koordinasi penyidikan kpk dan kejaksaan agung dalam

119
i KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Disusun Untuk memenuhi Tugas dan melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Hukum Oleh: Defi Muslimah NPM. 5117500160 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2021

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

i

KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN

KEJAKSAAN AGUNG DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Disusun Untuk memenuhi Tugas dan melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Hukum

Oleh:

Defi Muslimah

NPM. 5117500160

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL

2021

Page 2: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

ii

Page 3: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

iii

Page 4: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

iv

Page 5: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

v

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, yang dalam

penyidikannya dapat dilakukan oleh lembaga KPK dan Kejaksaan Agung.

Penyidikan dilakukan dengan saling berkoordinasi dengan pemberitahuan

penyidikan melalui sistem e-SPD, yang dalam pelaksanaannya masih terdapat

beberapa hambatan yang menghambat pelaksanaan koordinasi dalam penyidikan.

Penelitian ini bertujuan : (1) Mengkaji kewenangan penyidikan KPK dan

Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi (2) Mengkaji

pengaturan dan pelaksanaan koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung

dalam penanganan tindak pidana korupsi (3) Mengkaji tentang hambatan-

hambatan yang ada dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK dan

Kejaksaan Agug dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan, pendekatan yang digunakan adalah

normatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan penulusuran kepustakaan

yang dianalisis dengan melalui metode kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KPK dan Kejaksaan Agung

mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan dan tugas untuk melakukan

koordinasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, hasil penelitian

ini juga menunjukkan terdapatnya beberapa hamabtan-hambatan dalam

pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam

penanganan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi

dan masukan bagi mahasiswa, akademisi, praktisi, dan semua pihak yang

membutuhkan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

Kata Kunci: Penyidikan, Koordinasi, Kejaksaan Agung

Page 6: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

vi

ABSTRACT

Corruption is an extraordinary crime, which in its investigation can be

carried out by the KPK institution and the Attorney General's Office. The

investigation is carried out by coordinating with each other with the notification of

investigation through the e-SPD system, which in its implementation there are still

some obstacles that hinder the implementation of coordination in the

investigation.

This study aims: (1) Reviewing the investigative authority of the KPK and

the Attorney General's Office in handling corruption crimes (2) Reviewing the

arrangement and implementation of coordination of kpk investigations and the

Attorney General's Office in handling corruption crimes (3) Reviewing the

obstacles that exist in the implementation of coordination of investigations

between the KPK and the Agug Prosecutor's Office in handling corruption crimes.

This type of research is literature, the approach used is normative, data

collection techniques are done by passing the literature analyzed through

qualitative methods.

The results of this study show that the KPK and the Attorney General have

the authority to conduct investigations and duties to coordinate in the eradication

of corruption. In addition, the results of this study also showed the presence of

several obstacles in the implementation of coordination of investigations between

the KPK and the Attorney General's Office in handling corruption crimes.

Based on the results of this research is expected to be a material of

information and input for students, academics, practitioners, and all parties in

need within the Faculty of Law, University of Pancasakti Tegal.

Keywords: Investigation, Coordination, Kejaksaan Agung

Page 7: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Kedua Orang Tua penulis Bapak Rasmanto dan Ibu Maesaroh.

2. Kakak kebanggaan penulis Moch. Dafi Husni Mubarok dan adik penulis Defa

Sukma Maghfiroh.

3. Diri sendiri, terimakasih telah belajar menjadi seseorang yang lebih kuat dan

sabar.

4. Sahabat terbaik penulis : Siska Amelia, Muhammad Agus Fajar Sayefudin,

Firmandanu Triatmojo, Ahmad Syamil Basayef, Rezza Galih Prakoso.

terimakasih telah menjadi motivator dan penyemangat dalam pengerjaan

skripsi ini.

5. Teman-teman penulis, Lembah Nurani Anjar Khinanti terimakasih telah

menjadi penyemangat dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan

teman-teman yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Page 8: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

viii

HALAMAN MOTTO

Setinggi apapun ilmumu, peganglah akhlak dalam hidupmu, karena dengannya

ilmumu akan memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagimu maupun orang

disekitarmu, dan dapat menjauhkanmu dari perbuatan tercela.

Nabi Muhammad Shallahu’allaihi Wasallam bersabda :

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan aklak mulia”

(HR. Al Baihaqi)

Defi Muslimah

Page 9: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

ix

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah Swt., alhamdulillah

penyusunan skripsi ini dapat selesai. Dengan skripsi ini pula penulis dapat

menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Pancasakti Tegal. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rosulullah Saw.

Yang membawa rahmat sekalian alam.

Penulis sampaikan bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak lepas

dari bantuan dan dorongan berbagai pihak yang kepadanya patut diucapkan terima

kasih. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Fakhruddin., M.Pd., selaku Rektor Universitas Pancasakti

Tegal.

2. Bapak Dr. H. Achmad Irwan Hamzani., S.H.I., M.Ag, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

3. Ibu Kanti Rahayu., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Pancasakti Tegal.

4. Bapak H. Toni Haryadi., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Pancasakti Tegal.

5. Bapak Imam Asmarudin., S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

6. Ibu Tiyas Vika Widyastuti., S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Fakultas Universitas Pancasakti Tegal.

Page 10: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

x

7. Ibu Dr. Hamidah Abdurrachman S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

dan Bapak Dr. H. Achmad Irwan Hamzani., S.H.I., M.Ag., selaku Dosen

Pembimbing II yang telah berkenan membimbing.

8. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal yang telah

memberikan bekal ilmu pengetahuan pada penulis sehingga bisa

menyelesaikan studi Strata 1. Mudah-mudahan mendapatkan balasan dari

Allah Swt. Sebagai amal shalih.

9. Segenap pegawai administrasi/karyawan Universitas Pancasakti Tegal

khususnya di Fakultas Hukum yang telah memberikan layanan akademik

dengan sabar dan ramah.

10. Orang tua, serta saudara-saudara penulis yang memberikan dorongan moriil

pada penulis dalam menempuh studi.

11. Kawan-kawan penulis, dan semua pihak yang memberikan motivasi dalam

menempuh studi maupun dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu-persatu.

Semoga Allah Swt. Membalas semua amal kebaikan mereka dengan

balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Akhirnya hanya

kepada Allah Swt. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.

Tegal, 11 Februari 2021

Penulis

Page 11: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

ix

DAFTAR ISI

BALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

ABSTRACT ........................................................................................................ vi

PERSEMBAHAN .............................................................................................. vii

MOTTO ............................................................................................................. viii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8

F. Metode Penelitian ..................................................................................... 10

G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 16

Page 12: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

x

BAB II. TINJAUAN KONSEPTUAL ............................................................. 17

A. Pengertian, Ruang Lingkup Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi . 17

B. Sejarah Terbentuknya KPK sebagai Badan Independen .......................... 28

C. Teori Penegakan Hukum .......................................................................... 35

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 40

A. Kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi ......................................................................................... 40

B. Pelaksanaan Tugas Koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung dalam

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi .......................................................... 60

C. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan

Antara KPK dan Kejaksaan Agung .......................................................... 82

BAB IV. PENUTUP .......................................................................................... 87

A. Kesimpulan ............................................................................................... 87

B. Saran ......................................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 91

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... xxx

Page 13: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Penerimaan SPDP ......................................................................... 73

Gambar 3.2. Tren Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia .............................. 76

Page 14: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan karena itu dianggap

sebagai “beyond the law” karena melibatkan penjahat ekonomi tingkat tinggi

dan birokrasi tingkat tinggi, termasuk birokrat ekonomi dan birokrat

pemerintahan. Membuktikan kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan

sangat sulit. Dan karena bertentangan dengan kekuasaan dan kepentingan

birokrat, korupsi dianggap sebagai “beyond the law” dan merupakan

perwujudan perbuatan “untouchable by the law”.1

Mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa, pemberantasan

tindak pidana korupsi di Indonesia dilaksanakan oleh 3 (tiga) lembaga negara

yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi juga diperkuat oleh

pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi

Yudisial. Selain tiga lembaga tersebut, pemberantasan korupsi di Indonesia

juga diawasi oleh organisasi - organisasi masyarakat madani (Civil Society

Organizations, disingkat CSO), antara lain, ICW, yang berdiri sejak tahun

1998.2

1 Mansur Kartayasa, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Prespektif Kebijakan Legislasi

Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 35. 2 Romli Atamsasmita, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti Korupsi

Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019, hlm.3.

Page 15: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

2

Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan dengan

penanganan yang khusus, hal ini dapat dilihat dari proses penyidikan tindak

pidana korupsi. Kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tidak

tanggung – tanggung diberikan kepada tiga lembaga penegak hukum yaitu

kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Ketiga lembaga tersebut mempunyai peranan

yang penting dalam pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana

korupsi, sehingga hubungan antara ketiga lembaga tersebut harus terjalin

dengan baik dan berjalan sesuai dengan kewenangannya.

Pelaksanaan Penyidikan dalam praktiknya seringkali menjadi suatu

permasalahan antara ketiga lembaga, dalam penanganan penyidikan kerap kali

terkesan adanya perebutan kewenangan dalam melakukan penyidikan serta

terkesan adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari

beberapa contoh kasus tindak pidana korupsi yang pernah terjadi di Indonesia

yang sampai memunculkan istilah cicak versus buaya. Istilah Cicak lawan

Buaya pernah viral (popular), di media pers pada tahun 2012 yang muncul

karena adanya semacam konflik diantara penegak hukum dalam kasus korupsi

yakni polisi berhadapan dengan KPK. Kasus pertama yang menjadi konflik itu

dipicu oleh dugaan terlibatnya seorang purnawirawan perwira tinggi

kepolisian dalam tindak pidana korupsi pengamanan Pilgub Jabar dan perkara

PT Salamah Ariwana Lestari (SAL) bersama Susno Duadji, mulai populernya

kalimat kontroversi “Cicak versus Buaya” berasal dari SD, yakni saat bailout

Bank Century, Kasus pembunuhan yang A.A sebagai terdakwa dalam

Page 16: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

3

pembunuhan Nasaruddin Zulkarnain, hingga mafia pajak Gayus Tambunan

(GT).3

Kasus lain yang terjadi pada saat ini adalah kasus tindak pidana korupsi

Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dalam penanganannya terkesan adanya

perebutan kewenangan penyidikan antara Kejaksaan Agung dengan KPK yang

kini menjadi sorotan publik yang sangat menarik perhatian di kalangan

masyarakat. Jaksa Pinangki ditangkap oleh Tim Jaksa Penyidik pada Jaksa

Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus) atas dugaan

terlibat dalam kasus suap lolosnya buronan Djoko Soegiarto Tjhandra, dengan

kasus posisi perkara bermula ketika terpidana Djoko Soegiarto Tjhandra

mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

atas putusan PK Mahkamah Agung Nomor 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni

2009 secara diam-diam, sedangkan status yang bersangkutan adalah buronan

karena belum melaksanakan putusan PK tersebut, keberhasilan terpidana

Djoko Soegiarto Tjahndra masuk kedalam negeri dan kemudian mengajukan

PK ke Pengadilan Jakarta Selatan diduga ada peran Jaksa Pinangki yang

mengkondisikan dan mengatur upaya hukum PK tersebut, berdasarkan dugaan

tersebut kemudian Jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka oleh

Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktorat

Penyidikan pada Jampidsus4.Penanganan kasus Jaksa Pinangki dikerjakan

3 Rosramadhana dan Bungaran Antonius Simanjutak, Strategi Dan Problem Sosial Politik

Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia: Konsep Mensukseskan Otonomi Daerah, DKI Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018, hlm. 208-209. 4 Nurokhman, “ Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko Tjandra”,

Suara Merdeka, 12 Agustus, 2020, Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap

Djoko Tjandra (suaramerdeka.com), diakses pada 11 Februari 2021, Pukul 05.07 WIB.

Page 17: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

4

oleh Kejaksaan Agung, namun publik mulai meragukan penanganan oknum

jaksa apabila dilakukan oleh institusi yang menaunginya karena dinilai kental

akan konflik kepentingan. Komisi Kejaksaan (Komjak) merekomendasikan

penanganan kasus Pinangki oleh KPK agar tidak akan menimbulkan conflict

of interest macam itu dan juga agar lebih professional. Masyarakat

Antikorupsi Indonesia (MAKI) serta Indonesian Corruption Watch (ICW)

juga meminta KPK untuk mengambil alih kasus tersebut.5

Adanya dorongan dari Komisi Kejaksaan, MAKI dan ICW, Wakil

Ketua KPK Nawawi Pomolango, mengatakan sejak awal mencuatnya perkara-

perkara yang melibatkan penegak hukum, memang sebaiknya ditangani KPK.

Hal tersebut sesuai dengan domain KPK yang tercantum dalam Pasal 11 ayat

(1) huruf a UU 19/2019 yang menyebutkan bahwa KPK berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana

Korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan

orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara. KPK tidak

bermaksud menangani perkara itu dengan mengambil alih, melainkan lebih

berharap Kejaksaan Agung dengan sukarela menyerahkannya ke KPK.6

Kejaksaan Agung dalam kasus Jaksa Pinangki mempunyai kewenangan

dalam hal penyidikan. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31

5 Kumparannews, Berebut Wewenang Tangani Kasus Suap Jaksa Pinangki,

https://kumparan.com/kumparannews/berebut-wewenang-tangani-kasus-suap-jaksa-pinangki-

1u5LwPKnQOd, 28 Agustus, 2020, diakses pada tanggal 23 Oktober 2020, 10.45 WIB. 6 Ibid.

Page 18: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

5

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat

pada pasal 39 yang menjelaskan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan

mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan

Umum dan Peradilan Militer. Berdasarkan hal tersebut jaksa mempunyai

legalitas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,

sehingga Kejaksaan Agung masih tetap dalam pendiriannya untuk menangani

kasus tindak pidana korupsi Jaksa Pinangki.

Penyidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, karena

penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Peran alat bukti sebelum masuk ke pemeriksaan persidangan,

yang diperoleh oleh penyidik sangat penting agar seseorang dapat dikatakan

menjadi tersangka tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan oleh

tersangka yang selanjutnya tersangka akan berubah statusnya menjadi

terdakwa, oleh sebab itu Prof. Muhammad Yahya Harahap SH menegaskan

bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan dalam perkara di

Page 19: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

6

sidang pengadilan, sehingga penyidikan menjadi hal yang sangat penting

dalam proses pembuktian.7

Penyidikan menjadi salah satu kewenangan yang dimiliki oleh lembaga

Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, yang memang diatur dalam Undang-

Undang.8 Koordinasi menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan

oleh ketiga lembaga tersebut, sehingga terjalin sinergi satu sama lain dalam

melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Baiknya koordinasi

antara tiga lembaga tentunya akan memperkuat lembaga tersebut dalam

melakukan pencegahan, maupun penanganan tindak pidana korupsi. Dengan

koordinasi yang baik, maka tidak akan memunculkan persepsi atau paradigma

masyarakat yang berifikir bahwa ketiga lembaga tersebut tidak berjalan

dengan harmonis dan bahkan terkesan berebut kewenang satu sama lain

sehingga tidak ada lagi istilah Cicak versus Buaya dalam penangan tindak

pidana korupsi.

Koordinasi penyidikan merupakan salah satu tugas dari Komisi

Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut diatur dalam pasal 6 huruf b Undang-

Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang

menyatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan koordinasi dengan

instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. KPK

7 Dimas Hutomo, “Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti”, tt.p :

Hukum Online.com, 2019,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c580a5ca3ae3/hukumnya-menuduh-orang-

melakukan-tindak-pidana-tanpa-bukti/, diakses pada tanggal 23 Oktober 2020, pukul, 09.30 WIB. 8 Pangabean, Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi Teori-Praktik dan Yurisprudensi di

Indonesia, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2020, hlm. 258.

Page 20: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

7

dalam melaksanakan tugas tersebut diberi wewenang sebagaimana diatur

dalam dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi yang salah satu wewenanganya adalah

mengordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adanya pro kontra terkait dengan penyidikan kasus Jaksa Pinangki

dikarenakan kurang adanya koordinasi yang baik antara Kejaksaan Agung

dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.Koordinasi yang baik, tentunya akan

dapat memberikan kepercayaan kepada masayarakat bahawa Kejaksaan dapat

menangani perkara secara independen dan transparan, namun karena

koordinasi yang kurang baik, sehingga menimbulkan asumsi-asumsi atau pro

dan kontra dalam masyarakat terkait dengan kewenangan penanganan kasus

Jaksa Pinangki.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan

tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan

antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana

korupsi?

Page 21: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

8

3. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan

antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana

korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan

tujuan sebagai berikut :

1. Mengkaji tentang kewenangan penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung

dalam penanganan tindak pidana korupsi.

2. Mengkaji tentang pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan

KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi.

3. Mengkaji tentang hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan

koordinasi penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam

penanganan tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diharapkan penulis

dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangsih

terhadap pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana

dalam bentuk penyumbangan ilmu pengetahuan dalam tatanan pendidikan

mengenai koordinasi penyidikan KPK dalam penanganan tindak pidana

korupsi.

Page 22: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

9

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan

masukan bagi kalangan akademisi dan calon peneliti yang akan

mengambil studi lanjutan tentang koordinasi penyidikan KPK dan

Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan tema koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan

Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi sudah banyak dilakukan oleh

peneliti lain. Untuk memberikan gambaran tentang posisi penelitian ini

dihadapan penelitian yang sudah dilakukan oleh orang lain, berikut peneliti

sajikan 3 (tiga) penelitian terkait :

1. Agus Syahputra, “Koordinasi Fungsional Antara Polri dan Kejaksaan Pada

Tahap Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman

Barat dan Kejaksaan Negeri Pasaman Barat)”. Penelitian ini membahas

tentang koordinasi antara Polri dan Kejaksaan dalam melakukan

prapenuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan bertujuan

agar proses penanganan tindak pidana korupsi berjalan sesuai dengan yang

diharapkan. Keterkaitan antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum

tersebut, bukan saja dititik beratkan untuk menjernihkan tugas wewenang

dan efesiensi kerja, akan tetapi diarahkan untuk terbinanya aparat penegak

hukum yang dibebani tugas tanggungjawab saling koordinasi.9

9 Agus Syahputra, “Koordinasi Fungsional Antara POLRI dan Kejaksaan Pada Tahap

Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman dan Kejaksaan Negeri Pasaman

Barat)”, Unes Journalof Swara Justisia, Voulume2,Issue 4, Januari 2019, hlm.360.

Page 23: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

10

2. Ali Dahwir “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik

Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penelitian ini

membahas tentang Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Penelitian ini

membahas tentang pemberantasan korupsi hanya dapat dilakukan apabila

ada komitmen kuat dan kerjasama serta koordinasi yang baik antar instansi

pemerintah dan aparat penegak hukum. Tugas memberantas korupsi hanya

dapat dilakukan apabila semua komponen bangsa bersatu dan saling

mendukung dalam segala upaya pemberantasan korupsi.10

3. Abrar Lafi Naim “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan

Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”.

Penelitian ini membahas mengenai efektifitas kinerja jaksa penyidik

hingga jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Takalar telah dijalankan

sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dari hasil wawancara yang telah

dilakukan oleh penulis, kendala yang paling berpengaruh dalam

penyidikan ialah mengenai anggaran dalam setiap perkara yang tidak

cukup untuk menangani kasus yang lain nya dan juga ditemui pada saat

melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan

Negeri Takalar adalah kendala teknis. Kendala teknis itu yang mana

adalah perhitungan auditor dari BPK/BPKP.11

10

Ali Dahwir., “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan

Komisi Pemberantasan Korupsi”, Solusi, Volume 16, Nomor 1, Januari, 2018.,hlm.9 11

Abrar Latif Naim, “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana

Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”,Makassar,Universitas Alauddin Makassar,

2018, hlm. xiv.

Page 24: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

11

Berdasarkan ilustrasi ketiga penelitian terkait diatas, peneliti

menyimpulkan penelitian akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang

sudah ada. Peneliti akan melakukan penelitian yang berkaitan dengan,

koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak

pidana korupsi yang mengkaji tentang pengaturan dan pelaksanaan koordinasi

dalam penyidikan tindak pidana korupsi serta mengkaji terkait dengan

hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan koordinasi antara KPK dan

Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Tanpa sikap a

priori, peneliti berkesimpulan penelitian yang akan dilakukan belum pernah

dilakukan penelitian oleh peneliti itu.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakan menurut

Soerjono Soekanto adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang diperoleh dari

berbagai sumber seperti jurnal, skripsi, buku, artikel-artikel dan bahan

kepustakaan lainnya.12

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan

karena peneliti dalam melakukan penelitian menggunakan data yang

diperoleh dari suatu undang-undang yang terkait dengan penelitian, serta

menggunakan beberapa referensi buku buku-buku, e-book, dan jurnal-

jurnal hukum yang terkait dengan judul penelitian yang relevan.

12

Nurul Qamar, et al, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods), Makassar: CV.

Social Politic Genius (SIGn), 2017, hlm.49

Page 25: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

12

2. Pendekatan Penelitan

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan

penelitian hukum yang mengkaji hukum dari berbagai aspek, yaitu aspek

teori, sejarah, perbandingan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

undang-undang.13

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif karena peneliti

akan meninjau permasalahan hukum terkait dengan pengaturan dan

pelaksanaan koordinasi penyidikan dalam penanganan tindak pidana

korupsi antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangn

lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, serta akan membahas tentang

hambatan-hambatan yang dialami oleh KPK dan Kejaksaan Agung dalam

koordinasi penyidikan tindak pidana korupsi.

13

Ani Purwati,Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek, Surabaya: CV. Jakad Media

Publishing, 2020, hlm. 20.

Page 26: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

13

3. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-

dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian,

hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan

perundang-undangan.14

Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum

sekunder yang relevan yang berkaitan dengan peneilitian ini.

Selanjutnya data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan

dalam penelitian ini :

a. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang akan digunakan adalah bahan hukum

sekunder sebagai bahan hukum utama. Bahan hukum sekunder adalah

bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,

komentar-komentar atas putusan pengadilan maupun seperti Undang-

undang, skripsi, tesis, dan disertasi hukum.15

Bahan hukum yang

diambil atau dirujuk adalah buku-buku atau artikel-artikel hukum yang

mempunyai relevansi dengan apa yang akan diteliti.

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum

sekunder karena peneliti menggunakan beberapa perundang-undangan

seperti, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

14

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, Cet. Ke-9, hlm. 106. 15

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi , Jakarta: Prenadamedia Group,

2016, Cet. Ke- XII, hlm.181.

Page 27: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

14

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberatasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,

dan peraturan pemerintah lainnya yang masih relevan terkait dengan

penelitian, serta menggunakan jurnal ataupun artikel yang membahas

mengenai koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung dalam

penanganan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penelitian

yang akan diteliti.

b. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang akan digunakan sebagai bahan tambahan

dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer. Bahan hukum primer

adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, selain itu

putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap juga

menjadi bahan hukum primer16

. Bahan hukum primer yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah berupa Undang-Undang dan

Peraturan Pmerintah yang masih relevan terkait dengan penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan adalah

16

Zainuddin Ali, loc.cit

Page 28: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

15

teknik pengumpulan data atau bahan hukum yang meliputi perantaraan

perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan buku-buku hukum

dari waktu kewaktu yang mempunyai relevansi dengan isu yang akan

dipecahkan.17

Penelitian ini menggunakan penelusuran kepustakaan karena

peneliti akan melakukan penelusuran secara online dan offline.

Penelusuran secara online dengan cara searching buku-buku online atau e-

book yang terkait dengan penelitian di Internet. Penelusuran secara offline

dengan cara peneliti mengunjungi perpustakaan, dan meminjam buku

referensi yang terkait dengan penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

Metode Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

analisis normative kualitatif. Analisis normatife Kualitatif adalah analisis

data yang dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, analisis

dilakukan terhadap data hasil pendahuluan atau data sekunder, yang akan

digunakan untuk menentukan fokus penelitian, fokus penelitian masih

bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan

selama dilapangan.18

Analisis penelitian ini dilakukan dengan

mengumpulkan berbagai sumber hukum dari beberapa bahan-bahan

hukum sekunder yang digunakan, kemudian dianalisis dan dicari hal-hal

yang dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang akan dicari

17

Peter Mahmud Marzuki, op.cit,. hlm..238. 18

Sugiyono, “ Metode Penelitiaan Hukum Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”, Bandung:

Alvabeta Cv, 2017, Cet. Ke-XXVI, hml. 245

Page 29: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

16

jawabannya, dan selanjutnya diuraikan dalam bentuk deskripsi sebagai

jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang

permasalahan, rumusasn masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metode peleitian, dan sistematika penulisan.19

Bab II Tinjauan Konseptual. Bab ini membahas tentang pengertian,

ruang lingkup tindak pidana dan tindak pidana korupsi, sejarah terbentuknya

KPK sebagai badan independen dan teori penegakan hukum.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini membahsa tentang

kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana

korupsi, pengaturan dan pelaksanaan tugas koordinasi KPK dan Kejaksaan

Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi serta hambatan-hambatan

dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan Antara KPK dan Kejaksaan Agung

dalam penanganan tindak Pidana Korupsi.

Bab IV Penutup. Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran dari

hasil penelitian.

19

Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Buku Panduan Penulisan Skripsi

Fakultas Hukum, Tegal: Fakultas Hukum, 2020, Cet. Ke-2 , hlm. 12

Page 30: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

17

17

BAB II

TINJAUAN KONSEPTUAL

A. Pengertian, Ruang Lingkup Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar

feit dengan penjabaran yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu straf yang

diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, baar diterjemahkan sebagai

dapat dan boleh, sedangkan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,

pelanggaran, atau perbuatan. Secara harfiah strafbaar feit berarti sebuah

tindak, peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan yang dapat dipidana atau

dikenakan hukuman20

. Istilah strafbaar feit dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan dengan berbagai istilah, karena pemerintah tidak

menetapkan terjemahan resmi atas istilah Belanda tersebut, oleh karena itu

timbullah pandangan yang bevariasi dalam bahasa Indonesia sebagai

padanan dari istilah “stfafbaar feit”, seperti “Pebuatan pidana”. “Peristiwa

pidana”. “Tindak Pidana”, “Perbuatan yang dapat dihukum” dan lain

sebagainya. Bahkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan

dipergunakan istilah yang tidak sama.21

Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada

hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya

20

Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti Korupsi Kajian

Antikorupsi Teori dan Praktik, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2016. hlm. 4. 21

Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018, hlm. 68.

Page 31: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

18

disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya, karena itu dalam

tulisannya berbagai istilah tersebut digunakan secara bergantian, bahkan

dalam konteks yang lain juga digunakan istilah kejahatan untuk

menunjukkan maksud yang sama.22

Mengenai pengertian dari tindak pidana itu sendiri dapat dilihat

dari pendapat para pakar-pakar yang antara lain :

a. Muljatno, yang menerangkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan adanya

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi bagrangsiapa yang

melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana, larangan ditunjukkan kepada suatu perbuatan (yaitu

suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada

orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman

pidana terdapat hubungan yang erat karena antara kejadian dan orang

yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, sehingga

tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kejadian tidak dapat dilarang,

jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak akan dapat

diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya,

dan untuk menyatakan hubungan yang erat tersebut maka dipakailah

istilah perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan

22

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta:

Kencana Pranadamedia Group, Cet. Ke- 2, hlm. 37.

Page 32: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

19

kepada kedua keadaan konkret yaitu adanya dengan adanyanya

kejadian yang tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang

menimbulkan kejadian.23

b. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan

hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggung jawab.

c. Van hamel, merumuskan strafbaar feit sebagai kelakukan orang

(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat

melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan

dengan kesalahan.24

Jika melihat Pengertian-pengertian diatas dalam pokoknya feit

dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakukan atau tingkah laku, dan

pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi. Berbeda dengan Simons dan Van Hamel yang

mengatakan bahwa pebuatan dalam strafbaar feit hanya terdiri dari

kelakuan saja. Muljatno menjelaskan bahwa perbuatan adalah kelakuan

yang ditambah dengan adaya kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan

atau kelakuan yang ditambah dengan adanya akibat dan bukan kelakuan

saja. Berbeda dengan “strafbaar feit” yang mencakup pengertian perbuatan

23

Suyanto, loc.cit. 24

Ibid., hlm. 69.

Page 33: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

20

pidana dan kesalahan Jonkers dan Utrech, memandang rumusan Simos

merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi 25

:

a. Diancam dengan pidana oleh hukum;

b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

Berkenaan dengan pengertian tindak pidana diatas, penulis

berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan

yang dilakukan seseorang dengan melawan suatu ketentuan peraturan

perundang-undangan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan yang menimbulkan suatu kejadian atau akibat dari adanya

tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu.

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana yang

dapat dikenakan pidana apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana26

.

Suatu perbuatan tidak dapat dijatuhkan pidana apabila suatu perbuatan

yang tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana, akan tetapi tidak

berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana apabila suatu perbuatan

memenuhi unsur-unsur atau rumusan tindak pidana. Diperlukan 2 (dua)

syarat suatu tindakan atau perbuatan dapat dijatuhi pidana yaitu adanya

sifat melawan hukum dan dapat dicela, dengan demikian rumusan

25

Ibid. 26

Hanafi Arief, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tata Hukum dan Politik Hukum Nasional,

Yogyakarta: 2016, hlm. 125.

Page 34: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

21

pengertian tindak pidana atau perbuatan pidana menjadi jelas, yaitu suatu

tindak pidana atau perbuatan pidana adalah tindakan atau perbuatan

manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan tindak pidana,

bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.27

Perbuatan manusia atau biasa disebut sebagai unsur subyektif yaitu

unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana

menyatakan, “An act does not make a person guilty unless the mind is

guilty or actus non facti reum nisi mens sit rea” (tidak ada hukuman, kalau

tidak ada kesalahan). Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang

diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kelapaan

(negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui

bahawa kesengajaan terdiri atas tiga, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opset als zekerheidsbewustzijn);

c. Kesengajaan keinsafan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

evantualis).

d. Adapun kealpaan terdiri dari dua , yaitu :

e. Ketidak hati-hatian;

f. Dapat menduga akibat perbuatan itu28

.

Bersifat melawan hukum adalah suatu perbuatan yang telah

memenuhi unsur dari rumusan tindak pidana yang tertulis29

. sifat melawan

27

Suyanto, op.cit., hlm. 74. 28

Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019, hlm. 64.

Page 35: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

22

hukum juga diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan

bertentangan dengan hukum, yakni keadaan dengan larangan atau perintah

melakukan sesuatu30

. Istilah sifat melawan hukum dalam dogmatik tidak

selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda, tetapi yang

masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat melawan hukum. Harus selalu

ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk mengetahui

artinya. Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis

yaitu 31

:

a. Sifat melawan hukum umum

Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana

yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan

pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan tindak

pidana, yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

b. Sifat melawan hukum khusus

Ada akalanya kata “bersifat melawan hukum‟ tercantum secara

tertulis dalam rumusan tindak pidana, jadi sifat melawan hukum

merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang. Sifat melawan hukum yang menjadi

bagaian tertulis dari rumusan tindak pidana dinamakan sifat melawan

hukum khusus, juga dinamkan sifat melawan hukum facet.

c. Sifat melawan hukum formal

29

Suyanto., loc.cit. 30

Rahman Syamsuddin, loc.cit. 31

Suyanto, op.cit., hlm. 76.

Page 36: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

23

Istilah ini berarti, semua bagian yang tertulis dari rumusan

tindak pidana telah dipenuhi.

d. Sifat melawan hukum materiil

Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau

membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh

pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.

Dapat dicela, suatu perbuatan yang membuhi semua unsur tindak

pidana yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat

dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan

sifat tercela merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan,

sekalipun tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana. Inilah yang

dinamakan unsur diluar undang-undang.32

Pada hakikatnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam

lahir (dunia)33

. Berikut pendapat pakar terkait dengan unsur-unsu dalam

tindak pidana:

a. Menurut Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen tindak pidana

adalah:

1) Kelakuan dan akibat (sama dengan perbuatan);

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

32

Ibid., hlm. 74. 33

Rahman Syamsuddin, op.cit., hlm. 63-64.

Page 37: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

24

3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

4) Unsur melawan hukum yang objektif;

5) Unsur melawan hukum yang subyektf.

b. Menurut Satochid Kartanegara unsur tindak pidana terdiri atas unsur

obyektif dan subyektif. Unsur yang obyektif adalah unsur yang

terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:

1) Suatu tindakan;

2) Suatu akibat; dan

3) Keadaan (omstandigheid).

Selanjutnya Satochid menyatakan, kesemuanya itu dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Adapun unsur

subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yakni:

1) Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan

(toerekeningsvatbaarheid);

2) Kesalahan (schuld).

c. Simons menuliskan beberapa unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut34

:

1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

34

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, op.cit., hlm. 39.

Page 38: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

25

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stasnd);

5) Oleh orang yang mampu bertangung jawab (teorekeningsvatoaar

person).

Simons menyebutkan bahwa dalam unsur tesebut terdapat unsur

subyektif dan unsur obyektif dari tindak pidana. Unsur obyektif

meliputi: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu,

mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti

dalam Pasal 281 KUHP sifat atau “dimuka umum”. Sedangkan unsur

subyektif meliputi orang yang mampu bertanggungjawab, adanya

kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan

kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari

perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang diuraikan diatas, dapat

dikatakan bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana

apabila perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu dilakukan dengan

kesengajaan atau kealpaan, yang bersifat melawan hukum dan perbuatan

yang dilakukan tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

telah dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan.

Page 39: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

26

3. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi terdiri dari dua suku kata yaitu tindak pidana

dan korupsi.Istilah tindak pidana merupakan istilah tehnis yuridis yang

berasal dari kata dalam bahas Belanda Strafbaar feit atau delict yang

berarti perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan

ditentukan sanksi pidananya bagi siapa saja yang melangarnya35

.

Sedangkan istilah kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption, atau

corroptus, yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula

dari kata asal corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua, dari bahasa

Latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti Inggris: corruption,

corrupt, Prancis : corrupratio, dan Belanda: corruption (korruptie). Dapat

kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun

kebahasa Indonesia “korupsi”.36

Adapun arti harfiah dari kata korupsi

adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,

tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang

menghina atau memfitnah37

. Selain dari istilah-istilah korupsi yang telah

diuraikan diatas, adapula beberapa pendapat terkait dengan definisi

korupsi antara lain:

Henry Campbell Black dalam Balck’s Law Dictionary,

memberikan pengertian korupsi yang dalam terjemahan bebasnya, korupsi

adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan

35

Djoko Sumaryanto, Kapita Selekta Pidana Khusus, Surabaya: 2020, hlm. 13. 36

Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP, Jakarta:

Prenadamedia Group, 2016, hlm. 60. 37

Fitriani, Tindak Pidana Khusus, Sumatera Utara: Enam Media, 201, .hlm. 11.

Page 40: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

27

suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak

dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau

karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri

atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari

pihak lain.38

Menurut sayed Hussein Alatas, korupsi adalah subordinasi

kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi mencakup

pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum dibarengi

dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang

luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Singkatnya

korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.39

Jeremy Pope menyatakan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan

kepecayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat

sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”,

artinya dalam pengambilan keputusan dibidang ekonomi, apakah ini

dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau oleh pejabat publik,

hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Sekali prinsip

mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan

hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul. Contohnya, konflik

38

Muhammad Yusni, Keadilan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Prespektif

Kejaksaan, Surabya: Airlangga University Press, 2019 hlm. 14-15. 39

Ruslan Renggong, op.cit., hlm. 61.

Page 41: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

28

kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah

landasan organisasi apa pun untuk mencapai efesiensi.40

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang

merupakan konvensi negara-negara PBB Anti Korupsi menyebutkan

bahwa kejahatan korupsi berupa pemberian suap, penggelapan dana

publik, penyalahgunaan wewenang, pencucian dan penyembunyian hasil

korupsi, pencucian uang dan sikap memperkaya diri sendiri secara tidak

sah.41

Menurut Political Economic and Risk Consultancy, korupsi adalah

menerima, meminta atau memberikan kepuasan untuk membujuk

seseorang melakukan tindakan korup.42

Dari pendapat tentang pengertian korupsi diatas, maka pengertian

tindak pidana korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan memperkaya diri

sendiri atau golongan yang merupakan suatu tindakan yang sangat

merugikan orang lain, bangsa, dan negara43

.

b. Tindak pidana korupsi merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak

masyarakat, baik ekonomi maupun sosial.

Sedangkan Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

40

Ruslan Renggong, op.cit, hlm.61. 41

Hengki Mangiring Parulian Simarmata, et al., Pengantar Pendidikan Anti Korupsi, tt,p. :

Yayasan Kita Menulis, 2020, hlm. 4. 42

Ibid. 43

Chatrina Darul Rosikah dan Dessy Marliani Listianingsih, op.cit., hlm. 5.

Page 42: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

29

2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Kourpsi, menyebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan

secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau

orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan

atau perekonomian negara, sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi agar

suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah :

a. Secara melawan hukum;

b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain dan atau korporasi;

c. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara44

.

Tindak pidana korupsi dari sudut pandang politik, adalah

merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibelitas

pemerintah, terutama dikalangan masyarakat terdidik generasi muda,

sedangkan dari sudut pandang ekonomi korupsi merupakan salah satu

faktor ekonomi biaya tinggi, yang sangat merugikan negara dan

masyarakat. Dari sudut pandang budaya/ kultur, korupsi sangat merusak

moral karakter bangsa yang sebenarnya mempunyai nilai-nilai luhur.45

B. Sejarah Terbentuknya KPK Sebagai Badan Independen

Upaya Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi sejatinya sudah dimulai dari sejak lama. Apabila ditelisik sejenak

dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pada tahun 1998 yang penuh

dengan gejolak, salah satu tuntutan yang berkumandang dalam kampanye

44

Muhammad Yusni. loc.cit. 45

Djoko Sumaryanto, op.cit., hlm. 14.

Page 43: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

30

besar bertajuk reformasi kala itu adalah Indonesia harus terbebas dari segala

praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu dikarenakan begitu semaraknya

praktik korupsi yang begitu kuat pada masa itu, sehingga dibutuhkan suatu

perubahan yang tidak kalah kuat pula untuk lepas dari jerat korupsi. Dalam

rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakan

landasan kebijakan yang kuat dalam memerangi tindak pidana korupsi.

Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-

undangan, antara lain46

:

1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Nomor XI/

MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi.

Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama

ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

46

Josua Victor Manalu dan Adriana G. Firdausy, "Analisis Terhadap Pengawasan Kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sebagai

perwujudan Prinsip Checks And Balances”, RES PUBLICA, Volume 2, Nomor 2, Mei-Agustus,

2018, hlm.135.

Page 44: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

31

telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Berpedoman atas konsiderans tersebut maka buah dari semangat reformasi

dalam memberantas tindakan korupsi pun dimulai dengan menciptakan suatu

organ yang berada dalam tatanan kelembagaan negara Indonesia. Sebuah

lembaga negara yang sifatnya independen, dengan segala muruah yang lekat

di dalam lembaga tersebut, nantinya diharapkan mampu menjadi garda

terdepan dalam misi besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Bagir

Manan, kehadiran lembaga-lembaga negara di dalam dan di luar UUD 1945

merupakan salah satu “produk” reformasi yang bergulir sejak 1998. Sebelum

Perubahan UUD 1945, bahkan sepanjang perjalanan RI, tidak ada lembaga

negara yang diatur di luar UUD. Terdapat beberapa kemungkinan kehadiran

sejumlah lembaga negara yang diatur dan dilahirkan oleh undang-undang47

.

Pasca perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, kehadiran lembaga

negara bantu menjamur. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak

dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri

atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi

berdasarkan Undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga

Negara bantu yang dibentuk dengan Undangundang adalah Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari

kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif

47

Ibid., hlm. 136.

Page 45: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

32

dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus

dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara

tindak pidana korupsi48

Pembentukan KPK di Indonesia diinspirasi oleh lembaga independen

pemberantasan korupsi yang telah eksis di Hongkong yaitu ICAC. Kiprah

ICAC di Hongkong, yang didirikan pada tahun 1974 telah menuai cerita

suskses yang menyebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia yang pada saat

itu sedang mencari-cari bentuk lembaga anti korupsi yang tepat untuk

memberantas korupsi yang telah membudaya dikalangan pejabat Indonesia

dimasa Orde Baru yang totaliter dan otoriter pada saat itu49

. Cerita kesuksesan

ICAC kemudian menginspirasi negara-negara yang sedang mencari bentuk

yang tepat untu memberantas korupsi di negerinya, tetapi cerita kesuskesan

ICAC juga mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk merancang

dan membakukan tipe, syarat dan fungsi dari sebuah institusi anti korupsi.

Rancangan dan pembakuan dilakukan oleh PBB dengan melalui suatu

konvensi yang disebut dengan United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) pada tahun 2003. Rancangan dan pembakuan tipe, syarat dan fungsi

institusi anti korupsi tersebut mendapatkan respon yang baik dari banyak

48

Muhammad Islami Mansur, "Implementasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Kewenangan KPK Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002”,

LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 7, September, 2018, hlm. 119. 49

Ismantoro Dwi Yuwono., Bocor-Bocor Duit Negara Fakta-Fakta Menggemaskan Kasus

Petinggi Negara, Yogyakarta: Media Pressindo, 2015, hlm. 37.

Page 46: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

33

negara anggota PBB, termasuk Indoensia yang telah menjadi anggota PBB.

Indonesia tercatat sebagai negara ke-43 peratifikasi konvensi PBB tersebut50

.

Hasil dari Konvensi UNCAC yaitu dirumuskannya bahwa apabila suatu

negara menciptakan lembaga anti korupsi maka harus memenihi kriteria

sebagai berikut 51

:

1. Setidaknya ada 2 (dua) syarat yang merupakan tipe dari sebuah lembaga

anti korupsi yang dapat diacu oleh negara yang bersangkutan yaitu :

a. Lembaga atau lembaga-lembaga dalam bidang pencegahan;

b. Lembaga, lembaga-lembaga, atau orang-orang yang di khususkan untuk

memerangi korupsi melalui penegaan hukum.

2. Mengatur tentang sejumlah fungsi yang harus dipenuhi oleh lembaga

pemberantasan korupsi, yang antara lain :

a. Pengembangan Kebijakan, Riset, Monitoring, dan Koordinasi

b. Pencegahan Korup dalam Struktur Kekuasaan

c. Pendidikan dan Penyadaran

d. Investigasi dan Penyidikan

PBB mengharuskan 4 (empat) fungsi tersebut untuk diakomodasi

pada lembaga-lembaga antikorupsi, baik yang sudah ada atau yang akan

diciptakan disuatu negara.

50

Ibid., hlm. 37-38. 51

Ibid. hlm. 38-39.

Page 47: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

34

3. Menetapkan sejumlah kriteria yang meliputi independensi, spesialisasi,

serta pelatihan dan resources yang memadani demi efektifinya lembaga

antikorupsi.

Terinspirasi dari ICAC di Hongkong, kemudian Indonesia pada tanggal

29 Desember 2003 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang disebut

dengan KPK. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi52

. Berbagai perangkat aturan

untuk mewujudkan supremasi hukum di dalam upaya pemberantasan korupsi

di Indonesia, serta bentuk pengejawantahan dari legitimasi semangat reformasi

yang digulirkan seluruh masyarakat Indonesia di tahun 1998, maka terlahirlah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang kemudian turut melahirkan sebuah

lembaga negara independen (komisi khusus) yang saat ini dikenal dengan

sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sesuai dengan ketentuan pada

Pasal 3 UU KPK, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi

secara profesional, intensif, dan berkesinambungan serta merupakan lembaga

52

Febry Satya Wibawa Hussein, "Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan

Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011)", khazanah: Jurnal Edukasi, Volume 2,

Nomor 1, Maret, 2020, hlm. 5-6.

Page 48: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

35

negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun53

.

Sejak saat itulah KPK lahir sebagai lembaga negara dengan kedudukan

sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman

dalam sistem tata negara di Indonesia. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait

status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa: ”Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara”

tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang

dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain

yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi,

seperti Undang-undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres)”54

.

Adapun dasar hukum terbentuknya KPK yang merupakan independent

Agency dan tidak dapat disebut masuk sebagai bagian Pemerintah. Terdapat

beberapa Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan

KPK, beberapa diantaranya adalah55

:

1. Putusan MK No.012-016-019/PPU-IV/2006 halaman 269 menyebutkan

bahwa KPK bukan bagian dari Pemerintah tetapi bertugas dan berwenang

dalam hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman ( Sesuai

dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945).

53

Josua Victor Manalu dan Adriana G. Firdausy, op.cit., hlm. 137. 54

Muhammad Islami Mansur, op.cit., hlm. 118. 55

Mellysa Febriani Wardojo, "Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga

Negara." Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, Maret, 2018, hlm. 77.

Page 49: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

36

2. Putusan MK No. 05/PUU-IX/2011 halaman 75 dan 76 disebutkan bahwa

KPK adalah lembaga independent yang diberikan tugas dan wewenang

khusus, antara lain melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan

kekuasaan kehakiman ( Sesuai dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945).

3. Putusan MK No. 049/PUU-XI/2013 halaman 30 yang menyebutkan bahwa

Pembentukan lembaga terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman

termasuk KPK mempunyai landasan konstitusional ( Pasal 24 ayat (3)

UUD 1945). Adanya yurisprudesni tersebut, menegaskan bahwa KPK

merupkan lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh

kekausaan manapun.

C. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan

hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum dan

evaluasi hukum. Pengakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang

berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Penegak hukum

tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum

sebagaimana pendapat kaum legalistik, namun proses penegakan hukum

mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam

penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia, dengan

pemahaman tersebut maka dapat diketahui bahawaproblem-problem hukum

Page 50: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

37

yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan “law in

book”56

.

Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan

hukum sebagaimana mestinya, untuk mengawasi pelaksanaannya agar tidak

terjadi pelanggaran atau penyimpangan dan jika terjadi pelanggaran hukum

yang dilanggar dapat dipulihkan dan ditegakan kembali. Penegakan hukum

dilakukan dengan penindakan hukum menurut aturan tertentu (denda, ganti

rugi, penyisihan atau pengucilan), dan pengenaan sanksi badan seperti pidana

penjara serta pidana mati57

. Secara sederhana pengertian penegakan hukum

dapat formulasikan sebagai upaya untuk membuat hukum menjadi berfungsi

dan bekerja, sehingga terwujud secra konkret, sehingga diperlukan suatu

proses. Dapat dikatakan bahwa pengakan hukum adalah suatu proses bekerja

dan berfungsinya hukum oleh aparat hukum terhdap perilaku-perilaku yang

secara formal-materiel berlawanan dengan norma hukum yang berlaku58

.

Substansi dari penegakan hukum adalah penekanan pada penegakan

hukum yang berkeadilan yang di Indonesia yaitu dengan terciptanya

kesejahteraan masyarakat atau orang yang sering disebut dengan “masyarakat

yang adil dan makmur”, oleh karena itu pemerintah yang mengemban tugas

negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh dan

memperhatikan kesejateraan dan bahagia masyarakat serta huum yang

56

Ahmad Rifai, Menggapai Keadilan Dengan Hukum Progresif (Sebuah Upaya

Menyempurnakan Putusan Hakim Pada Keadilan), Makassar: CV. Nas Media Pustaka, 2020, hlm.

17. 57

Ibid., hlm. 18. 58

Edi Setiadi dan Kristina, Sistem Peradilan Piana Terpadu Dan Sistem Pengakan Hukum di

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 128.

Page 51: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

38

diciptakan harus berpihak kepada masyarakat, hal tersebutlah yang disebut

bahawa hukum untuk manusia. Sedangkan esensi dalam penegakan hukum

adalah keadilan59

.

Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa pada hakikatnya penegakan

hukum merupakan suatu penerapaan diskresi atau suatu kebijakan yang

membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur oleh undang-undang

melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika, oleh

karenanya pertimbangan secara nyata diterapkan secara selektif dalam

masalah penanggulangan kejahatan60

. Satjipto Rahardjo juga menyatakan

bahwa hukum tidak memiliki fungsi apa-apa, apabila tidak diterapkan atau

ditegakkan bagi pelanggar hukum, dan yang menegakkan hukum dilapangan

adalah aparat penegak hukum61

.

Lebih lajut lagi Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul

Masalah Pengekan Hukum menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan

suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi

kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan adalah keinginan

yang berupa pikiran-pikiran pembentukan undang-undang yang dirumuskan

dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuatan hukum

yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu harus dijalankan, dengan demikian pada gilirannya,

proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaan peraturan hukum

59

Ahmad Rifai., loc.cit. 60

Edi Setiadi dan Kristina, op.cit., hlm. 136. 61

Ibid., hlm. 139.

Page 52: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

39

oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Keadaan ini, dengan nada

ekstrem dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak

hukum dalam melaksanakan tugasnya sebenarnya sudah dimulai pada saat

peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat62

.

Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Penegakan Hukum

Suatu Tinjauan Sosiologis juga mengatakan bahwa perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi pada suatu ketika juga menantang pemikiran

tentang cara-cara konvensional yang dipakai selama ini dalam penegakan

hukum, khususnya dalam hal mengontrol ketertiban. Secara Praktis penegakan

hukum (law enforcement), memiliki beberapa arti penting baik bagi negara,

bagi pembangunan nasional maupun bagi pelaku dan bagi korban tindak

pidana63

.

Menurut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan

berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dengan tiga unsur sitem

hukum yakni yang meliputi struktur hukum (struktur of law), substansi hukum

(substance of law), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum

menyangkut aparat penegak hukum, substasi hukum meliputi perangkat

perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup dalam

suatu masyarakat. Tentang struktur hukum Lawrence M. Friedman

menjelaskan bahwa struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur yang

meliputi jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya, dan tata cara naik

banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti

62

Edi Setiadi dan Kristina, op.cit., hlm. 140. 63

Ibid., hlm. 147.

Page 53: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

40

bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh

presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya, jadi

struktur hukum terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk

menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur adalah pola yang

menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-

ketentuan formalnya. Struktur menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat

hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan64

.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah proses

penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata, yang

bertujuan untuk mencapai kedamaian. Terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi dalam menentukan berlakunya hukum menurut Soerjono

Soekanto dalam bukunya yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penegkan Hukum yakni meliputi faktor hukum itu sendiri, faktor penegak

hukum yaitu terkait dengan pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum, faktor masyarakat yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana suatu

hukum berlaku dan diterapkan, dan faktor kebudayaan sebagai hasil dari

karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada krasa manusia didalam pergaulan

hidup.Berdasarkan teori dan pendapat pakar hukum tersebut, dapat dikatakan

bahwa kesemua aspek atau faktor tersebutlah yang sangat mempengaruhi

kulitas penegakan hukum65

.

64

Ahmad Rifai, Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan Menciderai

Keadilan Masyarakat, Makassar: CV. Nas Media Pustaka, 2020, hlm.35. 65

Edi Setiadi dan Kristina, op.cit, hlm. 165.

Page 54: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

41

41

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan KPK dan Kejaksaan Agung dalam Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi

1. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK

KPK merupakan lembaga negara anak kandung dari reformasi yang

lahir pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(Selanjutnya disebut UU KPK No. 30 Tahun 2002) yang saat ini telah

diubah menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK No. 19 Tahun 2019)

dengan tujuan untuk mempercepat penanganan perkara-perkara korupsi di

Indonesia66

. Sebelum adanya revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 ,

disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KPK adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun67

. Pada pasal tersebut menjadikan

kedudukan KPK sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan

adalah lembaga Negara bantu yang dalam artian KPK bukan merupakan

66

Desca Lidya Natalia, "Media Massa dan Pemberitaan Pemberantasan Korupsi di

Indonesia." Integritas: Jurnal Antikorupsi, Volume 5, Nomor 2, 2019, hlm. 58. 67

Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 128.

Page 55: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

42

bagian dari eksekutif, legislatif ataupun yudikatif68

. Pemberantasan tindak

pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,

monitor, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, dan pemeriksaan

disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku69

.

KPK dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi

sebelum adanya revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 menyandang tugas

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 yaitu70

:

a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidan korupsi;

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.

Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU KPK No 30 Tahun 2002, jelaslah

KPK mempunyai tugas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana korupsi. KPK dalam melakukan tugas penyidikan dibatasi oleh

68

Hermien Nugraheni, et al., Mahasiswa Pelapor Gerakan Anti Korupsi, Yogyakata:

Deepublish, 2017, hlm. 204. 69

Ermansjah Djaja, loc. cit. 70

Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Media

Prima Aksara, 2012, hlm. 53.

Page 56: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

43

ketentuan dalam Pasal 11 yang menyebutkan bahwa KPK berwenang

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang71

:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara.

b. Mendapat perhatian meresahkan masyarakat dan/atau

c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000, (satu

milyar rupiah).

Berdasarkan ketentuan diatas, tidak semua tindak pidana yang

diduga merugikan negara atau berindikasi korupsi dapat ditangani oleh

KPK, melainkan hanya tindak pidana korupsi tertentu yang masuk

kedalam klasifikasi atau ketentuan yang telah disebutkan diatas, namun

apabila tindak pidana korupsi yang terjadi memenuhi ketentuan diatas,

maka KPK dapat mengambil alih proses pemeriksaan tersebut dari

kejaksaan dan kepolisian yang sudah terlebih dahulu melakukan

pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana korupsi tersebut dan juga

dapat melakukan koordinasi dan supervisi maupun pemeriksaan bersama

terhadap dugaan tindak pidana korupsi72

.

Tidak semua perkara tindak pidana korupsi yang memenuhi

klasifikasi diatas dapat diambil alih oleh KPK dengan menggunakan dalih

71

Ulang Mangun Sosiawan, "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencegahan

dan pemberantasan korupsi." Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Volume 19, Nomor 4, Desember,

2019, hlm. 524. 72

Wawan Sanjaya,."Sinkronisasi Penyelidikan Dan Penyidikan Oleh Polri, Kejaksaan Dan

KPK Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi" Jurnal De Jure, Volume 1, Nomor 15, 2018,

Januari, hlm 21.

Page 57: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

44

diatas, melainkan terdapat ketentuan dalam pengambil alihan penyidikan

yang dilakukan oleh KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU KPK No.

30 Tahun 2002 yaitu 73

:

a. Adanya laporan dari masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti;

b. Proses dalam penanganan tindak pidana korupsi dilakukan secara

berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Adanya hambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi karena

campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. Adanya keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau

kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara

baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalih tersebut merupakan dalih yang menjadi dasar oleh KPK

dalam melakukan pengambil alihan penyidikan suatu perkara tindak

pidana korupsi yang telah atau sedang ditangani oleh instansi lain.

Kewenangan KPK sebagai penyidik tindak pidana korupsi mempunyai

wewenang yang sangat luas dan kuat dibandingkan dengan kewenangan

73

Mansur Kartayasa, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Perespektif Kebijakan Legislasi

Dan Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 324.

Page 58: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

45

penyidikan dari instansi Kejaksaan maupun Kepolisian, dalam

melaksanakan tugas penyidikan berdasarkan Pasal 12 UU No. 30 Tahun

2002 KPK mempunyai wewenang yang meliputi 74

:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seorang

bepergian keluar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka,

terdakwa atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada instansi yang terkait.

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi

perdagangan dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi atau konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang

diperiksa;

74

Ruslan Renggong, op cit., hlm. 83-84.

Page 59: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

46

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum

Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan

barang bukti di luar negeri;

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan

dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Kewenangaan penyidikan yang diberikan kepada KPK tersebut,

menjadikan KPK sebagai sebuah instansi penegak hukum yang memiliki

kewenangan istimewa sehingga disebut juga sebagai institusi superbody75

.

Setelah direvisinya UU KPK menjadi UU KPK No 19 Tahun 2019,

kedudukan KPK sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia kini menjadi jelas. Kedudukan KPK sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 butir 3 dan Pasal 3 disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara

dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun76

.

KPK sebagai lembaga negara dirumpun ekskutif mempunyai tugas

yang sama sebagaimana Pasal 6 UU KPK No 30 Tahun 2003, hanya saja

setelah direvisi ketentuan tugas KPK diperluas dengan adanya

75

Ibid. 76

Rainaldy Valentino Kaligis, "Implikasi Hukum Atas Revisi Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 Tentang KPK Terhadap Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi", LEX

CRIMEN, Volume 9, Nomor 1, Januari-Maret, 2020, hlm. 141.

Page 60: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

47

penambahan tugas bagi KPK, berikut tugas KPK pasca revisi dalam Pasal

6 UU KPK No. 19 Tahun 2019 :

a. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi

Tindak Pidana Korupsi;

b. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas

melaksanakan pelayanan publik;

c. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;

d. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak

Pidana Korupsi; dan\

f. Melakukan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pembatasan terhadap tugas Penyidikan KPK dalam Pasal 11 juga

mengalami perubahan, dimana KPK dalam melakukan penyidikan saat ini

dilakukan terhadap tindak pidana korupsi yang :

a. Melibatkan Aparat Penegak Hukum, Penyelenggara Negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan

oleh Aparat Penegak Hukum atau Penyelenggara Negara;

b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah);

Page 61: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

48

c. KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

kepada kepolisian dan/ atau kejaksaan apabila tidak memenuhi

ketentuan pada huruf a dan b diatas;

d. KPK melakukan supervisi terhadap penyelidikan, penyidikan, dan/atau

penuntutan apabila tindak pidana yang terjadi memenuhi ketentuan

pada huruf a dan b diatas.

Khusus dalam tugas penyidikan, menurut penulis perubahan

tersebut dilakukan untuk mempertegas atau memperjelas batasan-batasan

kewenangan penyidikan KPK dalam suatu pemberantasan tindak pidana

korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kewajiban KPK untuk

menyerahkan penyidikan kepada Kepolisian atau Kejaksaan, sehingga

KPK lebih fokus terhadap penyidikan kasus tindak pidana korupsi yang

mempunyai nilai kerugian negara minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah). Penambahan wewenang supervisi dalam penyidikan tindak

pidana korupsi merupakan hal positif yang dapat memperkuat KPK dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemberantasan

korupsi.

Kewenangan supervisi yang diberikan kepada KPK dalam

melakukan penyidikan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan

Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut

Page 62: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

49

Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi)77

.

Berdasarkan Pasal 1 butir 4 dijelaskan bahwa Supervisi adalah kegiatan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang berwenang

melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna percepatan

hasil penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi serta

terciptanya sinergitas antar instansi terkait. Kewenangan KPK untuk

melakukan Supervisi dan pengambilalihan perkara diatur dalam Pasal 2

dan Pasal 3 Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi

diatur dalam yang menyebutkan bahwa :

a. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan Supervisi

terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

b. Instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terdiri atas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Kejaksaan Republik Indonesia.

c. Dalam hal pelaksanaan Supervisi membutuhkan penghitungan

kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat

mengikutsertakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Kejaksaan Republik Indonesia, bersama instansi yang terkait sesuai

dengan tugas dan fungsinya.

77

Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicol, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi”, 2020, Pemantauan Kinerja Tahun I KPK 2020 (TI Ix ICW).pdf

(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 28 Desember 2020, Pukul 19:39, hlm. 17.

Page 63: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

50

d. Kewenangan KPK dalam melakukan Supervisi terhadap instansi yang

berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dilaksanakan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang

ditangani oleh instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan yang dimiliki ini sekaligus menjadi wujud nyata dari

konsep trigger mechanism sebagaimana tertuang dalam konsiderans UU

KPK. Tidak hanya itu, bahkan KPK dapat pula mengambil alih

penanganan perkara yang sedang dilakukan oleh penegak hukum78

.

Kewenangan KPK sebelum adanya revisi UU KPK, sebagai

penyidik tindak pidana korupsi yang sebelumnya mempunyai wewenang

yang sangat luas dan kuat dibandingkan dengan Kepolisian dan

Kejaksaan79

. Pasca revisi UU KPK, kewenangan penyidikan KPK dalam

Pasal 12 UU KPK No 30 Tahun 2002 kini dibatasi dengan adanya

Kewenangan yang diberikan kepada Dewan Pengawas Pada Pasal 37 B

ayat (1) huruf b UU KPK No 19 Tahun 2019 dikatakan bahwa, Dewan

Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau

penyitaan80

. Titik krusial pada tugas Dewan pengawas adalah menyoal

kewenangan Dewan Pengawas untuk memberikan izin atau tidak

memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, konsep

ini merupakan kekeliruan yang mendasar pada pola pikir pembentuk

78

Ibid. 79

Ruslan Renggong, op cit., hlm. 83. 80

Rainaldy Valentino Kaligis, loc. cit., hlm 142.

Page 64: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

51

Undang-Undang. Akibatnya sudah dapat dibayangkan, yakni proses

penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK akan

melambat81

.

Kewenangan penyadapan KPK selama ini diatur dalam Pasal 12

ayat (1) huruf a UU No 30 Tahun 2002, yang mengatur bahwa dalam hal

perizinan penyadapan KPK hanya sampai pada tingkat lima Pimpinan

KPK, namun dengan diundangkannya UU No 19 Tahun 2019 maka proses

itu semakin panjang dan birokratis, sebab harus melalui Dewan

Pengawas82

. Demikian juga dengan Penggeledahan, dalam Pasal 33 – 34

KUHAP menjelaskan bahwa dalam hal penyidik melakukan

penggeledahan dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri

setempat, penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan

penggeledahan yang diperlukan, namun dalam keadaan yang sangat perlu

dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak

mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu penyidik tetap

dapat melakukan penggeledahan. Aturan dalam KUHAP tersebut tetap

berlaku di KPK sebelum terbitnya UU KPK No 19 Tahun 201983

. Bila

mencermati proses penggeledahan KPK berdasarkan UU No 19 Tahun

2019 maka sudah tepat dikatakan bila proses ini semakin lambat, UU KPK

sebagai lex specialis yang harusnya mempercepat proses ini, namun yang

81

Kurnia Ramadhana dan Agil Oktaryal, “Laporan Penelitian Proyeksi Masa Depan

Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang KPK”, 12 Agustus, 2020

Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi UU KPK | ICW

(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 28 Desember 2020, Pukul 23:27 WIB, hlm. 54. 82

Ibid., hlm. 53. 83

Ibid.

Page 65: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

52

terjadi malah sebaliknya, kehadiran Dewan Pengawas dengan kewenangan

besar untuk memberikan atau tidak memberikan izin penggeledahan dapat

dipandang sebagai hambatan ketika KPK melakukan tangkap tangan84

.

Berkaitan dengan kewenangan penyitaan , dalam Pasal 38 ayat (1)

KUHAP disebutkan bahwa Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik

dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, sedangkan dalam

Pasal 47 UU KPK No 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa atas dasar dugaan

adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan

tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.

Perbedaan mencolok pada penjelasan di atas adalah perihal perizinan.

Mesti dipahami bahwa proses penyitaan yang diatur dalam UU No 30

Tahun 2002 telah tepat, sebab tipe dari pelaku korupsi selalu mempunyai

berbagai cara untuk menyembunyikan bukti kejahatannya85

. Sehingga jika

harus kembali dengan perizinan oleh Dewan Pengawas maka dapat

dikatakan pembentuk UU ingin mengembalikan makna kejahatan korupsi

sebagai kejahatan biasa86

.

Adanya kewenanga-kewenangan yang diberikan kepada KPK

dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU KPK

menunjukkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mempunyai

kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia.

84

Ibid., hlm. 53. 85

Ibid.

Page 66: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

53

2. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan

Agung

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang

melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Sebagai

badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan

dipimpin oleh Jaksa Agung, yang dipilih oleh dan bertanggung jawab

kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan

Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan,

dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat

dipisahkan87

. Peran jaksa selaku penuntut umum yang mewakili

kepentingan umum, bertindak untuk dan atas nama negara dalam perkara

pidana, merupakan salah satu wujud penegakan ketertiban dan

perlindungan terhadap semua kepentingan hukum yang dimilki oleh setiap

orang berlaku subyek hukum seperti yang tertera pada Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004, jo Keppres Nomor 55 Tahun 1991 tentang

Sususnan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan

Peraturan Perundang-undangan lainnya88

.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Selanjutnya disebut UU

Kejaksaan) juga mengisyaratkan bahwa lembaga kejaksaan berada pada

87

Viswandro, et al., Mengenal Profesi Penegak Hukum, Yogyakarta: Medpress Digital, 2015,

hlm. 67 88

Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana,

2016, Cet. Ke-2, hlm. 359.

Page 67: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

54

posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.

Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses

penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai

pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, lembaga

kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya

institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat

diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut

hukum acara pidana89

.

Mengacu pada UU Kejaksaan yang menggantikan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai

salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam

menegakkan supermasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (KKN). Dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini,

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang

melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus melaksanakan

fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, hal ini diatur

dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Kejaksaan90

.

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang yang sangat luas,

hingga menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara.

Tugas yang sangat luas tersebut dalam pelaksanaannya dipimpin dan

89

Viswandro, et al., loc.cit., hlm. 67- 68. 90

Ibid., hlm. 67.

Page 68: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

55

dikendalikan serta dipertanggung jawabkan oleh seseorang yang di beri

predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peran Jaksa Agung dalam

kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih

pada saat ini dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu

agendanya adalah terwujudnya supermasi hukum. Disisi lain Jaksa Agung

adalah “a man of law” yang dalam sistem hukum Indonesia dapat

digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang

tidak mengabdi pada Presiden dengan kepentingan politiknya. Dalam

mewujudkan agenda reformasi yaitu supermasi hukum, rasanya diperlukan

seorang Jaksa Agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum yang

memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang

jujur91

.

Tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Pidana diatur dalam

Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yang menyebutkan bahwa tugas dan

wewenang Kejaksaan meliputi :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

91 Ibid.

Page 69: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

56

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Tugas dan wewenang Kejaksaan di atas dimiliki oleh Kejakasaan

Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang ada di Indonesia.

Selain tugas dan wewenang Kejaksaan diatas, Jaksa Agung dalam

Kejaksaan Agung juga mempunyai tugas dan wewenang yang lebih

khusus yang diatur dalam BAB III Bagian ke 2 (dua) dalam Pasal 35 - 37

UU Kejaksaan. Tugas Khusus yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung dalam

Pasal 35 ini meliputi :

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undangundang;

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya

dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 70: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

57

Jaksa Agung dalam melaksanaan tugas dan wewenang serta fungsi

kejaksaan dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa Jaksa

Agung Muda serta Badan Pendidikan dan Pelatihan, yang kesemuanya

menjadi satu kesatuan sebagai unsur pimpinan92

. Berikut beberapa Jaksa

Agung Muda yang membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa Agung

93:

a. Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan;

b. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen;

c. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum;

d. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus;

e. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Perdata dan Tata Usaha Negara;

f. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawas.

Berdasarkan unsur pembantu pimpinan dalam Kejaksaan tersebut

diatas, pada setiap unsurnya memiliki tugas dan wewenang serta fungsinya

masing-masing yang dilakukan guna membantu pimpinan (Jaksa Agung)

dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejakasaan.

Kejaksaan Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenang

Kejakasaan dibidang Pidana dibantu oleh Jaksa Agung Muda Tindak

Pidana Khusus (Selanjutnya disebut Jam Pidsus). yang merupakan unsur

pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang

92

Nani Widya Sari, "Kewenangan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia." Jurnal Surya Kencana Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan,

Volume 4, Nomor 2, Desember 2017, hlm. 184. 93

Bobby Daniel Simatupang, Implementasi Tanggung Jawab Kejaksaan Negeri dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2019, hlm. 55.

Page 71: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

58

serta fungsi kejaksaan di bidang yustisia mengenai tindak pidana khusus,

yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Jam Pidsus dibantu Sekretaris

Jam Pidsus, Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, Direktorat

Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi, Direktorat

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, Koordinator, dan Kelompok

Jabatan Fungsional 94

. Jam Pidsus merupakan salah satu unsur pembantu

pimpinan yang mempunyai dan melaksanakan tugas untuk menangani

tindak pidana khusus, hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 355

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-

006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik

Indonesia (Selanjutnya Disebut PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI). Tindak pidana khusus

yaitu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pidana tersendiri

atau yang diatur diluar Hukum Pidana Umum atau KUHP95

. Tindak

Pidana khusus adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan tertentu

yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu, oleh

karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan

berlaku kepada siapa hukum tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus

memiliki ruang lingkup yang terdiri dari 96

:

a. Hukum Pidana Ekonomi;

b. Tindak Pidana Korupsi;

94

Kejaksaan Republik Indonesia, ”JAM Tindak Pidana Khusus”, Kejaksaan Republik

Indonesia, diakses pada tanggal 09 Desember 2020, Pukul 11:40 WIB. 95

Hartanto, et al., Hukum Tindak Pidana Khusus, Yogyakarta: Deepublish, 2020, hlm. 2. 96

Ibid.

Page 72: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

59

c. Tindak Pidana Perpajakan;

d. Tindak Pidana Kepabean dan Cukai;

e. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering);

f. Tindak Pidana Anak.

Beberapa ruang lingkup tindak pidana khusus diatas, tindak pidana

korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang dalam

penanganannya pada proses penyidikan terdapat kewenangan Kejaksaan

untuk melakukan penyidikan.

Jam Pidsus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di bidang

tindak pidana khusus, terutama tindak pidana korupsi mempunyai tugas

dan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 356 Ayat (2) PERJA RI No.

PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI

bahwa ruang lingkup pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut meliputi

penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,

penuntutan, upaya hukum, pelaksanaan penetapan hakim, putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, eksaminasi serta

pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dan keputusan lepas

bersyarat dalam perkara tindak pidana khusus serta tindakan hukum

lainnya. Pelaksanaan tugas dan wewenang Jam Pidsus dilakukan dengan

menyelenggarakan fungsi sebagai mana diatur dalam Pasal 357 PERJA RI

No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan

RI yang meliputi :

a. Perumusan kebijakan di bidang tindak pidana khusus;

Page 73: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

60

b. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang tindak pidana khusus;

c. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang tindak

pidana khusus;

d. Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi atau lembaga baik di

dalam negeri maupun di luar negeri;

e. pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di

bidang tindak pidana khusus; dan

f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum dibidang khusus, terutama

dalam proses penyidikan, Kewenangan Jam Pidsus dalam melakukan

penyidikan didasarkan pada ketentuan Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

yang menyatakan bahwa kejaksaan mengadakan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang97

. Wewenang

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 16 Tahun 2004 termasuk didalamnya adalah

tindak pidana korupsi. Dengan demikian jelas bahwa pihak kejaksaan

mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana

korupsi98

.

97

Abdul Latif, “Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi”, Jakarta: Prenada

Media Group, 2016, Cet. Ke- 3, hlm. 368. 98

Gerald Makagiansar,. "Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penyelidikan, Penyidikan Dan

Penuntutan Tindak Pidana Korupsi" LEX CRIMEN, Volume 6, Nomor 7, September, 2017, hlm.

30.

Page 74: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

61

B. Pelaksanaan Tugas Koordinasi KPK dan Kejaksaan Agung dalam

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

1. Pengaturan Tugas Koordinasi Penyidikan KPK

KPK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU KPK

No. 30 Tahun 2002 yang secara harafiah merupakan lembaga yang

bergerak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi99

. KPK merupakan

lembaga negara yang bersifat independen yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan berbagai upaya dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana

korupsi100

.Berdasarkan Pasal 6 UU KPK No. 30 tahun 2002 KPK dalam

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi mempunyai tugas untuk

melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan supervisi terhadap

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan

pemerintahan Negara.

Berdasarkan tugas KPK diatas, melakukan koordinasi dengan

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

merupakan salah satu tugas dari KPK yang diatur dalam Pasal 6 huruf a

UU KPK No. 30 Tahun 2002. Pengaturan tugas KPK dalam melakukan

99

Ulang Mangun Sosiawan, op.cit., hlm. 518. 100

, Ayu Dwianty, "Penegakan Hukum Oleh KPK Terhadap TIPIKOR Menurut UU No. 31

Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001" LEX CRIMEN, Volume 8, Nomor 2, 2019, hlm . 192.

Page 75: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

62

koordinasi diatur dalam Pasal 6 huruf a UU KPK No. 30 Tahun 2002,

yang dalam melaksanakan tugas koordinasi KPK mempunyai wewenang

yang diatur dalam Pasal 7 UU KPK No 30 Tahun 2002 anatara lain101

:

a. Mengordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan isntansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Setelah UU KPK No. 30 Tahun 2002 di revisi menjadi UU KPK

No.19 Tahun 2019, tugas koordinasi KPK diubah kedalam Pasal 6 huruf b

yang menyatakan bahwa KPK bertugas melakukan koordinasi dengan

instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik. Jika

diperhatikan dengan seksama, dalam perubahan Pasal 6 huruf b terdapat

penambahan frasa kata “instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan

publik” sedangkan dalam Pasal 6 huruf a UU KPK No 20 Tahun 2002

101

Romli Atamsasmita, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti Korupsi

Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019, op.cit., 44-45.

Page 76: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

63

KPK bertugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan

instansi yang berwenang dalam Pasal 6 huruf a dalam penjelasanya bahwa

yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah termasuk Badan

Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,

Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada

Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Berdasarkan

penjelasan tersebut, KPK hanya mempunyai tugas koordinasi dengan

isntansi tersebut, lain halnya dengan ketentuan dalam Pasal 6 huruf b UU

KPK No 19 Tahun 2019.

Menurut pendapat penulis penambahan frasa kata “instansi yang

bertugas melaksanakan pelayanan publik” pada pasal 6 huruf b dalam UU.

19 Tahun 2019, merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah

untuk memperluas tugas koordinasi KPK dalam melakukan

pemberantasan korupsi hingga ke ranah instansi yang melaksanakan

pelayanan publik. Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik (Selanjutnya disebut UU No. 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik) Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan

pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksud dengan Penyelenggara

Page 77: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

64

pelayanan publik berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009

tetang Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara,

korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang

untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk

semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Pada penjelasan Pasal 6

huruf b Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

2019, tidak dijelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan instansi yang

bertugas melaksanakan pelayanan publik.

KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi dalam UU KPK No. 19

Tahun 2019 diatur dalam Pasal 8, disebutkan bahwa KPK mempunyai

wewenang sebagai berikut:

a. Mengoordinasikan penyelidikan, Penyidikan, dan penuntutan dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait;\

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

dan

e. Meminta laporan kepada instansi berwenang mengenai upaya

pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi;

Page 78: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

65

Berdasarkan dari pengaturan tugas dan wewenang dalam

pelaksanaan koordinasi diatas, terdapat kewenangan koordinasi yang

dimilik oleh KPK yang salah satunya adalah kewenangan untuk

mengoordinasikan baik dalam penyelidikan, Penyidikan, dan maupun

penuntutan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur dalam

Pasal 8 huruf a. Kewenang tersebut merupakan dasar hukum atau legalitas

bagi KPK dalam melakukan koordinasi dalam penyidikan tindak pidana

korupsi dengan instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan yang

mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana

korupsi.

2. Pengaturan Tugas Koordinasi Kejaksaan Agung Dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi

Tugas Koordinasi Penyidikan Kejaksaan Agung dalam penanganan

tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa

Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan

bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan

Peradilan Militer102

.

Berdasarkan pasal diatas Kejaksaan Agung mempunyai

kewenangan untuk melakukan koordinasi terhadap penyelidikan,

102

Fahririn, " Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat

Dalm Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi” Supremasi Jurnal Hukum, Voulme 2, Nomor

1, 2019, hlm. 84.

Page 79: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

66

penyidikan maupun penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Pengaturan tugas koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung juga dipertegas

dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan

badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi

lainnya103

. Kejaksaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang, yang dalam pelaksanan kekuasan negara tersebut

diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan

Negeri. Selain Pasal 33, tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana

juga disebutkan dalam Pasal 30 huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa kejaksaan mempunyai

tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk

itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Ketentuan mengenai tugas dan wewenang koordinasi penyidikan

Kejaksaan Agung dalam penanganan tindak pidana korupsi juga diatur

dalam Pasal 357 PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang

103

Ratna Sari Dewi Polontalo, "Independensi Jaksa Sebagai Penuntut Umum dalam Tindak

Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia" LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 6, Agustus, 2018, hlm. 36.

Page 80: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

67

Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa Jam

Pidsus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menyelenggarakan

fungsi :

a. Perumusan kebijakan di bidang tindak pidana khusus;

b. Pelaksanaan penegakan hukum dibidang tindak pidana khusus;

c. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang tindak

pidana khusus;

d. Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga baik di dalam

negeri maupun di luar negeri;

e. Pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan

dibidang tindak pidana khusus;

f. Pelakasanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas,

disebutkan bahwa Kejaksaan Agung mempunyai tugas dan wewenang

melakukan koordinasi dengan badan penegak hukum dan keadilan, badan

negara atau instansi lainnya serta penyidik. Badan penegak hukum dalam

pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah

aparat KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Jelas sudah bahwa dengan adanya

pengaturan tugas koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung diatas, Jam

Pidsus mempunyai legalitas dalam menjalankan atau melaksanakan tugas

koordinasi penyidikan dengan instansi terkait.

3. Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi

dengan Kejaksaan Agung

Page 81: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

68

Sesuai dengan UU KPK No 2002 yang saat ini telah direvisi

dengan UU KPK No 19 Tahun 2019, KPK memiliki fungsi koordinasi dan

supervisi (Korsup) terhadap instansi penegak hukum lain dalam hal

penanganan perkara korupsi104

.Salah satu bentuk Koordinasi dan Supervisi

yang dilakukan oleh Bidang Penindakan KPK adalah mengenai Surat

Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Selama ini, instansi penegak

hukum lain, yaitu Kejaksaan dan Kepolisian selalu memberi tahu KPK

saat menerbitkan SPDP, hal ini dilakukan berdasarkan dengan ketentuan

Pasal 50 UU KPK No 30 Tahun 2002105

. Ketentuan pasal 50 Ayat UU

KPK No 30 Tahun 2002, koordinasi penyidikan atara KPK dengan

Kepolisian dan Kejaksaan antara lain :

1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum

melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan

penyidikan oleh Kepolisian atau Kejaksaan, maka instansi yang

menangani perkara tersebut wajib memberitahukan kepada KPK

dengan waktu paling lambat 14 hari (empat belas) hari kerja terhitung

sejak tanggal dimulainya penyidikan.

2) Kepolisian atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan wajib

dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK.

104

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Laporan Tahunan KPK 2016 Bahasa Indonesia”,

https://www.kpk.go.id/images/Laporan Tahunan KPK 2016 Bahasa Indonesia.pdf , diakses pada

tanggal 25 Desember 2020, Pukul 20:31 WIB, hlm. 78. 105

Ibid.

Page 82: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

69

3) Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan terhadap suatu

perkara tindak pidana korupsi, maka Kepolisian atau Kejaksaan tidak

berwenang lagi untuk melakukan penyidikan.

4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh Kepolisian

dan/atau Kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh

Kepolisian dan Kejaksaan tersebut segera dihentikan. Yang dimaksud

dengan penyidikan dilakukan bersama dalam hal ini berdasarakan

penjelasan Pasal 50 Ayat (4) UU KPK Tahun 2002 adalah dihitung

berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.

Berdasarkan hal diatas, maka Kepolisian dan Kejaksaan

mempunyai kewajiban untuk memberitahukan SPDP kepada KPK dan

melakukan koordinasi secara terus menurus dalam penanganan perkara

tindak pidana korupsi yang ditanganinya.

KPK dalam memaksimalkan pelaksanaan tugas koordinasi dan

supervisi, pada tahun 2016 mengganggas sistem pemberitahuan SPDP

dalam melaksankan tugas koordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan

dengan sistem SPDP elektronik atau e-SPDP, yang dengan melalui sistem

tersebut setiap penyidik di Kepolisian dan di Kejaksaan, serta KPK dapat

memberitahukan dimulainya penyidikan secara online106

. Mekanisme kerja

e-SPDP dirancang dengan sederhana, dimana setiap penyidik yang

memulai penyidikan kasus korupsi wajib mengunggah SPDP ke dalam

sistem, sehingga dengan demikian penuntut umum dan penyidik dari

106

Ibid.

Page 83: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

70

lembaga lain secara langsung dapat mengetahui, dengan adanya e-SPDP

107. Sistem akan membuat peringatan dini, jika suatu perkara bolak-balik

dari penyidik ke penuntut umum, bahkan jika sampai tiga kali atau lebih,

sistem akan menunjukkan tanda merah, demikian pula jika penyidikan

suatu perkara belum selesai selama satu tahun, tanda merah pada

peringatan dini akan menyala. Melalui sistem e-SPDP yang digagas oleh

KPK mengkoordinasi penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh ketiga lembaga pemberantasn tindak pidana korupsi dapat

terbangun108

.

Gagasan sistem e-SPDP kemudian disepakati oleh Kepolisian dan

Kejaksaan dengan adanya penandatanganan kerjasama dengan Kepolisian

dan Kejaksaan, pada hari Rabu, 29 Maret 2017 yang bertempat di Mabes

Polri, Jakarta, Ketua KPK Agus Rahardjo, Kapolri Tito Karnavian, dan

Jaksa Agung M. Prasetyo menandatangani Memorandum of

Understanding (MoU) tentang Kerjasama dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi,109

. Terdapat lima ruang lingkup kerja sama yang

dilakukan oleh tiga lembaga negara tersebut sebagai kelanjutan atas nota

kesepahaman pada tahun 2016 yaitu antara lain110

:

107

Ibid. 108

Ibid. hlm. 80. 109

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, “Laporan Tahunan KPK 2019 Bahasa

Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/pdf/Laporan-Tahunan-KPK-2019-Bahasa.pdf, diakses

pada tanggal20 Oktober 2020, Pukul 11:09 WIB, hlm. 60. 110

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2017, “Laporan Tahunan KPK Tahun 2017 Bahasa

Indonesia”,https://www.kpk.go.id/images/Laporan-Tahunan-KPK-2017-Web.pdf, diakses pada

tanggal 25 Desember 2020, Pukul 20:31 WIB, hlm. 43.

Page 84: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

71

a. Sinergi penanganan tindak pidana korupsi yang meliputi kesepakatan

pemanfaatan koordinasi & supervisi elektronik (e-SPDP), yaitu

merupakan gagasan sistem pemberitahuan SPDP berbasis online.

b. Pembinaan aparat penegak hukum, kerja sama ini mendorong

kepatuhan, akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum yang

berintegritas melalui peningkatan dan pemenuhan kewajiban pelaporan

LHKPN dan pengendalian gratifikasi.

c. Bantuan narasumber/ahli, pengamanan, dan sarana prasarana dalam

proses penegakan hukum.

d. Tukar menukar data serta informasi untuk mendukung penegakan

hukum. Dan

e. Kerja sama dalam peningkatan dan pengembangan kapasitas

kelembagaan serta sumber daya manusia serta dukungan percepatan

reformasi birokrasi di masing-masing lembaga penegak hukum.

Melalui MoU tersebut, maka sistem pemberitahuan SPDP dengan

sisitem e-SPDP akan dapat membantu KPK sebagai supervisor dapat

memberikan supervisi terhadap penanganan perkara-perkara korupsi di

Kepolisian dan Kejaksaan menjadi lebih efektif111

. Hal itu dikarenakan

semua perkara korupsi yang tengah ditangani Kepolisian dan Kejaksaaan

secara otomatis akan termonitor secara online112

. Dengan adanya sistem e-

SPDP kini Kepolisian dan Kejaksaan dapat memberitahukan SPDP kepada

111

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, loc.cit. 112

Ibid.

Page 85: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

72

KPK yang sebelumnya dilakukan dengan menyampaikan hard copy SPDP

melalui pos, kini sudah dapat dilakukan dengan sistem online dengan

menyampaikan soft copy SPDP, sehingga dapat mencegah resiko tidak

sampai tujuan, terlambat diterima atau terjadi kebocoran Informasi113

.

Kelebihan dari adanya sistem e-SPDP dapat membuat pemberitahuan dan

penerimaan SPDP lebih efisien, efektif, transparan, serta dapat mencegah

konflik kewenangan antar-lembaga dalam melakukan penyidikan suatu

perkara, meningkatkan check and balance antar lembaga negara

pemberantas korupsi dan menghindari tumpang tindih kewenangan

penyidikan antara ketiga lembaga pemberantas korupsi114

. Selain

koordinasi mengenai pemberitahuan SPDP diatas, KPK juga mempunyai

kegiatan koordinasi peyidikan yaitu dengan membantu mendatangkan ahli

dalam penanganan perkara, juga turut membantu penangkapan Daftar

Pencarian Orang (DPO)115

.

Sejak tahun 2016 hingga tahun 2019, KPK dalam melakukan

koordinasi penyidikan telah menerima sebanyak 4.054 SPDP yang berasal

dari Kepolisisan dan Kejaksaan. Untuk meningkatkan kecepatan dan

akurasi, KPK mendorong penerapan e-SPDP yang diharapkan bisa

menjadi tools bagi keterbukaan infromasi publik baik dari Kepolisian,

Kejakasaan maupun KPK. Kegiatan Koordinasi-supervisi dengan

kepolisian dan kejaksaan dinilai progresif. Hal ini dikarenakan dalam

113

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, loc.cit.

114

Ibid. 115

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, loc.cit.

Page 86: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

73

kurun waktu 2016-2019, KPK telah melakukkan koordinasi dan supervisi

dengan kepolisian pada 1.397 perkara, dan Kejaksaan 2.657 perkara,

seperti yang dirinci pada tabel berikut116

:

Gambar 3.1.

Koordinasi-Supervisi dengan Kepolisian dan Kejaksaan

(Sumber: Rencana Strategis Komisis Pemberantasan Korupsi 2020-2024)

Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, Kejaksaan yang meliputi

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang ada di

Indonesia melakukan koordinasi penyidikan dengan KPK melalui

pemberitahuan SPDP dengan menggunakan sistem e-SPDP, namun dalam

praktiknya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Naseh S.H.,

Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Brebes

menjelaskan bahwa dalam sistem pemberitahuan SPDP apabila

Kejakasaan Negeri Brebes dalam melakukan koordinasi penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi melakukan pembeitahuan SPDP dengan

116

Komisi Pemberantasan Korupsi, Rencana Strategis Komisis Pemberantasan Korupsi 2020-

2024, hlm. 14-15, Diakses pada 18 Desember 2020, Pukul 20:04 WIB.

Page 87: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

74

cara mengirimkan pemberitahuan SPDP melalui Kantor Pos, beliau

menuturkan bahwa sistem e-SPDP belum digunakan oleh Kejaksaan

secara menyeluruh, sehingga masih ada Kejaksaan yang melakukan

pemberitahuan SPDP dengan melalui kantor Pos dan membutuhkan waktu

paling tidak 3 hari untuk pemberitahuan SPDP tersebut diterima oleh

KPK. Selain memberikan tembusan pemberitahuan SPDP kepada KPK,

Kejaksaan Negeri Brebes juga melakukan pemberitahuan SPDP kepada

Kejaksaan Agung dengan sistem berjenjang melalui aplikasi Case

Management System (CMS) dengan cara Kejaksaan Negeri Brebes

menginput pemberitahuan SPDP kedalam sistem CMS kepada Kejaksaan

Tinggi, kemudian Kejaksaan Tinggi meneruskannya kepada Kejaksaan

Agung.

Penggunaan sistem e-SPDP yang belum merata pada Kejaksaan

juga disampaikan oleh Bapak Agus Rahardjo saat masih menjabat sebagai

Ketua KPK, ia menyampaikan bahwa efektifitasan penggunaan sistem e-

SPDP belum terlihat, sehingga ia menghimbau kepada Ketua Kejaksaan

Agung Bapak Burhanuddin untuk mengerahkan aparatnya agar

memafaatkan e-SPDP, sehingga ada sinergitas dalam penanganan korupsi

serta dapat menandakan bahwa pencegaham korupsi berjalan dengan

baik117

. KPK dalam melaksanakan tugas koordinasinya menjadi sorotan

oleh ICW dan Trasparancy International Indonesia (Selanjutnya di sebut

117

Zunita Putri, “Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP”, Detiknews,

Jakarta, 13 November 2019, Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP

(detik.com) diakses pada 11 03.40 WIB.

Page 88: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

75

TII), hal ini dikarenakan ditemukannya 4 (empat) masalah serius dari

berbagai mandat di sektor pencegahan yang dimiliki KPK sesuai amanat

Undang-Undang KPK yang baru, serta disesuaikan dengan Arahan

Kebijakan Umum 2020 yaitu meliputi118

:

a. Koordinasi dan supervisi dengan Aparat Penegak Hukum dan

Pemerintah Daerah;

b. Pencegahan kerugian keuangan negara;

c. Pencegahan korupsi di sektor strategis; dan

d. Strategi nasional pencegahan korupsi.

Koordinasi dan Supervisi dengan aparat penegak hukum dan

Pemerintah Daerah menjadi salah satu permasalahan yang dianggap serius

oleh ICW dan Trasparancy International Indonesia, karena kempat

dimensi tersebut berkontribusi besar di dalam Indeks Persepsi Korupsi

(IPK) dan merupakan komponen yang cukup terpengaruh dari revisi

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi119

. Hal ini dapat

diketahui dengan adanya perkembangan tren skor IPK Indonesia

mengalami kenaikan secara perlahan yang membuat Indonesia kini masih

berada pada peringkat 85 dengan skor 40 di tahun 2019, namun secara tren

kenaikan tersebut cukup lambat. Berikut akan disajikann grafik

118

Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi

Desember 2019-Juni 2020”, tt.p., Indonesia Corruption Watch, 2020, hlm. 9,

https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan Kinerja KPK.pdf , diakses

pada 20 Oktober, 2020, Pukul 11:09 WIB.

119

Ibid., hlm. 9-10

Page 89: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

76

perkembangan tren skor IPK Indonesia dari tahun 2007 sampai dengan

tahun 2019 120

.

Gambar 3.2. Tren Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

(Sumber: ICW Pemantauan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi

Desember 2019-Juni 2020)

Berdasarkan Gambar 3.2 perkembangan skor IPK Indonesia belum

menunjukan hasil yang cukup signifikan, dimana kenaikan skor hanya

berkisar antara 1,05 poin per tahun. Kenaikan yang begitu tidak signifikan

akan terus membuat Indonesia berada di peringkat yang stagnan, sehingga

KPK dan instansi Kejaksaan serta Kepolisian harus saling bersinergi untuk

memberantas tindak pidana korupsi dan menaikkan peringkatnya.

Koordinasi dan Supervisi antara KPK dengan Kejaksaan Agung

salah satunya dilakukan dengan pertukaran informasi terkait dengan proses

penyidikan, melalui SPDP dalam perkara tindak pidana korupsi serta

pelimpahan perkara kasus korupsi, namun dalam pertukaran informasi

120

Ibid., hlm. 2-3.

Page 90: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

77

SPDP kerap kali sulit dipantau dikarena portal Statistik SPDP Polri dan

Kejaksaan Agung di laman KPK yang merupakan sumber utama bagi

publik untuk mengakses informasi terkait SPDP perkara tindak pidana

korupsi121

. Hal ini dikarenakan informasi aktual terkait informasi

pertukaran SPDP tersebut berhenti diperbaharui pada bulan September

tahun 2019122

. KPK seharusnya lebih terbuka dan memperbarui informasi

pada lamannya, mengingat dalam Pasal 5 butir b UU KPK No. 19 Tahun

2019 KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan

pada keterbukaan yang dijelaskan dalam penjelasannya adalah asas yang

membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang

benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam

menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga untuk menerapkan asas

keterbukaan KPK harus meningkatkan kemudahan bagi setiap orang untuk

mengakses dan mengetahui informasi terkait dengan kinierja KPK,

terutama portal Statistik SPDP Polri dan Kejaksaan Agung.

Kondisi ini juga diperkuat dengan minimnya capaian sub-aksi

Implementasi Sistem Penanganan Perkara Terpadu Berbasis Teknologi

Informasi (SPPT-TI) dan Implementasi Surat Perintah Dimulainya

Penyidikan (SPDP) Online yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden

Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi

(Stranas PK). Hingga diakses pada 16 Juni 2020, kedua sub-aksi tersebut

121

Ibid., hlm. 10. 122

Ibid.

Page 91: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

78

berturut-turut hanya mendapatkan capaian 55,74% dan 55,75% , padahal

secara programatik telah dimulai sejak tahun 2018123

.

Berdasarkan uraian pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan antara

KPK dan Kejaksaan Agung, maka penulis berpendapat bahwa KPK dan

Kejaksaan Agung telah melakukan koordinasi penyidikan dengan melalui

pemberitahuan SPDP yang dengan pemberitahuan SPDP tersebut

kemudian terjadi pertukaran informasi terkait dengan proses penyidikan

perkara tindak pidana korupsi serta pelimpahan perkara kasus korupsi.

Pelaksanaan koordinasi penyidikan antara KPK masih belum berjalan

maksimal, dikarenakan hingga saat ini peringkat Indonesia masih stagnan

di angka 85, serta munculnya kembali sengketa kewenangan antara KPK

dan Kejaksaan Agung pada tahun 2020 terkait dengan penanganan perkara

Jaksa Pinangki, hal ini menandakan bahwa koordinasi penyidikan yang

dilakukan melalui e-SPDP perlu mendapatkan sebuah evaluasi.

Evaluasi itu terkait dengan wewenang supervisi KPK terhadap

penyidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap perkara tindak pidana

korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 Ayat (3) UU KPK No. 19 Tahun 2019 yang menjelaskan

bahwa KPK melakukan supervisi terhadap penyelidikan, penyidikan, dan

atau penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak

hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan

Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau

123

Ibid.

Page 92: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

79

Penyelenggara Negara dan atau menyangkut kerugian negara paling

sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

KPK Seharusnya lebih aktif untuk melakukan supervisi terhadap

instansi yang menangani perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan

aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum atau Penyelenggara Negara, sehingga dapat memberikan

rasa keprcayaan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana korupsi di

Indonesia. Pada tanggal 20 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo

menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang

Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Selanjutnya di sebut Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi),

yang dalam Pepres tersebut menjelaskan terkait dengan kewenangan KPK

dalam melakukan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, terutama

kewenangan untuk mengambil alih sebuah perkara yang sedang ditangani

oleh Kepolisian dan atau Kejaksaan124

.

Supervisi dalam Pasal 1 butir 4 didefinisikan sebagai suatu

kegiatan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang

berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna

percepatan hasil penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi

serta terciptanya sinergitas antar instansi terkait, dengan demikian KPK

124

Johannes Mangihot, “Presiden Jokowi Keluarkan Perpres Soal Supervisi Pemberantasan

Korupsi, KPK: Tidak Ada Alaan Lagi”, Kompas Tv, Jakarta, 29 Oktober, 2020,

https://www.kompas.tv/article/119424/presiden-jokowi-keluarkan-perpres-soal-supervisi-

pemberantasan-korupsi-kpk-tidak-ada-alasan-lagi?page=all diakses pada tanggal 28 Desember

2020, Pukul 06:23 WIB.

Page 93: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

80

dapat melakukan supervisi dalam bentuk pengawasan, penelitian ataupun

penelaahan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 mengenai bentuk

supervisi.

Pengawasan berdasarkan Pasal 6 Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang

Supervisi, merupakan bentuk kegiatan untuk mengawasi proses

penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilaksanakan oleh

instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana

korupsi, yang dalam melakukan pengawasan KPK mempunyai wewenang

untuk:

a. Meminta laporan kronologis penanganan perkara Tindak Pidana

Korupsi;

b. Meminta laporan perkembangan penanganan perkara baik secara

periodik maupun sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan; dan atau

c. Melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan

penanganan perkara di tempat instansi yang menangani perkara

tersebut atau tempat lain yang disepakati.

Sedangkan yang dimaksud dengan Penelitian berdasarkan pasal 6

dalam Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi adalah merupakan

kegiatan yang berupa pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan

penyajian data atau informasi, yang dilakukan secara sistematis dan

objektif untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dihadapi oleh

instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang dalam hal ini KPK mempunyai wewenang antara lain :

Page 94: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

81

a. Meneliti pelaksanaan hasil pengawasan dan rekomendasi KPK;

b. Memberikan arahan dalam pelaksanaan hasil pengawasan dan

rekomendasi;

c. Melakukan rapat mengenai perkembangan penanganan perkara

bersama perwakilan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau

perwakilan dari Kejaksaan Republik Indonesia dengan hasil berupa

kesimpulan dan rekomendasi; dan atau

d. Melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan

penanganan perkara.

Penelaahan berdasarkan Pasal 8 Perpres No. 102 Tahun 2020

tentang Supervisi adalah merupakan kegiatan untuk menelaah hasil

pengawasan dan atau penelitian untuk menentukan saran dan rekomendasi

serta pengambilan keputusan yang harus dilaksanakan dalam rangka

percepatan penuntasan penanganan perkara, dalam hal ini KPK

mempunyai wewenang antara lain :

a. Menelaah pelaksanaan hasil penelitian dan rekomendasi pengawasan

dan penelitian KPK.

b. Melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan hasil

penelitian di instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang sedang di supervisi.

Dalam hal KPK melakukan gelar pekara dalam pengawasan,

penelitian dan penelaahan, KPK menuangkan hasil gelar perkara bersama

dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara bersama. Apabila

Page 95: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

82

dalam hal kesimpulan gelar perkara bersama sebagaimana dalam

pengawasan, penelitian dan penelaahan, terdapat kendala dalam

penanganan perkara, maka KPK harus memberikan fasilitasi sesuai dengan

kebutuhan apabila diminta instansi yang berwenang melaksanakan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah pengawasan, penelitian

dan penelaahan telah selesai dilaksanakan, maka KPK menyampaikan

hasil pengawasan dan rekomendasi kepada Kepolisian NRI dan atau

Kejaksaan RI.

Berdasarkan hasil Supervisi terhadap perkara yang sedang

ditangani oleh instansi Kepolisian dan atau Kejaksaan, KPK berwenang

mengambil alih perkara yang sedang ditangani oleh Kepolisian NRI dan

atau Kejaksaan RI, hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 9

Perpres No. 102 Tahun 2020 tentang Supervisi. Kewenangan yang dimiliki

oleh KPK untuk melakukan supervisi dan pengambil alihan perkara tindak

pidana korupsi seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal125. Misalnya

dalam perkara yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung terkait

buronan Joko S Tjandra.,tindakan yang dilakukan oleh KPK saat itu hanya

sebatas melakukan supervisi semata, padahal dengan melandaskan pada

beberapa pertimbangan, misalnya penanganan ditujukan untuk melindungi

pelaku sesungguhnya atau adanya hambatan karena campur tangan

kekuasaan, lembaga anti rasuah dapat mengambil alih seluruh perkara,

125

Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, tt.p., Indonesia Corruption Watch,

2020, hlm. 17. Evaluasi Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW

(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 19 Januari,2020, Pukul 04.36 WIB.

Page 96: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

83

terlebih dalam perkara tersebut melibatkan aparat penegak hukum, yakni dua

perwira tinggi Polri dan satu orang Jaksa di Kejaksaan Agung126. Adanya

kewenangan supervisi yang dimiliki oleh KPK dalam melakukan

penyidikan yang termuat dalam Pasal 11 Ayat (3) UU KPK seharusnya

KPK mampu memanfaatkan kewenangan supervisi dan pengambil alihan

perkara terhadap tindak pidana yang khususnya melibatkan aparat penegak

hukum dengan inisiatif dan berani selama tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diterbitkannya Perpres No.

102 Tahun 2020 tentang Supervisi tentunya harus dapat dimanfaatkan

dengan baik oleh KPK, mengingat dalam Perpres tersebut telah dijelaskan

dengan gambalang terkait dengan kewenangan KPK dalam melakukan

supervisi dan pengambilalihan perkara terhadap penyidikan tindak pidana

korupsi.

C. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Koordinasi Penyidikan

Antara KPK dan Kejaksaan Agung

Upaya melakukan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang mudah.

Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk memberantas tindak pidana

korupsi, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan

dalam pemberantasan korupsi127

. Salah satu hambatan yang terjadi dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam pelaksanaan tugas

kordinasi penyidikan tindak pidana korupsi antara KPK dengan instansi lain,

126

Ibid. 127

, Wicipto Setiadi, "Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan Regulasi”, Jurnal

Legislasi Indonesia, Volume 15, Nomor 3, 2018, hlm. 252.

Page 97: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

84

khususnya instansi Kejaksaan Agung. Koordinasi penyidikan oleh KPK dan

Kejaksaan Agung sejatinya telah dilakukan oleh KPK dengan pertukaran

informasi terkait dengan proses penyidikan, melalui SPDP dalam perkara

tindak pidana korupsi serta pelimpahan perkara kasus korupsi128

. Adapun

hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan

antara KPK dengan Kejaksaan Agung sebagai berikut :

1. Belum optimalnya koordinasi aparat penegak hukum, termasuk KPK dan

Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara. Pelaksanaan koordinasi

penyidikan dalam pertukaran informasi dan data lintas aparat KPK dan

Kejaksaan Agung dilakukan dengan sistem SPDP Online yang hingga saat

ini diklaim telah dapat menerima data dari Kejaksaan Negeri, namun input

datanya hanya baru bisa sampai di tingkat Kejaksaan Tinggi. Situasi ini

menyebabkan data kasus tipikor yang dimasukan ke SPDP Online tidak

sesuai dengan data riil. Berdasarkan laporan Stranas PK yang bersumber

dari hasil observasi tim Koordinasi dan Supervisi Penindakan KPK

ditemukan masih ada kasus yang ditangani aparat penegak hukum lain

tidak di input ke dalam sistem SPDP online, bahkan kasus tersebut baru

diketahui setelah diberitakan di media massa. Inisiatif menggunakan e-

SPDP ini sebenarnya sangat penting mengingat hingga saat ini pendataan

penanganan perkara korupsi antar aparat penegak hukum di Indonesia

tidak sinkron dan dianggap masih belum transparan, misalnya dari sisi

128

Indonesia Corruption Watch dan Transparancy International Indonesia, Pemantauan Kinerja

Komisi Pemberantasan Korupsi Desember 2019-Juni 2020, tt.p., Indonesia Corruption Watch,

2020, hlm. 9, diakses pada https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan

Kinerja KPK.pdf , 20 Oktober, 2020, Pukul.. loc.cit.

Page 98: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

85

proses penanganan perkara yang belum terlihat ada upaya yang optimal

dalam menciptakan sinergi dan koordinasi aparat penegak hukum terkait

pendataan penanganan perkara pidana korupsi129

.

Kurang Optimalnya koordinasi antar aparat penegak hukum juga

disebutkan dalam Lampiran Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik

Indonesia Tahun 2020-2024 yang menyebutkan Kejaksaan RI dalam

Rencana Strategis Kejaksaan RI tahun 2015-2019, bahwa dalam

pencapaian sasaran strategis Kejaksaan RI tahun 2015-2019 terdapat 5

sasaran startegis namaun ada target sasaran strategis yang diikur dengan

indicator sasaran strategis tidak mencapai target, yang salah satunya

adalah sasaran strategis dalam terwujudnya penegakan hukum dengan

indikator terbuktinya perkara tindak pidana umum, tindak pidana khusus

berdasarkan putusan pengadilan berkekatan hukum tetap (inkraht van

gewisjdezaak) yang targetnya dalam Rencana Strategis Tahun 2015-2019

sebesar 90% namun yang dapat dicapai hanya 79,9%, hal ini dikarenakan

adanya hambatan ekternal yang berupa kurang optimalnya kerja sama dan

koordinasi antar aparat penegak hukum.

Selain Kejaksaan, kurangnya koordinasi antar penegak hukum juga

disebutkan dalam dokumen Rencana Strategi KPK Tahun 2020-2024 yang

menyebutkan bahwa KPK masih memiliki kelemahan terkait dengan

129

Kurnia Ramadhana dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, tt.p., Indonesia Corruption Watch,

2020, op.cit., hlm. 23.. Evaluasi Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW

(antikorupsi.org) diakses pada tanggal 19 Januari,2020, Pukul 05.15 WIB.

Page 99: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

86

koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Aparat Pengawas Interal

Pemerintah (APIP), sistem informasi tidak berjalan, keterbatasan Sumber

Daya Manusia (SDM) dan manajemen kinerja yang masih rendah, tata

kelola Teknologi Informasi yang rendah, belum optimalnya asset recovery,

lemahnya program berkesinambungan, lemahnya pembentukan budaya

organisasi, komunikasi pencegahan yang tidak efektif, serta kegiatan

monitoring supervise terhadap eksekusi strategi yang masih rendah.

Dengan demikian KPK dan Kejaksaan sama-sama mempunyai kekurangan

dalam melakukan koordinasi antara aparat penegak hukum dan APIP,

sehingga hal tersebut menjadi hambatan dalam penanganan perkara130

.

2. KPK kurang tanggap atau inisiatif dalam melakukan supervisi terhadap

perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum

khususnya aparat Kejaksaan Agung. Setelah direvisinya UU KPK, dalam

Pasal 6 telah menjabarkan tugas-tugas dari KPK, satu diantaranya terkait

dengan penegak hukum lain, yakni supervisi penanganan perkara. Bahkan

turunan dari Revisi UU KPK telah dikeluarkan melalui Perpres No. 102

Tahun 2020 tentang Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan yang dimiliki KPK dalam melakukan supervisi dan

pengambil alihan penyidikan perkara yang perkara yang sedang dilakukan

oleh penegak hukum, hal ini menjadi wujud nyata dari konsep trigger

mechanism yang tertuang dalam konsiderans UU KPK. Namun,

130

Komisi Pemberantasan Korupsi “ Rencana Strategis Komisi Pemberantasan Komisi

Pemberantasan Korupsi Tahun 2020-2024”, hlm. 31, diakses pada tanggal 3 Februari, 2020, Pukul.

18.47 WIB.

Page 100: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

87

kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut seringkali tidak

dimanfaatkan secara optimal, sebagai contoh adalah penanganan perkara

yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung terkait buronan Joko

S Tjandra. Tindakan KPK hanya sebatas melakukan supervisi semata,

padahal dengan melandaskan pada beberapa pertimbangan, misalnya

penanganan ditujukan untuk melindungi pelaku sesungguhnya atau adanya

hambatan karena campur tangan kekuasaan, lembaga anti rasuah dapat

mengambil alih seluruh perkara131

.

3. Kurangnya profesionalisme KPK dan Kejaksaan Agung dalam melakukan

koordinasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat

dengan masih adanya sengketa kewenangan antara Kejaksaan Agung dan

KPK setelah adanya penandatanganan MoU tentang Kerjasama dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disepakati bersama. Hal

ini membuktikan bahwa terdapat ketidak profesionalan KPK dan

Kejaksaan Agung dalam melaksanakan hasil dari penandatanganan MoU

tersebut, karena dalam kesepakatan tersebut masih ada beberapa ruang

lingkup hasil dari kesepakatan belum terlaksana dengan maksimal.

Contohnya dalam penerapan kesepakatan pemanfaatan koordinasi &

supervisi elektronik (e-SPDP) yaitu berkaitan dengan sistem

pemberitahuan SPDP berbasis online dan tukar menukar data serta

informasi untuk mendukung penegakan hukum132

. Kesepakatan tersebut

yang diharapakan agar pemberitahuan SPDP lebih efisien, efektif,

131

Ibid., hlm. 17. 132

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2017, op.cit., hlm. 43.

Page 101: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

88

transparan, serta dapat mencegah konflik kewenangan antar-lembaga

dalam melakukan penyidikan suatu perkara, meningkatkan check and

balance antar lembaga negara pemberantas korupsi dan menghindari

tumpang tindih kewenangan penyidikan antara ketiga lembaga

pemberantas korupsi133

. Pada kenyataanya tujuan tersebut belum tercapai

dengan maksimal, karena masih terdapat sengketa kewenangan antara

KPK dan Kejaksaan Agung dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

Kurang profesionalisme Kejaksaan juga disebutkan dalam Lampiran

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang

Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yang

menyebutkan Kejaksaan RI dalam Rencana Strategis Kejaksaan RI tahun

2015-2019 juga menyebutkan bahwa selain adanya fakor eksteral yang

mempengaruhi pencapian target sasaran startegis dalam terwujudnya

penegakan hukum dengan indikator terbuktinya perkara tindak pidana

umum, tindak pidana khusus berdasarkan putusan pengadilan berkekatan

hukum tetap (inkraht van gewisjdezaak) juga dikarenakan adanya

hambatan internal yang berupa masih kurang profesinalisme Jaksa dalam

penanganan perkara. Selain itu dalam Rencana Kerja Kejaksaan Agung

Tahun 2019 juga menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dari

Kejaksaan di bidang tindak pidana khusus adalah agar bidang tindak

pidana khusus mengembangkan sistem penyimpanan data dan pelaporan

penanganan perkara berbasis teknologi informasi, sehingga dapat

133 Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK op.cit.,hlm. 60.

Page 102: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

89

mempermudah pemantauan kinerja sekaligus mempercepat proses

penanganan perkara tindak pidana khusus yang salah satunya adalah

tindak pidana korupsi. Sedangkan kurang profesionalnya KPK dapat

dilihat dengan lemahan KPK dalam pembentukan budaya organisasi134

.

4. Adanya Paranoid Solidarity sehingga pelaku tindak pidana korupsi

dilindungi oleh korps, atasan, atau teman-temannya, dalam kasus-kasus

tertentu, korupsi dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau

atasan atau juga memang merupakan kerja sama atau kolusi antara atasan

dan pelaku atau antara pelaku dengan teman-teman seorganisasi. Paranoid

solidarity atau solidaritas kekuatan terjadi karena adanya kekuatiran

pelaku yang lain untuk dijadikan tersangka, sehingga pihak-pihak ini (baik

atasan, bawahan maupun partnet) akan berusaha sedapat mungkin

melindungi tersangka pelaku korupsi. Menurut Indriyanto Seno Adji

“bentuk kejahatan struktural sebagai korupsi sistematik memasuki format

korupsi sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi.”

Kewenangan KPK yang diberikan Undang-Undang dalam melakukan

penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang memang lebih besar dibandingkan

dengan Kejaksaan , akhir-akhir ini telah mengakibatkan gesekan-gesekan

antara Kejaksanan Agung sehingga terkesan adanya persaingan terselubung

antar lembaga untuk membuktikan kinerja yang baik diantara mereka. Hal ini

seharusnya memberikan dampak yang positif bagi pemberantasan tindak

134

Komisi Pemberantasan Korupsi “ Rencana Strategis Komisi Pemberantasan Komisi

Pemberantasan Korupsi Tahun 2020-2024”, loc.cit.

Page 103: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

90

pidana korupsi yang menjadi obyek musuh bersama, tapi kenyataannya yang

justru menonjol adalah persaingan kewenangan penyidik antar lembaga

penegak hukum tindak pidana korupsi, baik kepolisian, kejaksaan maupun

KPK135

.

135

Pangabean, op.cit., hlm. 296.

Page 104: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

91

91

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat

dikemukakan terkait dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:

KPK, Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat

dikemukakan terkait dengan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. KPK mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan pada Pasal 6 huruf

e UU KPK No 19 Tahun 2019 dan dalam melakukan penyidikan

mempunyai wewenang yang diatur dalam padal 12 UU KPK No 19 Tahun

2019 sedangkan Kejaksaan Agung juga mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal

30 Ayat (1) huruf d UU No.16 tentang Kejaksaan RI, kewenangan

Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan diberikan kepada Jaksa

Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang mempunyai fungsi berdasarkan

Pasal 357 PERJA RI No. PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kejaksaan RI.

2. KPK mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi penyidikan

berdasarkan Pasal 6 huruf b UU KPK No 19 Tahun 2019, sedangkan tugas

koordinasi penyidikan Kejaksaan Agung diatur Pasal 39 UU No. 31 Tahun

1999 tentang PTPK, Pasal 33 UU Kejaksaan, Pasal 357 PERJA RI No.

PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.

Page 105: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

92

Pelaksanaan tugas koordinasi penyidikan dilakukan dengan pemberitahuan

SPDP dan supervisi, berdasarkan Pasal 50 UU KPK No 30 Tahun 2002,

penandatanganan MoU antara KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan Agung telah dilaksanakan,

hanya saja masih belum maksimal, dikarenakan peringkat Indonesia masih

stagnan diangka 85, serta masih adanya permasalahan kewenangn

penyidikan antara KPK dan Kejaksaan Agung, contohnya dalam perkara

tindak pidana korupsi Jaksa Pinangki.

3. Hambatan dalam pelaksanaan koordinasi penyidikan KPK dan Kejaksaan

Agung yaitu antara lain, belum optimalnya koordinasi aparat penegak

hukum khususnya pertukaran informasi dan data lintas aparat KPK dan

Kejaksaan Agung, KPK kurang tanggap atau inisiatif dalam melakukan

supervisi terhadap perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan APH,

kurangnya profesionalitas KPK dan Kejaksaan Agung dalam melakukan

koordinasi penyidikan tindak pidana korupsi dalam penerapan

pemanfaatan koordinasi & supervisi elektronik (e-SPDP) dan adanya

Paranoid solidarity yang membuat penanganan tindak pidana korupsi

terhadap aparat hukum yang menyebabkan kesulitan bagi KPK untuk

melakukan koordinasi penyidikan.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

Page 106: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

93

1. Kewenangan penyidikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang

dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan Agung seharusnya dapat dijalankan

dengan penuh kehati-hatian dalam melakukan peyidikan. KPK dan

Kejaksaan Agung harusnya saling menyadari akan batasan-batasan

kewenangannya dalam melakukan penyidikan, sehingga tidak terjadi

tumpang tindih maupun sengketa kewenangan.

2. KPK dan Kejaksaan agung dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan

melalui sistem e-SPP seharusnya sudah dapat temonitor tindak pidana

korupsi yang ditangi oleh maing-masing lembaga, seharusnya KPK lebih

tanggap untuk melakukan wewenang supervisi apabila suatu perkara

tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat negara telah memenuhi

ketentuan untuk dapat diambil alih, sehingga tidak meimbulkan kegaduhan

dalam masyarakat. Kejaksan Agung dalam hal ini juga dapat menyerahkan

atau melimpahkan perkara kepada KPK apabila perkara yang

ditangganinya telah masuk kedalam ketentuan tindak pidana yang dapat

dilakukan oleh KPK, sehingga dengan demikian akan tercipta koordinasi

dan harmonisasi yang baik antara KPK dan Kejaksaan Agung.

3. Hambatan yang terjadi dalam koordinasi penyidikan antara KPK dan

Kejaksaan Agung lebih menitik beratkan kepada SDM yang kurang

memadai, hal ini dikarenakan kurang profesionalnya KPK dan Kejaksaan

Agung dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga kualitas

SDM perlu ditingkatkan agar tercipta SDM yang professional dalam

menjalankan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi.

Page 107: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

94

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, Cet. Ke-

9.

Arief, Hanafi, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tata Hukum dan Politik

Hukum Nasional, Yogyakarta: 2016.

Atamsasmita, Romli, et al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Anti

Korupsi Fakta dan Analisis, Jakarta: Prenada Media Grup, 2019.

Djaja, Ermansjah, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006,

Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Fitriani, Tindak Pidana Khusus, Sumatera Utara: Enam Media, 2019.

Hartanto, et al., Hukum Tindak Pidana Khusus, Yogyakarta: Deepublish, 2020.

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

Jakarta: Kencana Pranadamedia Group, Cet. Ke- 2.

Kartayasa, Mansur, Korupsi dan Pembuktian Terbalik Dari Prespektif Kebijakan

Legislasi Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017.

Latif, Abdul, “Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi”,

Jakarta: Prenada Media Group, 2016, Cet. Ke- 3.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia

Group, 2016

Nugraheni, Hermien, et al., Mahasiswa Pelapor Gerakan Anti Korupsi,

Yogyakata: Deepublish, 2017.

Nugroho, Hibnu, Integralisasi Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,

Jakarta: Media Prima Aksara, 2012.

Page 108: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

95

Pangabean, Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi Teori-Praktik dan

Yurisprudensi di Indonesia, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2020

Purwati, Ani, Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek, Surabaya: CV. Jakad

Media Publishing, 2020

Qamar, Nurul, et al, Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods),

Makassar: CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017.

Rahmatullah, Beriliawan Gama, et al., (ed), Antologi Esai Hukum dan HAM

Afiliasi Hukum dan HAM dalam Mewujukan Perlindungan Hak Asasi

Manusia, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2020,

Rifai, Ahmad, Menggapai Keadilan Dengan Hukum Progresif (Sebuah Upaya

Menyempurnakan Putusan Hakim Pada Keadilan), Makassar: CV. Nas

Media Pustaka, 2020.

Rifai, Ahmad Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan

Menciderai Keadilan Masyarakat, Makassar: CV. Nas Media Pustaka,

2020,

Rosikah, Chatrina Darul dan Dessy Marliani Listianingsih, Pendidikan Anti

Korupsi Kajian Antikorupsi Teori dan Praktik, Jakarta Timur: Sinar

Grafika, 2016.

Rosramadhana dan Bungaran Antonius Simanjutak, Strategi Dan Problem Sosial

Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia: Konsep Mensukseskan

Otonomi Daerah, DKI Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Setiadi, Edi dan Kristina, Sistem Peradilan Piana Terpadu Dan Sistem Pengakan

Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.

Simarmata, Hengki Mangiring Parulian, et al., Pengantar Pendidikan Anti

Korupsi, tt,p. : Yayasan Kita Menulis, 2020

Simatupang, Bobby Daniel, Implementasi Tanggung Jawab Kejaksaan Negeri

dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2019

Page 109: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

96

Sugiyono, Metode Penelitiaan Hukum Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:

Alvabeta Cv, 2017, Cet. Ke-XXVI.

Sumaryanto, Djoko, Kapita Selekta Pidana Khusus, Surabaya: 2020.

Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018, hlm. 68.

Syamsuddin, Rahman, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2019,

Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Buku Panduan

Penulisan Skripsi Fakultas Hukum, Tegal: Fakultas Hukum, 2020, Cet.

Ke-2.

Viswandro, et al., Mengenal Profesi Penegak Hukum, Yogyakarta: Medpress

Digital, 2015.

Yuwono, Ismantoro Dwi., Bocor-Bocor Duit Negara Fakta-FAKTA

Menggemaskan Kasus Petinggi Negara, Yogyakarta: Media Pressindo,

2015.

KARYA ILMIAH/JURNAL

Dahwir.Ali, “Sistem Koordinasi Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia

dan Komisi Pemberantasan Korupsi”, Solusi, Volume 16, Nomor 1,

Januari, 2018.

Dwianty, Ayu, "Penegakan Hukum Oleh KPK Terhadap TIPIKOR Menurut UU

No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001" LEX CRIMEN, Volume 8,

Nomor 2, 2019.

Fahririn, " Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Penyelidik Kejaksaan Tinggi

Sumatera Barat Dalm Rangka Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi”

Supremasi Jurnal Hukum, Voulme 2, Nomor 1, 2019.

Hussein, Febry Satya Wibawa, "Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi

Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011)",

khazanah: Jurnal Edukasi, Volume 2, Nomor 1, Maret, 2020.

Kaligis, Rainaldy Valentino, "Implikasi Hukum Atas Revisi Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK Terhadap Penyelesaian Kasus

Page 110: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

97

Tindak Pidana Korupsi", LEX CRIMEN, Volume 9, Nomor 1, Januari-

Maret, 2020.

Makagiansar, Gerald, “Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Pnyelidikan,

Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, Lex Crimen,

Volume 6, Nomor 7, September, 2017.

Manalu, Josua Victor dan Adriana G. Firdausy, "Analisis Terhadap Pengawasan

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sebagai perwujudan Prinsip Checks And

Banances”, RES PUBLICA, Volume 2, Nomor 2, Mei-Agustus, 2018.

Mansur, Muhammad Islami, "Implementasi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Berdasarkan Kewenangan KPK Ditinjau Dari Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002”, LEX CRIMEN, Volume 7, Nomor 7, September,

2018.

Natalia, Desca Lidya, "Media Massa dan Pemberitaan Pemberantasan Korupsi di

Indonesia." Integritas: Jurnal Antikorupsi, Volume 5, Nomor 2, 2019.

Polontalo, Ratna Sari Dewi, "Independensi Jaksa Sebagai Penuntut Umum dalam

Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan Republik Indonesia" LEX CRIMEN, Volume 7,

Nomor 6, Agustus, 2018.

Prihastuti, Adelia dan Muhammad Adnan. "Kemitraan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) Dalam

Penguatan Gerakan Antikorupsi di Indonesia: Kasus Penguatan Civil

Society Tingkat Lokal (2016-2017)." Journal of Politic and Government

Studies, Volume 8, Nomor .03, 2019.

Sanjaya, Wawan,."Sinkronisasi Penyelidikan Dan Penyidikan Oleh Polri,

Kejaksaan Dan KPK Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi" Jurnal

De Jure, Volume 1, Nomor 15, 2018.

Sari, Nani Widya, "Kewenangan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum Tindak

Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun

Page 111: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

98

2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia." Jurnal Surya Kencana

Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 4, Nomor 2,

Desember 2017.

Setiadi, Wicipto, "Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan

Regulasi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 15, Nomor 3, 2018.

Sosiawan, Ulang Mangun, "Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

pencegahan dan pemberantasan korupsi." Jurnal Penelitian Hukum De

Jure, Volume 19, Nomor 4, Desember, 2019.

Syahputra, Agus, “Koordinasi Fungsional Antara POLRI dan Kejaksaan Pada

Tahap Prapenuntutan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Polres Pasaman

dan Kejaksaan Negeri Pasaman Barat)”, Unes Journalof Swara Justisia,

Voulume2, Issue 4, Januari 2019, hlm.360.

Wardojo, Mellysa Febriani, "Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai

Lembaga Negara." Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2,

Nomor 1, Maret, 2018.

SKRIPSI

Naim Abrar Latif, “Peran Kejaksaan dalam Penyidikan dan Penuntutan Tindak

Pidana Korupsi di Kabupaten Takalar (Tahun 2014-2016)”, Makasar:

Universitas Alauddin Makassar, 2018.

UNDANG-UNDANG

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/JA/07/2017

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2020 tentang

Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Page 112: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

99

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana

SUMBER INTERNET

Alamsyah Wana, Laporan Penindakan Kasus Semester I Tahun 2020, tt.p :

Indonesia Corruption Watch, 2020,

https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/200914-

Laporan%20Tren%20Penindakan%20Kasus%20Korupsi%20SMT%20I

%202020.pdf,

Hutomo Dimas, “Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa

Bukti”, tt.p : Hukum Online.com, 2019,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c580a5ca3ae3/huk

umnya-menuduh-orang-melakukan-tindak-pidana-tanpa-bukti/.

Johannes Mangihot, “Presiden Jokowi Keluarkan Perpres Soal Supervisi

Pemberantasan Korupsi, KPK: Tidak Ada Jalan Lagi”, Kompas Tv,

Jakarta, 29 Oktober, 2020,

https://www.kompas.tv/article/119424/presiden-jokowi-keluarkan-

perpres-soal-supervisi-pemberantasan-korupsi-kpk-tidak-ada-alasan-

lagi?page=all.

Kejaksaan Republik Indonesia,”JAM Tindak Pidana Khusus”, Kejaksaan

Republik Indonesia.

Page 113: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

100

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Strategis Komisi Pemberantasan

Korupsi 2020-2024”, diakses pada 18 Desember 2020.

Kumparan, “Berebut Wewenang Tangani Kasus Suap Jaksa Pinangki”,

https://kumparan.com/kumparannews/berebut-wewenang-tangani-kasus-

suap-jaksa-pinangki-1u5LwPKnQOd.

Nurokhman, “ Jaksa Pinangki Ditangkap dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko

Tjandra”, Suara Merdeka, 12 Agustus, 2020, Jaksa Pinangki Ditangkap

dan Ditahan Terkait Kasus Suap Djoko Tjandra (suaramerdeka.com).

Putri, Zunita, “Ketua KPK Minta Kapolri dan Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP”,

Detiknews, Jakarta, 13 November 2019, Ketua KPK Minta Kapolri dan

Jaksa Agung Efektifkan e-SPDP (detik.com).

Ramadhana, Kurnia dan Agil Oktaryal, “Laporan Penelitian Proyeksi Masa Depan

Pemberantasan Korupsi Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang

KPK”, Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi Menelisik

Pengesahan Revisi UU KPK | ICW (antikorupsi.org).

Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicol, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi”, Pemantauan Kinerja Tahun I KPK 2020 (TI Ix

ICW).pdf (antikorupsi.org).

Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicola, “Pemantauan Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi Desember 2019-Juni 2020”,

https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Kajian_Pemantauan

Kinerja KPK.pdf.

Ramadhana, Kurnia dan Alvin Nicola, “Pemantauan Satu Tahun Kinerja Komisi

Pemberantasan Korupsi „Penguat Semu Pemberantas Korupsi‟”, Evaluasi

Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) | ICW

(antikorupsi.org).

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, “Laporan Tahunan KPK 2016

Bahasa Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/Laporan Tahunan

KPK 2016 Bahasa Indonesia.pdf.

Page 114: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

101

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2016, “Laporan Tahunan KPK Tahun 2017

Bahasa Indonesia”,https://www.kpk.go.id/images/Laporan-Tahunan-

KPK-2017-Web.pdf,

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2019, “Laporan Tahunan KPK 2019

Bahasa Indonesia”, https://www.kpk.go.id/images/pdf/Laporan-Tahunan-

KPK-2019-Bahasa.pdf

Page 115: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

102

102

LAMPIRAN

Page 116: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

103

Page 117: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

104

Page 118: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

105

Page 119: KOORDINASI PENYIDIKAN KPK DAN KEJAKSAAN AGUNG DALAM

106

106

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Defi Muslimah

Npm : 5117500160

Tempat/Tanggal Lahir : Tegal, 09 Februari 1999

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Desa Kemuning, Rt 03 Rw 02 Kec.Kramat, Kab.

Tegal

Riwayat Pendidikan :

No. Sekolah Tahun Masuk Tahun Lulus

1. SD N Kemuning 2005 2011

2. SMP N 2 Kramat 2011 2014

3. SMK N 1 Kota Tegal 2014 2017

4. S1 Fakultas Hukum Universitas

Pancasakti Tegal

2017 2021

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya.

Tegal, Januari 2021

Hormat Saya,

Defi Muslimah