landasan filosofis pembelajaran kontekstual (previously-cannot-be-saved).docx

43
A. Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual Kecenderungan masa depan yang semakin kompleks dan rumit, mengharuskan pendidikan dapat mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi dunia nyata, peserta didik harus disadarkan pada harapan yang akan mereka capai, tantangan yang akan mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Sekolah harus bisa menjadi laboratorium kehidupan bagi peserta didik dalam menghadapi kehidupan riil sehari-harinya, bukan hanya sebagai tempat mencari pendidikan secara formal yang teoretis, akontekstual dan abstrak, yang berupa rutinitas ceremonial keilmuan semata, tanpa berupaya lebih untuk bisa memberi makna dalam setiap proses pembelajarannya. Kesadaran tentang perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar peserta didik belum mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari. Hal ini disebabkan pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh aspek praktis kehidupan mereka, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Kenyataan dalam kebanyakan praktik pendidikan sekarang, pengajaran hanya menonjolkan tingkat hapalan dari materi atau pokok bahasan, tetapi belum diikuti

Upload: rizkiya-fauziyah

Post on 11-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kontekstual

TRANSCRIPT

Page 1: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

A. Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual

Kecenderungan masa depan yang semakin kompleks dan rumit,

mengharuskan pendidikan dapat mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi

dunia nyata, peserta didik harus disadarkan pada harapan yang akan mereka capai,

tantangan yang akan mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka

kuasai. Sekolah harus bisa menjadi laboratorium kehidupan bagi peserta didik dalam

menghadapi kehidupan riil sehari-harinya, bukan hanya sebagai tempat mencari

pendidikan secara formal yang teoretis, akontekstual dan abstrak, yang berupa

rutinitas ceremonial keilmuan semata, tanpa berupaya lebih untuk bisa memberi

makna dalam setiap proses pembelajarannya. Kesadaran tentang perlunya

pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, didasarkan pada kenyataan bahwa

sebagian besar peserta didik belum mampu menghubungkan antara apa yang

mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata mereka

sehari-hari. Hal ini disebabkan pemahaman konsep akademik yang mereka

peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh aspek praktis

kehidupan mereka, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat.

Kenyataan dalam kebanyakan praktik pendidikan sekarang, pengajaran

hanya menonjolkan tingkat hapalan dari materi atau pokok bahasan, tetapi belum

diikuti dengan pemahaman dan pengertian yang mendalam untuk bisa diterapkan

ketika berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupan nyata. Pendidikan yang

terjadi di sekolah-sekolah, selama ini hanya menterjemahkan pendidikan sebagai

transfer of knowledge dari pendidik kepada peserta didik. Model pendidikan

seperti ini oleh Paulo Fraire dikritik sebagai banking education (Fraire, 1970,

hlm. 119) yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya

diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan

penindasan. Model pendidikan seperti ini hanya berfungsi untuk mematikan

kreativitas peserta didik, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme. Akibat

verbalisme atau banking education ini, teori yang diajarkan di sekolah bukannya

membumi, malah tercerabut dari pengalaman keseharian peserta didik.

Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana peserta didik

disamakan dengan celengan dan pendidik adalah penabungnya. Yang terjadi

27

Page 2: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

bukanlah proses komunikasi, tetapi pendidik menyampaikan pernyataan-

pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihapal dan diulangi dengan

patuh oleh peserta didik. Inilah konsep pendidikan banking education, dimana

ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan peserta didik hanya terbatas pada

menerima, mencatat, dan menyimpan (Freire, 2008, hlm. 52). Pendidikan

seolah menjadi tidak harus bersentuhan dengan persoalan realitas sosial, atau

pendidikan seringkali dijalankan tanpa memperhatikan akar persoalan riil.

Pendidikan yang terjadi selama ini adalah, bahwa proses pendidikan

selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh peserta didik, padahal

proses pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang minimal sanggup

menyelesaikan persoalan yang melingkupinya, atau manusia yang sanggup

melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Pendidikan bukan hanya untuk

mempersiapkan peserta didik bagi kehidupan mereka nanti di masyarakat, tetapi

sekolah sendirilah yang harus bisa menjadi masyarakat mini dalam kehidupan riil

peserta didik, dimana praktik yang ada dalam masyarakat perlu juga diadakan

secara nyata di sekolah. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses

hidup bukan hanya persiapan untuk kehidupan yang akan datang, pendidikan

yang sesungguhnya harus berkesinambungan dengan kehidupan sosial.

“Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life”

(Dewey, 1964, hlm. 2). Lebih jauh dikatakan bahwa proses pembelajaran harus

melibatkan peranserta aktif peserta didik, yang melibatkan kontrol sosial yang

meminimalisir pembelajaran yang hanya menjadi kegiatan pentransferan materi-

materi yang diberikan kepada individual saja, tanpa ada disposisi mental dan

emosional, sebagaimana (Dewey, 1964, hlm. 325), menjelaskan:

When learning is a phase of active undertakings which involve mutual exchange, social control enters into the very process of learning. When the social factor is absent, learning becomes a carrying over of some presented material into a purely individual consciousness, and there is no inherent reason why it should give a more socialized direction to mental and emotional disposition.

Page 3: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

Pengetahuan dikatakan akurat ketika pengetahuan itu mencerminkan

realitas. Oleh sebab itu pembelajaran bukan sebuah cerminan dari dunia luar yang

diperoleh melalui pengamatan-pengamatan saja, tetapi harus melibatkan interaksi-

interaksi peserta didik dengan merepresentasikan pengetahuan dari dunia luar

melalui pengalaman-pengalaman, pengamatan terhadap model-model, dan

pengajaran. Materi pengetahuan menurut (Schunk, 2012, hlm. 232) dikatakan

bahwa:

The acquisition of knowledge represents a reconstruction of the external world. The world influences beliefs through experiences, exposure to models, and teaching. Knowledge is accurate to the extent it reflects external reality. This view posits a strong influence ot the external world on knowledge construction, such as by experiences, teaching, an exposure to models.

Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi peserta didik terhadap fenomena

lingkungannya, dibutuhkan sebuah strategi pembelajaran yang dapat

memaksimalkan pemahaman peserta didik dengan lingkungannya tersebut.

Strategi pembelajaran ini harus bersifat alamiah yang memungkinkan peserta

didik lebih mengalami daripada mengetahui. Lingkungan sangat mempengaruhi

dalam menentukan kepribadian peserta didik, lingkungan dapat mendukung

kematangan proses berpikir peserta didik, menyediakan model yang dapat

dijadikan pedoman oleh peserta didik, dan lingkungan memberikan kesempatan

belajar kepada peserta didik. Sebagaimana (Hurlock, 1898, hlm. 79)

mengemukakan:

The environment influences the personality pattern most notably in three ways: it encourages or stunts the maturation of hereditary potentials; it provides personality pattern models which the individual uses as guide; and it either provides or denies needed learning opportunities.

Pembelajaran yang lebih berorientasi pada strategi mengalami ini adalah

pembelajaran kontekstual. Setiap materi yang disajikan memiliki makna dengan

kualitas yang beragam. Makna yang berkualitas adalah makna kontekstual, yakni

dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan personal siswa (Alwasilah

dalam pengantar Jhonson 2010, hlm. 21). Landasan filosofis pembelajaran

Page 4: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa

belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi merekonstruksikan atau membangun

pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka

alami dalam kehidupannya (Muslich, 2011, hlm. 41). “Constructivism is a

psychological and philosophical perspective contending that individuals form or

construct much af what they learn and understand” (Bruning dalam Schunk, 2012,

hlm. 229). Hal ini mengisyaratkan bahwa konstrukstivisme merupakan perspektif

psikologis dan filosofis yang memberikan pandangan bahwa setiap individu dapat

membentuk dan membangun sebagian besar materi dari apa yang mereka pelajari

dan mereka pahami. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas),

pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, pengetahuan selalu

merupakan akibat dari suatu konstruksi kenyataan melalui kegiatan seseorang.

Seseorang membentuk sekema, kategori, konsep, dan struktur

pengetahuannya yang diperlukan untuk pengetahuan (Glasersfeld dalam Komalasari,

2013, hlm. 15). Dengan demikian, pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari

pengamatan, melainkan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari

pengamatan atau dunia sejauh dialaminya. Konstruktivisme merupakan landasan

berpikir (filosofi) pada pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu bahwa

pengetahuan dibangun oleh manusia yang bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,

atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, manusia harus mengkonstruksi

pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Dikdasmen, 2002,

hlm. 11). Lebih jauh dikatakan (Komalasari, 2013, hlm. 16), bahwa:

Pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia, manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan proses yang berkembang terus menerus.

Esensi utama konstruktivisme memandang bahwa peserta didik merupakan

individu yang aktif yang dapat mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka

Page 5: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

sendiri, hal ini senada dengan (Geary dalam Schunk, 2012, hlm. 231) yang

menyebutkan bahwa “a key assumption of constructivism is that people are active

learns and develop knowledge for themselves”. Konstruktivisme tidak terpaku pada

pembelajaran yang baku yang hanya teacher centered ataupun student centered.

Dimana peserta didik dijadikan objek dalam proses pembelajaran dan pendidik

menjadi subjek dalam proses pembelajaran tersebut, tetapi konstruktivisme

memposisikan kesetaraan antara peserta didik dan pendidik dalam proses

pembelajaran, peserta didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek belajar dan

keilmuan atau materi pelajaran adalah yang menjadi objek dalam proses

pembelajaran tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya proses elaborasi terhadap

prinsip-prinsip dan konsep yang dipelajari guna membangun pengetahuan yang baru

yang lebih bermakna. Oleh karena itu belajar haruslah menghidupkan topik yang

mati, sehingga tercipta pemahaman, penguasaan, dan rasa cinta pada materi yang

diajarkan serta tumbuh komitmen untuk mempelajarinya lebih dalam. Mengajar

idealnya mampu memberikan pengalaman baru dan pencerahan pada peserta didik

sehingga mereka mengalami sendiri dalam proses pembelajaran tersebut,

konstruktivisme memandang pentingnya peran peserta didik untuk membangun

constructive habits of mind dalam diri masing-masing peserta didik melalui

pembelajaran (Driver dan Leach, 1993, hlm. 103-112).

Oleh sebab itu kemudian konstruktivisme melandasi pembelajaran

kontekstual. Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar peserta didik

dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman,

pengetahuan hanya akan fungsional manakala pengetahuan itu dibangun oleh setiap

individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan yang

bermakna dalam kehidupan peserta didik. Atas dasar asumi yang mendasar itulah,

maka filsafat konstruktivisme menjadi landasan dalam pembelajaran kontekstual,

sehingga peserta didik akan terdorong dan termotivasi untuk mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.

B. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu

Page 6: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata

peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka

sehari-hari (Depdiknas, 2002, hlm. 34). Senada dengan itu (Komalasari, 2013,

hlm. 6) menyebutkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep

belajar dan mengajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang

diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan

pekerja.

“Contextual teaching and learning enables to connect the content of

academic subjects the immadiate context of their daily lives to discover

meaning” (Jhonson, 2002, hlm. 24). Johnson menjelaskan bahwa pembelajaran

kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya agar peserta

didik dapat mengaitkan antara materi yang diterimanya dengan konteks

kehidupan sehari-hari mereka, hal ini dilakukan agar materi pelajaran yang

diterima peserta didik akan lebih bermakna bagi kehidupannya.

Blanchard (2001, hlm. 1), Bern & Erickson menjelaskan tentang

pembelajaran kontekstual, menurutnya:

Contextual teaching learning is a conception of teaching and learning that helps teacher relate subject matter content to real world situation, and motivates students to make connection between knowledge and its aplications to their lives as family members, citizens, and workes engage in the hard work that learning requires.

Hal ini memberikan arti bahwa pembelajaran kontekstual merupakan

konsep belajar dan mengajar yang membantu pendidik untuk mengaitkan antara

materi yang disampaikan dengan situasi dunia nyata peserta didiknya, peserta

didik dapat menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan

penerapan praktis di dalam konteks kehidupan nyata. Peserta didik dapat

menginternalisasi konsep, penemuan, penguatan, dan keterhubungan setiap kali

proses pembelajaran dilakukan. Pembelajaran mendorong peserta didik untuk

mengelaborasi pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam

Page 7: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja.

Senada dengan pernyataan tersebut, (Johnson, 2002, hlm. 24-25)

mengemukakan bahwa:

CTL is a holistic system. It consists of interrelated parts that, when interwoven, produce an effect that exceeds what any single part could achieve. CTL, the distinctive educational approach made up of these parts, does more than guide students to join academic subjects with the context of their own aircumstances. It also engages students in exploring the meaning of “context” itself.

Menurut Johnson pembelajaran kontekstual merupakan sebuah sistem

yang menyeluruh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung, jika

bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang

melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Pembelajaran

kontekstual merupakan suatu pendekatan pendidikan yang melakukan lebih dari

sekedar menuntun peserta didik dalam menggabungkan subjek-subjek akademik

dengan konteks keadaan mereka sendiri dengan melibatkan peserta didik dalam

mencari makna “konteks” itu sendiri. Lebih jauh dikatakan (Johnson, 2002, hlm.

25), menurutnya pembelajaran kontekstual adalah:

The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the folowing eight components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using autentic assessment.

Pembelajaran kontekstual lebih lanjut dikatakan Johnson, menurutnya

pembelajaran kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan untuk

menolong peserta didik melihat makna di dalam materi akademik yang mereka

pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks

dalam kehidupan nyata mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial,

dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan

komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan

pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan

kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan

Page 8: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian

autentik.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu

pendidik mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata

peserta didik, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sehari-hari (Muslich, 2011, hlm. 40). Sementara (Sanjaya, 2005, hlm. 109)

memberikan pengertian tentang pembelajaran kontekstual, menurutnya:

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan mereka, sehingga mendorong peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Peserta didik dalam proses pembelajaran harus bisa membangun

pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri, dan pendidik dapat memfasilitasi

proses ini dengan mengajar yang menjadikan informasi bermakna dan relevan

bagi peserta didik, dengan memberi kesempatan kepada peserta didik

menemukan atau menerapkan sendiri gagasan, dan dengan mengajari peserta

didik untuk menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi mereka sendiri

untuk belajar, pendidik dapat memberikan tangga menuju pemahaman yang

lebih tinggi kepada peserta didik, dan peserta didik sendiri yang harus menaiki

tangga tersebut (Slavin, 2011, hlm. 4).

Dari pengertian-pengertian yang disebutkan di atas jelas terdapat esensi

yang ingin disampaikan dari pembelajaran kontekstual, pertama, bagi pendidik

pembelajaran kontekstual menuntut kreativitas dan inovasi serta metode yang

lebih variatif dalam upaya untuk bisa mengaitkan materi pembelajaran dengan

situasi dan kondisi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, bagi

peserta didik dengan adanya pembelajaran kontekstual peserta didik jadi lebih

aktif dan berpartisifatif dalam setiap proses pembelajaran, peserta didik merasa

tertantang dengan pembelajaran yang dilakukan, peserta didik terdorong untuk

mempelajari lebih jauh dan mengkonstruks materi pembelajaran dengan

kehidupan dunia nyata mereka sehari-hari, sehingga proses pembelajaran lebih

Page 9: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

menyenangkan dan lebih bermakna serta teraplikasi bagi peserta didik dalam

kehidupan nyata. Ketiga, pembelajaran kontekstual membantu peserta didik

menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis

di dalam konteks dunia nyata. Peserta didik dapat menginternalisasikan konsep

melalui pengalaman belajar, penemuan, penguatan dan keterhubungan dalam setiap

proses pembelajaran yang terjadi. Sehingga proses pembelajaran tidak hanya transfer

ilmu pengetahuan yang bersifat surface learning semata tetapi lebih dari itu proses

pembelajaran bisa membuat peserta didik untuk lebih bisa memahami, memaknai,

dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari atau pembelajaran

secara deep learning.

Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar dimana

pendidik menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara peserta didik memperoleh

pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, kemudian sedikit demi

sedikit dari proses mengkonstruksi sendiri sebagai bekal memecahkan masalah

dalam kehidupannya, sehingga pembelajaran yang didapatkan oleh peserta didik jadi

lebih bermakna dan teraplikasikan dalam kehidupan nyata peserta didik.

Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa peserta didik belajar

lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan

alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami.

Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal

dalam membekali peserta didik untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.

Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar,

sehingga pendidik dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang lebih

variatif dengan prinsip membelajarkan dan memberdayakan peserta didik.

Dengan prinsip pembelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi

seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima peserta didik, melainkan

harus dikonstruksi (dibangun) sendiri oleh peserta didik dengan difasilitasi oleh

pendidik. Peserta didik belajar dengan mengalami sendiri, mengkonstruksi

pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Peserta didik harus

Page 10: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan keterampilan

yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Disinilah tugas

pendidik untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu

menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya.

Peserta didik menjadi subjek belajar sebagai pemain dan pendidik berperan

sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh

komponen utama, yaitu: (1) constructivism (konstruktivisme, membangun,

membentuk), (2) questioning (bertanya), (3) inquiry (menyelidiki,

menemukan), (4) learning community (masyarakat belajar), (5) modelling

(pemodelan), (6) reflection (refleksi atau umpanbalik), dan (7) authentic

assessment (penilaian yang sebenarnya) (Aqib, 2013, hlm. 7), (Hamruni,

2012, hlm. 141-147), (Muslich, 2011, hlm. 43), dan (Sanjaya, 2010, hlm.

263-268).

Pembelajaran kontekstual menekankan bahwa peserta didik belajar

dengan cara mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan barunya, pembelajaran

dipersepsi untuk menghadirkan relevansi dengan kehidupan nyata, melakukan

kagiatan pemecahan masalah untuk menemukan makna dalam keragaman

kebermaknaan, mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya,

menciptakan masyarakat belajar, sehingga peserta didik menjadi manusia

pembelajar sepanjang hayat. Kemudian menghadirkan model sebagai contoh

pembelajaran. Pendidik dan orang dewasa di sekeliling peserta didik menjadi model

yang sangat efektif dalam pembelajaran ini. Melakukan refleksi dalam setiap

akhir pembelajaran untuk menguatkan bangunan pengalaman yang diterima

peserta didik dan melakukan penilaian dengan berbagai cara untuk

mendapatkan hasil belajar yang sesungguhnya.

Dengan demikian, kegiatan pembelajaran akan lebih konkret, lebih realistik,

lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. Kegiatan

pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih berkualitas, lebih

mendorong timbulnya kreativitas dan produktivitas serta efisiensi, selain itu hasil

belajar meningkat, karena dalam pembelajaran yang kontekstual dipergunakan

Page 11: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

semua alat indra secara serentak sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih

aktual, konkret, realistik, nyata, menyenangkan, dan bermakna dengan dikonstruk

sendiri oleh peserta didik dalam setiap kali proses pembelajaran terjadi.

1. Prinsip Ilmiah Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual sasaran utamanya untuk mencari makna dengan

menghubungkan kegiatan akademik dengan kehidupan nyata keseharian peserta

didik. Menerapkan pembelajaran kontekstual terlebih dahulu para pendidik harus

memahami prinsip-prinsip ilmiahnya, karena pendidik berkewajiban untuk

meningkatkan kemampuan akademik dan kemampuan berpikir peserta didik serta

terkontekstualisasikan dalam kehidupan riil peserta didik. Pembelajaran kontekstual

akan memberikan keunggulan akademik serta dapat efektif ketika pendidik

memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip ilmiah pembelajaran kontekstual, dalam

hal ini Jhonson (2002) memberikan tiga prinsip ilmiah dalam pembelajaran

kontekstual, prinsip ilmiah tersebut sebagaimana berikut ini:

a. Prinsip Saling-Keterkaitan

Menurut para ilmuan modern, segala sesuatu di alam semesta saling terkait

dan saling berhubungan. Segalanya, baik manusia, maupun bukan manusia, benda

hidup dan tidak hidup, terhubung satu dengan yang lainnya. Semuanya berperan

dalam pola jaringan hubungan yang rumit (Jhonson, 2009, hlm. 69). Prinsip ini

memungkinkan peserta didik untuk membuat hubungan yang bermakna yang

membentuk pemikiran yang kritis dan kreatif. Prinsip ini merupakan prinsip

kebersamaan, di samping itu manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan

hubungan satu individu dengan individu lainnya. Prinsip saling-keterkaitan antara

pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan

peserta didik lainnya, peserta didik dengan masyarakat luar sekolah, dan masyarakat

luar sekolah dengan peserta didik, serta antara peserta didik dengan lingkungan alam

dimana dia berada.

Prinsip pembelajaran kontekstual mengisyaratkan antara pendidik, peserta

didik, dan masyarakat serta alam merupakan sistem yang saling terkait di dalam

Page 12: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

menghubungkan konteks dan menemukan makna dari persoalan dan gejala alam

yang terjadi dalam lingkungan kehidupan peserta didik. Kemudian secara bersama-

sama dapat memecahkan persoalan, merancang suatu rencana, mengambil suatu

keputusan dan kesimpulan. Masing-masing komponen dapat saling memberi dan

menerimanya, bertanya dan menjawab konteks yang dibutuhkan (Yamin, 2013, hlm.

54). Lebih jauh lagi, prinsip saling-keterkaitan memungkinkan pendidik untuk dapat

menentukan tujuan yang jelas pada standar akademik yang tinggi. Prinsip ini

mendukung kerjasama dalam menemukan dan menyelesaikan masalah yang

diberikan pendidik kepada peserta didik. Pendidik yang baik dapat membangun

hubungan dua arah, pendidik dan peserta didik secara bersama-sama saling belajar

dan bekerjasama antara satu sama lainnya (Lickona, 2012, hlm. 141). Dengan

bekerjasama peserta didik terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana,

dan mencari pemecahan masalah. Bekerjasama akan membantu mereka mengetahui

bahwa saling mendengarkan akan menuntun pada keberhasilan. Pandangan setiap

orang yang berbeda dan kemampuan-kemampuan yang unik secara bersama-sama

akan tersusun menjadi sesuatu yang lebih besar daripada bagian-bagian yang kecil

(Jhonson, 2009, hlm. 73).

Prinsip saling-keterkaitan mengajak kita untuk meninggalkan kotak-kotak

isolasi kita, dan menghubungkan bermacam-macam ilmu, serta menciptakan

kemitraan yang inovatif. Prinsip ini menghubungkan semua hal di alam semesta

dengan hal yang lainnya yang mencakup beragam komponen sistem dalam

pembelajaran. Prinsip ini memerlukan penghubungan, penggabungan, berpikir kritis

dan kreatif, melakukan pembelajaran hands-on, merumuskan tujuan yang jelas,

menetapkan standar tinggi, melakukan tugas-tugas yang berarti untuk semua,

menghargai setiap orang, dan menggunakan metode penilaian yang menghubungkan

pembelajaran dengan dunia nyata.

b. Prinsip Diferensiasi

Kata diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta

Page 13: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

untuk menghasilkan keragaman yang tak terbatas, perbedaan, berlimpahan, dan

keunikan. Prinsip diferensiasi menggambarkan pembelajaran kontekstual untuk

menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman. Perilaku individu yang efektif

seringkali meliputi “dukungan situasional” yang terkadang terencana yang dapat

membantu peserta didik untuk mengendalikan perilakunya (Lickona, 2013, hlm.

188). Mengingat peserta didik memiliki latar belakang akademik dan sosial yang

berbeda, pembelajaran kontekstual memberikan peluang dan kesempatan untuk

saling isi dan mengisi serta memberi perhatian individu lebih panjang dan

terkonsentrasi. Keberagaman dan keberbedaan suatu yang unik, masing-masing

individu saling mempelajarinya dan saling kerjasama (Yamin, 2012, hlm. 54).

Peserta didik berpikir kreatif ketika mereka menggunakan pengetahuan

akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan anggota kelas mereka, ketika

mereka merumuskan langkah-langkah untuk menyelesaikan sebuah tugas sekolah,

atau mengumpulkan dan menilai informasi mengenai suatu masalah masyarakat.

Pembelajaran kontekstual yang melibatkan peserta didik secara aktif juga mendukung

adanya keunikan yang memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk

memunculkan cara belajar mereka sendiri yang khas, menjelajahi bakat, dan

berkembang dengan langkah mereka sendiri. Peserta didik yang maju dengan

langkah mereka sendiri akan beriringan dengan alam (Jhonson, 2009, hlm. 78).

Pembelajaran kontekstual memandang perbedaan dan keberagaman bukanlah

suatu kegagalan dalam pembelajaran, tetapi merupakan seni dan ragam yang akan

menjadikan pembelajaran berkualitas dan lebih bermakna, perbedaan dalam

memahami dan menghayati konteks suatu hal yang bernilai tinggi dan tidak harus

sama dengan memaknai suatu persoalan, pembelajaran adalah menciptakan peserta

didik menjadi dirinya sendiri (learning to be) dan mereka akan berkembang sesuai

dengan kemampuan yang dimilikinya (Yamin, 2012, hlm. 54).

c. Prinsip Pengaturan Diri (Self Regulation)

Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa setiap entitas terpisah di alam

semesta memiliki sebuah potensi bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran yang

menjadikannya sangat berbeda (Jhonson, 2009, hlm. 79). Prinsip ini meminta para

pendidik untuk mendorong setiap peserta didik mengeluarkan seluruh potensinya.

Page 14: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

Sasaran pembelajaran kontekstual adalah mendorong peserta didik mencapai

keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karir, dan mengembangkan

karakter dengan cara menghubungkan tugas sekolah dengan pengalaman serta

pengetahuan pribadinya. Untuk menjadi seorang yang berkarakter, berarti menjadi

orang yang terbaik. Oleh karena itu, tumbuh dalam karakter berarti berkembang

dengan potensi intelektual kita. Karakter baik diperlukan untuk hubungan

interpersonal dan potensi pribadi, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab

akademis (Lickona, 2012, hlm. 148-149). Ketika peserta didik menghubungkan

materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, mereka terlihat dalam

kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri (Yamin, 2012, hlm. 55).

Peserta didik akan menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku

sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis

informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Mereka bergabung

dengan peserta didik lain untuk memperoleh pengertian baru dan untuk memperluas

pandangan mereka. Dalam melakukan hal tersebut, para peserta didik menemukan

minat mereka, keterbatasan mereka, dan kekuatan imajinasi mereka. Peserta didik

tersebut pada akhirnya akan dapat menemukan siapa diri mereka dan apa yang

mereka bisa lakukan (Yamin, 2012, hlm. 55). Pendidik yang baik bukan hanya

menentukan standar yang tinggi, mereka pun membantu peserta didiknya membuat

materi pembelajaran tersebut menjadi miliknya dengan mengajarkan strategi untuk

evaluasi diri apa yang mereka yakini sebagai usaha terbaik mereka (Lickona, 2013,

hlm. 317).

Ketiga perinsip di atas, telah nampak bahwa pembelajaran kontekstual lebih

memberi kesempatan pada peserta didik untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Peserta didik merasa dirinya sebagai bagian dari kesatuan dalam proses yang diikuti,

memupuk kebersamaan, saling menghargai pendapat, menghormati gagasan orang

lain, tidak takut berbeda, dan menghargai perbedaan serta menjadikan dirinya sendiri

dengan caranya sendiri dalam melakukan proses pembelajaran dengan melibatkannya

secara aktif. Peserta didik tidak lagi menjadi objek pembelajaran tetapi bertindak

sebagai subjek pembelajaran dan pembelajaran yang dilakukan tidak hanya sebagai

alih pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Dengan pembelajaran

Page 15: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

kontekstual pengetahuan peserta didik lebih berkembang dan tumbuh melalui

pengalamannya merekonstruksi pengalaman-pengalaman dunia nyata yang

dialaminya.

Pembelajaran kontekstual membantu peserta didik menemukan makna dalam

pelajaran mereka dengan menghubungkan materi akademik yang diperoleh dengan

konteks keseharian mereka. Peserta didik membuat hubungan-hubungan penting

yang diatur sendiri, bekerjasama, berfikir kritis dan kreatif, dan berperanserta dalam

tugas-tugas penilaian autentik. Dengan didasari secara kuat oleh ilmu pengetahuan,

psikologi, dan penelitian mengenai otak, komponen-komponen pembelajaran

kontekstual menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang baru yang memberikan

semangat dan lebih menyenangkan bagi pendidik dengan menggunakan beragam

cara yang lebih inovatif. Dengan beberapa prinsip yang telah diuraikan di atas, maka

pembelajaran kontekstual dapat dipahami sebagai suatu konsep dari proses

pembelajaran yang membantu pendidik untuk dapat mengaitkan dan menghubungkan

materi dengan dunia nyata peserta didiknya. Senada dengan hal itu (Yamin, 2012,

hlm. 57), mengemukakan tentang pembelajaran kontekstual, menurutnya

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual merupakan:

Strategi yang aktivitas pembelajarannya berpusat kepada peserta didik (student oriented) dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, kerjasama, saling membantu sesama peserta didik, menggali, menemukan, mencontoh suatu pengetahuan dan keterampilan, menemukan ide-ide, dan perkembangan belajar yang dinilai melalui penilaian proses.

Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

kontekstual pada hakikatnya pembelajaran itu dilakukan untuk lebih

mengaktualisasikan potensi diri peserta didik dengan merekonstruksi sendiri materi

akademik dengan menghubungkannya terhadap kehidupan riil mereka sehari-hari,

pengetahuan dibangun melalui pengalaman diri, interaksi sosial, dan dengan

lingkungan nyata. Peserta didik dibimbing oleh pendidik untuk bisa menggunakan

penalarannya dan pemahaman mereka secara mendalam melalui berpikir kritis dan

kreatif dengan pembelajaran yang tidak terbatas hanya diruang kelas semata.

Sedangkan pembelajaran yang tradisional atau konvensional merupakan

pembelajaran yang mengutamakan hasil yang terukur dan pendidik berperan aktif

Page 16: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menghapal materi yang

disampaikan oleh pendidik serta materi pelajaran lebih didominasi tentang konsep,

fakta, dan prinsip yang abstrak dan teoretis. Pembelajaran kontekstual

mengisyaratkan pendidik untuk bisa memotivasi dan memfasilitasi peserta didik,

dalam upayanya untuk mengaplikasikan materi pembelajaran dalam kehidupannya

dengan menyeluruh, tidak hanya terbatas hanya kecerdasan kognitif semata, tetapi

meliputi kecerasan kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik, kecerdasan tidak

lagi menunjuk pada satu ranah saja, karena pendidikan mengarahkan kepada

pengembangan kecerdasan yang menyeluruh (multiple quotien), manusia bukan lagi

dipandang sebagai unsur yang terpisah-pisah (unsuriah) tetapi merupakan sosok

pribadi yang integrated, utuh dan kaffah (Sauri, 2006, hlm. 44), proses

pembelajaran itu dapat terjadi dan berlangsung pada tiga lingkungan, yakni

sekolah, keluarga, dan masyarakat (Budimansyah, 2012, hlm. iii).

2. Asas-Asas Pembelajaran Kontekstual

Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh

peserta didik bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk pendidik,

akan tetapi dari proses menemukan dan mengkonstruknya sendiri, maka pendidik

harus menghindari mengajar sebagai sebuah proses yang hanya penyampaian

informasi. Pendidik harus memandang peserta didik sebagai subjek belajar dengan

memperhatikan segala keunikannya. Peserta didik haruslah dipandang sebagai

individu yang aktif dan memiliki potensi untuk membangun dan menemukan serta

mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Apabila pendidik memberikan informasi

kepada peserta didik, maka pendidik harus memberi kesempatan untuk menggali

informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka (Sanjaya, 2010, hlm. 263-

264).

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki

tujuh asas (komponen). Asas-asas ini melandasi pelaksanaan proses pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Seringkali asas ini disebut juga

komponen-komponen pembelajaran kontekstual. Selanjutnya asas-asas itu seperti

yang dikemukakan di bawah ini:

Page 17: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

a. Konstruktivisme (constructivism)

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru

dalam struktur kognitif peserta didik berdasarkan pengalaman (Hamruni, 2012, hlm.

142). Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk

diambil dan diingat (Komalasari, 2013, hlm. 11). Manusia harus mengkonstruksi

pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pengetahuan itu

memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang.

Pengetahuan dibangun melalui pemahaman peserta didik dari pengalaman baru

berdasarkan pengetahuan awal, dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses

mengkonstruksi bukan hanya menerima pengetahuan (Aqib, 2013, hlm. 7). Oleh

sebab itu, pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi

bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut.

Kedua faktor itu sama pentingnya, dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat

statis tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan

mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget dalam Sanjaya (2010, hlm. 264-265)

menyatakan hakikat pengetahuan adalah sebagai berikut:

(1) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek, (2) subjek membentuk sekema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan, (3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Asumsi itu yang kemudian melandasi pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran melalui pendekatan kontekstual pada dasarnya mendorong agar peserta

didik bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan

pengalaman. Hal ini karena pengetahuan hanya akan fungsional manakala dibangun

oleh individu. Pengetahuan yang hanya diberikan tidak akan menjadi pengetahuan

yang bermakna. Atas dasar asumsi yang mendasari itulah, maka penerapan asas

konstruktivisme dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual, peserta didik

Page 18: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

didorong untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman

nyata (Sanjaya, 2010, hlm. 265). Dengan pengalaman nyata yang peserta didik

lakukan, maka nilai-nilai akademisi menjadi lebih bermakna dan lebih riil, sehingga

nilai-nilai akademis tersebut dapat menjadi nilai-nilai yang diaplikasikan dalam

kehidupannya. Karena nilai-nilai hidup itu adalah didapatkan, bukan hanya diajarkan

(Lickona, 2013, hlm. 118).

Peserta didik dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya.

Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat,

mendengar, menjamah, membau, atau merasakan. Peserta didik dapat mengetahui

sesuatu bukan dengan sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses

pembentukan. Semakin banyak peserta didik berinteraksi dengan objek dan

lingkungan, maka pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan

tersebut akan meningkat dan lebih rinci serta lebih riil dan bermakna (Budiningsih,

2012, hlm. 57). Lebih jauh Galserfeld dalam Budiningsih (2012, hlm. 57)

mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam

mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan

kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan

akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu

pengalaman yang satu dari pada lainnya.

b. Menemukan (Inquiry)

Menemukan (inquiry) berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian

dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah

sejumlah fakta hasil mengingat akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri.

Dengan demikian dalam proses pembelajaran pendidik bukanlah mempersiapkan

sejumlah materi yang harus dihapal, akan tetapi merancang pembelajaran yang

memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi yang harus

dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak

terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan peserta didik

berkembang secara utuh, baik intelektualnya, mental, emosional, maupun pribadinya

(Sanjaya, 2010, hlm. 265). Pembelajaran dilakukan melalui proses perpindahan dari

Page 19: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

pengamatan menjadi pemahaman dengan mengajak peserta didik untuk belajar

menggunakan keterampilan berpikir secara kritis (Aqib, 2013, hlm. 7).

Mengenai asas pembelajaran kontekstual dengan menemukan (inquiry)

(Komalasari, 2013, hlm. 12), menjelaskan bahwa:

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan menemukan sendiri melalui siklus: (1) observasi (observation), (2) bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaan (hypothesis), (4) mengumpulkan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion).

Berbagai topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses

inquiry, termasuk dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Secara umum

proses inquiry dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1) merumuskan

masalah, (2) mengajukan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis

berdasarkan data yang ditemukan, dan (5) membuat kesimpulan (Hamruni, 2012,

hlm. 143). Penerapan asas menemukan (inquiry) dalam pembelajaran kontekstual

dimulai dari adanya kesadaran peserta didik terhadap masalah yang jelas yang ingin

dipecahkan. Dengan demikian, peserta didik didorong untuk menemukan masalah.

Jika masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya peserta

didik dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan

masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang menuntun peserta didik untuk dapat

melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data. Manakala data telah

terkumpul, selanjutnya peserta didik dituntun untuk menguji hipotesis sebagai dasar

dalam merumuskan kesimpulan. Asas menemukan (inquiry) seperti ini, merupakan

asas yang penting dalam pembelajaran kontekstual. Melalui proses berpikir yang

sistematis seperti ini, diharapkan peserta didik memiliki sikap ilmiah, rasional, dan

logis, yang kesemuanya diperlukan sebagai dasar pembentukan kreativitas.

Pembelajaran kontekstual dengan asas menemukan (inquiry) dapat dilakukan

dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, sebagai sebuah contoh misalkan:

peserta didik dapat memahami fungsi zakat. Kemampuan yang ingin dicapai

pendidik adalah kemampuan peserta didik untuk memahami fungsi dan macam-

macam zakat. Untuk mencapai kompetensi tersebut maka peserta didik tidak

Page 20: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

langsung disuruh untuk membaca buku tentang zakat atau pendidik menyampaikan

materi tentang zakat, tetapi pendidik langsung menjelaskan kompetensi yang harus

dicapai, manfaat dari proses pembelajaran, dan pentingnya pembelajaran yang akan

dilakukan. Kemudian pendidik membagi seluruh peserta didik ke dalam beberapa

kelompok sesuai dengan jumlah peserta didik, kemudian setiap kelompok melakukan

tugas tertentu, misalkan kelompok 1 dan 2 melakukan wawancara dengan pengurus

takmir mesjid yang berpengalaman mengelola zakat, kelompok 3 dan 4 melakukan

wawancara ke lembaga bazis yang ada di wilayahnya. Melalui wawancara tersebut

peserta didik ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan tentang

pengertian, macam-macam, tata cara pengelolaan, dan fungsi zakat. Setelah kegiatan

itu dilakukan, di dalam kelas tiap-tiap kelompok melaporkan hasil temuan mereka di

lapangan yang dipresentasikan di dalam kelas sesuai dengan kelompoknya, kemudian

mendiskusikannya dan membuka forum tanya jawab terkait temuan mereka di

lapangan. Setelah kegiatan itu dilakukan baru seluruh peserta didik dengan dibimbing

oleh pendidik menyimpulkan hasil wawancara sekitar masalah zakat sesuai dengan

indikator hasil belajar yang harus dicapai (Hamruni, 2012, hlm. 148-150).

c. Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya

dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan

menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir

(Sanjaya, 2010, hlm. 266). Bertanya (questioning) bagi pendidik merupakan kegiatan

untuk mendorong, membimbing dan minilai kemampuan berpikir peserta didiknya,

dan bagi peserta didik hal ini merupakan bagian penting dalam pembelajaran guna

menggali informasi yang ingin diketahuinya (Aqib, 2013, hlm. 7). Dalam

pembelajaran kontekstual, pendidik tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi

memancing agar peserta didik dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya

menjadi sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan pendidik dapat

membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk menemukan setiap materi yang

dipelajarinya (Hamruni, 2012, hlm. 144).

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya, bagi

Page 21: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

pendidik bertanya dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan

menilai kemampuan berpikir peserta didiknya. Banyak terjadi di dalam kelas dimana

pendidik bertanya dan peserta didik mencoba untuk menjawab. Ada banyak cara

yang dilakukan oleh pendidik dalam bertanya. Cara pendidik menangani interaksi-

interaksi ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri bagi peserta didik dan dapat

memberikan pelajaran penting tentang rasa hormat (Lickona, 2013, hlm. 115). Bagi

peserta didik bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiry, yaitu

menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan

perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Komalasari, 2013, hlm. 12).

Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat

berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan peserta didik dalam

penguasaan materi pelajaran, (2) membangkitkan motivasi peserta didik untuk

belajar, (3) merangsang keingintahuan peserta didik terhadap sesuatu, (4)

memfokuskan peserta didik terhadap sesuatu yang diinginkan, dan (5) membimbing

peserta didik untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu. Dalam setiap tahapan

dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Karena itu,

kemampuan pendidik untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat

diperlukan (Hamruni, 2012, hlm. 144-145).

Kemampuan dan kesempatan yang diberikan pendidik kepada peserta didik

untuk bertanya merupakan kesempatan untuk merumuskan dan membahas

pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan peserta didik dalam

perkembangannya ini, serta menggali informasi bagi peserta didik untuk lebih

memaknai arti kehidupan ini. Karena apabila pertanyaan-pertanyaan yang peserta

didik ajukan terhadap pendidik dan peserta didik lain tidak mampu mengemukakan

dan mendiskusikan pertanyaan yang eksistensial, hal ini menciptakan putusnya

hubungan antara kehidupan sekolah dengan kehidupan riil peserta didik. Hal ini lah

yang mengakibatkan peserta didik seringkali mencari jawaban di tempat yang salah

kemudian mengarah kepada keputusasaan dan keterasingan (Lickona, 2012, hlm.

265-266).

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Page 22: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

Hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Pendidik

disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar

(Komalasari, 2013, hlm. 12). Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia,

menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh

komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan

sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan

menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan, konsep masyarakat

belajar (learning community) dalam pembelajaran kontekstual menyarankan agar

hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu

dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam kelompok belajar secara formal

maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh

dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu

memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi

pengalamannya pada orang lain. Inilah hakikat dari masyarakat belajar, yaitu

masyarakat yang saling berbagi (Sanjaya, 2010, hlm. 267).

Masyarakat belajar (learning community) menurut (Lickona, 2013, hlm. 157),

sangat berguna dalam:

Memupuk sebuah rasa kebersamaan di dalam sebuah kelompok, yang merupakan aspek dasar dari kebersamaan komunitas di dalam kelas. Ada tiga hal yang berkontribusi terhadap aspek komunitas ini: (1) kelas tersebut memiliki sebuah identitas kelompok, (2) setiap individu peserta didik merasa bahwa dia merupakan seorang anggota yang berguna di dalam kelompoknya, dan (3) setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompoknya.

Kegiatan belajar secara berkelompok menitikberatkan terhadap kerjasama

antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, dengan cara saling

bertukar pengalaman dan berbagi ide, yang melibatkan semua peserta didik yang

terikat dalam kegiatan belajar (Aqib, 2013, hlm. 7). Kerjasama dalam pembelajaran

yang dilakukan merupakan kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran,

mengajukan dan menjawab pertanyaan, kumunikasi interaktif antar sesama peserta

didik, antar peserta didik dengan pendidik, antar peserta didik dengan narasumber,

memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi

pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual (Komalasari, 2013, hlm. 9).

Page 23: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar

(learning community) dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui

kelompok belajar. Peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya

bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun

dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling belajar, yang

cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki

kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain (Hamruni, 2012,

hlm. 145). Dalam hal dan keadaan tertentu pendidik dapat mengundang orang-orang

yang dianggap kompeten serta memiliki keahlian khusus untuk membelajarkan

seluruh peserta didiknya. Misalnya, dokter untuk memberikan atau membahas

masalah kesehatan, para petani, tukang reparasi radio, seorang ustadz seorang ahli

tadjwid dalam mengajarkan cara tadjwid yang benar, seorang ahli qira’ah untuk

mengajarkan cara qira’ah yang benar. Dengan demikian masyarakat belajar yang

mengindikasikan kesalingterlibatan semua orang untuk saling bisa membelajarkan,

bertukar informasi dan bertukar pengalaman.

Mengundang dan menghadirkan narasumber dalam proses pembelajaran

merupakan sebuah upaya yang ingin dilakukan pendidik/peserta didik untuk

memaksimalkan kekuatan contoh yang baik, dan sosok yang benar-benar ahli serta

kompeten dalam bidangnya. Sehingga peserta didik dapat menggali informasi secara

maksimal dan menjadikan proses pembelajaran yang menarik serta menyenangkan,

dengan mengambil langkah-langkah bagi peserta didik untuk mengekspos potensi-

potensi yang mereka miliki yang berhubungan dengan materi akademik yang mereka

terima dari narasumber tersebut dengan cara bertukar pengalaman dan bertukar ide

(Lickona, 2012, hlm. 146).

e. Pemodelan (Modelling)

Asas pemodelan (modelling) adalah proses pembelajaran dengan

memperagakan sesuatu dengan contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik.

Asas pemodelan (modelling) merupakan sebuah proses penampilan suatu contoh agar

peserta didik berpikir, bekerja dan belajar (Aqib, 2013, hlm. 7). Dalam pembelajaran

Page 24: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Pendidik menjadi

model, tetapi pendidik bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang

dengan melibatkan peserta didik, misalnya peserta didik ditunjuk untuk menjadi dan

memberi contoh pada temannya, atau mendatangkan seseorang di luar sekolah

(Komalasari, 2013, hlm. 12). Sebagai sebuah contoh, misalnya pendidik memberikan

contoh cara mengerjakan berwudhu dengan benar dengan dimulai dari tahap awal

sampai tahap akhir, selain itu pendidik memberikan contoh cara mengerjakan salat

dengan benar, yaitu dengan memberikan contoh dari mulai: cara bertakbir, ruku,

sujud, dan seterusnya, pendidik olah raga memberikan contoh cara melempar bola,

pendidik kesenian memberi contoh cara memainkan alat musik (Hamruni, 2012, hlm.

146).

Proses modelling tidak terbatas dari pendidik saja, akan tetapi dapat juga

pendidik memanfaatkan peserta didik yang dianggap memiliki kemampuan. Misalkan

peserta didik yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk

menampilkan kebolehannya di depan teman-temanya, contoh lain misalkan peserta

didik yang juara qira’ah, adzan dan lain sebagainya diminta oleh pendidik untuk

memperlihatkan kebolehan dan cara-cara yang benar dalam melakukan serta

melaksanakannya di depan teman-teman mereka, dengan demikian peserta didik

dapat dianggap sebagai model. Pemodelan (modelling) merupakan asas yang cukup

penting dalam pembelajaran kontekstual, sebab melalui pemodelan (modelling)

peserta didik dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang

memungkinkan terjadinya verbalisme (Sanjaya, 2010, hlm. 267-268).

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah

dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau

peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya (Sanjaya, 2010, hlm. 268). Melalui

proses refleksi (reflection), pengalaman belajar itu akan dimasukan dalam struktur

kognitif peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan

yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi peserta didik akan

memperbaharui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah

Page 25: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

pengetahuannya (Hamruni, 2012, hlm. 146-147).

Dalam pembelajaran kontekstual dengan asas refleksi (reflection) pendidik

menggiring peserta didiknya untuk berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau

berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Peserta didik

mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru,

yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi

(reflection) merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang

baru diterimanya. Misalkan ketika pelajaran berakhir, pendidik memberikan

kesempatan kepada peserta didiknya untuk “merenung” atau mengingat kembali apa

yang telah mereka pelajarinya, peserta didik “merenung” kalau begitu, sikap saya

selama ini salah ya! Seharusnya, tidak boleh meninggalkan salat lima waktu dalam

kondisi apa pun juga, supaya tidak terjadi dikemudian hari maka peserta didik

berusaha memperbaiki sikapnya selama ini (Komalasari, 2013, hlm. 12). Biarkan

secara bebas peserta didik menafsirkan pengalaman belajarnya sendiri, sehingga ia

dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya. Metode ini sebagai induksi

yang menjadikan peserta didik bisa mengapresiasi pada tingkatan intelektual dan

emosional (Lickona, 2012, hlm. 190).

g. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)

Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan

berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil and paper test) dan

penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan

(project), produk (product), atau portofolio (Komalasari, 2013, hlm. 13). Proses

pembelajaran konvensional yang sering dilakukan pendidik pada saat ini biasanya

ditekankan kepada perkembangan aspek intelektualnya saja, sehingga alat evaluasi

yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa

jauh peserta didik telah mengetahui dan menguasai materi pelajaran (Sanjaya, 2010,

hlm. 268). Dalam pembelajaran kontekstual, keberhasilan pembelajaran tidak hanya

ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, tetapi perkembangan

seluruh aspek, baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor peserta didik. Oleh

karena itu, penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar

Page 26: Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual (Previously-cannot-be-saved).Docx

seperti hasil tes, UTS, UAS, dan UN semata, tetapi juga proses belajar melalui

penilaian nyata (Hamruni, 2012, hlm. 147).

Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan pendidik

untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan

peserta didiknya. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah peserta didik

benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman belajar peserta didik memiliki

pengaruh yang positif terhadap perkembangan mereka, baik perkembangan

intelektual maupun mental mereka. Penilaian ini dilakukan untuk mengukur

pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang lebih berorientasi pada penilaian

kinerja serta tugas-tugas yang relevan dan kontekstual (Aqib, 2013, hlm. 8). Penilaian

nyata (authentic assessment) dilakukan secara terintegrasi dengan proses

pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan

pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses

belajar bukan kepada hasil belajar.

Pembelajaran yang menerapkan konsep authentic assessment adalah

pembelajaran yang mengukur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar

(yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak

sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan

perkembangan aktivitas dan perolehan belajar selama proses pembelajaran di dalam

kelas ataupun di luar kelas. Dengan demikian penilaian pembelajaran untuk

menyeluruh dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dalam keseluruhan

tahapan proses pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Disamping itu, penilaian

tidak hanya diserahkan pada pendidik, tetapi peserta didik pun menilai peserta didik

lain dan dirinya sendiri (self-evaluation) dalam aktivitas pembelajaran dan

pemahaman materi (Komalasari, 2013, hlm. 14-15).