kritik terhadap perkembangan ilmu sosial di indonesia
TRANSCRIPT
KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA
KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL
DI INDONESIA
Kekuatan Sosial yang Berperan dalam Perkembangan Teori-teori Sosial
Ilmu-ilmu sosial dalam sejarah perkembangannya menguraikan bahwa terjadinya perubahan
sosial di Eropa berupa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis pada abad
19 dan 20 mengakselerasi lahirnya ilmu sosial. Revolusi industri bukan kejadian tunggal,
tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada
transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang
meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-
pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan
teknologi.
Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan
oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi kapitalis adalah
sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem
ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapatkan keuntungan sangat besar sementara
sebagian besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang,
menerima upah yang rendah.
Situasi seperti itulah mendorong munculnya reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme
pada umumnya yang diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal lain
yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis dan berujung pada pergolakan dahsyat dalam
masyarakat eropa. Pergolakan ini pula yang mendorong para sosiolog (Marx, Weber,
Durkheim dan Simmel) untuk mempelajari masalah tersebut dan menghabiskan waktunya
untuk mengembangkan program yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Sehingga muncullah istilah “sosialisme”, sebagai jawaban atas sistem kapitalisme yang
dianggap meresahkan masyarakat di era industri.
George Berkeley (1713) menulis essai ilmu sosial bertajuk De Motu, yang berupaya melacak
analogi antara dorongan tindakan fisik dalam dunia material dan dorongan moral dan dimensi
psikologis dalam masyarakat. Ibarat tata surya yang saling tarik menarik satu sama lain,
demikian juga halnya dengan manusia. Kekuatan tarikan moral menarik seperti kekuatan
alam, manusia terdekat akan semakin kuat tarikannya. Pada saat yang sama juga terjadi
fluktuasi tarikan pada manusia seperti kekuatan sentrifugal yang terjadi pada sistem tata
surya.
Upaya semacam itu dalam konteks ilmu sosial dianggap premature. Karena untuk mencapai
kemapanan ilmu sosial penting, paling tidak ada dua kondisi dasar yang wajib dipenuhi
sebelum ilmu social dapat muncul, yaitu: (1) naturalism, yaitu doktrin yang menjelaskan
bahwa semua gejala dapat dijelaskan dalam logika sebab akibat (cause and effect), (2) sistem
evaluasi etis harus diminimalkan atau diabaikan sama sekali. Hal itu diperlukan agar gejala
sosial tidak terkekang dalam persoalan nilai.
Para pemikir ilmu sosial terdahulu telah banyak memunculkan ide dan gagasan yang masih
lazim digunakan oleh pemikir-pemikir sekarang, walaupun pada hakikatnya banyak
menimbulkan pertentangan antara pemikir itu sendiri. Dengan berlandasakan pada beberapa
proposisi utama yang rasional dan natural dalam ilmu sosial seperti; (1) pikiran merupakan
perangkat yang secara universal dimiliki manusia, (2) hakikat manusia sama secara universal,
(3) lembaga dibangun oleh manusia, bukan manusia ada untuk lembaga, (4) kemajuan
merupakan hukum utama masyarakat serta (5) gambaran ideal manusia merupakan realisasi
dari kemanusiaan itu, banyak memberikan inspirasi bagi teoritisi sekarang untuk
mengembangkan konsep ilmu sosial baru.
Kritik Terhadap Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
Ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia disebabkan oleh; Pertama, harus dilacak sejak
Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di
seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan
benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar
mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat
Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan
budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga,
“jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang
PKI.” ?
Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia
mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh
atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan? Celakanya,
larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi
dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas,
tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat
lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh
memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter?
Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas,
jika ada joke, "salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata." Hah? Selain itu,
pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di
Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia
ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian,
Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami,
pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami
pandangan dunianya ilmuwan sekuler?
Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang
tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu
mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas
nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit.
Kedua, ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang
komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata almarhum. Soedjono, mantan
orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur
ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak
ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji
menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada
dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman
bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya.
Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana,
Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan
kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum
Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja
mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak
suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini.
Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan
mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini,
“karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada
lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau
menjadi manajer. Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang
bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari
dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah
mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di
layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata.
Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat
yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang,
mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik
penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang
secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang
pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B.
Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan
terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena
rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu
sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis,
kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada
yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya
proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka
menghasilkan karya bermutu?
Keempat, para teoritisi sosial hanya memberikan jawaban dan kritik terhadap teori-teori yang
dikemukakan teoritisi lainnya, sehingga kadang-kadang mereka larut dalam pertentangan
konsep yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya antara ilmu sosial positif dan ilmu social
kritis. Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu
obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang
dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya,
terutama ilmu sosial kritis.
Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan
terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi
dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan
data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan
pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang
dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat.
Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu
sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia
dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter
subyektif.
Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan
subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi
sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya
dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan
tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan
diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Kalau
konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang,
pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang
dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi
tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta.
Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua
pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif.
Pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-
proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh
tindakan dan refleksi manusia.
Penjelasan-penjelasan kritis di dalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan
struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari
adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial
(meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai
contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal
golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas
sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka,
sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara
ekonomis oleh penguasa kapitalis.
Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam prakteknya dapat memberikan
keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama
manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka
yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus
dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan
pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka
sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung
keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak.
Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses
sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar
kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi
sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila
kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan
pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket
monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang
tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan
perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah
perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak
bisa dipisahkan dari politik praktis.
Sejauh mana pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan
kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak
terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus
membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak,
tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan.
Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial,
sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan
struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah
untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah
masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam
percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan
sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak.
Ilmu sosial di Indonesia seperti di negara lain, oleh penulis dianggap tidak mengalami
perkembangan seperti halnya dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam. Walaupun
perkembangannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memberikan kontribusi berarti dalam
pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabang ilmu sosial yang cukup signifikan
dalam perkembangan ilmu sosial adalah sosiologi itu sendiri, di mana perkembangan terakhir
ini muncul suatu isitilah baru dalam sosiologi, yaitu sosiologi profetik, secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma ilmu sosial profetik (ISP). ISP dicetuskan
oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan ilmu sosial yang mampu
mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sosiologi profetik
berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu.
Ini sekaligus menjawab teori positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos
dan cerita rakyat (folk wisdom) yang belum tentu kebenarannya.
Uraian ini memberikan gambaran bahwa secara ontologi perkembangan ilmu sosial yang
berkiblat ke dunia barat, dapat memberikan penguatan terhadap kelahiran konsep dan istilah
baru ilmu sosial. Konsep terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam
merumuskan dan pengembangan teori-teori sosial modern, bahka lebih dari itu dijadikan
sebagai konsep penanganan masalah-masalah sosial yang melanda semua negara di dunia.
Secara hipestemologi, ilmu sosial yang berkembang dsampai dewasa ini maish sering
dipertentangkan, apakah bisa diistilahkan sebagai ilmu baru atau hanya sebuah kata yang
mengandung unsur sastra. Pertanyaan ini masih melengkapi teka teki keilmiahan teori sosial.
Pembentukan premis mayor dan minor yang seharusnya melandasi conclucion sebuah teori
masih sering dipertanyakan, apakah sesuai dengan metode ilmiah atau hanya hanya sekadar
pernyataan biasa.
Secara aksiologi, kekurangan perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang mendapat
inspirasi dari dunia luar yang kebarat-baratan (westernisasi) lebih mengutamakan unsur akal
dan nafsu, sehingga melahirkan konsep yang berwarna liberal, kapital, dan humanis. Suatu
konsep yang bertolak belakang dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Indonesia
yang menjunjung tinggi peradaban dan kesantunan dalam bermasyarakat. Namun dengan
adanya terpaan angin liberal dan kapitalis yang begitu kencang, tatanan kehidupan Inondesia
yang dulunya masih memegang teguh nilai dan norma, kini mulai terkikis dan terganti
dengan budaya liberal dan kapitalis yang serba material dan hedonis.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Rosda Karya. Bandung.
Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.
Ritzer George dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Sosiologi. Bumi Aksara. Jakarta.
_______________. 1982. Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Formulasi Pembangunan Jangka Panjang Berbasis KerakyatanOleh : Edi S. Saepudin., SP.
Latar BelakangDidalam membangun bangsa dan negara Indonesia, sebagai
sebuahn e g a r a m a r i t i m d a n a g r a r i s , k e s a d a r a n p e n u h v i s i
y a n g h a r u s d i t u m b u h k e m b a n g k a n d i d a l a m d i r i , a d a l a h
m e n g e m b a n g k a n d a n mengoptimalkan segenap usaha, pemikiran dan mobilisasi
sumberdayam o d a l / k a p i t a l d a n m a n u s i a d e m i p e m a n f a a t a n s e b e s a r -
b e s a r n y a potensi sumberdaya alam lahan dan lautan.Dengan bersandarkan pada
perkembangan ilmu dan teknologi, baikyang merupakan swadaya inovasi
internal maupun dengan asistensib a n g s a a s i n g / e k s t e r n a l .
M a k a v i s i j a u h k e d e p a n d a l a m pengembangan industri
agraris dan maritim, jika orientasinya adalahpembangunan kesejahteraan rakyat,
haruslah didasarkan sepenuhnyapada pemberdayaan dan pendayagunaan rakyat, baik petani
maupunn e l a y a n . P e m b a n g u n a n y a n g m e n y i m p a n g
d a r i p a t r o n i n i dikhawatirkan akan menjadikan rakyat selalu menjadi objek
penderita.D i b u t u h k a n k o n s e p i n d u t r i a l i s a s i y a n g b e n a r - b e n a r
m e n e r a p k a n konsep
link and match
dalam arti sebenarnya. Dibutuhkan penyegaranp e m a h a m a n t e r h a d a p p e n g u s a h a ,
b a h w a m e n d a y a g u n a k a n r a k y a t sebagai sumber
raw materials
a d a l a h j a l a n l a n g g e n g m e m b a n g u n usaha mereka.B e t a p a p u n t e l a h t e r j a d i
p e r g e s e r a n e r a d i d u n i a , b a h w a k i n i s u d a h bukan jamannya industrialisasi, tapi
sudah masuk era informasi, padak e n y a t a a n n y a m a s y a r a k a t k i t a b e t a p a p u n
t e l a h t u r u t s e r t a d a l a m lingkaran era ini, tetaplah dan selalu hanya menjadi
konsumen. Jika kita sedikit saja merenungkan dan memiliki keinginan untuk sekalisaja dalam
sejarah, menjadikan diri bangsa ini sebagai inovator, makat i d a k p e r l u m e r a s a m a l u
d a l a m k e t e r t i n n g g a l a n i n i u n t u k m e m b u a t sebuah langkah besar merevisi pola
pembangunan bangsa ini.Mencermati pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh
ordebaru dan seharusnya kemudian secara estafet dilanjutkan oleh
ordereformasi. Setidaknya dalam beberapa hal bagian ini, jika dianggapsebagai
persiapan era industrialisasi pertanian dan maritim, dipastikansudah hampir final. Mari
kita lihat beberapa faktor kunci persiapantersebut, antara lain :1.Sarana dan
prasarana transportasi.2.Kesiapan sumberdaya manusia.
3.
Industri manufaktur.(faktor produksi)4.Kelembagaan dan
keorganisasian.5 . D a s a r / p a y u n g h u k u m .
D a l a m k o n s e p i n i k i t a m u l a i m e n j a d i k a n m a s y a r a k a t a t a u
r a k y a t negara ini sebagai asset bagi negaranya.Di sepanjang sejarah bangsa ini, suka
atau tidak suka, dengan latarbelakang kepartaian atau politik apapun kita
berdiri, sebaiknya kitaobjektif untuk menilai, bahwa baru satu orde saja dari sejarah
bangsaini yang dengan sungguh sungguh pernah menjadi orde pembangunan.B u k a n
h a n y a s e m a t a k a r e n a b a r u o r d e i n i y a n g s e c a r a
s i g n i f i k a n m e m i l i k i r e n t a n g w a k t u m e m e r i n t a h n e g e r i i n i . L e b i h d a r i
i t u k i t a h a r u s s e c a r a o b j e k t i f m e n g a k u i b a h w a r a n g k a i a n
p e r e n c a n a a n p e m b a n g u n a n n e g a r a , y a n g b e n a r - b e n a r
t e r i m p l e m e n t a s i s e c a r a terprogram, baru dilakukan oleh orde baru. Terlepas dengan
segala kekurangan, dan banyaknya pemborosan ataup e n y i m p a n g a n a n g a r a n y a n g
s u l i t d i b u k t i k a n d a n d i p r o s e s s e c a r a hukum, orde ini telah dengan cermat
merunut langkah demi langkahp e m b a n g u n a n n e g e r i i n i . S e b u a h
p e n c a p a i a n p o l a f i k i r y a n g semestinya dijadikan tauladan bagi pemimpin-
pemimpin kini dan masadepan. Tidak perlu malu untuk kembali menggunakan istilah
REPELITAbagi langkah pelaksanaan pembangunan skala taktis di negeri ini, dant i d a k
p e r l u s u n g k a n u n t u k k e m b a l i m e n g g u n a k a n G B H N
s e b a g a i kerangka acuan RENSTRA dalam pembangunan strategis negeri ini.Kalau saja
dunia mengakui kecermatan pola perencanaan yang beliaulakukan, tidak perlu merasa
paranoid atau terhina jika kita mengadopsil a n g k a h - l a n g k a h p e n c a p a i a n y a n g
t e l a h t e r s u s u n r a p i b e r d a s a r k a n p e m i k i r a n p a n j a n g d i s e p a n j a n g 3 2
t a h u n m a s a k e p e m i m p i n a n n y a . Tidak perlu kita terpaku pada citra buruk pada satu
sosok, karena buahpemikiran yang kemudian mencuat keatas diera miliknya,
bukanlahm e l u l u b u a h f i k i r n y a . A d a b e r i b u i n t e l e k t u a l y a n g p e r n a h
b e r d i r i dibelakangnya, yang dengan sukarela atau terpaksa menyumbangkanpemikirannya,
untuk kepentingan bangsa ini. Tercatat negara-negaraasia tenggara seperti Vietnam,
Thailand, Malaysia dan Philpina yangbelajar dari kita. Tak terhitung negara-
negara di afrika, timur tengahdan juga asia selatan yang juga pernah belajar dari kita.
Lihat merekasaat ini, apa yang terjadi, tidakkah kita merasa malu?.S e b a g a i w a r g a
n e g a r a y a n g b e r a s a l d a r i k e l a s
grass root
, b e t a p a perjalanan negeri ini begitu membuat hati ini miris, trenyuh kalau tidakbisa
dikatakan prustasi, ketika waktu demi waktu selalu saja disodorisegala bentuk
sandiwara pertentangan dan pertengkaran demi kursikekuasaan. Bukan tanpa alasan
hal ini dikemukakan, sadarlah, bahwakita telah membuang satu dekade kehidupan
kesejarahan berbangsa,u n t u k s e g a l a k e k i s r u h a n d a n k e m e l u t i n i . T a n p a
s e l a n k a h p u n b u a h k a r y a n y a t a y a n g s i g n i f i k a n t e l a h
d i l a k u k a n , b e r a p a b a n y a k sumberdaya material telah tertumpah dan
tercerai berai.
Sarana dan Prasarana Transportasi,
M a r i k i t a k e m b a l i k e p o k o k p e m b a h a s a n , s a r a n a d a n p r a s a r a n a
t r a n s p o r t a s i a d a l a h k u n c i
keberhasilan pembangunan, karena dengannya mobilisasi alat, bahandan produk dimobilisasi.
Tidak perlu sungkan untuk mengakui bahwapada saat ini, hampir seluruh bagian pelosok
negeri ini telah memilikisarana ini, sebagai buah karya orde baru, baik itu moda
transportsidarat, sungai ataupun laut. Jadi jangan pernah katakan lagi pada kami,b a h w a ,
k e n a i k a n B B M h a n y a m e n g h i l a n g k a n s u b s i d i o r a n g k a y a , k a r e n a
k e t a h u i l a h , t i d a k a d a l a g i b a g i a n d a r i b u m i p e r t i w i i n i y a n g tidak
menggunakan minyak sebagai BBM bagi sarana transportasinya.Sehinga setiap kenaikan
satu sen di pusat, akan berarti seribu rupiahatau bahkan sepuluh ribu rupiah nun
dipelosok sana.
Sumber daya manusia
, Kemudian sumberdaya manusia, betapapunp r o g r a m y a n g d u l u d i b e n t u k o r d e
b a r u a d a l a h p e m e r a t a a n t i n g k a t pendidikan, belum pada taraf peningkatan
kualitas pendidikan, danbetapapun banyak sarjana yang tercipta dari universitas/institut
abal-abal misalnya, yang tumbuh begitu menjamur pada era itu. Kelebihanutama seorang
sarjana dari manapun dia mendapatkan pendidikan dangelar, adalah kebiasaannya,
sebagai hasil/buah dari pendidikannya,untuk melakukan langkah berdasarkan pola fikir
ilmiah.M e r e k a t e l a h t e r s e b a r d i s e g e n a p p e l o s o k n e g e r i i n i , y a n g
b e l u m m e r e k a d a p a t k a n a d a l a h k e s e m p a t a n y a n g d i b e r i k a n
p e m e r i n t a h . Sehingga karena keterdesakannyatah tidak jarang dari mereka
yangdengan hati perih, merendahkan diri untuk menjadi atau melakukansesuatu
yang tidak sesuai dengan derajat dan tingkat penddikannya.M a n f a a t k a n
m e r e k a , b e r d a y a k a n d a n b e r g u n a k a n m e r e k a , j a d i k a n mereka sebagai asset
bagi negeri ini. .
I n d u s t r i m a n u f a k t u r
, U n t u k k e p e n t i n g a n f a k t o r
p r o d u k s i industrialisasi dibidang pertanian dan maritim, industri manufaktur
apayang belum ada di negeri ini? Jadilah bangsa yang mencintai
barangp r o d u k d a l a m n e g e r i , j a n g a n i k u t t e r l e n a d e n g a n
m e d i a m a s s a e l e k t r o n i k y a n g c e n d e r u n g a m e r i c a n s e n t r i s d a n
k e n t a l d e n g a n westernisasi.K a l a u t i d a k p e r c a y a d i r i d e n g a n
m e n g g u n a k a n r u p i a h , k e n a p a k i t a tidak menjadikan yen sebagai standar
perdagangan misalnya, kenapak i t a t i d a k m a l u d e n g a n m a l a y s i a y a n g s e l a l u
m e n g g u n a k a n r i n g g i t pada setiap transaksinya. Kenapa kita tidak belajar dari
jepang ataukorea yang mampu bangkit dan kemudian leading dari kondisi
yangporak poranda. Kenapa kita tidak berani menentukan nilai tukar rupiahterhadap mata
uang asing, tidak perlu perduli dengan berapapun ratemata uang rupiah dipasar valas.Kita
hitung ulang berdasarkan standar perhitungan yang valid secara internasional,
mulai saat ini kedepan, berapa perbandingan nilai tukarr u p i a h t e r h a d a p m a t a
u a n g a s i n g , d a n e v a l u a s i s e c a r a p e r i o d i k . S e h i n g g a s i a p a p u n y a n g
d a t a n g d e n g a n u a n g m e r e k a k e n e g e r i i n i d e n g a n n i a t i n v e s t a s i ,
s u d a h t e n t u n i l a i n y a . J i k a k i t a m a s i h m a u
Pengertian Pembangunan
March 19, 2009 — Syamsiah Badruddin
TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Konsepsi pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek
spasial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal
membuktikan keberhasilan. Hal ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara Singapura,
Hongkong, Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara
tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari
aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung jawab sehingga
setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi
kaidah-kaidah perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut
dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut
dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi
kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari
semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam
perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu
(vested interest) dari keuntungan semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-hasil
pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus)
batas ruang (inter-region) dan waktu (inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial
menjadi kurang relevan dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan
Rochmin Dahuri, 2004).
Namun demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan
kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan
berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena yang khas,
antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengelolaan public good yang tidak tepat, lemahnya
mekanisme kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-
kelemahan itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran
penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) di
dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya
sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi
mudah diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku
ekonomi. implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan
terhadap sumberdaya saat ini karena penuh dengan berbagai resiko (high inter temporal
opportunity cost). Keadaan ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan
dari kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas adalah
mekanisme pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak mampu dihambat karena
beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan dapat diterima oleh logika ekonomi
disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.
Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan
peluang baru bagi proses pembangunan di Indonesia. Dalam era seperti ini, kondisi
persaingan antar pelaku ekonomi (badan usaha dan/atau negara) akan semakin tajam.
Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam ini, tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali)
dituntut menerapkan dan mengimplementasikan secara efisien dan efektif strategi
bersaing yang tepat (Kuncoro, 2004). Dalam konteksi inilah diperlukan ”strategi
berperang” modern untuk memenangkan persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif
diperlukan tiga hal (D’Aveni, 1995), pertama, visi terhadap perubahan dan gangguan.
Kedua, kapabilitas, dengan mempertahankan dan mengembangkan kapasitas yang
fleksibel dan cepat merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang mempengaruhi arah
dan gerakan pesaing.
A. Pengertian Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma
besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995
dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai
individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-
teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development)
dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994).
Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan,
yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma
tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk
diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan
kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber-
kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx),
pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi
memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan-
jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini,
pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan
alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan
mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan
perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya
alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan
hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun
mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya
yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai
aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada
pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan
berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya,
Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa
pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy
Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan
secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994)
memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke
arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran
yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan
modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh
pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan,
perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung
unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup
prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang
berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan
bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah,
2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh
system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan
teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan
pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah
proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula
diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui
kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur
ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang
cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional
semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan
berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi.
Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui
pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan,
kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses
pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara
lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya
perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme
ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan
materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan
masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro
(nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah
adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua
proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.
Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai
dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang
menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya
mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek
yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi diartikan
sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya,
baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang
mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai
suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional
menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat
modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu
sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep
pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai
suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang
dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada
yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan
perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat
menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus
memisahkan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi
Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu
kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang,
sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu
kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan
sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal
ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan
(improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
B. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus
pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah,
makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi
menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat
melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan
dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan
industrialisasi. Kontribusi mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang
cenderung melihat segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-
indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan
pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator
ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai
mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi),
pengentasan garis kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin
timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini
membawa perubahan dalam paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan
harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli
menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai
(Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam
arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai
manusia yang berada di daerah itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir,
berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut mengakibatkan
terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada akhir
dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa
“pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan
ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya
melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang
dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran,
kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan
ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya yang memperkuat
keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan
(necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara,
1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat
peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan
berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan.
Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya mengartikan pembangunan sebagai
pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya
pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan
kelembagaan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai
sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses
pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal
pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian
pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal.
Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi
pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.
Peranan sumber daya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai
“instrumen” atau salah satu “faktor produksi” saja. Manusia ditempatkan sebagai posisi
instrumen dan bukan merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai
produksi dan produktivitas telah mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi
kepuasan maupun maksimisasi keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan
produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production
centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan
dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas pada masalah
pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya.
Kualitas manusia yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan
memenuhi tuntutan masyarakat industrial. Alternatif lain dalam strategi pembangunan
manusia adalah apa yang disebut sebagai people-centered development atau panting
people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia (rakyat) merupakan
tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan
sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang semacam ini jelas lebih
luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan trampil sehingga bermanfaat
dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek pembangunan menekankan
pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia
untuk mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti
pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri
(self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam
(ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut
etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat -
dirangkum sebagai berikut:
1. Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari
pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan
perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun
juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa
diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja,
investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha
ekonomi lemah.
2. Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan
semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat
dari setiap program pembangunan.
3. Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam forum
internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan
menawarkan anjuran kerja sama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan
global.
4. Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat
dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas
dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah,
strategi pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5. Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep
ecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP
dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan
kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan
masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro,
2004).
C. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara.
Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin
masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan
pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang
telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada
factor-faktor sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga
internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin,
urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang
menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu
Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI).
Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator
tersebut :
1. Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah
satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan
bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita
telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun
memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional,
selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara
otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan
ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator
ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur
distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses
terhadap sumber daya ekonomi.
2. Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan
mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas
sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita,
konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional
akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah
akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh
perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak , kontribusi
sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang
bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi
dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama
dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa
Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus
dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan
semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara
industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di
Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah
pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu
indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan
investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses
industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada
umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi
industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini
dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator
makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang kesejahteraan
masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan
nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan
kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata
harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka
melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi
akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan
lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga.
Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah
orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini
menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi
keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para
pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur
kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per
kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator
pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah
ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya
memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan
hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam
pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang
bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal
ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan
diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup
manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia,
tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat
manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling
menentukan dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan
pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan
yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1)
rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat
SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan
Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan
peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan
knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota
keluarga dan lingkungannya.