“konsep maslahah mursalah dalam dunia bisnis dengan...
TRANSCRIPT
KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM DUNIA BISNIS DENGAN SISTEM FRANCHISE (WARALABA)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Islam
Oleh :
SITI MUSROFAH
NIM: 100046219663
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H/ 2008 M
KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM DUNIA BISNIS DENGAN SISTEM FRANCHISE (WARALABA)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Islam
Oleh:
Siti Musrofah NIM: 100046219663
Di Bawah Bimbingan
DR. Ahmad Sudirman Abbas, MA NIP: 150 294 051
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/ 2008 M
PENGESAHAN PANITIA SIDANG
Skripsi yang berjudul “Konsep Maslahah Mursalah Dalam Dunia Bisnis Dengan Sistem Franchise (Waralaba)” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah pada tanggal 13 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam) Konsentrasi Asuransi Syariah.
Jakarta, Maret 2008 Mengetahui Dekan Fak. Syariah Dan Hukum Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 150 210 442
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua : Euis Amalia, M.Ag (____________________) NIP: 150 289 264
Sekretaris : Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag (____________________) NIP: 150 318 308
Pembimbing : DR. Ahmad Sudirman Abbas, MA (____________________) NIP: 150 294 051
Penguji I : Dra. Hj. Halimah Ismail (____________________) NIP: 150 220 554
Penguji II : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido, MA (____________________) NIP: 150 165 267
i
بسم اهللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan segala kepasrahan dan kerendahan hati,
puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala taufik dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya yang telah
menjadi jalan bagi umatnya dalam menempuh keselamatan dan kebahagiaan dengan
berbagai ilmu pengetahuan yang benar.
Skripsi ini berjudul ”Konsep Maslahah Mursaalah Dalam Dunia Bisnis
Dengan Sistem Franchise (Waralaba)”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah syarat dan gelar Sarjana Ekonomi Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Jurusan Asuransi Syariah, UIN Syarif Hidayatullah.
Penulis menyadari bahwa muatan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik
penyusunan, penulisan maupun isinya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan
pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, saran
dan kritik menuju perbaikan sangat penulis harapkan.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai tantangan penulis hadapi, namun,
berkat segala keajaiban yang Allah SWT limpahkan, dan berbagai dorongan dan
bimbingan dari ”malaikat-malaikat” penolong yang Allah utus, akhirnya penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
2. Ibu Euis Amalia M. Ag dan Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syahid.
3. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA selaku pembimbing yang saya merasa
begitu beruntung atas bimbingan dan kepercayaan yang beliau berikan.
4. Keluarga tercinta HM. Hasanuddin, ayahanda dan ibunda Kaspinah,
terima kasih atas kesabaran tiada batas, sujud dan bakti ananda selalu till
the end. Segala dorongan, semangat, nasehat dan cinta kasih sayang with
the unique way yang diberikan dengan tulus dan ikhlas akan menjadi
anugerah yang sangat berharga dan tak ternilai dalam diri penulis. Ananda
persembahkan ”karya” ini sebagai bukti ketulusan dan bakti ananda.
5. My Beloved Brother and Sister, Ka Haji Subki my hero, thanks for always
be there for me in my rainy days. Ka Syam and Bunda you’re my second
parents for me, thanks for love and care. Ka Ukung my “kangkung”
thanks for everything you gave to me, it mean so much for me. Teh Ijah
dan Ka Rizal, Si keluarga ceriwis yang selalu membangkitkan semangat.
Teh Engkom The Iron Woman, suka duka pernah kita lalui bersama,
nobody knows me better than U sis, love U always. Teh Ipit dan Ka
Bambang TheOutstanding family I’ve ever met, thanks God U’re my
sister!. Jalal and Bati, adik tercinta yang pasti suatu saat bisa belajar dari
sekelilingnya.
6. My Lovely and Funny Nephews, Zahra, Handzola, Farghali, Ahmad
Deedat, Nayla Qanita, Tasya Hanifa, Salma Humaira, Fairuz El-Fida,
Najma Tsaqifa, Qisthi Reva, Moh Faqih Nurizal, Akmal Abdullah Azzam,
Syabbul Ghazy, Aisyah Maulida Kamila, dan keponakan-keponakan ku
yang belum lahir. Bibi will always love you all.
7. Untuk sahabat yang selalu setia mendampingi for better or worst D-Echi
and Ka Fika, Lulun, Dian and Sunny, I_One & Central Group Komputer,
Amira Dan semua angkatan 2000 yang telah mengisi hari-hari, Yuyun,
Puput, Umi, Rizha, Reza, Irfan, Rusdi (alm), ka Nunik, ka Sabeth, ka
Wardah, dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu.
Harapan penulis, semoga semua pihak yang telah berjasa membantu dalam
menyelesaikan studi dan skripsi ini mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari
Allah SWT, amin….
Jakarta, Rabiul Awal 1429 H
Maret 2008 M
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ................................................... 8
D. Metode Penelitian .......................................................................... 9
E. Sistematika Pembahasan................................................................ 10
BAB II GAMBARAN UMUM MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian dan Macam-macam Maslahah..................................... 12
B. Syarat dan Kedudukan Maslahah Mursalah .................................. 24
C. Lapangan dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah............... 27
D. Pendapat Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah ...................... 33
BAB III PEMBAHASAN KONSEP FRANCHISE SECARA UMUM
A. Pengertian Waralaba..................................................................... 36
B. Sejarah Waralaba........................................................................... 39
C. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis ................................................. 43
D. Elemen-elemen Pokok Dalam Bisnis Franchise............................ 47
E. Jenis-jenis Perjanjian Dalam Bisnis Franchise .............................. 48
BAB IV MASLAHAH MURSALAH DAN
SISTEM WARALABA
a. Urgensi. ............................................................................................ 54
b. Analisis Penulis................................................................................ 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 70
B. Saran .............................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah suatu peraturan (syariat) yang diturunkan Allah SWT
untuk kemaslahatan umat manusia agar dapat hidup tenang, damai, tentram dan
bahagia baik di dunia maupun diakherat.
Allah SWT dengan rahmat-Nya tidak meninggalkan manusia dalam
kegelapan. Dia mengutus para Rasul-Nya diberbagai bangsa dan sepanjang waktu
untuk menjelaskan dan menunjukkan kepada umat jalan yang ma’ruf dan jalan
yang munkar, yang benar dan yang salah. Semua ajaran secara bertahap dibawa
oleh para Rasul-Nya saling memperkuat hingga ajaran terakhir yang dibawa oleh
nabi Muhammad SAW.
Ajaran-ajaran tersebut berupa aturan dan ketentuan yang akan dipedomani
dan diamalkan oleh manusia dalam mencari kebahagiaan. Ajaran itulah yang akan
membimbing manusia kejalan yang benar menuju kepuasan hakiki yang diridhai
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan paripurna yang universal.
Kebahagiaan abadi yang meliputi kebahagiaan jasmani dan ruhani, kebahagiaan
pribadi dan masyarakat, kebahagiaan ketika hidup di dunia dan di akherat nanti.
Semua upaya dan cara untuk mencapai kepuasan itu adalah maslahah.
Mempertahankan, memelihara dan menungkatkan mutunya juga merupakan
maslahah. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang
berupa syariat Islam adalah agama yang berorientasi pada kemaslahatan.
Maslahah itu berupa rahmat, karena itu dia mendatangkan kedamaian dan
kebahagiaan. Seperti dalam al-Quran Surat Yunus/10: 57-58:
⌦ ⌧ ☺
☺ ⌧ ⌧
☺ ☺
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Dan sesungguhnya ayat diatas mengandung kemaslahatan-kemaslahatan
yang begitu besar bagi manusia dalam hidup dan penghidupannya. Maka apabila
kita meneliti dan memperhatikan ayat-ayat al-Quran akan ditemukan banya sekali
ayat-ayat yang berbicara mengenai pemeliharaan kemaslahatan manusia.
Ketika nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 362 M, beliau telah
menyampaikan al-Quran secara keseluruhandan telah menjelaskan kandungannya
sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu.
Dengan demikian cukuplah al-Quran dan Sunnah nabi Muhammad SAW
yang menjadi pegangan masyarakat menyangkut kehidupan keseharian mereka.
Akan tetapi, bagi masyarakat yang jauh dari nabi, tentu situasi demikian
merupakan suatu hal yang sulit. Untuk itu Rasulullah SAW mengizinkan orang
yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk melakukan ijtihad.
Bila kita kembali membuka lembaran sejarah, sejak semula hukum Islam
telah dihadapkan pada proses perkembangan pemikiran manusia dalam rangka
mencari metode baru demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Perubahan menuju perkembangan, banyak menimbulkan permasalahan
baru dalam segala bidang, terutama bidang sosial, budaya, sains dan teknologi,
yang dulunya belum terfikirkan oleh mujtahid-mujtahid kita, sekarang sudah
bermunculan.
Yusuf Qardhawi mengatakan “Kondisi masyarakat selalu berubah dan
berkembang, dan selama itu syariat Islam masih cocok disetiap waktu dan tempat
serta masih harus menetapkan hukum setiap perkara manusia, terutama zaman
sekarang ini, ijtihad lebih dibutuhkan bila dibandingkan zaman sebelumnya.”1
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya
bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Namun, setelah Islam semakin
1 Yusuf Qardhawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam; Beberapa Analisis Tentang Ijtihad
Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 132
berkembang, maka timbullah berbagai macam istilah-istilah dalam penggalian
hukum Islam (metode istinbath) yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga
dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer
yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (quran, sunnah,
ijma, dan qiyas), dan sumber hukum sekunder, yaitu sumber-sumber hukum yang
masih diperselisihkan pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para
ulama (al-istihsān, al-maslahah mursalah, al-urf, al-istishāb, madzahib shahabi,
dan asy-syar’u man qablana).
Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara
lebih detail, yaitu maslahah mursalah. Secara umum maslahah mursalah adalah
hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahah yang tidak didukung maupun
diabaikan oleh dalil khusus, tetapi masih sesuai dengan maqashid syari’ah
ammah (tujuan umum hukum Islam).
Maslahah mursalah merupakan jalan yang ditempuh hukum Islam untuk
menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-Nya terhadap peristiwa baru yang tidak
ada nashnya. Disamping itu, maslahah mursalah juga menjadi jalan dalam
menetapkan aturan yang harus ada dalam perjalanan hidup umat manusia, agar
sesuai dengan maqashid syariah ammah (pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta), dan satu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara
kelima aspek tujuan syara tersebut, maka dinamakan maslahah.
Konsep maslahah mursalah tidak hanya terbatas pada masalah ibadah,
tetapi juga masalah muamalah. Dan kali ini penulis berusaha menyoroti konsep
maslahah mursalah dari sisi muamalahnya (dalam hal ini lebih ditekankan lagi
pada kegiatan bisnis/entrepreneurship).
Berbisnis, termasuk dalam kegiatan wirausaha. Jiwa kewirausahaan
sebenarnya telah ada pada suri tauladan Nabi Muhammad SAW. Pada waktu
beliau masih kecil, Rasul bekerja menjadi seorang pengembala kambing demi
menjaga kehormatan dan harga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain.
Pada saat usia beliau 12 tahun, beliau melakukan perjalanan ke Syiria bersama
Abu Thalib, disinilah beliau banyak belajar mengenai bisnis perdagangan dari
pamannya, hingga akhirnya beliau berdagang sendiri ke kota Mekkah demi untuk
memberi nafkah keluarga besar pamannya.
Aktivitas bisnis kian berlanjut meskipun Rasul tidak memiliki modal
sendiri, ternyata beliau mendapatkan modal dari orang-orang kaya di kota
Mekkah yang tidak sanggup memutar uangnya, sehingga mereka memberi dana
tersebut kepada Rasul untuk dikelola berdasarkan prinsip kemitraan dengan
sistem profit sharing (bagi hasil), seperti yang pernah dilakukan Siti Khadijah.
Hubungan kemitraan yang terjadi saat itu sangat sederhana dan dapat
dengan mudah dipraktikkan di masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan
zaman yang semakin hari semakin canggih dan modern, sistem perdagangan
menjadi lebih kompleks lagi. Misalnya bisnis dengan sistem E-Commerce dan
Franchising (waralaba) yang pada masa Rasul tentu saja tidak ada.
Franchise/waralaba merupakan suatu bentuk perikatan dimana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan
intelektual atas penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan
sistem imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut,
dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa, dimana pemberi
waralaba lazim disebut Franchisor, dan penerima waralaba disebut Franchisee.
Konsep waralaba muncul sejak 200 SM. Saat itu, seorang pengusaha Cina
memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan
tertentu. Pada era modern, waralaba berkembang di Amerika Serikat pada tahun
1863 yang dilakukan oleh penjahit SINGER dan kemudian diikuti Coca Cola
pada tahun 1899.
Sedangkan di Indonesia sendiri, waralaba mulai berkembang pada tahun
1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi
(menjadi agen tunggal pemilik merk). Pada awal perkembangan bisnis waralaba
di Indonesia yang bergerak di bidang fast food, yaitu restoran cepat saji yang
sangat terkenal KFC.
Seiring dengan berjalannya waktu, bisnis waralaba di tanah air kian
bergairah dengan berkembangnya keinginan masyarakat untuk mencari peluang
usaha baru. Tak hanya bisnis waralaba lokal seperti Ayam Bakar Wong Solo dan
Es Teler 77, bahkan waralaba mancanegara pun semakin marak seperti KFC, Mc
Donalds, Hoka-Hoka Bento dan lain sebagainya.
Franchise tidak hanya menjamur pada segmen food and beverages, namun
juga sudah merambah pada bidang lain dunia usaha, seperti wardrobe (pakaian),
book store, furniture, salon dan kecantikan, kosmetika, gym dan kesehatan dan
masih banyak lagi.
Melihat fenomena inilah penulis sangat tertarik untuk meyelami lebih
dalam lagi tentang franchising dan manfaatnya bagi peluang usaha di bumi
pertiwi dengan mengaitkannya pada konsep syariah untuk menganalisis apakah
franchising membawa banyak manfaat bagi umat dan menuangkannya dalam
bentuk penulisan skripsi dengan tema “Konsep Maslahah Mursalah Dalam Dunia
Bisnis Dengan Sistem Franchise (Waralaba)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya,
dan agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan skripsi ini, maka saya
batasi dalam konsep Maslahah Mursalah dalam masalah-masalah ekonomi dan
bisnis kontemporer, masalah-masalah yang terkait dengan konsep bisnis dengan
sistem waralaba,dan bisnis dengan sistem waralaba yang sesuai dengan Maslahah
Mursalah dalam Ushul Fiqh.
Dari pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Sejauhmanakah konsep Maslahah Mursalah dapat dijadikan hujjah dalam
penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan bisnis kontemporer?
2. Maslahah apa sajakah yang dapat ditarik dengan adanya konsep bisnis
waralaba?
3. dan, apakah sistem waralaba sesuai dengan Maslahah Mursalah dalam Ushul
Fiqh?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan dan
memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai alternatif memulai bisnis
dengan sistem copy and develop yang dicontohkan oleh usaha waralaba dan
banyak sekali sisi positif/ maslahah yang dapat dipetik dari usaha waralaba ini.
Penulisan skripsi ini juga merupakan wujud dari tanggung jawab penulis
pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Muamalah dalam rangka
memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Ekonomi Islam.
Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah:
1. Secara akademis, untuk menambah khazanah pengetahuan dibidang ekonomi,
khususnya ekonomi kontemporer seperti waralaba, memberi informasi lebih
tentang Maslahah Mursalah dalam Ushul Fiqh yang dapat menjadi hujjah
dalam penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan bisnis kontemporer.
2. Secara praktis, dapat digunakan sebagai informasi dan sumber ilmu
pengetahuan tentang pemahaman waralaba dilihat dari sudut pandang islam
melalui konsep Maslahah Mursalah dalam Ushul Fiqh dan manfaat apa saja
yang bisa diambil.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pencarian data adalah penelitian
kepustakaan (library research) yang bersifat deskriptif analisis. Dengan cara
membaca buku-buku, terutama Ushul Fiqh, baik yang langsung maupun tidak
langsung membicarakan maslahah mursalah, dan tentu saja buku-buku yang
membahas tentang franchise, serta sumber lain yang ada kaitannya dengan
pembahasan ini.
Analisis dan pegolahan data dilakukan melalui metode deskriptif, dimana
data-data yang diperoleh dipaparkan lalu diinterpretasikan dan dianalisis. Dengan
demikian dapat menarik suatu kesimpulan bahwa maslahah mursalah ini dapat
dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat efektif dalam
menyikapi perkembangan dan perubahan yang terjadi, dimana perubahan dan
perkembangan ini memerlukan kepastian hukum yang mungkin belum ada
nashnya, baik didalam al-Quran maupun al-Hadits.
Dan secara umum hukum Islam tetap aktual dalam menghadapi segala
macam perubahan dan problematika hidup sebagai akibat dari perkembangan
hidup manusia dari masa ke masa, dalam arti bahwa hukum Islam tetap cocok dan
sesuai dengan segala zaman dan semua tempat, musaayiran likulli zamaan wa
shaalihan likulli makaan.
Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis menggunakan
pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dengan menggunakan EYD.
E. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Maslahah Mursalah
Dalam Dunia Bisnis Dengan Sistem Franchise (waralaba)”, dipergunakan
sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yang masing-masing tersusun
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
F. Latar Belakang Masalah
G. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
H. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
I. Metode Penelitian
J. Sistematika Pembahasan
BAB II : Gambaran Umum Maslahah Mursalah
E. Pengertian dan Macam-macam Maslahah
F. Syarat dan Kedudukan Maslahah Mursalah
G. Lapangan dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah
H. Pendapat Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah
BAB III : Pembahasan Konsep Franchise Secara Umum
F. Pengertian waralaba
G. Sejarah waralaba
H. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis
I. Elemen-elemen Pokok dalam Bisnis Franchise
J. Jenis-jenis Perjanjian dalam Bisnis Franchise
BAB IV : Maslahah Mursalah dan Sistem Waralaba
A. Urgensi
B. Analisis Penulis
BAB V : Penutup
C. Kesimpulan
D. Saran
BAB II
GAMBARAN UMUM AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
A. Pengertian dan macam-macam al-Maslahah
1. Pengertian
Secara etimologis term “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata,
yaitu maslahah dan mursalah.
Maslahah berasal dari kata صالح dengan penambahan “alif” diawalnya,
yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. Ia
adalah mashdar dengan arti kata shalāh yaitu “manfaat” atau “terlepas dari
padanya kerusakan.”2
Kata maslahah inipun telah menjadi bahasa Indonesia yang berarti
“Sesuatu yang mendatangkan kebaikan“.3 Adapun pengertian maslahah dalam
bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia“. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
2 PROF. DR. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet
I, Jilid II, hal. 323 3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1976), Huruf M,
hal. 635
menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat
patut disebut maslahah.4
Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata :
arsala-yursilu-irsal; artinya: ‘adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-
mutlaqah (bebas atau lepas).5
Kemudian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan ulama Ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung
esensi yang sama.
Imam Ghazali, misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya
maslahah sama dengan “Sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudharat (kerusakan),6 namun hakikat dari maslahah adalah
memelihara tujuan syara“. Sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia,
karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak
syariat tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu, misalnya, di zaman
jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut
mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan dan sesuai dengan adat istiadat
mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya
tidak dinamakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang
4 Op. Cit. hal. 324 5 Drs. H. Ahmad Mukri Aji, MA., Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah,
Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta: 2002), hal. 38 6 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 324
dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan
tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara ke lima aspek tujuan syara’
tersebut maka dinamakan maslahah.
Dalam kaitan dengan ini, al-Syatibi mengartikan maslahah itu dari dua
pandangan, yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi
tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.
a. Dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan, berarti sesuatu yang kembali
kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang
dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.
b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah, yaitu kemaslahatan
yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya
Allah menuntut manusia untuk berbuat.
Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda
tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan
kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara maslahah
dalam pengertian bahasa (umum) dengan maslahah dalam pengertian hukum atau
syara’. Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan.
Maslahah dalam pengertian bahasa merujuk kepada tujuan pemenuhan kebutuhan
manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat dan
hawa nafsu. Sedangkan pada maslahah dalam artian syara’ yang menjadi titik
bahasan dalam Ushul Fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah
tujuan syara’ yaitu memelihara agama, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa
melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan
kebahagiaan dan menjauhkan dari kesengsaraan.
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah
telah terjadi perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang
menyebutkan dengan istilah: al-Munāsib al-Mursal, al-Istidlāl al-Mursal, al-
Qiyas al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama “ al-
Istishlāh “.7
2. Macam-macam al-Maslahah
Maslahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan
akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula dapat mendatangkan
kenikmatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa
apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.
Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, yang berkaitan –secara langsung atau tidak langsung- dengan
lima prinsip pokok kehidupan bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal,
7 Drs. H. A. Mukri Aji, MA., Op. Cit. hal. 40
keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan
kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.8
Pertama, dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum,
maslahah ada tiga macam, yaitu:
a. Maslahah Dharuriyah, adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak ada
apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang
secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut
adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri.
Memeluk agama adalah hak dan fitrah individu setiap manusia yang
tidak dapat dipungkiri dan sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Untuk
kebutuhan tersebut Allah mensyariatkan agama yang wajib di pelihara oleh
umat manusia, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah dan muamalah.
Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia.
Dalam hal ini adalah kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia,
Allah telah mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan hidup dan
penghidupan manusia, seperti melarang membunuh untuk memelihara jiwa
dengan adanya hukuman qishash.
Demikian pula halnya akal, wajib untuk dipelihara dan dijaga, karena
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu
Allah melarang meminum minuman keras, karena minuman keras dapat
merusak akal dan hidup manusia.
8 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 327
Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam
rangka memelihara kelangsungan umat manusia di muka bumi, oleh karena
itu Allah mensyariatkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang
diakibatkannya dan melarang berzina untuk memelihara keturunan.
Kemudian harta, hal ini pun merupakan sesuatu yang pokok dalam
hidup dan penghidupan manusia. Dan untuk mendapatkannya Allah
mensyariatkan berbagai ketentuan dan untuk memelihara seseorang. Allah
mensyariatkan hukuman bagi kejahatan yang dilakukan manusia seperti
mencuri dan merampok.
b. Maslahah al-hājiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusia
kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemaslahatannya tidak
secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi
secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi
kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam
perjalanan jauh (musafir) dalam bulan Ramadhan, diberi keringanan/
rukhshah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti
puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau
setelah kembali dari perjalanannya.
Firman Allah dalam Quran Surat al-Baqarah/ 2:184:
...☺ ⌧
⌧
...
Artinya: “...Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (musafir) hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain....”
Dalam bidang muamalah diperbolehkan berburu binatang dan
memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan
(Bay’ al-Salam), kerjasama dalam pertanian (muzāra’ah) dan perkebunan
(musāqah). Semuanya ini disyariatkan oleh Allah untuk mendukung
kebutuhan mendasar al-Mashalih al-Khamsah diatas.
c. Maslahah Tahsiniyah, adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat
hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk
tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
Dalam masalah ibadah misalnya, disyariatkan bersih atau memelihara
kebersihan, menutup aurat, berhias dan berbagai hal yang baik lainnya. Dalam
lapangan kemanusiaan, telah disyariatkan pula prinsip mendekatkan diri
kepada Allah dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan berupa
sedekah dan amalan baik lainnya. Dalam dunia keluarga, telah ditetapkan
masalah-masalah kafa’ah dalam memilih pasangan hidup dan juga etika
pergaulan antara keduanya. Dalam bidang muamalah, Islam menganjurkan
agar orang tidak melakukan jual beli benda-benda yang najis, benda-benda
yang kotor yang merusak kesehatan.
Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan
tingkatan peringkat kekuatannya, yang kuat adalah maslahah dharuriyah,
kemudian maslahah hajiyah, dan berikutnya adalah maslahah tahsiniyah.
Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara
berurutan adalah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat
kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya,
dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji dan didahulukan haji atas
tahsini.
Kedua, dari segi kandungan maslahah, ulama Ushul Fiqh membaginya
kepada dua bagian, yaitu:9
a. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas
umat.
b. Maslahah al-khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang
sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).
Ketiga, dari segi eksistensinya/ keberadaan maslahah menurut syara’
terbagi kepada tiga macam, yaitu:10
a. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas
menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan
yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik langsung
9 Wahidul Kahhar, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara, (Thesis, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), hal. 23
10. Drs. Romli SA, M. Ag., Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Cet I, hal. 162
mupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah
yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap maslahah
tersebut, maslahah terbagi dua, yaitu:11
Munaasib mu’atstsir, yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat
hukum (Syari’) yang memperhatikan maslahah tersebut. Contoh dalil yang
menunjuk langsung kepada maslahah ialah tidak baiknya “mendekati”
perempuan yang sedang haid dengan alasan itu adalah penyakit. Hal ini
disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit.
Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati
perempuan, disebut munaasib. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam
Quran Surat al-Baqarah/ 2: 222:
☺
☺ ...
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid....” (Q.S.al-Baqarah/ 2: 222)
Munāsib Mula’im, yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik
dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah
tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’
secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk
11 . Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 329
menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa
keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang
sejenis. Contohnya; Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya
dengan alasan anak gadisnya itu “belum dewasa“. “Belum dewasa“ ini
menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan perwalian dalam harta milik
anak kecil.
b. Maslahah al-Mulghah, yaitu maslahah yang berlawanan dengan ketentuan
nash. Dengan kata lain, maslahah yang tertolak karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.
Contoh yang sering diangkat oleh ulama Ushul Fiqh yaitu
menyamakan pembagian harta warisan antara perempuan dengan saudara
laki-lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dengan laki-laki tentang
warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan
ketentuan nash yang jelas dan rinci, sebagaimana firman Allah dalam Quran
Surat an-Nisaa’/4: 11
⌧
... Artinya: “Untuk anak-anak kamu Allah telah menetapkan bagi kamu (tentang
pembagian harta pusaka), yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan....” (Q.S. an-Nisaa/ 4: 11)
Ayat ini secara tegas menyebutkan pembagian harta warisan, dimana
seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. Misalnya
sekarang adalah bagaimana jika harta warisan itu dibagi sama rata, intinya
seorang anak laki-laki sama bagiannya dengan anak perempuan, dengan
alasan ingin menciptakan kemaslahatan. Penyamaan anak laki-laki dengan
anak perempuan, dengan kemaslahatan seperti inilah yang disebut dengan
Maslahah al- Mulghah, karena bertentangan dengan nash yang sharih.
c. Maslahah al-Mursalah, yang juga biasa disebut Istishlah, yaitu maslahah
yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun, baik yang mengakuinya maupun
yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah mursalah ini termasuk jenis
maslahah yang didiamkan oleh nash. maslahah mursalah ini terus tumbuh
dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah
mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan
pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:12
1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan maslahah sebagai
berikut:
“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam
bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya.”
2. Abdul Wahab Khallaf memberi rumusan berikut:
“Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara’ datang
untuk mengakuinya atau menolaknya.”
12 Ibid, hal 333
3. Muhammad Abu Zahrah memberi rumusan sebagai berikut
“Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat islam dan petunjuk tertentu
yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”
Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan
tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut:
a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum.
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’
tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga
tidak ada petunjuk syara’ yang mengetahuinya.
Maslahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan
“maslahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya “munasib mursal”, juga
ada yang menamainya dengan “al-Istishlah”. Perbedaan penamaan ini tidak
membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.
B. Syarat-syarat al-Maslahah al-Mursalah
Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai
hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena
dikhawatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut
hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan yang benar
dalam memperggunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:13
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.
Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum
suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau
menolak mudharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu
mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara
maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti
adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini
adalah maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk
menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim
(qadhi) saja dalam segala keadaan.
2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat
perseorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi
bahwa dalam pembentukan ukuran suatu kejadian dapat mendatangkan
manfaatkan kepada umat manusia, atau dapat menolak mudharat dari
mereka dan bukan hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau
beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat
disyariatkan sebagai sebuah hukum.
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa
13 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 1990), hal. 101, Lihat: Amir Syarifuddin, Op. Cit. hal. 337, Lihat Juga: Jurnal Ahkam, Op. Cit., hal. 41, dan Lihat: Drs. Romli SA, M. Ag., Op. Cit., hal. 165-166
maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu berjalan dengan
tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada.
4. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan
berada dalam kesulitan hidup, dalam arti harus ditempuh untuk
menghindarkan umat dari kesulitan.
Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah
sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja
mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang
begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain:14
1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya
kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan.
2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslimin
secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan
tertentu.
3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’I (pasti) atau mendekati itu.
Sedangkan syarat-syarat maslahah mursalah menurut asy-Syatibi adalah
sebagai berikut:15
1. Maslahah itu secara hakiki harus masuk akal.
14 Dr. Yusuf Qardhawi, Keluwesan Dan Keluasan Syariat Islam: Dalam Menghadapi
Perubahan Zaman, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Agustus, 1996), Cet I, hal. 24 15 . Ibid, hal. 26
2. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan-tujuan umum syariat, tidak
bertentangan dengan salah satu prinsip pokok atau dalil qath’I nya.
3. Maslahah itu dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang bersifat dharuri atau
menghilangkan kesulitan dalam agama.
Selanjutnya Imam Malik juga memiliki versi tersendiri dalam
mempergunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan
hukum, syarat-syarat tersebut antara lain:16
1. Adanya kesesuaian antara maslahah yang diperhatikan dengan maqashid
syariah, dimana maslahah tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil
syara’ meskipun hanya satu.
2. Maslahah tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional)
yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat,
sehungga tidak ada tempat untuk maslahat dalam masalah ta’abuddiyyah dan
perkara-perkara syara yang sepertinya.
3. Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan terhadap
perkara yang dharuri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan
dalam agama.
Bila kita perhatikan persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang
memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah cukup berhati-
hati dalam menggunakannya, karena meski bagaimanapun juga apa yang
16 . Wahidul Kahhar, Op. Cit., hal. 36
dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada
waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.
C. Lapangan dan Contoh Penggunaan al-Maslahah al-Mursalah
Tidak seorang pun yang menyangkal bahwa syariat Islam itu dimaksudkan
untuk kemaslahatan umat manusia. Syariat itu membawa manusia kepada
kebaikan dan kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.
Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syariat
dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad SAW. Alat dan
cara untuk memperoleh kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam,
seirama dengan perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri.
Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondisi
di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan dari teks syariat
kalau itu dibenarkan, dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahah yang
dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariah.17
Yang menjadi masalah adalah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami
orang setelah Nabi wafat, sedangkan teks syariat tidak pernah menyinggung
masalah yang seperti itu. Inilah lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu
kemaslahatan hidup manusia menurut yang dialami dan dirasakan oleh manusia
17 Chatib Muardi, Maslahah Mursalah Sebagai Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan
Hukum Yang Relevan Dengan Kebutuhan Masa Kini, (Disertasi, Pascasarjana IAIN Jakarta: 1994), hal. 366
itu sendiri yang tidak dapat diqiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan
atau dibatalkan oleh teks syariat (nash).18
Lapangan atau ruang lingkup penerapan maslahah mursalah menurut
ulama yang menggunakannya itu menetapkan batas wilayah penggunaannya,
yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah, seperti muamalah dan adat.
Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslahah tidak dapat
dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu didasarkan pada
pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat
melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya
mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash, dan akal
sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat
dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai
akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat
diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan
oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal. Umpamanya minum
khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar
18 Wahidul Kahhar, Op. Cit., hal. 42
hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat
mengarah pada tindak kekerasan.19
Adapun contoh-contoh penggunaan maslahah mursalah antara lain:
Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa
mushaf. Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan
yang mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain
kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau
kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari
generasi sahabat.20
Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq
sebagai khalifah pertama pengganti nabi untuk memimpin umat dalam
meneruskan tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan
mempertahankan berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Seorang khalifah sangat dibutuhkan pada saat itu, dan ini merupakan suatu
maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks
syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).
Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum para
Ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut
banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis
Ulama Indonesia, misalnya, fatwa tentang keharusan “sertifikat halal” bagi
19 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 340, Lihat pula: Drs. H. Sulaiman Abdullah, Sumber
Hukum Islam, Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 154; Departemen Agama RI, Ushul Fiqh I (t. th,), Cet II, hal. 149
20 . Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Darul Fikri, 1995), Cet III, hal. 222
produk makanan, minuman dan kosmetik. Majalis Ulama Indonesia melalui
lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya
melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan
kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti
ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun
dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif
dalam melindungi umat manusia (khususnya umat Islam) dari makanan,
minuman, obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan
masih banyak lagi hal yang lainnya.21
Begitu pula dengan hal bunga bank, tidak disebutkan hukumnya dalam al-
Quran dan al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk
mengqiyaskan kepada riba karena menurut mereka unsur tambahan yang menjadi
illat haramnya riba juga terdapat pada bunga bank.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan suatu hal
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern yang tidak mungkin
dipisahkan lagi. Praktek perbankan yang ada sekarang ini dapat menjadi sarana
tolong menolong sesama umat manusia karena hampir semua masyarakat
modern saat ini berkepentingan dengan bank, baik untuk menjadi meminjam
uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang,
bahkan untuk mengirimkan bantuan berupa uang untuk korban-korban
21 . Wahidul Kahhar, Op. Cit. , hal. 46
bencana alam yang akhir-akhir ini saring menimpa negara kita. Dan hampir
semua orang telah merasakan manfaat dalam berhubungan dengan bank.
Mereka yang meminjam uang merasa mendapatkan kemudahan dari bank,
demikian juga mereka yang mempunyai uang, dapat menabung di bank dan
mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan
tentu saja, rasa aman.
Kalaupun ada sebagian umat yang merasa kurang nyaman dengan bank
konvensional dengan bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu bank syariah
yang saat ini mulai menjamur dan menjadikan bagi hasil sebagai pengganti
bunga, dengan segala fasilitas yang tidak kalah lengkap dengan bank
konvensional.
Jelasnya, baik meminjam uang dari bank maupun menabung di bank,
orang merasa senang dan merasakan manfaatnya. Demikian juga sebaliknya, bank
pun mendapatkan manfaat baik dalam memberikan pinjaman uang ataupun dalam
menerima tabungan uang dari nasabahnya.
Maka dapatlah disimpulkan, bahwa praktik perbankan seperti yang ada
sekarang ini tidak mengandung zhulum. Selain itu, kebiasaan menabung di
bank dapat mendidik orang untuk hidup hemat dan kebiasaan menabung itu
dapat mendukung kelancaran pembangunan bangsa dan negara. Melarang
praktik perbankan dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat dan
mengganggu sendi-sendi perekonomian. Padahal syariat sangat mengutamakan
pemeliharaan harta kekayaan umat sebagai salah satu dari lima hal pokok yang
sangat dipelihara oleh syariat.
Dalam keadaan demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan
oleh qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah
mursalah. Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi
sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai
dengan maqashid syariah ammah.
Contoh lainnya adalah tentang kesaksian anak-anak (yang belum baligh),
atas dasar kemaslahatan, kesaksian anak-anak dapat dipertimbangkan oleh hakim
dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan syara’. Asy-syari’ hanya
mengatakan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus
penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian
orang dewasa, maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan
pertimbangan.
Bila diperhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para
sahabat, tabi’in dan para Ulama itu semuanya adalah merupakan hasil ijtihad
dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan
istilah tersebut.
D. Pendapat Para Ulama Tentang al-Maslahah al-Mursalah
Dalam hal penggunaan dan pemakaian mursalah mursalah sebagai dalil
syariat dalam mengistinbathkan atau menetapkan hukum, maka penulis akan
memaparkan pendapat para Ulama yang dibatasi pada pendapat beberapa Imam
mazhab dan Ulama terkenal lainnya.
Maslahah menurut Najmuddin at-Thufi
Menurut beliau, maslahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri
dapat dijadikan sebagai landasan hukum dan ia tidak membagi maslahat itu
sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur ulama. Ada tiga prinsip yang dianut at-
Thufi tentang maslahah yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan
jumhur ulama, yaitu: 22
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan khususnya dalam
bidang muamalah dan adat. Untuk menentukan –termasuk mengenai
kemaslahatan dan kemudharataan-cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda
dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan
kemudharatan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus
mendapatkan dukungan dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu,
untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena
maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata.
3. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan,
adapun dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’,
seperti shalat dhuhur empat rakaat, puasa selama ramadhan satu bulan dan
lain-lain, tidak termasuk objek maslahah, karena masalah-masalah seperti ini
merupakan hak Allah semata.
Maslahah menurut Hasbi ash-Shiddieqy
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, tidak ada perselisihan dikalangan ulama
bahwa penetapan-penetapan hukum (tasyri’) dimaksudkan untuk melahirkan
kemaslahatan manusia, yang bersifat dharuriyat, hajiyat, maupun tahsiniyat.
22 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet III, hal. 126-127
Karena maksud hendak memberikan kemaslahatan itulah, maka ada
bagian dalam fiqh yang dinamakan siyasah syar’iyyah, yakni kebijaksanaan untuk
membuat masyarakat lebih dekat dan gemar kepada kebajikan serta menjauhi dan
membenci keburukan dan kerusakan. Menurut Hasbi, siyaasah syar’iyyah pada
hakikatnya sama dengan maslahah mursalah. Maslahah mursalah inilah yang
digali melalui qiyas, kaidah umum hukum dan istihsan. Selain itu, jumhur ulama
pun sepakat, bahwa yang dinashkan oleh syara’ yang didasarkan atas illat
tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Hasbi
berpendapat:
“Berhujjah dengan maslahah mursalah dan membina hukum diatasnya,
adalah satu keharusan. Inilah yang sesuai dengan keumuman syariat dan dengan
demikianlah hukum-hukum Islam dapat berjalan seiringan dengan masa dan
inilah yang ditempuh oleh para sahabat. Menolak maslahah mursalah berarti
membekukan syariat, karena aneka maslahat yang terus tumbuh tidak mudah
didasarkan pada satu dalil tertentu”.23
Maslahah menurut mazhab Maliki, Hambali dan Syathibi
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah
mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang
dirinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan
23 Wahidul Kahhar, Ibid, hal. 69
bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah bersifat pasti (qath’I),
sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).24
24 Op. Cit. Harun Nasroen, hal. 125-126
BAB III
SEPUTAR BISNIS FRANCHISE
A. Pengertian Waralaba
Kata “Franchise” berasal dari bahasa Perancis kuno yang berarti “bebas”.
Pada abad pertengahan franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebiasaan”,
saat itu pemerintahan setempat atau lord (gelar kebangsawanan di Inggris
biasanya dimiliki oleh tuan tanah setempat) memberikan hak khusus seperti untuk
mengoperasikan kapal Feri atau untuk berburu tanahnya. Konsep franchise
berkembang di Jerman sekitar tahun 1840-an, pada saat itu mulai diberikan hak
khusus untuk menjual minuman, hal ini merupakan konsep awal dari franchising.
Konsep franchise mengalami perkembangan yang sangat pesat di Amerika, pada
tahun 1951 yaitu perusahaan mesin jahit Singer di Amerika mulai memberikan
distribution franchise25 untuk penjualan mesin-mesin jahit. Singer membuat
perjanjian distribution franchise secara tertulis, sehingga Singer dapat disebut
sebagai pelopor dari perjanjian franchise modern. Pengertian franchise ini masih
sederhana, franchise hanya dikenal sebagai pemberian hak untuk
mendistribusikan produk serta menjual produk-produk hasil manufaktur.26
25 Distribution franchise adalah hak yang diperoleh franchisee untuk mendistribusikan
atau menjual produk suatu produsen atau pemasok. 26 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis; Dalam persepsi Manusia
Modern, (Bandung, PT. Rineka Aditama, 2004), hal. 122
Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins, franchise berarti “hak untuk
memasarkan suatu produk”. Penyerahan hak oleh suatu perusahaan kepada suatu
perusahaan lain (secara eksklusif) atau pihak-pihak lain (tidak secara eksklusif)
untuk memasok produknya. Suatu franchise adalah suatu perjanjian kontrak
dagang dalam jangka waktu tertentu dimana yang diberi hak (franchisee)
membayar royalti kepada pemberi hak atas hak dagang yang diberikan.
Menurut Hardjowidiyo, definisi franchise adalah sebagai berikut:
“….Suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai
bisnis di perdagangan atau jasa , berupa jenis produk dan bentuk yang
diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merk bahkan termasuk pakaian
karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional”.27
Sedangkan pengertian lainnya, franchising adalah hubungan berdasarkan
kontrak antara franchisor dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan
berkewajiban menyediakan terus menerus pada bisnis dari franchisee melalui
penyediaan pengetahuan dan pelayanan. Franchisee beroperasi dengan
menggunakan nama dagang, format, atau prosedur yang dipunyai serta
dikendalikan oleh franchisor.28
Franchise individual biasanya disyaratkan untuk menyediakan modal
yang besar pada franchisor guna mendukung bantuan teknik, peralatan khusus,
27 Lindawaty S. Sewu, Franchise; Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 11 28 Ibid.
periklanan dan promosi. Sistem franchise membolehkan franchisor untuk
membangun usahanya tanpa harus meningkatkan jumlah modal yang besar.
Kata “waralaba” merupakan terjemahan bebas dari kata franchise yang
pertama kali dikenalkan oleh lembaga pendidikan dan pembinaan menajemen
(LPPM) sebagai padanan kata “franchise”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa
“laba” berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan
lebih atau istimewa.29
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni
1997 tentang waralaba, dikatakan bahwa “waralaba adalah perikatan dimana salah
satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan dan atau jasa”
(pasal 1 angka 1).30
Amir Karamoy menulis bahwa batasan pengertian pewaralabaan ialah:
“Warlaba adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang
memiliki merk dagang dikenal dan system manajemen, keuangan dan pemasaran
yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau individu yang
memanfaatkan atau menggunakan merk dan system milik pewaralaba, disebut
terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan
29 Ibid. hal. 12 30 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis; Waralaba, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Perkasa,
2003), cet II, hal. 257
pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba
membayar sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha
antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau waralaba”.31
Jadi yang dimaksud waralaba (franchising) adalah bentuk kerjasama
dimana pemberi waralaba (franchisor) memberikan izin kepada penerima
waralaba (franchisee) untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merk
dagang, produk dan jasa serta sistem operasi usahanya. Sebagai timbal baliknya,
penerima waralaba membayar suatu jumlah seperti franchisee fee dan royalty fee
atau lainnya.32
B. Sejarah Waralaba
Perkembangan waralaba berkaitan erat dengan tumbuhnya revolusi
industri pada akhir 1800 di Eropa barat, khususnya di Inggris. Perubahan
teknologi berkembang sejalan dengan pergerakan penduduk ke kota-kota di Eropa
ketika itu. Daerah perkotaan menjadi pusat industri dan bisnis yang berkembang
pesat, yang kemudian mendorong tumbuhnya kelompok kelas menengah yang
disebut wirausaha (entrepreneur). Revolusi mendorong pula terjadinya perubahan
dalam sistem perdagangan dan distribusi barang.
The British Brewers (perusahaan pembuat bir) adalah pionir pewaralabaan
modern yang dimulai di Inggris pada abad ke-19. Ada pula anggapan bahwa Isaac
31 Amir Karamoy, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, (Jakarta, Pustaka Bisnis Indonesia,
Oktober, 2005), Cet I, hal. 6 32 Pietra Sarosa, Kiat Praktis Membuka Usaha; Mewaralabakan Usaha Anda, (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2004), hal. 2
Singer adalah orang pertama yang menerapkan waralaba pada 1851 di Amerika
Serikat. Sistem waralaba yang berkembang pada saat itu mirip dengan tipe
pewaralabaan produk dan merk dagang, yaitu menggunakan tenaga penjual
independent (semacam agen) yang dibayar berdasarkan komisi. Dengan cara
tersebut dapat menjual mesin jahit produknya, Singer relatif tidak mengeluarkan
modal.Pada 1898 waralaba sebagai konsep pemasaran memperoleh pengakuan
yang lebih besar ketika General Motors Coorporation berhasil menjual
waralabanya yang pertama. Sejak itu pewaralabaan digunakan dalam industri
otomotif dan Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU).33
Berdasarkan fakta sejarah diduga kuat bahwa pelopor waralaba dalam
pemasaran bahan bakar minyak (khususnya bensin) di Indonesia adalah PT.
Permindo (sekarang Pertamina) yang dibentuk dalam rangka kebijakan
nasionalisasi perusahaan minyak asing, yaitu Belanda dan Inggris (NIAM-
Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij) pada 1959. Sampai saat ini
Pertamina masih menerapkan sistem pewaralabaan produk dan merk dagang,
dengan memberikan kesempatan pada investor (terwaralaba) untuk berusaha
dibidang jasa SPBU secara waralaba akan semakin marak dengan diizinkannya
perusahaan minyak asing membuka SPBU di pasar lokal, seperti Shell.
Pada 1950-an, setelah Perang Dunia II berakhir, dapat dikatakan sebagai
periode “Franchising Booming” di Amerika Serikat. Dengan ditandai munculnya
“raksasa” waralaba dalam dalam bidang makanan siap saji Kentucky Fried
33 Amir Karamoy, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, (Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia,
Oktober, 2005), cet I, hal. 8
Chicken yang didirikan Kolonel Harlan Sander’s (1950) dan McDonald’s (1955).
McDonald’s kemudian berkembang pesat scara waralaba atas jasa Ray Kroc.34
Pada 1970-an regulasi waralaba mulai diterapkan di Amerika Serikat.
Setiap pewaralaba diwajibkan melakukan disclosure dan pendaftaran, hampir
mirip dengan peraturan tentang penjualan surat berharga (securities). Regulasi ini
dibuat untuk melindungi terwaralaba dari kemungkinan praktik tidak jujur dalam
penawaran (offering) waralaba oleh terwaralaba atau disebut pula unfair business
practices. Disamping untuk mendidik (calon) terwaralaba agar lebih teliti dalam
memilih prospek pewaralabanya.
Dari dengar pendapat yang dilakukan Small Business Commitees of US
Senate dan The House of Representatives dengan dukungan industri waralaba,
beberapa negara bagian di Amerika Serikat mengadopsi peraturan yang
mensyaratkan pewaralaba disclosure dan pendaftaran. Pada 1979 The Federal
Trade Commission melahirkan The Franchise Disclosure Act yang mewajibkan
pewaralaba memuat dua puluh persyaratan untuk dicantumkan dalam prospektus
penawaran waralaba.
Di Indonesia regulasi khusus mengenai waralaba baru diberlakukan pada
1997 menjelang jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dengan keluarnya PP No. 16/
1997. Peraturan Pemerintah ini kemudian dioperasionalkan dalam Surat Keputuan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/ MPP/ Kep? 7/ 1997.
34 Ibid hal. 9
Disamping itu Undang-Undang Nomor 9/ 1995 tentang Usaha Kecil dan PP
Nomor 44/ 1977 mengenai Kemitraan, mengatur pula mengenai waralaba.35
Walaupun telah bermunculan pewaralaba lokal, seperti Es Teler 77,
Indomaret dan Alfamart (toko swalayan mini), Homes 21 Realty (pialang real
estate), California Fried Chicken (CFC) pada 1970-an dan 1980-an,
perkembangan waralaba di Indonesia sebenarnya lebih banyak dipacu oleh
McDonald’s ketika membuka gerai pertamanya di gedung Sarinah di Jakarta pada
1991.
Pertumbuhan McDonald’s di Indonesia dapat dianggap sebagai fenomena
tersendiri, yang menjadi tolok ukur keberhasilan sistem waralaba di Indonesia.
Tantangan bagi McDonald’s Indonesia dan usaha sejenis seperti KFC dan
Wendy’s selanjutnya adalah melakukan subwaralaba dipasar lokal dan
memperbanyak jumlah terwaralaba, bukan lagi company owned restaurants.
Pada awal 1990-an Pemerintah Indonesia (Departemen Perdagangan, yang
kemudian diikuti oleh kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah) mulai memberikan perhatian pada pewaralabaan di Indonesia.
Departemen Perdagangan melihat waralaba sebagai suatu pola distribusi barang
atau jasa yang efektif, sehingga perlu dibina dan dikembangkan. Strategi
pembinaan waralaba lokal oleh Departemen Perdagangan belakangan diarahkan
pada upaya pengembangan ekspor waralaba lokal ke pasar global. Sementara itu,
kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah melihat
35 Ibid, hal. 10
waralaba sebagai salah satu model pembinaan pengusaha kecil dan menengah,
melalui pola kemitraan usaha dengan pengusaha besar. Namun, program
kemitraan usaha ini relatif belum berjalan baik, walaupun merupakan amanat UU
Nomor 9/ 1995 tentang Usaha Kecil.
C. Tinjauan Umum Mengenai Bisnis
Kata “Bisnis” berasal dari bahasa Inggris yaitu “Business”. Bisnis dapat di
definisikan sebagai “segala aktivitas dari berbagai institusi yang menghasilkan
barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan masyarakat sehari-hari”.36 Secara
luas kata “bisnis” sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang
dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa
kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas
untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, dan disewagunakan dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan.37 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberikan pengertian bisnis adalah usaha dagang, usaha komersial dalam dunia
perdagangan.38
Berdasarkan pada pengertian yang telah diuraikan diatas nampak bahwa
bisnis merupakan kegiatan perdagangan namun meliputi unsur yang lebih luas,
yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian, dan keuntungan.
36 M. Manullang, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002),
hal. 3 37 Richard Buton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),
hal. 138 38 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, PT. Balai Pustaka, 1994), hal. 138
Gambaran mengenai bisnis dalam definisi tersebut apabila diuraikan lebih lanjut
akan sebagai berikut:39
1. Bisnis merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan, karena dikatakan
sebagai suatu pekerjaan, mata pencaharian, bahkan suatu profesi.
2. Bisnis merupakan aktivitas dalam perdagangan.
3. Bisnis dilakukan dalam rangka memperoleh suatu keuntungan.
4. Bisnis dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan.
Kegiatan mencari keuntungan ini dilakukan oleh usaha perseorangan,
persekutuan, atau kerjasama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tapi ada
pula kegiatan yang tidak mencari keuntungan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, pemadam kebakaran dan lain
sebagainya.
Jadi pengertian bisnis mencakup usaha yang dilakukan pemerintah dan
swasta yang menyediakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan
masyarakat, baik mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan utama kegiatan bisnis
adalah mencari keuntungan, mengejar pertumbuhan, meningkatkan efisiensi, dan
melindungi masyarakat (bagi kegiatan bisnis yang tidak mengejar keuntungan).40
39 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Op. Cit., hal. 26 40 Buchari Alma, Dasar-dasar Bisnis dan Pemasaran, (Bandung: CV. Alfabeta, 1992),
hal. 1-2
Lingkup aktivitas bisnis sangat luas, namun pada dasarnya aktivitas
tersebut terdiri dari produksi, distribusi dan konsumsi.41
1. Produksi, berarti aktivitas untuk memuaskan kebutuhan manusia. Produksi
dapat dibedakan atas produksi primer, sekunder dan tersier. Produksi primer
yaitu aktivitas bisnis menarik sumber daya alam yang ada dilingkungan,
misalnya perikanan, orang mengambil ikan dari laut, dan pertanian, petani
menanam padi dan menuai hasilnya. Pada tingkat produksi sekunder, sumber
daya alam atau bahan mentah diolah atau proses menjadi barang jadi,
misalnya balok kayu diubah menjadi meubel dan bijih besi diubah menjadi
pipa atau lempengan besi, termasuk alat-alat dan mesin-mesin yang
dibutuhkan oleh pabrikan dalam menghasilkan barang produksinya. Pada
produksi tersier, umumnya yang dihasilkan sdalah jasa-jasa, misalnya
perusahaan transportasi membawa produk-produk manufaktur dari pabrik ke
penyalur, pedagang besar dan kecilmenyediakan jasa pendistribusian kepada
pemakai akhir, transportasi udara, telekomunikasi dan pos, perumahan,
perbankan, perhotelan, restoran, dan lain-lain. Termasuk jasa yang
dipersiapkan oleh professional seperti dokter, guru, akuntan, dan jasa yang
disediakan oleh pemerintah juga merupakan bentuk dari produksi tersier.
2. Distribusi, berarti pemindahan tempat barang dan jasa dari produsen ke
konsumen, termasuk pemindahan material dari lini permulaan ke produksi
yang meliputi penyimpanan, pengepakan, pengawasan, persediaan dan
41 M. Manullang, Op. Cit., hal. 12-16
transportasi kepada pemakai akhir. Dulu seorang produsen lebih suka
mendistribusikan secara langsung ke konsumen, seperti tukang susu langsung
ke rumah tangga, namun untuk saat ini sangat sedikit pendistribusian barang
secara langsung. Kebanyakan pabrikan akan sangat tergantung pada suatu
jalinan kerjasama antara pedagang besar maupun kecil agar barang-barang
yang telah di produksi sampai ke konsumen.
3. Konsumsi. Keberhasilan seorang produsen terlihat dari permintaan akan
barang dan jasa yang ditunjukkan oleh volume penjualan barang dan jasa.
Seorang produsen biasanya memberi usaha yang cukup untuk
mempromosikan atau menciptakan suatu kesadaran akan produksi atau jasa,
sehingga konsumen sadar dan mengetahui bahwa barang yang dibutuhkannya
dapat dibeli dipasar. Aktivitas promosi ini diarahkan pada konsumen potensial
yang mungkin memiliki daya beli namun belum ada keinginan untuk
membeli. Konsumsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah umur. Untuk seorang anak kecil, produk yang populer adalah
mainan dan jajanan, anak sekolah dan remaja membutuhkan buku-buku,
peralatan tulis atau alat olah raga, sedangkan orang dewasa dan telah
berkeluarga membutuhkan meubel, alat elektronik dan alt rumah tangga
lainnya. Daya beli konsumen dapat ditingkatkan melalui kredit, seperti bank
atau lembaga keuangan lainnya yang menyediakan pinjaman perumahan
untuk dibayar kembali pada jangka waktu yang telah ditentukan. Jadi inti
aktivitas ini adalah permintaan dan tenaga beli konsumen dan kesukaan
mereka untuk barang dan jasa dengan tersedianya pendanaan.
D. Elemen-Elemen Pokok Dalam Bisnis Franchise
Dari pengertian yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa
franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:
1. Pemberi waralaba (franchisor) yaitu badan usaha atau perorangan yang
memberikan hak kepada pihak lain (franchisee) untuk memanfaatkan segala
ciri khas usaha dan segala kekayaan intelektual, seperti nama, merk dagang,
dan sistem usaha yang dimilikinya.
2. Penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang
diberikan atau menerima hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh franchisor.
3. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktik meliputi berbagai
macam hak intelektual) dari franchisor kepada franchisee.
4. Adanya penetapan wilayah tertentu. Franchise area dimana franchisee
diberikan hak oleh franchisor untuk beroperasi di wilayah tertentu.
5. Adanya imbal-prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa
franchisee fee, sebagai imbalan atas pemberian hak pemanfaatan dan
penggunaan hak intelektual yang dimiliki oleh franchisor yang dibayarkan
hanya sekali untuk hak yang di peroleh franchisee, biasa disebut juga sebagai
one-time fee dan royalty fee merupakan kontribusi fee dari operasional usaha
yang dibayarkan oleh franchisee secara periodik kepada franchisor, biasanya
secara bulanan dari besarnya omzet penjualan.
6. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor kepada franchisee,
biasanya tertuang dalam buku petunjuk operasional/operating manuals yang
berisikan metode dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan
bisnis franchise, serta supervise secara berkala dalam rangka mempertahankan
mutu.
7. Adanya bentuk-bentuk pelatihan yang diselenggarakan oleh franchisor guna
meningkatkan keterampilan yaitu pada pelatihan awal, maupun pelatihan yang
berkesinambungan.
E. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Bisnis Franchise
Dalam bentuknya sebagai bisnis, waralaba memiliki dua jenis kegiatan:
1. Waralaba Produk dan merk dagang
2. Waralaba format bisnis
Waralaba produk dan merk dagang adalah bentuk waralaba yang paling
sederhana. Dalam waralaba produk dan merk dagang, pemberi waralaba
memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang
dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin untuk
menggunakan merk dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin pengguanan
merk dagang tersebut diberikan dalam rangka penjualan produk yang
diwaralabakan tersebut.42 Atau franchise produk dapat diartikan bahwa pemegang
franchise mendistribusikan barang yang dibuat oleh pemilik franchise dan
memakai merk pemilik franchise. Pemilik franchise mempelajari pengendalian
penting dalam metode operasi pemegang franchise.43 Dalam bentuknya yang
sederhana ini, waralaba produk dan merk dagang sering kali mengambil bentuk
keagenan maupun distributor.
Sedangkan pengertian waralaba (franchise) format bisnis adalah
pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) keapda pihak lain
(franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha
dengan mengguanakan merk dagang/ nama dagang franchisor, dan untuk
keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk
membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis, dan untuk
menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah
ditentukan sebelumnya.
Format bisnis ini terdiri atas:44
1. Konsep bisnis yang mnyeluruh.
2. Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan
bisnis, sesuai dengan konsep franchisor.
3. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus.
42 Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 13 43 Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis; Membeli Franchise, (Jakarta, PT. Elex
Media Komputindo, 1993), hal. 232 44 Martin Mandelsohn, Franchising; Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee,
(Jakarta, PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal. 4
Berdasarkan pengertian waralaba menurut Peraturan Pemerintah No. 16
tahun 1997 diatas, dapat diketahui bahwa waralaba termasuk kedalam suatu
perikatan yang menurut pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu
perikatan dapat lahir baik karena persetujuan atau pun Undang-undang.
Pengertian “perjanjian” menurut Subekti adalah “Suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.45
Dari peristiwa ini akan menimbulkan suatu hubungan antara dua orang
tersebut dinamakan perikatan. Oleh karena itu, suatu perjanjian dapat menerbitkan
suatu perikatan bagi mereka yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan maupun di tulis. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu
persetujuan karena dua pihak atau mereka yang membuat ikatan setuju untuk
melakukan sesuatu.
Dengan demikian “perjanjian” maupun “persetujuan” memiliki sama arti,
yaitu persetujuan ataupun perjanjian merupakan kesepakatan antara kedua belah
pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka masing-masing untuk
melaksanakan isi perjanjian atau persetujuan bagi kedua belah pihak. Suatu
perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersepakat mengenai suatu hal sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu hal tertentu dapat terjadi dengan tulisan, perjanjian yang tertulis inilah
45 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, PT. Intermasa, 2001), cet XVIII, hal. 1
yang disebut “kontrak”. Istilah “kontrak” maupun “perjanjian” menurut hukum
nasional memiliki pengertian yang sama.
Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya sering kali
mewujudkannya dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum
Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Karena itu, franchise
merupakan kerjasama bisnis yang tunduk pada pengaturan buku III KUH
Perdata.46 Agar perjanjian atau kontrak dianggap sah oleh hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
1. Syarat sah subjektif dan objektif.
Syarat ini terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa syarat sah suatu perjanjian harus memenuhi:
a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, jika salah satu dari
kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian “dapat dibatalkan” oleh
salah satu pihak yang berkepentingan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif, dimana jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak
terpenuhi maka perjanjian menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
46 Lindawaty S Sewu, Op. Cit., hal. 31
Syarat “kesepakatan” maksudnya ialah bahwa suatu perjanjian atau
kontrak dianggap sah oleh hukum, jika kedua belah pihak ada kesesuaian
pendapat tentang apa yang diatur dalam kontrak tanpa paksaan dan penipuan.
Syarat “kecakapan” maksudnya ialah pihak yang melakukan kontrak adalah orang
yang oleh hukum mempinyai wewenang untuk membuat kontrak, yaitu:
a. Orang yang sudah dewasa
b. Orang yang tidak ditempatkan dibawah pengampunan
c. Orang yang tidak dilarang oleh Undang-undang untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu.
Sedangkan syarat “suatu hal tertentu” maksudnya adalah bahwa suatu
konrak haruslah berkenaan dengan hal tertentu dan jelas. Dan syarat “suatu sebab
yang halal” maksudnya ialah suatu kontrak harus dibuat dengan alasan yang
sesuai dengan hukum yang berlaku, jadi tidak diperbolehkan suatu kontrak dibuat
untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
2. Syarat sah diluar pasal 1320 KUH Perdata.
Ada beberapa syarat untuk kontrak yang berlaku umum tetapi diatur diluar
pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
a. Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik.
b. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku.
c. Kontrak harus dibuat berdasarkan kepatutan.
d. Kontrak tidak melanggar kepentingan umum.
Apabila kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari keempat
prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang
demikian tidak sah dan batal demi hukum.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah disebutkan
diatas telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut telah mempunyai kekuatan yang
sama dengan Undang-undang. Kekuatan ini diatur pada pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata, bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
BAB IV
MASLAHAH MURSALAH DAN SISTEM WARALABA
A. Urgensi
Bidang Ekonomi tidak diragukan lagi merupakan bidang kehidupan yang
sangat urgen, bahkan, sementara orang memandangnya sebagai lokomotif
kehidupan, dimana bidang-bidang kehidupan lainnya merupakan rangkaian
gerbong-gerbong yang ditarik oleh lokomotif ekonomi.
Dalam tata kehidupan yang mempunyai hubungan sistemik, kesulitan
ekonomi niscaya membantu meringankan kesulitan pada bidang kehidupan
lainnya. Ini adalah fakta yang dirasakan oleh masyakat Indonesia yang masih
berupaya keluar dari himpitan krisis ekonomi melalui sebuah recovery yang
hasilnya belum terlihat.
Pendek kata, tidak ada satupun perbuatan atau aktivitas manusia dalam
kesehariannya yang berada diluar kerangka atau jangkauan tata aturan (ajaran)
Islam dan ini merupakan konsekuensi dari keputusan Islam sebagai “Dinul
hayah”, yakni agama atau pedoman hidup (The Giudance of All Life).47
47 Surahman Hidayat, “Aktualisasi Fiqih Muamalah Dalam Ekonomi Islam”, Al-Iqtishadiyah,
Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol I, No. 1, (Januari, 2004), hal. 69
Islam sebagai ajaran yang bersifat rahmatan lil Alamin, semangatnya
bertumpu pada kemaslahatan yang hakiki termasuk syariatnya dalam bidang
muamalat (bisnis), dimana kaidah fiqih mengatakan bahwa pada prinsipnya
hukum muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya
(al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa an yadulla dalilun ala tahrimihi).
Dalil yang mengubah hukum muamalah dari boleh (halal) menjadi tidak
boleh (haram) mengacu pada disiplin Ushul Fiqih, yaitu dapat berupa dalil
eksplisit al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW, atau dalil lain melalui
uji verifikasi tertentu seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan sebagainya.
Semua kaidah tersebut sebenarnya terfokus pada prinsip maslahat, yaitu
konsep pertimbangan baik-buruk, positif-negatif, dan mudharat-maslahat
berdasarkan kaidah umum dan dalil sharih (eksplisit) serta shahih syariat Islam.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi di masa mendatang, permasalahan
kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaian dari segi hukum. Semua persoalan tersebut tidak akan dapat
dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan metode
konvensional yang digunakan ulama terdahulu.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk
syara’ untuk mendudukkan hukum dari kasus (permasalahan) yang muncul.
Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan
metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan
padanannya dalam nash (al-Quran dan Sunnah) atau ijma’ Ulama, sebab jarak
waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan qiyas
yang sulit terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa masalah
(kasus) yang secara rasional dapat dinilai baik dan buruknya untuk menetapkan
hukumnya tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya
untuk mencari solusi agar seluruh aktivitas umat Islam dapat ditempatkan dalam
tatanan hukum agama, konsep maslahah itu dapat dijadikan salah satu alternatif
sebagai dasar dalam ijtihad.
Tujuan utama ketentuan syariah (maqashid syariah) adalah tercermin
dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup
“panca maslahat” dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan
(hifzh din), kehidupan (hifzh nafs), akal (hifzh aql), keturunan (hifzh nasl), dan
harta benda mereka (hifzh maal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima
perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syariah.
Sebagai sumber utama agama Islam, al-Quran mengandung berbagai
ajaran. Ulama membagi kandungan al-Quran dalam tiga besar, yaitu aqidah,
akhlak dan syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak
berkaitan dengan etika, sedangkan syariah berkaitan dengan berbagai aspek
hukum yang muncul dari perkataan dan perbuatan. Syariah dalam sistematika
hukum Islam di bagi dalam dua hal, ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl
min an-naas).
Al-Quran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah
dan muamalah. Menurut Harun Nasution, dari 6360 ayat al-Quran, hanya terdapat
368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal ini berarti bahwa al-
Quran hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah
dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, nabi Muhammad SAW
menjelaskan melalui berbagai haditsnya. Kedua sumber inilah (al-Quran dan al-
Hadits) yang kemudian dijadikan pijakan Ulama dalam mengembangkan hukum
Islam, terutama di bidang muamalah.48
Dilain pihak argumen yang dikemukakan Yusuf Qardhawi bahwa ijtihad
kontemporer perlu dilakukan, karena banyak perubahan yang terjadi dalam
kehidupan dan adanya perkembangan sosial yang sangat pesat setelah terjadinya
Revolusi Industri didunia ini, sehingga muncul kejadian-kejadian baru yang oleh
Ulama terdahulu belum pernah disinggung atau perkara lama mungkin sudah jauh
berubah sehingga sudah tidak cocok lagi hukum atau fatwa yang telah ditetapkan
para Ulama terdahulu. Oleh karena itu, kebutuhan akan ijtihad merupakan
kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru yang muncul, kondisi
masyarakat yang selalu berubah-ubah dan berkembang, dan selama syariat Islam
masih cocok disetiap masa dan tempat serta masih menetapkan setiap hukum
perkara manusia.49
Mengingat kebutuhan akan ijtihad kontemporer sangat mendesak karena
persoalan baru yang terus menerus bermunculan akibat pesatnya kemajuan ilmu
48 Euis Amalia, M. Ag., Sejarah Pemikiran Ekonomi; Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer, (Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005), cet I, hal. 208 49 Abd Rahman Ghazaly, Ijtihad Kontemporer Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi, Tesis,
(Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2002), hal. 130, t. d.
pengetahuan dan teknologi modern yang memerlukan penyelesaian hukumnya,
dan juga sebagian kejadian-kejadian lama mungkin sudah jauh berubah sehingga
hukum (fatwa) yang telah ditetapkan oleh para Ulama terdahulu sudah tidak
cocok lagi.
Bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha dapat dikatakan merupakan
bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai
khalifah fil ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya
kearah yang lebih baik.
Al-Quran sebagai landasan utama ajaran Islam menempatkan harta benda
sebagai salah satu unsur penting bagi kemaslahatan umat. Harta dibutuhkan
sebagai sarana perjuangan untuk memajukan umat dan melindungi kepentingan
mereka. Ide semacam itu dapat dipahami dari berbagai pernyataan al-Quran yang
mengajak orang-orang yang mmpercayainya untuk berjuang di jalan Allah SWT
dengan harta benda mereka, misalnya, dalam al-Quran Surat ash-Shaff/ 61: 10-11:
�
⌧
Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berijtihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahiunya”.
Ayat lain yang juga mendukung pernyataan diatas antara lain dalam Quran
Surat al-Jumuah/ 62: 10:
... Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah...”,
Dan juga didukung oleh salah satu hadits yang artinya “Sungguh
seandainya salah seorang diantara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian
pergi ke gunung kemudian memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian
dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada
meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak”.
(HR. Bukhari).
Sebagai agama yang menekankan dengan kuat sekali tentang pentingnya
keberdayaan umatnya, maka Islam memandang bahwa berusaha atau
berwirausaha merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Dalil diatas
memperlihatkan bagaimana kewirausahaan merupakan aktivitas inheren dalam
ajaran Islam. Sedemikian strategisnya kedudukan kewirausahaan dan
perdagangan dalam Islam, sehingga teologi Islam itu dapat disebut sebagai
“Teologi Perdagangan” (commercial theology). Hal tersebut dapat terlihat dalam
kenyataan bahwa hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia bersifat
perdagangan betul, Allah adalah Saudagar Sempurna. Ia (Allah) memasukkan
seluruh alam semesta dalam pembukuan-Nya. Segalanya diperhitungkan, tiap
barang diukur. Ia telah membuat buku perhitungan, neraca-neraca, dan Ia (Allah)
telah menjadi contoh untuk bisnis-bisnis yang jujur.50
Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna,
jika dan hanya jika mengandung kemaslahatan, dengan demikian, seorang muslim
termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah
tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep objektif
terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah,
yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.51
Telah sekian lama umat Islam di Indonesia khususnya, melupakan salah
satu sisi warisan tak ternilai dari peninggalan Rasul SAW, yakni dimensi
muamalah. Perhatian kita lebih banyak pada masalah ibadah mahdhah dan kurang
memberi perhatian yang memadai pada bidang pengembangan ekonomi dan dunia
usaha; terutama semangat kewirausahaan dikalangan umat.
Kalau kita menilik kehidupan manusia Nabi Muhammad SAW, dunia
bisnis, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pematangan kepribadian
beliau yang dikenal sebagai “al-Amin” (yang terpercaya). Sejarah telah mencatat,
bahwa sejak usia 12 tahun, beliau telah mengikuti ekspedisi dagang luar negeri.
Begitu juga di usia 21-an hingga 40-an dipadati dengan pengalaman bisnis
internasional. Nabi melanglang buana menembus batas ras dan budaya, jiwa nabi
dipenuhi sifat “kewirausahaan sejati” dikancah internasional pada zamannya.
50 Giri, Membangun Jaringan Waralaba Wong Solo: Membentuk Entrepreneur Muslim,
Puspo Wardoyo, Dari Warung Kaki Lima Menuju Bisnis Global, hal. 8, t. d. 51 Euis Amalia, Op. Cit., hal. 93
Berangkat dari teladan nabi sebagai wirausahawan inilah, seharusnya kita
menyiapkan diri dengan mulai membangun kompetensi sumber daya insani
dengan dibekali keterampilan berniaga. Mulai dari mencari peluang bisnis,
menjalin kemitraan, mengembangkan produk, memahami aturan main,
membangun budaya atau sikap mental usahawan, hingga kemahiran bernegosiasi.
Perdagangan bebas sebagai efek dari globalisasi, telah mengubah wacana
dan peradaban masyarakat dunia layaknya sebuah “kampus raksasa” tanpa batas
negara (borderless world). Konsekuensinya, apa yang terjadi di negara tetangga
kitapun mengetahuinya, begitu pula sebaliknya.
Pada tahun 2003, saat Asean Free Trade Area (AFTA) mulai diberlakukan
dan batas-batas negara pun menjadi nisbi, maka umat Islam butuh sebuah
panduan yang dapat menuntun sekaligus obor bagi umat dalam melangkah dan
menjawab tantangan globalisasi tersebut.
Inilah saatnya bagi umat Islam untuk mengubah haluan atau orientasi
dalam memerankan diri sebagai “khalifatullah fil ardh” yang membawa misi
“rahmatan lil Alamin”. Janganlah umat dibuat letih dan terkuras energinya untuk
bermain-main hanya disatu bidang, kancah politik misalnya, tanpa dibarengi
dengan upaya perbaikan kualitas pendidikan dan kesejahteraan ekonomi umat.
Salah satu ciri globalisasi yang sangat menonjol adalah sifatnya yang
sangat kompetitif, kosmopolit (kesejagadan) dan perubahan yang amat tepat.
Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian, salah satu upaya yang ditempuh
manusia baik perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan adalah dengan
mengadakan kerjasama atau kemitraan (musyarakah) dalam berbagai bidang
khidupan, termasuk dalam menjalankan perusahaan. Sedemikian pentingnya
kerjasama didunia global ini, hingga tidak ada lagi orang atau lembaga atau
perusahaan yang berhasil dengan bekerja sendiri, tanpa bekerja sama dengan
pihak lain. Namun, perlu disadari bahwa kerjasama baru dapat mendatangkan
keuntungan, kemajuan, dan keselamatan bagi kedua belah pihak, bila keduanya
menjalankan hak dan kewajibannya dalam kerjasama itu, disamping adanya
komitmen yang tinggi dalam memelihara kerjasama yang terjalin.52
Data statistik menunjukkan bahwa kegagalan sistem franchise jauh lebih
rendah dibanding sistem lainnya. Hal ini sangat logis karena bisnis dengan sistem
franchise mengandalkan sistem atau cara atau operating manual yang sudah teruji
melalui penemuan franchisor, serta sudah terbukti sukses dijalankan franchisee
sebelumnya.
Franchisee baru paling tidak memiliki gambaran serta dukungan dari
franchisor, dan hal-hal yang menjadi hak franchisee adalah mendapatkan brand
name, sistem dan manual operasional bisnis, operation support, monitor, joint
promotion, dan suplai.
Saat ini hampir semua cabang usaha menengah kecil masuk ke franchise,
mulai dari usaha jasa kurir (DHL, Fedex, UPS), edukasi (EF, LIA, Primagama,
NF), financial service (Ernst & Young), food and beverages, retail dan lain-lain.
Berikut ini beberapa keuntungan dari bisnis dengan sistem franchise:
52 Giri, Membangun Jaringan Waralaba Wong Solo…., Op. Cit., hal. 139
1. Dilihat dari Sudut Pandang Efisiensi Perluasan Perusahaan53
Ada tiga alasan mengapa sebuah perusahaan mewaralabakan bisnisnya, yaitu:
a. Kekurangan modal untuk ekspansi usaha/ pasar.
b. Kekurangan personel
c. Melakukan perluasan (dan penetrasi) pasar secara cepat
Pertanyaannya, mana lebih efisien membangun cabang perusahaan sendiri
atau memperluas pasar melalui sistem waralaba? Kemungkinan besar sistem
waralaba lebih efisien, beberapa alasannya adalah: pertama, dalam melakukan
perluasan pasar relatif tidak dibutuhkan modal. Justru mendapat dana segar dari
pihak yang disebut investor (terwaralaba). Bila membangun usaha sendiri pasti
membutuhkan modal. Kedua, struktur manajemen dan kepemilikan perusahaan
induk tak perlu dirombak, sebab perusahaan cabang (terwaralaba) adalah milik
orang lain. Ketiga, risiko bisnisberalih ke pihak terwaralaba (kalau cabang milik
sendiri risiko pada kita). Keempat, bisnis waralaba menempatkan pengusaha yang
bermental wira-swasta (bukan pegawai) yang mempunyai motivasi, sikap mental,
serta pengabdian yang berbeda dengan manajer kantor cabang yang di gaji.
Kelima, melalui waralab diperoleh pengusaha lokal yang mengenal baik situasi
lingkungan (ekonomi/bisnis, sosial dan budaya) diwilayah/daerah beroperasi.
Keenam, waralaba memberikan kesempatan pada pihak lain untuk mencicipi
keuntungan dan kesuksesan kita. Ketujuh, dari aspek keuangan, likuiditas
53 Amir Karamoy, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, (Jakarta, Pustaka Bisnis Indonesia,
Oktober, 2005), cet I, hal. 25 dan 66
pewaralaba sangat baik karena memperoleh fresh money dari fee dan royalti yang
dibayarkan terwaralaba secara rutin.
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh US Departement of
Commerce SBA dan beberapa lembaga studi lainnya.54
Mereka menyebutkan bahwa tingkat sukses terwaralaba sebesar 95%,
sedangkan pada bisnis biasa (independent) hanya 10%-35%. Tingkat keberhasilan
sebagai pewaralaba lebih tinggi, hampir 99%. Bila data diatas dibaca terbalik,
tingkat kegagalan terwaralaba 5%, sedangkan pada bisnis biasa mencapai 65%-
90%, dan tingkat kegagalan sebagai pewaralaba hanya 1%.
Penelitian oleh Arthur Andersen (1990), akuntan publik internasional,
mengungkapkan bahwa setelah lima tahun beroperasi, 86% dari bisnis waralaba
masih dimiliki oleh pemilik semula (original owner), dan hanya 3% tidak
beroperasi atau bangkrut.
Buku The Source of Franchise Opportunities (1988) melaporkan hasil
studi perbadingan yang dibuat oleh Robert E Bond sebagai berikut:
a. Setelah beroperasi satu tahun, keberhasilan waralaba 97%, sedangkan
nonwaralaba 62%.
b. Setelah beropersi lima tahun, tingkat keberhasilan waralaba 92% dan
nonwaralaba 23%.
54 Ibid., hal. 26
c. Setelah beroperasi selama sepuluh tahun, tingkat keberhasilan bisnis waralaba
90% dan nonwaralaba 18%.
3. Dilihat dari sudut pandang terwaralaba/franchisee55
Keuntungannya, perusahaan/pengusaha kecil langsung memiliki sistem
yang mapan (established business), serta produk dan jasa yang memiliki reputasi,
sehingga mereka langsung dikenal. Untuk membentuk citra mereka tak perlu
repot merumuskan konsep bisnis, memperkenalkan produk dan jasa, atau
mempromosikan kualitas produk atau jasa yang dipasarkan.
Bisnis pola waralaba lebih menghemat biaya, terutama pada persiapan dan
awal usaha, karena telah disediakan pewaralaba. Terwaralaba tidak perlu susah
mengidentifikasi barang inventaris atau peralatan yang diperlukan. Ia juga tidak
perlu mencari sumber pemasok bahan baku, menyusun sistem pembukuan dan
metode penghitungan keuangan, atau merumuskan strategi promosi.
Berdasarkan penelitian, kebanyakan usaha gagal pada tahun pertama atau
kedua. Melalui waralaba kegagalan usaha pada awal tahun dapat dihindarkan,
karena di bombing oleh pewaralaba yang berpengalaman.
Memang, sistem pewaralabaan tidak otomatis menjamin kesuksesan,
tetapi menyediakan seperangkat peralatan untuk sukses. Alat-alat itu antara lain:
55 Ibid., hal. 39
a. Bantuan pewaralaba dalam bidang yang vital, seperti pemilihan lokasi,
penyediaan bahan baku, peralatan, training, periklanan, pemasaran dan
promosi.
b. Kesinambungan bimbingan manajemen, bantuan teknis dan operasional, serta
pengendalian mutu.
4. Dilihat dari Kemampuan Mengangkat Pengusaha Kecil Menjadi
Pengusaha Tangguh.56
a. Prinsip utama kemitraan usaha dengan sistem waralaba adalah saling
membutuhkan, saling mendukung, dan saling mnguntungkan.
b. Melalui usaha ini, pengusaha kecil langsung memperoleh akses terhadap
sumber-sumber daya ekonomi, yaitu dukungan manajemen dan organisasi,
pembiayaan atau pengkreditan, alih teknologi, riset dan pengembangan,
promosi dan pemasaran, serta tersedianya pasar.
c. Filosofi bisnis waralaba adalah “Memperbesar pangsa pasar dengan
memperkokoh pondasi pengusaha kecil agar mampu berkembang”.
d. Mekanisme kerja pewaralabaan adalah “Pengelolaan perusahaan kecil
dengan pola manajemen perusahaan besar”.
e. Pendekatan metodologi dalam pola kemitraan melalui sistem waralaba
ialah “Mengalihkan atau memindahkan keberhasilan usaha kepada orang
lain di lokasi yang berbeda”.
56 Ibid., hal. 179
Dibalik semua keuntungan yang ada pada sistem waralaba, tentu saja ada
hal lain yang lebih penting bagi umat Islam, yaitu tentang kriteria atau standar
dalam menilai proyek investasi. Ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk
dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu:57
a. Proyek yang baik menurut Islam
b. Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat
c. Memberantas kefakiran, memperbaiki pendapatan dan kekayaan
d. Memelihara dan menumbuhkembangkan harta
e. Melindungi kepentingan anggota masyarakat
Juga jangan lupa sistem nilai syariah sebagai filter moral bisnis bertujuan
untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard) dengan
komitmen menjauhi pantangan “maghrib”.58
Termasuk dalam kegiatan usaha franchise yang menjadi parameter
berlakunya kaidah al-ashlu fil mua’amalat al-ibahah yang meliputi tujuh
pantangan sebagai berikut:
a. Maysir. Segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sektor riil
dan tidak produktif.
b. Asusila. Praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma sosial.
57 Prof. KH. Ali Yafie, dkk., Fiqh Perdagangan Bebas, (Jakarta, Penerbit TERAJU, Maret
2003), cet I, hal. 49 58 DR. Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta,
GIP, 2003), cet I, hal.52
c. Gharar. Segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga
berpotensi merugikan salah satu pihak.
d. Haram. Objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah.
e. Riba. Segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan
mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan
pertukaran atau barter lebih antarbarang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini
mendorong usaha yang berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan
kenormalan (sunnatullah) bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan,
eksploitasi dan penzaliman oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi
terhadap pihak yang berposisi tawar rendah.
f. Ihtikar. Penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan
harga.
g. Berbahaya. Segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu
maupun masyarakat serta bertentangan dengan maslahat dalam maqashid
syariah.
Pada dasarnya, sistem franchise merupakan sistem yang baik untuk
belajar, jika suatu saat berhasil dapat melepaskan diri dari franchisor karena biaya
yang dibayar cukup mahal, dan selanjutnya dapat mendirikan usaha sendiri atau
bahkan membangun bisnis franchise baru yang Islami.
Dengan demikian berdasarkan prinsip dan kaidah syariah yang telah
disebutkan diatas, hukum franchise sangat tergantung kepada kesesuaian bidang
usaha bisnis franchise dan sistem serta mekanisme kerjasamanya dengan prinsip
syariah dan ketiadaan padanya dari segala pantangan syariah dalam bisnis.59
Hal itu berdasarkan kaidah kerjasama dalam Islam termasuk kerjasama
bisnis, hendaklah selalu dalam kerangka atau lingkup kebaikan dan ketaqwaan,
bukan dalam kerangka dosa dan kejahatan, sesuai dengan firma Allah dalam Q. S.
al-Maaidah/ 5: 2:
...
...
Artinya: “…Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”.
B. Analisis Penulis
Salah satu poin dari keistimewaan hukum islam adalah bahwa hukum
islam itu diterapkan berdasarkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di
akherat.
Penalaran ijtihad yang menggunakan corak Maslahah Mursalah atas dasar
bahwa kemaslahatan yang tidak diakui dan juga tidak ditolak keberadaannya ini
banyak terjadi dalam masyarakat. Sehingga seorang mujtahid di tuntut untuk
menyelesaikan persoalan sebagai upaya pengembangan hukum. Maslahah
Mursalah diakui jika berkaitan dengan maqashid syariah seperti syarat yang di
tetapkan oleh Ghazali, bahwa harus ada kesesuaian antara keduanya, maslahah itu
harus logis dan bertujuan menghilangkan kesulitan umat manusia.
59 Ibid hal. 56
Masyaratkat berkembang selalu mengikuti perubahan zaman, karena itu
mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat, islam datang
membawa ajaran dan prinsip dasar yang bisa ditafsirkan dan di kembangkan agar
hukum Islam mampu merespon dan memelihara kemaslahatan hidup masyarakat
yang menjadi tujuan syariat islam. Sebaliknya jika ajaran dan prinsip itu tidak
bisa dikembangkan dan ditafsirkan pada perkembangan masyarakat, maka hukum
islam akan terkesan statis.
Pada dasarnya prosedur dan aplikasi dari sistem waralaba di Indonesia
menganut prinsip syariah dalam bidang muamalah yang mengatur hubungan
antara sesama manusia mencakup semua aspek hidup manusia dan interaksinya
dengan manusia lain. Memang prosedur dan aplikasi dari sistem waralaba itu
sendiri tidak diatur secara sangat rinci oleh Peraturan Pemerintah, beda branding
maka berarti beda prosedur dan aplikasi. Juga syariat belum mengatur secara
rinci, detail dan teknisnya, tetapi diserahkan kepada manusia melalui proses
ijtihad. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi: ”Antum A’lamu bi umuri dunyakum”
(kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian), dengan demikian bidang
muamalah ini akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan
tempat. Selain hadits diatas terdapat pula kaidah Ushul yang membolehkan
prosedur dan aplikasi waralaba ini, yaitu:
ن الطبلى ال عليل الدموقى يت حةح الصةلامعمال ودوقعى ال فلصاأل والتحريم
Artinya: ”Asal dalam akad dan muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.”60
Persaingan bisnis pada abad XXI kian sengit, seiring dengan banyaknya
pemain yang meminati segmen pasar tertentu. Disektor makanan siap saji terdapat
nama-nama besar seperti Mc Donalds, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken,
Starbucks, Bread Talk dan lain-lain. Disektor jasa antaran terdapat UPS, JNE,
DHL World Wide, Fedex, TNT Express World Wide dan lain-lain. Disektor lain
juga tidak kalah sengitnya.
Makna suatu brand bagi sebuah produk barang atau jasa kini menjadi
sangat dominan dan telah menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mengonsumsi
barang atau jasa dimaksud. Selain karena jaminan kualitas yang dijanjikan,
persepsi orang yang sangat kuat terhadap brand tertentu menjadi pijakan
seseorang dalam berperilaku ekonomi. Oleh sebab, itu tidaklah gampang bagi
produk baru untuk bisa memasuki persaingan, tanpa memilikikelebihan atau
keunikan dibandingkan dengan produk-produk yang sudah ada.
Disisi lain, banyak anggota masyarakat yang ingin sukses berwirausaha,
tetapi modalnya terbatas. Apakah itu masalah dana yang tidak mencukupi,
keterbatasan menembus persaingan pasar, kemampuan manajemen yang minimal,
hingga keterbatasan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Padahal, keinginan
berwirausaha merupakan niat mulia yang harus didukung, karena selain
60 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,,(Semarang, Asy-syifa, 1994), h. 283
mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat menciptakan lapangan kerja yang
kini sulit diperoleh.
Prinsip sentral syariah islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-
Muwaqqi’In (vol III/ 14)61 adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di
dunia dan di akherat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan yang merata,
rahmat (kasih sayang dan kepedulian), kesejahteraan dan kebijaksanaan. Apa saja
yang mengubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi kekerasan,
kemudahan menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak
ada kaitannya dengan syariah.
Di sisi lain kita semua tahu bahwa tujuan utama ketentuan syariah adalah
tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang
mencakup lima maslahat dengan memberikan perlindungan terhadap aspek
keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda.
Berdasarkan keterangan diatas, penulis berpendapat bahwa sistem
waralaba memberikan manfaat/ maslahah yang banyak bagi masyarakat yang
menekuni bisnis. Konsep copy and develop jauh lebih mudah dari pada create and
develop yang butuh waktu lebih lama untuk memetik hasil usaha. Waralaba
membuka pintu seluas-luasnya bagi pebisnis pemula, dimana franchisee
(terwaralaba) akan di bimbing dan diberi pengarahan dari A sampai Z oleh
franchisor tentang seluk beluk usaha yang sedang mereka jalani.
61 DR. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta,
GIP, 2003) h. 52
Keterbukaan menjadi kunci utama bagi bisnis dengan sistem waralaba,
karena pada prinsipnya jika franchisee sukses maka franchisor juga akan lebih
sukses, begitu juga sebaliknya. Inti dari bisnis dengan sistem waralaba ini adalah
memindahkan keberhasilan suatu usaha pada suatu daerah ke daerah lain. Semua
ini tentu saja sangat sesuai dengan firman Allah:
...
...
Artinya: ”Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan”. (QS. Al-Maidah: 5:2)
واهللا فى العون العبد ماآان العبد فى عون أخيهArtinya: ”Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”.
(H. R. Muslim).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dibahas luas mengenai konsep maslahah mursalah terhadap bisnis
dengan sistem franchise, pada bab ini ada beberapa poin kesimpulan, yaitu:
1. Maslahah mursalah sangat efektif dalam menyikapi dan menjawab
permasalahan-permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam menetapkan
hukum terhadap masalah-masalah baru dan belum ada ketentuan hukumnya,
maupun menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama
yang tidak sesuai lagi dengan keadaan, situasi, kondisi dan kemaslahatan
manusia zaman sekarang. Maslahah mursalah merupakan salah satu metode
istinbath hukum yang dijadikan hujjah. Dan dari contoh masalah-masalah
yang ditetapkan hukumnya dengan maslahah mursalah, terlihat bahwa hukum
yang ditetapkan dengan metode tersebut lebih mengayomi dan lebih mampu
merealisasikan tujuan-tujuan syariat, dan disini pula lah letak keefektivitasan
maslahah mursalah dalam penetapan hukum syara.
2. Maslahah sangat efektif untuk kita gunakan dalam melakukan pembaharuan
hukum Islam yang berarti gerakan ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Pembaharuan hukum Islam dimaksudkan
agar hukum itu selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin.
Bila hukum Islam tidak dikembangkan dan diperbaharui, maka hukum Islam
itu akan ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan masyarakat modern. Kalau
hukum Islam tidak diperbaharui, hukum itu akan ditinggalkan masyarakat
karena hukum itu tidak mampu menjawab permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Dengan demikian pembaharuan hukum Islam tersebut harus tetap
digalakkan dan salah satu metode yang dapat digunakan adalah maslahah
mursalah.
3. Metode penetapan hukum dengan maslahah mursalah dan kaitannya dengan
pembaharuan hukum Islam, mempunyai kaitan yang erat dan sangat efektif
untuk digunakan, dimana pembaharuan hukum Islam bertujuan untuk
merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal
mungkin yang merupakan maqashid syariah. Sedangkan maslahah mursalah
merupakan salah satu metode penetapan hukum yang sangat mengutamakan
maqashid syariah dan selalu berusaha merealisasikan serta memelihara
maqashid syariah itu.
4. Mengenai maslahah atau keunggulan dari sistem franchise sendiri sudah
penulis paparkan pada bab sebelumnya, namun ada hal yang lebih penting
dibalik semua itu, yakni waralaba menciptakan dan memberikan
kesempatan bagi pemerataan kesempatan berusaha bagi semua golongan
masyarakat, serta mengikutsertakan pihak lain untuk menikmati keuntungan
dan kesuksesan pewaralaba. Suatu prinsip yang luhur, oleh sebab itu ada
pihak yang mengatakan bahwa waralaba adalah sistem usaha yang berbasis
syariah dan Islami.
5. Jika melihat begitu banyak kelebihan yang dimiliki oleh sistem franchise
sepertinya kita tidak perlu lagi ragu bahwa memang benar sistem ini memiliki
begitu banyak kemaslahatan. Tidak sempurna secara keseluruhan memang,
namun kita dapat meminimalisasi segala risiko usaha, mengambil maslahah
dan menjauhkan mudharat itulah hal yang paling penting. Jadi tentu saja
sistem franchise sesuai dengan kaidah maslahah mursalah.
B. Saran
Dari kajian tentang konsep maslahah mursalah dalam dunia bisnis dengan
sistem franchise ini penulis memiliki beberapa saran yang mudah-mudahan akan
terlaksana oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-
masing.
1. Kepada para pemikir hukum Islam dan para ahli ekonomi Islam dapat bekerja
sama untuk mengaplikasikan berbagai ijtihad yang telah ada namun kurang
diberdayakan seperti maslahah mursalah untuk menetapkan hukum berbagai
permasalahan kontemporer, khususnya di bidang ekonomi dan bisnis, agar
hukum Islam dapat membumi, dapat diaplikasikan dan tidak hanya pada
tataran teori belaka. Seperti yang diketahui bahwa al-Quran dan al-Hadits
yang menjadi sumber ajaran agama yang komprehensif dan mengakomodasi
setiap peristiwa secara implicit perlu digali untuk mengantisipasi secara tepat
segala peristiwa yang sedang terjadi.
2. Para Ulama diharapkan berusaha semaksimal mungkin untuk meneliti,
memahami, dan mengembangkan pengertian dan penggunaan maslahah
mursalah, agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan berijtihad
dalam mengatasi berbagai permasalahan dan pengamalan syariat.
3. Di era globalisasi yang segalanya tanpa batas, dimana orang kaya yang
memiliki akses informasi akan bertambah kaya, sedangkan yang miskin dan
tidak memiliki akses informasi akan semakin terpuruk. Salah satu cara yang
cerdas adalah belajar dari pengalaman mereka yang telah jatuh bangun di
dunia usaha, dan kita tidak perlu merasakan jatuh bangunnya merintis usaha
seperti mereka (belajar dari kesalahan orang lain), bekerjasama dengan
mereka adalah cara terbaik, salah satunya dengan franchising.
4. Dimasa sulit seperti sekarang ini, penulis berharap franchise di Indonesia
(baik lokal maupun internasional) dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan
menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi, agar pendapatan perkapita semakin
meningkat, dan pada akhirnya negara kita bisa keluar dari krisis yang tak
berkesudahan ini, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Beirut, Darul Fikr, Cet III, 1995
Abdullah, Sulaiman, Drs. H., Sumber Hukum; Permasalahan dan Fleksibelitasnya,
Jakarta, Sinar Grafika, 1995
Afzalurrahman, Muhammad Seorang Pedagang, Jakarta, Yayasan Swara Bhumi, Cet
ke-4, 2000
Amalia, Euis, M. Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; Islam Dari Masa Klasik
Hingga Kontemporer, Jakarta, Pustaka Asatruss, Cet I, 2005
Alma, Buchari, Dasar-dasar Bisnis Pemasaran, Bandung, CV. Alfabeta, 1992
Ash-shiddeqy, M. Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra
___________, Pengantar Fiqh Muamalat, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
Budi Utomo, Setiawan, Fiqh Aktual, Jakarta, Gema Insani Press, 2003
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta, Gema Insani Press dan
Tazkia Institute, 2000
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh I, Cetakan ke-2, t. th.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahan, Jakarta, 1990
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Balai Pustaka, 1994
Fox, Stephen, Membeli dan Menjual Bisnis; Membeli franchise, Jakarta, PT. Elex
Media Komputindo, 1993
Fuady, S. H., Munir, Pengantar Hukum Bisnis; Menata Bisnis Modern di Era Global,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002
Giri, Membangun Jaringan Waralaba Wong Solo; Membentuk Entrepreneur Muslim,
Puspo Wardoyo, Dari warung Kaki Lima Menuju Bisnis global, t. d.
Hidayat, Suarhman, Aktualisasi Fiqh Muamalah Dalam Ekonomi Islam, Al-
Iqtishadiyah, Jurnal Kajian Islam, vol I, No. 1, Januari 2004
Ibrahim, S. H., M. Hum. Johannes, Dr., dan Sewu, S. H., M. Hum., Lindawaty,
Hukum Bisnis; Dalam persepsi Manusia Modern, Bandung, PT. Refika
Aditama, 2004
Kahhar, Wahidul, Efektivitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara,
Tesis, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003
Karamoy, Amir, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, Jakarta, Pustaka Bisnis Indonesia,
Oktober, 2005
Mukri Aji, Ahmad, Drs. H. MA., Pandangan Al-Ghazali Tentang Maslahah
Mursalah, Jurnal Ahkam, No. 08, April, 2002
Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph. D., Ekonomi Islam; Teori Dan Praktek,
Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997
Manullang, M., Pengantar Bisnis, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2002
Madelsohn, Martin, Franchising; Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee,
Jakarta, PT. Pustaka Binaman Press Indo, 1993
Nasroen, Haroen, Ushul Fiqh, Cetakan III, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, Huruf M
Qardhawi, Yusuf, Dr., Keluwesan Dan Keluasan Syariat Islam Dalam Menghadapi
Perubahan Zaman, Jakarta, Pustaka Firdaus, Cetakan I, Agustus, 1996
Rahman Ghazaly, Abdul, Ijtihad Kontemporer Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi,
Tesis, Jakarta, Pasca UIN Syarif Hidayatullah, 2002
Rusyd, Ibnu, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Asy-syifa, Semarang, 1990, Cet ke-1
SA, Romli, Drs. M. Ag., Muqaranah Mazaahib Fil Ushul, Jakarta, Gaya Media
Pratama, Cetakan I, 1999
Sarosa, Pietra, Kiat Praktis Membuka Usaha; Mewaralabakan Usaha Anda, Jakarta,
PT. Media Elex Komputindo, 2004
Sewu, S. H., M. Hum., Lindawaty, Franchise; Pola Bisnis Spektakuler Dalam
Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Bandung, CV. Utomo, 2004
Simatupang, Richard Buton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta, Rineka Cipta, 1996
Subekti, S. H., Prof., Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, Cetakan ke-18, 2001
Syarifuddin, Amir, Prof. DR. H., Ushul Fiqh, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, Cetakan
Ke-1, Jilid II, 1999
Wahab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Rineka Citra, 1990
Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis; Waralaba, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, Cetakan Ke-2, 2003
Yafie, Ali, Prof., K. H., Fiqh Perdagangan Bebas, Jakarta, Penerbit TERAJU, Maret,
2003
Masalah-Masalah Hukum, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Vol XXXII No. 4 Oktober-Desember 2003