kritik nasr hÂmid abÛ zayd terhadap konsep...

84
KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP SUNNAH IMÂM AL- SYÂFI’Î Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun Oleh: Rino Ardiansyah 1113034000020 PROGRAM STUDI ILMU AL- QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2018 M

Upload: others

Post on 28-Nov-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP

KONSEP SUNNAH IMÂM AL-SYÂFI’Î

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun Oleh:

Rino Ardiansyah

1113034000020

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS

USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2018 M

Page 2: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA
Page 3: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA
Page 4: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA
Page 5: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

PEDOMAN TRANSLITERASI

Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts Te dan es ث

j Je ج

h h dengan garis bawah ح

kh Ka dan ha خ

d De د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

d de dengan garis di bawah ض

t t dengan garis di bawah ط

z z dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ه

Apostrof ` ء

y Ye ي

i

Page 6: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fathah

I Kasrah

و U dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i ي

Au a dan u و

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan

Arab

â a dengan topi di atas اى

î i dengan topi di atas يى

û u dengan topi di atas ىى

ii

Page 7: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal

ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرورضلاtidak

ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang bersiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

nomor 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata

sifat (na’t) (lihat nomor 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata

benda (ism), maka huruf tersebut doalihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat nomor

3). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

تقيرط 1tarîqa

h

al-jâmi’ah al-islâmiyyah تيملاسلإا تعماجلا 2

wahdat al-wujûd دىجىلا ةدحو 3

iii

Page 8: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû

Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau

cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,

maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak

‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Page 9: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

ABSTRAK

Tulisan ini pada dasarnya ingin menemukan konsep sunnah yang sesuai dengan

perkembangan zaman. Dinamika kajian terhadap sunnah tersebut memang tidak pernah

menemukan jalan buntu sejak zaman Nabi hingga zaman kontemporer saat ini.

Pembahasan mengenai sunnah memang membutuhkan sebuah metode serta

pembaharuan yang dikembangkan secara berkala dan terus-menerus agar dapat

menjawab tantangan zaman yang semakin berkemabang. Pada awal abad ketiga hijriah

muncullah seorang ‘ulama ternama yang mencoba merumuskan gagasan konsep

sunnah. Adalah Imâm al-Syâfi’î yang merupakan ‘ulama klasik pertama yang

berasumsi bahwa seluruh sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah yaitu sunnah al-

hikmah. Apalagi al-Syâfi’î menggunakan gagasan ‘ishmah (suci dari dosa) sebagai sifat

dari seluruh Nabi, dan terutama Nabi Muhammad Saw.

Selanjutnya, gagasan klasik yang sudah diutarakan oleh al-Syâfi’î ini dianggap

sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, Nasr Hâmid Abû Zayd

mencoba melakukan pembokaran framework klasik yang sudah eksis sedemikian lama.

Metode deskriptif-analisis serta melakukan komparatif antara konsep sunnah klasik

dengan kontemporer sampai kepada kesimpulan bahwa sunnah bukan merupakan

bagian dari wahyu. Bagi Abû Zayd khususnya sebagai tokoh kontemporer, sunnah

merupakan ijtihad Nabi dalam memahami wahyu, karena sebagai sebuah produk

pemahaman, maka sunnah memiliki sisi dimensi kemanusiaan (bashari), berbeda

dengan al-Qur’an yang memiliki wahyu dalam dimensi ketuhanan. Menyejajarkan

keduanya sama saja menyejajarkan dua hal yang berbeda.

Abû Zayd menyadari bahwa di dalam kajian ini sebenarnya sunnah yang

bersumber dari Nabi terbagi menjadi dua kategorisasi yaitu sunnah al-wahyi dan

sunnah al-âdah wa al-taqalid. Sunnah al-wahyi merupakan perkataan Nabi yang

berfungsi sebagai penjelas ketentuan di dalam al-Qur’an yang masih bersifat global.

Lebih lanjut, sunnah ini berfungsi sebagai komplementer al-Qur’an sehingga sunnah

ini harus diikuti serta mengikat baik ketika Nabi Muhammad masih hidup maupun

generasi setelahnya. Sedangkan sunnah al-‘âdah wa al-taqalid sebagai sunnah yang

mencerminkan sejumlah tindakan Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berada

pada penggal waktu dan tempat tertentu dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab

pada abad ke-7 M. Dalam konteks ini, tindakan Nabi Muhammad terkait dengan

kebiasaan dan adat-istiadat masa tersebut serta menggambarkan kondisi baik historis,

sosial maupun kultural serta tidak memiliki ikatan bagi komunitas di luar masyarakat

pewahyuan pada masa tersebut.

Kata kunci: Nasr Hâmid Abû Zayd, Imâm al-Syâfi’î, sunnah, pemahaman

vi

Page 10: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

KATA PENGANTAR

Segala puji beserta syukur kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam yang

telah melimpahkan rahmat, kurnia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul KRITIK NASR

HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYÂFI’Î. Salawat

dan salam bagi baginda Rasulullah SAW., sebagai sebaik-baik contoh dan teladan

bagi seluruh umatnya.

Sebagai karya tulis hamba yang jauh dari kata sempurna. Tentunya di dalam

skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan

tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian

ini.

Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa

objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai usaha

mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “Konsep Sunnah Nasr

Hâmid Abû Zayd”. Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya dapat

menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1). Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi

pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan rasa terima kasih kepada

seluruh pihak yang telah mendukung, mendorong dan mendo`akan penulis

sehingga dapat terselesaikannya karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih ini penulis

sampaikan kepada:

vii

Page 11: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta

jajarannya; Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum,

M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF) dan

Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku sekretaris Program Studi Ilmu

al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF).

2. Kepada orang tua tercinta, terutama Mama Erlina yang tiada henti-hentinya

memberikan doa-doa, membiayai, merawat, membesarkan, memotivasi,

memberi semangat, mendidik serta memberikan dukungan untuk penulis.

Untuk saat ini hanya ini yang mampu anakmu berikan ma. Kepada ayah

Bachtiar atas dukungan, arahan serta motivasinya. Dan tidak terlupa pula

buat kakak tercinta Melinda Epha Miniar yang memberikan semangat serta

motivasinya.

3. Kepada Alm. Suhaimi dan Alm. Rosmaniar sebagai Kakek dan Nenek

kesayangan penulis, yang sudah membesarkan penulis hingga sampai

kepada titik ini, tuk, wo skripsi ini buat kalian, buat membanggakan kalian.

4. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag selaku pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran serta dukungan

kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang

sebesar-besarnya jika selama bimbingan penulis banyak merepotkan.

Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala urusan dan

selalu berada dalam lindungan Allah SWT. amin.

viii

Page 12: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

5. Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli M.A, selaku dosen pembimbing

akademik yang telah ikut membimbing penulis selama menimba ilmu di

kampus tercinta ini. Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam

segala urusan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT. amin.

6. Bapak Kusmana, Ph.D selaku orang tua dan juga tempat bertukar fikiran,

bahkan yang perlu diapresiasi setinggi-tingginya adalah ketulusan hatinya

untuk memberikan arahan serta bimbingan sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dan skripsi ini.

7. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, M.Ag, Eva Nugraha, M.Ag, Dr. Abdul

Wahid Hakim, M.Ag, dan seluruh dosen serta penghuni ruang Hipius

(Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin), saya ucapkan terima kasih karena

sudah memberikan waktu serta pengetahuan sehingga penulis berada pada

titik sekarang ini.

8. Kepada karyawan/i LPM (Lembaga Penjaminan Mutu) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis

selama kurang lebih tiga bulan bisa berkontribusi serta memajukan UIN

Jakarta. Terutama kepada Bapak Jejen Jaenudin, Bapak Ramdani, Bapak

Parhan, Bapak Iwan, Ibu Sururin, Ibu Fitri dan masih banyak lagi yang tidak

bisa penulis ucapkan satu persatu.

9. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu al-

Qur`an dan Tafsir yang telah memberikan ilmu serta motivasi, bimbingan

dan pengalamannya kepada penulis. Dan tidak lupa pula kepada seluruh

staff dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ix

Page 13: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

10. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11. Kepada seluruh keturunan atuk Suhaimi dan uwo Rosmaniar, Mama Yanti,

Uda Ican, om Iwan, Bunga, Alya, Agia yang selalu memberikan semangat,

materi serta dukungannya kepada penulis sehingga skripsi ini bisa

terselesaikan dengan baik.

12. Teman-teman seperjuangan, seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis

angkatan 2013, khususnya TH A: Andrian, Halim, Muslih, Mukhlis,

Salman, Nasrul, Faris, Vijay, Iqbal, Nelfi, Ica, Dewi, Nurul, dan lain-lain

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu seluruh nama-nama kalian

seangkatan, tetapi percayalah pertemanan kita akan selalu dikenang. Amin.

13. Kepada segenap teman-teman satu perjuangan, di KOMDA Ushuluddin

Rahman, Iqbal, Evi, Yeni, Nisa. Saya ucapkan terima kasih karena sudah

mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di

KOMDA tersebut.

14. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga dapat terselesaikannya

penulisan skripsi ini.

Jakarta, 23 April 2018

Rino Ardiansyah

x

Page 14: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................................... i

ABSTRAK ................................................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 10

E. Kajian Pustaka .............................................................................................. 11

F. Metodologi Penelitian................................................................................. 15

G. Sistematika Penulisan ................................................................................. 17

BAB II : WACANA SUNNAH DALAM KONTEKS SEJARAH

A. Sejarah dan Pengantar Wacana Sunnah ................................................ 19

a. Makna Sunnah dan Tradisi pra-Islam ........................................... 20

b. Sunnah Nabi dan Sunnah Para Sahabat ........................................ 24

c. Tradisi yang Hidup ............................................................................. 26

d. Rekonstruksi konsep Sunnah ........................................................... 29

B. Pembacaan Ulang Wacana Sunnah......................................................... 31

a. Pengertian Modern, Modernisasi, dan Pembaharuan dalam

Islam ....................................................................................................... 32

b. Modernisasi dalam Sunnah .............................................................. 35

xi

Page 15: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB III: BIOGRAFI NASR HÂMID ABÛ ZAYD

A. Sketsa Biografi dan Latar Belakang Pemikiran .................................. 36

B. Kegelisahan Akademik .............................................................................. 40

C. Karya-karyaNasr Hâmid Abû Zayd ........................................................ 42

BAB IV: PEMBACAAN KEMBALI KONSEP SUNNAH MENURUT NASR

HÂMID ABÛ ZAYD

A. Problem Pembacaan Sunnah Era Klasik: Kritik terhadap Konsep

Sunnah Imâm al-Syȃfi’î ............................................................................. 45

B. Konsep Sunnah dalam Perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd ............... 52

a. Pengertian Sunnah .............................................................................. 53

b. Klasifikasi Sunnah .............................................................................. 54

c. Fungsi Sunnah ...................................................................................... 59

C. Analisis Kritik Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap Konsep Sunnah

Imâm al-Syâfi’î ............................................................................................ 61

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 65

B. Saran-saran..................................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA

xii

Page 16: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ajaran sunnah dalam hadis1 yang dibangun atas dasar epistimologi klasik, tentu

banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan dengan kasus atau gagasan baru yang

dibangun atas dasar epistemologi modern. Persoalan bagaimana batas dan daya

mengikatnya terus dikaji dan berkembang di kalangan para ulama. Isu sentral yang

masih menjadi perbincangan terkait masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah

(contoh-contoh normatif Nabi Muhammad Saw.). Pembacaan ini dilakukan berulang-

ulang mengingat status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, karenanya perkataan

dan perbuatannya diterima sebagian Muslim sebagai sebuah sumber kewenangan

keagamaan hukum dan sumber kedua setelah al-Qur‟an.2

1 Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki makna yang sama. Akan tetapi,

hasil penelusuran kepada literatur-literatur klasik menghasilkan penemuan bahwa antara hadis dan sunnah memiliki makna dan penggunaan yang berbeda. Diletaratur lainnya yang menunjukan adanya perbedaan istilah sunnah dan hadis, adalah Abû Yûsuf dalam salah satu statement nya mendesak agar mengikuti hadis yang memiliki kesesuaian dengan al-Qur‟an dan sunnah. Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “dalam hadis ini terdapat lima sunnah”. Pernyataan tersebut disampaikan ketika mengomentari sabda Nabi tentang seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram. Demikian juga „Âisyah ketika mengomentari hadis tentang Barirah, beliau mengatakan: “dalam masalah Barirah terdapat tiga sunnah. Baca Nasrullah, “Rekonstruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis”, Jurnal Ulul Albab, Volume 15 No. 1, Tahun 2014, h. 20-21.

2 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), h. 11.

1

Page 17: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

2

Dalam beberapa tempat, al-Qur‟an berulang-ulang memerintahkan kepada para

pembacanya agar mematuhi perintah Allah dan rasul-Nya,3 serta menjadikan

kepatuhan kepada Nabi sebagai indikasi akan adanya kepatuhan kepada-Nya.4

Pada periode awal Islam, konsep sunnah tidaklah bersifat spesifik, baku, kaku

dan tetap.5 Konsep awal sunnah ini bersifat dinamis, karena disamping adanya contoh

aktual yang dilakukan oleh Nabi Saw., sendiri, ada praktek aktual kaum Muslimin

(sunnat al-Muslimîn) serta pemikiran bebas para ahli hukum dan ulama, secara

otoritatif termasuk kepada unsur pokok yang membentuk sunnah. Konsep sunnah yang

digunakan pada masa ini telah membawa kepada kekreatifitasan serta kedinamisan

dalam menghasilkan produk-produk pemikiran yang sesuai dengan respon terhadap

perubahan zaman.

Namun dalam perjalanannya, sunnah dan hadis dalam beberapa dekade

belakangan terus mengalami sorotan tajam yang menjadikannya sebagai sebuah teks

keagamaan yang selalu dituntut selalu ikut kepada konteks perkembangan zaman. Hal

ini yang kemudian kerap memicu beberapa kontroversi yang terekam dalam jejak

3 Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur‟an yang memerintahkan agar para pembaca atau para

pengikut agama Islam agar mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya, antara lian: Âli „Imran (3): 32 dan 132, al-Nisâ‟ (4): 59, 64, dan 69, al-Mâidah (5): 92; al-Nûr (24): 54, dll.

4 Al-Nisâ‟ (4): 80.

5 Fazlur Rahman dalam bukunya Islamic Methodology in History mengemukakan teori bahwa, ada

tiga fase transmisi dalam perkembangan hadis, yaitu: informal, semiformal, dan formal. Fase informal adalah

fase ketika Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi merupakan bagian dari peristiwa yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari para sahabat. Fase semiformal terjadi setelah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat

dan tabi‟in senior. Pada fase ini, penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat

dikembangkan menjadi praktek masyarakat Muslim dengan maksud kesengajaan. Sedangkan fase formal,

menurut Fazlur Rahman menuntut adanya keseragaman dan standarisasi dalam sunnah di seluruh dunia Islam.

Ini diakibatkan oleh penyelewengan hadis-hadis Nabi dalam aktualisasi kehidupan masyarakat Islam. Fase ini

menyebabkan sunnah yang hidup dan bersifat dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus terjadi

corpus tertutup, baku-kaku dan stagnan serta dianggap sebagai keputusan final demi sebuah alasan untuk

keseragaman. Baca Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anas Muhyidin (Bandung: Pustaka,

1995), h. 1-4.

Page 18: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

3

sejarah. Mulai dari perkembangan sunnah pada masa Arab pra-Islam,6 pelembagaan

sunnah pada era Nabi Muhammad Saw.,7 kontoversi penulisan pada masa sahabat,

8

sunnah sebagai tradisi yang hidup (a living sunnah),9 serta pengintegrasian sunnah

pada masa al-Syâfi‟î.10

Dengan begitu, setiap perkembangan teks sunnah mengalami

sejarah dan latar belakang munculnya problematika yang terjadi setiap periodenya.

Pada sekitar akhir abad kedua Hijriyyah, kreatifitas dan kedinamisan sunnah

harus terhenti. Gerakan ini dibangun oleh Imâm al-Syâfi‟î dilatarbelakangi oleh

6 Menurut Josep Schacht, sunnah merupakan tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat

Arab pra-Islam. Tokoh yang paling berpengaruh di dalam menciptakan sunnah pada masyarakat Arab pra-Islam adalah para hakim yang selalu dimintai pendapat atau keputusan mereka dalam menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di dalam masyarakat. Sejalan dengan Schact, Goldziher juga menjelaskan bahwa terma sunnah sudah lama akrab pada bangsa Arab pra-Islam, bagi mereka (Arab pra-Islam), sunnah menunjuk kepada seluruh peraturan-peraturan yang sesuai dengan tradisi-tradisi Arab dan warisan-warisan nenek moyang serta adat kebiasaan. Lihat Muhammad Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: Dari Historitas menuju Kontekstualitas dalam Faisar Anada Arfa dkk, Konsep Sunnah dalam Perspektif Joseph Schacht (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 139; dan Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, cet. ke-VI (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h.163.

7 Dalam catatan sejarah, Islam membangun sunnahnya sendiri dengan mengadopsi bentukan sunnah sebelumnya. Konsep ini dikenal dengan ‟Asr al-Wahy wa al-Takwîn. Pada masa ini, konsep sunnah telah berganti makna dari tradisi nenek moyang Arab pra-Islam, menjadi tradisi yang datang dari Nabi Saw. Lihat Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenanda Media Group, 2010), h. 31.

8 Nabi Saw. pernah melarang penulisan hadis karena ditakutkan bercampur dengan penulisan (mushaf al-Qur‟ân). Akan tetapi pernyataan ini dinasakh oleh pernyataan setelah nya yang membolehkan penulisan hadis. Perizinan ini diberikan oleh Nabi kepada para sahabat yang hanya menulis sunnah untuk dirinya sendiri. Hal ini yang kemudian menjadikan sunnah mengalami hambatan, ada beberapa kalangan yang secara tegas menolak ke-hujjah-an sunnah karena banyaknya penyakit dalam periwayatan sunnah tersebut (ingkar al-sunnah). Lihat Habsi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 34.

9 Schacht memberikan penghargaan untuk perkembangan sunnah pada periode ini. Menurutnya sunnah pada fase ini bisa disebut sebagai living tradition (tradisi yang hidup), yaitu praktek-praktek kaum Muslimin yang dimulai dari Nabi Saw, dilestarikan oleh para Khilafah awal dan para penguasa berikutnya dan kemudian diverifikasi oleh para ulama. Praktik-praktik kaum Muslimin yang kontinu adalah yang sangat menentukan sedangkan rujukan pada Nabi atau para Khilafah awal bersifat fluktuatif atau opsional dan bukan merupakan suatu keharusan untuk menetapkan sunnah. Lihat Taufiqqurahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah”, Jurnal Mutawatir, Volume. 3 No. 1, Januari-Juli 2013, h. 91.

10 Al-Syâfi‟î berhasil membentuk bangunan konsensus yang terintegrasi kepada Nabi. Ia menganggap bahwa sunnah sejati adalah sunnah yang datang dari Rasulullah Saw. Al-Syâfi‟î menyerang pendapat para Imam mazhab awal yang mengatakan sunnah tidak hanya berasal dari Nabi, akan tetapi juga memasukkan beberapa preseden lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para sahabat, Khalifah yang berkuasa, dan praktik yang telah diterima secara umum dikalangan para ahli hukum mazhab tersebut. Baca Brown, Menyoal Relevansi Sunnah..., h. 19-20.

Page 19: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

4

tumbuhnya pemikiran bebas pada saat itu yang dalam beberapa hal mengabaikan hadis-

hadis Nabi yang diriwayatkan secara Âhad. Problem ini yang kemudian membawa al-

Syâfi‟î untuk merekonstruksi konsep sunnah. Menurutnya, sunnah yang valid

diidentikkan dengan hadis-hadis yang otentik dari Rasulullah.11

Maka praktis mulai

pada abad ini, yakni kira-kira sejak akhir abad kedua Hijriyyah, hadis secara perlahan

(namun pasti) mulai menjadi satu-satunya sarana yang absah dan valid untuk

mengetahui sunnah Nabi.12

Di satu sisi, memang upaya yang dilakukan oleh Imâm al-Syâfi‟î tersebut telah

berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin adanya kestabilan stuktur

sosial-religius umat Islam, namun pada sisi lain dalam jangka panjang, menurut Fazlur

Rahman akan menghilangkan kreatifitas dan originalitas pemikiran, dan pada dasarnya,

Islam yang demikian bukan lagi sebuah kekuatan yang aktif dan menguasai dirinya

sendiri, tetapi ia adalah sebuah entitas yang pasif dan diombang-ambingkan oleh aliran-

aliran kehidupan.13

Oleh karena itu, pada abad-abad pertengahan mulai terjadi pergeseran

pemahaman. Misalnya Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy (w. 648 H.) berpendapat bahwa segala

tindakan Nabi Saw tidak terlepas dari posisi Nabi sebagai rasul, mufti, hakim

11 Brown, Menyoal Relevansi Sunnah, h. 23.

12 Dengan demikian, harus ditegaskan bahwa usaha yang dipelopori oleh al-Syâfî‟î dengan konsep sunnahnya adalah merupakan potret responsi yang tepat terhadap tantangan historisnya, mengingat saat itu praktek masyarakat, terutama yang berkaitan dengan hukum mengalami disparitas yang tajam satu sama lain hingga taraf yang mengkhawatirkan. Sehingga sangat sulit di tentukan mana praktek yang mencerminkan dan merupakan kelanjutan langsung dari tradisi Nabi (sunnah Nabi) yang murni dan mana yang bukan. Oleh karenanya, untuk menghindari kesimpangan, sunnah perlu diberi definisi dan format yang lebih kongkrit. Baca Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, cet I (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 71-72.

13Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin, cet. Ke-III (Bandung: Pustaka,

1995), h. 33

Page 20: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

5

(qâdlîy), dan imam.14

Menurutnya, posisi Nabi sebagai seorang rasul, mufti (penasehat

hukum), dan sebagai imam harus dibedakan. Karena, hal ini akan berimplikasi kepada

pemahaman serta penetapan syariat dalam memandang posisi Nabi. Pengaruh dari

konsep tiga klasifikasi perilaku Nabi ini adalah perbedaan dalam menentukan syariat.

Menurutnya, apa yang dilakukan Nabi sebagai imam (pemimpin) atau hakim,

seseorang tidak boleh melakukannya kecuali mendapatkan izin dari imam atau hakim

tersebut. Berbeda halnya jika tindakan Nabi membawa misi kerasulan (tablîgh al-

risâlah) yaitu sebagai rasul dan mufti, maka setiap orang wajib mengikutinya dan

menjadi syariat sampai hari kemudian.15

Namun demikian, konsep pemahaman yang

ditawarkan oleh al-Qarâfîy tidak terlepas dari metode klasik yang masih terikat dengan

teks.

Setalah mengalami perjalanan yang panjang, akhirnya sunnah dihadapkan

dengan sebuah realitas yaitu tantangan serta perkembangan zaman. Hal ini memicu

para ulama dituntut untuk merumuskan teori baru dalam menghadapi tantangan

tersebut, sehingga teks keagamaaan (sunnah dan hadis) sebagai landasan yang otoritatif

bisa selalu shâlih likulli zamân wa makân. Berangkat dari permasalahan ini, adanya

tuntutan untuk memberikan perhatian lebih terhadap teks keagamaan tersebut, lebih

khusus terhadap sunnah. Meskipun teks sunnah bersifat statis, akan tetapi tidak

14 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Cet. Ke-II

(Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h. 196.

15 Misalnya dalam menanggapi hadis Nabi: “Barang siapa yang memakmurkan bumi yang mati, maka ia baginya” (H.R Abû Dâud dan al-Turmudzi). Menurut Abû Hanifah seseorang tidak boleh memakmurkannya kecuali ada izin dari imam, karena konteks hadisnya Nabi sebagai imam yang memiliki konotasi pemilikan kepada pemakmurannya. sedangkan menurut Imâm Mâlik dan al-Syâfî‟î boleh saja tanpa tergantung kepada imam karena kapasitas Nabi sebagai Mufti. Hal ini disamakan dengan memberikan fatwa bolehnya mengambil kayu bakar dan rumput setelah terbuktinya alasan yang konkret. Baca Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy, al-Ahkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ min al- Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdlî wa al-Imâm, „Abd. al-Fattâh Abû Ghaddah (Mesir: al-Halabi, t.th), h. 86.

Page 21: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

6

halnya dengan pemahaman terhadap teks-teks tersebut. Sisi dari pemahaman tersebut

yang kemudian bisa dirumuskan dalam mengaktualisasikan sunnah untuk menjawab

tantangan zaman. Hal ini dirasa perlu oleh banyak kalangan, yang kemudian sekarang

bisa lihat dari banyaknya pemikir baik yang dari para Ulama (insider), maupun para

orientalis (outsider) yang mencoba merumuskan kembali konsep sunnah tersebut.

Khusunya kepada kaum Muslimin yang mencoba mengkritisi pemikiran tentang

sunnah.16

Adalah Nasr Hâmid Abû Zayd ( selanjutnya ditulis Abû Zayd) seorang ulama

kontemporer yang mencoba menyajikan konsep sunnah dalam konsep modernitas. Abû

Zayd dianggap sebagai pemikir liberal17

yang mencoba membongkar framework

khazanah Islam klasik yang dirumuskan oleh para ulama pendahulu mereka. Terhadap

pemilihan tokoh tersebut, penulis menggunakan beberapa pertimbangan; pertama, Abû

Zayd dianggap memiliki metode pendekatan yang unik dalam memahami konsep

sunnah Nabi; kedua, berbeda dengan pemikiran liberalis lainnya, ia mencoba

merumuskan konseptualisasi baru terhadap kandungan sunnah Nabi; dan ketiga, Abû

Zayd mengkritik konsep sunnah yang dirumuskan oleh Imâm al-Syâfi‟î dan

memberikan kesimpulan berbeda dengan pemikir kontemporer lainnya.

16 „Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnâd Otentisitas Hadis menurut M.M Azami” dalam Wacana

Studi Hadis Kontemporer, Hamimi Ilyas dan Suryadi (ed.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 55. 17 Fahmi Salim di dalam bukunya Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal memasukan

Abû Zayd sebagai salah satu tokoh yang menafsirkan teks-teks keagamaan khususnya al-Qur‟an ke dalam konsep Hermeneutika. Ia juga menganggap bahwa paham yang dianut oleh Abû Zayd juga melampaui paham Muktazilah dan memasukkan peta pemikiran beliau ke dalam konsep neo-Muktazilah. Baca Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal (Depok: Perspektif Gema Insani, 2010), h. 218-222.

Page 22: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

7

Meskipun demikian, Abû Zayd sebenarnya tidak menggambarkan secara detail

tentang konsep sunnah Nabi. Menurutnya, kata sunnah secara bahasa merujuk kepada

arti masa lalu sebagaimana penggunaan al-Qur‟an terhadap kata tersebut yaitu dalam

term sunnat al-awwalîn (sunnah orang-orang terdahulu). Berdasarkan term tersebut

Abû Zayd menempatkan sunnah sebagai bagian dari turath (warisan tradisi) dalam

Islam.18

Selanjutnya, Abû Zayd membagi konsep sunnah menjadi dua bagian, yaitu;

sunnat al-wahyi dan sunnat al-„âdah wa al-taqalid. Sunnah al-wahyi adalah perkataan

atau perbuatan Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai penjelas ketentuan di dalam al-

Qur‟an yang masih bersifat global. Sedangkan, sunnah al-„âdah wa al-taqalid

mencerminkan sejumlah tindakan Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berada di

dalam tenggat waktu dan tempat tertentu dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab

pada abad ke-7 M.19

Selanjutnya, Abû Zayd mencoba mengkritik konsep sunnah yang ditawarkan

oleh Imâm al-Syâfi‟î. Bagi al-Syâfi‟î sunnah merupakan bagian dari wahyu. Teks al-

Qur‟an yang menjadi landasan pendapat bagi al-Syâfi‟î adalah surat an-Najm (53) : 3-

4.

وى ي ٣وما ينطق عن ٱله ٤ يوحى إنه هو إلا وحه

3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya

4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)20

18 Nur Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer: Nasr Hamid Abu Zayd”, Jurnal

ISLAMICA, Volume 6 No. 2, Maret 2012, h. 288.

19 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Kontemporer”, h. 289-290. 20 Mushaf Hilal, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009), h. 526.

Page 23: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

8

Menurut Abû Zayd, kata ganti huwa dalam ayat ini tidaklah menunjuk kepada

seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. akan tetapi kata ini hanya menunjuk kepada

ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur‟an. Abû Zayd juga melakukan pembacaan

kembali terhadap teks al-Qur‟an yang dijadikan basis otoritas pewahyuan sunnah. Ia

mengkritik upaya sebagian kalangan untuk memberikan status pewahyuan bagi asal-

usul sunnah adalah bagian dari upaya mengkukuhkan otoritas sunnah sebagai sumber

ajaran yang sejajar dengan al-Qur‟an.21

Selain itu, Abû Zayd mencoba menawarkan pembacaan terhadap teks sunnah

dengan menggunakan analisa “wacana” serta pendekatan hermeneutika22 dan

semiotika23. Cara pandang demikian juga banyak digunakan oleh para pemikir

kontemporer. Dengan semiotik dan analisa wacana, Abû Zayd mengajak para pembaca

untuk memperhatikan warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks-teks

keagamaan” yang bekerja dalam wacana tertentu dan bersifat ideologis.24

21

Terkait dengan penafsiran surat al-Najm ayat (3) dan (4) tersebut, Syahrûr juga telah melalukan

pembacaan ulang terhadap sunnah bukanlah bagian dari wahyu dan sumber hukum Islam. Syahrûr melihat bahwa, damîr huwa pada ayat tersebut maksudnya adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang diucapkan (yantiq) oleh Nabi Muhammad. Sehingga substansi ucapan Nabi tidak merujuk kepada umumnya perkataan Nabi, melainkan al-Qur‟an yang diwahyukan kepada lisannya. Karena jika dilihat secara konteks ayat ini diturunkan di Mekkah ketika orang Arab tidak meragukan pribadi Nabi tetapi apa yang diwahyukan kepadanya. Baca Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Mu‟âsirah (Damaskus: Al-Ahali, 1990), h. 545.

22 Hermeneutik, adalah Ilmu penafsiran kitab suci, atau Ilmu penafsiran teks, ada lagi yang merumuskannya sebagai kaidah-kaidah pemahaman teks, atau metode menghindari kesalahfahaman. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati,2013), h.404.

23 Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Baca Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, cet. Ke-II (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 3.

24Usman, “Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd”, Jurnal Hermeneia, Vol. 2. No.

1, Januari-Juni 2003, h. 121.

Page 24: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

9

Dengan demikian, pandangan sunnah yang diajukan oleh Abû Zayd layak untuk

dijadikan objek penelitian. Oleh sebab itu, harapannya konsep sunnah yang diajukan

oleh Abû Zayd dapat mampu memecahkan kebuntuan serta memberikan kontribusi

terhadap pemahaman serta solusi bagi problematika muslim kontemporer saat ini.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah ditulis, penulis memberikan identifikasi masalah

yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:

1. Konsep sunnah pada awal Islam bersifat dinamis, sehingga banyak sekali

ditemukan keberagaman solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang

dihadapi pada masa tersebut, di mana orang lain dapat menciptakan sunnah yang

mana sunnah Nabi sebagai pelindungnya.

2. Imâm al-Syâfi‟î memberikan penyempitan makna terhadap sunnah. Menurutnya

sunnah Nabi yang bersifat spesifik adalah sunnah yang hanya terekam di dalam

hadis-hadis Nabi. Sehingga, sunnah pada periode ini bersifat baku dan kaku.

3. Pada periode pertengahan, para ulama mencoba merumuskan kembali terhadap

konsep sunnah Nabi. Al-Qarâfîy misalnya mencoba mengubah kembali

pembacaan terhadap teks sunnah. Menurutnya, dalam menentukan dan

menggunakan hadis sebagai landasan hujjah harus dilihat kembali posisi Nabi,

apakah Nabi pada saat itu berada dalam posisi seorang Rasul, mufti, hakim

ataupun seorang imam.

Page 25: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

10

4. Pada periode kontemporer saat sekarang ini, banyak sekali permasalahan yang

muncul, sehingga teks-teks sunnah dianggap perlu dilakukan pembacaan kembali

terhadap teks tersebut. Abû Zayd adalah seorang tokoh kontemporer yang

mencoba merumuskan kembali pemahaman terhadap teks sunnah tersebut. Abû

Zayd ini memcoba membongkar framework ataupun pemikiran lama yang tidak

sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan mendalam, maka

penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat harus dibatasi variabelnya.

Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan “tawaran konsep

sunnah, serta kritik dari Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap konsep sunnah Imâm al-

Syâfi‟î”. Nasr Hâmid Abû Zayd dipilih karena memiliki corak pemikiran pembaharuan

yang berimplikasi kepada pemahaman modern.

Berdasarkan batasan permasalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan

diteliti adalah Bagaimana kritik yang ditawarkan oleh Abû Zayd dalam

memahami konsep sunnah Imâm al-Syâfi’î?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berangkat dari pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Mengungkap konsep sunnah yang ditawarkan oleh Abû Zayd serta latar

belakang pemikirannya.

Page 26: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

11

2. Mengungkap orisinalitas dan kontribusi pemikiran Abû Zayd dalam kajian

sunnah.

3. Menggali konsep dasar dan pembaruan pemikiran Abû Zayd terhadap

pemahaman sunnah Nabi sebagai sumber kedua di era kontemporer.

Sedangakan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap

akademis maupun praktis. Kontribusi akademisi yang penulis maksud adalah,

penelitian ini dapat menjadi sumbangan serta pengembangan teori sunnah pada fase

yang akan datang, dengan menjadikannya dengan sebagai bahan acuan, perbandingan

dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya penelitian yang

mengkaji pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd.

Sedangkan untuk manfaat praktis, yaitu penelitian ini diharapkan mampu dalam

memberikan serta menambah bagi kajian sunnah dan hadis yang khususnya dalam

lingkungan Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir pada Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan masyarakat Muslim pada umumnya yang berminat untuk

membaca dan mengkaji tentang sunnah.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini mengkaji persoalan pemahaman sunnah di era kontemporer dalam

perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd serta implikasi pemikirannya dalam menerapkan

pemahaman sunnah dalam wacana modern. Penulis bukanlah orang pertama yang

meneliti tentang pemikiran Abû Zayd. Sebelumnya telah banyak para peneliti yang

telah meneliti tokoh tersebut, baik dalam artikel, jurnal, makalah, tesis, dan disertasi.

Page 27: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

12

Persoalan bagaimana memahami sunnah sudah menjadi lahan yang luas dari era

klasik. Bagaimana memahami sunnah Nabi secara tepat dan relevan bukanlah suatu

kajian yang baru muncul serta populer pada masa belakangan ini. Problematika yang

berkenaan dengan cara menafsirkan suatu sunnah atau masalah yang terkait telah

menjadi perhatian khusus para ilmuwan muslim sejak era klasik.

Untuk melihat lebih jelas posisi kajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini

dan membedakannya dengan kajian yang telah dilakukan sebelumnya, maka berikut ini

dapat dikemukakan beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan, baik

muslim maupun non muslim yang berkenaan dengan pemahaman terhadap sunnah

Nabi.

Abdul Majid Khon telah menulis buku tentang masalah ini dengan judul

Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.25 Pusat perhatian Abdul

Majid dalam bukunya ini berbicara tentang pandangan pemikir muslim modern dalam

memahami sunnah Nabi, namun jangkauan nya cukup luas mulai dari perkembangan

Islam era klasik seperti Abû Hanifah, pemahaman sunnah fase pertengahan seperti

Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy sampai kepada abad ke-21 M dengan tokoh Mahmûd Syaltût.

Kajian tentang pemahaman terhadap sunnah Nabi telah dilakukan juga oleh M.

Syuhudi Ismail dalam bukunya Pemahaman Hadis antara Tekstual dan Kontekstual.26

Ia menguraikan berbagai metode pemahaman yang berkembang di

25 Diterbitkan pertama kali oleh Prenada Media Group, Jakarta, pada tahun 2011. 26 Diterbitkan pertama kali oleh PT Bulan Bintang, Jakarta, edisi pertama tahun 1995.

Page 28: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

13

dalam disiplin ilmu hadis, namun penulis tidak membahas secara khusus bagaimana

para pemikir kontemporer dalam memahami hadis serta implikasinya terhadap

perkembangan ilmu hadis.

Sementara itu, dalam studi orientalis Daniel W. Brown dalam bukunya

Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.27 Memang pusat perhatian Brown

dalam penelitiannya ini adalah pandangan para pemikir Muslim modern dalam

memahami sunnah Nabi, namun cakupan jangkauan penelitian Brown sangat luas.

Mulai dari masa Imam al-Shâfi‟î, gerakan reformasi pada abad ke-18 dan 19 M sampai

kepada abad ke-21 M dengan tokoh al-Ghazâli. Objek kajian yang dikaji juga beragam,

mulai dari otoritas sunnah Nabi, sikap para pemikir modern terhadap hadis, kritik sanad

dan matan, sampai kepada soal cara memahaminya.

Selanjutnya Mustafâ al-Sibâ‟i dalam bukunya al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-

Tasyrî‟ al-Islâmi.28 Dalam bukunya tersebut, al-Sibâ‟i memang mempertahankan

pemikiran sunnah yang dianut sunni dengan mempertahankan beberapa pemahaman

yang diserang oleh kelompok yang skeptis terhadap sunnah. Perdebatan di kalangan

muslim klasik dan modern menjadi salah satu bahasan pokok dalam tulisannya

tersebut. Namun kajiannya tidak memasuki pembahasan yang lebih belakangan dimana

muncul kecenderungan baru dalam memahami sunnah Nabi dengan nuansa berbeda

dengan tren klasik.

27 Diterbitkan pertama kali oleh Cambridge University Press, 1996. 28 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh Pustaka Firdaus,

tahun 1995.

Page 29: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

14

Dari uraian diatas, sekiranya belum banyak kita temukan pembahasan yang

menyinggung pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap konsep sunnah. Terlebih

pemahaman yang ditawarkan oleh Abû Zayd, karena beliau lebih dikenal dengan tokoh

sastra Arab yang lebih mengedepankan aspek kebahasaan dibandingkan makna.

Kiranya cukup menarik jika pemikiran keduanya dikaji lebih lanjut dan kemudian

secara bersamaan dibandingkan pemikiran antar keduanya.

Sedangkan terhadap pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd juga telah dilakukan

beberapa penelitian, antara lain oleh Nur Mahmudah dalam jurnalnya Sunnah dalam

Nalar Islam Kontemporer.29 Ia menjelaskan tentang konsep sunnah yang ditawarkan

oleh Abû Zayd, dengan menampilkan pembahasan mengenai hakekat, sumber, fungsi,

serta validitas sunnah. Akan tetapi Nur tidak menampilkan secara kongkrit kritik Abû

Zayd terhadap pembacaan sunnah yang dilakukan pada era klasik.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Usman, dalam jurnalnya Al-Sunnah dalam

sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap Imam al-Syafi‟i.30 Fokus kajian yang

dilakukan oleh Usman adalah menampilkan kritik Abû Zayd terhadap pemahaman

sunnah yang ditawarkan oleh Imam al-Syâfi‟î. Ia menjelaskan secara rinci tentang

metodologi yang digunakan oleh Abû Zayd mengenai pendekatan sunnah yang

ditawarkan. Ia juga menjelasakan tentang pokok-pokok kritik Abû Zayd terhadap

pembacaan sunnah Imâm al-Syâfi‟î yang tertuang di dalam karya Nasr Hâmid Abû

Zayd. Akan tetapi, ia tidak merumuskan konsep sunnah dari pendekatan yang

29 Jurnal ini diterbitkan oleh Islamica pada bulan Maret, tahun 2012. 30 Jurnal ini diterbitkan oleh Hermeneia pada Januari-Juni, tahun 2003.

Page 30: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

15

ditawarkan oleh Abû Zayd setelah melakukan kritik atas pemikiran sunnah era klasik.

Sejauh ini, dalam pengetahuan penulis, masih sedikit sekali kajian sunnah yang

ditawarkan oleh Nasr Hâmid Abû Zayd tentang sunnah dan hadis. Kajian-kajian yang

yang ada terhadap pemikirannya saat ini, masih berputar sekutat gagasannya terhadap

bidang al-Qur‟an dan hermeneutika. Namun, bukan berarti pemikirannya tentang

sunnah dan hadis tidak memiliki kontribusi yang baru dan hanya mengikuti trend kajian

yang klasik.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini dilakukan

dalam tiga langkah, yaitu: (1) Pendekatan Penelitian, (2) Pengumpulan Data, dan (3)

Analisis data.

1. Pendekatan Penelitian

Model yang penulis gunakan dalam pendekatan penelitian adalah penelitian

kepustakaan (library research), berupa literatur-literatur tentang sunnah Nabi dari era

klasik sampai kontemporer. Sedangkan obyek penelitian difokuskan kepada pemikiran

Nasr Hâmid Abû Zayd dalam memahami kembali sunnah Nabi.

Data yang sejalan dengan pemahaman sunnah dari tokoh tersebut diperoleh

melalui sumber-sumber berupa literatur-literatur sumber primier yang telah ia tulis

maupun sumber sekunder yang dihasilkan oleh penulis lain namun tetap dianggap

sebagai sumber data yang valid.

Page 31: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

16

2. Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diambil dalam berbagai literatur-literatur yang

bersumber dari data premier dan data sekunder.

a. Data premier yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini adalah buku-

buku yang ditulis oleh Nasr Hâmid Abû Zayd dan al-Syâfi‟î. Buku-buku paling

utama adalah Al-Imâm al-Syâfi‟î wa Ta‟sîs al-Audûlujiat al-Wasatiyah, Al-

Nass al-Sultah al-Hakîkah, Mahfûm al-Nas Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, al-

Takfîr fî Zaman al-Takfîr, Dawaîr al-Khauf: Qirâ‟ah fî

Khitâb al-Mar‟ah, al-Risâlah, al-Umm. serta beberapa karya-karya yang

lainnya.

b. Data sekunder yang juga dijadikan sumber referensi adalah buku-buku yang

berkaitan dengan sunnah Nabi serta beberapa rujukan sekunder lainnya

seperti, buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis disertasi dan berbagai sumber

lainnya.

3. Metode Analisis Data

Dalam mengolah data tersebut, penulis menggunakan metode-metode yang

sesuai dengan acuan dalam penulisan karya ilmiah. Metode deskriptif-analisis di rasa

cocok untuk mencoba menggambarkan pemikiran Abû Zayd dalam menggali dan

mendeskripsikan konsep sunnah yang ia tawarkan.

Metode deskriptif-analisis (descriptive analysis) dengan memaparkan secara

obyektif apa yang terkait dan apa yang dimaksud oleh teks dengan cara

membahasakannya dengan bahasa penulis. Metode ini bertujuan untuk memahami

Page 32: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

17

apa yang dikatakan dan dikemukakan oleh Abû Zayd. Di samping itu, penulis juga

melakukan analisa kritis terhadap pemikiran Abû Zayd yang tertuang di dalam

karyanya Al-Imâm al-Syâfi‟î wa Ta‟sîs al-Audûlujiat al-Wasatiyah.

G. Sistematika Penulisan

Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang sistematis akan isi penelitian

ini, pembahasan dalam skripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan seputar latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan metode

penelitian serta sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tentang landasan pertama yang memetakan serta

mendeskripsikan sejarah perkembangan sunnah Nabi. Kajian ini harus dilakukan di

awal mengingat bahwa pola pemahaman sunnah modern tidak terlepas dari sejarah

yang terjadi pada masa lampau dan berpengaruh kepada rumusan dan metode

pemahaman yang dirumuskan. Bab ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu sejarah dan

pengantar wacana sunnah serta pembacaan ulang terhadap wacana sunnah.

Bab ketiga berisi tentang potret pemikiran keagamaan Abû Zayd secara umum

dan meletakkan posisi ia di tengah perkembangan pemikiran Islam. Kajian ini di awali

dengan biografi dan karya ilmiah, lalu diikuti dengan latar belakang yang membentuk

pemikiran Abû Zayd tersebut. Bab ketiga ini diharapkan mampu untuk

Page 33: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

18

menjawab persoalan tentang mengapa dan apa latar belakang munculnya pemikiran

dari Nasr Hâmid Abû Zayd.

Bab Keempat berisikan tentang kerangka pemahaman serta analisis metode Abû

Zayd dalam memandang sunnah. Kajian ini di awali dengan menganalisis pandangan

Abû Zayd terkait dengan model konsep sunnah yang ditawarkan oleh Imâm al-Syâfi‟î.

Setelah itu, penulis akan menggambarkan pengertian, sumber, serta fungsi sunnah

menurut Abû Zayd. Dan terakhir, penulis mencoba menganalisis pemikiran sunnah

yang dikonsepkan oleh Nasr Hâmid Abû Zayd dalam upaya kritiknya terhadap konsep

sunnah Imâm al-Syâfi‟î.

Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan

diperlukan sebagai jawaban masalah pokok yang diajukan. Saran ditulis sebagai

rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Page 34: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB II

WACANA SUNNAH DALAM KONTEKS SEJARAH

A. Sejarah dan Pengantar Wacana Sunnah

Konsep sunnah bukanlah praktik baru yang dikenal oleh Islam. Banyak praktik kaum

jahiliyah yang dijadikan syariat oleh Nabi Muhammad Saw. ini menandakan bahwa

sunnah sudah ada sebelum Islam memasuki tanah jazirah Arab. Istilah sunnah pada

awalnya ditujukan untuk menunjuk kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam dalam

mengikuti aturan, norma, serta adat istiadat yang menjadi kebiasaan bangsa mereka.

Namun demikian, setelah Islam datang, makna sunnah tersebut bergeser menjadi

sunnah Nabi. Menurut Goldziher1, pergeseran makna tersebut disebabkan oleh rasa

hormat dan taatnya umat Islam terhadap model dan perilaku Nabi sebagai suri tauladan,

sebagaimana kaum jahiliyah menaati tradisi yang datang dari nenek moyang mereka. 2

Sub bab ini akan mengkritisi perkembangan sunnah mulai dari tradisi masyarakat Arab

pra-Islam sampai kepada Abad kedua hijriah.

1 Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis asal Hongaria. Dia merupakan keturunan

Yahudi. Dalam usia 16 tahun, dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanberry di Universitas Budapest. Goldziher

mampu menyelesaikan gelar Doktoralnya dalam usia 19 tahun. Ketertarikannya dalam mempelajari manuskrip-

manuskrip Arab membawanya kepada penelitian terhadap Hadis Nabi. Ada beberapa karya ilmiyah nya yang

menyanggah keotentikan hadis Nabi Saw., diantaranya adalah Muhammedanische Studien. Lihat Wahyudin

Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis: Telaah Pandangan Iganz Goldziher dan Joseph Schacth (Bandung:

Benang Merah Press, 2004), h. 90-92. 2 Pernyataan Goldziher tersebut kemudian dibantah oleh M. Mustafa Azami. Menurut Azami, umat Islam

menaati dan meneladani perilaku Nabi, dikarenakan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu,

pemisah antara sunnah masyarakat jahiliyah dengan sunnah Nabi adalah, perintah yang datang dari Allah dan

Rasulullah Saw. lihat Nasrullah, “Rekosntruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 15 No. 1 Tahun 2014, h. 22.

Page 35: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

a. Makna Sunnah dan Tradisi pra-Islam

Seperti yang di tuturkan oleh Zainul Milal Bizawie, Islam adalah agama yang

sebenarnya lahir sebagai produk lokal Arab yang kemudian diuniversalkan dan

ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Oleh karenanya, seberapapun

kita meyakini bahwa Islam adalah wahyu dari Tuhan yang universal dan ghaib, pada

akhirnya akan dipersepsikan oleh pemeluk agama sesuai pengalaman, problem, kapasitas

intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam

komunitasnya.3

Umar bin Khattab, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Hapsin mengatakan bahwa

Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam ini telah banyak diadopsi dan

kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam, baik yang terikat dengan ritus, sosial

kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.4 Artinya, dalam hal ini,

tradisi masyarakat pra-Islam menjadi sumbangsi awal terhadap pembentukan nilai, norma

serta tradisi di dalam batang tubuh Islam (sunnah) dikemudian hari.

Menurut Schacth, sunnah bermakna living tradition (tradisi yang hidup). Frasa ini

mewakili sebuah istilah yang menggambarkan tradisi yang hidup ditengah-tengah

masyarakat Arab pra-Islam. Tradisi yang hidup ini, kemudian dijadikan tata cara serta

pedoman dalam setiap pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah yang terjadi pada

masa tersebut. Tidak ada tradisi yang menyaingi norma serta adat istiadat yang datang dari

nenek moyang. Tradisi ini berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, sehingga tradisi

atau sunnah pada fase ini bersifat mutlak dan tidak memberikan ruang bagi sunnah tersebut

untuk berinovasi. Sehingga tradisi ini menjadi kaku dan tertuju pada satu refrensi.5

3 Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi

Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003, h. 34. 4 Abu Hapsin, “Islam dan Budaya Lokal: Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal

Masyarakat Jawa” dalam http//www.kemenag.go.idacis11filedokumen2.AbuHapsin. 5 Muhammad Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: dari Historitas menuju Kontekstualitas

dalam Faisar Ananda Arfa, dkk, Sunnah dalam Kajian Kontemporer: Konsep Sunnah dalam Perspektif Joseph Schacht (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2009), h. 139.

Page 36: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Bagi masyarakat Arab pra-Islam, sunnah diciptakan oleh para hakim yang selalu

dimintai pendapat atau keputusan mereka dalam menyelesaikan perkara-perkara yang

terjadi di kehidupan bermasyarakat. Para hakim ini tidak harus ketua suku, melainkan orang-

orang bijak yang dipercaya mempunyai pengalaman hidup dan memiliki kebijaksanaan di

dalam memutuskan dan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Goldziher pernah

menuturkan bahwa orang-orang Islam tidak perlu menciptakan konsep dan pentingnya

sunnah, karena ini sudah lama akrab dalam masyarakat Arab pra-Islam. Menurut bangsa

Arab kuno, sunnah adalah peraturan emas, apa saja yang telah menjadi adat istiadat adalah

benar dan patut, serta apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang mereka pantas untuk

ditiru.6

Menurut Khalil Abdul Karim, seorang pemikir asal Mesir, menyatakan bahwa banyak

hal yang terikat dengan tradisi kultural lokal Arab pra-Islam yang diadopsi dan kemudian

diakomodir oleh Nabi untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin keagamaan

Islam. Hal ini bisa dilacak dengan adanya kesesuaian antara hukum perdata dan pidana yang

di gunakan oleh Nabi. Ini menandakan keberlanjutan dari hukum-hukum yang telah ada

sebelum Islam. Di antara pranata sosial tersebut ada yang diterima secara total ada pula yang

dimodifikasi dan ditolak.7

Tradisi pernikahan misalnya, dalam konsensus Arab pra-Islam nikah merupakan

lembaga yang sah dalam menyatukan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan

keluarga. Banyak ragam pernikahan yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab, seperti

perkawinan mut’ah8, al-syighar9, al-tahlîl10, dan lain sebagainya. Namun ada beberapa

model pernikahan yang ditolak oleh Nabi karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kehormatan

6 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 139. 7 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 192. 8Adalah pernikahan yang diberlakukan batas waktunya (kontrak) tanpa talak serta tanpa berkewajiban

memberikan nafkah atau tempat tinggal serta tanpa adanya harta warisan jika salah seorang diantara mereka

meninggal sebelum masa berakhirnya nikah mut’ah tersebut. 9Adalah menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan

putrinya pula, tanpa ada mahar diantara keduanya. 10Adalah menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian

menceraikannya kembali untuk dapat diberikan kembali kepada suaminya yang pertama.

Page 37: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

wanita.11 sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dalam kitab Sahîh-

nya, bahwa Nabi melarang pernikahan mut’ah, al-syighar dan al-tahlîl.

ن عمران بن حصين أن أخبرنا محمد بن بشار قال حدثنا محمد قال حدثنا شعبة عن أبي قزعة عن الحسن ع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ل جلب ول جنب ول شغار في الإسلام

Dari ‘Imrân bin Husein dari Rasulullah Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “tidak ada

pernikahan syighar dalam Islam”.12

Begitu pun dengan pernikahan al-tahlîl dan mut’ah, Nabi secara tegas melarang model

pernikahan dengan sabdanya:

أبو مصعب حدثنا يحيى بن عثمان بن صالح المصري . حدثنا أبي قال سمعت الليث بن سعد يقول قال لي مشرح بن هاعان قال عقبة بن عامر:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ) أل أخبركم بالتيس المستعار ؟

(لعن الله المحلل والمحلل له ( قالوا بلى . يا رسول الله قال ) هو المحلل .Berkata ‘Uqbah bin ‘Âmir, bahwasanya Rasulullah Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang al-Tais al-Musta’âr (domba pejantan

yang disewakan)?” para sahabat menjawab: “ya, wahai Rasulullah. Beliau kemudian

bersabda: “itu adalah al-Muhallil, Allah akan melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal

lahu”.13

وحدثني سلمة بن شبيب حدثنا الحسن بن أعين حدثنا معقل عن بن أبي عبلة عن عمر بن عبد العزيز قال حدثنا الربيع بن سبرة الجهني عن أبيه * أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وقال أل إنها

خذهحرام من يومكم هذا إلى يوم القيامة ومن كان أعطى شيئا فلا يأ al-Rubi’i Ibn Sairah al-Juhanî telah menceritakan kepadaku dari ayahnya: Sesungguhnya

Rasulullah Saw., melarang mut’ah. Beliau bersabda, “Perhatikanlah, mut’ah itu haram

sejak hari kalian ini sampai hari kiamat. Dan barang siapa memberikan sesuatu, maka

jangan mengambilnya lagi!”.14

Di antara model pernikahan masyarakat Arab pra-Islam yang diterima oleh Nabi dan

kemudian dilanjutkan adalah nikah ba’ulah. Yakni, model pernikahan yang diawali oleh

pihak laki-laki mengajukan pinangan terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh

ayahnya, pamannya, kakaknya, atau langsung dilakukan oleh calon mempelai pria. Pada

saat nikah tersebut, kemudian disyaratkan ada pernyataan ijab dan qabul. Pada saat

pelaksanaan nikah, mas kawin merupakan persyaratan yang mutlak dan harus ada. Setelah

11 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 196. 12 Abû Abd al-Rahmân Ahmad ibn Alî ibn Syu’aib ibn Alî al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Jilid. VI, Kitâb al-

Khail, Bab Al-Janab, No. Hadis 3590 (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 229. 13 Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Zaid al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Jilid. II, Kitâb al-Nikâh, Bâb al-

Muhallil wa al-Muhallal lahu, No. Hadis 1936 (Kairo: Dâr Ibnu al-Haitsam, 2005), h. 244. 14 Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Nikâh, Bâb Nikâh al-Mut’ah, No. Hadis

1406 (Kairo: Maktabah Al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2009), h. 351.

Page 38: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

terjadi pernikahan, suami bertanggung jawab untuk pengadaan rumah dan kebutuhan

lainnya. Kalau kelak memiliki keturunan, maka keturunan tersebut wajib dinisbatkan

kepada laki-laki.15

Selain itu, masih banyak lagi sunnah masyarakat Arab pra-Islam yang diadopsi dan

diverifikasi oleh Nabi. Hal ini menandakan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa

risalah agama tidak langsung memutuskan rantai adat yang sudah mengakar ditubuh

masyarakat pada saat itu. Nabi Saw. berusaha berdialog searif mungkin ketika berhadap-

hadapan dengan tradisi yang berjalan, sehingga menciptkan keserasian antara dogma dan

tradisi. Ini yang kemudian menimbulkan kesinambungan antara agama dan tradisi, bahwa

risalah yang di ajarkan tidak serta merta menghapus tradisi yang sudah menjadi budaya serta

mengakar di masyarakat. Karena itu, konsep sunnah merupakan varian dari konsep bangsa

Arab kuno.

b. Sunnah Nabi dan Sunnah Para Sahabat

Dalam catatan sejarah, Islam membangun sunnahnya sendiri dengan mengadopsi

bentukan sunnah sebelumnya, fase ini dikenal dengan ‘Asr al-Wahy wa al-Takwîn, yaitu

masa wahyu dan pembentukan.16 Pada periode ini, konsep sunnah telah berganti makna dari

adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang, menjadi konsep sunnah Nabi dengan

indikasi tereliminasinya beberapa tradisi Arab pra-Islam. Ini menunjukan bahwa Nabi

Muhammad Saw. memiliki otoritas sebagai pribadi yang seharusnya dicontoh oleh para

sahabat serta masyarakat pada umumnya.

Periode ini pula, pola kehidupan Nabi Saw. dan para sahabatnya menyatu tanpa ada

tabir pemisah. Kabilah-kabilah kemudian saling bersatu tanpa takut membaur dengan

kelompok lainnya. Konsep kehidupan Nabi Saw. menjadi sesuatu yang tidak asing bagi para

sahabat. Mereka tahu persis perilaku dan sikap Nabi ketika memutuskan suatu perkara.

15 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 197-198. 16 Pada masa Nabi Muhammad Saw., wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang

dari Nabi. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat yang tidak

pernah mereka temukan pada zaman jahiliyah. Baca Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 31.

Page 39: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Sikap positif mereka dalam mengikuti Nabi Saw. baik sabda, atau tauladan yang mereka

ambil dari Nabi terus ditransmisikan dari waktu ke waktu. Hal ini berdampak kepada cara

sahabat dalam mengkontekstualisaikan sunnah ketika Nabi Saw. sudah wafat. Para sahabat

melakukan hal tersebut dalam upaya menjawab masalah yang belum pernah terjadi pada

masa Nabi Muhammad Saw.

Hal inilah yang kemudian memperluas ruang lingkup sunnah dan bukan lagi hanya

terbatas kepada sunnah Nabi Saw. akan tetapi juga mencakup sunnah para sahabat. 17

terdapat beberapa contoh ijtihad yang dilakukan oleh Khulafâ’ al-Râshidûn yang kemudian

menjadi sunnah bagi kaum Muslimin setelahnya.18

Menurut Schacht, dua khalifah Islam, Abû Bakar dan Umar bin Khattab memakai

istilah sunnah bukan pada konteks hukum, melainkan dalam konteks politik, yang berarti

kebijkasanaan dan administrasi kekhalifahan.19 Sunnah Nabi ketika itu menjadi jembatan

antara sunnah Abû Bakar dan Umar dengan al-Qur’an. Khalifah Islam tetap menggunakan

konsep sunnah dan mengkombinasikannya dengan sunnah yang ada di daerah-daerah luar

taklukan Arabia, sama seperti ketika Nabi Muhammad Saw. ketika sunnah dipergunakan

untuk menyelesaikan problem masyarakat Muslim.20

c. Tradisi yang Hidup

Luasnya perkembangan wilayah Islam pada periode awal, menyebabkan teori sunnah

yang dipraktekan di wilayah-wilayah sekitar Arab menjadi kompleks. Adanya seruan dari

khalifah awal untuk mengadopsi sunnah yang berlaku di masyarakat tersebut untuk

menyelesaikan suatu perkara, menyebabkan sunnah menjadi dinamis untuk di tafsirkan.

17 Nabi juga dalam beberapa riwayat menyuruh umatnya untuk bukan hanya mengikuti sunnah yang datang

dari dirinya akan tetapi juga yang diajarkan oleh para sahabat. 18 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintasan Sejarah”, Jurnal Mutawâtir, Vol. 3 Nomer 1

Tahun 2013, h. 90. 19 Ansari menyatakan: “Kewenangan sahabat itu mapan pada tahun 75 H. Ajaran dan praktik Nabi serta

para sahabat terus dicirkan ke dalam sunnah. Baca Adis Dude Rija, Evolution in the Concept of Sunnah during

the First Four Generation of Muslims in Relation to Development of the Concept of an Authentic Hadîth as based

on Recent Western Scholarship (Koninklijke Brill NV: Leiden, 2012), h. 416. 20 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 140.

Page 40: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Adalah Abû ‘Amr ‘Abd al-Rahmân b. ‘Amr al-Awzâ’î (w. 157 H.) seorang Imam mazhab21

dari Syiria. Ia mengenal konsep sunnah, akan tetapi tidak mengidentikkannya kepada

tradisi-tradisi yang formal. Ia sering merujuk kepada praktek yang dilakukan kaum

Muslimin yang sampai kepadanya dari masa hidup Rasulullah. Kemudian, untuk

memperkuat argumentasinya ia mengutip pendapat atau praktek sahabat atau kaum

Muslimin para pendahulunya.22

Bagi Schacht, model konsep yang diadopsi oleh al-Awzâ’î adalah sesuatu yang dikenal

dengan sebutan “a living tradition”, yaitu praktek-praktek kaum Muslimin yang dimulai

dari Nabi, dilestarikan oleh para Khalifah awal dan para penguasa berikutnya serta

diverifikasi oleh para ulama setelahnya. Praktik-praktik kaum Muslimin yang kontinu

adalah yang sangat menentukan sedangkan rujukan pada Nabi atau para khalifah awal

bersifat opsional dan bukan merupakan suatu keharusan untuk menetapkan sunnah.23

Berbeda dengan al-Awzâ’î, ulama Iraq dalam memandang sunnah tidak lebih dari cara

pandang para ulama Madinah. Ini tergambarkan pada pernyataan ulama Iraq, “kami

melaksanakan ini berdasarkan sunnah”. Adalah Abû Yûsuf (w. 182 H.) membedakan apa

yang didengarnya sampai kepada Nabi, atsar24 dan sunnah yang popular. Menurutnya,

sunnah tidak mesti selalu dikaitkan dengan segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw. Abû

Yûsuf mengutip Alî yang mengatakan bahwa Nabi dan Abû Bakar pernah menghukum 40

kali cambuk terhadap orang-orang yang meminum khamar, sedangkan Umar menghukum

dengan 80 kali cambukan. Kemudian Abû Yûsuf berkata: “ini merupakan sunnah, dan

sahabat kami sepakat bahwa hukuman untuk orang yang meminum khamar adalah 80 kali

21 Istilah mazhab awal dipergunakan sebagai padanan istilah ancient school of law meliputi mazhab Iraq

(dipelopori oleh Imâm Abû Hanifah dan muridnya yang terkenal yaitu Abû Yûsuf dan al-Saybânî), mazhab Syiria

(dipelopori al-Awzâ’î), dan mazhab Madinah (dipelopori Imâm Mâlik). baca Joseph Schacht, The Origins of

Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1975), h. 70. 22 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 91. 23 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”. 24 Atsar menurut bahasa adalah bekasan sesuatu, atau sisa suatu. Berarti pula nukilan (yang dinukilkan).

Menurut istilah jumhur ‘ulama, atsar sama artinya dengan khabar dan hadîts. Sedangkan para fuqaha memaknai

istilah ini dengan perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tâbi’în, dan lain-lain. Atsar selalu dihubungkan

dengan sesuatu yang datang dari Nabi Saw. Dan yang selainnya. Baca Muhammad Hasbie Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 13.

Page 41: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

cambukan”.25 Hukuman cambuk untuk seseorang yang mabuk karna khamar berasal dari

hadis, sedangkan penambahan jumlah hukuman berasal dari ijtihad para sahabat. Inilah yang

kemudian menjadi referensi oleh Abû Yûsuf.

Pandangan konsep sunnah berikutnya beralih kepada pemahaman konsep Mâlik ibn

Ânas ibn Malik bin ‘Âmr al-Asbahi (w. 179 H.) yang dikenal juga dengan sebutan Imâm

Dâr al-Hijrah (Imam kota hijrah Nabi). Pemahaman Imâm Mâlik terhadap sunnah tidak

juah berbeda dengan pandangan yang sudah ada pada umumnya. Bagi Imâm Mâlik, sunnah

bukan hanya tradisi yang datang dari Nabi Saw., para sahabat, serta para tâbi’în. Akan tetapi,

sunnah juga berasal dari praktek yang berlaku di masyarakat Madinah, bahkan menurut

Imâm Mâlik tradisi yang mapan dari masyarakat Madinah adalah sarana yang mapan untuk

menimbang sunnah.26

Metode yang digunakan oleh Imâm Mâlik di dalam kitab al-Muwatta’ adalah, pertama

ia mengutip hadis yang relevan dari Rasulullah jika bisa ia peroleh, setelah itu ia mengutip

pendapat para sahabat, dan kemudian terakhir adalah pendapat atau praktek dari ahli hukum

Madinah27 sesekali ia mengutip preseden-preseden yang ditinggal oleh Banî Umayyah

seperti Marwân bin Hakam, ‘Abdul Mâlik, dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Setelah itu ia

mengungkapkan mazhabnya sendiri, yaitu mazhab masyarakat Madinah.28

Selanjutnya, Imâm Mâlik berpandangan bahwa, sebetulnya Nabi Saw. tidak pernah

bermaksud untuk membuat aturan yang “mengekang” serta dipatuhi selama-lamanya.

Sehingga sunnah lebih dinamis dalam menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa kandungan aktual sunnah pada generasi Muslim awal dapat dikatakan

secara garis besar adalah produk dari ijtihad. Ketika hasil ijtihad ini diterima oleh semua

umat Islam melalui interaksi pendapat secara terus menerus maka ia akan menjadi sebuah

konsensus bersama (ijmâ’). Itulah sebabnya mengapa sunnah dengan pengertian sebagai

25 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 144. 26 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 92. 27 Tujuh ahli hukum Madinah tersebut adalah Sâlim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, Kharâkhah bin Yazîd,

Sulaimân bin Yasar, al-Qâsim, Sa’îd bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, dan ‘Abdullâh bin ‘Abdullâh bin

‘Utman. 28 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 93.

Page 42: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

praktik yang disepakati bersama oleh Mâlik disebut dengan istilah al-amr al-mujtama’

‘alaih ‘indanâ (perbuatan atau praktek yang kami sepakati). Hal ini pula yang mungkin

menyebabkan ungkapan sunnah Nabi jarang muncul dalam teks-teks mazhab ahli

Madinah.29

d. Rekonstruksi Konsep Sunnah

Dalam perkembangan selanjunya, Imâm al-Syâfi’î melakukan perubahan besar

terhadap konsep sunnah yang sudah berkembang dalam mazhab-mazhab awal. Pokok

perbedaan yang sangat jelas antara gagasan sunnah pra- dan pasca- Syâfi’î berkenaan

dengan hubungan antara sunnah Nabi Saw. dan “sunnah-sunnah lainnya”.30

Hal pokok dalam sistem al-Syâfi’î adalah keunikan sunnah Nabi Muhammad Saw.

dibandingkan dengan semua sumber kewenangan lainnya. Bagi al-Syâfi’î, satu-satunya

sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi Saw. dan sunnah ini secara eksklusif dia identikan

dengan hadis-hadis yang langsung berasal dari Nabi. Dengan demikian, proses kreatif yang

berlangsung pada masa mazhab awal diserang oleh al-Syâfi’î dengan menyerukan

diterimanya materi hadis secara besar-besaran dalam hukum Islam.31 Gerakan inilah yang

dilihat oleh Fazlur Rahmân sebagai gerakan substitusi hadis yang mengakibatkan

berhentinya proses kratif yang sudah berjalan sebelumnya.32

Dapat dipahami bahwa al-Syâfi’î ingin mengesampinkan “sunnah yang hidup” yang

dikenal pada periode mazhab sebelumnya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi gerakan

al-Syâfi’î adalah keprihatinannya terhadap pengabaian hadis-hadis Nabi. Karena itu, al-

Syâfi’î selalu melayangkan protes terhadap argumentasi orang-orang Madinah yang selalu

mengedepankan praktik masyarakat Madinah dengan mengatakan bahwa tidak lebih dari

29 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 94-95. 30 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani

Muslim (Bandung: PT. Mizan, 2000), h.22. 31 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 100. 32 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Ana Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 29.

Page 43: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

30.000 sahabat yang sudah melaksanakan dan mengenal tradisi tersebut, sehingga dapat

lebih diandalkan daripada hadis-hadis yang menyendiri.33

Menurut al-Syâfi’î, sunnah yang datang dari Nabi dalam bentuk hadis melalui mata

rantai yang tsiqâh merupakan suatu hukum, terlepas apakah sunnah tersebut diterima oleh

orang banyak atau tidak, bahkan walaupun dia merupakan tradisi yang terisolir dan

tersendiri. Contohnya dalam kasus pengharaman khamar. Ketika Abû Thalhah dan

sekelompok orang sedang minum khamar, datanglah seseorang dengan membawa berita

bahwa khamar telah di haramkan. Maka mereka memerintahkan orang-orang untuk

memecahkan tempat minuman.34 Sekiranya mereka tidak boleh menerima berita yang

langsung dari yang selain Nabi, pasti Nabi Saw. akan mengatakan, “mestinya kalian jangan

mengambil keputusan dulu, sampai aku memberi tahu kalian”.

Berdasarkan protes al-Syâfi’î terhadap ahli hukum Madinah tersebut, Rahman

menyimpulkan sebenarnya antara keduannya sama-sama menghendaki posisi sunnah Nabi

sebagai sumber hukum Islam. Ahli hukum Madinah mengklaim bahwa tradisi mereka

berasal dari sunnah Nabi, sedangkan al-Syâfi’î membela otoritas Nabi melalui pemahaman

hadis.35 Ini menandakan bahwa al-Syâfi’î dengan ahli hukum Madinah sejalan dalam

menafsirkan terma sunnah. Akan tetapi, dalam perkembangannya “sunnah” ditafsirkan

dalam konotasi yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.

Bukti keberhasilan al-Syâfi’î dalam memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadis

Nabi Saw. serta dalam menegakan superioritas sunnah atas sumber lainnya adalah jelas.

Setalah al-Syâfi’î, jarang kita menemukan istilah untuk selain sunnah Nabi Saw. Al-Syâfi’î

membangun kembali blok-blok bangunan utama dari konsensus klasik, dia

mengintegrasikan blok sunnah ini menjadi suatu sistem yurispundensi Islam yang saling

terkait.36

33 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”. 34 Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, Ikhtilâf al-Hadîth (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986), h. 14. 35 Sahid HM, “Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman”, Jurnal Al-Tahrir, Volume 11

No. 1, Mei 2011, h. 189-190. 36 Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h.19-20.

Page 44: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

B. Pembacaan Ulang Wacana Sunnah

Pada abad ke-19 M, yang disebut-sebut sebagai awal dunia modern Islam37, gerakan

menghidupkan sunnah (ihya’ al-sunnah) yang telah berlangsung sejak abad ke-18 M

megalamai pergesaran ke arah memikirkan kembali sunnah dalam dunia modern.

Perubahan ini terjadi disebabkan adanya faktor eksternal, terutama tantangan modernisme

dalam dunia Muslim yang disebabkan adanya pengaruh dari pemikiran barat.

Salah satu tema pemikiran muncul dikalangan para pemikir hadis adalah kewenangan

sunnah. Dalam al-Qur’an, Nabi diidentifikasi Allah dengan beberapa peran yang berbeda

dan menyatu dalam dirinya: sebagai penyampai risalah (QS. al-Mâidah: 102), sebagai

penjelas al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 44), sebagai hakim (QS. Al-Nisâ’: 65), sebagai figur yang

ditaati (QS. Al-Nisâ’: 64), dan sebagai teladan yang baik (QS. Al-Azhâb: 21). Otoritas-

otoritas Nabi yang disebutkan di atas telah membentuk keyakinan kuat kaum Muslimin

terhadap otoritas (hujjiyah) sunnah. Karena itu, perkataan dan praktek Nabi merupakan hal

yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim sejak awal.38 Kaum muslim

menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.

Tampaknya tak ada perbedaan kaum muslim tentang validitas kewenangan sunnah.

Semua kaum muslim sepakat dan menerima kewenangan sunnah Nabi. Tetapi yang

menjadi perbedaan, terutama dikalangan pemikir modern-kontemporer adalah bagaimana

memaknai kewenangan sunnah Nabi tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor

yang memicu perbedaan tersebut. Sifat hadis yang zanni al-wurûd, dimensi kemanusiaan

Nabi dalam perkataan dan perbuatannya, situasi dan kondisi yang melahirkan

37 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 311; lihat juga

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.

13. 38 Terdapat banyak riwayat yang menceritakan bagaimana para sahabat merespon keteladanan Nabi ini.

Abû Bakar misalnya diriwayatkan menyatakan: Tidaklah aku meninggalkan sesuatu perbuatan Rasulullah yang

kamu lihat, kecuali aku juga memperbuatnya (seperti Rasulullah). Demikian pula Umar diriwayatkan bahwa ia

berhenti di depan al-Hajar al-Aswad dan berkata: Saya tahu engkau adalah batu. Jika saya tidak melihat

Rasulullah menciummu, maka aku tidak akan menciummu. Lalu ia mencium al-Hajar al-Aswad. Ibnu Umar juga

menyatakan hal yang sama: Hadis dari Ibnu Umar, bahwa dia berkata: Wahai anak saudaraku, sesungguhnya

Allah telah mengutus Muhammad Saw. kepada kita. Kita tidak mengetahui sesuatu, maka kita melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana kita melihat beliau melakukannya.

Page 45: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

menyebabkan Nabi mengucapkan hadis adalah beberapa faktor yang mendorong

pemahaman yang berbeda terhadap kewenangan sunnah, hingga melahirkan pemikiran-

pemikiran yang beragam.39

a. Pengertian Modern, Modernisasi dan Pembaharuan dalam Islam

Istilah “modern”, sebenarnya berasal dari bahasa latin “modo” atau “modernus”, yang

berarti masa kini; yang kini; paling mutakhir.40 Secara terminologi, modern didefinisikan

sebagai sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman.41 Oleh karena

itu, modernisasi dapat diartikan sebagai proses menjadi modern, terbaru, dan juga mutakhir

atau juga proses cara berfikir, bertindak serta bersikap sesuai dengan tuntunan zaman.

Sedangkan kata “pembaharuan”, secara etimologis berasal dari kata “baharu” atau “baru”

yang berarti proses membuat sesuatu menjadi baru.42

Modernisasi atau pembaharuan semula timbul di kalangan masyarakat Barat pada

sekitar tahun 1650 hingga tahun 1800 M, dimana pada saat itu masa pengultusan akal.

Paham ini pada mulanya untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang ada didalam agama

Katolik dan Protestan dengan ilmu pengertahuan dan filsafat modern. Akibatnya terjadi

kontra yang sengit antara masyarakat gereja dan masyarakat ilmu.43

Dalam Islam, gerakan pembaharuan terjadi bukan disebabkan karena pertentangan

antara kaum agama dan ilmuwan sebagaimana yang terjadi di Barat, melainkan karenanya

adanya kesadaran di kalangan para tokoh pembaharu akan keterbelakangan umat Islam dari

39 Maizuddin M. Nur, “Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah di Era Modern”, Jurnal Substantia, Vol.

14 No. 2, Oktober 2012, h. 145-146. 40 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 653. 41 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. III (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), h. 751. 42 Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa dalam konteks keislaman, pembaharuan berarti upaya

intelektual Islam untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan pemahaman umat Islam terhadap

agamanya dalam konteks berhadapan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat. Baca Ahmad Syafi’i

Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Pustaka, 1985), h. 96. 43 Gereja di satu pihak mempertahankan keyakinan yang ada, sementara masyarakat ilmu di pihak lain juga

mempertahankan keyakinan mereka yang diperoleh berdasarkan keyakinan ilmiah. Menurut masyarakat gereja

apa yang dikatakan masyarakat ilmu tersebut bertentangan dengan keyakinan agama mereka, karenanya mereka

dikucilkan dari gereja dan mereka pun menjauhi gereja. Perkembangan selanjutnya pemikiran tidak berbau agama

dan bercorak sekuler. Baca Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Cet. Ke-II (Prenadamedia Gruop, 2015), h. 175.

Page 46: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

dunia Barat. Pada masa dunia barat sedang dalam kemajuan ilmu yang sangat pesat, dunia

Islam justru sebaliknya.44

Para ulama pun memberikan komentar berbeda tentang pengertian medernisasi di

dalam Islam, diantaranya:

1. Menurut Yûsuf al-Qardâwî, modernisasi di dalam agama diartikan memperbaharui

pemahaman agama, iman, dan amal, kembali seperti semula yang dilakukan Nabi

Saw., para sahabat, dan para pengikutnya.45

2. Modernisasi menurut al-‘Alqamîy adalah menghidupkan kembali pengamalan al-

kitab dan sunnah setelah lenyap dan melaksanakan apa yang dikehendaki keduanya. 46

3. Abû al-Hasan al-Nadawîy, modernisasi adalah suatu usaha penyesuaian ajaran Islam

dengan tuntunan kehidupan kontemporer dengan cara menakwilkan yang sesuai

dengan perkembangan sains dan kondisi sosial.47

4. Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi adalah proses perombakan cara berpikir dan

tata kerja lama yang tidak rasional, serta menggantinya dengan pola pikir dan tata

kerja baru yang rasional.48

5. Menurut Muhammad ‘Abduh, modernisasi terhadap agama dapat diartikan sebagai

seruan untuk umat Islam dalam memerangi bid’ah dan khurafat, serta melakukan

reformasi terhadap pendidikan, pengajaran bahasa Arab.49

Modernisasi dalam Islam menurut Yûsuf al-Qardâwî berarti mengembalikan sesuatu

sebagaimana semula dengan menjaga substansi dan karakteristik yang ada, sehingga

sesuatu yang lama itu seolah menjadi baru kembali, bukan berarti mengubah dan

44 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah. 45 Al-Qardâwî, Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma,

1993), h. 38. 46 Abî al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq Âbâdîy, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dawûd, Cet. I,

Juz 11 (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmîyah, 1998), h. 260. 47 Abû al-Hasan al-Nadawîy, al-Syûrâ bayn al-Fikrah al-Islâmîyah wa al-Gharbîyah, Cet. Ke-III (Kairo:

al-Taqaddum, 1977), h. 71. 48 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 18. 49 Muhammad Hâmid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq,

2004), h. 181-182.

Page 47: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

merobohkan substansi lama kemudian digantikannya dengan substansi yang baru, akan

tetapi pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan al-Qur’an dan al-sunnah.50

Dengan demikian, tidak benar tajdîd al-dîn (pembaharuan terhadap agama) dipahami

mengubah ajaran agama untuk disesuaiakan dengan perkembangan zaman, agama bersifat

baku tidak perlu diperbaharui, agama tidak layak disesuaikan dengan zaman akan tetapi

zamanlah yang harus mengikuti agama. Maka tidak benar pula label pembaharuan ini

dijadikan alasan untuk menolak sunnah Sahîhah yang menurutnya tidak sesuai dengan akal,

tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.51

b. Modernisasi dalam Sunnah

Modernisasi dalam sunnah merupakan suatu proses usaha pembaharuan dalam

pemahaman dan pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi

masyarakat dan sains serta pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan

bid’ah dengan cara penelusuran dan penelitian keautentikannya secara adil dan jujur.

Dari pengertian modernisasi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi sunnah

harus mengakomodasi beberapa hal, yaitu:

1. Adanya usaha pembaharuan

2. Tuntutan perkembangan sosial

3. Tuntutan pemurnian sunnah dari khurafat serta bid’ah.52

Ketiga aspek diatas merupakan syarat sah untuk terpenuhinya konsep modernisasi

terhadap sunnah. Namun tentunya modernisasi dalam sunnah tidak dipahami sebagai

pembaharuan tanpa batas. Ia memiliki batas-batas tertentu baik yang berkaitan dengan

manusianya sebagai modernis maupun yang berkaitan dengan sunnahnya.

50 Al-Qardâwî, Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi. 51 Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 176. 52 Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 179-180.

Page 48: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB III

BIOGRAFI, LATAR BELAKANG PEMIKIRAN, SERTA KARYA-KARYA NASR

HÂMID ABÛ ZAYD

Nasr Hâmid Abû Zayd

Di antara hambatan dalam mengungkap secara lebih lengkap mengenai latar

belakang dan aktivitas keilmuan Abû Zayd adalah masih kurangnya literatur yang

memadai tentang itu, baik yang bersumber dari Abû Zayd sendiri maupun dari

orang lain. Untuk itu, pada Bab ini akan dijelaskan secara jelas tentang biografi

serta latar belakang pemikiran dari Nasr Hâmid Abû Zayd.

a. Sketsa Biografi dan Latar Belakang Pemikiran

Nama lengkapnya Nasr Hâmid Abû Zayd. Beliau lahir pada tanggal 10 juli

1943, di desa Qahafah dekat kota Tanta Mesir. Dia diberi nama Nasr oleh orang

tuanya dengan harapan agar dia selalu membawa kemenangan atas lawan-

lawannya, karena ia lahir saat terjadi Perang Dunia II. Abû Zayd hidup dalam

sebuah keluarga yang religius, dan ayahnya adalah seorang aktivis al-Ikhwân al-

Muslimîn dan pernah dipenjara. Saat berumur empat tahun, Abû Zayd mulai belajar

menghafal al-Qur‟an di Kuttâb. Dia berhasil menghafal al-Qur‟an dalam kurun

waktu delapan tahun, sehingga ia dipanggil dengan panggilan “Syaikh Nasr”. Pada

umur 11 tahun dia ikut bergabung dengan kelompok al-Ikhwân al-Muslimîn (1954),

karena ia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutub melalui bukunya al-Islâm wa al-

‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial).1

1 Baca Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika

Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), h. 15-16.

36

Page 49: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

37

Gerakan al-Ikhwân al-Muslimîn ini kemudian menjadi berkembang pesat di

daerah Abû Zayd dibesarkan, dan bahkan memiliki cabang yang sangat aktif.

Aktivitas al-Ikhwân al-Muslimîn mendapat respon positif di masyarakat baik di

dalam kegiatan keagamaan, budaya, olahraga, dan sosial. Oleh sebab itu, Abû Zayd

sangat aktif di dalam gerakan tersebut.2

Abû Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tanta, dan

setelah lulus sekolah tekhnik di Tanta pada tahun 1960, dia bekerja sebagai seorang

teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo 1972. Kemudian,

Abû Zayd mulai tertarik kepada kritik sastra saat umur dua puluh satu tahun, terlihat

dalam tulisan-tulisannya yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal al-Adab

yang diketuai oleh Amîn al-Khûlî. Di antara artikelnya saat itu adalah “Haul Adab

al-‘Ummal wa al-Fallâhin” (Tentang Sastra Buruh dan Petani) dan “Azmah al-

Aghniyyah al-Misriyyah” (Krisis Lagu Mesir). Kemudian dia mulai berani

mengkritik al-Ikhwân al-Muslimîn yang pernah ia ikuti sebelumya.3

Pada tahun 1968, Abû Zayd melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Jurusan

Bahasa Arab di Universitas Kairo, yang diselesaikan pada tahun 1972. Setelah itu,

dia diangkat sebagai asisten dosen, jenjang Magisternya diselesaikan di Universitas

yang sama pada tahun 1976, dengan tesisnya yang berjudul Qadiyyat

2 Hubungan antara Abû Zayd dengan al-Ikhwân al-Muslimîn semakin erat ketika Gubernur

Al-Gharbiyyah, Hasan Hudaibi berkunjung ke markas al-Ikhwân al-Muslimîn untuk mengadakan muktamar klub olahraga Tanta. Saat itu Abû Zayd memimpin pertunjukan olahraga besar besar yang ditunjukkan oleh al-Asybal (anak-anak di kalangan al-Ikhwân al-Muslimîn). Baca Hamka Hasan dalam Nasr Hâmid Abû Zayd, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah. Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 10.

3 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 16-17.

Page 50: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

38

al-Mâjaz fî Al-Qur’ân ‘indâ al-Mû’tazilah.4 Setelah itu, dia melanjutkan studinya

ke jenjang Doktoral untuk memperdalam bidang keilmuanya.5 Pada tahun 1992

Abû Zayd diangkat menjadi asisten Guru Besar dialmamaternya tersebut pada

Jurusan Studi Keislaman dan Balagah.

Untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan karier akademiknya dari

tingkat Guru Besar, pada bulan Mei 1992 Abû Zayd diusulkan untuk promosi

menjadi professor (al-Ustadz). Karena itu, semua pengabdiannya di dunia

akademik termasuk karya ilmiyahnya yang disusun belakangan berjudul, Al-Imâm

al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidulujiat al-Wasatiyah dan Naqd al-Kitâb al-Dînî yang

dijadikan sebagai bahan pertimbangan penilaian oleh para muqarrir dalam Majelis

Pertimbangan Akademik. Namun, setelah tujuh bulan (tepatnya pada tanggal 16

Desember 1993) dilakukan pembahasan dan penilaian terhadap berbagai karya

yang diajukannya itu, khususnya karyanya yang ditulis belakangan tersebut.

Akhirnya, pengajuannya untuk dikukuhkan sebagai professor ditolak, dengan

alasan kadar keilmiahan karyanya rendah dan dianggap telah keluar dari batas-batas

keimanan, dan dianggap telah menyimpang dari disiplin ilmu Abû Zayd sendiri.6

4 Tesis tersebut telah diterbitkan di Beirut oleh penerbit Dâr al-Tanwir tahun 1982 dan 1996 dengan judul : Al-Ittîjah al-Aqlîy fî al-Tafsîr “Dirâsat fî Qadiyyat al-Mâjaz fî Al-Qur‟ân „indâ al-Mû‟tazilah”.

5 Ahmad Syaiful Islam, Mushkilatuna al-Yayniyah (Kairo: Dâr al-Qalam, 1995).

6 Diawali Dr. Abdus Shabur Syahin, sebagai penilai (muqarrir). Ia menganggap karya-karya kritis Abû Zayd itu berkadar ilmiah yng rendah dan telah keluar dari batas-batas keimanan. Menurutnya, Abû Zayd telah melecehkan Imâm al-Syâfi‟î dengan tuduhan-tuduhan keji. Ajakan Abû Zayd kepada umat Islam untuk membebaskan teks, dalam penilaianya, adalah sebuah ajakan untuk meninggalkan al-Qur‟an dan al-sunnah. Kesimpulan ini, diikuti oleh penulis-penulis taqrîr lainnya seperti Dr. Muhammad Baltagi, Dr. Ismâ‟il Salim, Sya‟ban Ismâ‟il, dan Dr. Muhammad Syuk‟ah. Baca pengantar buku Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Imâm al-Shâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 1997).

Page 51: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

39

Persoalan yang dihadapi oleh Abû Zayd ternyata tidak sampai disitu, akan

tetapi berlanjut kepada tuduhan dan cercaan bahwa Abû Zayd telah murtad

sehingga dipaksa untuk menceraikan istrinya dan diseret ke pengadilan.7 Meskipun

pada akhirnya Abû Zayd memperoleh keprofesoran penuh penuh dari Universitas

Kairo pada tahun 1995 setelah menyerahkan Sembilan tulisan lain pada panitia

promosi, tetapi ia meninggalkan Mesir karena adanya ancaman pembunuhan. Sejak

26 Juli 1995, Abû Zayd bersama istrinya menuju Leiden, Belanda sebagai professor

tamu dalam bidang studi Islam di Universitas Leiden. Pada 27 November 2000, ia

dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas Leiden.8

Kemudian, Abû Zayd menjabat sebagai kepala studi pada institusi Ibn Rushd

untuk Humaniora dan Islam (Ibnu Rushd Chair of Humanism and Islam) di

Universitas Utrecht-Belanda sejak 27 Mei 2004 hingga wafat. Abû Zayd wafat pada

senin, 5 Juli 2010 di RS. Al-Syaikh Zayd di wilayah Sadis Oktober (6 Oktober)

Kairo pada pukul 09.00 dalam usia 66 tahun setelah satu bulan dirawat karena virus

yang belum bisa diidentifikasi oleh dokter dan dimakamkan ditanah kelahirannya,

Qahafah, di Delta Nil.9

Adapun karir dan penghargaan yang diterima oleh Abû Zayd diantaranya

adalah ia dipromosikan sebagai asisten profesor pada 1982, dan tahun itu juga dia

7 Untuk lebih jelasnya mengenai kasus Abû Zayd tersebut dapat dilihat dalam karyanya: al-Takfîr fî Zamân al-Takfîr.

8 Dalam pidato pengukuhannya, Abû Zayd membaca kembali konsep „Ulûm al-Qur’ân tradisional tentang historitas al-Qur‟an dengan memperkenalkan konsep komunikasi secara vertikal antara Tuhan dan manusia dalam al-Qur‟an. Konsep ini menurut Abû Zayd ditujukan untuk menegaskan tesisnya tentang dimensi kemanusiaan (human aspect) dalam al-Qur‟an. Baca

Abû Zayd, the Quran: God and Man in Communication, dalam http://www.let.leidenuniv.nl/forum/01_1/onderzoek/2.htm. (11 Maret 2009).

9 Baca anonim, Nasr Hamed Abu Zeid Meninggal dalam http:/ www.PERISAI.net-NasrHamedAbu Zeid Meninggal.htm. (28 Juli 2010).

Page 52: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

40

mendapatkan penghargaan „Abd al-„Azîz al-Ahwânî karena konsernya pada

humanitas dan budaya Arab. Dia juga menjadi profesor tamu di Osaka University

of Foreign Studies, Jepang pada 1985-1989, dan ia juga dipromosikan sebagai

Associate Profesor pada 1987.10 Di samping itu, pada Mei 1993 dia juga

mendapatkan anugrah the Republican Order of Merit for the Service to Arab

Culture dari Presiden Tunisia, pada tahun 1994 ia ditunjuk sebagai anggota dewan

penasehat Encyclopedia of the Qur’an.11 Abû Zayd juga memperoleh keprofesoran

penuh pada Juni 1995, dan ia bersama istrinya meninggalkan Mesir menuju Leiden,

Netherland pada 26 Juli 1995, dan pada tahun itu juga ia menjadi profesor tamu di

Universitas Leiden dalam bidang Studi Islam. Ia juga mendapatkan penghargaan

dari Jordanian Writers Association Award for Democracy and Freedom pada tahun

1998, dan pada tahun 2000 dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas

Leiden.12

b. Kegelisahan Akademik

Produk pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentu sangat dipengaruhi oleh

dominasi intelektualnya, yakni dalam bidang bahasa dan sastra. Mengingat

pendidikan tingginya dihabiskan untuk mempelajari bahasa dan sastra Arab, maka

fokus kajiannya adalah teks (al-Qur‟an) dan hadis (sunnah).

Intensitasnya dalam studi bahasa dan sastra Arab menyebabkan ia sering

bergumul dengan kajian al-Qur‟an. Kondisi ini juga didukung oleh intensitasnya

berinteraksi dengan mahasiswa jurusan bahasa Arab di Universitas Kairo, baik di

10 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 19-20.

11 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 23. 12 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 25.

Page 53: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

41

Universitas induk maupun di cabang Khourtoum, Sudan. Melalui dua mata kuliah

yang ia ajarkan, al-Qur‟an dan Hadits, dan Balaghah Arab, ia bersama dengan

mahasiswanya melakukan pengujian dari berbagai macam aspek terhadap sejumlah

hipotesis yang seluruhnya berkisar di seputar al-Qur‟an.13

Akan tetapi, dialog antara Abû Zayd dan para mahasiswanya tidak hanya pada

persoalan al-Qur‟an, tapi meluas pada persoalan budaya dan Negara. Hal ini

dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari realitas

masyarakat (negara).

Dalam konteks akademis, pemikiran-pemikiran Abû Zayd merupakan

pengembaraan kajian terhadap tradisi intelektual yang sudah berkembang dari sudut

hubungan dan dialektika mufassîr dengan teks. Beberapa kajian yang telah

dilakukan oleh Abû Zayd adalah mengenail intrepetasi (ta’wîl) teks, baik yang

didasarkan pada rasio sebagaimana yang dilakukan kalangan Mû‟tazilah, atau yang

didasarkan pada intuisi-spekulatif sebagaimana yang dilakukan kalangan sufi.

Menurutnya, dua kajian tersebut difokuskan pada horizon intelektual dan

epistimologis yang menjadi titik tolak proses penafsiran dan interpretasi.14

Nasr Hâmid Abû Zayd dalam hal ini menawarkan “konsep analisis wacana”

untuk menjawab problem-probelm di atas dalam mengkritisi dan mengkaji ulang

atas konsep teks dan problematika interpretasi, serta upayanya untuk melakukan

pembongkaran terhadap watak kebenaran teks-teks dan struktur wacana bukan

tanpa kritik. Jadi, pertentangan tersebut sebenarnya merupakan pertentangan lama

13 Moch. Taufiq Ridho, “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd:

Reintrepretasi atas Konsep Asbab an-Nuzul”, Jurnal Rasail, Volume. 1 No. 4, 2015, h. 5. 14 Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm an-Nas Dirâsah fî Ulûm al-Qur’ân, terj. Khoiron

Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005), h. xvi-xvii.

Page 54: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

42

dalam pemikiran modern kita. Pertentangan ini bukan hanya sekedar pertentangan

di seputar pembacaan terhadap teks-teks agama atau seputar interpretasi

terhadapnya, tetapi merupakan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua

aspek sosial, ekonomi, politik, pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan

takhayul dan mitos atas nama „Agama‟ dan pemahaman yang Letterlijk terhadap

teks-teks agama.15

Oleh karena itu, ia menawarkan gagasan baru dalam memahami al-Qur‟an

dan Hadis. Kajiannya difokuskan pada eksistensi atau konsep teks itu sendiri, dan

membicarakan berbagai macam aspeknya. Ia ingin menunjukkan bagaimana peran

teks, efektifitas teks, dan efektifitas tradisi interpretasi yang berkaitan dengan teks.

Ia juga ingin menunjukkan pengaruh teks terhadap pemikiran kaum Muslimin.16

c. Karya-karya Nasr Hâmid Abû Zayd

Sebagai seorang penulis yang produktif, Abû Zayd mempublikasikan

karyanya dalam bentuk buku, artikel maupun jurnal yang ditulis saat beliau masih

tinggal di Mesir, Jepang maupun di Belanda. Beberapa karya Abû Zayd antara lain

adalah:

a. al-Ittijâh al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsah fî Qadhiyyat al-Majâs fî al-Qur’ân

‘inda Mû’tazilah (1977). Tesis di Cairo University; diterbitkan edisi ke-

2. Beirut 1983; edisi ke-3. Beirut 1993.

b. Haula Adab al-‘Ummâl wa al-Fallâhîn, Majallah al-Adab 5 (1964),

15 Nunung Susfita, “Kritik Wacana Agama: Telaah Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”,

Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Volume 7 No. 1, 2015, h. 51. 16 Ridho, “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd”, h. 6.

Page 55: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

43

c. Azmahal-Ahniyyah al-Misriyyah, Majallah al-Adab 7 (1964),

d. Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil fî ru’ya Adûnis li al-Turâts, Fusûl 1:1,

Oktober 1980; diterbitkan ulang dalam Isykâliyyât.

e. Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘Inda Muhy al-Dîn ibn

‘Arabî (1981). Disertasi di Universitas Kairo; dipublikasikan, Beirut

1983.

f. Mafhûm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân (1990)17, Abû Zayd

menyelesaikan buku ini selama menjadi profesor tamu di Jepang. Buku

ini merupakan responnya terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis

atas al-Qur‟an yang ia temukan pada pemikiran Mu‟tazilah, wacana sufi,

dan wacana religio-politik sejak 1950-an.

g. Naqd al-Khitâb al-Dînî (1992). Buku ini diterbitkan setelah ia kembali

dari Jepang. Kritikannya ini difokuskan pada interpretasi ideologis atas

teks-teks keagamaan para Islamis, Islamis Moderat dan kaum Liberal

Mesir.

h. Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah (1992). Buku ini

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin,

Imam Syafi’i: Moderatisme, Elektisisme, Arabisme. Yogyakarta; LkiS

1997.

i. Ishkâliyyat al-Qirâ’ah wa ‘Aliyyât al-Ta’wîl (1992). Sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Mansur dan

Khoiron Nahdliyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika

17

Sudah diterjemahkan, yaitu: Nasr Hâmid Abû Zayd, Tekstualitas Al-Quran: Kritik

Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, 2001).

Page 56: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

44

Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan.

Yogyakarta: LkiS 2004.

j. Al-Mar’ah Fî al-Khitâb al-Azmah (1995).

k. al-Takfîr fî Zamân at-Takfîr (1995),

l. al-Nass al-Sultah al-Haqîqah: al-Fikr al-dîni bayna Irâdah al-Ma’rifah

wa Irâdah al-Haymanah (1995),

m. Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (1999),

n. Rethingking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (2004),

Dari berbagai karya tersebut, Abû Zayd tidak menulis bahasan sunnah secara

khusus dalam satu buku. Pandangan sunnah Abû Zayd dapat ditemukan di dalam

beberapa bukunya, di antaranya: Mafhûm al-Nas Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an, Naqd

al-Khitâb al-Dînî, Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah, al-

Takfîr fî Zamân at-Takfîr, al-Nass al-Sultah al-Haqîqah, Dâwair al-Khawf:

Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah.

Page 57: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB IV

PEMBACAAN KEMBALI KONSEP SUNNAH MENURUT NASR HÂMID

ABÛ ZAYD

A. Problem Pembacaan Sunnah Era Klasik: Kritik Terhadap Konsep

Sunnah Imâm al-Syâfi’î

Secara garis besar, terdapat perbedaan pendapat yang diajukan oleh

kelompok-kelompok Islam dalam menentukan legalitas sunnah. Kelompok pertama

mengatakan bahwa sunnah merupakan sumber tasyri‟ kedua di dalam Islam setelah

al-Qur‟an. Kelompok kedua berpendapat bahwa al-Qur‟an saja sudah cukup, tidak

perlu adanya hadis dan sunnah yang tidak diketahui kebenaran dan kaitannya

dengan wahyu. Pendapat ini menyatakan bahwa makna al-Kitab menentukan

makna hadis.1

Setelah abad ketiga Hijriah, hampir tidak ditemukan ucapan yang

bertentangan dengan ajaran utama doktrin klasik mengenai sunnah. Dari titik ini,

hingga perdebatan mengenai sunnah baru muncul kembali pada abad kesembilan

belas.2 Hal ini dikarenakan konsep sunnah yang telah dipromosikan oleh al-Syâfi‟î

dalam menyerang doktrin yang sudah berkembang. Al-Syâfi‟î melakukan

perubahan besar dalam konsep sunnah yang dipakai dalam mazhab-mazhab awal.

Sunnah pada mazhab awal merupakan sebuah ideal yang hendak dicontoh persis

oleh generasi Muslim pada masa lampau dengan menafsirkan teladan Nabi.3

1 Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î: wa Ta‟sîs al-Aidûlijiyat al-Wasatiyah, terj.

Khairon Nahdhiyyin (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012), h. 41.

2 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti

& Entin Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), h. 32. 3 Proses metodologi kreatif yang berlangsung pada masa-masa tersebut diserang oleh al-

Syâfi‟î dengan menyerukan diterimanya materi hadis secara besar-besaran dalam hukum Islam. Tujuannya, walaupun mungkin ia tidak melihatnya demikian, adalah menyerang doktrin Ijmâ‟ dari aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktik-praktik dan kewajiban agama yang mendasar. Gerakan inilah yang oleh Rahman disebut dengan gerakan subsitusi hadis yang

45

Page 58: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

46

Al-Syâfi‟î menyadari bahwa sunnah ideal yang telah berlangsung secara

turun menurun tersebut atau yang biasa disebut dengan “a living sunnah” telah

mengakibatkan pengabaian kepada hadis-hadis Nabi. Oleh sebab itu, al-Syâfi‟î

senantiasa mempertanyakan argumentasi orang-orang Madinah yang selalu

mengedepankan praktik masyarakat Madinah dengan mengatakan bahwa tidak

kurang dari tiga puluh ribu sahabat yang mana praktik mereka sudah dikenal,

diakui, dan mapan sehingga dapat lebih diandalkan dari pada hadis-hadis yang

diriwayatkan secara menyendiri.4

Menurut al-Syâfi‟î, sunnah yang datang dari Rasul dalam bentuk hadis

melalui mata rantai rawi yang tsîqah merupakan satu sumber hukum, terlepas

apakah sunnah tersebut diterima oleh orang banyak atau tidak, bahkan walaupun ia

merupakan tradisi yang terisolir atau menyendiri.5 Dari sini tampak sekali bahwa

al-Syâfi‟î lebih menekankan dan mengutamakan nilai-nilai tradisi dari Rasulullah

daripada pendapat dan amal para sahabat, yang dianggap sebagai ijmâ‟.

Menurutnya, dengan adanya tradisi dari Rasulullah tidak ada wewenang lain yang

boleh dipakai untuk mengalahkan tradisi dari Rasul.6

Gerakan yang dipelopori oleh Imâm al-Syâfi‟î ini memang memiliki tujuan

untuk menjaga keautentikan hadis serta menumbangkan hadis-hadis palsu yang

sudah merebak dan merajalela pada waktu tersebut. Namun sayangnya, pada fase

mengakibatkan berhentinya proses kreatif yang sudah berjalan sebelumnya. Baca Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah”, Jurnal Mutawâtir, Vol. 3, No. 1, 2013, h. 100.

4 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”.

5 Berbeda dengan Imâm Malik yang dalam beberapa kasus lebih mendahulukan pendapat para sahabat dan tâbi‟în ketimbang tradisi yang dari Rasulullah. Hal ini disebabkan karena pendapatnya bahwa praktek yang mapan dan disepakati di kota Madinah adalah praktek yang ideal. Al-Syâfi‟î lebih mendahulukan hadis Nabi ketimbang dengan tradisi yang sudah mapan di masyarakat. Dengan demikian al-Syâfi‟î lebih memilih hadis Nabi meskipun diriwayatkan melalui satu jalur periwayatan (ahâd). Baca Muhammad b. Idrîs Al-Syâfi‟î, Al-Risalâh, terj. Masturi Irham

& Asmui Tamam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 316-317. 6 Muhammad b. Idrîs Al-Syâfi‟î, al-Umm, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 201.

Page 59: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

47

ini menurut Fazlur Rahman sunnah yang semula bersifat dinamis berubah menjadi

baku-kaku.7 Salah satu kajian yang menarik dari konsep al-Syâfi‟î ini adalah

pembacaan teks yang ditawarkannya. Menurut al-Syâfi‟î teks (al-Qur‟an dan al-

sunnah) merupakan kaidah determinan yang akan memberikan wawasan dan

pandangan dunia (worldviews) yang “benar”, yang dikehendaki oleh Allah, bagi

manusia. Sebab, teks dapat merepresentasikan realitas.8

Beberapa tokoh kontemporer Islam seperti Nasr Hâmid Abû Zayd mencoba

untuk mengkritisi pemikiran Imâm al-Syâfi‟î terkait dengan pemikiran sunnah yang

ditawarkan olehnya. Berangkat dari rumusan pertanyaan apakah apologisme para

duta wacana keagamaan terhadap pemikiran ulama‟-ulama‟ terdahulu termasuk al-

Syâfi‟î (untuk dikritisi atau dikritiknya) merupakan pembelaan hakiki terhadap

mereka yang berhasil mengkonstruksi agenda pemikirannya ratusan atau bahkan

ribuan tahun yang lalu? Atau sebenarnya hal itu hanya pembelaan terhadap “taklid”

yang dipertahankan atas nama mereka dengan segala nilai ilmiah dan intelektual

yang dicerminkannya dalam image kaum muslimin?.9

Abû Zayd menolak pandangan bahwa seluruh sunnah Nabi bersumber dari

wahyu seperti yang sudah dikemukakan oleh Imâm al-Syâfi‟î. Ia menolak

7 Munculnya isu tertutupnya pintu ijtihad merupakan sebuah momen yang meresahkan bagi

proses kreatif dalam perkembangan pemikiran keislaman, terutama hukum-hukumnya, sehingga memunculkan kemandekan di dalam berfikir. Menurut Wael B. Hallaq dalam sebuah artikelnya, On the Origins of the Controversy about the Existence of Mujtahid and the Gate of Ijtihâd , bahwasanya kontroversi ini sudah muncul kira-kira pada tahun 500 H, perbedaan pendapat antara seorang ahli hukum dari madzhab Hambali (Ibn „Aqil) dengan seseorang dari madzhab Hanafi. Di dalam perbedabatan tersebut, Ibn „Aqil menolak pandangan bahwa pintu penghakiman (bâb al-qadâ‟) telah tertutup karena tidak ada lagi orang yang pantas menjadi mujtahid. Baca Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis: Eksplorasi Pemikiran Asy-Syafi‟i dari Kritik hingga Pengembangan

Metodologis (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 48-49; Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh

(Jakarta: Bumi Aksara, 1987), h. 33; Wael B. Hallaq, “On the Origins of the Controversy about the Existence of Mujtahid and the Gate of Ijtihad”, dalam Wael B. Hallaq, Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam (USA: Ashgate Publishing Company, 2000), h. 129-141.

8 Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, h. 13. 9 Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Takfir fî Zaman al-Takfîr (Kairo: Sina lî al-Nasyr, 1995), h.

122.

Page 60: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

48

pandangan bahwa prosedur pewahyuan sunnah melalui “penghujaman dalam hati”

(al-ilqâ‟ fî al-ru‟) dan pendapat yang menyatakan sunnah bersumber dari wahyu

sebagaimana al-Qur‟an.10

Maksudnya “wahyu” yang terkandung di dalam bahasa

yang diartikan sebagai inspirasi (ilham). Sedangkan “wahyu” dalam pengertian

istilah yaitu (inspirasi) melalui perantara malaikat jibril.11

Menurutnya, apa yang

dilakukan oleh al-Syâfi‟î sama saja dengan menyejajarkan antara wahyu al-Qur‟an

dan wahyu sunnah. Penyatuan antara wahyu al-Qur‟an dan wahyu sunnah tersebut

dianggap kurang tepat karena al-Syâfi‟î berpendapat bahwa keduanya memiliki

otoritas yang sama.

Selain itu, al-Syâfi‟î juga mengaitkan dua makna “wahyu” (al-kitâb dan al-

sunnah) melalui takwilnya terhadap kata al-hikmah yang banyak disebutkan di

dalam al-Qur‟an mengiringi kata al-Kitab:

Sunnah Rasulullah Saw. yang tidak ada nash-nya dalam al-Kitab, sebagaimana telah kami tulis dalam kitab ini, adalah bagian dari pengajaran

al-Kitab ini, adalah bagian dari pengajaran al-Kitab dan al-hikmah yang

dianugrahkan Allah kepada para hamba-Nya. Ini menjadi

dalil bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sunnah Rasulullah Saw.12

Jika kata al-hikmah adalah sunnah, maka menaati rasul (yang selalu disebut

menyertai ketaatan kepada Allah) berarti mengikuti sunnah. Jika benar demikian,

maka yang dimaksud oleh al-Syâfi‟î adalah menaati rasul sama saja berarti dengan

10 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 44.

11 Abû Zayd menjelaskan bahwa ada tiga proses cara pewahyuan yang termaktub di dalam al-Qur‟an. cara pertama adalah “wahyu” dalam pengertian sebagaimana yang telah di jelaskan di oleh ulama terdahulu, yaitu apa yang biasa disebut ilhâm seperti wahyu yang diturunkan kepada Ibu Mûsâ (QS. Al-Qhashash: 7), lebah (QS al-Nahl: 68) dan malaikat. Cara kedua adalah dengan berbicara “di balik tabir”, sebagaimana kalâm Allah kepada Nabi Mûsâ di balik tabir pohon (al-A‟râf: 143), api (Thâhâ: 11-13) dan gunung (Maryam: 52). Serta cara ketiga adalah pewahyuan secara tidak langsung, melalui utusan, malaikat, yang mewahyukan kepada penerima. Cara inilah yang terjadi dalam penyampaian dan penerimaan al-Qur‟an. Nasr Hâmid Abû Zayd, Mahfûm al-Nash Dirâsah fî Ulûm al-Qur‟ân, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 42-43.

12 Al-Syâfi‟î, Al-Risalâh, h. 19.

Page 61: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

49

menaati wahyu ilahi (al-Qur‟an) yang disampaikan oleh Nabi, Sebab al-Syâfi‟î

menjadikan sunnah sebagai wahyu Allah yang memiliki kekuatan tasyri‟ dan

otoritas.13

Dengan demikian, al-Syâfi‟î juga tidak melihat perbedaan yang jelas antara

sunnah al-wahyi dengan sunnah al-„âdah. Menyamakan antara kedua sunnah

tersebut akan berakibat kepada menguniversalkan seluruh aturan yang datang dari

Nabi serta mengikat kepada generasi setelahnya (pasca Nabi Muhammad Saw.).

Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, al-Syâfi‟î menggunakan gagasan

„ishmah (suci dari dosa) sebagai sifat secara khusus yang dimiliki oleh seluruh

Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw.14

Dengan demikian, al-Syâfi‟î pada faktanya telah mengabaikan sisi-sisi

“kemanusiawian” Rasulullah secara berlebihan, yang jelas, di dalam

menyampaikan risalah ini terkandung wahyu, sementara di antara sunnah Nabi ada

yang merupakan uraian dan penjelasan dari al-Kitab, dan ada pula yang merupakan

ijtihad.15

Padahal ketika ditelusuri, maka akan ditemukan beberapa fakta historis

serta argumentasi Nabi di dalam hadisnya, seperti hadis berikut (kalian lebih

mengetahui urusan dunia kalian) yang menjadikan landasan bahwa terdapat perbedaan

yang mendasar terkait dengan sunnah yang berasal dari wahyu dengan sunnah yang

berasal dari sosio-historis Nabi sendiri.

13 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î. 14 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 46.

15 Al-Syâfi‟î mempergunakan kata „ishmah (suci dari dosa) sebagai salah satu sifat yang melekat di dalam diri para Nabi, dan terutama Nabi Muhammad untuk menguatkan argumentasinya tentang seluruh gerak, perkataan, perbuatan serta persetujuan Nabi berasal dari wahyu. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 45-46.

Page 62: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

50

Pemikiran yang diajukan oleh al-Syâfi‟î ini yang dianggap mencampur

adukkan antara wilayah ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan (basyariah) serta

memiliki banyak konsekuensi, seperti mengabaikan keunikan serta kemanusiaan

Rasulullah sebagai penyampai dan pengurai wahyu. Al-Syâfi‟î mengira bahwa

segala bentuk ucapan, perbuatan, serta ketetapan yang bersumber dari Nabi berasal

dari wahyu. Padahal jika ditelaah lebih jauh, ada beberapa bukti historis bahwa Nabi

pernah meminta pertimbangan kepada para sahabatnya, serta mengambil pendapat

yang diajukan oleh sahabatnya tersebut.16

Kemudian, jika sang Imam menganggap bahwa antara wahyu al-Qur’an dan

wahyu sunnah dianggap sebagai sebuah otoritas yang sama, maka seharusnya kedua

teks tersebut dapat saling meniadakan (naskh) (sunnah dapat meniadakan al-Qur’an

sebagaimana al-Qur’an dapat meniadakan sunnah). Oleh sebab itu, tampaknya al-

Syâfi‟î seperti memaksakan penempatan sunnah sebagai bagian dari wahyu.17

Selain itu, Abû Zayd juga melakukan pembacaan kembali terhadap teks al-

Qur’an yang dijadikan landasan untuk otoritas pewahyuan sunnah, contohnya

adalah Q.S al-Najm (53): 3-4.

وى يإنه هو إلا و ٣وما ينطق عن ٱله ٤ يوحى حه

3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.

16Terkait dengan hal ini banyak sekali riwayat yang menjelaskan tentang hal tersebut. salah satu

diantaranya adalah riwayat terkait dengan persiapan pada saat akan dilaksanakan perang Badar. Pada masa

tersebut Nabi memilih lokasi perang Badar, akan tetapi seorang sahabat yaitu al-Habib ibn al-Mundhir memilih

lokasi lain yang disarankan agar bisa mencapai kemenangan, oleh karena itu Nabi memilih pendapat sahabat

tersebut dan meninggalkan pendapat pribadinya. baca Mahdi Rizqullah Ahmad, Al-Sîrah an-Nabawiyyah fî

Dhau‟i Mashâdir al-Ashliyyah: Dirâsah Tahlîliyah, terj. Yessi HM (Jakarta: Qitshi Press, 2011), h. 403-405. 17 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 67.

Page 63: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

51

4.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya).18

Menurut Abû Zayd, kata ganti huwa dalam ayat ini tidaklah menunjuk kepada

terhadap seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. tetapi kata ini hanya menunjuk

secara terbatas terhadap ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur‟an.19

Makna

ini didukung oleh ayat berikutnya yang mengisahkan Jibril sebagai malaikat

penyampai wahyu al-Qur‟an. Pandangan bahwa seluruh hal yang berkaitan dengan

Nabi Muhammad Saw bersumber dari wahyu merupakan tindakan memperluas

terhadap makna ayat yang sebenarnya.20

Perluasan konsep sunnah yang mencakup seluruh ucapan Nabi tanpa

mengingat “konteks” pembicaraan, sehingga setiap “ucapan” Nabi termasuk ke

dalam wahyu merupakan pengabaian terhadap kemanusiaan Nabi secara

berlebihan. Yang jelas, harus disadari bahwa di dalam risalah yang dibawa oleh

Nabi Muhammad memang terkandung wahyu, akan tetapi harus disadari bahwa ada

beberapa bagian yang memang disusupi oleh wahyu seperti menjelaskan dan

menguraikan al-Kitab, dan ada pula yang merupakan ijtihad. Al-Syâfi‟î

memandang lain dengan memasukkan semua unsur ke dalam sebuah konsep umum

yang diletakkan pada tingkatan yang sejajar (antara wahyu al-Qur‟an dan sunnah).

Dengan konsep seperti ini, maka semua yang diucapkan oleh Nabi Muhammad

adalah wahyu, sehingga lenyaplah batas-batas dan pembeda antara

18 Mushaf Hilal, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009), h. 526.

19 Basis perebutan makna terletak pada marji‟ kata ganti huwa dalam al-Najm (53:4), apakah berhubungan dengan pelaku dalam tindakan berucap (yantiqu) atau bentuk nominalnya (masdar) dalam bentuk al-nutq yaitu Nabi Muhammad atau secara khusus menunjuk kepada al-Qur‟an. Jika berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka akan berimplikasi pada pandangan bahwa segala hal yang diucapkan oleh selalu bersumber dari pewahyuan baik al-Qur‟an maupun sunnah Nabi. Berbeda dengan pendapat tersebut, pandangan kedua membatasi bahwa hanya al-Qur‟an yang bersumber dari wahyu, sementara sunnah tidak berasal dari wahyu.

20 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”.

Page 64: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

52

yang bersifat “ilahiyyah” dan “basyariyah” karena yang terakhir ini masuk ke

dalam wilayah yang suci.21

Dalam konteks lain, sebetulnya Abû Zayd lebih condong kepada pemikiran

Imâm Abû Hanifah yang sebetulnya lebih rasionalis di dalam memandang posisi

teks sunnah. Posisi Imâm Abû Hanifah meletakkan teks sunnah sebagai teks

sekunder yang berfungsi sebagai penafsir, pengurai, serta penjelas teks premier (al-

Qur‟an). Oleh karena itu, sebenarnya Abû Zayd menilai bahwa Abû Hanifah

sebenarnya lebih pantas mendapatkan gelar “pembela sunnah” dibandingkan al-

Syâfi‟î.22

B. Konsep Sunnah dalam Perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd

Stagnasi pemikiran yang dialami oleh umat Islam saat ini, adalah salah satu

faktor penyebab sulitnya mendialogkan realitas teks-teks keagamaan yang mereka

warisi dengan realitas kehidupan yang mereka hadapi. Ada kesenjangan yang

begitu lebar antara keduanya, Islam yang diyakini secara normatif sebagai

rahmatan li al-„âlamîn, dalam realitas empirisnya ternyata jauh dari apa yang

diidealkan tersebut. Hal inilah yang mendorong para sarjana Muslim kontemporer

untuk melakukan perenungan kembali khazanah intelektual yang mereka warisi

dari ulama-ulama klasik (at-turats).23

Oleh sebab itu, pada sub bab ini penulis akan mendeskripsikan konsep sunnah

yang dirumuskan oleh para sarjana Muslim kontemporer, khususnya

21 Usman, “Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap al-Syafi‟i”,

Jurnal Hermēnia, Vol. 2, No. 1, 2003, h. 1126-127.

22 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 68.

23 Hasani Ahmad Said, Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 201.

Page 65: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

53

pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd terutama terhadap pengertian, klasifikasi serta

fungsi sunnah yang ditawarkannya.

a. Pengertian Sunnah

Menurut Abû Zayd, term sunnah sama halnya dengan konsep al-dîn24

.

Baginya sunnah memiliki makna “jalan hidup” atau “syari‟at”. Perbedaan yang

mendasar antara sunnah dengan al-dîn adalah jika konsep al-dîn menunjuk ke

dalam konteks masa sekarang, maka makna sunnah menunjuk kepada konteks masa

lalu. Oleh karena itu, konsep sunnah lebih kepada term sunnat al-awwalîn (sunnah

orang-orang yang terdahulu).25

Dengan demikian, Abû Zayd mencoba

menempatkan sunnah sebagai bagian dari turâts (warisan tradisi) di dalam Islam.26

Konsep turâts di dalam al-Qur‟an yang menunjuk kepada kata sunnan

khususnya ke dalam bentuk kata al-sunnah. Seperti halnya kata turâts kata sunnan

juga menunjuk kepada arti “masa lalu” serta dalam pengertian lain dapat diartikan

sebagai “bentuk yang mengeras”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah

24 Konsep al-dîn ini tidak menghapus sama sekali pembedaan yang jelas antara sunnah-

sunnah Tuhan dengan sunnah-sunnah manusia. Konsep al-dîn menunjuk kepada sejumlah aturan yang dipatuhi dalam kehidupan pemeluknya pada masa kini sebagai sebuah jalan hidup yang bersifat kekinian (kontemporer).

25 Para ulama konsevatif pada umumnya mendefinisikan sunnah sebagai pengejawantahan perilaku menurut contoh Rasulullah Saw. yang merujuk kepada hadis (perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga menjadi semacam tradisi). Dalam pandangan lain, sunnah juga ditetapkan sebagai wahyu kedua, atau dengan sebutan lain al-wahyu gairu al-matlû. Baca Subhi Ash-Shalih, Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 21; Muhammad „Ajjaj al-Khâtib, Usûl al-Hadîts „Ulûmuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 35; „Abdul Ghani „Abdul, Hujjiyah al-Sunnah (Tk: Silsilah Qadaya al-Fikr al-Islâmi, t.th), h. 241.

26 Nasr Hâmid Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS Group, 2012), h. 5.

Page 66: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

53

merupakan turâts dengan berbagai pemahaman, nilai-nilai, keyakinan, adat-istiadat

serta batas-batas perilaku manusia masa lampau.27

Abû Zayd juga berpendapat bahwa konsep sunnah tersebut mengalami

evolusi. Generasi awal Islam misalnya memahami bahwa taat kepada Nabi hanya

berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh Rasul dari Tuhan melalui wahyu.

Oleh karena itu, para sahabat selalu mengajukan pertanyaan kepada Nabi tentang

apakah itu merupakan wahyu atau pendapat pribadi (ra‟y) dan konsultasi.28

Sedangkan pada periode berikutnya terdapat pendapat bahwa sunnah bersumber

mutlak dari pewahyuan seperti yang diutarakan oleh al-Syâfi‟î.29

Dengan

demikian, Abû Zayd berpendapat bahwa, tidak mungkin menyejajarkan antara

sunnah yang berdimensi kemanusiaan (bashari) dengan sunnah yang berdimensi

ketuhanan (ilahi). Karena secara ontologis, sunnah Nabi yang berdimensi

kemanusiaan adalah ijtihad dalam memahami wahyu.

Oleh karenanya, Abû Zayd menyadari bahwa ada sudut pandang yang

berbeda dalam memahami sunnah Nabi. Baginya, mengatakan bahwa seluruh

perkataan, serta perbuatan Nabi merupakan bagian dari wahyu juga merupakan

pengabaian terhadap sisi kemanusiaan Nabi. Dengan demikian, Abû Zayd

mengklasifikasikan sunnah Nabi ke dalam dua bagian yaitu sunnah al-wahyi dan

sunnah al-„âdah. Hal ini dianggap penting dalam upaya membedakan mana sunnah

yang bersumber dari wahyu dan mana sunnah yang berasal dari konteks

27 Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah. 28 Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah, h. 5-6.

29Ini merupakan kritik Abû Zayd terhadap Imâm al-Syâfi‟î. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub

bab sebelumnya, bahwa Abû Zayd menolak secara gamblang sunnah merupakan bagian dari wahyu. Abû

Zayd memandang bahwa tidak seluruh sunnah Nabi bersumber dari wahyu serta menolak pandangan bahwa

prosedur pewahyuan sunnah melalui penghujaman dalam hati (al-ilqâ‟ fî al-ru‟). Baca Abû Zayd, Al-Imâm

al-Syâfi‟î, h. 53.

Page 67: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

54

historis. Pokok penjelasan terhadap klasifikasi tersebut akan disampaikan pada sub

bab di bawah ini.

b. Klasifikasi Sunnah

Abû Zayd menyadari bahwa ada sebuah prinsip penting yang hilang dari

pembacaan sunnah kontemporer saat ini. Pembacaan yang hilang tersebut adalah

terkait dengan teks Nabi yang mengatakan bahwa antum adrâ au a‟lam bi syu‟ûn

dunyâku (kamu lebih mengerti urusan dunia kamu sekalian). Prinisip ini yang

menurut Abû Zayd telah hilang dalam wacana agama kita saat sekarang ini.30

Dalam konteks ini, Abû Zayd ingin menyadarkan masyarakat kontemporer

bahwa dalam memahami ucapan-ucapan Nabi harus melihat kepada apakah

ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tersebut terkait dengan penjelasan Nabi

terhadap al-Qur‟an. Ataukah terkait dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-

perbuatan yang diletakkan dalam konteks eksistensi historis.31

Oleh karena itu, Abû

Zayd mencoba mengklasifikasikan sunnah ke dalam dua bagian, yaitu sunnah al-

wahyi dan sunnah al-‘âdah.32

Sunnah al-wahyi adalah perkataan, perbuatan atau persetujuan Rasulullah yang

berfungsi sebagai penjelas ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an yang masih bersifat

global. Dengan kata lain, sunnah menjalankan fungsinya sebagai al-bayân al-Qur’an

sehingga harus diikuti serta mengikat kepada semua generasi baik pada saat Nabi

Muhammad masih hidup maupun generasi setelahnya.53 Terdapat beberapa contoh

yang dikategorikan ke dalam bentuk sunnah al-wahyi ini, meskipun Abû Zayd tidak

menggambarkan secara jelas contoh dari sunnah model ini.

53 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 290.

Page 68: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

55

Akan tetapi, disini penulis mengindikasi bahwa persoalan ritual (perintah

peribadahan) dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari sunnah al-wahyi. Salah satu

contohnya adalah ayat yang berkaitan dengan perintah sholat. Di dalam al-Qur’an

banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah sholat. Namun,

jika dicermati lebih jauh, al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang tata cara

melaksanakan sholat serta gerakan-gerakan yang berada di dalam sholat. Di antara

ayat-ayat yang memerintahkan untuk sholat adalah:

ة وٱرهكعوا مع ٱلرا كعين ة وءاتوا ٱلزاكو ٤٣وأقيموا ٱلصالو

43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang

ruku´54

شعين ا لكبيرة إلا على ٱله ة وإنها وٱلصالو تعينوا بٱلصابره ٤٥وٱسه

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang

demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´55

تون ٱلصا همه كفروا بٱللا وبرسولهۦ ول يأ ت همه إلا أنها همه ن فق بل من ه لو ة إلا وهمه كسالى ول ينفقون إلا وهمه وما من عهمه أن ت قه

رهون ٥٤ك

54. Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-

nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka

tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula)

menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan56

ة طرفي ٱلن اهار وزلف ٱلساي م ن اوأقم ٱلصالو هبه سن ت يذه ل إنا ٱلحه رى للذا كرين ٱلايه

لك ذكه ١١٤ات ذ

114. Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan

pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan

yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah

peringatan bagi orang-orang yang ingat57

ءان ٱ ل وق ره س إلى غسق ٱلايه ة لدلوك ٱلشامه هودأقم ٱلصالو ر كان مشه فجه ءان ٱله ر إنا ق ره فجه ٧٨ اله

54 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009), h. 7. 55 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya. 56 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 195. 57 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 234.

Page 69: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

56

78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan

(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh

malaikat)58

Dari paparan ayat di atas, kita tidak menemukan secara rinci tentang penjelasan

sholat, mulai dari gerakan sholat tersebut (dari takbratul ihram sampai kepada salam)

maupun bacaan-bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat. Oleh karenanya, kita

menemukan penjelasan mengenai sholat tersebut terdapat di dalam hadis. Salah satu

contoh hadis tersebut adalah:

ا مالك قال أت ي نا النابا صلى الله حداث نا محماد بن المثنا ، حداث نا عبد الوهااب ، حداث نا أيوب ، عن أبي قلابة ، حداث ن لة ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم رفيقا عليه وسلم ف لماا ظنا أناا قد ونن شب بة مت قاربون فأقمنا عنده عشرين لي

-ناه قال ارجعوا إلى أهليكم فأقيموا فيهم وعل موهم ومروهم اشت هي نا أهلنا ، أو قد اشت قنا سألنا عمان ت ركنا ب عدنا فأخبر كم فإذا حضرت الصالاة ف لي ؤذ ن لكم أحدكم ولي ؤما صلوا كما رأي تمون أصل يو -وذكر أشياء أحفظها ، أو ل أحفظها

59أكبركم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan

kepada kami ‘Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi

Qilabah, telah menceritakan kepada kami Malik berkata kami mendatangi Nabi

Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu kami adalah pemuda yang (umurnya)

berdekatan. Kami tinggal bersamanya selama dua puluh hari. Rasulullah adalah

seorang yang pengasih dan ramah. Ketika ia mengira bahwa kami merindukan

keluarga kami, maka beliau bertanya tentang orang-orang yang kami tinggalkan.

Maka kami memberitahunya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Kembalilah bersama keluarga kalian, tinggallah bersama mereka dan ajarilah serta

perintahlah mereka -kemudian beliau menyebutkan beberapa perkara yang saya

hafal, atau tidak saya hafal- dan shalatlah kalian seperti melihat aku sholat. Maka

jika datang waktu sholat, maka hendaklah salah satu dari kalian beradzan dan

hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam.

ث نا يح د حدا ث نا مسدا -يى عن ابن أب ذئب عن سعيد بن سمعان عن أب هري رة قال كان رسول اللا حداا -صلى الله عليه وسلم لاة رفع يديه مد 60إذا دخل ف الصا

58 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 289. 59 Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh Al-Bukhârî, Kitâb al-Adzân, Bâb al-Adzân li al-Mushâfiri,

No. Hadis 631 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006), J. I, h. 137. 60 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, Pentahqiq. Nashiruddin Al-Albani,

Kitâb Ba’da al-Shalat, No. Hadis 753 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 297.

Page 70: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

57

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya

dari Bapaknya Ibn Zi’bin dari Sa’id bin Sam’an dari Abi Hurairah berkata

bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki wahtu sholat

beliau mengangkat kedua tangannya sembari mengembangkannya.

مسلمة ، عن مالك ، عن ابن شهاب ، عن سال بن عبد الله ، عن أبيه ، أنا رسول الله صلى اللهحداث نا عبد الله بن أسه من الركوع رف عهما كذلك ع ر عليه وسلم كان ي رفع يديه حذو منكب يه إذا اف ت تح الصالاة ، وإذا كبرا للركوع ، وإذا رف

ده رب انا ولك الحمد ، وكان ل ي فعل ذلك في السجود61 لمن ح ع اللا أيضا وقال سم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Maslamah, dari Malik dari ibn Syihab

dari Salim bin ‘Abdullah dari Bapaknya, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi

wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya

ketika memulai sholat dan ketika bertakbir untuk rukuu’ dan ketika beliau

(Rasulullah) bangun dari rukuu’ dan setelah itu (bangun dari rukuu’) beliau

mengucapkan sami’ allah al-liman hamidah rabbana wa laka al-hamdu, lalu

kemudian beliau langsung sujud.

Selain hadis yang sudah ditemukan di atas, masih banyak lagi yang dapat kita

temukan hadis berkaitan dengan penjelasan mengenai sholat. Hal ini menandakan

bahwa penjelasan Nabi terkait dengan teks global yang tercantum di dalam al-Qur’an

merupakan bagian dari sunnah al-wahyi, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Oleh

karena itu, sunnah al-wahyi berperan penting dalam menjelaskan teks-teks al-Qur’an

yang masih bersifat global terutama di dalam perkara peribadahan (ritual keagamaan)

ataupun perkara lainnya.

Selanjutnya, Abû Zayd mengklasifikasikan sunnah ke dalam model sunnah al-

‘âdah. Menurut Abû Zayd, sunnah al-‘âdah adalah perkataan serta perbuatan Nabi

Muhammad yang berada dalam penggal waktu dan tempat tertentu dalam konteks

sosio-historis masyarakat Arab pada periode tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan

dimensi kemanusiaan Nabi dalam menciptakan aturan-aturan yang bersifat

kemasyarakatan.62

61 Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh Al-Bukhârî, Kitâb al-Adzân, Bâb Raf’i al-Yadain fî al-

Takbîrah al-Ûlâ, No. Hadis 735 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006), J. I, h. 154. 62 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”.

Page 71: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

58

Sunnah al-‘âdah ini tercermin ke dalam hadis Nabi terkait dengan seorang

budak tidak akan mendapatkan harta warisan ketika budak tersebut diperjualbelikan

kecuali ada perjanjian antara penjual dan pembeli. Hal ini tercantum di dalam hadis

Nabi.

من باع » قال -صلى الله عليه وسلم-حداث نا أحد بن حن بل حداث نا سفيان عن الزهرى عن سال عن أبيه عن الناب 63«المب تاع ومن باع نلا مؤب ارا فالثامرة للبائع إلا أن يشتط المب تاع عبدا وله مال فماله للبائع إلا أن يشتطه

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada

kami Sufyan, dari Az Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa yang menjual budak dan budak tersebut

memiliki harta, maka hartanya adalah milik penjual, kecuali pembeli

mensyaratkannya, dan barangsiapa yang menjual pohon kurma yang telah

dikawinkan maka buahnya adalah untuk pembeli, kecuali pembeli

mensyaratkannya.

Menurut Abû Zayd hadis ini mengandung konteks tertentu yang menunjukkan

bahwa Rasulullah memberi fatwa dalam kapasitas sebagai pedagang yang

mengetahui syarat-syarat mu’âmalah dan tradisi jual beli yang disepakati.64 Dengan

demikian, hadis itu harus dipandang sebagai suatu aksiden yang harus dipahami

dalam konteks tersebut dan tidak menjadi sunnah yang bersifat mengikat generasi

pasca Nabi Muhammad Saw.65

Upaya yang dilakukan oleh Abû Zayd dalam melakukan pengklasifikasian

terhadap sunnah Nabi memang harus dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan

karena sunnah yang dipegangi oleh sebagian kalangan telah memunculkan

63 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, Kitâb al-Buyû’, Bâb Fî al-‘Abd

Yubâ’u wa lahu mâl, No. Hadis 3433 (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2010), Jil. 3, h. 1490. 64 Memasukan sunnah ini ke dalam model klasifikasi sunnah al-wahyi jelas bertentangan dengan tujuan

umum (maqâshid al-syarî’ah), bahwa sebenarnya Islam hadir ke dalam lapisan masyarakat pada saat itu dalam

rangka upaya memberikan kebebasan kepada “budak”. Oleh sebab itu, sunnah ini tidak bisa dipandang secara

umum dan mengikat terhadap generasi setelahnya. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î..., h. 46. 65 Abû Zayd membandingkan antara pendapat al-Syâfi’î dengan Abû Hanifah terhadap konteks hadis

tersebut. Jika al-Syâfi’î lebih memandang dan memasukkan hadis tersebut ke dalam model sunnah al-wahyi

(mengikat ke semua generasi), maka pandangan Abû Hanfiah jelas berbeda. Abû Hanfiah lebih memandang

kemerdekaan seorang manusia sebagai “kondisi asal” serta perbudakan sebagai suatu aksiden, sehingga hukum-hukumnya tidak bisa dibebaskan. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î, h. 47-48.

Page 72: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

pencampuradukan antara sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah. Abû Zayd sangat

menekankan faktor pembedaan antara sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah

tersebut supaya sejumlah aturan sosial non keagamaan dari Nabi yang bersifat

spesifik dan terhimpun ke dalam sunnah tidak mengikat generasi muslim pasca

Nabi.66 Mencampuradukkan antara kedua sunah tersebut, berarti sama saja

mengabaikan dasar-dasar yang sudah dirumuskan oleh Nabi Muhammad agar dapat

membedakan tindakan Nabi yang bersifat keagamaan dan non keagamaan.

c. Fungsi Sunnah

Menurut Abû Zayd, sunnah berfungsi sebagai penjelas, pengurai, penafsir

serta komplementer terhadap teks al-Qur’an. Sebagai teks bâyanî maka posisi

sunnah harus berada sebagai penjelas teks pertama (al-Qur’an). Posisi teks sunnah

yang ditempatkan sebagai teks kedua di dalam Islam, maka sunnah harus berada di

dalam lingakaran poros al-Qur’an. Oleh karena itu, Abû Zayd menolak secara tegas

kesejajaran teks sunnah dengan al-Qur’an.

Abû Zayd secara tegas menolak pandangan kesejajaran sunnah dengan teks al-

Qur’an dan menyatakan fungsi sunnah sebagai teks penjelas al-Qur’an. Hanya saja,

belum lagi sunnah dapat berfungsi sebagai teks penjelas al-Qur’an, sunnah malah

membutuhkan teks lain untuk menjelaskan dirinya sendiri. Seringkali sunnah

memerlukan kajian dalam penunjukan implikasi tekstualnya, semisal dalam

persoalan ‘amm-khas serta naskh (revisi) di dalam sunnah.67

Abû Zayd menyadari bahwa dalam memahami makna sunnah yang

bertentangan diperlukan penelitian tersendiri, sehingga sunnah yang seharusnya

menjadi teks penjelas sisi ‘amm-khas, naskh dan mutlaq-muqayyad di dalam al-

Qur’an, akan tetapi malahan pada kenyataannya sunnah itu sendiri tersusun dari

66 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 291. 67 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î, h.58.

Page 73: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

‘amm-khas, naskh dan mutlaq-muqayyad. Dalam rangka menyelesaikan sunnah

yang bertentangan tersebut Abû Zayd menyebutkan ada beberapa mekanisme yang

mana makna yang tidak diketahui tersebut dikembalikan kepada makna yang telah

diketahui atau mendahulukan sunnah yang telah pasti serta mencari analogi sunnah

terhadap al-Qur’an.68

Abû Zayd sangat menyayangkan perluasan konsep sunnah dengan memasukan

hadis-hadis yang diriwayatkan secara perorangan (âhad) dan memasukan

kesepakatan sahabat dan tabî’in di dalamnya. Oleh karena itu, Abû Zayd

merekomendasikan agar menempatkan sunnah seperti yang dipahami oleh kalangan

Hanafiyah. Bagi kalangan Hanafiyah, sunnah ditempatkan sebagai teks pengurai dan

penjelas yang tidak berdiri sendiri dalam tasyri’. Fungsi sunnah bagi kalangan

Hanafiyah juga memiliki tiga fungsi, yaitu penjelasan yang bersifat tafsir (bayân

tafsîr), penjelasan yang bersifat menguatkan (bayân taqrir), penjelasan yang bersifat

pengganti (bayân tabdîl).69

Abû Zayd juga mengkritik pergeseran fungsi sunnah yang awalnya terlahir

sebagai teks sekunder, akan tetapi pada akhirnya menjadi teks premier sehingga

kedudukan teks tersebut selaras dengan al-Qur’an. Hal ini dilatarbelakangi karena

adanya faktor-faktor sosio-historis yang mengakibatkan teks tersebut

merepresentasikan dirinya sendiri. Akibatnya, pandangan yang demikian

mempengaruhi terjadinya keterbatasan serta mengekang ijtihad. Dengan demikian,

pemahaman terhadap teks menjadi semakin menjauh dan berjalan mundur.70

68 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 293. 69 Menurut kelompok Hanafiyah, sunnah menduduki fungsi komplementer sebagai penjelas (bayân)

terhadap al-Qur’an melalui pengulangan (bayân bersifat taqrîr), serta penafsiran (dalam bayân mujmal dan

takhsîs) serta penggantian (bayân tabdîl). Baca Muhammad Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: aw

‘Inayat al-Ummat al-Islâmiyyahbi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), h. 39-40. 70 Nasr Hâmid Abû Zayd, al-Takfîr fî Zaman al-Takfîr (Kairo: Sina li al-Nasr, 1995), h. 135.

Page 74: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

61

3. Analisis Kritik Abû Zayd Terhadap Konsep Sunnah Imâm Al-Syâfi’î

Abû Zayd sebenarnya hanya bermaksud mengajak untuk membongkar

kembali framework al-Syâfi’î dalam berbagai hal termasuk pemikirannya dalam

bidang al-sunnah sebagai sumber tasyri’ yang dianggap otoritatif. Oleh sebab itu,

terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan bagi Abû Zayd dalam mengkritisi

pemikiran sunnah tersebut.

Bagi Abû Zayd, al-sunnah merupakan fenoomena yang patut dipelajari secara

multidisipliner dan mendalam melalui perbincangan tradisional. Ini sama sekali

bukan melepaskan sunnah dari akar sendi keislaman, akan tetapi justru malah

memberikan ruang gerak lentur yang dinamis dan lebih luas terhadap pertumbuhan

dan perkembangan Islam di masa yang akan datang, di mana tantangan zamannya

akan semakin kompleks.

Abû Zayd menyatakan bahwa hadis karena ditransmisikan secara oral dan

seringkali diriwayatkan secara makna maka hadis sejatinya adalah tafsir terhadap

tafsir. Tafsir yang pertama bermakna bahwa repotase dalam hadis merupakan proses

menafsirkan kata-kata Nabi yang dilakukan oleh para periwayat hadis sehingga

mereka menggunakan kata-katanya sendiri untuk menuturkan tentang Nabi

Muhammad Saw. Dengan demikian, hadis yang berfungsi sebagai penjelas terhadap

teks dasar (tafsir terhadap al-Qur’an) sebenarnya adalah tafsir terhadap tafsir.71

Selama ini, al-sunnah dianggap sebagai bagian dari sumber tasyri’ yang

mandiri dalam hal yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an. sunnah juga hanya

berperan sebagai komplementer dari al-Qur’an, mungkin dengan mengulang,

71 Nasr Hâmid Abû Zayd, Naqd Khîtab al-Dînî (Kairo: Madbuli, 1995), h. 45.

Page 75: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

menguraikan, menafsirkan, dan menjelaskan. Karena itu, peran tasyri’ sunnah yang

berdiri sendiri sebagai wahyu.

Bagi Abû Zayd sendiri, al-Syâfi’î dianggap menjadikan sunnah tidak hanya

sebagai penjelas dan pengurai al-Qur’an, akan tetapi juga memasukkannya ke dalam

pola-pola semantik, sebagai bagian dari pola-pola semantik, sebagai bagian

substansial dari struktur teks al-Qur’an. di dalam hal ini, al-Syâfi’î memasukkan

sunnah ke dalam kategori wahyu. Yang didasarkan kepada pengertian lafal “al-

hikmah”.

Selanjutnya, dalam menganalisis model pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd

untuk memahami sunnah Nabi Muhammad Saw. terlihat sekali ada beberapa nilai

tambah yang coba diungkapkan oleh cendekiawan kontemporer ini dalam mencoba

memahami serta memecahkan kekakuan tek-teks keagamaan (al-Qur’an dan

sunnah). Abû Zayd mencermati bahwa terdapat kemunduran pemikiran yang

diderita oleh umat Islam pada masa sekarang ini, hal tersebut terjadi karena umat

Islam terkekang ke dalam kekakuan teks sehingga kaum Muslim pada saat sekarang

ini lebih sering mengikuti pemahaman yang sudah menjadi tradisi ( taqlid)

dibandingkan dengan melakukan ijtihad atau rasionalitas dalam rangka mencari

pemahaman-pemahaman terhadap teks-teks agama.

Dengan kata lain, umat Islam saat ini mengalami kemunduran yang sangat

tajam yang dipengaruhi oleh pengekangan serta ketakutan dalam memahami teks

agama secara rasional. Kegelisahan inilah yang kemudian membuat Abû Zayd

mencoba merumuskan kembali dengan pola pikirnya, untuk memahami, serta

mengkaji teks kegamanan tersebut khususnya sunnah agar umat Islam dapat

memahami sunnah dengan baik dan benar.

Page 76: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

63

Pemikiran yang diajukan oleh Abû Zayd tersebut dalam memahami teks

agama terutama sunnah, sebetulnya lebih kepada konteks kritik beliau terhadap

konsep sunnah yang dilegalkan oleh Imâm al-Syâfi’î. Abû Zayd menyadari bahwa

tawaran konsep sunnah yang diajukan oleh al-Syâfi’î telah membuat kekakuan serta

mempersempit ruang kedinamisan sunnah itu sendiri. Dengan begitu, sunnah yang

sebenarnya memiliki ruang yang fleksibel serta dinamis, pada periode al-Syâfi’î

menjadi kaku-baku.

Menurut Abû Zayd, agar pemahaman sunnah bisa dikontekstualisasikan ke

dalam pemahaman kontemporer, maka perlu pembacaan ulang yang komprehensif.

Oleh sebab itu, sunnah yang secara tidak langsung diuniversalkan oleh al-Syâfi’î

(bahwa seluruh perkataan, gerak, serta tindakan Nabi bersumber dari wahyu), coba

di rekonstruksi oleh Abû Zayd. Sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah merupakan

pengklasifikasian sunnah yang dirumuskan oleh Abû Zayd, karena ia menyangkal

bahwa tidak seluruh gerak Nabi bersumber dari pewahyuan dengan menyertakan

beberapa bukti historis.

Melihat posisi Nabi dalam menuturkan hadis, juga dianggap perlu di dalam

pijakan hukum. Apakah posisi Nabi tersebut dalam rangka menjelaskan makna

global yang terkandung di dalam al-Qur’an, ataukah hanya sekedar pendapat Nabi

dalam menanggapi suatu masalah. Hal inilah yang dianggap masih kurang menurut

Abû Zayd. Sehingga seringkali ada kekeliruan di dalam memahami konteks serta isi

kandungan dari hadis tersebut. Dengan demikian, untuk memahami teks sunnah

tersebut, seseorang harus paham betul kepada siapa sunnah tersebut diajukan,

apakah sunnah tersebut yang bersifat global (mengikat dari zaman Nabi sampai saat

sekarang ini), ataukah sunnah tersebut hanya bentuk ijtihad Nabi dalam realitas

masyarakat pada abad ke-7 M.

Page 77: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

64

Dalam konteks hermeneutika, Abû Zayd menganggap sunnah hanya sebatas

ijtihad yang cocok untuk satu periode dan kultural tertentu, dan tidak bisa bersifat

kekal untuk semua kebudayaan. Pasalnya hal tersebut akan bertentangan dengan

dialektika dan proses menjadi yang menghukumi gerak realitas, karena sunnah

berafiliasi kepada masa silam, sedangkan derap zaman selalu mengambil jalur ke

masa depan. Sunnah yang dipegangi oleh Abû Zayd ini sebenarnya telah berhasil

melayani kebutuhan kulturnya, maka dengan selesainya era ini harus ada

pembaharuan karena prototipe yang sempurna tidak bisa dihasilkan dari masa silam,

tetapi ada di dalam cakrawala masa depan.72

Dalam hemat penulis, sebenarnya kajian yang dilakukan oleh Abû Zayd

tersebut tidak terbilang kajian yang baru dan orisinil. Sudah ada beberapa tokoh-

tokoh kontemporer yang melakukan pembacaan sunnah seperti yang dilakukan oleh

Abû Zayd di atas. Akan tetapi, upaya yang telah dilakukan oleh Abû Zayd tersebut

dirasa baik dan patut diberikan apresiasi. Abû Zayd mencoba membongkar

framework lama yang sudah mendarah daging di dalam pemikiran umat Islam saat

ini. Oleh karena itu, analisis nya terhadap sunnah dianggap berpengaruh di dalam

khazanah Islam kontemporer saat sekarang ini.

72 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal (Depok: Perspektif Gema Insani, 2010),

h. 225.

Page 78: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bagian akhir ini merupakan simpulan dari semua pembahasan penelitian yang telah

berdasarkan pokok masalah yang dikemas menjadi dua rumusan masalah. Simpulan dari

skripsi menegaskan beberapa hal di antaranya adalah:

Pertama, sunnah bukanlah seutuhnya bersumber dari wahyu, seperti yang diyakini

oleh Imâm al-Syâfi’î yang berlandaskan kepada firman Allah „Wama yantiqu „an al-

Hawâ”, “in huwa illa wahyu yûhâ” karena ini merupakan argumentasi yang keliru. Abû

Zayd menyadarkan bahwa kata ganti huwa di dalam ayat ini tidaklah menunjuk secara

langsung kepada seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. akan tetapi kata ini hanya

menunjuk kepada ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur’an. Dengan demikian,

wahyu yang memiliki otoritas hanyalah wahyu al-Qur’an.

Kedua, Abû Zayd menyangkal bahwa al-Syâfi’î tidak hanya menjadikan sunnah

sebagai penjelas dan pengurai al-Kitab, akan tetapi juga memasukannya ke dalam pola-

pola semantik, sebagai bagian substansial dari struktur teks al-Qur’an. Hal tersebut

didasarkan kepada pengulangan sunnah terhadap wacana al-Qur’an. Dalam perspektif ini,

al-Syâfi’î menganggap sunnah bagian dari wahyu meskipun berbeda dengan wahyu al-

khitab. Hal ini didasarkan kepada pengertian lafal al-Hikmah yang sering menyertai lafal

al-Khitab.

Ketiga, Perluasan konsep sunnah yang mencakup seluruh ucapan tanpa mengingat

“konteks” pembicaraan, sehingga setiap ucapan Nabi termasuk wahyu merupakan

pengabaian terhadap kemanusiaan Rasul secara berlebihan. Al-Syâfi’î seperti

65

Page 79: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

66

memasukkan semua unsur ke dalam sebuah konsep umum yang diletakkan pada tingkatan

yang sama sucinya denga wahyu. Dengan konsep seperti ini semua yang diucapkan dan

dilakukan oleh Muhammad Saw adalah wahyu, sehingga lenyaplah batas-batas pembeda

yang bersifat “ilahiyyah” dan “bashariyah” karena yang terakhir ini masuk dalam

wilayah yang suci.

Keempat, Abû Zayd menyadari adanya pergesera fungsi sunnah yang disebabkan

oleh meluasnya definisi sunnah menjadi perkataan dan perbuatan para sahabat dan

tabî‟in serta masuknya hadis-hadis yang diriwayatkan secara perorangan (âhad). Hal ini

menyebabkan fungsi sunnah yang awalnya terlahir sebagai teks sekunder, pada akhirnya

dimaknai sebagai teks premier sehingga kedudukan kedua teks tersebut menjadi sejajar.

Abû Zayd menyarankan supaya memahami fungsi sunnah seperti yang dipahami oleh

kalangan Hanafiyah yang menempatkan sunnah sebagai teks sekunder serta menjadikan

sunnah sebagai bayân terhadap teks al-Qur’an.

Kelima, kontribusi Abû Zayd terhadap kajian sunnah adalah bahwa sunnah yang

bersumber dari Nabi Muhammad terbagi menjadi dua kategori, yaitu sunnah al-wahyi dan

sunnah al-„âdah. Sunnah al-wahyi mencakup segala perkataan, perbuatan Nabi dalam

mengurai dan menjelaskan teks al-Qur’an secara global. Sementara sunnah al-„âdah

merupakan ijtihad Nabi dalam penggal waktu tertentu dalam menciptakan aturan-aturan

kemasyarakatan yang terjadi pada periode tersebut. Oleh karena itu, jika sunnah al-wahyi

merupakan sunnah yang bisa dipahami di semua generasi, maka sunnah al-„âdah hanya

mengikat pada generasi tertentu saja dan tidak mengikat di semua zaman.

Oleh karena itu, di dalam memahami sunnah Nabi, menurut Abû Zayd harus

didasarkan kepada melihat posisi Nabi dalam menjelaskan suatu hal. Apakah konteks

Page 80: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

67

Nabi pada saat itu sedang berada di dalam menjelaskan serta menguraikan maksud al-

Qur’an. Ataukah hanya sekedar dialog Nabi terhadap suatu kejadian tertentu.

B. Saran-saran

Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian literalis, ke depan yang diperlukan

adalah implementasi dari konsep serta pemikiran yang ditawarkan oleh Abû Zayd ke

dalam masyarakat. Selanjutnya, yang merupakan tantangannya adalah apakah pemikiran

sunnah yang ditawarkan oleh Abû Zayd tersebut bisa diterima dan di aplikasikan ke

dalam kehidupan bangsa dan bernegara khususnya Indonesia.

Abû Zayd merupakan tokoh cendikiawan Muslim kontemporer yang penulis

anggap berani dalam menyuarakan ide-ide yang secara gamblang bertentangan dengan

pemikiran umat Islam selama ini. Terlepas dari pro dan kontra, wacana yang dibawa oleh

Abû Zayd memberikan gambaran secara jelas bahwa teks-teks keagamaan saat ini

mendapat tantangan untuk dipahami berdasarkan realitas yang terjadi. Oleh karena itu,

Abû Zayd mencoba memecahkan itu secara lebih matang dan solutif.

Di dalam memandang sesuatu, setiap orang tidak akan terlepas dari dua hal yaitu

antara mendukung atau menentang. Apa yang dilakukan oleh Abû Zayd adalah untuk

membaca kembali model sunnah agar bisa dikontekstualisasikan ke dalam semua

generasi. Selanjutnya, penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan agar penelitian tentang sunnah, khususnya tentang pemikiran Abû

Zayd tidak terhenti di tangan penulis, masih banyak kajian tentang sunnah yang belum

dikaji lebih mendalam.

Page 81: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

DAFTAR PUSTAKA

Âbâdîy, Abî al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan

Abî Dawûd. Cet. I. Juz 11. Beirut: Dâr al-Kutub al‟Ilmîyah, 1998.

„Abdul, „Abdul Ghani. Hujjiyah al-Sunnah. Tk: Silsilah Qadaya al-Fikr al-Islâmi,

t.th.

Ahmad, Mahdi Rizqullah. Al-Sîrah an-Nabawiyyah fî Dhau’i Mashâdir al-Ashliyyah: Dirâsah Tahlîliyah. terj. Yessi HM. Jakarta: Qitshi Press, 2011.

Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman. cet. Ke-VI, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

Ash-Shalih, Subhi. Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu. terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, 2002.

Aulassyahied, Qaem. Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad Syahrur. Jurnal Kalimah, Volume. 13, No. 1, Maret 2015.

Al-„Awâ, Muhammad Salim. al-Sunnah al-Tasyrî’îyah wa Ghair al-Tasyrî’îyah.

Fî Majalah al-Muslim al-Mu’âsir. Volume 6. Beirut: t.p, 1978.

Bizawie, Zainul Milal. “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan

Antropologis Pribumisasi Islam”. Jurnal Tashwirul Afkar. No. 14 Tahun 2003.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Shahîh Al-Bukhârî. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006.

Damanhuri. Ijtihad Hermeneutis: Eksplorasi Pemikiran Asy-Syafi’i dari Kritik

hingga Pengembangan Metodologis. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.

Darmalaksana, Wahyudin. Hadis dimata Orientalis: Telaah Pandangan Iganz

Goldziher dan Joseph Schacth. Bandung: Benang Merah Press, 2004.

Al-Hajjâj, Abî al-Husain Muslim Ibn. Shahîh Muslim. Kairo: Maktabah Al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2009.

Hallaq, Wael B. Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam. USA: Ashgate Publishing Company, 2000.

Hilal, Mushaf. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009.

Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. cet. Ke-II, Jakarta:

Komunitas Bambu, 2011.

Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika

Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.

Page 82: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Idri, Studi Hadis. Jakarta: Prenanda Media Group, 2010.

Iqbal, Muhammad (ed.). Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: Dari Historitas

menuju Kontekstualitas dalam Faisar Anada Arfa dkk, Konsep Sunnah dalam

Perspektif Joseph Schacht. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009.

Islam, Ahmad Syaiful. Mushkilatuna al-Yayniyah. Kairo: Dâr al-Qalam, 1995.

Al-Jabiri, Muhammad „Abed. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî. Beirut: Markaz as-Saqafî al-„Arabi, 1994.

Al-Khâtib, Muhammad „Ajjaj. Usûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mustalahuhu. Beirut:

Dâr al-Fikr, 1981.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.

Cet. Ke-II, Jakarta: Prenada Media Group, 2015.

Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam.cet I, Jakarta: Paramadina,

1997.

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. Al-Qur’a, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah. Bandung:

Pustaka, 1985.

Mahmudah, Nur. Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer: Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal ISLAMICA, Volume 6, No. 2, Maret 2012.

Mustaqim, „Abdul. “Teori Sistem Isnâd Otentisitas Hadis menurut M.M Azami”

dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, Hamimi Ilyas dan Suryadi (ed.). Yogyakarta Tiara Wacana, 2002.

Al-Nadawîy, Abû al-Hasan. al-Syûrâ bayn al-Fikrah al-Islâmîyah wa al-Gharbîyah. Cet. Ke-III. Kairo: al-Taqaddum, 1977.

Al-Nasâ‟î, Abû Abd al-Rahmân Ahmad ibn Alî ibn Syu‟aib ibn Alî. Sunan al-Nasâ’î. Beirût: Dâr al-Fikr, 2005.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Cet.

III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Nasrullah. Rekonstruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis. Jurnal Ulul Albab, Volume 15, No. 1, Tahun 2014.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Nur, Maizuddin M. “Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah di Era Modern”.

Jurnal Substantia. Vol. 14 No. 2 Oktober 2012.

Purwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1982.

Page 83: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.

-------. Islamic Methodology in History. alih bahasa Anas Muhyidin. Bandung:

Pustaka, 1995.

-------, Membuka Pintu Ijtihad. terj. Anas Mahyudin. cet. Ke-III. Bandung:

Pustaka, 1995.

Ridho, Moch. Taufiq. “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd:

Reintrepretasi atas Konsep Asbab an-Nuzul”. Jurnal Rasail. Volume. 1 No. 4, 2015.

Rija, Adis Dude. Evolution in the Concept of Sunnah during the First Four

Generation of Muslims in Relation to Development of the Concept of an

Authentic Hadîth as based on Recent Western Scholarship. Koninklijke Brill

NV: Leiden, 2012.

Said, Hasani Ahmad. Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2016.

Sahid HM. “Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman”. Jurnal Al-Tahrir. Volume 11 No. 1, Mei 2011.

Salim, Fahmi. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Depok: Perspektif

Gema Insani, 2010.

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Oxford

University Press, 1975.

Al-Shidqî, Muhammad Taufîq. al-Nâskh fi Syârai’al-Ilahiyah, Mûjjalat al-Mânar.

Jilid X. Ramadhan 1325.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut

Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Al-Sijistâni, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy‟ats. Sunan Abû Dâwud. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2010.

-------, Abû Dâwud al-Azdi. Shahih Sunan Abû Dâwud. Pentahqiq. Muhammad

Nashiruddin Al-Albani. Jakarta: Pustaka Al-Azzam, 2007.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik. cet.

Ke-7. Bandung: Tarsito, 1982.

Susfita, Nunung. “Kritik Wacana Agama: Telaah Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Volume 7 No.

1, 2015.

Al-Syâfi‟î, Muhammad b. Idrîs. Al-Risalâh. terj. Masturi Irham & Asmui Tamam.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

-------, Muhammad bin Idrîs. al-Umm. Vol. 7. Beirut: Dâr al-Fikr, 1990.

-------, Muhammad bin Idrîs. Ikhtilâf al-Hadîth. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah,

1986.

Page 84: KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40333...mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di KOMDA

Syahrûr, Muhammad. Al-Sunnah al-Rasûliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah:

Ru’yah Jadîdah. Beirût: Dâr al-Sâqî, 2012.

-------, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah. Damaskus: Al-

Ahali, 1990.

Syaikhudin. “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab: Sebuah Tinjauan

Hadis”. Jurnal Esensia. Vol. XIII No. 2 Tahun 2012.

Taufiqqurahman, Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah. Jurnal Mutawatir,

Vol. 3, No. 1, Januari-Juli 2013.

Usman, Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal Hermeneia

(Kajian Islam Interdisipliner), Vol. 2. No. 1, Januari-Juni 2003.

Al-Qarâfîy, Syihâb al-Dîn. al-Ahkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ min al- Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdlî wa al-Imâm, „Abd. al-Fattâh Abu Ghaddah. Mesir: al-

Halabi, t.th.

Al-Qardhâwî, Yûsuf. Al-Sunnah al-Masdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadârah.

Kairo: Dâr al-Shurûq, 1997.

-------, Yûsuf. Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi. terj. Muhammad al-

Baqir. Bandung: Karisma, 1993.

Al-Qazwînî, Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Zaid. Sunan Ibnu Mâjah. Kairo: Dâr

Ibnu al-Haitsam, 2005.

Zahwu, Muhammad Abû. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: aw ‘Inayat al-Ummat al- Islâmiyyahbi al-Sunnah al-Nabawiyyah. Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.

Zayd, Nasr Hâmid Abû. An-Nass, As-Sultah, Al-Hakikah. terj. Khoiron Nahdiyyin.

Yogyakarta: LkiS Group, 2012.

-------. al-Takfîr fî Zaman al-Takfîr. Kairo: Sina li al-Nasr, 1995.

-------. Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, alih bahasa:

Khoiron Nahdliyyin. Cet. Ke-II, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001.

-------. Mafhûm an-Nas Dirâsah fî Ulûm al-Qur’ân. terj. Khoiron Nahdiyyin.

Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005.

-------. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah. Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan, 2003.

-------. Naqd Khîtab al-Dînî. Kairo: Madbuli, 1995.

-------. the Quran: God and Man in Communication. dalam

http://www.let.leidenuniv.nl/forum/01_1/onderzoek/2.htm. 11 Maret 2009.