laporan
TRANSCRIPT
BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN KEDOKTERAN KELUARGA
MODUL 1
MASALAH KESEHATAN KOMUNITAS
KELOMPOK 11
ANGGOTA :
Henry Liemer Wijaya C11109006
Alvin A. Jiwono C11109115
Dian Utami C11109314
Fatimah Yuni Kartika C11109252
Astari Pratiwi N C11109270
Rizky Amalia Ramadhani C11109290
Ilham Djamaluddin C11109308
Hj. Harfana Alwi C11109328
Raissa Safitry C11109346
Kasmaliana C11109365
Misbah C11109384
Fadlia. N C11109406
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Keadaan gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan
dan usia harapan hidup masyarakat. Kekurangan gizi menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan,
kreativitas, serta produktivitas penduduk (Depkes 2000). Masalah gizi kurang, terutama
Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemi Gizi Besi (AGB), dan
Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) merupakan masalah serius di Indonesia
saat ini. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 23,5
juta anak (19,2%) mengalami gizi kurang, dan 1,5 juta anak mengalami gizi buruk
(8,3%) di Indonesia.
Terdapat tiga faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah
gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya
beli keluarga. Kedua, pola asuh gizi keluarga yaitu kemampuan keluarga untuk
memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya menyusui secara eksklusif dan
pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan
berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan
kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP ASI,
imunisasi, dan sebagainya (Anonim 2007)
Masalah gizi kurang umumnya banyak diderita oleh kelompok balita usia 1-5
tahun karena pada masa tersebut mereka balita belum mampu memilih dan
mengkonsumsi makanan sesuai kebutuhan tubuh (Soekirman 2001). Balita gizi kurang,
khususnya gizi buruk rentan terhadap infeksi, pengurusan otot, pembengkakan hati, dan
berbagai gangguan lain seperti peradangan kulit, infeksi, serta kelainan bentuk dan
2
fungsi organ akibat pengecilan organ. Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak
organ dan sistemnya karena sering disertai dengan defisiensi asupan gizi mikro dan
makro yang sangat diperlukan bagi tubuh. Kondisi kekurangan gizi yang tidak ditangani
lebih lanjut akan berdampak buruk terhadap perkembangan maupun pertumbuhan balita
tersebut.
Mengingat dampak jangka panjang yang akan terjadi pada balita gizi buruk,
maka perhatian khusus perlu diberikan untuk menghindari terjadinya loss generation.
Peran Posyandu dan Puskesmas sebagai garda terdepan dalam perawatan dan pemulihan
sangat diperlukan. Sayangnya, sumber daya Posyandu dan Puskesmas seringkali kurang
memadai sehingga pemulihan balita gizi buruk menjadi sulit dilakukan.
Berbagai langkah yang dilakukan oleh pihak Puskesmas setempat dalam
membantu pemulihan balita gizi buruk selama ini belum menunjukkan hasil yang
signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: bantuan hanya sebatas
bantuan fisik berupa susu dan makanan tambahan tanpa memperhatikan aspek
pendidikan gizi ibu balita gizi buruk, ketidakberlanjutan program pemulihan gizi buruk
seperti pengadaan pos gizi karena keterbatasan dana, dan kurangnya tenaga medis dan
non-medis di Puskesmas setempat untuk melakukan home care ke rumah balita.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu peningkatan kesadaran
dan pengetahuan gizi ibu adalah melalui kegiatan konseling gizi. Konseling gizi adalah
suatu proses komunikasi dua arah antara konselor dan klien untuk membantu klien
mengenali dan mengatasi masalah gizi. Dalam hal ini, klien adalah ibu dari balita gizi
buruk yang terdapat di kelurahan Pengasinan sedangkan konselor adalah mahasiswa
jurusan Ilmu Gizi dan Ilmu Keluarga dan Konsumen. Melalui kegiatan konseling
diharapkan ibu dapat menyadari permasalahan gizi kurang pada balita sehingga
penyampaian materi konseling lebih mudah disampaikan. Luaran yang diharapkan
adalah peningkatan pengetahuan gizi ibu dan peningkatan berat badan balita gizi buruk.
Mengingat banyaknya dampak merugikan yang diakibatkan oleh gzi kurang,
maka diperlukan suatu Plan of Action. Akan tetapi, untuk mengatasi kasus kurang gizi
3
memerlukan peranan dari keluarga, praktisi kesehatan, maupun pemerintah. Oleh sebab
itu, dalam penyusunan laporan invesitgasi lapangan ini, kami bernaksud memberikan
pemecahan masalah-masalah dalam mengatasi masalah gizi kurang khususnya di
wilayah cakupan PKM Batua, Makassar.
1. 2 Tujuan
• Tujuan Umum
• Meningkatkan pelayanan kesehatan bagi balita di PKM Batua
• Tujuan Khusus
• Mencari data umum dan khusus tentang PKM Batua
• Mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah dalam manajemen PKM
Batua
• Menganalisis dan mengkonfirmasi penyebab masalah dalam manajemen
PKM Batua
• Menentukan urutan penyebab masalah dan memprioritaskan penyebab
masalah dalam manajemen PKM Batua
• Mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat perencanaan
kegiatan (Plain of Action / PoA) dari penyebab masalah dalam
manajemen PKM Batua
1. 3 Manfaat
• Bagi Puskesmas
• Meningkatkan upaya pelayanan kunjungan balita dalam upaya
pencegahan dan penanganan balita gizi kurang di wilayah kerja PKM
Batua
• Bagi Mahasiswa
• Memperoleh pengalaman sehingga dapat menjelaskan konsep public
health dan menejemen puskesmas dengan cara membuat laporan modul
satu di Puskesmas
• Bagi Masyarakat
4
• Memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik terutama pada
pelayanan kesehatan balita
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Masalah Gizi Pada Anak Balita
Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Akan
tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini
disebabkan pada masa ini anak cenderung susah untuk makan dan hanya suka pada
jajanan yang kandungan zat gizinya tidak baik (Hardinsyah, 1992).
Pada masa balita juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sehingga anak
mudah sakit dan terjadi kekurangan gizi. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita
ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya.
Perkembangan modal serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.
Sehingga setiap penyimpangan sekecil apapun apabila tidak ditangani dengan baik akan
mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari (Soetjiningsih, 1995).
Penilaian status gizi golongan rawan dapat memberikan informasi penting tetang
keadaan gizi suatu masyarakat pada saat sekarang maupun masa lampau. Gizi kurang
pada anak dapat membuat anak menjadi kurus, pertumbuhan terhambat. Hal ini terjadi
karena kurang protein (zat pembangun) dan kurang tenaga yang diperoleh dari makanan
anak. Tenaga anak diperlukan dalam membangun badannya yang tumbuh secara pesat.
(Roedjito D. 1989).
Menurut Roedjito D (1989), alasan mengapa mengatasi dan mencegah gizi
kurang pada anak merupakan masalah besar yang perlu diperhatikan adalah gizi kurang
pada anak mempengaruhi pertumbuhan otak anak yang dapat menjadi hambatan dalam
proses belajar. Anak yang terkena kwasiokor kelihatan gemuk tapi kurang sehat,
mukanya gemuk seperti bulan, kaki bengkak karena odema, perut buncit tapi bahu dan
lengan atas kurus. Kulit mudah terkelupas, rambut pucat anak terlihat muram.
Sedangkan marasmus yang berarti kelaparan adalah dimana anak tidak mendapatkan
makanan yang cukup dari jenis pangan manapun, baik protein maupun zat pemberi
6
tenaga. Anak yang sangat kurus itu sering hanya separuhnya saja dari berat sehat sesuai
umur. Anak memiliki wajah seperti orang tua, kepala tampak besar karena badan kurus
dan kecil, tangan dan kakinya kurus dan tulang rusuk anak telrihat nyata.
2.2. Penyebab Gizi Kurang pada Balita
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah
satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut
ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh makanan dan penyakit
dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya
karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang cukup
mendapatkan makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi
kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya
tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2.3. Status Sosial Ekonomi Kelurga
Keadaan sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan
jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi
keluarga tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa, 2002):
a. Keadaan penduduk suatu masyarakat
b. Keadaan keluarga.
c. Tingkat pendidikan orang tua
d. Keadaan rumah
Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi :
a. Pekerjaan orang tua.
b. Pendapatan keluarga.
c. Pengeluaran keluarga.
d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim
7
Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif,
khususnya pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak) karena
masyarakat enggan untuk membicarakannya kepada orang yang tidak dikenal, termasuk
ketakutan akan pajak dan perampokan. Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial
ekonomi karena tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi yaitu dengan
meningkatkan pendidikan kemungkinan akan dapat meningkatkan pendapatan sehingga
meningkatkan daya beli makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga (Achadi,
2007).
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfatan sumber daya masyarakat
mempengaruhi faktor sosial ekonomi keluarga, termasuk kurangnya pemberdayaan
wanita dan tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam
mengasuh anaknya juga termasuk faktor sosial ekonomi yang akan mempengaruhi status
gizi keluarga (Arifin. T, 2005).
2.3.1. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Ketahanan
pangan yang tidak memadai pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang. Oleh
karena itu, setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya. Akan tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh
Masdiarti (2000) di Kecamatan Hamparan Perak, yang meneliti pola pengasuhan dan
status gizi anak balita ditinjau dan krakteristik pekerjaan ibu, memperlihatkan hasil
bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan pekerja
(43,24%) dibandingkan dengan kelompok ibu pekerja (40,54%) dan ibu yang tidak
bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak dalam mengasuh anaknya.
2.3.2. Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua
maka pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah
satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi
8
anak. Hal ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah.
Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi
pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis
dan pendidikan formal terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh L.
Green, Rooger yang menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan ibu, maka baik
pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).
2.3.3. Status Pekerjaan Ibu
Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup
bagi anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda
yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut
tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak
(Singarimbun, 1988). Keadaan yang demikian dapat memengaruhi keadaan gizi
keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai
cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan
kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg. 1986).
2.4. Pola Asuh Ibu
Pola pengasuh merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dan
membesarkan anak dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, agama, kebiasaan dan
kepercayaan, serta kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuh
anak) (Nadesul, 1995). Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitnnya dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5
tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan
gizi dalam jumlah yang memadai. Pada masa ini juga, anak-anak masih sangat
tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuhan
kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk
perkembangan anak (Santoso, 2005),
Seorang ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anaknya. Pola
pengasuhan pada tiap ibu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor yang mendukungnya,
9
antara lain : latar bekang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak dan sebagiannya.
Banyak penyelidik berpendapat bahwa status pendidikan ibu sangat berpengaruh
terhadap kualitas pengasuhannya. Pendidikan ibu yang rendah masih sering ditemui,
semua hal tersebut sering menyebabkan penyimpangan terhadap keadaan tumbuh
kembang dan status gizi anak terutama pada anak usia balita (Sudiyanto dan Sekartini,
2005).
2.5. Penilaian Status Gizi Anak Balita
2.5.1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur. Penggunaan
antropometri sebagai alat ukur status gizi semakin mendapat perhatian karena dapat
digunakan secara luas dalam program-program perbaikan gizi di masyarkat. Dalam
menilai status gizi anak balita dapat digunakan indikator antropmetri. Indeks
antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan
menurut umur (BB/U) tinggi badan menurut umur (TB/U) dan beran badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan temasuk air,
lemak, tulang dan otot. Indeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier
(Supariasa, 2002).
2.5.1.1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa
tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena
terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil. Dalam
keadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan
gizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur. Sebaliknya
dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapat
berkembang cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka
10
indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status
gizi. Mengingat karakteristik berat badan, maka indeks BB/U menggmbarkan status gizi
seseroang saat ini.
1. Kelebihan Indeks BB/U a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh
masyarakat umum
b. Baik untuk status gizi akut atau kronis
c. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
d. Dapat mendeteksi kegemukan.
2. Kelemahan Indeks BB/U a. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan
tradisional, umur sering sulit di taksir secara tepat karena pencatatan umur
yang belum baik.
b. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak di bawah usia lima
tahun.
c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan.
2.5.1.2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan relatif sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam
waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak
dalam waktu yang relatif lama. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, 2002
menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa
lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.
1. Keuntungan IndeksTB/U a. Baik untuk menilai status gizi masa lampau
b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri murah dan mudah dibawa
2. Kelemahan Indeks TB/U a. Tinggi badan tidak cepat naik
b. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga
diperlukan dua orang untuk melakukannya
11
c. Ketepatan umur sulit didapati
2.5.1.3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan
Dalam keadana normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang).
1. Keuntungan Indeks BB/TB
a. Tidak memerlukan data umur
b. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
2. Kelemahan Indeks BB/TB
a. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi
badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan.
b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggi
badan kelompok balita
c. Membutuhkan dua orang dalam melakukan pengukuran
d. Sering terjadi kesalahan dalam pembacan hasil pengukuran (Supariasa, 2002).
Antropometri adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai metode
penilaian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi yaitu kurang
gizi protein dan obesitas pada semua kelompok umur. Penilaian status gizi dengan
menggunakan antropometri memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut :
Kelebihan antropometri :
a. Relatif murah
b. Cepat, sehingga dapat dilakukan pada populasi yang besar
c. Objektif
d. Dapat dirangking apakah ringan, sedang atau berat
e. Tidak menimbulkan rasa sakit pada responden
Kelemahan Antropometri :
12
a. Membutuhkan data referensi yang relevan
b. Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi) dan
kesalahan pada peneliti (kesalahan pengukuran, pembacaan dan pencatatan)
c. Hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi
dan protein, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro.
Buku acuan yang digunakan dalam penentuan status gizi ada dua jenis, yaitu lokal dan
internasional. Baku acuan internasional adalah Tanner, Harvard, NCHS. Indonesia
menggunakan buku acuan international WHO-NCHS (Achadi, 2007).
13
BAB III
INVESTIGASI LAPANGAN
3.1 Profil Puskesmas
Puskesmas Batua terletak sekitar 10 km sebelah kanan kota Makassar, tepatnya
di Kelurahan Batua Kecamatan Manggala yang dapat dicapai dengan keadaan umum.
Wilayah kerja puskesmas meliputi dua kecamatan dan empat kelurahan dengan luas
kerja 1017,01 km.
3.1.1 Batas-batas wilayah
Wilayah kerja puskesmas yang meliputi kecamatan manggala dan panakukkang.
Kecamatan manggala meliputi kelurahan batua dan kelurahan borong, sedangkan
kecamatan panakukkang meliputi kelurahan paropo dan tello baru, dengan jumlah RW
dan RT sebagai berikut :
1. Kel. Batua terdapat 11 RW dan 53 RT
2. Kel. Borong terdapat 11 RW dan 58 RT
3. Kel. Paropo terdapat 10 RW dan 49 RT
4. Kel. Tello baru terdapat 11 RW dan 48 RT
3.1.2 Visi Puskesmas Batua
Menjadi puskesmas dengan pelayanan terbaik di Kota Makassar
3.1.3 Misi Puskesmas Batua
1. Meningkatkan sumber daya manusia dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang berkelanjutan secara professional.
2. Mengembangkan jenis layanan kesehatan
14
3. Meningkatkan system informasi dan manajemen Puskesmas
4. Melengkapi sarana dan prasarana
5. Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat
6. Mengembangkan kemitraan
3.1.4 Motto Puskesmas Batua “SEGAR”
Senyum merupakan modal dalam memberi pelayanan
Efektif dengan pelayanan tepat guna, berdaya guna, berhasil guna
Gerakan adalah upaya cepat tindakan dalam pemberian dalam layanan
kesehatan masyarakat
Amal merupakan bentuk kerelaan hati petugas dalam member
pelayanan
Ramah adalah sikap yang tertanam dalam jiwa petugas kesehata
3.1.5 Program kerja Puskesmas Batua
Program Wajib Pokok
- Promosi kesehatan
- Kesehatan lingkungan
- KIA dan KB
- Upaya per. Gizi Masyarakat
- Penc. Dan pemberantasan penyakit menular
Program Kesehatan pengembangan
- Upaya kes. Sekolah
- Perawatan kes. Masyarakat
15
- Upaya kes. Kerja
- Upaya kes. Gizi dan mulut
- Upaya kes.jiwa/mental
- Upaya kes.tradisional
Upaya Kesehatan Perorangan
- Rawat jalan
- Rawat inap
3.1.6 Distribusi penduduk berdasarkan umur
No.Umur
(tahun)
KelurahanJumlah %
TelloBaru Paropo Batua Borong
1 ≤ 1 295 1,055 445 276 2,071 3.91
2 1-4 453 1,125 674 813 3,065 5.78
3 5-14 2,853 2,187 2,749 2,892 10,681 20.14
4 15-44 5,199 3,304 8,022 7,832 24,357 45.93
5 45-64 3,170 1,820 2,993 3,703 11,686 22.04
6 ≥ 65 132 983 16 36 1,167 2.20
Total 12,102 10,474 14,899 15,552 53,027 100
Sumber : Kantor Kelurahan
3.1.7 Status Kesehatan
Angka Kesehatan Bayi
Jumlah kelahiran bayi pada tahun 2011 yang tercatat di puskesmas batua sebanyak 703 bayi dan yang meninggal sebanyak 6 bayi.
16
Jadi angka kematian bayi (Infant Mortality Rate)
IMR : 1
703 x 1000
: 1,42
Stiap 1000 kelahiran selalu ada 1 bayi yang meninggal
Angka Kelahiran
Jumlah kelahiran ndi wilayah kerja Puskesmas Batua pada tahun 2011 ssebanyak 703 jiwa, sehingga angka kelahiran kasarnya adalah:
CBR : 7035112
x 1000
: 13,75 atau 14 jiwa
Dari 1000 penduduk yang ada terdapat 14 orang bayi yang lahir.
Angka Kesakitan
Jumlah kasusus yang tercatat dari hasil pencatatan pada pasien yang berkunjung di Puskesmas bartua pada tahun 2011 sangat bervariasi. Dari sekian banyak kasus yang di temukan di Puskesmas Batua pada tahun 2011, akan diuraikan 10 penyakit terbesar dalam tabel di bawah ini:
NO PENYAKIT JUMLAH1 Ispa 110712 Peny. Kulit infeksi 68363 Peny. Saluran pencernaan 60774 Peny. Gigi dan Mulut 56255 Peny. Infeksi telinga 33486 Peny. Tulang Radang sendi 26477 Peny. Susunan Saraf 22598 Luka akibat kecelakaan 17549 Peny. Sal kemih 143210 Peny. Mata dan Adneksia 987
Jumlah 42036
Sember : lap SST
17
Dari 10 penyakit terbesar di puskesmas Batua penyakit Ispa menduduki urutan pertama dengan jumlah kasusu terbesar 19.985 (67.34%) dengan prevalensi rate sebesar 377/ 1000 dan terendah adalah penyakit Thypoid (0,67%)dengan prevalensi rate sebesar 4/1000.
3.1.8 Ketenagaan
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Batua sebanyak 47 orang masing-
masing akan dirincikan sebagai berikut:
No Jenis Tenaga Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Master Kesehatan
Sarjana Kesehatan Masyarakat
Sarjana Keperawatan
Dokter Umum
Dokter gigi
Sarjana Apoteker
D3 Keperawatan
D4 Keperawatan
SPRG
D3 Gizi
D3 Kebinanan
D4 Kebidanan
SPK/Bidan
S1 Sospol
S1 Ekonomi
SMAK
Analist
4
4
8
3
2
2
4
1
2
4
3
2
2
1
2
1
2
Total 47
Sumber: PKMBatua
18
Tenaga yang ada di PKM Batua baik tenaga kesehatan dan non kesehatan berjumlah 47
orang dimana yang paling banyak adalah mereka yang berlatarbelakang pendidikan
perawat.
3.1.9 Sarana Pelayanan Kesehatan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang terdapat di Puskesmas Batua tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
Tabel distribusi sarana pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Batua
pada tahun 2011
No Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
Pustu
Polindes
Posyandu
Rumah Bersalin
Praktek Dokter/Bidan
Apotek
Balai Pengobatan
1
0
36
4
26
23
5
Total 95
Sumber: Lap Triwulan Prog. Penyehatan Lingkungan
Di wilayah kerja PKM Batua, pada tahaun 2011 terdapat 1 Pustu dan 36
Posyandu. Sedangkan sarana kesehatan lainnya yang tercatat antara lain yaitu Rumah
Bersalin sebanyak 4 buah, praktek dokter dan bidan sebanyak 26 buah, apotek sebanyak
23 buah, dan balai pengobatan lain sebanyak 5 buah.
19
3. 2 Hasil Wawancara
20
IrdaUmur 3 tahunBB 8,5 KgOrang tua bekerja sebagai buruh bangunanBB dan TB lahir normalMenderita pneumoniTidak mendapatkan ASI, minum susu kental manis pada waktu bayiRutin mengunjungi posyandu setiap bulan
3.3 Identifikasi dan Prioritas Masalah
3.3.1 Besar Masalah
No Masalah Sasaran Cakupan Selisih
Kesehatan % % %
1Cakupan pelayanan anak balita
90 80,25 9,75
2 Cakupan balita gizi 100 0
21
NurulUmur 2 tahun 4 bulanBB 8,5 KgOrang tua bekerja sebagai buruh bangunanBB dan TB lahir normaljarang menyusu karena ASI tidak keluarSekarang minum susu formulaPernah memperoleh bantuan bahan makanan (kacang hijau, beras, telur) dan susu formula dari puskesmasBaru rutin mengunjungi posyandu setelah anak berumur > 1 tahun
IrwanaUmur 1 tahunBB 4,7 KgOrang tua bekerja sebagai buruh bangunanBB dan TB lahir diatas normalSering tidur dan jarang menyusuTidak mendapatkan ASI, minum susu dari pembagian posyanduDari posyandu dirujukuntuk konsultasi gizi di puskesmasTelah mendapatkan konseling gizi dari puskesmas, BB anak berangsur naikRutin mengunjungi posyandu setiap bulan
buruk mendapat perawatan
Penilaian besar masalah dengan menggunakan interval menggunakan rumus:
Kelas N = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 2
= 1 + 0,99
= 1,99
= 2
Interval = ( nilai tertinggi – nilai terendah ) / Jumlah Kelas
= (9,75 - 0) / 2
= 9,75 / 2 = 4,875
3.3.2 Kegawatan Masalah
3.3.3 Kemudahan Penanggulangan
22
3.3.4 PEARL Faktor
3.3.5 Prioritas Masalah
NPD = (A+B)xC
NPT= (A+B)xCxD
Berdasarkan NPD dan NPT tersebut diatas, maka ditetapkan bahwa prioritas Masalah
yang kami angkat adalah cakupan pelayanan anak balita, dimana menurut kelompok
kami bahwa cakupan pelayanan balita belum maksimal.
3.4 Identifikasi Penyebab Masalah dengan Analisis Pendekatan Sistem
KOMPONEN KEMUNGKINAN PENYEBAB
INPUT Man Tidak ada masalah
23
Money Tidak ada masalah
MaterialKurangnya pamflet / poster yang mempromosikan tentang pencegahan gizi kurang pada balita
Metode Tidak ada masalah
Marketing Tidak ada masalah
LINGKUNGAN
1. Lingkungan perumahan yang padat dan agak kumuh
2. Faktor ekonomi dari masyarakat yang tergolong rendah
3. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pola makan yang benar bagi bayi dan balita
PROSES P1 Tidak ada masalah.
P2Kurangnya distribusi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A, tablet Fe dan mineral mix
P3 Tidak ada masalah
Berdasarkan table tersebut diatas, maka didapatkan penyebab masalah dari cakupan
yang belum maksimal, yaitu :
24
A. Kurangnya pamflet / poster yang mempromosikan tentang pencegahan gizi
kurang pada balita
B. Lingkungan perumahan yang padat dan agak kumuh
C. Faktor ekonomi dari masyarakat yang tergolong rendah
D. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pola makan yang
benar bagi bayi dan balita
E. Kurangnya distribusi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A,
tablet Fe dan mineral mix
Untuk menganalisis urutan penyebab masalah, maka dilakukan tes Paired
Comparison, sebagai berikut :
Berikut ini adalah tabel kumulatif guna mengetahui keberhasilan dari upaya untuk
mengatasi penyebab masalah.
25
Berdasarkan nilai kumulatif untuk menyelesaikan suatu masalah yang berupa cakupan
pelayanan anak balita yang belum maksimal, cukup menyelesaikan 3 penyebab karena
penyebab tersebut sudah mencapai 80%, diantaranya adalah
1. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pola makan yang
benar bagi bayi dan balita
2. Kurangnya distribusi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A,
tablet Fe dan mineral mix
3. Faktor ekonomi dari masyarakat yang tergolong rendah
Rencana kegiatan :
A. Pemberian himbauan di seluruh unit pelayanan puskesmas pada semua pasien
dewasa yang berobat apabila memiliki keluarga/ orang terdekat yang memiliki
anak balita, agar mengingatkan orang tuanya untuk membawa anaknya
berkunjung ke posyandu/puskesmas.
B. Penyuluhan sistematis di puskesmas dan posyandu
C. Peningkatan sosialisasi tentang pemeliharaan gizi pada balita
D. Pengoptimalan distribusi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A,
tablet Fe dan mineral mix
E. Pemberian makanan tambahan bagi balita dari keluarga kurang mampu
Untuk mengindentifikasi tingkat kemutlakan dan tingkat keinginan terhadap rencana
kegiatan , maka dilakukan penghitungan sebagai berikut :
Kriteria Mutlak
26
Kriteria Keinginan
3.5 Plan Of Action
27
28
29
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil investigasi lapangan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
PKM Batua merupakan salah satu puskesmas di Kota Makassar yang memiliki program
untuk melayani balita, terutama dalam masalah pertumbuhan dan perkembangan bayi dan
balita. Status gizi balita menjadi salah satu indicator penting dalam pertimbangan
program-program yang diterapkan PKM ini. Buktinya, SPM pelayanan terhadap balita
dengan status gizi buruk dapat dicapai 100%. Hanya saja, pelayanan terhadap anak balita
belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor seperti kurangnya sosialisasi
kepada masyarakat setempat mengenai gizi balita, kurang terdistribusinya bantuan
makanan serta masalah ekonomi masyarakat setempat. Oleh sebab itu,telah direncsnakn
sejumlah PoA guna mengatasi masalah tersebut dengan satu tujuan, yakni memperbaiki
status gizi seluruh balita di cakupan wilayah kerja PKM Batua, antara lain :
A. Pemberian himbauan di seluruh unit pelayanan puskesmas pada semua pasien
dewasa yang berobat apabila memiliki keluarga/ orang terdekat yang memiliki
anak balita, agar mengingatkan orang tuanya untuk membawa anaknya
berkunjung ke posyandu/puskesmas.
B. Penyuluhan sistematis di puskesmas dan posyandu
C. Peningkatan sosialisasi tentang pemeliharaan gizi pada balita
D. Pengoptimalan distribusi kebutuhan obat program gizi terutama kapsul vitamin A,
tablet Fe dan mineral mix
E. Pemberian makanan tambahan bagi balita dari keluarga kurang mampu
4.2 Saran
Adapun saran yang tim penulis ingin berikan, yaitu :
PoA yang dibuat kiranya dapat direalisasikan dengan baik.
30