
perkiraan pendapatan mencapai sekitar Rp 1 miliar (Liauw, 2013). Angka kunjungan tersebut
terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun jika dibandingkan dengan omzet pendapatan
yang diperoleh tidak selalu linear dengan jumlah kenaikan pengunjung.
Tabel 4.3 Jumlah Pengunjung dan Pendapatan Unit Usaha Wisata
Tahun Jumlah Pengunjung Pendapatan (Rp)
2013 - 979,459,235,00
2014 131.259 1,242.799,131,00
2015 139.650 1,912,582,082,00
37
2016 137.394 1.902.082.276,00
2017 - 1.816.253.800,00
Sumber: Data diolah dari LPJ BUMDes Sejahtera Tahun 2013-2018
Sementara dimensi teknokratis pengelolaan BUM Desa “Sejahtera” sesungguhnya telah
bekerja untuk memperbaiki kinerja unit usaha yang ada. Di luar unit wisata, unit seperti PAB
dan UED-SP terus membenahi manajemen usaha masing-masing. Berbagai upaya
peningkatan pelayanan yang dilakukan unit PAB terus memperluas jaringan pelayanan air
bersih, melakukan perawatan jaringan, menekan angka kebocoran karena pencurian air, dan
mengintensifkan penagihan untuk pelanggan yang menunggak bayar. Sedangkan unit UED-
SP juga melakukan pembenahan misalnya dengan perbaikan administrasi, manajemen
keuangan, serta pelayanan dalam bentuk memberikan insentif untuk nasabah yang tertib
dalam melakukan pembayaran. Seluruh transaksi pada kedua unit usaha tersebut juga
terekam dengan baik dalam berbagai laporan dan dipertanggungjawabkan dalam berbagai
forum pelaporan.
Gambaran tersebut menunjukkan tata kelola BUMDes “Sejahtera” belum berjalan
berimbang antara aspek demokrasi dan teknokrasi, terutama untuk unit usaha wisata. Unit
PAB dan UED-SP kendati dari sisi akuntabilitas dan transparansi cukup baik, masih terus
berbenah untuk memperbaiki manajemen usahanya. Sedangkan unit usaha wisata, sebagai
penyumbang terbesar justru belum memenuhi aspek akuntabilitas dan transparansi serta
pembenahan manajemen usaha yang sehat.
B.4. Komersial –Sosial
Sebagai lembaga hybrid, BUMDes didesain untuk mengemban misi melayani fungsi
pelayanan sosial maupun pengembangan ekonomi lokal berskala desa. Dalam konteks Desa
Bleberan, misi tersebut telah berjalan dengan berimbang. Unit-unit usaha yang dibentuk
sebelum BUMDes ada yakni layanan air bersih oleh Unit PAB dan kredit mikro oleh Unit
UED-SP diberi mandat untuk menyediakan layanan sosial. Sebagaimana lazimnya daerah di
Gunungkidul yang langka air bersih, membuat pemerintah Desa Bleberan berupaya
menyediakan kebutuhan air bersih bersih dengan menggali sumber-sumber mata air yang
ada di Bleberan. Upaya rintisan tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 90-an,
namun baru membuahkan hasil pada tahun 2004 dengan didirikannya PAB. Sedangkan
layanan UED-SP mulai tahun 2006 seiring adanya bantuan dari program pemerintah.
Program tersebut didasari adanya kebutuhan kredit mikro bagi warga desa untuk
memperkuat permodalan pelaku usaha berskala rumah tangga. Kedua unit tersebut
diorientasikan untuk memberikan layanan sosial pada warga. Kedua unit tersebut
diorientasikan untuk memberikan layanan sosial pada warga yang langsung dikelola oleh
Pemerintah Desa sebelum ada BUMDesa.
38
Sedangkan fungsi pengembangan potensi ekonomi desa juga telah dilakukan oleh unit
usaha wisata. Bagaimanapun unit usaha wisata, memiliki multiflier effectterhadap sektor-
sektor usaha lain seperti sektor perdagangan, jasa, dan industri di Bleberan. Selain itu,
sektor ini juga telah mampu memberikan kontribusi terbesar Pendapatan Asli Desa (PADes)
dalam bentuk SHU dan Bagi hasil pajak daerah serta telah memberikan kontribusi pada
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berangkat dari paparan di atas, gambaran kontekstual dari format BUMDes semacam ini
berpengaruh pada kapasitas BUMDes dalam membentuk ekosistem inovasi yang kondusif.
Bagian tersebut, akan dipaparkan lebih jauh pada bagian bab-bab berikutnya
39
BAB V
PENGEMBANGAN EKOSISTEM INOVASI OLEH BUM DESA
Kajian ini memfokuskan pada bagaimana inovasi dapat berkembang, maka perlu pula
mengupas konsep tentang ekosistem inovasi. Gambaran tentang upaya BUM Desa untuk
mengkonsolidasi sumber daya yang ada di Desa Bleberan untuk menumbuhkan ekosistem
inovatif. Sebagaimana ekosistem alam, maka terdapat elemen-elemen pendukung dan
adanya interaksi antar elemen-elemen tersebut secara berimbang. Absennya salah satu
elemen tentu akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Dalam ekosistem inovasi,
terdapat elemen-elemen yang diperlukan yakni: Kepemimpinan, Pendidikan (kapasitas),
sistem etika dan etos kerja, Sistem Sosial Budaya, Kebijakan Inovasi, dan Pendanaan yang
seluruhnya bekerja mendukung pengembangan riset dan inovasi.
A. Kepemimpinan
Bagian ini akan menyajikan deskripsi tentang temuan dilapangan yang menunjukkan bahwa
elemen kepemimpinan berpengaruh dalam membentuk ekosistem inovasi. Selain itu
elemen kepemimpinan juga menggambarkan bagaimana BUM Desa memberikan ruang
kepada prakarsa pelakunya, respon terhadap hal-hal baru, mendorong penciptaan atau
inovasi yang belum sama sekali pernah dilakukan, dan mengelola risiko setelah adanya
inovasi.
Meskipun upaya BUM Desa mengkonsolidasi sumber daya yang ada untuk menumbuhkan
ekosistem inovatif, faktanya mereka gagal melembagakan kepemimpinan tersebut. Hal ini
terjadi karena; Pertama, lemahnya daya dari pengurus BUM Desa di sebabkan mereka
bergantung pada otoritas lebih tinggi. Kedua, tidak punya daya untuk mendesak adanya
perubahan manajemen yang lebih sehat. Ketiga, pembiaran yang dilakukan BUM Desa
memicu unit dalam usaha penggalian dana tanpa sepengetahuan BUM Desa. Ketiga factor
tersebut yang mengakibatkan gagalnya BUM Desa dalam melembagakan kepemimpinan
dan menghambat proses pengembangan ekosistem inovasi.
Bagian berikut ini akan menyajikan deskripsi lebih mendalam tentang bagaimana: pertama,
lemahnya daya dari pengurus BUM Desa yang bergantung pada otoritas lebih tinggi. kedua,
tidak punya daya untuk mendesak adanya perubahan manajemen yang lebih sehat. ketiga,
pembiaran yang dilakukan BUM Desa memicu unit-unit usaha dalam penggalian dana tanpa
sepengetahuan BUM Desa.
A.1. Lemahnya Daya Pengurus BUM Desa: Bergantung Pada Otoritas Lebih Tinggi
Adanya ketidak sinambungan antara Pemerintah Desa dengan pengurus BUM Desa
mengakibatkan pengembangan ekosistem inovasi tidak berjalan dengan sesuai. Peran orang
40
yang memiliki kepenting juga menjadi alasan mengapa BUM Desa lemah dalam mengambil
keputusan. Selain itu kurang beraninya BUM Desa untuk mengambil risiko juga salah satu
penyebab minim nya inisiatif dari BUM Desa. Inisiatif tentang pengembangan potensi yang
ada justru hadir dari prakarsa pelaku unit usaha wisata. Seharusnya BUM Desa sebagai
lembaga ekonomi desa ada inisiatif untuk melakukan pengembangan ekosistem inovasi.
Komitmen pengurus BUM Desa untuk meciptakan ekosistem inovasi masih minim karena
kesibukan masing-masing pengurus yang juga bekerja di luar BUM Desa. Hal tersebut serupa
dengan apa yang disampaikan oleh Tri Harjono selaku ketua pengelola unit usaha wisata:
“Adanya ketidak sinambungan antara pengurus BUM desa dengan Kepala desa Bleberan.
Selain itu Kepala desa juga kurang berani untuk mengambil risiko untuk pengembangan
potensi yang ada.” (Wawanca dengan Ketua Pengelola Unit Usaha Wisata, Tri Harjono
tanggal 17/02/2018).
Jika kondisi ini terus terjadi maka upaya mengembangkan ekosistem inovasi akan
terkendala. BUM Desa yang seharusnya memiliki daya untuk menciptakan semua ekosistem
inovasi justru terhambat dengan adanya kepentingan-kepentingan yang menguntungkan
pihak yang lebih kuat di dalam kepengurusan BUM Desa.
A.2. Kurang Inisiatif : Tidak Mendesak Adanya Perubahan
BUM Desa kurang inisiatif untuk melakukan pengembangan. Hal ini juga dipengaruhi
komitmen yang kurang dari pengurus BUM Desa Sejahtera, sehingga inisiatif mucul dari
masing-masing unit-unit usaha yang ada di BUM Desa. Selain itu mereka juga tidak memiliki
power untuk mendesak adanya perubahan. Perubahan yang dimaksud misalnya perubahan
manajemen usaha yang leih sehat, transparan dan akuntabel. Desakan tentang perubahan
manajemen sudah dari tahun 2013 namun baru terealisasi pada tahun 2018. Desakan untuk
berubah sempat mengalami kendala hingga munculah kesepakatan yang akhirnya mulai
Januari 2018 diterapkanlah tiket terusan.
Ide tentang tiket terusan ini muncul karena adanya kebocoran pendapatan yang terjadi di
unit usaha wisata. Indikasi kebocoran pendapatan seperti manipulasi jumlah pengunjung,
jumlah kendaraan yang parkir. Sebelum kesepakatan ini dilakukan, sempat mendapatkan
tawaran untuk menerapakan system tiket otomatis dari salah satu perguruan tinggi swasta
di Yogyakarta. Namun tawaran tersebut tidak disambut dengan baik oleh pengelola unit
wisata. Keengganan tersebut didorong oleh kekhawatiran akan turunnya pendapatan
pengelola unit wisata karena menutup potensi kecurangan penghitungan jumlah
pengunjung. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh salah satu pengawas BUM Desa
Sejahtera, Agus Jurianto yang mengatakan: “Salah satu pengelola unit wisata seperti enggan
melakukan hal tersebut justru menanyakan cara untuk menjadikan tiket manual.”
(Wawancara dengan Pengawas BUM Desa Sejahtera, Agus Jurianto tanggal 16/02/2018).
41
Sebagai perbandingan, Unit Usaha PAB telah berupaya melakukan perbaikan manajemen
dari segi Admistrasi, Keuangan, dan Pelayanan sehingga dapat dilihat neraca tutup buku
yang disampaikan di Laporan Pertanggungjawaban lebih transparan dan akuntabel. Unit
PAB juga telah melakukan uji coba dalam pengelolaan dengan menggunakan Pompa Air
yang dikendalikan melalui system jarak jauh atau aplikasi teknologi informasi. Sehingga
dapat menekan biaya operasional yang dikeluarkan dari unit PAB. Hal ini merupakan contoh
bahwa dalam pengelolaan unit usaha yang sehat dapat membuka peluang untuk
pengembangan inovasi. sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Udi Waluya selaku
Kepala Unit PAB: “Kami sedang mencoba untuk mengurangi biaya operasional dengan alat
ini, sehingga tenaga yang dibutuhkan untuk menjalankan mesin pompa dapat dikendalikan
dari jarak jauh.” (Wawancara dengan Kepala Unit PAB, Udi Waluya tanggal 16/02/2018).
A.3. Pembiaran :Penggalian Dana Tanpa Melibatkan Bum Desa
Membuka ruang bagi masing-masing unit usaha untuk melakukan pengembangan pada
potensi untuk menciptakan ekosistem inovasi memang perlu dilakukan. Dengan membuka
ruang diharapkan BUM Desa menciptakan ekosistem yang dapat menstimulan munculnya
inovasi sehingga potensi dapat di eksplorasi secara maskimal untuk memenuhi kebutuhan
dengan cara-cara baru dan menjawab tantangan dimasa mendatang.
Ruang yang diberikan oleh BUM Desa kepada unit usaha justru menjadikan BUM Desa tidak
memiliki daya untuk menciptakan inisiatif dalam upaya pengembangan ekosistem inovasi.
Sehingga BUM Desa hanya menjalankan fungsi-fungsi formal dan sangat minimal. Hal
seperti ini seharusnya perlu diperhatikan agar unit usaha tersebut dapat bekerja dengan
lebih baik lagi dan tidak terjadi lagi kebocoran pendapatan.
Pola kepenimpinan ini menjadikan BUM Desa cenderung membiarkan unit-unit usaha untuk
melakukan pengembangan potensi yang ada. BUM Desa sebagai lemabaga ekonomi desa
tetap harus melakukan kontrol agar inisiatif yang muncul dari unit usaha dapat di
realisasikan atau mendapat dukungan dari BUM Desa. Selama ini unit usaha dalam
pengembangan kadang tanpa sepengetahuan BUM Desa,dan akhrinya menimbulkan ketidak
sinambungan antara unit usaha dengan BUM Desa. Proses penggalian dana yang semestinya
melalui BUM Desa justru langsung dilakukan oleh unit usaha. Terlihat bahwa pola semacam
ini dapat menimbulkan adanya ketidakstabilan ditubuh BUM Desa. Sesuai dengan yang
disampaikan oleh Tri Harjono selaku Ketua Pengelola Unit Wisata: ”untuk mendorong
pengembangan unit kami mengandalkan hutang dari bank dan hibah dari dana pemerintah
daerah maupun pusat. Dan itu tanpa BUM Desa tahu” (Wawancara dengan Ketua Pengelola
Unit Wisata, Tri Harjono tanggal 17/02/2018)
Walaupun unit usaha mereka cenderung seperti di biarkan, namun tetap ada sisi positifnya.
BUM Desa sendiri memang membuka ruang bagi unit yang ingin mengembangkan
potensinya hal ini di tunjukan oleh Unit Usaha PAB yang mulai tahun ini sedang dalam tahap
42
pengembangan yaitu menggunakan kendali jarak jauh dalam pengoperasian mesin pompa
air dari sumbernya. Seperti yang disampaikan Udi Waluya selaku kepala Unit Usaha PAB:
“Gagasan ini juga di pengaruhi oleh minimnya SDM yang ada di unit PAB sehingga kami
mencoba untuk menggunakan alat tersebut.” (Udi Waluya/16/02/2018). Sehingga dalam
upaya unit usaha untuk mengembangkan potensi desa yang ada mereka harus
berimprovisasi dalam penggalian dana agar gagasan atau inisiatif yang mereka miliki dapat
terlaksana walau tanpa melalui jalur yang sudah ditentukan.
Secara ringkas gambaran tentang pola kepemimpinan yang ada di BUM Desa Sejahtera
memang sedang dalam kondisi tidak memiliki daya dalam upaya pengembangan potensi
desa untuk menciptakan ekosistem inovasi. BUM Desa hanya menjalankan fungsi-fungsi
formal dan sangat minimal. Unit usaha yang ada pun dibiarkan berinisiatif tanpa ada control
yang jelas dari BUM Desa. Akhirnya muncul indikasi-indikasi kecurangan untuk memenuhi
kebutuhan unit usaha.
B. Sistem Sosial Budaya
Pada bagian ini system social masyarakat terhadap inovasi memang sebagai elemen penting
karena bagian dari proses penciptaan ekosistem inovasi. Sistem social budaya membahas
tentang bagaimana masyarakat merespon perubahan atau perkembangan terhadap hal-hal
baru, seberapa adaptif masyarakat sekitar, dan Nilai-nilai apa yang membuat masyarakat
cepat/lambat menerima, serta budaya apresiasi terhadap hal-hal baru. Adaptasi masyarakat
menjadi elemen pengembangan hal baru (inovasi). Ini sangat penting karena upaya juga
harus mempertimbangkan tidak semua elemen masyarakat mampu secara cepat atau
terbuka untuk menerima hal baru seperti di Desa Beberan yang mengembangkan kawasan
wisata Sri Gethuk.
B.1. Wisata Sri Gethuk: Pengelolaan Dampak
Masyarakat yang mulanya hidup dengan ketenangan harus beradaptasi dengan keluar
masuknya wisatawan ke Sri Gethuk. Pemerintah desa Bleberan yang mendapatkan bantuan
dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengembangkan potensi objek Wisata Goa
Rancang Kencana dan Air Terjun Sri Gethuk. Pemerintah berinisiatif mengembangkan
potensi tersebut namun mengalami kendala dari tetua setempat (tokoh agama). Tokoh
agama setempat tidak mengizinkan karena ketakutan budaya dan nilai-nilai social yang
selama ini berkembang terkikis dengan banyaknya orang luar (wisatawan) yang masuk dan
mempengaruhi. Walau harus melalui kendala dan dengan menjalin komunikasi dengan rutin
kepada para tokoh agama yang menentang, pada akhirnya disetujui namun dengan syarat.
Syarat yang di maksud dengan merubah visi desa Bleberan dengan menambah kata
“agamis” dibelakang. Untuk merealisasikan desa wisata ini, kemudian visi pemerintah desa
Bleberan berubah menjadi “Pembangunan Desa Wisata Yang Produktif, Indah, Tertip, Aman,
dan Agamis”. Tahun 2013, visi pemerintah desa adalah Mewujudkan Desa Wisata yang
43
Produktif, Indah, Aman, Tertib, dan Religi (PINTAR)(Sidik,2017). Dampak lain dari adanya
kawasan tersebut langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti jalan yang menjadi rusak
sehingga mengganggu mobilitas dari masyarakat sekitar kawasan. Namun seiring
berjalannya waktu masyarakat mulai antusias dengan adanya kawasan tersebut, hal ini
seperti yang disampaikan oleh Tri Harjono: “Masyarakat belum terbiasa dengan adanya
BUM desa namun ini bukan membuat surut semangat kami untuk membentuk BUM Desa.
Berjalannya waktu dengan adanya unit-unit usaha seperti PAB, UED SP, dan Wisata Alam Sri
Gethuk masyarakat mulai antusias apalagi setiap SHU yang diterima diberikan dana
pengembangan potensi di 11 pedukuhan yang ada di Desa Bleberan”(Wawancara dengan
Ketua Pengelola Unit Wisata, Tri Harjono tanggal 17/02/2018)
B.2. Pesimistis : Tidak Muncul Inisiasi Pengembangan Spot Wisata.
Selain itu sikap pesimistis dari masyarakat juga mempengaruhi usaha BUM Desa untuk
mengembangkan potensi yang ada. Ini juga berakibat kurang nya inisiatif dari BUM desa
untuk mengembangkan spot baru yang ada di Desa Bleberan. Sehingga mereka sudah
merasa nyaman dengan adanya kawasan wisata Sri Gethuk. Padahal dengan membuka spot
baru dapat meningkatkan jumlah wisatawan yang akan datang ke Desa Bleberan. Ini seperti
yang disampaikan Agus Jurianto selaku Pengawas BUM Desa Sejahtera: “Masyrakat di sini
cenderung pesimistis dan kurang yakin dengan pembukaan spot baru. Padahal dengan spot
baru dapat menambahdaya tarik dari Desa Bleberan” (Wawancara dengan Pengawas BUM
Desa, Agus Jurianto tanggal 16/02/2018)
C. Pendidikan
Bagian ini mendekripsikan secara mendalam seberapa besar komitmen BUM Des dalam
mengembangkan Human Capital/SDM. Elemen pendidikan juga memperhatikan dengan
adanya penguatan SDM berdampak pada pengembangan modal kreatif atau tidak. Selain itu
bagian ini menjelaskan bagaimana cara BUM Desa membangun jejaring pengetahuan dan
keahlian kolaboratif dengan komunitas akademik. Adanya jaringan juga dapat
melihatapasaja inovasi yang dihasilkan dari kolaborasi dengan komunitas kademik dan
sentuhan apa yang diberikan oleh komunitas akademik (feedback).
C.1. Program Pelatihan Namun Minim Pendampingan
Adanya program pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah nyatanya belum meningkatkan
kualitas SDM yang ada di BUM Desa Bleberan. Minimnya pendampingan setelah dilakukan
pelatihan juga mempengaruhi kualitas SDM. BUM Desa pun juga belum begitu maksimal
dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Dalam upaya peningkatan kualitas SDM
seharusnya BUM Desa melakukan terobosan dengan mengadakan studi banding atau kerja
sama dengan pihak-pihak akademisi namun sampai sekarang memang belum melakukan hal
tersebut. Kondisi berbeda dengan unit usaha yang ada di BUM Desa, mereka justru
44
melakukan kegiatan ini untuk meningkatkan kualitas SDM dengan melakukan studi banding
atau kerja sama dengan pihak akademik. Seperti yang di sampaikan oleh Praptono selaku
Kepala Desa Bleberan; “Memang dalam praktik nya kami masih kurang inisiatif dalam
upaya peningkatan kulitas SDM. Apalagi pengurus BUM Desa sering mendapatkan tamu
dari berbagai desa di Indonesia untuk melakukan studi banding.”(Wawancara dengan
Kepala Desa Bleberan, Praptono tanggal 23/02/2018)
Pihak akademisi yakni perguruan tinggi negeri maupun swasta sebenarnya telah banyak
melakukan penelitian namun hasil dari penelitian tersebut belum mendapatkan feedback
secara maksimal oleh pengurus BUM Desa atau pemerintah desa. Adanya resistensi
terhadap produk pengetahuan yang dianggap ‘mengganggu’ kepentingan sebagian pelaku
unit usaha khususnya wisata.
D. Etika dan Etos Kerja
Dalam proses pengembangan ekosistem inovasi elemen selanjutnya yang berperan adalah
Sistem etika dan Etos Kerja. Bagian ini mendeskripsikan dalam Etika dan Eros kerja BUM
Desa juga memiliki code of conduct dan code of ethic dalam pengelolaan usaha. Dengan
demikian kita dapat melihat apakah BUM Desa menerapkan sistem integritas tertetntu atau
tidak ada integritas yang jelas. Selain itu BUM Desa juga bisa melihat apakah etika tersebut
itu dapat bekerja. Kemudian adakah resistensi dalam implementasinya dan bagiamana
pengelola BUM Desa meresponnya. Peran dan kontribusi pelaku atau kelompok bisnis
dalam mendorong adapatasi sistem etika juga poin penting dalam menularkan system etika
dan etos.
D.1. Perubahan Etika: Adanya Tekanan dari Luar
Elemen ini penting untuk di perhatikan karena berkaitan dengan keberlangsungan BUM
Desa. Hal-hal terkait Etika sendiri banyak diterapkan dalam bentuk Kode Etik, AD/ART
maupun kesepakatan yang dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis. Faktnya bahwa BUM
Desa dalam mengelola unit juga mengalami perubahan terkait etika, namun hal ini
dipengaruhi dari adanya tekanan pihak luar FPB (Forum Peduli Bleberan) yang menuntut
adanya Transparansi seperti : laporan tahunan, target pendapatan, dan perbaikan layanan
satu pintu. Dalam mejalankan sebuah bisnis juga harus mempertimbangkan dampak apa
saja yang terjadi setelahnya, selain itu untuk keberlangsungan sebuah bisnis juga harus
dibarengi komitmen untuk lebih Akuntabel dan Transparan. Karena BUM Desa bukan hanya
milik Pemerintah desa namun juga milik warga Desa Bleberan. Jadi warga masyarakat juga
perlu tahu bagaimana bisnis ini berjalan, sehat atau tidak. Sebagai masyarakat mereka juga
menuntut adanya transparansi dari unit usaha yang ada di BUM desa. Karena selama ini
masyarakat melihat ada penyelewengan dana hasil usaha untuk kepentingan pribadi. Hal ini
45
terjadi karena ada indikasi penyalahgunaan hasil usaha oleh unit usaha wisata. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Agus salah satu pengawas dan penggerak Forum Peduli
Bleberan; “Memang Akhirnya kami bergerak dengan melakukan demo di Kantor Desa untuk
mendesak adanya perubahan agar kedepan bisa lebiih baik lagi. Setelah kejadian itu barulah
ada sedikit perubahan terkait Laporan Pertangung Jawaban” (Wawancara dengan
Pengawas BUM Desa dan Penggerak FPB, Agus tanggal 16/02/2018)
Adanya perbaikan system etika dan etos juga memunculkan insentif. Seperti yang terjadi d
unit wisata sebelum adanya perbaikan pelayanan satu pintu, wisatawan direpotkan dengan
pembayaran tiket masuk dan parkir, ini merupakan salah satu penyebab adanya kebocoran
dana yang dilakukan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Namun setelah ada
perubahan perbaikan pelayanan satu pintu dan ticketing hal ini juga berdampak pada etos
kerja para karyawan di unit wisata. Sedangkan pelaku bisnis dari luar yakni CSR yang
diharapkan mampu menularkan system etika dan etos kerja belum seluruhnya dilakukan.
Mereka hanya sebatas memberikan hibah untuk pembangunan fasilitas pendukung.
Secara ringkas bahwa perubahan etika dan etos kerja mempengaruhi secara teknis dalam
pegelolaan unit usaha. Adanya tekanan yang menuntut perubahan secara tidak langsung
juga menimbulkan kesepakatan yang berkaitan dengan etos kerja. Ini juga mempengaruhi
pola pikir dari pengelola unit wisata untuk meningkatkan etos kerja karena dengan seperti
itu akan meningkatkan insntif yang mereka terima.
E. Pendanaan
Bagian selanjutnya dalam proses pengembangan ekosistem inovasi ialah elemen
pendanaan. Pada baian ini pendanaan juga menjadi poin bahwa adanya pendanaan
mengajak kita untuk mngetahuin berapa besar komitmen BUM Desa dalam upaya
mengembangkan proyek-proyek inovatif. Kemudian dengan penguatan pendanaan
diharapkan akan memberi dampak pada penciptaan, pengembangan dan pemanfaatan
novasi yang dihasilkan. Terakhir pada bagian inimendeskripsikan cara BUM Desa menggali
pendanaan di luar anggaran BUM Desa dalam upaya mengembangkan inovasi.
Sebagai lembaga ekonomi desa BUM Desa mempunyai peran penting dalam proses
pendanaan. BUM Desa harus secara aktif untuk mecari sumber dan yang lain tanpa
bergantung dari pemerintah desa atau daerah. BUM Desa juga dituntut untuk lebih kreatif
guna memenuhi sumber dana yang digunakan dalam pengembangan ekosistem inovasi.
Namun faktanya BUM Desa cenderung kurang mempunyai komitmen dalam pengembangan
inovasi potensi yang ada di Desa Bleberan.
E.1. (Cenderung Less Comitment terhadap usaha pengembangan innovasi)
46
Efek dari kurangnya control (pembiaran) yang terjadi di BUM Desa Sejahtera mengakibatkan
munculnya pola instan dari unit wisata untuk mencari sumber dana lain. Sebagaimana
bahwa ini juga menjadi tanggung jawab dari mereka sebagi lembaga ekonomi desa yang
menaungi unit wisata. Dalam hal penggalian dana unit wisata menjadi sorotan utama dari
pemerintah dan pihak swasta. Upaya dari unit untuk mengembangkan juga tidak sedikit,
banyak dana turun ke unit wisata tanpa melibatkan BUM Desa. Mereka langsung
mendapatkan dan hibah dari pusat maupun daerah hanya melalui desa dan langsung ke
unit.
Disamping itu pengurus BUM Desa juga kurang inisiatif terkait penggalian dana yang ada,
sehingga masing-masing unit usaha harus pintar dalam penggalian dana untuk kegiatan
pengembangan inovasi. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Tri Harjono: “Memang
dalam penggalian dana kami memang tidak melibatkan BUM Desa. Selain itu kami pikir
dengan langsung diberikan kepada unit akan mempercepat upaya kami melakukan
pengembangan kawasan ini”(Wawancara dengan Ketua Unit Wisata, Tri Harjono tanggal
17/02/2018). Kasus kapal di objek wisata, yang merupakan ide dari orang-orang di unit
wisata, justru hadir bukan dari BUM Desa. Ini juga bukti bahwa BUM Desa sendiri kurang
inisiatif dalam proses pengembangan potensi yang ada. Jika pola semacam ini terus terjadi
tidak menutup kemungkinan upaya transparansi yang di harapkan akan sulit terwujud.
Ringkasnya bagian ini mendeskripsikan bahwa BUM Desa belum mampu memfasilitasi Unit
Wisata dalam hal penggalian dana. Sehingga unit yang ingin mengembangkan potensi yang
ada sulit terealisasikan bila tidak memiliki inisiatif untuk mencari sumber dana lain. Selain itu
juga dapat memunculkan potens kecurangan dalam pengelolaan sumber dana yang
diterima.
F. Regulasi
Dalam sebuah institusi sangatlah penting terdapat kebijakan.Di level BUM desa perlu
regulasi yang mendorong lahirnya inovasi agar dalam upaya pengembangannya
mendapatkan payung hukum yang jelas. Selain itu regulasi yang diterapkan akan
memberikan gambaranseberapa jauh BUM Desa memberikan ruang dan dampak bagi
lahirnya inovasi. Dengan regulasi yang mendorong inovasi maka haeapan terwujudnya
ekositem inovasi dapat terealisasikan.
F.1. Bumdesa belum menghadirkan regulasi yang mendorong inovasi
Namun disisi lain BUM Desa sendiri belum mampu menghadirkan regulasi yang mendorong
lahirnya inovasi. Menggunakan regulasi yang ada karena cenderung tidak memberikan
keuntungan (disinsentif). Aturan atau regulasi dari Pemerintah Pusat hingga PERDA sudah
lengkap, tapi tidak digunakan sebagai acuan dalam pengembangan inovasi. Hal seperti ini
juga berpengaruh dalam usaha pengembangan inovasi karena tanpa regulasi yang jelas
47
maka dapat terjadi masalah yang lain, dan bisa jadi kegiatan tersebut justru melanggar
regulasi yang ada sebelumnya. Ini juga di sampaikan langsung oleh Kepala Desa Bleberan,
Praptono; “Untuk regulasi terkait pengembangan inovasi memang belum ada, tapi untuk
regulasi untuk membentuk BUM Desa sudah ada sejak 2008 dan itu sudah kami gunakan
sampai sekarang. Klausul yang menyebutkan bahwa Desa dapat Mendirikan BUM Desa
kami pegang dalam oengembangan nya. Memang dalam kenyataannya belum maksimal
dalam penerapan regulasi tersebut. Sehingga kadang hanya berlaku kesepakatan antar
pihak-pihak yang berkepentingan di unit usaha tersebut.”(Wawancara dengan Kepala Desa
Bleberan, Praptono tanggal 23/02/2018)
Sesuai dengan pernyataan tersebut sangat berlawanan dengan klaim dari pemerintah
bahwa Pada tahun 2017, Desa Wisata Bleberan yang dikelola dan dikembangkan melalui
BUM Desa Sejahtera menjadi salah satu wisata terbaik versi Kementerian Desa berkategori
IPTEK (Hadi, 2017). Hal tersebut nyatanya tidak sesuai dengan temuan di lapangan. Dengan
kondisi yang sepert ini jelas bahwa dari keenam elemen yang harus dipenuhi belum
semuanya sesuai dengan prasyarat terciptanya ekosistem inovasi.
Bahwa BUM Desa dijadikan sebagai wadah kerjasama berbagai stakeholder desa dalam
mengelola dan mengembangkan sumber daya potensi desa, yang notabene adalah barang
milik bersama (common pool resource). BUM Desa tidak hanya bisa ditempatkan sebagai
lembaga sosial (social intitutions) maupun lembaga komersial (comercial institutions), akan
tetapi BUM Desa juga dapat ditempatkan sebagai lembaga manjemen sumber daya milik
bersama dalam menangani konflik yang melibatkan berbagai stakeholder desa pada
kegiatan wisata desa yang telah diselenggarakan. Pemerintah Desa yang memiliki
wewenang mendirikan dan mengembangkan BUM Desa sebagai institusi kerjasama dengan
warganya dalam mengelola sumber daya milik bersama, terutama potensi desa. Namun
jelas terjadi bahwa Praktik Hybrid memang belum bekerja secara masksimal. Ini jelas
menjadi temuan bahwa dalam formasi awal pembentukan BUM Desa sendiri tidak
memenuhi prinsip Hybrid itu sendiri melihat dari sejarah pendiriannya.
48
BAB VI
Menguji Format BUM Desa Dalam
Pengembangan Ekosistem Inovasi Yang Kondusif
Bab ini akan menyajikan analisis format BUMDes “Sejahtera” dalam konteks pengembangan
ekosistem inovasi yang kondusif. Analisis dilakukan dengan melakukan overview terhadap
format existing BUM Desa “Sejahtera” yang akan diteropong dari perspektif hybrid
institution. Selajutnya, hasil overview akan dibedah digunakan untuk menilai kapasitas BUM
Desa dalam membangun ekosistem inovasi dan dilacak akar permasalahannya. Bagian akhir
dari Bab ini akan ditutup dengan tawaran model BUM Desa Inovatif.
A. Kapasitas BUM Desa sebagai Hybrid Institution dalam Mengembangkan Ekosistem
Inovasi
Hybrid Institution sebagai konsep ideal merupakan prasyarat bagi terwujudnya mandat
BUM Desa sebagai institusi ekonomi desa yang mampu menjadi penghantar kemandirian
Desa. Namun dalam tataran praktik, konsep ini tidaklah mudah diterjemahkan secara
operasional sehingga membutuhkan beragam instrumentasi. Sebagaimana disajikan dalam
Bab IV, format BUM Desa “Sejahtera” belumlah memenuhi prasayarat sebagai Hybrid
Institutionsebagaimana tersaji dalam tabel 6.1. berikut ini:
Tabel 6.1. Overview Kondisi BUM Desa “Sejahtera”
Aspek Kondisi yang Eksis
Prakarsa Lokal dan
Regulasi
Prakarsa lokal yang kuat, namun tidak diimbangi dengan kapasita
melembagakan aturan main dan memenuhi koridor regulasi
yang ada.
Kepemilikan kolektif
warga dan Pemdes
Makna kepemilikan lebih fokus pada pemerintah desa dan warga
belum menempatkan dirinya sebagai pemilik BUM Desa
Pengelolaan Demokratis
dan Teknokratis
Belum menemukan titik keseimbangan antara aspek demokratis
dan aspek teknokratis
Fungsi Sosial dan
Pengembangan Ekonomi
Fungsi sosial dan ekonomi telah bekerja sekaligus, namun lebih
ditekankan memperoleh kemanfaatan ekonomi jangka pendek
(PAD Des).
49
Berangkat dari ringkasan temuan tersebut, kesimpulan sementara dalam kajian ini
menyimpulkan bahwa praktik tata kelola BUMDesa “Sejahtera” belum memenuhi sebagian
prinsip-prinsip hybrid institustion.
Kesimpulan tersebut menghantar pada analisis tentang kapasitas BUM Desa dalam
mengembangkan ekosistem inovasi. Sebagaimana tersaji dalam Bab V, kapasitas BUM Desa
yang dibayangkan sebagai enabling factorbagi ekosistem inovasi tidak sepenuhnya dapat
bekerja. Kondisi tersebut ditandai dengan sejumlah hal: pertama, kepemimpinan BUM Desa
gagal melembagakan kepemimpinannya yang diikat dengan aturan main yang disepakati
bersama. Kegagalan tersebut berakar dari lemahnya komitmen penegakan integritas di BUM
Desa dan Pemerintah Desa dalam mengelola konflik kepentingan para pelakunya. Kedua,
BUM Desa tidak memiliki kapasitas memadai dalam mendorong terciptanya tata sosial yang
adaptif terhadap inovasi. Hal ini terjadi karena masih terdapat jarak antara BUM Desa dan
warga, dimana warga belum menempatkan dirinya sebagai “pemilik” BUM Desa. Alhasil,
Terobosan dan inovasi yang dilakukan BUM Desa tidak serta merta dapat diterima warga.
Ketiga, BUM Desa belum mendayagunakan sumber daya pengetahuan secara optimal meski
mampu merintis jejaring sumber daya pengetahuan untuk memperkuat sistem inovasi.
Kondisi ini terjadi karena belum adanya kesadaran bahwa pengetahuan merupakan
“jantung” pengembangan inovasi.
Keempat, penguatan etika dan etos kerja terjadi karena justru adanya tekanan dari luar
BUM Desa terutama dari warga. Perubahan atas etos dan etika ini belum digerakkan oleh
spirit untuk menegakkan etika publik oleh para pelaku di dalam BUM Desa dan pemerintah
desa. Penegakan etika publik ini merupakan bagian dari upaya menghidupi nilai-nilai
pengelolaan BUM Desa yang demokratis yang ditandai transparansidan akuntabilitas.
Kelima, dalam konteks pendanaan BUM Desa belum memiliki komitmen kuat terhadap
pendanaan pengembangan inovasi. Padahal inovasi diperlukan sebagai upaya
mengembangkan fungsi-fungsi pelayanan sosial dan pengembangan ekonomi warga dalam
skala desa sebagai mandat yang diterima BUM Desa. Keenam, BUM Desa belum dapat
menghadirkan menghadirkan regulasi yang mendorong inovasi.
Gambaran tersebut menghantar pada pertanyaan mengapa format BUM Desa “Sejahtera”
tidak sepenuhnya mampu menghadirkan ekosistem inovasi? Jawaban atas pertanyaan
tersebut dapat dilacak dari kesejarahan pembentukan BUM Desa di Desa Bleberan. Formasi
awal pembentukan BUM Desa “Sejahtera” belumlah mengacu pada konsep hybrid
institution. Saat itu, pembentukan masih digerakkan oleh kuatnya prakarsa lokal yang
diiniasi oleh pemerintah desa. Dalam perjalannya, prakarsa lokal tersebut tidak
diartikulasikan dan dilembagakan dalam aturan main yang disepakati bersama secara
memadai. Selain itu, BUM Desa juga gagal beradaptasi dengan tuntutan spirit regulasi baru
yakni UU Desa yang memandatkan bahwa BUM Desa merupakan wadah ekonomi kolektif
Desa (antara warga dan pemerintah desa) yang dikelola secara demokratis.
50
B. Model BUM Desa Inovatif
Berpijak dari paparan diatas bagian ini akan menyajikan tawaran model tahapan
pengembangan BUM Desa inovatifyang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6.1 Model BUM Desa Inovatif
Jabaran umum dari capaian yang diharapkan di setiap tahap dalam gambar di atas adalah
sebagai berikut:
a. Tahap Pertama
Penguatan kapasitas tata kelola BUM Desa lebih dititikberatkan pada sisi penciptaan
prasyarat-prasyarat dasar bagi terbangunnya efektivitas penyelenggaraan tata
kelola usaha melalui pengukuhan eksistensi BUM Desa sebagai institusi
pengembangan ekonomi lokal berskala desa. Dari sisi tata kelola efektif, tahap ini
difokuskan pada: pertama, upaya penguatan kapasitas manajemen usaha yang sehat
dalam pelaksanaan peran-peran pelayanansosial ekonomi sehari-hari. Intervensi
pada tahap ini adalah perbaikan manajemen pada area manajemen kelembagaan,
administrasi keuangan, dan manajemen pelayanan). Kedua, diorientasikan pada
tahap inisiasi atau pembangunan pondasi pada sisi menyiapkan jejaring kerjasama
yang berorientasi pada membangun kolaborasi multipihak.
b. Tahap Kedua
Penguatan kapasitas tata kelola BUM Desa diarahkan untuk menciptakan sinergi
antara BUM Desa, warga, pemerintah desa, pemerintahan supradesa, dunia usaha,
MODEL TAHAPAN BUM DESA INOVATIF
BUM Desa yang memiliki prasyarat tata kelola yang inovatif
BUM Desa yang memiliki prasyarat dasar tata kelola yang
efektif
BUM Desa yang yang memiliki prasyarat tata kelola yang sinergis
BUM Desa yang memiliki prasyarat tata kelola yang partisipatif, responsif, dan
akuntabel
1
2
3
4
51
komunitas akademik, dan komunitas kreatif. Sinergi kepada warga dan pemerintah
desa merupakan bentuk konsolidasi internal. Sinergi kepada warga desa dilakukan
dengan mengembangkan jejaring pembelajaran usaha produktif dimana BUMDesa
dapat menempatkan dirinya sebagai inkubator bagi pengembangan inovasi warga.
Sedangkan sinergi dengan pemerintah desa dan pemerintah supradesa dilakukan
melalui sinergi program pemerintah desa melalui pengintensifan forum-forum
koordinasi pada tingkat desa. Pengembangan fungsi-fungsi dasar BUMDesa juga
akan mulai dilakukan di sini terutama terkait dengan program pengembangan
ekonomi masyarakat. Sedangkan sinergi dengan Pemerintah supradesa dilakukan
dengan melakukan sinergi program pemerintah daerah sekaligus mendorong
pemerintah daerah untuk membangun regulasi iklim usaha yang kondusif bagi
pelaku usaha desa. Sinergi dengan dunia usaha dilakukan dengan mendorong
kemitraan dengan pelaku usaha terutama dalam penguatan aspek bisnis, misalnya
dalam konteks penguatan permodalan, kerjasama pemasaran dan promosi,
penguatan etos dan etika bisnis dan sebagainya. Sementara itu, sinergi dengan
komunitas akademik dan komunitas kreatif dilakukan dengan penguatan jejaring
pengetahuan, ketrampilan, dan kreatifitas melalui pemanfaatan sumber daya
pengetahuan dan sumber daya kreatif dalam bentuk pendampingan usaha.
c. Tahap Ketiga
Penguatan kapasitas tata kelola BUM Desa diorientasikan pada perwujudan
manajemen usaha yang responsif, transparan, dan akuntabel. Ini dilakukan melalui
instalasi sistem integritas dan akuntabilitas ke dalam kelembagaan tata kelola BUM
Desa, Pemerintah Desa, dan lembaga kemasyarakatan skala desa, maupun bagi
kelompok-kelompok pendamping. Keberadaan sistem integritas selanjutnya akan
menjadi pintu masuk bagi konsolidasi penciptaan tata kelola usaha yang baik (good
corporate governance)yang transparan, partisipatif, dan akuntabel yang didukung
oleh integritas dari masing-masing pelaku.
d. Tahap Keempat
Penguatan kapasitas tata kelola BUM Desa diharapkan sudah dapat mencapai tahap
pengembangan inovasi dari BUM Desa dalam melakukan langkah-langkah terobosan
untuk meningkatkan performa dalam penyediaan palayanan sosial dan
pengembangan ekonomi lokal. Manajemen pelayanan BUM Desa dapat dibidik
sebagai salah satu medium inovasi yang diarahkan pada perluasan dan kemudahan
akses bagi pengguna layanan untuk mendapatkan pelayanan dengan standar mutu
yang baik. Terkait peran lembaga pendamping seperti perguruan tinggi dan
52
komunitas kreatif, penguatan kapasitas dilakukan dengan mengembangkan jejaring
kerja untuk memastikan keberlanjutannya.
Dalam konteks Hybrid Institution, model tersebut menempatkan BUM Desa sebagai leading
institution yang bertanggungjawab membangun ekosistem berusaha yang kondusif bagi
pengembangan ekonomi lokal. Sekaligus BUM Desa memiliki tugas memastikan bekerjanya
pelayanan sosial kepada warga. Secara detail hal tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
53
6.2
. Matrik M
od
el Perkem
ban
gan B
UM
De
sa Ino
vatif
1
2
3
4
Asp
ek/Tahap
an
Prasyarat B
UM
De
sa Efe
ktif P
rasyarat BU
MD
esa Sin
ergis
P
rasyarat BU
M D
esa
Re
spo
nsif, P
artisipatif, &
A
kun
tabel
Prasyarat B
UM
De
sa In
ovatif
Kelem
ba
ga
an
: P
raka
rsa loka
l da
n
pelem
ba
ga
an
reg
ula
si/atu
ran
ma
in
Pen
guatan
kap
asitas so
sial w
arga u
ntu
k m
emb
iakkan
prakarsa
lokal
sekaligus
mem
astikan
beke
rjanya
fun
gsi dasar B
UM
Desa
Ako
mo
dasi
prakarsa
lokal
dalam
korid
or regu
lasi BU
M
Desa
yang
dib
entu
k secara
partisip
atif
Pelem
bagaan
regulasi B
UM
D
esa melalu
i pen
guatan
sistem
integritas d
alam tata
kelem
bagaan
BU
MD
esa
Ino
vasi tata
kelemb
agaan
BU
M D
esa
Kep
emilika
n: sumb
er da
ya
bersa
ma
Pem
aham
an
terh
adap
h
ak d
an
kew
ajiban
seb
agai p
emilik
BU
M
Desa
antara
warga d
an p
emerin
tah d
esa
Pen
guatan
kap
asitas ko
labo
ratif d
alam
pen
gemb
angan
B
UM
D
esa an
tara w
arga d
an
pem
erintah
desa
Sebagai
up
aya m
enu
mb
uh
kan
tanggu
ngjaw
ab
kep
emilikan
b
ersama
Pelem
bagaan
ko
labo
rasi w
arga dan
pem
erintah
desa
secara partisip
atif, akun
tabel
dan
resp
on
sif seb
agai p
engu
kuh
an
tanggu
ngjaw
ab
kep
emilikan
bersam
a
Ino
vasi tata
relasi ke
pem
ilikan B
UM
Desa yan
g m
enjam
in
kepem
ilikan
bersam
a
Ma
na
jemen: K
esetimb
an
ga
n
dem
okrasi-tekn
okra
si
Pem
ben
tukan
man
ajemen
B
UM
Desa se
cara partisip
atif P
engu
atan
kapasitas
pro
fesion
al m
anajem
en
BU
M D
esa
Pelem
bagaan
m
anajem
en
usah
a yan
g h
and
al (p
rofesio
nal)
dan
aku
ntab
el seh
ingga terp
ercaya
Ino
vasi m
anajem
en
usah
a B
UM
Desa
Orien
tasi V
isi: K
esetimb
an
ga
n o
rienta
si so
sial-ko
mersia
l
Ke
jelasan ru
mu
san visi B
UM
D
esa d
alam
men
yediakan
p
elayanan
so
sial d
an
pen
gemb
angan
eko
no
mi
lokal te
rhad
ap b
idan
g-bid
ang
usah
a BU
M D
esa
Pem
antap
an
sinergi
visiantar
un
it u
saha
BU
M
Desa.
Pelem
bagaan
visi m
asing-
masin
g u
nit
usah
a yan
g d
iperku
at d
engan
in
isasi etika b
isnis d
an e
tika pu
blik.
54
C. Memetakan Posisi BUM Desa Sejahtera dalam Model Perkembangan BUM Desa
Inovatif
Kendati telah dinobatkan sebagai BUM Desa Inovatif oleh Kementrian Desa, Transmigrasi, dan
Daerah Tertinggal pada tahun 2017 lalu, BUM Desa “Sejahtera” sesungguhnya menyimpan
kerapuhan sebagai lembaga ekonomi Desa. Kerapuhan tersebut hanya dapat diamati secara
mikroskopis dengan menelisik jauh ke dalam kelembagaan BUM Desa “Sejahtera”. Perspektif
makroskopis yang mengamati dari “luar” tidak dapat menjangkau kerapuhan yang diidap oleh
BUM Desa “Sejahtera”. Penobatan sebagai BUM Desa Inovatif versi Kementrian Desa tentunya
mewakili cara pandang makroskopis tanpa melihat jauh ke dalam bagaimana konstruksi BUM
Desa “Sejahtera” sebagai lembaga ekonomi hybrid bekerja.
Berpijak pada paparan tersebut, bagian ini akan menyajikan analisis terkait posisi BUM Desa
“Sehatera” dalam peta model perkembangan BUM Desa. Berbagai prasyarat dasar pada tahap
pertama (BUM Desa efektif) sebenarnya belum sepenuhnya bekerja dalam kasus BUM Desa
“Sejahtera”. Terdapat sejumlah fakta yang menujukkan hal tersebut: Pertama, Kapasitas sosial
warga memang tumbuh dan dalam derajat tertentu berhasil membiakkan prakarsa lokal.
Bahkan prakarsa lokal lahir mendahului BUM Desa. Baik unit wisata, pelayanan air bersih,
maupun simpan pinjam lahir dari prakarsa-prakarsa tersebut. Namun berbagai prakarsa-
prakarsa warga yang lain tidak mendapat tempat dan belum diakomodasi oleh BUM Desa.
Bahkan unit usaha wisata, sekalipun telah diwadahi dalam BUM Desa, tidak dapat berjalan
dalam koridor regulasi BUM Desa yang disepakati bersama. Pengelola unit usaha wisata justru
menunjukkan keengganan untuk patuh pada regulasi BUM Desa yang dibangun dari aturan
main yang telah disepakati bersama.
Kedua, lemahnya pemahaman warga bahwa BUM Desa merupakan aset Desa. Terdapat
persepsi yang kuat di kalangan warga bahwa BUM Desa adalah milik pemerintah desa. Sehingga
urusan BUM Desa hanya ditempatkan menjadi tanggungjawab pemerintah desa semata.
Persepsi warga tersebut lahir dari situasi lemahnya kapasitas kolaboratif pemerintah desa
dalam merangkul warganya untuk mengembangkan BUM Desa. Berbagai prakarsa warga yang
tidak diakomodasi oleh Pemerintah Desa, pada gilirannya menciptakan sikap apatisme warga
terhadap BUM Desa. Pilihan sikap tersebut tampak dari adanya prakarsa lokal yang akhirnya
mandeg atau berjalan sendiri tanpa fasilitasi yang memadai dari pihak pemerintah Desa
maupun BUM Desa. Hal itu tampak dari adanya gagasan warga untuk merintis spot-spot wisata
baru di Desa Bleberan namun tidak mendapat respon yang memadai oleh Pemerintah Desa
maupun BUM Desa. Dalam kasus lain, juga tampak usaha warga untuk mendukung keberdaan
wisata seperti usaha makanan, oleh-oleh dan cinderamata yang ada tidak berkembang. Pada
gilirannya keberadaan BUM Desa, dalam konteks pengembangan ekonomi lokal tidak dirasakan
55
dampaknya oleh banyak warga, namun hanya oleh warga di sekitar obyek wisata air terjun Sri
Gethuk.
Ketiga, dalam hal pembentukan manajemen BUM Desa belum sepenuhnya partisipatif. Pada
fase awal pembentukan BUM Desa “Sejahtera”, kepala desa memiliki kewenangan penuh untuk
menentukan tim manajemen BUM Desa. Manajemen BUM Desa saat itu banyak diisi oleh elit-
elit desa yang memiliki relasi kuat dengan Kepala Desa. Sehingga, dalam perjalanannya,
manajemen BUM Desa “Sejahtera” rentan terhadap konflik kepentingan elit-elit desa di
lingkaran kekuasaan kepala desa. Perbaikan manajemen BUM Desa baru lahir setelah adanya
desakan kuat atas praktik-praktik penyimpangan oleh manajemen BUM Desa “Sejahtera”.
Perbaikan manajemen BUM Desa “Sejahtera” memang dilakukan oleh tim manajemen BUM
Desa setelah itu yang diisi oleh kelompok yang berseberangan dengan kepala desa. Namun
perbaikan manajemen tidak lepas dari motif politis personal pengurus BUM Desa yang baru
ketimbang inisiasi memperkuat kapasitas manajemen yang profesional.
Keempat, saat BUM Desa “Sejahtera” dibentuk sebenarnya telah memiliki kejelasan rumusan
visi untuk masing-masing unit usaha. Unit usaha layanan air bersih misalnya lebih diorientasikan
untuk menyediakan layanan publik dengan karakter sosial. Sementara, unit simpan pinjam
diorientasikan untuk memberikan layanan sosial guna memperkuat ketahanan finansial warga
Desa Bleberan. Sedangkan unit usaha wisata memang memiliki visi komersial untuk
mengembangkan ekonomi lokal. Namun visi masing-masing unit usaha tak kunjung sinergis.
Misalnya, unit simpan pinjam sebenarnya dapat dikembangkan untuk melayani kredit
pengembangan usaha produktif warga guna mendukung keberdaan wisata di Desa Bleberan.
Berangkat dari analisis kondisional tersebut, terdapat sejumlah catatan kritis terhadap BUM
Desa “Sejahtera”: pertama, inovasi yang dilakukan BUM Desa “Sejahtera” sesungguhnya
ditopang oleh kuatnya prakarsa lokal, namun banyak prakarsa lokal akhirnya tidak terwadahi
dan gagal dilembagakan oleh BUM Desa. Lemahnya fasilitasi prakarsa lokal BUM Desa
“Sejahtera” berangkat dari lemahya kapasitas melembagakan aturan main dan minimnya
kapasitas kolaboratif BUM Desa dan pemerintah Desa. Kedua, dampak dari situasi tersebut,
menciptakan kondisi absennya rasa kepemilikan BUM Desa oleh warga, di samping lemahnya
pemahaman warga terhadap konstruksi makna BUM Desa sebagai aset desa yang menjadi
sumber daya milik bersama antara warga dan pemerintah Desa. Ketiga, dari aspek tata kelola,
BUM Desa “Sejahtera” gagal membangun manajemen yang profesional sekaligus demokratis
karena lemahnya pengelolaan konflik kepentingan diantara para pelakunya. Lemahnya
pengelolaan konflik kepentingan ini disumbang oleh lemahnya sistem integritas dalam tata
kelola BUM Desa “Sejahtera”. Keempat, visi bisnis masing-masing unit usaha masih belum
berjalan sinergis dan kompatibel. Masing-masing unit usaha masih berjalan sendiri-sendiri.
56
Alhasil capaian BUM Desa “ Sejahtera” sebagai BUM Desa inovatif sesungguhnya bersifat semu.
Capaian berupa beragam penghargaan terhadap BUM Desa “Sejahtera” menyimpan problem
besar tentang rapuhnya format kelembagaan BUM Desa “Sejahtera” yang eksis dan berdampak
pada aspek kepemilikan, manajerial serta visi kelembagaan. Alih-alih, ditabalkan sebagai BUM
Desa Inovatif, BUM Desa “Sejahtera” belum sepenuhnya mampu memenuhi prasyarat sebagai
hybrid institution yang diyakini sebagai format ideal BUM Desa.
57
BAB VII
SIMPULAN &REKOMENDASI
Bab ini akan menyajikan simpulanbeserta rekomendasi ataskajian ini. Bagian simpulan
menyajikan jawaban atas pertanyaan riset dalam kajian Format BUM Desa semacam apa
yang dapat menjadi enabling factor bagi produksi inovasi di desa?Pertanyaan tersebut
sesungguhnya hendak menguji kelembagaan BUM Desa dalam format hybrid institution
sebagai enabling factor dalam menghasilkan inovasi sekaligus merumuskan prototype
model kelembagaan BUM Desa yang dapat menghasilkan inovasi dalam pengembangan
potensi desa wisata.Sementara bagian kedua memuat rekomendasi yang dtarik dari model
perkembangan BUM Desa inovatif dalam kajian ini berdasarkan rangkaian temuan kajian ini
seperti yang telah disajikan dalam bab-bab terdahulu.
A. Simpulan
BUM Desa dalam format hybrid Institution diyakini sebagai format kelembagaan ekonomi
desa yang ideal. Kendati demikian masih dibutuhkan banyak kajian untuk menguji tesis
tersebut. Dalam konteks tersebut, Kajian ini berangkat dari misi untuk mengisi kekosongan
baik empirikal maupun konseptual, baik dalam kerangka memerkuat maupun
menyanggahnya. Berdasarkan hasil-hasil temuan lapangan dalam kajian ini menyimpulkan
bahwa:
Pertama, BUM Desa dalam format hybrid institution dapat menjadi faktor bagi upaya
membangun kelembagaan ekonomi desa yang kuat dan mandiri sepanjang prinsip-prinsip
sebagai hybrid institution terpenuhi. Dalam kasus BUM Desa “Sejahtera” format hybrid
institution belum terpenuhi yang disebabkan terutama oleh lemahnya kapasitas dalam
melembagakan aturan main yang mengikat para pelakunya. Tumbuhnya prakarsa lokal di
Desa Bleberan tidak serta merta menjadi pilar penopang bagi tumbuhnya kelembagaan
ekonomi desa mandiri karena tidak diimbangi kapasitas kelembagaan yang kuat yang justru
menyeret para pelakunya terlibat dalam konflik kepentingan yang tidak terkelola. Akar dari
lemahnya kapasitas kelembagaan ini berangkat dari absennya sistem integritas dalam tata
relasi kuasa yang mengikat antar pelakunya.
58
Kedua, BUM Desa sebagai format ideal kelembagaan ekonomi desa dapat menjadi enabling
factor bagi tumbuhnya inovasi desa sepanjang BUM Desa konsisten dalam format hybrid
institution. BUM Desa dalam format tersebut idealnya dapat memainkan fungsi sebagi
inkubator bagi inovasi warga. Dalam kasus BUM “Sejahtera” di Desa Bleberan, banyak
inovasi yang tumbuh pada awalnya justru akhirnya mati suri karena tidak ditangkap dengan
baik untuk dikembangkan oleh BUM Desa.
Dalam konteks ekosistem inovasi, simpulan-simpulan tersebut diperkuat dari dari fakta
bahwa bahwa:
BUM Desa “Sejahtera” gagal menghadirkan kepemimpinan yang bertanggunggugat
(akuntabel) serta menghadirkan etika publik dan etos kerja dalam pengelolaan
BUM Desa sehingga memperlemah trust warga terhadap BUM Desa.
Jejaring kerjasama BUM Desa “Sejahtera” dengan berbagai pihak belum dapat
didayagunakan untuk memperkuat kapasitas dalam menghidupkan ekosistem
inovasi. Kerjasama dengan lembaga-lembaga pengembang inovasi seperti
perguruan tinggi/kampus yang banyak dilakukan belum dapat merangsang
pengembangan inovasi yang sesungguhnya mulai tumbuh di Desa Bleberan.
Demikian pula dengan kerjasama pendaaan, BUM Desa “Sejahtera” belum dapat
mengoptimalkan pendanaan seperti hibah dari dunia usaha maupun pemerintah
untuk mengembangkan iklim inovasi. Pendanaan yang didapatkan lebih banyak
dimanfaatkan untuk mengembangkan sarana dan prasarana fisik, ketimbang untuk
membiayai gagasan –gagasan segar dari warga.
BUM Desa Sejahtera belum dapat menumbuhkan sistem sosial budaya yang dapat
menopang tumbuhnya ekosistem inovasi. Hal ini berangkat dari lemahnya kapasitas
kolabotif untuk merangkul prakarsa warga sebagai sumber daya untuk
menghidupkan iklim inovasi yang kondusif. Rendahnya apesiasi terhadap prakarsa
warga pada gilirannya melemahkan inovasi.
Rendahnya komitmen terhadap upaya membangun ekosistem inovasi diperkuat
dengan fakta bahwa BUM Desa “Sejahtera” tidak menghadirkan kebijakan yang
mendorong lahirnya inovasi atau sekurang-kurangnya memanfaatkan berbagai
regulasi atau program negara yang menorong inovasi. Alih-alih mendayagunakan
regulasi negara yang mendorong inovasi, BUM Desa “Sejahtera” justru mematikan
secara perlahan prakarsa lokal.
B. Rekomendasi
59
Berangkat dari simpulan tersebut terdapat sejumlah butir-butir rekomendasi yang dapat
diajukan:
Pertama, menempatkan kembali BUM Desa “Sejahtera” sebagai hybrid institution yang
bermakna dimata warga. Dalam konteks ini, penting untuk mengembalikan kepercayaan
warga terhadap BUM Desa sebagai lembaga ekonomi desa yang mampu menjelma sebagai
institusi pengembangan ekonomi Desa yang terpercaya sekaligus menghadirkan pelayanan
dan perlindungan sosial-ekonomi warga. Upaya tersebut dilakukan dengan menempatkan
BUM Desa sebagai inkubator bagi prakarsa warga yang pada gilirannya menghasilkan
inovasi-inovasi baru.
Kedua, Pada level operasional perlu melakukan penataan ulang terhadap aspek
kelembagaan,kepemilikan, manajemen/pengelolaan, serta pemantapan visi BUM Desa.
Pada aspek kelembagaan, penataan ulang relasi antara BUM Desa dengan stake holder
dilakukan dengan memberikan apresiasi dan mengakomodasi prakarsa lokal yang diwadahi
dalam aturan main yang disepakati bersama. Sementara pada aspek kepemilikan, perlu
membangun pemahaman bersama di kalangan warga sembari memperkuat dengan kerja-
kerja kolaboratif yang dapat diwadahi dalam BUM Desa antara warga dengan pemerintah
desa. Sementara pada aspek manajemen, penataan dilakukan dengan membentuk
kepengurusan BUM Desa secara partisipatif yang diikuti dengan penguatan kapasitas
profesional. Sedangkan pada aspek orientasi visi, perlu pemantapan visi antar unit usaha
dalam BUM Desa.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adair, J. (1996).Effective Innovation. How to Stay Ahead of the Competition. London: PanBooks
Asdhiana, I. M. (2016). Indonesia Memiliki 150 Desa Wisata. Retrieved February 15, 2017, from
http://travel.kompas.com/read/2016/11/22/191100127/indonesia.memiliki.150.desa.wisata
Astuti, P. F. (2017). Pelaksanaan Fungsi Pengawasan BUMDes Tirta Mandiri Desa Ponggok Kecamatan
Polanharjo Kabupaten Klaten. Journal Politic and Government Studies, 6(No 2). Retrieved from
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/view/16127/15564
Bishop, R. C. (1973). “ Common Property ” As A Concept In Natural Resources Policy, 58(1972).
Bungin, B. (2006). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bogdan, R. dan Biklen, S. (1982). Qualitative Eesearch for Education: An Introduction to Theory and
Practice. New York: Alien and Bacon Inc.
Brohman, J. (1996). New Directions in Tourism for Third world Development. Annalysis of Tourism
Research, Yol. 23 No. 1, hal. 48-70 dalam Damanik, J (2005). Kebijakan dan Praksis Democratic
Governance di Sektor Pariwisata. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8 No.3, Fisipol UGM.
Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design. CA: Sage Publication
De Jong, J & Hartog, D D. 2003. Leadership as a determinant of innovative behaviour. A Conceptual
Framework. diakses dari http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. Pada3 Januari 2018, Pukul:
20:17
Dewi. (2016a). Desa Wisata Tak Lagi Jadi Fokus Kementerian Pariwisata. Retrieved February 26, 2017,
from http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/757120-desa-wisata-tak-lagi-jadi-fokus-
kementerian-pariwisata
Dewi, A. S. (2016b). Dampak Pengembangan Obyek Wisata Umbul Ponggok Terhadap Perekonomian
61
Masyarakat Desa Ponggok. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Retrieved from http://e-
journal.uajy.ac.id/9420/1/JURNALSOS04370.pdf
Eko, Sutoro Eko (2015). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: FPPD-ACCSES.
German, L., & Keeler, A. (2009). “Hybrid institutions”: Applications of common property theory beyond
discrete tenure regimes. International Journal of the Commons, 4(1), 571.
https://doi.org/10.18352/ijc.108
Hadi, U. (2017). Bleberan Gunungkidul Jadi Desa Wisata Terbaik Versi Kemendes. Retrieved July 19,
2017, from https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3501806/bleberan-gunungkidul-jadi-
desa-wisata-terbaik-versi-kemendes
Hardijono, Maryunani, Yustika, A. (2015). The Applicative Model Of The Village-Owned Enterprises (BUM
Desa) Development In North Sumatera. IOSR Journal of Economics and Finance (IOSR-JEF), 3(12),
48–62.
Hardijono, R., Maryunani, A., Yustika, E., & Ananda, C. F. (2014). Economic independence of the village
through institutional. IOSR Journal of Economics and Finance, 3(2), 21–30.
https://doi.org/http://www.iosrjournals.org/iosr-jef/papers/vol3-issue2/Version-3/D03232130.pdf
Hardin, G. (2010). The Tragedy of the Commons. American Association for the Advancement of Science
Stable, 162(3859), 1243–1248. Retrieved from
http://www.geo.mtu.edu/~asmayer/rural_sustain/governance/Hardin 1968.pdf
Haryati, S. G. (2015). strategi bauran komunikasi pemasaran pemerintah desa dalam menarik
wisatawan (Studi Kualitatif di Objek Wisata Umbul Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. UIN Sunan
Kalijaga. Retrieved from http://digilib.uin-suka.ac.id/19613/1/11730021_BAB-I_IV-atau-
V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf
Heru Ribawanto, S. C. B. R. (2013). Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebagai Penguatan
Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi
Publik (JAP), 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hidayati, U. M. I. (2015). Performance Analysis of Village-Owned Enterprise Managers as a Basic of
Designing Education and Training, 7(32), 143–147.
Jogjapos. (2015). Air Terjun Sri Gethuk Terpilih Sebagai Desa Wisata Terbaik Se-DIY. Retrieved from
http://jogjapos.com/air-terjun-sri-gethuk-desa-wisata-terbaik-se-diy/
Kemendes. (2016a). Dianggap Strategis, Menteri Desa Optimalkan Badan Usaha Milik Desa. Retrieved
January 1, 2017, from http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/161108/296-dianggap-
strategis--menteri-desa-optimalkan-badan-usaha-milik-desa
Kemendes. (2016b). Model Ekonomi dan Mandat UUD 45, (April). Retrieved from
http://desalestari.com/wp-content/uploads/2016/04/Mendorong-BUMdes-Menjadi-Kekuatan-
Baru-Ekonomi-Desa.pdf
Kementerian Pariwisata. (2014). PNPM Mandiri Pariwisata. Retrieved from
http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=21&id=2504
62
Kushartono, E. W. (2016). Pengembangan Desa Mandiri Melalui Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes). Jurnal Dinamika EKonomi Dan Bisnis, 13(No 1), 67–81.
Liauw, H. (2013) Mengintip Eksotisme Wisata di Desa Bleberan, Kompas. Available at:
http://travel.kompas.com/read/2013/12/14/2012548/Mengintip.Eksotisme.Wisata.di.Desa.Ble
beran (Accessed: 16 July 2017).
Lincoln, Yvone S. dan Guba, Egon G (2000). The Only Generalization Is: There is No Generalization dalam
Gomm, R etal (eds) (2000). Case Study Methode, Key Issues, Key Texts. Sage Publication.
Mampanini, Pudjiharjo, Susilo, Dwiarianto, and S. (2016). Role of Social in Economic Empowerment
Through Efforts BUMDes Indragiri Hilir in Riau. The Social Sciences, 11 (3), 291–296. Retrieved from
http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/sscience/2016/291-296.pdf
Manual, Oslo (2005).Guidelines for Collecting and InterpretingInnovation
Data:Proposed Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. OECD.
Nugroho, D. A. (2015). Evaluasi Penerapan dan Dampak Program Badan Usaha Milik Desa ( BUMDES )
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Rumah Tangga Miskin ( RTM ) di Desa Babadan Kecamatan
Karangrejo Kabupaten Tulungagung ( Periode Mei 2014 – April 2015 ), 7(2), 79–84.
Nugroho, J. (2013). Desa Wisata Makin Naik Daun -Jogjapolitan » Harian Jogja. Retrieved from
http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/25/desa-wisata-makin-naik-daun-468179
Ostrom, E. (2010). The Challenge of Common-Pool Resources. Environment: Science and Policy for
Sustainable Development, 50 Number(August 2013), 37–41. https://doi.org/10.3200/ENVT.50.4.8-
21
Pamungkas, A. S. (2016). Tingkat Kepuasan Pelanggan Kolam Renang Umbul Ponggok Kabupaten Klaten
Jawa Tengah. Universitas Negeri Yogyakarta. Retrieved from
http://eprints.uny.ac.id/30792/1/SKRIPSI.pdf
PATTIRO. (2010). Mempertangguh Badan Usaha Milik Desa untuk Menggerakkan Ekonomi Desa.
Jakarta.
Patton, M. Q. (1987). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methodes. Beverly Hills: Sage
Publications.
Permendesa No 1 Tahun 2015. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan
Lokal Berskala Desa (2015). Retrieved
fromhttp://peraturan.go.id/inc/view/11e57a024a32f4768094313034393535.html
Permendesa No 4 Tahun 2015 Tentang BUM Desa. (2015). Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia tentang Pendirian, Pengurusan dan
Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, 1–11.
Prabowo, H. E. (2014). Developing bumdes (village-owned enterprise) for sustainable poverty alleviation
model village community study in Bleberan-Gunung Kidul-Indonesia. World Applied Sciences
Journal, 30(30 A), 19–26. https://doi.org/10.5829/idosi.wasj.2014.30.icmrp.4
63
Punch, K. F. (2009). The Analysis of Qualitative Data. Introduction to Research Methods in Education.
Retrieved from http://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=lBvMqiaN5EgC&pgis=1
Purnamasari, Yuliana, R. (2016). Efektivitas Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Berbasis
Ekonomi Kerakyatan di Desa Warungbambu Kecamatan Karawang. Jurnal Politikom Indonesiana,
1(2), 31–42.
Purwadi, D. (2016). Kemendes Siap Dirikan Klinik Koordinasi BUMDes _ Republika Online. Retrieved from
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/07/29/ob1f90257-kemendes-siap-dirikan-
klinik-koordinasi-bumdes
Rachmawati, R. (2015). Peranan Modal Sosial Dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Studi di Desa
Karangrejek Kecamatan Wonosari dan Desa Bleberan Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul).
Universitas Gadjah Mada. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view
&typ=html&buku_id=77917
Rahmat, Ihsan(2017). Inovasi Desa Wisata: Studi Kasus Pada Inovasi Program Live-In Di Desa Wisata
Nglanggeran. Universitas Gadjah Mada. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view
&typ=html&buku_id=128863&obyek_id=4
Ratnawati, D. (2015). Analisis Dampak Wisata Alam Air Terjun Sri Gethuk Terhadap Pendapatan
Masyarakat Sekitar (Studi kasus di Desa Menggoran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul) -
Eprints UPN _Veter. PN “Veteran” Yogyakarta. Retrieved from
http://eprints.upnyk.ac.id/id/eprint/869
Rusiana, D. A. (2017). BUMDes, Motor Penggerak Ekonomi Desa. Retrieved from
https://ekbis.sindonews.com/read/1174581/34/bumdes-motor-penggerak-ekonomi-desa-
1485440604
Schumpeter, JA (1983).The Theory of EconomicDevelopment: An Inquiry intoProfits, Capital, Credit,
Interest,and the Business Cycle.London: Routledge
Sidik, F. (2015). Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa. Jurnal Kebijakan & Administrasi
Publik, 19(2), 115–131. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jkap.7962
Sidik, F., & Gama, A. (2015). Village Enterprises (BUM Desa) As Economic Driver In Villages (A Case Study
Of Bumdes Sejahtera In Bleberan Village , Playen District , Gunungkidul Regency). In L. H. Rita
Zulberti, Yudhi Yanuar, Mira Veranita, Angga Saeful Rahmat (Ed.), International Seminar, Scientific
Journal Workshop and Singning Memorandum of Understanding (MoU) (pp. 478–484). Jakarta:
SEAMOLEC-AIC INDONESIA. Retrieved from http://scientific-
journals.net/Journal/EKBIS/SEAMOLEC_AIC_1_79_BUSINESS_2016.pdf
Sidik, F. (2017). Ekonomi Politik Pengelolaan Potensi Desa Wisata Melalui BUM Desa Sejahtera di
Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Laporan Penelitian Hibah DIPA KOPERTIS V
Tahun 2017.
64
Stake, RE (2005). Qualitative Case Study dalam Denzin, Norman K. (Ed); Lincoln, Yvonna S. (Ed). (2005).
The Sage handbook of qualitative research, 3rd ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Sasaerila, HY dkk (2014). Inovasi 1-747: Program Inovasi Nasional Indonesia. Jakarta:Komite Inovasi
Nasional.
Sucipto, Adi (2017).Analisis Strategi Inovasi Kelembagaan Desa Wisata Pentingsari Dalam
Pusaran Masyarakat Ekonomi Asean. Universitas Gadjah Mada. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view
&typ=html&buku_id=109532&obyek_id=4
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Suprihadi dkk. (2014). Ipteks BagiMasyarakatDesaMlatiharjoDariPasarDesaMenujuPasarDigital.
Universitas Kristen Satya Wacana. Retrieved
fromHttp://Repository.Uksw.Edu/Bitstream/123456789/6145/2/ART_Suprihad\I%2c%20Adi%20
Suryana, I. M., Setiyono, T. J., & Murdoyuwono, C. S. (2015). Pemberdayaan Kelompok Tani Melalui
Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Jurnal Bakti Saraswati, 4(2), 138–144.
Sutarmi (2014) „Gunung Kidul gandeng BNI kembangkan Sri Gethuk‟.
Triambodo, Sigit (2015). Analisis Strategi Penguatan Kelembagaan Desa Wisata Berbasis Ekonomi
Kreatif (Studi Di Desa Wisata Kerajinan Tenun Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan
Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY). Universitas Gadjah Mada. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view
&typ=html&buku_id=79364&obyek_id=4
Tsani, Faishol Adib (2016). Inovasi Pemerintah Desa Karangrejek Dalam Memenuhi Kebutuhan Air Bersih
Untuk Masyarakat. Universitas Gadjah Mada. Retrieved
fromhttp://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=
view&typ=html&buku_id=96915&obyek_id=4
Wade, R. (1987). The management of common property resources : collective action as an alternative to
privatisation or state regulation. Cambridge Journal of Economic, 95–106. Retrieved from
http://www2.econ.iastate.edu/classes/tsc220/hallam/CommonPropertyResourcesWade.pdf
Wibawati, Y. T. (2015). Kapasitas Badan Usaha Milik Desa Dalam Pengelolaan Potensi Desa (Studi Pada
BUM Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten, Gunungkidul dalam Pengelolaan Potensi
Wisata Desa). Universitas Gadjah Mada. Retrieved from
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htm
lext&buku_id=83649&obyek_id=4&unitid=&jenis_id=
Wibawati, Y.T. (2017).Inovasi Organisasi Badan Usaha Milik Desa Studi di Desa Panggungharjo,
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Universitas Gadjah Mada. Retrieved
fromhttp://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=v
iew&typ=html&buku_id=117066&obyek_id=4
Yazid, M. (2016). 2019, pemerintah targetkan miliki 20. Retrieved February 14, 2017, from
65
http://nasional.kontan.co.id/news/2019-pemerintah-targetkan-miliki-20000-bum-desa
Yin, R. K. (2012). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yulianto. (2016). Pengaruh Fasilitas, Iklan dan Kepuasan Pengunjung Terhadap Loyalitas Pengunjung di
Objek Wisata Umbul Ponggok Klaten. UPN VETERAN’’ YOGYAKARTA. Retrieved from
http://eprints.upnyk.ac.id/3928/
Yulianto, T. (2017). BUM Desa dan Ekonomi Kreatif. Retrieved January 1, 2017, from
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170429/281603830361628
Zamroni, Anwar, Yulianto, Rozaki, E. (2015). Desa Mengembangkan Penghidupan Berkelanjutan. (D. A.
U. Fauzan, Ed.) (Cetakan Pe). Yogyakarta: IRE Yogyakarta.
Zuhal (2013). Gelombang Ekonomi Inovasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dokumen:
Pemerintah Desa Bleberan (2016). RPJM Desa Bleberan 2016-2021, Gunungkidul: Pemerintah Desa
Bleberan
BPS (2007). Kecamatan Playen dalam Angka, Gunungkidul: Biro Pusat Statististik
Laporan Pertanggungjawaban BUM Desa “Sejahtera” Tahun 2013
Laporan Pertanggungjawaban BUM Desa “Sejahtera” Tahun 2014
Laporan Pertanggungjawaban BUM Desa “Sejahtera” Tahun 2015
Laporan Pertanggungjawaban BUM Desa “Sejahtera” Tahun 2016
Laporan Pertanggungjawaban BUM Desa “Sejahtera” Tahun 2017
Wawancara:
Kepala Desa Bleberan, Supratono, tanggal 23/2/2018
Pengawas BUM Desa “Sejahtera”, Agus Jurianto, tanggal 15/2/2018
Sekretaris BUM Desa “Sejahtera”, Husni Nur A Sirri, tanggal 15/2/2018
Bendahara BUM Desa “Sejahtera” Sardjana, tanggal 15/3/2018
Kepala Unit Desa Wisata BUM Desa “Sejahtera”, Purwanto, tanggal 17/2/2018
Kepala Unit PAB BUM Desa “Sejahtera”, Udi Waluyo, tanggal 17/2/2018
Pengelola Unit Desa Wisata, BUM Desa “Sejahtera”, Tri Harjono, tanggal 16/2/2018
Pelaku usaha di lokasi wisata, Sri Kustini, tanggal 23/2/2018
66
Kepala Seksi Kelembagaan dan Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat, DinasPerlindungan Anak, KB,
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Suharto, tanggal 1/3/2018
Sekretaris Dinas Pariwisata Gunung Kidul, A. Hari Sukmono, tanggal 1/3/2018
67
PANDUAN DAN INSTRUMEN KAJIAN
Hybrid Institution Sebagai Enabling Factor Ekosistem Inovasi
(Studi Kasus BUM Desa “Sejahtera” Desa Bleberan, Kecamatan
Playen, Gunung Kidul Sebagai BUM Desa berbasis IPTEK)
PENGANTAR
68
Kajian ini akan menguji pengaruh kelembagaan ekonomi desa terhadap tumbuhnya
inovasi bagi penguatan ekonomi desa. Secara spesifik, kajian ini fokus pada upaya menguji
daya kelembagaan BUM Desa sebagai hibryd institution bagi tumbuhnya inovasi sosial
ekonomi dalam pengembangan desa wisata di Desa Bleberan, Kecamatan Playen,
Kabupaten Gunung Kidul. Studi-studi terdahulu tentang pertautan kelembagaan ekonomi
dan inovasi justru menunjukkan bahwa faktor inovasi menjadi kunci bagi penguatan
kelembagaan ekonomi. Studi ini justru berangkat dari standing point berpunggungan
dengan sejumlah studi terdahulu. Kajian ini hendak menempatkan kelembagaan ekonomi
justru menjadi faktor yang menentukan keberhasilan (atau kegagalan ) bertumbuhnya
ekosistem inovasi yang kondusif. Ringkasnya, kajian ini akan menguji kelembagaan BUM
Desa sebagai enabling factor bagi ekosistem inovasi-inovasi desa.
Mandat sebagai wadah kelembagaan ekonomi desa telah menempatkan BUM Desa
sebagai pelaku sentral dan strategis bagi pencapaian upaya kemandirian Desa. Sebagai pilar
utama penggerak ekonomi Desa, BUM Desa yang secara kelembagaan merupakan hybrid
institution memiliki sejumlah keunggulan dalam mencapai misi tersebut. Desain
sebagai hybrid institution yang melekat pada BUM Desa meyajikan sejumlah peluang
berupa keunggulan kelembagaan yang dapat didayagunakan untuk mengatasi limitasi
pengembangan creative capital dan creative space yang berkontribusi bagi penguatan
ekonomi desa. Secara teoritis-normatif, argumen ini menantang sejumlah pendekatan
ekonomi kelembagaan mainstream yang selama ini menatap pesimistik terhadap usaha
pemberdayaan ekonomi desa.
Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus
berjenis studi kasus instrumental yang diorientasikan untuk memperkaya khazanah teoritik
tentang kelembagaan ekonomi dengan menguji pengaruh BUM Desa sebagai hybrid
institution sebagai ekosistem inovasi Desa. Dengan metode pendekatan studi kasus,
penelitian yang dilakukan dapat lebih mendalam mengeksplorasi secara lebih terperinci,
mendalam, dan jelas sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan.
A. PENGORGANISASIAN PENELITIAN
1. Prinsip Penelitian
Penelitian ini adalah upaya ilmiah sehingga perlu menunjukkan nilai-nilai obyektivitas yang tinggi. Oleh karena itu, dalam riset ini, peneliti perlu bersikap non-partisan. Artinya, peneliti tidak boleh memihak atau menyudutkan narasumber tertentu. Jika selama penelitian ini ada yang menanyakan latar belakang penelitian ini, silahkan menunjukkan surat tugas yang disertakan.
69
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Secara rinci, penelitian akan menyasar pada BUM Desa “Sejahtera” sebagai lembaga ekonomi desa di Desa Bleberan.
3. Tim Peneliti
Tim peneliti terdiri dari koordinator peneliti sebanyak 1 (satu) orang dan 2 (dua) peneliti, dan 1 (satu) asisten peneliti. Pada fase pengumpulan data, organisasi tim peneliti dikelompokkan ke dalam peneliti lapangan dan koordinator lapangan.
Peneliti
Tim peneliti lapangan bertugas untuk memastikan target data dan informasi dapat dipenuhi dengan baik. Untuk keperluan tersebut maka setiap peneliti lapangan akan terlibat dalam aktivitas persiapan, turun lapangan serta setelah turun lapangan. Secara rinci tugas peneliti dapat dipaparkan sebagai berikut:
Persiapan Penelitian Lapangan: - Melakukan observasi awal tentang lokasi riset, latar belakang sosial, ekonomi,
kondisi demografi, Pelajari juga peta/geografi dari desa tersebut tersebut, dsb). - Berlatih menggunakan interview dan FGD protocol (terlampir). - Membangun kontak awal dengan nara sumber (melakukan pendekatan dan
negosiasi, membuat jadwal wawancara, dan lain sebagainya). - Melakukan persiapan teknis (perencanaan untuk jadwal wawancara dengan
sejumlah narasumber, memastikan perangkat kerja, transportasi, dll).
Selama Penelitian Lapangan: - Melakukan penggalian data selama6 hari (1 hari obeservasi awal+ 5 hari
pendalaman) - Melakukan putaran diskusi untuk menggali data dengan wawancara - Mewawancara mendalam terhadap informankunci yang ditargetkan - Mengumpulkan data-data sekunder yang relevan - Membuat summary dari setiap wawancara. - Melakukan koordinasi terus-menerus dengan koordinator lapangan maupun
anggota tim lainnya.
Setelah Penelitian Lapangan: - Mengolah data FGD, wawancara mendalam, dan data sekunder sehingga siap
disajikan sebagai bahan penulisan final report.
- Menuliskan final report. Final report berupa laporan deskriptif yang memuat temuan umum di lokasi yang bersangkutan dan mengandung analisa akademis terkait temuan di daerah yang bersangkutan.
70
Koordinator Kajian
Secara umum koordinator lapangan bertugas
- Melakukan koordinasi rutin dengan anggota tim baik pada tahap persiapan, penggalian data lapangan, serta proses penyusunan laporan.
- Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait demi kelancaran penelitian. - Memastikan anggota tim memenuhi kewajiban dan target yang telah ditentukan, - Mengurus kebutuhan lapangan ( transportasi, akomodasi, dan fasilitas penunjang lain
yang diperlukan). - Mengurus perijinan di kantor desa (jika dibutuhkan). - Membuat dan melaporkan catatan rekam proses terhadap dinamika (tantangan,
kendala, respon) di lapangan.
B. TEKNIK PENELITIAN
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data pokok berbentuk wawancara selama proses penellitian yang dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (indepht interview)terhadap sejumlah informan kunci. Sementara data sekunder dalam penelitian ini digunakan untuk mendukung dan memperkuat pencatatan selama berlangsungnya penelitian. Data ini berupa dokumen tertulis baik resmi atau pun milik pribadi yang dikumpulkan melalui teknik documenter.
1. Wawancara Mendalam
Wawancara akan dilakukan dengan sejumlah narasumber yang telah ditargetkan di lokasi penelitian yang dapat dikembangkan pada narasumber lainnya.
a. Teknik Wawancara
Anda diminta untuk mencakup semua materi wawancara dalam daftar pertanyaan (lihat interview guide). Namun demikian, Anda tidak perlu mengikuti daftar pertanyaan secara persis. Biarkan pembicaraan Anda dengan informan mengalir alamiah. Gunakanlah prompt (misalnya., “tolong jelaskan lebih lanjut soal….”, “lantas…”) jika perlu. Ingat bahwa melakukan wawancara (kualitatif) tidak sama dengan melakukan survei (kuantitatif): sangat tergantung pada Andalah sebagai pewawancara untuk mendengarkan jawaban dari narasumber dan menentukan sendiri apa yang perlu digali lebih lanjut, berdasarkan pengetahuan Anda tentang tujuan penelitian ini, topik yang sedang dibicarakan, orang yang diwawancarai, dan sebagainya.
b. Prosedur Wawancara
Dalam penelitian ini terdapat sejumlah prosedur yang wajib diperhatikan:
Memilih tempat yang sunyi untuk lokasi wawancara untuk meminimalkan gangguan Sejauh mungkin hindari tempat keramaian di tempat umum seperti warung atau kafe karena wawancara berpotensi terganggu (narasumber terkadang enggan untuk membicarakan hal yang sensitive di tempat umum). Selain itu, hal ini dilakukan untuk
71
memberikan kenyamanan bagi nara sumber dalam menyampaikan informasi dan data yang diharapkan. Rumah atau kantor dari narasumbrer menjadi tempat yang ideal, antara lain karena dokumen yang penting juga sering disimpan di sana.
Mewawancarai narasumber satu per satu (bukan berkelompok). Sedapat mungkin wawancara dilakukan hanya dengan narasumber. Kehadiran orang lain dalam pembicaraan dapat berpotensi mengganggu jalannya wawancara (ada kecenderungan orang tersebut akan nimbrung dalam perbincangan). Apabila hal tersebut tidak dimungkinan, peneliti wajib menyaring informasi dan data benar-benar dari narasumber yang bersangkutan.
Sangat diharapkan peneliti berlatih melakukan wawancara dengan meggunakan protokol ini sebelum turun ke lapangan, supaya bisa lebih santai dan tidak perlu membacakan pertanyaan dari interview guide.
Peneliti wajib menyampaikan inform cosent sebelum dimulainya wawancara dengan narasumber. Hal ini wajib dilakukan untuk memperoleh persetujuan narasumber sekaligus membangun kepercayaan narasumber pada peneliti.
Setiap wawancara harap direkam (kalau tidak mengganggu kelancaran pembicaraan topik yang sensitif) dengan menggunakan alat perekem digital (misalnya handphone). Namun demikian, perlu diingat bahwa peneliti bisa menghentikan perekaman kalau responden menjadi tidak nyaman atau akan menyentuh masalah yang sensitif.
Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah membuat catatan dengan tulisan tangan yang mendetail selama wawancara berlanjut. Catatan tersebut untuk memudahkan peneliti manakala menyusun transkrip maupun laporan dari wawancara tersebut. Selain itu juga sebagai antisipasi apabila terjadi gangguan teknis (semisal alat perekam tidak bekerja dengan baik).
Dilarang memberikan interview guide maupun protokol ini kepada narasumber. Namun peneliti boleh menjelaskan topik wawancara sebelum dimulai. Jika narasumber memaksa meminta interview guide, pada saat menjadwalkan wawancara dapat memberikan daftar pertanyaan secara umum.
Usai melakukan wawancara, pastikan peneliti mendapatkan data dan informasi yang diharapkan. Jika ada poin informasi dan data yang terlewat, peneliti segera menanyakan point tersebut. Setelah semua poin informasi terpenuhi, sampaikan ucapan trima kasih kepada narasumber dan harapan kerjasama dengan narasumber pada masa yang akan datang.
Perkirakan setiap wawancara akan berlanjut sekitar 1,5 jam. Ingat,peneliti selalu membuka kemungkinan untuk mengadakan wawancara dengan narasumber lagi untuk melanjutkan wawancara jika tidak cukup.
Setelah melakukan wawancara, peneliti wajib mengamankan file rekaman wawancara dengan cara mengcopy dan meyimpannya dalam hardisk serta menyimpan dokumen sekunder lainnya.
Jangan lupa memminta narasumber untuk menulis di daftar narasumer beserta tandatangan sebagai bukti bahwa peneliti telah melakukan tugasnya dengan baik (Format terlampir).
72
Untuk setiap wawancara peneliti juga wajib membuat 'interview summary' (kurang-lebih dua halaman) dengan menggunakan template yang disediakan (lihat contoh di buku panduan ini). Selain meringkaskan wawancara dalam interview summary, mohon juga ditulis kutipan dari narasumber yang menarik dan relevan.
c. Daftar Informan Berikut ini daftar informan yang harus didapatkan:
Nama Posisi Alamat
1 Kepala Desa
Perangkat Desa
Ketua BPD
Anggota BPD
Pengurus BUM Desa
Pengelola Unit Usaha Wisata BUM Desa
Pengawas BUM Desa
Pelaku Usaha lokal (UMKM) pendukung wisata
Pokdarwis
Ketua Pemuda
Ketua PKK
Dinas Pariwisata Gunung Kidul
Pelaku Bisnis Wisata Gunung Kidul
Pelaku CSR
Perguruan Tinggi di Yogyakarta
2. Dokumentasi Data Sekunder
Teknik dokumenter dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder baik data tertulis maupun data bahan visual. Proses pencarian data dokumenter, akan dilakukan peneliti dengan mengakses sumber-sumber data dokumenter bergantung pada jenis data dokumenter yakni dokumen pribadi maupun dokumen resmi. Data pribadi akan diakses melalui informan, sementara data resmi karena bersifat publik, seperti data demografi dan data terkait kebencanaan secara langsung oleh peneliti pada otoritas yang berwenang.Data sekunder baik berupa dokumen tertulis maupun bahan visual yang dicari adalah sebagai berikut:
Jenis Data Rincian
Dokumen
Tertulis
Data profil dan demografi desa
Data profil dan kinerja organisasi dan keuangan BUM Desa
Data regulasi desa dan kabupaten
Laporan penelitian pada tema dan lokasi sejenis
73
Jenis Data Rincian
Berita media
Dokumen Visual Foto dan/atau video aktivitas penelitian lapangan
Foto dan/atau video lokasi wisata
Foto dan/ atau video hasil-hasil inovasi BUM Desa
Foto dan atau video kegiatan BUM Desa
Foto dan/atau video lain yang relevan
74
d.
LAM
PIR
AN
Lamp
iran 1
: Pan
du
an P
ertanyaan
No.
Tema
A
spek
Pertan
yaan
1.
BU
M
Desa
(Hyb
rid
Institu
tion
)
Prakarsa Lo
kal Pen
dirian
BU
M
Desa
1.
Ap
akah B
UM
Desa lah
ir dari p
rakarsa lokal (w
arga dan
pem
erintah
d
esa) atau karen
a stimu
lan keb
ijakan p
emerin
tah?
2.
Ko
nd
isi Ap
a yang m
end
asari mu
ncu
lnya gagasan
tentan
g pen
dirian
B
UM
Desa?
3.
Men
gapa P
end
irian B
UM
Desa d
inilai p
entin
g? 4
. B
agaiman
a gagasan ten
tang p
end
irian B
UM
Desa d
irealisasikan?
5.
Ap
a h
amb
atan
dan
tan
tangan
yan
g d
ihad
api
dalam
m
ewu
jud
kan
prakarsa p
end
irian B
UM
Desa?
6.
Ap
a pelu
ang d
an keku
atan yan
g dim
iliki dalam
mew
uju
dkan
prakarsa
pen
dirian
BU
M D
esa? 7
. A
pa p
ertimb
angan
mem
ilih b
idan
g usah
a yang d
igeluti B
UM
Desa
khu
susn
ya sektor p
ariwisata?
Du
kun
gan
Regu
lasi N
egara ten
tang B
UM
Desa
1.
Sejauh
m
ana
peratu
ran
pem
erintah
tu
rut
mem
berikan
ruan
g b
agi p
end
irian B
UM
Desa?
2.
Sejauh
m
ana
peratu
ran/
kebijakan
p
emerin
tah
turu
t m
emb
entu
k p
erkemb
angan
BU
M D
esa? 3
. A
pakah
terdap
at pro
gram d
ari pem
erintah
un
tuk m
engem
ban
gkan
BU
M
Desa?
(misaln
ya d
alam
ben
tuk
pen
dam
pin
gan,
pelatih
an,
pem
ben
tukan
foru
m, d
ll)
2
Kap
asitas B
UM
D
esa m
engko
nso
lid
asikan
resou
rce u
ntu
k M
enu
mb
uh
kan
ekosistem
1.
Kep
emim
pin
an
dalam
m
elahirkan
in
ovasi
(Tipe
kepem
inp
inan
in
ovatif:
terbu
ka-tertu
tup
, setter-
follo
wer,
risk taker-
bu
kan)
1.
Bagaim
ana kep
emim
pin
an B
UM
Desa m
emb
eri ruan
g bagi p
rakarsa p
elakun
ya? Ap
a ben
tukn
ya? 2
. B
agaiman
a resp
on
kep
emim
pin
an
BU
M
Desa
terhad
ap
hal
atau
perkem
ban
gan b
aru?
3.
Ap
akah kep
emim
pin
an d
i BU
M D
esa men
do
ron
g pen
ciptaan
/ino
vasi h
al yang sam
a sekali atau b
enar-b
enar b
aru?
4.
Bagaim
ana kem
epim
pin
an d
i BU
M D
esa men
gelola resiko
terhad
ap
hal-h
al baru
?
75
ino
vasi (p
engh
amb
at, p
engh
amb
at, d
an
mo
dalitas
yang d
imiliki)
2.
Du
kun
gan Sistem
sosial
bu
daya
dalam
m
emp
ercepat
lahirn
ya in
ovasi
(terbu
ka-tertu
tup
, cep
at-lam
bat).
1.
Bagaim
ana
masyarakat
meresp
on
p
eru
bah
an
atau
perkem
ban
gan
terhad
ap h
al-hal b
aru?
2.
Seberap
a adap
tif terhad
ap h
al-hal b
aru?
3.
Nilai-n
ilai ap
a yan
g m
emb
uat
masyarakat
cepat/lam
bat
men
erima
hal-h
al baru
? 4
. A
dakah
bu
daya ap
resiasi terhad
ap h
al-hal b
aru?
3.
Ad
aptasi
sistem
etika d
an
etos
kerja u
ntu
k m
end
oro
ng
ino
vasi (lam
bat-cep
at, terbu
ka-tertu
tup
)
1.
Ap
akah B
UM
Desa m
emiliki co
de o
f con
du
ct dan
cod
e of eth
ic dalam
p
engelo
laan u
saha?
2.
Ap
akah B
UM
Desa m
enerap
kan sistem
integritas tertetn
tu?
3.
Bagaim
ana h
al-hal itu
dap
at bekerja?
4.
Ad
akah resisten
si dalam
imp
lemen
tasi hal-h
al tersebu
t? Jika ada,
dalam
ben
tuk ap
a dan
bagaim
ana p
engelo
la BU
M D
esa m
erespo
nn
ya? 5
. B
agaiman
a peran
dan
kon
tribu
si pelaku
/kelom
po
k bisn
is dalam
m
end
oro
ng ad
apatasi sistem
etika?
4.K
ualitas
pen
did
ikan
men
do
ron
g p
end
ayagun
aan
mo
dal kreatif
1.
Berap
a besar ko
mitm
en B
UM
Des d
alam m
engem
ban
gkan H
um
an
Cap
ital/SDM
? Dalam
ben
tuk ap
a dan
bagaim
ana?
2.
Ap
akah
pen
guatan
SD
M
berd
amp
ak p
ada
pen
gemb
angan
m
od
al kreatif? D
alam b
entu
k apa d
an b
agaiman
a? 3
. B
agaiman
a cara BU
M D
esa mem
ban
gun
jejaring p
engetah
uan
dan
keah
lian ko
labo
ratif den
gan ko
mu
nitas akad
emik?
4.
Jika ada, A
pa saja in
ovasi yan
g dih
asilkan d
ari kolab
orasi terse
bu
t? Sen
tuh
an ap
a yang d
iberikan
oleh
kom
un
itas akadem
ik (man
ajem
en,
pro
du
k, meto
de, d
ll?)
5.K
emam
pu
an
pen
gggalian
pen
dan
aan
dalam
m
encip
takan,
men
gemb
angkan
, d
an
mem
anfaatkan
h
asil-hasil
ino
vasi)
1.
Berap
a besar ko
mitm
en B
UM
Desa d
alam m
end
anai p
royek-p
royek
ino
vatif?dalam
ben
tuk ap
a dan
bagaim
ana?
2.
Ap
akah
pen
guatan
p
end
anaan
b
erdam
pak
pad
a p
encip
taan,
pen
gemb
angan
dan
pem
anfaatan
no
vasi yang d
ihasilkan
? 3
. B
agaiman
a cara B
UM
Desa
men
ggali pen
dan
aan d
i luar an
ggaran
BU
M D
esa dalam
men
gemb
angkan
ino
vasi?
76
4.
Jika ada, ap
a saja pro
yek-pro
yek ino
vatif BU
M D
esa yang d
idan
ai oleh
kelo
mp
ok b
isnis? B
agaiman
a keberlan
jutan
nn
ya dan
apa d
amp
aknya?
6.D
uku
ngan
Keb
ijakan d
alam
men
do
ron
g ino
vasi 1
. A
pakah
terd
apat
kebijakan
d
i level
BU
M
desa
yang
men
do
ron
g lah
irnya in
ovasi?
2.
Dalam
ben
tuk ap
a dan
bagim
ana keb
ijakan terseb
ut b
ekerja? 3
. Seb
erapa jau
h m
emb
erikan ru
ang d
an d
amp
ak bagi lah
irnya in
ovasi?
3
Ko
ntrib
usi
stakeho
ler d
alam
men
um
bu
hk
an
ino
vasi (
pem
erintah
, b
isnis,
kom
un
itas akad
emik)
melalu
i B
UM
D
esa
Pe
ran
Pe
merin
tah
dalam
m
emp
erkuat eko
sistem in
ovasi
(regu
lasi, p
rogram
, p
end
anaan
)
1.
Seberap
a b
esar ko
mitm
en
pem
erintah
d
aerah
dalam
m
engem
ban
gkan in
ovasi?
2.
Dalam
ben
tuk ap
a (regulasi, p
rogram
, pen
dan
aan)?
3.
Ap
a dam
pak yan
g dih
asilkan?
Pe
ran
Bisn
is d
alam
mem
perku
at ekosistem
ino
vasi (p
end
anaan
d
alam
men
ghasikan
, m
engem
ban
gkan
dan
m
eman
faatkan
hasil-h
asil in
ovasi; m
emp
erkuat etika d
an
etos kerja)
1.
Seberap
a besar ko
mitm
en kelo
mp
ok b
isnis d
alam m
engem
ban
gkan
ino
vasi? 2
. D
alam b
entu
k apa (p
end
anaan
, men
do
ron
g etika dan
etos kerja)?
3.
Ap
a dam
pak yan
g dih
asilkan?
Pe
ran
Ko
mu
nitas
akadem
ik d
alam
mem
perku
at sistem
in
ovasi
(sentu
han
d
alam
mem
perku
at m
od
al kreatif
den
gan
pem
anfaatan
h
asil-h
asil p
enelitian
d
an
pen
gabd
ian).
1.
Seberap
a b
esar ko
mitm
en
kom
un
itas akad
emik
dalam
m
engem
ban
gkan in
ovasi?
2.
Dalam
b
entu
k ap
a (sen
tuh
an
dalam
m
emp
erkuat
mo
dal
kreatif
den
gan p
eman
faatan h
asil-hasil p
enelitian
dan
pen
gabd
ian)?
3.
Ap
a dam
pak yan
g dih
asilkan?
77
78
FORMAT LAPORAN
FORM RINGKASAN WAWANCARA
IDENTITAS PENELITI
Nama peneliti :
Tanggal & waktu :
Tempat wawancara :
Daerah Penelitian :
IDENTITAS & LATAR BELAKANG NARASUMBER
Nama narasumber :
Jenis narasumber
(tandai yang relevan)
: Perangkat
desa
Pengelola
BUM Desa
Pelaku
usaha lokal
dan
Pokdarwis
Tokoh
Masyarakat
Lainya
(sebutkan)
Umur :
Jenis kelamin
(tandai yang relevan)
: Laki-laki Perempuan
Umur :
Tempat tinggal,
tempat asal.
:
Pekerjaan/ profesi :
Tuliskan secara DESKRIPTIF temuan di lapangan. Penggalian data dan informasi difokuskan pada upaya PENEMUAN FAKTA (FACT FINDING).
Prakarsa Lokal Pendirian BUM Desa (Sejarah, Masalah, Tantangan, serta Modal/Potensi yang
dimiliki)
Dukungan Regulasi/Kebijakan Negara( Pemerintah Nasional/Daerah) tentang BUM Desa
Kapasitas BUM Desa mengkonsolidasikan resource untuk Menumbuhkan inovasi
(penghambat, penghambat, dan modalitas yang dimiliki)
1.Kepemimpinan dalam melahirkan inovasi (Tipe kepeminpinan inovatif: terbuka-tertutup,
setter-follower, risk taker-bukan)
79
2.Adaptasi sistem etika dan etos kerja untuk mendorong inovasi (lambat-cepat, terbuka-
tertutup)
3.Dukungan Sistem sosial dalam mempercepat lahirnya inovasi (terbuka-tertutup,
4.Kualitas pendidikan mendorong pemanfaatan modal kreatif
5.Kemampuan pengggalian pendanaan dalam menciptakan, mengembangkan, dan
memanfaatkan hasil-hasil inovasi)
6.Dukungan Kebijakan dalam mendorong inovasi
Peran stakeholer dalam menumbuhkan inovasi ( pemerintah, bisnis, komunitas akademik)
melalui BUM Desa
1. Peran Pemerintah dalam memperkuat ekosistem inovasi (regulasi, program,
pendanaan)
2. Peran Bisnis dalam memperkuat ekosistem inovasi (pendanaan dalam menghasikan,
mengembangkan dan memanfaatkan hasil-hasil inovasi; memperkuat etika dan etos
kerja)
3. Peran Komunitas akademik dalam memperkuat sistem inovasi (sentuhan dalam
memperkuat modal kreatif dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan
pengabdian).
80
81
82
83
84
RINGKASAN WAWANCARA
IDENTITAS PENELITI
Nama assisten peneliti : Lintang Noor
Tanggal & waktu : Jum’at, 23 Februari 2018, 11:00 WIB
Tempat wawancara : Kantor Desa Bleberan
Daerah Penelitian : Kabupaten Gunungkidul
IDENTITAS & LATAR BELAKANG NARASUMBER
Nama narasumber : Praptono
Jenis narasumber
(tandai yang relevan)
: Perangkat
desa
Pengelola
BUM Desa
Pelaku
usaha lokal
dan
Pokdarwis
Tokoh
Masyarakat
Lainya
Umur :
Jenis kelamin
(tandai yang relevan)
: Laki-laki Perempuan
Umur :
Tempat tinggal,
tempat asal.
: Desa Bleberan
Pekerjaan/ profesi :
Tuliskan secara DESKRIPTIF temuan di lapangan. Penggalian data dan informasi difokuskan
pada upaya PENEMUAN FAKTA (FACT FINDING).
Prakarsa Lokal Pendirian BUM Desa (Sejarah, Masalah, Tantangan, serta Modal/Potensi yang
dimiliki)
Dalam pendirian BUM Desa narasumber mendapatkan ide dari PP 72 tahun 2005 bahwa setiap desa bisa mendirikan BUM Desa. Berawal dari inilah pemerintah desa melihat peluang bahwa BUM Desa merupakan kesempatan desa untuk berbisnis. Serta dapat mengelola aset-aset desa yang ada di desa Bleberan. Dalam pendirian BUM desa narasumber menceritakan juga mendapatkan tantangan berupa pemahaman masyarakat masih awam dengan danya BUM desa ini. Masyarakat belum terbiasa dengan adanya BUM desa namun ini bukan membuat surut semangat narasumber untuk membentuk BUM Desa. Berjalannya waktu dengan adanya unit-unit usaha seperti PAB, UED SP, dan Wisata Alam Sri Gethuk masyarakat mulai antusias apalagi di tiap-tiap dusun diberikan dana pengembangan potensi di 11 pedukuhan yang ada di Desa Bleberan. Selanjutnya narasumber juga mengakatan desa ini memiliki banyak potensi namun belum semua di kembangkan.
Dukungan Regulasi/Kebijakan Negara( Pemerintah Nasional/Daerah) tentang BUM Desa
Untuk dukungan regulasi narasumber mengatakan memang sudah ada, dan BUM
85
Desa merasa terbantu, walaupun tidak semua regulasi diterapkan oleh BUM Desa.
Kapasitas BUM Desa mengkonsolidasikan resource untuk Menumbuhkan inovasi
(penghambat, penghambat, dan modalitas yang dimiliki)
Narasumber menjelaskan selama ini BUM desa belum mampu untuk mengkonsolidasi sumber daya yang ada sehingga belum adanya inovasi. Namun BUMdesa tidak menutup ruang bagi unit usaha untuk mengembangkan Inovasi.
1.Kepemimpinan dalam melahirkan inovasi (Tipe kepeminpinan inovatif: terbuka-tertutup,
setter-follower, risk taker-bukan)
Narasumber menjelaskan bahwa adanya ketidak sinambungan antara pengurus BUM desa dengan Kepala desa Bleberan. Selain itu Kepala desa juga kurang berani untuk mengambil risiko untuk pengembangan potensi yang ada. Walaupun dari masing-masing unit usaha ada inisiatif untuk pengembangan namun tidak di tindak lanjuti oleh BUM DEsa sehingga hanya jalan sendiri-sendiri.
2.Adaptasi sistem etika dan etos kerja untuk mendorong inovasi (lambat-cepat, terbuka-
tertutup)
Dulu memang belum ada aturan tentang etika dalam mengelola kawasan wisata, namun sekarang sudah di buatkan AD/ART dan juga mengatur tentang jadwal keluar masuk kawasan, namun untuk kios-kios yang ada hanya sekedar konsensus antar pedagang yang ada. Dari CSR sendiri belum ada upaya edukasi untuk mengelola kawasan, hanya sekedar membuatakan fasilitas umum penunjang kawasan wisata.
3.Dukungan Sistem sosial dalam mempercepat lahirnya inovasi (terbuka-tertutup,
Adaptasi sosial dari masyarakat disampaikan narasumber bahwa semua itu tergantung dari pribadi masing-masing ada yang cepat adapula yang lambat. Namun pada awalnya masyarakat sempat pesimis namun setelah kawasan wisata ini booming maka mereka antusias dan sempat terjadi perebutan dan akhirnya memunculkan kesepakatan untuk tiap tiap pedukuhan mendapatkan satu kios, tapi sekarang sudah tidak lagi.
4.Kualitas pendidikan mendorong pemanfaatan modal kreatif
Untuk usaha mengedukasi para pelaku unit usaha di BUM desa Bleberan semua di lakukan oleh masing-masing unit. Hal ini pernah dilakukan oleh unit wisata dengan beberapa kampus di jogja dan mengajak pengelola kawasan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mengamati pengelolaan foodcourt, sedangkan dari pihak BUM desa belum pernah untuk melakukan kegiatan seperti itu, jadi pengambilan keputusan dalam mendorong pemanfaatan modal kreatif langsung dari unit usaha itu sendiri.
5.Kemampuan pengggalian pendanaan dalam menciptakan, mengembangkan, dan
memanfaatkan hasil-hasil inovasi)
Dari unit wisata sendiri sudah mengajukan ke pemerintah desa namun memang respon dari pemerintah kurang sesuai dengan yang diharapkan, narasumber pun mengatakan untuk mendorong pengembangan unit mereka mengandalkan hutang dari bank dan hibah dari dana pemerintah daerah maupun pusat seperti Dana Keistimewaan. Untuk BUM desa sendiri SHU yang ada masih belum mampu digunakann untuk pengembangan karena habis untuk biaya operasional dan lainnya.
6.Dukungan Kebijakan dalam mendorong inovasi
Untuk kebijakan yang mendorong inovasi memang belum ada, Namun tidak menutup
86
kemungkinan kebijakan akan di buat oleh BUMDesa. Untuk sementara pengembangan potensi di lakukan oleh masing – masing unit usaha.
Peran stakeholer dalam menumbuhkan inovasi ( pemerintah, bisnis, komunitas akademik)
melalui BUM Desa
4. Peran Pemerintah dalam memperkuat ekosistem inovasi (regulasi, program,
pendanaan)
Dari pihak pemerintah memang sudah mengeluarkan regulasi tentang BUM Desa,
namun untuk pengembangan semuanya bergantung dari masing-masing BUM Desa,
begitu juga unit Usaha itu sendiri,
5. Peran Bisnis dalam memperkuat ekosistem inovasi (pendanaan dalam menghasikan,
mengembangkan dan memanfaatkan hasil-hasil inovasi; memperkuat etika dan etos
kerja)
Peran dari pelaku usaha sampai saat ini belum ada, mungkin dari CSR yang kami
dapat memang hanya untuk membangun fasilitas yang belum tersedia.
6. Peran Komunitas akademik dalam memperkuat sistem inovasi (sentuhan dalam
memperkuat modal kreatif dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan
pengabdian).
Narasumber mengataka bahwa peran dari kelompok akademik sudah ada namun memang belum maksimal di terima oleh BUM desa secara maksimal.
87
RINGKASAN WAWANCARA
IDENTITAS PENELITI
Nama peneliti : Fatih Gama Abisono & Lintang Noor
Tanggal & waktu : Sabtu, 17 Februari 2018, 11:30 WIB
Tempat wawancara : Sekretariat Unit Wisata Sri Gethuk
Daerah Penelitian : Kabupaten Gunungkidul
IDENTITAS & LATAR BELAKANG NARASUMBER
Nama narasumber : Tri Harjono
Jenis narasumber
(tandai yang relevan)
: Perangkat
desa
Pengelola
BUM Desa
Pelaku
usaha lokal
dan
Pokdarwis
Tokoh
Masyarakat
Lainya
Umur :
Jenis kelamin
(tandai yang relevan)
: Laki-laki Perempuan
Umur :
Tempat tinggal,
tempat asal.
: Desa Bleberan
Pekerjaan/ profesi :
Tuliskan secara DESKRIPTIF temuan di lapangan. Penggalian data dan informasi difokuskan
pada upaya PENEMUAN FAKTA (FACT FINDING).
Prakarsa Lokal Pendirian BUM Desa (Sejarah, Masalah, Tantangan, serta Modal/Potensi yang
dimiliki)
Dalam pendirian BUM Desa narasumber mendapatkan ide dari PP 72 tahun 2005 bahwa setiap desa bisa mendirikan BUM Desa. Berawal dari inilah pemerintah desa melihat peluang bahwa BUM Desa merupakan kesempatan desa untuk berbisnis. Serta dapat mengelola aset-aset desa yang ada di desa Bleberan. Dalam pendirian BUM desa narasumber menceritakan juga mendapatkan tantangan berupa pemahaman masyarakat masih awam dengan danya BUM desa ini. Masyarakat belum terbiasa dengan adanya BUM desa namun ini bukan membuat surut semangat narasumber untuk membentuk BUM Desa. Berjalannya waktu dengan adanya unit-unit usaha seperti PAB, UED SP, dan Wisata Alam Sri Gethuk masyarakat mulai antusias apalagi di tiap-tiap dusun diberikan dana pengembangan potensi di 11 pedukuhan yang ada di Desa Bleberan. Selanjutnya narasumber juga mengakatan desa ini memiliki banyak potensi namun belum semua di kembangkan.
Dukungan Regulasi/Kebijakan Negara( Pemerintah Nasional/Daerah) tentang BUM Desa
Untuk dukungan regulasi narasumber mengatakan memang sudah ada, dan BUM
88
Desa merasa terbantu, walaupun tidak semua regulasi diterapkan oleh BUM Desa.
Kapasitas BUM Desa mengkonsolidasikan resource untuk Menumbuhkan inovasi
(penghambat, penghambat, dan modalitas yang dimiliki)
Narasumber menjelaskan selama ini BUM desa belum mampu untuk mengkonsolidasi sumber daya yang ada sehingga belum adanya inovasi. Namun BUMdesa tidak menutup ruang bagi unit usaha untuk mengembangkan Inovasi.
1.Kepemimpinan dalam melahirkan inovasi (Tipe kepeminpinan inovatif: terbuka-tertutup,
setter-follower, risk taker-bukan)
Narasumber menjelaskan bahwa adanya ketidak sinambungan antara pengurus BUM desa dengan Kepala desa Bleberan. Selain itu Kepala desa juga kurang berani untuk mengambil risiko untuk pengembangan potensi yang ada. Walaupun dari masing-masing unit usaha ada inisiatif untuk pengembangan namun tidak di tindak lanjuti oleh BUM DEsa sehingga hanya jalan sendiri-sendiri.
2.Adaptasi sistem etika dan etos kerja untuk mendorong inovasi (lambat-cepat, terbuka-
tertutup)
Dulu memang belum ada aturan tentang etika dalam mengelola kawasan wisata, namun sekarang sudah di buatkan AD/ART dan juga mengatur tentang jadwal keluar masuk kawasan, namun untuk kios-kios yang ada hanya sekedar konsensus antar pedagang yang ada. Dari CSR sendiri belum ada upaya edukasi untuk mengelola kawasan, hanya sekedar membuatakan fasilitas umum penunjang kawasan wisata.
3.Dukungan Sistem sosial dalam mempercepat lahirnya inovasi (terbuka-tertutup,
Adaptasi sosial dari masyarakat disampaikan narasumber bahwa semua itu tergantung dari pribadi masing-masing ada yang cepat adapula yang lambat. Namun pada awalnya masyarakat sempat pesimis namun setelah kawasan wisata ini booming maka mereka antusias dan sempat terjadi perebutan dan akhirnya memunculkan kesepakatan untuk tiap tiap pedukuhan mendapatkan satu kios, tapi sekarang sudah tidak lagi.
4.Kualitas pendidikan mendorong pemanfaatan modal kreatif
Untuk usaha mengedukasi para pelaku unit usaha di BUM desa Bleberan semua di lakukan oleh masing-masing unit. Hal ini pernah dilakukan oleh unit wisata dengan beberapa kampus di jogja dan mengajak pengelola kawasan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mengamati pengelolaan foodcourt, sedangkan dari pihak BUM desa belum pernah untuk melakukan kegiatan seperti itu, jadi pengambilan keputusan dalam mendorong pemanfaatan modal kreatif langsung dari unit usaha itu sendiri.
5.Kemampuan pengggalian pendanaan dalam menciptakan, mengembangkan, dan
memanfaatkan hasil-hasil inovasi)
Dari unit wisata sendiri sudah mengajukan ke pemerintah desa namun memang respon dari pemerintah kurang sesuai dengan yang diharapkan, narasumber pun mengatakan untuk mendorong pengembangan unit mereka mengandalkan hutang dari bank dan hibah dari dana pemerintah daerah maupun pusat seperti Dana Keistimewaan. Untuk BUM desa sendiri SHU yang ada masih belum mampu digunakann untuk pengembangan karena habis untuk biaya operasional dan lainnya.
6.Dukungan Kebijakan dalam mendorong inovasi
Untuk kebijakan yang mendorong inovasi memang belum ada, Namun tidak menutup
89
kemungkinan kebijakan akan di buat oleh BUMDesa. Untuk sementara pengembangan potensi di lakukan oleh masing – masing unit usaha.
Peran stakeholer dalam menumbuhkan inovasi ( pemerintah, bisnis, komunitas akademik)
melalui BUM Desa
7. Peran Pemerintah dalam memperkuat ekosistem inovasi (regulasi, program,
pendanaan)
Dari pihak pemerintah memang sudah mengeluarkan regulasi tentang BUM Desa,
namun untuk pengembangan semuanya bergantung dari masing-masing BUM Desa,
begitu juga unit Usaha itu sendiri,
8. Peran Bisnis dalam memperkuat ekosistem inovasi (pendanaan dalam menghasikan,
mengembangkan dan memanfaatkan hasil-hasil inovasi; memperkuat etika dan etos
kerja)
Peran dari pelaku usaha sampai saat ini belum ada, mungkin dari CSR yang kami
dapat memang hanya untuk membangun fasilitas yang belum tersedia.
9. Peran Komunitas akademik dalam memperkuat sistem inovasi (sentuhan dalam
memperkuat modal kreatif dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan
pengabdian).
Narasumber mengatakan bahwa peran dari kelompok akademik sudah ada namun memang belum maksimal di terima oleh BUM desa secara maksimal.
&ld Rumpun llmu Peneliti
r. tanrah- mP/NtDN
c- Pangkat/Gol.
d- Jabatan Fungsional
f- Program Studi
& Telpon/Hp
h- Alamat email
lnstitusi Mitra Kerja
ilama lnstitusi Mitra .
Alamat lnstitusi Mitra .
lama Penelitian
Biaya penelitian
Sumber Dana Penelitian dari
STPMD "APMD:
Halaman Pengesahan
Hybrid lnstitution Sebagai Enabling Foctor Ekosistem lnovasi(Studi Kasus BUM Desa "sejahtera" Desa Bleberan, Kecamatan
Playen, Gunung KidulSebagai BUM Desa berbasis IPTEK)
llmu Sosial dan Politik
Drs. Sumarjono, M.Si.
19s802 17 1 96O2LOOL 1001 70258 10
utlcLektor
llmu Pemerintahan
Fatih.abisono (osm ai I.com
Pemerintalr Desa Bleberan
Desa'Bleberan,.Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul
6 Bulan
Rp. 10.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
Yogyakarta , 2L Juni 2Ot7
Peneliti
/,,1Drs. Sumarjono, M.Si.
Menyetujui
a P3M
Mengetahui,