konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
TRANSCRIPT
1
KONSEP SISTEM IMUNITAS DALAM PENANGGULANGAN TERORISME DI
INDONESIA
1. Landasan Berpikir
Terorisme di Indonesia, berdasarkan kepada bab-bab pembahasan sebelumnya
haruslah dilihat sebagai sebuah dampak atau akibat dari tumbuhnya radikalisme
dalam gerakan Islam di Indonesia baik dari segi pemikiran maupun dari segi
implementasi gerakan. Berangkat dari postulat ini, maka penanggulangan terorisme
di Indonesia, khususnya dalam upaya-upaya pencegahan, harus benar-benar
diarahkan kepada upaya menghancurkan struktur radikalisme dalam gerakan
Islam.
Dalam hal ini, para aparat penegak hukum harus mencoba untuk
memposisikan diri dan sudut pandangnya sebagai seorang muslim yang meyakini
nilai-nilai kebenaran Islam sebagai sesuatu yang haq, tetap, tidak dapat berubah.
Upaya penanggulangan terorisme bukan berarti melakukan upaya-upaya
pembatasan dan diskriminasi terhadap berbagai bentuk pengembangan Islam
sebagai sebuah agama, karena upaya-upaya tersebut yang justru memberikan ruang
dan alasan bagi tumbuh suburnya radikalisme dalam pemikiran dan gerakan Islam
di Indonesia.
Kita semua harus menyepakati sebuah fakta yang tidak dapat dibantah, baik
dalam konteks sejarah, maupun dalam konteks kekinian, bahwa gerakan Islam yang
berupaya untuk menegakan syari’at Islam dalam pengertian luas, adalah sebuah
kewajiban yang diemban oleh tiap-tiap individu muslim, seperti yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah pada masa dakwah dan penyebaran Islam. Dengan
demikian, gerakan penegakan syari’at Islam ini pun sudah seharusnya dikawal serta
diberi ruang secara proporsional oleh pemerintah.
Dalam konteks ini, penegakan syari’at Islam dimaknai sebagai tegaknya aturan
dan hukum Islam bagi kalangan muslim, dimana aturan-aturan da hukum Islam
tersebut dimulai dari pengaturan terhadap hubungan ibadah individu muslim
dengan Allah yang kemudian menjadi fondasi bagi hubungan individu muslim
dengan sesama muslim maupun non-muslim dalam sebuah lingkungan sosial.
2
Penegakan syari’at Islam bukan berarti penegasian terhadap eksistensi penganut
agama yang lain, tetapi lebih kepada tegaknya aturan dan perintah Allah bagi kaum
muslim. dalam Al Qur’an surat Al Kafirun, seperti yang kita ketahui bersama sudah
jelas dan tegas dinyatakan bahwa “untukmu Agamamu, untukku Agamaku”,
dimana petikan ayat tersebut menjadi bukti yang jelas sekaligus dasar penegakan
syari’at Islam dalam konteks masyarakat yang beragam, bahwa Islam mengakui
eksistensi agama lainnya.
Menyatakan kebenaran Islam meskipun satu ayat adalah kewajiban bagi setiap
muslim, akan tetapi memaksa orang lain yang ketika sudah diberi tahu dan diajak
untuk mengikuti jalan kebenaran Islam untuk masuk dan meyakini Islam sebagai
agama yang benar adalah sebuah hal yang tidak dibenarkan. Pengakuan eksistensi
agama lainnya dalam sebuah lingkungan sosial dimana syari’at Islam ditegakkan
pernah dicontohkan oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah, dimana hak-hak
penganut agama lain seperti Yahudi dan Nasrani yang hidup berdampingan dengan
kaum muslim di Madinah diakui dan dilindungi oleh Rasulullah. Sikap Rasulullah
ini hakikatnya merupakan dakwah bagi kaum non-muslim bahwa Islam sebagai
rahmatan lil alamin tidak hanya sebuah kalimat tanpa makna dan bukti, akan tetapi
sebuah ketetapan Allah yang tidak bisa dibantah, sehingga eksistensinya dalam
kehidupan dunia pun sudah pasti dapat dilihat dan dirasakan oleh segenap alam,
termasuk seluruh manusia yang ada didalamnya, apapun agamanya tanpa
terkecuali.
Penegakan syari’at Islam dengan demikian jangan dianggap sebagai sebuah
hal yang menakutkan dan mengancam harmoni dan keberagaman, bahkan
dianggap sebagai hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan NKRI, karena
penegakan syari’at Islam bukan berarti berdirinya sebuah daulah Islamiyah. Daulah
atau negara Islam hanyalah sebuah pilihan sebagai dampak dari munculnya
konsensus masyarakat untuk mendirikan sebuah negara Islam. Daulah Islamiyah
pun tidak menjamin tegaknya syari’at Islam dalam konteks hubungan ibadah antara
individu muslim dengan Allah, daulah Islamiyah hanya menjamin tegaknnya
aturan hukum dan sosial yang mengatur hubungan antar manusia dan menciptakan
3
kondisi lingkungan yang menunjang tetapnya iman seorang muslim dalam
kerangka hubungan ibadahnya dengan Allah.
Radikalisme Islam yang kemudian berujung kepada upaya penegakan syari’at
Islam melalui pendirian sebuah Daulah Islamiyah maupun sebuah khilafah
Islamiyah lebih disebabkan kepada rasa tidak puas beberapa kelompok Islam yang
menyadari bahwasanya ada sebuah ketidakadilan yang dialami oleh umat muslim
di Indonesia, dan pemerintah serta negara yang memiliki kewajiban untuk
melindungi hak-hak kaum muslim sebagai bagian dari warga negara serta
menciptakan keadilan sosial yang menyeluruh, dianggap oleh kelompok-kelompok
gerakan Islam ini sudah tidak mampu menjalankan kewajibannya tersebut.
Rasa ketidakpuasan ini kemudian ditambah lagi dengan munculnya gerakan-
gerakan perlawanan Islam yang bersifat transnasional terhadap berbagai bentuk
penindasan sistemik dalam skala global kepada umat muslim di berbagai belahan
dunia. Akumulasi dari hal ini adalah radikalisme gerakan Islam, yang pertama,
pada tataran pemikiran adalah munculnya sebuah kesimpulan dan persepsi bahwa
telah terjadi bentuk-bentuk penindasan yang nyata terhadap umat muslim di
berbagai wilayah di dunia, sebuah bentuk kedzaliman sistemik kepada umat
muslim, dengan demikian diperlukan upaya-upaya perlawanan terhadap
penindasan tersebut dan siapapun yang melakukan penindasan tersebut, termasuk
mereka yang mendukung, langsung maupun tidak langsung, bentuk-bentuk
penindasan tersebut.
Yang kedua, pada tataran implementasi gerakan Islam, yang awalnya berupa
gerakan dakwah internal-eksternal, berubah menjadi gerakan perlawanan dengan
tujuan jangka menengah mendirikan daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah.
Dengan berubahnya orientasi gerakan Islam dari dakwah menjadi gerakan
perlawanan, maka dititik inilah radikalisme tersebut tumbuh dan berkembang.
Pemahaman terhadap hubungan sebab-akibat antara radikalisme dan
terorisme ini kemudian akan mengantarkan kita kepada sebuah konsep
penanggulangan terorisme yang tepat, efektif, dan efisien. Dalam kerangka
penanggulangan terorisme di Indonesia dengan menggunakan pendekatan
preventif, pemahaman terhadap hubungan sebab-akibat seperti yang dijelaskan di
4
atas sangat penting, karena hakikatnya, upaya pencegahan adalah upaya
mengelimir berbagai sebab utama munculnya terorisme di Indonesia.
Seperti yang telah dijelaskan, terorisme muncul karena adanya radikalisme
gerakan Islam, dan radikalisme gerakan Islam muncul karena adanya beberapa
faktor utama, yaitu:
1) Terbatasnya ruang-ruang penegakan syari’at Islam dalam pengertian luas;
2) Perubahan orientasi gerakan Islam dari gerakan dakwah menjadi gerakan
perlawanan yang disebabkan oleh:
Faktor internal: rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah dan berbagai
pihak (bahkan kepada kelompok muslim yang dianggap berpikiran
liberal) yang dianggap tidak mampu menjamin terpenuhinya hak-hak
kaum muslim untuk menjalankan ibadahnya dan interaksi sosialnya
berdasarkan kepada syari’at Islam, serta kegagalan pemerintah dalam
menciptakan keadilan sosial yang menyeluruh;
Faktor eksternal: terjadinya bentuk-bentuk penindasan sistemik dalam
tataran global pada kaum muslim di berbagai belahan dunia.
Proses eliminasi terhadap faktor-faktor penyebab tersebut berarti melakukan
upaya-upaya yang bersifat global dan berjalan di tingkat nasional, regional, dan
internasional. Hal ini tentu saja sebuah upaya panjang yang membutuhkan energi
yang besar, komitmen yang yang jelas, serta cost yang tinggi. Di lain pihak, gerakan
radikalisme Islam terus tumbuh secara positif dan terus berpotensi menjadi gerakan
terorisme dengan waktu yang relatif singkat, energi yang sedikit, dan cost yang
relatif rendah. Radikalisme dapat tumbuh dengan subur hanya dengan melakukan
eksploitasi terhadap kondisi-kondisi keterpurukan umat muslim di berbagai bidang
dan dimensi di Indonesia sebagai sebuah akibat dari penindasan secara sistemik.
Dalam tataran konseptualisasi dan pendekatan preventif dalam
menanggulangi terorisme, penulis ingin menegaskan bahwa telah terjadi hubungan
yang negatif antara upaya preventif dan tumbuhnya radikalisme. Secara konsep,
telah terjadi gap atau kesenjangan yang amat signifikan antara upaya pencegahan
dan tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Kesenjangan ini tentu saja akan semakin
lebar jika kita turunkan dalam tataran implementasi.
5
Dengan demikian perlu sebuah konsep yang memiliki hubungan positif
dengan tumbuhnya radikalisme gerakan Islam di Indonesia. Jika upaya eliminasi
terhadap sebab-sebab munculnya radikalisme gerakan Islam di Indonesia adalah
upaya yang sebenarnya hampir tidak rasionil untuk dilakukan, maka harus diambil
pilihan lain yang lebih rasionil.
Sebuah sistem berpikir yang membentuk persepsi dan menentukan bagaimana
sebuah keputusan diambil dan bagaimana sebuah tindakan akhirnya dilakukan,
dapat berjalan karena adanya input yang masuk dalam sistem berpikir tersebut.
Gambar 5.1 Bagan Sederhana Sistem Berpikir Manusia
Dalam bagan sistem berpikir di atas, diketahui bahwa terdapat dua jenis input
yang ada dalam sistem berpikir manusia, yaitu:
1) Input eksternal: berkaitan dengan segala hal yang ditangkap oleh seluruh
indera fisik manusia meliputi apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan
sebagainya;
2) Input internal: berkaitan dengan segala hal yang muncul secara mandiri
dan alamiah dalam diri manusia yang berasal dari ruang kebatinan
Kesadaran/ Pemahaman
Input Eksternal
Input Internal
Panca Indera
Proses Berpikir
Ou
tpu
t
Sikap/ Keputusan
Perilaku/ Tindakan
6
manusia, dan seringkali muncul tanpa disadari; sebuah kesadaran mandiri
yang berdiri sendiri dan meliputi hal-hal terdasar dalam hakikat
kemanusiaan dan relasinya dengan alam serta penciptanya; seringkali input
internal ini dipersepsikan dan dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat
metafisis.
Kedua jenis input tersebut berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama
lain, dan proses interaksi diantara kedua input tersebut selanjutnya akan diproses
oleh pikiran manusia dan menghasilkan output-output seperti tergambar pada
bagan di atas.
Sebab-sebab munculnya radikalisme dalam alam pikiran manusia, mengacu
kepada sistem berpikir di atas, merupakan hasil dari proses terhadap input eksternal
dan internal yang masuk dalam proses berpikir seseorang. Input eksternal adalah
berbagai hal terkait dengan sebab-sebab kemunculan radikalisme gerakan Islam
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Sedangkan input internalnya mengacu
kepada sebuah kesadaran diri untuk mencapai sebuah kondisi keadilan, dimana
manusia sampai kepada hakikat penciptaannya sebagai manusia. Kesadaran internal
ini kemudian menimbulkan sebuah ekspektasi atau harapan tentang kondisi ideal
yang harus mampu dia capai sebagai seorang manusia. Di sisi lain, kesadaran
internal tersebut juga menimbulkan kebutuhan akan suasana batin yang lebih baik,
kedamaian dan kedekatan dengan Allah dalam hubungan antara Tuhan dan hamba.
Jika sebelumnya secara konseptual kita tidak menemukan korelasi yang positif
antara upaya pencegahan dan tumbuhnya radikalisme, maka dengan pendekatan
sistem berpikir ini, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kesadaran internal yang
muncul dalam diri manusia dapat menjadi titik awal untuk membuat sebuah konsep
pencegahan radikalisme yang tepat. Disini penulis ingin menegaskan kembali
sekaligus menunjukan bahwa apa yang mendorong seseorang untuk mengambil
sebuah keputusan dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan, mereproduksi
radikalisme, dan berujung kepada aksi-aksi terorisme, seluruhnya berawal dari
proses berpikir dalam sistem berpikir manusia. Oleh karena itu upaya pencegahan
yang paling efektif adalah melindungi sistem berpikir tersebut agar tidak dapat
7
dirusak oleh input-input radikalisme yang masuk secara sporadis maupun
sistematis.
Secara konseptual terdapat beberapa pilihan yang dapat diambil untuk
melindungi sistem berpikir kita, yang pertama adalah eliminasi terhadap input-
input radikalisme, kemudian filterisasi terhadap input-input radikalisme, dan yang
terakhir adalah imunisasi sistem berpikir dari input-input radikalisme.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, eliminasi terhadap berbagai input
radikalisme, secara konsep ternyata berkorelasi negatif dengan tumbuhnya
radikalisme, dengan demikian pilihan ini akan kita abaikan untuk sementara.
Pilihan berikutnya adalah melakukan filterisasi terhadap input-input radikalisme.
Filterisasi berarti menyaring, memilah antara mana yang diperlukan dan mana yang
tidak diperlukan oleh sistem berpikir manusia. Dalam kerangka penyaringan ini,
diasumsikan bahwa tidak seluruhnya input-input radikalisme tersebut bersifat
negatif, tetapi ada juga bagian-bagian dari input tersebut yang memiliki nilai positif
dan berguna bagi proses berpikir manusia.
Untuk beberapa jenis input radikalisme, penulis sepakat bahwa tidak semua
kesatuan inputnya bersifat negatif, akan tetapi ada nilai-nilai positif yang dapat
diambil, misalnya yang umum dan lazim ditemukan adalah ajakan untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan dalam Al Qur’an
dan Al Hadist serta seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Input
seperti ini bersifat positif karena dapat menjadi pendorong tegaknya iman dan
munculnya akhlak Islam dalam kehidupan sosial.
Akan tetapi untuk input-input yang bersifat samar dan cenderung
menyesatkan, akan sangat sulit untuk disaring, seperti rasionalisasi terhadap aksi
bom bunuh diri sebagai bagian dari jihad fi sabilillah, rasionalisasi yang menyatakan
bahwa mereka yang kafir adalah musuh dan wajib dibunuh, dan input-input sejenis,
dimana jika dilihat dari proses rasionalisasinya sendiri sudah salah dan rujukan
dalilnya pun kurang tepat, sehingga input-input radikalisme seperti ini seluruhnya
bersifat negatif dan tidak ada hal positif yang dapat diambil darinya. Jika demikian,
maka tidak berlaku proses penyaringan untuk jenis input yang seperti ini.
8
Pilihan yang terakhir adalah imunisasi, yaitu penciptaan sistem kekebalan
terhadap berbagai input radikalisme yang masuk dalam sistem berpikir seseorang.
Melalui sistem kekebalan ini dimungkinkan terjadinya penolakan secara sistematis
terhadap berbagai input radikalisme yang masuk, tidak hanya menolak, sistem
kekebalan juga mengacu kepada kemampuan sistem berpikir untuk menyaring dan
memilah informasi mana yang masih dapat diproses dan mana yang tidak dapat
diproses lebih lanjut.
Gambar 5.2 Ilustrasi Sederhana Konsep Imunitas Dalam Menangkal Paham
Radikalisme
Ilustrasi sederhana pada Gambar 5.2 di atas menunjukan secara sederhana apa
yang dimaksud dengan konsep Imunitas, dimana fungsi utama Sistem Imunitas
yang dibangun mencakup 3 hal yaitu sebagai berikut:
1) Fungsi penolakan: yaitu menolak input radikalisme yang salah dalam hal
rasionalisasi dan penyimpulan;
2) Fungsi penghapusan: yaitu menghapus input radikalisme yang telah
terlanjur masuk ke dalam sistem berpikir;
3) Fungsi penyaring: yaitu memilih dan memilah informasi mana yang
bernilai positif dari input radikalisme untuk kemudian diteruskan dalam
proses berpikir.
Ketiga fungsi utama menunjukan bahwa Sistem Imunitas terhadap radikalisme
dibangun sebagai sebuah pilihan yang paling rasionil dalam upaya pencegahan
sekaligus penanggulangan terorisme di Indonesia. Dengan fokus kerja Sistem
Imunitas pada sistem berpikir manusia, maka Sistem Imunitas yang dibangun harus
memiliki kemampuan adaptif dan self-organize sejalan dengan perubahan dan
perkembangan pola dan sistem berpikir manusia.
Sistem Berpikir
IMUN RADIKALISME
9
2. Sistem Imunitas
Dalam pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa Sistem Imunitas adalah
sebuah sistem kekebalan yang dibangun untuk melindungi sistem berpikir manusia
dari berbagai input yang menimbulkan pemahaman dan kesadaran radikal
(radikalisme).
2.1 Unsur/Komponen Sistem Imunitas
Sistem Imunitas memiliki beberapa unsur atau komponen utama yang harus
dimiliki agar ketiga fungsi utama dari sistem ini dapat bekerja. Unsur atau
komponen utama dari Sistem Imunitas adalah sebagai berikut:
1) Unsur Penolak (Denial Component)
Unsur penolak merupakan unsur yang menjalankan fungsi penolakan
terhadap berbagai input radikalisme. Beberapa variabel dari unsur ini
diantaranya adalah kemanusiaan, toleransi, hak asasi manusia, perdamaian.
2) Unsur Penghapus (Eraser Component)
Unsur penghapus merupakan unsur yang menjalankan fungsi
penghapusan terhadap berbagai input radikalisme yang telah masuk ke
dalam sistem berpikir. Unsur ini terdiri dari dua sub-komponen yaitu:
a. Deradikalisasi;
b. Rehabilitasi.
3) Unsur Penyaring (Filter Component)
Unsur penyaring merupakan unsur yang menjalankan fungsi memilah dan
memilih bagian mana dari input radikalisme yang masih mengandung nilai
positif yang berguna untuk meningkatkan daya tahan Sistem Imunitas.
Beberapa variabel dari unsur ini diantaranya universalitas Islam dan 3
rukun agama dalam Islam (Syari’at, Hakikat, dan Ma’rifatFiqih, Tauhid,
dan Tasawuf).
2.2 Karakteristik Sistem Imunitas
10
Sebagai sebuah sistem, Imunitas memiliki beberapa karakteristik yang
membedakannya dari sistem-sistem penanggulangan terorisme lainnya yaitu
sebagai berikut:
1) Sistem Imunitas dibangun untuk diterapkan pada para target potensial
perekrutan kelompok teroris-radikalis;
2) Sistem Imunitas memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
perkembangan pola dan sistem berpikir manusia;
3) Sistem Imunitas memiliki kemampuan untuk berjalan/bekerja sendiri (self-
organize) secara mandiri tanpa terpengaruh kondisi eksternal maupun
internal;
4) Sistem Imunitas terintegrasi dengan sistem berpikir manusia, oleh karena
itu dapat bekerja secara efektif ketika sistem berpikir manusia berjalan.
2.3 Mekanisme Kerja Sistem Imunitas
Sistem Imunitas bekerja dalam Sistem Berpikir manusia sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dimulai sejak Sistem Imunitas tersebut mulai ditanam dan
dibangun dalam sistem berpikir manusia. Secara umum, mekanisme kerja dari
Sistem Imunitas terdiri dari 3 bagian yaitu sebagai berikut:
1) Instalasi
Merupakan proses pembangunan dan penanaman Sistem Imunitas dalam
sistem berpikir seseorang. Proses instalasi ini akan sangat tergantung
kepada komposisi variabel yang digunakan dari masing-masing komponen,
media instalasi, dan prosedur instalasi yang digunakan.
2) Penjalanan Fungsi
Segera setelah proses instalasi selesai, Sistem Imunitas ini akan secara
otomatis bekerja selama sistem berpikir seseorang bekerja. Seluruh fungsi
dari Sistem Imunitas ini akan berjalan dalam sistem berpikir seseorang dan
akan berhenti bekerja ketika sistem berpikir seseorang berhenti bekerja.
3) Pembaharuan Komponen
11
Pembaharuan komponen-komponen sistem berjalan secara otomatis
mengikuti perkembangan pola dan sistem berpikir. Pembaharuan
komponen berjalan secara parsial dengan fungsi kerja penyaringan, dimana
nilai dan informasi positif dari input radikalisme hasil dari proses
penyaringan akan diolah dalam proses berpikir yang kemudian salah satu
outputnya adalah pembaharuan komponen sistem.