kota pejalan kaki nadia4a

Upload: sukawi

Post on 04-Jun-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    1/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 1

    KONDISI FASILITAS FISIK PEJALAN KAKI DI INDONESIANadia Khaira Ardi, ST, MT

    Dosen Prodi Teknik SipilFakultas Teknik UNRIKA Batam

    Pendahuluan

    Banyak keluarga merasa lebih baik jika masyarakat mereka memiliki

    sebuah sistem transportasi yang efisien dan seimbang dengan

    layanan angkutan umum, bersepeda dan jalan kaki berkualitas baik,

    daripada jika masyarakat mereka tergantung pada mobil, yang

    mengharuskan setiap keluarga menanggung ongkos kepemilikan

    sebuah mobil, mendanai pembangunan jalan dan fasilitas parkir,menghadapi kemacetan lalu lintas dan menanggung biaya tinggi

    kecelakaan lalu lintas.

    Praktek perencanaan konvensional memungkinkan lalu lintas mobil mendominasi ruang

    jalan kota. Walaupun dalam teorinya motoris dan non-motoris memiliki hak yang sama

    untuk menggunakan jalan umum, lalu lintas kendaraan bermotor mendorong keluar

    pengguna lainnya karena bahaya dan ukurannya yang lebih besar serta kecepatannya

    yang lebih tinggi. Mobil menggunakan 10 sampai 50 kali ruang per penumpang

    dibanding moda lain dan ia membahayakan keselamatan para pejalan kaki dan

    pengguna sepeda. Manajemen yang lebih efisien memberikan prioritas untuk moda

    yang membutuhkan lebih sedikit ruang per penumpang-kilometer, dan terutama pada

    perjalanan bernilai tinggi seperti transportasi darat dan angkutan barang.

    Semua orang berhak atas sistem transportasi yang lebih aman, lebih efisien, lebih terjangkau,

    lebih bersih, lebih sehat dan lebih ramah (The Sustran Network, 2002). Berjalan kaki juga

    merupakan perekat bagi sistem trasportasi. Setiap perjalanan pasti termasuk berjalan kaki.

    Kebutuhan ruang untuk pejalan dan ruang terbuka untuk aktivitas sirkulasi, rekreasi dan sosial

    di perkotaan semakin meningkat, tetapi secara jumlah/luasan semakin menurun dengan

    bertambahnya investasi dalam bentuk bangunan (M. Tri Hesti M, 1999).

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    2/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 2

    Jalur pejalan kaki (pedestrian ways) dalam perancangan kota merupakan elemen penting.

    Perencanaan jalur pejalan kaki tidak hanya merupakan upaya peningkatan kualitas visual.

    Lebih dari itu elemen pejalan kaki yang nyaman merupakan elemen pendukung retail dan

    vitalitas kota. Sistem pejalan kaki yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan,

    meningkatkan perjalanan, meningkatkan kulitas fisik visual kota dengan pertimbangan skala

    manusia, menciptakan lebih banyak aktivitas retail dan akhirnya akan membantu peningkatan

    reproduktivitas sosial budaya dan ekonomi (Shirvani, 1985 dan Marco, 2003).

    Perubahan lain yang membawa dampak negatif terhadap kenikmatan jalur pejalan kaki adalah

    kendaraan bermotor. Desakan memodernisir kota mengakomodasikan kebutuhan kendaraan

    bermotor lebih baik daripada pejalan kaki, sehingga akses yang mudah dan tempat

    penyimpanan kendaraan menjadi prioritas penting. Akibatnya banyak kenikmatan tempat

    pejalan kaki yang pernah dimiliki banyak kota dikorbankan bagi kendaraan. Perubahan yang

    didasari oleh alasan ekonomis dan modernitas ini hanya akan merusak kenikmatan kota

    (Catenese, 1986).

    Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), merupakan bagian dari sistem sirkulasi perkotaan secara

    keseluruhan yang sekaligus merupakan elemen penting dalam perancangan kota. Adanya jalur

    pedestrian membuat kota tidak hanya berorientasi pada keindahan semata, karena

    kenyamanan merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan pedestrian ways. Di dalam

    jalur pejalan kaki yang ramah, aktivitas penggunaan lahan di desain dan diaransemen dalam

    kontek bahwa pelaku perjalanan dengan jalan kaki lebih diutamakan/ditekankan. Penciptaan

    lingkungan pejalan kaki harus selalu memperhatikan skala manusia dan proporsi ruang yang

    digunakan oleh manusia (FHWA-US, 2000).

    Faktor yang melatarbelakangi orang untuk berjalan kaki sangat beragam dan sulit untuk

    didefinisikan secara singkat. Biasanya terfokus pada aktivitas rekreasi yang berkaitan dengan

    kenyamanan lingkungan pejalan kaki. Adanya trend masyarakat kota berjalan kaki dari

    tempat parkir ke tempat beraktivitas, atau dari tempat aktivitas ke halte/selter untuk mencari

    angkutan umum, menyebabkan peran fasilitas ini berkembang.

    Sistem jaringan pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan penduduk kota terhadap

    kendaraan, meningkatkan kualitas lingkungan, serta mampu menciptakan kegiatan pendukung

    perkotaan. Issu kunci yang melatarbelakangi perancangan sistem pedestrian adalah menjaga

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    3/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 3

    keseimbangan antara penggunaan jalur pedestrian dengan fasilitas kendaraan

    bermotor. Kondisi ini akan menciptakan suasana kota menjadi lebih hidup dengan ruang-ruang

    publik yang menarik, namun dalam waktu yang bersamaan dapat dijalin hubungan yang baik

    antara kegiatan tersebut dengan kegiatan pelayanan umum dan fasilitas yang dimiliki oleh

    masyarakat secara indifidual (Edy D, 2003)

    Ketersediaan prasarana dan sarana aksesibilitas bagi pejalan kaki dan pengguna

    angkutan umum merupakan dua faktor yang sangat erat hubungannya. Pengguna

    angkutan umum sangat membutuhkan jalur pedestrian yang aman dan nyaman guna

    mencapai public transport. Fasilitaspublic transportyang baik mempermudah gerakan

    manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Masyarakat yang menggunakan

    kendaraan umum sangat membutuhkan sistem aksesibilitas publik yang prima. Sistem

    itu berupa prasarana dan sarana pedestrian bagi pejalan kaki dan transportasi publik.

    Model Kebijakan bagi Pengembangan Fasilitas Pedestrian

    Berikut adalah beberapa model kebijakan bagi pengembangan fasilitas pedestrian:

    1. New Urbanism

    Dengan karakteristik:

    Penempatan fasilitas bagi pejalan kaki untuk aktivitas bekerja, sehingga dapat diakses

    dalam waktu 10 menit;

    Perancangan jalan yang ramah terhadap pedestrian (gedung yang berdekatan dengan

    jalan, on-street parking, areal parkir yang tersembunyi,slow speed street);

    Jalan yang bebas dari kendaraan bermotor pada waktu yang ditetapkan.

    2. Complete Street

    Gagasan ini menyatakan bahwa jalan lokal hanya menjadi lengkap apabila memberikan

    kesempatan yang sama bagi seluruh moda transportasi, meliputi berjalan dan bersepeda

    (IHI, 2007: 6). Kebijakan ini dikembangkan oleh US. Departement of Transportation,

    didasarkan atas prinsip bahwa pengendara sepeda dan pedestrian memiliki hak yang sama

    untuk bergerak sepanjang jalan umum, kecuali dilarang untuk hal tersebut. Keselamatan

    yang menyangkut pengendara didesain dan dioperasikan untuk seluruh pengguna.

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    4/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 4

    The Green Book yang dikembangkan oleh AASTHO (2004) turut memberikan dukungan

    terhadap pengembangan fasilitas pedestrian. AASTHO (dalam IHI, 2007:7) menggambarkan

    posisi pedestrian sebagai berikut:

    Pedestrians are a part of every roadway environment and attention must be paid to their

    presence in urban and rural areasBecause of the demands of vehicular traffic in congested

    urban areas, it is often extremely difficult to make adequate provisions for pedestrians. Yet this

    must be done, because pedestrians are the lifeblood of our urban areas, especially in the

    downtown and other retail shopping areas.

    Dengan demikian, bagaimana pun situasi yang dihadapi suatu kawasan, penyediaan fasilitas

    pedestrian wajib untuk mendapat posisi yang layak. Beradasarkan kerangka kebijakan ini,

    AASTHO menempatkan fasilitas pedestrian sebagai bagian jalan yang turut direncanakan,

    sebagai bagian dari perancangan geometrik jalan untuk highwaymaupun street.

    Fasilitas Pejalan Kaki dalam Konteks Regulasi di Indonesia

    Dalam konteks regulasi di Indonesia, penyediaan fasilitas pejalan kaki berpedoman pada PP

    No. 43 tahun 2004, tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia

    memberikan perhatian terhadap aksesibilitas di tempat- tempat umum, UU No. 26 Tahun 2007

    tentang Penataan Ruang, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

    Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan

    Suatu kota dikatakan berkelanjutan apabila mampu melakukan konservasi sumber daya

    alam, seperti: menekan konsumsi material, air, energi dan bahan bakar (Santa Monica

    Sustainability Plan). Tersedianya fasilitas aksesibilitas dan publik transport yang baik

    menekan konsumsi energi dan bahan bakar. Tersedianya sistem aksesibilitas danpublic transportyang baik akan menjadikan suatu kota berkelanjutan.

    Konsep dasar pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang selalu

    memperhatikan: (1) fungsi ekologi, (2) fungsi sosial, dan (3) fungsi ekonomi. Tujuannya

    agar proses pembangunan menghasilkan nilai tambah tanpa merusak fungsi ekologi

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    5/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 5

    dan memberikan manfaat sosial bagi masyarakat. Adapun aspek-aspek penting dalam

    pengembangan desain kota yang berkelanjutan meliputi: (1) landform/microclimate, (2)

    site design, (3) infrastructure efficiency, (4) land use, (5) transportation, dan (6) on site

    energy resources(Sudarwanto, 2008).

    Aksesibilitas yang baik bagi pejalan kaki sangat dibutuhkan. Di area pedestrian,

    dibutuhkan tersedianya trotoar yang lapang sebagai sarana aksesibilitas pejalan kaki.

    Widagdo (2008) menjelaskan bahwa trotoar merupakan sarana tempat orang

    melakukan aktivitas berjalan kaki, baik sekedar rekreasi atau sebuah upaya untuk

    mencapai suatu tujuan, yang dibangun sebagai tempat bagi pejalan kaki, pemakai kursi

    roda, dan kereta bayi agar dapat berjalan dengan lancar, aman, nyaman dan tidak

    mengganggu kelancaran lalu lintas serta menghindari kecelakaan (Sutjana).

    Dalam pembangunan berkelanjutan, trotoar termasuk ke dalam kajian aspek

    transportasi. Artinya, keberadaan trotoar yang memenuhi syarat dapat dijadikan salah

    satu penilaian keberhasilan pembangunan kota.

    Kondisi Fasilitas Pejalan Kaki di Indonesia dan Prasarana

    Penunjang Aksesibilitas Pejalan Kaki di Indonesia

    Pengembangan prasarana pejalan kaki di Indonesia masih belum menjadi prioritas

    dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya terutama

    kendaraan bermotor, sehingga pejalan kaki berada dalam posisi yang lemah dan

    cenderung menggunakan badan jalan atau prasarana yang seadanya. Kondisi tersebut

    sangat membahayakan keselamatan pejalan kaki, dan mempengaruhi kelancaran lalu

    lintas akibat pejalan kaki yang menggunakan badan jalan. Untuk itu diperlukan upayamengaplikasikan prasarana pejalan kaki yang memenuhi kebutuhan pejalan kaki,

    antara lain keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan.

    Pada kenyataannya, pengembangan prasarana pejalan kaki di Indonesia kurang

    menjadi prioritas dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    6/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 6

    terutama kendaraan bermotor, sehingga pejalan kaki berada dalam posisi yang lemah.

    Menurut hasil penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta oleh Lembaga Swadaya

    Masyarakat bidang perkotaan Pelangi bersama Institute for Transportation and

    Development Policy (ITDP) dan Institut Transportasi (Intrans) bahwa keselamatan

    pejalan kaki terancam akibat minimnya prasarana untuk pedestarian. 65 persen korban

    kecelakaan lalu lintas berakibat kematian, adalah pejalan kaki, yang mana 35 persen

    diantara korbannya adalah anak-anak.

    (http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/20031022-07,id.html)

    Permasalahan secara umum jalur pejalan kaki yang terjadi di negara berkembang

    seperti di Indonesia adalah kurang terwadahinya aktifitas pejalan kaki sebagai

    pengguna utamanya. Fenomena yang banyak dijumpai pada jalur pedestrian di

    indonesia adalah penyalahgunaan fungsi jalur pejalan kaki atau pedestrian oleh

    pedagang kaki lima. Hal ini tidak dapat dihindari karena eksistensi pedagang kaki lima

    tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan jalur pejalan kaki, selain itu juga banyak

    ditemui perencanaan dan pemeliharaan jalur pejalan kaki atau pedestrian di beberapa

    kota besar yang kurang mempertimbangkan pejalan kaki baik dari segi kualitas dan

    kuantitasnya.

    Beberapa penelitian mengenai kinerja prasarana pejalan kaki telah dilakukan, dan

    sebagian besar penelitian tersebut menunjukkan betapa minim dan menyedihkan

    kondisi prasarana pejalan kaki yang ada di Indonesia. Sebagian besar prasarana

    pejalan kaki di kota-kota yang ada di Indonesai tak layak digunakan. Jangankan

    penyandang cacat, orang sehat pun sulit menggunakan prasarana pejalan kaki yang

    ada. Ketidakpedulian terhadap pejalan kaki itu tampak dari kondisi prasarana pejalan

    kaki yang minim, tidak terurus, dibiarkan dihuni para pedagang kaki lima (PKL), parkir

    kendaraan bermotor, kotor, berlubang, tidak ramah lingkungan terhadap kelompok

    penyandang cacat dan manusia usia lanjut.

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    7/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 7

    Tabel 1 Gambar 1 Disain Prasarana Pejalan Kaki dan Pemanfaatannya yang tidak sesuai

    M. Arief Wibowo (2008), melakukan studi fasilitas pejalan kaki di Jalan Malioboro.

    Jalan Malioboro yang merupakan salah satu koridor jalan penunjang kehidupan sosial

    dan ekonomi masyarakat Yogyakarta yang ditandai dengan mobilitas dan aktifitas yang

    cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bermacammacam aktifitas atau

    kegiatan mulai dari perkantoran, perdagangan dan jasa, wisata serta sosial budaya.

    Jalur ini dibuat dengan memundurkan tokotoko sepanjang 2,5 meter pada awal

    1980an. Pembuatan jalur ini dimaksudkan supaya pejalan kaki dan wisatawan bisa

    lebih menikmati nuansa dan suasana Malioboro. Permasalahan muncul seiring

    berkembangnya waktu, koridor jalan yang semula selaras dengan budaya dan tampak

    asri dengan rimbunan pohon di tepi jalan menjadi sulit ditemui. Koridor jalan yang pada

    awalnya sangat harmonis dengan para pejalan kaki beserta fasilitas-fasilitasnya ini kini

    telah banyak berubah dimana fasilitas yang ada seperti tempat duduk yang ada saat ini

    digunakan sebagai sarana berdagang bagi PKL. Malioboro pada awalnya adalah

    komersial area dengan konsep walking area dengan menitikberatkan pejalan kaki

    sebagai sasaran konsep. Namun pada akhirnya konsep komersial yang lebih dominan

    sehingga menyebabkan kenyamanan pejalan kaki berkurang diakibatkan oleh aktifitas

    koridor Jalan Malioboro yang cukup padat, parkir-parkir liar yang menempati trotoar

    yang ada, penggunaan trotoar sebagai lahan perdagangan pedagang kaki lima, selain

    itu juga kurangnya fasilitas

    fasilitas pendukung bagi pejalan kaki seperti tempat dudukuntuk istirahat, toilet, papan petunjuk di koridor Jalam Malioboro.

    M. Togar Prakosa Lumbanraja (2009), dalam studinya di Kawasan alun-alun Lor,

    Surakarta, mengamati kurangnya fasilitas bagi pengunjung terutama bagi pejalan kaki

    yang kesulitan mengakses satu spot wisata ke spot wisata lainnya dalam lingkup area

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    8/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 8

    Alun-alun Lor Kota Surakarta. Fasilitas pejalan kaki seperti pohon peneduh, sitting

    group, trotoar, lampu penerangan untuk malam hari dirasa masih sangat kurang.

    Bercampurnya arus pejalan kaki dengan kendaraan bermotor diakibatkan oleh

    minimnya fasilitas trotoar. Kondisi tersebut sangat tidak aman bagi para pejalan kaki.

    Lukman Wibowo (2005), dalam studinya di Kota Semarang mencatat bahwa trotoar

    sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana idealnya. Kebanyakan trotoar di Kota

    Semarang telah beralih fungsi. Trotoar banyak dipenuhi oleh bangunan-bangunan kecil

    yang bersifat permanen dan nonpermanen, seperti kios atau gerai pedagang kaki lima,

    pot tanaman taman kota, penempatan poster dan papan reklame, parkir kendaraan,

    kotak surat, pos polisi, dan berbagai jenis bangunan lain. Beberapa fasilitas pejalan kaki

    lainnya, seperti jembatan penyeberangan tidak difungsikan secara optimal karena

    kurangnya kesadaran pejalan kaki sendiri, akan keselamatan mereka (malas,

    melelahkan, memakan waktu kalau harus menggunakan jembatan penyeberangan), di

    sampng itu, beberapa standar disain jembatan penyeberangan yang kurang nyaman

    mengakibatkan tidak optimalnya pemanfaatan fasilitas pejalan kaki, Titi Kurniati

    (2007).

    Dari data yang dikeluarkan oleh Dit. BSTP ( WTN 2007) pada kota-kota di Indonesia,

    berikut dikutip data prasarana pejalan kaki yang ada kota metropolitan dan kota besar.

    Tabel 2 Tabel 1 Data Prasarana Pejalan Kaki Tahun 2007 Pada Beberapa KotaMetro dan Kota Besar

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    9/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 9

    Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa dari segi kuantitas prasarana pejalan kaki

    menunjukkan yang cukup tinggi antara kota Metropolitan dan kota besar. Akan tetapi

    hal tersebut tidak dapat menggambarkan tingkat pelayanan maupun pemanfaatannya

    oleh masyarakat.

    Batam adalah salah satu kota dengan sebaran kawasan industri cukup besar di 7 lokasi, yang

    berusaha memfasilitasi prasarana pejalan kaki bagi penduduknya yang rata-rata adalah pekerja

    di kawasan industria tersebut. Salah satu yang sudah dibangun adalah trotoar dari Rumah

    Susun (Rusun) Muka Kuning ke kawasan industri Panbil. Pembangunan trotoar dengan atap

    sepanjang lebih kurang 300 meter ini,, dinilai cukup baik namun kurang tepat sasaran, karena

    khusus diperuntukkan hanya bagi masyarakat yang tinggal di Rusun Mukakuning saja. Secara

    fisik bangunan, kondisi trotoar di kawasan ini, cukup baik karena dibuat beratap sehingga

    pejalan kaki cukup terlindung dari cuaca panas ataupun hujan. Di beberapa titik juga disediakan

    tempat istirahat bagi pejalan kaki. Belum termanfaatkan dalam jangka waktu lama, sudah

    terjadi pengalihan fungsi trotoar menjadi tempat jualan pedagang kaki lima dan parkir bagi

    kendaraan roda dua.

    Tabel 3

    Tabel 4

    Tabel 5

    Tabel 6

    Tabel 7

    Tabel 8

    Tabel 9

    Tabel 10Tabel 11

    Tabel 12

    Tabel 13

    Tabel 14

    Tabel 15

    Tabel 16

    Tabel 17

  • 8/13/2019 Kota Pejalan Kaki Nadia4a

    10/10

    J u r n a l D i m e n s i U N I V E R S I T A S R I A U K E P U L A U A N B A T A M Page 10

    Tabel 18 Gambar 2 Kondisi Prasarana Pejalan Kaki di Kawasan Mukakuning

    Tabel 19

    Tabel 20 Di beberapa ruas jalan di Kota Batam, fasilitas pejalan kaki dimanfaatkan

    oleh pedagang kaki lima, sehingga tidak lagi ada ruang bagi pejalan kaki.

    Trotoarnya terbuka, tidak ada pelindung, dan permukaan trotoar nya pun,

    banyak yang rusak sehingga ketika hujan, digenangi air.

    Tabel 21 Gambar 3 Kondisi Prasarana Pejalan Kaki di Beberapa Kawasan di Kota Batam

    Tabel 22

    Pelayanan transportasi bagi publik di kota besar membutuhkan sarana dan prasarana yang

    baik. Selain kendaraan berdaya angkut besar, fisik bangunan pendukungnya juga harus baik.

    Bangunan pendukung sistem public transport umumnya merupakan bagian area pedestrian.

    Artinya ada satu kesatuan diantara jalur pejalan kaki dengan bangunan pendukung public

    transport. Guna menghubungkan antar bangunan pendukung public transport pada kondisi

    geografis yang berbeda, dibutuhkan tersedianya jalur pejalan kaki dengan desain yang

    berbeda-beda. Wujudnya bisa berupa trotoar terbuka, trotoar beratap, jembatan penghubung,

    ramp, tangga, dan sebagainya. Pada titik-titik perpindahan dari berjalan kaki ke dalam

    kendaraan dibutuhkan halte. Halte sendiri bermacam-macam. Ada yang terbuka, tertutup,

    beratap, dan tidak beratap. Sebagai bangunan pendukung sistem public transport, halte

    memiliki standar tertentu. Standar halte yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Departemen

    Perhubungan. Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per

    halte pada kondisi biasa (Departemen Perhubungan, 1996).

    Hasil pengamatan Agus S. Sadana pada bulan Oktober Desember 2008,

    menunjukkan masih sangat bervariasinya kualitas sistem pendukung aksesibilitas

    tersebut. Di sebagian tempat kualitasnya sudah baik dan sangat baik, namun di

    sebagian tempat masih belum baik kualitasnya. Berikut adalah hasil pengamatan

    terhadap kondisi fasilitas pejalan kaki di beberapa titik, terutama pada koridor Jalan