lap toksik 1 - senyawa kimia lokal.docx
TRANSCRIPT
Tanggal praktikum : 19 September 2013
Dosen Pembimbing : Siti Sa’diah, Apt, M.Si
Kelompok Praktikum : 1 / Sore RP. Fifarm
SENYAWA KIMIA YANG BEKERJA LOKAL (SETEMPAT)
Anggota Kelompok :
1. Andra Adi Esnawan (B04090010)
2. Anizza Dyah K.M (B04100069)
3. Arlita Sariningrum (B04100070)
4. Fahmi Khairi (B04100071)
5. Fitri Aprian Harjo (B04100072)
6. Irene Soteriani Uren (B04100073)
BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Perbedaan antara obat dan racun terletak pada dosisnya. Keduanya sama-
sama senyawa kimia yang jika diberikan pada tubuh akan memberikan efek
berbeda sesuai dosis yang diberikan. Berdampak menyembuhkan jika dosisnya
tepat tapi mengakibatkan keracunan jika dosisnya berlebih. Racun merupakan zat
kimia yang masuk dengan cara apapun dan dalam jumlah kecil yang dapat
menimbulkan gangguan atau abnormalitas fisiokimia.
Toksikan ada yang bekerja secara lokal dan general (umum). Senyawa
kimia yang bekerja secara lokal dibagi menjadi beberapa derajat kerusakan respon
lokal. Respon yang terjadi timbul di tempat yang direaksikan tanpa proses
absorbsi.
Tubuh manusia dan hewan hampir semuanya ditutupi oleh kulit, akibatnya
kulit dapat terpapar berbagai jenis zat kimia misalnya kosmetik, produk rumah
tangga, obat topikal dan pencemaran industri, terutama di tempat kerja tertentu.
Praktikum kali ini menggunakan senyawa kimia yang bekerja secara lokal
(setempat), yaitu senyawa kimia yang bersifat irritansia dan protektiva.
Irritansia merupakan kelompok senyawa yang bekerja tidak selektif pada
sel dan jaringan tubuh dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk
sementara atau permanen. Reaksi yang bersifat ringan hanya akan merangsang
fungsi sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak fungsi sel dan
dapat menimbulkan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan kerja senyawa
kimia tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi (perangsangan
setempat yang lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel), pustulasi
(terbentuk pus), dan korosi (sel-sel jaringan rusak).
Senyawa protektiva adalah senyawa yang digunakan untuk melindungi
kulit atau mukosa terhadap daya kerja irritansia, baik yang kimiawi maupun yang
berupa sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja
sistemik dengan melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa
daya kerja protektiva adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan
koloid), emoliensia (senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia
(senyawa kimia yang digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan
adsorbensia (senyawa kimia yang digunakan pada kulit dan membran mukosa,
ulcera, dan luka-luka).
II. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah praktikan mengetahui reaksi yang
ditimbulkan oleh zat irritansia dan protektiva dan mengetahui contoh dari
senyawa tersebut.
III. Metode Kerja
A. Iritansia
1. Rubefasiensia
a. Sepotong menthol digosokkan pada kulit. Kemudian dicatat hasilnya
dan diberi keterangan.
b. Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan diletakkan di atas kulit
lengan selama 2-3 menit atau sampai terasa nyeri. Sebagai
perbandingan diteteskan satu tetes kloroform di atas kulit lengan yang
lain. Kemudian hasil dicatat dan diberi keterangan
c. Empat jari tangan dicelupkan masing-masing ke dalam larutan fenol
5 %, dicatat hasilnya dan diberi keterangan 1) air, 2) alkohol 3)
gliserin 4) minyak olivarium
2. Kaustika
a. Anaesthesi dilakukan pada kelinci/marmot/tikus, setelah rambut-
rambut bagian abdomen dicukur. Pada kiri dan kanan dari garis
tengah abdomen diteteteskan bahan-bahan di bawah ini :
- 1 tetes asam sulfat pekat
- 1 tetes asam khlorida pekat
- 1 tetes asam nitrat pekat
- 1 tetes fenol likuafatkum
- 1 tetes NaOH 75 %
- 1 tetes kloroform
b. Setelah dibiarkan selama 30 menit, hasilnya kemudian dicatat dan
dilakukan percobaan yang sama pada mukosa usus setelah dilakukan
pembedahan longitudinal pada abdomen kelinci, marmot atau tikus
tersebut.
B. Protektiva
1. Demulensia
Hasilnya dicatat dan diberikan keterangan. Metode kerja :
a. Rangsangan diberikan pada salah satu kaki kodok dengan :
- H2SO4 1/50 N
- H2SO4 1/10 N
b. Metode selanjutnya dikerjakan seperti metode a. Dengan larutan-
larutan sebagai berikut :
- H2SO4 1/50 N ditambah gom Arab 10%
- H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10%
2. Astringensia
a. Satu tetes larutan tannin 5 % diteteskan pada permukaan ujung lidah.
Setelah dua menit berkumur dengan air, dan ujung lidah diamati
dengan meminta peserta lain untuk melakukan pengamatan pada
ujung lidah, selain itu dapat juga diamati dengan cermin.
3. Adsorbensia
a. Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada
katak secara subkutan.
b. Sebanyak 1 ml larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/ml) disuntikkan pada
katak secara subkutan yang sebelumnya telah dikocok dengan karbo
adsorbensia
c. Hasil dicatat dan diberikan keterangan.
Tinjauan Pustaka
I. Iritansia
Iritansia merupakan kelompok zat kimia lokal yang menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan tubuh. Zat-zat ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
bereaksi dengan jaringan tubuh. Secara umum, paparannya tidak langsung
mencapai pembuluh darah tetapi bereaksi secara lokal pada tempat terjadinya
paparan. Jaringan tubuh yang umumnya teriritasi akibat paparan zat-zat tersebut
adalah kulit dan mukosa. Kedua jaringan ini mudah ditembus oleh zat iritan, baik
yang bersifat hidrofil maupun lipofil. Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi
atas rubefaksi, vesikasi, pustulasi dan korosi.
Rubefaksi
Rubefaksi merupakan kelompok senyawa kimia iritansia yang
mempunyai daya kerja lemah. Gejala utama yang ditimbulkan oleh
senyawa kimia ini adalah hiperemia arteriol yang dilanjutkan dengan
dermatitis eritrematosa. Contoh daya kerja dari rubafasiensia terlihat pada
paparan menthol, kloroform ataupun fenol pada kulit. Menthol merupakan
seyawa yang bisa menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Rasa nyeri
dan sakit akan timbul jika menthol digosokan secara terus-menerus pada
kulit. Kloroform akan menimbulkan iritasi ringan jika terpapar dalam
waktu yang lama di kulit. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dari
senyawa yang temasuk turunan asam formiat ini untuk melarutkan lemak.
Sedangkan daya kerja iritan dari fenol disebabkan oleh sifat keratolisis dan
vasokonstrifnya. Meskipun demikian, efek iritasinya dapat berbeda-beda
tergantung pada jenis larutannya. Fenol akan menjadi iritan jika
dicampurkan dengan air ataupun alkohol. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan fenol sebagai pelarut, terutama pada senyawa-senyawa polar.
Selain itu, terdapat juga senyawa-senyawa lain yang bersifat
kausatika. Senyawa-senyawa ini adalah asam kuat dan basa kuat. Contoh
asam kuat adalah asam nitrat, asam sulfat, dan asam klorida. Sedangkan
basa kuat adalah natrium hidroksida. Reaksi asam akan menyebabkan
koagulasi protein dan reaksi basa menyebabkan terjadinya lisis.
Vesikasi
Daya kerja vesikasi menyebabkan terjadinya pembentukan
vesikel/gelembung. Hal ini merupakan akibat akumulasi cairan transudat
yang tinggi sehingga tidak dapat diangkut oleh bulu limfe. Cairan ini
terakumulasi di stratum korneum dan mengundang datangnya leukosit.
Transudat yang awalnya jernih akan berubah menjadi keruh.
Pustulasi
Daya kerja dari pustulasi adalah terbentuknya pus/nanah. Hal ini
disebabkan karena iritasi terjadi hanya pada kelenjar-kelenjar kutaneus.
Korosi
Daya kerja ini melibatkan tiga fase, yaitu: radang dengan hiperemi,
nekrosis dan pencairan kimia. Iritasi yang terjadi disebabkan oleh kerja
iritan pada protoplasma.
II. Protektiva
Kelompok senyawa kimia protektiva mempunyai kempuan untuk melindungi
kulit dan mukosa dari kerusakan. Daya kerja protektiva bersifat demulsensia,
emoliensia, astringensia, dan adsorbensia.
Demulsensia
Daya kerja dari senyawa ini adalah membentuk lapisan untuk
melindungi kulit. Hal ini ditimbulkan oleh efek pencampuran cairan koloid
dengan air. Gom (resin), musilago, dan pati merupakan bahan utama dari
senyawa demulsensia.
Emoliensia
Minyak merupakan senyawa yang termasuk ke dalam kelompok
emoliensia. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk melindungi kulit
dari iritasi.
Astringensia
Daya kerja utama senyawa astringensia adalah kemampuan
presipitasinya. Permeabilitas membran dapat ditekan tanpa menyebabkan
terjadinya kematian sel. Perubahan permeabilitas menyebabkan
menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa astringensia adalah
tanin.
Adsorbensia
Senyawa kimia berdaya adsorbensia mempunyai kemampuan
untuk menyerap zat iritan. Contoh senyawa adsorbensia adalah karbon.
Senyawa ini tidak mengiritasi kulit, melainkan melindungi kulit dengan
cara mengabsorbsi zat iritan. Senyawa ini tidak berbahaya karena tidak
diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui ekskresi.
Hasil dan Pembahasan
I. Hasil
Golongan Irritansia
Tabel I. Hasil Percobaan Rubefasiensia
Senyawa Kimia Warna Bentuk SensasiMenthol Merah Tidak ada
perubahanPanas
Kloroform (ditempel)
Merah Tidak ada perubahan
Nyeri terasa pada 7 – 10 detik setelah ditempelkan
Klorofrom (diteteskan)
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Dingin kemudian panas di detik ke 20
Fenol + air Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Dingin ++
Fenol + alkohol Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Dingin +
Fenol + gliserin Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Panas
Fenol + minyak olivarum
Tidak ada perubahan
Tidak ada perubahan
Tidak terasa apapun
Tabel II. Hasil Percobaan Kaustika
H2SO4
pekatHCl pekat HNO3
pekatFenol 5%
NaOH 75% Kloroform
Pada kulit
Perubahan warna
Merah, berasap, melepuh
Merah, berasap, melepuh
Menguni-ng
- Memerah Menghitam
Pada usus
Perubahan warna
Melepuh, memerah, memutih
Melepuh, terkelupas, memutih
Melepuh, membesar, memutih
- Mengelupas, memerah, dan coklat
Melepuh
Golongan Protektiva
Tabel III. Hasil Percobaan Demulsensia
Bahan Warna Bentuk SensasiH2SO4 1/50 N - - Ada, 5 detikH2SO4 1/10 N Memerah - Ada, 1 detikH2SO4 1/50 N + gom arab
- - Tidak ada
H2SO4 1/10 N + gom arab
- - Ada, 8 detik
Astringensia
Tannin terasa pahit ketika diteteskan pada lidah.Mukosa lidah berubah
menjadi merah muda, dan bagian lidah dan sekitarnya yang terkena tanin
menjadi sepet.
Tabel IV. Hasil Percobaan Adsorbensia
Perlakuan ReaksiStrikhnin nitrat (0.2 mg/ml) Terjadinya kejang pad 2 menit 38 detik
sampai 3 menit 17 detik setelah onsetDengan intensitas 23 kali
Strikhnin nitrat (0.2 mg/ml)+ karbo adsorbensi
Tidak terjadinya gejala kejang sampai 40 menit setelah onset
II. Pembahasan
Rubefasiensia
Rubefasiensia merupakan zat untuk aplikasi topikal yang menyebabkan
iritasi dan kemerahan kulit misalnya dengan menyebabkan pelebaran kapiler dan
peningkatan sirkulasi darah. Zat ini dipercaya meredakan nyeri dalam berbagai
kondisi muskuloskeletal. Pada tabel I dapat dilihat bahwa efek dari senyawa kimia
yang bersifat rubefasiensia akan menyebabkan warna merah pada kulit dan rasa
nyeri atau panas. Kloroform memberikan dua hasil yang berbeda saat ditempelkan
dan diteteskan pada kulit. Rasa nyeri yang dirasakan pada saat klorofrom
ditempelkan lebih hebat dan muncul warna kemerahan, hal ini disebabkan karena
luas permukaan yang lebih besar pada kulit yang ditempelkan dari pada diteteskan
sehingga proses rubefasiensia terjadi lebih cepat.
Pada percobaan yang menggunakan fenol dan berbagai zat yang
dicampurkan, didapatkan bahwa fenol ditambah dengan gliserin menghasilkan
rasa panas yang seharusnya tidak terasa apa-apa. Pada fenol dan alkohol hanya
terasa dingin yang seharusnya terjadi pucat, keriput, dan dapat pula terjadi
lepuhan di jari, namun hal itu tidak terjadi. Hal ini dapat disebabkan karena
kepekaan praktikan yang kurang dan kesalahan dalam mengamati.
Kaustika
Percobaan dimulai dengan mengukur berat badan tikus untuk menentukan
dosis urethan. Urethan yang digunakan merupakan urethan dengan konsentrasi
25% dan dosis yang digunakan adalah 1,25 g/kg berat badan. Berat tikus putih
yang digunakan dalam percobaan adalah 139 g atau 0,139 kg, sehingga diperlukan
0,695 mL urethan untuk membius tikus putih. Urethan merupakan anestetikum
yang bersifat irreversible sehingga tikus putih akan mengalami kematian secara
perlahan-lahan setelah proses masuknya obat tersebut. Tikus putih akan
mengalami penurunan kesadaran dan setelah kesadarannya telah hilang, dilakukan
pencukuran rambut pada abdomen tikus bagian ventral. Tujuan dari pencukuran
rambut adalah menyiapkan lokasi penetesan kaustika dan mempermudah
pengamatan terhadap kulit tikus.
Hasil praktikum pemberian senyawa kimia pekat terhadap organ kulit dan
usus tikus diperoleh hasil yang beragam. Adapun bahan-bahan kimia pekat yang
digunakan antara lain asam sulfat pekat (H2SO4), asam klorida pekat (HCl), asam
nitrat pekat (HNO3), fenol liquid, NaOH 75% dan kloroform. Bahan-bahan kimia
tersebut diuji pada kulit daerah abdomen dan mukosa usus tikus. Bahan yang
pertama diuji pada kulit bagian abdomen tikus adalah H2SO4 pekat. Asam sulfat
(H2SO4)memiliki daya ionisasi asam lebih kuat sehingga asam sulfat lebih mudah
dan lebih banyak beraksi dengan zat-zat di dalam kulit (Gumilar et al. 2010).
Pernyataan tersebut terbukti dengan bekas yang ditimbulkan pada kulit tikus
berupa kulit memerah serta melepuh. Begitu pula halnya yang terjadi pada
mukosa usus tikus yang melepuh, memerah kemudian memutih karena sel-sel
usus mengalami nekrosa.
Selanjutnya, bahan yang diuji adalah asam klorida (HCl) pekat. Tidak jauh
berbeda dengan asam sulfat, efek yang ditunjukkan adalah kulit yang memerah
dan melepuh serta lebih parah pada mukosa usus yaitu mukosa usus melepuh,
terkelupas dan memutih akibat nekrosa sel-sel usus. Lain halnya dengan HNO3
pekat yang justru meninggalkan noda menguning saat diteteskan pada permukaan
kulit. Namun saat diteteskan pada mukosa usus HNO3 menyebabkan mukosa usus
melepuh, membengkak pada bagian yang ditetesi dan terjadi nekrosa yang
ditandai dengan warna mukosa berubah putih.
Kulit yang diteteskan fenol likuafaktum menunjukkan keadaan yang tidak
berbeda jauh dengan kulit normal. Pengamatan yang dilakukan dari awal
penetesan hingga sesaat sebelum pembedahan menunjukkan bahwa jenis kaustika
ini menimbulkan respon yang lemah pada kulit tikus. Fenol merupakan turunan
dari alkohol yang memiliki toksisitas rendah pada jaringan, namun bila terhirup
akan menimbulkan efek yang fatal pada susunan saraf pusat (Mutschler 1991).
Mukosa usus yang diteteskan fenol juga tidak menunjukkan gejala toksisitas,
sehingga dapat dikatakan pada percobaan ini fenol memiliki tingkat toksisitas
terendah dari kaustika lainnya.
Keracunan basa lebih berbahaya dari keracunan asam karena
menyebabkan nekrosa akut dengan persembuhan yang sulit. melalui jaringan
nekrosa, basa dapat masuk ke dalam lapisan kulit lebih jauh (Mutschler 1991).
Hal ini sesuai dengan hasil percobaan yang menunjukkan perubahan warna
menjadi kemerahan dan adanya lepuhan pada kulit yang diteteskan dengan NaOH
75%. menururt Mutschler (1991), kulit yang diteteskan basa kuat akan dengan
mudah mengalami luka korosif lokal. Luka ini dapat ditangani dengan pembilasan
dengan air selama 15-20 menit. Jaringan mukosa usus yang ditetesi oleh NaOH
75% langsung mengalami pengelupasan, pembuluh darah berdilatasi
menyebabkan luka kemerahan dan pendarahan. Bila hal ini benar-benar terjadi
pada pasien yang mengalamai keracunan basa akibat tertelan, maka terapi yang
dianjurkan adalah mengatasi rasa nyeri serta profilaksis terhadap infeksi lokal
mukosa lambung atau usus.
Kloroform masuk kepada golongan hidrokarbon alifatik terhalogenasi
yang bersifat anestetik dan memiliki toksisitas yang tinggi pada hati dan ginjal.
Hal ini disebabkan oleh tingginya reaksi radikal akibat asam lemak tak jenuh
(Mutschler 1991). Kloroform yang diteteskan pada kulit menunjukkan reaksi kulit
yang memerah dan pada jaringan usus menyebabkan mukosa menjadi meleepuh
kemudian berubah warna menjadi nekrosa.
Gambar 1. Hasil penetesan kaustika pada kulit tikus putih
urutan atas ke bawah: kiri 1,2,3 dan kanan 6,5,4. penomoran berdasarkan susunan
larutan penetesan dari metode kerja.
Gambar 2. Hasil penetesan kaustika pada mukosa usus tikus putih
urutan atas ke bawah: kiri 1,2,3 dan kanan 4,5,6. penomoran berdasarkan susunan
larutan penetesan dari metode kerja.
Demulsensia
Pada pemberian asam sulfat pekat 1/10N, terlihat refleks katak dengan
cepat menarik kakinya untuk menghindari sumber sakit. Hal yang sama terjadi
dengan pemberian asam sulfat pekat sebesar 1/50N, walaupun refleks terjadi 4
detik lebih lambat. Namun, apabila ke dalam larutan asam sulfat pekat
ditambahkan gom arab, waktu sampai terjadinya refleks bertambah menjadi
delapan kali lipat untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/10N dan tidak ada efek
untuk H2SO4 dengan konsentrasi 1/50N. Hal ini disebabkan karena Gum Arab
merupakan demulsensia, sebuah senyawa koloid yang bercampur dengan air. Zat
ini dapat membentuk sebuah lapisan pelindung pada permukaan kulit yang akan
melindungi kulit atau mukosa dari iritasi, dalam hal ini asam sulfat pekat.
Senyawa demulsensia ini merupakan salah satu contoh senyawa yang bersifat
melindugi (protektiva).
Astringensia
Pada percobaan penggunaan astringensia yaitu Tannin 5% yang diteteskan
pada permukaan ujung lidah selama 2 menit kemudian dicuci dengan air
didapatkan hasil yaitu permukaan mukosa lidah menjadi kasat, pahit dan warna
permukaan mukosa lidah berubah menjadi lebih merah muda. Hal ini dapat terjadi
karena tannin merupakan zat hasil oksidasi senyawa polifenol juga dikenal
sebagai zat samak sehingga menjadi kasat. Selain itu Tannin berperan sebagai
astringensia yang dapat mempresipitasikan protein karena mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap molekul protein untuk membentuk kompleks enzim-substrat.
Senyawa tannin juga dapat membentuk larutan garam yang tidak larut dengan
logam berat alkaloid dan glikosida sehingga dapat menurunkan efek toksisitasnya
(Booth dan McDonald 1982).
Beberapa tanaman yang mengandung tannin adalah tanaman mahkota
dewa, jati Belanda, teh , awar-awar, dan belimbing wuluh. Manfaat dari Tannin
bila dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan pada konsentrasi tinggi tannin bekerja sebagai antimikroba dengan
cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma kuman karena terbentuk
ikatan yang stabil dengan protein kuman (Arts et al 2002). Tanin dapat
bermanfaat sebagai antihelmintik dan antimikroba. Sebagai antihelmintik, tanin
terbukti mengurangi jumlah telur parasit yang tampak dari sekresi di faeces.
Efek antimikroba didapatkan karena tanin dapat menyebabkan terbentuknya
lapisan pelindung dari koagulasi protein pada mukosa intestinal, sehingga
melindungi vili dari kolonisasi mikroba (Lestari 2009).
Asupan tanin yang berlebihan dapat mengakibatkan insomnia, pening
atau mual, jantung berdebar dan satu cangkir teh setelah makan akan
mengakibatkan dispepsia (Rehman et al 2002). Tanin dalam dosis tinggi dapat
menimbulkan efek samping hingga toksik. Bila melewati membran mukosa
usus, tanin akan bereaksi dan berikatan dengan protein pada mukus dan sel
epitel mukosa. Membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi
kurang permeabel. Dosis tinggi dari tanin dapat menimbulkan efek tersebut
berlebih, sehingga mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus.
Komponen dari kondensasi tanin juga dapat merusak mukosa traktus
gastrointestinal, serta mengurangi absorpsi zat-zat makanan dan beberapa asam
amino esensial terutama methionin dan lysine. Tanaman herbal dengan
kandungan tanin yang tinggi sebaiknya tidak diberikan pada kondisi inflamasi
atau ulserasi traktus gastrointestinal (Lestari 2009).
Adsorbensia
Adsorbensia adalah senyawa kimia yang merupakan bubuk halus, tidak
larut, tidak mengiritasi dan digunakan lokal sebagai protektiva mekanis, guna
mengabsorbsi zat-zat yang merugikan (mengganggu atau meracuni).
Penggunaannya adalah pada kulit, membran mukosa, ulcera dan luka-luka.
Contohnya antara lain ; Talcum venetum, carbo medicinalis dan lain-lain.
Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica. Dalam nux
vomica juga terdapat alkaloid brusin yang mirip striknin baik kimia maupun
farmakologinya. Brusin lebih lemah dibanding striknin, sehingga efek ekstrak nux
vomica boleh dianggap hanya disebabkan oleh striknin.
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi
dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat
yang bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan
antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah
penghambatan postsinaps. Glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
postsinaps yang terletak pada pusat lebih tinggi di SSP.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP, obat ini
merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba,
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang
merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah
kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada
hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga
merangsang medula spinalis secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap
berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi
spinal.
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka
dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.
Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,akhirnya
terjadi konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan
hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot
ini menimbulkan nyeri hebat, dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya
(Sunaryo,1995).
Striknin dapat menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik.
Kejang ini terjadi pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis
suprakonvulsi,striknin menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada
neuromusculary junction.
Kematian akibat striknin biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak
karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas
dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun
asidosis metabolik hebat yang mungkin terjadi akibat adanya peningkatan kadar
laktat dalam plasma.
Adapun praktikum selanjutnya melihat kerja obat adsorbensia. Obat yang
digunakan adalah larutan striknin nitrat (0.2 mg/mL) dan larutan striknin nitrat
yang dicampur dengan karbo adsorbensia. Pada perlakuan pertama, katak
disuntik larutan striknin nitrat sebanyak 1 mL melalui rute subkutan. Menit ke-
2.38 katak mulai menunjukkan gejala konvulsi. Konvulsi terjadi sebanyak 23 kali
sampai menit ke- 3.17. Perlakuan kedua, katak disuntik dengan 1 mL larutan
striknin nitrat yang telah dicampur dengan karbo adsorbensia. Pada katak ini
tidak terjadi apa sampai menit ke-40. Hal ini terjadi karena karbo adsorbensia
mengabsorbsi striknin sehingga konvulsi sebagai efek obat tersebut tidak terlihat
sama sekali.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan pada praktikum kali ini dapat disimpulkan
bahwa senyawa iritansia dapat menimbulkan kerusakan, baik iritasi ringan
maupun iritasi berat. Pada percobaan rubefasiansia, menthol, fenol, dan kloroform
dapat menimbulkan iritasi.dengan derajat iritasi yang berbeda-beda. Bahan
iritansia dari kelompok kaustika yang apabila terkena kulit paling berat efek nya
adalah H2SO4. Bahan-bahan iritansia tidak hanya merusak jaringan kulit saja,
tetapi juga mampu merusak mukosa usus. Salah satu senyawa kaustika yang
mampu merusak usus dengan tingkat iritasi yang tinggi adalah NO3 pekat dan HCl
pekat. Efek iritasi yang berlebihan dapat menimbulkan kematian, striknin yang
disuntikkan pada katak tanpa karbo adsorbensia akan menyebabkan konvulsi pada
katak.
Daftar Pustaka
Ansel, Howaed C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ed ke-4. Jakarta:
UIPress
Ariens EJ, Mutschler E, Simonis A. M. 1978. Pengantar Toksikologi Umum.
Arts MTJT, Haenen GRMM, Wilms LC, Beetsra SAJN, Heijnen CGM, Voos H,
Bast A. 2002. Interactions between flovonoid and proteins : Effects on the
total antioxidant capacity. J Agric Food Chem 50
Booth NH, McDonald LE. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed
ke-5. Ames: Iowa State University Press.
editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
Allgemeine Toxikologie, Eine Einfuhrung.
Gumilar J, Putranto SW, Wulandari E. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam Sulfat
(H2SO4) dan Asam Formiat (HCOOH) pada Proses Pikel terhadap
Kualitas Kulit Jadi (Leather) Domba Garut. Jurnal Ilmu Ternak 10(1):1-
6.
Lestari N. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis)
terhadap gastrointestinal mencit BalB/C. [Skripsi]. Semarang: Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Mutschler, Ernst. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Edisi ke-5.
Bandung: ITB Press
Rehman S, Almas K, Shahzadi N, Bhatti N, Saleem A . 2002. Effect of time
and temperature on infution of tannin from comercial brands of tea.
Int J AgrBiol, 4(2): 285-287.
Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi
Ed.IV. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal.223-224.
Wattimena YR, Widianto MB, Sukandar EY, penerjemah; Padmawinata K,