kualitas playanan pembuatan kartu tanda penduduk...

94
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016 1 | Page KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL MELALUI KANTOR KECAMATAN TALIABU SELATAN KABUPATEN PULAU TALIABU Oleh Iksan Lamadira Magister Ilmu Administrasi Pascasarjana UNISMA Abstrak Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah salah satu isu yang sangat krusial dimana hal ini terjadi karena disatu sisi tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dari tahun ketahun semakin besar, sementara itu praktek penyelenggara pelayanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Dewasa ini masyarakat semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah malakukan berbagai usaha, seperti halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam rangka meningkatkan pelayanan dan percepatan pembangunan, Pemerintah daerah membentuk kecamatan-kecamatan baru. Hasil analisis membuktikan kualitas pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk di dinas kependudukan dan catatan sipil melalui kantor kecamatan taliabu selatan kabupaten pulau taliabu belum memuaskan, masih terdapat beberapa masalah dalam proses pelayanan, diantaranya ialah kurangnya sarana dan prasarana kantor, rendahnya kualitas sumber daya pegawai, kurangnya kesadaran pegawai dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai abdi masyarakat, rendahnya disiplin pegawai, dan belum efisiennya waktu pembuatan KTP, serta belum adanya standar biaya pembuatan KTP oleh masyarakat. Kata kunci: Kualitas, Pelayanan, Publik, Bukti Nyata, Kehandalan, Daya Tanggap, Jaminan, dan Empati. PENDAHULUAN Pemerintah merupakan suatu entitas yang memiliki fungsi dan tujuan memberikan layanan publik kepada kelompok masyarakat dengan menjalankan peran sebagai organisasi publik non profit. Pada dasarnya pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Banyak fenomena yang menggambarkan betapa buruknya kualitas pelayanan publik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dirasakannya sangat jauh dari harapannya. Pelayanan yang diharapakan dan menjadi tuntutan pelayanan publik oleh organisasi publik yaitu pemerintah lebih mengarah pada pemberian layanan publik yang lebih professional, efektif, efisien, responsif, transparan, dan akuntabel. Dewasa ini masyarakat semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks.

Upload: others

Post on 18-Feb-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

1 | P a g e

KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK DI DINAS

KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL MELALUI KANTOR KECAMATAN

TALIABU SELATAN KABUPATEN PULAU TALIABU

Oleh

Iksan Lamadira

Magister Ilmu Administrasi

Pascasarjana UNISMA

Abstrak

Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah salah satu isu yang sangat krusial

dimana hal ini terjadi karena disatu sisi tuntutan masyarakat terhadap kualitas

pelayanan dari tahun ketahun semakin besar, sementara itu praktek penyelenggara

pelayanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Dewasa ini masyarakat

semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks. Pemerintah

Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah

malakukan berbagai usaha, seperti halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam

rangka meningkatkan pelayanan dan percepatan pembangunan, Pemerintah daerah

membentuk kecamatan-kecamatan baru. Hasil analisis membuktikan kualitas

pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk di dinas kependudukan dan catatan

sipil melalui kantor kecamatan taliabu selatan kabupaten pulau taliabu belum

memuaskan, masih terdapat beberapa masalah dalam proses pelayanan,

diantaranya ialah kurangnya sarana dan prasarana kantor, rendahnya kualitas

sumber daya pegawai, kurangnya kesadaran pegawai dalam melaksanakan

tanggung jawabnya sebagai abdi masyarakat, rendahnya disiplin pegawai, dan

belum efisiennya waktu pembuatan KTP, serta belum adanya standar biaya

pembuatan KTP oleh masyarakat.

Kata kunci: Kualitas, Pelayanan, Publik, Bukti Nyata, Kehandalan, Daya

Tanggap, Jaminan, dan Empati.

PENDAHULUAN

Pemerintah merupakan suatu entitas

yang memiliki fungsi dan tujuan

memberikan layanan publik kepada

kelompok masyarakat dengan menjalankan

peran sebagai organisasi publik non profit.

Pada dasarnya pelayanan publik

merupakan tanggung jawab pemerintah

daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan

dasar masyarakat dan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Banyak

fenomena yang menggambarkan betapa

buruknya kualitas pelayanan publik yang

selama ini dinikmati oleh masyarakat.

Sudah sejak lama masyarakat mengeluh

terhadap penyelenggaraan pelayanan

publik yang dirasakannya sangat jauh dari

harapannya.

Pelayanan yang diharapakan dan

menjadi tuntutan pelayanan publik oleh

organisasi publik yaitu pemerintah lebih

mengarah pada pemberian layanan publik

yang lebih professional, efektif, efisien,

responsif, transparan, dan akuntabel.

Dewasa ini masyarakat semakin moderen

sehingga kebutuhannya semakin kompleks.

Page 2: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

2 | P a g e

Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

telah malakukan berbagai usaha, seperti

halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam

rangka meningkatkan pelayanan dan

percepatan pembangunan, Pemerintah

daerah membentuk kecamatan-kecamatan

baru.

Sebelum dibentuknya Kecamatan

Taliabu Selatan masyarakat dalam

mendapatkan pelayanan tidaklah mudah,

memerlukan biaya dan waktu yang tidak

sedikit karena letak kantor kecamatan

terdahulu sebelum dimekarkan jaraknya

cukup jauh. Maka tidaklah mengherankan

jika pada waktu itu banyak masyarakat

mangabaikan pentingnya kewajiban

sebagai warga negara yang baik dengan

tidak melengkapi diri dengan berbagai

catatan sipil sebagai identitas diri sehingga

pemerintah sulit memberikan akses

pelayanan. Namun ironisnya walau sudah

menjadi kecamatan yang berdiri sendiri

dalam hal Kartu Tanda Penduduk saja

menurut hasil observasi lapangan yang

dilakukan peneliti, masyarakat yang

memiliki KTP dengan masyarakat yang

tidak memiliki KTP jumlahnya sangat

memprihatinkan. Dimana jumlah wajib

KTP di Kecamatan Taliabu Selatan

berjumlah 4.526 jiwa, yang hanya

memiliki KTP berjumlah 2.967 jiwa dan

yang belum memiliki KTP berjumlah

1.559 jiwa.

Hal tersebut rupanya masih menjadi

momok yang masih belum terwujud.

Kualitas pelayanan di Kecamatan Taliabu

Selatan hasil pemekaran ini masih kurang

maksimal, hal ini terlihat kecepatan

pelayanan administrasi yang diberikan oleh

penyelenggara pemerintahan kepada

masyarakat masih terkesan lamban dan

melebihi waktu yang ditetapkan, sarana

dan prasarana Kantor belum memadai baik

sarana oprasional, fasilitas fisik serta

prasarana pendukung lainnya, kurangnya

respon petugas pelayanan kepada

masyarakat, kurangnya perhatian terhadap

pengguna layanan secara individual yang

diberikan oleh pihak penyelenggara

pelayanan, kurangnya kedisiplinan

pegawai dari waktu yang telah ditentukan,

dan masih adanya perbedaan perlakuan

pegawai kecamatan kepada masyarakat

yang hendak melakukan pelayanan

(Diskriminatif).

Itulah sebabnya peneliti tertarik untuk

meneropong sejauh mana Kualitas

Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda

Penduduk di Dinas Kependudukan Dan

Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu.

Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang

sebagaimana telah diuraikan di atas, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Bagaimana Kualitas Pelayanan

Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di

Dinas Kependudukan Dan Catatan

Sipil Melalui Kantor Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau

Taliabu?

2. Apa permasalahan yang dihadapi oleh

Pemerintah Kecamatan dalam

melakukan Pelayanan Pembuatan

Kartu Tanda Penduduk?

Tujuan

Berdasarkan uraian rumusan masalah

yang telah dikemukakan tersebut diatas,

maka tujuan dari penulis melakukan

penelitian di Kantor Kecamatan Taliabu

Setalan Kabupaten Pulau Taliabu adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Kualitas Pelayanan

Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di

Dinas Kependudukan Dan Catatan

Sipil Melalui Kantor Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau

Taliabu.

2. Untuk menggambarkan permasalahan

yang dihadapi oleh Pemerintah

Kecamatan dalam melakukan

pelayanan pembuatan Kartu Tanda

Penduduk.

Manfaat Penelitian

Harapan peneliti dalam melakukan

penelitian ini agar bisa bermanfaat:

1. Bagi pemerintah, memberikan sara-

saran atau masukan sebagai alternatif

Page 3: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

3 | P a g e

pertimbangan dalam meningkatkan

kualitas pelayanan publik dalam hal

pembuatan kartu tanda penduduk.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah wawasan pengetahuan

dalam keilmuan, khususnya tentang

pelayanan pembuatan kartu tanda

penduduk.

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil

penelitian ini diharapakn dapat

menjadi rujukan bagi penelitian yang

lebih mendalam terkait kualitas

pelayanan pembuatan kartu tanda

penduduk.

Kajian Pustaka

Penelitian tentang pelayanan publik

telah banyak dikaji, baik peneliti maupun

praktisi. Diantara temuan penelitian

terdahulu antara lain :

Dalam tesis I Nyoman Adi Sudana

(2003) yang berjudul : Analisis Kualitas

Pelayanan Publik Pada Perusahaan

Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten

Karangasem-Bali, dia mengatakan :

Faktor-faktor yang mempengaruhi

rendahnya kualitas pelayanan publik

dipengaruhi faktor kapabilitas kerja

pegawai, prosedur/sistem tata kerja, dan

budaya kerja juga terkait dengan faktor

lainnya seperti faktor kepemimpinan

(Leadership), motivasi kerja,

pendapatan/penghasilan, pendidikan dan

pelatihan, dukungan suasana atau

lingkungan kerja, manajemen maupun

faktor-faktor lainnya.

Dalam tesis Erland Mouw (2013) yang

berjudul : Kualitas Pelayanan Publik di

Daerah (Pelayanan Publik Di Kabupaten

Halmahera Selatan) dia mengatakan :

Masyarakat selalu menginginkan kepuasan

dalam pelayanan, tetapi kelemahan

birokrat terlihat pada kelemahan atau

terbatasnya sumber daya yang mupuni

serta ditambah dengan peraturan-peraturan

yang membuat birokrat daerah bekerja

dengan kaku. Sehingga berbagai kritik

dilontarkan kepada birokrasi publik seperti

boros, kaku, berbeli-belit dan semacamnya,

namun pada saat yang sama masih

diperlukan kkkarena mampu melindungi

melindungi kepentingan publik dan

menciptakan keadilan.

Dalam tesis Novirsari (2012) yang

berjudul : Penilaian Kualitas Pelayanan

Publik Pada Sistem Admiiistrasi

Manunggal Satu Atap (Samsat) Di Unit

Pelayanan Teknis Dinas Pendapatann

Daerah Provinsi Sumatera Utara Tebing

Tinggi, dia mengatakan : Kualitas

pelayanan terhadap masyarakat sering

dijadikan tolak ukur didalam melihat

keberhasilan suatu organisasi atau instasni

pemerintah. Kemudian, pemerintah sebagai

penyedia pelayanan dengan kualitas yang

sesuai dengan harapan masyarakat.

Dalam tesis Kuncoro (2006) yang

berjudul : Studi Evaluasi Pelayanan Publik

Dan Kualitas Pelayanan Di Rumah Sakit

Umum Dr. Soetomo, dia mengatakan :

Mengevaluasi Implementasi Perda

Pelayanan Publik sangat mempengaruhi

kualitas pelayanan publik. Paradigma baru

pelayanan prima memposisikan

pelanggan/pasien sebagai keutamaan

dalam memperoleh pelayanan dapat

dirasakan dmpaknya di kalangan

pelanggan.

Pelayanan

Pengertian pelayanan menurut

Sedarmayanti (2009) melayani suatu jasa

yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam

segala bidang. Kegiatan pelayanan kepada

masyarakat merupakan salah satu tugas

dan fungsi administrasi negara. Pendapat

lain mengenai pelayanan menurut Albrecht

dalam Sedarmayanti (2009) pelayanan

adalah suatu suatu pendekatan organisasi

total yang menjadi kualitas pelayanan yang

diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan

penggerak utama dalam pengoperasian

bisnis.

Pelayanan Publik

Menurut Fitzimmons dalam

Sedarmayanti (2009) terdapat lima

indikator pelayanan publik, yaitu :

1. Reliablity: kemampuan untuk

memberi secara tepat dan benar, jenis

pelayanan yang telah diberikan kepada

konsumen/pelanggan

Page 4: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

4 | P a g e

2. Responsiviness: (pertanggungjawaban)

kesadaran/keinginan membantu

konsumen dalam memberikan

pelayanan yang cepat.

3. Assurance: (jaminan), pengetahuan/

wawasan, kesopanan, kesantunan,

kepercayaan diri dari pemberi layanan,

perhatian, dan respek terhadap

konsumen.

4. Empathy: (empati), kemauan pemberi

layanan untuk melakukan pendekatan,

memberi perlindungan, berusaha

mengetahui keinginan dan kebutuhan

konsumen/masyarakat.

5. Tangibless: (terjamah), penampilan

pegawai dan fasilitas fisik lainnya,

seperti : peralatan, meja, kursi,

perlengkapan, kebersihan kantor, serta

sarana lainnya yang menunjang

pelayanan.

Kualitas Pelayanan

Pengertian kualitas menurut Goetsh

dan Davis (1994) dalam Arief (2007)

bahwa kualitas merupakan ―suatu kondisi

dinamis yang berhubungan dengan produk,

jasa, manusia, proses dan lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan‖.

Ada beberapa indikator kualitas

pelayanan menurut Sedarmayanti (2009),

yaitu sebagai berikut :

1. Kesesuaian dengan

persyaratan/tuntutan.

2. Kecocokan untuk pemakaian.

3. Perbaikan/penyempurnaan

berkelanjutan./cacat.

4. Pemenuhan kebutuhan pelanggan awal

dan setiap saat.

5. Melakukan sesuatu secara benar awal.

6. Sesuatu yang bisa membahagiakan

pelanggan.

7. Bebas dari kerusakan

Konsep kualitas menurut Tjiptono

(2011) memiliki dua dimensi, yaitu:

1. Dimensi produk, memandang kualitas

barang dan jasa dari perspektif derajat

konformitas dengan spesifikasinya

yakni dengan memandang kualitas

dari sosok yang dapat dilihat, kasat

mata dan dapat diidentifikasi melalui

pemeriksaan dan pengamatan.

2. Dimensi lingkungan antara produk dan

pemakai suatu karakteristik

lingkungan dimana kualitas produk

adalah dinamis, sehingga produk harus

disesuaikan dengan perubahan dari

pemakai produk.

Persepsi Terhadap Pelayanan

Menurut Tjipjono dalam Ginting

(2012) kualitas pelayanan harus dimulai

dari kebutuhan masyarakat dan berakhir

dengan kepuasan masyarakat serta persepsi

positif terhadap kualitas layanan.

Masyarakat yang menilai tingkat kualitas

pelayanan sebuah organisasi publik.

Tantangannya, penilaian masyarakat

terhadap hasil kerja pelayanan yang

diterimanya bersifat subjektif, karena

tergantung persepsi masing-masing

masyarakat pengguna layanan.

Ekspektasi Terhadap Pelayanan

Menurut Santos dan Boot dalam

Ginting (2012) terdapat setidaknya 56

definisi ekspektasi pelanggan yang

dijumpai dalam literature kualitas

pelayanan dan kepuasan pelanggan.

Definisi-definisi tersebut dapat

dikelompokkan menjadi delapan tipe, yaitu

:

1. Ideal expectation, yaitu tingkat kinerja

optimum atau terbaik yang diharapkan

dapat diterima konsumen.

2. Normative (should) expectation

(persuasion-based standard), yaitu

tingkat kinerja yang dianggap

konsumen seharusnya mereka

dapatkan dari produk yang

dikonsumsi.

3. Desired Expectation, yaitu tingkat

kinerja yang diinginkan pelanggan

dapat diberikan produk atau jasa

tertentu.

4. Predicted (will) expectation

(experience-based norms), yaitu

tingkat kinerja yang diantisipasi atau

diperkirakan konsumen akan

diterimanya, berdasarkan semua

informasi yang diketahuinya.

5. Deserved (want) expectation

(equitable expectation), yaitu evaluasi

Page 5: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

5 | P a g e

subyektif konsumen terhadap investasi

produknya.

6. Adequated expectation atau minimum

tolerable expectation, yakni tingkat

kinerja terendah yang bisa diterima

atau ditolerir konsumen.

7. Intolerable expectation, yakni

serangkaian ekspektasi menyangkut

tingkat kinerja yang tidak akan

ditolerir atau diterima pelanggan.

8. Worst imaginable expectation, yaitu

skenario terburuk mengenai kinerja

produk yang diketahui dan/atau

terbentuk melalui kontak dengan

media, seperti TV, radio, koran atau

internet.

Hakikat Pelayanan Publik

Menurut Surjadi (2009) hakikat

pelayanan publik adalah pemberian

pelayanan prima kepada masyarakat yang

merupakan perwujudan kewajiban aoaratur

pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Karena itu pengembangan kinerja

pelayanan publik senantiasa menyangkut

tiga unsur pokok pelayanan publik, yaitu 1)

Unsur kelembagaan penyelenggara

pelayanan; 2) Proses pelayanan; dan 3)

Sumber daya manusia pemberi layanan.

Standar Pelayanan Publik

Sesuai dengan Peraturan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun

2014, harus memenuhi prinsip-prinsip

sebagai berikut :

1. Sederhana. Standar Pelayanan yang

mudah dimengerti, mudah diikuti,

mudah dilaksanakan,mudah diukur,

dengan prosedur yang jelas dan biaya

terjangkau bagi masyarakat maupun

penyelenggara.

2. Partisipatif. Penyusunan Standar

Pelayanan dengan melibatkan

masyarakat dan pihak terkait untuk

membahas bersama dan mendapatkan

keselarasan atas dasar komitmen atau

hasil kesepakatan.

3. Akuntabel. Hal-hal yang diatur dalam

Standar Pelayanan harus dapat

dilaksanakan dan

dipertanggungjawabkan kepada pihak

yang berkepentingan.

4. Berkelanjutan. Standar Pelayanan

harus terus-menerus dilakukan

perbaikan sebagai upaya

peningkatankualitas dan inovasi

pelayanan.

5. Transparansi. Standar Pelayanan harus

dapat dengan mudah diakses oleh

masyarakat.

6. Keadilan. Standar Pelayanan harus

menjamin bahwa pelayanan yang

diberikan dapat menjangkau semua

masyarakat yang berbeda status

ekonomi, jarak lokasi geografis.

Beberapa Permasalahan Dalam

Pelayanan Publik

Beberapa faktor yang menyebabkan

rendahnya kualitas pelayanan publik (di

Indonesia) antara lain adanya:

1. Konteks monopolistik, Dalam hal ini

karena tidak adanya kompetisi dari

penyelenggara pelayanan publik non

pemerintah, tidak ada dorongan yang

kuat untuk meningkatkan jumlah,

kualitas, maupun pemerataan

pelayanan tersebut oleh pemerintah.

2. Tekanan dari lingkungan, Dimana

faktor lingkungan amat mempengaruhi

kinerja organisasi pelayanan dalam

transaksi dan interaksinya antara

lingkungan dengan organisasi publik

3. Budaya patrimonial, dimana budaya

organisasi penyelenggara pelayanan

publik di Indonesia masih banyak

terikat oleh tradisi-tradisi politik dan

budaya masyarakat setempat yang

seringkali tidak kondusif dan

melanggar peraturan-peraturan yang

telah ditentukan (Yayan dalam

Novandy, 2009)

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian dalam tesis ini

yaitu menggunakan jenis penelitian

kualitatif. Menurut Strauss dalam Ahmadi

(2014), menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan istilah penelitian kualitatif adalah

suatu jenis penelitian yang menghasilkan

Page 6: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

6 | P a g e

temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh

alat-alat prosedur statistik atau alat-alat

kuantifikasi lainnya.

Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah pusat perhatian

penelitian dalam mengambil data sesuai

dengan rumusan masalah yang ditentukan,

hal ini dilakukan supaya tidak terjadi

pembiasan kajian serta tidak menyimpang

dalam pencarian data. Adapun fokus

penelitaian diantaranya, Responsiviness,

Tangibless, Assurance, Reliabilitas, dan

Empathy

Lokasi Penelitian Dan Situs Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi

lokasi penelitian adalah Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu.

Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan

data yang dibutuhkan mudah diperoleh dan

relevan dengan pokok permasalahan yang

akan menjadi objek penelitian. Adapun

Situs penelitian adalah yang menjadi

pokok pembicaraan dalam penelitian. Oleh

karena itu, hal yang diteliti dalam

penyusunan tesis ini adalah Kualitas

Pelayanan pembuatan kartu tanda

penduduk.

Tenik Analisis data Dalam analisis data ini peneliti

menggunakan analisis dengan model

interaktif. Proses Analisis data model

interaktif terdiri atas tahap-tahap kegiatan

sebagai berikut :

1. Reduksi data diartikan sebagai proses

pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan

transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis

dilapangan.

2. Penyajian data sebagai sekumpulan

informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penaikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan

baik penyajian dalam bentuk tabel

maupun naratif guna menggabungkan

informasi yang tersusun ke dalam

yang padu.

3. Menarik kesimpulan/Verifikasi yaitu

mencatat keteraturan, penjelasan,

konfigurasi-konfigurasi yang

mungkin, alur sebab akibat dan

proposisi peneliti.

Keabsahan Data

Untuk melihat derajat kepercayaan

atau kebenaran terhadap hasil penelitian

diperlukan suatu standariasi dalam

penelitian kualitatif, standar tersebut

keabsahan data. Keabsahan data diperlukan

pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan

didasarkan pada 4 (empat) macam kriteria :

1. Kredibilitas, Penerapan kriteria derajat

kepercayaan (kredibilitas) dimaksud

sebagai pengganti konsep validitas

internal dari penelitian non kualitatif.

2. Keteralihan (Transferibility,

Keteralihan merupakan upaya

membangun persamaan persepsi

antara Peneliti dengan pembaca atau

pengguna. Namun, dalam penelitian

kualitatif, keteralihan sangatlah

bergantung pada pembaca atau

pengguna, yakni: hingga manakah

hasil penelitian ini dapat digunakan

dalam konteks dan situasi tertentu

(Moleong: 2005

3. Ketergantungan (Dependibility,

Ketergantungan dalam istilah

konvensional disebut dengan

reliabilitas, yang merupakan syarat

bagi valisitas. Oleh karena itu, untuk

memenuhi kriteria ini seluruh langkah-

langkah dalam membangun kerangka

piker penelitian, rancangan penelitian,

hasil temuan penelitian,

4. Kepastian, Kriteria kepastian dalam

penelitian tidak bias atau menyimpang

dari realita yang ada, rumusan masalah

dan tujuan penelitian.

PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan peneliti di

lapangan melalui wawancara bersama

Camat dan tokoh masyarakat sekitar

Kecamatan Taliabu Selatan, bahwa untuk

mencapai kualitas pelayanan yang baik

harus dimulai dari manusia itu sendiri, baik

dari pegawai maupun dari masyarakat

pengguna layanan. Selain itu, hal yang

terpenting adalah transparansi pelayanan

terhadap masyarakat yang tepat sasaran.

Page 7: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

7 | P a g e

Menurut peneliti, untuk meningkatkan

pelayanan yang berkualitas tentunya

partisipasi dan peran aktif masyarakat

sangat diperlukan. Karena dalam

penyelenggaraan pelayanan publik tanpa

didukung oleh peran serta masyarakat

pelayanan tidak akan berjalan secara

maksimal seperti yang diharapkan. Untuk

itu, pemerintah Kecamatan harus konsisten

dalam memberikan layanan yang

berkualitas dengan langkah-langkah :

Pertama, tangibles yaitu bukti fisik yang

bisa dilihat secara langsung seperti,

kelengkapan meja dan kursi, ketersediaan

alat komputer, sarana parkir, ruang tunggu,

jumlah pegawai, media informasi

pengurusan, media informasi keluhan, dan

jarak ke tempat layanan. Kedua, adalah

Reability, yaitu kualitas pelayanan yang

dilihat dari sisi kemampuan dan

kehandalan dalam menyediakan layanan

yang terpercaya, meliputi proses waktu

penyelesaian layanan dan proses waktu

pelayanan keluhan. Ketiga, Responsiviness

yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari

sisi kesanggupan untuk membantu dan

menyediakan pelayanan secara cepat dan

tepat, serta tanggap terhadap keinginan

masyarakat. Keempat adalah Assurance,

yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari

sisi kemampuan petugas dalam

meyakinkan kepercayaan masyarakat.

Indikatornya adalah adanya kejelasan

mengenai mekanisme layanan dan

kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima

adalah Empathy, yaitu kualitas pelayanan

yang yang diberikan berupa sikap tegas

tetapi penuh perhatian terhadap

masyarakat. Dalam konteks ini indikator

yang dilihat adalah adanya sopan santun

petugas selama pelayanan berlangsung dan

bantuan khusus dari petugas selama proses

pelayanan berlangsung.

Pembahasan di atas pada intinya bahwa

kualitas pelayanan di Kantor Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu

belum memuaskan karena harapan

masyarakat akan pelayanan yang

seharusnya diberikan jauh berbeda dengan

pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat.

Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara

semua dimensi kualitas pelayanan masih

terdapat kelemahan, maka hal ini dapat

disimpulkan bahwa masyarakat belum

merasa puas atas pelayanan yang diberikan

oleh pihak penyelenggara layanan

sehingga pelayanan dapat dikatakan belum

maksimal.

Berdasarkan uraian pembahasan diatas

akan diuraikan lebih lanjut mengenai hal-

hal yang kemudian menjadi penghambat

atau pun pendukung jalannya pelayanan di

Kantor Kecamatan Taliabu Selatan ;

1. Sumber Daya Aparatur

Untuk memberikan pelayanan yang

maksimal kepada masyarakat sangat

dibutuhkan aparatur-aparatur

pemerintah yang memiliki kualitas

sumber daya manusia yang handal,

untuk itulah kemudian dapat dikatakan

keberhasilan suatu pelayanan salah

satunya sangat ditentukan oleh

kualitas aparat yang ditunjuk sebagai

pelayan publik.

2. Kesadaran Masyarakat

Salah satu faktor yang turut

mempengaruhi pelaksanaan tugas

pelayanan pemerintah di wilayah

Kecamatan Taliabu Selatan adalah

faktor kesadaran masyarakat.

Kesadaran masyarakat dimaksudkan

ialah kesadaran untuk mempersiapkan

segala yang menjadi persyaratan untuk

melakukan suatu urusan pelayanan di

kantor desa/kelurahan, relasi antara

aparat pemerintah dengan masyarakat

memang harus saling mendukung agar

dapat mencapai tujuan yang

diharapkan, baik itu dari pihak

masyarakat maupun dari aparat

pemerintah sendiri.

3. Kedisiplinan Pegawai

Faktor lain dari tidak berhasilnya suatu

pelayanan adalah tingkat kedisplinan

dari pegawai yang masih rendah. Hal

ini didasari tidak adanya kesdaran

dalam diri masing-masing pegawai

akan tanggung jawab yang mereka

emban. Esensi pegawai publik adalah

―melayani‖ bukan ―dilayani. Di

Kantor Kecamatan Taliabu Selatan

pegawai masih mengadopsi paradigma

Page 8: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

8 | P a g e

―dilayani bukan ―melayani‖ sehingga

Hal ini menjadi salah satu indikator

tidak maksimalnya pelayanan. Ini

merupakan tantangan bagi setiap

pimpinan khususnya camat Taliabu

Selatan untuk memberikan pembinaan

agar bisa merubah paradigma tersebut.

4. Sarana dan Prasarana

Salah satu faktor pendukung atau bisa

menjadi penghambat prosedur

pelayanan yaitu saran dan prasarana.

Dengan adanya sarana pelayanan

beraneka ragam jenis dan fungsinya

dapat membantu pelayanan pada

masyarakat lebih efisien dan efektif.

Dari temuan di lapangan dan didukung

oleh teori dapat dismpulkan bahwa kualitas

pelayanan sangat besar harapannya karena

sama-sama menguntungkan antara

pelayanan dan pengguna layanan karena

jika pelaksanaan seirama atau besinergi

maka pelayanan dan pengguna layanan

sama-sama merasakan dampak dari

pelayanan yang berkualitas itu, berkenaan

dengan hal di atas, bahwa pelayanan

pemberkasan pembuatan kartu tanda

penduduk untuk mempermudah pendataan

penduduk Indonesia.akan membantu

Pembahasan di atas pada intinya

bahwa kualitas pelayanan di Kantor

Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten

Pulau Taliabu belum memuaskan karena

harapan masyarakat akan pelayanan yang

seharusnya diberikan jauh berbeda dengan

pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat.

Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara

semua dimensi kualitas pelayanan masih

terdapat kelemahan, maka hal ini dapat

disimpulkan bahwa masyarakat belum

merasa puas atas pelayanan yang diberikan

oleh pihak penyelenggara layanan

sehingga pelayanan dapat dikatakan belum

maksimal.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan

pembahasan pada bab sebelumnya, maka

peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Secara umum kualitas pelayanan

pembuatan Kartu Tanda Penduduk di

Dinas Kependudukan Dan Catatan

Sipil Melalui Kantor Kecamatan

Taliabu Selatan Kabupaten Pulau

Taliabu belum terlaksana secara

maksimal. Hal ini dapat dilihat dari 5

(lima) dimensi kualitas pelayanan.

a. Tangibles (bukti langsung), ruang

tunggu yang tidak dilengkapi

dengan kipas angin, fasilitas meja

dan kursi yang belum memadai,

dan kebersihan yang kurang

diperhatikan.

b. Reability (kehandalan), kecepatan

pegawai dalam pengurusan

administrasi tergolong masih

lambat, kemahiran pegawai dalam

mengaplikasikan komputer masih

kurang, kurangnya jumlah pegawai

dan kualitas dari pegawai yang ada

masih kurang.

c. Responsiviness (daya tanggap),

ketekunan terhadap suatu pekerjaan

masih cukup baik, pemberian

informasi terhadap masyarakat

tentang persyaratan pengurusan

KTP sudah berjalan dengan bagus,

dan perlu ditingkatkan lagi, namun

yang harus lebih diperhatikan oleh

pemerintah Kecamatan adalah

kejelasan biaya/tarif administrasi.

d. Assurance (jaminan), masih

ditemukan perlakuan istimewa

kepada masyarakat yang ada

hubungan kekerabatan.

e. Empathy (empati), sikap tegas tapi

penuh perhatian terlihat jelas

dengan sikap aparatur yang terbuka

sehingga keakraban terjalin antara

masyarakat dan aparat.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka penulis dapat memberikan saran

sebagai berikut :

1. Melihat persepsi aparatur pemerintah

daerah dalam tugas pokok dan fungsi

pelayanan ditinjau dari sikap dan

norma-norma sopan santun dalam

pelayanan terhadap masyarakat,

pelaksanaan pelayanan di kantor Desa/

Page 9: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

9 | P a g e

Kecamatan dan penilaian masyarakat

terhadap pelayanan tersebut,

diharapkan pemerintah sebagai pelaku

utama atau pengendali jalannya sistem

pemerintahan agar bisa lebih

meningkatkan pelayanan khususnya

layanan di bidang administrasi

kependudukan dan lebih dekat serta

memperhatikan kebutuhan

masyarakat. Memperhatikan dalam

segi peningkatan kualitas, kemudahan,

ketapatan waktu, ekonomis, serta

keamanan dalam memberikan

pelayanan.

2. Lebih meningkatkan kepentingan

umum daripada kepentingan pribadi,

karena pelayanan tidak akan berjalan

dengan baik jika pelayanan yang

diberikan tidak sepenuh hati.

3. Diperlukan paradigma pelayanan

publik yaitu pelayan yang berorientasi

sebagai penyedia menjadi pelayan

menuju pelayanan yang berorientasi

kebutuhan masyarakat.

4. Pemerintah lebih memperhatikan

kelengkapan sarana dan prasarana

kantor, perlu dilakukan pengadaan

kursi, meja, alat kelengkapan

elektronik dan ruang tunggu yang

bersih. Karena kenyamanan pengguna

layanan merupakan faktor penting

yang harus diperhatikan oleh penyedia

layanan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media.

Arief, Mts. 2007. Pemasaran Jasa Dan

Kualitas Pelayanan. Malang:

Banyumedia

Ginting, Tamaseri, 2012. Jurnal Analisis

Kualitas Pelayanan Rawat Jalan

Puskesmas Berastagi Kabupaten

Karo.

Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara (Kepmen PAN)

Nomor 25 Tahun 2004 Tentang

Pedoman Umum Indeks Kepuasan

Masyarakat.

Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 26 Tahun

2004 Tentang Petunjuk Teknis

Transparansi Dan Akuntabililas Dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

_____ 2011. Modul Manajemen

Pelayanan Publik.

Moleong, J. Lexy, 2005. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung :

Remaja Rosdakarya.

Novandy, Riswan. 2009. Analisis Persepsi

Masyarakat terhadap Kualitas

Pelayanan Publik pada Bagian

Administrasi Kemasyarakatan dan

Kesejahteraan Rakyat Pemerintah

Kabupaten Simalungun, Medan.

Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2004

tentang Pemekaran Kecamatan

Taliabu Selatan

Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 13 Tahun

2009 Pedoman Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik Dengan Partisipasi

Masyarakat

Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Dan Reformasi

Birokrasi Republik Indonesia Nomor

15 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Standar Pelayanan

Ratminto dan Aptik Septi Winarsih. 2006.

Manajemen Pelayanan. Yogyakarta.

Pustaka pelajar

Sedarmayanti. 2009. Reformasi

Administrasi Publik, Reformasi

Birokrasi dan Kepemimpinan Masa

Depan. Bandung: Reflika Aditama.

Sinambela, Lajian poltak dkk. 2006

Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta:

Bumi Aksara.

Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja

Pelayanan Publik. Bandung: Reflika

Aditama.

Tjipjono, fandi. 2008. Service Managemen,

Mewujudkan Layanan Prima.

Yogyakarta: Andi Office.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

Tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

Tentang Pemerintahan Daerah

Page 10: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

10 | P a g e

CITA RASA ELIT PADA PERUMUSAN KEBIJAKAN PERTAMBANGAN

MINERAL DI HUTAN LINDUNG GUNUNG TUMPANG PITU BANYUWANGI

Muhamad Imron

Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Raden

Rahmat Malang

[email protected]

Abstraksi

Kebijakan pertambangan seringkali ditandai dengan dominasi kelompok tertentu

atas kelompok lainnya. Tahapan formulasi merupakan satu tahapan yang begitu

krusial dan determinan bagi berlangsungnya suatu kebijakan. Terdapat

ketidakseimbangan dari interaksi yang terbangun antara pemerintah, perusahaan

tambang, dan masyarakat lokal. Perselingkuhan antara kuasa modal dan kuasa

politik atas nama pembangunan terjadi begitu saja tanpa melibatkan masyarakat

sebagai pihak yang juga berkepentingan atas berjalannya operasi pertambangan.

Dominasi kelompok elit atas kelompok non elit menjadi akhir dari cerita

formulasi kebijakan tersebut. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan

menganalisis tentang bagaimana proses formulasi kebijakan pertambangan di

Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi. Metode yang

digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Fokus penelitian (1) proses formulasi kebijakan pertambangan (2)Faktor-faktor

yang mempengaruhi berlangsungnya kebijakan pertambangan. Sumber data yang

digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data

dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data dengan

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa proses pelibatan masyarakat dianggap masih semu karena

pada kenyataannya meski masyarakat sepakat menolak akan adanya operasi

pertambangan emas oleh PT IMN, kebijakan pemberian izin eksplorasi

pertambangan tetap turun tanpa adanya izin sosial (social lisence). Kebijakan

pertambangan emas di HLGTP cenderung merepresentasikan kepentingan

(dominasi) elit, terbukti peran masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan tidak

terakomodasi dengan baik.

Kata kunci: Formulasi kebijakan, kelompok elit, pertambangan

PENDAHULUAN

Negara Indonesia begitu terkenal

memiliki beragam sumber daya alam,

mulai dari pertanian, perikanan,

perkebunan, hingga pertambangan. Fakta

sejarah telah membuktikan tentang

bagaimana berhasratnya bangsa Belanda

kala itu untuk datang ke Indonesia demi

memperoleh rempah-rempah sampai hasil

bumi lainnya. Revolusi industri di Eropa

saat itu, menjadi salah satu faktor

pendorong bangsa-bangsa eropa untuk

melakukan ekpansi ke berbagai belahan

dunia, termasuk Indonesia. Salah satu

syarat untuk terus bergulirnya revolusi

industri saat itu adalah tersedianya sumber

daya alam yang siap untuk di produksi

dalam jumlah besar, sedang sumber daya

Page 11: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

11 | P a g e

alam yang dimiliki oleh bangsa-bangsa

eropa tidak sebesar (jika di banding)

dengan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa

di benua lainnya, termasuk asia. Dan

bangsa Indonesia memang memiliki

kekayaan alam yang (bagi bangsa barat)

begitu menakjubkan jumlahnya. Hampir di

seluruh penjuru negeri ini memiliki ragam

kekayaan alam yang sesungguhnya

berpotensi besar untuk mensejahterakan

rakyat.

Dan sektor pertambangan

merupakan salah satu sektor saja yang (jika

di kelola dengan baik) niscaya dapat

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Indonesia merupakan penghasil utama

beberapa mineral. Negara Indonesia adalah

penghasil timah terbesar kedua di dunia,

eksportir batu bara thermal terbesar ketiga

di dunia, penghasil tembaga terbesar ketiga

dan menduduki urutan kelima dan ketujuh

untuk produsen nikel dan emas. Potensi

tembaga terbesar Indonesia terdapat di

Papua, potensi lain tersebar di jawa Barat,

Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.

Sedangkan potensi emas nyatanya hampir

terdapat di seluruh wilayah Indonesia

seperti di Pulau Jawa, Kalimantan,

Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara,

Kepulauan Riau, Maluku dan tentu saja

Papua. Adapun potensi nikel terdapat di

Sulawesi, Kalimantan Bagian Tenggara,

Maluku dan Papua. Sementara timah

berada di Pulau Bangka, Pulau Belitung,

Pulau Singkep, Pulau Karimun. Kekayaan

sumber daya alam yang melimpah ruah

dari Sabang hingga Merauke, kekayaan

alam yang tidak semua negara

memilikinya. (Gali-Gali, 2009:13).

Negara, di tuntut untuk mampu

mengelola dan memanfaatkan sumber daya

alam yang ada serta merubahnya dalam

bentuk distribusi kesejahteraan yang

merata. Dan memang, sektor

pertambangan saat ini cukup menjanjikan

kesejahteraan bagi rakyat, namun dengan

syarat, pemerintah harus memainkan

peranannya dengan baik. Idealnya, ia harus

mampu menjembatani kepentingan para

pemilik modal dan kepentingan

masyarakat terutama yang tinggal disekitar

area terdampak dari operasi pertambangan.

Hingga kini, masih cukup menarik

untuk mendiskusikan pola relasi dan

interaksi yang terbangun antara negara

(state),perusahaan/pasar (private sector)

dan masyarakat (civil society) dalam

konteks kebijakan pertambangan. Relasi

ini seringkali menimbulkan kontroversi

saat wajah kebijakan pertambangan

menunjukkan suasana yang kurang

menyenangkan dirasakan oleh pihak

masyarakat. Tahapan perumusan kebijakan

pertambangan merupakan satu tahapan

yang begitu krusial dan determinan bagi

berlangsungnya suatu kebijakan tersebut.

Saat tahap perumusan terjadi, acapkali

peran negara dan perusahaan nampak lebih

dominan dalam menyusun suatu skenario

kebijakan. Sedang keterlibatanmasyarakat

menjadi kurang memperoleh perhatian

bagi relasi ini. Sehingga, sikap penolakan

pada suatu kebijakan pertambangan

menjadi fenomena yang sering terlihat.

Terlebih, aspek-aspek yang menyangkut

kepentingan lingkungan tidak mendapat

perhatian serius oleh para pembuat

kebijakan. Bagaimanapun, masyarakat

tidak menginginkan ekosistem lingkungan

disekitarnya menjadi rusak dan pada

akhirnya mengganggu kehidupan mereka

dikemudian hari.

Di Banyuwangi, eksplorasi

pertambangan mineral menghampiri

sebuah hutan lindung yang berada di ujung

selatan kabupaten tersebut. Secara tiba-

tiba, Hutan Lindung Gunung Tumpang

Pitu (HLGTP) tersebut beralih status

menjadi hutan produksi. Merasa tidak

dilibatkan, masyarakat menyatakan

menolak. Derasnya aksi penolakan

terhadap alih fungsi kawasan hutan

lindung, nampaknya tidak mengubah

pendirian dan hasrat pemerintah untuk

terus mengobral kekayaan sumber daya

alamnya. Buktinya, Kabupaten

Banyuwangi justru menjadi target

kebijakan pertambangan. Adalah PT. IMN

(Indo Multi Niaga) yang mula-mula telah

mengantongi izin dari pemerintah untuk

melakukan proses eksplorasi terhadap

Page 12: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

12 | P a g e

kandungan emas yang ada di sekitar

kawasan hutan lindung tersebut. Menteri

Kehutanan Republik Indonesia melalui

surat bernomor S. 406/MENHUT-

VII/PW/2007 perihal Persetujuan izin

Kegiatan Eksplorasi Tambang Emas dmp

di Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP)

dan Hutan Lindung (HL) A.n. PT IMN di

Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa

timur tertanggal 27 Juli 2007 telah

memberikan izin eksplorasi kepada PT

IMN. Luas areal hutan tersebut 11, 621,

45 ha. Adapun data ini dapat dilihat dari

Berita Acara Pemeriksaan Lapangan

(BPAL) terhadap kawasan hutan yang

dimohon oleh PT. IMN, tertanggal 18

April 2007, yang ditandatangani bersama

oleh Kepala Biro Hukamas Perum

Perhutani Unit II Jawa Timur, Kepala Sub

Dinas (Kasubdin) PHKA Dinas Kehutanan

(Dishut) Propinsi Jatim, Kepala Urusan

Kawasan Biro Perencanaan SDH Perum

Perhutani Unit II Jatim, Wakil KSPH V

Jember Perum Perhutani Unit II Jatim, dan

Administrasi Perhutani/KKPH

Banyuwangi Selatan. Sedangkan lokasi

kawasan hutan yang di mohon oleh PT.

IMN berada dalam KPH Banyuwangi

Selatan. Tepatnya berada pada petak 75,

76, 77, dan 78. Dimana ke semua petak

tersebut masuk kawasan RPH Kesilir Baru

dan BKPH Sukamade.

Wajah kebijakan pertambangan

mineral di Indonesia memang memiliki

kemiripan, terutama pada tahap perumusan

(pembuatan) kebijakan. Nyaris seluruhnya

menggunakan model elit yang hanya

mengakomodir suara pemodal besar, tanpa

melibatkan aspirasi masyarakat lokal,

hingga menghiraukan aspek keselamatan

lingkungan. Kehendak pasar masih saja

menjadi pertimbangan utama bagi para

pembuat kebijakan, sehingga kebijakan

pun seolah-olah bisa terbeli oleh para

pemilik modal. Pun juga yang terjadi di

Kabupaten Banyuwangi, izin

pertambangan untuk tahap eksplorasi tiba-

tiba saja di kantongi oleh PT. IMN.

Persoalan ini menjadi penting untuk di

teliti, sebuah perumusan kebijakan yang

sarat kepentingan kelompok elit. Sampai

saat ini pemerintah yang harusnya mampu

memposisikan diri sebagai penyusun dan

pembuat skenario kebijakan (khususnya di

bidang pertambangan) yang baik dan

bermanfaat bagi masyarakat, nyatanya

malah menjadi fasilitator yang baik dan

patuh atas kehendak pasar. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis tentang bagaimana proses

perumusan (formulasi) kebijakan

pertambangan di Hutan Lindung Gunung

Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi

terjadi.Metode penelitian yang digunakan

adalah kualitatif deskriptif dengan

memaparkan keadaan yang terjadi

berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan

bagaimana adanya.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif, dengan maksud untuk

menemukan, memahami, menjelaskan dan

memperoleh gambaran (deskripsi) tentang

Formulasi Kebijakan Pertambangan di

Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu

Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan

pendekatan deskriptif sehingga

dititikberatkan pada upaya untuk

memberikan deskripsi (gambaran) umum

secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta terkait pertambangan

mineral yang ada di sana. Dalam

melakukan penelitian dengan pendekatan

kualitatif sesuai di kutip dalam Moleong

(2007, h.8), seorang peneliti haruslah

memperhatikan ciri-ciri yang mencakup:

latar ilmiah, manusia sebagai alat atau

instrumen, metode kualitatif, analisis

deskriptif, lebih mementingkan proses dari

pada hasil, kriteria khusus pada keabsahan

data, desain bersifat sementara dan hasil

penelitian yang dirundingkan bersama.

Dalam penelitian ini, lokasi

penelitian dilaksanakan di Kabupaten

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

Sedangkan situs penelitian ini yaitu di

Desa Sumberagung yang merupakan areal

penambangan emas oleh PT IMN di

HLGTP Banyuwangi. Selain itu situs

penelitian juga di Dinas Pertambangan,

Page 13: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

13 | P a g e

Dinas Perhutani KPH Banyuwangi

Selatan, serta Dinas Perijinan Kabupaten

Banyuwangi.

Sumber data dalam penelitian ini

diperoleh melalui dua sumber, yakni

sumber data primer dan sumber data

sekunder. Adapun teknik pengumpulan

data menggunakan beberapa teknik

pengumpulan data, diantaranya

wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Fokus dalam penelitian ini adalah (1)

proses formulasi kebijakan pertambangan

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi

berlangsungnya kebijakan pertambangan

di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu

(HLGTP) Banyuwangi.

Hasil Dan Pembahasan

Kebijakan publik memang bisa jadi

tidaklah bebas nilai, artinya bahwa setiap

kebijakan yang di ambil oleh pemerintah

sangat mungkin dapat memberikan efek

dan dinamika di dalam masyarakat, karena

sebuah kebijakan terkadang sarat dengan

kepentingan lain yang seringkali

meniadakan kepentingan masyarakat.

Apalagi jika peran partisipatif masyarakat

dalam proses pembuatan kebijakan dengan

sengaja di singkirkan atau tidak di

akomodasi, sehingga seringkali kebijakan

hanya menjadi preferensi para elit saja.

Kelompok elit dengan sengaja

merumuskan sebuah kebijakan yang hanya

menguntungkan kelompok-kelompok

tertentu, misalnya para pemodal besar atau

kelompok elit itu sendiri, sehingga

berujung pada sifat top down dari

kebijakan tersebut. Pada tahap

implementasi kebijakan, tidak jarang para

elit dengan sengaja bekerja sama dengan

pihak Militer (seperti yang terjadi pada

kasus penambangan emas oleh PT IMN di

HLGTP) agar kebijakan tertentu dapat

berjalan dengan skenario yang telah di

rencanakan. Dalam kasus ini nampaknya

elit-elit yang bermain adalah dari pihak

birokrasi, teknokrat dan melibatkan pihak

militer. Bagi Lasswell, jika elit-elit ini di

padukan, maka elit-elit ini akan

mengancam demokrasi. Kombinasi elit

yang mempunyai kemampuan untuk

memanipulasi komunikasi dan simbol

dengan elit yang terlatih dalam soal

kekerasan, organisasi, dan pengetahuan

teknis akan menimbulkan kemungkinan

munculnya “Garrison-state” dimana yang

berkuasa adalah elit militer, birokrat, dan

teknokrat (Parsons, 2008:252).

Suatu kebijakan idealnya

merupakan cerminan dari kehendak publik,

sehingga tidaklah layak ketika pandangan

umum yang menyangkut masalah-masalah

kebijakan hanya di warnai dan di

pengaruhi oleh para elit saja. Idealnya

rakyatlah yang mempengaruhi pendapat

golongan elit. Teori elit misalnya

beranggapan bahwa kebijakan publik

seringkali tidak memihak publik (rakyat),

dan bahkan tidak ada kebijakan publik

yang sungguh-sungguh memihak pada

rakyat (Wahab, 2008:88). Berangkat dari

argumentasi teori elit tersebut, nampaknya

berbagai kebijakan yang di terbitkan

pemerintah, hanya merepresentasikan

kepentingan para elit penguasa di negeri

ini dan tentu saja kepentingan pengusaha-

pengusaha besar. Sehingga benar ketika

ada yang menyatakan bahwa suatu

kebijakan identik dengan siapa yang di

untungkan dan siapa yang di rugikan.

Proses Formulasi (Perumusan)

Kebijakan Pertambangan di HLGTP

Banyuwangi

Proses formulasi (perumusan)

kebijakan pertambangan di Hutan Lindung

Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)

Banyuwangi Selatan terbilang cukup cepat.

Bagaimana tidak, adalah PT. IMC (Indo

Multi Cipta), yang kemudian berubah

menjadi PT. IMN (Indo Multi Niaga),

untuk pertama kali melayangkan surat

permohonan pada tanggal 17 Januari 2006

bernomor 01/IMC/1/2006 dengan perihal

permohonan ijin peninjauan bahan galian.

Selang 3 hari kemudian, Bupati

Banyuwangi saat itu (Ratna Ani Lestari)

telah memberikan ijin pada perusahaan

emas itu lewat Surat Keterangan Ijin

Peninjauan (SKIP) nomor

545/095/429.022/2006 tertanggal 20

Januari 2006. Dua bulan kemudian,

Page 14: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

14 | P a g e

tepatnya pada tanggal 23 Maret 2006

Bupati kembali menerbitkan Surat

Keputusan bernomor 188/57/KP/429.012/

2006 tentang Pemberian Kuasa

Pertambangan Penyelidikan Umum yang

ditujukan kepada PT. IMC. Surat ini

memberikan Kuasa Pertambangan

berdurasi paling lama 1 (satu) tahun bagi

PT. IMC.

Berselang delapan bulan kemudian,

PT. Indo Multi Niaga (IMN) mengirimkan

surat nomor 025/DM-IMN/XI/2006

tertanggal 7 Nopember 2006 tentang

Permohonan Peningkatan Kuasa

Pertambangan Ketahap Eksplorasi di

Lokasi Kecamatan Pesanggaran. Dan

permohonan itu pun dikabulkan melalui

Keputusan Bupati nomor

188/57/KP/429.012/2006. Dalam

keputusan tersebut, Bupati Banyuwangi

menilai bahwa PT. IMN saat itu selaku

pemegang Kuasa Pertambangan

Penyelidikan Umum telah memenuhi

syarat menjadi pemegang Kuasa

Pertambangan Eksplorasi. Dan akhirnya

pada tanggal 16 Februari 2007, Bupati

Banyuwangi menerbitkan Surat Keputusan

Bupati bernomor 188/05/KP/429.012/2007

tentang Kuasa Pertambangan Eksplorasi.

Sedangkan masa berlaku Kuasa

Pertambangan Eksplorasi selama 3 (tiga)

tahun terhitung sejak 16 Februari 2007.

PT. IMN kemudian melayangkan

surat bernomor 026/AD-IMN/III/2007

tertanggal 5 Maret 2007 perihal

Permohonan untuk memperoleh

rekomendasi penggunaan kawasan hutan

untuk kegiatan eksplorasi (penyelidikan)

tambang emas dan mineral dan

pengikutnya di Banyuwangi kepada

Gubernur Jawa Timur. Selain itu mereka

juga mengajukan surat bernomor 027/AD-

IMN/III/2007 bertanggal 5 Maret 2007

perihal Permohonan Ijin Penggunaan

Kawasan Hutan Untuk Kegiatan

Eksplorasi (penyelidikan) Tambang Emas

dmp di tujukan kepada Menteri Kehutanan.

Layaknya gayung bersambut,

dengan begitu cepat Instansi Kehutanan

Jawa Timur pun merespon surat yang

dilayangkan oleh PT. IMN tadi melalui

Dinas Kehutanan Jatim, Perum Perhutani

Unit II Jatim, Biro Perencanaan SDH

Perum Perhutani Unit II Jatim, dan Perum

Perhutani KPH Banyuwangi Selatan

membentuk Tim Pemeriksa Lapangan

(TPL). Tim ini kemudian melakukan

pemeriksaan lapangan terhadap kawasan

hutan yang akan di eksplorasi. Tim ini

kemudian menyarankan agar permohonan

PT. IMN untuk menggunakan kawasan

hutan lindung sebagai daerah eksplorasi

untuk di proses lebih lanjut.

Kemudian, hanya melalui lampiran

selembar peta, lewat surat bernomor

S.406/MENHUT-VII/PW/2007 perihal

Persetujuan Ijin Kegiatan Eksplorasi

Tambang Emas dmp di Kawasan Hutan

Produksi Tetap (HP) dan Hutan Lindung

(HL) seluas 1.987,80 ha A.n. PT IMN Kab.

Banyuwangi, Propinsi Jatim tertanggal 27

Juli 2007 Menteri Kehutanan RI

memberikan ijin eksplorasi kepada PT

IMN. Surat ijin tersebut berlaku selama 2

tahun terhitung sejak 27 Juli 2007. Dalam

poin 7 (tujuh) surat tersebut, menyatakan

bahwa ijin tersebut dapat di perpanjang.

Dan hanya berselang waktu 3 (tiga)

bulan kemudian, PT IMN telah berhasil

mempresentasikan hasil penelitiannya di

depan para anggota DPRD Banyuwangi.

Adapun keputusan yang kemudian muncul

dari anggota dewan adalah berupa

rekomendasi kepada PT IMN agar

meneruskan aktivitas eksplorasinya dan

mendukung sepenuhnya atas

keberlangsungan operasi pertambangan

yang ada. Disini mengandung pengertian

bahwa para anggota dewan juga cenderung

mendukung dan mengabaikan aspirasi

masyarakat lokal dusun Pancer yang

memang sejak awal menyatakan menolak

adanya operasi industri tambang.

Kaum elit lokal di Banyuwangi

(Bupati, Pimpinan dan anggota dewan,

Muspida, serta beberapa dinas terkait

seperti Dinas Perhutani, Dinas Perijinan,

dan Dinas Pertambangan) terkesan

cenderung eksklusif dan menutup diri atas

aspirasi dan harapan dari publik

Banyuwangi. Kebijakan pertambangan

yang mereka rumuskan bercirikan

Page 15: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

15 | P a g e

preferensi kaum elit saja, dan menganulir

suara-suara dan harapan dari masyarakat.

Ini terbukti dari beberapa hasil wawancara

peneliti dengan tokoh-tokoh lokal, LSM-

LSM di Banyuwangi, dan warga dusun

Pancer tentunya yang merasa dijadikan

korban kebijakan, yang sama sekali tidak

dihiraukan aspirasinya.

Untuk menganalisis kebijakan

pertambangan di Hutan Lindung Gunung

Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi yang

memiliki kecenderungan di dominasi oleh

elit ini, begitu tepat jika menggunakan

suatu pendekatan (teori) elit. Seperti yang

kita ketahui, dalam teori elit (elite theory),

suatu kebijakan di rumuskan atau dibuat

hanya merepresentasikan kepentingan elit

saja. Sedangkan kepentingan dan aspirasi

dari akar rumput (grasrooth) tidaklah

begitu di hiraukan.

Dari sudut pandang teori elit (elite

theory), kebijakan publik dapat dianggap

sebagai nilai dan pilihan elit pemerintah

semata. Penjelasan pokok dari teori ini

adalah bahwa kebijakan publik tidak

ditentukan oleh massa melalui permintaan

dan tindakan mereka tetapi kebijakan

publik diputuskan oleh suatu elit yang

mengatur dan dipengaruhi oleh instansi

pejabat publik. Model teori elit

mengasumsikan bahwa didalam setiap

masyarakat pasti terdapat dua kelompok

yaitu pemegang kekuasaan (elite) dan yang

tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori

ini mengembangkan diri pada kenyataan

bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias

didalam formulasi kebijakan karena pada

akhirnya kebijakan-kebijakan yang

dilahirkan merupakan preferensi politik

dari kaum elit. Lebih jelasnya, Thomas

Dye dan Harmer Zeigler (dalam Nawawi:

50) memberikan ringkasan mengenai teori

elit, sebagai berikut:

(1) Masyarakat dapat dibagi menjadi

dua. Pertama, mereka-mereka yang

sedikit mempunyai kekuasaan dan,

kedua, mereka yang banyak tidak

memiliki kekuasaan. Dan hanya

beberapa orang yang memberikan

nilai untuk masyarakat dan massa

tidak memutuskan suatu kebijakan

publik.

(2) Sedikit orang yang memerintah

tidak sama dengan massa yang

diperintah. Elite secara tidak

proporsional diambil dari

masyarakat dengan tingkat sosial

ekonomi yang lebih tinggi.

(3) Pergerakan dari non-elit ke posisi

elit harus kontinyu agar terpelihara

stabilitas dan menghindari

perubahan secara besar-besaran.

Hanya non-elit yang telah diterima

dalam kesepakatan elit dasar dapat

diijinkan masuk dalam lingkaran

pemerintah

(4) Elit membuat kesepakatan

berdasarkan sistem nilai sosial dan

pemeliharaan sistem.

(5) Kebijakan publik tidaklah

mencerminkan kebutuhan massa

tetapi lebih mencerminkan nilai-

nilai dan kebutuhan elit.

(6) Elit yang aktif lebih merupakan

subyek pengaruh langsung dari

massa yang apatis yang relatif

kecil. Elit lebih banyak

memengaruhi massa dari pada

massa yang memengaruhi elit.

Teori elit merupakan teori

pembentukan kebijakan yang agak

provokasi. Kebijakan merupakan

hasil keluaran elit yang

mencerminkan nilai mereka dengan

tujuan melayani mereka, salah satu

yang mungkin keinginan publik

adalah visi kesejahteraan massa

secara imaginer. Teori elit

memusatkan perhatian pada tugas

elit dalam perumusan kebijakan

dan pada kenyataannya bahwa

dalam sistem politik orang yang

memerintah jauh lebih sedikit dari

pada orang yang diperintah.

Ada dua penilaian di dalam

pendekatan ini, yakni negative dan positif.

Pada pandangan negative dikemukakan

bahwa pada akhirnya didalam sistem

politik pemegang kekuasaan politiklah

yang menyelenggarakan kekuasaan sesuai

dengan selera dan keinginannya. Dalam

Page 16: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

16 | P a g e

konteks ini rakyat dianggap sebagai

kelompok yang dimanipulasi sedemikian

rupa agar tidak masuk dalam proses

formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun

bukan bermakna partisipasi melainkan

mobilisasi.

Pandangan positif melihat bahwa

seseorang elit menduduki puncak

kekuasaan karena berhasil memenangkan

gagasan membawa negara-bangsa ke

kondisi yang lebih baik dibandingkan

dengan pesaingnya. Pemimpin atau elit

pasti mempunyai visi tentang

kepemimpinannya dan kebijakan publik

adalah bagian dari karyanya untuk

mewujud-nyatakan visi tersebut menjadi

kenyataan. Tidak ada yang secara mutlak

keliru karena ini hanya masalah preferensi

dari visi elit serta tentang bagaimana

tujuan atau cita-cita bangsa yang sudah

disepakati akan dijalani melalui jalur yang

diyakininya (Nugroho: 2004).

Berangkat dari fakta di lapangan,

maka yang dimaksud dua kelompok dalam

teori elit ini yaitu pemegang

kekuasaan/elite(Bupati Banyuwangi saat

itu, Muspida, dinas terkait, anggota DPRD

Banyuwangi hingga pihak Perusahaan/PT.

IMN) dan yang tidak memiliki

kekuasaan/massa (warga dusun Pancer,

masyarakat Banyuwangi, dan LSM-LSM

setempat). Teori ini berargumentasi bahwa

sedemokratis apapun sebuah kebijakan di

rumuskan, maka tetap saja pada akhirnya

kebijakan-kebijakan yang dilahirkan

merupakan preferensi politik dari para

kaum elit. Sama halnya yang terjadi di

Banyuwangi dalam kasus perumusan

kebijakan pertambangan di Hutan Lindung

Gunung Tumpang Pitu (HLGTP), semula

warga setempat pada tahun 2006 pernah di

sodori lembaran angket oleh pemerintah

desa melalui RT setempat yang berisi

pertanyaan terkait apakah mereka setuju

dengan akan adanya aktivitas industri

pertambangan di dusun mereka, yang mana

saat itu seluruh warga dusun Pancer

menyatakan menolak dengan berbagai

macam alasan, seperti khawatir akan

tercemarnya laut yang selama ini menjadi

tempat mata pencaharian mereka karena

kebanyakan warga pesisir Pancer

berprofesi sebagai nelayan, sawah dan

ladang yang takut tercemar limbah tailing

hasil olah tambang yang mengalir dari

sungai Gonggo yang ada di lereng gunung

tumpang pitu, hingga kekhawatiran akan

adanya konflik sosial seperti yang terjadi

di berbagai tempat lain (Bima, Papua dan

Kalimantan). Seluruh warga bersepakat

untuk menolak keberadaan operasi

pertambangan oleh PT. Indo Multi Niaga

(IMN). Aksi penolakan warga dusun

Pancer pun juga turut di amini oleh

berbagai LSM yang ada di sekitar

Banyuwangi, semacam Kurva Hijau,

Komunitas Pecinta Alam Pemerhati

Lingkungan (Kappala), dan Jaringan

Advokasi Tambang (Jatam). Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi mengklaim bahwa

cara-cara dalam mengambil keputusan

(izin tambang) telah dilakukan dengan

begitu demokratis, terbukti melalui adanya

proses dilibatkannya masyarakat dusun

Pancer dalam angket yang diselenggarakan

oleh pemerintah desa Sumberagung.

Namun, secara tiba-tiba izin

penelitian (eksplorasi) pertambangan itu

tetap diterbitkan kepada PT. IMN. Hasil

dari angket yang telah disebarkan

sebelumnya rupanya tidak begitu

diperhatikan oleh para pengambil

kebijakan, tetap saja para elit memiliki

pandangan dan argumentasi tersendiri.

Maka tetap saja pada akhirnya kebijakan-

kebijakan yang dilahirkan merupakan

preferensi politik dari para kaum elit.

Pelibatan masyarakat lokal dusun Pancer

sepertinya hanya sebatas mengisi angket

saja, tidak lebih. Setelah itu izin eksplorasi

tetap turun dan memberikan karpet merah

bagi pihak perusahaan untuk segera

melakukan penelitian (eksplorasi) atas

kandungan emas dan biji mineral lainnya

di HLGTP.

Para elit penguasa terkesan

menggunakan kekuasaannnya dengan cita

rasa, selera dan keinginannya sendiri, ini

terbukti dengan surat izin eksplorasi

bernomor 188/57/KP/429.012/2007 yang

dikeluarkan Bupati saat itu yang cenderung

tidak prosedural karena begitu cepatnya

Page 17: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

17 | P a g e

izin itu diterbitkan. Selain surat izin

eksplorasi tersebut, pihak perusahaan juga

telah mengantongi surat izin eksplorasi

dari Kementrian Kehutanan bernomor

S.406/MENHUT-VII/PW/2007, dan kedua

surat inilah yang kemudian melancarkan

jalannya operasi industri pertambangan di

Banyuwangi. Sementara di sisi lain, warga

yang tidak tahu apa-apa hanya menjadi

obyek sebuah kebijakan yang tidak

menghiraukan suara rakyat. Dalam konteks

ini rakyat dianggap sebagai kelompok

yang dimanipulasi sedemikian rupa agar

tidak masuk dalam proses formulasi

kebijakan.

Pandangan Thomas Dye dan

Harmer Zeigler yang teringkas dalam

enam poin diatas nampaknya cukup

relevan dengan fakta yang terjadi di

lapangan, perihal non-elit dan sistem yang

di bangun oleh kaum elit misalnya. Non-

elit cenderung di pinggirkan dan tidak

diberi ruang dalam skenario kebijakan

pertambangan emas di HLGTP yang telah

di rumuskan oleh elit pemerintah. Mereka

yang tergolong non-elit tidak akan diterima

untuk masuk dalam lingkaran kepentingan

elit selagi mereka tidak mau menyepakati

atas sistem nilai sosial dan aturan yang

telah dirancang oleh kaum elit. Dan hanya

non-elit yang bersedia menyepakati dan

memelihara sistem yang telah dibangun

yang diberikan izin untuk masuk ke dalam

lingkaran kepentingan kekuasaan/elit.

Seorang tokoh masyarakat di Banyuwangi

menolak sistem dan skenario kebijakan

pertambangan yang telah ada, maka dia

tidak akan bisa masuk/di masukkan dalam

lingkaran kepentingan elit, akan tetapi

ketika dia menyepakati sistem yang telah

ada, maka dia mendapat izin untuk

masuk/bahkan sengaja dimasukkan dalam

lingkaran tersebut, dan pasti juga akan

turut menerima bagian dari hasil sikapnya

yang menerima sistem tadi. Ini bisa terjadi

karena kaum elit telah membangun dan

membuat kesepakatan berdasarkan sistem

nilai sosial dan upaya pemeliharaan atas

sistem yang telah ada.

Gambar 1

MODEL ELIT

Sumber: Sholichin Abdul Wahab, 2008:94

Pada gambar di atas tampak bahwa

kelompok elit secara top down membuat

kebijakan publik untuk di implementasikan

oleh administrator publik kepada rakyat

banyak atau massa. Pendekatan ini dapat

dikaitkan dengan paradigma pemisahan

antara politik dengan administrasi publik

yang di ikonkan dalam konstanta where

politics end administrations begin.Jadi,

model elit merupakan abstraksi dari proses

formulasi kebijakan dimana kebijakan

publik merupakan perspeksi elit politik.

Prinsip dasarnya adalah karena setiap elit

politik ingin mempertahankan status quo

maka kebijakannya menjadi bersifat

konservatif. Kebijakan-kebijakan yang

dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti

selalu mementingkan kesejahteraan

masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok

masyarakat diluar mereka yang ikut

menentukan kebijakan. Dan birokrasi

adalah pelaksana yang patuh atas semua

kebijakan tersebut (Wibawa, 2011:17).

Corak kebijakan yang top-down

seringkali menimbulkan beragam

persoalan di tataran implementasi, semisal

perlawanan oleh masyarakat sebagai

bentuk ketidakpuasan atas partisipasi

mereka yang merasa telah di pasung. Aksi

perlawanan atas kebijakan yang bersifat

top down ini juga terjadi dalam kasus di

HLGTP Banyuwangi. Saat itu, ribuan

massa dengan mengendarai puluhan truk

melakukan unjuk rasa di depan gedung

dewan, mereka merasa kecewa kepada

Elit

Pejabat Pemerintah dan

Administrator

Massa

Arah Kebijakan

Pelaksanaan Kebijakan

Page 18: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

18 | P a g e

para anggota dewan yang bagi mereka

sebenarnya merupakan harapan terakhir

ketika pihak eksekutif tidak lagi mau

mendengarkan aspirasi mereka. Namun

yang terjadi, anggota dewan pun juga tak

jauh berbeda sikapnya dengan para elit

penguasa di atas, mereka malah memberi

rekomendasi bagi PT IMN untuk

meneruskan proses selanjutnya ke tahap

eksploitasi, yang mana alasan mereka

adalah pembangunan dan naiknya

Pendapatan Asli Daerah (PAD) haruslah

menjadi prioritas bagi Banyuwangi, yang

terpenting bagi DPRD adalah upaya

kontrol dari masyarakat Banyuwangi atas

pelaksanaan operasi industri tersebut.

Faktanya, kebijakan-kebijakan

yang dibuat oleh para elit politik tidaklah

berarti selalu mementingkan kesejahteraan

masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok

masyarakat diluar mereka yang ikut

menentukan kebijakan. Dan birokrasi

adalah pelaksana yang patuh atas semua

kebijakan tersebut. Dinas-dinas terkait

(Dinas Perijinan, Dinas Perhutani KPH

Banyuwangi Selatan, Dinas Pertambangan)

menjadi alat pemulus suatu kebijakan, ia

hanya mengekor apa yang dikehendaki

oleh kaum elit politik saja. Sehingga

birokrasi-birokrasi terkait tak ubahnya

seperti kepanjangan tangan para penguasa.

Melalui teori elit (elite theory) ini,

telah tergambar jelas bagaimana kebijakan

pertambangan emas di Hutan Lindung

Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) dapat

dipastikan akan berwarna kepentingan elit-

elit yang berkuasa di bandingkan dengan

kebutuhan dan tuntutan publik. Karena

pada dasarnya ketika elit merumuskan

kebijakan, maka kebijakan-kebijakan itu

sebenarnya berusaha untuk

mempertahankan kekuasaannya, kebijakan

yang menguntungkan dirinya, hingga

kebijakan yang berusaha meminggirkan

partisipasi publik akan lebihbanyak

muncul.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Berlangsungnya Kebijakan

Pertambangan di Hutan Lindung

Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)

Banyuwangi.

Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi seringkali menjadi

faktor determinan dalam menentukan

sebuah arah kebijakan publik. Kepentingan

ekonomi kaum elit seringkali terbungkus

rapi dengan tema kepentingan publik

(masyarakat). Faktor ekonomi pada suatu

titik juga akan berfungsi untuk mengawal

berlangsungnya suatu kebijakan di

lapangan. Faktor ini tentu tidak

menghendaki sebuah kebijakan yang telah

dirumuskan oleh para elit politik akan

kacau ketika berada pada tataran

implementasi.

Pemerintah Daerah melalui Dinas

Pertambangan Kabupaten Banyuwangi

mengemukakan bahwasannya dengan

adanya penambangan di kawasan Hutan

Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)

dapat menimbulkan dampak positif yaitu:

(1) Meningkatnya Pendapatan Masyarakat

(2) Meningkatkan iklim investasi

(3) Meningkatkan mobilitas dan

pemerataan pembangunan

(4) Serta meningkatkan Pajak Daerah dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dari dampak positif tersebut para

elit pembuat kebijakan mengasumsikan

kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi

dan pendapatan daerah akan meningkat.

Padahal tanpa adanya sistem manajemen

yang baik terkait pengelolaan

pertambangan bisa jadi harapan itu akan

nihil, pasalnya di beberapa tempat seperti

di Kalimantan (sekitar permukiman suku

Dayak Siang) ataupun di Papua

(Tembagapura) juga masih terjadi

ketimpangan soal kesejahteraan

masyarakat sekitar tambang. Masyarakat

yang tidak mendapat imbas positif dari

hasil eksploitasi, bahkan dalam beberapa

kasus mereka malah menjadi korban

tailing yang mengalir melalui sungai-

sungai disekitar area tambang yang

Page 19: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

19 | P a g e

kemudian mengakibatkan beragam

penyakit dalam bagi warga sekitar.

Asumsi para elit pembuat kebijakan

di Banyuwangi cenderung bersifat

normatif, ketika ada operasi industri

pertambangan pasti akan membawa berkah

berupa kesejahteraan bagi semua kalangan,

padahal asumsi-asumsi yang kurang

dilandasi pertimbangan matang dan tanpa

ada studi komparatif dengan di lokasi

tambang lain sangat berpotensi jauh dari

dugaan awal para pembuat kebijakan.

Kesejahteraan yang menjadi tujuan

normatif tanpa adanya mekanisme

pengaturan yang jelas soal tata kelola, bagi

hasil, penanganan tailing yang baik, hingga

pada tahap reklamasi yang harus di atur

sedari awal, sangat memungkinkan akan

terjadi kekacauan dikemudian hari.

Bagaimana tidak, pertambangan adalah

soal investasi (bisnis), dan tentu para

investor akan menggunakan prinsip

mengeluarkan modal sesedikit mungkin

untuk kemudian memperoleh keuntungan

sebesar mungkin, dengan jalan yang relatif

tidak menyulitkan. Prinsip investasi

semacam ini jika tidak di antisipasi sejak

dini oleh para perumus kebijakan di

khawatirkan akan merusak skenario

kebijakan yang telah disusun dengan baik.

Sehingga pada level tertentu alternatif

kebijakan yang telah disiapkan tidak akan

bisa menjadi jalan tengah untuk

menyelesaikan suatu persoalan.

Empat poin (dampak positif dari

pertambangan) di atas (Meningkatnya

pendapatan masyarakat, meningkatkan

iklim investasi, meningkatkan mobilitas

dan pemerataan pembangunan, serta

meningkatkan pajak daerah dan

pendapatan asli daerah), akan menjadi sia-

sia belaka ketika kaum elit hanya

memposisikan diri sebagai fasilitator bagi

para investor. Kecenderungan kaum elit

politik Banyuwangi yang memposisikan

diri sebagai fasilitator ini terbukti melalui

fakta prosedur perizinan yang relatif begitu

cepat dan tanpa adanya pertimbangan-

pertimbangan yang matang. Selain

prosedur perizinan yang begitu cepatnya,

pertimbangan-pertimbangan lokasi

pertambangan yang berada di kawasan

hutan lindung, resapan air hingga pesisir

pantai Pancer penghasil ikan terbesar

kedua di Banyuwangi setelah Muncar juga

tidak begitu diperhatikan. Mereka

cenderung hanya memfasilitasi keinginan

pemodal.

Harusnya, pemerintah kabupaten

Banyuwangi belajar banyak dari

pengalaman pemerintah pusat di era orde

baru dengan corak dan posisi sebagai

fasilitator bagi para investor asing. Hutan

dan isi bumi yang diobral habis oleh

pemerintah orde baru yang kemudian

menimbulkan beragam problem dilapis

bawah merupakan fakta yang tidaklah bisa

dipungkiri. Suku dayak siang di

Kalimantan yang terpinggirkan hingga

terusir dari tanah kelahirannya, kasus-

kasus asusila di sekitar lokasi tambang,

hingga kesejahteraan yang tak sampai ke

tangan masyarakat lokal dan hanya

tersedot ke pusat serta para investor saja

harusnya menjadi perhatian serius bagi

para elit perumus kebijakan pertambangan

di HLGTP Banyuwangi. Daya tahan

pemerintah kita atas lobi-lobi kuat dari

kuasa modal memang seringkali luntur dan

luluh lantak.Melalui iming-iming bagi

hasil dibalik layar antara pihak kuasa

modal tadi dengan para elit acapkali

merusak nilai luhur dari suatu kebijakan.

Dari pihak legislatif, anggota

DPRD Kabupaten Banyuwangi yang

awalnya menolak, kemudian cenderung

menerima keberadaan operasi tambang.

Alasan utama mereka adalah perihal

kesejahteraan masyarakat Banyuwangi

yang tergolong perlu untuk ditingkatkan.

Selain itu meningkatnya Pendapatan Asli

Daerah (PAD) juga selalu menjadi

prioritas bagi mereka, salah satunya

dengan mengoptimalkan operasi

pertambangan di HLGTP tersebut. Dengan

PAD yang meningkat otomatis juga akan

meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan,

dan perbaikan infrastruktur. Namun,

harapan dan tujuan yang sekaligus menjadi

faktor ekonomi di atas bisa jadi akan

menjadi semu ketika di wilayah perumusan

kebijakannya sudah ditemukan berbagai

Page 20: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

20 | P a g e

problem. Masyarakat yang tidak

terakomodasi keikutsertaannya dalam

merumuskan kebijakan pertambangan

menjadi salah satu problem serius ketika

kebijakan tersebut nantinya berada pada

tahap implementasi. Perumusan kebijakan

pertambangan yang hanya melibatkan

kaum elit lokal (termasuk anggota DPRD

Banyuwangi) tentu menimbulkan berbagai

asumsi, mulai dari konspirasi hingga

adanya bagi hasil atas keuntungan

eksplorasi antara pihak perusahaan dengan

para elit penguasa.

Dari persoalan peningkatan PAD,

selanjutnya kita akan membahas perihal

tujuan pemerintah berikutnya, terciptanya

iklim investasi yang kondusif. Iklim

investasi yang kondusif selalu digembor-

gemborkan oleh pemerintah daerah, tentu

dengan tujuan agar para investor semakin

tertarik untuk menanamkan modal ataupun

menggarap beragam potensi SDA yang ada

di Banyuwangi. Namun, langkah yang

ditempuh Pemerintah Banyuwangi dengan

memberikan prosedur perijinan

pertambangan yang begitu singkat dan

tidak rumit, dengan harapan perusahaan-

perusahaan baik asing maupun lokal

menjadi tidak ragu untuk menanamkan

investasinya, bisa dianggap keliru dan

salah kaprah. Harusnya, prosedur perijinan

tetap berjalan sesuai aturan dan tidak

dipermudah sedemikian rupa. Kesan yang

kemudian timbul adalah di obral murahnya

SDA yang ada di Banyuwangi. Jika

pemerintah serius dalam upaya

menciptakan nuansa investasi yang

nyaman bagi investor, idealnya mereka

mampu memposisikan diri berada di

tengah-tengah masyarakat, atau sebagai

mediator dan bukan sebagai penikmat atas

iklim investasi yang nyaman tadi. Faktor

ekonomi lain yang menyebabkan

berlangsungnya kebijakan pertambangan

ini adalah adanya dorongan dan loby yang

kuat oleh pihak perusahaan PT. IMN. Dua

faktor terakhir (iklim investasi yang

kondusif dan adanya lobi), bagaimanapun

kepentingan bisnis juga akan mengambil

peran dalam proses-proses pembangunan

di suatu negara. Pemerintah kita memang

seringkali takluk ketika berhadapan dengan

lobi-lobi yang kuat dari pihak-pihak

perusahaan yang ada. Persoalan mental

bisa jadi menjadi faktor utama mengapa

acapkali pemerintah kita bertekuk lutut di

depan investor. PT. IMN melalui 4 pilar

program pro masyarakatnya tentu dianggap

juga akan mampu turut menopang

pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat

Banyuwangi. Adapun 4 pilar dari program

kemaslahatan PT. IMN adalah sebagai

berikut:

(1) Di bidang ekonomi, melalui

penguatan produktifitas nelayan

Dusun Pancer. Ini karena sebagian

besar matapencaharian masyarakat

tersebut adalah berprofesi sebagai

nelayan. PT. IMN siap membantu

dalam hal apapun, seperti

pengadaan peralatan untuk melaut

bagi para nelayan.

(2) Di bidang pendidikan, PT. IMN

telah mengadakan olimpiade

matematika untuk SMA

sekecamatan Pesanggaran.

(3) Di bidang kesehatan, melalui

pengobatan gratis, dan penyuluhan

bahaya virus HIV (karena di sekitar

area pertambangan terdapat

lokalisasi). Selain itu perusahaan

ini juga memiliki program kader

posyandu yang bertujuan agar taraf

kesehatan anak-anak di sekitar

Dusun Pancer terjaga

kesehatannya.

(4) Kualitas infrastruktur, terlihat

dengan telah di perbaikinya

beberapa akses jalan menuju area

pertambangan. Jalan yang

sebelumnya hanya tanah sekarang

telah di rubah dengan paping

sehingga mempermudah menuju

area wisata pulau merah dan area

pertambangan. (wawancara dengan

Musmin Nuryadi Humas PT. IMN).

Dorongan dan lobi yang kuat oleh

pihak perusahaan seringkali membuat

pihak birokrasi pemerintahan menjadi

bertekuk lutut. Belum lagi ketika pihak

perusahaan menyediakan beragam

Page 21: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

21 | P a g e

program seperti 4 pilar diatas yang seolah-

olah sangat berpihak kepada masyarakat.

Melalui program-program CSR (Corporate

Social Responsibility) seringkali

perusahaan-perusahaan pertambangan

mengemas keberadaan mereka dengan

wajah yang santun dan peduli akan

masyarakat lokal, namun disisi lain

masyarakat juga harus mampu berfikir

kritis, karena bisa jadi program-program

dari pihak perusahaan tersebut hanya

upaya mengelabui ataupun membangun

citra positif di muka publik.

Faktor Politik

Aksi penolakan warga Pancer dan

sekitarnya terhadap keberedaan eksplorasi

tambang emas oleh PT IMN terus

berlangsung antara kurun waktu tahun

2006 sampai sekarang, hingga di beberapa

media baik cetak maupun elektronik,

warga yang tidak sepakat dengan

keberadaan perusahaan tersebut terus

mengecam kepemimpinan lokal. Fakta ini

dapat dimaklumi mengingat keberpihakan

proses politik lokal terhadap perusahaan

emas semakin transparan saat itu.

Sedangkan untuk mengukur adanya proses

politik lokal yang berpihak pada

perusahaan, lagi-lagi dapat kita lihat

melalui fakta tentang begitu cepatnya

proses dan prosedur perijinan yang di lalui

oleh PT IMN. Dalam konteks rencana

penambangan emas HLGTP, keinginan PT

IMN dan para elit politik lokal seolah

menjadi harga mati yang tidak bisa di

tawar-tawar lagi. Pemimpin lokal dan

pihak perusahaan mampu berjalan dengan

begitu sinergi untuk mengawal lancarnya

suatu ijin pertambangan.

Baik eksekutif maupun legislatif

terkesan berjalan sesuai dan seirama,

eksekutif bertindak cepat dengan

mengeluarkan ijin eksplorasi hingga

hampir eksploitasi serta memposisikan diri

layaknya bagai fasilitator pembangunan,

sementara DPRD Banyuwangi (legislatif)

juga mendukung keberlangsungan operasi

pertambangan oleh PT. IMN. Beberapa

anggota dewan dengan terang-terangan

menyatakan mendukung proses ekplorasi

dengan alasan globalisasi yang tak bisa

dibendung lagi, namun ketika mereka

ditanya apakah proses reklamasi misalnya,

telah terkonsep dengan baik? Rata-rata

mereka hanya mampu menjawab bahwa

setiap tahap pertambangan haruslah di

monitor. Ini menunjukkan terdapat

problem dalam tahap formulasi kebijakan,

bahwa begitu kurang matangnya konsep

perumusan kebijakan oleh elit lokal di

Banyuwangi. Skenario kebijakan

pertambangan di HLGTP yang dibangun

oleh elit pemerintah hanya bermuara pada

eksplorasi yang berujung eksploitasi tanpa

menyertakan konsep yang jelas mengenai

berbagai dampak yang akan muncul,

proses reklamasi yang tidak jelas, sampai

pada bagi hasil operasi tambang. Kondisi

yang berjalan hingga saat ini, seolah-olah

memang telah terskenario dengan rapi oleh

para elit pemerintahan. Sehingga harapan

dan janji para elit pemerintah terkait

kesejahteraan bagi masyarakat atas hasil

tambang hanya menjadi harapan yang

imaginer, dan berujung pada politisasi

sektor pertambangan.

Faktor politik disini mengandung

pengertian bahwa suatu kebijakan pasti

akan bermuatan politik, entah itu untuk

kepentingan melanggengkan kekuasaan si

pembuat kebijakan ataukah untuk

kepentingan elit politik tertentu. Fenomena

pemilihan kepala desa saja (pada tahun

2010), sudah bisa kita temukan bahwa

faktor politik juga berperan dalam upaya

mendukung berjalannya suatu kebijakan.

Terdapat calon yang didukung pihak

perusahaan dan calon yang tidak di

dukung. Belum lagi kalau berbicara faktor

politik ditingkat lebih atas, bisa jadi

keluarnya izin eksplorasi pertambangan ini

adalah sebagai simpanan modal bagi

penguasa saat itu untuk melanggengkan

kekuasaannya menjelang Pilkada akhir

tahun 2010.

Faktanya suatu kebijakan memang

seringkali di rumuskan bukan untuk

kepentingan publik, karena kebijakan telah

menjadi preferensi kaum elit saja. Inilah

yang kemudian disebut sebagai kebijakan

yang tidak berpihak kepada publik,

Page 22: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

22 | P a g e

kebijakan yang hanya merepresentasikan

kebutuhan melanggengkan status quo dan

kekuasaan, kebijakan yang berfungsi

sebagai modal investasi untuk tujuan-

tujuan politik di masa akan datang.

Padahal seharusnya, kebijakan publik

harus merepresentasikan kehendak dan

keinginan serta kebutuhan publik.

Bahkan sebelum Pilkada akhir

tahun 2010, beberapa Partai pengusung

calon bupati menyatakan bahwa proses

ekplorasi tambang emas di HLGTP perlu

untuk di lanjutkan dengan alasan agar

Banyuwangi ke depan dapat lebih maju

dalam hal pembangunan. Menurut mereka,

saat ini kita sudah berada pada zaman

globalisasi, dimana pembangunan dan

investasi itu menjadi satu, dan kita tidak

bisa mengelak dari itu semua. Mereka

sepakat terhadap eksplorasi tambang emas

di HLGTP asal nantinya bermanfaat bagi

masyarakat Banyuwangi. Sebuah

argumentasi yang terbilang begitu polos,

menyerahkan pembangunan pada

mekanisme pasar yang begitu liar tanpa

ada upaya-upaya membentengi daerah dan

masyarakat melalui paket-paket kebijakan

yang lebih populis.

Faktor politik disini mengandung

pengertian bahwa suatu kebijakan pasti

akan bermuatan politik, entah itu untuk

kepentingan melanggengkan kekuasaan si

pembuat kebijakan atau kah untuk

kepentingan elit politik tertentu. Yang

jelas, momentum ketika itu menjelang

Pemilihan Kepala Daerah, warga di

hadapkan untuk memilih antara calon yang

di dukung dan di danai oleh PT. IMN dan

calon yang menolak pertambangan. Bisa

jadi keluarnya izin pertambangan ini

adalah sebagai simpanan modal bagi

penguasa saat itu untuk melanggengkan

kekuasaannya menjelang Pilkada akhir

tahun 2010. Logika politik semacam ini

secara faktual seringkali terjadi di berbagai

daerah, investasi politik berupa jasa

(pemberian ijin eksplorasi tambang)

kepada pemilik modal menjadi barang

yang berharga untuk suksesi dan

melanggengkan status quo.

Berlangsungnya kebijakan

pertambangan emas di Banyuwangi

memang tidak bisa lepas dari dua faktor di

atas (faktor ekonomi dan politik). Kedua

faktor ini nampaknya berjalan seiring

sejalan. Pihak penguasa atau kaum elit

misalnya sengaja memperkaya diri dengan

mengambil keuntungan secara ekonomi

untuk menggapai tujuan politik di

kemudian hari. Karena fakta bahwa politik

memerlukan biaya (cost) yang tinggi telah

menjadi pemahaman bagi masyarakat saat

ini, sehingga mengakumulasi modal

menjadi sebuah keniscayaan bagi para elit.

Sedangkan pihak perusahaan yang

notabene memiliki kepentingan bisnis juga

akan bermain mata dengan elit pemegang

kekuasaan politik guna menjaga

kelangsungan operasi pertambangan.

Adapunmasyarakat yang tidak

mendapatkan bagian/tidak dilibatkan

dalam proses perumusan kebijakan hanya

akan menjadi penonton yang tak berkutik

dan hanya bisa berkomentar atas berbagai

fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal

ini kemudian menyebabkan pro dan kontra

masih berlangsung hingga kini.

Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat

atas janji-janji pemerataan kesejahteraan

sebagai prinsip kebijakan pertambangan

dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari

kenyataan.

Aksi pro dan kontra niscaya tidak

akan terjadi ketika publik dilibatkan dalam

proses pembuatan kebijakan. Mereka yang

menolak atas operasi tambang dikarenakan

aspirasi mereka seperti kekhawatiran akan

rusaknya ekosistem dan mata pencaharian

sebagai nelayan akan hilang dan musnah

tidak pernah di akomodasi oleh pihak elit

pemerintah selaku perumus kebijakan.

Keberpihakan penguasa terhadap

pengusaha menjadikan masyarakat yang

kontra (menolak) tambang menjadi

semakin jengkel, apalagi ketika melihat

beberapa kelompok masyarakat yang pro

(menerima) operasi tambang mendapatkan

kompensasi ataupun memperoleh

pekerjaan dari pihak perusahaan (PT.

IMN).

Page 23: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

23 | P a g e

Kebijakan Pertambangan Mineral oleh

Elit: Kesejahteraan Imaginer

Berlangsungnya kebijakan

pertambangan emas di Banyuwangi

memang tidak bisa lepas dari dua faktor,

ekonomi dan politik. Kedua faktor ini

nampaknya berjalan seiring sejalan. Pihak

penguasa atau kaum elit misalnya sengaja

memperkaya diri dengan mengambil

keuntungan secara ekonomi untuk

menggapai tujuan politik di kemudian hari.

Karena fakta bahwa politik memerlukan

biaya (cost) yang tinggi telah menjadi

pemahaman bagi masyarakat saat ini,

sehingga mengakumulasi modal menjadi

sebuah keniscayaan bagi para elit.

Sedangkan pihak perusahaan yang

notabene memiliki kepentingan bisnis juga

akan bermain mata dengan elit pemegang

kekuasaan politik guna menjaga

kelangsungan operasi pertambangan.

Sedangkan masyarakat yang tidak

mendapatkan bagian/tidak dilibatkan

dalam proses perumusan kebijakan hanya

akan menjadi penonton yang tak berkutik

dan hanya bisa berkomentar atas berbagai

fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal

ini kemudian menyebabkan pro dan kontra

masih berlangsung hingga kini.

Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat

atas janji-janji pemerataan kesejahteraan

sebagai prinsip kebijakan pertambangan

dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari

kenyataan. Bagaimana tidak, faktanya para

elit dan pihak perusahaan melakukan

kerjasama dengan cukup erat dan rapi,

tentu mereka juga akan berbagi

keuntungan dari hasil olah tambang.

Kondisi semacam ini seringkali

mengakibatkan kesejahteraan rakyat

menjadi tidak begitu diperhatikan/di nomer

sekiankan. Dalam teori elit (elite theory),

inilah yang disebut kebijakan merupakan

hasil keluaran elit yang mencerminkan

nilai mereka dengan tujuan melayani

mereka, dan yang ada hanyalah visi

kesejahteraan massa secara imaginer

(Nawawi: 50).

Berkaitan dengan perihal

kesejahteraan bagi masyarakat, Pemerintah

Daerah harusnya selalu belajar banyak dari

pengalaman-pengalaman operasi

pertambangan di daerah-daerah lain.

Contoh paling mengemuka adalah

kebijakan pertambangan di Papua Barat

dengan PT. Freeport Indonesia-nya. PT.

Freeport Indonesia merupakan potret nyata

sektor pertambangan di Indonesia.

Keuntungan ekonomi yang dibayangkan

tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya

kondisi lingkungan dan masyarakat

disekitar lokasi pertambangan terus

memburuk dan menuai protes akibat

berbagai pelanggaran hukum dan HAM,

dampak lingkungan serta pemiskinan

terhadap rakyat sekitar tambang.

kesejahteraan yang awalnya dijanjikan

nyatanya hanya bersifat imaginer belaka.

Riset yang dilakukan oleh Walhi

yang dipublikasikan ulang pada tahun

2006 mendapatkan gambaran terkini

mengenai dampak operasi dan kerusakan

lingkungan disekitar lokasi pertambangan

PT. Freeport Indonesia. Hingga saat ini

sulit sekali bagi masyarakat lokal untuk

mendapatkan informasi yang jelas dan

menyeluruh mengenai dampak kegiatan

pertambangan skala besar di Indonesia.

Ketidakjelasan tersebut akhirnya berbuah

konflik berkepanjangan yang tak kunjung

usai. Negara telah gagal memberikan

perlindungan dan menjamin hak atas

lingkungan yang baik bagi masyarakat,

namun dilain pihak memberikan dukungan

penuh kepada perusahaan tersebut, yang

dibuktikan dengan pengerahan personil

militer dan membiarkan kerusakan

lingkungan serta mengeliminasi rakyat dari

daftar kesejahteraan.

Dampak lingkungan yang terjadi

disekitar area pertambangan PT. Freeport

Indonesia bukanlah hal yang terbilang

kecil, matinya sungai Aljkwa, Aghawagon

dan Otomona, tumpukan batuan limbah

tambang dan tailing yang menurut Walhi

jika ditotal mencapai 840.000 ton dan

matinya ekosistem disekitar lokasi

pertambangan merupakan fakta kerusakan

lingkungan yang nilainya tidak akan dapat

tergantikan. Kerusakan lingkungan yang

terjadi disana juga mencerminkan kondisi

Page 24: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

24 | P a g e

pembiaran pelanggaran hukum atas nama

kepentingan ekonomi dan desakan politis

yang menggambarkan digdayanya kuasa

korporasi.

Dalam konteks pertambangan emas

di Banyuwangi, andai pemerintah daerah

mau belajar banyak dari kasus yang terjadi

di Papua maka niscaya pemerintah akan

mampu menggiring arus kepentingan

ekonomi (bisnis) perusahaan ke arah

meratanya bagi hasil keuntungan antara

pihak perusahaan, pemerintah dan

masyarakat tentunya. Sehingga

kesejahteraan tidak menjadi harapan semu

bagi rakyat.

Fakta bahwa di sekitar dusun

Pancer (area pertambangan) masih sering

terjadi penambangan liar oleh warga

setempat dan dari luar daerah serta kualitas

infrastruktur yang relatif kurang baik

menjadi bukti bahwa kesejahteraan yang

telah dijanjikan oleh para elit penguasa

adalah imaginer. Para nelayan yang kini

kesulitan mencari buruh untuk melaut -

karena warga lokal lebih tertarik bekerja

ditambang - juga sekaligus menambah

daftar nihilnya kesejahteraan bagi warga

sekitar, bahkan kecenderungan yang ada

malah semakin menghimpit kesempatan

dan peluang kerja bagi sektor lain, yakni

nelayan dengan lautnya.

Kesejahteraan yang tidak merata

dan tidak berkeadilan ini tentunya telah

menciderai amanat UUD 1945 terutama

dari pasal 33. Pasal ini berbunyi “Bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat”.Pasal ini merupakan

salah satu prinsip mendasar tentang

bagaimana seharusnya sumberdaya alam

kita dikelola.

SIMPULAN

Proses perumusan (formulasi)

kebijakan pertambangan emas di Hutan

Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)

Banyuwangi memang sempat melibatkan

peran serta masyarakat berupa penyebaran

angket ke masyarakat lokal dusun Pancer,

namun proses pelibatan masyarakat

tersebut bisa dianggap masih semu karena

pada kenyataannya meski masyarakat

sepakat menolak akan adanya operasi

tambang emas oleh PT IMN, kebijakan

pemberian izin eksplorasi tersebut tetap

turun tanpa adanya izin sosial (social

lisence). Kebijakan pertambangan emas di

HLGTP cenderung merepresentasikan

kepentingan (dominasi) elit, terbukti peran

masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan

tidak terakomodasi dengan baik. Kebijakan

hanya mencitrakan kepentingan elit lokal,

yang tentunya bekerja sama dengan pihak

perusahaan (private sector). Adapun

pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan

pertambangan ini tidak dapat menemukan

titik kesepakatan, hingga pro dan kontra

tidak dapat terjembatani. Tidak

terakomodasinya seluruh kelompok

kepentingan dalam proses perumusan

kebijakan pertambangan mengakibatkan

kebijakan ini dianggap kurang begitu

populis. Sedangkan posisi dan peran

masyarakat dusun Pancer secara faktual

memang tidak dilibatkan dalam proses

perumusan kebijakan, sehingga

memunculkan kekesalan dan kemarahan

yang berujung pada berbagai tindakan

massa (demonstrasi, pembakaran kantor

PT IMN).

DAFTAR PUSTAKA

Moleong J. Lexy. 2007,Metodologi

Penelitian Kualitatif, PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Nawawi, Ismail. 2009, Public Policy

(Analisis, Strategi Advokasi Teori

dan Praktek), PMN, Surabaya.

Nugroho, Riant D. 2004, kebijakan Publik

(Formulasi, Implementasi, dan

Evaluasi), PT Elex Media

Komputindo, Jakarta.

Parsons, Wayne. 2008, Public Policy

(Pengantar Teori & Praktik Analisis

Kebijakan),Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Wahab, Solichin Abdul. 2005,Analisis

Kebijakan (Dari Formulasi ke

Page 25: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

25 | P a g e

Implementasi Kebijakan Negara),

Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta.

Wibawa, Samodra. 2011,Politik

Perumusan Kebijakan Publik, Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Salamudin, 2009,―Kebijakan Keruk Dari

Presiden Ke Presiden‖. GALI-

GALIJaringan Advokasi Tambang

(JATAM), Volume 3, Nomor 3,

Jakarta.

Dokumen Analisis Dampak Lingkungan

(Andal) PT IMN.

Page 26: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

26 | P a g e

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA UNGGULAN DI KABUPATEN BLITAR

Oleh:

M. Hassan Bisri

Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan

Universitas Islam Raden Rahmat

Malang – Indonesia

Abstrak

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola

potensi wilayah untuk mengembangkan perekonomian daerah yang berorentasi

untuk menyejahterakan masyarakat sebagai stakeholders. Salah satu untuk

pengembangan potensi wilayah yang memiliki keunggulan dan menarik bagi

investasi adalah pengembangan potensi wisata. Dengan pengembangan potensi

wisata akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan menjadi

sumber pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian potensi wisata unggulan di

Kabupaten Blitar ini memfokuskan studi pada karakter wisata air darat yang

meliputi wisata air terjun dan arung jeram, dengan menggunakan pendekatan studi

eksploratif dengan subjek masyarakat. Pendekatan kualitatif eksploratif ini

dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang studi wisata dari

perspektif pengembangan yang meniscayakan keikutsertaan peran serta

masyarakat dan subjek-subjek lain, diantaranya Pemerintah daerah dan pelaku

wisata. Permasalahan utama dalam pengembangan potensi wisata saat ini antara

lain adanya keterbatasan dana/ anggaran. Hal ini memberikan pengaruh pada

ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Di samping itu, adanya

keterbatasan pengembangan konsep wisata dan kurangnya promosi mengenai

tempat-tempat wisata yang memiliki keindahan alam dan kelestarian lingkungan

yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Berbagai strategi

yang diperlukan untuk pengembangan potensi wisata unggulan di Kabupaten

Blitar, antara lain melalui kebijakan yang lebih berpihak pada sektor pariwisata

adalah pemberdayaan masyarakat.

Keyword: Otonomi Daerah, Pengembangan potensi lokal, Sektor Pariwisata,

PENDAHULUAN

Pada era otonomi daerah,

pemerintah mendapatkan ruang yang luas

untuk mendesain kebijakan pembangunan

yang berorientasi pada kesejahteraan

masyarakat luas. Untuk mampu

mengoptimalkan pemerataan kesejahteraan

masyarakat maka pemerintah daerah harus

mampu mendesain kebijakan-kebijakan

yang bertumpu pada optimalisasi

sumberdaya lokal yang potensial.

Pariwisata menjadi salah satu sektor yang

memiliki potensi besar untuk

dikembangkan dan dikelola menjadi

sumber pendapatan daerah. Disamping itu,

sektor pariwisata dapat dioptimalkan untuk

mendorong berjalannya kegiatan ekonomi

masyarakat di sekitar objek

wisata.Beberapa penelitian yang pernah

dilakukan menyimpulkan bahwa secara

Page 27: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

27 | P a g e

signifikan pariwisata dapat memberikan

kontribusi kepada negara dalam tiga

bentuk, yaitu: perluasan kesempatan kerja,

peningkatan pendapatan dan devisa, serta

pemerataan pembangunan antar wilayah.

Kabupaten Blitar adalah salah satu

kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang

memiliki lokasi strategis yang terletak di

jalur utama perekonomian yang

menguntungkan Kabupaten Blitar sebagai

salah satu tujuan investasi. Namun dari

keseluruhan di Kabupaten Blitar masih

banyak objek wisata alam potensial yang

belum dikembangkan dan dikelola dengan

optimal oleh pemerintah Kabupaten Blitar.

Oleh karena itu, diperlukan pengembangan

potensi untuk memetakan kawasan potensi

wisata alam secara efektif dan efisien,

terutama untuk daerah Kabupaten Blitar

yang masih menyimpan banyak kawasan

wisata alam yang belum dieksplorasi dan

dikembangkan untuk kepentingan

pengembangan potensi pariwisata

unggulan daerah.

Pariwisata adalah sektor yang

mengambil peranan penting di suatu

wilayah daerah. Tingkat kunjungan

seseorang ke suatu daerah sebagaian besar

didasarkan oleh daya tarik pariwisata

didaerah tersebut. Hal ini akan juga

memicu berkembangnya sektor

perekonomian masyarakat, baik dalam

kegiatan jual beli maupun munculnya

usaha pendukung, seperti pusat kerajinan

dan sebagainya. Disamping itu juga

hadirnya bisnis yang lain, seperti kuliner.

Keterkaitan pariwisata dengan sektor

lainnya tidak dapat dipisahkan. Salah satu

cara untuk membangun potensi wisata

unggulan adalah melakukan branding atau

pengenalan nama tempat wisata kepada

calon pengunjung. Dalam konteks

pemerekan (branding) kegiatan

memberikan kesadaran (awareness) ini

merupakan langkah awal untuk

menumbuhkan persepsi positif dan juga

loyalitas para wisatawan. Branding

merupakan alat strategi yang tergolong

baru dan memiliki kemampuan yang besar

dalam menguji, menjelaskan, serta

menciptakan nilai dari sebuah tempat

tujuan wisata. Beberapa penelitian terbaru

menjelaskan bahwa untuk mewujudkan

tujuan wisata yang sukses terdapat dua

langkah utama, yaitu: menciptakan suatu

pengalaman yang menyenangkan bagi

pengunjungnya (Snepenger, et. al.,2004);

dan mengembangkan brand dari tempat

wisata tersebut (Kotler, 2009). Dengan

menciptakan suatu pengalaman akan

menimbulkan keterikatan antara

pengunjung dan tempat wisata itu sendiri.

Bagi sebuah bisnis pariwisata modern

harus mampu memahami dan

menambahkan keinginan pelanggannya

untuk meningkatkan nilai dari pariwisata

itu sendiri. Membangun, menawarkan dan

mengelola sebuah pengalaman wisata

menjadi aspek utama untuk mencapai

inovasi produk wisata (Voss, 2004). Jika

pengalaman wisata tersebut dapat dikelola

dengan baik, maka akan mendorong

tempat wisata itu untuk meningkatkan

pangsa pasar dan daya saing (Pine and

Gilmore, 1998). untuk membangun suatu

tujuan wisata adalah memperkuat brand

yang dimiliki. Pada dasarnya membangun

brand suatu produk, jasa ataupun tempat

wisata adalah bukan hal yang mudah.

Apalagi pencapaian keberhasilan suatu

brand tidak dapat dilihat secara nyata.

Brand itu dikatakan berhasil jika para

pengunjung merasa puas setelah

berkunjung ke suatu tempat wisata.

Perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana akar permasalahan yang

dihadapi oleh sektor pariwisata di

Kabupaten blitar? dan strategi apa saja

untuk membangun potensi wisata unggulan

di Kabupaten blitar?

Adapun tujuan dalam penelitian ini

adalah Untuk mengetahui permasalahan

yang dihadapi oleh sektor pariwisata di

Kabupaten Blitar dan Untuk mengetahui

strategi membangun wisata unggulan di

Kabupaten Blitar.

Metodologi Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian dan

perumusan masalah maka jenis penelitian

ini menggunakan pengukuran-pengukuran

yang bersifat kualitatif eksploratif.

Penelitian kualitatif dilakukan dengan

Page 28: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

28 | P a g e

metode etnografi (ethnographic study),

dengan wawancara mendalam untuk

memperoleh thick description (deskripsi

mendalam) atas pengalaman subjek yakni:

tentang eksplorasi pengembangan potensi

wisata dari perspektif pengalaman subyek.

Metode kualitatif berkontribusi pada

eksplorasi secara mendalam atas fenomena

sosial di masyarakat, amat sesuai dengan

kondisi dan karakter masyarakat yang

diteliti berkaitan dengan pengembangan

potensi wisata di Kabupaten Blitar.

Jenis metode penelitian kualitatif

eksploratif, yaitu: peneliti akan

melaporkan dan menjelaskan data apa

adanya berdasarkan temuan di lapangan

melalui aktivitas penggalian data secara

eksploratif dengan melibatkan beberapa

informan penting terkait dengan

pengembangan wisata di kabupaten Blitar.

Oleh karenanya, peneliti akan meliputi

jangkauan wilayah penelitian di sekitar

lokasi tempat wisata di kabupaten Blitar,

sehingga diperoleh temuan data yang

akurat dan merepresentasikan keadaan

masyarakat sebenarnya terkait objek

wisata. Dalam metode kualitatif

eksploratif, diperlukan beberapa informan

yang tersebar secara proporsional di 4

(empat) lokasi tempat wisata di Kabupaten

Blitar. Instrumen yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah pedoman

wawancara kualitatif. Teknik pengumpulan

data, menggunakan teknik wawancara

mendalam (in-depth interview), dilakukan

terhadap 20 narasumber utama yang

berdekatan dengan lokasi tempat wisata

yaitu dari unsur masyarakat di Kabupaten

Blitar, pelaku wisata, tokoh masyarakat,

pemerintah desa, pemerintah kecamatan

dan pemerintah kabupaten.Analisa data

dalam penelitian ini menggunakan

variabel-variabel yang akan diukur dalam

penelitian meliputi : a). Respons

masyarakat pada sektor wisata daerah, b).

Respons dan harapan masyarakat pada

pengembangan potensi wisata daerah, c).

Manfaat sosial dan ekonomi bagi

masyarakat, d). Strategi pengembangan

potensi wisata daerah.

Variabel-variabel tersebut

kemudian akan dianalisis dengan metode

focussed synthesis untuk

mengidentifikasikan dan mengetahui

hubungan antar variabel. Dimana apabila

terdapat hubungan antar keduanya, maka

terdapat tingkat ketergantungan yang

saling mempengaruhi yaitu perubahan

variabel yang satu ikut mempengaruhi

perubahan pada variabel lain. Teknik

focus-synthesis ini juga sekaligus

menyandingkan dan membandingkan data-

data yang diperoleh dari tiap-tiap nara

sumber terkait dengan indikator dan

variabel yang sedang diukur. Simpulan

dari tiap-tiap variabel dari akumulasi

sejumlah narasumber kemudian dianalisis

dengan cara direduksi, disandingkan dan

dibandingkan dengan simpulan dari

variabel lain yang juga diukur. Sehingga

hasilnya dianalisis dan dideskripsikan.

Analisis Data dan Pembahasan

AnalisisPotensi dan Strategi

Pengembangan Wisata Unggulan di

Kabupaten Blitar

a. Pemetaan Permasalahan Sektor

Pariwisata di Kabupaten Blitar

Permasalahan yang dihadapi oleh

sektor pariwisata di Kabupaten Blitar

relatif kompleks. Namun, menurut salah

satu informan di lapangan menegaskan

bahwa keterbatasan dana/anggaran dari

Pemerintah Kabupaten Blitar merupakan

salah satu permasalahan utama. Informan

memberikan alasan bahwa dana/anggaran

yang memadai dapat dialokasikan untuk

perbaikan fasilitas sarana dan prasarana

pariwisata. Bahkan menurut informan

permasalahan juga dapat berkaitan dengan

kebijakan Pemerintah Daerah sendiri yang

kurang peduli mengenai potensi wisata

yang ada. Jadi, dari hasil wawancara dari

informan setidaknya dapat ditarik suatu

permasalahan utama. Pertama, anggaran.

Hal yang dimaksud adalah keterbatasan

dana/anggaran dari Pemerintah Kabupaten

Blitar untuk pengembangan sektor

pariwisata. Hal ini dapat dikaitkan dengan

kebijakan pemerintah daerah setempat.

Permasalahan lain yang dapat

Page 29: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

29 | P a g e

diidentifikasi adalah promosi, sebagian

objek wisata di Kabupaten Blitar kurang

begitu dikenal oleh wisatawan jika

dibandingkan dengan daerah lain.Kedua,

infrastruktur dan jalan akses ke lokasi

wisata potensial.

Analisis Optimalisasi dan Integrasi

Sumberdaya Pariwisata

a. Sumberdaya Wisata dan Alam

Sumberdaya Wisata dan Alam

merupakan salah satu faktor yang penting

untuk mengembangkan potensi wisata

unggulan di Kabupaten Blitar. Keindahan

alam dan kelestarian lingkungan sebagai

instrumen yang menjadi dasar utama

dalam menciptakan tempat wisata alam

yang mampu menarik para wisatawan.

Selanjutnya keindahan lingkungan alam

yang alami dan lokasi yang strategis

tempat wisata juga akan menjadi

pemikiran untuk mengoptimalkan tempat

wisata alam. Bentuk dataran alam dan

lingkungan yang masih alami akan

menjadi keistimewaan tersendiri bagi

objek wisata.

Dari berbagai macam keindahan

alam dan lingkungan disekitar tempat

wisata seperti yang diungkapkan diatas

perlu menjadi perhatian utama pemerintah

setempat dalam upaya untuk

mengoptimalkan pengembangan sektor

wisata alam, sehingga potensi wisata yang

ada akan tereksplorasi dengan maksimal

untuk menciptakan tempat wisata unggulan

yang menjadi perhatian masyarakat untuk

berkunjung ke lokasi tempat

wisata.Pemerintah juga harus

memperhatikan dengan serius mengenai

potensi keindahan alam yang masih alami

dan seharusnya untuk ditindaklanjuti untuk

pengembangannya.

b. Sumberdaya Manusia dan Budaya

Dalam upaya untuk optimalisasi

pengembangan sektor pariwisata yang

berbasis pada wisata alam, selain faktor

sumberdaya alam yang harus diperhatikan

kesiapan sumberdaya manusia dan budaya

lokal masyarakat di sekitar lokasi tempat

wisata. Kemajuan objek wisata tidak

terlepas dari faktor kualitas sumberdaya

manusia di masyarakat di sekitar tempat

objek wisata. Selain itu juga sumberdaya

budaya masyarakat tentu akan menjadi

penunjang perkembangan wisata alam.

Sumberdaya budaya lokal menjadi

karakteristik wilayah lokasi tempat wisata

alam dan menjadi tujuan utama bagi para

wisatawan untuk berkunjung ke tempat

objek wisata, selain ke tempat lokasi

wisata lainnya.

Dari berbagai penjelasan yang

diungkapkan diatas sumberdaya manusia

dan budaya menjadi karateristik utama

dalam perkembangan sector pariwisata.

Budaya masyarakat merupakan warisan

leluhur yang harus dipelihara untuk

mengembangkan adat istiadat masyarakat

lokal dan menjaga kelestarian tradisi

masyarakat yang menunjang

perkembangan sektor pariwisata lainnya

untuk kemajuan suatu daerah dengan

menjaga kearifan lokal yang telah melekat

di masyarakat. Hal ini yang akan menjadi

dasar utama untuk strategi perkembangan

wisata unggulan yang menjadi harapan

masyarakat dan pemerintah setempat.

Analisis Sistem Pariwisata

a. Strategi dan Pendekatan

Pengembangan Wisata

Pengembangan potensi wisata

unggulan memang membutuhkan adanya

strategi dan pendekatan yang tepat

sehingga menambah daya tarik objek

wisata yang ada, termasuk di Kabupaten

Blitar. Hal ini akan meningkatkan jumlah

kunjungan wisatawan. Adanya pendapatan

dari kunjungan wisatawan pada gilirannya

dapat memajukan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat, khususnya

warga yang berdomisili di lingkungan

sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar.

Berbicara strategi tentunya tidak

dapat dilepaskan dari kebijakan yang telah

dan akan ditempuh oleh Pemerintah

Daerah, dalam hal ini Pemerintah

Kabupaten Blitar, untuk mengembangkan

sektor pariwisata di wilayahnya. Dari hasil

wawancara dengan informan dilapangan

dapat diidentifikasi bahwa selama ini

pengembangan sektor pariwisata belum

menjadi prioritas kebijakan atau fokus

Page 30: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

30 | P a g e

utama dari Pemerintah Kabupaten Blitar.

Selain itu, sebenarnya Kabupaten Blitar

telah memiliki potensi untuk dapat

dikembangkan dalam sektor wisata.

Namun demikian, menurut informan

hingga saat ini tampaknya masih belum

dianggap menarik oleh pengunjung objek

wisata.Selanjutnya, pengembangan sektor

pariwisata sangat memerlukan kerjasama

antara Pemerintah Kabupaten Blitar

dengan Sektor swasta (privat sector).

Artinya bahwa pihak swasta memiliki dana

berupa investasi yang dapat dialokasikan

untuk pembangunan di sektor pariwisata.

Di samping itu, perlu adanya

promosi sebagai instrumen untuk

memperkenalkan berbagai destinasi wisata

di Kabupaten Blitar. Berbagai strategi yang

telah diungkapkan tersebut sangat perlu

untuk ditindaklanjuti. Hal ini diharapkan

akan memberikan hasil positif pada

pengembangan sektor pariwisata.

Keberhasilan suatu strategi dapat

memajukan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat, khususnya

warga yang berdomisili di lingkungan

sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar.

Selanjutnya, sehubungan dengan

keberhasilan suatu strategi, maka hal ini

akan membawa dampak terhadap

pembangunan sektor wisata pada

peningkatan kesejahteraan dan

perekonomian masyarakat.Intinya bahwa

pengelolaan objek wisata yang dapat

menarik wisatawan untuk berkunjung

mampu membuka lapangan pekerjaan yang

nantinya akan dapat memajukan

perekonomian masyarakat setempat pada

khususnya dan masyarakat Kabupaten

Blitar pada umumnya.

Peran Pemerintah Kabupaten Blitar

dalam Pengembangan Sektor Pariwisata

Untuk tingkat pengembangan

sektor pariwisata dapat dilihat dari ada

tidaknya peran dan upaya pemerintah.

Secara umum, dalam konteks Kabupaten

Blitar, pemerintah daerah telah berperan

dan melakukan berbagai upaya untuk

memajukan sektor pariwisata. Ada

beberapa upaya yang dilakukan Pemkab

Blitar, yaitu:

a) Melalui pemberdayaan masyarakat

wisata meliputi: desa wisata, dan duta

wisata.

b) Mengusulkan tentang kualitas destinasi

wisata.

c) Sebagai kebutuhan teknis Dinas

Pemuda dan Olahraga, Kebudayaan

dan Pariwisata (DISPORBUDPAR)

meningkatkan pembangunan pada

bidang wisata dengan dirangkul untuk

mengembangkan dan mempromosikan

tempat wisata yang sudah dikelola oleh

pemerintahan daerah.

Di sisi lain, upaya pemerintah

daerah perlu didukung oleh masyarakat

setempat. Tanpa dukungan masyarakat,

maka akan sulit untuk mengembangkan

sektor pariwisata. Dalam konteks ini upaya

Pemerintah Kabupaten Blitar masih belum

cukup untuk meningkatkan dukungan dari

masyarakat (setempat). Untuk itu, peran

dan upaya dari berbagai pihak harus

dilakukan secara berkelanjutan.

Peran Masyarakat, Sektor Swasta, dan

Pelaku Wisata

Peran dan upaya Pemerintah

Kabupaten Blitar untuk mengembangkan

bidang pariwisata tentunya harus

diimbangi dengan adanya kehadiran dan

partisipasi pihak lain, dalam konteks ini

masyarakat dan sektor swasta. Adanya

antusiasme dari masyarakat meskipun

tidak demikian halnya dengan pihak

swasta. Berdasarkan hasil wawancara di

lapangan dapat dinyatakan bahwa secara

umum masyarakat telah berperan dan

berupaya untuk ikut mengembangkan

sektor pariwisata dengan cara memberikan

dukungan, bahkan berpartisipasi dalam

kegiatan tertentu. Sedangkan dari pihak

swasta masih belum menunjukkan

partisipasinya secara signifikan.

Harapan terhadap Pengembangan

Sektor Pariwisata

Mengenai harapan terhadap

pengembangan sektor Pariwisata di

Kabupaten Blitar. Sehubungan dengan

Page 31: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

31 | P a g e

meningkatnya jumlah wisatawan yang

mengunjungi objek wisata di Kabupaten

Blitar. Darilaporan hasil wawancara

menunjukkan bahwa harapan dari

pengembangan objek wisata Kabupaten

Blitar adalah dapat menyejahterakan

masyarakat, memberikan lapangan

pekerjaan untuk masyarakat sekitar tempat

wisata. Harapan utamanya adalah

pariwisata di Kabupaten Blitar dapat

dikenal oleh masyarakat luas, baik

wisatawan domestik maupun mancanegara,

serta dapat memberikan pendapatan

(income) untuk Pemerintah Kabupaten

Blitar.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan

tentang potensi dan strategi pengembangan

wisata unggulan di Kabupaten Blitar, maka

dari penelitian ini dapat ditarik

kesimpulansebagai berikut:

1. Wisata alam air terjun di Kabupaten

Blitar memiliki potensi untuk

dikembangkan, namun masih terdapat

beberapa permasalahan. Selama ini

permasalahan yang dihadapi oleh

sektor pariwisata di Kabupaten Blitar

relatif kompleks. Permasalahan utama

yang dapat diidentifikasi, yaitu:

keterbatasan dana/anggaran dari

Pemerintah Kabupaten Blitar. Hal ini

memberikan pengaruh pada

ketersediaan infrastruktur dan fasilitas

pendukung lainnya. Di samping itu,

keterbatasan pengembangan konsep

wisata dan kurangnya promosi juga

menjadi kendala dalam

memperkenalkan dan

mengembangkan sektor tersebut.

2. Pada skala tertentu Pemerintah

Kabupaten Blitar telah memberikan

dukungan terhadap pengembangan

sektor pariwisata. Namun, tingkat

partisipasi warga masyarakat juga

membawa pengaruh pada bentuk dan

jenis dukungan. Artinya, semakin

tinggi tingkat partisipasi warga, maka

Pemerintah Kabupaten Blitar juga

akan mendukung pengembangan

sektor tersebut. Demikian pula

sebaliknya.

3. Berbagai strategi yang diperlukan

untuk pengembangan potensi wisata

unggulan di Kabupaten Blitar, antara

lain melalui kebijakan yang lebih

berpihak lagi pada sektor pariwisata

adalah community development atau

pemberdayaan masyarakat

sekitarsehingga dapat memajukan

sektor tersebut, kerjasama dengan

pihak swasta/investor untuk

pembangunan sarana-prasarana dan

pengelolaan objek wisata, serta

meningkatkan daya promosi wisata

Kabupaten Blitar yang dapat

dilakukan melalui berbagai media,

baik media cetak maupun media

elektronik.

Saran

1. Perlu adanya perhatian dan komitmen

yang lebih nyata dalam

pengembangan sektor pariwisata di

Kabupaten Blitar dengan menambah

alokasi anggaran untuk memfasilitasi

sektor tersebut, terutama menyediakan

infrastruktur yang memadai (termasuk

akses jalan). Dalam konteks ini,

ketersediaan infrastruktur dapat

menjadi salah satu faktor utama yang

mampu meningkatkan (arus) mobilitas

wisatawan ke suatu objek wisata.

2. Perlu adanya koordinasi yang lebih

intensif antar instansi di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Blitar bagi

pengembangan sektor pariwisata.

Selain itu dibutuhkan adanya sinergi

yang dapat berupa kemitraan antara

Pemerintah Kabupaten Blitar dengan

sektor swasta dan masyarakat,

khususnya warga yang berdomisili di

daerah sekitar objek wisata. Khusus

dengan warga masyarakat sekitar

objek wisata, menggunakan strategi

integrated community

development.Dengan adanya pola

kemitraan dan integrated community

development ini, maka diharapkan

juga akan dapat meringankan beban

anggaran daerah sekaligus

Page 32: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

32 | P a g e

memberdayakan masyarakat

Kabupaten Blitar.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut

terkait dengan topik tentang sektor

pariwisata, seperti pemetaan

pariwisata secara spesial atau

pengembangan potensi dan model

desa wisata di Kabupaten Blitar

dengan pendekatan ICD – IMC atau

integrated community development –

integrated marketing communication.

DAFTAR PUSTAKA

Fandeli, Chafid, 1997. Dasar-dasar

Manajemen Kepariwisataan Alam.

Yogyakarta: Liberty

Fiatiano, Edwin. Tata Cara Mengemas

Produk Pariwisata pada Daerah

Tujuan Wisata, (Online),

(http://journal.unair.ac.id/...diakses 4

Mei 2010.

Ilyas, Muhammad. 2009. Strategi

Pengembangan Pariwisata

Kepulauan Togean di Kabupaten

Tojo Una-Una. Tesis. Makassar:

Program Studi Perencanaan

Pengembangan Wilayah. Program

Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

Kodhyat H, 1996. Sejarah Pariwisata dan

Perkembangannya di Indonesia.

Jakarta: Grasindo

Kotler and Gertner, 2002. Conceptualizing,

Measuring and Managing Customer

Based-Brand Equity. Journal of

Marketing.

Pendit, Nyoman S, 1999. Ilmu Pariwisata

Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:

PT. Pradnya Paramita

Pine and Gilmore, 1998. Building

Contemporary Brands: A

Sponsorship Based Strategy, Journal

of Business Research, 58.

Pitana, Gde, dan Diarta, I Ketut Surya.

2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta: CV. Andi Offset

Radiawan, Hari, Hartati, dan Soepomo, Sri

Sadah, 1997/1998.

PengembanganJaringan Ekonomi di

Kawasan Pariwisata. Jakarta: CV.

Bupara Nugraha

Snepenger, et. al.,2004. Marketing

Management 13th edition, Prentice

Hall, New Jersey.

Soekadijo, R. G, 1997. Anatomi Pariwisata

: Memahami Pariwisata

SebagaiSistem Linkage. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Spillane, James, J, 1994. Pariwisata

Indonesia : Siasat Ekonomi dan

RekayasaKebudayaan. Yogyakarta:

Kanisius

Suwantoro, Gamal, 1997. Dasar-dasar

Pariwisata.Yogyakarta: ANDY

Voss, 2004. The New Strategic Brand

Management: Creating and

Sustaining Brand Equity Long Term

3rd, Londres, Kogan.

Wahab, Salah dkk, 1997. Pemasaran

Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya

Paramita

Yoeti, Oka A, 1990. Pengantar Ilmu

Pariwisata. Bandung: Angkasa

______, 1996. Pemasaran Pariwisata.

Bandung: Angkasa

______, 1997. Perencanaan dan

Pengembangan Pariwisata.

Jakarta:PT. PradnyaParamita.

Yudhiantari, Luh Putu Emi. 2002.

Ekowisata sebagai Alternatif dalam

Pengembangan Pariwisata yang

Berkelanjutan di Desa Wongaya

Gede, Kecamatan Penebel-Bali,

(Online),

(http://eprints.undip.ac.id_3jan11.pdf

, diakses 6 Januari 2011).

Sumber lain:

Undang-Undang No. 10 tahun 2009

tentang Kepariwisataan

Kompas, 19 Desember 2012.

Page 33: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

33 | P a g e

NKRI DI SIMPANG JALAN: SEBUAH TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI 13

TAHUN PERJALANAN OTONOMI DAERAH PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK

Mahathir Muhammad Iqbal

Universitas Islam Raden Rahmat Malang

[email protected]

Abstrak

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional

maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta

masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan

mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan

keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah merupakan sarana untuk mencapai tujuan bernegara dalam

mewujudkan kesatuan bangsayang demokratis. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara selalu menekankan

konsepsi Negara tersebut sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan

menerapkan otonomi daerah dan kebutuhan memperkuat persatuan nasional.

Kata Kunci: otonomi daerah, pemerintahan daerah, demokrasi, pemerataan

keadilan

PENDAHULUAN

Perdebatan panjang mengenai

persatuan dan kesatuan bangsa dan

ancaman disintegrasi bangsa akhir-akhir

ini muncul kembali seiring dengan adanya

gerakan massif maupun yang bersifat

psikologis ingin memisahkan diri dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Tuntutan akan pemerataan hasil

pembangunan dan pelayanan publik

kadang-kadang menjadi alasan untuk

melakukan pemisahan yang dapat berubah

menjadi gerakan emosional.

Di dalam sejarah pemerintahan,

kehendak untuk memisahkan diri pada

umumnya dikarenakan oleh ketidakpuasan

masyarakat lokal terhadap pemerintahan

nasional mereka. Hancurnya imperium Uni

Soviet merupakan contoh yang sangat

jelas. Demikian juga dengan terkoyak-

koyaknya Yugoslavia yang kemudian

hanya meninggalkan sejarah negeri itu.

Kita harus belajar dari Negara-negara

tersebut. Oleh karena itu otonomi daerah di

Indonesia diharapkan merupakan wahana

yang efektif untuk menjaga terpeliharanya

kesatuan.

Integrasi nasional yang sudah

berhasil diwujudkan setelah melalui proses

yang sangat panjang dan kompleks

menjadi sebuah masalah yang harus

dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang

ini. Tantangan terhadap integrasi nasional

ini mewujudkan dirinya dengan munculnya

konflik komunal dan gerakan separatisme

di beberapa daerah yang merupakan bagian

dari Negara Kesatuan.

Page 34: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

34 | P a g e

Sementara itu, masyarakat

Indonesia sudah sepakat bahwa Negara

Kesatuan yang dibangun dan dijaga selama

lebih dari setengah abad akan tetap dijaga

terus sekalipun dengan menghadapi

tantangan-tantangan yang sangat besar.

Memang, setelah lepasnya Timor Timur

dari Negara Kesatuan hal itu menjadi

inspirasi dari sekelompok orang di

beberapa wilayah Negara untuk mengikuti

jejak wilayah tersebut untuk memilih

berpisah setelah lebih dari dua dasawarsa

terintegrasi dengan Indonesia.

Pilihan otonomi daerah luas

merupakan pilihan yang sangat strategis

dalam rangka memelihara nation state

(negara bangsa) yang sudah lama kita

bangun dan kita pelihara. Dengan otonomi

kita harus mengembalikan harkat,

martabat, serta harga diri masyarakat di

daerah, karena masyarakat di daerah

selama puluhan tahun lebih, bahkan sejak

masa kemerdekaan telah mengalami proses

marginalisasi. Mereka bahkan mengalami

alienasi dalam segala bentuk pembuatan

kebijaksanaan publik. Jakarta, yang

merupakan ibukota negara, tidak lebih dari

―Batavia‖ pada masa pemerintahan

kolonial, yang selalu memandang rendah

masyarakat di daerah, dan bahkan

menjadikan daerah hanya sebagai obyek

eksploitasi kepentingan orang-orang di

Jakarta. Segala bentuk kebijaksanaan

publik yang bersifat nasional ditentukan

oleh sekelompok kecil orang di Jakarta,

sementara masyarakat di daerah

diwajibkan untuk mensukseskannya di

dalam proses implementasi kebijaksanaan

tersebut.

Kalau dicermati, tuntutan daerah-

daerah tertentu kepada pusat yang

mengemuka sebenarnya bukan pada

perubahan bentuk negara, tetapi lebih

kepada menuntut keadilan dalam

pembagian hasil kekayaan secara

berimbang, kesenjangan pembangunan dan

kesejahteraan antara pusat-daerah, antara

kawasan timur-barat Indonesia, disamping

masalah pengelolaan pemerintahan yang

terlalu sentralistik selam orde baru, karena

sepanjang orde baru, hampir seluruh

kekayaan daerah berupa uang, emas, perak,

logam, minyak, rempah, dan buah semua

digotong ke Jakarta. Pohon, lading, kebun

boleh di daerah, tetapi ―buah‖ dan ―uang‖

ada di Jakarta. Singkat cerita, daerah

menanam Jakarta memanen. (Lihat pada

tulisan Ahmad Mujahid Darlan dalam

buku “Memperkokoh Otonomi Daerah”).

Kita tidak mungkin menafikan

gejala kehendak untuk memisahkan diri

dari dua kelompok masyarakat di Negara

Republik Indonesia, yaitu masyarakat

Aceh dan Irian Jaya yang sekarang

menjadi Papua. Kehendak untuk

memisahkan diri dari dua kelompok

masyarakat tersebut dikarenakan

pengalaman pemerintahan masa lampau

yang tidak memberikan peluang yang

sepantasnya bagi mereka untuk

mengembangkan diri semaksimal mungkin

sesuai potensi yang mereka miliki. Pada

masa lampau otonomi bukan dianggap

sebagai hak yang melekat bagi masyarakat

daerah sebagai bagian dari sebuah

pemerintahan demokrasi. Otonomi daerah

pada masa pemerintahan orde baru

merupakan kosa kata yang seringkali

dipersepsikan secara negatif dengan

menekankan pentingnya tanggung jawab

daerah di dalam memelihara dan menjaga

negara kesatuan.

Apakah memang diharapkan

kebijaksanaan otonomi daerah akan

mampu memelihara integrasi nasional? Hal

itu akan kita lihat kemudian. Hanya saja,

kita memang harus menyadari bahwa

integrasi nasional kata Reinhard Bendix

(1976) sebenarnya merupakan sebuah

proses untuk mengubah loyalitas yang

bersifat sempit, yang bersumber dari nilai-

nilai yang bersifat askriptif pada loyalitas

yang lebih luas, yaitu Negara bangsa. Dan

hal itu tidaklah mudah karena harus

dilakukan secara perlahan yang dilakukan

secara perlahan yang dimulai dengan

pemberian hak-hak politik (politik

Page 35: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

35 | P a g e

franchise) kepada segenap lapisan

masyarakat ini dalam sebuah Negara.1

Dalam esai ini, saya akan mencoba

mengeksplorasi bagaimana pentingnya

sebuah kebijakan otonomi daerah dalam

perspektif ekonomi-politik terhadap usaha

untuk memelihara integrasi nasional.

Sebuah kebijakan nasional yang baik

belum tentu dapat diimplementasikan

dengan baik pula jika begitu banyak

kepentingan yang terlibat. Implementasi

dari kebijaksanaan otonomi daerah akan

ikut menentukan keberhasilan dari usaha

memelihara Negara bangsa atau menjaga

integrasi nasional.

KONSEP IDEAL OTONOMI

DAERAH

Saya akan memulainya dengan

tujuan ideal diberlakukannya kebijakan

otonomi daerah. Isran Noor dalam buku

Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan

NKRI menegaskan bahwa pelaksanaan

otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945

secara konstitusional maupun legal

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan

peran serta masyarakat. Sebagaimana

digariskan dalam Penjelasan UU No.

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,

ditegaskan bahwa melalui otonomi luas,

daerah diharapkan mampu meningkatkan

daya saing dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan keadilan, keis-

timewaaan dan kekhususan, serta potensi

dan keanekaragaman daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hari Sabarno dalam bukunya yang

berjudul “Memandu Otonomi Daerah

Menjaga Kesatuan Bangsa” menulis

bahwa otonomi daerah merupakan sarana

untuk mencapai tujuan bernegara dalam

mewujudkan kesatuan bangsa (national

unity) yang demokratis. Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 sebagai konstitusi Negara selalu

1Lihat tulisan Drs. H. Syaukani, HR dkk dalam

buku bertajuk ―Otonomi Daerah Dalam

Negara kesatuan‖ pada BAB VIII.

menekankan konsepsi Negara tersebut

sebagai bentuk keseimbangan antara

kebutuhan menerapkan otonomi daerah

dan kebutuhan memperkuat persatuan

nasional. Dalam kerangka ini, maka ada

ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan

sebagai konsekuensi logis, yakni:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah

dengan memberikan kewenangan yang

luas, nyata, dan bertanggung jawab di

daerah secara proporsional

diwujudkan dengan pengaturan

pembagian dan pemanfaatan sumber

daya nasional yang berkeadlian serta

perimbangan keuangan pusat dan

daerah.

2. Penyelenggaraan otonomi daerah

dilaksanakan dengan prinsip-prinsip

demokrasi dan memperhatikan

keanekaragaman daerah.

3. Pengaturan, pembagian, dan

pemanfaatan sumberdaya nasional

antara pusat dan daerah dilaksanakan

secara adil untuk kemakmuran

masyarakat daerah dan bangsa secara

keseluruhan.

4. Pengelolaan sumberdaya alam

dilakukan secara efektif dan efisien,

bertanggung jawab, transparan,

terbuka dan dilaksanakan dengan

memberikan kesempatan yang luas

kepada usaha kecil, menengah, dan

koperasi.

5. Perimbangan keuangan pusat dan

daerah dilaksanakan dengan

memperhatikan potensi daerah, luas

daerah, keadaan geografi, jumlah

penduduk, dan tingkat pendapatan

masyarakat di daerah.

6. Pemerintah daerah berwenang

mengelola sumberdaya nasional dan

bertanggung jawab memelihara

kelestarian lingkungan.

7. Penyelenggaraan otonomi daerah,

pengaturan pembagian dana

pemanfaatan sumberdaya nasional

yang berkeadilan, dan perimbangan

keuangan pusat dan daerah dalam

kerangka mempertahankan dana,

memperkokoh NKRI dilaksanakan

berdasarkan asas kerakyatan dan

Page 36: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

36 | P a g e

berkesinambungan yang diperkuat

dengan pengawasan DPRD dan

masyarakat.

PEMBAHASAN

Pertanyaannya sekarang ialah

apakah pelaksanaan otonomi daerah

selama ini sudah bermuara pada tujuan-

tujuan ideal diatas? Dalam kurun waktu 10

tahun, yakni pada tahun 1999-2009,

pertumbuhan otonom baru di Indonesia

mencapai 64% atau bertambah 205 daerah

baru. Rinciannya ada 7 provinsi baru, 164

Kabupaten baru, dan 34 Kota baru. Karena

itu, pada saat itu Indonesia terdiri atas 524

daerah yang meliputi 33 Provinsi, 398

Kabupaten, dan 93 Kota.

Berdasar catatan JPIP (The Jawa

Post Institute of Pro Otonomi), pemekaran

daerah banyak terjadi pada masa

pemerintahan Presiden Abdurrahman

Wahid (1999-2001) dan Presiden

Megawati (2001-2004). Saat itu,

pemerintah dan DPR mengesahkan 103

Undang-Undang tentang daerah otonom

baru.2

Bagaimana hasilnya? Pada tahun

2008, United Nations Development

Programme (UNDP) dan Bappenas

melakukan studi di 72 kabupaten-Kota di 6

Provinsi. Di antara Kabupaten-Kota

tersebut, dipilih 26 Kabupaten-Kota

sebagai sampel. Yaitu, 10 Kabupaten

sebagai daerah induk, 10 Kabupaten

sebagai DOB, dan 6 Kabupaten sebagai

daerah kontrol. Hasilnya, kondisi DOB

masih jauh tertinggal dari daerah induk dan

daerahkontrol atau rata-rata Kabupaten di

Indonesia.3

Evaluasi tersebut melihat DOB dari

4 aspek. Yaitu, perekonomian daerah,

keuangan daerah, pelayanan publik, dan

aparatur pemerintahan daerah. Dari aspek

perekonomian daerah, bisa dilihat dari

pembagian sumberdaya ekonomi di DOB

2 Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 26

Januari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI, hal

3. 3 Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 16

februari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI,

hal 8.

tidak merata dan beban jumlah penduduk

miskin semakin meningkat. Itu terjadi

karena keterbatasan SDA, SDM, dan

belum maksimalnya dukungan pemerintah.

SDA umumnya menjadi dominasi daerah

induk.

Dari segi pengelolaan keuangan

daerah, DOB memiliki ketergantungan

fiskal yang tinggi terhadap pemerintah

pusat. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah

(PAD) kurang bisa dioptimalkan. Dalam

hal ini, PAD tidak identik dengan

peningkatan pajak dan retribusi. Sebab,

tatanan system, regulasi, kelembagaan

ataupun individu belum optimal.

Aspek pelayanan publik dilihat dari

3 hal. Yaitu: pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur. Diantara 3 aspek tersebut,

kesehatan mengalami peningkatan dari

segi sarana dan prasarana. Untuk

pendidikan dan infrastruktur, daerah induk

menunjukkan hasil yang lebih bagus,

meski telah terjadi perbaikan di daerah

otonom baru. Namun, perbaikan dalam

tiga hal itu belum mampu mendorong

peningkatan ekonomi daerah.

Untuk aparatur pemerintah daerah,

secara kualitas lebih rendah bila dibanding

daerah induk dan daerah kontrol.

Misalnya, aparatur yang dibutuhkan tidak

sesuai yang tersedia, banyak aparatur yang

bekerja tidak sesuai pembagian kerjanya,

dan bekerja di bawah jam yang

seharusnya.

Dalam perspektif nasional, Dalam

kurun waktu 1,5 tahun (antara Januari

2010 hingga Juni 2011), kenaikan

kekayaan orang Indonesia ditaksir

mencapai USD 420 miliar atau sekitar Rp

3.738 triliun. Hal itu menjadikan total

kekayaan orang Indonesia pada

pertengahan 2011 mencapai USD 1,8

triliun atau sekitar Rp 16.000 triliun.4

Pada konteks ini, ada beberapa

fakta menarik untuk diungkapkan.

Pertama, masih tingginya tingkat

ketimpangan kemiskinan antardaerah.

4http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kaya-

kemiskinan.html

Page 37: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

37 | P a g e

Secara umum, kinerja pertumbuhan

ekonomi nasional triwulan II memang

mencapai 6,5 persen. Namun, sayang,

penyumbang terbesar PDB masih saja

didominasi Pulau Jawa dan Sumatera

sebesar 81,2 persen, Kalimantan 9,5

persen, Sulawesi 4,7 persen, dan sisanya

4,6 persen tersebar merata di daerah yang

lain.

Dampak ketimpangan itu

memperlebar jurang kemiskinan

antardaerah. Tak salah, kontributor utama

penduduk miskin di Indonesia berada di

kawasan timur Indonesia (KTI) yang

masih minim kontribusi PDB, khususnya

daerah Papua dan Maluku, yang mencapai

25,95 persen.

Masalah ketimpangan

kesejahteraan ekonomi itulah yang menjadi

salah satu penyebab utama pemicu

terjadinya kerusuhan di Papua belakangan

ini. Berbagai upaya pendekatan telah

dilakukan pemerintah pusat untuk

meredam konflik di Papua, baik dari sisi

politik, hukum, budaya, maupun sosial

ekonomi. Salah satu contoh, yaitu melalui

pendekatan ekonomi yang diwujudkan

dalam bentuk konsistensi desentralisasi

fiskal Papua dan Papua Barat.

Pembiayaan pusat ke Papua dan

Papua Barat dalam tujuh tahun terakhir ini

meningkat lebih dari 100 persen. Jika pada

2004–2005 alokasi dana otsus (otonomi

khusus), dana sektoral, dan dana alokasi

umum ke daerah berkisar sekitar Rp 13

triliun, tahun ini alokasinya meningkat

drastis menjadi Rp 30 triliun. Meski

demikian, hal itu kurang membuahkan

hasil. Sebab, ditengarai triliunan rupiah

dana tersebut diselewengkan banyak pihak,

termasuk para pejabat di Papua dan Papua

Barat itu sendiri.

Kedua, semakin meningkatnya

jumlah penduduk miskin. Laporan BPS

menyebut kan, jumlah penduduk miskin di

Indonesia selama dua tahun terakhir

(2008–2010) turun sekitar 4 juta orang,

dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang.

Selain itu, per Maret 2011 jumlah

penduduk miskin Indonesia turun satu juta

orang (0,84 persen) jika dibandingkan

dengan per Maret 2010. Hasilnya, jumlah

penduduk miskin per Maret 2011 di

Indonesia sebesar 30,02 juta orang (12,49

persen dari total penduduk Indonesia).

Namun, sayangnya, moncernya

pencapaian kinerja tersebut terbantahkan

oleh fakta baru bahwa jumlah penduduk

miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7

juta orang sejak 2008 hingga 2010.Pada

2008, jumlah penduduk miskin di

Indonesia 40,4 juta orang dan pada 2010

menjadi 43,1 juta orang.

Ketiga, semakin rendahnya tingkat

distribusi pendapatan nasional. Realitas

yang ada menunjukkan tingkat distribusi

pendapatan nasional semakin

memprihatinkan, khususnya bila ditinjau

dari gini ratio (GR).

Keempat, semakin lebarnya tingkat

ketimpangan desa dan kota. Ketimpangan

desa dan kota selama ini merupakan faktor

utama penyebab kemiskinan di Indonesia

tak kunjung selesai. Data menunjukkan,

per Maret 2011 penduduk miskin di desa

tercatat 18,97 juta orang, sedangkan di

kota hanya 11,05 juta orang.

Hal itu disebabkan semakin

timpangnya pedesaan dan perkotaan.

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan

indeks keparahan kemiskinan (P2) di

daerah pedesaan masih jauh lebih tinggi

jika dibandingkan perkotaan sampai saat

ini. Pada Maret 2010, nilai indeks P1

perkotaan hanya hanya 1,57 sementara di

daerah pedesaan mencapai 2,80. Nilai

indeks P2 untuk perkotaan hanya 0,40,

sementara di daerah pedesaan mencapai

0,75.

Data terbaru menyebutkan, Maret

2011 menunjukkan bahwa indeks ‖P1‖

perkotaan hanya 1,51, sedangkan pedesaan

malah mencapai 2,96. Sedangkan untuk

‖P2‖ di perkotaan sebesar 0,35 dan

pedesaan mencapai 0,72. Kesimpulannya

bahwa tingkat kemiskinan di daerah

pedesaan jauh lebih buruk daripada daerah

perkotaan.

Pertumbuhan ekonomi yang

eksklusif saat ini telah menjerumuskan

sekian banyak penduduk Indonesia dalam

jurang kemelaratan dan ketimpangan.

Page 38: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

38 | P a g e

Hanya sebagian kecil penduduk negeri ini

yang menikmati tingginya pertumbuhan

ekonomi.

Selain itu, Hasil survei nasional

Indo Barometer mengenai Evaluasi 13

Tahun Reformasi mengindikasikan

buruknya kinerja pemerintahan, khususnya

di bidang ekonomi. Kenyataan itu seakan-

akan menjadi alarm alias peringatan bagi

SBY-Boediono dan jajaran menteri

pembantunya.

Betapa tidak, berdasar hasil survei

tersebut, ketidakpuasan masyarakat

terhadap kinerja pemerintah yang paling

menonjol adalah di bidang ekonomi.

Sebanyak 55,8 persen publik menyatakan

tidak puas dan sebaliknya, 41,2 persen,

menyatakan puas. Terlepas dari metode

dan siapa objek survei Indo Barometer

tersebut, paling tidak hasil survei itu

membuka mata hati rakyat Indonesia pada

umumnya dan pemerintah khususnya.

Yakni tentang kondisi ekonomi sebenarnya

yang relatif masih jauh dari harapan.

Hasil kinerja makroekonomi

nasional triwulan I 2011 yang baru saja

dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS)

melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi

Indonesia mencapai 6,5 persen (padahal,

sebelumnya asumsi pemerintah hanya 6,3

persen). Tingkat pengangguran terbuka di

Indonesia mencapai 6,8 persen dari total

angkatan kerja atau menurun daripada

Agustus 2010 sebesar 7,4 persen dan

Februari 2010 sebesar 7,41 persen.

Pencapaian kinerja ekonomi

pemerintah yang menggembirakan di atas

tak seharusnya membuat kita lupa diri.

Setidaknya terdapat beberapa realitas yang

cukup miris untuk diungkap. Pertama,

ketimpangan pertumbuhan sektor ekonomi

masih sangat mencolok. Pertumbuhan

ekonomi yang mencapai 6,5 persen

tersebut kurang didukung oleh

pertumbuhan di sektor riil (tradable

sector).

Sektor yang disebut terakhir itu

hanya tumbuh 3,4 persen untuk pertanian

dan 4,6 persen untuk industri. Hal tersebut

sangat kontras dengan pertumbuhan sektor

pengangkutan dan komunikasi yang

meningkat 13,8 persen serta sektor

perdagangan, hotel, dan restoran (PHR)

yang meningkat 7,9 persen.

Hal itu terjadi karena kebijakan

ekonomi pemerintah mengutamakan sektor

non-tradable (sektor keuangan, asuransi,

pengangkutan, komunikasi, perdagangan,

hotel, restoran, dan lain-lain). Akibatnya,

sektor riil terjebak dalam pertumbuhan

yang rendah sehingga masalah kemiskinan

dan pengangguran menjadi semakin sulit

untuk diatasi.

BPS juga melaporkan bahwa sejak

Februari 2010 hingga Februari 2011

hampir semua sektor mengalami kenaikan

jumlah pekerja. Kecuali sektor pertanian

dan sektor transportasi yang masing-

masing mengalami penurunan jumlah

pekerja sebesar 360 ribu orang (0,84

persen) dan 240 ribu orang (4,12 persen).

Belum lagi ancaman

deindustrialisasi yang mulai membayangi

perekonomian Indonesia saat ini. Hal itu

ditandai dengan ketergantungan terhadap

asing dan perusahaan asing. Tak pelak,

pertumbuhan impor terus melaju kencang

hingga mencatatkan rekor baru. BPS

mencatatkan, impor Maret 2011 mencapai

USD 14,48 miliar atau tumbuh 23,23

persen daripada Februari sebesar USD

11,75 miliar. Itu capaian impor bulanan

tertinggi sepanjang masa (Jawa Pos,

3/5/2011).

Peningkatan impor didominasi

kelompok bahan baku dengan porsi 73,93

persen dari sebelumnya 72 persen.

Sementara itu, impor kelompok barang

modal turun dari 19,8 persen menjadi 17

persen. Hal tersebut didukung hasil survei

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)

di lima provinsi pada 2010 yang

menunjukkan bahwa mayoritas penjahit

penghasil produk tekstil industri rumah

tangga telah berganti profesi menjadi

pedagang karena mengalami banyak

hambatan selama menjadi produsen.

Hal itu terjadi karena mereka sulit

mendapatkan bahan baku, tidak mampu

bersaing dengan produk impor, terutama

dari Tiongkok yang harganya lebih murah,

Page 39: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

39 | P a g e

dan lain-lain. Dengan begitu, mereka

merasa lebih nyaman menjadi pedagang.

Sejalan dengan itu, pada Desember

2010 Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) juga mengungkapkan

bahwa saat ini perekonomian nasional

mulai bergerak ke arah deindustrialisasi.

Apalagi Indonesia ikut serta dalam

perjanjian kawasan perdagangan bebas

ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang

menegaskan kehancuran industri dalam

negeri.

Sebagai ilustrasi, industri manufaktur di

Jatim yang merupakan salah satu

kontributor terhadap pertumbuhan

ekonomi nasional tumbuh rendah. Hal itu

bisa dilihat dari pertumbuhan produksi

industri manufaktur besar dan sedang di

provinsi tersebut pada triwulan I 2011

yang hanya 0,53 persen daripada triwulan

IV 2010. Rendahnya pertumbuhan tersebut

mengikuti kinerja produksi industri

nasional yang minus 2,18 persen atau

menurun daripada pertumbuhan triwulan

IV 2010 yang tercatat 1,28 persen (Jawa

Pos, 5/5/2011).

Deskripsi di atas tak pelak

mengingatkan kita akan bahaya involusi

pertanian dan gejala deindustrialisasi.

Karena itu, pemerintah diharapkan

memberikan perhatian yang serius dan

cepat untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kedua, terdapat ketimpangan

dalam distribusi pembangunan ekonomi

yang masih terkonsentrasi di Jawa dan

Sumatera. Berdasar laporan BPS,

kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap

pembentukan PDB (produk domestik

bruto) 81,4 persen, Kalimantan 9,2 persen,

Sulawesi 4,6 persen, Bali dan Nusa

Tenggara 2,5 persen, serta Maluku dan

Papua 2,3 persen.

Terlepas dari banyaknya persoalan

dan masalah ekonomi yang dihadapi

Indonesia saat ini, dua aspek masalah di

atas merupakan hal penting yang harus

segera ditangani pemerintah. Dalam hal

ini, pemerintah dalam setiap kebijakannya

diharapkan lebih pro kepada rakyat dengan

cara mengembalikan dasar pembangunan

ekonomi pada sektor pertanian dan

industri.

Meletakkan sektor pertanian sebagai motor

penggerak pembangunan adalah skenario

yang harus segera dilakukan. Skenario itu

hendaknya bukan sebatas wacana, tetapi

diperlukan implementasi yang lebih nyata.

Masalah izin pengelolaan terhadap

sumber daya yang menguasai hajat hidup

orang banyak, seperti pertambangan,

kehutanan, dan perkebunan, harus diatur

sedemikian rupa sehingga lebih tampak

berpihak kepada masyarakat dan tidak

hanya berpihak kepada para pemilik modal

kakap. Regulasi yang berkaitan dengan

perdagangan juga perlu disempurnakan,

khususnya yang berkaitan dengan upaya

mengedepankan sektor kerakyatan agar

tidak tergusur penetrasi besar-besaran dari

para pelaku ekonomi besar. Penyehatan

beberapa aspek di atas diharapkan dapat

menyingkirkan patogen ketidakmerataan

secara lebih berkualitas.

KESIMPULAN

Dari data yang sudah saya

kemukakan diatas, jelas sudah bahwa

otonomi daerah selama ini telah gagal

mewujudkan tujuan idealnya. Menteri

Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi

menilai, pemekaran wilayah yang sudah

dilakukan hingga kini belum memberikan

hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan

rakyat. Gamawan bahkan mengatakan dari

hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah

70 persen dari 205 daerah otonom baru

(DOB) gagal.5

Bahkan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menilai bahwa 80%

pemekaran wilayah telah gagal. "Dalam 10

tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran.

80 Persen mengalamikegagalan," kata

Presiden SBY saat jumpa pers bersama

pimpinan DPR usai rapat konsultasi antara

DPR dan presiden di Istana Negara, Jl

Veteran, Jakarta, Rabu (14/7/2010).6

5http://nasional.kompas.com/read/2012/12/15/

06072741/Mendagri.70.Persen.Pemekaran.Dae

rah.Gagal 6http://news.detik.com/read/2010/07/14/15152

4/1399111/10/sby-80-persen-pemekaran-

wilayah-gagal

Page 40: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

40 | P a g e

Menurut saya, pangkal masalah

terjadinya jor-joran pemekaran daerah itu

itu bersumber dari inisiatif pembentukan

daerah baru yang bisa melalui dua pintu.

Yakni, lewat pemerintah dan DPR. Inisiatif

lewat pintu DPR itulah yang diindikasikan

sarat dengan kepentingan politik. Sebab

pemekaran daerah berarti perluasan jabatan

politik bagi elit-elit politik di tingkat lokal.

Daerah baru akan membutuhkan kepala

daerah dan DPRD baru yang menjadi jatah

partai politik.

Dalam istilah Prof. Dr. M. Ryaas

rasyid, MA, pemekaran itu terdorong oleh

adanya insentif dari pemerintah pusat, baik

secara politik maupun ekonomi. Secara

politik, semua daerah baru hasil pemekaran

itu otomatis adalah daerah otonom.

Sehingga perlu dipilih kepala daerah baru,

ini menjadi peluang bagi parpol, elit

politik, bahkan pegawai negeri untuk

mendapatkan posisi dan jabatan. Itu

sebabnya, soal pemekaran ini tidak ada

yang menolak, baik dari elit daerah, partai

politik birokrat daerah, karena mereka

semua berkepentingan dan mengambil

keuntungan di dalamna. Bayangkan, ada

ratusan jabatan baru terbuka untuk itu.

Di sisi ekonomi (keuangan),

pemekaran membuat daerah membutuhkan

banyak biaya, yang semua ini bisa

didapatkan dari bantuan dekonsentrasi.

Sehingga pemekaran ini memang sesuatu

yang sangat menggiurkan, baik dari sisi

politik maupun ekonomi (keuangan).7

Selain itu, janji memperjuangkan

pemekaran daerah saat kampanye

merupakan sarana bagi partai politik untuk

memperbanyak suara di daerah (vote

getter). Sebab, dengan pemekaran daerah,

akan semakin banyak dana yang mengalir

dari pusat dan daerah.

Saran

Lantas apa yang harus dilakukan?

Menurut saya, pertama, pemerintah boleh

memberikan bantuan bagi pembangunan

daerah, tetapi pendekatannya jangan

7Lihat dalam Tulisan Prof. Dr. M. Ryaas

rasyid, MA pada majalah TEMPO edisi 24- 30

Desenber 2007, hal 24.

dengan pemekaran (kecuali memang pada

daerah yang mendesak dilakukan

kebijakan itu), tetapi harus berorientasi

pada tujuan. Jadi, berlakukan kebijakan

moratorium pemekaran daerah dan jangan

alokasikan bantuan berbasis pada wilayah

aministrasi. Misalnya, dana bantuan itu

diorientasikan untuk pembangunan daerah

khusus yang potensial, daerah terisolir, dan

daerah terbelakang. Sehingga dengan

bantuan itu potensi daerah itu akan

bangkit, yang kemudian akan memberikan

kontribusi perbaikan ekonomi daerah dan

Negara.

Selain itu, menegakkan kembali

dua prinsip yang lain (penggabungan dan

penghapusan daerah) adalah pilihan yang

realistis. Tiga prinsip inilah yang

diistilahkan oleh Syarif Hidayat dengan

terminologi ―kembar siam‖ pemekaran,

penggabungan, dan penghapusan daerah.8

Kedua, tetap memperkuat Negara

kesatuan dengan mengusahakan

dilaksanakannya demokrasi yang

sesungguhnya di Indonesia dan

diberlakukannya otonomi daerah yang

seluas-luasnya untuk secepatnya mengatasi

kesenjangan pusat dan daerah.

Ketiga, tugas yang paling utama

bagi pemerintah nasional di Jakarta adalah

memberikan supervisi agar daerah tidak

melakukan tindakan yang menyimpang

dari kepentingan nasional. Kalau daerah

memperlihatkan gejala yang menyimpang

maka sudah seharusnya pemerintah di

Jakarta mengambil tindakan yang

meluruskan penyimpangan tersebut.

Dengan demikian tidak aka nada keraguan

di daerah terhadap pemerintah nasional,

sehingga tumbuh rasa nasionalisme baru,

karena mereka yakin untuk maju bersama

dengan segenap warga bangsa yang ada di

tanah airnya, bukan sebalikna untuk

dipinggirkan. Oleh karena itu, kalau daerah

kuat dalam membangun masyarakatnya,

maka mereka akan sendirinya akan

mendukung negara kesatuan, dan tidak ada

8 Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan

Elit‖ Kompas, 30 November 2012. Hal 6.

Page 41: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

41 | P a g e

alasan bagi mereka untuk mendukung

gerakan separatisme.

Keempat, pemekaran daerah

otonom baru ke depan, harus dirancang

relevan dengan Design Besar Penataan

Daerah (Desartada), setelah dilakukan

moratorium pemekaran daerah empat

tahun terakhir ini. Daerah-daerah yang

akan dimekarkan, misalnya, wajib menjadi

daerah persiapan selama 3-5 tahun,

sebelum menjadi daerah otonom penuh.

Selama menjadi daerah persiapan, semua

persyaratan administratif sebagai daerah

otonom harus dipersiapkan secara matang,

untuk menghindari maraknya konflik-

konflik ketika ditetapkan sebagai daerah

otonom baru. RUU Pemerintahan Daerah

juga harus menata kembali kewenangan

dan urusan pemerintahan daerah,

kelembagaan sumberdaya aparatur dan

pembiayaan daerah yang disesuaikan

dengan besaran kewenangan untuk daerah

provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kelima, otonomi daerah sebagai

sarana pendidikan politik. Dengan

dibentuknya pemerintahan daerah, maka

sejumlah lembaga demokrasi akan

terbentuk pula, terutama partai-partai

politik, kelompok kepentingan, kelompok

penekan, media massa lokal, dan lembaga

perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga

tersebut akan memainkan peranan yang

strategis dalam rangka pendidikan politik

warga masyarakat yang, tetntu saja,

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma

yang berkaitan dengan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai

tersebut mencakup nilai yang bersifat

kognitif, afektif, ataupun evaluatif. Ketiga

nilai tersebut menyangkut pemahaman,

dan kecintaan serta penghormatan terhadap

kehidupan bernegara, simbol, dan para

pemimpin Negara, serta tentu saja rasa

nasionalisme yang kemudian diikuti oleh

kehendak untuk ikut mengambil bagian

dalam proses penyelenggaraan Negara atau

prorses politik.

Akhirnya, otonomi daerah ini

ditujukan untuk mendekatkan rakyat

kepada kesejahteraan, bukan sebaliknya.

Yang terjadi, elit di daerah yang lebih

dekat dengan kesejahteraan. Jadi,

kembalilah ke tujuan semula bahwa

otonomi dan pemekaran wilayah

hendaknya membuat masyarakat daerah

lebih cepat menikmati kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Edy Suandi, et. al. 2004.

Memperkokoh Otonomi Daerah. UII

Press: Yogyakarta.

Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan

Elit” Kompas, 30 November 2012.

Hal 6.

http://nasional.kompas.com/read/2012/12/1

5/06072741/Mendagri.70Persen.Peme

karan.Daerah.Gagal

http://news.detik.com/read/2010/07/14/151

524/1399111/10/sby-80-persen-

pemekaran-wilayah-gagal

http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kaya-

kemiskinan.html

HR, Syaukani, dkk. 2012. Otonomi

Daerah Dalam Negara kesatuan.

Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Jawa Pos, 26 Januari 2010. “Usul

Pemekaran di Tangan Eksekutif”.

Halaman 3

Jawa Pos, 16 Februari 2010. “Inovasi di

Tengah Impitan Moratorium”.

Halaman 8

Noor, Isran. Politik Otonomi Daerah

Untuk Penguatan NKRI.

Rasyid, Ryaas, “Pusat dan Daerah Jangan

Tumpang Tindih”, Tempo, edisi 34-30

Desember 2007. Hal 24.

Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi

Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa.

Sinar Grafika: Jakarta.

Page 42: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

41 | P a g e

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM-MP) MANDIRI DI DESA IMBODU

KECAMATAN RANDANGAN

KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

Oleh :

Iskandar Ibrahim, S.IP.,M.Si

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Ichsan Gorontalo

Abstrak

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi masukan berarti dalam upaya

mengembangkan partispasi masyarakat perdesaan dalam upaya mensukseskan

program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM-MP) khususnya di kecamatan

randangan kabupaten pohuwato. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui

bagaimana Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten

Pohuwato Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menunjukan Partisipasi

masyarakat dalam perencanaan, dimana masyarakat masih kurang berpartispasi

aktif, dimana seperti dalam proses musyawarah hanya diwakili oleh kepala-kepala

dusun dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, dan hanya menerima setiap keputusan

musyawarah tanpa mau terlibat secara aktif dalam proses tersebut, hal tersebut

dikarenakan kurangnya sosialisasi dan ajakan dari aparat desa sehingga

menimbulkan keengganan untuk mengikuti berbagai rapat yang dilakukan didesa

imbodu kecamatan randangan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

program. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan

randangan dilakukan masyarakat secara swakelola dan difasilitasi oleh perangkat

pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator atau konsultan serta oleh PJOK, tahap

pelaksanaan dilakukan setelah tahap perencanaan selesai dan telah ada dana

pengalokasian kegiatan.

Kata Kunci: Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

PENDAHULUAN

Desa Imbodu adalah sebuah desa

yang terletak di kecamatan randangan

kabupaten pohuwato, dengan mata

pencaharian sebagian besar penduduknya

adalah sebagai petani. Tingkat kemiskinan

di desa Imbodu masih sangat tinggi dimana

faktor-faktor utama yang menyebabkan

kemiskinan di desa Imbodu yaitu

kurangnya pendidikan dan lapangan kerja

serta pola pikir masyarakatnya yang masih

tradisional, sehingga kurang paham dan

kurang mengerti mengenai kemajuan desa

tersebut dan juga fasilitas umum seperti

jalan yang tidak memadai sebagai jalur

transportasi untuk kegiatan sehari-hari

sehingga menghambat laju kesejahteraan

masyarakat.

Dengan semangat dan kerja keras

serta upaya-upaya yang telah dilakukan

dari berbagai pihak yang terkait untuk

memajukan desa Imbodu menuju

Page 43: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

42 | P a g e

perubahan kearah yang lebih baik akhirnya

membuahkan hasil, sehingga pada tahun

2013 desa Imbodu kecamatan randangan

mendapatkan dana dari PNPM Mandiri

perdesaan Rp. 57.254.000.

Selain itu juga dalam rangka

mencapai visi dan misi PNPM Mandiri

Perdesaan, selain menjadikan rumat tangga

miskin (RTM) sebagai kelompok

sasarannya peran serta partisipasi

masyarakat dalam hal ini sangat

menentukan. Partisipasi masyarakat pada

dasarnya merupakan suatu keharusan bagi

setiap penyelenggaraan pemerintahan pada

tingkat nasional dan daerah.

Partisipasi masyarakat khususnya

pada tingkat daerah dianggap sangat

penting manakala pemerintah daerah atau

lokal dapat melibatkan masyarakat sebagai

bagian yang sangat penting bagi

terselenggaranya pemerintahan, dimana

pemerintah memalui aspirasi dari

masyarakat dapat menampung dan

melaksanakan aspirasi tersebut sesuai

dengan kebutuhan dari masyarakat

khususnya dalam program pembangunan.

Pembangunan di desa Imbodu

kecamatan randangan kabupaten pohuwato

melalui program nasional pemberdayaan

masyarakat (PNPM Mandiri) dalam hal ini

lebih memprioritaskan pembangunan

dalam segi infrastruktur seperti

pembangunan jalan, jembatan, dan

pembangunan irigasi. Karena ketiga

elemen tersebut terutama jalan, kondisi

jalannya rusak parah sehingga hal tersebut

dapat menyebabkan terganggunya

perekonomian masyarakat.

Selain itu melalui PNPM Mandiri

perdesaan yaitu merupakan program

nasional penanggulangan kemiskinan

terutama yang berbasis pada

pemberdayaan masyarakat misalnya SPP

(Simpan Pinjam Perempuan). Program

SPP ini ditujukan untuk ibu-ibu rumah

tangga yang memiliki suatu usaha kecil

dan juga ibu-ibu rumah tangga yang

sekiranya masuk kedalam golongan tidak

mampu untuk pengembangan dan

pendiptaan suatu usaha baru.

Untuk meningkatkan efektifitas

penanggulangan kemiskinan dan

penciptaan lapangan kerja melalui PNPM

Mandiri yang kemudian dirumuskan

kembali mekanisme upaya

penanggulangan kemiskinan yang

melibatkan unsur masyarakat, mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan hingga

pemantauan dan evaluasi. Melalui proses

pembangunan partisipatif, kesadaran kritis

dan kemadirian masyarakat, terutama

masyarakat miskin dapat tumbuh

kembangkan sehingga mereka bukan

sebagai objek melainkan sebagai subjek

upaya penanggulangan kemiskinan.

Dengan pengitegrasian berbagai

program pemberdayaan masyarakat ke

dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri,

cakupan pembangunan diharapkan

diperluas hingga ke daerah-daerah

terpencil dan terisolir. Efektifitas dan

efisiensi dari kegiatan yang selama ini

sering diduflikasikan antar proyek

diharapkan juga dapat diwujudkan

mengingat proses pemberdayaan umumnya

membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka

PNPM Mandiri sekurang-kurangnya akan

dilaksanakan hingga tahun 2015.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang

telah dipaparkan diatas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimanakah Partisipasi Masyarakat

Dalam Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa

Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten

Pohuwato?

Maksud dan Tujuan Penelitian Setiap penelitian apapun tentu akan

memiliki suatu tujuan dari penelitian

tersebut. Hal ini sangat perlu untuk bisa

menjadikan acuan bagi setiap kegiatan

penelitian yang akan dilakukan. Karena

tujuan merupakan tolak ukur dan menjadi

target dari kegiatan penelitian. Tanpa itu

semua, maka apa yang akan dilakukan

akan menjadi sia-sia. Dimana maksud dan

tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengetahui Partisipasi Masyarakat Dalam

Page 44: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

43 | P a g e

Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa

Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten

Pohuwato.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis

a. Menambah ilmu pengetahuan

melalui penelitian yang

dilaksanakan sehingga memberikan

kontribusi pemikiran bagi

pengembangan ilmu pemerintahan

khsususnya.

b. Sebagai bahan pemahaman dan

pembelajaran bagi peneliti yang

lain untuk melakukukan penelitian-

penelitian khususnya tentang

Partisipasi Masyarakat Dalam

Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri.

2. Secara praktis

a. Bagi pemerintah daerah diharapkan

nantinya dapat dijadikan acuan

pengembangan kebijakan

khususnya tentang Partisipasi

Masyarakat Dalam Program

Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri.

b. Bagi masyarakat, diharapkan

nantinya dapat membuka ruang

kesadaran masyarakat untuk mulai

berperan aktif untuk berpartisipasi

dalam Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri.

PEMBAHASAN

Konsep Partisipasi Konsep yang luas mengenai

partisipasi kadang menempatkan

partisipasi sebagai sebuah kata yang tidak

memiliki arti yang jelas bagi setiap orang.

Akibatnya partisipasi menjadi konsep

omnibus (apapun dapat disebut sebagai

partisipasi). Untuk lebih memahaminya

ada 3 (tiga) konsep partisipasi yang

dikemukakan oleh Gaventa (Sastropoetro,

2005:28) yang berkaitan dengan praktek

pemerintahan dan pembangunan yang

demokratis yaitu :

a. Partisipasi politik

Partisipasi politik diartikan sebagai

kegiatan seseorang atau sekelompok

orang untuk ikut secara aktif dalam

kehidupan politik, yaitu dengan jalan

memilih pemimpin Negara secara

langsung maupun tidak langsung dan

partisipasi politik ini lebih

mengedepankan pada program-pogram

sesial dan ekonomi yang

mempengaruhi pengambilan keputusan

sehingga terdapat persetujuan antara

pemerintah dan masyarakat (Nelson,

1994:21).

b. Partisipasi sosial

Disamping konsep partisipasi politik

diatas, di kenal juga konsep partisipasi

sosial yang orientasi partisipasinya

pada perencanaan, implementasi dan

pengawasan pembangunan. Oleh

Spriatna (2000:29) mengartikan

partisipasisebagai upaya terorganisir

untuk meningkatkan pengawasan

terhadap sumber daya dan lembaga

pengatur dalam kegiatan-kegiatan

tertentu oleh berbagai kelompok

masyarakat yang selama ini tidak

berada dalam tubuh pemerintahan yang

memainkan fungsi pengawasan. Dalam

pemahaman ini partisipasi ditempatkan

diluar lembaga-lembaga formal

pemerintahan, sebagai keterlibatan

masyarakat dalam kegiatan-kegiatan

konsultasi atau pengambilan

keputusan, pembangunan dari evaluasi

kebutuhan yang kemudian dituangkan

dalam bentuk perencanaan, hingga

sampai pada penilaian evaluasi dari

kegiatan pembangunan tersebut.

Karena sifatnya yang berada diluar

lembaga formal pemerintahan, konsep

ini disebut sebagai partisipasi sosial.

Beberapa asumsi yang dapat diterima

untuk mendorong partisipasi sosial

masyarakat dalam pembangunan.

1) Pembangunan membawa

konsekusensi perubahan dalam

tatanan kehidupan sosial budaya

masyarakat, perubahan ini

Page 45: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

44 | P a g e

membawa dampak yang langsung

dirasakan oleh masyarakat, apakah

itu positif atau negative,

masyarakat dipandang sebagai

―beneficiary” pembangunan, oleh

sebab itu keterlibatan masyarakat

dalam proses pembangunan

menjadi sebuah keniscayaan.

2) Rakyat dianggap yang paling tahu

kebutuhannya, oleh karena itu

keterlibatan rakyat untuk

mengidentifikasi dan menentukan

kebutuhan pembangunan daerahnya

merupakan hak rakyat tersebut.

3) Anggapan selama ini,

pembangunan dilaksanakan kadang

mengabaikan kepentingan dan

suara masyarakat luas,

kecenderungan yang ada kebijakan-

kebijakan pembangunan lebih

mengakomodir kepentingan

kekuasaan, dengan adanya

partisipasi sosial diharapkan dapat

menjamin kepentingan masyarakat,

selama ini dimarjinalkan dalam

pembangunan hukum, ekonomi,

dan sosial budaya.

Dalam pemahaman ini,

partisipasi rakyat dilakukan secara

insidentil artinya keikutsertaan

rakyat dalam kegiatan

pembangunan berjalan sering

dengan proyek yang partisipasi

yang selesai.

c. Partisipasi warga

Telah ditemukan sebelumnya

partisipasi politik menekankan pada

lembaga ―representasi‖ dalam hal ini

orang-orang yang telah diberikan

kepercayaan oleh rakyat untuk

menyelenggaraakan kegiatan

pemerintahan. Partisipasi rakyat

sebatas keikutsertaan mereka dalam

proses-proses pemilu hingga

pemberian suaranya, selanjutnya wakil-

wakil rakyat yang duduk dilembaga

perwakilan dan pemerintah yang

menyelenggarakan pemerintahan

karena mereka dianggap telah

mewakili kepentingan rakyat.

Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam rangka pembangunan

bangsa yang meliputi segala aspek

kehidupan, partisipasi masyarakat

memainkan peranan penting, bahkan

Bintoro Tjokroamijojo (1982:38)

menegaskan pembangunan yang meliputi

segala segi kehidupan, politik, ekonomi

dan sosial budaya itu baru akan berhasil

apabila merupakan kegiatan melibatkan

partisipasi dari seluruh rakyat didalam

suatu Negara.

Sementara itu Katz dalam

Tjokroamijojo (1982:38) menempatkan

partisipasi sebagai salah satu faktor yang

menentukan keberhasilan pembangunan,

disamping faktor-faktor tenaga terlatih,

biaya, informasi, peralatan dan

kewenangan yang sah.

Sedangkan arbi sanit dalam

Tjokroamijojo (1982:38) menandaskan

apabila kita berbicara mengenai

pembanguna, sesungguhnya yang

diperbicarakan adalah keterlibatan

sekeluruhan masyarakat sebagai system

terhadap masalah yang dihadapinya dan

pencarian bagi masalah tersebut.

Masyarakat sendiri dapat

berpartisipasi pada beberapa tahap,

terutama dalam pembangunan, yakni : pata

tahap inisiasi, legitimasi, dan eksekusi atau

dengan kata lain, pada tahap decision

making, implementation, benefit, dan

tahap evaluation. Atau yang dirumuskan

Bintoro Tjokroamoto.

Pertama keterlibatan aktif atau

partisipasi masyarakat tersebut dapat

berarti keterlibatan dalam proses

penentuan arah, strategi dan kebijaksaan.

Kedua, adalah keterlibatan dalam memikul

hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan.

Dari pendapat yang ada tersebut

dapat disimpulkan bahwa partisipasi

masyarakat dapat terjadi pada empat

jenjang :

1. Partisipasi dalam proses pembuatan

keputusan

Setiap prose penyelenggaraan,

tertutama dalam kehidupan bersama

masyarakat, pasti melewati tahap

Page 46: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

45 | P a g e

penentuan kebijaksanaan. Dalam

rumusan yang lain adalah menyangkut

nasib mereka secara keseluruhan.

Dalam keadaan yang paling ideal

keikutsertaan masyarakat untuk

membuat putusan politik yang

menyangkut nasib mereka, adalah

ukuran tingkat partisipasi rakyat.

Semakin besar kemampuan untuk

menentukan nasib sendiri, semakin

besar partisipasi masyarakat dalam

pembangunan.

Demikian pula secara sederhana dapat

diketahui bahwa masyarakat hanya

akan terlibat dalam aktivitas

selanjutnya apabila mereka merasa ikut

andil dalam menentukan apa yang akan

dilaksanakan.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan,

Partisipasi ini merupakan tidak lanjut

dari tahap pertama diatas, bahwa

partisipasi dalam pembangunan ini

dapat dilakukan melalui keikutsertaan

masyarakat dalam memberikan

kontribusi guna menunjang

pelaksanaan pembangunan yang

berwujud tenaga, uang, barang

material, ataupun informasi yang

berguna bagi pelaksanaan

pembangunan.

Hal penting yang perlu

diperhatikan disini, kesediaan untuk

membantu keberhasilan setiap program

sesuai kemampuan yang dimiliki oleh

setiap orang tanpa berarti

mengorbankan kepentingan diri sendiri

sudah terkategorikan ke dalam

pengertian partisipasi.

3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil,

Setiap usaha bersama manusia

pembangunan, misalnya bagaimana

pun ditujukan untuk kepentingan dan

kesejahteraan bersama anggota

masyarakatnya. Oleh sebab itu,

anggota masyarakat berhak untuk

berpartisipasi dalam menikmati setiap

usaha bersama yang ada. Demikian

pula halnya dengan penyelenggaraan

pemerintahan daerah,

rakyat/masyarakat daerah harus pula

dapat menikmati hasilnya secara adil.

Adil dalam pengertian disini

adalah setiap orang mendapatkan

bagiannya sesuai dengan

pengorbanannya dan menurut norma-

norma yang umum diterima.

Sedangkan norma-norma yang dapat

dijadikan ukuran dapat berupa norma

hukum (peraturan-perundangan),

ataupun berupa nilai-nilai etika dan

moral keagamaan.

4. Partisipasi dalam evaluasi

Sudah umum disepakati bahwa setiap

penyelenggaraan apapun dalam

kehidupan bersama, hanya dapat dinilai

berhasil apabila dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat. Untuk

mengetahui hal ini, sudah sepantasnya

masyarakat diberi kesempatan menilai

hasil yang telah dicapai. Demikian pula

dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah, masyarakat dapat dijadikan

sebagai hakim yang adil dan jujur

dalam menilai hasil yang ada.

Partisipasi bukanlah proses yang

instan tapi perlu memiliki basis yang kuat

yakni modal sosial. Modal sosial

merupakan kemampuan orang bekerja

sama, pengetahuan bersama, pemahaman

bersama, pranata bersama, dan pola-pola

interaksi untuk mencapai tujuan bersama

dalam organisasi kecil sampai besar seperti

Negara, modal sosial juga dapat

mengandalkan hubungan kontraktual dan

aturan formal, maupun dalam ikatan-ikatan

primordial yang sempit, melainkan

bersandar pada nilai-nilai dari norma-

norma yang menjadi panduan utama bagia

setiap orang untuk berpikir dan bertindak.

Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program

nasional penanggulangan kemiskinan

terutama yang berbasis pemberdayaan

masyarakat. Pengertian yang terkandung

mengenai PNPM Mandiri adalah ;

1. PNPM Mandiri adalah program

nasional dalam wujud kerangka

kebijakan sebagai dasar dan acual

pelaksanaan program-program

penanggulangann kemiskinan berbasis

pemberdayaan masyarakat. PNPM

Page 47: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

46 | P a g e

Mandiri dilaksanakan melalui

harmonisasi dan pengembangan sistem

serta mekanisme dan prosedur

program, penyediaan pendamping dan

pendanaan simultan untuk mendorong

prakarsa dan inovasi masyarakat dalam

upaya penanggulangan kemiskinan

yang berkelanjutan.

2. Pemberdayaan masyarakat adalah

upaya untuk

menciptakan/meningkatkan kapasitas

masyarakat, baik secara individu

maupun secara berkelompok, dalam

memecahkan berbagai persoalan terkait

upaya peningkatan kualitas hidup,

kemandirian dan kesejahteraan.

Pemberdayaan masyarakat

memerlukan keterlibatan yang besar

dari perangkat pemerintah daerah serta

berbagai pihak untuk memberikan

kesempatan dan menjamin

keberlanjutan berbagai hasil yang

dicapai.

Sedangkan tujuan yang diingi

dicapai dalam pelaksanaan PNPM

Mandiri, yang tujuan umumnya yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan dan

kesempatan kerja masyarakat miskin

secara mandiri, sedangkan tujuan khusus

yang ingin dicapai dalam PNPM Mandiri

yaitu sebagai berikut :

1. Meningkatkan partisipasi seluruh

masyarakat, termasuk masyarakat

miskin, kelompok perempuan,

komunitas kelompok adat terpencil dan

kelompok masyarakat lainnya yang

rentan dan sering terpinggirkan

kedalam proses pengambilan

keputusan dalam pengelolaan

pembangunan.

2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan

masyarakat yang mengakar,

refresentatif dan akuntabel.

3. Meningkatkan kapasitas pemerintah

dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat tertutama masyarakat

miskin melalui kebijakan, program da

pengangguran yan berpihak pada

masyarakat miskin (pro-poor).

4. Meningkatkan sinergi masyarakat,

pemerintah daerah, swasta, asosiasi,

perguruan tinggi, lembaga swadaya

masyarakat, organisasi masyarakat dan

kelompok peduli lainnya untuk

mengefektifkan upaya-upaya

penanggulangan kemiskinan.

5. Meningkatkan keberadaan dan

kemandirian masyarakat, serta

kapasitas pemerintah daerah dan

kelompok perduli setempat dalam

menanggulangi kemiskinan

diwilayahnya.

6. Meningkatkan modal sosial masyarakat

yang berkembang sesuai dengan

potensi sosial dan budaya serta untuk

melestarikan kearifan lokal.

Meningkatkan inovasi dan

pemanfaatan teknologi tepat guna,

informasi dan komunikasi dalam

pemberdayaan masyarakat.

Pendekatan dan Komponen PNPM

Mandiri Pendekatan atau upaya-upaya

rasional dalam mencapai tujuan program

dalam pedoman umum PNPM Mandiri

(2007:13) dengan memperhatikan prinsip-

prinsip pengelolaan program adalah

pembangunan yang berbasi masyarakat

dengan :

1. Menggunakan kecamatan sebagai

lokus program untuk

mengharmonisasikan perencanaan,

pelaksanaan dan pengendalian

program.

2. Mempromosikan masyarakat sebagai

penentu/pengambil kebijakan dan

pelaku utama pembangunan pada

tingkat lokal.

3. Mengutamakan nilai-nilai universal

dan budaya lokal dalam proses

pembangunan partisipasi.

Sedangkan untuk rangkaian proses

pemberdayaan masyarakat dilakukan

melalui komponen program sebagai

berikut :

1. Pengembangan masyarakat.

Merupakan komponen pengembangan

masyarakat mencakup serangkaian

kegiatan untuk membangun kesadaran

kritis dan kemandirian masyarakat

yang terdiri dari pemetaan potensi,

Page 48: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

47 | P a g e

masalah dan kebutuhan masyarakat,

perencanaan partisipatif,

pengorganisasian, pemanfaatan sumber

daya, pemamtauan dan pemeliharaan

hasil-hasil yang telah dicapai. Untuk

mendukung rangkaian tersebut,

disediakan dana pendukung kegiatan

pembelajaran masyarakat,

pengembangan relawan dan

operasional. Pendampingan masyarakat

: dan fasilitator, pengembangan

kapasitas, media dan advokasi. Peran

fasilitator terutama pada saat awal

pemberdayaan, sedangkan relawan

masyarakat adalah yang utama sebagai

motor penggerak masyarakat

diwilayahnya

2. Bantuan langsung masyarakat

Komponen bantuan langsung

masyarakat (BLM) adalah dana

stimulan keswadayaan yang diberikan

kepada kelompok masyarakat untuk

membiayai sebagian kegiatan yang

direncanakan oleh masyarakat dalam

rangka untuk meningkatkan

kesejahteraan terutama masyarakat

miskin.

3. Peningkatan kapasistas pemerintahan

dan pelaku lokal

Komponen peningkatan kapasitas

pemerintah dan pelaku lokal/kelompok

perduli lainnya agar mampu

menciptakan kondisi yang kondusif

dan sinergi yang positif bagi

masyarakat terutama kelompok miskin

dalam menyelenggarakan hidupnya

secara layak kegiatan terkait dalam

komponen ini diantaranya seminar,

pelatihan, lokakarya, kunjungan

lapangan yang dilakukan secara

selektif dan sebagainya.

4. Bantuan pengelolaan dan

pengembangan program

Komponen ini meliputi kegiatan-

kegiatan untuk mendukung pemerintah

dan berbagai kelompok peduli lainnya

dalam pengelolaan kegiatan seperti

penyediaan konsultan manajemen,

pengendalian mutu, evaluasi dan

pengembangan program.

5. Menggunakan pendekatan

pemberdayaan yang sesuai, yang terdiri

dari atas pembelajaran karakterisitik

sosial, budaya dan geografis.

6. Melalui proses pemberdayaan yang

terdiri dari atas pembelajaran,

kemandirian dan keberlanjutan.

(Pedoman Umum PNPM Mandiri,

2007:16).

HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Desa Imbodu

Kecamatan Randangan Desa Imbodu adalah sebuah desa

yang dulu dinamakan kampong imbondu

berdiri sejak tahun 1920 silam. Dahulu

desa imbodu adalah dataran yang

ditumbuhi semak belukar yang ditempati

oleh binatang-binatang buas.

Asal mula penduduk imbodu yaitu

merupakan pemukiman lingkungan yang

terdiri dari kelompok masyarakat yang

dating dari berbagai macam kampung saat

itu untuk mencari nafkah kehidupan

mereka dan dikepalai oleh seorang pemuka

masyarakat yang digelar Bantalo atau

pemimpin lingkungan. Mata pencaharian

masyarakat pada saat itu adalah pergi ke

hulu mencari rotan dan damar untuk

menafkahi keluarga.

Setelah lingkungan ini berkembang

penduduknya, maka pada tahun itu juga

masyarakat bermusyawarah membentuk

kampung imbodu yang dikepalai oleh

seorang tokoh masyarakat dari gorontalo

bernama LAGANI BUMULO tahun 1920

dan nama kampung imbodu berasal dari

kata Himbunga atau Ibode yang artinya

(Bantu membantu dalam melaksanakan

segala kegiatan yang ada dilingkungan itu).

Pada masa pemerintahan kepala

kampung Bapak LAGANI BUMULO

masyarakat diatur dan diarahkan untuk

bercocok tanam padi, jagung dan lain-lain.

Dengan hasil produksi cocok tanam padi

dan jangung dapat mencukupi kebutuhan

masing-masing keluarga tersebut, sehingga

mata pencaharaian masyarakat pergi ke

hulu untuk mencari damar dan rotan mulai

hilang. Sampai dengan saat ini secara

Page 49: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

48 | P a g e

geografis desa imbodu adalah lading

pertanian dan perkebunan.

Adapun visi desa imbodu

kecamatan randangan adalah

―Terwujudnya Masyarakat Imbodu Yang

Beriman, Bertaqwa Dalam Masyarakat

Kemandirian dan Kesejahteraan‖.

Sedangkan dalam rangka menunjang visi

maka dibuatlah misi desa imbodu sebagai

berikut :

1. Meningkatkan persatuan serta

mengamalkan ajaran agama dan

meningkatkan aktivitas organisasi

masyarakat

2. Meningkatkan sumber daya manusia

3. Meningkatkan peran serta masyarakat

dalam aktifitas pemerintah

pembangunan dan masyarakat

4. Mewujudkan pemerintah amanah, yang

bersih dan berwibawa

5. Peningkatan ekonomi masyarakat desa

dan produktifitas

Partispasi Masyarakat Dalam Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri Perdesaan Di Desa

Imbodu Kecamatan Randangan

Partisipasi Dalam Perencanaan Dalam perencanaan tentunya ada

perencanaan partisipatif dimana dalam

pengambilan keputusan melibatkan unsur

masyarakat serta pemerintah sesuai dengan

fungsinya masing-masing. Dalam

mekanisme perencanaan PNPM Mandiri

didesa imbodu kecamatan randangan

dimulai dari dusun yaitu memberikan

ruang yang seluas-luasnya kepada

masyarakat baik perempuan maupun laki-

laki, terutama sekali yang diutamakan

untuk masyarakat yang tidak mampu untuk

dilibatkan secara aktif dalam pengambilan

keputusan perencanaan pembangunan. Dan

kualitasnya itu sendiri dapat dilihat dari

jumlah masyarakat yang hadir, kualitas

pendapat/gagasan/usulan, serta dokumen

perencanaan yang diusulkan. Indikator-

indikator yang dapat digunakan untuk

melihat partisipasi masyarakat dalam

perencanaan PNPM Mandiri sendiri agar

berjalan baik yaitu :

Pertama, dapat dilihat dari

partispasi masyarakat itu sendiri dalam

melaksanakan program tersebut. Partsipasi

masyarakat dalam Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri di desa imbodu dimana

masyarakat dilibatkan secara aktif dimulai

dengan cara meningkatkan kesadaran

masyarakat melalui sosialisasi, pertemuan

masyarakat refleksi kemiskinan pemetaan

swadaya untuk identifikasi masalah,

potensi dan kebutuhan masyarakat yang

dituangkan dalam rencana pembangunan

jangka menengah dan rencana kerja

pembangunan desa (RPJM-Des & RKP-

Desa).

Kedua, partisipasi masyarakat dapat

dilihat dari kebutuhan masyarakat akan

program tersebut. Apakah hal itu selalu

disesuikan atau tidaknya dengan kebutuhan

masyarakat. Ketika penulis melakukan

penelitian maka partispasi ini selalu

disesuaikan dengan kebutuhan dari

masyarakat, alasanya agar pembangunan

itu tepat sasaran dan masyarakat dapat

merasakan manfaatnya secara langsung.

Karena dalam proses musyawarah pun

masyarakat dilibatkan. Jadi tidak mungkin

pembangunan yang dilakukan tanpa ada

perhitungan yang matang dari masyarakat.

Ketiga, partisipasi masyarakat

dalam perencanaan juga dapat dikaitkan

dengan tujuan dimana masyarakat

dilibatkan dalam penentuan tujuan dari

serangkaian kegiatan PNPM Mandiri, pada

perencanaan ini didesa imbodu khususnya

masyarakat selalu dilibatkan dalam

penentuan tujuan karena masyarakat

merupakan bagian terpenting dalam

melakukan program tersebut, agar tercipta

masyarakat yang mandiri dan berdaya dan

dapat memecahkan permasalahan yann

menjadi keinginan masyarakat tersebut.

Berdasarkan wawancara yang telah

dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan

bahwa partisipasi masyarakat dalam

perencanaan PNPM Mandiri di desa

imbodu kecamatan randangan, dalam hal

ini masyarakat selalu dilibatkan dalam

melakukan program khususnya pada tahap

awal perencanaan. Kemudian hasil

Page 50: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

49 | P a g e

perencanaan ini menjadi prioritas

perencanaan pembangunan partisipatif

PNPM Mandiri.

Partisipasi Masyarakat Dalam

Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatannya meliputi :

1) persiapan pelaksanaan (Rapat

Koordinasi Awal di kecamatan, dan rapat

persiapan pelaksanaan di desa). 2)

pelaksanaan (penyaluran dana, pengadaan

tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat,

rapat evaluasi TPK), 3) Musdes

pertanggungjawaban, 4) sertifikasi, 5)

revisi kegiatan, 6). Dokumentasi kegiatan,

dan 7) penyelesaian kegiatan (pembuatan

laporan penyelesaian pelaksanaan

kegiatan, pembuatan dokumen

penyelesaian, berita acara status

pelaksanaan kegiatan).

Pelaksanaan kegiatan PNPM

Mandiri di desa imbodu kecamatan

randangan dilakukan oleh masyarakat

secara swakelola dan difasilitasi oleh

pemerintah yang dibantu oleh fasilitator

atau konsultan, tahap pelaksanaan

dilakukan setelah tahap perencanaan

selesai dan telah ada dana pengalokasian

kegiatan. Sedangkan dalam proses

partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

PNPM Mandiri di desa imbodu dapat

dilihat dari keaktifan masyarakat untuk

melaksanakan pekerjaan dengan

memberikan kontribusi (uang, tenaga dan

pikiran) untuk menunjang setiap program

pembangunan. Masyarakat desa imbodu

dari dulu sampai sekarang mereka selalu

menginginkan adanya pembangunan fisik

terutama pembangunan jalan, karena jalan

utama yang ada di desa sepanjang 2000 M,

kondisi jalanya sudah rusak parah. Pada

saat pelaksanaan pembangunan jalan tidak

mengalami kendala yang berarti, karena

masyarakat sangat aktif didalamnya.

Dari hasil pemaparan diatas dapat

disimpulkan bahwa peran serta masyarakat

dalam pelaksanaan pembangunan sangat

tinggi, dalam hal ini tenaga yang

melakukan pembangunannya sendiri

dilakukan oleh masyarakat setempat,

karena sebagian masyarakat desa imbodu

sedikit banyaknya mengerti mengenai

pembangunan.

Partisipasi Masyarakat Dalam

Pengawasan Jenis kegiatan pemantauan didalam

PNPM Mandiri meliputi pemamtauan

internal, dan pemantauan eksternal.

Pemantauan internal merupakan yang

dilakukan oleh para pelaku program, yaitu

mereka yang terlibat secara langsung

dalam program. Mereka adalah pelaksana

program, aparat pemerintah, lembaga

pemberi dana ataupun manfaat. (a)

pemantauan partisisipatif oleh masyarakat,

(b) pemantauan oleh konsultan dan

fasilitator, (c) pemantauan oleh pemerintah

yang berwenang, (d) pemantauan

penanganan pengaduan (complain) dan

proses penyelesaian masalah, (e) studi

kasus dan dokumentasi tentang beberapa

pelajaran yang bisa dipetik. Sedangkan

untuk pemantauan ekternal dilakukan oleh

pihak luar yang independen. Pemantauan

eksternal diharapkan dapat memberi

pandangan yang lebih objektif dan badan

yang independen yang tidak secara

langsung terlibat dalam pelaksanaan

program.

Pertama, dilihat dari keterlibatan

masyarakat dalam program PNPM Mandiri

khususnya mengenai pengawasan, mereka

dilibatkan langsung dalam pengawasan

agar tidak terjadi penyimpangan dalam

program tersebut, pengawasan ini

dilakukan oleh masyarakat guna untuk

menjaga agar proses pembangunan dapat

berjalan dengan baik dan diharapkan jauh

dari penyelewengan-penyelewengan.

Kedua, partisipasi masyarakat juga

terkait dengan prosedur yang dijalankan,

untuk partisipasi masyarakat dalam

pelaksanaan pengawasan dapat dilihat dari

itngkat desa sendiri yaitu pihak desa

menilai pada saat mereka datang pada

masyarakat untuk memantau pelaksanaan

program, dimana PJOK datang setiap satu

minggu sekali untuk mengawasi program.

Dengan melihat pembangunan jalan telah

selesai yang dibiayai dari PNPM Mandiri

di desa imbodu, penulis telah melakukan

Page 51: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

50 | P a g e

wawancara kepada sebagian masyarakat

guna mendapatkan penilaian terkait dari

hasil pembangunan jalan tersebut.

Dari beberapa pemaparan hasil

wawancara diatas dapat penulis simpulkan

bahwa partispasi masyarakat dalam

pengawasan sangat baik sekali, selain

pengawasan yang dilakukan oleh PJOK

dan konsultan sendiri. Dalam hal ini hasil

pembangunan jalan di desa imbodu yang di

biayai dari PNPM Mandiri kurang sesuai

dengan apa yang diharapkan masyarakat,

setelah peneliti melakukan wawancara

terhadap beberapa tokoh masyarakat desa

imbodu, banyak masyarakat yang

menggerutu dan sedikit kecewa hasil dari

pembangunan tersebut, namun dalam hal

ini masyarakat tidak bisa bicara banyak,

mereka berasumsi daripada tidak dibangun

sama sekali meskipun kondisinya tidak

memuaskan masyarakat tetap bersyukur

karena sudah lebih baik daripada

sebelumnya.

Partisipasi Masyarakat Dalam

Pemanfaatan dan Pemeliharaan Pemanfaatan dan pemeliharaan

didalamnya meliputi menerima hasil

pembangunan seolah-olah milik sendiri,

menggunakan atau memanfaatkan setiap

hasil pembangunan, menjadikan atau

mengusahakan suatu lapangan usaha,

merawat secara rutin, mengatur kegunaan

atau memanfaatkannya, mengusahakan dan

mengamankannya serta

mengembangkannya. Partisipasi dalam

pemeliharaan dan pemanfaatan berarti

mendukung kearah pembangunan yang

serasi dengan martabat manusia keadilan

social dan memelihara alam sebagai

lingkungan manusia untuk generasi yang

akan datang.

Pertama, penerimaan masyarakat

terhadap hasil pembangunan yaitu

diharapkan masyarakat dapat menerima

hasil pembangunan seolah-olah milik

sendiri, sehingga pada akhirnya

masyarakat akan menjaga dan memelihara

serta memanfaatkan hasil

pembangunannya demi kelancaran dan

kemajuan bersama.

Kedua, partisipasi masyarakat

dapat dilihat dari manfaat yang dapat

diambil dari pembangunan, manfaat yang

dapat dirasakan masyarakat dari hasil

pembangunan jalan banyak sekali, dalam

hal ini masyarakat mendapatkan

kemudahan dari akses jalan, transportasi

menjadi lancar, dan perekonomian

masyarakat meningkat.

Ketiga, partisipasi masyarakat

dalam pemanfaatan dan pemeiliharaan

dapat dilihat dari masyarakat yang

mengatur program dan maupun

mengamankan setiap program yang sudah

dijalankan. Dimana dalam hal ini

masyarakat diberikan kebebasan untuk

mengatur setiap program yang sudah

dijalankan, diantaranya memanfaatkan

pembangunan yang sudah dilaksanakan

dengan cara memanfaatkannya sebaik

mungkin, dalam hal ini memang sudah

sepatutnya masyarakat menggunakan

pembangunan sebaik mungkin agar

pembangunan jalan bisa awet dan tidak

cepat rusak.

Berdasarkan pernyataan diatas

maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi

masyarakat dalam pemanfaatan dan

pemeliharaan hasil pembangunan berjalan

sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam

hal ini tingkat kesadaran masyarakat untuk

menjaga hasil pembangunan seolah-olah

milik sendiri sudah nampak adanya,

sehingga kalau sekiranya adanya

kerusakan-kerusakan kecil yang dapat

diperbaiki dengan tenaga mereka, dalam

hal ini masyarakat akan insiatif untuk

memperbaikinya dan memiliki kesadaran

untuk hal itu.

Hasil penelitian dan temuan

lapangan sangat berkaitan dengan teori

yang menjadi rujukan dalam penelitian ini

yakni teori yang bersumber dari Coben dan

Uphoff disadur Maskun (1994:23)

mengatakan bahwa partisipasi masyarakat

dalam pembangunan teribat dalam 4

(empat) hal yaitu : pertama, Partisipasi

dalam perencanaan merupakan sautu

rencana atau keputusan yang telah

disiapkan oleh pemerintah dalam

masyatakat hanya dapat menyatakan untuk

Page 52: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

51 | P a g e

setuju tidak akan membawa hasil yang

diharapkan. Kedua, Partisipasi dalam

pelaksanaan merupakan hubungan antara

pelaksanaan dan pelaksanaannya cukup

erat, masalah pelaksanaannya sudah cukup

dipertimbangkan dalam menyusun

rencana. Ketiga, Partisipasi dan

pengawasan merupakan aktivitas untuk

menemukan, mengoreksi penyimpangan-

penyimpangan terhadap aktivitas yang

telah direncanakan. Dan Keempat,

Partisipasi dalam pemeliharaan dan

pemanfaatan meliputi ; menerima hasil

pembangunan seolah-olah miliki sendiri,

menggunakan atau memanfaatkan setiap

hasil pembangunan, menjadikan atau

mengusahakan suatu lapangan usaha,

merawat secara rutin dan sistematis,

mengatur kegunaan dan memanfaatkannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan mengenai partispasi

masyarakat dalam Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri Perdesaan di Desa Imbodu

Kecamatan randangan Kabupaten

Pohuwato. Adapun kesimpulan dari

penelitian ini yaitu :

Partisipasi masyarakat dalam

perencanaan, dimana masyarakat masih

kurang berpartispasi aktif, dimana seperti

dalam proses musyawarah hanya diwakili

oleh kepala-kepala dusun dan tokoh-tokoh

masyarakat tertentu, dan hanya menerima

setiap keputusan musyawarah tanpa mau

terlibat secara aktif dalam proses tersebut,

hal tersebut dikarenakan kurangnya

sosialisasi dan ajakan dari aparat desa

sehingga menimbulkan keengganan untuk

mengikuti berbagai rapat yang dilakukan

didesa imbodu kecamatan randangan.

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

program. Pelaksanaan kegiatan PNPM

Mandiri di desa imbodu kecamatan

randangan dilakukan masyarakat secara

swakelola dan difasilitasi oleh perangkat

pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator

atau konsultan serta oleh PJOK, tahap

pelaksanaan dilakukan setelah tahap

perencanaan selesai dan telah ada dana

pengalokasian kegiatan. Di desa imbodu

dapat dilihat dari proses pelaksanaan

PNPM Mandiri itu sendiri, keaktifan

masyarakat untuk melaksanakan pekerjaan

dengan hanya memberikan kontribusi

berupa tenaga dan pikiran saja untuk

menunjang proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan

PNPM Mandiri dilakukan oleh masyarakat

secara umum yang dibantu oleh fasilitator

desa, konsultan, PJOK, LSM, BPD serta

wartawan guna menjamin pelaksanaan

pembangunan yang direncanakan sesuai

dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan

dan memastikan bahwa dana yang

digunakan tepat sasaran, dan untuk

pengawasan di desa imbodu, sebagian

masyarakat telah memberikan partispasi

masyarakat dalam pengawasan kegiatan

tersebut meskipun banyak juga masyarakat

yang tidak terlibat langsung dalam

pengawasan.Partisipasi masyarakat dalam

pemanfaatan dan pemeliharaan hasil

pembangunan dari PNPM Mandiri di desa

imbodu, dapat dilihat dari manfaat yang

dirasakan oleh masyarakat dalam

pembangunan seperti pembangunan jalan

desa sepanjang 2000 M yang sudah

dilakukan antara lain dapat membantu

meningkatkan perekonomian masyarakat,

kemudian alat transportasi menjadi lancar

dan mudah untuk dilalui baik roda dua

maupun roda empat.

Saran

Berangkat dari hasil penelitian dan

kesimpulan yang telah diuraikan maka

peneliti mencoba untuk memberikan saran-

saran sebagai berikut :

1. Partisipasi masyarakat dalam PNPM

Mandiri di desa imbodu masih kurang,

oleh karena itu diharapkan bagi aparat

desa untuk melakukan pendekatan

persuasif dan sosialisasi kepada seluruh

masyarakat terkait dengan manfaat

PNPM Mandiri yang akan berjalana

maupun yang akan datang.

2. Masyarakat desa imbodu kecamatan

randangan diharapkan meningkatkan

peran sertanya dalam program PNPM

Mandiri mulai dari perencanaan

Page 53: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

52 | P a g e

pelaksanaan, pengawasan dan

pemeliharaan dan pemanfaatan karena

semua itu akan menentukan

keberhasilan dan kelancaran

berjalannya program PNPM Mandiri di

desa imbodu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Joe, Fernandes, 2002, Otonomi Daerah Di

Indonesia Masa Reformasi, Jakarta

Institute For Policy and Community

Development Studies (IPCOS)

Kaho, Riwo, Joseph, 2005, Prosfek

Otonomo Daerah Di Negara

Republik Indonesia, Jakarta, Radja

Grafindo Persada.

Kartasasmita Ginanjar, 1996,

Pembangunan Untuk Rakyat,

Jakarta, Cides

Kuromotomo, Wahyudi, 2002, Etika

Administrasi Negara, Jakarta Radja

Grafindo Persada.

Maskun, Soemitro. 1994, Pembangunan

Masyarakat Desa : Asas,

Kebijakandan Manajemen, PT

Media Widya Mandala, Yogyakarta

Milles, Mathew, B dan Huberman AM,

1992, Analisis Data Kualitatif,

Jakarta Universitas Indonesia

Moleong, L, J, 2007 Metode Penelitian

Kualitatif, Bandung, Remadja

Rosdakarya.

Sastropoetro, Santoso R.A. 1988.

Partisipasi, Komunilasi, Persuasi,

dan Disiplin Dalam Pembangunan

Nasional. Bandung: Alumni

Siagian Sondang, P, 2008, Administrasi

Pembangunan Konsep, Dimensi, dan

Strateginya, Jakarta, Bumi Aksara.

Sjafari, Agus dan Sumaryo, 2007,

Pembangunan Masyarakat, Bogor,

CDI Pres

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian

Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D,

Bandung, Alfabeta.

Sjamsudin, Haris, 2005, Desentralisasi

dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI

Press.

Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi

Pembangunan dan Kemiskinan.

Jakarta: Rineka Cipta

Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1982, Teori

dan Strategi Pembangunan

Nasional, Jakarta, Gunung Agung.

Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1990,

Pengantar Administrasi

Pembangunan, Jakarta, LP3ES.

Sumber Lain :

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka

Menengah dan Rencana Kerja

Pembangunan Desa (RPJM-DS dan

RPK-Desa) Desa Imbodu Kecamatan

Randangan, Kabupaten Pohuwato,

2011-2015.

Modul Tim Pemantau Desa Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri

Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan

Data Desa dan Kelurahan.

Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun

2007

PTO (Petunjuk Teknis Operasional)

Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri

Perdesaan.

Page 54: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

53 | P a g e

MENINGKATKAN PROFESIONALISME PELAYAN PUBLIK MELALUI

PENDEKATAN PENDIDIKAN NON-FORMAL

DALAM RANGKA MEMENUHI KEPUASAN PUBLIK

Oleh

Dr. Rulam Ahmadi, M.Pd.

(Dosen Universitas Islam Malang - UNISMA)

[email protected]

www.infodiknas.com

Abstrak

Perubahan sosial terus berlangsung. Setiap perubahan memunculkan persoalan

dan kebutuhan baru. Perubahan sosial terjadi antara lain karena perkembangan

ilmu dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi dan komunikasi terus

berlangsung dan membawa dampak para perubahan dan perkembangan dalam

semua sektor pembangunan, khususnya dalam pelayanan publik. Waktu dan jarak

semakin sempit dan tanpa batas sehingga memungkinkan arus informasi dan

komunikasi dalam waktu singkat dapat beredar ke seluruh penjuru dunia. Semua

orang, masyarakat, atau organisi (institusi) tidak mempunyai alasan untuk tidak

beradaptasi dengan perkembangan yang sedang terjadi, atau mereka menjadi

korban perubahan dan perkembangan yang sedang dan akan terjadi. Semua orang

dan institusi harus belajar untuk meningatkan profesionalismenya sehingga

memungkinkan untuk mampu ikut ambil bagian dalam perkembangan yang

terjadi. Begitu pula bagi pelayan publik bahwa menjadi kebutuhan dan tuntutan

untuk terus meningkatkan profesionalismenya sehingga proses pelayanan publik

dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Kata Kunci: profesionalisme, pelayanan publik, pendidikan non-formal

1. Pendahuluan

Dari waktu ke waktu pelayan publik

(pemerintah non-pemerintah) dituntut

untuk terus meningkatkan berkemampuan

menyesuaika diri terhadap setiap

perubahan dan tuntutan baru yang terjadi

terkait dengan tugas dan tanggung jawab

kerjanya. Pengetahuan, keterampilan, atau

sikap yang beberapa waktu lalu efektif

untuk melaksanakan tugas layanan publik,

maka untuk masa mendatang semua itu

akan mengalami penurunan daya guna.

Setiap perubahan akan membawa dampak

dan tuntutan baru yang akan berimbas pada

prasyarat dimilikinya kemampuan baru

pula.

Modal kemampuan yang diperoleh di

perguruan tinggi beberapa saat yang silam

dan masih bisa diterapkan dalam lapngan

kerja saat ini, maka kemampuan itu bisa

tidak memiliki daya suai terhadap tuntuan

baru di masa mendatang. Pelayan publik

dituntut untuk belajar kemampuan baru,

tetapi untuk memperoleh kemampuan baru

itu tidak mungkin atau tidak harus

diperoleh dari jalur studi di lembaga

pendidikan formal karena sistem yang

dikembangkan di pendidikan formal sangat

ketat dan memakan waktu yang relatif

Page 55: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

54 | P a g e

lama. Adapun dunia lapangan (tugas)

pelayan publik memiliki kebutuhan untuk

memiliki kemampuan baru yang bisa

dikuasai secara singkat karena tuntutan

kerja yang mendesak. Untuk memenuhi

kebutuhan pendidikan yang mendesak itu

tidak mungkin melalui jalur formal,

melainkan melalui jalur pendidikan non-

formal atau informal. Dalam kupasan ini

fokus pada lingkup pendidikan non-formal.

Pendidikan non-formal cocok bagi

masyarakat yang sudah bekerja untuk

memperoleh pengetahuan, keterampilan,

dan sikap baru yang berkenaan dengan

lapangan kerjanya masing-masing.

2. Mengapa Perlu Peningkatan

Profesionalisme?

Ada beberapa alasan yang

mendorong pentingnya usaha meningkatan

profesionalis pelayan publik (aparatur),

yang diantaranya adalah:

1) Perubahan sosial yang sangat cepat

dan kompleks yang disertai dengan

munculnya tuntutan-tuntutan baru

yang berkembang di masyarakat,

dan persoalan-persoalan dalam

semua sektor kehidupan

masyarakat (pembangunan)..

2) Masih rendahnya kualitas

pelayanan publik dalam hal

penyalahgunaan wewenang, praktik

korupsi, kolusi dan nepotisme serta

pungutan liar.

3) Masih lemahnya pengawasan

terhadap kinerja aparatur

pemerintah, dan tidak pedulinya

teman sejawat atas penyimpangan

yang dilakukan oleh koleganya.

4) Konsekuensi peranan aparatur

(pelayan publik) yang jenis

pekerjaannya adalah termasuk

pekerjaan profesional. Pekerjaan

seperti ini menuntut adanya

pengembangan diri secara

berkelanjutan untuk terus

beradaptasi dengan pengetahuan

baru, keterampilan baru, dan sikap

baru.

5) Azaz pendidikan seumur hidup.

Azaz pendidikan seumur hidup

mendorong setiap manusia,

khususnya aparatur pemerintah

untuk terus belajar sepanjang masa

jabatannya.

6) Gejala lemahnya pelayanan

aparatur pada publik, termasuk

berbagai kasus penyimpangan

dalam melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya.

7) Lemahnya kemampuan aparatur

pemerintah dalam hal pemanfaatan

perkembangan teknologi informasi

dan komunikasi.

Paling tidak ada tujuah faktor yang

mendorong perlunya dilakukan

peningkatan profesionalisme aparatur

pemerintahebagai pelayan publik sehingga

publik betul-betul memperoleh pelayanan

yang perima dan pada gilirannya untuk

mengakselerasi pencapaian tujuan

pembangunan nasional. Peningkatan

profesionalisme aparatur pemerintah

hendaknya dilakukan secara terprogram,

serempak, dan berkelanjutan. Hanya

dengan cara demikian maka program

peningkatan profesionalisme aparatur

pemerintah dapat membawa hasil sesuai

harapan dan tuntutan yang tak pernah

berhenti.

3. Konsep Profesionalisme

Kata profesionalisme merujuk pada

suatu pekerjaan yang mensyaratkan

dimiliknya keahlian spesifik berdasarkan

pendidikan yang spesifik yang ditunjukkan

dengan adanya ijasah, dan dalam

melaksanakan pekerjaan profesional

diperoleh imbalan yang layak sesuai

dengan standar yang ditetapkan

sebelumnya. Banyak ahli memberikan

definisi profesionalisme dengan beragam,

diantaranya sebagaimana dikemukakan

oleh beberapa ahli berikut.

Badudu dan Zaini dalam

Sedarmayanti (2004:76) mengemukakan

bahwa profesionalisme adalah:

1. Berasal dari kata ―profesi‖ yang

artinya:

a. Pekerjaan daripadanya

didapatkan pendapatan nafkah

untuk hidup.

Page 56: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

55 | P a g e

b. Pekerjaan yang dikuasai karena

pendidikan keahlian.

2. Profesionalisme artinya:

a. Bersifat profesi.

b. Memiliki keahlian dan

keterampilan karena pendidikan

dan latihan.

c. Memperoleh bayaran karena

pekerjaan itu.

Menurut Thomas H. Pattern Jr.,

profesionalisme dalam Sedarmayanti

(2004:76-77) bahwa disebut

profesionalisme apabila pekerjaan itu

mencerminkan adanya dukungan berupa:

1. Ciri pengetahuan.

2. Diabdikan untuk kepentingan orang

lain.

3. Keberhasilan pekerjan tersebut bukan

didasarkan pada keuntungan finansial.

4. Didukung oleh adanya organisasi

(asosiasi), profesi tersebut antara lain

menentukan berbagai ketentuan yang

merupakan kode etik dan tanggung

jawab dalam memajukan dan

penyebarannya profesi yang

bersangkutan.

5. Ditentukan adanya standar kualifikasi

profesi

Sedangkan menurut Legge dan Exley

dalam Sedarmayanti (2004:77) bahwa

profesionalisme adalah:

1. Keterampilan yang didasarkan atas

pengetahuan teoritis.

2. Diperoleh dengan pendidikan tinggi

dan latihan kemampuannya diakui oleh

rekan sejawatnya.

3. Punya organisasiprofesi yang

menjamin berlangsungnya budaya

profesi melalui persyaratan untuk

memasuki organisasi tersebut, yaitu

ketaatan pada kemanusiaan.

Semana (1995) dalam dalam

Sedarmayanti (2004:77) bahwa

profesionalisme adalah:

1. Seorang pekerja yang terampil atau

cakap dalam bekerja.

2. Seseorang yang dituntut menguasai visi

yang mendasari keterampilannya yang

menyangkut wawasan filosofis,

pertimbangan nasonal, dan memiliki

sikap yang positif dalam melaksanakan

serta mengembangkan mutu karyanya.

3. Mempunyai ciri:

a. Memerlukan persiapan atau

pendidikan khusus.

b. Memenuhi persyaratan yang

telah dibebankan oleh pihak

yang berwewenang.

c. Mendapat pengakuan

masyarakat atau negara.

d. Berkecakapan kerja

(berkeahlian) sesuai dengan

tugas khusus serta tuntutan dari

jenis jabatannya.

e. Menurut pendidikan yang

terprogram secara relevan,

sehingga terselenggara secara

efektif dan efisien dan tolok

ukur yang berstandar.

f. Berwawasan sosial, bersikap

positif terhadap jabatannya dan

perannya serta bermotivasi

untukl bekerja dengan sebaik-

baiknya.

g. Memiliki kode etik yang harus

dipenuhi.

h. Mencintai profesinya dan

memiliki etos kerja yang tinggi

serta selalu meningkatkan diri

serta karyanya.

Jadi profesionalisme itu adakah suatu

jenis pekerjaan tertentu yang menuntut

dimilikinya disiplin ilmu atau keahlian

tertentu yang dikembangkan secara terus-

menerus dan ditunjukkan dengan tanda

keprofesionalan, yakni ijasah atau

sertifikat, dan pekerja profesional dalam

melaksanakan tugas profesinya

menperoleh upah. Pelayan publik sebagai

pekerja profesional menuntut bahwa yang

bersangkutan harus memiliki ilmu sesuai

denga bidang kerjanya, dan mereka secara

terus-menerus harus melakukan kegiatan-

kegiatan pengembangan profesinya.

4. Definisi Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal telah

didefiniskan oleh Kleis (1973:6) sebagai

usaha pendidikan yang melembaga dan

sistematis (biasanya di luar sekolah

tradisional) di mana isi diadaptasikan pada

Page 57: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

56 | P a g e

kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang

spesifik (atau situasi yang spesifik) untuk

memaksimalkan belajar dan

meminimalkan unsur-unsur lain yang

sering dilakukan oleh para guru sekolah

formal. Pendidikan nonformal lebih

berpusat pada peserta didik daripada

pendidikan yang paling formal. Para

peserta didik dapat meninggalkan waktu

yang tidak mereka sukai. Pendidikan

nonformal cenderung menekankan sebuah

kurikulum kafetaria (pilihan-pilihan)

daripada ditentukan sebelumnya, yaitu

kuirkulum sebagaimana dijumpai di

sekolah-sekolah. Dalam pendidikan

nonformal hubungan-hubungan manusia

lebih informal (peranan-peranan guru dan

peserta didik lebih tidak kaku dan sering

bergantian) daripada di sekolah-sekolah di

mana guru-murid dan peranan

administrator guru bersifat hirarkis dan

jarang berubah dalam jangka waktu

pendek. Pendidikan nonformal fokus pada

pengetahuan dan keterampilan praktis

sementara sekolah sering fokus pada

informasi yang menunda aplikasi. Seluruh

pendidikan nonformal memiliki tingkat

struktur yang lebih rendah (oleh karena itu

lebih fleksibel) daripada sekolah. Menurut

Tight (1983:6) bahwa pendidikan

nonformal merupakan usaha pendidikan

yang disengaja yang dilaksanakan di luar

sistem persekolahan.

Paulston (dalam La Belle, 1976:12)

mengemukakan bahwa pendidikan

nonformal itu adalah aktivitas-aktivitas

pendidikan dan pelatihan di luar sekolah

yang terstruktur dan sistematis dalam

durasi yang relatif pendek yang disponsori

oleh para agen untuk terjadinya perubahan

perilaku yang konkret dalam penduduk

sasaran tertentu.. Ahli lain, Brembeck

(dalam La Belle, 1976:12) memberikan

definisi bahwa pendidikan nonformal itu

berkaitan dengan kegiatan-kegiatan belajar

yang terjadi di luar sistem pendidikan yang

diorganisir secara formal ... untuk

mendidik ke arah tujuan-tujuan khusus di

bawah sponsorsip baik orang (individu),

kelompok, maupun organisasi.. Pengertian

di luar sistem pendidikan formal adalah di

luar aturan-aturan sebagaimana berlaku di

formal (sekolah). Pendidikan informal,

termasuk pendidikan non-formal,

keduanya berlangsung di luar sistem

pendidikan formal, tetapi pelaksanaannya

bisa berlangsung di sekolah (menggunakan

fasilitas atau media yang ada di sekolah).

UNESCO (1997:41) memberikan

definisi bahwa pendidikan nonformal

adalah setiap kegiatan pendidikan yang

diorganisir dan berkelanjutan yang tidak

berkaitan secara tepat pada definisi

pendidikan formal. Pendidikan nonformal

bisa terjadi baik di dalam maupun di luar

lembaga-lembaga pendidikan, dan

melayani orang-orang semua usia.

Tergantung pada konteks negara, bisa

mencakup program-program pendidikan

termasuk melek hurup orang dewasa,

pendidikan dasar untuk anak-anak di luar

sekolah, keterampilan kehidupan (life-

skills), keterampilan kerja (work-skills),

dan kebudayaan umum. Program

pendidikan nonformal tidak perlu

mengikuti sistem ―tangga‖, dan bisa

memiliki durasi yang berbeda, dan bisa

atau tidak bisa memperoleh sertifikat dari

belajar yang dicapai.

Pendidikan nonformal yang inovatif

memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Program pendidikan nonformal

muncul sebagai inovasi untuk

memecahkan masalah yang

menekan dalam masyarakat

tertentu.

2) Tujuan pendidikan nonformal

diorientasikan bukan untuk

memperoleh sertifikat.

3) Pendidikan nonformal menekankan

pada pemecahan masalah-masalah

khusus daripada belajar mata

pelajaran yang abstrak.

4) Pendidikan nonformal membantu

memprakarsai sebuah program atau

proyek setelah fase eksperimental.

5) Pendidikan nonformal fleksibel,

berpusat pada peserta didik, dan

partisipatori.

6) Pendidikan nonformal lebih praktis

daripada teoritis.

Page 58: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

57 | P a g e

7) Otonom pada tingkat program dan

kesempatan yang kurang dari

kontrol luar.

8) Lebih bersifat ekonomis karena

menggunakan fasilitas yang ada.

9) Pendidikan nonformal berlangsung

sepanjang proses kehidupan.

Combs & Ahmed (1973:233-234)

mengetengahkan ada beberapa sifat atau

karakteristik pendidikan nonformal, yakni

sebagai berikut:

1) Keluwesan (fleksibilitas) untuk

disesuaikan dengan kebutuhan

khusus setempat, serta dalam

mengubah-menyesuaikan kondisi

dan kesempatan dalam memilih

mata-pelajaran serta memilih cara

mengajarnya dan dalam

mengadakan kombinasi pelajaran

teori dan latihan praktis.

2) Keleluasan untuk disesuaikan

dengan keperluan anak-didik,

misalnya dengan mengatur

pengajaran sambilan yang

disesuaikan dengan tugas pada

tempat bekerja atau dalam kalangan

keluarga, dan dengan menyusun

satuan-satuan pelajaran yang

tertentu yang boleh dipelajari dan

diselesaikan oleh masing-masing

siswa dalam jangka masa dan pada

waktu yang lebih cocok –

memungkinkan mereka masuk-

keluar berganti-ganti ke dalam

proses pengajaran, sesuai dengan

kehendak dan kesempatan masing-

masing.

3) Kemampuan untuk memanfaatkan

tenaga ahli, fasilitas dan dukungan

masyarakat setempat – sementara

memupuk rasa turut-memiliki dan

turut-mengurus di kalangan

masyarakat bersangkutan –

sehingga antara lain diperoleh

kesempatan pendidikan yang lebih

mampu bertahan dalam segi

ekonominya (Combs & Ahmed,

1973:233-234).

Callaway dalam La Belle (1973:18)

mengemukakan sifat umum pendidikan

nonformal dengan memberikan garis besar

karakteristik pendidikan nonformal sebagai

berikut: Program-program pendidikan

nonformal pada umumnya:

1) Merupakan pelengkap pendidikan

formal.

2) Beragam dalam hal organisasi,

sponsor, dan metode-metode

pembelajaran.

3) Suka rela dan mencakup rentangan

usia, latar belakang, dan kepetingan

kepentingan yang luas.

4) Tidak mengarah pada perolehan

kredensial atau diploma.

5) Ada di mana para peserta didik

tinggal dan bekerja, dan (6) lentur

(fleksibel) dan dapat disesuaikan

(adaptable) dalam hal waktu, lama,

dan tujuan.

Menurut O.P. Dahama dan O.P. Bhatnagar

(1981:6) bahwa pendidikan nonformal itu

memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Fleksibel.

2) Berorientasi pada kehidupan,

lingkungan, dan peserta didik.

3) Beragam dalam isi dan metode.

4) Tidak otoriter.

5) Dibangun berdasarkan partisipasi

peserta didik.

6) Memobilisir sumber-sumber lokal.

7) Memperkaya potensi manusia dan

lingkungan.

Berdasarkan karakteristik pendidikan

non-formal sebagaimana diuraikan di atas

maka peningkata profesionalisme aparatur

pemerintah lebih efisien dan efektif

dilakukan melalui jalur pendidikan non-

formal karena memungkinkan untuk

memilih jenis kegiatan sebagaimana yang

dibutuhkan oleh para pelayan publik

berbasis latar belakang tugas dan wilayah

yang karakteristik persoalan dan

kulturalnya beragam. Melalui jalur

pendidikan non-formal maka program

kegiatan (pendidikan atau pelatihan) dapat

dilaksanakan secara singkat sehingga

hasilnya dapat langsung diterapkan dalam

melaksanakan tugas pelayanan publik.

Selain itu umumnya biaya

pendidikan/pelatihan relatif murah

sehingga tidak menuntut anggaran yang

Page 59: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

58 | P a g e

besar jika dilaksanakan dalam skala

nasional maupun regional.

5. Pelayanan Publik Prima dan

Memuaskan

Kepuasan pelayanan publik hingga

sekarang masih jauh dari harapan.

Walaupun pada sebagian layanan publik

berjalan dengan baik, tetapi layanan pada

bidang-bidang lainnya masih sangat

mengecewakan. Perlakuan oknum aparatur

negara pada masyarakat yang

membutuhkan layanan publik masih terus

menggejalan dengan mengecewakan,

bahkan menyakitkan. Pelayanan publik

yang tidak baik merupakan faktor kendala

bagi upaya mewujudkan kepemerintahan

baik baik (good governance). Sebenarnya

para aparutur harus menunjukkan

pelayanan yang baik atau pelayanan prima

sebagai perwujudan keteladanan yang baik.

Pelayanan publik merupakan suatu

kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pemerintah. Sebagaimana dikemukakan

oleh Sinambela (2006:5) bahwa Pelayanan

publik adalah pemenuhan keinginan dan

kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara

Negara. Negara didirikan oleh publik

(masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar

dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pada hakikatnya Negara

dalam hal ini pemerintah (birokrat)

haruslah dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini

bukanlah kebutuhan secara individual akan

tetapi berbagai kebutuhan sesungguhnya

diharapkan masyarakat, misalnya

kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan

lain-lain (Sinambela, 2006:5).

Pelayanan publik yang memuaskan

adalah pelayanan yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan dilaksanakan

dengan penuh nilai kemanusiaan. Dilihat

dari sudut pandang teori kualitas pelayanan

jasa, bahwa terdapat lima faktor utama

yang menentukan kualitas pelayanan jasa

sekaligus sebagai ukuran di dalam melihat

kualitas jasa yang dipersepsikan konsumen

yaitu: 1) Wujud atau bukti langsung

(tangibility), yaitu dimensi yang mengukur

aspek fisik dari suatu layanan, antara lain

kelengkapan fasilitas fisik, peralatan, dan

tampilan para karyawan. 2) Keandalan

(reliability), yaitu dimensi yang mengukur

kehandalan suatu layanan, berupa seberapa

besar keakuratan perusahaan dalam

memberi layanan, pemenuhan janji

karyawan. 3) Koresponsifan atau daya

tanggap (responsiveness), yaitu dimensi

yang mengukur kecepatan layanan kepada

pelanggan. 4) Keyakinan atau jaminan

(assurance), yaitu dimensi yang mengukur

kemampuan perusahaan (khususnya para

staf) untuk menanamkan rasa percaya dan

keyakinan kepada para pelanggannya. 5)

Empati (empathy), yaitu dimensi yang

mengukur kemampuan produsen

(khususnya para staf) dalam mengetahui

kebutuhan para pelanggan secara pribadi

(Parasuraman, Zeithaml, dan Bary dalam

Tjiptono, 2000:72). Kemudian secara

spesifik tentang pelayanan publik yang

berorientasi pada kualitas pelayanan

tercermin dari: a Tranparansi, pelanggan

yang bersifat terbuka, mudah dan dapat

diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara

memadai serta mudah dimengerti; b

Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat

dipertanggungjawaban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

c Kondisional, yakni pelayanan yang

sesuai dengan kondisi dan kemampuan

pemberi dan penerima pelayaan dengan

tetap perpegang pada prinsip efisiensi dan

efektifitas; d Partisipatif, yakni pelayanan

yang dapat mendorong peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dengan memperhatikan

aspirasi, kebutuhan dan harapan

masyarakat; e Kesamaan hak, yaitu

pelayanan yang tidak melakukan

diskriminasi dilihat dari aspek apa pun

khususnya suku, ras, agama, golongan,

status sosial, dan lain-lain; f Keseimbangan

hak dan kewajiban, yakni pelayanan yang

mempertimbangkan aspek keadilan antara

pemberi dan penerima pelayanan publik

(Sinambela, 2006:6).

Kepuasan pelanggan dalam konteks

pelayanan publik yang prima antara lain

meliputi: 1) Selalu meningkatkan kualitas

Page 60: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

59 | P a g e

pelayanan kepada masyarakat dengan

memperhatikan aspek-aspek : komunikasi

yang baik, suasana psikologis dan perilaku

melayani. 2) Selalu berupaya menciptakan

citra positif dimata masyarakat yang

dilayani. 3) Membuat pihak yang dilayani

merasa diperhatikan. 4) Menyeleraskan

antara apa yang dikatakan dengan cara

mengatakanya dan dengan perbuatan yang

nyata. 5) Mengenal dengan baik pihak-

pihak yang dilayani (Ibrahim, 2008:71).

Singkatnya bahwa kepuasan publik

terhadap layanan yang diterima apabila

kebutuhan dan harga diri mereka

diperhatikan. Pelayan publik harus

mengenal publik yang dilayani dengan

baik dan memperlakukan mereka dengan

baik pula. Apa yang dikatakan harus sesuai

dengan tindakannya sehingga citra pelayan

publik menjadi baik. Kepercayaan publik

terhadap pelayan publik sangat penting

untuk memberikan kepuasan pada publik.

Mewujudkan pelayanan publik yang

prima dan memuaskan memerlukan suatu

proses, yakni apa yang disebutkan

pembelajaran atau pendidikan dan

pelatihan, khususnya bagi para aparatur

pemerintah sebagai pelayan publik.

Pendidikan dan pelatihan yang diperlukan

dalam konteks in servive training adalah

jenis pendidikan yang relatif fleksibel

dalam konten dan sistemnya serta

berlangsung singkat karena ingin segera

diterapkan dalam prores pelaksanaan

pelayanan publik. Jenis pendidikan yang

lebih cocok untuk kepentingan

peningkatan profesionalisme para aparatur

tersebut adalah pendidikan non-formal.

6. Peningkatan Profesionalisme Pelayan

Publik melalui Pendidikan Non-formal

Para pelayan publik (aparatur

pemerintah) posisinya adalah bekerja di

mana mereka melaksanakan tugas sesuai

dengan jam kerja sebagai pegawai

(aparatur) pemerintah. Mereka setiap hari

telah disibukkan dengan kebawajiban

melayani publik setiap hari secara rutin

dan sepanjang hari kerja. Artinya bahwa

para aparatur itu waktu yang dimiliki untuk

belajar sangat terbatas. Padahal setiap saat

atau dalam saat-saat tertentu yang tidak

diprediksi sebelumnya terjadi perubahan-

perubahan atau perbaikan atau peningkatan

kinerja. Peningkatan kinerja pelayan publik

ini menjadi sebuah keharusan dan tidak

bisa ditawar lagi. Karena konsekuansinya

sangat besar terutama dalam hal

pemenuhan tuntutan publik yang semakin

kompleks dan maju. Mereka tidak

mungkin harus berhenti bekerja lalu ke

sekolah untuk memperoleh pengetahuan

baru dan pengalaman baru yang menjadi

tuntutan lapangan kerjanya dalam

memberikan pelayanan publik. Mereka

sangat mungkin untuk belajar atau berlatih

tetapi tidak meninggalkan pekerjannya.

Dengan demikian bahwa pelayanan

pendidikan yang bisa memenuhi kebutuhan

pendidikan bagi para pelayan publik adalah

pendidikan non-formal.

Ada beberapa langkah dalam

melaksanakan program peningkatan

profesionalisme pelayan publik melalui

pendidikan non-formal.

Pertama, identifikasi persoalan atau

kebutuhan yang sedang terjadi di

masyarakat, termasuk keterbatasan-

keterbatasan kemampuan yang terdapat

pada pra pelayan publik. Termasuk dalam

langkah pertama ini adalah identifikasi

sumber-sumber potensi baik potensi

manusia dan non-manusia yang dapat

dimanfaatkan dalam proses pelaksanaan

program.

Kedua, mengidentifikasi alternatif-

alternatif jenis program yang

memungkinkan untuk dilaksanakan dalam

rangka peningkatan kualitas

profesionalisme pelayan publik.

Ketiga, menetapkan prioritas

program yang lebih mungkin untuk

dilaksanaka berdasarkan pertimbanga-

pertimbangan tertentu, seperti sumber

potensi manusia sebagai pelatihnya,

fasilitas dan sarana/prasarana yang

diperlukan selama pelatihan, biaya yang

tersedia untuk kepentingan

pendidikan/pelatihan. Dalam sistem

pendidikan non-formap bahwa tempat

kegiatan adalah di mana saja asal program

dapat berjalan dengan efisien dan efektif,

Page 61: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

60 | P a g e

dan tidak harus mahal dan mewah. Selain

itu bahwa pelaksanaan pelatihan bisa

memanfaatkan sumber lokal yang tersedia

di masyarakat. Tentang pelatih sebaiknya

diambil dari diantara kolega yang lebih

berpengalaman dan berkemampuan lebih

diantara mereka. Sehingga pada satu sisi

dapat lebih mengefektifkan pelaksanaan

kegiatan karena yang melatih teman

sejawat di mana dimungkinkan untuk

terjadinya interaksi dan kounikasi yang

lebih lancar. Dan pada sisi lain bahwa

pelatih dari kolega sendiri akan lebih

meningkatkan kemampuannya dalam

melaksanakan tugas karena pada dasarnya

melatih berarti juga belajar kembali.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut

adalah penting untuk pelaksanaan

pelatihan berbasis pendidikan non-formal.

Keempat, adalah pelaksanaan

program kegiatan (pendidikan/pelatihan).

Selama proses pelaksanaan (implementasi)

program ini perlu dilakukan pengawasan

secara terprogram sehingga pelaksaan

kegiatan berjalan sebagaimana diharapkan.

Dengan pengawasan akan dapat

diminimalkan penyimpangan dalam

pelaksanaan program. Seperti, dalam

rencana pelatihan adalah dua hari, tetapi

dalam pelaksanaannya hanya satu hari

diukur dari jam pelatihan, tetapi dua hari

dilihat dari harinya. Misalnya, program

pelatihan dengan lama waktu dua hari

sabtu dan minggu, program dimulai hari

sabtu pukul 13.00 wib kemudian ditutup

minggu pukul 12.00 wib. Dengan demikian

ada pemangkasan penggunaan dana secara

illegal dengan hanya membayar hotel

tempat pelaksanaan kegiatan satu hari,

namum dalam laporannya dua hari. Yang

dirugikan adalah publik sebagai penerima

layanan pelatihan. Negara pun termasuk

dirugikan.

Kelima, evaluasi. Yakni setiap akhir

pelaksanaan kegiatan peningkatan

profesionalisme pelayan publik berupa

pendidikan atau pelatihan hendaknya

dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Ini

penting untuk melihat efisiensi dan

efektifitas pelaksanaan program kegiatan.

Lebih dari itu adalah untuk mengetahui

peyimpangan-penyimpangan secara

menyeluruh dalam pelaksanaan kegiatan.

Program pendidikan dan pelatihan (diklat)

ini merupakan salah satu peluang

terjadinya penyimpangan perilaku pelayan

publik, yakni terjadinya korupsi.

Keenam, tindak lanjut (follow-up).

Berakhirnya pelaksanaan pelatihan bukan

berarti berakhirlah program peningkatan

profesionalisme pelayan publik. Program

ini bukan hanya yang penting adalah

proyek selesai dilakukan, tetapi hasil

pelatihan itu harus betul-betul dicermati

dan dilakukan langkah-langkah lanjutan

sehingga mereka yag sudah mengikuti

pelatihan betul-betul mengmplementasikan

hasil pelatihannya dalam melaksanakan

tugas pelayanan publik dengan tujuan

untuk memberikan pelayanan publik yang

memuaskan masyarakat penerima

pelayanan.

Program pendidikan dan pelatihan

pelayan publik dengan prosedur di atas

tidak mungkin dilaksanakan melalui jalur

pendidikan formal (sekolah). Namun ini

tidak berarti bahwa jalur pendidikan formal

tidak perlu dipertimbangka. Bagi mereka

yang ingin belajar lebih profesional lagi

dan siap mengikuti program dalam waktu

yang relatif lama, maka pendidikan formal

seperti studi lanjut di perguruan tinggi bisa

menjadi alternmatif pilihan dengan segala

konsekuensinya. Namun kalau persoalan

yang dihadapi di masyarakat ada

memerlukan pemecahan secara cepat

dengan kemampuan baru yang harus

dimiliki oleh para pelayan publik, maka

pendidikan non-formal menjadi alternatif

terbaik.

7. Simpulan

Profesionalisme pelayan publik

semakin lama semakin menuntut adanya

peningkatan kualitas sejalan dengan

semakin berkembangnya demokrasi dan

tuntutan publik yang terus berkembang.

Secara konseptual bahwa pekerjaan

profesional itu salah satu karakteristiknya

adalah adanya pengembangan atau

peningkatan profesi secara terus menerus

seirama dengan perkembangan ilmu dan

Page 62: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

61 | P a g e

teknologi. Secara faktual juga bahwa

publik semakin sadar akan hak sebagai

warga negara (publik) untuk memperoleh

pelayanan yang prima (smart).

Pelayanan publik yang baik atau

berkualitas adalah pelayanan yang betul-

betul memuaskan bagi masyarakat yang

berhak mendapatkan pelayanan.

Kemampuan untuk memberikan pelayanan

publik yang baik menuntut pelayan publik

(paratur pemerintah) untuk secara terus

menerus meningkatkan kualitas profesinya

dengan cara terus belajar baik melalui

pendidikan maupun pelatihan. Oleh karena

kemampuan pelayan publik adalah

diharapkan dengan segera untuk

diimplementasikan maka kemampuan itu

hanya bisa didapat khususnya melalui jalur

pendidikan non-formal karena pendidikan

non-formal lebih fleksibel dan berjangka

pendek masa yang dibutuhkan untuk

menguasai pengetahuan baru maupun

keterampilan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Combs & Ahmed. 1973. Memerangi

Kemiskinan di Pedesaan Melalui

Pendidikan Non-formal. Jakarta:

Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Dahama, O.P. & O.P. Bhatnagar. 1980.

Education and Communication for

Development. New Delhi: Oxford &

IBH Publishing Co.

Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep

Pelayanan Publik Serta

Implementasinya. Bandung: Mandar

Maju.

Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R. & Tiapula,

F.T.S. 1973. ‖Toward a Contextual

Detinition of Nonformal Education.‖

Nonformal Education Discussion

Papers. East Lansing, MI: Michigan

State University.

La Belle, Thomas J. 1976. Nonformal

Education and Social Change in

Latin America. Los Angeles: UCLA

Latin America Center Publications,

University of California.

Sedarmayanti. 2004. Good Governance

(Kepemerintahan yang Baik). Bagian

Kedua. Bandung: Mandar Maju.

Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006.

Reformasi Pelayanan Publik (Teori

Kebijakan Dan Implementasi).

Jakarta : Bumi Aksara.

Tjiptono, Fandy. 2000. Total Quality

Mananagement. Yogyakarta: Andi

Offset.

Page 63: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

62 | P a g e

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN

TERHADAP KEPUASAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MALANG

(Study di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu kabupaten Malang )

Oleh

Bambang Suryanto

Program Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang

Abstrak Dalam pemerintahan yang mempunyai otonomi bahwa pelayanan publik juga

menjadi isu strategis yang bermakna politis, karena menyangkut, bagaimana pola

hubungan kekuasaan dijalankan dalam memenuhi kebutuhan dasar

masyarakatnya. Artinya bahwa kualitas pelayanan publik juga dapat

menggambarkan bagaimana political will penguasa (pemerintah) dalam

memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya penelitian ini adalah

untuk mengetahui lebih dalam tentang tingkat kualitas pelayanan yang telah di

jalankan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam rangka

memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan perizinan.

Dalam penelitian ini rumusan masalah yang disampaikan adalah: 1)

Bagaimanakah kualitas layanan UPT Perizinan dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat pengguna jasa layanan; 2) Faktor-faktor apa saja yang

berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan; serta 3) Langkah-langkah

apa yang diambil oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja

pelayanan.Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui seberapa jauh

kualitas layanan Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Kabupaten Malang dalam

memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat; 2) Untuk mengetahui faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan Kabupaten

Malang; dan 3) Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Unit

Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam meningkatkan kinerja

pelayanan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif yang didesain dengan model studi kasus. Sumber data (subyek

penelitian) dalah informan kunci yang ditentukan berdasarkan tujuan-tujuan

tertentu sesuai dengan kebutuhan, dengan memilih sampel yang menguasai

permasalahan, memiliki data dan bersedia untuk memberikan data. Teknik

pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan analisa terhadap dokumen.

Untuk analisa data menggunakan prosedur reduksi data, penyajian data, menarik

kesimpulan/verifikasi. Sedangkan untuk melihat keabsahan data, digunakan teknik

derajat kepercayaan, keteralihan dan uji obyektivitas.Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: Pertama, Kualitas pelayanan perizinan yang dijalankan oleh

UPT Perizinan Kabupaten Malang dari dimensi Responsibilitas penyelenggaraan

pelayanan, responsiveness aparat penyedia layanan dan akuntabilitas terhadap

proses keseluruhan penyelengaraan perijinan sudah mengalami peningkatan yang

significant dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun masih terdapat

kekurangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedua: Faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan dari UPT Perizinan antara

lain meliputi: 1) kualitas sumber daya manusia; 2) sarana dan prasarana yang

Page 64: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

63 | P a g e

tersedia guna penunjang operasional; 3) bentuk kelembagaan dari UPT Perizinan;

4) wilayah Kabupaten Malang yang luas sehingga menyebabkan daya jangkau

UPT Perizinan relatif besar; dan Data subyek dan obyek perizinan yang belum

terpetakan sebagai potensi perizinan daerah. Ketiga: Langkah-langkah yang

dilakukan oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan,

dimana terdapat beberapa langkah prioritas yang bisa dilakukan oleh UPT

Perizinan guna peningkatan pelayanan perizinan dengan menciptakan pola

kegiatan pelayanan perizinan yang memberikan kemudahan dan biaya murah

kepada masyarakat; 1) Melakukan penyesuaian dan penyempurnaan sistem dan

prosedur pelayanan perizinan yang berlaku sesuai dengan tuntutan kondisi saat

ini; 2) Menambah jumlah kendaraan operasional; 3) Memanfaatkan jaringan

elektronik/media untuk publikasi layanan; 3) Perlu adanya penataan arsip yang

memadai; 4) Meningkatkan koordinasi aparat desa/kelurahan dan kecamatan; 5)

Melakukan pendataan subyek dan obyek perizinan; 6) Melaksanakan sosialisasi

dan penyuluhan kepada aparatur kecamatan, desa/kelurahan baik secara langsung

maupun tidak; 7) Melakukan pemilihan dan penetapan terhadap wilayah tertentu

(kecamatan/desa/kelurahan) sebagai uji coba wilayah sadar perizinan; 8)

Merencanakan program pekan pelayanan izin di wilayah tertentu berdasar periode

tertentu; dan 9) Perlu diajukan payung hukum terkait pemberian pelayanan

perizinan di Kabupaten Malang dalam bentuk Peraturan Daerah. Dari hasil

obeservasi di lapangan, maka peneliti juga memberikan saran kepada Pemerintah

Kabupaten Malang bersama dengan DPRD Kabupaten Malang, diharapkan segera

membuat: 1) Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, agar masalah pelayanan

publik di Kabupaten Malang lebih optimal dan mempunyai landasan hukum; 2)

Peraturan Daerah tentang Investasi secara umum, agar iklim investasi di

Kabupaten Malang meningkat.

Kata Kunci: Kualitas Pelayanan

PENDAHULUAN

Dalam otonomi daerah ini,

menghadapi masyarakat ekonomi asean

pada tahun ini, Masalah kelemahan

layanan pemerintah kepada masyarakat

merupakan salah satu konsekwensi sifat

pertumbuhan pembangunan kota yang

cepat sejalan dengan pertumbuhan

ekonomi nasional yang pesat. Kenyataan

ketidakefektifan model layanan yang

disediakan pemerintah telah mendorong

berbagai upaya pembaharuan dan

percobaan untuk memobilisasi sumber-

sumber daya yang ada di masyarakat

menuju perubahan yang lebih baik.

Pelayanan publik tetap menjadi

topik menarik untuk dikaji oleh para ahli

dan pemerhati masalah administrasi publik.

Besarnya perhatian terhadap administrasi

publik ini disebabkan dua hal, yaitu:

Pertama, pada tataran teoritis, menguatnya

pendekatan ekologis sebagai pengganti

pendekatan non ekologis yang memandang

administrasi publik sebagai sosok yang

tidak bisa dipisahkan dan bahkan

berimpitan dengan persoalan politik,

sosial, ekonomi dan budaya. Kedua, pada

tatanan empiris yaitu menguatnya tuntutan

masyarakat akan pelayanan publik dan

merebaknya keinginan masyarakat untuk

melakukan reformasi pelayanan publik

sebagai akibat berbelit-belitnya pelayanan

publik (Zauhar, 2001:45).

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui

pelaksanaan pelayanan perizinan yang

berorientasi dan fokus pada kepuasan

pengguna layanan (masyarakat) yang

dilakukan pada kantor badan Perizinan

Kabupaten Malang .

Page 65: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

64 | P a g e

Sedangkan tujuan utama dari

penelitian ini sesuai dengan perumusan

masalah yang ditetapkan adalah sebagai

berikut:

(1) Untuk mengetahui seberapa jauh

kualitas layanan badan Pelayanan

Terpadu Perizinan Kabupaten

Malang

(2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kinerja

pelayanan

(3) Untuk mengetahui langkah-langkah

yang dilakukan oleh badan

Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang dalam

meningkatkan kinerja pelayanan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai hasil yang

dicapai setelah dilakukan penelitian secara

sempurna di lapangan, sehingga mampu

memberikan sumbangan secara ilmiah baik

bagi perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya pada kualitas pelayanan publik

di bidang perizinan sektor publik maupun

kebutuhan praktis bagi Pemerintah Daerah

(Kabupaten Malang) dalam menangani

permasalahan-permasalahan yang terjadi

dalam penyelenggaraan pelayanan publik

di bidang perizinan.

METODE Metode penelitian adalah

merupakan cara ilmiah yang digunakan

untukl mendapatkan data dengan tujuan

tertentu. Menurut Suriasumantri dalam

Sugiyono (1999:1) bahwa ―metode

penelitian adalah merupakan gabungan

antara pendekatan rasional dan empiris.

Pendekatan rasional memberikan kerangka

berpikir yang koheren dan logis.

Sedangkan pendekatan empiris

memberikan kerangka pengujian dalam

memastikan suatu kebenaran‖

Fokus Penelitian

Mengacu perumusan

permasalahan yang telah dirumuskan

dalam penelitian ini, maka fokus penelitian

dapat ditetapkan pada beberapa hal pokok,

Pertama, Kualitas pelayanan yang

dijalankan oleh badan Pelayanan Terpadu

Perizinan Kabupaten Malang, baik dari sisi

responsibilitas dalam proses

penyelenggaraan pelayanan, responsivitas

aparatur penyedia layanan dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat

pengguna jasa layanan, serta akuntabilitas

dalam proses penyelenggaraan pelayanan

perizinan. Kedua, faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kinerja pelayanan

perizinan di badan Pelayanan Terpadu

Perizinan. Hasil penelitian yang dilakukan

ada beberapa faktor yang berpengaruh

yang antara lain adalah keadaan Sumber

Daya Manusia/aparatur penyelenggara

layanan, keadaan sarana dan prasarana

operasional dalam menjalankan aktivitas

pelayanan, kelembagaan Unit Pelayanan

Terpadu Perizinan Kabupaten Malang,

daya jangkau pelayanan yang dilakukan

oleh UPT-P serta data subyek dan obyek

perizinan di Kabupaten Malang.

Ketiga, langkah-langkah yang

sekiranya dapat dilakukan oleh badan

Pelayanan Terpadu Perizinan dalam rangka

meningkatkan kinerja pelayanan kepada

masyarakat pengguna jasa di seluruh

wilayah Kabupaten Malang. Hal ini

dilakukan dengan analisa SWOT

sederhana terhadap kekuatan, kelemahan,

peluang dan tantangan yang dihadapi oleh

Unit Pelayanan Terpadu Perizinan

Kemudian fokus penelitian

tersebut kemudian dijabarkan ke dalam

beberapa sub fokus penelitian sebagai

berikut:

Pertama, Kualitas layanan perizinan badan

Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten

Malang, meliputi:

(1) Responsibility/Responsibilitas badan

Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang dalam

penyelenggaraan pelayanan perizinan

dimana dapat dilihat pada

keberadaan Standar Pelayanan

Publik UPT-P yang merupakan

Standar Operating Procedure (SOP)

sebagai standar baku yang harus

dilakukan oleh petugas/aparat dalam

memberikan pelayanan perizinan

Page 66: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

65 | P a g e

kepada masyarakat pengguna jasa

layanan. Di dalam SPP ini sendiri

juga telah dilengkapi dengan alur

pelayanan dan mekanisme pelayanan

secara jelas mengenai

berlangsungnya proses pelayanan

perizinan yang dijalankan.

(2) Responsiveness/daya

tanggap/responsivitas

aparatur/petugas pemberi layanan di

badan Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang sehingga dari sini

dapat dilihat seberapa jauh

responsivitas petugas layanan dalam

membantu masyarakat pengguna jasa

layanan yang membutuhkan

informasi, ataupun solusi terhadap

permasalahan yang dihadapi, serta

sejauh mana perilaku aparatur

pemberi layanan dalam melayani

pelanggan baik dari tingkat

kesopanan, keramahan dan

sebagainya.

(3) Accountability/Akuntabilitas badan

Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang dalam proses

penyelenggaraan pelayanan

perizinan, dimana hasil penelitian

dapat diketahui terhadap seberapa

jauh Unit Pelayanan Terpadu

Perizinan mendapatkan pengaduan

dari masyarakat pengguna jasa

pelayanan dikarenakan

ketidakpuasan masyarakat terhadap

layanan yang diberikan. Juga dapat

dilihat pada sejauh mana efektivitas

dan efisiensi Unit Pelayanan Terpadu

Perizinan Kabupaten Malang

menyelenggarakan kinerja

organisasinya mengelola kebijakan

dan program sebagaimana yang

tertuan di dalam Renstra dan visi-

misi UPT Perizinan serta pencapaian

target kegiatan terkait UPT Perizinan

sendiri adalah salah satu SKPD

penggali Pendapatan Asli Daerah

(PAD).

Kedua, Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja pelayanan Unit Pelayanan

Terpadu Perizinan Kabupaten Malang

dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat pengguna jasa layanan,

meliputi:

(1) Sumber daya manusia pada Unit

Pelayanan Terpadu Perizinan. Hal ini

meliputi kualitas SDM apakah telah

sesuai dengan kompetensi dan basis

keilmuan yang dimiliki, kuantitas

atau jumlah personil yang ada dalam

mendukung kinerja pelayanan Upt

Perizinan serta kompetensi

penempatan pegawai yang

dilaksanakan oleh Badan

Kepegawaian Daerah di masing-

masing SKPD sebagaimana juga

Unit Pelayanan Terpadu Perizinan.

(2) Sarana dan Prasarana Kerja yang

dimiliki oleh Unit Pelayanan

Terpadu perizinan dalam rangka

memberikan pelayanan kepada

masyarakat pengguna jasa layanan.

Hal ini dapat dilihat pada kondisi

gedung, ruang tunggu, sarana

operasional termasuk komputer dan

lain-lain serta kendaraan operasional

sebagai sarana penunjang dalam

kegiatan yang dilakukan oleh Unit

Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang.

(3) Kelembagaan Unit Pelayanan

Terpadu Perizinan, dalam hal ini

kelembagaan yang ada berbentuk

Unit layanan Terpadu yang dipimpin

oleh Sekretaris UPT-P sebagaimana

Permendagri nomor 20 Tahun 2008

sangat inkonsistensi mengingat

dipersyaratkan di Permendagri di

atas berbentuk Badan/Dinas.

(4) Daya jangkau pelayanan yang

diberikan oleh Unit Pelayanan

Terpadu Perizinan Kabupaten

Malang sangat luas dikarenakan

harus menjangkau seluruh wilayah

Kabupaten Malang yang terdiri atas

33 (tiga puluh tiga) Kecamatan dan

390 (tiga ratus sembilan puluh)

Desa/Kelurahan yang menjadi obyek

dan cakupan kerja Unit Pelayanan

Terpadu Perizinan Kabupaten

Malang.

(5) Subyek dan Obyek data perizinan

adalah prasyarat mutlak Unit

Page 67: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

66 | P a g e

Pelayanan Terpadu Perizinan agar

dapat memetakan seluruh potensi

perizinan yang ada di wilayah

Kabupaten Malang sehingga akan

diketahui kebijakan dan program

kerja yang akan dilaksanakan di

tahun-tahun berikutnya.

Ketiga, Langkah-langkah yang dilakukan

oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang dalam rangka

meningkatkan kinerja dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal

ini langkah-langkah yang sekiranya dapat

dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu

Perizinan Kabupaten Malang dapat

diketahui dengan melakukan analisa

SWOT

Lokasi penelitian

Adapun lokasi penelitian yang

dipilih adalah badan Pelayanan Terpadu

Perizinan Kabupaten Malang.

Sumber Data

Pada dasarnya penelitian

dilakukan adalah ingin mendapatkan data

yang obyektif, valid dan reliable

(Sugiyono, 1999:7). Sebagaimana halnya

menurut Arikunto (1998:99) ―data adalah

obyek penelitian, atau apa yang menjadi

titik perhatian suatu penelitian‖.

Sebagaimana juga pengertian data menurut

SK Menteri Pendidikan dan Keudayaan RI

Nomor: 0259/U/1977 bahwa data adalah

segala fakta dan angka yang dapat

dijadikan bahan untuk menyusun suatu

informasi, dan sedangkan informasi adalah

hasil pengolahan data yang dipakai sesuai

keperluan.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang

aktual dan akurat serta sesuai dengan

permasalahan dan fokus penelitian, maka

ada 3 (tiga) teknik pengumpulan yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Teknik observasi/pengamatan

langsung

Menurut Kerlinger dalam Arikunto

(1998:225) mengemukakan bahwa

―observasi adalah suatu istilah umum

yang mempunyai arti semua bentuk

penerimaan data yang dilakukan

dengan cara merekam kejadian,

menghitungnya, mengukurnya dan

mencatatnya‖.

(2) Teknik wawancara

Menurut pendapat Arikunto

(1998:145), “Interview yang sering

juga disebut kuesioner lisan adalah

sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara (interviewer) untuk

memperoleh informasi dari

terwawancara (interviewer). Teknik

dokumentasi

Keabsahan Data

Teknik yang digunakan dalam

melihat keabsahan data pada penelitian ini

adalah menguji kredibilitas data, caranya

dengan melakukan perpanjangan waktu di

lapangan, melakukan kecermatan/

ketekunan pengamatan. Pengecekan data

atau informasi diperoleh melalui

wawancara yang dilakukan kepada

Sekretaris UPT-P, Kabag TU UPT-P,

Administrator UPT-P dan masyarakat

pengguna jasa layanan. Dimane kemudian

hasil wawancara tersebut di cross check

melalui observasi/pengamatan bahkan

kepada masyarakat atau personil lainnya

yang dianggap relevan.

Teknik Analisis Data

Dalam penelitian deskriptif,

analisa data dilakukan sejak awal dan

sepanjang proses penelitian berlangsung.

Dalam penelitian ini, digunakan analisis

data dari Miles dan Huberman

sebagaimana dikutip Dhamayanti

(2010:68) dengan proses ―reduksi data,

penyajian data, menarik

kesimpulan/verifikasi‖ sebagai berikut:

(1) Reduksi Data

Data yang diperoleh di

lokasi penelitian (data lapangan)

dituangkan dalam uraian yang

lengkap dan terperinci. Laporan

lapangan oleh peneliti direduksi,

dirangkum, dipilih hal-hal yang

pokok, kemudian dicari tema atau

polanya, sehingga tersusun secara

Page 68: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

67 | P a g e

sistematis dan lebih mudah

pengendaliannya. Reduksi data

berlangsung terus menerus selama

proses penelitian berlangsung.

Dalam mereduksi data, peneliti

menulis semua data di lapangan

sekaligus menganalisanya.

(2) Penyajian Data

Penyajian data atau display

data dimaksudkan agar dapat

memudahkan bagi peneliti untuk

melihat gambaran secara

keseluruhan atau bagian-bagian

tertentu dari penelitian. Display

data dilakukan peneliti agar data

yang diperoleh yang banyak

jumlahnya tetap dapat dikuasai

dengan dipilah-pilah secara fisik

dan dapat dibuat dalam bagan.

Membuat display ini juga

merupakan bagian dari analisis

data.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Kabupaten Malang terletak antara

112° 17° - 122

° 57' bujur timur dan 7

° 44° -

8° 26° lintang selatan. Dengan luas wilayah

3.534,86 km2 atau 353.486 ha, Kabupaten

Malang adalah salah satu, Kabupaten di

Indonesia yang teletak di Propinsi Jawa

Timur (untuk Propinsi Jawa Timur

Kabupaten Malang mempunyai wilayah

terluas kedua setelah Kabupaten

Banyuwangi),

Fokus Data Penelitian

Kualitas Layanan Badan Perizinan

Kabupaten Malang

(a) Responsibilitas Proses

Penyelenggaraan Layanan

Perizinan

Untuk mendukung

operasionalisasi Badan Perizinan yang

telah dibentuk ini, maka hal pertama yang

dilakukan adalah menempatkan petugas

dari tiap-tiap UPTD (SKPD terkait), yang

memiliki kewenangan terhadap perizinan.

Sehingga, meski secara administrasi dan

prosesnya telah dilakukan oleh UPT

Perizinan, tetapi masing-masing UPTD

SKPD terkait masih tetap berkewajiban

mengawasi secara teknis terkait 5 (lima)

perizinan tersebut.

(b) Persyaratan Pelayanan

1) Mengisi Blanko Permohonan.

2) Syarat Administrasi

(1) Foto Copy Kartu Tanda

Penduduk (KTP)

(2) Nomor Pokok Wajib Pajak

(NMP)l Daerah

(NPWPD);

(3) Surat Pernyataan Para

Tetangga (diketahui Lurah

1 Camat)

(4) Bukti Penguasaan Lahan

Atau Sertipikat Tanah ;

(5) Surat Pemberitahuan Pajak

Terhutang (SPPT)

Terakhir 1 Tanda Lunas

PBB.

3) Syarat Teknis

(1) Proposal Rencana Usaha

yang dimohonkan

(kegiatan usaha);

(2) Lay Out Bangunan

(3) Peta Lokasi

Catatan:

- Apabila diurus orang lain

(bukan pemohon), dilampiri

Surat Kuasa pengurusan

IPPT;

(c) Besarnya tarif 1 biaya

pelayanan dan cara

pembayarannya

Besamya retribusi IPPT

ditetapkan sebagai berikut:

1) Lokasi Industri : Rp. 50,- per

meter persegi

2) Lokasi Perumahan : Rp. 25,-

per meter persegi

(d) Waktu penyelesaian pelayanan

- 12 (duabelas) hari kerja,

maksimal 14 (empat belas) hari

kerja

(e) Spesifikasi Produk 1 hasif

pelayanan

- Surat Izin Peruntukkan

Penggunaan Tanah

Page 69: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

68 | P a g e

(f) Kompetensi petugas yang

terlibat dalam proses

pemberian / penyelesaian

pelayanan

- Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah

- Dinas Cipta Karya dan Tata

Ruang

(g) Pemberian Kompensasi kepada

penerima pelayanan publik atas

adanya ketidaksesualan

pelayanan (nihil)

KESIMPULAN

Hasil akhir dari penelitian tentang

Kualitas Pelayanan Perizinan di Kabupaten

Malang, dapat disimpulkan sebagai berikut

:

(1) Pelayan Perijinan yang djalankan oleh

Unit Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang telah memenuhi

standar kualitas pelayanan yang baik,

baik dari sisi: 1) Responsibilitas terkait

kesederhanaan pelayanan, standar

prosedur serta kepastian akan waktu

dan biaya, 2) responsiveness/daya

tanggap dan perilaku aparat yang

santun dan ramah serta keinginan

membantu masyarakat pengguna jasa

layanan; dan 3) akuntabilitas dari

seluruh proses penyelenggaraan

pelayanan perizinan. Hal ini

dibuktikan dengan telah adanya

instrumen-instrumen yang

menunjukkan telah berjalannya

(2) Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja pelayanan Unit

Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang antara lain adalah:

(a) Kualitas Sumber Daya Manusia

penyedia layanan. Dalam hal ini

kualitas SDM yang sesuai dengen

kompetensi, keterampilan serta

basis keilmuan yang sesuai, akan

sangat menentukan keberhasilan

UPT Perizinan. Selain itu juga

penempatan SDM yang dilakukan

oleh Badan Kepegawaian Daerah

masih dirasakan jauh dari analisa

kebutuhan pegawai yang sesuai

dengan standar kompetensinya

sehingga keberadaan pegawai

aparatur pemberi layanan masih

dirasakan jauh dari harapan, baik

dari sisi kualitas maupun

kuantitas.

(b) Sarana dan prasarana yang

terdapat di UPT perizinan masih

dirasakan belum memadai dalam

mendukung operasionalisasi

kegiatan yang dilakukan dalam

pemberian pelayanan perizinan

kepada seluruh masyarakat

pengguna jasa di Kabupaten

Malang, mengingat jangkauan

wilayah kerja UPT Perizinan yang

luas. Sehingga berpengaruh

terhadap kinerja dari UPT

Perizinan Kabupaten.

(c) Terjadinya inkonsistensi

Kelembagaan UPT Perizinan

berdasarkan Perda nomor 1 Tahun

2008 dan Permendagri Nomor 20

Tahun 2008 tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelayanan Perizinan Terpadu di

Daerah, sehingga hal ini juga

sangat berpengaruh terhadap

gerak langkah UPT Perizinan

Kabupaten Malang dalam

meningkatkan kinerja pelayanan.

(d) Belum terpetakannya potensi

obyek dan subyek perizinan di

wilayah Kabupaten Malang

menyebabkan kebijakan yang

nantinya akan di ambil oleh

Pemerintah kabupaten Malang

menyebabkan kecenderungan

tidak akan tepat sasaran dan

berimplikasi luas terhadap

peningkatan kinerja pelayanan

perizinan kepada masyarakat

pengguna jasa layanan dan iklim

investasi di Kabupaten Malang.

(3) Langkah-langkah yang dapat dilakukan

oleh Unit Pelayanan Terpadu

Perizinan dalam rangka meningkatkan

kinerja pelayanannya setelah

dilakukan analisa terhadap kekuatan,

kelemahan, peluang dan tantangan

yang ada melalui analisa SWOTR

sederhana antara lain sebagai berikut:

Page 70: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

69 | P a g e

(a) Menciptakan pola kegiatan

pelayanan perizinan yang

memberikan kemudahan dan

biaya murah kepada masyarakat;

(b) Melakukan penyesuaian dan

penyempurnaan sistem dan

prosedur pelayanan perizinan

yang berlaku sesuai dengan

tuntutan kondisi saat ini;

(c) Menambah jumlah kendaraan

operasional;

(d) Memanfaatkan jaringan

elektronik/media untuk publikasi

layanan;

(e) Perlu adanya penataan arsip

yang memadai;

(f) Meningkatkan koordinasi aparat

desa/kelurahan dan kecamatan;

(g) Melakukan pendataan subyek

dan obyek perizinan;

(h) Melaksanakan sosialisasi dan

penyuluhan kepada aparatur

kecamatan, desa/kelurahan baik

secara langsung maupun tidak;

(i) Melakukan pemilihan dan

penetapan terhadap wilayah

tertentu

(kecamatan/desa/kelurahan)

sebagai uji coba wilayah sadar

perizinan;

(j) Merencanakan program pekan

pelayanan izin di wilayah

tertentu berdasar periode

tertentu; dan

(k) Perlu diajukan payung hukum

terkait pemberian pelayanan

perizinan di Kabupaten Malang

dalam bentuk Peraturan Daerah..

Saran

Dengan demikian, dikaitkan

dengan kesimpulan di atas sebagaimana

manfaat yang diinginkan dari diadakannya

penelitian ini, maka perlu dibentuk saran

yang bersifat rekomendasi baik dari sisi

akademis maupun praktis agar dapat

diterapkan oleh UPT Perizinan dalam hal

peningkatan kualitas pelayanan perizinan.

Saran-saran tersebut yaitu :

(1) UPT Perizinan melalui SDM yang

dimiliki, perlu membuat inovasi

dengan penemuan-penemuan baru,

salah satu peluang yang dapat

dikembangkan adalah penyediaan

jasa-jasa pelayanan ke dalam beberapa

alternatif kegiatan. Sebagai contoh

sederhana pelayanan yang bersifat

kompleks dikenakan biaya agak

mahal, sementara jasa pelayanan

standar dikenakan biaya atau tarif

yang standar pula.

(2) Dari hasil obeservasi di lapangan,

maka peneliti juga memberikan saran

kepada Pemerintah Kabupaten Malang

bersama dengan DPRD Kabupaten

Malang, diharapkan segera membuat :

(a) Peraturan Daerah tentang

Pelayanan Publik yang

didalamnya mengikat seluruh

bentuk pelayanan perizinan yang

ada, agar masalah pelayanan

publik di Kabupaten Malang lebih

optimal dan mempunyai landasan

hukum yang jelas dikarenakan

tidak diatur dalam berbagai

macam Peraturan Daerah;

(b) Peraturan Daerah tentang

Investasi secara umum, agar iklim

investasi di Kabupaten Malang

dapat segera untuk ditingkatkan.

(3) Berdasarkan pasal Undang-undang

Nomor 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik, Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007

tentang Pembentukan Organisasi

Perangkat Daerah, Permendagri

Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja

Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di

Daerah, setelah dilakukan pengamatan

secara mendalam, maka penulis juga

memberikan saran yang bersifat

rekomendasi yaitu mengevaluasi

kembali bentuk kelembagaan UPT

Perizinan menjadi Dinas Perizinan

ataupun Lembaga Teknis Daerah

berbentuk Badan yang khusus

mengelola berbagai macam perizinan

yang tersebar di seluruh Satuan Kerja

Perangkat Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 71: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

70 | P a g e

Albrow, Martin, 2007, Birokrasi, Cetakan

keempat, Tiara Wacana,Yogyakarta.

Arikunto, Suharsini, 1998, Prosedur

Penelitian (Suatu pendekatan

praktek), Cetakan kesebelas, PT

Rineka Cipta, Jakarta.

Dirjen Pemerintahan Umum, 2004, Modul

Pengembangan Kelembagaan

Pelayanan Terpadu satu Atap, Jakarta

Dwiyanto, Agus, dkk, 2008, Reformasi

Birokrasi Publik di Indonesia,

Cetakan kedua, Gadjah mada

University Press, Yogyakarta.

Dhamayanti, Fajar, 2010, Upaya dan

pengembangan SDM di Lembaga

Unit Pelayanan Terpadu Perizinan

Kabupaten Malang dalam Rangka

Meningkatkan Pelayanan Publik.

Malang, h:189-191.

Frederickson H. George, 1988,

Administrasi Negara Baru, Cetakan

ketiga, LP3ES, Jakarta.

Indradi, Sjamsiar Sjamsudin, 2007, Etika

Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor

Publik, CV. Sofa Mandiri, Malang.

Islamy, Irfan, 1992, Prinsip-Prinsip

Perumusan Kebijakan Negara, Bina

Aksara, Jakarta

Lindawati, Rita Dwi. 2011. Modul

Pengembangan Karakter

Kementerian Keuangan Republik

Indonesia. Pusdiklat Bea dan Cukai.

Muluk, M.R. Khairul, 2005, Desentralisasi

dan Pemerintahan Daerah, Cetakan

kedua, Bayu Media, Malang.

Moleong, J Lexy, 2008, Metodologi

Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi,

Rosdakarya, Bandung.

Nasution, 2004, Manajemen Jasa Terpadu

(Total Service Manajemen), Ghalia

Indonesia, Bogor.

Nasucha, Chaizi, 2004, Reformasi

Administrasi Publik, Teori dan

Praktik, PT Grasindo, Jakarta.

Osborne David & Gaebler Ted, 1995,

Mewirausahakan Birokrasi, Edisi 1,

PPM & Pustaka Binaman Pressindo,

Jakarta

Putra, Fadillah dkk, 2001, Kapitalisme

Birokrasi, Kritik Reinventing

Government Osborne-Gaebler, LkiS

& PusPeK Averroes, Malang.

Pasolong, Harbani, 2008, Teori

Administrasi Publik, Alfabeta,

bandung.

Riant D. Nugroho, 2002, Analisis

Kebijakan, PT Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia,

Jakarta.

Sedarmayanti, 2009, Reformasi

Administrasi Publik, Reformasi

Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa

Depan (Mewujudkan pelayanan

prima dan kepemerintahan yang

baik), Refika Aditama, Bandung.

Sinambela, Lijan Poltak dkk, 2008,

Reformasi Pelayanan Publik: Teori,

Kebijakan & Implementasi, Cetakan

Ketiga, Bumi Aksara, Jakarta.

Suryabrata, Sumadi, 2010, Metodologi

Penelitian, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Sugiyono, 1998, Metode Penelitian

Administrasi, Cetakan kelima,

Alfabeta, Bandung.

Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta

Manajemen Pemerintahan Daerah,

Alqaprint Jatinangor, Sumedang.

Zauhar, Susilo, 2001. Reformasi

Administrasi: Konsep, Dimensi,

Strategi, Bumi Aksara, Jakarta

Page 72: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

71 | P a g e

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NO 4 TAHUN 2011

TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DI KAB. PASURUAN (STUDI KASUS

DI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KAB. PASURUAN)

Oleh

Abdul Karim, Maskuri,Slamet Muchsin

Program Studi Magister Ilmu Administrasi,Program Pascasarjana,

Universitas Islam Malang

Abstrak

Penanggulangan bencana di Indonesia mendapatkan perhatian khusus oleh

pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu

Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan

Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan

Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta

Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam

Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan

pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan

dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaannya sesuai dengan daerah

masing masing. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan

adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan

peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi

bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan

bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Tujuan penulisan

ilmiah ini adalah untuk mengkaji Implementasi Peraturan daerah No 4 tahun 2011

tentang penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan yang mana Perda

tersebut merupakan peraturan yang dibuat dalam melaksanakan undang undang

No. 24 tahun 2007 tentang peanggulangan bencana. Penelitian ini juga ingin

mengetahui tentang kendala dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi

peraturan daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan

metode penelitian deskriptif kualitafif. Sedangkan teknik pengumpulan datanya

menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, dan model analisis

interaktif sebagai metode analisa data dengan prosedur, reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa 1) implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan no 4 tahun 2011

bersifat top-down dan community participation yang melibatkan banyak lembaga

non pemerintahan dalam tindakan penanggulangan bencana dan menjadi acuan

bagi terbentuknya BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai lembaga yang

bertanggungjawab terhadap penanggulangan bencana serta menjadi acuan dalam

melaksanakan kegiatan kegiatan penanggulangan bencana di kabupaten Pasuruan.

Dengan perda tersebut BPBD sebagai peanggungjawab penanggulangan bencana

telah melakukan aktivitas dan program peanggulangan bencana baik dari sisi

mitigasi bencana (pra-bencana), tanggap darurat (saat bencana) maupun

rekonstruksi dan rehabilitasi paska bencana, 2) kendala-kendala yang dihadapi di

Page 73: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

72 | P a g e

lapangan antara lain a) Pra Bencana (mitigasi bencana), b) saat terjadi bencana, c)

pasca-bencana yang masing-masing meliputi kendala internal dan eksternal

seperti masalah sumberdaya manusia, sarana prasarana, pendanaan, komunikasi

lintas sektoral, partisipasi masyarakat, dan perundang-undangan. Dari hasil

penelitian ini menyarankan kepada BPBD Kabupaten pasuruan melakukan

beberapa hal sebagai berikut: 1) Meningkatkan koordinasi dan konsolidasi yang

lebih intensif dengan dinas terkait seperti Dinas PU, Disnakersostrans, dinas

Pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas terkait lain agar program dan kegiatan

penanggulangan bencana di kabupaten pasuruan menjadi lebih teratur dan

sistematis, 2) Meningkatkan kegiatan yang terkait dengan mitigasi dan

pencegahan bencana secara intensif, 3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran

masyarakat khusunya masyarakat yang berada di sekitar daerah rawan bencana

tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan bencana di

kabupaten pasuruan.

Kata Kunci: Implemetasi, Peraturan Daerah, Penanggulangan Bencana.

PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui bersama

Indonesia merupakan wilayah yang rawan

bencana. wilayah Indonesia terletak di

daerah iklim tropis dengan dua musim

yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri

adanya perubahan cuaca, suhu dan arah

angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim

seperti ini digabungkan dengan kondisi

topografi permukaan dan batuan yang

relatif beragam, baik secara fisik maupun

kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang

subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat

menimbulkan beberapa akibat buruk bagi

manusia seperti terjadinya bencana

hidrometeorologi seperti banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.

Seiring dengan berkembangnya

waktu dan meningkatnya aktivitas

manusia, kerusakan lingkungan hidup

cenderung semakin parah dan memicu

meningkatnya jumlah kejadian dan

intensitas bencana hidrometeorologi

(banjir, tanah longsor dan kekeringan)

yang terjadi secara silih berganti di banyak

daerah di Indonesia. Meskipun

pembangunan di Indonesia telah dirancang

dan didesain sedemikian rupa dengan

dampak lingkungan yang minimal, proses

pembangunan tetap menimbulkan dampak

kerusakan lingkungan dan ekosistem.

Pembangunan yang selama ini bertumpu

pada eksploitasi sumber daya alam

(terutama dalam skala besar) menyebabkan

hilangnya daya dukung sumber daya ini

terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun

ke tahun sumber daya hutan di Indonesia

semakin berkurang, sementara itu

pengusahaan sumber daya mineral juga

mengakibatkan kerusakan ekosistem yang

secara fisik sering menyebabkan

peningkatan risiko bencana.

Pada sisi lain laju pembangunan

mengakibatkan peningkatan akses

masyarakat terhadap ilmu dan teknologi.

Namun, karena kurang tepatnya kebijakan

penerapan teknologi, sering terjadi

kegagalan teknologi yang berakibat fatal

seperti kecelakaan transportasi, industri

dan terjadinya wabah penyakit akibat

mobilisasi manusia yang semakin tinggi.

Potensi bencana lain yang tidak kalah

seriusnya adalah faktor keragaman

demografi di Indonesia. Jumlah penduduk

Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220

juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis,

kelompok, agama dan adat-istiadat.

Keragaman tersebut merupakan kekayaan

bangsa Indonesia yang tidak dimiliki

bangsa lain. Namun karena pertumbuhan

penduduk yang tinggi tidak diimbangi

dengan kebijakan dan pembangunan

ekonomi, sosial dan infrastruktur yang

merata dan memadai, terjadi kesenjangan

pada beberapa aspek dan terkadang muncul

kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial

Page 74: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

73 | P a g e

menyebabkan terjadinya konflik dalam

masyarakat yang dapat berkembang

menjadi bencana nasional.

Satu hal yang perlu digaris bawahi,

bahwa bencana itu bukanlah takdir semata.

Ada sebab akibat yang jelas antara alam

dengan prilaku manusia yang berakibat

pada terjadinya bencana. Allah telah

berfirman di dalam Al-Qur’an surat An

Nisa; 79 sebagaimana dikutip oleh fahmi

dalam Mardiyono (2008; 871) bahwa “apa

saja nikmat yang kamu peroleh itu adalah

dari Allah semata, dan apa saja bencana

yang menimpamu, maka itu adalah dari

(kesalahan) dirimu sendiri”.

Dengan kata lain, bencana itu

timbul karena manusia lalai sehingga

menuntun mereka berada pada kondisi

lingkungan yang berbahaya pada suatu

tempat dan waktu tertentu yang dapat

mengancam jiwa dan hartanya. Tetapi

tidak semua kondisi lingkungan yang

berbahaya itu akan menyebabkan bencana.

Satu gempa bumi tertentu pada suatu

daerah tertentu yang tidak berpenghuni,

sebagai contoh, adalah satu fenomena

alam, bukan sesuatu yang berbahaya.

Demikian juga banjir tahunan di sepanjang

sungai Nil, satu elemen penting bagi

kesejahteraan dari orang-orang yang

tinggal di sekitar sungai (UNDP, 1992;

12).

Indonesia telah mengalami

kerugian jiwa dan materi yang besar akibat

berbagai bencana yang silih berganti.

Bencana banjir di Jakarta tahun 2002

menunjukan betapa besarnya kerugian

yang ditimbulkan. Untuk pemulihan

kondisi perkotaan setalah kejadian banjir,

diperkirakan menghabiskan dana lebih dari

15 trilyun rupiah. Hal ini diperparah karena

penangan bencana di Indonesia selama ini

hanya berorientasi pada tanggap darurat

saja. Oleh karnanya diperlukan sebuah

upaya penangan yang sistematis dan

sinergis dari berbagai pihak sehingga

penanganannya bias secara menyeluruh

dan tidak parsial (Hasniati, 2008; 831).

Untuk menghindari kerugian besar

akibat bencana perlu adanya kesadaran

seluruh komponen bangsa terutama

pemerintah agar suatu kejadian bahaya

tidak menyebabkan bencana. Seperti yang

diungkapkan Priambodo (2009;15):

Timbulnya kerugian baik fisik

maupun non fisik—terutama

korban jiwa—seringkali disebabkan

oleh ketidaktanggapan dalam

menghadapi bencana, baik secara

individu maupun kelompok. Untuk

meminimalkan hal tersebut,

diperlukan sebuah system yang

efektif, efisien, terukur, dan tepat

sasaran. Sistem tersebut adalah

sistem tanggap bencana yang

berfungsi sebagai panduan tindakan

dalam menghadapi bencana bagi

setiap individu, kelompok, maupun

bangsa secara keseluruhan.

Sistem tanggap bencana atau

manajemen bencana (disaster

management) adalah sebuah pendekatan

yang sistematis dan sinergis dari berbagai

pihak dalam mengantisipasi dan atau

menangani suatu bencana (Hasniati, 2008;

831). Sistem ini merupakan penangan

bencana secara menyeluruh mulai tahap

pra bencana, pada saat bencana, hingga

pasca bencana. Selama ini, penanganan

bencana pada tahap pra bencana terutama

terkait kebijakan mitigasi bencana terkesan

tidak tersentuh.

Adanya mitigasi bencana

merupakan langkah preventif untuk

meminimalisir dampak bencana yang

ditimbulkan. Mitigasi bencana merupakan

bagian dari tanggap bencana yang

dilakukan dalam rangka mengurangi

kerugian akibat kemungkinan terjadinya

bencana, baik itu berupa korban jiwa atau

harta benda yang berpengaruh pada

kehidupan dan kegiatan manusia.

Kebijakan mitigasi dalam manajemen

bencana ini adalah sebuah kebijakan yang

bersifat jangka panjang, yang dapat

bersifat structural maupun non-struktural

(Susanto, 2008; 909).

Pola penanggulangan bencana

mendapatkan dimensi baru dengan

dikeluarkannya Undang-Undang No. 24

tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana yang diikuti beberapa aturan

Page 75: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

74 | P a g e

pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden

No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, Peraturan

Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008

tentang Penyelenggaraan Penanggulangan

Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang

Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan

Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008

tentang Peran Serta Lembaga Internasional

dan Lembaga Asing non Pemerintah

Dalam Penanggulangan Bencana.

Berbagai kebijakan tersebut telah

ditindaklanjuti dengan pendirian Badan

Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan

berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara

proses pengembangan kebijakan sedang

berlangsung, proses lain yang tidak kalah

penting adalah memastikan bahwa provinsi

dan kabupaten/kota mulai mengembangkan

kebijakan, strategi, dan operasi

penanggulangan bencana sesuai dengan

arah pengembangan kebijakan di tingkat

nasional.

Upaya penanggulangan bencana di

daerah perlu dimulai dengan adanya

kebijakan daerah yang bertujuan

menanggulangi bencana sesuai dengan

peraturan yang ada. Strategi yang

ditetapkan daerah dalam menanggulangi

bencana perlu disesuaikan dengan kondisi

daerah. Operasi penanggulangan bencana

perlu dipastikan efektif, efisien dan

berkelanjutan.

Pemerintah Kabupaten Pasuruan

pada tahun 2011 telah mengeluarkan

peraturan daerah No 4 yang berkaitan

dengan penanggulangan bencana dengan

mengacu pada arah kebijakan Nasional

tentang penanggulangan bencana.

Sebenarnya dalam hal ini, upaya ini

merupakan sebuah langkah yang maju

dalam usaha mitigasi bencana yeng

mendapatkan payung hukum secara legal

dalam menjalankan upaya penanggulangan

bencana secara tekhnis di lapangan

khususnya di daerah Kab. Pasuruan.

Namun demikian, sejauh mana efektivitas

dan efisiensi implementasi kebijakan

tersebut masih jauh dari harapan.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar

belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian tesis ini sebagai berikut:

Bagaimana mekanisme

implementasi penanggulangan

bencana pada saat pra, saat dan

pasca mitigasi bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014?

Bagaimana implementasi kebijakan

perda No 4 tahun 2011 tentang

penanggulangan bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014?

Apa kekhususan atau keunikan

penanggulangan bencana pada saat

tanggap darurat di Kab. Pasuruan

pada tahun 2014?

Kendala dan permasalahan apa

yang dihadapi di lapangan dalam

implementasi kebijakan perda No 4

tahun 2011 tentang

penanggulangan bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Untuk mengetahui dan

menggambarkan mekanisme

implementasi penanggulangan

bencana pada saat pra, saat dan

pasca mitigasi bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014

Untuk mengetahui,

mendiskripsikan, dan menganalisis

implementasi kebijakan perda No 4

tahun 2011 tentang

penanggulangan bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014

Untuk mengetahui dan

menggambarkan kekhususan atau

keunikan penanggulangan bencana

pada saat tanggap darurat di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014

Untuk mengetahui,

mendiskripsikan, dan mengalisis

kendala dan permasalahan yang

dihadapi di lapangan dalam

implementasi kebijakan perda No 4

tahun 2011 tentang

Page 76: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

75 | P a g e

penanggulangan bencana di Kab.

Pasuruan pada tahun 2014.

BATASAN MASALAH Dalam rangka memberikan arah

pada penelitian ini, penulis membatasi

masalah dalam penelitian ini pada

implementasi kebijakan perda No 4 tahun

2011 tentang penanggulangan bencana di

Kab. Pasuruan pada tahun 2014 yang

dilakukan oleh badan penanggulangan

bencana daerah (BPBD) Kab. Pasuruan.

Hal ini dilakukan karena Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kab.

Pasuruan sebagai pelaksana teknis dalam

implementasi kebijakan penanggulangan

bencana yang dilakukan oleh pemerintah

daerah Kab. Pasuruan.

MANFAAT PENELITIAN

a. Manfaat Praktis

Sebagai input bagi

pemerintah dalam

mengevaluasi kebijakan

penanggulangan bencana

yang sudah ada untuk

penyempurnaan di masa

yang akan datang

Memberikan sumbangsih

pemikiran terhadap instansi

terkait di dalam menyusun

agenda kerja

penanggulangan bencana

b. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini

diharapkan dapat

memberikan konsep dan

pengayaan studi

administrasi negara

khususnya dalam hal

penanggulangan bencana

Hasil penelitian ini

diharapkan dapat

menambah referensi ilmiah

yang bermanfaat bagi

pengembangan ilmu baik

dikalangan akademisi

maupun masyarakat secara

umum

Hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi

dasar bagi peneliti

selanjutnya yang lebih

mendalam berkenaan

dengan penanggulangan

bencana

KERANGKA TEORISTIS

Kebijakan Publik

Konsep dan Prinsip Kebijakan Publik

Kebijakan memiliki banyak

pengertian, Suharto (2005:7)

mengemukakan bahwa kebijakan adalah

suatu ketetapan yang memuat prinsip-

prinsip untuk mengerahkan cara-cara

bertindak yang dibuat secara terencana,

dan konsistensi dalam mencapai tujuan

tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32)

mengemukakan beberapa bentuk kebijakan

publik yang secara sederhana dapat

dikelompokkan menjadi tiga:

a) Kebijakan publik yang bersifat

makro atau umum/mendasar.

Sesuai dengan UU No.10/2004

tentang Pembentukan

Perundang-undangan pasal 7,

hirarkinya yaitu; (1) UUD

Negara RI Thn 1945; (2)

UUD/Peraturan Pemerintah

Pengganti UU; (3) Peraturan

Pemerintah; (4) Peraturan

Presiden; dan (5) Peraturan

Daerah.

b) Kebijakan publik yang bersifat

meso (menengah) atau penjelas

pelaksana, dimana kebijakan

ini dapat berbentuk Peraturan

Menteri, Surat Edaran Menteri,

Peraturan Gubernur, Peraturan

Bupati. Kebijakannya dapat

pula berbentuk surat keputusan

bersama antar Menteri,

Gubernur dan Bupati/Walikota.

c) Kebijakan publik yang bersifat

mikro, adalah kebijakan yang

mengatur pelaksanaan atau

implementai dari kebijakan

diatasnya. Bentuk

kebijakannya adalah peraturan

yang dikeluarkan oleh aparat

publik di bawah Menteri,

Gubernur, Bupati/Walikota.

Page 77: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

76 | P a g e

Abidin (2002:193) menyatakan

bahwa secara umum, suatu kebijakan

dianggap berkualitas dan mampu

dilaksanakan bila mengandung beberapa

elemen, yaitu:

a) Tujuan yang ingin dicapai atau

alasan yang dipakai untuk

mengadakan kebijakan itu, dimana

tujuan suatu kebijakan dianggap

baik apabila tujuannya:

Rasional, yaitu tujuan dapat

dipahami atau diterima oleh

akal yang sehat. Hal ini

terutama dilihat dari faktor-

faktor pendukung yang

tersedia, dimana suatu

kebijakan yang tidak

mempertimbangkan faktor

pendukung tidak dapat

dianggap kebijakan yang

rasional.

Diinginkan (desirable), yaitu

tujuan dari kebijakan

menyangkut kepentingan orang

banyak, sehingga mendapat

dukungan dari banyak pihak.

b) Asumsi yang dipakai dalam proses

perumusan kebijakan itu realistis,

asumsi tidak mengada-ada. Asumsi

juga menentukan tingkat validitas

suatu kebijakan.

c) Informasi yang digunakan cukup

lengkap dan benar, dimana suatu

kebijakan menjadi tidak tepat jika

didasarkan pada informasi yang

tidak benar atau sudah kadarluarsa.

Karakteristik utama dari suatu

definisi kebijakan publik, yaitu :

Pada umumnya kebijakan publik

perhatiannya ditujukan pada

tindakan yang mempunyai

maksud atas tujuan tertentu dari

pada perilaku yang berubah atau

acak.

Kebijakan publik pada dasarnya

mengandung bagian atau pola

kegiatan yang dilakukan oleh

pejabat pemerintah daripada

keputusan yang terpisah-pisah.

Kebijakan publik merupakan apa

yang sesungguhnya dikerjakan

oleh pemerintah dalam mengatur

perdagangan, mengotrol inflasi,

atau menawarkan perumahan

rakyat, bukan apa maksud yang

dikerjakan atau yang akan

dikerjakan.

Kebijakan publik dapat berbentuk

positif maupun negatif. Secara

positif, kebijakan melibatkan

beberapa tindakan pemerintah

yang jelas dalam menangani suatu

permasalahan; secara negatif,

kebijakan publik dapat

melibatkan suatu keputusan

pejabat pemerintah untuk tidak

melakukan suatu tindakan atau

tidak mengerjakan apapun

padahal dalam konteks tersebut

keterlibatan pemerintah amat

diperlukan.

Kebijakan publik, paling tidak

secara positif, didasarkan pada

hukum dan merupakan tindakan

yang bersifat memerintah.

Dwijowijoto (2003; 158)

mengungkapkan bahwa implementasi

kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar

sebuah kebijakan dapat mencapai

tujuannya. Studi implementasi merupakan

suatu kajian mengenai studi kebijakan

yang mengarah pada proses pelaksanaan

dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya

implementasi kebijakan merupakan suatu

proses yang begitu kompleks bahkan tidak

jarang bermuatan politis dengan adanya

intervensi berbagai kepentingan. Untuk

melukiskan kerumitan dalam proses

implementasi tersebut dapat dilihat pada

pernyataan yang kemukakan oleh seorang

ahli studi kebijakan Ugene Bardach, yaitu :

―Adalah cukup untuk membuat

sebuah program dan kebijakan

umum yang kelihatannya bagus

diatas kertas. Lebih sulit lagi

merumuskannya dalam kata-kata

dan slogan-slogan yang

kedengarannya mengenakan bagi

telinga para pemimpin dan para

pemilih yang

mendengarkannya. Dan lebih

sulit lagi untuk

Page 78: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

77 | P a g e

melaksanakanannya dalam bentuk

cara yang memuaskan semua

orang termasuk meraka anggap

klien.‖ (Agustino, 2008; 138)

Dari penjelasan tersebut diatas

dapat disimpulkan bahwa implementasi

merupakan suatu proses yang dinamis,

dimana pelaksana kebijakan melakukan

suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada

akhirnya akan mendapatkan suatu hasil

yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan itu sendiri.

Implementasi Kebijakan

Konsep Implementasi Implementasi sebagaimana

digambarkan oleh Edward (1980) adalah

bagian dari proses pembuatan kebijakan,

dimana setelah salah satu kebijakan

ditetapkan dan diperoleh legitimasi secara

hukum maka sebagai konsekuensinya

kebijakan akan diaplikasikan dengan

maksud untuk mempengaruhi masyarakat.

Pandangan tersebut dikemukakan

oleh Presman dan Wildawsky (1970) yang

mengemukakan bahwa :

implementasi dapat dipandang

sebagai proses interaksi antara

penentuan tujuan yang disesuaikan

untuk mencapai tujuan atau

kemampuan membuat kaitan-kaitan

tindakan dalam suatu mata rantai

sebab akibat guna hasil yang

diinginkan.

Berdasarkan atas kedua pendapat

tersebut dapat diindikasikan bahwa

implementasi dapat berjalan dengan baik

jika didukung oleh sarana dan prasarana

baik dalam konteks organisasi maupun

dalam konteks manajemen. Wildawsky

dalam Abdullah (1987; 132) implementasi

dimaksudkan sebagai proses interaksi

antara rencana dengan tujuan dan tindakan

pencapaiannya. Oleh karena itu dalam

implementasi dibutuhkan kemampuan

untuk menetapkan susunan kegiatan yang

saling berhubungan antara satu unit

kegiatan dengan unit kegiatan lainnya

untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan

perlu diperhatikan dua faktor utama yaitu

pendukung pada kondisi tertentu yang

terdiri :

1. Keutuhan pimpinan politik.

2. Kemampuan organisasi kebijakan dan

dukungan kelompok kepentingan

Sedangkan yang dapat

menghambat terdiri dari :

1. Banyaknya faktor yang terlibat.

2. Komitmen yang melekat.

3. Terdapat komitmen atau loyalitas

ganda.

4. Jenjang pengambilan keputusan yang

terlalu banyak.

5. Adanya perubahan waktu

kepemimpinan.

Dengan demikian maka implementasi

dipandang sebagai tahapan yang kritis dan

penting artinya dalam suatu kebijakan,

dikatakan demikian karena secara

kumulatif implementasi merupakan tahap

yang menentukan dari suatu rangkaian

kegiatan yang dilakukan mulai dari proses

perencanaan dengan melibatkan berbagai

komponen.

Model pendekatan top-down yang

dirumuskan oleh Donald Van Metter dan

Carl Van Horn dalam Islam Nawawi

(2009: 139) disebut dengan A Model of

policy implementation. Proses

implementasi ini merupakan abstraksi atau

performansi suatu implementasi kebijakan

yang pada dasarnya secara sengaja

dilakukan untuk meraih kinerja

implementasi kebijakan publik yang tinggi

yang berlangsung dalam hubungan

berbagai variabel. Ada enam variable yang

menurut Van Metter dan Van Horn, yang

mempengaruhi implementasi adalah :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan

dapat diukur tingkat keberhasilannya jika

ukuran dan tujuan dari kebijakan memang

realistis dengan sosio kultur yang mengada

dilevel pelaksana kebijakan. Ketika ukuran

kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu

ideal untuk dilaksanakan dilevel warga,

maka agak sulit memang merealisasikan

kebijakan publik hingga titik yang dapat

dikatakan berhasil.

Page 79: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

78 | P a g e

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi

kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan dari sumber

daya yang tersedia. Manusia merupakan

sumber daya yang terpenting dalam

menentukan suatu keberhasilan proses

implementasi. Tahap-tahap tertentu dari

keseluruhan proses implementasi menuntut

adanya sumber daya manusia yang

berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang

diisyaratkan oleh kebijakan yang telah

ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika

kompetensi dan kapabilitas dari sumber-

sumber daya itu nihil, maka kinerja

kebijakan publik sangat sulit untuk

diharapkan

3. Karakteristik agen pelaksana

Pusat perhatian pada agen

pelaksana meliputi organisasi formal dan

organisasi informal yang akan terlibat

pengimplementasian kebijakan publik. Hal

ini sangat penting karena kinerja

Implementasi kebijakan akan sangat

banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang

tepat serta cocok dengan para agen

pelaksanannya.

4. Sikap/ kecenderungan ( disposition )

para pelaksana

Sikap penerima atau penolakan

dari (agen) pelaksana akan sangat banyak

mempengaruhi keberhasilan kebijakan

publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh

karena kebijakan yang dilaksanakan

bukanlah hasil formulasi warga setempat

yang mengenal betul persoalan dan

permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi

kebijakan yang akan implementor

laksanakan adalah kebijakan ―dari atas‖

(top down) yang sangat mungkin para

pengambil keputusannya tidak pernah

mengetahui (bahkan tidak mampu

menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau

permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi antarorganisasi dan

aktivitas pelaksana

Koordinasi merupakan

mekanisme yang ampuh dalam

implementasi kebijakan publik. Semakin

baik koordinasi komunikasi diantara pihak-

pihak yang terlibat dalam suatu proses

implementasi, maka asumsinya kesalahan-

kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

Dan, begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

Lingkungan sosial, ekonomi dan

politik yang tidak kondusif dapat menjadi

biang keladi dari kegagalan kinerja

implementasi kebijakan. Karena itu upaya

mengimplementasikan kebijakan harus

pula memperhatikan kekondusifan kondisi

lingkungan eskternal.

Selanjutnya menurut teori

Mazmanian & Sabatier (Dalam Nawawi,

2009; 145), mengungkapakan bahwa:

keberhasilan implementasi kebijakan

publik dipengaruhi oleh tiga kelompok

variabel, yaitu: (1) karakteristik masalah

(tractabilty of the problems), (2)

Karakteristik kebijakan / undang-undang

(ability of statue to structure

implementation), dan (3) Variabel

lingkungan (nonstatory variabel affecting

implementation).

a. Karakteristik masalah

1. Kesulitan permasalahan yang

dihadapi. Dalam implementasi

kebijakan terdapat beberapa

masalah sosial secara teknis

mudah dipecahkan. Di sisi lain

terdapat berbagai permasalahan

sosial yang sering terjadi di

tengah masyarakat yang sulit

diatasi, yaitu masalah

kemiskinan, pengangguran, dan

sebagainya.

2. Kemajemukan dari kelompok

sasaran. Variabel ini berarti

bahwa suatu program akan

relatif mudah

diimplementasikan apabila

kelompok sasarannya adalah

homogen atau kesetaraan.

Sebaliknya, apabila kelompok

sasaran kebijakan heterogen

atau bervariasi, maka

implementasi program

kebijakan akan relatif lebih

sulit, karena tingkat

pemahaman setiap anggota

kelompok sasaran terhadap

Page 80: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

79 | P a g e

program relatif berbeda antara

satu dengan yang lain.

3. Proporsi kelompok sasaran

terhadap total populasi.

Program kebijakan akan

menghadapi berbagai kesulitan

dalam mengimplementasikan

kebijakan apabila sasaranya

mencakup semua populasi secar

global. Sebaliknya sebuah

program akan mudah

diimplementasikan apabila

cakupannya tidak terlalu luas

dan kompleks.

4. Lingkup dan cakupan

perubahan perilaku kelompok

sasaran yang dikehendaki dan

diharapkan. Dalam

mengimplementasikan sebuah

program yang bertujuan

memberikan pengetahuan atau

bersifat kognitif akan relatif

mudah daripada program yang

bertujuan untuk mengubah

sikap dan perilaku masyarakat.

b. Karakteristik kebijakan

1. Kejelasan isi kebijakan. Sebuah

kebijakan yang jelas dan

terperinci isinya akan mudah

diimplementasikan karena

implementor mudah memahami

dan menerjemahkan dalam

tindakan nyata. Sebaliknya

ketidakjelasan isi kebijakan

merupakan potensi lahirnya

distorsi dalam implementasi

kebijakan.

2. Dukungan teoritis. Suatu

kebijakan yang berorientasi

pada teoritis memiliki sifat

lebih kemapanan karena sudah

teruji, walaupun untuk beberapa

lingkungan sosial tertentu

diperlukan modifikasi teori

yang bersangkutan sesuai

dengan tuntutan / harapan

lingkungannya.

3. Alokasi sumber daya finansial,

sumber daya manusia, material,

dan metoda adalah faktor

krusial untuk setiap program

sosial. Setiap program juga

memerlukan dukungan sumber

daya manusia untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan yang

bersifat administrasi dan teknis,

serta memonitor dan

mengevaluasi program, yang

semua memerlukan

pembiayaan, dan metoda untuk

mencapai program tersebut.

4. Keterikatan dan dukungan

berbagai instansi. Program

sering mengalami kegagalan

disebabkan kurangnya

koordinasi antar instansi yang

terlibat dalam implementasi

program kebijakan.

5. Kejelasan dan konsistensi

aturan yang ada pada badan

pelaksana sebuah kebijakan

yang telah ditetapkan.

6. Adanya komitmen aparat.

Dalam implementasi kebijakan

yang tinggi dan rendahnya

komitmen merupakan salah satu

variabel yang menetukan

tingkat tercapainya program

kebijakan.

7. Akses kelompok-kelompok

kepentingan suatu program

kebijakan yang memberikan

peluang kelompok kepentingan

yang ada pada masyarakat

untuk terlibat akan relatif

mendapat dukungan dari

program yang tidak melibatkan

masyarakat. Masyarakat akan

merasa terasing dan teralienasi

apabila hanya menjadi

penonton terhadap program

kebijakan yang dilaksanakan di

daerahnya.

c. Lingkungan kebijakan

1. Sosial ekonomi dan kemajuan

teknologi masyarakat.

Kemajuan masyarakat

membuka dan memudahkan

penerimaan program-program

pembaruan di banding dengan

masyarakat masih terbelakang.

Di sisi lain kemajuan teknologi

Page 81: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

80 | P a g e

akan membantu dalam proses

keberhasilan sebuah

implementasi program, karena

program-program tersebut

dapat disosialisasikan dan

diimplementasikan dengan

bantuan media yang ditunjang

dengan teknologi canggih.

2. Dukungan publik. Implementasi

program kebijakan yang

memberikan motivasi dan

intensif biasanya mudah

mendapatkan dukungan publik.

Sebaliknya kebijakan yang

bernuansa menghilangkan

motivasi dan intensif, akan

kurang mendapat dukungan

publik, seperti kenaikan pajak.

3. Sikap dari kelompok-kelompok

pemilih (constituency groups).

Dalam kehidupan masyarakat

kelompok pemilih dapat

mempengaruhi implementasi

kebijakan melalui berbagai

macam yaitu: (1) Dapat

melakukan intervensi terhadap

berbagai macam keputusan

yang dibuat oleh badan-badan

pelaksana melalui berbagai

komentar dengan maksud untuk

mengubah keputusan. (2)

kelompok pemilih dalam segala

upaya mempengaruhi badan-

badan pelaksana secara tidak

langsung melalui kritik yang

dipublikasikan terhadap kinerja

yang badan-badan pelaksana,

dan membuat pernyataan dan

ungkapan kritis yang

disampaikan kepada legislatif.

4. Komitemen dan keterampilan

aparat dan implementor.

Komitmen aparat pelaksana

dalam mewujudkan proram

kebijakan merupakan variabel

yang paling krusial. Aparat

badan pelaksana harus memiliki

kompetensi dalam menentukan

skala prioritas tujuan dan

selanjutnya merealisasikan

skala prioritas tujuan program

kebijakan yang telah ditentukan

tersebut.

Dalam teori yang sama mengenai

proses pembuatan serta implementasi

kebijakan publik disebutkan bahwa ia

merupakan proses yang kompleks karena

melibatkan banyak proses maupun variabel

yang harus dikaji.

HASIL PENELITIAN

Kebijakan Penanggulangan Bencana

Kabupaten Pasuruan merupakan

salah satu Kabupaten yang terletak di

Wilayah Propinsi Jawa Timur, dengan

memiliki permasalahan kebencanaan yang

komplek. Kabupaten Pasuruan terletak

antara 112,300 s/d 113,300 bujur timur dan

antara 7,300 s/d 8,300 lintang selatan

dengan luas 147.401,50 ha (3,3 % luas

Propinsi Jawa Timur) terdiri dari 24

Kecamatan, 24 Kelurahan, 341 Desa dan

1694 Pedukuhan. Kabupaten Pasuruan

terbagi menjadi 5 bagian yaitu kerucut

gunung api, pegunungan, perbukitan,

dataran pasir dan dataran rendah Secara

alamiah, kondisi ini memposisikan wilayah

Kabupaten Pasuruan memiliki kerawanan

yang tinggi terhadap berbagai macam

bencana mulai dari bencana banjir, puting

beliung, longsor, kekeringan dan gunung

meletus.

Implementasi Kebijakan

Dalam pembahasan ini, penulis ingin

menitikberatkan pada proses pelaksanaan

program atau implementasi nyata dari

peraturan daerah no 4 tahun 2011 tentang

penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan

pada tahun 2014 dengan melihat variabel-

variabel penentu dalam proses tersebut,

berdasarkan teori Van Meter Van Horn

bahwa ada 6 variabel yang mempengaruhi

implementasi, yaitu (1) Ukuran dan Tujuan

kebijakan, (2) sumber daya, (3)

komunikasi antar organisasi dan aktivitas

pelaksana, (4) karakteristik agen

pelaksana, (5) Kecenderungan Pelaksana,

(6) Lingkungan kondisi sosial, ekonomi,

dan politik.

Page 82: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

81 | P a g e

Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Dalam menentukan sasaran

kebijakan dibutuhkan suatu standar atau

indikator yang kuat agar selama proses

implementasi berjalan, tidak terjadi konflik

antar aparat pelaksana. Dalam hal ini

Badan pelaksana di lapangan khususnya

BPBD Kab. Pasuruan seharusnya

mempunyai standar operasi yang jelas

dalam menjalankan setiap kegiatan

operasionalnya. Sehingga kelompok-

kelompok lainnya, seperti dinas-dinas

terkait serta relawan-relawan yang

kemungkinan ikut terlibat dalam kerja

sosial tersebut mempunyai acuan dalam

membantu menjalankan program baik

sebelum, pada saat atau bahkan pasca

terjadinya bencana.

Sumber Daya

Selanjutnya yang tidak kalah penting

yang menjadi tolak ukur keberhasilan

implementasi kebijakan adalah sumber

daya. Sumber daya disini bisa terdiri dari

sumber daya manusia, alam, dan materil

yang merupakan suatu perangkat penting

dalam menjalankan suatu program atau

kebijakan. Keberhasilan suatu program

dilihat sejauh mana kualitas serta

kemampuan sumber daya yang dimliki. Ini

semua diperoleh melalui rangkaian

perencanaan yang matang dari para

pelaksana kebijakan serta kerjasama dalam

membangun sumber daya yang

mendukung dalam proses pelaksanaan.

Jika dilihat dari data yang penulis

peroleh dari BPBD dan dinas terkait ada

banyak pekerjaan rumah yang harus segera

dibenahi oleh pemerintah dalam poin ini.

Dimana pada saat ini BPBD Kab. Pasuruan

dinilai mempunyai tenaga atau personil

yang kurang memadai yaitu hanya

berjumlah 12 orang. Hal ini belum

menyinggung masalah kapasitas serta

kapabilitas personal yang ada, dimana hal

ini merupakan sesuatu yang sangat penting

bagi kelancaran implementasi kebijakan

baik disaat melakukan koordinasi dengan

instansi lain maupun dalam melakukan

fungsi-fungsi kerja komunikasi dengan

masyarakat luas, bagaimana mereka harus

lihai berdiplomasi dengan masyarakat,

menyampaikan sosialisasi pengenalan

lembaga yang selama ini kurang dikenal

secara luas.

Komunikasi antar Organisasi dan

Aktifitas Pelaksana

Keberhasilan suatu program dinilai

dari sejauh mana kerjasama dalam hal ini

komunikasi serta penguatan aktivitas

daripada aparat pelaksana yang terlibat

dalam proses pelaksanaan suatu program.

Dengan komunikasi yang harmonis, maka

seluruh mekanisme pelaksanaan akan

terkoordinir dengan baik. Begitupun

dengan adanya penguatan aktifitas, apabila

semua elemen yang terlibat memiliki

kesatuan yang kuat dan juga memiliki

profesionalitas serta kooperasi yang tinggi,

maka dengan ini akan memudahkan

jalannya suatu program sehingga tercapai

suatu tujuan yang efektif.

Apa yang terjadi pada BPBD Kab.

Pasuruan perlu adanya usaha yang lebih

keras dalam membangun komunikasi dan

koordinasi yang baik, efektif dan efisien

dengan berbagai elemen, seperti yang

diterangkan oleh salah satu anggota BPBD

Kab. Pasuruan, Hari Santosa (16 Juli

2014):

―Kami sudah berusaha bekerja secara

maksimal, namun memang hasilnya

belum seperti yang diharapkan.

Kendala yang sangat terasa adalah

lemahnya sistem koordinasi antar

dinas, karena masalah bencana

melibatkan beberapa dinas terkait‖

Lemahnya system komunikasi lintas

sektoral seperti yang diakui oleh BPBD

Kab. Pasuruan merupakan persoalan yang

serius mengingat tugas dan wewenang

BPBD selalu intens berinteraksi dengan

berbagai dinas terkait, seperti dinas sosial,

Pekerjaan Umum, serta SKPD-SKPD

terkait yang menyokong kerja BPBD.

Dampak yang paling nampak pada

persoalan ini adalah adanya program

sektoral yang seolah berjalan sendiri-

sendiri antar dinas, sehingga tidak ada

program jangka panjang dalam masalah

penanggulangan bencana. Jika demikian,

maka sewajarnya apabila pengurangan

dampak bencana atau penanganan

Page 83: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

82 | P a g e

penanggulangan bencana tidak berjalan

secara komprehensif dari hulu ke hilir

seperti yang diharapkan.

Dalam hal pelaksa kebijakan yang

disahkan oleh Pemerintah Kabupaten

Pasuruan yaitu Peraturan Daerah No 4

tahun 2011 tentang penanggulangan

bencana di Kabupaten Pasuruan. Perda

tersebut dimaksudkan untuk memperkuat

koordinasi dan pelaksanaan

penanggulangan bencana lintas sektoral

dan SKPD terkait, yang mana secara teknis

di lapangan semua sektor berkoordinasi

secara simultan dan saling dukung

mendukung dalam program pelaksanaanya.

Seperti penyiapan prasarana sarana

pendukung pencegahan dan kesiapsiagaan

penanggulangan bencana, EWS bencana,

peralatan evakuasi dan pertolongan korban

bencana menjadi serta yang

bertanggungjawab dalam mengkoordinasi

penanggulangan bencana yang terjadi di

Kabupaten Pasuruan semuanya merupakan

tanggung jawab BPBD Kab. Pasuruan.

Sedangkan badan yang mengurus

Persiapan logistik untuk mencukupi

kebutuhan penduduk yang mengungsi

dalam situasi darurat bencana menjadi

tugas dan tanggung jawab Dinas Tenaga

Kerja Sosial dan Transmigrasi.

Berikutnya mengenai persiapan

pelayanan kesehatan dengan penyediaan

obat-obatan dan tenaga medis/ paramedis

serta prasarana sarana pendukung

kesehatan lainnya bagi warga yang

terdampak bencana menjadi tanggung

jawab Dinas Kesehatan dan untuk program

pembangunan daerah Kabupaten Pasuruan

yang berhubungan dengan penanggulangan

atau pencegahan bencana non struktural,

masuk pada ―urusan pemerintahan wajib‖

SKPD (Bab V/46-34), yaitu pada urusan

Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri

dengan Program Pencegahan Dini dan

Penanggulangan Korban Bencana Alam

(khususnya kebakaran pemukiman) yang

dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Bangsa

dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang.

dan Linmas).

Kecenderungan Para Pelaksana

Disposisi implementor atau

kecenderungan para pelaksana yang

meliputi salah satunya mengenai respon

para implementor terhadap kebijakan,

respon implementor berkaitan dengan

kemauan atau inisiatif daripada para

implementor untuk turut andil adalam

menjalankan suatu program berdasarkan

tupoksi yang ada.

Sebenarnya, berkaitan dengan respon

instansi terhadap program yang

dicanangkan oleh BPBD dinilai cukup

bagus, hal ini terbukti dengan

terlaksananya beberapa kali kerjasama tim

di lapangan untuk penanggulangan

bencana yang terjadi di Kab. Pasuruan.

Semua instansi terlibat aktif pada saat

terjadi bencana dari membantu

menyiapkan sarana prasarana yang

dibutuhkan masing-masing instansi

misalkan tenaga medis, dapur umum,

tempat evakuasi korban dan lain-lain.

Namun, demikian yang masih dirasa

kurang saat ini adalah penguatan aktifitas

pra bencana atau siaga bencana.

Seharusnya, kesiapsiagaan dilakukan tidak

hanya pada saat terjadi bencana dan

menelan korban serta semacamnya,

melainkan sebelum terjadinya bencana.

Sehingga, apa yang dimaksud pengurangan

dampak bencana hingga 0% bisa dicapai

dengan nyata, tidak hanya sebagai isapan

jempol yang hanya ditulis dan dijadikan

target.

Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan

Politik

Berkaitan dengan kondisi sosial,

ekonomi dan politik yang ada di Kab.

Pasuruan, keterdukungan implementasi

perda No.4 tahun 2011 pemerintah Kab.

Pasuruan, cukup tinggi yang mana jika

dilihat dari kondisi pendidikan masyarakat

Pasuruan cukup tinggi jika dibandingkan

antara masyarakt terdidik dan tidak. Hal ini

sebenarnya menjadi poin penguat untuk

kesuksesan implementasi program turunan

dari perda diatas.

Rata-rata pendidikan masyarakat

Pasuruan lulus SMA, sehingga tingkat

Page 84: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

83 | P a g e

literasi bisa dikatakan tinggi dan dirasa

cukup untuk mencerna dan memahami

tujuan dalam implementasi segala program

yang dijalankan BPBD dan instansi

penduklungnya.

Begitu juga dengan tingkat ekonomi

masyarakat yang jika diprosentase

keluarga dibawah sejahtera lebih sedikit

daripada keluarga sejahtera. Dari sini,

potensi kesadaran akan dampak buruk

bencana terhadap segala aset yang dimiliki

oleh masyarakat menjadi penting untuk

menumbuhkan kesiapsiagaan masyarakat

dalam mengatasi persoalan bencana yang

terjadi.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari urain dan analisis pada bab V

dapat disimpulkan bahwa pada saat

sebelum dibentuknya BPBD,

program/kegiatan pemerintah daerah yang

berhubungan dengan penanganan atau

penanggulangan bencana khususnya pada

saat tidak terjadi bencana (mitigasi

struktural dan nonstruktural), sudah ada

dan melekat pada masing-masing

dinas/instansi terkait sesuai tugas dan

fungsi masing-masing dinas serta sebagai

isu strategis pembangunan daerah dan visi,

misi dan program kepala daerah terpilih

periode tahun 2008-2013.

Walaupun pada waktu itu masalah

yang berhubungan dengan penanggulangan

bencana masih belum berpola pada

paradigma baru yang meletakkan

manajemen penanggulangan bencana pada

semua tahapan dengan penanganan yang

dilakukan secara utuh, terkoordinasi,

menyeluruh dan terpadu, mulai pada tahap

prabencana, tahap tanggap darurat, sampai

dengan tahap pascabencana (rehabilitasi

dan rekonstruksi), tetapi upaya untuk

penanganan kebencanaan sudah ada,

meskipun belum terpadu, belum

komprehensif dan belum menyeluruh.

Implemantasi peraturan daerah No 4

tahun 2011 dilakukan dengan membentuk

BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai badan

yang bertanggungjawab terhadap

penanggulangan bencana dikabupaten

Pasuruan. Tugas BPBD selanjutkanya

adalah melaksanakan program dan

kegiatan yang terkait dengan

penanggulangan bencana mulai dari

mitigasi bencana, tanggap bencana saat

terjadi bencana serta rekontruksi dan

rehabilitasi paska bencana.

Dalam kaitan dengan dinas dinas

terkait dengan penanganan bencana, BPBD

Kabupaten Pasuruan melakukan koordinasi

dan fasilitasi berbagai kegiatan yang terkait

dengan penanggulangan bencana di

Kabupaten Pasuruan.

Dalam konteks implementasi

kebijakan penanggulangan bencana yang

dilakukan oleh Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kab. Pasuruan beberapa

model implementasi dikolaborasikan untuk

memenuhi target dan tujuan yang ingin

dicapai. Dari sekian model yang

berkembang, setidaknya ada dua model

yang sampai saat ini digunakan di dalam

implementasi penanggulangan bencana

baik pra, saat dan pasca-bencana yaitu,

model Top-Down dan Model Bottom-Up.

Sedangkan dalam hal yang menjadi

pembeda atau unik dari pola

penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan

adalah diantaranya aplikasi pola interaksi

antara pelaksana Perda No 4 tahun 2011

yaitu BPBD Kab. Pasuruan dengan

lembaga-lembaga non-pemerintah yang

sudah atau sedang berjalan saat ini, dan

pelibatan dan pemberdayaan masyarakat di

dalam penanggulangan bencana serta

soliditas dan kekompakannya yang luar

biasa dan adanya desa tangguh bencana

yang sudang terbentuk beberapa tahun

yang lalu.

Adapun secara geografis, daerah

Kab. Pasuruan sebenarnya cukup strategis

dan potensial dari segi bisnis karena daerah

ini masih cukup dekat dengan daerah

industri dan pusat pemerintahan propinsi

yaitu Surabaya. Dari sini seharunya proses

administrasi terkait dengan perijinan,

konsultasi dan hal lainnya yang berkaitan

dengan kooordinasi dan konsolidasi antara

instansi pemerintah yang terlibat di dalam

penanganan bencana menjadi lebih mudah

dan soliditas serta kesadaran kolekti

Page 85: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

84 | P a g e

masyarakat Kab. Pasuruan menjadi faktor

pendukung yang dapat menjadi pendorong

kesuksesan program-program yang akan

dijalankan oleh BPBD Kab. Pasuruan.

Dari hasil penelitian diperoleh

gambaran bahwa masih banyak persoalan

atau kendala terkait dengan implementasi

penanggulangan bencana di kapupaten

pasuruan pada tahun 2014 baik itu yang

erat kaitannya dengan implementasi pra

bencana, pada saat terjadi bencana,

maupun setelah terjadinya bencana.

Sederet permasalah baik internal maupun

eksternal memiliki pengaruh yang besar

dalam pelaksanaan program dan kegiatan

BPBD Kabupaten Pasuruan dalam

menangani bencana.

Saran

Sebagai Penanggungjawab

Penanggulangan bencana di Kabupaten

Pasuruan, BPBD Kabupaten pasuruan

perlu melakukan koordinasi yang lebih

inntensif dengan dinas terkait seperti Dinas

PU, DISNAKERSOSTRANS, dinas

pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas

terkait lain agar program dan kegiatan

penanggulangan bencana di kabupaten

pasuruan menjadi lebih teratur dan

sistematis. Selama ini, kegiata

penanggulangan bencana di Kabupaten

pasuruan sering tidak terintegrasi dan

tersinergi dengan baik antar dinas terkait

pelaksanaan program atau kegiatan yang

berkaitan dengan penanggulangan

bencana.

Selain itu, peningkatan kegiatan yang

terkait dengan mitigasi dan pencegahan

bencana perlu dilakukan lebih intensif.

Banyaknya sungai di kabupaten pasuruan

misalnya, seringkali menyebabkan luberan

air yang mengakibatkan banjir dan longsor

dibeberapa titik rawan bencana, misalnya

di rejoso, lekok dan bangil. Pencegahan

bencana dapat dilakukan misalnya dengan

memperbaiki sistem drainase dan

pengerukan pendangkalan sungai yang

terjadi akibat material banjir yang terjadi di

setiap musim hujan.

Selain itu, kegiatan yang perlu

mendapat perhatian lebih dari BPBD

kabupaten Pasuruan adalah peningkatan

pemahaman dan kesadaran masyarakat

khusunya masyarakat yang berada di

sekitar daerah rawan bencana tentang

pentingnya partisipasi masyarakat dalam

pencegahan bencana di kabupaten

pasuruan, sehingga terjadinya bencana bisa

diatasi dan dihindari sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Abarquez, Imelda and Murshed, Zubair.

2004. Community-Based Disaster

Risk Management - field

practitioners’ handbook. APDC.

Pathumthani, Thailand

Abdullah, S. 1987. “Kumpulan Naskah

“Study Implementasi Latar Belakang

Konsep Pendekatan dan

Relevansinya dalam Pembangunan.”

Persadi,Ujung Pandang.

Abidin, S.Z. 2002. Kebijakan Publik.

Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.

Agustino, Leo. 2008.Dasar-dasar

kebijakan Publik. cet.ke-2, Alfabeta,

Bandung.

Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima

Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta

Dunn, William N. 1998. Pengantar

Analisis Kebijakan Publik. Edisi

Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press.

Dwijowijoto, R. N. 2003.Kebijakan

publik formulasi, implementasi

dan evaluasi. PT.elex media

komputindo, Jakarta.

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good

Governance Melalui Pelayanan

Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press

Dye, Thomas R. 1978. Understanding

Public Policy. N.J Englewood Cliffs

: Prentice Hall, Inc

Edwards, George C. 1980. Implementing

Public Policy. Washington D.C :

Congressional Quarterly Press.

Fonna, Febrina.2012.Implementasi

Kebijakan Pemerintah Daerah

Tentang Pembinaan Anak Jalanan

Di Kota Makassar. UNHAS.

Hadari, Nawawi. 2007.Metode Penelitian

Bidang Sosial. Gajahmada

University Press : Yogyakarta.

Page 86: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

85 | P a g e

Handmer, John and Dovers, Stephen. 2007.

Handbook of Disaster and

Emergency Policies and Institution.

Earthscan. New York.

Isani, Fitria. 2012. Implementasi Kebijakan

Pemerintah Daerah dalam

Pelaksanaan Pendidikan Gratis Di

Kabupaten Mamuju Provinsi

Sulawesi barat. UNHAS

Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian

Kualitatif dan Kuantitatif Untuk

Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. DIA

FISIP UI.

Haryati. 2012. Implementasi PNPM

Mandiri Perdesaan Simpan

Pinjam Bagi Kelompok

Perempuan di Kabupaten Luwu.

Makassar: Unhas.

Hasniati. 2008. Manajemen Bencana:

Sebuah Upaya Untuk

Meminimalisasi Dampak Bencana.

Jurnal Administrasi Negara Vol.X

No.2 Malang: Fakultas Ilmu

Administrasi UNBRAW.

Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi

Pelayanan Publik. Yogyakarta:

Pembaharuan

Mardiyono. 2008. Peran Pemerintah

dalam Kebijakan Mitigasi Bencana

Alam. JurnalAdministrasi Negara

Vol.X No.2 Malang: Fakultas Ilmu

Administrasi UNBRAW.

Miles, M.B. danHuberman, M.A. 1992.

Analisa data kualitatif, Jakarta: UI press.

Moleong, Lexy J. 2001. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung. PT. Remaja

Rosdakarya.

Muchsin, Slamet, Dr. 1999. Dampak Sosial

Ekonomi Pelaksanaan Kebijakan

Pengembangan Wilayah Kota

Administratif Batu (Studi Kasus di

Wilayah Kota Administratif batu

Kabupaten Daerah Tingkat II

Malang). Unibraw.

Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan

Publik dan Costemer Satisfiction.

Bandung: PT. Alumni

Nugroho, D Riant. 2006. Public Policy,

Pengantar Teori dan Praktik Analisis

Kebijakan. Jakarta : PT. Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia.

_____ 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta.

PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia.

_____ 2007. Kebijakan Publik, Formulasi,

Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:

PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia.

____ 2010. Implementasi Kebijakan

Penanggulangan Bencana di

Kabupaten Blitar (Studi Tentang

Mitigasi Bencana Di Kawasan

Rawan Bencana (KRB) Letusan

Gunung Kelud).UNIBRAW.

_____ 2003. Kebijakan Publik:

Formulasi, implementasi dan

evaluasi. Jakarta: PT Alex Media

Komputindo.

Parson, Wayne. 2006. Public Policy,

Pengantar Teori dan Praktik Analisis

Kebijakan.Jakarta :Kencana Prenada

Media Group.

Petunjuk Teknis Operasional PNPM MP

Tahun 2008. Departemen Dalam

Negeri Direktorat Jenderal

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

Priambodo, S Arie. 2009. Panduan Praktis

Menghadapi Bencana. Yogyakarta:

Kanisius.

Ratminto, Atik Septiwinarsi.2005.

Manajemen Pelayanan. Yogyakarta:

PustakaPelajar

Santosa, P. 2008. Administrasi Publik,

Teori dan Aplikasi Good

Governance. Bandung: PT.

RefikaAditama

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian

Administrasi, Bandung :Alfabeta

Suharto, Edi. 2008. Kebijakan sosial

sebagai Kebijakan publik.

Bandung:Alfabeta

UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen

Bencana. PBB: Pusat Manajemen

Bencana Universitas Wisconsin.

Wahab, S.A. 2008. Analisis

Kebijaksanaan, dari Formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara.

Jakarta: PT Umi Aksara.

Wahab, S.A. 2008. Analisis

Kebijaksanaan, dari Formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara.

Jakarta: PT Umi Aksara.

Page 87: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

86 | P a g e

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana. Diakses

dari

http://kompas.go.id/upload/dokumen

_perundangan/UU_32_2004. pdf

Pada tanggal 23 Oktober 2012

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Diakses dari

http://kerjasama.jogja.go.id/upload/d

okumen_perundangan/UU_32_2004.

pdf Pada tanggal 23 Oktober 2012

Draft perda Kab. Pasuruan No 4 tahun

2011 dan 8 tahun 2010 tentang

Penanggulangan Bencana daerah.

Draft Peraturan kepala BNBP No 4 2008

tentang Pedoman Penyusunan

Rencana Penanggulangan

Bencana

Page 88: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

87 | P a g e

REFORMASI ORGANISASI PEMERINTAH

KABUPATEN BANYUWANGI

(Studi pada Bagian Organisasi)

Sunariyanto

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi, dan Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam

Malang

Reformasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengacu pada Peraturan

Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten Banyuwangi, yang dilakukan mengingat Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi tentang Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya, dinilai sudah tidak mampu

menjawab kemajuan daerah, sehingga untuk efektifitas kinerja kelembagaan perangkat

daerah, maka dilakukan penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten

Banyuwangi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Adapun perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

diantaranya adalah perubahan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang

didalamnya terdapat Bagian Organisasi yang berada dibawah Asisten Administrasi

Pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan

Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi juga termasuk Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi.

Rumusan masalah kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan organisasi dalam

lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi?.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perubahan organisasi

dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian

Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi.

Hasil kajian penulisan ini bahwa Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan pedoman dan petunjuk

teknis pembinaan dan penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, pembinaan Pendayagunaan

Aparatur Negara (PAN), pelayanan publik, budaya kerja, pengawasan melekat, analisis

jabatan, LAKIP dan AKIP. Perubahan pada Bagian organisasi ini dilakukan secara bertahap,

yaitu awalnya berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian

Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang berada dibawa Asisten Administrasi yang

membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian

Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap kedua berdasarkan

Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa Bagian Aparatur dirubah menjadi

Bagian Organisasi, yang berada dibawah Asisten Pemeritahan. Bagian Organisasi ini,

membawahi : a. Sub Bagian Anjab dan AKIP; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian

Kelembagaan; d. Sub Bagian Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian Organisasi didasarkan

Page 89: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

88 | P a g e

pada Perda Nomor 6 Tahun 2011, dengan susunan organisasi adalah sebagai berikut: Bagian

Organisasi, membawahi:

a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja;

b. Sub Bagian Ketatalaksanaan.

Kata Kunci Reformasi Organisasi Pemerintah

LATAR BELAKANG MASALAH

Reformasi Organisasi Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi mengacu pada

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi

Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi,

yang dilakukan mengingat Peraturan

Daerah Kabupaten Banyuwangi tentang

Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya,

dinilai sudah tidak mampu menjawab

kemajuan daerah, sehingga untuk

efektifitas kinerja kelembagaan perangkat

daerah, maka dilakukan penataan kembali

Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten

Banyuwangi yang ditetapkan dalam

Peraturan Daerah.

Adapun perubahan organisasi

dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi diantaranya adalah perubahan

pada Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi yang didalamnya terdapat

Bagian Organisasi yang berada dibawah

Asisten Administrasi Pemerintahan.

Perubahan tersebut meliputi Susunan

Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi

Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi

juga termasuk Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi.

Mengenai Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah dapat dijelaskan

sebagai berikut: Bagian Organisasi

mempunyai tugas pokok melaksanakan

penyusunan pedoman dan petunjuk teknis

pembinaan dan penataan kelembagaan,

ketatalaksanaan, pembinaan

Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN),

pelayanan publik, budaya kerja,

pengawasan melekat, analisis jabatan,

LAKIP dan AKIP.

Untuk melaksanakan tugas pokok

tersebut, maka Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi

mempunyai fungsi:

a. pengumpulan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pelaksanaan analis dan formasi jabatan

serta pendayagunaan aparatur;

b. pengumpulan dan pengolahan data

serta menyiapkan bahan pembinaan

dan penataan kelembagaan di lingkup

Pemerintah Kabupaten;

c. pengumpulan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pembinaan ketata laksanaan yang

meliputi tata kerja, metode kerja dan

prosedur kerja;

d. pengumpulan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pelaksanaan pelayanan publik, budaya

kerja dan pengawasan melekat;

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan

oleh Asisten Administrasi

Pemerintahan.

Sedangkan susunan organisasi

Bagian Organisasi Sekretariat Daerah

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 adalah

sebagai berikut: Bagian Organisasi,

membawahi:

a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja;

b. Sub Bagian Ketatalaksanaan.

Susunan Organisasi, Kedudukan,

Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah

Kabupaten Banyuwangi termasuk Bagian

Organisasi yang dibentuk dengan

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi

Nomor 6 Tahun 2011 ini, mengalami

perubahan jika dibandingkan dengan

Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas

Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi termasuk Bagian Organisasi

sebelumnya yang dibentuk berdasarkan

pada perda-perda sebelumnya mengenai

Page 90: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

89 | P a g e

Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten

Banyuwangi.

Berdasarkan permasalahan seperti

yang telah dikemukakan di atas, maka

perlu dikaji mengenai perubahan

organisasi dalam lingkungan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi khususnya

dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat

Daerah Kabupaten Banyuwangi.

RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang masalah

kajian di atas, dapat dirumuskan masalah

kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan

organisasi dalam lingkungan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi khususnya

dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat

Daerah Kabupaten Banyuwangi?.

TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk

mengetahui dan menganalisis perubahan

organisasi dalam lingkungan Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi khususnya

dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat

Daerah Kabupaten Banyuwangi.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Organisasi

―Pengembangan organisasi adalah suatu

pendekatan yang sistematik, terpadu dan

terencana untuk meningkatkan efektivitas

organisasi. Ia dirancang untuk

memecahkan masalah – masalah yang

merintangi efisiensi pengoperasian

organisasi pada semua tingkatan. Berbagai

masalah tersebut mencakup kurangnya

kerjasama, desentralisasi yang berlebihan,

dan kurang cepatnya komunikasi. Dari segi

istilah pengembangan orgasisasi dapat juga

disebut sebagai ―Organizational

Development‖, ―Organizational

Improvement‖ atau ―Planned Change‖.

Dimana organisasi melakukan beberapa

perubahan terencana untuk

mengembangkan diri dari orgasnisasi XA

yang tidak mampu melakukan perubahan–

perubahan positif sendiri menjadi YB yang

mampu memperbaharui diri sendiri‖

(Warren Bennis, dalam Adam 1986 : 12).

Sedangkan James Champy di dalam

bukunya Manajemen rekayasa ulang

mengemukakan:

―Suatu organisasi pemimpin, yang

seluruhnya memiliki visi dan tujuan yang

sama, dapat merupakan pasukan yang

tangguh. Tetapi agar organisasi baru itu

dapat berjalan, setiap anggota harus

mendapat tugas yang nyata, tugas yang

menitik beratkan terwujudnya visi dan

tujuan itu, singkatnya yang difokuskan

pada rekayasa ulang‖(James Champy,

1996).

Kemudian lebih lengkap James

Champy juga mengemukakan:

―Seorang pemimpin tidak cukup hanya

memiliki visi. Seorang pemimpin harus

menarik pengikut – pengikut (atau, saya

lebih suka menyebutnya, ―rekan kerja‖),

orang – orang yang dapat memberikan

komitmen terhadap pemikiran ideal yang

baru dan terfokus pada pelanggan. Tetapi

juga proses mobilisasi diinginkan berhasil,

para pengikut itu pun harus menjadi

pemimpin, yang mengemukakan kesadaran

sendiri akan tujuan dalam tantangan

bersama, dan menyebarluaskan tuntutan

dan visi perubahan‖(James Champy, 1996

: 60).

Tetapi De Michele dalam James Champy

secara sempurna mengilustrasikan

persyaratan bahwa visi inspiratif

perubahan suatu perusahaan harus selalu

dibiarkan terbuka untuk revisi, revisi dan

revisi. Seperti apa yang secara lengkap

dikemukakan :

―Garis batas antara surga (peluang–

peluang yang diberikan oleh rekayasa

ulang) dan neraka (ketegangan dan

ketakutan yang ditimbulkan oleh

perusahaan) sangat tipis. Para pemimpin

harus mampu mengatur secara emosional

itu, baik secara psikologis maupun dalam

perasaan yang nyata, untuk mendapatkan

hasil yang positif. Restrukturisasi terus–

menerus, menurut saya, akan menjadi cara

dalam hidup bisnis sejak sekarang ke

depan dan tantangan bagi kepemimpinan

Page 91: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

90 | P a g e

selama rekayasa ulang adalah mengakui

adanya ketegangan, mendukung (orang–

orang yang tetap bertahan) dan menjaga

agar mereka tetap memusatkan perhatian

pada hal–hal yang positif, memusatkan

perhatian mereka pada masa depan‖ (De

Michele dalam James Champy, 1996:54).

DATA DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Perda nomor 17 tahun

2000 tentang Struktur Organisasi

Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi bahwa Bagian Organisasi

yang dibentuk berdasarkan Perda tersebut

bernama Bagian Aparatur, yang berada

dibawa Asisten Administrasi. Bagian

Aparatur, mempunyai tugas melaksanakan

sebagian tugas Sekretariat Daerah dibidang

aparatur antara lain mengolah bahan dan

mempersiapkan penyusunan program dan

pelaksanaan pembinaan di bidang

Kelembagaan, Tata Laksana, Analisis

Jabatan dan AKIP serta Kepegawaian.

Bagian Aparatur ini membawahi :

a. Sub Bagian Kelembagaan

b. Sub Bagian Tata Laksana

c. Sub Bagian Analisis Jabatan dan AKIP

d. Sub Bagian Kepegawaian

Sub Bagian Kelembagaan,

mempunyai tugas mengumpulkan bahan

penyusunan pedoman dan petunjuk

pembinaan dan penataan sistem, metode,

dan prosedur kerja. Sub Bagian Tata

Laksana, mempunyai tugas mengumpulkan

bahan penyusunan pedoman dan petunjuk

pembinaan dan penataan sistim, metode

dan prosedur kerja. Sub Bagian Analisis

jabatan dan AKIP, mempunyai tugas

menyiapkan dan mengolah bahan untuk

melaksanakan analisis dan formasi jabatan.

Sub Bagian Kepegawaian, mempunyai

tugas mengumpulkan bahan penyusunan

Pedoman Teknis Pembinaan PNS serta

menyelenggarakan Tata Usaha

Kepegawaian, meliputi pengumpulan data

kepegawaian, buku induk Pegawai, Usulan

Mutasi, Kenaikan Gaji Berkala, Kenaikan

Pangkat, Pembinaan Karier dan pensiunan

Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan

Sekretariat Daerah.

Selanjutnya tahun 2003 diadakan

evaluasi, dengan demikian berdasarkan

Perda nomor 1 tahun 2003 tentang Struktur

Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi (hasil evaluasi), bahwa

Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian

Organisasi, yang berada dibawah Asisten

Pemeritahan. Bagian Organisasi,

membawahi :

a. Sub Bagian Anjab dan AKIP;

b. Sub Bagian Tata Laksana;

c Sub Bagian Kelembagaan;

d. Sub Bagian Kepegawaian.

Dan pada saat ini Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Bagian

Organisasi yang diberlakukan pada

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi adalah

berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2011

tentang Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten Banyuwangi. Yang mana dalam

rangka melaksanakan Peraturan Daerah

Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun

2011 tersebut, maka ditetapkan mengenai

rincian tugas, fungsi dan tata kerja Bagian

Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi dengan menerbitkan

Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 38

Tahun 2011 Tentang Rincian Tugas,

Fungsi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah

Kabupaten Banyuwangi yang didalamnya

termasuk Bagian Organisasi. Adapun

rinciannya adalah sbb:

Bagian Organisasi mempunyai

tugas pokok melaksanakan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis pembinaan

dan penataan kelembagaan,

ketatalaksanaan, pembinaan

Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN),

pelayanan publik, budaya kerja,

pengawasan melekat, analisis jabatan,

LAKIP dan AKIP.

Selain itu Kepala Bagian

Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi mempunyai tugas:

a. menyusun rencana Bagian Organisasi

sesuai dengan rencana kerja Sekretariat

Daerah;

b. mengumpulkan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pelaksanaan analis dan formasi jabatan

serta pendayagunaan aparatur;

Page 92: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

91 | P a g e

c. mengumpulkan dan mengolah data

serta menyiapkan bahan pembinaan

dan penataan kelembagaan di lingkup

pemerintah kabupaten;

d. mengumpulkan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pembinaan ketata laksanaan yang

meliputi tatakerja, metode kerja dan

prosedur kerja;

e. mengumpulkan bahan penyusunan

pedoman dan petunjuk teknis

pelaksanaan pelayanan publik, budaya

kerja dan pengawasan melekat;

f. mengkoordinasikan penyelesaian

permasalahan-permasalahan

pemerintahan di daerah secara terpadu;

g. mengkoordinasikan bawahan agar

terjalin kerjasama yang baik dan saling

mendukung;

h. menilai hasil kerja bawahan untuk

bahan pengembangan karier;

i. melaksanakan tugas kedinasan lain

yang diberikan oleh atasan sesuai tugas

pokok dan fungsinya;

j. melaporkan hasil pelaksanaan

tugas/kegiatan kepada atasan.

Kepala Sub Bagian Kelembagaan

dan Kinerja Bagian Organisasi Sekretariat

Daerah Kabupaten Banyuwangi

mempunyai tugas:

a. menyusun rencana Sub Bagian

Kelembagaan dan Kinerja sesuai

dengan rencana kerja Sekretariat

Daerah;

b. menyelenggarakan pengaturan dan

penyusunan organisasi dan formasi

perangkat daerah;

c. mengumpulkan dan mengolah data

yang diperlukan untuk penyempurnaan

pemantapan dan pengembangan

organisasi satuan kerja di lingkungan

pemerintah daerah;

d. melakukan pengkajian dan

penganalisaan tugas dan fungsi serta

susunan organisasi satuan kerja di

lingkungan pemerintah daerah;

e. melaksanakan penelitian, penyusunan

evaluasi dan pembuatan konsep

rencana pengembangan serta

pemantapan kelembagaan di

lingkungan pemerintah daerah;

f. mengumpulkan dan mengolah bahan

pelaksanaan analisis dan formasi

jabatan serta pemanfaatannya;

g. melaksanakan evaluasi hasil analisis

dan formasi jabatan di lingkungan

pemerintah daerah;

h. mengumpulkan dan mengolah bahan

untuk penyusunan formasi jabatan;

i. mengumpulkan dan mengolah bahan

penyusunan LAKIP;

j. mengkoordinasikan bawahan agar

terjalin kerjasama yang baik dan saling

mendukung;

k. menilai hasil kerja bawahan untuk

bahan pengembangan karier;

l. melaksanakan tugas kedinasan lain

yang diberikan oleh atasan sesuai tugas

pokok dan fungsinya;

m. melaporkan hasil pelaksanaan

tugas/kegiatan kepada atasan.

Kepala Sub Bagian

Ketatalaksanaan Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi

mempunyai tugas:

a. menyusun rencana Sub Bagian

Ketatalaksanaan sesuai dengan rencana

kerja Sekretariat Daerah;

b. memberikan bantuan ketatalaksanaan

kepada seluruh perangkat daerah untuk

kelancaran penyelenggaraan tugas

pokok;

c. membuat pedoman kerja dan

pelaksanaan pembinaan tata naskah

dinas bagi satuan kerja perangkat

daerah;

d. membuat sistem dan prosedur kerja

agar tercapai efisiensi dan efektivitas

kerja bagi satuan kerja perangkat

daerah;

e. membuat pedoman dan koordinasi

pelaksanaan pelayanan publik oleh

instansi pemerintah;

f. membuat pedoman dan koordinasi

pelaksanaan budaya kerja;

g. membuat pedoman dan koordinasi

pelaksanaan pengawasan melekat;

h. mengkoordinasikan bawahan agar

terjalin kerjasama yang baik dan saling

mendukung;

i. menilai hasil kerja bawahan untuk

bahan pengembangan karier;

Page 93: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

92 | P a g e

j. melaksanakan tugas kedinasan lain

yang diberikan oleh atasan sesuai tugas

pokok dan fungsinya;

k. melaporkan hasil pelaksanaan

tugas/kegiatan kepada atasan.

Berdasarkan data diatas dapat

dianalisis bahwa Bagian Organisasi

Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi, merupakan salah satu bentuk

perubahan dari organisasi yang mana

didalamnya termasuk pengembangan

organisasi. Hal itu dapat dikatakan

termasuk sebuah perubahan organisasi

dikarenakan menggunakan suatu

pendekatan yang sistematik, terpadu dan

terencana dalam menyusun struktur

organisasi, tugas pokok dan fungsi serta

dalam menyusun tata kerja demi untuk

meningkatkan efektivitas pada Bagian

Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten

Banyuwangi. Bagian Organisasi ini

dirancang untuk memecahkan masalah –

masalah yang merintangi efisiensi dalam

pelaksanaan tugasnya pada semua

tingkatan, baik pada level staf, level

Kasubbag maupun level Kepala Bagian.

Berbagai masalah tersebut mencakup

kurangnya kerjasama, desentralisasi yang

berlebihan, dan kurang cepatnya

komunikasi (Warren Bennis, dalam Adam

1986 : 12).

Selanjutnya tujuan perubahan dari

Bagian Organisasi Sekretariat Daerah

Kabupaten Banyuwangi, adalah untuk

memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari

Bagian Organisasi secara menyeluruh yang

artinya tidak hanya memperbaiki prestasi

dari Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja

atau hanya memperbaiki prestasi Sub

Bagian Ketatalaksanaan saja.

KESIMPULAN

Bagian Organisasi Sekretariat Daerah

Kabupaten Banyuwangi, merupakan suatu

proses perubahan organisasi yang beralih

dari keadaan sekarang menuju ke keadaan

yang diinginkan pada masa mendatang,

dengan tujuan meningkatkan efektivitas

pada Bagian Organisasi. Selain itu

perubahan pada bagian organisasi ini

dilakukan secara bertahap, yaitu awalnya

berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi

nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian

Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang

berada dibawa Asisten Administrasi yang

membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan;

b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub

Bagian Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub

Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap

kedua berdasarkan Perda Kabupaten

Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa

Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian

Organisasi, yang berada dibawah Asisten

Pemeritahan. Bagian Organisasi ini,

membawahi : a.Sub Bagian Anjab dan

AKIP; b.Sub Bagian Tata Laksana; c.Sub

Bagian Kelembagaan; d.Sub Bagian

Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian

Organisasi didasarkan pada Perda Nomor 6

Tahun 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Adam molekun, Ladipo dan Coralie

Bryant, 1986, Governance

Progress Report The Africa

Region Ecxperience, Capacity

Building and Implementation

Division Study Paper, Africa

Technical Paper, Washington DC

: World Bank.

Champy, James, A., 1996, Preparing for

Organization of the Future, Jossey

Bass, Inc. San Francisco, CA.

Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17

tahun 2000 tentang Organisasi

Perangkat Daerah Kabupaten

Banyuwangi.

Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1

tahun 2003 tentang Organisasi

Perangkat Daerah Kabupaten

Banyuwangi.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi

Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten Banyuwangi.

Page 94: KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/04/Isi.pdf · sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016

93 | P a g e