konsep diri remaja dengan orangtua bercerai …eprints.ums.ac.id/40239/28/naskah publikasi.pdf ·...
TRANSCRIPT
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi
Diajukan Oleh:
KHARIS SYARIFUDIN ZAIN
F100114 001
FAKULTASPSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
ii
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi
Diajukan Oleh :
KHARIS SYARIFUDIN ZAIN
F100 114 001
FAKULTASPSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
iii
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
Yang Diajukan Oleh :
KHARIS SYARIFUDIN ZAIN
F 100 114 001
Telah disetujui untuk dipertahankan
di depan Dewan Penguji
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Dr. Nisa Rachmah Nur Anganthi, M.Si
Surakarta, 23 Oktober 2015
iv
HALAMAN PENGESAHAN
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
Yang diajukan oleh
KHARIS SYARIFUDIN ZAIN
F100 114 001
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal, 04 November 2015
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Penguji Utama
Dr. Nisa Rachmah Nur Anganthi, M.Si
Aad Satria Permadi, S.Psi., MA
Dra. Zahrotul Uyun, M.Si
Surakarta, 04 Desember 2015
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fakultas Psikologi
Dekan
(Taufik, M.Si, Ph.D)
v
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
Kharis Syarifudin Zain
Nisa Rachmah Nur Anganthi
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
Divorce happens by parents give a great influence in the development of
adolescent self-concept in everyday life. This research was conducted with the
aim of knowing the background of divorce of parents, know the factors that
influence parents' divorce, knowing the consequences for adolescents of divorce
of parents, and know the form of self-concept adolescents with divorced parents.
This study used qualitative research methods. Subjects in the study were four
early teens to late teens aged 12-21 years with divorced parents. The method used
in data collection were interviews and observation. Interview results are then
made in the form of the transcript and analyzed to discover the psychological
meaning, a collection of units of meaning, concept mapping, and the deepest
essence of the research results. This study found that adolescent self-concept with
divorced parents have a tendency to evolve in a positive direction. They feel
themselves comfortable in the family and social environment. Parents are married
early teens when his family harmony. But after a long married parents of teens
having an affair, doing domestic violence, and fight. Factors that make
adolescents divorced parents is infidelity, domestic violence, and contention.
Consequences received teens are feeling sad and disappointed. But some are
happy and comfortable. Adolescent self-concept evolved towards the positive with
this pecrceraian. From the physical form of positive informant, the informant can
be accomplished in the academic and more eager to go to school. From the form
of the positive psychological informant, the informant was happy because they do
not see their parents fight back informants, and informants feel his life more
comfortable and quiet. Their self-concept affects their attitudes toward
interpersonal relationships.
Keyword : Self Concept Teens, Parents' Divorce
vi
KONSEP DIRI REMAJA DENGAN ORANGTUA BERCERAI
Kharis Syarifudin Zain
Nisa Rachmah Nur Anganthi
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAKSI
Perceraian yang terjadi oleh orang tua memberikan pengaruh yang besar dalam
perkembangan konsep diri remaja dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan mengetahui latar belakang perceraian orang tua,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian orang tua, mengetahui
konsekuensi bagi remaja dari perceraian orang tua, dan mengetahui bentuk konsep
diri remaja dengan orang tua bercerai. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian adalah empat remaja awal sampai
remaja akhir usia 12-21 tahun dengan orang tua bercerai. Metode yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah wawancara dan observasi. Hasil wawancara
kemudian dibuat dalam bentuk transkrip dan dianalisis untuk menemukan makna
psikologis, kumpulan unit makna, pemetaan konsep, dan esensi terdalam dari hasil
penelitian. Penelitian ini menemukan bahwa konsep diri remaja dengan orang tua
bercerai memiliki kecenderungan berkembang ke arah positif. Mereka merasa
dirinya nyaman di dalam keluarga dan di lingkungan sosial. Orang tua remaja saat
awal menikah keluarganya harmonis. Namun setelah menikah lama orang tua
remaja berselingkuh, melakukan KDRT, dan bertengkar. Faktor yang membuat
orang tua remaja bercerai adalah perselingkuhan, KDRT, dan pertengkaran.
Konsekuensi yang diterima remaja adalah merasa sedih dan kecewa. Namun ada
juga yang merasa senang dan nyaman. Konsep diri remaja berkembang ke arah
postif dengan adanya pecrceraian ini. Dari bentuk fisik positif informan, informan
dapat lebih berprestasi di dalam akademik dan lebih bersemangat untuk
bersekolah. Dari bentuk psikologis positif informan, informan merasa senang
karena tidak melihat orang tua informan bertengkar kembali, dan informan merasa
hidupnya lebih nyaman dan tenang. Konsep diri yang mereka miliki
mempengaruhi sikap mereka terhadap hubungan interpersonal.
Kata kunci : Konsep Diri Remaja, Orangtua Bercerai
1
PENDAHULUAN
Tingkat perceraian di
Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun. hal tersebut tampak dari data
yang diterima ROL dari data
Kementerian Agama (Kemenag)
yang disampaikan oleh Kepala
Subdit Kepenghuluan Anwar Saadi,
Jumat (14/11). Berdasarkan data,
pada 2009 jumlah masyarakat yang
menikah sebanyak 2.162.268. Di
tahun yang sama, terjadi angka
perceraian sebanyak 10 persen yakni
216.286 peristiwa. Sementara, pada
tahun berikutnya, yakni 2010,
peristiwa pernikahan di Indonesia
sebanyak 2.207.364. Adapun
peristiwa perceraian di tahun tersebut
meningkat tiga persen dari tahun
sebelumnya yakni berjumlah 285.184
peristiwa.
Pada 2011, terjadi peristiwa
nikah sebanyak 2.319.821 sementara
peristiwa cerai sebanyak 158.119
peristiwa. “Berikutnya pada 2012,
peristiwa nikah yang terjadi yakni
sebanyak 2.291.265 peristiwa
sementara yang bercerai berjumlah
372.577,” kata Anwar. Pada
pendataan terakhir yakni 2015,
jumlah peristiwa nikah menurun dari
tahun lalu menjadi sebanyak
2.218.130 peristiwa. Namun tingkat
perceraiannya meningkat menjadi
14,6 persen atau sebanyak 324.527
peristiwa. Data tersebut, kata Anwar,
bukanlah kabar yang
menggembirakan bagi kesehatan
bangsa yang dimulai dari kesehatan
rumah tangganya. Semua pihak, kata
dia, mesti bekerja sama menekan
peningkatan angka perceraian
tersebut.
Sebelumnya, Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin
menyatakan kekhawatirannya akan
tingginya tingkat perceraian di
Indonesia. “Kebanyakan peristiwa
cerai dimulai dari sang istri yang
mengajukan gugatan, bukan pihak
suami yang memberi talak,” katanya
beberapa waktu lalu. Makanya, kata
dia, perlu dilakukan kajian lebih
lanjut soal fenomena perceraian ini.
Agar pada akhirnya diperoleh solusi
menekan angka perceraian, dan
mendapatkan situasi rumah tangga
Indonesia yang sehat (Republika,
2015).
2
Perceraian dilihat dari
kacamata psikologi tetap tak ada
untungnya. Demikian disampaikan
Psikolog Klinis dari Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta, Heri
Widodo, M.Psi, saat dihubungi
Liputan6.com, Selasa (10/9/2013).
"Yang biasanya banyak dibicarakan
itu dampak negatifnya. Tapi
tergantung usia anak ketika
orangtuanya bercerai," kata Heri.
Menurutnya, ketika orangtua
bercerai, salah satu figur orangtua
akan hilang. Jika si anak kehilangan
figur ibu, anak-anak akan melihat
dunia mengancam dan tidak nyaman.
"Karena tak ada yang melindungi
dan memberikan kenyamanan, dia
merasa dunia tidak menyenangkan.
Biasanya tumbuh menjadi pribadi
yang melihat dunia dengan rasa yang
rendah," kata Heri. Ia menjelaskan,
tidak aman yang dimaksud bukan
hanya anak menjadi ketakutan. Tapi
bisa dari berbagai perilaku.
Berikut dampak negatif
menurut Heri: tak ada figur ibu anak
bisa menjadi pribadi yang waswas,
minder dan tak percaya diri,
kehilangan figur ayah bisa membuat
anak berperilaku nakal karena peran
superego tidak ada Anak menjadi
tidak terkendali, anak suka
memberikan pilihan yang tak
terduga. Sementara dampak positif
bercerai: anak jadi lebih mandiri,
anak mempunyai kemampuan
bertahan (survive) karena terlatih
untuk mendapatkan sesuatu dalam
hidup bukan hal yang mudah,
beberapa anak jadi lebih kuat dan
bangkit. Tapi tidak semua orang
seperti itu, karena setiap individu
berbeda," ujar Heri. (liputan6.com,
2013)
Kartono (2002) menjelaskan,
orang tua memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam pengembangan
konsep diri seseorang karena
semasa kecil, seorang anak
menganggap orang tua merupakan
sumber otoritas dan sumber
kepercayaan. Berkaitan dengan
upaya penyesuaian diri ke arah
dewasa, biasanya para remaja
mengalami kebingungan dalam
menemukan konsep dirinya karena
mereka belum menemukan status
dirinya secara utuh. Sisi lain yang
dimiliki para remaja adalah adanya
3
perasaan sudah kuat, pandai dan
telah menjadi dewasa. Tetapi
mereka tetap memiliki perasaan
ketidak pastian dan kecemasan
sehingga mereka membutuhkan
perlindungan dari orang tua.
Perceraian juga berpengaruh
terhadap pembentukan konsep diri
anak dan remaja yang ada dalam
keluarga tersebut. Rogers (dikutip
oleh Sianturi, 2007) berpendapat
bahwa konsep diri adalah sebuah
konfigurasi persepsi tentang diri
sendiri, yang disusun dari persepsi
mengenai karakteristik dan
kemampuannya serta konsep
mengenai diri di dalam hubungannya
dengan orang lain dan dengan
lingkungannya. Konsep diri adalah
suatu bentuk persepsi yang dimiliki
oleh seseorang yang berkaitan
dengan caranya memandang keadaan
dirinya sendiri. Cara pandang ini
diperoleh dari pola pikir, pengalaman
dan hasil interaksinya terhadap orang
lain.
Burns yang dikutip oleh
Sianturi (2007) mengatakan bahwa,
umpan balik dari orang yang
dihormati merupakan salah satu
faktor penting pembentuk konsep diri
individu. Umpan balik yang
diberikan oleh orangtua kepada anak
akan menentukan bentuk konsep diri
yang akan berkembang pada anak
konsep diri positif atau konsep diri
negatif. Pengalaman tentang
penolakan atau disayangi oleh
orangtua, mempengaruhi cara
individu memandang dirinya. Dalam
masa permulaan anak-anak, mereka
sangat percaya bahwa persepsi
tentang dirinya dapat dilihat dari
reaksi yang diberikan oleh orang-
orang yang dihormatinya, khususnya
orangtua. Para ahli setuju bahwa
peranan orang tua sebagai sumber
informasi bagi anak untuk
mengetahui gambaran tentang
dirinya memiliki pengaruh yang
sangat kuat dalam kehidupan anak
selanjutnya. Orangtua memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam
pengembangan konsep diri seseorang
karena semasa kecil, seorang anak
menganggap orangtua merupakan
sumber otoritas dan sumber
kepercayaan.
Konsep diri adalah faktor
yang selalu berkembang. Menurut
4
Ritandiyono dan Retnaningsih
(2007), konsep diri bukan merupakan
faktor yang dibawa sejak lahir,
melainkan faktor yang dipelajari dan
terbentuk melalui pengalaman
individu dalam berhubungan dengan
orang lain. Pernyataan ini diperkuat
oleh Dewi dkk (2004) yang juga
berpendapat bahwa konsep diri
bukanlah faktor bawaan, tapi
merupakan sesuatu yang dipelajari
dan dibentuk dari pengalaman
individu dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Berikut dampak negatif
menurut Heri: tak ada figur ibu anak
bisa menjadi pribadi yang waswas,
minder dan tak percaya diri,
kehilangan figur ayah bisa membuat
anak berperilaku nakal karena peran
superego tidak ada Anak menjadi
tidak terkendali, anak suka
memberikan pilihan yang tak
terduga. Sementara dampak positif
bercerai: anak jadi lebih mandiri,
anak mempunyai kemampuan
bertahan (survive) karena terlatih
untuk mendapatkan sesuatu dalam
hidup bukan hal yang mudah,
beberapa anak jadi lebih kuat dan
bangkit. Tapi tidak semua orang
seperti itu, karena setiap individu
berbeda," ujar Heri.
Peristiwa perceraian itu
menimbulkan berbagai akibat
terhadap orang tua dan anak.
Masalah yang akan terjadi pada
pasangan yang bercerai adalah anak
yang terbiasa hidup dengan kedua
orang tuanya, pasti akan merasa
sangat kehilangan dengan adanya
perceraian yang menimpa
keluarganya. Anak akan bereaksi
terhadap perceraian orang tuanya,
sangat dipengaruhi oleh cara orang
tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perceraian. Pada saat ini
tidak menutup kemungkinan akan
timbul pengaruh positif maupun
pengaruh negatif yang terjadi pada
anak tergantung dari antisipasi dan
peran orang tua yang diambil dalam
memperhatikan dan memberikan
pengertian bagi remaja. Mengacu
pada latar belakang tersebut, peneliti
ingin melihat lebih jauh konsep diri
remaja dengan orang tua bercerai.
Oleh karena itu rumusan masalah ini
adalah “Bagaimana bentuk konsep
diri remaja dengan orang tua
5
bercerai?” Pertanyaan penelitian
bagaimana konsep diri remaja
dengan orang tua bercerai?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan metode penelitian
kualitatif dengan alat ukur
wawancara. Metode ini dapat
digunakan untuk mengungkap dan
memahami sesuatu dibalik fenomena
yang sedikitpun belum diketahui.
Demikian dengan metode kualitatif
dapat member rincian yang kompleks
tentang fenomena yang sulit
diungkapkan oleh metode kuantitatif
(Straus & Corbin, 2003). Dengan
menggunakan metode kualitatif
diharapkan peneliti dapat
mengungkap data secara detail dan
mendalam mengenai konsep diri
remaja dengan orang tua bercerai.
Informan dalam penelitian ini
berjumlah empat orang yang dipilih
secara purposive sampling, yaitu
pemilihan pada sekelompok subjek.
berdasarkan pada ciri-ciri yang sudah
diketahui sebelumnya. Adapun ciri-
ciri tersebut, yaitu remaja yang
sedang berada pada tahap
perkembangan remaja awal sampai
remaja akhir usia 12-21 tahun yang
orang tuanya bercerai. Remaja yang
tinggal bersama dengan salah satu
orang tua yang bercerai. Langkah-
langkah analisis data penelitian yang
dilakukan adalah: Membuat transkip
verbatim dari wawancara, melakukan
kategorisasi terhadap tema-tema
yang muncul, pembahasan hasil
penelitian.
HASI DAN PEMBAHASAN
Dari hasil yang peneliti teliti
dapat dijelaskan bahwa, saat awal-
awal menikah pastinya merasa
bahagia. Namun karena adanya
permasalahan maka harus mengambil
jalan perceraian. Anak menjadi
korban di dalam perceraian orang tua
ini. Hal ini di ungkapkan oleh Dagun,
(2004), yaitu perceraian merupakan
suatu peristiwa perpisahan secara
resmi antara pasangan suami-istri dan
mereka berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban
sebagai suami-istri. Peristiwa ini
menimbulkan anak–anak tidak
merasa mendapatkan perlindungan
dan kasih sayang dari orang tuanya.
Dari hasil penelitian yang peneliti
6
teliti semua informan pada awalnya
kaluarganya harmonis seperti
keluarga pada umumnya. Namun
setelah berjalannya waktu adanya
KDRT, pertengkaran, keras kepala,
dan ketidak kecocokan sehingga
membuat orang tua memutuskan
untuk bercerai.
Anak menjadi korban
perceraian orang tua anak menjadi
cenderung menutup diri dan sulit
beradaptasi. Karena orang tua sibuk
dengan yang dikerjakannya sehingga
anak cenderung tidak mendapatkan
kasih sayang dari orang tuanya. Hal
ini di ungkapkan oleh Ningrum
(2013) dari hasil penelitiannya
mengatakan peristiwa perceraian
menimbulkan berbagai akibat
terhadap orang tua dan anak.
Tercipta sebagai orang tua mereka
tidak lagi memperlihatkan tanggung
jawab penuh dalam mengasuh anak.
Pada tahun pertama setelah
perceraian, orang tua menjadi kurang
dekat dengan anaknya, meski banyak
waktu tersedia untuk itu.
Konsekuensi yang bisa terjadi pada
remaja dari pasangan bercerai,
biasanya dari segi psikis. Seperti
perasaan malu, sensitif, rendah diri.
Sehingga perasaan tersebut dapat
membuat remaja menarik diri dari
lingkungan . Pentingnya penyesuaian
diri dalam hal ini agar individu dapat
mengatasi hambatan-hambatan dan
ketidakenakan yang dialami dan
nantinya akan membuat individu
dapat menerima serta mengontrol
dirinya untuk menjadi pribadi yang
baik, sehat dan sukses dalam
kehidupan. Dari informan di atas.
Subjek tidak dapat merasakan kasih
sayang dari orang tuanya secara utuh,
karena subjek hanya tinggal dengan
salah satu orang tuanya saja.
Masalah yang timbul
sehingga menyebabkan perceraian itu
terjadi. Adanya kekerasan dalam
rumah tangga, adanya
perselingkuhan, adanya cemburu
dengan pasangan. Sehingga salah
satu pihak harus memutuskan untuk
bercerai. Hal ini di ungkapkan oleh
Dariyo (2003), yang mengatakan
bahwa perceraian merupakan titik
puncak dari pengumpulan berbagai
permasalahan yang menumpuk
beberapa waktu sebelumnya dan
jalan terakhir yang harus ditempuh
ketika hubungan perkawinan itu
7
sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Ketidaksetiaan salah satu pasangan
hidup, keberadaan orang ketiga
memang akan menggangu kehidupan
perkawinan. Bila diantara keduannya
tidak ditemukan kata sepakat untuk
menyelesaikan dan tidak saling
memaafkan, akhirnya percerainlah
jalan terbaik untuk mengakhiri
hububungan pernikahan itu.
Informan yang peneliti teliti faktor-
faktor tang membuat orang tua
subjek bercerai adalah adanya
KDRT, perselingkuhan,
pertengkaran, keras kepala, dan
ketidak kecocokan sehingga
membuat orang tua memutuskan
untuk bercerai.
Konsekuensi yang harus
diterima oleh remaja dengan orang
tua yang bercerai. Dahulu remaja
menjalani hidup dengan orang tua
lengkap. Sekarang remaja menjalani
hidup dengan salah satu orang tuanya
ayah atau ibu, remaja ada yang
menerima konsekuensi positif dan
konsekuensi yang negatif. Hal ini di
ungkapkan Dariyo (2003) bahwa
yang telah melakukan perceraian
baik disadari maupun tidak disadari
akan membawa konsekuensi negatif.
Anak-anak yang ditinggalkan orang
tua yang bercerai juga merasakan
konsekuensi negatif. Hal itu terlihat
dari informan ketiga dan informan
keempat. Tetangga membicarakan
keluarga subjek.
Remaja akan membentuk
konsep diri yang ideal jika ada
dukungan orang tua di dalamnya.
Menurut Burns yang dikutip oleh
Pattimahu (2012), mengatakan
bahwa umpan balik dari orang yang
dihormati merupakan salah satu
faktor penting pembentuk konsep diri
individu. Umpan balik yang
diberikan oleh orang tua kepada anak
akan menentukan konsep diri yang
akan berkembang pada anak, konsep
diri positif atau konsep diri negatif.
Pengalaman tentang penolakan atau
disayangi dan disetujui atau tidak
disetujui oleh orangtua,
mempengaruhi cara anak
memandang dirinya. Dalam masa
permulaan anak-anak, anak sangat
percaya bahwa persepsi tentang
dirinya dapat dilihat dari reaksi yang
diberikan oleh orang-orang yang
dihormatinya, khususnya orangtua.
Alasannya karena keluarga adalah
8
kelompok sosial pertama tempat
anak melakukan identifikasi, anak
lebih banyak menghabiskan waktu
bersama dengan keluarga daripada
dengan kelompok sosial lain,
anggota keluarga merupakan orang
yang paling penting dan berarti bagi
anak saat dasar-dasar kepribadian
anak terbentuk, dan keluarga
memiliki pengaruh lebih luas bagi
kepribadian anak dibanding dengan
pengaruh hal yang lain. Dan di
ungkapkan oleh Verderber, semakin
besar pengalaman positif yang yang
kita peroleh atau kita miliki, semakin
positif konsep diri kita. Sebaliknya
semakin besar pengalaman negative
yang kita peroleh atau yang kita
miliki, semakin negative konsep diri
kita. Pada dasarnya, konsep diri yang
tinggi pada anak dapat tercipta bila
kondisi keluarga menyiratkan adanya
intergritas dan tenggang rasa yang
tinggi antaranggota keluarga.
Adapun peran orang lain
yang akan membuat konsep diri
remaja akan menjadi positif. Seperti
halnya remaja berteman dan
berinteraksi sosial di dalam
masyarakat. Hal ini di ungkapkan
oleh Berzonsky yang dikutip oleh
Sianturi (2007) yang mengatakan
bahwa, diri sosial yaitu keyakinan
individu mengenai bagaimana orang
lain melihat dan mengevaluasi
dirinya. Diri sosial berkaitan dengan
peranan serta hubungan sosial yang
dimiliki individu serta keyakinan
individu mengenai penilaian orang
lain terhadap dirinya. Diri sosial juga
berkaitan dengan orangtua, teman
sebaya, saudara, dan masyarakat. Hal
tersebut dialami oleh semua informan
dari informan pertama, informan
kedua, informan ketiga, dan informan
keempat. Informan merasa
bersemangat dan memiliki konsep
diri yang positif karena adanya
dukungan dari orang tua, saudara,
guru, dan teman-teman subjek.
KESIMPULAN
Konsep diri yang dirasakan
informan pertama, informan kedua,
informan ketiga, dan informan
keempat adalah konsep diri positif.
Informan pertama, informan kedua,
informan ketiga, dan informan
keempat memiliki tekad yang kuat
untuk membahagiakan orang tua dan
9
saudara subjek. Subjek ingin
menunjukkan remaja dengan orang
tua bercerai kehidupannya sama
dengan remaja yang keluarganya
utuh pada umumnya.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa, perceraian yang
dialami oleh keempat informan
memiliki konsekuesni yang sangat
besar bagi perkembangan konsep
dirinya. Perceraian yang mereka
alami membuat mereka cenderung
memiliki konsep diri positif. Mereka
memiliki pandangan positif tentang
diri sendiri yang membuat mereka
cenderung dapat menerima keadaan
diri mereka. Walaupun teori
mengatakan anak yang menjadi
korban perceraian memiliki konsep
diri yang buruk, hal yang berbeda
terjadi pada diri informan yang
peneliti teliti. Mereka memiliki
konsep diri yang relatif cukup baik.
Keempat informan ingin menjadi
remaja yang baik yang tidak
terjerumus dalam hal-hal yang
negatif.
SARAN
Bagi informan dapat
meningkatkan lagi nilai akademik.
Yang sudah meningkat
dipertahankan dengan cara selalu
belajar dengan giat. Nilai akademik
yang sempat menurun mulai
dinaikkan lagi denga cara belajar
dengan giat. Belajar dengan teman
yang lebih paham dan lebih
berkompeten. Menggali potensi non
akademik untuk melakukan kegiatan
yang positif.
Bagi orang tua informan
dapat menjalin komunikasi, saling
terbuka satu sama lain, dan saling
percaya antara suami dan istri
sehingga tidak menimbulkan
pertengkaran. Untuk menghindari
perselingkuhan. Suami dan istri
sesekali pergi berdua untuk menjalin
hubungan agar lebih baik lagi dan
agar pasangan tidak menjadi bosan.
Bagi peneliti lain dapat
mengupas pengaruh sosial terhadap
pembentukan konsep diri remaja
yang orang tuanya becerai.
DAFTARPUSTAKA
Dagun, M. S. (2002). Psikologi
Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta.
10
Dariyo, A. (2003). Psikologi
Perkembangan Dewasa Muda.
Jakarta: Grasindo
Dariyo, A. (2004). Memahami
Psikologi Perceraian dalam
Kehidupan Keluarga. Jurnal
Psikologi, Vol. 2 No. 2.
Desmita. (2009). Psikologi
Perkembangan Peserta
Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Djaelani, A. R. (2013). Teknik
Pengumpulan Data dalam
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Salemba Humanika.
Fauziah, Dkk. (2014). Konsep Diri
Remaja Yang Berasal Dari
Keluarga Broken Home
(Studi Deskriptif Di Smp
Negeri 1 Pantai Cermin
Kabupaten Solok). e-Journal
Psikologi Kepribadian, 1, 2,
145-155.
Khamdi, Muhammad. (2012).
http://www.solopos.com/201
2/09/13/angka perceraian-di-
solo-meningkat-328252.
JIBI/SOLOPOS. Diakses hari
Senin tanggal 19 Agustus
2015 pukul 21.15 WIB.
Kartono, K. (2002). Patologi Sosial 2
Kenakalan Remaja. Jakarta:
PT. Grafindo Raja Persada.
http://edukasi.kompasiana.com/2013/
02/23/artikel-wawancara-
537564.html. Diakses hari
Senin tanggal 19 Agustus
2015 pukul 21.25 WIB.
m.liputan6.com/health/read/688573/i
ni-dampak-positif-dan-
negatif-perceraian-ke-anak.
Diakses hari Selasa tanggal
24 November 2015 pukul
19.00 WIB.
m.republika.co.id/berita/nasional/um
um/14/11/15/nf0ij7-tingkat-
perceraian-indonesia-
meningkat-setiap-tahun-ini-
datanya. Diakses hari Selasa
tanggal 24 November 2015
pukul 19.10 WIB.
Mau, Y. K. (2005). Perceraian dan
Peran Single-Parent
Perempuan. e-Journal
Psikologi Keluarga, 18, 1,
71-79.
Mudjiran, Dkk. (2007). Buku Ajar;
Perkembangan Peserta Didik.
Padang: UNP Press.
Ningrum, P. R. (2013). Perceraian
Orang Tua dan Penyesuaian
Diri Remaja. eJournal
Psikologi Keluarga. Volume
1, Nomor 1, 69-79.
Pattimahu, I. K. (2012). Perbedaan
Konsep Diri antara Remaja
yang Sejak Masa Akhir
Kanak-Kanaknya Dibesarkan
di Panti Asuhan dengan
Remaja yang Sejak Masa
Akhir Kanak-Kanaknya
Dibesarkan di Rumah
Bersama Keluarga. e-Journal
Psikologi Kepribadian, 5 (1),
31-32.
Rahmat, J. 2005. Psikologi
Komunikasi (Edisi Revisi).
Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ritandiyono dan Retnaningsih dalam
http://library.gunadarma.ac.id
/files/disk1/13/jbptgunadarma
-gdl-s1-2004-indahagust-645-
babi.pdf. (2004, Agustus) (1
11
paragraf). Diambil pada 10
Agustus 2015.
Sarlito, W. S. (2012). Psikologi
Remaja. Jakarta: Kharisma Putra
Utama Offset.
Sianturi, M. N. (2007). Konsep Diri
Remaja yang Pernah
Mengalami Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT).
Skripsi. Diunduh dari
undip.ac.id.
Sobur, Alex, Drs, M.Si. (2003)
Psikologi Umum Dalam
Lintas Sejarah. Bandung:
Pustaka Setia.
Straus A. & Corbin J. (2003). Dasar-
dasar penelitian kualitatif
tatalangkah dan teknik-teknik
teoritisasi data. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian
Kombinasi (Mixed Methods).
Bandung: ALFABETA.
Sutera1, E., Sudirman2, & Nur3, H.
M. (2014). Hubungan Konsep
Diri dengan Prestasi
Akademik Mahasiswa S1
Keperawatan Semester V
Stikes Nani Hasanuddin
Makasar. e-Journal Psikologi
Kepribadian, Vol 5.
Wijaya, B. R. (2012). Hubungan
Antara Bimbingan Orang Tua
dan Konsep Diri dengan
Prestasi Belajar Mata
Pelajaran Sosiologi Siswa
Kelas XI SMA Negeri 8
Surakarta Tahun Pelajaran
2012/2013. e-Journal
Psikologi Perkembangan,
Vol 9. no 1. 13-29.
Wills, S. S. (2014). Remaja dan
Masalahnya (Mengupas
Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja, Narkoba, Free Sex,
dan Pemecahannya. Bandung
: Alfabeta