korupsi
DESCRIPTION
Sosiologi hukum, korupsiTRANSCRIPT
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 1
KORUPSI, PENYIMPANGAN PERILAKU DITINJAU
DARI KACA MATA SOSIOLOGI HUKUM
Kurniawan
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari anak-anak yang menolak pendidikan hingga ke pemilu yang ditentukan
uang bukan dengan pemilihan suara, korupsi di sektor publik muncul dalam
berbagai bentuk. Suap dan tawar menawar dari balik pintu tidak hanya mencuri
sumber daya dari kelompok yang paling rentan (lemah), korupsi juga merusak
keadilan dan pembangunan ekonomi, dan menghancurkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemimpin.1 Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa
pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsiyang terdiri dari dua
bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahantidak akan pernah berhasil
optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta
masyarakat.2
Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali
mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang
dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan,
birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya
dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar
1 Ernst & Young , 2014, Transparency International Corruption Perceptions Index 2013,
tersedia di: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-Transparency-International-
Corruption-Perceptions-Index-2013/$FILE/EY-Transparency-International-Corruption-
Perceptions-Index-2013.pdf (Publication date: 23-Jan-2014), diakses pada 01 Januari 2015 2 Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi, Cetakan 1(Desember 2011), Jakarta: Kemendikbud, hlm. v
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 2
hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya.
Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan
perekonomian, kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial, dan
pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi
hingga organisasi internasional seperti PPB memiliki badan khusus yang
memantau korupsi dunia.3
Dalam kasus Indonesia, korupsi di negara ini sangat mungkin difasilitasi
oleh sejumlah faktor, seperti sumber daya publik dengan jumlah besar yang
berasal dari sumber daya alam, koneksi jaringan kepentingan pribadi dan politik,
pegawai negeri dengan gaji kecil, kualitas regulasi yang rendah, dan independensi
peradilan yang lemah. Selain itu, pejabat lokal diberi kekuasaan kebijaksanaan
yang luas dan sumber daya tanpa akuntabilitas serta tanpa penegakan mekanisme
yang tepat.4 Jika ingin menelusuri atau mengurut dari manakah pangkal
persoalannya korupsi di Negara ini sama halnya dengan menyelesaikan benang
kusut, dicari ke mana ujung dan pangkalnya tetap tak pernah bertemu dan selesai.5
Dalam kenyataannya, hampir tidak ada yang merasa apalagi mengaku sebagai
koruptor. Padahal tidak sedikit aturan hukum sebagai landasan, tidak kurang
penegak hukum, tidak sunyi berita di media, atau nasihat-nasihat ulama di mimbar
pengajian. Namun banjir korupsi tidak surut secepat banjir sesungguhnya.6
Seperti telah disebutkan di atas bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan yang
luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu, masalah kejahatan sebagai
fenomena sosial selalu menjadi fokus perhatian dari semua masyarakat beradab.
3 Agus Mulya Karsona, Bab 01. Pengertian Korupsi, Tim Penulis Buku Pendidikan Anti
Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Cetakan 1(Desember 2011),
Jakarta: Kemendikbud 4 Maira Martini, 2012, Causes of Corruption in Indonesia, tersedia di: U4 Anti-Corruption
Resources Center, http://www.u4.no/publications/causes-of-corruption-in-indonesia/. (The U4
Resource Centre is operated by the Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway - See more at:
http://www.u4.no/info/about-u4/#sthash.RnV8XvRe.dpuf Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen,
Norway), hlm. 1 (diakses pada 01 Januari 2015) 5 Siti Fatimah, 2007, Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif
Pemecahannya, Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan: Jurnal Demokrasi Vol .8, No 2 (2009), Universit
as Negeri Padang (UNP), tersedia di: http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1197/
1031, (diakses pada 01 Januari 2015) 6 Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 3
Dalam masyarakat modern kejahatan telah mencapai dimensi global dan kapasitas
perlawanan serius dari para politisi, legislator, dan lembaga negara khusus yang
serupa. Munculnya bentuk-bentuk baru perilaku kriminal pada akhir 20 dan awal
abad ke-21 bahkan telah menimbulkan perubahan dalam terminologi spesialis
dalam kriminologi dan telah menyebabkan kebutuhan untuk menyatukan upaya
dalam mencari metode yang cukup memadai untuk menangkal fenomena sosial
yang sangat berbahaya ini.7
Dalam teori dan praktek yang memadai masih kurang kejelasan, apakah teori
dan praktek itu hanya untuk hukum saja yaitu bentuk baru penyimpangan sosial
(terutama korupsi dan kejahatan terkait korupsi) adalah penelitian objek yang
spesifik, ataukah, sebab dari penerapan strategi pembatasan/pelarangan. Masalah
yang berkaitan dengan kejahatan berjumlah besar dan berbeda-beda, fenomena
sosial yang tak terbantahkan yang sampai saat ini tetap berada di luar bidang visi
ilmu hukum murni (teori dan legislatif).8 Dan pemikiran hukum cenderung
mencerminkan arah gejala yang akan ditemukan dalam sosiologi.9
Terdapat berbagai pendekatan tapi hanya satu dapat menunjukkan sejumlah
ide dari pemikiran orang-orang yang mengangkat pendekatan sosiologis terhadap
tatanan hukum. Ada kepercayaan ambiguitas hukum: visi hukum sebagai satu-
satunya metode kontrol sosial.10 Selanjutnya, ahli hukum sosiologis cenderung
skeptis terhadap aturan yang disajikan dalam buku teks dan memberikan perhatian
untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, law in action.11 Meskipun penelitian
korupsi dalam ilmu politik dan filsafat politik melimpah ruah, para
ahli/cendikiawan keorganisasian secara khusus baru memulai mengeksplorasi
penyebab dan akibat dari korupsi dalam organisasi perusahaan secara sistematis,
7 Stefka Naumova, 2009, Legal-Sociological Parameters Of The Fight Against Crime And
Social Deviance, in Sociology and Law: The 150th Anniversary of Emile Durkheim (1858-1917),
Newcastle: Cambridge Scholars Publishing (UK), ISBN (10): 1-4438-0502-5, ISBN (13): 978-1-
4438-0502-5, hlm. 11 8 Ibid
9 Michael Freeman, Law and Sociology, Current legal issues ; 2005, v. 8, New York: Oxford
University Press Inc. (2006), hlm. 1 10
Ibid 11
Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 4
Ruth V. Aguilera & Abhijeet K. Vadera (2007) menawarkan rekomendasi pada
bagaimana mengurangi korupsi.12 Mereka menjelaskan bahwa penamaan korupsi
organisasi dengan mendefinisikan korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan
dengan menggunakan wewenang dalam organisasi untuk kepentingan pribadi.13
Penulis beranggapan bahwa ada keterkaitan erat antara otoritas dan korupsi,
jika hubungan korupsi dan otoritas terjadi dari tingkat otoritas tertinggi hingga
sampai tingkat paling bawah maka lambat laun korupsi akan menjadi bagian dari
sebuah sistemkorupsi sistemikdan menjadi hal yang biasa dalam melakukan
kegiatan operasional sehari-hari, korupsi menjadi bagian dari prosedur
administrasi yang tak tertulis, sesuatu yang seharusnya dilakukan, korupsi
menjadi ungkapan terima kasih yang tulus, sebuah pemberian biasa untuk balas
jasa, menjadi sebuah budaya organisasi dan berkembang luas di tengah-tengah
masyarakat dan akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Sebutan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang tak perlu
diragukan lagi, karena dampaknya begitu luas hingga menyentuh bagian yang
paling bawah sekalipun dan berkembang menjadi fenomena umum di masyarakat
yang pada akhirnya korupsi menjadi sebuah sistem sosial dan budaya masyarakat,
korupsi adalah kanker yang akarnya menancap kuat dan menyebar di dalam
masyarakat, menggerogoti sel-sel tatanan kehidupan sosial dan budayanya,
merusak sel-selnya hingga mati. Ketika sebuah sistem sosial dan budaya menjadi
sebuah sistem yang korup maka negara akan dibangun dengan korupsi, sebuah
sebutan yang buruk dan sangat memalukan, tapi kenyataan itulah yang terjadi di
Indonesia. Kanker adalah sebuah penyakit yang perlu diagnosa akurat kemudian
dicari cara pengobatan yang tepat untuk menyembuhkannya, kalaupun bukan
untuk kita, tapi demi anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa ini, karena
jika tidak, kanker lambat laun akan mematikan seluruh sel-sel kehidupan bangsa
dan negara, maka dunia hanya akan mengenang bahwa konon pernah ada sebuah
negara yang bernama Indonesia.
12
Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007. The dark side of authority: Antecedents, mechanisms,
and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics 77: 431-449. 13
Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 5
B. Rumusan Masalah
Selanjutnya yang menjadi pertanyaannya adalah: Apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan korupsi? Adakah keterkaitan korupsi dan otoritas? Apa dampak
dari korupsi bagi bangsa dan negara? Bagaimana solusi untuk mengatasi korupsi?
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memaknai Korupsi
Pengertian korupsi menyangkut berbagai macam tindakan manusia, ada
perubahan pengertian dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan dan
kompleksitas manusia yang berhubungan dengan kehidupan sosialnya. Untuk itu
kita perlu menelusuri kembali ke awal dimana istilah korupsi itu berkembang
hingga sampai saat ini. Alasan penulis untuk menelusuri kembali istilah korupsi
dikarenakan pada saat ini term korupsi dipakai hampir semua tempat dalam
kehidupan sehari-hari, bahkan istilah ini telah melampaui ranah filsafat, sosiologi
dan hukum. Misalnya, dalam dunia komputasi kita mengenal istilah corrupted
file atau berkas yang rusak, seseorang yang mengambil sebagian hak milik orang
lain disamping mencuri juga bisa dikatakan korupsi, tergantung pada
konteksnya. Para rohaniwan menggunakan istilah korupsi pikiran, korupsi hati dan
seterusnya. Oleh karena itu sebelum kita membahas korupsi ada baiknya kita
kembali ke awal istilah ini bermula hingga ke perkembangannya, ini dimaksudkan
untuk lebih memahami pengertian secara konsisten.
Plato, dalam The Republic, menggambarkan perbedaan antara negara-negara
yang ideal dan rendah (status/tingkat) dalam hal yang dianggap kerusakan atau
kehancuran, menggunakan kata pthora (546a), istilah Yunani kemudian secara
tetap dialihbasakan Latin menjadi corruptio. Keadaan ideal yang mengalami
beberapa tahap kerusakan tersebut, melalui timokrasi14, oligarki dan demokrasi,
yang berpuncak pada tirani, yang merupakan rezim terburuk dari semua. Di tempat
lain, perbedaan antara yang ideal dan lemah dinyatakan dalam image yang
berbeda. Di The Statesman, misalnya, rezim rendah dikatakan meniru atau
menyalin konstitusi yang ideal (301A, 303c), citra yang sering digunakan oleh
Plato dalam epistemologi untuk mewakili hubungan antara objek indra yang
rendah dan obyek-obyek pengetahuan yang benar. Aristoteles, dalam The Politics,
14 Timokrasi: bentuk pemerintahan di mana untuk memegang jabatan diperlukan
kepemilikan properti
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 7
menggunakan terminologi yang berbeda lagi, benar (orthos) untuk bentuk-
bentuk dari pemerintahan yang baik dan penyimpangan atau pemutarbalikan
(parekbaseis) untuk bentuk lebih rendah. Pengertiannya adalah dalam semua kasus
yang sama: sebelumnya bentuk ideal pemerintahan dipahami sebagai logis (masuk
akal), dan konstitusi rendah didefinisikan dalam kaitannya dengan logis, sebagai
dalam arti kurang atau kekurangan.15
Selanjutnya Aristoteles menggambarkan keseimbangan pemerintahan
dengan proporsional bagian tubuh manusia, Hidung yang bervariasi dari bentuk
ideal yang lurus ke bengkok atau pesek mungkin masih berbentuk baik dan
menyenangkan untuk dilihat mata; tetapi jika terlalu berlebihan besarnya, semua
simetri hilang, dan pada akhirnya hidung sama sekali berakhir menjadi hidung
(bahkan tidak terlihat seperti hidung sama sekali) karena beberapa kelebihan
dalam satu sudut atau cacat di bagian lainnya ; dan ini berlaku sama untuk setiap
bagian lain dari tubuh manusia. Begitu juga dengan keseimbangan proporsi hukum
yang diselenggarakan pemerintahan atau negara. Oligarki atau demokrasi,
meskipun berawal dari bentuk yang paling sempurna, namun mungkin belum
menjadi bentuk pemerintahan yang cukup baik, bagaimanapun jika ada orang yang
mencoba untuk mendorong prinsip-prinsip baik ke arah ekstrem (merusak), ia
akan mulai merusak pemerintah dan berakhir dengan tidak memiliki apapun
(konstitusi/hukum).16
Analogi antara negara dan tubuh manusia di atas dikutip dalam tulisan
Wallis selanjutnya dia menjelaskan, dalam perwujudan pertama, korupsi disebut
sebagai proses dimana sistem pemerintahan yang berfungsi dengan baik menjadi
15
Richard Mulgan, 2012, Aristotle on Legality and Corruption, in: Manuhuia Barcham,
Barry Hindess & Peter Larmour (Eds.), Corruption: Expanding the Focus, Camberra: ANU E
Press. Bab 2 16
Aristotele, Book V Part IX : Politics, trans. by: Benjamin Jowet, 1999, hlm. 125; lihat
juga: Aristotle. Book 5 sect. 1309b: Politics. Aristotle in 23 Volumes, Vol. 21, translated by H.
Rackham. Cambridge, MA, Harvard University Press; London, William Heinemann Ltd. 1944. (ve
rsi online: http://data.perseus.org/citations/urn:cts:greekLit:tlg0086.tlg035.perseus-eng1:5.1309b )
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 8
rusak menuju sesuatu yang gagal untuk memenuhi kebutuhan serta menganiaya
warganya. 17
Menurut sejarawan Yunani Polybius (c. 200-120 SM), mengubah kerajaan
menjadi tirani, kaum bangsawan menjadi kaum oligarki (pemerintahan dengan
sekelompok kecil orang), dan demokrasi menjadi hukum rimba. Selama abad
kesembilan belas, definisi korupsi berubah menjadi sesuatu yang khusus berkaitan
dengan penyuapan terhadap pejabat publik oleh agen-agen swasta.18
Dalam pendekatan norma hukum, korupsi didefinisikan sebagai perilaku
yang melanggar aturan khusus yang mengatur cara pelaksanaan kewajiban tugas-
tugas masyarakat, termasuk pertukaran yang melanggar hukum terhadap
dukungan politik demi mendapatkan imbalan secara pribadi (). 19
Sedangkan dalam hukum pidana, OECD (Organization for Economic Co-
operation and Development), Dewan Eropa dan Konvensi PBB tidak
mendefinisikan korupsi. Sebaliknya mereka menetapkan pelanggaran dari
berbagai bentuk perilaku korupsi. Oleh karena itu, Konvensi OECD menetapkan
pelanggaran penyuapan pejabat publik asing, sedangkan Dewan Konvensi Eropa
menetapkan pelanggaran seperti perdagangan atau pertukaran pengaruh, dan
menyuap pejabat publik baik dalam maupun luar negeri. Selain jenis-jenis
tindakan, ketentuan wajib Konvensi PBB juga mencakup penggelapan,
penyalahgunaan atau penyelewengan properti lainnya oleh pejabat publik dan
hambatan terhadap keadilan.20
Seperti telah disebutkan di Bab Pendahuluan di atas bahwa Aguilera dan
Valdera (2007), korupsi secara umum didefinisikan atas dasar tujuan pribadi
17
Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, 2006, Corruption and Reform: Introduction, in A
National Bureau of Economic Research (NBER), 2006, Corruption and reform: lessons from
Americas economic history, edited by Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 7
18 Ibid
19 Williams J. Siffin, 2001, Problem of Development Administration, In: Handbook of
Comparative and Development Public Administration, Second Edition, Revised and
Expanded, Ali Farazmand (eds), Florida: CRC Press., hlm. 15-16 20
OECD Glossaries, 2008, Corruption, A Glossary of International Standards in Criminal
Law, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), available at: http://www.oecd.org/daf/anti-bribery/41194428.pdf.
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 9
sebagai penggunaan wewenang untuk keuntungan pribadi.21 Lebih lanjut lagi
Joseph Nye mendefinisikannya sebagai perilaku yang menyimpang dari fungsi
tugas formal terhadap peran publik karena (pribadi, keluarga dekat, kelompok
swasta) berkaitan berupa uang atau status keuntungan pribadi; atau melanggar
aturan terhadap beberapa jenis tindakan yang berkaitan dengan pengaruh pribadi.
Van Klaveren korupsi juga didefinisikan dari perspektif perilaku, menekankan
bagaimana mereka menduduki jabatan publik secara tidak sah dengan
memaksimalkan pendapatan individu dengan memanipulasi permintaan terhadap
barang dan jasa publik. Dalam pendekatan yang lebih luas, Friedrich
mengidentifikasi korupsi sebagai mandat yang diberikan oleh otoritas publik yang
tergoda oleh uang atau rangsangan lain yang berjalan bertentangan dengan
kepentingan umum.22
Sementara itu Bank Dunia memberikan definisi korupsi dengan
penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi. Jabatan publik
disalahgunakan untuk kepentingan pribadi ketika seorang pejabat menerima,
mengumpulkan, atau memeras uang suap. Hal ini juga dimanfaatkan ketika agen-
agen swasta secara aktif menawarkan suap untuk menghindari kebijakan dan
proses publik untuk keunggulan kompetitif dan keuntungan. Jabatan publik juga
dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi meskipun tidak ada suap yang
terjadi, melalui dukungan (orang, organisasi, alasan, atau kegiatan) dan nepotisme,
pencurian aset negara, atau penyelewengan pendapatan negara.23
Berdasarkan definisi-definisi korupsi di atas dan penulis lebih cenderung
pada definisi yang diungkapkan oleh Wallis, menurut pemahaman penulis bahwa
21
Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007, Ibid 22
Joseph Nye, Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis, American Political Science Review 61 (June 1967), p. 67; C . J. Friedrich, Political Pathology, The Political Quarterly 37 (1966), p. 74;Jacob Van Klaveren,The Concept of Corruption, in A. J. Heidenheimer, M. Johnston and V. T. Levine, Political Corruption: A Handbook (New Brunswick:
Transaction Publishers, 1978), pp. 149-163, Dalam: Alfredo Rehren, Globalization and
Corruption, a section of an article entitled The Ethical Challenges of Political Corruption in a Globalized Political Economy, in: Robert G. Patman and David MacDonald, eds.,The Ethics of Foreign Policy, Ashgate Press, London (2007).
23 World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank,
Whasington D.C., hlm. 11
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 10
korupsi adalah tindakan atau proses keadaan pemerintahan yang baik atau ideal
menjadi rusak atau menuju kegagalan disebabkan karena penyalahgunaan otoritas
dalam memenuhi kebutuhan dan mengakibatkan penderitaan warganya.
B. Korupsi, Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kaca Mata Sosiologi Hukum
Para ahli sosiologi dengan berbagai penelitiannya yang mendalam telah
memberikan pemahaman dan gambaran tentang perilaku manusia yang begitu
kompleks. Akan tetapi sebagian dari mereka memiliki perbedaan dalam
pendekatan secara teori dan pengertian perihal perilaku manusia.
Menurut Prof. Mark Leary, Terkadang Perilaku manusia sangat rumit, yang
dipengaruhi oleh banyak kekuatan yang berinteraksi. Beberapa penyebab perilaku
terletak pada cetak biru genetis yang dirancang otak kita, tapi banyak perilaku
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorangdengan bagaimana mereka
dibesarkan dan juga oleh pengaruh orang lain, kelompok sosial, dan budaya24. Di
lain tempat Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang penuh teka-
teki. Kita mampu meraih prestasi pribadi dan budaya yang paling megah, namun
kita kadang-kadang berperilaku dengan cara yang bukan saja irasional (tak masuk
akal) dan terlihat pendek, tetapi juga merugikan diri kita sendiri atau orang lain.
Kita bisa mengalami emosi yang membangkitkan semangat seperti cinta,
optimisme, dan kekaguman, namun kita juga mengikat diri dililit oleh kecemasan,
kemarahan, dan putus asa. Kita kadang-kadang mempertahankan prinsip-prinsip
kita, tapi di lain waktu, kita bersikap bertentangan dengan standar pribadi kita.
Kita bisa mengingat ribuan kenyataan remeh tapi lupa janji penting.25 Secara sadar,
kita memahami apa yang baik dan tidak baik, manfaat dan resikonya bagi diri
sendiri maupun orang lain, kita memahami ada reward dan punishment atas
perilaku kita, tetapi perilaku kita bertentangan dengan kesadaran dan pemahaman
kita tentang perilaku sendiri. Secara awam, perilaku hanya terdiri dari dua yaitu
perilaku baik dan perilaku buruk.
24
Mark Leary, 2012, Understanding the Mysteries of Human Behavior, Course Guidebook,
Virgina: The Great Course, 25
Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 11
Sedangkan dalam perspektif Islam perilaku disebut sebagai akhlak, secara
etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al akhlaq yang merupakan bentuk
jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau
tabiat (Hamzah Yaqub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan
moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang
mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada
pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27).26
Menurut Imam Al-Ghazali, lafadz khuluq dan khalqu adalah dua sifat yang
dapat dipakai secara bersamaan. Jika menggunakan kata khalqu maka yang
dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata khuluq maka
yang dimaksud adalah bentuk bathin. Hal tersebut dikarenakan manusia sendiri
pada hakikatnya tersusun dari jasad yang dapat diketahui dengan kasat mata
(bashar). Selain itu, manusia juga tersusun dari ruh dan nafs yang dapat diketahui
keberadaannya dengan hanya menggunakan penglihatan mata hati (bashirah).
Sehingga kekuatan nafs yang dapat dirasakan dengan bashirah lebih besar dari
pada jasad yang adanya disadari dengan bashar.27
Berdasarkan definisi akhlaq tersebut, jika dicermati terdapat kata kunci yang
sangat penting sekali untuk diketahui yaitu kata haiah yang merupakan gambaran
keadaan jiwa seseorang yang ketika digunakan untuk mewujudkan akhlaq yang
baik diperlukan juga kebaikan dan keserasian antara keempat kekuatan yang ada
dalam jiwanya, yaitu kekuatan pengetahuan (intelek), kekuatan marah, kekuatan
keinginan, dan kekuatan keadilan (quwwat al-ilmi, quwwat al-ghadhabi, quwwat
al-syahwah, dan quwwat aladli). Sebagaimana bentuk lahir yang tidak akan bisa
sempurna hanya dengan kebaikan kedua mata saja, tanpa adanya hidung dan
26
Marzuki, 2009, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar
Etika dalam Islam, Yogyakarta: Debut Wahana Press, hlm. 8 27
Khafidhi, 2013, Peranan Akal dan Qalb dalam Pendidikan Akhlaq, Proposal tesis,
Semarang: Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo, hlm. 13
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 12
mulut, akan tetapi kesempurnaan bentuk lahir memerlukan kebaikan dari
kesemuanya.28
Sikap (attitudes) adalah perasaan, keyakinan, atau pendapat persetujuan atau
ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Perilaku (behavior) merupakan tindakan atau
reaksi yang terjadi dalam menanggapi suatu peristiwa atau stimulus internal.29
Sikap (attitudes) melibatkan kecenderungan pikiran untuk beberapa ide, nilai-nilai,
orang, sistem, lembaga; Perilaku (behavior) berhubungan dengan ekspresi yang
sebenarnya dari (attitudes) perasaan, tindakan atau tidak bertindak secara lisan
dan/ atau melalui bahasa tubuh.30 Jadi perilaku khalqu (bentuk lahir) merupakan
manifestasi dari sikap atau merupakan perwujudan dari khuluq (batin). Baik
buruknya akhlak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam (internal)
maupun luar (eksternal), dalam pandangan Islam pada dasarnya manusia adalah
baik dan suci ketika pertama kali dilahirkan, ibarat kertas putih tanpa noda dan
faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas akhlaknya, lingkungan sosial dimana
dia tinggal dan menjalani kehidupannya yang akan membentuk akhlaknya suatu
hari nanti.
Manusia bereaksi terhadap lingkungan mereka dengan cara yang evaluatif.
Mereka mencintai dan melindungi keluarga mereka dan berusaha untuk
mempertahankan evaluasi positif dari diri sendiri maupun orang di sekitar mereka.
Mereka mengevaluasi daya tarik lain. Mereka juga mengevaluasi dan memilih
pemimpin, memutuskan bagaimana untuk mempergunakan sumber daya mereka,
dan rencana untuk masa depan yang mereka bayangkan. Tindakan tersembunyi
dan terbuka tersebut sering melibatkan penilaian mengenai apakah itu objek,
peristiwa, dirinya sendiri, atau yang lainnya yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan, menyenangkan atau tidak menyenangkan, baik atau buruk.31
28
Ibid 29
http://psychology.jrank.org/pages/52/Attitude-Behavior.html# ixzz3Nqe7SRj3 30
http://www.researchgate.net/post/What_is_the_difference_between_attitude_and_behavio
ur--any_examples 31
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 13
Secara alami manusia adalah makhluk sosial, unsur-unsur interaksi sosial
penting untuk memahami mekanisme dan proses yang dilalui orang untuk saling
berinteraksi, baik secara individu maupun dalam kelompok. Berbagai macam
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kita, bagaimana kita menampilkan diri
kita kepada orang lain dan bagaimana kita memperlakukan mereka. Pandangan
kita terhadap pengembangan diri berlangsung sepanjang waktu dan terbentuk dari
berbagai macam faktor, termasuk masyarakat, budaya, individu dan kelompok,
agen (perantara) sosialisasi dan pengalaman unik. Bagaimana kita memandang diri
kita sendiri mempengaruhi persepsi kita tentang orang lain, dan selanjutnya,
interaksi kita dengan mereka. Misalnya, persepsi prasangka dan stereotip dapat
menyebabkan tindakan diskriminasi, sedangkan sikap positif tentang orang lain
dapat menyebabkan pemberian bantuan dan dukungan sosial. Perilaku manusia
adalah perwujudan atau cerminan dari persepsi manusia terhadap obyek dan
lingkungan sosialnya yang dimana ia berinteraksi di dalamnya. Ada hubungan
timbal balik antara persepsi manusia dan lingkungan sosial budayanya.
Lalu apa yang menentukan tindakan seseorang bisa dikategorikan normal
dan menyimpang? Di Amerika orang biasa berjalan bergandengan tangan, bahkan
berpelukan adalah hal biasa normal lalu bagaimana di Timur Tengah atau di Asia
Tenggara? Perilaku tersebut dikatakan normal di satu tempat dan menyimpang di
tempat lain, jawabannya adalah budaya, nilai dan norma-norma tiap-tiap budaya,
masing-masing nilai dan norma membentuk kode etik dari sebuah budaya. Sistem
simbolis dari sisi perilaku mana yang memakai atau menetapkan kualitas yang
baik atau buruk, benar atau salah. Namun untuk perilaku tertentu, hampir
semua budaya memiliki kode etik yang samasebuah perilaku fenomenal
sepanjang masa, yaitu, korupsi. Perilaku menyimpang ini bisa dilakukan secara
individual atau kelompok.
Sebagian besar kode etik budaya sepakat bahwa korupsi adalah perilaku
menyimpang, buruk dan salah dari segi manapun, baik itu sosial, budaya
maupun agama. Sejak jaman kuno korupsi sudah menjadi fenomena yang
mengacaukan dan merusak, korupsi adalah fenomena yang paling tua dalam
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 14
kehidupan sosial masyarakat. Penyimpangan perilaku ini memiliki dampak yang
negatif terhadap tatanan sosial, nilai dan norma, ekonomi secara perorangan
hingga ke lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat dan negara.
Korupsi cenderung mengalihkan pengeluaran pemerintah menjauh dari
wilayah sosial dengan pembangunan proyek yang tidak dibutuhkan atau investasi
berkualitas rendah di bidang infrastruktur. Di negara-negara yang paling korup,
politisi korup cenderung memilih proyek investasi bukan pada basis nilai ekonomi
yang terkandung di dalamnya, tetapi pada kesempatan suap dan imbalan atas
tersedianya proyek-proyek tersebut.32 Menurut Tanzi & Davoodi, korupsi yang
tersebar luas dalam anggaran APBN yang tidak hanya akan mengurangi tingkat
pengembalian investasi baru di suatu negara, tetapi juga akan mempengaruhi
tingkat pengembalian negara yang diperoleh dari infrastruktur yang tersedia.33
Oleh karena itu, sosiologi hukum memandang penting untuk lebih
mendalami penyimpangan perilaku ini, melihat gejala-gejala sosial yang sedang
terjadi dan apa yang akan terjadi di masyarakat, memberikan definisi yang tepat
untuk mencari tahu faktor-faktor penyebabnya, pengaruh eksternal lingkungan
sosialyang dalam hal ini termasuk keluarga sebagai lingkungan sosial terkecil
terhadap penyimpangan perilaku korupsi ini, baik itu yang dilakukan secara
individual maupun kelompok, dan pengaruh internal dalam diri koruptor. Sosiologi
hukum di dalam masyarakat adalah untuk meneliti berbagai macam masalah dalam
masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif khususnya
dalam kasus korupsi. Karena tindakan hukum saja tidak cukup, juga diperlukan
kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi. Kesadaran masyarakat hanya
dapat timbul apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan
hakikat tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang. Masyarakat
harus memahami dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi, nilai-nilai moral
dan budaya mereka, demi keutuhan dan kejayaan generasi mereka yang akan
32
Frunzik Voskanyan, 2000, A Study of the Effects of Corruption on Economic and Political
Development of Armenia, a thesis, American University of Armenia, hlm. 29 33
Tanzi & Davoodi, 1997, Corruption Public Investment, and Growth. IMF Working Paper
97/139, Washington: International Monetary Fund, hlm. 8
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 15
datang. Mereka juga harus memahami bahwa korupsi adalah sebuah masalah
sosial, masalah institusional dan masalah struktural. Korupsi terjadi di semua
sektor dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, maka dianggap
sebagai penyakit sosial.
Bagaimanapun, menurut penulis, fenomena penyimpangan perilaku korupsi
ini sesungguhnya bukanlah semata-mata ditinjau perspektif sosiologi hukum saja
tetapi dari perspektif keilmuan yang lebih luas, misalnya dari perspektif agama
yang secara dini melakukan pembinaan akhlak secara individual maupun
kelompok, yang memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya
nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus
dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri
individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi kecil, apalagi korupsi
besar.
Sosiologi hukum memberikan gambaran pengaruh timbal balik tindakan
hukum, undang-undang dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hukum
terhadap masyarakat, memberikan wawasan kepada para pembuat kebijakan agar
produk hukum yang dikeluarkan bisa berjalan efektif sesuai dengan fungsi dan
tujuan hukum. Undang-undang dan peraturan hukum tidaklah cukup memecahkan
masalah penyimpangan perilaku korupsi, dan kenyataan pada hari ini, berbagai
fakta pengambilan tindakan hukum yang telah dilakukan terhadap para pelaku
tindak korupsi, tidak membuat jera para pelakunya, bahkan bermunculan bibit-
bibit baru yang berlomba-lomba menggantikannya, ibarat warisan haram tanpa
surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku
dalam tiap orde yang datang silih berganti. Korupsi menjadi trend gejala
perubahan sosial yang diikuti dengan perubahan pola pikir (mindset) masyarakat
terhadap korupsi. Korupsi di negeri telah merakyatsebuah hal wajar jika tidak
terlalu besar, sekedar imbalan uang lelah. Di Indonesia, korupsi tidak hanya
terjadi di tingkat atas saja tetapi sudah menyentuh lantai dasar kehidupan sosial
masyarakat, di berbagai bidang pekerjaan. Pengalihan dana BOS untuk
kepentingan segelintir orang bukanlah rahasia lagi, sesuatu yang normal sebagai
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 16
hasil sampingan, sopir perusahaan yang memanipulasi kuitansi biaya bahan bakar
demi keuntungan pribadi sudah menjadi pembicaraan sehari-hari tanpa ditutup-
tutupi, disampaikan kepada orang lain tanpa perasaan bersalah dan bahkan yang
paling menyedihkan adalah ada sebuah ungkapan menjadi mahasiswa tak perlu
pandai, yang penting adalah panda-pandai.
Di Indonesia, korupsi bukanlah mutlak hak kalangan atas, kaum
bawahpun seolah tak mau kehilangan kesempatan memperjuangkan haknya,
berusaha keras mencapai level yang lebih tinggi dan lebih elite, menjadi kader
partai poltik dan berlomba-lomba menjadi anggota dewan perwakilan rakyat,
merekapun rela berpindah-pindah partai politik karena haknya tak terpenuhi di
satu tempat. Mereka berusaha keras menghakimi pencuri demi untuk
menggantikan posisinya sebagai pencuri dan mereka akan mencari yang lebih
besar, karena korupsi kecil atau besar, hukumannya adalah sama. Mindset ini
sudah menjadi wabah yang menjanjikan, dan untuk merubah kembali pola pikir
ini membutuhkan kajian khusus yang mendalam dan membutuhkan waktu, maka,
disinilah peran sosiologi hukum sebenarnya walaupun pendekatan ini cenderung
membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar
(low costly), namun hasilnya akan berdampak jangka panjang (long lasting).
Sosiologi hukum berusaha mencari akar masalah, penyebabnya, pengaruh
internal dan eksternal serta hubungan sosial. Sosiologi berusaha menyajikan fakta
empiris di lapangan dan memberikan saran hukum untuk pemecahan secara
preemptif, preventif dan represif. Karena, menurut Harrison34, Korupsi tidak
terlihat sebagai praktik yang sasarannya berada di dalam ruang hampa, tetapi
sebagai tindakan sosial yang pengertiannya perlu dipahami dengan mengacu pada
hubungan sosial.
34 Harrison, E, 2006, Unpacking the anti-corruption agenda: Dilemmas for anthropologists,
Oxford Development Studies 34(1):15-29, hlm. 20
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 17
C. Faktor-faktor Penyebab Korupsi
Seperti telah diketahui bahwa perilaku manusia begitu kompleks, begitu
juga, korupsi merupakan fenomena sosial yang kompleks. Penyebab korupsi dan
keadaan yang mendukung kemunculannya banyak ragamnya dan dapat berkisar
dari unsur-unsur peradilan untuk orang-orang politik, dari unsur-unsur
administrasi, untuk yang sosial dan ekonomi.35
Menurut Bank Dunia36, penyebab korupsi selalu kontekstual, berakar pada
kebijakan suatu negara, tradisi birokrasi, pembangunan politik, dan sejarah sosial.
Selain itu, korupsi cenderung untuk berkembang ketika institusi lemah dan
kebijakan pemerintah yang menciptakan rente-ekonomi 37. Gaji pegawai negeri
yang rendah dan menurun dan promosi jabatan yang tidak berkaitan dengan
prestasi. Anggaran pemerintah yang menyimpang, perlengkapan dan peralatan
yang tidak memadai, keterlambatan pencairan dana anggaran (termasuk gaji), dan
kehilangan tujuan organisasi juga dapat merusak moral pegawai.38
Selanjutnya Yamamah mengatakan bahwa perilaku materialistik dan
konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi telah
memaksa terjadinya permainan uang dan korupsi. Dengan kondisi itu hampir
35 Cristi Danilet, 2009, Corruption and anti-corruption in the justice system, Bucharest :
Editura C.H. Beck, ISBN 978-973-115-771-9, hlm. 41 36
World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank,
Whasington D.C., hlm. 12 37
Economic rent, dalam pengertian analisis politik (yg. berbeda dengan pengertian ekonomi
murni) adalah sifat pelaku bisnis untuk memudahkan cara memperoleh keuntungan dengan
menggunakan modal hak milik orang lain atau hak milik publik (rent seeking behavior). Dalam
pengertian ini rente (rent) diartikan lebih kritis negatif artinya karena input atau modal yang
dipakai bukan hak milik sendiri. Sementara itu, rente (sewa) dalam arti netral dan positif adalah
bentuk pendapatan yang diperoleh dari modal yang merupakan hak milik sendiri (uang, rumah,
mesin dan lain-lain). Di dalam ekonomi klasik, memperoleh rente ekonomi dari modalnya sendiri
merupakan praktek yang sah. Dari konsep ini diambil makna dari kecenderungan umum untuk
mendapatkan modal, yang lazim disebut rent seeking behavior. Di dalam ekonomi politik, perilaku ini terjadi dan dilakukan oleh pengusaha dengan menggunakan modal kekuasaan, yang
dimiliki rakyat. Prof. Dr. Didik J. Rachbini, 2002, Ekonomi Politik: Paradigma dan Pilihan Publik,
Ghalia Indonesia, hlm. 119-120 38
World Bank, loc. cit
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 18
dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa korupsi kalau sudah
menjabat.39
Komunitas sosial dimana berinteraksi dengan orang-orang yang ada di
dalamnya juga mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan sikap dan gaya
hidup seseorang, proses untuk meniru orang lain yang dianggapnya lebih darinya
dan rasa kagum pada orang lain (tokoh idealnya) dalam proses belajar sosial
(social learning).
Imitation (peniruan) dimulai dalam lingkungan keluarga, tetangga kemudian
masyarakat. Imitasi tidak berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh
sikap menerima dan mengagumi terhadap apa yang diimitasi. Menurut Toni
Greatrex40, bahwa imitasi, sebuah konsep yang berhubungan dengan perilaku
mencocokkan, adalah komponen inti dari perilaku belajar. Semua budaya manusia
mencerminkan imitasi dan peniruan dalam pengungkapan mereka pada aktivitas
secara individual dan kelompok.
Suggestion (dorongan), kata Sugesti berasal dari kata Latin suggestus,
yang dasarnya kata suggero, yang berarti: Untuk melaksanakan dengan
penggunaan aslinya adalah dalam arti yang menempatkan di bawah atau
penyerapan cepat terhadap pikiran, ide, atau kesan, pengamatan yang mendalam
dan perhatian seksama, dan menjadi kesadaran batin dari seseorang. Dalam
psikologi, memiliki arti baru yaitu dari berlakunya sesuatu ke dalam pikiran
seseorang, secara tidak langsung dan non-argumentif (tanpa dipertanyakan). Dan,
kemudian, psikolog mulai menggunakan istilah dalam arti masih luas, yaitu kesan
pada pikiran melalui perantara dari objek lain, seperti sikap, tanda-tanda, kata,
ucapan, sensasi fisik, lingkungan, dan lain-lain.41 Artinya pengaruh karena
emosional/perasaan/kata hati tersentuh oleh pandangan, sikap, dan anjuran dari
39
Ansari Yamamah, 2009, Perilaku Konsumtif Penyebab Korupsi, tersedia
di: http://www.antaranews.com/berita/165833/perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi (last updated:
Senin, 14 Desember 2009 09:49 WIB) diakses pada 06 Januari 2015 40
Toni Greatrex, M.D., 2002, Projective Identification: How Does It Work?, Jurnal:
Neuropsychoanalysis (2002). Volume 4, Issue 2. pp. 187-197. 41
William Walker Atkinson, 1909, Suggestion and Auto-Suggestion, Kessinger Publishing,
LLC; Reprint edition (1942), electronic version: YOGeBooks: ISBN: 978-1-61183-086-6 (pdf),
hlm. 6
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 19
pihak lain. Pengaruh ini sifatnya kualitatif, bukan kuantitatif yang selalu diukur
dengan korelasi regresif atau sejenisnya.42
Sugesti merupakan proses psikologis karena tindakan pihak lain yang
berpengaruh pada dirinya. Proses sugesti bisa terjadi bila yang memberi
pandangan adalah orang yang berwibawa, yang memiliki sifat otoriter, atau
merupakan sikap sebagian besar anggota kelompok yang bersangkutan atau
masyarakat seluruhnya.43 Sugesti melahirkan suatu tertentu tanpa berpikir rasional
bagi individu yang menerimanya, misalnya, dalam keadaan emosi atau tertekan
(frustrasi)44, kondisi fisik yang lemah dan bawaan kecerdasan sejak ia lahir.
Sugesti bisa berasal dari hal atau orang-orang yang berwibawa atau
berpengaruh, seperti orang tua, orang yang lebih pandai, orang-orang yang
memiliki kedudukan tinggi, cendekiawan dan ulama. Disamping itu, media masa,
kelompok idola masyarakat, dan kelompok mayoritas juga memberikan pengaruh
dalam memberikan sugesti. Jadi, sugesti dapat diartikan sebagai rangsangan atau
stimulus yang diberikan seorang individu kepada individu lain, sehingga orang
yang diberi sugesti tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang disugestikannya
itu tanpa berpikir secara kritis dan rasional.45
Identifikasi. Identifikasi merupakan sebuah kecenderungan atau keinginan
dari seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi dapat terjadi
karena adanya kekaguman dari seseorang terhadap pihak yang diidolakannya.
Seorang anak yang merasa bangga terhadap keberhasilan orang tuanya dalam
mendidik anak-anaknya, akan mencontoh cara-cara orang tuanya tersebut dalam
mendidik anak-anaknya nanti. 46
Simpati. Simpati merupakan suatu ketertarikan terhadap seseorang atau
kelompok tertentu. Perasaan ketertarikan mungkin saja berubah menjadi lebih
42
Elisanti &Tintin Rostini, 2009, Sosiologi 1 : untuk SMA / MA Kelas X, Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 54 43
Ibid 44
Tim Mitra Guru, 2007, Ilmu Pengetahuan Sosial: Sosiologi untuk SMP dan MTs Kelas
VII, Penerbit Erlangga, hlm. 53 45
Budi Sanjaya, et. al., 2010, IPS untuk SMP dan Mts Kelas VII, Jakarta : Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 69 46
Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 20
peka sehingga dapat ikut merasakan apa yang dilakukan, dirasakan, atau diderita
oleh orang lain, yang disebut dengan empati.47
Faktor-faktor interaksi sosial di atas dapat membentuk pola pikir dan
perilaku individu, baik dan buruk akan terbentuk apabila berlangsung secara
terus-menerus, maka akan menimbulkan keteraturan sosial. Keteraturan sosial
merupakan hasil dari hubungan sosial atau interaksi sosial yang berlangsung
secara berkesinambungan, dan interaksi sosial yang terus menerus dan tetap akan
membentuk sebuah pola, interaksi sosial dalam prosesnya secara tidak disadari
akan terbentuk sebuah norma, yang lama kelamaan norma dibuat secara sadar oleh
manusia. Norma sangat berkaitan dengan nilai, karena norma adalah bentuk nyata
dari nilai. Norma merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh
nilai. Dan Perilaku korupsi adalah salah satu hasil dari interaksi sosial, yang pola
dan norma ada di dalamnya, norma sosial berbeda di setiap kelompok-kelompok
sosial atau masyarakat. Norma sosial memberikan batasan-batasan, kaidah dan tata
aturan perilaku masyarakat secara tak tertulis.
Norma-norma sosial yang dimiliki oleh orang lain dan ditopang oleh
persetujuan dan ketidaksetujuan mereka48. Rasa bersalah akibat gagal mematuhi
norma sosial dapat menjadi penentu kuat perilaku. Masyarakat dengan banyak
korupsi yang melanggar norma individu juga akan mewarisi rasa bersalah yang
lemah terhadap individu di dalamnya, yang dapat menyebabkan perangkap
korupsi. Karena di dalam masyarakat yang korupsi akan terjadi bias
pemahaman norma dan ada perubahan pemahaman norma itu sendiri. Korupsi
akan menjadi sebagian dari norma. Sehingga masyarakat dengan banyak korupsi
cenderung lebih toleran terhadap perilaku korupsi. Di tingkat atas korupsi sudah
menjadi sistemik, epidemi global, tidak hanya di satu wilayah saja tetapi menyebar
ke semua wilayah: politik, kesehatan, pendidikan, hukum dan bahkan lembaga
agama. Sehingga penanganannya menjadi begitu komplek dan sulit dilaksanakan
47
Ibid 48
Budge et al. 2009, 2009. Communications and behaviour change. Central
Office of Information. http://www.cncs.org.mz/index.php/por/content/download/1636/14742/file/c
ommongood-behaviourchange.pdf
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 21
karena melibatkan lintas wilayah, adanya toleransi hukum terhadap toleransi
korupsi, dan muncul istilah jeruk minum jeruk.
Memang, peniruan perilaku korupsi oleh individu dalam proses interaksi
sosialnya tidak berlangsung secara cepat dan spontan, proses ini berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, tetapi apabila pola pikir korupsi sudah terbentuk
di dalam masyarakat, maka perilaku tersebut menjadi warisan haram dan
menetap dalam jangka waktu yang lama. Perlu penanganan dan tindakan yang
tepat dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk menanggulangi
penyimpangan perilaku yang berbahaya ini, sebelum menjadi penghuni tetap di
negara ini. Penanganan dan pemberantasan tindak korupsi baik secara individu
maupun kelompok, tidak bisa dilakukan dari satu arah saja tetapi harus dilakukan
dari atas dan dari bawah, dan dari semua perspektif keilmuan. Karena pada
hakikatnya perilaku korupsi dan tindakan korupsi dipengaruhi berbagai macam
faktor disamping faktor sosiologis, menurut ICW49 dalam buku berjudul Peran
Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan
empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi
dan birokrasi serta faktor transnasional. Dan penulis hanya membatasi pembahasan
korupsi pada keterkaitan sosial saja.
Uraian di atas adalah dugaan sementara penulis berdasarkan pengalaman
empiris sehari-hari dan atas dasar persepsi penulis pribadi yang belum terbukti
kebenarannya, belum ada penelitian resmi dan valid dilakukan oleh penulis karena
berbagai alasan, dan kita semua memahami bahwa korupsi adalah dunia yang
gelap dan berbahaya. Sebuah labirin dengan jalan berliku dan bercabang,
sekali salah dalam melangkah kita akan tersesat di dalamnya dan sulit untuk
keluar, karena di ujung jalan yang gelap ada bahaya yang menanti.
Karena keterbatasan waktu dan bahan yang dimiliki penulis, pada uraian
selanjutnya yaitu dampak korupsi ini penulis hanya mengutip sebagian dari buku
Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi yang diterbitkan
Kemendikbud tahun 2011.
49
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, op. cit. hlm. 40
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 22
D. Dampak Korupsi50
Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi
menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi
bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses
rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara
terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata
internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal
asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin
terperosok dalam kemiskinan. Berdasarkan Laporan Bank Dunia, Indonesia
dikategorikan sebagai negara yang utangnya parah, berpenghasilan rendah
(severely indebted low income country) dan termasuk dalam kategori negara-
negara termiskin di dunia seperti Mali dan Ethiopia. Berbagai dampak masif
korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
akan diuraikan di bawah ini.
1. Dampak Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous
destruction effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara,
khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan
masyarakat.
Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya
korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan
ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan
kesejahteraan (Mauro: 1995). Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi
makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini
mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif,
represif maupun kuratif.
Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya
barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan
50
Ibid
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 23
ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak
kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya
memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata,
namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara
umum. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam
perputaran ekonomi, justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya
terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat.
Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah
apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak
ekonomi yang akan terjadi, yaitu:
a. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi Dan Investasi
Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan
investasi dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran
ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko
pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional
meninggalkannya, karena investasi di negara yang korup akan merugikan
dirinya karena memiliki `biaya siluman' yang tinggi.
Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi pada
pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung
dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi (Mauro: 1995).
Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari
bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi
yang ditanam.
b. Penurunan Produktifitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak
dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini
terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 24
berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas. Program
peningkatan produksi dengan berbagai upaya seperti pendirian pabrik-pabrik
dan usaha produktif baru atau usaha untuk memperbesar kapasitas produksi
untuk usaha yang sudah ada menjadi terkendala dengan tidak adanya investasi.
Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan yang
lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran.
Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.
c. Rendahnya Kualitas Barang Dan Jasa Bagi Publik
Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras
murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang
merusak kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan
umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan serangkaian kenyataan
rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akib at korupsi.
Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat birokrasi yang korup akan menambah
kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi
yang terjadi.
Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa
bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan
bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah.
d. Menurunnya Pendapatan Negara Dalam Sektor Pajak
Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi
perangkat penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam
menyediakan barang dan jasa publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak
adalah sesuatu yang penting bagi negara.
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 25
Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk
mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi
pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan
digunakan untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada
akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting bagi
kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada
akhirnya.
Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan
kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri.
Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada
percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak
ketidakadilan tersebut.
e. Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda
semua negara termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa
negara-negara tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong
perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup biaya
anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Bagaimana
dengan hutang Indonesia?
Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri
yang semakin besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal
Pengelolaan Hutang, Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang
pemerintah per 31 Mei 2011 mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan
Rp. 1.716,56 trillion, sebuah angka yang fantastik.
Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal
digunakan untuk kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila
hutang digunakan untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin
memperburuk keadaan. Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 26
terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini digunakan untuk
sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi
2. Dampak Sosial Dan Kemiskinan Masyarakat
Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa
dan saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan
oleh orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik,
rendahnya kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai
pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak
langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik
untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna
kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan.
Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan.
a. Mahalnya Harga Jasa Dan Pelayanan Publik
Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban
yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost
economy. Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi korupsi akan
sangat besar terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah
secara ketat dalam praktek perekonomian. Alias memiliki kekuatan monopoli
yang besar, karena rentan sekali terhadap penyalahgunaan. Yang
disalahgunakan adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang
diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.
Kondisi ekonomi biaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga jasa dan
pelayanan publik, karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian
pelaku ekonomi akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan
yang mengarah ke tindak korupsi.
b. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat
Jumlah penduduk miskin (hidup di bawah garis kemiskinan) di Indonesia
pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta
orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010
yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen).
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 27
Selama periode Maret 2010-Maret 2011, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret
2010 menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah
perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret
2010 menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011) (BPS: 1 Juli 2011).
Pengentasan kemiskinan dirasa sangat lambat hal ini terjadi karena
berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan
lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada
akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke lapangan
kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk membuat
pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah teknis dan
pendanaan.
c. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin
Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan
mengakibatkan high-cost economy, di mana semua harga-harga melambung
tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini
mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai macam
akses dalam kehidupannya.
Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak, susu dan sebagainya saat
ini sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi
dan anak-anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk mendapatkan bahan
pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit
pendapatan yang dimilikinya.
Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti:
pendidikan, kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin
lebih mendahulukan mendapatkan bahan pokok untuk hidup daripada untuk
sekolah. Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat miskin karena
mengalami kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 28
rakyat miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang
miskin seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.
d. Meningkatnya Angka Kriminalitas
Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis
kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau
penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai
oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang
popular, sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan
penting. Di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi
kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.
Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara
korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi
meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika
korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi
korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam
masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara
selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan
prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara
ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat
(marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran
hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
e. Solidaritas Sosial Semakin Langka Dan Demoralisasi
Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa
tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-
hari. Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin
kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini
dilakukan hanya menjadi retorika saja.
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 29
Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya
mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat
melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi
kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat
sendiri.
Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah atau
bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang
membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan
semakin menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba mendirikan
posko bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari dukungan suara
dari masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan secara tulus
meringankan penderitaan dan membantu agar lebih baik.
Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi
keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini
akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi
generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan
oleh para elit politik, pejabat penguasa, penegak hukum, artis dan selebritis
yang setiap hari bisa dilihat dari berbaga macam media.
Uraian di atas adalah sebagian kecil dari dampak yang ditimbulkan oleh
korupsi, karena begitu masif dan luasnya dampak korupsi bagi kehidupan individu,
masyarakat, bangsa dan negara, maka perlu uraian yang lebih detail dan
pembahasan lebih lanjut, penulis hanya berusaha memberikan sebagian kecil
gambaran dari dampak korupsi yang begitu masif, yang tidak saja melibatkan
kehidupan intern sebuah negara tetapi menjangkau hubungan korupsi lintas
negara.
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 30
BAB III
PENUTUP
Peranan Sosiologi Hukum terhadap perilaku korupsi adalah memberikan
wawasan dan saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama pemerintah
dalam pembentukan konstitusi, pemecahan masalah hukum dan tindakan hukum yang
berkaitan dengan korupsi secara efektif dan sesuai dengan tujuan hukum. Korupsi
adalah masalah sosial yang kompleks dan saling berkaitan, hubungan pengaruh
timbal balik individu dengan masyarakat, individu dengan individu maupun individu
dengan dirinya sendiri. Perilaku korupsi harus dicegah sebelum terjadi, tindakan
hukum terbukti belum mampu mengatasi pemberantasan korupsi di Indonesia,
bahkan korupsi semakin marak dan seolah-olah menjadi tren di kalangan pejabat
hingga ke masyarakat kelas bawah. Seharusnya media masa memiliki peran aktif
dalam membantu dalam pemberantasan korupsi, diakui, pemberitaan dan pembahasan
terhadap tindak korupsi memang ramai diberitakan baik itu media elektronik maupun
media cetak, ironisnya, justru media masa juga menjadi media perangsang dan
pemicu terjadinya korupsi dengan tayangan-tayangan perilaku konsumtif dan
mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya bangsa.
Peran aktif masyarakat yang peduli dan prihatin dengan penyimpangan perilaku
ini demi keberhasilan pemberantasan korupsi. Diperlukan sosialisasi akan dampak
masif serta bahayanya bagi kehidupan secara individual dan seluruh bangsa. Juga
menggiatkan peran serta tokoh-tokoh agama dalam meningkatkan akhlak individu
dan masyarakat. Lembaga pendidikan adalah media yang paling tepat untuk
memberikan wawasan tentang bahaya korupsi dan praktek nyata akhlak mulia.
Pemerintah harus tegas terhadap pelanggaran dan memberikan pengawasan yang
lebih ketat di dunia pendidikan, karena dari sinilah cikal bakal tumbuhnya generasi
bangsa di samping keluarga. Karena hakikatnya pendidikan bukanlah ladang bisnis
dan layak untuk ditenderkan, pendidikan adalah dimana akal dan nalar
ditumbuhkembangan, nilai, norma dan moral ditanamkan.
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 31
DAFTAR PUSTAKA
1. A National Bureau of Economic Research (NBER), 2006, Corruption and reform: lessons from Americas economic history, edited by Edward L. Glaeser and Claudia Goldin, Chicago: The University of Chicago Press.
2. Aguilera, RV & Vadera, AK, 2007. The dark side of authority: Antecedents, mechanisms, and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics 77: 431-449.
3. Aristotele, Book V Part IX: Politics, trans. by: Benjamin Jowet, 1999, Kitchener Ontario: Batoche books
4. Atkinson, William Walker, 1909, Suggestion and Auto-Suggestion, Kessinger Publishing, LLC; Reprint edition (1942), electronic version: YOGeBooks: ISBN: 978-1-61183-086-6 (pdf),
5. Budge, M., Deahl, C., Dewhurst, M., Donajgrodki, S. and Wood, F. 2009. Communications and behaviour change. Central Office of Information http://www.cncs.org.mz/index.php/por/content/download/1636/14742/file/commongood-behaviourchange.pdf
6. Budi Sanjaya, et. al., 2010, IPS untuk SMP dan Mts Kelas VII, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
7. Danilet, Cristi, 2009, Corruption and anti-corruption in the justice system, Bucharest: Editura C.H. Beck, ISBN 978-973-115-771-9
8. Dolores Albarracin, Mark P. Zanna, Blair T. Johnson & G. Tarcan Kumkale, 2005, Attitudes: Definitions, Processes, And Theories, In: Dolores Albarracin, Mark P. Zanna, & Blair T. Johnson (eds.), A Handbook of Attitudes, Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2005. Print.
9. Elisanti &Tintin Rostini, 2009, Sosiologi 1 : untuk SMA / MA Kelas X, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
10. Ernst & Young, 2014, Transparency International Corruption Perceptions Index 2013, tersedia di: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-Transparency-International-Corruption-Perceptions-Index-2013/$FILE/EY-Transparency-International-Corruption-Perceptions-Index-2013.pdf (Publication date: 23-Jan-2014), diakses pada 01 Januari 2015
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 32
11. Eugen Dimant, 2013, The Nature of Corruption: An Interdisciplinary Perspectiv, Discussion Paper: No. 2013-59, November 07, 2013 http://www.economics-ejournal.org/economics/discussionpapers/2013-59
12. Fatimah, Siti, 2007, Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif Pemecahannya, Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan: Jurnal Demokrasi Vol 8, No 2 (2009), Universitas Negeri Padang (UNP), tersedia di: http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/download/1197/1031, (diakses pada 01 Januari 2015)
13. Freeman, Michael, Law and Sociology, Current legal issues ; 2005, v. 8, New York: Oxford University Press Inc. (2006)
14. Frunzik Voskanyan, 2000, A Study of the Effects of Corruption on Economic and Political Development of Armenia, American University of Armenia
15. Harrison, E, 2006, Unpacking the anti-corruption agenda: Dilemmas for anthropologists, Oxford Development Studies 34(1):15-29
16. http://psychology.jrank.org/pages/52/Attitude-Behavior. html # ixzz3Nqe7SRj3
17. http://www.researchgate.net/post/What_is_the_difference_between_attitude_and_behaviour--any_examples
18. Khafidhi, 2013, Peranan Akal dan Qalb dalam Pendidikan Akhlaq, Proposal tesis, Semarang: Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo.
19. Martini, Maira, 2012, Causes of Corruption in Indonesia, tersedia di: U4 Anti-Corruption Resources Center, http://www.u4.no/publications/causes-of-corruption-in-indonesia/. (The U4 Resource Centre is operated by the Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway - See more at: http://www.u4.no/info/about-u4/#sthash.RnV8XvRe.dpuf Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norway)
20. Marzuki, 2009, Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika dalam Islam, Yogyakarta: Debut Wahana Press
21. Naumova, Stefka, 2009, Legal-Sociological Parameters Of The Fight Against Crime And Social Deviance, in Sociology and Law: The 150th Anniversary of Emile Durkheim (1858-1917), Newcastle: Cambridge Scholars Publishing (UK), ISBN (10): 1-4438-0502-5, ISBN (13): 978-1-4438-0502-5
22. OECD Glossaries, 2008, Corruption, A Glossary of International Standards in Criminal Law, Organization for Economic Co-operation and
-
Korupsi: Penyimpangan Perilaku Ditinjau dari Kacamata Sosiologi Hukum | 33
Development (OECD), available at: http://www.oecd.org/daf/anti-bribery/41194428.pdf
23. Rachbini, Didik J., 2002, Ekonomi Politik: Paradigma dan Pilihan Publik, Ghalia Indonesia
24. Rehren, Alfredo, Prof. , Globalization and Corruption, a section of an article entitled The Ethical Challenges of Political Corruption in a Globalized Political Economy, in: Robert G. Patman and David MacDonald, eds., 2007, The Ethics of Foreign Policy, Ashgate Press, London. Tersedia di:http://www7.uc.cl/ceauc/papers/globalization_corruption_rehren_2004.pdf (diakses pada 03 Januari 2015)
25. Richard Mulgan, 2012, Aristotle on Legality and Corruption, in: Manuhuia Barcham, Barry Hindess & Peter Larmour (Eds.), Corruption: Expanding the Focus, Camberra: ANU E Press.
26. Tanzi, Vito & Davoodi, Hamid, 1997, Corruption Public Investment, and Growth. IMF Working Paper 97/139, Washington: International Monetary Fund
27. Tim Mitra Guru, 2007, Ilmu Pengetahuan Sosial: Sosiologi untuk SMP dan MTs Kelas VII, Penerbit Erlangga.
28. Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Cetakan 1 (Desember 2011), Jakarta: Kemendikbud
29. Williams J. Siffin, 2001, Problem of Development Administration, In: Handbook of Comparative and Development Public Administration, Second Edition, Revised and Expanded, Ali Farazmand (eds), Florida: CRC Press
30. World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank, Whasington D. C.
31. Yamamah, Ansari, 2009, Perilaku Konsumtif Penyebab Korupsi, tersedia di: http://www.antaranews.com/berita/165833/perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi (last updated: Senin, 14 Desember 2009 09:49 WIB) diakses pada 06 Januari 2015