konsep “masyarakat madani” sebagai solusi...

23
Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik 1 Muhammad Husnul Maab 2 dan Muhammad Fauzan 3 Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman Abstrak Ironis sekali jika melihat kondisi Pemerintahan Indonesia saat ini. Negara yang notabene religius ternyata menyimpan berbagai masalah dalam hal etika dan moral. Korupsi, hanya salah satu contoh dari penyimpangan moral yang terjadi di Indonesia, seakan-akan telah melembaga di dalam masyarakat menjadi rahasia umum. Bahkan bagi para pejabat seperti menjadi kewajiban, dan justru dianggap menyimpang kalau tidak melakukannya. Apalagi membahas tentang perumusan kebijakan, akhir-akhir ini telah kita dengar istilah “Pasal Pesanan” yang sangat tidak mencerminkan etika pemerintahan yang baik. Konsep Good Governance yang ditawarkan oleh system demokrasi untuk menjadi sebuah solusi terbaik. Namun prakteknya di lapangan, demokrasi dijalankan hanya oleh para elit politik dan kurang menyentuh keterlibatan masyarakat secara luas. Akibatnya akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas pemerintah hanya berputar-putar dikalangan elite politic saja, tidak kepada masyarakat. Konsep “Masyarakat Madani” (MM) yang sering digunakan oleh negara-negara Eropa Timur, memiliki pandangan lain tentang masyarakat dan pemerintah. Konsep MM selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep tentang individu. Sehingga kalau individunya baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat madani, maka masyarakatnya akan baik pula. Lalu, MM lebih memfokuskan pada masyarakat, pada konsep dan praktek citizenship atau kewarganegaraan-seolah lepas dari prebutan kekuasaan politik. Maka berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat), government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka “The search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik) Kata kunci : Tata pemerintahan yang baik, demokrasi, masyarakat madani 1 Telah dipresentasikan pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta , pada tanggal 10 Pebruari 2012. 2 Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi dan Penerima Beasiswa Unggulan dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 3 Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Upload: lekien

Post on 06-Feb-2018

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkan

Tata Pemerintahan yang Baik1

Muhammad Husnul Maab2 dan Muhammad Fauzan

3

Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman

Abstrak

Ironis sekali jika melihat kondisi Pemerintahan Indonesia saat ini. Negara yang

notabene religius ternyata menyimpan berbagai masalah dalam hal etika dan moral. Korupsi,

hanya salah satu contoh dari penyimpangan moral yang terjadi di Indonesia, seakan-akan

telah melembaga di dalam masyarakat menjadi rahasia umum. Bahkan bagi para pejabat

seperti menjadi kewajiban, dan justru dianggap menyimpang kalau tidak melakukannya.

Apalagi membahas tentang perumusan kebijakan, akhir-akhir ini telah kita dengar istilah

“Pasal Pesanan” yang sangat tidak mencerminkan etika pemerintahan yang baik. Konsep

Good Governance yang ditawarkan oleh system demokrasi untuk menjadi sebuah solusi

terbaik. Namun prakteknya di lapangan, demokrasi dijalankan hanya oleh para elit politik dan

kurang menyentuh keterlibatan masyarakat secara luas. Akibatnya akuntabilitas,

responsibilitas dan responsivitas pemerintah hanya berputar-putar dikalangan elite politic

saja, tidak kepada masyarakat. Konsep “Masyarakat Madani” (MM) yang sering digunakan

oleh negara-negara Eropa Timur, memiliki pandangan lain tentang masyarakat dan

pemerintah. Konsep MM selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep tentang

individu. Sehingga kalau individunya baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

masyarakat madani, maka masyarakatnya akan baik pula. Lalu, MM lebih memfokuskan

pada masyarakat, pada konsep dan praktek citizenship atau kewarganegaraan-seolah lepas

dari prebutan kekuasaan politik. Maka berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata

pemerintahan yang baik perlu adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community

(masyarakat), government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan

voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos

pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang

berbeda dalam rangka “The search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik)

Kata kunci : Tata pemerintahan yang baik, demokrasi, masyarakat madani

1 Telah dipresentasikan pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN)

ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta , pada tanggal 10 Pebruari 2012. 2 Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi dan Penerima Beasiswa Unggulan dari Biro Perencanaan dan

Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 3 Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Page 2: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

PENDAHULUAN

Sejarah mengatakan bahwa semangat demokrasi sebenarnya lahir dari negara barat,

beriringan dengan modernisaasi. Pemikir-pemikir terkenal yang biasanya dikelompokkan pada

pluralis dan liberalis, sepserti Daniel Lerner (ahli sosiolog), Gabriel Almond, James Coleman,

Karl Deutsch, dan Mc T.Kahin (ahli ilmu politik), beranggapan bahwa modernisasi identik

dengan westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan pada akhirnya liberalisasi (Azizy Q. A.,

2000, pp. 7-8). Paham ini masuk ke Indonesia seiring dengan adanya era modernisasi dan

Globalisasi dunia.

Modernisasi, menurut Akbar S. Ahmed (London, 1992), merupakan sebuah fase yang

ditandai dengan kepercayaan terhadap sain, perencanaan,sekularisme dan kemajuan. 4 Dalam

pendefinisian seperti itu, maka banyak ancaman budaya berupa kebebasan yang datang dari dunia

sekuler, seperti kebebasan lahirian (pleasure), egoism, dan hedonisme, terhadap nilai-nilai dan

norma budaya local dan nasional, terlebih lagi nilai agama.

Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan dalam demokrasi tersebut yang

akhirnya menjadi lingkaran setan kebebasan, yakni kebebasan menjadi sebab sekaligus akibat

dalam mendapatkan uang dan kekayaan lainnya. Kebabasan tanpa batas yang telah menjadi

lingkaran setan kebebasan itulah yang menjadi maslah utama bagi bangsa Indonesia, sulit keluar

(baca: terlepas) dari jeratan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.

Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat kinerja

para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan tradisi-tradisi

kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu diidentikan dengan

korupsi” (www.waspadaonline.com, 9 Desember 2011) menjadi sorotan public ketika ditemukan

ada beberapa Rekening milik sebagian kecil PNS muda yang nilainya tidak wajar (miliaran

rupiah). Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ade Irawan, dari hasil riset ICW atau

Indonesia Corruption Watch, birokrasi hanya dijadikan mesin untuk melegalkan praktik-praktik

korupsi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 318 laporan keuangan yang terindikasi

korupsi dalam lima tahun terakhir. Potensi kerugian negara dalam 318 laporan tersebut

diperkirakan mencapai Rp 29,5 triliun dan 450 juta dollar AS. (www.waspadaonline.com, 9

Desember 2011)

4 Dikutip dari Azizy, 2004, hal 6

Page 3: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

Lagi-lagi birokrat membuat ulah. Pemerintah bakal menggelontorkan anggaran gaji PNS

untuk tahun 2012 sebesar 215,7 Triliun (terjadi kenaikan 32,9 Triliun/ 18%). Direktur Eksekutif

Institute for development of economic and finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengkritik bahwa

kenaikan gaji tidak efektif karena sampai sekarang kualitas pelayanan publik masih buruk

(http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011).

Melihat cuplikan kasus di atas, mencerminkan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan

pemerintah tidak berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi selama ini hanya berkutat pada

masalah-masalah teknis, seperti bangunan organisasi, tata kelola pengawai atau kesejahteraan

pegawai dan pola rekrutmennya, dan belum menyentuh kepada masalah yang subtansial. Hingga

banyak polemik saat ini atas kenaikan gaji dan tunjangan structural atau jabatan eselon PNS yang

seharusnya mampu memacu dan menekan pemerintah untuk berpikir ulang atas kebijakan atau

keputusan yang telah dikeluarkan tersebut. Pertanyaannya adalah sudahkah kenaikan tersebut

mempertimbangkan keadilan, tenggang rasa, kebutuhan pokok dan rasa iri hati Terhadap kinerja

yang selama ini telah dlaksanakan ? (Utomo, 2007, p. 218).

Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar

dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi,

keadilan, HAM, toleransi, serta plularisme (Jainuri, 2000). Penyebab yang melatarbelakangi

tindak pidana korupsi dimungkinkan adalah adanya permainan proyek fiktif

(www.waspadaonline.com, 10 Desember 2011). Menurut Solatun5 (2011) “Persoalan-persoalan

seperti korupsi, kolusi, nepotisme, terjadi karena di sana sudah tidak ada lagi etika”

5 Solatun Dulah Sayuti, Staf Pengajar pada Program Magister Ilmu Administrasi Unsoed Purwokerto

Page 4: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

PEMBAHASAN

A. Tatanan Pemerintahan Indonesia

Menurut pakar politik dan pemerintahan Indonesia saat ini terus menerus

mendengungkan konsep demokrastisasi kepada masyarakat. Tata pemerintahan yang baik

(Good Governance) diartikan dengan tata pemerintahan yang demokratis. Demokrasi

tampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata

pemerintahan dan kegiatan poltik. Semua proses politik dan lembaga-lembaga

pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Oleh karena itu Rany (1996)

(dalam Toha, 2004)6

berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk

pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip di bawah ini:

a. kedaulatan rakyat (popular sovereighnity),

konsep kedaulatan rakyat menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate

power) untuk membuat keputusan terletak di tangan seluruh rakyat, bukan ditangan

beberapa orang atau salah satu dari orang tertentu. Jadi idealnya semua proses

kebijakan public yang menyangkut hajat hidup masyarakat (rakyat) harus didasarkan

pada kedaulatan ini.

Tetapi dalam praktiknya hal ini sangat sulit dilaksanakan di negara Indonesia. Dari

segi geografis Indonesia berbentuk kepulauan sehingga sulit untuk berembug bersama

untuk menyusun kebijakan. Selain itu jumlah warga Indonesia sangat besar, sehingga

tidak mungkin berkumpul dalam satu tempat untuk menyusun kebijakan. Selain tidak

efektif, biaya yang dikeluarkan justru semakin besar dan tidak sebanding dengan

tujuan yang akan dihasilkan. Oleh karena itu sejalan dengan pernyataan “demokrasi

itu boros”. Dalam kondisi seperti ini justru system otoriter lebih tepat diterapkan

untuk pemerintahan di Indonesia seperti jaman kerajaan.

Meskipun menggunakan alternative system perwakilan rakyat, namun praktik

dilapangan jauh dari harapan. Diawali dari proses pemilihan wakil sendiri sudah tidak

“bersih”7

, sehingga hasil dari proses system perwakilan itu kurang dapat

dipertanggungjawabkan.

b. kesamaan politik (political equality),

6 Toha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group.

7 Bersih, artinya calon wakil tidak tulus niatnya untuk menjadi wakil rakyat demi memperjuangan aspirasi

warga yang diwakilinya. Selain itu rakyat pun tidak selektif dalam memilih wakil, hal ini dibuktikan masih

banyak terjadi praktik money politic dalam proses pemilihan umum

Page 5: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

prinsip kedua ini diartikan dengan adanya kesetaraan atau kesamaan politik, yaitu

setiap warga negara dewasa mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lainnya

untuk berperan serta dalam proses pembuatan kebijakan public atau keputusan politik,

atau seringkali disampaikan dengan istilah “one person one vote”, akan tetapi

semboyan ini belum mencerminkan pemerintahan yang demokratis8

disebabkan

permainan elite politik. Suara-suara rakyat yang hampir mencapai kesepakatan

dipermainkan oleh elite group. Kenyataan ini mengakibatkan adanya system

pemerintahan ganda dalam negara, yaitu demokrasi dan oligarki/aristokrasi.

c. konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation)

prinsip yang ketiga, merupakan prinsip yang paling berat, yakni pemerintah harus

memiliki kesanggupan untuk melalukan dialog dengan rakyat terkait dengan kebijkan

dan segala hal yang terkait dengan urusan rakyat. Oleh karena itu untuk mewujudkan

prinsip ini pemerintah perlu memenuhi dua syarat, yaitu: pertama, negara harus

memiliki mekanisme yang jelas dan melembaga bagi para pejabat untuk memahami

dan mempelajari kebijakan public sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh

rakyat. Kedua, negara harus mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi

rakyat (pilihan publik).

Kedua persyaratan di atas memberikan suatu konsekuensi wajib bagi para pejabat

untuk terus menjalin komunikasi yang baik dan berdialog dengan warga terkait

dengan perumusan dan evaluasi kebijakan, dengan harapan kebijakan yang dihasilkan

benar-benar mencerminkan suara rakyat.

Praktik di lapangan, justru banyak ditemukan pejabat hanya duduk di belakang meja

kerja, bukan untuk bekerja merumuskan kebijakan, tetapi merancang strategi

mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Kalaupun ada dialog dengan rakyat,

prosentase rekayasanya lebih besar daripada ketulusan niat untuk menjaring aspirasi.

d. Kekuasaan mayoritas (Majority Rule)

Prinsip demokrasi yang ke empat adalah kekuasaan mayoritas. Manakala rakyat

dalam pemerintah yang demokratis menyetujui dengan suara bulat terhadap suatu

kebijakan public sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka pemerintah harus

melaksanakan kebijakan tersebut. Namun demikian, hampir di setiap negara

8 Hal ini mirip praktik demokrasi di Uni Soviet, bahwa masing-masing warga negara yang berumur di atas 18

tahun secara sah dan legal mempunyai hak untuk memilih. Tetapi hak tersebut diwajibkan untuk memilih satu

partai (partai komunis). Di sisi lain, pemimpin partai memiliki satu suara, tetapi suara yang istimewa. Seperti

sebuah ungkapan “all animals are equal, but some animals are most equal than others” (George Orwell).

Page 6: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

demokrasi suara bulat seperti ini jarang bisa diwujudkan. Keputusan politik di dalam

demokrasi pada akhirnya menjadi suatu pilihan dari alternative kebijakan yang ada.

Bahkan yang ditemukan di Indonesia kebanyakan kebijakan yang baru hanya hasil

dari copy paste dari kebijakan yang lama, adapaun kesepakatan bulat hanya

digunakan sebagai formalitas saja. Lantas, bagaimana seharusnya pemerintahan yang

demokratis ini tetap berdiri di atas prinsip bahwa proses pengambilan keputusan

berada pada seluruh rakyat? Padahal pasti ada sebagian rakyat yang tidak sepakat

dengan kebijakan yang dirumuskan, dan seringkali itu diabaikan.

Solusi sementara ini yang dapat dijalankan adalah menggunakan prinsip kekuasaan

mayoritas. Prinsip ini menghendaki suara mayoritas lah yang digunakan acauan untuk

menentukan kebijakan. Adapun prosedur yang selama ini dipraktikkan untuk

menentukan batas suata mayoritas dalam proses pengambil keputusan adalah

persetujuan dari 50 persen plus 1 dari kuorum9. Suara mayoritas ini pelaksanaannya

tidak seperti yang diharapkan. Adakalanya dipergunakan oleh pemerintah dengan

“rekayasa” mengatasnamakan demokrasi akan tetapi memaksakan rakyat untuk

bersuara sama. Maka hal ini jauh sekali dengan prinsip etika pemerintahan.

Dalam ranah pelayanan public, dalam mengukur kinerja birokrasi public

(Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik, 2008) terdapat lima criteria, yaitu produktivitas,

kualitas layanan, responsiveness (daya tanggap dan prioritas pelayanan), responsibility

(kesesuaian dengan prinsip-prinsip administratif), dan accountability (dapat

dipertanggungjawabkan). Selain itu Komurotomo (dalam Dwiyanto, 2008) menggunakan

beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi, antara lain

efisiensi, efektifitas, keadilan dan daya tanggap. Dari kedua pendapat tersebut belum ada

yang merumuskan indikator etika menjadi salah satu kriteria kualitas kinerja birokrasi

publik.

B. Etika Birokrasi

Serangan modernisasi sebagaimana dijelaskan di atas, telah merubah cara berpikir

masyarakat secara radikal. Rasionalisme, individualism, nesionalisme. Sekularisme,

materialism, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme serta pluralism regilius. Oleh

9

Kuorum, sejumlah orang yang terhitung dalam rapat dan dijadikan batas minimal kehadiran untuk

menyelenggarakan persidangan

Page 7: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

karena itu perlu adanya alat yang dapat digunakan untuk menyaring dan memilah-milah

cara berfikit tersebut agar bangsa Indonesia tidak terlepas dari orientasinya. Etika

dipandang sebagai ilmu yang mencari orientasi (Magnis & Suseno, 1993, p. 13), yakni

sebelum seseorang dapat melakukan sesuatu apa pun, orang tersebut harus mencari

orientasi dulu. Begitu juga dengan birokrasi, sebelum melakukan sesuatu apa pun, para

birokrat hendaknya (baca: wajib) mencari orientasi dulu. Pernyataan ini membuktikan

bahwa segala sesuatu yang diperbuat oleh birokrat merupakan cerminan dari orientasi

awal para birokrat tersebut. Maka dengan adanya pemaknaan etika sebagaimana di

uraikan di atas, maka tindak KKN sebagaimana melembaga di pemerintahan saat ini

dapat dikatakan bahwa itu adalah cerminan dari orientasi para birokrasi memang tidak

untuk melindungi, melayani dan mengembangkan rakyatnya. Justru sebaliknya, orientasi

yang mungkin melekat pada diri para birokrasi hanya demi kekayaan dan kepuasan

pribadi saja. Maka dengan berbagai cara pun akan ditempuh untuk mewujudkan kepuasan

tersebut.

Mengapa etika semakin diperlukan di Indonesia? Ada beberapa hal yang menjadi

dasar perlunya etika dikembangkan di masyarakat Indonesia saat ini (Magnis & Suseno,

1993, pp. 15-16) , antara lain:

a. Kondisi masyarakat yang semakin pluralistic, termasuk dalam bidang moral. Saat

ini setiap orang dihadapkan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering

saling bertentangan. Mana yang harus diikuti? Moral dari orang tua? Atau moral

tradisional desa? Atau moral yang ditawarkan melalui media massa?

b. Masyarakat Indonesia sedang berada dalam era transformasi tanpa tanding.

Perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi

kehidupan masyarakat, yaitu gelombang modernisasi. Dalam transformasi

ekonomi, social, intelektual dan budaya (misalnya), bangsa Indonesia ditatang

dengan paham-paham liberalism, sekulerisme, hedonism, materialism,dll. Dalam

situasi ini etika dapat membantu agar bangsa Indonesia tidak kehilangan orientasi,

dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan

dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat

dipertanggungjawabkan

c. Tidak mengherankan bahwa proses perubahan social budaya dan moral ini

dipergunakan oleh berbagai pihak untuk “memancing di air yang keruh”. Situasi

ini dimanfaatkan oleh para oknum dengan menawarkan ideologi-ideologi mereka

Page 8: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

sebagai obat penyelamat, sedangkan kenyataannya hanya sebagai sarana untuk

meraih keuntungan saja. Desentralisasi digembor-gemborkan oleh para elit politik.

Meskipun alasan secara nalar benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

diantaranya efisiensi dan efektifitas pelayanan, namun dibalik semua alasan itu

tidak terlepas dari adanya tujuan para elit untuk mendapatkan bagian dana yang

besar dari pemerintahan pusat. Dalam hal ini etika membantu seseorang agar tidak

naïf atau ekstreem dalam menghadapi hal-hal yang baru.

Birokrasi, sebagai organisasi terbesar dalam negara, merupakan satu kesatuan

orang-orang yang berkumpul untuk menjadi pelayan negara. Mereka merupakan

perwujudan dari kekausaan negara yang bertugas memenuhi kebutuhan seluruh warga

negara. Sebagai seorang pelayan selayaknya memberikan pelayanan yang berkualitas

kepada atasannya (majikan) agar mendapatkan gaji yang banyak, atau sebaliknya seorang

pelayan harus memberikan pelayanan yang baik setelah mendapatkan kepercayaan dari

atasannya dengan disertai dengan pembiayaannya. Dalam praktiknya birokrasi di

Indonesia masih kental dengan budaya kraton dan colonial di masa penjajahan, sehingga

tugas birokrasi bukan sebagai pamong praja melainkan sebagai abdi raja yang wajib

mewujudkan apa saja yang menjadi keinginan raja atau sebagai budak dari colonial yang

harus memenuhi keinginan koloni. Budaya tersebut masih terbawa sampai sekarang,

terlihat para birokrat bukan berorientasi pada kualitas layanan melainkan pada kualitas

pengabdian kepada kepala nya. Hal ini lah yang akhirnya menciptakan budaya korupsi,

kolusi dan nepotisme.

Sedangkan yang diharapkan oleh Indonesia saat ini adalah birokrasi yang

berorientasi pelayanan public. Oleh karena itu untuk menciptakan birokrasi yang beretika

pelayanan publik, perlu adanya moral-moral dasar yang mengatur perilaku para birokrat

tersebut, sebagaimana manusia yang lain sebagai makhluk yang berbudi pekerti. Adapun

prinsip-prinsip dasar moral manusia yang harus dipegang teguh antara lain:

a. Prinsip sikap baik

Prinsip ini secara simple berarti sebuah kesadaran untuk berusaha tidak menyakiti

orang lain. Bukan hanya itu, jika dipandang dari konsep utilitarisme, maka sikap baik

yang diharapkan adalah bahwa seseorang dituntut untuk mengusahakan akibat-akibat

baik sebanyak mungkin dan mengusahakan sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat

Page 9: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

buruk yang dapat mengenai orang lain. Sikap baik berarti: memandang seseorang dan

sesuatu bukan hanya sejauh berguna bagi saya, melainkan menghendaki, menyetujui,

membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang

perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah kematiannya demi dia

(orang lain atau sesuatu) itu sendiri.

b. Prinsip keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar seseorang bersikap baik terhadap siapa saja.

Namun kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakikat terbatas. Oleh karena

itu agar tidak mengalami ketimpangan perlakukan antara satu dengan yang lainnya,

maka perlu prinsip keadilan. Prinsip keadilan pada hakikatnya berati memberikan

kepada siapa saja apa yang menjadi haknya dan dalam mencapai tujuan yang baik

tersebut jangan sampai melanggar hak orang lain.

c. Prinsip hormat terhadap diri sendiri

Prinsip yang ketiga ini adalah prinsip yang berupaya mengangkat derajad dan

martabat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Prinsip ini memiliki dua arah

sasaran. Pertama, manusia dituntut agar tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat,

dianiaya atau diperbudak. Maka apabila ada perlakuan semacam itu dari pihak luar,

prinsip ini menganjurkan seseoang untuk melakukan perlawanan. Kedua, manusia

dituntut agar jangan sampai dirinya terlantar, baik dari segi ekonomi, social dan

budaya. Meskipun sebagai makhluk social, manusia dituntuk untuk saling membantu,

namun bukan berarti mengesampingkan urusan pribadi. Siapa lagi yang dapat

menghargai diri kita kalau bukan kita sendiri.

Sebuah pepatah lama mengatakan bahwa “hargailah diri kita sendiri sebagaimana kita

menghargai orang lain, dan hargailah orang lain sebagaimana kita menghargai diri

kita sendiri”. Artinya kalau kita bisa memberikan pelayanan yang baik kepada orang

lain, maka perlakukanlah diri kita dengan baik juga. Begitu juga sebaliknya apabila

kita memperlakukan diri kita dengan sangat special, maka perlakukanlah orang lain

dengan special juga. Dengan seperti itu seseorang tidak akan merasa direndahkan dari

yang lain karena telah memberikan pelayanan kepada orang lain.

Di bawah ini adalah tingkatan-tingkatan moral manusia. Dilihat dari perkembangan

mentalnya, maka moralitas seseorang dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:

No Tingkatan

Moral

Tahapan Moral Ciri Khas

Page 10: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

1 Preconvention

al Reasoning

(usia 10 th)

Stage 1

Heteronomous

morality

Obedience & punishment orientation (orientasi

pada hukuman dan rasa hormat)

Stage 2

Individualism,

instrumental

purpose, and

exchange

Native hedonistic and instrumental orientation.

Mampu membedakan akibat fisik yang

diterimanya

- Benar salah dilihat dari apakah perbuatan

itu memuaskan dirinya atau tidak

- Hubungan dengan orang lain ditafsirkan

sebagai hubungan pragmatis, timbale balik

tanpa nilai kesetiaan, rasa terimakasih dan

keadilan

2 Conventional

Reasoning Stage 3

Mutual

interpersonal,

expectation,

relationship,

interpersonal

convormity

- Good boy nice and girl morality (anak

manis)

- anak focus pada apa yang diharapkan

orang lain.

- Baik adalah apa yang menyenangakan atau

apa yang dapat membantu orang lain

- Menaruh harapan pada social

- Anak tidak egois lagi

Stage 4

Social system

morality

Authority and morality (orientasi pada

otoritas/peraturan pasti dan pemeliharaan

aturan social

3 Postconventio

nal Reasoning Stage 5

Social contact or

utility and

individual right

Social legality (orientasi kontak social)

Anak mengerti aturan sosail yang ada, jika

sesuai dengan moralnya maka diterima, jika

tidak maka ditolak

Stage 6

Universal ethical

principle

Morality of individual principle & Consistency

(orientasi suara hati dan prinsip-prinsip etis)

Penalaran moral adalah kata hati perilaku

sehari-hari

Hati nurani merupakan pengambil keputusan

C. Tatanan Pemerintahan yang Beretika Melalui Perspektif Masyarakat Madani

Permasalahan kebobrokan pemerintah menurut kacamata MM adalah karena sudah

tidak ada etika. Selain itu karena adanya penindasan globalisasi terhadap negara-negara

berkembangan yang dari segi filosofi dan budaya belum siap. Perbedaan ini harus segera

ditanggulangai dengan etika dan perubahan konsep pemerintahan. Dua hal yang perlu

menjadi perhatian dalam upaya menanggapi tantangan globalisasi yang telah merusak

etika-moral masyarakat (Azizy A. Q., 2004, p. 32), yaitu: (1) Menumbuhkan kesadaran

kembali tentang tujuan hidup menurut agama, (2) Mempertanggungjawabkan apa yang

diperbuat di dunia, baik formalitas administrative sesuai ketentuan yang ada di dunia

Page 11: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

sendiri maupun hakiki yang mempunyai konsekuensi akherat kelak (konsep

akuntabilitas).

Definisi Masyarakat Madani, berarti masyarakat yang beradab, berakhlaq mutlak

dan berbudi pekerti luhur, merupakan sebuah peradaban yang lahir di kota Madinah

(nama kota inipun diambilkan dari istilah madani-tamaddun, yang aslinya bernama

Yatsrib). Peradaban tersebut mulai dibentuk setelah lahirnya piagam Madinah (AZIZAH,

2009). Karakteristik Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam

Piagam Madinah (AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip

pembangunan masyaraakat yaitu:

1. Kebebasan agama.

2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap

solidaritas yang tinggi terhadap sesama.

3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.

4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama

sebagai anggota masyarakat.

5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.

6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.

7. Penegakan hukum.

8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan

kebenaran.

9. Perdamaian.

10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu.

Dari kesepuluh prinsip di atas, dapat dikerucutkan menjadi lima aspek karakteristik

Masyarakat madani, (Swiyanto & Muslihin, 2004), yaitu :

1. Ruang Publik Yang Bebas

Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki

akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara harus mempunyai

kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemerintahan.

2. Demokratisasi

Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan anggoata masyarakat

berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme demokrasi

antar komponen bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan bagian

yang terpenting menuju masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani

hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis.

3. Toleransi

Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan

politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang

dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling

menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh

orang atau kelompok masyarakat lain yang berbeda.

Page 12: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

4. Pluralisme

Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang

majemuk disertai sikap tulus yang bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan

merupakan rahmat Tuhan. Tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik,

sama, dan sebangun dalam segala segi. Semangat pluralitas yang dibangun,

selain karena nilai kemasyarakatan, juga didorong oleh adanya perintah Tuhan

untuk saling bertoleransi antarsesama masyarakat meskipun lain agama. Selain

itu juga ditambah dengan tidak adanya pembedaan status/derajat di mata tuhan

kecuali dari sisi iman dan taqwanya10

.

5. Keadilan sosial

Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara

hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek

kehidupan. Tiap-tiap warga negara memiliki hak yang sama dalam

memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).

Konsep masyarakat madani, dalam dunia eropa barat seringkali disama-artikan

dengan istilah civil society,di mana menurut Seligman (Azizy Q. A., 2000), kajian civil

society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral

individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial,

atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.

Begitu juga dengan konsep Human Governance (Toha, 2008, pp. 154-161),

merupakan sebuah tawaran budaya baru bagi administrasi public dengan tujuan utama

yakni memanusiakan administrasi public. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dari

konsep MM. Terdapat empat prinsip yang akan mendorong terciptanya human

governance, yakni: (1) ingin menciptakan tatanan pelayanan yang lebih baik, (2) lebih

banyak investment di bidang teknologi informasi dan komunikasi, (3) menciptakan

regulasi yang lebih baik, dan (4) manajemen yang pelatihan sumber daya manusianya

lebih terbuka dan jujur. Titik perhatian dari human governance ini mengubah posisi

manusia dari objek ke subjek. Human governance merupakan model cultural yang menata

hubungan antara negara dan individu sebagai warga negara yang mempunyai kebebasan

memilih, kemerdekaan berbeda suara, harga diri, dan hak diperlakukan oleh pemerintah

atau negara.

D. Reformasi Birokrasi di Indonesia Berkepribadian Masyarakat Madani

Di dalam kenyataan, tidak ada satu pun system social dan system pemerintahan

yang benar-benar steril dari praktik KKN, karena akan selalu berbenturan dengan

10

Konsep derajad manusia di hadapan tuhan versi Islam,

Page 13: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

individu-individu yang menginginkan jalan pintas untuk memenuhi

kebutuhan/kepentingannya sendiri, meskipun dengan kesadaran penuh bahwa

tindakannya tidak dibenarkan (Dwiyanto, 2006). Oleh karena itu upaya yang perlu

dikembangkan adalah kewaspadaan dan terus menerus mengadakan perubahan-perubahan

demi terwujudnya kesesuaian system dengan karakter bangsa. Termasuk perubahan

system social menuju system masyarakat madani ini merupakan salah satu upaya yang

tidak luput dari kekurangan. Meskipun demikian setidaknya dapat mengurangi atau

meminimalisir tindak KKN yang semakin merajalela ini.

Untuk mewujudkan system pemerintahan yang berkepribadian masyarakat madani,

maka perlu ditempuh melalui dua langkah, yaitu langkah internal dan langkah eksternal

(Hardjapamekas, 2003).

1. Langkah internal:

a. Meluruskan Orientasi

Orientasi Birokrasi Pemerintahan perlu diluruskan untuk melayani masyarakat.

Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan etika birokrasi, orientasi seseorang

sangat menentukan etika seseorang. Oleh karena itu untuk menghasilkan etika

birokrasi yang bermoral jujur, sopan dan disiplin maka selain berorientasi kepada

pimpinan, para birokrat perlu berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Dalam

hal ini masyarakat diposisikan sebagai stakeholder, yang bukan hanya menikmati

pelayanan, namun juga ikut bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan

tersebut. Masyarakat wajib ikut mengawasi para birokrat baik dari segi

perumusan/perencanaan, implementasi sampai dengan tahap evaluasi. Dengan

adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, maka pemerintah akan

semakin hati-hati dalam bertindak.

b. Memperkuat Komitmen

Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena

tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi

birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan

di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi

pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat

kesalahan atau bekerja tidak benar.

c. Pertanggungjawaban Sosial (social accountability)

- Tanggungjawab Individual

Page 14: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

Para birokrat harus bertanggungjawab atas amanat yang telah diberikan oleh

warga negara dengan baik. Wujud dari tanggung jawab tersebut adalah bekerja

secara professional, dimana bekerja sesuai dengan jabatan dan tugasnya.

Selanjutnya dalam pelaksanaan menjalankan tugas, para birokrat perlu

mengembangkan prinsip berbuat baik. Prinsip ini perlu diterapkan, terutama bagi

para birokrat pelayan public, seperti memberikan pelayanan yang mudah, murah,

cepat, tepat waktu, serta tidak berbelit-belit. Sedangkan bagi para birokrat

perumus kebijakan, prinsip sikap baik juga perlu dijadikan dasar dalam

merumuskan kebijakan. Artinya, dalam merumuskan sebuah solusi, harus benar-

benar untuk memikirkan kesejahteraan umat (orang banyak). bukan hanya untuk

kepentingan pribadi dan golongan saja.

- Tanggungjawab Sosial (Akuntabilitas Kinerja, Sustainability)

netralitas birokrasi digantikan dengan etika structural, dimana birokrasi termasuk

bagian dari proses politik yang bertanggungjawab atas segala perilaku dan

kebijakan yang telah diambil melalui discretion power nya. Selain itu dengan

pemahaman etika structural, maka sensifitas birokrasi akan dapat ditingkatkan,

karena pertanggungjawaban atas setiap perilaku bukan hanya atas nama lembaga,

namun juga atas nama perseorangan (individual) birokrat (Dwiyanto, Pemerintah

yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika, 1997).

d. Membangun Kultur Baru

Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan

prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai

gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep

transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya

e. Rasionalisasi

Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi

kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi

ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam

menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk

kemajuan teknologi informasi.

f. Memperkuat Payung Hukum

Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas.

Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan-

perubahan. Dalam konteks MM (Masyarakat Madani), hokum yang dapat

Page 15: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

dijadikan landasan birokrasi antara lain Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum

Formal dan Hukum Kemasyarakatan (Sosial). Dengan keempat hokum ini,

motivasi para birokrat dalam menjalankan tugas bukan hanya karena takun dengan

sanksi formal saja, melainkan karena kesadaran bahwa tugas ini merupakan

amanah yang harus diemban dan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan

akherat. Hokum adat dan hokum social pun akan memberikan sebuah sanksi

moral kepada birokrat yang berperilaku menyimpang.

g. Peningkatan Kualitas SDM

Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa

disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk

mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan

dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan

peningkatan kesejahteraan.

Peningkatan kualitas SDM juga harus disertai dengan peningkatan moral dan etika

agar para birokrat mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan

memuaskan bagi warganya. Salah satunya adalah prinsip menghargai diri sendiri.

Prinsip ini bagi para birokrat sangat perlu, tetapi harus hati-hati dalam

penerapannya. Prinsip hormat terhadap diri sendiri bagi birokrat adalah sebatas

kebutuhan birokrat agar tidak dianggap remeh dan rendah bagi warga masyarakat.

Setelah melaksanakan kewajibannya melayani warga, maka adalah “hak” bagi

mereka untuk mendapatkan imbalan jasa sesuai dengan tugas dan jabatannya.

Tujuannya adalah agar eksistensinya sebagai birokrat tetap terjaga dengan baik

dan mereka tetap bersemangat dalam melayani masyarakat (karena tidak merasa

diperas tenaganya seperti halnya budak). Namun selain itu, dengan prinsip hormat

terhadap diri sendiri juga perlu diterapkan dalam ranah moral, yakni sebagai

makhluk yang berbudi pekerti, maka seorang birokrat harus menghargai dirinya

dengan jalan selalu berpegang pada kepribadian moral yang baik dalam

menjalankan tugasnya.

Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di

lingkungan birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan

membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur

di tingkat bawah, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN.

Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya saja. Perilaku KKN berawal dari

keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi kelainan-kelainan yang

Page 16: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi pemerintah, tetapi

persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah pihak

dengan mengorbankan kepentingan negara.

Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah,

yang mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh

birokrasi pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki

posisi strategis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi

berpikir bagaimana memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan

kekuasaan dengan cara mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal

terhadap dirinya. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak

etika dan moral birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku yang lebih

mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat yang tersingkirkan

(Gie, 2003).

Beberapa sikap kepribadian moral yang kuat yang harus dipegang teguh oleh para

birokrat tersebut antara lain: Kejujuran, nilai keotentikan, kesediaan untuk

bertanggungjawab, kemandirian moral, keberanian moiral, kerendahan hati,

realistic dan kritis. Sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Wakil Presiden,

Jusuf Kalla, dalam menanggapi masalah korupsi dan Rekening milik PNS Muda,

bahwa saat ini pemerintah membutuhkan pegawai negari sipil atau PNS yang jujur

dan waras. (www.waspadaonline.com, 07 Desember 2011). “Jujur” dan “waras”

tersebut hanya dapat dimiliki oleh orang yang memiliki hati nurani.

h. Debirokratisasi & Desentralisasi

Reformasi birokrasi perlu diawali dengan langkah debirokratisasi, mengingat

beban negara yang semakin melambung tinggi, dan sebagian besar hanya habis

untuk menggaji para birokrat. Sedangkan sebagaimana yang terjadi di lapangan,

kinerja para birokrat kurang dimaksimalkan, lebih banyak yang menganggur di

kantor daripada bekerja melayani mayarakat, bahkan ada yang ditemukan sedang

belanja di supermarket. Tahun 2012 pemerintah bakal menggelontorkan anggaran

gaji PNS sebesar 215,7 Triliun (terjadi kenaikan 32,9 Triliun/ 18%).

(http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011). Selain pemborosan,

dengan jumlah pegawai yang tidak proporsional mengakibatkan kekosongan

kerja, dan justru akan menimbulkan konflik diantara birokrat.

Langkah debirokratisasi ini perlu ditempuh pemerintah dengan tujuan ganda,

yakni: Pertama, mengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan

Page 17: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

ekonomi sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan

lebih wajar. Kedua, merupakan tujuan jangka panjang, adalah menciptakan

kapasitas administrasi/birokrasi yang lebih mampu melaksanakan pembangunan

berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas manusia dan kualitas

masyarakat (Effendi, 2010).

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, reformasi birokrasi perlu melakukan:

a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.

Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah

dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan

dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte

sharing lebih sulit dilakukan.

b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena

banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta

berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan

profesionalitas.

2. Langkah Eksternal:

a. Komitmen dan keteladanan elit politik

Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar

negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk

memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu

kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat

berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat

keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada

bawahan dan masyarakat.

b. Memperkuat Posisi Penegak Hukum

Indonesia sebenarnya telah memiliki lembaga yang berwenang untuk mengawasi

para pejabat negara dari tindakan korupsi. Meskipun terbilang masih muda, tetapi

sudah cukup baik, yakni secara kelembagaan, negara Indonesia sudah memiliki

lembaga yang sah mengurusi tindak pidana korupsi. Sedangkan dari sisi kinerja,

lembaga KPK ini masih terlihat kurang kuat. Terbukti masih banyak tindak pidana

korupsi yang belum mampu terungkap. Apalagi kasus akhir-akhir ini justru ada

salah satu diantara anggota KPK yang terjerat kasus pidana korupsi.

Page 18: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

Oleh karena itu untuk lebih menjamin status independency KPK, perlu diperkuat

posisinya di mata hokum dan masyarakat.

c. Partisipasi dan sinergitas dan Kompetisi Global

Berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu

adanya sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat),

government (pemerintah), business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan

voluntary (organisasi/gerakan kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian

berporos pada satu wadah berupa individual, bertanggungjawab untuk

menemukan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka “The search for the good life”

(menemukan kehidupan yang baik).

OSDMM (Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani) di Indonesia aalah sub-

golonagn lembaga swadaya masyarakat “tradisional”, yakni lembaga-lembaga

yang menurut rumusan klasik terlibat dalam proses memperkuat masyarakat

madani dalam menghadapi pemerintah dan golongan elit yang berkuasa (Hadiz,

1999, p. 5). Organisasi ini adalah organisasi yang bersifat swasta dan non-

pemerintah, disamping bersifat independen dan nirlaba, juga menjalankan

kegiatan-kegiatan yang mempunyai lingkup nasional atau meliputi bagian besar

dari negara Beberapa dari mereka bergelut di bidang ekonomi, politik, dan hak-

hak asasi manusia.

Dengan adanya OSDMM ini, ada beberapa kemanfaatan yang dapat diperoleh,

yakni: pertama, control social masyarakat terhadap pemerintah lebih efektif,

karena selain memiliki kekuatan dan jalan, mereka lebih ahli dalam berdialog.

Dengan adanya control yang lebih maksimal, birokrat akan semakin berhati-hati

dalam bertindak curang. Kedua, partisipasi pelayanan public pun secara otomatis

dapat lebih optimal karena setiap OSDMM memiliki agenda kegiatan yang

bersangkutan langsung dengan masyarakat. Ketiga, OSDMM merupakan

cerminan dari tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat madani adalah

masyarakat yang cerdas dan beretika. Oleh karena itu dengan semakin

berkembangnya OSDMM merupakan sebuah pembuktian nyata dari

meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang lingkungan sesuai dengan

organisasi yang diikutinya. Keempat, OSDMM mempermudah pemerintah dalam

memilah-milah kebijakan, yakni dalam menentukan skala prioritas dan penyaluran

dananya. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang namanya “salah sasaran”

d. Demokratisasi

Page 19: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

- kebebasan social (social freedom) - Ruang Publik

kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagaimana tercantum dalam undang-

undang adalah cerminan daripada penghargaan atas nilai pluralism bangsa.

Sebagaiman kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang

majemuk. Kemajemukan dari sisi budaya telah melahirkan kemajemukan hokum

adat. Kemajemukan status social ekonomi melahirkan kemajemukan cara

pandang, kedudukan dan mata pencaharian. Hal ini akan menimbulkan

penindasan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Sedangkan praktik

di lapangan, birokrat mayoritas diisi oleh para kaum kuat, sedangkan kaum lemah

hanya sebagai penonton. Dengan adanya kebebasan social, maka masyakat akan

leluasa menyampaikan aspirasi dan control nya terhadap pemerintah.

- Keadilan Serta Kesamaan Hak Dan Kewajiban (Equality)

Birokrasi yang adil adalah yang mampu memanfaatkan segala sesuatu baik itu

kekayaan, kesempatan dan kekuasaan sesuai dengan hakikatnya diciptakan,

jangan dikurangai dan jangan menambah. Dengan prinsip ini maka tidak ada yang

namanya korupsi dalam birokrasi.

Kekuasaan yang diberikan warga kepada birokrat untuk mengurusi pelayanan

umum seharusnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini maka

keadilan berdampak pada keadilan social, yakni birokrasi yang adil adlah yang

mampu memberikan pelayanan kepada warganya dengan baik. Birokrat harus

mampu memperlakukan warganya dengan sama, tidak membeda-bedakan status

social dan kekayaan. Dengan prinsip ini maka tidak akan terjadi suap-menyuap

atau pun nepotisme.

Dalam konteks yang lain, prinsip keadilan membicarakan who gets what (Utomo,

2007). Artinya siapakah yang layak mendapatkan sesuatu itu dan apa yang layak

diperoleh seseorang. Dalam hal ini contoh terdekat adalah masalah kenaikan gaji

para PNS, yang masih menjadi permaslahan public, maka sebaiknya siapakah

yang lebih pantas menerima kenaikan gaji itu? Masyarakat atau birokrat?

Berikutnya apa seharusnya yang diperoleh masyarakat dari para birokrat?

- Demokratisasi Anggaran – Poor Budget dan Bantuan Subsidi

sementara ini, pemerintah kurang adil dalam membuat kebijakan terkait anggaran

negara. Bagaimana mungkin akan menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60%

hingga 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparat (belanja

rutin). Sisanya sebesar 30% hingga 40% digunakan untuk belanja masyarakat

Page 20: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

public dengan komposisi 30% biaya tidak langsung (administrative), 70% untuk

belanja langsung ke masyarakat (20% plafon politik, 10% plafon ADD, dan 70%

plafon sektoral).

Berbeda dengan anggaran pro poor, anggaran yang dibuat bukan untuk melayani

kaum miskin, tetapi untuk memenuhi hak dasar kaum miskin. Sehingg sebelum

dipenuhi maka anggaran sebesar apapun akan terus diusahakan hingga terpenuhi.

Karena tujuannya adalah memenuhi, maka dalam penganggarannya pun

masyarakat banyak terlibat, sehingga sesuai dengan harapan. Berikut adalah

bentuk keadilan social dalam bidang anggaran dana negara,

Aspek Anggaran Konvensional Anggaran Pro Poor

Peruntukan Melayani Kaum Miskin tidak

selalu diutamakan, bahkan residu

Pemenuhan hak dasar (khusus

kaum miskin)

Manfaat/hasil Berdasarkan kepentingan actor

yang terlibat

Sesuai kebutuhan kaum miskin

Aktor yang

memutuskan

Aparat pemerintah Pelibatan masyarakat miskin

Proses

Kebijakan

Condong teknokratis, kurang

transparan dan partisipatif

Mementingkan transparansi

dan partisipasi

Sumber: Haerudin (Waidi, Sudjipto, & Bahagijo, 2008)

Page 21: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

KESIMPULAN

Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.

Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat kinerja

para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan tradisi-tradisi

kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu diidentikan dengan

korupsi” menjadi cerminan tentang kebobrokan birokrasi Indonesia. Seiring dengan hal tersebut

pluralism masyarakat Indonesia menuntut adanya birokrasi yang bukan hanya mampu

menjalankan tugas dengan baik, melainkan mampu memuaskan masyarakat sebagai warga negara

dan stakeholder. Dalam hal ini system social yang diterapkan di Indonesia dirasa kurang tepat,

dan perlu alternative lain seperti Sistem Sosial Masyarakat Madani (MM) yang dikembangkan

dibeberapa negara berkembang dan negara Eropa Timur.

Untuk mengurangi tindak korupsi dan ketledoran pemerintah dalam memberikan

pelayanan, maka secara menurut MM perlu adanya pembenahan etika, yakni orientasi para

birokrasi perlu diluruskan, karena etika merpakan langkah-langkah dan perilaku yang lahir dari

seseorang dalam mewujudkan orientasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan etika yang baik

maka perlu didasari dengan orientasi yang baik, tidak lain adalah orientasi pada masyarakat dan

pelayanan public.

Birokrasi yang beretika dan bermoral merupakan modal awal bagi tatanan baru atau

reformasi pemerintahan Indonesia. Di samping mengembangkan etika sebagai langkah internal,

serta penguatan paying hokum dan peningkatan kualitas SDM, dari sisi eksternal juga perlu ada

perubahan, antara lain pengembangan nilai-nilai Pluralisme & Demokrasi, Kesamaan Hak dan

Partisipasi & Sinergitas.

Page 22: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

DAFTAR PUSTAKA

AZIZAH, N. (2009). Civil Society di Indonesia. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri Pamekasan.

Azizy, A. Q. (2004). melawan Globalisasi-Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan

Terciptanya Masyarakat Madani) (Cetakan V ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

--------------. (2000). Masyarakat Madani Antara Cinta dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

--------------. (1997). Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika.

Jurnak Kebijakan Administrasi Publik , 1-14.

--------------. (2008). Reformasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Effendi, S. (2010). Beberapa Hambatan Pelaksanaan Debirokratisasi dan Deregulasi untuk

Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Gie, K. K. (2003). Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai

Pemerintahan. Jakarta: Workshop Gerakan Pemberantasan Korupsi, PBNU.

Hadiz, V. R. (1999). Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani dan Pembangunan di

Asia Tenggara - Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hamzah, A. (2005). Perbandingan Pemberantasan Korupsi Berbagai Negara. Jakarta: Sinar

Grafika.

Hardjapamekas, E. R. (2003). Reformasi birokrasi Sebagai Syarat Penegakan dan

Pemberantasan KKN. Denpasar: Transparency International lndonesia.

Jainuri, A. (2000). Agama dan Masyarakat Madani-Rujukan Khusus tentang Sikap Budaya,

Agama dan Politik. Jurnal Al-Afkar , III, 21-36.

Magnis, F., & Suseno. (1993). Etika Dasar - Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Swiyanto, & Muslihin. (2004). Kewarganegaraan. Klaten: Ganeca Exact.

Toha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Yogyakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Utomo, W. (2007). Dinamika Administrasi Publik - Analisis empiris seputar isu-isu

kontemporer dalam administrasi publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waidi, A., Sudjipto, A., & Bahagijo, S. (2008). Mendahulukan Si Miskin. Yogyakarta: LKiS.

Page 23: Konsep “Masyarakat Madani” sebagai Solusi Mewujudkanmap.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Maab-dan-Fauza… · Kebebasan yang “kebablasan” yang diagung-agungkan

-----------------------------------------------------------------------

http//:harianjoglosemar.com, senin 12 Desember 2011)

http//:waspadaonline.com, Rabu, 07 Desember 2011).

http//:waspadaonline.com, Jum’at, 09 Desember 2011)

http//:waspadaonline.com, Sabtu, 10 Desember 2011)