koordinasi penyidikan kpk dan kejaksaan agung dalam
TRANSCRIPT
i
KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN
KEJAKSAAN AGUNG DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Disusun Untuk memenuhi Tugas dan melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Hukum
Oleh:
Defi Muslimah
NPM. 5117500160
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2021
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, yang dalam
penyidikannya dapat dilakukan oleh lembaga KPK dan Kejaksaan Agung.
Penyidikan dilakukan dengan saling berkoordinasi dengan pemberitahuan
penyidikan melalui sistem e-SPD, yang dalam pelaksanaannya masih terdapat
beberapa hambatan yang menghambat pelaksanaan koordinasi dalam penyidikan.
Penelitian ini bertujuan : (1) Mengkaji kewenangan penyidikan KPK dan
Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi (2) Mengkaji
pengaturan dan pelaksanaan koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung
dalam penanganan tindak pidana korupsi (3) Mengkaji tentang hambatan-
hambatan yang ada dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK dan
Kejaksaan Agug dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan, pendekatan yang digunakan adalah
normatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan penulusuran kepustakaan
yang dianalisis dengan melalui metode kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KPK dan Kejaksaan Agung
mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan dan tugas untuk melakukan
koordinasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, hasil penelitian
ini juga menunjukkan terdapatnya beberapa hamabtan-hambatan dalam
pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam
penanganan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
dan masukan bagi mahasiswa, akademisi, praktisi, dan semua pihak yang
membutuhkan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Kata Kunci: Penyidikan, Koordinasi, Kejaksaan Agung
vi
ABSTRACT
Corruption is an extraordinary crime, which in its investigation can be
carried out by the KPK institution and the Attorney General's Office. The
investigation is carried out by coordinating with each other with the notification of
investigation through the e-SPD system, which in its implementation there are still
some obstacles that hinder the implementation of coordination in the
investigation.
This study aims: (1) Reviewing the investigative authority of the KPK and
the Attorney General's Office in handling corruption crimes (2) Reviewing the
arrangement and implementation of coordination of kpk investigations and the
Attorney General's Office in handling corruption crimes (3) Reviewing the
obstacles that exist in the implementation of coordination of investigations
between the KPK and the Agug Prosecutor's Office in handling corruption crimes.
This type of research is literature, the approach used is normative, data
collection techniques are done by passing the literature analyzed through
qualitative methods.
The results of this study show that the KPK and the Attorney General have
the authority to conduct investigations and duties to coordinate in the eradication
of corruption. In addition, the results of this study also showed the presence of
several obstacles in the implementation of coordination of investigations between
the KPK and the Attorney General's Office in handling corruption crimes.
Based on the results of this research is expected to be a material of
information and input for students, academics, practitioners, and all parties in
need within the Faculty of Law, University of Pancasakti Tegal.
Keywords: Investigation, Coordination, Kejaksaan Agung
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
1. Kedua Orang Tua penulis Bapak Rasmanto dan Ibu Maesaroh.
2. Kakak kebanggaan penulis Moch. Dafi Husni Mubarok dan adik penulis Defa
Sukma Maghfiroh.
3. Diri sendiri, terimakasih telah belajar menjadi seseorang yang lebih kuat dan
sabar.
4. Sahabat terbaik penulis : Siska Amelia, Muhammad Agus Fajar Sayefudin,
Firmandanu Triatmojo, Ahmad Syamil Basayef, Rezza Galih Prakoso.
terimakasih telah menjadi motivator dan penyemangat dalam pengerjaan
skripsi ini.
5. Teman-teman penulis, Lembah Nurani Anjar Khinanti terimakasih telah
menjadi penyemangat dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan
teman-teman yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
viii
HALAMAN MOTTO
Setinggi apapun ilmumu, peganglah akhlak dalam hidupmu, karena dengannya
ilmumu akan memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagimu maupun orang
disekitarmu, dan dapat menjauhkanmu dari perbuatan tercela.
Nabi Muhammad Shallahu’allaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan aklak mulia”
(HR. Al Baihaqi)
Defi Muslimah
ix
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah Swt., alhamdulillah
penyusunan skripsi ini dapat selesai. Dengan skripsi ini pula penulis dapat
menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Pancasakti Tegal. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rosulullah Saw.
Yang membawa rahmat sekalian alam.
Penulis sampaikan bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak lepas
dari bantuan dan dorongan berbagai pihak yang kepadanya patut diucapkan terima
kasih. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Fakhruddin., M.Pd., selaku Rektor Universitas Pancasakti
Tegal.
2. Bapak Dr. H. Achmad Irwan Hamzani., S.H.I., M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
3. Ibu Kanti Rahayu., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Pancasakti Tegal.
4. Bapak H. Toni Haryadi., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Pancasakti Tegal.
5. Bapak Imam Asmarudin., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
6. Ibu Tiyas Vika Widyastuti., S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Universitas Pancasakti Tegal.
x
7. Ibu Dr. Hamidah Abdurrachman S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I
dan Bapak Dr. H. Achmad Irwan Hamzani., S.H.I., M.Ag., selaku Dosen
Pembimbing II yang telah berkenan membimbing.
8. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan pada penulis sehingga bisa
menyelesaikan studi Strata 1. Mudah-mudahan mendapatkan balasan dari
Allah Swt. Sebagai amal shalih.
9. Segenap pegawai administrasi/karyawan Universitas Pancasakti Tegal
khususnya di Fakultas Hukum yang telah memberikan layanan akademik
dengan sabar dan ramah.
10. Orang tua, serta saudara-saudara penulis yang memberikan dorongan moriil
pada penulis dalam menempuh studi.
11. Kawan-kawan penulis, dan semua pihak yang memberikan motivasi dalam
menempuh studi maupun dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
Semoga Allah Swt. Membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Akhirnya hanya
kepada Allah Swt. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
Tegal, 11 Februari 2021
Penulis
ix
DAFTAR ISI
BALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABSTRACT ........................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN .............................................................................................. vii
MOTTO ............................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 16
x
BAB II. TINJAUAN KONSEPTUAL ............................................................. 17
A. Pengertian, Ruang Lingkup Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi . 17
B. Sejarah Terbentuknya KPK sebagai Badan Independen .......................... 28
C. Teori Penegakan Hukum .......................................................................... 35
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 40
A. Kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi ......................................................................................... 40
B. Pelaksanaan Tugas Koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi .......................................................... 60
C. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan
Antara KPK dan Kejaksaan Agung .......................................................... 82
BAB IV. PENUTUP .......................................................................................... 87
A. Kesimpulan ............................................................................................... 87
B. Saran ......................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 91
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... xxx
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Penerimaan SPDP ......................................................................... 73
Gambar 3.2. Tren Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia .............................. 76
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan karena itu dianggap
sebagai “beyond the law” karena melibatkan penjahat ekonomi tingkat tinggi
dan birokrasi tingkat tinggi, termasuk birokrat ekonomi dan birokrat
pemerintahan. Membuktikan kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan
sangat sulit. Dan karena bertentangan dengan kekuasaan dan kepentingan
birokrat, korupsi dianggap sebagai “beyond the law” dan merupakan
perwujudan perbuatan “untouchable by the law”.1
Mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa, pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia dilaksanakan oleh 3 (tiga) lembaga negara
yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi juga diperkuat oleh
pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi
Yudisial. Selain tiga lembaga tersebut, pemberantasan korupsi di Indonesia
juga diawasi oleh organisasi - organisasi masyarakat madani (Civil Society
Organizations, disingkat CSO), antara lain, ICW, yang berdiri sejak tahun
1998.2
1 Mansur Kartayasa, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Prespektif Kebijakan Legislasi
Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 35. 2 Romli Atamsasmita, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti Korupsi
Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019, hlm.3.
2
Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan dengan
penanganan yang khusus, hal ini dapat dilihat dari proses penyidikan tindak
pidana korupsi. Kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tidak
tanggung – tanggung diberikan kepada tiga lembaga penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Ketiga lembaga tersebut mempunyai peranan
yang penting dalam pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana
korupsi, sehingga hubungan antara ketiga lembaga tersebut harus terjalin
dengan baik dan berjalan sesuai dengan kewenangannya.
Pelaksanaan Penyidikan dalam praktiknya seringkali menjadi suatu
permasalahan antara ketiga lembaga, dalam penanganan penyidikan kerap kali
terkesan adanya perebutan kewenangan dalam melakukan penyidikan serta
terkesan adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa contoh kasus tindak pidana korupsi yang pernah terjadi di Indonesia
yang sampai memunculkan istilah cicak versus buaya. Istilah Cicak lawan
Buaya pernah viral (popular), di media pers pada tahun 2012 yang muncul
karena adanya semacam konflik diantara penegak hukum dalam kasus korupsi
yakni polisi berhadapan dengan KPK. Kasus pertama yang menjadi konflik itu
dipicu oleh dugaan terlibatnya seorang purnawirawan perwira tinggi
kepolisian dalam tindak pidana korupsi pengamanan Pilgub Jabar dan perkara
PT Salamah Ariwana Lestari (SAL) bersama Susno Duadji, mulai populernya
kalimat kontroversi “Cicak versus Buaya” berasal dari SD, yakni saat bailout
Bank Century, Kasus pembunuhan yang A.A sebagai terdakwa dalam
3
pembunuhan Nasaruddin Zulkarnain, hingga mafia pajak Gayus Tambunan
(GT).3
Kasus lain yang terjadi pada saat ini adalah kasus tindak pidana korupsi
Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dalam penanganannya terkesan adanya
perebutan kewenangan penyidikan antara Kejaksaan Agung dengan KPK yang
kini menjadi sorotan publik yang sangat menarik perhatian di kalangan
masyarakat. Jaksa Pinangki ditangkap oleh Tim Jaksa Penyidik pada Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus) atas dugaan
terlibat dalam kasus suap lolosnya buronan Djoko Soegiarto Tjhandra, dengan
kasus posisi perkara bermula ketika terpidana Djoko Soegiarto Tjhandra
mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
atas putusan PK Mahkamah Agung Nomor 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni
2009 secara diam-diam, sedangkan status yang bersangkutan adalah buronan
karena belum melaksanakan putusan PK tersebut, keberhasilan terpidana
Djoko Soegiarto Tjahndra masuk kedalam negeri dan kemudian mengajukan
PK ke Pengadilan Jakarta Selatan diduga ada peran Jaksa Pinangki yang
mengkondisikan dan mengatur upaya hukum PK tersebut, berdasarkan dugaan
tersebut kemudian Jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka oleh
Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktorat
Penyidikan pada Jampidsus4.Penanganan kasus Jaksa Pinangki dikerjakan
3 Rosramadhana dan Bungaran Antonius Simanjutak, Strategi Dan Problem Sosial Politik
Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia: Konsep Mensukseskan Otonomi Daerah, DKI Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018, hlm. 208-209. 4 Nurokhman, “ Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko Tjandra”,
Suara Merdeka, 12 Agustus, 2020, Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap
Djoko Tjandra (suaramerdeka.com), diakses pada 11 Februari 2021, Pukul 05.07 WIB.
4
oleh Kejaksaan Agung, namun publik mulai meragukan penanganan oknum
jaksa apabila dilakukan oleh institusi yang menaunginya karena dinilai kental
akan konflik kepentingan. Komisi Kejaksaan (Komjak) merekomendasikan
penanganan kasus Pinangki oleh KPK agar tidak akan menimbulkan conflict
of interest macam itu dan juga agar lebih professional. Masyarakat
Antikorupsi Indonesia (MAKI) serta Indonesian Corruption Watch (ICW)
juga meminta KPK untuk mengambil alih kasus tersebut.5
Adanya dorongan dari Komisi Kejaksaan, MAKI dan ICW, Wakil
Ketua KPK Nawawi Pomolango, mengatakan sejak awal mencuatnya perkara-
perkara yang melibatkan penegak hukum, memang sebaiknya ditangani KPK.
Hal tersebut sesuai dengan domain KPK yang tercantum dalam Pasal 11 ayat
(1) huruf a UU 19/2019 yang menyebutkan bahwa KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana
Korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara. KPK tidak
bermaksud menangani perkara itu dengan mengambil alih, melainkan lebih
berharap Kejaksaan Agung dengan sukarela menyerahkannya ke KPK.6
Kejaksaan Agung dalam kasus Jaksa Pinangki mempunyai kewenangan
dalam hal penyidikan. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
5 Kumparannews, Berebut Wewenang Tangani Kasus Suap Jaksa Pinangki,
https://kumparan.com/kumparannews/berebut-wewenang-tangani-kasus-suap-jaksa-pinangki-
1u5LwPKnQOd, 28 Agustus, 2020, diakses pada tanggal 23 Oktober 2020, 10.45 WIB. 6 Ibid.
5
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat
pada pasal 39 yang menjelaskan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan
Umum dan Peradilan Militer. Berdasarkan hal tersebut jaksa mempunyai
legalitas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
sehingga Kejaksaan Agung masih tetap dalam pendiriannya untuk menangani
kasus tindak pidana korupsi Jaksa Pinangki.
Penyidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, karena
penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Peran alat bukti sebelum masuk ke pemeriksaan persidangan,
yang diperoleh oleh penyidik sangat penting agar seseorang dapat dikatakan
menjadi tersangka tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh
tersangka yang selanjutnya tersangka akan berubah statusnya menjadi
terdakwa, oleh sebab itu Prof. Muhammad Yahya Harahap SH menegaskan
bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan dalam perkara di
6
sidang pengadilan, sehingga penyidikan menjadi hal yang sangat penting
dalam proses pembuktian.7
Penyidikan menjadi salah satu kewenangan yang dimiliki oleh lembaga
Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, yang memang diatur dalam Undang-
Undang.8 Koordinasi menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan
oleh ketiga lembaga tersebut, sehingga terjalin sinergi satu sama lain dalam
melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Baiknya koordinasi
antara tiga lembaga tentunya akan memperkuat lembaga tersebut dalam
melakukan pencegahan, maupun penanganan tindak pidana korupsi. Dengan
koordinasi yang baik, maka tidak akan memunculkan persepsi atau paradigma
masyarakat yang berifikir bahwa ketiga lembaga tersebut tidak berjalan
dengan harmonis dan bahkan terkesan berebut kewenang satu sama lain
sehingga tidak ada lagi istilah Cicak versus Buaya dalam penangan tindak
pidana korupsi.
Koordinasi penyidikan merupakan salah satu tugas dari Komisi
Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut diatur dalam pasal 6 huruf b Undang-
Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang
menyatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan koordinasi dengan
instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. KPK
7 Dimas Hutomo, “Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti”, tt.p :
Hukum Online.com, 2019,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c580a5ca3ae3/hukumnya-menuduh-orang-
melakukan-tindak-pidana-tanpa-bukti/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2020, pukul, 09.30 WIB. 8 Pangabean, Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi Teori-Praktik dan Yurisprudensi di
Indonesia, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2020, hlm. 258.
7
dalam melaksanakan tugas tersebut diberi wewenang sebagaimana diatur
dalam dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang salah satu wewenanganya adalah
mengordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adanya pro kontra terkait dengan penyidikan kasus Jaksa Pinangki
dikarenakan kurang adanya koordinasi yang baik antara Kejaksaan Agung
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.Koordinasi yang baik, tentunya akan
dapat memberikan kepercayaan kepada masayarakat bahawa Kejaksaan dapat
menangani perkara secara independen dan transparan, namun karena
koordinasi yang kurang baik, sehingga menimbulkan asumsi-asumsi atau pro
dan kontra dalam masyarakat terkait dengan kewenangan penanganan kasus
Jaksa Pinangki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan
tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan
antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana
korupsi?
8
3. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan
antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan sebagai berikut :
1. Mengkaji tentang kewenangan penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung
dalam penanganan tindak pidana korupsi.
2. Mengkaji tentang pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan
KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi.
3. Mengkaji tentang hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan
koordinasi penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam
penanganan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diharapkan penulis
dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangsih
terhadap pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana
dalam bentuk penyumbangan ilmu pengetahuan dalam tatanan pendidikan
mengenai koordinasi penyidikan KPK dalam penanganan tindak pidana
korupsi.
9
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan
masukan bagi kalangan akademisi dan calon peneliti yang akan
mengambil studi lanjutan tentang koordinasi penyidikan KPK dan
Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan tema koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan
Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi sudah banyak dilakukan oleh
peneliti lain. Untuk memberikan gambaran tentang posisi penelitian ini
dihadapan penelitian yang sudah dilakukan oleh orang lain, berikut peneliti
sajikan 3 (tiga) penelitian terkait :
1. Agus Syahputra, “Koordinasi Fungsional Antara Polri dan Kejaksaan Pada
Tahap Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman
Barat dan Kejaksaan Negeri Pasaman Barat)”. Penelitian ini membahas
tentang koordinasi antara Polri dan Kejaksaan dalam melakukan
prapenuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan bertujuan
agar proses penanganan tindak pidana korupsi berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Keterkaitan antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum
tersebut, bukan saja dititik beratkan untuk menjernihkan tugas wewenang
dan efesiensi kerja, akan tetapi diarahkan untuk terbinanya aparat penegak
hukum yang dibebani tugas tanggungjawab saling koordinasi.9
9 Agus Syahputra, “Koordinasi Fungsional Antara POLRI dan Kejaksaan Pada Tahap
Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman dan Kejaksaan Negeri Pasaman
Barat)”, Unes Journalof Swara Justisia, Voulume2,Issue 4, Januari 2019, hlm.360.
10
2. Ali Dahwir “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penelitian ini
membahas tentang Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Penelitian ini
membahas tentang pemberantasan korupsi hanya dapat dilakukan apabila
ada komitmen kuat dan kerjasama serta koordinasi yang baik antar instansi
pemerintah dan aparat penegak hukum. Tugas memberantas korupsi hanya
dapat dilakukan apabila semua komponen bangsa bersatu dan saling
mendukung dalam segala upaya pemberantasan korupsi.10
3. Abrar Lafi Naim “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan
Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”.
Penelitian ini membahas mengenai efektifitas kinerja jaksa penyidik
hingga jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Takalar telah dijalankan
sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dari hasil wawancara yang telah
dilakukan oleh penulis, kendala yang paling berpengaruh dalam
penyidikan ialah mengenai anggaran dalam setiap perkara yang tidak
cukup untuk menangani kasus yang lain nya dan juga ditemui pada saat
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan
Negeri Takalar adalah kendala teknis. Kendala teknis itu yang mana
adalah perhitungan auditor dari BPK/BPKP.11
10
Ali Dahwir., “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan
Komisi Pemberantasan Korupsi”, Solusi, Volume 16, Nomor 1, Januari, 2018.,hlm.9 11
Abrar Latif Naim, “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana
Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”,Makassar,Universitas Alauddin Makassar,
2018, hlm. xiv.
11
Berdasarkan ilustrasi ketiga penelitian terkait diatas, peneliti
menyimpulkan penelitian akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang
sudah ada. Peneliti akan melakukan penelitian yang berkaitan dengan,
koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak
pidana korupsi yang mengkaji tentang pengaturan dan pelaksanaan koordinasi
dalam penyidikan tindak pidana korupsi serta mengkaji terkait dengan
hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan koordinasi antara KPK dan
Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Tanpa sikap a
priori, peneliti berkesimpulan penelitian yang akan dilakukan belum pernah
dilakukan penelitian oleh peneliti itu.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakan menurut
Soerjono Soekanto adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang diperoleh dari
berbagai sumber seperti jurnal, skripsi, buku, artikel-artikel dan bahan
kepustakaan lainnya.12
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan
karena peneliti dalam melakukan penelitian menggunakan data yang
diperoleh dari suatu undang-undang yang terkait dengan penelitian, serta
menggunakan beberapa referensi buku buku-buku, e-book, dan jurnal-
jurnal hukum yang terkait dengan judul penelitian yang relevan.
12
Nurul Qamar, et al, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods), Makassar: CV.
Social Politic Genius (SIGn), 2017, hlm.49
12
2. Pendekatan Penelitan
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan
penelitian hukum yang mengkaji hukum dari berbagai aspek, yaitu aspek
teori, sejarah, perbandingan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang.13
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif karena peneliti
akan meninjau permasalahan hukum terkait dengan pengaturan dan
pelaksanaan koordinasi penyidikan dalam penanganan tindak pidana
korupsi antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangn
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, serta akan membahas tentang
hambatan-hambatan yang dialami oleh KPK dan Kejaksaan Agung dalam
koordinasi penyidikan tindak pidana korupsi.
13
Ani Purwati,Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek, Surabaya: CV. Jakad Media
Publishing, 2020, hlm. 20.
13
3. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian,
hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan
perundang-undangan.14
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum
sekunder yang relevan yang berkaitan dengan peneilitian ini.
Selanjutnya data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan
dalam penelitian ini :
a. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang akan digunakan adalah bahan hukum
sekunder sebagai bahan hukum utama. Bahan hukum sekunder adalah
bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
komentar-komentar atas putusan pengadilan maupun seperti Undang-
undang, skripsi, tesis, dan disertasi hukum.15
Bahan hukum yang
diambil atau dirujuk adalah buku-buku atau artikel-artikel hukum yang
mempunyai relevansi dengan apa yang akan diteliti.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum
sekunder karena peneliti menggunakan beberapa perundang-undangan
seperti, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
14
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, Cet. Ke-9, hlm. 106. 15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi , Jakarta: Prenadamedia Group,
2016, Cet. Ke- XII, hlm.181.
14
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberatasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,
dan peraturan pemerintah lainnya yang masih relevan terkait dengan
penelitian, serta menggunakan jurnal ataupun artikel yang membahas
mengenai koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung dalam
penanganan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penelitian
yang akan diteliti.
b. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer. Bahan hukum primer
adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, selain itu
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap juga
menjadi bahan hukum primer16
. Bahan hukum primer yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah berupa Undang-Undang dan
Peraturan Pmerintah yang masih relevan terkait dengan penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan adalah
16
Zainuddin Ali, loc.cit
15
teknik pengumpulan data atau bahan hukum yang meliputi perantaraan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum
dari waktu kewaktu yang mempunyai relevansi dengan isu yang akan
dipecahkan.17
Penelitian ini menggunakan penelusuran kepustakaan karena
peneliti akan melakukan penelusuran secara online dan offline.
Penelusuran secara online dengan cara searching buku-buku online atau e-
book yang terkait dengan penelitian di Internet. Penelusuran secara offline
dengan cara peneliti mengunjungi perpustakaan, dan meminjam buku
referensi yang terkait dengan penelitian ini.
5. Metode Analisis Data
Metode Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
analisis normative kualitatif. Analisis normatife Kualitatif adalah analisis
data yang dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, analisis
dilakukan terhadap data hasil pendahuluan atau data sekunder, yang akan
digunakan untuk menentukan fokus penelitian, fokus penelitian masih
bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan
selama dilapangan.18
Analisis penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan berbagai sumber hukum dari beberapa bahan-bahan
hukum sekunder yang digunakan, kemudian dianalisis dan dicari hal-hal
yang dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang akan dicari
17
Peter Mahmud Marzuki, op.cit,. hlm..238. 18
Sugiyono, “ Metode Penelitiaan Hukum Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”, Bandung:
Alvabeta Cv, 2017, Cet. Ke-XXVI, hml. 245
16
jawabannya, dan selanjutnya diuraikan dalam bentuk deskripsi sebagai
jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang
permasalahan, rumusasn masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode peleitian, dan sistematika penulisan.19
Bab II Tinjauan Konseptual. Bab ini membahas tentang pengertian,
ruang lingkup tindak pidana dan tindak pidana korupsi, sejarah terbentuknya
KPK sebagai badan independen dan teori penegakan hukum.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini membahsa tentang
kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana
korupsi, pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi KPK dan Kejaksaan
Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi serta hambatan-hambatan
dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan Antara KPK dan Kejaksaan Agung
dalam penanganan tindak Pidana Korupsi.
Bab IV Penutup. Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran dari
hasil penelitian.
19
Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Buku Panduan Penulisan Skripsi
Fakultas Hukum, Tegal: Fakultas Hukum, 2020, Cet. Ke-2 , hlm. 12
17
17
BAB II
TINJAUAN KONSEPTUAL
A. Pengertian, Ruang Lingkup Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar
feit dengan penjabaran yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu straf yang
diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, baar diterjemahkan sebagai
dapat dan boleh, sedangkan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
pelanggaran, atau perbuatan. Secara harfiah strafbaar feit berarti sebuah
tindak, peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan yang dapat dipidana atau
dikenakan hukuman20
. Istilah strafbaar feit dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan berbagai istilah, karena pemerintah tidak
menetapkan terjemahan resmi atas istilah Belanda tersebut, oleh karena itu
timbullah pandangan yang bevariasi dalam bahasa Indonesia sebagai
padanan dari istilah “stfafbaar feit”, seperti “Pebuatan pidana”. “Peristiwa
pidana”. “Tindak Pidana”, “Perbuatan yang dapat dihukum” dan lain
sebagainya. Bahkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dipergunakan istilah yang tidak sama.21
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada
hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya
20
Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti Korupsi Kajian
Antikorupsi Teori dan Praktik, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016. hlm. 4. 21
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018, hlm. 68.
18
disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya, karena itu dalam
tulisannya berbagai istilah tersebut digunakan secara bergantian, bahkan
dalam konteks yang lain juga digunakan istilah kejahatan untuk
menunjukkan maksud yang sama.22
Mengenai pengertian dari tindak pidana itu sendiri dapat dilihat
dari pendapat para pakar-pakar yang antara lain :
a. Muljatno, yang menerangkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan adanya
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi bagrangsiapa yang
melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana, larangan ditunjukkan kepada suatu perbuatan (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman
pidana terdapat hubungan yang erat karena antara kejadian dan orang
yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, sehingga
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kejadian tidak dapat dilarang,
jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak akan dapat
diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya,
dan untuk menyatakan hubungan yang erat tersebut maka dipakailah
istilah perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan
22
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta:
Kencana Pranadamedia Group, Cet. Ke- 2, hlm. 37.
19
kepada kedua keadaan konkret yaitu adanya dengan adanyanya
kejadian yang tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang
menimbulkan kejadian.23
b. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab.
c. Van hamel, merumuskan strafbaar feit sebagai kelakukan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan
dengan kesalahan.24
Jika melihat Pengertian-pengertian diatas dalam pokoknya feit
dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakukan atau tingkah laku, dan
pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang
mengadakan kelakuan tadi. Berbeda dengan Simons dan Van Hamel yang
mengatakan bahwa pebuatan dalam strafbaar feit hanya terdiri dari
kelakuan saja. Muljatno menjelaskan bahwa perbuatan adalah kelakuan
yang ditambah dengan adaya kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
atau kelakuan yang ditambah dengan adanya akibat dan bukan kelakuan
saja. Berbeda dengan “strafbaar feit” yang mencakup pengertian perbuatan
23
Suyanto, loc.cit. 24
Ibid., hlm. 69.
20
pidana dan kesalahan Jonkers dan Utrech, memandang rumusan Simos
merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi 25
:
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Berkenaan dengan pengertian tindak pidana diatas, penulis
berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan
yang dilakukan seseorang dengan melawan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan yang menimbulkan suatu kejadian atau akibat dari adanya
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu.
2. Ruang Lingkup Tindak Pidana
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana yang
dapat dikenakan pidana apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana26
.
Suatu perbuatan tidak dapat dijatuhkan pidana apabila suatu perbuatan
yang tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana, akan tetapi tidak
berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana apabila suatu perbuatan
memenuhi unsur-unsur atau rumusan tindak pidana. Diperlukan 2 (dua)
syarat suatu tindakan atau perbuatan dapat dijatuhi pidana yaitu adanya
sifat melawan hukum dan dapat dicela, dengan demikian rumusan
25
Ibid. 26
Hanafi Arief, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tata Hukum dan Politik Hukum Nasional,
Yogyakarta: 2016, hlm. 125.
21
pengertian tindak pidana atau perbuatan pidana menjadi jelas, yaitu suatu
tindak pidana atau perbuatan pidana adalah tindakan atau perbuatan
manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan tindak pidana,
bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.27
Perbuatan manusia atau biasa disebut sebagai unsur subyektif yaitu
unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana
menyatakan, “An act does not make a person guilty unless the mind is
guilty or actus non facti reum nisi mens sit rea” (tidak ada hukuman, kalau
tidak ada kesalahan). Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang
diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kelapaan
(negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui
bahawa kesengajaan terdiri atas tiga, yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opset als zekerheidsbewustzijn);
c. Kesengajaan keinsafan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus
evantualis).
d. Adapun kealpaan terdiri dari dua , yaitu :
e. Ketidak hati-hatian;
f. Dapat menduga akibat perbuatan itu28
.
Bersifat melawan hukum adalah suatu perbuatan yang telah
memenuhi unsur dari rumusan tindak pidana yang tertulis29
. sifat melawan
27
Suyanto, op.cit., hlm. 74. 28
Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019, hlm. 64.
22
hukum juga diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum, yakni keadaan dengan larangan atau perintah
melakukan sesuatu30
. Istilah sifat melawan hukum dalam dogmatik tidak
selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda, tetapi yang
masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat melawan hukum. Harus selalu
ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk mengetahui
artinya. Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis
yaitu 31
:
a. Sifat melawan hukum umum
Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana
yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan
pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan tindak
pidana, yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus
Ada akalanya kata “bersifat melawan hukum‟ tercantum secara
tertulis dalam rumusan tindak pidana, jadi sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang. Sifat melawan hukum yang menjadi
bagaian tertulis dari rumusan tindak pidana dinamakan sifat melawan
hukum khusus, juga dinamkan sifat melawan hukum facet.
c. Sifat melawan hukum formal
29
Suyanto., loc.cit. 30
Rahman Syamsuddin, loc.cit. 31
Suyanto, op.cit., hlm. 76.
23
Istilah ini berarti, semua bagian yang tertulis dari rumusan
tindak pidana telah dipenuhi.
d. Sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.
Dapat dicela, suatu perbuatan yang membuhi semua unsur tindak
pidana yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat
dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan
sifat tercela merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan,
sekalipun tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Inilah yang
dinamakan unsur diluar undang-undang.32
Pada hakikatnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam
lahir (dunia)33
. Berikut pendapat pakar terkait dengan unsur-unsu dalam
tindak pidana:
a. Menurut Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen tindak pidana
adalah:
1) Kelakuan dan akibat (sama dengan perbuatan);
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
32
Ibid., hlm. 74. 33
Rahman Syamsuddin, op.cit., hlm. 63-64.
24
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4) Unsur melawan hukum yang objektif;
5) Unsur melawan hukum yang subyektf.
b. Menurut Satochid Kartanegara unsur tindak pidana terdiri atas unsur
obyektif dan subyektif. Unsur yang obyektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:
1) Suatu tindakan;
2) Suatu akibat; dan
3) Keadaan (omstandigheid).
Selanjutnya Satochid menyatakan, kesemuanya itu dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Adapun unsur
subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yakni:
1) Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan
(toerekeningsvatbaarheid);
2) Kesalahan (schuld).
c. Simons menuliskan beberapa unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut34
:
1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
34
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, op.cit., hlm. 39.
25
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stasnd);
5) Oleh orang yang mampu bertangung jawab (teorekeningsvatoaar
person).
Simons menyebutkan bahwa dalam unsur tesebut terdapat unsur
subyektif dan unsur obyektif dari tindak pidana. Unsur obyektif
meliputi: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu,
mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat atau “dimuka umum”. Sedangkan unsur
subyektif meliputi orang yang mampu bertanggungjawab, adanya
kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang diuraikan diatas, dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana
apabila perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu dilakukan dengan
kesengajaan atau kealpaan, yang bersifat melawan hukum dan perbuatan
yang dilakukan tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
telah dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan.
26
3. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi terdiri dari dua suku kata yaitu tindak pidana
dan korupsi.Istilah tindak pidana merupakan istilah tehnis yuridis yang
berasal dari kata dalam bahas Belanda Strafbaar feit atau delict yang
berarti perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan
ditentukan sanksi pidananya bagi siapa saja yang melangarnya35
.
Sedangkan istilah kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption, atau
corroptus, yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula
dari kata asal corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua, dari bahasa
Latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti Inggris: corruption,
corrupt, Prancis : corrupratio, dan Belanda: corruption (korruptie). Dapat
kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun
kebahasa Indonesia “korupsi”.36
Adapun arti harfiah dari kata korupsi
adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah37
. Selain dari istilah-istilah korupsi yang telah
diuraikan diatas, adapula beberapa pendapat terkait dengan definisi
korupsi antara lain:
Henry Campbell Black dalam Balck’s Law Dictionary,
memberikan pengertian korupsi yang dalam terjemahan bebasnya, korupsi
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
35
Djoko Sumaryanto, Kapita Selekta Pidana Khusus, Surabaya: 2020, hlm. 13. 36
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016, hlm. 60. 37
Fitriani, Tindak Pidana Khusus, Sumatera Utara: Enam Media, 201, .hlm. 11.
27
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak
dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri
atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari
pihak lain.38
Menurut sayed Hussein Alatas, korupsi adalah subordinasi
kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi mencakup
pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum dibarengi
dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang
luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya
korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.39
Jeremy Pope menyatakan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan
kepecayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat
sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”,
artinya dalam pengambilan keputusan dibidang ekonomi, apakah ini
dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau oleh pejabat publik,
hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip
mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan
hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul. Contohnya, konflik
38
Muhammad Yusni, Keadilan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Prespektif
Kejaksaan, Surabya: Airlangga University Press, 2019 hlm. 14-15. 39
Ruslan Renggong, op.cit., hlm. 61.
28
kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah
landasan organisasi apa pun untuk mencapai efesiensi.40
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang
merupakan konvensi negara-negara PBB Anti Korupsi menyebutkan
bahwa kejahatan korupsi berupa pemberian suap, penggelapan dana
publik, penyalahgunaan wewenang, pencucian dan penyembunyian hasil
korupsi, pencucian uang dan sikap memperkaya diri sendiri secara tidak
sah.41
Menurut Political Economic and Risk Consultancy, korupsi adalah
menerima, meminta atau memberikan kepuasan untuk membujuk
seseorang melakukan tindakan korup.42
Dari pendapat tentang pengertian korupsi diatas, maka pengertian
tindak pidana korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan memperkaya diri
sendiri atau golongan yang merupakan suatu tindakan yang sangat
merugikan orang lain, bangsa, dan negara43
.
b. Tindak pidana korupsi merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak
masyarakat, baik ekonomi maupun sosial.
Sedangkan Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
40
Ruslan Renggong, op.cit, hlm.61. 41
Hengki Mangiring Parulian Simarmata, et al., Pengantar Pendidikan Anti Korupsi, tt,p. :
Yayasan Kita Menulis, 2020, hlm. 4. 42
Ibid. 43
Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, op.cit., hlm. 5.
29
2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Kourpsi, menyebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan
secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau
orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara, sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi agar
suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah :
a. Secara melawan hukum;
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau korporasi;
c. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara44
.
Tindak pidana korupsi dari sudut pandang politik, adalah
merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibelitas
pemerintah, terutama dikalangan masyarakat terdidik generasi muda,
sedangkan dari sudut pandang ekonomi korupsi merupakan salah satu
faktor ekonomi biaya tinggi, yang sangat merugikan negara dan
masyarakat. Dari sudut pandang budaya/ kultur, korupsi sangat merusak
moral karakter bangsa yang sebenarnya mempunyai nilai-nilai luhur.45
B. Sejarah Terbentuknya KPK Sebagai Badan Independen
Upaya Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi sejatinya sudah dimulai dari sejak lama. Apabila ditelisik sejenak
dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pada tahun 1998 yang penuh
dengan gejolak, salah satu tuntutan yang berkumandang dalam kampanye
44
Muhammad Yusni. loc.cit. 45
Djoko Sumaryanto, op.cit., hlm. 14.
30
besar bertajuk reformasi kala itu adalah Indonesia harus terbebas dari segala
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu dikarenakan begitu semaraknya
praktik korupsi yang begitu kuat pada masa itu, sehingga dibutuhkan suatu
perubahan yang tidak kalah kuat pula untuk lepas dari jerat korupsi. Dalam
rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakan
landasan kebijakan yang kuat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, antara lain46
:
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Nomor XI/
MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama
ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
46
Josua Victor Manalu dan Adriana G. Firdausy, "Analisis Terhadap Pengawasan Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sebagai
perwujudan Prinsip Checks And Balances”, RES PUBLICA, Volume 2, Nomor 2, Mei-Agustus,
2018, hlm.135.
31
telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Berpedoman atas konsiderans tersebut maka buah dari semangat reformasi
dalam memberantas tindakan korupsi pun dimulai dengan menciptakan suatu
organ yang berada dalam tatanan kelembagaan negara Indonesia. Sebuah
lembaga negara yang sifatnya independen, dengan segala muruah yang lekat
di dalam lembaga tersebut, nantinya diharapkan mampu menjadi garda
terdepan dalam misi besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Bagir
Manan, kehadiran lembaga-lembaga negara di dalam dan di luar UUD 1945
merupakan salah satu “produk” reformasi yang bergulir sejak 1998. Sebelum
Perubahan UUD 1945, bahkan sepanjang perjalanan RI, tidak ada lembaga
negara yang diatur di luar UUD. Terdapat beberapa kemungkinan kehadiran
sejumlah lembaga negara yang diatur dan dilahirkan oleh undang-undang47
.
Pasca perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, kehadiran lembaga
negara bantu menjamur. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak
dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri
atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi
berdasarkan Undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga
Negara bantu yang dibentuk dengan Undangundang adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif
47
Ibid., hlm. 136.
32
dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus
dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara
tindak pidana korupsi48
Pembentukan KPK di Indonesia diinspirasi oleh lembaga independen
pemberantasan korupsi yang telah eksis di Hongkong yaitu ICAC. Kiprah
ICAC di Hongkong, yang didirikan pada tahun 1974 telah menuai cerita
suskses yang menyebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia yang pada saat
itu sedang mencari-cari bentuk lembaga anti korupsi yang tepat untuk
memberantas korupsi yang telah membudaya dikalangan pejabat Indonesia
dimasa Orde Baru yang totaliter dan otoriter pada saat itu49
. Cerita kesuksesan
ICAC kemudian menginspirasi negara-negara yang sedang mencari bentuk
yang tepat untu memberantas korupsi di negerinya, tetapi cerita kesuskesan
ICAC juga mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk merancang
dan membakukan tipe, syarat dan fungsi dari sebuah institusi anti korupsi.
Rancangan dan pembakuan dilakukan oleh PBB dengan melalui suatu
konvensi yang disebut dengan United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) pada tahun 2003. Rancangan dan pembakuan tipe, syarat dan fungsi
institusi anti korupsi tersebut mendapatkan respon yang baik dari banyak
48
Muhammad Islami Mansur, "Implementasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Kewenangan KPK Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002”,
LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 7, September, 2018, hlm. 119. 49
Ismantoro Dwi Yuwono., Bocor-Bocor Duit Negara Fakta-Fakta Menggemaskan Kasus
Petinggi Negara, Yogyakarta: Media Pressindo, 2015, hlm. 37.
33
negara anggota PBB, termasuk Indoensia yang telah menjadi anggota PBB.
Indonesia tercatat sebagai negara ke-43 peratifikasi konvensi PBB tersebut50
.
Hasil dari Konvensi UNCAC yaitu dirumuskannya bahwa apabila suatu
negara menciptakan lembaga anti korupsi maka harus memenihi kriteria
sebagai berikut 51
:
1. Setidaknya ada 2 (dua) syarat yang merupakan tipe dari sebuah lembaga
anti korupsi yang dapat diacu oleh negara yang bersangkutan yaitu :
a. Lembaga atau lembaga-lembaga dalam bidang pencegahan;
b. Lembaga, lembaga-lembaga, atau orang-orang yang di khususkan untuk
memerangi korupsi melalui penegaan hukum.
2. Mengatur tentang sejumlah fungsi yang harus dipenuhi oleh lembaga
pemberantasan korupsi, yang antara lain :
a. Pengembangan Kebijakan, Riset, Monitoring, dan Koordinasi
b. Pencegahan Korup dalam Struktur Kekuasaan
c. Pendidikan dan Penyadaran
d. Investigasi dan Penyidikan
PBB mengharuskan 4 (empat) fungsi tersebut untuk diakomodasi
pada lembaga-lembaga antikorupsi, baik yang sudah ada atau yang akan
diciptakan disuatu negara.
50
Ibid., hlm. 37-38. 51
Ibid. hlm. 38-39.
34
3. Menetapkan sejumlah kriteria yang meliputi independensi, spesialisasi,
serta pelatihan dan resources yang memadani demi efektifinya lembaga
antikorupsi.
Terinspirasi dari ICAC di Hongkong, kemudian Indonesia pada tanggal
29 Desember 2003 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang disebut
dengan KPK. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi52
. Berbagai perangkat aturan
untuk mewujudkan supremasi hukum di dalam upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia, serta bentuk pengejawantahan dari legitimasi semangat reformasi
yang digulirkan seluruh masyarakat Indonesia di tahun 1998, maka terlahirlah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang kemudian turut melahirkan sebuah
lembaga negara independen (komisi khusus) yang saat ini dikenal dengan
sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 3 UU KPK, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan serta merupakan lembaga
52
Febry Satya Wibawa Hussein, "Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011)", khazanah: Jurnal Edukasi, Volume 2,
Nomor 1, Maret, 2020, hlm. 5-6.
35
negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun53
.
Sejak saat itulah KPK lahir sebagai lembaga negara dengan kedudukan
sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman
dalam sistem tata negara di Indonesia. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait
status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa: ”Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara”
tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang
dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain
yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi,
seperti Undang-undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres)”54
.
Adapun dasar hukum terbentuknya KPK yang merupakan independent
Agency dan tidak dapat disebut masuk sebagai bagian Pemerintah. Terdapat
beberapa Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan
KPK, beberapa diantaranya adalah55
:
1. Putusan MK No.012-016-019/PPU-IV/2006 halaman 269 menyebutkan
bahwa KPK bukan bagian dari Pemerintah tetapi bertugas dan berwenang
dalam hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman ( Sesuai
dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945).
53
Josua Victor Manalu dan Adriana G. Firdausy, op.cit., hlm. 137. 54
Muhammad Islami Mansur, op.cit., hlm. 118. 55
Mellysa Febriani Wardojo, "Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara." Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, Maret, 2018, hlm. 77.
36
2. Putusan MK No. 05/PUU-IX/2011 halaman 75 dan 76 disebutkan bahwa
KPK adalah lembaga independent yang diberikan tugas dan wewenang
khusus, antara lain melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman ( Sesuai dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945).
3. Putusan MK No. 049/PUU-XI/2013 halaman 30 yang menyebutkan bahwa
Pembentukan lembaga terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman
termasuk KPK mempunyai landasan konstitusional ( Pasal 24 ayat (3)
UUD 1945). Adanya yurisprudesni tersebut, menegaskan bahwa KPK
merupkan lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh
kekausaan manapun.
C. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan
hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum dan
evaluasi hukum. Pengakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara
berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Penegak hukum
tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistik, namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam
penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia, dengan
pemahaman tersebut maka dapat diketahui bahawaproblem-problem hukum
37
yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan “law in
book”56
.
Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan
hukum sebagaimana mestinya, untuk mengawasi pelaksanaannya agar tidak
terjadi pelanggaran atau penyimpangan dan jika terjadi pelanggaran hukum
yang dilanggar dapat dipulihkan dan ditegakan kembali. Penegakan hukum
dilakukan dengan penindakan hukum menurut aturan tertentu (denda, ganti
rugi, penyisihan atau pengucilan), dan pengenaan sanksi badan seperti pidana
penjara serta pidana mati57
. Secara sederhana pengertian penegakan hukum
dapat formulasikan sebagai upaya untuk membuat hukum menjadi berfungsi
dan bekerja, sehingga terwujud secra konkret, sehingga diperlukan suatu
proses. Dapat dikatakan bahwa pengakan hukum adalah suatu proses bekerja
dan berfungsinya hukum oleh aparat hukum terhdap perilaku-perilaku yang
secara formal-materiel berlawanan dengan norma hukum yang berlaku58
.
Substansi dari penegakan hukum adalah penekanan pada penegakan
hukum yang berkeadilan yang di Indonesia yaitu dengan terciptanya
kesejahteraan masyarakat atau orang yang sering disebut dengan “masyarakat
yang adil dan makmur”, oleh karena itu pemerintah yang mengemban tugas
negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh dan
memperhatikan kesejateraan dan bahagia masyarakat serta huum yang
56
Ahmad Rifai, Menggapai Keadilan Dengan Hukum Progresif (Sebuah Upaya
Menyempurnakan Putusan Hakim Pada Keadilan), Makassar: CV. Nas Media Pustaka, 2020, hlm.
17. 57
Ibid., hlm. 18. 58
Edi Setiadi dan Kristina, Sistem Peradilan Piana Terpadu Dan Sistem Pengakan Hukum di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 128.
38
diciptakan harus berpihak kepada masyarakat, hal tersebutlah yang disebut
bahawa hukum untuk manusia. Sedangkan esensi dalam penegakan hukum
adalah keadilan59
.
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa pada hakikatnya penegakan
hukum merupakan suatu penerapaan diskresi atau suatu kebijakan yang
membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur oleh undang-undang
melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika, oleh
karenanya pertimbangan secara nyata diterapkan secara selektif dalam
masalah penanggulangan kejahatan60
. Satjipto Rahardjo juga menyatakan
bahwa hukum tidak memiliki fungsi apa-apa, apabila tidak diterapkan atau
ditegakkan bagi pelanggar hukum, dan yang menegakkan hukum dilapangan
adalah aparat penegak hukum61
.
Lebih lajut lagi Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul
Masalah Pengekan Hukum menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan
suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan adalah keinginan
yang berupa pikiran-pikiran pembentukan undang-undang yang dirumuskan
dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuatan hukum
yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu harus dijalankan, dengan demikian pada gilirannya,
proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaan peraturan hukum
59
Ahmad Rifai., loc.cit. 60
Edi Setiadi dan Kristina, op.cit., hlm. 136. 61
Ibid., hlm. 139.
39
oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Keadaan ini, dengan nada
ekstrem dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya sebenarnya sudah dimulai pada saat
peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat62
.
Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Penegakan Hukum
Suatu Tinjauan Sosiologis juga mengatakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada suatu ketika juga menantang pemikiran
tentang cara-cara konvensional yang dipakai selama ini dalam penegakan
hukum, khususnya dalam hal mengontrol ketertiban. Secara Praktis penegakan
hukum (law enforcement), memiliki beberapa arti penting baik bagi negara,
bagi pembangunan nasional maupun bagi pelaku dan bagi korban tindak
pidana63
.
Menurut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan
berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dengan tiga unsur sitem
hukum yakni yang meliputi struktur hukum (struktur of law), substansi hukum
(substance of law), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum
menyangkut aparat penegak hukum, substasi hukum meliputi perangkat
perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup dalam
suatu masyarakat. Tentang struktur hukum Lawrence M. Friedman
menjelaskan bahwa struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur yang
meliputi jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya, dan tata cara naik
banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti
62
Edi Setiadi dan Kristina, op.cit., hlm. 140. 63
Ibid., hlm. 147.
40
bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh
presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya, jadi
struktur hukum terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk
menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur adalah pola yang
menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-
ketentuan formalnya. Struktur menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat
hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan64
.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah proses
penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi dalam menentukan berlakunya hukum menurut Soerjono
Soekanto dalam bukunya yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegkan Hukum yakni meliputi faktor hukum itu sendiri, faktor penegak
hukum yaitu terkait dengan pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum, faktor masyarakat yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana suatu
hukum berlaku dan diterapkan, dan faktor kebudayaan sebagai hasil dari
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada krasa manusia didalam pergaulan
hidup.Berdasarkan teori dan pendapat pakar hukum tersebut, dapat dikatakan
bahwa kesemua aspek atau faktor tersebutlah yang sangat mempengaruhi
kulitas penegakan hukum65
.
64
Ahmad Rifai, Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan Menciderai
Keadilan Masyarakat, Makassar: CV. Nas Media Pustaka, 2020, hlm.35. 65
Edi Setiadi dan Kristina, op.cit, hlm. 165.
41
41
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi
1. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK
KPK merupakan lembaga negara anak kandung dari reformasi yang
lahir pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(Selanjutnya disebut UU KPK No. 30 Tahun 2002) yang saat ini telah
diubah menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK No. 19 Tahun 2019)
dengan tujuan untuk mempercepat penanganan perkara-perkara korupsi di
Indonesia66
. Sebelum adanya revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 ,
disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KPK adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun67
. Pada pasal tersebut menjadikan
kedudukan KPK sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
adalah lembaga Negara bantu yang dalam artian KPK bukan merupakan
66
Desca Lidya Natalia, "Media Massa dan Pemberitaan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia." Integritas: Jurnal Antikorupsi, Volume 5, Nomor 2, 2019, hlm. 58. 67
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 128.
42
bagian dari eksekutif, legislatif ataupun yudikatif68
. Pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, dan pemeriksaan
disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku69
.
KPK dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi
sebelum adanya revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 menyandang tugas
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 yaitu70
:
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidan korupsi;
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU KPK No 30 Tahun 2002, jelaslah
KPK mempunyai tugas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi. KPK dalam melakukan tugas penyidikan dibatasi oleh
68
Hermien Nugraheni, et al., Mahasiswa Pelapor Gerakan Anti Korupsi, Yogyakata:
Deepublish, 2017, hlm. 204. 69
Ermansjah Djaja, loc. cit. 70
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Media
Prima Aksara, 2012, hlm. 53.
43
ketentuan dalam Pasal 11 yang menyebutkan bahwa KPK berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang71
:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara.
b. Mendapat perhatian meresahkan masyarakat dan/atau
c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000, (satu
milyar rupiah).
Berdasarkan ketentuan diatas, tidak semua tindak pidana yang
diduga merugikan negara atau berindikasi korupsi dapat ditangani oleh
KPK, melainkan hanya tindak pidana korupsi tertentu yang masuk
kedalam klasifikasi atau ketentuan yang telah disebutkan diatas, namun
apabila tindak pidana korupsi yang terjadi memenuhi ketentuan diatas,
maka KPK dapat mengambil alih proses pemeriksaan tersebut dari
kejaksaan dan kepolisian yang sudah terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana korupsi tersebut dan juga
dapat melakukan koordinasi dan supervisi maupun pemeriksaan bersama
terhadap dugaan tindak pidana korupsi72
.
Tidak semua perkara tindak pidana korupsi yang memenuhi
klasifikasi diatas dapat diambil alih oleh KPK dengan menggunakan dalih
71
Ulang Mangun Sosiawan, "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi." Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Volume 19, Nomor 4, Desember,
2019, hlm. 524. 72
Wawan Sanjaya,."Sinkronisasi Penyelidikan Dan Penyidikan Oleh Polri, Kejaksaan Dan
KPK Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi" Jurnal De Jure, Volume 1, Nomor 15, 2018,
Januari, hlm 21.
44
diatas, melainkan terdapat ketentuan dalam pengambil alihan penyidikan
yang dilakukan oleh KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU KPK No.
30 Tahun 2002 yaitu 73
:
a. Adanya laporan dari masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. Proses dalam penanganan tindak pidana korupsi dilakukan secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Adanya hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. Adanya keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara
baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalih tersebut merupakan dalih yang menjadi dasar oleh KPK
dalam melakukan pengambil alihan penyidikan suatu perkara tindak
pidana korupsi yang telah atau sedang ditangani oleh instansi lain.
Kewenangan KPK sebagai penyidik tindak pidana korupsi mempunyai
wewenang yang sangat luas dan kuat dibandingkan dengan kewenangan
73
Mansur Kartayasa, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Perespektif Kebijakan Legislasi
Dan Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 324.
45
penyidikan dari instansi Kejaksaan maupun Kepolisian, dalam
melaksanakan tugas penyidikan berdasarkan Pasal 12 UU No. 30 Tahun
2002 KPK mempunyai wewenang yang meliputi 74
:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seorang
bepergian keluar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka,
terdakwa atau pihak lain yang terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait.
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi atau konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa;
74
Ruslan Renggong, op cit., hlm. 83-84.
46
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum
Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan
barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Kewenangaan penyidikan yang diberikan kepada KPK tersebut,
menjadikan KPK sebagai sebuah instansi penegak hukum yang memiliki
kewenangan istimewa sehingga disebut juga sebagai institusi superbody75
.
Setelah direvisinya UU KPK menjadi UU KPK No 19 Tahun 2019,
kedudukan KPK sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia kini menjadi jelas. Kedudukan KPK sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 butir 3 dan Pasal 3 disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara
dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun76
.
KPK sebagai lembaga negara dirumpun ekskutif mempunyai tugas
yang sama sebagaimana Pasal 6 UU KPK No 30 Tahun 2003, hanya saja
setelah direvisi ketentuan tugas KPK diperluas dengan adanya
75
Ibid. 76
Rainaldy Valentino Kaligis, "Implikasi Hukum Atas Revisi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang KPK Terhadap Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi", LEX
CRIMEN, Volume 9, Nomor 1, Januari-Maret, 2020, hlm. 141.
47
penambahan tugas bagi KPK, berikut tugas KPK pasca revisi dalam Pasal
6 UU KPK No. 19 Tahun 2019 :
a. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi
Tindak Pidana Korupsi;
b. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas
melaksanakan pelayanan publik;
c. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
d. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak
Pidana Korupsi; dan\
f. Melakukan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pembatasan terhadap tugas Penyidikan KPK dalam Pasal 11 juga
mengalami perubahan, dimana KPK dalam melakukan penyidikan saat ini
dilakukan terhadap tindak pidana korupsi yang :
a. Melibatkan Aparat Penegak Hukum, Penyelenggara Negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan
oleh Aparat Penegak Hukum atau Penyelenggara Negara;
b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah);
48
c. KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
kepada kepolisian dan/ atau kejaksaan apabila tidak memenuhi
ketentuan pada huruf a dan b diatas;
d. KPK melakukan supervisi terhadap penyelidikan, penyidikan, dan/atau
penuntutan apabila tindak pidana yang terjadi memenuhi ketentuan
pada huruf a dan b diatas.
Khusus dalam tugas penyidikan, menurut penulis perubahan
tersebut dilakukan untuk mempertegas atau memperjelas batasan-batasan
kewenangan penyidikan KPK dalam suatu pemberantasan tindak pidana
korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kewajiban KPK untuk
menyerahkan penyidikan kepada Kepolisian atau Kejaksaan, sehingga
KPK lebih fokus terhadap penyidikan kasus tindak pidana korupsi yang
mempunyai nilai kerugian negara minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah). Penambahan wewenang supervisi dalam penyidikan tindak
pidana korupsi merupakan hal positif yang dapat memperkuat KPK dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemberantasan
korupsi.
Kewenangan supervisi yang diberikan kepada KPK dalam
melakukan penyidikan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan
Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut
49
Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi)77
.
Berdasarkan Pasal 1 butir 4 dijelaskan bahwa Supervisi adalah kegiatan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang berwenang
melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna percepatan
hasil penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi serta
terciptanya sinergitas antar instansi terkait. Kewenangan KPK untuk
melakukan Supervisi dan pengambilalihan perkara diatur dalam Pasal 2
dan Pasal 3 Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi
diatur dalam yang menyebutkan bahwa :
a. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
b. Instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdiri atas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Dalam hal pelaksanaan Supervisi membutuhkan penghitungan
kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
mengikutsertakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Kejaksaan Republik Indonesia, bersama instansi yang terkait sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
77
Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicol, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi”, 2020, Pemantauan Kinerja Tahun I KPK 2020 (TI Ix ICW).pdf
(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 28 Desember 2020, Pukul 19:39, hlm. 17.
50
d. Kewenangan KPK dalam melakukan Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dilaksanakan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang
ditangani oleh instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan yang dimiliki ini sekaligus menjadi wujud nyata dari
konsep trigger mechanism sebagaimana tertuang dalam konsiderans UU
KPK. Tidak hanya itu, bahkan KPK dapat pula mengambil alih
penanganan perkara yang sedang dilakukan oleh penegak hukum78
.
Kewenangan KPK sebelum adanya revisi UU KPK, sebagai
penyidik tindak pidana korupsi yang sebelumnya mempunyai wewenang
yang sangat luas dan kuat dibandingkan dengan Kepolisian dan
Kejaksaan79
. Pasca revisi UU KPK, kewenangan penyidikan KPK dalam
Pasal 12 UU KPK No 30 Tahun 2002 kini dibatasi dengan adanya
Kewenangan yang diberikan kepada Dewan Pengawas Pada Pasal 37 B
ayat (1) huruf b UU KPK No 19 Tahun 2019 dikatakan bahwa, Dewan
Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau
penyitaan80
. Titik krusial pada tugas Dewan pengawas adalah menyoal
kewenangan Dewan Pengawas untuk memberikan izin atau tidak
memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, konsep
ini merupakan kekeliruan yang mendasar pada pola pikir pembentuk
78
Ibid. 79
Ruslan Renggong, op cit., hlm. 83. 80
Rainaldy Valentino Kaligis, loc. cit., hlm 142.
51
Undang-Undang. Akibatnya sudah dapat dibayangkan, yakni proses
penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK akan
melambat81
.
Kewenangan penyadapan KPK selama ini diatur dalam Pasal 12
ayat (1) huruf a UU No 30 Tahun 2002, yang mengatur bahwa dalam hal
perizinan penyadapan KPK hanya sampai pada tingkat lima Pimpinan
KPK, namun dengan diundangkannya UU No 19 Tahun 2019 maka proses
itu semakin panjang dan birokratis, sebab harus melalui Dewan
Pengawas82
. Demikian juga dengan Penggeledahan, dalam Pasal 33 – 34
KUHAP menjelaskan bahwa dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat, penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan
penggeledahan yang diperlukan, namun dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu penyidik tetap
dapat melakukan penggeledahan. Aturan dalam KUHAP tersebut tetap
berlaku di KPK sebelum terbitnya UU KPK No 19 Tahun 201983
. Bila
mencermati proses penggeledahan KPK berdasarkan UU No 19 Tahun
2019 maka sudah tepat dikatakan bila proses ini semakin lambat, UU KPK
sebagai lex specialis yang harusnya mempercepat proses ini, namun yang
81
Kurnia Ramadhana dan Agil Oktaryal, “Laporan Penelitian Proyeksi Masa Depan
Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang KPK”, 12 Agustus, 2020
Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi UU KPK | ICW
(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 28 Desember 2020, Pukul 23:27 WIB, hlm. 54. 82
Ibid., hlm. 53. 83
Ibid.
52
terjadi malah sebaliknya, kehadiran Dewan Pengawas dengan kewenangan
besar untuk memberikan atau tidak memberikan izin penggeledahan dapat
dipandang sebagai hambatan ketika KPK melakukan tangkap tangan84
.
Berkaitan dengan kewenangan penyitaan , dalam Pasal 38 ayat (1)
KUHAP disebutkan bahwa Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sedangkan dalam
Pasal 47 UU KPK No 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa atas dasar dugaan
adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan
tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
Perbedaan mencolok pada penjelasan di atas adalah perihal perizinan.
Mesti dipahami bahwa proses penyitaan yang diatur dalam UU No 30
Tahun 2002 telah tepat, sebab tipe dari pelaku korupsi selalu mempunyai
berbagai cara untuk menyembunyikan bukti kejahatannya85
. Sehingga jika
harus kembali dengan perizinan oleh Dewan Pengawas maka dapat
dikatakan pembentuk UU ingin mengembalikan makna kejahatan korupsi
sebagai kejahatan biasa86
.
Adanya kewenanga-kewenangan yang diberikan kepada KPK
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU KPK
menunjukkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia.
84
Ibid., hlm. 53. 85
Ibid.
53
2. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan
Agung
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang
melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Sebagai
badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan
dipimpin oleh Jaksa Agung, yang dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan
Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan,
dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan87
. Peran jaksa selaku penuntut umum yang mewakili
kepentingan umum, bertindak untuk dan atas nama negara dalam perkara
pidana, merupakan salah satu wujud penegakan ketertiban dan
perlindungan terhadap semua kepentingan hukum yang dimilki oleh setiap
orang berlaku subyek hukum seperti yang tertera pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004, jo Keppres Nomor 55 Tahun 1991 tentang
Sususnan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan
Peraturan Perundang-undangan lainnya88
.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Selanjutnya disebut UU
Kejaksaan) juga mengisyaratkan bahwa lembaga kejaksaan berada pada
87
Viswandro, et al., Mengenal Profesi Penegak Hukum, Yogyakarta: Medpress Digital, 2015,
hlm. 67 88
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana,
2016, Cet. Ke-2, hlm. 359.
54
posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.
Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses
penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai
pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, lembaga
kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya
institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat
diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut
hukum acara pidana89
.
Mengacu pada UU Kejaksaan yang menggantikan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai
salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supermasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini,
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang
melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, hal ini diatur
dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Kejaksaan90
.
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang yang sangat luas,
hingga menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara.
Tugas yang sangat luas tersebut dalam pelaksanaannya dipimpin dan
89
Viswandro, et al., loc.cit., hlm. 67- 68. 90
Ibid., hlm. 67.
55
dikendalikan serta dipertanggung jawabkan oleh seseorang yang di beri
predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peran Jaksa Agung dalam
kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih
pada saat ini dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu
agendanya adalah terwujudnya supermasi hukum. Disisi lain Jaksa Agung
adalah “a man of law” yang dalam sistem hukum Indonesia dapat
digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang
tidak mengabdi pada Presiden dengan kepentingan politiknya. Dalam
mewujudkan agenda reformasi yaitu supermasi hukum, rasanya diperlukan
seorang Jaksa Agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum yang
memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang
jujur91
.
Tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Pidana diatur dalam
Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yang menyebutkan bahwa tugas dan
wewenang Kejaksaan meliputi :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
91 Ibid.
56
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Tugas dan wewenang Kejaksaan di atas dimiliki oleh Kejakasaan
Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang ada di Indonesia.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan diatas, Jaksa Agung dalam
Kejaksaan Agung juga mempunyai tugas dan wewenang yang lebih
khusus yang diatur dalam BAB III Bagian ke 2 (dua) dalam Pasal 35 - 37
UU Kejaksaan. Tugas Khusus yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung dalam
Pasal 35 ini meliputi :
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undangundang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
57
Jaksa Agung dalam melaksanaan tugas dan wewenang serta fungsi
kejaksaan dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa Jaksa
Agung Muda serta Badan Pendidikan dan Pelatihan, yang kesemuanya
menjadi satu kesatuan sebagai unsur pimpinan92
. Berikut beberapa Jaksa
Agung Muda yang membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa Agung
93:
a. Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan;
b. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen;
c. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum;
d. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus;
e. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Perdata dan Tata Usaha Negara;
f. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawas.
Berdasarkan unsur pembantu pimpinan dalam Kejaksaan tersebut
diatas, pada setiap unsurnya memiliki tugas dan wewenang serta fungsinya
masing-masing yang dilakukan guna membantu pimpinan (Jaksa Agung)
dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejakasaan.
Kejaksaan Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenang
Kejakasaan dibidang Pidana dibantu oleh Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Selanjutnya disebut Jam Pidsus). yang merupakan unsur
pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang
92
Nani Widya Sari, "Kewenangan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia." Jurnal Surya Kencana Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan,
Volume 4, Nomor 2, Desember 2017, hlm. 184. 93
Bobby Daniel Simatupang, Implementasi Tanggung Jawab Kejaksaan Negeri dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019, hlm. 55.
58
serta fungsi kejaksaan di bidang yustisia mengenai tindak pidana khusus,
yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Jam Pidsus dibantu Sekretaris
Jam Pidsus, Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, Direktorat
Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi, Direktorat
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, Koordinator, dan Kelompok
Jabatan Fungsional 94
. Jam Pidsus merupakan salah satu unsur pembantu
pimpinan yang mempunyai dan melaksanakan tugas untuk menangani
tindak pidana khusus, hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 355
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-
006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia (Selanjutnya Disebut PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI). Tindak pidana khusus
yaitu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pidana tersendiri
atau yang diatur diluar Hukum Pidana Umum atau KUHP95
. Tindak
Pidana khusus adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan tertentu
yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu, oleh
karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan
berlaku kepada siapa hukum tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus
memiliki ruang lingkup yang terdiri dari 96
:
a. Hukum Pidana Ekonomi;
b. Tindak Pidana Korupsi;
94
Kejaksaan Republik Indonesia, ”JAM Tindak Pidana Khusus”, Kejaksaan Republik
Indonesia, diakses pada tanggal 09 Desember 2020, Pukul 11:40 WIB. 95
Hartanto, et al., Hukum Tindak Pidana Khusus, Yogyakarta: Deepublish, 2020, hlm. 2. 96
Ibid.
59
c. Tindak Pidana Perpajakan;
d. Tindak Pidana Kepabean dan Cukai;
e. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering);
f. Tindak Pidana Anak.
Beberapa ruang lingkup tindak pidana khusus diatas, tindak pidana
korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang dalam
penanganannya pada proses penyidikan terdapat kewenangan Kejaksaan
untuk melakukan penyidikan.
Jam Pidsus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di bidang
tindak pidana khusus, terutama tindak pidana korupsi mempunyai tugas
dan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 356 Ayat (2) PERJA RI No.
PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
bahwa ruang lingkup pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut meliputi
penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim, putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, eksaminasi serta
pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dan keputusan lepas
bersyarat dalam perkara tindak pidana khusus serta tindakan hukum
lainnya. Pelaksanaan tugas dan wewenang Jam Pidsus dilakukan dengan
menyelenggarakan fungsi sebagai mana diatur dalam Pasal 357 PERJA RI
No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
RI yang meliputi :
a. Perumusan kebijakan di bidang tindak pidana khusus;
60
b. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang tindak pidana khusus;
c. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang tindak
pidana khusus;
d. Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi atau lembaga baik di
dalam negeri maupun di luar negeri;
e. pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di
bidang tindak pidana khusus; dan
f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum dibidang khusus, terutama
dalam proses penyidikan, Kewenangan Jam Pidsus dalam melakukan
penyidikan didasarkan pada ketentuan Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
yang menyatakan bahwa kejaksaan mengadakan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang97
. Wewenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 16 Tahun 2004 termasuk didalamnya adalah
tindak pidana korupsi. Dengan demikian jelas bahwa pihak kejaksaan
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi98
.
97
Abdul Latif, “Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi”, Jakarta: Prenada
Media Group, 2016, Cet. Ke- 3, hlm. 368. 98
Gerald Makagiansar,. "Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penyelidikan, Penyidikan Dan
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi" LEX CRIMEN, Volume 6, Nomor 7, September, 2017, hlm.
30.
61
B. Pelaksanaan Tugas Koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
1. Pengaturan Tugas Koordinasi Penyidikan KPK
KPK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU KPK
No. 30 Tahun 2002 yang secara harafiah merupakan lembaga yang
bergerak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi99
. KPK merupakan
lembaga negara yang bersifat independen yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan berbagai upaya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi100
.Berdasarkan Pasal 6 UU KPK No. 30 tahun 2002 KPK dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi mempunyai tugas untuk
melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan Negara.
Berdasarkan tugas KPK diatas, melakukan koordinasi dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan salah satu tugas dari KPK yang diatur dalam Pasal 6 huruf a
UU KPK No. 30 Tahun 2002. Pengaturan tugas KPK dalam melakukan
99
Ulang Mangun Sosiawan, op.cit., hlm. 518. 100
, Ayu Dwianty, "Penegakan Hukum Oleh KPK Terhadap TIPIKOR Menurut UU No. 31
Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001" LEX CRIMEN, Volume 8, Nomor 2, 2019, hlm . 192.
62
koordinasi diatur dalam Pasal 6 huruf a UU KPK No. 30 Tahun 2002,
yang dalam melaksanakan tugas koordinasi KPK mempunyai wewenang
yang diatur dalam Pasal 7 UU KPK No 30 Tahun 2002 anatara lain101
:
a. Mengordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan isntansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Setelah UU KPK No. 30 Tahun 2002 di revisi menjadi UU KPK
No.19 Tahun 2019, tugas koordinasi KPK diubah kedalam Pasal 6 huruf b
yang menyatakan bahwa KPK bertugas melakukan koordinasi dengan
instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. Jika
diperhatikan dengan seksama, dalam perubahan Pasal 6 huruf b terdapat
penambahan frasa kata “instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan
publik” sedangkan dalam Pasal 6 huruf a UU KPK No 20 Tahun 2002
101
Romli Atamsasmita, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti Korupsi
Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019, op.cit., 44-45.
63
KPK bertugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan
instansi yang berwenang dalam Pasal 6 huruf a dalam penjelasanya bahwa
yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah termasuk Badan
Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada
Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Berdasarkan
penjelasan tersebut, KPK hanya mempunyai tugas koordinasi dengan
isntansi tersebut, lain halnya dengan ketentuan dalam Pasal 6 huruf b UU
KPK No 19 Tahun 2019.
Menurut pendapat penulis penambahan frasa kata “instansi yang
bertugas melaksanakan pelayanan publik” pada pasal 6 huruf b dalam UU.
19 Tahun 2019, merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memperluas tugas koordinasi KPK dalam melakukan
pemberantasan korupsi hingga ke ranah instansi yang melaksanakan
pelayanan publik. Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik (Selanjutnya disebut UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik) Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara
64
pelayanan publik berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009
tetang Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang
untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Pada penjelasan Pasal 6
huruf b Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2019, tidak dijelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan instansi yang
bertugas melaksanakan pelayanan publik.
KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi dalam UU KPK No. 19
Tahun 2019 diatur dalam Pasal 8, disebutkan bahwa KPK mempunyai
wewenang sebagai berikut:
a. Mengoordinasikan penyelidikan, Penyidikan, dan penuntutan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;\
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
dan
e. Meminta laporan kepada instansi berwenang mengenai upaya
pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi;
65
Berdasarkan dari pengaturan tugas dan wewenang dalam
pelaksanaan koordinasi diatas, terdapat kewenangan koordinasi yang
dimilik oleh KPK yang salah satunya adalah kewenangan untuk
mengoordinasikan baik dalam penyelidikan, Penyidikan, dan maupun
penuntutan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur dalam
Pasal 8 huruf a. Kewenang tersebut merupakan dasar hukum atau legalitas
bagi KPK dalam melakukan koordinasi dalam penyidikan tindak pidana
korupsi dengan instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan yang
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi.
2. Pengaturan Tugas Koordinasi Kejaksaan Agung Dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi
Tugas Koordinasi Penyidikan Kejaksaan Agung dalam penanganan
tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan
Peradilan Militer102
.
Berdasarkan pasal diatas Kejaksaan Agung mempunyai
kewenangan untuk melakukan koordinasi terhadap penyelidikan,
102
Fahririn, " Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat
Dalm Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi” Supremasi Jurnal Hukum, Voulme 2, Nomor
1, 2019, hlm. 84.
66
penyidikan maupun penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Pengaturan tugas koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung juga dipertegas
dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan
badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lainnya103
. Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang, yang dalam pelaksanan kekuasan negara tersebut
diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri. Selain Pasal 33, tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana
juga disebutkan dalam Pasal 30 huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Ketentuan mengenai tugas dan wewenang koordinasi penyidikan
Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi juga diatur
dalam Pasal 357 PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang
103
Ratna Sari Dewi Polontalo, "Independensi Jaksa Sebagai Penuntut Umum dalam Tindak
Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia" LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 6, Agustus, 2018, hlm. 36.
67
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa Jam
Pidsus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menyelenggarakan
fungsi :
a. Perumusan kebijakan di bidang tindak pidana khusus;
b. Pelaksanaan penegakan hukum dibidang tindak pidana khusus;
c. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang tindak
pidana khusus;
d. Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga baik di dalam
negeri maupun di luar negeri;
e. Pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan
dibidang tindak pidana khusus;
f. Pelakasanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas,
disebutkan bahwa Kejaksaan Agung mempunyai tugas dan wewenang
melakukan koordinasi dengan badan penegak hukum dan keadilan, badan
negara atau instansi lainnya serta penyidik. Badan penegak hukum dalam
pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah
aparat KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Jelas sudah bahwa dengan adanya
pengaturan tugas koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung diatas, Jam
Pidsus mempunyai legalitas dalam menjalankan atau melaksanakan tugas
koordinasi penyidikan dengan instansi terkait.
3. Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Kejaksaan Agung
68
Sesuai dengan UU KPK No 2002 yang saat ini telah direvisi
dengan UU KPK No 19 Tahun 2019, KPK memiliki fungsi koordinasi dan
supervisi (Korsup) terhadap instansi penegak hukum lain dalam hal
penanganan perkara korupsi104
.Salah satu bentuk Koordinasi dan Supervisi
yang dilakukan oleh Bidang Penindakan KPK adalah mengenai Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Selama ini, instansi penegak
hukum lain, yaitu Kejaksaan dan Kepolisian selalu memberi tahu KPK
saat menerbitkan SPDP, hal ini dilakukan berdasarkan dengan ketentuan
Pasal 50 UU KPK No 30 Tahun 2002105
. Ketentuan pasal 50 Ayat UU
KPK No 30 Tahun 2002, koordinasi penyidikan atara KPK dengan
Kepolisian dan Kejaksaan antara lain :
1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan
penyidikan oleh Kepolisian atau Kejaksaan, maka instansi yang
menangani perkara tersebut wajib memberitahukan kepada KPK
dengan waktu paling lambat 14 hari (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal dimulainya penyidikan.
2) Kepolisian atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan wajib
dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK.
104
Komisi Pemberantasan Korupsi, “Laporan Tahunan KPK 2016 Bahasa Indonesia”,
https://www.kpk.go.id/images/Laporan Tahunan KPK 2016 Bahasa Indonesia.pdf , diakses pada
tanggal 25 Desember 2020, Pukul 20:31 WIB, hlm. 78. 105
Ibid.
69
3) Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan terhadap suatu
perkara tindak pidana korupsi, maka Kepolisian atau Kejaksaan tidak
berwenang lagi untuk melakukan penyidikan.
4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh Kepolisian
dan/atau Kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh
Kepolisian dan Kejaksaan tersebut segera dihentikan. Yang dimaksud
dengan penyidikan dilakukan bersama dalam hal ini berdasarakan
penjelasan Pasal 50 Ayat (4) UU KPK Tahun 2002 adalah dihitung
berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
Berdasarkan hal diatas, maka Kepolisian dan Kejaksaan
mempunyai kewajiban untuk memberitahukan SPDP kepada KPK dan
melakukan koordinasi secara terus menurus dalam penanganan perkara
tindak pidana korupsi yang ditanganinya.
KPK dalam memaksimalkan pelaksanaan tugas koordinasi dan
supervisi, pada tahun 2016 mengganggas sistem pemberitahuan SPDP
dalam melaksankan tugas koordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan
dengan sistem SPDP elektronik atau e-SPDP, yang dengan melalui sistem
tersebut setiap penyidik di Kepolisian dan di Kejaksaan, serta KPK dapat
memberitahukan dimulainya penyidikan secara online106
. Mekanisme kerja
e-SPDP dirancang dengan sederhana, dimana setiap penyidik yang
memulai penyidikan kasus korupsi wajib mengunggah SPDP ke dalam
sistem, sehingga dengan demikian penuntut umum dan penyidik dari
106
Ibid.
70
lembaga lain secara langsung dapat mengetahui, dengan adanya e-SPDP
107. Sistem akan membuat peringatan dini, jika suatu perkara bolak-balik
dari penyidik ke penuntut umum, bahkan jika sampai tiga kali atau lebih,
sistem akan menunjukkan tanda merah, demikian pula jika penyidikan
suatu perkara belum selesai selama satu tahun, tanda merah pada
peringatan dini akan menyala. Melalui sistem e-SPDP yang digagas oleh
KPK mengkoordinasi penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh ketiga lembaga pemberantasn tindak pidana korupsi dapat
terbangun108
.
Gagasan sistem e-SPDP kemudian disepakati oleh Kepolisian dan
Kejaksaan dengan adanya penandatanganan kerjasama dengan Kepolisian
dan Kejaksaan, pada hari Rabu, 29 Maret 2017 yang bertempat di Mabes
Polri, Jakarta, Ketua KPK Agus Rahardjo, Kapolri Tito Karnavian, dan
Jaksa Agung M. Prasetyo menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) tentang Kerjasama dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,109
. Terdapat lima ruang lingkup kerja sama yang
dilakukan oleh tiga lembaga negara tersebut sebagai kelanjutan atas nota
kesepahaman pada tahun 2016 yaitu antara lain110
:
107
Ibid. 108
Ibid. hlm. 80. 109
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, “Laporan Tahunan KPK 2019 Bahasa
Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/pdf/Laporan-Tahunan-KPK-2019-Bahasa.pdf, diakses
pada tanggal20 Oktober 2020, Pukul 11:09 WIB, hlm. 60. 110
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2017, “Laporan Tahunan KPK Tahun 2017 Bahasa
Indonesia”,https://www.kpk.go.id/images/Laporan-Tahunan-KPK-2017-Web.pdf, diakses pada
tanggal 25 Desember 2020, Pukul 20:31 WIB, hlm. 43.
71
a. Sinergi penanganan tindak pidana korupsi yang meliputi kesepakatan
pemanfaatan koordinasi & supervisi elektronik (e-SPDP), yaitu
merupakan gagasan sistem pemberitahuan SPDP berbasis online.
b. Pembinaan aparat penegak hukum, kerja sama ini mendorong
kepatuhan, akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum yang
berintegritas melalui peningkatan dan pemenuhan kewajiban pelaporan
LHKPN dan pengendalian gratifikasi.
c. Bantuan narasumber/ahli, pengamanan, dan sarana prasarana dalam
proses penegakan hukum.
d. Tukar menukar data serta informasi untuk mendukung penegakan
hukum. Dan
e. Kerja sama dalam peningkatan dan pengembangan kapasitas
kelembagaan serta sumber daya manusia serta dukungan percepatan
reformasi birokrasi di masing-masing lembaga penegak hukum.
Melalui MoU tersebut, maka sistem pemberitahuan SPDP dengan
sisitem e-SPDP akan dapat membantu KPK sebagai supervisor dapat
memberikan supervisi terhadap penanganan perkara-perkara korupsi di
Kepolisian dan Kejaksaan menjadi lebih efektif111
. Hal itu dikarenakan
semua perkara korupsi yang tengah ditangani Kepolisian dan Kejaksaaan
secara otomatis akan termonitor secara online112
. Dengan adanya sistem e-
SPDP kini Kepolisian dan Kejaksaan dapat memberitahukan SPDP kepada
111
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, loc.cit. 112
Ibid.
72
KPK yang sebelumnya dilakukan dengan menyampaikan hard copy SPDP
melalui pos, kini sudah dapat dilakukan dengan sistem online dengan
menyampaikan soft copy SPDP, sehingga dapat mencegah resiko tidak
sampai tujuan, terlambat diterima atau terjadi kebocoran Informasi113
.
Kelebihan dari adanya sistem e-SPDP dapat membuat pemberitahuan dan
penerimaan SPDP lebih efisien, efektif, transparan, serta dapat mencegah
konflik kewenangan antar-lembaga dalam melakukan penyidikan suatu
perkara, meningkatkan check and balance antar lembaga negara
pemberantas korupsi dan menghindari tumpang tindih kewenangan
penyidikan antara ketiga lembaga pemberantas korupsi114
. Selain
koordinasi mengenai pemberitahuan SPDP diatas, KPK juga mempunyai
kegiatan koordinasi peyidikan yaitu dengan membantu mendatangkan ahli
dalam penanganan perkara, juga turut membantu penangkapan Daftar
Pencarian Orang (DPO)115
.
Sejak tahun 2016 hingga tahun 2019, KPK dalam melakukan
koordinasi penyidikan telah menerima sebanyak 4.054 SPDP yang berasal
dari Kepolisisan dan Kejaksaan. Untuk meningkatkan kecepatan dan
akurasi, KPK mendorong penerapan e-SPDP yang diharapkan bisa
menjadi tools bagi keterbukaan infromasi publik baik dari Kepolisian,
Kejakasaan maupun KPK. Kegiatan Koordinasi-supervisi dengan
kepolisian dan kejaksaan dinilai progresif. Hal ini dikarenakan dalam
113
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, loc.cit.
114
Ibid. 115
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, loc.cit.
73
kurun waktu 2016-2019, KPK telah melakukkan koordinasi dan supervisi
dengan kepolisian pada 1.397 perkara, dan Kejaksaan 2.657 perkara,
seperti yang dirinci pada tabel berikut116
:
Gambar 3.1.
Koordinasi-Supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan
(Sumber: Rencana Strategis Komisis Pemberantasan Korupsi 2020-2024)
Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, Kejaksaan yang meliputi
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang ada di
Indonesia melakukan koordinasi penyidikan dengan KPK melalui
pemberitahuan SPDP dengan menggunakan sistem e-SPDP, namun dalam
praktiknya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Naseh S.H.,
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Brebes
menjelaskan bahwa dalam sistem pemberitahuan SPDP apabila
Kejakasaan Negeri Brebes dalam melakukan koordinasi penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi melakukan pembeitahuan SPDP dengan
116
Komisi Pemberantasan Korupsi, Rencana Strategis Komisis Pemberantasan Korupsi 2020-
2024, hlm. 14-15, Diakses pada 18 Desember 2020, Pukul 20:04 WIB.
74
cara mengirimkan pemberitahuan SPDP melalui Kantor Pos, beliau
menuturkan bahwa sistem e-SPDP belum digunakan oleh Kejaksaan
secara menyeluruh, sehingga masih ada Kejaksaan yang melakukan
pemberitahuan SPDP dengan melalui kantor Pos dan membutuhkan waktu
paling tidak 3 hari untuk pemberitahuan SPDP tersebut diterima oleh
KPK. Selain memberikan tembusan pemberitahuan SPDP kepada KPK,
Kejaksaan Negeri Brebes juga melakukan pemberitahuan SPDP kepada
Kejaksaan Agung dengan sistem berjenjang melalui aplikasi Case
Management System (CMS) dengan cara Kejaksaan Negeri Brebes
menginput pemberitahuan SPDP kedalam sistem CMS kepada Kejaksaan
Tinggi, kemudian Kejaksaan Tinggi meneruskannya kepada Kejaksaan
Agung.
Penggunaan sistem e-SPDP yang belum merata pada Kejaksaan
juga disampaikan oleh Bapak Agus Rahardjo saat masih menjabat sebagai
Ketua KPK, ia menyampaikan bahwa efektifitasan penggunaan sistem e-
SPDP belum terlihat, sehingga ia menghimbau kepada Ketua Kejaksaan
Agung Bapak Burhanuddin untuk mengerahkan aparatnya agar
memafaatkan e-SPDP, sehingga ada sinergitas dalam penanganan korupsi
serta dapat menandakan bahwa pencegaham korupsi berjalan dengan
baik117
. KPK dalam melaksanakan tugas koordinasinya menjadi sorotan
oleh ICW dan Trasparancy International Indonesia (Selanjutnya di sebut
117
Zunita Putri, “Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP”, Detiknews,
Jakarta, 13 November 2019, Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP
(detik.com) diakses pada 11 03.40 WIB.
75
TII), hal ini dikarenakan ditemukannya 4 (empat) masalah serius dari
berbagai mandat di sektor pencegahan yang dimiliki KPK sesuai amanat
Undang-Undang KPK yang baru, serta disesuaikan dengan Arahan
Kebijakan Umum 2020 yaitu meliputi118
:
a. Koordinasi dan supervisi dengan Aparat Penegak Hukum dan
Pemerintah Daerah;
b. Pencegahan kerugian keuangan negara;
c. Pencegahan korupsi di sektor strategis; dan
d. Strategi nasional pencegahan korupsi.
Koordinasi dan Supervisi dengan aparat penegak hukum dan
Pemerintah Daerah menjadi salah satu permasalahan yang dianggap serius
oleh ICW dan Trasparancy International Indonesia, karena kempat
dimensi tersebut berkontribusi besar di dalam Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) dan merupakan komponen yang cukup terpengaruh dari revisi
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi119
. Hal ini dapat
diketahui dengan adanya perkembangan tren skor IPK Indonesia
mengalami kenaikan secara perlahan yang membuat Indonesia kini masih
berada pada peringkat 85 dengan skor 40 di tahun 2019, namun secara tren
kenaikan tersebut cukup lambat. Berikut akan disajikann grafik
118
Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
Desember 2019-Juni 2020”, tt.p., Indonesia Corruption Watch, 2020, hlm. 9,
https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan Kinerja KPK.pdf , diakses
pada 20 Oktober, 2020, Pukul 11:09 WIB.
119
Ibid., hlm. 9-10
76
perkembangan tren skor IPK Indonesia dari tahun 2007 sampai dengan
tahun 2019 120
.
Gambar 3.2. Tren Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
(Sumber: ICW Pemantauan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
Desember 2019-Juni 2020)
Berdasarkan Gambar 3.2 perkembangan skor IPK Indonesia belum
menunjukan hasil yang cukup signifikan, dimana kenaikan skor hanya
berkisar antara 1,05 poin per tahun. Kenaikan yang begitu tidak signifikan
akan terus membuat Indonesia berada di peringkat yang stagnan, sehingga
KPK dan instansi Kejaksaan serta Kepolisian harus saling bersinergi untuk
memberantas tindak pidana korupsi dan menaikkan peringkatnya.
Koordinasi dan Supervisi antara KPK dengan Kejaksaan Agung
salah satunya dilakukan dengan pertukaran informasi terkait dengan proses
penyidikan, melalui SPDP dalam perkara tindak pidana korupsi serta
pelimpahan perkara kasus korupsi, namun dalam pertukaran informasi
120
Ibid., hlm. 2-3.
77
SPDP kerap kali sulit dipantau dikarena portal Statistik SPDP Polri dan
Kejaksaan Agung di laman KPK yang merupakan sumber utama bagi
publik untuk mengakses informasi terkait SPDP perkara tindak pidana
korupsi121
. Hal ini dikarenakan informasi aktual terkait informasi
pertukaran SPDP tersebut berhenti diperbaharui pada bulan September
tahun 2019122
. KPK seharusnya lebih terbuka dan memperbarui informasi
pada lamannya, mengingat dalam Pasal 5 butir b UU KPK No. 19 Tahun
2019 KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan
pada keterbukaan yang dijelaskan dalam penjelasannya adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga untuk menerapkan asas
keterbukaan KPK harus meningkatkan kemudahan bagi setiap orang untuk
mengakses dan mengetahui informasi terkait dengan kinierja KPK,
terutama portal Statistik SPDP Polri dan Kejaksaan Agung.
Kondisi ini juga diperkuat dengan minimnya capaian sub-aksi
Implementasi Sistem Penanganan Perkara Terpadu Berbasis Teknologi
Informasi (SPPT-TI) dan Implementasi Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (SPDP) Online yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
(Stranas PK). Hingga diakses pada 16 Juni 2020, kedua sub-aksi tersebut
121
Ibid., hlm. 10. 122
Ibid.
78
berturut-turut hanya mendapatkan capaian 55,74% dan 55,75% , padahal
secara programatik telah dimulai sejak tahun 2018123
.
Berdasarkan uraian pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan antara
KPK dan Kejaksaan Agung, maka penulis berpendapat bahwa KPK dan
Kejaksaan Agung telah melakukan koordinasi penyidikan dengan melalui
pemberitahuan SPDP yang dengan pemberitahuan SPDP tersebut
kemudian terjadi pertukaran informasi terkait dengan proses penyidikan
perkara tindak pidana korupsi serta pelimpahan perkara kasus korupsi.
Pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK masih belum berjalan
maksimal, dikarenakan hingga saat ini peringkat Indonesia masih stagnan
di angka 85, serta munculnya kembali sengketa kewenangan antara KPK
dan Kejaksaan Agung pada tahun 2020 terkait dengan penanganan perkara
Jaksa Pinangki, hal ini menandakan bahwa koordinasi penyidikan yang
dilakukan melalui e-SPDP perlu mendapatkan sebuah evaluasi.
Evaluasi itu terkait dengan wewenang supervisi KPK terhadap
penyidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap perkara tindak pidana
korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 Ayat (3) UU KPK No. 19 Tahun 2019 yang menjelaskan
bahwa KPK melakukan supervisi terhadap penyelidikan, penyidikan, dan
atau penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak
hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
123
Ibid.
79
Penyelenggara Negara dan atau menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
KPK Seharusnya lebih aktif untuk melakukan supervisi terhadap
instansi yang menangani perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan
aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau Penyelenggara Negara, sehingga dapat memberikan
rasa keprcayaan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Pada tanggal 20 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang
Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Selanjutnya di sebut Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi),
yang dalam Pepres tersebut menjelaskan terkait dengan kewenangan KPK
dalam melakukan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, terutama
kewenangan untuk mengambil alih sebuah perkara yang sedang ditangani
oleh Kepolisian dan atau Kejaksaan124
.
Supervisi dalam Pasal 1 butir 4 didefinisikan sebagai suatu
kegiatan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna
percepatan hasil penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi
serta terciptanya sinergitas antar instansi terkait, dengan demikian KPK
124
Johannes Mangihot, “Presiden Jokowi Keluarkan Perpres Soal Supervisi Pemberantasan
Korupsi, KPK: Tidak Ada Alaan Lagi”, Kompas Tv, Jakarta, 29 Oktober, 2020,
https://www.kompas.tv/article/119424/presiden-jokowi-keluarkan-perpres-soal-supervisi-
pemberantasan-korupsi-kpk-tidak-ada-alasan-lagi?page=all diakses pada tanggal 28 Desember
2020, Pukul 06:23 WIB.
80
dapat melakukan supervisi dalam bentuk pengawasan, penelitian ataupun
penelaahan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 mengenai bentuk
supervisi.
Pengawasan berdasarkan Pasal 6 Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang
Supervisi, merupakan bentuk kegiatan untuk mengawasi proses
penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilaksanakan oleh
instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang dalam melakukan pengawasan KPK mempunyai wewenang
untuk:
a. Meminta laporan kronologis penanganan perkara Tindak Pidana
Korupsi;
b. Meminta laporan perkembangan penanganan perkara baik secara
periodik maupun sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan; dan atau
c. Melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan
penanganan perkara di tempat instansi yang menangani perkara
tersebut atau tempat lain yang disepakati.
Sedangkan yang dimaksud dengan Penelitian berdasarkan pasal 6
dalam Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi adalah merupakan
kegiatan yang berupa pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan
penyajian data atau informasi, yang dilakukan secara sistematis dan
objektif untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dihadapi oleh
instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dalam hal ini KPK mempunyai wewenang antara lain :
81
a. Meneliti pelaksanaan hasil pengawasan dan rekomendasi KPK;
b. Memberikan arahan dalam pelaksanaan hasil pengawasan dan
rekomendasi;
c. Melakukan rapat mengenai perkembangan penanganan perkara
bersama perwakilan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
perwakilan dari Kejaksaan Republik Indonesia dengan hasil berupa
kesimpulan dan rekomendasi; dan atau
d. Melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan
penanganan perkara.
Penelaahan berdasarkan Pasal 8 Perpres No. 102 Tahun 2020
tentang Supervisi adalah merupakan kegiatan untuk menelaah hasil
pengawasan dan atau penelitian untuk menentukan saran dan rekomendasi
serta pengambilan keputusan yang harus dilaksanakan dalam rangka
percepatan penuntasan penanganan perkara, dalam hal ini KPK
mempunyai wewenang antara lain :
a. Menelaah pelaksanaan hasil penelitian dan rekomendasi pengawasan
dan penelitian KPK.
b. Melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan hasil
penelitian di instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang sedang di supervisi.
Dalam hal KPK melakukan gelar pekara dalam pengawasan,
penelitian dan penelaahan, KPK menuangkan hasil gelar perkara bersama
dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara bersama. Apabila
82
dalam hal kesimpulan gelar perkara bersama sebagaimana dalam
pengawasan, penelitian dan penelaahan, terdapat kendala dalam
penanganan perkara, maka KPK harus memberikan fasilitasi sesuai dengan
kebutuhan apabila diminta instansi yang berwenang melaksanakan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah pengawasan, penelitian
dan penelaahan telah selesai dilaksanakan, maka KPK menyampaikan
hasil pengawasan dan rekomendasi kepada Kepolisian NRI dan atau
Kejaksaan RI.
Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang
ditangani oleh instansi Kepolisian dan atau Kejaksaan, KPK berwenang
mengambil alih perkara yang sedang ditangani oleh Kepolisian NRI dan
atau Kejaksaan RI, hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 9
Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi. Kewenangan yang dimiliki
oleh KPK untuk melakukan supervisi dan pengambil alihan perkara tindak
pidana korupsi seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal125. Misalnya
dalam perkara yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung terkait
buronan Joko S Tjandra.,tindakan yang dilakukan oleh KPK saat itu hanya
sebatas melakukan supervisi semata, padahal dengan melandaskan pada
beberapa pertimbangan, misalnya penanganan ditujukan untuk melindungi
pelaku sesungguhnya atau adanya hambatan karena campur tangan
kekuasaan, lembaga anti rasuah dapat mengambil alih seluruh perkara,
125
Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, tt.p., Indonesia Corruption Watch,
2020, hlm. 17. Evaluasi Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW
(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 19 Januari,2020, Pukul 04.36 WIB.
83
terlebih dalam perkara tersebut melibatkan aparat penegak hukum, yakni dua
perwira tinggi Polri dan satu orang Jaksa di Kejaksaan Agung126. Adanya
kewenangan supervisi yang dimiliki oleh KPK dalam melakukan
penyidikan yang termuat dalam Pasal 11 Ayat (3) UU KPK seharusnya
KPK mampu memanfaatkan kewenangan supervisi dan pengambil alihan
perkara terhadap tindak pidana yang khususnya melibatkan aparat penegak
hukum dengan inisiatif dan berani selama tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diterbitkannya Perpres No.
102 Tahun 2020 tentang Supervisi tentunya harus dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh KPK, mengingat dalam Perpres tersebut telah dijelaskan
dengan gambalang terkait dengan kewenangan KPK dalam melakukan
supervisi dan pengambilalihan perkara terhadap penyidikan tindak pidana
korupsi.
C. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan
Antara KPK dan Kejaksaan Agung
Upaya melakukan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang mudah.
Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk memberantas tindak pidana
korupsi, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan
dalam pemberantasan korupsi127
. Salah satu hambatan yang terjadi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam pelaksanaan tugas
kordinasi penyidikan tindak pidana korupsi antara KPK dengan instansi lain,
126
Ibid. 127
, Wicipto Setiadi, "Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan Regulasi”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Volume 15, Nomor 3, 2018, hlm. 252.
84
khususnya instansi Kejaksaan Agung. Koordinasi penyidikan oleh KPK dan
Kejaksaan Agung sejatinya telah dilakukan oleh KPK dengan pertukaran
informasi terkait dengan proses penyidikan, melalui SPDP dalam perkara
tindak pidana korupsi serta pelimpahan perkara kasus korupsi128
. Adapun
hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan
antara KPK dengan Kejaksaan Agung sebagai berikut :
1. Belum optimalnya koordinasi aparat penegak hukum, termasuk KPK dan
Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara. Pelaksanaan koordinasi
penyidikan dalam pertukaran informasi dan data lintas aparat KPK dan
Kejaksaan Agung dilakukan dengan sistem SPDP Online yang hingga saat
ini diklaim telah dapat menerima data dari Kejaksaan Negeri, namun input
datanya hanya baru bisa sampai di tingkat Kejaksaan Tinggi. Situasi ini
menyebabkan data kasus tipikor yang dimasukan ke SPDP Online tidak
sesuai dengan data riil. Berdasarkan laporan Stranas PK yang bersumber
dari hasil observasi tim Koordinasi dan Supervisi Penindakan KPK
ditemukan masih ada kasus yang ditangani aparat penegak hukum lain
tidak di input ke dalam sistem SPDP online, bahkan kasus tersebut baru
diketahui setelah diberitakan di media massa. Inisiatif menggunakan e-
SPDP ini sebenarnya sangat penting mengingat hingga saat ini pendataan
penanganan perkara korupsi antar aparat penegak hukum di Indonesia
tidak sinkron dan dianggap masih belum transparan, misalnya dari sisi
128
Indonesia Corruption Watch dan Transparancy International Indonesia, Pemantauan Kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi Desember 2019-Juni 2020, tt.p., Indonesia Corruption Watch,
2020, hlm. 9, diakses pada https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan
Kinerja KPK.pdf , 20 Oktober, 2020, Pukul.. loc.cit.
85
proses penanganan perkara yang belum terlihat ada upaya yang optimal
dalam menciptakan sinergi dan koordinasi aparat penegak hukum terkait
pendataan penanganan perkara pidana korupsi129
.
Kurang Optimalnya koordinasi antar aparat penegak hukum juga
disebutkan dalam Lampiran Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik
Indonesia Tahun 2020-2024 yang menyebutkan Kejaksaan RI dalam
Rencana Strategis Kejaksaan RI tahun 2015-2019, bahwa dalam
pencapaian sasaran strategis Kejaksaan RI tahun 2015-2019 terdapat 5
sasaran startegis namaun ada target sasaran strategis yang diikur dengan
indicator sasaran strategis tidak mencapai target, yang salah satunya
adalah sasaran strategis dalam terwujudnya penegakan hukum dengan
indikator terbuktinya perkara tindak pidana umum, tindak pidana khusus
berdasarkan putusan pengadilan berkekatan hukum tetap (inkraht van
gewisjdezaak) yang targetnya dalam Rencana Strategis Tahun 2015-2019
sebesar 90% namun yang dapat dicapai hanya 79,9%, hal ini dikarenakan
adanya hambatan ekternal yang berupa kurang optimalnya kerja sama dan
koordinasi antar aparat penegak hukum.
Selain Kejaksaan, kurangnya koordinasi antar penegak hukum juga
disebutkan dalam dokumen Rencana Strategi KPK Tahun 2020-2024 yang
menyebutkan bahwa KPK masih memiliki kelemahan terkait dengan
129
Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, tt.p., Indonesia Corruption Watch,
2020, op.cit., hlm. 23.. Evaluasi Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW
(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 19 Januari,2020, Pukul 05.15 WIB.
86
koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Aparat Pengawas Interal
Pemerintah (APIP), sistem informasi tidak berjalan, keterbatasan Sumber
Daya Manusia (SDM) dan manajemen kinerja yang masih rendah, tata
kelola Teknologi Informasi yang rendah, belum optimalnya asset recovery,
lemahnya program berkesinambungan, lemahnya pembentukan budaya
organisasi, komunikasi pencegahan yang tidak efektif, serta kegiatan
monitoring supervise terhadap eksekusi strategi yang masih rendah.
Dengan demikian KPK dan Kejaksaan sama-sama mempunyai kekurangan
dalam melakukan koordinasi antara aparat penegak hukum dan APIP,
sehingga hal tersebut menjadi hambatan dalam penanganan perkara130
.
2. KPK kurang tanggap atau inisiatif dalam melakukan supervisi terhadap
perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum
khususnya aparat Kejaksaan Agung. Setelah direvisinya UU KPK, dalam
Pasal 6 telah menjabarkan tugas-tugas dari KPK, satu diantaranya terkait
dengan penegak hukum lain, yakni supervisi penanganan perkara. Bahkan
turunan dari Revisi UU KPK telah dikeluarkan melalui Perpres No. 102
Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan yang dimiliki KPK dalam melakukan supervisi dan
pengambil alihan penyidikan perkara yang perkara yang sedang dilakukan
oleh penegak hukum, hal ini menjadi wujud nyata dari konsep trigger
mechanism yang tertuang dalam konsiderans UU KPK. Namun,
130
Komisi Pemberantasan Korupsi “ Rencana Strategis Komisi Pemberantasan Komisi
Pemberantasan Korupsi Tahun 2020-2024”, hlm. 31, diakses pada tanggal 3 Februari, 2020, Pukul.
18.47 WIB.
87
kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut seringkali tidak
dimanfaatkan secara optimal, sebagai contoh adalah penanganan perkara
yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung terkait buronan Joko
S Tjandra. Tindakan KPK hanya sebatas melakukan supervisi semata,
padahal dengan melandaskan pada beberapa pertimbangan, misalnya
penanganan ditujukan untuk melindungi pelaku sesungguhnya atau adanya
hambatan karena campur tangan kekuasaan, lembaga anti rasuah dapat
mengambil alih seluruh perkara131
.
3. Kurangnya profesionalisme KPK dan Kejaksaan Agung dalam melakukan
koordinasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat
dengan masih adanya sengketa kewenangan antara Kejaksaan Agung dan
KPK setelah adanya penandatanganan MoU tentang Kerjasama dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disepakati bersama. Hal
ini membuktikan bahwa terdapat ketidak profesionalan KPK dan
Kejaksaan Agung dalam melaksanakan hasil dari penandatanganan MoU
tersebut, karena dalam kesepakatan tersebut masih ada beberapa ruang
lingkup hasil dari kesepakatan belum terlaksana dengan maksimal.
Contohnya dalam penerapan kesepakatan pemanfaatan koordinasi &
supervisi elektronik (e-SPDP) yaitu berkaitan dengan sistem
pemberitahuan SPDP berbasis online dan tukar menukar data serta
informasi untuk mendukung penegakan hukum132
. Kesepakatan tersebut
yang diharapakan agar pemberitahuan SPDP lebih efisien, efektif,
131
Ibid., hlm. 17. 132
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2017, op.cit., hlm. 43.
88
transparan, serta dapat mencegah konflik kewenangan antar-lembaga
dalam melakukan penyidikan suatu perkara, meningkatkan check and
balance antar lembaga negara pemberantas korupsi dan menghindari
tumpang tindih kewenangan penyidikan antara ketiga lembaga
pemberantas korupsi133
. Pada kenyataanya tujuan tersebut belum tercapai
dengan maksimal, karena masih terdapat sengketa kewenangan antara
KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
Kurang profesionalisme Kejaksaan juga disebutkan dalam Lampiran
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yang
menyebutkan Kejaksaan RI dalam Rencana Strategis Kejaksaan RI tahun
2015-2019 juga menyebutkan bahwa selain adanya fakor eksteral yang
mempengaruhi pencapian target sasaran startegis dalam terwujudnya
penegakan hukum dengan indikator terbuktinya perkara tindak pidana
umum, tindak pidana khusus berdasarkan putusan pengadilan berkekatan
hukum tetap (inkraht van gewisjdezaak) juga dikarenakan adanya
hambatan internal yang berupa masih kurang profesinalisme Jaksa dalam
penanganan perkara. Selain itu dalam Rencana Kerja Kejaksaan Agung
Tahun 2019 juga menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dari
Kejaksaan di bidang tindak pidana khusus adalah agar bidang tindak
pidana khusus mengembangkan sistem penyimpanan data dan pelaporan
penanganan perkara berbasis teknologi informasi, sehingga dapat
133 Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK op.cit.,hlm. 60.
89
mempermudah pemantauan kinerja sekaligus mempercepat proses
penanganan perkara tindak pidana khusus yang salah satunya adalah
tindak pidana korupsi. Sedangkan kurang profesionalnya KPK dapat
dilihat dengan lemahan KPK dalam pembentukan budaya organisasi134
.
4. Adanya Paranoid Solidarity sehingga pelaku tindak pidana korupsi
dilindungi oleh korps, atasan, atau teman-temannya, dalam kasus-kasus
tertentu, korupsi dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau
atasan atau juga memang merupakan kerja sama atau kolusi antara atasan
dan pelaku atau antara pelaku dengan teman-teman seorganisasi. Paranoid
solidarity atau solidaritas kekuatan terjadi karena adanya kekuatiran
pelaku yang lain untuk dijadikan tersangka, sehingga pihak-pihak ini (baik
atasan, bawahan maupun partnet) akan berusaha sedapat mungkin
melindungi tersangka pelaku korupsi. Menurut Indriyanto Seno Adji
“bentuk kejahatan struktural sebagai korupsi sistematik memasuki format
korupsi sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi.”
Kewenangan KPK yang diberikan Undang-Undang dalam melakukan
penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang memang lebih besar dibandingkan
dengan Kejaksaan , akhir-akhir ini telah mengakibatkan gesekan-gesekan
antara Kejaksanan Agung sehingga terkesan adanya persaingan terselubung
antar lembaga untuk membuktikan kinerja yang baik diantara mereka. Hal ini
seharusnya memberikan dampak yang positif bagi pemberantasan tindak
134
Komisi Pemberantasan Korupsi “ Rencana Strategis Komisi Pemberantasan Komisi
Pemberantasan Korupsi Tahun 2020-2024”, loc.cit.
90
pidana korupsi yang menjadi obyek musuh bersama, tapi kenyataannya yang
justru menonjol adalah persaingan kewenangan penyidik antar lembaga
penegak hukum tindak pidana korupsi, baik kepolisian, kejaksaan maupun
KPK135
.
135
Pangabean, op.cit., hlm. 296.
91
91
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat
dikemukakan terkait dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
KPK, Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat
dikemukakan terkait dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. KPK mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan pada Pasal 6 huruf
e UU KPK No 19 Tahun 2019 dan dalam melakukan penyidikan
mempunyai wewenang yang diatur dalam padal 12 UU KPK No 19 Tahun
2019 sedangkan Kejaksaan Agung juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal
30 Ayat (1) huruf d UU No.16 tentang Kejaksaan RI, kewenangan
Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan diberikan kepada Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mempunyai fungsi berdasarkan
Pasal 357 PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kejaksaan RI.
2. KPK mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi penyidikan
berdasarkan Pasal 6 huruf b UU KPK No 19 Tahun 2019, sedangkan tugas
koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung diatur Pasal 39 UU No. 31 Tahun
1999 tentang PTPK, Pasal 33 UU Kejaksaan, Pasal 357 PERJA RI No.
PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.
92
Pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan dilakukan dengan pemberitahuan
SPDP dan supervisi, berdasarkan Pasal 50 UU KPK No 30 Tahun 2002,
penandatanganan MoU antara KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
Koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung telah dilaksanakan,
hanya saja masih belum maksimal, dikarenakan peringkat Indonesia masih
stagnan diangka 85, serta masih adanya permasalahan kewenangn
penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung, contohnya dalam perkara
tindak pidana korupsi Jaksa Pinangki.
3. Hambatan dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan
Agung yaitu antara lain, belum optimalnya koordinasi aparat penegak
hukum khususnya pertukaran informasi dan data lintas aparat KPK dan
Kejaksaan Agung, KPK kurang tanggap atau inisiatif dalam melakukan
supervisi terhadap perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan APH,
kurangnya profesionalitas KPK dan Kejaksaan Agung dalam melakukan
koordinasi penyidikan tindak pidana korupsi dalam penerapan
pemanfaatan koordinasi & supervisi elektronik (e-SPDP) dan adanya
Paranoid solidarity yang membuat penanganan tindak pidana korupsi
terhadap aparat hukum yang menyebabkan kesulitan bagi KPK untuk
melakukan koordinasi penyidikan.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
93
1. Kewenangan penyidikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan Agung seharusnya dapat dijalankan
dengan penuh kehati-hatian dalam melakukan peyidikan. KPK dan
Kejaksaan Agung harusnya saling menyadari akan batasan-batasan
kewenangannya dalam melakukan penyidikan, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih maupun sengketa kewenangan.
2. KPK dan Kejaksaan agung dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan
melalui sistem e-SPP seharusnya sudah dapat temonitor tindak pidana
korupsi yang ditangi oleh maing-masing lembaga, seharusnya KPK lebih
tanggap untuk melakukan wewenang supervisi apabila suatu perkara
tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat negara telah memenuhi
ketentuan untuk dapat diambil alih, sehingga tidak meimbulkan kegaduhan
dalam masyarakat. Kejaksan Agung dalam hal ini juga dapat menyerahkan
atau melimpahkan perkara kepada KPK apabila perkara yang
ditangganinya telah masuk kedalam ketentuan tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh KPK, sehingga dengan demikian akan tercipta koordinasi
dan harmonisasi yang baik antara KPK dan Kejaksaan Agung.
3. Hambatan yang terjadi dalam koordinasi penyidikan antara KPK dan
Kejaksaan Agung lebih menitik beratkan kepada SDM yang kurang
memadai, hal ini dikarenakan kurang profesionalnya KPK dan Kejaksaan
Agung dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga kualitas
SDM perlu ditingkatkan agar tercipta SDM yang professional dalam
menjalankan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi.
94
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, Cet. Ke-
9.
Arief, Hanafi, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tata Hukum dan Politik
Hukum Nasional, Yogyakarta: 2016.
Atamsasmita, Romli, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti
Korupsi Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019.
Djaja, Ermansjah, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Fitriani, Tindak Pidana Khusus, Sumatera Utara: Enam Media, 2019.
Hartanto, et al., Hukum Tindak Pidana Khusus, Yogyakarta: Deepublish, 2020.
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, Cet. Ke- 2.
Kartayasa, Mansur, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Prespektif Kebijakan
Legislasi Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017.
Latif, Abdul, “Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi”,
Jakarta: Prenada Media Group, 2016, Cet. Ke- 3.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016
Nugraheni, Hermien, et al., Mahasiswa Pelapor Gerakan Anti Korupsi,
Yogyakata: Deepublish, 2017.
Nugroho, Hibnu, Integralisasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Jakarta: Media Prima Aksara, 2012.
95
Pangabean, Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi Teori-Praktik dan
Yurisprudensi di Indonesia, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2020
Purwati, Ani, Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek, Surabaya: CV. Jakad
Media Publishing, 2020
Qamar, Nurul, et al, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods),
Makassar: CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017.
Rahmatullah, Beriliawan Gama, et al., (ed), Antologi Esai Hukum dan HAM
Afiliasi Hukum dan HAM dalam Mewujukan Perlindungan Hak Asasi
Manusia, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2020,
Rifai, Ahmad, Menggapai Keadilan Dengan Hukum Progresif (Sebuah Upaya
Menyempurnakan Putusan Hakim Pada Keadilan), Makassar: CV. Nas
Media Pustaka, 2020.
Rifai, Ahmad Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan
Menciderai Keadilan Masyarakat, Makassar: CV. Nas Media Pustaka,
2020,
Rosikah, Chatrina Darul dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti
Korupsi Kajian Antikorupsi Teori dan Praktik, Jakarta Timur: Sinar
Grafika, 2016.
Rosramadhana dan Bungaran Antonius Simanjutak, Strategi Dan Problem Sosial
Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia: Konsep Mensukseskan
Otonomi Daerah, DKI Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
Setiadi, Edi dan Kristina, Sistem Peradilan Piana Terpadu Dan Sistem Pengakan
Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Simarmata, Hengki Mangiring Parulian, et al., Pengantar Pendidikan Anti
Korupsi, tt,p. : Yayasan Kita Menulis, 2020
Simatupang, Bobby Daniel, Implementasi Tanggung Jawab Kejaksaan Negeri
dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2019
96
Sugiyono, Metode Penelitiaan Hukum Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:
Alvabeta Cv, 2017, Cet. Ke-XXVI.
Sumaryanto, Djoko, Kapita Selekta Pidana Khusus, Surabaya: 2020.
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018, hlm. 68.
Syamsuddin, Rahman, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019,
Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Buku Panduan
Penulisan Skripsi Fakultas Hukum, Tegal: Fakultas Hukum, 2020, Cet.
Ke-2.
Viswandro, et al., Mengenal Profesi Penegak Hukum, Yogyakarta: Medpress
Digital, 2015.
Yuwono, Ismantoro Dwi., Bocor-Bocor Duit Negara Fakta-FAKTA
Menggemaskan Kasus Petinggi Negara, Yogyakarta: Media Pressindo,
2015.
KARYA ILMIAH/JURNAL
Dahwir.Ali, “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia
dan Komisi Pemberantasan Korupsi”, Solusi, Volume 16, Nomor 1,
Januari, 2018.
Dwianty, Ayu, "Penegakan Hukum Oleh KPK Terhadap TIPIKOR Menurut UU
No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001" LEX CRIMEN, Volume 8,
Nomor 2, 2019.
Fahririn, " Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi
Sumatera Barat Dalm Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi”
Supremasi Jurnal Hukum, Voulme 2, Nomor 1, 2019.
Hussein, Febry Satya Wibawa, "Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011)",
khazanah: Jurnal Edukasi, Volume 2, Nomor 1, Maret, 2020.
Kaligis, Rainaldy Valentino, "Implikasi Hukum Atas Revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK Terhadap Penyelesaian Kasus
97
Tindak Pidana Korupsi", LEX CRIMEN, Volume 9, Nomor 1, Januari-
Maret, 2020.
Makagiansar, Gerald, “Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Pnyelidikan,
Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, Lex Crimen,
Volume 6, Nomor 7, September, 2017.
Manalu, Josua Victor dan Adriana G. Firdausy, "Analisis Terhadap Pengawasan
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sebagai perwujudan Prinsip Checks And
Banances”, RES PUBLICA, Volume 2, Nomor 2, Mei-Agustus, 2018.
Mansur, Muhammad Islami, "Implementasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan Kewenangan KPK Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002”, LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 7, September,
2018.
Natalia, Desca Lidya, "Media Massa dan Pemberitaan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia." Integritas: Jurnal Antikorupsi, Volume 5, Nomor 2, 2019.
Polontalo, Ratna Sari Dewi, "Independensi Jaksa Sebagai Penuntut Umum dalam
Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia" LEX CRIMEN, Volume 7,
Nomor 6, Agustus, 2018.
Prihastuti, Adelia dan Muhammad Adnan. "Kemitraan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) Dalam
Penguatan Gerakan Antikorupsi di Indonesia: Kasus Penguatan Civil
Society Tingkat Lokal (2016-2017)." Journal of Politic and Government
Studies, Volume 8, Nomor .03, 2019.
Sanjaya, Wawan,."Sinkronisasi Penyelidikan Dan Penyidikan Oleh Polri,
Kejaksaan Dan KPK Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi" Jurnal
De Jure, Volume 1, Nomor 15, 2018.
Sari, Nani Widya, "Kewenangan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
98
2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia." Jurnal Surya Kencana
Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 4, Nomor 2,
Desember 2017.
Setiadi, Wicipto, "Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan
Regulasi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 15, Nomor 3, 2018.
Sosiawan, Ulang Mangun, "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi." Jurnal Penelitian Hukum De
Jure, Volume 19, Nomor 4, Desember, 2019.
Syahputra, Agus, “Koordinasi Fungsional Antara POLRI dan Kejaksaan Pada
Tahap Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman
dan Kejaksaan Negeri Pasaman Barat)”, Unes Journalof Swara Justisia,
Voulume2, Issue 4, Januari 2019, hlm.360.
Wardojo, Mellysa Febriani, "Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai
Lembaga Negara." Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2,
Nomor 1, Maret, 2018.
SKRIPSI
Naim Abrar Latif, “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”, Makasar:
Universitas Alauddin Makassar, 2018.
UNDANG-UNDANG
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/JA/07/2017
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2020 tentang
Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
99
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
SUMBER INTERNET
Alamsyah Wana, Laporan Penindakan Kasus Semester I Tahun 2020, tt.p :
Indonesia Corruption Watch, 2020,
https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/200914-
Laporan%20Tren%20Penindakan%20Kasus%20Korupsi%20SMT%20I
%202020.pdf,
Hutomo Dimas, “Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa
Bukti”, tt.p : Hukum Online.com, 2019,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c580a5ca3ae3/huk
umnya-menuduh-orang-melakukan-tindak-pidana-tanpa-bukti/.
Johannes Mangihot, “Presiden Jokowi Keluarkan Perpres Soal Supervisi
Pemberantasan Korupsi, KPK: Tidak Ada Jalan Lagi”, Kompas Tv,
Jakarta, 29 Oktober, 2020,
https://www.kompas.tv/article/119424/presiden-jokowi-keluarkan-
perpres-soal-supervisi-pemberantasan-korupsi-kpk-tidak-ada-alasan-
lagi?page=all.
Kejaksaan Republik Indonesia,”JAM Tindak Pidana Khusus”, Kejaksaan
Republik Indonesia.
100
Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Strategis Komisi Pemberantasan
Korupsi 2020-2024”, diakses pada 18 Desember 2020.
Kumparan, “Berebut Wewenang Tangani Kasus Suap Jaksa Pinangki”,
https://kumparan.com/kumparannews/berebut-wewenang-tangani-kasus-
suap-jaksa-pinangki-1u5LwPKnQOd.
Nurokhman, “ Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko
Tjandra”, Suara Merdeka, 12 Agustus, 2020, Jaksa Pinangki Ditangkap
dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko Tjandra (suaramerdeka.com).
Putri, Zunita, “Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP”,
Detiknews, Jakarta, 13 November 2019, Ketua KPK Minta Kapolri dan
Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP (detik.com).
Ramadhana, Kurnia dan Agil Oktaryal, “Laporan Penelitian Proyeksi Masa Depan
Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang
KPK”, Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi Menelisik
Pengesahan Revisi UU KPK | ICW (antikorupsi.org).
Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicol, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi”, Pemantauan Kinerja Tahun I KPK 2020 (TI Ix
ICW).pdf (antikorupsi.org).
Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicola, “Pemantauan Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi Desember 2019-Juni 2020”,
https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan
Kinerja KPK.pdf.
Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, Evaluasi
Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW
(antikorupsi.org).
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, “Laporan Tahunan KPK 2016
Bahasa Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/Laporan Tahunan
KPK 2016 Bahasa Indonesia.pdf.
101
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, “Laporan Tahunan KPK Tahun 2017
Bahasa Indonesia”,https://www.kpk.go.id/images/Laporan-Tahunan-
KPK-2017-Web.pdf,
Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, “Laporan Tahunan KPK 2019
Bahasa Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/pdf/Laporan-Tahunan-
KPK-2019-Bahasa.pdf
102
102
LAMPIRAN
103
104
105
106
106
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Defi Muslimah
Npm : 5117500160
Tempat/Tanggal Lahir : Tegal, 09 Februari 1999
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Desa Kemuning, Rt 03 Rw 02 Kec.Kramat, Kab.
Tegal
Riwayat Pendidikan :
No. Sekolah Tahun Masuk Tahun Lulus
1. SD N Kemuning 2005 2011
2. SMP N 2 Kramat 2011 2014
3. SMK N 1 Kota Tegal 2014 2017
4. S1 Fakultas Hukum Universitas
Pancasakti Tegal
2017 2021
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya.
Tegal, Januari 2021
Hormat Saya,
Defi Muslimah