konsep kegawatdaruratan
DESCRIPTION
konsepTRANSCRIPT
TUGAS ILMIAH DOKTER MUDA
KONSEP KEGAWATDARURATAN
OLEH:
TRI WAHYUDI IMAN DANTARA
105070107121009
PEMBIMBING:
Dr. Taufiq Agus Siswagama, Sp. An
LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Definisi Kegawatdaruratan Medis........................................ 3
2.2 Indikasi Kegawatdaruratan Medis....................................... 3
2.2.1 Henti Jantung............................................................. 4
2.2.2 Henti Nafas................................................................. 5
2.3 Bantuan Hidup Dasar.......................................................... 5
2.4 Layanan Kegawatdaruratan Medis...................................... 10
2.5 Triase.................................................................................. 11
BAB III PENUTUP..................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan atau dapat pula disebut sebagai emergensi adalah
suatu situasi yang mendesak yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan,
kesejahteraan atau lingkungan. Suatu insiden dapat menjadi suatu
kegawatdaruratan apabila merupakan suatu insiden yang mendesak dan
mengancam nyawa, kesehatan, kesejahteraan, ataupun lingkungan; insiden
yang sebelumnya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, kecacatan,
merusak kesejahteraan, ataupun merusak lingkungan; atau insiden yang memiliki
probabilitas yang tinggi untuk menyebabkan bahaya langsung ke kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan ataupun lingkungan (Wikipedia, 2015).
Kegawatdaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit yang akut dan
menimbulkan resiko langsung terhadap kehidupan atau kesehatan jangka
panjang seseorang (Caroline, 2013). Keadaan darurat tersebut memerlukan
bantuan orang lain yang idealnya memiliki kualisifikasi dalam melakukan
pertolongan, hal ini membutuhkan keterlibatan dari berbagai pelayanan
multilevel, baik dari pemberi pertolongan pertama, teknisi sampai ke layanan
kesehatan gawat darurat.
Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan yang harus mendapat
intervensi segera. Dalam merespon kegawatdaruratan telah dibentuk Emergency
Medical Service (EMS) atau disebut pula layanan kegawatdaruratan medis.
Tujuan utama dari layanan ini adalah memberikan pengobatan kepada pasien
yang membutuhkan perawatan medis mendesak, dengan tujuan menstabilkan
kondisi saat itu, dan menyediakan transpor effisien dan efektif bagi pasien
1
menuju layanan pengobatan definitif (Cooper S et al., 2004). Layanan
kegawatdaruratan medis di tiap-tiap negara dan daerah menyediakan layanan
yang beragam dengan metode yang beragam pula, hal ini ditentukan oleh
kebijakan pemerintah negara masing-masing dengan metode pendekatan yang
berbeda pula tergantung dari kondisi dari negara tersebut. Secara umum, semua
layanan kegawatdaruratan medis menyediakan layanan bantuan hidup dasar
(Suserud B, 2005).
Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan suatu tindakan medis yang
dilakukan pada pasien dengan sakit yang mengancam nyawa atau cedera
sampai pasien tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan penuh di rumah
sakit. Pemberian BHD bertujuan untuk menyediakan sirkulasi darah yang
adekuat serta pernafasan melalui pembebasan jalan nafas (AHA, 2010). Untuk
mengaktifkan EMS dan memberikan BHD diperlukan pengetahuan yang cukup
mengenai konsep kegawatdaruratan maka dari itu pada tulisan ilmiah kali ini
akan membahas lebih lanjut mengenai konsep kegawat daruratan khususnya di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kegawatdaruratan?
2. Apa tanda-tanda kegawatdaruratan?
3. Apa yang harus dilakukan bila menemukan tanda-tanda
kegawatdaruratan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pustaka ilmiah ini adalah untuk memahami dan
menyamakan konsep mengenai kegawatdaruratan agar dapat diketahui dan
ditangani dengan cepat dan tepat untuk menghindari perburukan keadaan bagi
masyarakat awam umumnya serta bagi tenaga kesehatan khususnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kegawatdaruratan Medis
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera
atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan
nyawa atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat
darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat
dan cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan. Dalam
penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang profesional, yang
berarti memiliki kualisifikasi dalam melakukan pertolongan. Derajat
kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan yang diberikan membutuhkan
keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan, baik dari penolong pertama,
teknisi kesehatan kegawatdaruratan serta dokter kegawatdaruratannya itu
sendiri. Respon terhadap keadaan kegawatdaruratan medis bergantung kuat
pada situasinya, keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan sumber daya
untuk menolong Hal tersebut beragam tergantung dimana peristiwa
kegawatdaruratan itu terjadi, di luar atau di dalam rumah sakit. (Caroline, 2013).
Dalam kajian lebih lanjut AHA, 2005 menggunakan empat poin the chain
of survival atau disebut juga empat rantai kehidupan. Rantai kehidupan ini
merupakan aksi serial yang dilakukan untuk mengurangi kematian yang
diakibatkan oleh henti nafas dan henti jantung. Rantai kehidupan ini meliputi
empat tahap yaitu early access, early cardiapulmonary resuscitation (CPR), early
defibrillation, dan early advanced life support (ALS) (Bossaert LL, 1997).
2.2. Indikasi Kegawatdaruratan Medis
Menurut AHA, 2010, indikasi dilakukannya BHD adalah henti nafas
(ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari
3
pasien) dan henti jantung (ditandai dengan tidak terabanya nadi karotis).
Berdasarkan survei kesehatan rumah sakit (SKRT) tahun 2013 (Depkes, 2013)
serangan jantung merupakan urutan kedua yang menyebabkan kematian
mendadak, kecelakaan terkait serangan jantung merupakan urutan kertiga
penyebab kematian di Indonesia.
2.2.1. Henti Jantung
Henti jantung adalah berhentinya secara tiba-tiba sirkulasi darah yang
efektif dikarenakan gagalnya jantung untuk berkontraksi secara efektif tidak
berkontraksi sama sekali (Jameson et al., 2005). Berhentinya sirkulasi darah
mencegah hantaran oksigen dan glukosa ke seluruh tubuh. Kurangnya oksigen
dan glukosa pada otak menyebabkan penurunan kesadaran yang akan
menghasilkan gangguan atau hilangnya nafas. Kerusakan otak akan terjadi
apabila henti jantung tidak segera ditangani lebih dari lima menit (Holzer M &
Behringer W, 2005).
Secara umum penyebab henti jantung dapat kelompokan menjadi dua
bagian yaitu oenyebab dari luar jantung (ekstra-kardiak) ataupun dari jantungnya
sendiri (kardiak). Penyebab yang berasal dari jantung antara lain: penyakit
jantung iskemik (seperti infark miokard, stenokardia), aritmia yang dari berbagai
asal dan karakternya, kelainan elektrolit, kelainan katup, tamponade kardiak,
tromboemboli arteri pulmonar, ruptur aneurisma aorta sedangkan penyebab yang
berasal dari ekstra-kardiak antara lain obstruksu jalan nafas, gagal nafas akut,
syok, henti jantung reflektor, emboli dari berbagai asalnya, overdosis obat-
obatan, serta keracunan (AHA, 2005). AHA, 2010 memberi singkatan 5H dan 5T
untuk mengingat penyebab henti jantung yaitu: 5H: hipovolemi, hipoksia, ion
hidrogen (asidosis), hipo/hiperkalemia, dan hipotermia. 5T: tension
pneumothorax, tamponade cardiac, toksin, thrombosis pulmonary, dan
thrombosis coronary.
4
2.2.2. Henti Nafas
Henti nafas merupakan berhentinya pernafasan normal akibat kegagalan
paru-paru untuk berfungsi secara efektif. Henti nafas berbeda dengan henti
jantung namun dapat diakibatkan oleh henti jantung, dimana otot jantung gagal
berkontraksi dan dapat juga dihasilkan dari nafas apneu yang lama kemudian
melambat dan berhenti. Henti nafas mencegah hantaran oksigen ke seluruh
tubuh. Kekurangan oksigen di otak menyebabkan penurunan kesadaran.
Kerusakan otak akan menyebabkan henti nafas bila tidak ditangani lebih dari tiga
menit, dan kematian akan terjadi jika tidak ditangani segera lebih dari lima menit
(AHA, 2010). Penyebab henti nafas antara lain distrofi muskular, amyotophic
lateral sclerosis (ALS), cedera medula spinalis, stroke, cedera dada, cedera paru
akut, skoliosis, syok hipovolemik, syok hemoragik, dan beberapa penyakit
lainnya.
2.3. Bantuan Hidup Dasar
Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan bantuan medis yang diberikan
pada korban atau pasien dengan sakit atau cedera yang mengancam jiwa
sampai korban atau pasien tersebut mendapatkan pelayanan medis penuh di
rumah sakit. Aspek pokok BHD mengikuti algoritma medis the chain of survival,
meliputi: immediate recognition dari henti jantung, activation dari sistem respon
kegawatdaruratan, secara dini melakukan CPR, rapid defibrillation dengan alat
bantu defibrilator, efektif advanced life support, serta perawatan terintegrasi
paska henti jantung.
5
Gambar 1. The Chain of Survival
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa indikasi dilakukannya BHD adalah
henti nafas dan henti jantung. Menurut AHA, 2010 adapun tujuan dilakukannya
BHD adalah mempertahankan dan mengembalikan fungsi oksigenasi organ-
organ vital, mempertahankan hidup dan mencegah kematian, mencegah
komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan, mencegah tindakan yang dapat
membahayakan korban, melindungi orang yang tidak sadar, mencegah
berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi, memberikan bantuan eksternal
terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau
henti nafas melalui CPR.
Pada AHA, 2010 terdapat beberapa perubahan pokok dari AHA tahun
2005. Perubahan-perubahan pokok tersebut antara lain:
Penyederhanaan BHD dewasa yang universal (Gambar 2)
Pengenalan langsung dan aktivasi EMS berdasarkan tanda-tanda dari
tidak sadar dengan tanpa pernafasan atau tidak normalnya pernafasan
(sebagai contoh: megap-megap)
Menghilangkan algoritma evaluasi pernafasan “look, listen, and feel”.
Menekankan pada CPR yang berkualitas (kompresi dada yang dalam dan
rata adekuat, memungkinkan rekoil dada setelah masing-masing
kompresi, meminimalisasikan interupsi dalam kompresi dan menghindari
ventilasi yang berlebihan).
6
Penolong sendiri langsung melakukan CPR sebelum melakukan nafas
bantuan (mengutamakan C-A-B dibanding A-B-C).
Rata-rata kompresi harus paling sedikit 100 kali/menit (dibandingkan
mencapai 100 kali/menit)
Kompresi dalam untuk dewasa telah diubah dari kisaran 1,5 inchi
samapai 2 inchi menjadi setidaknya 2 inchi (5 cm).
Perubahan-perubahan tersebut didesain untuk menyederhanakan
pelatihan penolong dan memusatkan pada kebutuhan kompresi dada pada
korban dengan henti jantung.
Gambar 2. Algoritma BHD dewasa yang telah disederhanakan
Langkah-langkah melakukan BHD resuitasi jantung paru dan otak (RJPO)
adalah sebagai berikut:
7
1. Evaluasi respon dari korban
2. Mengaktifkan EMS/kode biru
3. Memposisikan korban di tempat yang aman dan beralas keras
4. Evaluasi nadi atau tanda-tanda sirkulasi (evaluasi < 10 detik)
5. Lakukan pijat jantung dan nafas buatan dengan perbandingan 30:2; 30
kali kompresi dada disela dengan 2 kali tiupan nafas
6. Bantuan nafas
7. Evaluasi nadi atau tanda-tanda sirkulasi. Jika nadi tetap tidak terabi ulangi
5 siklus kemudian evaluasi lagi sampai nadi teraba.
8. Evaluasi jalan nafas dan pernafasan.
9. Posisi pemulihan (recovery position). Dilakukan pada korban tidak sadar
dengan adanya nadi, nafas, dan tanda-tanda sirkulasi. Bila tidak
didapatkan tanda-tanda trauma, tempatkan korban pada posisi
pemulihan. Posisi ini menjaga jalan nafas tetep terbuka.
BHD-RJPO dapat dilakukan dengan 1 penolong atau lebih. Di Indonesia
umumnya dilakukan oleh 1 atau 2 penolong. RJPO dengan 2 penolong, satu
penolong melakukan kompresi dada, yang lain melakukan bantuan nafas. Tujuan
melakukan dengan 2 penolong untuk mengurangi keletihan penolong dan
kompresi dada yang tidak adekuat. BHD-RJPO dilakukan sampai tim kode biru
datang, pasien sudah teraba nadi karotis dan bernafas baik, penolong sudah
lelah, atau tanda-tanda kematian muncul seperti lebam mayat atau lebih dari 30
menit tidak ada respon (AHA, 2010)
8
Tabel 1. Ringkasan komponen pokok BHD pada dewasa, anak-anak, dan bayi.
Gambar 3. Algoritma Advance Cardiac Life Support (ACLS).
9
2.4. Layanan Kegawatdaruratan Medis
Layanan kegawatdaruratan medis memiliki kebijakan yang beragam di
tiap-tiap negara. Hal tersebut tergantung pada demografi (meliputi kepadatan
penduduk distribusi populasi), geografi, kesiapan komunitas, transportasi,
komunikasi (meliputi perangkat lunak maupun perangkat keras), dan fasilitas
layanan kesehatan (meliputi rumah sakit pemerintah/swasta, layanan kesehatan
primer) (Dirjen Bina Pelayanan Medik, 2005).
Dalam bahasan internasional, layanan kegawatdaruratan medis memiliki
prinsip dasar pertolongan pertama, yaitu: mempertahankan kehidupan,
mencegah cedera lebih lanjut, dan menyokong pemulihan (recovery). Bahasan
ini gambarkan lebih lanjut dalam the star of life atau disebut bintang kehidupan.
Gambar 4. The Star of Life
The Star of Life (gambar 4) memiliki enam lengan yang masing-masing
mewakili satu dari enam poin yang ada, yang mana digunakan untuk
10
menggambarkan langkah-langkah perawatan pra-rumah sakit kualitas tinggi.
Langkah-langkah tersebut adalah meliputi early detection, early reporting, early
response, good on-scene care, care in transit, dan transit to definitive care.
Di Indonesia sistem kegawatdaruratan yang digunakan adalah sistem
penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). SPGDT adalah sebuah sistem
penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur pelayanan pra
Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit, serta antar Rumah Sakit yang terjalin
dalam suatu sistem. Layanan ini berpedoman pada respon cepat yang
menekankan pada time saving is life and limb saving yang melibatkan pelayanan
mulai dari masyarakat awam umum, khusus, petugas medis, pelayanan
ambulans gawat darurat, dan sistem komunikasi. Tujuan dari sistem pelayanan
ini adalah agar korban atau pasien tetap hidup dan mengurangi angka kecacatan
pada pasien gawat darurat (Saanin S, 2006).
SPGDT adalah suatu sistem berupa koordinasi dari sektor kesehatan
yang didukung oleh sektor lain dan kegiatan kelompok profesional pada keadaan
kegawatdaruratan medis sehari-hari dan pelayanan kegawatdaruratan medis
saat kejadian bencana. SPGDT dibagi menjadi dua yaitu sehari-hari dan
bencana. SPGDT sehari-hari meliputi pra rumah sakit (komunitas, pusat
keamanan publik, layanan panggilan darurat, layanan ambulan, layanan
kesehatan primer), di rumah sakit (lembaga kegawatdaruratan, HCU/ICU, ruang
operasi, forensik), dan antar rumah sakit (rumah sakit pemerintah, rumah sakit
swasta, rumah sakit polisi atau militer). SPGDT bencana meliputi pra bencana
(pencegahan, pembatasan, dan persiapan), di kejadian bencana (respon akut),
dan pasca bencana (pemulihan, rekonstruksi, rehabilitasi) (Dirjen Bina Pelayanan
Medik, 2005).
2.5. Triase
11
Triase adalah suatu proses penentuan prioritas perawatan pasien
berdasarkan tingkat keparahan kondisi pasien tersebut. Perlunya triase untuk
menentukan perawatan yang efisien terutama pada kondisi dimana sumber daya
tidak mencukupi untuk menangani semua pasien dengan segera (Iserson KV &
Moskop, 2007). Pada proses triase lebih lanjut, pasien cedera diurutkan ke
dalam beberapa kategori. Secara konvensional terdapat lima klasifikasi dengan
sesuai warna dan nomor, pembagian ini secara khusus dapat berbeda-beda di
tiap negara. Umumnya pembagian warnanya antara lain (Mehta S, 2006):
Hitam/expectant. Penanda pada pasien cedera dengan prognosis buruk,
dalam beberapa jan atau hari akan berujung kematian. Terapi yang
diberikan berupa terapi paliatif seperti pereda nyeri untuk mengurangi
kesakitan.
Merah/immediate. Pasien membutuhkan operasi atau intervensi yang
menyelamatkan nyawa dengan segera, dan memiliki prioritas utama
untuk di operasi atau dirujuk ke fasilitas lebih lanjut.
Kuning/observation: Pasien dengan kondisi stabil untuk sementara waktu
namun membutuhkan pengawasan oleh orang yang terlatih dan akan
membutuhkan perawatan rumah sakit.
Hijau/Wait. Pasien yang akan membutuhkan perawatan dokter dalam
beberapa jam atau hari namun tidak segera, dapat pula dipulangkan ke
rumah dan datang kembali di lain hari.
Putih/Dismiss: Pasien dengan cedera minor. Pertolongan pertama dan
perawatan di rumah sudah mencukupi dan tidak membutuhkan perawatan
dokter.
Pembagian diatas umumnya ditemukan di Unit Gawat Darurat (UGD) di
Indonesia. Triase dapat pula dilakukan di lapangan. Triase lapangan dilakukan
dalam kondisi terjadi bencana. Tujuan triase lapangan pada umumnya untuk
12
memilah dan mengkategorikan, terapi depat dengan sarana minimal, dan
melakukan rujukan yang tepat (Dirjen Bina Pelayanan Medik, 2005).
Gambar 5. Sistem Triase ESI
Namun beberapa studi mengemukakan triase klasik sudah tidak cocok
lagi diterapkan di rumah sakit modern. Sistem triase tersebut sebenarnya
mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan
pasien warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam adalah pasien meninggal,
merah adalah pasien gawat (dengan gangguan jalan nafas, pernafasan, atau
sirkulasi), kuning adalah pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem ini dirasa tidak
13
cocok lagi diterapkan di IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan
evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti salah satunya adalah
emergency severity index (ESI) yang digunakan di Amerika Serikat Ada
beberapa alasan mengapa ESI cocok diterapkan di sebagian IGD rumah sakit
Indonesia: perawat triase lebih mudah melihat kondisi dan keparahan
dibandingkan bekerja sama dengan dokter menegakkan diagnosis; perawat
triase bersama dokter jaga akan lebih mudah melihat keparahan kondisi dan
mempertimbangkan sumber daya apa saja yang akan digunakan untuk
menangani pasien tersebut; adanya response time yang beragam, sistem triase
ESI mempergunakan skala nyeri 1-10 sama dengan yang secara umum dipakai
di Indonesia (Datusanantyo, 2013).
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Konsep kegawatdaruratan merupakan bahasan yang beragam. Secara
umum kegawatdaruratan medis dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang mengancam nyawa yang membutuhkan intervensi segera untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan pada pasien.
Di Indonesia, intervensi yang dilakukan pada kegawatdaruratan medis
adalah bantuan hidup dasar (BHD) sesuai dengan pedoman AHA tahun
2010.
Indikasi dilakukannya BHD adalah henti jantung dan henti nafas.
Layanan kegawatdaruratan medis beragam di tiap negara tergantung
pada demografi, geografi, kesiapan komunitas, transportasi, komunikasi,
dan fasilitas layanan kesehatan di negara tersebut.
Sistem penanggulangan kegawatdaruratan yang digunakan di Indonesia
adalah SPGDT.
15
DAFTAR PUSTAKA
AHA. 2005. 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
resuscitaion and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 112 (24
Suppl): IV-19-34. Desember 2005.
AHA. 2010. 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
resuscitaion and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
Bossaert LL. 1997. Fibrilation and defibrilation of the heart. British journal of
anaesthesia. 79 (2): 203-213
Caroline, Nancy. 2013. Emergency Care in the Streets (Edisi ke-7). Jones and
Bartlett Learning. Hal. 96-97.
Cooper S, Barrett B, Black S et al,. 2004. The emerging role of the emergency
care practitioner. Emergency Medicine Journal. 21 (5): 614-618
Datusanantyo, RA. 2013. Emergency Severity Index (ESI): Salah Satu Sistem
Triase Berbasis Bukti. RAD Journal. 10: 7
Depkes. 2013 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Dirjen Bina Pelayanan Medik. 2005. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT). Seri PPGD: Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat/General Emergensy Life Support (GELS). Jakarta. Depkes-RI
Holzer M, Behringer W. 2005. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest.
Current Opinion in Anesthesiology. 18 (2): 163-168
Iserson KV, Moskop JC. 2007. Triage in medicine, part I: Concept, history, and
types. Annals of Emergency Medicine. 49 (3): 275–81
Jameson JN, Dennis LK, Harrison TR, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL et al.
2005. Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division.
16
Khalid, U & Juma, AA. 2010. Paradigm shift: ‘ABC’ to “CAB’ for cardiac arrests.
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine.
18: 59
McLay LA & Mayorga ME. 2010. Evaluating emergency medical service
peformance measures. Health Care Manag Sci. 13: 124-136
Mehta S (April 2006). Disaster and mass casualty management in a hospital:
How well are we prepared?. J Postgrad Med. 52 (2).
Pitt E & Pusponegoro A. 2005. Prehospital care in Indonesia. Emergency
Medicine Journal. 22: 144-147
Saanin, Syaiful. 2006. Dinkes Prop Sumbar.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/SPDGT11.pdf. (Online).
Diakses pada tanggal 19 Febuari 2015, pukul 22:51
Suserud B. 2005. A new profession in the pre-hospital care field: the ambulance
nurse. Nursing in Critical Care. 10 (6): 269-271
Wikipedia, 2015. “Emergency”. http://en.wikipedia.org/wiki/Emergency. (Online).
Diakses pada tanggal 19 Febuari 2005, pukul 18:19 WIB.
17