konstantinopel · pdf file · 2015-07-22bertempat di neraka karena pemahaman tauhid...

24
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 1 Merekapun menyalahkan sebaik baik raja yang menaklukkan Konstantinopel Mohon maaf, kami belum dapat menjawab atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan melalui facebook inbox, sms, whatsapp, bbm atau email terkait hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah karena kami bukanlah ahli fiqih (fuqaha) Kami hanyalah pengamat firqah Wahabi atau mereka menamakan atau mengaku sebagai Salafi. Kami telah mengumpulkan data-data dan menganalisanya untuk mempelajari tentang firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti

Upload: ngocong

Post on 25-Mar-2018

236 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 1

Merekapun menyalahkan sebaik baik raja yang menaklukkan

Konstantinopel

Mohon maaf, kami belum dapat menjawab atas pertanyaan-pertanyaan

yang disampaikan melalui facebook inbox, sms, whatsapp, bbm atau email

terkait hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah karena kami bukanlah

ahli fiqih (fuqaha)

Kami hanyalah pengamat firqah Wahabi atau mereka menamakan atau

mengaku sebagai Salafi.

Kami telah mengumpulkan data-data dan menganalisanya untuk

mempelajari tentang firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 2

pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali

pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat sebagaimana yang telah

disampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/07/paham-sebelum-

bertobat/

Pengamatan kami lakukan sejak Maret 2009, berawal ketika beberapa

teman kami sepulang belajar agama dari wilayah kerajaan dinasti Saudi.

Perubahan drastis pada mereka adalah sikap keras dan kasar. Contohnya

mereka menganggap ibundanya yang mengamalkan sholawat Nariyah akan

bertempat di Neraka karena pemahaman tauhid mereka adalah tauhid ala

firqah Wahabi.

Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa

“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan

diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata

yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati,

menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan

dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya.

Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi

menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun

yang diserunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan

Allah)”

Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir

terhadap kalimat yang artinya,

“yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan,

dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang

baik”

Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz (makna

metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam

pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu

semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu

dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala

kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala keinginan dan

kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 3

Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta, sebagaimana

pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam

dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :

“… dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari

kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan

langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya

itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”

(Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak

bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan

risalah.

Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami

dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387),

“Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu”

(Musnad Ahmad hadits no.8030)

Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau

mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari

dangkalnya pemahaman atas tauhid.

Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu

Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang bersumber dari

http://www.majelisrasulullah.org/forums/topic/keutamaan-shalawat-

nariyyah-fiqhaqidah/

Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau

pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali

pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam memahami

apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada

nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir

Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari

keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun

dalam bahasa Arab. Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa

majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan

adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan

ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan

pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-

fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj

Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 4

dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-

akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada

http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-

ibn-al-jauzi.pdf menjelaskan bahwa,

“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya

(makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil

maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna

majaz (metaforis)”

Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti makna majaz timbul

contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah

dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil

dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang berpendapat,

berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan sesat dan

menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah

menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari

Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah

mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah

mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah

tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari

kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa

tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).

Jadi kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat

dikarenakan kurang mendalami atau bahkan melarang (mengharamkan)

mendalami ilmu balaghah.

Gagal paham tentang bid’ah dapat pula disebabkan karena kurang

mendalami ilmu balaghah sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan

pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/27/bidah-dan-

balaghah/

Oleh karena mereka gagal paham tentang bid’ah sehingga mereka melihat

umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka,

memperingati Maulid Nabi, Isra Mi’raj dan peringatan hari besar

keagamaan lainnya atau mengamalkan sholawat Nariyah, membaca

Barjanzi, ratib Al Haddad akan tersengat api neraka.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 5

Contoh akibat mereka menganggap muslim lainnya yang tidak sepaham

(sependapat) dengan mereka akan tersengat api neraka sehingga rumah

mereka di dunia tersengat api “kemarahan” warga sekitarnya sebagaimana

arsip berita pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/11/rumah-warga-dirusak/

Kalau orang hanya menguasai nahwu dan sharaf tanpa mendalami

balaghah (sastra Arab) akan melahirkan orang-orang yang keras dan kasar

karena jiwanya tidak seimbang sebagaimana yang telah disampaikan

dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-

ketidakseimbangan/

Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius

yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata

hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)

Perhatikan ulama-ulama terdahulu kita yang mumpuni rata-rata mereka

menguasai sastra dan diantaranya dikenal sebagai pujangga atau

sastrawan sehingga mereka keras dalam arti tegas berpendirian, halus

tutur katanya. Pandai memilih kata dalam memberi nasehat.

Rasulullah telah bersabda bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah

bermunculan suara-suara manusia meninggi (berteriak) di masjid-masjid.

Apa yang diperingatkan oleh Rasulullah tampaknya mulai kita saksikan

pada masa kini di mana ulama berdakwah seperti khotbah sholat Jum’at

dengan suara meninggi (berteriak) , keras dan kasar karena mereka kurang

mendalami ilmu balaghah

Seolah-olah dihadapan para pendakwah tersebut adalah para pendosa dan

hanya diri merekalah yang akan masuk surga. Padahal mereka berpegang

pada Al Qur’an dan As Sunnah secara dzahir atau pemahamannya selalu

dengan makna dzahir.

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian

adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang

mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat

bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan

masuk neraka“

Akhlak, perangai atau tabiat seorang muslim yang mendorong perilaku

baik ucapan maupun perbuatan, lisan maupun tulisan dipengaruhi metode

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 6

pemahaman dan istinbath (menetapkan hukum perkara) berdasarkan Al

Qur’an dan As Sunnah

Akhlak yang buruk yang dipertunjukan seorang yang mengaku muslim

seperti radikalisme dan terorisme tentu bukanlah agama Islamnya yang

salah namun karena metode pemahaman dan istinbath yang keliru atau

gagal memahami Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah

disampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/25/akhlak-dan-istinbath/

Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis

tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun

lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk

dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam

implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia

sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib

menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab

atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)

ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran

dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-

lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz

dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang

umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz,

ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan

lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/30/bacalah-dan-istinbath/

Para ulama telah mengeluarkan fatwa termasuk fatwa pendiri ormas

Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari untuk menghindari pemahaman

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha maupun mereka yang meneruskan

kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi (pendiri firqah Wahabi)

yang mengikuti dan menyebarluaskan pemahaman Ibnu Taimiyah serta

kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana

yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah sebagaimana contoh

penjelasan pada http://www.muslimedianews.com/2015/02/pesan-

penting-pendiri-nu-kh-hasyim.html

***** awal kutipan *****

Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat

juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid

Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab

an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan

Abdul Hadi.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 7

Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang

Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi

makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan

lainnya.

Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian

dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi Saw. sebagai

sebuah bentuk ketaatan, maka perbuatan tersebut hukumnya haram

dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut termasuk

perkara yang harus ditinggalkan.”

Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan

dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati

dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan

berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri

dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan

Islam.”

Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar

yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti

dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka.

Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf

Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas

dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup

maupun yang telah meninggal.” Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi)

ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan

mereka

Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan.

Dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di

muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal

mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya

melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan

mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan.

Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.

***** akhir kutipan *******

KH. Hasyim Asyari pada bagian akhir di atas, menegaskan bahwa mereka

dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di

muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal

mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya

melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 8

mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan.

Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.

Kenyataannya dapat kita lihat pada masa kini bahwa dengan penguasaan

teknolgi, termasuk teknologi internet atau dunia maya, mereka

menyebarluaskan kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur’an

dan As Sunnah. Bahkan tidak segan-segan mereka mengeluarkan uang

untuk membeli nama domain dan penyewaan tempat situs (web hosting).

Nama-nama situs atau blog yang mereka pilihpun dapat menyesatkan umat

Islam awam yang ingin mendapatkan ilmu agama lewat media internet

seperti muslim.or.id , almanhaj.or.id , darussunnah.or.id , ahlussunah.info ,

arrahmah.com , nahimunkar.com , perpustakaan-islam.com,

kisahmuslim.com, ajaranislamyanghaq , moslemsunnah , nama-nama lain

yang mengandung kata sunnah , dll

Oleh karena kesalahpahaman mereka sehinga mereka termasuk orang-

orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni

orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum

muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij sebagaimana

yang telah disampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/15/fitnah-dzul-

khuwaishirah/

Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya

yang keluar.

Khawarij adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang

tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.

Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga

mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan

mereka dan ada yang berujung menghalalkan darah atau membunuh umat

Islam yang yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sebagaimana

yang telah disampaikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/09/menghalalkan-darah-

muslim/

Contohnya bagaimana mereka menyalahkan yang tidak sepaham

(sependapat) dengan mereka, yakni menyalahkan Sultan Muhammad al-

Fatih atau dikenal pula dengan Sultan Memed II (Sultan Muhammad II)

Sultan Muhammad al-Fatih adalah putra dari Sultan Murad II yang

merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 9

Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan

anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin

yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil

yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis,

memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang.

Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa

Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun

Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan

Yunani

Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II,

mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan

bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat

menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian

hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang

mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam

yang benar.

Sultan Muhammad Al-Fatih diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada

tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Beliau

memerintah selama 30 tahun. Salah satu prestasi besarnya adalah

penakluk konstantinopel.

Sosok sultan Muhammad Al-Fatih ada dalam nubuat Rasulullah yakni

dalam sabda Rasulullah yang artinya, “Konstantinopel akan ditaklukkan

oleh tentara Islam. Rajanya adalah sebaik-baik raja dan tentaranya adalah

sebaik-baik tentara”. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-

Hakim)

Bayangkan Rasulullah telah bersabda tentang sebaik-baik raja dengan

segenap kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah namun

disalahkan oleh mereka sebagaimana yang mereka publikasikan pada

http://kisahmuslim.com/muhammad-al-fatih-penakluk-konstantinopel/

Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****

Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari

kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia

menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi

masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah

Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang

berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 10

Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk

membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari

radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu

‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman

Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan

dengan syariat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“… Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah

menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi

janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah,

karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR.

HR. Muslim no.532)

Kekeliruan yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tidak serta-merta

membuat kita menafikan jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah

mengampuni kesalahan dan kekhilafannya beliau rahimahullah.

***** akhir kutipan *****

Larangan “janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid”

tidaklah terkait dengan kata masjid dalam makna dzahir yakni tempat

ibadah yang kita kenal sekarang.

Larangan tersebut dapat dipahami dalam makna majaz (makna kiasan)

yang maksudnya adalah “larangan menyembah kuburan” bukan larangan

mendirikan masjid di dekat kuburan.

Berikut kutipan penjelasan dari Dar al-Ifta al-Misriyyah (lembaga fatwa

Mesir), fatwa no 81 tahun 2006

***** awal kutipan *****

Dalam bahasa Arab, kata masajid meruupakan bentuk plural dari kata

masjid. Dan kata masjid dalam bahasa Arab merupakan mashdar mimi

yang bisa menunjukkan arti waktu, tempat atau tindakan. Sehingga, makna

“menjadikan kuburan sebagai masajid” adalah bersujud ke arahnya untuk

mengagungkan dan menyembahnya, sebagaimana perbuatan orang-orang

musyrik yang bersujud kepada berhala-berhala dan patung-patung mereka.

Penafsiran ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat shahih yang lain dari

hadits ini dalam kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 11

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.,

bahwa Beliau bersabda, “Ya Allah, janganlah engkau jadikan kuburanku

sebagai berhala. Allah melaknat satu kaum yang menjadikan kuburan para

nabi mereka sebagai masjid”.

Maka kalimat, “Allah melaknat satu kaum…” adalah penjelas bagi makna

menjadikan kuburan sebagai berhala. Jadi makna hadits di atas adalah, “Ya

Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disujudi

dan disembah, sebagaimana satu kaum yang bersujud kepada kubur para

nabi mereka.”

Imam al-Baidhawi berkata, “Ketika orang-orang Yahudi dan Nashrani

bersujud kepada kuburan para nabi mereka untuk mengagungkan mereka

dan menjadikannya sebagai kiblat, dan mereka menghadap ke arahnya

ketika shalat dan menjadikannya sebagai berhala, maka Allah melaknat

mereka dan melarang orang-orang muslim untuk melakukan hal itu.

Adapun orang yang membangun masjid di samping makam orang saleh

atau shalat di kuburannya dengan maksud untuk mengenangnya dan agar

pengaruh dari ibadahnya sampai kepada pemilik kuburan itu, bukan untuk

mengagungkannya dan tidak menjadikannya sebagai kiblat, maka itu tidak

apa-apa. Tidakkah Anda melihat kuburan Ismail di Masjidil Haram dan

Hathim (Hijir Isma’il). Dan Masjidil Haram itu sendiri merupakan tempat

shalat terbaik bagi orang-orang muslim. Sedangkan larangan melakukan

shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar,

karena di sekitarnya terdapat najis”.

Begitupula dalam kitab al-Muwatha, Imam Malik menyebutkan sebuah

riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi shallallahu alaihi

wasallam mengenai tempat penguburan jasad Nabi shallallahu alaihi

wasallam.

Sebagian sahabat berkata, “Beliau kita kubur di sisi mimbar saja”. Para

sahabat lainnya berkata, “Dikubur di Baqi’ saja”. Lalu Abu Bakar ash-

Shiddiq r.a. datang dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu

alaihi wasallam bersabda, “Seorang nabi tidaklah dikubur kecuali di

tempatnya meninggal dunia”. Lalu digalilah kuburan di tempat Beliau

meninggal dunia itu”.

Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat

di atas, tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam

yang mengingkari usulan itu. Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Abu

Bakar r.a. karena mengikuti perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar

dikubur di tempat Beliau meninggal dunia. Maka, Beliau pun dikubur di

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 12

kamar Sayyidah Aisyah r.a. yang melekat pada masjid yang digunakan

sebagai tempat shalat oleh orang-orang muslim.

Kondisi ini sama dengan kondisi kuburan-kuburan para wali dan orang-

orang saleh yang ada di dalam masjid-masjid pada zaman ini.

Adapun klaim bahwa kebolehan itu khusus untuk Nabi shallallahu alaihi

wasallam maka klai ini tidaklah benar. Karena tidak ada dalil pendukung

bagi klaim ini.

Bahkan sangat jelas kebatilan klaim tersebut dengan dikuburkannnya

Sayyidina Abu Bakar r.a. dan Sayyidina Umar r.a. di tempat yang sama

dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu kamar Sayyidah Aisyah r.a..

yang masih dia gunakan untuk tinggal dan melakukan shalat-shalat fardhu

dan sunnah.

Dengan demikian, hukum kebolehan mendirikan masjid dekat kuburan

merupakan ijma para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Begitupula ijma para ulama atas kebolehan perbuatan ini adalah shalatnya

orang-orang muslim secara terus menerus dari kalangan salaf dan

kalangan setelah mereka di dalam masjid Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam dan juga di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan,

tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya.

Hal ini didukung juga dengan pengakuan tujuh ahli fikih Madinah al-fuqaha

as-sab’ah yang menyetujui untuk dimasukkannya rumah Sayyidah Aisyah

tersebut ke dalam masjid Nabi shallallahu alaihi wasallam pada tahun

delapan puluh delapan hijriyah. Hal itu dilakukan berdasarkan perintah

dari al-Walid bin Abdul Malik kepada gubernurnya yang ada di Madinah

kala itu, yaitu Umar bin Abdul Aziz.

Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya kecuali Sa’id ibnul Musayyib.

Namun, pengingkarannya itu bukan karena dia berpendapat haramnya

shalat di dalam masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, akan tetapi

karena dia ingin mempertahankan rumah-rumah para istri Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam tetap utuh, agar dapat dilihat orang-orang

muslim sehingga mereka bersikap zuhud di dunia dan mengetahui

bagaimana kehidupan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Adapun dalil dari Sunnah, maka terdapat hadits Abu Bashir r.a., yang

diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Ma’mar, dan Ibnu Ishaq dalam kitab

as-Sirah an Nabawiyyah, serta Musa bin Uqbah dalam kitab al-Maghazi.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 13

Kitab al-Maghazi karya Musa ini merupakan kitab maghazi yang paling

shahih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik. Ketiga ulama ini (Ma’mar,

Ibnu Ishaq dan Musa bin Uqbah) meriwayatkan dari az-Zuhri, dari Urwah

bin Zubair, dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan ibnul Hakam r.a.,

bahwa Abu Jandal bin Suhail bin Amr menguburkan jenazah Abu Bashir

r.a., lalu membangun sebuah masjid di atas kuburannya yang terletak di

Siful Bahr. Kejadian itu diketahui oleh tiga ratus sahabat Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam dan sanad riwayatnya adalah shahih.

Semua perawi dalam silsilah sanadnya adalah tsiqah. Peristiwa seperti ini

tentu tidak luput dari pengetahuan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan

tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau memerintahkan untuk

mengeluarkan kuburan itu dari masjid atau membongkarnya.

Diriwayatkan pula secara shahih bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam

pernah bersabda, “Dalam masjid Khaif (masjid yang terletak di Mina)

terdapat kuburan tujuh puluh orang nabi.” (HR. Al-Bazzar dan ath-Thabrani

dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Hafizh Ibnu Hajar, dalam kitab Mukhtashar Zawaid al-Bazzar, ketika

berkomentar tentang derajat hadits di atas mengatakan, “sanadnya shahih

Disebutkan juga dalam berbagai atsar, bahwa Nabi Ismail a.s. dan ibunya

Hajar r.a. dikuburkan di Hijir Ismail di dalam Masjidil Haram. Kisah ini

disebutkan oleh para ulama sejarah terpercaya dan dipegangi oleh para

ulama pakar sirah Nabi shallallahu alaihi wasallam seperti Ibnu Ishaq

dalam kitab As Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab

Tarikh-nya, as-Suhaili dalam kitab ar-Raudhul Unf, Ibnul Jauzi dalam al-

Muntazham, Ibnul Atsir dalam al-Kamil, adz-Dzahabi dalam Tarikhul Islam,

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an- Nihayah dan kitab-kitab sejarah lain

yang ditulis oleh para sejarawan Islam.

Dalam semua peristiwa itu Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak

memerintahkan agar kuburan-kuburan tersebut dibongkar dan

dikeluarkan dari dalam masjid Khaif atau dari masjid Haram, namun beliu

membiarkannya saja.

Bahkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya

“Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu

berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka

lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 14

mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah

peribadatan di atasnya”. (QS Al Kahfi [18]:21)

Konteks ayat ini menunjukkan bahwa perkataan pertama adalah perkataan

orang-orang musyrik dan perkataan kedua adalah perkataan orang-orang

yang mengesakan Allah.

Allah Ta’ala menyebutkan dua perkataan tersebut tanpa mengingkarinya,

sehingga hal ini menunjukkan pengakuan syariat bagi keduanya. Bahkan

konteks perkataan orang-orang yang mengesakan Allah menunjukkan

sebuah pujian. Bukti akan hal ini adalah adanya pembandingan antara

perkataan mereka dengan perkataan orang-orang musyrik yang

mengandung keraguan.

Perkataan orang-orang yang mengesakan Allah itu tegas dan keinginan

mereka bukan sekedar membuat bangunan tapi membangun masjid.

Imam ar-Razi ketika menafsirkan ayat, “Sesungguhnya kami akan

mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya/”. (al-Kahf [18]: 21), dia

berkata, “yaitu masjid yang kita gunakan untuk menyembah Allah di

dalamnya, dan dengan cara itu kita mempertahankan jejak peninggalan

para penghuni gua (ash habul kahfi)”.

Asy-Syihab al-Khafaji dalam Hasyiyah-nya terhadap tafsir al-Baidhawi,

berkata, “Di dalam ayat ini terdapat dalil kebolehan membangun masjid di

dekat kuburan orang-orang saleh”.

***** akhir kutipan *****

Dalam surat al-Kahfi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tiga kisah

masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan

nabi Khidzir as serta kisah Dzulqarnain.

Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai

nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan

kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah

dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat

banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada

masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya

nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan

seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok

orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 15

memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti

kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah

mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja,

sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat

persembunyian.

Berikut kutipan penjelasan sayyidina Ali bin Abi Thalib terhadap

pertanyaan para pendeta Yahudi ketka masa kekhalifahan sayyidina Umar

Ibnul Khattab sebagaimana kabar dari

http://pondokhabib.wordpress.com/2009/04/29/kisah-ashabul-kahfi-

bukti-ketinggian-ilmu-imam-ali-bin-abi-thalib-ra/

**** awal kutipan *****

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di

tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah

giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka

berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha

sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai

Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”

“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu

yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin

tidur.”

Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai

Tamlikha?”

“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku

lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas

sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari

atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang

menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias

langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga

bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di

cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa

agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali

memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi

dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan

kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan

Diqyanius’…”

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki

Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 16

terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah

engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”

“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak

menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi

kepada Raja pencipta langit dan bumi!”

“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan

akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian

diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda

bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-

temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia

dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah

kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita

serta memberikan jalan keluar.”

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7

farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan

kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada

penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau

mempunyai air minum atau susu?”

“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu.

“Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku

menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku

bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”

“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu

agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami

mengatakan yang sebenarnya?”

“Ya,” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada

diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk

lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata:

“Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 17

Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan

kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali

lagi kepada kalian.”

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera

pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama

kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya

melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar

tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”

“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku

Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu

berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang

pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada

temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar

rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau

saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di

atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan

lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak

mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada

sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan

dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi

mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati

sebuah gua.”

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat

duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua

itu?!”

Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah

Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu

tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka

makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah

tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing

yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 18

menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut

nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t.

mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan

ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit

condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada

saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari

arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya

tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka

itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan

berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu

yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia

melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur

berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam

orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum

mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan

mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah

tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat

pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai

dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada

mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak

berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,

agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”

Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan

lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar,

mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing.

Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa

beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah

mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering

semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling

bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat

ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 19

akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli

makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”

Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang

berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,

berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke

kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum

pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.

Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di

angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap

mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah

agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan

perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.

Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya

di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti,

apakah nama kota kalian ini?”

“Aphesus,” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab

penjual roti.

“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh

aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa

Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih

berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata

kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui,

coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan

uang baru!”

Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.

menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha

dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh

dan dua pertiga dirham baru!”

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 20

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata

kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau

baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak,

engkau akan ku hadapkan kepada raja!”

“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat

tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham!

Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya

menyembah Diqyanius!”

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan

harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku?

Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang

mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300

tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok

aku?”

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja

yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya

kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang

orang ini?”

“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s.

memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta

karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya

engkau akan selamat.”

Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta

karun! Aku adalah penduduk kota ini!”

Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”

“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.

“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.

“Ya, ada,” jawab Tamlikha.

“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada

satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 21

mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang

yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai

rumah di kota ini?”

“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi.

Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi

di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang

mengantarkan: “Inilah rumahku!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat

lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan

mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia

terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang:

“Kalian ada perlu apa?”

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku

rumah ini adalah rumahnya!”

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-

amati ia bertanya: “Siapa namamu?”

“Aku Tamlikha anak Filistin!”

Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di

depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia

salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius,

raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari

berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita,

Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan

mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada

raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat

Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat

Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas

pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan

kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan

teman-temanmu?”

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 22

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih

berada di dalam gua.

“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.

Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua

orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa

Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu.

Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan

para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku

mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti

menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu

kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan

memberitahu mereka!”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua.

Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan

Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji

dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”

Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian,

sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”

“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.

“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun!

Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah

lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah

yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu.

Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan

para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku

mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti

menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu

kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan

memberitahu mereka!”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua.

Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan

Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji

dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 23

Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian,

sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”

“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.

“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun!

Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah

lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah

yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”

Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak

menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”

“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.

“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,”

jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya

Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang

keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa

kami tanpa sepengetahuan orang lain!”

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan

Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t.

melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang

menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama

tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat

ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua

orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan

Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang

dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan

Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam

keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di

pintu gua itu.”

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati

dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu

gua itu.”

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/07/21/salahkan-raja-penakluk/ Page 24

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian

senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang

beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah

berfirman:

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka,

agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa

kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang

itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan

sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui

tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata:

“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di

atasnya”. (QS Al Kahfi [18]:21)

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para

penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang

menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam

kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu,

apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum

dalam Taurat kalian?”

Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah

dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan

menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa

tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta

Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling

berilmu di kalangan ummat ini!”

***** akhir kutipan ****

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830