laporan akhir analisis kebijakan daya saing … · 7) analisis finansial dan ekonomi di dalam...

92
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING BEBERAPA KOMODITAS PANGAN STRATEGIS Oleh Adang Agustian Hermanto Supena Friyatno Ahmad Makky Ar-Rozi Achmad Suryana PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

Upload: docong

Post on 03-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

DAYA SAING BEBERAPA KOMODITAS PANGAN STRATEGIS

Oleh

Adang Agustian Hermanto

Supena Friyatno Ahmad Makky Ar-Rozi

Achmad Suryana

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2014

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional adalah pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Pada masa mendatang, peran ini semakin berat dilakukan karena semakin terbatasnya kapasitas

produksi pangan yang diakibatkan antara lain oleh konversi lahan, kompetisi pemanfaatan serta degradasi sumberdaya lahan dan air, serta dampak

perubahan iklim global. Di sisi lain, kebutuhan pangan terus meningkat dalam jumlah, kualitas, dan keragamannya. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang

besar (tahun 2014 sebesar 252 juta orang) dengan tingkat pertumbuhan yang masih tinggi (1,35%/ tahun).

2) Kabinet Kerja telah menetapkan salah satu sasaran di bidang pangan yaitu

mencapai swasembada padi/beras, jagung dan kedelai dalam tiga tahun ke depan, atau pada tahun 2017. Dalam rangka pencapaian sasaran tersebut,

Kementerian Pertanian sudah mulai mengambil langkah-langkah konkrit, diantaranya perbaikan irigasi, penyediaan pupuk dan benih dengan enam tepat, dan kebijakan insentif berproduksi lainnya.

3) Dalam rangka pencapaian swasembada tiga komoditas pangan penting tersebut dalam tiga tahun ke depan, diperlukan berbagai informasi mengenai

kinerja produksi selama ini dan tingkat daya saing komoditas, agar pencapaian sasaran tersebut dapat dilaksanakan dengan memenuhi prinsip efisiensi dan

efektivitas dalam pemanfaatan sumberdaya, sehingga pembangunan pangan dapat berkelanjutan dan menghemat alokasi sumberdaya pembangunan. Untuk itu, perlu diperoleh informasi dari sisi kelayakan ekonomi, termasuk tingkat

daya saing komoditas.

4) Untuk mengetahui daya saing komoditas pangan padi, jagung dan kedelai

digunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Pada dasarnya metode PAM menganalisis secara menyeluruh variabel-variabel kebijakan mengenai

penerimaan, biaya usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan efisiensi ekonomi. Metode PAM mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: (1) memberikan informasi bagi pengambilan kebijakan pertanian

dalam tiga isu sentral, yaitu daya saing suatu usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang diterapkan, dampak investasi publik dalam bentuk

pembangunan infrastruktur yang berpengaruh pada kinerja usaha tani, dan dampak investasi baru dalam bentuk riset dan teknologi terhadap efisiensi usaha tani; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial suatu usaha tani yang

dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisien (social opportunity costs); dan (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari

sebuah kebijakan.

5) Adapun indikator yang dipakai pada analisis ini meliputi: DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio). Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif

suatu komoditas pertanian suatu negara. Nilai DRCR dan PCR kurang dari 1

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xiii

mengindikasikan komoditas tersebut mempunyai keunggulan kompetitif, dan semakin semakin kecil nilai DRCR dan PCR maka semakin baik keunggulan

komparatif dan kompetitif suatu komoditas (Monke dan Pearson,1995).

6) Data yang digunakan untuk menghitung daya saing usaha tani pangan berupa

struktur usaha tani yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011/2012. Terhadap data tersebut dilakukan penyesuaian pada harga output

agar dapat mencerminkan kondisi pasar tahun 2014. Untuk mengevaluasi perkembangan produksi, luas panen, dan produktivitas selama 10 tahun terakhir ( 2004-2013) digunakan data yang dipublikasikan oleh BPS.

Hasil dan Pembahasan

Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani Padi

7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk

mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi, jagung, dan kedelai. Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang

petani sebagai pemilik. Hasil analisis finansial sering juga disebut private returns. Adapun analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Hasil analisis ekonomi disebut the social returns atau the economic returns, berarti keuntungan ekonomi yang dilihat dari sudut kepentingan makro. Pada analisis finansial harga aktual yang

terjadi di pasar digunakan sebagai nilai variabel analisis, sedangkan pada analisis ekonomi digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga

paritas ekspor. Harga sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi pemerintah (seperti subsidi atau bantuan langsung) dan pengaruh struktur pasar tidak bersaing sempurna (monopoli, monopsoni

dan lain-lain). Artinya, harga sosial dapat dinilai sebagai pencerminan dari tingkat harga yang terjadi di pasar persaingan sempurna atau mendekati harga

dunia, dan hanya dibedakan oleh biaya transportasi dari/ ke lokasi usahatani.

8) Hasil analisis finansial menunjukkan penerimaan dan biaya usaha tani padi

masing-masing sebesar Rp. 30,80 juta/ha dan Rp. 12,64 juta/ha, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 18,16 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,43. Hasil analisis ekonomi memperlihatkan penerimaan dan biaya usaha tani padi per

hektar per tahun masing-masing sebesar Rp. 19,51 juta/ha dan Rp. 13,49 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 6,01 juta/ha atau nilai R/C

sebesar 1,45. Dari kedua hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani padi baik pada tingkat usahatani maupun secara nasional cukup layak untuk diusahakan.

9) Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi padi menunjukkan perolehan nilai keuntungan finansial per tahun usaha tani padi tertinggi terdapat di Jawa Barat

(Rp 13,61 juta/ha), kemudian diikuti oleh Jawa Tengah (Rp 5,09 juta/ha) dan NTB (Rp 3,98 juta/ha). Nilai keuntungan usahatani yang cukup tinggi dan

motivasi untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi faktor pendorong bagi petani untuk terus meningkatkan usaha taninya. Selain itu, ketersediaan infrastruktur irigasi sebagai sumber pengairan utama

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xiv

usaha tani dan kemampuan menerapkan teknologi usahatani yang baik juga menjadi faktor yang mendorong peningkatan usahatani padi. Gambaran yang

sama diperoleh dari analisis ekonomi, yaitu keuntungan secara sosial tertinggi juga terdapat di Jawa Barat (Rp 17,13 juta/ha), kemudian diikuti oleh NTB (Rp

13,40 juta/ha) dan Jawa Tengah (11,25 juta/ha).

10) Komoditas padi secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini

ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang kurang dari satu. Nilai Rasio DRCR dan PCR untuk usaha tani padi secara nasional lebih kecil dari satu (DRCR <1), yaitu 0,65. Nilai DRCR sebesar 0,65

berarti untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp 1.000.000,- diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 650.000,-. Angka ini menunjukkan

bahwa usahatani padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi domestik, yang berarti pula memiliki keunggulan komparatif.

11) Pada beberapa sentra produksi padi, analisis ini juga menunjukkan bahwa

usahatani padi cukup efisien dengan kisaran nilai DRCR antara 0,50–0,77.

Dengan demikian, sumberdaya faktor domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat atau memperoleh devisa dari usahatani padi lebih kecil dari

sumberdaya domestik yang tersedia dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Hal ini berarti pula bahwa usahatani padi efisien secara ekonomi dalam

pemanfaatan sumberdaya faktor domestik. Selanjutnya bila dilihat sebaran usahatani padi per provinsi sentra produksi, maka dapat diketahui bahwa usahatani padi yang paling efisien (memiliki keunggulan komparatif tertinggi)

terdapat di Lampung (DRCR=0,50), kemudian disusul di Jawa Timur (0,60), Jawa Barat (0,62), Sumatera Barat (0,62) dan Sulawesi Selatan (0,62). Adapun

Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif terendah adalah di NAD (DRCR=0,77) dan Sumatera Utara (0,73), namum di kedua provinsi ini pun

tetap layak dilaksanakan usaha tani padi, karena nilai DRCR <1.

12) Sementara itu, nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani padi secara nasional sebesar 0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi efisien secara

finansial dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,38 memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output padi sebesar Rp.

1.000.000,-, diperlukan tambahan biaya faktor domestik atas harga privat sebesar Rp. 380.000; yang mempunyai makna penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan.

13) Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi padi juga menunjukkan bahwa usaha tani padi cukup memiliki keunggulan kompetitif dengan ditunjukkan oleh

kisaran nilai PCR antara 0,36–0,57. Bila dilihat sebaran usaha tani padi per

provinsi sentra produksi, maka dapat diketahui bahwa usaha tani yang paling

efisien (memiliki keunggulan kompetitif tertinggi) terdapat di Jawa Barat (PCR=0,36) dan Sulawesi Selatan (36), kemudian disusul oleh usaha tani padi

di Lampung (0,37) dan Sumatera Barat (0,37). Adapun provinsi yang memiliki keunggulan komparatif relatif rendah di banding provinsi lainnya adalah di NAD (PCR=0,57) dan Sumatera Utara (0,48).

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xv

Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani Jagung

14) Secara finansial usaha tani jagung di Indonesia menguntungkan, hal ini

dicirikan oleh tingkat keuntungan finansial per tahun sebesar Rp 6,7 juta/ha, dengan tingkat penerimaan sebesar Rp 15,9 juta/ha dan total biaya sebesar Rp

9,2 juta/ha. Berdasarkan kinerja tersebut, nilai R/C usaha tani jagung tingkat nasional sekitar 1,73. Sementara itu, berdasarkan analisis ekonomi, usaha tani jagung di Indonesia diketahui lebih menguntungkan dari nilai finansialnya.

Secara ekonomi, usaha tani jagung memberikan keuntungannya sebesar Rp 8,7 juta/ha, dengan penerimaan sebesar Rp 18,2 juta/ha dan biaya sebesar Rp 9,6

juta/ha, yang berarti R/C rasio mencapai 1,90.

15) Dari hasil analisis pada masing-masing provinsi sentra produksi jagung, diketahui keuntungan finansial per tahun yang paling tinggi terdapat di Provinsi

Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan tingkat keuntungan masing-masing adalah Rp 13,6 juta/ha dan Rp 5,1 juta/ha. Sementara pada provinsi lain

seperti Lampung, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan berkisar antara Rp 3,0 juta - Rp 3,9 juta/ha. Di Sulawesi Utara tingkat keuntungan sangat rendah yaitu

hanya Rp 343 ribu/ha bahkan di Sumatera Utara rugi (negatif) sebesar Rp 657 ribu/ha. Hal yang menarik adalah di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi jagung yang relatif besar, ternyata tingkat keuntungan fianansialnya

lebih rendah dibandingkan dengan provinsi sentra produksi lainnya, yakni hanya Rp 2,3 juta/ha. Hal ini disebabkan oleh harga jagung yang rendah di

saat panen raya yang melimpah, sedangkan di petani Sumatera Utara dan Sulawesi Utara juga menghadapi rendahnya harga jagung yang disebabkan

oleh kondisi infrastruktur usaha tani dan pemasaran dari sentra produksi yang kurang baik, yang menyebabkan biaya angkut relatif tinggi.

16) Kondisi yang sama, kecenderungan tingkat keuntungan ekonomi pada semua

provinsi sentra produksi jagung lebih tinggi dan lebih menguntungkan dibanding dengan keuntungan pada analisis finansial. Keuntungan ekonomi

jagung yang paling rendah adalah di NTT yaitu Rp 3 juta /ha, sedangkan pada provinsi lain berkisar antara Rp 4 juta - Rp 17,3 juta/ha.

17) Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang kurang dari satu. Nilai koefisien DRCR secara nasional adalah 0,48

artinya bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas jagung sebesar Rp 1.000.000 dibutuhkan tambahan biaya sumber daya domestik

sebesar Rp 480.000. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani jagung memiliki keunggulan komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Berdasarkan analisis keunggulan kompetitif, komoditas jagung secara nasional

memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,54. Hal ini menujukkan bahwa usaha tani jagung di Indonesia memiliki

keunggulan kompetitif.

18) Berdasarkan analisis di provinsi sentra produksi jagung, diketahui bahwa

keunggulan komparatif tertinggi terdapat pada usaha tani jagung di NTB (DRCR=0,33), kemudian diikuti Jawa Barat (0,35) dan Sulawesi Selatan (0,39).

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xvi

Sementara keunggulan komparatif usahatani jagung untuk provinsi lainnya seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki nilai DRCR yang berkisar

antara 0,40–0,45, dan di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya sebesar 0,70 (mendekati 1). Dengan demikian, usaha tani jagung di

provinsi sentra produksi juga memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi.

19) Sejalan dengan keunggulan komparatif, pada sentra produksi Jagung di Provinsi Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan

untuk di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR 1,07. Sementara di provinsi lainnya masih memiliki keunggulan

kompetitif dengan nilai PCR berkisar antara 0,40–0,67, yang artinya bahwa

pada provinsi-provinsi tersebut usahatani jagung memiliki tingkat efisiensi yang

baik.

Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani

Kedelai

20) Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya usaha tani

kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,95 juta/ha dan Rp. 10,20 juta/ha dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 750 ribu/ha dan nilai R/C sebesar

1,05,-. Sementara itu, dari analisis ekonomi diperoleh informasi penerimaan dan biaya usahatani kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,38 juta/ha dan Rp. 10,20 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 177

ribu/ha dan nilai R/C sebesar 1,02. Dari kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani kedelai pada saat ini masih layak

diusahakan, namun tidak memberikan keuntungan atau pendapatan bersih yang seimbang dengan upaya petani.

21) Dengan mengacu pada analisis finansial usaha tani di beberapa provinsi sentra produksi kedelai, diperoleh informasi bahwa keuntungan finansial usaha tani kedelai paling tinggi diterima petani di Sumatera Selatan, kemudian diikuti oleh

petani di Sulawesi Utara dan NAD; dengan nilai R/C finansial masing-masing sebesar 2,04; 1,97 dan 1,37. Kondisi inilah yang menjadi faktor pendorong bagi

petani, khususnya di daerah tersebut masih berpartisipasi dalam mengusahakan kedelai.

22) Berdasarkan nilai DRCR dan PCR, usaha tani kedelai secara nasional tidak

memiliki daya saing. Nilai DRCR usahatani kedelai secara nasional lebih besar dari satu, tepatnya 1,05. Artinya untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp

1,000,000,- diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 1,050,000. Angka ini menunjukkan bahwa usaha tani kedelai secara nasional tidak efisien

dalam menggunakan sumberdaya ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif.

23) Meskipun demikian di beberapa sentra produksi kedelai seperti di Provinsi NAD,

Sumatera Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara, masih diperoleh nilai DRCR usaha tani kedelai lebih kecil dari satu (DRC <1) dengan kisaran antara

0,55-0,89. Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif usaha tani kedelai

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xvii

adalah Sumatera Selatan (DRC=0,55) dan Sulawesi Utara (0,55). Adapun usaha tani kedelai yang tidak efisien dan tidak memiliki keunggulan komparatif

terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Timur, dengan nilai DRCR lebih besar dari satu.

24) Nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani kedelai secara nasional sebesar 0,92. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha tani kedelai masih efisien secara

finansial dan masih memiliki keunggulan secara kompetitif. Hal ini berarti untuk meningkatkan nilai tambah dari usahatani kedelai sebesar satu juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah, namun dengan

keuntungan relatif kecil. Di Provinsi NAD, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Utara tercatat nilai PCR yang lebih kecil dari satu. Dari ke empat

daerah tersebut, Sumatera Selatan merupakan daerah dengan nilai PCR terkecil, yaitu sebesar 0,44, berarti provinsi ini merupakan daerah yang paling efisien dalam penggunaan faktor domestik sehingga komoditi kedelai yang

diusahakan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur merupakan daerah dengan nilai PCR lebih besar dari satu. Dengan demikian, usaha tani kedelai di daerah tersebut tidak memiliki keunggulan

komptetitif. Sementara, usahatani kedelai di NTB hanya mencapai break even point, yang ditunjukkan dengan nilai PCRnya sama dengan satu.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Kesimpulan

25) Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi menggunakan metoda PAM, diketahui bahwa secara nasional usahatani padi memiliki daya saing yang baik,

ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang rendah, yaitu masing-masing 0,65 dan 0,38. Artinya, usaha tani padi dan yang dilakukan oleh petani efisien secara finansial dan ekonomi serta memiliki

keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi menunjukkan usaha tani padi yang paling efisien terdapat di

Lampung, kemudian secara berurutan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk keunggulan kompetitif, provinsi

sentra produksi padi yang memiliki keunggulan kompetitif tertinggi adalah Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, kemudian secara berurutan diikuti oleh Lampung, Sumatera Barat, NAD serta Sumatera Utara.

26) Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,48, dan nilai PCR 0,54. Dengan

demikian, usaha tani jagung efisien secara ekonomi dan finansial serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada masing-masing provinsi sentra produksi jagung, secara berurutan yang memiliki keunggulan komparatif

tertinggi adalah usaha tani jagung di NTB, kemudian diikuti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, usaha tani jagung di Sumatera Utara, NTT

dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya mendekati 1, yang berarti masih memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memberikan keuntungan yang memadai

bagi petani. Sejalan dengan keunggulan komparatif, di ketiga provinsi terakhir,

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xviii

usaha tani jagung juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan untuk di Sumatera Utara sama

sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR sebesar 1,07.

27) Usaha tani kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing, hal ini ditunjukkan

oleh nilai DRCR sebesar 1,05, serta nilai PCR mendekati 1,0 (tepatnya 0,92). Di beberapa provinsi sentra produksi kedelai seperti di NAD, Sumatera Selatan,

Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara diperoleh nilai DRCR lebih kecil dari satu, yang berarti masih memiliki daya saing, namun dengan keuntungan yang tidak memadai bagi petani. Adapun bagi petani di Provinsi Sumatera Utara,

Lampung, dan Jawa Timur usaha tani kedelai tidak memiliki daya saing. Berdasarkan nilai PCR, Propinsi Sumatera Selatan dinilai paling efisien dalam

penggunaan faktor domestik, disusul oleh Lampung dan Sulawesi Utara.

28) Bila hasil analisis finansial dan ekonomi ini dikaitkan dengan upaya pencapaian sasaran swasembada padi/beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun,

pemerintah mempunyai modal dasar yang baik untuk pencapaian sasaran swasembada tersebut untuk komoditas padi dan jagung; namun akan sangat

berat untuk pencapaian sasaran swasembada untuk komoditas kedelai. Berdasarkan pengalaman rata-rata tiga tahun sebelumnya (20011-2013),

neraca pangan (produksi domestik dikurangi kebutuhan pangan dan lainnya) untuk padi dan jagung sudah di atas 100 persen, sementara untuk kedelai masih 39 persen tingkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan

domestik. Dengan permintaan yang akan terus meningkat, maka perlu ada terobosan yang sangat signifikan bila swasembada kedelai ingin benar-benar

tercapai dalam tiga tahun.

Implikasi kebijakan

29) Berdasarkan hasil analisis kebijakan ini dapat disampaikan rekomendasi alternatif kebijakan sebagai berikut:

a) Swasembada padi/beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan

walaupun dalam keadaan total permintaan beras yang terus meningkat karena peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek

langkah-langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah:

(i) Perbaikan irigasi untuk meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertamanan (IP). Perbaikan

irigasi ini harus sinergis dan terintegrasi mulai dari saluran primer, sekunder, sampai tertier dan di petak sawah petani;

(ii) Penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan petani dan sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk memperhatikan peta endemis hama dan penyakit tanaman padi. Benih

harus sampai tepat waktu dan tepat kualitas/bersertifikat;

(iii) Penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan karakteristik lahan petani.

Penggunaan Alat Uji Tanah di lahan sawah petani akan sangat membantu penentuan dosis pemupukan berimbang secara sepsifik

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xix

lokasi. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat jumlah sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya

dapat diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli riil petani dapat menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM;

(iv) Penerapan paket teknologi usaha tani terpadu seperti PTT (pengelolaan sumberdaya dan pertanian terpadu) atau SRI (Sistem of Rice Intensification) sesuai dengan disain awal yang tujuannnya meningkatkan keberdayaan (empowerment) petani melakukan usaha tani yang baik melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan

kemampuan petani melakukan usahatani; bukan dengan pemberian bantuan sarana produksi sebagai komponen utama, apalagi tanpa

pendampingan yang memadai dalam pemanfaatannya; dan

(v) Penyuluhan dan pendampingan yang intensif kepada kelompok tani dalam memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi

padi yang dihadapi kelompok tani dalam melaksanakan usaha taninya.

b) Untuk komoditas jagung, dari data BPS diketahui sasaran swasembada

jagung telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, sehingga langkah selanjutnya adalah tetap mempertahankan swasembada secara

berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produksi jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usaha tani dengan mengarahkan pada peningkatan produktivitas, penekanan biaya

produksi dan insentif harga output. Secara rinci beberapa upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui:

(i) Penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul hibrida di atas 80% dari luas tanam dan peningkatan penguasaan dan

penerapan teknik budidaya jagung spesifik lokasi oleh petani;

(ii) Menjamin ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta tersedia tepat waktu;

(iii) Pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan

teknologi sesuai anjuran;

(iv) Pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi lainnya

(pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada saat dibutuhkan;

(v) Pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung terutama

pada saat panen raya; dan

(vi) Pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam

rangka menjamin kepastian harga dan pasar jagung yang dihasilkan petani.

c) Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku kedelai

semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Total kebutuhan kedelai tahun 2013 sekitar 2,2

juta ton dan hanya dapat dipenuhi sekitar 39 % dari produksi domestik. Dengan mencermati kondisi produksi dan teknologi budidaya kedelai yang

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xx

diaplikasikanoleh petani saat ini, maka cukup berat untuk mencapai sasaran swasembada kedelai dalam tiga tahun ke depan. Namun demikian,

peningkatan produksi kedelai dengan pertumbuhan yang sangat tinggi masih mungkin dicapai apabla dilakukan langkah-langkah terobosan secara

sungguh-sungguh, diantaranya:

(i) Perluasan areal tanam dan areal panen yang cukup luas (target di atas

100.000 ha/tahun) dengan memanfaatkan pola tanam pada lahan sawah, lahan terlantar, lahan perkebunan peremajaan tanaman, lahan Perhutani, baik sebagai tanaman utama atau tanaman sela. Pengunaan

lahan yang secara tradisional sudah dimanfaatkan untuk usaha tani jagung tidak dianjurkan dipakai usaha tani kedelai, karena akan

menurunkan produksi jagung dan keuntungan dari usaha tani kedelai masih lebih rendah dari jagung;

(ii) Identifikasi hasil pemuliaan varietas unggul kedelai yang berpotensi

hasil tinggi (di atas 2,5 ton/ha) yang dilakukan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Varietas unggul ini segera dimanfaatkan

dan disebarkan kepada petani melalui percepatan produksi benih, pengadaan, dan distribusinya, disertai pendampingan dalam

pemanfaatannya;

(iii) Penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi budiaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan

bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman

(hama dan penyakit) secara terpadu, serta panen dan penanganan pasca panen dengan tepat sehingga mengurangi kehilangan

hasil. Dalam upaya ini termasuk penyiasatan terhadap dampak perubahan iklim ekstrim yang sangat berpengaruh pada penurunan produktivitas kedelai;

(iv) Perbaikan harga jual kedelai petani. Peningkatan harga jual kedelai di tingkat petani merupakan salah satu kunci utama dalam

mengembalikan minat petani untuk menanam kedelai, seperti halnya yang telah terjadi tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta

hektar. Implementasi kebijakan ini dapat dilakukan dengan penerapan harga dasar kedelai lengkap beserta instrument untuk implementasinya, termasuk pembatasan impor dan/atau penerapan

tarif impor yang relatif tinggi, agar usaha tani kedele dapat memberikan keuntungan yang setara dengan usaha tani jagung; dan

(v) Peningkatan kualitas intensifikasi di daerah sentra produksi kedelai, khususnya yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi seperti di Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan NAD.

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

EXECUTIVE SUMMARY ............................................................................. iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................... xii

DAFTAR ISI ............................................................................................. xxii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxiv

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Dasar Pertimbangan ........................................................................ 3

1.3. Tujuan ........................................................................................... 4 1.4. Keluaran yang diharapkan ................................................................ 5

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak ....................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6

2.1. Tinjauan Teori Daya Saing dan Konsep Policy Analysis Matrix ............ 6 2.2. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya .................................................... 12

III. METODOLOGI ....................................................................................... 14

3.1. Kerangka Teoritis ......................................................................... 14 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ................................................................ 15 3.3. Data, Lokasi dan Responden Penelitian ........................................... 16

3.4. Metode Analisis ............................................................................. 16 3.5. Analisis Resiko dan Solusinya ........................................................ 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 23

4.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis Nasional .......................... 23 4.2. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pangan

strategis ....................................................................................... 26

4.2.1. Usahatani Padi .................................................................... 27 4.2.2. Usahatani Jagung ............................................................... 28

4.2.3. Usahatani Kedelai ............................................................... 29 4.3. Analisis Daya Saing Komoditas pangan Strategis .............................. 30

4.3.1. Daya Saing Usahatani Padi .................................................. 30

4.3.2. Daya saing Usahatani Jagung .............................................. 34 4.3.3. Daya Saing Usahatani Kedelai ............................................. 37

4.4. Alternatif Kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pangan Strategis ....................................................................................... 41

4.5. Kinerja Perkembangan dan Analisis Daya Saing Komoditas Pangan strategis: Kasus Jawa Barat ............................................... 44

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xxii

4.5.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis di Jawa Barat .......... 44 4.5.2. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis di

Jawa Barat .......................................................................... 53

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .............................................. 70 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 70

5.2. Implikasi Kebijakan ....................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 75

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xxiii

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

1. Policy Analysis Matrix (PAM) ................................................................. 18

2. Rumus DRCR, PCR dan Indikator Lainnya sesuai Matrik PAM ..................... 21

3. Daftar Risiko dan Penanggulangannya ..................................................... 22

4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 23

5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung

di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 25

6. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai

di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 26

7. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi

di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 27

8. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung

di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 29

9. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai

di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 30

10. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas

Padi di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .............................. 31

11. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas

Jagung di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .......................... 35

12. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas

Kedelai di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .......................... 38

13. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi

di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 45

14. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di

Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 ..................... 46

15. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung

di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 48

16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di

Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 ..................... 50

17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai

di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 51

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

xxiv

18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di

Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 .................... 53

19. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi

di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 54

20. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi

di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 54

21. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung

di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 57

22. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas

Jagung di Jawa Barat, 2014 ................................................................. 59

23. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai

di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 60

24. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di

Kabupaten Cianjur Tahun 2010-2013 .................................................... 65

25. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di

Kabupaten Bandung Tahun 2010-2013 .................................................. 66

26. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas

Kedelai di Jawa Barat, 2014 ................................................................. 69

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu peran strategis sektor pertanian adalah dalam pemenuhan

kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya begitu besar yaitu 252

juta (tahun 2014). Sesuai Rencana Strategis Kementerian Pertanian (2010-2014),

terdapat lima komoditas pangan utama dan strategis yaitu beras, jagung, kedelai,

daging sapi dan gula. Kelima komoditas pangan tersebut tetap diletakkan sebagai

komoditas pangan strategis dalam Kabinet Kerja yang dimulai pada tanggal 20

Oktober 2014.

Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis

pertanian, mengingat adanya jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan laju

pertumbuhan penduduk cukup tinggi (1,35 persen per tahun) dan tingkat

konsumsi beras yang tinggi pula (139,15 kg/kapita/tahun). Dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian Pertanian

selama 2010-2014 adalah pencapaian swasembada dan swasembada

berkelanjutan. Pencapaian swasembada ditujukan untuk kedelai, daging sapi dan

gula dengan target sasaran produksi adalah kedelai 2,70 juta ton, daging sapi

0,55 juta ton, dan gula 5,7 juta ton pada tahun 2014. Karena padi dan jagung

sudah pada posisi swasembada, maka target pencapaian selama 2010-2014

adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksi padi sebesar 75,7

juta ton GKG dan jagung 29 juta ton jagung pipilan kering pada tahun 2014.

Pada lima tahun terakhir, telah terjadi peningkatan harga pangan dunia.

Kondisi harga-harga pangan diperkirakan akan terus meningkat di masa

mendatang seiring dengan perubahan iklim global. Momentum kenaikan harga

pangan tersebut selayaknya dapat menjadi pangkal tolak akan kebangkitan dan

peningkatan produksi komoditas pangan yang menjadi pilihan petani sebagai

sumber pendapatan penting dalam usaha taninya (Kompas, 2009).

Dengan menyikapi isu permintaan dan ketersediaan maka upaya

peningkatan produksi pangan perlu mendapat perhatian dengan intensitas yang

lebih tinggi lagi. Pembangunan pertanian secara umum ke depan menghadapi

banyak tantangan yang tidak mudah, antara lain bagaimana meningkatkan

produktivitas dan nilai tambah produk dengan sistem pertanian yang ramah

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

2

lingkungan, membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara

berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki

dan membangun infrastruktur lahan dan air serta perbenihan dan perbibitan,

membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi

petani/peternak kecil, mengupayakan pencapaian Millenium Development Goals

(MDG’s) yang mencakup pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan rawan

pangan, menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk

produk-produk pertanian khusus, memperkuat kemampuan untuk bersaing di

pasar global serta mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis

global, memperbaiki citra petani dan pertanian agar kembali diminati generasi

penerus, memperkokoh kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan,

menciptakan sistem penyuluhan pertanian yang efektif, dan memenuhi kebutuhan

pangan, serta mengembangkan komoditas unggulan nasional.

Untuk menghadapi tantangan tersebut tentu diperlukan berbagai informasi

mengenai kinerja produksi dan daya saing beberapa komoditas pangan strategis

nasional seperti jagung dan kedelai agar senantiasa terus dapat memenuhi

permintaan dalam negeri. Pembangunan pertanian perlu didasarkan pada

kekuatan pasar dan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Pengembangan

komoditas pertanian memerlukan pemahaman tentang kondisi daya saing

sumberdaya domestik, kemampuan sumberdaya dan potensi teknologi.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka pengembangan komoditas

pangan strategis perlu diketahui secara akurat kondisi terkini mengenai daya saing

di level usahataninya. Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan masukan

bagi pengambil kebijakan untuk memetakan pengembangannya baik mengenai

wilayah maupun kebijakan atau strategi yang akan ditempuhnya terutama pada

era pemerintahan baru kedepan.

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

3

1.2. Dasar Pertimbangan

Upaya peningkatan produksi pangan strategis seperti Padi, Jagung dan

Kedelai saat ini terus diupayakan dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan

dan kedaulatan pangan nasional. Untuk mencapai kondisi tersebut masih terdapat

tantangan berat. Sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke

nonpertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin

meningkat. Hal ini itu mengancam eksistensi sektor pertanian dalam hal

ketahanan pangan nasional. Dalam lingkup mikro, dengan semakin berkurangnya

lahan usahatani sementara jumlah rumahtangga usahatani semakin meningkat,

maka jumlah petani tidak berlahan yang berstatus sebagai penggarap dan buruh

tani semakin meningkat dan cenderung mengubah sistem kelembagaan

pengelolaan lahan usahatani di perdesaan yaitu meningkatnya sistem sewa dan

bagi hasil/sakap.

Saat ini juga telah terjadi perubahan iklim global yang juga berdampak pada

sektor pertanian. Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang

paling rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim yaitu meningkatnya risiko

turunnya produksi dan produktivitas usahatani. Lebih lanjut meningkatnya faktor

risiko usahatani juga berpotensi mengubah sistem kelembagaan pengusahaan

lahan ke arah bentuk bagi hasil atau sakap dalam rangka berbagi risiko,

sementara pergeseran pola pengusahaan lahan dari pemilik penggarap ke

penyakap menyebabkan usahatani padi menjadi kurang efisien dan program

penyuluhan tidak akan berlangsung dengan baik.

Pada tataran mikro, tekanan terhadap lahan usahatani padi serta

keterbatasan infrastruktur pertanian (terutama irigasi) juga berpotensi

melemahnya daya saing usahatani padi relatif terhadap usahatani pangan lainnya

yang tidak memerlukan pengairan secara intensif (Jagung dan Kedelai) seperti

halnya pada usahatani padi. Dalam konteks diversifikasi pangan, meningkatnya

daya saing usahatani pangan non padi akan bersifat positif dalam mendorong

peningkatan produksi pangan non padi dan peningkatan diversifikasi pangan

sepanjang pola konsumsi karbohidrat masyarakat dapat dengan mudah bergeser

dari beras ke komoditas pangan lokal lainnya. Namun hasil kajian menunjukkan

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

4

bahwa tidak mudah mengubah pola pangan masyarakat dari beras ke non beras.

Dalam lingkup makro, tanpa perlindungan yang memadai dari pemerintah

terhadap usahatani padi, maka dampak globalisasi perdagangan akan

menghilangkan daya saing komoditas pangan lokal (khususnya Beras) di pasar

internasional.

Berdasarkan kajian Daryanto (2009), secara umum status daya saing

komoditas pertanian ditinjau dari DRCR maupun PCR menunjukkan kondisi yang

cukup mengkawatirkan terutama untuk komoditas Padi (Beras), Kedelai, dan Tebu

(Gula) di mana nilai DRCR dan PCR mendekati satu (0,80-1,00). Sementara untuk

komoditas Jagung dan Kacang Tanah, serta peternakan memiliki daya saing yang

moderat di mana nilai koefisien DRCR dan PCR antara 0,50-70. Adapun untuk

produk-produk Hortikultura (Sayuran) dan Tembakau memiliki daya saing yang

cukup tinggi dengan DRCR dan PCR jauh (0,30-0,60).

Atas dasar informasi tersebut, gambaran kondisi eksisting atas daya saing

komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai) diperlukan untuk

menyusun beberapa alternatif kebijakan pengembangan komoditas tersebut

dalam rangka meningkatkan daya saingnya. Dalam konteks tersebut, kajian ini

akan menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani padi,

jagung dan kedelai, menganalisis daya saing melalui perhitungan keunggulan

komparatif dan kempetitif beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung,

dan Kedelai), serta mencoba merumuskan alternatif saran kebijakan peningkatan

daya saing beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).

Pertimbangan memilih komoditas padi, jagung dan kedelai pada kajian ini

adalah mengingat ketiga komoditas tersebut merupakan bagian dari komoditas

pangan strategis nasional. Komoditas tersebut dalam pemenuhannya bersifat

strategis karena memiliki dimensi ekonomi, politik, dan sosial. Ketidak cukupan

pangan terutama padi/beras akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik dan

sosial nasional. Komoditas tersebut pada hakekatnya telah diusahakan oleh para

petani nasional, namun khusus untuk jagung dan kedelai masih diperlukan upaya

ekstra untuk lebih menggenjot peningkatan produksinya mengingat kondisi saat

ini permintaannya melebihi dari produksi dalam negeri.

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

5

1.3. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis Keuntungan Finansial dan

Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan

Kedelai), (2) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing)

beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai, dan (3)

Merumuskan alternatif saran kebijakan peningkatan daya saing beberapa

komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).

1.4. Keluaran

Keluaran dari kajian ini adalah: (1) Hasil analisis Keuntungan Finansial dan

Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan

Kedelai), (2) Hasil analisis keunggulan komparatif dan kempetitif (daya saing)

beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai), dan (3)

Rumusan alternatif saran kebijakan peningkatan daya saing beberapa komoditas

pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk bahan perumusan kebijakan

peningkatan daya saing khususnya untuk komoditas padi, jagung dan kedelai

nasional. Selain itu, informasi dan rumusan kebijakan yang diperoleh juga akan

sangat bermanfaat bagi pengembangan ketiga komoditas tersebut khususnya

pada lokasi kajian di Provinsi Jawa Barat.

Adapun dampak yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis

Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan

strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai) sebagai bahan perbaikan usahatani

komoditas padi, jagung dan kedelai, (2) Hasil analisis keunggulan komparatif dan

kompetitif (daya saing) beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan

Kedelai) sebagai bahan peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif

usahatani ketiga komoditas tersebut, dan (3) Beberapa rumusan alternatif

kebijakan peningkatan daya saing beberapa komoditas pangan strategis (Padi,

Jagung dan Kedelai) berguna mendukung peningkatan produksi dan daya saing

ketiga komoditas tersebut.

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori Daya Saing dan Konsep Policy Analysis Matrix

Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang

diperkenalkan oleh Ricardo pada tahun 1823, yang selanjutnya dikenal dengan

Model Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative

Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien

dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih

tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua

belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi

dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki

keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian

absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif.

Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler

yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori

Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya

dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus

dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memperoleh satu

unit tambahan komoditas pertama.

Konsep keunggulan kompetitif (Revealed Competitive Advantage) digunakan

untuk mengukur kebijakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung

berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis

finansial. Suatu negara akan menghasilkan komoditi yang memilki keunggulan

kompetitif apabila biaya produksi komparatif, bermutu, berdesain, dan

berkemampuan. Keunggulan kompetitif timbul didasarkan pada kenyataan bahwa

perekonomian yang tidak mengalami distorsi sulit sekali ditemui di dunia nyata,

yang menyebabkan keunggulan komparatif tidak dapat digunakan untuk

mengukur daya saing suatu kegiatan ekonomi pada kondisi perekonomian aktual.

Keunggulan kompetitif bukan merupakan konsep yang sifatnya menggantikan

konsep keunggulan komparatif, tetapi merupakan konsep yang bersifatnya

melengkapi (Warr, 1994 dalam Hartati, 2001). Konsep keunggulan komparatif

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

7

dianggap menpunyai dua aplikasi yang berbeda yaitu; (1) Sebagai dasar untuk

menjelaskan pola spesialisasi internasional dalam produksi dan perdagangan, (2)

Sebagai petunjuk pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan yang

berhubungan dengan sumber-sumber dan perdagangan. Dalam matrik PAM

keunggulan komparatif diterangkan melalui Domestic Resources Cost Ratio

(DRCR) yaitu merupakan rasio antara biaya input domestik dengan nilai.

Menurut Simatupang (2002), daya saing suatu usaha dalam hal ini dapat

didefinisikan sebagai kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara privat

(finansial) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi dan kebijakan

pemerintah yang ada. Pada sistem perekonomian terbuka, daya saing untuk

komoditas perkebunan rakyat berarti kemampuan usaha komoditas perkebunan

rakyat domestik untuk tetap layak secara finansial pada kondisi harga input

maupun output tradable sesuai dengan harga paritas impornya.

Analisis terhadap daya saing produk agroindustri dapat digunakan sebagai

informasi awal untuk komoditas kopi. Penganalisisan dalam hal ini akan mencakup

estimasi nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Privat Cost Ratio).

Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas

pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan indikator untuk mengukur

keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian suatu negara. Monke dan

Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur keunggulan kompetitif

dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat, sedangkan untuk

mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan menghitung

profitabilitas sosial.

Menurut Hadi et al. (2002) bahwa DRCR menggambarkan daya saing pada

kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR menggambarkan

daya saing pada kondisi pasar aktual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar

yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien,

maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu. Dalam kenyataannya, pasar

tidak dalam kondisi efisien. Pasar domestik dan pasar internasional masih

terdistortif yang ditandai oleh adanya kebijaksanaan protektif, misalnya adanya

pengenaan tarif impor oleh suatu negara sehingga barang dari negara lain sulit

masuk ke negara yang bersangkutan. Contoh lainnya adalah pemberian subsidi

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

8

domestik dan subsidi ekspor yang menyebabkan barang asal negara yang

bersangkutan sangat murah sehingga mudah masuk ke negara-negara lain.

Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan untuk menganalisis secara

menyeluruh dan konsisten terhadap kebijakan mengenai penerimaan, biaya

usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan

efisiensi ekonomi. Metode PAM mempunyai 3 tujuan utama, yaitu: (1)

Memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan

pertanian dalam tiga isu sentral; (2) Menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah

usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga

efisien (social opportunity costs); dan (3) Menghitung transfer effects, sebagai

dampak dari sebuah kebijakan. Matrik PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas

tingkat keuntungan (profittability) dan identitas penyimpangan (divergences

identity). Identitas keuntungan ada dua yaitu keuntungan privat dan keuntungan

sosial. Keuntungan privat merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang

dihitung berdasarkan harga privat.

Perhitungan keuntungan privat dari data usahatani dan pengolahan hasil

dilakukan untuk mengukur daya saing. Keuntungan sosial sama dengan

keuntungan privat, perbedaannya hanya terletak pada dasar penggunaan harga

yaitu harga sosial atau ekonomi. Identitas penyimpangan timbul karena adanya

distorsi kebijakan atau kegagalan pasar (market failure), pasar dikatakan gagal

apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif yang dapat

mencerminkan social opportunity cost yang menciptakan alokasi sumberdaya

maupun produk yang efisien.

Beberapa analisis yang dapat dijelaskan berdasarkan Matrik PAM yang

disarikan dari Monke dan Pearson (1995) adalah :

(1) Kebijakan terhadap input.

Kebijakan pada input tradable dapat berupa pajak, subsidi, dan hambatan

perdagangan. Dampak kebijakan tersebut dapat dijelaskan melalui IT (Input

Transfer), NPCI (Nominal Protection On Input) dan TF (Transfer Faktor). Input

Transfer (IT) merupakan selisih antara biaya input tradable privat dengan biaya

input tradable sosial. Nilai IT menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan

pada input tradable privat dan sosial. Nilai IT negatif menunjukkan kebijakan

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

9

pemerintah memberikan subsidi pada input tradable, subsidi yang diberikan

pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih kecil

dibandingkan jika tanpa adanya kebijakan, hal sebaliknya akan terjadi jika IT

bernilai positif.

Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio biaya input tradable

berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial.

Perbedaan antara kedua biaya tersebut menunjukkan adanya proteksi pemerintah

yang mengakibatkan harga privat input tradable berbeda dengan harga sosial

input tradable. Nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input

tradable, jika NPCI > 1, berarti tidak ada kebijakan subsidi terhadap input

tradable. Kebijakan terhadap input non tradable dapat dilihat dari Transfer Faktor

(FT) adalah nilai perbedaan harga input non tradable privat dengan harga input

non tradable sosial yang diterima oleh produsen. Campur tangan pemerintah

terhadap input non tradable dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi atau pajak,

karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi didalam negeri,

sehingga intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak tampak.

Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada

produsen input non tradeable, hal sebaliknya akan terjadi jika FT < 0.

(2) Kebijakan terhadap output.

Kebijakan terhadap output akan menyebabkan harga bayangan barang,

jumlah barang, surplus konsumen dan surplus produsen berubah, hal ini dapat

dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (OT) dan Nominal Protection

Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output merupakan selisih antara

penerimaan privat (finansial) dengan penerimaan sosial (ekonomi).

Transfer Output (OT) menunjukkan kebijakan yang diterapkan pada output

mengakibatkan harga output privat dan harga output sosial berbeda. Nilai OT

positif menunjukkan besarnya insentif masyarakat atau konsumen harus membeli

dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima, sebaliknya

jika OT bernilai negatif maka besarnya insentif masyarakat atau konsumen harus

membeli dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima.

Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah harga privat dibagi dengan

harga sosial yang dapat dibandingkan. NPCO dapat digunakan untuk mengukur

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

10

dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan

nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCO < 1

menunjukkan bahwa akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari

harga sosial sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberikan

transfer kepada pemerintah.

(3) Kebijakan tehadap input-output

Dampak kebijakan secara keseluruhan terhadap input-output dilihat dari nilai

Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC),

dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Analisis EPC tidak memperhitungkan dampak

kebijakan yang mempengaruhi harga input non tradable, sedangkan NT, PC, dan

SRP memperhitungkan dampak kebijakan terhadap harga input tradable dan non

tradable. Koefisien Proteksi (EPC) adalah analisis gabungan koefisien proteksi

output (NPCO) dengan koefisien proteksi input nominal (NPCI). Nilai EPC

menggambarkan arah kebijakan pemerintah terhadap input tradable apakah

bersifat melindungi atau menghambat produksi secara efektif. Nilai EFC

merupakan rasio perbedaan antara penerimaan dan biaya input tradable dalam

harga privat dengan harga sosial. Rasio ini merupakan indikator pengaruh insentif

atau disinsentif dari kebijakan secara keseluruhan terhadap harga input atau

output tradable. Nilai EPC > 1 menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar

daripada tanpa kebijakan, yang berarti kebijakan yang ada memberikan insentif

untuk berproduksi. Sedangkan EFC < 1 berarti kebijakan pemerintah menghambat

produksi.

Nilai Transfer Bersih (NT) dapat digunakan untuk melihat ketidakefisienan

dalam sistem pertanian. NT adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-

benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. Nilai NT juga

menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input dan transfer

faktor. Jika nilai NT > 0 maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus

produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input

dan output. Jika nilai NT < 0 maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih

privat dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC < 1 menunjukkan kebijakan

pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

11

dibandingkan tanpa ada kebijakan, artinya produsen harus mengeluarkan

sejumlah dana kepada masyarakat atau konsumen. Jika nilai PC < 1 maka yang

terjadi adalah sebaliknya. Rasio Subsidi Produsen (SRP) menunjukkan persentase

subsidi atau insentif bersih atas peneriman yang dihitung dengan biaya bayangan.

Nilai SRP negatif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini

membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besardari biaya imbangan

untuk berproduksi. Jika nilai SRP positif maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Menurut Monke dan Pearson (1995) ada tiga bahasan pokok yang dapat

dijelaskan melalui pendekatan PAM, yaitu;

1. PAM dapat digunakan untuk mengukur dampak kebijakan terhadap tingkat

persaingan pada berbagai tingkat keuntungan (finansial dan ekonomi),

pengaruh efisiensi ekonomi dan keunggulan komperatif terhadap kebijakan

investasi dan efek dari perubahan teknologi terhadap pengembangan

pertanian.

2. Efisiensi ekonomi atau keunggulan komparatif dalam investasi pertanian

berdasarkan kesesuaian atau keunggulan teknologi dan kondisi alam

(agroklimat). Berdasarkan keunggulan tersebut kebijakan penggunaan

sumberdaya alam layak atau tidak dikembangkan melalui investasi dalam

negeri atau luar negeri. Daya tarik investasi akan berdampak kepada

peningkatan efisiensi dan percepatan pertumbuhan pendapatan nasional.

3. PAM erat kaitannya dengan rangkaian persoalan atau masalah, dalam

pengalokasian dana penelitian atau riset dibidang pertanian. Dengan PAM

seorang peneliti dapat menentukan kebijakan utama terhadap peningkatan

produksi pertanian dan mengurangi biaya sosial atau peningkatan

keuntungan.

Tahapan yang digunakan dalam perhitungan analisis PAM adalah sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasikan input yang digunakan dan output yang dihasilkan

dalam kegiatan yang akan dianalisis (evaluation of input and output ).

2. Memisahkan seluruh biaya kegiatan tersebut ke dalam komponen domestik

dan asing atau tradable dan non tradable (disaggregating input cost into

domestic faktor and tradable input component).

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

12

3. Menentukan harga pasar dan menaksir harga bayangan input dan output

(estimating private and social prices).

2.2. Hasil-Hasil penelitian Sebelumnya

Desliana (2005) melakukan kajian analisis daya saing dan efisiensi

usahatani Padi Organik di Lampung. Penelitian tersebut mengkaji dampak

kebijakan padi organik terhadap usahatani Padi Organik dan mengetahui daya

saing dan efisiensi usahatani padi organik di Provinsi Lampung. Hasil kajian

menunjukkan bahwa dampak kebijakan yang diterapkan pada usahatani padi

organik menyebabkan timbulnya pajak, tingginya biaya input, dan tidak

memberikan insentif ekonomi bagi produsen. Hasil analisis sensitivitas

menunjukkan bahwa daya saing dan efisiensi tidak peka terhadap perubahan

harga output, biaya pupuk kandang, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa lahan.

Selanjutnya Studi tentang daya saing usahatani jagung telah dilakukan

Simatupang (2002) yang menguraikan bahwa: (1) Usahatani Jagung Hibrida layak

secara sosial (ekonomi) dengan kisaran laba antara 747 ribu rupiah per hektar (di

lahan sawah Provinsi Lampung) sampai 1.9 juta rupiah per hektar (di lahan kering

Provinsi Sumatera Utara), (2) Rasio sumberdaya domestik (DRCR) komoditas

Jagung berkisar antara 0.58 (pada usahatani di lahan kering Provinsi Sumatera

Utara) sampai 0.82 (pada usahatani di lahan sawah Provinsi Lampung). Artinya

usahatani Jagung Hibrida memiliki keunggulan komparatif atau daya saing baik di

lahan sawah maupun di lahan kering atau tetap memiliki daya saing walaupun

pada era pasar bebas (tanpa campur tangan pemerintah dan tidak ada distorsi

pasar), dan (3) Titik impas sosial produktivitas bervariasi dari 3.9 ton/ha (pada

lahan kering di Sumatera Utara) dan 5.82 ton/ha (pada lahan sawah di Jawa

Timur), serta daya toleransi berkisar antara 13 persen (pada lahan sawah di Jawa

Timur) sampai 35 persen (pada lahan kering di Sumatera Utara).

Rosegrant, et al., (1987) telah melakukan studi keunggulan komparatif

dengan analisis DRC untuk komoditas tanaman pangan termasuk Jagung. Hasil

studi menyimpulkan bahwa usahatani Jagung memiliki keunggulan komparatif

dengan orientasi subtitusi impor dan perdagangan interregional (antar regional di

Indonesia), hal ini di tunjukkan oleh rata-rata nilai DRC masing-masing sebesar

0.81 dan 0.80. Selain itu, Ilham dan Rusastra (2009) mengelaborasi berbagai hasil

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

13

penelitian yang menyimpulkan bahwa selama hampir satu dekade (1986-2008)

nilai DRC dan PCR komoditas Jagung bervariasi menurut lokasi, agroekosistem,

dan musim. Besaran nilai DRC jagung berkisar antara 0.21 – 0.99 (DRC < 1), dan

nilai PCR berkisar antara 0.48 – 0.85 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa usahatani

Jagung di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

Hasil penelitian lainnya yaitu Swastika (2006), mengemukakan usahatani

Jagung Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif, karena rendahnya

efisiensi sebagai akibat dari kecilnya skala usaha dan terpencar di wilayah yang

luas. Kurangnya sarana-sarana pendukung menyebabkan agribisnis Jagung

Indonesia tidak berkembang. Pengadaan sarana produksi serta pengolahan dan

pemasaran hasil menjadi kendala utama. Namun, di beberapa sentra produksi

usahatani Jagung (terutama Hibrida) mempunyai keunggulan komparatif efisien

dan berkelanjutan. Tantangan yang masih dihadapi adalah bahwa penggunaan

Jagung Hibrida masih relatif rendah, karena selain benihnya mahal juga varietas

ini hanya baik untuk kondisi lahan subur dan memerlukan input tinggi, sehingga

tidak terjangkau oleh sebagian besar petani Jagung yang miskin sumberdaya.

Selanjutnya berdasarkan hasil kajian Firdaus (2007) dikemukakan bahwa: (1)

Usahatani Kedelai, baik yang ada di Jember maupun Banyuwangi Jawa Timur

secara privat efisien, tetapi usahatani Kedelai di Jember memiliki keuntungan

yang lebih tinggi daripada usahatani Kedelai di Banyuwangi. Sedangkan secara

sosial, usahatani Kedelai di Jember efisien, tetapi usahatani Kedelai di Banyuwangi

tidak efisien; (2) Usahatani Kedelai di Jember masih memiliki keunggulan

komparatif dan kompetitif (DRC = 0,9477 dan PCR =0,8733), sedangkan

usahatani Kedelai di Banyuwangi tidak memiliki keunggulan komparatif (DRC =

1,3731), tetapi memiliki keunggulan kompetitif (PCR = 0,9621); (3) Kebijakan

pemerintah memberikan dampak positif atau berpihak pada usahatani Kedelai baik

dari segi output dan input tradable, hal ini ditunjukkan dengan nilai NPCO, EPC

dan PC lebih besar dari satu; NPCI kurang dari satu dan NPT dan SRP positif; (4)

Skenario perubahan harga input berupa penurunan harga input tradable sebesar

5%, kenaikan harga input tradable sebesar 10% dan penentuan batas maksimum

kenaikan input tradable. Selain itu, ditentukan pula batas maksimum penurunan

harga kedelai dan batas maksimum penurunan produksi Kedelai; (5) Perubahan

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

14

kebijakan dengan menurunkan harga input tradable 5% mengakibatkan

peningkatan keunggulan kompetitif dari usahatani kedelai di Jember dan

Banyuwangi.

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

15

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Teoritis

Daya saing didefinisikan sebagai “the sustained ability to profitability gain

and maintained market share” (Martin, Westgren and van Duren, 1991 dalam

Rahman et al., 2002). Jelas bahwa usaha suatu komoditas mempunyai daya saing

jika ia mampu mempertahankan profitabilitasnya dan pangsa pasarnya. Faktor

pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, input dan biaya, struktur

industri dan kondisi permintaan.

Menurut Simatupang (2002), daya saing suatu usaha dalam hal ini dapat

didefinisikan sebagai kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara privat

(finansial) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi dan kebijakan

pemerintah yang ada. Pada sistem perekonomian terbuka, daya saing untuk

komoditas perkebunan rakyat berarti kemampuan usaha komoditas perkebunan

rakyat domestik untuk tetap layak secara finansial pada kondisi harga input

maupun output tradable sesuai dengan harga paritas impornya.

Analisis terhadap daya saing komoditas pangan strategis dapat digunakan

sebagai informasi untuk pengembangan komoditas tersebut. Penganalisisan dalam

hal ini akan mencakup estimasi nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan

PCR (Privat Cost Ratio). Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan

komparatif suatu komoditas pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan

indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian suatu

negara. Monke dan Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur

keunggulan kompetitif dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat,

sedangkan untuk mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan

menghitung profitabilitas sosial.

Menurut Hadi et al. (2002) bahwa DRCR menggambarkan daya saing pada

kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR menggambarkan

daya saing pada kondisi pasar aktual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar

yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien,

maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu.

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

16

Dalam kenyataannya, pasar tidak dalam kondisi efisien. Pasar domestik dan

pasar internasional masih terdistortif yang ditandai oleh adanya kebijaksanaan

protektif, misalnya adanya pengenaan tarif impor oleh suatu negara sehingga

barang dari negara lain sulit masuk ke negara yang bersangkutan. Contoh lainnya

adalah pemberian subsidi domestik dan subsidi ekspor yang menyebabkan barang

asal negara yang bersangkutan sangat murah sehingga mudah masuk ke negara-

negara lain.

Dalam kondisi pasar terdistortif, analisis keunggulan kompetitif akan

memberikan gambaran tentang keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian

dari suatu negara. Private Cost Ratio (PCR) berdasarkan kondisi pasar yang ada

dapat digunakan sebagai salah satu indikator keunggulan kompetitif suatu

komoditas pertanian dari negara tertentu. Keunggulan kompetitif dalam arti luas

tidak hanya ditentukan oleh rendahnya biaya per satuan hasil, tetapi juga oleh

kualitas komoditas yang menyangkut aspek rasa, ukuran, warna, bentuk,

kemudahan untuk digunakan, kesehatan, keamanan dan daya simpan.

Keunggulan komparatif merupakan indikator sangat baik untuk mengukur

daya saing komoditas pertanian dari suatu negara jika pasar dalam kondisi efisien,

yaitu pasar tanpa distorsi. Dari analisis keunggulan komparatif dapat diperoleh

informasi lainnya yang sangat berguna bagi penentuan kebijaksanaan pemerintah,

yaitu simpul-simpul atau subsistem-subsistem mana dalam sistem agribisnis yang

masih dalam kondisi tidak efisien, sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah

menuju proses produksi, pengolahan dan pemasaran yang lebih efisien

Keunggulan komparatif suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor,

terutama yang membentuk biaya produksi per satuan hasil, yaitu: Pertama,

struktur biaya, yaitu perimbangan antara biaya input domestik dan biaya input

asing. Makin besar pangsa biaya tersebut, berarti makin rendah keunggulan

komparatif komoditas yang bersangkutan. Kedua, besaran biaya produksi per

satuan hasil. Makin besar biaya ini, berarti harga komoditas yang bersangkutan

harus dijual makin mahal (agar produsen tidak rugi), sehingga keunggulan

komparatifnya makin rendah. Untuk memperkecilnya harus dilakukan upaya

peningkatan efisiensi biaya produksi di segala bidang, mulai dari produksi bahan

mentah, pengolahan hingga pemasaran (dalam dan luar negeri).

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

17

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Lingkup kajian ini adalah analisis daya saing untuk beberapa komoditas

pangan strategis yaitu: Padi, Jagung dan Kedelai. Metode analisis yang digunakan

adalah analisis dengan menggunakan Matrik Analisis Kebijakan (PAM), khususnya

untuk indikator: DRC, PCR, NPCI, NPCO dan EPC. Data yang digunakan bersumber

dari data Struktur Ongkos Usahatani Padi, Jagung, Kedelai dari BPS tahun

2011/2012. Selanjutnya dilakukan penyesuaian harga-harga output dan input

usahatani menggunakan data tahun 2013/2014. Selain data BPS, juga akan

dilakukan pendalaman data-data produksi di Provinsi Jawa Barat sebagai salah

satu sentra produksi pangan nasional.

3.3. Data, Lokasi dan Sampel Penelitian

Data yang digunakan pada kajian ini bersumber dari data Struktur Ongkos

Usahatani Padi, Jagung, Kedelai dan Tebu dari BPS tahun 2011/2012. Selanjutnya

dilakukan penyesuaian harga-harga output dan input usahatani menggunakan

data tahun 2013.

Selain data BPS, Selain data BPS, juga dilakukan pendalaman data-data

produksi di Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi pangan

nasional. Kabupaten yang dipilih sebagai sampel kajian adalah Kabupaten Garut,

Bandung dan Cianjur. Pada Kabupaten tersebut diharapkan dapat memperoleh

gambaran perkembangan komoditas Padi, Jagung dan Kedelai di Jawa Barat.

3.4. Analisis data

Untuk mengetahui sejauh mana keunggulan komparatif dan kompetitif

komoditas pangan strategis dilakukan pendekatan analisis penggunaan

sumberdaya domestik dan input tradabel. Metode analisis yang digunakan adalah

Matrik Analisis Kebijakan (PAM). Model matriks analisis kebijakan (PAM) yang

dikembangkan oleh Monke and Person (1995) merupakan sebuah model matriks

yang selain dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif tetapi juga

dapat mengukur intervensi pemerintah serta dampaknya terhadap sistem

agribisnis komoditas secara sistematis dan menyeluruh.

Hasil analisis PAM menginformasikan bahwa keunggulan kompetitif dan

komparatif serta dampak kebijakan terhadap usahatani jagung. Dalam PAM

terdapat asumsi bahwa suatu kegiatan ekonomi dapat dipandang sebagai sisi

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

18

privat dan sisi sosial. Kenyataannya pelaksanaan asumsi pertama merupakan

analisis finansial dimana keuntungan dilihat dari pihak yang terlibat dalam aktivitas

tersebut. Asumsi kedua merupakan analisis ekonomi, yaitu analisis yang dilihat

dari masyarakat secara keseluruhan baik yang terlibat dalam aktivitas ekonomi

maupun yang tidak.

Dengan kedua asumsi diatas maka dalam analisis PAM terdapat perbedaan

perlakuan terhadap input dan output serta harga yang digunakan dari suatu

kegiatan ekonomi. Analisis finansial mengunakan harga privat, yaitu harga yang

diterima/dibayar oleh pelaksana ekonomi setelah ada kebijakan pemerintah atau

distorsi pasar. Dalam analisis ekonomi digunakan harga bayangan, yaitu harga

yang terbentuk sebagai akibat mekanisme pasar dalam pasar persaingan

sempurna.

Tahapan dalam mengunakan metode PAM adalah: (1) Identifikasi input

secara lengkap dari usahatani Jagung, (2) Menentukan harga bayangan (shadow

price) dari input dan output usahatani Jagung, (3) Memilah biaya kedalam

kelompok tradabel dan domestik, (4) Menghitung penerimaan dari usahatani

Jagung, dan (5) Menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa

dihasilkan oleh PAM.

Pada analisis ini hanya 2 indikator yang akan dihitung yaitu DRCR (Domestic

Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio). Rasio Biaya Sumberdaya

Domestik (DRCR) merupakan perbandingan antara biaya ekonomi faktor domestik

dengan nilai tambah dalam harga ekonomi. DRC pada keuntungan ekonomi

sedangkan PCR pada keuntungan finansial. Rasio DRC merupakan indikator daya

saing ekonomi atau ukuran keunggulan komparatif. Meminimumkan DRC berarti

memaksimumkan keuntungan ekonomi. Sementara Rasio Biaya Finansial (PCR)

merupakan ukuran efisiensi atau daya saing dalam nilai finansial, atau juga dapat

dikatakan sebagai ukuran keunggulan kompetitif dari sisi harga privat. PCR ini

merupakan rasio antara biaya finansial faktor domestik dengan nilai tambah dalam

harga finansial. Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dengan biaya

input-input tradabel. Hal ini menunjukan seberapa besar sistem ini dapat berusaha

untuk membayar faktor-faktor domestik dan masih tetap bersaing. Seorang

pengusaha untuk meminimumkan PCR dengan menekan biaya faktor domestik

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

19

dan input tradabel atau memaksimumkan nilai tambah sehingga keuntungan yang

akan diperoleh maksimum.

Menurut Rosegrant et al., (1987) bahwa analisis keunggulan komparatif

dengan indikator DRC pada komoditas pertanian dapat dikerjakan pada berbagai

level regional. Analisis komparatif regional mengasumsikan 3 rejim dasar

perdagangan regional yaitu: substitusi impor, perdagangan interregional, dan

promosi ekspor. Dalam penelitian ini, untuk komoditas Jagung karena dalam

rangka pemenuhan kebutuhannya masih cukup dominan melakukan impor maka

analisis akan difokuskan pada analisis sebagai substitusi impor.

Terdapat dua pendekatan untuk mengalokasikan biaya dalam analisis PAM

yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan total diasumsikan

bahwa setiap biaya input yang diperdagangkan (tradable) produksi domestik

terdiri dari kelompok biaya domestik dan asing. Pendekatan ini untuk mengetahui

dampak suatu kebijakan. Pendekatan langsung adalah bahwa seluruh biaya input

tradabel baik yang di impor maupun produksi domestik dinilai sebagai kelompok

biaya asing. Pendekatan ini dipakai bila tambahan input tradabel baik impor

maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.

Untuk harga bayangan nilai tukar uang dalam penelitian ini adalah harga

nilai tukar uang yang berlaku saat ini. Hal ini mengingat nilai tukar yang ada saat

ini bersifat mengambang sesuia perubahan ekonomi yang terjadi. Alokasi biaya

usahatani dipilah atas komponen domestik dan tradable. Setelah pengalokasian

biaya input dan output kedalam kelompok tradable dan domestik, baik secara

finansial maupun ekonomi, maka tahap pertama menghitung tingkat keuntungan,

berdasarkan atas biaya input dan harga output. Data pada matrik PAM merupakan

dasar untuk menganalisis keuntungan dan dampak atas kebijakan pemerintah.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode PAM (Policy

Analysis Matrix) yang telah kembangkan oleh Monke dan Pearson sejak tahun

1987 dengan pendekatan keunggulan kompetitif dan komparatif model PAM.

Secara sistematis struktur PAM dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

20

Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM)

Uraian (description)

Pendapatan

(Revenue) Rupiah

Biaya (Costs) Rupiah Keuntungan

(Profit) Rupiah

Yang dapat diperdagangkan

(Tradable)

Domestik (domestic)

Private A B C D

Sosial E F G H

Divergence I J K L

Sumber: Monke dan Pearson (1995).

Dimana:

A = penerimaan individu yaitu jumlah produksi dikalikan harga pasar (Rp)

B = biaya input yang dapat diperdagangkan dikalikan harga pasar (Rp)

C = biaya dari input faktor domestik dikalikan harga pasar (Rp)

D = pendapatan individu = A-(B+C) (Rp)

E = penerimaan sosial yaitu jumlah produksi dikalikan harga sosial (Rp)

F = input yang dapat diperdagangkan dikali harga sosial (Rp)

G = input faktor domestik dikalikan harga sosial (Rp)

H = pendapatan sosial = E-(F+G) (Rp)

Baris pertama matriks PAM adalah perhitungan menggunakan harga privat

atau harga yang benar-benar diterima atau dibayarkan oleh petani. Data harga

privat diperoleh melalui wawancara terhadap pelaku usahatani pangan. Baris

kedua merupakan perhitungan berdasarkan harga sosial yaitu nilai ekonomi yang

sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya ataupun hasil, dengan kata lain harga sosial

adalah harga yang berlaku pada kondisi pasar persaingan sempurna. Data harga

sosial diperoleh dari literatur-literatur yang menunjang dan data sekunder yang

bersumber dari BPS.

Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.

Keuntungan privat (KP) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang

sesungguhnya diterima atau dibayarkan petani. Nilai KP > 0 berarti secara

finansial menguntungkan, yaitu kondisi adanya kebijakan pemerintah atau

komoditi menguntungkan untuk diusahakan. Jika nilai KP ≤ 0 maka yang terjadi

adalah sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi

adanya intervensi pemerintah terhadap input dan output.

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

21

Keuntungan sosial (KS) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan

biaya yang dihitung dengan harga sosial. Jika nilai KS > 0 maka secara ekonomi,

yaitu pada kondisi pasar persaingan sempurna, kegiatan pengusahaan komoditi

dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditi tersebut memiliki

keunggulan komparatif, dan jika nilai KS ≤ 0 nol maka kegiatan usaha tidak

menguntungkan secara ekonomi atau pada kondisi pasar persaingan sempurna.

Untuk mengevaluasi daya saing usahatani Padi, Jagung dan Kedelai juga

menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis usahatani dilakukan

untuk mengetahui tingkat keuntungan dan pengembalian yang diperoleh petani

terhadap input dan output usahatani Padi, Jagung dan Kedelai nasional. Analisis

data menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dilakukan untuk mengevaluasi

keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif usahatani Padi, Jagung dan

Kedelai nasional dengan melihat harga privat dan harga sosial yang ada.

Pada baris ketiga tabel PAM merupakan selisih dari harga privat dan harga

sosial sebagai akibat dari kebijakan. Selanjutnya akan dihitung keunggulan

komparatif dan keunggulan kompetitif dari usahatani Padi, Jagung dan Kedelai

dengan menghitung rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources

Cost Ratio (DRCR) dan Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR).

DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan

jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan suatu unit

devisa. Sementara Private cost ratio (PCR) merupakan indikator profitabilitas

privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya

sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Suatu komoditas dapat dikatakan

memiliki keunggulan komparatif jika memiliki nilai DRCR < 1 dan memiliki

keunggulan kompetitif jika memiliki nilai PCR < 1. Rumus DRCR, PCR dan

indikator lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

22

Tabel 2. Rumus DRCR, PCR dan Indikator Lainnya Sesuai Matrik PAM.

Kriteria (criteria) Rumus

Rasio biaya sumerdaya domestik (Domestic Resource Cost Ratio)

DRCR G/(E-F)

Rasio biaya privat (Private Cost Ratio) PCR C/(A-B)

Transfer output (Output Transfer) OT A-E

Transfer input (Input Transfer) IT B-F

Transfer bersih (Net Transfer) NT D-H

Koefisien proteksi output nominal

(Nominal Protection Coefficient on Output) NPCO

A/E

Koefisien proteksi input nominal

(Nominal Protection Coefficient on Input) NPCI

B/F

Koefisien proteksi efektif (Effective Protection Coefficient)

EPC (A-B)/(E-F)

Koefisien keuntungan (Profitabillity Coefficient) PC D/H

Rasio subsidi (Subsidy Ratio to Producer) SRP L/E

Setelah dilakukan analisis nilai keunggulan komparatif (DRC) dan kompetitif

(PCR) dari matrik PAM dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melihat

bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam

perhitungan biaya. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur

atau mengkombinasikan unsur-unsur serta menentukan pengaruh dari perubahan

tersebut pada hasil analisis semula.

Analisis sensitivitas pada penelitian ini terutama dilakukan pada usahatani

Padi, Jagung, Kedelai dan Tebu terkait perubahan produktivitas dan harga output

terhadap keunggulan komparatif dan kempetitif komoditas pangan strategis

tersebut (Padi, Jagung, dan Kedelai).

3.5. Analisis Risiko dan Solusinya

Pelaksanaan penelitian ini diduga akan mengalami hambatan yang menjadi

risiko kegiatan. Tabel berikut menunjukkan beberapa risiko yang diperkirakan

dialami dalam penelitian ini, namun upaya penanggulangannya akan ditempuh

melalui berbagai cara. Akses terhadap data dan informasi kemungkinan akan

menjadi masalah utama yang akan berdampak pada keterbatasan analisis. Cara

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

23

penanggulangan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan

mengintensifkan menggali sumber data dan informasi dengan pihak-pihak terkait.

Tabel 3. Daftar Risiko dan Penanggulangannya

No. Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan

1. Akses untuk

konsultasi dan

akses terhadap

sumber data

(sekunder)

Instansi diluar

Kementan: BPS

Keterbatasan

akses dan

kehilangan waktu

Berupaya secara

intensif

memperoleh data

BPS dan berbagai

instansi terkait

penelitian lainnya

2. Kelengkapan data Struktur Ongkos

Usahatani BPS

Tidak terdoku-

mentasi atau

tidak dapat

diakses karena

berbagai kendala

Analisis tidak

lengkap

Mengindentifikasi

data yang

dibutuhkan dan

mengusahakan

ketersediaannya

3. Cakupan kajian Keterbatasan

waktu

Cakupan analisis

terbatas pada

komoditas

tanaman pangan

(Padi, Jagung

dan Kedelai)

Fokus kepada data

komoditas

tanaman pangan

strategis nasional.

Pendalaman di

Jawa Barat.

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis Nasional Padi/Beras

Perkembangan luas panen padi di Indonesia pada periode 10 tahun terakhir

(2004-2013) cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 1,89 %/tahun

yaitu dari 11,92 juta ha pada tahun 2004 menjadi 13,84 juta ha pada tahun 2013.

Seiring dengan peningkatan luas panen, produksi padi nasional meningkat sebesar

3,43 %/tahun, yaitu dari 54,09 juta ton tahun 2004 menjadi 71,28 juta ton tahun

2013. Sementara produktivitasnya meningkat sebesar 1,54 %/tahun yaitu dari

4,54 ton/ha tahun 2004 menjadi 5,15 ton/ha tahun 2013 (Tabel 4).

Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia,

2004 – 2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)

2004 11.922.974 4,54 54.088.468

2005 11.839.060 4,57 54.151.097

2006 11.786.430 4,62 54.454.937

2007 12.147.637 4,71 57.157.436

2008 12.309.155 4,89 60.251.072

2009 12.883.576 5,00 64.398.890

2010 13.253.450 5,02 66.469.394

2011 13.201.316 4,98 65.740.946

2012 13.445.524 5,14 69.056.126

2013 13.835.253 5,15 71.279.709

(r %/thn) 1,89 1,54 3,43 Sumber: BPS (2004-2014).

Terdapatnya peningkatan areal panen dan produksi padi nasional seiring

dengan dicanangkannya program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional).

Dengan adanya program P2BN telah memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap peningkatan produksi padi nasional. Namun demikian, tambahan

peningkatan luas panen padi cenderung semakin mengecil akibat adanya

perubahan pola tanam dari tanaman padi ke komoditas lain, konversi lahan, dan

anomali iklim yang dapat berupa kekeringan atau kebanjiran. Data ini

menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi lebih besar dipengaruhi oleh

peningkatan produktivitas.

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

25

Jagung

Untuk komoditas Jagung, selama kurun waktu 2004-2013 produksi

meningkat cukup pesat, yaitu sekitar 6,32%, yang dihasilkan dari peningkatan

produktivitas sebesar 4,61% dan luas panen sekitar 1,71%. Sama halnya dengan

Padi, pada kasus Jagung juga peran peningkatan produktivitas terhadap produksi

cukup signifikan. Peningkatan produktivitas yang relatif tinggi salah satunya

disebabkan oleh pemanfaatan benih Jagung Hibrida unggul bermutu yang cukup

meluas (lebih dari 60%) dari total luas pertanaman dan harga yang

menguntungkan petani. Pada tahun 2013 produksi jagung sebesar 18,51 juta ton,

dengan luas panen 3,82 juta ha dan tingkat produktivitas 4,84 ton/ha (Tabel 5).

Dengan demikian, selama periode tersebut peningkatan produksi jagung nasional

lebih dominan terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui penggunaan

benih Jagung Hibrida dan penerapan teknologi usaha tani Jagung yang lebih baik.

Peningkatan produksi Jagung selama periode tersebut dapat dipahami mengingat

introduksi benih Jagung Hibrida telah berjalan sejak tahun 1985 yang menjadi

pendorong peningkatan produksi Jagung nasional.

Meskipun trend peningkatan Jagung cukup tinggi, akan tetapi produksi

Jagung nasional saat ini masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan

Jagung nasional. Untuk itu, produksi Jagung domestik terus ditingkatkan dengan

berbagai kebijakan yang dilakukan. Dalam rangka meningkatkan produksi Jagung

nasional telah dikembangkan teknologi produksi Jagung Hibrida. Namun realisasi

pengembangan Jagung Hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen.

Menurut Rusastra dan Kasryno (2007) bahwa keengganan petani untuk

memanfaatkan teknologi produksi Jagung Hibrida ini disebabkan oleh beberapa

hal, antara lain: (1) Harga benih Jagung Hibrida mahal dan hanya dapat ditanam

sekali, (2) Kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya produksinya menjadi

tinggi, (3) Umurnya lebih panjang, (4) Menghendaki lahan yang relatif subur, (5)

Lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang cukup untuk

membeli benih, pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan, (6) Sering terlambatnya

suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) Kurangnya

rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani Jagung. Akibatnya

produksi Jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

26

Tabel 5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di

Indonesia, 2004 – 2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)

2004 3.356.914 3,34 11.225.243

2005 3.625.987 3,45 12.523.894

2006 3.345.805 3,47 11.609.463

2007 3.630.324 3,66 13.287.527

2008 4.003.313 4,08 16.323.922

2009 4.160.659 4,24 17.629.740

2010 4.131.676 4,44 18.327.636

2011 3.861.433 4,57 17.629.033

2012 3.957.595 4,90 19.387.022

2013 3.821.504 4,84 18.511.853

(r %/thn) 1,71 4,61 6,32 Sumber: BPS (2004-2013).

Kedelai

Untuk Kedelai, perkembangan luas panen selama kurun waktu 2004-2013

mengalami fuktuasi yang tinggi, namun masih mempunyai tren yang meningkat

sekitar 0,43%/tahun. Sampai tahun 2009 tren luas panen menunjukkan

peningkatan. Luas panen Kedelai pada tahun 2004 sebesar 565 ribu ha, pada

tahun 2009 menjadi 723 ribu ha. Sejak 2009 berlanjut sampai lima tahun

kemudian (2013) luas panen menurun, dan menjadi 551 ribu ha tahun 2013.

Produktivitas Kedelai dalam periode 10 tahun terakhir meningkat dari 1,28 ton/ha

menjadi 1,42 ton/ha, atau naik 1,44%/tahun. Mengikuti pola luas panen, produksi

Kedelai meningkat sampai tahun 2009, kemudian menurun lagi sesudahnya,

menjadi 780 ribu ton pada tahun 2013, atau rata-rata pertumbuhan produksi

sebesar 1,87%/tahun (Tabel 6). Terjadinya dinamika luas panen Kedelai yang

fluktuatif berkaitan dengan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, terutama pada

lahan kering dengan komoditas Jagung, yang memberikan keuntungan usahatani

yang jauh lebih baik. Harga Kedelai yang selalu berfluktuasi sering menjadi

pertimbangan petani untuk beralih dari tanaman Kedelai ke tanaman lainnya yang

lebih menguntungkan.

Berbagai hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa luas panen Kedelai

seringkali berfluktuasi disebabkan karena kompetisi pertanaman terutama pada

lahan kering dengan komoditas lainnya seperti dengan Jagung. Harga Kedelai

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

27

yang selalu berfluktuasi sering menjadi pertimbangan petani untuk beralih dari

tanaman Kedelai ke tanaman lainnya yang lebih menguntungkan.

Tabel 6. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2004 – 2013.

Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)

2004 565.155 1,28 723.483

2005 621.541 1,30 808.353

2006 580.534 1,29 747.611

2007 459.116 1,29 592.634

2008 591.899 1,31 776.491

2009 722.791 1,35 974.512

2010 660.823 1,37 907.031

2011 620.928 1,36 843.838

2012 567.624 1,50 843.153

2013 550.793 1,42 779.992

(r %/thn) 0,43 1,44 1,87 Sumber : Data BPS, 2004-2013

4.2. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pangan

Strategis

Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk

mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan Padi, Jagung, dan Kedelai.

Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani

sebagai pemilik. Hasil analisis finansial sering juga disebut private returns. Adapun

analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut perekonomian

secara keseluruhan. Hasil analisis ekonomi disebut the social returns atau the

economic returns, berarti keuntungan ekonomi yang dilihat dari sudut

kepentingan makro. Pada analisis finansial harga aktual yang terjadi di pasar

digunakan sebagai nilai variabel analisis, sedangkan pada analisis ekonomi

digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga paritas ekspor. Harga

sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi

pemerintah (seperti subsidi atau bantuan langsung) dan pengaruh struktur pasar

tidak bersaing sempurna (monopoli, monopsoni dan lain-lain). Artinya, harga

sosial dapat dinilai sebagai pencerminan dari tingkat harga yang terjadi di pasar

persaingan sempurna atau mendekati harga dunia, dan hanya dibedakan oleh

biaya transportasi dari/ke lokasi usahatani.

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

28

4.2.1. Usahatani Padi

Hasil analisis finansial menunjukkan penerimaan dan biaya usaha tani Padi

masing-masing sebesar Rp. 30,80 juta/ha dan Rp. 12,64 juta/ha, dengan nilai

keuntungan sebesar Rp. 18,16 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,43. Hasil analisis

ekonomi memperlihatkan penerimaan dan biaya usaha tani Padi per hektar per

tahun masing-masing sebesar Rp. 19,51 juta/ha dan Rp. 13,49 juta/ha dengan

tingkat keuntungan sebesar Rp. 6,01 juta/ha atau nilai R/C sebesar 1,45 (Tabel

7). Hasil dari kedua hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan

usaha tani Padi baik pada tingkat usahatani maupun secara nasional cukup layak

untuk diusahakan.

Tabel 7. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Social) Usahatani Padi di Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.

Provinsi

Penerimaan (Rp. 000/ha/thn)

Biaya (Rp. 000/ha/thn)

Keuntungan (Rp. 000/ha/thn)

Private Sosial Private Sosial Private Sosial 1. NAD 21.991 17.189 13.136 13.783 8.855 3.406

2. Sumatera Utara 26.957 18.809 13.718 14.248 13.239 4.562

3. Sumatera Barat 29.133 18.453 11.618 12.057 17.515 6.396

4. Lampung 23.414 19.114 9.907 11.020 13.507 8.094

5. Jawa Barat 35.276 22.344 13.785 14.899 21.491 7.445

6. Jawa Tengah 29.468 20.819 13.764 14.989 15.704 5.830

7. Jawa Timur 29.469 22.094 13.365 14.671 16.103 7.423

8. NTB 29.812 18.883 12.187 12.913 17.625 5.970

9. Sulawesi Selatan 29.974 18.986 11.821 12.493 18.154 6.493

Indonesia 30.798 19.507 12.637 13.493 18.161 6.014 Sumber: Data BPS (2011/2012, diolah).

Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi Padi menunjukkan perolehan

nilai keuntungan finansial per tahun usaha tani Padi tertinggi terdapat di Jawa

Barat (Rp. 13,61 juta/ha), kemudian diikuti oleh Jawa Tengah (Rp 5,09 juta/ha)

dan NTB (Rp. 3,98 juta/ha). Nilai keuntungan usahatani yang cukup tinggi dan

motivasi untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi

faktor pendorong bagi petani untuk terus meningkatkan usaha taninya. Selain itu,

ketersediaan infrastruktur irigasi sebagai sumber pengairan utama usaha tani dan

kemampuan menerapkan teknologi usahatani yang baik juga menjadi faktor yang

mendorong peningkatan usahatani Padi. Gambaran yang sama diperoleh dari

analisis ekonomi, yaitu keuntungan secara sosial tertinggi juga terdapat di Jawa

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

29

Barat (Rp. 17,13 juta/ha), kemudian diikuti oleh NTB (Rp. 13,40 juta/ha) dan

Jawa Tengah (11,25 juta/ha).

4.2.2. Usahatani Jagung

Secara finansial usaha tani Jagung di Indonesia menguntungkan, hal ini

dicirikan oleh tingkat keuntungan finansial per tahun sebesar Rp. 6,7 juta/ha,

dengan tingkat penerimaan sebesar Rp. 15,9 juta/ha dan total biaya sebesar Rp.

9,2 juta/ha. Berdasarkan kinerja tersebut, nilai R/C usaha tani Jagung tingkat

nasional sekitar 1,73. Sementara itu, berdasarkan analisis ekonomi, usaha tani

Jagung di Indonesia diketahui lebih menguntungkan dari nilai finansialnya. Secara

ekonomi, usaha tani Jagung memberikan keuntungannya sebesar Rp. 8,7 juta/ha,

dengan penerimaan sebesar Rp. 18,2 juta/ha dan biaya sebesar Rp. 9,6 juta/ha,

yang berarti R/C rasio mencapai 1,90 (Tabel 8).

Hasil analisis pada masing-masing provinsi sentra produksi Jagung,

diketahui keuntungan finansial per tahun yang paling tinggi terdapat di Provinsi

Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan tingkat keuntungan masing-masing adalah

Rp. 13,6 juta/ha dan Rp. 5,1 juta/ha. Sementara pada provinsi lain seperti

Lampung, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan berkisar antara Rp. 3,0 – Rp. 3,9

juta/ha. Di Sulawesi Utara tingkat keuntungan sangat rendah yaitu hanya Rp. 343

ribu/ha bahkan di Sumatera Utara rugi (negatif) sebesar Rp. 657 ribu/ha. Hal yang

menarik adalah di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi jagung yang

relatif besar ternyata tingkat keuntungan fianansialnya lebih rendah dibandingkan

dengan provinsi sentra produksi lainnya, yakni hanya Rp. 2,3 juta/ha. Hal ini

disebabkan oleh harga Jagung yang rendah di saat panen raya yang melimpah,

sedangkan di petani Sumatera Utara dan Sulawesi Utara juga menghadapi

rendahnya harga Jagung yang disebabkan oleh kondisi infrastruktur usaha tani

dan pemasaran dari sentra produksi yang kurang baik, yang menyebabkan biaya

angkut relatif tinggi.

Kondisi yang sama, kecenderungan tingkat keuntungan ekonomi pada

semua provinsi sentra produksi jagung lebih tinggi dan lebih menguntungkan

dibanding dengan keuntungan pada analisis finansial. Keuntungan ekonomi

Jagung yang paling rendah adalah di NTT yaitu Rp. 3 juta /ha, sedangkan pada

provinsi lain berkisar antara Rp. 4 juta – Rp. 17,3 juta/ha.

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

30

Tabel 8. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Indonesia dan di

Beberapa Sentra Produksi, 2014

No. Provinsi

Penerimaan

(Rp. 000/ha/thn)

Biaya

(Rp. 000/ha/thn)

Keuntungan

(Rp. 000/ha/thn)

Private Sosial Private Sosial Private Sosial

1. Sumatera Utara 11.495 17.753 12.153 12.938 -657 4.816

2. Lampung 12.445 19.331 8.828 9.700 3.617 9.631

3. Jawa Barat 23.649 27.362 10.037 10.231 13.612 17.131

4. Jawa Tengah 14.894 21.250 9.807 10.004 5.088 11.246

5. Jawa Timur 11.069 18.308 8.793 9.095 2.277 9.213

6. Nusa Tenggara

Barat

11.751 21.565 7.770 8.165 3.980 13.400

7. Nusa Tenggara Timur

10.175 10.004 7.051 7.054 3.125 2.949

8. Sulawesi Utara 10.201 13.907 9.858 10.105 343 3.802

9. Sulawesi Selatan 10.552 17.339 7.458 7.834 3.094 9.505

Indonesia 15.865 18.240 9.203 9.566 6.662 8.674 Sumber : Data BPS (diolah)

4.2.3. Usahatani Kedelai

Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya usaha

tani Kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,95 juta/ha dan Rp. 10,20

juta/ha dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 750 ribu/ha dan nilai R/C sebesar

1,05. Sementara itu, dari analisis ekonomi diperoleh informasi penerimaan dan

biaya usahatani Kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,38 juta/ha dan

Rp. 10,20 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 177 ribu/ha dan nilai

R/C sebesar 1,02 (Tabel 9). Dari kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa

kegiatan usaha tani Kedelai pada saat ini masih layak diusahakan, namun tidak

memberikan keuntungan atau pendapatan bersih yang setimpal dengan upaya

petani.

Dengan mengacu pada analisis finansial usaha tani di beberapa provinsi

sentra produksi Kedelai, diperoleh informasi bahwa keuntungan finansial usaha

tani Kedelai paling tinggi diterima petani di Sumatera Selatan, kemudian diikuti

oleh petani di Sulawesi Utara dan NAD; dengan nilai R/C finansial masing-masing

sebesar 2,04; 1,97 dan 1,37. Kondisi inilah yang menjadi faktor pendorong bagi

petani, khususnya di daerah tersebut masih berpartisipasi dalam mengusahakan

Kedelai.

Page 45: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

31

Tabel 9. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai di Indonesia dan di

Beberapa Sentra Produksi, 2014.

Provinsi

Penerimaan

(Rp. 000/ha/thn)

Biaya

(Rp. 000/ha/thn)

Keuntungan

(Rp. 000/ha/thn)

Private Sosial Private Sosial Private Sosial

1. NAD 11.501 10.504 8.417 8.417 3.084 2.087

2. Sumatera

Utara

7.415 7.313 11.553 11.553 -4.138 -4.239

3. Sumatera Selatan

12.758 10.903 6.239 6.239 6.519 4.664

4. Lampung 10.696 8.780 8.957 8.957 1.739 -177

5. Jawa Tengah 9.969 11.643 10.791 10.791 -822 852

6. Jawa Timur 9.745 11.365 11.088 11.088 -1.343 278

7. NTB 7.238 8.075 7.267 7.267 -28 809

8. Sulawesi Utara 11.436 10.105 5.807 5.807 5.628 4.298

Indonesia 10.948 10.376 10.198 10.198 750 177 Sumber : Data BPS (diolah)

4.3. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis

4.3.1. Daya Saing Usahatani Padi

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Daya saing dan dampak kebijakan terhadap komoditas Padi akan dianalisis

dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan

(MAK). Analisis PAM tersebut dihitung berdasarkan data penerimaan dan biaya

produksi yang keseluruhannya terbagi dalam dua bagian, yaitu harga private dan

harga ekonomi (Social Opportunity Cost). Berikut ini akan dijelaskan hasil analisis

daya saing dan dampak kebijakan berdasarkan hasil perhitungan dari Matriks

Analisis Kebijakan, seperti terlihat pada Tabel 10.

Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik

atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Padi secara nasional

lebih kecil dari satu (DRC < 1) atau 0,65. Nilai DRC sebesar 0,65 berarti untuk

memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya

faktor domestik sebesar Rp. 650.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditi

Padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi

domestik. Artinya, usahatani Padi yang dilakukan oleh petani efisien secara

ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.

Page 46: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

32

Tabel 10. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi di

Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.

Provinsi Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan

DRC PCR NPCO NPCI EPC

1. NAD 0,77 0,57 1,28 0,72 1,36 2. Sumatera Utara 0,73 0,48 1,43 0,76 1,52

3. Sumatera Barat 0,62 0,37 1,58 0,75 1,66 4. Lampung 0,50 0,37 1,22 0,63 1,33

5. Jawa Barat 0,62 0,36 1,58 0,63 1,72 6. Jawa Tengah 0,66 0,42 1,42 0,67 1,57

7. Jawa Timur 0,60 0,41 1,33 0,63 1,46 8. NTB 0,64 0,38 1,58 0,68 1,69 9. Sulawesi Selatan 0,62 0,36 1,58 0,69 1,69

Indonesia 0,65 0,38 1,58 0,67 1,71

Sumber: Hasil perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Pada beberapa sentra produksi Padi, juga menunjukkan bahwa usahatani

Padi cukup efisien dengan kisaran nilai DRC antara 0,50 – 0,77. Hal ini berarti

untuk memperoleh nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.0000, hanya dibutuhkan

biaya faktor domestik pada harga sosial antara Rp. 550.000 – Rp. 770.000.

Artinya, tiap satu satuan output Padi yang dihasilkan dapat dihemat antara 0,50 –

0,23 satuan atau untuk menghasilkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000

dapat dihemat sebesar Rp. 230.000 – Rp. 450.000. Nilai tersebut diperoleh

berdasarkan asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp. 12.000. Dengan

demikian, sumberdaya faktor domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat

atau memperoleh devisa dari usahatani Padi lebih kecil dari sumberdaya domestik

yang tersedia dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa

uahatani Padi efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya faktor

domestik. Selanjutnya bila dilihat sebaran usahatani Padi per provinsi sentra

produksinya maka dapat diketahui bahwa usahatani yang paling efisien (memiliki

keunggulan komparatif) terdapat di Lampung, kemudian disusul pada usahatani di

Provinsi Lampung, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.

Sementara itu, untuk nilai Private cost ratio (PCR) secara nasional sebesar

0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Padi efisien secara finansial

dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,38 memiliki arti bahwa

untuk mendapatkan nilai tambah output Padi sebesar Rp. 1.000.000, diperlukan

Page 47: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

33

tambahan biaya faktor domestik atas harga privat sebesar Rp. 380.000. Hal ini

berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk

diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah Padi sebesar satu juta rupiah

dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah. Dengan demikian

semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan

kompetitif yang dimiliki oleh komoditas Padi.

Pada beberapa sentra produksi Padi, juga menunjukkan bahwa usahatani

Padi cukup memiliki keunggulan kompetitif dengan kisaran nilai PCR antara 0,36 –

0,57. Hal ini berarti untuk menghasilkan satu satuan tambahan output hanya

dibutuhkan biaya faktor domestik pada harga private antara 0,36 – 0,57 atau

untuk menghasilkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000 dapat dihemat

sebesar Rp/ 430.000 – Rp. 540.000. Bila dilihat sebaran usahatani Padi per

provinsi sentra produksinya, maka dapat diketahui bahwa usahatani yang yang

paling efisien (memiliki keunggulan kompetitif) terdapat di Jawa Barat dan

Sulawesi Selatan, kemudian disusul pada usahatani di Provinsi Lampung dan

Sumatera Barat.

Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR lebih

kecil dari DRC atau DRC lebih besar dari PCR (DRC > PCR). Kondisi ini

mengindikasikan terdapatnya kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan

efisiensi produsen dalam memproduksi Padi. Kebijakan yang banyak dilakukan

selama ini meliputi: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Peningkatan luas areal

panen, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Pengembangan kelembagaan dan

pembiayaan. Dalam optimalisasi pertananaman Padi masih terkendala dengan

infrastruktur pengairan yang masih perlu perbaikan. Demikian pula penggunaan

benih Padi unggul dan adopsi teknologi lainnya di tingkat petani masih harus terus

ditingkatkan.

Dampak Kebijakan

Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat

memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam

sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan

produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini

dampak kebijakan terhadap usahatani Padi akan dibahas meliputi kebijakan input

Page 48: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

34

dan output. Secara lengkap nilai NPCO NPCI dan EPC yang merupakan indikator

kebijakan disajikan pada Tabel 10.

NPCO adalah indikator dampak kebijakan yang menunjukkan seberapa besar

harga padi (pada harga privat) berbeda dengan harga sosial (harga dunia). NPCO

juga merupakan indikator proteksi output akibat suatu kebijakan usahatani. NPCO

usahatani padi memiliki nilai > 1 yaitu sebesar 1,58 yang menunjukkan bahwa

kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output usahatani. Dengan

demikian usahatani Padi menerima revenue sebesar 58% lebih besar dari yang

seharusnya, di sisi lain konsumen mengalami disinsentif. Pada beberapa sentra

produksi Padi, juga menunjukkan bahwa kisaran nilai NPCO antara 1,28 – 1,58.

Hal ini berarti bahwa usahatani Padi menerima penerimaan sebesar 28% – 58%

lebih besar dari yang seharusnya.

Untuk Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan

adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak

pada input tersebut. Sementara sektor yang menggunakan input tersebut

dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil

dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan bahwa adanya subsidi atas input tersebut.

Nilai NPCI yang diperoleh dari penelitian ini secara nasional adalah 0,67. Nilai ini

menunjukkan adanya subsidi pada para petani atas input tradable, sehingga dapat

mengurangi biaya usahatani. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari kebijakan

pemerintah dengan penerapan mekanisme pasar input seperti sekarang,

berdampak positif terhadap total biaya produksi padi nasional, dimana petani

produsen padi menerima harga input sekitar 67% lebih rendah daripada harga

sosial yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, produsen padi nasional saat ini

telah menerima insentif dari pemerintah yaitu berupa subsidi harga input,

sehingga harga input yang diterima petani lebih murah daripada harga sosial atau

harga input di tingkat pasar global.

Hal yang sama pada beberapa sentra produksi Padi nasional dimana kisaran

nilai NPCI antara 0,63 – 0,76. Artinya petani produsen Padi menerima harga input

sekitar 63 – 76% lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya diterima.

Selanjutnya nilai EPC atau Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari

dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usahatani Padi di

Page 49: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

35

Nusa Tenggara Barat. EPC adalah rasio antara selisih penerimaan dan biaya input

tradable yang dihitung pada tingkat harga bayangan. Nilai EPC menggambarkan

sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat

produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC > 1)

mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan

efektif. Sementara nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan

kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai EPC secara nasional adalah 1,71

(> 1), yang berarti bahwa kebijakan output dapat melindungi petani lokal atau

berjalan efektif. Petani lokal dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi karena

harga privat output lebih besar dari harga bayangannya. Semakin besar nilai EPC

menunjukkan semakin besar kebijakan proteksi pemerintah terhadap beras. Hal

yang sama pada beberapa sentra produksi Padi nasional dimana kisaran nilai EPC

antara 1,33 – 1,72. Artinya petani lokal di sentra-sentra produksi tersebut

memperoleh fasilitas proteksi karena harga privat output lebih besar dari harga

bayangannya.

4.3.2. Daya Saing Usahatani Jagung

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini

ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR)

yang kurang dari satu. Nilai koefisien DRCR secara nasional adalah 0,48 artinya

bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas Jagung sebesar

Rp. 1.000.000 dibutuhkan tambahan biaya sumber daya domestik sebesar

Rp. 480.000. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani Jagung memiliki keunggulan

komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Berdasarkan

analisis keunggulan kompetitif, komoditas Jagung secara nasional memiliki

keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,54. Hal ini

menunjukkan bahwa usaha tani Jagung di Indonesia memiliki keunggulan

kompetitif (Tabel 11).

Berdasarkan analisis di provinsi sentra produksi Jagung, diketahui bahwa

keunggulan komparatif tertinggi terdapat pada usaha tani Jagung di NTB

(DRCR=0,33), kemudian diikuti Jawa Barat (0,35) dan Sulawesi Selatan (0,39).

Page 50: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

36

Sementara keunggulan komparatif usahatani Jagung untuk provinsi lainnya seperti

Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki nilai DRCR yang berkisar antara

0,40 – 0,45, dan di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya

sebesar 0,70 (mendekati 1). Dengan demikian, usaha tani Jagung di provinsi

sentra produksi juga memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi.

Sejalan dengan keunggulan komparatif, pada sentra produksi Jagung di

Provinsi Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara juga memiliki keunggulan

kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan untuk

di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR

1,07. Sementara di provinsi lainnya masih memiliki keunggulan kompetitif dengan

nilai PCR berkisar antara 0,40 – 0,67, yang artinya bahwa pada provinsi-provinsi

tersebut usahatani Jagung memiliki tingkat efisiensi yang baik.

Tabel 11. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Jagung di

Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.

No. Provinsi DRCR PCR NPCO NPCI EPC

1. Sumatera Utara 0.69 1.07 0.65 0.69 0.64

2. Lampung 0.40 0.64 0.64 0.75 0.62

3. Jawa Barat 0.35 0.40 0.86 0.84 0.87

4. Jawa Tengah 0.43 0.63 0.70 0.86 0.69

5. Jawa Timur 0.45 0.77 0.60 0.81 0.59

6. Nusa Tenggara Barat 0.33 0.62 0.54 0.78 0.53

7. Nusa Tenggara Timur 0.69 0.96 1.02 0.99 1.02

8. Sulawesi Utara 0.70 0.96 0.73 0.81 0.73

9. Sulawesi Selatan 0.39 0.67 0.61 0.78 0.59

Indonesia 0.48 0.54 0.87 0.78 0.88

Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Page 51: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

37

Dampak Kebijakan

Pada sistem ekonomi, peranan pemerintah senantiasa harus melindungi

semua pihak baik produsen maupun konsumen melalui kebijakan yang

ditetapkannya. Namun adakalanya kebijakan tersebut sulit untuk membuat suatu

dampak yang seimbang kepada kedua belah pihak, disatu sisi ada pihak yang

menerima dampak positifnya tetapi terkadang satu sisi lainnya menerima dampak

negatifnya, sehingga upaya yang paling memungkinkan yang diambil adalah suatu

kebijakan yang memberikan dampak negatif paling kecil.

Pada sisi output, tampak bahwa pemerintah tidak atau belum memberikan

kebijakan yang bersifat protektif terhadap sistem usahatani komoditas Jagung, hal

ini diindikasikan oleh indikator NPCO yang keseluruhannya < 1 yakni untuk

nasional sebesar 0,87. Sementara pada provinsi sentra produksi, nilai NPCO

berkisar antara 0,54 – 0,86. Hal ini dapat diartikan bahwa sistim pengusahaan

Jagung di Indonesia, dimana petani menerima harga output yang lebih rendah

dari harga sosial karena tidak diproteksi oleh Pemerintah. Kecuali yang terjadi di

Provinsi NTT, dimana nilai NPCO > 1, yang artinya bahwa di NTT terdapat

kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output Jagung. Hal diduga

karena komoditas Jagung di NTT merupakan komoditas pangan utama.

Sementara dari sisi input, baik secara nasional maupun pada masing-masing

provinsi sentra produksi Jagung nilai NPCI pada umumnya < 1. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap faktor

input, sehingga petani membayar harga input lebih rendah dari harga sosialnya.

Secara nasional nilai NPCI bernilai 0,78, artinya petani membayar nilai faktor input

usahatani Jagung hanya 78% dari banding nilai sosialnya atau lebih rendah

sebesar 22%. Adapun nilai NPCI pada sentra produksi Jagung yang paling rendah

adalah di Sumatera Utara yaitu sebesar 0.69, di Lampung sebesar 0,75 dan di

NTB serta Sulaweai Selatan sebesar 0,78. Sementara di NTT hampir mendekati 1

(0,99), hal ini diduga karena terdapatnya kebijakan pada sisi input yang tidak

efektif yang disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti biaya transport,

aksesibilitas sehingga menyebabkan harga input menjadi lebih tinggi dibanding

dengan dari daerah lain.

Page 52: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

38

Sementara dampak kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung (input dan

output) secara umum bersifat tidak protektif, atau pemerintah tidak melakukan

proteksi kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung di Indonesia yang

diindikasikan oleh nilai EPC 0,88 untuk tingkat nasional. Adapun pada masing-

masing provinsi sentra Jagung, nilai EPC berkisar antara 0,53 – 0,87, kecuali di

Provinsi NTT komoditas Jagung tampaknya terdapat kebijakan yang bersifat

protektif, karena di wilayah ini Jagung merupakan sumber pangan utama. Secara

lengkap nilai NPCO NPCI dan EPC yang merupakan indikator kebijakan disajikan

pada Tabel 11.

4.3.3. Daya Saing Usahatani Kedelai

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Berdasarkan nilai DRCR dan PCR, usaha tani Kedelai secara nasional tidak

memiliki daya saing. Nilai DRCR usahatani Kedelai secara nasional lebih besar dari

satu, tepatnya 1,05. Artinya untuk memperoleh nilai tambah sebesar

Rp. 1.000,000 diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 1.050.000.

Angka ini menunjukkan bahwa usaha tani Kedelai secara nasional tidak efisien

dalam menggunakan sumberdaya ekonomi dan tidak memiliki keunggulan

komparatif (Tabel 12).

Meskipun demikian di beberapa sentra produksi Kedelai seperti di Provinsi

NAD, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara, masih diperoleh

nilai DRCR usaha tani Kedelai lebih kecil dari satu (DRC < 1) dengan kisaran

antara 0,55 – 0,89. Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif usaha tani

Kedelai adalah Sumatera Selatan (DRC=0,55) dan Sulawesi Utara (0,55). Adapun

usaha tani Kedelai yang tidak efisien dan tidak memiliki keunggulan komparatif

terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Timur, dengan nilai

DRCR lebih besar dari satu.

Nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani Kedelai secara nasional sebesar

0,92. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha tani Kedelai masih efisien secara

finansial dan masih memiliki keunggulan secara kompetitif. Hal ini berarti untuk

meningkatkan nilai tambah dari usahatani Kedelai sebesar satu juta rupiah

dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah, namun dengan

Page 53: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

39

keuntungan relatif kecil. Di Provinsi NAD, Sumatera Selatan, Lampung, dan

Sulawesi Utara tercatat nilai PCR yang lebih kecil dari satu. Dari ke empat daerah

tersebut, Sumatera Selatan merupakan daerah dengan nilai PCR terkecil, yaitu

sebesar 0,44, berarti provinsi ini merupakan daerah yang paling efisien dalam

penggunaan faktor domestik sehingga komoditas Kedelai yang diusahakan

memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibanding dengan daerah

lainnya. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur

merupakan daerah dengan nilai PCR lebih besar dari satu. Dengan demikian,

usaha tani Kedelai di daerah tersebut tidak memiliki keunggulan komptetitif.

Sementara, usahatani Kedelai di NTB hanya mencapai break even point, yang

ditunjukkan oleh nilai PCRnya sama dengan satu.

Tabel 12. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Kedelai di

Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.

Provinsi Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan

DRC PCR NPCO NPCI EPC

1. NAD 0,79 0,71 1,09 0,93 1,11 2. Sumatera Utara 1,94 1,85 1,01 0,95 1,05

3. Sumatera Selatan 0,55 0,44 1,17 0,69 1,26 4. Lampung 1,11 0,81 1,22 0,77 1,37 5. Jawa Tengah 0,95 1,10 0,86 0,84 0,86

6. Jawa Timur 1,06 1,17 0,86 0,73 0,90 7. NTB 0,89 1,00 0,90 0,95 0,89

8. Sulawesi Utara 0,55 0,47 1,13 0,83 1,17

Indonesia 1,05 0,92 1,06 0,78 1,14

Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Dampak Kebijakan

Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa

penetapan pajak atau subsidi. Pengukuran dampak kebijakan pemerintah

terhadap input dalam penelitian ini akan digunakan Nominal Protection Coefficient

on Tradable Inputs (NPCI) atau nilai Koefisien Proteksi Input Nominal, yang

merupakan rasio antara biaya tradable inputs yang dihitung berdasarkan harga

private dengan harga sosial. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi

yang dibebankan pemerintah pada tradable inputs bila dibandingkan tanpa adanya

kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan

adanya kebijakan proteksi terhadap produsen tradable inputs selain terdapat

Page 54: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

40

pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut

dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil

dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut (Pearson

et al., 2005).

Dampak kebijakan input seperti yang terlihat pada Tabel 12

menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpihak kepada petani Kedelai

dengan nilai NPCI yang kurang dari satu (NPCI < 1). Artinya harga input yang

benar-benar dibayar oleh petani Kedelai secara nasional lebih rendah dari

seharusnya, yaitu sebesar 78%. Demikian pula untuk tiap provinsi yang dianalisis

(NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur,

NTB, dan Sulawesi Utara) menunjukkan nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI < 1),

yang nilainya berkisar antara 0,69 – 0,95. Hal ini berarti adanya kebijakan subsidi

tradable inputs pada usahatani Kedelai, khususnya terkait dengan komponen

sarana pupuk kimia (urea dan SP-36). Meskipun demikian nilai subsidi tersebut

masih relatif kecil sehingga upaya peningkatan produksi dan produktivitas

usahatani Kedelai belum dapat dilakukan secara optimal.

Bentuk kebijakan pemerintah terhadap output dapat berupa subsidi atau

kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. Salah satu

indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat intervensi pemerintah

pada output tersebut adalah Nominal Protection Coefficient on Tradable Outputs

(NPCO) atau nilai Koefisien Proteksi Output Nominal. NPCO ini merupakan rasio

antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan

yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO ini juga merupakan indikasi

dari Transfer Output yang menunjukkan seberapa besar harga private berbeda

dengan harga sosial (Pearson et al., 2005). Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu

(NPCO < 1), berarti harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti

harga domestik didisproteksi. Hasil analisis juga diperoleh nilai NPCO usahatani

Kedelai secara nasional sebesar 1,06 atau nilai NPCO > 1.

Angka NPCO yang lebih dari satu tersebut menunjukkan bahwa kebijakan

pemerintah terhadap harga output pada kegiatan usahatani Kedelai sudah dapat

dirasakan oleh petani Kedelai, walaupun tingkat protektifnya belum mampu

sepenuhnya meningkatkan daya saing Kedelai karena harga Kedelai impor masih

Page 55: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

41

lebih rendah dari harga domestik. Kondisi seperti ini menyebabkan petani tidak

termotivasi untuk meningkatkan produktivitas Kedelai. Apalagi diketahui Kedelai

merupakan crop competition dan imperfect substitutability antara Kedelai impor

dengan lokal.

Petani umumnya memilih pola tanam Padi – Padi – Palawija, dengan Kedelai

di urutan paling akhir untuk kelompok palawija karena dianggap kurang

menguntungkan dibandingkan dengan tanaman lainnya. Karena itulah, ketika luas

lahan Kedelai turun, luas lahan tanaman lainnya, khususnya Jagung malah naik

atau terindikasi adanya crop competition. Demikian pula dari sisi konsumsi,

Kedelai impor pada kenyataannya lebih disukai oleh pengrajin tempe karena

Kedelai nya putih, utuh, besar, kulitnya empuk, dan minus kerikil. Oleh karena itu,

pengrajin tempe hanya menggunakan Kedelai impor apalagi ketersediaannya

terjamin dan harganya cocok sehingga dalam produksi tempe, belum adanya

substitusi Kedelai impor dan lokal (imperfect substitutability).

Pada perspektif kebijakan, besarnya impor kedelai diawali ketika pemerintah

melalui Keputusan MenPerindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tataniaga

Kedelai yang semula ditangani oleh Bulog dialihkan ke importir umum. Hal ini

sesuai dengan keinginan World Trade Organization (WTO) dan International

Monetary Fund (IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan

Menengah dalam memperoleh bahan baku Kedelai. Dengan bebasnya impor

Kedelai mengakibatkan harga Kedelai di pasar domestik mengalami tekanan.

Apalagi Amerika Serikat sebagai pemasok Kedelai terbesar di dunia

memberikan kemudahan kepada importir Kedelai nasional melalui kredit lunak. Hal

ini diberikan karena Amerika Serikat melihat lemahnya posisi tawar pelaku

agribisnis nasional sebagai akibat rupiah yang terdepresiasi dan menurunnya

kredibilitas sistem perbankan pada pertengahan krisis ekonomi di Indonesia.

Akibatnya, harga Kedelai impor dipasar domestik lebih murah Rp. 600/kg dari

Kedelai lokal. Insentif kepada importir ini mengakibatkan Kedelai lokal menjadi

tidak kompetitif dan gairah petani untuk memproduksi Kedelai mulai menurun.

Sebagai konsekuensi dilepasnya produk Kedelai pada pasar bebas maka fluktuasi

harga Kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga Kedelai lokal.

Page 56: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

42

Dampak kebijakan secara keseluruhan baik terhadap input maupun output

dapat dilihat dari Effective Protection Coefficient (EPC) atau Koefisien Proteksi

Efektif. Nilai EPC ini diperoleh berdasarkan rasio antara selisih penerimaan dan

biaya input tradable yang dihitung pada harga private dengan selisih penerimaan

dan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga sosial. Nilai EPC

tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi

atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC >

1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan

efektif. Sebaliknya, nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan

kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.

Nilai EPC komoditas kedelai secara nasional sebesar 1,14 atau lebih besar

dari satu (EPC > 1). Angka EPC ini memberi gambaran bahwa petani Kedelai

masih memperoleh perlindungan dari pemerintah, baik untuk output maupun

input. Petani dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah karena

harga private output lebih besar dari harga sosialnya. Selain itu, petani juga

membeli input tradable lebih murah dari harga sosialnya. Beradasarkan hasil

analisis juga terlihat bahwa di Provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,

Lampung, dan Sulawesi Utara merupakan daerah yang nilai EPCnya lebih dari

satu, dengan kisaran nilai antara 1,05 – 1,37. Sebaliknya, nilai EPC lebih kecil dari

satu terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB, dengan kisaran nilai antara

0,86 – 0,90.

4.4. Alternatif kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pangan Strategis

Swasembada Padi/Beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi

yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan

walaupun dalam keadaan total permintaan Beras yang terus meningkat karena

peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek langkah-

langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah: (i) perbaikan irigasi untuk

meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun sehingga dapat meningkatkan

Indeks pertamanan (IP). Perbaikan irigasi harus sinergis dan terintegrasi mulai

dari saluran primer, sekunder, sampai tertier dan di petak sawah petani; (ii)

penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan petani dan

Page 57: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

43

sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk memperhatikan peta

endemis hama dan penyakit tanaman padi. Benih harus sampai tepat waktu dan

tepat kualitas/bersertifikat; (iii) penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan

karakteristik lahan petani. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat

jumlah sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya dapat

diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli riil petani dapat

menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM; (iv) penerapan paket

teknologi usahatani terpadu seperti PTT (pengelolaan sumberdaya dan pertanian

terpadu) atau SRI (Sistem of Rice Intensification) sesuai dengan disain awal yang

tujuannya meningkatkan keberdayaan (empowerment) petani melakukan

usahatani yang baik melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan

kemampuan petani melakukan usahatani, bukan dengan pemberian bantuan

sarana produksi sebagai komponen utama; dan (v) penyuluhan dan

pendampingan yang intensif kepada kelompok tani dalam memecahkan

permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi yang dihadapi kelompok tani.

Untuk komoditas Jagung, pemerintah telah mampu meraih sasaran

swasembada Jagung nasional, dan langkah selanjutnya adalah tetap

mempertahankan dan meningkatkan swasembada secara berkelanjutan. Upaya

untuk peningkatan produksi Jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan

melalui peningkatan efisiensi usahatani dengan mengarahkan pada peningkatan

produktivitas, penekanan biaya produksi dan insentif harga output. Secara rinci

beberapa upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui: (i)

penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul hibrida

diatas 80% dan peningkatan teknik budidaya Jagung spesifik lokasi; (ii) menjamin

ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta harga yang terjangkau

petani, karena itu aspek subsidi benih masih perlu mendapat porsi yang memadai;

(iii) pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat

pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan teknologi

sesuai anjuran; (iv) pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi

lainnya (pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada

saat dibutuhkan; (v) pemberian rangsangan harga output kepada petani Jagung;

Page 58: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

44

dan (vi) pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka

menjamin kepastian harga dan pasar produk yang dihasilkan petani Jagung.

Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku Kedelai

semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Total

kebutuhan Kedelai tahun 2013 mencapai 2,5 juta ton. Dengan mencermati kondisi

produksi dan teknologi budidaya yang diaplikasinya saat ini, maka cukup berat

upaya pemerintah dalam meraih swasembada Kedelai nasional. Namun demikian,

pemerintah terus senantiasa berupaya agar produksi Kedelai nasional semakin

meningkat. Peningkatan produksi Kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan

produktivitas dan peningkatan areal tanam Kedelai nasional. Produktivitas Kedelai

nasional masih rendah, untuk itu peningkatan produktivitas Kedelai ini dapat

dilakukan dengan penggantian varietas dengan variets Kedelai unggul dengan

produktivitas yang tinggi. Selain penggantian varietas, juga harus dibarengi

dengan penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi

budidaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan bahan

organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan berimbang (NPK),

pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit) secara

terpadu, serta panen dan pasca panen dengan tepat sehingga mengurangi

kehilangan hasil. Selain dengan peningkatan produktivitas, upaya peningkatan

Kedelai dapat dilakukan dengan menambah areal tanam Kedelai. Penambahan

areal tanam Kedelai ini dimungkinkan diarahkan pada lahan-lahan di luar Jawa,

sedangkan untuk lahan-lahan di pulau Jawa penambahan areal tanam ini masih

memungkinkan pada lahan-lahan milik Perhutani dengan konsep agroforestry

(tumpangsari dengan tanaman hutan) dan lahan-lahan sawah setelah pertanaman

Padi.

Secara khusus beberapa strategi penting untuk menjamin keberhasilan

peningkatan produksi Kedelai nasional adalah: (1) Perbaikan Harga Jual,

peningkatan harga jual Kedelai di tingkat petani merupakan kunci utama dalam

mengembalikan minat petani untuk menanam Kedelai, seperti halnya yang telah

dicapai pada tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta hektar. Untuk ini

harus ada kebijakan nyata pemerintah dalam menentukan harga dasar Kedelai

dalam negeri, seperti halnya pada Padi/Beras; atau mengurangi impor melalui

Page 59: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

45

penerapan tarif agar harga Kedelai dalam negeri dapat bersaing; (2) Pemanfaatan

Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia luas untuk perluasan

areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela, di antaranya

menanam Kedelai secara tumpangsari dengan Ubikayu dan Kelapa Sawit muda;

(3) Intensifikasi Pertanaman, intensifikasi perlu dilakukan di daerah sentra

produksi Kedelai, khususnya bagi lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian

sedang sampai tinggi, seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; (4)

Perbaikan Proses Produksi, proses produksi yang mampu memberikan

produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan yakni melalui pendekatan

pengelolaan tanaman terpadu (PTT) agar pendapatan bersih petani meningkat,

merupakan upaya penting dalam menumbuhkan kembali minat petani untuk

menanam Kedelai.

4.5. Kinerja Perkembangan dan Analisis Daya Saing Pangan Strategis: Kasus Jawa Barat

4.5.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis di Jawa Barat

Komoditas Padi/Beras

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah penghasil Padi/Beras

utama di Indonesia bersama Provinsi Jawa Timur. Provinsi utama penghasil Padi

lainnya adalah Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Penghasil

Padi/Beras terbesar di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu diikuti Kabupaten

Karawang. Usahatani Padi di Jawa Barat diusahakan oleh sekitar 2 juta rumah

tangga petani (Wardana et al., 2012). Jawa Barat merupakan penghasil

Padi/Beras yang selalu surplus sehingga mampu menyangga kebutuhan Beras

provinsi lainnya terutama Jakarta.

Komoditas Padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat,

tentunya telah diletakan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program pada setiap

tahunnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar, 2013). Upaya peningkatan

produksi baik secara kuantitas dan kualitas serta efisiensi proses produksi, terus

diupayakan peningkatannya sehingga peningkatan nilai tambah dan daya saing

produk guna meningkatkan kesejahteraan petani terus ditingkatkan. Peningkatan

produksi tanaman pangan khususnya Padi di Jawa barat antara lain didukung

Page 60: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

46

oleh: (1) Peningkatan produktivitas melalui pelaksanaan SLPTT, (2)

Pengembangan kauntitas dan kualitas alat mesin pertanian pra panen, panen dan

pasca panen, dan (3) Pengurangan kehilangan hasil saat panen. Varietas Padi

yang ditanam dominan adalah: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, IR64,

PB 42, C. Muncul, dan Cisadane.

Sementara itu, selama kurun waktu lima tahun terakhir, luas panen Padi di

Jawa Barat mengalami peningkatan 0,77 %/tahun, yaitu dari 1,88 juta ha (2004)

menjadi 1,89 juta ha (2014). Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi

Padi di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 1,65 %/tahun, yaitu dari 9,60

juta ton (2004) menjadi 11,15 juta ton (2014). Sementara produktivitasnya

mengalami peningkatan sebesar 2,35%/tahun, dari 5,11 ton/ha (2004) menjadi

5,90 ton/ha (2014). Dengan demikian peningkatan produksi Padi di Jawa Barat

lebih dominan disebabkan karena peningkatan produktivitasnya (Tabel 13).

Tabel 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa Barat, 2004 – 2014.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)

2004 1.880.142 9.602.302 51,07

2005 1.894.796 9.787.217 51,65

2006 1.798.260 9.418.572 52,38

2007 1.829.085 9.914.019 54,20

2008 1.803.628 10.111.069 56,06

2009 1.950.203 11.322.681 58,06

2010 2.037.657 11.737.070 57,60

2011 1.964.466 11.633.891 59,22

2012 1.918.799 11.271.861 58,74

2013 2.029.891 12.083.162 59,53

2014 1.891.289 11.149.743 58,95

r(%/tahun 0,70 2,35 1,65

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)

Adapun kendala peningkatan produksi Padi di Jawa Barat antara lain

meliputi (1) Rawan terjadi kekeringan pada musim kemarau, (2) Konversi

penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian, (3) Tenaga kerja di sektor

pertanian berkurang karena terjadi migrasi ke kota antara ke Jakarta dan kota-

kota besar lainnya di Jawa Barat. Peluang peningkatan produksi Padi dapat dicapai

melalui program peningkatan mutu melalui penerapan teknologi budidaya untuk

Page 61: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

47

meningkatkan produktivitas Padi. Kegiatan pertanian Padi diairi dari saluran irigasi

yang mendapat suplai air dari tiga waduk yang membendung aliran sungai

Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.

Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung

menujukkan variasi dalam perkembangan produksi Padi selama kurun waktu lima

tahun terakhir (Tabel 14). Di Kabupaten Garut, luas panen Padi meningkat

sebesar 4,63 %/tahun, yaitu dari 135,10 ribu ha tahun 2009 menjadi 166,56 ribu

ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi padi

meningkat sebesar 3,45 %/tahun yaitu dari 785,37 ribu ton tahun 2009 menjadi

917,50 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya menurun sebesar 1,18

%/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Padi di Garut lebih disebabkan

oleh peningkatan luas panennya. Di Kabupaten Cianjur, luas panen Padi

meningkat sebesar 0,95 %/tahun, yaitu dari 144,03 ribu ha tahun 2009 menjadi

153,18 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi

padi meningkat sebesar 2,88 %/tahun yaitu dari 766,04 ribu ton tahun 2009

menjadi 882,66 ribu ton tahun 2013. Sementara produktivitasnya meningkat lebih

besar daripada peningkatan luas panennya yaitu sebesar 1,92 %/tahun. Dengan

demikian, peningkatan produksi Padi di Cianjur lebih didominan disebabkan oleh

peningkatan teknologi usahatani yang menyebabkan produktivitasnya meningkat

lebih tinggi dari peningkatan luas panennya. Hal yang sama di Kabupaten

Bandung dimana luas panen Padi meningkat sebesar 2,68 %/tahun, yaitu dari

75,89 ribu ha tahun 2009 menjadi 86,31 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan

peningkatan luas panennya, produksi Padi meningkat sebesar 6,08 %/tahun yaitu

dari 443,51 ribu ton tahun 2009 menjadi 584,34 ribu ton tahun 2013. Sementara

produktivitasnya meningkat lebih besar daripada peningkatan luas panennya yaitu

sebesar 3,40 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Padi di Garut

lebih didominan disebabkan oleh peningkatan teknologi usahatani yang

menyebabkan produktivitasnya meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas

panennya.

Page 62: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

48

Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Lokasi Kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung, 2009 – 2013.

Tahun

Garut Cianjur Bandung

Luas Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

Luas Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

Luas Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

2009

135.104 785.374

58,13

144.026

766.039

53,19

75.891

443.507

58,44

2010

147.426 894.204

60,65

159.229

862.230

54,15

77.595

459.078

59,16

2011

153.195 907.011

59,21

139.932

790.824

56,51

77.918

464.425

59,60

2012

154.662 925.239

59,82

155.210

868.538

55,96

78.003

479.425

61,46

2013

166.557 917.503

55,09

153.178

882.663

57,62

86.310

584.336

67,70

r (%/th) 4,63 3,45 -1,18 0,95 2,88 1,92 2,68 6,08 3,40

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Garut, Cianjur dan Bandung (2013).

Komoditas Jagung

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah

pengembangan Jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu:

Kabupaten Garut, Bandung, Sumedang, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya,

Sukabumi, dan Cianjur. Wilayah pengembangan Jagung yang sangat potensial ini

telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan

sentra Jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur,

membujur dari arah utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk

Jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis

berbagai komoditas unggulan palawija khususnya Jagung yang terdapat

disembilan kabupaten tersebut diatas.

Akselerasi peningkatan produksi Jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak

terlepas dari upaya-upaya, seperti: (1) Akselerasi pemberdayaan petani dan

kelembagaan ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani)

yang terus ditingkatkan, (2) Berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman

Terpadu) Jagung terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul

hibrida, perbaikan tanam dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit

tanaman secara terpadu.

Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai

tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul

bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat,

Page 63: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

49

2009). Produsen benih meliputi swasta/BUMN dan kelompok tani penangkar. UPT

daerah dalam pengembangan benih Jagung di Jawa Barat adalah Balai

Pengembangan Benih (BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk

melakukan penangkaran benih Jagung Hibrida menjadi benih sebar. Jika

kemitraaan telah berjalan secara baik, maka diharapkan akan berdampak positif

bagi peningkatan kualitas benih unggul pada petani. Dengan perbaikan mutu

benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur teknologi, sehingga akan

berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain dengan berkembang-

nya sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan kesempatan kerja pada

usaha pemasaran benih unggul.

Dengan semakin meningkatnya produktivitas Jagung yang merupakan

tanaman palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah

dan daya saing komoditas Jagung, sehingga berdampak positif terhadap

peningkatan motivasi dalam mendorong mengembangkan usahataninya dan

peningkatan pendapatan petani. Dilihat dari aspek ketahanan pangan,

peningkatan produksi Jagung selain berperan dalam penyediaan bahan pangan,

juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan konsumsi. Peningkatan

produksi Jagung juga akan mendorong pengembangan sektor atau subsektor lain

seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan, dan perikanan.

Sementara itu, selama kurun waktu 2004 – 2014 luas panen Jagung

mengalami peningkatan 3,05 %/tahun, yaitu dari 119,87 ribu hektar pada tahun

2004 menjadi 140,75 ribu hektar pada tahun 2014. Peningkatan luas panen

tersebut diikuti oleh peningkatan produksinya. Produksi Jagung dalam kurun

waktu tersebut meningkat pesat sebesar 7,81 %/tahun, yaitu dari 549,44 ribu ton

pada tahun 2004 menjadi 1,03 juta ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi

yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas yang juga

tinggi sebesar 4,76 %/tahun, yaitu dari 4,58 ton/ha tahun 2004 menjadi 7,29

ton/ha pada tahun 2014 (Tabel 15). Dengan demikian peningkatan produksi

Jagung di Jawa Barat dalam kurun waktu tersebut lebih dominan karena

peningkatan teknologi budidaya pada usahataninya.

Page 64: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

50

Tabel 15. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Jawa

Barat, 2004 – 2014.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)

2004 119.872 549.442 45,84

2005 117.413 587.186 50,01

2006 115.797 573.263 49,51

2007 113.373 577.513 50,94

2008 118.976 639.822 53,78

2009 136.707 787.599 57,61

2010 153.778 923.962 60,08

2011 147.152 945.104 64,23

2012 148.601 1.028.653 69,22

2013 152.923 1.101.998 72,06

2014 140.748 1.026.635 72,94

r(%/thn 3,05 7,81 4,76 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)

Varietas jagung yang banyak ditanam khususnya di Jawa Barat adalah

Hibrida seperti BISI, Pioneer dan lainnya. Adapun tingkat produktivitas Jagung

ditingkat petani berkisar antara 5 – 6 ton/ha. Secara umum Jagung di Jawa Barat

ditanam dilahan kering seperti tegalan, dan ditanam saat musim penghujan (MH).

Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung

perkembangan produksi Jagung selama kurun waktu lima tahun terakhir juga

menunjukkan variasi antar wilayah (Tabel 16). Di Kabupaten Garut, luas panen

Jagung meningkat sebesar 10,79 %/tahun, yaitu dari 48,47 ribu ha tahun 2009

menjadi 76,74 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya,

produksi Jagung meningkat sebesar 14,16 %/tahun yaitu dari 327,80 ribu ton

tahun 2009 menjadi 602,37 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya

meningkat sebesar 3,38 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi

Jagung di Garut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panennya. Hal terutama

bersumber dari potensi lahan kering di Kabupaten Garut yang masih relatif luas

dan tertinggi di Jawa Barat. Lain halnya dengan di Kabupaten Bandung, luas

panen Jagung meningkat sebesar 3,36 %/tahun, yaitu dari 9,91 ribu ha tahun

2009 menjadi 11,55 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas

panennya, produksi Jagung meningkat sebesar 14,20 %/tahun yaitu dari 52,83

ribu ton tahun 2009 menjadi 90,40 ribu ton tahun 2013. Sementara

produktivitasnya meningkat lebih besar daripada peningkatan luas panennya yaitu

Page 65: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

51

sebesar 10,83 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Jagung di

Bandung lebih didominasi disebabkan oleh peningkatan teknologi usahatani yaitu

berupa penggunaan benih unggul Hibrida yang menyebabkan produktivitasnya

meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas panennya. Hal yang berbeda di

Kabupaten Cianjur dimana luas panen Jagung justru menurun sebesar 1,46

%/tahun, yaitu dari 7,71 ribu ha tahun 2009 menjadi 6,94 ribu ha tahun 2013.

Namun demikian, produksi nya masih meningkat sebesar 2,08 %/tahun yaitu dari

34,27 ribu ton tahun 2009 menjadi 34,45 ribu ton tahun 2013. Sementara

produktivitasnya meningkat lebih besar sebesar 3,54 %/tahun. Dengan demikian,

peningkatan produksi Jagung di Cianjur lebih didominasi disebabkan oleh

peningkatan teknologi usahatani yaitu berupa penggunaan benih unggul Hibrida

yang menyebabkan produktivitasnya meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas

panennya.

Tabel 16. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di lokasi Kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung, 2009 – 2013.

Tahun

Garut Bandung Cianjur

Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

2009 48.466 327.799 67,63 9.912 52.830 53,30 7.712 34.273 44,44

2010 55.717 394.691 70,84 9.283 50.502 54,40 7.578 35.626 47,01

2011 60.568 444.285 73,35 9.892 57.232 57,86 5.395 28.733 53,26

2012 65.379 481.850 73,70 9.373 68.546 73,13 7.936 42.591 53,67

2013 76.738 602.368 78,50 11.549 90.403 78,28 6.941 34.454 49,64

r (%/th) 10,79 14,16 3,38 3,36 14,20 10,83 -1,46 2,08 3,54

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung (2013).

Komoditas Kedelai

Khusus untuk kasus Jawa Barat pangsa produksi kedelai terhadap produksi

nasional relatif meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Apabila

melihat pangsa rata-rata dalam tahun 2014 pangsa produksi Jawa barat sekitar

8,25% terhadap produksi nasional sebesar 892,60 ribu ton. Sementara pada

tahun 2004, pangsa kedelai Jawa Barat sebesar 4,02% terhadap produksi nasional

sebesar 723,48 ribu ton.

Potensi pengembangan Kedelai di Jawa Barat masih memiliki peluang yang

masih tinggi seperti di Kabupaten Indramayu siap menambah luas areal 40.000

Page 66: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

52

ha, Kabupaten Sukabumi 10.000 ha, Kabupaten Ciamis 10.000 ha, Kabupaten

Majalengka 1.000 ha, Kabupaten Bandung 7.500 ha, dan lain lain asalkan adanya

kejelasan program pusat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013).

Secara total rencana luas pengembangan areal kedelai mencapai 129 ribu ha yang

bersumber dari pengembangan: (i) sekitar 26.000 ha dari pengembangan SLPTT,

(ii) sekitar 15.000 ha berasal dari Model Pengembangan (di Kabupaten

Indramayu, Ciamis dan Sukabumi masing-masing 5000 ha), (iii) berasal dari

pengembangan areal seluas 66.750 ha, dan (iv) berasal dari pengembangan

swadaya petani seluas 21.000 ha.

Berdasarkan data yang ada, luas panen Kedelai di Jawa Barat masih relatif

kecil. Namun, peningkatan luas panennya cukup tinggi yaitu mencapai 9,59

%/tahun, yaitu dari 21,00 ribu ha (2004) menjadi 49,71 ribu ha (2014). Seiring

dengan peningkatan luas panennya, maka produksi kedelai meningkat sebesar

10,82 %/tahun yaitu dari 29,09 ribu ton (2004) menjadi 73,67 ribu ton (2014).

Sementara produktivitasnya mengalami peningkatan tipis sebesar1,23 %/tahun,

yaitu dari 1,39 ton/ha (2004) menjadi 1,48 ton/ha (2014) (Tabel 17). Adapun

varietas Kedelai yang banyak di tanam di Jawa Barat adalah: Grobogan dan

Anjasmoro.

Terkait dengan pengembangan pangan di sentra produksi Kedelai di Jawa

Barat yaitu di Kabupaten Garut dan Cianjur, walaupun menurut data pertanian

Jawa Barat menunjukkan bahwa dari segi jumlah produksi Kabupaten Garut

merupakan sentra produksi kedelai, namun pada kenyataannya informasi

kelompok tani bahwa usahatani tani Kedelai hanya sebatas kebiasaan masyarakat,

dari sisi pendapatan dan semangat pengembangan bukan merupakan komoditas

yang membanggakan masyarakat. Alasan yang diungkapkan adalah: (1) Dari sisi

pengelolaan usahatani tergolong lebih berat dibanding dengan komoditi Jagung,

terutama Kedelai pada lahan kering membutuhkan tenaga kerja yang cukup

banyak untuk mengolahan tanah, tanam, menyemprotan, (2) Gangguan hama

dan penyakitnya lebih banyak dibanding dengan Padi atau Jagung, (3) Kepastian

pasar dan harganya sangat rendah, sehingga sering terjadi tingkat keuntungan

dari usahatani itu rendah atau rugi karena harga jual yang tidak memadai dan

Page 67: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

53

atau serangan hama dan penyakit. Jadi dua faktor tersebtu yang seharusnya

dikelola oleh pemerintah jika per-Kedelai-an Indonesia meningkat.

Tabel 17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Jawa Barat, 2004 – 2014.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)

2004 20.997 29.090 13,85

2005 17.934 23.845 13,3

2006 17.878 24.495 13,7

2007 12.429 17.438 14,03

2008 23.810 32.921 13,83

2009 41.775 60.257 14,42

2010 36.700 55.823 15,21

2011 35.674 56.166 15,74

2012 30.345 47.426 15,63

2013 35.682 51.172 14,34

2014 49.708 73.671 14,82

r(%/thn 9,64 10,62 1,23 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)

Pada sisi teknologi, petani sudah cukup mengusai misalnya penggunaan

benih unggul baru seperti: Anjasmoro dan Orba, tingkat produktivitas dapat

mencapai 1,6 ton per hektar atau perbandingan benih dengan produksi adalah 1 :

40. Dengan tingkat produksi yang terbatas karena faktor genetik dan pengaruh

letak geografis wilayah (tropis), yang bisa diharapkan untuk menggairahkan

tingkat keuntungan petani kedelai adalah stabilitas harga dan pasar. Barang kali

ini merupakan gambaran untuk semua daerah penghasil Kedelai di Indonesia.

Pada sisi industri (khususnya industri Tahu), menyatakan bahwa Kedelai

lokal memiliki keunggulan dibanding dengan Kedelai impor, keunggulan tersebut

diantaranya adalah: (1) Memiliki rendemen pati yang cukup tinggi berkisar antara

10-20%, (2) Penyerapan terhadap minyak goreng rendah, bisa mencapai 50%

lebih rendah dari Kedelai impor, dan (3) Memiliki daya tahan simpan tahu lebih

lama, sampai 3 hari sementara dengan Kedelai impor hanya 1-2 hari. Disamping

itu, dari sisi fisik ada varietas Kedelai (seperti Dapros) yang memiliki ukuran sama

bahkan bisa lebih besar dari pada Kedelai impor. Dengan demikian sebenarnya

jika Indonesia mau sungguh-sungguh mengembangkan Kedelai, maka ada hal-hal

yang harus diperhatikan adalah: (1) Upaya peningkatan produksi per hektar

Page 68: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

54

(produktivitas), (2) Adanya upaya untuk menstabilkan harga Kedelai, agar petani

mau merencanakan penanaman Kedelai dengan baik, (3) Menjamin ketersediaan

benih yang unggul seperti Dapros, dan (4) Menjamin kepastian pasar.

Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut dan Cianjur perkembangan

produksi Kedelai selama kurun waktu lima tahun terakhir terdapat perbedaan

diantara kedua wilayah tersebut (Tabel 18). Di Kabupaten Garut, luas panen

Kedelai meningkat pesat sebesar 19,66 %/tahun, yaitu dari 5,70 ribu ha tahun

2009 menjadi 12,81 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas

panennya, produksi Jagung meningkat sebesar 9,33 %/tahun yaitu dari 12,06 ribu

ton tahun 2009 menjadi 19,24 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya

menurun sebesar 10,33 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Kedelai

di Garut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panennya. Kondisi tersebut

terutama bersumber dari potensi lahan kering di Kabupaten Garut yang masih

relatif luas dan tertinggi di Jawa Barat. Lain halnya dengan di Kabupaten Cianjur,

luas panen Jagung justru menurun tajam sebesar 16,07 %/tahun, yaitu dari 6,45

ribu ha tahun 2009 menjadi 2,74 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan penurunan

luas panennya, produksi Kedelai pun menurun sebesar 28,52 %/tahun yaitu dari

12,36 ribu ton tahun 2009 menjadi 2,31 ribu ton tahun 2013. Sementara

produktivitasnya juga menurun sebesar 12,45 %/tahun. Menurut Dinas Pertanian

Cianjur (2013) bahwa meskipun perkembangan produksi Kedelai (kering)

menurun, namun ada diantara petani yang menanam Kedelai yang dipanen tidak

sampai tua dan dijual ke pasar dalam bentuk brankasan untuk memenuhi segmen

permintaan kacang Kedelai segar rebus. Pada saat pencacahan data luas panen di

akhir musim, seringkali luas panen Kedelai yang dipanen tidak sampai tua diduga

tidak tercatat, sehingga luas panen Kedelai relatif tetap atau bahkan menurun.

Namun disisi lain ketersediaan Kedelai segar brankasan di pasar dari petani tetap

tersedia, dan diperdagangkan oleh setiap hari oleh para pedagang kacang Kedelai

brangkasan segar rebus.

Page 69: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

55

Tabel 18. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai di lokasi

Kajian Kabupaten Garut dan Cianjur, 2009-2013.

Tahun

Garut Cianjur

Luas Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

Luas Panen

(Ha)

Produksi

(Ton)

Produkti-vitas

(Kw/Ha)

2009 5.696 12.056 21,17 6.454 12.364 19,16

2010 8.025 18.647 23,24 8.351 10.045 12,03

2011 9.455 15.298 16,18 6.498 10.330 15,90

2012 13.087 21.610 16,51 5.202 6.984 13,43

2013 12.814 19.235 15,01 2.743 2.312 8,43

r (%/th) 19,66 9,33 -10,33 -16,07 -28,52 -12,45 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Garut dan Cianjur (2013).

4.5.2. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis di Jawa Barat

Komoditas Padi

Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi

Hasil analisis analisis finansial secara nasional berdasarkan harga private

diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Padi per hektar per tahun di Jawa

Barat masing-masing sebesar Rp. 21,49 juta/ha dan Rp. 13,78 juta/ha dengan

nilai keuntungan sebesar Rp. 21,49 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,56. Dengan

menggunakan harga sosial (analisis ekonomi) diperoleh penerimaan dan biaya

usahatani Padi per hektar per tahun di Jawa Barat masing-masing sebesar Rp.

22,34 juta/ha dan Rp. 14,90 juta/hadengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 7,45

juta/ha atau nilai R/C sebesar 1,50 (Tabel 19). Dengan kedua analisis tersebut

dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani Padi di Jawa Barat cukup layak

untuk diusahakan.

Tabel 19. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi di

Jawa Barat, 2014.

Uraian Private Sosial

1. Penerimaan (Rp. 000/ha/thn) 35276 22344

2. Biaya (Rp. 000/ha/thn) 13785 14899

3. Keuntungan(Rp. 000/ha/thn) 21491 7445

4. R/C 2,56 1,50

Page 70: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

56

Analisis Daya Saing: Perhitungan Indikator Daya Saing dan

Dampak Kebijakan

Daya saing dan dampak kebijakan terhadap komoditas Padi akan dianalisis

dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan

(MAK). Analisis PAM tersebut dihitung berdasarkan data penerimaan dan biaya

produksi yang keseluruhannya terbagi dalam dua bagian, yaitu harga private dan

harga ekonomi (Social Opportunity Cost). Berikut ini akan dijelaskan hasil analisis

daya saing dan dampak kebijakan berdasarkan hasil perhitungan dari Matriks

Analisis Kebijakan, seperti terlihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi di

Jawa Barat, 2014.

Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai

1. DRC 0,62

2. PCR 0,36

3. NPCO 1,58

4. NPCI 0,63

5. EPC 1,72

Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik

atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Padi di Jawa Barat lebih

kecil dari satu (DRC < 1) atau 0,62. Nilai DRC sebesar 0,65 berarti untuk

memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya

faktor domestik sebesar Rp. 620.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditas

Padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi

domestik. Artinya, usahatani Padi yang dilakukan oleh petani efisien secara

ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.

Sementara itu, untuk nilai Private cost ratio (PCR) secara nasional sebesar

0,36. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Padi efisien secara finansial

dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,36 memiliki arti bahwa

untuk mendapatkan nilai tambah output Padi sebesar Rp. 1.000.000, diperlukan

tambahan biaya faktor domestik atas harga private sebesar Rp. 360.000. Hal ini

berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk

diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah Padi sebesar satu juta rupiah

Page 71: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

57

dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah. Dengan demikian

semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan

kompetitif yang dimiliki oleh komoditas Padi.

Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR lebih

kecil dari DRC atau DRC lebih besar dari PCR (DRC > PCR). Kondisi ini

mengindikasikan terdapatnya kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan

efisiensi produsen dalam memproduksi Padi. Kebijakan yang banyak dilakukan

selama ini meliputi: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Peningkatan luas areal

panen, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Pengembangan kelembagaan dan

pembiayaan. Dalam optimalisasi pertananaman Padi masih terkendala dengan

infrastruktur pengairan yang masih perlu perbaikan. Demikian pula penggunaan

benih Padi unggul dan adopsi teknologi lainnya di tingkat petani masih harus terus

ditingkatkan.

Dampak Kebijakan

Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat

memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam

sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan

produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini

dampak kebijakan terhadap usahatani Padi akan dibahas meliputi kebijakan input,

output dan kebijakan input-output dengan beberapa indikator dampak kebijakan,

yang dihitung berdasarkan Hasil Matriks Analisis Kebijakan (PAM), seperti disajikan

pada Tabel 20.

NPCO adalah indikator dampak kebijakan yang menunjukkan seberapa besar

harga padi (pada harga private) berbeda dengan harga sosial (harga dunia).

NPCO juga merupakan indikator proteksi output akibat suatu kebijakan usahatani.

NPCO usahatani padi memiliki nilai > 1 yaitu sebesar 1,58 yang menunjukkan

bahwa kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output usahatani. Dengan

demikian usahatani padi menerima revenue sebesar 58% lebih besar dari yang

seharusnya, di sisi lain konsumen mengalami disinsentif.

Untuk Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan

adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak

pada input tersebut. Sementara sektor yang menggunakan input tersebut

Page 72: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

58

dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil

dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan bahwa adanya subsidi atas input tersebut.

Nilai NPCI yang diperoleh dari penelitian ini secara nasional adalah 0,63. Nilai ini

menunjukkan adanya subsidi pada para petani atas input tradable, sehingga dapat

mengurangi biaya usahatani. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari kebijakan

pemerintah dengan penerapan mekanisme pasar input seperti sekarang,

berdampak positif terhadap total biaya produksi padi di Jawa Barat, dimana petani

produsen padi menerima harga input sekitar 63% lebih rendah daripada harga

sosial yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, produsen Padi di Jawa Barat

saat ini telah menerima insentif dari pemerintah yaitu berupa subsidi harga input,

sehingga harga input yang diterima petani lebih murah daripada harga sosial atau

harga input di tingkat pasar global.

Nilai EPC atau Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari dampak

keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usahatani Padi di Jawa

Barat. EPC adalah rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable yang

dihitung pada tingkat harga bayangan. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana

kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.

Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC > 1) mengindikasikan bahwa kebijakan

yang melindungi produsen domestik berjalan efektif. Sementara nilai EPC yang

lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen

domestik tidak berjalan efektif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai EPC secara nasional adalah 1,72

(> 1), yang berarti bahwa kebijakan output dapat melindungi petani lokal atau

berjalan efektif. Petani lokal dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi karena

harga private output lebih besar dari harga bayangannya. Semakin besar nilai EPC

menunjukkan semakin besar kebijakan proteksi pemerintah terhadap Beras.

Artinya petani lokal di sentra-sentra produksi tersebut memperoleh fasilitas

proteksi karena harga privat output lebih besar dari harga bayangannya.

Page 73: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

59

Komoditas Jagung

Analisis Finansial dan Ekonomi

Secara finansial sistem usahatani komoditas Jagung di Jawa Barat cukup

menguntungkan, hal ini ditunjukkan oleh tingkat keuntungan private setahun

sebesar Rp. 13,61 juta/ha. Dengan tingkat penerimaan sebesar Rp. 23,65 juta/ha

dan total biaya sebesar Rp. 10,04 juta/ha, maka R/C rasio sekitar 2,36. Sementara

secara ekonomi, usahatani Jagung di Indonesia jauh lebih menguntungkan pada

kondisi tingkat produktivitas yang sama yaitu tingkat keuntungannya sebesar Rp.

17,13 juta/ha, dengan penerimaan sebesar Rp. 27,36 juta/ha dan biaya sebesar

Rp. 910,23 juta/ha maka R/C rasio mencapai 2,67. Secara rinci tingkat

keuntungan finansial dan ekonomi komoditas Jagung di Jawa Barat disajikan pada

Tabel 21.

Tabel 21. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung di

Jawa Barat, 2014.

Uraian Private Sosial

1. Penerimaan (Rp 000/ha/thn) 23649 27362

2. Biaya (Rp 000/ha/thn) 10037 10231

3. Keuntungan(Rp 000/ha/thn) 13612 17131

4. R/C 2,36 2,67 Sumber : Hasil Survey (diolah)

Jika ditelusuri faktor penyebab tingkat keuntungan finansial lebih rendah

dari keuntungan ekonomi adalah terletak pada perbedaan tingkat penerimaan

yang berbeda sementara pada tingkat pengeluaran biaya relatif hampir sama. Hal

ini dapat dipahami bahwa tingkat penerimaan petani pada kondisi produktivitas

yang sama, maka faktor yang menentukan adalah harga yang diterima petani

yang berbeda jauh antara pada perhitungan finansial dan harga pada perhitungan

sosial. Jika berpatokan bahwa harga sosial Jagung yang diterima petani sudah

bebas dari distorsi, maka patut diduga bahwa rendahnya harga produksi Jagung

yang diterima petani pada perhitungan finansial adalah karena ada faktor lain

yang menyebabkan harga menjadi jatuh. Kemungkinan yang akan terjadi adalah :

(a) kualitas produksi jagung lebih rendah karena pengaruh cuaca dan teknologi

yang sederhana, (b) sistem/pola produksi yang tidak merata menurut waktu,

sehingga pada saat tertentu harga jatuh, dan (c) sistem pasar yang tidak

Page 74: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

60

kondusif, terutama terkait dengan masalah infrastruktur yang menyebabkan biaya

angkut tinggi dibebankan kepada harga beli dari petani.

Analisis Daya Saing

Komoditas Jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini

ditunjukkan oleh koefisien nilai DRC dan PCR yang menggambarkan keunggulan

komparatif dan kompetitif. Secara umum koefisen DRC dan PCR komoditas Jagung

di Jawa Barat masing-masing sebesar 0,35 dan 0,40. Berdasarkan nilai koefisien

DRC 0,35 artinya bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas Jagung

sebesar Rp. 1 dibutuhkan tambahan biaya sumberdaya domestik sebesar Rp. 0,35

(Tabel 22). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengusahaan komoditas Jagung

memiliki keunggulan komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya

domestik relatif terhadap sistem pengusahaan komoditas Jagung di Negara lain.

Dalam konteks ini komoditas Jagung dapat dijadikan sebagai komoditas promosi

ekspor atau substitusi impor.

Begitu juga dari sisi kompetitif, bahwa komoditas Jagung di Jawa Barat

memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,40,

hal ini menunjukkan bahwa dalam pengusahaan komoditas Jagung di Indonesia

memiliki efisensi secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai

PCR 0,40 memiliki makna bahwa untuk pemperoleh nilai tambah output komoditas

Jagung sebesar Rp. 1, maka dibutuhkan penggunaan sumberdaya domestik

sebesar Rp. 0,40, karena alokasi kurang dari Rp. 1. Oleh karena itu, dapat

dikatakan komoditas Jagung memiliki efisiensi finansial dan kompetitif relatif

terhadap sistem pertanian yang ada di Indonesia.

Tabel 22. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Jagung

di Jawa Barat, 2014.

Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai

1. DRC 0,35

2. PCR 0,40

3. NPCO 0,86

4. NPCI 0,84

5. EPC 0,87

Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Page 75: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

61

Secara umum bahwa indikator keunggulan kompetitif PCR lebih besar dari

keunggulan komparatif DRC hal ini dapat diduga dua kemungkinan yakni

pemerintah belum memberikan perhatian penuh terhadap sistem usaha tani

Jagung atau keungkinan kedua bahwa tingkat efisiensi sistem usaha tani Jagung

masih dapat ditingkatkan baik di tingkat usahatani (on farm) atau melalui

perbaikan insfrastruktur yang dapat menyebabkan meningkatnya efiseinsi usaha

tani jagung.

Dampak Kebijakan Pada Pengembangan Usahatani Jagung

Pada salah satu sistem produksi kebijakan pemerintah dapat mendistorsi

terhadap sisi output, input atau keduanya. Pada kasus pengusahaan komoditas

Jagung di Jawa Barat dampak kebijakan dapat dicermati pada Tabel 2. Dari sisi

output, tampak bahwa pemerintah belum memberikan kebijakan yang bersifat

protektif terhadap sistem usahatani komoditas Jagung.Hal ini diindikasikan oleh

indikator NPCO yang keseluruhannya < 1 yakni untuk Jawa Barat sebesar 0,86.

Hal ini dapat diartikan bahwa sistem pengusahaan Jagung di Jawa Barat petani

menerima harga output yang lebih rendah dari harga sosial karena tidak

diprotektif oleh Pemerintah.

Sementara pada sisi input, di Jawa Barat memiliki nilai NPCI < 1. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap faktor

input, sehingga petani membayar harga input lebih rendah dari harga sosialnya.

Di Jawa Barat nilai NPCI bernilai 0,84 artinya petani membayar nilai faktor input

usahatani Jagung hanya 84% dari banding nilai sosialnya atau lebih rendah

sebesar 16%.

Sementara dampak kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung (input dan

output) adalah bersifat tidak protektif, atau pemerintah tidak melakukan proteksi

kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung di Indonesia yang diindikasikan oleh

nilai EPC 0,87 di Jawa Barat.

Komoditas Kedelai

Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai

Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk

mempelajari kelayakan usahatani Kedelai. Dalam analisis finansial akan dilihat

Page 76: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

62

secara individu yang terlibat secara langsung dalam kegiatan usahatani kedelai,

sebaliknya analisis ekonomi akan meninjau semua aktivitas dilihat dari sudut

masyarakat secara keseluruhan. Pada analisis finansial harga private atau aktual

akan digunakan sebagai unit analisisnya, sedangkan pada analisiseeekonomi akan

digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga paritas ekspor. Harga

sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi

pemerintah dan pengaruh struktur pasar tidak bersaing sempurna (monopoli,

monopsoni dan lain-lain). Artinya, harga sosial merupakan harga yang terjadi di

pasar persaingan sempurna atau mendekati harga dunia, dan hanya dibedakan

oleh biaya transportasi ke lokasi lahan usahatani.

Hasil analisis analisis finansial di Jawa Barat berdasarkan harga private

diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Kedelai per tahun masing-masing

sebesar Rp. 10,05 juta/ha dan Rp. 9,88 juta/ha, maka nilai keuntungan sebesar

Rp. 174 ribu/ha, serta nilai R/C sebesar 1,02. Dengan menggunakan harga sosial

(analisis ekonomi) diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Kedelai per tahun

masing-masing sebesar Rp. 10,55 juta/ha dan Rp. 9,88 juta/ha, maka tingkat

keuntungan sebesar Rp. 678 ribu/ha, dan nilai R/C sebesar 1,07 (Tabel 23).

Dengan kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani Kedelai

sangat tipis kelayakannya untuk diusahakan.

Tabel 23. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai di Jawa Barat, 2014.

Uraian Private Sosial

1. Penerimaan (Rp. 000/ha/thn) 10.049 10.554

2. Biaya (Rp. 000/ha/thn) 9.876 9.876

3. Keuntungan(Rp. 000/ha/thn) 174 678

4. R/C 1,02 1,07 Sumber: Hasil Survey (diolah)

Selanjutnya upaya peningkatan produksi pertanian khususnya Padi, Jagung

dan Kedelai di Jawa Barat tidak terlepas dari dukungan sumberdaya lahan yang

ada. Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang ketersediaannya menjadi

salah satu syarat untuk dapat berlangsungnya proses produksi pertanian.

Sementara itu, bila dipandang dari segi potensi luas wilayah Provinsi Jawa Barat

meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061, 32 ha dan garis pantai sepanjang

Page 77: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

63

755,829 km. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran

(22,89% dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%) dan perkebunan

(17,41%), sementara hutan primer dan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93%

dari seluruh wilayah Jawa Barat. Masing-masing wilayah memiliki ciri-ciri khusus

baik dari aspek sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sumberdaya

alam dapat dibedakan berdasarkan topografi, jenis tanah, iklim, jenis penggunaan

tanah dan lain-lain. Menurut fisiografinya, Jawa Barat dapat distratifikasi kedalam

tiga strata wilayah yaitu (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011):

1. Strata wilayah dataran rendah pantai utara , yaitu wilayah dengan topografi

datar, dengan dominasi lahan sawah dan lahan keringnya sangat terbatas.

Wilayah ini meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan

Cirebon. Adapun dominasi lahan pada wilayah tersebut adalah yaitu dominan

usahatani Padi, sehingga dijuluki sebagai lumbung Padi/Beras baik bagi Jawa

Barat maupun nasional;

2. Strata wilayah dataran tinggi bagian tengah, dimana antara lahan sawah dan

lahan keringnya hampir berimbang. Adapun topografi wilayah ini umumnya

berbukit sehingga berbagai komoditas dapat dikembangkan seperti Padi,

palawija, sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan aneka tanaman lainnya.

Strata wilayah ini meliputi Kabupaten Bogor, Purwakarta, Bandung,

Sumedang, Kuningan, Majalengka, serta bagian utara dari Kabupaten

Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

3. Strata wilayah Jawa Barat Selatan, dengan topogafi didominasi oleh

perbukitan dan pegunungan, dengan sedikit lahan datar, sehingga luas lahan

sawah terbatas yang umumnya disekitar sungai dan pantai. Pengembangan

usahatani tanaman pangan harus hati-hati dengan memperhatikan kemiringan

lahan dan dengan usahatani konservasi. Wilayah ini meliputi Kabupaten

Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Pemanfaatan lahan secara produktif sangat menentukan terhadap

produktivitas komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan sebagai sumber

karbohidrat untuk menjamin ketahanan pangan Jawa Barat. Berdasarkan data BPS

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011) bahwa luas baku lahan di

Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai 3.563.914 ha yang terdiri dari lahan sawah

Page 78: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

64

seluas 942.411 ha, lahan kering seluas 1.535.379 ha dan lahan bukan pertanian

seluas 1.086.124 ha. Bila dipandang perkembangan selama kurun waktu 2007-

2010, maka luas lahan sawah meningkat tipis sebesar 0,15 %/tahun. Peningkatan

luas lahan sawah tersebut disebabkan peningkatan yang tinggi pada lahan lebak.

Akan tetapi potensi lahan lebak ini relatif kecil yaitu hanya sekitar 600 hektar.

Potensi lahan sawah berpengairan ½ teknis, pengairan non PU serta tadah hujan

sederhana masih menunjukkkan peningkatan masing-masing sebesar 2,34; 0,52

dan 0,95 %/tahun. Sementara potensi lahan sawah teknis mengalami penurunan

sebesar 0,42 %/tahun.

Apabila potensi lahan baku tahun 2010 dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yakni tahun 2009, maka dapat diketahui telah terjadi penurunan luas

lahan 7.503 ha atau menurun sekitar 0,79 %. Penurunan luas lahan sawah ini

salah satunya disebabkan dengan banyaknya lahan pertanian yang mengalami alih

fungsi menjadi non pertanian, seperti untuk perumahan, pembangunan waduk Jati

Gede, Bandara Internasional Jawa Barat, Jalan Tol Cisandawu Majalengka –

Cirebon dan sebagainya. Namun demikian validitas perkembangan luas lahan

masih memerlukan verifikasi yang lebih akurat. Hal ini mengingat menurut

informasi bahwa seringkali perubahan peruntukan lahan sesungguhnya telah

diantisipasi jauh sebelum realisasi pembangunan non pertanian tersebut. Artinya

rencana alih fungsi lahan tersebut telah masuk dalam revisi Peraturan Tata Ruang

Wilayah suatu daerah. Sehingga, status lahan sesungguhnya telah berubah

sebelumnya sesuai rencana (dalam RT RW) untuk pembangunan pertanian.

Sehingga jika terjadi realisasi pembangunan non pertanian yang menggunakan

lahan sawah (pertanian) misalnya, sesungguhnya di baku lahan yang ada lahan

tersebut sesungguhnya memang statusnya bukan lahan sawah lagi.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dimana kebutuhan pangan

yang juga semakin meningkat maka diperlukan terobosan dalam peningkatan

produksi pangan. Upaya peningkatan produksi tersebut dapat dilakukan melalui

intensifikasi (inovasi teknologi) dan ekstensifikasi (perluasan areal tanam). Selain

itu, faktor iklim, curah hujan dan kesuburan tanah juga berpengaruh terhadap

produksi dan produktivitas padi. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi baru

yang menyesuaikan dengan kondisi alam.

Page 79: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

65

Sementara itu, kendala antar sektoral yang dihadapi dalam peningkatan

produksi tanaman pangan semakin kompleks. Hal ini disebabkan oleh berbagai

perubahan dan perkembangan lingkungan strategis di luar sektor pertanian yang

berpengaruh terhadap upaya peningkatan produksi tanaman pangan. Tantangan

utama yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan adalah:

(1) Meningkatnya permintaan beras sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk;

(2) Terbatasnya ketersediaan beras nasional maupun dunia; dan (3)

Kecenderungan meningkatnya harga pangan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Jawa Barat, 2013).

Di samping tantangan, upaya peningkatan produksi tanaman juga

dihadapkan pada sejumlah permasalahan, yaitu antara lain: (1) Dampak

Perubahan Iklim (DPI) dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT); (2)

Rusaknya infrastruktur irigasi, lingkungan dan semakin terbatasnya sumber air;

(3) Konversi lahan sawah; (4) Keterbatasan akses petani terhadap sumber-sumber

pembiayaan; (5) Kompetisi antar komoditas; (6) Tingginya konsumsi beras

sebagai pangan pokok sumber karbohidrat; (7) Belum sinerginya antar sektor dan

Pusat – Daerah dalam menunjang pembangunan pertanian khususnya produksi

padi dan jagung; dan (8) Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (Pusat-

Daerah).

Di samping tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya

peningatan produksi tanaman pangan, terdapat sejumlah peluang yang apabila

dimanfaatkan dengan baik akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan

produksi. Peluang tersebut antara lain: (1) Kesenjangan hasil antara potensi dan

kondisi di lapangan masih tinggi; (2) Tersedia teknologi untuk meningkatkan

produktivitas; (3) Potensi sumberdaya lahan sawah, rawa/lebak, lahan kering

(perkebunan, kehutanan) yang masih luas; (4) Pengetahuan/Keterampilan SDM

(Petani, PPL, POPT, Pengawas Benih Tanaman, dan Petugas Pertanian Lainnya)

masih dapat dikembangkan; (5) Tersedianya potensi pengembangan produksi

berbagai pangan pilihan selain beras; (6) Dukungan Pemerintah Daerah, dan (7)

Ketersediaan sumber genetik. Kendala lainnya yang dihadapi pengembangan

sektor pertanian di Jawa Barat antara lain terkait konversi lahan ke penggunaan

Page 80: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

66

non pertanian, kehilangan hasil, peningkatan kualitas hasil, panen dan kendala

terkait perubahan iklim.

Sementara itu, dalam rangka menghadapi kendala perubahan iklim saat ini,

terdapat beberapa kebijakan pada subsektor tanaman pangan yang dikeluarkan

untuk mengurangi dampak perubahan iklim tersebut. Tindakan paling tepat untuk

mengurangi dampak negatif dari sifat ekstrim iklim adalah dengan menyesuaikan

kegiatan pertanian. Kekeringan dan banjir adalah salah satu dampak perubahan

iklim yang sering terjadi di Jawa Barat.

Pendekatan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim antara lain: (1)

Strategis, didasarkan pada kondisi rata-rata iklim atau frekuensi terjadinya

bencana alam, (2) Taktis, lebih bersifat temporer melalui pendugaan atau

peramalan cuaca/iklim jangka pendek atau menegah, (3) Operasional, upaya yang

bersifat penyelamatan untuk mengurangi dampak kekeringan dan banjir yang

telah terjadi. Terdapat kecenderungan bahwa dampak perubahan iklim semakin

sering terjadi dengan wilayah semakin luas untuk itu perlu dilakukan langkah-

langkah antisipasi secara terencana dan terpadu agar dampak negatifnya dapat

ditekan serendah mungkin. Dampak perubahan iklim yang terkait langsung

dengan pengamanan produksi adalah: kekeringan dan banjir.

Adapun Wilayah Jawa Barat yang rawan kekeringan adalah: (1) Daerah

irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya (misalnya: bendung rentang) yang

mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu, (2) Areal sawah yang tidak

direkomendasikan untuk tanaman gadu (gadu liar), (3) Areal sawah irigasi yang

ada di wilayah ujung wilayah, (4) Areal sawah tadah hujan, dan (5) Areal sawah

yang infrastruktur irigasinya mengalami kerusakan. Langkah-langkah operasional:

(1) Pengembangan “Early Warning System”, (2) Penyiapan teknologi: teknologi

usaha tani yang tepat (pola tanam), pemupukan berimbang, pengaturan waktu

tanam, pengaturan distribusi air irigasi, teknologi embung atau sumur pompa,

teknologi konservasi tanah seperti penggunaan mulsa dan terasering, dan

pemanfaatan sumber air alternatif; (3) Penyiapan Sarana/Prasarana:

mempersiapkan pompa air didaerah kekeringan yang memungkinkan digunakan

pompanisasi (sumber air tersedia), dan mempersiapkan sumber air alternatif

antara lain sumur artesis.

Page 81: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

67

Sementara itu, di lokasi kajian Kabupaten Cianjur bahwa penggunaan lahan

pertanian di Kabupaten Cianjur cenderung meningkat dari tahun 2010 hingga

tahun 2013. Pada tahun 2010, total penggunaan lahan seluas 193.815 ha,

kemudian meningkat menjadi 197.148 ha pada tahun 2013 atau meningkat sekitar

1,72 persen. Bila dilihat berdasarkan jenis lahannya, maka dapat diketahui untuk

lahan sawah (Irigasi dan Tadah hujan) juga mengalami peningkatan

penggunaannya dari 65.465 Ha pada tahun 2010 menjadi 66.283 Ha pada tahun

2013 atau meningkat sebesar 1,25 persen. Sementara pada lahan kering yaitu

tegal/kebun dan ladang/huma meningkat dari 86.864 ha tahun 2010 menjadi

90.160 ha tahun 2013, atau meningkat sekitar 3,79 persen. Adapun

perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di Kabupaten

Cianjur Tahun 2010 – 2013

No. Jenis Lahan Luas (Ha)

2010 2011 2012 2013

1. Sawah Irigasi 46.870 48.023 48.561 46.973

2. Sawah Tadah Hujan 18.595 17.955 17.604 19.310

3. Tegal/kebun 42.936 42.502 42.329 50.125

4. Ladang/huma 43.928 42.917 42.694 40.035

5. Perkebunan 41.486 41.466 41.416 40.705

Total Lahan 193.815 192.863 192.604 197.148 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Cianjur (2013)

Di lokasi kajian lainnya yaitu di Kabupaten Bandung, bahwa total

penggunaan lahan pertaniannya cenderung menurun dari tahun 2010 hingga

tahun 2013. Total luas lahan pertanian menurun dari 90.181 ha (tahun 2010)

menjadi 89.357 ha (tahun 2013) atau menurun sekitar 0,91 persen. Bila dipilah

atas jenis lahan yang digunakan, maka untuk lahan sawah (Irigasi dan Tadah

hujan) justru mengalami peningkatan penggunaan lahan dari 29.144 ha pada

tahun 2010 menjadi 35.682 ha pada tahun 2013 atau meningkat sebesar 22,43

persen. Peningkatan penggunaan lahan pada lahan sawah ini dapat disebabkan

oleh optimalisasi pemanfaatan lahan terutama pada lahan sawah tadah hujan dan

juga pencetakan lahan sawah baru. Sementara pada lahan kering yaitu

tegal/kebun dan ladang/huma meningkat dari 30.680 ha tahun 2010 menjadi

36.446 ha tahun 2013, atau meningkat sekitar 18,79 persen. Adapun

Page 82: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

68

perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung dapat disajikan pada

Tabel 25.

Tabel 25. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di

Kabupaten Bandung Tahun 2010-2013

No. Jenis Lahan Luas (Ha)

2010 2011 2012 2013

1. Sawah Irigasi 22.250 23.588 32.915 32.766

2. Sawah Tadah Hujan 6.899 5.215 3.060 2.916

3. Tegal/kebun 19.754 22.217 22.954 27.490

4. Ladang/huma 10.926 9.460 9.044 8.956

5. Perkebunan 30.352 27.368 26.175 17.229

Total Lahan 90.181 87.848 94.148 89.357 Sumber: Dinas Pertanian Kab. Bandung (2013).

Daya Saing Kedelai

Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik

atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Kedelai di Jawa Barat

nasional lebih besar dari satu (DRC = >1) atau 1,04. Nilai DRC 1,04 berarti untuk

memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya

faktor domestik sebesar Rp. 1.040.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditas

Kedelai di Jawa Barat tidak efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi.

Artinya, usahatani Kedelai yang dilakukan oleh petani tidak efisien secara ekonomi

dan tidak memiliki keunggulan komparatif.

Selanjutnya hasil analisis juga diperoleh nilai Private cost ratio (PCR) sebesar

0,98. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Kedelai efisien secara finansial

dan memiliki keunggulan secara kompetitif namun sudah sangat tipis (mendekati

break even, saat PCR=1). Nilai PCR sebesar 0,98 memiliki arti bahwa untuk

mendapatkan nilai tambah output kedelai sebesar Rp. 1.000.000 pada harga

private, diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 980.000. Hal ini

berarti penggunaan faktor domestik masih sedikit efisien sehingga masih sedikit

layak untuk diusahakan. Hal ini dikarenakan untuk meningkatkan nilai tambah

Kedelai sebesar satu juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari

satu juta rupiah.

Page 83: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

69

Dampak Kebijakan Input dan Output

Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat

memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam

sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan

produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini

dampak kebijakan terhadap usahatani Kedelai akan dibahas meliputi kebijakan

input, output dan kebijakan input-output dengan beberapa indikator dampak

kebijakan, yang dihitung berdasarkan Hasil Matriks Analisis Kebijakan (PAM),

seperti disajikan pada pada Tabel 26.

Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa

penetapan pajak atau subsidi. Pengukuran dampak kebijakan pemerintah

terhadap input dalam penelitian ini akan digunakanNominal Protection Coefficient

on Tradable Inputs (NPCI) atau nilai Koefisien Proteksi Input Nominal, yang

merupakan rasio antara biaya tradable inputs yang dihitung berdasarkan harga

private dengan harga sosial. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi

yang dibebankan pemerintah pada tradable inputs bila dibandingkan tanpa adanya

kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan

adanya kebijakan proteksi terhadap produsen tradable inputs selain terdapat

pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut

dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil

dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut (Pearson

et al., 2005).

Dampak kebijakan input seperti yang terlihat pada Tabel 25,

menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpihak kepada petani Kedelai

dengan nilai NPCI yang kurang dari satu (NPCI < 1). Artinya harga input yang

benar-benar dibayar oleh petani Kedelai di Jawa Barat lebih rendah dari

seharusnya, yaitu sebesar 76%. Hal ini berarti adanya kebijakan subsidi tradable

inputs pada usahatani Kedelai, khususnya terkait dengan komponen sarana pupuk

kimia (urea dan SP-36). Meskipun demikian nilai subsidi tersebut masih relatif kecil

sehingga upaya peningkatan produksi dan produktivitas usahatani Kedelai belum

dapat dilakukan secara optimal.

Page 84: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

70

Sementara itu, bentuk kebijakan pemerintah terhadap output dapat berupa

subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor.

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat intervensi

pemerintah pada output tersebut adalah Nominal Protection Coefficient on

Tradable Outputs (NPCO) atau nilai Koefisien Proteksi Output Nominal. NPCO ini

merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial

dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO ini juga

merupakan indikasi dari Transfer Output yang menunjukkan seberapa besar harga

privat berbeda dengan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO <

1), berarti harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti harga

domestik di diproteksi. Dari hasil analisis diperoleh nilai NPCO usahatani kedelai

secara nasional sebesar 0,95 atau nilai NPCO < 1.

Angka NPCO yang lebih kecil dari satu tersebut menunjukkan bahwa harga

domestik Kedelai diproteksi pemerintah. Namun faktanya, ternyata Kedelai impor

cukup banyak terdapat di pasaran. Hal ini dapat terus menekan harga Kedelai

domestik. Kondisi demikian tampaknya kurang menjadi dorongan bagi petani

untuk terus meningkatkan produksi Kedelai domestik. Apalagi diketahui Kedelai

merupakan crop competition dan imperfect substitutability antara Kedelai impor

dengan lokal.

Dampak kebijakan secara keseluruhan baik terhadap input maupun output

dapat dilihat dari Effective Protection Coefficient (EPC) atau Koefisien Proteksi

Efektif. Nilai EPC ini diperoleh berdasarkan rasio antara selisih penerimaan dan

biaya input tradable yang dihitung pada harga private dengan selisih penerimaan

dan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga sosial. Nilai EPC

tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi

atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC >

1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan

efektif. Sebaliknya, nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan

kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai EPC komoditas kedelai secara

nasional sebesar 1,06 atau lebih besar dari satu (EPC > 1). Angka EPC ini

memberi gambaran bahwa petani Kedelai masih memperoleh perlindungan dari

Page 85: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

71

pemerintah, baik untuk output maupun input. Petani dalam hal ini memperoleh

fasilitas proteksi dari pemerintah karena harga private output lebih besar dari

harga sosialnya. Selain itu, petani juga membeli input tradable lebih murah dari

harga sosialnya.

Tabel 26. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Kedelai di

Jawa Barat, 2014.

Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai

1. DRC 1,04

2. PCR 0,98

3. NPCO 0,95

4. NPCI 0,76

5. EPC 1,06 Sumber: hasil perhitungan PAM yang diolah, 2014.

Page 86: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

72

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi menggunakan metoda PAM,

diketahui bahwa secara nasional usahatani Padi memiliki daya saing yang baik,

ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR)

yang rendah, yaitu masing-masing 0,65 dan 0,38. Artinya, usaha tani Padi dan

yang dilakukan oleh petani efisien secara finansial dan ekonomi serta memiliki

keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis pada tingkat provinsi sentra

produksi menunjukkan usaha tani Padi yang paling efisien terdapat di Lampung,

kemudian secara berurutan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat dan

Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk keunggulan kompetitif, provinsi sentra

produksi Padi yang memiliki keunggulan kompetitif tertinggi adalah Jawa Barat

dan Sulawesi Selatan, kemudian secara berurutan diikuti oleh Lampung,

Sumatera Barat, NAD serta Sumatera Utara.

Komoditas Jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini

ditunjukkan oleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,48, dan nilai PCR 0,54. Dengan

demikian, usaha tani Jagung efisien secara ekonomi dan finansial serta memiliki

keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada masing-masing provinsi sentra

produksi Jagung, secara berurutan yang memiliki keunggulan komparatif tertinggi

adalah usaha tani Jagung di NTB, kemudian diikuti Jawa Barat dan Sulawesi

Selatan. Sementara itu, usaha tani Jagung di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi

Utara, nilai DRCnya mendekati 1, yang berarti masih memiliki keunggulan

komparatif tetapi tidak memberikan keuntungan yang memadai bagi petani.

Sejalan dengan keunggulan komparatif, di ketiga provinsi terakhir, usaha tani

Jagung juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang

hampir mendekati 1. Bahkan untuk di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki

keunggulan kompetetif dengan PCR sebesar 1,07.

Usahatani Kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing, hal ini

ditunjukkan oleh nilai DRCR sebesar 1,05, serta nilai PCR mendekati 1,0 (tepatnya

0,92). Di beberapa provinsi sentra produksi Kedelai seperti di NAD, Sumatera

Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara diperoleh nilai DRCR lebih kecil

Page 87: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

73

dari satu, yang berarti masih memiliki daya saing, namun dengan keuntungan

yang tidak memadai bagi petani. Adapun bagi petani di Provinsi Sumatera Utara,

Lampung, dan Jawa Timur usaha tani Kedelai tidak memiliki daya saing.

Berdasarkan nilai PCR, Provinsi Sumatera Selatan dinilai paling efisien dalam

penggunaan faktor domestik, disusul oleh Lampung dan Sulawesi Utara.

Bila hasil analisis finansial dan ekonomi ini dikaitkan dengan upaya

pencapaian sasaran swasembada Padi/Beras, Jagung, dan Kedelai dalam tiga

tahun, pemerintah mempunyai modal dasar yang baik untuk pencapaian sasaran

swasembada tersebut untuk komoditas Padi dan Jagung; namun akan sangat

berat untuk pencapaian sasaran swasembada untuk komoditas Kedelai.

Berdasarkan pengalaman rata-rata tiga tahun sebelumnya (20011 – 2013), neraca

pangan (produksi domestik dikurangi kebutuhan pangan dan lainnya) untuk Padi

dan Jagung sudah di atas 100 persen, sementara untuk Kedelai masih 39 persen

tingkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan domestik. Dengan

permintaan yang akan terus meningkat, maka perlu ada terobosan yang sangat

signifikan bila swasembada Kedelai ingin benar-benar tercapai dalam tiga tahun.

5.2. Implikasi kebijakan

Berdasarkan hasil analisis kebijakan ini dapat disampaikan rekomendasi

alternatif kebijakan sebagai berikut:

(a) Swasembada Padi/Beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi

yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan

walaupun dalam keadaan total permintaan Beras yang terus meningkat

karena peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek

langkah-langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah:

(i) Perbaikan irigasi untuk meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun

sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertamanan (IP). Perbaikan irigasi

ini harus sinergis dan terintegrasi mulai dari saluran primer, sekunder,

sampai tertier dan di petak sawah petani;

(ii) Penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan

petani dan sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk

memperhatikan peta endemis hama dan penyakit tanaman Padi. Benih

harus sampai tepat waktu dan tepat kualitas/bersertifikat;

Page 88: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

74

(iii) Penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan karakteristik lahan petani.

Penggunaan Kit atau Alat Uji Tanah di lahan sawah petani akan sangat

membantu penentuan dosis pemupukan berimbang secara sepsifik

lokasi. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat jumlah

sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya

dapat diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli

riil petani dapat menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM;

(iv) Penerapan paket teknologi usaha tani terpadu seperti PTT (pengelolaan

sumberdaya dan pertanian terpadu) atau SRI (Sistem of Rice

Intensification) sesuai dengan disain awal yang tujuannya meningkatkan

keberdayaan (empowerment) petani melakukan usaha tani yang baik

melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan petani

melakukan usahatani; bukan dengan pemberian bantuan sarana

produksi sebagai komponen utama, apalagi tanpa pendampingan yang

memadai dalam pemanfaatannya; dan

(v) Penyuluhan dan pendampingan yang intensif kepada kelompok tani

dalam memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi

padi yang dihadapi kelompok tani dalam melaksanakan usaha taninya.

(b) Untuk komoditas jagung, dari data BPS diketahui sasaran swasembada

Jagung telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, sehingga langkah

selanjutnya adalah tetap mempertahankan swasembada secara

berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produksi Jagung dan pendapatan

petani dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani dengan

mengarahkan pada peningkatan produktivitas, penekanan biaya produksi

dan insentif harga output. Secara rinci beberapa upaya peningkatan

produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui:

(i) Penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul

hibrida di atas 80% dari luas tanam dan peningkatan penguasaan dan

penerapan teknik budidaya Jagung spesifik lokasi oleh petani;

(ii) Menjamin ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta

tersedia tepat waktu;

Page 89: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

75

(iii) Pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat

pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan

teknologi sesuai anjuran;

(iv) Pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi lainnya

(pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada

saat dibutuhkan;

(v) Pemberian rangsangan harga output kepada petani Jagung terutama

pada saat panen raya; dan

(vi) Pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka

menjamin kepastian harga dan pasar Jagung yang dihasilkan petani.

(c) Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku Kedelai

semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan

pendapatan masyarakat. Total kebutuhan Kedelai tahun 2013 sekitar 2,2 juta

ton dan hanya dapat dipenuhi sekitar 39% dari produksi domestik. Dengan

mencermati kondisi produksi dan teknologi budidaya Kedelai yang

diaplikasikan oleh petani saat ini, maka cukup berat untuk mencapai sasaran

swasembada kedelai dalam tiga tahun ke depan. Namun demikian,

peningkatan produksi Kedelai dengan pertumbuhan yang sangat tinggi masih

mungkin dicapai apabla dilakukan langkah-langkah terobosan secara sungguh-

sungguh, diantaranya:

(i) Perluasan areal tanam dan areal panen yang cukup luas (target di atas

100.000 ha/tahun) dengan memanfaatkan pola tanam pada lahan

sawah, lahan terlantar, lahan perkebunan peremajaan tanaman, lahan

Perhutani, baik sebagai tanaman utama atau tanaman sela. Pengunaan

lahan yang secara tradisional sudah dimanfaatkan untuk usaha tani

jagung tidak dianjurkan dipakai usaha tani Kedelai, karena akan

menurunkan produksi jagung dan keuntungan dari usahatani Kedelai

masih lebih rendah dari jagung;

(ii) Identifikasi hasil pemuliaan varietas unggul Kedelai yang berpotensi hasil

tinggi (di atas 2,5 ton/ha) yang dilakukan oleh lembaga penelitian

maupun perguruan tinggi. Varietas unggul ini segera dimanfaatkan dan

disebarkan kepada petani melalui percepatan produksi benih,

Page 90: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

76

pengadaan, dan distribusinya, disertai pendampingan dalam

pemanfaatannya;

(iii) Penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi

budidaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan

bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan

berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama

dan penyakit) secara terpadu, serta panen dan penanganan pasca panen

dengan tepat sehingga mengurangi kehilangan hasil. Dalam upaya ini

termasuk penyiasatan terhadap dampak perubahan iklim ekstrim yang

sangat berpengaruh pada penurunan produktivitas Kedelai;

(iv) Perbaikan harga jual Kedelai petani. Peningkatan harga jual Kedelai di

tingkat petani merupakan salah satu kunci utama dalam mengembalikan

minat petani untuk menanam Kedelai, seperti halnya yang telah terjadi

tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta hektar. Implementasi

kebijakan ini dapat dilakukan dengan penerapan harga dasar Kedelai

lengkap beserta instrument untuk implementasinya, termasuk

pembatasan impor dan/atau penerapan tarif impor yang relatif tinggi,

agar usaha tani Kedelai dapat memberikan keuntungan yang setara

dengan usahatani Jagung; dan

(v) Peningkatan kualitas intensifikasi di daerah sentra produksi Kedelai,

khususnya yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi seperti di

Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan NAD.

Page 91: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

77

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Makalah Seminar

Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, September 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Desliana, M. 2005. Analisis Daya Saing dan Efesiensi Usahatani Padi Organik di Propinsi Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 73 halaman.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Laporan tahunan. Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2011. Laporan tahunan. Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan.

Jawa Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. 2013. Laporan Tahunan.

Cianjur.

Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2013. Laporan Tahunan. Bandung.

Firdaus, M. 2007. Analisis Daya Saing Kedelai Di Jawa Timur. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 1 No. 2 Nopember 2007: 16-26

Hadi, P. U, M. H. Malian, A. Agustian, S. H. Suhartini, dan A. M. Djulin. 2002.

Kajian Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia Tahun 2001. Puslitbang Sosek Pertanian bekerjasama dengan ARMP II – Badan

Litbang Pertanian. Bogor.

Hartati, U. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Pengusahaan Minyak Akar Wangi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ilham dan Russatra. 2009. Daya Saing Komoditas Pertanian: Konsep, Kinerja dan Kebijakan Pengembangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(1), 2009: 38-

5.

Kementerian Pertanian. 2011. Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014.

Kementan, Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementan 2010-2014. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Pertanian. Jakarta.

Kompas, Selasa 8 Juli 2002. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Kompas. 2009. Kenaikan Harga-Harga Pangan Dunia. Gramedia. Jakarta.

Monke, E.A. dan S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London. Edisi Revisi.

Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Pearson, S, Carl Gotsch dan Sjaiful Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Page 92: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi,

78

Rachman, B, Tj. Nurasa, J. Situmorang, F. Sulaeman, A.M. Djulin, dan V. Darwis.

2002. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis Perkebunan Rakyat Dalam Perspektif Globalisasi Ekonomi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Puslitbang

Sosek Pertanian, Bogor.

Rachman, B. 2009. Kebijakan Sistem Kelembagaan Pengelolaan Irigasi: Kasus

Provinsi Banten. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol 7 (1), Maret 2009: 1-19.

Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan dan Y. Saefudin. 1987.

Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. and Center for

Agro Economic Research, Bogor.

Rusastra, I.W. dan F. Kasryno. 2005. Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional.

Dalam Kasryno, et.al (Editor). Ekonomi Jagung Indonesia: 256-288. Badan Litbang Pertanian, Jakarta

Simatupang P. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan

Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Dalam: Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian. Bogor.

Simatupang. 2002. Daya Saing Komoditas Jagung. Puslitbang Sosial Ekonomi

Pertanian. Bogor.

Swastika, D.K.S. 2006. The Four Decades Journey and Future Prospect of Indonesia to Meet Its Demand For Maize. Economics And Finance In Indonesia, 54(1): 25-48.

Wardana, I..P, E.Y. Purwani, Suhartini, A.T. Rahmi, Z. Mardiyah, S.T. Ardiyanti,

Jumali, dan Lasmini, 2012. Almanak Padi Indonesia.Balai Besar Penelitian Padi Kementerian Pertanian.

www. bps.go.id. 2014. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung

dan Kedelai 2004-2014. Di unduh 1 November 2014.