korupsi

33
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 1 KORUPSI, PENYIMPANGAN PERILAKU DITINJAU DARI KACA MATA SOSIOLOGI HUKUM Kurniawan 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari anak-anak yang menolak pendidikan hingga ke pemilu yang ditentukan uang bukan dengan pemilihan suara, korupsi di sektor publik muncul dalam berbagai bentuk. Suap dan tawar menawar dari balik pintu tidak hanya mencuri sumber daya dari kelompok yang paling rentan (lemah), korupsi juga merusak keadilan dan pembangunan ekonomi, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin. 1 Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi–yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan–tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. 2 Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar 1 Ernst & Young , 2014, Transparency International Corruption Perceptions Index 2013, tersedia di: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-Transparency-International- Corruption-Perceptions-Index-2013/$FILE/EY-Transparency-International-Corruption- Perceptions-Index-2013.pdf (Publication date: 23-Jan-2014), diakses pada 01 Januari 2015 2 Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Cetakan 1(Desember 2011), Jakarta: Kemendikbud, hlm. v

Upload: kurniawan

Post on 21-Nov-2015

72 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Sosiologi hukum, korupsi

TRANSCRIPT

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 1

    KORUPSI, PENYIMPANGAN PERILAKU DITINJAU

    DARI KACA MATA SOSIOLOGI HUKUM

    Kurniawan

    2015

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dari anak-anak yang menolak pendidikan hingga ke pemilu yang ditentukan

    uang bukan dengan pemilihan suara, korupsi di sektor publik muncul dalam

    berbagai bentuk. Suap dan tawar menawar dari balik pintu tidak hanya mencuri

    sumber daya dari kelompok yang paling rentan (lemah), korupsi juga merusak

    keadilan dan pembangunan ekonomi, dan menghancurkan kepercayaan

    masyarakat terhadap pemimpin.1 Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar

    biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa

    pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsiyang terdiri dari dua

    bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahantidak akan pernah berhasil

    optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta

    masyarakat.2

    Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali

    mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang

    dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan,

    birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya

    dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar

    1 Ernst & Young , 2014, Transparency International Corruption Perceptions Index 2013,

    tersedia di: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-Transparency-International-

    Corruption-Perceptions-Index-2013/$FILE/EY-Transparency-International-Corruption-

    Perceptions-Index-2013.pdf (Publication date: 23-Jan-2014), diakses pada 01 Januari 2015 2 Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk

    Perguruan Tinggi, Cetakan 1(Desember 2011), Jakarta: Kemendikbud, hlm. v

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 2

    hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya.

    Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan

    perekonomian, kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial, dan

    pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi

    hingga organisasi internasional seperti PPB memiliki badan khusus yang

    memantau korupsi dunia.3

    Dalam kasus Indonesia, korupsi di negara ini sangat mungkin difasilitasi

    oleh sejumlah faktor, seperti sumber daya publik dengan jumlah besar yang

    berasal dari sumber daya alam, koneksi jaringan kepentingan pribadi dan politik,

    pegawai negeri dengan gaji kecil, kualitas regulasi yang rendah, dan independensi

    peradilan yang lemah. Selain itu, pejabat lokal diberi kekuasaan kebijaksanaan

    yang luas dan sumber daya tanpa akuntabilitas serta tanpa penegakan mekanisme

    yang tepat.4 Jika ingin menelusuri atau mengurut dari manakah pangkal

    persoalannya korupsi di Negara ini sama halnya dengan menyelesaikan benang

    kusut, dicari ke mana ujung dan pangkalnya tetap tak pernah bertemu dan selesai.5

    Dalam kenyataannya, hampir tidak ada yang merasa apalagi mengaku sebagai

    koruptor. Padahal tidak sedikit aturan hukum sebagai landasan, tidak kurang

    penegak hukum, tidak sunyi berita di media, atau nasihat-nasihat ulama di mimbar

    pengajian. Namun banjir korupsi tidak surut secepat banjir sesungguhnya.6

    Seperti telah disebutkan di atas bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan yang

    luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu, masalah kejahatan sebagai

    fenomena sosial selalu menjadi fokus perhatian dari semua masyarakat beradab.

    3 Agus Mulya Karsona, Bab 01. Pengertian Korupsi, Tim Penulis Buku Pendidikan Anti

    Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Cetakan 1(Desember 2011),

    Jakarta: Kemendikbud 4 Maira Martini, 2012, Causes of Corruption in Indonesia, tersedia di: U4 Anti-Corruption

    Resources Center, http://www.u4.no/publications/causes-of-corruption-in-indonesia/. (The U4

    Resource Centre is operated by the Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway - See more at:

    http://www.u4.no/info/about-u4/#sthash.RnV8XvRe.dpuf Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen,

    Norway), hlm. 1 (diakses pada 01 Januari 2015) 5 Siti Fatimah, 2007, Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif

    Pemecahannya, Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan: Jurnal Demokrasi Vol .8, No 2 (2009), Universit

    as Negeri Padang (UNP), tersedia di: http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1197/

    1031, (diakses pada 01 Januari 2015) 6 Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 3

    Dalam masyarakat modern kejahatan telah mencapai dimensi global dan kapasitas

    perlawanan serius dari para politisi, legislator, dan lembaga negara khusus yang

    serupa. Munculnya bentuk-bentuk baru perilaku kriminal pada akhir 20 dan awal

    abad ke-21 bahkan telah menimbulkan perubahan dalam terminologi spesialis

    dalam kriminologi dan telah menyebabkan kebutuhan untuk menyatukan upaya

    dalam mencari metode yang cukup memadai untuk menangkal fenomena sosial

    yang sangat berbahaya ini.7

    Dalam teori dan praktek yang memadai masih kurang kejelasan, apakah teori

    dan praktek itu hanya untuk hukum saja yaitu bentuk baru penyimpangan sosial

    (terutama korupsi dan kejahatan terkait korupsi) adalah penelitian objek yang

    spesifik, ataukah, sebab dari penerapan strategi pembatasan/pelarangan. Masalah

    yang berkaitan dengan kejahatan berjumlah besar dan berbeda-beda, fenomena

    sosial yang tak terbantahkan yang sampai saat ini tetap berada di luar bidang visi

    ilmu hukum murni (teori dan legislatif).8 Dan pemikiran hukum cenderung

    mencerminkan arah gejala yang akan ditemukan dalam sosiologi.9

    Terdapat berbagai pendekatan tapi hanya satu dapat menunjukkan sejumlah

    ide dari pemikiran orang-orang yang mengangkat pendekatan sosiologis terhadap

    tatanan hukum. Ada kepercayaan ambiguitas hukum: visi hukum sebagai satu-

    satunya metode kontrol sosial.10 Selanjutnya, ahli hukum sosiologis cenderung

    skeptis terhadap aturan yang disajikan dalam buku teks dan memberikan perhatian

    untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, law in action.11 Meskipun penelitian

    korupsi dalam ilmu politik dan filsafat politik melimpah ruah, para

    ahli/cendikiawan keorganisasian secara khusus baru memulai mengeksplorasi

    penyebab dan akibat dari korupsi dalam organisasi perusahaan secara sistematis,

    7 Stefka Naumova, 2009, Legal-Sociological Parameters Of The Fight Against Crime And

    Social Deviance, in Sociology and Law: The 150th Anniversary of Emile Durkheim (1858-1917),

    Newcastle: Cambridge Scholars Publishing (UK), ISBN (10): 1-4438-0502-5, ISBN (13): 978-1-

    4438-0502-5, hlm. 11 8 Ibid

    9 Michael Freeman, Law and Sociology, Current legal issues ; 2005, v. 8, New York: Oxford

    University Press Inc. (2006), hlm. 1 10

    Ibid 11

    Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 4

    Ruth V. Aguilera & Abhijeet K. Vadera (2007) menawarkan rekomendasi pada

    bagaimana mengurangi korupsi.12 Mereka menjelaskan bahwa penamaan korupsi

    organisasi dengan mendefinisikan korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan

    dengan menggunakan wewenang dalam organisasi untuk kepentingan pribadi.13

    Penulis beranggapan bahwa ada keterkaitan erat antara otoritas dan korupsi,

    jika hubungan korupsi dan otoritas terjadi dari tingkat otoritas tertinggi hingga

    sampai tingkat paling bawah maka lambat laun korupsi akan menjadi bagian dari

    sebuah sistemkorupsi sistemikdan menjadi hal yang biasa dalam melakukan

    kegiatan operasional sehari-hari, korupsi menjadi bagian dari prosedur

    administrasi yang tak tertulis, sesuatu yang seharusnya dilakukan, korupsi

    menjadi ungkapan terima kasih yang tulus, sebuah pemberian biasa untuk balas

    jasa, menjadi sebuah budaya organisasi dan berkembang luas di tengah-tengah

    masyarakat dan akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.

    Sebutan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang tak perlu

    diragukan lagi, karena dampaknya begitu luas hingga menyentuh bagian yang

    paling bawah sekalipun dan berkembang menjadi fenomena umum di masyarakat

    yang pada akhirnya korupsi menjadi sebuah sistem sosial dan budaya masyarakat,

    korupsi adalah kanker yang akarnya menancap kuat dan menyebar di dalam

    masyarakat, menggerogoti sel-sel tatanan kehidupan sosial dan budayanya,

    merusak sel-selnya hingga mati. Ketika sebuah sistem sosial dan budaya menjadi

    sebuah sistem yang korup maka negara akan dibangun dengan korupsi, sebuah

    sebutan yang buruk dan sangat memalukan, tapi kenyataan itulah yang terjadi di

    Indonesia. Kanker adalah sebuah penyakit yang perlu diagnosa akurat kemudian

    dicari cara pengobatan yang tepat untuk menyembuhkannya, kalaupun bukan

    untuk kita, tapi demi anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa ini, karena

    jika tidak, kanker lambat laun akan mematikan seluruh sel-sel kehidupan bangsa

    dan negara, maka dunia hanya akan mengenang bahwa konon pernah ada sebuah

    negara yang bernama Indonesia.

    12

    Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007. The dark side of authority: Antecedents, mechanisms,

    and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics 77: 431-449. 13

    Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 5

    B. Rumusan Masalah

    Selanjutnya yang menjadi pertanyaannya adalah: Apa sesungguhnya yang

    dimaksud dengan korupsi? Adakah keterkaitan korupsi dan otoritas? Apa dampak

    dari korupsi bagi bangsa dan negara? Bagaimana solusi untuk mengatasi korupsi?

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 6

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Memaknai Korupsi

    Pengertian korupsi menyangkut berbagai macam tindakan manusia, ada

    perubahan pengertian dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan dan

    kompleksitas manusia yang berhubungan dengan kehidupan sosialnya. Untuk itu

    kita perlu menelusuri kembali ke awal dimana istilah korupsi itu berkembang

    hingga sampai saat ini. Alasan penulis untuk menelusuri kembali istilah korupsi

    dikarenakan pada saat ini term korupsi dipakai hampir semua tempat dalam

    kehidupan sehari-hari, bahkan istilah ini telah melampaui ranah filsafat, sosiologi

    dan hukum. Misalnya, dalam dunia komputasi kita mengenal istilah corrupted

    file atau berkas yang rusak, seseorang yang mengambil sebagian hak milik orang

    lain disamping mencuri juga bisa dikatakan korupsi, tergantung pada

    konteksnya. Para rohaniwan menggunakan istilah korupsi pikiran, korupsi hati dan

    seterusnya. Oleh karena itu sebelum kita membahas korupsi ada baiknya kita

    kembali ke awal istilah ini bermula hingga ke perkembangannya, ini dimaksudkan

    untuk lebih memahami pengertian secara konsisten.

    Plato, dalam The Republic, menggambarkan perbedaan antara negara-negara

    yang ideal dan rendah (status/tingkat) dalam hal yang dianggap kerusakan atau

    kehancuran, menggunakan kata pthora (546a), istilah Yunani kemudian secara

    tetap dialihbasakan Latin menjadi corruptio. Keadaan ideal yang mengalami

    beberapa tahap kerusakan tersebut, melalui timokrasi14, oligarki dan demokrasi,

    yang berpuncak pada tirani, yang merupakan rezim terburuk dari semua. Di tempat

    lain, perbedaan antara yang ideal dan lemah dinyatakan dalam image yang

    berbeda. Di The Statesman, misalnya, rezim rendah dikatakan meniru atau

    menyalin konstitusi yang ideal (301A, 303c), citra yang sering digunakan oleh

    Plato dalam epistemologi untuk mewakili hubungan antara objek indra yang

    rendah dan obyek-obyek pengetahuan yang benar. Aristoteles, dalam The Politics,

    14 Timokrasi: bentuk pemerintahan di mana untuk memegang jabatan diperlukan

    kepemilikan properti

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 7

    menggunakan terminologi yang berbeda lagi, benar (orthos) untuk bentuk-

    bentuk dari pemerintahan yang baik dan penyimpangan atau pemutarbalikan

    (parekbaseis) untuk bentuk lebih rendah. Pengertiannya adalah dalam semua kasus

    yang sama: sebelumnya bentuk ideal pemerintahan dipahami sebagai logis (masuk

    akal), dan konstitusi rendah didefinisikan dalam kaitannya dengan logis, sebagai

    dalam arti kurang atau kekurangan.15

    Selanjutnya Aristoteles menggambarkan keseimbangan pemerintahan

    dengan proporsional bagian tubuh manusia, Hidung yang bervariasi dari bentuk

    ideal yang lurus ke bengkok atau pesek mungkin masih berbentuk baik dan

    menyenangkan untuk dilihat mata; tetapi jika terlalu berlebihan besarnya, semua

    simetri hilang, dan pada akhirnya hidung sama sekali berakhir menjadi hidung

    (bahkan tidak terlihat seperti hidung sama sekali) karena beberapa kelebihan

    dalam satu sudut atau cacat di bagian lainnya ; dan ini berlaku sama untuk setiap

    bagian lain dari tubuh manusia. Begitu juga dengan keseimbangan proporsi hukum

    yang diselenggarakan pemerintahan atau negara. Oligarki atau demokrasi,

    meskipun berawal dari bentuk yang paling sempurna, namun mungkin belum

    menjadi bentuk pemerintahan yang cukup baik, bagaimanapun jika ada orang yang

    mencoba untuk mendorong prinsip-prinsip baik ke arah ekstrem (merusak), ia

    akan mulai merusak pemerintah dan berakhir dengan tidak memiliki apapun

    (konstitusi/hukum).16

    Analogi antara negara dan tubuh manusia di atas dikutip dalam tulisan

    Wallis selanjutnya dia menjelaskan, dalam perwujudan pertama, korupsi disebut

    sebagai proses dimana sistem pemerintahan yang berfungsi dengan baik menjadi

    15

    Richard Mulgan, 2012, Aristotle on Legality and Corruption, in: Manuhuia Barcham,

    Barry Hindess & Peter Larmour (Eds.), Corruption: Expanding the Focus, Camberra: ANU E

    Press. Bab 2 16

    Aristotele, Book V Part IX : Politics, trans. by: Benjamin Jowet, 1999, hlm. 125; lihat

    juga: Aristotle. Book 5 sect. 1309b: Politics. Aristotle in 23 Volumes, Vol. 21, translated by H.

    Rackham. Cambridge, MA, Harvard University Press; London, William Heinemann Ltd. 1944. (ve

    rsi online: http://data.perseus.org/citations/urn:cts:greekLit:tlg0086.tlg035.perseus-eng1:5.1309b )

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 8

    rusak menuju sesuatu yang gagal untuk memenuhi kebutuhan serta menganiaya

    warganya. 17

    Menurut sejarawan Yunani Polybius (c. 200-120 SM), mengubah kerajaan

    menjadi tirani, kaum bangsawan menjadi kaum oligarki (pemerintahan dengan

    sekelompok kecil orang), dan demokrasi menjadi hukum rimba. Selama abad

    kesembilan belas, definisi korupsi berubah menjadi sesuatu yang khusus berkaitan

    dengan penyuapan terhadap pejabat publik oleh agen-agen swasta.18

    Dalam pendekatan norma hukum, korupsi didefinisikan sebagai perilaku

    yang melanggar aturan khusus yang mengatur cara pelaksanaan kewajiban tugas-

    tugas masyarakat, termasuk pertukaran yang melanggar hukum terhadap

    dukungan politik demi mendapatkan imbalan secara pribadi (). 19

    Sedangkan dalam hukum pidana, OECD (Organization for Economic Co-

    operation and Development), Dewan Eropa dan Konvensi PBB tidak

    mendefinisikan korupsi. Sebaliknya mereka menetapkan pelanggaran dari

    berbagai bentuk perilaku korupsi. Oleh karena itu, Konvensi OECD menetapkan

    pelanggaran penyuapan pejabat publik asing, sedangkan Dewan Konvensi Eropa

    menetapkan pelanggaran seperti perdagangan atau pertukaran pengaruh, dan

    menyuap pejabat publik baik dalam maupun luar negeri. Selain jenis-jenis

    tindakan, ketentuan wajib Konvensi PBB juga mencakup penggelapan,

    penyalahgunaan atau penyelewengan properti lainnya oleh pejabat publik dan

    hambatan terhadap keadilan.20

    Seperti telah disebutkan di Bab Pendahuluan di atas bahwa Aguilera dan

    Valdera (2007), korupsi secara umum didefinisikan atas dasar tujuan pribadi

    17

    Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, 2006, Corruption and Reform: Introduction, in A

    National Bureau of Economic Research (NBER), 2006, Corruption and reform: lessons from

    Americas economic history, edited by Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 7

    18 Ibid

    19 Williams J. Siffin, 2001, Problem of Development Administration, In: Handbook of

    Comparative and Development Public Administration, Second Edition, Revised and

    Expanded, Ali Farazmand (eds), Florida: CRC Press., hlm. 15-16 20

    OECD Glossaries, 2008, Corruption, A Glossary of International Standards in Criminal

    Law, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), available at: http://www.oecd.org/daf/anti-bribery/41194428.pdf.

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 9

    sebagai penggunaan wewenang untuk keuntungan pribadi.21 Lebih lanjut lagi

    Joseph Nye mendefinisikannya sebagai perilaku yang menyimpang dari fungsi

    tugas formal terhadap peran publik karena (pribadi, keluarga dekat, kelompok

    swasta) berkaitan berupa uang atau status keuntungan pribadi; atau melanggar

    aturan terhadap beberapa jenis tindakan yang berkaitan dengan pengaruh pribadi.

    Van Klaveren korupsi juga didefinisikan dari perspektif perilaku, menekankan

    bagaimana mereka menduduki jabatan publik secara tidak sah dengan

    memaksimalkan pendapatan individu dengan memanipulasi permintaan terhadap

    barang dan jasa publik. Dalam pendekatan yang lebih luas, Friedrich

    mengidentifikasi korupsi sebagai mandat yang diberikan oleh otoritas publik yang

    tergoda oleh uang atau rangsangan lain yang berjalan bertentangan dengan

    kepentingan umum.22

    Sementara itu Bank Dunia memberikan definisi korupsi dengan

    penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi. Jabatan publik

    disalahgunakan untuk kepentingan pribadi ketika seorang pejabat menerima,

    mengumpulkan, atau memeras uang suap. Hal ini juga dimanfaatkan ketika agen-

    agen swasta secara aktif menawarkan suap untuk menghindari kebijakan dan

    proses publik untuk keunggulan kompetitif dan keuntungan. Jabatan publik juga

    dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi meskipun tidak ada suap yang

    terjadi, melalui dukungan (orang, organisasi, alasan, atau kegiatan) dan nepotisme,

    pencurian aset negara, atau penyelewengan pendapatan negara.23

    Berdasarkan definisi-definisi korupsi di atas dan penulis lebih cenderung

    pada definisi yang diungkapkan oleh Wallis, menurut pemahaman penulis bahwa

    21

    Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007, Ibid 22

    Joseph Nye, Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis, American Political Science Review 61 (June 1967), p. 67; C . J. Friedrich, Political Pathology, The Political Quarterly 37 (1966), p. 74;Jacob Van Klaveren,The Concept of Corruption, in A. J. Heidenheimer, M. Johnston and V. T. Levine, Political Corruption: A Handbook (New Brunswick:

    Transaction Publishers, 1978), pp. 149-163, Dalam: Alfredo Rehren, Globalization and

    Corruption, a section of an article entitled The Ethical Challenges of Political Corruption in a Globalized Political Economy, in: Robert G. Patman and David MacDonald, eds.,The Ethics of Foreign Policy, Ashgate Press, London (2007).

    23 World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank,

    Whasington D.C., hlm. 11

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 10

    korupsi adalah tindakan atau proses keadaan pemerintahan yang baik atau ideal

    menjadi rusak atau menuju kegagalan disebabkan karena penyalahgunaan otoritas

    dalam memenuhi kebutuhan dan mengakibatkan penderitaan warganya.

    B. Korupsi, Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kaca Mata Sosiologi Hukum

    Para ahli sosiologi dengan berbagai penelitiannya yang mendalam telah

    memberikan pemahaman dan gambaran tentang perilaku manusia yang begitu

    kompleks. Akan tetapi sebagian dari mereka memiliki perbedaan dalam

    pendekatan secara teori dan pengertian perihal perilaku manusia.

    Menurut Prof. Mark Leary, Terkadang Perilaku manusia sangat rumit, yang

    dipengaruhi oleh banyak kekuatan yang berinteraksi. Beberapa penyebab perilaku

    terletak pada cetak biru genetis yang dirancang otak kita, tapi banyak perilaku

    dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorangdengan bagaimana mereka

    dibesarkan dan juga oleh pengaruh orang lain, kelompok sosial, dan budaya24. Di

    lain tempat Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang penuh teka-

    teki. Kita mampu meraih prestasi pribadi dan budaya yang paling megah, namun

    kita kadang-kadang berperilaku dengan cara yang bukan saja irasional (tak masuk

    akal) dan terlihat pendek, tetapi juga merugikan diri kita sendiri atau orang lain.

    Kita bisa mengalami emosi yang membangkitkan semangat seperti cinta,

    optimisme, dan kekaguman, namun kita juga mengikat diri dililit oleh kecemasan,

    kemarahan, dan putus asa. Kita kadang-kadang mempertahankan prinsip-prinsip

    kita, tapi di lain waktu, kita bersikap bertentangan dengan standar pribadi kita.

    Kita bisa mengingat ribuan kenyataan remeh tapi lupa janji penting.25 Secara sadar,

    kita memahami apa yang baik dan tidak baik, manfaat dan resikonya bagi diri

    sendiri maupun orang lain, kita memahami ada reward dan punishment atas

    perilaku kita, tetapi perilaku kita bertentangan dengan kesadaran dan pemahaman

    kita tentang perilaku sendiri. Secara awam, perilaku hanya terdiri dari dua yaitu

    perilaku baik dan perilaku buruk.

    24

    Mark Leary, 2012, Understanding the Mysteries of Human Behavior, Course Guidebook,

    Virgina: The Great Course, 25

    Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 11

    Sedangkan dalam perspektif Islam perilaku disebut sebagai akhlak, secara

    etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al akhlaq yang merupakan bentuk

    jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau

    tabiat (Hamzah Yaqub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan

    moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang

    mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.

    Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali

    mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya

    timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada

    pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27).26

    Menurut Imam Al-Ghazali, lafadz khuluq dan khalqu adalah dua sifat yang

    dapat dipakai secara bersamaan. Jika menggunakan kata khalqu maka yang

    dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata khuluq maka

    yang dimaksud adalah bentuk bathin. Hal tersebut dikarenakan manusia sendiri

    pada hakikatnya tersusun dari jasad yang dapat diketahui dengan kasat mata

    (bashar). Selain itu, manusia juga tersusun dari ruh dan nafs yang dapat diketahui

    keberadaannya dengan hanya menggunakan penglihatan mata hati (bashirah).

    Sehingga kekuatan nafs yang dapat dirasakan dengan bashirah lebih besar dari

    pada jasad yang adanya disadari dengan bashar.27

    Berdasarkan definisi akhlaq tersebut, jika dicermati terdapat kata kunci yang

    sangat penting sekali untuk diketahui yaitu kata haiah yang merupakan gambaran

    keadaan jiwa seseorang yang ketika digunakan untuk mewujudkan akhlaq yang

    baik diperlukan juga kebaikan dan keserasian antara keempat kekuatan yang ada

    dalam jiwanya, yaitu kekuatan pengetahuan (intelek), kekuatan marah, kekuatan

    keinginan, dan kekuatan keadilan (quwwat al-ilmi, quwwat al-ghadhabi, quwwat

    al-syahwah, dan quwwat aladli). Sebagaimana bentuk lahir yang tidak akan bisa

    sempurna hanya dengan kebaikan kedua mata saja, tanpa adanya hidung dan

    26

    Marzuki, 2009, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar

    Etika dalam Islam, Yogyakarta: Debut Wahana Press, hlm. 8 27

    Khafidhi, 2013, Peranan Akal dan Qalb dalam Pendidikan Akhlaq, Proposal tesis,

    Semarang: Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo, hlm. 13

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 12

    mulut, akan tetapi kesempurnaan bentuk lahir memerlukan kebaikan dari

    kesemuanya.28

    Sikap (attitudes) adalah perasaan, keyakinan, atau pendapat persetujuan atau

    ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Perilaku (behavior) merupakan tindakan atau

    reaksi yang terjadi dalam menanggapi suatu peristiwa atau stimulus internal.29

    Sikap (attitudes) melibatkan kecenderungan pikiran untuk beberapa ide, nilai-nilai,

    orang, sistem, lembaga; Perilaku (behavior) berhubungan dengan ekspresi yang

    sebenarnya dari (attitudes) perasaan, tindakan atau tidak bertindak secara lisan

    dan/ atau melalui bahasa tubuh.30 Jadi perilaku khalqu (bentuk lahir) merupakan

    manifestasi dari sikap atau merupakan perwujudan dari khuluq (batin). Baik

    buruknya akhlak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam (internal)

    maupun luar (eksternal), dalam pandangan Islam pada dasarnya manusia adalah

    baik dan suci ketika pertama kali dilahirkan, ibarat kertas putih tanpa noda dan

    faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas akhlaknya, lingkungan sosial dimana

    dia tinggal dan menjalani kehidupannya yang akan membentuk akhlaknya suatu

    hari nanti.

    Manusia bereaksi terhadap lingkungan mereka dengan cara yang evaluatif.

    Mereka mencintai dan melindungi keluarga mereka dan berusaha untuk

    mempertahankan evaluasi positif dari diri sendiri maupun orang di sekitar mereka.

    Mereka mengevaluasi daya tarik lain. Mereka juga mengevaluasi dan memilih

    pemimpin, memutuskan bagaimana untuk mempergunakan sumber daya mereka,

    dan rencana untuk masa depan yang mereka bayangkan. Tindakan tersembunyi

    dan terbuka tersebut sering melibatkan penilaian mengenai apakah itu objek,

    peristiwa, dirinya sendiri, atau yang lainnya yang menguntungkan atau tidak

    menguntungkan, menyenangkan atau tidak menyenangkan, baik atau buruk.31

    28

    Ibid 29

    http://psychology.jrank.org/pages/52/Attitude-Behavior.html# ixzz3Nqe7SRj3 30

    http://www.researchgate.net/post/What_is_the_difference_between_attitude_and_behavio

    ur--any_examples 31

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 13

    Secara alami manusia adalah makhluk sosial, unsur-unsur interaksi sosial

    penting untuk memahami mekanisme dan proses yang dilalui orang untuk saling

    berinteraksi, baik secara individu maupun dalam kelompok. Berbagai macam

    faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kita, bagaimana kita menampilkan diri

    kita kepada orang lain dan bagaimana kita memperlakukan mereka. Pandangan

    kita terhadap pengembangan diri berlangsung sepanjang waktu dan terbentuk dari

    berbagai macam faktor, termasuk masyarakat, budaya, individu dan kelompok,

    agen (perantara) sosialisasi dan pengalaman unik. Bagaimana kita memandang diri

    kita sendiri mempengaruhi persepsi kita tentang orang lain, dan selanjutnya,

    interaksi kita dengan mereka. Misalnya, persepsi prasangka dan stereotip dapat

    menyebabkan tindakan diskriminasi, sedangkan sikap positif tentang orang lain

    dapat menyebabkan pemberian bantuan dan dukungan sosial. Perilaku manusia

    adalah perwujudan atau cerminan dari persepsi manusia terhadap obyek dan

    lingkungan sosialnya yang dimana ia berinteraksi di dalamnya. Ada hubungan

    timbal balik antara persepsi manusia dan lingkungan sosial budayanya.

    Lalu apa yang menentukan tindakan seseorang bisa dikategorikan normal

    dan menyimpang? Di Amerika orang biasa berjalan bergandengan tangan, bahkan

    berpelukan adalah hal biasa normal lalu bagaimana di Timur Tengah atau di Asia

    Tenggara? Perilaku tersebut dikatakan normal di satu tempat dan menyimpang di

    tempat lain, jawabannya adalah budaya, nilai dan norma-norma tiap-tiap budaya,

    masing-masing nilai dan norma membentuk kode etik dari sebuah budaya. Sistem

    simbolis dari sisi perilaku mana yang memakai atau menetapkan kualitas yang

    baik atau buruk, benar atau salah. Namun untuk perilaku tertentu, hampir

    semua budaya memiliki kode etik yang samasebuah perilaku fenomenal

    sepanjang masa, yaitu, korupsi. Perilaku menyimpang ini bisa dilakukan secara

    individual atau kelompok.

    Sebagian besar kode etik budaya sepakat bahwa korupsi adalah perilaku

    menyimpang, buruk dan salah dari segi manapun, baik itu sosial, budaya

    maupun agama. Sejak jaman kuno korupsi sudah menjadi fenomena yang

    mengacaukan dan merusak, korupsi adalah fenomena yang paling tua dalam

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 14

    kehidupan sosial masyarakat. Penyimpangan perilaku ini memiliki dampak yang

    negatif terhadap tatanan sosial, nilai dan norma, ekonomi secara perorangan

    hingga ke lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat dan negara.

    Korupsi cenderung mengalihkan pengeluaran pemerintah menjauh dari

    wilayah sosial dengan pembangunan proyek yang tidak dibutuhkan atau investasi

    berkualitas rendah di bidang infrastruktur. Di negara-negara yang paling korup,

    politisi korup cenderung memilih proyek investasi bukan pada basis nilai ekonomi

    yang terkandung di dalamnya, tetapi pada kesempatan suap dan imbalan atas

    tersedianya proyek-proyek tersebut.32 Menurut Tanzi & Davoodi, korupsi yang

    tersebar luas dalam anggaran APBN yang tidak hanya akan mengurangi tingkat

    pengembalian investasi baru di suatu negara, tetapi juga akan mempengaruhi

    tingkat pengembalian negara yang diperoleh dari infrastruktur yang tersedia.33

    Oleh karena itu, sosiologi hukum memandang penting untuk lebih

    mendalami penyimpangan perilaku ini, melihat gejala-gejala sosial yang sedang

    terjadi dan apa yang akan terjadi di masyarakat, memberikan definisi yang tepat

    untuk mencari tahu faktor-faktor penyebabnya, pengaruh eksternal lingkungan

    sosialyang dalam hal ini termasuk keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil

    terhadap penyimpangan perilaku korupsi ini, baik itu yang dilakukan secara

    individual maupun kelompok, dan pengaruh internal dalam diri koruptor. Sosiologi

    hukum di dalam masyarakat adalah untuk meneliti berbagai macam masalah dalam

    masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif khususnya

    dalam kasus korupsi. Karena tindakan hukum saja tidak cukup, juga diperlukan

    kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi. Kesadaran masyarakat hanya

    dapat timbul apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan

    hakikat tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang. Masyarakat

    harus memahami dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi, nilai-nilai moral

    dan budaya mereka, demi keutuhan dan kejayaan generasi mereka yang akan

    32

    Frunzik Voskanyan, 2000, A Study of the Effects of Corruption on Economic and Political

    Development of Armenia, a thesis, American University of Armenia, hlm. 29 33

    Tanzi & Davoodi, 1997, Corruption Public Investment, and Growth. IMF Working Paper

    97/139, Washington: International Monetary Fund, hlm. 8

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 15

    datang. Mereka juga harus memahami bahwa korupsi adalah sebuah masalah

    sosial, masalah institusional dan masalah struktural. Korupsi terjadi di semua

    sektor dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, maka dianggap

    sebagai penyakit sosial.

    Bagaimanapun, menurut penulis, fenomena penyimpangan perilaku korupsi

    ini sesungguhnya bukanlah semata-mata ditinjau perspektif sosiologi hukum saja

    tetapi dari perspektif keilmuan yang lebih luas, misalnya dari perspektif agama

    yang secara dini melakukan pembinaan akhlak secara individual maupun

    kelompok, yang memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya

    nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus

    dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri

    individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi kecil, apalagi korupsi

    besar.

    Sosiologi hukum memberikan gambaran pengaruh timbal balik tindakan

    hukum, undang-undang dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hukum

    terhadap masyarakat, memberikan wawasan kepada para pembuat kebijakan agar

    produk hukum yang dikeluarkan bisa berjalan efektif sesuai dengan fungsi dan

    tujuan hukum. Undang-undang dan peraturan hukum tidaklah cukup memecahkan

    masalah penyimpangan perilaku korupsi, dan kenyataan pada hari ini, berbagai

    fakta pengambilan tindakan hukum yang telah dilakukan terhadap para pelaku

    tindak korupsi, tidak membuat jera para pelakunya, bahkan bermunculan bibit-

    bibit baru yang berlomba-lomba menggantikannya, ibarat warisan haram tanpa

    surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku

    dalam tiap orde yang datang silih berganti. Korupsi menjadi trend gejala

    perubahan sosial yang diikuti dengan perubahan pola pikir (mindset) masyarakat

    terhadap korupsi. Korupsi di negeri telah merakyatsebuah hal wajar jika tidak

    terlalu besar, sekedar imbalan uang lelah. Di Indonesia, korupsi tidak hanya

    terjadi di tingkat atas saja tetapi sudah menyentuh lantai dasar kehidupan sosial

    masyarakat, di berbagai bidang pekerjaan. Pengalihan dana BOS untuk

    kepentingan segelintir orang bukanlah rahasia lagi, sesuatu yang normal sebagai

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 16

    hasil sampingan, sopir perusahaan yang memanipulasi kuitansi biaya bahan bakar

    demi keuntungan pribadi sudah menjadi pembicaraan sehari-hari tanpa ditutup-

    tutupi, disampaikan kepada orang lain tanpa perasaan bersalah dan bahkan yang

    paling menyedihkan adalah ada sebuah ungkapan menjadi mahasiswa tak perlu

    pandai, yang penting adalah panda-pandai.

    Di Indonesia, korupsi bukanlah mutlak hak kalangan atas, kaum

    bawahpun seolah tak mau kehilangan kesempatan memperjuangkan haknya,

    berusaha keras mencapai level yang lebih tinggi dan lebih elite, menjadi kader

    partai poltik dan berlomba-lomba menjadi anggota dewan perwakilan rakyat,

    merekapun rela berpindah-pindah partai politik karena haknya tak terpenuhi di

    satu tempat. Mereka berusaha keras menghakimi pencuri demi untuk

    menggantikan posisinya sebagai pencuri dan mereka akan mencari yang lebih

    besar, karena korupsi kecil atau besar, hukumannya adalah sama. Mindset ini

    sudah menjadi wabah yang menjanjikan, dan untuk merubah kembali pola pikir

    ini membutuhkan kajian khusus yang mendalam dan membutuhkan waktu, maka,

    disinilah peran sosiologi hukum sebenarnya walaupun pendekatan ini cenderung

    membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar

    (low costly), namun hasilnya akan berdampak jangka panjang (long lasting).

    Sosiologi hukum berusaha mencari akar masalah, penyebabnya, pengaruh

    internal dan eksternal serta hubungan sosial. Sosiologi berusaha menyajikan fakta

    empiris di lapangan dan memberikan saran hukum untuk pemecahan secara

    preemptif, preventif dan represif. Karena, menurut Harrison34, Korupsi tidak

    terlihat sebagai praktik yang sasarannya berada di dalam ruang hampa, tetapi

    sebagai tindakan sosial yang pengertiannya perlu dipahami dengan mengacu pada

    hubungan sosial.

    34 Harrison, E, 2006, Unpacking the anti-corruption agenda: Dilemmas for anthropologists,

    Oxford Development Studies 34(1):15-29, hlm. 20

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 17

    C. Faktor-faktor Penyebab Korupsi

    Seperti telah diketahui bahwa perilaku manusia begitu kompleks, begitu

    juga, korupsi merupakan fenomena sosial yang kompleks. Penyebab korupsi dan

    keadaan yang mendukung kemunculannya banyak ragamnya dan dapat berkisar

    dari unsur-unsur peradilan untuk orang-orang politik, dari unsur-unsur

    administrasi, untuk yang sosial dan ekonomi.35

    Menurut Bank Dunia36, penyebab korupsi selalu kontekstual, berakar pada

    kebijakan suatu negara, tradisi birokrasi, pembangunan politik, dan sejarah sosial.

    Selain itu, korupsi cenderung untuk berkembang ketika institusi lemah dan

    kebijakan pemerintah yang menciptakan rente-ekonomi 37. Gaji pegawai negeri

    yang rendah dan menurun dan promosi jabatan yang tidak berkaitan dengan

    prestasi. Anggaran pemerintah yang menyimpang, perlengkapan dan peralatan

    yang tidak memadai, keterlambatan pencairan dana anggaran (termasuk gaji), dan

    kehilangan tujuan organisasi juga dapat merusak moral pegawai.38

    Selanjutnya Yamamah mengatakan bahwa perilaku materialistik dan

    konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi telah

    memaksa terjadinya permainan uang dan korupsi. Dengan kondisi itu hampir

    35 Cristi Danilet, 2009, Corruption and anti-corruption in the justice system, Bucharest :

    Editura C.H. Beck, ISBN 978-973-115-771-9, hlm. 41 36

    World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank,

    Whasington D.C., hlm. 12 37

    Economic rent, dalam pengertian analisis politik (yg. berbeda dengan pengertian ekonomi

    murni) adalah sifat pelaku bisnis untuk memudahkan cara memperoleh keuntungan dengan

    menggunakan modal hak milik orang lain atau hak milik publik (rent seeking behavior). Dalam

    pengertian ini rente (rent) diartikan lebih kritis negatif artinya karena input atau modal yang

    dipakai bukan hak milik sendiri. Sementara itu, rente (sewa) dalam arti netral dan positif adalah

    bentuk pendapatan yang diperoleh dari modal yang merupakan hak milik sendiri (uang, rumah,

    mesin dan lain-lain). Di dalam ekonomi klasik, memperoleh rente ekonomi dari modalnya sendiri

    merupakan praktek yang sah. Dari konsep ini diambil makna dari kecenderungan umum untuk

    mendapatkan modal, yang lazim disebut rent seeking behavior. Di dalam ekonomi politik, perilaku ini terjadi dan dilakukan oleh pengusaha dengan menggunakan modal kekuasaan, yang

    dimiliki rakyat. Prof. Dr. Didik J. Rachbini, 2002, Ekonomi Politik: Paradigma dan Pilihan Publik,

    Ghalia Indonesia, hlm. 119-120 38

    World Bank, loc. cit

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 18

    dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa korupsi kalau sudah

    menjabat.39

    Komunitas sosial dimana berinteraksi dengan orang-orang yang ada di

    dalamnya juga mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan sikap dan gaya

    hidup seseorang, proses untuk meniru orang lain yang dianggapnya lebih darinya

    dan rasa kagum pada orang lain (tokoh idealnya) dalam proses belajar sosial

    (social learning).

    Imitation (peniruan) dimulai dalam lingkungan keluarga, tetangga kemudian

    masyarakat. Imitasi tidak berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh

    sikap menerima dan mengagumi terhadap apa yang diimitasi. Menurut Toni

    Greatrex40, bahwa imitasi, sebuah konsep yang berhubungan dengan perilaku

    mencocokkan, adalah komponen inti dari perilaku belajar. Semua budaya manusia

    mencerminkan imitasi dan peniruan dalam pengungkapan mereka pada aktivitas

    secara individual dan kelompok.

    Suggestion (dorongan), kata Sugesti berasal dari kata Latin suggestus,

    yang dasarnya kata suggero, yang berarti: Untuk melaksanakan dengan

    penggunaan aslinya adalah dalam arti yang menempatkan di bawah atau

    penyerapan cepat terhadap pikiran, ide, atau kesan, pengamatan yang mendalam

    dan perhatian seksama, dan menjadi kesadaran batin dari seseorang. Dalam

    psikologi, memiliki arti baru yaitu dari berlakunya sesuatu ke dalam pikiran

    seseorang, secara tidak langsung dan non-argumentif (tanpa dipertanyakan). Dan,

    kemudian, psikolog mulai menggunakan istilah dalam arti masih luas, yaitu kesan

    pada pikiran melalui perantara dari objek lain, seperti sikap, tanda-tanda, kata,

    ucapan, sensasi fisik, lingkungan, dan lain-lain.41 Artinya pengaruh karena

    emosional/perasaan/kata hati tersentuh oleh pandangan, sikap, dan anjuran dari

    39

    Ansari Yamamah, 2009, Perilaku Konsumtif Penyebab Korupsi, tersedia

    di: http://www.antaranews.com/berita/165833/perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi (last updated:

    Senin, 14 Desember 2009 09:49 WIB) diakses pada 06 Januari 2015 40

    Toni Greatrex, M.D., 2002, Projective Identification: How Does It Work?, Jurnal:

    Neuropsychoanalysis (2002). Volume 4, Issue 2. pp. 187-197. 41

    William Walker Atkinson, 1909, Suggestion and Auto-Suggestion, Kessinger Publishing,

    LLC; Reprint edition (1942), electronic version: YOGeBooks: ISBN: 978-1-61183-086-6 (pdf),

    hlm. 6

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 19

    pihak lain. Pengaruh ini sifatnya kualitatif, bukan kuantitatif yang selalu diukur

    dengan korelasi regresif atau sejenisnya.42

    Sugesti merupakan proses psikologis karena tindakan pihak lain yang

    berpengaruh pada dirinya. Proses sugesti bisa terjadi bila yang memberi

    pandangan adalah orang yang berwibawa, yang memiliki sifat otoriter, atau

    merupakan sikap sebagian besar anggota kelompok yang bersangkutan atau

    masyarakat seluruhnya.43 Sugesti melahirkan suatu tertentu tanpa berpikir rasional

    bagi individu yang menerimanya, misalnya, dalam keadaan emosi atau tertekan

    (frustrasi)44, kondisi fisik yang lemah dan bawaan kecerdasan sejak ia lahir.

    Sugesti bisa berasal dari hal atau orang-orang yang berwibawa atau

    berpengaruh, seperti orang tua, orang yang lebih pandai, orang-orang yang

    memiliki kedudukan tinggi, cendekiawan dan ulama. Disamping itu, media masa,

    kelompok idola masyarakat, dan kelompok mayoritas juga memberikan pengaruh

    dalam memberikan sugesti. Jadi, sugesti dapat diartikan sebagai rangsangan atau

    stimulus yang diberikan seorang individu kepada individu lain, sehingga orang

    yang diberi sugesti tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang disugestikannya

    itu tanpa berpikir secara kritis dan rasional.45

    Identifikasi. Identifikasi merupakan sebuah kecenderungan atau keinginan

    dari seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi dapat terjadi

    karena adanya kekaguman dari seseorang terhadap pihak yang diidolakannya.

    Seorang anak yang merasa bangga terhadap keberhasilan orang tuanya dalam

    mendidik anak-anaknya, akan mencontoh cara-cara orang tuanya tersebut dalam

    mendidik anak-anaknya nanti. 46

    Simpati. Simpati merupakan suatu ketertarikan terhadap seseorang atau

    kelompok tertentu. Perasaan ketertarikan mungkin saja berubah menjadi lebih

    42

    Elisanti &Tintin Rostini, 2009, Sosiologi 1 : untuk SMA / MA Kelas X, Jakarta : Pusat

    Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 54 43

    Ibid 44

    Tim Mitra Guru, 2007, Ilmu Pengetahuan Sosial: Sosiologi untuk SMP dan MTs Kelas

    VII, Penerbit Erlangga, hlm. 53 45

    Budi Sanjaya, et. al., 2010, IPS untuk SMP dan Mts Kelas VII, Jakarta : Pusat Perbukuan

    Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 69 46

    Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 20

    peka sehingga dapat ikut merasakan apa yang dilakukan, dirasakan, atau diderita

    oleh orang lain, yang disebut dengan empati.47

    Faktor-faktor interaksi sosial di atas dapat membentuk pola pikir dan

    perilaku individu, baik dan buruk akan terbentuk apabila berlangsung secara

    terus-menerus, maka akan menimbulkan keteraturan sosial. Keteraturan sosial

    merupakan hasil dari hubungan sosial atau interaksi sosial yang berlangsung

    secara berkesinambungan, dan interaksi sosial yang terus menerus dan tetap akan

    membentuk sebuah pola, interaksi sosial dalam prosesnya secara tidak disadari

    akan terbentuk sebuah norma, yang lama kelamaan norma dibuat secara sadar oleh

    manusia. Norma sangat berkaitan dengan nilai, karena norma adalah bentuk nyata

    dari nilai. Norma merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh

    nilai. Dan Perilaku korupsi adalah salah satu hasil dari interaksi sosial, yang pola

    dan norma ada di dalamnya, norma sosial berbeda di setiap kelompok-kelompok

    sosial atau masyarakat. Norma sosial memberikan batasan-batasan, kaidah dan tata

    aturan perilaku masyarakat secara tak tertulis.

    Norma-norma sosial yang dimiliki oleh orang lain dan ditopang oleh

    persetujuan dan ketidaksetujuan mereka48. Rasa bersalah akibat gagal mematuhi

    norma sosial dapat menjadi penentu kuat perilaku. Masyarakat dengan banyak

    korupsi yang melanggar norma individu juga akan mewarisi rasa bersalah yang

    lemah terhadap individu di dalamnya, yang dapat menyebabkan perangkap

    korupsi. Karena di dalam masyarakat yang korupsi akan terjadi bias

    pemahaman norma dan ada perubahan pemahaman norma itu sendiri. Korupsi

    akan menjadi sebagian dari norma. Sehingga masyarakat dengan banyak korupsi

    cenderung lebih toleran terhadap perilaku korupsi. Di tingkat atas korupsi sudah

    menjadi sistemik, epidemi global, tidak hanya di satu wilayah saja tetapi menyebar

    ke semua wilayah: politik, kesehatan, pendidikan, hukum dan bahkan lembaga

    agama. Sehingga penanganannya menjadi begitu komplek dan sulit dilaksanakan

    47

    Ibid 48

    Budge et al. 2009, 2009. Communications and behaviour change. Central

    Office of Information. http://www.cncs.org.mz/index.php/por/content/download/1636/14742/file/c

    ommongood-behaviourchange.pdf

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 21

    karena melibatkan lintas wilayah, adanya toleransi hukum terhadap toleransi

    korupsi, dan muncul istilah jeruk minum jeruk.

    Memang, peniruan perilaku korupsi oleh individu dalam proses interaksi

    sosialnya tidak berlangsung secara cepat dan spontan, proses ini berlangsung

    dalam jangka waktu yang lama, tetapi apabila pola pikir korupsi sudah terbentuk

    di dalam masyarakat, maka perilaku tersebut menjadi warisan haram dan

    menetap dalam jangka waktu yang lama. Perlu penanganan dan tindakan yang

    tepat dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk menanggulangi

    penyimpangan perilaku yang berbahaya ini, sebelum menjadi penghuni tetap di

    negara ini. Penanganan dan pemberantasan tindak korupsi baik secara individu

    maupun kelompok, tidak bisa dilakukan dari satu arah saja tetapi harus dilakukan

    dari atas dan dari bawah, dan dari semua perspektif keilmuan. Karena pada

    hakikatnya perilaku korupsi dan tindakan korupsi dipengaruhi berbagai macam

    faktor disamping faktor sosiologis, menurut ICW49 dalam buku berjudul Peran

    Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan

    empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi

    dan birokrasi serta faktor transnasional. Dan penulis hanya membatasi pembahasan

    korupsi pada keterkaitan sosial saja.

    Uraian di atas adalah dugaan sementara penulis berdasarkan pengalaman

    empiris sehari-hari dan atas dasar persepsi penulis pribadi yang belum terbukti

    kebenarannya, belum ada penelitian resmi dan valid dilakukan oleh penulis karena

    berbagai alasan, dan kita semua memahami bahwa korupsi adalah dunia yang

    gelap dan berbahaya. Sebuah labirin dengan jalan berliku dan bercabang,

    sekali salah dalam melangkah kita akan tersesat di dalamnya dan sulit untuk

    keluar, karena di ujung jalan yang gelap ada bahaya yang menanti.

    Karena keterbatasan waktu dan bahan yang dimiliki penulis, pada uraian

    selanjutnya yaitu dampak korupsi ini penulis hanya mengutip sebagian dari buku

    Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi yang diterbitkan

    Kemendikbud tahun 2011.

    49

    Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, op. cit. hlm. 40

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 22

    D. Dampak Korupsi50

    Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi

    menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara.

    Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi

    bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses

    rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara

    terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata

    internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal

    asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin

    terperosok dalam kemiskinan. Berdasarkan Laporan Bank Dunia, Indonesia

    dikategorikan sebagai negara yang utangnya parah, berpenghasilan rendah

    (severely indebted low income country) dan termasuk dalam kategori negara-

    negara termiskin di dunia seperti Mali dan Ethiopia. Berbagai dampak masif

    korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara

    akan diuraikan di bawah ini.

    1. Dampak Ekonomi

    Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous

    destruction effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara,

    khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan

    masyarakat.

    Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya

    korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan

    ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan

    kesejahteraan (Mauro: 1995). Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi

    makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini

    mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif,

    represif maupun kuratif.

    Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya

    barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan

    50

    Ibid

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 23

    ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak

    kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya

    memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata,

    namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara

    umum. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam

    perputaran ekonomi, justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya

    terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat.

    Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah

    apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak

    ekonomi yang akan terjadi, yaitu:

    a. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi Dan Investasi

    Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan

    investasi dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi

    dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor

    privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran

    ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko

    pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.

    Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional

    meninggalkannya, karena investasi di negara yang korup akan merugikan

    dirinya karena memiliki `biaya siluman' yang tinggi.

    Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi pada

    pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung

    dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi (Mauro: 1995).

    Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari

    bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi

    yang ditanam.

    b. Penurunan Produktifitas

    Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak

    dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini

    terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 24

    berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas. Program

    peningkatan produksi dengan berbagai upaya seperti pendirian pabrik-pabrik

    dan usaha produktif baru atau usaha untuk memperbesar kapasitas produksi

    untuk usaha yang sudah ada menjadi terkendala dengan tidak adanya investasi.

    Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan yang

    lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran.

    Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.

    c. Rendahnya Kualitas Barang Dan Jasa Bagi Publik

    Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras

    murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang

    merusak kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan

    umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan serangkaian kenyataan

    rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akib at korupsi.

    Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan

    mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan

    upah tersedia lebih banyak. Pejabat birokrasi yang korup akan menambah

    kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi

    yang terjadi.

    Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa

    bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan

    bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan,

    lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas

    pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan

    terhadap anggaran pemerintah.

    d. Menurunnya Pendapatan Negara Dalam Sektor Pajak

    Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi

    perangkat penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam

    menyediakan barang dan jasa publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak

    adalah sesuatu yang penting bagi negara.

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 25

    Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk

    mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi

    pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan

    digunakan untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada

    akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting bagi

    kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada

    akhirnya.

    Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan

    kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk

    mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri.

    Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan masyarakat

    terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada

    percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak

    ketidakadilan tersebut.

    e. Meningkatnya Hutang Negara

    Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda

    semua negara termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa

    negara-negara tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong

    perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup biaya

    anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Bagaimana

    dengan hutang Indonesia?

    Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri

    yang semakin besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal

    Pengelolaan Hutang, Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang

    pemerintah per 31 Mei 2011 mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan

    Rp. 1.716,56 trillion, sebuah angka yang fantastik.

    Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal

    digunakan untuk kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila

    hutang digunakan untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin

    memperburuk keadaan. Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 26

    terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini digunakan untuk

    sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi

    2. Dampak Sosial Dan Kemiskinan Masyarakat

    Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa

    dan saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan

    oleh orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik,

    rendahnya kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai

    pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak

    langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik

    untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna

    kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan.

    Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan.

    a. Mahalnya Harga Jasa Dan Pelayanan Publik

    Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban

    yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost

    economy. Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi korupsi akan

    sangat besar terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah

    secara ketat dalam praktek perekonomian. Alias memiliki kekuatan monopoli

    yang besar, karena rentan sekali terhadap penyalahgunaan. Yang

    disalahgunakan adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang

    diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.

    Kondisi ekonomi biaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga jasa dan

    pelayanan publik, karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian

    pelaku ekonomi akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan

    yang mengarah ke tindak korupsi.

    b. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat

    Jumlah penduduk miskin (hidup di bawah garis kemiskinan) di Indonesia

    pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta

    orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010

    yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen).

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 27

    Selama periode Maret 2010-Maret 2011, penduduk miskin di daerah

    perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret

    2010 menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah

    perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret

    2010 menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011) (BPS: 1 Juli 2011).

    Pengentasan kemiskinan dirasa sangat lambat hal ini terjadi karena

    berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan

    lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada

    akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke lapangan

    kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk membuat

    pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah teknis dan

    pendanaan.

    c. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin

    Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan

    mengakibatkan high-cost economy, di mana semua harga-harga melambung

    tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini

    mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai macam

    akses dalam kehidupannya.

    Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak, susu dan sebagainya saat

    ini sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi

    dan anak-anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk mendapatkan bahan

    pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit

    pendapatan yang dimilikinya.

    Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti:

    pendidikan, kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin

    lebih mendahulukan mendapatkan bahan pokok untuk hidup daripada untuk

    sekolah. Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat miskin karena

    mengalami kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk

    mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 28

    rakyat miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang

    miskin seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.

    d. Meningkatnya Angka Kriminalitas

    Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis

    kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau

    penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai

    oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang

    popular, sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan

    penting. Di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi

    kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.

    Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.

    Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara

    korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi

    meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika

    korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan

    hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi

    korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam

    masyarakat.

    Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara

    selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan

    prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara

    ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat

    (marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran

    hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.

    e. Solidaritas Sosial Semakin Langka Dan Demoralisasi

    Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa

    tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-

    hari. Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin

    kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini

    dilakukan hanya menjadi retorika saja.

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 29

    Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya

    mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat

    melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi

    kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat

    sendiri.

    Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah atau

    bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang

    membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan

    semakin menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba mendirikan

    posko bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari dukungan suara

    dari masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan secara tulus

    meringankan penderitaan dan membantu agar lebih baik.

    Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi

    keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini

    akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi

    generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan

    oleh para elit politik, pejabat penguasa, penegak hukum, artis dan selebritis

    yang setiap hari bisa dilihat dari berbaga macam media.

    Uraian di atas adalah sebagian kecil dari dampak yang ditimbulkan oleh

    korupsi, karena begitu masif dan luasnya dampak korupsi bagi kehidupan individu,

    masyarakat, bangsa dan negara, maka perlu uraian yang lebih detail dan

    pembahasan lebih lanjut, penulis hanya berusaha memberikan sebagian kecil

    gambaran dari dampak korupsi yang begitu masif, yang tidak saja melibatkan

    kehidupan intern sebuah negara tetapi menjangkau hubungan korupsi lintas

    negara.

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 30

    BAB III

    PENUTUP

    Peranan Sosiologi Hukum terhadap perilaku korupsi adalah memberikan

    wawasan dan saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama pemerintah

    dalam pembentukan konstitusi, pemecahan masalah hukum dan tindakan hukum yang

    berkaitan dengan korupsi secara efektif dan sesuai dengan tujuan hukum. Korupsi

    adalah masalah sosial yang kompleks dan saling berkaitan, hubungan pengaruh

    timbal balik individu dengan masyarakat, individu dengan individu maupun individu

    dengan dirinya sendiri. Perilaku korupsi harus dicegah sebelum terjadi, tindakan

    hukum terbukti belum mampu mengatasi pemberantasan korupsi di Indonesia,

    bahkan korupsi semakin marak dan seolah-olah menjadi tren di kalangan pejabat

    hingga ke masyarakat kelas bawah. Seharusnya media masa memiliki peran aktif

    dalam membantu dalam pemberantasan korupsi, diakui, pemberitaan dan pembahasan

    terhadap tindak korupsi memang ramai diberitakan baik itu media elektronik maupun

    media cetak, ironisnya, justru media masa juga menjadi media perangsang dan

    pemicu terjadinya korupsi dengan tayangan-tayangan perilaku konsumtif dan

    mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya bangsa.

    Peran aktif masyarakat yang peduli dan prihatin dengan penyimpangan perilaku

    ini demi keberhasilan pemberantasan korupsi. Diperlukan sosialisasi akan dampak

    masif serta bahayanya bagi kehidupan secara individual dan seluruh bangsa. Juga

    menggiatkan peran serta tokoh-tokoh agama dalam meningkatkan akhlak individu

    dan masyarakat. Lembaga pendidikan adalah media yang paling tepat untuk

    memberikan wawasan tentang bahaya korupsi dan praktek nyata akhlak mulia.

    Pemerintah harus tegas terhadap pelanggaran dan memberikan pengawasan yang

    lebih ketat di dunia pendidikan, karena dari sinilah cikal bakal tumbuhnya generasi

    bangsa di samping keluarga. Karena hakikatnya pendidikan bukanlah ladang bisnis

    dan layak untuk ditenderkan, pendidikan adalah dimana akal dan nalar

    ditumbuhkembangan, nilai, norma dan moral ditanamkan.

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 31

    DAFTAR PUSTAKA

    1. A National Bureau of Economic Research (NBER), 2006, Corruption and reform: lessons from Americas economic history, edited by Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, Chicago: The University of Chicago Press.

    2. Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007. The dark side of authority: Antecedents, mechanisms, and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics 77: 431-449.

    3. Aristotele, Book V Part IX: Politics, trans. by: Benjamin Jowet, 1999, Kitchener Ontario: Batoche books

    4. Atkinson, William Walker, 1909, Suggestion and Auto-Suggestion, Kessinger Publishing, LLC; Reprint edition (1942), electronic version: YOGeBooks: ISBN: 978-1-61183-086-6 (pdf),

    5. Budge, M., Deahl, C., Dewhurst, M., Donajgrodki, S. and Wood, F. 2009. Communications and behaviour change. Central Office of Information http://www.cncs.org.mz/index.php/por/content/download/1636/14742/file/commongood-behaviourchange.pdf

    6. Budi Sanjaya, et. al., 2010, IPS untuk SMP dan Mts Kelas VII, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

    7. Danilet, Cristi, 2009, Corruption and anti-corruption in the justice system, Bucharest: Editura C.H. Beck, ISBN 978-973-115-771-9

    8. Dolores Albarracin, Mark P. Zanna, Blair T. Johnson & G. Tarcan Kumkale, 2005, Attitudes: Definitions, Processes, And Theories, In: Dolores Albarracin, Mark P. Zanna, & Blair T. Johnson (eds.), A Handbook of Attitudes, Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2005. Print.

    9. Elisanti &Tintin Rostini, 2009, Sosiologi 1 : untuk SMA / MA Kelas X, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

    10. Ernst & Young, 2014, Transparency International Corruption Perceptions Index 2013, tersedia di: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-Transparency-International-Corruption-Perceptions-Index-2013/$FILE/EY-Transparency-International-Corruption-Perceptions-Index-2013.pdf (Publication date: 23-Jan-2014), diakses pada 01 Januari 2015

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 32

    11. Eugen Dimant, 2013, The Nature of Corruption: An Interdisciplinary Perspectiv, Discussion Paper: No. 2013-59, November 07, 2013 http://www.economics-ejournal.org/economics/discussionpapers/2013-59

    12. Fatimah, Siti, 2007, Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif Pemecahannya, Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan: Jurnal Demokrasi Vol 8, No 2 (2009), Universitas Negeri Padang (UNP), tersedia di: http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1197/1031, (diakses pada 01 Januari 2015)

    13. Freeman, Michael, Law and Sociology, Current legal issues ; 2005, v. 8, New York: Oxford University Press Inc. (2006)

    14. Frunzik Voskanyan, 2000, A Study of the Effects of Corruption on Economic and Political Development of Armenia, American University of Armenia

    15. Harrison, E, 2006, Unpacking the anti-corruption agenda: Dilemmas for anthropologists, Oxford Development Studies 34(1):15-29

    16. http://psychology.jrank.org/pages/52/Attitude-Behavior. html # ixzz3Nqe7SRj3

    17. http://www.researchgate.net/post/What_is_the_difference_between_attitude_and_behaviour--any_examples

    18. Khafidhi, 2013, Peranan Akal dan Qalb dalam Pendidikan Akhlaq, Proposal tesis, Semarang: Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo.

    19. Martini, Maira, 2012, Causes of Corruption in Indonesia, tersedia di: U4 Anti-Corruption Resources Center, http://www.u4.no/publications/causes-of-corruption-in-indonesia/. (The U4 Resource Centre is operated by the Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway - See more at: http://www.u4.no/info/about-u4/#sthash.RnV8XvRe.dpuf Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway)

    20. Marzuki, 2009, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika dalam Islam, Yogyakarta: Debut Wahana Press

    21. Naumova, Stefka, 2009, Legal-Sociological Parameters Of The Fight Against Crime And Social Deviance, in Sociology and Law: The 150th Anniversary of Emile Durkheim (1858-1917), Newcastle: Cambridge Scholars Publishing (UK), ISBN (10): 1-4438-0502-5, ISBN (13): 978-1-4438-0502-5

    22. OECD Glossaries, 2008, Corruption, A Glossary of International Standards in Criminal Law, Organization for Economic Co-operation and

  • Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 33

    Development (OECD), available at: http://www.oecd.org/daf/anti-bribery/41194428.pdf

    23. Rachbini, Didik J., 2002, Ekonomi Politik: Paradigma dan Pilihan Publik, Ghalia Indonesia

    24. Rehren, Alfredo, Prof. , Globalization and Corruption, a section of an article entitled The Ethical Challenges of Political Corruption in a Globalized Political Economy, in: Robert G. Patman and David MacDonald, eds., 2007, The Ethics of Foreign Policy, Ashgate Press, London. Tersedia di:http://www7.uc.cl/ceauc/papers/globalization_corruption_rehren_2004.pdf (diakses pada 03 Januari 2015)

    25. Richard Mulgan, 2012, Aristotle on Legality and Corruption, in: Manuhuia Barcham, Barry Hindess & Peter Larmour (Eds.), Corruption: Expanding the Focus, Camberra: ANU E Press.

    26. Tanzi, Vito & Davoodi, Hamid, 1997, Corruption Public Investment, and Growth. IMF Working Paper 97/139, Washington: International Monetary Fund

    27. Tim Mitra Guru, 2007, Ilmu Pengetahuan Sosial: Sosiologi untuk SMP dan MTs Kelas VII, Penerbit Erlangga.

    28. Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Cetakan 1 (Desember 2011), Jakarta: Kemendikbud

    29. Williams J. Siffin, 2001, Problem of Development Administration, In: Handbook of Comparative and Development Public Administration, Second Edition, Revised and Expanded, Ali Farazmand (eds), Florida: CRC Press

    30. World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank, Whasington D. C.

    31. Yamamah, Ansari, 2009, Perilaku Konsumtif Penyebab Korupsi, tersedia di: http://www.antaranews.com/berita/165833/perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi (last updated: Senin, 14 Desember 2009 09:49 WIB) diakses pada 06 Januari 2015