kranioktomi, fraktur, trauma kepala, tik

Upload: nova-ragilia-mandasari

Post on 05-Apr-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    1/29

    KRANIEKTOMI DEKOMPRESI UNTUK EDEMA SEREBRI

    a. Definisi

    Edema serebri adalah pembekakan jaringan otak yang berkaitan dengan trauma.

    b. Indikasi Operasi

    Edema serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran.c. Kontra indikasi operasi

    Umum keadaan pasien yang jelek

    d. Diagnosis Banding

    Semua cedera kepala yang mengakibatkan penurunan kesadaran

    Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah

    kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring

    ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.

    Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala

    sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah

    kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.

    Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk

    mengetahui lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai

    dengan canthus lateralis orbita).

    Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup

    lapangan operasi dengan doek steril.

    Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60o. Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal

    dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada

    pangkal flap dan fiksasi pada doek.

    Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan dburrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.

    Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar(Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.

    Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bonewax. Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    2/29

    Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde. Masukan penuntun giglpada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole d

    sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita. Patahkan tulang kepala

    dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah

    dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.

    Setelah terdekompresi fragmen tulang dapat di simpan di subgaleal atau di dinding abdomen kemudian lapanganoperasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:

    - Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.

    - Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.

    - Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0.

    - Jahit kulit dengan silk 3.0.

    - Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).

    e. Komplikasi operasi

    Komplikasi berupa infeksi luka operasi dikepala maupun di dinding abdomen tempat menyimpang tulang.

    f. MortalitasMortalitas tergantung berat ringannya cedera otak.

    g. Perawatan Pascabedah dan Follow Up

    Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Perawatan luka dilakukan pada lukaoperasi dikepala dan pada dinding abdomen. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7.

    Tindakan pemasangan fragmen tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

    FRAKTUR FEMUR

    Introduksi

    a. Definisi

    Fraktur yang terjadi pada tulang femur.

    Mekanisme trauma yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain:

    (I) pada jenis Femoral Neck fraktur karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpeleset di kamar

    mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas, biasanya tulang

    bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok, berat badan rendah, terapi steroid, phenytoin

    dan jarang berolahraga, merupakan trauma high energy;

    (2) Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang bersifat memuntir;

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    3/29

    (3) Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi kaki melekat pada dasar disertai putaran yang

    diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat transversal atau oblik karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis

    biasanya terjadi akibat metastasis tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat syok

    b. Ruang lingkup

    Fraktur tulang femur terdiri atas: Femoral Head fracture, Femoral Neck fracture, Intertrochanteric fracture, Subtrochanteric

    fracture, Femoral Shaft fracture, Supracondylar/Intercondylar Femoral fracture (Distal Femoral fracture)

    Femoral Head fraktur

    Berdasarkan klasifikasi Pipkin: (1) Tipe 1: fraktur dibawah fovea; (2) Tipe 2: fraktur diatas fovea; (3) Tipe 3: tipe 1 atau

    tipe 2 ditambah fraktur femoral neck; (4) Tipe 4: tipe 1 atau tipe 2 ditambah fraktur acetabulum

    Femoral Neck fraktur

    Berdasarkan klasifikasi Pauwel: (1) Tipe 1: sudut inklinasi garis fraktur 70

    Berdasarkan klasifikasi Garden: (1) Garden 1: Fraktur inkomplet atau tipe abduksi/valgus atau impaksi; (2) Garden 2

    fraktur lengkap, tidak ada pergeseran; (3) Garden 3: fraktur lengkap, disertai pergeseran tapi masih ada perlekatan atau

    inkomplet disertai pergeseran tipe varus; (4) Garden 4: Fraktur lengkap disertai pergeseran penuh

    Trochanteric fraktur

    Diklasifikasikan menjadi 4 tipe (1) Tipe 1: fraktur melewati trokanter mayor dan minor tanpa pergeseran; (2) Tipe 2: fraktur

    melewati trokanter mayor disertai pergeseran trokanter minor; (3) Tipe 3: fraktur disertai fraktur komunitif; (4) Tipe 4:

    fraktur disertai fraktur spiral

    Femoral Shaft fraktur

    Klasifikasi OTA: (1) Tipe A: Simple fraktur, antara lain fraktur spiral, oblik, transversal; (2) Tipe B: wedge/butterfly

    comminution fraktur; (3) Tipe C: Segmental communition

    Klasifikasi Winquist-Hansen: (1) Type 0: no communition; (2) Tipe 1: 25% butterfly; (3) Tipe 2: 25-50% butterfly; (4) Tipe3: >50% communition; (5) tipe segmental ; (6) Tipe 5 : segmental dengan bone loss

    Supracondylar/Intercondylar Femoral fraktur (Distal Femoral fraktur)

    Klasifikasi Neer, Grantham, Shelton (1) Tipe 1: fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk 1; (2) Tipe II A : fraktur

    suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafise (bentuk Y); Tipe II B : bagian metafise lebih kecil; (3) fraktur

    suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler tidak total

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    4/29

    Untuk penegakkan diagnosis diperlukan diperlukan pemeriksaan fisik. Pada fraktur tipe femoral neck dan trochanteric

    ditemukan pemendekkan dan rotasi eksternal. Selain itu ditemukan nyeri dan bengkak. Juga dinilai gangguan sensoris

    daerah jari I dan II, juga pulsasi arteri distal. Untuk pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen posisi anteroposterior

    dan lateral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain hemoglobin, leukosit, trombosit, CT, BT.

    c. Indikasi Operasi

    Pada fraktur femur anak, dilakukan terapi berdasarkan tingkatan usia. Pada anak usia baru lahir hingga 2 tahun dilakukan

    pemasangan bryant traksi. Sedangkan usia 2-5 tahun dilakukan pemasangan thomas splint. Anak diperbolehkan pulang

    dengan hemispica.

    Pada anak usia 5-10 tahun ditatalaksana dengan skin traksi dan pulang dengan hemispica gips. Sedangkan usia 10

    tahun ke atas ditatalaksana dengan pemasangan intamedullary nails atau plate dan screw.

    Untuk fraktur femur dewasa, tipe Femoral Head, prinsipnya adalah reduksi dulu dislokasi panggul. Pipkin I, II post reduks

    diterapi dengan touch down weight-bearing 4-6 minggu. Pipkin I, II dengan peranjakan >1mm diterapi dengan ORIF.

    Pipkin III pada dewasa muda dengan ORIF, sedangkan pada dewasa tua dengan endoprothesis. Pipkin IV diterapi

    dengan cara yang sama pada fraktur acetabulum.

    Tipe Femoral Neck, indikasi konservatif sangat terbatas. Konservatif berupa pemasangan skin traksi selama 12-16

    minggu. Sedangkan operatif dilakukan pemasangan pin, plate dan screw atau arthroplasti (pada pasien usia >55 tahun),

    berupa eksisi arthroplasti, hemiarthroplasti dan arthtroplasti total.

    Fraktur Trochanteric yang tidak bergeser dilakukan terapi konservatif dan yang bergeser dilakukan ORIF. Penanganan

    konservatif dilakukan pada supracondylar dan intercondylar, femur atau proksimal tibia. Beban traksi 9 kg dan posisi lutu

    turns selama 12 minggu. Sedangkan untuk intercondylar, untuk terapi konservatif, beban traksi 6 kg, selama 12-14

    minggu.

    Fraktur Shaft femur bisa dilakukan ORIF dan terapi konservatif. Terapi konsevatif hanya bersifat untuk mengurang

    spasme, reposisi dan immobilisasi. Indikasi pada anak dan remaja, level fraktur terlalu distal atau proksimal dan fraktur

    sangat kominutif. Pada anak, Cast bracing dilakukan bila terjadi clinical union.

    d. Kontraindikasi Operasi

    Pada pasien dengan fraktur terbuka, diperlukan debridement hingga cukup bersih untuk dilakukan pemasangan ORIF

    Kontraindikasi untuk traksi, adanya thromboplebitis dan pneumonia. Atau pada pasien yang kondisi kesehatan tidak

    memungkinkan untuk operasi.

    f. Pemeriksaan Penunjang

    Foto roentgen, CT Scan dan MRI. Jika perlu dilakukan foto perbandingan.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    5/29

    Teknik Terapi Konservatif Operasi

    Pemasangan skeletal traksi

    Pasien berbaring posisi supine, Mikulicz line, dengan fleksi pada art genu.

    Prosedur aseptik/antiseptik

    Approach, pada distal femur 1 inchi inferior tubercle adduktor. Pada proximal tibia 1 inchi inferior dan 5 inchi inferior

    tubercle tibia.

    Anestesi lokal dengan lidokain 1%. Anestesi disuntikkan hingga ke periosteum.

    Insisi dengan pisau no.11. Approach bagian medial untuk distal femur dan lateral untuk proksimal tibia

    Wire diinsersikan dengan menggunakan hand drill, untuk menghindari nekrosis tulang sekitar insersi pin (bila

    menggunakan alat otomatis). Jenis wire yang bisa digunakan disini adalah Kirschner wire no.5

    Pemasangan K-Nail (Kuntscher-Nail) secara terbuka pada fraktur femur 1/3 tengah > Adapun teknik pemasangan K

    nail adalah sebagai berikut:

    - Pasien tidur miring ke sisi sehat dengan fleksi sendi panggul dan lutut

    - Approach posterolateral dari trochanter mayor ke condylus lateral sepanjang 15cm di atas daerah fraktur

    - Fascia lata dibelah dan m. vastus lateralis dibebaskan secara tajam dan septum intermuskularis disisihkan ke anterior

    - Ligasi a/v perforantes

    - Bebaskan periosteum untuk mencapai kedua fragmen fraktur.

    - Bebaskan kedua fragmen fraktur dari darah dan otot

    - Ukur panjang K-nail. Pasang guide ke arah fragmen proksimal dan Ietakkan di tengah, dengan posisi fleksi dan

    adduksi sendi panggul. Bagian kulit yang tertembus dibuat sayatan.

    - K-nail dipasang dengan guide menghadap posteromedial

    - Ujung proksimal K-nail dibenamkan 1-2 cm di atas tulang, jika terdapat rotational instability, beri anti rotation bar, atau

    pakai cerelage wiring atau ganti K-nail

    - Pemasangan K-nail sebaiknya setelah 7-14 hari pasca trauma.

    - Cara lain pemasangan K-nail dengan bantuan fluoroscopy.

    Plating pada fraktur fmur 1/3 tengah

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    6/29

    Pasien tidur miring ke sisi sehat dengan fleksi sendi panggul dan lutut

    Approach posterolateral dari trochanter mayor ke condylus lateral sepanjang 15cm di atas daerah fraktur

    Fascia lata dibelah dan m. vastus lateralis dibebaskan secara tajam dan septum intermuskularis disisihkan ke anterior

    Ligasi a/v perforantes

    Bebaskan periosteum untuk mencapai kedua fragmen fraktur.

    Bebaskan kedua fragmen fraktur dari darah dan otot

    Reduksi fragmen fraktur

    Pemasangan plate (Broad Plate) pada permukaan anterior atau lateral dengan memakai 8 screw pada masing-masing

    fragmen fraktur.

    g. Komplikasi Operasi

    Komplikasi pada fraktur femur, termasuk yang diterapi secara konservatif antara lain, bersifat segera: syok, fat embolism

    neurovascular injury seperti injury nervus pudendus, nervus peroneus, thromboembolism, volkmann ischemic dan infeksi.

    Komplikasi lambat: delayed union, non union, decubitus ulcer, ISK dan joint stiffness. Pada pemasangan K-nai

    adventitious bursa, jika fiksasi terlalu panjang dan fiksasi tidak rigid jika terlalu pendek.

    h. Mortalitas

    Mortalitas berkaitan dengan adanya syok dan embolisme.

    i. Perawatan Pasca Bedah

    Pasien dengan pemasangan traksi, rawat di ruangan dengan fasilitas ortopedi. Sedangkan pada pasien dengan

    pemasangan ORIF, rawat di ruangan pemulihan, cek hemoglobin pasca operasi.

    j. Follow up

    Untuk Follow up pasien dengan skeletal traksi, lakukan isometric exercise sesegera mungkin dan jika edema hilang,lakukan latihan isotonik.

    Pada fraktur femur 1/3 proksimal traksi abduksi >30 dan exorotasi. Pada 1/3 tengah posisi abduksi 30 dan tungkai mid

    posisi, sedangkan pada 1/3 distal, tungkai adduksi < 30 dan kaki mid posisi. Pada fraktur distal perhatikan ganjal lutut

    berikan fleksi ringan, 15.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    7/29

    Setiap harinya, perhatikan arah, kedudukan traksi, posterior dan anterior bowing. Periksa dengan roentgen tiap 2 har

    sampai accepted, kemudian tiap 2 minggu. Jika tercapai clinical union, maka dilakukan weight bearing, half weigh

    bearing dan non weight bearing dengan jarak tiap 4 minggu.

    Sedangkan untuk follow up pasca operatif, minggu ke-1 > hari pertama kaki fleksi dan ektensi, kemudian minggu

    selanjutnya miring-miring. Minggu ke-2 jalan dengan tongkat dan isotonik quadricep. Fungsi lutut harus pulih dalam 6

    minggu.

    Pada pasien anak, follow up dengan roentgen, jika sudah terjadi clinical union, pasang hemispica dan pasien boleh

    kontrol poliklinik.

    VI. 4. TRAUMA KEPALA

    Pendahuluan

    Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling

    sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap

    kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.

    Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf

    setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting

    adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder

    yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan

    kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.

    Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas

    hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial

    yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

    Anatomi, fisiologi dan patofisiologi

    Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    8/29

    masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen

    magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah

    terletak pada hiatus dari tentorium.

    Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata

    50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya).

    Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak

    dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat

    ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk

    mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).

    Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa

    ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas

    kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.

    Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi

    terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK

    seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang

    otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa

    berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil

    tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan

    darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir

    kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau

    robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada

    otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi,

    stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada

    kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK

    sendiri.

    Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang

    berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.

    Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua

    gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama

    untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi

    konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.

    Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta

    cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat

    menurunkan tingkat kesadaran.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    9/29

    Klasifikasi

    Didasarkan pada aspek :

    a. Mekanisme trauma

    (1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

    (2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll

    b. Beratnya

    Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)

    (1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)

    (2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)

    (3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)

    c. Berdasar morfologi :

    (1). Fraktura tengkorak.

    (a). Kalvaria :

    1. Linier atau stelata.

    2. Terdepres atau tidak terdepres.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    10/29

    (b). Basiler :

    1. Anterior.

    2. Media.

    3. Posterior.

    (2). Lesi intrakranial.

    (a). Fokal :

    (1). Perdarahan meningeal :

    1. Epidural.

    2. Subdural.

    3. Sub-arakhnoid.

    (2). Perdarahan dan laserasi otak :

    Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.

    Benda asing, peluru tertancap.

    (b). Difusa :

    1. Konkusi ringan.

    2. Konkusi klasik.

    3. Cedera aksonal difusa.

    Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi.

    Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS 8, adalah bila : perburukan neurologis,

    fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau

    tampaknya jaringan otak.

    Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal,

    tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan

    tindakan spesifik).

    BERDASAR MEKANISME

    Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar

    dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,

    tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan

    dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan

    dengan luka tembak dan luka tusuk.

    BERDASAR BERATNYA

    Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan

    kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak

    dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunya

    skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    11/29

    GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala

    sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.

    BERDASAR MORFOLOGI

    Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan,

    kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut

    CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami

    evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.

    Fraktura Tengkorak

    Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak

    terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda

    klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi

    elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala

    dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.

    Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20

    kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.

    Lesi Intrakranial

    Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma

    subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal

    namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam

    Lesi Fokal

    Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporal-parietal dan sering

    akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada

    sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari

    keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila

    ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome

    langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada

    pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

    Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat.Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau

    substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma

    epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera

    Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan

    hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan

    antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik

    pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    12/29

    secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis

    klinis.

    Cedera difusa

    Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera

    akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.

    Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat

    disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk

    paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major.

    Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.

    Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan

    post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya

    kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai

    sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang

    berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

    Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama (lebih dari

    enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang

    dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah

    setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk

    CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.

    CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien

    dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau

    deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,

    hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD

    umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.

    Pemeriksaaan GCS

    Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor

    terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

    Respon membuka mata (eye)(4). Spontan dengan adanya kedipan

    (3). Dengan suara

    (2). Dengan nyeri

    (1). Tidak ada reaksi

    Respon bicara (verbal)

    (5). Orientasi baik

    (4). Disorientasi (mengacau/bingung)

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    13/29

    (3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

    (2). Suara yang tidak berbentuk kata

    (1). Tidak ada suara

    Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

    (5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

    (4). Menangis, tapi bisa diredakan

    (3). Teriritasi secara menetap

    (2). Gelisah, teragitasi

    (1). Diam saja

    Respon motorik (motor)

    (6). Mengikuti perintah

    (5). Melokalisir nyeri

    (4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

    (3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

    (2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

    (1). Tidak ada gerakan

    Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

    PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)

    Ikuti protokol trauma.

    CEDERA KEPALA RINGAN

    Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).

    (Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

    Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

    1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,

    nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang

    2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

    3. Pemeriksaan neurologis

    Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:

    1. Amnesia post traumatika jelas

    2. Riwayat kehilangan kesadaran

    3. Penurunan tingkat kesadaran

    4. Nyeri kepala sedang hingga berat

    5. Intoksikasi alkohol atau obat

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    14/29

    6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak

    7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

    8. Kejang

    9. Cedera penyerta yang jelas

    10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

    Dipulangkan :

    1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk

    2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan

    tentang 'lembar peringatan'

    3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

    CEDERA KEPALA SEDANG

    Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana

    (GCS 9-13).

    Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

    1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan

    hidung/mulut/telinga, kejang

    2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

    3. Pemeriksaan neurologis

    4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

    CEDERA KEPALA BERAT

    Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8).

    (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

    PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT

    1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH

    Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    15/29

    2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW

    GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan

    pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2

    poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.

    GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah

    dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial

    (pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah

    jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif

    terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb.

    dimetabolisasi.

    GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5

    hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.

    3. PUPIL

    Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada

    atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.

    Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi

    berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi

    setelah resusitasi dan stabilisasi.

    Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu

    menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya

    bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan

    intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk

    (ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal

    dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke

    pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.

    Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar

    dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat

    edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral

    menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh.

    Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma

    langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan

    pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi

    bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks

    cahaya negatif pulih dengan baik.

    TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    16/29

    1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI

    Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera

    dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi

    dengan memberikan oksigen suplemen.

    Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau

    bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan

    jalan nafas.

    Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti

    posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi

    atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk

    dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20

    X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan

    sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan

    tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah

    serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi

    dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral

    turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga

    berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi

    dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan

    menuntun tingkat ventilasi.

    2. RESUSITASI CAIRAN

    Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau

    membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mm Hg. Pada

    anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan

    usia 13-16 < 90 mm Hg.

    Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi

    serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit

    digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah

    normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi

    mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran

    memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit, kecuali

    pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.

    Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata

    (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi

    denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra

    rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    17/29

    hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan

    darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas

    berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif

    dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi

    Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain

    mungkin 80 atau 100.

    Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume

    intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload

    jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan

    infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala,

    pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat

    bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma

    tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan

    kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.

    3. TINDAKAN TERHADAP OTAK

    Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk

    posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif

    (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi

    adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis

    memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.

    Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.

    Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna

    dalam mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.

    Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia

    bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien dengan

    penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa

    secara empiris.

    Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera sekunder)

    seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti

    hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan

    cedera neuronal.

    Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan

    intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme

    kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan efek

    osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan

    akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    18/29

    dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga menurunkan

    tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa

    terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial

    (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi

    kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa

    mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.

    Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada

    bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan

    lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf

    pusat lain seperti fentanyl (50 g, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).

    Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan

    memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan

    mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan

    meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman,

    berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia).

    Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan

    droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri

    akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa

    dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.

    Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri

    kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl

    tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel.

    Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,

    serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada

    memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status

    mental tanpa disertai defisit fokal.

    TRANSPORTASI

    Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang

    berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan

    intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.

    Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus

    dirujuk kepusat bedah saraf.

    Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala. Transportasi merupakan bagian

    penting yang mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :

    Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan

    seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    19/29

    membantu menentukan adanya cedera otak.

    Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan kendaraan,

    benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya

    pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri

    denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil

    memberikan informasi beratnya cedera otak.

    Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta

    potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong sangat

    menentukan mutu intervensi.

    Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.

    Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah

    sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD lebih

    sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.

    Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang

    lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien,

    untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau

    menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.

    ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH

    SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).

    Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan

    atas jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.

    Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : Kenapa anda?.

    Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus

    ditransport kepusat trauma.

    Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior aksila untuk merangsang buka

    mata.

    Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan motor dari GCS untuk

    mendapatkan skor total.

    Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat trauma dengan kemampuan :

    CT scan 24 jam.

    Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.

    Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.

    Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD berkemampuan resusitasi

    segera pasien kritis.

    Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung ditransport ke pusat trauma tsb.

    Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku dengan posturing

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    20/29

    ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit

    untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).

    Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak

    dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau

    berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.

    Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah

    sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg

    bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.

    Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah

    tindakan bila perlu.

    PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)

    Ikuti protokol trauma.

    CEDERA KEPALA RINGAN

    Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).

    (Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

    Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

    1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,

    nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang

    2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

    3. Pemeriksaan neurologis

    4. Radiografi tengkorak

    5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

    6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).

    7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria

    rawat.

    Algoritma Pasien COT

    Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit Rujukan.

    Nilai, Tindak, Stabilkan ABC

    Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Kenapa Anda??

    Apa Pasien Membuka Mata Terhadap Cubitan Ketiak / Penekanan Pangkal kuku ?

    Bila tidak, Tranport Langsung Pusat Trauma.

    Bila GCS, M =1,2 GCS, M =3,4,5, Apakah Pupil Simetrik Dan Reaktif, Amankan jalan nafas (Intubasi bila

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    21/29

    tersedia)

    Hiperventilasi, Nilai Oksigenasi, Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia), Nilai Tekanan Darah

    Pastikan TDS > 90 mm Hg

    Kriteria Rawat:

    1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)

    2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

    3. Penurunan tingkat kesadaran

    4. Nyeri kepala sedang hingga berat

    5. Intoksikasi alkohol atau obat

    6. Fraktura tengkorak

    7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

    8. Cedera penyerta yang jelas

    9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

    10. CT scan abnormal

    Dipulangkan dari UGD:

    1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat

    2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang

    'lembar peringatan'

    3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    22/29

    Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan

    bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat

    riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3%

    pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera

    diketahui.

    Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar

    pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing,

    mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:

    1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala,

    pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk

    pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.

    2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post

    traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan

    atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.

    3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan

    atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan

    emergensi.

    Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan

    pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS,

    hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk

    dirawat.

    Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien

    alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.

    Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus

    diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.

    Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan

    dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam

    dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12

    jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.

    Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT

    scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.

    CEDERA KEPALA SEDANG

    Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana

    (SKG 9-13).

    Pengelolaan:

    Di Unit Gawat Darurat:

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    23/29

    1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan

    hidung / mulut / telinga, kejang

    2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

    3. Pemeriksaan neurologis

    4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus

    5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

    6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin

    7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah

    8. Tes darah dasar dan EKG

    9. CT scan kepala

    10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

    Setelah dirawat:

    1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam

    2. CT scan bila ada perburukan neurologis

    Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat.

    Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan

    kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.

    CEDERA KEPALA BERAT

    Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG 8).

    (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

    PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT

    Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada

    tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan

    neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial

    atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi

    intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun

    dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.

    Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masingmempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler

    digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.

    Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi

    intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi,

    seperti misalnya diuretika.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    24/29

    1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA

    HERNIASI

    Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik

    tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi

    optimal dan ventilasi normal.

    2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA

    HERNIASI

    Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan

    tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat

    perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah

    tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.

    Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan

    intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi

    bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk

    herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.

    1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI

    Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60

    mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg

    dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9

    atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen

    diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.

    Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit

    rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan

    tekanan perfusi serebral.

    Pengelolaan Inisial

    Cedera Kepala Berat, GCS 8

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    25/29

    Diagnostik / Terapi Evaluasi Trauma Umum Emergensi

    Intubasi Endotrakheal, Resusitasi Cairan, Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg), Oksigenasi, Sedasi,

    Paralisis Farmakologis (aksi pendek)

    Herniasi ?* Perburukan ?* Hiperventilasi * Mannitol 1 g/kg *

    * Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan

    ekstrakranial.

    2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)

    Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS

    3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema

    atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut

    : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak

    rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.

    Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga

    beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti

    intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.

    TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai

    tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring

    TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat

    berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar,

    karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    26/29

    3. HIPERVENTILASI

    Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 25 mm

    Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.

    Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah

    karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.

    Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk

    jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan

    serebrospinal dan diuretik osmotik.

    4. MANNITOL

    Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB.

    Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan

    ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l

    agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley

    sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.

    Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian

    tekanan intrakranial.

    5. BARBITURAT

    Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik

    stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun

    risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan

    memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.

    Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3

    pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma

    barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.

    6. STEROID

    Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan

    tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.

    7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF

    Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :

    GCS < 10.

    Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.

    Fraktur tengkorak terdepres.

    Hematoma subdural.

    Hematoma epidural.

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    27/29

    Hematoma intraserebral.

    Cedera tembus tengkorak.

    Kejang dalam 24 jam sejak cedera.

    Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga

    pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial,

    perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter.

    Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya

    bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus

    kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada

    keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra

    rumah sakit.

    8. INDIKASI OPERASI

    Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat

    pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang

    mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil

    dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi

    perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan

    segera.

    Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar

    pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan

    respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.

    Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal

    besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.

    Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan

    TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :

    1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh

    serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.

    2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia

    berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media

    berapapun jauhnya.

    3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula

    interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap

    massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.

    4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral

    media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi

    paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    28/29

    herniasi tentorial dengan sangat cepat.

    Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik

    tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1

    tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis

    tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal

    terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.

    Jalur kritis Pasang Monitor TIK (bila ada)

    Mengatasi Pertahankan CPP > 70 mm Hg

    Hipertensi

    Intrakranial.

    * Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).

    Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi

    massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan,

    pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan, waktu

  • 7/31/2019 kranioktomi, fraktur, trauma kepala, TIK

    29/29

    adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih

    baik.

    JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL

    Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan

    segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan

    obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat,

    serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih.

    Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama

    menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm

    Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi

    ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan

    monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan

    tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan

    dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap

    waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.

    Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti

    barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2

    dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.

    RUJUKAN

    Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The

    Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.

    Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and

    Wilkins, 1996. 1611-1622.

    Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press,

    1991. 235-291.

    Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma Fondation, New York. 2000,

    Brain Trauma Fondation.

    Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for the Management of Severe

    Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain Trauma FondationAmerican Association of Neurological

    Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. 2000, Brain Trauma Fondation.

    Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and Severe Head Injuries in

    Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718

    Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.