kultura maret 2006

51
KULTURA JURNAL ILMIAH PERTANIAN Vol. 41 No. 1, Maret 2006 ISSN 0126 - 1665 Penanggung Jawab: Zulkifli Nasution, Ir, M.Sc, Ph.D (Dekan Fakultas Pertanian USU) Ketua Penyunting Zulkifli Lubis, Ir., M.App.Sc, Dr. Prof. Wakil Ketua Penyunting M. Cyccu Tobing, Dra, M.S., Dr. Mitra Bestari: Soemartono Sosromarsono, Ir., M.Sc., Ph. D. (Entomologi, IPB) J.A. Napitupulu, Prof., Ir., M.Sc., Dr. (Agronomi, USU) Zulkifli Lubis, Prof., Ir., M.App.Sc., Ph.D. (Teknologi Hasil Pertanian, USU) Meity Sinaga, Ir., M.Sc., Dr. (Fitopatologi, IPB) Arifin Djamin, Ir., M.Sc., Ph.D. (Entomologi, UISU) Dedi Fardiaz, Prof., Ir., M.Sc., Dr. (Teknologi Hasil Pertanain, IPB) Hasil Sembiring, Ir., M.Sc., Ph.D. (Ilmu Tanah, BPTP Medan) Bayu Krisnamurthi, Ir., MS., Dr. (Sosial Ekonomi Pertanian, IPB) Budjang Rusman, Prof., Ir., Dr. (Ilmu Tanah, UNAND) Bungaran Saragih, Ir., MSc., Ph.D. (Sosial Ekonomi Pertanian, IPB) Penyunting Pelaksana: Ameilia Zuliyanti Siregar, S.Si, M.Sc. Hotnida Sinaga, Ir., M.Phil Luthfi Aziz Mahmud Siregar, SP, M.Sc, Ph.D. Pelaksana Tata Usaha: Bintang Sitorus, Ir., MP Achwil Putra Munir, STP, M.Si. Dian Supatmi Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura diterbitkan 2 (dua) kali setahun (Maret dan September) oleh Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan telah terakreditasi secara Nasional oleh Dikti No. 49/Dikti/Kep/2003, dan merupakan publikasi ilmiah untuk menyebarluaskan hasil penelitian di bidang Pertanian baik yang dilakukan oleh staf pengajar Fakultas Pertanian USU maupun fakultas- fakultas lain di dalam dan di luar USU, serta oleh peneliti lain dari semua instansi yang ada kaitannya dengan bidang pertanian. Naskah disertai surat pengantar dan amplop balasan berperangko secukupnya dari penulis, dikirimkan ke Dewan Redaksi. Naskah yang dapat dimuat dengan perbaikan akan dikirimkan kembali ke penulis untuk disempurnakan, sedangkan naskah yang tidak dapat dimuat akan dikembalikan. Setelah naskah dinyatakan dapat dimuat, penulis dikenai biaya cetak sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per artikel, dengan menstransfer ke Nomor Rekening 0062662746 Bank BNI Cabang USU a.n. Maryani C. Tobing a.n. KULTURA FP USU atau diserahkan langsung ke Redaksi KULTURA. Harga eceran jurnal adalah Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per edisi. Alamat Redaksi: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU, Medan 20155. Telp. (061) 8213236 Fax. (061) 8211924, Website: www.kultura.usu.ac.id

Upload: aries-raharjo

Post on 23-Jun-2015

436 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kultura Maret 2006

KULTURAJURNAL ILMIAH PERTANIAN

Vol. 41 No. 1, Maret 2006 ISSN 0126 - 1665

Penanggung Jawab:Zulkifli Nasution, Ir, M.Sc, Ph.D

(Dekan Fakultas Pertanian USU)

Ketua PenyuntingZulkifli Lubis, Ir., M.App.Sc, Dr. Prof.

Wakil Ketua PenyuntingM. Cyccu Tobing, Dra, M.S., Dr.

Mitra Bestari:Soemartono Sosromarsono, Ir., M.Sc., Ph. D. (Entomologi, IPB)

J.A. Napitupulu, Prof., Ir., M.Sc., Dr. (Agronomi, USU)Zulkifli Lubis, Prof., Ir., M.App.Sc., Ph.D. (Teknologi Hasil Pertanian, USU)

Meity Sinaga, Ir., M.Sc., Dr. (Fitopatologi, IPB)Arifin Djamin, Ir., M.Sc., Ph.D. (Entomologi, UISU)

Dedi Fardiaz, Prof., Ir., M.Sc., Dr. (Teknologi Hasil Pertanain, IPB)Hasil Sembiring, Ir., M.Sc., Ph.D. (Ilmu Tanah, BPTP Medan)

Bayu Krisnamurthi, Ir., MS., Dr. (Sosial Ekonomi Pertanian, IPB)Budjang Rusman, Prof., Ir., Dr. (Ilmu Tanah, UNAND)

Bungaran Saragih, Ir., MSc., Ph.D. (Sosial Ekonomi Pertanian, IPB)

Penyunting Pelaksana:Ameilia Zuliyanti Siregar, S.Si, M.Sc.

Hotnida Sinaga, Ir., M.PhilLuthfi Aziz Mahmud Siregar, SP, M.Sc, Ph.D.

Pelaksana Tata Usaha:Bintang Sitorus, Ir., MP

Achwil Putra Munir, STP, M.Si.Dian Supatmi

Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura diterbitkan 2 (dua) kali setahun (Maret dan September) oleh Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan telah terakreditasi secara Nasional oleh Dikti No. 49/Dikti/Kep/2003, dan merupakan publikasi ilmiah untuk menyebarluaskan hasil penelitian di bidang Pertanian baik yang dilakukan oleh staf pengajar Fakultas Pertanian USU maupun fakultas-fakultas lain di dalam dan di luar USU, serta oleh peneliti lain dari semua instansi yang ada kaitannya dengan bidang pertanian.

Naskah disertai surat pengantar dan amplop balasan berperangko secukupnya dari penulis, dikirimkan ke Dewan Redaksi. Naskah yang dapat dimuat dengan perbaikan akan dikirimkan kembali ke penulis untuk disempurnakan, sedangkan naskah yang tidak dapat dimuat akan dikembalikan.

Setelah naskah dinyatakan dapat dimuat, penulis dikenai biaya cetak sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per artikel, dengan menstransfer ke Nomor Rekening 0062662746 Bank BNI Cabang USU a.n. Maryani C. Tobing a.n. KULTURA FP USU atau diserahkan langsung ke Redaksi KULTURA.

Harga eceran jurnal adalah Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per edisi.

Alamat Redaksi: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Prof. A. Sofyan No. 3Kampus USU, Medan 20155. Telp. (061) 8213236 Fax. (061) 8211924,

Website: www.kultura.usu.ac.id

Page 2: Kultura Maret 2006

KULTURAJURNAL ILMIAH PERTANIAN

Vol. 41 No. 1, Maret 2006 ISSN 0126 - 1665

PENGANTAR DARI REDAKSI

Pembaca yang terhormat,

Kami sangat berbahagia dapat bertemu kembali dengan para pembaca meskipun ada sedikit keterlambatan penerbitan Kultura edisi ini. Para Dewan Redaksi semua sibuk dengan kegiatan akademik dan penyelenggaraan seminar internasional. Untuk mencegah terjadinya kebosanan, kami menambahkan beberapa gambar, mudah-mudahan akan memberikan gairah baru dalam membacanya. Sesuai dengan perubahan cover kita ini, maka dengan berat hati kami menaikkan harga Kultura menjadi Rp 15.000,- (lima belas ribu) per eksemplar.

Hal lain yang berubah adalah susunan Dewan Redaksi, karena ada anggota redaksi yang melanjutkan studi ke luar negeri, tugas yang bertambah di departemen dan lain-lain. Demikian pula dengan Mitra Bestari akan mengalami perubahan setiap terbit, kami cantumkan namanya berdasarkan kepakarannya dalam mengedit naskah yang sesuai.

Semoga Jurnal Kultura kali ini bermanfaat bagi para pembaca yang terhormat, kritik dan saran sangat kami harapkan.

Redaksi Pelaksana

Page 3: Kultura Maret 2006

KULTURAJURNAL ILMIAH PERTANIAN

Vol. 41 No. 1, Maret 2006 ISSN 0126 - 1665

DAFTAR ISI:

Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk terhadap Biodiversitas Tanah (The Effect of Utilization of Palm Oil Mill Effluent as Fertilizer to Soil Biodiversity)Retno Widhiastuti, Dwi Suryanto, Mukhlis, Hesti Wahyuningsih .................................................... 1 - 8

Identifikasi Ras Fisiologi Phytophthora infestans pada Sentra Produksi Kentang di Kabupaten Karo (Identification of Physiological Race of Phytophthora infestans in Potato Production Center in Kabupaten Karo)Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud .............................................. 9 – 18

Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid dalam Kalus dan Suspensi Sel Eurycoma longifolia Jack (The Growth and Accumulation of Alkaloids in Callus and Cell Suspension of Eurycoma longifolia Jack)Luthfi Aziz Mahmud Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng Lim..........................................19 – 27

Karakter Fisiologis dan Keefektifan Isolat Rizobakteri sebagai Agens Antagonis Colletotrichum capsici dan Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman Cabai(Physiological Characters and Effectiveness of Rhizobacteria Isolates asColletotrichum capsici Antagonist Agents and Plant Growth Promoting Rhizobacteria of Hot Pepper)Gusti Ayu Kade Sutariati1, Widodo, Sudarsono, dan Satriyas Ilyas.............................................28 – 34

Tanggap Fisiologi Fase Vegetatif Jeruk Besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ pada Beberapa Jenis Batang Bawah (Physiological Response of Vegetative Phase of ‘Cikoneng’ and ‘Nambangan’ Pummelo [Citrus grandis L.] Osbeck Grafted on Some Rootstocks)Lollie Agustina P.Putri, Slamet Susanto, dan B.S. Purwoko ...................................................... 35 – 42

Pengaruh Cekaman Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) (The Effect of Water Stress on The Growth and Yield ofSoybean [Glycine max L. Merr])Mapegau............................................................................................................................................... 43 – 49

Pedoman Singkat Penulisan Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura ..................................50 – 51

Page 4: Kultura Maret 2006
Page 5: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 1

Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk terhadap Biodiversitas Tanah

The Effect of Utilization of Palm Oil Mill Effluent as Fertilizer to Soil Biodiversity

Retno Widhiastuti1, Dwi Suryanto1, Mukhlis2, Hesti Wahyuningsih1

1) Staf Pengajar FMIPA – Biologi USU 2) Staf Pengajar FP – Ilmu Tanah USU

Diterima 26 September 2005/Disetujui 1 Februari 2006

Abstract The aim of the research is to evaluate effect of Palm Oil Mill Effluent (POME) as fertilizer based on soil

biodiversity. The research was conducted at Palm Oil Estate of PT Tapian Nadenggan SMART Group, Langga Payung, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, from March to September 2004. Ecological methods of Muller and Dumbois (1974) and Krebs (1989) were used to analyze soil biodiversity. Randomized Complete Block Design with 4 treatments was utilized to statistically analyzed soil physic and chemical properties (Gomez and Gomez, 1994). The treatments were area without application of POME (B0), area with application of POME since 1990–2004 (B1), area with application of POME since 1991–2004 (B2), and area with application of POME since 1992–2004 (B3). The result showed that POME could be a good fertilizer by increasing soil physic and chemical properties, soil biodiversity and total bacteria. It could also reduce seed in the area of application.Keyword: POME, biodiversity, environment

AbstrakTujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahan

kelapa sawit (LPKS) sebagai pupuk terhadap biodiversitas tanah agar dapat membuktikan bahwa pemanfaatan LPKS tidak mencemari lingkungan. Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit PT Tapian Nadenggan SMART Group, Langga Payung, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara pada bulan Maret sampai dengan September 2004. Metoda analisis biodiversitas yang digunakan adalah metoda ekologi dari Muller dan Dumbois (1974) dan Krebs (1989), sedangkan untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah digunakan rancangan acak kelompok non faktorial menurut Gomez and Gomez (1994) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan tersebut adalah: B0 = areal perkebunan tanpa aplikasi LPKS, B1 = areal perkebunan dengan aplikasi LPKS tahun 1990–2004 (14 tahun), B2 = areal perkebunan dengan aplikasi LPKS tahun 1991–2004 (13 tahun), dan B3 = areal perkebunan dengan aplikasi LPKS tahun 1992–2004 (12 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan LPKS dapat berfungsi sebagai pupuk organik dengan meningkatkan sifat fisik–kimia tanah, biodiversitas tanah, menurunkan kehadiran gulma penting pada perkebunan kelapa sawit, dan meningkatkan total bakteri tanah.Kata kunci: LPKS, biodiversitas, lingkungan

PendahuluanLaju perkembangan industri kelapa sawit

di Indonesia semakin pesat, baik peningkatan luas lahan kelapa sawit maupun peningkatan jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit. Peningkatan luas lahan kelapa sawit akan memerlukan jumlah pupuk untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit, sedangkan peningkatan pabrik pengolahan kelapa sawit akan

meningkatkan kerusakan lingkungan terutama lingkungan perairan karena limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit (LPKS) selalu dibuang ke sungai.

Limbah pabrik pengolahan kelapa sawit mempunyai kandungan hara yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan kelapa sawit, sehingga untuk menghindari pencemaranlingkungan dan untuk mengatasi kebutuhan

Page 6: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU2

pupuk, limbah PKS memungkinkan untuk dimanfaatkan pada lahan perkebunan kelapa sawit.

Menurut Loebis dan Tobing (1989) limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawitmengandung unsur hara yang tinggi seperti N, P, K, Mg, dan Ca, sehingga limbah cair tersebut berpeluang untuk digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit, di samping memberikan kelembaban tanah, juga dapat meningkatkan sifat fisik–kimia tanah, serta dapat meningkatkan status hara tanah.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh pemanfaatan LPKS sebagai pupuk terhadap biodiversitas tanah agar dapat membuktikan bahwa pemanfaatan LPKS tidak mencemari lingkungan.

Bahan dan MetodaPenelitian dilakukan di perkebunan

kelapa sawit PT Tapian Nadenggan SMARTGroup, Langga Payung, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara yang sejak tahun 1990 telah mengaplikasikan LPKS-nya ke areal perkebunan. Aplikasi LPKS ke areal perkebunan diambil dari kolam anaerob dengan sistem flat beds. Aplikasi LPKS secara flat beds, yaitu aplikasi limbah cair dengan teknik parit bersekat. Pembuatan konstruksi dibuat di gawangan mati, di antara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit dengan kemiringan tertentu. Limbah cair dipompakan dari kolam limbah ke bak penampungan (bak distribusi) yang berada di areal paling atas, setelah itu dialirkan ke masing-masing flat beds hingga flat beds terakhir.

Sifat kimia LPKS yang diaplikasikan ke lahan perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan sifat kimia LPKS yang diaplikasikan ke lahan perkebunan kelapa sawit

No. Parameter Hasil1. pH 6,62. BOD (ppm) 1798,53. COD (ppm) 29414. N total (ppm) 1965. P (ppm) 19,56. K (ppm) 2677. Mg (ppm) 618. Minyak 103

Nilai BOD limbah PKS yang diaplikasikan sebesar 1798,5 ppm. Nilai BODtersebut di bawah nilai BOD pada standardisasipengolahan limbah PKS untuk aplikasi lahan menurut Peraturan Menteri Pertanian tahun 1995, yaitu sebesar < 3500 ppm. Hal ini karena aplikasi limbah PKS di PT Tapian Nadenggan telah dilakukan sejak tahun 1990 sebelum ada peraturan maupun petunjuk teknis dari pemerintah. Adanya kekhawatiran akan mencemari lingkungan sehingga BOD limbah yang diaplikasikan ke lahan relatif kecil.

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2004. Rancangan penelitian untuk pengamatan sifat fisik–kimia tanah menggunakan rancangan acak kelompok menurut Gomez dan Gomez (1994), dengan 4 perlakuan aplikasi limbah sebagai pupuk, yaitu: B0 tanpa aplikasi LPKS, B1 aplikasi LPKS tahun 1990–2004, B2 aplikasi LPKS tahun 1991–2004, B3 aplikasi LPKS tahun 1992–2004. Ulangan sebanyak 5 kali. Untuk penelitian biodiversitas tanah (tumbuhan penutup tanah, makrofauna, dan mesofauna tanah) dilakukan dengan metodaekologi dari Muller and Dumbois (1974) dan Krebs (1989). Mikrobiologi tanah dilakukan dengan metoda Most Probable Number (Anas, 1989) dan (Bibiana, dan Hastowo, 1994).

Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan LaboratoriumEkologi FMIPA, dan Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian USU, Medan.

Analisis data tumbuhan penutup tanah dihitung dengan cara: data yang diperoleh dihitung kerapatan, frekuensi dengan rumus dari Muller and Dumbois (1974) sebagai berikut:

Kerapatan relatif (KR) =

Jumlah individusuatu jenis

Jumlah individu semua jenis

X 100 %

Frekuensi relatif (FR) =

Jumlah sampel plotpengambilan tiap jenis

Jumlah plot pengambilansemua jenis

X 100 %

Page 7: Kultura Maret 2006

Retno Widhiastuti, Dwi Suryanto, Mukhlis, Hesti Wahyuningsih: Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik

Koleksi BPAD Prov SU 3

Untuk mengetahui peranan jenis vegetasi dicari indeks nilai penting, dengan rumus INP = KR + FR.

Analisis makrofauna dan mesofauna tanah dihitung dengan cara: data yang diperoleh dihitung kerapatan, frekuensi dengan rumus dari Krebs (1989) sebagai berikut:

Kerapatan relatif (KR) =

Jumlah individusuatu jenis

Jumlah individu semua jenis

X 100 %

Frekuensi relatif (FR) =

Jumlah sampel ditemukansuatu jenis

Jumlah seluruhsampel

X 100 %

Untuk mengetahui makrofauna dan mesofauna yang dominan, dilakukan uji index dominance dari Krebs (1989), sebagai berikut:

C = (ni/N) 2

Keterangan: C: indeks of dominanni: individu jenis ke iN: individu seluruh jenis

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota tanah dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

sH’ = - pi ln pi

i-jKeterangan:H’ = indeks diversitasS = jumlah spesies taksapi = ni/Nni = individu dalam takson ke iN = individu total semua takson

Hasil dan PembahasanPengaruh Aplikasi Limbah PKS terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah

LPKS yang diaplikasikan ke tanah pada lahan perkebunan kelapa sawit (Tabel 2), ternyata berfungsi sebagai bahan pupuk organik. Hal ini terlihat oleh meningkatnya pH, kadar bahan organik, N total, P tersedia, K dan Mg tukar tanah setelah diaplikasi LPKS selama 12 tahun (B3), 13 tahun (B2), dan 14 tahun (B1).

Tabel 2. Pengaruh aplikasi LPKS terhadap sifat kimia tanahPerlakuan pH tanah C organik

(%)N total

(%)Rasio C/N P tersedia

(ppm)K tukar

(me/100)Mg Tukar(me/100)

B0 5,39 bB 1,50 cC 0,158 cC 9,498 b 7,778 dD 0,098 cC 0,326 dDB1 5,73 bB 1,80 bAB 0,164 cC 10,964 a 151,256 cC 0,900 aA 1,336 bBB2 5,64 bB 2,12 aA 0,192 aA 11,022 a 196,564 bB 0,576 bB 1,254 cCB3 6,25 aA 1.69 bB 0,176 bB 9,574 b 224,778 aA 0,962 aA 2,536 aA

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P 0,05 (a, b, c,d) dan P 0,01 (A, B, C, D).

Tabel 3. Pengaruh aplikasi LPKS terhadap permeabelitas, porositas, dan kadar air tanahPerlakuan Permeabilitas

(cm/jam)Porositas

(%)Kadar Air

(%)B0 16,302 a 49,886 a 22,818 aB1 4,956 b 53,888 a 25,598 aB2 5,522 b 52,680 a 25,486 aB3 5,258 b 51,322 a 22,326 a

Permeabilitas, Porositas, dan Kadar Air TanahAplikasi limbah cair PKS ke tanah

selama 12, 13, dan 14 tahun hanya menunjukkan pengaruh kepada permeabilitas tanah. Sebagaimana Tabel 3 menunjukkan bahwa permeabilitas tanah menurun akibat aplikasi limbah. Penurunan permeabilitas tanah ini disebabkan karena pada bahan limbah masih

terkandung minyak/lemak yang dapat mengakibatkan sifat hidrofobik pada tanah.

Aplikasi limbah cair PKS tidak berpengaruh terhadap porositas dan kadar air tanah, namun ada kecenderungan makin lama limbah PKS diaplikasikan porositas dan kadar air makin meningkat.

Page 8: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU4

Pengaruh Aplikasi Limbah PKS terhadap Biodiversitas Tanah1. Tumbuhan Penutup Tanah

Tumbuhan penutup tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri dari 19 famili dengan jumlah spesies 46 spesies. Jumlah spesies yang ditemukan pada semua komunitas berbeda-beda. Hal ini banyak faktor yang menentukan. Dapat dari pengaruh sifat penyebaran tumbuhan tersebut, faktor lingkungan fisik–kimia tanah, dan fisik–kimia limbah cair PKS, maupun campur tangan manusia pada lokasi perkebunan.

Kerapatan Relatif Tumbuhan Penutup TanahKerapatan relatif tumbuhan penutup tanah

pada lahan tanpa aplikasi limbah PKS (B0) adalah Borreria laevis sebesar 27,89%; pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Ageratum conyzoides sebesar 17,30%; pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1992 (B2) adalah Diodia sarmentosa sebesar 20,16%; dan pada pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1992 (B2) adalahAgeratum conyzoides sebesar 33,07%.

Frekuensi Relatif Tumbuhan Penutup Tanah Frekuensi relatif tumbuhan penutup tanah

pada lahan perkebunan kelapa sawit tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Axonopus compressussebesar 9,76%; pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Peperomia pelucida sebesar 8,26%; pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1992 (B2) adalah Peperomia pellucida dan Diodia sarmentosa, masing-masing sebesar 9,17%; dan pada pada lahan aplikasi limbah sejak tahun 1992 (B3) adalah Ageratum conyzoides dan Diodia sarmentosa sebesar 8,26%.

Indeks Nilai Penting Tumbuhan Penutup Tanah

Indeks nilai penting tumbuhan penutup tanah menggambarkan besarnya peranan suatu jenis tumbuhan di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting tertinggi tumbuhan penutup tanah pada komunitas B0 adalah Axonopus compressus sebesar 36,20%; pada komunitas B1 adalah Peperomia pelucida sebesar 25,05%; pada komunitas B2 adalah Diodia sarmentosa sebesar 29,33%, dan pada komunitas B3 adalah Ageratum conyzoides sebesar 41,34%.

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan(1985) ada tujuh jenis gulma penting pada perkebunan kelapa sawit, yaitu: Axonopus compressus, Cyclosorus aridus, Cyrtococcum patens, Imperata cylindrica, Mikania micrantha, Ottochloa arnottiana, Panicum repens, dan Paspalumconjugatum. Dengan demikian pada lokasi penelitian didapatkan lima jenis gulma penting, yaitu: Mikania micrantha, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, Ottochloa arnottiana, dan Cyclosorus aridus.

Pada lahan tanpa aplikasi limbah PKS (komunitas B0) terdapat jenis tumbuhan penutup tanah yang merupakan gulma penting dan merupakan populasi tertinggi lahan tersebut, yaitu Axonopus compressus, sedangkan pada lahan dengan aplikasi limbah PKS walaupun terdapat jenis-jenis gulma penting namun jumlahnya relatif kecil. Jadi lamanya pemberian limbah cair PKS akan menurunkan jumlah individu gulma penting, karena adanya peningkatan jumlah individu dari spesies Ageratum conyzoides, Eupatorium riparium, Peperomia pellucida, Borreria laevis, dan Diodiasarmentosa.

Indeks Diversitas (Keanekaragaman) Tumbuhan Penutup Tanah

Indeks keanekaragaman tumbuhan penutup tanah dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Indeks keanekaragaman tumbuhan penutup tanahKomunitas Indeks Diversitas

B0 2,2367B1 2,5922B2 2,4331B3 2,1481

Pada komunitas yang diberi aplikasi limbah ada kecenderungan indeks keaneka-ragamannya meningkat, walaupun pada komunitas B3 lebih kecil daripada B0, hal ini karena keanekaragaman spesies tidak hanya merupakan fungsi dari jumlah spesies, tetapi juga fungsi dari kemerataan distribusi kelimpahan dari spesies itu dalam komunitasnya. Dengan demikian komposisi jenis, jumlah individu yang ditemukan, kerapatan relatif dan frekuensi relatif, dapat menentukan besarnya keanekaragaman jenis.

Page 9: Kultura Maret 2006

Retno Widhiastuti, Dwi Suryanto, Mukhlis, Hesti Wahyuningsih: Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik

Koleksi BPAD Prov SU 5

2. Makrofauna TanahMakrofauna tanah yang ditemukan pada

lokasi penelitian terdiri dari 5 klas, 12 ordo, 28 famili dengan 34 genus. Klas makrofauna yang didapatkan di areal penelitian adalah: Arachnida (bangsa laba-laba), Chilopoda (lipan), Oligochaeta (cacing), Gastropoda (siput), dan Insecta (serangga). Makrofauna tanah yang ditemukan dalam jumlah besar adalah dari kelompok serangga, yang terdiri dari delapan ordo, yaitu: Blattaria, Coleoptera, Hemiptera, Hymenoptera, Isoptera, Orthoptera, dan Neuroptera. Dari spesies-spesies yang diperoleh di lokasi penelitian ada spesies yang merupakan hama bagi tanaman kelapa sawit, yaitu spesies:Oryctes rhinoceros. Spesies Oryctes rhinoceros bukan makrofauna tanah obligat, pada bentuk yang dewasa tidak lagi hidup di tanah tetapi menjadi hama pada tanaman sawit. Spesies tersebut ditemukan hanya pada lahan tanpa aplikasi limbah PKS. Dengan demikian ada kemungkinan limbah cair PKS yang diaplikasikan ke lahan dapat mengurangi kehadiran hama tersebut.

Kepadatan Relatif MakrofaunaTanahKepadatan relatif makrofauna tanah

tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Amaurobius sp., sebesar 13,79%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Amaurobius sp., dan Selenopsis germinata, masing-masing 13,79% dan 8,69%; pada B2 adalah Forticula sp., sebesar 10,60%; dan pada B3 adalah Lumbricus sp. dan Crematogaster sp.sebesar 13,04%.

Frekuensi Relatif Makrofauna Tanah Frekuensi relatif makrofauna tanah

tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Amaurobius sp., sebesar 14,299%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Phyta sp. sebesar 8,77%; pada B2 adalah Phyta sp., Forticula sp. masing-masing 7,55%; dan pada B3 adalah Amaurobius sp. sebesar 8,89%. Jadi Amaurobius sp. merupakan jenis makrofauna yang seringdidapatkan baik pada lahan yang diberi aplikasi linbah cair PKS maupun yang tidak diberi aplikasi.

Dominansi Relatif MakrofaunaTanah

Dominansi relatif tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Amaurobius sp., sebesar 0,0196%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Selenopsis germinatasebesar 0,0093%; ada B2 adalah Forticula sp. sebesar 0,0112%; dan pada B3 adalah Crematogaster sp. sebesar 8,89%.

Indeks Diversitas (Keanekaragaman) Makrofauna Tanah

Indeks keanekaragaman makrofauna tanah dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Indeks keanekaragaman makrofauna tanahKomunitas Indeks Diversitas

B0 2,7891B1 3,0785B2 2,9701B3 2,9592

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ada kecenderungan makin lama limbah PKS diberikan keanekaragaman makrofauna makin meningkat.

3. Mesofauna TanahMesofauna tanah yang ditemukan pada

lokasi penelitian terdiri dari 14 ordo, 26 famili dengan 33 genus.

Kepadatan Relatif Mesofauna TanahKepadatan relatif mesofauna tanah

tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Porcellio sebesar 13,99%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Macrotermessebesar 9,09%; pada B2 adalah Tegenaria sebesar 10,49%; dan pada B3 adalah Macrotermes sebesar11,96%.

Frekuensi Relatif Mesofauna TanahFrekuensi relatif mesofauna tanah

tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Tegenaria sebesar 10,64%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Phytasebesar 6,38%; pada B2 adalah Dynastis sebesar 6,67%; dan pada B3 adalah Phyta sebesar 7,41%. Dengan demikian, genus Phyta merupakan mesofauna yang sering ada pada lahan yang diberi aplikasi limbah cair PKS.

Dominansi Relatif MesofaunaTanah

Page 10: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU6

Dominansi relatif tertinggi pada lahan tanpa aplikasi limbah (B0) adalah Porcellio, sebesar 0,0196%; pada aplikasi limbah sejak tahun 1990 (B1) adalah Macrotermes sebesar 0,0080%; pada B2 adalah Tegenaria sebesar 0,0112%; dan pada B3 adalah Macrotermessebesar 0,0143%.

Indeks Diversitas (Keanekaragaman) MesofaunaTanah

Indeks keanekaragaman mesofauna tanah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks keanekaragaman mesofauna tanahKomunitas Indeks Diversitas

B0 2,7805B1 3,0159B2 2,9990B3 2,9316

Pada Tabel 6 ada kecenderungan makin lama limbah PKS diberikan indeks keanekaragaman mesofauna makin meningkat.

Tabel 7. Jumlah sel bakteri dari contoh tanahLokasi Total bakteri Bakteri pembentuk spora Enterobacteriaceae E. coli

B0 56.5 105 29.5 105 25 105 2 105

B1 71 105 4.5 105 10.5 105 Tak terdeteksi

B2 97 105 3 105 7 105 Tak terdeteksi

B3 99.5 105 3.5 105 19.5 105 Tak terdeteksi

Page 11: Kultura Maret 2006

Retno Widhiastuti, Dwi Suryanto, Mukhlis, Hesti Wahyuningsih: Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik

Koleksi BPAD Prov SU 7

4. Mikroba TanahJumlah total sel bakteri yang ditemukan

pada masing-masing lokasi perlakuan bervariasi, demikian juga jumlah sel bakteri pembentuk spora, dan kelompok Enterobacteriaceae (Tabel 7). Secara umum jumlah total sel bakteri paling tinggi berturut-turut ditemukan di lokasi, B1, B2, dan B3. Hal ini mengindikasikan bahwa praktik aplikasi limbah kelapa sawit memberikan kontribusi terhadap kesuburan flora tanah. Rao (1994) menyebutkan tanah yang subur memiliki kandungan sel bakteri 106 sel/gram tanah.

Tekanan lingkungan terhadap flora tanah terlihat lebih kecil di lokasi aplikasi dibandingkan dengan lokasi tanpa aplikasi. Besarnya jumlah sel bakteri pembentuk spora mungkin mengindikasikan hal ini. Sporamerupakan salah satu cara bakteri untuk bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Kelompok ini yang secara umum diwakili kelompok bakteri tanah seperti Bacillusdan Clostridium lebih mampu bertahan dibandingkan dengan kelompok bakteri yang tidak membentuk spora dalam menghadapi tekanan lingkungan. Hal ini juga merupakan alasan kelompok bakteri pembentuk spora tidak terdeteksi keberadaannya dalam air.

Lebih tingginya jumlah total sel bakteri pada lokasi aplikasi mengindikasikan bahwa aplikasi ini telah menyediakan cukup nutrisi berupa senyawa karbon sederhana monosakarida, asam amino, dan asam lemak yang secara umum lebih mudah dimetabolisme kelompok bakteri dibandingkan senyawa kompleksnya seperti selulosa atau amilum, protein, dan lemak (Donelly, 1978).

Di semua lokasi ditemukan kelompokbakteri Enterobacteriaceae. Menurut Suryanto dan Suwanto, 2003) kelompok bakteri tersebut sering merupakan kelompok bakteri penyebab penyakit, namun tidak sedikit yang terlibat dalam perputaran unsur hara seperti C, N, dan P. Bakteri seperti Klebsiella pneumonia diketahui mampu berperan dalam perputaran unsur N di alam, sedangkan Serratia marcescens mampu merombak senyawa hidrokarbon aromatik. Kelompok Escherichia coli merupakan salah satu kelompok Enterobacteriaceae yang dapat menyebabkan penyakit.

Kesimpulan1. Pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahan

kelapa sawit dapat dijadikan pupuk, karena pemberian limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit pada lahan perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan sifat fisik–kimia tanah.

2. Pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit dapat meningkatkan biodiversitas tumbuhan penutup tanah dan menurunkan kehadiran gulma penting pada perkebunan kelapa sawit.

3. Pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit dapat meningkatkan biodiversitasmakrofauna dan mesofauna tanah.

4. Pemanfaatan limbah cair pabrik pengolahankelapa sawit dapat meningkatkan total bakteri tanah, namun menurunkan bakteriEnterobacteriaceae yang sering merupakankelompok bakteri penyebab penyakit.

Daftar PustakaAdianto, 1986. Biologi Pertanian. Penerbit

Alumni. Bandung.

Bibiana, W. L. dan Hastowo, S. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Danielson, R. E. and P. L. Sutherland. 1986. Porosity. Methods of Soil Analysis, Part I. Physical and Mineralogical Methods Second Edition. Arnold Klute, Editor. American Society of Agronomy, Inc. Soil Science Society of America, Inc. Madison, Wisconsin USA.

Gomez, A. K. and A. A. Gomez. 1994. Statistical Prosedure for Agricultural. Research. Terjemahan. Syamsudin, E. dan S. B. Yustika (1995). Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta 698 hal.

Holt, G. J., Kneg, R. N., Smeath, P. H. A., Stanley, J. T, and Stanley, T. W. 1994.Bergey’s manual of Determinative Bacteriology. 9 th edition Williams & Willeins. Baltimore.

Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publiser, Inc. New York.

Loebis, B. dan P. L. Tobing. 1989. Potensi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit.

Page 12: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU8

Buletin Perkebunan. Pusat Penelitian Perkebunan Kelapa Sawit. Medan. 20 (1): 49–56.

Muller. D. and D. E. Doumbois. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley $ Son. New York. 547 pp.

Olson, R. V. and R. Ellis, Jr. 1982. Iron. Methods of Soil Analysis, Part 2. Chemical and Microbiological properties Second Edition. A. L. page, Editor. American Society of Agronomy, Inc. Soil Science

Society of America, inc. Madison, Wisconsin USA.

Rao S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press. Jakarta.

Suryanto D. and A. Suwanto. 2003. Isolation and characterization of a novel benzoate utilizing Serratia marcescens. Biotropia 21: 1–10.

Page 13: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 9

Identifikasi Ras Fisiologi Phytophthora infestans pada Sentra Produksi Kentang di Kabupaten Karo

Identification of Physiological Race of Phytophthora infestans in Potato Production Center in Kabupaten Karo

Rosmayati1, G. A. Wattimena2, Meity Suradji Sinaga2, M. Machmud3

1 Pengajar di Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian USU, Medan–201552 Pengajar Institut Pertanian Bogor,

3Peneliti Balitbang Tanaman Pangan BogorDiterima 23 September 2005/Disetujui 4 Februari 2006

Abstract Phytopthora infestans species has different virulent gene r, that comprise of 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 and its combination. The causal of late blight known unstabil in genetics there for the pathogen has many different physiological races. Especially in Indonesia, where syntetic fungicide has been irrasionally used for long time periods. An experiment has been done to identified the physiological races of P. infestans that attacked potatoes in Kabupaten Karo. The analysis were done by bioassay methods using 18 differential genotype cultivar. This experiments was arranged by Randomized Complete Design with 18 genoptype and 6 locations derived from inoculum from 3 Kecamatan; Kecamatan Brastagi, Kabanjahe and Merek. The results showed that P.infestansrace found in Kabupaten Karo as race 1, 2, 3, 5, 6, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4. In Brastagi, Merek and Kabanjahe race 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3 and 1.2.4., Race 5, 6, and 11 only in Kecamatan Merek and Berastagi. Race 7 only in Kecamatan Merek. Di Kecamatan Berastagi , Merek and Kabanjahe were found race 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3 and 1.2.4., Race 5, 6, and 11 only in Kecamatan Merek and Berastagi. Race 7 only in Kecamatan Merek.Keywords: P. infestans, physiological race, Kabupaten Karo

Abstrak Spesies Phytophthora infestans dikenal mempunyai 11 r gen virulen yaitu, r 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,

10, 11 dan kombinasinya. Penyebab penyakit hawar daun ini dikenal tidak stabil, sehingga mempunyai banyak ras-ras fisiologis yang berbeda. Terutama di Indonesia, di mana penggunaan fungisida yang tidak rasional dan dalam waktu yang panjang. Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi ras fisiologis P. infestans yang menyerang pertanaman kentang di Kabupaten Karo dengan metoda bioassai, menggunakan kultivar kentang diferensial. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap. Perlakuan yaitu kombinasi 18 genotipe diferensial dan 6 lokasi asal isolat dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Berastagi, Kecamatan Kabanjahe, dan Kecamatan Merek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ras P. infestans yang dijumpai di Kabupaten Karo adalah ras 1, 2, 3, 5, 6, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4. Di Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe ditemukan ras 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3 dan 1.2.4.Ras 5, 6, dan 11 hanya ada di Kecamatan Merek dan Berastagi. Ras 7 hanya di jumpai di Kecamatan Merek.Kata kunci: P. infestans, ras fisiologi, Kabupaten Karo

PendahuluanPenyakit hawar daun merupakan

penyakit utama yang menyerang tanaman kentang di Kabupaten Karo. Penyakit ini tidak diketahui dengan jelas saat pertama kali masuk ke Indonesia, diduga berasal dari bibit impor dari Eropa.

Kerugian yang ditimbulkan penyakit ini dapat mencapai 100% gagal panen, terutama pada musim penghujan dengan kelembaban udara 90% (Sangoba dan Hakiza, 1999).

Dalam upaya mengatasi kerugian yang ditimbulkan penyakit ini, petani Karo secara intensif menggunakan fungisida dengan interval penggunaan 2–3 hari sekali bahkan dengan

Page 14: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU10

mencampurkan beberapa fungisida dengan bahan aktif yang berbeda (Tobing, et al., 2001). Petani tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya, akan menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap lingkungan. Residu fungisida mencemari hasil panen kentang dan menimbulkan tekanan seleksi yang besar pada patogen. Patogen akan menjadi resisten terhadap fungisida dan terstimulasi membentuk keragaman genetik yang besar melalui pembentuk ras-ras baru (Bradshaw, et al., 1996).

Fry dan Goodwin (1995) menjelaskanbahwa epidemi hawar daun sangat sulit dikendalikan, karena tingginya keragaman genetik P. infestans. Menurut Deahl dan Jones (1997), perubahan genetik dari P. infestansmeliputi perubahan utama dari type mating dan ketahanan terhadap fungisida. Selain itu perubahan keragaman genetik juga dapat terjadi karena mutasi, rekombinasi somatik, heterokariosis, dan paraseksualisme (Shaw, 1991).

Deahl dan Jones (1997) melaporkan bahwa lebih dari 13 genotipe yang berbeda didapat dari 556 isolat yang dianalisis selama periode tahun 1993 sampai 1996 di Kanada.

Hasil analisis ini memperlihatkan bahwa perubahan tidak hanya terjadi di dalam populasi, tetapi juga menunjukkan bagaimana genotipe US-8 (tipe A1) meningkat dengan cepat, dan genotipe ini sangat menonjol. Penelitian yang sama juga dilakukan di Kanada dan Kolombia pada tahun 1998, genotipe yang sangat menonjol juga US-8 dan US-11 (tipe A2), sehingga penggunaan berbagai kultivar yang dilepas secara periodik, tidak tahan terhadap penyakit ini (Deahl dan Jones, 1997).

Spesies P. infestans diketahui mempunyai 11 r gen virulen (r1– r11) dengan rekombinan-rekombinannya. Gen tahan pada inang berupa R dominan (R1–R11) telah dimasukkan ke dalam kentang budidaya, berasal dari tipe kentang liar Solanum demissum (Wastie, 1991).

Flor (1955) mengemukakan bahwa gen virulen patogen yang berkoresponden dan kompatibel dengan gen tahan pada inang, mengakibatkan tanaman inang menjadi rentan, sebaliknya bila gen virulen patogen bertemu dengan gen tahan inang yang tidak kompatibel mengakibatkan tanaman inang berespons tahan.

Konsep Flor ini menunjukkan bahwa bila tanaman yang mengandung gen tahan R1 dapat terinfeksi oleh patogen, maka patogen yang menyerang tanaman tahan ini mengandung ras 1 atau kombinasi gen patogen yang mengandung ras 1, sebaliknya bila tanaman inang tidak terinfeksipatogen, maka patogen yang menyerang tanaman ini bukanlah patogen yang mengandung ras 1 (Van der Plank, 1984)

Banyak usaha sudah dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini, salah satunya dengan menggunakan tanaman tahan, tetapi ketahanan tanaman inang mudah terpatahkan karena kehadiran ras patogen yang berbeda dengan gen tahan pada inang. Sampai saat ini belum diketahui jenis ras yang ada pada areal penanaman kentang di Kabupaten Karo. Identifikasi ras patogen perlu dilakukan untuk pengendalian penyakit hawar daun yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan menanam varietas kentang yang mengandung gen tahan yang tidak kompatibel dengan gen virulen patogen. Epidemik penyakit hawar daun bersifat polisiklik, oleh karena itu varietas tahan yang akan efektif mengendalikan penyakit ini harus bersifat tahan secara horizontal. Identifikasi ras P. infestans dapat dilakukan secara molekuler, biokimia,maupun bioassai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ras fisiologis P. infestans yang menyerang pertanaman kentang di Kabupaten Karo dengan metoda bioassai menggunakan kultivar kentang diferensial.

Bahan dan MetodaTempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan,Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Kebun Percobaan Tanaman Pangan Hutagadung, Kabupaten Karo. Percobaan berlangsung dari bulan September 2003 sampai Januari 2004.

Bahan Tanaman Bahan tanaman yang diuji dalam

percobaan ini adalah 18 genotipe diferensialmengandung gen tahan R yang sudah teridentifikasi, berasal dari CIP Peru yang merupakan koleksi Prof. G. A. Wattimena.

Page 15: Kultura Maret 2006

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi RasFisiologi Phytophthora infestans

Koleksi BPAD Prov SU 11

Inokulum patogen P. infestans diisolasi dari daun kentang terserang hawar daun, diambil dari 3 kecamatan di Kabupaten Karo, yaitu Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe, dari setiap kecamatan diambil 2 lokasi untuk sampel. Daun sakit didesinfektan terlebih dahulu dengan NaOCl konsentrasi 3%. Isolat ini kemudian dibilas dengan aquadest steril sebanyak 3 kali, selanjutnya potongan daun ditanam pada media V-8 juice agar dalam cawan petri. Isolat kemudian diinkubasikan pada suhu 150 C selama 6 hari, dan selanjutnya dimurnikan dengan mengambil spora P. infestans, kemudian isolat ini diperbanyak kembali pada media V-8 jus agar.

Bibit yang digunakan merupakan hasil stek dari bibit yang telah diaklimatisasikan di rumah

kasa, berasal dari bibit kecil hasil kultur jaringan. Bibit yang berumur 2 minggu hasil stek ditanam dalam polibag. Tiap polibag ditanam dua tanaman. Polibag berukuran 1 kg yang digunakan untuk tempat penanaman bibit, disusun dirumah kasa. Media tanam yang digunakan merupakan campuran tanah dan pupuk kandang 1:1. Sebagai pupuk dasar diberikan urea (5 g/tan), SP-36 (5 g/tan), dan KCl (5 g/tan). Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam, sedangkan pupuk urea diberikan bertahap yakni setengah bagian pada waktu tanam dan sisanya sebulan kemudian.

Tabel 1. Genotipe kentang diferensial asal CIPNo Nomor genotipe dari CIP Tipe gen R1.2.3.4.5.6.7.8.9.

10.11.12.13.14.15.16.17.18.

801039801040801041801042801043801044801045801046801048801049801050801051801052801001801054801056801057801005

R1R2R3R4R5R6R7R8R11

R1R2R1R3R1R4R2R3R2R4R3R4

R1R2R4R1R3R4R2R3R4

Metoda Uji Ras Fisiologi P. infestansPengujian menggunakan metoda daun

yang dipetik dan diuji di laboratorium. Pengujiandengan metoda ini lebih efektif dan efisien, karena patogen yang menginfeksi daun tanaman inang, merupakan patogen P. infestans murni, disamping itu dapat terhindar dari lingkungan yang tidak menguntungkan pertumbuhan patogen, sertalebih murah.

Daun-daun tanaman kentang diferensial yang akan digunakan dipetik dari tanaman pada umur 30 hari sesudah tanam, kemudian diletakkan didalam cawan petri yang sudah diberi kertas saring basah. Selanjutnya sisi daun sebelah bawah yang menghadap ke atas diinokulasi dengan meneteskan suspensi inokulum dengan

konsentrasi 2.5x104/ml sebanyak ± 0.2 ml, lalu diinkubasikan pada suhu 200 C.

Peubah amatan dilakukan setiap hari setelah inokulasi.

Metoda PenelitianPercobaan disusun menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuanmerupakan interaksi 18 genotipe diferensial (Tabel 1) dan 6 macam isolat, L1, L2, L3, L4, L5, L6 dengan 3 ulangan.L1 = isolat Kecamatan Berastagi pada lokasi 1L2 = isolat Kecamatan Berastagi pada lokasi 2L3 = isolat Kecamatan Merek pada lokasi 1L4 = isolat Kecamatan Merek pada lokasi 2

Page 16: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU12

L5 = isolat Kecamatan Kabanjahe pada lokasi 1

L6 = isolat Kecamatan Kabanjahe pada lokasi 2, sehingga menjadi 108 perlakuan.

Peubah yang diamati:1. Periode laten (hari). Pengamatan dilakukan

dengan menghitung jumlah hari sejak inokulasi sampai munculnya gejala awal penyakit.

2. Laju perkembangan bercak. Peubah ini dihitung dengan menggunakan rumus: r = Xj-Xi/tj-ti

Keterangan: r = Laju perkembangan bercak Xi = Diameter bercak pada pengamatan ke i Xj = Diameter bercak pada pengamatan ke j ti = Waktu pengamatan pada hari ke i tj = Waktu pengamatan pada hari ke j

3. Diameter perkembangan bercak. Diukur setiap hari dimulai segera setelah periode laten dapat ditentukan.

Data hasil pengamatan dianalisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan. Jika analisis nyata maka perbandingan pasangan antar-perlakuan dilakukan uji beda rataan dengan uji jarak berganda Duncan. Hubungan keeratan antar peubah dianalisis dengan analisis korelasi.

Hasil dan PembahasanBerdasarkan evaluasi dengan inang

diferensial diketahui bahwa, di Kecamatan Berastagi terdapat ras 1, 2, 3, 5, 6, 8, 1.2, 1.3, 2.3 dan 1.2.4. Di antara 2 macam isolat yang digunakan untuk evaluasi lanjut diketahui ada perbedaan jenis ras asal Kecamatan Berastagi. Ras 5 dan 6 hanya terdapat pada lokasi 2 dan tidak pada lokasi 1. Di Kecamatan Merek ada ras 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4. Pada Kecamatan inipun ada perbedaan jenis ras antara lokasi 1 dengan lokasi 2. Pada lokasi 2 terdapat ras 7 sedangkan pada lokasi 1 tidak ada, sebaliknya pada lokasi 1 terdapat ras 2.3 sedangkan pada lokasi 2 tidak ada. Di Kecamatan Kabanjahe dijumpai ras 1, 2, 3, 5, 8, 11, 1.2, 1.3, dan 1.2.4. Ada perbedaan jenis ras pada 2 isolat yang digunakan. Isolat yang diambil dari lokasi 1 terdapat ras 5 dan 2.3 sedangkan pada lokasi 1 tidak ada. Ras 4 dan kombinasinya

tidak terdapat di 3 Kecamatan sentra pertanaman kentang di Kabupaten Karo ini.

Periode laten adalah periode di antarainokulasi tanaman dan ekspresi gejala penyakit yang terlihat (Umaerus, 1970). Periode laten ras 2 pada genotipe 801040 di 6 lokasi yang dicobakan berkisar antara 4,6–8,2 hari dengan rataan 5,7 hari, ras ini mempunyai periode laten yang terlama, kemudian ras 1.2 pada genotipe801049 antara 2,4–5,3 hari dengan rataan 4,2 hari, ras 1.3 pada genotipe 801050 antara 1,9–6,1 hari dengan rataan 3,8 hari, diikuti ras 1 pada genotipe 801039 antara 1,7–6,3 hari dengan rataan 3,8 hari, ras 3 (801041) antara 1,3–5,4 hari dengan rataan 3,1 hari, ras 8 pada genotipe 801046 antara 0,8–5,8 hari dengan rataan 2,7 hari, ras 2.3 pada genotipe 801052 antara 2,2–5,3 hari dengan rataan 2,2 hari dan ras 1.2.3 pada genotipe 801056 antara 1,6–4,1 hari dengan rataan 2,2 hari. Sedangkan ras-ras yang lain periode latennya sangat kecil dengan rataan lebih kecil dari 2 hari yaitu pada genotipe801043, 801044, dan 801045 (Tabel 3). Ras yang mempunyai periode laten panjang menggambarkan ras tersebut mempunyai tingkat virulensi yang rendah, sedangkan ras yang mempunyai periode laten pendek menggambarkan tingkat virulensi ras tinggi.

Dari Tabel 3 terlihat genotipe 801039 mempunyai laju diameter bercak yang terbesar yaitu 0,41 cm/hari di lokasi 2 kecamatan Merek, diikuti genotipe 801049, 801050, 801040, sebesar 0,27 sampai 0,36/hari, sedangkan genotipe 801041, 801043, 801044, 801045, 801046, 801048, 801052, dan 801056 mempunyai laju perkembangan bercak antara 0,01 sampai 0,18 unit/hari.

Peubah kejadian penyakit yang diamati dari hari ke-5 sampai ke-9 sesudah inokulasi, memperlihatkan pengaruh yang nyata karena perlakuan macam isolat dan 18 genotipediferensial. Beberapa genotipe diferensial yang tidak terserang patogen di antaranya, 801042 (R4), 801051 (R1R4), 8010001 (R2R4), 801054 (R3R4), 801057 (R1R3R4), dan 801005 (R2R3R4), sedangkan untuk genotipe 801040 (R2), 801041 (R3) di lokasi 1 Kecamatan Berastagi pada hari ke-5 sudah 100% terinfeksi demikian juga dengan genotipe 801049 (R1R2) dilokasi 2 Kecamatan Kabanjahe. Pada hari ke-6 sesudah inokulasi, genotipe 801049 (R1R2) sudah

Page 17: Kultura Maret 2006

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi RasFisiologi Phytophthora infestans

Koleksi BPAD Prov SU 13

hampir semuanya terinfeksi kecuali di lokasi 2 Kecamatan Berastagi dan lokasi 1 di Kecamatan Merek. Genotipe 801039 (R1) di lokasi 2

Kecamatan kabanjahe dan genotipa 801050 (R1R3) di lokasi 1 Kecamatan Berastagi pada hari ke-6 sudah terinfeksi 100%.

Tabel 2. Gen tahan pada genotipe diferensial yang kompatibel dengan gen virulen P. infestans berasal dari 3 kecamatan di sentra pertanaman kentang (Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe)

Genotipe dgn Gen R Berastagi L1 L2

MerekL3 L4

KabanjaheL5 L6

801039 (R1)801040 (R2)801041 (R3)801042 (R4)801043 (R5)801044 (R6)801045 (R7)801046 (R8)801048 (R11)801049 (R1R2)801050 (R1R3)801051 (R1R4)801052 (R2R3)801001 (R2R4)801054 (R3R4)801056 (R1R2R4)801057 (R1R3R4)801005 (R2R3R4)

+ -+ ++ -- -- +- +- -+ +- -+ ++ +- -+ +- -- -+ +- -- -

+ ++ ++ +- -+ ++ +- ++ ++ ++ ++ +- -+ -- -- -+ +- -- -

+ ++ ++ +- -+ -- -- -+ ++ ++ ++ +- -+ -- -- -+ +- -- -

Tab

el 3.

Peng

aruh

perlaku

an berba

gai iso

lat asal 3 kec

amatan

di K

abup

aten

Karo pa

da 18 ge

notip

a ke

ntan

g diferens

ial, terhad

ap rataa

n pe

riod

e laten (hari), d

iameter

bercak

(cm

) pa

da 9 H

SI dan

laju perke

mba

ngan

berca

k (unit/ha

ri)

Page 18: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU14

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

5 hsi 6 hsi 7 hsi 8 hsi 9 hsi

Waktu Pengamatan (hari)

Kej

adia

n P

enya

kit

(%)

80-39 80-40 80-41 80-42 80-43 80-44 80-4580-46 80-48 80-49 80-50 80-51 80-52 80-01

Gambar 1. Rataan kejadian penyakit pada setiap genotipa diferensial selama 9 hari pengamatan. hsi = hari sesudah inokulasi

Kejadian penyakit akan semakin meningkat dengan bertambahnya hari. Pada hari ke-9 sesudah inokulasi, genotipe 801040 (R1) serangan patogen sudah mencapai antara 78,5–100% untuk semua lokasi diikuti genotipe801049 (R1R2) antara 56,2–100%, genotipe801041 (R2) dan genotipe 801046 (R8) berkisar antara 33,3–100%, kecuali untuk lokasi 2 Kecamatan Berastagi genotipe 801041 tidak terserang patogen, hal yang sama juga diperoleh pada genotipe 801039 (R1). Sedangkan untuk genotipe 801050 (R1R3) serangan patogen untuk semua lokasi berkisar antara 11,1–100%. Genotipe-genotipe 801043 (R5), 801044 (R6), 801048 (R11), 801052 (R2R3), 801056 (R1R2R4) serangan patogen berkisar antara 0–75%.

Berdasarkan semua peubah yang diamati akibat infeksi patogen pada genotipe 801039 (R1), 801040 (R2), 801041 (R3), 801043 (R5), 801044 (R6), 801045 (R7), 801046 (R8), 801049 (R1R2), 801050 (R1R3), 801052 (R2R3), dan 801056 (R1R2R4), nampak bahwa di daerah Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe didapat ras 1, 2,

3, 5, 6, 7, 8, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4, karena gen virulen patogen hanya akan menginfeksi tanaman yang mempunyai gen tahan (R) yang sama dengan gen virulen (r) yang ada pada patogen yang disebutkan dengan reaksi kompatibilitas. Sebaliknya bila tidak terjadi infeksi pada tanaman inang, maka gen virulen pada patogen tidak kompatibel dengan gen tahan (R) yang ada pada tanaman. Genotipe yang tidak mengalami infeksi sesudah diinokulasi dengan patogen P. infestans adalah genotipe 801042 (R4), 801051 (R1R4), 801001 (R2R4), 801054 (R3R4), 801057 (R1R3R4), 801005 (R2R3R4) berarti di daerah Kecamatan Berastagi, Kabanjahe, dan Merek tidak didapat ras 4 dengan kombinasinya kecuali kombinasi ras 1.2.4. Tingginya keragaman ras pada 3 kecamatan di Kabupaten Karo yaitu Kecamatan Berastagi, Kabanjahe, dan Merek dikarenakan pola penggunaan fungisida yang tidak memenuhi aturan dan anjuran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Petani Karo dalam melakukan penyemprotan fungisida pada tanaman kentang

Page 19: Kultura Maret 2006

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi RasFisiologi Phytophthora infestans

Koleksi BPAD Prov SU 15

yaitu dengan mencampur beberapa fungisida dalam satu larutan kemudian diaplikasikan ketanaman dalam selang 2–3 hari sekali.Tingginya intensitas penggunaan fungisida ini menimbulkan tekanan seleksi yang tinggi terhadap patogen, sehingga menyebabkan patogen mengalami mutasi dan adaptasi, yang akhirnya menimbulkan keragaman ras yang besar. Disamping itu petani pada setiap kecamatan di Kabupaten Karo tidak selalu sama menggunakan jenis dan interval fungisida (hasil wawancara dengan petani), hal ini menyebabkan tekanan seleksi yang ditimbulkan berbeda-beda pada setiap kecamatan, oleh larena itu dapat dipahami bahwa jenis ras patogen pada setiap kecamatan juga berbeda. Kondisi seperti ini pernah dibuktikanoleh Suhardi (1982) dengan menggunakan 44 isolat patogen yang berasal dari Segunung, Lembang, Pengalengan, Cikajang, dan Cisurupan Jawa Barat yang diinokulasikan pada 12 genotipetanaman kentang yang masing-masing terdiri dari r, R1, R2, R4, R5, R10, R11, R1R2, R1R3, R1R4, R1R2R3, dan R2R4 didapat bahwa terdapat ras 0, ras 1, ras 4, ras 5, ras 10, ras 11, ras 1.2, ras 1.3, ras 1.4, ras 1.2.3, dan ras 2.4. Selanjutnya Suhardi (1982) mengemukakan kebanyakan ras-ras tersebut tercampur dalam satu populasi isolat dan masing-masing isolat sering memiliki ras yang berbeda-beda. Keadaan inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan dalam penelitian dengan menggunakan isolat yang diambil dari lapangan. Ras 5, 6, dan 11 hanya ada di Kecamatan Merek dan Berastagi, sedangkan ras 7 hanya didapat pada Kecamatan Merek.

Pada penelitian ini, tidak dapat dideteksi ras 9 dan 10 karena tidak adanya genotipediferensial yang mengandung gen tahan R9 dan R10, namun kemungkinan ras 9 tidak ada karena ras 9 sangat rentan terhadap fungisida metalaksil. Sedangkan ras 10 berpeluang ada terbukti dengan genotipe premier yang mengandung gen R10 hasil uji ketahanan di rumah kasa menunjukkan adanya sifat tahan. Untuk hal ini masih diperlukan pembuktian lanjut, apakah ketahanan pada genotipe premier karena virulensi ras 10 yang rendah atau karena ras 10 memang tidak ada.

Berdasarkan periode laten, diameter bercak, dan laju perkembangan bercak yang ditimbulkan, nampak ras 1.2 merupakan patogen yang paling virulen, diikuti oleh ras 1, 2, dan 1.3. Diameter bercak pada genotipe 801049 (R1R2) berkisar antara 3,6–4,5 cm, diikuti genotipe 801039 (R1) (3,9–4,0 cm), 802040 (R2) (2,1–2,4 cm), 801050 (R1R3) (2,2–3,0 cm) dengan laju perkembangan bercak berkisar antara 0,15 sampai 0,36 unit/hari. Sedangkan pada genotipe801041, 801043, 801044, 801045, 801046, 801048, 801052, dan 801056 diameter bercak yang ditimbulkan sekitar 2 cm untuk setiap asal isolat dengan laju perkembangan bercak berkisar antara 0,01 sampai 0,18 unit/hari. Berdasarkan periode laten dan diameter bercak yang ditimbulkan oleh patogen dari 6 macam isolat yang diuji, terlihat ras 1, 2, 1.2, dan 1.3 mempunyai tingkat virulensi yang tinggi. Diantara 6 macam isolat yang digunakan, isolat dari Kecamatan Merek lokasi 2 yang diambil untuk menguji tingkat ketahanan genotipe terhadap penyakit hawar daun, karena isolat dari daerah ini mempunyai jenis ras yang paling banyak dengan tingkat virulensi yang paling tinggi untuk ras 1, 2, 1.2, dan 1.3.

KesimpulanPada 6 areal pertanaman kentang di

Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe ditemukan 12 jenis ras fisiologi P. infestans. Di Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjaheditemukan ras 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4., sedangkan ras 5, 6, dan 11 hanya ada di Kecamatan Merek dan Berastagi dan ras 7 hanya dijumpai di Kecamatan Merek.

Di semua Kecamatan tidak terdapat ras 4 atau kombinasi dengan ras 4 (r1r4; r2r4; r3r4).

Ras 1, 2, 1.2, dan 1.3 merupakan ras yang paling virulen dan agresif, sedangkan ras 3, 5, 6, 7, 8, 2.3, dan 1.2.4 kurang virulen dan kurang agresif.

Page 20: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU16

Daftar PustakaBradshaw, J. E., H. E. Stewaar and G. R.

MacKay. 1999. New approach to breeding for late blight resistance: Objectives, source, and technology. In: Crissman L. and C.Lizarraga (eds.). Late Blight A Threat to Global Food Security Vol 1. Proc. Global Food Initiative on Late Blight. Conf. March 16-19, 1999. Quito, Equador.

Deahl, K. L. and R. Jones. 1999. The Occurrence of Late Blight in North Amerika. In: Crissman L. and C.Lizarraga (eds.). Late Blight A Threat to Global Food Security Vol. I. Proc. Global Food Initiative on Late Bligth Conference. March 16-19, 1999. Quito, Equador.

Flor, H. H. (1955). Host-parasite interaction in Flax rust its genetics and other implications. Phytopath. Vol. 45: 680-685

Fry, W. E., S. B. Goodwin. 1995. Recent migration of Phytophthora infestans. Pp. 89–95. In Dowley LJ, Bannon E, Cooke LR, Keane T and O`Sullivan E (eds).Phytophthora infestans. Plant Physiol. 85:34–41.

Sangoba, T., J. J. Hakiza. 1999. The Current Status of Late Blight Caused by Phytophthora infestans in Africa with empasis on Eastern and Southern Africa. In: Crissman L. and C. Lizarraga (eds.). Late Blight A Threat to Global Food Security Vol. 1. Proc. Global Food

Initiative on Late Bligth Conference. March 16–19, 1999. Quito, Equador.

Shaw, D. S. 1991. Genetics. In: Ingram D. S., P.H. William (eds). Advances in Plant Pathology, Vol. 7. Phytophthora infestans, the Cause of Late Blight of Potato. Academic Press, London.

Suhardi. 1982. Beberapa Aspek Ekologi Phytophthora infestans dan ResponsTanaman Kentang Terhadapnya. Disertasi Program Pascasarjana IPB, Bogor. (tidak dipublikasikan)

Tobing, C., D. Bakti, Lisnawita. 2001. The research of insecticide marketing for vegetable and horticultural crops in Karo District Sumatera Utara. In: Coorporation Departement of Plant Protectin Faculty of Agriculture, University of North Sumatera with PT Pacific Chemicals Indonesia.

Umaerus, V. 1970. Studies on field resistance to Phytophthora infestans. Mechanisme of resistance and aplication to potato breeding. Z. Pflanzenzuchtg. 63:1–23.

Vanderplank, J. E. 1984. Disease Resistance in Plants. Second Edition. Academic Press, INC.

Wastie, R. L. 1991. Breeding for resistance. In: Ingram D.S., P.H. Williams (eds) Advances in Plant Pathology, Vol. 7. Phytophthora infestans, the Cause of Late Blight of Potato. Academic Press, London.

Page 21: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 17

Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid dalam Kalus dan Suspensi Sel Eurycoma longifolia Jack

The Growth and Accumulation of Alkaloids in Callus and Cell Suspensionof Eurycoma longifolia Jack

Luthfi Aziz Mahmud Siregar1), Chan Lai Keng2), dan Boey Peng Lim3)

1Pengajar di Dept. Agronomi, Fakultas, Pertanian USU, Medan–20155, Indoneisa2Pengajar di Pusat Pengajian Sains Kajihayat, Univ. Sains Malaysia, Penang–11800, Malaysia

3Pengajar di Pusat Pengajian Sains Kimia, Univ. Sains Malaysia, Penang–11800, Malaysia Diterima 17 Januari 2006/Disetujui 25 Februari 2006

AbstractA study production of biomass and alkaloid (9-hydroxycanthin-6-one; 9-metoxycanthin-6-one) by callus

culture from types of explant and cell suspension culture of Eurycoma longifolia Jack has been conducted. Leaf, stem and petiole of the in vitro seedling were used as explant for initiation and production of the callus in six chosen medium, that is medium of MS + NAA (10.75 - 53.76 µ M) with or without 8.88 µ M BAP. Callus of petiol explant yield highest biomass in MS medium + 43.01 µM NAA + 8.88 µM BAP with compact texture and greenness callus. Callus of leaf explant which was cultured in medium of MS + 53.76 µM NAA showed friable texture with high content of alkaloid and also easy for initiation to form cell suspension culture in medium of MS + 2.69 µM NAA + 1.13 µM 2,4-D. Keywords: Eurycoma longifolia Jack, biomass, alkaloid, callus, cell suspension

AbstrakSuatu kajian penghasilan biomassa dan alkaloid (9-hidroksikantin-6-on; 9-metoksikantin-6-on)

melalui kultur kalus dari beberapa jenis eksplan dan kultur suspensi sel Eurycoma longifolia Jack telah dijalankan. Daun, petiol, dan batang dari perkecambahan in vitro digunakan sebagai eksplan untuk inisiasi dan penghasilan kalus di dalam enam medium terpilih, yaitu medium MS + NAA (10.75–53.76 µM) dengan atau tanpa 8.88 µM BAP. Kalus dari eksplan petiol menghasilkan biomassa yang paling tinggi dalam medium MS + 43.01 µM NAA + 8.88 µM BAP dengan sifat kalus yang padat dan berwarna kuning kehijauan. Kalus dari eksplan daun yang dikulturkan dalam medium MS + 53.76 µM NAA menunjukkan tekstur mudah hancur dengan kandungan alkaloid yang tinggi serta mudah diinisiasi membentuk kultur suspensi sel di dalam medium MS + 2.69 µM NAA + 1.13 µM 2,4-D. Kata kunci: Eurycoma longifolia Jack, biomassa, alkaloid, kalus, suspensi sel

PendahuluanBanyak tumbuhan yang dikenal dalam

famili Simaroubaceae diketahui mengandung bahan-bahan kimia aktif yang berasal dari hasil metabolisme sekunder dan mempunyai aktivitas biologi yang berguna untuk perobatan, seperti Quassia spp., Simarouba glauca, Ailanthus spp., Brucea spp., dan Harrisonia spp. Famili ini terdiri daripada 30 genus dan 200 spesies tumbuhan yang tumbuh di kawasan tropis dan subtropis. Eurycoma ialah salah satu genus yang tergolong dalam famili Simaroubaceae. Tiga spesies yang dikenal luas adalah Eurycoma longifolia Jack, Eurycoma appiculata Benn, dan Eurycoma

harmandiana Pierre (Corner, 1952; Nooteboom, 1972). Di Indonesia, Eurycoma longifolia Jack dikenal dengan nama pasak bumi. Tumbuhan ini juga dijumpai di negara kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei yang dikenal dengan nama Tongkat Ali. Di Thailand tumbuhan ini disebut ‘piak’ atau ‘tung saw’, sedangkan di Vietnam dikenali sebagai ‘cay ba buih’ yang berarti tumbuhan yang dapat mengobati seribu satu penyakit. Tumbuhan ini telah lama diyakini masyarakat di kawasan Asia Tenggara sebagai tumbuhan obat untuk kegunaan seperti menurunkan suhu badan sewaktu demam, sebagai tonik setelah melahirkan, mengobati gusi berdarah, sakit kepala,

Page 22: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU18

menyembuhkan luka dan gatal-gatal pada kulit, mengobati batuk berterusan, dan menghilangkan rasa sakit pada tulang (Burkill, 1966; Nooteboom,1972). Tumbuhan ini dilaporkan mengandungikuasinoid yang menunjukkan aktivitas sebagaiantimalaria (Chan, et al., 1986) dan afrodisiak (Ang, et al., 2001). Kardono et al. (1991) melaporkan bahwa tumbuhan pasak bumi juga mengandungi alkaloid dari golongan kantinon, yaitu 9-metoksikantin-6-on dan 9-hidroksikantin-6-on yang digunakan sebagai penanda pokok dan bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel kanker. Alkaloid 9-metoksikantin-6-on, menunjukkan aktivitas sebagai agen antimikroba bakteri Bacillus cereus (Choo, et al., 2000) dan memiliki potensi yang lebih baik dalam melawan isolat strain Plasmodium falciparumyang tahan klorokuina dibandingkan dengan klorokuin difosfat (Chan, et al. 2004).

Kultur sel dan jaringan tumbuhan menjadi suatu alternatif yang dilakukan untuk tujuan meningkatkan produk-produk metabolit sekunder yang mempunyai nilai komersial tinggi tetapi sulit untuk diperoleh secara pertanian konvensional. Teknik ini dapat dikembangkan untuk produksi biomassa dan produk-produk metabolit secara besar-besaran, misalnya dengan menggunakan bioreaktor. Dengan diketahuinya potensi nilai perobatan dari tumbuhan E. longifoliaJack ini, maka kajian-kajian dalam kultur sel dan jaringan adalah perlu dilakukan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi inisiasi, proliferasi,dan sintesis metabolit sekunder di dalam kultur kalus dan suspensi sel, misalnya genotipetumbuhan, komposisi medium dan faktor-faktor fisik dalam pertumbuhan sel seperti cahaya dan suhu. Menurut George dan Sherrington (1984) bahwa biomassa yang dihasilkan dari kultur kalus dan suspensi sel dalam kultur in vitro dapat berbeda dalam tekstur, warna, dan kuantitas. Hal ini dapat terjadi karena eksplan yang digunakanberasal dari tumbuhan atau bagian yang berbeda, diperoleh pada waktu yang berbeda, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan. Oleh karena itu, kajian ini akan melaporkan tentang kultur in vitro E. longifolia Jack yang meliputi kajian penghasilan biomassa kalus yang dipengaruhi oleh jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh. Di samping itu, dilaporkan juga tentang pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap inisiasi kultur suspensi sel, serta kajian

pertumbuhan sel dan penghasilan alkaloid (9-hidroksikantin-6-on dan 9-metoksikantin-6-on) di dalam kultur suspensi sel E. longifolia Jack.

Bahan dan MetodaKajian-kajian in vitro dan analisis kimia

dalam penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2001 hingga Oktober 2001 di Laboratorium Kultur Sel dan Jaringan Tumbuhan dan Laboratorium Kimia Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang–Malaysia.

Biji diperoleh dari Sibuhuan, KecamatanBarumun, Kabupaten Tapanuli Selatan ProvinsiSumatera Utara. Biji disterilisasi dengan etanol 96% selama 30 detik dan diikuti dengan membuang bagian kulit buah. Selanjutnya, biji disterilkan dengan Clorox® 20% selama 15 menit. Kemudian endokarp dibuang dan biji disterilkan dengan Clorox® 5% selama 5 menit. Setiap sterilisasi dengan Clorox® ditambahkan 3 tetes Tween 20. Biji yang hanya terdiri dari embrio dan kotiledon dikultur dalam medium MS (Murashige and Skoog, 1962) tanpa hormon di dalam tabung uji (25 X 150 mm). Kultur in vitroditempatkan pada ruang kultur pada suhu 25±20 C dengan cahaya pijar putih 30 mols-1m-2 yang dipasang 24 jam sehari.

Pengaruh Medium dan Sumber Eksplanterhadap Penghasilan Kalus dan Alkaloid

Eksplan daun, petiol, dan batang dari perkecambahan in vitro berumur 10 minggu dikultur dengan orientasi mendatar dalam tabung uji (25 X 150 mm) yang mengandung medium padat MS dengan kombinasi 6-benzil aminopurin atau BAP (0,00–44,40 µM) dan asam -naftalenasetat atau NAA (0,00–53,76 µM). Setelah delapan minggu masa pengkulturan, berdasarkan jumlah kalus dan persentase eksplan yang menghasilkan kalus diperoleh 6 (enam) medium terbaik (data tidak ditunjukkan). Enam medium terpilih tersebut adalah medium MS + 10,75 µMNAA; MS + 21,50 µM NAA; MS + 43,01 µM NAA; MS + 43,01 µM NAA + 8,88 µM BAP; MS + 53,76 µM NAA; MS + 53,76 µM + 8,88 µM BAP.

Kalus dengan berat 0,5 gram yang berasal dari eksplan yang berbeda (daun, petiol, dan batang) disubkultur ke dalam enam medium tersebut. Setiap perlakuan medium digunakan

Page 23: Kultura Maret 2006

Luthfi Aziz Mahmud Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng Lim: Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid

Koleksi BPAD Prov SU 19

dua puluh kultur dan kajian diulang dua kali. Medium dengan volume 15 ml diisi ke dalam gelas Erlenmeyer 50 ml. Empat minggu setelah pengkulturan, berat basah dan berat kering kalus dari setiap perlakuan medium ditimbang. Kalus dikeringkan dengan menggunakan alat pengering beku (freeze dryer, Benchtop 2K, New York, USA) selama 48 jam. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dua arah dan perbandingan rerata diuji dengan HSD Tukey pada p = 0,05.

Kultur Suspensi Sel E. longifolia JackSebanyak 0,5 g kalus dari eksplan daun

dikultur ke dalam (gelas Erlenmeyer 100 ml) 20 ml medium cair MS yang ditambahkan dengan kombinasi NAA (0,00, 2,69 dan 5,38 µM) dan asam 2,4-diklorofenoksiasetat atau 2,4-D (0,00, 1,13, 2,26, dan 4,52 µM). Delapan kultur (n = 8) digunakan untuk setiap perlakuan. Kultur diletakkan pada pengguncang orbital (shaker) dengan kelajuan 130 rpm. Setelah tiga minggu biomassa sel dan medium cair dipisahkan dengan menggunakan kertas saring (Whatman, 110 mm) yang diletakkan pada corong penghisap ( 90 mm) dan terhubung dengan pompa vakum. Sel-sel dikeringkan dengan menggunakan alat pengering beku selama 48 jam. Data berat basah dan berat kering dianalisis menggunakan ANOVA satu arah dan perbandingan rerata dilakukan dengan uji HSD Tukey pada p = 0,05.

Di samping itu, kajian pertumbuhan sel dan penghasilan alkaoid E. longifolia Jack dilakukan dengan pensubkulturan 1,0 g biomassa sel suspensi (dari kalus daun) ke dalam 20 ml medium cair MS + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D. Berat basah, berat kering, dan kandungan alkaloid ditentukan setiap dua hari hingga hari ke-22.

Analisis AlkaloidBiomassa akar dan hasil in vitro yang

kering beku (freeze-dry) direndam dalam heksana untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya sampel diekstrak dalam 20 ml metanol selama 24 jam sebanyak tiga kali. Setelah penyaringan dengan kertas filter Whatman® No.1, ekstrak metanol dikeringkan dengan alat evaporator pada suhu 450

C. Untuk analisis HPLC (High Performance Liquid Chromatography), residu kering dilarutkan di dalam

5 ml metanol (kelas HPLC) dan disaring dengan millipor (Ø 0,45 m, Whatman®). Analisis HPLC dilakukan dengan penyuntikan sampel ke dalam suatu injektor (20 L, Rheodyne, USA) yang disambung dengan kolom fase berbalik (5 m, 250 x 4,6 mm; Hypersil ODS column). Deteksi dilakukan dengan sinar ultra violet (SPD-10 AVpShimadzu UV-VIS). HPLC dijalankan dengan pompa tekanan tinggi (LC-10 ADVp Shimadzu Liquid Chromatograph). Fase gerak mengandung asetonitril: 0,2% asam asetat (42:58) dengan laju aliran 2 ml/menit. Elusi alkaloid dimonitor pada 280 nm dan diidentifikasi berdasarkan kepada masa retensi (tR).

Hasil dan PembahasanPerbanyakan kalus yang tinggi untuk

masing-masing kalus dari eksplan yang berbeda diperoleh dalam medium yang berbeda pula.Inisiasi kalus dari jaringan atau eksplan secara in vitro biasanya memerlukan zat pengatur tumbuh terutama auksin untuk merangsang dan mempercepat pembentukan kalus (Thomas and Davey, 1975). Penghasilan kalus yang tertinggi dihasilkan kalus dari eksplan petiol yang dikultur dalam medium MS + 43,01 µM NAA + 8,88 µM BAP dibandingkan dengan kombinasi medium dan kalus dari eksplan yang lain. Kalus (eksplan petiol) ini mempunyai tekstur padat dan berwarna kuning kehijauan. Kalus dari eksplan daun dalam medium MS + 53,76 µM NAAmenghasilkan berat basah yang berbeda secara signifikan dengan kombinasi jenis medium dan eksplan lainnya. Kalus dari eksplan daun ini mempunyai tekstur yang mudah hancur (friable) dan berwarna putih kekuningan. Sedangkan kalus dari eksplan batang menghasilkan berat basah yang tinggi di dalam medium MS + 53,76µM NAA + 8,88 µM BAP dan berbeda secara signifikan dengan medium lain. Kalus (eksplan batang) yang dihasilkan mempunyai tekstur padat dan berwarna kuning kehijauan (Tabel 1). Menurut George dan Sherrington (1984) perbedaan tekstur, warna, dan banyak kalus yang dihasilkan terjadi karena eksplan yang digunakan berasal dari tumbuhan atau bagian yang berbeda dan akibat masa pengambilan eksplan yang berbeda sehingga memberikan perkembangan hasil yang tidak sama. Mitra dan Chaturvedi (1972) melaporkan bahwa jaringan batang Citrus

Page 24: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU20

grandis menghasilkan kalus yang berwarna putih kehijauan, padat dan bergranul kecil apabila tingkat pertumbuhan dalam medium adalah lambat sedangkan kalus dengan tingkat pertumbuhan yang cepat menghasilkan kalus yang rapuh dan mudah hancur.

Suspensi sel yang baik adalah kultur yang terdiri dari sel-sel tunggal dan koloni sel yang berukuran kecil dalam persentase yang tinggi. Kombinasi perlakuan NAA dan 2,4-D ke dalam medium MS cair untuk inisiasi kultur suspensi sel yang berasal dari kalus daun, menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap rerata penghasilan berat basah biomassa sel E. longifolia Jack (Tabel 3). Kalus yang dikultur dalam medium MS tanpa hormon menghasilkan biomassa sel paling rendah dan terjadi pencoklatan (browning) terhadap kultur suspensi sel. Perlakuan 2,69 µMdan 5,38 µM NAA tanpa 2,4-D dapat meningkatkan berat basah biomassa sel. Sel-sel kalus dapat tersebar (dispersion) dalam medium cair dan tumbuh membentuk kultur suspensi sel. Penambahan 1,13 µM 2,4-D tanpa NAA dapat

membentuk suspensi sel dan meningkatkan biomassa sel. Tetapi penambahan 2,4-D melebihi 1,13 µMmengakibatkan hasil berat basah biomassa sel yang rendah, dan terjadi pencoklatan terhadap kultur suspensi. Kajian yang dijalankan oleh Watts et al. (1984) menunjukkan bahwa penambahan 2,4-D (0–5 mg/l) ke dalam medium MS + 0.6 mg/l kinetin dalam kultur suspensi sel tumbuhan seleri menyebabkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan jenis auksin lain seperti NAA, asam indol asetat (IAA), asam 2,3-dikhlorofenoksi asetat (CPOA) atau dengan penambahan antiauksin seperti asam 2-khlorofenoksi isobutirat (CIBA), dan asam 3,5-dikloropenoksi asetat (3,5-D). Medium MS yang mengandung 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-Ddapat mendorong hasil berat biomassa sel yang terbaik dibandingkan medium lainnya. Sedangkan pada medium MS yang mengandung 5,38 µM NAA dan 2,4-D (1,13 - 4,52 µM) menghasilkan biomassa yang rendah dibanding dengan medium MS + 5,38 µM NAA tanpa 2,4-D.

Tabel 1. Pengaruh sumber kalus dari eksplan berbeda dalam medium MS dengan kombinasi NAA dan BAP terhadap hasil berat basah, tekstur, dan warna kalus

Medium Asal kalus Berat basah(g)

Tekstur Warna

MS + 10,75 µM NAA

DaunPetiolBatang

0,497 defg0,226 g0,357 gf

Mudah hancurPadatPadat

Putih KekuninganPutih KekuninganPutih Kekuningan

MS + 21,50 µM NAA DaunPetiolBatang

0,756 def0,442 efg0,539 defg

Mudah hancurPadatPadat

Putih KekuninganPutih KekuninganPutih Kekuningan

MS + 43,01 µM NAA DaunPetiolBatang

0,664 def0,807 de0,371 fg

Mudah hancurPadatAgak Padat

Putih KekuninganPutih KekuninganKuning Kehijauan

MS + 43,01 µM NAA + 8,88 µM BAP

DaunPetiolBatang

0,903 d2,342 a0,517 defg

Mudah hancurPadatPadat

Putih KekuninganKuning KehijauanKuning Kehijauan

MS + 53,76 µM NAA DaunPetiolBatang

1,698 b0,562 defg0,667 def

Mudah hancurAgak PadatAgak Padat

Putih KekuninganKuning KehijauanPutih Kekuningan

MS + 53,76 µM NAA + 8,88 µM BAP

DaunPetiolBatang

0,880 d0,783 def1,306 c

Mudah hancurPadatPadat

Putih KekuninganKuning KehijauanKuning Kehijauan

* Rerata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan Uji HSD Tukey (p = 0,05)

Page 25: Kultura Maret 2006

Luthfi Aziz Mahmud Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng Lim: Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid

Koleksi BPAD Prov SU 21

Tabel 2. Pengaruh kombinasi konsentrasi NAA dan 2,4-D dalam medium MS terhadap hasil biomassa sel E. longifolia Jack setelah 21 hari pengkulturan

NAA 2,4-D

(µM) (µM)

Rerata berat basah

(g)

0,00 0,00

1,13

2,26

4,52

0,50 2,69 0,00

1,13

2,26

4,52

5,38 0,00

1,13

2,26

4,52

0,135 g

3,659 b

2,132 d

0,717 f

1,955 d

4,226 a

2,994 c

0,665 f

3,185 c

2,030 d

2,891 c

1,414 e

Tabel 3. Kandungan alkaloid dari biomassa akar tumbuhan induk dan kalus dari eksplan daun, petiol, dan batang E. Longifolia Jack

Biomassa Medium 9-hidroksi-kantin-6-on(% s.d)

9-metoksi-kantin-6-on(% s.d)

Akar tumbuhan induk - 0,004 0,003 0,014 0,004

Kalus dari eksplan daun MS + 53,76 µM NAA 0,078 0,018 0,085 0,013

Kalus dari eksplan petiol MS + 43,01 µM NAA + 8,88 µM BAP 0,047 0,012 0,049 0,017

Kalus dari eksplan batang MS + 53,76 µM NAA + 8,88 µM BAP 0,022 0,005 0,026 0,005

Sel suspensi MS + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D 0,048 ± 0,005 0,080 ± 0,004

0

1

2

3

4

5

6

7

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

masa (hari)

berat

basa

h (g)

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

berat

kerin

g (g)

berat basahberat kering

(a)

Page 26: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU22

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

0 5 10 15 20

masa (hari)

jumlah

alka

loid

(mg)

jumlah 9-hidroksikantin-6-onjumlah 9-metoksikantin-6-onjumlah dua alkaloid

(b)Gambar 1.Kurva pertumbuhan sel (a), dan penghasilan alkaloid (b) kultur suspensi sel E. longifolia Jack (n = 6)

dalam 20 mL medium MS + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D selama 22 hari

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)Gambar 2. Kromatogram HPLC untuk 9-hidroksikantin-6-on dan 9-metoksikantin-6-on dari sampel standar (a),

ekstrak akar tumbuhan induk E. longifolia Jack (b), dan ekstrak biomassa hasil kultur in vitro E. longifolia Jack; kalus dari eksplan daun (c), kalus dari eksplan petiol (d), kalus dari eksplan batang (e), serta biomassa dari kultur suspensi sel (f)

Page 27: Kultura Maret 2006

Luthfi Aziz Mahmud Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng Lim: Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid

Koleksi BPAD Prov SU 23

Sel-sel E. longifolia Jack tidak menunjukkan peningkatan berat basah atau berat kering pada hari ke-1 hingga ke-4. Pertumbuhan sel paling tinggi dijumpai pada hari ke-8 hingga ke-12 dan fase ini adalah yang terbaik untuk subkultur sel. Sel-sel mulai menunjukkan penurunan tingkat pertumbuhan pada hari ke-12 hingga ke-14. Berat basah dan kering maksimum diperoleh pada hari ke-14 setelah pengkulturan. Penghasilan berat basah dan kering sel-sel menurun setelah 14 hari pengkulturan, dan ini menunjukkan pertambahan biomassa sel semakin rendah akibat lebih besar tingkat kematian sel dibanding pertumbuhan sel (Gambar 1a). Total 9-hidroksikantin-6-on meningkat dengan pertambahan waktu pengkulturan. Pada hari ke-14 hingga 18, total 9-hidroksikantin-6-on meningkat hingga 8 kali dibandingkan pada peringkat awal (0 hari). Total 9-hidroksikantin-6-on mencapai optimum pada hari ke-20 setelah pengkulturan. Total 9-metoksikantin-6-on didapati tidak banyak berubah pada 0–8 hari pengkulturan. Setelah 10 hari pengkulturan, jumlah 9-metoksikantin-6-on meningkat dan mencapai optimum pada hari ke-20. Total 9-metoksikantin-6-on menurun pada hari ke-22 pengkulturan (Gambar 1b). Kondisipertumbuhan dan produksi ini berbeda dibanding dengan yang dihasilkan van Uden et al. (1990), bahwa pada masa tingkat pertumbuhan sel yang tinggi, tingkat penghasilan koniferin dalam kultur suspensi sel Linum flavummenunjukkan peningkatan kandungan yang paling tinggi. Fase-fase yang diperlukan di dalam kultur suspensi sel untuk menghasilkan bahan metabolisme sekunder yang diinginkan adalah berbeda menurut sifat pertumbuhan dan perkembangan masing-masing spesies tumbuhan.

Hasil analisis kimia dengan HPLC menunjukkan bahwa kalus dari eksplan daun dalam medium MS + 53,76 µM NAAmengandung 9-hidroksikantin-6-on yang paling tinggi dibandingkan dengan biomassa akar tumbuhan induk, kalus dari eksplan petiol dan batang, serta suspensi sel. Sedangkan biomassa kalus dari eksplan daun dan suspensi sel menghasilkan kandungan 9-metoksikantin-6-on yang lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa akar tumbuhan induk, kalus dari petiol dan batang (Tabel 3). Kondisi ini menunjukkan bahwa biomassa hasil suspensi sel yang terbentuk dapat

dikembangkan dalam kajian-kajian selanjutnya,seperti optimasi peningkatan penghasilan biomassa sel dan kandungan alkaloid ataupun bahan-bahan aktif lain dari tumbuhan E. longifolia Jack serta aplikasi kultur dengan menggunakan fermentor atau bioreaktor untuk penghasilan secara komersial. Beberapa spesies tumbuhan menghasilkan bahan metabolisme sekunder yang sedikit dibandingkan dengan hasil kultur in vitro. Pada tumbuhan tingkat tinggi, bahan metabolisme sekunder memiliki kecenderungan dihasilkan pada sel-sel tertentu dan pada tingkat perkembangan yang tertentu. Lebih dari 30 bahan metabolisme sekunder dapat dihasilkan di dalam kultur sel dengan tingkatkonsentrasi yang jauh melebihi dari tumbuhan induk yang menjadi eksplan untuk inisiasi kultur in vitro (Balandrin, et al., 1985). Zhao et al. (2001) melaporkan bahwa kalus yang berasal dari eksplan daun Saussurea medusa dalam medium padat MS + 0,2 mg/l BAP + 2 mg/l NAA menghasilkan jaseosidin yang lebih tinggi dibanding dengan tumbuhan induk

KesimpulanInisiasi dan proliferasi kalus yang

optimum bagi masing-masing eksplan daun, petiol, dan batang E. longifolia Jack yang dihasilkan dalam medium yang berbeda menunjukkan bahwa kalus dengan tekstur padat dihasilkan dari eksplan petiol dan batang, sedangkan kalus yang dihasilkan dari eksplan daun mudah hancur. Inisiasi dan proliferasi suspensi sel dari kalus daun yang mudah hancur dihasilkan dalam medium MS + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D. Alkaloid (9-hidroksikantin-6-on dan 9-metoksikantin-6-on) tumbuhan E. longifoliaJack dapat dihasilkan melalui kultur kalus dan suspensi sel dengan kandungan yang lebih tinggi dibanding dengan akar tumbuhan induk E. longifolia Jack.

Ucapan Terima KasihPenulis mengucapkan terima kasih

kepada Dr. Tripetch Kanchanaphoom dari Khon Kaen University, Thailand, atas kesediaannya memberikan standar alkaloid yang asli.

Page 28: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU24

Daftar PustakaAng, H. H., Ikeda, S. and Gan, E. K. 2001.

Evaluation of the potency activity of aphrodisiac in Euycoma longifolia Jack. Phytother. Res. 15(5: 435–436).

Balandrin, M. F., Klocke, J. A., Wurtele, E. S. and Bollinger, W. H. 1985. Natural plant chemicals, source of industrial, and medicinal materials. Science. 228: 1154–1160.

Burkill, I. H. 1966. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Goverments of Malaya and Singapore. Vol I. 1000–1002.

Chan, K. L., O’Neill, M. J., Phillipson, JD. and Warhurst, D.C. 1986. Plants as sources of antimalarial drugs. Part 3: Eurycoma longifolia Jack. Planta Med. 52(20): 105–107.

Chan, K. L., Choo, C. Y., Abdullah, N. R. and Ismail, Z. 2004. Antiplasmodial studies of Eurycoma longifolia Jack using the lactate dehydrogenase assay of Plasmodium falciparum. J. Ethnopharm. 92 (2-3): 223–227.

Choo, C. Y., Nah, B. K., Ibrahim, P. and Chan, K. L. 2000. Antimicrobial activity of Eurycoma longifolia Jack. In Rahmani M, Mahmood M, Sukari MA, Lian GEC, Hin TYY, Ali DAI (eds). Interdisciplinary Approaches in Natural Products Research. Proceedings of the 16th National Seminar on Natural Products Department of Chemistry. Universiti Putera Malaysia, Serdang. pp. 219–221.

Corner, E. J. H. 1952. Wayside Trees of Malaya. Vol. 1. Govt. Print. Off. 603–605.

George, E. F. and Sherrington, P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Limited. England.

Kardono, L. B. S., Angehofer, C. K., Tsauri, S., Padmawinata, K., Pezzuto, J.M. and

Kinghorn, D. 1991. Cytotoxic and antimalarial constituents of the roots of Eurycoma longifolia. J. Nat. Prod. 54: 1360–1367.

Mitra, G. C. and Chaturvedi, H. C. 1972. Embryoids and complete plants from unpollinated ovaries and from ovules of in vivo grown emasculated flower buds of Citrus spp. Bull. Torry Bot. Cl. 99: 184–189.

Murashige, T. and Skoog, F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tisue culture. Physiol Plant. 15: 473–497.

Nooteboom, L. 1972. Simaroubaceae. In Steenis JV (ed), Flora Malesiana. Sixth Edition. Wolters-Woordhoff Publishing, Groningen, Netherlands. pp. 197–207.

Thomas, E. and Davey, M. R. 1975. From Single Cells to Plants. Wykeham Publications Ltd. London and Winchester.

van Uden, W., Pras, N., Batterman, S., Visser, J.F. and Malingre, T. M. 1990. The accumulation and isolation of coniferin from high producing cell suspension of Linum flavum L. Planta. 183: 25–30.

Watts, M. J., Galpin, I. J. and Collin, H. A. 1984. The effect of growth regulator, light and temperature on flavour prodution in celery tissue culture. The New Phytologist. 98: 583–591.

Zhao, D., Xig, J., Li, M., Lu, D. and Zhao, Q. 2001. Optimization of growth and jaceosidin production in callus and cell suspension cultures of Saussurea medusa. Plant Cell, Tissue Org. Cult. 67: 227–234.

Page 29: Kultura Maret 2006

Luthfi Aziz Mahmud Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng Lim: Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid

Koleksi BPAD Prov SU 25

Page 30: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU26

Karakter Fisiologis dan Keefektifan Isolat Rizobakteri sebagai Agens Antagonis Colletotrichum capsici dan Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman Cabai

Physiological Characters and Effectiveness of Rhizobacteria Isolates as Colletotrichum capsiciAntagonist Agents and Plant Growth Promoting Rhizobacteria of Hot Pepper

Gusti Ayu Kade Sutariati1, Widodo2, Sudarsono3, Satriyas Ilyas3

1 Pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, FAPERTA Universitas Haluoleo2 Pengajar di Departemen Proteksi Tanaman, dan 3 Pengajar di Departemen Agronomi dan

Hortikultura FAPERTA, Institut Pertanian Bogor Diterima 12 November 2005/Disetujui 21 April 2006

AbstractThe objectives of this experiment were to evaluate the ability of 25 isolates of Bacillus spp., Pseudomonas

spp., and Serratia spp. to produce chitinase, cellulase and protease, syderophore, Hydrogen Cyanide (HCN) and solubilize phosphate. The experiments were also conducted to evaluate the effectiveness of the isolates as antagonist agents against Colletotrichum capsici as well as plant growth promoting rhizobacteria of hot pepper seedlings. Result of the experiments showed those rhizobacteria isolates had different ability to produce extracelluler enzymes, syderophore and Hydrogen Cyanide (HCN), and to solubilize phosphate. However, those ability of the rhizobacteria were not the only determinant of antagonist agents against C. capsici, and the ability to solubilize phosphate was not the only determinant as PGPR. Of 25 isolates tested, BG25 from Bacillus spp., P. fluorescens PG01 from Pseudomonas spp. and SG01 from Serratia spp. gave better effects on inhibiting colony growth ofColletotrichum capsici and or improving seedling growth of hot pepper compared with other isolates in the same group. Keywords: chitinase, cellulase, protease, HCN, syderophore, phosphate-solubilizing, PGPR

AbstrakPercobaan yang dilakukan bertujuan mengevaluasi kemampuan 25 isolat Bacillus spp.,

Pseudomonas spp., and Serratia spp. untuk memproduksi enzim kitinase, selulase dan protease, senyawa siderofor, hidrogen sianida (HCN), serta melarutkan fosfat. Selain itu, evaluasi juga dilakukan untuk menentukan keefektifan isolat rizobakteri uji sebagai agens antagonis terhadap Colletotrichum capsici dan sebagai pemacu pertumbuhan bibit cabai. Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan tidak semua isolat rizobakteri mampu memproduksi kitinase, selulase dan protease, senyawa HCN dan senyawa siderofor, serta melarutkan fosfat. Kemampuan memproduksi enzim ekstra-seluler, HCN dan siderofor bukan satu-satunya penentu keefektifan daya hambat isolat rizobakteri terhadap pertumbuhan koloni C. capsici, sedangkan kemampuan melarutkan fosfat bukan satu-satunya penentu kemampuan isolat rizobakteri sebagai pemacu pertumbuhan. Dari 25 isolat uji, isolat BG25 dari kelompok Bacillus spp., P. fluorescens PG01 dari kelompok Pseudomonas spp. dan SG01 dari kelompok Serratia spp. memberikan efek yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan koloni C. capsici dan/atau meningkatkan pertumbuhan bibit cabai dibandingkan dengan isolat lainnya dalam kelompok yang sama.Kata kunci: kitinase, selulase, protease, HCN, siderofor, pelarut fosfat, PGPR

PendahuluanRizosfer tanaman merupakan habitat

berbagai spesies bakteri yang secara umum dikenal sebagai rizobakteri. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria(PGPR) dan sebagai agens antagonis terhadap

patogen tanaman (Timmusk, 2003).Kemampuan untuk memfiksasi nitrogen,

melarutkan fosfat, memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), enzim kitinase, protease, dan selulase merupakan karakteristik rizobakteri yang diinginkan (Zhang, 2004). Oleh karena itu untuk memperoleh

Page 31: Kultura Maret 2006

Gusti Ayu Kade Sutariati, Widodo, Sudarsono, Satriyas Ilyas: Karakter Fisiologisdan Keefektifan Isolat Rizobakteri

Koleksi BPAD Prov SU 27

rizobakteri yang berpotensi perlu dievaluasi berbagai karakter tersebut. Salah satu kemampuan rizobakteri dari kelompok Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. yang telah dilaporkan ialah mampu melarutkan fosfat (Faccini et al., 2004), sedangkan rizobakteri dari kelompok Serratia sp. mampu memfiksasi nitrogen (Bai etal., 2003).

Dari percobaan sebelumnya, telah berhasil diisolasi 16 isolat Bacillus spp., 5 isolat Pseudomonas spp., dan 4 isolat Serratia spp. dari rizosfer tanaman cabai sehat di Sukabumi (Sutariati et al., 2005). Percobaan yang dilakukan bertujuan mengevaluasi kemampuan isolat rizobakteri tersebut untuk memproduksi berbagai enzim ekstra-seluler (kitinase, selulase, dan protease), memproduksi senyawa siderofor dan hidrogen sianida (HCN), serta melarutkan fosfat. Selain itu, evaluasi juga dilakukan untuk menentukan keefektifan isolat rizobakteri uji sebagai agens antagonis terhadap Colletotrichum capsici penyebab antraknosa dan pemacu pertumbuhan bibit cabai.

Bahan dan MetodaDalam percobaan ini dievaluasi 16 isolat

Bacillus spp., 5 isolat Pseudomonas spp. dan 4 isolat Serratia spp. dari percobaan sebelumnya (Sutariati et al., 2005). Isolat rizobakteri diisolasi dari rizosfer tanaman cabai sehat yang tumbuh diantara tanaman terserang C. capsici penyebab antraknosa pada buah cabai di pertanaman cabai rakyat di Sukabumi, Jawa Barat.

Produksi kitinase, protease, dan selulase dievaluasi secara kualitatif dengan mengamati terbentuknya halo di sekitar suspensi bakteri yang ditumbuhkan pada media uji. Kultur isolat Bacillus sp. dan Serratia sp. ditumbuhkan dalam media TSA dan isolat Pseudomonas sp. dalam media King’s B selama 48 jam. Untuk menguji aktivitas kitinase digunakan media uji agar-kitin 0,2% (Munif, 2001), selulase menggunakan media uji dengan substrat carboxy-methylcellulose (CMC) (Andro et al., 1984), sedangkan protease menggunakan media uji dengan substrat gelatin (Munif, 2001).

Produksi senyawa HCN dianalisis secara kualitatif dengan metoda Bakker & Schipper (Munif, 2001). Isolat rizobakteri uji

ditumbuhkan pada media glisin dalam cawan petri. Pada bagian tengah tutup cawan petri ditempelkan potongan kertas saring yang telah direndam dalam larutan pendeteksi HCN (asam pikrat 2 g, natrium karbonat 8 g, dalam 200 ml air). Selanjutnya, kultur bakteri diinkubasikan selama 4 hari pada suhu 240 C. Warna kertas saring yang tetap kuning mengindikasikan isolat uji tidak memproduksi HCN sedangkan warna coklat muda, coklat tua, dan merah bata mengindikasikan produksi HCN yang semakin meningkat.

Kemampuan produksi siderofor dianalisis dengan menumbuhkan isolat rizobakteri dalam media uji (sukrosa 20 g/l, L-asparagin 2 g/l, K2HPO4 1 g/l, MgSO4.7H2O 0.5 g/l) dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 270 C untuk mengetahui produksi siderofor. Suspensi rizobakteri dipanen dan disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 rpm selama 30 menit, lalu supernatannya disaring dengan membran nitroselulosa berporositas 0,2 mm. Produksi siderofor dideteksi melalui pengukuran absorbansi supernatan (3 ml) dengan atau tanpa penambahan 0,01 M FeCl3 (1 ml) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm (Dirmawati, 2003).

Pengujian kemampuan rizobakteri melarutkan fosfat dilakukan dengan menggunakan media uji Pikovskaya’s agar yang ditambah tri-calcium phosphate (TCP) sebagai sumber fosfat (Thakuria et al., 2004). Prosedur pengujian yang dilakukan sama dengan uji keefektifan enzim ekstra-seluler.

Uji antagonis secara in vitro dilakukan untuk mengevaluasi keefektifan agens biokontrol terhadap C. capsici penyebab antraknosa pada buah cabai, menggunakan metoda uji ganda. Sedangkan untuk menganalisis rizobakterisebagai pemacu pertumbuhan tanaman cabai, dilakukan percobaan dengan cara menginokulasi benih cabai kultivar Tit Super dengan masing-masing isolat rizobakteri uji. Benih yang telah diinokulasi lalu dikecambahkan pada media arang sekam steril. Setelah berumur 2 minggu, individu kecambah dipindah-tanam (transplant) ke pot plastik berdiameter 7 cm dan tinggi 10 cm yang berisi 500 g media tanam campuran tanah dan pupuk kandang (4:1). Bibit cabai ditumbuhkan di rumah pembibitan dan untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan bibit

Page 32: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU28

yang normal dilakukan penyiraman hingga kapasitas lapang setiap pagi dan sore hari. Unit percobaan terdiri atas 9 bibit cabai per perlakuan dan untuk setiap perlakuan diulang tiga kali (menggunakan rancangan acak lengkap). Pengamatan dilakukan terhadap tinggi bibit dan jumlah daun hingga umur 4 minggu setelah pindah-tanam (msp).

Hasil dan PembahasanHasil evaluasi berbagai karakter fisiologis

isolat rizobakteri yang dilakukan menunjukkan setiap isolat uji mempunyai perbedaan kemampuan dalam memproduksi enzim ekstra-seluler (kitinase, protease, atau selulase), senyawa HCN dan siderofor, serta melarutkan fosfat. Enzim kitinase hanya disekresikan oleh B. alvei BG07, BG12 dan B. cereus BG35, dan isolat Serratia sp. Sebaliknya, enzim protease dan selulase dihasilkan oleh hampir semua isolat uji, kecuali Bacillus isolat BG05. Kecuali Bacillus isolat BG03, BG05, BG33, B. cereus BG35, dan P. fluorescens PG22, isolat rizobakteri uji lainnya mampu memproduksi enzim selulase (Tabel 1).

Sementara itu berdasarkan hasil uji daya hambat isolat rizobakteri terhadap pertumbuhan koloni C. capsici, ternyata isolat Serratia sp. yang diuji tidak bersifat antagonis terhadap C. capsici (daya hambat = 0%), sedangkan isolat Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. bersifat antagonis (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan memproduksi enzim ekstra-seluler bukan satu-satunya karakteristik bakteri yang menjadi penentu keefektifan daya hambat. Berbagai isolat bakteri yang tidak memproduksi enzim ekstra-seluler ternyata mampu menghambat pertumbuhan koloni C. capsici, sebaliknya isolat yang memproduksi enzim ekstra-

seluler tidak mempunyai daya hambat. Menurut Zhang et al. (2004), antagonisme antara rizobakteri dengan cendawan patogen dapat terjadi melalui mekanisme antibiosis, kompetisi, parasitisme/predatorisme, produksi enzim ekstra-seluler, atau induksi resistensi.

Senyawa HCN merupakan senyawa metabolit sekunder yang umumnya dihasilkan oleh bakteri P. fluorescens dan bersifat toksik terhadap cendawan patogen (Ramamoorthy et al., 2002). Isolat P. fluorescens yang diuji dalam penelitian ini juga mampu memproduksi senyawa HCN (P. fluorescens PG01, PG02, dan PG04), tetapi kemampuan memproduksi HCN juga bukan merupakan satu-satunya karakteristik bakteri yang dapat menjelaskan keefektifan antagonisme rizobakteri yang dievaluasi terhadap C. capsici.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa semua isolat rizobakteri uji mampu menghasilkan senyawa siderofor dan isolat P.fluorescens PG01 memproduksi siderofor terbanyak. Menurut Dwivedi & Johri (2003), senyawa siderofor yang diproduksi oleh bakteri dan cendawan tidak bersifat toksik terhadap patogen dan mempunyai kemampuan mengkelat besi dalam kondisi lingkungan yang kekurangan Fe. Isolat P. fluorescens dilaporkan mempunyaikemampuan mengkelat Fe yang tertinggi. Dijelaskan pula bahwa kemampuan mengkelat Fe terkait dengan mekanisme antagonisme melalui kompetisi terhadap hara. Hal ini terlihat pada isolat PG01 yang mempunyai kemampuan memproduksi siderofor dalam jumlah terbanyak, namun hanya mampu menghambat pertumbuhan koloni C. capsici 35%.

Tabel 1. Kemampuan berbagai isolat Bacillus spp., Pseudomonas spp., atau Serratia spp. untuk memproduksi kitinase, protease, dan selulase, memproduksi senyawa hidrogen sianida (HCN), siderofor, dan menghambat pertumbuhan koloni C. capsici

Kelompok rizobakteri

Nomor isolat

Aktivitas Enzim Ekstra-seluler:* Produksi HCN**

Produksi Siderofor***

Daya hambat terhadap

C.capsici (%)Kitinase Protease Selulase

Tanpa rizobakteri (standar)

- - - - - -

Bacillus spp.:Bacillus sp. BG03 - + - - 0.57 c-f 50 aB. polymixa BG25 - + + - 0.81 bc 50 aBacillus sp. BG33 - + - - 0.70 b-e 49 abB. megaterium BG27 - + + - 0.26 g 48 a-c

Page 33: Kultura Maret 2006

Gusti Ayu Kade Sutariati, Widodo, Sudarsono, Satriyas Ilyas: Karakter Fisiologisdan Keefektifan Isolat Rizobakteri

Koleksi BPAD Prov SU 29

B. alvei BG07 + + + - 0.30 g 46 a-dB. mycoides BG18 - + + - 0.71 b-e 46 a-dB. mycoides BG16 - + + - 0.66 b-e 46 a-dBacillus sp. BG05 - - - - 0.75 b-d 46 a-dB. mycoides BG11 - + + - 0.48 e-g 43 a-dB. alvei BG12 + + + - 0.69 b-e 43 a-dB. subtilis BG21 - + + - 0.65 b-e 42 b-dB. subtilis BG13 - + + - 0.59 b-e 42 b-dBacillus sp. BG14 - + + - 0.64 b-e 42 b-dB. subtilis BG23 - + + - 0.58 c-f 41 c-eB. cereus BG35 + + - - 0.35 fg 40 d-fB. megaterium BG20 - + + - 0.59 b-f 40 d-fPseudomonas spp.: P. fluorescens PG22 - + - - 0.69 b-e 41 c-eP. fluorescens PG04 - + + ++ 0.54 def 41 c-eP. fluorescens PG07 - + + + 0.69 b-e 40 d-fP. fluorescens PG01 - + + +++ 1.16 a 35 efP. fluorescens PG25 - + + - 0.70 b-e 34 fSerratia spp.:Serratia sp. SG04 + + + - 0.55 def 0 gSerratia sp. SG02 + + + - 0.57 c-f 0 gSerratia sp. SG03 + + + - 0.76 b-d 0 gS. liquefaciens SG01 + + + - 0.83 b 0 g

Keterangan: *untuk aktivitas enzim ekstra-seluler: + reaksi positif, terbentuk halo, -reaksi negatif, tidak terbentuk halo. **untuk produksi HCN: warna kertas saring, +++merah bata, ++coklat tua, + coklat muda, -kuning. ***untuk produksi siderofor: data merupakan nilai absorbansi pada panjang gelombang 410 nm. Angka pada kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada =0.05.

Isolat rizobakteri Bacillus sp. BG14 dan BG33, Pseudomonas sp. PG22 dan PG25, serta Serratia sp. SG04 tidak mampu melarutkan fosfat dalam bentuk TCP (Tabel 2). Isolat Bacillus sp.,Pseudomonas sp., dan Serratia sp. lainnya semua mempunyai kemampuan untuk melarutkan fosfat yang disediakan dalam bentuk TCP (Tabel 2).

Pertumbuhan bibit cabai diamati dalam bentuk perbedaan tinggi tanaman dan jumlah

daun. Inokulasi isolat Bacillus sp. BG03, BG20, dan BG25 secara nyata meningkatkan tinggi bibit dan jumlah daun pada 4 msp. Perlakuan dengan isolat P. fluorescens PG01, PG22, dan PG07 secara nyata meningkatkan tinggi dan jumlah daun bibit cabai dibandingkan dengan perlakuan standar. Semua isolat Serratia sp. yang diuji secara nyata meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun dibandingkan dengan perlakuan standar (Tabel 2).

Tabel 2. Kemampuan isolat Bacillus spp., Pseudomonas spp., atau Serratia spp. untuk melarutkan fosfat dan meningkatkan pertumbuhan bibit cabai kultivar Tit Super

Perlakuan benih Isolat Pelarut fosfat* Bibit cabai saat umur 4 minggu

Tinggi (cm) Jumlah daun

Tanpa perlakuan (standar) - 5.72 ef** 5.00 ef

Bacillus spp.:Bacillus sp. BG03 + 7.68 a-c 6.11 a-d

Bacillus sp. BG05 + 7.31 a-e 6.11 a-d

B. cereus BG35 + 7.21 a-e 6.00 a-d

B. megaterium BG20 + 7.52 a-d 6.00 a-d

B. polymixa BG25 + 7.54 a-d 6.00 a-d

B. mycoides BG18 + 7.54 a-d 5.89 a-e

Bacillus sp. BG33 - 7.40 a-d 5.89 a-e

B. mycoides BG11 + 6.55 b-f 5.78 b-e

B. mycoides BG16 + 7.13 a-e 5.78 b-e

Page 34: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU30

B. alvei BG07 + 7.22 a-e 5.67 b-e

Bacillus sp. BG14 - 7.33 a-e 5.67 b-e

B. megaterium BG27 + 5.94 d-f 5.33 c-f

B. subtilis BG13 + 6.62 b-f 5.33 c-f

B. subtilis BG21 + 6.25 c-f 5.22 d-f

B. alvei BG12 + 5.68 ef 5.00 ef

B. subtilis BG23 + 5.29 f 4.56 f

Pseudomonas spp.:P. fluorescens PG01 + 7.83 a-c 6.33 ab

P. fluorescens PG07 + 7.31 a-e 5.89 a-e

P. fluorescens PG22 - 6.80 a-f 5.89 a-e

P. fluorescens PG25 - 6.22 c-f 5.78 b-e

P. fluorescens PG04 + 7.24 a-e 5.67 b-e

Serratia spp.:S. liquefaciens SG01 + 8.06 a 6.78 a

Serratia sp. SG04 - 8.32 a 6.33 ab

Serratia sp. SG02 + 7.89 a-c 6.33 ab

Serratia sp. SG03 + 7.44 a-d 6.22 a-c

Keterangan: *untuk aktivitas pelarut fosfat: + reaksi positif, terbentuk halo, - reaksi negatif, tidak terbentuk halo. **Angka pada kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada =0.05.

Dalam penelitian ini, perlakuan dengan isolat B. alvei BG12 dan B. subtilis BG23, yang terbukti mampu melarutkan fosfat, tidak dapat memacu pertumbuhan bibit cabai. Sebaliknya, perlakuan dengan Bacillus sp. isolat BG14 dan BG33, P. fluorescens PG22 dan PG25, serta Serratia sp. isolat SG04 yang semuanya tidak mempunyai kemampuan melarutkan fosfat mampu memacu pertumbuhan bibit cabai melebihi pertumbuhan bibit tanpa perlakuan rizobakteri. Dalam hal ini, pengaruh ketersediaan fosfat terhadap pertumbuhan bibit cabai sampai dengan 4 minggu diduga belum optimal karena fosfat tersedia/terlarut telah tercukupi oleh media tanam sehingga perlakuan isolat rizobakteri dengan atau tanpa kemampuan melarutkan fosfat bukan merupakan faktor utama. Selain itu, ketersediaan fosfat bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit cabai sehingga peranan berbagai faktor tersebut dapat menutup pengaruh positif rizobakteri pelarut fosfat terhadap pertumbuhan bibit cabai. Isolat rizobakteri uji dalam penelitian ini juga telah dilaporkan mampu memproduksi zat pengatur tumbuh IAA dalam penelitian sebelumnya (Sutariati et al., 2005).

Di antara 25 isolat rizobakteri yang diuji, isolat BG25 dari kelompok Bacillus spp., P. fluorescens PG01 dari kelompok Pseudomonas spp. dan SG01 dari kelompok Serratia spp. berpotensi

sebagai agens antagonis terhadap C. capsicisekaligus sebagai pemacu pertumbuhan bibit cabai berdasarkan karakter fisiologis yang dihubungkan dengan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan koloni C. capsici dan atau memacu pertumbuhan bibit cabai.

KesimpulanBerdasarkan hasil percobaan dapat

disimpulkan bahwa tidak semua isolat rizobakteri mampu memproduksi enzim ekstra-seluler (kitinase, protease, dan selulase), mensintesis senyawa HCN dan senyawa siderofor, serta melarutkan fosfat. Kemampuan memproduksi enzim ekstra-seluler, HCN, dan siderofor bukan satu-satunya penentu keefektifan daya hambat isolat rizobakteri terhadap pertumbuhan koloni C. capsici. Kemampuan melarutkan fosfat juga bukan sebagai satu-satunya penentu kemampuan isolat rizobakteri sebagai pemacu pertumbuhan tanaman cabai. Dari 25 isolat uji, isolat BG25 dari kelompok Bacillus spp., P. fluorescens PG01 dari kelompok Pseudomonas spp. dan SG01 dari kelompok Serratia spp. memberikan efek yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan koloni C. capsici dan/atau meningkatkan pertumbuhan bibit cabai dibandingkan dengan isolat lainnya dalam kelompok yang sama.

Page 35: Kultura Maret 2006

Gusti Ayu Kade Sutariati, Widodo, Sudarsono, Satriyas Ilyas: Karakter Fisiologisdan Keefektifan Isolat Rizobakteri

Koleksi BPAD Prov SU 31

SaranInformasi karakter fisiologis rizobakteri

dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk memilih isolat yang berpotensi sebagai agens biokontrol. Perlu dilakukan uji pengendalian hayati menggunakan isolat rizobakteri BG25, PG01, dan SG01 pada kecambah cabai yang diinokulasi dengan C. capsici.

Daftar PustakaAndro, T., J. P. Chambost, A. Kotoujansky, J.

Cattano, Y. Ertheau, F. Barras, F. Van Gijsegem and A. Coleno. 1984. Mutans of Erwinia chrysantemii defective in secretion of pectinase and cellulase. J. Bacteriol. 160:1119–1023.

Bai, Y., X. Zhou and D. L. Smith. 2003. Enhanced soybean plant growth resulting from coinoculation of Bacillus strains with Bradyrhizobium japonicum. Crop Sci. 43:1774–1781.

Dirmawati, S. R. 2003. Kajian Komponen Pengendalian Ramah Lingkungan Penyakit Pustul Bakteri pada Tanaman Kedelai [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dwivedi, D., B. N. Johri. 2003. Antifungal from fluorescens pseudomonads: biosynthesis and regulation. Current Sci. 85:1693–1703.

Faccini, G., S. Garzon, M. Martines and A. Varela. 2004. Evaluation of the effects of a dual inoculum of phosphate-solubilizing bacteria and Azotobacter chroococcum, in creolo potato (Papa“Criolla”) (Solanum phureya) var ‘Yema de Huevo’. http:\www.ag.auburn.edu/argentina/pdfmanuscripts/faccini.pdf [28 Okt 2004].

Munif, A. 2001. Studies on the Importance of Endophytic Bacteria for the Biological Control of the Root-knot Nematode Meloidogyne incognita on Tomato [Dissertation]. Bonn, Germany: Institute for Plant Diseases, University of Bonn.

Ramamoorthy, V., T. Raguchander and R. Samiyappan. 2002. Induction of defence-related proteins in tomato roots treated with Pseudomonas fluorescens Pf1 and Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici. Plant and Soil 239:55–68.

Sutariati, G. A. K., Widodo, Sudarsono and S. Ilyas. 2005. Isolasi bakteri rizosfer dan karakterisasi kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan koloni cendawan patogen. Agriplus 15:272–281.

Thakuria, D., N. C. Talukdar, C. Goswami, S. Hazarika, R. C. Boro and M. R. Khan. 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of rice grown in acidic soils of Assam. Current Sci. 86:978–985.

Timmusk, S. 2003. Mechanism of Actions of the The Plant-Growth-Promoting Rhizo Bacterium Paenibacillus polymixa[Dissertation]. Uppsala, Sweden: Departement of Cell and MolecularBiology, Uppsala University.

Zhang, Y. 2004. Biocontrol of Sclerotinia Stem rot of Canola by Bacterial Antagonists and Study of biocontrol Mechanism Involved [Thesis]. Winnipeg, Canada: Departement of Plant Science, University of Manitoba.

Page 36: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU32

Tanggap Fisiologi Fase Vegetatif Jeruk Besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ pada Beberapa Jenis Batang Bawah

Physiological Response of Vegetative Phase of ‘Cikoneng’ and ‘Nambangan’ Pummelo (Citrus grandis L.) Osbeck Grafted

on Some Rootstocks

Lollie Agustina P.Putri 1), Slamet Susanto dan B. S. Purwoko2)

1) Pengajar di Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian USU2) Pengajar di Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian IPB

Diterima 27 Januari 2006/Disetujui 31 Mei 2006

AbstractThis experiment was conducted in the green house of Cikabayan Experimental Station IPB, Darmaga.

Biochemical analysis was done in Laboratory of Center for Crop Improvement Studies, IPB, Laboratory of Soil Science, IPB and Laboratory of Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian Bogor. The experiment was conducted in design a fully randomized, consist of two factors were scion and rootstock. The experiment was replicated three times. The first factor consisted of ‘Cikoneng’ and ‘Nambangan’ as a scion and the second factor consisted of Swingle Citrumelo, Javansche Citroen, Rangpur Lime, and Rough Lemon as rootstock. Scion diameter and rootstock diameter, chlorophyl content, nutrient content, sugar content and starch content in leaf were determined. The result showed that the Swingle Citrumelo rootstock diameter significantly different and reduced scion diameter vegetative growth. The content of chlorophyll and nutrient leaf was analysis. The scion and rootstock did not influence the content of chlorophyll, nutrient, sugar and starch. The nutrient content in leaf were at optimum-high category. Therefore grafting did not influence nutrient transport between scion and rootstock.Keywords: Citrus grandis (L.) Osbeck, grafting, scion, rootstock, physiological response

AbstrakPercobaan dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium Ilmu

Tanah IPB, Laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman IPB dan Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian Bogor. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok terdiri atas 2 faktor yaitu jenis batang atas jeruk besar ‘cikoneng’ dan ‘nambangan’ serta jenis batang bawah Swingle Citrumelo, Javansche Citroen, Rangpur Lime, dan Rough Lemon. Pengamatan dilakukan terhadap diameter batang atas dan diameter batang bawah, kandungan klorofil, kandungan hara daun, kandungan gula, dan kandungan pati daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter batang bawah Swingle Citrumelo berbeda nyata dan mampu mengurangi pertumbuhan vegetatif diameter batang atas. Kandungan klorofil, kandungan hara daun, kandungan gula daun, dan kandungan pati daun jeruk besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ tidak berbeda nyata pada akhir pengamatan. Batang atas dan batang bawah tidak mempengaruhi parameter yang diamati. Kandungan hara daun berada pada kisaran optimum-tinggi. Penyambungan tidak menghambat proses transportasi hara pada tanaman.Kata kunci: Citrus grandis (L.) Osbeck, grafting, batang atas, batang bawah, tanggap fisiologi

PendahuluanJeruk besar (Citrus grandis (L.) Osbeck),

merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang mempunyai prospek pengembangan yang cukup baik di Indonesia. Jeruk besar memiliki nilai ekonomis dan mengandung gizi yang cukup tinggi yang dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan. Selain itu kulitnya pun dapat

diolah menjadi jelly dan manisan. Dalam 100 g bagian jeruk besar yang dapat dimakan mengandung 44 mg vitamin C, 49 SI (Satuan Internasional) vitamin A, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, dan vitamin B (Niyomdham, 1997).

Pengembangan jeruk besar relatif masih terbatas. Umumnya yang sering dilakukan adalah

Page 37: Kultura Maret 2006

Lollie Agustina P.Putri, Slamet Susanto, dan B.S. Purwoko: Tanggap Fisiologi FaseVegetatif Jeruk Besar

Koleksi BPAD Prov SU 33

dengan teknik penyambungan (grafting) dengan memakai batang bawah yang berbeda dengan batang atas. Batang bawah menyebabkan perbedaan volume kanopi, hasil buah per pohon, kandungan hara daun dan kualitas buah (lingkar buah, bobot buah, ketebalan kulit buah, kadar juice, kandungan padatan terlarut dan kadar asam total), meningkatkan produktivitas, resistensi terhadap hama, dan penyakit tertentu, responsfisiologi yang berbeda dan kelainan jaringan anatomi jaringan pembuluh (Wutscher dan Dube, 1977; Roose et al., 1989; Roose, 1996; Breedt et al., 1996; Hartmann et al., 1997).

Sifat kompatibilitas (kesesuaian) dan inkompatibilitas (ketidaksesuaian) antara batang atas dan batang bawah tertentu berlainan dengan pengaruh batang bawah yang lain. Besarnya pengaruh batang bawah pada batang atas ini tergantung pada jenis-jenis yang membentuk gabungan dan sifat individu dari batang bawah.

Kajian tentang penyambungan dengan batang bawah yang berbeda terhadap ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ masih sangat terbatas, sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh penyambungan batang bawah yang berbeda terhadap perubahan karakteristik fisiologi fase vegetatif jeruk besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’.

Bahan dan MetodaPenelitian dilakukan di rumah kaca

Kebun Percobaan Cikabayan, Darmaga IPB, Laboratorium Ilmu Tanah IPB, LaboratoriumPusat Studi Pemuliaan Tanaman IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman dan Sumberdaya Genétika Pertanian, Bogor.

Bahan tanaman yanag digunakan adalah tanaman jeruk besar (umur 14 bulan setelah okulasi) dan telah dilakukan pemangkasan bentuk. Batang atas merupakan jeruk besar (Citrus grandis L. Osbeck) ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ dengan batang bawah jenis Rangpur Lime (Citrus limonia Osbeck x Troyer citrange), Rough Lemon (Citrus jambhiri lush), Swingle Citrumelo (Citrus paradise x Poncirus trifoliate), Javansche Citroen(Citrus reticulate Blancho).

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok terdiri atas 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama (A) yaitu jenis batang atas jeruk

besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’. Faktor kedua (B) merupakan jenis batang bawah Rangpur Lime (Citrus limonia Osbeck x Troyer citrange), Rough Lemon (Citrus jambhiri lush), Swingle Citrumelo (Citrus paradise x Poncirus trifoliate), Javansche Citroen (Citrus reticulateBlancho). Ada 8 kombinasi dengan 24 satuan percobaan. Setiap unit percobaan digunakan 5 tanaman, sehingga keseluruhan percobaan terdiri dari 120 tanaman. Hasil pengamatan diuji dengan analisis (sidik) ragam dan uji lanjut DMRT. Parameter yang diamati adalah diameter batang atas dan diameter batang bawah pada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 BSP (Bulan Setelah Pemangkasan) kandungan klorofil daun pada 3, 4, 5, dan 6 BSP, kandungan hara daun pada 3 BSP dan 6 BSP, kandungan gula daun, dan kandungan pati daun pada akhir penelitian.

Hasil dan PembahasanDiameter Batang Atas dan Diameter Batang Bawah

Diameter batang atas dipengaruhi oleh faktor batang atas dan batang bawah. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut. Diameter batang atas pada ’Nambangan’ nyata lebih besar pada umur 1–6 BSP dibanding ’Cikoneng’ (Tabel 1).

Dari umur 1–6 BSP diameter batang merupakan yang terkecil dan berbeda nyata dengan tanaman berbatang bawah R. Lime, R.Lemon, dan J. Citroen. Pada akhir pengamatan tanaman berbatang bawah R. Lime, R. Lemon,dan J. Citroen mempunyai diameter batang atas lebih besar dibandingkan tanaman berbatang bawah S. Citrumelo yang mempunyai diameter batang atas paling kecil.

Diameter batang bawah juga dipengaruhi oleh faktor batang atas dan batang bawah. Interaksi antara kedua faktor tersebut terjadi pada 4 dan 5 BSP. Tanaman berbatang atas ‘Nambangan’ mempunyai diameter batang bawah nyata lebih besar dibandingkan dengan ‘Cikoneng’ (Tabel 2).

Diameter batang bawah dari tanaman berbatang bawah S. Citrumelo nyata paling besar dibandingkan dengan tanaman berbatang bawah J. Citroen, R. Lemon, dan R. Lime dari umur 1–6 BSP, sedangkan diameter batang bawah,

Page 38: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU34

J. Citroen, R. Lime, dan R. Lemon berbeda tidak nyata dari awal hingga akhir penelitian.

Tabel 1. Diameter batang atas tanaman jeruk besar Perlakuan Bulan Setelah Pemangkasan

1 2 3 4 5 6

Diameter Batang Atas (mm)

B.AtasCikoneng 8.40 b 11.60 b 12.90 b 13.90 b 14.70 b 14.80 bNambangan 10.50 a 13.20 a 14.30 a 16.00 a 16.40 a 16.70 aB.BawahJ. Citroen 9.80 a 13.07 a 14.00 a 15.10 a 16.00 a 16.40 aR. Lemon 10.00 a 13.07 a 14.40 a 15.60 a 16.00 a 16.20 aR. Lime 9.87 a 12.97 a 13.90 a 15.40 a 16.10 a 16.40 aS. Citrumelo 8.10 b 10.57 b 12.00 b 13.10 b 14.00 b 14.18 bInteraksi tn tn tn tn tn tn

Keterangan: - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbedanyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

- tn = tidak nyata.

Tabel 2. Diameter batang bawah tanaman jeruk besarPerlakuan Bulan Setelah Pemangkasan

1 2 3 4 5 6

Diameter Batang Bawah (mm)

B.AtasCikoneng 10.60 b 13.40 b 14.70 b 15.58 b 16.20 b 16.40 bNambangan 11.80 a 14.50 a 15.70 a 16.80 a 17.50 a 17.60 aB.BawahJ. Citroen 10.50 b 13.07 b 14.00 b 15.10 b 15.80 b 16.00 bR. Lemon 10.70 b 13.10 b 14.37 b 15.20 b 15.90 b 16.10 bR. Lime 11.10 b 13.70 b 14.87 b 15.70 b 16.20 b 16.20 bS. Citrumelo 12.50 a 15.90 a 17.60 a 18.80 a 19.40 a 19.50 aInteraksi tn tn tn Nyata nyata tn

Keterangan: - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

- tn = tidak nyata.

Tabel 3. Diameter batang bawah pada berbagai kombinasi batang atas dan batang bawahPerlakuan 4 BSP 5BSP

Cikoneng Nambangan Cikoneng Nambangan(mm)

J. Citroen 14.07 c 16.13 bc 14.87 e 16.80 cdR. Lemon 15.40 bc 15.00 c 16.27 cde 15.60 deR. Lime 14.07 c 17.27 ab 14.60 e 17.87 bcS. Citrumelo 18.80 a 18.87 a 19.07 ab 19.73 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, baris dan umur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5%.

Interaksi yang terjadi (Tabel 3) menunjukkan bahwa diameter batang bawah pada batang atas ‘Nambangan’ memberikan respons nyata lebih besar dibandingkan dengan ‘Cikoneng’ untuk batang bawah R. Lime saat 4 BSP. Diameter batang bawah pada batang atas ‘Nambangan’ nyata lebih besar dibandingkan dengan ‘Cikoneng’ untuk batang bawah R. Lime dan J. Citroen saat 5 BSP. Kombinasi ‘Nambangan’-S. Citrumelo saat umur 4 BSP dan 5 BSP mempunyai diameter batang bawah paling

besar dan kombinasi ‘Cikoneng’-R.Lime mempunyai diameter batang bawah paling kecil dibandingkan dengan diameter batang bawah kombinasi lainnya.

Tanaman berbatang bawah S. Citrumelo tumbuh dengan diameter batang bawah yang nyata lebih besar dibandingkan dengan tanaman berbatang bawah lainnya. Sebaliknya diameter batang atas pada tanaman berbatang bawah S. Citrumelo nyata lebih kecil dibandingkan dengan tanaman berbatang bawah jenis lainnya.

Page 39: Kultura Maret 2006

Lollie Agustina P.Putri, Slamet Susanto, dan B.S. Purwoko: Tanggap Fisiologi FaseVegetatif Jeruk Besar

Koleksi BPAD Prov SU 35

Pertumbuhan batang bawah S. Citrumelo yang cukup pesat dibandingkan pertumbuhan batang atas ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ sehingga menimbulkan perbedaan pada ukuran diameter batang bawah S. Citrumelo dan diameter batang atas ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’. Fenomena ini mungkin disebabkan pada penyambungan terjadi proses pembentukan sel-sel fungsional dengan kecepatan yang berbeda, sehingga sel-sel jaringan dari batang bawah berkembang lebih cepat dibandingkan sel-sel jaringan dari batang atas.

Hasil penelitian Spiegel-Roy dan Goldschmidt (1996) menyebutkan bahwa karakteristik pada tanaman berbatang bawah S.Citrumelo yang vigor mampu mendorong pertumbuhan batang atasnya. Pada penelitian ini tidak berlaku hal demikian, karena tampaknya batang bawah S. Citrumelo tidak mendorong penampilan batang atas ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’. Gejala ini mungkin disebabkan oleh hubungan antara batang atas dan batang bawah terutama dipengaruhi oleh faktor genetik (batang atas dan batang bawah) dan juga faktor lingkungan (Wutscher, 1989).

Menurut Ryugo (1988) dan Hartmann et al. (1997), beberapa penyebab kekurangsesuaian hasil sambungan adalah terdapatnya keragaman dalam pola distribusi dan kemampuan hara bergerak melintasi bagian penyatuan sambungan, batang bawah dapat mempengaruhi pertumbuhan batang atas, kemungkinan karena terganggunya aliran zat tumbuh di dalam tanaman dan terganggunya pola distribusi hasil fotosintesis. Hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan ukuran diameter batang bawah dan diameter batang atas. Fenomena ini perlu diperhatikan perkembangannya untuk melihat kesesuaian tumbuh tanaman tersebut. Selain itu perlu diperhatikan juga bahwa tanaman yang tinggi tidak selalu menghasilkan produksi yang lebih besar dibandingkan dengan pohon yang pendek. Ukuran pohon bukan merupakan indikator yang baik dari produktivitas tanaman (Philips dan Castle, 1977). Perbandingan diameter batang atas dengan diameter batang bawah umur 6 BSP pada tanaman yang berbatang bawah J. Citroen, R. Lime, dan R. Lemon memperlihatkan pertumbuhan batang atas lebih cepat dibandingkan batang bawah,

sehingga diameter batang atas lebih besar dari diameter batang bawah.

Batang bawah yang mampu menghambat pertumbuhan batang atas merupakan sifat batang bawah yang penting bagi pengembangan budidaya jeruk besar karena berhubungan dengan kerapatan tanaman di lapang. Tanaman yang pendek akan memudahkan teknik budidaya, misalnya penyemprotan, pemangkasan, pemanenan, dan lain-lain.

Batang bawah dapat mempengaruhi pertumbuhan batang atas, kemungkinan karena terganggunya aliran zat pengatur tumbuh di dalam tanaman dan terganggunya distribusi hasil fotosintesis. Jenis batang bawah kerdil mampu memindahkan karakternya melalui produksi hormon yang rendah, sehingga pertumbuhan batang atas terhambat. Beberapa cara yang sering dilakukan untuk menghasilkan tanaman kerdil adalah menggunakan batang bawah yang bersifat mengerdilkan. Batang bawah semi kerdil dihasilkan antara Rangpur x Troyer dan penggunaan batang bawah tetraploid. Selain itu sifat mengerdilkan juga dapat diperoleh dengan cara penggunaan interstock (Samad et al., 1999).

Kandungan Klorofil Kandungan klorofil daun tidak

dipengaruhi oleh batang atas, batang bawah dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut (Tabel 4). Saat umur tanaman 3, 4, 5,dan 6 BSP, kandungan klorofil daun pada ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ tidak berbeda nyata. Tanaman pada semua jenis batang bawah yang digunakan juga mempunyai kandungan klorofil yang tidak berbeda nyata.

Tanaman berbatang bawah J. Citroenpada 6 BSP memiliki kandungan klorofil lebih banyak. Hal ini menunjukkan batang bawah J.Citroen berpotensi mendorong pertumbuhan batang atas yang lebih vigor. Spiegel-Roy dan Goldschmidt (1996) menyebutkan bahwa salah satu sifat utama dari batang bawah S. Cirumelo bila disambung dengan batang atas tertentu maka sifat batang bawah ini mampu mendorong pertumbuhan batang atas lebih vigor. Diduga hal ini berhubungan dengan fotosintat yang dihasilkan. Pada kondisi kandungan klorofil tinggi, tanaman akan mempunyai laju fotosintesis yang besar. Fotosintat yang dihasilkan lebih besar

Page 40: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU36

pula jika didukung dengan jumlah daun lebih banyak dan kandungan klorofil tinggi sehingga

memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat.

Tabel 4. Kandungan klorofil daun jeruk besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ pada berbagai perlakuanPerlakuan Bulan Setelah Pemangkasan

3 4 5 6Batang Atas mg/g daun segar

Cikoneng 2.02 a 1.70 a 1.64 a 1.92 aNambangan 1.88 a 1.81 a 1.70 a 1.88 aBatang BawahJ. Citroen 1.87 a 1.75 a 1.70 a 2.26 aR. Lemon 1.92 a 1.68 a 1.55 a 1.69 aR. Lime 2.00 a 1.91 a 1.79 a 1.88 aS. Citrumelo 2.00 a 1.69 a 1.63 a 1.77 aKeterangan tn tn tn tn

Keterangan: - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

- tn: tidak nyata.

Kandungan Hara DaunPada Tabel 5 dapat dilihat bahwa

kandungan hara daun saat umur 3 BSP dengan jumlah bervariasi pada berbagai perlakuan. Namun secara umum kandungan hara makro dan mikro menunjukkan pada kisaran yang mencukupi bagi tanaman (Spiegel-Roy dan Goldschmidt, 1996). Ada pengaruh batangbawah, batang atas, dan interaksi kedua faktor terhadap kandungan hara mikro daun yaitu Fe, Zn, Cu, dan Mn saat umur 3 BSP (Tabel 4).

Pada umur 6 BSP kandungan hara daun tidak dipengaruhi batang atas dan batang bawah serta tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut untuk unsur N, P, Ca, Mg, Fe, Cu, dan Zn (Tabel 6). Kandungan hara makro dan hara mikro daun saat 6 BSP juga menunjukkan pada kisaran yang mencukupi bagi tanaman.

Hara mineral dibutuhkan untuk berbagai proses-proses fisiologi dan komponen pembentuk bagian-bagian tanaman. Kandungan

hara daun jeruk termasuk dalam kategori tinggi bila kisaran N= 2.8% - 3%, P= 0.17% - 0.29 5, K= 1.8% - 2.3%, ca= 5.0% - 6.9%, Mg = 0.5% -0.7%, Fe= 121–220 ppm, Cu = 17–20 ppm, Zn = 101–300 ppm dan Mn = 101–300 ppm (Spiegel-Roy, 1996). Dari hasil penelitian pada akhir pengamatan, kandungan unsur hara pada daun berada pada kisaran sedang hingga tinggi dan mencukupi kebutuhan tanaman.

Proses transportasi unsur hara dan air dapat melewati daerah pertautan/penyambungan tanpa terhambat pada tanaman. Ashari (1995) menyebutkan hambatan transportasi hara pada bagian pertautan dapat menyebabkan gangguan translokasi hara ke tajuk,sehingga pertumbuhan batang atas menjadi kerdil. Kemungkinan lain batang bawah dapat mempengaruhi pertumbuhan batang atas karena terganggunya aliran zat tumbuh di dalam tanaman dan terganggunya distribusi hasil fotosintesis.

Tabel 5. Kandungan hara daun tanaman jeruk pada 3 bulan setelah pemangkasanPerlakuan N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn

………………%................................... ………………ppm……………Batang AtasCikoneng 2.24 a 0.20 a 1.52 a 1.18 a 0.33 a 131.93 a 36.59 a 74.91 a 151.86 aNambangan 2.17 a 0.17 b 1.45 a 1.19 a 0.34 a 148.12 a 25.13 b 83.33 a 149.63 aBatang BawahJ. Ctroen 2.15 ab 0.19 a 1.65 a 1.14 a 0.32 a 146.73 a 29.18 a 92.92 a 137.08 aR. Lemon 2.03 b 0.19 a 1.48 ab 1.11 a 0.34 a 114.00 b 35.50 a 70.50 bc 133.42 aR. Lime 2.37 a 0.18 a 1.48 ab 1.30 a 0.35 a 144.17 a 34.33 a 88.33 ab 182.80 aS. Citrumelo 2.26 a 0.19 a 1.34 b 1.18 a 0.32 a 155.20 a 24.44 a 64.73 149.67 aInteraksi tn tn tn tn tn * * * *

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Page 41: Kultura Maret 2006

Lollie Agustina P.Putri, Slamet Susanto, dan B.S. Purwoko: Tanggap Fisiologi FaseVegetatif Jeruk Besar

Koleksi BPAD Prov SU 37

Tabel 6. Kandungan hara daun tanaman jeruk besar pada 6 bulan setelah pemangkasanPerlakuan N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn

…………………………%......................................... ……………..ppm……………..Batang AtasCikoneng 2.83 a 0.23 a 2.51 a 1.57 a 0.32 a 167.96 a 9.79 a 72.92 a 189.79 aNambangan 2.62 a 0.20 a 1.86 b 1.53 a 0.35 a 162.96 a 11.35 a 94.38 a 143.50 bBatang BawahJ. Citroen 2.71 a 0.22 a 2.39 a 1.56 a 0.33 a 167.50 a 15.42 a 85.00 a 171.25 aR. Lemon 2.59 a 0.21 a 2.18 a 1.58 a 0.34 a 136.50 a 9.63 a 88.33 a 186.67 aR.Lime 2.86 a 0.22 a 2.13 a 1.41 a 0.35 a 196.92 a 8.50 a 83.33 a 187. 92 aS.Citrumelo 2.74 a 0.21 a 2.04 a 1.71 a 0.33 a 160.92 a 8.75 a 77.92 a 120.75 aInteraksi tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan : - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

- tn = tidak nyata.

Tabel 7. Kandungan gula dan pati daun jeruk besar pada umur 6 bulan setelah pemangkasan Perlakuan Gula (%) Pati (%)

Batang atasCikoneng 5.43 a 10.10 aNambangan 5.39 a 10.23 aBatang BawahJ. Citroen 5.32 a 9.75 aR. Lemon 5.16 a 10.04 aR. Lime 5.99 a 10.50 aS. Citrumelo 5.17a 10.36 aInteraksi tn tn

Keterangan: - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

- tn: tidak nyata.

Kandungan Gula dan Pati Daun Jeruk BesarBatang atas dan batang bawah tidak

mempengaruhi kandungan gula dan pati daun tanaman pada akhir penelitian (Tabel 7). Pada jeruk, pati merupakan sebagian besar bentuk karbohidrat yang disimpan pada daun dan dapat mencapai hingga 12.3% dari bobot kering daun (Goldschmidt dan Golomb, 1982). Hasil penelitian menunjukkan kandungan pati daun mendekati kisaran tersebut.

Pati dan karbohidrat merupakan bentuk cadangan yang sewaktu-waktu dapat diambil untuk digunakan kembali pada perkembangan fase vegetatif dan fase reproduktif tanaman (Goldschmidt dan Golomb, 1982). Beberapa kajian pada tanaman buah-buahan menunjukkan bahwa cadangan karbohidrat berhubungan dengan pembentukan dan produksi buah. Diduga jeruk besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ pada pertumbuhannya masih pada fase vegetatif, sehingga kandungan pati dan gula daun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada jeruk Citrus reticulata dan alpokat, rendahnya konsentrasi pati berhubungan dengan tingginya pembentukan buah (Goldschmidt dan Golomb, 1982; Liu et al., 1999). Cadangan karbohidrat selain untuk pembungaan, pembentukan buah

juga dapat digunakan dahulu bagi pertumbuhan vegetatif tanaman tersebut (Liu et al., 1999).

KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian hingga

tanaman berumur 6 BSP (Bulan Setelah Pemangkasan) kandungan klorofil daun, kandungan hara daun, kandungan gula daun,dan kandungan pati daun tidak menunjukkan perbedaan pada jeruk ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’. Hara daun pada kisaran mencukupi, hal ini menunjukkan tidak terdapat hambatan penyerapan hara pada tanaman hasil penyambungan.

SaranPerlu penelitian lebih lanjut untuk

mempelajari karakteristik fisiologi dari fase vegetatif dan fase generatif pada tanaman jeruk besar ‘Cikoneng’ dan ‘Nambangan’ dengan batang bawah yang berbeda pada kondisi lapang.

Page 42: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU38

Daftar PustakaAshari, S. 1995. Hortikultura: Aspek Budidaya.

UI Press. Jakarta. 485 hal.

Breedt, H. J., P. J. Koekemoer and J. C. Snyman. 1996. Evaluation of rootstocks for grapefruit in South Africa. Proc. Int. Soc. Citriculture 1: 164–166.

Goldshmidt, E. E. and A. Golomb. 1982. Thecarbohydrate balance of alternate bearing citrus trees and significance of reserves for flowering and fruiting. J. Amer. Soc. Hort. Sci 107: 206–208.

Hartmann, H. T., D. E. Kester and F. T. Davies. 1997. Plant Propagation Principles, and Practice. Sixth Edition. Prentice-Hall International Inc., New Jersey. 770 p.

Liu, X., P. N. Robinson, M. A. Madore, G. W. Witney and M. L. Arpaia. 1999. “Hass’ avocado carbohydrate fluctuations. I. Growth phenology. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 124 (6): 671–675.

Niyomdham, C. 1997. Citrus maxima (Burm) Merr dalam Verheij, E. W. M and R. E. Coronel (Eds) Buah-buahan yang dapat dimakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 153–157.

Philips, R. L. and W. S. Castle. 1977. Evaluation of twelve rootstocks for dwarfing citrus. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 102(5):526–528.

Roose, M. L, D. A. Cole, D. Atkin and S. Kupper. 1989. Yield and tree size of four citrus cultivars on 21 rootstocks in California. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 114: 678–684.

_______. 1996. Performance of 4 citrus scions on 21 rootstocks in California. Proc. Int. Soc. Citriculture 1:141–144.

Ryugo, K. 1988. Fruit Culture. John Wiley & Sons, Inc. United States of America. 344p.

Samad, A., D. L. McNeil and Z. U. Khan. 1999. Effect of interstock bridge grafting (M9 dwarfing rootstock and same cultivar cutting) on vegetative growth, reproductive growth and carbohydrate composition of mature apple trees. Sci. Hort. 79: 23–28.

Spiegel-Roy, P. and E. E. Goldshmidt. 1996. Biology of Citrus. Cambridge University Press. 127 p.

Wutscher, H. K. 1989. Alteration of fruit tree nutrition through rootstock. Hort Science 24(4): 578–584.

_______, and D. Dube. 1977. Performance of young nucellar grapefruit on 20 rootstocks. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120(3): 267–270.

Page 43: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 39

Pengaruh Cekaman Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max L.Merr)

The Effect of Water Stress on The Growth and Yield of Soybean(Glycine max L. Merr)

MapegauPengajar di Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas JambiDiterima 13 Februari 2006/Disetujui 3 Mei 2006

AbstractA green house experiment to evaluate the effect of water stress on the growth and yield of soybean was

conducted at experimental station of Faculty of Agriculture, Jambi University. Factorial experiment with two factors and three replication was arranged in a randomized completely block design. The first factor consisted of two soybean cultivars (Willis and Tidar) and the second factor was four levels of water stress (100, 80, 60 and 40%) available soil water content (ASWC). The result of the research indicated that interaction between cultivars and water stress significantly affected the growth and yield of soybean. With Willis cultivar the growth of plant (height and leaf area) and yield (dry seeds) were inhibited at 60% ASWC. Meanwhile, with Tidar cultivar the inhibition of growth and yield was found at 40% ASWC. The highest proline content was found on Tidar cultivar at 60% ASWC and significantly different from Willis cultivar. Base on the growth, yield, and proline content indicated that Tidar cultivar more tolerance to water stress compared to Willis.Keywords: water stress, soybean

AbstrakSuatu percobaan rumah kaca untuk mengetahui pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan

dan hasil tanaman kedelai telah dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Percobaan faktorial dua faktor dan tiga ulangan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Faktor pertama terdiri atas dua kultivar kedelai (Willis dan Tidar) dan faktor kedua terdiri atas empat tingkat cekaman air (100, 80, 60, dan 40%) kadar air tanah tersedia (KATT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara kultivar dengan tingkat cekaman air secara nyata mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Pertumbuhan tanaman (tinggi dan luas daun) dan hasil (biji kering) dari kedelai kultivar Willis sudah terhambat pada tingkat cekaman air 60% KATT, sedangkan kultivar Tidar penghambatan pertumbuhan dan hasil baru terjadi pada tingkat cekaman air 40% KATT. Pada tingkat cekaman air 60% KATT, kandungan protein bebas tanaman kedelai kultivar Tidar nyata lebih tinggi dari kultivar Willis. Berdasarkan pertumbuhan tanaman, hasil, dan kandungan prolin bebas dapat dikemukakan bahwa kultivar Tidar lebih toleran terhadap cekaman air dibandingkan dengan Willis.Kata kunci: cekaman air, kedelai

PendahuluanTanaman kedelai (Glycine max L. Merr)

merupakan salah satu tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini mempunyai arti penting untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, karena merupakan sumber protein nabati yang relatif murah bila dibandingkan sumber protein lainnya seperti daging, susu, dan ikan. Menurut Suprapto

(2001) kadar protein biji kedelai lebih kurang35%, karbohidrat 35%, dan lemak 15%. Disamping itu kedelai juga mengandung mineral seperti kalsium, posfor, besi, vitamin A dan B.

Kebutuhan akan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun seirama dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara produksi yang dicapai belum mampu mengimbangi kebutuhan tersebut. Pada tahun 2004 misalnya, kebutuhan kedelai di Indonesia diperkirakan mencapai

Page 44: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU40

1.951.100 ton sedangkan produksi pada tahun yang sama 672.439 ton (Hilman, 2004). Ini berarti defisit 1.278.661 ton (34,46%). Untuk memenuhi jumlah kekurangan ini dan mempertahankan tingkat konsumsi yang cukup pada masa mendatang, hasil tanaman kedelai harus terus ditingkatkan.

Mengingat peningkatan produksi padi yang direncanakan pemerintah masih cukup tinggi, lahan sawah beririgasi perlu dipertahankan untuk tanaman padi. Dengan perkataan lain bahwa lahan kering yang luasnya diperkirakan mencapai 90 juta hektar (Satari, et al., 1977) menjadi tumpuan harapan bagi usaha peningkatan produksi kedelai melalui jalur perluasan areal.

Salah satu kendala yang dapat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman pada lahan kering adalah ketersediaan air yang rendah, karena itu diperlukan kultivar kedelai yang berpotensi produksi dan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap cekaman air.

Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada tingkat cekaman yang dialami dan jenis atau kultivar yang ditanam. Pengaruh awal dari tanaman yang mendapat cekaman air adalah terjadinya hambatan terhadap pembukaan stomata daun yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses fisiologis dan metabolisme dalam tanaman (Penny-Packer, et al., 1990).

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pengaruh cekaman terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai kultivar Willis dan Tidar; 2) mengetahui batas optimal toleransi kedua kultivar tersebut terhadap cekamaan air.

Bahan dan MetodaPenelitian dilaksanakan di Rumah Kaca

Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi Mendalo Darat. Percobaan faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Setiap perlakuan dan ulangan terdiri atas lima contoh tanaman. Faktor pertama adalah dua kultivar kedelai (Willis dan Tidar). Faktor kedua empat tingkatan cekaman air yaitu 100, 80, 60, dan 40% kadar air tanah tersedia (KATT).

Kadar air tanah tersedia ditetapkan berdasarkan kondisi Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP) dengan menggunakan alat Pressure Plate Apparatus dan Pressure Membrane Apparatus, masing-masing pada PF 2,54 dan PF 4,20. Kadar air tanah kering udara ditentukan dengan menggunakan rumus:

KA = [(BKU-BK)/ BK] x 100%............... (1)

KA = kadar air kering udara BKU = bobot tanah kering udaraBK = bobot tanah kering oven (pada suhu

105°C selama 24 jam)

Bobot kering tanah yang akan diisikan ke dalam pot percobaan ditentukan dengan menggunakan rumus:

KA = [(BKU-BK)/ BK] x 100%............... (2)

BK = bobot kering tanah

Bobot basah (BB) pot percobaan sesuai dengan perlakuan tingkat cekaman air ditentukan dengan menggunakan rumus:

KA = [(BB-BK)/ BK] x 100% .................. (3)

BB = bobot basah pot percobaan BK = bobot kering tanah dari persamaan (2)KA = kadar air tanah pada tiap tingkat

cekaman air

Bobot basah (BB) pot percobaan sesuai dengan perlakuan tingkat cekaman air dipertahankan dengan melakukan penimbangan. Penyiraman dilakukan setiap hari dengan pemberian air sebanyak kehilangan air melalui evapotranspirasi ditambah dengan bobot segar tanaman sebagai faktor koreksi.

Variabel yang diamati meliputi: (1) pertumbuhan (tinggi dan luas daun) yang dilakukan pada saat tanaman berumur 35 hari sesudah tanam (HST). Pengukuran luas daun dilakukan dengan menggunakan leaf area meter C1-202; (2) kandungan prolin bebas, diamati berdasarkan metoda Bates (1973) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm; (3) hasil biji kering (bobot

Page 45: Kultura Maret 2006

Mapegau: Pengaruh Cekaman Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai

Koleksi BPAD Prov SU 41

biji kering per tanaman), diukur setelah biji dijemur selama dua hari. Bobot biji kering ditetapkan pada kadar air 14% menggunakan rumus (Kasim, et al., 1991):

BKK14 = (100-KA)/(100-14) x BKA

BKK14 = bobot biji kering kadar air 14%KA = kadar air awal biji setelah dijemur dua

hari (menggunakan alat Mouintes Tester OGA)

BKA = bobot kering awal biji setelah di jemur 2 hari

Hasil dan Pembahasan1. Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan tanaman dianalisis dari hasil pengamatan tinggi dan luas daun tanaman. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman kedelai bergantung pada jenis kultivar. Tinggi tanaman dan luas daun menurun secara nyata dengan meningkatnya tingkat cekaman air. Cekaman air pada tingkat 60% KATT, tinggi tanaman dan luas daun tanaman kedelai kultivar Willis secara nyata menunjukkan penurunan, sedangkan kultivar Tidar penurunan itu baru terjadi pada tingkat cekaman air 40% KATT (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Pengaruh cekaman air terhadap tinggi tanaman kedelai kultivar Willis dan Tidar Kultivar Tingkat cekaman air (% KATT) Willis Tidar

…………...Tinggi tanaman………… (cm)

100 128,30 a 129,65 a (a) (a)

80 128,27 a 129,60 a (a) (a)

60 125,80 b 128,75 b (a) (b)

40 121,40 c 125,61 b (a) (b)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tanpa kurung arah vertikal dan huruf sama dalam kurung arah horizontal tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Menurunnya pertumbuhan tanamankedelai kultivar Willis dan Tidar pada cekaman air yang lebih tinggi (KATT rendah) berkaitan dengan menurunnya aktivitas fotosintesis. Tanaman yang mengalami cekaman air stomata daunnya menutup sebagai akibat menurunnya turgor sel daun sehingga mengurangi jumlah CO2 yang berdifusi ke dalam daun. Kecuali itu dengan menutupnya stomata, laju transpirasimenurun sehingga mengurangi suplai unsur hara dari tanah ke tanaman, karena traspirasi pada dasarnya memfasilitasi laju aliran air dari tanah ke tanaman, sedangkan sebagian besar unsur hara masuk ke dalam tanaman bersama-sama dengan aliran air (Kramer, 1972).

Lebih lanjut Ritche (1980) menyatakan bahwa proses yang sensitif terdapat kekurangan air adalah pembelahan sel. Hal ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan tanaman sangat peka terhadap defisit (cekaman) air karena berhubungan dengan turgor dan hilangnya

turgiditas dapat menghentikan pembelahan dan pembesaran sel yang mengakibatkan tanaman lebih kecil. Sebelumnya Whigham dan Minor (1978), telah melaporkan bahwa pengaruh cekaman air pada pertumbuhan tanaman dicerminkan oleh daun-daun yang lebih kecil.

Menurunnya aktivitas fotosintesis akibat menutupnya stomata daun dan berkurangnya jumlah CO2 yang berdifusi ke dalam daun juga telah dilaporkan oleh Sutoro, et al., (1989) pada tanaman jagung.

2. Kandungan Prolin BebasKandungan prolin bebas tanaman

kedelai kultivar Willis dan Tidar meningkat dengan meningkatnya tingkat cekaman air (kadar air tanah tersedia rendah). Pada kultivar Willis kandungan prolin bebas mulai meningkat pada tingkat cekaman air 60% KATT. Demikian juga dengan kultivar Tidar, bahkan sampai pada tingkat cekaman air yang paling ekstrim (40%

Page 46: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU42

KATT) kandungan prolinnya nyata lebih tinggi dari kandungan prolin kultivar Willis (Tabel 3).

Meningkatnya kandungan prolin bebas pada tingkat cekaman air tinggi (% KATT rendah) disebabkan oleh meningkatnya akumulasi prolin bebas pada daun sebagai sumber energi pada proses oksidasi tanaman jika karbohidratnya rendah. Fungsi prolin bebas adalah sebagai penyimpan karbon dan nitrogen selama cekaman air, karena pada saat itu sintesis karbohidrat terhambat (Hanson, et al., 1977). Laju sintesis prolin yang terjadi melalui lintasan glutamat bisa meningkat sepuluh kali lipat pada kultur sel tomat yang adaptif terhadap cekaman kekeringan (Rhodes, et al., 1986). Selanjutnya Aspinal dan Paleg (1981) mengemukakan bahwa akumulasi prolin diduga berhubungan dengan kemampuan prolin bertindak sebagai osmoregulator, sebagai agen pelindung bagi enzim-enzim membran.

3. Hasil Biji KeringHasil biji kering per tanaman menurun

dengan meningkatnya tingkat cekaman air. Pada kultivar Willis penurunan hasil biji kering mulai terjadi pada tingkat cekaman 60% KATT,

sedangkan pada kultivar Tidar penurunan hasil tersebut baru terjadi pada tingkat cekaman air 40% KATT (Tabel 4).

Menurut Slatyer (1971) hasil tanaman serealia (biji-bijian) ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembungaan. Hal ini berarti bahwa hasil biji kering tanaman termasuk kedelai bergantung pada fotosintat yang tersedia dan distribusinya, khususnya selama fase pengisian biji. Dengan demikian lebih lanjut dapat diartikan bahwa menurunnya hasil biji kering tanaman kedelai pada tingkat cekaman air yang lebih tinggi (KATT rendah) terjadi karena jumlah fotosintat yang tersedia dan distribusinya ke dalam biji berkurang. Sejalan dengan hal ini Harnowo (1993) mengemukakan bahwa cekaman air menghambat fotosintesis dan distribusi asimilat ke dalam organ reproduktif. Sebelumnya Ritche (1980) menemukan bahwa proses pengisian biji dan translokasi fotosintat sangat sensitif terhadap cekaman air. Karena itu dapat mengurangi bobot biji kering.

Tabel 2. Pengaruh cekaman air tehadap luas daun tanaman kedelai kultivar Willis dan Tidar Tingkat Cekaman air Kultivar (% KATT) Willis Tidar

…………......Luas daun .………..…... (cm2)

100 1982,56 a 1985,60 a (a) (a)

80 1977,82 a 1980,04 a (a) (a)

60 1962,84 b 1978,65 a (a) (b)

40 1951,65 c 1960,05 b (a) (b)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tanpa kurung arah vertikal dan huruf sama dalam kurung arah horizontal tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Tabel 3. Pengaruh cekaman air terhadap kandungan prolin bebas tanaman kedelai kultivar Willis dan Tidar Tingkat Cekaman air Kultivar (% KATT) Willis Tidar

……. …………...%………………… 100 0,80 a 0,85 a

(a) (a) 80 1,06 a 1,27 a

(a) (a) 60 1,70 b 2,09 a

(a) (b) 40 2,03 c 3,54 b

(a) (b)

Page 47: Kultura Maret 2006

Mapegau: Pengaruh Cekaman Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai

Koleksi BPAD Prov SU 43

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tanpa kurung arah vertikal dan huruf sama dalam kurung arah horizontal tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Tabel 4. Pengaruh cekaman air terhadap hasil biji kering tanaman kedelai kultivar Willis dan Tidar Tingkat Cekaman air Hasil Biji Kering (% KATT) Willis Tidar

...…………..gram…....………100 15,13 a 15,45 a

(a) (a) 80 15,05 a 15,16 a

(a) (a) 60 12,51 b 14,50 a

(a) (b) 40 10,28 c 12,52 b

(a) (b)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tanpa kurung arah vertikal dan huruf sama dalam kurung arah horizontal tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

KesimpulanDari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai bergantung pada kultivar. Pertumbuhan dan hasil kedelai kultivar Willis mulai menunjukkan penurunan pada tingkat cekaman air 60% KATT, sedangkan kultivar Tidar penurunan pertumbuhan dan hasil baru terjadi pada tingkat cekaman air 40% KATT. Kandungan prolin bebas kultivar Tidar lebih tinggi dari pada kultivar Willis sampai pada tingkat cekaman air 40% KATT.

Berdasarkan pertumbuhan (tinggi dan luas daun), hasil biji kering, dan kandungan prolin bebas dapat dikatakan bahwa kultivar Tidar lebih toleran terhadap cekaman air dibandingkan dengan kultivar Willis.

Daftar PustakaAspinal, D and L. G. Paleg. 1981. Proline

Accumulation: Physiological Aspects. In. L. G. Paleg and D. Aspinal (eds). The Physiology and Biochemistry of Drought Resistance in Plants. Academic Press. pp. 201–241.

Bates, I. S. 1973. Rapid determination of free proline for water stress studies. Plant and Soil. 39: 205–207.

Hanson, A. D., C. E. Nelson and E. I. Everson. 1977. Evaluation of free praline accumulation as an index of drought

resistance using two contrasting barley cultivars. Crop Sci. 17 (5): 720–903.

Harnowo, D. 1993. Respons Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Pemupukan Kalium dan Cekaman Kekeringan pada Fase Reproduktif. Tesis S2 Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Hilman, Y. 2004. Inovasi Teknologi Pengembangan Kedelai di Lahan Kering Masam. Lokakarya Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Masam. BPTP Lampung 30 September 2004.

Kasim, F., H. Bahar dan Adoi. 1991. Perencanaan dan Pencatatan Data Penelitian Jagung di Lapangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami.

Kramer, P. J. 1972. Plant and Soil Water Relationship. A Modern Synthesis. Reprinted in India Arrangement with Mc Graw Hill Inc. New York. 428 p.

Penny-Packer, B. W., K. T. Leath., W. L. Stout,and R. R. Hill. 1990. Technique for stimulating field drought stress in the green house. Agr. J. 82 (5): 951–957.

Rhodes, D,. S Handa and R. A. Bressan. 1986. Metabolic change associated with adaptation of plant cell two water stress. Plant Physiology. 82: 890–903.

Page 48: Kultura Maret 2006

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU44

Ritche, J. T. 1980 Climate and soil water, InMoving up the yield curve. Advace and obstacle, Spec. Publ. No. 39. p: 1–23.

Satari, G., S. Sadjad, dan S. Sastrosoedardjo. 1977. Pendayagunaan Tanah Kering Untuk Budidaya Tanaman Pangan Menjawab Tantangan Tahun 2000. Makalah Kongres Agronomi I. Jakarta.

Slatyer, R. D. 1971. Physiological Significance of Internal Water Relation to Crop Yield. In Physiological Aspects of Crop Yield. J. D. Eastin, F. A. Haskins, C. Y. Sullivan and C. H. M. Van Bavel (Eds.). Am. Soc. Agron. Crop Sci. Amer, Madison Wisconsin. p: 53–87.

Suprapto. 2001. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutoro, I. Somodireja, dan S. Tirtoutomo. 1989. Pengaruh cekaman air dan reaksi pemuliaan tanaman jagung dan sorgum pada fase pertumbuhan vegetatif. Penelitian pertanian 9(4): 148: 151.

Whigham, D. K., and H. C. Minor. 1978. Agronomic Characteristic and Environmental Stress. In A. G. Norman (Eds) Soybean: Physiology, Agronomy, and Utilization. Academic Press. New York. p: 77–118.

Page 49: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 45

PEDOMAN SINGKAT PENULISANJURNAL ILMIAH PERTANIAN KULTURA

Persyaratan UmumArtikel harus tulisan asli yang merupakan hasil penelitian dan peninjauan/ulasan

(review) yang belum pernah dimuat di dalam jurnal ilmiah mana pun, baik di lingkup nasional maupun internasional. Tulisan harus mencakup salah satu disiplin ilmu dalam bidang pertanian atau erat kaitannya dengan pertanian.

Semua artikel akan ditelaah oleh Mitra Bestari (Reviewer) sebelum dimuat. Redaksi berhak mengubah kalimat, ejaan, tata letak, dan perwajahan tanpa mengubah isi sebenarnya. Mitra Bestari dan Dewan Redaksi berhak menolak tulisan yang dianggap tidak relevan. Artikel yang tidak dimuat dapat dikembalikan jika disertai perangko balasan.

Penyerahan naskah kepada Dewan Redaksi sebanyak 2 rangkap, sedangkan disket (3,5’ format IBM) berisi file naskah dikirimkan setelah dinyatakan diterima untuk dipublikasi. Naskah ditulis dengan pengolah kata MS Words Windows.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Penyerapan kata asing dan pemakaian kata asing harus dibatasi se-sedikit mungkin, dan kalau terpaksa, pemakaiannya juga harus berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Naskah diketik rapi berjarak 2 spasi (Times New Roman, font 12) pada kertas putih HVS A4. Tidak ada catatan kaki di dalam teks. Panjang naskah maksimum 10 halaman termasuk tabel dan gambar. Subjudul ditulis di tengah.

Artikel meliputi urutan sebagai berikut: Judul (dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), nama dan alamat penulis, Abstract (bahasa Inggris) dengan keywords,Abstrak (bahasa Indonesia) dengan kata kunci, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila perlu), dan Daftar Pustaka.

Judul. Ditulis singkat, informatif, dan deskriptif (max. 28 kata). Penulisan huruf kapital hanya pada awal kata. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan dibawahnya dalam bahasa Inggris.

Abstract atau Abstrak. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan dibawahnya dalam bahasa Indonesia. Merupakan sari tulisan, meliputi tujuan, hasil dan kesimpulan dalam kalimat-kalimat yang ringkas dan padat, sebaiknya tidak lebih dari 150 kata (dalam bahasa Indonesia), dan 100 kata (dalam bahasa Inggris). Abstrak dalam bahasa Inggris ditulis dalam bentuk past tense, kecuali bagian justifikasi masalah.

Keywords atau kata kunci. Keywords/kata kunci ditulis langsung sesudah abstract/abstrak pada baris baru dimulai dari tepi kiri. Kata kunci paling banyak 5 kata, urutannya menunjukkan hirarki dari yang paling utama sampai yang paling spesifik.

Pendahuluan. Pendahuluan merupakan justifikasi tentang subyek yang dipilih didukung dengan pustaka yang relevan. Memuat latar belakang penelitian dan harus diakhiri dengan tujuan penelitian. Tidak terlalu luas tapi juga tidak terlalu singkat, idealnya 400-500 kata.

Bahan dan Metoda. Memuat bahan dan metoda penelitian, mencakup tempat, waktu, metoda pengambilan sampel, pelaksanaan rancangan percobaan, metoda analisa,

Page 50: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU46

dan hal lain yang berkaitan. Harus detil dan jelas sehingga orang yang berkompeten dapat melakukan penelitian yang sama (repeatable and reproducible).

Hasil dan Pembahasan. Hasil melaporkan apa yang diperoleh dalam percobaan. Hasil dirangkum dalam bentuk tabel dan grafik yang langsung diberi notasi statistika berdasarkan uji beda rataan yang umum. Tabel dan grafik dilengkapi dengan nomor dan judul. Untuk tabel, judul ditulis di bagian atas, sedangkan untuk grafik dan gambar ditulis di bagian bawah. Bila tabel dan grafik dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tidak mengulang data yang disajikan dalam tabel atau grafik satu per satu dalam bentuk kata-kata kecuali hal-hal yang sangat menonjol. Pembahasan membandingkan hasil yang kita peroleh dengan data pengetahuan (hasil penelitian orang lain) yang sudah dipublikasikan dan disertai dengan sitasi pustaka dan menjelaskan implikasi data yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan atau pemanfaatannya.

Kesimpulan. Kesimpulan disajikan dalam bentuk paragraf dan bukan dalam bentuk penomoran. Jika ada saran, maka disajikan secara singkat dan relevan.

Ucapan Terima Kasih. Ucapan Terima Kasih dibuat sebagai ungkapan terima kasih kepada pihak yang membantu penelitian, penelaah naskah, atau penyedia dana penelitian.

Daftar Pustaka. Daftar Pustaka harus memuat semua pustaka yang (hanya) digunakan di dalam naskah. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad, semua nama pengarang ditulis, tanpa penomoran.

Di dalam teks, pustaka harus ditulis sebagai berikut: Dua penulis: Baker and Cook (1974) atau (Baker and Cook, 1974) Tiga penulis atau lebih: Suwanto, et al. (1992) atau (Suwanto, et al., 1992)

Bila terdapat lebih dari tiga pengarang, boleh menggunakan et al. atau dkk walaupun pustaka berbahasa asing, yang penting seragam dalam naskah tersebut.

Contoh penulisan Daftar Pustaka: Buku: judul buku ditulis huruf kapital pada semua huruf awalnya. Harjadi, S.S. 1991. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 230

hlm.

Bagian bab dari buku: judul bab dari buku ditulis dengan huruf kapital pada huruf awalnya saja.

Jatala, P. dan J. Bridge. 1990. Nematoda parasitik pada tanaman akar dan ubi-ubian. Dalam M.Luc, R.A. Sikora, dan J. Bridge (eds). Nematoda Parasitik di Pertanian Subtropik dan Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. hlm 34-42.

Artikel jurnal: judul artikel ditulis huruf kapital hanya pada huruf awalnya saja. Penyingkatan nama jurnal mengikuti anjuran dari jurnal yang disitasi.Brockwell, J. and P.J. Bottomley. 1995. Recent advances in innoculant technology

and prospects for the future. Soil Biology and Biochemistry 27: 683-697.

Pustaka yang diakses dari internet:Fortnum, B.A. and S.B. Martin. 1997. Disease management strategies for control of bacterial wilt of tobacco in the Southern USA. 2nd IBWS, Guadalope. Available at:

Page 51: Kultura Maret 2006

Koleksi BPAD Prov SU 47

http://www.infra.fr/Internet/Departments/PAHOV/2nd IBWS/T43.html (diakses 11 Maret 2002).

Pustaka dari CD ROM:Foyd, R.B. and J. Kurle. 2000. Crop rotation scheme for dryland of Minnesota and North

Dakota. Agronomy Journal 67:342-350. Volumes 60-70, 1990-2000 (CD ROM computer file). ASA, Madison, WI and Natl. Agric. Libr. Madison, WI (Nov 2001).