konflik nelayan tradisional dan nelayan pendatang di daerah cilacap
DESCRIPTION
masyarakat pesisir cilacapTRANSCRIPT
Konflik Nelayan Tradisional dan Nelayan Pendatang di Daerah Cilacap
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas sumber daya manusia yang rendah merupakan ciri umum nelayan-nelayan
tradisional di berbagai wilayah perairan Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi tidak
memberikan kesempatan bagi rumah tangga nelayan meningkatkan kualitas pendidikan anak-
anak mereka. Banyak anak yang harus bekerja melaut setelah menyelesaikan pendidikan di
sekolah dasar. Selain itu mudahnya akses untuk bekerja di sektor perikanan tangkap, tuntutan
ekonomi keluarga, dan kesulitan dalam mencari peluang-peluang kerja lainnya sebagai akibat
kegagalan pembangunan pedesaan. Semua itu telah memperkuat barisan nelayan tradisional
dengan tingkat kuaIitas sumber daya manusia yang rendah. Dalam benak pikiran mereka,
yang terpenting adalah bisa bekerja (menangkap ikan), dapat penghasilan, dan bisa makan
setiap hari.
Kemiskinan dan masalah kesulitan hidup itu biasanya selalu dihadapi oleh komunitas
nelayan, khususnya nelayan-nelayan kecil atau nelayan-nelayan tradisional. Nelayan
tradisional menurut Kusnadi (2003) adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya
perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi
penangkapan yang sederhana. Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional adalah (1)
teknologi penangkapan yang digunakan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil,
daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas, dan
perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber-PK kecil; (2) besaran modal usaha
terbatas; (3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan
pembagian peran bersifat kolektif (nonspesifik) dan umumnya berbasis kerabat, tetangga
dekat, dan atau ternan dekat; (4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar sehari-hari.
Sebagian besar kondisi kehidupan nelayan tradisional yang demikian ditemukan di daerah-
daerah pesisir yang potensial sumberdaya perikanannya semakin langka (resources scarcity),
seperti diperairan pesisir selatan Jawa. Sementara itu, kebijakan-kebijakan strategis
pembangunan untuk mengurangi atau mengatasi kondisi kehidupan nelayan tersebut belum
mampu dilaksanakan secara efektif dan berhasil secara optimal. Hal yang bisa kita lihat
selama ini masyarakat nelayan harus bergulat sendiri melawan persoalan kehidupannya
dengan berbagai resiko yang diterimanya.
Berbicara tentang kemiskinan para nelayan tradisional pesisir sepanjang garis pantai di
Indonesia, berarti juga berbicara tentang kekerasan. Kekerasan yang mendasar adalah
ketidakadilan dan kemiskinan sehingga menjerumuskan manusia ke lubang fatalismesub-
human yaitu kubangan yang jauh dari perikemanusiaan yang berpotensi kepada naiknya tensi
pembangkangan sebagai wujud protes terhadap simbol-simbol legitimasi kekerasan yang
dilakukan baik secara laten, sistemik, dan terstruktur atau cara-cara lain oleh justru pihak-
pihak yang mestinya melindungi (Kusnadi, 2003).
Setiap pelanggaran masyarakat sebenarnya tidaklah jadi masalah besar, sepanjang penegakan
supremasi hukum (termasuk pemberian sanksi) sesuai dengan rasa keadilam masyarakat.
Yang jadi persoalan sekarang ini adalah kumandang penegakan hukum sampai hari ini tidak
sesuai dengan senyatanya yang terjadi di masyarakat nelayan, adanya pergeseran para
penegak hukum dari profesional kepada transaksional sehingga terbangunlah publict-
distrust dan hancurnya martabat peradilan dan semua itu mempunyai korelasi dengan
kekerasan yang marak terjadi saat sekarang ini.
B. Hubungan Nelayan Tradisional Dengan Pemerintah
Perhatian pemerintah secara serius untuk memberdayakan nelayan dan membantu mereka
meningkatkan kesejahteraan hidupnya baru dilakukan sejak tahun 2001, ketika Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) diluncurkan secara nasional dan
dikhususkan untuk masyarakat pesisir, termasuk masyarakat nelayan (Kusnadi,
2007). Sebelumnya, juga ada program-program pemberdayaan, seperti Program IDT yang
diluncurkan pada tahun 1994, kemudian diikuti dengan program-program sejenis yang tidak
terfokus untuk masyarakat pesisir. Hal ini sangat berbeda dengan bantuan pemerintah yang
lebih intensif kepada masyarakat petani.
Kesenjangan hubungan fungsional antara pemerintah dan masyarakat nelayan merupakan
konsekuensi dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak memihak kepada sektor
kemaritiman. Proses pengabaian yang panjang ini telah menimbulkan berbagai persoalan
yang kompleks dalam kehidupan masyarakat pesisir serta pengelolaan sumber daya pesisir
dan laut, baru setelah terbentuk Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999,
persoalan masyarakat pesisir mulai diatasi secara bertahap.
Dalam kesenjangan hubungan tersebut, stereotip negatif terhadap masyarakat nelayan sering
dimunculkan oleh aparatur birokrasi, seperti masyarakat nelayan sulit dipercaya,
suka ngemplang, tidak bisa diatur, keras kepala, dan tidak berorientasi pada kehidupan masa
depan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Masyarakat nelayan memiliki
integrasi sosial yang baik. Sikap gotong royong mereka sangat besar, sebagai konsekuensi
dari sifat pekerjaan mereka yang harus saling membahu untuk menghadapi berbagai
kesulitan, khususnya ketika sedang melakukan kegiatan penangkapan. Solidaritas sosialnya
kuat sehingga jika menghadapi ancaman kolektif mereka juga akan bertindak secara massal.
Ciri-ciri perilaku demikian dapat menjadi kekuatan atau modal pembangunan, namun juga
bisa menjadi bencana jika aspirasi mereka terhadap sesuatu hal diabaikan. Reaksi sosial akan
semakin dinamis jika masalah yang mereka hadapi mengancam kelangsungan hidup mereka.
Sebagia contoh kasus yang terjadi di Cilacap, terjadi pada 28 Agustus 1998, menyangkut
perjuangan nelayan tradisional dalam mempertahankan hak-hak mereka atas sumber daya
laut untuk kehidupannya.
Jika kita amati sasaran perusakan pada kantor-kantor pemerintah jelas menggambarkan tiga
hal, yaitu pertama, peristiwa itu merupakan bentuk resistensi terhadap negara; kedua, ada
penyumbatan aspirasi nelayan oleh aparat dan birokrat setempat;ketiga, kebijakan pemerintah
daerah tidak memihak kepentingan nelayan tradisional, karena dianggap membela kedudukan
nelayanmini trawl dalam konflik antar nelayan tersebut. Pemihakan terhadap nelayan mini
trawl ini barangkali disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pemilik kapital yang berpengaruh
terhadap dioperasikannya alat tangkap mini trawl dan kebijakan yang diambil oleh birokrat-
aparat. Oleh karena itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kesenjangan hubungan
antara pemerintah dan masyarakat nelayan harus diatasi. Berbagai persoalan masyarakat
nelayan masih cukup banyak yang belum diselesaikan secara tuntas, seperti kasus konflik
sumber daya perikanan yang terus marak akhir-akhir ini di berbagai daerah. Pemerintah harus
lebih mendekatkan diri kepada masyarakat nelayan karena kedudukannya sebagai abdi
masyarakat. Sisa-sisa ketidakpercayaan masyarakat nelayan terhadap pemerintah masih tetap
ada. Jika pemerintah tidak tanggap terhadap aspirasi masyarakat nelayan dan kesenjangan
hubungan fungsional masih terus berjalan, niscaya kebijakan-kebijakan pembangunan
kawasan dan masyarakat pesisir yang digagas pemerintah tidak akan bisa berjalan dengan
baik, karena rendahnya dukungan masyarakat nelayan.
B. Tujuan
Berdasarkan uraian diatas maka penyusunan paper ini bertujuan untuk mengetahui apakah
penyabab dasar dari konflik yang melanda nelayan pesisir Cilacap dan dampak yang
ditimbulkan, serta sampai sejauh manakah peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut.
II. METODELOGI
Adapun konsep dasar dari penulisan ini adalah metode kuantitatif. Disini penulis
berdasarkan pendapat Bogdan dan Taylor (1975) dan Kirk dan Miller (1986) dalam Utsman
(2007), bahwa metoda kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini, proses penelitiannya adalah
berbentuk siklus, yang mana dalam hal pengumpulan serta analisis data berlangsung secara
simultan. Untuk memperoleh data yang diperlukan, ada beberapa hal yang menjadi perhatian
penulis, yaitu data primer melalui observasi serta berbagai keterangan dan atau masukan dari
informan melalui wawancara dalam rangka menggali life history masyarakat nelayan
tradisional Cilacap.
III. PEMBAHASAN
Kejadian di pesisir Cilacap berawal dari kepasrahan nelayan tradisional terhadap nelayan
luar yang pengoperasaiannya menggunakan pukat trawl terus berlangsung. Nelayan
beranggapan bahwa laut merupakan sumberdaya milik umum(commons property
resources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapa pun. Atas dasar inilah nelayan luar daerah
dengan leluasa menggunakan trawl Sangatlah memprihatinkan, betapa besarnya
jumlah nelayan tradisional yang menyikapi keadaan ini dengan pasrah karena mereka
tidak memiliki kekuasaan dan akses politik serta ditambah tingkat pendidikan yang rendah
terlebih dari segi kemampuan fenansial tidak mampu menyuarakan betapa sangat dalamnya
mereka di kubangan fatalisme sub-human dari masa ke masa. Walaupun sekitar tahun1970-
an ada "revolusi biru" (blue revolution), namun yang terjadi malah penangkapan ikan secara
berlebih (overfishing) dengan menguras habis-habisan sumber daya perikanan sampai ke
pesisir pantai (inshore) maupun di perairan lepas pantai (offshore) oleh nelayan modern
(Anonim, 2008).
Disadari atau tidak, bahwa keberadaan fakta kualitas individu, dan situasi lingkungan
sosial masyarakat manusia dengan berbagai kepentingannya, telah melahirkan berbagai
macam perbedaan dan atau pertentangan diantara mereka. Menurut Hamidi (1995),
”Konflik merupakan bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, perilaku-perilaku, tujuan-tujuan
dan kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan” termasuk ”perbedaan asumsi, keyakinan dan nilai”.
Konflik itu akan muncul apabila ada beberapa aktivitas yang saling bertentangan.
Bertentangan itu adalah apabila tindakan tersebut bersifat mencegah, menghalangi,
mencampuri, menyakiti, atau membuat tindakan atau aktivitas orang lain menjadi tidak dan
atau kurang berarti ataupun kurang efektif. Dan kalau melihat sumbernya, bahwa konflik
itu paling tidak mempunyai lima sumber penyebab, yaitu :
(1) kompetisi, - satu pihak berupaya meraih sesuatu, denganmengorbankan pihak lain, (2) dominasi, -
satu pihak berusaha mengatur yang lain sehingga merasa haknya dibatasi dan dilanggar,
(3) kegagalcm, - menyalahkan pihak tertentu bila terjadi kegagalan pencapaian tujuan, (4)provokasi,
- satu pihak sering menyinggung perasaan pihak yang lain, (5) perbedaan nilai, - terdapat patokan
yang berbeda dalammenetapkan benar salahnya suatu masalah.
Selama bertahun-tahun, diakui penduduk keberadaan kapal-kapal nelayan luar
daerah dianggap penduduk setempat identik dengan pengrusak kekayaan laut yang dijuluki
masyarakat setempat sebagai ‘raksasa pengrusak lautan’. Keberadaan kapal-
kapal trawl tersebut sangat besar sekali dampaknya terhadap perubahan perkembangan
kehidupan masyarakat nelayan setempat, terutama perubahan alat tangkap yang dulunya
masih tidak banyak yang menggeluti pukat udang. Namun sejalandengan melihat betapa
mahalnya harga udang kalau dibanding dengan ikan-ikan lainnya, dari Rp.40.000,-
sampai mencapai Rp.120.000,- dalam setiap kg, maka semakin banyak
nelayanmenggeluti pukat udang. Perubahan itu didorong karena para nelayan tradisional
setempat mengetahui dari kapal-kapal luar daerah yang tertangkap itu adalah hanya
mengambil udangnyasaja serta para nelayan luar daerah itu sangat menikmati dan
mengambil keuntungan luar biasa hasil dari udang-udang yang ditangkap (Kusnadi,
2003).
Dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundangan oleh pemerintah antara lain
Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl dan beserta Inpres No.
11/1982 tentang pelaksanaan Keppres No. 39 Tahun 1980 tersebut seharusnya sudah bisa
mengatasi konflik, namun pada tataran pelaksanaannya atau fakta yang ada, justru semakin
banyak kapal-kapal nelayanluar daerah yang mengoperasikan jaring trawl di
kawasantersebut. Kapal-kapal nelayan luar daerah itu tidak tahu atau mungkin sengaja
tidak menghiraukan kebijakan pemerintah, di sisi lain mungkin masyarakat
nelayan tradisional Cilacap memang jauh dari teknologi dan peralatan
perikanan, fasilitas, SDM, serta koordinasi dari pihak pemerintah yang berkompetensi
sehingga nelayan tradisional menjadi tidak berkutik karena tidak punya kemampuan berbuat,
kecuali hanya menerima kenyataan tersebut dengan bersikap pasif.
Konflik antara nelayan tradisional dan nelayan luar daerah semakin meningkat, karena
semakin lama penghasilan nelayan lokal yang dijual atau dimasukkan
kepada penampung semakin sedikit, sementara kapal-kapal nelayan luar daerah itu selalu
menghindar dan tidak pernah ada proses penyelesaian ataupun upaya-upaya perundingan
setiap pelanggaran yang dilakukannya serta tidak ada juga penanganan dari pihak-pihak
tertentu baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli. Pada akhirnya, semua
ketidak puasan nelayan yang selama bertahun-tahun berkonflik dan diawali dengan
ketegangan sosial, maka berprosesmenuju memanifes menjadi konflik terbuka atau konflik
secara kekerasan sebagai bentuk perlawanan dan atau pembelaan kepentingan yang bisa
dilakukan para masyarakat nelayan tradisional kawasan Cilacap.
Secara umum yang berkonflik adalah antara nelayan lokal yangnote-benenya masih
menggunakan alat-alat perangkat perikanan tradisional dengan nelayan luar daerah
yang sudah menggunakan alat-alat perangkat perikanan yang sudah modern, yang
menjadi fakta di lapangan perbedaan alat tangkap nelayan tradisional dengan
prinsip mempertahankan kelestarian sumber daya laut dengan cuma pemakaian alat yang
mereka miliki, maka sumber daya laut tetap lestari dan mampu menjadikan kawasan
sebagai "food security" sementara di sisi lain pihak nelayan luar daerah yang memakai
alat-alat tangkap modern, khususnya jaring trawl yang berakibat habisnya biota ikan
maupun non ikan. Sutrisno (49 th), mengatakan: "Memang kapal trawl i t u tidak
memerhitungkan kelestarian ikan dan tidak juga memperhatikan kepentingan kami
nelayan lokal ini yang semakin terancam masa depan perekonomian kami"
Penulis banyak melihat, betapa mendominasinya ekonomi yang dimiliki nelayan luar
daerah, antara lain dari segi alat tangkap dan peralatan lainnya termasuk kapal yang dipakai
untuk operasionalpenarikan pukat trawl, di situ sangat kelihatan betapa jauhnya kesenjangan
antara nelayan lokal yang masih tradisional dengan nelayan luar daerah yang sudah modern
dengan peralatan yang serba canggih.
B. Keadaan Sosial Pasca Konflik
Setelah terjadinya konflik secara kekerasan yaitu perlawanan nelayan lokal di kawasan Cilacap
terhadap para nelayan luar, akanmembawa implikasi psikologik terhadap nelayan
setempat baik terhadap nelayan buruh, nelayan pemilik kapal dengan segala pukat dan
perangkatnya, maupun para penampung di daerah Cilacap. Mereka para nelayan
lokal tidak lagi terlalu berani melaut sendirian, dan bahkan cenderung selalu
berkelompok-kelompok (tidak terpencar-pencar seperti sebelum terjadinya konflik
secara kekerasan). Hal ini mereka lakukan karena paling tidak, mereka merasa takut kalau
terjadi pembalasan dari nelayan luar daerah karena menurut pandangan masyarakat
Cilacap, nelayan luar daerah itu sangat kuat bahkan d iperkirakan kapal-kapal nelayan
luar daerah itu dilengkapi dengan persenjataan yang berbahaya .
Walaupun tidak seaktif sebelum terjadinya konflik terbuka atau konflik secara kekerasan,
dengan naluri kerja kuat, para nelayan lokal ada yang masih tetap melaut dengan penuh
kehati-hatian dan kewaspadaan maksimal dan melaut dengan cara berkelompok-kelompok
yaitu kalau ada di antara nelayan lokal yang melaut maka mereka secara bersama-sama
melaut begitu juga sebaliknya jika ada yang pulang ke "mingir" (pulang ke rumah), maka
teman-teman yang lainnya segera menyusul. Sosok Tarso (45 th), seorang
nelayan, mengatakan:
Bagaimana mau melaut, kalau teman-teman yang lain tidak melaut, sekarang ini teman-teman
sudah pada takut melaut, tetapi memang benar kata teman-teman, kalau tidak membawa
senjata yang kuat untuk melaut hanyalah mengantar kematian saja.
Secara psikologik juga dirasakan para pemilik kapal dan atau pemilik alat-alat
tangkap (juragan), mereka merasakan betapa sulitnya mencari anak buah untuk dibawa
melaut, karena mereka akhir-akhir ini merasa khawatir kalau-kalau terjadi pembalasan di
pihak kapal-kapal nelayan luar daerah yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi karena
sesungguhnya para masyarakat nelayan lokal tersebut tidak mempunyai persenjataan
yang diandalkan seperti senjata api ataupun pedang yang khusus untuk tujuan-
tujuan perlawanan fisik. Karena di kawasan Cilacap adalah termasuk desa yang terkenal
aman dan tentram, tidak pernah terdengar adanya perkelahian fisik baik antar desa-
desa setempat maupun antara orang perorang.
Para penampung adalah tempat terakhir dalam menerima arus dampak terjadinya
konflik secara kekerasan di kawasan Cilacap, yaitu dengan sulitnya mencari anak
buah, maka secara otomatis para juragan terhambat melaut, paling tidak berkurangnya
waktu dan kesempatan untuk pemanfaatan sumber daya laut dan secara sistematis pula
berkurangnya perolehan tangkapan.
Di sisi lain keberadaan sumber daya laut sangat terbatas, semetara nelayan luar daerah
mempunyai kemampuan yang baik dalam hal sumber daya manusianya maupun alat-alat
yang berteknologi tinggi dalam mengeksploitasi sumber daya laut tersebut, maka
para penampung lokal itu bukan saja berkurangnya masukan sumber daya laut akibat
dari parajuragan yang tidak melaut, akan tetapi juga karena sumberdaya laut semakin
drastis berkurang sebagai akibat diambilnya secara eksploitatif (tidak protektif) tanpa
mempertimbangkan bahwa kawasan tersebut adalah sebagai food security bagi masyarakat
nelayan tradisional di kawasan Cilacap.Ridwan (42 th), seorang penampung yang menggeluti
pekerjaannya sebagai penampung sejak lima tahun sebelum konflik, mengatakan:
Hasil tampungan sekarang sangat susah, sudah ikan dan udangnya habis akibat kapal trawl
yang mengeruk sampai ke akar-akarnya. Untuk membiayai operasionalnya saja sudah susah
sekali. Lain lagi banyak para nelayan yang berhutang masih belum dilunasi sementara mereka
tidak terlalu aktif melaut. Persoalan harga udang juga menambah masalah, sebelum
konflik ini harganya Rp. 75000-Rp.120.000 dalam setiap kg dan setelah terjadi konflik
hanya Rp.40.000,-Rp.50.000 saja dalam setiap kg. Hasil tampungan yang dulunya mencapai
2-3 ton setiap harinya, sekarang ini hanya berkisar 20-100 kg saja setiap harinya. Kenyataan
yang dirasakan Ridwan tersebut bukan satu-satunya penampung yang mengeluhkan dan
dampakyang diakibatkan konflik di kawasan Cilacap, paling tidak ada 3
orang penampung yang merasakan hal yang sama selama pengamatan.
Dampak lain yang ditimbulkan yaitu terjadi perubahan ketergantungan dalam bekerja
sebagian kecil masyarakat, yangdulunya berprofesi sebagai nelayan karena sejak
kejadian konflik tersebut maka ada yang berpindah profesi sebagai buruh, pekebun. Hal
ini didasari karena setiap melaut selalu merasa terancam keselamatannya dan hasil yang
diperoleh semakin lama semakin berkurang, terkadang tidak sebanding dengan
pengorbanan baik biaya operasional maupun tenaga yang dipergunakan untuk melaut, maka
paling tidak ada 3 orang nelayanberubah profesi, salah satu contohnya Abdullah (50
th), ayah dari 6 orang anak dan 4 cucu yang semuanya tinggal dalam satu rumah,
harus beralih profesi menjadi buruh bangunan untuk menghidupi
keluarganya. Dengan pertimbangan lebih aman dari serangan balas dendam nelayan
luar.
Pada saat-saat seperti inilah kehadiran pemerintah minimal untuk mediator dalam
mencari solusi yang tepat antara pihak yang berkonflik, tetapi senyatanya
sampai penelitian penulis ini berlangsung dan berakhir, peraturan-peraturan yang
seharusnya bisa menjadi solusi tidaklah sebagaimana harapan menjadi kenyataan, malah
yang paling parahnya dengan keluarnyaPeraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
06/MEN/2008 yang mengizinkan penggunaan pukat harimau untuk mencari ikan (Anonim,
2008).
Ketidak konsistenan praktisi hukum bukan saja tercium oleh masyarakat, walau memang tidak
sepenuhnya benar, tetapi juga sudah menjadi rahasia umum, yang mana peradilan di Indonesia
bisa dibeli sehingga uanglah yang berkuasa, contoh kasus penebusan Rp. 100.000.000 (seratus
juta rupiah) dari kesembilan kapal trawl dari muara angke Jakarta, dilepaskan tanpa harus
melalui prosdur peradilan yang berlaku, sementara tindak pidana yang dilakukan sudah sangat
jelas sebagai bukti (Utsman, 2007). Hal seperti ini menjadi presiden buruk ke depannya,
sehingga pelanggaran demi pelanggaran bisa merajalela selama mampu menggunakan uang
untuk tebusannya, sementara SDL semakin menipis. Dengan demikian, semakin menumbuhkan
rasa tidak percaya kepada hukum, sehingga untuk merealisasikan unsur-unsur yang semestinya
melekat pada hukum yaitu keadilan, kepastian dan kesejahteraan hanyalah menjadi sebuah
utopis bagi masyarakat di kawasan Cilacap dan juga mengalami disfungsi yang sangat
memprihatinkan. Terjadinya penangkapan, pembakaran dan penenggelaman oleh nelayan local
terhadap kapal-kapal luar daerah, main hakim sendiri dan kebiasaan masyarakat melakukan
kekerasan terhadap sesama nelayan, itu semua memiliki korelasi yang tidak bisa
dipisahkan dengan karakteristik praktisi maupun teoretisi hukum yang tidak konsisten
terhadap hakikat dari peradilan yang sesungguhnya di mana nelayan tradisional Cilacap
mengharapkan suatu proses penegakan keadilan yang diamanatkan antara lain kepada institusi
peradilan yang juga sebagai sebagian institusi negara seharusnya berada pada
aras penegakkan hukum yang akuntabel, terbuka, transparan, dan kredibel. Namun yang
terjadi bertentangan dengan yang sudah di tuliskan.
C. Penanganan Konflik Yang Ideal
Berangkat dari beberapa kasus yang melatari konflik di kawasan Cilacap sebagaimana
dipaparkan di atas, maka berikut terdapat beberapa alternatif dalam penanganan konflik di
kawasan Cilacap yaitu :
1). Perundang-undangan;
Dalam proses pembuatan perundang-undangan dan peraturan sudah saatnya
melibatkan masyarakat, dalam hal ini tentunya masyarakat nelayan tradisional,
sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis, bukan hanya dilihat dari sudut
filosofis, yuridis, dan ideologis semata. Dengan demikian untuk mengubah
keterpurukan supremasi hukum menjadikan ke dalam kondisi yang ideal
sangatlah dimungkinkan karena salah satu fungsi hukum adalah sebagai "agen
of change" yang mana sasaran utamanya adalah mewujudkan keadilan pada
masyarakat, terlebih untuk perubahan itu yang dipelopori para penegak
hukum atau aparat pemerintah lainnya dengan perencanaan yang
matang ("social planning").
2). Aparat Penegak Hukumnya;
Untuk penegakan supremasi hukum, yang sangat mendasar adalah perbaikan struktur
aparat hukumnya yaitu perbaikan "moralitas dan komitmen". Dikatakan Wiryani
(2002) bahwa masyarakat menilai hukum sudah tidak dapat dipercaya. Karena
aparatnya banyak yang melakukan penekanan seolah-olah mereka punya wewenang
mutlak, padahal hukumlah yang melindungi masyarakat.
3). Kultur Hukum Masyarakatnya;
Dalam masyarakat transisional justic (masa transisi keadilan)solusi penegakan hukum
sebagai modal utama dalam penanganan konflik nelayan di kawasan Cilacap, jangan
sampai justru memicu keresahan pada masyarakat nelayanitu sendiri. Oleh karena
itulah dalam penanganan konflik ini, kalau mau sukses, maka mau tidak mau harus
peranan pengkajian secara sosiologis menjadi sesuatu yang penting dan di dalam
karakteristik hukum adalah merupakan jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi
khususnya dalam menangani konflik di kawasan Cilacap. Sehingga masyarakat bukan
saja merasa ikut memproses peraturanperundangan-undangan, tetapi juga ada
panggilan tanggung jawab yang melekat dalam kepribadian dan moralitasnya sesuai
dengan perspektif emik masyarakat nelayan itu sendiri, walaupun kekuatan moral tidak
ada artinya kalau tidak ada tindakan perilakunya, tetapi persenyawaan keduanya
menjadikan kekuatan yang luar biasa.
Di samping sistem sosialisasi yang baik, gejala kebutuhan fungsional masyarakat untuk
melakukan penyelewengan, baik disogok maupun penyogokan terhadap kasus-kasus
hukum di kawasan tersebut sepertinya masih saja berjalan (walau sulit untuk
pembuktiannya) karena menganggap dengan cara tersebut segala urusan bisa selesai tanpa
harus melalui prosedur yang seharusnya, perlu secepatnya diputus mata rantainya
sehingga tidak menjadikan presiden buruk bagi masa depan hukum terutama dalam upaya
penanganan konflik yang sedang terjadi dikawasan Cilacap.
http://dewipooh.blogspot.com/2009/05/konflik-nelayan-tradisional-dan-nelayan_26.html