krisis dan kemiskinan (perspektif, jawa pos radar jember, 25 desember 2015, hlm. 1)
DESCRIPTION
....Menghadapi perekonomian yang tumbuh melambat dan tekanan kuat dari dari faktor eksternal, maka peran pemerintah sebagai wujud kehadiran negara adalah wajib menghadirkan berbagai program yang berpihak kepada masyarakat luas. Bagi pemerintah daerah, memproteksi pelaku usaha di wilayahnya dapat dilakukan diantaranya dengan membangun jaring distribusi dan pasar antar daerah. Sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) tidak selalu harus diajak untuk menembus pasar internasional. Pasalnya, pasar Indonesia sangat luas dan justru menjadi rebutan produsen mancanegara. Terlebih, ke depan, bonus demografi menyebabkan struktur masyarakat Indonesia bukan lagi berbentuk piramida, tetapi serupa wajik.TRANSCRIPT
Krisis dan Kemiskinan
Oleh: Khairunnisa Musari*
“Bu, Ibu tahu enggak, di desa itu banyak yang dapat uang hanya cukup untuk satu hari.
Jangankan menabung, untuk makan saja, mereka masih kesulitan. Upah yang mereka dapat
hanya cukup untuk makan hari itu saja. Enggak bisa mereka itu seperti yang Ibu bilang untuk
menyisihkan tabungan dulu, baru sisanya dikonsumsi....”.
Demikian salah satu komentar yang masuk dari pendengar setia Radio Republik
Indonesia (RRI) Jember ketika saya melakukan wawancara on air di studio beberapa waktu
lalu. Ya, untuk kesekian kalinya saya mengisi acara bincang-bincang selama satu jam
bersama host Pak Kirin Prawira dan Mbak Dea di acara pagi hari.
Jujur saja, komentar pendengar tersebut cukup ‘menonjok’ hati saya. Dan saya harus
mengakui, saya belum tahu apa yang dapat saya tawarkan kepada mereka untuk bisa
mengelola keuangan rumah tangga. “Iya Pak, untuk kelompok masyarakat demikian,
seharusnya negara yang hadir menolong mereka...,” jawab saya terbata.
Apa yang disampaikan pendengar radio tersebut adalah realitas. Terlebih, belakangan,
semakin banyak keluhan yang muncul terkait melambatnya pertumbuhan ekonomi. Di sosial
media, seorang kawan yang beternak kambing dan ayam pelung di daerah Grenden, Puger,
menuliskan status di Fesbuk: Sudah capek hidup kembang kempis, harga-harga kebutuhan
naik, pendapatan menurun, jualan gak laku, angsuran numpuk, kambing habis terjual tinggal
kandangnya. Tabah Sampai Akhir!
Indonesia Krisis?
Pertanyaan tersebut dalam beberapa bulan terakhir memang banyak mengemuka.
Terutama, setelah nilai tukar rupiah terhadap USD menembus Rp 14.000. Jauh sebelumnya,
akhir Desember 2014, seorang kawan di Surabaya meminta saya memprediksi nilai tukar
rupiah dan meminta rekomendasi kapan waktu yang tepat untuk membeli USD berkenaan
dengan rencananya umroh. Melemahnya rupiah memang menjadi variabel penting saat ini
untuk mengambil keputusan.
Namun demikian, melemahnya nilai tukar rupiah tidak serta merta dapat disebut krisis.
Secara teoretis, krisis ekonomi ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang jatuh, inflasi tidak
terkendali, melemahnya mata uang, dan terjadi kekacauan politik dan keamanan. Menyimak
kondisi ekonomi makro terakhir, Indonesia masuk kategori siaga. Bila pelemahan nilai tukar
rupiah sudah berdampak besar bagi dunia usaha, maka perekonomian Indonesia memperoleh
lampu merah. Apalagi, sebelumnya, masyarakat sudah terkena imbas harga-harga yang
meningkat. Belum lagi di beberapa daerah yang mengalami pemutusan hubungan pekerjaan
(PHK) dan harga jual produksi pertanian yang anjlok.
Lalu, bagaimana dengan keluarga miskin? Masih banyak masyarakat yang rawan
miskin dan berpotensi kembali miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
penduduk miskin sepanjang 2009-2014 secara persentase maupun jumlah cenderung
menurun. Hanya pada tahun 2013 yang mengalami pertambahan. Mayoritas penduduk miskin
berupah rendah lantaran tidak tamat sekolah dasar. Parahnya, satu kepala keluarga miskin
masih harus menanggung hidup 4-5 anggota keluarga.
Bantuan sosial dari pemerintah adalah keniscayaan. Namun, sifatnya hanya membantu
dalam jangka pendek. Kedermawanan masyarakat kelas menengah ke atas adalah salah satu
cara untuk mengentas kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Agar bersifat jangka
panjang, maka perlu pendanaan yang bersifat produktif yang disertai pula dengan
pendampingan. Pada titik inilah negara perlu memfasilitasi dan memberi insentif kepada
berbagai program yang digiatkan masyarakat.
Sektor Riil
Panduan normatif yang lazim diberikan oleh konsultan perencana keuangan untuk
pengelolaan keuangan keluarga antara lain: susun rencana keuangan atau anggaran, bedakan
antara kebutuhan dan keinginan, hindari hutang, kurangi belanja konsumtif, tetapkan tujuan
atau cita-cita finansial, menabung, dan berinvestasi. Lalu, bagaimana dengan warga miskin
yang upah hariannya hanya cukup untuk makan satu hari?
Sebuah tesis dari Ilmu Kesejahteraan Sosial tentang manajemen keuangan keluarga
miskin menyebutkan aspirasi atau tujuan keluarga miskin masih pada taraf pemenuhan
kebutuhan dasar dengan nilai acuan yang relatif rendah. Pendapatan mereka bersifat fluktuatif
dan cenderung rentan terhadap perubahan kondisi alam. Dari segi troughput, meskipun
keluarga miskin tidak melakukan perencanaan keuangan dan implementasinya sesuai anjuran
normatifnya, namun mereka mempunyai sistem sendiri dalam menjaga dan mengelola
keuangan keluarga. Mereka menjalani suatu proses yang tidak didasarkan pada catatan
tertulis mengenai apa yang mereka rencanakan atau akan lakukan, akan tetapi berdasarkan
pengalaman dan rutinitas yang mereka lakukan.
Menghadapi perekonomian yang tumbuh melambat dan tekanan kuat dari dari faktor
eksternal, maka peran pemerintah sebagai wujud kehadiran negara adalah wajib
menghadirkan berbagai program yang berpihak kepada masyarakat luas. Bagi pemerintah
daerah, memproteksi pelaku usaha di wilayahnya dapat dilakukan diantaranya dengan
membangun jaring distribusi dan pasar antar daerah. Sektor usaha mikro kecil menengah
(UMKM) tidak selalu harus diajak untuk menembus pasar internasional. Pasalnya, pasar
Indonesia sangat luas dan justru menjadi rebutan produsen mancanegara. Terlebih, ke depan,
bonus demografi menyebabkan struktur masyarakat Indonesia bukan lagi berbentuk piramida,
tetapi serupa wajik.
Jadi, jargon ‘Cintai Produk Dalam Negeri’ atau ‘Cintai Produk Lokal’ hendaknya tidak
menjadi pepesan kosong. Himbauan ini juga harus menjadi program kerja bersama untuk
membantu sektor UMKM di daerah. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kita
berharap akan banyak tawaran program kerja cerdas inspiratif yang tidak sekedar
mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pembangunan. Jaringan,
informasi, reputasi, ide, pengetahuan, kreatifitas adalah sebagian dari sumber daya yang
dapat menjadi tulang punggung perekonomian, termasuk untuk menolong penduduk miskin.
Kembali pada sektor riil adalah kuncinya. Wallahua’lam bish showab.