kontrol optimum virus hiv melalui penggunaan dua …
TRANSCRIPT
KONTROL OPTIMUM VIRUS HIV MELALUI
PENGGUNAAN DUA JENIS OBAT
FAJAR SATRIATAMA
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontrol Optimum Virus
HIV Melalui Penggunaan Dua Jenis Obat adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Fajar Satriatama
NIM G54100099
ABSTRAK
FAJAR SATRIATAMA. Kontrol Optimum Virus HIV Melalui Penggunaan Dua
Jenis Obat. Dibimbing oleh TONI BAKHTIAR dan FARIDA HANUM.
Dalam karya ilmiah ini dipelajari model interaksi sel CD4+T sehat dengan
sel HIV serta menambahkan dua jenis kontrol, yaitu obat penambah kekebalan
tubuh dan obat anti virus. Masalah interaksi ini diformulasikan dalam bentuk model
kontrol optimum dengan fungsional objektif memaksimumkan populasi sel CD4+T
sehat serta meminimumkan biaya pemakaian obat-obatan tersebut. Penerapan
prinsip maksimum Pontryagin memberikan empat persamaan diferensial sebagai
syarat penyelesaian, yaitu dua persamaan diferensial untuk sistem dan dua
persamaan diferensial untuk fungsi adjoin. Selanjutnya, penerapan kondisi
Berkovitz memberikan dua buah fungsi kontrol optimum. Solusi numerik diperoleh
dengan menyelesaikan sistem persamaan diferensial menggunakan metode Runge-
Kutta orde-4. Pemberian kontrol pada sistem membuat populasi sel CD4+T sehat
bertambah dan membuat populasi sel HIV berkurang. Semakin besar bobot kontrol
obat penambah kekebalan menyebabkan peningkatan sel CD4+T sehat semakin
lambat. Hal tersebut menandakan bahwa semakin besar bobot diberikan maka
berefek negatif pada tubuh, sehingga pemberian obat sebaiknya segera dikurangi.
Kata Kunci: dua fungsi kontrol, masalah kontrol optimum, model interaksi sel
CD4+T sehat dengan sel HIV, solusi numerik.
ABSTRACT
FAJAR SATRIATAMA. Optimum Control of HIV Virus through the Use of Two
Drugs. Supervised by TONI BAKHTIAR and FARIDA HANUM.
This paper studied a mathematical interactions model of healthy CD4+T
cells with HIV cells by involving two types of control strategies, i.e. increasing
body’s immune drugs and using antiviral drugs. The interaction problem is
formulated in term of optimal control model, where the objective functional is
maximizing the population of healthy CD4+T cells and to minimize the systematic
cost of using drugs. Application of Pontryagin maximum principle provides four
differential equations as solution conditions: two differential equations for the
system and two differential equations for the adjoint function. Next, applications of
Berkovitz conditions provide two optimal control functions. Numerical solution
was conducted using the 4th order Runge-Kutta method. Application of control to
the system makes the population of healthy CD4+T cells increase and the HIV cells
population decrease. As the larger weight in the control of immune drugs increase
cause decrease in healthy CD4+T cells growth rate. It indicates that a larger weight
provides negative effects on the body, so that drugs administration would be
reduced.
Keywords: two control functions, optimum control problem, interaction
model of CD4+T cells healthy with HIV cells, numerical solutions.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Matematika
KONTROL OPTIMUM VIRUS HIV MELALUI
PENGGUNAAN DUA JENIS OBAT
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
FAJAR SATRIATAMA
Judul Skripsi : Kontrol Optimum Virus HIV Melalui Penggunaan Dua Jenis Obat
Nama : Fajar Satriatama
NIM : G54100099
Disetujui oleh
Dr Toni Bakhtiar, MSc
Pembimbing I
Dra Farida Hanum, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Toni Bakhtiar, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah kontrol optimum, dengan judul Kontrol Optimum
Virus HIV Melalui Penggunaan Dua Jenis Obat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Toni Bakhtiar, MSc dan Ibu
Dra Farida Hanum, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Ruhiyat, MSi selaku
penguji yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya serta kepada teman-teman Matematika Angkatan 47 atas segala
dukungan dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Fajar Satriatama
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
LANDASAN TEORI 2
Kontrol Optimum 2
Prinsip Maksimum Pontryagin 3
Metode Runge-Kutta Orde Empat 4
MODEL MATEMATIKA 4
Model Tanpa Kontrol 4
Model dengan Kontrol 6
Masalah Kontrol Optimum 6
SOLUSI NUMERIK 9
Metode Runge-Kutta Orde-4 9
Hasil Numerik 11
SIMPULAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 15
RIWAYAT HIDUP 20
DAFTAR TABEL
1 Variabel dan parameter 5 2 Nilai parameter 11
DAFTAR GAMBAR
1 Populasi Sel 𝐶𝐷4+𝑇 dengan 𝐴1 = 250000 12
2 Populasi Sel HIV dengan 𝐴1 = 250000 12
3 Fungsi kontrol dengan A1 = 250000 13
4 Populasi Sel 𝐶𝐷4+𝑇 dengan 𝐴1 = 500000 13
5 Populasi Sel HIV dengan A1 = 250000 13
6 Fungsi kontrol dengan A1 = 500000 13
DAFTAR LAMPIRAN
1 Penentuan solusi numerik model tanpa kontrol 15 2 Penentuan solusi numerik model dengan kontrol 16 3 Pembuatan gambar solusi numerik dengan nilai 𝐴1 = 250000 18 4 Pembuatan gambar solusi numerik dengan nilai 𝐴1 = 500000 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel
organisme biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup
dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak
memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Dalam sel inang, virus
merupakan parasit obligat dan di luar inangnya menjadi tak berdaya. Biasanya virus
mengandung sejumlah kecil asam nukleat yang diselubungi semacam bahan
pelindung yang terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya.
Genom virus akan diekspresikan menjadi baik protein yang digunakan untuk
memuat bahan genetik maupun protein yang dibutuhkan dalam daur hidupnya.
Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel
eukariota, sementara istilah bakteriofage atau fage digunakan untuk jenis yang
menyerang jenis-jenis sel prokariota (Hogg 2005).
Salah satu virus yang mematikan yaitu HIV (Human Immunodeficiency
Virus). HIV masih menjadi virus penyakit paling berbahaya di dunia yang telah
merenggut nyawa lebih dari 25 juta orang sejak tahun 1981. HIV dapat menular
dengan berbagai cara, seperti jarum suntik, transfusi darah, dan hubugan seksual.
Dalam jangka waktu lama virus telah mengakar, secara sistematis telah membunuh
sel-sel, dan merusak kekebalan orang yang terinfeksi. Hal tersebut membuat
penderita lebih berisiko terinfeksi penyakit lain. HIV sampai ke sistem kekebalan
tubuh dengan menginfeksi sel-sel penting, termasuk sel-sel pembantu yang disebut
sel 𝐶𝐷4+𝑇. Pada saat sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang terinfeksi bereplikasi untuk melawan infeksi
apa pun, sel HIV melakukan pengkodean sehingga ikut melakukan replikasi.
Setelah manusia terinfeksi HIV, jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 semakin menurun. Ini tanda
bahwa sistem kekebalan tubuh manusia semakin rusak. Semakin rendah jumlah
𝐶𝐷4+𝑇, manusia akan semakin jatuh sakit.
Sel 𝐶𝐷4+𝑇 merupakan bagian dari sel T. Sel tersebut adalah bagian yang
penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Sel T memainkan peran utama pada
kekebalan seluler. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan
berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar
patogen. Hal ini dimungkinkan karena sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel T
memori dengan kemampuan untuk berkembang biak dengan cepat untuk melawan
infeksi yang mungkin terulang kembali. Aktivasi sel T memberikan respons
kekebalan seperti produksi antibodi, aktivasi sel fagosit atau penghancuran sel
target dalam seketika. Sel T yang telah disintesis dari kelenjar timus disebut sel
𝐶𝐷4+𝑇. Sel 𝐶𝐷4+𝑇 adalah sel T yang memiliki protein CD4 pada permukaannya.
Protein itu bekerja sebagai ‘reseptor’ untuk HIV. HIV mengikat pada reseptor CD4
itu seperti kunci dengan gembok (Baratawidjaja 2000).
Pada karya ilmiah ini akan dibahas model interaksi sel T, oleh Kirschner
dan Webb (1998) dengan dua variabel kontrol yaitu obat penambah kekebalan
tubuh dan obat penekan virus (antiviral). Model tersebut merepresentasikan laju
pertumbuhan sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat dan sel HIV, dengan adanya pemberian kontrol
ini akan dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan kedua sel
tersebut. Sumber utama karya ilmiah ini ialah artikel yang ditulis oleh Joshi (2002).
2
Tujuan Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan:
1 mengonstruksi model interaksi sel 𝐶𝐷4+𝑇 normal dan sel HIV di bawah
pengaruh dua buah variabel kontrol,
2 menentukan variabel kontrol optimum, yaitu obat penambah kekebalan dan
pemberian antiviral yang memaksimumkan banyaknya sel 𝐶𝐷4+𝑇 normal,
serta meminimumkan dosis obat yang dikonsumsi.
LANDASAN TEORI
Kontrol Optimum
Teori kontrol optimum berkembang secara pesat pada akhir tahun 1950. Ada
dua metode penyelesaian masalah kontrol optimum, yaitu dynamic programming
yang diperkenalkan oleh Bellman pada tahun 1957 dan maximum principle yang
diperkenalkan oleh Pontryagin pada tahun 1962 (Pontryagin et al. 1986). Masalah
kontrol optimum adalah memilih variabel kontrol u(t) di antara semua variabel
kontrol yang admissible, yaitu kontrol yang membawa sistem dari state awal x(𝑡0)
pada waktu 𝑡0 kepada state akhir x(𝑡𝑓 ) pada waktu akhir 𝑡𝑓 , sedemikian rupa
sehingga memberikan nilai maksimum atau nilai minimum bagi fungsional objektif
tertentu.
Pada masalah nyata yang berkembang menurut waktu t, sistem berada
dalam keadaan atau kondisi (state) tertentu, yang dapat diungkapkan dengan
variabel keadaan (state variables) 𝐱1(𝑡), 𝐱2(𝑡), . . , 𝐱𝑛(𝑡) atau dalam bentuk vektor
x(t) ∈ ℝ𝑛 . Dengan nilai t yang berbeda, vektor x(𝑡) menempati posisi yang
berbeda di ruang ℝ𝑛 sehingga dapat dikatakan bahwa sistem bergerak sepanjang
kurva x(𝑡) di ℝ𝑛.
Sistem dinamika dapat dinyatakan secara matematik oleh sistem persamaan
diferensial:
�̇� = 𝑓(𝐱(𝑡), 𝐮(𝑡), 𝑡), (1)
dengan x variabel state dan u variabel kontrol. Jika kondisi sistem diketahui pada
waktu 𝑡0 , maka x( 𝑡0 )= 𝐱0 , 𝐱0 ∈ ℝ𝑛 . Jika dipilih kontrol 𝐮(𝑡) ∈ ℝ𝑛 yang
terdefinisi untuk waktu 𝑡 ≥ 𝑡0, maka diperoleh sistem persamaan diferensial orde
satu dengan variabel taktentu x(t). Karena 𝐱0 diberikan, maka persamaan (1)
memiliki solusi tunggal.
Solusi yang diperoleh merupakan respons terhadap u yang dilambangkan
dengan 𝐱𝐮(𝑡). Dengan memiliki fungsi kontrol yang sesuai, berbagai solusi dapat
diperoleh. Agar solusi yang diperoleh adalah solusi yang diinginkan, diperlukan
adanya kriteria bagi solusi, artinya setiap kontrol u(t) dan variabel state x(t)
dihubungkan dengan fungsional berikut:
𝐽 = ∫ 𝑓(𝐱(𝑡), 𝐮(𝑡), 𝑡)𝑇
0
𝑑𝑡, (2)
3
dengan f fungsi yang diberikan, 𝑡𝑓 tidak harus ditentukan dan x(𝑡𝑓 ) memiliki
kondisi tertentu.
Di antara semua fungsi atau variabel kontrol yang diperoleh, ditentukan
salah satu sehingga J mencapai nilai maksimum atau minimum. Kontrol yang
bersifat demikian disebut kontrol optimum. Permasalahan kontrol optimum dapat
dinyatakan sebagai masalah memaksimumkan atau meminimumkan suatu
fungsional (2) dengan kendala (1) (Tu 1994).
Prinsip Maksimum Pontryagin
Tinjau masalah kontrol optimum dengan kendala pada variabel kontrol
berikut:
max 𝐽 = ∫ 𝑓(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡)𝑡𝑓
𝑡0
𝑑𝑡,
�̇�(𝑡) = 𝑔(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡), ℎ(𝑢, 𝑥, 𝑡) ≥ 0,
𝑥(0) = 𝑥0, 𝑥(𝑇) = 𝑥𝑇 .
Didefinisikan fungsi Lagrange sebagai berikut:
𝐿(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝜆(𝑡), 𝑡) = 𝑓(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) + 𝜆(𝑡)𝑔(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) +
𝑤(𝑡)ℎ(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡),
dengan 𝜆(𝑡) merupakan “pengali Lagrange” atau costate variable. Misalkan 𝑢∗(𝑡) adalah variabel kontrol admissible yang membawa state awal (𝑥0(𝑡0), 𝑡0) kepada
state akhir (x(𝑡𝑓), 𝑡𝑓) dan 𝑥∗(𝑡) merupakan trajektori dari sistem yang berkaitan
dengan 𝑢∗(𝑡) , serta w(t) merupakan pengali penalti h (𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) , dengan
h(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) = 𝑢(𝑡) − 𝑎 ≥ 0.
Agar kontrol 𝑢∗(𝑡) merupakan kontrol optimum, maka prinsip maksimum
Pontryagin, syarat transversalitas, dan kondisi Berkovitz terpenuhi, yaitu
1 Prinsip maksimum Pontryagin:
a. 𝜕𝐿
𝜕𝑢= 0,
b. �̇�(𝑡) = 𝜕𝐿
𝜕𝜆,
c. �̇�(𝑡) = − 𝜕𝐿
𝜕𝑥.
2 Syarat transversalitas:
−𝜆(𝑡𝑓) = 0.
3 Kondisi Berkovitz:
𝑤 ≥ 0, ℎ ≥ 0,𝑤ℎ = 0. (Pontryagin et al. 1986)
4
Metode Runge-Kutta Orde Empat
Penyelesaian persamaan diferensial biasa dengan metode deret Taylor tidak
praktis karena metode tersebut membutuhkan perhitungan turunan 𝑓(𝑥, 𝑦) .
Lagipula, tidak semua fungsi mudah dihitung turunannya, terutama bagi fungsi
yang bentuknya rumit. Semakin tinggi orde deret Taylor, semakin tinggi turunan
fungsi yang harus dihitung. Karena pertimbangan ini, metode deret Taylor yang
berorde tinggi pun tidak dapat diterima dalam masalah praktik.
Metode Runge-Kutta adalah alternatif lain dari metode deret Taylor yang
tidak membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapatkan derajat
ketelitian yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan mencari
turunan yang lebih tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi 𝑓(𝑥, 𝑦) pada titik
terpilih dalam setiap langkah (Munir 2003).
Perhatikan masalah nilai awal berikut:
�̇� = 𝑓(𝑡, 𝑦); 𝑦(𝑡0) = 𝑦0 dengan y merupakan fungsi/sistem yang belum diketahui dan bergantung pada
variabel t.
Untuk suatu ℎ > 0 yang disebut riap (increment), untuk 𝑛 = 0, 1, 2, …
didefinisikan
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
6(𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4)
𝑡𝑛+1 = 𝑡𝑛 + ℎ,
dengan 𝑘1 = ℎ 𝑓(𝑡𝑛, 𝑦𝑛),
𝑘2 = ℎ 𝑓 (𝑡𝑛 +1
2ℎ, 𝑦𝑛 +
1
2𝑘1),
𝑘3 = ℎ 𝑓 (𝑡𝑛 +1
2ℎ, 𝑦𝑛 +
1
2𝑘2),
𝑘4 = ℎ 𝑓(𝑡𝑛 + ℎ, 𝑦𝑛 + 𝑘1),
Pada skema di atas, 𝑦𝑛+1 merupakan aproksimasi Runge-Kutta orde empat
bagi 𝑦(𝑡𝑛+1).
MODEL MATEMATIKA
Model Tanpa Kontrol
Misalkan T adalah populasi sel 𝐶𝐷4+𝑇 sehat dan V merupakan populasi virus.
Model Kirschner dan Webb tanpa kontrol diberikan oleh sistem persamaan
diferensial berikut.
𝑑𝑇(𝑡)
𝑑𝑡= 𝑠1 −
𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1 + 𝑉(𝑡)− 𝜇𝑇(𝑡) − 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) (3)
𝑑𝑉(𝑡)
𝑑𝑡=
𝑔𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)− 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) (4)
5
(Kirschner dan Webb 1998)
Deskripsi variabel dan parameter dari persamaan (3) dan (4) diberikan pada
tabel berikut.
Tabel 1 Variabel dan parameter
Notasi Deskripsi Satuan
𝑇 banyaknya populasi sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang tidak terinfeksi per ml
𝑉 banyaknya populasi virus per ml
𝑢1
banyaknya obat penambah kekebalan tubuh ml
𝑢2
banyaknya obat antiviral ml
𝑠1 sumber / produksi sel 𝐶𝐷4+𝑇 ml/hari
𝑠2 sumber / produksi sel 𝐶𝐷4+𝑇 ml/hari
𝜇 laju kematian populasi sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang tidak
terinfeksi
per hari
𝑘 laju infeksi sel 𝐶𝐷4+𝑇 oleh virus bebas V ml/hari
𝑔 tingkat masukan virus dari sumber eksternal ml/hari
𝑐 angka kehilangan virus ml/hari
𝐵1
konstanta produksi virus pada getah bening ml
𝐵2
konstanta produksi virus pada plasma ml
Pada persamaan (3) suku 𝑠1 −𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1+𝑉(𝑡) merepresentasikan sumber dari sel
𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat yang meliputi dari kontribusi eksternal sel timus serta
kontribusi internal dari sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang berbeda. Terjadi pengurangan secara
alami dari sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat yang direpresentasikan dengan suku – 𝜇𝑇(𝑡), pengurangan ini diakibatkan oleh kematian sel secara alami atau perpindahan sel
dari plasma menuju limpa. Terdapat pula pengurangan sel yang diakibatkan oleh
perubahan sel yang sehat menjadi terserang virus yang direpresentasikan oleh
– 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) (Kirschner dan Webb 1998).
Pada persamaan (4) suku 𝑔𝑉(𝑡)
𝐵2+𝑉(𝑡) merepresentasikan sumber virus yang
dihasilkan dari kedua kompartemen eksternal seperti getah bening serta virus yang
diproduksi oleh sel yang terinfeksi dalam plasma. Pada persamaan (4) juga ada suku
– 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) yang merepresentasikan pengurangan virus yang dipengaruhi oleh
respons kekebalan tubuh serta kematian virus (Kirschner dan Webb 1998).
6
Model dengan Kontrol
Model Kirschner dan Webb yang dikendalikan dengan kontrol diberikan
oleh sistem persamaan diferensial berikut:
(Joshi 2002)
Masalah Kontrol Optimum
Masalah kontrol optimum yang dihadapi ialah menentukan fungsi kontrol 𝑢1
dan 𝑢2 , yang membawa sistem dari kondisi awal (𝑇0, 𝑉0) ke kondisi akhir
(𝑇𝑡𝑓 , 𝑉𝑡𝑓). Didefinisikan fungsional objektif sebagai berikut:
dengan T menyatakan banyaknya sel 𝐶𝐷4+𝑇 dan suku lainnya menyatakan biaya
sistematis dari pemakaian obat. Konstanta positif 𝐴1 dan 𝐴2 merupakan parameter
bobot yang dikenakan pada kontrol, dan 𝑢12, 𝑢2
2 mencerminkan dosis dari obat.
Ketika obat dikonsumsi pada dosis yang tinggi, obat tersebut akan menjadi racun
bagi tubuh. Memaksimumkan fungsi objektif adalah dengan memaksimumkan
banyaknya sel 𝑇 . Dengan demikian masalah kontrol optimum dapat dituliskan
sebagai berikut:
max 𝐽, (8)
dengan kendala:
𝑇(0) = 𝑇0, 𝑉(0) = 𝑉0 , 𝑇(𝑡𝑓), 𝑉(𝑡𝑓) tidak ditentukan (bebas), 0 ≤ 𝑎1 ≤ 𝑢1 ≤ 𝑏1
dan 0 ≤ 𝑎2 ≤ 𝑢2 ≤ 𝑏2.
Keterbatasan fungsi kontrol 0 ≤ 𝑎𝑖 ≤ 𝑢𝑖 ≤ 𝑏𝑖, 𝑖 = 1,2 , dapat dituliskan
kembali dalam bentuk
𝑢𝑖 − 𝑎𝑖 ≥ 0,
𝑑𝑇(𝑡)
𝑑𝑡= 𝑠1 −
𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1 + 𝑉(𝑡)− 𝜇𝑇(𝑡) − 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) + 𝑢1(𝑡)𝑇(𝑡), 𝑇(0) = 𝑇0, (5)
𝑑𝑉(𝑡)
𝑑𝑡=𝑔(1 − 𝑢2(𝑡))𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)− 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡), 𝑉(0) = 𝑉0, (6)
𝐽(𝑢1, 𝑢2) = ∫ [𝑇 − (𝐴1𝑢12 + 𝐴2𝑢2
2)] 𝑑𝑡𝑡𝑓
0
, (7)
𝑑𝑇(𝑡)
𝑑𝑡= 𝑠1 −
𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1 + 𝑉(𝑡)− 𝜇𝑇(𝑡) − 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) + 𝑢1(𝑡)𝑇(𝑡), (9)
𝑑𝑉(𝑡)
𝑑𝑡=𝑔(1 − 𝑢2(𝑡))𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)− 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡), (10)
7
𝑏𝑖 − 𝑢𝑖 ≥ 0. Dengan mendefinisikan
ℎ1(𝑢1) = 𝑏1 − 𝑢1, ℎ2(𝑢1) = 𝑢1 − 𝑎1, ℎ3(𝑢2) = 𝑏2 − 𝑢2, ℎ4(𝑢2) = 𝑢2 − 𝑎2, maka fungsi Lagrange dari masalah kontrol optimum (7) didefinisikan sebagai
berikut:
dengan 𝑤11(𝑡),𝑤12(𝑡), 𝑤21(𝑡), 𝑤22(𝑡) ≥ 0 adalah pengganda penalti dan 𝜆1 , 𝜆2
adalah fungsi adjoin.
Untuk mendapatkan fungsi kontrol 𝑢1∗ dan 𝑢2
∗ digunakan syarat (1) teorema
prinsip maksimum Pontryagin pada masalah kontrol optimum. Syarat pertama
prinsip maksimum Pontryagin memberikan:
𝐿𝑢1(𝑡) = 0 ⇔ −2𝐴1𝑢1(𝑡) + 𝜆1𝑇(𝑡) − 𝑤11(𝑡) + 𝑤12(𝑡) = 0,
𝐿𝑢2(𝑡) = 0 ⇔ −2𝐴2𝑢2(𝑡) + 𝜆2 (−𝑔𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)) − 𝑤21(𝑡) + 𝑤22(𝑡) = 0,
sehingga diperoleh kontrol-kontrol optimum
serta 𝑇(𝑡), 𝑉(𝑡) harus memenuhi
Pada fungsi Lagrange juga terdapat fungsi adjoin 𝜆1̇ dan 𝜆2̇ yang memenuhi
sistem persamaan berikut:
𝜆1̇ = −1 + 𝜆1(𝜇 + 𝑘𝑉∗(𝑡) − 𝑢1
∗(𝑡)) + 𝜆2𝑐𝑉∗(𝑡), (16)
(11)
𝐿 = (𝑇 − (𝐴1𝑢12 + 𝐴1𝑢2
2)) + 𝜆1(𝑡) (𝑠1 −𝑠2 𝑉
𝐵1 + 𝑉− 𝜇𝑇 − 𝑘𝑉𝑇 + 𝑢1𝑇)
+ 𝜆2(𝑡) ( 𝑔(1 − 𝑢2)𝑉
𝐵2 + 𝑉− 𝑐𝑉𝑇) + 𝑤11(𝑡)ℎ1 + 𝑤12(𝑡)ℎ2
+ 𝑤21(𝑡)ℎ3 + 𝑤22(𝑡)ℎ4,
𝑢1∗(𝑡) =
1
2𝐴1(𝜆1𝑇(𝑡) − 𝑤11 + 𝑤12), (12)
𝑢2∗(𝑡) =
1
2𝐴2((−𝑔𝑉(𝑡)𝜆2𝐵2 + 𝑉(𝑡)
) − 𝑤21(𝑡) + 𝑤22(𝑡)), (13)
�̇�(𝑡) = 𝑠1 −𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1 + 𝑉(𝑡)− 𝜇𝑇(𝑡) − 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) + 𝑢1(𝑡)𝑇(𝑡), (14)
�̇�(𝑡) =𝑔(1 − 𝑢2(𝑡))𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)− 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡). (15)
𝜆2̇ = 𝜆1(𝐵1𝑠2
(𝐵1 + 𝑉∗(𝑡))2 + 𝑘𝑇
∗(𝑡)) − 𝜆2(𝐵2𝑔(1 − 𝑢2
∗(𝑡))
(𝐵2 + 𝑉∗(𝑡))2 − 𝑐𝑇∗(𝑡)). (17)
8
Karena diasumsikan 𝑇(𝑡𝑓) dan 𝑉(𝑡𝑓) bebas maka harus dipenuhi syarat
transversalitas berikut (syarat kedua pada prinsip maksimum Pontryagin):
𝜆1(𝑡𝑓) = 0 dan 𝜆2(𝑡𝑓) = 0 (18)
Karena 𝑢1∗(𝑡) dan 𝑢2
∗(𝑡) berbatas, maka dilakukan analisis berikut sehingga
kondisi Berkovitz terpenuhi.
1. Kasus 0 ≤ 𝑎1 ≤ 𝑢1 ≤ 𝑏1
Jika dimisalkan 𝑢1 = 𝑏1 maka ℎ1(𝑢1) = 𝑏1 − 𝑢1 = 0 dan ℎ2(𝑢1) = 𝑢1 −𝑎1 ≥ 0 . Kondisi Berkovitz (syarat ketiga prinsip maksimum Pontryagin)
memberikan 𝑤11(𝑡) ≥ 0 dan 𝑤12(𝑡) = 0 , sehingga kontrol optimum (12)
menjadi
𝑢1 =1
2𝐴1(𝜆1𝑇 − 𝑤11).
Karena 𝑤11(𝑡) ≥ 0 dan 𝑢1(𝑡) ≥ 0, maka dapat disimpulkan 𝑢1 ≤𝜆1𝑇
2𝐴1 atau
𝑏1 ≤𝜆1𝑇
2𝐴1. Dengan demikian kontrol optimum 𝑢1
∗ diberikan oleh
Jika dimisalkan 𝑢1 = 𝑎1 maka ℎ1(𝑢1) = 𝑏1 − 𝑢1 ≥ 0 dan ℎ2(𝑢1) = 𝑢1 −𝑎1 = 0 . Kondisi Berkovitz (syarat ketiga prinsip maksimum Pontryagin)
memberikan 𝑤11(𝑡) = 0 dan 𝑤12(𝑡) ≥ 0 , sehingga kontrol optimum (12)
menjadi
𝑢1 =1
2𝐴1(𝜆1𝑇 + 𝑤12).
Karena 𝑤12(𝑡) ≥ 0 dan 𝑢1(𝑡) ≥ 0, maka dapat disimpulkan 𝑢1 ≥𝜆1𝑇
2𝐴1 atau
𝑎1 ≥𝜆1𝑇
2𝐴1. Dengan demikian kontrol optimum 𝑢1
∗ diberikan oleh
Jika dimisalkan 𝑎1 < 𝑢1 < 𝑏1 maka ℎ1(𝑢1) = 𝑏1 − 𝑢1 > 0 dan ℎ2(𝑢1) = 𝑢1 − 𝑎1 > 0 . Kondisi Berkovitz (syarat ketiga prinsip maksimum
Pontryagin) memberikan 𝑤11(𝑡) = 0 dan 𝑤12(𝑡) = 0 , sehingga kontrol
optimum 𝑢1∗ diberikan oleh
Dengan demikian, berdasarkan (19), (20), dan (21) dapat dituliskan
𝑢1∗(𝑡) = 𝑏1; 𝑏1 ≤
𝜆1𝑇
2𝐴1. (19)
𝑢1∗(𝑡) = 𝑎1; 𝑎1 ≥
𝜆1𝑇
2𝐴1. (20)
𝑢1∗(𝑡) =
𝜆1𝑇
2𝐴1 ; 𝑎1 ≤
𝜆1𝑇
2𝐴1≤ 𝑏1. (21)
9
𝑢1∗ =
{
1
2𝐴1𝜆1𝑇
∗(𝑡) ; 𝑎1 ≤1
2𝐴1𝜆1𝑇(𝑡) ≤ 𝑏1
𝑎1; 1
2𝐴1(𝜆1𝑇(𝑡)) ≤ 𝑎1
𝑏1;1
2𝐴1(𝜆1𝑇(𝑡)) ≥ 𝑏1,
atau secara ringkas dapat ditulis
2. Kasus 0 ≤ 𝑎2 ≤ 𝑢2 ≤ 𝑏2
Dengan cara serupa yang digunakan pada kasus sebelumnya diperoleh
kontrol optimum
𝑢2∗ =
{
1
2𝐴2(𝜆2) (
−𝑔𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)) ; 𝑎2 ≤
1
2𝐴2(−𝑔𝑉(𝑡)𝜆2𝐵2 + 𝑉(𝑡)
) ≤ 𝑏2
𝑎2; 1
2𝐴2(−𝑔𝑉(𝑡)𝜆2𝐵2 + 𝑉(𝑡)
) ≤ 𝑎2
𝑏2; 1
2𝐴2(−𝑔𝑉(𝑡)𝜆2𝐵2 + 𝑉(𝑡)
) ≥ 𝑏2,
atau dalam notasi padu dapat ditulis
SOLUSI NUMERIK
Metode Runge-Kutta Orde-4
Solusi numerik dari sistem optimumitas diselesaikan dengan menggunakan
metode Runge-Kutta orde 4. Sistem state diselesaikan dengan metode maju
sedangkan sistem adjoin diselesaikan dengan metode mundur, sehingga untuk
menentukan solusi dibutuhkan dua tahap. Fungsi kontrol diperbaharui pada akhir
iterasi dengan menggunakan rumus kontrol optimum (22) dan (23). Tuliskan
kembali sistem (14), (15), (16), dan (17) dalam bentuk berikut:
𝑑𝑇(𝑡)
𝑑𝑡= 𝐹(𝑡, 𝑇, 𝑉), 𝑇(0) = 𝑇0,
𝑑𝑉(𝑡)
𝑑𝑡= 𝐺(𝑡, 𝑇, 𝑉), 𝑉(0) = 𝑉0,
𝑢1∗ = min {max {𝑎1,
1
2𝐴1(𝜆1𝑇(𝑡))} , 𝑏1}. (22)
𝑢2∗ = min {max {𝑎2,
1
2𝐴2(−𝑔𝑉(𝑡)𝜆2𝐵2 + 𝑉(𝑡)
)} , 𝑏2}. (23)
10
𝜆1̇ = 𝐻(𝑡, 𝜆1, 𝜆2), 𝜆1(𝑡𝑓) = 0,
𝜆2̇ = 𝐼(𝑡, 𝜆1, 𝜆2), 𝜆2(𝑡𝑓) = 0,
dengan
𝐹 = 𝑠1 −𝑠2𝑉(𝑡)
𝐵1 + 𝑉(𝑡)− 𝜇𝑇(𝑡) − 𝑘𝑉(𝑡)𝑇(𝑡) + 𝑢1(𝑡)𝑇(𝑡),
𝐺 =𝑔(1 − 𝑢2(𝑡))𝑉(𝑡)
𝐵2 + 𝑉(𝑡)− 𝑐𝑉(𝑡)𝑇(𝑡),
𝐻 = −1 + 𝜆1(𝑡)(𝜇 + 𝑘𝑉∗(𝑡) − 𝑢1
∗(𝑡)) + 𝜆2(𝑡)𝑐𝑉∗(𝑡),
𝐼 = 𝜆1(𝑡) (𝐵1𝑠2
(𝐵1 + 𝑉∗(𝑡))2 + 𝑘𝑇
∗(𝑡)) − 𝜆2(𝑡) (𝐵2𝑔(1 − 𝑢2
∗(𝑡))
(𝐵2 + 𝑉∗(𝑡))2 − 𝑐𝑇∗(𝑡)).
Algoritme untuk menentukan solusi diberikan seperti berikut:
1. Inisialisasi nilai awal untuk fungsi state, nilai akhir untuk fungsi adjoin, dan nilai
awal fungsi kontrol.
𝑇(0) = 𝑇0, 𝑉(0) = 𝑉0, 𝜆1(𝑡𝑓) = 0, 𝜆2(𝑡𝑓) = 0, 𝑢1(0) = 𝑢2(0) = 0
2. Menentukan solusi dari fungsi state menggunakan metode maju selama
𝑛 − 1 iterasi .
ℎ =𝑡𝑓 – 𝑡0
𝑛
for 𝑖 = 0,........, 𝑛 -1, do:
𝑛11 = 𝐹(𝑖, 𝑇(𝑖), 𝑉(𝑖));
𝑛12 = 𝐹(𝑖 +ℎ
2, 𝑇(𝑖) + 𝑛11
ℎ
2 , 𝑉(𝑖) + 𝑛11
ℎ
2);
𝑛13 = 𝐹(𝑖 +ℎ
2, 𝑇(𝑖) + 𝑛12
ℎ
2 , 𝑉(𝑖) + 𝑛12
ℎ
2);
𝑛14 = 𝐹(𝑖 + ℎ, 𝑇(𝑖) + 𝑛13 ℎ , 𝑉(𝑖) + 𝑛13 ℎ);
𝑛1 = 1
6(𝑛11 + 2 𝑛12 + 2 𝑛13 + 𝑛14);
𝑛21 = 𝐺(𝑖, 𝑇(𝑖), 𝑉(𝑖));
𝑛22 = 𝐺(𝑖 +ℎ
2, 𝑇(𝑖) + 𝑛21
ℎ
2 , 𝑉(𝑖) + 𝑛21
ℎ
2);
𝑛23 = 𝐺(𝑖 +ℎ
2, 𝑇(𝑖) + 𝑛22
ℎ
2 , 𝑉(𝑖) + 𝑛22
ℎ
2);
𝑛24 = 𝐺(𝑖 + ℎ, 𝑇(𝑖) + 𝑛23 ℎ , 𝑉(𝑖) + 𝑛23 ℎ);
𝑛2 = 1
6(𝑛21 + 2 𝑛22 + 2 𝑛23 + 𝑛24);
𝑇(𝑖 + 1) = 𝑇(𝑖) + ℎ 𝑛1;
𝑉(𝑖 + 1) = 𝑉(𝑖) + ℎ 𝑛2;
end
3. Menentukan solusi dari fungsi adjoin dengan metode mundur selama
𝑛 − 1 iterasi.
ℎ =𝑡𝑓 – 𝑡0
𝑛
for i = 0,........, 𝑛 -1,
j = (𝑛 − 1) − 𝑖 do:
𝑛11 = 𝐻(𝑗 + 1, 𝜆1(𝑗 + 1), 𝜆2(𝑗 + 1));
11
𝑛12 = 𝐻(𝑗 + 1 +ℎ
2, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛11
ℎ
2 , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛11
ℎ
2);
𝑛13 = 𝐻(𝑗 + 1 +ℎ
2, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛12
ℎ
2 , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛12
ℎ
2);
𝑛14 = 𝐻(𝑗 + 1 + ℎ, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛13 ℎ , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛13 ℎ);
𝑛1 = 1
6(𝑛11 + 2 𝑛12 + 2 𝑛13 + 𝑛14);
𝑛21 = 𝐼(𝑗 + 1, 𝜆1(𝑗 + 1), 𝜆2(𝑗 + 1));
𝑛22 =𝐼(𝑗 + 1 +ℎ
2, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛21
ℎ
2 , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛21
ℎ
2);
𝑛23 = 𝐼(𝑗 + 1 +ℎ
2, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛22
ℎ
2 , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛22
ℎ
2);
𝑛24 = 𝐼(𝑗 + 1 + ℎ, 𝜆1(𝑗 + 1) + 𝑛23 ℎ , 𝜆2(𝑗 + 1) + 𝑛23 ℎ);
𝑛2 = 1
6(𝑛21 + 2 𝑛22 + 2 𝑛23 + 𝑛24);
𝜆1(𝑗) = 𝜆1(𝑗 + 1) − ℎ 𝑛1;
𝜆2(𝑗) = 𝜆2(𝑗 + 1) − ℎ 𝑛2;
end
4. Setelah nilai numerik dari fungsi state dan adjoin diketahui, nilai dari fungsi
kontrol dapat ditentukan menggunakan persamaan (23) dan (26)
for i = 0,........, 𝑛, do:
𝑢1(𝑖) = min {max {𝑎1,1
2𝐴1(𝜆1(𝑖) 𝑇(𝑖))} , 𝑏1};
𝑢2(𝑖) = min {max {𝑎2,1
2𝐴2(−𝑔𝑉(𝑖)𝜆2(𝑖)
𝐵2+𝑉(𝑖))} , 𝑏2};
end
Hasil Numerik
Karya ilmiah ini menggambarkan kasus untuk dua nilai 𝐴1 yang berbeda
untuk jadwal perawatan selama 50 hari. Sintaks penentuan solusi numerik dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Sintak untuk pembuatan gambar solusi
numerik dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Gambar 1-4 menggunakan
𝐴1 = 250000 sedangkan Gambar 5-8 menggunakan 𝐴1 = 500000 dan nilai
parameter lain tetap sama. Nilai parameter pada sistem diberikan sebagai berikut:
Tabel 2 Nilai parameter
Notasi Nilai
𝐴2 75
𝑎1 0
𝑎2 0
𝑏1 0.02
𝑏2 0.9
𝑠1 2.0
𝑠2 1.5
𝜇 0.002
K 2.5 x 10−4
G 30
C 0.007
12
Tabel 2 Nilai parameter (lanjutan)
Notasi Nilai
𝐵1 14.0
𝐵2 1.0
Berdasarkan jenis obat yang dijadikan kontrol nilai 𝑏1 , yaitu batas atas
kontrol 𝑢1 , jauh lebih kecil dari nilai 𝑏2 yaitu batas atas kontrol 𝑢2 . Untuk
menyeimbangkan efek perbedaan nilai ini maka koefisien penyeimbang 𝐴1 diambil
jauh lebih besar dari pada 𝐴2.
Gambar 1 mewakili jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 selama 50 hari. Grafik sel 𝐶𝐷4+𝑇
tanpa kontrol mengalami penurunan sedangkan sel 𝐶𝐷4+𝑇 dengan kontrol
mengalami kenaikan signifikan sampai hari ke-45 lalu mendekati kestabilan pada
periode selanjutnya. Gambar 2 mewakili populasi HIV selama 50 hari, populasi HIV
tanpa kontrol terus mengalami kenaikan sampai hari ke-50 sedangkan populasi HIV
dengan kontrol mengalami kenaikan sampai hari ke-2 lalu mengalami fluktuasi
sehingga mengalami penurunan tajam sampai hari ke-40 lalu mendekati kestabilan
pada periode selanjutnya. Gambar 3 mewakili kontrol 𝑢1 dan 𝑢2 untuk jadwal
pemberian obat selama 50 hari, obat peningkat kekebalan tubuh diberikan dalam
skala penuh selama 38 hari dan kemudian dikurangi sampai nol di hari ke-50
berbeda dengan obat penekan virus yang konsumsinya selalu berkurang sampai nol
di hari ke-50.
Gambar 4 dan 5 mewakili jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 dan HIV dengan nilai 𝐴1 yang
berbeda yaitu sebesar 500000. Ketika Gambar 1 dan 2 dibandingkan dengan
Gambar 4 dan 5, terlihat bahwa nilai 𝐴1 yang lebih tinggi dapat mengurangi
populasi sel 𝐶𝐷4+𝑇 . Gambar 6 mewakili kontrol 𝑢1 dan 𝑢2 untuk jadwal
pemberian obat selama 50 hari dengan nilai 𝐴1 = 500000. Terlihat pada Gambar 6
bahwa obat peningkat kekebalan tubuh hanya bisa dikonsumsi penuh selama 23
hari.
Gambar 1 Populasi Sel 𝐶𝐷4+𝑇 dengan
𝐴1 = 250000
Gambar 2 Populasi Sel HIV
dengan 𝐴1 = 250000
13
Gambar 3 Fungsi kontrol dengan
𝐴1 = 250000
Gambar 4 Populasi Sel 𝐶𝐷4+𝑇 dengan
𝐴1 = 500000
Gambar 5 Populasi Sel HIV dengan
𝐴1 = 500000 Gambar 6 Fungsi kontrol dengan
𝐴1 = 500000
14
SIMPULAN
Simpulan
Pemberian kontrol pada model interaksi sel 𝐶𝐷4+𝑇 memberikan pengaruh
yang baik karena dapat membuat jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 menjadi semakin naik,
sedangkan jumlah sel HIV menjadi semakin menurun. Namun, semakin tinggi
parameter bobot, semakin cepat pengobatan harus dihentikan. Parameter bobot
yang tinggi menunjukkan bahwa obat tersebut semakin beracun atau dapat
mengakibatkan overdosis.
Saran
Karya ilmiah ini hanya membahas interaksi antara sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat
dengan sel HIV. Ada baiknya dibahas persamaan lainnya pada model Kirschner dan
Webb yaitu persamaan yang merepresentasikan laju sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sakit
(terinfeksi), sehingga tidak hanya jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat atau jumlah sel
HIV yang bisa diketahui tetapi dapat pula diketahui jumlah sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang
terinfeksi. Dengan begitu dapat dibandingkan sel 𝐶𝐷4+𝑇 yang sehat dengan sel
𝐶𝐷4+𝑇 yang sakit pada waktu 𝑡𝑓.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG. 2000. Imunologi Dasar. Jakarta (ID): Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hogg S. 2005. Essential Microbiology. Oxford (UK): John Wiley & Sons Ltd.
Joshi HR. 2002. Optimum control of an HIV immunology model. Optimum Control
Applications and Methods. 23(4):199-213.doi: 10.1002/oca.710
Kirschner D, Webb GF. 1998. Immunotheraphy of HIV-1 infection. Journal of
Biological Systems. 6(1):71-83.doi: 10.1142/S0218339098000091.
Munir R. 2003. Metode Numerik. Bandung (ID): Informatika.
Pontryagin LS, Boltyanskii VG, Gamkrelidze RV, Mischenko, EF. 1986. The
Mathematical Theory of Optimal Process. Montreux (CH): Gordon and Breach
Science Publisher.
Tu PNV. 1994. Dynamical Systems: An Introduction with Applications in
Economics and Biology. Heidelberg (DE): Springer-Verlag.
15
Lampiran 1 Penentuan Solusi Numerik Model tanpa Kontrol
function [T,V] = hiv_nocontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,T0,V0,t0,tf,n)
h = (tf-t0)/n; T = zeros(1,n+1); V = zeros(1,n+1); T(1) = T0; V(1) = V0;
for i = 1:n n11 = s1 - s2*V(i)/(B1+V(i)) - mu*T(i) - k*V(i)*T(i); n12 = s1 - s2*(V(i)+n11*h/2)/(B1+(V(i)+n11*h/2)) -
mu*(T(i)+n11*h/2) - k*(V(i)+n11*h/2)*(T(i)+n11*h/2); n13 = s1 - s2*(V(i)+n12*h/2)/(B1+(V(i)+n12*h/2)) -
mu*(T(i)+n12*h/2) - k*(V(i)+n12*h/2)*(T(i)+n12*h/2); n14 = s1 - s2*(V(i)+n13*h)/(B1+(V(i)+n13*h)) - mu*(T(i)+n13*h)
- k*(V(i)+n13*h)*(T(i)+n13*h); n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6; n21 = g*V(i)/(B2+V(i)) - c*V(i)*T(i); n22 = g*(V(i)+n21*h/2)/(B2+(V(i)+n21*h/2)) -
c*(V(i)+n21*h/2)*(T(i)+n21*h/2); n23 = g*(V(i)+n22*h/2)/(B2+(V(i)+n22*h/2)) -
c*(V(i)+n22*h/2)*(T(i)+n22*h/2); n24 = g*(V(i)+n23*h)/(B2+(V(i)+n23*h)) -
c*(V(i)+n23*h)*(T(i)+n23*h); n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6; T(i+1) = T(i) + h*n1; V(i+1) = V(i) + h*n2;
end
16
Lampiran 2 Penentuan Solusi Numerik Model dengan Kontrol
function [T,V,lambda1,lambda2,u1,u2,J] =
hiv_withcontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,A1,A2,a1,a2,b1,b2,T0,V0,t0,tf
,n)
tol = 0.000001; error1 = tol + 1; error2 = tol + 1;
h = (tf-t0)/n; T = zeros(1,n+1); V = zeros(1,n+1); lambda1 = zeros(1,n+1); lambda2 = zeros(1,n+1);
T(1) = T0; V(1) = V0;
u1 = zeros(1,n+1)+0.5; u2 = zeros(1,n+1)+0.5;
while(error1 > tol && error2 > tol)
oldu1 = u1; oldu2 = u2;
for i = 1:n n11 = s1 - s2*V(i)/(B1+V(i)) - mu*T(i) - k*V(i)*T(i) +
u1(i)*T(i); n12 = s1 - s2*(V(i)+n11*h/2)/(B1+(V(i)+n11*h/2)) -
mu*(T(i)+n11*h/2) - k*(V(i)+n11*h/2)*(T(i)+n11*h/2) +
u1(i)*(T(i)+n11*h/2); n13 = s1 - s2*(V(i)+n12*h/2)/(B1+(V(i)+n12*h/2)) -
mu*(T(i)+n12*h/2) - k*(V(i)+n12*h/2)*(T(i)+n12*h/2) +
u1(i)*(T(i)+n12*h/2); n14 = s1 - s2*(V(i)+n13*h)/(B1+(V(i)+n13*h)) -
mu*(T(i)+n13*h) - k*(V(i)+n13*h)*(T(i)+n13*h) +
u1(i)*(T(i)+n13*h); n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6; n21 = g*(1-u2(i))*V(i)/(B2+V(i)) - c*V(i)*T(i); n22 = g*(1-u2(i))*(V(i)+n21*h/2)/(B2+(V(i)+n21*h/2)) -
c*(V(i)+n21*h/2)*(T(i)+n21*h/2); n23 = g*(1-u2(i))*(V(i)+n22*h/2)/(B2+(V(i)+n22*h/2)) -
c*(V(i)+n22*h/2)*(T(i)+n22*h/2); n24 = g*(1-u2(i))*(V(i)+n23*h)/(B2+(V(i)+n23*h)) -
c*(V(i)+n23*h)*(T(i)+n23*h); n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6; T(i+1) = T(i) + h*n1; V(i+1) = V(i) + h*n2; end
for i = 1:n j = (n+1)-i; n11 = -1 + lambda1(j+1)*(mu+k*V(j+1)-u1(j+1)) +
lambda2(j+1)*c*V(j+1);
17
n12 = -1 + (lambda1(j+1)+n11*h/2)*(mu+k*V(j+1)-u1(j+1)) +
(lambda2(j+1)+n11*h/2)*c*V(j+1); n13 = -1 + (lambda1(j+1)+n12*h/2)*(mu+k*V(j+1)-u1(j+1)) +
(lambda2(j+1)+n12*h/2)*c*V(j+1); n14 = -1 + (lambda1(j+1)+n13*h)*(mu+k*V(j+1)-u1(j+1)) +
(lambda2(j+1)+n13*h)*c*V(j+1); n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6; n21 = lambda1(j+1)*(B1*s2/(B1+V(j+1))^2+k*T(j+1)) -
lambda2(j+1)*(B2*g*(1-u2(j+1))/(B2+V(j+1))^2 - c*T(j+1)); n22 =
(lambda1(j+1)+n21*h/2)*(B1*s2/(B1+V(j+1))^2+k*T(j+1)) -
(lambda2(j+1)+n21*h/2)*(B2*g*(1-u2(j+1))/(B2+V(j+1))^2 -
c*T(j+1)); n23 =
(lambda1(j+1)+n22*h/2)*(B1*s2/(B1+V(j+1))^2+k*T(j+1)) -
(lambda2(j+1)+n22*h/2)*(B2*g*(1-u2(j+1))/(B2+V(j+1))^2 -
c*T(j+1)); n24 = (lambda1(j+1)+n23*h)*(B1*s2/(B1+V(j+1))^2+k*T(j+1))
- (lambda2(j+1)+n23*h)*(B2*g*(1-u2(j+1))/(B2+V(j+1))^2 -
c*T(j+1)); n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6; lambda1(j) = lambda1(j+1) - h*n1; lambda2(j) = lambda2(j+1) - h*n2; end
temp1 = lambda1.*T/(2*A1); uu1 = min(b1,max(a1,temp1)); temp2 = -lambda2.*V./(2*A2*(B2+V)); uu2 = min(b2,max(a2,temp2)); u1 = 0.5*(uu1+oldu1); u2 = 0.5*(uu2+oldu2);
error1 = sum(abs(oldu1-u1)); error2 = sum(abs(oldu2-u2)); [error1, error2] end
f = T - (A1*u1.^2 + A2*u2.^2); J = sum(f*h);
18
Lampiran 3 Pembuatan Gambar Solusi Numerik dengan Nilai 𝐴1 = 250000
clear all close all
s1 = 2.0; s2 = 1.5; mu = 0.002; k = 2.5e-4; g = 30; c = 0.007; B1 = 14.0; B2 = 1.0; A1 = 25e+4; A2 = 75; a1 = 0; a2 = 0; b1 = 0.02; b2 = 0.9;
T0 = 400; V0 = 3.5; t0 = 0; tf = 50; n = 2000;
[Tc,Vc,lambda1,lambda2,u1,u2,J] =
hiv_withcontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,A1,A2,a1,a2,b1,b2,T0,V0,t0,tf
,n); [T,V] = hiv_nocontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,T0,V0,t0,tf,n);
t = linspace(0,tf,n+1);
plot(t,T,t,Tc,'--','LineWidth',2); title('Populasi Sel CD4^+ T
Sehat (T)'); legend('tanpa kontrol','dengan kontrol',2); grid; xlabel('hari'); ylabel('konsentrasi (per mm^3)'); figure; plot(t,V,t,Vc,'--','LineWidth',2); title('Populasi HIV (V)');
legend('tanpa kontrol','dengan kontrol',3); grid; xlabel('hari'); ylabel('konsentrasi (per ml)'); figure; plot(t,u1,t,u2,'--','LineWidth',2); title('Kontrol Optimum (u_1
dan u_2)'); legend('u_1','u_2'); grid; xlabel('hari'); figure; plot(t,lambda1,t,lambda2,'--','LineWidth',2); title('Fungsi Adjoin
(\lambda_1 dan \lambda_2)'); legend('\lambda_1','\lambda_2'); grid; xlabel('hari');
19
Lampiran 4 Pembuatan Gambar Solusi Numerik dengan Nilai 𝐴1 = 500000
clear all close all
s1 = 2.0; s2 = 1.5; mu = 0.002; k = 2.5e-4; g = 30; c = 0.007; B1 = 14.0; B2 = 1.0; A1 = 50e+4; A2 = 75; a1 = 0; a2 = 0; b1 = 0.02; b2 = 0.9;
T0 = 400; V0 = 3.5; t0 = 0; tf = 50; n = 2000;
[Tc,Vc,lambda1,lambda2,u1,u2,J] =
hiv_withcontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,A1,A2,a1,a2,b1,b2,T0,V0,t0,tf
,n); [T,V] = hiv_nocontrol(s1,s2,mu,k,g,c,B1,B2,T0,V0,t0,tf,n);
t = linspace(0,tf,n+1);
plot(t,T,t,Tc,'--','LineWidth',2); title('Populasi Sel CD4^+ T
Sehat (T)'); legend('tanpa kontrol','dengan kontrol',2); grid; xlabel('hari'); ylabel('konsentrasi (per mm^3)'); figure; plot(t,V,t,Vc,'--','LineWidth',2); title('Populasi HIV (V)');
legend('tanpa kontrol','dengan kontrol',3); grid; xlabel('hari'); ylabel('konsentrasi (per ml)'); figure; plot(t,u1,t,u2,'--','LineWidth',2); title('Kontrol Optimum (u_1
dan u_2)'); legend('u_1','u_2'); grid; xlabel('hari'); figure; plot(t,lambda1,t,lambda2,'--','LineWidth',2); title('Fungsi Adjoin
(\lambda_1 dan \lambda_2)'); legend('\lambda_1','\lambda_2'); grid; xlabel('hari');
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 19 November 1992 dari ayah
Bastaman dan ibu Sonaningsih. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 26 Bandung dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian
Talenta Masuk IPB dan diterima di Departemen Matematika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten dosen Kalkulus II
pada tahun ajaran 2011/2012 dan 2013/2014, asisten praktikum Pengantar Metode
Komputasi pada tahun ajaran 2012/2013, dan asisten dosen Pemodelan Matematika
pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen
MATH EVENT GUMATIKA IPB pada periode kepengurusan 2012 dan Kepala
Departemen MATH EVENT GUMATIKA IPB pada periode kepengurusan 2013.