kulit kering
DESCRIPTION
kulit keringTRANSCRIPT
Kulit Kering
Kulit kering, yang juga dikenal sebagai xerosis, dapat merupakan sebuah kondisi kongenital
atau didapat. Kondisi ini dapat bersifat sangat ringan sehingga sulit untuk diamati atau sangat
berat sehingga mengarah pada pecahnya kulit, rasa gatal yang parah, dan infeksi. Kulit kering
ringan merupakan sebuah kondisi yang mengenai banyak pasien dan sering menjadi keluhan bagi
pasien kosmetik. Milyaran dollar dihabiskan setiap tahun di seluruh dunia untuk membeli
produk-produk perawatan kulit yang melembabkan. Karenanya, penting untuk dermatologis
kosmetik dan ilmuwan kosmetik untuk memahami penyebab dari kulit kering dan bagaimana
terapi saat ini untuk menangani kondisi ini.
Terdapat banyak produk dalam pasaran untuk menangani kekeringan pada kulit
sehingga dapat membingungkan konsumen. Bab ini akan membahas apa yang telah diketahui
sebagai penyebab kulit kering dengan fokus pada hal-hal yang mulai bermunculan yang harus
dipahami dengan tujuan mengidentifikasi produk yang paling efektif atau produk yang paling
sesuai untuk tipe kulit spesifik.
Apakah Kulit Kering Itu?
Kulit kering ditandai dengan kurangnya kelembaban dalam stratum korneum (SC). Air
merupakan bahan utama dalam kelenturan kulit, dan jika kadarnya rendah, akan terjadi pecahan
dan fisura pada kulit. Agar kulit dapat terlihat dan terasa normal, kandungan air dalam SC harus
lebih besar dari 10%. Peningkatan kehilangan air transepidermal (transepidermal water loss-
TEWL) yang mengarah pada terjadinya kulit kering terjadi sebagai akibat adanya defek
permeabilitas barier yang menyebabkan lebih banyak air hilang ke atmosfer. Gangguan pada
barier ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor berbeda seperti detergen keras, aseton dan
kontaktan lainnya, dan kebiasaan mandi yang sering. Saat kulit menjadi terlalu kering,
lapisan kulit terluar menjadi kaku dan dapat pecah. Pecahnya kulit ini dapat menjadi fisura ke
dalam kulit yang dapat teriritasi, mengalami inflamasi, dan terasa gatal. Kondisi ini parah pada
area tubuh dengan kelenjar minyak yang relatif sedikit seperti lengan, tungkai, dan batang tubuh
(kotak 1).
Perubahan pada komponen lipid epidermal kulit juga dapat menjadi penyebab xerosis.
Sebagian dermatologis percaya bahwa insidens kulit kering telah meningkat dalam beberapa
tahun terakhir karena orang-orang secara teratur mandi dengan menggunakan air panas,
pembersih berbusa, fragranced bubble bath, dan garam mandi, yang dapat mengganggu barier
kulit dengan menghilangkan lipid-lipid yang penting. Sabun, detergen, dan air yang keras dapat
menghilangkan barier kulit yang sehat dan normal.
Kotak 1. Transepidermal Water Loss
Kligman membahas observasinya mengenai efisiensi barier air epidermal sebagai sebuah
struktur untuk mencegah TEWL pada sebuah tulisan pada tahun 1964. Kligman
mendeskripsikan dia menutupi bukaan sebuah vial air yang dibalikkan dengan menggunakan
lembaran SC. Lembaran jaringan SC ini mencegah evaporasi air. TEWL saat ini digunakan
sebagai pengukuran integritas SC. TEWL didefinisikan sebagai hilangnya air yang tidak
dirasakan (insensible water loss) melalui kulit. Hal ini tidak sama dengan perspirasi aktif.
TEWL diukur dengan dua cara. Pertama menggunakan alat yang disebut dengan
evaporimeter, yang menghitung gradien kelembaban permukaan kulit. Cara kedua adalah
dengan menggunakan alat yang yang mengukur kapasitas elektrik kulit yang berubah dengan
hidrasi kulit. Hal ini sebenarnya mengukur hidrasi SC ketimbang TEWL; namun, laju
hilangnya air dapat diekstrapolasikan dengan memakai pengukuran kapasitas. Untuk
meningkatkan validitas hasil, sangatlah penting untuk melakukan kedua jenis pengukuran ini
dalam kondisi iklim terkontrol dengan aliran udara minimal. Hidrasi kulit paling akurat
diukur dengan menggunakan beberapa metode termasuk korelasi klinis.
Sebagian besar orang yang mengeluhkan memiliki kulit kering tidak memiliki penyakit
yang mendasari, namun mereka memiliki kemampuan yang kurang untuk beradaptasi dengan
elemen lingkungan yang mempengaruhi kapasitas pengikatan air SC. Tabel 1 memperlihatkan
bahan-bahan dalam lingkungan yang dapat menyebabkan kulit kering.
Tabel 1. Bahan Lingkungan yang Dapat Menyebabkan Kulit
Kering
Air panas
Deterjen
Gesekan dari pakaian
Perjalanan udara yang sering
Polusi
Bahan kimia lain
Pendingin ruangan (air conditioning)
Secara umum, seiring dengan pertambahan usia, kulit cenderung untuk menjadi lebih kering dan
kurang berminyak. Kulit kering terjadi lebih sering selama bulan-bulan musim gugur dan
musim dingin karena rendahnya kelembaban dan mandi berlebihan dengan menggunakan air
panas. Xerosis sering disebut sebagai “winter itch” karena kondisi ini terjadi paling parah
selama musim dingin.
Tanda-Tanda Klinis
Tanda klinis pertama dari kulit kering adalah warna kusam, putih keabuan dan
meningkatnya pertanda topografi kulit (gambar 1). Seiring dengan semakin memburuknya
kondisi kering, hilangnya air menyebabkan hilangnya kohesivitas antara korneosit dan retensi
abnormal desmosom. Bagian tepi korneosit akan melengkung seperti bagian atap yang
melengkung saat kondisi gersang secara ekstrim. Melonggarnya seluruh lapis korneosit
menyebabkan kulit bersisik dan retak. Seluruh permukaan kulit terasa kasar.
Penampilannya menjadi kusam karena permukaan yang kasar lebih tidak mampu memantulkan
cahaya dibandingkan dengan permukaan yang halus. Kulit mungkin terasa lebih tidak lentur
dengan peregangan; kulit yang pecah dan fisura dapat terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
elastisitas ini. Xerosis dan barier epidermal yang terganggu juga dapat merupakan bagian dari
kelainan genetik atau kondisi dengan predisposisi genetik, termasuk iktiosis dan dermatitis
atopik (kotak 2).
Gambar 1. Kulit kering menunjukkan tanda adanya sisik putih di permukaan.
Kotak 2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah sebuah kelainan multifaktorial yang ditandai dengan kulit kering.
Berbagai studi telah memberi kesan bahwa sebuah insufisiensi ceramid pada kulit merupakan
sebuah faktor patofisiologik penting dalam kondisi ini. Meski demikian, dalam sebuah studi
yang mengobservasi pasien dengan “xerosis”, defisiensi pada kemampuan menahan air tidak
ditemani dengan insufisiensi ceramid. Peneliti juga menemukan bahwa kadar sebum tidak
memegang peranan signifikan dalam etiologi xerosis saat mempelajari pasien atopik. Peneliti
menghipotesiskan bahwa xerosis dapat disebabkan oleh aberasi dari struktur lamelar lipid
intraseluler dalam SC.
Menariknya, mutasi pada gen filagrin telah ditemukan pada pasien dengan dermatitis
atopik. Bahkan, mutasi filagrin merupakan faktor genetik kuat pertama yang diidentifikasi
pada dermatitis atopik. Sebuah defek pada filagrin akan menghasilkan defek struktural kutan
karena bahan ini normalnya mengagregasi filamen keratin dalam stratum granulosum untuk
membentuk makrofilamen yang memberikan kekuatan untuk lapisan ini. Selain itu, defek
pada filagrin akan mengarah pada penurunan NMF, sebuah produk sampingan filagrin yang
memiliki sifat higroskopik. Sebuah penurunan dalam sekresi badan lamelar, yang akan
mengarah pada penurunan asam lemak dan ceramid, telah dilaporkan pada pasien-pasien
dermatitis atopik.
Kulit Kering atau Berminyak?
Banyak pasien mendeskripsikan dirinya memiliki kulit kering dan berminyak. Meski demikian,
dalam realitas, kedua proses ini tidak dapat terjadi secara bersamaan pada tempat yang sama.
Kulit kering disebabkan oleh kurangnya kelembaban dalam SC. Kulit berminyak disebabkan
oleh meningkatnya sekresi kelenjar sebasea. Merupakan suatu hal yang mungkin untuk
memiliki kulit kering pada bagian-bagian wajah dan kulit berminyak pada area zona T. Hal ini
biasanya disebut sebagai kulit kombinasi. Selain itu, seseorang dapat memiliki kulit berminyak
pada wajah dan kulit kering pada tubuh karena kurangnya kelenjar sebasea pada lengan dan
tungkai.
Etiologi Kulit Kering
Kulit kering merupakan hasil dari berkurangnya kandungan air dalam SC, yang mengarah pada
deskuamasi abnormal korneosit. Hidrasi SC terutama merupakan fungsi dari korneosit pada
bagian luar SC (stratum disjunctum), karena korneosit pada SC bagian lebih bawah (stratum
compactum) secara relatif dehidrasi dan tidak mampu menyerap air saat terpapar dengan stress
hipotonik. Rawlings et al mendemonstrasikan bahwa desmosom tetap utuh pada tingkat SC
yang lebih tinggi dan kadar desmoglein I tetap meningkat pada SC superfisial pada individu
dengan kulit kering dibandingkan dengan kontrol. Hal ini terjadi karena enzim yang diperlukan
untuk digesti desmosom terganggu saat kadar air tidak mencukupi, yang mengarah pada
deskuamasi abnormal yang menyebabkan timbulnya gumpalan korneosit yang menyebabkan
kulit tampak kasar dan kering (gambar 2A dan B). Gumpalan korneosit ini mengarah pada
penampilan klinis (fenotipe) yang dikenal dengan kulit kering atau bersisik. Pada jenis kulit
yang lebih gelap, gangguan pada deskuamasi dihubungkan dengan warna kulit keabuan dan
dikenal dengan “ashy skin”. Dengan demikian, ashy skin merupakan kulit kering pada individu
berkulit gelap.
Gambar 2. (A) Deskuamasi normal kornesoit mengarah pada permukaan kulit halus dan
bersinar karena adanya pemantulan cahaya yang baik. (B) Korneosit pada kulit kering
tersusun membentuk bukit dan lembah yang memberikan tampilan kulit kusam dan
tekstur kasar.
Barier kulit menyerupai struktur batu bata (brick) dan semen (mortar) dengan batu bata
mewakili keratinosit dan semen mewakili lipid yang mengelilingi keratinosit dalam sebuah
pembungkus protektif. Lipid tersusun dalam susunan dua lapis seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3. Barier kulit menunjukkan beberapa fungsi penting seperti mencegah penguapan air,
yang dikenal sebagai TEWL. Barier kulit juga membantu agar komponen-komponen yang tidak
diinginkan seperti alergen dan iritan tidak masuk ke dalam. Barier yang mengalami cedera
menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami dermatitis kontak dan dermatitis iritan. Selain
itu, barier kulit juga memperlihatkan peranan defensif atau mekanisme defensif tergantung pada
fungsi korneosit dan matriks ekstraseluler di sekelilingnya.
Gambar 3. Keratinosit terbenam dalam matriks lipid yang menyerupai susunan batu bata
dan semen (bricks and mortar). Natural moisturizing factor (NMF) ada di antara
keratinosit. NMF dan lapisan ganda lipid (lipid bilayer) mencegah dehidrasi epidermis.
Barier Kulit
Selubung Sel Keratin
Selubung sel keratin (SK) yang membungkus korneosit adalah sebuah lapisan tidak larut
berukuran 10-nm yang terdiri atas beberapa protein bersilangan tinggi. Lorikrin, komponen
utama dari selubung ini, dan protein lain seperti involukrin, sebuah protein kecil kaya prolin,
desmoplakin, dan periplakin disilangkan (cross-linked) oleh enzim calcium (Ca2+)-dependent
transglutaminase 1 (TG-1) untuk membentuk struktur tersebut. Defek pada protein selubung SK
atau enzim TG-1 menyebabkan kelainan genetik dengan keratinisasi yang terganggu,
menghasilkan tampilan klinis (fenotipe) kulit yang sangat kering. Iktiosis lamelar dan sindrom
Vohwinkel’s merupakan contoh defek pada TG-1 dan lorikrin, dimana terlihat jelas barier kulit
yang terganggu.
Matriks Ekstraseluler dan Lipid SC
Matriks ekstraseluler yang mengelilingi korneosit adalah komponen kaya lemak yang penting
untuk mempertahankan barier epidermal. Badan lamelar yang merupakan organel sekretori pada
stratum granulosum memegang peranan kunci dalam membentuk barier dua lapis lipid (lipid
bilayer) dengan melepaskan kandungannya dalam sambungan stratum granulosum dan SC.
Badan lamelar mengandung sebuah campuran lipid (ceramid, kolesterol, asam lemak), enzim
pengolah lipid, protease (bertanggung jawab untuk deskuamasi epidermal), dan inhibitor-
inhibitornya.
Lipid ekstraseluler SC ini diketahui bertanggung jawab untuk fungsi barier air SC.
Campuran lipid yang dihantarkan oleh badan lamelar terdiri atas 50% ceramid, sekitar 15%
asam lemak, dan sekitar 25% kolesterol. Telah disebutkan bahwa perubahan pada salah satu dari
ketiga komponen ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi barier. Terdapat tiga enzim
pembatas laju yang terkait dengan pembentukan lipid-lipid utama kulit epidermal (gambar 4).
Enzim-enzim tersebut meliputi 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A (HMG-Co A) reductase
(enzim pembatas laju dalam sintesis kolesterol), actyl Co-A carboxylase (ACC), dan fatty acid
synthase yang terkait dengan sintesis asam lemak, dan palmitoyl transferase (SPT), yang
merupakan enzim pengatur untuk sintesis ceramid. Seperti telah diduga, saat terjadi gangguan
barier kulit, aktivitas-aktivitas enzim ini meningkat dengan tujuan untuk mengkompensasi
disfungsi barier. Selain itu, sekelompok faktor transkripsi yang dikenal sebagai sterol
regulatory element binding proteins (SREBPs) mengatur pembentukan kolesterol dan asam
lemak. Saat sterol epidermal berkurang, SREBPs diaktivasi melalui proses proteolitik,
memasuki inti sel, dan mengaktifkan gen yang mengarah pada peningkatan sintesis kolesterol
dan enzim sintesis asam lemak. Terdapat tiga jenis SREBPs yang diketahui: SREBP-1 a, -1 c,
dan SREBP-2. Pada keratinosit manusia, SREBP-2 merupakan jenis yang dominan dan terlibat
dalam mengatur pembentukan kolesterol dan asam lemak. Menariknya, jalur ceramid tidak
dipengaruhi oleh SREBPs.
Gambar 4. (A) Enzim-enzim pembatas laju yang terlibat dalam pembentukan lipid utama
kulit epidermal. (B) Sintesis asam lemak, ceramid, dan kolesterol.
Kolesterol Sel-sel basal mampu menyerap kolesterol dari sirkulasi; namun, sebagian besar
kolesterol dibentuk dari asetat dalam sel-sel seperti keratinosit. Pembentukan kolesterol
ditingkatkan saat terjadi gangguan pada barier epidermal. Peroxisome proliferator-activated
receptors (PPARs) dan reseptor retinoid X telah ditemukan memiliki peran dalam perpindahan
kolesterol di sepanjang membran sel keratinosit melalui ekspresi ABCA1, sebuah transporter
membran yang mengatur efluks kolesterol.
Ceramid Ceramid meliputi 40% dari lipid SC pada manusia; meski demikian, ceramid tidak
ditemukan dalam jumlah signifikan pada tingkat epidermis yang lebih bawah seperti stratum
granulosum atau lapis basal. Hal ini memberi kesan bahwa diferensiasi akhir merupakan faktor
kunci dalam produksi ceramid. Setidaknya terdapat 9 kelas ceramid dalam SC yang
diklasifikasikan sebagai ceramid 1-9. Selain itu, terdapat dua ceramid terikat protein yang
diklasifikasikan sebagai Ceramid A dan B, yang secara kovalen terikat pada protein selubung
keratin seperti involukrin (gambar 5). Pada tahun 1982, Ceramid 1 merupakan ceramid pertama
yang diidentifikasi. Selanjutnya, tipe-tipe tambahan ceramid ditemukan dan diberi nama sesuai
polaritas dan komposisi molekul. Struktur dasar ceramid adalah sebuah asam lemak yang secara
kovalen terikat pada dasar sfingoid. Kelas-kelas yang berbeda didasarkan pada susunan
sfingosin (S) versus fitosfingosin (P) versus 6-hidroksisfingosin (H), dimana melekat sebuah
asam lemak α-hidroksi (A) atau non-hidroksi (N), serta disertai atau tanpa adanya residu asam
linoleik ω-esterifikasi. Ceramid 1 unik karena bahan ini non-polar dan mengandung asam
linoleik (sebuah asam lemak). Dipercaya bahwa struktur yang unik dari Ceramid 1
memberikannya fungsi spesial dalam SC. Banyak yang telah mengajukan bahwa struktur unik
ini mengujikan Ceramid 1 untuk berfungsi sebagai penghubung molekuler untuk melekatkan
lapisan bilayer SC yang multipel. Interaksi semacam ini dapat berpengaruh pada tumpukan lipid
bilayer yang diamati. Ceramid 1, 4, dan 7 memegang peranan vital dalam integritas epidermal
dengan berfungsi sebagai area penyimpanan utama untuk asam linoleik, sebuah asam lemak
esensial dengan fungsi penting dalam barier lipid epidermal. Meski tidak semua ceramid
epidermal dihasilkan dari prekursor glukosilceramid dari badan lamelar, ceramid yang berasal
dari sfingomielin (Ceramid 2, 5) juga diperlukan untuk integritas barier epidermal. pH basa
menghambat aktivitas β-glukoserebrosidase dan asam sfingomielinase. Karenanya, sabun basa
dapat berkontribusi pada pembentukan barier yang buruk.
Gambar 5. Struktur kimia asam lemak bebas, kolesterol, kesembilan ceramid yang tidak
terikat, yang ditemukan pada SC serta kedua ceramid terikat protein, Ceramid A dan B.
Enzim pengatur untuk sintesis ceramid (SPT) meningkat dengan paparan terhadap
radiasi UVB dan sitokin. Sebuah studi oleh peneliti L’Oréal menunjukkan bahwa kadar ceramid
total (terutama Ceramid 2) menurun pada kulit xerosis. Peneliti tidak melihat adanya perbedaan
dalam jumlah lipid total antara pasien-pasien xerosis dan kontrol.
Sebuah studi oleh Unilever menunjukkan bahwa prekursor sfingoid yang diaplikasikan
dari luar (terutama tetraasetil fitosfingosin atau TAPS) meningkatkan jumlah ceramid dalam
keratinosit. Sebuah studi lain oleh Unilever menunjukkan bahwa TAPS dikombinasikan dengan
asam lemak 1% asam linoleik dan 1% asam juniperik dapat meningkatkan kadar ceramid. Pada
studi kedua, integritas barier juga dinilai dan ditunjukkan mengalami perbaikan pada pasien
yang ditangani TAPS, dan lebih jauh lagi mengalami perbaikan pada pasien yang ditangani
dengan TAPS, asam linoleik, dan asam juniperik. Hasil ini memberi kesan bahwa prekursor
lipid yang diaplikasikan topikal diinkorporasikan dalam jalur biosintesis ceramid dalam
epidermis, meningkatkan kadar ceramid SC dan karenanya memperbaiki integritas barier.
Asam lemak Kulit mengandung asam lemak bebas dan asam lemak yang terikat pada
trigliserid, glikosilceramid, ceramid, dan fosfolipid. Asam lemak bebas dalam SC sebagian
besar merupakan rantai lurus, dengan jumlah paling banyak adalah yang memilliki panjang
rantai karbon 24. Acetyl Co-A carboxylase (ACC) dan fatty acid synthase merupakan enzim
pembatas laju dalam sintesis asam lemak. Gangguan pada barier meningkatkan mRNA dan
tingkat aktivitas kedua enzim ini menghasilkan pembentukan asam lemak de novo.
(Peningkatan aktivitas kedua enzim ini disebabkan oleh peningkatan SREBPs). Asam lemak
esensial seperti asam linoleik hanya dapat diperoleh melalui makanan atau dengan aplikasi
topikal.
Perubahan pada salah satu dari ketiga komponen lipid (ceramid, kolesterol, dan asam lemak)
atau enzim pengaturnya dapat menyebabkan gangguan pada barier epidermal. Sebagai contoh,
lovastatin, sebuah penghambat sintesis kolesterol (inhibitor HMG-Co A reductase),
memperlambat penyembuhan barier, dan menginduksi sebuah defek pada fungsi barier saat
diaplikasikan secara topikal. Selain itu, memberi makan tikus dengan diet rendah asam lemak
esensial, sebuah diet yang rendah asam linoleik, mengarah pada terganggunya barier,
tampaknya dengan cara menurunkan kadar ceramid. Karenanya, merupakan hal yang jelas
bahwa asam lemak esensial dan kolesterol memegang peran integral dalam kondisi kulit kering.
Saat ini dipercaya bahwa tidak ada satupun lipid tunggal yang memediasi fungsi barier, dan
bahwa kadar normal dari ceramid, kolesterol, dan asam lemak, dalam perbandingan yang tepat,
diperlukan untuk mencapai barier yang utuh. Beberapa studi mendukung hal ini. Man et al
menunjukkan bahwa setelah perubahan barier dengan aseton, reaplikasi ceramid saja, atau asam
lemak saja, atau kombinasi ceramid dan asam lemak, lebih lanjut memperlambat penyembuhan
barier. Hanya aplikasi kombinasi ketiga komponen (ceramid, asam lemak, dan kolesterol), yang
menghasilkan penyembuhan barier normal.
Komponen-Komponen Lain yang Berperan dalam Kulit Kering
Faktor Pelembab Alami (Natural Moisturizing Factor)
Hidrasi SC sangat diatur oleh faktor pelembab alami (natural moisturizing factor-NMF), sebuah
campuran produk sampingan filagrin dengan berat molekul rendah dan larut air. Korneosit tidak
memiliki inti sel tanpa adanya kandungan lipid. Korneosit terdiri atas filamen-filamen keratin
dan filagrin dan dibungkus oleh selubung sel keratin. Filagrin, yang juga dikenal sebagai protein
agregasi, memegang peranan menarik dalam fungsi barier epidermal dan hidrasi. Pada tingkat
yang lebih rendah pada kulit, filagrin memegang peranan struktural meski demikian, pada
lapisan yang lebih tinggi pada kulit, filagrin dipecah menjadi asam amino yang higroskopik dan
dengan kuat mengikat air. Histidin, glutamin, dan arginin merupakan metabolit filagrin dalam
SC. Mengikuti deaminasi dari histidin, glutamin, dan arginin menjadi asam trans-urokanik,
asam pirolidon karboksilik, dan sitrulin, dihasilkanlah sebuah komponen yang aktif secara
osmotik yang mengatur hidrasi kulit, yang dikenal sebagai NMF (gambar 6A dan B).
Gambar 6. (A) Filagrin memiliki fungsi multipel tergantung pada di bagian mana
ditemukannya di epidermis. Filagrin memiliki peran struktural pada lapisan yang lebih
rendah dan peran hidrasi pada lapisan yang lebih atas. (B) Trans-UCA, asam pirolidon
karboksilik, dan sitrulin menyediakan osmolaritas untuk pengaturan hidrasi kulit.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, asam trans-urokanik, asam pirolidon karboksilik,
dan sitrulin, semuanya berasal dari filagrin, menghasilkan gradien air ke dalam SC. Komponen-
komponen lain dari NMF adalah asam laktik dan urea, berfungsi sebagai humektan, dan ion-ion
inorganik seperti sodium, potasium, kalsium, dan klorida, yang berkontribusi pada hidrasi
epidermal. Sifat NMF yang aktif secara osmotik dan bersifat sebagai humektan mengijinkan
epidermis untuk menahan hidrasi meski pada lingkungan kering. Ekstraksi komponen NMF
menghasilkan penurunan laju akumulasi kelembaban (moisture accumulation rate-MAT)
epidermis, menekankan pentingnya NMF dalam hidrasi kulit. Menariknya, komponen NMF
mengalami perubahan musiman. Komponen asam amino NMF meningkat selama musim
dingin, sementara asam laktik, potasium, sodium, dan klorida secara signifikan lebih rendah
pada musim dingin dibandingkan musim panas. Meski terdapat banyak produk di pasaran yang
berusaha menyerupai NMF, memformulasikan sebuah produk yang identik dengan NMF telah
menjadi sebuah tantangan bagi para peneliti. Hal ini mungkin dikarenakan adanya adaptasi
alami dari NMF terhadap lingkungan yang berbeda, pada setiap orang.
Aquaporin dan Epidermis
Air telah diketahui dengan baik dapat masuk melalui lipid bilayer kulit epidermal. Hingga baru-
baru ini, difusi sederhana merupakan satu-satunya mekanisme yang dianggap terjadi pada
konduksi air di epidermis. Aquaporin (AQPs), yang merupakan sebuah bentuk kanal air,
merupakan protein membran integral yang memfasilitasi transpor air pada berbagai organ
seperti kulit, tubulus renal, mata, saluran cerna, dan bahkan otak. Pada tahun 2003, Peter Agra
menerima Nobel Prize dalam kimia untuk penemuan aquaporin dan Roderick MacKinnon
untuk studi struktural tentang kanal ion. Terdapat 13 isoform aquaporin yang ditemukan pada
mamalia, diklasifikasikan sebagai AQP 0-12. Pada sel membran, aquaporin tersusun sebagai
homotetramer. Setiap subunit tetramer terdiri atas enam domain heliks α dan mengandung
sebuah pori akuos (gambar 7). Secara fungsional, aquaporin dapat diklasifikasikan menjadi dua
subtipe: AQPs 1, 2, 4, 5, dan 8, yang hanya mentransportasikan air, dan AQPs 3, 7, 9, dan 10
yang mampu menghantarkan bahan lain seperti gliserol atau urea di samping air. AQP-3
merupakan kanal air utama yang ditemukan pada epidermis manusia, dan permeabel terhadap
air dan gliserin. Gliserin telah diimplikasikan sebagai humektan endogen yang berkontribusi
terhadap hidrasi SC. Studi telah menunjukkan bahwa defek pada AQP-3 pada model tikus
menyebabkan kekeringan epidermal, serta penurunan hidrasi SC dan kandungan gliserol pada
epidermis, diikuti dengan penurunan elastisitas dan penyembuhan barier kulit yang terganggu.
Studi-studi ini mengedepankan pentingnya gliserol pada hidrasi kulit. Aquaporin dianggap
dapat memfasilitasi transpor air dan gliserol, dan bahan terlarut antara keratinosit.
Gambar 7. Ilustrasi untuk topologi membran aquaporin-1. Setiap subunit aquaporin
mengandung 6 domain lapisan ganda yang terdiri atas dua struktur simetris (TMI-3,
hemipore 1; dan TM4-6, hemipore 2). Saat NPA (dibentuk oleh asam amino asparagin-N,
prolin-P, dan alanin-A) tersusun bersebelahan pada loop B dan E, NPA membentuk
sebuah kanal akuos tunggal yang terbentang pada lapis ganda bersebelahan dengan
residu yang sensitif merkuri.
Sebum
Lipid yang berasal dari sebum juga mungkin berperan dalam patofisiologi kulit kering dengan
mencegah kehilangan air melalui pembentukan film lipid pada permukaan kulit yang berfungsi
sebagai emolien. Namun, tingkat aktivitas kelenjar sebasea yang rendah tidak berhubungan
secara konsisten dengan terjadinya kulit kering dan dampak sebum pada kondisi kulit kering
belum dipahami dengan baik. Choi et al membandingkan produksi sebum dan hidrasi SC dan
menemukan bahwa meski pria memililki tingkat sekresi sebum 30%-40% lebih tinggi
dibandingkan wanita, pria tidak menunjukkan hidrasi SC yang lebih besar pada lokasi dahi yang
kaya akan kelenjar sebasea dibandingkan wanita. Mereka juga menunjukkan bahwa anak-anak
pre-pubertas yang kelenjar sebaseanya belum mencapai fungsi maksimal menunjukkan tingkat
hidrasi SC yang normal. Namun, mereka menemukan adanya hubungan antara kadar gliserol
dan hidrasi SC yang dapat membantu menjelaskan peranan kelenjar sebasea pada kulit kering.
Kelenjar sebasea menggunakan sejumlah besar trigliserid, mengarah pada produksi dari gliserol.
Menyediakan gliserol untuk hidrasi kulit mungkin merupakan peran penting dari kelenjar
sebasea. Teori ini didukung oleh fakta bahwa tikus dengan kelenjar sebasea hipoplastik
memiliki hidrasi SC yang buruk dan kadar gliserol SC yang rendah. Namun, gliserol dapat
berasal dari sumber lain selain kelenjar sebasea, yang dapat menjelaskan hidrasi SC normal
pada anak-anak pre-pubertal. Gliserol dapat ditransportasikan ke sel-sel basal melalui kanal
AQP-3. Pentingnya gliserol ditandai dengan fakta bahwa gliserol topikal menyimpan hidrasi
pada tikus asepia sementara lipid sebasea topikal tidak demikian.
Variasi Anatomis dalam Hilangnya Air
Berbagai bagian tubuh diketahui mengatur hilangnya air secara berbeda. Sebagai contoh,
telapak tangan dan telapak kaki mengatur hilangnya air dengan buruk, sementara kulit wajah
secara relatif tidak permeabel terhadap air. Kendati fungsi dari lipid SC belum sepenuhnya
dipahami, bukti mendukung bahwa lipid memegang peranan penting dalam permeabilitas kulit.
Sebuah studi menemukan tidak ada hubungan antara fungsi barier dan ketebalan atau jumlah
lapisan sel dalam SC. Meski demikian, ditemukan adanya hubungan terbalik antara persen berat
lipid dan permeabilitas. Peneliti menemukan bahwa persen berat lipid lebih tinggi pada wajah
(lebih tidak permeabel) dan lebih rendah pada SC telapak kaki (lebih permeabel). Sebuah studi
lain dilakukan untuk mengidentifikasi komponen persen berat lipid ini dan bagaimana mereka
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Peneliti membandingkan karakteristik dari perut,
kaki, wajah, dan telapak kaki, dan menemukan bahwa area dengan barier yang baik
mengandung persentase lipid netral yang lebih tinggi dan jumlah sfingolipid yang lebih rendah.
Dengan kata lain, perbandingan lipid netral dan sfingolipid sebanding dengan permeabilitas
untuk tiap lokasi. Menariknya, permukaan telapak kaki, yang diketahui sebagai area yang paling
permeabel, mengandung jumlah sfingolipid paling tinggi.
Peptida Antimikrobial dan Barier Epidermal
Peptida antimikrobial (AMP) merupakan sebuah komponen dari sistem imun kulit. AMP
menunjukkan sebuah aktivitas antimikrobial berspektrum luas terhadap bakteri, virus, dan
jamur. Defensin dan katelesidin merupakan dua kelompok utama AMP. Defensin merupakan
AMP sistein kaya katioin yang ada pada mamalia dan dikategorikan ke dalam dua subgrup: α-
defensin dan β-defensin. α-defensin paling banyak ditemukan pada neutrofil dan sel-sel panteh
usus halus. Di sisi lain, β-defensin ada pada epidermis, dan memiliki aktivitas antimikrobial
terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif, Candida albicans, dan jamur.
Katelesidin merupakan keluarga lain dari AMP yang mengandung segmen kationik C-
terminal dengan aktivitas antibakterial. Hanya ada satu anggota keluarga katelesidin yang
diidentifikasi pada manusia, dikenal dengan LL-37, yang telah ditunjukkan terutama penting
dalam melawan infeksi virus pada kulit. LL-37 telah ditunjukkan meningkat pada keratinos
Filaggrin–Atopy Update
Dalam sebuah metaanalisis, orang-orang dengan mutasi filagrin secara signifikan lebih mungkin mengalami dermatitis atopik (dan rinitis alergika).
Filaggrin, filament-associated protein yang berikatan dengan serabut-serabut keratin
pada sel-sel epitel, membangun matriks padat fibril-fibril sitoskeleton di stratum
korneum, yangmana dengan struktur lain akan membentuk barrier fungsional di
permukaan kulit. Fungsi barrier ini adalah cenderung menjaga apa yang seharusnya di
luar ya di luar, dan apa yang seharusnya di dalam ya di dalam, membatasi air yang
hilang dari tubuh serta mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen infeksius dari
epidermis viabel yang ada di bawahnya. Mutasi pada gen yang mengatur
produksi filaggrin jelas dapat mempengaruhi fungsinya. Pada kenyataannya banyak
pasien dengan dermatitis atopik mengalami mutasi gen filaggrin dan "leaky skin"
dengan peningkatan water loss dan kerawanan iritasi.
Metaanalisis tersebut akan me-review apah barrier yang leaky (bocor) tersebut juga
merupakan predisposisi carrier alergi, mungkin bisa dengan makin meningkatnya resiko
alergen yang masuk.
Review dari 24 studi mengenai hubungan antara mutasi fillagrin dengan sensitisasi
alergi atau gangguan alergi, baik dari studi famili maupun case control. Dalam
metaanalisis, kemungkinan orang dengan mutasi filaggrin akan mengalami DA secara
signifikan meningkat (odds ratio dalam studi case-control, 4.78;dalam studi famili, 1.99).
Resiko mengalami rinitis alergika secara signifikan juga lebih tinggi dengan mutasi
filaggrin, baik dengan atau tanpa disertai DA (ORs, 2.84 and 1.78, berturut-turut).
Resiko asma bagaimanapun juga tidak lebih besar secara signifikan kecuali jika disertai
DA.
Comment: sensitisasi alergen terhadap aeroalergen bisa terjadi melalui kulit dan lebih
mungkin lagi saat terdapat defek barrier stratum korneum — sebagai hasil dari mutasi
filaggrin, dermatitis atopik, atau keduanya. Belum mungkin untuk mengoreksi defek gen
supaya terbentuk formasi natural barrier normal. Namun bagaimanapun juga sangatlah
penting menormalkan fungsi barrier untuk mencegah dan memperlambat progresivitas
penyakit alergi, yang dapat dilakukan dengan kontrol agresif dermatitis dan
penggunaan bjak produk topikal yang mendukung keratinisasi dan fungsi barrier yang
sehat.
Filaggrin, protein penghubung serabut keratin
Fig. 1.
Epidermal differentiation. The epidermis is the outermost layer of the skin and is separated from the underlying dermis by the basement membrane. Keratinocytes, which compose the epidermis, proliferate within the basal cell layer. As differentiation proceeds, keratinocytes progress upwards through the different epidermal layers (the spinous layer, granular layer and cornified layer or stratum corneum), becoming anucleated and increasingly compacted in size, before being eventually lost from the skin surface by desquamation (shedding of the outer layers of skin). Each stage of epidermal differentiation is characterised by the expression of specific proteins, and examples of these are listed on the figure. The smaller black dots in the cells of the granular layer represent keratohyalin granules.
KULIT KERING
Fig. 4.
Profilaggrin processing during terminal differentiation of the epidermis. Within the granular layer, profilaggrin is stored in an inactive and insoluble form within keratohyalin granules. In response to an increase in Ca2+ levels, the keratohyalin granules degranulate and profilaggrin is dephosphorylated and proteolysed in a multistep process into free filaggrin monomers by a variety of proteases including matriptase, prostasin and probably kallikrein 5 (see text for details). Following cleavage from the filaggrin monomers the N-terminal head domain undergoes nuclear translocation and further degradation into the A and B domains. In the cornified layer (stratum corneum), the released filaggrin monomers bind directly to keratin filaments, causing their collapse into thickened and aggregated keratin filaments, which has the effect of condensing the keratinocyte cytoskeleton. Condensation of the cytoskeleton is followed by crosslinking with transglutaminases (TGMs) and modification by peptidylarginine deiminases (PADs) to form an insoluble keratin matrix. Together with lipids and other cornified-layer proteins, this ultimately forms the so-called `skin barrier', which prevents water loss through the skin as well as the unwanted entry of molecules such as allergens. Filaggrin undergoes subsequent degradation by a variety of proteases, including caspase 14, into free amino acids and derivatives such as urocanic acid (UCA) and pyrrolidone carboxylic acid (PCA) - these are collectively referred to as natural moisturising factor (NMF), which contributes to skin hydration and possibly to UV protection.
Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI MEDAN 2008 Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 KULIT KERING PENDAHULUAN Kulit merupakan lapisan terluar penutup tubuh yang mempunyai fungsi sebagai barier terhadap segala bentuk/macam trauma dari luar baik fisik, mekanik maupun kimiawi. Di samping itu pula sebagai penutup tubuh yang bernilai estetika dengan tampilan yang nampak halus, lembut dan berkilat. Pada keadaan tertentu kulit tampak kasar kering bersisik sehingga tampak kusam , tidak lagi menarik.(1,2) Kulit kering (Dry skin) atau xerosis didefinisikan untuk menggambarkan hilangnya atau berkurangnya kadar kelembaban stratum corneum (SC). Kulit tampak dan terasa sehat apabila lapisan luarnya mengandung 10% air. Peningkatan tran epidermal water loss (TEWL) yang menyebabkan kulit kering dikarenakan adanya gangguan pada kulit yang menyebabkan banyaknya air yang menguap ke atmosfer.(2) Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti deterjen, acetone dan bahan kimia yang
lain dan mandi berendam terlalu sering.Pada orang tua kulit kering disebabkan oleh perubahan struktur lapisan kulit ( perubahan komposisi lipid SC dan perubahan differensiasi epidermal.(3-7) Proses kulit kering yang penting adalah keseimbangan antara penguapan air dengan kemampuan kulit menahan air, fungsi barier kulit juga berperan.Oleh karena itu penting untuk mempertahankan kulit yang sehat dan memperbaiki kulit kering untuk menjaga agar kulit kelihatan cantik. Mekanisme dasar untuk mengembalikan kulit kering yaitu dengan meningkatkan pengikatan dan penyimpanan air dengan cara aplikasi bahan pengikat air atau moisturizers, bahan pelumas atau emolients dan penutup kulit atau conditioners. (2) MEKANISME PENGATURAN HIDRASI KULIT Terdapat keseimbangan antara keluar dan masuknyacairan di stratum corneum. Masuknya cairan endogen berasal dari proses difusi dari dermis ke permukaan kulit dan juga sekresi kelenjar keringat. Pemasukan secara eksogen meningkat ketika kelembaban Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 relatif tinggi. Keseimbangan terjadi bila kelembaban relatif lingkungan ialah 85%, dibawah konsentrasi tersebut terjadi kehilangan air transepidermal (transepidermal waterloss/TEWL) dan diatas konsentrasi tersebut terjadi sebaliknya.(8)
Kehilangan cairan juga dihubungkan dengan berbagai keadaan misalnya cuaca berangin, suhu lingkungan yang tinggi maupun rendah, udara yang kering, penggunaan bahan yang mengandung surfaktan, bahan alkali (sabun), pelarut organik (contohnya eter, aseton, alokohol), enzim proteolitik dan lipolitik, proses penuaan, serta berbagai kelainan kulit.(8) Jacobi menyatakan bahwa kemampuan kulit untuk menyimpan kelembaban berhubungan dengan adanya bahan yang larut dalam air, dinamakan faktor X atau faktor pelembab alami (natural moisturizing factor/NMF). Kelembaban bergantung pada 3 faktor yaitu: 1. Kecepatan cairan mencapai stratum korneum dari lapisan bawah (kelenjar ekrin, transfer transepidermal) 2. Kecepatan penguapan cairan 3. Kemampuan stratum korneum untuk menahan cairan bergantung kepada integritas lapisan hidrolipid, adanya NMF, cukup tersedianya air interseluler, integritas membran sel dan semen interseluler yang berasal dari lipid penunjang. Komposisi lapisan hidrolipid terdiri atas air, ion, asam amino, urea, squalen, trigliserida, kolesterol bebas dan esternya, asam lemak dan lemak lilin. Lapisan hidrolipid berasal dari sebum dan sekresi keringat.(8) Spiet dan Pasher (1956) menemukan bahwa SC terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam amino bebas, asam urokanant, asam pirilidon
karbosiklat, urea, elektrolit, garam dan fraksi gula yang indeterminant. Komposisi semen interseluler terdiri atas sfingolipid 49%, asam lemak 26% (asam linoleat) dan kolesterol 20%. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 PATOFISIOLOGI Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis melalui dua cara yaitu melalui stratum corneum (sc) dan ruang interseluler. Oleh sebab itu normal air akan keluar dari tubuh melalui epidermis, keadaan tersebut dikenal dengan istilah transepidermal water loss ( TEWL ). Normal TEWL berkisar 0.1 ? 0.4 mg/cm2 per jam. Proses difusi pasif terjadi karena terdapatnya perbedaan kandungan air dari stratum basalis ( 60 ? 70%) , stratum granulosum ( 40 -60%) dan stratum corneum kurang dari 15% sehingga air mengalir dari stratum basalis ke stratum corneum. Dengan demikian maka SC merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam memepertahankan kelembaban kulit. Pada kulit yang sakit seperti pada psoriasis dan eczemal (terdapat kelainan epidermis ), barier kulit melemah sehingga kec TEWL meningkat 10 kali lebih besar dari normal. Di lain pihak SC terdiri dari sel- sel tak berinti yang banyak mengandung protein ( profilaggrin, filaggrin dan garnul keratohyalin) dan ruang interseluler yang banyak mengandung lipid dan membran SC ( ceramide, FFA dan cholesterol ) dan bahan pelembab alami ( natural moistuerizing factor = NMF )
yang mempunyai kemampuan mengikat air sangat kuat. Di samping itu enzym ?enzym yang ada di ruang interseluler juga dapat menyebabkan perubahan komposisi lipid interseluler sehingga dapat mempengaruhi TEWL. Ceramide merupakan komponen utama lipid interseluler SC dan banyak mengandung asam linoleat. Ikatan antara ceramide dan air akan membentuk emulsi yang halus sehingga nampak halus dan lembut. Pada keadaan tertentu, cuaca bersuhu rendah dengan kelembaban relatif rendah, ikatan antara ceramide dan air tersebut akan mengkristal sehingga kulit menjadi kering kasar dan kusam. Pada proses penuaan SC masih intak akan tetapi fungsi barier mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena jumlah faktor pelembab alami yang rendah sehingga menyebabkan penurunan kapasitas mengikat air lebih kurang 75% dari normal, akibatnya TEWL meningkat. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 GAMBARAN KLINIS Kulit kering memberikan beberapa gambaran karakterisitik. Karakteristik yang dapat dilihat dan diraba baik oleh dermatologist maupun pasien , dan karakteristik sensori hanya dapat dirasakan oleh pasien sendiri. (5) 1. Karakteristik yang terlihat : kemerahan, permukaan yang kusam, kering, bercak putih, gambaran berlapis ? lapis, pecah pecah dan juga fisura 2. Karakteristik yang dapat diraba : kusam dan tidak rata .
3. Karaketristik sensori : terasa kering tak nyaman, nyeri, gatal, rasa kesemutan Pasien dengan kulit kering biasanya gatal dan akan menggaruk. Pada pemeriksaan fisik, pasien ini akan menunjukkan perubahan sekunder berupa penebalan atau likenifikasi, erosi dan superinfeksi dengan keadaan lembab, lesi yang meleleh dan krusta. (5) Pada proses penuaan akan terjadi kekeringan akibat kemampuan stratum corneum mengikat air berkurang, sehingga kulit tampak mengkilat, mengkerut dan keras. (2) KLASIFIKASI Kulit kering dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : (7) 1. Kulit kering yang didapat ( acquired dry skin ) Ini dapat timbul pada kulit normal atau kulit berminyak yang menjadi kering sementara dan bersifat lokal yang disebabkan oleh faktor faktor luar , diantaranya : ? Radiasi matahari ( UV ) ? Pemaparan pada iklim yang ekstrim : panas, dingin, angin, dan kekeringan ? Pemaparan pada bahan kimia : detergen, solvent ? Terapi obat misalnya: retinoid 2. Constitutional Dry Skin Tipe ini meliputi banyak jenis kulit kering , di mana bentuk yang parah adalah bentuk patologik Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Non Pathological skin
Tipe kulit kering konstitutional ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang telah disebutkan . a. Fragile Skin : adalah bentuk antara kulit kering dengan kulit normal dan kebanyakan dijumpai pada wanita atau pada orang ?orang dengan kulit lembut, struktur baik. Sering dijumpai eritema, rosasea dan lebih sensitif terhadap bahan bahan dari luar. b. Senile Skin : kekeringan terjadi pada kulit menua, dimana terjadi perubahan pada semua level c. Minor dry skin ( xerosis vulgaris ) : hal ini mungkin berasal dari genetik, umumnya dijumpai pada wanita dengan tampilan pucat. Xerosis terjadi khsususnya pada wajah, punggung, tangan dan badan Pathological skin a. Ichtyosis : pada kulit ini terjadi kerusakan keratinisasi secara genetik, dimana bermanifestasi berupa deskuamasi abnormal, perubahan fungsi barier. Bentuk lanjut penyakit ini mirip ichtyosis vulgaris b. Kulit kering pada dermatitis atopik : pada penyakit ini terjadi defek secara genetik pada metabolisme dari asam lemak esensial (d-6 desaturase ), terlihat xerosis yang luas disertai inflamasi, plaque like, dan rasa gatal. DIAGNOSIS Diagnosis kulit kering berdasarkan gambaran klinis, kulit tampak kering dan kusam, dengan penebalan kulit atau likenifikasi dan adanya skuama. Ekskorisasi tampak sebagai sebagai erosi linear sering terlihat. Sebelum menghubungkan pruritus dengan kulit kering, kemungkinan penyebab lain dari pruritus seperi scabies, dermatofitosis,
candidisiasi cutis harus disingkirkan dengan kerokan kulit dan KOH. (5) Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Cara pemeriksaan kulit kering ? Pengukuran TEWL dengan alat evaporimeter ? Surface microscopy ? Skin surface photography ? Scanning electron microscopy (SEM) ? Skin Surface Biopsy ? Profilometri KOMPLIKASI (7) 1. Eczema xerotic Dapat terjadi jika kulit menjadi sangat kering dan pecah ?pecah dan menjadi inflamasi 2. Dermatitis numularis atau eczema discoid umumnya/cenderung pada kulit yang xerosis. 3. Superinfeksi dengan bakteri akibat garukan . PENATALAKSANAAN Untuk memperbaiki kulit kering, harus mengurangi hilangnya air lewat epidermis ( TEWL ) dengan jalan memberikan bahan yang bersifat hidrasi (moisturizer ) yang larut dalam air atau pelumas ( lumbricating) dan penutup (oclution) yang tidak larut dalam air.(2) Istilah pelembab dan emolien sering dikacaukan sehingga timbul bermacam
definisi. Istilah pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke kulit, sehingga menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air secara aktif ke kulit. Pengertian emolien adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum. (8) JENIS ? JENIS PELEMBAB (8) Penggolongan pelembab berdasarkan atas mekanisme hidrasi langsung dan tidak langsung . Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 1. Tidak langsung a. Bahan Oklusi ? sebagai pelembab ? anti inflamasi ? anti mitotik ? anti pruritus b. Bahan pembentuk lipofilik ? asam lemak esensial ? seramid 2. Langsung a. Bahan pembentuk lapisan hidrofilik ? glikosaminoglikan ( asam hyaluronat, kondroitin sulfat ) ? kolagen ? khitin dan khitosan ? polimer hidrofilik b. Humektan : bahan higroskopis yang menyebabkan lapisan epidermis mampu menyerap dan menyimpan air. ? gliserin ? sorbitol
? propilen glikol ? ester poligliseril ? asam laktat c. Natural moisturizing factor ( NMF ) ? natrium pirolidon karbosiklat ? urea ? asam amino ? asam alfa hidroksi Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 ISI DAN KLASIFIKASI EMOLIEN Emolien berfungsi sebagai oklusif atau membentuk lapisan yang mempunyai kemampuan untuk mengganti lapisan hidrofilik alamiah, sehingga mengurangi TEWL. Emolien dapat bekerja pada kulit normal maupun dengan kelainan, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kelainan kulit pada umumnya. Efek emolien adalah melembabkan kulit , anti inflamasi, antimitotik dan antipruritus. Komponen terpenting pada emolien adalah lipid. Lipid bisa berasal dari tumbuhan dan hewan, minyak mineral atau sintetik. Asam lemak yang digunakan berantai karbon 8-18 dan dapat jenuh maupun tidak jenuh. Lemak hewani : lemak sapi, lemak domba Lanolin ( lemak domba penghasil wool) dahulu banyak digunakan tetapi dapat menyebabkan sensitifitas, saat ini dipakai bermacam lanolin yang telah diubah susunan kimianya. Penelitian Clark dkk (1981) mneyebutkan komponen utama penyebab iritasi dalam lanolin adalah alkohol. Lemak tumbuhan
Minyak tumbuhan / biji-bijian asli yang belum dimodifikasi dimasukkan dalam formulasi emolien ( contohnya minyak kacang, bunga matahari, zaitun ). Minyak tumbuhan asli tersebut ternyata lebih disenangi pasien tetapi sangat berminyak, kebanyakan dipakai untuk minyak mandi rendam. Minyak mineral Minyak yang digunakan untuk emolien merupakan hasil destilasi vaselin dan mengandung komponen organik dalam jumlah besar, terutama hidrokarbon alifatik rantai panjang dan bercabang. Proses pembuatan termasuk destilasi , ekstraksi pelarut, kristalisasi dan netralisasi alkali dan bleaching menghasilkan petroleum jelly dan light liquid parafin ( white oil ). Untuk pelembab medis digunakan parafin oil. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Minyak sintesis Yang sering digunakan dan tampaknya cukup ideal ialah minyak silikon sintesis. Lilin Lemak Yaitu campuran lipid semi solid kompleks yang juga merupakan turunan dari minyak hewan, tumbuhan atau mineral. Yang paling banyak dipakai lilin lebah dari sarang lebah, lilin carnauba dan pohon palem carnauba dan lilin parafin. Kulit kering yang disertai inflamasi memerlukan aplikasi kortikosteroid. Pemberiannya dilakukan sebelum aplikasi moisterizer atau emolien. PROGNOSIS (6)
Prognosis kulit kering sangat bervariasi dan tergantung pada penyebabnya. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 DAFTAR PUSTAKA 1. Baumann L. Dry skin. In: Cosmetic Dermatology. Principles and Practise. Mc Graw Hill: New York. 2002: 29-32. 2. Van Scott E.J, Dieullangard . Xerosis ( dry skin, xeroderma ) in: practical management of dermatologic patient, Athur Rook, Philadelphia, J.B Lippincott co, 1986 : 224 3. Hidayat T. Kulit kering. Dalam: Berkala LP kulit & kelamin Airlangga periodical of dermato-venerology vol 7 no 1 Suplemen semiloka kosmetik medik 2, Lab I.P kulit kelamin FK Unair /RSUD Dr. Sutomo, Surabaya 1995 : 27 ? 31 4. Cholis M. Patogenesis & penatalaksanaan kulit kering pada DA. Dalam: MDVI vol 28 no 3 Juli 2001 : 142 ? 145 5. Marie L.. Moisterizers. In: Peter Elsner, Howart I Maibach eds. Cosmeceuticals
drugs vs cosmetic , New York, Mercel Dekker, Inc, 2000 : 73 -75 . 6. The merck manual of geriatrics Xerosis in common skin disorders Available at http://www.merck.com/pubs/mm-geriatrics/sec_15/ch_123.htm 7. Black David et all. Skin care products for normal, dry and greasy skin. In: Robert Baran, Howart I Maibach, eds. Textbook of cosmetic dermatology 2nd ed, London, Martin Dunitz, 1998 : 125 -128 8. Purwandhani E, Effendi EHF. Pelembab & emolien untuk kelainan kulit pada bayi dan anak dalam MDVI vol 27 no 4 September 2000 : 20s ? 26s. 9. Schaefer H, Redemieier T.E ; Composition and structur of the stratum corneum in: Skin barrier. Basel ( Switzerland ) Karger AG, 1996 : 61-76 10. Marks R. Methods to evaluate effects skin surface tecture modifier. In: Frost P, Horwitz.ed. Principle of cosmetics for dermatologist, London, the CV. Mosby co 1982: 50 -58 . 11. Vande Velde Mk. Xerosis and xerotic dermatitis. In: Spach DH, Hutton MT eds.. The HIV manual guide to diagnosis and treatment, New York, Oxford University Press, 1996 : 323-325. 12. Podiatry channel. Available at http://www.podiatry channel.com/xerosis/ Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008
PERAN ION KALSIUM DALAM MEREGULASI HOMEOSTASIS SAWAR KULIT
6.1 PENDAHULUAN Gejala-gejala kulit kering sering dikaitkan dengan fungsi skin barrier yang terganggu, seperti yang terjadi pada psoriasis, ichtyosis, kulit hipersensitif (atopic skin), dan ekzema kontak. Lebih khusus, fungsi skin barrier (pertahanan kulit) ini terkait dengan kondisi kimiawi dan fisik dari stratum korneum, lapisan teratas dari epidermis. Stratum korneum memberikan perlindungan dari terhadap dehidrasi dan gangguan lingkungan dengan meregulasi aliran dan penyimpanan air. Kadar air optimal yang dipertahankan pada stratum korneum sangat tergantung pada tiga komponen, yang secara terus menerus diregenerasi dalam lapisan kulit ini, yaitu (1) lipid lamela interseluler, sebagai sebuah barrier efektif untuk aliran air; (2) korneosit (sel stratum korneum), yang menyediakan jalur difusi yang kompleks, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan stratum korneum dan sampul korneosit (corneocyte envelope), yang menghambat pengeluaran air, dan (3) faktor pelembab alami (NMF), sebuah campuran
kompleks antara senyawa-senyawa larut-air berberat molekul rendah yang pertama kali terbentuk dalam korneosit melalui degradasi protein kaya-histidin yang dikenal sebagai filaggrin. Gangguan pada proses regenerasi komponen-komponen ini menghasilkan kondisi kulit kering dan terkelupas. Peranan kalsium dalam regulasi homeostasis skin barrier cukup jelas karena kalsium terlibat dalam proses regenerasi komponen-komponen skin barrier. Dengan demikian, keseimbangan kadar kalsium dalam kulit sangat terkait dengan hidrasi kulit. Selain pada kulit, ion ini memegang peranan penting dalam berbagai proses dalam tubuh, termasuk pertumbuhan, kematian, diferensiasi, dan fungsi sel-sel imun. Peranan kalsium dalam kulit lebih kompleks dibanding yang diduga sebelumnya. Penelusuran mekanisme regulasi kalsium pada kulit bisa bermanfaat untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kulit.
6.2 MEKANISME KOMUNIKASI SEL KALSIUM Dalam tubuh, kalsium, dalam bentuk ion Ca2+, merupakan ion logam yang paling melimpah dan merupakan unsur ke-lima yang paling melimpah dalam tubuh (setelah H, O, C, dan N), baik berdasarkan atom maupun berdasarkan bobotnya. Lebih dari 90% kalsium terdapat dalam tulang dan email gigi. Sisanya, yang disebut sebagai Ca2+ mobile, ditemukan dalam cairan tubuh dan turut andil dalam berbagai proses, termasuk kontraksi otot, pembekuan darah, komunikasi interseluler, transport molekul dalam membran, eksositosis respons hormonal, penggabungan, adhesi dan pertumbuhan sel. Kalsium mobile merupakan sebuah duta umum untuk makhluk hidup, bahkan pada organisme dan tanaman yang sederhana sekalipun. Kombinasi unik antara radius ionik dan muatan gandanya memungkinkana Ca2+ untuk dikenali secara spesifik dan untuk menghasilkan pengikatan yang lebih kuat ke reseptor-reseptor untuk menyingkirkan ion-ion lain, sehingga mengarah pada pengikatan yang spesifik struktur. Spesifitas ini memungkinkan sel membentuk reseptor-reseptor khusus untuk menilai sinyal-sinyal dari kalsium. Untuk berbagai bagian tubuh, Ca2+ sering bertindak sebagai duta kedua dengan cara yang serupa dengan cAMP. Peningkatan sementara konsentrasi Ca2+ sistolik memicu berbagai respons seluler termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan penguraian glikogen (glikogenolisis), juga bertindak sebagai sebuah pengaktivasi penting untuk metabolisme oksidatif. Ca2+ tidak perlu disintesis dan didegradasi dengan masing-masing transmisi pesan, sehingga merupakan komunikasi yang efisien energi dalam sel. Pada kulit, kalsium bisa memberikan sinyal untuk sel-sel, baik ekstraseluler maupun intraseluler (dalam sitosol). Komunikasi ekstraseluler dan intraseluler bisa dihubungkan satu sama lain, tetapi juga bisa beraksi secara terpisah. Pada keratinosit-keratinosit yang dikulturkan, kadar kalsium ekstraseluler mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kadar kalsium ekstraseluler yang rendah (< 0,1 mM) menginduksi pertumbuhan keratinosit sebagai sebuah ekalapis (monolayer) dengan laju proliferasi tinggi, cepat menjadi berhimpit. Pada kondisi ini keratinosit memiliki banyak karakteristik seperti yang dimiliki oleh sel-sel basal: mensintesis protein keratin dan dihubungkan oleh gap junction tetapi tidak oleh desmosom. Kadar kalsium ekstraseluler yang tinggi (> 1 mM) menginduksi diferensiasi keratinosit. Keratinosit dengan cepat menjadi rata, membentuk desmosom dan berdiferensiasi dengan stratifikasi.
Disamping itu, cornified envelopes terbentuk pada lapisan-lapisan teratas. Respons terhadap sinyal juga ditunjukkan terjadi secara progresif. Keratinosit yang ditumbuhkan dalam medium kalsium berproliferasi. Ca2+ ekstraseluler yang meningkat menghambat proliferasi, disamping menginduksi diferensiasi. Disisi lain, diferensiasi keratinosit menyebabkan menurunnnya daya-respons terhadap kalsium ekstraseluler, yang bisa mempermudah penjagaan kadar kalsium intraseluler tinggi yang diperlukan untuk diferensiasi. Ca2+ intraseluler meningkat seiring dengan meningkatnya Ca2+ ekstraseluler. Ini menunjukkan bahwa Ca2+ intraseluler yang meningkat merupakan sinyal aktual untuk memicu diferensiasi keratinosit. Sinyal Ca2+ intraseluler dinilai melalui protein-protein pengikatan kalsium untuk menginduksi respons. Protein pengikat kalsium utama dalam kulit adalah calmodulin. Calmodulin meregulasi banyak enzim, sebagai contoh, adenin dan guanil siklase, fosfodiesterase, ornitin dekarboksilase, kinase protein yang dependen kalsium-calmodulin, transglutaminase, dan fosfolipase, yang juga ditemukan dalam kulit. Pelepasan intraseluler dan aliran transmembran keduanya berkontirbusi terhadap peningkatan kadar Ca2+ intraseluler. Peningkatan kadar Ca2+ intraseluler keratinosit sebagai respon terhadap kadar Ca2+ ekstraseluler yang meningkat memiliki dua tahapan: (a) puncak awal, tidak tergantung pada kadar Ca2+ ekstraseluler dan (b) fase akhir yang memerlukan Ca2+ ekstraseluler. Sebuah respons awal dari keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler. Respons awal keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler diikuti dengan peningkatan Ca2+ intraseluler. Penambahan Ca2+ ekstraseluler secara bertahap ke dalam keratinosit manusia diikuti dengan peningkatan progresi Ca2+ intraseluler, dimana tahap awal peningkatan Ca2+ intraseluler diikuti dengan puncak Ca2+ intraseluler yang lebih tinggi. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit dihilangkan oleh Ca2+ ekstraseluler 2,0 mM. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit menyerupai respons pada sel-sel paratiroid, dimana peningkatan Ca2+ yang cepat dan sementara diikuti dengan peningkatan Ca2+ yang lama di atas tingkat dasar. Respons multitahap ini dikaitkan dengan pelepasan awal Ca2+ dari bagian-bagian intraseluler diikuti dengan influks Ca2+ yang meningkat melalui saluran kation yang independen voltase. Keratinosit sel paratiroid mengandung sebuah reseptor kalsium membran sel serupa yang dianggap memperantarai respons ini terhadap Ca2+ ekstraseluler. Reseptor ini bisa mengaktivasi jalur C-fosfolipase, yang mengarah pada peningkatan kadar inositol 1,4,5-trifospat (IP3) dan sn-1,2-diasilgliserol (DAG) – keduanya merupakan duta yang penting – serta menstimulasi influks Ca2+ dan arus klorida. IP3 menyebabkan pelepasan Ca2+ dari bidang-bidang internal, seperti retikulum endoplasmik, yang lebih lanjut meningkatkan kadar intraseluler mendahului beberapa kejadian seluler yang terstimulasi kalsium. DAG membentuk sebuah kompleks kuartener dengan fosfatidilserin, kalsium, dan protein kinase C untuk mengaktivasi kinase. Ini akan mempercepat diferensiasi terminal (Hennings dkk., 1983). Transduksi sinyal yang diperantarai melalui calmodulin menginduksi protein-protein lain, misalnya, desmoclamin, yang terkait dengan pembentukan desmosom. Keratinosit-keratinosit yang tumbuh dalam medium berkalsium rendah (0,02 mM) menjaga kadar kalsium intraseluler yang memadai untuk metabolisme asam arachidonat dan menunjukkan produksi
prostaglandin yang meningkat (utamanya PGE2 dan PGF2) hingga sampai 4,5 kali dibanding dengan sel-sel yang tumbuh pada kadar kalsium normal (1,2 mM). Jika ini benar untuk kondisi in vivo, maka kadar kalsium ekstraseluler yang rendah – misalnya, akibat skin barrier yang cacat – bisa menyebabkan peningkatan sintesis prostaglandin, menyebabkan gangguan-gangguan epidermal hiperproliferatif, seperti psoriasis, yang sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas pada produksi prostaglandin.
6.3 REGULASI KALSIUM Regulasi kalsium dalam kulit menunjukkan adaptasi makhluk hidup yang cermat terhadap keberadaan ion-ion. Karena Ca2+ tidak dimetabolisasi seperti molekul-molekul duta-kedua lainnya, sel-sel dengan ketat mengatur kadar-kadar intraseluler melalui berbagai protein dan protein pengikatan dan protein ekstrusi khusus. Konsentrasi kalsium dalam ruang-ruang ekstraseluler (umumnya ~1,5 mM) memiliki jumlah yang empat kali lebih tinggi dibanding dalam sitosol (~0,1 µM). Pada sel-sel yang bisa dieksitasi, misalnya sel-sel otot, konsentrasi ekstraseluler dari kalsium harus diregulasi dengan ketat untuk menjaganya agar tetap pada kadar normal yakni ~1,5 mM, sehingga tidak bisa secara tidak sengaja memicu kontraksi otot, transmisi impuls-impuls saraf, dan pembekuan darah. Pada sel-sel lain, termasuk keratinosit, kadar ekstraseluler dipertahankan dalam kesetimbangan yang spesifik dengan konsentrasi intraseluler. Apa fungsi menjaga kadar kalsium intraseluler agar tetap rendah? Konsentrasi kalsium yang rendah menjadikan penggunaan ion sebagai duta intraseluler tidak menggunakan banyak energi. Perpindahan ion kalsium melintasi membran memerlukan energi, biasanya disuplai oleh ATP. Jika kadar istirahat dari kalsium dalam sel cukup tinggi, banyak ion yang perlu ditransport ke dalam sitoplasma untuk meningkatkan konsentrasi dengan faktor 10 yang biasanya diperlukan untuk mengaktivasi sebuah enzim; setelah itu kalsium yang berlebih harus dikeluarkan dari sel. Normalnya kadar kalsium rendah berarti bahwa relatif sedikit pengeluaran energi, untuk meregulasi sebuah enzim. Berbeda dengan itu, pemakaian energi dari regulasi oleh duta intraseluler penting lainnya, yakni AMP siklik, cukup tinggi; ini harus disintesis dan diuraikan setiap waktu dia membawa sebuah pesan, dan kedua tahapan ini memerlukan investasi energi yang signifikan. Lebih lanjut, kalsium intraseluler yang rendah, merupakan sebuah kondisi yang diperlukan untuk karakteristik metabolisme yang dikendalikan fosfat pada organisme tingkat tinggi. Bahan bakar kaya energi untuk kebanyakan proses seluler adalah adenosin trifosfat (ATP). Penguraiannya melepaskan fosfat anorganik. Jika konsentrasi kalsium dalam sel cukup tinggi, fosfat dan kalsium akan bergabung membentuk sebuah endapan kristal hidroksipatit – zat sama yang ditemukan dalam tulang. Terakhir kalsifikasi akan mematikan sel. Ini kemungkinan terjadi dengan keterpaparak kerja jangka panjang terhadap kadar kalsium terlarut yang tinggi, misalnya, pada penambang, pekerja pertanian, dan pekerja lahan tanah, yang bisa menghasilkan kalsinosis cutis, sebuah pengerasan ringan dan reversibel pada kulit yang terpapar. Gradien konsentasi yang luas antara ruang-ruang ekstraseluler dan sitosol dipertahankan oleh transport aktif Ca2+ melintasi membran plasma, retikulum endoplasma (atau retikulum sarkoplasmik pada otot), dan membran dalam mitokondria. Secara umum, membran plasma dan retikulum endoplasmik masing-masing mengandung Ca2+-ATPase yang secara aktif memompa Ca2+ keluar dari sitosol dengan disertai
hidrolisis ATP. Mitokondria bertindak sebagai sebuah “buffer” untuk Ca2+ sitosolik: Jika konsentrasi sitosolik dari kalsium meningkat, maka laju influks Ca2= mitokondrial meningkat sedangkan efluks Ca2+ tetap konstan, sehingga menyebabkan konsentrasi kalsium dalam mitokondria meningkat meskipun konsentrasi kalsium dalam sitosol berkurang seperti semula. Sebaliknya, pengurangan konsentrasi kalsium dalam sitosol mengurangi laju influks mitokondria, sehingga menyebabkan efluks kalsium dari mitokondria dan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sitosol kembali ke titik semula. Disamping Ca2+-ATPase yang disebutkan sebelumnya, transport Ca2+ diregulasi oleh serangkaian pompa kalsium, sistem transport, dan saluran ion. Ketersediaan sistem-sistem regulatory tertentu tergantung pada aktivitas sel. Pada sel-sel yang bisa dieksitasi seperti oto kardiak, influks Ca2+ ke dalam sitosol diregulasi oleh saluran-saluran yang tergantung voltase (atau potensial) sedangkan efluks (keluar dari sitosol) diregulasi oleh penukar kation, seperti penukar Na+-Ca2+. Keratinosit-keratinosit yang tidak berdiferensiasi dalam lapisan basal memiliki kumpulan sistem transport Ca2+ yang berbeda dibanding sel-sel diferensial dalam lapisan teratas. Pada lapisan basal, sistem ini terdiri dari saluran kation non-spesifik 14-pS (NSCC) dan tidak memiliki saluran Ca2+ sensitif voltase fungsional. Keratinosit-keratinosit yang berdiferensiasi kemungkinan memiliki sekurang-kurangnya dua dan kemungkinan tiga jalur influks Ca2+: (a) saluran nikotinat, (b) saluran Ca2+ sensitif voltase (VSCC, yang bias diblokir oleh nifedipin atau verapamil); dan (c) NSCC, yang tidak diaktivasi oleh nikotin. Permeabilitas kulit terhadap ion-ion Ca2+ telah diketahui dari beberapa dermatosa, seperti kalsinosis cutis dan kolagenoma verrucifomis yang berperforasi. Dalam jangka pendek, kalsinosis cutis terjadi setelah 24 jam (sekurang-kurangnya) pengapliaksian topikal sebuah pasta elektroda yang mengandung larutan kalsium klorida jenuh, bentonit, dan gliserin, yang digunakan untuk pemeriksaan dengan elektrosefalografi atau elektromiografi. Permeabilitas kulit manusia terhadap ion-ion Ca2+ secara in vitro menunjukkan sbuah ketergantungan besar terhadap anatomik. Sesuai dengan data yang ditemukan untuk nonelektrolit, permeasi berkurang sesuai dengan urutan berikut: foreskin > mammary > kulit kepala > paha. Mencit dan babi guinea akan menunjukkan permeabilitas yang sebanding dengan kulit kepala manusia. Trasport Ca2+ dari dermis melintasi epidermis lebih tinggi dibanding dari epidermis ke dermis. Sebuah teknik dikembangkan untuk secara terus menerus memantau kadar fluks Ca2+ pada manusia secara in vitro. Penelitian menunjukkan bahwa fluks melalui stratum korneum manusia yang tidak diperlakukan adalah berbentuk sigmoidal. Fluks tetap memiliki rata-rata 7 x 10-12 mol/cm2/detik. Setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton dan sodium lauril sulfat, bentuk kurva cukup mirip tetapi fluks Ca2+ secara signifikan lebih tinggi.
6.4 GRADIEN KALSIUM Seperti yang disebutkan sebelumnya, terdapat gradien kalsium yang tinggi antara domain ekstraseluler dan intraseluler dari keratinosit, yang memerlukan regulasi ketat. Disamping itu, sebuah gradien kalsium terdapat dalam epidermis, dengan kuantitas Ca2+ yang lebih besar pada bagian atas di banding pada bagian bawah epidermis. Konsentrasi Ca2+ meningkat secara tetap dari daerah basal ke stratum
korneum, meskipun ini tidak terjadi dengan ion-ion lain. Gambar 6.1 mengilustrasikan gradien kalsium pada kulit manusia yang dibandingkan dengan data literatur aktual. Gradien seperti ini tidak diamati pada abnormalitas-abnormalitas kulit yang terkait dengan pembentukan fungsi barier abnormal, seperti pada psoriasis. Penelitian-penelitian pada mencit menunjukkan bahwa gradien ini terdapat pada saat yang sama dengan pembentukan barier kulit yang sedang matang pada akhir kehamilan. Gradien ini kemudian dipertahankan mulai dari lahir sampai dewasa. Masih belum jelas apakah gradien kalsium mengarah pada pembentukan barier matang atau barier menyebabkan gradien. Bahkan bisa keduanya, jika regulasi menggunakan sebuah mekanisme umpan-balik, karena diferensiasi pada akhirnya membentuk sebuah barier yang engarah pada akumulasi kalsium dalam epidermis atas. Kadar kalsium yang tinggi ini pada gilirannya akan menjamin proses diferensiasi yang terus menerus sampai pembentukan korneosit (horny cells dalam SC). Mekanisme ini hampir sepenuhnya otonom, terus menerus, dan jika berjalan mulus, memerukan sedikit koreksi dari tubuh.
6.5 KALSIUM DAN MEKANISME REPARASI BARIER Gangguan barier dengan perlakuan aseton atau tape stripping mengurangi Ca2+ dari epidermis atas, yang menghasilkan kehilangan gradien Ca2+. Ini disebabkan oleh transit air yang mengarah pada meningkatnya kehilangan Ca2+ secara pasif ke dalam dan di sepanjang stratum korneum. Salah satu penelitian in vivo menunjukkan bahwa permeabilitas SC manusia terhadap Ca2+ meningkat drastis setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton atau larutan sodium lauril sulfat. Penurunan kadar Ca2+dalam epidermis luar terkait dengan sekresi badan lamellar yang meningkat dan sintesis lipid (komponen-komponen penting dalam respons reparasi). Akan tetapi, jika gradien Ca2+ dilindungi dengan penambahan Ca2+ ke dalam medium, sekresi badan lamellar, sintesis lipid, dan recovery barier terhambat. Inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentrasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dipotensiasi oleh kadar K+ ekstraseluler yang tinggi. Penelitian lain menguatkan bahwa recovery barier dipercepat oleh konsentrasi kalsium yang rendah dan juga kalium selama kehilangan air yang meningkat, karena kehilangan kehilangan air bisa menyebabkan penurunan konsentrasi Ca2+ pada epidermis atas, yang selanjutnya bisa menstimulasi sekresi badan lamelar dan reparasi barier. Lebih lanjut, inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dibaikkan oleh nifedpipin atau verapamil, yang merupakan pemblokir asluran kalsium. Pada penelitian lain, pemberian larutan bebas Ca2+ dengan sonoforesis menghasilkan penurunan kandungan Ca2+ pada epidermis atas, dan selanjutnya kehilangan gradien Ca2+ disertai dengan sekresi badan lamellar yang terpicu (sebuah tanda reparasi barier kulit). Proses reparasi barier dalam kaitannya dengan kehilangan air transepidermal dan gradien kalsium diilustrasikan pada Gambar 6.2. Eksperimen pada mencit menunjukkan bahwa gradien kalsium hilang setelah gangguan barier permeabilitas akut, dan kembali setela 6 jam seiring dengan recovery barier, fungsi barier (melalui restriksi pergerakan air transkutaneous) bisa meregulasi pembentukan gradien kalsium epidermal. Perlu diperhatikan bahwa reparasi barier sebagai respons terhadap gangguan barier kulit tidak sama
dengan proses regenerasi barier normal. Respons ini merupakan sebuah tahapan darurat untuk mengurangi kehilangan air transepidermal secara cepat ke titik awal dan sehingga mengembalikan gradien kalsium ke kondisi alaminya. Ketika gradien kalsium ternomalkan, pembentukan barier kulit normal terjadi. Ditemukan bahwa penambahan konsentrasi kalsium tinggi selama proses penggangguan barier akan menginduksi influks kalsium yang lebih tinggi kedalam keratinosit epidermal yang menunda proses reparasi barier darurat. Akan tetapi, selama penundaan ini dan jika konsentrasi kalsium yang diaplikasikan berada dalam rentang fisiologis yang tepat, maka proses regenerasi kulit normal bisa terjadi dan fungsi batas nirmal direstorasi tanpa pembentukan barier emergensi intermediet. Ini diindikasikan dalam sebuah penelitian tentang keratinosit-keratinosit kultur bahwa kalsium ekstraseluler dalam rentang konsentrasi fisiologis tidak merupakan sinyal yang cukup untuk penghambatan pertumbuhan ketika kondisi-kondisi pertumbuhan lain dioptimalkan. Restorasi fungsi barier normal selama pengaplikasian konsentrasi kalsium yang tinggi terbukti dari efek ketika mandi di perairan Laut Mati yang kaya kalsium untuk menyembuhkan penyakit kulit yang terkait dengan gangguan barier kulit serta untuk meningkatkan hidrasi kulit dan mengurangi inflamasi pada kulit kering sensitif.
6.6 KESIMPULAN Ion-ion kalsium memegang sebuah peranan penting dalam homeostasis barier kulit. Perubahan barier akan merubah gradien ion kalsium dalam kulit dan mengarah pada proses regenerasi barier kulit. Perubahan parah bisa mengarah pada tingkat pensinyalan kalsium yang tinggi, yang bisa menginduksi aktivasi berbagai proses, mulai sintesis komponen kulit yang meningkat sampai reaksi-reaksi inflamasi. Semua ini merupakan faktor penting yang mengarah pada kondisi kulit kering. Regulasi kalsium dalam kulit dengan demikian diperlukan untuk mempertahankan fungsi barier kulit dan menghindari gejala-gejala kulit kering.