kritik nasr hÂmid abÛ zayd terhadap konsep...
TRANSCRIPT
KRITIK NASR HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP
KONSEP SUNNAH IMÂM AL-SYÂFI’Î
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Rino Ardiansyah
1113034000020
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS
USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts Te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t t dengan garis di bawah ط
z z dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
i
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I Kasrah
و U dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
Arab
â a dengan topi di atas اى
î i dengan topi di atas يى
û u dengan topi di atas ىى
ii
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرورضلاtidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang bersiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
nomor 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata
sifat (na’t) (lihat nomor 2). Namun jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut doalihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat nomor
3). Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
تقيرط 1tarîqa
h
al-jâmi’ah al-islâmiyyah تيملاسلإا تعماجلا 2
wahdat al-wujûd دىجىلا ةدحو 3
iii
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,
maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak
‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
ABSTRAK
Tulisan ini pada dasarnya ingin menemukan konsep sunnah yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dinamika kajian terhadap sunnah tersebut memang tidak pernah
menemukan jalan buntu sejak zaman Nabi hingga zaman kontemporer saat ini.
Pembahasan mengenai sunnah memang membutuhkan sebuah metode serta
pembaharuan yang dikembangkan secara berkala dan terus-menerus agar dapat
menjawab tantangan zaman yang semakin berkemabang. Pada awal abad ketiga hijriah
muncullah seorang ‘ulama ternama yang mencoba merumuskan gagasan konsep
sunnah. Adalah Imâm al-Syâfi’î yang merupakan ‘ulama klasik pertama yang
berasumsi bahwa seluruh sunnah merupakan bagian dari wahyu Allah yaitu sunnah al-
hikmah. Apalagi al-Syâfi’î menggunakan gagasan ‘ishmah (suci dari dosa) sebagai sifat
dari seluruh Nabi, dan terutama Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, gagasan klasik yang sudah diutarakan oleh al-Syâfi’î ini dianggap
sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, Nasr Hâmid Abû Zayd
mencoba melakukan pembokaran framework klasik yang sudah eksis sedemikian lama.
Metode deskriptif-analisis serta melakukan komparatif antara konsep sunnah klasik
dengan kontemporer sampai kepada kesimpulan bahwa sunnah bukan merupakan
bagian dari wahyu. Bagi Abû Zayd khususnya sebagai tokoh kontemporer, sunnah
merupakan ijtihad Nabi dalam memahami wahyu, karena sebagai sebuah produk
pemahaman, maka sunnah memiliki sisi dimensi kemanusiaan (bashari), berbeda
dengan al-Qur’an yang memiliki wahyu dalam dimensi ketuhanan. Menyejajarkan
keduanya sama saja menyejajarkan dua hal yang berbeda.
Abû Zayd menyadari bahwa di dalam kajian ini sebenarnya sunnah yang
bersumber dari Nabi terbagi menjadi dua kategorisasi yaitu sunnah al-wahyi dan
sunnah al-âdah wa al-taqalid. Sunnah al-wahyi merupakan perkataan Nabi yang
berfungsi sebagai penjelas ketentuan di dalam al-Qur’an yang masih bersifat global.
Lebih lanjut, sunnah ini berfungsi sebagai komplementer al-Qur’an sehingga sunnah
ini harus diikuti serta mengikat baik ketika Nabi Muhammad masih hidup maupun
generasi setelahnya. Sedangkan sunnah al-‘âdah wa al-taqalid sebagai sunnah yang
mencerminkan sejumlah tindakan Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berada
pada penggal waktu dan tempat tertentu dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab
pada abad ke-7 M. Dalam konteks ini, tindakan Nabi Muhammad terkait dengan
kebiasaan dan adat-istiadat masa tersebut serta menggambarkan kondisi baik historis,
sosial maupun kultural serta tidak memiliki ikatan bagi komunitas di luar masyarakat
pewahyuan pada masa tersebut.
Kata kunci: Nasr Hâmid Abû Zayd, Imâm al-Syâfi’î, sunnah, pemahaman
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji beserta syukur kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam yang
telah melimpahkan rahmat, kurnia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul KRITIK NASR
HÂMID ABÛ ZAYD TERHADAP KONSEP SUNNAH AL-SYÂFI’Î. Salawat
dan salam bagi baginda Rasulullah SAW., sebagai sebaik-baik contoh dan teladan
bagi seluruh umatnya.
Sebagai karya tulis hamba yang jauh dari kata sempurna. Tentunya di dalam
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan
tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian
ini.
Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa
objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai usaha
mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “Konsep Sunnah Nasr
Hâmid Abû Zayd”. Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya dapat
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1). Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan rasa terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah mendukung, mendorong dan mendo`akan penulis
sehingga dapat terselesaikannya karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada:
vii
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya; Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF) dan
Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku sekretaris Program Studi Ilmu
al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF).
2. Kepada orang tua tercinta, terutama Mama Erlina yang tiada henti-hentinya
memberikan doa-doa, membiayai, merawat, membesarkan, memotivasi,
memberi semangat, mendidik serta memberikan dukungan untuk penulis.
Untuk saat ini hanya ini yang mampu anakmu berikan ma. Kepada ayah
Bachtiar atas dukungan, arahan serta motivasinya. Dan tidak terlupa pula
buat kakak tercinta Melinda Epha Miniar yang memberikan semangat serta
motivasinya.
3. Kepada Alm. Suhaimi dan Alm. Rosmaniar sebagai Kakek dan Nenek
kesayangan penulis, yang sudah membesarkan penulis hingga sampai
kepada titik ini, tuk, wo skripsi ini buat kalian, buat membanggakan kalian.
4. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag selaku pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran serta dukungan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang
sebesar-besarnya jika selama bimbingan penulis banyak merepotkan.
Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala urusan dan
selalu berada dalam lindungan Allah SWT. amin.
viii
5. Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli M.A, selaku dosen pembimbing
akademik yang telah ikut membimbing penulis selama menimba ilmu di
kampus tercinta ini. Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam
segala urusan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT. amin.
6. Bapak Kusmana, Ph.D selaku orang tua dan juga tempat bertukar fikiran,
bahkan yang perlu diapresiasi setinggi-tingginya adalah ketulusan hatinya
untuk memberikan arahan serta bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dan skripsi ini.
7. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, M.Ag, Eva Nugraha, M.Ag, Dr. Abdul
Wahid Hakim, M.Ag, dan seluruh dosen serta penghuni ruang Hipius
(Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin), saya ucapkan terima kasih karena
sudah memberikan waktu serta pengetahuan sehingga penulis berada pada
titik sekarang ini.
8. Kepada karyawan/i LPM (Lembaga Penjaminan Mutu) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis
selama kurang lebih tiga bulan bisa berkontribusi serta memajukan UIN
Jakarta. Terutama kepada Bapak Jejen Jaenudin, Bapak Ramdani, Bapak
Parhan, Bapak Iwan, Ibu Sururin, Ibu Fitri dan masih banyak lagi yang tidak
bisa penulis ucapkan satu persatu.
9. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu al-
Qur`an dan Tafsir yang telah memberikan ilmu serta motivasi, bimbingan
dan pengalamannya kepada penulis. Dan tidak lupa pula kepada seluruh
staff dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
10. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Kepada seluruh keturunan atuk Suhaimi dan uwo Rosmaniar, Mama Yanti,
Uda Ican, om Iwan, Bunga, Alya, Agia yang selalu memberikan semangat,
materi serta dukungannya kepada penulis sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan dengan baik.
12. Teman-teman seperjuangan, seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis
angkatan 2013, khususnya TH A: Andrian, Halim, Muslih, Mukhlis,
Salman, Nasrul, Faris, Vijay, Iqbal, Nelfi, Ica, Dewi, Nurul, dan lain-lain
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu seluruh nama-nama kalian
seangkatan, tetapi percayalah pertemanan kita akan selalu dikenang. Amin.
13. Kepada segenap teman-teman satu perjuangan, di KOMDA Ushuluddin
Rahman, Iqbal, Evi, Yeni, Nisa. Saya ucapkan terima kasih karena sudah
mengajarkan arti kebersamaan selama beberapa musim menjadi anggota di
KOMDA tersebut.
14. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga dapat terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
Jakarta, 23 April 2018
Rino Ardiansyah
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 10
E. Kajian Pustaka .............................................................................................. 11
F. Metodologi Penelitian................................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................................. 17
BAB II : WACANA SUNNAH DALAM KONTEKS SEJARAH
A. Sejarah dan Pengantar Wacana Sunnah ................................................ 19
a. Makna Sunnah dan Tradisi pra-Islam ........................................... 20
b. Sunnah Nabi dan Sunnah Para Sahabat ........................................ 24
c. Tradisi yang Hidup ............................................................................. 26
d. Rekonstruksi konsep Sunnah ........................................................... 29
B. Pembacaan Ulang Wacana Sunnah......................................................... 31
a. Pengertian Modern, Modernisasi, dan Pembaharuan dalam
Islam ....................................................................................................... 32
b. Modernisasi dalam Sunnah .............................................................. 35
xi
BAB III: BIOGRAFI NASR HÂMID ABÛ ZAYD
A. Sketsa Biografi dan Latar Belakang Pemikiran .................................. 36
B. Kegelisahan Akademik .............................................................................. 40
C. Karya-karyaNasr Hâmid Abû Zayd ........................................................ 42
BAB IV: PEMBACAAN KEMBALI KONSEP SUNNAH MENURUT NASR
HÂMID ABÛ ZAYD
A. Problem Pembacaan Sunnah Era Klasik: Kritik terhadap Konsep
Sunnah Imâm al-Syȃfi’î ............................................................................. 45
B. Konsep Sunnah dalam Perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd ............... 52
a. Pengertian Sunnah .............................................................................. 53
b. Klasifikasi Sunnah .............................................................................. 54
c. Fungsi Sunnah ...................................................................................... 59
C. Analisis Kritik Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap Konsep Sunnah
Imâm al-Syâfi’î ............................................................................................ 61
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 65
B. Saran-saran..................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran sunnah dalam hadis1 yang dibangun atas dasar epistimologi klasik, tentu
banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan dengan kasus atau gagasan baru yang
dibangun atas dasar epistemologi modern. Persoalan bagaimana batas dan daya
mengikatnya terus dikaji dan berkembang di kalangan para ulama. Isu sentral yang
masih menjadi perbincangan terkait masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah
(contoh-contoh normatif Nabi Muhammad Saw.). Pembacaan ini dilakukan berulang-
ulang mengingat status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, karenanya perkataan
dan perbuatannya diterima sebagian Muslim sebagai sebuah sumber kewenangan
keagamaan hukum dan sumber kedua setelah al-Qur‟an.2
1 Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki makna yang sama. Akan tetapi,
hasil penelusuran kepada literatur-literatur klasik menghasilkan penemuan bahwa antara hadis dan sunnah memiliki makna dan penggunaan yang berbeda. Diletaratur lainnya yang menunjukan adanya perbedaan istilah sunnah dan hadis, adalah Abû Yûsuf dalam salah satu statement nya mendesak agar mengikuti hadis yang memiliki kesesuaian dengan al-Qur‟an dan sunnah. Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “dalam hadis ini terdapat lima sunnah”. Pernyataan tersebut disampaikan ketika mengomentari sabda Nabi tentang seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram. Demikian juga „Âisyah ketika mengomentari hadis tentang Barirah, beliau mengatakan: “dalam masalah Barirah terdapat tiga sunnah. Baca Nasrullah, “Rekonstruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis”, Jurnal Ulul Albab, Volume 15 No. 1, Tahun 2014, h. 20-21.
2 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), h. 11.
1
2
Dalam beberapa tempat, al-Qur‟an berulang-ulang memerintahkan kepada para
pembacanya agar mematuhi perintah Allah dan rasul-Nya,3 serta menjadikan
kepatuhan kepada Nabi sebagai indikasi akan adanya kepatuhan kepada-Nya.4
Pada periode awal Islam, konsep sunnah tidaklah bersifat spesifik, baku, kaku
dan tetap.5 Konsep awal sunnah ini bersifat dinamis, karena disamping adanya contoh
aktual yang dilakukan oleh Nabi Saw., sendiri, ada praktek aktual kaum Muslimin
(sunnat al-Muslimîn) serta pemikiran bebas para ahli hukum dan ulama, secara
otoritatif termasuk kepada unsur pokok yang membentuk sunnah. Konsep sunnah yang
digunakan pada masa ini telah membawa kepada kekreatifitasan serta kedinamisan
dalam menghasilkan produk-produk pemikiran yang sesuai dengan respon terhadap
perubahan zaman.
Namun dalam perjalanannya, sunnah dan hadis dalam beberapa dekade
belakangan terus mengalami sorotan tajam yang menjadikannya sebagai sebuah teks
keagamaan yang selalu dituntut selalu ikut kepada konteks perkembangan zaman. Hal
ini yang kemudian kerap memicu beberapa kontroversi yang terekam dalam jejak
3 Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur‟an yang memerintahkan agar para pembaca atau para
pengikut agama Islam agar mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya, antara lian: Âli „Imran (3): 32 dan 132, al-Nisâ‟ (4): 59, 64, dan 69, al-Mâidah (5): 92; al-Nûr (24): 54, dll.
4 Al-Nisâ‟ (4): 80.
5 Fazlur Rahman dalam bukunya Islamic Methodology in History mengemukakan teori bahwa, ada
tiga fase transmisi dalam perkembangan hadis, yaitu: informal, semiformal, dan formal. Fase informal adalah
fase ketika Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi merupakan bagian dari peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari para sahabat. Fase semiformal terjadi setelah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat
dan tabi‟in senior. Pada fase ini, penyebaran hadis Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat
dikembangkan menjadi praktek masyarakat Muslim dengan maksud kesengajaan. Sedangkan fase formal,
menurut Fazlur Rahman menuntut adanya keseragaman dan standarisasi dalam sunnah di seluruh dunia Islam.
Ini diakibatkan oleh penyelewengan hadis-hadis Nabi dalam aktualisasi kehidupan masyarakat Islam. Fase ini
menyebabkan sunnah yang hidup dan bersifat dinamis dengan proses interpretasi yang terus menerus terjadi
corpus tertutup, baku-kaku dan stagnan serta dianggap sebagai keputusan final demi sebuah alasan untuk
keseragaman. Baca Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anas Muhyidin (Bandung: Pustaka,
1995), h. 1-4.
3
sejarah. Mulai dari perkembangan sunnah pada masa Arab pra-Islam,6 pelembagaan
sunnah pada era Nabi Muhammad Saw.,7 kontoversi penulisan pada masa sahabat,
8
sunnah sebagai tradisi yang hidup (a living sunnah),9 serta pengintegrasian sunnah
pada masa al-Syâfi‟î.10
Dengan begitu, setiap perkembangan teks sunnah mengalami
sejarah dan latar belakang munculnya problematika yang terjadi setiap periodenya.
Pada sekitar akhir abad kedua Hijriyyah, kreatifitas dan kedinamisan sunnah
harus terhenti. Gerakan ini dibangun oleh Imâm al-Syâfi‟î dilatarbelakangi oleh
6 Menurut Josep Schacht, sunnah merupakan tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat
Arab pra-Islam. Tokoh yang paling berpengaruh di dalam menciptakan sunnah pada masyarakat Arab pra-Islam adalah para hakim yang selalu dimintai pendapat atau keputusan mereka dalam menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di dalam masyarakat. Sejalan dengan Schact, Goldziher juga menjelaskan bahwa terma sunnah sudah lama akrab pada bangsa Arab pra-Islam, bagi mereka (Arab pra-Islam), sunnah menunjuk kepada seluruh peraturan-peraturan yang sesuai dengan tradisi-tradisi Arab dan warisan-warisan nenek moyang serta adat kebiasaan. Lihat Muhammad Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: Dari Historitas menuju Kontekstualitas dalam Faisar Anada Arfa dkk, Konsep Sunnah dalam Perspektif Joseph Schacht (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 139; dan Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, cet. ke-VI (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h.163.
7 Dalam catatan sejarah, Islam membangun sunnahnya sendiri dengan mengadopsi bentukan sunnah sebelumnya. Konsep ini dikenal dengan ‟Asr al-Wahy wa al-Takwîn. Pada masa ini, konsep sunnah telah berganti makna dari tradisi nenek moyang Arab pra-Islam, menjadi tradisi yang datang dari Nabi Saw. Lihat Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenanda Media Group, 2010), h. 31.
8 Nabi Saw. pernah melarang penulisan hadis karena ditakutkan bercampur dengan penulisan (mushaf al-Qur‟ân). Akan tetapi pernyataan ini dinasakh oleh pernyataan setelah nya yang membolehkan penulisan hadis. Perizinan ini diberikan oleh Nabi kepada para sahabat yang hanya menulis sunnah untuk dirinya sendiri. Hal ini yang kemudian menjadikan sunnah mengalami hambatan, ada beberapa kalangan yang secara tegas menolak ke-hujjah-an sunnah karena banyaknya penyakit dalam periwayatan sunnah tersebut (ingkar al-sunnah). Lihat Habsi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 34.
9 Schacht memberikan penghargaan untuk perkembangan sunnah pada periode ini. Menurutnya sunnah pada fase ini bisa disebut sebagai living tradition (tradisi yang hidup), yaitu praktek-praktek kaum Muslimin yang dimulai dari Nabi Saw, dilestarikan oleh para Khilafah awal dan para penguasa berikutnya dan kemudian diverifikasi oleh para ulama. Praktik-praktik kaum Muslimin yang kontinu adalah yang sangat menentukan sedangkan rujukan pada Nabi atau para Khilafah awal bersifat fluktuatif atau opsional dan bukan merupakan suatu keharusan untuk menetapkan sunnah. Lihat Taufiqqurahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah”, Jurnal Mutawatir, Volume. 3 No. 1, Januari-Juli 2013, h. 91.
10 Al-Syâfi‟î berhasil membentuk bangunan konsensus yang terintegrasi kepada Nabi. Ia menganggap bahwa sunnah sejati adalah sunnah yang datang dari Rasulullah Saw. Al-Syâfi‟î menyerang pendapat para Imam mazhab awal yang mengatakan sunnah tidak hanya berasal dari Nabi, akan tetapi juga memasukkan beberapa preseden lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para sahabat, Khalifah yang berkuasa, dan praktik yang telah diterima secara umum dikalangan para ahli hukum mazhab tersebut. Baca Brown, Menyoal Relevansi Sunnah..., h. 19-20.
4
tumbuhnya pemikiran bebas pada saat itu yang dalam beberapa hal mengabaikan hadis-
hadis Nabi yang diriwayatkan secara Âhad. Problem ini yang kemudian membawa al-
Syâfi‟î untuk merekonstruksi konsep sunnah. Menurutnya, sunnah yang valid
diidentikkan dengan hadis-hadis yang otentik dari Rasulullah.11
Maka praktis mulai
pada abad ini, yakni kira-kira sejak akhir abad kedua Hijriyyah, hadis secara perlahan
(namun pasti) mulai menjadi satu-satunya sarana yang absah dan valid untuk
mengetahui sunnah Nabi.12
Di satu sisi, memang upaya yang dilakukan oleh Imâm al-Syâfi‟î tersebut telah
berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin adanya kestabilan stuktur
sosial-religius umat Islam, namun pada sisi lain dalam jangka panjang, menurut Fazlur
Rahman akan menghilangkan kreatifitas dan originalitas pemikiran, dan pada dasarnya,
Islam yang demikian bukan lagi sebuah kekuatan yang aktif dan menguasai dirinya
sendiri, tetapi ia adalah sebuah entitas yang pasif dan diombang-ambingkan oleh aliran-
aliran kehidupan.13
Oleh karena itu, pada abad-abad pertengahan mulai terjadi pergeseran
pemahaman. Misalnya Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy (w. 648 H.) berpendapat bahwa segala
tindakan Nabi Saw tidak terlepas dari posisi Nabi sebagai rasul, mufti, hakim
11 Brown, Menyoal Relevansi Sunnah, h. 23.
12 Dengan demikian, harus ditegaskan bahwa usaha yang dipelopori oleh al-Syâfî‟î dengan konsep sunnahnya adalah merupakan potret responsi yang tepat terhadap tantangan historisnya, mengingat saat itu praktek masyarakat, terutama yang berkaitan dengan hukum mengalami disparitas yang tajam satu sama lain hingga taraf yang mengkhawatirkan. Sehingga sangat sulit di tentukan mana praktek yang mencerminkan dan merupakan kelanjutan langsung dari tradisi Nabi (sunnah Nabi) yang murni dan mana yang bukan. Oleh karenanya, untuk menghindari kesimpangan, sunnah perlu diberi definisi dan format yang lebih kongkrit. Baca Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, cet I (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 71-72.
13Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin, cet. Ke-III (Bandung: Pustaka,
1995), h. 33
5
(qâdlîy), dan imam.14
Menurutnya, posisi Nabi sebagai seorang rasul, mufti (penasehat
hukum), dan sebagai imam harus dibedakan. Karena, hal ini akan berimplikasi kepada
pemahaman serta penetapan syariat dalam memandang posisi Nabi. Pengaruh dari
konsep tiga klasifikasi perilaku Nabi ini adalah perbedaan dalam menentukan syariat.
Menurutnya, apa yang dilakukan Nabi sebagai imam (pemimpin) atau hakim,
seseorang tidak boleh melakukannya kecuali mendapatkan izin dari imam atau hakim
tersebut. Berbeda halnya jika tindakan Nabi membawa misi kerasulan (tablîgh al-
risâlah) yaitu sebagai rasul dan mufti, maka setiap orang wajib mengikutinya dan
menjadi syariat sampai hari kemudian.15
Namun demikian, konsep pemahaman yang
ditawarkan oleh al-Qarâfîy tidak terlepas dari metode klasik yang masih terikat dengan
teks.
Setalah mengalami perjalanan yang panjang, akhirnya sunnah dihadapkan
dengan sebuah realitas yaitu tantangan serta perkembangan zaman. Hal ini memicu
para ulama dituntut untuk merumuskan teori baru dalam menghadapi tantangan
tersebut, sehingga teks keagamaaan (sunnah dan hadis) sebagai landasan yang otoritatif
bisa selalu shâlih likulli zamân wa makân. Berangkat dari permasalahan ini, adanya
tuntutan untuk memberikan perhatian lebih terhadap teks keagamaan tersebut, lebih
khusus terhadap sunnah. Meskipun teks sunnah bersifat statis, akan tetapi tidak
14 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Cet. Ke-II
(Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h. 196.
15 Misalnya dalam menanggapi hadis Nabi: “Barang siapa yang memakmurkan bumi yang mati, maka ia baginya” (H.R Abû Dâud dan al-Turmudzi). Menurut Abû Hanifah seseorang tidak boleh memakmurkannya kecuali ada izin dari imam, karena konteks hadisnya Nabi sebagai imam yang memiliki konotasi pemilikan kepada pemakmurannya. sedangkan menurut Imâm Mâlik dan al-Syâfî‟î boleh saja tanpa tergantung kepada imam karena kapasitas Nabi sebagai Mufti. Hal ini disamakan dengan memberikan fatwa bolehnya mengambil kayu bakar dan rumput setelah terbuktinya alasan yang konkret. Baca Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy, al-Ahkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ min al- Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdlî wa al-Imâm, „Abd. al-Fattâh Abû Ghaddah (Mesir: al-Halabi, t.th), h. 86.
6
halnya dengan pemahaman terhadap teks-teks tersebut. Sisi dari pemahaman tersebut
yang kemudian bisa dirumuskan dalam mengaktualisasikan sunnah untuk menjawab
tantangan zaman. Hal ini dirasa perlu oleh banyak kalangan, yang kemudian sekarang
bisa lihat dari banyaknya pemikir baik yang dari para Ulama (insider), maupun para
orientalis (outsider) yang mencoba merumuskan kembali konsep sunnah tersebut.
Khusunya kepada kaum Muslimin yang mencoba mengkritisi pemikiran tentang
sunnah.16
Adalah Nasr Hâmid Abû Zayd ( selanjutnya ditulis Abû Zayd) seorang ulama
kontemporer yang mencoba menyajikan konsep sunnah dalam konsep modernitas. Abû
Zayd dianggap sebagai pemikir liberal17
yang mencoba membongkar framework
khazanah Islam klasik yang dirumuskan oleh para ulama pendahulu mereka. Terhadap
pemilihan tokoh tersebut, penulis menggunakan beberapa pertimbangan; pertama, Abû
Zayd dianggap memiliki metode pendekatan yang unik dalam memahami konsep
sunnah Nabi; kedua, berbeda dengan pemikiran liberalis lainnya, ia mencoba
merumuskan konseptualisasi baru terhadap kandungan sunnah Nabi; dan ketiga, Abû
Zayd mengkritik konsep sunnah yang dirumuskan oleh Imâm al-Syâfi‟î dan
memberikan kesimpulan berbeda dengan pemikir kontemporer lainnya.
16 „Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnâd Otentisitas Hadis menurut M.M Azami” dalam Wacana
Studi Hadis Kontemporer, Hamimi Ilyas dan Suryadi (ed.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 55. 17 Fahmi Salim di dalam bukunya Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal memasukan
Abû Zayd sebagai salah satu tokoh yang menafsirkan teks-teks keagamaan khususnya al-Qur‟an ke dalam konsep Hermeneutika. Ia juga menganggap bahwa paham yang dianut oleh Abû Zayd juga melampaui paham Muktazilah dan memasukkan peta pemikiran beliau ke dalam konsep neo-Muktazilah. Baca Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur‟an Kaum Liberal (Depok: Perspektif Gema Insani, 2010), h. 218-222.
7
Meskipun demikian, Abû Zayd sebenarnya tidak menggambarkan secara detail
tentang konsep sunnah Nabi. Menurutnya, kata sunnah secara bahasa merujuk kepada
arti masa lalu sebagaimana penggunaan al-Qur‟an terhadap kata tersebut yaitu dalam
term sunnat al-awwalîn (sunnah orang-orang terdahulu). Berdasarkan term tersebut
Abû Zayd menempatkan sunnah sebagai bagian dari turath (warisan tradisi) dalam
Islam.18
Selanjutnya, Abû Zayd membagi konsep sunnah menjadi dua bagian, yaitu;
sunnat al-wahyi dan sunnat al-„âdah wa al-taqalid. Sunnah al-wahyi adalah perkataan
atau perbuatan Rasulullah Saw. yang berfungsi sebagai penjelas ketentuan di dalam al-
Qur‟an yang masih bersifat global. Sedangkan, sunnah al-„âdah wa al-taqalid
mencerminkan sejumlah tindakan Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berada di
dalam tenggat waktu dan tempat tertentu dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab
pada abad ke-7 M.19
Selanjutnya, Abû Zayd mencoba mengkritik konsep sunnah yang ditawarkan
oleh Imâm al-Syâfi‟î. Bagi al-Syâfi‟î sunnah merupakan bagian dari wahyu. Teks al-
Qur‟an yang menjadi landasan pendapat bagi al-Syâfi‟î adalah surat an-Najm (53) : 3-
4.
وى ي ٣وما ينطق عن ٱله ٤ يوحى إنه هو إلا وحه
3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)20
18 Nur Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer: Nasr Hamid Abu Zayd”, Jurnal
ISLAMICA, Volume 6 No. 2, Maret 2012, h. 288.
19 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Kontemporer”, h. 289-290. 20 Mushaf Hilal, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009), h. 526.
8
Menurut Abû Zayd, kata ganti huwa dalam ayat ini tidaklah menunjuk kepada
seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. akan tetapi kata ini hanya menunjuk kepada
ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur‟an. Abû Zayd juga melakukan pembacaan
kembali terhadap teks al-Qur‟an yang dijadikan basis otoritas pewahyuan sunnah. Ia
mengkritik upaya sebagian kalangan untuk memberikan status pewahyuan bagi asal-
usul sunnah adalah bagian dari upaya mengkukuhkan otoritas sunnah sebagai sumber
ajaran yang sejajar dengan al-Qur‟an.21
Selain itu, Abû Zayd mencoba menawarkan pembacaan terhadap teks sunnah
dengan menggunakan analisa “wacana” serta pendekatan hermeneutika22 dan
semiotika23. Cara pandang demikian juga banyak digunakan oleh para pemikir
kontemporer. Dengan semiotik dan analisa wacana, Abû Zayd mengajak para pembaca
untuk memperhatikan warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks-teks
keagamaan” yang bekerja dalam wacana tertentu dan bersifat ideologis.24
21
Terkait dengan penafsiran surat al-Najm ayat (3) dan (4) tersebut, Syahrûr juga telah melalukan
pembacaan ulang terhadap sunnah bukanlah bagian dari wahyu dan sumber hukum Islam. Syahrûr melihat bahwa, damîr huwa pada ayat tersebut maksudnya adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang diucapkan (yantiq) oleh Nabi Muhammad. Sehingga substansi ucapan Nabi tidak merujuk kepada umumnya perkataan Nabi, melainkan al-Qur‟an yang diwahyukan kepada lisannya. Karena jika dilihat secara konteks ayat ini diturunkan di Mekkah ketika orang Arab tidak meragukan pribadi Nabi tetapi apa yang diwahyukan kepadanya. Baca Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Mu‟âsirah (Damaskus: Al-Ahali, 1990), h. 545.
22 Hermeneutik, adalah Ilmu penafsiran kitab suci, atau Ilmu penafsiran teks, ada lagi yang merumuskannya sebagai kaidah-kaidah pemahaman teks, atau metode menghindari kesalahfahaman. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati,2013), h.404.
23 Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Baca Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, cet. Ke-II (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 3.
24Usman, “Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd”, Jurnal Hermeneia, Vol. 2. No.
1, Januari-Juni 2003, h. 121.
9
Dengan demikian, pandangan sunnah yang diajukan oleh Abû Zayd layak untuk
dijadikan objek penelitian. Oleh sebab itu, harapannya konsep sunnah yang diajukan
oleh Abû Zayd dapat mampu memecahkan kebuntuan serta memberikan kontribusi
terhadap pemahaman serta solusi bagi problematika muslim kontemporer saat ini.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah ditulis, penulis memberikan identifikasi masalah
yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:
1. Konsep sunnah pada awal Islam bersifat dinamis, sehingga banyak sekali
ditemukan keberagaman solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
dihadapi pada masa tersebut, di mana orang lain dapat menciptakan sunnah yang
mana sunnah Nabi sebagai pelindungnya.
2. Imâm al-Syâfi‟î memberikan penyempitan makna terhadap sunnah. Menurutnya
sunnah Nabi yang bersifat spesifik adalah sunnah yang hanya terekam di dalam
hadis-hadis Nabi. Sehingga, sunnah pada periode ini bersifat baku dan kaku.
3. Pada periode pertengahan, para ulama mencoba merumuskan kembali terhadap
konsep sunnah Nabi. Al-Qarâfîy misalnya mencoba mengubah kembali
pembacaan terhadap teks sunnah. Menurutnya, dalam menentukan dan
menggunakan hadis sebagai landasan hujjah harus dilihat kembali posisi Nabi,
apakah Nabi pada saat itu berada dalam posisi seorang Rasul, mufti, hakim
ataupun seorang imam.
10
4. Pada periode kontemporer saat sekarang ini, banyak sekali permasalahan yang
muncul, sehingga teks-teks sunnah dianggap perlu dilakukan pembacaan kembali
terhadap teks tersebut. Abû Zayd adalah seorang tokoh kontemporer yang
mencoba merumuskan kembali pemahaman terhadap teks sunnah tersebut. Abû
Zayd ini memcoba membongkar framework ataupun pemikiran lama yang tidak
sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan mendalam, maka
penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat harus dibatasi variabelnya.
Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan “tawaran konsep
sunnah, serta kritik dari Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap konsep sunnah Imâm al-
Syâfi‟î”. Nasr Hâmid Abû Zayd dipilih karena memiliki corak pemikiran pembaharuan
yang berimplikasi kepada pemahaman modern.
Berdasarkan batasan permasalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan
diteliti adalah Bagaimana kritik yang ditawarkan oleh Abû Zayd dalam
memahami konsep sunnah Imâm al-Syâfi’î?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berangkat dari pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Mengungkap konsep sunnah yang ditawarkan oleh Abû Zayd serta latar
belakang pemikirannya.
11
2. Mengungkap orisinalitas dan kontribusi pemikiran Abû Zayd dalam kajian
sunnah.
3. Menggali konsep dasar dan pembaruan pemikiran Abû Zayd terhadap
pemahaman sunnah Nabi sebagai sumber kedua di era kontemporer.
Sedangakan penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap
akademis maupun praktis. Kontribusi akademisi yang penulis maksud adalah,
penelitian ini dapat menjadi sumbangan serta pengembangan teori sunnah pada fase
yang akan datang, dengan menjadikannya dengan sebagai bahan acuan, perbandingan
dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya penelitian yang
mengkaji pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd.
Sedangkan untuk manfaat praktis, yaitu penelitian ini diharapkan mampu dalam
memberikan serta menambah bagi kajian sunnah dan hadis yang khususnya dalam
lingkungan Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir pada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan masyarakat Muslim pada umumnya yang berminat untuk
membaca dan mengkaji tentang sunnah.
E. Kajian Pustaka
Penelitian ini mengkaji persoalan pemahaman sunnah di era kontemporer dalam
perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd serta implikasi pemikirannya dalam menerapkan
pemahaman sunnah dalam wacana modern. Penulis bukanlah orang pertama yang
meneliti tentang pemikiran Abû Zayd. Sebelumnya telah banyak para peneliti yang
telah meneliti tokoh tersebut, baik dalam artikel, jurnal, makalah, tesis, dan disertasi.
12
Persoalan bagaimana memahami sunnah sudah menjadi lahan yang luas dari era
klasik. Bagaimana memahami sunnah Nabi secara tepat dan relevan bukanlah suatu
kajian yang baru muncul serta populer pada masa belakangan ini. Problematika yang
berkenaan dengan cara menafsirkan suatu sunnah atau masalah yang terkait telah
menjadi perhatian khusus para ilmuwan muslim sejak era klasik.
Untuk melihat lebih jelas posisi kajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini
dan membedakannya dengan kajian yang telah dilakukan sebelumnya, maka berikut ini
dapat dikemukakan beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan, baik
muslim maupun non muslim yang berkenaan dengan pemahaman terhadap sunnah
Nabi.
Abdul Majid Khon telah menulis buku tentang masalah ini dengan judul
Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.25 Pusat perhatian Abdul
Majid dalam bukunya ini berbicara tentang pandangan pemikir muslim modern dalam
memahami sunnah Nabi, namun jangkauan nya cukup luas mulai dari perkembangan
Islam era klasik seperti Abû Hanifah, pemahaman sunnah fase pertengahan seperti
Syihâb al-Dîn al-Qarâfîy sampai kepada abad ke-21 M dengan tokoh Mahmûd Syaltût.
Kajian tentang pemahaman terhadap sunnah Nabi telah dilakukan juga oleh M.
Syuhudi Ismail dalam bukunya Pemahaman Hadis antara Tekstual dan Kontekstual.26
Ia menguraikan berbagai metode pemahaman yang berkembang di
25 Diterbitkan pertama kali oleh Prenada Media Group, Jakarta, pada tahun 2011. 26 Diterbitkan pertama kali oleh PT Bulan Bintang, Jakarta, edisi pertama tahun 1995.
13
dalam disiplin ilmu hadis, namun penulis tidak membahas secara khusus bagaimana
para pemikir kontemporer dalam memahami hadis serta implikasinya terhadap
perkembangan ilmu hadis.
Sementara itu, dalam studi orientalis Daniel W. Brown dalam bukunya
Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought.27 Memang pusat perhatian Brown
dalam penelitiannya ini adalah pandangan para pemikir Muslim modern dalam
memahami sunnah Nabi, namun cakupan jangkauan penelitian Brown sangat luas.
Mulai dari masa Imam al-Shâfi‟î, gerakan reformasi pada abad ke-18 dan 19 M sampai
kepada abad ke-21 M dengan tokoh al-Ghazâli. Objek kajian yang dikaji juga beragam,
mulai dari otoritas sunnah Nabi, sikap para pemikir modern terhadap hadis, kritik sanad
dan matan, sampai kepada soal cara memahaminya.
Selanjutnya Mustafâ al-Sibâ‟i dalam bukunya al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-
Tasyrî‟ al-Islâmi.28 Dalam bukunya tersebut, al-Sibâ‟i memang mempertahankan
pemikiran sunnah yang dianut sunni dengan mempertahankan beberapa pemahaman
yang diserang oleh kelompok yang skeptis terhadap sunnah. Perdebatan di kalangan
muslim klasik dan modern menjadi salah satu bahasan pokok dalam tulisannya
tersebut. Namun kajiannya tidak memasuki pembahasan yang lebih belakangan dimana
muncul kecenderungan baru dalam memahami sunnah Nabi dengan nuansa berbeda
dengan tren klasik.
27 Diterbitkan pertama kali oleh Cambridge University Press, 1996. 28 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh Pustaka Firdaus,
tahun 1995.
14
Dari uraian diatas, sekiranya belum banyak kita temukan pembahasan yang
menyinggung pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap konsep sunnah. Terlebih
pemahaman yang ditawarkan oleh Abû Zayd, karena beliau lebih dikenal dengan tokoh
sastra Arab yang lebih mengedepankan aspek kebahasaan dibandingkan makna.
Kiranya cukup menarik jika pemikiran keduanya dikaji lebih lanjut dan kemudian
secara bersamaan dibandingkan pemikiran antar keduanya.
Sedangkan terhadap pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd juga telah dilakukan
beberapa penelitian, antara lain oleh Nur Mahmudah dalam jurnalnya Sunnah dalam
Nalar Islam Kontemporer.29 Ia menjelaskan tentang konsep sunnah yang ditawarkan
oleh Abû Zayd, dengan menampilkan pembahasan mengenai hakekat, sumber, fungsi,
serta validitas sunnah. Akan tetapi Nur tidak menampilkan secara kongkrit kritik Abû
Zayd terhadap pembacaan sunnah yang dilakukan pada era klasik.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Usman, dalam jurnalnya Al-Sunnah dalam
sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap Imam al-Syafi‟i.30 Fokus kajian yang
dilakukan oleh Usman adalah menampilkan kritik Abû Zayd terhadap pemahaman
sunnah yang ditawarkan oleh Imam al-Syâfi‟î. Ia menjelaskan secara rinci tentang
metodologi yang digunakan oleh Abû Zayd mengenai pendekatan sunnah yang
ditawarkan. Ia juga menjelasakan tentang pokok-pokok kritik Abû Zayd terhadap
pembacaan sunnah Imâm al-Syâfi‟î yang tertuang di dalam karya Nasr Hâmid Abû
Zayd. Akan tetapi, ia tidak merumuskan konsep sunnah dari pendekatan yang
29 Jurnal ini diterbitkan oleh Islamica pada bulan Maret, tahun 2012. 30 Jurnal ini diterbitkan oleh Hermeneia pada Januari-Juni, tahun 2003.
15
ditawarkan oleh Abû Zayd setelah melakukan kritik atas pemikiran sunnah era klasik.
Sejauh ini, dalam pengetahuan penulis, masih sedikit sekali kajian sunnah yang
ditawarkan oleh Nasr Hâmid Abû Zayd tentang sunnah dan hadis. Kajian-kajian yang
yang ada terhadap pemikirannya saat ini, masih berputar sekutat gagasannya terhadap
bidang al-Qur‟an dan hermeneutika. Namun, bukan berarti pemikirannya tentang
sunnah dan hadis tidak memiliki kontribusi yang baru dan hanya mengikuti trend kajian
yang klasik.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini dilakukan
dalam tiga langkah, yaitu: (1) Pendekatan Penelitian, (2) Pengumpulan Data, dan (3)
Analisis data.
1. Pendekatan Penelitian
Model yang penulis gunakan dalam pendekatan penelitian adalah penelitian
kepustakaan (library research), berupa literatur-literatur tentang sunnah Nabi dari era
klasik sampai kontemporer. Sedangkan obyek penelitian difokuskan kepada pemikiran
Nasr Hâmid Abû Zayd dalam memahami kembali sunnah Nabi.
Data yang sejalan dengan pemahaman sunnah dari tokoh tersebut diperoleh
melalui sumber-sumber berupa literatur-literatur sumber primier yang telah ia tulis
maupun sumber sekunder yang dihasilkan oleh penulis lain namun tetap dianggap
sebagai sumber data yang valid.
16
2. Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diambil dalam berbagai literatur-literatur yang
bersumber dari data premier dan data sekunder.
a. Data premier yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini adalah buku-
buku yang ditulis oleh Nasr Hâmid Abû Zayd dan al-Syâfi‟î. Buku-buku paling
utama adalah Al-Imâm al-Syâfi‟î wa Ta‟sîs al-Audûlujiat al-Wasatiyah, Al-
Nass al-Sultah al-Hakîkah, Mahfûm al-Nas Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, al-
Takfîr fî Zaman al-Takfîr, Dawaîr al-Khauf: Qirâ‟ah fî
Khitâb al-Mar‟ah, al-Risâlah, al-Umm. serta beberapa karya-karya yang
lainnya.
b. Data sekunder yang juga dijadikan sumber referensi adalah buku-buku yang
berkaitan dengan sunnah Nabi serta beberapa rujukan sekunder lainnya
seperti, buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis disertasi dan berbagai sumber
lainnya.
3. Metode Analisis Data
Dalam mengolah data tersebut, penulis menggunakan metode-metode yang
sesuai dengan acuan dalam penulisan karya ilmiah. Metode deskriptif-analisis di rasa
cocok untuk mencoba menggambarkan pemikiran Abû Zayd dalam menggali dan
mendeskripsikan konsep sunnah yang ia tawarkan.
Metode deskriptif-analisis (descriptive analysis) dengan memaparkan secara
obyektif apa yang terkait dan apa yang dimaksud oleh teks dengan cara
membahasakannya dengan bahasa penulis. Metode ini bertujuan untuk memahami
17
apa yang dikatakan dan dikemukakan oleh Abû Zayd. Di samping itu, penulis juga
melakukan analisa kritis terhadap pemikiran Abû Zayd yang tertuang di dalam
karyanya Al-Imâm al-Syâfi‟î wa Ta‟sîs al-Audûlujiat al-Wasatiyah.
G. Sistematika Penulisan
Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang sistematis akan isi penelitian
ini, pembahasan dalam skripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan seputar latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan metode
penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tentang landasan pertama yang memetakan serta
mendeskripsikan sejarah perkembangan sunnah Nabi. Kajian ini harus dilakukan di
awal mengingat bahwa pola pemahaman sunnah modern tidak terlepas dari sejarah
yang terjadi pada masa lampau dan berpengaruh kepada rumusan dan metode
pemahaman yang dirumuskan. Bab ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu sejarah dan
pengantar wacana sunnah serta pembacaan ulang terhadap wacana sunnah.
Bab ketiga berisi tentang potret pemikiran keagamaan Abû Zayd secara umum
dan meletakkan posisi ia di tengah perkembangan pemikiran Islam. Kajian ini di awali
dengan biografi dan karya ilmiah, lalu diikuti dengan latar belakang yang membentuk
pemikiran Abû Zayd tersebut. Bab ketiga ini diharapkan mampu untuk
18
menjawab persoalan tentang mengapa dan apa latar belakang munculnya pemikiran
dari Nasr Hâmid Abû Zayd.
Bab Keempat berisikan tentang kerangka pemahaman serta analisis metode Abû
Zayd dalam memandang sunnah. Kajian ini di awali dengan menganalisis pandangan
Abû Zayd terkait dengan model konsep sunnah yang ditawarkan oleh Imâm al-Syâfi‟î.
Setelah itu, penulis akan menggambarkan pengertian, sumber, serta fungsi sunnah
menurut Abû Zayd. Dan terakhir, penulis mencoba menganalisis pemikiran sunnah
yang dikonsepkan oleh Nasr Hâmid Abû Zayd dalam upaya kritiknya terhadap konsep
sunnah Imâm al-Syâfi‟î.
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan
diperlukan sebagai jawaban masalah pokok yang diajukan. Saran ditulis sebagai
rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
WACANA SUNNAH DALAM KONTEKS SEJARAH
A. Sejarah dan Pengantar Wacana Sunnah
Konsep sunnah bukanlah praktik baru yang dikenal oleh Islam. Banyak praktik kaum
jahiliyah yang dijadikan syariat oleh Nabi Muhammad Saw. ini menandakan bahwa
sunnah sudah ada sebelum Islam memasuki tanah jazirah Arab. Istilah sunnah pada
awalnya ditujukan untuk menunjuk kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam dalam
mengikuti aturan, norma, serta adat istiadat yang menjadi kebiasaan bangsa mereka.
Namun demikian, setelah Islam datang, makna sunnah tersebut bergeser menjadi
sunnah Nabi. Menurut Goldziher1, pergeseran makna tersebut disebabkan oleh rasa
hormat dan taatnya umat Islam terhadap model dan perilaku Nabi sebagai suri tauladan,
sebagaimana kaum jahiliyah menaati tradisi yang datang dari nenek moyang mereka. 2
Sub bab ini akan mengkritisi perkembangan sunnah mulai dari tradisi masyarakat Arab
pra-Islam sampai kepada Abad kedua hijriah.
1 Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis asal Hongaria. Dia merupakan keturunan
Yahudi. Dalam usia 16 tahun, dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanberry di Universitas Budapest. Goldziher
mampu menyelesaikan gelar Doktoralnya dalam usia 19 tahun. Ketertarikannya dalam mempelajari manuskrip-
manuskrip Arab membawanya kepada penelitian terhadap Hadis Nabi. Ada beberapa karya ilmiyah nya yang
menyanggah keotentikan hadis Nabi Saw., diantaranya adalah Muhammedanische Studien. Lihat Wahyudin
Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis: Telaah Pandangan Iganz Goldziher dan Joseph Schacth (Bandung:
Benang Merah Press, 2004), h. 90-92. 2 Pernyataan Goldziher tersebut kemudian dibantah oleh M. Mustafa Azami. Menurut Azami, umat Islam
menaati dan meneladani perilaku Nabi, dikarenakan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu,
pemisah antara sunnah masyarakat jahiliyah dengan sunnah Nabi adalah, perintah yang datang dari Allah dan
Rasulullah Saw. lihat Nasrullah, “Rekosntruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 15 No. 1 Tahun 2014, h. 22.
a. Makna Sunnah dan Tradisi pra-Islam
Seperti yang di tuturkan oleh Zainul Milal Bizawie, Islam adalah agama yang
sebenarnya lahir sebagai produk lokal Arab yang kemudian diuniversalkan dan
ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Oleh karenanya, seberapapun
kita meyakini bahwa Islam adalah wahyu dari Tuhan yang universal dan ghaib, pada
akhirnya akan dipersepsikan oleh pemeluk agama sesuai pengalaman, problem, kapasitas
intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam
komunitasnya.3
Umar bin Khattab, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Hapsin mengatakan bahwa
Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam ini telah banyak diadopsi dan
kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam, baik yang terikat dengan ritus, sosial
kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.4 Artinya, dalam hal ini,
tradisi masyarakat pra-Islam menjadi sumbangsi awal terhadap pembentukan nilai, norma
serta tradisi di dalam batang tubuh Islam (sunnah) dikemudian hari.
Menurut Schacth, sunnah bermakna living tradition (tradisi yang hidup). Frasa ini
mewakili sebuah istilah yang menggambarkan tradisi yang hidup ditengah-tengah
masyarakat Arab pra-Islam. Tradisi yang hidup ini, kemudian dijadikan tata cara serta
pedoman dalam setiap pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah yang terjadi pada
masa tersebut. Tidak ada tradisi yang menyaingi norma serta adat istiadat yang datang dari
nenek moyang. Tradisi ini berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, sehingga tradisi
atau sunnah pada fase ini bersifat mutlak dan tidak memberikan ruang bagi sunnah tersebut
untuk berinovasi. Sehingga tradisi ini menjadi kaku dan tertuju pada satu refrensi.5
3 Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi
Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003, h. 34. 4 Abu Hapsin, “Islam dan Budaya Lokal: Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal
Masyarakat Jawa” dalam http//www.kemenag.go.idacis11filedokumen2.AbuHapsin. 5 Muhammad Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: dari Historitas menuju Kontekstualitas
dalam Faisar Ananda Arfa, dkk, Sunnah dalam Kajian Kontemporer: Konsep Sunnah dalam Perspektif Joseph Schacht (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2009), h. 139.
Bagi masyarakat Arab pra-Islam, sunnah diciptakan oleh para hakim yang selalu
dimintai pendapat atau keputusan mereka dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
terjadi di kehidupan bermasyarakat. Para hakim ini tidak harus ketua suku, melainkan orang-
orang bijak yang dipercaya mempunyai pengalaman hidup dan memiliki kebijaksanaan di
dalam memutuskan dan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Goldziher pernah
menuturkan bahwa orang-orang Islam tidak perlu menciptakan konsep dan pentingnya
sunnah, karena ini sudah lama akrab dalam masyarakat Arab pra-Islam. Menurut bangsa
Arab kuno, sunnah adalah peraturan emas, apa saja yang telah menjadi adat istiadat adalah
benar dan patut, serta apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang mereka pantas untuk
ditiru.6
Menurut Khalil Abdul Karim, seorang pemikir asal Mesir, menyatakan bahwa banyak
hal yang terikat dengan tradisi kultural lokal Arab pra-Islam yang diadopsi dan kemudian
diakomodir oleh Nabi untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin keagamaan
Islam. Hal ini bisa dilacak dengan adanya kesesuaian antara hukum perdata dan pidana yang
di gunakan oleh Nabi. Ini menandakan keberlanjutan dari hukum-hukum yang telah ada
sebelum Islam. Di antara pranata sosial tersebut ada yang diterima secara total ada pula yang
dimodifikasi dan ditolak.7
Tradisi pernikahan misalnya, dalam konsensus Arab pra-Islam nikah merupakan
lembaga yang sah dalam menyatukan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan
keluarga. Banyak ragam pernikahan yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab, seperti
perkawinan mut’ah8, al-syighar9, al-tahlîl10, dan lain sebagainya. Namun ada beberapa
model pernikahan yang ditolak oleh Nabi karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kehormatan
6 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 139. 7 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 192. 8Adalah pernikahan yang diberlakukan batas waktunya (kontrak) tanpa talak serta tanpa berkewajiban
memberikan nafkah atau tempat tinggal serta tanpa adanya harta warisan jika salah seorang diantara mereka
meninggal sebelum masa berakhirnya nikah mut’ah tersebut. 9Adalah menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan
putrinya pula, tanpa ada mahar diantara keduanya. 10Adalah menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian
menceraikannya kembali untuk dapat diberikan kembali kepada suaminya yang pertama.
wanita.11 sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dalam kitab Sahîh-
nya, bahwa Nabi melarang pernikahan mut’ah, al-syighar dan al-tahlîl.
ن عمران بن حصين أن أخبرنا محمد بن بشار قال حدثنا محمد قال حدثنا شعبة عن أبي قزعة عن الحسن ع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ل جلب ول جنب ول شغار في الإسلام
Dari ‘Imrân bin Husein dari Rasulullah Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “tidak ada
pernikahan syighar dalam Islam”.12
Begitu pun dengan pernikahan al-tahlîl dan mut’ah, Nabi secara tegas melarang model
pernikahan dengan sabdanya:
أبو مصعب حدثنا يحيى بن عثمان بن صالح المصري . حدثنا أبي قال سمعت الليث بن سعد يقول قال لي مشرح بن هاعان قال عقبة بن عامر:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ) أل أخبركم بالتيس المستعار ؟
(لعن الله المحلل والمحلل له ( قالوا بلى . يا رسول الله قال ) هو المحلل .Berkata ‘Uqbah bin ‘Âmir, bahwasanya Rasulullah Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang al-Tais al-Musta’âr (domba pejantan
yang disewakan)?” para sahabat menjawab: “ya, wahai Rasulullah. Beliau kemudian
bersabda: “itu adalah al-Muhallil, Allah akan melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal
lahu”.13
وحدثني سلمة بن شبيب حدثنا الحسن بن أعين حدثنا معقل عن بن أبي عبلة عن عمر بن عبد العزيز قال حدثنا الربيع بن سبرة الجهني عن أبيه * أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وقال أل إنها
خذهحرام من يومكم هذا إلى يوم القيامة ومن كان أعطى شيئا فلا يأ al-Rubi’i Ibn Sairah al-Juhanî telah menceritakan kepadaku dari ayahnya: Sesungguhnya
Rasulullah Saw., melarang mut’ah. Beliau bersabda, “Perhatikanlah, mut’ah itu haram
sejak hari kalian ini sampai hari kiamat. Dan barang siapa memberikan sesuatu, maka
jangan mengambilnya lagi!”.14
Di antara model pernikahan masyarakat Arab pra-Islam yang diterima oleh Nabi dan
kemudian dilanjutkan adalah nikah ba’ulah. Yakni, model pernikahan yang diawali oleh
pihak laki-laki mengajukan pinangan terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh
ayahnya, pamannya, kakaknya, atau langsung dilakukan oleh calon mempelai pria. Pada
saat nikah tersebut, kemudian disyaratkan ada pernyataan ijab dan qabul. Pada saat
pelaksanaan nikah, mas kawin merupakan persyaratan yang mutlak dan harus ada. Setelah
11 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 196. 12 Abû Abd al-Rahmân Ahmad ibn Alî ibn Syu’aib ibn Alî al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Jilid. VI, Kitâb al-
Khail, Bab Al-Janab, No. Hadis 3590 (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 229. 13 Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Zaid al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Jilid. II, Kitâb al-Nikâh, Bâb al-
Muhallil wa al-Muhallal lahu, No. Hadis 1936 (Kairo: Dâr Ibnu al-Haitsam, 2005), h. 244. 14 Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Nikâh, Bâb Nikâh al-Mut’ah, No. Hadis
1406 (Kairo: Maktabah Al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2009), h. 351.
terjadi pernikahan, suami bertanggung jawab untuk pengadaan rumah dan kebutuhan
lainnya. Kalau kelak memiliki keturunan, maka keturunan tersebut wajib dinisbatkan
kepada laki-laki.15
Selain itu, masih banyak lagi sunnah masyarakat Arab pra-Islam yang diadopsi dan
diverifikasi oleh Nabi. Hal ini menandakan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa
risalah agama tidak langsung memutuskan rantai adat yang sudah mengakar ditubuh
masyarakat pada saat itu. Nabi Saw. berusaha berdialog searif mungkin ketika berhadap-
hadapan dengan tradisi yang berjalan, sehingga menciptkan keserasian antara dogma dan
tradisi. Ini yang kemudian menimbulkan kesinambungan antara agama dan tradisi, bahwa
risalah yang di ajarkan tidak serta merta menghapus tradisi yang sudah menjadi budaya serta
mengakar di masyarakat. Karena itu, konsep sunnah merupakan varian dari konsep bangsa
Arab kuno.
b. Sunnah Nabi dan Sunnah Para Sahabat
Dalam catatan sejarah, Islam membangun sunnahnya sendiri dengan mengadopsi
bentukan sunnah sebelumnya, fase ini dikenal dengan ‘Asr al-Wahy wa al-Takwîn, yaitu
masa wahyu dan pembentukan.16 Pada periode ini, konsep sunnah telah berganti makna dari
adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang, menjadi konsep sunnah Nabi dengan
indikasi tereliminasinya beberapa tradisi Arab pra-Islam. Ini menunjukan bahwa Nabi
Muhammad Saw. memiliki otoritas sebagai pribadi yang seharusnya dicontoh oleh para
sahabat serta masyarakat pada umumnya.
Periode ini pula, pola kehidupan Nabi Saw. dan para sahabatnya menyatu tanpa ada
tabir pemisah. Kabilah-kabilah kemudian saling bersatu tanpa takut membaur dengan
kelompok lainnya. Konsep kehidupan Nabi Saw. menjadi sesuatu yang tidak asing bagi para
sahabat. Mereka tahu persis perilaku dan sikap Nabi ketika memutuskan suatu perkara.
15 Syaikhudin, “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab”, h. 197-198. 16 Pada masa Nabi Muhammad Saw., wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang
dari Nabi. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat yang tidak
pernah mereka temukan pada zaman jahiliyah. Baca Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 31.
Sikap positif mereka dalam mengikuti Nabi Saw. baik sabda, atau tauladan yang mereka
ambil dari Nabi terus ditransmisikan dari waktu ke waktu. Hal ini berdampak kepada cara
sahabat dalam mengkontekstualisaikan sunnah ketika Nabi Saw. sudah wafat. Para sahabat
melakukan hal tersebut dalam upaya menjawab masalah yang belum pernah terjadi pada
masa Nabi Muhammad Saw.
Hal inilah yang kemudian memperluas ruang lingkup sunnah dan bukan lagi hanya
terbatas kepada sunnah Nabi Saw. akan tetapi juga mencakup sunnah para sahabat. 17
terdapat beberapa contoh ijtihad yang dilakukan oleh Khulafâ’ al-Râshidûn yang kemudian
menjadi sunnah bagi kaum Muslimin setelahnya.18
Menurut Schacht, dua khalifah Islam, Abû Bakar dan Umar bin Khattab memakai
istilah sunnah bukan pada konteks hukum, melainkan dalam konteks politik, yang berarti
kebijkasanaan dan administrasi kekhalifahan.19 Sunnah Nabi ketika itu menjadi jembatan
antara sunnah Abû Bakar dan Umar dengan al-Qur’an. Khalifah Islam tetap menggunakan
konsep sunnah dan mengkombinasikannya dengan sunnah yang ada di daerah-daerah luar
taklukan Arabia, sama seperti ketika Nabi Muhammad Saw. ketika sunnah dipergunakan
untuk menyelesaikan problem masyarakat Muslim.20
c. Tradisi yang Hidup
Luasnya perkembangan wilayah Islam pada periode awal, menyebabkan teori sunnah
yang dipraktekan di wilayah-wilayah sekitar Arab menjadi kompleks. Adanya seruan dari
khalifah awal untuk mengadopsi sunnah yang berlaku di masyarakat tersebut untuk
menyelesaikan suatu perkara, menyebabkan sunnah menjadi dinamis untuk di tafsirkan.
17 Nabi juga dalam beberapa riwayat menyuruh umatnya untuk bukan hanya mengikuti sunnah yang datang
dari dirinya akan tetapi juga yang diajarkan oleh para sahabat. 18 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintasan Sejarah”, Jurnal Mutawâtir, Vol. 3 Nomer 1
Tahun 2013, h. 90. 19 Ansari menyatakan: “Kewenangan sahabat itu mapan pada tahun 75 H. Ajaran dan praktik Nabi serta
para sahabat terus dicirkan ke dalam sunnah. Baca Adis Dude Rija, Evolution in the Concept of Sunnah during
the First Four Generation of Muslims in Relation to Development of the Concept of an Authentic Hadîth as based
on Recent Western Scholarship (Koninklijke Brill NV: Leiden, 2012), h. 416. 20 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 140.
Adalah Abû ‘Amr ‘Abd al-Rahmân b. ‘Amr al-Awzâ’î (w. 157 H.) seorang Imam mazhab21
dari Syiria. Ia mengenal konsep sunnah, akan tetapi tidak mengidentikkannya kepada
tradisi-tradisi yang formal. Ia sering merujuk kepada praktek yang dilakukan kaum
Muslimin yang sampai kepadanya dari masa hidup Rasulullah. Kemudian, untuk
memperkuat argumentasinya ia mengutip pendapat atau praktek sahabat atau kaum
Muslimin para pendahulunya.22
Bagi Schacht, model konsep yang diadopsi oleh al-Awzâ’î adalah sesuatu yang dikenal
dengan sebutan “a living tradition”, yaitu praktek-praktek kaum Muslimin yang dimulai
dari Nabi, dilestarikan oleh para Khalifah awal dan para penguasa berikutnya serta
diverifikasi oleh para ulama setelahnya. Praktik-praktik kaum Muslimin yang kontinu
adalah yang sangat menentukan sedangkan rujukan pada Nabi atau para khalifah awal
bersifat opsional dan bukan merupakan suatu keharusan untuk menetapkan sunnah.23
Berbeda dengan al-Awzâ’î, ulama Iraq dalam memandang sunnah tidak lebih dari cara
pandang para ulama Madinah. Ini tergambarkan pada pernyataan ulama Iraq, “kami
melaksanakan ini berdasarkan sunnah”. Adalah Abû Yûsuf (w. 182 H.) membedakan apa
yang didengarnya sampai kepada Nabi, atsar24 dan sunnah yang popular. Menurutnya,
sunnah tidak mesti selalu dikaitkan dengan segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw. Abû
Yûsuf mengutip Alî yang mengatakan bahwa Nabi dan Abû Bakar pernah menghukum 40
kali cambuk terhadap orang-orang yang meminum khamar, sedangkan Umar menghukum
dengan 80 kali cambukan. Kemudian Abû Yûsuf berkata: “ini merupakan sunnah, dan
sahabat kami sepakat bahwa hukuman untuk orang yang meminum khamar adalah 80 kali
21 Istilah mazhab awal dipergunakan sebagai padanan istilah ancient school of law meliputi mazhab Iraq
(dipelopori oleh Imâm Abû Hanifah dan muridnya yang terkenal yaitu Abû Yûsuf dan al-Saybânî), mazhab Syiria
(dipelopori al-Awzâ’î), dan mazhab Madinah (dipelopori Imâm Mâlik). baca Joseph Schacht, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1975), h. 70. 22 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 91. 23 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”. 24 Atsar menurut bahasa adalah bekasan sesuatu, atau sisa suatu. Berarti pula nukilan (yang dinukilkan).
Menurut istilah jumhur ‘ulama, atsar sama artinya dengan khabar dan hadîts. Sedangkan para fuqaha memaknai
istilah ini dengan perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tâbi’în, dan lain-lain. Atsar selalu dihubungkan
dengan sesuatu yang datang dari Nabi Saw. Dan yang selainnya. Baca Muhammad Hasbie Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 13.
cambukan”.25 Hukuman cambuk untuk seseorang yang mabuk karna khamar berasal dari
hadis, sedangkan penambahan jumlah hukuman berasal dari ijtihad para sahabat. Inilah yang
kemudian menjadi referensi oleh Abû Yûsuf.
Pandangan konsep sunnah berikutnya beralih kepada pemahaman konsep Mâlik ibn
Ânas ibn Malik bin ‘Âmr al-Asbahi (w. 179 H.) yang dikenal juga dengan sebutan Imâm
Dâr al-Hijrah (Imam kota hijrah Nabi). Pemahaman Imâm Mâlik terhadap sunnah tidak
juah berbeda dengan pandangan yang sudah ada pada umumnya. Bagi Imâm Mâlik, sunnah
bukan hanya tradisi yang datang dari Nabi Saw., para sahabat, serta para tâbi’în. Akan tetapi,
sunnah juga berasal dari praktek yang berlaku di masyarakat Madinah, bahkan menurut
Imâm Mâlik tradisi yang mapan dari masyarakat Madinah adalah sarana yang mapan untuk
menimbang sunnah.26
Metode yang digunakan oleh Imâm Mâlik di dalam kitab al-Muwatta’ adalah, pertama
ia mengutip hadis yang relevan dari Rasulullah jika bisa ia peroleh, setelah itu ia mengutip
pendapat para sahabat, dan kemudian terakhir adalah pendapat atau praktek dari ahli hukum
Madinah27 sesekali ia mengutip preseden-preseden yang ditinggal oleh Banî Umayyah
seperti Marwân bin Hakam, ‘Abdul Mâlik, dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Setelah itu ia
mengungkapkan mazhabnya sendiri, yaitu mazhab masyarakat Madinah.28
Selanjutnya, Imâm Mâlik berpandangan bahwa, sebetulnya Nabi Saw. tidak pernah
bermaksud untuk membuat aturan yang “mengekang” serta dipatuhi selama-lamanya.
Sehingga sunnah lebih dinamis dalam menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kandungan aktual sunnah pada generasi Muslim awal dapat dikatakan
secara garis besar adalah produk dari ijtihad. Ketika hasil ijtihad ini diterima oleh semua
umat Islam melalui interaksi pendapat secara terus menerus maka ia akan menjadi sebuah
konsensus bersama (ijmâ’). Itulah sebabnya mengapa sunnah dengan pengertian sebagai
25 Iqbal (ed.), Reformasi Pemahaman terhadap Hadis, h. 144. 26 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 92. 27 Tujuh ahli hukum Madinah tersebut adalah Sâlim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, Kharâkhah bin Yazîd,
Sulaimân bin Yasar, al-Qâsim, Sa’îd bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, dan ‘Abdullâh bin ‘Abdullâh bin
‘Utman. 28 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 93.
praktik yang disepakati bersama oleh Mâlik disebut dengan istilah al-amr al-mujtama’
‘alaih ‘indanâ (perbuatan atau praktek yang kami sepakati). Hal ini pula yang mungkin
menyebabkan ungkapan sunnah Nabi jarang muncul dalam teks-teks mazhab ahli
Madinah.29
d. Rekonstruksi Konsep Sunnah
Dalam perkembangan selanjunya, Imâm al-Syâfi’î melakukan perubahan besar
terhadap konsep sunnah yang sudah berkembang dalam mazhab-mazhab awal. Pokok
perbedaan yang sangat jelas antara gagasan sunnah pra- dan pasca- Syâfi’î berkenaan
dengan hubungan antara sunnah Nabi Saw. dan “sunnah-sunnah lainnya”.30
Hal pokok dalam sistem al-Syâfi’î adalah keunikan sunnah Nabi Muhammad Saw.
dibandingkan dengan semua sumber kewenangan lainnya. Bagi al-Syâfi’î, satu-satunya
sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi Saw. dan sunnah ini secara eksklusif dia identikan
dengan hadis-hadis yang langsung berasal dari Nabi. Dengan demikian, proses kreatif yang
berlangsung pada masa mazhab awal diserang oleh al-Syâfi’î dengan menyerukan
diterimanya materi hadis secara besar-besaran dalam hukum Islam.31 Gerakan inilah yang
dilihat oleh Fazlur Rahmân sebagai gerakan substitusi hadis yang mengakibatkan
berhentinya proses kratif yang sudah berjalan sebelumnya.32
Dapat dipahami bahwa al-Syâfi’î ingin mengesampinkan “sunnah yang hidup” yang
dikenal pada periode mazhab sebelumnya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi gerakan
al-Syâfi’î adalah keprihatinannya terhadap pengabaian hadis-hadis Nabi. Karena itu, al-
Syâfi’î selalu melayangkan protes terhadap argumentasi orang-orang Madinah yang selalu
mengedepankan praktik masyarakat Madinah dengan mengatakan bahwa tidak lebih dari
29 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 94-95. 30 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani
Muslim (Bandung: PT. Mizan, 2000), h.22. 31 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”, h. 100. 32 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Ana Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 29.
30.000 sahabat yang sudah melaksanakan dan mengenal tradisi tersebut, sehingga dapat
lebih diandalkan daripada hadis-hadis yang menyendiri.33
Menurut al-Syâfi’î, sunnah yang datang dari Nabi dalam bentuk hadis melalui mata
rantai yang tsiqâh merupakan suatu hukum, terlepas apakah sunnah tersebut diterima oleh
orang banyak atau tidak, bahkan walaupun dia merupakan tradisi yang terisolir dan
tersendiri. Contohnya dalam kasus pengharaman khamar. Ketika Abû Thalhah dan
sekelompok orang sedang minum khamar, datanglah seseorang dengan membawa berita
bahwa khamar telah di haramkan. Maka mereka memerintahkan orang-orang untuk
memecahkan tempat minuman.34 Sekiranya mereka tidak boleh menerima berita yang
langsung dari yang selain Nabi, pasti Nabi Saw. akan mengatakan, “mestinya kalian jangan
mengambil keputusan dulu, sampai aku memberi tahu kalian”.
Berdasarkan protes al-Syâfi’î terhadap ahli hukum Madinah tersebut, Rahman
menyimpulkan sebenarnya antara keduannya sama-sama menghendaki posisi sunnah Nabi
sebagai sumber hukum Islam. Ahli hukum Madinah mengklaim bahwa tradisi mereka
berasal dari sunnah Nabi, sedangkan al-Syâfi’î membela otoritas Nabi melalui pemahaman
hadis.35 Ini menandakan bahwa al-Syâfi’î dengan ahli hukum Madinah sejalan dalam
menafsirkan terma sunnah. Akan tetapi, dalam perkembangannya “sunnah” ditafsirkan
dalam konotasi yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.
Bukti keberhasilan al-Syâfi’î dalam memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadis
Nabi Saw. serta dalam menegakan superioritas sunnah atas sumber lainnya adalah jelas.
Setalah al-Syâfi’î, jarang kita menemukan istilah untuk selain sunnah Nabi Saw. Al-Syâfi’î
membangun kembali blok-blok bangunan utama dari konsensus klasik, dia
mengintegrasikan blok sunnah ini menjadi suatu sistem yurispundensi Islam yang saling
terkait.36
33 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”. 34 Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, Ikhtilâf al-Hadîth (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986), h. 14. 35 Sahid HM, “Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman”, Jurnal Al-Tahrir, Volume 11
No. 1, Mei 2011, h. 189-190. 36 Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, h.19-20.
B. Pembacaan Ulang Wacana Sunnah
Pada abad ke-19 M, yang disebut-sebut sebagai awal dunia modern Islam37, gerakan
menghidupkan sunnah (ihya’ al-sunnah) yang telah berlangsung sejak abad ke-18 M
megalamai pergesaran ke arah memikirkan kembali sunnah dalam dunia modern.
Perubahan ini terjadi disebabkan adanya faktor eksternal, terutama tantangan modernisme
dalam dunia Muslim yang disebabkan adanya pengaruh dari pemikiran barat.
Salah satu tema pemikiran muncul dikalangan para pemikir hadis adalah kewenangan
sunnah. Dalam al-Qur’an, Nabi diidentifikasi Allah dengan beberapa peran yang berbeda
dan menyatu dalam dirinya: sebagai penyampai risalah (QS. al-Mâidah: 102), sebagai
penjelas al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 44), sebagai hakim (QS. Al-Nisâ’: 65), sebagai figur yang
ditaati (QS. Al-Nisâ’: 64), dan sebagai teladan yang baik (QS. Al-Azhâb: 21). Otoritas-
otoritas Nabi yang disebutkan di atas telah membentuk keyakinan kuat kaum Muslimin
terhadap otoritas (hujjiyah) sunnah. Karena itu, perkataan dan praktek Nabi merupakan hal
yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim sejak awal.38 Kaum muslim
menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.
Tampaknya tak ada perbedaan kaum muslim tentang validitas kewenangan sunnah.
Semua kaum muslim sepakat dan menerima kewenangan sunnah Nabi. Tetapi yang
menjadi perbedaan, terutama dikalangan pemikir modern-kontemporer adalah bagaimana
memaknai kewenangan sunnah Nabi tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor
yang memicu perbedaan tersebut. Sifat hadis yang zanni al-wurûd, dimensi kemanusiaan
Nabi dalam perkataan dan perbuatannya, situasi dan kondisi yang melahirkan
37 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 311; lihat juga
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
13. 38 Terdapat banyak riwayat yang menceritakan bagaimana para sahabat merespon keteladanan Nabi ini.
Abû Bakar misalnya diriwayatkan menyatakan: Tidaklah aku meninggalkan sesuatu perbuatan Rasulullah yang
kamu lihat, kecuali aku juga memperbuatnya (seperti Rasulullah). Demikian pula Umar diriwayatkan bahwa ia
berhenti di depan al-Hajar al-Aswad dan berkata: Saya tahu engkau adalah batu. Jika saya tidak melihat
Rasulullah menciummu, maka aku tidak akan menciummu. Lalu ia mencium al-Hajar al-Aswad. Ibnu Umar juga
menyatakan hal yang sama: Hadis dari Ibnu Umar, bahwa dia berkata: Wahai anak saudaraku, sesungguhnya
Allah telah mengutus Muhammad Saw. kepada kita. Kita tidak mengetahui sesuatu, maka kita melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana kita melihat beliau melakukannya.
menyebabkan Nabi mengucapkan hadis adalah beberapa faktor yang mendorong
pemahaman yang berbeda terhadap kewenangan sunnah, hingga melahirkan pemikiran-
pemikiran yang beragam.39
a. Pengertian Modern, Modernisasi dan Pembaharuan dalam Islam
Istilah “modern”, sebenarnya berasal dari bahasa latin “modo” atau “modernus”, yang
berarti masa kini; yang kini; paling mutakhir.40 Secara terminologi, modern didefinisikan
sebagai sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman.41 Oleh karena
itu, modernisasi dapat diartikan sebagai proses menjadi modern, terbaru, dan juga mutakhir
atau juga proses cara berfikir, bertindak serta bersikap sesuai dengan tuntunan zaman.
Sedangkan kata “pembaharuan”, secara etimologis berasal dari kata “baharu” atau “baru”
yang berarti proses membuat sesuatu menjadi baru.42
Modernisasi atau pembaharuan semula timbul di kalangan masyarakat Barat pada
sekitar tahun 1650 hingga tahun 1800 M, dimana pada saat itu masa pengultusan akal.
Paham ini pada mulanya untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang ada didalam agama
Katolik dan Protestan dengan ilmu pengertahuan dan filsafat modern. Akibatnya terjadi
kontra yang sengit antara masyarakat gereja dan masyarakat ilmu.43
Dalam Islam, gerakan pembaharuan terjadi bukan disebabkan karena pertentangan
antara kaum agama dan ilmuwan sebagaimana yang terjadi di Barat, melainkan karenanya
adanya kesadaran di kalangan para tokoh pembaharu akan keterbelakangan umat Islam dari
39 Maizuddin M. Nur, “Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah di Era Modern”, Jurnal Substantia, Vol.
14 No. 2, Oktober 2012, h. 145-146. 40 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 653. 41 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. III (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 751. 42 Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa dalam konteks keislaman, pembaharuan berarti upaya
intelektual Islam untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan pemahaman umat Islam terhadap
agamanya dalam konteks berhadapan dengan perubahan serta perkembangan masyarakat. Baca Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Pustaka, 1985), h. 96. 43 Gereja di satu pihak mempertahankan keyakinan yang ada, sementara masyarakat ilmu di pihak lain juga
mempertahankan keyakinan mereka yang diperoleh berdasarkan keyakinan ilmiah. Menurut masyarakat gereja
apa yang dikatakan masyarakat ilmu tersebut bertentangan dengan keyakinan agama mereka, karenanya mereka
dikucilkan dari gereja dan mereka pun menjauhi gereja. Perkembangan selanjutnya pemikiran tidak berbau agama
dan bercorak sekuler. Baca Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Cet. Ke-II (Prenadamedia Gruop, 2015), h. 175.
dunia Barat. Pada masa dunia barat sedang dalam kemajuan ilmu yang sangat pesat, dunia
Islam justru sebaliknya.44
Para ulama pun memberikan komentar berbeda tentang pengertian medernisasi di
dalam Islam, diantaranya:
1. Menurut Yûsuf al-Qardâwî, modernisasi di dalam agama diartikan memperbaharui
pemahaman agama, iman, dan amal, kembali seperti semula yang dilakukan Nabi
Saw., para sahabat, dan para pengikutnya.45
2. Modernisasi menurut al-‘Alqamîy adalah menghidupkan kembali pengamalan al-
kitab dan sunnah setelah lenyap dan melaksanakan apa yang dikehendaki keduanya. 46
3. Abû al-Hasan al-Nadawîy, modernisasi adalah suatu usaha penyesuaian ajaran Islam
dengan tuntunan kehidupan kontemporer dengan cara menakwilkan yang sesuai
dengan perkembangan sains dan kondisi sosial.47
4. Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi adalah proses perombakan cara berpikir dan
tata kerja lama yang tidak rasional, serta menggantinya dengan pola pikir dan tata
kerja baru yang rasional.48
5. Menurut Muhammad ‘Abduh, modernisasi terhadap agama dapat diartikan sebagai
seruan untuk umat Islam dalam memerangi bid’ah dan khurafat, serta melakukan
reformasi terhadap pendidikan, pengajaran bahasa Arab.49
Modernisasi dalam Islam menurut Yûsuf al-Qardâwî berarti mengembalikan sesuatu
sebagaimana semula dengan menjaga substansi dan karakteristik yang ada, sehingga
sesuatu yang lama itu seolah menjadi baru kembali, bukan berarti mengubah dan
44 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah. 45 Al-Qardâwî, Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma,
1993), h. 38. 46 Abî al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq Âbâdîy, ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dawûd, Cet. I,
Juz 11 (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmîyah, 1998), h. 260. 47 Abû al-Hasan al-Nadawîy, al-Syûrâ bayn al-Fikrah al-Islâmîyah wa al-Gharbîyah, Cet. Ke-III (Kairo:
al-Taqaddum, 1977), h. 71. 48 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 18. 49 Muhammad Hâmid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq,
2004), h. 181-182.
merobohkan substansi lama kemudian digantikannya dengan substansi yang baru, akan
tetapi pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan al-Qur’an dan al-sunnah.50
Dengan demikian, tidak benar tajdîd al-dîn (pembaharuan terhadap agama) dipahami
mengubah ajaran agama untuk disesuaiakan dengan perkembangan zaman, agama bersifat
baku tidak perlu diperbaharui, agama tidak layak disesuaikan dengan zaman akan tetapi
zamanlah yang harus mengikuti agama. Maka tidak benar pula label pembaharuan ini
dijadikan alasan untuk menolak sunnah Sahîhah yang menurutnya tidak sesuai dengan akal,
tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.51
b. Modernisasi dalam Sunnah
Modernisasi dalam sunnah merupakan suatu proses usaha pembaharuan dalam
pemahaman dan pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi
masyarakat dan sains serta pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan
bid’ah dengan cara penelusuran dan penelitian keautentikannya secara adil dan jujur.
Dari pengertian modernisasi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi sunnah
harus mengakomodasi beberapa hal, yaitu:
1. Adanya usaha pembaharuan
2. Tuntutan perkembangan sosial
3. Tuntutan pemurnian sunnah dari khurafat serta bid’ah.52
Ketiga aspek diatas merupakan syarat sah untuk terpenuhinya konsep modernisasi
terhadap sunnah. Namun tentunya modernisasi dalam sunnah tidak dipahami sebagai
pembaharuan tanpa batas. Ia memiliki batas-batas tertentu baik yang berkaitan dengan
manusianya sebagai modernis maupun yang berkaitan dengan sunnahnya.
50 Al-Qardâwî, Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi. 51 Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 176. 52 Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, h. 179-180.
BAB III
BIOGRAFI, LATAR BELAKANG PEMIKIRAN, SERTA KARYA-KARYA NASR
HÂMID ABÛ ZAYD
Nasr Hâmid Abû Zayd
Di antara hambatan dalam mengungkap secara lebih lengkap mengenai latar
belakang dan aktivitas keilmuan Abû Zayd adalah masih kurangnya literatur yang
memadai tentang itu, baik yang bersumber dari Abû Zayd sendiri maupun dari
orang lain. Untuk itu, pada Bab ini akan dijelaskan secara jelas tentang biografi
serta latar belakang pemikiran dari Nasr Hâmid Abû Zayd.
a. Sketsa Biografi dan Latar Belakang Pemikiran
Nama lengkapnya Nasr Hâmid Abû Zayd. Beliau lahir pada tanggal 10 juli
1943, di desa Qahafah dekat kota Tanta Mesir. Dia diberi nama Nasr oleh orang
tuanya dengan harapan agar dia selalu membawa kemenangan atas lawan-
lawannya, karena ia lahir saat terjadi Perang Dunia II. Abû Zayd hidup dalam
sebuah keluarga yang religius, dan ayahnya adalah seorang aktivis al-Ikhwân al-
Muslimîn dan pernah dipenjara. Saat berumur empat tahun, Abû Zayd mulai belajar
menghafal al-Qur‟an di Kuttâb. Dia berhasil menghafal al-Qur‟an dalam kurun
waktu delapan tahun, sehingga ia dipanggil dengan panggilan “Syaikh Nasr”. Pada
umur 11 tahun dia ikut bergabung dengan kelompok al-Ikhwân al-Muslimîn (1954),
karena ia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutub melalui bukunya al-Islâm wa al-
‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial).1
1 Baca Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), h. 15-16.
36
37
Gerakan al-Ikhwân al-Muslimîn ini kemudian menjadi berkembang pesat di
daerah Abû Zayd dibesarkan, dan bahkan memiliki cabang yang sangat aktif.
Aktivitas al-Ikhwân al-Muslimîn mendapat respon positif di masyarakat baik di
dalam kegiatan keagamaan, budaya, olahraga, dan sosial. Oleh sebab itu, Abû Zayd
sangat aktif di dalam gerakan tersebut.2
Abû Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tanta, dan
setelah lulus sekolah tekhnik di Tanta pada tahun 1960, dia bekerja sebagai seorang
teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo 1972. Kemudian,
Abû Zayd mulai tertarik kepada kritik sastra saat umur dua puluh satu tahun, terlihat
dalam tulisan-tulisannya yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal al-Adab
yang diketuai oleh Amîn al-Khûlî. Di antara artikelnya saat itu adalah “Haul Adab
al-‘Ummal wa al-Fallâhin” (Tentang Sastra Buruh dan Petani) dan “Azmah al-
Aghniyyah al-Misriyyah” (Krisis Lagu Mesir). Kemudian dia mulai berani
mengkritik al-Ikhwân al-Muslimîn yang pernah ia ikuti sebelumya.3
Pada tahun 1968, Abû Zayd melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Jurusan
Bahasa Arab di Universitas Kairo, yang diselesaikan pada tahun 1972. Setelah itu,
dia diangkat sebagai asisten dosen, jenjang Magisternya diselesaikan di Universitas
yang sama pada tahun 1976, dengan tesisnya yang berjudul Qadiyyat
2 Hubungan antara Abû Zayd dengan al-Ikhwân al-Muslimîn semakin erat ketika Gubernur
Al-Gharbiyyah, Hasan Hudaibi berkunjung ke markas al-Ikhwân al-Muslimîn untuk mengadakan muktamar klub olahraga Tanta. Saat itu Abû Zayd memimpin pertunjukan olahraga besar besar yang ditunjukkan oleh al-Asybal (anak-anak di kalangan al-Ikhwân al-Muslimîn). Baca Hamka Hasan dalam Nasr Hâmid Abû Zayd, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah. Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 10.
3 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 16-17.
38
al-Mâjaz fî Al-Qur’ân ‘indâ al-Mû’tazilah.4 Setelah itu, dia melanjutkan studinya
ke jenjang Doktoral untuk memperdalam bidang keilmuanya.5 Pada tahun 1992
Abû Zayd diangkat menjadi asisten Guru Besar dialmamaternya tersebut pada
Jurusan Studi Keislaman dan Balagah.
Untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan karier akademiknya dari
tingkat Guru Besar, pada bulan Mei 1992 Abû Zayd diusulkan untuk promosi
menjadi professor (al-Ustadz). Karena itu, semua pengabdiannya di dunia
akademik termasuk karya ilmiyahnya yang disusun belakangan berjudul, Al-Imâm
al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidulujiat al-Wasatiyah dan Naqd al-Kitâb al-Dînî yang
dijadikan sebagai bahan pertimbangan penilaian oleh para muqarrir dalam Majelis
Pertimbangan Akademik. Namun, setelah tujuh bulan (tepatnya pada tanggal 16
Desember 1993) dilakukan pembahasan dan penilaian terhadap berbagai karya
yang diajukannya itu, khususnya karyanya yang ditulis belakangan tersebut.
Akhirnya, pengajuannya untuk dikukuhkan sebagai professor ditolak, dengan
alasan kadar keilmiahan karyanya rendah dan dianggap telah keluar dari batas-batas
keimanan, dan dianggap telah menyimpang dari disiplin ilmu Abû Zayd sendiri.6
4 Tesis tersebut telah diterbitkan di Beirut oleh penerbit Dâr al-Tanwir tahun 1982 dan 1996 dengan judul : Al-Ittîjah al-Aqlîy fî al-Tafsîr “Dirâsat fî Qadiyyat al-Mâjaz fî Al-Qur‟ân „indâ al-Mû‟tazilah”.
5 Ahmad Syaiful Islam, Mushkilatuna al-Yayniyah (Kairo: Dâr al-Qalam, 1995).
6 Diawali Dr. Abdus Shabur Syahin, sebagai penilai (muqarrir). Ia menganggap karya-karya kritis Abû Zayd itu berkadar ilmiah yng rendah dan telah keluar dari batas-batas keimanan. Menurutnya, Abû Zayd telah melecehkan Imâm al-Syâfi‟î dengan tuduhan-tuduhan keji. Ajakan Abû Zayd kepada umat Islam untuk membebaskan teks, dalam penilaianya, adalah sebuah ajakan untuk meninggalkan al-Qur‟an dan al-sunnah. Kesimpulan ini, diikuti oleh penulis-penulis taqrîr lainnya seperti Dr. Muhammad Baltagi, Dr. Ismâ‟il Salim, Sya‟ban Ismâ‟il, dan Dr. Muhammad Syuk‟ah. Baca pengantar buku Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Imâm al-Shâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 1997).
39
Persoalan yang dihadapi oleh Abû Zayd ternyata tidak sampai disitu, akan
tetapi berlanjut kepada tuduhan dan cercaan bahwa Abû Zayd telah murtad
sehingga dipaksa untuk menceraikan istrinya dan diseret ke pengadilan.7 Meskipun
pada akhirnya Abû Zayd memperoleh keprofesoran penuh penuh dari Universitas
Kairo pada tahun 1995 setelah menyerahkan Sembilan tulisan lain pada panitia
promosi, tetapi ia meninggalkan Mesir karena adanya ancaman pembunuhan. Sejak
26 Juli 1995, Abû Zayd bersama istrinya menuju Leiden, Belanda sebagai professor
tamu dalam bidang studi Islam di Universitas Leiden. Pada 27 November 2000, ia
dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas Leiden.8
Kemudian, Abû Zayd menjabat sebagai kepala studi pada institusi Ibn Rushd
untuk Humaniora dan Islam (Ibnu Rushd Chair of Humanism and Islam) di
Universitas Utrecht-Belanda sejak 27 Mei 2004 hingga wafat. Abû Zayd wafat pada
senin, 5 Juli 2010 di RS. Al-Syaikh Zayd di wilayah Sadis Oktober (6 Oktober)
Kairo pada pukul 09.00 dalam usia 66 tahun setelah satu bulan dirawat karena virus
yang belum bisa diidentifikasi oleh dokter dan dimakamkan ditanah kelahirannya,
Qahafah, di Delta Nil.9
Adapun karir dan penghargaan yang diterima oleh Abû Zayd diantaranya
adalah ia dipromosikan sebagai asisten profesor pada 1982, dan tahun itu juga dia
7 Untuk lebih jelasnya mengenai kasus Abû Zayd tersebut dapat dilihat dalam karyanya: al-Takfîr fî Zamân al-Takfîr.
8 Dalam pidato pengukuhannya, Abû Zayd membaca kembali konsep „Ulûm al-Qur’ân tradisional tentang historitas al-Qur‟an dengan memperkenalkan konsep komunikasi secara vertikal antara Tuhan dan manusia dalam al-Qur‟an. Konsep ini menurut Abû Zayd ditujukan untuk menegaskan tesisnya tentang dimensi kemanusiaan (human aspect) dalam al-Qur‟an. Baca
Abû Zayd, the Quran: God and Man in Communication, dalam http://www.let.leidenuniv.nl/forum/01_1/onderzoek/2.htm. (11 Maret 2009).
9 Baca anonim, Nasr Hamed Abu Zeid Meninggal dalam http:/ www.PERISAI.net-NasrHamedAbu Zeid Meninggal.htm. (28 Juli 2010).
40
mendapatkan penghargaan „Abd al-„Azîz al-Ahwânî karena konsernya pada
humanitas dan budaya Arab. Dia juga menjadi profesor tamu di Osaka University
of Foreign Studies, Jepang pada 1985-1989, dan ia juga dipromosikan sebagai
Associate Profesor pada 1987.10 Di samping itu, pada Mei 1993 dia juga
mendapatkan anugrah the Republican Order of Merit for the Service to Arab
Culture dari Presiden Tunisia, pada tahun 1994 ia ditunjuk sebagai anggota dewan
penasehat Encyclopedia of the Qur’an.11 Abû Zayd juga memperoleh keprofesoran
penuh pada Juni 1995, dan ia bersama istrinya meninggalkan Mesir menuju Leiden,
Netherland pada 26 Juli 1995, dan pada tahun itu juga ia menjadi profesor tamu di
Universitas Leiden dalam bidang Studi Islam. Ia juga mendapatkan penghargaan
dari Jordanian Writers Association Award for Democracy and Freedom pada tahun
1998, dan pada tahun 2000 dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas
Leiden.12
b. Kegelisahan Akademik
Produk pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentu sangat dipengaruhi oleh
dominasi intelektualnya, yakni dalam bidang bahasa dan sastra. Mengingat
pendidikan tingginya dihabiskan untuk mempelajari bahasa dan sastra Arab, maka
fokus kajiannya adalah teks (al-Qur‟an) dan hadis (sunnah).
Intensitasnya dalam studi bahasa dan sastra Arab menyebabkan ia sering
bergumul dengan kajian al-Qur‟an. Kondisi ini juga didukung oleh intensitasnya
berinteraksi dengan mahasiswa jurusan bahasa Arab di Universitas Kairo, baik di
10 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 19-20.
11 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 23. 12 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, h. 25.
41
Universitas induk maupun di cabang Khourtoum, Sudan. Melalui dua mata kuliah
yang ia ajarkan, al-Qur‟an dan Hadits, dan Balaghah Arab, ia bersama dengan
mahasiswanya melakukan pengujian dari berbagai macam aspek terhadap sejumlah
hipotesis yang seluruhnya berkisar di seputar al-Qur‟an.13
Akan tetapi, dialog antara Abû Zayd dan para mahasiswanya tidak hanya pada
persoalan al-Qur‟an, tapi meluas pada persoalan budaya dan Negara. Hal ini
dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari realitas
masyarakat (negara).
Dalam konteks akademis, pemikiran-pemikiran Abû Zayd merupakan
pengembaraan kajian terhadap tradisi intelektual yang sudah berkembang dari sudut
hubungan dan dialektika mufassîr dengan teks. Beberapa kajian yang telah
dilakukan oleh Abû Zayd adalah mengenail intrepetasi (ta’wîl) teks, baik yang
didasarkan pada rasio sebagaimana yang dilakukan kalangan Mû‟tazilah, atau yang
didasarkan pada intuisi-spekulatif sebagaimana yang dilakukan kalangan sufi.
Menurutnya, dua kajian tersebut difokuskan pada horizon intelektual dan
epistimologis yang menjadi titik tolak proses penafsiran dan interpretasi.14
Nasr Hâmid Abû Zayd dalam hal ini menawarkan “konsep analisis wacana”
untuk menjawab problem-probelm di atas dalam mengkritisi dan mengkaji ulang
atas konsep teks dan problematika interpretasi, serta upayanya untuk melakukan
pembongkaran terhadap watak kebenaran teks-teks dan struktur wacana bukan
tanpa kritik. Jadi, pertentangan tersebut sebenarnya merupakan pertentangan lama
13 Moch. Taufiq Ridho, “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd:
Reintrepretasi atas Konsep Asbab an-Nuzul”, Jurnal Rasail, Volume. 1 No. 4, 2015, h. 5. 14 Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm an-Nas Dirâsah fî Ulûm al-Qur’ân, terj. Khoiron
Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005), h. xvi-xvii.
42
dalam pemikiran modern kita. Pertentangan ini bukan hanya sekedar pertentangan
di seputar pembacaan terhadap teks-teks agama atau seputar interpretasi
terhadapnya, tetapi merupakan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua
aspek sosial, ekonomi, politik, pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan
takhayul dan mitos atas nama „Agama‟ dan pemahaman yang Letterlijk terhadap
teks-teks agama.15
Oleh karena itu, ia menawarkan gagasan baru dalam memahami al-Qur‟an
dan Hadis. Kajiannya difokuskan pada eksistensi atau konsep teks itu sendiri, dan
membicarakan berbagai macam aspeknya. Ia ingin menunjukkan bagaimana peran
teks, efektifitas teks, dan efektifitas tradisi interpretasi yang berkaitan dengan teks.
Ia juga ingin menunjukkan pengaruh teks terhadap pemikiran kaum Muslimin.16
c. Karya-karya Nasr Hâmid Abû Zayd
Sebagai seorang penulis yang produktif, Abû Zayd mempublikasikan
karyanya dalam bentuk buku, artikel maupun jurnal yang ditulis saat beliau masih
tinggal di Mesir, Jepang maupun di Belanda. Beberapa karya Abû Zayd antara lain
adalah:
a. al-Ittijâh al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsah fî Qadhiyyat al-Majâs fî al-Qur’ân
‘inda Mû’tazilah (1977). Tesis di Cairo University; diterbitkan edisi ke-
2. Beirut 1983; edisi ke-3. Beirut 1993.
b. Haula Adab al-‘Ummâl wa al-Fallâhîn, Majallah al-Adab 5 (1964),
15 Nunung Susfita, “Kritik Wacana Agama: Telaah Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”,
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Volume 7 No. 1, 2015, h. 51. 16 Ridho, “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd”, h. 6.
43
c. Azmahal-Ahniyyah al-Misriyyah, Majallah al-Adab 7 (1964),
d. Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil fî ru’ya Adûnis li al-Turâts, Fusûl 1:1,
Oktober 1980; diterbitkan ulang dalam Isykâliyyât.
e. Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘Inda Muhy al-Dîn ibn
‘Arabî (1981). Disertasi di Universitas Kairo; dipublikasikan, Beirut
1983.
f. Mafhûm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân (1990)17, Abû Zayd
menyelesaikan buku ini selama menjadi profesor tamu di Jepang. Buku
ini merupakan responnya terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis
atas al-Qur‟an yang ia temukan pada pemikiran Mu‟tazilah, wacana sufi,
dan wacana religio-politik sejak 1950-an.
g. Naqd al-Khitâb al-Dînî (1992). Buku ini diterbitkan setelah ia kembali
dari Jepang. Kritikannya ini difokuskan pada interpretasi ideologis atas
teks-teks keagamaan para Islamis, Islamis Moderat dan kaum Liberal
Mesir.
h. Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah (1992). Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin,
Imam Syafi’i: Moderatisme, Elektisisme, Arabisme. Yogyakarta; LkiS
1997.
i. Ishkâliyyat al-Qirâ’ah wa ‘Aliyyât al-Ta’wîl (1992). Sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Mansur dan
Khoiron Nahdliyin, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika
17
Sudah diterjemahkan, yaitu: Nasr Hâmid Abû Zayd, Tekstualitas Al-Quran: Kritik
Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, 2001).
44
Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan.
Yogyakarta: LkiS 2004.
j. Al-Mar’ah Fî al-Khitâb al-Azmah (1995).
k. al-Takfîr fî Zamân at-Takfîr (1995),
l. al-Nass al-Sultah al-Haqîqah: al-Fikr al-dîni bayna Irâdah al-Ma’rifah
wa Irâdah al-Haymanah (1995),
m. Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (1999),
n. Rethingking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (2004),
Dari berbagai karya tersebut, Abû Zayd tidak menulis bahasan sunnah secara
khusus dalam satu buku. Pandangan sunnah Abû Zayd dapat ditemukan di dalam
beberapa bukunya, di antaranya: Mafhûm al-Nas Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an, Naqd
al-Khitâb al-Dînî, Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidûlujiat al-Wasatiyah, al-
Takfîr fî Zamân at-Takfîr, al-Nass al-Sultah al-Haqîqah, Dâwair al-Khawf:
Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah.
BAB IV
PEMBACAAN KEMBALI KONSEP SUNNAH MENURUT NASR HÂMID
ABÛ ZAYD
A. Problem Pembacaan Sunnah Era Klasik: Kritik Terhadap Konsep
Sunnah Imâm al-Syâfi’î
Secara garis besar, terdapat perbedaan pendapat yang diajukan oleh
kelompok-kelompok Islam dalam menentukan legalitas sunnah. Kelompok pertama
mengatakan bahwa sunnah merupakan sumber tasyri‟ kedua di dalam Islam setelah
al-Qur‟an. Kelompok kedua berpendapat bahwa al-Qur‟an saja sudah cukup, tidak
perlu adanya hadis dan sunnah yang tidak diketahui kebenaran dan kaitannya
dengan wahyu. Pendapat ini menyatakan bahwa makna al-Kitab menentukan
makna hadis.1
Setelah abad ketiga Hijriah, hampir tidak ditemukan ucapan yang
bertentangan dengan ajaran utama doktrin klasik mengenai sunnah. Dari titik ini,
hingga perdebatan mengenai sunnah baru muncul kembali pada abad kesembilan
belas.2 Hal ini dikarenakan konsep sunnah yang telah dipromosikan oleh al-Syâfi‟î
dalam menyerang doktrin yang sudah berkembang. Al-Syâfi‟î melakukan
perubahan besar dalam konsep sunnah yang dipakai dalam mazhab-mazhab awal.
Sunnah pada mazhab awal merupakan sebuah ideal yang hendak dicontoh persis
oleh generasi Muslim pada masa lampau dengan menafsirkan teladan Nabi.3
1 Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î: wa Ta‟sîs al-Aidûlijiyat al-Wasatiyah, terj.
Khairon Nahdhiyyin (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012), h. 41.
2 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti
& Entin Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), h. 32. 3 Proses metodologi kreatif yang berlangsung pada masa-masa tersebut diserang oleh al-
Syâfi‟î dengan menyerukan diterimanya materi hadis secara besar-besaran dalam hukum Islam. Tujuannya, walaupun mungkin ia tidak melihatnya demikian, adalah menyerang doktrin Ijmâ‟ dari aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktik-praktik dan kewajiban agama yang mendasar. Gerakan inilah yang oleh Rahman disebut dengan gerakan subsitusi hadis yang
45
46
Al-Syâfi‟î menyadari bahwa sunnah ideal yang telah berlangsung secara
turun menurun tersebut atau yang biasa disebut dengan “a living sunnah” telah
mengakibatkan pengabaian kepada hadis-hadis Nabi. Oleh sebab itu, al-Syâfi‟î
senantiasa mempertanyakan argumentasi orang-orang Madinah yang selalu
mengedepankan praktik masyarakat Madinah dengan mengatakan bahwa tidak
kurang dari tiga puluh ribu sahabat yang mana praktik mereka sudah dikenal,
diakui, dan mapan sehingga dapat lebih diandalkan dari pada hadis-hadis yang
diriwayatkan secara menyendiri.4
Menurut al-Syâfi‟î, sunnah yang datang dari Rasul dalam bentuk hadis
melalui mata rantai rawi yang tsîqah merupakan satu sumber hukum, terlepas
apakah sunnah tersebut diterima oleh orang banyak atau tidak, bahkan walaupun ia
merupakan tradisi yang terisolir atau menyendiri.5 Dari sini tampak sekali bahwa
al-Syâfi‟î lebih menekankan dan mengutamakan nilai-nilai tradisi dari Rasulullah
daripada pendapat dan amal para sahabat, yang dianggap sebagai ijmâ‟.
Menurutnya, dengan adanya tradisi dari Rasulullah tidak ada wewenang lain yang
boleh dipakai untuk mengalahkan tradisi dari Rasul.6
Gerakan yang dipelopori oleh Imâm al-Syâfi‟î ini memang memiliki tujuan
untuk menjaga keautentikan hadis serta menumbangkan hadis-hadis palsu yang
sudah merebak dan merajalela pada waktu tersebut. Namun sayangnya, pada fase
mengakibatkan berhentinya proses kreatif yang sudah berjalan sebelumnya. Baca Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah”, Jurnal Mutawâtir, Vol. 3, No. 1, 2013, h. 100.
4 Taufiqurrahman, “Evolusi Konsep Sunnah”.
5 Berbeda dengan Imâm Malik yang dalam beberapa kasus lebih mendahulukan pendapat para sahabat dan tâbi‟în ketimbang tradisi yang dari Rasulullah. Hal ini disebabkan karena pendapatnya bahwa praktek yang mapan dan disepakati di kota Madinah adalah praktek yang ideal. Al-Syâfi‟î lebih mendahulukan hadis Nabi ketimbang dengan tradisi yang sudah mapan di masyarakat. Dengan demikian al-Syâfi‟î lebih memilih hadis Nabi meskipun diriwayatkan melalui satu jalur periwayatan (ahâd). Baca Muhammad b. Idrîs Al-Syâfi‟î, Al-Risalâh, terj. Masturi Irham
& Asmui Tamam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 316-317. 6 Muhammad b. Idrîs Al-Syâfi‟î, al-Umm, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 201.
47
ini menurut Fazlur Rahman sunnah yang semula bersifat dinamis berubah menjadi
baku-kaku.7 Salah satu kajian yang menarik dari konsep al-Syâfi‟î ini adalah
pembacaan teks yang ditawarkannya. Menurut al-Syâfi‟î teks (al-Qur‟an dan al-
sunnah) merupakan kaidah determinan yang akan memberikan wawasan dan
pandangan dunia (worldviews) yang “benar”, yang dikehendaki oleh Allah, bagi
manusia. Sebab, teks dapat merepresentasikan realitas.8
Beberapa tokoh kontemporer Islam seperti Nasr Hâmid Abû Zayd mencoba
untuk mengkritisi pemikiran Imâm al-Syâfi‟î terkait dengan pemikiran sunnah yang
ditawarkan olehnya. Berangkat dari rumusan pertanyaan apakah apologisme para
duta wacana keagamaan terhadap pemikiran ulama‟-ulama‟ terdahulu termasuk al-
Syâfi‟î (untuk dikritisi atau dikritiknya) merupakan pembelaan hakiki terhadap
mereka yang berhasil mengkonstruksi agenda pemikirannya ratusan atau bahkan
ribuan tahun yang lalu? Atau sebenarnya hal itu hanya pembelaan terhadap “taklid”
yang dipertahankan atas nama mereka dengan segala nilai ilmiah dan intelektual
yang dicerminkannya dalam image kaum muslimin?.9
Abû Zayd menolak pandangan bahwa seluruh sunnah Nabi bersumber dari
wahyu seperti yang sudah dikemukakan oleh Imâm al-Syâfi‟î. Ia menolak
7 Munculnya isu tertutupnya pintu ijtihad merupakan sebuah momen yang meresahkan bagi
proses kreatif dalam perkembangan pemikiran keislaman, terutama hukum-hukumnya, sehingga memunculkan kemandekan di dalam berfikir. Menurut Wael B. Hallaq dalam sebuah artikelnya, On the Origins of the Controversy about the Existence of Mujtahid and the Gate of Ijtihâd , bahwasanya kontroversi ini sudah muncul kira-kira pada tahun 500 H, perbedaan pendapat antara seorang ahli hukum dari madzhab Hambali (Ibn „Aqil) dengan seseorang dari madzhab Hanafi. Di dalam perbedabatan tersebut, Ibn „Aqil menolak pandangan bahwa pintu penghakiman (bâb al-qadâ‟) telah tertutup karena tidak ada lagi orang yang pantas menjadi mujtahid. Baca Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis: Eksplorasi Pemikiran Asy-Syafi‟i dari Kritik hingga Pengembangan
Metodologis (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 48-49; Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh
(Jakarta: Bumi Aksara, 1987), h. 33; Wael B. Hallaq, “On the Origins of the Controversy about the Existence of Mujtahid and the Gate of Ijtihad”, dalam Wael B. Hallaq, Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam (USA: Ashgate Publishing Company, 2000), h. 129-141.
8 Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, h. 13. 9 Nasr Hâmid Abû Zayd, Al-Takfir fî Zaman al-Takfîr (Kairo: Sina lî al-Nasyr, 1995), h.
122.
48
pandangan bahwa prosedur pewahyuan sunnah melalui “penghujaman dalam hati”
(al-ilqâ‟ fî al-ru‟) dan pendapat yang menyatakan sunnah bersumber dari wahyu
sebagaimana al-Qur‟an.10
Maksudnya “wahyu” yang terkandung di dalam bahasa
yang diartikan sebagai inspirasi (ilham). Sedangkan “wahyu” dalam pengertian
istilah yaitu (inspirasi) melalui perantara malaikat jibril.11
Menurutnya, apa yang
dilakukan oleh al-Syâfi‟î sama saja dengan menyejajarkan antara wahyu al-Qur‟an
dan wahyu sunnah. Penyatuan antara wahyu al-Qur‟an dan wahyu sunnah tersebut
dianggap kurang tepat karena al-Syâfi‟î berpendapat bahwa keduanya memiliki
otoritas yang sama.
Selain itu, al-Syâfi‟î juga mengaitkan dua makna “wahyu” (al-kitâb dan al-
sunnah) melalui takwilnya terhadap kata al-hikmah yang banyak disebutkan di
dalam al-Qur‟an mengiringi kata al-Kitab:
Sunnah Rasulullah Saw. yang tidak ada nash-nya dalam al-Kitab, sebagaimana telah kami tulis dalam kitab ini, adalah bagian dari pengajaran
al-Kitab ini, adalah bagian dari pengajaran al-Kitab dan al-hikmah yang
dianugrahkan Allah kepada para hamba-Nya. Ini menjadi
dalil bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sunnah Rasulullah Saw.12
Jika kata al-hikmah adalah sunnah, maka menaati rasul (yang selalu disebut
menyertai ketaatan kepada Allah) berarti mengikuti sunnah. Jika benar demikian,
maka yang dimaksud oleh al-Syâfi‟î adalah menaati rasul sama saja berarti dengan
10 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 44.
11 Abû Zayd menjelaskan bahwa ada tiga proses cara pewahyuan yang termaktub di dalam al-Qur‟an. cara pertama adalah “wahyu” dalam pengertian sebagaimana yang telah di jelaskan di oleh ulama terdahulu, yaitu apa yang biasa disebut ilhâm seperti wahyu yang diturunkan kepada Ibu Mûsâ (QS. Al-Qhashash: 7), lebah (QS al-Nahl: 68) dan malaikat. Cara kedua adalah dengan berbicara “di balik tabir”, sebagaimana kalâm Allah kepada Nabi Mûsâ di balik tabir pohon (al-A‟râf: 143), api (Thâhâ: 11-13) dan gunung (Maryam: 52). Serta cara ketiga adalah pewahyuan secara tidak langsung, melalui utusan, malaikat, yang mewahyukan kepada penerima. Cara inilah yang terjadi dalam penyampaian dan penerimaan al-Qur‟an. Nasr Hâmid Abû Zayd, Mahfûm al-Nash Dirâsah fî Ulûm al-Qur‟ân, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 42-43.
12 Al-Syâfi‟î, Al-Risalâh, h. 19.
49
menaati wahyu ilahi (al-Qur‟an) yang disampaikan oleh Nabi, Sebab al-Syâfi‟î
menjadikan sunnah sebagai wahyu Allah yang memiliki kekuatan tasyri‟ dan
otoritas.13
Dengan demikian, al-Syâfi‟î juga tidak melihat perbedaan yang jelas antara
sunnah al-wahyi dengan sunnah al-„âdah. Menyamakan antara kedua sunnah
tersebut akan berakibat kepada menguniversalkan seluruh aturan yang datang dari
Nabi serta mengikat kepada generasi setelahnya (pasca Nabi Muhammad Saw.).
Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, al-Syâfi‟î menggunakan gagasan
„ishmah (suci dari dosa) sebagai sifat secara khusus yang dimiliki oleh seluruh
Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw.14
Dengan demikian, al-Syâfi‟î pada faktanya telah mengabaikan sisi-sisi
“kemanusiawian” Rasulullah secara berlebihan, yang jelas, di dalam
menyampaikan risalah ini terkandung wahyu, sementara di antara sunnah Nabi ada
yang merupakan uraian dan penjelasan dari al-Kitab, dan ada pula yang merupakan
ijtihad.15
Padahal ketika ditelusuri, maka akan ditemukan beberapa fakta historis
serta argumentasi Nabi di dalam hadisnya, seperti hadis berikut (kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian) yang menjadikan landasan bahwa terdapat perbedaan
yang mendasar terkait dengan sunnah yang berasal dari wahyu dengan sunnah yang
berasal dari sosio-historis Nabi sendiri.
13 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î. 14 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 46.
15 Al-Syâfi‟î mempergunakan kata „ishmah (suci dari dosa) sebagai salah satu sifat yang melekat di dalam diri para Nabi, dan terutama Nabi Muhammad untuk menguatkan argumentasinya tentang seluruh gerak, perkataan, perbuatan serta persetujuan Nabi berasal dari wahyu. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 45-46.
50
Pemikiran yang diajukan oleh al-Syâfi‟î ini yang dianggap mencampur
adukkan antara wilayah ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan (basyariah) serta
memiliki banyak konsekuensi, seperti mengabaikan keunikan serta kemanusiaan
Rasulullah sebagai penyampai dan pengurai wahyu. Al-Syâfi‟î mengira bahwa
segala bentuk ucapan, perbuatan, serta ketetapan yang bersumber dari Nabi berasal
dari wahyu. Padahal jika ditelaah lebih jauh, ada beberapa bukti historis bahwa Nabi
pernah meminta pertimbangan kepada para sahabatnya, serta mengambil pendapat
yang diajukan oleh sahabatnya tersebut.16
Kemudian, jika sang Imam menganggap bahwa antara wahyu al-Qur’an dan
wahyu sunnah dianggap sebagai sebuah otoritas yang sama, maka seharusnya kedua
teks tersebut dapat saling meniadakan (naskh) (sunnah dapat meniadakan al-Qur’an
sebagaimana al-Qur’an dapat meniadakan sunnah). Oleh sebab itu, tampaknya al-
Syâfi‟î seperti memaksakan penempatan sunnah sebagai bagian dari wahyu.17
Selain itu, Abû Zayd juga melakukan pembacaan kembali terhadap teks al-
Qur’an yang dijadikan landasan untuk otoritas pewahyuan sunnah, contohnya
adalah Q.S al-Najm (53): 3-4.
وى يإنه هو إلا و ٣وما ينطق عن ٱله ٤ يوحى حه
3. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
16Terkait dengan hal ini banyak sekali riwayat yang menjelaskan tentang hal tersebut. salah satu
diantaranya adalah riwayat terkait dengan persiapan pada saat akan dilaksanakan perang Badar. Pada masa
tersebut Nabi memilih lokasi perang Badar, akan tetapi seorang sahabat yaitu al-Habib ibn al-Mundhir memilih
lokasi lain yang disarankan agar bisa mencapai kemenangan, oleh karena itu Nabi memilih pendapat sahabat
tersebut dan meninggalkan pendapat pribadinya. baca Mahdi Rizqullah Ahmad, Al-Sîrah an-Nabawiyyah fî
Dhau‟i Mashâdir al-Ashliyyah: Dirâsah Tahlîliyah, terj. Yessi HM (Jakarta: Qitshi Press, 2011), h. 403-405. 17 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 67.
51
4.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).18
Menurut Abû Zayd, kata ganti huwa dalam ayat ini tidaklah menunjuk kepada
terhadap seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. tetapi kata ini hanya menunjuk
secara terbatas terhadap ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur‟an.19
Makna
ini didukung oleh ayat berikutnya yang mengisahkan Jibril sebagai malaikat
penyampai wahyu al-Qur‟an. Pandangan bahwa seluruh hal yang berkaitan dengan
Nabi Muhammad Saw bersumber dari wahyu merupakan tindakan memperluas
terhadap makna ayat yang sebenarnya.20
Perluasan konsep sunnah yang mencakup seluruh ucapan Nabi tanpa
mengingat “konteks” pembicaraan, sehingga setiap “ucapan” Nabi termasuk ke
dalam wahyu merupakan pengabaian terhadap kemanusiaan Nabi secara
berlebihan. Yang jelas, harus disadari bahwa di dalam risalah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad memang terkandung wahyu, akan tetapi harus disadari bahwa ada
beberapa bagian yang memang disusupi oleh wahyu seperti menjelaskan dan
menguraikan al-Kitab, dan ada pula yang merupakan ijtihad. Al-Syâfi‟î
memandang lain dengan memasukkan semua unsur ke dalam sebuah konsep umum
yang diletakkan pada tingkatan yang sejajar (antara wahyu al-Qur‟an dan sunnah).
Dengan konsep seperti ini, maka semua yang diucapkan oleh Nabi Muhammad
adalah wahyu, sehingga lenyaplah batas-batas dan pembeda antara
18 Mushaf Hilal, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009), h. 526.
19 Basis perebutan makna terletak pada marji‟ kata ganti huwa dalam al-Najm (53:4), apakah berhubungan dengan pelaku dalam tindakan berucap (yantiqu) atau bentuk nominalnya (masdar) dalam bentuk al-nutq yaitu Nabi Muhammad atau secara khusus menunjuk kepada al-Qur‟an. Jika berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka akan berimplikasi pada pandangan bahwa segala hal yang diucapkan oleh selalu bersumber dari pewahyuan baik al-Qur‟an maupun sunnah Nabi. Berbeda dengan pendapat tersebut, pandangan kedua membatasi bahwa hanya al-Qur‟an yang bersumber dari wahyu, sementara sunnah tidak berasal dari wahyu.
20 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”.
52
yang bersifat “ilahiyyah” dan “basyariyah” karena yang terakhir ini masuk ke
dalam wilayah yang suci.21
Dalam konteks lain, sebetulnya Abû Zayd lebih condong kepada pemikiran
Imâm Abû Hanifah yang sebetulnya lebih rasionalis di dalam memandang posisi
teks sunnah. Posisi Imâm Abû Hanifah meletakkan teks sunnah sebagai teks
sekunder yang berfungsi sebagai penafsir, pengurai, serta penjelas teks premier (al-
Qur‟an). Oleh karena itu, sebenarnya Abû Zayd menilai bahwa Abû Hanifah
sebenarnya lebih pantas mendapatkan gelar “pembela sunnah” dibandingkan al-
Syâfi‟î.22
B. Konsep Sunnah dalam Perspektif Nasr Hâmid Abû Zayd
Stagnasi pemikiran yang dialami oleh umat Islam saat ini, adalah salah satu
faktor penyebab sulitnya mendialogkan realitas teks-teks keagamaan yang mereka
warisi dengan realitas kehidupan yang mereka hadapi. Ada kesenjangan yang
begitu lebar antara keduanya, Islam yang diyakini secara normatif sebagai
rahmatan li al-„âlamîn, dalam realitas empirisnya ternyata jauh dari apa yang
diidealkan tersebut. Hal inilah yang mendorong para sarjana Muslim kontemporer
untuk melakukan perenungan kembali khazanah intelektual yang mereka warisi
dari ulama-ulama klasik (at-turats).23
Oleh sebab itu, pada sub bab ini penulis akan mendeskripsikan konsep sunnah
yang dirumuskan oleh para sarjana Muslim kontemporer, khususnya
21 Usman, “Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd terhadap al-Syafi‟i”,
Jurnal Hermēnia, Vol. 2, No. 1, 2003, h. 1126-127.
22 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi‟î, h. 68.
23 Hasani Ahmad Said, Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 201.
53
pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd terutama terhadap pengertian, klasifikasi serta
fungsi sunnah yang ditawarkannya.
a. Pengertian Sunnah
Menurut Abû Zayd, term sunnah sama halnya dengan konsep al-dîn24
.
Baginya sunnah memiliki makna “jalan hidup” atau “syari‟at”. Perbedaan yang
mendasar antara sunnah dengan al-dîn adalah jika konsep al-dîn menunjuk ke
dalam konteks masa sekarang, maka makna sunnah menunjuk kepada konteks masa
lalu. Oleh karena itu, konsep sunnah lebih kepada term sunnat al-awwalîn (sunnah
orang-orang yang terdahulu).25
Dengan demikian, Abû Zayd mencoba
menempatkan sunnah sebagai bagian dari turâts (warisan tradisi) di dalam Islam.26
Konsep turâts di dalam al-Qur‟an yang menunjuk kepada kata sunnan
khususnya ke dalam bentuk kata al-sunnah. Seperti halnya kata turâts kata sunnan
juga menunjuk kepada arti “masa lalu” serta dalam pengertian lain dapat diartikan
sebagai “bentuk yang mengeras”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah
24 Konsep al-dîn ini tidak menghapus sama sekali pembedaan yang jelas antara sunnah-
sunnah Tuhan dengan sunnah-sunnah manusia. Konsep al-dîn menunjuk kepada sejumlah aturan yang dipatuhi dalam kehidupan pemeluknya pada masa kini sebagai sebuah jalan hidup yang bersifat kekinian (kontemporer).
25 Para ulama konsevatif pada umumnya mendefinisikan sunnah sebagai pengejawantahan perilaku menurut contoh Rasulullah Saw. yang merujuk kepada hadis (perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga menjadi semacam tradisi). Dalam pandangan lain, sunnah juga ditetapkan sebagai wahyu kedua, atau dengan sebutan lain al-wahyu gairu al-matlû. Baca Subhi Ash-Shalih, Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 21; Muhammad „Ajjaj al-Khâtib, Usûl al-Hadîts „Ulûmuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 35; „Abdul Ghani „Abdul, Hujjiyah al-Sunnah (Tk: Silsilah Qadaya al-Fikr al-Islâmi, t.th), h. 241.
26 Nasr Hâmid Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS Group, 2012), h. 5.
53
merupakan turâts dengan berbagai pemahaman, nilai-nilai, keyakinan, adat-istiadat
serta batas-batas perilaku manusia masa lampau.27
Abû Zayd juga berpendapat bahwa konsep sunnah tersebut mengalami
evolusi. Generasi awal Islam misalnya memahami bahwa taat kepada Nabi hanya
berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh Rasul dari Tuhan melalui wahyu.
Oleh karena itu, para sahabat selalu mengajukan pertanyaan kepada Nabi tentang
apakah itu merupakan wahyu atau pendapat pribadi (ra‟y) dan konsultasi.28
Sedangkan pada periode berikutnya terdapat pendapat bahwa sunnah bersumber
mutlak dari pewahyuan seperti yang diutarakan oleh al-Syâfi‟î.29
Dengan
demikian, Abû Zayd berpendapat bahwa, tidak mungkin menyejajarkan antara
sunnah yang berdimensi kemanusiaan (bashari) dengan sunnah yang berdimensi
ketuhanan (ilahi). Karena secara ontologis, sunnah Nabi yang berdimensi
kemanusiaan adalah ijtihad dalam memahami wahyu.
Oleh karenanya, Abû Zayd menyadari bahwa ada sudut pandang yang
berbeda dalam memahami sunnah Nabi. Baginya, mengatakan bahwa seluruh
perkataan, serta perbuatan Nabi merupakan bagian dari wahyu juga merupakan
pengabaian terhadap sisi kemanusiaan Nabi. Dengan demikian, Abû Zayd
mengklasifikasikan sunnah Nabi ke dalam dua bagian yaitu sunnah al-wahyi dan
sunnah al-„âdah. Hal ini dianggap penting dalam upaya membedakan mana sunnah
yang bersumber dari wahyu dan mana sunnah yang berasal dari konteks
27 Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah. 28 Abû Zayd, An-Nass As-Sultah Al-Hakikah, h. 5-6.
29Ini merupakan kritik Abû Zayd terhadap Imâm al-Syâfi‟î. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub
bab sebelumnya, bahwa Abû Zayd menolak secara gamblang sunnah merupakan bagian dari wahyu. Abû
Zayd memandang bahwa tidak seluruh sunnah Nabi bersumber dari wahyu serta menolak pandangan bahwa
prosedur pewahyuan sunnah melalui penghujaman dalam hati (al-ilqâ‟ fî al-ru‟). Baca Abû Zayd, Al-Imâm
al-Syâfi‟î, h. 53.
54
historis. Pokok penjelasan terhadap klasifikasi tersebut akan disampaikan pada sub
bab di bawah ini.
b. Klasifikasi Sunnah
Abû Zayd menyadari bahwa ada sebuah prinsip penting yang hilang dari
pembacaan sunnah kontemporer saat ini. Pembacaan yang hilang tersebut adalah
terkait dengan teks Nabi yang mengatakan bahwa antum adrâ au a‟lam bi syu‟ûn
dunyâku (kamu lebih mengerti urusan dunia kamu sekalian). Prinisip ini yang
menurut Abû Zayd telah hilang dalam wacana agama kita saat sekarang ini.30
Dalam konteks ini, Abû Zayd ingin menyadarkan masyarakat kontemporer
bahwa dalam memahami ucapan-ucapan Nabi harus melihat kepada apakah
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tersebut terkait dengan penjelasan Nabi
terhadap al-Qur‟an. Ataukah terkait dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-
perbuatan yang diletakkan dalam konteks eksistensi historis.31
Oleh karena itu, Abû
Zayd mencoba mengklasifikasikan sunnah ke dalam dua bagian, yaitu sunnah al-
wahyi dan sunnah al-‘âdah.32
Sunnah al-wahyi adalah perkataan, perbuatan atau persetujuan Rasulullah yang
berfungsi sebagai penjelas ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an yang masih bersifat
global. Dengan kata lain, sunnah menjalankan fungsinya sebagai al-bayân al-Qur’an
sehingga harus diikuti serta mengikat kepada semua generasi baik pada saat Nabi
Muhammad masih hidup maupun generasi setelahnya.53 Terdapat beberapa contoh
yang dikategorikan ke dalam bentuk sunnah al-wahyi ini, meskipun Abû Zayd tidak
menggambarkan secara jelas contoh dari sunnah model ini.
53 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 290.
55
Akan tetapi, disini penulis mengindikasi bahwa persoalan ritual (perintah
peribadahan) dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari sunnah al-wahyi. Salah satu
contohnya adalah ayat yang berkaitan dengan perintah sholat. Di dalam al-Qur’an
banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan perintah sholat. Namun,
jika dicermati lebih jauh, al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang tata cara
melaksanakan sholat serta gerakan-gerakan yang berada di dalam sholat. Di antara
ayat-ayat yang memerintahkan untuk sholat adalah:
ة وٱرهكعوا مع ٱلرا كعين ة وءاتوا ٱلزاكو ٤٣وأقيموا ٱلصالو
43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang
ruku´54
شعين ا لكبيرة إلا على ٱله ة وإنها وٱلصالو تعينوا بٱلصابره ٤٥وٱسه
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´55
تون ٱلصا همه كفروا بٱللا وبرسولهۦ ول يأ ت همه إلا أنها همه ن فق بل من ه لو ة إلا وهمه كسالى ول ينفقون إلا وهمه وما من عهمه أن ت قه
رهون ٥٤ك
54. Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-
nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula)
menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan56
ة طرفي ٱلن اهار وزلف ٱلساي م ن اوأقم ٱلصالو هبه سن ت يذه ل إنا ٱلحه رى للذا كرين ٱلايه
لك ذكه ١١٤ات ذ
114. Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat57
ءان ٱ ل وق ره س إلى غسق ٱلايه ة لدلوك ٱلشامه هودأقم ٱلصالو ر كان مشه فجه ءان ٱله ر إنا ق ره فجه ٧٨ اله
54 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Al-Fatih, 2009), h. 7. 55 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya. 56 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 195. 57 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 234.
56
78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat)58
Dari paparan ayat di atas, kita tidak menemukan secara rinci tentang penjelasan
sholat, mulai dari gerakan sholat tersebut (dari takbratul ihram sampai kepada salam)
maupun bacaan-bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat. Oleh karenanya, kita
menemukan penjelasan mengenai sholat tersebut terdapat di dalam hadis. Salah satu
contoh hadis tersebut adalah:
ا مالك قال أت ي نا النابا صلى الله حداث نا محماد بن المثنا ، حداث نا عبد الوهااب ، حداث نا أيوب ، عن أبي قلابة ، حداث ن لة ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم رفيقا عليه وسلم ف لماا ظنا أناا قد ونن شب بة مت قاربون فأقمنا عنده عشرين لي
-ناه قال ارجعوا إلى أهليكم فأقيموا فيهم وعل موهم ومروهم اشت هي نا أهلنا ، أو قد اشت قنا سألنا عمان ت ركنا ب عدنا فأخبر كم فإذا حضرت الصالاة ف لي ؤذ ن لكم أحدكم ولي ؤما صلوا كما رأي تمون أصل يو -وذكر أشياء أحفظها ، أو ل أحفظها
59أكبركم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi
Qilabah, telah menceritakan kepada kami Malik berkata kami mendatangi Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu kami adalah pemuda yang (umurnya)
berdekatan. Kami tinggal bersamanya selama dua puluh hari. Rasulullah adalah
seorang yang pengasih dan ramah. Ketika ia mengira bahwa kami merindukan
keluarga kami, maka beliau bertanya tentang orang-orang yang kami tinggalkan.
Maka kami memberitahunya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Kembalilah bersama keluarga kalian, tinggallah bersama mereka dan ajarilah serta
perintahlah mereka -kemudian beliau menyebutkan beberapa perkara yang saya
hafal, atau tidak saya hafal- dan shalatlah kalian seperti melihat aku sholat. Maka
jika datang waktu sholat, maka hendaklah salah satu dari kalian beradzan dan
hendaklah yang paling tua diantara kalian menjadi imam.
ث نا يح د حدا ث نا مسدا -يى عن ابن أب ذئب عن سعيد بن سمعان عن أب هري رة قال كان رسول اللا حداا -صلى الله عليه وسلم لاة رفع يديه مد 60إذا دخل ف الصا
58 Mushaf Hilal, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 289. 59 Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh Al-Bukhârî, Kitâb al-Adzân, Bâb al-Adzân li al-Mushâfiri,
No. Hadis 631 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006), J. I, h. 137. 60 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, Pentahqiq. Nashiruddin Al-Albani,
Kitâb Ba’da al-Shalat, No. Hadis 753 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 297.
57
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya
dari Bapaknya Ibn Zi’bin dari Sa’id bin Sam’an dari Abi Hurairah berkata
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki wahtu sholat
beliau mengangkat kedua tangannya sembari mengembangkannya.
مسلمة ، عن مالك ، عن ابن شهاب ، عن سال بن عبد الله ، عن أبيه ، أنا رسول الله صلى اللهحداث نا عبد الله بن أسه من الركوع رف عهما كذلك ع ر عليه وسلم كان ي رفع يديه حذو منكب يه إذا اف ت تح الصالاة ، وإذا كبرا للركوع ، وإذا رف
ده رب انا ولك الحمد ، وكان ل ي فعل ذلك في السجود61 لمن ح ع اللا أيضا وقال سم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Maslamah, dari Malik dari ibn Syihab
dari Salim bin ‘Abdullah dari Bapaknya, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya
ketika memulai sholat dan ketika bertakbir untuk rukuu’ dan ketika beliau
(Rasulullah) bangun dari rukuu’ dan setelah itu (bangun dari rukuu’) beliau
mengucapkan sami’ allah al-liman hamidah rabbana wa laka al-hamdu, lalu
kemudian beliau langsung sujud.
Selain hadis yang sudah ditemukan di atas, masih banyak lagi yang dapat kita
temukan hadis berkaitan dengan penjelasan mengenai sholat. Hal ini menandakan
bahwa penjelasan Nabi terkait dengan teks global yang tercantum di dalam al-Qur’an
merupakan bagian dari sunnah al-wahyi, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Oleh
karena itu, sunnah al-wahyi berperan penting dalam menjelaskan teks-teks al-Qur’an
yang masih bersifat global terutama di dalam perkara peribadahan (ritual keagamaan)
ataupun perkara lainnya.
Selanjutnya, Abû Zayd mengklasifikasikan sunnah ke dalam model sunnah al-
‘âdah. Menurut Abû Zayd, sunnah al-‘âdah adalah perkataan serta perbuatan Nabi
Muhammad yang berada dalam penggal waktu dan tempat tertentu dalam konteks
sosio-historis masyarakat Arab pada periode tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan
dimensi kemanusiaan Nabi dalam menciptakan aturan-aturan yang bersifat
kemasyarakatan.62
61 Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh Al-Bukhârî, Kitâb al-Adzân, Bâb Raf’i al-Yadain fî al-
Takbîrah al-Ûlâ, No. Hadis 735 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006), J. I, h. 154. 62 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”.
58
Sunnah al-‘âdah ini tercermin ke dalam hadis Nabi terkait dengan seorang
budak tidak akan mendapatkan harta warisan ketika budak tersebut diperjualbelikan
kecuali ada perjanjian antara penjual dan pembeli. Hal ini tercantum di dalam hadis
Nabi.
من باع » قال -صلى الله عليه وسلم-حداث نا أحد بن حن بل حداث نا سفيان عن الزهرى عن سال عن أبيه عن الناب 63«المب تاع ومن باع نلا مؤب ارا فالثامرة للبائع إلا أن يشتط المب تاع عبدا وله مال فماله للبائع إلا أن يشتطه
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Az Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa yang menjual budak dan budak tersebut
memiliki harta, maka hartanya adalah milik penjual, kecuali pembeli
mensyaratkannya, dan barangsiapa yang menjual pohon kurma yang telah
dikawinkan maka buahnya adalah untuk pembeli, kecuali pembeli
mensyaratkannya.
Menurut Abû Zayd hadis ini mengandung konteks tertentu yang menunjukkan
bahwa Rasulullah memberi fatwa dalam kapasitas sebagai pedagang yang
mengetahui syarat-syarat mu’âmalah dan tradisi jual beli yang disepakati.64 Dengan
demikian, hadis itu harus dipandang sebagai suatu aksiden yang harus dipahami
dalam konteks tersebut dan tidak menjadi sunnah yang bersifat mengikat generasi
pasca Nabi Muhammad Saw.65
Upaya yang dilakukan oleh Abû Zayd dalam melakukan pengklasifikasian
terhadap sunnah Nabi memang harus dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan
karena sunnah yang dipegangi oleh sebagian kalangan telah memunculkan
63 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistâni, Sunan Abû Dâwud, Kitâb al-Buyû’, Bâb Fî al-‘Abd
Yubâ’u wa lahu mâl, No. Hadis 3433 (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2010), Jil. 3, h. 1490. 64 Memasukan sunnah ini ke dalam model klasifikasi sunnah al-wahyi jelas bertentangan dengan tujuan
umum (maqâshid al-syarî’ah), bahwa sebenarnya Islam hadir ke dalam lapisan masyarakat pada saat itu dalam
rangka upaya memberikan kebebasan kepada “budak”. Oleh sebab itu, sunnah ini tidak bisa dipandang secara
umum dan mengikat terhadap generasi setelahnya. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î..., h. 46. 65 Abû Zayd membandingkan antara pendapat al-Syâfi’î dengan Abû Hanifah terhadap konteks hadis
tersebut. Jika al-Syâfi’î lebih memandang dan memasukkan hadis tersebut ke dalam model sunnah al-wahyi
(mengikat ke semua generasi), maka pandangan Abû Hanfiah jelas berbeda. Abû Hanfiah lebih memandang
kemerdekaan seorang manusia sebagai “kondisi asal” serta perbudakan sebagai suatu aksiden, sehingga hukum-hukumnya tidak bisa dibebaskan. Baca Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î, h. 47-48.
pencampuradukan antara sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah. Abû Zayd sangat
menekankan faktor pembedaan antara sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah
tersebut supaya sejumlah aturan sosial non keagamaan dari Nabi yang bersifat
spesifik dan terhimpun ke dalam sunnah tidak mengikat generasi muslim pasca
Nabi.66 Mencampuradukkan antara kedua sunah tersebut, berarti sama saja
mengabaikan dasar-dasar yang sudah dirumuskan oleh Nabi Muhammad agar dapat
membedakan tindakan Nabi yang bersifat keagamaan dan non keagamaan.
c. Fungsi Sunnah
Menurut Abû Zayd, sunnah berfungsi sebagai penjelas, pengurai, penafsir
serta komplementer terhadap teks al-Qur’an. Sebagai teks bâyanî maka posisi
sunnah harus berada sebagai penjelas teks pertama (al-Qur’an). Posisi teks sunnah
yang ditempatkan sebagai teks kedua di dalam Islam, maka sunnah harus berada di
dalam lingakaran poros al-Qur’an. Oleh karena itu, Abû Zayd menolak secara tegas
kesejajaran teks sunnah dengan al-Qur’an.
Abû Zayd secara tegas menolak pandangan kesejajaran sunnah dengan teks al-
Qur’an dan menyatakan fungsi sunnah sebagai teks penjelas al-Qur’an. Hanya saja,
belum lagi sunnah dapat berfungsi sebagai teks penjelas al-Qur’an, sunnah malah
membutuhkan teks lain untuk menjelaskan dirinya sendiri. Seringkali sunnah
memerlukan kajian dalam penunjukan implikasi tekstualnya, semisal dalam
persoalan ‘amm-khas serta naskh (revisi) di dalam sunnah.67
Abû Zayd menyadari bahwa dalam memahami makna sunnah yang
bertentangan diperlukan penelitian tersendiri, sehingga sunnah yang seharusnya
menjadi teks penjelas sisi ‘amm-khas, naskh dan mutlaq-muqayyad di dalam al-
Qur’an, akan tetapi malahan pada kenyataannya sunnah itu sendiri tersusun dari
66 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 291. 67 Abû Zayd, Al-Imâm al-Syâfi’î, h.58.
‘amm-khas, naskh dan mutlaq-muqayyad. Dalam rangka menyelesaikan sunnah
yang bertentangan tersebut Abû Zayd menyebutkan ada beberapa mekanisme yang
mana makna yang tidak diketahui tersebut dikembalikan kepada makna yang telah
diketahui atau mendahulukan sunnah yang telah pasti serta mencari analogi sunnah
terhadap al-Qur’an.68
Abû Zayd sangat menyayangkan perluasan konsep sunnah dengan memasukan
hadis-hadis yang diriwayatkan secara perorangan (âhad) dan memasukan
kesepakatan sahabat dan tabî’in di dalamnya. Oleh karena itu, Abû Zayd
merekomendasikan agar menempatkan sunnah seperti yang dipahami oleh kalangan
Hanafiyah. Bagi kalangan Hanafiyah, sunnah ditempatkan sebagai teks pengurai dan
penjelas yang tidak berdiri sendiri dalam tasyri’. Fungsi sunnah bagi kalangan
Hanafiyah juga memiliki tiga fungsi, yaitu penjelasan yang bersifat tafsir (bayân
tafsîr), penjelasan yang bersifat menguatkan (bayân taqrir), penjelasan yang bersifat
pengganti (bayân tabdîl).69
Abû Zayd juga mengkritik pergeseran fungsi sunnah yang awalnya terlahir
sebagai teks sekunder, akan tetapi pada akhirnya menjadi teks premier sehingga
kedudukan teks tersebut selaras dengan al-Qur’an. Hal ini dilatarbelakangi karena
adanya faktor-faktor sosio-historis yang mengakibatkan teks tersebut
merepresentasikan dirinya sendiri. Akibatnya, pandangan yang demikian
mempengaruhi terjadinya keterbatasan serta mengekang ijtihad. Dengan demikian,
pemahaman terhadap teks menjadi semakin menjauh dan berjalan mundur.70
68 Mahmudah, “Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer”, h. 293. 69 Menurut kelompok Hanafiyah, sunnah menduduki fungsi komplementer sebagai penjelas (bayân)
terhadap al-Qur’an melalui pengulangan (bayân bersifat taqrîr), serta penafsiran (dalam bayân mujmal dan
takhsîs) serta penggantian (bayân tabdîl). Baca Muhammad Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: aw
‘Inayat al-Ummat al-Islâmiyyahbi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), h. 39-40. 70 Nasr Hâmid Abû Zayd, al-Takfîr fî Zaman al-Takfîr (Kairo: Sina li al-Nasr, 1995), h. 135.
61
3. Analisis Kritik Abû Zayd Terhadap Konsep Sunnah Imâm Al-Syâfi’î
Abû Zayd sebenarnya hanya bermaksud mengajak untuk membongkar
kembali framework al-Syâfi’î dalam berbagai hal termasuk pemikirannya dalam
bidang al-sunnah sebagai sumber tasyri’ yang dianggap otoritatif. Oleh sebab itu,
terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan bagi Abû Zayd dalam mengkritisi
pemikiran sunnah tersebut.
Bagi Abû Zayd, al-sunnah merupakan fenoomena yang patut dipelajari secara
multidisipliner dan mendalam melalui perbincangan tradisional. Ini sama sekali
bukan melepaskan sunnah dari akar sendi keislaman, akan tetapi justru malah
memberikan ruang gerak lentur yang dinamis dan lebih luas terhadap pertumbuhan
dan perkembangan Islam di masa yang akan datang, di mana tantangan zamannya
akan semakin kompleks.
Abû Zayd menyatakan bahwa hadis karena ditransmisikan secara oral dan
seringkali diriwayatkan secara makna maka hadis sejatinya adalah tafsir terhadap
tafsir. Tafsir yang pertama bermakna bahwa repotase dalam hadis merupakan proses
menafsirkan kata-kata Nabi yang dilakukan oleh para periwayat hadis sehingga
mereka menggunakan kata-katanya sendiri untuk menuturkan tentang Nabi
Muhammad Saw. Dengan demikian, hadis yang berfungsi sebagai penjelas terhadap
teks dasar (tafsir terhadap al-Qur’an) sebenarnya adalah tafsir terhadap tafsir.71
Selama ini, al-sunnah dianggap sebagai bagian dari sumber tasyri’ yang
mandiri dalam hal yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an. sunnah juga hanya
berperan sebagai komplementer dari al-Qur’an, mungkin dengan mengulang,
71 Nasr Hâmid Abû Zayd, Naqd Khîtab al-Dînî (Kairo: Madbuli, 1995), h. 45.
menguraikan, menafsirkan, dan menjelaskan. Karena itu, peran tasyri’ sunnah yang
berdiri sendiri sebagai wahyu.
Bagi Abû Zayd sendiri, al-Syâfi’î dianggap menjadikan sunnah tidak hanya
sebagai penjelas dan pengurai al-Qur’an, akan tetapi juga memasukkannya ke dalam
pola-pola semantik, sebagai bagian dari pola-pola semantik, sebagai bagian
substansial dari struktur teks al-Qur’an. di dalam hal ini, al-Syâfi’î memasukkan
sunnah ke dalam kategori wahyu. Yang didasarkan kepada pengertian lafal “al-
hikmah”.
Selanjutnya, dalam menganalisis model pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd
untuk memahami sunnah Nabi Muhammad Saw. terlihat sekali ada beberapa nilai
tambah yang coba diungkapkan oleh cendekiawan kontemporer ini dalam mencoba
memahami serta memecahkan kekakuan tek-teks keagamaan (al-Qur’an dan
sunnah). Abû Zayd mencermati bahwa terdapat kemunduran pemikiran yang
diderita oleh umat Islam pada masa sekarang ini, hal tersebut terjadi karena umat
Islam terkekang ke dalam kekakuan teks sehingga kaum Muslim pada saat sekarang
ini lebih sering mengikuti pemahaman yang sudah menjadi tradisi ( taqlid)
dibandingkan dengan melakukan ijtihad atau rasionalitas dalam rangka mencari
pemahaman-pemahaman terhadap teks-teks agama.
Dengan kata lain, umat Islam saat ini mengalami kemunduran yang sangat
tajam yang dipengaruhi oleh pengekangan serta ketakutan dalam memahami teks
agama secara rasional. Kegelisahan inilah yang kemudian membuat Abû Zayd
mencoba merumuskan kembali dengan pola pikirnya, untuk memahami, serta
mengkaji teks kegamanan tersebut khususnya sunnah agar umat Islam dapat
memahami sunnah dengan baik dan benar.
63
Pemikiran yang diajukan oleh Abû Zayd tersebut dalam memahami teks
agama terutama sunnah, sebetulnya lebih kepada konteks kritik beliau terhadap
konsep sunnah yang dilegalkan oleh Imâm al-Syâfi’î. Abû Zayd menyadari bahwa
tawaran konsep sunnah yang diajukan oleh al-Syâfi’î telah membuat kekakuan serta
mempersempit ruang kedinamisan sunnah itu sendiri. Dengan begitu, sunnah yang
sebenarnya memiliki ruang yang fleksibel serta dinamis, pada periode al-Syâfi’î
menjadi kaku-baku.
Menurut Abû Zayd, agar pemahaman sunnah bisa dikontekstualisasikan ke
dalam pemahaman kontemporer, maka perlu pembacaan ulang yang komprehensif.
Oleh sebab itu, sunnah yang secara tidak langsung diuniversalkan oleh al-Syâfi’î
(bahwa seluruh perkataan, gerak, serta tindakan Nabi bersumber dari wahyu), coba
di rekonstruksi oleh Abû Zayd. Sunnah al-wahyi dan sunnah al-‘âdah merupakan
pengklasifikasian sunnah yang dirumuskan oleh Abû Zayd, karena ia menyangkal
bahwa tidak seluruh gerak Nabi bersumber dari pewahyuan dengan menyertakan
beberapa bukti historis.
Melihat posisi Nabi dalam menuturkan hadis, juga dianggap perlu di dalam
pijakan hukum. Apakah posisi Nabi tersebut dalam rangka menjelaskan makna
global yang terkandung di dalam al-Qur’an, ataukah hanya sekedar pendapat Nabi
dalam menanggapi suatu masalah. Hal inilah yang dianggap masih kurang menurut
Abû Zayd. Sehingga seringkali ada kekeliruan di dalam memahami konteks serta isi
kandungan dari hadis tersebut. Dengan demikian, untuk memahami teks sunnah
tersebut, seseorang harus paham betul kepada siapa sunnah tersebut diajukan,
apakah sunnah tersebut yang bersifat global (mengikat dari zaman Nabi sampai saat
sekarang ini), ataukah sunnah tersebut hanya bentuk ijtihad Nabi dalam realitas
masyarakat pada abad ke-7 M.
64
Dalam konteks hermeneutika, Abû Zayd menganggap sunnah hanya sebatas
ijtihad yang cocok untuk satu periode dan kultural tertentu, dan tidak bisa bersifat
kekal untuk semua kebudayaan. Pasalnya hal tersebut akan bertentangan dengan
dialektika dan proses menjadi yang menghukumi gerak realitas, karena sunnah
berafiliasi kepada masa silam, sedangkan derap zaman selalu mengambil jalur ke
masa depan. Sunnah yang dipegangi oleh Abû Zayd ini sebenarnya telah berhasil
melayani kebutuhan kulturnya, maka dengan selesainya era ini harus ada
pembaharuan karena prototipe yang sempurna tidak bisa dihasilkan dari masa silam,
tetapi ada di dalam cakrawala masa depan.72
Dalam hemat penulis, sebenarnya kajian yang dilakukan oleh Abû Zayd
tersebut tidak terbilang kajian yang baru dan orisinil. Sudah ada beberapa tokoh-
tokoh kontemporer yang melakukan pembacaan sunnah seperti yang dilakukan oleh
Abû Zayd di atas. Akan tetapi, upaya yang telah dilakukan oleh Abû Zayd tersebut
dirasa baik dan patut diberikan apresiasi. Abû Zayd mencoba membongkar
framework lama yang sudah mendarah daging di dalam pemikiran umat Islam saat
ini. Oleh karena itu, analisis nya terhadap sunnah dianggap berpengaruh di dalam
khazanah Islam kontemporer saat sekarang ini.
72 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal (Depok: Perspektif Gema Insani, 2010),
h. 225.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagian akhir ini merupakan simpulan dari semua pembahasan penelitian yang telah
berdasarkan pokok masalah yang dikemas menjadi dua rumusan masalah. Simpulan dari
skripsi menegaskan beberapa hal di antaranya adalah:
Pertama, sunnah bukanlah seutuhnya bersumber dari wahyu, seperti yang diyakini
oleh Imâm al-Syâfi’î yang berlandaskan kepada firman Allah „Wama yantiqu „an al-
Hawâ”, “in huwa illa wahyu yûhâ” karena ini merupakan argumentasi yang keliru. Abû
Zayd menyadarkan bahwa kata ganti huwa di dalam ayat ini tidaklah menunjuk secara
langsung kepada seluruh ucapan Nabi Muhammad Saw. akan tetapi kata ini hanya
menunjuk kepada ucapan Nabi dalam menyampaikan al-Qur’an. Dengan demikian,
wahyu yang memiliki otoritas hanyalah wahyu al-Qur’an.
Kedua, Abû Zayd menyangkal bahwa al-Syâfi’î tidak hanya menjadikan sunnah
sebagai penjelas dan pengurai al-Kitab, akan tetapi juga memasukannya ke dalam pola-
pola semantik, sebagai bagian substansial dari struktur teks al-Qur’an. Hal tersebut
didasarkan kepada pengulangan sunnah terhadap wacana al-Qur’an. Dalam perspektif ini,
al-Syâfi’î menganggap sunnah bagian dari wahyu meskipun berbeda dengan wahyu al-
khitab. Hal ini didasarkan kepada pengertian lafal al-Hikmah yang sering menyertai lafal
al-Khitab.
Ketiga, Perluasan konsep sunnah yang mencakup seluruh ucapan tanpa mengingat
“konteks” pembicaraan, sehingga setiap ucapan Nabi termasuk wahyu merupakan
pengabaian terhadap kemanusiaan Rasul secara berlebihan. Al-Syâfi’î seperti
65
66
memasukkan semua unsur ke dalam sebuah konsep umum yang diletakkan pada tingkatan
yang sama sucinya denga wahyu. Dengan konsep seperti ini semua yang diucapkan dan
dilakukan oleh Muhammad Saw adalah wahyu, sehingga lenyaplah batas-batas pembeda
yang bersifat “ilahiyyah” dan “bashariyah” karena yang terakhir ini masuk dalam
wilayah yang suci.
Keempat, Abû Zayd menyadari adanya pergesera fungsi sunnah yang disebabkan
oleh meluasnya definisi sunnah menjadi perkataan dan perbuatan para sahabat dan
tabî‟in serta masuknya hadis-hadis yang diriwayatkan secara perorangan (âhad). Hal ini
menyebabkan fungsi sunnah yang awalnya terlahir sebagai teks sekunder, pada akhirnya
dimaknai sebagai teks premier sehingga kedudukan kedua teks tersebut menjadi sejajar.
Abû Zayd menyarankan supaya memahami fungsi sunnah seperti yang dipahami oleh
kalangan Hanafiyah yang menempatkan sunnah sebagai teks sekunder serta menjadikan
sunnah sebagai bayân terhadap teks al-Qur’an.
Kelima, kontribusi Abû Zayd terhadap kajian sunnah adalah bahwa sunnah yang
bersumber dari Nabi Muhammad terbagi menjadi dua kategori, yaitu sunnah al-wahyi dan
sunnah al-„âdah. Sunnah al-wahyi mencakup segala perkataan, perbuatan Nabi dalam
mengurai dan menjelaskan teks al-Qur’an secara global. Sementara sunnah al-„âdah
merupakan ijtihad Nabi dalam penggal waktu tertentu dalam menciptakan aturan-aturan
kemasyarakatan yang terjadi pada periode tersebut. Oleh karena itu, jika sunnah al-wahyi
merupakan sunnah yang bisa dipahami di semua generasi, maka sunnah al-„âdah hanya
mengikat pada generasi tertentu saja dan tidak mengikat di semua zaman.
Oleh karena itu, di dalam memahami sunnah Nabi, menurut Abû Zayd harus
didasarkan kepada melihat posisi Nabi dalam menjelaskan suatu hal. Apakah konteks
67
Nabi pada saat itu sedang berada di dalam menjelaskan serta menguraikan maksud al-
Qur’an. Ataukah hanya sekedar dialog Nabi terhadap suatu kejadian tertentu.
B. Saran-saran
Penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian literalis, ke depan yang diperlukan
adalah implementasi dari konsep serta pemikiran yang ditawarkan oleh Abû Zayd ke
dalam masyarakat. Selanjutnya, yang merupakan tantangannya adalah apakah pemikiran
sunnah yang ditawarkan oleh Abû Zayd tersebut bisa diterima dan di aplikasikan ke
dalam kehidupan bangsa dan bernegara khususnya Indonesia.
Abû Zayd merupakan tokoh cendikiawan Muslim kontemporer yang penulis
anggap berani dalam menyuarakan ide-ide yang secara gamblang bertentangan dengan
pemikiran umat Islam selama ini. Terlepas dari pro dan kontra, wacana yang dibawa oleh
Abû Zayd memberikan gambaran secara jelas bahwa teks-teks keagamaan saat ini
mendapat tantangan untuk dipahami berdasarkan realitas yang terjadi. Oleh karena itu,
Abû Zayd mencoba memecahkan itu secara lebih matang dan solutif.
Di dalam memandang sesuatu, setiap orang tidak akan terlepas dari dua hal yaitu
antara mendukung atau menentang. Apa yang dilakukan oleh Abû Zayd adalah untuk
membaca kembali model sunnah agar bisa dikontekstualisasikan ke dalam semua
generasi. Selanjutnya, penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan agar penelitian tentang sunnah, khususnya tentang pemikiran Abû
Zayd tidak terhenti di tangan penulis, masih banyak kajian tentang sunnah yang belum
dikaji lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Âbâdîy, Abî al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. ‘Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan
Abî Dawûd. Cet. I. Juz 11. Beirut: Dâr al-Kutub al‟Ilmîyah, 1998.
„Abdul, „Abdul Ghani. Hujjiyah al-Sunnah. Tk: Silsilah Qadaya al-Fikr al-Islâmi,
t.th.
Ahmad, Mahdi Rizqullah. Al-Sîrah an-Nabawiyyah fî Dhau’i Mashâdir al-Ashliyyah: Dirâsah Tahlîliyah. terj. Yessi HM. Jakarta: Qitshi Press, 2011.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman. cet. Ke-VI, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
Ash-Shalih, Subhi. Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu. terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2002.
Aulassyahied, Qaem. Studi Kritis Konsep Sunnah Muhammad Syahrur. Jurnal Kalimah, Volume. 13, No. 1, Maret 2015.
Al-„Awâ, Muhammad Salim. al-Sunnah al-Tasyrî’îyah wa Ghair al-Tasyrî’îyah.
Fî Majalah al-Muslim al-Mu’âsir. Volume 6. Beirut: t.p, 1978.
Bizawie, Zainul Milal. “Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan
Antropologis Pribumisasi Islam”. Jurnal Tashwirul Afkar. No. 14 Tahun 2003.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Shahîh Al-Bukhârî. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006.
Damanhuri. Ijtihad Hermeneutis: Eksplorasi Pemikiran Asy-Syafi’i dari Kritik
hingga Pengembangan Metodologis. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.
Darmalaksana, Wahyudin. Hadis dimata Orientalis: Telaah Pandangan Iganz
Goldziher dan Joseph Schacth. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Al-Hajjâj, Abî al-Husain Muslim Ibn. Shahîh Muslim. Kairo: Maktabah Al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2009.
Hallaq, Wael B. Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam. USA: Ashgate Publishing Company, 2000.
Hilal, Mushaf. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Pustaka Alfatih, 2009.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. cet. Ke-II, Jakarta:
Komunitas Bambu, 2011.
Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.
Idri, Studi Hadis. Jakarta: Prenanda Media Group, 2010.
Iqbal, Muhammad (ed.). Reformasi Pemahaman terhadap Hadis: Dari Historitas
menuju Kontekstualitas dalam Faisar Anada Arfa dkk, Konsep Sunnah dalam
Perspektif Joseph Schacht. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009.
Islam, Ahmad Syaiful. Mushkilatuna al-Yayniyah. Kairo: Dâr al-Qalam, 1995.
Al-Jabiri, Muhammad „Abed. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî. Beirut: Markaz as-Saqafî al-„Arabi, 1994.
Al-Khâtib, Muhammad „Ajjaj. Usûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mustalahuhu. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1981.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.
Cet. Ke-II, Jakarta: Prenada Media Group, 2015.
Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam.cet I, Jakarta: Paramadina,
1997.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. Al-Qur’a, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah. Bandung:
Pustaka, 1985.
Mahmudah, Nur. Sunnah dalam Nalar Islam Kontemporer: Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal ISLAMICA, Volume 6, No. 2, Maret 2012.
Mustaqim, „Abdul. “Teori Sistem Isnâd Otentisitas Hadis menurut M.M Azami”
dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, Hamimi Ilyas dan Suryadi (ed.). Yogyakarta Tiara Wacana, 2002.
Al-Nadawîy, Abû al-Hasan. al-Syûrâ bayn al-Fikrah al-Islâmîyah wa al-Gharbîyah. Cet. Ke-III. Kairo: al-Taqaddum, 1977.
Al-Nasâ‟î, Abû Abd al-Rahmân Ahmad ibn Alî ibn Syu‟aib ibn Alî. Sunan al-Nasâ’î. Beirût: Dâr al-Fikr, 2005.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Cet.
III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Nasrullah. Rekonstruksi Definisi Sunnah sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadis. Jurnal Ulul Albab, Volume 15, No. 1, Tahun 2014.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Nur, Maizuddin M. “Tipologi Pemikiran Kewenangan Sunnah di Era Modern”.
Jurnal Substantia. Vol. 14 No. 2 Oktober 2012.
Purwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1982.
Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.
-------. Islamic Methodology in History. alih bahasa Anas Muhyidin. Bandung:
Pustaka, 1995.
-------, Membuka Pintu Ijtihad. terj. Anas Mahyudin. cet. Ke-III. Bandung:
Pustaka, 1995.
Ridho, Moch. Taufiq. “Analasis Metode Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd:
Reintrepretasi atas Konsep Asbab an-Nuzul”. Jurnal Rasail. Volume. 1 No. 4, 2015.
Rija, Adis Dude. Evolution in the Concept of Sunnah during the First Four
Generation of Muslims in Relation to Development of the Concept of an
Authentic Hadîth as based on Recent Western Scholarship. Koninklijke Brill
NV: Leiden, 2012.
Said, Hasani Ahmad. Studi Islam I: Kajian Islam Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Sahid HM. “Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman”. Jurnal Al-Tahrir. Volume 11 No. 1, Mei 2011.
Salim, Fahmi. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Depok: Perspektif
Gema Insani, 2010.
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Oxford
University Press, 1975.
Al-Shidqî, Muhammad Taufîq. al-Nâskh fi Syârai’al-Ilahiyah, Mûjjalat al-Mânar.
Jilid X. Ramadhan 1325.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Al-Sijistâni, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy‟ats. Sunan Abû Dâwud. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2010.
-------, Abû Dâwud al-Azdi. Shahih Sunan Abû Dâwud. Pentahqiq. Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. Jakarta: Pustaka Al-Azzam, 2007.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik. cet.
Ke-7. Bandung: Tarsito, 1982.
Susfita, Nunung. “Kritik Wacana Agama: Telaah Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd”. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Volume 7 No.
1, 2015.
Al-Syâfi‟î, Muhammad b. Idrîs. Al-Risalâh. terj. Masturi Irham & Asmui Tamam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
-------, Muhammad bin Idrîs. al-Umm. Vol. 7. Beirut: Dâr al-Fikr, 1990.
-------, Muhammad bin Idrîs. Ikhtilâf al-Hadîth. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah,
1986.
Syahrûr, Muhammad. Al-Sunnah al-Rasûliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah:
Ru’yah Jadîdah. Beirût: Dâr al-Sâqî, 2012.
-------, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah. Damaskus: Al-
Ahali, 1990.
Syaikhudin. “Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab: Sebuah Tinjauan
Hadis”. Jurnal Esensia. Vol. XIII No. 2 Tahun 2012.
Taufiqqurahman, Evolusi Konsep Sunnah dalam Lintas Sejarah. Jurnal Mutawatir,
Vol. 3, No. 1, Januari-Juli 2013.
Usman, Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd. Jurnal Hermeneia
(Kajian Islam Interdisipliner), Vol. 2. No. 1, Januari-Juni 2003.
Al-Qarâfîy, Syihâb al-Dîn. al-Ahkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ min al- Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdlî wa al-Imâm, „Abd. al-Fattâh Abu Ghaddah. Mesir: al-
Halabi, t.th.
Al-Qardhâwî, Yûsuf. Al-Sunnah al-Masdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadârah.
Kairo: Dâr al-Shurûq, 1997.
-------, Yûsuf. Bagaimana Cara Memahami Sunnah Nabi. terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1993.
Al-Qazwînî, Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Zaid. Sunan Ibnu Mâjah. Kairo: Dâr
Ibnu al-Haitsam, 2005.
Zahwu, Muhammad Abû. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn: aw ‘Inayat al-Ummat al- Islâmiyyahbi al-Sunnah al-Nabawiyyah. Beirût: Dâr al-Fikr, t.th.
Zayd, Nasr Hâmid Abû. An-Nass, As-Sultah, Al-Hakikah. terj. Khoiron Nahdiyyin.
Yogyakarta: LkiS Group, 2012.
-------. al-Takfîr fî Zaman al-Takfîr. Kairo: Sina li al-Nasr, 1995.
-------. Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, alih bahasa:
Khoiron Nahdliyyin. Cet. Ke-II, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001.
-------. Mafhûm an-Nas Dirâsah fî Ulûm al-Qur’ân. terj. Khoiron Nahdiyyin.
Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005.
-------. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah. Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan, 2003.
-------. Naqd Khîtab al-Dînî. Kairo: Madbuli, 1995.
-------. the Quran: God and Man in Communication. dalam
http://www.let.leidenuniv.nl/forum/01_1/onderzoek/2.htm. 11 Maret 2009.