laporan akhir penelitian fundamental fileprakata puji syukur penulis panjatkan kehadapan tuhan yang...

108
618/SEJARAH (ILMU SEJARAH) LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL MASYARAKAT MULTIKULTURAL KOTA ENDE: TINJAUAN SEJARAH DAN INTEGRASI Tahun ke-1 dari penelitian 1 tahun TIM PENELITI Ketua : Drs. F.X Soenaryo,M.S (0004025204) Anggota : Fransiska Dewi Setiowati S,S.S,M.Hum (0026098002) Anggota : Anak Agung Inten Asmariati,S.S,M.Si. (0024127303) UNIVERSITAS UDAYANA 2014

Upload: danghuong

Post on 05-Aug-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

618/SEJARAH (ILMU SEJARAH)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN FUNDAMENTAL

MASYARAKAT MULTIKULTURAL KOTA ENDE:

TINJAUAN SEJARAH DAN INTEGRASI

Tahun ke-1 dari penelitian 1 tahun

TIM PENELITI

Ketua : Drs. F.X Soenaryo,M.S (0004025204)

Anggota : Fransiska Dewi Setiowati S,S.S,M.Hum (0026098002)

Anggota : Anak Agung Inten Asmariati,S.S,M.Si. (0024127303)

UNIVERSITAS UDAYANA

2014

Page 2: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

ii

Page 3: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena

atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan Operasional

Perguruan Tinggi Negeri (BPOPTN) dengan Surat Perjanjian Penugasan

Pelaksanaan Penelitian Hibah Desentralisasi Tahun Anggaran 2014 Nomor:

103.24/UN14.2/ PNL.01.03.00/2014 dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul :

“Masyarakat Multikultural Kota Ende: Tinjauan Sejarah dan Integrasi”. Penelitian

ini telah kami lakukan sesuai dengan tahapan dalam perencanaan yang telah kami

ajukan.

Keberhasilan pelaksanaan penelitian dan laporan ini sudah tentu karena

mendapat dukungan moral dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu

melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas

kesempatan yang diberikan untuk melakukan penelitian ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada LPPM Universitas Udayana

dan jajarannya yang telah memfasilitasi penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini

dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi para pemegang otoritas

untuk mengelola keberagaman menjadi salah satu modal dalam memajukan

kehidupan masyarakat yang multikultural di berbagai daerah di Indonesia.

Denpasar, 25 November 2014

Penulis

iii

Page 4: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

RINGKASAN

Kota Ende dewasa ini dihuni oleh beragam etnis dan agama. Berdasarkan

hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa penduduk Ende terdiri atas

beragam etnis yaitu: 47% etnis Lio, 32,17% etnis Ende, 3% etnis Arab, 2,13%

etnis Nga, 1,5% , 1,5% etnis Ngada, 1,2 etnis Manggarai, etnis Cina, 1% etnis

Padang, 1% etnis Bali, 1% etnis Madura, 1% etnis Flores Timur, 2% etnis-etnis

lain. Apabila dilihat dari jumlah pemeluk agama : 69,46% pemeluk agama

Katolik, 28,46% pemeluk agama Islam, 1,4% pemeluk agama Kristen Protestan

dan selebihnya pemeluk agam Hindu dan Buda. Kebhinekaan etnis di Ende

bahkan sudah terjadi sejak abad ke-17.

Pengembangan wawasan multikultural masyarakat Kota Ende beberapa

tahun terakhir telah giat dilakukan. Misalnya kegiatan yang dilakukan oleh

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende. Kegiatannya berupa seminar yang

diadakan pada tanggal 3 - 5 Oktober 2011 di Ende. Kegiatan ini diselenggarakan

oleh Panitia kerja sama Penyelanggara Bimas Kristen (Soleman Baun, S.Pd) dan

Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende (Plt. John

B. Seja, S.Fil). Para pesertanya yaitu para guru agama se-Kabupaten Ende.

Tujuannya untuk memberikan kepada para guru agama agar memiliki wawasan

yang luas tentang kehidupan kebersamaan dan saling menghargai dalam

masyarakat yang heterogen.

Demikian pula kegiatan pernah dilakukan oleh para pemuka agama

Katolik yakni para pastor. Mereka melakukan kegiatan berupa penghijauan di

lingkungan pesantren Walisanga. Aktivitas ini memberikan inspirasi bagi

masyarakat bahwa perbedaan agama tidak menghalangi terjalinnya hubungan

yang harmonis, saling membantu dan menghargai pihak lain. Hal yang tidak

pernah terjadi di daerah lain di Indonesia, para pastor bahkan menjadi Pembina

dan pengajar di pesantren Walisanga.

Dalam bidang seni dan budaya upaya menghidupkan kembali situs-situs

yang ada di Ende patut diapresiasi. Usaha ini telah rampung dilakukan dengan

merevitalisasi situs-situs peninggalam Bung Karno semasa dalam pengasingan di

Ende. Di samping mempercantik Kota Ende juga dapat menarik wisatawan

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang

sejahtera hidupnya tentu tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu negatip sepeti isu

sara yang akan memecahbelah persatuan dan kekompakan yang telah terjalin pada

masyarakat Kota Ende.

Peran lembaga-lembaga keagamaan, para pemimpin agama, dan para

ketua adat juga sangat penting dalam menjaga kehidupan masyarakat

iv

Page 5: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

multikultural Ende. Kehadiran Misi dengan berbagai usahanya seperti sekolah-

sekolah pertukangan, mendirikan percetakan Nusa Indah Ende dan penerbitan

buku tentu tidak kecil sumbangannya bagi kehidupan masyarakat. Peran para

Ulama juga telah dimulai sejak kedatangan para pedagang dari Bugis dari

Makasar. Demikian pula peran para Pastor juga telah dimulai sejak kedatangannya

di Ende sampai sekarang.

Berkaitan dengan usaha mewujudkan integrasi sosial pada masyarat Ende,

sesuai dengan pendapat Dr. phl. Norbert Jegalus, MA menekankan pentingnya

pendidikan agama dalam alam multikulturalitas dengan semangat

multikulturalisme. Pendidikan Multikultural merupakan suatu model pendidikan

yang kontekstual.

Hal yang perlu dilakukan atas fakta keberagaman di Indonesia khusunya di

Ende ini adalah perlunya membangun kesadaran bersama bahwa keberbedaan itu

adalah suatu fakta. Dengan demikian peran pemerintah dan tokoh agama mutlak

perlu dalam mensejahterakan masyarakat. Masyarakat yang multikulturalitas perlu

ditumbuhkan secara terus-menerus di Ende agar tetap dapat disebut miniatur

Indonesia dengan masyarakat multikultur.Berbagai usaha untuk menanamkan

sikap multikultural dapat dilakukan antara lain lewat pendidikan baik di sekolah

maupun di luar sekolah.

v

Page 6: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL …………………………………………...….. i

HALAM PENGESAHAN ………………………………………..… ii

RINGKASAN ……………………………………………………...…. iii

PRAKATA …………………………………………………… ...… v

DAFTAR ISI …………………………………………………..…... vi

BAB

I PENDAHULUAN ……………………………………… …......... 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1

1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 4

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………....... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ………………………………………………... 5

1.6 Metode Penelitian ……………………………………………….. 9

II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERBENTUKNYA

MASYARAKAT MULTIKULTURAL …………………………. 14

2.1 Faktor Sejarah ……………………………………………………. 15

2.2 Faktor Fisik ……………………………………………………….. 32

2.3 Faktor Pengaruh Budaya Luar ……………………….…………… 40

2.4 Faktor Geografis……………………………………………..…..… 45

III KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL ……….… 50

3.1 Etnis Lio dan Etnis Ende ………………………………………..… 49

3.2 Sarana Transportasi ……………………………………………….. 52

3.3 Interaksi Sosial …………………………………………………… 53

3.4 Kehidupan Masyarakat Kota Ende ………………………….…… 55

3.5 Penduduk dan Mobilitas Sosial ………………………………….. 58

3.6 Urbanisasi dan Urbanisme ………………………………………. 61

IV PERAN PEMUKA MASYARAKAT DAN

INTEGRASI MASYARAKAT……………………………….……. 63

4.1 Struktur Sosial Masyarakat Etnis Lio – Ende …………………….... 63

4.2 Sistem Perkawinan ………………………………………..………… 65

4.3 Solidaritas Sosial ……………………………………………………. 75

4.4 Integrasi Sosial ………………………………………………………. 79

4.5 Hubungan Struktur Sosial dengan Proses Integrasi ………………… 83

vi

Page 7: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

V KESIMPULAN ………………………………………..… ……….... 85

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 90

DAFTAR INFORMAN ………………………………………………….. 92

LAMPIRAN

- Foto …………………………………………………. . .. 93

- Artikel Ilmiah ………………………………….… … . 98

- Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian ………… … 99

vii

Page 8: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan tentang masyarakat multikultural di Indonesia dapat

dikatakan sampai sekarang masih terus dilakukan, walaupun sudah ada yang

mendefinisikan pengertian masyarakat multicultural di antaranya tulisan Ketut

Ardhana dkk yang membahas masyaralat multikultural di Bali (2011). Hal ini

menjadi relevan mengingat Indonesia terdiri atas berbagai agama, suku bangsa

dan budaya. Dalam hal ini yang ditekankan bukan hanya keanekaragaman

kebudayaan dan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk tetapi

penekanan adanya pengakuan dan penghargaan pada kesedrerajatan atas

perbedaan kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Nasikun (2006) bahwa

di dalam masyarakat multikultural berpotensi muncul konflik-konflik sosial maka

pemahaman yang tepat tentang masyarakat multikultural perlu terus dilakukan.

Masyarakat multikultural mempunyai pengertian adanya kesederajatan dalam

kedudukan (satus sosial) walaupun berbeda-beda dalam budaya dan suku, agama

maupun ras. Di samping itu perlu mengakui perbedaan dan kopleksitas dalam

masyarakat, menjunjung tinggi kebersamaan, menghargai hak azasi manusia,

toleransi terhadap perbedaan dan tidak mempersoalkan kelompok minoritas dan

mayoritas.

Dalam dunia yang semakin terbuka, perjumpaan dan pergaulan antar suku

semakin mudah. Diperlukan sikap multikultural yaitu sikap terbuka pada

perbedaan. Orang yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan bahwa

perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang dapat menimbulkan konflik,

tetapi bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan justru

memperkaya dan dapat sangat produktif. Salah satu syarat agar sikap multikultural

efektif yaitu bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa manusia bukan

Page 9: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

2

makluk sempurna. Manusia adalah makluk yang selalu “menjadi” , dan agar dapat

“menjadi”, manusia membutuhkan sesamanya (Ujan, 2011:16-17).

Kota Ende dewasa ini dihuni oleh beragam etnis dan agama. Berdasarkan

hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa penduduk Ende terdiri atas

beragam etnis yaitu: 47% etnis Lio, 32,17% etnis Ende, 3% etnis Arab, 2,13%

etnis Nga, 1,5% , 1,5% etnis Ngada, 1,2 etnis Manggarai, etnis Cina, 1% etnis

Padang, 1% etnis Bali, 1% etnis Madura, 1% etnis Flores Timur, 2% etnis-etnis

lain. Apabila dilihat dari jumlah pemeluk agama : 69,46% pemeluk agama

Katolik, 28,46% pemeluk agama Islam, 1,4% pemeluk agama Kristen Protestan

dan selebihnya pemeluk agam Hindu dan Buda (BPS Ende 2010). Kebhinekaan

etnis di Ende bahkan sudah terjadi sejak abad ke-17 (Soenaryo, 2012: 20).

Kecenderungan kehidupan komunitas kota ialah adanya kecenderungan

masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan

identitas pribadinya. Individu tidak lagi mampu membuat keputusan-keputusan

secara pribadi, melainkan bertindak menurut dorongan massa. Individu cenderung

kehilangan cipta, rasa dan karsa sendiri, atau seperti dikatakan oleh Daldjoeni,

terjadi ”kekosongan budaya” (Menno, Mustamin Alwi, 1992: 45).

Di dalam komunitas kota Ende terdapat fenomena multikultural tercermin

dengan adanya perkumpulan-perkumpulan atau kelompok-kelompok etnis

maupun kedaerahan. Rogers & Steinfatt (1999:238) dalam Rahardjo (2005:84)

berpendapat bahwa masyarakat multikultural akan melahirhan multikulturalisme

yaitu adanya pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam

lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain atau pengakuan dan

promosi terhadap pluralisme kultural. Multikulturalisme menurut Suryadinata

(2000) yang dikutip Rahardjo (2005:84) juga berarti menghargai dan berusaha

melindungi keragaman kultural.

Masyarakat yang ada di Ende tergabung dalam berbagai perkumpulan

yang mendasarkan pada kesamaan daerah asal. Apabila kelompok-kelompok etnis

ini bersikap ekstrim yang berdasarkan kesamaan nasib, seringkali dapat

berkembang menjadi kekuatan kolektif yang secara kohesif berpotensi untuk

Page 10: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

3

menggelorakan sentimen kelompok dan dapat menjadi benih terjadinya

persengketaan bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Lebih

ekstrim lagi bila kelompok-kelompok semacam ini terinternalisasi ajaran-ajaran

agama yang mengarah pada ideologi yang bersifat militan dan radikal (Arsana,

2006 : 10). Padahal, sesungguhnya keragaman SARA merupakan hakikat

masyarakat Indonesia yang multikultural. Namun, bila kemultikulturalan

diabaikan bahkan disertai dengan pengelolaan kemajemukan melalui

penyeragaman dapat berakibat terancamnya identitas suatu etnik (Atmadja, 2006:

16). Di samping faktor sengketa yang bernuansa SARA, perkembangan ekonomi

juga dapat menimbulkan kesenjangan dengan kehidupan ekonomi penduduk dari

kelompok satu satu dengan kelompok lainnya sehingga berkontribusi terhadap

timbulnya konflik sosial seperti kasus di Poso, Papua, Halmahera Utara dan

Sambas (Bandiyono,2006:35-36). Kelompok-kelompok yang ada di Ende terdiri

atas orang-orang tua dan muda yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda

etnis, agama dan adat-istiadatnya serta beragam dalam latarbelakang

pendidikannya. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan terjadi perselisihan

faham baik antar komunitas yang dapat mengakibatkan ketidakharmonisan atau

konflik dalam kehidupan sosial. Dengan demikian perlu dikaji dan dicarikan

berbagai alternatif pencegahannya.

Pluralitas penduduk perkotaan di Indonesia termasuk Kota Ende, pada

hakekatnya menjadi faktor pendorong bagi berlangsungnya proses integrasi dan

Indonesianisasi. Proses integrasi berlangsung tidak hanya melalui kegiatan dalam

segi-segi administrasi dan politik pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga

melalui proses interaksi sosial dan dialog budaya (Suryo, 2004: 1). Etnis-etnis

pendatang di Kota Ende bersosialisasi dengan masyarakat setempat dengan

membawa adat dan budayanya. Dalam proses interaksi etnis dari luar Ende di

Kota Ende tidak terhindarkan lagi terjadi pertukaran budaya, persilangan dan

adaptasi budaya. Perlu diteliti juga apakah telah ada upaya-upaya hegemoni dari

kelompok dominan yang justru diterima secara konsesual oleh mereka yang

terhegemoni. Istilah hegemoni diperkenalkan oleh Gramsci (1977) untuk mengacu

pada cara dimana kelompok dominan mendapatkan dukungan dari kelompok

Page 11: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

4

subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral. Hal ini telah

dibahas dalam tulisan Chris Barker (2006: 61-62). Pengaruh budaya global

terutama berkembangnya media komunikasi masuk dalam kehidupan masyarakat

kota Ende baik berpengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif tampak

dalam kemajuan di berbagai bidang baik politik, ekonomi maupun budaya.

Berbarengan dengan pengaruh positif, pengaruh negatif juga sulit dihindarkan.

Agar penduduk yang datang dari luar Ende dapat bertahan di Ende sudah tentu

harus mampu beradaptasi terhadap lingkungan setempat.

1.2 Perumusan Masalah

Masyarakat multikultural di Kota Ende telah ada sejak berkembangnya

wilayah Kota Ende sehingga mereka telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari berbagai segi kehidupan baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi maupun

budaya. Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnik yang sudah tentu

mempunyai sejarahnya sendiri yang panjang sehingga sampai keadaan yang

sekarang ini.

Berdasarkan uraian pada latarbelakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu : (1) Faktor-faktor apa yang

mendorong terbentuknya masyarakat multikultural di Kota Ende?; (2) Bagaimana

masyarakat Kota Ende meramu seluruh perbedaan yang ada dalam satu kesatuan

yang harmonis?; (3) Bagaimana peran pranata sosial dalam mengelola perbedaan-

perbedaan budaya yang ada ke arah integrasi masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan utama untuk mengkaji dan

memahami masyarakat multikultur di Kota Ende. Di samping itu bermaksud

untuk mengungkap berbagai cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperkokoh

dan mempertahankan kondisi multikulturalisme yang harmonis di Ende. Secara

khusus dari penelitian ini adalah: (1) ingin mengetahui faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi masyarakat Ende dalam usaha membuat kondisi multikultural

menjadi satu kesatuan yang harmonis; (2) mengetahui peran pranata sosial

Page 12: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

5

maupun pihak pemerintah dalam usaha menjaga sehingga tidak terjadi konflik-

konflik sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh keanekaragaman budaya,

agama, dan etnis; (3) mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai makna

dan dampak situasi dan kondisi multikulturalisme terhadap perkembangan

pembangunan masyarakat di Kota Ende.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis dari npenelitian yaitu: (1) temuan dalam penelitian ini

dapat menambah khasanah pengetahuan tentang kehidupan masyarakat

multikultural di Kota Ende; (2) kajian tentang masyarakat multikultural Kota

Ende ini dapat dijadikan referensi peneliti selanjutnya. Manfaat Praktisnya yakni:

(2) dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pemegang otoritas untuk

menyusun kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan keragaman

budaya sebagai aset penting yang akan dilakukan baik di tingkat lokal maupun

nasional; (3) dapat dijadikan bahan acuan bagi siapa saja yang berminat untuk

merekonstruksi kembali secara kritis dan objektif berbagai peristiwa masa lampau

yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat multikultural di Kota Ende.

1.5 Tinjauan Pustaka

Pembicaraan tentang konsep multikulturalisme sesungguhnyan telah

banyak dibicarakan baik oleh para tokoh agama maupun sosial. Masyarakat

multikultural tidak lagi hanya sebatas keanekaragaman kebudayaan, suku bangsa,

ras maupun agama sebagai ciri masyarakat majemuk tetapi lebih menekankan

pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Mengenai pengertian

masyarakat multikultural dikemukakan oleh Nasikun yakni masyarakat bersifat

majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur mempunyai sub-

subkebudayaan yang bersifat diverse yang menurutnya ditandai oleh kurang

berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan

juga sistem nilai dari satu kesatuan sosial, dan ditandai seringnya muncul konflik-

Page 13: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

6

konflik sosial (Nasikun, 2006). Faktor penyebab terbentuknya masyarakat

multikultural paling sedikit ada 4 (empat) faktor sebagai berikut.

1. Faktor Iklim. Indonesia terdiri atas pulau-pulau dan daerah pegunungan,

dataran dan daerah pantai. Hal ini mempengaruhi budaya masyarakat seperti

orang yang tingal di pegunungan, hawanya sejuk membentuk budaya masyarakat

yang ramah, sedangkan orang yang tinggal di daerah pantai dengan iklim yang

panas dapat membentuk kontrol emosi seseorang lebih cepat marah.

2. Faktor Geografis. Letak Indonesia yang strategis yang menjadi jalur

pergadangan internasional menyebabkan banyak pedagang asing yang dating

seperti India, Cina, Arab dan bangsa-bangsa Eropa. Keadaan seperti ini

menambah keragaman budaya sehingga terbentuk masyarakat multikultur.

3. Faktor Fisik dan Geologi. Keadaan pulau-pulau di Indonesia yang beragam

besar kecil serta ada yang kaya sumberdaya alam dan ada yang miskin

sumberdaya alamnya menyebabkan budaya masyarakat di tiap pulau berbeda.

4. Faktor Sejarah. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah

sehingga banyak Negara-negara asing yang tertarik untuk menguasai seperti

Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Kehadiran mereka menambah kekayaan

budaya dan sekaligus ras;

5. Faktor Pengaruh Kebudayaan Asing. Berkembangnya globalisasi

merupakan proses penting dalam penyebaran budaya global. Indonesia dengan

system demokrtasinya menjadi suatu Negara yang lebih terbuka sehingga

masyarakat mudah menerima budaya yang dating dari luar baik yang positif

maupun negatif. Masuknya budaya ini menjadi salah satu faktor yang melahirkan

masyarakat multikultural (http://khairulazharsaragih.blogspoot.com).

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber tertulis,

baik dokumen pemerintah Belanda, termasuk sumber-sumber yang berupa tulisan

atau karangan yang dibuat oleh orang pribumi atau orang asing. Salah satu sumber

yang ditulis oleh orang asing dari Jerman yaitu karya Max Weber dengan judul

Page 14: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

7

Ethnographische Notizen uber Flores und Celebes. Walaupun tulisan diterbitkan

tahun 1890, namun sangat berguna untuk mengetahui latarbelakang etnografi

masyarakat Ende yang waktu itu disebut dengan nama “Endeh” khususnya, dan

Flores pada umumnya yang oleh Max Weber disebut juga “Pulau Bunga”. Dalam

tulisan ini telah diungkapkan berbagai penduduk yang telah ada di Ende.

Tulisan yang dikarang oleh pejabat Belanda yakni JHR. B. C.C. M.M.

van Suchtelen dengan judul Endeh (Flores) tahun 1921. Suchtelen adalah

Controleur Binenland Bestuur Endeh. Tulisan Suchtelen ini dilihat dari jenis

permasalahan yang diungkapkan cukup banyak mulai dari sejarah onderafdeeling

Ende, keadaan tanah, klimatotologi, flora dan fauna, pemerintahan, keadaan

politik, keadaan penduduk, kepercayaan, bahasa serta budayanya. Untuk

mendapatkan gambaran etnis-etnis dan budaya masyarakat Ende cukup memadai,

Walaupun rentang waktu yang disajikan hanya sampai Oktober 1920. Dengan

demikian sumber ini dapat digunakan untuk mengetahui keadaan Ende secara

umum pada awal pernjajahan Belanda di Ende.

Informasi tentang pengaruh budaya yang dikembangkan oleh Misi di Ende

penulis gunakan buku tulisan Pater L. Lame Uran dengan judul Perkembangan

Misi Flores Dioses Agung Ande. Tulisan ini menguraikan karya Misi di Flores

umumnya dan di Dioses Ende yang mencakup wilayah Ende Lio, Ngada dan

Kabupaten Sikka. Perkembangan agama Katolik yang dikembangkan oleh Misi

telah mempengaruhi budaya lokal yang ada. Kehadiran para misionaris juga

menambah luas pergaulan bukan hanya antar penduduk setempat tetapi juga

dengan orang-orang yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda.

Tulisan lain tentang Nusa Tenggara Timur pernah ditulis dengan judul

Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur yang diterbitkan tahun 1980 Tulisan ini

merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan

Kebudayaan Daerah, Pusat penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978/1979 yang dipimpin oleh Bambang

Suwondo. Sumber ini menyajikan keadaan masyarakat Nusa Tenggara Timur

Page 15: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

8

mulai dari zaman prasejarah sampai zaman kemerdekaan dan diakhiri tahun 1975.

Walaupun tidak menyajikan secara detail namun dapat memberikan gambaran

secara umum kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Sumber berupa

buku, khusus tentang Pulau Flores yang digunakan yaitu tulisan P.Sareng Orin

Bao (Pater Piet Petu svd) berjudul Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores

(Warisan Purba). Buku yang terbit tahun 1969 berisi antara lain uraian tentang

nama-nama purba suku-suku, kepercayaan masyarakat dan ungkapan-ungkapan

khas Nusa Nipa.

Untuk mengungkap keadaan Ende setelah kemerdekaan, digunakan data-

data statistik terbitan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende seperti Ende Dalam

Angka, Indikator Ekonomi Kabupaten Ende, Indikator Kesejahteraan Rakyat

Kabupaten Ende dan sebagainya. Data-data statistik digunakan terutama untuk

mendukung dan memperkuat informasi yang diperoleh dari hasil wawancara.

Buku karya Aron Meko Mbete dkk yang berjudul Khazanah Budaya

Lio-Ende yang terbit tahun 2006 menyajikan berbagai data tentang sistem religi,

sistem sosial dan budaya masyarakat Kabupaten Ende. Masyarakat religius Ende-

Lio mengonsepsikan serta meyakini bahwa Tuhan sebagai sesuatu yang hadir

tidak hanya besifat abstrak melainkan juga nyata dan konkrit. Masyarakat Lio-

Ende mempunyai konsep tentang Wujud Tertinggi Keilahian yang menciptakan

bumi dan langit dengan sebutan Du’a Nggae (Aron dkk, 2006:46-47).

Buku lainnya yaitu tulisan F.X. Soenaryo dkk yang berjudul: Sejarah

Kota Ende. Tulisan ini mengungkap perkembangan lingkungan kota, penduduk

dan pengaruh-pengaruh budaya dari luar seperti pengaruh Majapahit, Portugis,

Belanda dan etnis-etnis dari luar Flores. Berbagai etnis dan budaya yang masuk

ke Kota Ende seperti Bugis, Makasar, Jawa, Madura, Minang, Timor, Bali dan

sebagainya. Di samping itu pengaruh agama Islam, Hindu dan Kristen. Khusus

Agama Katolik telah berkembang dan berpengaruh di Ende sejak masa penjajahan

Portugis (Soenaryo dkk, 2006: 65).

Page 16: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

9

Di samping sumber tertulis seperti yang disebutkan di atas untuk untuk

melengkapi informasi yang tidak terdapat dalam sumber tertulis, penulis gunakan

hasil wawancara dengan para informan yang ada. Dalam penelitian ini sejumlah

orang yang mewakili masing-masing etnis dipilih untuk dijadikan informan.

Sebagai informan utama dipilih para tetua adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh

agama, dan budayawan. Mereka pada dasarnya sekaligus menjadi pelaku adat dan

budaya.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,

wawancara, dan penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa

pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila

berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara

langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini

lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh

bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Melalui penelitian kualitatif

budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan

mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian

kualitatif ini akan membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang

tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru (Endraswara,

2003: 14-15).

1.6.2 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di wilayah Kota Ende.

Kota Ende terdiri atas empat kecamatan yakni :

(1) Kecamatan Ende Selatan yang terdiri atas 5 (lima) Kelurahan;

(2) Kecamatan Ende Tengah terdiri atas 4 (empat) Kelurahan;

(3) Kecamatan Ende Timur terdiri atas 2 (dua) Kelurahan dan 3 (tiga) Desa;

Page 17: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

10

(4) Kecamatan Ende Utara terdiri atas 3 (tiga Desa dan 4 (empat) Kelurahan.

Jumlah penduduk di empat kecamatan berjumlah 79.719 jiwa, sedangkan luas

Kota Ende yaitu 107,39 km2 (BPS Kabupaten Ende Tahun 2010).

1.6.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif.

Pengumpulan sumber datanya dilakukan dengan cara penelitian langsung di

lapangan dan penelitian kepustakaan. Data kualitatif berupa informasi terutama

dari para narasumber, sedangkan data kuantitatif antara lain berupa jumlah

penduduk, komposisi jumlah penduduk, komposisi mata pencaharian, jumlah

sarana ibadah. yang didapat dari berbagai sumber. Data kuantitatif dimaksud

untuk mempertajam dan sekaligus memperkaya analisis kualitatif itu sendiri

(Bungin, 2003: 84). Data primer diperoleh di samping pengamatan langsung

mengenai kehidupan masyarakat Ende, juga menggunakan metode wawancara

yang dimulai dari informan kunci (key informan), selanjutnya dengan para tokoh

agama dan tokoh masyarakat yang betul-betul memahami keberagamaan

masyarakat. Keterangan dihimpun melalui pedoman wawancara yang telah

disiapkan dan dikembangkan selama mengadakan wawancara. Data sekunder

untuk mendapatkan bahan-bahan dalam penelitian ini, peneliti peroleh dengan

melakukan studi pustaka, dokumen, dan arsip-arsip yang relevan dengan masalah

yang diteliti.

1.6.4 Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan

seberapa besar informan mampu menyumbangkan data untuk pengembangan

penelitian ini. Penunjukkan informan diawali dengan informan kunci (key

informan ) berperan sebagai pemberi informan utama dan paling awal yang

dikenal dengan prinsip snowball (Endraswara, 2006 : 115-116). Dari informan

kunci ini peneliti akan mendapat beberapa informan lain yang direkomendasikan

mampu memberikan informasi lebih lanjut tentang masalah yang akan diteliti.

Page 18: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

11

1.6.5 Instrumen Penelitian

Pengertian instrumen atau alat penelitian ini menjadi segalanya dari

keseluruhan proses penelitian, instrumen penelitian di sini dimaksudkan sebagai

alat pengumpul data. Ciri manusia sebagai instrumen mencakup segi responsif,

dapat menyesuaikan diri, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses dan

mengikhtisarkan, dan memanfaatkan kesempatan mencari respon yang tidak lazim

(Moleong, 2004:168-169). Di samping peneliti sebagai instrumen penelitian,

dalam proses pengumpulan data juga ditunjang dengan menggunakan alat-alat

elektronik, yaitu camera photo, tape recorder dan berupa catatan-catatan, dan

pedoman wawancara yang telah disiapkan.

1.6.6 Cara Memperoleh Data

Penelitian ini akan dilakukan dengan mengumpulkan data lewat penelitian

arsip, riset kepustakaan (library riset) , majalah-majalah dan penelitian lapangan

dengan melakukan wawancara, dan pengamatan. Telaah pustaka dimaksudkan

untuk mendapatkan landasan teoritik supaya dapat memberikan jawaban

sementara secara ilmiah terhadap permasalahan. Sedangkan untuk membuktikan

jawaban teoritik diperlukan landasan metodologi. Penelitian arsip dan pustaka

dilakukan di Kantor pemerintah Kabupaten Ende, dan di Kelurahan yang ada di

Kota Ende.Untuk mendapatkan informasi tentang keberagaman budaya, adat

istiadat dan agama selain dari sumber tertulis, peneliti juga melakukan wawancara

dengan para tokoh masyarakat seperti Ketua MUI, pastor, dan pengurus

paguyuban yang ada di Kota Ende. Peneliti tentu tidak cukup hanya mendengar

dan menerima informasi dari para informan, perlu juga melakukan pengamatan

secara langsung di lapangan. Hal ini untuk melihat berbagai aktivitas

kemasyarakatan yang dilakukan oleh penduduk Kota Ende.

1.6.7 Observasi Partisipasi

Sebagai peneliti observasi partisipasi, peneliti bergaul dalam

segala segi dengan para subyeknya dan memandang mereka sama dengan dirinya

Page 19: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

12

dalam segala hal. Jadi dalam situasi observasi partisipasi peneliti mengalami

hidup bersama, memasuki fenomena yang lebih dalam, sehingga akan terjadi

interaksi sosial, psikologis, seni dan kultural antara subyek penelitian dengan

peneliti. Observasi adalah pengamatan langsung terhadap gejala yang diteliti

serta mengadakan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang diteliti

(Sutrisno Hadi, 1977: 135-136).

Bogdan dalam Moleong (2001: 117) menegaskan bahwa pengamatan

merupakan penelitian berciri interaksi sosial yang memerlukan waktu yang cukup

lama, dan data dalam bentuk catatan lapangan diverivikasi secara sistematis.

Dalam observasi ini peneliti mengamati langsung aktivitas kehidupan sehari-hari

kehidupan masyarakat baik sikap, perilaku dalam komunikasi, beragama dan

berbudaya.

1.6.8 Wawancara Mendalam (indepth interview)

Informan utama dalam penelitian ini adalah para tokoh masyarakat yang

mengetahui seluk beluk tentang keberagaman kelompok-kelompok etnis dan

agama kota di Ende. Teknik wawancara secara mendalam dilakukan memakai

pola wawancara yang bebas dan terbuka. Peneliti menggunakan pedoman

wawancara (interview guide) dengan substansi pertanyaan yang telah disiapkan

agar mudah dimengerti oleh informan sehingga peneliti dapat menjaring data,

keterangan lewat pengetahuan, pendapat atau gagasan informan mengenai

berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Berbagai pertanyaan yang

telah disiapkan dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan konteks masalah

yang dihadapi. Dalam hal ini titikberatnya adalah menjaring pandangan yang

direpresentasikan oleh informan (pandangan emik), jadi bukan berdasarkan

pandangan etik atau dari perspektif dan pemahaman peneliti.

1.6.9 Studi Kepustakaan

Studi pustaka dalam penelitian ini untuk mendapatkan sumber data dari

buku-buku yang berkaitan dengan kegiatan para migran dalam bidang

Page 20: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

13

keberagamaan di samping dari jurnal, karya ilmiah dan buku lainnya yang

menunjang dalam penelitian ini. Pengumpulan data di samping lewat studi

kepustakaan, melalui wawancara, observasi maupun penelusuran arsip juga akan

penulis lakukan dengan penelusuran dokumentasi foto yang mengabadikan

berbagai peristiwa yang berkaitan dengan obyek penelitian. Studi kepustakaan

dimaksudkan agar mendapatka data-data sekunder yang berupa laporan atau karya

tulis dari para jurnalis, buku-harian maupun catatan pribadi yang dapat digunakan

untuk melengkapi sumber-sumber lainnya (Singarimbun & Effendi, 1989:70)

1.6.1 Cara Mengolah Data

Untuk mengetahui dan memahami kehidupan multikultural masyarakat

Ende, peneliti menggunakan analisis diskriptif etnografik. Peneliti berusaha

mengungkap dan melukiskan fenomena masyarakat multukultural masyarakat

Ende yang peneliti pandang spesifik dan langsung pada sasaran. Di antaranya

mengenai faktor-faktor yang menjadi pendorong terwujudnya masyarakat

multikultural, kehidupan masyarakat, dan peran para pemuka.

Sumber-sumber atau informasi yang diperoleh baik lewat penelitian

perpustakaan, wawancara maupun hasil pengamatan kemudian diklasifikasikan

sesuai dengan tema permasalahannya secara kronologis. Selanjutnya peneliti

melakukan kritik atau analisis terhadap sumber. Setiap sumber mempunyai dua

aspek yaitu ekstern dan intern. Dalam mengungkap keragaman budaya suatu

masyarakat tidak cukup hanya menyajikan apa yang tampak di permukaan

kejadian saja. Yang tidak kalah pentingnya ialah mampu menjelaskan apa yang

terjadi di balik peristiwa itu dengan menerapkan metode verstehen. Penjelasan

akan menjadi lebih lengkap lagi dengan usaha peneliti untuk mengungkap setiap

kejadian dengan menggunakan pendekatan dari berbagai aspek (multidimensional

approach) (Kartodirdjo, 1992: 87).

Page 21: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

14

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERBENTUKNYA

MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Dalam suatu masyarakat pasti akan menemukan banyak kelompok

masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan

karakteristik itu berkenaan dengan tingkat diferensiasi dan stratifikasi sosial.

Masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat multikultural. Masyarakat

Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu masyarakat, multi, dan kultural.

“masyarakat” artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup manusia yang

berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat terus menerus dan

terikat oleh rasa toleransi bersama, “multi” berarti banyak atau beranekaragam,

dan “kultural” berarti budaya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat

multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur

kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang

memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa yang

lainnya. Pengertian masyarakat multikultural (multicultural society) yakni

masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung

kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Jadi, masyarakat multikultural

merupakan masyarakat yang menganut multikulturalisme, yaitu paham yang

beranggapan bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang

sederajat.

Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan

terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat

multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup

menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang

mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap

masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan

menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Faktor-faktor yang dapat mendorong

terbentuknya masyarakat multikultural adalah faktor iklim, faktor geografi, faktor

Page 22: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

15

fisik-geografis, faktor sejarah, dan faktor pengaruh kebudayaan asing. Dari

berbagai faktor itu di bawah ini akan dikemukakan faktor-faktor yang cukup

dominan memberikan dorongan terwujudnya masyarakat multikultural di Ende.

2.1 Faktor Sejarah.

Sejarah masyarakat Kota Ende dapat dilacak dari mulculnya kata ende,

mengingat masyarakat Ende telah ada sebelum nama ende diperkenalkan dan

menjadi popular sampai saat ini. Kata ende diperkirakan berasal dari kata cindai.

Dalam kamus disebutkan bahwa cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-

bunga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:168). Pendapat lain mengatakan

kemungkinan ende berasal dari kata cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa

adalah ular yang agak besar (python) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan

Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang yang kulitnya berbunga-

bunga seperti warna Cindai.

Menurut ceritera yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria

yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau

python reticulatus. Ular ini disamakan dengan sawa cindai. Jadi pada awalnya

pendunduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu

dan pendatang dari Goa, Makasar, Bajo Bima menyebut Sawa Cindai sesuai

dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya. Lama kelamaan penduduk

juga menyebut Sawa Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan

juga bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau

gunung Pui dan di di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar

Kaburia, nama tempat, nama teluk, pulau dan gunung di pesisir utara juga

menggunakan nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh,

Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciendeh (Lihat Schetskaart van de

Onderafdeeling Endeh,1918).

Page 23: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

16

Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan

Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga

kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh dan Ende memang

ada hubungannya dengan Sawa Cindai. Dapat ditandaskan di sini, apabila nama

Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai, tentu disebabkan sudah

mengalami banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama-nama Cendau, Cindau,

Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh, dan Ende adalah nama yang

setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah cindai atau

Sawa Cindai. Orang dari Haminte Rembong, Manggarai Timur mengatakan

bahwa nenek moyang mereka menyebut seluruh Nusa ini Pulau Cendau atau

Cindau. Di Riung nama untuk seluruh pulau yaitu Sandau. Abdul Hakim dalam

bukunya Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa menyebut Nuca Cendau, Nuca Cindau

dan Nuca Sandau (P. Sareng Orinbao, 1969: 157-159).

Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah

dikemukakan dalam beberapa tulisan. Van Suchtelen menulis nama-nama yang

berkaitan dengan ende sebagai berikut ini. Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo

dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejaan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk

Ciendeh dan Nusa cilik itu dieja menjadi Ciendeh. Tulisan ejaan ini digunakan

untuk tempat-tempat di pantai utara. Sedangkan nama-nama di pantai selatan yaitu

tanjung, teluk, nusa dan kota, diejakan sebagai Endeh. Nama tanjung menjadi

Tanjung Endeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa

Endeh. Apabila dibandingkan cara penulisan nama-nama tempat di utara dan di

selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau

sama yaitu ciendeh dan endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu

cindai dalam pengertian sawa cindai. Ini berarti sama-sama berlatar belakang ular

sakti (Orinbao, 1969: 160).

Penulis E.F. Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis

nama Nusa Eru Mbinge tetap ditulis Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat

Kota Jogo ditulis dengan ejaan cinde. (Kleian, 1875: 529-532). Ini berarti huruf h

Page 24: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

17

pada kata ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Namun demikian nama Endeh

untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.

Penulis lainnya, C.C.F.M. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang

bermacam-macam sesuai dengan ejaan yang ada pada sumber yang digunakan.

Beberapa tulisan itu antara lain Endeh, Ende, Ynde, Inde, sehingga agak sulit

untuk menghubungkan dengan istilah sawa Cindai. Dilihat dari istilah Endeh

masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehigga melalui istilah Ciendeh

semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang

sama ialah istilah (sawa) cindai yang berkaitan dengan ular raksasa ( Orinbao,

1969: 160).

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan

bahwa kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai

dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh

penduduk dalam upacara-upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan

yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan

Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciedeh, dalam perkembangannya

menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).

Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan pulau

Ende yang disinyalir dari istilah sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam

perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian

sebutan. Tulisan dan ucapan nama Kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa

huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata ende dalam ejaan

latin masih biasa ditulis dengan huruh h menjadi Endeh.

Penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai

kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende

kadang-kadang di tulis Endeh. Orang-orang Portugis memberikan nama juga

semau-maunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot

yang sebenarnya adalah Nusa cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam

Kakawin Negara Kertagama dari zaman Kerajaan Majapahit seperti telah di

Page 25: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

18

uraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de

Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat

pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamai Endeh Ilha Grande

yang artinya Nusa Gede.

Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat

dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini

dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854,

halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya

berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceriterakan

keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang

keadaan di Bali pada tahun 1638 (Bijdragen Taal Land-en volkenkunde

Neerlandsch-Indie, (Gravenhage : Tjidschrift van het Koninklijk Instituut, 1854),

pp. 250-262

Setelah masa penjajahan Belanda nama Ende yang sering juga ditulis Endeh

dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende.

Sejak itu nama Ende atau Endeh selalu digunakan dalam buku-buku untuk sekolah-

sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal

Residen Timoer dan daerah ta”koeknja karangan Arn. J. H. van der Velden yang

diterbitkan tahun 1914 (Velden, 1914: passim )

Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga

menulis bahwa pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu

Pater Taveira telah membaptis orang-orang di Timor dan Endeh sebanyak 5000

orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan ada bajak laut dari Jawa yang membajak

dan membunuh di Pulau Endeh.(Suchtelen, 1921:1). Orang-orang Kristen

mengungsi dan dikumpulkan oleh Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng

“Fortolessa de Ende minor” di Pulau Ende untuk melindungi para misionaris

Dominican dari Solor. Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama

Ende seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nama Ende sekurang-

kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang.

Dalam usaha memahami keberadaan suatu kota para sarjana telah

Page 26: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

19

menggunakan perspektif sejarah dalam pendekatannya. Tidak dapat diabaikan

begitu saja bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga

ikut berperan dalam menentukan perkembangan sebuah kota. Secara umum dapat

dikatakan bahwa lahan yang luas dan subur merupakan salah satu faktor utama

yang mendukung tumbuhnya pusat-pusat urban. Wilayah dengan tanah yang

subur akan mampu menghasilkan bahan makanan yang cukup untuk keperluan

penduduk yang cukup besar. Untuk mengungkap sejarah pertumbuhan dan

perkembangan masyarakat kota Ende, akan dikemukakan terlebih dahulu

beberapa teori tentang pertumbuhan sebuah kota.

Mengenai kota-kota yang ada di Indonesia menurut Koentjaraningrat,

berawal dari adanya, kota pelabuhan, kota istana dan pusat keagamaan

(Koentjaraningrat, 1982: 20). Kota pelabuhan terdiri atas bagian-bagian tempat

tinggal para penguasa pelabuhan dan beberapa perkampungan tempat

bermukimnya para pedagang asing yang lokasinya terpisah-pisah. Walaupun di

Ende tidak dijumpai nama-nama perkampungan sesuai dengan tempat asal

mereka, namun ternyata di Ende dijumpai para pedagang asing yang sejak

sebelum kedatangan Belanda telah bermukim di Ende seperti dari Arab, Cina,

Bugis, Jawa dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa Ende telah lama menjadi

tempat perdagangan yang cukup ramai sehingga pedagang asing pun datang di

tempat itu.

Kota istana dicirikan oleh adanya susunan spasial yang mencerminkan

konsepsi rakyat tentang alam semesta. Raja dan istana dipandang sebagai pusat

alam semesta dan penjaga keseimbangan. Kota pusat keagamaan, susunan

spasialnya berkisar di sekitar makam raja-raja, sebuah bangunan suci berupa

candi, stupa dan sebagainya. Bangunan itu dikelilingi perumahan para pandita,

biku atau mereka yang bertugas memelihara bangunan dan pusat keagamaan itu

(Koentjaraningrat, 1982, 21). Dalam hal ini Ende menjadi pusat Misi dan agama

Islam dengan adanya bangunan suci berupa gereja dan mesjid.

Page 27: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

20

Ende tidak tergolong ke dalam kota istana karena raja beserta bangunan

istana tidak dianggap menjadi pusat alam semesta dan penjaga keseimbangan.

Walaupun di Ende pernah ada raja, namun keberadaannya sangat singkat sehingga

tidak cukup kuat atau mengakar pada kehidupan masyarakat. Di samping itu

karena raja Ende bekerjasama dengan Belanda yang ditunjukkan dengan

keberangkatan 7 (tujuh) penguasa kerajaan Ende pada bulan Mei tahun 1839 yang

pergi ke Kupang untuk menyampaikan pernyataan kepada Residen Kupang

Gronovius, bahwa mereka rela menjadi rakyat Belanda. Penyerahan kerajaan

Ende ini disahkan oleh Gubernur Jenderal. Penyerahan ini dilakukan terdorong

oleh keberhasilan Belanda yang mendatangkan 2 (dua) buah kapal perang untuk

membasmi bajak laut pada tahun 1838. Kedudukan raja semakin lemah setelah

Portugis menyerahkan pulau Flores, Solor dan pulau-pulau sekitarnya kepada

Belanda melalui perjanjian tahun 1851 dan disahkan tahun 1859 di Belanda

( Indisch Staadblaad tahun 1859, No. 101).).

Sejak penyerahan pulau Flores kepada Belanda tahun 1851 sampai awal

abad XX keadaan kacau. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan keamanan,

pembajakan di laut, peperangan yang terjadi antar penduduk pegunungan

melawan penduduk pantai. Kekacauan semakin meningkat setelah raja daerah

pantai menyerahkan haknya kepada Belanda. Rupanya sebagian rakyat tidak

setuju atas tindakan rajanya maka beberapa kali raja Ende justru mendapat

serangan dari raja-raja kecil di pedalaman sehingga Ende tidak pernah

aman.Beberapa peperangan yang terjadi misalnya pada tahun 1878 terjadi perang

antara raja Ende melawan desa-desa sekitarnya. Tahun 1890 terjadi serangan oleh

seorang mosalaki besar yaitu Bhara Nuri yang berkuasa di Manu Ngoo, sebelah

utara Ende. Kemudian tahun 1904 terjadi peperangan, dua mosalaki dari Watusipi

dan Nangaba menyerang Ende dan Brai sekutu Belanda. Tiga tahun kemudian

Ende diserang oleh raja Woloare di bawah pimpinan Mosalaki Rapo Oja. Pada

waktu itu posthouder meminta bantuan kepada raja Ndona Mbaki Bani dan

mendapat seratus pucuk senjata bedil. (Uran, 1985: 91-92). Hal ini ikut

memperlemah kedudukan raja sehingga tidak sempat untuk membangun istana.

Page 28: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

21

Belanda sendiri mengabil posisi tidak ikut campur dalam kekacauah antar

wilayah, kecuali mendesak kepada raja untuk adil terhadap rakyat dan berusaha

mengambil hati rakyat dengan cara melarang raja-raja memperdagangkan hamba

dan harus taat kepada Belanda.(Uran, 1985: 89-90).

Mulai tanggal 10 Juli 1907 Belanda mulai melancarkan aksi-aksi militer

untuk menghadapi para perusuh dari daerah pedalaman dan pada tanggal 10

Agustus 1907 Kapten Christoffel tiba di Ende. Setelah selesai melakukan operasi

militer di Ende mulai tanggal 10 Desember 1907 Kapten Christoffel mengadakan

operasi militer ke arah barat yaitu wilayah Ngada dan Manggarai. Kerajaan Riung

sejak tanggal 17 November takluk kepada Belanda, sehingga sejak tanggal 10

Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dapat dikuasai Belanda. Setelah

berhasil menguasai Manggarai, Kapten Christoffel kembali ke Ende terus

bergerak ke timur untuk menguasai Tanah Kunu V, Ndori dan Mbuli. Dan pada

tangal 22 Desember 1907 pasukan Christoffel kembali ke Ende dan mulai

menduduki daerah Jea dan Ute di sebelah barat Ende.

Mulai tanggal 1 April 1915 Flores ditetapkan menjadi sebuah afdeeling

yang diperintah oleh seorang Asisten Resident berkedudukan di Ende. Afdeeling

Flores dibagi atas 7 (tujuh) onderafdeeling, Flores Timur dan Solor, Adonara dan

Lomblen, Maumere, Ngada, Manggarai Utara dan Barat, Manggarai Tengah dan

Selatan, serta onderafdeeling Ende. Setiap onderafdeeling itu diperintah oleh

seorang civiel Gezaghebber atau controleur. Sejak tahun 1915 itu pulau Flores

resmi menjadi jajahan Belanda sampai Jepang berkuasa di Indonesia.

Ditinjau dari segi fisik, kota merupakan suatu pemukiman yang

mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan yang

mempunyai prasarana dan sarana atau berbagai fasilitas yang relatif memadai

guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Ciri lainnya yaitu terdapat bangunan-

bangunan atau gedung-gedung penting seperti gedung pemerintahan, gedung

gereja, bank, mesjid, rumah tahanan dan sebagainya. Pada lingkaran kedua dari

Page 29: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

22

lapangan terdapat rumah-rumah para pamong praja atau pejabat eselon berikutnya

dalam pemerintahan, barulah pemukiman-pemukiman lainnya.

Bila diamati dari rumusan tersebut di atas ternyata terlepas dari jumlah

penduduk. Dari segi penduduk, The State Bureau of the Cencus menentukan

jumlah jiwa 2.500 jiwa; sedangkan PBB mengajukan 100.000 jiwa untuk syarat

jumlah penduduk sebuah kota. Ternyata memang tidak ada suatu kesepakatn

mengenai jumlah minimum populasi yang dapat digunakan untuk

mengkualifikasikan suatu pemukiman sebagai suatu kota. Dengan demikian

agaknya tidak mungkin terdapat suatu kesepakatan mengenai setiap fenomena

kualitatif yang dapat dijadikan variabel dalam menemukan suatu penilaian

obyektif mengenai ciri-ciri kota atau urban yang pasti. Atas dasar itu, maka J.H.

Goode mengajukan pendapat sejumlah ciri yang dipandang sangat menentukan

watak khas tata kehidupan sebuah kota yaitu: (1) Adanya peranan yang cukup

besar yang dipegang oleh sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam

kehidupan ekonomi; (2) Jumlah penduduk yang relatif besar; (3) Heterogenitas

susunan penduduknya; dan (4) Kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Dalam

ciri di atas ternyata jumlah penduduk serba relatif, dan dari segi fisik yang penting

di sini yaitu adanya gedung-gedung atau bangunan yang letaknya berdekatan serta

mempunyai prasarana dan sarana umum seperi jalan, penerangan, sarana ibadah,

pemerintahan, rekreasi dan olah raga, ekonomi, komunikasi, serta lembaga-

lembaga yang mengatur kehidupan bersama penduduknya.

Keadaan Masyarakat Ende pada awal abad XX. Setelah Belanda secara

resmi berkuasa di pulau Flores dan dibentuknya Onderafdeeling Ende pada tangal

1 April 1915 yang tertuang dalam Indisch Staadblad no 743, selanjutnya

pemerintah Belanda mulai mengatur administarsi pemerintahan di wilayah Ende.

Usaha yang dilakukan dimulai dengan mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil

menjadi beberapa kerajaan besar yang diperintah oleh seorang raja yang

berpengaruh menjadi zelfbestuuder berdasarkan korte verklaring dari Ratu

Belanda Wihelmina. Zelfbestuurder merupakan raja yang otonom yang

Page 30: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

23

memerintah kerajaannya sesuai dengan adat-istiadat, namun tetap diawasi oleh

seorang pegawai Belanda yaitu controleur atau gezaghheber.

Menurut ARN. J.H. van Velden dalam bukunya yang diterbitkan tahun

1914 di onderafdeeling Ende terdapat 20 kampung dan yang utama yaitu

Ambugaga. Sedangkan penduduknya selain penduduk setempat juga orang

Makasar, Bugis dan orang-orang dari pulau-pulau sekitarnya termasuk para

hamba sahaya atau budak yang dirompak atau dibeli dari Sumba. Orang-orang

yang tinggal di daerah pantai beragama Islam, sedangkan yang tinggal digunung

dikatakan masih kafir (Velden, 1914: 28-29).

Van Suchtelen mengungkapkan bahwa pada tahun 1917 di seluruh

wilayah onderafdeeling Ende yaitu Tanah Rea, Ende, Ndona dan Tanah Kunu V,

penduduknya berjumlah 68.653 jiwa. Penduduk di ibukota Ende sendiri berjumlah

19.687 jiwa yang terdiri atas 7435 orang laki-laki, 4752 orang perempuan, 3985

anak laki-laki dan 3515 anak perempuan. Di Ibukota Ende selain penduduk

setempat terdapat orang Eropa, Cina, dan orang Arab (Suchtelen,1921: 173).

Perdagangan oleh masyarakat Ende dilakukan melalui pelabuhan yang

dalam dan disinggahi oleh kapal-kapal KPM. Pemerintah Belanda yang tinggal di

Ende terdiri atas Asisten Residen, Controleur, seorang Kommis, Civiel

Gezaghebber, seorang Kapitein dan dua orang opsir, 120 orang tentara, seorang

dokter tentara dan agent KPM. Di Ende juga disebutkan telah ada sebuah sekolah,

sebuah rumah sakit tentara dan Civiel, kantor pos (hulpposkantoor) gudang batu

arang dan toko-toko Cina (Velden, 1914: 28).

Prasarana jalan di Ende mulai dirintis pada tahun 1910 dengan pembuatan

jalan raya dengan sistem kerja rodi. Pembukaan jalan yang dilakukan dengan

kerja rodi itu menghubungkan satu kerajaan dengan kerajaan lain dan satu desa

dengan desa lain. Bersamaan dengan itu dibuka pula jalan raya yang

menghubungkan Larantuka di Flores Timur dengan Reo di Manggarai Utara

(Flores Barat) sepanjang 600 km. Kerja besar dengan menelan korban ratusan

jiwa itu berhasil diselesaikan dan diresmikan pada hari ulang tahun Ratu

Page 31: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

24

Wihelmina tanggal 31 Agustus 1925. Untuk menunjang keuangan pemerintah,

mulai tahun 1912 setiap penduduk diwajibkan untuk membayar pajak kepada

pemerintah Belanda.

Keadaan Ende dengan tempat-tempat prasarana dan sarana pemerintahan

seperti kantor pos, rumah sakit, kantor telepon, kuburan umat Kristen (Kerkhof

voor Christenen), tempat tinggal Asisten residen, Mesjid, sekolah, dan berbagai

fasilitas lainnya yang dapat dilihat pada peta Kota Ende tahun 1917. Dengan

datangnya Belanda di Ende, maka sistem administrasi yang teratur mulai

diterapkan. Dari sumber-sumber yang diperoleh telah menunjukkan tersedianya

berbagai prasarana dan sarana di Ende sebagai berikut. Prasarana tranportasi

berupa jalan yang menghubungkan antar wilayah yang mulai dibangun sejak

tahun 1910. Dalam bidang komunikasi telah tersedia kantorpos dan kantor telepon

di Ende. Heterogenitas penduduk juga terpenuhi dengan adanya orang-orang

Arab, Bugis, Sumba dan etnis lain yang berasal dari pulau-pulau sekitar Ende.

Kehidupan penduduk tidak hanya mengandalkan bidang pertanian saja, tetapi

sudah ada yang hidup dari berdagang sebagai tukang, kuli di pasar atau

pelabuhan, bekerja sebagai pegawai di kantor-kantor pemerintah dan sebagainya.

Hal ini berarti telah ada diferensiasi kerja atau terdapat spesialisasi non agararis.

Di samping itu juga mulai ada golongan yang berpendidikan dengan dibangunnya

sekolah di Ende. Seperti dikemukakan oleh Gideon Sjoberg bahwa ciri utama

yang menjadi titik awal gejala kota adalah munculnya spesialisasi non agraris dan

munculnya golongan yang berpendidikan (Sjoberg, 1965: 25-31).

Berdasarkan informasi yang telah diuraikan di atas, maka pada awal abad

XX atau sekurang-kurangnya sejak tanggal 1 April 1915, dapat dikatakan Ende

telah tumbuh menjadi sebuah kota berupa kota administrasi. Letak kota itu

mengambil lokasi di sekitar pusat kerajaan Ende yang letaknya strategis dan

memiliki prospek ke depan yang baik. Susunan spasial kota administrasi ini

berkisar di sekitar lapangan Perse. Di sekeliling atau lingkaran lapangan itu

terdapat rumah tempat tinggal kepala pemerintahan seperti asisten residen,

kontrolir, dan pejabat lainnya.

Page 32: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

25

Bertitik tolak dari teori Gideon Sjoberg, persyaratan timbul dan

tumbuhnya kota selain timbulnya spesialisasi non agraris dan adanya golongan

yang berpendidikan juga memiliki basis ekologi yang memadai. Wilayah Ende

memiliki lingkungan alam yang cukup memadai. Untuk melihat bagaimana basis

ekologi masyarakat Kota Ende, di bawah ini akan dikemukakan keadaan fisik

kota.

Secara umum lingkungan masyarakat kota dapat dilihat dari tanda-tanda

pengenal kota. Tanda pengenal sebuah kota paling sedikit dapat dilihat dari 2

(dua) kenampakan yaitu ciri fisik dan ciri sosial. Dari segi fisik yaitu adanya

bangunan yang langsung dapat dilihat bila seseorang datang di Kota Ende. Tanda

pengenal Kota Ende antara lain tempat-tempat untuk pasar, tempat untuk rekreasi

dan olah raga, bangunan-bangunan pemerintahan, perumahan, prasarana dan

sarana transportasi, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjukkan ciri

kekotaannya.

Tempat untuk pasar dan pertokoan. Pasar atau tempat untuk orang yang

mengadakan jual beli di kota Ende telah ada sejak sebelum kedatangan Belanda

di Ende. Hal ini telah ditulis oleh Suchtelen yaitu seorang Controleur Binenland

Bestuur di Ende yang mengatakan bahwa kapal-kapal KPM milik pemerintah

Belanda sering singgah Ende untuk berdagang. Selain itu juga dijumpai beberapa

tempat untuk pasar dan pertokoan. Tempat pasar dan pertokoan terletak di daerah

pantai selatan yaitu di sekitar Kelurahan Kotaratu yang disebut pasar Ende. Pasar

selalu merupakan titik api atau fokus point dari sebuah kota. Pada awalnya pasar

merupakan daerah terbuka di mana para petani, para nelayan, dan para pengrajin

membawa dan melaksanakan perdagangan secara barter atau tukar barang dengan

barang. Dengan adanya kemajuan sistem barter perlahan-lahan berubah menjadi

sistem uang, sehingga sistem barter diganti sistem jual beli. Sifat pasar kemudian

berubah pula dari daerah terbuka menjadi bangunan-bangunan atau kios-kios yang

relatif tertutup yang memperjualbelikan hasil pertanian, hasil penangkapan ikan

dan hasil-hasil kerajinan seperti kain dan sebagainya (Soenaryo dkk, 2006: 39-

40).

Page 33: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

26

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kota Ende menjadi

pusat perdagangan. Hal ini telah terjadi sejak sebelum kedatangan bangsa Barat

menetap di Ende yaitu dengan singgahnya kapal-kapal laut KPM dari Jawa ke

Pulau Ende dan terus ke Timur. Mengingat semakin banyaknya barang dagangan,

maka diperlukan tempat untuk menyimpan sehingga dibangunlah gudang-gudang

terutama gudang kopra dan toko-toko seperti Toko Woloare, Toko Bangkalan,

Toko Awat Lanjar, Toko Bata , Toko Kelimutu dan sebagainya.Tempat-tempat

semacam itu lama-kelamaan semakin banyak pengunjungnya sehingga menjadi

pusat perdagangan. Daerah itu menjadi inti kota yang merupakan akumulasi dari

toko-toko, kantor pos, gedung bioskop yang biasa disebut Pusat Daerah Kegiatan

atau jantung kota yang pada siang hari sangat ramai dikunjungi warga kota,

namun menjadi sunyi pada malam hari, kecuali di gedung bioskup satu-satunya di

Kota Ende. Tempat semacam itu yakni daerah pantai yang biasa disebut Ende

Kota, dan sekitar lapangan bola yang terletak di Jalan Ir. Sukarno (Soenaryo dkk,

2006: 40-41).

a. Pasar dan Pertokoan

Pertokoan dan pasar di Ende rupanya terkonsentrasi di pusat kota yaitu di

wilayah Kecamatan Ende Selatan. Pada tahun 2012 jumlah toko grosir ada 4

(empat) buah, pedangan pengecer 164 buah. Berdasarkan SIUP yang diterbitkan

sampai akhir Desember 2011 jumlah pengecer di seluruh Kabupaten Ende

berjumlah 174 buah. Menurut data yang ada di Kantor Perindustrian, Perdagangan

dan Penanaman Modal Kabupaten Ende, pedagang yang ada di pusat kota

berjumlah 1.008 buah dari keseluruhan di Kabupaten Ende yang berjumlah 2751

orang tahun 2011 dan tahun 2012 meningkat menjadi 2854 orang. Jumlah ini

sudah termasuk para pedagang informal. Sedangkan jumlah pasar yang bersifat

harian pada tahun 2012 berjumlah 4 (empat) buah dan pasar mingguan berjumlah

28 buah.

b. Tempat Olah raga dan Rekreasi

Di Kota Ende telah ada tempat rekreasi dan olah raga yaitu di pinggir

pantai yang disebut Lapangan Perse. Tempat rekreasi dan olah raga di kota

Page 34: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

27

ataupun di desa sangat penting bagi umat manusia. Ruang untuk tempat rekreasi

dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : (1) lapangan bermain untuk play

field yang disediakan untuk para remaja dan orang-orang dewasa. Kota Ende telah

memiliki lapangan ini dan biasa digunakan untuk bermain sepakbola maupun olah

raga yang lain serta untuk tempat upacara pada perayaan-perayaan hari besar

nasional. Lapangan ini telah ada sejak masa penjajahan Belanda yang dibangun di

depan kantor Asisten Residen Onderafdeeling Flores; (2) halaman bermain yang

dimanfaatkan oleh anak-anak yang masih di taman kanak-kanak sampai umur 14

tahun. Halaman tempat bermain ini di Ende dibangun di pantai diberi nama

Taman Rendo. Tempat rekreasi atau halaman bermain ini dilengkapi dengan

pelbagai permainan seperti ayunan, putaran dan lapangan hijau untuk berlari-lari

dan sebagainya (Soenaryo, 2006:42).

Pada hari libur seperti hari Minggu warga kota Ende juga biasa pergi ke

Wolowona yaitu sebuah sungai yang cukup lebar dan airnya jernih. Di tempat ini

orang dapat berenang, sambil menangkap udang, mencari kepiting, mencari ikan

dan biasanya mereka membawa bekal makanan. Tempat ini cukup strategis, dekat

dengan pantai dan sekarang telah dibangun fasilitas untuk para wisatawan berupa

bar dan tempat karaoke. Anak-anak mengisi hari-hari libur di tempat ini karena

tempatnya relatip dekat dengan kota hanya sekitar 5 (lima) km ke arah timur.

Namun sangat disayangkan karena dewasa ini tempat itu sudah tidak sebersih dulu

karena para penghuni desa-desa di bagian hulu sungai banyak yang membuang

sampah ke sungai itu.

Tempat rekreasi yang lain yaitu di daerah pantai Nanga Nesa. Di tempat

ini banyak tanaman kelapa sehingga para penunjung dapat menikmati kelapa

muda setelah selesai berenang. Fasilitas jalan juga sudah memadai, sudah dapat

dicapai dengan kendaraan roda empat. Pantai yang biasa untuk rekreasi selain

yang telah disebut di atas yakni pantai Nanga Panda

Pada km 14 dari Ende ke arah timur terdapat air terjun yang berasal dari

pegunungan yang mengalir ke sungai, dengan tebing-tebing curam di

sekelilingnya. Tempat ini banyak dikunjungi para pelancong lebih-lebih pada

Page 35: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

28

waktu liburan. Tempat tersebut dapat dicapai dengan kendaraan umum jurusan

Ende ke Wolowaru, maupun kendaraan pribadi baik roda empat atau sepeda

motor.

Di samping pantai, tempat rekreasi bagi warga Ende yaitu di daerah

pegunungan yang jauhnya sekitar 50 km arah timur dari Kota Ende yaitu Danau

Kilimutu atau Danau Triwarna. Disebut demikian karena di tempat ini terdapat 3

(tiga) danau yang saling berdekatan dengan warna air yang berbeda satu sama

lain. Satu danau berwarna merah yang disebut tiwu atapolo, menurut kepercayaan

adalah tempat roh-roh jahat. Danau yang kedua berwarna putih yamg disebut tiwu

atabuku, yaitu tempat roh orang-orang tua; dan yang ketiga berwarna biru yang

disebut tiwu koofai nuwamuri. Danau yang airnya biru ini diyakini merupakan

tempat roh-roh anak remaja. Warna danau itu sekarang sudah berubah menjadi

warna hitam, coklat dan biru kehijauan. Danau Kilimutu ini terletak di daerah

pegunungan yang cukup tinggi, namun dapat dicapai dengan naik kendaraan roda

empat atau sepeda motor. Selain itu ada pula penduduk yang menyediakan

tranportasi hewan yaitu kuda. Kuda sangat cocok untuk sarana transportasi di

tempat ini karena kuda dapat melewati jalan yang menanjak dan berliku-liku.

Untuk menunjang pengembangan daerah pariwisata di pinggir jalan pertigaan

jalan Ende Maumere dan jalan menuju Danau Kelimutu telah dibangun oleh

Pemda Tingkat II Ende rumah makan dan tempat penginapan bagi para

pengunjung. Apabila pengunjung berangkat dari Ende, sebelum sampai Danau

Kilimutu melewati desa Dua Ria. Di daerah itu dikenal banyak hasil buah-buahan

dan sayur-sayuran, seperti buah jeruk, pisang, sayur col, labu, sawi, dan

sebagainya. Demikian pula hasil pertanian misalnya jagung, ubi kayu, ketela dan

sebagainya. Dengan demikian para wisatawan yang ke Danau Kelimutu dapat

pulang sambil belanja sayur-sayuran dan buah-buahan. Danau Kilimutu tidak

hanya dikunjungi warga Kota Ende dan wisatawan domestik saja, tetapi banyak

juga wisatawan asing dari berbagai negara.

c. Pusat Pemerintahan dan Bangunan Monumen.

Memasuki Kota Ende melalui Pelabuhan Udara Arubusman akan

Page 36: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

29

melewati Jalan El Tari dan di sebelah kanan jalan dijumpai bangunan yang

megah yaitu Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ende. Bangunan ini telah

mengalami beberapa kali renovasi, dan yang terakhir mulai tahun 2001 dibangun

Gedung baru yang lebih besar dengan arsitektur gaya bangunan Lio yang terdiri

atas 2 (dua) lantai, letaknya di belakang kantor yang lama. Di gedung inilah

kegiatan roda pemerintahan Kota Ende dan Kabupaten Ende berpusat. Bila

perjalanan dilanjutkan akan dijumpai sebuah monumen yang terletak

diperempatan jalan. Monumen ini berupa bangunan yang disebut Monumen

Pancasila. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Soepardjo

Rustam pada tanggal 1 November 1985 dengan tujuan untuk mengingatkan

seluruh warga Kota Ende dan siapapun yang datang di Ende, bahwa di Kota inilah

direnungkan dan dilahirkan butir-butir mutiara yang kemudian menjadi sila-sila

dalam Pancasila, dasar Negara Republik Indonesia oleh Bung Karno (lihat

Soenaryo dkk, 2006: 49-50).

Di samping Monumen Pancasila, tempat-tempat yang dulu pernah menjadi

tempat tinggal Soekarno, tempat permenungan sehingga mencetuskan butir-butir

pancasila, gedung tempat pementasan sandiwara karya Soekarno saat ini telah

dipugar. Tempat-tempat bersejarah itu selain menjadi ikon Kota Ende juga

menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat Ended an sekitarnya maupun dari luar

Pulau Flores( Sunaryo dan Nuryahman, 2012: 101- 120).

Apabila kita berkeliling di Kota Ende selain Monumen Pancasila masih

dijumpai bangunan lain yang menjadi saksi sejarah dan tanda untuk mengenal

kota ini. Bangunan itu di antaranya rumah raja Ende yang terletak di Kelurahan

Kotaratu Ende. Walaupun bangunan ini terkesan sederhana, namun dapat menjadi

bukti bahwa pada masa lampau di Ende pernah berdiri suatu kerajaan Ende

dengan berbagai perannya.

Bangunan monumental lainnya yaitu bekas kantor Afdeeling Flores dan

Onderafdeeling Ende yang terletak di depan Lapangan bola Perse, bersebelahan

dengan Kampus Universitas Flores sekarang menjadi Kantor Dinas Pariwisata

Kabupaten Ende. Bangunan ini menjadi bukti sejarah bahwa Kota Ende pada pada

masa penjajahan Belanda telah menjadi pusat pemerintahan untuk wilayah Flores

Page 37: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

30

dan Onderafdeeling Ende. Sedangkan bangunan lainnya yaitu Museum Bung

Karno yang dibicarakan tersendiri.

Di seputar Kota Ende juga telah dibangun beberapa patung untuk

mengenang para pejuang, memberikan motivasi dan semangat bagi warganya

seperti patung Mari Longa dan patung Bhara Noeri . Patung Mari Longa dibangun

di Wolowona, 6 (enam) km dari pusat Kota ke arah timur, sedangkan patung

Bhara Noeri dibangun di Kota Ende bagian barat. Kedua patung itu dibangun oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Ende semasa Drs. Anis Pake menjadi Bupati Ende.

Dalam memajukan bidang pendidikan di Kota Ende juga dibangun monumen

pelajar dalam wujud dua orangtua yang menggandeng putranya untuk pergi ke

sekolah.

Kota Ende sebagai pusat Misi dengan mudah dapat dilihat dengan adanya

bangunan Gereja Katedral yang megah menghadap ke pantai Ende. Bangunan

gereja ini menjadi saksi sejarah bahwa di wilayah ini telah sejak awal abad ke-20

warga Ende telah mengenal ajaran Kristus secara mendalam. Selain gereja

Katedral juga terdapat gereja-gereja lain yang cukup besar seperti gereja Santo

Josef di Onekore, Gereja Santo Josef Freinademetz di Mautapaga, istana Uskup

di Ndona dan sebagainya.

Ciri-ciri sosial kota dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) pelapisan

sosial ekonomi; (2) individualisme; (3) toleransi sosial; (4) jarak sosial; dan (5)

penilaian social (Lihat Bintarto,1983: 45-470).

Pelapisan sosial ekonomi. Adanya perbedaan tingkat pendidikan dan status

sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas itu dapat

berkembang dan mempercepat timbulnya persaingan. Lebih-lebih dengan semakin

banyak penduduknya di kota Ende dan dengan adanya sekolah-sekolah baik yang

dikelola oleh pemerintah maupun swasta dengan berbagai spesialisasinya.

Sebagaimana diketahui di kota Ende terdapat sekolah-sekolah kejuruan seperti

STM, SMKK, SMEA dan SPM Spesialisasi selain di bidang ketrampilan juga

bidang mata pencaharian. Pelapisan sosial ekonomi merupakan salah satu ciri

sosial di kota Ende yang dapat dilihat dari lokasi pemukiman dan bentuk

bangunan tempat tinggalnya (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 23 Juli 2014).

Page 38: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

31

Individualisme. Terjadinya perbedaan dalam status sosial ekonomi

maupun kultural dapat menumbuhkan sifat individualisme. Di Kota Ende hidup

gotong-royong mulai berkurang tergeser oleh sistem upah. Pertemuan tatap muka

dalam hubungan pergaulan dalam ukuran waktu yang cukup lama sudah mulai

berkurang. Hal ini dapat dimengerti karena kehidupan di kota, waktu adalah

sangat berharga. Komunikasi secara langsung sudah diganti dengan sarana

telepon. Selain praktis, tidak perlu transport juga menghemat waktu. Sarana

telepon tidak lagi menjadi barang mewah akan tetapi sudah menjadi kebutuhan

sehari-hari. Dengan menigkatnya pendidikan, berbagai persoalan lebih banyak

dapat diselesaikan secara perorangan sehingga tidak lagi memerlukan nasehat atau

pertimbangan pihak ketiga atau keluarga. Banyaknya pelanggan telepon di Ende

setiap tahun semakin meningkat. Sampai bulan Desember tahun 2010 jumlah

pelanggan telepon ada 2034 dan tahun 2012 sudah meningkat menjadi 2174

pelangan (BPS Kabupaten Ende, 2012: 230).

Toleransi sosial. Perhatian terhadap sesama dapat berkurang oleh

kesibukan warga kota yang semakin meningkat. Keadaan yang demikian bila

semakin bertambah akan berakibat warga kota memiliki sifat acuh tak acuh dan

kurang memiliki toleransi sosial; dan sifat saling peduli terhadap orang lain

berkurang. Warga kota biasanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya sehingga seakan-akan tidak ada waktu untuk memperhatikan

sesama. Hal ini di Ende belum banyak terjadi sehingga dapat dikatakan toleransi

sosial warga kota masih cukup tinggi.

Jarak Sosial. Kepadatan penduduk kota Ende cukup tinggi bila

dibandingkan dengan daerah lainnya. Banyaknya penduduk yang sebagian ingin

tinggal di daerah perkotaan mengakibatkan secara fisik di manapun berada baik di

pasar, di jalan, di toko dan di tempat-tempat umum lainnya orang selalu

berdekatan, akan tetapi dari segi sosial berjauhan. Hal ini disebabkan oleh adanya

perbedaan kepentingan, kebutuhan dan perbedaan tujuan. Tegur sapa dilakukan

hanya kalau kenal atau kalau ada kepentingan. Sebaliknya kalau tidak kenal atau

tidak ada hubungan kepentingan orang akan cuek saja dan tidak saling

menghiraukan. Hal ini menjadi ciri kota lebih-lebih di kota-kota besar. Di Ende

Page 39: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

32

hal ini belum terasa benar, karena pada umumnya antar warga, terutama yang tua-

tua sebagian masih saling mengenal satu sama lain.

Penilaian sosial. Adanya perbedaan kepentingan, perbedaan status serta

situasi dan kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem

penilaian yang berbeda mengenai gejala yang timbul di kota. Perbedaan penilaian

ini dapat disebabkan oleh latar belakang filsafat, pendidikan dan pengalaman

seseorang. Pendidikan dan pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara

pandang seseorang. Sikap yang merasa statusnya tinggi akan sangat merugikan

dan mengurangi rasa persatuan sesama warga kota. Masalah yang dipandang hal

sepele bagi orang yang mampu atau kaya dapat dinilai sebaliknya oleh warga kota

yang kurang mampu.

Demikian ciri-ciri sosial yang pokok bagi sebuah kota. Sudah tentu tidak

ada dua kota yang sama benar struktur dan keadaannya. Baik ciri-ciri fisis maupun

ciri sosial terjalin menjadi satu unit yaitu tata kehidupan dikota. Ciri-ciri fisis kota

Ende akan lebih mudah dikenali daripada ciri-ciri sosialnya. Hal ini disebabkan

ciri sosial kota besar belum begitu terasa di kota Ende.

2.2 Faktor Fisik Kota.

Wilayah Kota Ende terdiri atas tujuh kecamatan yaitu sebagai berikut.

1. Kecamatan Ende Selatan

Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende SelatanKota Ende:

Kelurahan/Desa Mbongawani (Kodepos : 86313)

Kelurahan/Desa Rukunlima (Kodepos : 86314)

Kelurahan/Desa Paupanda (Kodepos : 86315)

Kelurahan/Desa Tetandara (Kodepos : 86316)

Kelurahan/Desa Tetandara I (Kodepos : 86316)

2. Kecamatan Ende Tengah

Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Tengah :

Page 40: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

33

Kelurahan/Desa Potulando (Kodepos : 86312)

Kelurahan/Desa Onekore (Kodepos : 86318)

Kelurahan/Desa Paupire (Kodepos : 86318)

Kelurahan/Desa Kelimutu (Kodepos : 86319)

3. Kecamatan Ende Timur

Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Timur :

Kelurahan/Desa Mautapaga (Kodepos : 86317)

Kelurahan/Desa Rewarangga (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Kedebodu (Kodepos : 86361)

Kelurahan/Desa Ndungga (Kodepos : 86361)

Kelurahan/Desa Tiwutewa (Kodepos : 86361)

4. Kecamatan Ende Utara

Daftar nama Desa/Kelurahan di Kecamatan Ende Utara :

Kelurahan/Desa Borokanda (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Gheoghoma (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Kota Raja (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Kota Ratu (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Roworena (Kodepos : 86319)

Kelurahan/Desa Watusipi (Kodepos : 86319)

Pemekaran fisik kota Ende masih tampak hanya meluas secara mendatar

belum menegak, belum tampak adanya perluasan menegak dengan gedung-

gedung bertingkat sebagaimana menjadi ciri khas untuk kota yang modern.

Namun demikian permasalahan yang timbul akibat bertambahnya penduduk dan

kemajuan masyarakat sudah mulai terasa. Masalah yang timbul akibat pemekaran

kota yaitu masalah perumahan, sampah, lalu-lintas, terdesaknya lahan pertanian,

keterbatasan air minum dan masalah administratif pemerintahan. Perlu diketahui

bahwa masalah yang bersifat fisis ini ternyata juga berkaitan dengan masalah

sosial ekonomi. Seperti halnya permasalahan yang ada di hampir setiap kota di

Page 41: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

34

Indonesia di Ende pun masalah kekurangan daya tampung perumahan bagi

penduduk berpenghasilan kecil dan meningkatnya jumlah para penganggur sudah

terasa. Dampak yang muncul antara lain timbulnya kriminalitas. Untuk mengatasi

hal ini, peranan aparatur pemerintah kota sangat menentukan keberhasilan

program-program pembangunan.

Perkembangan kota tentu memiliki segi-segi positif seperti kelancaran

komunikasi sehingga memudahkan bepergian dengan kendaraan bermotor, mudah

berkomunikasi lewat pembicaraan telpon, mudah mendapatkan hiburan atau

rekreasi dan mudah mendapatkan barang-barang yang diperlukan, dan masih

banyak kemudahan-kemudahan lainnya. Pemekaran kota mempunyai arah yang

berbeda-beda yang sangat tergantung pada kondisi kota dan kondisi alam

sekitarnya.

Daerah Kota Ende ke arah utara berupa perbukitan, sedangkan ke arah

selatan berupa lautan. Daerah perbukitan, jurang dan rintangan-rintangan alam

lainnya dapat menghambat atau bahkan menghentikan laju pemekaran kota

sehingga dapat disebut daerah lemah. Daerah Kota Ende hanya memiliki daerah

yang datar relatif kecil, selebihnya berupa lautan, perbukitan dan pegunungan

yang terjal dan jurang-jurang yang dalam. Daerah-daerah di sekitar perbukitan dan

laut yang merupakan daerah lemah tidak berarti tidak menarik sama sekali bagi

penduduk. Daerah semacam itu masih juga menarik penduduk terutama bagi

penduduk yang berpenghasilan kecil. Mereka mencari tanah-tanah yang harganya

relatif murah. Bahkan dalam perkembangan dewasa ini dan ke depan daerah

perbukitan justru banyak dilirik orang-orang berduit. Di tempat itu dibangun villa

atau tempat-tempat peristirahatan yang ditempati pada hari-hari libur untuk

rekreasi karena kejenuhan di tengah kota.( Sebagai contoh Kota Semarang). Di

Kota Ende dapat dilihat pemukiman penduduk mulai merambat ke daerah

perbukitan di sebelah utara termasuk pembangunan Kampus Universitas Flores

(UNFLOR) yang baru.

Page 42: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

35

Daerah sebelah timur Kota Ende sampai Ndona tanahnya relatif datar dan

terdapat pasar dan terminal sehingga potensial untuk pengembangan ekonomi

sehingga memiliki daya tarik untuk pengembangan kota. Daerah ini dapat

dikategorikan daerah kuat. Secara umum dapat dikatakan bahwa daya tarik dari

luar kota yaitu daerah-daerah yang kegiatan ekonominya cukup menonjol seperti

daerah di sekitar pelabuhan laut dan pelabuhan udara, daerah sepanjang jalan

protokol, daerah pertokoan, serta daerah hinterland yang subur tanahnya. Di Kota

Ende telah tampak bahwa harga-harga tanah disepanjang jalan protokol yaitu

Jalan Garuda, Jalan El Tari dan di sekitar pusat pemerintahan, harga tanah lebih

mahal di bandingkan daerah-daerah lainnya.

Daerah-daerah sekitar pasar dan pusat-pusat rekreasi seperti lapangan olah

raga, rumah-rumah makan, tempat permainan anak-anak, taman-taman rekreasi

merupakan daerah yang cepat berkembang. Dengan demikian dapat dipahami bila

Kota Ende pada tahap awal perkembangannya dimulai dari pemukiman di sekitar

pantai dan lapangan Perse.

Dengan perkembangan kota yang berjalan ke segala arah dan adanya daerah

kuat yang potensial untuk pengembangan ekonomi dan tanah yang relatif datar,

mulai timbul gejala pertumbuhan kota satelit yaitu di Ndona. Hal ini ditunjang

dengan keberadaan istana Uskup Agung Ende di Ndona. Istana Uskup dengan

berbagai prasarana dan sarana penunjangnya telah menjadikan Ndona sebagai

wilayah yang memiliki ciri-ciri sebuah kota.

Kota-kota kecamatan, yang termasuk wilayah Kota Ende juga memiliki

peran ganda karena selain sebagai pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan sosial

budaya juga sebagai pusat pemerintahan atau pusat kegiatan politik. Dapat

dikatakan kota kecamatan itu menjadi pintu gerbang kehidupan dan penghidupan

serta motor penggerak berbagai aktivitas pengembangan kota dan daerah

sekitarnya. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat 13 kota kecamatan.

Kota Ende dapat dikatakan telah mulai berkembang, baik dari segi fisisnya,

segi ekonomi maupun segi sosial budayanya. Hal ini merupakan hasil

Page 43: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

36

perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Banyak fasilitas untuk

memenuhi kebutuhan hidup dapat dipenuhi di kota, antara lain : (1) Bermacam-

macam kebutuhan pakaian atau sandang; (2) Perumahan penduduk, mulai dari

yang sangat sederhana, sederhana berupa Perumnas sampai yang cukup mewah;

(3) Makanan juga tersedia mulai dari makanan masyarakat klas rendah seperti

untuk para kuli, buruh bangunan, tukang yang disediakan oleh para pedagang di

emperan toko dengan harga yang relatif murah sampai makanan untuk para

pejabat atau pengusaha tingkat atas yang tersedia di rumah-rumah makan atau

restaurant; (4) Fasilitas kendaraan bermotor milik pribadi, perusahaan ataupun

kendaraan dinas mulai dari sepeda motor sampai mobil, bahkan banyak yang

memiliki mobil lebih dari satu buah satu keluarga, kendaraan umum seperti Bemo,

Bus sampai sepeda motor untuk ojek. Mengingat wilayah Kota Ende tanahnya

berbukit-bukit tidak banyak yang datar sudah tentu alat transportasi seperti becak,

andong atau gerobak tidak mungkin diusahakan; (5) Prasarana jalan cukup

tersedia sehingga memudahkan orang yang akan bepergian; (6) Sarana

komunikasi juga tersedia seperti surat kabar Flores Pos, telepon, radio, televisi

bahkan yang akhir-akhir ini berkembang di Ende yaitu telepon seluler.

Di sisi lain, kemunduran atau kemerosotan dalam berbagai bidang juga terjadi seperti

dalam hal-hal seperti di bawah ini.

a. Meningkatnya sifat individualistis. Penduduk semakin banyak dan hunian

juga rapat, namun secara sosial sebenarnya semakin renggang. Orang di kota

sebagian lebih senang menggunakan sistem upah dalam mengerjakan sesuatu

pekerjaan. Selain sifatnya yang praktis, juga sangat efisien dan mudah dalam

mengkalkulasi biaya. Kebiasaan kerja gotong-royong mulai menipis di kota.

Orang kota biasanya disibukkan dengan kerja masing-masing. Konsep gotong-

royong yang kita nilai tinggi itu merupakan suatu konsep yang berkaitan erat

dengan kehidupan rakyat sebagai petani dalam masyarakat agraris

( Koentjaraningrat, 1975: 11-12).

Page 44: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

37

Dalam kehidupan masyarakat di Ende, gotong-royong merupakan suatu

sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi

kekurangan tenaga pada masa sibuk bercocok tanam di sawah. Dalam hal ini

petani hanya menyiapkan makan siang atau sore untuk orang-orang yang datang

membantu. Kompensasi lain tidak ada, kecuali pada suatu saat ia dimintai

bantuan, orang yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan

membantu. Kerja gotong-royong semacam ini hanya cocok dan fleksibel untuk

kerja bercocok tanam dalam skala usaha kecil, dan terbatas, terutama pada waktu

unsur uang belum banyak masuk ekonomi pedesaan.

Masyarakat di Kota Ende yang tergolong kurang mampu seperti buruh atau

orang yang bukan pegawai, kerja gotong-royong masih berlaku, misalnya

membangun rumah yang atapnya dari alang-alang dan dinding bambu (yang

bukan menggunakan tembok). Ada juga yang membangun dengan mengupah

tukang tetapi para pembantunya didatangkan dari kampung asal yang terdiri atas

sanak familinya. Kerja dengan sistem gotong-royong yang tetap berlaku di kota

yaitu kerja dalam rangka pesta perkawinan, upacara keagamaan di tempat ibadat

dan di tempat orang yang sedang kedukaan.

b. Meningkatnya kenakalan dan kejahatan di Kota. Adanya indikasi

semakin meningkatnya kejahatan dan kenakalan di kota dapat dilihat darti

banyaknya perkara, tertuduh dalam tindak pidana kejahatan. Dari data tahun 2012

dapat diketahui bahwa pelaku tindak kejahatan yang terjadi mulai dari umur 16

tahun sampai di atas umur 21 tahun. Terpidana yang telah diputus pengadilan

yang dipenjara berumur antara 16 sampai 21 tahun berjumlah 11 orang,

sedangkan umur di atas 21 tahun berjumlah 59 orang. Pelaku kejahatan yang

dikenai hukuman bersyarat atau percobaan umur di atas 21 tahun berjumlah 31

orang. (BPS Kabupaten Ende, 2013: 110)

Pelanggar ketertiban umum tahun 2010 berjumlah 10 orang, pencurian

tahun 2000 berjumlah 9 orang, tahun 2011 berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun

2012 berjumlah 10 orang. Untuk kasus pembunuhan tahun 2010 berjumlah 5

Page 45: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

38

(lima) orang, tahun 2012 berjumlah 8 (delapan) orang dan tahun 2012 berjumlah 3

(tiga) orang. Kasus kesusilaan tahun 2010 berjumlah 3 (tiga) orang, tahun 2011

berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun 2012 berjumlah 3 (tiga) orang.

Dari berbagai kasus kejahatan, yang menarik ternyata penguni Lembaga

Pemasyarakatan di Ende kasus terbanyak adalah karena kasus pembunuhan yaitu

tahun 2010 berjumlah 66 orang, tahun 2011 naik menjadi 77 orang dan tahun

2012 berjumlah 57 orang. Terbesar kedua yaitu jenis kejahatan kesusilaan, tahun

2010 berjumlah 32 orang, tahun 2011 menjadi 34 orang dan tahun 2012

meningkat lagi menjadi 40 orang. Kejahatan terbesar ketiga yaitu penganiayaan,

tahun 2000 berjumlah 11 orang, tahun 2011 berjumlah 12 orang dan tahun 2002

berjumlah 14 orang. Selanjutnya berupa kasus pencurian, tahun 2010 berjumlah 7

(tujuh) orang, tahun 2011 berjumlah 7 (tujuh) orang dan tahun 2012 naik menjadi

12 orang (Ende Dalam Angka, 2010:116).

c. Menurunnya kesadaran alam lingkungan. Menurut pengamatan penulis,

kesadaran lingkungan masyarakat di Kota Ende dapat dikatakan masih kurang.

Indikasinya tampak dari kurang terjaganya kebersihan lingkungan terutama di

komplek perumahan, jalan-jalan umum, tempat-tempat fasilitas umum, pasar,

sungai dan sebagainya. Lingkungan yang cukup bersih masih terbatas di jalan-

jalan protokol dan di komplek perkantoran, dan perumahan golongan menengah

ke atas. Contoh lainnya yaitu sangat kotornya sungai di Wolowona. Masyarakat

masih membuang sampah dan bahkan membuang kotoran di sungai sehingga

menimbulkan pencemaran dan tidak layak lagi sebagai tempat untuk mandi,

mencuci dan sebagainya. Pembuangan sampah dan limbah yang masih

sembarangan oleh sebagian warga kota menunjukkan masih kurangnya kesadaran

terhadap kebersihan lingkungan.

Masuknya arus modernisasi telah memberikan pengaruh baik pengaruh

positip maupun yang merugikan kota dan warganya. Untuk itu diperlukan aparatur

kota yang memiliki pengetahuan tentang administrasi kota dan perencanaan kota.

Masalah keamanan kota harus dapat ditangani dengan sebaik-baiknya, sebab

kelalaian sedikit saja dapat menimbulkan kegelisahan penduduk yang akhirnya

menimbulkan masalah baru. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu kelancaran

Page 46: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

39

dalam pelaksanaan pembangunan dan pengaturan tata kota harus dikerjakan

dengan cepat, tepat sebelum muncul masalah yang lain. Dalam rangka pemekaran

kota Ende, mesti diperhatikan adanya kerjasama yang baik antara aparatur

pemerintah mulai dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat kecamatan-kecamatan

dan desa, para wakil rakyat, dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar

pemekaran kota Ende tidak hanya menguntungkan kota Ende saja tetapi juga

bermanfaat dan memberikan nilai tambah bagi wilayah-wilayah lain sekitarnya.

Dengan cara itu maka dapat dihindari pembangunan yang hanya terpusat di

wilayah tertentu saja. Dengan kata lain dapat ditekankan bahwa pemekaran kota

harus dilihat tidak hanya secara mikro saja, tetapi juga harus dilihat secara makro.

Salah satu sumber pencemaran lingkungan hidup kota ternyata tidak dapat

dilepaskan dari akibat perkembangan kota dan kemajuan teknologi. Aktivitas

manusia baik dengan teknologi yang sudah maju ataupun teknologi yang

sederhana telah ikut menggoyahkan lingkungan karena kurangnya kesadaran

terhadap lingkungan dan kurang perhitungan dalam memanfaatkan teknologi.

Perlu diingat bahwa ketenangan hidup penduduk kota akan menurun bila terjadi

peningkatan dalam pencemaran fisis kota tidak terjaga seperti pencemaran air,

kebisingan suara, dan pencemaran udara. Selain bersifat fisis, degradasi

lingkungan kota dan desa, juga bersifat sosial. Misalnya rasa jenuh, rasa kesal

yang berkepanjangan, rasa jijik untuk tinggal di suatu tempat, rasa tidak aman,

tidak tenang dan sebagainya. Pembangunan perumahan yang tidak didukung oleh

studi kelayakan sehinga tidak sesuai dengan daya dukung kota, atau bertambahnya

kendaraan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, bertambahnya jumlah penduduk

yang tidak terkendali akan dapat mengurangi ketenangan hidup penduduk kota,

karena akan mengurangi kualitas hidup warga kota. Kota Ende dapat dikatakan

penduduknya belum terlalu padat. Luas wilayah Ende 2.046,60 km2 pada tahun

2011 penduduknya berjumlah 237.156 jiwa; pada tahun 2012 jumlah penduduk

Ende naik menjadi 240.675 jiwa. Ini berarti kepadatan penduduknya mencapai

116 tahun 2011 dan 118 pada tahun 2012. (BPS Kabupaten Ende, 2013: 37).

Sebelum kepadatan penduduk semakin meningkat ada baiknya mulai

dengan perencanaan pengembangan kota dibuat sedini mungkin agar di waktu

Page 47: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

40

yang akan datang tidak perlu terjadi penggusuran yang berakibat menimbulkan

masalah sosial dan merugikan semua pihak baik pemerintah maupun warga kota.

Menata kota yang sudah ada akan lebih sulit dari pada membangun kota di lokasi

yang masih jarang penduduknya.

2.3 Pengaruh Budaya Luar.

Sebelum Belanda datang dan berkuasa di Ende dan Flores pada umumnya,

masyarakat di wilayah ini telah mendapat pengaruh budaya luar seperti dari

Kerajaan Majapahit di Jawa, pengaruh Islam dari Kerajaan Ternate, Bugis-

Makasar dan dari Bima. Selain itu juga mendapat pengaruh dari bangsa Portugis.

Dalam kesempatan ini berbagai pengaruh di atas akan disingung secara garis besar

saja untuk memahami latar belakang budaya pada masyarakat di wilayah Ende.

Pengaruh dari Majapahit. Pengaruh dari Kerajaan Majapahit di daratan

Flores lebih banyak dalam bidang kebudayaan seperti nama-nama pulau, nama

orang, nama gelar dan sebagainya. Nama pulau Solot, pulau Sumba dan pulau

Timur itu telah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam Kakawin Negara Kertagama

pupuh ke-14 atau bab XIV. Bunyi pupuh itu sebagai berikut :

“ Ikang sakasanusanusa Makasar Butun Banggawi

Kunir Galiyano mwang i Salaya Sumba Solot Muar

Muwah tikang I Wandan Ambwan athawa Maloko Wwanin

Ri Seran i Timur makadi ning angeka nusatutur ” (Kolit,1982: 33)

C.C. Berg berpendapat bahwa Prapanca sebagai penulis babad disebut

sebagai pujangga kesusasteraan sakti ( “piesters van de literaire magic”). (Putra

Agung, 2001: 10). Supomo dan Sutjipto Wiryosuparto mengatakan bahwa

Papanca lebih tepat disebut sebagai penulis sejarah. Ia dikatakan sudah cukup

kritis, telah menggunakan wawancara dengan bertanya kepada orang yang

dianggap tahu dengan memilih informan yang harus memenuhi kriteria tertentu

Page 48: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

41

yakni: Satya, yang berati bertindahbenar; Susila yang berati berakhlak yang benar;

Satkula berarti dari keluarga baik-baik; Kadang haji yaitu masuk keluarga raja;

dan Suyasa yang berarti telah berbuat jasa baik (Wirjosuparto,1960:20).

Selain nama-nama pulau juga nama tempat yang disebut mendapat

pengaruh dari Majapahit seperti Bajawa yang merupakan ibukota Kabupaten

Ngada. Benteng Jawa nama sebuah desa yang menjadi ibukota Kecamatan

Lamba Leda di Ruteng ibukota Manggarai. Jawa dalam bahasa Lio-Ende dan

bahasa Nage dan Keo berarti jagung. Ini berarti kata jawa bukan saja berarti nama

tempat atau nama orang akan tetapi juga dapat berarti nama jenis makanan. Di

Kabupaten Sika dan Ende terdapat orang yang bernama Embu seperti Embu Iru,

Embu Rema, Embu Rahi dan sebagainya. Walaupun Embu sekarang untuk nama

orang, tetapi pada masa lampau kata Embu diberikan kepada orang yang memiliki

kesaktian atau keahlian dalam peperangan. Kata Embu diperkirakan juga dari

zaman Majapahit yaitu Empu. Empu yang semula berarti “tuan’ merupakan gelar

atau sebutan untuk para pengarang atau pujangga istana yang melakukan

pekerjaan sakral. (Kartodirdjo, 1968: 23). Apabila melihat berbagai pengaruh

seperti tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa nama-nama pulau, nama

tempat dan gelar yang ada di Ende dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya

telah ada sejak menjelang akhir abad ke-14.

Pengaruh Portugis. Sebelum masyarakat Ende berkenalan dengan bangsa

Belanda, bangsa Barat yang datang di Sunda Kecil adalah bangsa Portugis. Para

pedagang Portugis masuk ke Ende melalui perjalanan yang panjang yaitu dari

Malaka ke Maluku kemudian baru ke Sunda Kecil yaitu daerah Larantuka dan

Pulau Solor. Dari Pulau Solor Portugis menuju Pulau Ende, setelah itu baru masuk

ke Ende di Pulau Flores.

Kedatangan orang Portugis di wilayah Indonesia terjadi setelah Alfonso de

Albuquerque pada tahun 1511 berhasil merebut Malaka. Dalam bulan Desember

tahun yang sama Albuquerque mengirim ekspedisi ke Maluku. Ekspedisi terdiri

atas 3 (tiga) kapal dan 120 orang Portugis dipimpin oleh Antonio de Abreu,

Page 49: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

42

sedangkan Francisco Serrao sebagai komandan salah satu kapal. Portugis berlayar

sepanjang pantai Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Flores, kemudian

belok ke utara dan sampai di Banda pada pertengahan tahun 1512. Dengan adanya

pelayaran ke Maluku ini mulailah terjadi kontak antara orang Portugis dengan

orang Indonesia. Hubungan yang dijalin mengambil beberapa bentuk yaitu

militer, kebudayaan, etnis, komersial dan keagamaan di setiap wilayah dan waktu.

Dari Maluku orang-orang Portugis terus ke Kepulauan Sunda Kecil yaitu ke

Solor, Larantuka di Pulau Flores, dan Timor. Flores menurut orang Portugis

diartikan Flowers yang berarti bunga. Disebut demikian oleh para pelaut Portugis

karena pada sisi sebelah Timur pulau tertutup oleh Flamboyan yang sedang

berbunga ( Franca, 1970: 48).

Mulai tahun 1522, pendeta/imam bekerja dengan tekun di Timor dan Solor

selama bertahun-tahun. Hasilnya dapat dikatakan sangat membesarkan hati. Pada

tahun 1561 Uskup Malaka mengirim misionaris Dominican untuk mendapatkan

tempat misi yang tetap di sana. Pada tahun 1566, Fray Antonio da Cruz mulai

membangun sebuah benteng di Solor dengan biaya dari Macao. Benteng itu

digunakan untuk mempertahankan misi dari serangan orang-orang muslim dari

Jawa dan Sulawesi. Di dalam benteng dibangun 4 (empat) gereja dan di sekeliling

tembok banyak rakyat hidup dengan makmur. Pasukan dibayar oleh Dominican.

Komandan pasukan juga dipilih oleh Dominican, walaupun pilihannya harus

dikonfirmasikan dengan penguasa yang berkedudukan di Malaka.

Pada waktu yang bersamaan Fray Asntonio da Cruz membangun Seminari

di kota tetanganya yaitu Larantuka (Flores). Pada tahun 1596 Seminari itu

memiliki 50 orang murid. Akan tetapi pada tahun 1577 telah ada 5000 orang

Katolik di Sunda Kecil. Misi mulai berkembang dan pada tahun 1596 benteng

lainnya dibangun untuk melindungi misi yang baru berdiri di Pulau kecil bernama

Ende di depan pesisir pantai selatan Flores. Di pulau ini dibangun (3) tiga buah

gereja.

Page 50: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

43

Pada awalnya ahli waris raja Sika dan Larantuka yang dikirim untuk

belajar ke Malaka. Setelah menerka mengalami peribahan mereka mengadosi

gelar “Dom”dan sederetan nama-nama dari bangsawan Portugis yang kemudian

mereka melanjutkan menggunakannya bahkan sampai sekarang. Pada tahun 1613

Belanda bersekutu dengan kelompok-kelompok Muslim, conquered benteng Solor

dan Fled Portugis di Larantuka. Pada Tahun 1629, komandan Belanda

mengundurkan diri ke Larantuka. Di tempat itu mereka pindah ke agama Katolik,

dan beberapa waktu sesudahnya Belanda melepaskan tanggungjawabnya atas

Solor. Mereka tidak mendapatkan kepentingan komersial di wilayah itu. Pada

tahun 1630, benteng-benteng dipugar dan waktu itu datang 12 orang misionaris.

Kehadiran orang-orang Portugis sampai sekarang masih ada pengaruhnya.

Melalui perkawinan antara serdadu dan para pedagang Portugis dengan

penduduk asli lahirlah golongan Indo-Portugis yang dalam sejarah dikenal dengan

nama “Portugis-Hitam” atau Topasses. Demikian pula nama-nama orang di Flores

terutama di daerah Flores Timur juga masih menggunakan nama-nama seperti

nama orang Portugis.

Pengaruh Agama Katolik di Kota Ende. Usaha untuk merintis

perkembangan agama Katolik di wilayah Ende dimulai dengan singgahnya

Pimpinan Gereja di Perfektur Apostolik Nusa Tengara Timur yaitu Mgr. Noyen di

Ende untuk mencari kontak dengan Cotroleur Hens di Ende. Mgr Noyen pada

waktu itu akan mengadakan pejalanan ke Jawa untuk beruding dengan Gubernur

Jendral Idenburg di Jakarta. Mgr. Noyen ditemani Mgr. Luypen dan Superior

Engbers. Pertemuannya dengan Controleur Hens di Ende dimaksudkan untuk

berkenalan dan minta nasihat tentang beberapa masalah, berkonsultasi

menyangkut bruder guru, dan yang terpenting adalah mencari tempat sentral untuk

misi di Ende (Laan, SVD, 1969: 1095).

Pertemuan tidak dapat diadakan karena Controleur Hens sedang bepergian.

Namun demikian pada waktu Mgr. Noyen masih di atas kapal ia mendapat berita

Page 51: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

44

dari Nyonya Hens yang isinya minta agar Mgr Noyen datang di Ende.

Disampaikan bahwa keadaan Ende cukup sehat, ada hubungan telepon yang baik,

jalan-jalan sedang dibuat dan suaminya memang pernah membicarakan suatu

tempat untuk Misi. Ada satu hal yang ditanyakan oleh Nyonya Hens yakni apakah

Residen Maijer di Kupang dapat menyetujui adanya pusat Misi di Ende,

mengingat di Ende masyarakatnya seluruhnya beragama Islam. Dan menurut Mgr.

Noyen dengan Residen Meijer di Kupang sudah tidak ada masalah yang berarti

dapat disetujui. Salah satu pendapat yang bernada pesismis datang dari Pater

Superior yang berpendapat bahwa Ende sebagai tempat kedudukan Misi tidak

baik dan tidak akan banyak hasilnya. Tempatnya tidak subur, dan bahkan

disarankan agar jangan dijadikan sentral. Lebih baik agak ke pedalaman, di tempat

yang lebih sehat dan lebih dingin dan penduduknya lebih baik dan sebagainya”

Tempat “Ende” mempunyai nama buruk di kalangan Yesuit.

Pada tanggal 27 April 1914 P. Noyen tiba di Ende lagi dan tiga hari

kemuidian yaitu tanggal 30 April 1914 Controleur tiba. P. Noyen menginap di

pesanggrahan, dan untuk makan ia mendapat kiriman makanan dari Nyonya Hens.

Lebih jauh lagi P. Noyen juga ditawari oleh Controleur Hens agar selama berada

di Ende tinggal di rumah controleur. Menurut penilaian P. Noyen keluarga Hens

adalah suatu keluarga Katolik yang baik. Hens memang sudah banyak berjasa

untuk Misi di Flores. Hens berusaha untuk menempatkan guru-guru Katolik di

bagian Barat, dan juga dengan mengirim anak raja dan anak ketua-ketua adat

pergi bersekolah di Lela, Maumere. Putera raja Ndona, yang tadinya bersekolah

di Kupang dan selama empat tahun di sana tinggal dengan orang Islam,

dipanggilnya pulang dan dihantar ke Lela (Arsip Regio SVD Ende.) p. 1111).

Sampai bulan April tahun 1914 sudah ada 75 anak laki-laki dan 6

perempuan dari onderafdeeling Ende yang mengenyam pendidikan di Lela

termasuk juga Pius Rasi Wangge yang kemudian diangkat menjadi raja. Pada

waktu Pius Rasi Wangge akan menikah dengan Yohana Boka di Lela, pada

tanggal 25 April 1914 diadakan pesta besar, bahkan yang menjadi saksi adalah

Gezahebber Ende Van Suchtelen dan Gezahebber Maumere yaitu Dannenberger.

Page 52: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

45

Pada hari Minggu, tanggal 3 Mei 1914. P. Noyen menyelenggarakan

ibadat di dalam sekolah di Ende. Ibadat itu juga dihadiri oleh Tuan dan Nyonya

Hens. Ibadat itu dimeriahkan dengan nyanyian yang bagus yang dilakukan oleh

para guru dan orang Kristen. Dikatakan bahwa Hens mendapat kesan yang

mendalam dan menyatakan bahwa agamanya mengena di hati dan sesuai dengan

rakyat di Ende. Dia berpendapat bahwa Residen sendiri mempunyai perasaan

yang sama mengenai hal ini.

2.4 Faktor Geografis

Perkembangan Ende menjadi sebuah kota dapat dikatakan berawal dari

masuknya Pemerintahan Belanda. Seperti kebanyakan kota-kota di Asia, demikian

pun Kota Ende berkembang dari pusat pemerintahan kolonial. Pada mulanya kota

tradisional hanya dihuni para elit pemerintah dan religius. Mereka mendapat

dukungan surplus pertanian dari kantong-kantong desa sekitarnya yang dikeruk

melalui kombinasi kekuatan militer dan moral (Gilber dan Gugler, 1996:2).

Kolonial menempati daerah tertentu, membangun pusat pemerintahan dan sarana-

prasana demi kepentingan kelancaran urusan mereka. Pada saat yang sama daerah

itu mulai dikembangkan menjadi pusat pasar dan perdagangan, pusat sarana

transportasi (darat dan laut) dan pusat layanan informasi (telepon, media cetak).

Berbeda dengan pola perkembangan kota yang lain, Ende berkembang

dengan kombinasi antara hubungan pedagang Islam dan Portugis, Cina dan Arab,

dan antara keterlibatan gereja dan pemerintahan kolonial. Pada saat Belanda

masuk, misalnya di pusat perdagangan Ende sudah ada kelompok Cina dan Arab.

Lokasi tempat tinggal mereka menempati daerah strategis dekat pelabuhan dan

pasar sementara penduduk lain mendiami daerah pinggiran di utara dan selatan

(Suchtelen, 1921: 55-56). Boleh dikatakan bahwa Ende sejak sebelum masuknya

Belanda telah menjadi pusat bisnis dan menjadi pelabuhan antar pulau-pulau di

wilayah Nusa Tenggara.

Page 53: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

46

Dari letaknya yang tampan, Kota Ende menjadi bagian dari sistem

ekonomi pasar Nusa Tenggara dan perlahan-lahan berkembang menjadi bagian

sistem perdagangan nasional bahkan internasional. Sejak awal pendudukannya

Belanda telah membangun sebuah dermaga sepanjang 165m di pelabuhan Ende

(Suchtelen, 1921: 55). Pembangunan pelabuhan ini tentu mempertimbangkan

aspek ekonomis penjajah di samping demi pertimbangan praktis keamanan.

Pembangunan sarana transportasi ini menjadi rencana program perdana

karena sejak awal masuknya (kira-kira tahun 1907) Belanda mulai mengerahkan

penduduk untuk membangun jalan raya dari kota Ende menunju Nangaba dan ke

arah timur. Setelah jalan raya, kemudian dibangun pula sebuah dermaga yang

menjadi dermaga tertua di wilayah Flores tengah. Pada saat kini, kota Ende telah

dilewati jalur komunikasi yang cukup lancar. Dengan memiliki 2 pelabuhan laut,

satu lapangan terbang serta jalan raya yang memadai mobilitas manusia dan arus

peredaran barang diduga cukup tinggi.

Pembangunan sarana transportasi memperlancar arus perdagangan ke

wilayah Ende. Namun sejak awal sektor perdagangan dikuasai kaum Cina dan

Arab. Penduduk asli masih tetap mempertahankan sektor primer di bidang

pertanian dan perikanan (nelayan). Sampai sekarang, seperti digambarkan dalam

figur sektor matapencaharian di atas, penduduk Ende yang asli masih memiliki

lahan pertanian atau bekerja sebagai nelayan kecil untuk menyambung hidup

mereka.

Kedatangan Belanda kemudian dilihat sebagai peluang baik bagi gereja

Katolik yang mulai mengembangkan sayapnya ke wilayah tengah dan barat Pulau

Flores. Setelah beberapa abad bermisi di wilayah timur Flores (misi Pulau Solor

dan sekitarnya), gereja telah menyiapkan banyak kader agama. Karena itu

pengembangan misi ke Flores tengah dan barat ikut menyebarluaskan tokoh-tokoh

katolik yang menjadi guru-guru dan penyebar agama di samping tukang dan

tenaga trampil yang mendukung karya pembangunan fisik gereja. Di Ende

Page 54: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

47

kelompok Flores Timur misalnya yang datang bersama kegiatan misi kemudian

membangun enclave khusus di wilayah Kurubege, seperti juga kelompok Sabu-

Rote di wilayah Ipi. Segregasi etnis ini amat mencolok dalam pola pemukiman.

Orang-orang dari kelompok etnis yang sama cenderung membangun pemukiman

di tempat yang sama. Pola pemukiman demikian membuktikan bahwa orang

merasa lebih efektif berkomunikasi dengan kelompoknya daripada dengan

kelompok lain. Fenomena ini mungkin pula menggambarkan bahwa prasangka

antar etnis masih cukup tinggi. Sungguh merupakan suatu yang ironis bahwa

dalam masyarakat yang makin heterogen kohesi intra etnis justru semakin kuat

(bdk. Liliweri, 1994: 19).

Prasangka dan kecemburuan antar etnis membuat kondisi amat rentan

terhadap konflik sosial. Dalam kekuasaan kapitalisme, kesenjangan sosial

semakin tidak terbendung. Kelompok yang kecil akan semakin tidak berdaya

karena tetap dalam kondisi sebagai mangsa. Meskipun gejala prasangka etnis di

kota Ende kurang terasa, namun kecemburuan sosial di kalangan kelas bawah

cukup mencolok. Kasus pembakaran dan penjarahan toko-toko Cina yang terjadi

tahun 1979 dan 1987 membuktikan bahwa kondisi kesenjangan sosial amat rentan

bagi konflik (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 24 juli 2014).

Kehadiran gereja katolik dengan sistem organisasi yang rapi turut

menggusur penduduk asli yang beragama islam dan yang sejak beberapa abad

sebelumnya menjadi tuan tanah di Kota Ende. Gereja membeli tanah-tanah dalam

jumlah besar lalu membangun pusat-pusat pendidikan, usaha dan latihan kerja.

Secara struktural, gereja mendirikan sekolah-sekolah yang menciptakan kader-

kader perubahan. Selain itu dibangun pula sekolah ketrampilan (Ambactschool)

pada tahun 1926 (bdk. Uran: 173).

Pembangunan sekolah ketrampilan mengubah pula tatanan social kota

Ende. Dengan adanya sekolah ini mulai dihasilkan tenaga-tenaga trampil yang

perlahan-lahan meninggalkan sektor primer dan menggantungkan hidup pada

sektor-sektor sekunder. Lapangan kerja baru segera tercipta dengan ketrampilan

Page 55: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

48

yang dimiliki dan secara alamiah mulai muncul persaingan yang menuntut

profesionalisme.

Pada masa sekarang kota Ende telah menjadi pusat pendidikan. Dengan

memiliki satu-satunya universitas dan 3 perguruan tinggi dari 9 perguruan tinggi

di Flores, kota Ende tetap menjadi incaran kaum muda. Di samping perguruan

tinggi, di Kota Ende terdapat 4 sekolah menengah kejuruan. Dua di antaranya

berstatus negeri dengan fasilitas yang memadai untuk menampung ribuan siswa.

Di balik kenyataan ini bisa diasumsi bahwa setiap tahun telah dihasilkan ratusan

tenaga trampil yang diharapkan bisa mengembangkan sektor usaha di kota Ende.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa differensiasi dan

stratifkasi sosial di kota Ende cukup heterogen. Dari data sensus 2010 terlihat

jumlah penduduk dari berbagai kelompok etnis menampilkan angka yang

mencolok. Figur yang sama terlihat juga dalam kategori agama. Sedangkan dalam

tingkatan sosial, kaum pedagang dan pengusaha ekonomi kelas atas masih

dikuasai kelompok Cina dan segelintir etnis Jawa dan Sumatra (Padang-Batak).

Mayoritas kelompok etnis lain menduduki strata sektor jasa khususnya pegawai.

Kelompok etnis Cina membuka tempat usaha di daerah dekat pantai di pinggir

jalan Sukarno-Hatta. Sementara di sektor informal serta buruh kasar dikuasai

kelompok kurang trampil. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari orang-orang

yang urbanisasi ke kota dan tak mendapat kesempatan yang layak.

Pada masa lalu, orang Ende sebagai orang asli dan memiliki tanah luas

menjadi tuan tanah yang berstatus lebih tinggi. Namun persaingan untuk

memperebutkan tempat-tempat strategis dalam ekologi urban menyebabkan

banyak pihak yang tergusur. Tempat-tempat strategis telah beralih ke tangan para

penguasa dan pengusaha. Sementara bagian kota lain telah diperjualbelikan di

antara penduduk.

Faktor letak geografis tempat tinggal penduduk Ende menunjukkan

kalangan yang mampu mendapat lokasi yang lebih strategis. Bagi penduduk yang

kurang mampu akan tinggal di daerah-daerah pinggiran seperti daerah pantai

Page 56: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

49

untuk para nelayan dan daerah pegunungan untuk masyarakat etnis Lio.

Kecenderungan baru muncul dari kalagan etnis Cina. Mereka membuka usaha,

buka took-toko di daerah perkotaan yang ramai lalu-lintasnya, namun mereka

tinggalnya di rumah-rumah yang letaknya kearah pedalaman yang relatif sepi dari

kebisingan.

Page 57: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

50

BAB III

KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL ENDE

3.1 Etnis Lio dan Etnis Ende.

Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnis, namun yang terbesar ada

2 (dua) yaitu etnis Lio dan Etnis Ende yang tinggal di daerah pantai Ende. Etnis

Lio merupakan etnis terbesar di Kabupaten Ende. Mengenai asal-usul nama Lio

ada beberapa pendapat.

Pertama, Lio merupakan singkatan dari bahasa Belanda Land in oorlog

yang dapat diartikan wilayah perang. Dengan pengertian ini dimaksudkan ada dua

orang perampok yang unggul yang bermental perang.orang Lise yaitu Woda dan

Wangge yang dijuluki gudu Woda budu, biga Wangge rago. Artinya Woda

menggemparkan dan Wangge menggegerkan. Rupanya dua orang bersaudara ini

memperluas wilayah Lise dengan cara menimbulkan kepanikan. Pendapat ini

kiranya kuamng tepat mengingat nama Lio sudah dikenal jauh sebelum Belanda

datang di wilayah ini.

Kedua, pendapat P. Rowa, Dinas Kebudayaan Kabupaten Ende yang

menyatakan bahwa Lio berasal dari suatu ungkapan Li Ine One atau sa Li, sa Ine,

dan sa One yang berarti sebaya, seibu dan sekeluarga. Ini bertai sama dengan di

atas Lio merupakan suatu kependekan yang menonjolkan adanya kesamaan atau

kesedrajatan dari tingkat usia, dari satu ibu yang melahirkan dan satu keluarga

besar yakni suku bangsa Lio. Walaupun terbagi dalam berbagai tanah

persekutuan, namun memiliki satu kesatuan dalambahasa, adat-istiadat, dan

kebudayaan. Jadi sebutan ini memiliki daya pemersatu. (Ketiga, pendapat dari

Simon Seko, Ria Bewa tanah persekutuan Lika Telu, Mautenda yang menyatakan

Lio merupakan kependekan dari Lise Ila Obo yang berarti Lise cahaya obor.

Pengertian semacam ini diperkenalkan sejak Raja Pius Rasi Wangge putra Ria

Bewa Wangge Mbete dinobatkan menjadi raja Tana Kunu Lima. Tana Kunu Lima

Page 58: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

51

maksudnya ada lima wilayah tanah persekutuan yang disatukan menjadi Kerajaan

Lio untuk dikuasai oleh raja persekutuan Lise. perluasan wilayah Lise merupakan

akibat politik kolonial Belanda (Orinbao, 1992: 29-30). Melihat pelacakan asal-

usul kata Lio seperti diuraikan di atas masih terbatas pada perpanjangan kata Lio,

untuk lebih tepatnya masih perlu diadakan pengusutan lebih lanjut agar mendekati

kebenaran.

Atas dasar linguistik dapat diusut dasar nama Lio adalah O bukan sebagai

vokal tunggal, melainkan O sebagai nama lengkap sesuai dengan tata bicara suku

bangsa ini yang terarah untuk menyebut dirinya O. Dalam hal ini Li tidak berarti

sebaya melainkan berarti bunyi. Jadi rupanya nama Lio itu paduan kata Li dan O

menjadi Li O. Dalam membenarkan sesuatu orang Lio menyebut O yaitu Oo dan

Hoo yang dapat diartikan OK. Dalam pentasan tandak atau gawi, vokal O

diucapkan dengan elastis di mana vokal O diucapkan oleh ata sodha atau solis

untuk merapikan koor . Vokal o dibunyikan panjang kalau mungkin tanpa putus.

Sehubungan dengan pentasan tandak dapat dipertegas bahwa nama Lio mungkin

paduan kata Li berarti bunyi dan O untuk nama dasarnya. (Orinbao, 1992:30-31).

Pengusutan nama Lio atas dasar linguistik lebih cocok tetapi belum memperjelas

arti fungsional, jadi perlu dasar lain. Sejak zaman dulu orang Lamaholot

menyebut penduduk Kabupaten Ende Ata Soge Watan Lio Kiwang, yaitu orang

Ende penduduk pantai dan orang Lio penduduk pedalaman. Sebagai pemnduduk

pedalaman, orang Lio kurang berkontak dengan orang luar sehingga

menjadinisolationistis. Dikaitkan dengan letak geografis yang ganas, dapat

dikatakan orang Lio korban determinisme geografi. (Koentjaraningrat, 1969; 89).

Di samping pendapat di atas ada sementara informasi yang mengatakan bahwa

Lio itu berasal dari nama orang yaitu pimpinan rombongan pendatang yang

berasal dari Malaka sekitar 20 generasi yang lalu. Bila dihitung berarti orang-

orang Malaka yang datang sebelum atau bersamaan dengan kedatangan bangsa

Portugis abad ke-15 – 16.

Page 59: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

52

3.2 Sarana Transpotasi

Sarana transportasi yang digunakan untuk hubungan antar pulau atau antar

daerah di kepulauan Sunda Kecil pada masa penjajahan Belanda yang utama

adalah transportasi laut.. Maskapai pelayaran milik Belanda yang besar pada

waktu itu yaitu Koninkijk Paketvaart Maatscappij (KPM). Kapal-kapal KPM ini

membawa hasil-hasil bumi ke luar Karesidenan dan juga sebaliknya dari luar

Karesidenan. Rute pelayaran kapal KPM diatur sebagai berikut ini.

1. Tiap-tiap 2 (dua) minggu sekali kapal KPM berlayar mulai dari

Surabaya, Ampenan, Taliwang, (Labuhan Haji), Sumbawa Besar, Bima,

Waingapu, Ende, Sawu, Roti (pelabuhan Korobafo), Kupang, Atapupu, Timor

Dili, Ilwaki, Dammar, Moa, Serwaru, Kisar, Timor, Dili, Atapupu, Kupang, Roti

(Pelabuhan Korobafo), Sawu, Endeh, Aimere, Waingapu, Labuhan Bajo, Bima,

Sumbawa Besar (Labuhan Haji), Taliwang (Ampenan), kembali ke Surabaya.

2. Tiap-tiap 3 (tiga) mingu sekali berangkat dari Makasar, Bima, Waihelo,

Waingapu, Aimere, Endeh, Sawu, Roti (Pelabuhan Korobafo), Kupang, Atapupu,

Timor Dili, Kalabahi, Larantuka, Maumere, Reo, Labuhan Bajo, Sapeh. Bima,

Makasar; dan sekali dari : Makasar, Bima, Labuhan Bajo, Reo, Waingapu,

Wathelo, Sapeh, Bima, dam kembali ke Makasar. Selain kapal-kapal KPM ada 2

(dua) kapal Gouvernement Marine yang diperuntukkan bagi pegawai pemerintah

yang bertugas di pulau-pulau atau daerah-daerah lain.

Di laut sebelah selatan Sumbawa, antara Sumba dan Flores, dan antara

Semau (Timoer dan Roti telah dihubungkan dengan hubungan telegraf oleh

British Australia yang menghubungkan Banyuwangi (Jawa Timur) dengan Port

Darwin (Australia). Hubungan komunikasi ini telah dirintis sejak tahun 1871 yang

kemudian menjadi milik Eastern Extension Australia dan China.( Velden, 1914:

6).

Jalan-jalan yang ada di wilayah Ende sebagian sudah dibuat pada masa

penjajahan belanda. Pembuatan jalan antara Ende ke Maumere cukup berat karena

medanya berbukit-bukit dan di sana sini dijumpai jurang yang dalam. Di Daerah

Page 60: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

53

Wolowaru pernah terjadi kecelakaan yang meminta korban jiwa. Pad tanggal 7

Juli 1930 ada beberapa kuli mengali saluran air dekat gereja untuk mengairi

sawah seorang haji. Ketika sedang mengeluarkan batu-batu kecil yang menahan

batu besar yang letaknya lebih tinggi, tiba-tiba 3 (tiga ) orang sekaligus terindih

batu itu. Dua oprang meninggal seketika karena dadanya tertindih sedangkan

bagian kepala luka terbuka. Satu orang lagi masih dapat bertahan hidup untuk

beberapa menit saja. Salah satu dari8 mereka yang meninggal adalah seorang

yang beragama Islam yang meninggal karena luka pada tengkuknya. ( Bintang

Timoer Djilid VI No.3 September 1930, p. 47).

3.3 Interaksi Sosial

Bila diamati dengan saksama, maka penduduk kota Ende sebagian masih

gidup sebagai petani atau nelayan. Etnis Lio biasanya kehidupannya sebagai

petani, sedangkan etnis Ende yang beragama Islam lebih banyak berprofesi

sebagai nelayan. Dengan demikian maka masyarakat Kota Ende sebagian masih

hidup dalam suasana pedesaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka

masih tergantung pada desa atau daerah-daerah sekitarnya, misalnya kebutuhan

sayur-sayuran, air minum, buah-buahan dan sebagainya.

Apabila ada kontak atau hubungan antara dua wilayah atau lebih dan dari

hasil kontak itu dapat timbul sesuatu kenyataan yang baru dalam wujud tertentu,

maka hubungan yang sedang atau sudah terjadi itu dapat diartikan sebuah

interaksi (Bintarto, 19084: 61). Dengan pengertian seperti itu interaksi dapat

dilihat sebagai suatu proses sosial, proses ekonomi, proses budaya ataupun proses

politik yang lama kelamaan akan menimbulkan suatu kenyataan atau realita baru.

Interaksi antara masyarakat Kota Ende dengan desa sekitarnya terjadi karena

beberapa unsur baik yang terjadi di dalam kota, di dalam desa ataupun di antara

kota dan desa. Interaksi dapat dipercepat dengan adanya berbagai kemajuan yang

terdapat dalam masyarakat desa sebagai akibat dibangunnya jaringan jalan dari

kota ke desa atau adanya saling pengaruh dan saling membutuhkan. Dengan

adanya perluasan jaringan jalan dan kemajuan dalam bidang perhubungan serta

Page 61: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

54

lalulintas antar wilayah menyebabkan isolasi daerah pedesaan secara bertahan

akan berkurang. Hal ini berdampak pula semakin menuruinnya persentase

penduduk desa yang menggantungkan hidupnya dari bertani. Penduduk di

pedesaan tidak lagi bergantung pada bidang pertanian saja, akan tetapi mulai

menekuni bidang-bidang atau mata pencaharian yang bersifat non agraris.

Wilayah perbatasan antara desa dan kota yang dipengaruhi oleh tata kehidupan

kota disebut rural urban areas yangdisingkat rur-ban areas.

Walaupun kehidupan masyarakat daerah rur-ban ini masih hidup dari

pertanian, namun pada umumnya keadaannya lebih maju dari petani yang tinggal

di daerah rural. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (1). Kesempatan

untuk memperoleh mata pencaharian tambahan di Kota Ende sangat

dimungkinkan karena jaraknya dengan kota tidak terlalu jauh; (2) jarak yang dekat

dengan kota menyebabkan frekuensi pergaulan antara warga kota dengan warga

desa dapat lebih intensif; (3) kemungkinan untuk dapat menyekolahkan anak-

anaknya ke sekolah yang berkualitas lebih besar apabila dibandingkan dengan

penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari kota.

Pembangunan berbagai prasarana seperti jalan-jalan dan sarana

transportasi lainnya bus, kendaraan pribadi, sepeda motor dan sebagainya dapat

mengurangi terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi).

Orang dari daerah pedesaan yang bekerja di kota tidak perlu lagi harus tinggal di

kota, mereka tetap tinggal di desa dengan memanfaatkan transportasi yang ada

untuk pergi bekerja di kota. Dengan adanya jaringan penerangan seperti listrik di

daerah pedesaan, masyarakat di desa dapat memanfaatkannya untuk berbagai

keperluan seperti penerangan, lemari es, peternakan, televisi dan sebagainya. Di

daerah Ende tampak di ibukota-ibukota kecamatan dan pusat-pusat misi seperti

sekolah-sekolah, susteran atau biara-biara dan pastoran.

Hubungan desa dan kota tampak pula dalam pemenuhan kebutuhan di kota

Ende terhadap hasil-hasil pertanian dan perkebunan seperti sayur-sayuran yang

didatangkan dari daerah Nduaria, ubi dari daerah Nuabosi, padi dan buah-buahan

dari daerah Moni dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat kota Ende dapat

Page 62: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

55

suplai buah-buahan dan sayur-sayuran segar dari daerah-daerah pedesaan sekitar

kota Ende. Untuk memenuhi kebutuhan daging di kota juga dipenuhi dari desa-

desa seperti daging sapi, kambing, dan babi. Barang-barang kerajinan juga

didatangkan dari daerah pedesaan seperti kain tenun khas Ende Lio yang

kebanyakan diproduksi oleh masyarakat di pedesaan sebagai pekerjaan sampingan

kaum wanita dikala senggang. Bahan perdagangan berupa tanaman perkebunan

juga berasal dari daerah pinggiran, misalnya Kelapa, Kemiri, Jambu Mete, Kopi,

dan Kakao. Sedangkan hasil hutan berupa Asam biji, Kemiri kupas, dan rotan.

Hasil kelapa banyak dijumpai di Kecamatan Nangapanda, Wolowaru, Ende,

Maurole, Ndona, dan Detusoko.

Sebaliknya kebutuhan masyarakat pedesaaan juga dipenuhi dari kota.

Barang-barang keperluan yang diperoleh dari kota seperti pakaian, alat-alat

keperluan rumah tangga, keperluan dapur, bumbu-bumbu, ikan asin, barang-

barang elektronik, alat-alat transportasi, mesin-mesin dan sebagainya.

3.4 Kehidupan Masyarakat Kota Ende

Berbicara tentang masyarakat kota selalu dikaitkan dengan imaginasi yang

bertentangan dengan masyarakat desa. Struktur sosial masyarakat kota cenderung

menampilkan variasi heterogenitas seperti digambarkan Louis Wirth,

...kota merupakan sebuah pemukiman individu yang heterogen,

permanen, padat dan relatif luas....Kepadatan melibatkan diversifikasi

dan spesialisasi, spontanitas kontak fisik yang dekat dan jarak hubungan

sosial, kontras yang menyolok, pola segregasi yang kompleks, kontrol

sosial formal yang kuat, dan menguatnya friksi antara fenomena.

Heterogenitas cenderung merusak struktur-struktur sosial yang kaku dan

menciptakan mobilitas, ketidakstabilan, situasi yang tidak aman.....”

(dalam Gilbert dan Gugler, 1996:158).

Lukisan Wirth di atas menyoroti dimensi kota yang cenderung negatif. Seperti

diketahui, tidak semua kehidupan kota sekian muram dan tanpa hal positif. Ada

banyak hal menarik dari kehidupan kota terlebih di kota kecil seperti Ende.

Bila fenomena kota di atas dipertentangkan dengan Kota Ende, hampir

dipastikan bahwa berdasarkan struktur sosial masyarakatnya, Ende belum bisa

Page 63: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

56

dikategorikan sebagai kota. Namun fenomena sosial bukanlah satu-satunya

kriteria. Masih terdapat banyak kriteria lain yang mengkategorikan suatu tempat

sebagai kota misalnya matapencaharian masyarakatnya, arus komersil dan jumlah

penduduk. Dalam bab ini secara garis besar dipaparkan keadaan masyarakat dan

kehidupan kota Ende. Fokus perhatian penulisan lebih diarahkan pada situasi

sekarang meski di sana-sini disisipkan pula data historis sebagai perbandingan.

Untuk membahas masyarakat dan kehidupan Kota Ende, penulis bertolak

dari pemikiran Schoorl yang mengajukan tiga pertanyaan, yaitu: (1) sampai

seberapa jauh hidup di lingkungan kota itu berpengaruh atas manusia dan tingkah-

lakunya; (2) sampai berapa jauh ada tata kehidupan kota yang berbeda dari tata

kehidupan di[pedesaan, dan (3) sampai seberapa jauh ada tata kehidupan kota

yang seragam (Modernisasi, 1981) Walaupun hanya disebutkan tiga pertanyaan,

namun sesungguhnya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dikemukakan

seperti karakteristik lingkungan urban, masalah kelembagaan, kekeluargaan,

kekerabatan, pranata-pranata yang ada dan sebagainya.

Berbagai pertanyaan di atas bertolak dari kenyataan yang ada di

lingkungan masyarakat kota pada umumnya dan yang ada di Ende khususnya.

Dari keadaan yang ada di Kota Ende dapat dikatakan bahwa banyaknya relasi

yang terjalin di kota dapat mengakibatkan semakin berkurang atau bahkan tidak

mungkin terjadi kontak-kontak yang lengkap di antara pribadi-pribadi. Di dalam

masyarakat yang besar akan terjadi segmentasi hubungan-hubungan di antara

sesama manusia. Bersarnya relasi akan menyebabkan orang hanya saling

mengenal dalam hal yang terbatas, misalnya hanya satu peran saja seperti antara

pelayan toko dan pembelinya. Relasi itu tidak sampai mengenal lebih jauh, tidak

mengetahui bagaimana keadaan keluarga, pandangan hidupnya dan sebagainya.

Ada kecenderungan masyarakat sengaja menjaga untuk tidak terlalu banyak

berhubungan dengan orang lain dengan pertimbangan adanya konsekuensi-

konsekuensi terhadap waktu dan tenaga yang dimilikinya. Ia akan menjaga dirinya

terhadap potensi yang membahayakan atau merugikan dirinya dan keluarganya.

Dengan demikian ada kecenderungan orang kota untuk melindungi dirinya.

Apabila terjadi hubungan pribadi, hubungan itu dimanfaatkan sebagai sarana

Page 64: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

57

untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja. Hubungan yang lebih dominan terjadi

adalah hubungan sekunder, individualisme, toleransi, berpikir abstrak,

universalisme, berorientasi pencapaian (achievement), terbuka terhadap perubahan

(prospensity for change), instrumentalisme dan sebagainya.

Kehidupan masyarakat di Kota Ende dapat diketahui ada beberapa ciri

yang tampak. Ciri-ciri itu antara lain terdapatnya orang asing dan orang luar yang

telah diterima sebagai kondisi hidup yang normal di pemukiman-pemukiman.

Juga terdapat hubungan-hubungan yang impersonal, rasionalistik, berorientasi

tujuan atau interpersonal tunggal. Namun di sisi lain hubungan mereka juga

multipleks dan intens secara personal dengan kawan-kawan,. keluarga, dan

tetangga. Terutama pada generasi muda ternyata mudah terpengaruh oleh

perubahan-perubahan lebih-lebih dalamhal yang secara ekonomis tampak

mengungtungkan,maka akan segaera diikuti oleh masyarakat luas. Misalnya trend

anak muda Ende yang bergerak dalam bidang jasa sebagai ojek sepeda motor

yang semarak 3-4 tahun belakangan ini. Hal ini pun dengan cepat direspon oleh

para pemilik modal dengan menyediakan fasilitas kredit sepeda motor dengan

angsuran yang relatip ringan, sekitar Rp 25.000,00 per hari. Oleh karena sama-

sama menguntungkan, maka pemenuhan persyaratan menjadi lebih longgar, tanpa

SIM dan tanpa penyelidikan mengenai kelayakan secara ekonomis dan

ketrampilan, demi mengejar waktu dan kesempatan. Dampaknya tentu ada baik

positip maupun negatipnya. Dampak positipnya adalah meningkatnya mobilitas

penduduk. Masyarakat dapat bergerak ke segala penjuru masuk dalam gang-gang

di daeah perkotaan dalam waktu yang relatip singkat dan biaya yang cukup murah

yakni antara Rp 1.000-Rp 2.000,00. Sisi negatipnya, karena pengemudi

kebanyakan baru dan belum mahir mengendarai sepeda motor, dan juga banyak

yang tidak memiliki SIM maka kecelakaan banyak terjadi. Kecelakaan

diakibatkan kurang mahirnya pengemudi, kecepatan kendaraan yang tidak

terkontrol dalam situasi jalan yang berkelok-kelok, kesadaran berlalu-lintas yang

rendah, dan berpacu dengan waktu demi mendapatkan pemasukan agar dapat

menutupi setoran hariannya kepada pemilik kendaraan dan ada hasil yang

memadai untuk di bawa pulang. Sangat disayangkan masih banyak anak-anak

Page 65: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

58

muda yang sering kebut-kebutan tanpa mengindahkan keselamatan baik dirinya

maupun orang lain (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 24 Juli 2014).

3.5 Penduduk dan Mobilitas Sosial

Jumlah penduduk kota pada umumnya bertambah karena migrasi masuk

seperti urbanisasi. Daya tarik kota menawan orang untuk mengadu nasibnya ke

sana. Meskipun banyak orang yang hidup tanpa harapan di kota karena tak

mampu bersaing atau mesti berhadapan dengan raksasa ekonomi-politik, banyak

yang seakan terbius untuk tetap tinggal di kota dan tak ingin kembali ke desanya.

Data pertumbuhan penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa laju pertumbuhan

penduduk di wilayah kota lebih tinggi dari wilayah desa. Hal ini disebabkan

karena hampir semua kota mengalami angka migrasi masuk lebih besar

dibandingkan dengan yang migrasi keluar (Hugo dkk, 1987: 101, 193).

Perkembangan Ende menjadi sebuah kota bermula dari suatu

perkampungan Ende yang dihuni sekelompok penduduk asli ata Ende. Pada tahun

1920 kampung Ende hanya berukuran 2 pal dengan lebar kira-kira 150m

(Suchtelen, 1921: 55). Jumlah penduduk kampung tersebut pun pasti tidak

seberapa karena pada saat Belanda mulai menguasai wilayah Ende, total

penduduk, termasuk di wilayah sekitarnya dalam distrik Ende sebanyak 19.687

(Suchtelen, 1921: 173). Jumlah ini belum memenuhi kriteria populasi urban

seperti yang dikemukakan berapa pakar. Menurut beberapa pendapat yang

diterima pula oleh PBB, jumlah total penduduk yang disebut populasi urban

minimal 20.000; di atas 100.000 dinamakan populasi kota, lebih dari 500.000

populasi kota besar, di atas 2.500.000 disebut multi milion dan lebih dari

12.500.000 dinamakan daerah metropolitan atau megacity (Marbun, 1979: 12-13).

Kriteria ini akan cocok dengan jumlah penduduk kota Ende sekarang yang

identik dengan Kecamatan Ende Selatan. Setelah kurang lebih satu kurun

dasawindu, jumlah penduduk meningkat menjadi 71.706 jiwa. Bila jumlah ini

dibandingkan dengan luas wilayah kota sebesar 74,02 km2 maka kepadatan

penduduk kota Ende hanya mencapai 957 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2003:

Page 66: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

59

xiii, 22). Kepadatan ini amat rendah bila dibandingkan dengan kepadatan kota-

kota lain di Indonesia.

Menurut usia, jumlah populasi angkatan muda kelihatan jauh lebih besar

dari kelompok dewasa. Pada tahun 2011 jumlah umur 0 – 14 tahun sebanyak

12.004 jiwa (36,1%), usia 15 – 29 tahun sebanyak 10.821 (32,6%), sedangkan

yang dewasa 9.978 jiwa (35,3%) (BPS, 2011, 42). Salah satu faktor yang

menyebabkan komposisi yang tidak seimbang, dimana jumlah angkatan muda

jauh lebih besar ialah banyaknya jumlah sekolah di kota Ende. Anak-anak dari

wilayah desa dan daerah lain berpindah ke kota untuk mengenyam pendidikan

yang dipandang lebih bermutu.

Mobilitas penduduk kota Ende sekarang nampaknya cukup tinggi. Angka

migrasi neto kota Ende menunjukkan positif 33,69 (BPS, 2012:90). Hal ini

menggambarkan bahwa selisih jumlah migran yang masuk per seribu penduduk

lebih besar daripada migran keluar. Bila perubahan angka ini tetap dari tahun ke

tahun maka jumlah angka pertumbuhan akan terus naik.

Migrasi masuk ke Kota Ende dimulai sejak masuknya pemerintahan

Belanda. Untuk melayani sistem pemerintahannya Belanda membutuhkan

pegawai dan pekerja. Pada waktu yang hampir sama gereja katolik pun

mengembangkan misinya di kota Ende. Para misionaris pioner ikut membawa

serta guru-guru, tukang dan penginjil dari wilayah Flores bagian timur yang telah

lebih dulu dikristenkan. Namun patut disadari bahwa perkembangan penduduk

kota Ende tidak hanya dipengaruhi kedatangan kolonial dan gereja. Sejak awal

abad 20 kota Ende telah dihuni oleh berbagai kelompok etnis dan ras yang cukup

heterogen. Selain penduduk Ende yang asli, suku bangsa Lio dan berbagai etnis

lainpun sudah mulai menghuni kota Ende. Catatan Suchtelen menunjukkan bahwa

pada waktu itu sudah ada 61 jiwa orang Eropa, 199 Cina, 47 orang Arab dan 114

kaum pendatang dari wilayah Indonesia yang lain (Suchtelen,1921: 173).

Pada masa sekarang komposi jumlah menurut etnis pasti sudah berubah.

Seperti digambarkan hasil sensus tahun 2010, jumlah etnis Lio sebanyak 12.808

Page 67: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

60

jiwa, Ende 25.917 jiwa, Bajawa 2.432 jiwa, Sabu-Rail Lawu 2.367 jiwa, Sika

1.181 jiwa, Manggarai 1.071 jiwa, Larantuka 1.034 jiwa, Jawa 1.570 jiwa dan

lain-lain termasuk Cina 8.227 jiwa (BPS 2010: 28). Kelompok etnis Cina masih

menunjukkan jumlah yang mencolok dan pengaruh mereka terasa amat kuat

karena mayoritas sektor perdagangan dikuasai kelompok ini. Kelompok Arab

yang pada awal abad 20 menunjukkan angak signifikan, sekarang jumlah meraka

menjadi minoritas yang hampir tak diperhitungkan.

Berdasarkan kategori agama, jumlah penganut islam dan katolik

merupakan yang terbesar disusul oleh Kristen dan sedikit penganut Hindu. Data

sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa di kota Ende terdapat 12.448 penganut

islam, 12.890 katolik, 1.939 kristen protestan, 159 hindu dan lainnya 15 jiwa

(BPS, 2010:13). Jumlah penganut agama cenderung mengikuti kategori etnis.

Pada umumnya etnis Lio, Ende pedalaman dan Flores lainya menganut agama

katolik. Etnis Ende pesisir menganut agama islam, sedangkan kristen diidentikkan

dengan etnis Sabu-Rote dan Hindu dengan orang Bali.

Berdasarkan lapangan kerja, penduduk kota Ende dengan kategori umur

15 tahun ke atas, yang bekerja berjumlah 25.209 jiwa, mencari pekerjaan 2.047,

bersekolah 8.506, lainnya 8.782 jiwa. Berdasarkan jumlah ini, prosentase yang

bekerja terhadap penduduk ialah 61,19% (BPS, 2010:72). Jumlah ini

menunjukkan bahwa angka ketergantungan di kota Ende cukup tinggi.

Lebih lanjut jumlah yang bekerja bila dikategorikan lagi menurut lapangan

usaha akan terlihat figur sebagai berikut: jumlah yang bekerja di sektor pertanian

tanaman pangan masih cukup signifikan yaitu 2.294 orang, perkebunan 97,

perikanan 1.092, peternakan 77, pertanian lainnya 552, industri pengolahan 4.417,

perdagangan 2.992, jasa 7.599, angkutan 931, lainnya 931 orang (BPS, 2000:81).

Mata pencaharian di sektor primer masih cukup menonjol. Hal ini

mengindikaskan bahwa wilayah kota Ende masih memiliki lahan pertanian dan

kurang mencerminkan situasi urban dimana penduduknya harus

bermatapencaharian di sektor sekunder.

Page 68: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

61

3.6 Urbanisasi dan Urbanisme

Sebagai suatu kota, Ende telah menjadi sasaran urbanisasi. Mengalirnya

migrasi masuk ke kota Ende selain memperbesar jumlah penduduk namun di lain

pihak menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas dan anonimitas yang secara

perlahan mengubah wajah kota dengan cara hidup baru. Cara hidup baru sebagai

akibat kesuksesan eknomi di satu pihak namun dari segi sosial menjadi kekuatan

destruktif disebut dengan istilah urbanisme (Bintarto, 1986:13).

Ada 4 kriteria urbanisme yaitu adanya penduduk yang bermatapencaharian

nonagraris, sistem pendidikan yang menyebarkan pendidikan ketrampilan, suatu

kekuasaan politik yang stabil dan ada golongan pedagang dan pelayananan yang

mensuplai kebutuhan (Bintarto, 1986:13). Bila dibandingkan dengan Kota Ende,

kriteria ini amat sesuai dengan kenyataan sekarang. Jumlah matapencaharian yang

mayoritas di sektor jasa, adanya kelompok pedagang serta sekolah-sekolah

kejuruan telah memberikan peluang untuk berkembangnya polah hidup baru yang

dikenal dengan urbanisme.

Proses urbanisme pada mulanya dipicu oleh adanya urbanisasi. Paparan

figur migrasi masuk di atas membuktikan bahwa angka urbanisasi ke kota Ende

cukup mencolok. Daya tarik kota Ende sebagai kota pelajar amat mungkin

menjadi faktor pemikat utama. Data persekolahan yang ada di kabupten Ende

meninjukkan bahwa sebagian besar sekolah lanjutan tingkat atas berada di kota

Ende. Dari 57 SLTP se-kabupaten Ende, 18 SLTP (31,6%) berada di kota Ende.

Untuk tingkat SMU, dari 19 SMU di kabupaten, 13 (68,4%) berada di kota Ende.

Enam SMK di kabupaten Ende semuanya bertempat di kota Ende (BPS 2001, 82-

93). Pada tingkat Perguruan Tinggi, bila dibandingkan dengan situasi pendidikan

tinggi di Flores pada umumnya, mayoritas PT atau 6 dari 9 PT Flores (termasuk

satu-satunya universitas di Flores) berada di Ende. Tidak mengherankan bila

banyak orang melihat Ende sebagai pusat pendidikan yang menyebabkan arus

urbanisasi terus meningkat.

Page 69: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

62

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, muncul kebutuhan akan

lapangan kerja yang makin besar. Sebagai contoh, maraknya sektor informal di

kota Ende mulai dari penjaja keliling (vendors), home industry dan berbagai

usaha lain yang tidak berbadan hukum mengindikasikan bahwa persaingan kerja

semakin kompleks. Dalam persaingan hidup yang keras, kecendurangan

individualisme akan semakin kuat dan di lain pihak muncul pula ekses-ekses

pengangguran, kriminalitas dan berbagai bentuk kejahatan. Benar bahwa

urbanisme di satu pihak menyajikan gaya hidup yang lebih modern dengan

jaminan ekonomi yang menentramkan namun di lain pihak merusakkan tatanan

sosial yang ada.

Page 70: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

63

BAB IV

PERAN PRANATA SOSIAL DAN PEMUKA MASYARAKAT

4.1 Struktur Sosial Masyarakat Lio-Ende

Pada umumnya masyarakat dibagi-bagi atas strata (tingkat atau kelas)

sosial. Masing-masing strata mempunyai orang yang dituakan dan bertindak

sebagai panutan atau pemimpin. Strata tersebut menjadi suatu pola struktur

ketidaksetaraan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ada kelompok

yang secara sosial dianggap lebih tinggi, yang lain dilihat sebagai lebih rendah

atau kelas menengah. Tingkatan sosial yang terpola ini bisa bervariasi dalam

jumlah dan kriteria/standard pembedaannya. Dalam masyarakat yang sangat

hirarkis, tingkat sosial bisa mencapai jumlah 9 kelompok. Namun pada umumnya

hanya terdapat 3 atau 4 kelas sosial. Dalam masyarakat Hindu terdapat 4 strata

dan masyarakat lain seperti Lio-Ende terdapat 3 yakni kelas atas, menengah dan

bawah.

Pembagian strata (tingkatan) sosial didasarkan pada beberapa kriteria seperti

ekonomi (kelas yang memiliki dan tidak memiliki, yang kaya, menengah, miskin), kriteria

bisa dibuat dan tidak bisa (pemimpin dan bawahan), kriteria akses dan kesempatan

hidup (lahir dari keluarga bangsawan dan miskin), posisi-posisi sosial yang lebih disukai

(artis, religius, trampil/skilled dan awam).

Dalam praktek sehari-hari kelas-kelas sosial ini sangat dibedakan dalam

penentuan pola laku atau hanya sebatas fungsi atau peran-peran tertentu. Sebagai

contoh, dalam masyarakat berkasta, hampir seluruh aspek sosial dan bahkan

dalam pergaulan sosial selalu terjadi pemisahan (segregasi) sosial antara kasta

yang satu dengan yang lain. Kasta bawah harus menempati posisi duduk di bawah

kalau ada bersama kasta atas. Fungsi-fungsi sosial lainpun amat dibatasi untuk

kelas bawah.

Masyarakat Lio mengenal pula pembedaan kelas-kelas sosial. Pada

umumnya terdapat dua kelas sosial yaitu kelas atas yang dikenal sebagai

Page 71: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

64

pemimpin (mosa laki, ata ngga’e, ata ria) dan kelas bawah yakni khalayak umum

yang disebut sebagai ana kalo fai walu. Di beberapa tempat terdapat pula kelas

bawah yang disebut sebagai aji ana (adik-anak). Dalam pemahaman Lio-Ende, aji

ana dikaitkan dengan orang-orang yang nasib hidupnya ditebus atau dijamin oleh

orang lain yang seakan menjadi orang tua asuh atau majikan. Berdasarkan status

ini sering kali aji ana diidentikan sebagai kelompok hamba (budak).

Pengelompokan strata didasarkan pada kesempatan hidup karena kelahiran

misalnya seorang yang lahir dari golongan mosalaki akan tetap menjadi mosalaki.

Hal yang sama terjadi pula dengan kelompok menengah (ana kalo fai walu) dan

aji ana. Ana kalo fai walu memiliki makna etimologis yatim piatu dan janda

namun yang dimaksudkan ialah masyarakat umum selain mosalaki. Ungkapan ini

merupakan simbol dari golongan yang perlu mendapat perlindungan karena tidak

punya hak dan kewajiban sosial yang memadaiDengan demikian mobilitas

vertikal antar strata amat sulit terjadi dalam masyarakat Lio-Ende. Namun kedua

kelompok strata atas yaitu mosalaki/ata ria dan ana kalo fai walu bisa bergerak ke

strata terendah karena alasan-alasan tertentu seperti:

a. Kalah perang atau tawanan perang. Masyarakat Lio-Ende tradisonal

merupakan masyarakat yang suka berperang. Kecenderungan ini

mendorong masyarakat Lio-Ende untuk membangun perkampungan yang

sekaligus berfungsi strategis sebagai benteng pertahanan melawan musuh.

Struktur kampung dibangun dengan mempertimbangkan kondisi ini. Amat

masuk akal bisa kampung-kampung dulu dibangun di atas puncak bukit

dengan pagar batu yang kuat.

b. Utang dari orang tua yang tidak bisa dilunaskan lalu anak-anak dijadikan

sebagai pekerja (aji ana) yang mengabdikan seluruh hidup bagi si tuan.

c. Yatim piatu yang secara ekonomis tidak mampu mempertahankan hidup

dan mesti bergantung pada pihak yang lebih mampu. Peran ekonomis dari

orang tua asuh ini terlihat dalam urusan belis perkawinan. Aji ana akan

mendapat bantuan belis dari orang yang mampu. Dengan demikian seluruh

Page 72: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

65

hidupnya mesti menjadi kesempatan membalas kembali jasa dari orang tua

asuh.

d. Pendatang dari wilayah (kampung) lain yang meminta tinggal di kampung

itu lalu diadopsi sebagai anak atau anggota keluarga oleh salah seorang

anggota masyarakat yang memiliki status sosial atau ekonomi cukup

tinggi.

e. Tuntutan ekonomis yang tidak bisa dipenuhi lalu ditebus oleh seorang

yang mampu. Dalam banyak kasus, orang yang melakukan kesalahan

misalnya menyebabkan kebakaran kampung atau lumbung dan sebagainya

mendapat sanksi untuk membayar seluruh kerugian. Orang yang tidak

mampu membayar lalu meminta bantuan dengan jaminan haknya untuk

dipekerjakan sebagai aji ana bagi si penebusnya itu (Hasil wawancara

dalam FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014).

Dalam kenyataan pada umumnya kelompok aji ana tetap mandiri dengan

mendiami rumah sendiri dan cuma sesekali membantu si majikan. Dalam praktek

lain di mana aji ana mendiami sa’o ria yang sama, tuntutan bagi mereka menjadi

lebih besar karena mereka menjadi amat dependen. Mereka tidak memiliki hak

yang sama dengan anggota klan yang lain misalnya tidak memiliki hak atas tanah

dan warisan, mendiami bagian yang tidak terlalu penting dalam rumah seperti

tidur di tenda luar, dan sering diperlakukan tidak adil.

Semua ketentuan yang mengatur dan memimpin setiap lapisan masyarakat

sudah ditentukan. Ia ditaati sebagai tetua adat sehingga masyarakat mau tunduk

dan taat pada apa yang telah diputuskan. Demikian pula bila ada perselisihan

maka akan diselesaikan secara adat. Dengan ketaatan semacam itu maka

perbedaan dan perselisihan dapat diatasi sehingga kerukunan baik antar sesama

mereka maupun dengan pendatang akan dapat terjaga.

4.2 Sistem Perkawinan

Perkawinan menjadi salah satu cara untuk mempersatukan masyarakat

antar suku, antar agama maupun antar budaya pada masyarakat Ende. Perkawinan

Page 73: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

66

merupakan suatu yang kodrati. Namun sebagai makluk sosial yang berakal budi,

praktek perkawinan diatur sebagai kontrak sosial dan dilegitimasi dalam institusi

keluarga. Secara terselubung, perkawinan dan hidup keluarga sebenarnya

memberikan legitimasi hubungan sex di samping fungsi-fungsi lain.

Masyarakat Kota Ende pada prinsipnya menganuti tujuan yang sama di

atas. Namun dalam praktek hidup sosial, fungsi reproduksi amat diutamakan.

Kesuburan dikaitkan dengan peran istri (tuka nge kambu wonga) sehingga istri

yang tidak memiliki anak dipandang rendah dalam kedudukan sosial. Dalam

setiap ritus perkawinan dan wacana perkawinan selalu disisipkan harapan untuk

mendapatkan keturunan (nge bhondo beka kapa; mora sa wonga benu sa bhoa).

Sebagai konsekuensi mengutamakan tujuan ini, masyarakat Lio-Ende cenderung

mentolerir poligini. Suami menikahi lagi istri kedua atau menceraikan istri mandul

dan mengawini wanita lain demi mendapatkan keturunan.

Selain mengutamakan keturunan, perkawinan bertujuan mengikat

hubungan antara dua keluarga besar yaitu keluarga besar si istri dan si suami.

Ikatan ini dibuktikan dalam hubungan pertukaran (wuru mana) yang tidak hanya

terjadi saat proses pernikahan melainkan seumur hidup pada setiap moment-

moment penting. Praktek ini seakan menuntun kita pada suatu kesimpulan bahwa

masyarakat Lio-Ende lebih mengutamakan hubungan perkawinannya (afinitas)

daripada hubungan darah (consanguinitas). Namun ikatan ini berbeda dengan

praktek di wilayah Melanesia yang sengaja menikahi wanita dari suku yang

menjadi musuh sebagai strategi untuk menjalin kekuatan dalam berperang. Tujuan

perkawinan bukan sekedar mendapatkan keturunan melainkan untuk mendapatkan

saudara ipar yang akan memperkuat pembelaan diri suku saat berperang atau

diserang musuh (Burguire cs. 1996: 4).

Tujuan lain dari perkawinan pada masyarakat Kota Ende (Lio-Ende) ialah

memperoleh kesejahteraan hidup yang nyata dalam kesehatan fisik dan

kesuksesan karya: kolo ma’e ro, ote ma’e node; tu’a ngere su’a wua, maku ngere

watu wanda. tedo tembu wesa wela, peni nge wesi nuwa, tuka nge kambu wonga,

tebo keta lo ngga, gne bhondo beka kapa. dhawe bo’o kewi ae; so sai gepa gena

Page 74: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

67

(semoga sehat walafiat, luput dari penyakit dan gangguan pikiran, tegar bertahan

seperti batu wadas; Semoga usaha berhasil, sukses dalam usaha pertanian dan

memelihara ternak, sehat sejahtera, berkembang subur, dan sukses dalam segala

usaha).

Perkawinan mengenal berbagai bentuk dan praktek namun secara umum

dibedakan bentuk perkawinan endogami yaitu antara orang yang sesuku atau sama

klan, ras atau agama dan eksogami yang berbeda klan, ras atau agama.

Berdasarkan warisan dan garis keturunan, perkawinan dibedakan atas patrilineal

yaitu yang mengikuti garis bapa, perkawinan matrilineal yang mengikuti garis

mama, perkawinan bilateral yang mengikuti garis keturunan yang paling dekat

tanpa mempertimbangkan garis genealogis dan bilineal yang mengikuti dua garis

keturunan bapa dan mama.

Mayarakat Lio-Ende pada umumnya mengenal bentuk perkawinan

patrilineal dimana garis keturunan dan aliran warisan ditentukan menurut garis

bapak. Dalam sistem ini, tempat tinggal keluarga biasanya di rumah keluarga laki-

laki. Selain itu dalam praktek dulu, perkawinan masyarakat Lio-Ende mengadopsi

perkawinan endogami dimana perkawinan ana eda (anak om atau cross cousin)

menjadi bentuk yang paling ideal. Ketika terjadi mobilitas yang makin tinggi dan

juga karena larangan agama Katolik untuk menikahi sepupu tingkat pertama, jenis

perkawinan endogami ini mulai perlahan-lahan ditinggalkan (Hasil Wawancara

FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014)

Bila dibandingkan dengan masyarakat lain seperti di Eropa yang melihat

perkawinan sebagai kontrak, masyarakat Lio-Ende membangun perkawinan yang

berlangsung melalui proses pertukaran terus-menerus dan terjadi sepanjang hidup

kedua insan nikah. Melihat praktek ini, perkawinan tidak menjadi semacam

kontrak melainkan semacam proses pertukaran antara dua aliansi keluarga besar.

Proses pertukaran yang terjadi dalam urusan perkawinan awal akan terus

dilanjutkan dalam seluruh proses hidup khususnya dalam peristiwa atau hajatan

tertentu seperti kematian, perkawinan anggota keluarga dekat, pembangunan

rumah, pengerjaan kebun, dll. Peristiwa perturakan antara pihak keluarga laki-laki

dan wanita dikenal sebagai wuru mana.

Page 75: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

68

Dalam proses perkawinan dan wuru mana, pihak laki-laki memberikan

belis berupa emas yang berbentuk seperti vulva, gading, hewan besar (kerbau,

kuda, sapi, dan babi) dan uang. Pihak wanita membalas pemberian ini dengan

materi yang berhubungan dengan peran wanita seperti makanan (beras, kue) dan

pakaian (ragi, lawo, lambu, luka). Pertukaran ini berlatarbelakangkan

pertimbangan kosmologis yakni pihak wanita yang memberikan anak gadis

sebagai darah atau kehidupan kepada pihak laki-laki mesti diimbangi dengan

sejumlah barang. Namun dalam tradisi Lio-Ende penerimaan ini mesti diimbangi

dengan sedikit balasan penghargaan. Kalau dilihat secara ekonomis jumlah materi

yang diberikan pihak wanita hampir seimbang dengan yang diberikan pihak laki-

laki. Dengan demikian dalam masyarakat Lio-Ende sebenarnya tidak terjadi

pembayaran mas kawin (belis) atau bridewealth (barang untuk kesejahteraan

wanita seperti dalam masyarakat Timur Tengah atau India). Perkawinan menjadi

suatu proses pengikatan hubungan antara dua keluarga besar dan pertukaran ini

diteruskan dalam seluruh proses hidup melalui wuru mana.

Pada prinsipnya perkawinan bersifat monogami seperti dalam pesanan

adat yang menuntut kesetiaan dan keutuhan ikatan sampai selamanya: boka rapa

modha. Rike ma’e towa bowa. Ndawi ngere koti dati, boka rera modha du bopa,

lai raka lala du mata. Dhembi ngere muku sepi, ma’e wika wi’a ngere muku lika.

Namun dalam hidup sosial, terdapat praktek perkawinan poligami (poligini) yaitu

satu suami dengan istri lebih dari satu. Masyarakat Lio-Ende tidak menganggap

praktek ini sebagai warisan tradisi melainkan suatu demonstrasi status sosial-

ekonomis. Biasanya orang yang memiliki status sosial tinggi atau karena

kemampuan ekonomis mempraktekkan perkawinan poligini (bdk. Prior,

1988:221).

Dalam praktek masyarakat Lio-Ende dikenal berbagai bentuk perkawinan

menurut proses pemilihan pasangan atau tahap-tahap peresmian perkawinan.

Secara umum dibedakan perkawinan yang mengikuti proses resmi dengan

dukungan dan restu keluarga besar dan perkawinan yang tidak melalui proses

resmi dimana si calon istri dan suami memilih jalan pintas sebagai siasat

memaksakan kehendak mereka kepada pihak orang tua atau keluarga besar.

Page 76: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

69

Perkawinan Dhuku Tu Lengge Lima (nika ana eda doa atau cross

cousin). Perkawinan ini terjadi antara anak wanita dari saudara dengan anak lelaki

saudari. Dalam masyarakat Lio-Ende dulu, dimana mobilitas masih terbatas dan

kuatnya eksklusivisme, bentuk perkawinan ini merupakan perkawinan ideal.

Tujuan perkawinan ini ialah mempertahankan ikatan kedua keluarga besar

(keluarga pemberi istri dan penerima istri) dan sekaligus menjaga keharmonisan

aliran belis dari satu pihak ke pihak yang lain. Belis yang diberi oleh pihak lelaki

kepada si wanita, tidak boleh dibalikkan lagi dari pihak wanita kepada si lelaki.

Dengan demikian, hubungan antara pemberi istri dan pengambil istri tetap sama

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun sejak masuknya gereja Katolik

perkawinan ini mulai dilarang karena bertentangan dengan hukum gereja

meskipun sampai sekarang masih terdapat praktek di sana-sini. Bentuk

perkawinan ini biasanya melewati proses negosiasi yang lebih sederhana dan

tuntutan belis yang lebih mudah. Namum seringkali status sosial yang tinggi serta

gengsi keluarga menjadi alasan untuk memperumit proses dan tingginya belis.

Perkawinan Pa’a Tu’a . Bentuk perkawinan ini diatur kedua belah pihak

orang tua tanpa persetujuan kedua insan. Biasanya pihak orang tua wanita yang

seakan menyerahkan anak gadis mereka kepada pihak laki-laki karena telah

menerima belis jauh hari sebelum terjadi perkawinan itu bahkan ketika anaknya

masih kecil. Bentuk ini seakan memaksakan kehendak orang tua kepada anak-

anak. Kadang-kadang dalam perkawinan ini diperhitungkan belis dari si ibu gadis

tersebut yang telah diberikan melebihi tuntutan dan kemudian dianggap sebagai

piutang yang harus dibayar dengan menyerahkan anak gadisnya kepada pihak

keluarga laki-laki.

Perkawinan Ana Ale. Perkawinan antara dua insan melalui proses

peminangan dan didasarkan pada jodoh kedua insan tersebut. Dalam perkawinan

ini, pilihan jodoh ditentukan oleh kedua insan laki dan wanita itu sendiri. Dalam

ungkapan Lio perkawinan ini disebut sebagai perkawian dei ngai pawe ate.

Bentuk perkawinan ini melewati proses adat yang cukup panjang dan jumlah belis

disepakati kedua belah pihak. Proses perkawinannya menggunakan perantara atau

Page 77: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

70

jembatan yang dikenal dengan bheto bewa tali nao (bambu dan tali ijuk panjang

sebagai simbol penghubung). Secara teoretis, bentuk perkawinan ini merupakan

perkawinan ideal bagi kawula muda dulu.

Perkawinan Mera No’o Tebo Nika No’o Weki (Poto Kolo Renggi Eko)

Dalam perkawinan ini pihak pria tidak memberikan belis atau hanya memberikan

sedikit belis dengan akibat si pria menjadi anggota keluarga wanita (kawin

masuk). Biasanya disebabkan karena pihak wanita tidak memiliki keturunan atau

karena pihak lelaki tidak sanggup membayar sejumlah belis yang dituntut pihak

wanita.

Perkawinan Paru Dheko atau Paru Kaki (lari ikut). Perkawinan terjadi

setelah si wanita melarikan diri dan menyerahkan diri ke keluarga laki-laki.

Setelah penyerahan diri langsung diproses peresmian perkawinan mereka. Belis

pada umumnya tidak dituntut karena seluruh hak keluarga wanita dianggap hilang

dengan penyerahan diri si gadis itu. Setelah wanita menyerahkan diri ke rumah

orang tua wanita, pihak keluarga wanita akan mengikutinya dengan nama ndu tei

leti deki untuk menuntut urusan anaknya. Biasanya perkawinan ini terjadi karena

si gadis ingin memaksakan pilihannya kepada orang tua atau keluarganya. Dalam

proses adat dulu perkawinan semacam ini sulit diterima karena belis sebagai

faktor utama dalam adat telah diabaikan. Dalam praktek sekarang, bentuk

perkawinan ini menjadi semacam taktik dari si gadis untuk memaksakan orang tua

menyetujui pilihan jodohnya.

Proses Perkawinan (bdk. Muspas III, 1994: MN/B1/I/1). Perkawinan

biasanya dimulai dengan perkenalan antara kedua calon nikah dan dilanjutkan

dengan proses lamaran lalu peresmian ikatan perkawinan. Dalam masyarakat

tradisional Lio-Ende, perkenalan terjadi dalam pergaulan antara kawula muda

yang menggunakan ungkapan-ungkapan kiasan (sena neka, simbi sena) sebagai

bentuk pernyataan isi hati kepada calon kekasih. Bentuk kiasan ini menyatakan isi

hati dan ditanggapi si gadis dengan pola yang sama. Bila ada semacam gayung

bersambut keduanya akan meneruskan kepada ikatan jodoh (dei ngai pawe ate).

Page 78: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

71

Namun seringkali tidak terjadi interaksi perkenalan secara formal antara kedua

insan. Hubungan perkenalan mereka terjadi lewat keluarga atau kedua pihak orang

tua. Dengan demikian calon istri atau suami pasrah kepada keluarga untuk

dijodohkan. Berdasarkan tahap perkenalan ini, sebagai tahap awal selanjutnya

mengantar kedua insan kepada urusan selanjutnya yaitu tana ale (perkawinan

dengan proses peminangan resmi), lari ikut (paru dheko), mera no’o tebo, atau

kawin pintas (langga dowa lopa lelo dowa lani; mba do oto witu lora do kaju

karo; atau be’i leka lisa muku ngare leka naku ae).

Secara umum perkawinan adat Lio-Ende melewati tahap-tahap berikut:

Tahap lamaran: Dalam tahap ini dikenal beberapa ritus seperti

peminangan, ruti nata (ajakan untuk makan sirih) atau teo lambu

(menggantungkan baju sebagai tanda ikatan) atau tipu tanda (ru’u tu’u jaga rara).

Lamaran dari pihak keluarga laki-laki biasanya dilakukan oleh seorang utusan

yaitu orang tua atau anggota keluarga dekat namun pada umumnya digunakan

seorang perantara yang dinamakan hai jala atau poka pada wela leta atau beto

bewa tali nao. Utusan atau hai jala bersama keluarga mempersiapkan emas

pusaka yang akan dibawa sebaga tipu tanda (bukti kalau si gadis menerima

lamaran) disertai doa (batu na’u) yang memohon perlindungan nenek moyang

untuk mempermulus proses lamaran. Setelah tiba di rumah wanita, hai jala akan

diterima pido pu’u rete kamu (saudara laki-laki dari ibu si gadis yang menjadi

penanggung jawab pihak wanita dalam urusan ini). Si hai jala akan memulai

pembicaraan setelah disuguhkan sirih pinang atau rokok (nata mbako). Dia akan

menggunakan bahasa kiasan untuk mengungkapkan maksudnya misalnya

menanyakan lahan kosong untuk digarap (ngebo eo ndu’a dowa). Bila dia

menerima jawaban positif maka proses lamaran akan dilanjutkan dengan tipu

tanda yaitu peresmian lamaran. Seekor ayam akan disembelih disertai doa mohon

restu nenek moyang. Pada waktu itu diserahkan pula emas pusaka sebagai tanda

peresmian ikatan tunangan antara si pria dengan si gadis itu. Proses ini disebut

sebagai tipu tanda (pemberian cap resmi atas dimulainya proses perkawinan), atau

Page 79: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

72

ruti nata (ajakan untuk makan sirih), atau ru’u tu’u jaga rara. Bila kemudian si

wanita menerima lagi lamaran pria lain maka ia akan didenda untuk membayar

pihak lelaki liwu lima eko lima (lima liwut emas dan hewan besar lima ekor).

Sebaliknya bila pihak pria mengkianati cintanya, emas tipu tanda dianggap hilang

(ngawu lewa). Setelah proses tipu tanda maka diadakan kesepakatan untuk

meresmikan perkawinan (pere kobe leku leja) dengan membawa belis besar (Hasil

wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 23 juli 2014).

Tahap Peresmian Pernikahan: tu ngawu ria, mera duri ka sama pesa bela,

weka te’e soro lani. Setelah tahap lamaran, pihak keluarga pria mengumpulkan

keluarga besar untuk menghimpun barang-barang yang akan dibawa sebagai belis

inti (belis besar, ngawu ria). Yang terlibat dalam pengumpulan belis ialah orang

tua, weta ane dan eja kera (saudari dan ipar, suami saudari), serta anggota

keluarga besar lain yang terkait dengan pihak pria. Setelah semuanya tersedia,

pihak laki-laki yang disebut ana embu akan beramai-ramai menghantar belis ke

pihak wanita (ine ame). Mereka akan disambut di tenda yang telah disiapkan,

disuguhkan mbako, keu-mota dan filu-kibi (rokok, sirih pinang dan peganan serta

emping) sebelum perundingan tentang belis dimulai. Pembicaraan tentang belis

dimulai setelah suguhan kekeluargaan. Bila kedua pihak telah sepakat dengan

belis yang dibawa, maka diteruskan dengan upacara makan bersama sebagai

peresmian perkawinan antara si pria dan wanita. Pada kesempatan itu si wanita

dipersilahkan masuk ke tenda didampingi ibu dan seorang teman wanita sebaya.

Ia membawa piring berisi sirih pinang yang disuguhkannya kepada kedua orang

tua menantu. Kemudian si pria mengambil piring yang sama, menaruh emas di

atasnya lalu menyerahkannya kembali kepada orang tua wanita. Pada waktu itu

keduanya dipersilahkan untuk duduk bersanding lalu makan dari satu piring dan

minum dari satu mangkuk. Acara peresmian ini dilanjutkan dengan makan

bersama dan weka te’e soro lani (membentang tikar dan bantal). Pihak pido pu’u

rete kamu (paman di gadis) membentangkan tikar dan bantal di kamar pengantin,

merecikinya dengan darah ayam lalu mempersilahkan mereka masuk sambil

diiringi pesanan. Keduanya dipersilahkan untuk tidur bersama selama 4 malam.

Page 80: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

73

Selama waktu itu keduanya mesti menuruti beberapa ritus misalnya berpantang

atau makan sekali sehari, si pria mesti menyerahkan kepada mertuanya setiap hari

seekor ayam, sebilah pisau dan seikat sirih pinang simbol kesuburan.

Upacara Penutup: semu fu (semu kolo), rio ae (rio weki), ka kepo lalu

menghantar pengantin ke rumah orang tua pria. Setelah berbulan madu selama 4

hari, pengantin diperkenankan lagi kembali ke situasi hidup normal. Namun

proses ini dilewati dalam ritus semu kolo (meminyaki kepala pengantin dengan

santan kelapa diserta doa, rio ae (mandi) di sungai atau pancuran dengan ditemani

sepasang muda-mudi dan ditutup dengan acara ka kepo (makan nasi yang

digumpalkan). Acara ini melambangkan kesatuan keluarga. Rangkaian acara

persemian ini diakhiri dengan mengantar pengantin ke rumah orang tua laki-laki.

Dengan dihantarnya pengantin maka berakhir pula proses peresmian perkawinan

ana ale (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 24 Juli 2014).

Hubungan perkawinan yang dilarang yaitu incest. Perkawinan incest atau

nia mila mata ke’o (mata gelap) hampir diharamkan oleh setiap kelompok

masyarakat. Sebagai gejala universal, incest juga diharamkan dalam masyarakat

Lio-Ende. Yang dimaksudkan dengan incest ialah hubungan sex antara anak

dengan orang tuanya atau saudara dengan saudari kandung/tiri. Arndt menulis

bahwa incest antara saudara dengan saudara (sala ka weta nara wale wea ome

mbulu telu) didenda dengan hiasan emas (sejenis anting) sebanyak 30 buah (1932:

vale). Pela pani yaitu perselingkuhan di luar pernikahan selain incest. Bila terjadi

hubungan sex (perselingkuhan) antara seorang lelaki dengan istri saudaranya

dinamakan ka are sala pesa sala uta (salah makan nasi dan sayur). Incest dan

perselingkuhan dianggap mengganggu keseimbangan sosial dan kosmis. Untuk

memulihkannya harus dibuat ritus. Kedua orang itu harus memberi makan para

tua adat dan pihak laki-laki mesti membayar sejumlah barang kepada si wanita.

Perkawinan secara adat dipimpin oleh tetua adat, namun dalam

perkembangannya setelah masuknya agama Islam maupun Katolik atau Kristen

maka perkawinan dilakukan sesuai dengan agama yang dfianut dan sicatatakan di

Page 81: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

74

pencatatan sipil untuk pengesahan secara hukum. Bila perkawinan menurut agama

Islam dilakukan di KUA sedangkan bila beragama Kristen/Katolik dilakukan di

gereja, setelah itu baru pencatatan sipil. Dalam hal ini lembaga keagamaan baik

Islam maupun Katolik yaitu gereja memegang peran sangat penting. Dalam aturan

gereja persyaratan untuk menikah sangat ketat. Sebelum melangsungkan

pernikahan kedua pasangan harus mengikuti persiapan perkawinan yang disebut

kursus pra nikah. Tujuannya untuk memberikan pendidikan kepada calon

pengantin agar setelah menikah masing-masing mengetahui tugas dan

tanggungjawabnya sebagai suami maupun isteri. Kursus biasanya dilakukan

selama 1-2 bulan. Perhatian terhadap sesama dapat berkurang oleh kesibukan

warga kota yang semakin meningkat. Keadaan yang demikian bila semakin

bertambah akan berakibat warga kota memiliki sifat acuh tak acuh dan kurang

memiliki toleransi sosial; dan sifat saling peduli terhadap orang lain berkurang.

Warga kota biasanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

sehingga seakan-akan tidak ada waktu untuk memperhatikan sesama. Hal ini di

Ende belum banyak terjadi sehingga dapat dikatakan toleransi sosial warga kota

masih cukup tinggi (Hasil wawancara dalam FGD di Ende, 23 Juli 2014).

Perkawinan juga menjadi salah satu sarana untuk mempersatukan berbagai

pihak yang berbeda suku, agama atau adat-istiadat. Dengan perkawinan salah satu

proses integrasi bangsa terwujud. Ikatan perkawinan terutama antar etnis/suku

(amalgamasi) mampu mempersatukan dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan

perempuan. Dengan demikian diharapkan setelah menikah bila ada perselisihan

agar dapat diselesaikan dengan baik sehingga tidak terjadi perceraian karena

dalam agama Katolik tidak diperbolehkan bercerai kecuali salah satu pasangan

meninggal. Dalam hal ini lembaga adat, lembaga keagamaan dan para

pemimpinnya mempunyai tugas untuk membimbing pasangan calon pengantin

agar tetap bersatu.

d. Jarak Sosial. Kepadatan penduduk kota Ende cukup tinggi bila

dibandingkan dengan daerah lainnya. Banyaknya penduduk yang sebagian ingin

tinggal di daerah perkotaan mengakibatkan secara fisik di manapun berada baik di

Page 82: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

75

pasar, di jalan, di toko dan di tempat-tempat umum lainnya orang selalu

berdekatan, akan tetapi dari segi sosial berjauhan. Hal ini disebabkan oleh adanya

perbedaan kepentingan, kebutuhan dan perbedaan tujuan. Tegur sapa dilakukan

hanya kalau kenal atau kalau ada kepentingan. Sebaliknya kalau tidak kenal atau

tidak ada hubungan kepentingan orang akan cuek saja dan tidak saling

menghiraukan. Hal ini menjadi ciri kota lebih-lebih di kota-kota besar.Di Ende hal

ini belum terasa benar, karena pada umumnya antar warga, terutama yang tua-tua

sebagian masih saling mengenal satu sama lain.

e. Penilaian sosial. Adanya perbedaan kepentingan, perbedaan status serta

situasi dan kondisi kehidupan kota mempunyai pengaruh terhadap sistem

penilaian yang berbeda mengenai gejala yang timbul di kota. Perbedaan penilaian

ini dapat disebabkan oleh latar belakang filsafat, pendidikan dan pengalaman

seseorang. Pendidikan dan pengalaman seseorang akan mempengaruhi cara

pandang seseorang. Sikap yang merasa statusnya tinggi akan sangat merugikan

dan mengurangi rasa persatuan sesama warga kota. Masalah yang dipandang hal

sepele bagi orang yang mampu atau kaya dapat dinilai sebaliknya oleh warga kota

yang kurang mampu.

Demikian ciri-ciri sosial yang pokok bagi sebuah kota. Sudah tentu tidak

ada dua kota yang sama benar struktur dan keadaannya. Baik ciri-ciri fisis maupun

ciri sosial terjalin menjadi satu unit yaitu tata kehidupan dikota. Ciri-ciri fisis kota

Ende akan lebih mudah dikenali daripada ciri-ciri sosialnya. Hal ini disebabkan

ciri sosial kota besar belum begitu terasa di kota Ende.

4.3 Solidaritas Sosial

Dari realita yang ada menunjukkan bahwa keberbedaan (diversity) dalam

kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat ini,

paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Termasuk di Kabupaten

Ende, dan ironisnya, justru konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau

ideologi pemikiran keberagamaan-lah yang masih mendominasi.

Page 83: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

76

Mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan

di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan

agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera

menampilkan ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan

tujuan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam

konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara

kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusivisme kelompok

agama dan budaya yang sempit.

Pendidikan memiliki peran strategis untuk membangun serta

mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang

mengerti kemajemukan bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah

pendidikan yang empati dan simpati terhadap problem kemanusiaan seperti

penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan sebagainya. Pendidikan agama yang

berlangsung bukan sekadar penanaman wacana melalui proses indoktrinasi otak,

tetapi sesungguhnya melatih terampil beragama dan kesiapan menghadapi

masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan-perbedaan. Dengan

demikian, kerukunan hidup yang dicita-citakan dapat terwujud menjadi kekhasan

dan prasyarat terselenggaranya pembangunan di negeri ini.

Menyikapi hal tersebut maka perlu upaya atau terobosan baru dalam usaha

pencapaian tujuan tersebut di atas. Kementerian agama sebagai yang membidangi

pendidikan agama dan keagamaan berkepentingan untuk menanggapi situasi ini.

Hal ini semakin urgen, mengingat visi Kantor Kementerian Agama Kab. Ende

adalah Masyarakat Ende Beriman, Cerdas, Rukun dan Sejahtera (BERNAS). Agar

visi ini terwujud, yang patut ditempuh adalah salah satunya melalui optimalisasi

peran guru pendidikan agama dengan pengembangan wawasan multikulturalisme.

Berkaitan dengan itu, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende

mengagendakan Kegiatan Pengembangan Wawasan Multikulturalisme Bagi Para

Guru Pendidikan Agama Lintas Agama tingkat Kabupaten Ende tahun 2011.

Page 84: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

77

Kegiatan ini berlangsung di Hotel Safari, Jalan Ahmad Yani, Ende pada

tanggal 3-5 Oktober 2011. Kegiatan strategis ini menghadirkan tiga orang

pembicara yakni: Dr. phl. Norbert Jegalus, MA (dosen Seminari Tinggi St. Mikael

Kupang), Rm. Dr. Dominikus Nong, Pr (Ketua STIPAR Ende) dan Dr. Natsir

Kotten, M.Pd (Dosen Universitas Flores, Ende (http://kemenagkabende.

blogspot.com)

Tindakan konkrit yang mencerminkan kehidupan masyarakat multicultural

di Ende telah dilakukan oleh para pemimpin baik pemerintah maupun pemimpin

agama. Sebagai contoh Komunitas Biara Santu Yosef (BSY) Ende mengadakan

kegiatan penghijauan di perkebunan milik Pesantren Walisanga Ende. Kegiatan

ini dilakukan pada tanggal 5 Desember 2011. Kegiatan penghijauan ini

melibatkan seluruh warga komunitas pesantren Walisanga yang begitu antusias

dengan kegiatan ini. Selain menanam beberapa pohon, kegiatan ini diisi juga

dengan pembekalan dan penyadaran kepada para santri tentang pentingnya

menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

Rektor Komunitas BSY Pater Yosef Seran SVD dalam sambutannya

mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bukti cinta dan perhatian

yang tulus dari komunitas BSY kepada warga komunitas Walisanga. Di samping

itu untuk menumbuhkan kecintaan pada alam, kegiatan ini juga merupakan upaya

bersama untuk bisa memanfaatkan lahan dan potensi yang dimiliki secara baik.

Pada mulanya inisiatif ini lahir dari beberapa orang yang tergabung dalam

kelompok syering kitab suci sebagai bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap

sesa. Komunitas Pesantren Wallisanga, menurut Pemimpin Umum SVD (Pater

Heinz Kuluke SVD) mendapat tempat yang istimewa. Dengan alasan itu, Pater

Yosef membantu dan membagikan apa yang bisa diberikan kepada komunitas

pesantren ini.

Ketua Yayasan Walisanga Ende Siti Halimah bersyukur dan berterima

kasih karena mendapat perhatian dan cinta kasih yang telah ditunjukkan oleh

komunitas BSY. Siti Halimah berharap agar kegiatan dan bantuan seperti ini dapat

membuka mata dari pihak lain untuk juga membantu. Penghuni komunitas

Page 85: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

78

pesantren berasal dari berbagai daerah di Flores, termasuk dari Kalimantan

dengan latar belakang keluarga yang tidak mampu. Selama ini kehidupan mereka

bersandar pada kemurahan hati dan kerelaan dari berbagai pihak yang

memberikan bantuannya untuk. Mereka hidup dari sedekah. Oleh karena itu,

komunitas pesantren sangat bersyukur telah dibantu.

Kerukunan dan saling menghargai yang diwujudnyatakan dalam kegiatan

ini juga mendapat apresiasi oleh Camat Ende Selatan. Camat Ende Selatan

Mohamad Syahrir mengapresiasi kerja sama yang telah terjalin dengan baik

antara Pesantren Walisanga dan Komunitas BSY. Kerjasama seperti ini dapat

menjadi contoh yang baik dalam membangun dialog dan kerja sama antaragama,

antaretnis dan antarbudaya.

Kegiatan seperti ini kiranya dapat menjadi embrio awal untuk

menanamkan kesadaran dalam diri para santri akan pentingnya menjaga

kelestarian dan keutuhan alam. Melalui kegiatan ini juga, para santri diajarkan

untuk bisa memanfaatkan perkebunan dan lahan yang mereka miliki secara baik,

khususnya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Kepala

asrama sekaligus pembina di Pesantren Walisanga Frater Baltasar Asa SVD

mengharapkan agar kegiatan penghijauan seperti ini dapat membuka mata para

santri sekaligus menumbuhkan kesadaran dalam diri para santri untuk senantiasa

mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kegiatan seperti ini, apalagi antaragama, kiranya dapat membuka mata dan

menumbuhkan kesadaran dalam diri para santri untuk senantiasa menghargai

saudara-saudaranya dari agama lain. Selain itu, kegiatan bersama ini dapat

menjadi pelajaran bagi para santri untuk menumbuhkan kemandirian dan

meningkatkan wawasan ekonomi yang baik. Sebagai Pembina, kepala asrama dan

pemimpin agama para Pastor telah memberikan contoh kerukunan dalam

masyarakat yang heterogen (Fr. Kristo Suhardi,SVD “Penghijauan di Pesantren

Walisanga” dalam http://provinsisvdende.weebly.com/blog-berita).

Dengan fakta di tersebut di atas akan memberikan contoh konkrit

bagaimana kehidupan masyarakat multikultural dalam praktek. Selama ini

multikultural di satu pihak lebih banyak dipahami sebagai konsep normatif, yaitu

Page 86: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

79

bagaimana memandang orang lain. Hal yang lebih mendasar adalah bagaimana

memandang perbedaan itu ”harus bagaimana”, dan bagaimana mewujudnyatakan

dalam kehidupan bermasyarakat seperti contoh kebersamaan dan kesetaraan

dalam kegiatan di atas.

4.4 Integrasi Sosial

Kata “integrasi” berasal dari kata “integration” yang berarti keseluruhan

atau kesempurnaan. Maurice Duverger mendefinisikan integrasi sebagai

dibangunnya interdependensi (kesalingketergantungan) yang lebih rapat antara

bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota – anggota di dalam

masyarakat. Jadi, di dalam integrasi terjadi penyatuan atau mempersatukan

hubungan anggota masyarakat yang dianggap harmonis.

Integrasi sangat penting, tetapi keanekaragaman juga membanggakan kita.

Masyarakat beraneka ragam (multikultural) memiliki beragam keinginan yang

berbeda sehingga sukar mempersatukan semua potensi yang dimiliki untuk

mencapai hasil pembangunan yang maksimal. Oleh sebab itu, diperlukan upaya

yang sungguh-sungguh untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu.

Mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat bukan berarti menghilangkan

keanekaragaman itu, bahkan idealnya integrasi adalah penyatuan bangsa

Indonesia yang tetap menjaga keanekaragaman fisik dan sosial budaya sebagai

bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.

Beranjak dari kenyataan di atas maka dasar suatu integrasi sosial adanya

perbedaan-perbedaan tersebut. Setiap anggota kelompok atau individu yang

berbeda disatu padukan untuk mencapai tingkat yang harmonis, stabil, dan

terjamin ketenangan hidupnya.

Proses integrasi sosial di dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik

apabila masyarakat betul-betul memperhatikan factor-faktor sosial yang

mempersatukan kehidupan sosial mereka dan menetukan arah kehidupan

masyarakat menuju integrasi sosial. Faktor-faktor sosial tersebut antara lain tujuan

Page 87: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

80

yang ingin dicapai bersama, sistem sosial yang mengatur tindakan mereka, dan

sistem sanksi sebagai pengentrol atas tindakan-tindakan mereka.

Proses integrasi sosial akan berjalan dengan baik apabila anggota

masyarakat merasa bahwa mereka berhasil mengisi kebutuhan satu sama lain dan

mencapai konsensus mengenai norma norma dan nilai- nilai sosial yang konsisten

dan tidak berubah-ubah dalam waktu singkat. Dengan demikian anggota- anggota

masyarakat selalu berada dalam keadaan yang stabil dan terikat dalam integrasi

kelompok.

Menurut R. William Lidle (dalam Efendy,2005), integrasi masyarakat

yang kokoh akan terjadi apabila :

1. Sebagian besar anggota suatu masyarakat sepakat tentang batas – batas

tertitorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik.

2. Sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur

pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses politik dan sosial yang berlaku

bagi seluruh masyrakat di seluruh wilayah negara tersebut.

Faktor-faktor yang mendukung integrasi sosial di Indonesia antara lain :

Penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pemersatu

yang dipelajari, digunakan, dan bahkan dijadikan sebagai simbol kebanggaan

negara Indonesia. Masyarakat Kota Ende terdiri atas berbagai etnis dan bahasa,

namun mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi kecuali di

atara sesama etnis atau dalam keluarga. Di samping itu adanya sumpah pemuda,

satu nusa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia sehingga diharapkan tidak ada

satu suku bangsa pun yang ingin memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Adanya kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama, yaitu

Pancasila yang butir-butir pancasila lahir di Ende mampu berfungsi sebagai

ideologi sosial politik bersama. Adanya jiwa dan semangat gotong royong yang

kuat serta rasa solidaritas dan toleransi keagamaan yang tinggi yang terbukti

dengan adanya saling membantu dalam setiap perayaan keagamaan di Ende

Page 88: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

81

sehingga mudah untuk mewujudkan kerukunan nasional dan kerukunan umat

beragama khusunya masyarakat di Ende.

Dengan adanya rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan yang

diderita cukup lama oleh seluruh suku bangsa di Indonesia dapat melahirkan

perasaan senasib untuk merdeka serta bebas membangun dan mewujudkan jati diri

bangsa Indonesia.

Tujuan Integrasi. Tujuannya yakni mempersatukan masyarakat yang

beranekaragam dengan berbagai perilaku sosial di dalam masyarakat dan cara –

cara mengendalikan bentuk-bentuk perilaku masyarakat sehingga tercipta

masyarakat yang ideal dan harmonis. Beberapa faktor pendorong terjadinya

proses integrasi adalah sebagai berikut. (1) Pengakuan kebhinekaan, apabila

homogenitas telah tercapai, dalam arti bahwa setiap anggota masyarakat

mengakui, menerima dan memberikan toleransi yang besar terhadap unsur-unsur

yang berbeda dengan diri dan kelompoknya, maka kelangsungan hidup kelompok

akan terpelihara. Perlu diketahui bahwa integrasi erat hubungannya dengan

disorganisasi dan disintegrasi sosial karena menyangkut unsur psikologs yang

diwujudkan dalam bentuk ikatan norma sebagai pedoman bersikap dan bagi setiap

anggota masyarakat. (2) Adanya kesamaan dalam heterogenitas. Kesamaan dalam

heterogenitas timbul karena faktor pengalaman histories atau pengalaman nasib

yang sama, persamaan faktor geografis, persamaan faktor ekologis. (3) Perasaan

saling memiliki. Apabila setiap anggota masyarakat merasa bahwa mereka

berhasil memenuhi kebutuhannya serta mampu membantu memenuhi kebutuhan

orang lain, yakni kebutuhan material dan nonmaterial (kebutuhan biologis,

psikologis, sosiologis), perasaan saling memiliki akan tumbuh dan berkembang

dalam setiap sektor kehidupan.

Meningkatkan kesadaran tentang arti pentingnya integrasi dan partisipasi,

dapat dilakukan dengan berbagai upaya, diantaranya sebagai berikut:

(1) Menanamkan pengertian dan pemahaman tentang saling ketergantungan

antar individu atau kelompok sehingga timbul kesadaran darii masing-

Page 89: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

82

masing pihak.

(2) Mempertahankan dan meningkatkan motivasi setiap kelompok atau

golongan untuk membentuk masyagrakat yang besar.

(3) Memberitahukan atau mensosialisasikan prestasi dan prestise yang telah

dicapai kepada masyarakat, agar kenyakinan untuk bersatu semakin kuat.

(4) Memperkuat dan memperluas kesadaran dalam berpartisipasi aktif bagi

seluruh komponen masyaratkat.

Faktor-Fator Penghambat Integrasi Sosial. Faktor-faktor yang

menghambat tercapainya integrasi dalam masyarakat adalah gejala atau fenomena

sosial yang dikatagorikan sebagai proses sosial yang disosiatif. Sebagai contoh

adalah hal- hal di bawah ini: (1) konflik atau pertentangan akibat tidak tuntasnya

penyelesaian suatu masalah; (2) persainagan tidak sehat dan mengarah pada

pertentangan atau konflik; (3) prasangka buruk yang dilatarbelakangi oleh

kecemburuan sosial; (4) fanatisme yang berlebihan karena perbedaan ras, etnis,

kebudayaan, agama dan kepercayaan, daerah tempat tinggal, mayoritas, dan

minoritas; (5) pembedaaan perlakuan para pemimpin terhadap warga masyarakat,

baik secara individual maupun kelompok; dan (6) rendahnya sikap toleransi dalam

hidup bermasyarakat.

Integrasi sangat diperlukan di dalam masyarakat yang multikultural agar

tercapai suatu kehidupan masyarakat yang harmonis. Untuk mencapai tujuan

tersebut harus ada rasa saling membutuhkan akan kelebihan yang dimiliki oleh

anggota masyarakat yang lain. Selain itu harus ada rasa saling menghargai akan

perbedaan yang timbul dalam masyarakat. Apabila itu bisa dijalankan dengan baik

maka integrasi akan tercapai (Efendy, 2005).

Page 90: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

83

4.5 Hubungan Struktur Sosial dengan Proses Integrasi Sosial

Dalam struktur sosial masyarakat multikultural dapat terjadi proses interseksi

sosial dan konsolidasi sosial. Pengertian interseksi sosial : persilangan

keanggotaan masyarakat. Contoh interseksi sosial :

Keterangan :

A : Suku Lio I : Katolik

B : Suku Ende II : Islam

Penjelasan :

Si A dan B, berbeda suku bangsa tapi sama agamanya. Contoh interseksi sosial

dengan parameter agama dan pendidikan: Pak Buyung: suku Lio, sarjana,

beragama Katolik, pengusaha. Pak Hasan: suku Ende, sarjana, beragama Katolik,

Pegawai Negeri Sipil Bila terjadi proses interseksi sosial dalam struktur sosial

masyarakat multikultural, akan mendukung tercapainya integrasi sosial. Interseksi

sosial berdampak positif terhadap integrasi sosial.

Pengertian konsolidasi sosial yaitu penguatan keanggotaan masyarakat.

Contoh konsolidasi sosial : Ikatan Keluarga Manggarai, Persatuan Masyarakat

Betawi, Flobamora. Bila terjadi proses konsolidasi sosial dalam struktur sosial

masyarakat multikultural, akan menghambat tercapainya integrasi sosial.

Konsolidasi sosial, tanpa diiringi perasaan nasionalisme, berdampak negatif

terhadap integrasi sosial (Andry Pramudya dalam http://sosialsosiologi.

blogspot.com).

Page 91: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

84

Atas dasar itu maka berbagai kelompok masyarakat yang ada di Ende perlu

mendapat perthatian terutama dari pihak pemerintah agar tidak salah arah

sehingga dapat mengganggu terwujudnya integrasi sosial. Masalah persatuan yang

sudah baik dalam kehidupan masyarakat Ende perlu terus dijaga (Hasil

wawancara dalam FGD di Ende, tanggal 23 Juli 2014).

Page 92: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

85

BAB IV

KESIMPULAN

Ende dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari

komposisi penduduknya yang beragam baik agama, etnis, budaya dan adat-

istiadat. Agama yang berkembang pada masyarakat Ende yaitu agama Katolik,

Islam, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan etnis yang ada sebagian besar

etnik Lio, kemudian etnis Ende, Cina, padang, sabu, Ngada, Manggarai, Sikka,

Flores Timur, sabu, Rote, Jawa, Bali dan Madura.

Komposisi penduduk yang beragam ini oleh masyarakat ende diyakini

menjadi ilham bagi Ir. Soekarno dalam merumuskan butir-butir Pancasila selama

masa pengasingannya di Ende antara tahun 1935-1938. Pada setiap butir Pancasila

ternyata memberikan ruang bagi kehidupan keanekaragaman budaya. Pada sila

pertama khususnya telah memberikan ruang khusus bagi eksistensi agama-agama

dan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang berwawasan multikultural.

Masyarakat Kota Ende yang telah menjadi masyarakat multikultural perlu

terus dijaga agar tidak terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan

damai. Selain itu, perlu terus dibangun sikap yang harus dilakukan dalam

masyarakat multikultural. Sejalan dengan hasil diskusi multikulturalisme

masyarakat Ende-Lio yang dipandu oleh Prof Dr. Felisianus Sanga dan Nilai-nilai

Kearifan Lokal Ende yang dipandu oleh Dr. Rer Soc Ignas Kleden, sikap-sikap

yang perlu dijaga antara lain adanya (1) pengakuan terhadap berbagai perbedaan

dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat; (2) perlakuan yang sama terhadap

berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas; (3)

kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik

secara individu ataupun kelompok serta budaya; (4) penghargaan yang tinggi

terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan, dan ;

Page 93: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

86

(5) unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam

perbedaan.

Sikap yang harus dihindari untuk membangun masyarakat multikultural

yang rukun dan bersatu yaitu primordialisme-primordialisme artinya perasaan

kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling

unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat

yang multikultural seperti Ende khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan

mereka untuk bisa menerima keberadaan suku bangsa yang lain. Sikap

etnosentrisme- etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada

masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan

pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain.

Indonesia dan khususnya masyarakat Ende dapat maju dan berkembang

dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang muncul adalah disintegrasi

sosial. Apabila sikap dan pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan

provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang bersifat kedaerahan dan

eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan

diri dari masyarakat. Demikian pula sikap diskriminatif -diskriminatif yaitu sikap

yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan

warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini

sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati

terhadap sesame warga negara.

Sikap yang harus dihindari lainnya yaitu stereotip-tereotip adalah konsepsi

mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak

tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing

suku bangsa memiliki cirri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-

besarkan hingga membentuk sebuah kebencian.

Pengembangan Wawasan Multikultural di Kota Ende beberapa tahun

terakhir semakin giat dilakukan. Misalnya kegiatan yang dilakukan oleh para

Page 94: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

87

guru Pendidikan Agama Lintas Agama, Tingkat Kantor Kementerian Agama

Kabupaten Ende. Kegiatannya berupa seminar yang diadakan pada tanggal 3 - 5

Oktober 2011, bertempat di Hotel Safari, Jalan Ahmad Yani Ende. Kegiatan ini

diselenggarakan oleh Panitia kerja sama Penyelanggara Bimas Kristen (Soleman

Baun, S.Pd) dan Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kabupaten

Ende (Plt. John B. Seja, S.Fil).

Demikian pula kegiatan penghijauan oleh komunitas Gereja Katolik di

Pesantren Walisanga. Aktifitas ini memberikan inspirasi bagi masyarakat bahwa

perbedaan agama tidak menghalangi terjalinnya hubungan yang harmonis, saling

membantu dan menghargai pihak lain.

Usaha yang telah dilakukan dan baik untuk terus dikembangkan adalah

berbagai dialog tentang nilai-nilai kearifan local yang ada di Ende. Dialog

semcam ini dapat menggali situsi dan kondisi kearifan lokal masyarakat Kota

Ende yang mampu memberikan ilham pada Soekarno dalam merumuskan butir-

butoir Pancasila. Di samping itu agar mampu mendapatkan bentuk nyata kondisi

kearifan lokal masyarakat Kota Ende yang terbukti dapat memberikan inspirasi

bagi tergalinya lima butir mutiara dalam Pancasila.

Dalam bidang seni dan budaya upaya menghidupkan kembali situs-situs

yang ada di Ende patut diapresiasi. Usaha ini telah rampung dilakukan dengan

merevitalisasi situs-situs peninggalam Bung Karno semasa dalam pengasingan di

Ende. Di samping mempercantik Kota Ende juga dapat menarik wisatawan

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang

sejahtera hidupnya tentu tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu negatip sepeti isu

sara yang akan memecahbelah persatuan dan kekompakan yang telah terjalin pada

masyrakat Kota Ende.

Peran lembaga-lembaga keagamaan, para pemimpin agama, dan para

ketua adat juga sangat penting dalam menjaga kehidupan masyarakat multicultural

Ende. Kehadiran Misi dengan berbagai usahanya seperti sekolah-sekolah

pertukangan, mendirikan percetakan Nusa Indah Ende dan penerbitan buku tentu

Page 95: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

88

tidak kecil sumbangannya bagi kehidupan masyarakat. Peran para Ulama juga

telah dimulai sejak kedatangan para pedagang dari Bugis dari Makasar. Demikian

pula peran para Pastor juga telah dimulai sejak kedatangannya di Ende sampai

sekarang.

Berkaitan dengan usaha mewujudkan integrasi social pada masyarat Ende,

sesuai dengan pendapat Dr. phl. Norbert Jegalus, MA menekankan pentingnya

pendidikan agama dalam alam multikulturalitas dengan semangat

multikulturalisme. Pendidikan Multikultural merupakan suatu model pendidikan

yang kontekstual. Persoalan selama ini adalah globalisasi menciptakan

ketidakpastian. Orang lalu mencari kepastian baru yakni dengan membentuk

kelompok eksklusif. Eksklusivisme agama dan fanatisme agama akan melahirkan

intoleransi. Kemudian muncullah fundamentalisme agama, dengan ciri-ciri :

segala-galanya dilihat secara eksklusif dari aspek agama. Kaum fundamentalis

tidak pernah toleran, di samping itu mengklaim kemutlakan sendiri bagi

pandangannya dan menganggap diri tidak ada bidang yang dikecualikan dari

penguasaannya. Hal sebaliknya dari fundamentalisme agama adalah puritanisasi

agama. Membersihkan kehidupan agama dari semua unsur yang tidak berasal dari

dasar asaliah agama itu. Hal ini akan mengarah kepada primordialisme agama:

Menolak modernitas dan mau kembali kepada suasana yang dulu, yang asli

(primordial).

Hal yang perlu dilakukan atas fakta keberagaman di Indonesia khusunya di

Ende ini adalah perlunya membangun kesadaran bersama bahwa keberbedaan itu

adalah suatu fakta. Masyarakat perlu sadar bahwa proses pembentukan kesadaran

bersama itu tidak luput dari pengaruh adanya ketidakadilan politik dan ekonomi.

Dengan demikian peran pemerintah dan tokoh agama mutlak perlu dalam

mensejahterakan masyarakat. Di samping itu perlu disadari bahwa bersamaan kita

membangun nasionalisme kita berhadapan dengan globalisme. Asimilasi dan

integrasi tidak mencukupi untuk menjawabi persoalan kemajemukan budaya.

Masyarakat yang multikulturalitas perlu ditumbuhkan secara terus-menerus di

Ende agar tetap dapat disebut miniatur Indonesia dengan masyarakat multikultur.

Page 96: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

89

Berbagai usaha untuk menanamkan sikap multikultural dapat dilakukan antara

lain lewat pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Page 97: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

90

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, F.X. Soenaryo. 2011. Masyarakat Multikultural Bali. Denpasar

: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra

Universitas Udayana.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende, Ende Dalam Angka 2012

Bandiyono, Suko, “Relevansi Karya penelitian Migrasi dalam Pembangunan”,

Makalah yang disampaikan pada orasi Ilmiah untuk pengukuhan professor

riset bidang kependudukan, Widyagraha LIPI, 23 Maret 2006

Barker, Chris. 2004. Culture Studies Teori & Praktek (Nurhadi Penerjemah)

Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan, 2003. Analisis data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Bintang Timoer 1928-1929 Soerat Bulanan Katholik yang bergambar. Ndona-

Ende: R.K. Missie.

Bintarto, S. 1984. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia

Indonesia

Diskusi Kelompok Dialog Budaya penggalian Nilai Sejarah-Kearifan Lokal Senoi

dan Budaya Ende-Lio Flores dalam http://endeliodanpancasila. com/

diskusi.html

Efendi, Rusman. 2005. Sosiologi 2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Franca, A. Pinto da. 1970. Portuguese Influence in Indonesia. Djakarta: Gunung

Agung

Gilbert alan dan Gugler Josef. Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga. Jokya:

Tiara Wacana, 1996

Hugo J. Graeme, Hull Terence, Hull Valerie, Jones Gavin. The Demographic

Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992).

Kolit, D.K. 1982. Pengaruh Kerajaan Majapahit Atas Kebudayaan Nusa

Tenggara Timur. Kupang: Seri IPS.

Liliweri, Alo. Prasangka sosial dan komunikasi antar etnik. Prisma: 12, 1994hlm

3-21

Marbun, B.M. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek. Jakarta:

Erlangga, 1979

Page 98: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

91

“Masyarakat Multikultural di Indonesia, pengertian, karakteristik, dan faktor

penyebabnya” dalam http://khairulazharsaragih.blogspoot.com

Mbete dkk, Aron Meko. 2006. Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende.

Menno, S. , Mustamin Alwi. 1992. Antropologi Perkotaan. Jakarta: CV. Rajawali

Pers.

Mochsen, Pua, 2004. “Tinjauan Tentang Kota Ende”. Makalah berdasarkan

Skripsi IIP Tahun 1984 di Jakarta berjudul Penataan Lingkungan

Pemukiman Kota Ende.

Moleong, I J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitaif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Nasikun, J. Sistem Sosial Indonesia. 2007. Jakarta: Penerbit: Rajawali Pers

Orinbao, P. Sareng. 1992. Tata berladang Tradisional dan Pertanian Rasional

Suku-Bangsa Lio. Ledalero-Nita-Flores: Seminari Tinggi St. Paulus.

Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan

Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia

Soenaryo dkk, F.X. 2006. Sejarah Kota Ende. Denpasar: Pustaka Larasan dan

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende

Soenaryo, F.X, Nuryahman, 2012. Sukarno di Pengasingan Ende 1934-1938.

Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat jenderal

Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.

Sjoberg, Gideon, l965. The Preindustrial City. New York: Macmillan Publishing

Co. Inc.

Suchtelen, JHR. B.C.C.M.M. Van.1921. Endeh (Flores). Leiden : Mededeelingen

Van Het Bureau voor de Bestuurszaken der Buitengewesen, Bewerkt

Door Het Encyclopedisch Bureau. Aflevering XXVI.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dankebudayaan, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Balai Pustaka.

Ujan, Andre Ata dkk,2011. Multikulturalisme : Belajar Hidup Bersama dalam

Perbedaan. Jakarta: PT Indeks

Uran, L. Lame. 1984. Sejarah Singkat Dioses Agung Ende.

Velden, Arn. J.H. van, 1914. Kitab Pengetahoean dari hal Residenan Timoer dan

daerah ta’kloeknja oentoek sekolah-sekolah boemi poetera dalam

Residenan itoe. Menadosche Drukkerij-Gebrs.Que.

Page 99: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

92

DAFTAR INFORMAN

No. Nama Umur Jabatan Alamat

1. Agil Parera

Ambuwaru

76 Pengawas Yayasan

Ende-Flores

Jl. Banteng Ende

2 Yakobus Ari 73 Pnsiunan PNS Jl. Garuda-Ende

3. H.A. Djamal

Humris,BBM

64 Ketua

MUI/Pengawas

Yayasan Ende-

Flores

Jl. Aebonga I

No.3 RT

001/Rw.007 Kel.

Mbongawani,

Kec. Ende Selatan

4 Filmon A. Mogilaa 63 Pensiunan PNS Jl. A. Yani-Ende

5 Robert Riwu, S.Pd. 54 Guru Jl. A. Yani-Ende

6 Amatus Peta 54 Guru / PNS Jl. Udayana-Ende.

7 Nyo Kosmas, S,H. 54 Kadis Kebudayaan

dan Pariwisata

Kab,. Ende

Ende-Flores

8 Yohanes Pela 46 Anggota DPRD Jl. Anggrek-Ende

9 Maria Goreti

Sigasare

44 Sekretaris Partai

Golkar

Jl. El Tari, Ende

10 Heribertus Gani 41 Anggota DPRD Jl Anggrek-Ende

11 Lambertus Sigasare 39 PNS Jl. Yos Sudarso

no. 19 Ende

Page 100: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

93

LAMPIRAN FOTO

Foto 1

Seminar bertema”Pendidikan Multikultural sebagai Strategi

Menghindari Disintegrasi Bangsa” di Biara Bruderan

St. Konradus Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sumber: http://bectrustfund.wordpress.com/2011/05/11/)

Foto 2

(Tampak dalam gambar: Dr.phl. Norbert Jegalus, MA sedang

menyampaikan materi didampingi oleh John B. Seja, S.Fil

(Plt Kasubag Kantor Kemenag Kab. Ende)

Pengembangan Wawasan Multikultural Bagi Guru Agama Ende

Pada tanggal 3-5 Oktober 2011 (http://hierobokilia.blogspot.com)

Page 101: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

94

Foto 3

Br. Pankras Hayon bersama anak-anak pesantren membawa

anakan untuk penghijauan. (Foto: Br. Gaby wangak, svd)

5 Desember 2011

Foto 4

Pater Rektor P. Yosef Serah dan anggota komunitas BSY

bersama anak-anak pesantren. (Foto: Fr. Kristo Suhardi, SVD)

Page 102: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

95

Foto 5

Fr. Adi, SVD bersama dua anak puteri pesantren sedang

menanam anak Mangga. (Foto: br. Gaby Wangak, SVD)

Foto 6

Para siswa-siswi SMA Syuradikara dari berbagai agama dan etnis foto bersama

dilatari pohon Sukun di Lapangan Pancasila Ende. Di bawah pohon sukun ini

Bung Karno merumuskan Pancasila ketika diasingkan pemerintah kolonial

Belanda.

Page 103: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

96

Foto 7

Monumen Pancasila di Ende (foto koleksi penulis)

Difoto tanggal 23 Agustus 2014

Foto 8

Mesjid Raya di Ende (foto koleksi penulis)

Page 104: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

97

Foto 9

Pohon Sukun tempat Bung Karno merenungkan

butir-butir Pancasila (foto koleksi penulis)

Page 105: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

98

LAMPIRAN

ABSTRAK ARTIKEL ILMIAH

Penelitian ini bertujuan akan mengungkap proses terbentuknya masyarakat

multikultural di Kota Ende dan peran pranata sosial dalam mengatasi potensi

konflik yang ada dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Kota Ende

merupakan masyarakat multikultural dengan sangat beragamnya budaya, etnis,

dan agama sehingga Kota Ende dikenal sebagai miniatur Indonesia. Masyarakat

multikultural menjadi kajian yang relevan untuk ditelaah sesuai dengan

semboyan Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika. Beragamnya pemeluk agama

seperti penganut Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha serta beragamnya

etnis masyarakat Ende seperti etnis Lio, etnis Padang, etnis Bali, etnis Madura,

etnis Timor, etnis Arab, etnis Cina, etnis Ende dan sebagainya, di satu sisi

menjadi kekayaan bangsa, namun bila tidak dikelola secara baik akan

memunculkan konflik-konflik sosial yang menghambat terwujudnya integrasi

bangsa. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sejarah

menggunakan sumber-sumber tertulis seperti studi pustaka dan dokumen untuk

menjelaskan teori dan konsep-konsep tentang masyarakat multikultural juga

melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat maupun pihak-

pihak yang berkompeten. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui proses

terbentuknya masyarakat multikultural di Kota Ende serta nilai-nilai budayanya

dalam hubungannya dengan ikatan kekerabatan kelompok-kelopok etnis yang ada

di Ende. Dengan demikian tidak terjadi kecemburuan sosial ekonomi dalam

masyarakat multikultural serta dapat mencari solusi terhadap terjadinya

persaingan yang membawa unsur-unsur primordial.

Kata kunci : multikultural, kota, integrasi

Page 106: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan

99

Page 107: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan
Page 108: LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL filePRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat-Nya laporan penelitian Fundamental atas dana Bantuan