lafadz darii aspek dilalahnya dan mafhum mukhalafah

Upload: achmad-ashrofi

Post on 02-Mar-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ushul fiqh sebagai salah satu keilmuan dalam disiplin Hukum Islam merupakan salah satu hal penting untuk dipelajari. Pasalnya Ushul Fiqh merupakan salah satu alat untuk menggali hukum Islam dari dua sumbernya, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. di dalam Ushul fiqh dijelaskan beberapa metode yang digunakan berbagai Ulama dari beragam mazhab dalam menggali hukum sehingga ditemukanlah suatu hukum mengenai suatu fenomena yang terjadi tersebut. salah satu metode yang terdapat dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqh ini adalah menggali hukum melalui analisa lafadz dari aspek dilalahnya, selain itu

TRANSCRIPT

LAFADZ DARI ASPEK DILALAHNYADAN MAFHUM MUKHALAFAH

MAKALAHDiajukan guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh :1. Achmad Ashrofi123500292. Muhammad Sholihin Aziz123500Dosen Pengampu :Dr. Maesyaroh, MA.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAHFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA2013

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang.Al Quran dan Al Hadits merupakan dua buah kitab suci Umat Islam yang sangat penting dan menjadi sumber penggalian hukum Islam, Al Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab dan begitupula Al Hadits yang dituturkan dengan bahasa Arab. Al Quran diturunkan untuk memberikan panduan hukum kepada manusia agar manusia dapat memahami bagaimana hukum yang dikehendaki oleh Tuhan. Karena Al Quran dan Al Hadits berbahasa Arab sering ditemukan masyaqqah atau kesulitan-kesulitan dalam memahami Al Quran dan Al Hadits karena tiap lafadz dalam bahasa Arab mempunyai arti yang banyak sehingga menimbulkan penunjukan (dalalah) dan hasil pemahaman yang berbeda. Begitu pula dengan metode dalam memahami Al Quran dan Al hadits terutama dari aspek kebahasaannya terkadang juga mengalami kesulitan sehingga tidak bisa dihindarkan dari perbedaan dari metode-metode pamahamannya termasuk metode mafhum mukhalafah. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas itulah makalah ini disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ushul Fiqh.B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :1. Apakah yang dimaksud dengan dalalah dan bagaimana dalalah menurut Ulama Ushul ?2. Apakah yang dimaksud dengan mafhum mukhalafah ?3. Apa sajakah bentuk-bentuk atau macam-macam dari mafhum mukhalafah itu ?4. Dan bagaimana kehujjahan mafhum mukhalafah menurut para Ulama ?

C. Tujuan Penulisan.Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dalalah dan dalalah menurut Ulama Ushul serta pembagian dalalahnya.2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mafhum mukhalafah.3. Untuk mengetahui macam-macam mafhum mukhalafah.4. Untuk mengetahui kehujjahan mafhum mukhalafah sebagai hukum menurut para Ulama.D. Metode Penulisan.Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .

BAB IIPEMBAHASANA. Definisi Dalalah dan Dalalah dalam Pandangan Ulama Ushul.Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafadz. Termasuk juga pembahasan mengenai penunjukan (dalalah) lafadz dalam Al-Quran maupun Al-Hadits, karena lafadz-lafadz penunjukan dalam Al-Quran maupun Al-hadits akan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penetapan hukum.Dalalah menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata dalla yadullu yang berarti petunjuk atau penunjukkan, dapat pula dalalah diartikan kepada maksud tertentu. Sedangkan dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.Nash Al-Quran dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut : segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara yang bersifat amali, baik sifatnya qothiy maupun zhanniy.Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim.Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Penunjukan lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam, hanya saja dikalangan ulama ushul fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam hal ini dikenal adanya macam-macam dalalah menurut ulama Hanafiyah dan macam-macam dalalah menurut ulama Syafiiyah.Ulama Hanafiyah membagi dalalah atau penunjukan lafadz ini menjadi empat macam, yaitu :1. Dalalah Ibaratun nash.Dalalah Ibaratun Nash ialah petunjuk lafadz pada suatu arti yang mudah difahami baik maksudnya untuk arti ashli maupun untuk arti tabi. Dikatakan demikian, karena petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir, sebagaimana yang dikatakan Bidran Abul Aini Bidran, dalalah ibaratun nash ialah petunjuk lafadz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksudkan sebagai arti ashli maupun arti tabi. Dengan demikian petunjuk lafadz dalam dalalah ibaratun nash ini bukan petunjuk lafadz kepada arti yang tidak jelas dan juga petunjuk lafadz kepada arti yang tersirat atau tersimpul atau arti yang tersembunyi dibalik arti yang terang itu. Dan yang dimaksud dengan arti ashli ialah arti yang mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash. Sedangkan yang dimaksud dengan arti tabi adalah arti lain yang cukup jelas atau yang mudah dapat difahami dari lafadz tersebut. Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah 275 yang berbunyi Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..... dalalah ibaratun nash dalam ayat tersebut menunjukkan kepada dua arti, yakni arti ashli dan arti tabi. Arti ashli yang difahami dengan dilalah ibaratun nash pada ayat tersebut yaitu, bahwa jual beli tidak sama dengan riba. Arti ini dikatakan sebagai arti ashli, karena mula-mula dimaksudkan dengan susunan lafadz nash tersebut adalah untuk menolak pendapat bahwa jual beli sama dengan riba, seperti yang diterangkan sebelumnya dalam ayat itu yang berbunyi Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri sendiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba ... (Al Baqarah : 275). Arti ini disebut dengan arti tabi, karena merupakan arti lain dari ayat tersebut yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.2. Dalalah Isyaratun Nash.Dalalah Isyaratun Nash ialah petunjuk lafadz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash. Atau menurut bahasa Abu Zahrah, yaitu dengan menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash. Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah : 236 yang berbunyi tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya ..... arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas ialah : boleh mentalak istri yang belum dikumpuli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Arti ini difahami dengan dalalah ibaratun nash, karena disimpulkan dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.3. Dalalah Dalalatun Nash.Dalalah Dalalatun Nash ialah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, sebab illat yang dipahami dari lafadz itu sama dengan illat suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya.Perlu dijelaskan lebih lanjut bahwa illat dalam dalalah dalalatun nash adalah yang dipahami dari pengertian lafadz itu sendiri, bukan illat yang dihasilkan dari ijtihad. Dan atas dasar inilah para ulama membedakan antara dalalah dalalatun nash dengan qiyas. Sebab illat dalam qiyas dapat terjadi dari illat yang dipahami dari suatu lafadz dan dapat pula illat yang dihasilkan dari ijtihad. Adakalanya illat itu lebih terwujud pada peristiwa yang tidak diterangkan hukumnya daripada yang disebutkan hukumnya suatu lafadz. Sebagai contoh dari firman Allah SWT surat Al Isra ayat 23 yang berbunyi maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah ..... artinya yang dapat dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas, yaitu : larangan berkata kasar kepada kedua orang tua. Dan illat larangan tersebut yaitu : meyakinkan, yang diambil dari pegertian yang terkandung dalam lafadz perkataan ah, illat ini (menyakitkan) lebih pantas terwujud pada perbuatan-perbuatan seperti : memaki-maki, memukul, dan yang serupa atau lebih dari itu.Oleh karena itu dengan dalalah dalam nash dapat ditetapkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut diatas dilarang. Dan adakalanya pula illat pada perbuatan yang hukumnya telah diterangkan oleh lafadz sama akibatnya dengan pada perbuatan belum diterangkan. Seperti firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 10 yang berbunyi Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api (neraka)..Arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas yaitu : haram makan harta anak yatim secara dhalim. Sedangkan illat larangan yang diambil dari ayat tersebut yakni karena perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap harta anak yatim, yang mana ia tidak mampu melawan tindak pelanggaran. Illat ini sama akibatnya pantasnya terwujud pada perbuatan-perbuatan yang tidak disebut pada ayat diatas, seperti membakar, menenggelamkan, dan sebagainya. Akibatnya sama yaitu melenyapkan harta anak yatim itu. Maka dengan dalalah dalalatun nash, perbuatan-perbuatan tersebut ditetapkan juga sebagai perbuatan hukum.4. Dalalah Iqtidlaun Nash[footnoteRef:1]. [1: Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Hlm. 87-91.]

Dalalah Iqtidlaun Nash ialah yang mengandung suatu pengertian dalam sesuatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz) yang ditakdirkan (dianggap tetap). Sebagai contoh dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi Dihapuskan dari umatku, kekeliruan, lupa dan sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa. (HR. At Thabari dan Ibnu Hibban). Arti yang dipahami dengan ibaratun nash dari hadits di atas, yakni dihapuskan perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa dan terpaksa. Namun yang demikian itu adalah suatu hal yang mustahil, sebab tidak mungkin sama sekali perbuatan yang telah terjadi itu dapat dihapuskan. Untuk dapat menjadi benar arti hadits di atas yaitu : (hukum) sehingga arti hadits tersebut menjadi : dihapuskan dari umatku dosa atau hukum, atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa dan terpaksa. Kata Ismun atau hukmun adalah ungkapan yang ditakdirkan dan dianggap tepat untuk memperjelas maksud hadits tersebut.Selain pembagian menurut ulama Hanafiyah diatas, ada pula pembagian dalalah menurut Ulama Syafiiyah. Dalam garis besarnya ulama syafiiyah membagi dalalah menjadi dua macam, yaitu :1. Dalalah Mantuq.Dalalah Mantuq ialah petunjuk lafadz kepada arti yang disebutkan oleh lafadz itu sendiri. Syaikh Muhammad Al Khudari menjelaskan bahwa, dalalah mantuq dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu :a. Dalalah Mantuq Sharih.Yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut, misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 23 yang berbunyi Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah ......Lafadz pada ayat diatas, secara tegas menunjukkan keharaman berkata kasar kepada kedua orang tua.b. Dalalah Mantuq Ghairu Sharih.Yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. Arti yang ditunjuki dengan dalalah mantuq ghairu sharih ini dapat berupa : pertama, arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafadz (syara) akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafadznya, dan kedua arti yang disebutkan oleh tuturan lafadz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan (syara). Untuk yang pertama, dapat berbentuk :a. Petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau keabsahan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. Dalalah semacam ini menurut ulama Hanafiyah disebutkan dengan dalalah iqtidhaun nash.b. Petunjuk lafadz kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan illat (alasan) bagi adanya arti tersebut. Seandainya sifat itu bukan merupakan illatnya, maka tidak ada gunanya dengan menyebutkan itu. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya ....... adanya hukuman potong tangan pada ayat di atas, disertai alasan yakni pencurian. Arti yang dapat difahami dengan dalalah ini ialah bahwa pencurian menjadi illat bagi adanya hukuman itu bukan merupakan illat bagi adanya hukuman potong tangan, maka penyebutannya sudah barang tentu tidak akan ada artinya.Dalalah ini disebut pula dengan dalatun tambihwalima (memberi tahu dan memberi isyarat secara halus)[footnoteRef:2]. [2: Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Hlm. 95-96]

Untuk yang kedua arti yang ditunjuki oleh lafadz bukan dimaksudkan ialah yang diambil dari kelaziman (kemestian) atau kesimpulan dari arti yang dituturkan oleh lafadz itu. Misalnya dari firman Allah SWT dalam surat Al Ahqaf ayat 15 yang berbunyi ......... Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ............ dari firmanNya dalam surat Luqman ayat 14 yang artinya ....... dan menyapihnya dalam dua tahun. Dari yang diturunkan oleh lafadz dua ayat di atas dapat disimpulkan dalam sebuah arti yakni, masa hamil paling sedikit enam bulan. Dalalah ini sama dengan dalalah isyaratun nash menurut Ulama Hanafiyah.2. Dalalah Mafhum.Dalalah mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi faham tersebut tersirat didalamnya. Dalalah mafhum terbagi menjadi dua macam, yakni mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. a. Dalalah Mafhum Muwafaqah.Dalalah mafhum muwafaqah ialah pengertian yang menunjukkan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan illat hukumnya. Perlu ditandaskan bahwa illat hukum ini adalah semata-mata dipahami dari segi bahasa dari lafadz tersebut bukan diambil dengan jalan ijtihad.Manakala illat hukum itu sama pantasnya untuk diterapkan pada peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz maka dalalah ini disebut dengan lahnul khitab. Dan apabila illat hukum itu lebih pantas untuk diterapkan pada peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, maka dalalah ini disebut dengan fahwa khitab. Al Mawardi dan Ar-Ruyani menjelaskan behwa perbedaan antara fahwa khitab dan lahnul khitab dapat pula dilihat dari dua segi. Pertama, fahwal khitab adalah suatu petunjuk yang ditekankan oleh lafadz, sedangkan lahnul khitab adalah suatu petunjuk yang terpancar dari lafadz. Kedua, fahwal khitab adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu petunjuk lebih jelas daripada ungkapan lafadz itu sendiri, sedangkan lahnul khitab adalah suatu lafadz yang menunjukkan pada suatu petunjuk yang sama dengan ungkapan lafadz itu sendiri[footnoteRef:3]. Jika dibandingkan dengan pembagian dalalah menurut ulama Hanafiyah, maka dalalah nash mafhum muwafaqah sama dengan dalalah dalalatun nash. Selain ulama Dhahiriyah, para ulama sepakat atas kebolehan berhujjah dengan dalalah mafhum muwafaqah. [3: Prof. Dr. Rahmat Syafei MA, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hlm. 216.]

b. Dalalah Mafhum Mukhalafah.Dalalah mafhum mukhalafah ialah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum) yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah mafhum mukhalafah ini, disebut juga dengan dalilul khitab. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai dalalah mafhum mukhalafah akan diurai pada sub bab selanjutnya[footnoteRef:4]. [4: Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Hlm. 95-98. ]

B. Definisi Mafhum Mukhalafah.Mafhum mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan yang berpengaruh dalam hukum.Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebutkan. Dinamai dalil khitab, karena dalil hukumnya diambil dari jenis khitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas hukum itu. Ulama hanafiyah menamakan dalil khitab dengan nama al-makhsus bi dzikri. Mereka memandang bahwa berpegang pada dalil ini termasuk fasid.C. Macam-macam Mafhum Mukhalafah.Dalam dalalah mafhum mukhalafah, dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu mafhum laqab, mafhum hassr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum adad.1. Mafhum laqab.Mafhum laqab ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda rasulullah SAW yang berbunyi Pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.2. Mafhum Hasshr.Mafhum hasshr ialah menetapkan hukum sebaliknya daripada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam suatu nash, misalnya dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi Hanyasanya syufah itu terdapat pada sesuatu (benda tetap) yang belum dibagi. Lafadz hadits diatas menyebutkan bahwa hukum syufah terbatas pada benda tetap yang belum atau tidak dapat dibagi. Oleh karena itu, mafhum hasshrnya yaitu bahwa selain pada benda tetap yang belum dibagi tidak berlaku hukum syufah.3. Mafhum Shifat.Mafhum shifat ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz itu pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafadz tersebut. Misalnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 25 yang berbunyi Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki ...... Kebolehan mengawini budak yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah budak yang beriman. Jadi, beriman adalah sifat yang diberikan kepada budak yang boleh dikawini, oleh karena itu mafhum sifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.4. Mafhum Syarat.Mafhum syarat ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu, sebagai contoh dari firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 6 yang berbunyi Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga melahirkan ..... Hukum yang disebut oleh lafadz ayat diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang dithalak dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. Jadi, kehamilan seorang istri yang dithalak menjadi syarat bagi adanya kewajiban bekas suami memberi nafkah kepadanya. Oleh karena itu mafhum syaratnya ialah, tidak wajib bagi bekas suami memberi nafkah kepada istri yang dithalak tidak dalam keadaan hamil.5. Mafhum Qhayah.Mafhum Ghayah ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum yang sebaliknya seperti firman Allah yang artinya : Kemudian jika suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain (Al Baqarah : 230).Hukum yang disebutkan oleh ayat diatas (dalalah manthuqnya) yaitu, bahwa keharaman bekas suami mengawini bekas istrinya yang telah dithalak tiga dibatasi sampai dengan bekas istri itu kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian diceraikan pula. Dengan demikian, mafhum ghayahnya, yaitu boleh lagi bekas suami menikahi bekas istri yang telah nikah dengan laki-laki lain kemudian telah diceraikan dan telah habis pula masa iddahnya.6. Mafhum Adad.Mafhum Adad ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An Nur ayat 2 yang berbunyi Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali .......... hukuman dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas yaitu seratus kali. Dengan demikian, maka mafhum adadnya ialah tidak memadai mendera orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali, dan juga tidak boleh melebihi itu.D. Kehujjahan Mafhum Mukhalafah.Para Ulama sepakat bahwa mafhum Laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sebab penyebutan dengan isim alam atau isim jenis itu, sekedar untuk menyebutkan adanya hukum padanya, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja oleh karena itu dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya, selain itu jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujjah, pastilah akan mencegah usaha mencari illat hukumnya yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengqiyaskan sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun dari para ulama pendukung qiyas yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illat hukumnya.Sedangkan terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut kamal ibnu Human, lebih rajih (kuat) ialah bahwa meniadakan suatu hukum atau berlakunya hukum sebaliknya bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu (dengan dalalah manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr menurut arti bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan juga meniadakannya.Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafiiyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :1. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah mantuq dengan nash lain.2. Apabila adanya pambatasan hukum yang disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.Sedangkan Ulama hanafiyah menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Dalam hal ini mereka mengemukakan beberapa alasan, diantaranya :1. Banyak ayat Al Quran dan hadits Nabi SAW yang menunjukkan tidak boleh menggunakan mafhum mukhalafah, sebab kalau boleh diambil dengan mukhalafah niscaya akan menimbulkan adanya arti yang keliru atau akan mengakibatkan adanya hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh syara.2. Seandainya mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, berarti tidak mengambil hujjah dengan hukum yang disebut oleh nash itu.3. Jika mafhum mukhalafah dijadikan hujjah, berarti kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukhalafah tersebut dan menginggalkan hukum yang ditinggalkan oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukkan bahwa syara mengabaikan penggunaan mafhum mukhalafah.4. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum yang disebut pasti mempunyai kegunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; Ulama Hanafiyah menganggap kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya ialah adanya yang tidak disebut itu justru mengharuskan diambil hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan kaidah asal sesuatu adalah mubah.

BAB IIIPENUTUPA. Kesimpulan.Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa dalalah menurut etimologi berasal dari kata dalla-yadullu-dalalatan yang berarti petunjuk atau penunjukkan, sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan dalalah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Penunjukan lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam, hanya saja dikalangan ulama ushul fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam hal ini dikenal adanya macam-macam dalalah menurut ulama Hanafiyah dan macam-macam dalalah menurut ulama Syafiiyah.Ulama hanafiyah membagi dalalah kepada empat macam, yaitu :1. Dalalah ibaratun nash, yaitu petunjuk lafadz pada suatu arti yang mudah difahami baik maksudnya untuk arti ashli maupun untuk arti tabi.2. Dalalah Isyaratun nash, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.3. Dalalah Dalalatun nash, yaitu petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, sebab illat yang dipahami dari lafadz itu sama dengan illat suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya.4. Dalalah Iqtidlaun nash, yaitu yang mengandung suatu pengertian dalam sesuatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz) yang ditakdirkan (dianggap tetap).Selain pembagian menurut ulama Hanafiyah diatas, ada pula pembagian dalalah menurut Ulama Syafiiyah. Dalam garis besarnya ulama syafiiyah membagi dalalah menjadi dua macam, yaitu :1. Dalalah mantuq, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang disebutkan oleh lafadz itu sendiri. Syaikh Muhammad Al Khudari menjelaskan bahwa, dalalah mantuq dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu :a. Dalalah mantuq shorih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.b. Dalalah mantuq ghairu sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.2. Dalalah Mafhum, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi faham tersebut tersirat didalamnya. Dalalah mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu :a. Dalalah Mafhum Mufaqah, yaitu pengertian yang menunjukkan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan illat hukumnya.b. Dalalah Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum) yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalam dalalah mafhum mukhalafah, dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu mafhum laqab, mafhum hassr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum adad.Kehujjahan mafhum mukhalafah menurut ulama berbeda-beda. Para Ulama sepakat bahwa mafhum Laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sebab penyebutan dengan isim alam atau isim jenis itu, sekedar untuk menyebutkan adanya hukum padanya, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja oleh karena itu dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Sedangkan terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut kamal ibnu Human, lebih rajih (kuat) ialah bahwa meniadakan suatu hukum atau berlakunya hukum sebaliknya bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu (dengan dalalah manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr menurut arti bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan juga meniadakannya.Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafiiyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :3. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah mantuq dengan nash lain.4. Apabila adanya pambatasan hukum yang disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.Sedangkan Ulama hanafiyah menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Dalam hal ini mereka mengemukakan beberapa alasan, diantaranya :5. Banyak ayat Al Quran dan hadits Nabi SAW yang menunjukkan tidak boleh menggunakan mafhum mukhalafah, sebab kalau boleh diambil dengan mukhalafah niscaya akan menimbulkan adanya arti yang keliru atau akan mengakibatkan adanya hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh syara.6. Seandainya mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, berarti tidak mengambil hujjah dengan hukum yang disebut oleh nash itu.7. Jika mafhum mukhalafah dijadikan hujjah, berarti kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukhalafah tersebut dan menginggalkan hukum yang ditinggalkan oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukkan bahwa syara mengabaikan penggunaan mafhum mukhalafah.8. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum yang disebut pasti mempunyai kegunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; Ulama Hanafiyah menganggap kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya ialah adanya yang tidak disebut itu justru mengharuskan diambil hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan kaidah asal sesuatu adalah mubah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.2. Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh Jilid II. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.3. Khallaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.4. Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Prenada Media Group.5. Shodiqin, Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta: Beranda Publishing.

15