kusta saat ini

Upload: akbar-fitrahadi

Post on 07-Jan-2016

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jurnal reading

TRANSCRIPT

Kusta Saat Ini: Epidemiologi, Kemajuan, Tantangan, dan Kesenjangan Penelitian

Kusta Saat Ini: Epidemiologi, Kemajuan, Tantangan, dan Kesenjangan PenelitianJournal Reading:DM Amandra, DM Dewa Gede, DM Arief, DM Akbar

Pendahuluan Kusta adalah suatu penyakit infeksi yang tersering menyebabkan kecacatan.Kejadian kusta telah mengalami penurunan selama 50 tahun terakhir ini, namun transmisi kusta masih berlanjut.Transmisi penyebaran kusta masih belum diketahui benar, meskipun penularannya dapat dianggap terjadi dari nasal droplets.Keterlambatan diagnosis akan berdampak negatif, contohnya dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf.WHO merekomendasikan penggunaan multidrug terapi selama 6 bulan untuk pasien dengan kusta tipe paucibacillary (1-5 lesi pada kulit) dan selama 12 bulan untuk pasien dengan kusta tipe multibacillary (lesi lebih dari 5).

Sejarah Kusta dan Kontrol dari Kusta Bakteri ini berasal dari Afrika dan menyebar ke Asia dan Amerika Selatan.Pada tahun 1940an, WHO merekomendasikan penggunaan Dapsone sebagai terapi dari kusta. Namun, pada tahun 1981, WHO merekomendasikan untuk semua pasien kusta mengonsumsi multidrug terapi yang terdiri dari Rifampicin dan Dapsone, atau Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine untuk pasien dengan tipe multibaccilary. Kusta tidak tercantum secara eksplisit dalam salah satu dari delapan tujuan yang ada pada Pembangunan Milenium Global, tetapi berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan dasar, dan membangun kemitraan global yang relevan untuk mengontrol kusta.EpidemiologiTingkat deteksi kasus baru untuk kusta tetap tinggi, dengan sekitar 250.000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun.Sekitar 15 juta orang telah diobati dengan terapi multidrug, dan diperkirakan 2 juta orang telah dicegah dari kecacatan.Meskipun nilai prevalensi kusta jatuh mencolok dari 620,638 kasus pada tahun 2002, menjadi 213,036 kasus pada tahun 2009, penurunan ini disebabkan sebagian untuk nilai-nilai prevalensi berkurang setengahnya oleh durasi pengobatan yang dikurangi dari 24 bulan sampai 12 bulan.Prevalensi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor operasional, seperti tingkat penemuan kasus, aktivitas, dan integrasi layanan kusta ke pelayanan perawatan kesehatan primer di beberapa negara sehingga target eliminasi kusta akan tercapai.Gambar 1. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di India selama 1984-2008Gambar 2. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di Brazil selama 1979-2007Transmisi Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae.Metode penularan masih belum terbukti secara meyakinkan, meskipun penyebaran human-to-human melalui nasal droplet diyakini menjadi rute utama.Mycobacterium leprae tumbuh lambat dan masa inkubasi kusta panjang di 2-12 tahun. Pasien kusta lepromatosa mengeluarkan Mycobacterium leprae dari mukosa hidung dan kulit.Besarnya risiko terkena penularan kusta tergantung pada kedekatan kontak, dan seberapa / sering terpapar.Kusta tipe multibacillary memiliki risiko dua kali lebih mudah menginfeksi dibandingkan kusta tipe paucybacillary.Masih belum jelas apakah faktor genetik mempengaruhi perkembangan penyakit kusta.Sebuah studi terbaru menunjukkan adanya hubungan antara jenis gen pada NOD2, yang mengatur respon imun bawaan, dan menentukan risiko dan bentukan penyakit.Urutan genom dari Mycobacterium leprae telah tersedia sejak tahun 2001.Penelitian awal dengan polimorfisme nukleotida tunggal telah menghasilkan empat subtipe Mycobacterium leprae dan mendalilkan rute penyebaran di seluruh dunia.Temuan tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan strain Mycobacterium leprae membentuk kluster bersama-sama di negara-negara yang spesifik, dan bahwa kehadiran temuan isolatif untuk kluster yang berbeda merupakan konsekuensi dari adanya migrasi.TransmisiPenyakit Klinis

Infeksi M.leprae menyebabkan peradangan granulomatous kronis di kulit dan saraf perifer. Jenis kusta pasien ditentukan oleh respon imun cell-mediated mereka terhadap infeksi.Jenis penyakitnya dapat dikategorikan menurut klasifikasi Ridley-Jopling, yang didasarkan pada jenis lesi kulit dan jumlah bakteri dalam tubuh.WHO telah memperkenalkan klasifikasi yang disederhanakan menggunakan jumlah lesi kulit untuk mengklasifikasikan penyakit sebagai paucibacillary (hingga sampai lima lesi) atau multibasiler (lebih dari lima lesi kulit).Klasifikasi ini secara luas digunakan untuk membantu pengambilan keputusan pengobatan. Kerusakan saraf dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah perawatan dan dapat mengakibatkan cacat dan jangka panjang yang berhubungan dengan stigma.Sebuah penelitian kohort di Ethiopia menunjukkan bahwa 47% dari 594 kasus baru ditemukan adanya gangguan fungsi saraf saat diagnosis dan 8% memiliki kerusakan saraf baru-baru ini. Selain itu, 12% berkembang adanya kerusakan saraf setelah dimulainya pengobatan, dan hanya 33% tidak memiliki bukti klinis keterlibatan saraf kapanpun.Derajat kerusakan saraf pada diagnosis menggambarkan penundaan antara timbulnya gejala dan diagnosis. Penundaan seringkali berjangka tahunan, dan selama waktu ini neuropati dapat berkembang hampir tanpa diketahui. Banyak saraf saat diagnosis sudah terjadi kecacatan dan menjadi menetap.Peradangan terjadi dalam saraf disebabkan oleh antigen mikobakterium yang mengaktifkan sifat merusak dari respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh sel-sel CD4+ dan makrofag, dengan keterlibatan beberapa sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-.Reaksi imun tipe 1 dan tipe 2 terjadi pada sekitar 30% pasien dengan penyakit multibasiler selama dan setelah terapi multi-obat.Reaksi leprosum eritema nodosum terjadi di sekitar 50% dari pasien dengan lepromatous leprosy.Adanya kesamaan antara TB dan kusta, di awal epidemic HIV-1 dikhawatirkan bahwa Infeksi HIV-1 akan meningkatkan risiko mengembangkan kusta, terutama jenis kusta lepromatosa, atau pada orang yang terinfeksi keduanya akan memiliki kusta yang sangat berat atau dengan prognosis buruk. pengobatanWHO merekomendasikan terapi multi-obat dengan rifampisin dan dapson untuk penyakit pausibasiler, atau dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine untuk pasien dengan penyakit multibasiler. Durasi yang direkomendasikan terapi adalah 6 bulan untuk pasien dengan penyakit pausibasiler dan 12 bulan bagi mereka dengan penyakit multibasiler, dan regimen ini akan secara efektif memberantas M.leprae pada kebanyakan pasien. Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan pada beberapa pasien dengan Indeks Bakteri yang tinggi pada saat diagnosis untuk mencegah kambuh.Tingkat kekambuhan setelah terapi multi-obat bervariasi, terutama karena metode tindak lanjut dan definisi yang berbeda, tapi setidaknya di bawah tiga kasus per 100 tahun, dan tampaknya sebagian besar lebih rendah dari dua kasus per 100 orang-tahun. Faktor yang terkait dengan kekambuhan termasuk penggunaan monoterapi, tidak memadai atau terapi yang tidak teratur, kurangnya respon, kehadiran beberapa lesi kulit atau saraf menebal, dan tidak ada reaksi terhadap test kulit lepromin.Resistensi obat belum menjadi masalah besar. Pasien yang diduga menderita strain resisten dari M.leprae telah merespon kembali pengobatan dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine.DIAGNOSISDiagnosis yang terlambat, dapat memicu terjadinya penyebaran penyakit dan kecacatan. Faktor-faktor yang memicu terjadinya diagnosis yang lambat antara lain pasien menunda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan terambatnya penegakkan diagnosis oleh instansi pelayanan kesehatan. Alasan dibalik penundaan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sangatalah beragam. Namun stigma negatif menjadi alasan an lazim terjadi di banyak kasus. Di beberapa negara stigma ini dapat tumbh karena adanya perundangan yang merugikan terhadap pasien kusta. Tindakan lainnya juga berpengaruh terhadap para penderita penyakit ini.Laporan dari Ethiopia dan Bangladesh, menunjukkan bahwa wanita lebih mengalami keterlambatan diagnosa dibandingkan pria, sehingga pada wanita sering ditemukan kerusakan saraf dan kecacatan yang lebih berat saat diagnosis ditegakkan.Richardus dan Habbema berargumen bahwa untuk memusnahkan penyakit menular, kita membutuhkan sebuah intervensi yang dapat menghambat transmisis, alat diagnosis yang praktis engan sensitivitas dan spesifisitas yang memadai, serta ketidakberdaannya resevoir. Dasar dari prinsip ini dapat dicapai dengan penelitian yang mendalam di bidang epidemiologis dan mikrobiologis untuk menemukan alat yang baik untuk mendeteksi infeksi, cara intervensi yang baru seperti kemopofilaksis dan vaksinasi, semua hal ini haruslah segera dikembangkan dan diimplementasikan.

Tes serologis untuk mendeteksi infeksi dan memonitoring proses pengobatan sudah menjadi fokus beberapa tahun terakhir. Tes sejenis, mungkin juga berguna untuk mengidentifikasi kkontak, memonitor transmisi di komunitas dan sebagai panduan dalam penanganan. Berbagai tes sudah tersedia, meskipun tidak satupun yang cukup sensitif maupun spesifik untuk mendeteksi kusta. PENCEGAHANKemoprofilaksis secara efektif mampu menurunkan angkan kejadian kusta pada kontak di lingkungan rumah. Penggunaan cara ini secara umum masih dalam tahap pembahasan. Dosis tunggal dari rifampicin mampu mencegah perjalanan penyakit pada orang yang terinfeksi kusta, namun hanya dalam pada kontak yang tidak dekat dengan jumlah bakteri yang sedikit. Terdappat kekhawatian akan terjadinya resisten terhadap penggunaan terapi tunggal, sehinga pemberian satu atau dua dosis dari rifampicin 600 mg, ofloxacin 400 mg, dan minocyclne 100 mg haruslah dilakukan. Pemberian regimen ini sangat disarankan, namun akan memakan biaya yang jauh lebih mahal.Tambahan pada kemoprofilaksis terhadap kontak dekat non-household sangat sangatlah didukung oleh pendapat epidemiologis yang baik, namun berbagai hambatan dapat menghalangi implementasi dari peraturan yang akan ditegakkan. Sebagai contoh, perhitungan terhadap indeks kasus kusta membutuhkan identifikasi terhadap kontak, terutama di luar rumah, hal ini bisa jadi tidak diinginkan oleh masyarakat maupun melanggar etik.Rekomendasi terkini dari program Enhanced Global Strategy for Futher Reducing teh Disease Burden due to Leprosy oleh WHO adalah untuk memeriksa kontak di rumah pasien untuk mencari bukti dari kontak terhadap kusta, apabila tidak ditemukan satupun bukti maka langkah selanjutnya adalah memberi tahu pasien akan tanda-tanda awal dari kusta, serta harus mencari pelayanan kesehatan apabila ditemukan tanda-tanda tersebut.Vaksinasi BCG mampu memberi perlindungan terhadap berkembangnya kusta pada orang dewasa, dan valsinasi BCG pada neonatus yang bertujuan untuk mencegah tuberkulosis mungkin juga berkontribusi dalam penurunan prevalensi kusta.

KESIMPULANPrioritas penelitian terhadap kusta mampu mencakup area yang luas, mulai dari sains dasar hingga pelayanan kesehatan. Pengertian yang lebih mendalam sangat dibutuhkan baik dibidak epidemiologi, seperti transmisi penyakit, peranan dari armadillo, dan kontribusi relatif dari transmisi dan reinfeksi hingga segala permasalahan yang menyertai penyakit ini, serta patogenesis dari kerusakan saraf. Alat yang efektif harus dikembangkan untuk deteksi dini pada infeksi, point-of-contact diagnosis, memprediksi kerusakn saraf, dan menggolongkan kecacatanRegimen pengobatan baru terhadap kusta dan reaksi kusta harus segera dikembangkan dan diuji. Akhirnya, metode efektif untuk monitoring resistensi obat harus segera diimplementasikan. Untuk pencegahan dan penelitian pada pelayanan kesehatan, pengembangan vaksin baru atau penggabungan dari komponen kusta pada vaksin anti tuberkulosis yang baru sangatlah krusial. Strategi pemberian kemoprofilaksis terhadapn kontak harus ditinjau, terhambatnya diagnosis, diskriminasi, dan stigma harus segera dikurangi.TERIMAKASIH THANK YOUBEDANKTSalamat sa iyoMERCIGRAZIE GRACIAS DANKE