laporan

43
TUKAR MATERI “Penggunaan Lahan Pedesaan” Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tata Guna dan Pengembangan Lahan yang diampu oleh Ibu Dian Dinanti, ST.,MT Oleh: Bima Amantana (115060601111020) Istiq Dhany N (115060600111014) Riza Kurnia Dewi (115060600111049) Sindiah Bagus (115060607111015) Kelas A JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: itiiq

Post on 05-Sep-2015

13 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Tata Guna Penggunaan Lahan

TRANSCRIPT

TUKAR MATERIPenggunaan Lahan Pedesaan

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tata Guna dan PengembanganLahan yang diampu oleh Ibu Dian Dinanti, ST.,MT

Oleh:Bima Amantana(115060601111020) Istiq Dhany N(115060600111014)Riza Kurnia Dewi (115060600111049)Sindiah Bagus (115060607111015) Kelas A

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTAFAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan Laporan Penggunaan Lahan Pedesaan. Adapun tujuan dari penyusunan tugas ini adalah syarat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Tata Guna dan Pengembangan Lahan pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Falkultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang.Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini. Dengan segala kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam pembelajaran maupun sebagai wawasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Malang, September 2012

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Lahan merupakan unsur terpenting di muka bumi. Penggunaan lahan yang optimal dapat memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan lahan yang benar dapat memberikan keuntungan yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai penggunaan lahan sangat dibutuhkan agar efisien dan bermanfaat dengan baik. Saat ini penggunaan lahan di Indonesia, khususnya di pedesaan mendapatkan perhatian lebih untuk mensejahterahkan masyarakat pedesaan. Penggunaan lahan pedesaan pada umumnya didominasi oleh sektor pertanian, seperti perkebunan, hutan, persawahan, perikanan dan peternakan. Berbagai macam upayapeningkatan hasil pertanian sudah dilakukan, seperti intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi maupun mekanisasi pertanian. Namun kenyataannya, saat ini terdapat beberapa masalah mengenai konversi penggunaan lahan di pedesaan, seperti yang terjadi Kelurahan Mulyaharja, Desa Tulung Rejo dan Desa Pelem.Laporan ini membahas mengenai definisi-definisi lahan dan desa yang dikemukan oleh para ahli dan ciri khas penggunaan lahan pedesaan. Selain itu, laporan ini jugamembahas klasifikasi dan pola penggunaan lahan di pedesaan beserta masalah dan solusi yang disarankan.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DesaDesa merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, cultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbale balik dengan daerah lain (Bintarto, 1977). Sedangkan menurut UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal I yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Menurut tinjauan geografi yang dikemukakan oleh R.binarto, desa merupakan suatu hasil perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiologis, sosial,ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat disuatu daerah serta memiliki hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain.Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.Secara umum karakteristik desa terbagi atas tiga jenis, yakni karakteristik fisik, karakteristik sosial, dan karakteristik ekonomi.A. Karakteristik FisikSecara garis besar daerah pedesaan memiliki ciri fisik yakni:Terdapat perbandingan antara jumlah manusia dan luas tanah kecil (man land ratio tinggi)a. Tata guna lahan di dominasi untuk sektor pertanianb. Jenis dan teknik pertanian tergantung kondisi lingkunganB. Karakteristik Sosial Kehidupan masyarakat desa masih homogen dan pola interaksinya horizontal, serta dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan. Semua pasangan berinteraksi dianggap sebagai anggota keluarga. Hal yang sangat berperan dalam interaksi dan hubungan sosial adalah motif-motif sosial. Sosial kemasyarakatan desa ditandai dengan pemilikan ikatan batin yang kuat sesama warga desa, yakni perasaan tiap warga/ anggota masyarakat yang sangat kuat dan berhakikat bahwa seseorang merasa bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Umumnya pengaruh tokoh masyarakat di pedesaan jauh lebih besar daripada penguasa dan juga golongan-golongan orang tua pada masayrakat pedesaan umumnya memegang peranan penting.

C. Karakteristik EkonomiMasyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian bersifat homogen yang berada di sektor ekonomi primer, yakni bertumpu pada bidang pertanian. Kehidupan ekonomi sangat bergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan, dan juga perikanan darat. Masyarakat pedesaan pada dasarnya menganut ekonomi tradisional/ sistem ekonomi tertutup dimana hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat terbatas untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama. Masyarakat tradisional memiliki pola produksi yang didasarkan pada pemanfaatan tenaga kerja keluarga dan tenaga ternak. Selain itu penggunaan teknologi di pedesaan masih sederhana ditambah dengan permasalahan menyangkut modal dan pemasaran hasil produksi, serta ketergantungan kepada kota dalam hal pemasaran dan biaya (modal).Menurut Shahab (2007), secara umum ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dapat diidentifikasi sebagai berikut ;1. Mempunyai sifat homogen dalam mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan serta dalam sikap dan tingkah laku,2. Kehidupan desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi yang berarti semua anggota keluarga turut bersama-sama memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,3. Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya, keterikatan anggota keluarga dengan tanah atau desa kelahirannya,4. Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet dari pada kota.5. Jumlah anak yang ada dalam kluarga inti lebih besar.Menurut dirjen Bangdes (pembangunan desa) dalam Daljoeni (2003), bahwa ciri ciri wilayah desa antara lain;1. Perbandingan lahan dengan manusia cukup besar (lahan desa lebih luas dari jumlah penduduknya, kepadatan rendah).2. Lapangan kerja yang dominan adalah agraris (pertanian).3. Hubungan antar warga amat akrab4. Tradisi lama masih berlaku.Menurut Bintarto dalam Daljoeni (2003), ada tiga unsur yang membentuk sistem yang bergerak secara berhubungan dan saling terkait dari sebuah desa, yaitu: 1. Daerah tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis,2. Penduduk, jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata pencaharian penduduk,3. Tata Kehidupan, pola tata pergaulan dan ikatan pergaulan warga desa termasuk seluk beluk kehidupan masyarakat desa.

2.2 Lahan Lahan merupakan suatu sumber daya yang penting bagi kehidupan manusia, hal ini dikarenakan lahan merupakan tempat manuasia untuk melakukan segala aktivitasnya. Ditinjau dari segi fisik dan geografi, lahan adalah tempat diman sebuah hunian memunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi. (Linchrield dan Drabkin, 1980)Sitanala Arsyad (1989) dalam Eko Baron (2009) mengartikan lahan sebagai lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air, vegetasi, serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan termasuk didalamnya hasil kegiatan manusia. Lahan juga dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk didalamnya hasil kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti yang tersalinasi. (FAO dalam Arsyad, 1989)Sedangkan yang dimaksud tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi permukiman, perdagangan, industri, dll.Surjarto (1985) dan Dabkin (1980) mengemukakan beberapa sifat atau karakteristik lahan, yakni:1. Secara fisik, lahan merupakan asset ekonomi yang tidak dipengarui oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga, dan tidak dipengaruhi oleh waktu. Lahan juga merupakan asset yang terbatas dan tidak bertambah besar kecuali melalui reklamasi. 2. Perbedaan antara lahan tidak tebangun dengan lahan terbangun adalah lahan tidak terbangun tidak akan dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun nilainya cenderung turun karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada diatasnya. Tetapi penurunan nilai struktur bangunan juga dapat meningkatkan nilai lahannya karena adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya. 3. Lahan tidak dapat dipindahkan tetapi sebagai subtitusinya intensitas penggunaan lahan dapat ditingkatkan sehingga factor lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama. 4. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai investasi jangka panjang (long-term investment) atau tabungan. Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan. Selain itu investasi lahan berbeda dengan investasi barang ekonomi yang lain, dimana biaya perawatannya (maintenance cost) hanya meliputi pajak dan interest charges. Biaya ini relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan lahan tersebut.Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan (landuse) adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dlam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan (major kinds of land use) sendiri dimaksudkan oleh Luthfi Rayes (2007) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi.Sedangkan menurut Sugandhy (1989) penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan dengan maksud pembangunan secara optimal dan efisien. Slain itu penggunaan lahan dapat diartikan pula suatu aktivitas mmanusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1978). Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai wujud atau bentuk usaha kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata, 1992)Dalam mempelajari penggunaan lahan (Jery Kosrowicky dalam Eko Baron, 2009) mengemukakan beberapa aspek yang harus diperhatikan meliputi:1. Bentuk penggunaan lahan adalah bentuk campur tangan manusia terhadap alam yang mencerminkan kepandaian manusia untuk mengatur dan mengusahakan alam untuk kepentingan ekonominya.2. Orienasi penggunaan lahan, yaitu tujuan atau arah yang dipilih manusia dalam mengusahakan dan mengatur lingkungan alam dalam memenuhi kepentingan hidupnya. 3. Metode penggunaan lahan adalah cara-cara yang digunakan oleh manusia dalam mengusahakan dan mengatur lingkungan alam dalam memenuhi kepentingan hidupnya.4. Efek penggunaan lahan adalah hasil usaha atau pengaruh yang timbul sebagai hasil akhir dari adanya bentuk orientasi dan metode penggunaan lahannya.

2.3Ciri Khas Penggunaan Lahan PedesaanPenggunaan lahan di daerah pedesaan relatif berbeda dengan di daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, penggunaan lahan yang dominan adalah pertanian, sedangkan di perkotaan non pertanian seperti permukiman, industri, pertokoan dan lain-lain. Struktur ruang di pedesaan secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ruang yang berfungsi sosial dan ruang yang berfungsi ekonomi. Ruang yang berfungsi sosial berada pada wilayah permukiman. Pada wilayah tersebut, terjadi interaksi antara anggota keluarga dan masyarakat. Ruang yang berfungsi ekonomi berada pada wilayah pertanian. Pada wilayah ini, penduduk mengolah lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun dijual ke daerah lainnya. Perbandingan luas penggunaan lahan untuk pertanian dan perkampungan tentunya berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Semakin maju atau semakin berkembang suatu desa, semakin berkurang luas lahan pertanian dan semakin bertambah luas lahan permukimannya. Hal ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke permukiman akibat bertambahnya jumlah penduduk. Jika ruang untuk non-pertanian lebih besar dibanding pertanian, maka struktur ruang desa berubah menjadi struktur ruang kota.

2.4Klasifikasi Penggunaan LahanDi Indonesia klasifikasi penggunaan lahan mencakup baik yang sengaja digunakan oleh manusia (land use) maupun tidak digunakan (unused). Menurut Sadyohutomo (2006), klasifikasi jenis penggunaan lahan pedesaan ada 12 jenis, antara lain:1. Perkampungan adalah areal lahan yang digunakan untuk kelompok bangunan tempat tinggal penduduk dan dihuni secara menetap.2. Industri adalah areal lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, berupa proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau setengah jadi menjadi barang jadi (industri manufaktur).3. Pertambangan adalah areal lahan yang dieksploitasi bagi pengambilan atau penggalian bahan-bahan tambang yang dilakukan secara terbuka dan atau tertutup.4. Persawahan adalah areal pertanian terdiri dari petak-petak pematang yang digenangi air secara periodik atau terus menerus, ditanami padi atau diselingi dengan tanaman palawija, tebu, tembakau dan tanaman semusim lainnya.5. Pertanian tanah kering semusim (pertanian tegalan atau ladang) adalah areal lahan pertanian yang tidak pernah diairi dan mayoritas ditanami dengan tanaman umur pendek.6. Kebun adalah areal lahan yang ditanami satu jenis tanaman keras (disebut kebun sejenis), atau tanaman keras dengan tanaman semusim dan tidak jelas jenis tanaman apa yang menonjol (sehingga disebut kebun campuran).7. Perkebunan adalah areal lahan yang ditanami tanaman keras dengan satu jenis tanaman dominan, yang mencakup perkebunan berdasarkan perkebunan rakyat.8. Padang areal lahan yang hanya ditumbuhi tanaman rendah dari keluarga rumput dan semak.9. Hutan adalah areal lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dan tajuk pohonnya dapat saling menutupi/bergesekan. Hutan terdiri atas hutan alam lebat, hutan belukar, dan hutan sejenis.10. Perairan darat adalah areal lahan yang digenangi air tawar secara permanen, baik buatan maupun alami. Perairan darat terdiri atas kolam air tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau/telaga/situ, dan rawa.11. Lahan terbuka adalah areal lahan yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak digarap karena tidak subur (tanah tandus), menjadi tidak subur setelah digarap atau ditambang tanahnya (tanah rusak), atau karena dibuka sementara (land clearing).12. Lain-lain adalah areal lahan yang digunakan bagi prasarana, seperti jalan, sungai, dan bendungan serta saluran yang merupakan buatan manusia atau alami.

2.5Pola Penggunaan Lahan PedesaanLahan di pedesaan umumnya digunakan bagi kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolahraga dan sebagainya semua itu dilakukan di dalam kampung. Selain itu penggunan lahan di pedesaan juga diguakan untuk kehidupan ekonomi seperti bertani, berkebun, beternak, memelihara atau menangkap ikan, menebang kayu di hutan, dan lain-lain, umumnya dilakukan di luar kampung, walaupun adapula kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan di dalam kampung seperti perindustrian, perdagangan, dan lain-lain. Jadi, pola penggunaan tanah di pedesaan yaitu untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial dan untuk pertanian dalam rangka kegiatan ekonomi.A. Penggunaan tanah untuk perkampunganBentuk perkampungan desa yang terdapat di permukaan bumi, satu sama lainnya berbeda. Hal ini sangat bergantung pada kondisi fisik geografis setempat. Pada daerah pedataran memperlihatkan bentuk perkampungan yang berbeda, dibandingkan dengan bentuk perkampungan di daerah perbukitan atau pegunungan. Bentuk perkampungan atau pemukiman di pedesaan, pada prinsipnya mengikuti pola persebaran desa yang dapat dibedakan atas perkampungan linear, perkampungan memusat, perkampungan terpencar, dan perkampungan yang mengelilingi fasilitas tertentu.1) Bentuk perkampungan linierBentuk perkampungan linier merupakan bentuk perkampungan yang memanjang mengikuti jalur jalan raya, alur sungai, dan garis pantai. Biasanya pola perkampungan seperti ini banyak ditemui di daerah pedataran, terutama di dataran rendah. Pola ini digunakan masyarakat dengan maksud untuk mendekati prasarana transportasi (jalan dan sungai) atau untuk mendekati lokasi tempat bekerja seperti nelayan di sepanjang pinggiran pantai.2) Bentuk perkampungan memusatBentuk perkampungan memusat merupakan bentuk perkampungan yang mengelompok (agglomerated rural settlement). Pola seperti ini banyak ditemui di daerah pegunungan yang biasanya dihuni oleh penduduk yang berasal dari satu keturunan, sehingga merupakan satu keluarga atau kerabat. Jumlah rumah umumnya kurang dari 40 rumah yang disebut dusun(hamlet) atau lebih dari 40 rumah bahkan ratusan yang dinamakan kampung (village).

Gambar 2. 1 Bentuk Perkampungan linier di sepanjang sungai Citepus, Kab. Bandung Sumber : Koleksi Zul AfdiUmar, 2004

Gambar 2. 2 Bentuk perkampungan memusat di Cikalong Wetan, Kab. Bandung Sumber : Koleksi Zul Afdi, 20073) Bentuk perkampungan terpencarBentuk perkampungan terpencar merupakan bentuk perkampungan yang terpencar menyendiri (disseminated rural settlement). Biasanya perkampungan seperti ini hanya merupakan farmstead, yaitu sebuah rumah petani yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak, dan rumah petani. Perkampungan terpencar di Indonesia jarang ditemui. Pola seperti ini umumnya terdapat di negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sebagainya.4) Bentuk perkampungan mengelilingi fasilitas tertentuBentuk perkampungan seperti ini umumnya kita temui di daerah dataran rendah, yang di dalamnya banyak terdapat fasilitas-fasilitas umum yang dimanfaatkan penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fasilitas tersebut misalnya mata air, danau, waduk, dan fasilitas lain.

Gambar 2. 3 Bentuk perkampungan terpencar Sumber : The Earth for the Air, 2001

B. Penggunaan tanah untuk kegiatan ekonomiPenggunaan tanah di pedesaan terdiri atas pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, perdagangan dan industri. Dalam tata guna tanah di pedesaan, juga termasuk penggunaan air dan permukaannya, seperti laut, sungai, danau, dan sebagainya.Pola penggunaan tanah di pedesaan umumnya didominasi oleh pertanian, baik pertanian tradisional maupun pertanian yang telah maju (sudah memanfaatkan mekanisme pertanian). Hal ini sesuai dengan struktur mata pencaharian masyarakatnya yang sebagian besar sebagai petani, baik petani pemilik maupun buruh tani.

Gambar 2. 4 Pola penggunaan lahan di pedesaan Dari gambar 2.4 dapat diketahui bahwa semakin dekat suatu lahan dengan perkampungan maka intensitas penggunaan dari lahan tersebut semakin tinggi dan semakin jauh suatu lahan dengan perkampungan semakin rendah intensitas penggunaan lahan tersebut.2.6Permasalahan Penggunaan Lahan Pedesaan Berikut ini adalah beberapa permasalahan yang ada dalam penggunaan lahan pedesaan, yakni:1. Kurangnya optimalisasi lahan pemanfaatan lahan untuk desa terpencil/ desa pinggiran2. Adanya kegiatan pertambangan yang dapat merusak lahan sekitar3. Kegiatan pertambangan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan di sekitar kawasan tambang4. Topografi yang curam bagi desa yang terletak di pegunungan sehingga terkendala dalampengembangan kawasan, khususnya dalam pengembangan infrastruktur jalan sehingga desa yang terpencil/ desa pinggiransulit dijangkau5. Topografi yang tinggi menyebabkan lahan berpoteni longsor sehingga dapat merusak tanah yang subur6. Kualitas lahan menurun, erosi/ longsor, dan menurunnya kualiatas air dikarenakan adanya alih fungsi hutan menjadi lading atau tegalan sehingga hutan menjadi gundul7. Lahan yang tidak dapat memberikan hasil produksi yang optimal dikarenakan pengelolahan lahan pertanian yang masih sederhana

BAB IIISTUDI KASUS

1. Bima Amantana 115060601111020Pengembangan Usaha Masyarakat di Dalam Kawasan Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa-Desa Sekitar Areal IUPHHK di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat)

PendahuluanProvinsi Sulawesi Barat memiliki potensi sumberdaya hutan yang relatif besar yaitu seluas 1.178.996 ha atau sebesar 70% dari luas wilayah. Pada saat ini tercatat 3 (tiga) perusahaan HPH/IUPHHK yang masih aktif dari 9 HPH/IUPHHK yang pernah ada yaitu: (1) PT.Rante Mario, (2) PT. Inhutani I UMH Mamuju, dan (3) PT. Zedsko Permai. Ketiga HPH/IUPHHK. Dapat pula dikatakan bahwa saat ini terdapat sebanyak 6 HPH/IUPHHK yang tidak aktif melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan karena telah berakhir izin konsesi atau masih berlaku izin konsesi akan tetapi tidak aktif melakukan kegiatan di laangan. Areal HPH yang tidak aktif tersebut di atas, bersifat open access sehingga mendapatkan tekanan dari masyarakat di sekitar hutan yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan saat ini sebesar 20%. Di lain pihak, sumberdaya hutan tersebut harus dikelola untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya. Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan perlu diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, serta melestarikan fungsi kawasan hutan. Oleh karena itu, diperlukan konsep pengembangan usaha masyarakat di dalam kawasan hutan yang dapat memenuhi tuntutan pengelolan tersebut.

Pembahasana. Karakteristik Masyarakat di Sekitar Hutan1. PendudukMasyarakat desa-desa di lokasi penelitian dicirikan oleh tingginya migrasi masuk penduduk, terutama migrasi dari Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone, Soppeng, Polman, Mamasa dan Kabupaten Tana Toraja) yang mayoritas adalah keluarga satu rumpun keluarga. Hal ini menyebabkan aktifitas mereka biasanya dilakukan secara kolektif. 2. Tenaga Kerja KeluargaKepala keluarga yang menjadi tulang punggung tenaga kerja rumah tannga petani di lokasi penelitian pada umumnya adalah tenaga kerja produktif dengan umur >20 tahun. Dalam menjalankan aktivitas usahataninya, kepala keluarga dibantu oleh anggota keluarga usia produktif, baik laki-laki maupun perempuan. Jumlah tanggungan keluarga setiap kepala keluarga rata-rata sebanyak 3 orang.3. Mata PencaharianMata pencaharian masyarakat adalah petani kakao, sawit, beternak, dan usaha lainnya yang bersifat musiman. Terdapat juga beberapa orang pedagang kayu. 4. Pemanfaatan Kawasan HutanAktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan pada dasarnya terbagi dua yaitu, pemanfaatan kawasan hutan sebagai lahan usahatani, dan pemungutan hasil hutan. Hasil usaha tersebut sebagian besar dikonsumsi sendiri secara langsung, dan sebagian lainnya dijual dalam bentuk bahan mentah dan atau dijual setelah diolah lebih lanjut seperti usaha produksi gula aren. b. Permasalahan Umum Pengelolaan HutanPermasalahan umum pengelolaan hutan mencakup masalah ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Masalah ekonomi terkait dengan, belum berkembangnya usaha kehutanan skala rumah tangga, alokasi kawasan hutan untuk dikelola secara legal oleh masyarakat, industri pengelolaan, illegal logging, dan aspek pendanaan pengelolaan hutan. Masalah sosial terkait dengan migrasi masuk penduduk, konflik lahan, perambahan, dan kapasitas sumberdaya manusia yang rendah. Masalah kelembagaan terkait dengan perizinan usaha kehutanan (HPH/IUPHHK, ISL), kemitraan masyarakat dengan HPH/IUPHHK dan industri pengelolaan hasil hutan, dan kelembagaan kehutanan pada level unit pengelolaan hutan. c. Konsep Pengembangan Usaha Masyarakat di Dalam Kawasan Hutan1. Konsep Pengembangan Sistem ProduksiPembangunan kehutanan diarahkan pada pengembangan unit usaha masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan. Unit usaha tersebut harus dikelola sebagai suatu unit bisnis berbasis masyarakat. Pengelolaan unit bisnis berbasis masyarakat diarahkan pada aglomerasi usahatani masyarakat yakni, (1) memadukan unit usahatani masyarakat di dalam kawasan hutan dan unit usahatani di luar kawasan hutan, (2) mengintegrasikan sub-sub sistem yang terkait dengan pengembangan unit usahatani, terutama yang terkait dengan pasar faktor-faktor produksi dan pasar hasil produksi. 2. Konsep Pengembangan Kelembagaan UsahaKonsep pengembangan kelembagaan usaha masyarakat mencakup: (1) penyediaan lembaga usaha yang berbadan hukum yang menjalankan bisnis hasil-hasil produksi masyarakat, (2) penyediaan lembaga usaha masyarakat yang memainkan peran dalam menjalin kemitraan dengan pihak-pihak terkait seperti HPH/IUPHHK, Bank atau lembaga keuangan lainnya, BUMN, BUMD, instansi terkait, dan lembaga donor, (3) penyediaan lembaga usaha masyarakat yang memiliki kemampuan dalam mengembangkan pasar hasil- hasil para petani, (4) penyediaan lembaga usaha yang memiliki rencana jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dalam lingkup pengelolaan hutan lestari. 3. Konsep Pengembangan Sistem PendukungDalam pengembangan bisnis berbasis kehutanan di lokasi penelitian, terdapat suatu hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan sejak awal, yaitu keseimbangan kekuatan negosiasi (negotiating power) antar stakeholders. Tanpa keseimbangan ini maka perjalanan pengembangan bisnis berbasis kehutanan akan pincang dan pada akhirnya akan terhenti dan bubar. Para peneliti dan tim pakar perlu terus menerus memonitor dan menganalisis dan mengevaluasi perjalanan keseimbangan ini.

Kesimpulan Dan Sarana. Kesimpulan 1. Telah terjadi akulturasi pengetahuan budidaya pertanian dan kehutanan antara masyarakat penduduk asli dengan masyarakat pendatang yang berdampak terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 2. Permasalahan umum pengelolaan hutan mencakup masalah ekonomi yang terkait dengan usahatani masyarakat di dalam kawasan hutan, masalah sosial yang terkait dengan kependudukan, dan masalah kelembagaan yang terkait dengan unit usaha masyarakat. 3. Konsep pengembangan usaha masyarakat di dalam kawasan hutan mencakup, pengembangan sistem produksi, pengembangan kelembagaan usaha, dan pengembangan sistem pendukung. b. Saran Pemerintah dan pemerintah daerah segera membentuk kelembagaan pengelolaan hutan pada level unit pengelolaan yang akan memberikan pelayanan untuk mendukung berkembangnya usaha masyarakat di dalam kawasan hutan dan terkelolanya sumberdaya hutan secara lestari.

2. Istiq Dhany N 115060600111014

PENGARUH KEBERADAAN KAMPUNG INGGRIS TERHADAP GUNA LAHAN DAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI DESA TULUNG REJO DAN DESA PELEM, KABUPATEN KEDIRIAr Rohman Taufiq Hidayat, Surjono, Eddi Basuki KurniawanJurusan Perencanaan Wilayah dan Kota FakultasTeknik Universitas BrawijayaJl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145, Indonesiaemail:[email protected]

PENDAHULUANAktivitas guna lahan dapat mempengaruhi lingkungannya baik secara fisik maupun non fisik, seperti pengaruh terhadap guna lahan sekitarnya maupun kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Salah satu fungsi lahan adalah sarana pendidikan yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya baik dari segi guna lahan, sosial dan ekonomi masyarakat.Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat salah satu bentuk pendidikan, yaitu pendidikan informal. Salah satu contoh pendidikan informal yang terkenal di Kediri adalah lembaga kursus bahasa inggris yang berada di perbatasan Desa Tulung Rejo dan Desa Pelem yang brjumlah hingga 110 pada tahun 2009-2010 dan pada tahun 2011 membentuk komunitas Kampung Inggris.

PEMBAHASANKeberadaan Kampung Inggris sebagai penunjang sarana pendidikan di perbatasan Desa Tulungrejo dan Desa Pelem sangat memberikan manfaat bagi perekonomian dan sosial masyarakat setempat. Jumlah lembaga kursus yang mencapai 100 lebih ini dapat meningkatkan taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Namun, selain berpengaruh pada perekonomian dan sosial bagi masyarakat, keberadaan Kampung Inggris juga memberikan dampak terhadap fungsi lahan, yaitu lahan pertanian dan lahan kosong yang berubah menjadi permukiman dan fungsi lainnya, serta permukiman berubah menjadi sarana permukiman. Pembangunan perumahan dan ruko di sepanjang Jalan Papar-Pare dan Jalan Kusuma Bangsa menjadi salah satu contoh perubahan lahan tak terbangun menjadi permukiman. Sedangkan perubahan permukiman menjadi sarana permukiman banyak terjadi di Kampung Inggris dan wilayah desa yang berada di jalan utama dengan penambahan sarana permukiman yang terbanyak adalah sarana perdagangan dan jasa.Berdasarkan hasil analisis, luas lahan terbangun menunjukkan perubahan yang diakibatkan oleh adanya lembaga kursus Kampung Inggris. Tabel 2.1 menunjukkan penambahan luas lahan terbangun selama 10 tahun terakhir.Tabel 3.1 Penambahan Luas Lahan Terbangun Tahun 2001-2010TahunPenambahan luas (%)

2001-200214

2003-200413

2005-200612

2007-20089

2009-20106

Selama 10 tahun terakhir, terdapat perubahan fungsi lahan yang diantaranya adalah bangunan baru. Perubahan fungsi tersebut hanya teridentifikasi perubahan lahan tak terbangun menjadi terbangun dan permukiman menjadi sarana perdagangan dan jasa yaitu warung, kios, dan kos. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa perubahan fungsi tersebut karena pengaruh dari keberadaan lembaga kursus di Kampung Inggris.

KESIMPULAN DAN SARANKeberadaan lembaga kursus Kampung Inggris telah mempengaruhi perubahan fungsi lahan sebesar 9,6% setiap tahunnya. Jika penambahan ini terus dibiarkan dan tidak terkendali dapat menimbulkan permasalahan terkait ketersediaan lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian dan karakteristik masyarakat pedesaan. Saat ini dapat diketahui sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian terbanyak, terutama masyarakat yang tinggal dekat lahan pertanian, sedangkan mata pencaharian non pertanian, terutama bidang komersil banyak terdapat di wilayah desa dekat dengan pusat Kecamatan Pare. Namun, jika pembangunan tak terkendali terus-menerus, dapat mengancam mata pencaharian pada sektor pertanian. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan terhadap pembangunan tak terkendali.Peran serta perangkat desa, tokoh masyarakat dan organisasi sosial masyarakat sebagai alat kontrol sosial sangat dibutuhkan untuk menghimbau setiap pembangunan yang dilakukan masyarakat sebagai upaya mengatasi pembangunan yang tidak terkontrol agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat lainnya.

3. Riza Kurnia Dewi 115060600111049Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria(Studi Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat)Martua Sihaloho, Arya Hadi Dharmawan, Said Rusli

Pendahuluan Pemanfaatan sumberdaya agrarian adalah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan berbagai pihak terkait baik langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Lahan merupakan salah satu sumberdaya utama Dalam pelaksanaan program pembangunan. Dengan kata lain ketersediaan lahan/ tanah adalah faktor penting dalam pembangunan, khususnya di bidang pertanian. Namun ketersediaan lahan tanah semakin berkurang diiringi oleh pertambahan jumlah penduduk dan perubahan program atau rencana pembangunan dan juga perubahan kebijakan pihak terkait melalui proses konversi lahan. Konversi lahan diibaratkan sebagai perubahan sosial, dimana perubahan sosial seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Konversi lahan pasti akan teradi dikatenakan penduduk yang terus bertambah secara natural untuk kebutuhan permukiman. Konversi juga terjadi dengan perubahan desa agraris menjadi desa industri di pedesaan Jawa. Faktanya lahan pertanian produktif telah mengalami penurunan luas lahan. Implikasi dari konversi lahan yakni berupaya untuk meningkatkan nilai tanah yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak baik untuk permukiman, industri, dan untuk kepentingan pemerintah. Disisi lain konversi menyebabkan kurang akses masyarakat lokal terhadap sumber agrarian yang berimplikasi pada kurangnya kesejahteraan masyarakat disbandingkan kondisi awal. Rumusan permasalahannya yakni seberapa besar jumlah lahan pertanian yang terkonversi, bagaimana implikasi konversi tersebut terhadap perubahan struktur agrarian menyangkut perubahan pola lahan, pola nafkah, dan hubungan pola produksi.

PembahasanDari hasil penelitian didapatkan sebaran penggunaan tanah sebelum dan sesuadah masuknya pemilik modal (perusahan) serta menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) seperti berikut.Tabel 3.2 Sebaran Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Masuknya Pemilik Modal (Perusahaan) serta Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)NoJenis PekaranganLuas Lahan (Ha) dalam Persentase (%)

Sebelum Masuknya Pemilik Modal (1988)Sesudah Masuknya Pemilik Modal (1988)Menurut RTRW

1Permukiman/ Perumahan92 Ha (19,28%)152,92 Ha (42,05 %)269,42 Ha (56,47%)

2Pertanian274,88 Ha (57,62%)243 Ha (50,94%)117,50 Ha (24,63 %)

3Kebun Campuran98 Ha (20,54%)70,88 Ha (14,86%)63,88 Ha (13,39%)

4Sungai9 Ha (1,88%)9 Ha (1,88%)9 Ha (1,88%)

5Industri---

6Perkantoran0,22 Ha (0,04%)0,22 Ha (0,04%)1,2 Ha (0,25%)

7Perdagangan--6 Ha (1,26%)

8Taman dan Lap.Olahraga--4 Ha (0,83%)

9Kuburan 4 Ha (0,83%)4 Ha (0,83%)4 Ha (0,83%)

10Total477,005 Ha (100%)477,005 Ha (100%)477,005 Ha (100%)

Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa konversi lahan yang terjadi meyebabkan perubahan kepadatan agraris di Kelurahan Mulyaharja. Jenis pekarangan yang paling menonjol perubahannya yakni permukiman/ perumahan, lahan pertanian, dan kebun campuran, dimana luas permukiman semakin bertambah sedangkan luas lahan pertanian san kebun campuran semakin sedikit. Konversi lahan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor yakni pertumbuhan penduduk sehingga kebutuhan untuk lahan permukiman juga makin meningkat, keterdesakan ekonomi yang mendorong arga Kelurahan Mulyaharja untuk menjual tanahnya, investasi pihak swasta yang menawarkan membeli tanah disertai denganpaksaaan dan bujukan pekerjaan, proses Alih Hak milik Atas tanah yang menyebabkan perubahan orientasi pemanfaatan asset,dan intervensi pemerintah yang berusaha mengikuti rencana serta proses pengadaan tanah yang secara administratif mengikuti aturan, tetapi mendahulukan pihak yang relatif dominan.Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konversi lahan merupakan fakta yang terjadi di wilayah kabupaten/ kota baik di pedesaan maupun perkotaan, di Jawa maupun luar Jawa.Pola konversi juga menggambarkan pola yang unik atau spesifikasi local di kelurahan Mulyaharja, khususnya pola konversi adaptasi agraris dan pola konversi masalah sosial.Konversi lahan menyebabkan penyempitan lahan pertanian dan implikasinya adalah bergantinya pekerjaan dari sector pertanian ke sector non pertanian. Contohnya saja perubahan petani pemilik menjadi petani penggarap dan petani penggarap menjadi buruh tani dan sebagian buruh tani tidak dapat bekerja di sector pertanian. Perubahan struktur agrarian berimplikasi pada mnguatnya proses marginalisasi yang ditunjukkkan oleh praktek-prektek penguasaan lahan, penggunaan tanah, dan pola nafkah warga setempat.

Kesimpulan dan SaranAdannya konversi lahan pertanian berimplikasi pada perubahan/ struktur agraria yang menghasilkan ketimpangan struktur agrarian lahan terhadap kehidupan masyarakat mengena perubahan pola penguasaan lahan, pola nafkah, dan hubungan pola produksi. Diperlukan peran stakeholders untuk meminimalkan laju konversi lahan. Langkah/ strategi yang dapat digunakan yakni melakukan penguatan kelembagaan local khususnya yang terkait dengan pemilikan dan penguasaan lahan sumberdaya agrarian dan merumuskan prakterk-praktek retribusi manfaat bagi warga yang kini tidak mendapatkan tanah garapan.

4. Sindiah Bagus 115060607111015 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan(Studi Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung)Dewa Putu Arwan Suputra,I G.A.A Ambarawati, I Made Narka TenayaProgram Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana 1. Pendahuluan Latar Belakang Terkait dengan hal bercocok tanam, sektor pertanianlah yang paling utama berperan. Namun, pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan telah menggeser pemanfaatan lahan yang akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Berubahnya pemanfaatan lahan pertanian ke non pertanian dapat disebut juga sebagai alih fungsi lahan. Di Bali sendiri tidak luput terkena dampak alih fungsi lahan. Sistem pengairan yang memadukan keselarasan antara pencipta, alam dan manusia yang biasa disebut subak. Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sudah ada sejak beradab-abad lamanya dan mengalami perkembangan pesat sejak masa pemerintahan raja-raja di Bali dianggap sebagai penopang pertanian di Bali. Namun hal ini pun kini dapat di goyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat melihat perkembangan alih fungsi lahan dari tahun ke tahun sangat terlihat nyata terjadi di perkotaan. Walaupun demikian subak sangat diharapkan dapat menjaga keutuhan daerah persawahan yang ada di Bali. Banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi pilar pendukung bagi perekonomian Bali. Kendati demikian, pertanian Bali juga dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satunya adalah mengenai penyesuaian dan penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di Bali yang sangat besar membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan pemerintah dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian, membuat para investor dalam maupun luar negeri banyak memburu lahan-lahan yang produktif di bidang pertanian berubah menjadi lahan bidang pariwisata. Kontibusi yang besar kepada para pemilik lahan menjadi salah satu cara untuk meluluhkan para pemilik lahan agar lahannya dapat digunakan menjadi sektor pariwisata. Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut. 1. Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.2. Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.3. Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. Di Provinsi Bali, selama periode waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 ha, yaitu dari 85.776 ha menjadi 81.210 ha. Dengan kata lain, selama periode waktu tersebut lahan sawah di provinsi ini telah terkonversi rata-rata sekitar 913,20 ha (1,09%) per tahun. Alih fungsi lahan yang terbanyak terjadi di daerah Jembrana. Namun bukan hanya Jembrana saja yang menjadi sorotan kini daerah Badung dan Denpasar pun sudah menunjukkan alih fungsi lahan yang pesat. Berkembangnya sektor pariwisata yang tidak dapat dibendung menjadi penyebab utama alih fungsi lahan di daerah ini. Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang merupakan daerah pusat pariwisata telah menyebabkan daerah di sekitarnya tidak luput terkena dampaknya. Tak hanya di daerah pinggiran, kini daerah Badung sudah mulai merambah ke tengah-tengah pedesaan. Hal ini dapat dilihat dengan mulai terjadinya alih fungsi lahan pada Desa Tibubeneng yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung. Masyarakat di desa ini banyak yang mengalihfungsikan lahan sawahnya menjadi lahan pendukung pariwisata seperti villa dan supermarket. Selain itu, pertambahan penduduk juga menyebabkan pembangunan perumahan di lahan sawah para pemilik lahan. Walaupun para pemilik lahan sawah banyak yang mengalihfungsikan lahannya ke sektor pariwisata, tidak semuanya menjual lahan pertanian mereka. Sebagian besar hanya menyewakan lahan pertaniannya. Lokasi subak Daksina yang merupakan perbatasan antara pusat pariwisata dan pusat kota Denpasar menyebabkan banyak investor yang memburu daerah ini. Lokasi yang nyaman untuk peristirahatan namun tetap dapat dengan mudah menjangkau pusat pariwisata dan pusat pemerintahan menjadi hal yang sangat menggiurkan bagi para wisatawan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di Subak Daksina sudah mulai sejak tahun 2001. Luas lahan awal Subak Daksina 80 ha, namun pada tahun 2010 tercatat hanya 64 ha yang diantaranya 60 ha lahan basah dan 4 ha lahan kering yang ditanami pandan, jagung dan jeruk. Pengalihfungsian lahan Subak Daksina terlihat pada enam tahun pertama yaitu sebanyak 24 ha atau sekitar 20%. Maka hal inilah yang menarik untuk dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menentukan alih fungsi lahan pada Subak Daksina serta mengetahui variabel-variabel apakah yang mewakili setiap faktor yang menentukan alih fungsi lahan pada Subak Daksina. Selain itu jika alih fungsi lahan di Subak Daksina terus berlanjut maka tidak meutup kemungkinan akan menyebabkan terancamnya kebertahanan pangan di daerah tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan dan yang mendominasi alih fungsi lahan pada Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. (2) Untuk mengetahui variabel-variabel yang mewakili setiap faktor yang menentukan alih fungsi lahan pada Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pembahasan Karakteristik Responden Sebagian besar responden (42%) berumur 51-64 tahun dan sebanyak 30% berumur 65 s.d. 77 tahun. Bahkan sekitar 11% responden berumur di atas 78 tahun. Jadi dapat dilihat untuk responden pada Subak Daksina yaitu lebih banyak tergolong usia tidak produktif. Sebagian besar (39%) tingkat pendidikan responden tergolong rendah, yaitu tamat SD, kemudian di susul dengan responden yang tidak tamat SD (21%). Melihat hal ini pendidikan responden tergolong rendah sehingga dalam hal pengambilan keputusan untuk pengalihfungsian lahan responden lebih dulu memusyawarahkan kepada anak-anaknya.Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian besar responden (76%) memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, dan yang paling sedikit yaitu dagang, PNS dan polisi yang memiliki nilai persentase sama 1%. Responden lebih banyak mengalihfungsikan lahannya sebanyak 5-17 are (59%), dan yang paling sedikit responden mengalihfungsikan lahannya sebanyak 31-43 are dan 44 are yaitu 2,0%. Ditinjau dari jenis pengalihfungsian lahan, dapat dilihat tidak terlalu banyak selisih antara yang menyewakan dan yang menjual lahannya yaitu 58:42 orang. Validitas dan Reabilitas Data Berdasarkan hasil pengujian, semua butir pernyataan yang diajukan kepada responden valid dan ada dua yang mendekati valid, dimana mempunyai nilai korelasi product moment yang lebih kecil daripada nilai kritisnya, yaitu 0,254. Karena penelitian ini menggunakan analisis faktor eksplanatori maka kuesioner ini dapat dilanjutkan dan hasil yang mendekati valid dapat digunakan karena tidak terlalu kecil yaitu mendekati 0,3 dan lebih besar dari 0,250. Pada pengujian reabilitas dengan ukuran sampel sebanyak 30 responden, diperoleh nilai alpha cronbach 0,747 yang berarti lebih tinggi dari persyaratan yang harus dilalui yaitu >0,6. Hal ini berarti pengukuran dengan pengumpulan data yang dilakukan dapat memberikan hasil yang konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Subak Daksina Desa Tibubeneng Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung Untuk empat faktor yang terbentuk di mulai dengan penelitian mengunakan 16 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan, keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah, variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan penduduk, variabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga, variabel digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain menjanjikan, vaiabel resiko pasca panen dan variable pajak tanah. Dari ke 16 variabel diata ada dua variable yang tidak ikut mewakili empat faktor yang terbentuk yaitu variable resiko pasca panen dan pajak tanah. Karena kedua variabel tersebut keluar dari model, maka jumlah variabel-variabel yang ada menjadi 14 variabel yang tersebar dalam empat faktor. Keempat belas variabel tersebut memiliki factor loading antara 0,518 hingga 0,799 dan total varian sebesar 53,18%. Oleh karena penelitian ini mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina Desa Tibubeneng Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung yaitu sebesar 53,18%. Keempat faktor yang diperoleh dari hasil reduksi diberikan nama, dimana penamaan faktor tergantung pada nama-nama variabel yang menjadi satu kelompok pada interpretasi masing-masing analisis dan aspek lainnya, sehingga pemberian nama ini sebenarnya bersifat subyektif serta tidak ada ketentuan yang pasti mengenai pemberian nama tersebut (Santoso dan Tjiptono, 2001: 269). Pemberian nama dari masing-masing faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Faktor-1 diberi nama Kondisi Lahan karena variabel-variabel yang mewakili faktor ini menunjukan karakteristik lahan di Subak Daksina. Faktor kondisi lahan merupakan faktor yang paling menentukan alih fungsi lahan di Subak Daksina karena memiliki eigen value tertinggi yaitu 3,372. Variabel-variabel yang terdapat dalam faktor ini terdiri dari variabel fungsi lahan, lokasi lahan, keadaan lahan basah, keadaan lahan kering, penghasilan lahan dan perbatasaan pusat kota, dimana faktor ini mampu menjelaskan keragaman varian sebesar 21,073%.2. Faktor-2 diberi nama Ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk) karena variabel-variabel yang mewakili faktor ini menunjukan ketergusuran lahan sawah akibat kondisi penduduk semakin banyak. Faktor ini merupakan salah satu faktor yang menentukan alih fungsi lahan di Subak Daksina dengan eigen value 1,848, dimana terdiri dari variabel terhimpit pemukiman dan variabel pertumbuhan penduduk dengan varian 11,548%.3. Faktor-3 diberi nama Pemanfaatan Lahan (untuk kepentingan sendiri) karena variabel yang mewakili faktor ini menunjukkan nilai dari lahan Subak Daksina. Faktor ini juga ikut mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina dengan eigen value 1,697, dimana variabel-variabel yang membentuk adalah variabel nilai jual lahan, variabel biaya produksi dan variabel kebutuhan tempat tinggal yang mempunyai total varian 10,606%. 4. Faktor-4 diberi nama Ketidakefektifan Lahan karena variabel-variabel yang mewakili faktor ini menunjukkan peran lahan sawah sudah berubah fungsi yang menyebabkan kurangnya penghasilan keluarga sehingga lebih beralih ke sektor lain (pariwisata). Faktor ini mampu menjelaskan keragaman dari variabel-variabel dengan total varian 9,959 dan memiliki eigen value sebesar 1,593. Faktor ini dibentuk oleh variabel digunakan sebagi sarana jalan, variabel saluran irigasi dan variabel peluang kerja di sektor lain menjanjikan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada empat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina, yaitu faktor kondisi lahan, faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk), faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan faktor ketidakefektifan lahan. 2. Variabel yang mewakili setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina ada 14 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan, keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah mewakili faktor kondisi lahan; variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan penduduk mewakili faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk); varabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga mewakili faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan variabel digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain menjanjikan mewakili faktor ketidakefektifan lahan. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang ada maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut. Prajuru (pengurus) Subak Daksina sebaiknya lebih memperketat untuk para anggotanya yang ingin menjual atau mengalihfungsikan lahannya keluar sektor pertanian, selain itu kebersamaan dan keeratan atar semua pengurus dan anggota Subak Daksina untuk menjaga keutuhan lahan sawah sangat diperlukan. Hal tersebut dapat dimulai dengan melakukan perbaikan pada faktor-faktor yang dianggap berpengaruh dalam alih fungsi lahan sehingga bisa menjaga keutuhan lahan persawahan dan dapat memberikan hasil yang lebih baik sehingga mengurangi alih fungsi lahan di Subak Daksina. Langkah-langkah yang dapat diambil oleh pengurus Subak Daksina, yaitu: 1. Pada faktor kondisi lahan dapat dilihat pada variabel penghasilan lahan, para pemilik lahan sebaiknya lebih memperhatikan kondisi lahan sehingga dapat meningkatkan penghasilan lahan pertaniannya sehingga tidak berkeinginan mengalihfungsikan lahannya.2. Pada faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk) dapat dilihat variabel terhimpit pemukiman, sebaiknya peran pemerintah Desa Tibubeneng lebih mengontrol laju pertambahan penduduk sehingga tidak terjadi ledakan penduduk.3. Pada faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dapat dilihat variabel nilai jual lahan yang semakin tinggi peran pemerintah untuk mengendalikan nilai lahan agar tetap stabil sangat dibutuhkan.4. Pada faktor ketidakefektifan lahan dapat dilihat variabel digunakan sebagai sarana jalan, sebaiknya kesadaran dari pemilik lahan untuk tidak mengorbankan lahannya digunakan sebagai sarana jalan sangat diperlukan guna menjaga keutuhan lahan persawahan.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanPenggunaan lahan yang dominan di daerah pedesaan adalah pertanian. Karakteristik di pedesaan secara umum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu karakteristik fisik, karakteristik sosial, dan karakteristik ekonomi. Jadi, pola penggunaan tanah di pedesaan yaitu untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial dan untuk pertanian dalam rangka kegiatan ekonomi. Permasalahan penggunaan lahan yang sering timbul yakni adanya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke permukiman akibat bertambahnya jumlah penduduk. Dikhawatirkan jika ruang untuk non-pertanian lebih besar dibanding pertanian, maka struktur ruang desa berubah menjadi struktur ruang kota.

SaranPermasalahan alih fungsi lahan di daerah pedesaan cukup menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kelestarian lingkungan dan kelangsungan makhluk hidup, oleh sebab itu penggunaan lahan di pedesaan harus sesuai dengan kebutuhan dan guna lahan yang cocok untuk daerah tersebut. Agar lingkungan pedesaan terjaga dengan baik maka perlu kesadaran dari semua golongan, baik pemerintah, pengembang, maupun penduduk desa tersebut dalam berkontribusi terhadap lingkungan.

JOB DESCRIPTION

Bima Amantana (115060601111020)Bab 2 Pembahasan - Pola Penggunaan lahan, PPT, studi kasusIstiq Dhany N (115060600111014)Bab 1 Pendahuluan, studi kasus, meringkas untuk PPTRizaKurnia Dewi (115060600111049)Bab 2 pembahasan Desa, Lahan, Ciri khas penggunaan lahan pedesaan, Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan, Permasalahan penggunaan lahan pedesaan, studi kasusSindiah Bagus (115060607111015)Bab 4 Kesimpulan dan saran, studi kasus

DAFTAR PUSTAKA Anonim.___. Bab II Studi Pustaka. http://eprints.undip.ac.id/34134/5/1648_chapter_II.pdf (Diakses 8 September 2012)Anonim.____. Bab I Pengertian Desa, Tipologi, Karakteristik Desa. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196303111989011-AYI_BUDI_SANTOSA/masyarkat_pedesaan/I.pdf (Diakses 8 September 2012)Anonim. ___. Karakteristik Masyarakat Pedesaan. http://bimcibedug.bandungbaratkab.go.id/karakteristik-masyarakat-di-pedesaan/ (Diakses 8 September 2012)Baron, Eko. 2009. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 1994 dan 2004. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.Sihaloho, Martua, dkk. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1: 253-270.Studio Perencanaan Desa. 2011. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Malang: Universitas BrawijayaSudjana, Rizki Lestari. 2012. BAB II TINJAUAN TEORI. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_geo_0800988_chapter2.pdf (Diakses 8 September 2012)Supratman.___. Pembangunan Usaha Masyarakat di Dalam kawasan Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa-Desa Sekitar Areal IUPHHK di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Jurnal Hutan dan Masyarakat 2 (3) : 303-312. Suputra, Dewa Putu, dkk. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Studi Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. E-Journal agribisnis dan Agrowisata Vol. 1: 61-68.Waluya, Bagya. 2009. Memahami Geografi SMA/ MA untuk Kelas X, Semester 1 dan 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.Hidayat, Ar Rohman, dkk. 2011. Pengaruh Keberadaan Kampung Inggris terhadap Guna Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Tulung Rejo dan Desa Pelem, Kabupaten Kediri. Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 3 Nomor 1.