lahan pertanian

17
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN: TINJAUAN ULANG KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN ABADI AGRICULTURAL LAND CONVERSION CONTROL: RE-EXAMINATION OF ETERNAL AGRICULTURAL LAND Pantjar Simatupang dan Bambang Irawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor ABSTRAK Sensus pertanian yang menyebutkan terjadinya konversi lahan pertanian seluas 1,28 juta hektar, antara tahun 1983-1993 menyebabkan debat mengenai konversi lahan. Total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta hektar, sedangkan pertambahannya hanya seluas 1,19 juta hektar dalam kurun waktu tersebut. Dari luasan konversi lahan tersebut 1,01 juta hektar (79 persen) terjadi di pulau Jawa dan sebagian terbesar yang dikonversi adalah lahan sawah beririgasi. Konversi yang terjadi di pulau Jawa yang selain merupakan lumbung pangan nasional juga dengan tekanan penduduk yang tinggi menyebabkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan penyediaan lapangan kerja di pedesaan. Peraturan yang ada selama ini kurang efektif, terlebih lagi dengan era otonomi daerah yang dapat menyebabkan lebih lemahnya efektivitas kontrol terhadap konversi lahan pertanian. Disadari bahwa konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, dan pengentasan kemiskinan serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan; (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi rendah pada sektor pertanian dari permintaan di luar pertanian; dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular. Kebijakan lahan pertanian abadi merupakan salah satu solusi untuk kontrol konversi lahan pertanian yang secara teoritis dapat diandalkan. Kebijakan tersebut secara praktis teramat sulit diterapkan walaupun di kawasan pertanian yang alih fungsi lahannya tergolong moderat sehubungan dengan menguatnya proses konversi, apalagi di daerah yang tingkat konversinya sudah tinggi. Kebijakan yang dianjurkan ialah akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio-ekonomi juridis. ABSTRACT Agricultural census revealing that 1.28 million ha agricultural land has been converted from 1983-1993 provoked debate on land use conversion. Total of agricultural land converted was 2.47 million ha while only 1.19 ha new rice land had been added. Of this 1.01 million ha 79% conversion happened in Java of mostly ISBN 979-9474-20-5 67

Upload: muzaki-inza

Post on 02-Jul-2015

508 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan PertanianPenyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto

PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN: TINJAUAN ULANG KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN ABADI

AGRICULTURAL LAND CONVERSION CONTROL: RE-EXAMINATION OF ETERNAL AGRICULTURAL LAND

Pantjar Simatupang dan Bambang Irawan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

ABSTRAK

Sensus pertanian yang menyebutkan terjadinya konversi lahan pertanian seluas 1,28 juta hektar, antara tahun 1983-1993 menyebabkan debat mengenai konversi lahan. Total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta hektar, sedangkan pertambahannya hanya seluas 1,19 juta hektar dalam kurun waktu tersebut. Dari luasan konversi lahan tersebut 1,01 juta hektar (79 persen) terjadi di pulau Jawa dan sebagian terbesar yang dikonversi adalah lahan sawah beririgasi. Konversi yang terjadi di pulau Jawa yang selain merupakan lumbung pangan nasional juga dengan tekanan penduduk yang tinggi menyebabkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan penyediaan lapangan kerja di pedesaan. Peraturan yang ada selama ini kurang efektif, terlebih lagi dengan era otonomi daerah yang dapat menyebabkan lebih lemahnya efektivitas kontrol terhadap konversi lahan pertanian. Disadari bahwa konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, dan pengentasan kemiskinan serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan; (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi rendah pada sektor pertanian dari permintaan di luar pertanian; dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular. Kebijakan lahan pertanian abadi merupakan salah satu solusi untuk kontrol konversi lahan pertanian yang secara teoritis dapat diandalkan. Kebijakan tersebut secara praktis teramat sulit diterapkan walaupun di kawasan pertanian yang alih fungsi lahannya tergolong moderat sehubungan dengan menguatnya proses konversi, apalagi di daerah yang tingkat konversinya sudah tinggi. Kebijakan yang dianjurkan ialah akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio-ekonomi juridis.

ABSTRACT

Agricultural census revealing that 1.28 million ha agricultural land has been converted from 1983-1993 provoked debate on land use conversion. Total of agricultural land converted was 2.47 million ha while only 1.19 ha new rice land had been added. Of this 1.01 million ha 79% conversion happened in Java of mostly

ISBN 979-9474-20-5 67

Page 2: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

irrigated paddy fields. Land conversion in Java island, the national rice belt with a high population pressure, threats food security and affected also the rural job opportunities. In-effective laws and regulations worsened by the autonomy resulted in less control of land conversion. Agricultural land conversion is regarded as a strategic issue in food security, improving farmers’ welfare and eliminating poverty. Land conversion might not be avoided because of: (1) economic development is progressing rapidly and population is increasing especially in land scarce area; (2) market mechanism of low interest economic in agriculture than non-agricultural demand; and (3) land conversion is contagious. Policy for allocation permanent agricultural land is one of the theoretical options in controlling land conversion. In practice, this option is extremely difficult to implement even in areas with moderate demand of land conversion rate. The more promising policy approach is compensation mechanism and controlling of socio-economic and judicial systems.

PENDAHULUAN

Isu yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian semakin marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian, yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 – 1993 telah terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 1,28 juta ha. Penyusutan lahan tersebut disebabkan oleh proses konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian, sehingga total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta ha, sedangkan penambahan lahan pertanian akibat pembukaan areal baru hanya mencapai 1,19 juta ha. Seluas 1,01 juta ha (sekitar 79%) dari total penyusutan lahan pertanian tersebut terjadi di pulau Jawa dan sebagian besar lahan pertanian yang dikonversi merupakan lahan sawah beririgasi. Karena Jawa merupakan lumbung pangan nasional dan tekanan penduduk di Jawa relatif tinggi, proses konversi lahan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak serius terhadap pengadaan pangan nasional dan penyediaan lapangan kerja di daerah pedesaan. Kekhawatiran tersebut juga berlaku untuk daerah-daerah lain yang mengalami penyusutan lahan pertanian relatif tinggi seperti propinsi Lampung, Jambi, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang antara 1983 dan 1993 lahan pertaniannya menyusut sekitar 125 hingga 643 ribu ha.

Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan, dan pendapatan per kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk pertanian domestik. Konversi lahan pertanian merupakan issu strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan

68

Page 3: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

pemanfaatan lahan sebenarnya telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun pengalaman menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan tersebut yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, diperkirakan semakin kurang efektif lagi karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya.

Bertolak dari sistem kelembagaan yang lemah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian, maka sejak tahun 2000 muncul gagasan pembentukan lahan pertanian abadi yang cukup intens diperdebatkan. Pada intinya gagasan tersebut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian dari ancaman konversi lahan. Kebijakan tersebut dinilai penting mengingat konversi lahan yang berlebihan dan tidak terkendali dapat menimbulkan dampak luas terhadap pencapaian tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Misalnya, konversi lahan sawah irigasi teknis yang berproduktivitas tinggi dapat memperbesar masalah ketahanan pangan nasional yang pada dewasa ini justru cenderung meningkat akibat stagnasi pertumbuhan produktivitas usaha tani tanaman pangan terutama padi dan faktor lainnya. Masalahnya adalah, bagaimana konsepsi kebijakan lahan pertanian abadi tersebut dan bagaimana pula operasionalisasinya serta upaya apa yang perlu ditempuh untuk mewujudkan gagasan tersebut. Makalah ini mengungkapkan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Beberapa topik yang dijadikan fokus bahasan meliputi besaran, determinan, dampak, dan kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian.

BESARAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

Pada kondisi normal (tanpa krisis ekonomi-politik), konversi lahan pertanian memang amat besar dan cenderung meningkat pesat seiring dengan pertumbuh-kembangan perekonomian dan pertambahan penduduk. Sebelum krisis ekonomi, luas alih fungsi lahan pertanian meningkat pesat dari 23.172 ha/tahun pada tahun 1994/1995 menjadi 34.197 ha/tahun pada tahun 1996/1997 (Tabel 1). Anjloknya luas konversi lahan pada periode tahun 1997-1999 merupakan kasus abnormal jangka pendek sebagai akibat dari krisis ekonomi-politik.

Sebagian besar alih fungsi lahan pertanian adalah untuk tapakan permukiman, industri dan jalan raya, yang ketiganya ditentukan oleh pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Dapat dipastikan, konversi lahan pertanian yang anjlok pada tahun 1998-1999 bersifat sementara, akan segera kembali meningkat pesat seiring dengan semakin cepatnya pemulihan ekonomi kita. Dengan demikian, konversi lahan pertanian merupakan fenomena permanen yang terus menjadi ancaman serius

69

Page 4: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

terhadap upaya kita dalam memantapkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan kesejahteraan petani serta pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Tabel 1. Alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian di Indonesia, 1994-1999

Jenis lahan 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Total

ha

Sawah 11.427 17.229 26.133 960 1.968 57.717

Tegalan 2.723 6.105 3.372 1.107 1.126 14.433

Kebun campuran 7.525 6.878 3.167 237 3.017 20.824

Perkebunan 1.497 499 1.525 6.894 87 10.502 Total 23.172 30.711 34.197 9.198 6.168 103.476

Sumber: BPN, 2001

Selama periode tahun 1994-1999, total luas lahan pertanian yang beralih fungsi mencapai 103.476 ha. Ironisnya, lebih dari separuh lahan yang beralih fungsi tersebut adalah lahan sawah, basis dari usaha tani padi, palawija, dan tanaman pangan lainnya. Lebih parah lagi, sekitar 70% (73.922 ha) dari total lahan pertanian yang beralih fungsi tersebut terjadi di Jawa (Tabel 2), lahan pertanian yang paling subur dan dimana rata-rata luas pemilikan lahan paling kecil secara nasional. Masalahnya keprihatinan kita semakin bertambah karena ternyata 48.573 ha atau 84% dari total 57.717 ha lahan sawah yang beralih fungsi justru terjadi di pulau Jawa, lahan yang paling produktif untuk padi. Dilihat dari komoditas pertanian, dampak terbesar konversi lahan pertanian ialah terhadap penurunan produksi padi.

Tabel 2. Alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa, 1994-1999

Jenis lahan Jawa Barat

Jawa Tengah

D.I. Yogyakarta

Jawa Timur

Total

ha Sawah 41.550 1.648 366 5.009 48.573 Tegalan 9.888 528 191 1.643 12.250 Kebun campuran 12.881 4 25 5 12.915 Perkebunan 143 4 - 7 184

Total 64.462 2.184 582 6.694 73.922

Sumber: BPN, 2001

Dari data empiris pada Tabel 2, dapatlah disimpulkan bahwa konversi lahan pertanian merupakan salah satu penyebab utama dari gejala melambatnya peningkatan produksi padi dan tanaman pangan lainnya sejak petengahan tahun 1990-an. Konversi

70

Page 5: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

lahan juga merupakan salah satu penyebab utama berlanjutnya proses marjinalisasi usaha pertanian rakyat, yang berarti juga merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapuskan kemiskinan absolut yang masih dominan di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, fenomena konversi lahan pertanian merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, sehingga pengendalian konversi lahan mutlak perlu dijadikan sebagai prioritas utama agenda kebijakan nasional.

DETERMINAN DAN PROSES KONVERSI LAHAN PERTANIAN

Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

Walaupun secara kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas sumber daya lahan yang tersedia di setiap daerah praktis tetap. Pada kondisi keterbatasan tersebut, maka peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, pembangunan prasarana ekonomi umum, fasilitas sosial, dan lain-lain, akan mengurangi ketersediaan lahan untuk pertanian. Karena pembangunan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibandingkan permintaan lahan di sektor pertanian maka pertumbuhan ekonomi cenderung merangsang terjadinya konversì lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian, terutama di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan dan Anwar (1989) menunjukkan kecenderungan tersebut, bahwa konversi lahan pertanian menurut daerah berhubungan positif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, dan laju pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konversi lahan pertanian pada dasarnya merupakan suatu proses alamiah yang terkait dengan tiga faktor dasar yaitu: kelangkaan lahan, dinamika pembangunan, dan pertumbuhan penduduk. Konversi

71

Page 6: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

lahan pertanian merupakan dinamika tataguna dan alokasi sumber daya lahan akibat terjadinya pergeseran struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk. Pergeseran struktural ini secara umum merupakan ciri perkembangan ekonomi suatu negara dan bersamaan dengan itu sektor pertanian yang berbasis sumber daya lahan secara bertahap dihadapkan pada sewa lahan dan biaya produksi serta opportunity cost yang semakin tinggi akibat meningkatnya permintaan lahan untuk sektor lain yang lebih menguntungkan. Dengan demikian konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan terhadap lahan meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari.

Bagi daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi seperti di Jawa, konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian sangatlah sulit dihindari. Pedesaan berkembang menjadi perkotaan dan daerah industri, sehingga kebutuhan lahan untuk industri, perumahan dan sarana publik yang menghasilkan keuntungan ekonomi lebih tinggi per satuan lahan mengalami peningkatan dan diikuti dengan kenaikan harga lahan pertanian yang akhirnya meningkatkan biaya produksi dan opportunity cost sektor pertanian. Faktor ekonomi itulah yang seringkali menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian. Kondisi demikian memang sulit dihindari mengingat pemanfaatan lahan untuk kegiatan di luar pertanian memberikan keuntungan per satuan lahan yang jauh lebih tinggi. Hal ini dicerminkan oleh nilai land rent lahan untuk penggunaan pertanian yang sangat rendah dibandingkan kegiatan lain yaitu sekitar 1: 500 untuk kawasan industri dan 1 : 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996).

Dengan nilai land rent kegiatan pertanian yang rendah maka secara logis pertumbuhan ekonomi akan mendorong terjadinya alokasi lahan yang bias ke sektor ekonomi lain dan menimbulkan konversi lahan pertanian. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa konversi lahan pertanian tersebut cenderung terjadi pada lahan pertanian berproduktivitas tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Kecenderungan demikian sangat tidak menguntungkan bagi pengadaan pangan dan kesempatan kerja di pedesaan namun terkesan sulit dihindari. Dua faktor utama yang dapat menjadi penyebabnya adalah (Irawan et al., 2002): Pertama, ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor positif dominan yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lokasi lahan yang akan dibangun untuk kegiatan di luar pertanian. Infrastruktur tersebut secara umum lebih tersedia di daerah pertanian yang sudah berkembang akibat pembangunan masa lalu. Konsekuensinya adalah permintaan lahan oleh investor cenderung lebih tinggi di daerah pertanian yang sudah berkembang, utamanya yang mendekati sasaran konsumennya seperti di daerah pinggiran kota. Kedua, perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian produktif

72

Page 7: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

relatif lemah. Kondisi demikian dapat terjadi akibat penilaian pasar terhadap lahan pertanian yang cenderung under estimate karena lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah. Persepsi demikian melekat pada hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk para ekonom dan birokrat. Dalam perhitungan ekonomi makropun persepsi demikian sangat dominan sehingga pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dalam pertumbuhan GDP (gross domestic product) hanya diukur dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan pertanian memiliki multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial. Persepsi demikian pula yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali berlangsung dengan dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah meskipun kadangkala alasan individual yang lebih dominan.

Selain oleh tarikan permintaan yang sangat besar, konversi lahan pertanian juga dipercepat oleh dorongan penawaran. Pertama, laba atau rente usaha pertanian relatif rendah dan cenderung menurun. Penurunan rente lahan pertanian merupakan konsekuensi dari penurunan sekuler nilai tukar pertanian sebagai akibat dari sifat permintaan terhadap produk pertanian yang tidak elastis terhadap permintaan. Selain itu, struktur pasar output usaha pertanian cenderung bersifat monopsonistik, sementara struktur pasar input usaha tani bersifat oligopolistis. Harga produk pertanian umumnya fleksibel ke bawah namun tidak fleksibel ke atas, sementara harga input usaha tani tidak fleksibel ke bawah namun fleksibel ke atas. Rente lahan pertanian yang rendah dan cenderung menurun umumnya mengakibatkan reservasi harga jual lahan pertanian (harga minimum agar mau menjual) relatif rendah sehingga resistensi terhadap daya tarik permintaan konversi sangat rendah dan cederung menurun. Kedua, luas pemilikan lahan cenderung mengalami fragmentasi sebagai akibat dari fenomena sosial sistem warisan pecah-bagi. Jumlah anak per keluarga yang umumnya masih tinggi (lebih dari dua) menyebabkan fragmentasi lahan milik keluarga yang selanjutnya mempercepat alih fungsi lahan pertanian. Lahan pertanian yang sempit kurang layak diusahakan sehingga cenderung dijual. Dalam kaitan ini, pertumbuhan penduduk mempercepat konversi lahan, tidak hanya dari sisi permintaan tapi juga dari sisi penawaran.

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa akar penyebab konversi lahan pertanian ialah: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, dan (2) pertumbuhan dan perkembangan penduduk. Di Indonesia, kedua faktor ini masih sangat besar dan mustahil dicegah. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian juga merupakan fenomena alamiah yang mustahil dicegah.

Dari berbagai hasil penelitian dapat diungkapkan pula bahwa konversi lahan pertanian umumnya merupakan suatu proses yang bersifat progresif secara kuantitas

73

Page 8: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

dan spasial. Hal ini dapat terjadi akibat adanya gejala epidemis (menular) pada proses konversi lahan tersebut, dengan kata lain konversi lahan yang terjadi di suatu lokasi cenderung merangsang konversi lahan yang lain di lokasi sekitarnya. Sedangkan gejala epidemis tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling terkait yaitu : (1) sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di lokasi lahan pertanian yang mengalami konversi, aksesibilitas di lokasi yang bersangkutan semakin baik akibat berkembangnya sarana/prasarana transportasi. Peningkatan aksesibilitas tersebut selanjutnya merangsang peningkatan permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di lokasi sekitarnya mengalami peningkatan, dan (2) meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Sebagian dana penjualan lahan tersebut biasanya digunakan untuk membeli lahan kembali dengan harga lebih murah, biasanya semakin menjauhi daerah perkotaan.

Untuk kasus di Jawa, Irawan et al. (2000) mengungkapkan adanya penyebaran spasial kasus konversi lahan seperti yang telah diuraikan. Selama 1988-1993 sekitar 63% kabupaten di Jawa mengalami konversi lahan dengan total luas konversi sekitar 142 ribu ha/tahun dan selama 1993-1998 naik menjadi 73% kabupaten dengan luas konversi lahan 177 ribu ha/tahun. Kajian dengan data kecamatan menunjukkan hasil yang senada dimana kasus konversi lahan sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami peningkatan dari 184 kasus dan 95 kasus selama 1994-1996 menjadi 236 kasus dan 135 kasus selama 1996-1998. Dari total kecamatan yang mengalami konversi lahan tersebut sangat jarang yang mengalami konversi lahan secara berulang-ulang selama 1994-1998. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cenderung semakin menyebar secara spasial, bukan semakin terkonsentrasi di lokasi tertentu.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan mengenai proses konversi lahan pertanian yaitu: (1) konversi lahan pertanian merupakan suatu proses yang tidak mungkin dihindari selama pembangunan masih berlangsung dan jumlah penduduk terus meningkat, utamanya di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi, (2) jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar maka lahan pertanian produktif akan semakin berkurang akibat konversi lahan. Pengurangan lahan pertanian produktif tersebut merupakan konsekuensi logis dari rente ekonomi lahan pertanian yang rendah dan perilaku permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian, dan (3) konversi lahan pertanian merupakan suatu proses yang bersifat menular, artinya sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka akan terjadi konversi lahan yang lain di lokasi sekitarnya. Dalam konteks regional proses konversi lahan tersebut cenderung semakin menyebar secara spasial, bukan semakin terkonsentrasi di daerah tertentu.

74

Page 9: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

WACANA KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN ABADI

Penetapan lahan pertanian abadi merupakan salah satu opsi kebijakan yang oleh sebagian pihak dianggap paling tepat untuk mencegah proses alih fungsi lahan pertanian. Pada dasarnya lahan pertanian abadi adalah penetapan suatu kawasan sebagai daerah konservasi, atau perlindungan, khusus untuk usaha pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian dilarang dengan suatu ketetapan peraturan perundang-undangan. Jika dapat dilaksanakan secara efektif maka pastilah konversi lahan di kawasan konservasi tersebut tidak akan terjadi. Secara teoritis, dengan asumsi dapat diefektifkan, opsi kebijakan inilah yang paling ampuh untuk mencegah konversi lahan pertanian.

Namun yang justru paling diragukan ialah asumsi dapat diefektifkan itu. Telah dikemukakan, akar penyebab konversi lahan pertanian ialah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi maupun penduduk, yang di Indonesia keduanya masih akan terus sangat besar sehingga konversi lahan pertanian mustahil dapat dihentikan sepenuhnya, lebih-lebih di kawasan pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, upaya mencegah konversi lahan pertanian ibarat membendung air bah, bendungan yang dibangun pasti luber atau bobol sehingga bencana banjir tak terelakkan. Penetapan lahan abadi, yakni melarang alih fungsi lahan pertanian, di kawasan pusat pertumbuhan ekonomi dan atau padat penduduk sangat sulit, kalau tidak mau mengatakan mustahil diefektifkan.

Sudah barang tentu, di kawasan pertanian dimana permintaan untuk alih fungsi lahan pertanian sangat kecil atau praktis tidak ada, misalnya di daerah terpencil, penetapan lahan pertanian abadi mungkin dapat diefektifkan. Namun, tanpa penetapan inipun konversi lahan pertanian tidak akan terjadi karena memang permintaan untuk itu tidak ada. Ini berarti, kebijakan lahan abadi di kawasan seperti ini tidak ada gunanya, atau merupakan kebijakan yang redundant.

Bagaimana di kawasan dimana tekanan permintaan dan dorongan penawaran alih fungsi lahan pertanian masih tergolong moderat. Seperti yang diuraikan sebelumnya, proses konversi lahan pertanian cenderung menguat, yang moderat cenderung menjadi tinggi. Pada kawasan ini pun penetapan lahan pertanian abadi tidak akan efektif secara berkelanjutan.

Dengan demikian, untuk Indonesia pada saat ini hingga beberapa tahun mendatang, kebijakan penetapan lahan abadi pertanian sangat sulit diefektifkan. Suatu saat, jika kelak pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk sudah sangat lambat dan kesejahteraan penduduk sudah cukup tinggi, kebijakan seperti itu mungkin saja efektif. Pada kondisi demikian, usaha pertanian juga sudah tidak diminati sebagian besar penduduk sehingga kelestarian usaha pertanian terancam. Pemerintah

75

Page 10: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

perlu menetapkan kawasan konservasi pertanian sebagai bagian dari upaya konservasi alam dan budaya. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif khusus agar ada warga negara yang mau jadi petani. Kondisi dan motivasi demikianlah yang mendorong gagasan lahan pertanian abadi seperti di Jepang.

KEBIJAKAN STRATEGIS PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

Proses konversi lahan pertanian pada umumnya berlangsung melalui dua tahapan yaitu: (1) pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani yang kemudian diikuti dengan (2) pemanfaatan lahan pertanian tersebut untuk kegiatan di luar pertanian. Dampak konversi lahan yang berupa penurunan kapasitas produksi pertanian, penurunan daya serap tenaga kerja pertanian, hilangnya investasi pertanian dan meningkatnya masalah sosial dan lingkungan pada dasarnya baru terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu penanganan masalah konversi lahan pertanian sebenarnya dapat ditempuh melalui tiga pendekatan yaitu: (1) mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani, (2) mencegah alih fungsi lahan, dan (3) menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh konversi lahan.

Masing-masing pendekatan tersebut memerlukan instrumen kebijakan yang berbeda. Jika penjualan lahan petani merupakan suatu proses rasional yang mengacu pada prinsip ekonomi maka pemberian insentif ekonomi kepada petani merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah penjualan lahan petani. Namun cara ini membutuhkan dukungan dana yang sangat besar akibat rente ekonomi lahan pertanian yang sangat rendah dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sektor ekonomi lainnya. Selain itu, asumsi bahwa transaksi lahan petani kepada investor disebabkan oleh dorongan ekonomi petani tidak selamanya benar karena pada kasus konversi lahan secara masal peranan birokrasi justru seringkali lebih dominan, sehingga petani terkondisikan untuk menjual lahannya (Rusastra dan Budhi, 1997).

Bagi petani sendiri penjualan lahan yang mereka miliki sebenarnya tidak menguntungkan secara sosial, karena di daerah pedesaan pemilikan lahan merupakan salah satu simbol sosial (Witjaksono, 1996). Sementara penelitian Jamal (1999) mengungkapkan bahwa sebagian besar petani yang menjual lahannya untuk dikonversi sebenarnya tidak menghendaki penjualan lahan tersebut. Penyebab utamanya adalah penjualan lahan tersebut tidak selalu menguntungkan dalam jangka panjang karena untuk beralih kepada kegiatan ekonomi yang baru dibutuhkan waktu penyesuaian, sementara fleksibilitas petani untuk menggeluti bidang usaha yang baru secara umum terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian insentif

76

Page 11: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

ekonomi kepada petani belum tentu efektif untuk mencegah penjualan lahan petani karena proses transaksi lahan tersebut tidak merupakan fenomena ekonomi secara murni atau terjadi melalui mekanisme pasar.

Pendekatan kedua dapat dilakukan dengan menghambat dan mencegah alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Gagasan penetapan lahan pertanian abadi termasuk dalam kategori ini. Kebijakan seperti ini jelas termasuk kategori melawan pasar lahan. Pertanyaannya, apakah kekuatan pasar yang sangat besar dapat dilawan?

Pada pendekatan ketiga, dampak negatif konversi lahan diatasi dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan lain yang mampu mengkompensasikan peluang-peluang yang hilang akibat konversi lahan. Pencetakan sawah baru dan pembangunan jaringan irigasi adalah contoh dari penerapan pendekatan tersebut. Dengan kedua cara tersebut maka dampak konversi lahan terhadap masalah pangan nasional memang dapat ditanggulangi. Namun cara ini pada akhirnya tetap akan dibatasi oleh sumber daya lahan yang tersedia dan membutuhkan dukungan dana yang besar. Selain itu, pendekatan ini tidak mampu mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang terjadi di lokasi atau di daerah yang mengalami konversi lahan karena pencetakan sawah atau pembangunan jaringan irigasi yang ditempuh biasanya bukan dilakukan di daerah yang mengalami konversi lahan, tetapi di daerah lain yang sumber daya lahannya masih tersedia. Fenomena demikian terjadi karena konversi lahan pertanian umumnya terjadi di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi sehingga peluang pembukaan sawah baru atau pembangunan jaringan irigasi sangat terbatas. Pada masa pemerintahan otonomi dimana egoisme daerah semakin kental, pendekatan demikian mungkin akan semakin sulit diterapkan jika dana pembangunan yang dibutuhkan diserahkan kepada masing-masing daerah.

Pencegahan dan penanggulangan dampak konversi lahan sebenarnya sudah dilakukan pemerintah. Untuk menanggulangi dampak terhadap pengadaan pangan maka konversi lahan sawah yang tinggi di Jawa diatasi dengan pembangunan sawah baru di luar Jawa. Cara tersebut memang telah meningkatkan luas sawah secara kuantitas namun tidak demikian secara kualitas karena kondisi biofisik lahan di luar Jawa lebih rendah dibandingkan di Jawa. Salah satu konsekuensinya adalah dampak pembangunan lahan sawah di luar Jawa tidak begitu signifikan terhadap peningkatan produksi pangan dan pulau Jawa masih tetap menjadi pemasok pangan utama dengan pangsa lebih dari 55% produksi pangan nasional.

Untuk mencegah dan mengendalikan kegiatan konversi lahan pertanian, sejauh ini pemerintah lebih terfokus pada pendekatan hukum yaitu dengan membuat peraturan dan perundang-undangan yang bersifat melarang konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah beririgasi teknis. Dalam pelaksanaannya terdapat dua jenis acuan instrumen hukum yang digunakan yaitu: (1) RUTRW yang mengatur lokasi

77

Page 12: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

kegiatan pembangunan termasuk lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan di luar pertanian dan (2) peraturan-peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaan konversi lahan pertanian. Selama ini sudah cukup banyak peraturan pemerintah yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian tersebut (Lampiran 1). Peraturan-peraturan tersebut dalam batas tertentu mungkin berhasil memperlambat proses konversi lahan tetapi tidak memberikan solusi yang utuh bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan. Kondisi demikian menyebabkan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan pertanian yang tersedia, misalnya para pengembang perumahan dan industri, cenderung mencari celah-celah hukum yang ada agar mereka tetap dapat melakukan konversi lahan yang mereka inginkan tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

Pengalaman menunjukkan bahwa kedua instrumen yang digunakan dalam mengatur pemanfaatan lahan terkesan kurang efektif dalam mengendalikan konversi lahan. Keterbatasan transparansi merupakan kelemahan utama yang melekat pada pengaturan lokasi kegiatan pembangunan (RUTRW) sehingga kontrol masyarakat tidak dapat berlangsung secara efektif. Sedangkan peraturan yang mengatur konversi lahan pertanian memiliki berbagai kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan

berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

2. Peraturan yang berlaku secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi.

3. Jika terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka sulit ditelusuri pihak manakah yang paling bertanggungjawab mengingat pemberian ijin konversi lahan pada dasarnya merupakan keputusan kolektif dari berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan lahan.

4. Peraturan dan perundangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Misalnya, di satu sisi peraturan hendak melindungi alih fungsi lahan sawah di sisi lain pemerintah mendorong pertumbuhan industri yang membutuhkan lahan sebagai basis kegiatannya. Di daerah yang lahan keringnya sangat terbatas seperti di jalur pantura maka kebijakan tersebut pasti akan menimbulkan konversi lahan sawah.

5. Peraturan yang diterbitkan oleh berbagai instansi yang berbeda seringkali tidak sinkron satu dengan lainnya dalam kerangka pengendalian konversi lahan pertanian produktif. Peraturan-perturan tersebut kadangkala bermakna implisit sehingga dapat menimbulkan kerancuan interpretasi. Misalnya, Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala BPN No.460-1594 tanggal 5 Juni 1996 secara implisit mengandung makna bahwa sawah yang sudah dikeringkan seolah-olah dapat dikonversikan ke penggunaan di luar pertanian.

78

Page 13: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

Pengendalian konversi lahan dengan peraturan-peraturan yang bersifat larangan akan sulit dijamin efektivitasnya selama tidak didukung dengan sistem pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang berlaku. Padahal sudah menjadi pendapat umum bahwa penegakan supremasi hukum di Indonesia masih sangat lemah akibat berbagai faktor. Untuk mengoptimalkan pengendalian konversi lahan pertanian maka diperlukan perubahan pendekatan, yaitu dari pelarangan juridis menjadi akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio – ekonomi – yuridis.

Dengan pendekatan akomodasi kompensatif, proses alih fungsi lahan dapat diterima sebagai kenyataan yang tak terhindarkan namun dampak negatifnya dinetralisir dengan membuka lahan pertanian baru dan atau merehabilitasi lahan pertanian yang ada, cukup luas dan produktif sehingga setidaknya dapat mengkompensasi penurunan kapasitas produksi akibat konversi lahan pertanian tersebut. Pendekatan ini dapat diimplementasikan antara lain dengan Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Program Perluasan Areal Pertanian.

Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dapat dilaksanakan melalui: (a) upaya rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi; (b) upaya optimalisasi pemanfaatan “lahan tidur” dan “lahan terlantar”, dan (c) upaya pencetakan sawah baru. Selain melalui upaya pembangunan fisik, program ini hanya dapat berhasil bila ditunjang dengan kebijakan insentif usaha tani, fasilitasi pembiayaan dan penataan kelembagaan kepemilikan lahan. Program ini dapat dikategorikan program jangka pendek.

Sesuai dengan lingkup mandatnya, saat ini Departemen Pertanian sedang mempersiapkan rancangan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan lahan terlantar. Sementara itu, upaya rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi serta upaya pencetakan lahan sawah baru dapat terus dilaksanakan oleh Departemen Kimpraswil berkoordinasi dengan Departemen Pertanian maupun instansi terkait lainnya. Fasilitasi kebijakan insentif dan pembiayaan perlu didukung oleh Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam koordinasi Menko Ekonomi, sementara penataan kelembagaan kepemilikan lahan merupakan porsi BPN.

Program perluasan areal pertanian merupakan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian dan sekaligus meningkatkan rata-rata luas pemilikan lahan pertanian. Pada masa lalu, peran pemerintah dalam program ini terutama disalurkan melalui program transmigrasi. Sejak tahun 1997, program transmigrasi mengalami hambatan, yang jelas berdampak pada perlambatan perluasan areal lahan pertanian. Revitalisasi program perluasan areal pertanian merupakan program jangka menengah-panjang yang perlu dirancang saat ini juga.

79

Page 14: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

Pengendalian konversi lahan pertanian melalui pendekatan sosio-ekonomi-juridis dimaksudkan untuk memperlambat dan mengarahkan proses alih fungsi lahan pertanian, sehingga dampak negatifnya dapat ditekan atau diakomodir, melalui penetapan peraturan dan perundang-undangan yang disusun berdasarkan prinsip sosial-ekonomi sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Termasuk dalam kategori ini ialah: (a) penataan struktur pajak dan iuran pembangunan berbasis lahan, (b) penyusunan rencana dan pengawasan implementasi tata ruang wilayah; dan (c) penataan sistem kepemilikan lahan. Secara terinci kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian berupa program aksi disajikan dalam Lampiran 2.

KESIMPULAN

1. Konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah di Jawa, memang cukup besar sehingga merupakan salah satu penyebab utama kecenderungan berlanjutnya marjinalisasi usaha tani dan menurunnya laju pertumbuhan produksi tanaman pangan di Indonesia. Dampak konversi lahan pertanian bersifat permanen karena konversi lahan pertanian juga permanen. Sekali beralih fungsi ke nonpertanian, praktis tidak akan berubah lagi ke fungsi pertanian.

2. Proses konversi lahan pertanian merupakan fenomena alamiah, tidak mungkin dicegah selama ekonomi dan atau penduduk masih terus tumbuh dan berkembang. Kebijakan yang bersifat melarang konversi lahan termasuk penetapan lahan pertanian abadi, sangat sukar diefektifkan.

3. Strategi kebijakan yang dianjurkan ialah akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio-ekonomi juridis. Konversi lahan pertanian dipandang sebagai tantangan yang mustahil dihentikan, namun dapat dikendalikan dengan pengaturan tata ruang dan insentif serta pada saat yang sama dilakukan upaya-upaya kompensasi dengan optimalisasi pemanfaatan lahan yang ada dan membuka lahan baru.

DAFTAR PUSTAKA

BPN. 2001. Laporan Tahunan. BPN.

Irawan, B., Supriyatna, A., Rachmanto. B.,Wiryono, B., dan Kirom, N. A. 2000. Perumusan Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Irawan, B., Setyanto, A., Rachmanto B., dan Asikin A. 2001. Proposal Penelitian Analisis Nilai Ekonomi Sumber Daya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

80

Page 15: lahan pertanian

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

Jamal, E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan)

Nasoetion, L dan E. Rustadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah dan penggunaan nonsawah, fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Febuari 1990. DAU Studi Sosial, UGM. (Tidak dipublikasikan)

Nasoetion, L dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. hlm. 64-82 dalam Hermanto (eds.). Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.

Pakpahan, A. dan A, Anwar. 1989. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah. Jurnal Agro Ekonomi 8 (1):62-74.

Rusastra, I.W. dan G.S. Budhi. 1997. Keragaan Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Kebijakan Pembangunan Pertanian : Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan : Suatu Tinjauan Sosiologis. hlm. 64-82 dalam Hermanto (eds.). Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.

81

Page 16: lahan pertanian

Simatupang dan Irawan

Lampiran 1. Pengaturan/pengendalian konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan

2. Keppres No.53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dimana antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah pula diberlakukan untuk semua penggunaan tanah nonpertanian lainnya seperti untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya.

3. Keppres No.33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri. 4. Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan

Bagi Kepentingan Umum. 5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.2 Tahun 1993 tentang

Tata Cara Memperoleh Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, dengan petunjuk pelaksanaannya untuk ijin lokasi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.22 tahun 1993.

6. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian.

7. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No.5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.

8. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.590/11108/SJ tanggal 24 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke nonpertanian sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan yang telah ada selama ini.

9. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.460-3346 tanggal 31 Oktober 1994; Surat Menteri Bappenas/Ketua Bappenas No.5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994; Surat Menteri Dalam Negeri No.474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke nonpertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis walaupun lokasi tersebut masuk dalam tata ruang wilayah yang telah ada.

82

Page 17: lahan pertanian

Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.

Lampiran 2. Tabel matrik kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian No. Masalah/potensi Program Output Sasaran Instansi pelaksana1. Ketidaklengkapan dan

inkonsistensi data konversi 1. Inventarisasi dan validasi

data konversi

Tersedianya data konversi yang akurat

Akurasi perencanaan dan penyusunan kebijakan pengendalian konversi

BPN; Bakosurtanal; Deptan; Dep. Kimpraswil

2. Jaringan irigasi rusak dan banyak lahan tidur atau terlantar

2. Rehabilitasi dan optimali-sasi pemanfaatan lahan pertanian

Penambahan luas tanam.

Peningkatan produksi dan kesempatan kerja dan pendapatan petani

Dep.Kimpraswil; Deptan; Dep. Nakertrans

a. Jaringan irigasi rusak dan degradasi kualitas sistem irigasi

a. Rehabilitasi dan pemba-ngunan sistem irigasi

Terciptanya sistem irigasi yang memadai dan efisien

Peningkatan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan petani

Dep.Kimpraswil; Deptan

b. Banyak lahan tidur dan terlantar

b. Optimalisasi pemanfaatan lahan tidur dan telantar

Penambahan luas tanam

Peningkatan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan petani

Deptan; Dep.Nakertrans

c. - Sawah tadah hujan masih luas - Penurunan luas baku sawah

c. Pencetakan sawah baru

- Penambahan luas tanam - Peningkatan

produktivitas

Peningkatan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan petani

Deptan; Dep.Kimpraswil

d. - Penurunan luas baku lahan (konversi) - Marjinalisasi kepemilikan

lahan; - Peningkatan kebutuhan

pangan domestik.

d. Perluasan areal pertanian - Peningkatan luas baku tanam.

- Peningkatan luas kepemilikan lahan.

- Peningkatan produksi pangan

- Peningkatan rata-rata luas penguasaan lahan;

- Peningkatan ketahanan pangan.

Dep.Kimpraswil; Deptan; Dep. Nakertrans

3. Tidak efektifnya peraturan dan perundang-undangan mengendalikan konversi.

3. Penataan peraturan dan perundang-undangan

Tersusunnya peraturan dan perundang-undangan yang mampu mengendalikan konversi

Laju konversi dapat dikendalikan BPN; Dep.Keh & HAM, Depdagri; Bappenas

a. Peraturan pajak dan iuran berbasis lahan instrumen kendali konversi.

a. Penataan struktur pajak dan iuran berbasis lahan.

Tersusunnya peraturan pajak dan iuran berbasis lahan yang mampu me-gendalikan konversi.

Laju konversi dapat dikendalikan Dep.Keu; Depdagri

b. Belum tersusunnya tata ruang wilayah yang integratif.

b. Penyusunan rencana dan pengawasan implementasi tata ruang wilayah.

Tersusunnya tata ruang wilayah yang terintegratif.

- Mengurangi konflik interest pengguna lahan.

- Reservasi lahan pertanian.

Bappenas; Depdagri

c. - Masih banyak lahan tanpa kepemilikan yang jelas - Mahalnya biaya admi- nistrasi kepemilikan lahan

c. Penataan sistem kepemi-likan lahan yang murah.

Tersusunnya peraturan kepemilikan lahan yang murah.

Kepastian kepemilikan lahan. BPN

83