konsep dasar epidemiologi veteriner

16
“Pendidikan dan Pelatihan Epidemiologi dan Infolab”. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI, Denpasar, Bali. 25-30 April 2006 Konsep-konsep Dasar Epidemiologi Veteriner Iwan Willyanto Bagian Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Epidemiologi Veteriner Epidemiologi Veteriner adalah suatu ilmu yang mempelajari kejadian penyakit dalam suatu kelompok atau populasi hewan. Epidemiologi Veteriner menggunakan pendekatan holistik untuk mencari, mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang persamaan dan perbedaan antara kelompok individu yang memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih tinggi dan mereka yang memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, dalam suatu populasi hewan. Hasil yang diperoleh dari proses ini kemudian digunakan untuk mengendalikan dan mencegah pengaruh faktor-faktor tersebut serta kecepatan penyebaran penyakitnya, bahkan sebelum agen penyebab penyakitnya dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini mungkin dilakukan karena pendekatan epidemiologi terhadap penyakit tidak tergantung pada kemampuan untuk mengidentifikasi agen penyebab penyakitnya secara akurat, melainkan berdasarkan pada pengamatan tentang perbedaan dan persamaan antara kelompok hewan penderita dan non-penderita dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat meningkatkan atau menurunkan resiko terjadinya penyakit. Dalam penerapannya, Epidemiologi Veteriner digunakan untuk mencari solusi tentang masalah- masalah kesehatan dan penyakit yang terjadi di populasi hewan dengan cara mencari, mengumpulkan dan menganalisa data yang diperoleh dari populasi hewan tersebut. Namun, sebelum terbenam dalam kompleksitas analisa data, sebaiknya dimengerti dahulu konsep-konsep dasar Epidemiologi Veteriner itu. Tanpa didasari oleh pengertian tentang konsep yang benar, kita tidak akan dapat mengetahui apakah yang diukur dan dianalisa tersebut benar dan masuk akal. Adapun konsep-konsep dasar itu meliputi: konsep segitiga epidemiologik, spektrum kehebatan penyakit (gradien infeksi), konsep fenomena gunung es, konsep stabilitas endemik, konsep kekebalan kelompok, konsep rasio reproduktif dasar, kurva epidemik dan konsep jejaring kausal. Konsep Segitiga Epidemiologik (Epidemilogic Tiangle (Triad)) Penyakit adalah hasil dari interaksi kompleks (ketidak seimbangan) antara tiga faktor, yaitu agen, host (induk semang) dan lingkungan (Gambar 1). Komponen-komponen dari interaksi ini berbeda-beda tergantung pada kondisi spesifik dari masing-masing kelompok hewan. Pada hewan ternak, ketiga faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor peternakan dan manajemennya, yang seringkali justru memegang peranan yang paling penting. Pada penyakit yang ditularkan oleh vektor, peranan vektor tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang berbagai komponen dari ketiga faktor di atas penting, karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit melalui pengendalian pada titik-titik tertentu dalam siklus penularannya. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang adalah memusatkan perhatian hanya pada salah satu dari ketiga faktor tersebut pada waktu mengendalikan atau mencegah penyakit.

Upload: shaktisila-fatrahady

Post on 06-Aug-2015

310 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

“Pendidikan dan Pelatihan Epidemiologi dan Infolab”. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner

Regional VI, Denpasar, Bali. 25-30 April 2006

Konsep-konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

Iwan Willyanto Bagian Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Epidemiologi Veteriner Epidemiologi Veteriner adalah suatu ilmu yang mempelajari kejadian penyakit dalam suatu

kelompok atau populasi hewan. Epidemiologi Veteriner menggunakan pendekatan holistik untuk

mencari, mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang persamaan dan perbedaan antara

kelompok individu yang memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih tinggi dan mereka yang

memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,

dalam suatu populasi hewan. Hasil yang diperoleh dari proses ini kemudian digunakan untuk

mengendalikan dan mencegah pengaruh faktor-faktor tersebut serta kecepatan penyebaran

penyakitnya, bahkan sebelum agen penyebab penyakitnya dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini

mungkin dilakukan karena pendekatan epidemiologi terhadap penyakit tidak tergantung pada

kemampuan untuk mengidentifikasi agen penyebab penyakitnya secara akurat, melainkan

berdasarkan pada pengamatan tentang perbedaan dan persamaan antara kelompok hewan

penderita dan non-penderita dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang

dapat meningkatkan atau menurunkan resiko terjadinya penyakit.

Dalam penerapannya, Epidemiologi Veteriner digunakan untuk mencari solusi tentang masalah-

masalah kesehatan dan penyakit yang terjadi di populasi hewan dengan cara mencari,

mengumpulkan dan menganalisa data yang diperoleh dari populasi hewan tersebut. Namun,

sebelum terbenam dalam kompleksitas analisa data, sebaiknya dimengerti dahulu konsep-konsep

dasar Epidemiologi Veteriner itu. Tanpa didasari oleh pengertian tentang konsep yang benar, kita

tidak akan dapat mengetahui apakah yang diukur dan dianalisa tersebut benar dan masuk akal.

Adapun konsep-konsep dasar itu meliputi: konsep segitiga epidemiologik, spektrum kehebatan

penyakit (gradien infeksi), konsep fenomena gunung es, konsep stabilitas endemik, konsep

kekebalan kelompok, konsep rasio reproduktif dasar, kurva epidemik dan konsep jejaring kausal.

Konsep Segitiga Epidemiologik (Epidemilogic Tiangle (Triad))

Penyakit adalah hasil dari interaksi kompleks (ketidak seimbangan) antara tiga faktor, yaitu agen,

host (induk semang) dan lingkungan (Gambar 1). Komponen-komponen dari interaksi ini

berbeda-beda tergantung pada kondisi spesifik dari masing-masing kelompok hewan. Pada hewan

ternak, ketiga faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor peternakan dan manajemennya,

yang seringkali justru memegang peranan yang paling penting. Pada penyakit yang ditularkan

oleh vektor, peranan vektor tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu,

pengetahuan tentang berbagai komponen dari ketiga faktor di atas penting, karena dapat dipakai

sebagai sarana untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit melalui pengendalian pada

titik-titik tertentu dalam siklus penularannya. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang

adalah memusatkan perhatian hanya pada salah satu dari ketiga faktor tersebut pada waktu

mengendalikan atau mencegah penyakit.

Page 2: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

2

Gambar 1. Hubungan Antar Faktor-faktor dalam Segitiga Epidemiologik

Komponen-komponen dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut:

Agen

• Dosis

• Kondisi lingkungan

• Virulensi (mikroba)

• Infektifitas(mikroba)

• Toksisitas (toksin)

Host

• Resistensi alamiah (misalnya, barier mukosa lambung, mekanisme transport mukosilier)

• Penularan sebelumnya

• Status kekebalan pasif (neonatal)

• Status vaksinasi dan respon

• Umur

• Jenis kelamin

• Tingkah laku (misalnya, kebiasaan saling membersihan diri, dominasi, pica)

• Status produksi (misalnya, laktasi vs non-laktasi)

• Status reproduksi (misalnya, bunting vs tidak bunting, steril vs fertil)

• Genetik

Faktor host ini dapat dibedakan antara yang bersifat intrinsik (tidak dapat diubah dalam diri

individu hewan) dan ekstrinsik (dapat diubah dalam diri individu hewan).

Page 3: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

3

Faktor intrinsik. Sebagai faktor intrinsik, umur memegang peranan yang sangat penting

karena banyak penyakit berubah resikonya akibat berubahnya kondisi fisiologis hewan

dengan bertambahnya umur hewan tersebut. Misalnya, hewan yang baru lahir sangat peka

terhadap berbagai infeksi saluran pencernaan dan pernafasan, tetapi resisitensinya akan

meningkat apabila hewan makin dewasa. Sebaliknya pada waktu fungsi kekebalan tubuh

menurun dengan bertambahnya umur, kepekaan hewan terhadap penyakit akan meningkat.

Akibat perbedaan faktor genetik dari tiap ras hewan, terdapat perbedaan resiko terhadap

penyakit. Demikian pula, beberapa ras hewan tertentu lebih peka terhadap penyakit infeksi

akibat adanya kelainan genetik.

Faktor ekstrinsik. Faktor ekstrinsik ini juga berperanan cukup besar terhadap kemungkinan

terjadinya penyakit. Misalnya, anjing yang tidak diovariohisterektomi, akan beresiko lebih

tinggi dari pada yang mengalami operasi ovariohisterektomi terhadap pyometra dan tumor

mammae. Anjing tersebut cenderung lebih suka berkeliaran mencari pasangannya dan

beresiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksi yang menular (misalnya, canine distemper)

dan tertabrak mobil.

Vaksinasi dapat meningkatkan resistensi individu terhadap penyakit, tetapi proteksinya tidak

berlaku absolut untuk semua vaksin.

Lingkungan

• Kepadatan kelompok hewan

• Perpindahan hewan dalam kelompok

• Kandang (misalnya, ventilasi, sanitasi)

• Keadaan lingkungan (misalnya, suhu, kelembaban, kecepatan angin, presipitasi)

• Nutrisi (protein, energi dan kecukupan makromineral maupun mikromineral)

Banyak agen infeksius yang peka terhadap sinar ultraviolet matahari dan kekeringan.

Sebaliknya mereka lebih tahan hidup dalam jangka lama dalam lingkungan yang lembab.

Intervensi oleh manusia seringkali berpengaruh besar terhadap perubahan faktor lingkungan

ini. Contohnya:

• Peningkatan kepadatan hewan dalam suatu kelompok akan meningkatkan jumlah

mikroba yang ada dalam lingkungan tersebut

• Pemasangan atap akan mencegah paparan sinar ultra violet yang dapat mematikannya

• Kurangnya ventilasi akan meningkatkan kelembaban yang mempengaruhi efisiensi

pernafasan hewan, meningkatkan daya tahan hidup mikrooganisme, meningkatkan

jumlah mikroorganisme dan bahkan pada gilirannya akan menulari lebih banyak

hewan.

Spektrum Kehebatan Penyakit (Gradien Infeksi)

Karena setiap anggota dari kelompok hewan dipengaruhi oleh salah satu atau beberapa faktor dari

Segitiga Epidemiologik, penyakit dalam suatu kelompok hewan seringkali bermanifestasi sebagai

spektrum yang berkisar mulai dari tanpa gejala klinis � subklinis � klinis � fatal (Gambar 2).

Subklinis berarti gejala penyakit tidak dapat dideteksi tanpa penggunaan uji spesifik, sedangkan

dikatakan klinis apabila gejala penyakit dapat dideteksi pada waktu pemeriksaan klinis rutin.

Page 4: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

4

Kehebatan penyakit selalu berubah setiap saat, karena adanya reaksi dari tubuh setiap individu

terhadap penyakit. Selama proses perkembangan penyakit dalam suatu kelompok hewan,

individu-individu yang terpapar pada saat yang berbeda akan berada posisi yang berbeda pula

dalam riwayat perjalanan penyakitnya. Tabel 1 memuat contoh faktor-faktor yang menyebabkan

manifestasi kehebatan penyakit pada tiap hewan berbeda.

Tabel 1. Faktor-faktor yang menyebabkan manifestasi kehebatan penyakit berbeda pada

tiap hewan.

Lower in Severity Spectrum Higher in Severity Spectrum

Dosis lebih rendah Dosis lebih tinggi

Dewasa Neonatal atau tua

Stres lebih rendah Stres lebih tinggi

Cukup Cu, Se, Vitamin A dan E Kurang Cu, Se, Vitamins A atau E

Tidak adanya penyakit lain Adanya penyakit metabolik atau penyakit

lainnya

Tingkat dominasi sosial yang lebih tinggi Tingkat dominasi sosial yang lebih rendah

Tingkat produksi lebih rendah Tingkat produksi lebih tinggi

Kekebalan spesifik lebih tinggi Kekebalan spesifik lebih rendah

Pengertian yang benar tentang perbedaan antara status paparan (exposure), status infeksi dan

status penyakit juga penting (Gambar 2). Kesalahan umum yang sering terjadi adalah mencampur

adukkan antara hasil-hasil uji diagnostik, yang sebenarnya digunakan untuk menentukan status

infeksi (misalnya, uji serologis), dengan uji untuk menentukan status penyakit (misalnya, uji

biokimiawi).

Pengetahuan tentang manifestasi spektrum penyakit dalam suatu kelompok hewan ini penting,

karena posisi individu hewan dalam spektrum berpengaruh sangat besar pada keakuratan uji

diagnosa pada individu tersebut dan dalam keseluruhan kelompoknya. Biasanya, hasil uji akan

semakin akurat bila dilakukan pada hewan-hewan yang berada pada tingkat kehebatan penyakit

yang lebih tinggi.

Page 5: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

5

Status

Paparan

Tidak

terpapar Terpapar

Status Infeksi Tidak

terinfeksi Terinfeksi Sembuh

Subklinis

(Tidak terlihat

sakit)

Klinis (Terlihat sakit)

Morbiditas Mortalitas

Status

Penyakit

Ringan Berat Fatal

Gambar 2. Status dan Spektrum Kehebatan Penyakit

Konsep Fenomena Gunung Es (Iceberg) Pada keadaan wabah dari sebagian besar penyakit, selalu dapat dijumpai kasus klinis (puncak

gunung es) maupun subklinis (bagian gunung es yang berada di bawah permukaan laut). Bagi

sebagian besar agen infeksius, khususnya yang bersifat pandemik, terdapat lebih banyak kasus

infeksi bersifat subklinis daripada yang bersifat klinis (Gambar 3). Perkecualiannya hanya pada

kasus seperti rabies, dimana hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali kasus subklinis dan

hampir semua atau bahkan semua kasusnya bersifat klinis dan berakhir dengan kematian.. Konsep

fenomena gunung es tentang distribusi kehebatan penyakit ini juga berlaku untuk kebanyakan

penyakit non-infeksius yang teradi dalam kelompok hewan, misalnya, hypomagnesemia, ketosis

dan hypocalcemia. Penyakit yang terlihat pada satu individu seringkali merupakan bukti dari

adanya fenomena serupa yang terjadi dalam kelompoknya, karena faktor-faktor penyebab

penyakit pada individu tersebut biasanya mengenai individu-individu lainnya juga.

Page 6: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

6

Gambar 3. Fenomena ‘Gunung Es” dari penyakit pada kelompok hewan

Pada umumnya, respon terhadap interaksi agen-host-lingkungan yang menyebabkan terjadinya

penyakit biasanya tidak bersifat hitam-putih, melainkan berupa suatu rangkaian yang tidak

terputus-putus, dimana setiap individu menunjukkan derajat kehebatan penyakit yang berbeda-

beda pada waktu yang berbeda pula, sesuai dengan besarnya pengaruh kombinasi faktor resiko

agen-host-lingkungan yang dialaminya. Bagi setiap masalah wabah, bentuk dari gunung es

(proporsi yang tertular, proporsi yang menunjukkan gejala klinis dan proporsi yang mati) pada

suatu titik waktu yang tertentu, tergantung pada kombinasi spesifik dari agen, host, lingkungan,

vektor (jika ada) dan manajemen peternakan yang berlangsung pada waktu itu.

Karena faktor-faktor ini selalu berubah dari waktu ke waktu (misalnya, respon kekebalan hewan,

respon hewan untuk mengeleminasi infeksinya, perubahan manajemen yang dilakukan oleh

manusia, perubahan lingkungan yang bersifat musiman - dari hari ke hari atau dari tahun ke

tahun), maka bentuk “gunung es’-nya berubah dari waktu ke waktu. Hal ini akan menyebabkan

usaha penyidikan dan pengendalian wabah menjadi semakin rumit dan menantang kemampuan

dokter hewan untuk mengatasinya.

Mengingat kasus sublinis dari kebanyakan penyakit biasanya lebih banyak daripada kasus klinis,

maka kerugian ekonomis akibat penyakit subklinis biasanya juga lebih besar dari pada kasus

klinis (Gambar 4). Atas dasar itu, komponen penting dari kedokteran hewan populasi pada ternak

produksi adalah berupa penggunaan teknik pengambilan contoh dan uji secara strategis dan

terencana (misalnya, pengambilan contoh pH rumen, uji pH urin, biakan kuman dari susu segar

baik secara individu maupun setelah terkumpul dalam tangki penampungan) untuk mengukur

prevalensi individu yang terkena infeksi subklinis dalam kelompok tersebut yang berpengaruh

pada tingkat produksinya.

Page 7: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

7

Gambar 4. Perbandingan kerugian ekonomis kasus klinis dan subklinis dalam suatu

kelompok hewan produksi.

Selain itu, marginal cost (kerugian yang timbul untuk setiap peningkatan satu unit infeksi) dari

penyakit subklinis biasanya lebih besar dari pada marginal cost penyakit klinis. Hal ini berarti

bahwa kerugian ekonomi dari seekor hewan dari kondisi sehat (infeksi unit 0) ke satu tingkatan

sakit (infeksi unit 1) akan lebih besar daripada dari setiap kenaikan tingkat unit penyakit setelah

hewan terkena sakit (Gambar 5). Terbukti pula bahwa semakin tinggi tingkat produksi awal suatu

kelompok hewan, akan semakin besar marginal cost pada hewan-hewan yang terkena penyakit

dalam kelompok tersebut.

Gambar 5. Marginal cost per unit infeksi

Page 8: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

8

Pada waktu menerapkan konsep fenomena gunung es ini, hendaknya dihindari beberapa

kesalahan serius yang timbul akibat dari kesalahmengertian tentang ide dasar konsepnya, yaitu:

• Hanya memusatkan perhatian pada hewan-hewan yang secara klinis sakit pada

pertengahan periode wabah. Akibatnya, penderita kasus subklinis (yang tidak terlihat

sakit) akan diabaikan dan dapat menjadi sumber penularan bagi hewan hewan yang sehat.

Sebaiknya semua intervensi (pengobatan, isolasi, pengafkiran) ditujukan tidak hanya

pada hewan yang secara klinis sakit, tetapi pada semua hewan peka yang mungkin

tertular dalam kelompok tersebut.

• Menganggap bahwa tidak adanya kasus klinis sebagai tidak adanya penyakit dalam

bentuk apapun atau tidak adanya infeksi (dalam kasus penyakit infeksius). Infeksi

dapat masuk ke dalam suatu kelompok hewan melalui berbagai cara, misalnya, dengan

masuknya hewan subklinis kronik yang menjadi carrier, yang akhirnya akan

menimbulkan kasus klinis, setelah menyebar beberapa saat. Kerugian ekonomis akibat

menurunnya produktifitas biasanya sulit dideteksi atau dibuktikan, sehingga tindakan

untuk mengatasinya baru dilakukan apabila kasusnya berubah menjadi klinis.

• Menganggap adanya infeksi bersamaan dengan ditemukannya suatu agen penyakit

sebagai bukti bahwa agen tersebutlah penyebab penyakitnya, tanpa penelitian yang

lebih cermat. Misalnya, pada pertengahan wabah, dokter hewan mengambil contoh

hanya dari hewan yang secara klinis sakit. Bersamaan dengan itu, ditemukan pula bukti

langsung dari adanya infeksi (misalnya, isolasi agen penyebab penyakitnya) atau tidak

langsung (misalnya, titer serologinya). Walaupun demikian, sebaiknya kita tidak gegabah

mengambil kesimpulan bahwa penyakitnya disebabkan oleh agen tersebut atas dasar hasil

isolasi agen penyakitnya saja, kecuali jika (1) agennya selalu bersifat virulen (jarang

sekali terjadi), (2) terdapat bukti bahwa agen ini lebih jarang dijumpai pada hewan yang

tidak sakit daripada yang sakit, atau (3) adanya bukti-bukti spesifik, misalnya, gambaran

histopatologi atau gejala klinis yang patognomonik (khas). Perlu diingat bahwa infeksi

bersamaan dengan agen ubiquitus (yang selalu ada di lingkungan tersebut secara alamiah)

tidak jarang dijumpai. Wabahnya akan terjadi dalam kelompok-kelompok dimana agen

ubiquitusnya beredar diantara hewan-hewan yang peka, misalnya, hewan-hewan yang

baru saja dikelompokkan.

• Menganggap bahwa berkurangnya kasus klinis dengan berjalannya waktu sebagai

bukti bahwa intervensi medik veteriner atau manajemen berlangsung efektif. Hendaknya diingat bahwa penurunan ini dapat terjadi secara alamiah pada sebagian besar

wabah penyakit infeksius tanpa adanya intervensi. Biasanya, jumlah tertinggi kasus

klinis dijumpai pada awal periode wabah. Selanjutnya jumlahnya akan menurun karena

hewan sudah mampu memberikan respon terhadap infeksinya dan jumlah hewan peka

makin berkurang. Kasus klinis dapat menghilang samasekali, walaupun infeksinya masih

menyebar luas dalam kelompok tersebut. Penurunan alamiah ini sering disalah artikan

sebagai bukti efektifitas vaksinasi atau pengobatan yang telah diberikan. Pada sebagian

besar kejadian wabah, sering juga dilakukan perubahan manajemen pada saat wabah

terjadi sehingga sulit untuk memastikan mana intervensi yang efektif dan mana yang

tidak efektif hanya berdasarkan observasi.

Konsep Stabilitas Endemik (Endemic Stabilty) Pada kondisi penularan dan infeksi yang normal (infeksi dengan dosis rendah pada host yang

sudah memiliki kekebalan), banyak agen-agen infeksi penyakit endemik yang tidak menimbulkan

penyakit klinis pada host yang baru terinfeksi untuk pertama kalinya. Penyakit seringkali timbul

Page 9: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

9

akibat rusaknya keseimbangan antara agen-host-lingkungan (misalnya, dosis tinggi oleh agen

yang sangat infeksius, host mengalami stress, kegagalan transfer kekebalan pasif). Timbulnya

penyakit dalam kondisi endemik jarang terjadi sebagai akibat masuknya strain baru yang lebih

infeksius atau virulen. Apabila infeksi endemik semacam itu tidak segera diatasi, maka proporsi

hewan peka akan menjadi lebih besar dari normal, yang pada gilirannya akan mempermudah

timbulnya wabah. Selain itu, perubahan-perubahan lain juga dapat mengacaukan stabilitas

endemik, sehingga dapat menimbulkan wabah penyakit klinis.

Kesalahan yang umum dilakukan orang adalah menganggap bahwa munculnya kasus klinis

secara mendadak merupakan indikasi bahwa suatu agen infeksi baru masuk ke dalam kelompok

tersebut, padahal yang sebenarnya terjadi adalah adanya perubahan ekologi yang tidak disadari

yang menyebabkan timbulnya kasus klinis akibat infeksi oleh agen infeksius ubiquitus yang telah

berada di kelompok tersebut sepanjang waktu. Infeksi oleh sebagian besar agen ubiquitus dapat

terjadi pada suatu saat dalam kehidupan hewan. Asalkan hewan memiliki resistensi yang cukup,

kebanyakan infeksi ini bersifat subklinis dan hewan membentuk kekebalan terhadapnya.

Walaupun demikian, jika dosis agen yang diterima hewan cukup tinggi, maka akan timbul kasus

klinis dan wabah akan terjadi jika lebih banyak hewan peka terinfeksi dari pada hewan normal

(Gambar 6).

Bagi kebanyakan agen infeksius, hewan penderita kasus klinis akan menyebarkan agen dalam

kadar yang lebih tinggi dan lebih lama daripada hewan subklinis. Jadi, dosis infeksinya seringkali

meningkat dengan bertambahnya kasus klinis dan lingkungan hewan akan menjadi makin

terkontaminasi. Akibatnya, semakin banyak infeksi terjadi pada hewan-hewan yang sebenarnya

resisten terhadap infeksi dengan dosis yang lebih rendah dan semakin banyak pula kasus klinis

yang timbul. Kecuali jika kemungkinan penyebarannya dapat dikurangi, jumlah agen penyakitnya

dapat diturunkan, resitensi hewan lainnya ditingkatkan atau jumlah hewan peka habis samasekali,

maka wabahnya akan meningkat seperti lingkaran spiral (Gambar 7).

Gambar 6. Kemungkinan yang terjadi akibat dari suatu tingkatan dosis agen infeksius

Page 10: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

10

Gambar 7. Perkembangan Wabah yang Membentuk Lingkaran Spiral

Konsep Kekebalan Kelompok (Herd Immunity)

Penularan kebanyakan penyakit menular infeksius dalam suatu kelompok hewan tidak akan

berlangsung terus apabila proporsi hewan yang resisten dalam kelompok tersebut berada di atas

nilai ambang, yaitu sekitar 70-80%. Batas nilai ambang ini tergantung pada agennya dan faktor-

faktor yang mempermudah terjadinya penularan, misalnya, kepadatan hewan dan jumlah agen

penyakitnya. Resistensi dapat berupa kekebalan pasif (antibodi perolehan), kekebalan aktif

(penularan sebelumnya atau imunisasi) atau resistensi alamiah. Sebaliknya, jika kepadatan hewan

atau jumlah agennya sangat tinggi, semua individu dalam suatu populasi pada dasarnya akan peka

terhadap infeksi, walaupun telah mendapat vaksinasi yang secukupnya.

Kesalahan yang umumnya terjadi adalah adanya anggapan bahwa karena suatu vaksin sudah

diakui oleh pemerintah dan dipasarkan secara legal, maka vaksin tersebut akan efektif.

Kenyataannya adalah ada beberapa vaksin hewan yang efektifitasnya meragukan (bisa efektif

atau tidak) atau sama sekali tidak efektif. Banyak orang tidak menyadari, bahwa di beberapa

negara (bahkan di USA) bukti efektifitas vaksin di lapangan tidak merupakan prasyarat untuk ijin

peredaran vaksin dan apabila vaksinnya terbukti tidak efektif di lapangan, jarang sekali hal itu

menyebabkan vaksinnya harus ditarik dari peredaran.

Konsep Rasio Reproduktif Dasar (Basic Reproductive Ratio) Rasio Reproduktif Dasar (R Zero atau R0) adalah jumlah rata-rata hewan peka yang tertular

oleh setiap hewan penular. Ini merupakan suatu ukuran tentang seberapa mudahnya penularan

oleh suatu agan infeksius.

Agar penularan infeksi terus berlanjut, rata-rata setiap hewan tertular harus dapat menulari satu

atau lebih hewan peka. Apabila setiap hewan dapat menulari lebih dari satu, maka wabah akan

Page 11: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

11

meningkat secara ekponensial. Sebaliknya, jika rata-rata setiap hewan menulari kurang dari satu

hewan lain, maka wabahnya akan mereda. Jika rata-rata setiap hewan hanya menulari seekor

hewan lainnya, maka, dalam suatu populasi yang besar, wabahnya akan berkembang dengan

kecepatan yang konstan.

Dalam jangka panjang, diperlukan R0 yang sama atau lebih besar dari satu (R0 ≥ 1) agar suatu

agen infeksius dapat bertahan hidup dalam kelompok hewan tersebut. Jika rasio tersebut dapat

diturunkan sampai kurang dari satu – inilah yang kita kehendaki, maka lama kelamaan agen

penyakitnya akan dapat dibasmi dari kelompok tersebut. Tujuan utama dari strategi pengendalian

dan pencegahan penyakit infeksius adalah untuk menurunkan R0 sampai di bawah satu, bahkan

kalau mungkin sampai nol.

Penurunan R0 dapat dilakukan pada setiap titik dari siklus penularan dengan cara:

• Mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penyebaran agen oleh hewan yang

tertular. Misalnya, dengan cara mengobati atau menyingkirkan hewan tertular.

Walaupun demikian, deteksi hewan-hewan tertular ini tidak selalu mudah, terutama jika

mereka selalu dalam kondisi subklinis.

• Mengurangi jangka waktu kehidupan agen di lingkungan. Misalnya, dengan menjaga

sanitasi, menjemur di bawah sinar matahari atau mengeringkan lingkungan.

• Mengurangi atau menghilangkan kontaminasi sarana tranportasi dan penularan

oleh bahan-bahan yang berasal dari kandang yang tertular. Misalnya, mencegah

kontaminasi oleh pakan dan air serta tindakanan sanitasi yang memadai terhadap bahan-

bahan yang bersentuhan dengan mulut hewan atau lubang-lubang pengeluaran yang lain.

Pada umumnya kita harus menerapkan tindakan pengamanan pakan (food safety) secara

benar untuk semua pakan hewan, karena banyak diantara mereka dapat mendukung

terjadinya perkembang biakan food-borne pathogen apabila cukup lembab dan panas.

Bahan-bahan berasal dari kandang, seperti truk pengangkut ternak, seringkali kurang

diwaspadai sebagai sumber penularan penyakit.

• Mengurangi populasi vektor atau mencegah terpaparnya hewan peka terhadap

vektor (pada penyakit yang ditularkan oleh vektor). Misalnya, dengan penggunaan

pestisida, menyingkirkan hewan dari lokasi perkembang biakan vektor. Perlu diingat

bahwa banyak vektor yang cepat menjadi resisten terhadap pestisida dan pestisida juga

membunuh banyak serangga yang menguntungkan. Untuk mengurangi populasi vektor

penyebab penyakit dalam jangka panjang, sebaiknya digunakan cara yang dapat merusak

beberapa titik dalam siklus hidup vektor daripada hanya satu titik seperti yang biasanya

dipakai orang saat ini.

• Mengurangi kemungkinan terpaparnya hewan-hewan peka. Misalnya, dengan

menurunkan tingkat kepadatan hewan (untuk agen yang ditularkan secara kontak),

meningkatkan ventilasi kandang tertutup (untuk agen yang ditularkan melalui udara),

mencegah kontaminasi pakan dan air, isolasi hewan tertular selama periode sakit klinis

dan carrier, mengusahakan agar umur hewan dalam satu kelompok seragam. Usaha

pengendalian dan pencegahan semacam ini sering mensyaratkan adanya perubahan

manajemen peternakan dan perkandangan, yang biasanya sulit atau enggan untuk

dilakukan.

• Meningkatkan resistensi hewan-hewan peka. Misalnya, vaksinasi dengan vaksin yang

efektif, memaksimalkan terjadinya transfer antibodi maternal, pemberian nutrisi

seimbang (khususnya mikromineral dan vitamin yang berperanan penting dalam sistem

kekebalan tubuh).

Page 12: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

12

Peternakan modern dan perubahan lingkungan yang berkaitan dengannya seringkali dapat

meningkatkan R0 secara dramatis, khususnya bagi agen-agen infeksius yang mampu

menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang sangat drastis tersebut.

Pada waktu yang lampau, tindakan vaksinasi terlalu ditekankan sebagai satu-satunya cara untuk

mengendalikan dan mencegah wabah penyakit, dan perhatian kurang diarahkan pada manajemen,

seperti desain kandang, pengendalian kontak antar hewan dan praktek sanitasi dasar yang benar.

Pemutusan rantai siklus penularan suatu penyakit atau rantai penyebab penyakit pada beberapa

titik kritisnya akan meningkatkan biosekuritas kelompok hewan, karena jika usaha intervensi di

salah satu titik gagal, pengendalian masih dapat dilakukan melalui intervensi di titik-titik lainnya.

Walaupun kebanyakan vaksin dapat mengurangi jumlah kasus klinis dan jumlah infeksi yang

mungkin terjadi pada waktu wabah, pencegahan ini tidaklah bersifat mutlak. Sebagian besar

vaksin tidak mencegah semua penularan, melainkan hanya mengurangi jumlah hewan yang

tertular, menurunkan jumlah kasus klinis dan mengurangi jumlah dan lamanya penyebaran bibit

penyakit dari hewan tertular.

Kurva Epidemik (Epidemic curves) Kurva epidemik adalah gambaran dari jumlah atau proporsi hewan tertular pada suatu kelompok

hewan dalam suatu periode waktu tertentu. Kurva epidemik berguna untuk menentukan jenis

paparan dan jenis penularan yang terjadi pada suatu wabah. Informasi semacam ini berguna untuk

menentukan kemungkinan penyebab wabahnya dan usaha apakah yang mungkin dilakukan untuk

menghentikannya.

Terdapat 4 bentuk standar kurva epidemik, yaitu sporadik, endemik, propagating epidemic dan

point epidemic. Pada wabah yang bersifat sporadik, hanya sejumlah kecil kasus yang muncul

dalam waktu yang singkat. Hal ini menandakan bahwa proses penyakitnya tidak menular. Pada

keadaan endemik, kasus penyakit selalu dijumpai sepanjang waktu.

Propagating epidemic muncul apabila hewan tertular menyebarkan infeksinya ke hewan peka.

Dalam keadaan ini, penularan pada hewan peka tidak terjadi seketika, melainkan dalam suatu

periode waktu tertentu. Wabahnya berlangsung dalam kelompok tersebut selama periode waktu

yang jauh lebih panjang daripada periode inkubasi pada umumnya. Adanya suatu perubahan

keseimbangan faktor agen-host-lingkungan akan meningkatkan R0 dan infeksinya sehingga

kasusnya berubah dari keadaan subklinis menjadi klinis. Karena kasus-kasus klinis biasanya

menyebarkan lebih banyak agen infeksinya daripada kasus subklinis, tingkat kontaminasi

lingkungan akan meningkat, yang selanjutnya akan meningkatkan dosis infeksi ke individu-

individu lainnya dalam kelompok tersebut. Dengan semakin banyak kasus klinis, maka semakin

meningkat pula wabahnya (Gambar 8).

Pada point source epidemic sejumlah besar kasus muncul dalam jangka waktu yang relatif

singkat, tetapi penyakitnya akan menghilang setelah itu. Bila agen penyebabnya bersifat

infeksius, infeksinya harus terjadi dengan dosis yang cukup tinggi sehingga mampu menimbulkan

penyakit klinis pada sebagian besar hewan peka. Jadi, indeks Rasio Reproduktif Dasar (R0)

awalnya sangat tinggi. (Gambar 8).

Page 13: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

13

Gambar 8. Kurva Propagating Epidemic dan Point Source Epidemic

Konsep Jejaring Kausa (Causal Web)

Dasar dari penyelidikan epidemiologi adalah asumsi bahwa penyakit tidak terjadi secara acak.

Karena itu penyelidikan epidemiologi ditujukan untuk mengidentifikasi hubungan sebab-akibat

dan faktor-faktor resikonya. Biasanya, penyakit terjadi bukan sebagai akibat dari satu penyebab

tunggal, melainkan oleh suatu rangkaian penyebab yang bekerja secara bersamaan atau

berinteraksi satu dengan yang lain melalui suatu mekanisme yang kompleks. Agar hal tersebut

dapat dimengerti dengan jelas, maka diperlukan suatu cara yang dapat menggambarkan interaksi

yang terjadi dalam bentuk suatu jejaring yang disebut jejaring kausa. Pada dasarnya, jejaring

kausa ini berupa suatu kerangka berpikir tentang hubungan antara penyebab-penyebab dan antara

penyebab dan akibatnya, yang nantinya dapat dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan

strategi pengendalian dan pencegahan penyakitnya. Peranan dari setiap komponen dalam jejaring

tersebut tergantung pada faktor-faktor yang terlibat pada suatu situasi yang tententu. Tugas dari

penyelidikan epidemiologi adalah untuk memilah-milah faktor-faktor manakah yang memegang

peranan paling penting pada situasi tertentu dan manakah diantara faktor-faktor utama ini yang

paling mudah untuk diubah. Sebagai contoh adalah jejaring-jejaring kausa bronchopneumonia

yang terjadi di USA di bawah ini, yang menunjukkan bahwa, walaupun mekanisme patofisiologi

dasar antara keduanya serupa, tetapi critical control points-nya sangat berbeda antara pedet yang

dipelihara dalam kandang-kandang dalam ruang tertutup (Gambar 9) dan pedet yang dipelihara di

padang feedlot terbuka (Gambar 10).

Page 14: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

14

Gambar 9. Jejaring Kausa dari Faktor-faktor Resiko Bronchopneumonia pada Pedet yang

Dipelihara di Kandang dalam Ruang Tertutup

Page 15: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

15

Gambar 10. Jejaring Kausa dari Faktor-faktor Resiko Bronchopneumonia pada Pedet yang

Dipelihara di Feedlot

Penutup

Pada waktu menghadapi wabah penyakit dalam kelompok hewan di lapangan, kita harus berpikir

secara luas. Kita harus mempertimbangkan segala faktor yang mungkin mempengaruhi kejadian

dan tingkah laku penyakitnya. Hal ini tidak selalu mudah, karena kita terbiasa untuk menganggap

bahwa penyakit bermanifestasi hanya menurut cara yang tertentu saja. Kita sering lupa bahwa

sistem peternakan tidaklah konstan, melainkan dinamis (selalu berubah). Meskipun kebanyakan

penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit yang biasa terjadi di tempat itu, selalu terdapat

kemungkinan bahwa bibit penyakit baru muncul atau bibit penyakit yang ada berevolusi terus

menerus menjadi semakin virulen dan kuat dalam usahanya untuk dapat bertahan hidup.

Lingkungan alamiah maupun buatan manusia berubah, demikian pula hewan yang hidup di

dalamnya. Tidaklah heran jika faktor-faktor penyebab dan kejadian penyakitnya juga selalu

berubah. Untuk dapat mengatasi hal itu, tidak ada jalan lain bahwa pendekatan kita terhadap

Page 16: Konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

16

penyakit juga harus berubah. Disinilah pengetahuan tentang konsep-konsep dinamika penyakit

dalam kelompok hewan berperan penting.

Kepustakaan

Gay, J.M. (2005). Epidemiology Concepts for Disease in Animal Groups. College of Veterinary

Medicine, Washington State University. http://www.vetmed.wsu.edu/courses-

jmgay/EpiMod2.htm.

Martin, S.W. (1990). Concepts of Epidemiology and Its Role in Health Management. In:

Kennedy, D. (Editor). Epidemiological Skills in Animal Health. Refresher Course for

Veterinarians. Proceedings 143. Post Graduate Committee in Veterinary Science,

University of Sydney, Sydney, Australia. pp. 19-25.

Martin, S.W., Meek, A.H. and Willeberg, P. (1987). Veterinary Epidemiology. Iowa State

University Press, Ames, Iowa, U.S.A.

Pfeiffer, D.U. (2002). Veterinary Epidemiology – An Introduction. Epidemiology Division,

Department of Veterinary Clinical Sciences, The Royal Veterinary College, University of

London, UK.

Stevenson, M. (2005). An Introduction to Veterinary Epidemiology. EpiCentre, IVABS, Massey

University, New Zealand.

Thrushfield, M. (1995) Veterinary Epidemiology. 2nd Edition. Blackwell Science, Oxford,

England.