kranioktomi, fraktur, trauma kepala, tik
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
1/29
KRANIEKTOMI DEKOMPRESI UNTUK EDEMA SEREBRI
a. Definisi
Edema serebri adalah pembekakan jaringan otak yang berkaitan dengan trauma.
b. Indikasi Operasi
Edema serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran.c. Kontra indikasi operasi
Umum keadaan pasien yang jelek
d. Diagnosis Banding
Semua cedera kepala yang mengakibatkan penurunan kesadaran
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah
kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring
ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala
sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah
kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk
mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita).
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup
lapangan operasi dengan doek steril.
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60o. Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal
dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada
pangkal flap dan fiksasi pada doek.
Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan dburrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar(Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.
Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bonewax. Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
2/29
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde. Masukan penuntun giglpada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole d
sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita. Patahkan tulang kepala
dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah
dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
Setelah terdekompresi fragmen tulang dapat di simpan di subgaleal atau di dinding abdomen kemudian lapanganoperasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
e. Komplikasi operasi
Komplikasi berupa infeksi luka operasi dikepala maupun di dinding abdomen tempat menyimpang tulang.
f. MortalitasMortalitas tergantung berat ringannya cedera otak.
g. Perawatan Pascabedah dan Follow Up
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Perawatan luka dilakukan pada lukaoperasi dikepala dan pada dinding abdomen. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7.
Tindakan pemasangan fragmen tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
FRAKTUR FEMUR
Introduksi
a. Definisi
Fraktur yang terjadi pada tulang femur.
Mekanisme trauma yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain:
(I) pada jenis Femoral Neck fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpeleset di kamar
mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas, biasanya tulang
bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok, berat badan rendah, terapi steroid, phenytoin
dan jarang berolahraga, merupakan trauma high energy;
(2) Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang bersifat memuntir;
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
3/29
(3) Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi kaki melekat pada dasar disertai putaran yang
diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat transversal atau oblik karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis
biasanya terjadi akibat metastasis tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat syok
b. Ruang lingkup
Fraktur tulang femur terdiri atas: Femoral Head fracture, Femoral Neck fracture, Intertrochanteric fracture, Subtrochanteric
fracture, Femoral Shaft fracture, Supracondylar/Intercondylar Femoral fracture (Distal Femoral fracture)
Femoral Head fraktur
Berdasarkan klasifikasi Pipkin: (1) Tipe 1: fraktur dibawah fovea; (2) Tipe 2: fraktur diatas fovea; (3) Tipe 3: tipe 1 atau
tipe 2 ditambah fraktur femoral neck; (4) Tipe 4: tipe 1 atau tipe 2 ditambah fraktur acetabulum
Femoral Neck fraktur
Berdasarkan klasifikasi Pauwel: (1) Tipe 1: sudut inklinasi garis fraktur 70
Berdasarkan klasifikasi Garden: (1) Garden 1: Fraktur inkomplet atau tipe abduksi/valgus atau impaksi; (2) Garden 2
fraktur lengkap, tidak ada pergeseran; (3) Garden 3: fraktur lengkap, disertai pergeseran tapi masih ada perlekatan atau
inkomplet disertai pergeseran tipe varus; (4) Garden 4: Fraktur lengkap disertai pergeseran penuh
Trochanteric fraktur
Diklasifikasikan menjadi 4 tipe (1) Tipe 1: fraktur melewati trokanter mayor dan minor tanpa pergeseran; (2) Tipe 2: fraktur
melewati trokanter mayor disertai pergeseran trokanter minor; (3) Tipe 3: fraktur disertai fraktur komunitif; (4) Tipe 4:
fraktur disertai fraktur spiral
Femoral Shaft fraktur
Klasifikasi OTA: (1) Tipe A: Simple fraktur, antara lain fraktur spiral, oblik, transversal; (2) Tipe B: wedge/butterfly
comminution fraktur; (3) Tipe C: Segmental communition
Klasifikasi Winquist-Hansen: (1) Type 0: no communition; (2) Tipe 1: 25% butterfly; (3) Tipe 2: 25-50% butterfly; (4) Tipe3: >50% communition; (5) tipe segmental ; (6) Tipe 5 : segmental dengan bone loss
Supracondylar/Intercondylar Femoral fraktur (Distal Femoral fraktur)
Klasifikasi Neer, Grantham, Shelton (1) Tipe 1: fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk 1; (2) Tipe II A : fraktur
suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafise (bentuk Y); Tipe II B : bagian metafise lebih kecil; (3) fraktur
suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler tidak total
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
4/29
Untuk penegakkan diagnosis diperlukan diperlukan pemeriksaan fisik. Pada fraktur tipe femoral neck dan trochanteric
ditemukan pemendekkan dan rotasi eksternal. Selain itu ditemukan nyeri dan bengkak. Juga dinilai gangguan sensoris
daerah jari I dan II, juga pulsasi arteri distal. Untuk pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen posisi anteroposterior
dan lateral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain hemoglobin, leukosit, trombosit, CT, BT.
c. Indikasi Operasi
Pada fraktur femur anak, dilakukan terapi berdasarkan tingkatan usia. Pada anak usia baru lahir hingga 2 tahun dilakukan
pemasangan bryant traksi. Sedangkan usia 2-5 tahun dilakukan pemasangan thomas splint. Anak diperbolehkan pulang
dengan hemispica.
Pada anak usia 5-10 tahun ditatalaksana dengan skin traksi dan pulang dengan hemispica gips. Sedangkan usia 10
tahun ke atas ditatalaksana dengan pemasangan intamedullary nails atau plate dan screw.
Untuk fraktur femur dewasa, tipe Femoral Head, prinsipnya adalah reduksi dulu dislokasi panggul. Pipkin I, II post reduks
diterapi dengan touch down weight-bearing 4-6 minggu. Pipkin I, II dengan peranjakan >1mm diterapi dengan ORIF.
Pipkin III pada dewasa muda dengan ORIF, sedangkan pada dewasa tua dengan endoprothesis. Pipkin IV diterapi
dengan cara yang sama pada fraktur acetabulum.
Tipe Femoral Neck, indikasi konservatif sangat terbatas. Konservatif berupa pemasangan skin traksi selama 12-16
minggu. Sedangkan operatif dilakukan pemasangan pin, plate dan screw atau arthroplasti (pada pasien usia >55 tahun),
berupa eksisi arthroplasti, hemiarthroplasti dan arthtroplasti total.
Fraktur Trochanteric yang tidak bergeser dilakukan terapi konservatif dan yang bergeser dilakukan ORIF. Penanganan
konservatif dilakukan pada supracondylar dan intercondylar, femur atau proksimal tibia. Beban traksi 9 kg dan posisi lutu
turns selama 12 minggu. Sedangkan untuk intercondylar, untuk terapi konservatif, beban traksi 6 kg, selama 12-14
minggu.
Fraktur Shaft femur bisa dilakukan ORIF dan terapi konservatif. Terapi konsevatif hanya bersifat untuk mengurang
spasme, reposisi dan immobilisasi. Indikasi pada anak dan remaja, level fraktur terlalu distal atau proksimal dan fraktur
sangat kominutif. Pada anak, Cast bracing dilakukan bila terjadi clinical union.
d. Kontraindikasi Operasi
Pada pasien dengan fraktur terbuka, diperlukan debridement hingga cukup bersih untuk dilakukan pemasangan ORIF
Kontraindikasi untuk traksi, adanya thromboplebitis dan pneumonia. Atau pada pasien yang kondisi kesehatan tidak
memungkinkan untuk operasi.
f. Pemeriksaan Penunjang
Foto roentgen, CT Scan dan MRI. Jika perlu dilakukan foto perbandingan.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
5/29
Teknik Terapi Konservatif Operasi
Pemasangan skeletal traksi
Pasien berbaring posisi supine, Mikulicz line, dengan fleksi pada art genu.
Prosedur aseptik/antiseptik
Approach, pada distal femur 1 inchi inferior tubercle adduktor. Pada proximal tibia 1 inchi inferior dan 5 inchi inferior
tubercle tibia.
Anestesi lokal dengan lidokain 1%. Anestesi disuntikkan hingga ke periosteum.
Insisi dengan pisau no.11. Approach bagian medial untuk distal femur dan lateral untuk proksimal tibia
Wire diinsersikan dengan menggunakan hand drill, untuk menghindari nekrosis tulang sekitar insersi pin (bila
menggunakan alat otomatis). Jenis wire yang bisa digunakan disini adalah Kirschner wire no.5
Pemasangan K-Nail (Kuntscher-Nail) secara terbuka pada fraktur femur 1/3 tengah > Adapun teknik pemasangan K
nail adalah sebagai berikut:
- Pasien tidur miring ke sisi sehat dengan fleksi sendi panggul dan lutut
- Approach posterolateral dari trochanter mayor ke condylus lateral sepanjang 15cm di atas daerah fraktur
- Fascia lata dibelah dan m. vastus lateralis dibebaskan secara tajam dan septum intermuskularis disisihkan ke anterior
- Ligasi a/v perforantes
- Bebaskan periosteum untuk mencapai kedua fragmen fraktur.
- Bebaskan kedua fragmen fraktur dari darah dan otot
- Ukur panjang K-nail. Pasang guide ke arah fragmen proksimal dan Ietakkan di tengah, dengan posisi fleksi dan
adduksi sendi panggul. Bagian kulit yang tertembus dibuat sayatan.
- K-nail dipasang dengan guide menghadap posteromedial
- Ujung proksimal K-nail dibenamkan 1-2 cm di atas tulang, jika terdapat rotational instability, beri anti rotation bar, atau
pakai cerelage wiring atau ganti K-nail
- Pemasangan K-nail sebaiknya setelah 7-14 hari pasca trauma.
- Cara lain pemasangan K-nail dengan bantuan fluoroscopy.
Plating pada fraktur fmur 1/3 tengah
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
6/29
Pasien tidur miring ke sisi sehat dengan fleksi sendi panggul dan lutut
Approach posterolateral dari trochanter mayor ke condylus lateral sepanjang 15cm di atas daerah fraktur
Fascia lata dibelah dan m. vastus lateralis dibebaskan secara tajam dan septum intermuskularis disisihkan ke anterior
Ligasi a/v perforantes
Bebaskan periosteum untuk mencapai kedua fragmen fraktur.
Bebaskan kedua fragmen fraktur dari darah dan otot
Reduksi fragmen fraktur
Pemasangan plate (Broad Plate) pada permukaan anterior atau lateral dengan memakai 8 screw pada masing-masing
fragmen fraktur.
g. Komplikasi Operasi
Komplikasi pada fraktur femur, termasuk yang diterapi secara konservatif antara lain, bersifat segera: syok, fat embolism
neurovascular injury seperti injury nervus pudendus, nervus peroneus, thromboembolism, volkmann ischemic dan infeksi.
Komplikasi lambat: delayed union, non union, decubitus ulcer, ISK dan joint stiffness. Pada pemasangan K-nai
adventitious bursa, jika fiksasi terlalu panjang dan fiksasi tidak rigid jika terlalu pendek.
h. Mortalitas
Mortalitas berkaitan dengan adanya syok dan embolisme.
i. Perawatan Pasca Bedah
Pasien dengan pemasangan traksi, rawat di ruangan dengan fasilitas ortopedi. Sedangkan pada pasien dengan
pemasangan ORIF, rawat di ruangan pemulihan, cek hemoglobin pasca operasi.
j. Follow up
Untuk Follow up pasien dengan skeletal traksi, lakukan isometric exercise sesegera mungkin dan jika edema hilang,lakukan latihan isotonik.
Pada fraktur femur 1/3 proksimal traksi abduksi >30 dan exorotasi. Pada 1/3 tengah posisi abduksi 30 dan tungkai mid
posisi, sedangkan pada 1/3 distal, tungkai adduksi < 30 dan kaki mid posisi. Pada fraktur distal perhatikan ganjal lutut
berikan fleksi ringan, 15.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
7/29
Setiap harinya, perhatikan arah, kedudukan traksi, posterior dan anterior bowing. Periksa dengan roentgen tiap 2 har
sampai accepted, kemudian tiap 2 minggu. Jika tercapai clinical union, maka dilakukan weight bearing, half weigh
bearing dan non weight bearing dengan jarak tiap 4 minggu.
Sedangkan untuk follow up pasca operatif, minggu ke-1 > hari pertama kaki fleksi dan ektensi, kemudian minggu
selanjutnya miring-miring. Minggu ke-2 jalan dengan tongkat dan isotonik quadricep. Fungsi lutut harus pulih dalam 6
minggu.
Pada pasien anak, follow up dengan roentgen, jika sudah terjadi clinical union, pasang hemispica dan pasien boleh
kontrol poliklinik.
VI. 4. TRAUMA KEPALA
Pendahuluan
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling
sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap
kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf
setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting
adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder
yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan
kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas
hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial
yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.
Anatomi, fisiologi dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
8/29
masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen
magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah
terletak pada hiatus dari tentorium.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata
50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya).
Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak
dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat
ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk
mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa
). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas
kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi
terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK
seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang
otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa
berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil
tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan
darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir
kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau
robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada
otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi,
stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada
kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK
sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang
berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua
gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama
untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi
konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta
cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat
menurunkan tingkat kesadaran.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
9/29
Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasar morfologi :
(1). Fraktura tengkorak.
(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
10/29
(b). Basiler :
1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.
Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS 8, adalah bila : perburukan neurologis,
fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
tampaknya jaringan otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal,
tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan
tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar
dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan
dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan
dengan luka tembak dan luka tusuk.
BERDASAR BERATNYA
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan
kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak
dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunya
skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
11/29
GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala
sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.
BERDASAR MORFOLOGI
Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan,
kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut
CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami
evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak
terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda
klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi
elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala
dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20
kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporal-parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada
sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada
pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat.Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau
substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan
hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik
pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
12/29
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis
klinis.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera
akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat
disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk
paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major.
Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan
post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai
sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang
berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama (lebih dari
enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang
dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah
setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk
CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien
dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau
deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD
umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.
Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor
terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
13/29
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)
PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
14/29
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana
(GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8).
(Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
15/29
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan
pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2
poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah
dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial
(pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah
jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif
terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb.
dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5
hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada
atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi
berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi
setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu
menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya
bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan
intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk
(ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal
dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke
pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.
Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar
dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat
edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral
menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh.
Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma
langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan
pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi
bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks
cahaya negatif pulih dengan baik.
TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
16/29
1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera
dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi
dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau
bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan
jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti
posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi
atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk
dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20
X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan
sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan
tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah
serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi
dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral
turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga
berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi
dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan
menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau
membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mm Hg. Pada
anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan
usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi
serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit
digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah
normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi
mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran
memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit, kecuali
pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata
(MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra
rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
17/29
hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan
darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas
berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif
dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi
Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain
mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume
intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload
jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan
infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala,
pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat
bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma
tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan
kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3. TINDAKAN TERHADAP OTAK
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk
posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif
(penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi
adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis
memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.
Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna
dalam mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia
bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien dengan
penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa
secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera sekunder)
seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti
hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan
cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan
intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme
kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan efek
osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan
akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
18/29
dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga menurunkan
tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa
terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial
(karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi
kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa
mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.
Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada
bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan
lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf
pusat lain seperti fentanyl (50 g, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan
memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan
mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan
meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman,
berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia).
Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan
droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri
akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa
dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri
kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl
tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel.
Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,
serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada
memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status
mental tanpa disertai defisit fokal.
TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang
berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan
intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus
dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala. Transportasi merupakan bagian
penting yang mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan
seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
19/29
membantu menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan kendaraan,
benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya
pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri
denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil
memberikan informasi beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta
potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong sangat
menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah
sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD lebih
sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang
lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien,
untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau
menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.
ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH
SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan
atas jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : Kenapa anda?.
Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus
ditransport kepusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior aksila untuk merangsang buka
mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan motor dari GCS untuk
mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD berkemampuan resusitasi
segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku dengan posturing
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
20/29
ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit
untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak
dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau
berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah
sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg
bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah
tindakan bila perlu.
PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC
Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Kenapa Anda??
Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Cubitan Ketiak / Penekanan Pangkal kuku ?
Bila tidak, Tranport Langsung Pusat Trauma.
Bila GCS, M =1,2 GCS, M =3,4,5, Apakah Pupil Simetrik Dan Reaktif, Amankan jalan nafas (Intubasi bila
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
21/29
tersedia)
Hiperventilasi, Nilai Oksigenasi, Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia), Nilai Tekanan Darah
Pastikan TDS > 90 mm Hg
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
22/29
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan
bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat
riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3%
pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera
diketahui.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar
pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing,
mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala,
pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk
pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post
traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan
atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan
atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan
emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan
pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS,
hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk
dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien
alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus
diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan
dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam
dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12
jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT
scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana
(SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
23/29
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat.
Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan
kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG 8).
(Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada
tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan
neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial
atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi
intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun
dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masingmempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler
digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi
intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi,
seperti misalnya diuretika.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
24/29
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA
HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik
tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi
optimal dan ventilasi normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA
HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan
tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat
perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah
tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan
intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi
bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk
herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.
1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60
mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg
dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9
atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen
diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit
rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan
tekanan perfusi serebral.
Pengelolaan Inisial
Cedera Kepala Berat, GCS 8
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
25/29
Diagnostik / Terapi Evaluasi Trauma Umum Emergensi
Intubasi Endotrakheal, Resusitasi Cairan, Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg), Oksigenasi, Sedasi,
Paralisis Farmakologis (aksi pendek)
Herniasi ?* Perburukan ?* Hiperventilasi * Mannitol 1 g/kg *
* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan
ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS
3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema
atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut
: usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak
rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga
beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti
intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai
tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring
TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat
berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar,
karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
26/29
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 25 mm
Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah
karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk
jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan
serebrospinal dan diuretik osmotik.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB.
Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan
ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l
agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley
sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian
tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik
stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun
risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3
pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma
barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan
tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
GCS < 10.
Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
Fraktur tengkorak terdepres.
Hematoma subdural.
Hematoma epidural.
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
27/29
Hematoma intraserebral.
Cedera tembus tengkorak.
Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga
pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial,
perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter.
Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya
bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus
kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada
keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra
rumah sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat
pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang
mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil
dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi
perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan
segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar
pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan
respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal
besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan
TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
28/29
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik
tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1
tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis
tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal
terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.
Jalur kritis Pasang Monitor TIK (bila ada)
Mengatasi Pertahankan CPP > 70 mm Hg
Hipertensi
Intrakranial.
* Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi
massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan,
pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan, waktu
-
7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK
29/29
adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih
baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan
segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan
obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat,
serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama
menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm
Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi
ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan
monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan
tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan
dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap
waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti
barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2
dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.
RUJUKAN
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The
Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.
Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and
Wilkins, 1996. 1611-1622.
Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press,
1991. 235-291.
Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma Fondation, New York. 2000,
Brain Trauma Fondation.
Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain Trauma FondationAmerican Association of Neurological
Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation.
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and Severe Head Injuries in
Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718
Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.