konsep keluarga.docx

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang kuat, dilihat dari tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya Jepang menjadi salah satu jalan Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara maju di dunia. Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan keluarga yang mereka jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai dari perkawinan & perceraian, system keluarga, sampai pola asuh terhadap anak-anak mereka. Yang lebih lanjut akan dibahas di dalam makalah ini. 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan kepada : Bagaimana system perkawinan dan perceraian Jepang? Bagaimana sistem Keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang Dunia II? Bagaimana fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang dan apa dampaknya bagi masa depan Jepang? Bagaimana pola asuh anak yang mereka jalankan di Jepang? 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan Penulisan makalah ini adalah:

Upload: ani-seohyun

Post on 15-Jan-2016

45 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

by Nur Abriani L.U Harun

TRANSCRIPT

Page 1: konsep keluarga.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang kuat, dilihat dari tinjauan

sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya Jepang menjadi salah satu jalan Jepang

berkembang sebagai satu dari sekian negara maju di dunia.

Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan keluarga yang mereka

jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai dari perkawinan & perceraian, system keluarga,

sampai pola asuh terhadap anak-anak mereka. Yang lebih lanjut akan dibahas di dalam makalah

ini.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan

kepada :

Bagaimana system perkawinan dan perceraian Jepang?

Bagaimana sistem Keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang Dunia II?

Bagaimana fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang dan apa

dampaknya bagi masa depan Jepang?

Bagaimana pola asuh anak yang mereka jalankan di Jepang?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan makalah ini adalah:

Untuk mengetahui system perkawinan dan Perceraian yang mereka terapkan

Untuk mengetahui system keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang

Dunia II

Untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang

dan apa dampaknya bagi masa depan Jepang?

Untuk mengetahui pola asuh anak yang mereka terapkan di Jepang.

Page 2: konsep keluarga.docx

BAB 2

PEMBAHASAN

Sistem Perkawinan dan Perceraian di Jepang

Perkawinan

Perkawinan yang diatur oleh perantara (nakodo), masih banyak dipraktekkan.

Diperkirakan sampai tahun 1985 sekitar separuh dari pasangan perkawinan di Jepang

dipersatukan dengan cara ini Namun, perkawinan berdasarkan cinta juga semakin meningkat.

Lebih dari 70 persen pasangan perkawinan sejak tahun 1970 menikah berdasarkan

cinta.Dalam pemilihan pasangan perkawinan, latar belakang kelas turut diperhitungkan lebih

cendrung mencari pasangan yang memiliki latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang

sama, dilihat dari:

• perkawinan berdasarkan kesamaan klasifikasi pekerjaan orang tua, paling banyak terjadi

pada kelas profesional dan manajerial.

• pada perkawinan yang diatur, ciri-ciri kelas orang-tua pasangan perkawinan lebih

beragam daripada perkawinan berdasarkan cinta

Secara keseluruhan, kesamaan kelas pada pasangan perkawinan lebih menonjol daripada

kesamaan kelas orang tua mereka.

Perceraian

Perempuan bercerai di Jepang “dihukum” dalam berbagai bidang kehidupan:

1. Seorang ibu rumah-tangga yang tidak mempunyai penghasilan tetap, tidak

dimungkinkan untuk mendapatkan kepemilikan bersama dari rumah atau flat

tempat ia tinggal bersama suaminya.

2. Meskipun si ibu memenangkan hak pengasuhan anak-anak pada sekitar dua

pertiga kasus perceraian, ia tidak dapat secara realistis mengharapkan mantan

suaminya untuk ikut membantu pembiayaan pengasuhan anak.

Kemampuan aparat hukum terbatas dalam menegakkan keputusan-keputusan pengadilan

keluarga.

Meskipun terus meningkat sejak 1980-an, angka perceraian di Jepang tetap rendah

dibandingkan negara-negara Barat terkemuka. Rendahnya independensi ekonomi kebanyakan

perempuan merupakan alasan utama untuk tetap mempertahankan perkawinan.

Page 3: konsep keluarga.docx

Kebanyakan perceraian di Jepang dilakukan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak

tanpa campur tangan pengadilan keluarga.

• Hanya sekitar satu dari sepuluh perceraian yang melibatkan arbitrasi, hakim atau putusan

pengadilan

• Perceraian berdasarkan kesepakatan terjadi dikalangan pasangan muda (tingkat

perceraiannya tinggi).

• Mereka yang berada pada kelompok usia pertengahan dan yang lebih tua, dimana tingkat

perceraian relatif rendah, cendrung lebih mengandalkan pengadilan keluarga.

Pada tahun-tahun sesudah perang, kasus perceraian terbanyak terjadi pada pasangan yang usia

pernikahannya kurang dari dua tahun.

Kecendrungan sejak 1970-an adalah meningkatnya perceraian pada pasangan yang telah

menikah lebih dari 10 tahun.

Di kota-kota, terutama dikalangan kelas menengah terdidik, berkembangnya feminisme telah

mengurangi aib (stigma) dari perceraian.

System keluarga di Jepang Pasca Perang Dunia II

Sistem keluarganya yang dikenal dengan sistem Ie. Sistem ini telah ada sejak

zaman feodal, yaitu tepatnya di Zaman Edo (1600-1868). Akan tetapi, di zaman itu

sistem Ie hanya diberlakukan bagi kalangan bangsawan dan samurai.1 Sistem Ie

merupakan sistem yang mengatur aturan kehidupan keluarga di Jepang. Secara harfiah, Ie

berarti keluarga, tetapi konsep keluarga di sini tidak hanya sebatas hubungan darah saja.

Kerabat dekat bahkan seorang pengikut (pembantu) yang setia dan telah lama mengabdi

di keluarga dapat termasuk ke dalam sistem Ie.

Terdapat dua faktor yang melahirkan sistem Ie, yaitu kesatuan keluarga yang

bersifat patrilinieal dan kesatuan shinzoku yang berpusat pada suami dan istri. Shinzoku

adalah hubungan kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat Jepang antara ego dengan

kerabat lainnya, baik bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) dan hubungan

inzoku (hubungan darah yang terjadi antara ego dengan kerabat pasangannya).

Menurut Satoshi Sakata, sistem Ie adalah kerangka sosial yang dirancang untuk

meneruskan generasi ke generasi, di mana sebuah tempat tinggal keluarga, nama

Page 4: konsep keluarga.docx

keluarga, dan bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua sepanjang garis

paternal yang dapat meluas untuk generasi selanjutnya.4 Anak tertua (laki-laki) akan

menjadi pemimpin keluarga yang dikenal dengan sebutan kachou. Dengan begitu, segala

warisan akan jatuh ke tangannya termasuk sistem kepemimpinan yang akan diteruskan.

Pada era Restorasi Meiji, pemerintah Meiji mengeluarkan hukum perdata yang

dikenal dengan Meiji Minpou atau Undang-Undang Sipil Meiji, pada 1896. Dalam

hukum ini, sistem Ie yang sebelumnya hanya berlaku untuk kalangan bangsawan dan

samurai, mulai diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tak lain

merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat, serta, sitem

keluarga ini merupakan ideologi politik di masa pemerintahan Meiji. Setelah

diberlakukannya, sistem Ie semakin menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Salah

satu yang mengikat adalah struktur chokkei kazoku, yang menjadi struktur dominan di era

Meiji. Struktur chokkei kazoku yaitu keluarga tiga generasi tinggal di bawah satu atap

menjadikan nilai Ie bersifat family oriented. Di masa ini, keturunan adalah hal yang

sangat dinanti, tujuannya untuk meneruskan keluarga. Karena itulah pada masa ini

pernikahan meningkat. Menikah, seperti di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar

kaum wanita. Sesuai dengan era Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang,

pernikahan dan keturunan (terutama laki-laki) dianggap sebagai suatu keharusan untuk

nama baik keluarga dan Jepang.

Tetapi, pasca Perang Dunia II, terutama dengan fenomena perkembangan

ekonomi yang meningkat drastis di Jepang, beberapa nilai-nilai dalam sistem Ie ini

cenderung berubah. Perubahan tersebut bahkan mengarah kepada hal yang krusial, terkait

dengan masa depan bangsa Jepang itu sendiri. Perubahan yang signifikan terjadi

semenjak penghapusan Meiji Minpou secara hukum pada 1947.

Sistem Ie tidak hanya mengikat kaum bangsawan dan samurai, tetapi juga ke

seluruh masyarakat hingga ke wilayah pedesaan. Dalam sistem Ie, sosok ayah, suami, dan

anak laki-laki tertua sangat dihormati. Hal itu disebabkan oleh sistem Ie yang bersifat

patriarki. Karena itu, peran perempuan di dalam keluarga hanya sebagai pengurus rumah

tangga. Kedudukan laki-laki (suami) lebih tinggi dibandingkan perempuan (istri). Di

dalam kebiasaan masyarakat Jepang tradisional, perempuan harus menghormati ayah,

suami, dan anak laki-laki tertuanya. Secara garis keluarga, seorang perempuan yang

Page 5: konsep keluarga.docx

menikah akan terputus dengan sistem Ie di keluarganya. Setelah menikah ia akan

terhubung dengan garis keluarga suaminya.

Dalam sistem Ie, anak (terutama anak laki-laki) merupakan suatu keharusan untuk

melestarikan Ie dan nama keluarga. Anak laki-laki selain menjadi pelestari keluarga, ia

juga sebagai pewaris utama ekonomi keluarga maupun sistem kepemimpinan Ie. Karena

itu, seorang istri yang tidak memiliki anak selama tiga tahun, ia diharuskan pergi

meninggalkan rumah.Pewaris sistem Ie tidak harus dari anak kandung, tetapi keluarga

yang tidak memiliki anak laki-laki dapat mengadopsi anak laki-laki dari kerabat lain

untuk mewariskan Ie keluarganya.

Pasca Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1947, diberlakukan Undang-Undang

Showa (Shin Minpo) untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Meiji yang berlaku

sebelumnya. Salah satu dampak dari pergantian undang-undang ini adalah dihapuskannya

sistem Ie. Penghapusan sistem Ie ini kemudian mengubah struktur chokkei kazoku

menjadi kaku kazoku atau keluarga batih yaitu keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu,

anak (yang belum menikah). Chokkei kazoku sudah mulai jarang terdapat di struktur

keluarga Jepang.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan struktur keluarga menjadi

kaku kazoku, antara lain penghapusan sistem Ie oleh undang-undang, perubahan

masyarakat agraris menjadi industrialis, terjadinya urbanisasi, terbukanya kesempatan

untuk mengenyam pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat terutama perempuan.

Selain itu, perubahan struktur keluarga Jepang menjadi keluarga batih juga

dipengaruhi oleh mahalnya harga rumah yang mendekati tujuh kali pendapatan tahunan.

Oleh karena itu, bentuk rumah Jepang juga mengalami perubahan dari rumah tradisional

yang mampu menampung beberapa generasi menjadi apartemen dan rumah-rumah

modern yang hanya mampu menampung keluarga inti.

Perubahan struktur keluarga tersebut kemudian berimbas kepada perubahan

terhadap nilai-nilai, seperti nilai-nilai terhadap keluarga, pernikahan, anak, dan

perceraian. Perubahan yang mendasar terhadap keluarga adalah, dari sistem yang bersifat

family oriented di struktur chokkei kazoku menjadi individualistic oriented. Kepentingan

individu lebih diutamakan dibanding kepentingan keluarga. Kepala keluarga tidak lagi

sebagai pengatur dan paling berhak memutuskan suatu keputusan yang menyangkut

Page 6: konsep keluarga.docx

anggota keluarga yang lain.30 Anak bukan lagi dianggap sebagai suatu keharusan, malah

mulai dianggap sebagai beban ekonomi. Bukan itu saja, dalam pernikahan pun, yang

sebelum Perang Dunia II dianggap sebagai kebahagiaan kaum perempuan, kini dianggap

sebagai belenggu kebebasan. Banyak pemuda Jepang, baik laki-laki maupun perempuan,

menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.31 Pada

masa tradisional, pernikahan diberlangsungkan atas dasar perjodohan atau miai kekkon,

sementara setelah begesernya nilai-nilai mengenai pernikahan, di samping pernikahan

yang terlambat atau tidak menikah sama sekali, miai kekkon sudah jarang berlaku. Kini

pada umunya adalah renai kekkon atau pernikahan yang didasari atas pilihan sendiri.

Pada dasarnya, perubahan-perubahan nilai dalam keluarga yang dikemukakan

tersebut tidak terlepas dari transformasi Jepang menjadi dunia modern yang

menitikberatkan kepada kebijakan pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II. Faktor-

faktor ekonomi yang berkaitan dengan perubahan nilai terhadap keluarga ini tidak

terlepas dari fenomena-fenomena yang terjadi di bidang ekonomi Jepang. Pada awal

tahun 1950-an, kehancuran ekonomi Jepang akibat Perang Dunia II mulai pulih seiring

dengan turut sertanya Jepang dalam Perang Korea, yang bukan dalam bidang militer.

Kebangkitan ekonomi Jepang itu membuatnya menjadi negara dengan GDP kedua

terbesar di dunia pada 1967. Pada tahun 1989, Jepang kemudian mencapai bubble

economy, di mana pencapaian ekonomi mengalami peningkatan yang drastis.

Meningkatnya ekonomi Jepang membuat para pekerja Jepang khususnya laki-laki

meningkatkan loyalitas yang besar pada perusahaan/organisasi yang disebut dengan

salaryman. Sistem Ie, meskipun telah dihapuskan, pada dasarnya telah berpengaruh di

masyarakat Jepang yang kemudian berpengaruh pula pada ekonomi Jepang. Sebagai

akibatnya, sistem ekonomi Jepang melalui organisasi ekonomi mengatur cara hidup

orang Jepang. Karenanya, sebagian besar laki-laki di Jepang mendasarkan hidup mereka

pada pekerjaan, khususnya pada perusahaan tempatnya bekerja.

Kemajuan ekonomi Jepang kemudian menyebabkan terjadinya urbanisasi, yang

membuat masyakarat pedesaan yang berprofesi petani berbondong-bondong menjadi

pekerja di pusat-pusat industrialisasi perkotaan seperti Tokyo dan Osaka. Urbanisasi juga

menjadi faktor pembubaran keluarga dengan struktur chokkei kazoku menjadi kaku

kazoku atau bahkan tanshin setai. Peningkatan urbanisasi terjadi pasca Perang Dunia II,

Page 7: konsep keluarga.docx

khususnya antara tahun 1960 dan 1974, hal ini karena banyaknya permintaan untuk

tenaga kerja di daerah perkotaan.Pada periode ini keluarga chokkei kazoku semakin

menurun dan menyebabkan berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi lebih

individualistik.

Fenomena dalam Keluarga di Jepang Kontemporer

Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan fenomena kemajuan

ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur

keluarga chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin setai, fenomena-fenomena

yang terjadi terkait dengan keluarga tidak berakhir sampai di sini. Terdapat fenomena-

fenomena masyarakat Jepang kontemporer yang merupakan imbas dari perubahan-

perubahan yang telah disebutkan sebelumnya. Fenomena masyarakat Jepang

kontemporer ini terjadi secara signifikan, dan bahkan bukan tidak mungkin akan

mengubah masa depan Jepang seutuhnya.

Koureika Shakai

Salah satu fenomena masyarakat Jepang kontemporer adalah fenomena

koureika shakai, yaitu tingginya populasi lansia disebabkan semakin tingginya

angka harapan hidup. Jepang adalah negara dengan angka harapan hidup tertinggi

di dunia, yaitu 86,4 tahun untuk wanita dan 79,6 tahun untuk pria.

Faktor-faktor penyebab fenomena koureika shakai adalah dengan

bergesernya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku. Meningkatnya keluarga inti

dan berkurangnya keturunan serta tingginya usia harapan hidup membuat

populasi lansia meninggi. Sejak tahun 1975, usia harapan hidup di Jepang

bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang

memerlukan perawatan pun meningkat.

Akibat dari perubahan nilai dari family oriented menjadi individualistic

oriented, serta berubahnya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku, banyak para

lansia yang hidup sendiri. Dikarenakan usia yang berlanjut, para lansia

membutuhkan perawatan yang cukup panjang mengingat usia yang panjang pula.

Dengan begitu, biaya perawatan membesar dan masalah perawatan lansia ini telah

menjadi salah satu masalah utama di Jepang.

Page 8: konsep keluarga.docx

Adanya jaminan berupa biaya pensiun dari pemerintah (nenkin) yang

membuat para lansia dapat memenuhi biaya perawatan. Dana pensiun ini berasal

dari biaya premi yang dibayarkan kepada pemerintah selama seseorang masih

berada pada masa produktif, atau ketika masih bekerja.

Masalah lain yang timbul dari koureika shakai yang hidup sendiri adalah

munculnya fenomena dying alone atau kodokushi. Kehidupan yang menyendiri

membuat para lansia kesepian dan tidak jarang dari mereka yang mengalami

depresi. Banyak di antaranya yang akhirnya mengalami ketergantungan alkohol,

sebagian lagi ditemukan meninggal karena kelaparan, kekurangan gizi atau sakit

lever. Selain itu, di dalam kasus-kasus kodokushi yang ditemukan, banyak yang

merupakan kasus bunuh diri. Menurut Biro Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan

Masyarakat di Tokyo, tahun 2010 lalu, 4,6 juta lansia tinggal sendirian di seluruh

Jepang, dan jumlah orang yang meninggal di rumah meningkat 61% yaitu

sebanyak 1.364 menjadi 2.194 dalam kurun waktu antara 2003 dan 2010.

Pemerintah Jepang berupaya mengatasi masalah lansia dengan melakukan

langkah-langkah perbaikan di antaranya adalah pembentukan program kokoro no

kea (mental care centre), program kunjungan ke rumah-rumah yang meliputi

pelayanan kesehatan dan konsultasi psikologi.Terkait penanggulangan

permasalahan kodokushi, pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan

sejumlah kelompok antara lain kantor Japan Post untuk memeriksa kondisi para

lansia, meningkatkan hubungan antar manusia dan memperbaiki kehidupan

mereka. Para tukang pos akan menyerahkan kartu ucapan sekali satu bulan kepada

para lansia berusia di atas 65 tahun sekaligus memeriksa keberadaan mereka.

Bankonka Bankonka merupakan sebutan bagi gejala pernikahan di usia lanjut atau

gejala pernikahan yang terlambat, didasari oleh pilihan untuk menunda

pernikahan. Fenomena ini tidak hanya terjadi kepada laki-laki saja, tetapi juga

kepadaperempuan Jepang.

Hal yang mendasari terjadinya bankonka tidak lepas dari konstitusi baru

Jepang tahun 1947 yang salah satunya, selain menghapus sistem Ie, juga

mendukung prinsip persamaan antara pria dan wanita. Pasal 14 dari UUD yang

Page 9: konsep keluarga.docx

berbunyi “semua orang sama menurut undang-undang dan tidak akan ada

diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi, atau sosial dikarenakan ras,

kepercayaan, jenis kelamin, status sosial ataupun asal keluarga”.Selain itu,

Undang Pokok Pendidikan telah diamandemen untuk memberi kesempatan

pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Dari kedua hukum baru

tersebut, merupakan jalan baru bagi masyarakat Jepang, khususnya perempuan,

untuk tidak selalu terkungkung dalam urusan keluarga. Mereka dapat keluar

rumah dan tidak lagi semata-mata mengurus pekerjaan rumah tangga, namun

dapat berbaur menjadi kelompok pekerja.

Kemajuan Jepang di bidang ekonomi yang kemudian menyebabkan

tingginya permintaan tenaga kerja, membuat peran perempuan muda semakin

eksis di dunia kerja. Meski pada kenyataannya, di dunia kerja masih terdapat

supremasi pekerja laki-laki atas pekerja perempuan.

Baik laki-laki maupun perempuan muda yang bekerja dan berpendidikan

serta telah mapan secara finansial dan juga mandiri, kemudian merasa lebih

nyaman untuk hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, banyak yang

menganggap bahwa pernikahan justru akan mempersulit ekonomi dan

manghambat profesionalitas dalam bekerja. Bagi wanita, pernikahan akan

mengikatnya ke dalam pekerjaan rumah tangga dan juga akan menghambatnya

bekerja.Hal inilah yang kemudian membuat banyak generasi muda Jepang yang

memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak

menikah sama sekali, meski pernikahan miai kokkei sudah jarang menjadi acuan

dalam pernikahan.

Karena banyak pemuda dan pemudi Jepang yang menunda atau tidak

menikah, yang terjadi adalah mereka masih tinggal dan menumpang dengan orang

tua (dalam hal ini mereka yang tidak menerapkan tanshei setai) dan disebut

parasitosinguru.Istilah ini didefinisikan sebagai pemuda pemudi Jepang yang

belum menikah dan menggantungkan hidup kepada orangtuanya, meski beberapa

telah mapan dan mandiri secara finansial.

Page 10: konsep keluarga.docx

Shoushika

Kebalikan dengan fenomena koureika shakai, fenomena shoushika dapat

didefinisikan sebagai keadaan menurunnya angka kelahiran secara terus menerus

hingga mencapai di tingkat rendah dari standar yang dibutuhkan untuk

mempertahankan jumlah populasi.

Terjadinya fenomena shoushika dilatarbelakangi oleh beberapa hal, dan pada

dasarnya disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam nilai-nilai di masyarakat

Jepang khususnya fenomena penundaan pernikahan atau bankonka. Bergesernya

pandangan mengenai pernikahan yang bagi laki-laki maupun perempuan muda di

Jepang sebagai hambatan dalam karier maupun hal-hal pribadi yang lain. Baik

laki-laki dan perempuan muda menghindari pernikahan karena alasan ingin

terbebas dari tanggung jawab dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari alasan

menunda pernikahan kemudian menimbulkan tingkat produktivitas menjadi

rendah, disebabkan menikah di usia tinggi (30 tahun ke atas). Fenomena ini

disebut dengan bansanka, yang dari kedua fenomena ini berpengaruh kepada

rendahnya kelahiran anak. Melahirkan di usia yang tinggi akan menimbulkan

resiko sehingga pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak dengan

jumlah sedikit.

Pasca Perang Dunia II, jumlah rata-rata kelahiran anak mengalami pasang surut,

namun sejak tahun 1975 rata-rata tingkat kelahiran anak di Jepang terus menurun

dengan stabil dan tidak mengalami peningkatan hingga tahun 2003. Turunnya

angka kelahiran artinya populasi anak berkurang, dan mengakibatkan terus

berkurangnya jumlah

Page 11: konsep keluarga.docx

populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya manusia di

Jepang pun mengalami penurunan. Faktor yang menyebabkan pasangan suami istri

memutuskan untuk memiliki sedikit anak selain faktor resiko melahirkan di usia

tinggi dan produktivitas yang menurun antara lain adalah beratnya beban ekonomi

yang akan ditanggung untuk mengasuh dan membesarkan anak.

Biaya mengasuh anak dan terutama biaya pendidikan di Jepang cenderung mahal.

Untuk membesarkan anak di Jepang rata-rata dibutuhkan biaya 13,000,000 yen

atau setara dengan 1,3 milyar rupiah per anak. Biaya pendidikan yang dinilai

mahal, disebabkan karena para orangtua meskipun memiliki sedikit anak tetapi

ingin membesarkan anaknya di dalam dunia pendidikan yang terbaik sehingga

reputasi sekolah sangat diperhitungkan. Para pelajar berlomba untuk dapat masuk

di sekolah terbaik agar kemudian dapat melanjutkan ke universitas terbaik pula.

Hal itu disebabkan perusahaan-perusahaan di Jepang lebih mengutamakan

perekrutan karyawan dari universitas terbaik. Untuk menunjang kepentingan itu,

para orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengikutkan anaknya

pada les pelajaran agar dapat unggul dan diterima di sekolah dan universitas

terbaik. Sementara, biaya tambahan tidak mudah didapatkan jika orangtua,

terutama ibu, mengambil cuti panjang untuk mengurus anak. Karena itu banyak

dari para ibu yang memutuskan untuk tetap bekerja setelah melahirkan, dan

meskipun pemerintah Jepang memberikan kebijakan cuti bagi pekerja wanita yang

melahirkan sampai anak berumur satu tahun, namun tak sedikit yang tidak

mengambil jatah cuti tersebut.

Di samping mahalnya biaya pendidikan, fasilitas yang tersedia untuk

membesarkan anak di Jepang cenderung kurang. Meski Jepang merupakan negara

maju, tetapi fasilitas yang berkaitan dengan anak dan keluarga kurang memadai. Di

tahun 2007, jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk sektor masyarakat

yang berkaitan dengan anak

Page 12: konsep keluarga.docx

dan keluarga seperti usaha tempat penitipan anak dan dana bantuan lain hanya

sebesar 0,75% dari total GDP Jepang.

Fenomena shoushika mengakibatkan banyak kerugian di berbagai bidang. Salah

satunya ialah berkurangnya jumlah anak-anak dan generasi muda secara

keseluruhan di Jepang. Pada tahun 2010, populasi berusia 0-14 tahun sebanyak

16,8 juta jiwa, yang meliputi 13,2% dari total populasi Jepang sebanyak

128.056.000 jiwa. Di bidang ekonomi, fenomena shoushika akan mengakibatkan

berkurangnya jumlah tenaga kerja dan penduduk berusia produktif di masa depan.

Untuk menanggulangi masalah shoushika ini, Pemerintah Jepang mengeluarkan

kebijakan berupa bantuan pemeliharaan anak, yaitu dengan pemberian subsidi

5.000 yen per anak (jika jumlah anaknya 1-2 anak); 10.000 yen per anak (jika

anaknya lebih dari 2); serta jaminan biaya kesehatan gratis bagi anak sampai

dengan umur 3 tahun (di beberapa prefektur ada yang sampai 5 tahun). Selain itu

dilakukan upaya-upaya yang disebut dengan Angel Plan, yaitu upaya pemerintah

menanggulangi masalah shoushika, dengan cara bimbingan konseling,

menciptakan infrastuktur yang mendukung orangtua yang bekerja, serta

mengukuhkan kerjasama orangtua dalam pengasuhan dan pendidikan anak.

Fasilitas-fasilitas seperti Child Care Center ditambah, berdasarkan data tahun

2004, di seluruh Jepang terdapat 22.570 tempat penitipan anak yang terdiri dari

12.090 fasilitas yang dikelola oleh pemerintah daerah dan 10.480 yang dikelola

oleh swasta. Di tahun yang sama, tercatat 1.993.684 anak yang terdaftar dalam

tempat penitipan tersebut. Akan tetapi semua fasilitas tersebut tidak cukup untuk

menampung semua anak yang membutuhkan jasa ini. Tercatat 24.245 anak yang

masih berada pada daftar tunggu di tempat penitipan anak di seluruh Jepang

Page 13: konsep keluarga.docx

Meninjau Masa Depan Jepang dari Melihat Segala Fenomena-fenomena yang

Terjadi Sekarang Ini

Bertansformasinya Jepang menjadi negara modern, dengan perubahan kepada

tingkat ekonomi yang maju, ternyata tidak menjadikan Jepang terbebas dari

masalah-masalah sosial, meskipun secara garis besar, ekonomi yang maju tersebut

menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya membaik.

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi sejatinya tidak terlepas dari

perkembangan ekonomi, di mana pasca Perang Dunia II, perkembangan ekonomi

secara tidak langsung menuntut adanya urbanisasi yang kemudian menggeser

sistem Ie, yang meski telah dihapus, tetapi telah tertanam dalam budaya

masyarakat Jepang. Pergeseran itu melahirkan budaya individualistik bagi

masyarakat Jepang modern yang ternyata cukup krusial, dengan maraknya

fenomena koureika shakai, bankonka, dan shoushika yang telah dipaparkan

sebelumnya.

Fenomena-fenomena tersebut melahirkan beragam masalah yang cukup serius

bagi Jepang bahkan hingga saat ini. Salah satunya, perihal uang pensiun yang

diberikan untuk kaum lansia. Tingkat koureika shakai yang tinggi membuat dana

pensiun yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin besar. Dengan

ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban ekonomi

yang harus ditanggung oleh orang-orang yang berada pada usia produktif menjadi

semakin besar.

Dalam kehidupan sosial di Jepang terdapat sebuah pemikiran yang bernama

nihonjinron yang memiliki dua paham utama, yaitu: pertama, bahwa masyarakat

Jepang memiliki ‘keunikan’ yang unik dan kedua, orientasi masyarakat Jepang

adalah pada kelompok. Orientasi kelompok ini kemudian menjadi pola

kebudayaan dominan yang membentuk perilaku orang Jepang. Premis utama

nihonjinron adalah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen

(tan’itsuminzoku), yang membentuk sebuah bangsa yang secara ras sama (tan’itsu

minzoku kokka).

Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat berpengaruh pada masa

depan Jepang. Dengan fenomena shoushika ini, di kemudian hari Jepang akan

Page 14: konsep keluarga.docx

mengalami krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi

penerus Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan

maraknya tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian

menimbulkan masalah lain, yaitu kurang diterimanya para pekerja asing itu di

tengah masyarakat Jepang. Suatu faham mengenai nihonjinron yang telah melekat

dalam masyarakat Jepang membentuk Jepang menjadi sebuah bangsa yang

homogen, kemudian membuat masyarakat Jepang umumnya kurang menerima

orang asing.

Page 15: konsep keluarga.docx

Meninjau fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang

dengan teori modernisme dan teori pertumbuhan ekonomi transformasi Jepang dari

masyarakat tradisional menuju masyarakat madani yang modern, tidak akan

terlepas dengan perubahan dan dinamika yang ada dalam masyarakat sosialnya.

Setelah Jepang terpuruk akibat kekalahan perang dan kemudian dilarang memiliki

angkatan bersenjata oleh pihak Amerika Serikat, Jepang kemudian bangkit melalui

jalur ekonomi. Kebangkitan Jepang dalam ekonomi ini kemudian mendesak

masyarakat Jepang untuk secara tidak langsung menyesuaikan diri dengan

perubahan dengan cara meninggalkan perlahan-lahan nila-nilai yang telah dianut

selama berabad-abad. Penyesuaian ini ternyata berakibat positif dari segi

kesejahteraan yaitu bertransformasinya Jepang menjadi negara maju (baca:

modern). Transisi Jepang menuju modernitas meniru Barat, dengan cara

memperkuat ekonomi. Meski Jepang pada dasarnya telah meniru Barat sejak era

Meiji.

Sementara Rostow dalam teorinya menyebutkan bahwa salah satu sebab dari

pembangunan ekonomi yaitu perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah

anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi lebih sedikit.

Mengamini pernyataan Rostow dan melihat keterkaitannya dalam kasus Jepang,

dapat disebutkan bahwa masyarakat dengan tingkat ekonomi yang maju akan terus

berfokus kepada materi dan hal ini menyebabkan mereka cenderung individualsitik

yang lebih mementingkan profit akibat desakan dan tuntutan ekonomi, terlebih

karena persaingan dalam dunia kerja. Hal itu kemudian menyebabkan banyak

generasi muda Jepang yang menunda menikah atau enggan memiliki banyak

keturunan yang dianggap menjadi beban. Masyarakat muda Jepang nampaknya

sedang nyaman dalam kondisi “developed”, hal yang patut dikhawatirkan yaitu

ketidaksiapan masyarakat muda Jepang untuk menghadapi desakan mempunyai

keturunan di masa paruh bayanya untuk keberlangsungan generasi Jepang. Selain

itu, dengan fenomena shoushika ini, akan menimbulkan interaksi yang sedikit di

antara anak-anak Jepang. Di kemudian hari, hal ini tentu akan menjadi fenomena

maupun masalah baru.

Page 16: konsep keluarga.docx

Mengenai masalah koureika shakai, sepatutnya bukan menjadi suatu hal yang

buruk dengan fenomena banyaknya lansia dengan angka harapan hidup yang

tinggi. Hal itu tidak lain menunjukkan bahwa Jepang tidak hanya maju secara

ekonomi, tetapi juga dalam aspek kesehatan. Yang justru menjadi masalah adalah

ketidakseimbangan populasi lansia dengan populasi generasi muda. Karena itu

perlu kiranya pemerintah Jepang lebih memperhatikan fenomena bankonka dan

shoushika. Akibat dari penundaan pernikahan itu yang berimbas kepada

melahirkan anak di usia yang rentan untuk melahirkan. Dengan semakin

ditanggulanginya masalah shoushika ini, akan berakibat positif kepada masa depan

Jepang dan juga untuk menyeimbangkan populasi lansia. Meski memang, masalah-

masalah terkait dengan lansia kini banyak terjadi. Hal itu sebenarnya dapat saja

diminimalisir jika masyarakat Jepang yang individualistik dengan sistem kaku

kazoku mau meluangkan waktunya untuk tetap merawat orang tua mereka yang

telah berusia lanjut meski telah hidup terpisah. Untuk saat ini mungkin masih

banyak yang berpendapat bahwa waktu mereka tidak cukup karena didedikasikan

penuh untuk pekerjaan dan perusahaan.

Seperti yang telah dikatakan, fenomena-fenomena ini akan sangat berpengaruh

bagi masa depan Jepang, terutama bagi keberlangsungan generasi penerus.

Fenomena ini kemudian juga menjadi salah satu faktor bagi banyaknya tenaga

kerja asing yang menetap di Jepang. Hal itu disebabkan tingginya kebutuhan

tenaga kerja yang hanya dapat dipenuhi dengan mendatangkan para tenaga kerja

dari luar Jepang. Dengan adanya fenomena-fenomena yang telah dijelaskan,

terutama shoushika, bukan tidak mungkin di kemudian hari populasi masyarakat

asli Jepang dengan populasi masyarakat asing yang menetap di Jepang akan

berimbang, seperti contohnya adalah negara Singapura. Keadaan seperti itu boleh

jadi akan membuat perubahan-perubahan yang lebih kompleks lagi, termasuk

dengan kepercayaan homogenitas Jepang.

Jika masyarakat Jepang masih tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai homogen

yang tercantum dalam nihonjinron, sudah sepatutnya masyarakat Jepang dewasa

ini meninjau kembali kepada sistem Ie yang telah dihapus dan telah bergeser.

Nilai-nilai yang bersifat individualistik semestinya harus diminimalisir, agar

Page 17: konsep keluarga.docx

masalah-masalah yang terkait dengan koureika shakai, bankonka, dan shoushika

ini dapat terselesaikan.

Pola Asuh Terhadap Anak

Untuk mengetahui bagaimana pola asuhan terhadap anak yang mereka terapkan,

marilah kita simak kisah / cerita Warga Negara Indonesia ini.

Ketika pindah ke negeri sakura ini, waktu itu si sulung masih berumur 6 bulan.

Gimana ngurusnya seorang bayi di sebuah tempat yang bukan negeri sendiri sempat

membuat saya khawatir dan was-was. Untungnya suami bisa menangkap saya rasa cemas

saya dan menawarkan untuk sementara kita semua tinggal dulu bersama di rumah orang

tuanya. Tawaran yang langsung saya sambut baik. Sambil kami mencari rumah tinggal,

saya pun bisa konsen belajar tentang Jepang. Beradapatasi dilingkungan baru itu ternyata

tidak mudah, apalagi saya bukan bawa badan sendiri tapi ada anak kecil yang butuh

ayoman dan didikan yang sesuai dengan tempat tinggalnya yang sekarang ini.

Berguru pada ibu mertua, saya mulai belajar bagaimana mengurus seorang bayi

berumur 6 bulan. Saat itu anak sulung saya sudah bisa duduk dan mulai mendapatkan

makanan tambahan selain ASI. Ibu mertua saya melihat bagaimana saya kerepotan

menyuapi makan anak saya yang mulai merangkak kesana kemari. Belum lagi kalau

dilepeh/dimuntahkan.

Suatu hari okaasan (panggilan untuk ibu mertua), mengajak saya ke toko

peralatan bayi. Disana ia menyarankan untuk membeli kursi makan anak. Jadi nantinya

saya bisa taruh si anak duduk di situ saat sedang memberi makan, gak perlu kejar kejaran

lagi. Oh, bagus juga begitu, pikir saya. Karena setelah dicoba, wow sekali! anak saya bisa

konsen dan jadi cepat selesai makannya, dan itu tidak disuapin!! Okaasan mengajarkan

agar saya membuat onigiri yang di pulung bulat-bulat dengan maksudnya mudah untuk

dicomot dan langsung di caplok oleh si kecil, lalu lauknya? Dengan bentuk yang sama

dan ukuran yang sama semua makanan saya sajikan buat si sulung, dan senangnya itu

semua selalu dihabiskan oleh si kecil.

Page 18: konsep keluarga.docx

Lalu pindahlah saya ke rumah baru, saat itu saya baru lahiran anak kedua.

Kebayang bagaimana repotnya ada 2 bayi di rumah (jarak hanya 1.5 tahun) tanpa ada

seorang pun membantu kecuali suami. Kelimpungan dan pentalitan sendiri menghadapi

urusan RT dan mengurus bayi-bayi. Untungnya saya sidah sedikit belajar bagaimana

menangani anak bayi pengalaman si sulung saat tinggal bareng di Pondok Mertua Indah

dulu. Dan teknik-teknik yang dulu pun saya terapkan juga untuk si bungsu.

Memberikan makan tanpa disuapin, duduk dikursi saat makan adalah pengalaman

yang tak bisa saya lupakan karena kenyataannya, cara itu tidak saya lihat dan susah untuk

diterapkan di Indonesia. Kenapa? Karena ada si mbak, tante, saudara, kakak, dll Dan saya

pun sebagai anak pertama dari empat bersaudara, merasakan benar bagaimana harus lari

sana sini menyuapi adik-adik saya saat mereka masih kecil dulu.

Beranjak besar dan masuk TK, suami sudah memberikan tugas untuk anak-anak

dirumah, si sulung tugas untuk menyiram tanaman, dan sibungsu membantu melipat baju

yang habis dijemur, dan tugas berdua yaitu kegiatan membereskan piring dan makan

yang habis dipakai untuk ditaruh di dapur. Semuanya ini saya rasakan luar biasa karena

saat seumuran mereka saya tidak melakukannya!!!

Sering saya dengar dari suami, dulu keluarganya termasuk yang kibishii (strict).

Kibishii gimana, kata saya ingin tahu? Menurutnya, ia tidak bisa seenak udelnya minta

dibelikan mainan Karena biasanya harus tunggu dulu timingnya, entah itu ulang tahun,

nilai ujian bagus atau christmast day (ada budaya saat natal (anak-anak di Jepang

mendapakan hadiah dari sinterklas, yg tentu saja orang tuanya yg kasih hehe).

Belum lagi saat saya SMA, saat itu ingin sekali ia punya gitar listrik, yang selama

ini saya hanya bisa main dan pegang saja di toko. Kalau melihat harganya tidak mungkin

ia beli, apalagi sampai minta ke orangtuanya!

Jalan lain yang harus dilakukan agar mimpinya jadi kenyataan adalah dengan

kerja sebagai Arubaito, part timer! Bukan hal yang aneh lagi kalau anak-anak SMA di

Jepang banyak yang melakukan arubaito ini. Arubaito jadi pelayan restoran, penjaga toko

bahkan loper koran atau tukang pos keliling. Semuanya itu dilakukan asal tidak

Page 19: konsep keluarga.docx

mengganggu pelajaran. Biasanya sih, sehabis pulang sekolah atau pas hari libur. Setelah

kumpul uang hasil kerjanya, baru deh bisa ia (suami) membeli gitar idaman. Karena

belinya pakek keringet sampe ke pantat-pantat katanya haha makanya gak heran deh saya

lihat tuh gitar di eman-eman banget walopun tidak pernah dipakai lagi sekarang. Katanya

sebagai kenangan gimana susahnya mencari uang saat itu.

Melihat dan mendengar langsung gimana mandiri dan tidak manjanya remajanya

untuk mendapatkan keinginan yang ternyata tidak semudah membalik telapak tangan!

Usaha itu membuat mereka tidak gampang untuk hanya menengadahkan tangan ke

orangtua, walo berat kerjaannya namun itu dilakukan terus dengan penuh tanggung

jawab. Saya yakin saat melakukan pekerjaan itu, banyak nilai yang bisa mereka petik,

gimana saat melakukan kesalahan lalu dimarahi oleh pemilik toko, saat itulah hati kita

menjadi dewasa, bersikap sabar dan timbul rasa untuk bekerja secara cermat dan

sungguh-sungguh. Saat susah itulah sebenernya emosi dan pribadi kita ditempa. Sabar,

tekun dan tanggung jawab dalam bekerja tanpa mengenal itu kata lelah, malu dan gengsi!

Berbicara tentang gengsi, kalau temen-temen main kesini, coba deh perhatiin saat

masuk toko dan restoran, coba lihat itu banyak cewek-cewek muda dan enerjik bekerja di

restoran sambil bawa bawa nampan yang penuh piring dan gelas kotor. Atau lihat cowok-

cowok muda gagah perkasa yang angkat-angkat kerdus atau dorong-dorong troli sambil

ngatur minuman dan makanan untuk ditaruh di rak-rak pada sebuah convinient store,…ah

indah sekali pemandangan ini. Bekerja dengan satu tujuan, mencari uang dengan jalan

yang benar. Walau masih muda tapi mau merasakan gimana susah payahnya mencari

penghasilan walaupun saya yakin itu mungkin saja bukan buat nafkah hidup sehari

harinya. Mereka sampai mau sampai ngesot-ngesot kerja ngucur-ngucur keringet, banting

tulang, geret-geret gerobak atau angkat-angkat piring kotor untuk menghasilkan uang

yang mungkin saja untuk membeli sesuatu yang mereka idamkan dan impi impikan.

Kalau dipikir, lah itu saja mereka sampai jabanin apalagi uang itu buat biaya hidupnya?

Saya yakin kesungguhan kerja mereka bisa 10 kali lipet dari yang sekarang ini.

Suami pernah bercerita, saat ia kuliah gimana `sengsaranya` nya karena dulu

hanya dikasih uang transport dan uang kuliah saja oleh orang tuanya. Trus gimana dong

Page 20: konsep keluarga.docx

buat senang-senang, tahu lah jaman dan seusia segitu katanya, ya kluyuran nongkrong

sana sini sama teman-teman suatu hal yang lumrah dan biasa. Dan katanya, nongkrong

dan jalan sana sini tetap bisa dia lakukan, tapi ya itu malemnya mereka ngos-ngos an ber-

arubaito-an (part time). Maknyus katanya hehehe demi seonggok gitar atau sepasang

sepatu trendy hahaha

Dan tak lupa juga sambil mengenang gimana hebohnya dia melakukan berbagai

macam kerja part time saat itu. Bekerja di pasar kembang yang harus nyalurkan bunga-

bunga ke toko-toko saat dini hari, jadi loper koran dan jadi tukang pos keliling dimana

saat mengantarkan surat atau paket yang dialamatkan pada suatu rumah, perutnya

mendadak mules karena kata orang-orang di daerah situ, rumah itu adalah sarang

kumpulnya para yakuza!! hahahaha dan yang bikin deg deg duar kalo sekali salah omong

atau kelihatan gemeteran bisa tuh di gebuk atau dibentak-bentak sampai pada pipis

dicelana wkwkwkwk makanya pernah ia dikerjain sama teman-temannya sesama

arubaito, kalau tugas kasih surat ke sarang yakuza dilimpahkan ke dirinya sebagai plonco

anak baru, apes banget katanya wkwkwk

Setelah dewasa, lulus kuliah dan mulai memasuki dunia kerja, orang tuanya

“mengusir” anak-anaknya untuk keluar dari rumah. Waktu itu saya kaget dan cukup

tercekat dengan pola didik mertua saya, tapi lambat laun saya jadi mengerti dan

memahaminya. Mengusir bukan karena tidak sayang dan merasa susah untuk menghidupi

mereka lagi. Ternyata begitu banyak makna yang tersembunyi.

Mertua saya melakukan itu dengan berbagai sebab, dan alasan yang pertama tentu

saja mandiri. Karena mereka sudah punya penghasilan, maka mereka harus belajar me-

manage kehidupannya sendiri, mencari apartemen untuk disewa, belanja kepasar dan

memasak, melakukan pekerjaan rumah saat libur kantor, berinteraksi dengan tetangga

dan lingkungan, dan lain sebagainya.

Rasakanlah hidup seperti itu, rasakan suka dan duka dan bagaiman mengatasi

persoalan yang ada, karena masalah yang kamu alami sekarang ini besarnya masih

sebiji beras saja kalau dibandingkan dengan masalah yang nanti akan kamu hadapi.Ya,

Page 21: konsep keluarga.docx

hidup mandiri. Dan dari mulut anak-anaknya itu, mereka sepertinya tidak masalah atau

bahkan mengalami kesulitan saat harus `lepas` dari orangtuanya. Kenapa? Ya, tempaan

dan didikan sedari kecil untuk tidak menyusahkan orang lain dan harus mengerjakan

pekerjaan yang dia mampu kerjakan membuat mereka tidak jadi lebay panik menata

kehidupan saat jauh dari orang tua.

Pergilah dari rumah ini, jalani hidup kita sendiri-sendiri. Maksudnya apa?

Artinya, melihat anak-anaknya yang sudah punya penghasilan sendiri dan lambat laun

harus pula mencari pasangan hidup, lalu menikah, mempunyai anak dan akhirnya

membentuk keluarga kecil. Maka, konsenlah dengan kehidupannya yang sekarang. Lalu

bagaimana dengan hidup orang tuanya? Ya, makna yang tersirat adalah kalau mereka

tidak perlu dinomor satukan lagi. Karena ada yang lebih penting dari itu, yaitu

kelanggengan hidup keluarga anak-anaknya, karena ketenangan hati orang tua adalah

melihat anak-anaknya hidup bahagia bersama keluarganya.

Bukan bermaksud menggurui dan sudah sukses, karena sekarang pun saya sedang

menerapkannya untuk anak-anak dirumah.Walaupun kadang terasa gak tega dan kasihan

juga terhadap anak-anak yang masih kecil ini tapi suami selalu meyakinkan dan

menguatkan saya kalau ini semua adalah untuk kebaikan mereka juga nantinya.

Orang tua tidak akan memberikan tugas yang melebihi dari kemampuan anaknya

sendiri, sering itu saya bilang ke anak-anak saya saat si sulung yang kadang masih mata

setengah tidur onegai (memohon) karena masih ngantuk untuk minta libur tugasnya

mengambil koran papanya pagi hari, atau si bungsu yang ngambek tidak mau

membereskan mainannya karena sudah dipanggil main diluar oleh teman-temannya, tapi

karena sudah tahu tidak mungkin ditawar dan ada keringanan dari kami, maka mau tak

mau dan suka tak suka semua dijalankan walau kadang sambil misuh-misuh ngedumel

sendiri wkwkwkwk

Ya, menjaga, melindungi dan menyayangi bukan berarti memanjakan. Walau itu

ada garis halus yang memisahkan tapi efek yang ada saat kita bisa menerapkan disiplin

kepada si kecil, maka sang anak suatu saat akan berterima kasih kepada orang tuanya,

Page 22: konsep keluarga.docx

karena pribadinya yang tegar saat jatuh dan terpuruk lalu kemudian berusaha untuk

bangkit itu adalah suatu tempaan hidup yang tidak bisa didapatkan ilmunya di bangku

sekolah.

Salam Hangat, wk

Dari kisah yang diceritakan seorang WNI di atas, kita bisa menangkap bahwa

anak-anak di Jepang dari kecil sudah di ajarkan mengenai kemandirian. Kemandirian

yang membuat rasa ketergantungan pada orang lain itu menghilang. Dan nantinya

membuat anak akan terbiasa dalam mengatasi keinginan diri dengan mandiri.

Page 23: konsep keluarga.docx

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jepang memiliki Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang

kuat, dilihat dari tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya

Jepang menjadi salah satu jalan Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara maju

di dunia.

Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan keluarga yang

mereka jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai dari perkawinan & perceraian,

system keluarga, sampai pola asuh terhadap anak-anak mereka.

Saran

Semoga segala hal positif yang telah kami jabarkan di atas, bisa menjadi suatu referensi

yang berguna sebagai penambah pengetahuan kita yang selanjutnya bisa kita jadikan

panutan untuk kita teladani dalam kehidupan sehari-hari

Page 24: konsep keluarga.docx

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Yogayanti, Sri Setyo, Skripsi: Hubungan Antara Perubahan Nilai-Nilai Terhadap Keluarga,

Anak, dan Pernikahan Pasca Perang Dunia II dengan Perubahan Persepsi Perempuan Jepang

Terhadap Perceraian dalam Masyarakat Jepang Kontemporer, Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya, Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, 2012

Frank, Andre Gunder, penerj. Budiman, Arif Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan

Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar, 1984

Setiadi, Elly M., et.al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2011Yoshio Sugimoto,

An Introduction to Japanese Society, Cambridge University Press: 1993

Emiko, Ochiai, The Japanese Family System in Transition: A Sociological Analysis of Family

Change in Postwar Japan, Tokyo: 1994

Tobing, Ekayani, Keluarga Tradisional Jepang Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial,

Depok: ILUNI KWJ, 2006

Motonobu, Mukai, Modernization and Divorce in Japan, Marshal University, 2004

Evangela, Sherlina, Skripsi: Representasi Fenomena Shoushika dalam Drama Televisi Jepang:

Studi Kasus Drama “Umareru” dan “Watashi Ga Renai Dekinai Riyuu”, Fakultas Ilmu Budaya,

Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok: 2012

Saleha, Amaliatun, Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer di Jepang, Program

Studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran Bandung, 2006

Pratita, Ina Ika, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang, Lentera, Jurnal Studi Perempuan,

Vo. 1/No. 2/Desember 2005, ISSN 1858-4845 20

Page 25: konsep keluarga.docx

Database Online

Anne E Imamura, The Japanese Family, 1990, dikutip dari

http://www.exeas.org/resources/pdf/japanese-family-imamura.pdf, diakses 4 Februari 2014

NN, dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37838/3/Chapter%20II.pdf,

diakses 5 Februari 2014

NN, Gambaran Umum Mengenai Keluarga Ie, dikutip dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf, diakses 3 Februari

2014

NN, Isu Jepang Kontemporer, dikutip dari

https://www.fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/shoshika.pptx diakses 5 Februari 2014

NN, Jepang Upayakan Cegah Lansia Meninggal dalam Kesepian, 3 Agustus 2011, dikutip dari

http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/03/lpcsaj-jepang-upayakan-cegah-

lansia-meninggal-dalam-kesepian, diakses 5 Februari 2014

Satoshi Sakata, Historical Origin of the Japanese Ie System, dikutip dari

http://www.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm, diakses 3 Februari 2014

Sri Dewi Adriani, Dampak Peningkatan Jumlah Lansia Terhadap Munculnya Fenomena Sosial

Kodokushi 孤独死 (Dying Alone) (Studi Kasus Pada Gempa Bumi Kobe 1995), dikutip dari

http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-munculnya-

fenomena-sosial-kodokushi%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-alone-studi-

kasus-pada-gempa-bumi-kobe-1995/ diakses 5 Februari 2014