kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada kesatuan

18
419 Journal of Natural Resources and Environmental Management 9(2): 419-436. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.419-436 E-ISSN: 2460-5824 http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat Business Contract in the Nature Tourism Utilization at Rinjani Barat Forest Management Unit Muhammad Rifqi Tirta Mudhofir a , Bramasto Nugroho b , Sudarsono Soedomo b a Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia b Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia Article Info: Received: 02 - 05 - 2018 Accepted: 11 - 07 - 2018 Keywords: content analysis, forest management unit (FMU), nature tourism Corresponding Author: Muhammad Rifqi Tirta Mudhofir Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; Email: [email protected] Abstract: Partnership in natural tourism utilization of protected forests area can increase the forests value, but also has a risk of damage to forest areas managed by Forest Management Unit of Rinjani Barat (KPHL). This study aims to examine the business contracts between the FMU and partners on the activities of natural tourism utilization in aspects of policy, rights and liability arrangements to business economic conditions. The relationship between FMU and partners can be seen as a principal-agent relationship that may have problems as adverse selection, asymmetric information, moral hazard and agency costs. Using policy and financial analysis, field observation and in-depth interviews, we found that natural tourism utilization can be done under several scheme such as business permit, forestry cooperation, social partnership and regional government cooperation. Formal contract between FMU and community potentially suppress the moral hazard behavior in the future. Increased ticket price, change fixed wage system and roles assignment for every party can make the contact become more optimal. How to cite (CSE Style 8 th Edition): Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S. 2019. Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat. JPSL 9(2): 419-436. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.419-436. PENDAHULUAN Pemanfaatan wisata alam dengan melibatkan mitra telah banyak dilakukan terutama pada hutan konservasi dan hutan produksi di Indonesia. Hingga tahun 2017 telah terdapat 153 Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) berupa pengadaan jasa dan sarana wisata pada hutan konservasi di Indonesia (PHKA 2017). Pengelolaan wisata alam pada kawasan hutan lindung saat ini memang belum banyak dilakukan dengan optimal, jika dibandingkan dengan kawasan hutan konservasi (Kristinawati 2014, Nurita 2016). Sembiring (2006) berpendapat bahwa pengelolaan hutan lindung terkendala oleh permasalahan kelembagaan, terutama mengenai peraturan dan lembaga pengelolaan pada tingkat tapak. Sasongko et al. (2014) menambahkan, pendanaan merupakan salah satu strategi penting untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan lindung. Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam oleh KPHL Rinjani Barat saat ini telah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak (mitra) termasuk perusahaan swasta, pemerintah daerah kabupaten, pemerintah desa hingga kelompok masyarakat. Pelibatan mitra perusahaan swasta dilakukan pada Resort Malimbu dengan luas kawasan 285.6 ha, sedangkan pelibatan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat (LB),

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

419

Journal of Natural Resources and Environmental Management 9(2): 419-436. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.419-436

E-ISSN: 2460-5824

http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan

Lindung Rinjani Barat

Business Contract in the Nature Tourism Utilization at Rinjani Barat Forest Management Unit Muhammad Rifqi Tirta Mudhofira, Bramasto Nugrohob, Sudarsono Soedomob a Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680,

Indonesia b Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia

Article Info:

Received: 02 - 05 - 2018 Accepted: 11 - 07 - 2018 Keywords: content analysis, forest management unit (FMU), nature tourism Corresponding Author: Muhammad Rifqi Tirta

Mudhofir Program Studi Ilmu Pengelolaan

Hutan, Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor; Email: [email protected]

Abstract: Partnership in natural tourism utilization of protected forests area

can increase the forests value, but also has a risk of damage to forest areas

managed by Forest Management Unit of Rinjani Barat (KPHL). This study

aims to examine the business contracts between the FMU and partners on

the activities of natural tourism utilization in aspects of policy, rights and

liability arrangements to business economic conditions. The relationship

between FMU and partners can be seen as a principal-agent relationship

that may have problems as adverse selection, asymmetric information, moral

hazard and agency costs. Using policy and financial analysis, field

observation and in-depth interviews, we found that natural tourism

utilization can be done under several scheme such as business permit,

forestry cooperation, social partnership and regional government

cooperation. Formal contract between FMU and community potentially

suppress the moral hazard behavior in the future. Increased ticket price,

change fixed wage system and roles assignment for every party can make the

contact become more optimal.

How to cite (CSE Style 8th Edition): Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S. 2019. Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan

Lindung Rinjani Barat. JPSL 9(2): 419-436. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.419-436.

PENDAHULUAN

Pemanfaatan wisata alam dengan melibatkan mitra telah banyak dilakukan terutama pada hutan

konservasi dan hutan produksi di Indonesia. Hingga tahun 2017 telah terdapat 153 Izin Pengusahaan

Pariwisata Alam (IPPA) berupa pengadaan jasa dan sarana wisata pada hutan konservasi di Indonesia

(PHKA 2017). Pengelolaan wisata alam pada kawasan hutan lindung saat ini memang belum banyak

dilakukan dengan optimal, jika dibandingkan dengan kawasan hutan konservasi (Kristinawati 2014, Nurita

2016). Sembiring (2006) berpendapat bahwa pengelolaan hutan lindung terkendala oleh permasalahan

kelembagaan, terutama mengenai peraturan dan lembaga pengelolaan pada tingkat tapak. Sasongko et al.

(2014) menambahkan, pendanaan merupakan salah satu strategi penting untuk mengatasi berbagai

permasalahan dalam pengelolaan hutan lindung.

Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam oleh KPHL Rinjani Barat saat ini telah dilakukan dengan

melibatkan berbagai pihak (mitra) termasuk perusahaan swasta, pemerintah daerah kabupaten, pemerintah

desa hingga kelompok masyarakat. Pelibatan mitra perusahaan swasta dilakukan pada Resort Malimbu

dengan luas kawasan 285.6 ha, sedangkan pelibatan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat (LB),

Page 2: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

420

pemerintah desa dan kelompok masyarakat dilakukan pada Resort Sesaot dengan luas kawasan 3 ha (KPHL

Rinjani Barat 2015). Potensi dan lokasi objek wisata pada Resort Malimbu yang berada pada kawasan wisata

di Pulau Lombok mengakibatkan mitra swasta tertarik untuk mengajukan kerjasama dengan KPH.

Keterlibatan mitra dalam pengelolaan wisata berpotensi meningkatkan nilai keberadaan hutan dan fungsi

pemberdayaan sosial, tetapi juga meningkatkan risiko kerusakan fungsi hutan akibat perilaku oportunis mitra

(Kasper et al. 2012).

Hubungan antara KPH dengan mitra pengelola dapat dipandang sebagai sebuah hubungan kontrak

antara principal (KPH) dan agent (mitra). Hubungan principal-agent terjadi ketika principal memberikan

sebagian hak kepada agent untuk melakukan suatu pekerjaan/kegiatan yang menjadi tujuan principal

(Eggertsson 1999). Dalam hubungan antara KPH dan mitra tersebut dapat muncul berbagai permasalahan

(agency problem), mulai dari kesalahan dalam menunjuk mitra pengelola (adverse selection), ketimpangan

informasi (assymetric information), hingga pelanggaran kesepakatan (moral hazard) yang telah dibuat

(Eisenhardt 1989). Identifikasi atas biaya pengawasan (agency cost) yang dikeluarkan oleh KPH sebagai

principal juga menjadi aspek penting dalam hubungan kontrak dengan mitra (Jensen dan Meckling 1976).

Struktur kontrak antara KPH dan mitra akan sangat dipengaruhi oleh peraturan terkait perangkat daerah

karena status KPH sebagai organisasi perangkat daerah serta kegiatan kehutanan. Untuk itu perlu diketahui

berbagai peraturan yang berpengaruh terhadap struktur kontrak kegiatan usaha wisata alam antara KPH dan

mitra. Keterlibatan pihak lain dapat meningkatkan nilai keberadaan hutan dan pemberdayaan sosial, tetapi

juga meningkatkan risiko kerusakan fungsi hutan akibat perilaku oportunis dalam pemanfaatan potensi hutan

(Kasper et al. 2012). Potensi konflik tersebut memungkinkan terjadinya perilaku moral hazard oleh mitra

maupun KPH. Principal-agent berfokus pada struktur preferensi setiap pihak, kondisi ketidakpastian,

struktur informasi, termasuk pembagian resiko dan manfaat agar dapat menciptakan kontrak yang optimal

(Eggertsson 1999). Pemberian hak kelola kepada mitra juga menimbulkan konsekuensi munculnya biaya

dalam melakukan kegiatan pengawasan atau penilaian laporan kegiatan usaha yang dilakukan mitra. Biaya

keagenan yang dikeluarkan dalam mengawasai mitra harus sebanding dengan manfaat yang diperoleh

(Jensen dan Meckling 1976). Kontrak akan optimal ketika biaya pengawasan atau biaya keagenan dapat

ditekan seminimal mungkin.

Kerjasama dalam kegiatan pemanfaatan hutan telah dilakukan baik pada kawasan hutan negara maupun

hutan milik (hutan rakyat) di Indonesia. Prihadi (2010) dan Kurniadi et al. (2013) mengkaji hubungan

kontrak antara petani dan pengusaha swasta dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yang menunjukkan

bahwa kontrak yang disepakati secara formal dapat lebih menjamin kelestarian usaha hutan rakyat.

Kerjasama pemerintah dalam kegiatan pemanfaatan wisata alam termasuk pada kawasan hutan konservasi

dapat menekan potensi konflik antara balai pengelola dengan masyarakat (Susetyo 2015). Christiani (2012)

juga menemukan bahwa kerjasama antara Perhutani (BUMN) dengan masyarakat dapat memberikan manfaat

ekonomi dan sosial bagi masyarakat, sekaligus meningkatkan keamanan kawasan hutan. Kegiatan

pemanfaatan wisata alam bersama KPH dan mitra belum banyak dilakukan dan dikaji secara mendalam,

sedangkan wisata alam merupakan salah satu potensi hutan lindung yang perlu dimanfaatkan secara

maksimal sehingga dapat meningkatkan nilai keberadaan hutan.

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menentukan struktur kontrak kemitraan yang optimal

dalam pemanfaatan wisata alam di KPHL Rinjani Barat, yang dapat dicapai dengan menganalisis kebijakan

pemerintah yang mempengaruhi hubungan KPH dan mitra, mengidentifikasi struktur hubungan kontrak serta

menganalisis kelayakan usaha pemanfaatan wisata alam antara KPH dan mitra. Hasil penelitian diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan bagi mitra dan KPH dalam menyusun perjanjian kerjasama usaha,

terutama pada kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam pada kesatuan pengelolaan hutan lindung

di Indonesia.

Page 3: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

421

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah KPHL Rinjani Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu pada Resort

Sesaot dan Resort Malimbu, sebagai KPH yang pertama kali melakukan kerjasama pemanfaatan wisata alam

di Indonesia. Pengambilan data dilakukan pada pada Januari hingga April 2017.

Metode Pengumpulan Data

Data penelitian berupa dokumen kebijakan yang mengatur kegiatan pemanfaatan wisata alam dan

organisasi KPH, kontrak kerjasama antara KPH dengan mitra, berbagai arsip dari KPH dan mitra yang

berhubungan dengan kerjasama, serta hasil wawancara dengan informan terpilih. Pengumpulan data

dilakukan dengan survei lapangan dan wawancara. Penentuan narasumber dilakukan secara purposive yaitu

pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kontrak hingga pelaksa-naan di lapangan dengan jumlah

20 orang.

Pihak yang menjadi narasumber terdiri atas KPHL Rinjani Barat, mitra perusahaan swasta (IZW), Dinas

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat (LB), Aliansi Pemuda Aiknyet (ALPA), kelompok kerja masyarakat

sesaot, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi NTB (DLHK), staf gubernur provinsi NTB, Dinas

Pariwisata Provinsi NTB (Dinpar NTB), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Provinsi NTB (DPMPTSP), Badan Pengelola Pendapatan Daerah Provinsi NTB (Bappenda) dan Direktorat

KPHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wawancara dilakukan secara mendalam dan bersifat

terbuka dengan beberapa pertanyaan kunci yang telah disusun sebelumnya.

Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis isi dengan pendekatan deduktif yaitu dengan menentukan

topik atau tujuan tertentu yang memang ingin dianalisis pada objek, serta dengan pendektan induktif yaitu

dengan turut menghimpun infomrasi umum yang mungkin terkait dengan objek (Hoffman et al. 2011; Elo

dan Kyngas 2008). Perjanjian kerjasama yang telah dibuat menjadi objek analisis yang dapat diklasifikasi

meliputi identifikasi mitra dan bentuk kegiatan, pembagian hak dan kewajiban, struktur informasi, serta

sistem perolehan manfaat yang digunakan. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk deskripsi dan tabulasi.

Analisis dilakukan pada objek wisata Kolam Sesaot, Pemandian Ai-knyet serta kerjasama usaha wisata

antara KPH dan mitra IZW, dengan menghitung nilai Net Present Value (NPV), Benefit/Cost (B/C) dan

Internal Rate of Return (IRR) (Zhang dan Pearse 2012).

Pendapatan usaha pada kedua objek wisata di Resort Sesaot diperoleh dari laporan Badan Pengelolaan

Pendapatan Daerah Provinsi NTB yang kemudian dijadikan dasar pendekatan jumlah wisatawan. Biaya

pembangunan sarana dan operasional diperoleh berdasarkan laporan keuangan dan wawancara dengan KPH

Kabupaten Lombok Barat, dan Dinpar NTB. Nilai pendapatan pada Resort Malimbu diduga berdasarkan tarif

villa dan objek wisata contoh di sekitar lokasi wisata dengan sarana dan fasilitas yang sama. Biaya

pembangunan sarana wisata diduga berdasarkan Peta Rencana Kerja mitra IZW dengan menggunakan dasar

harga pada Standar Satuan Harga Provinsi NTB Tahun Anggaran 2018 (Keputusan Gubernur NTB Nomor

902 - 547 tahun 2017). Biaya operasional usaha wisata pada Resort Sesaot diasumsikan sebesar 30% dari

pendapatan yang akan diperoleh. Periode analisis finansial dilakukan selama 15 tahun dengan tingkat

diskonto 4%.

Page 4: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

422

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan Pemanfaatan Wisata Alam

Kegiatan pemanfaatan wisata alam oleh KPH bersama mitra dipengaruhi oleh beberapa peraturan

mengenai pemanfaatan hutan dan organisasi perangkat daerah. Peraturan kehutanan memberikan ruang bagi

KPH untuk melakukan kegiatan usaha wisata alam bersama mitra dengan skema izin usaha (Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor: P.22/Menhut-II/2012 Tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa

Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung), skema kerjasama kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor: P.49/MENLHK/SETJEN /KUM.1/9/2017 Tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan Pada Kesatuan

Pengelolaan Hutan.

Skema kerjasama kehutanan sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.47/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (P 47/2013)), dan skema

kemitraan kehutanan (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial). Sedangkan posisi KPH sebagai organisasi

pemerintah daerah mengakibatkan KPH terikat pada Peraturan Pemerintah Nomor: PP.50/2007 tentang

Kerjasama Daerah (PP 50/2007). Berdasarkan uraian tersebut, pelibatan mitra dalam kegiatan pemanfaatan

wisata alam dapat dilakukan dalam empat skema, yaitu izin usaha (IUPJLWA), kerjasama kehutanan,

kemitraan kehutanan dan kerjasama daerah (KSD) (Tabel 1).

Skema KSD dipilih karena pemerintah provinsi NTB lebih berpengalaman dan memahami mekanisme

penyusunan SPK, menjamin retribusi bagi pemerintah daerah serta memberikan ruang bagi perusahaan

swasta maupun pemerintah daerah (LB) untuk menjadi mitra KPH (berdasarkan hasil wawancara dengan

Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala KPH). Izin usaha tidak dapat diberikan kepada entitas pemerintah

daerah, sehingga tidak dapat digunakan untuk kerjasama antara KPH dan LB. Kerjasama daerah seringkali

menjadi salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam mengatasi keterbatasan sumber daya,

meningkatkan pendapatan daerah, serta menekan potensi konflik sumber daya antar pemerintah daerah

(Surkati 2012, Hermantyo 2007). Perubahan UU perangkat daerah juga memberikan penegasan wewenang

kepada pemerintah daerah dalam kegiatan kehutanan yang tidak berdampak besar terhadap bentang alam,

salah satunya adalah izin pembangunan sarana wisata (Steni 2016).

Hubungan kontrak antara KPH dan mitra juga dipengaruhi oleh peraturan mengenai izin lingkungan.

Batasan kegiatan pembangunan serta dokumen izin lingkungan menjadi salah satu syarat bagi mitra dalam

melaksanakan kegiatan usaha wisata alam. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin

Lingkungan telah menyebutkan bentuk dokumen izin lingkungan dapat berupa UKL-UPL atau Amdal.

Peraturan kehutanan dan kerjasama daerah yang terkait dengan usaha wisata tidak menyebutkan secara rinci

bentuk dokumen lingkungan yang harus disiapkan mitra sebagai syarat usaha. Perbedaan jenis izin

lingkungan berpengaruh terhadap biaya yang akan dikeluarkan mitra (berdasarkan hasil wawancara dengan

Direktur PT IZW). Ketidakpastian bentuk izin lingkungan menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi

penyelewengan yang dapat berdampak terhadap biaya transaksi usaha wisata (Effendi 2015).

Hubungan Kontrak antara KPH dan Mitra

Usaha wisata alam yang dilakukan oleh KPH bersama setiap mitra memiliki potensi dan pengaturan

yang cukup berbeda (Tabel 2). Pemerintah Desa Sesaot berperan langsung dalam pengelolaan usaha wisata

serta berkoordinasi dengan kelompok kerja masyarakat sebagai tenaga teknis, sedangkan pada objek wisata

pemandian Aiknyet usaha wisata langsung dikelola oleh KPH dan masyarakat (ALPA). Kabupaten Lombok

Barat hanya melakukan pembangunan sarana wisata dan tidak melakukan pemberdayaan sosial atau terlibat

dalam kegiatan pengelolaan seperti yang disebutkan di dalam kontrak. Kontrak dalam bentuk IUPJLWA

dilakukan hanya bersama mitra IZW, atas dasar permintaan mitra dalam mempermudah investasi usaha.

Page 5: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

423

Tabel 1 Skema pemanfaatan wisata alam dengan pelibatan mitra pada kawasan hutan lindung

No. Perihal IUPJLWA Kerjasama

Kehutanan

Kemitraan Perhutanan

Sosial Kerjasama Daerah

1 Dasar

kebijakan P 22/2012 P 49/2017 P 83/2016 PP 50 / 2007

2 Pelaku / Mitra

Perorangan, BUMN,

BUMD, BUMS, atau

koperasi

Perorangan, Kel.

masyarakat, BUM

Desa, Koperasi

setempat, UMKM,

BUMD/N/SI

Masyarakat sekitar

kawasan hutan

Pemerintah daerah,

departemen/LPND,

badan hukum

3 Jenis Kegiatan

Pengadaan jasa wisata

alam & pengadaan

sarana wisata alam

Pemanfaatan

kawasan, jasa

lingkungan, &

pemungutan HHBK

Pemanfaatan kawasan &

jasa lingkungan

Kegiatan pelayanan,

perencanaan,

pengurusan,

pembangunan &

rehabilitasi.

5 Bentuk

Kontrak Izin Usaha

Surat Perjanjian

Kerjasama

Naskah Kesepakatan

Kerjasama

Surat Perjanjian

Kerjasama

6 Penerbit izin

Izin jasa kepala KPH,

izin sarana kepala

daerah

Kadis terkait,

Gubernur, Menteri

Dir. Perhut. Sosial &

Kemitraan Lingkungan

KLHK

Kepala daerah

8 Dokumen

Persyaratan

Profil perusahaan,

rekom. teknis 3 instansi,

Peta Areal, RPPA,

RKT/L/U,dok.

lingkungan.

Rencana Pengelolaan

Hutan oleh KPH

Profil calon mitra, peta

lokasi kemitraan, rencana

kegiatan

Administrasi

perusahaan, LoI,

proposal

kegiatan/rencana

usaha

9 Instansi

Terkait

KLHK, KPH, DLHK,

BKSDA, DKPMPPT &

Bappeda

KPH & Kepala

Daerah

UPT/ KPH/ Pemegang

Izin terkait, Pokja PPS,

aparatur desa/kecamatan,

Ditjen PSKL

Bappeda, Biro

Hukum, Dinas

Pendapatan Daerah,

Dinas

Kehutanan/KPH

10 Jangka Waktu

5 tahun pengadaan

sarana, 35 tahun

pengadaan jasa

10 tahun, 20 tahun

pemanfaatan kayu

Disepakati oleh mitra dan

pengelola

1 tahun MoU / Sesuai

kesepakatan pada

SPK

11 Kontribusi Iuran pada KLHK,

pungutan untuk KPH PNBP & bagi hasil PNBP

Retribusi tahunan atau

hasil usaha untuk

PAD

Tabel 2 Kegiatan usaha wisata antara KPH dan Mitra

Objek

Wisata Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet Resort Malimbu Resort Malimbu

Mitra Kab. Lombok Barat, Desa

Sesaot, Kel. Masyarakat

Kab. Lobok Barat, Kel.

Masyarakat IZW THI

Potensi

Wisata

Kolam pemandian buatan,

aliran sungai dan rumah

pohon

Kolam pemandian alami,

camping fround, aliran

sungai, dan tegakan hutan

Aliran sungai, tegakan

dan panorama hutan

Aliran sungai, tegakan

dan panorama hutan

Jenis

Usaha Wisata tirta

Wisata tirta, sarana

akomodasi

Wisata tirta, sarana

akomodasi dan wisata

petualangan

Wisata tirta, sarana

akomodasi dan wisata

petualangan

Bentuk

Kontrak SPK SPK SPK dan IUPJLWA SPK

Page 6: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

424

Hubungan kontrak antara KPH dan mitra Kabupaten Lombok Barat dan IZW diatur dalam SPK yang

menjelaskan berbagai ketentuan pembagian peran dan wewenang dalam kegiatan usaha, sedangkan dengan

pemerintah desa dan kelompok masyarakat hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama (Tabel 3).

Penyusunan SPK antara mitra dan KPH turut melibatkan berbagai pihak antara lain Staf Gubernur Provinsi

NTB, DLHK, Dinpar NTB dan BKSDA NTB. Sedangkan penyusunan IUPJLWA turut melibatkan Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi NTB (Bappeda) serta pengajuan izin teknis dari BKSDA

NTB, Dinpar NTB dan DLHK. Terdapat beberapa persyaratan yang kembali harus dilakukan oleh mitra

dalam memperoleh izin usaha. Situasi tersebut menjadi indikasi belum terciptanya sistem kerjasama yang

efisien dan ideal dalam sebuah hubungan kerjasama pemerintah (Surkati 2012).

Kegiatan usaha mengacu pada seluruh bentuk usaha jasa dan sarana wisata alam dalam P 22/2012 yang

telah menyebutkan sifat bangunan sarana, namun tidak ada ketentuan teknis pembangunan lebih lanjut. Hal

ini juga menjadi salah satu kendala saat ekspose dilakukan, karena perangkat daerah pemberi izin teknis

kegiatan usaha tidak dapat menilai rencana pembangunan yang akan dibuat mitra (berdasarkan hasil

wawancara dengan Kepala DLHK 2014). Pemindahan kekuasaan yang diberikan KPH kepada mitra bersifat

sementara dan terbatas pada kegiatan yang telah diatur. Penelitian Nugroho (2016) menunjukkan bahwa

dalam kegiatan pengelolaan hutan bersama mitra dapat terjadi pemindahan hak yang bersifat sementara atau

permanen yang sangat bergantung pada sifat komoditi yang dimanfaatkan. Potensi jasa lingkungan

merupakan komoditi hutan yang pemanfaatannya cenderung tidak merusak keberadaan hutan, sehingga

pemindahan hak kelola yang diberikan kepada mitra dapat dikategorikan bersifat sementara.

Peran mitra swasta dalam usaha wisata di Resort Malimbu lebih dominan dibandingkan KPH. Seluruh

kegiatan usaha wisata alam menjadi tanggung jawab mitra sebagai pelaksana, termasuk biaya pembangunan

sarana dan operasional suaha wisata. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh tawaran kontrak usaha yang memang

diajukan oleh mitra swasta. Sedangkan pada Resort Sesaot, KPH ikut mengerjakan beberapa kegiatan usaha

wisata dengan turut melibatkan masyarakat, setelah pembangunan sarana oleh mitra Kabupaten Lombok

Barat. Isi kontrak usaha pada Resoert Malimbu menjelaskan bahwa KPH hanya berperan dalam menjamin

hak pengusahaan mitra atau menjamin exclussive rights terhadap pengelolaan SDA berupa wisata alam.

Eggertsson (1990) menyebutkan bahwa seringkali dibutuhkan biaya dalam menjamin exclussive rights atas

pemanfaatan suatu sumber daya.

Walaupun penjaminan usaha merupakan kewajiban KPH, biaya yang digunakan dalam proses ganti rugi

tersebut berasal dari mitra. KPH lebih banyak berperan dalam penyediaan tenaga teknis lapangan saat proses

survei pemetaan dan sosialisasi. Kewajiban KPH dalam menjamin hak kelola mitra, juga memberikan

peluang munculnya biaya bagi KPH di masa mendatang, misalnya saat terjadi konflik sosial dengan

masyarakat saat usaha wisata sudah berjalan. Pelibatan kelompok masyarakat dalam usaha wisata alam

mendukung salah satu fungsi KPH dalam mengelola kawasan hutan. Usaha wisata alam bersama masyarakat

sekitar dapat memberikan dampak positif bagi kawasan hutan karena akan meningkatkan kepedulian

terhadap keberlangsungan hutan (Wunder 2000). Selain itu, usaha wisata juga dapat memberikan dampak

ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat dibandingkan usaha wisata yang dikelola oleh perusahaan

perseorangan (Lamers et al. 2014).

Sumber anggaran biaya pembangunan sarana pada setiap objek wisata bersumber dari berbagai pihak

(Tabel 4). Anggaran KPH dan Dinpar NTB berasal dari APBD provinsi NTB sedangkan anggaran

Kabupaten Lombok Barat merupakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Tugas Pembantuan (TP).

Kebijakan pemerintah pusat tersebut menjadi dasar pelaksanaan program pembangunan sarana wisata pada

beberapa objek wisata yang dilakukan Kabupaten Lombok Barat. Resort Sesaot merupakan salah satu lokasi

terpilih yang kemudian pelaksanaanya dilakukan melalui kerjasama bersama KPH dan Pemerintah Provinsi

NTB. DAK dan TP merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal yang diberikan pemerintah pusat guna

membantu kinerja pemerintah daerah (Tuasikal 2008). Kebijakan DAK dan TP cenderung dapat memberikan

pengaruh positif bagi kinerja keuangan pemerintah daerah di Indonesia (Sumarmi 2010, Pelealu 2013,

Oktora dan Pontoh 2013).

Page 7: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

425

Tabel 3 Analisis isi kontrak (SPK) antara KPH dan mitra

No. Analisis Butir (%)

Uraian LB Swasta

1.

Transfer kewenangan pengelolaan

wisata bersifat sebagian dan

dilakukan sementara

29 27

Kegiatan mitra dibatasi dalam jenis usaha , luas dan lokasi

petak yang akan dimanfaatkan dalam periode tertentu (35

tahun untuk mitra swasta, 5 tahun untuk mitra LB).

2.

Mitra sebagai pengelola usaha

wisata turut mengemban beberapa

kewajiban dalam pengelolaan

kawasan hutan.

12 8

Mitra juga bertanggung jawab atas kelestarian fungsi dan

keamanan kawasan termasuk sebagai dampak dari usaha

wisata, serta wajib melakukan kegiatan pemberdayaan

masyarakat.

3.

KPH dapat memperoleh hasil

usaha dan mengawasi kegiatan

mitra

3 5

KPH berhak memperoleh sebagian hasil usaha sesuai

dengan kesepakatanserta berhak melakukan pengawasan

terhadap mitra melalui laporan dan pengawasan kegiatan

usaha.

4.

KPH tetap bertanggung jawab

terhadap kawasan hutan dan turut

menjamin exclusive rights mitra.

7 5

KPH tetap memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian

dan keamanan kawasan hutan. Kontrak juga memberikan

tanggungjawab kepada KPH untuk menjamin kepastian

hak usaha mitra (exclusive rights).

5.

Biaya pembangunan sarana

sebagian besar bersumber dari

mitra

7 7

Distribusi biaya pembangunan sarana usaha dibebankan

kepada mitra. Objek wisata atau potensi hutan tidak

diperhitungkan sebagai modal usaha.

6. Perolehan manfaat menggunakan

sistem bagi hasil dan upah tetap. 7 8

Kontrak usaha pada Kolam Sesaot menggunakan sistem

profit sharing, pada Pemandian Aiknyet menggunakan

sistem reveneu sharing dan fixed wage, dengan

perusahaan swasta menggunakan profit sharing.

7.

Upaya KPH mengatasi

ketimpangan informasi berupa

dokumen persyaratan dan

pengawasan terhadap kegiatan

mitra (behavior outcame).

17 22

Dokumen persyaratan mitra swasta berupa profil

perusahaan, RKU, RKL, RKT dan RPPA, serta izin

lingkungan sedangkan bagi mitra LB berupa dokumen tata

batas dan rencana areal kerja. Kontrak tidak mengatur

bentuk dan periode laporan secara spesifik.

8. Sanksi berupa teguran, tindakan,

hingga pemutusan kontrak. 7 7

Tidak dijelaskan secara lebih rinci bentuk tindakan yang

dapat dilakukan KPH saat mitra melanggar kontrak.

9.

Musyawarah sebagai strategi

utama mengatasi kondisi

ketidakpastian

12 12

Mitra dan KPH sepakat untuk melakukan musyawarah

atas dampak keadaan kahar dan tidak akan melakukan

tuntutan.

Total 100 100

Salah satu permasalahanan utama dalam kontrak adalah menentukan besaran dan sistem perolehan

manfaat yang optimal, sehingga agent dapat melakukan pekerjaan semakismal mungkin sesuai dengan tujuan

yang telah disepakati. Penentuan besaran proporsi bagi hasil antara KPH dan mitra dilakukan tanpa

pertimbangan khusus (Berdasarkan hasil wawancara dengan KPHL Rinjani Barat, KLB, dan Kelompok

Masyarakat). Unsur modal dan manfaat usaha wisaata dapat dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara

principal dan agent, serta manfaat yang dirasakan kedua pihak (Kurniadi et al. 2013, Wibowo 2013).

Perolehan manfaat menunjukkan nilai yang tidak sebanding jika dibandingkan dengan distribusi biaya

pembangunan sarana. Biaya pembangunan sarana yang dikeluarkan KLB bersumber dari anggaran

pemerintah pusat sehingga tidak membebani anggaran daerah.

Besarnya nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sebagai insentif dalam kegiatan pengelolaan

SDA akan sangat berpengaruh bagi keberlanjutan kegiatan pengelolaan wisata (Suich 2013). Proporsi bagi

hasil untuk KPH pada Kolam Sesaot relatif lebih kecil dibandingkan dengan Pemandian Aiknyet. Hal ini

dikarenakan peran KPH sangat minim dalam operasional usaha wisata Kolam Sesaot. Pengawasan dan

Page 8: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

426

pembagian hasil usaha kepada masyarakat langsung dilakukan oleh Pemerintah Desa Sesaot (berdasarkan

hasil wawancara dengan Kepala Resort Sesaot dan Pokja Pemuda Sesaot). Besarnya proporsi KPH untuk

Pemandian Aiknyet dipengaruhi oleh sistem upah tetap anggota ALPA yang menjadi tanggungjawab KPH.

Ketentuan besar upah ditentukan dalam kesepakatan bersama antara KPH, ALPA dan pemerintah desa

Buwun Sejati atas dasar pendapatan yang diperoleh masyarakat sebelum adanya pembangunan sarana wisata.

Pemerintah desa Buwun Sejati tetap memperoleh bagian hasil usaha, walaupun tidak banyak berperan

sedangkan ALPA juga memperoleh bagi hasil usaha selain upah tetap, sebagai salah satu bentuk

pemberdayaan sosial yang dilakukan oleh KPH kepada masyarakat sekitar kawasan hutan (berdasarkan hasil

wawancara dengan Kepala KPHL Rinjani Barat).

Bentuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh KPH terhadap mitra dilakukan sebelum dan setelah

kontrak disepakati berupa berbagai persyaratan kontrak, termasuk kegiatan ekspose yang dilakukan dengan

perangkat daerah terkait dan masyarakat. Setelah kontrak disepakati pengawasan dilakukan melalui laporan

kegiatan. Sistem bagi hasil yang digunakan dalam kontrak juga merupakan salah satu bentuk keputusan KPH

yang bersifat insentif bagi masyarakat sebagai mitra. Persyaratan kontrak dan sistem perolehan manfaat yang

disepakati antara KPH dan Mitra dapat digolongkan menjadi ketentuan yang bersifat command and control

(CAC) dan insentif ekonomi (EI). Masing-masing ketentuan bersifat saling melengkapi dalam mencapai

tujuan kegiatan serta menekan biaya pengawasan (Harrington dan Morgenstern 2004). Bagi hasil dapat

memberikan dorongan kinerja bagi masyarakat untuk menjalankan perannya dalam kegiatan usaha (Astana

et al. 2007).

Berbagai persyaratan yang harus dipenuhi mitra merupakan sebuah cara KPH (principal) dalam

menekan ketimpangan informasi dan terjadinya moral hazard oleh mitra. Kebijakan KPH tersebut

menimbulkan konsekuensi munculnya biaya keagenan yang dalam hubungan ini dibebankan kepada mitra.

Fachrudin (2011) menyatakan bahwa biaya keagenan bagi KPH dapat menurun seiring dengan

bertambahnya beban bagi mitra. Namun, biaya keagenan yang dibebankan kepada mitra akan memunculkan

konflik kepentingan antara KPH dan mitra (Hajrah et al. 2015). Keputusan KPH untuk menggunakan sistem

musyawarah sebagai salah satu sistem pengawasan mitra berpotensi meningkatkan biaya pengawasan dan

inefisiensi waktu pelaksanaan usaha. Kelembagaan formal terkadang diperlukan dalam melakukan sebuah

kegiatan usaha, agar peran setiap pihak dapat lebih efektif (Kuhaja 2014). Ketika jumlah mitra semakin

bertambah dan kegiatan yang dilakukan semakin kompleks, sistem musyawarah akan cenderung tidak efektif

untuk dilakukan karena dapat menambah biaya pengawasan bagi KPH. Semakin banyaknya jumlah pihak

yang terlibat serta bertambah panjangnya rantai pengurusan administrasi cenderung menambah biaya yang

dibutuhkan dalam mengawasi prilaku mitra (Kurniadi et al. 2013).

Tabel 4 Distribusi biaya dan kesepakatan bagi hasil antara KPH dan mitra

Pihak

Proporsi (%)

Kolam

Sesaot Pemandian Aiknyet

Resort

Malimbu

Distribusi Biaya Investasi

KPH

22.2

Kabupaten Lombok Barat 100 58.9

Dinas Pariwisata NTB

18.8

IZW

100

Distribusi Bagi Hasil Usaha

KPH 25 75 15

Kabupaten Lombok Barat 10 10

Pemerintah Desa 15 10

Kelompok Masyarakat 50 5

IZW

85

Page 9: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

427

Keragaan Finansial Usaha Wisata Alam

Kegiatan usaha wisata alam di Resort Sesaot mulai beroperasi pada Januari 2017. Pendapatan usaha

berasal dari penjualan tiket masuk objek wisata sebesar Rp 10 000 per orang, tiket parkir sebesar Rp 5 000

per unit untuk kendaraan roda 2, serta retribusi pedagang lokal. Penarikan retribusi pedagang lokal hanya

dilakukan pada objek wisata Kolam Sesaot yaitu sebesar Rp 5 000 per hari bagi setiap pedagang. Pendapatan

yang diperoleh langsung diserahkan kepada KPH atau perangkat desa setiap minggu.

Setiap objek wisata memiliki komponen biaya yang berbeda karena dipengaruhi oleh isi kontrak yang

berbeda. Pada objek wisata Kolam Sesaot tidak terdapat biaya upah kelompok masyarakat karena

menggunakan sistem profit sharing (Tabel 5). Biaya investasi pada objek wisata Pemandian Aiknyet lebih

kecil dibandingkan biaya investasi pada Kolam Sesaot, walaupun nilai tersebut bersumber dari tiga pihak

yaitu Kabupaten Lombok Barat, KPH dan Dinas Pariwisata NTB (Tabel 6). Operasional usaha wisata alam

pada Pemandian Aiknyet membutuhkan biaya yang lebih besar hingga 2.5 kali dibandingkan dengan Kolam

Sesaot karena adanya biaya upah kelompok masyarakat yang mencapai 76.4% dari total biaya operasional

setiap tahunnya.

Seluruh biaya usaha wisata pada Resort Malimbu dikeluarkan oleh mitra IZW. Biaya untuk

pembangunan villa merupakan biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh mitra IZW yaitu mencapai 51%

dari total biaya investasi (Tabel 7).

Tabel 5 Komponen pendapatan dan biaya pada objek wisata kolam sesaot

No. Uraian Satuan

Nilai (x1000)

LB KPH Seluruh

Pihak

Pendapatan

1 Penjualan tiket Rp/tahun 347 640

2 Retribusi pedagang Rp/tahun 9 000

Pendapatan Total 356 640

Biaya Investasi

1 Pembangunan sarana wisata Rp 2 993 797

Biaya Investasi Total Rp 2 993 797

Biaya Operasional

1 Peralatan operasional Rp/tahun 2 400

2 Pengelolaan sampah Rp/tahun 3 600

3 Biaya perjalanan pegawai Rp/tahun 1 200

4 Biaya inspeksi lapangan Rp/tahun 300

5 Promosi dan pemasaran Rp/tahun 800

6 Pemeliharaan tahunan Rp/tahun 59 875

7 Perawatan 5 tahunan Rp/5tahun 748 449

Biaya Operasional tahunan Rp/tahun 1 500 66 675

Biaya operasional 5 tahunan Rp/5tahun 815 124

Tabel 6 Komponen anggaran usaha wisata alam pada Pemandian Aiknyet

No. Uraian Satuan

Nilai (x1000)

LB KPH Dinpar

NTB

Seluruh

Pihak

Pendapatan

1 Penjualan Tiket Rp/tahun 521 460

Pendapatan Total Rp/tahun 521 460

Page 10: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

428

Biaya Investasi

1 Pembangunan sarana wisata Rp 412 946 1 095 000 349 810

Biaya Investasi Total Rp 412 946 1 095 000 349 810

Biaya Operasional

1 Upah tenaga kerja Rp/tahun 312 000

2 Peralatan operasional Rp/tahun 546

3 Promosi dan pemasaran Rp/tahun 800

4 Biaya perjalanan pegawai Rp/tahun 1 200

5 Biaya inspeksi lapangan Rp/tahun 300

6 Pemeliharaan tahunan Rp/tahun 37 155

7 Perawatan 5 tahunan Rp/

5tahun 464 439

Biaya Operasional tahunan Rp/tahun 352 001

Biaya operasional 5 tahunan Rp/

5tahun 816 440

Tabel 7 Komponen pendapatan dan biaya usaha wisata alam bersama mitra IZW

No. Uraian Satuan Nilai (x1000)

Pendapatan

1 Penyewaan villa Rp/tahun 16 237 025

2 Paket outbond Rp/tahun 46 800

3 Paket renang Rp/tahun 48 000

Pendapatan Total 16 331 825

Biaya Investasi

1 Konstruksi Villa Rp 28 085 400

2 Konstruksi Kolam Renang Rp 1 760 500

3 Konstruksi Jalan Wisata Rp 8 524 683

4 Konstruksi Lapangan Parkir Rp 128 234

5 Dekorasi dan perlengkapan hotel Rp 5 775 000

Biaya Investasi Total Rp 44 273 817

Biaya Operasional

1 Operasional penginapan dan jasa wisata Rp/tahun 4 899 547

2 Pemeliharaan sarana Rp/tahun 769 976

3 Perawatan sarana Rp/ 5 tahun 9 624 704

4 Pajak Rp/tahun 1 633 182

Biaya Operasional Tahunan Rp/tahun 7 302 705

Biaya Operasional 5 tahunan Rp/ 5 tahun 16 927 409

Tabel 8 Kelayakan finansial usaha wisata alam pada setiap objek wisata

Kriteria Kolam Sesaot Pemandian

Aiknyet

Resort

Malimbu

NPV -856404290.00 -643403720.00 2842122733

9.00

BCR 0.97 0.97 1.56

IRR -0.58 -1.65 17.90

Page 11: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

429

Tabel 9 Perolehan pendapatan setiap pihak saat ini

Pihak Nilai (Rp/Tahun)

Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet Resort Malimbu

KPH 87 660 000 157 095 000 1 354 367 796

Kabupaten Lombok Barat 35 064 000 20 946 000

Pemerintah Desa 52 596 000 20 946 000

Kelompok Masyarakat 175 320 000 322 473 000

IZW 7 674 750 845

Biaya keagenan dapat berupa biaya pengawasan dan biaya yang harus dikeluarkan akibat keterikatannya

dengan mitra (Jensen dan Mackling 1976). Upah tenaga kerja pada objek wisata Pemandian Aiknyet

merupakan bentuk biaya keagenan dalam hubungan KPH dan mitra. Sistem upah tetap untuk masyarakat

menimbulkan biaya yang besar bagi KPH. Perubahan sistem perolehan manfaat dalam kontrak dapat

berpotensi menekan biaya keagenan yang dikeluarkan KPH (Eggertsson 1999). KPH sebagai suatu

organisasi juga mengeluarkan biaya keagenan berupa biaya perjalanan pegawai atau biaya inspeksi lapangan

dan biaya jasa akuntan untuk penilaian keuangan terutama dalam kerjasama yang dilakukan bersama IZW.

Biaya tersebut dikeluarkan dalam rangka menjamin perilaku kelompok masyarakat sebagai tenaga teknis

operasional usaha wisata. Perkiraan nilai biaya pengawasan yang dikeluarkan KPH pada Resort Malimbu

sebesar Rp 10 800 000 per tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha wisata alam pada objek wisata

Kolam Sesaot dan Pemandian Aiknyet tidak layak secara finansial, sedangkan pada Resort Malimbu layak

secara finansial. NPV pada objek wisata Kolam Sesaot dan Pemandian Aiknyet bernilai negatif dengan B/C

yang sama yaitu 0.97 dengan nilai IRR yang negatif (Tabel 8).

Walaupun usaha wisata alam pada kedua objek wisata di Resort Sesaot tidak layak secara finansial,

setiap pihak saat ini masih tetap memperoleh pendapatan atas bagi hasil maupun upah tenaga kerja (Tabel 9).

Usaha wisata alam layak secara finansial bagi kelompok masyarakat dan pemerintah desa karena kedua

pihak tidak mengeluarkan biaya usaha. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan oleh

KPH, LB dan Dinpar NTB saat ini masih bersifat investasi publik sehingga nilai ekonomi yang dihasilkan

lebih banyak dirasakan oleh masyarakat. Dampak ekonomi lanjutan dari kegiatan wisata termasuk

meningkatnya pendapatan masyarakat yang akan berdampak terhadap kemajuan ekonomi lokal (Dritasto dan

Anggreini 2013, Saputra 2015). Lebih lanjut, Marin (2015) kegiatan wisata juga dapat meningkatkan kualitas

hidup masyarakat seperti penurunan potensi konflik pemanfaatan SDA serta peningkatan partisipasi dan

kerjasama antara komunitas lokal.

Berdasarkan pendugaan arus kas usaha wisata alam di Resort Malimbu, usaha tersebut layak dilakukan

secara finansial dengan potensi pendapatan bersih mencapai Rp 9 029 118 641 per tahun. KPH memiliki bagi

hasil sebesar 15% dari hasil pendapatan usaha setelah dikurangi biaya operasional atau berkisar Rp 1 354

367 796 per tahun. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya pengawasan yang akan dikeluarkan

KPH yaitu Rp 10 800 000 per tahun. Namun, jika keuntungan bagi hasil usaha dilakukan degan turut

memperhitungkan biaya investasi yang dikeluarkan IZW, maka KPH baru akan memperoleh pendapatan

pada tahun ke-9 usaha.

Alternatif Kontrak

KPH dan mitra cenderung menggunakan skema KSD dalam kegiatan pemanfaatan wisata alam karena

lebih menjamin perolehan pendapatan hasil usaha. Perolehan manfaat bagi masing-masing pihak menjadi

salah satu latar belakang dalam dilaksanakan kerjasama dalam usaha wisata (Yustika 2013). Proses

penyusunan kontrak juga dapat mempengaruhi pemilihan skema yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan,

termasuk pihak-pihak yang terlibat. Semakin panjang proses birokrasi yang harus dilalui dalam pegurusan

izin, semakin besar potensi biaya transaksi yang dikeluarkan oleh mitra (Kartodihardjo et al. 2015). Biaya

Page 12: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

430

yang dibutuhkan dalam proses adminstrasi sebaiknya ditekan seminimal mungkin, sehingga nilai manfaat

yang diperoleh bagi setiap pihak dapat lebih maksimal (Soedomo 2012). Skema izin usaha berdasarkan P

22/2012 tidak dapat menjadi dasar penarikan retribusi atau penerimaan bagi hasil usaha oleh pemerintah

daerah, namun dapat menjadi pedoman pelaksanaan kegiatan usaha wisata alam, memberi kepastian hukum

lebih bagi mitra perusahaan swasta, serta menjadi dasar penarikan PNBP bagi pemerintah pusat.

Skema kerjasama kehutanan yang didasari oleh P 49/2017 dapat menjadi dasar dilakukannya kerjasama

antara KPH, pemerintah desa dan kelompok masyarakat, dengan syarat dibentuknya badan hukum berupa

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau koperasi masyarakat. Pembentukan badan hukum berupa BUMDes

dapat menjadi dasar pembuatan kontrak tertulis yang dapat meminimalisir terjadinya moral hazard di masa

mendatang (Prihadi 2010) (Hubungan antara KPH dan masyarakat sempat mengalami konflik berupa

penahanan hasil penjualan tiket usaha wisata akibat upah yang terlambat dibayarkan oleh KPH. Kontrak

tertulis dapat menjadi jaminan bagi KPH ketika terjadi perilaku moral hazard oleh mitra, sehingga KPH

terhindar dari sanksi Bappenda). Keberadaan BUMDes merupakan bentuk pelembagaan mitra kelompok

masyarakat yang dapat meningkatkan kondisi ekonomi lokal dan mengentaskan kemiskinan (Sayuti 2011,

Ridlwan 2014). Selain itu BUMDes dapat menjadi kesempatan untuk menambah investasi pada kawasan

hutan melalui program dana desa (Sidiki 2015). Praktik pengelolaan wisata alam oleh masyarakat melalui

BUMDes bersama lembaga pemerintah juga sudah di beberapa kawasan hutan di Indonesia (Triana et al.

2014, Batari et al. 2017, Firman et al. 2017).

KPH perlu menjamin pembagian manfaat bagi setiap pihak sehingga legitimasi KPH semakin kuat

(Saito dan Ruhanen 2017). Pemerintah desa dapat turut berperan dalam pengawasan operasional usaha

kelompok masyarakat dan bertanggungjawab kepada KPH (Tabel 10). Keberadaan DLHK juga diperlukan

dalam upaya mencegah KPH didominasi oleh keinginan memperoleh keuntungan sehingga tujuan kelestarian

kawasan hutan tidak tercapai. DLHK sebagai perangkat daerah dapat memiliki dan pengaruh yang tinggi

dalam kegiatan wisata, sesuai dengan fungsi dan tugas yang telah ditetapkan (Widodo et al. 2018). Peran dan

tanggung jawab setiap pihak kemudian perlu diatur secara rinci dan disepakati dalam sebuah kontrak tertulis

sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan menekan risiko terjadinya moral hazard (Tabel 11).

Perhitungan kebutuhan biaya selama 15 tahun periode investasi menunjukkan perlu dilakukan

penyesuaian harga tiket pada kedua objek wisata yaitu menjadi Rp 17 000 per orang untuk objek wisata

Kolam Sesaot dan Rp 13 000 per orang untuk objek wisata Pemandian Aiknyet sehingga usaha wisata layak

dilakukan secara finansial (Tabel 12). Pada kondisi tersebut (Skenario A), hampir setiap pihak yang terlibat

dalam usaha wisata alam di Resort Sesaot dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan kondisi

saat ini, serta terdapat jaminan keberlangsungan usaha selama periode investasi (Tabel 13).

Tabel 10 Pembagian peran dalam kontrak pemanfaatan wisata alam resort sesaot

KPH LB

Pemerintah

Desa

Kelompok

Masyarakat DLHK

KPH X

Perolehan

hasil usaha

Pelibatan

masyarakat

Perolehan

hasil usaha

Pelibatan

masyarakat

Perolehan

hasil usaha

Pembinaan

kelembagaan

dan usaha

Pengawasan

pembangunan

dan pengadaan

jasa usaha wisata

Pengawasan

dampak

lingkungan

LB Pembangunan

sarana wisata X

Pelibatan

masyarakat

sekitar

kawasan

Pembinaan

kelembagaan

Page 13: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

431

KPH LB

Pemerintah

Desa

Kelompok

Masyarakat DLHK

Pemerintah

Desa

Pengawasan

lembaga dan

kinerja kelompok

masyarakat

Pelibatan

masyarakat X

Pembinaan

operasional

usaha

Pembinaan

kelembagaan

Kelompok

Masyarakat

Pengamanan objek

wisata

Laporan keuangan

dan kegiatan

operasional

Laporan

keuangan

dan

kegiatan

operasional

X

DLHK Pembinaan kegiatan

pemanfaatan hutan

Pembinaan

kelembagaan X

Tabel 11 Alternatif isi kontrak tertulis pemanfaatan wisata alam pada Resort Sesaot

No. Butir Pelaksana

Penjelasan KPH KLB Desa Masy.

1

Bentuk pemanfaatan

jasa lingkungan berupa

pembangunan sarana

wisata dan pengadaan

jasa wisata

Kontrak menegaskan bahwa KPH

melakukan kegiatan pemanfaatan jasa

lingkungan wisata alam berupa

pembangunan sarana dengan KLB dan

pengadaan jasa bersama pemerintah desa

dan kelompok masyarakat.

2 Rincian jenis sarana

yang akan dibangun

Jenis sarana wisata ditentukan berdasarkan

P 22/ 2012 berdasarkan hasil kesepakatan

dalam ekpose

3

Rincian jenis jasa

wisata yang

diusahakan

Jenis jasa wisata ditentukan berdasarkan P

22/ 2012 berdasarkan hasil kesepakatan

dalam ekpose

4 Letak dan luas lokasi

usaha wisata

Memberikan kepastian bagi mitra dalam

melakukan kegiatan usaha wisata. Ssebagai

pedoman kesesuaian dengan rencana kelola

kawasan pada Resort KPH.

5

Jangka waktu

pelaksanaan usaha

wisata bersama mitra

Pemindahan hak bersifat sementara dalam

jangka waktu tertentu

6 Penyusunan rencana

kelola kawasan

Rencana kelola kawasan pada tingkat resort

menjadi tanggung jawab KPH sebagai

pengelola kawasan hutan dan menjadi

acuan pemanfaatan wisata alam

7 Rencana teknis

pembangunan sarana

Rencana tahap pembangunan sarana serta

desain tapak objek wisata menjadi syarat

pengajuan kontrak sehingga menjadi

pedoman pengawasan oleh KPH

Page 14: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

432

8

Biaya pembangunan

sarana ditanggung oleh

KPH dan mitra

Rincian pihak yang bertanggung jawab

terhadap biaya pembangunan sarana

9

Biaya operasional

usaha ditanggung oleh

KPH dan mitra

Biaya peralatan operasional, biaya

kebersihan, dan biaya pemeliharaan sarana

ditanggung bersama oleh setiap pihak

10

Pelibatan masyarakat

sekitar dalam kegiatan

usaha wisata

Sebagi jaminan KPH melakukan

pemberdayaan sosial dalam kegiatan

pengelolaan hutan

11 Kelestarian fungsi

kawasan hutan

KPH sebagai pengelola kawasan hutan

tetap bertanggungjawab atas kelestarian

fungsi kawasan

12

Peran pemerintah desa

dan kelompok

masyarakat sebagai

tenaga operasional

usaha wisata

Transaksi penjualan tiket wisata dilakukan

oleh kelompok masyarakat dengan wajib

melakukan pelaporan kepada pemerintah

desa

Kelompok masyarakat sebagai tenaga

operasional usaha wisata memiliki

tanggung jawab utama dalam menjaga

keamanan dan kenyamanan pengunjung

objek wisata

13

Pengendalian limbah

sebagai dampak

kegiatan wisata

Pengelolaan limbah wisata dilakukan

bersama antara KPH, pemerintah desa dan

kelompok masyarakat dan merupakan satu

kesatuan dari kegiatan usaha wisata alam

14 Pengawasan kegiatan

usaha

KPH memiliki wewenang melakukan

pengawasan dalam kegiatan usaha baik

dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan

dilapangan. Pengawasan dapat dilakukan

dalam bentuk inspeksi lapangan dan

penilaian laporan keuangan usaha

15 Pembagian hasil usaha

kepada setiap pihak

Setiap pihak memiliki hak atas hasil usaha

dengan proporsi sesuai kesepakatan. Hasil

usaha yang dibagikan kepada para pihak

merupaakan pendapatan usaha setelah

dikurangi biaya operasional usaha.

Penyerahan bagi hasil dilakukan dalam

periode tertentu

16 Sanksi atas kelalaian

kewajiban setiap pihak

Penilaian atas kewajiban setiap pihak

dilakukan atas dasar kesepakatan melalui

musyawarah

Kelalaian kewajiban dapat mengakibatkan

peneguran hingga pemutusan kesepakatan

17 Kondisi pengalihan

dan keadaan kahar

Pengalihan yang diajukan oleh setiap pihak

dapat dilakukan dengan mengedepankan

musyawarah dan menghindari jalur hukum

Page 15: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

433

Tabel 12 Hasil analisis kelayakan finansial usaha wisata alam setiap objek wisata dengan skenario A

Tabel 13 Hasil analisis kelayakan finansial usaha wisata alam setiap pihak dengan skenario A

Pihak

Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet

NPV B/C IRR NPV B/C IR

R

KPH 814666385 66.64 - 676745837 2.01 10.

39

Kabupaten Lombok Barat -2558903282 -0.15 -17.13 -121598632 0.94 0.7

7

Pemerintah Desa 498806380 - - 286483423 - -

Kelompok Masyarakat 1662687933 - - 3612178590 - -

Tabel 14 Hasil analisis kelayakan finansial usaha wisata alam setiap pihak dengan skenario B

Pihak Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet

NPV B/C IRR NPV B/C IRR

KPH 521614739 - - 290640291 1.72 0.0

7

Kabupaten Lombok Barat -2678029908 0.09 19.92 50778174 1.52 0.0

6

Pemerintah Desa 312968844 465755301

Kelompok Masyarakat 1043229479 2328776505

Tabel 15 Perolehan manfaat setiap pihak pada berbagai alternatif kontrak di Resort Sesaot

Pihak

Skenario A (Rp/Tahun) Skenario B (Rp/Tahun)

Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet Kolam

Sesaot

Pemandian

Aiknyet

KPH 99 973 403 240 164 835 72 491 015 119 239 720

Kabupaten Lombok Barat 199 946 805 32 021 978 28 996 406 48 295 888

Pemerintah Desa 59 984 042 32 021 978 43 494 609 72 443 832

Kelompok Masyarakat 39 989 361 328 010 989 144 982 030 241 479 440

Selain penyesuaian harga tiket, perubahan sistem bagi hasil usaha (proporsi bagi hasil dengan skenario

B pada objek wisata Pemandian Aiknyet memberikan proporsi bagi hasil hingga 50% untuk kelompok

masyarakat, sedangkan proporsi 25% bagi KPH telah dapat memberikan manfaat bagi KPH. Proporsi 15%

untuk pemerintah desa diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah desa seperti yang diterapkan pada

objek wisata Kolam Sesaot) dapat memberikan kondisi usaha yang layak secara finansial bagi KPH,

Pemerintah Desa dan Kelompok Masyarakat (Tabel 14). Analisis kelayakan usaha pada skenario B tidak

merubah kondisi finansial masing-masing objek wisata sebagai sebuah unit usaha, tetapi dapat menambah

potensi pendapatan bagi masing-masing pihak terutama KPH karena biaya operasional yang berkurang

hingga 60% serta adanya internalisasi biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh KPH sebagai bagian dari

biaya operasional usaha. Pada setiap skenario yang mungkin dilakukan, setiap pihak memperoleh potensi

bagi hasil usaha yang lebih besar dibandingkan dengan kontrak yang saat ini telah disepakati (Tabel 15).

Kriteria Kolam Sesaot Pemandian Aiknyet

NPV 835939953.00 968344449.00

BCR 1.27 1.25

IRR 5.55 11.06

Page 16: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

434

SIMPULAN

Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada hutan lindung antara KPH dan mitra dapat dilakukan

melalui skema izin usaha, kerjasama kehutanan, kemitraan perhutanan sosial dan kerjasama daerah. Skema

kerja sama daerah yang saat ini digunakan memberikan kepastian perolehan manfaat bagi setiap pihak serta

berpotensi lebih efisien untuk dilakukan. Keberadaan peraturan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam

yang juga menjadi dasar pelaksanaan skema izin usaha dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan kegiatan

usaha pemanfaatan wisata alam pada kawasan hutan lindung dan melengkapi ketentuan dalam kerjasama

daerah yang dilakukan. Pembagian peran dalam kegiatan usaha sesui dengan manfaat yang diperoleh dapat

mendorong kontrak menjadi lebih optimal. Sistem pengawasan dan sistem bagi hasil yang dituangkan secara

rinci dalam kontrak tertulis serta peningkatan peran pemerintah desa dan pemerintah daerah dapat menekan

potensi perilaku menyimpang dari mitra dan juga KPH. Pengelolaan usaha wisata alam sesuai dengan

kontrak yang telah disepakati saat ini tidak layak dilakukan secara finansial, penyesuaian harga tiket atau

perubahan sistem perolehan manfaat dapat menjadikan usaha layak dilakukan secara finansial atau

meningkatkan potensi pendapatan bagi KPH.

DAFTAR PUSTAKA

Astana S, Muttaqin MZ, Parlinah N, Indartik. 2007. Analisis kebijakan sistem insentif bagi usaha kehutanan.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 4(1):39-63.

Batari A, Yusran Y, Sahide MAK. 2017. Analisis tingkat keaktifan pengelolaan hutan desa labbo. Jurnal

Hutan dan Masyarakat. 9(1):54-60.

Christiani M. 2012. Kajian kemitraan usaha wisata alam di wana wisata kawah putih ciwidey [skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Dritasto A, Anggreini A. 2013. Analisis dampak ekonomi wisata bahari terhadap pendapatan masyarakat di

pulau tidung. Reka Loka. 1(1):1-8.

Effendi H. 2015. Izin lingkungan (tak) memperpanjang birokrasi? Jakarta 13-15 Oktober 2015. Jakarta:

BPK.

Eggertsson T. 1999. Economic Behaviour and Institutions. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Eisenhardt KM. 1989. Agency theory: an assessment and review. Academy of Management Review.

14(1):57-74.

Elo S, Kyngas H. 2008. The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing. 62(1):107-

115. doi: 10.1111/j.1365-2648.2007.04569.x.

Fachrudin KA. 2011. Analisis pengaruh struktur modal, ukuran perusahaan, dan agency cost terhadap kinerja

perusahaan. Jurnal Akutansi dan Keuangan. 13(1):37-46.

Firman F, Rizali A, Razie F, Hidayat T. 2017. Model pengelolaan cagar alam teluk adang dalam upaya

konservasi sumberdaya lingkungan di Kabupaten Paser Kalimantan Timur. EnviroScienteae.

13(2):122-127.

Hajrah, Kartodihardjo H, Nugroho B. 2015. Efektivitas tenaga teknis penguji kayu bulat dalam

penatausahaan hasil hutan (studi kasus hutan alam Kalimantan Tengah). Risalah Kebijakan Pertanian

dan Lingkungan. 2(3):191-201.

Harrington W, Morgenstern R. 2004. Economic incentives versus command and control: what’s the best

approach for solving environmental problems?. Acid in the Environment. 233-240.

Hermantyo D. 2010. Pemekaran daerah dan konflik keruangan: kebijakan otonomi daerah dan

implementasinya di Indonesia. Makara Sains. 11(1):16-22.

Page 17: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9(2): 419-436

435

Hoffman JV, Wilson MB, Martinez RA, Sailors M. 2011. Content analysis: the past, present and future.

Dalam: Duke NK, Mallette, editor. Literacy Research Methodologies. Second Edition. New York: The

Guilford Press.

Jensen MC, Meckling WH. 1976. Theory of the firm: managerial behavior, agency costs, and ownership

structure. Journal of Financial Economics. 3:305-360.

Kartodihardjo H, Nagara G, Situmorang AW. 2015. Transaction cost of forest utilization licenses:

institutional issues. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 21(3):184-191. doi: 10.7226/jtfm.21.3.184.

Kasper W., M.W. Streit, P.J. Boettke, 2012. Institutional economics: property, competition policies. Edward

Elgar Publishing Limited, Massachusetts.

[KPHL Rinjani Barat] Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat. 2015. KPH dalam upaya

kemandirian pengelolaan. Surabaya: KPHL Rinjani Barat.

Kristinawati I. 2014. Pengaruh pengembangan wisata alam taman wisata alam gunung pancar terhadap

perspektif sosial ekonomi [disertasi]. Bogor: Intitut Pertanian Bogor.

Kuhaja T. 2014. Kajian kelembagaan dalam pengembangan pariwisata pantai yang berkelanjutan. Jurnal

Pembangunan Wilayah dan Kota. 10(3):278-292.

Kurniadi E, Hardjanto, Bramasto N, Sumardjo. 2013. Kelembagaan kemitraan pengelolaan hutan rakyat di

Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 10(3):161-171.

Lamers M, Duim R, Wijk J, Nthiga R, Visseren HIJ. 2014. Governing conservation touris partnerships in

Kenya. Annals of Tourism Research. 48:250-265. http://dx.doi.org/10.1016/j.annals. 2014.07.004.

Marin D. 2015. Study on the economic impact of tourism and of agrotourism on local communities.

Research Journal of Agricultural Science. 47(4):160-163.

Nugroho B. 2016. Kelembagaan, karakteristik sumberdaya, dan perilaku aktor: analisis kritis kebijakan

pengelolaan hutan Indonesia. Bogor: Penerbit IPB Press.

Nurita. 2016. Strategi pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk

Kabupaten Sambas Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Oktora FE, Pontoh W. 2013. Analisis hubungan pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana

alokasi khusus atas belanja modal pada pemerintah daerah kabupaten tolitoli provinsi sulawesi tengah.

Jurnal Accountability. 1(2):1-10.

Pelealu AM. 2013. Pengaruh dana alokasi khusus (DAK), dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap

belanja modal pemerintah kota manado tahun 2003-2012. Jurnal EMBA. 1(4):1189-1197.

Prihadi N. 2010. Kelembagaan kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat dalam rangka

pembangunan hutan di pulau jawa [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ridlwan Z. 2014. Urgensi badan usaha milik desa (BUMDES) dalam pembangunan perekonomian desa. Fiat

Justisia Jurnal Ilmu Hukum. 8(3):424-440.

Saito H, Ruhanen L. 2017. Power in tourism stakeholder collaborations: power types and power holders.

Journal of Hospitality and Tourism Management. 31:189-196.

http://dx.doi.org/10.1016/j.jhtm.2017.01.001.

Saputra R. 2015. Analisis dampak ekonomi wisata bahari terhadap pendapatan masyarakat lokal (studi kasus

ombak bono sungai kampar kabupaten pelalawan Provinsi Riau). JOM FEKON. 2(2):1-15.

Sasongko DA, Kusmana C, Ramadan H. 2014. Strategi pengelolaan hutan lindung angke kapuk. Jurnal

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4(1):35-42.

Sayuti M. 2011. Pelembagaan badan usaha milik desa (bumds) sebagai penggerak potensi ekonomi desa

dalam upaya pengentasan kemiskinan di kabupaten donggala. Jurnal Academica Fisip Untad.

3(2):717-728.

Page 18: Kontrak usaha pemanfaatan wisata alam pada Kesatuan

Mudhofir MRT, Nugroho B, Soedomo S

436

Sembiring S. 2006. Pengembangan Sistem Hukum, Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Hutan

Lindung. Technical Report. Balikpapan: TBI – IHSA.

Sidiki F. 2015. Menggali potensi lokal mewujudkan kemandirian desa. Jurnal Kebijakan & Administrasi

Publik. 19(2):115-131.

Soedomo S. 2012. Jenis pungutan kehutanan dari perspektif ekonomi sumber daya alam. Jurnal Manajemen

Hutan Tropika. 18(1):60–67. doi: 10.7226/jtfm. 18.1.60.

Steni B. 2016. Membedah UU pemerintahan daerah yang baru: apa yang baru dalam pembagian urusan dan

kewenangan pusat-daerah di bidang sumber daya alam?. Denpasar: Institut Penelitian Inovasi Bumi

(INOBU).

Sumarmi S. 2010. Pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus terhadap

alokasi belanja modal daerah kabupaten/kota di Provinsi di Yogyakarta [disertasi]. Yogyakarta: UPY.

Surkati A. 2012. Otonomi daerah sebagai instrumen pertumbuhan kesejahteraan dan peningkatan kerjasama

antar daerah. Mimbar. 28(1):39-46.

Triana E, Alikodra HS, Sunarminto H, Sudrajat A. 2014. Kolaborasi konservasi di kawasan wisata ciwidey.

Media Konservasi. 19(3):161-169.

Tuasikal A. 2008. Pengaruh DAU, DAK, PAD, dan PDRB terhadap belanja modal pemerintah daerah

kabupaten/kota di Indonesia. Jurnal Telaah & Riset Akuntansi. 1(2):142-155.

Wibowo E. 2013. Pola kemitraan aantara petani tebu rakyat kredit (TRK) dan mandiri (TRM) dengan Pabrik

Gula Modjopanggoong Tulungagung. Jurnal Manajemen Agribisnis. 13(1):1-12.

Widodo ML, Soekmadi R, Arifin HS. 2018. Analisis stakeholders dalam pengembangan ekowisata di taman

nasional betung kerihun kabupaten kapuas hulu. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan. 8(1):55-61. doi: 10.29244/jpsl.8.1.55-61.

Wunder S. 2000. Ecotourism and economic incentives — an empirical approach. Ecological Economics.

32:465–479. https://Doi.Org/10.1016/ S0921 -8009(99)00119-6.

Yustika AE. 2012. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Zhang D, Pearse PH. 2012. Forest Economics. Vancouver: UBC Press.