kota pejalan kaki nadia4a
TRANSCRIPT
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
1/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 1
KONDISI FASILITAS FISIK PEJALAN KAKI DI INDONESIANadia Khaira Ardi, ST, MT
Dosen Prodi Teknik SipilFakultas Teknik UNRIKA Batam
Pendahuluan
Banyak keluarga merasa lebih baik jika masyarakat mereka memiliki
sebuah sistem transportasi yang efisien dan seimbang dengan
layanan angkutan umum, bersepeda dan jalan kaki berkualitas baik,
daripada jika masyarakat mereka tergantung pada mobil, yang
mengharuskan setiap keluarga menanggung ongkos kepemilikan
sebuah mobil, mendanai pembangunan jalan dan fasilitas parkir,menghadapi kemacetan lalu lintas dan menanggung biaya tinggi
kecelakaan lalu lintas.
Praktek perencanaan konvensional memungkinkan lalu lintas mobil mendominasi ruang
jalan kota. Walaupun dalam teorinya motoris dan non-motoris memiliki hak yang sama
untuk menggunakan jalan umum, lalu lintas kendaraan bermotor mendorong keluar
pengguna lainnya karena bahaya dan ukurannya yang lebih besar serta kecepatannya
yang lebih tinggi. Mobil menggunakan 10 sampai 50 kali ruang per penumpang
dibanding moda lain dan ia membahayakan keselamatan para pejalan kaki dan
pengguna sepeda. Manajemen yang lebih efisien memberikan prioritas untuk moda
yang membutuhkan lebih sedikit ruang per penumpang-kilometer, dan terutama pada
perjalanan bernilai tinggi seperti transportasi darat dan angkutan barang.
Semua orang berhak atas sistem transportasi yang lebih aman, lebih efisien, lebih terjangkau,
lebih bersih, lebih sehat dan lebih ramah (The Sustran Network, 2002). Berjalan kaki juga
merupakan perekat bagi sistem trasportasi. Setiap perjalanan pasti termasuk berjalan kaki.
Kebutuhan ruang untuk pejalan dan ruang terbuka untuk aktivitas sirkulasi, rekreasi dan sosial
di perkotaan semakin meningkat, tetapi secara jumlah/luasan semakin menurun dengan
bertambahnya investasi dalam bentuk bangunan (M. Tri Hesti M, 1999).
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
2/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 2
Jalur pejalan kaki (pedestrian ways) dalam perancangan kota merupakan elemen penting.
Perencanaan jalur pejalan kaki tidak hanya merupakan upaya peningkatan kualitas visual.
Lebih dari itu elemen pejalan kaki yang nyaman merupakan elemen pendukung retail dan
vitalitas kota. Sistem pejalan kaki yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan,
meningkatkan perjalanan, meningkatkan kulitas fisik visual kota dengan pertimbangan skala
manusia, menciptakan lebih banyak aktivitas retail dan akhirnya akan membantu peningkatan
reproduktivitas sosial budaya dan ekonomi (Shirvani, 1985 dan Marco, 2003).
Perubahan lain yang membawa dampak negatif terhadap kenikmatan jalur pejalan kaki adalah
kendaraan bermotor. Desakan memodernisir kota mengakomodasikan kebutuhan kendaraan
bermotor lebih baik daripada pejalan kaki, sehingga akses yang mudah dan tempat
penyimpanan kendaraan menjadi prioritas penting. Akibatnya banyak kenikmatan tempat
pejalan kaki yang pernah dimiliki banyak kota dikorbankan bagi kendaraan. Perubahan yang
didasari oleh alasan ekonomis dan modernitas ini hanya akan merusak kenikmatan kota
(Catenese, 1986).
Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), merupakan bagian dari sistem sirkulasi perkotaan secara
keseluruhan yang sekaligus merupakan elemen penting dalam perancangan kota. Adanya jalur
pedestrian membuat kota tidak hanya berorientasi pada keindahan semata, karena
kenyamanan merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan pedestrian ways. Di dalam
jalur pejalan kaki yang ramah, aktivitas penggunaan lahan di desain dan diaransemen dalam
kontek bahwa pelaku perjalanan dengan jalan kaki lebih diutamakan/ditekankan. Penciptaan
lingkungan pejalan kaki harus selalu memperhatikan skala manusia dan proporsi ruang yang
digunakan oleh manusia (FHWA-US, 2000).
Faktor yang melatarbelakangi orang untuk berjalan kaki sangat beragam dan sulit untuk
didefinisikan secara singkat. Biasanya terfokus pada aktivitas rekreasi yang berkaitan dengan
kenyamanan lingkungan pejalan kaki. Adanya trend masyarakat kota berjalan kaki dari
tempat parkir ke tempat beraktivitas, atau dari tempat aktivitas ke halte/selter untuk mencari
angkutan umum, menyebabkan peran fasilitas ini berkembang.
Sistem jaringan pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan penduduk kota terhadap
kendaraan, meningkatkan kualitas lingkungan, serta mampu menciptakan kegiatan pendukung
perkotaan. Issu kunci yang melatarbelakangi perancangan sistem pedestrian adalah menjaga
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
3/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 3
keseimbangan antara penggunaan jalur pedestrian dengan fasilitas kendaraan
bermotor. Kondisi ini akan menciptakan suasana kota menjadi lebih hidup dengan ruang-ruang
publik yang menarik, namun dalam waktu yang bersamaan dapat dijalin hubungan yang baik
antara kegiatan tersebut dengan kegiatan pelayanan umum dan fasilitas yang dimiliki oleh
masyarakat secara indifidual (Edy D, 2003)
Ketersediaan prasarana dan sarana aksesibilitas bagi pejalan kaki dan pengguna
angkutan umum merupakan dua faktor yang sangat erat hubungannya. Pengguna
angkutan umum sangat membutuhkan jalur pedestrian yang aman dan nyaman guna
mencapai public transport. Fasilitaspublic transportyang baik mempermudah gerakan
manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Masyarakat yang menggunakan
kendaraan umum sangat membutuhkan sistem aksesibilitas publik yang prima. Sistem
itu berupa prasarana dan sarana pedestrian bagi pejalan kaki dan transportasi publik.
Model Kebijakan bagi Pengembangan Fasilitas Pedestrian
Berikut adalah beberapa model kebijakan bagi pengembangan fasilitas pedestrian:
1. New Urbanism
Dengan karakteristik:
Penempatan fasilitas bagi pejalan kaki untuk aktivitas bekerja, sehingga dapat diakses
dalam waktu 10 menit;
Perancangan jalan yang ramah terhadap pedestrian (gedung yang berdekatan dengan
jalan, on-street parking, areal parkir yang tersembunyi,slow speed street);
Jalan yang bebas dari kendaraan bermotor pada waktu yang ditetapkan.
2. Complete Street
Gagasan ini menyatakan bahwa jalan lokal hanya menjadi lengkap apabila memberikan
kesempatan yang sama bagi seluruh moda transportasi, meliputi berjalan dan bersepeda
(IHI, 2007: 6). Kebijakan ini dikembangkan oleh US. Departement of Transportation,
didasarkan atas prinsip bahwa pengendara sepeda dan pedestrian memiliki hak yang sama
untuk bergerak sepanjang jalan umum, kecuali dilarang untuk hal tersebut. Keselamatan
yang menyangkut pengendara didesain dan dioperasikan untuk seluruh pengguna.
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
4/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 4
The Green Book yang dikembangkan oleh AASTHO (2004) turut memberikan dukungan
terhadap pengembangan fasilitas pedestrian. AASTHO (dalam IHI, 2007:7) menggambarkan
posisi pedestrian sebagai berikut:
Pedestrians are a part of every roadway environment and attention must be paid to their
presence in urban and rural areasBecause of the demands of vehicular traffic in congested
urban areas, it is often extremely difficult to make adequate provisions for pedestrians. Yet this
must be done, because pedestrians are the lifeblood of our urban areas, especially in the
downtown and other retail shopping areas.
Dengan demikian, bagaimana pun situasi yang dihadapi suatu kawasan, penyediaan fasilitas
pedestrian wajib untuk mendapat posisi yang layak. Beradasarkan kerangka kebijakan ini,
AASTHO menempatkan fasilitas pedestrian sebagai bagian jalan yang turut direncanakan,
sebagai bagian dari perancangan geometrik jalan untuk highwaymaupun street.
Fasilitas Pejalan Kaki dalam Konteks Regulasi di Indonesia
Dalam konteks regulasi di Indonesia, penyediaan fasilitas pejalan kaki berpedoman pada PP
No. 43 tahun 2004, tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
memberikan perhatian terhadap aksesibilitas di tempat- tempat umum, UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan
Suatu kota dikatakan berkelanjutan apabila mampu melakukan konservasi sumber daya
alam, seperti: menekan konsumsi material, air, energi dan bahan bakar (Santa Monica
Sustainability Plan). Tersedianya fasilitas aksesibilitas dan publik transport yang baik
menekan konsumsi energi dan bahan bakar. Tersedianya sistem aksesibilitas danpublic transportyang baik akan menjadikan suatu kota berkelanjutan.
Konsep dasar pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang selalu
memperhatikan: (1) fungsi ekologi, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi ekonomi. Tujuannya
agar proses pembangunan menghasilkan nilai tambah tanpa merusak fungsi ekologi
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
5/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 5
dan memberikan manfaat sosial bagi masyarakat. Adapun aspek-aspek penting dalam
pengembangan desain kota yang berkelanjutan meliputi: (1) landform/microclimate, (2)
site design, (3) infrastructure efficiency, (4) land use, (5) transportation, dan (6) on site
energy resources(Sudarwanto, 2008).
Aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki sangat dibutuhkan. Di area pedestrian,
dibutuhkan tersedianya trotoar yang lapang sebagai sarana aksesibilitas pejalan kaki.
Widagdo (2008) menjelaskan bahwa trotoar merupakan sarana tempat orang
melakukan aktivitas berjalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebuah upaya untuk
mencapai suatu tujuan, yang dibangun sebagai tempat bagi pejalan kaki, pemakai kursi
roda, dan kereta bayi agar dapat berjalan dengan lancar, aman, nyaman dan tidak
mengganggu kelancaran lalu lintas serta menghindari kecelakaan (Sutjana).
Dalam pembangunan berkelanjutan, trotoar termasuk ke dalam kajian aspek
transportasi. Artinya, keberadaan trotoar yang memenuhi syarat dapat dijadikan salah
satu penilaian keberhasilan pembangunan kota.
Kondisi Fasilitas Pejalan Kaki di Indonesia dan Prasarana
Penunjang Aksesibilitas Pejalan Kaki di Indonesia
Pengembangan prasarana pejalan kaki di Indonesia masih belum menjadi prioritas
dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya terutama
kendaraan bermotor, sehingga pejalan kaki berada dalam posisi yang lemah dan
cenderung menggunakan badan jalan atau prasarana yang seadanya. Kondisi tersebut
sangat membahayakan keselamatan pejalan kaki, dan mempengaruhi kelancaran lalu
lintas akibat pejalan kaki yang menggunakan badan jalan. Untuk itu diperlukan upayamengaplikasikan prasarana pejalan kaki yang memenuhi kebutuhan pejalan kaki,
antara lain keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan.
Pada kenyataannya, pengembangan prasarana pejalan kaki di Indonesia kurang
menjadi prioritas dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
6/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 6
terutama kendaraan bermotor, sehingga pejalan kaki berada dalam posisi yang lemah.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat bidang perkotaan Pelangi bersama Institute for Transportation and
Development Policy (ITDP) dan Institut Transportasi (Intrans) bahwa keselamatan
pejalan kaki terancam akibat minimnya prasarana untuk pedestarian. 65 persen korban
kecelakaan lalu lintas berakibat kematian, adalah pejalan kaki, yang mana 35 persen
diantara korbannya adalah anak-anak.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/20031022-07,id.html)
Permasalahan secara umum jalur pejalan kaki yang terjadi di negara berkembang
seperti di Indonesia adalah kurang terwadahinya aktifitas pejalan kaki sebagai
pengguna utamanya. Fenomena yang banyak dijumpai pada jalur pedestrian di
indonesia adalah penyalahgunaan fungsi jalur pejalan kaki atau pedestrian oleh
pedagang kaki lima. Hal ini tidak dapat dihindari karena eksistensi pedagang kaki lima
tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan jalur pejalan kaki, selain itu juga banyak
ditemui perencanaan dan pemeliharaan jalur pejalan kaki atau pedestrian di beberapa
kota besar yang kurang mempertimbangkan pejalan kaki baik dari segi kualitas dan
kuantitasnya.
Beberapa penelitian mengenai kinerja prasarana pejalan kaki telah dilakukan, dan
sebagian besar penelitian tersebut menunjukkan betapa minim dan menyedihkan
kondisi prasarana pejalan kaki yang ada di Indonesia. Sebagian besar prasarana
pejalan kaki di kota-kota yang ada di Indonesai tak layak digunakan. Jangankan
penyandang cacat, orang sehat pun sulit menggunakan prasarana pejalan kaki yang
ada. Ketidakpedulian terhadap pejalan kaki itu tampak dari kondisi prasarana pejalan
kaki yang minim, tidak terurus, dibiarkan dihuni para pedagang kaki lima (PKL), parkir
kendaraan bermotor, kotor, berlubang, tidak ramah lingkungan terhadap kelompok
penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
7/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 7
Tabel 1 Gambar 1 Disain Prasarana Pejalan Kaki dan Pemanfaatannya yang tidak sesuai
M. Arief Wibowo (2008), melakukan studi fasilitas pejalan kaki di Jalan Malioboro.
Jalan Malioboro yang merupakan salah satu koridor jalan penunjang kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat Yogyakarta yang ditandai dengan mobilitas dan aktifitas yang
cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bermacammacam aktifitas atau
kegiatan mulai dari perkantoran, perdagangan dan jasa, wisata serta sosial budaya.
Jalur ini dibuat dengan memundurkan tokotoko sepanjang 2,5 meter pada awal
1980an. Pembuatan jalur ini dimaksudkan supaya pejalan kaki dan wisatawan bisa
lebih menikmati nuansa dan suasana Malioboro. Permasalahan muncul seiring
berkembangnya waktu, koridor jalan yang semula selaras dengan budaya dan tampak
asri dengan rimbunan pohon di tepi jalan menjadi sulit ditemui. Koridor jalan yang pada
awalnya sangat harmonis dengan para pejalan kaki beserta fasilitas-fasilitasnya ini kini
telah banyak berubah dimana fasilitas yang ada seperti tempat duduk yang ada saat ini
digunakan sebagai sarana berdagang bagi PKL. Malioboro pada awalnya adalah
komersial area dengan konsep walking area dengan menitikberatkan pejalan kaki
sebagai sasaran konsep. Namun pada akhirnya konsep komersial yang lebih dominan
sehingga menyebabkan kenyamanan pejalan kaki berkurang diakibatkan oleh aktifitas
koridor Jalan Malioboro yang cukup padat, parkir-parkir liar yang menempati trotoar
yang ada, penggunaan trotoar sebagai lahan perdagangan pedagang kaki lima, selain
itu juga kurangnya fasilitas
fasilitas pendukung bagi pejalan kaki seperti tempat dudukuntuk istirahat, toilet, papan petunjuk di koridor Jalam Malioboro.
M. Togar Prakosa Lumbanraja (2009), dalam studinya di Kawasan alun-alun Lor,
Surakarta, mengamati kurangnya fasilitas bagi pengunjung terutama bagi pejalan kaki
yang kesulitan mengakses satu spot wisata ke spot wisata lainnya dalam lingkup area
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
8/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 8
Alun-alun Lor Kota Surakarta. Fasilitas pejalan kaki seperti pohon peneduh, sitting
group, trotoar, lampu penerangan untuk malam hari dirasa masih sangat kurang.
Bercampurnya arus pejalan kaki dengan kendaraan bermotor diakibatkan oleh
minimnya fasilitas trotoar. Kondisi tersebut sangat tidak aman bagi para pejalan kaki.
Lukman Wibowo (2005), dalam studinya di Kota Semarang mencatat bahwa trotoar
sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana idealnya. Kebanyakan trotoar di Kota
Semarang telah beralih fungsi. Trotoar banyak dipenuhi oleh bangunan-bangunan kecil
yang bersifat permanen dan nonpermanen, seperti kios atau gerai pedagang kaki lima,
pot tanaman taman kota, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan,
kotak surat, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lain. Beberapa fasilitas pejalan kaki
lainnya, seperti jembatan penyeberangan tidak difungsikan secara optimal karena
kurangnya kesadaran pejalan kaki sendiri, akan keselamatan mereka (malas,
melelahkan, memakan waktu kalau harus menggunakan jembatan penyeberangan), di
sampng itu, beberapa standar disain jembatan penyeberangan yang kurang nyaman
mengakibatkan tidak optimalnya pemanfaatan fasilitas pejalan kaki, Titi Kurniati
(2007).
Dari data yang dikeluarkan oleh Dit. BSTP ( WTN 2007) pada kota-kota di Indonesia,
berikut dikutip data prasarana pejalan kaki yang ada kota metropolitan dan kota besar.
Tabel 2 Tabel 1 Data Prasarana Pejalan Kaki Tahun 2007 Pada Beberapa KotaMetro dan Kota Besar
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
9/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 9
Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa dari segi kuantitas prasarana pejalan kaki
menunjukkan yang cukup tinggi antara kota Metropolitan dan kota besar. Akan tetapi
hal tersebut tidak dapat menggambarkan tingkat pelayanan maupun pemanfaatannya
oleh masyarakat.
Batam adalah salah satu kota dengan sebaran kawasan industri cukup besar di 7 lokasi, yang
berusaha memfasilitasi prasarana pejalan kaki bagi penduduknya yang rata-rata adalah pekerja
di kawasan industria tersebut. Salah satu yang sudah dibangun adalah trotoar dari Rumah
Susun (Rusun) Muka Kuning ke kawasan industri Panbil. Pembangunan trotoar dengan atap
sepanjang lebih kurang 300 meter ini,, dinilai cukup baik namun kurang tepat sasaran, karena
khusus diperuntukkan hanya bagi masyarakat yang tinggal di Rusun Mukakuning saja. Secara
fisik bangunan, kondisi trotoar di kawasan ini, cukup baik karena dibuat beratap sehingga
pejalan kaki cukup terlindung dari cuaca panas ataupun hujan. Di beberapa titik juga disediakan
tempat istirahat bagi pejalan kaki. Belum termanfaatkan dalam jangka waktu lama, sudah
terjadi pengalihan fungsi trotoar menjadi tempat jualan pedagang kaki lima dan parkir bagi
kendaraan roda dua.
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
-
8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a
10/10
J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 10
Tabel 18 Gambar 2 Kondisi Prasarana Pejalan Kaki di Kawasan Mukakuning
Tabel 19
Tabel 20 Di beberapa ruas jalan di Kota Batam, fasilitas pejalan kaki dimanfaatkan
oleh pedagang kaki lima, sehingga tidak lagi ada ruang bagi pejalan kaki.
Trotoarnya terbuka, tidak ada pelindung, dan permukaan trotoar nya pun,
banyak yang rusak sehingga ketika hujan, digenangi air.
Tabel 21 Gambar 3 Kondisi Prasarana Pejalan Kaki di Beberapa Kawasan di Kota Batam
Tabel 22
Pelayanan transportasi bagi publik di kota besar membutuhkan sarana dan prasarana yang
baik. Selain kendaraan berdaya angkut besar, fisik bangunan pendukungnya juga harus baik.
Bangunan pendukung sistem public transport umumnya merupakan bagian area pedestrian.
Artinya ada satu kesatuan diantara jalur pejalan kaki dengan bangunan pendukung public
transport. Guna menghubungkan antar bangunan pendukung public transport pada kondisi
geografis yang berbeda, dibutuhkan tersedianya jalur pejalan kaki dengan desain yang
berbeda-beda. Wujudnya bisa berupa trotoar terbuka, trotoar beratap, jembatan penghubung,
ramp, tangga, dan sebagainya. Pada titik-titik perpindahan dari berjalan kaki ke dalam
kendaraan dibutuhkan halte. Halte sendiri bermacam-macam. Ada yang terbuka, tertutup,
beratap, dan tidak beratap. Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte
memiliki standar tertentu. Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen
Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per
halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996).
Hasil pengamatan Agus S. Sadana pada bulan Oktober Desember 2008,
menunjukkan masih sangat bervariasinya kualitas sistem pendukung aksesibilitas
tersebut. Di sebagian tempat kualitasnya sudah baik dan sangat baik, namun di
sebagian tempat masih belum baik kualitasnya. Berikut adalah hasil pengamatan
terhadap kondisi fasilitas pejalan kaki di beberapa titik, terutama pada koridor Jalan