konflik nelayan tradisional dan nelayan pendatang di daerah cilacap

12
Konflik Nelayan Tradisional dan Nelayan Pendatang di Daerah Cilacap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia yang rendah merupakan ciri umum nelayan-nelayan tradisional di berbagai wilayah perairan Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi tidak memberikan kesempatan bagi rumah tangga nelayan meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka. Banyak anak yang harus bekerja melaut setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Selain itu mudahnya akses untuk bekerja di sektor perikanan tangkap, tuntutan ekonomi keluarga, dan kesulitan dalam mencari peluang-peluang kerja lainnya sebagai akibat kegagalan pembangunan pedesaan. Semua itu telah memperkuat barisan nelayan tradisional dengan tingkat kuaIitas sumber daya manusia yang rendah. Dalam benak pikiran mereka, yang terpenting adalah bisa bekerja (menangkap ikan), dapat penghasilan, dan bisa makan setiap hari. Kemiskinan dan masalah kesulitan hidup itu biasanya selalu dihadapi oleh komunitas nelayan, khususnya nelayan-nelayan kecil atau nelayan-nelayan tradisional. Nelayan tradisional menurut Kusnadi (2003) adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang sederhana. Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional adalah (1) teknologi penangkapan yang digunakan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas, dan perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber-PK kecil; (2) besaran modal usaha terbatas; (3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan pembagian peran bersifat kolektif (nonspesifik) dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat, dan atau ternan dekat; (4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Sebagian besar kondisi kehidupan nelayan tradisional yang demikian ditemukan di daerah-daerah pesisir yang potensial

Upload: maruf-setiawan-shw

Post on 20-Jan-2016

155 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

masyarakat pesisir cilacap

TRANSCRIPT

Page 1: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

Konflik Nelayan Tradisional dan Nelayan Pendatang di Daerah Cilacap

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kualitas sumber daya manusia yang rendah merupakan ciri umum nelayan-nelayan

tradisional di berbagai wilayah perairan Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi tidak

memberikan kesempatan bagi rumah tangga nelayan meningkatkan kualitas pendidikan anak-

anak mereka. Banyak anak yang harus bekerja melaut setelah menyelesaikan pendidikan di

sekolah dasar. Selain itu mudahnya akses untuk bekerja di sektor perikanan tangkap, tuntutan

ekonomi keluarga, dan kesulitan dalam mencari peluang-peluang kerja lainnya sebagai akibat

kegagalan pembangunan pedesaan. Semua itu telah memperkuat barisan nelayan tradisional

dengan tingkat kuaIitas sumber daya manusia yang rendah. Dalam benak pikiran mereka,

yang terpenting adalah bisa bekerja (menangkap ikan), dapat penghasilan, dan bisa makan

setiap hari.

Kemiskinan dan masalah kesulitan hidup itu biasanya selalu dihadapi oleh komunitas

nelayan, khususnya nelayan-nelayan kecil atau nelayan-nelayan tradisional. Nelayan

tradisional menurut Kusnadi (2003) adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya

perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi

penangkapan yang sederhana. Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional adalah (1)

teknologi penangkapan yang digunakan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil,

daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas, dan

perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber-PK kecil; (2) besaran modal usaha

terbatas; (3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan

pembagian peran bersifat kolektif (nonspesifik) dan umumnya berbasis kerabat, tetangga

dekat, dan atau ternan dekat; (4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi

kebutuhan dasar sehari-hari.

Sebagian besar kondisi kehidupan nelayan tradisional yang demikian ditemukan di daerah-

daerah pesisir yang potensial sumberdaya perikanannya semakin langka (resources scarcity),

seperti diperairan pesisir selatan Jawa. Sementara itu, kebijakan-kebijakan strategis

pembangunan untuk mengurangi atau mengatasi kondisi kehidupan nelayan tersebut belum

mampu dilaksanakan secara efektif dan berhasil secara optimal. Hal yang bisa kita lihat

selama ini masyarakat nelayan harus bergulat sendiri melawan persoalan kehidupannya

dengan berbagai resiko yang diterimanya.

Berbicara tentang kemiskinan para nelayan tradisional pesisir sepanjang garis pantai di

Indonesia, berarti juga berbicara tentang kekerasan. Kekerasan yang mendasar adalah

ketidakadilan dan kemiskinan sehingga menjerumuskan manusia ke lubang fatalismesub-

human yaitu kubangan yang jauh dari perikemanusiaan yang berpotensi kepada naiknya tensi

Page 2: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

pembangkangan sebagai wujud protes terhadap simbol-simbol legitimasi kekerasan yang

dilakukan baik secara laten, sistemik, dan terstruktur atau cara-cara lain oleh justru pihak-

pihak yang mestinya melindungi (Kusnadi, 2003).

Setiap pelanggaran masyarakat sebenarnya tidaklah jadi masalah besar, sepanjang penegakan

supremasi hukum (termasuk pemberian sanksi) sesuai dengan rasa keadilam masyarakat.

Yang jadi persoalan sekarang ini adalah kumandang penegakan hukum sampai hari ini tidak

sesuai dengan senyatanya yang terjadi di masyarakat nelayan, adanya pergeseran para

penegak hukum dari profesional kepada transaksional sehingga terbangunlah publict-

distrust dan hancurnya martabat peradilan dan semua itu mempunyai korelasi dengan

kekerasan yang marak terjadi saat sekarang ini.

B. Hubungan Nelayan Tradisional Dengan Pemerintah

Perhatian pemerintah secara serius untuk memberdayakan nelayan dan membantu mereka

meningkatkan kesejahteraan hidupnya baru dilakukan sejak tahun 2001, ketika Program

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) diluncurkan secara nasional dan

dikhususkan untuk masyarakat pesisir, termasuk masyarakat nelayan (Kusnadi,

2007). Sebelumnya, juga ada program-program pemberdayaan, seperti Program IDT yang

diluncurkan pada tahun 1994, kemudian diikuti dengan program-program sejenis yang tidak

terfokus untuk masyarakat pesisir. Hal ini sangat berbeda dengan bantuan pemerintah yang

lebih intensif kepada masyarakat petani.

Kesenjangan hubungan fungsional antara pemerintah dan masyarakat nelayan merupakan

konsekuensi dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak memihak kepada sektor

kemaritiman. Proses pengabaian yang panjang ini telah menimbulkan berbagai persoalan

yang kompleks dalam kehidupan masyarakat pesisir serta pengelolaan sumber daya pesisir

dan laut, baru setelah terbentuk Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999,

persoalan masyarakat pesisir mulai diatasi secara bertahap.

Dalam kesenjangan hubungan tersebut, stereotip negatif terhadap masyarakat nelayan sering

dimunculkan oleh aparatur birokrasi, seperti masyarakat nelayan sulit dipercaya,

suka ngemplang,  tidak bisa diatur, keras kepala, dan tidak berorientasi pada kehidupan masa

depan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Masyarakat nelayan memiliki

integrasi sosial yang baik. Sikap gotong royong mereka sangat besar, sebagai konsekuensi

dari sifat pekerjaan mereka yang harus saling membahu untuk menghadapi berbagai

kesulitan, khususnya ketika sedang melakukan kegiatan penangkapan. Solidaritas sosialnya

kuat sehingga jika menghadapi ancaman kolektif mereka juga akan bertindak secara massal.

Ciri-ciri perilaku demikian dapat menjadi kekuatan atau modal pembangunan, namun juga

bisa menjadi bencana jika aspirasi mereka terhadap sesuatu hal diabaikan. Reaksi sosial akan

semakin dinamis jika masalah yang mereka hadapi mengancam kelangsungan hidup mereka.

Sebagia contoh kasus yang terjadi di Cilacap, terjadi pada 28 Agustus 1998, menyangkut

Page 3: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

perjuangan nelayan tradisional dalam mempertahankan hak-hak mereka atas sumber daya

laut untuk kehidupannya.

Jika kita amati sasaran perusakan pada kantor-kantor pemerintah jelas menggambarkan tiga

hal, yaitu pertama, peristiwa itu merupakan bentuk resistensi terhadap negara; kedua, ada

penyumbatan aspirasi nelayan oleh aparat dan birokrat setempat;ketiga, kebijakan pemerintah

daerah tidak memihak kepentingan nelayan tradisional, karena dianggap membela kedudukan

nelayanmini trawl dalam konflik antar nelayan tersebut. Pemihakan terhadap nelayan mini

trawl  ini barangkali disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pemilik kapital yang berpengaruh

terhadap dioperasikannya alat tangkap mini trawl dan kebijakan yang diambil oleh birokrat-

aparat. Oleh karena itu, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kesenjangan hubungan

antara pemerintah dan masyarakat nelayan harus diatasi. Berbagai persoalan masyarakat

nelayan masih cukup banyak yang belum diselesaikan secara tuntas, seperti kasus konflik

sumber daya perikanan yang terus marak akhir-akhir ini di berbagai daerah. Pemerintah harus

lebih mendekatkan diri kepada masyarakat nelayan karena kedudukannya sebagai abdi

masyarakat. Sisa-sisa ketidakpercayaan masyarakat nelayan terhadap pemerintah masih tetap

ada. Jika pemerintah tidak tanggap terhadap aspirasi masyarakat nelayan dan kesenjangan

hubungan fungsional masih terus berjalan, niscaya kebijakan-kebijakan pembangunan

kawasan dan masyarakat pesisir yang digagas pemerintah tidak akan bisa berjalan dengan

baik, karena rendahnya dukungan masyarakat nelayan.

B. Tujuan

Berdasarkan uraian diatas maka penyusunan paper ini bertujuan untuk mengetahui apakah

penyabab dasar dari konflik yang melanda nelayan pesisir Cilacap dan dampak yang

ditimbulkan, serta sampai sejauh manakah peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut.

II. METODELOGI

Adapun konsep dasar dari penulisan ini adalah metode kuantitatif. Disini penulis

berdasarkan pendapat Bogdan dan Taylor (1975) dan Kirk dan Miller (1986) dalam Utsman

(2007), bahwa metoda kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini, proses penelitiannya adalah

berbentuk siklus, yang mana dalam hal pengumpulan serta analisis data berlangsung secara

simultan. Untuk memperoleh data yang diperlukan, ada beberapa hal yang menjadi perhatian

penulis, yaitu data primer melalui observasi serta berbagai keterangan dan atau masukan dari

informan melalui wawancara dalam rangka menggali life history masyarakat nelayan

tradisional Cilacap.

III. PEMBAHASAN

Kejadian di pesisir Cilacap berawal dari kepasrahan nelayan tradisional terhadap nelayan

luar yang pengoperasaiannya menggunakan pukat trawl  terus berlangsung. Nelayan

beranggapan bahwa laut merupakan sumberdaya milik umum(commons property

resources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapa pun. Atas dasar inilah nelayan luar daerah

Page 4: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

dengan leluasa menggunakan trawl Sangatlah memprihatinkan, betapa besarnya

jumlah nelayan tradisional yang menyikapi keadaan ini dengan pasrah karena mereka

tidak memiliki kekuasaan dan akses politik serta ditambah tingkat pendidikan yang rendah

terlebih dari segi kemampuan fenansial tidak mampu menyuarakan betapa sangat dalamnya

mereka di kubangan fatalisme sub-human dari masa ke masa. Walaupun sekitar tahun1970-

an ada "revolusi biru" (blue revolution), namun yang terjadi malah penangkapan ikan secara

berlebih (overfishing) dengan menguras habis-habisan sumber daya perikanan sampai ke

pesisir pantai (inshore) maupun di perairan lepas pantai (offshore) oleh nelayan modern

(Anonim, 2008).

Disadari atau tidak, bahwa keberadaan fakta kualitas individu, dan situasi lingkungan

sosial masyarakat manusia dengan berbagai kepentingannya, telah melahirkan berbagai

macam perbedaan dan atau pertentangan diantara mereka. Menurut Hamidi (1995),

”Konflik merupakan bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, perilaku-perilaku, tujuan-tujuan

dan kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan” termasuk ”perbedaan asumsi, keyakinan dan nilai”.

Konflik itu akan muncul apabila ada beberapa aktivitas yang saling bertentangan.

Bertentangan itu adalah apabila tindakan tersebut bersifat mencegah, menghalangi,

mencampuri, menyakiti, atau membuat tindakan atau aktivitas orang lain menjadi tidak dan

atau kurang berarti ataupun kurang efektif. Dan kalau melihat sumbernya, bahwa konflik

itu paling tidak mempunyai lima sumber penyebab, yaitu :

(1) kompetisi, - satu pihak berupaya meraih sesuatu, denganmengorbankan pihak lain, (2) dominasi, -

satu pihak berusaha mengatur yang lain sehingga merasa haknya dibatasi dan dilanggar,

(3) kegagalcm, - menyalahkan pihak tertentu bila terjadi kegagalan pencapaian tujuan, (4)provokasi,

- satu pihak sering menyinggung perasaan pihak yang lain, (5) perbedaan nilai, - terdapat patokan

yang berbeda dalammenetapkan benar salahnya suatu masalah.

Selama bertahun-tahun, diakui penduduk keberadaan kapal-kapal nelayan luar

daerah dianggap penduduk setempat identik dengan pengrusak kekayaan laut yang dijuluki

masyarakat setempat sebagai ‘raksasa pengrusak lautan’. Keberadaan kapal-

kapal trawl  tersebut sangat  besar sekali dampaknya terhadap perubahan perkembangan

kehidupan masyarakat nelayan setempat, terutama perubahan alat tangkap yang dulunya

masih tidak banyak yang menggeluti pukat udang. Namun sejalandengan melihat betapa

mahalnya harga udang kalau dibanding dengan ikan-ikan lainnya, dari Rp.40.000,-

sampai mencapai Rp.120.000,- dalam setiap kg, maka semakin banyak

nelayanmenggeluti pukat udang. Perubahan itu didorong karena para nelayan tradisional

setempat mengetahui dari kapal-kapal luar daerah yang tertangkap itu adalah hanya

mengambil udangnyasaja serta para nelayan luar daerah itu sangat menikmati  dan

mengambil keuntungan luar biasa hasil dari udang-udang yang ditangkap (Kusnadi,

2003).

Page 5: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

Dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundangan oleh pemerintah antara lain

Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl dan beserta Inpres No.

11/1982 tentang pelaksanaan Keppres No. 39 Tahun 1980 tersebut seharusnya sudah bisa

mengatasi konflik, namun pada tataran pelaksanaannya atau fakta yang ada, justru semakin

banyak kapal-kapal nelayanluar daerah yang mengoperasikan jaring trawl di

kawasantersebut. Kapal-kapal nelayan luar daerah itu tidak tahu atau mungkin sengaja

tidak menghiraukan kebijakan pemerintah, di sisi lain mungkin masyarakat

nelayan tradisional Cilacap memang jauh dari teknologi dan peralatan

perikanan, fasilitas, SDM, serta koordinasi dari pihak pemerintah yang berkompetensi

sehingga nelayan tradisional menjadi tidak berkutik karena tidak punya kemampuan berbuat,

kecuali hanya menerima kenyataan tersebut dengan bersikap pasif.

Konflik antara nelayan tradisional dan nelayan luar daerah semakin meningkat, karena

semakin lama penghasilan nelayan lokal yang dijual atau dimasukkan

kepada penampung semakin sedikit, sementara kapal-kapal nelayan luar daerah itu selalu

menghindar dan tidak pernah ada proses penyelesaian ataupun upaya-upaya perundingan

setiap pelanggaran yang dilakukannya serta tidak ada juga penanganan dari pihak-pihak

tertentu baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli. Pada akhirnya, semua

ketidak puasan nelayan yang selama bertahun-tahun berkonflik dan diawali dengan

ketegangan sosial, maka berprosesmenuju memanifes menjadi konflik terbuka atau konflik

secara kekerasan sebagai bentuk perlawanan dan atau pembelaan kepentingan yang bisa

dilakukan para masyarakat nelayan tradisional kawasan Cilacap.

Secara umum yang berkonflik adalah antara nelayan lokal yangnote-benenya  masih

menggunakan alat-alat perangkat perikanan tradisional dengan nelayan luar daerah

yang sudah menggunakan alat-alat perangkat  perikanan yang sudah modern, yang

menjadi fakta di lapangan perbedaan alat tangkap nelayan tradisional dengan

prinsip mempertahankan kelestarian sumber daya laut dengan cuma pemakaian alat yang

mereka miliki, maka sumber daya laut tetap lestari dan mampu menjadikan kawasan

sebagai "food security" sementara di sisi lain pihak nelayan luar daerah yang memakai

alat-alat tangkap modern, khususnya jaring trawl yang berakibat habisnya biota ikan

maupun non ikan. Sutrisno (49 th), mengatakan: "Memang kapal  trawl  i t u   tidak

memerhitungkan  kelestarian ikan dan tidak juga memperhatikan kepentingan kami

nelayan lokal ini yang semakin terancam masa depan perekonomian kami"

Penulis banyak melihat, betapa mendominasinya ekonomi yang dimiliki nelayan luar

daerah, antara lain dari segi alat tangkap dan peralatan lainnya termasuk kapal yang dipakai

untuk operasionalpenarikan pukat trawl, di situ sangat kelihatan betapa jauhnya kesenjangan

antara nelayan lokal yang masih tradisional dengan nelayan luar daerah yang sudah modern

dengan peralatan yang serba canggih.

B. Keadaan Sosial Pasca Konflik

Page 6: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

Setelah terjadinya konflik secara kekerasan yaitu perlawanan nelayan lokal di kawasan Cilacap

terhadap para nelayan luar, akanmembawa implikasi psikologik  terhadap nelayan

setempat baik terhadap nelayan buruh, nelayan pemilik kapal  dengan segala pukat dan

perangkatnya, maupun para penampung di daerah Cilacap. Mereka para nelayan

lokal tidak lagi terlalu berani melaut sendirian, dan bahkan  cenderung selalu

berkelompok-kelompok (tidak terpencar-pencar seperti sebelum terjadinya konflik

secara kekerasan). Hal ini mereka lakukan karena paling tidak,  mereka merasa takut kalau

terjadi pembalasan dari nelayan luar daerah karena menurut pandangan masyarakat

Cilacap, nelayan luar daerah itu sangat kuat bahkan d iperkirakan kapal-kapal nelayan

luar daerah itu dilengkapi dengan persenjataan yang berbahaya .

Walaupun tidak seaktif sebelum terjadinya konflik terbuka atau konflik secara kekerasan,

dengan naluri kerja kuat, para nelayan lokal ada yang masih tetap melaut dengan penuh

kehati-hatian dan kewaspadaan maksimal dan melaut dengan cara berkelompok-kelompok

yaitu kalau ada di antara nelayan lokal yang melaut maka mereka secara bersama-sama

melaut begitu juga sebaliknya jika ada yang pulang ke "mingir"  (pulang ke rumah), maka

teman-teman yang lainnya segera menyusul. Sosok Tarso (45 th), seorang

nelayan, mengatakan:

Bagaimana mau melaut, kalau teman-teman yang lain tidak melaut, sekarang ini teman-teman

sudah pada takut melaut, tetapi memang benar kata teman-teman, kalau tidak membawa

senjata yang kuat untuk melaut hanyalah mengantar kematian saja.

Secara psikologik juga dirasakan para pemilik kapal dan atau pemilik alat-alat

tangkap (juragan), mereka merasakan betapa sulitnya mencari anak buah untuk dibawa

melaut, karena mereka akhir-akhir ini merasa khawatir kalau-kalau terjadi pembalasan di

pihak kapal-kapal nelayan luar daerah yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi karena

sesungguhnya para masyarakat nelayan lokal tersebut tidak mempunyai persenjataan

yang diandalkan seperti senjata api ataupun pedang yang khusus untuk tujuan-

tujuan perlawanan fisik. Karena di kawasan Cilacap adalah termasuk desa yang terkenal

aman dan tentram, tidak pernah terdengar adanya perkelahian fisik baik antar desa-

desa setempat maupun antara orang perorang.

Para penampung  adalah tempat terakhir dalam menerima arus dampak terjadinya

konflik secara kekerasan di kawasan Cilacap, yaitu dengan sulitnya mencari anak

buah, maka secara otomatis para juragan  terhambat melaut, paling tidak berkurangnya

waktu dan kesempatan untuk pemanfaatan sumber daya laut dan secara sistematis pula

berkurangnya perolehan tangkapan.

Di sisi lain keberadaan sumber daya laut sangat terbatas, semetara nelayan luar daerah

mempunyai kemampuan yang baik dalam hal sumber daya manusianya maupun alat-alat

yang berteknologi tinggi dalam mengeksploitasi sumber daya laut tersebut, maka

para penampung lokal  itu bukan saja berkurangnya masukan sumber daya laut akibat

Page 7: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

dari parajuragan  yang tidak melaut, akan tetapi juga karena sumberdaya laut semakin

drastis berkurang sebagai akibat diambilnya secara eksploitatif (tidak protektif) tanpa

mempertimbangkan bahwa kawasan tersebut adalah sebagai food security bagi masyarakat

nelayan tradisional di kawasan Cilacap.Ridwan (42 th), seorang penampung yang menggeluti

pekerjaannya sebagai penampung sejak lima tahun sebelum konflik, mengatakan:

Hasil tampungan sekarang sangat susah, sudah ikan dan udangnya habis akibat kapal trawl

yang mengeruk sampai ke akar-akarnya. Untuk membiayai operasionalnya saja sudah susah

sekali. Lain lagi banyak para nelayan yang berhutang masih belum dilunasi sementara mereka

tidak terlalu aktif melaut. Persoalan harga udang juga menambah masalah, sebelum

konflik ini harganya Rp. 75000-Rp.120.000 dalam setiap kg dan setelah terjadi konflik

hanya Rp.40.000,-Rp.50.000 saja dalam setiap kg. Hasil  tampungan yang dulunya mencapai

2-3 ton setiap harinya, sekarang ini hanya berkisar 20-100 kg saja setiap harinya. Kenyataan

yang dirasakan Ridwan tersebut bukan satu-satunya penampung yang mengeluhkan dan

dampakyang diakibatkan konflik di kawasan Cilacap, paling tidak ada 3

orang penampung  yang merasakan hal yang sama selama pengamatan.

Dampak lain yang ditimbulkan yaitu terjadi perubahan ketergantungan dalam bekerja

sebagian kecil masyarakat, yangdulunya berprofesi sebagai nelayan karena sejak

kejadian konflik tersebut maka ada yang berpindah profesi sebagai buruh, pekebun. Hal

ini didasari karena setiap melaut selalu merasa terancam keselamatannya dan hasil yang

diperoleh semakin lama semakin berkurang, terkadang tidak sebanding dengan

pengorbanan baik biaya operasional maupun tenaga yang dipergunakan untuk melaut, maka

paling tidak ada 3 orang nelayanberubah profesi, salah satu contohnya Abdullah (50

th), ayah dari 6 orang anak dan 4 cucu yang semuanya tinggal dalam satu rumah,

harus beralih profesi menjadi buruh bangunan untuk menghidupi

keluarganya. Dengan pertimbangan lebih aman dari serangan balas dendam nelayan

luar.

Pada saat-saat seperti inilah kehadiran pemerintah minimal untuk mediator dalam

mencari solusi yang tepat antara pihak yang berkonflik, tetapi senyatanya

sampai penelitian penulis ini berlangsung dan berakhir, peraturan-peraturan yang

seharusnya bisa menjadi solusi tidaklah sebagaimana harapan menjadi kenyataan, malah

yang paling parahnya dengan keluarnyaPeraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

06/MEN/2008 yang mengizinkan penggunaan pukat harimau untuk mencari ikan (Anonim,

2008).

Ketidak konsistenan praktisi hukum bukan saja tercium oleh masyarakat, walau memang tidak

sepenuhnya benar, tetapi juga sudah menjadi rahasia umum, yang mana peradilan di Indonesia

bisa dibeli sehingga uanglah yang berkuasa, contoh kasus penebusan Rp. 100.000.000 (seratus

juta rupiah) dari kesembilan kapal trawl dari muara angke Jakarta, dilepaskan tanpa harus

melalui prosdur peradilan yang berlaku, sementara tindak pidana yang dilakukan sudah sangat

Page 8: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

jelas sebagai bukti (Utsman, 2007). Hal seperti ini menjadi presiden buruk ke depannya,

sehingga pelanggaran demi pelanggaran bisa merajalela selama mampu menggunakan uang

untuk tebusannya, sementara SDL semakin menipis. Dengan demikian, semakin menumbuhkan

rasa tidak percaya kepada hukum, sehingga untuk merealisasikan unsur-unsur yang semestinya

melekat pada hukum yaitu keadilan, kepastian dan kesejahteraan hanyalah menjadi sebuah

utopis bagi masyarakat di kawasan Cilacap dan juga mengalami disfungsi yang sangat

memprihatinkan. Terjadinya penangkapan, pembakaran dan penenggelaman oleh nelayan local

terhadap kapal-kapal luar daerah, main hakim sendiri dan kebiasaan masyarakat melakukan

kekerasan terhadap sesama nelayan, itu semua memiliki korelasi yang tidak bisa

dipisahkan dengan karakteristik praktisi maupun teoretisi hukum yang tidak konsisten

terhadap hakikat dari peradilan yang sesungguhnya di mana nelayan tradisional Cilacap

mengharapkan suatu proses penegakan keadilan yang diamanatkan antara lain kepada institusi

peradilan yang juga sebagai sebagian institusi negara seharusnya berada pada

aras penegakkan hukum yang akuntabel, terbuka, transparan, dan kredibel. Namun yang

terjadi bertentangan dengan yang sudah di tuliskan.

C. Penanganan Konflik Yang Ideal

Berangkat dari beberapa kasus yang melatari konflik di kawasan Cilacap sebagaimana

dipaparkan di atas, maka berikut terdapat beberapa alternatif dalam penanganan konflik di

kawasan Cilacap yaitu :

1). Perundang-undangan;

Dalam proses pembuatan perundang-undangan dan peraturan sudah saatnya

melibatkan masyarakat, dalam hal ini tentunya masyarakat nelayan tradisional,

sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis, bukan hanya dilihat dari sudut

filosofis, yuridis, dan ideologis semata. Dengan demikian untuk mengubah

keterpurukan supremasi hukum menjadikan ke dalam  kondisi yang ideal

sangatlah dimungkinkan karena salah satu fungsi hukum adalah sebagai  "agen

of  change" yang mana sasaran utamanya adalah mewujudkan keadilan pada

masyarakat, terlebih untuk perubahan itu yang dipelopori para penegak

hukum atau aparat pemerintah lainnya dengan perencanaan yang

matang ("social  planning").

2). Aparat Penegak Hukumnya;

Untuk penegakan supremasi hukum, yang sangat mendasar adalah perbaikan struktur

aparat hukumnya yaitu perbaikan "moralitas dan komitmen". Dikatakan Wiryani

(2002) bahwa masyarakat menilai hukum sudah tidak dapat dipercaya. Karena

aparatnya banyak yang melakukan penekanan seolah-olah mereka punya wewenang

mutlak, padahal hukumlah yang melindungi masyarakat.

3). Kultur Hukum Masyarakatnya;

Page 9: Konflik Nelayan Tradisional Dan Nelayan Pendatang Di Daerah Cilacap

Dalam masyarakat transisional justic (masa transisi keadilan)solusi penegakan hukum

sebagai modal utama dalam penanganan konflik nelayan di kawasan Cilacap, jangan

sampai justru memicu keresahan pada masyarakat nelayanitu sendiri. Oleh karena

itulah dalam penanganan konflik ini, kalau mau sukses, maka mau tidak mau harus

peranan pengkajian secara sosiologis menjadi sesuatu yang penting dan di dalam

karakteristik hukum adalah merupakan jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi

khususnya dalam menangani konflik di kawasan Cilacap. Sehingga masyarakat bukan

saja merasa ikut memproses peraturanperundangan-undangan, tetapi juga ada

panggilan tanggung jawab yang melekat dalam kepribadian dan moralitasnya sesuai

dengan perspektif emik masyarakat nelayan itu sendiri, walaupun kekuatan moral tidak

ada artinya kalau tidak ada tindakan perilakunya, tetapi persenyawaan keduanya

menjadikan kekuatan yang luar biasa.

Di samping sistem sosialisasi yang baik, gejala kebutuhan fungsional masyarakat untuk

melakukan penyelewengan, baik disogok maupun penyogokan terhadap kasus-kasus

hukum di kawasan tersebut sepertinya masih saja berjalan (walau sulit untuk

pembuktiannya) karena menganggap dengan cara tersebut segala urusan bisa selesai tanpa

harus melalui prosedur yang seharusnya, perlu secepatnya diputus mata rantainya

sehingga tidak menjadikan presiden buruk bagi masa depan hukum terutama dalam upaya

penanganan konflik yang sedang terjadi dikawasan Cilacap.

http://dewipooh.blogspot.com/2009/05/konflik-nelayan-tradisional-dan-nelayan_26.html