landasan filosofis pembelajaran kontekstual (previously-cannot-be-saved).docx
DESCRIPTION
KontekstualTRANSCRIPT
A. Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual
Kecenderungan masa depan yang semakin kompleks dan rumit,
mengharuskan pendidikan dapat mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi
dunia nyata, peserta didik harus disadarkan pada harapan yang akan mereka capai,
tantangan yang akan mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka
kuasai. Sekolah harus bisa menjadi laboratorium kehidupan bagi peserta didik dalam
menghadapi kehidupan riil sehari-harinya, bukan hanya sebagai tempat mencari
pendidikan secara formal yang teoretis, akontekstual dan abstrak, yang berupa
rutinitas ceremonial keilmuan semata, tanpa berupaya lebih untuk bisa memberi
makna dalam setiap proses pembelajarannya. Kesadaran tentang perlunya
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, didasarkan pada kenyataan bahwa
sebagian besar peserta didik belum mampu menghubungkan antara apa yang
mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata mereka
sehari-hari. Hal ini disebabkan pemahaman konsep akademik yang mereka
peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh aspek praktis
kehidupan mereka, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat.
Kenyataan dalam kebanyakan praktik pendidikan sekarang, pengajaran
hanya menonjolkan tingkat hapalan dari materi atau pokok bahasan, tetapi belum
diikuti dengan pemahaman dan pengertian yang mendalam untuk bisa diterapkan
ketika berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupan nyata. Pendidikan yang
terjadi di sekolah-sekolah, selama ini hanya menterjemahkan pendidikan sebagai
transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik. Model pendidikan
seperti ini oleh Paulo Fraire dikritik sebagai banking education (Fraire, 1970,
hlm. 119) yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya
diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan
penindasan. Model pendidikan seperti ini hanya berfungsi untuk mematikan
kreativitas peserta didik, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme. Akibat
verbalisme atau banking education ini, teori yang diajarkan di sekolah bukannya
membumi, malah tercerabut dari pengalaman keseharian peserta didik.
Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana peserta didik
disamakan dengan celengan dan pendidik adalah penabungnya. Yang terjadi
27
bukanlah proses komunikasi, tetapi pendidik menyampaikan pernyataan-
pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihapal dan diulangi dengan
patuh oleh peserta didik. Inilah konsep pendidikan banking education, dimana
ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan peserta didik hanya terbatas pada
menerima, mencatat, dan menyimpan (Freire, 2008, hlm. 52). Pendidikan
seolah menjadi tidak harus bersentuhan dengan persoalan realitas sosial, atau
pendidikan seringkali dijalankan tanpa memperhatikan akar persoalan riil.
Pendidikan yang terjadi selama ini adalah, bahwa proses pendidikan
selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh peserta didik, padahal
proses pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang minimal sanggup
menyelesaikan persoalan yang melingkupinya, atau manusia yang sanggup
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Pendidikan bukan hanya untuk
mempersiapkan peserta didik bagi kehidupan mereka nanti di masyarakat, tetapi
sekolah sendirilah yang harus bisa menjadi masyarakat mini dalam kehidupan riil
peserta didik, dimana praktik yang ada dalam masyarakat perlu juga diadakan
secara nyata di sekolah. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses
hidup bukan hanya persiapan untuk kehidupan yang akan datang, pendidikan
yang sesungguhnya harus berkesinambungan dengan kehidupan sosial.
“Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life”
(Dewey, 1964, hlm. 2). Lebih jauh dikatakan bahwa proses pembelajaran harus
melibatkan peranserta aktif peserta didik, yang melibatkan kontrol sosial yang
meminimalisir pembelajaran yang hanya menjadi kegiatan pentransferan materi-
materi yang diberikan kepada individual saja, tanpa ada disposisi mental dan
emosional, sebagaimana (Dewey, 1964, hlm. 325), menjelaskan:
When learning is a phase of active undertakings which involve mutual exchange, social control enters into the very process of learning. When the social factor is absent, learning becomes a carrying over of some presented material into a purely individual consciousness, and there is no inherent reason why it should give a more socialized direction to mental and emotional disposition.
Pengetahuan dikatakan akurat ketika pengetahuan itu mencerminkan
realitas. Oleh sebab itu pembelajaran bukan sebuah cerminan dari dunia luar yang
diperoleh melalui pengamatan-pengamatan saja, tetapi harus melibatkan interaksi-
interaksi peserta didik dengan merepresentasikan pengetahuan dari dunia luar
melalui pengalaman-pengalaman, pengamatan terhadap model-model, dan
pengajaran. Materi pengetahuan menurut (Schunk, 2012, hlm. 232) dikatakan
bahwa:
The acquisition of knowledge represents a reconstruction of the external world. The world influences beliefs through experiences, exposure to models, and teaching. Knowledge is accurate to the extent it reflects external reality. This view posits a strong influence ot the external world on knowledge construction, such as by experiences, teaching, an exposure to models.
Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi peserta didik terhadap fenomena
lingkungannya, dibutuhkan sebuah strategi pembelajaran yang dapat
memaksimalkan pemahaman peserta didik dengan lingkungannya tersebut.
Strategi pembelajaran ini harus bersifat alamiah yang memungkinkan peserta
didik lebih mengalami daripada mengetahui. Lingkungan sangat mempengaruhi
dalam menentukan kepribadian peserta didik, lingkungan dapat mendukung
kematangan proses berpikir peserta didik, menyediakan model yang dapat
dijadikan pedoman oleh peserta didik, dan lingkungan memberikan kesempatan
belajar kepada peserta didik. Sebagaimana (Hurlock, 1898, hlm. 79)
mengemukakan:
The environment influences the personality pattern most notably in three ways: it encourages or stunts the maturation of hereditary potentials; it provides personality pattern models which the individual uses as guide; and it either provides or denies needed learning opportunities.
Pembelajaran yang lebih berorientasi pada strategi mengalami ini adalah
pembelajaran kontekstual. Setiap materi yang disajikan memiliki makna dengan
kualitas yang beragam. Makna yang berkualitas adalah makna kontekstual, yakni
dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan personal siswa (Alwasilah
dalam pengantar Jhonson 2010, hlm. 21). Landasan filosofis pembelajaran
kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa
belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi merekonstruksikan atau membangun
pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka
alami dalam kehidupannya (Muslich, 2011, hlm. 41). “Constructivism is a
psychological and philosophical perspective contending that individuals form or
construct much af what they learn and understand” (Bruning dalam Schunk, 2012,
hlm. 229). Hal ini mengisyaratkan bahwa konstrukstivisme merupakan perspektif
psikologis dan filosofis yang memberikan pandangan bahwa setiap individu dapat
membentuk dan membangun sebagian besar materi dari apa yang mereka pelajari
dan mereka pahami. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas),
pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Seseorang membentuk sekema, kategori, konsep, dan struktur
pengetahuannya yang diperlukan untuk pengetahuan (Glasersfeld dalam Komalasari,
2013, hlm. 15). Dengan demikian, pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari
pengamatan, melainkan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari
pengamatan atau dunia sejauh dialaminya. Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pada pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia yang bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Dikdasmen, 2002,
hlm. 11). Lebih jauh dikatakan (Komalasari, 2013, hlm. 16), bahwa:
Pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia, manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan proses yang berkembang terus menerus.
Esensi utama konstruktivisme memandang bahwa peserta didik merupakan
individu yang aktif yang dapat mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka
sendiri, hal ini senada dengan (Geary dalam Schunk, 2012, hlm. 231) yang
menyebutkan bahwa “a key assumption of constructivism is that people are active
learns and develop knowledge for themselves”. Konstruktivisme tidak terpaku pada
pembelajaran yang baku yang hanya teacher centered ataupun student centered.
Dimana peserta didik dijadikan objek dalam proses pembelajaran dan pendidik
menjadi subjek dalam proses pembelajaran tersebut, tetapi konstruktivisme
memposisikan kesetaraan antara peserta didik dan pendidik dalam proses
pembelajaran, peserta didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek belajar dan
keilmuan atau materi pelajaran adalah yang menjadi objek dalam proses
pembelajaran tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya proses elaborasi terhadap
prinsip-prinsip dan konsep yang dipelajari guna membangun pengetahuan yang baru
yang lebih bermakna. Oleh karena itu belajar haruslah menghidupkan topik yang
mati, sehingga tercipta pemahaman, penguasaan, dan rasa cinta pada materi yang
diajarkan serta tumbuh komitmen untuk mempelajarinya lebih dalam. Mengajar
idealnya mampu memberikan pengalaman baru dan pencerahan pada peserta didik
sehingga mereka mengalami sendiri dalam proses pembelajaran tersebut,
konstruktivisme memandang pentingnya peran peserta didik untuk membangun
constructive habits of mind dalam diri masing-masing peserta didik melalui
pembelajaran (Driver dan Leach, 1993, hlm. 103-112).
Oleh sebab itu kemudian konstruktivisme melandasi pembelajaran
kontekstual. Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar peserta didik
dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman,
pengetahuan hanya akan fungsional manakala pengetahuan itu dibangun oleh setiap
individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna dalam kehidupan peserta didik. Atas dasar asumi yang mendasar itulah,
maka filsafat konstruktivisme menjadi landasan dalam pembelajaran kontekstual,
sehingga peserta didik akan terdorong dan termotivasi untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.
B. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu
pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka
sehari-hari (Depdiknas, 2002, hlm. 34). Senada dengan itu (Komalasari, 2013,
hlm. 6) menyebutkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep
belajar dan mengajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan
pekerja.
“Contextual teaching and learning enables to connect the content of
academic subjects the immadiate context of their daily lives to discover
meaning” (Jhonson, 2002, hlm. 24). Johnson menjelaskan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya agar peserta
didik dapat mengaitkan antara materi yang diterimanya dengan konteks
kehidupan sehari-hari mereka, hal ini dilakukan agar materi pelajaran yang
diterima peserta didik akan lebih bermakna bagi kehidupannya.
Blanchard (2001, hlm. 1), Bern & Erickson menjelaskan tentang
pembelajaran kontekstual, menurutnya:
Contextual teaching learning is a conception of teaching and learning that helps teacher relate subject matter content to real world situation, and motivates students to make connection between knowledge and its aplications to their lives as family members, citizens, and workes engage in the hard work that learning requires.
Hal ini memberikan arti bahwa pembelajaran kontekstual merupakan
konsep belajar dan mengajar yang membantu pendidik untuk mengaitkan antara
materi yang disampaikan dengan situasi dunia nyata peserta didiknya, peserta
didik dapat menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan
penerapan praktis di dalam konteks kehidupan nyata. Peserta didik dapat
menginternalisasi konsep, penemuan, penguatan, dan keterhubungan setiap kali
proses pembelajaran dilakukan. Pembelajaran mendorong peserta didik untuk
mengelaborasi pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja.
Senada dengan pernyataan tersebut, (Johnson, 2002, hlm. 24-25)
mengemukakan bahwa:
CTL is a holistic system. It consists of interrelated parts that, when interwoven, produce an effect that exceeds what any single part could achieve. CTL, the distinctive educational approach made up of these parts, does more than guide students to join academic subjects with the context of their own aircumstances. It also engages students in exploring the meaning of “context” itself.
Menurut Johnson pembelajaran kontekstual merupakan sebuah sistem
yang menyeluruh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung, jika
bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang
melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Pembelajaran
kontekstual merupakan suatu pendekatan pendidikan yang melakukan lebih dari
sekedar menuntun peserta didik dalam menggabungkan subjek-subjek akademik
dengan konteks keadaan mereka sendiri dengan melibatkan peserta didik dalam
mencari makna “konteks” itu sendiri. Lebih jauh dikatakan (Johnson, 2002, hlm.
25), menurutnya pembelajaran kontekstual adalah:
The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the folowing eight components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using autentic assessment.
Pembelajaran kontekstual lebih lanjut dikatakan Johnson, menurutnya
pembelajaran kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk
menolong peserta didik melihat makna di dalam materi akademik yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks
dalam kehidupan nyata mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial,
dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan
komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan
pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan
kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian
autentik.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu
pendidik mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata
peserta didik, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari (Muslich, 2011, hlm. 40). Sementara (Sanjaya, 2005, hlm. 109)
memberikan pengertian tentang pembelajaran kontekstual, menurutnya:
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan mereka, sehingga mendorong peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Peserta didik dalam proses pembelajaran harus bisa membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri, dan pendidik dapat memfasilitasi
proses ini dengan mengajar yang menjadikan informasi bermakna dan relevan
bagi peserta didik, dengan memberi kesempatan kepada peserta didik
menemukan atau menerapkan sendiri gagasan, dan dengan mengajari peserta
didik untuk menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar, pendidik dapat memberikan tangga menuju pemahaman yang
lebih tinggi kepada peserta didik, dan peserta didik sendiri yang harus menaiki
tangga tersebut (Slavin, 2011, hlm. 4).
Dari pengertian-pengertian yang disebutkan di atas jelas terdapat esensi
yang ingin disampaikan dari pembelajaran kontekstual, pertama, bagi pendidik
pembelajaran kontekstual menuntut kreativitas dan inovasi serta metode yang
lebih variatif dalam upaya untuk bisa mengaitkan materi pembelajaran dengan
situasi dan kondisi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, bagi
peserta didik dengan adanya pembelajaran kontekstual peserta didik jadi lebih
aktif dan berpartisifatif dalam setiap proses pembelajaran, peserta didik merasa
tertantang dengan pembelajaran yang dilakukan, peserta didik terdorong untuk
mempelajari lebih jauh dan mengkonstruks materi pembelajaran dengan
kehidupan dunia nyata mereka sehari-hari, sehingga proses pembelajaran lebih
menyenangkan dan lebih bermakna serta teraplikasi bagi peserta didik dalam
kehidupan nyata. Ketiga, pembelajaran kontekstual membantu peserta didik
menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis
di dalam konteks dunia nyata. Peserta didik dapat menginternalisasikan konsep
melalui pengalaman belajar, penemuan, penguatan dan keterhubungan dalam setiap
proses pembelajaran yang terjadi. Sehingga proses pembelajaran tidak hanya transfer
ilmu pengetahuan yang bersifat surface learning semata tetapi lebih dari itu proses
pembelajaran bisa membuat peserta didik untuk lebih bisa memahami, memaknai,
dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari atau pembelajaran
secara deep learning.
Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar dimana
pendidik menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara peserta didik memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, kemudian sedikit demi
sedikit dari proses mengkonstruksi sendiri sebagai bekal memecahkan masalah
dalam kehidupannya, sehingga pembelajaran yang didapatkan oleh peserta didik jadi
lebih bermakna dan teraplikasikan dalam kehidupan nyata peserta didik.
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa peserta didik belajar
lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan
alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami.
Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal
dalam membekali peserta didik untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar,
sehingga pendidik dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang lebih
variatif dengan prinsip membelajarkan dan memberdayakan peserta didik.
Dengan prinsip pembelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi
seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima peserta didik, melainkan
harus dikonstruksi (dibangun) sendiri oleh peserta didik dengan difasilitasi oleh
pendidik. Peserta didik belajar dengan mengalami sendiri, mengkonstruksi
pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Peserta didik harus
tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan keterampilan
yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Disinilah tugas
pendidik untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu
menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya.
Peserta didik menjadi subjek belajar sebagai pemain dan pendidik berperan
sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh
komponen utama, yaitu: (1) constructivism (konstruktivisme, membangun,
membentuk), (2) questioning (bertanya), (3) inquiry (menyelidiki,
menemukan), (4) learning community (masyarakat belajar), (5) modelling
(pemodelan), (6) reflection (refleksi atau umpanbalik), dan (7) authentic
assessment (penilaian yang sebenarnya) (Aqib, 2013, hlm. 7), (Hamruni,
2012, hlm. 141-147), (Muslich, 2011, hlm. 43), dan (Sanjaya, 2010, hlm.
263-268).
Pembelajaran kontekstual menekankan bahwa peserta didik belajar
dengan cara mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan barunya, pembelajaran
dipersepsi untuk menghadirkan relevansi dengan kehidupan nyata, melakukan
kagiatan pemecahan masalah untuk menemukan makna dalam keragaman
kebermaknaan, mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya,
menciptakan masyarakat belajar, sehingga peserta didik menjadi manusia
pembelajar sepanjang hayat. Kemudian menghadirkan model sebagai contoh
pembelajaran. Pendidik dan orang dewasa di sekeliling peserta didik menjadi model
yang sangat efektif dalam pembelajaran ini. Melakukan refleksi dalam setiap
akhir pembelajaran untuk menguatkan bangunan pengalaman yang diterima
peserta didik dan melakukan penilaian dengan berbagai cara untuk
mendapatkan hasil belajar yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran akan lebih konkret, lebih realistik,
lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. Kegiatan
pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih berkualitas, lebih
mendorong timbulnya kreativitas dan produktivitas serta efisiensi, selain itu hasil
belajar meningkat, karena dalam pembelajaran yang kontekstual dipergunakan
semua alat indra secara serentak sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih
aktual, konkret, realistik, nyata, menyenangkan, dan bermakna dengan dikonstruk
sendiri oleh peserta didik dalam setiap kali proses pembelajaran terjadi.
1. Prinsip Ilmiah Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual sasaran utamanya untuk mencari makna dengan
menghubungkan kegiatan akademik dengan kehidupan nyata keseharian peserta
didik. Menerapkan pembelajaran kontekstual terlebih dahulu para pendidik harus
memahami prinsip-prinsip ilmiahnya, karena pendidik berkewajiban untuk
meningkatkan kemampuan akademik dan kemampuan berpikir peserta didik serta
terkontekstualisasikan dalam kehidupan riil peserta didik. Pembelajaran kontekstual
akan memberikan keunggulan akademik serta dapat efektif ketika pendidik
memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip ilmiah pembelajaran kontekstual, dalam
hal ini Jhonson (2002) memberikan tiga prinsip ilmiah dalam pembelajaran
kontekstual, prinsip ilmiah tersebut sebagaimana berikut ini:
a. Prinsip Saling-Keterkaitan
Menurut para ilmuan modern, segala sesuatu di alam semesta saling terkait
dan saling berhubungan. Segalanya, baik manusia, maupun bukan manusia, benda
hidup dan tidak hidup, terhubung satu dengan yang lainnya. Semuanya berperan
dalam pola jaringan hubungan yang rumit (Jhonson, 2009, hlm. 69). Prinsip ini
memungkinkan peserta didik untuk membuat hubungan yang bermakna yang
membentuk pemikiran yang kritis dan kreatif. Prinsip ini merupakan prinsip
kebersamaan, di samping itu manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan
hubungan satu individu dengan individu lainnya. Prinsip saling-keterkaitan antara
pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan
peserta didik lainnya, peserta didik dengan masyarakat luar sekolah, dan masyarakat
luar sekolah dengan peserta didik, serta antara peserta didik dengan lingkungan alam
dimana dia berada.
Prinsip pembelajaran kontekstual mengisyaratkan antara pendidik, peserta
didik, dan masyarakat serta alam merupakan sistem yang saling terkait di dalam
menghubungkan konteks dan menemukan makna dari persoalan dan gejala alam
yang terjadi dalam lingkungan kehidupan peserta didik. Kemudian secara bersama-
sama dapat memecahkan persoalan, merancang suatu rencana, mengambil suatu
keputusan dan kesimpulan. Masing-masing komponen dapat saling memberi dan
menerimanya, bertanya dan menjawab konteks yang dibutuhkan (Yamin, 2013, hlm.
54). Lebih jauh lagi, prinsip saling-keterkaitan memungkinkan pendidik untuk dapat
menentukan tujuan yang jelas pada standar akademik yang tinggi. Prinsip ini
mendukung kerjasama dalam menemukan dan menyelesaikan masalah yang
diberikan pendidik kepada peserta didik. Pendidik yang baik dapat membangun
hubungan dua arah, pendidik dan peserta didik secara bersama-sama saling belajar
dan bekerjasama antara satu sama lainnya (Lickona, 2012, hlm. 141). Dengan
bekerjasama peserta didik terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana,
dan mencari pemecahan masalah. Bekerjasama akan membantu mereka mengetahui
bahwa saling mendengarkan akan menuntun pada keberhasilan. Pandangan setiap
orang yang berbeda dan kemampuan-kemampuan yang unik secara bersama-sama
akan tersusun menjadi sesuatu yang lebih besar daripada bagian-bagian yang kecil
(Jhonson, 2009, hlm. 73).
Prinsip saling-keterkaitan mengajak kita untuk meninggalkan kotak-kotak
isolasi kita, dan menghubungkan bermacam-macam ilmu, serta menciptakan
kemitraan yang inovatif. Prinsip ini menghubungkan semua hal di alam semesta
dengan hal yang lainnya yang mencakup beragam komponen sistem dalam
pembelajaran. Prinsip ini memerlukan penghubungan, penggabungan, berpikir kritis
dan kreatif, melakukan pembelajaran hands-on, merumuskan tujuan yang jelas,
menetapkan standar tinggi, melakukan tugas-tugas yang berarti untuk semua,
menghargai setiap orang, dan menggunakan metode penilaian yang menghubungkan
pembelajaran dengan dunia nyata.
b. Prinsip Diferensiasi
Kata diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta
untuk menghasilkan keragaman yang tak terbatas, perbedaan, berlimpahan, dan
keunikan. Prinsip diferensiasi menggambarkan pembelajaran kontekstual untuk
menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman. Perilaku individu yang efektif
seringkali meliputi “dukungan situasional” yang terkadang terencana yang dapat
membantu peserta didik untuk mengendalikan perilakunya (Lickona, 2013, hlm.
188). Mengingat peserta didik memiliki latar belakang akademik dan sosial yang
berbeda, pembelajaran kontekstual memberikan peluang dan kesempatan untuk
saling isi dan mengisi serta memberi perhatian individu lebih panjang dan
terkonsentrasi. Keberagaman dan keberbedaan suatu yang unik, masing-masing
individu saling mempelajarinya dan saling kerjasama (Yamin, 2012, hlm. 54).
Peserta didik berpikir kreatif ketika mereka menggunakan pengetahuan
akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan anggota kelas mereka, ketika
mereka merumuskan langkah-langkah untuk menyelesaikan sebuah tugas sekolah,
atau mengumpulkan dan menilai informasi mengenai suatu masalah masyarakat.
Pembelajaran kontekstual yang melibatkan peserta didik secara aktif juga mendukung
adanya keunikan yang memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk
memunculkan cara belajar mereka sendiri yang khas, menjelajahi bakat, dan
berkembang dengan langkah mereka sendiri. Peserta didik yang maju dengan
langkah mereka sendiri akan beriringan dengan alam (Jhonson, 2009, hlm. 78).
Pembelajaran kontekstual memandang perbedaan dan keberagaman bukanlah
suatu kegagalan dalam pembelajaran, tetapi merupakan seni dan ragam yang akan
menjadikan pembelajaran berkualitas dan lebih bermakna, perbedaan dalam
memahami dan menghayati konteks suatu hal yang bernilai tinggi dan tidak harus
sama dengan memaknai suatu persoalan, pembelajaran adalah menciptakan peserta
didik menjadi dirinya sendiri (learning to be) dan mereka akan berkembang sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya (Yamin, 2012, hlm. 54).
c. Prinsip Pengaturan Diri (Self Regulation)
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa setiap entitas terpisah di alam
semesta memiliki sebuah potensi bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran yang
menjadikannya sangat berbeda (Jhonson, 2009, hlm. 79). Prinsip ini meminta para
pendidik untuk mendorong setiap peserta didik mengeluarkan seluruh potensinya.
Sasaran pembelajaran kontekstual adalah mendorong peserta didik mencapai
keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karir, dan mengembangkan
karakter dengan cara menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta
pengetahuan pribadinya. Untuk menjadi seorang yang berkarakter, berarti menjadi
orang yang terbaik. Oleh karena itu, tumbuh dalam karakter berarti berkembang
dengan potensi intelektual kita. Karakter baik diperlukan untuk hubungan
interpersonal dan potensi pribadi, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab
akademis (Lickona, 2012, hlm. 148-149). Ketika peserta didik menghubungkan
materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, mereka terlihat dalam
kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri (Yamin, 2012, hlm. 55).
Peserta didik akan menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku
sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis
informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Mereka bergabung
dengan peserta didik lain untuk memperoleh pengertian baru dan untuk memperluas
pandangan mereka. Dalam melakukan hal tersebut, para peserta didik menemukan
minat mereka, keterbatasan mereka, dan kekuatan imajinasi mereka. Peserta didik
tersebut pada akhirnya akan dapat menemukan siapa diri mereka dan apa yang
mereka bisa lakukan (Yamin, 2012, hlm. 55). Pendidik yang baik bukan hanya
menentukan standar yang tinggi, mereka pun membantu peserta didiknya membuat
materi pembelajaran tersebut menjadi miliknya dengan mengajarkan strategi untuk
evaluasi diri apa yang mereka yakini sebagai usaha terbaik mereka (Lickona, 2013,
hlm. 317).
Ketiga perinsip di atas, telah nampak bahwa pembelajaran kontekstual lebih
memberi kesempatan pada peserta didik untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Peserta didik merasa dirinya sebagai bagian dari kesatuan dalam proses yang diikuti,
memupuk kebersamaan, saling menghargai pendapat, menghormati gagasan orang
lain, tidak takut berbeda, dan menghargai perbedaan serta menjadikan dirinya sendiri
dengan caranya sendiri dalam melakukan proses pembelajaran dengan melibatkannya
secara aktif. Peserta didik tidak lagi menjadi objek pembelajaran tetapi bertindak
sebagai subjek pembelajaran dan pembelajaran yang dilakukan tidak hanya sebagai
alih pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Dengan pembelajaran
kontekstual pengetahuan peserta didik lebih berkembang dan tumbuh melalui
pengalamannya merekonstruksi pengalaman-pengalaman dunia nyata yang
dialaminya.
Pembelajaran kontekstual membantu peserta didik menemukan makna dalam
pelajaran mereka dengan menghubungkan materi akademik yang diperoleh dengan
konteks keseharian mereka. Peserta didik membuat hubungan-hubungan penting
yang diatur sendiri, bekerjasama, berfikir kritis dan kreatif, dan berperanserta dalam
tugas-tugas penilaian autentik. Dengan didasari secara kuat oleh ilmu pengetahuan,
psikologi, dan penelitian mengenai otak, komponen-komponen pembelajaran
kontekstual menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang baru yang memberikan
semangat dan lebih menyenangkan bagi pendidik dengan menggunakan beragam
cara yang lebih inovatif. Dengan beberapa prinsip yang telah diuraikan di atas, maka
pembelajaran kontekstual dapat dipahami sebagai suatu konsep dari proses
pembelajaran yang membantu pendidik untuk dapat mengaitkan dan menghubungkan
materi dengan dunia nyata peserta didiknya. Senada dengan hal itu (Yamin, 2012,
hlm. 57), mengemukakan tentang pembelajaran kontekstual, menurutnya
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual merupakan:
Strategi yang aktivitas pembelajarannya berpusat kepada peserta didik (student oriented) dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, kerjasama, saling membantu sesama peserta didik, menggali, menemukan, mencontoh suatu pengetahuan dan keterampilan, menemukan ide-ide, dan perkembangan belajar yang dinilai melalui penilaian proses.
Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
kontekstual pada hakikatnya pembelajaran itu dilakukan untuk lebih
mengaktualisasikan potensi diri peserta didik dengan merekonstruksi sendiri materi
akademik dengan menghubungkannya terhadap kehidupan riil mereka sehari-hari,
pengetahuan dibangun melalui pengalaman diri, interaksi sosial, dan dengan
lingkungan nyata. Peserta didik dibimbing oleh pendidik untuk bisa menggunakan
penalarannya dan pemahaman mereka secara mendalam melalui berpikir kritis dan
kreatif dengan pembelajaran yang tidak terbatas hanya diruang kelas semata.
Sedangkan pembelajaran yang tradisional atau konvensional merupakan
pembelajaran yang mengutamakan hasil yang terukur dan pendidik berperan aktif
dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menghapal materi yang
disampaikan oleh pendidik serta materi pelajaran lebih didominasi tentang konsep,
fakta, dan prinsip yang abstrak dan teoretis. Pembelajaran kontekstual
mengisyaratkan pendidik untuk bisa memotivasi dan memfasilitasi peserta didik,
dalam upayanya untuk mengaplikasikan materi pembelajaran dalam kehidupannya
dengan menyeluruh, tidak hanya terbatas hanya kecerdasan kognitif semata, tetapi
meliputi kecerasan kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik, kecerdasan tidak
lagi menunjuk pada satu ranah saja, karena pendidikan mengarahkan kepada
pengembangan kecerdasan yang menyeluruh (multiple quotien), manusia bukan lagi
dipandang sebagai unsur yang terpisah-pisah (unsuriah) tetapi merupakan sosok
pribadi yang integrated, utuh dan kaffah (Sauri, 2006, hlm. 44), proses
pembelajaran itu dapat terjadi dan berlangsung pada tiga lingkungan, yakni
sekolah, keluarga, dan masyarakat (Budimansyah, 2012, hlm. iii).
2. Asas-Asas Pembelajaran Kontekstual
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh
peserta didik bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk pendidik,
akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruknya sendiri, maka pendidik
harus menghindari mengajar sebagai sebuah proses yang hanya penyampaian
informasi. Pendidik harus memandang peserta didik sebagai subjek belajar dengan
memperhatikan segala keunikannya. Peserta didik haruslah dipandang sebagai
individu yang aktif dan memiliki potensi untuk membangun dan menemukan serta
mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Apabila pendidik memberikan informasi
kepada peserta didik, maka pendidik harus memberi kesempatan untuk menggali
informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka (Sanjaya, 2010, hlm. 263-
264).
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki
tujuh asas (komponen). Asas-asas ini melandasi pelaksanaan proses pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Seringkali asas ini disebut juga
komponen-komponen pembelajaran kontekstual. Selanjutnya asas-asas itu seperti
yang dikemukakan di bawah ini:
a. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru
dalam struktur kognitif peserta didik berdasarkan pengalaman (Hamruni, 2012, hlm.
142). Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat (Komalasari, 2013, hlm. 11). Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pengetahuan itu
memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang.
Pengetahuan dibangun melalui pemahaman peserta didik dari pengalaman baru
berdasarkan pengetahuan awal, dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi bukan hanya menerima pengetahuan (Aqib, 2013, hlm. 7). Oleh
sebab itu, pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi
bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.
Kedua faktor itu sama pentingnya, dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat
statis tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan
mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget dalam Sanjaya (2010, hlm. 264-265)
menyatakan hakikat pengetahuan adalah sebagai berikut:
(1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek, (2) subjek membentuk sekema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan, (3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Asumsi itu yang kemudian melandasi pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran melalui pendekatan kontekstual pada dasarnya mendorong agar peserta
didik bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan
pengalaman. Hal ini karena pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun
oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan
yang bermakna. Atas dasar asumsi yang mendasari itulah, maka penerapan asas
konstruktivisme dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual, peserta didik
didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman
nyata (Sanjaya, 2010, hlm. 265). Dengan pengalaman nyata yang peserta didik
lakukan, maka nilai-nilai akademisi menjadi lebih bermakna dan lebih riil, sehingga
nilai-nilai akademis tersebut dapat menjadi nilai-nilai yang diaplikasikan dalam
kehidupannya. Karena nilai-nilai hidup itu adalah didapatkan, bukan hanya diajarkan
(Lickona, 2013, hlm. 118).
Peserta didik dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya.
Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat,
mendengar, menjamah, membau, atau merasakan. Peserta didik dapat mengetahui
sesuatu bukan dengan sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses
pembentukan. Semakin banyak peserta didik berinteraksi dengan objek dan
lingkungan, maka pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan
tersebut akan meningkat dan lebih rinci serta lebih riil dan bermakna (Budiningsih,
2012, hlm. 57). Lebih jauh Galserfeld dalam Budiningsih (2012, hlm. 57)
mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam
mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan
akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu
pengalaman yang satu dari pada lainnya.
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan (inquiry) berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian
dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah
sejumlah fakta hasil mengingat akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.
Dengan demikian dalam proses pembelajaran pendidik bukanlah mempersiapkan
sejumlah materi yang harus dihapal, akan tetapi merancang pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi yang harus
dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak
terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan peserta didik
berkembang secara utuh, baik intelektualnya, mental, emosional, maupun pribadinya
(Sanjaya, 2010, hlm. 265). Pembelajaran dilakukan melalui proses perpindahan dari
pengamatan menjadi pemahaman dengan mengajak peserta didik untuk belajar
menggunakan keterampilan berpikir secara kritis (Aqib, 2013, hlm. 7).
Mengenai asas pembelajaran kontekstual dengan menemukan (inquiry)
(Komalasari, 2013, hlm. 12), menjelaskan bahwa:
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan menemukan sendiri melalui siklus: (1) observasi (observation), (2) bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaan (hypothesis), (4) mengumpulkan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion).
Berbagai topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses
inquiry, termasuk dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Secara umum
proses inquiry dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1) merumuskan
masalah, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis
berdasarkan data yang ditemukan, dan (5) membuat kesimpulan (Hamruni, 2012,
hlm. 143). Penerapan asas menemukan (inquiry) dalam pembelajaran kontekstual
dimulai dari adanya kesadaran peserta didik terhadap masalah yang jelas yang ingin
dipecahkan. Dengan demikian, peserta didik didorong untuk menemukan masalah.
Jika masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya peserta
didik dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan
masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang menuntun peserta didik untuk dapat
melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah
terkumpul, selanjutnya peserta didik dituntun untuk menguji hipotesis sebagai dasar
dalam merumuskan kesimpulan. Asas menemukan (inquiry) seperti ini, merupakan
asas yang penting dalam pembelajaran kontekstual. Melalui proses berpikir yang
sistematis seperti ini, diharapkan peserta didik memiliki sikap ilmiah, rasional, dan
logis, yang kesemuanya diperlukan sebagai dasar pembentukan kreativitas.
Pembelajaran kontekstual dengan asas menemukan (inquiry) dapat dilakukan
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, sebagai sebuah contoh misalkan:
peserta didik dapat memahami fungsi zakat. Kemampuan yang ingin dicapai
pendidik adalah kemampuan peserta didik untuk memahami fungsi dan macam-
macam zakat. Untuk mencapai kompetensi tersebut maka peserta didik tidak
langsung disuruh untuk membaca buku tentang zakat atau pendidik menyampaikan
materi tentang zakat, tetapi pendidik langsung menjelaskan kompetensi yang harus
dicapai, manfaat dari proses pembelajaran, dan pentingnya pembelajaran yang akan
dilakukan. Kemudian pendidik membagi seluruh peserta didik ke dalam beberapa
kelompok sesuai dengan jumlah peserta didik, kemudian setiap kelompok melakukan
tugas tertentu, misalkan kelompok 1 dan 2 melakukan wawancara dengan pengurus
takmir mesjid yang berpengalaman mengelola zakat, kelompok 3 dan 4 melakukan
wawancara ke lembaga bazis yang ada di wilayahnya. Melalui wawancara tersebut
peserta didik ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan tentang
pengertian, macam-macam, tata cara pengelolaan, dan fungsi zakat. Setelah kegiatan
itu dilakukan, di dalam kelas tiap-tiap kelompok melaporkan hasil temuan mereka di
lapangan yang dipresentasikan di dalam kelas sesuai dengan kelompoknya, kemudian
mendiskusikannya dan membuka forum tanya jawab terkait temuan mereka di
lapangan. Setelah kegiatan itu dilakukan baru seluruh peserta didik dengan dibimbing
oleh pendidik menyimpulkan hasil wawancara sekitar masalah zakat sesuai dengan
indikator hasil belajar yang harus dicapai (Hamruni, 2012, hlm. 148-150).
c. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya
dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan
menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir
(Sanjaya, 2010, hlm. 266). Bertanya (questioning) bagi pendidik merupakan kegiatan
untuk mendorong, membimbing dan minilai kemampuan berpikir peserta didiknya,
dan bagi peserta didik hal ini merupakan bagian penting dalam pembelajaran guna
menggali informasi yang ingin diketahuinya (Aqib, 2013, hlm. 7). Dalam
pembelajaran kontekstual, pendidik tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi
memancing agar peserta didik dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya
menjadi sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan pendidik dapat
membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk menemukan setiap materi yang
dipelajarinya (Hamruni, 2012, hlm. 144).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya, bagi
pendidik bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berpikir peserta didiknya. Banyak terjadi di dalam kelas dimana
pendidik bertanya dan peserta didik mencoba untuk menjawab. Ada banyak cara
yang dilakukan oleh pendidik dalam bertanya. Cara pendidik menangani interaksi-
interaksi ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri bagi peserta didik dan dapat
memberikan pelajaran penting tentang rasa hormat (Lickona, 2013, hlm. 115). Bagi
peserta didik bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiry, yaitu
menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Komalasari, 2013, hlm. 12).
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat
berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan peserta didik dalam
penguasaan materi pelajaran, (2) membangkitkan motivasi peserta didik untuk
belajar, (3) merangsang keingintahuan peserta didik terhadap sesuatu, (4)
memfokuskan peserta didik terhadap sesuatu yang diinginkan, dan (5) membimbing
peserta didik untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu. Dalam setiap tahapan
dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Karena itu,
kemampuan pendidik untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat
diperlukan (Hamruni, 2012, hlm. 144-145).
Kemampuan dan kesempatan yang diberikan pendidik kepada peserta didik
untuk bertanya merupakan kesempatan untuk merumuskan dan membahas
pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan peserta didik dalam
perkembangannya ini, serta menggali informasi bagi peserta didik untuk lebih
memaknai arti kehidupan ini. Karena apabila pertanyaan-pertanyaan yang peserta
didik ajukan terhadap pendidik dan peserta didik lain tidak mampu mengemukakan
dan mendiskusikan pertanyaan yang eksistensial, hal ini menciptakan putusnya
hubungan antara kehidupan sekolah dengan kehidupan riil peserta didik. Hal ini lah
yang mengakibatkan peserta didik seringkali mencari jawaban di tempat yang salah
kemudian mengarah kepada keputusasaan dan keterasingan (Lickona, 2012, hlm.
265-266).
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Pendidik
disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar
(Komalasari, 2013, hlm. 12). Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia,
menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh
komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan
sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan
menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan, konsep masyarakat
belajar (learning community) dalam pembelajaran kontekstual menyarankan agar
hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu
dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam kelompok belajar secara formal
maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh
dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu
memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi
pengalamannya pada orang lain. Inilah hakikat dari masyarakat belajar, yaitu
masyarakat yang saling berbagi (Sanjaya, 2010, hlm. 267).
Masyarakat belajar (learning community) menurut (Lickona, 2013, hlm. 157),
sangat berguna dalam:
Memupuk sebuah rasa kebersamaan di dalam sebuah kelompok, yang merupakan aspek dasar dari kebersamaan komunitas di dalam kelas. Ada tiga hal yang berkontribusi terhadap aspek komunitas ini: (1) kelas tersebut memiliki sebuah identitas kelompok, (2) setiap individu peserta didik merasa bahwa dia merupakan seorang anggota yang berguna di dalam kelompoknya, dan (3) setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompoknya.
Kegiatan belajar secara berkelompok menitikberatkan terhadap kerjasama
antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, dengan cara saling
bertukar pengalaman dan berbagi ide, yang melibatkan semua peserta didik yang
terikat dalam kegiatan belajar (Aqib, 2013, hlm. 7). Kerjasama dalam pembelajaran
yang dilakukan merupakan kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran,
mengajukan dan menjawab pertanyaan, kumunikasi interaktif antar sesama peserta
didik, antar peserta didik dengan pendidik, antar peserta didik dengan narasumber,
memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi
pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual (Komalasari, 2013, hlm. 9).
Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar
(learning community) dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui
kelompok belajar. Peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya
bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun
dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling belajar, yang
cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki
kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain (Hamruni, 2012,
hlm. 145). Dalam hal dan keadaan tertentu pendidik dapat mengundang orang-orang
yang dianggap kompeten serta memiliki keahlian khusus untuk membelajarkan
seluruh peserta didiknya. Misalnya, dokter untuk memberikan atau membahas
masalah kesehatan, para petani, tukang reparasi radio, seorang ustadz seorang ahli
tadjwid dalam mengajarkan cara tadjwid yang benar, seorang ahli qira’ah untuk
mengajarkan cara qira’ah yang benar. Dengan demikian masyarakat belajar yang
mengindikasikan kesalingterlibatan semua orang untuk saling bisa membelajarkan,
bertukar informasi dan bertukar pengalaman.
Mengundang dan menghadirkan narasumber dalam proses pembelajaran
merupakan sebuah upaya yang ingin dilakukan pendidik/peserta didik untuk
memaksimalkan kekuatan contoh yang baik, dan sosok yang benar-benar ahli serta
kompeten dalam bidangnya. Sehingga peserta didik dapat menggali informasi secara
maksimal dan menjadikan proses pembelajaran yang menarik serta menyenangkan,
dengan mengambil langkah-langkah bagi peserta didik untuk mengekspos potensi-
potensi yang mereka miliki yang berhubungan dengan materi akademik yang mereka
terima dari narasumber tersebut dengan cara bertukar pengalaman dan bertukar ide
(Lickona, 2012, hlm. 146).
e. Pemodelan (Modelling)
Asas pemodelan (modelling) adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu dengan contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik.
Asas pemodelan (modelling) merupakan sebuah proses penampilan suatu contoh agar
peserta didik berpikir, bekerja dan belajar (Aqib, 2013, hlm. 7). Dalam pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Pendidik menjadi
model, tetapi pendidik bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang
dengan melibatkan peserta didik, misalnya peserta didik ditunjuk untuk menjadi dan
memberi contoh pada temannya, atau mendatangkan seseorang di luar sekolah
(Komalasari, 2013, hlm. 12). Sebagai sebuah contoh, misalnya pendidik memberikan
contoh cara mengerjakan berwudhu dengan benar dengan dimulai dari tahap awal
sampai tahap akhir, selain itu pendidik memberikan contoh cara mengerjakan salat
dengan benar, yaitu dengan memberikan contoh dari mulai: cara bertakbir, ruku,
sujud, dan seterusnya, pendidik olah raga memberikan contoh cara melempar bola,
pendidik kesenian memberi contoh cara memainkan alat musik (Hamruni, 2012, hlm.
146).
Proses modelling tidak terbatas dari pendidik saja, akan tetapi dapat juga
pendidik memanfaatkan peserta didik yang dianggap memiliki kemampuan. Misalkan
peserta didik yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk
menampilkan kebolehannya di depan teman-temanya, contoh lain misalkan peserta
didik yang juara qira’ah, adzan dan lain sebagainya diminta oleh pendidik untuk
memperlihatkan kebolehan dan cara-cara yang benar dalam melakukan serta
melaksanakannya di depan teman-teman mereka, dengan demikian peserta didik
dapat dianggap sebagai model. Pemodelan (modelling) merupakan asas yang cukup
penting dalam pembelajaran kontekstual, sebab melalui pemodelan (modelling)
peserta didik dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang
memungkinkan terjadinya verbalisme (Sanjaya, 2010, hlm. 267-268).
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah
dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya (Sanjaya, 2010, hlm. 268). Melalui
proses refleksi (reflection), pengalaman belajar itu akan dimasukan dalam struktur
kognitif peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan
yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi peserta didik akan
memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah
pengetahuannya (Hamruni, 2012, hlm. 146-147).
Dalam pembelajaran kontekstual dengan asas refleksi (reflection) pendidik
menggiring peserta didiknya untuk berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Peserta didik
mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru,
yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi
(reflection) merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang
baru diterimanya. Misalkan ketika pelajaran berakhir, pendidik memberikan
kesempatan kepada peserta didiknya untuk “merenung” atau mengingat kembali apa
yang telah mereka pelajarinya, peserta didik “merenung” kalau begitu, sikap saya
selama ini salah ya! Seharusnya, tidak boleh meninggalkan salat lima waktu dalam
kondisi apa pun juga, supaya tidak terjadi dikemudian hari maka peserta didik
berusaha memperbaiki sikapnya selama ini (Komalasari, 2013, hlm. 12). Biarkan
secara bebas peserta didik menafsirkan pengalaman belajarnya sendiri, sehingga ia
dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya. Metode ini sebagai induksi
yang menjadikan peserta didik bisa mengapresiasi pada tingkatan intelektual dan
emosional (Lickona, 2012, hlm. 190).
g. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan
berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil and paper test) dan
penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan
(project), produk (product), atau portofolio (Komalasari, 2013, hlm. 13). Proses
pembelajaran konvensional yang sering dilakukan pendidik pada saat ini biasanya
ditekankan kepada perkembangan aspek intelektualnya saja, sehingga alat evaluasi
yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa
jauh peserta didik telah mengetahui dan menguasai materi pelajaran (Sanjaya, 2010,
hlm. 268). Dalam pembelajaran kontekstual, keberhasilan pembelajaran tidak hanya
ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, tetapi perkembangan
seluruh aspek, baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor peserta didik. Oleh
karena itu, penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar
seperti hasil tes, UTS, UAS, dan UN semata, tetapi juga proses belajar melalui
penilaian nyata (Hamruni, 2012, hlm. 147).
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan pendidik
untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan
peserta didiknya. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah peserta didik
benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar peserta didik memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan mereka, baik perkembangan
intelektual maupun mental mereka. Penilaian ini dilakukan untuk mengukur
pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang lebih berorientasi pada penilaian
kinerja serta tugas-tugas yang relevan dan kontekstual (Aqib, 2013, hlm. 8). Penilaian
nyata (authentic assessment) dilakukan secara terintegrasi dengan proses
pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses
belajar bukan kepada hasil belajar.
Pembelajaran yang menerapkan konsep authentic assessment adalah
pembelajaran yang mengukur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar
(yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak
sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan
perkembangan aktivitas dan perolehan belajar selama proses pembelajaran di dalam
kelas ataupun di luar kelas. Dengan demikian penilaian pembelajaran untuk
menyeluruh dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dalam keseluruhan
tahapan proses pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Disamping itu, penilaian
tidak hanya diserahkan pada pendidik, tetapi peserta didik pun menilai peserta didik
lain dan dirinya sendiri (self-evaluation) dalam aktivitas pembelajaran dan
pemahaman materi (Komalasari, 2013, hlm. 14-15).