kewenangan pemerintahan dalam konteks negara...
TRANSCRIPT
KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS
NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h. 136-148)
Abdul Rokhim1
Abstrak
Dalam konsep negara hukum klasik (rechtsstaat) yang memegang teguh pada asas
legalitas, wewenang pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan (bestuur
handelingen) seperti untuk pelayanan umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus
senantiasa berdasarkan pada dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan
pemerintahan yang bertumpu pada asas legalitas di bidang pemerintahan (wetsmatigheid van
bestuur) bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kemungkinan
tindakan penyalahgunaan wewenang pemerintah. Tetapi dalam konsep negara kesejahteraan
(welvaar staat; welfare state), wewenang pemerintah yang hanya mengacu pada peraturan
perundang-undangan dipandang sudah out of date, tidak memadai dan mempersempit ruang
gerak pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat. Bahkan, demi kepentingan umum, dalam keadaan tertentu pemerintah dengan
menggunakan kekuasaan diskresi (discretionare power; freis ermessen) berwenang
menyimpangi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Kata kunci: Kewenangan; Pemerintahan, Welfare State
A. Pendahuluan
Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan kemampuan atau
kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Kewenangan memiliki
kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Pada dasarnya,
wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.
Kewenangan pemerintahan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif, dan dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara
pemerintah dan warga negara.
Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban pada hakikatnya
merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya
akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu
atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.
1 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
Persoalannya adalah bagaimana konsep dan cara-cara atau sumber-sumber kewenangan
pemerintah itu diperoleh serta bagaimana pembatasannya dalam konteks negara kesejahteraan
(Welfare State) menarik untuk dianalisis.
B. Konsep Kewenangan Pemerintah
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “kewenangan” atau
“wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Secara
umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid
yang dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia berarti “wewenang atau
kekuasan” (Algra, 1983:74), atau istilah authority yang dalam Black’s Law Dictionary berarti:
“right to exercise powers; to implement and enforce laws” (Black, 1970:133). Oleh karena itu,
menurut Mochtar Kusumaatmadja (tt:4), seseorang yang mempunyai wewenang formal
(formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan
tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang
itu.
Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan dengan
kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara
menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang
demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut “legal power” atau “rechtsmacht”. Istilah “power”
dalam hal ini berarti: “an ability on the part of a person to produce a change in a given legal
relation by doing or not doing a given act” (Black, 1970:1169). Oleh karena itu, seperti halnya
istilah “tanggung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas, dalam kepustakaan
maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan “kekuasaan” juga seringkali dipakai
secara bergantian untuk menyebut makna yang sama.
Menurut Bagir Manan (2000:1-2), wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam
kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal, berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan.
Selanjutnya, istilah “pemerintah” seringkali juga dipertukarkan dengan istilah
“pemerintahan”. Bahkan, di kalangan para ahli hukum administrasi dan ilmu administrasi kedua
istilah tersebut yang sebenarnya merupakan padanan dari istilah “administration”, “government”,
“administratie”, “bestuur”, dan “regering” masih menjadi perdebatan yang tidak ada habis-
habisnya (Fachruddin, 2004:27).
Istilah “pemerintah” menurut Algra (1983:50) dalam arti sempit berarti “bestuur”, yang
meliputi bagian tugas pemerintahan yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-undang
(legislatif) dan tugas peradilan (yudikatif). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kuntjoro
Purbopranoto (1985:40-41), yang mengatakan bahwa pemerintah dalam arti sempit hanyalah
badan pelaksana (executive; bestuur) saja, tidak termasuk badan pembentuk perundang-
undangan (regelgeven), peradilan (rechtspraak) dan kepolisian (politie). Pendapat ini mengacu
pada teori residu dari Van Vollenhoven tentang ruang lingkup kekuasaan pemerintahan dalam
arti luas yang meliputi kekuasaan dalam ajaran Catur Praja, yaitu: (1) regelgeven, (2) bestuur/
executive, (3) rechtspraak, dan (4) politie.
Istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan,
mengingat kriteria “pemerintah” juga bergantung kepada cakupan fungsi “pemerintahan”. Istilah
“pemerintah” berarti organ yang menjalankan pemerintahan, dan “pemerintahan” merupakan
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Dari aspek lain, Philipus M. Hadjon (1997:6)
memberikan pengertian “pemerintah”, dalam dua makna yang berbeda, yaitu sebagai
“organisasi” dan sebagai “fungsi”. Pemaknaan “pemerintah” yang demikian ini sejalan dengan
pengertian “administrasi” menurut Prajudi Atmosudirdjo (1981:11), yaitu dapat dipandang
sebagai aparatur (mechinary) pemerintah, dan sebagai salah satu fungsi dan proses
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Untuk menghindari terjadinya kesulitan terkait dengan perbedaan sudut pandang pembaca
dalam memahami makna pemerintah “dalam arti sempit” maupun “dalam arti luas”, sebagai
“organ” maupun “fungsi” pemerintahan seperti telah diuraikan di atas, dalam tulisan ini istilah
“pemerintah” digunakan dalam arti sempit yang memiliki makna (hampir) sama dengan maksud
“bestuur” atau “administrasi”, yang dalam hukum administrasi Indonesia digunakan istilah
“pejabat tata usaha negara”. Karena untuk pemerintah dalam arti luas dalam literatur hukum
Indonesia seringkali digunakan istilah “kekuasaan negara” atau yang dalam istilah bahasa
Belanda disebut “overheid”.
Dengan merujuk pada pendapat Henc van Marseveen, wewenang (bevoegdheid) dalam
konsep hukum publik “dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht)”. Jadi, dalam
konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan (Hadjon, 1997:6). Menurut Bagir
Manan (1994:39) “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan “wewenang”. Kekuasaan
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus
kewajiban (rechten en plichten).
C. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan Pemerintahan
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh
melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Pengertian atribusi berdasarkan Ketentuan-ketentuan Umum Hukum Administrasi di
Belanda atau Algemene Bepalingen van Administratief Recht (ABAR) sebagaimana telah dikutip
oleh Ridwan HR (2007:196) “Van attributie van bevoegdheid kan worden gesproken wanner de
wet (in materiele zin) een bepaalde bevoegdheid aan een bepaald organ toekent”. (Atribusi
wewenang dikemukakan bila undang-undang (dalam arti materiil) menyerahkan wewenang
tertentu kepada organ tertentu).
Selanjutnya, Indroharto (1993:91) mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa
legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan
antara: (1) yang berkedudukan sebagai original legislator; (2) yang bertindak sebagai delegated
legislator. Di negara Indonesia, original legislator di tingkat pusat adalah MPR sebagai
pembentuk konstitusi (UUD) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai pembentuk undang-
undang; dan di tingkat daerah adalah DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah sebagai
pembentuk peraturan daerah. Contoh mengenai delegated legislator, adalah Presiden berdasar
pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah atau peraturan
presiden dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata
usaha tertentu.
Sedang, delegasi menurut ABAR berarti “pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan
yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang
telah dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri”. Dengan demikian, pada delegasi terjadilah
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah
memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha
negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
Selanjutnya, mengenai mandat, di dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) diartikan
sebagai “pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil
keputusan atas namanya”.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt
(1995:129) memberikan definisi sebagai berikut:
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan (toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een
bestuursorgaan);
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya (overdracht van een bevoegdheid van het een
bestuursorgaan aan een ander);
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya (een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namen hem
uitoefenen door een ander).
Berdasarkan uraian di atas berarti atribusi berkenaan dengan pemberian wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah
memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain). Jadi, delegasi secara logis selalu
didahului oleh atribusi. Dengan demikian, delegasi bermakna pelimpahan wewenang oleh organ
pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri.
Artinya, dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari
tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu
menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, menurut Phlipus M.
Hadjon (1998:9-10):, terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-
undangan;
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk
meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk)
tentang penggunaan wewenang tersebut.
Selanjutnya, dalam hal mandat, pada hakikatnya tidak ada pemberian maupun penyerahan
wewenang. Secara yuridis formal tidak terjadi perubahan wewenang apapun dalam hal mandat,
yang ada hanyalah “hubungan internal” seperti hubungan antara Menteri dengan pegawainya.
Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil
keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang (dalam arti hak dan
tanggung jawab) tetap berada pada organ kementerian. Dalam hal ini, pegawai memutuskan
secara faktual, sedang Menteri secara yuridis.
Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang
organ pemerintahan adalah hal penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum
(rechtelijke veranwoording) dalam penggunaan wewenang, sejalan dengan salah satu prinsip
dalam negara hukum “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (geen bevoegdheid
zonder veran-woordelijkheid atau there is no authority without responsibility). Artinya, di dalam
setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggung-
jawaban dari pejabat yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara
atribusi itu bersifat asli (originair) yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari teks pasal tertentu dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
Sedangkan, pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Sementara tanggung jawab yuridis
tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih kepada penerima delegasi
(delegataris). Sebaliknya, pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk
dan atas nama pemberi mandat (mandans). Dengan demikian, maka tanggung jawab akhir
keputusan yang diambil oleh penerima mandat (mandataris) tetap berada pada mandans. Hal ini
karena pada dasarnya penerima mandat itu bukan pihak lain dari pemberi mandat.
Terkait dengan hal tersebut di atas, Philipus M. Hadjon (1994:8) membuat perbedaan
antara delegasi dan mandat sebagaimana tampak pada tabel berikut:
Perbedaan Delegasi dan Mandat
Mandat Delegasi
a Prosedur pelimpahan Dalam hubungan rutin
atasan-bawahan: hal
biasa kecuali dilarang
secara tegas
Dari suatu organ pemerintahan
kepada organ lain: dengan
peraturan perundang-undangan
b Tanggungjawab &
tanggunggugat
Tetap pada pemberi
mandate
Tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih kepa delegataris
c Kemungkinan si
pemberi mengguna-
kan wewenang itu
lagi
Setiap saat dapat
menggunakan sendiri
wewenang yang
dilimpahkan itu.
Tidak dapat menggunakan
wewenang itu lagi, kecuali
setelah ada pencabutan dengan
berpegang pada asas “contraries
actus”.
Dalam literatur hukum administrasi juga dikenal pembagian wewenang pemerintahan
menurut sifatnya, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas. Dalam huibungan ini,
Indroharto (1993:99-100) mengatakan sebagai berikut:
1. Wewenang terikat, terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan
yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak
menentukan isi dari keputusan yang harus diambil. Apabila peraturan dasar yang menentukan
isi dari keputusan yang harus diambil itu terinci, maka wewenang pemerintahan itu sifatnya
terikat.
2. Wewenang fakultatif, terjadi apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun
pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas, terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada suatu
badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan
yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan
kepada pejabat tata usana negara yang bersangkutan.
Spelt dan Ten Berge membagi kewenangan bebas dalam dua kategori, yaitu: kebebasan
kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Ada kebebasan
kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit), bila peraturan perundang-undangan
memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas
untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada
apabila sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara
mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah
dipenuhi. Berdasarkan pengertian ini, Philipus M. Hadjon (tt:4-5) menyimpulkan adanya dua
jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi (discretionare power), yaitu: (1) kewenangan
untuk memutus secara mandiri; dan (2) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar
(vage normen).
Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, dalam suatu negara hukum
(rechtsstaat) pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti seluas-luasnya atau kebebasan
tanpa batas. Sebab dalam suatu negara hukum, penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang,
termasuk pelaksanaan wewenang tunduk pada batas-batas yuridis. Di samping itu, dalam negara
hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus disertai
dengan pertanggungjawaban hukum. Terlepas dari bagaimana wewenang itu diperoleh, apa isi
dan sifat wewenang, serta bagaimana mempertanggung-jawabkan wewenang tersebut, yang pasti
bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan.
Karena berdasarkan pada wewenang inilah pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan
hukum publik atau tindakan pemerintahan.
D. Wewenang Pemerintah dalam Konteks Welfare State
Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi pemerintah sebagai
alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga negara memiliki hak
untuk memperoleh jaminan perlindungan atas apa yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena
itu, kekuasaan pemerintah tidak lepas dari prinsip legalitas yang di satu pihak bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum dan dasar kewenangan dalam bertindak dan di lain pihak bertujuan
untuk memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang dari kemungkinan tindakan sewenang-
wenang yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur),
menurut Indroharto (1993:84) kekuasaan dan wewenang bertindak pemerintah sejak awal sudah
dapat diprediksi. Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan
memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat
menyesuaikannya. Konsekuensi dari asas tersebut berarti setiap tindakan badan/pejabat tata
usaha negara harus berdasarkan undang-undang formal, sebagai manifestasi adanya pengakuan
dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat.
Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van
bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara hukum
modern yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (klasik) dan negara
kesejahteraan (welfare state). Pemerintah di suatu negara yang menganut paham welfare state
dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup kesejahteraan rakyat
semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan. Lemaire, menyebut tugas
pemerintah yang demikian itu sebagai bestuurszorg yang dikenal juga dengan istilah public
service atau penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh pemerintah (Utrecht,
1960:23). Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban dan
kepentingan secara lengkap dalam undang-undang. Atas dasar tuntutan keadaan yang demikian
itu, asas legalitas yang dulunya hanya dipahami sebagai wetmatigheid van bestuur (pemerintahan
berdasarkan undang-undang) kemudian dipahami sebagai rechtmatigheid van bestuur
(pemerintahan menurut hukum).
Ruang lingkup wewenang pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik tugas yang
dibebankan kepadanya. Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Adapun tugas
pemerintah, menurut Mac Iver (Lukman, 1997:205) dalam dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu: (1) cultural function, (2) general welfare function, (3) economic control function. Di
Indonesia tugas pemerintah harus sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintah Indonesia
menurut Pembukaan UUD 1945 adalah “ . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan . . . .”
Berdasarkan uraian tersebut di atas, berarti negara Indonesia menganut paham negara
kesejahteraan (Welfare State) yang tidak jauh berbeda negara-negara lain yang menganut paham
yang sama. Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang
merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas
maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu
terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan
(regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana.
Adapun sumber wewenang pemerintah, dalam hukum administrasi dikenal tiga sumber
kewenangan pemerintah, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi adalah kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan oleh undang-undang. H.D.
van Wijk memberikan pengertian “atributie” sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Sedang, Indroharto (1993:91) mengatakan
bahwa “atributie” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan
perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator.
Adanya pengaruh perubahan pandangan dari wetmatigheid van bestuur menjadi rechtsmatigheid
van bestuur mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber wewenang pemerintah tidak lagi
semata-mata dari undang-undang sebagai produk originaire wetgevers, melainkan dari
perundang-undangan sebagai produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang pemerintah.
Delegasi, menurut van Wijk (1995:78) adalah: “overdracht van een bevoegdheid van het
een bestuursorgaan aan een ander” (penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau
pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain). Setelah wewenang
diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi. Delegasi hanya dapat
dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui
atribusi lebih dahulu. Karena itu, delegasi oleh Indroharto diartikan sebagai pelimpahan suatu
wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah yang telah memperoleh
wewenang pemerintah secara atribusi kepada badan atau pejabat pemerintah lain. Menurut van
Wijk, wewenang yang didapat dari delegasi dapat disubdelegasikan lagi kepada subdelegataris.
Ketentuan delegasi mutatis mutandis berlaku juga untuk subdelegasi.
Selanjutnya, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat
dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang memperoleh wewenang
itu tidak sanggup melakukan sendiri. Melalui mandat, suatu organ pemerintah mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan delegasi, pada
mandat, mandans (pemberi mandat) tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya
apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang
diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.
Indroharto (1993:92) menambahkan bahwa pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang
yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan
melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung jawab mandans.
Atribusi, delegasi dan mandat merupakan sumber wewenang yang sangat penting bagi
suatu negara hukum demokratis, sebab sesuai dengan salah satu asas negara hukum demokratis
adalah setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliknya, baik
wewenang yang diperoleh secara atributif maupun berdasarkan delegasi atau mandat.
Persoalannya adalah apakah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perseorangan atau
badan usaha swasta dapat dianalogikan sebagai delegasi wewenang atau mandat pemerintah
kepada perseorangan atau badan usaha swasta yang diberi izin? Untuk itu perlu dipahami dulu
tentang konsep perizinan dalam perspektif hukum administrasi.
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam hubungan ini, R.J.H.M. Huisman (tt:7) berpendapat bahwa:
“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoedgheid toeigenen. Slechts de wet kan
bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een
bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs,
inspecteur van het milieu, enz.) of zelfs speciale colleges (bijvoorbeld de kiesraad, de
pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtpersonen”.
Maksudnya, organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-
undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan,
tetapi juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan lain-
lain), atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk
perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat.
Wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang
(het beginsel van wetmatigheid van bestuur) yang bertumpu pada asas legalitas (legaliteit
beginsel) sebagai pilar utama negara hukum. Berdasarkan prinsip ini, sumber wewenang bagi
pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
E. Kesimpulan
Negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State). Dalam rangka
menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang merupakan salah satu
penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas maksud dan tujuannya.
Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu
dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya
dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula
konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana. Adapun sumber wewenang
pemerintah dalam hukum administrasi, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
DAFTAR PUSTAKA
Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,
Bandung, 1983
Bagir Manan, “Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung, 13 Mei 2000
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Ohio Publishing Co, Cincinnati, 1990
Huisman, R.J.H.M., Algemeen Bestuursrecht: Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, t.t.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Irfan Fachruddin. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah.
Bandung: PT Alumni, 2004.
Kuntjoro Purbopranoto. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara. Bandung: PT Alumni, 1985.
Marcus Lukman. Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya terhadap Pembangunan
Materi Hukum Tertulis Nasional. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1997.
Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
PT Binacipta, Jakarta, t.t.
Philipus M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Bersih”, Makalah Disampaikan pada Orasi Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994
--------, “Tentang Wewenang”, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi di
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,1998
--------, “Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid van Bestuur)”, Makalah tidak
Dipublikasikan, FH Unair, Surabaya, t.t.
Philipus M. Hadjon et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1997.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.
Hadjon. Utrecht, t.p., 1991.
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, CV Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1960.
van Wijk, H.D. dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-
Gravenhage, 1995.