laju pertumbuhan lamun jenis dengan teknik...

14
LAJU PERTUMBUHAN LAMUN JENIS Halodule uninervis DENGAN TEKNIK TRANSPLANTASI TERFs DAN PLUG PADA JUMLAH ANAKAN YANG BERBEDA di KAMPUNG KAMPE, BINTAN Nurul Fatmawati 1) Arief Pratomo, S.T, M.Si 2) dan Ita Karlina 2) Department S-1 of Marine Science Faculty Marine Science and Fisheries, Maritim Raja Ali Haji University E-mail : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui pengaruh teknik transplantasi lamun dengan metode TERFs dan Plug serta perlakuan jumlah anakan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Halodule uninervis. Penelitian ini telah dilaksanakn pada bulan Februari sampai bulan Mei tahun 2016 di Kampung Kampe, Desa Malang Rapat, BINTAN. Penelitian ini menggunakan metode TERFs dan Plug. Adapun jumlah anakan lamun Halodule uninervis diberi perlakuan yaitu 1 anakan, 2 anakan, 3 anakan, 4 anakan, 5 anakan dengan 10 kali ulangan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Tiga Faktorial dengan analisis data menggunakan uji Two Way Annova. Laju pertumbuhan hasil transplantasi Halodule uninervis dengan metode TERFs maupun Plug tidak berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap perlakuan. Tetapi laju pertumbuhan per perlakuan terjadi perubahan disetiap waktunya. Sedangkan pada tingkat kelangsungan hidup lamun Halodule uninervis cenderung menurun pada kedua metode. Dan biomassa lamun Halodule uninervis adalah berkisar antara 0,011 0,022 gr/hari. Kata Kunci :Transplantasi Lamun, Anakan Lamun, TERFs, Plug, Halodule uninervis SEAGRASS GROWTH RATE BY SPECIES Halodule uninervis TRANSPLANTATION TECHNIQUE TERFs AND PLUG TO AMOUNT DIFFERENT TILLER In KAMPE VILLAGE, BINTAN Abstrack This study aimed to determine the effect of seagrass transplantation technique TERFs and Plug and different number of suckers on the growth and survival rates Halodule uninervis. This study was conducted from February to May 2016 in Kampe, Malang Rapat village, BINTAN. This study uses TERFs and Plug method. The number of tillers seagrass Halodule uninervis treated namely 1 puppies, 2 puppies, 3 puppies, 4 puppies, puppies 5 to 10 repetitions. The design used was a randomized block design with three factorial analysis of test data using Two Way Annova. The growth rate of the transplanted seagrass Halodule uninervis on methods and Plug TERFs no significant effect (p <0.05) in the treatments. But the growth rate of each treatment changes every time. While the survival rate of seagrass Halodule uninervis tended to fall in the second method. And biomass of seagrass Halodule uninervis ranges from 0.011 to 0.022 g / day. Keywords: Seagrass Transplantation, Tillers Seagrass, TERFs, Plug, Halodule uninervis

Upload: dokiet

Post on 09-May-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAJU PERTUMBUHAN LAMUN JENIS Halodule uninervis DENGAN TEKNIK

TRANSPLANTASI TERFs DAN PLUG PADA JUMLAH ANAKAN YANG

BERBEDA di KAMPUNG KAMPE, BINTAN

Nurul Fatmawati1)

Arief Pratomo, S.T, M.Si2) dan Ita Karlina2)

Department S-1 of Marine Science

Faculty Marine Science and Fisheries, Maritim Raja Ali Haji University

E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui pengaruh teknik

transplantasi lamun dengan metode TERFs dan Plug serta perlakuan jumlah anakan yang

berbeda terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Halodule uninervis. Penelitian

ini telah dilaksanakn pada bulan Februari sampai bulan Mei tahun 2016 di Kampung Kampe,

Desa Malang Rapat, BINTAN. Penelitian ini menggunakan metode TERFs dan Plug. Adapun

jumlah anakan lamun Halodule uninervis diberi perlakuan yaitu 1 anakan, 2 anakan, 3 anakan,

4 anakan, 5 anakan dengan 10 kali ulangan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan

Acak Kelompok Tiga Faktorial dengan analisis data menggunakan uji Two Way Annova. Laju

pertumbuhan hasil transplantasi Halodule uninervis dengan metode TERFs maupun Plug tidak

berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap perlakuan. Tetapi laju pertumbuhan per perlakuan terjadi

perubahan disetiap waktunya. Sedangkan pada tingkat kelangsungan hidup lamun Halodule

uninervis cenderung menurun pada kedua metode. Dan biomassa lamun Halodule uninervis

adalah berkisar antara 0,011 – 0,022 gr/hari.

Kata Kunci :Transplantasi Lamun, Anakan Lamun, TERFs, Plug, Halodule

uninervis

SEAGRASS GROWTH RATE BY SPECIES Halodule uninervis

TRANSPLANTATION TECHNIQUE TERFs AND PLUG TO AMOUNT

DIFFERENT TILLER In KAMPE VILLAGE, BINTAN

Abstrack

This study aimed to determine the effect of seagrass transplantation technique TERFs

and Plug and different number of suckers on the growth and survival rates Halodule uninervis. This study was conducted from February to May 2016 in Kampe, Malang Rapat village, BINTAN. This study uses TERFs and Plug method. The number of tillers seagrass Halodule

uninervis treated namely 1 puppies, 2 puppies, 3 puppies, 4 puppies, puppies 5 to 10 repetitions. The design used was a randomized block design with three factorial analysis of

test data using Two Way Annova. The growth rate of the transplanted seagrass Halodule uninervis on methods and Plug TERFs no significant effect (p <0.05) in the treatments. But the growth rate of each treatment changes every time. While the survival rate of seagrass Halodule

uninervis tended to fall in the second method. And biomass of seagrass Halodule uninervis ranges from 0.011 to 0.022 g / day.

Keywords: Seagrass Transplantation, Tillers Seagrass, TERFs, Plug, Halodule

uninervis

PENDAHULUAN

Lamun merupakan tumbuhan yang tumbuh terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini berbunga, berpembuluh, berdaun, berakar ,

berimpang dan dapat berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas). (Hutomo,

2009 dalam Sambara, 2014). Transplantasi lamun merupakan upaya restorasi dan rehabilitasi lamun secara asexual. Menurut

Lanuru (2011) transplantasi lamun adalah cara cepat untuk merestorasi habitat padang lamun.

Dengan adanya transplantasi ini, habitat padang lamun akan terbentuk sebelum proses rekolonisasi secara alami terjadi. Ada beberapa

metode dalam transplantasi lamun, contohnya metode transplantasi TERFs dan Plug

(BTNKpS, 2007). Transplantasi TERFs (Tranplanting Eelgrass Remotely with Frame system) merupakan teknik transplantasi dengan

menggunakan jangkar sedangkan metode Plug merupakan metode tranplantasi dengan tidak

menggunakan jangkar. Transplantasi lamun ini telah dikembangkan dengan berbagai metode agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan

tempat hidup lamun. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dilakukan dengan

melakukan teknik transplantasi metode TERFs dan Plug didaerah Kampung Kampe dan transplantasi lamun ini belum pernah

dilakukan di daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan lamun jenis

Halodule uninervis karena jenis tersebut termasuk kedalam spesies pionir (Duarte, 1991) dan salah satu makanan utama dari

dugong adalah jenis lamun ini (Dahuri, 2003). Azkab (1988) juga menyebutkan bahwa

kerusakan padang lamun akan mempengaruhi kehidupan dan penghidupan bagi spesies dugong. Dugong memakan rimpang dan akar

yang lembut dari beberapa jenis lamun salah satunya adalah jenis Halodule uninervis. Oleh

sebab itu, lamun jenis Halodule uninervis yang menjadi objek pada penelitian ini.

Tujuan dari transplantasi lamun ini

adalah untuk mengetahui pengaruh teknik transplantasi lamun dengan metode TERFs dan

Plug serta perlakuan jumlah anakan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Halodule uninervis.

Manfaat penelitian ini diharapkan mampu memperbaiki teknik transplantasi

dalam merehabilitasi dan merestorasi

berdasarkan konsep konservasi di Kampung Kampe, Desa Malangrapat, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2016 berlokasi di

perairan Kampung Kampe, Desa Malang rapat, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten

Bintan.

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan

No. Alat dan bahan kegunaan

1. Aquades Membilas alat 2. Lamun sampel

3. Snorkling Mengambil dan mengembalikan bibit.

4. Kamera Dokumentasi 5. GPS Menentukan titik

6. Frame Media transplantasi 7. Plug Alat transplantasi 8. Sepatu boot Alas kaki

9. Box Meletakkan bibit 10. Kertas tisu Mengikat bibit

11. Gunting Memotong bibit 12. Alat tulis Mencatat data 13. Jangka sorong Mengukur lamun

14. Multitester Mengukur pH, DO, dan suhu

15. Saltmetre Mengukur salinitas 16. Current Drouge Mengukur

kecepatan arus

17. Secchi disk Mengukur kecerahan

18. Timbangan digital

Mengukur bobot lamun

Bibit yang digunakan dalam transplantasi ini adalah bibit dengan anakan 1, 2, 3, 4 dan 5.

Langkah-langkah dalam mentransplantasi lamun sebagai berikut.

1. Metode TERFs

Metode TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame System) merupakan metode transplantasi lamun

yang dikembangkan oleh F. T. Short di Universitas of New Hampshire, USA (Short

et al., 2001; Taurusman, et al., 2009; BTNKpS, 2007). Metode TERFs ini menggunakan media frame besi/kawat

berukuran 30 cm x 60 cm, dimana bibit

lamun yang diambil dari padang lamun donor diikat pada frame dengan menggunakan pengikat yang mudah larut

yaitu kertas tisu. Jarak tanam pada metode TERFs yaitu 15 cm. Tiap frame diisi oleh 10

bibit lamun per-anakan.

Gambar 1. Pola penanaman lamun dengan

menggunakan metode TERFs.

Langkah-langkah transplantasi dengan menggunakan medote TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame System),

sebagai berikut:

1. Siapkan 5 frame besi / kawat ukuran 30 cm X 60 cm dan tisu pengikat yang telah

digulung usahakan kedua alat ini jangan sampai basah.

2. Benih yang diambil dari padang lamun donor dipotong menjadi 1, 2, 3, 4, dan 5 anakan.

Gambar 2. Contoh bibit lamun

3. Benih yang telah dipotong diikat pada frame dengan menggunakan tisu dengan cara ikat

simpul. 4. Setiap satu frame diisi 10 bibit lamun

berdasarkan perlakuan yaitu frame pertama

diisi 10 bibit dengan 1 anakan, frame kedua diisi 10 bibit dengan 2 anakan begitu

seterusnya. 5. Setelah proses pengikatan selesai frame dan

bibit siap untuk ditanam dengan cara

membalikkan frame dan selanjutnya diletakkan diatas subtrat dengan sedikit

tekanan sehingga frame besi/kawat bagian

bawah dapat masuk beberapa centimeter ke dalam subtrat.

2. Metode Plug

Metode Plug (PHILLIPS, 1980 dalam

Abstract Petunjuk Penanaman Lamun oleh Muhammad Husni Azkab, 1999, Balitbang Biologi Laut, P3O-LIPI; Fonseca, M.S.,

1994; Fonseca et. al., 1998, BTNKpS, 2007) biasa dilakukan pada saat surut

terendah. Metode plug ini menggunakan dengan pipa PVC yang dibentuk sedemikian rupa untuk memindahkn bibit

lamun ke lokasi transplantasi. Pada kegiatan ini corer yang digunakan adalah sebuah pipa

paralon yang dapat diatur tingkat kevakumannya dengan sebuah valve kontrol udara di ujung atas tabung tersebut.

Langkah-langkah transplantasi dengan

menggunakan medote Plug:

1. Pembuatan lubang dengan PVC Corer untuk penanaman bibit lamun dengan diameter 15 cm dan memiliki kedalaman

15-20 cm. 2. Bibit lamun diambil dari tanaman

induknya dengan menggunakan PVC Corer (tanpa substrat) yang telah diatur kevakuman udaranya.

3. Bibit lamun yang diambil dimasukkan ke dalam lubang yang telah disediakan

sebelumnya lalu diatur sesuai dengan banyak tegakan seperti yang ada digambar 6.

4. Jarak tanam yang baik adalah 0,5 meter-1 meter.

Dalam hal ini monitoring dilakukan dengan melihat pertumbuhan lamun secara

visual. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan transplantasi lamun, diperlukan pengolahan data dengan menghitung tingkat kelangsungan

hidup lamun, laju pertumbuhan daun lamun dan pertumbuhan biomassa lamun. Dalam

pengolahan data tersebut dibutuhkan data parameter-parameter, yaitu jumlah tegakan lamun, panjang daun lamun, dan bobot lamun

itu sendiri. Sedangkan data penunjang pada

penelitian ini adalah parameter kualitas air yaitu suhu, salinitas, pH, kecepatan arus, kecerahan dan DO

Adapun pengolahan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun

yang Ditransplantasi

Tingkat kelangsungan hidup lamun Halodule uninervis yang ditransplantasi dihitung dengan menggunakan perhitungan

:

SR =𝑁𝑡

𝑁𝑜 𝑥100%

Dimana : SR = Tingkat Kelangsungan Hidup (%)

Nt = Jumlah tegakan lamun yang masih hidup padaakhir waktu peneltian

No = Jumlah tegakan lamun yang

ditransplantasikan pada awal penelitian

b. Laju Pertumbuhan Daun Lamun

Laju Pertumbuhan lamun Halodule uninervis yang ditransplantasi dihitung

dengan persamaan berikut (Supriyadi et.al., 2006 dalam Febriyantoro dkk, 2013):

Laju Pertumbuhan = Lt - Lo ∆t

Dimana : Lo = Panjang daun pada pengukuran awal

(mm) Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm) ∆t = Selang waktu pengukuran (hari)

c. Biomassa

Dalam hal ini data biomassa menggunakan berat basah dari daun lamun dengan menggunakan rumus sebagai

berikut.

B = 𝐵1−𝐵0

∆𝑡

Dimana : B = Biomassa lamun (g)

B1 = berat basah akhir (g) B0 = berat basah awal (g)

∆t = selang waktu (hari)

Analisis pada penelitian ini

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block Design) yaitu sebuah

rancangan percobaan yang digunakan untuk kondisi tempat yang tidak homogen. Pada

prinsipnya tempat percobaan harus dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang relatif homogen. Dalam hal ini untuk pengujian

menggunakan uji F dengan analisis Two Way Anova dan menggunakan bantuan program Ms.

Excel. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertambahan Tinggi Lamun Halodule

uninervis

Hasil transplantasi lamun jenis Halodule uninervis menunjukkan bahwa

adanya pertambahan tinggi disetiap minggunya. Berikut adalah grafik

pertambahan tinggi Halodule uninervis pada metode TERFs dan metode Plug.

Gambar 3. Pertambahan Tinggi Lamun Halodule uninervis pada metode TERFs

Gambar 4. Pertambahan Tinggi lamun

Halodule uninervis pada metode Plug

Dari hasil grafik diatas, pada metode TERFs yang dapat bertahan hingga dua bulan adalah pada tegakan 3, 4 dan 5. Sedangkan

pada metode Plug yang bertahan sampai dua bulan hanya pada tegakan 1 saja. Dari kedua

0

5

10

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8Pe

rtam

bah

an T

ingg

i H

alo

du

le u

nin

ervi

s (c

m)

Waktu

METODE TERFs

Tegakan 1

Tegakan 2

Tegakan 3

Tegakan 4

Tegakan 5

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8Pe

rtam

bah

an T

ingg

i Ha

lod

ule

un

iner

vis

(cm

)

Waktu

METODE PLUG

Tegakan 1

Tegakan 2

Tegakan 3

Tegakan 4

Tegakan 5

grafik tersebut terlihat bahwa pertambahan tinggi pada metode TERFs dan Plug memiliki pola dari linier hingga eksponensial yaitu

setiap minggunya mengalami kenaikan pertambahan tinggi.

B. Laju Pertumbuhan Lamun Halodule

uninervis

Laju pertumbuhan mingguan hasil transplantasi lamun Halodule uninervis

pada metode TERFs dan metode PLUG adalah sebagai berikut.

Gambar 5. Laju Pertumbuhan Lamun

Halodule uninervis (cm/hari) dalam mingguan

selama dua bulan

Gambar 6. Laju Pertumbuhan Lamun

Halodule uninervis (cm/hari) dalam mingguan

selama dua bulan

Pada grafik diatas menunjukkan bahwa adanya variasi laju pertumbuhan disetiap minggunya. Pada metode TERFs, tegakan

yang paling tinggi laju pertumbuhannya adalah pada tegakan 1 pada minggu keempat yaitu

0,61 cm/hari. Pada tegakan 2 pada minggu laju pertumbuhan yang maksimal adalah 0,24 cm/hari pada minggu kelima. Pada tegakan 3,

4 dan 5 laju pertumbuhan maksimal terjadi pada minggu ketiga yaitu 0,34 cm/hari, 0,28 cm/hari dan 0,42 cm/hari.

Sedangkan pada metode Plug laju

pertumbuhan yang paling tinggi terjadi diminggu ketiga pada tegakan 4 yaitu 0,52

cm/hari. Pada tegakan 1 dan 2 laju pertumbuhan maksimalnya juga terjadi pada minggu ketiga dengan masing-masing rata-rata

totalnya adalah 0,17 cm/hari dan 0,19 cm/hari. Laju pertumbuhan maksimal pada minggu

keempat terjadi pada tegakan 3 dengan rata-rata total 0,17 cm/hari. Sedangkan pada tegakan 5, laju pertumbuhan yang maksimal

terjadi pada minggu kelima dengan rata-rata total 0,20 cm/hari.

Untuk rata-rata total laju pertumbuhan

pada kedua metode adalah sebagai berikut.

Gambar 7. Rata-rata total laju pertumbuhan

pada metode TERF

Gambar 8. Rata-rata total laju pertumbuhan

pada metode Plug

Grafik pada gambar 13 menunjukkan bahwa rata-rata total laju pertumbuhan yang

paling tinggi adalah pada tegakan kelima dengan rata-rata total yaitu 0,016 cm/hari. Sedangkan rata-rata total laju pertumbuhan

yang paling rendah adalah tegakan pertama dengan total 0,012 cm/hari. Pada tegakan 2

dan tiga memiliki nilai rata-rata total laju

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8

Laju

Pe

rtu

mb

uh

an H

alo

dule

un

iner

vis

(cm

/har

i)

Waktu

Metode TERFs

TERFS 1_Teg

TERFS 2_Teg

TERFS 3_Teg

TERFS 4_Teg

TERFS 5_Teg

0,00

0,20

0,40

0,60

T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8

Laju

Pe

rtu

mb

uh

an H

alo

dule

u

nin

ervi

s(c

m/h

ari)

Waktu

Metode Plug

PLUG 1_Teg

PLUG 2_Teg

PLUG 3_Teg

PLUG 4_Teg

PLUG 5_Teg

0,000

0,010

0,020

1_Teg 2_Teg 3_Teg 4_Teg 5_Teg

Rat

a-ra

ta T

ota

l Laj

u

Pe

rtu

mb

uah

an H

alo

du

le

un

iner

vis

(cm

/har

i)

Perlakuan

TERFs

0,000

0,005

0,010

0,015

0,020

1_Teg 2_Teg 3_Teg 4_Teg 5_Teg

Rat

a-ra

ta T

ota

l Laj

u

Pe

rtu

mb

uh

an H

alo

dul

e u

nin

ervi

s (c

m/h

ari)

Perlakuan

Plug

pertumbuhan yang sama yaitu 0,015 cm/hari sedangkan pada tegakan 4 memiliki rata-rata total yaitu 0,013 cm/hari.

pada metode Plug rata-rata total laju pertumbuhan yang tertinggi adalah pada

tegakan 2 yaitu 0,016 cm/hari dan yang paling rendah pada tegakan 1 dan 5 yaitu 0,012 cm/hari. Pada tegakan 3 rata-rata total laju

pertumbuhannya adalah 0,014 cm/hari dan pada tegakan 4 memiliki rata-rata total laju

pertumbuhan yaitu 0,013 cm/hari.

Hasil Uji Analisis

Grafik pada gambar 11 dan 12 menunjukkan bahwa sebaran data laju

pertumbuhan lamun Halodule uninervis tidak normal. Adanya variasi data pada hasil tersebut maka data ditransformasikan dalam bentuk

SQRT (xi → √𝑥𝑖 ) untuk diuji norrmalitas data. Setelah ditransformasi, ternyata hasilnya

menunjukkan bahwa data tersebut normal dan memiliki varian yang normal yang ditunjukkan

pada gambar dibawah ini.

Gambar 9. Grafik uji asumsi

Sebelum data dianalisis dengan menggunakan analisis Two Way Annova, maka dilakukan perbandingan rataan antar level pada

setiap faktor yaitu perlakuan, metode dan waktu untuk menduga analisis anova. Berikut

perbandingannya.

Gambar 10. Grafik perbandingan rataan antar

level setiap faktor Pada grafik tersebut tidak ada perbadingan

yang signifikan antar metode. Sedangkan pada

faktor waktu (perminggu) minggu pertama belum terlihat signifikan pertumbuhannya, sedangkan pada minggu ketiga sangat jelas

terlihat perbandingan yang paling tinggi dari pada minggu yang lainnya. Sedangkan pada

perlakuan, tidak ada perbandingan yang jauh antar perlakuan.

Dari hasil uji asumsi dan setelah melihat perbandingan tersebut, maka selanjutnya data

dianalisis menggunakan analisis Two Way Anova. Hasil dari Analysis of Variance Table

dalam Rancangan Acak Kelompok tiga faktor adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Uji Anova DF SS MS Fc Pr > Fc

Metode 1 0.010 0.0096 0.154 0.69493

Tegakan 4 0.635 0.1587 2.553 0.03874

Waktu (Minggu) 7 22.722 3.2461 52.219 0.00000

Tegakan*Waktu 27 5.597 0.2073 3.335 0.00000

Residuals 383 23.808 0.0622

Total 422 52.772

Dari tabel Analysis of Variance didapat hasil bahwa faktor metode dalam percobaan ini

tidak berbeda nyata. Ini menegaskan bahwa tidak ada perbandingan pertumbuhan yang signifikan antara metode TERFs dan Plug.

Sedangkan pada faktor tegakan (perlakuan) terdapat perbedaan nyata, begitu juga dengan

waktu (minggu). Artinya bahwa ada perbandingan pertumbuhan yang signifikan antara tegakan dan waktu. Karena ada

perbedaan nyata antara tegakan dan waktu maka terjadi interaksi antara keduanya dan

hasilnya pun juga sama yaitu adanya perbedaan nyata pada interaksi kedua faktor tersebut.

Untuk melihat pada minggu berapa dan

tegakan yang mana yang hasilnya berbeda nyata, dianalisis lagi agar dapat menemukan tegakan dan minggu keberapakah yang

hasilnya berbeda nyata dan hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Uji Anova

Dari tabel diatas, pada interaksi antara minggu dan tegakan terdapat nilai yang berbeda nyata pada minggu kedua sampai

minggu ketujuh. Sedangkan pada minggu pertama tidak terdapat nilai yang berbeda nyata

dan pada minggu kedelapan tidak bisa dihitung karena pada minggu tersebut data banyak yang hilang.

Karena ada perbedaan nyata, maka data tersebut diuji lanjut menggunakan analisis

Tukey disetiap perminggunya. Hasil pada minggu kedua dengan menggunakan uji Tukey adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Uji Tukey minggu kedua Groups Treatments Means

a 2 0.9998424

a 4 0.9612038

a 3 0.9169543

a 5 0.9067047

a 1 0.8942168

Pada minggu kedua hasil uji tukey pada

tabel 9 menyatakan bahwa antar perlakuan tidak memiliki beda nyata, hanya saja pada

minggu kedua ini berbeda nyata apabila dibandingkan dengan minggu yang lainnya. Sedangkan hasil pada minggu ketiga adalah

sebagai berikut.

Tabel 5. Uji Tukey minggu ketiga Groups Treatments Means

a 4 1.470997

a 5 1.452102 ab 3 1.183948

b 2 1.083988

b 1 1.049858

Pada minggu ketiga hasil analisis Tukey (pada tabel 10) menyatakan bahwa pada tegakan 4 dan 5 tidak berbeda nyata, begitu

juga pada tegakan 2 dan 1. Tetapi apabila dibandingkan antara tegakan 4 dan 1 atau

tegakan 4 dan 2 maka hasilnya berbeda nyata, begitu juga dengan tegakan 5 dan 2 atau tegakan 5 dan 1 maka hasilnya juga akan

berbeda nyata. Untuk tegakan 3 tidak ada perbedaan nyata dengan tegakan lainnya. Pada

hasil minggu keempat adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Uji Tukey pada minggu kelima Groups Treatments Means

a 2 1.145538 ab 5 0.8908088 b 1 0.8133629 b 3 0.783598

b 4 0.5936372

Pada minggu kelima, apabila tegakan 2 dibandingkan dengan tegakan 1, 3 dan 4 maka hasilnya berbeda nyata. Karena pada tegakan

1, 3, dan 4 tidak ada berbeda nyata antar tegakan tersebut. Pada tegakan 5 tidak terjadi

perbedaan nyata terhadap tegakan lainnya. Sama dengan dengan minggu kedua, hasil pada minggu keenam pada halaman berikutnya.

Tabel 7. Uji Tukey pada minggu keenam Groups Treatments Means

a 2 0.8521416

a 4 0.819719

a 5 0.8043513

a 1 0.778682

a 3 0.7087392

Selanjutnya pada hasil minggu ketujuh sebagai berikut.

Tabel 8. Uji Tukey pada minggu ketujuh Groups Treatments Means

a 3 1.09063

a 5 0.9701331

a 4 0.8485281

a 1 0.6514936

a 2 0.624033

Sama seperti minggu kedua, pada minggu keenam dan minggu ketujuh tidak

terdapat perbedaan nyata apabila kita bandingkan pada setiap perlakuan. Tetapi apabila kita bandingkan dengan minggu yang

lainnya, maka hasilnya adalah berbeda nyata. (dapat dilihat pada tabel 13 dan 14).

Apabila salah satu faktor yaitu metode kita hilangkan makan dapat dianalisis dengan

rancangan Faktorial dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap) yaitu pada tabel dibawah ini.

Tabel 9. Uji Anova Faktorial dalam RAL

Pada tabel tersebut menunjukan bahwa

perlakuan dan waktu berbeda nyata yang dibuktikan dengan tanda bintang (*) diatasnya

dan benilai kurang dari 0,05.

1. Pengaruh Faktor Lingkungan

Terhadap Laju Pertumbuhan Lamun

Adanya perubahan pada setiap laju

pertumbuhan yang terjadi disetiap minggunya pada kedua metode disebabkan oleh adanya

faktor-faktor lingkungan. Adapun faktor-faktor lingkungan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Epifit

Epifit merupakan hewan mikroalgae

yang menempel pada akar, batang dan daun lamun (Russel, 1990 dalam Rappe, 2011). Lamun hasil transplantasi hampir semuanya

menjadi tempat penempelan epifit ini, sehingga lamun yang ditransplantasi menjadi

layu. Lapisan epifit pada daun lamun dapat bermanfaat bagi lamun agar melindungi lamun dari sinar UV. Tetapi apabila biomassa epifit

terlalu tinggi, maka akan menghambat proses fotosintesis (Aho dan Beck, 2011 dalam

Mardiyana dkk, 2014). Penurunan tingkat fotosintesis yang disebabkan oleh perifiton bisa mencapai 35-60 % dari tingkat fotosistesis

pada lamun sehat ( Allongi, 1998 dalam Wibowo, 2014).

Gambar 11. Lamun yang ditutupi oleh epifit

b. Pencemaran minyak

Pencemaran minyak menjadi salah satu penyebab terjadinya perbedaan laju

pertumbuhan disetiap minggunya. Hal ini diduga karena lamun susah berfotosintesis

karena adanya lapisan minyak pada permukaan air sehingga penetrasi cahaya matahari sulit didapat didasar.

C. Biomassa Lamun

Hasil biomassa per hari pada hasil

transplantasi lamun Halodule uninervis pada metode TERFs dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Hasil biomassa pada metode TERFs

(gr/hari) dalam 2 bulan

No. Tegakan 3

(gr/hari)

Tegakan 4

(gr/hari)

Tegakan 5

(gr/hari)

1. 0,013

0,011 0,014

2. 0,032 0,023

3. 0,013

Rerata 0,022 0,011 0,017

Hasil biomassa lamun metode TERFs

terdapat pada tabel 16. Pada tabel tersebut hanya ada 3 tegakan saja nyang dapat dihitung

biomassanya, yaitu pada tegakan 3, 4 dan 5. Pada tegakan 3 hanya ada dua bibit yang didapatkan hasilnya yaitu 0,013 gr/hari dan

0,032 gr/hari serta rata-rata biomassanya adalah 0,022 gr/hari. Sedangkan pada tegakan

4, hanya 1 bibit saja yang dapat diperoleh biomassanya yaitu sebesar 0,011 gr/hari. Dan pada tegakan 5 ada tiga bibit yang dapat

dihitung biomassanya dan hasilnya adalah 0,014 gr/hari, 0,023 gr/hari dan 0,013 gr/hari

dengan rata-rata biomassanya adalah 0,017 gr/hari.

Pada metode plug, perhitungan biomassa lamun per hari hanya ndapat dihitumg pada

tegakan 1 saja dan hasilnya pada tabel dibawah ini.

Tabel 11. Hasil biomassa metode Plug(gr/hari)

dalam 2 bulan

No. Tegakan 1

1. 0,025 2. 0,016

3. 0,014 4. 0,018

Rerata 0,018

Sedangkan pada metode Plug, hanya ada tegakan 1 yang terdiri dari 4 bibit yang dapat bertahan dan dapat diolah biomassanya dan

hasilnya adalah 0,025 gr/hari, 0,016 gr/hari, 0,014 gr/hari dan 0,018 gr/hari serta rata-rata

biomassanya adalah 0,018 gr/hari. Dari hasil tersebut, bahwa lamun jenis

Halodule uninervis memiliki pertumbuhan

biomassa yaitu 0,11 – 0,22 gr/hari. Menurut Azkab (1999) bahwa dugong biasanya

memakan lamun 10 -30 gr kering/m2. Dari sinilah kita mengetahui bahwa dugong memakan lamun di kerapatan yang rendah.

Duyung dewasa dapat memakan lamun basah 25 – 30 kg/harinya. Dari pengertian tersebut,

maka lamun Halodule uninervis hasil dari transplantasi belum mencukupi kebutuhan pangan dari dugong.

D. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup pada transplantasi lamun jenis Halodule uninervis dengan metode TERFs pada halaman

berikutnya.

Gambar 12. Grafik SR pada metode TERFs

Tingkat kelangsungan hidup lamun hasil transplantasi metode TERFs tiap minggunya

mengalami penurunan. Ini dapat dilihat pada grafik 12. Pada minggu pertama pada tegakan 1 dan tegakan 4 mengalami penurunan sebesar

40% sedangkan pada tegakan kedua mengalami penurunan sebesar 20%. Untuk

tegakan 3 dan 5 mengalami penurunan sebesar 30%. Penurunan disebabkan adanya beberapa faktor lingkungan seperti musim, arus, grazer

dan adanya pencemaran minyak dilokasi transplantasi.

Tingkat kelangsungan hidup lamun pada tegakan satu adalah sebesar 10% pada minggu kedua, ketiga dan keempat. Pada minggu

kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan lamun tersebut telah mengalami kematian akibat

adanya faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Sedangkan pada tegakan dua, pada

minggu pertama mengalami penurunan sebesar 20% dan mengalami penurunan kembali.

Tingkat kelangsungan hidup lamun pada tegakan 2 pada minggu kedua sampai minggu keenam adalah sebesar 40% sedangakan pada

minggu ketujuh sebesar 20% dan tidak bisa bertahan pada minggu kedelapan.

Pada tegakan 3, terjadi penurunan sebesar 30%, dan mengalami penurunan kembali. Tingkat kelangsungan hidup tegakan ini pada

minggu kedua adalah sebesar 50%. Terjadi penurunan kembali pada minggu ketiga dan

bertahan sampai minggu keenam sebesar 40%. Pada minggu ketujuh dan kedelapan tingkat kelangsungan hidupnya menjadi 20%.

Pada tegakan 4, terjdi penurunan sebesar 40%. Pada tegakan ini tingkat kelangsungan

hidupnya menurun minggu kedua sebesar 30%. Sedangkan pada minggu ketiga dsampai keenam masih bertahan sebesar 20%. Dan pada

minggu ketujuh dan kedelapan masih bertahan dengan 10%.

Sedangkan pada tegakan 5, terjadi penurunan sebesar 30%yaitu menjadi 70% tingakt kelangsungan hidupnya. Terjadi

penurunan pada minggu kedua menajadi sebesar 40% kelangsungan hidupnya dan

bertahan sampai minggu kelima. Pada minggu keenam sampai kedelapan, tingkat kelangsungan hidupnya menjadi 30%.

Sedangkan pada metode Plug dapat dilihat pada halaman berikutnya.

Gambar 13. Grafik SR pada metode Plug

0%

50%

100%

150%

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP METODE TERFS

1 Tegakan 2 Tegakan 3 Tegakan

4 Tegakan 5 Tegakan

0%

50%

100%

150%

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP METODE PLUG

1 Tegakan 2 Tegakan 3 Tegakan

4 Tegakan 5 Tegakan

Sedangkan pada metode Plug (Gambar 13.) pada tegakan 1 pada minggu pertama tingkat kelangsungan hidupnya menjadi

sebesar 40%. Ini dapat bertahan sampai pada minggu kedelapan. Sedangkan tegakan dua

pada minggu pertama tingkat kelangsungan hidup lamun tegakan ini sebesar 60% dan bertahan sampai pada minggu ketiga. Pada

minggu keempat dan kelima menurun lagi menjadi 50% dan pada akhirnya lamun tidak

bisa bertahan pada minggu berikutnya.

Pada tegakan tiga, minggu pertama sampai minggu ketiga tingkat kelangsungan hidupnya menjadi 60% dan mengalami penurunan

hingga tingkat kelangsungan hidupnya pada minggu keempat dan kelima hanya 30%. Sama

seperti tegakan dua, lamun tidak dapat bertahan pada minggu keenam dan minggu berikutnya.

Pada minggu pertama tingkat kelangsungan hidup pada tegakan 4 sebesar 60%. Sedangkan pada minggu kedua menurun

menjadi 30%. Dan pada minggu keempat menurun lagi menjadi 10% dan bertahan sampai pada minggu keenam. Pada minggu

ketujuh lamun mengalami kematian. Sedangkan pada tegakan 5, pada minggu

pertama tingkat kelangsungan hidupnya menjadi 80% dan menurun pada minggu kedua menjadi 30% dan bertahan hingga minggu

kelima. Perbandingan tingkat kelangsungan hidup

lamun jenis Halodule uninervis pada kedua metode adalah sebagai berikut.

Gambar 14. Rata-rata total pada metode

TERFs

Gambar 15. Rata-rata total pada metode

TERFs

Pada grafik tersebut, tingkat kelangsungan yang paling tinggi adalah pada tegakan

pertama pada metode plug. Pada tegakan 2, 3 dan 5 tidak jauh berbeda dan pada tegakan keempat, TERFs lebih tinggi sedikit

dibandingkan dengan Plug.

Hasil Uji Analisis

Sebelum dianalisis dengan menggunakan Two Way Anova, terlebih dahulu dilakukan uji

asumsi yaitu sebagai berikut.

Gambar 16. Hasil uji asumsi kelangsungan hidup Halodule uninervis

Dari gambar diatas menunjukkan bahwa data tersebar secara normal. Dari data tersebut

dapat kita uji analisis menggunaan analisis Two Way Anova yaitu sebagai berikut.

Tabel 12. Hasil Two Way Anova

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan nyata pada antar perlakuan.

Untuk mengetahui perbedaan nyata pada setiap perlakuan, maka dilakukan uji lanjut dengan

0%10%20%30%40%50%

1Tegakan

2Tegakan

3Tegakan

4Tegakan

5TegakanR

ata

-ra

ta T

ota

l SR

(%

)

Perlakuan

TERFs

0%

20%

40%

60%

80%

1Tegakan

2Tegakan

3Tegakan

4Tegakan

5TegakanR

ata-

rata

To

tal

SR (

%)

Perlakuan

Plug

menggunakan analisi Tukey yaitu sebagai berikut.

Tabel 13. Hasil Uji Tukey

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa

adanya beda nyata pada beberapa antar perlakuan. Tegakan pertama berinteraksi

dengan tegakan 1, 2, 3, 4 ternyata terdapat perbedaan nyata. Sedangkan pada berinterksi dengan tegakan 5 tidak menghasilkan

perbedaan nyata. Pada tegakan kedua yang menghasilkan perbedaan nyata adalah pada

interkasi dengtegakan keempat. Begitu juga dengan tegakan tiga dan lima. Adanya perbedaan nyata pada tingkat kelangsungan

hidup lamun diduga karena adanya faktor lingkungan yang juga terjadi pada laju

pertumbuhan. 1. Pengaruh Faktor Lingkungan

Terhadap Tingkat Kelangsungan

Hidup Lamun a. Grazer

Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada proses laju pertumbuhan adalah adanya biota-biota yang menjadi

predator lamun. Hewan predator yang memakan lamun dilokasi transplantasi adalah

kepiting dan ikan herbivora. Menurut May (1984) dalam Aziz (1994) bahwa ikan herbivora aktif memakan lamun pada siang

hari. Melimpahnya ikan herbivora ini disebabkan karena kurangnya penangkapan

ikan herbivora serta ikan herbivora juga tidak bernilai ekonomis.

Gambar 17. Ikan yang memakan lamun

Gambar 18. Lamun yang dimakan predator

b. Musim utara

Pada saat transplantasi dan pada minggu pertama dan kedua, pada saat itu masih terjadi

angin musim utara. Pada saat musim utara, angin terlalu kencang sehingga arus dan gelombang kuat diduga inilah yang

menyebabkan banyak lamun yang hilang akibat tercabut oleh pengaruh arus yang kuat.

Gambar 19. Pantai Kampe saat angin utara

E. Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air di perairan Kampe

yang diukur perminggu selama dua bulan dengan tiga kali pengulangan. Hasil rata-rata dari tiga pengulangan tersebut adalah sebagai

berikut.

Tabel 14. Hasil parameter kualitas air di Perairan Kampe

Berdasarkan tingkat kesesuaian dengan

literatur dan baku mutu perairan.

Tabel 15. Tingkat Kesesuaian Parameter Kualitas Air

Sumber : Kepmen LH No.51 Tahun 2004

(1) Phillips dan Menez (1988) (2) Dahuri (2003)

1. Kualitas Air Menurut Kepmen LH

No.51 Tahun 2004

Hasil rata-rata kualitas perairan di Kampe menunjukkan bahwa kualitas

perairan tersebut telah sesuai dengan baku mutu perairan yang ada didalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 kecuali pada

pengukuran pH. Pada pengukuran dilapangan didapatkan hasil rata-rata pH

yaitu 8,70 sedangkan pada baku mutu perairan batas pH hanya sampai 8,5. Ini membuktikan bahwa pH di perairan

tersebut tinggi.

2. Kualitas Air Untuk Pertumbuhan

Lamun

Hasil rata-rata kualitas air di perairan

Kampe menunjukkan bahwa kualitas air di perairan tersebut telah sesuai dengan

sumber referensi yang ada kecuali pada pH., menurut referensi yang ada yaitu menurut Phillips dan Menez (1988) bahwa

pH yang optimal pada lamun adalah 7,8 – 8,2. Tetapi hasil rata-rata pH pada perairan

Kampe lebih tinggi dibandingkan dengan standar optimal yang ada di referensi. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.

a. Suhu

Pada tabel 13. menunjukkan bahwa suhu tertinggi terjadi pada minggu kelima yaitu sebesar 31oC. Hal ini diduga karena

pada pengambilan sampel dilakukan pada siang hari. Pada siang hari suhu meningkat

dikarenakan intensitas cahaya matahari sangat tinggi. Sedangkan suhu terendah berada pada minggu ketiga yaitu sebesar

25,7oC. Hal ini diduga karena pengukuran dilakukan pada pagi hari. Pada pagi hari

udara masih sejuk dan suhu masih menurun. Dari hasil rata-rata didapatkan bahwa suhu di perairan Kampe adalah

28,60oC. Menurut Phillips dan Menez (1988) bsuhu optimal pada lamun adalah

kisaran antara 28 – 30oC. Ini menandakan bahwa suhu diperairan tersebut baik untuk pertumbuhan lamun.

b. pH

pH pada perairan Kampe pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan dengan minggu lainnya yaitu sebesar 11,47. Ini

sudah diambang batas. Pada minggu pertama adalah pH yang terendah yaitu

sebesar 6,87. Dari hasil rata-rata didapatkan bahwa pH di Perairan Kampe adalah sebesar 8,70. Hal ini membuktikan

bahwa ph di perairan kampe sangat tinggi. Ini diduga karena adanya bauksit yang

terbawa arus sehingga melekat pada substrat di lokasi transplantasi. Ini ditegaskan oleh Wahab (2005) dalam

Sudirman dan Husrin (2014) bahwa terjadinya akumulasi logam pada sedimen

dipengaruhi oleh pH. Semakin mudah terjadinya akumulasi maka semakin tinggi juga nilai pH di suatu perairan. Selain

karena adanya bauksit, penyebab pH tinggi adalah karena pembuangan sampah

organik dan pencemaran minyak. Menurut Nybakken (1992) dalam Suhud (2008) apabila pH lebih tinggi dari kisaran 7 – 8,5

maka perairan tersebut tergolong perairan yang tidak produktif lagi.

c. Salinitas

Pada minggu kedua adalah hasil

salinitas tertinggi yaitu sebesar 33,9‰ sedangkan pada minggu kelima adalah

salinitas terendah yaitu sebesar 30,2‰. Rata-rata salinitas di perairan Kampe adalah 32,27‰. Seperti yang diungkapkan

Dahuri (2003) bahwa lamun dapat bertoleransi pada salinitas 10 - 40‰.

d. Kecerahan

Hasil kecerahan yang didapat adalah

100% setiap minggunya dengan kedalaman air 0,5 m. Ini diduga karena

cahaya matahari mampu menembus dasar perairan. Ini sangat baik terhadap

pertumbuhan lamun, karena lamun dapat berfotosintesis dengan baik.

e. Kecepatan Arus

Arus pada minggu pertama adalah arus

yang tertinggi hasilnya yaitu 0,31m/s. Ini diduga karena pada minggu pertama terjadi musim utara. Akibatnya banyak

lamun yang tercabut karena arus yang kuat dan gelombangpun menjadi tinggi.

Sedangkan pada minggu kedelapan kecepatan arus sangat lambat yaitu 0,05m/s. Hasil rata-rata didapatkan bahwa

kecepatan arus pada perairan Kampe adalah 0,17 m/s. Menurut Phillips dan

Menez (1988) bahwa kecepatan arus yang optimal pada lamun adalah 3,5 knot yaitu 1,8 m/s.

f. DO (Dissolved Oxygen)

DO terendah terjadi pada minggu keempat yaitu sebesar 5,8 mg/l sedangkan DO yang tertinggi pada minggu ketiga

yaitu 7,4 mg/l. Rata-rata DO pada perairan kampe adalah sebesar 6,65 mg/l. Ini

menandakan bahwa lamun pada perairan tersebut bisa menghasilkan oksigen yang baik bagi organisme lain.

g. Sedimen

Sedimen yangb dikategorikan secara visual (pandangan mata), substrat perairan tersebut adalah pasir berkarang. Ini karena

lamun berada pada zona intertidal dimana pada zona tersebut substratnya adalah

pasir.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pertambahan tinggi lamun setiap

minggunya mengalami kenaikan mengikuti pola eksponensial. Metode dan perlakuan tidak

memberi pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan lamun (p > 0.05). Tetapi laju pertumbuhan per perlakuan bervariasi disetiap

waktunya. Sedangkan pada tingkat kelangsungan hidup lamun Halodule uninervis

cenderung menurun pada kedua metode. Biomassa lamun Halodule uninervis adalah berkisar antara 0,011 – 0,022 gr/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Aznam.1994. Tingkah Laku Bulu Babi di Padang Lamun. Oseana XIX No.4:35-43

Azkab, MH. 1998. Duyung Sebagai Pemakan Lamun. Oseana Vol: XXI No: 3&4, Hal : 35-39

Azkab, MH. 1999. Pedoman Inventarisasi

Lamun. Oseana Vol: XXIV No: 1, Hal: 1-16

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.

2007. Metode Penanaman Lamun. BTNKPS, Jakarta

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati

Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Febriyantoro, dkk. 2013. Rekayasa Teknologi

Transplantasi Lamun (Enhalus acoroides) di Kawasan Padang Lamun

Perairan Prawean Bandengan Jepara. Jurnal Penelitian Kelautan Vol: 1 No: 1 Hal: 1-10

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor

51 Tahun 2004

Lanuru, M. 2011. Bottom Sediment Characteristic Affecting The Success of

Seagrass (Enhalus acoroides) Transplantation In The Wetcoast of South Sulawesi (Indonesia).

International Conference Chemical, Biologycal And Environmental

Engineering Vol: 20. Lacsit Press, Singapore

Mardiyana, dkk. 2014. Hubungan Epifit

Dengan Aktivitas Antioksidan Lamun di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

JPHPI. No.1 Vol : 17

Phillips, RC & Menez, EG. 1988. Seagrasses. Smithsonian Institution Press,

Washington DC

Rappe, Ambo Rohani. 2011. Asosiasi Makroalga Epifit Pada Berbagai Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde,

Sulawesi Selatan. Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin, Makassar

Sambara, ZR. 2014. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Yang Ditransplantasi Secara

Multispesies di Pulau Barrang Lompo. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan.

Universitas Hasanudin, Makassar

Sudirman dan Husrin. 2014. Status Baku Mutu Air Laut Untuk Kehidupan Biota dan

Indeks Pencemaran perairan di Pesisir Cirebon Pada Musim Kemarau. Jurnal Ilmiah perikanan dan Kelautan. Vol : 6

No: 2

Suhud, MA. 2012. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pulau Nikoi. Fakultas Ilmu

Kelautan Dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

Wibowo, A, dkk. 2014. Keanekaragaman Perifiton Pada Daun Lamun Di Pantai

Tukak Kabupaten Bangka Belitung. Jurnal Sumberdaya Perairan Vol: 8 No:

2