konflik antara kelompok abangan dan santri dalam …
TRANSCRIPT
KONFLIK ANTARA KELOMPOK ABANGAN DAN SANTRI DALAM
NOVEL KANTRING GENJER-GENJER KARYA TEGUH WINARSHO A.S.:
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA*)
(Conflict between Abangan and Santri Community in Kantring Genjer-Genjer Novel
by Teguh Winarsho A.S.: Sociology of Literature Study)
Sugiono1 dan Mulyono
2
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang
Gedung B1, Fakultas Bahasa dan Seni, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, Indonesia.
Telepon penulis (WhatsApp): +6282220667822
Pos-el: [email protected]
*) Diterima: 25 Februari 2019, Disetujui: 18 Oktober 2019
ABSTRAK
Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Novel sebagai salah satu karya sastra
menampilkan konflik yang merupakan cerminan atas konflik-konflik yang ada di masyarakat. Salah
satu konflik dalam novel yang menarik untuk dikaji adalah konflik agama karena konflik agama masih
banyak terjadi di Indonesia. Salah satu yang memuat konflik agama adalah novel Kantring Genjer-
genjer karya Teguh Winarsho A.S.. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan teori konflik Georg Simmel untuk menganalisis bentuk
konflik dan penyebab konflik antara kelompok abangan dan santri dalam novel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bentuk konflik dan penyebab konflik dalam novel terdiri atas konflik
pertandingan antagonistik, konflik hukum, konflik mengenai prinsip-prinsip dasar, konflik
kepentingan, dan konflik dalam hubungan intim dan akrab.
Kata kunci: abangan, konflik georg simmel, konflik sosial, santri, sosiologi sastra
ABSTRACT
Literary works are a reflection of people's lives. Novel as one of the literary works that displays
conflict that are a reflection of conflicts in the society. One of conflict in the novel that is interesting to
study is religious conflict, because religious conflicts still occur in Indonesia frequently. One of novel
which discuss the religious conflict is Kantring Genjer-genjer novel by Teguh Winarsho A.S.. This
research is a qualitative research using sociology of literature approach and Georg Simmel's conflict
theory to analyze the forms and primary causes of conflict between abangan and santri in the novel.
Result of the study reveated that the forms and primary causes of conflict are antagonistic, legal
conflicts, conflicts regarding principles, conflicts of interest, and conflict in intimate relationships.
Keywords:abangan, georg simmel’s conflict theory, social conflict, santri, sociology of literature
Keywords: literary history, Modern Indonesian Literature, Popular Malay Literature, Chinese Malay
Literatur
56 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
PENDAHULUAN
Karya sastra sangat berkaitan erat dengan
masyarakat. Wellek & Warren (1989:
109) mengatakan bahwa sastra adalah
institusi sosial yang memakai medium
bahasa. Teknik-teknik sastra tradisonal
seperti simbolisme dan matra bersifat
sosial karena merupakan konvensi dan
norma masyarakat. Lagi pula sastra
“menyajikan kehidupan”, dan
“kehidupan” sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun karya sastra
juga “meniru” alam dan dunia subjektif
manusia. Sastra mempunyai fungsi sosial
atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya
bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi
sastra menyiratkan atau merupakan
masalah social, masalah tradisi,
konvensi, norma jenis sastra (genre),
simbol dan mitos.
Oleh karena itu, karya sastra yang
diciptakan oleh sastawan dapat dikatakan
sebagai cerminan kehidupan masyarakat.
Karya sastra sebagai cerminan kehidupan
masyarakat merupakan sebuah proses
yang hidup, yang sebenarnya tidak hanya
mencerminkan realitas, melainkan juga
dapat memberikan sebuah refleksi
realitas yang lebih besar, lebih lengkap,
lebih hidup, dan lebih dinamis yang
mungkin melampaui pemahaman umum.
Novel sebagai salah satu karya
sastra menampilkan konflik yang
merupakan cerminan atas konflik-konflik
yang ada di masyarakat. Simmel (dalam
Haryanto, 2012: 51) melihat konflik
sebagai bentuk dasar interaksi sosial
yang terjalin dalam hubungan yang
kompleks. Selanjutnya, Simmel
memandang konflik sebagai gejala yang
tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat. Konflik sosial tersebut dapat
timbul karena adanya perbedaan dalam
masyarakat, baik dari segi pendapat,
pemikiran, keyakinan, maupun
kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan konflik. Salah satu konflik
dalam novel yang menarik untuk dikaji
adalah konflik agama dan salah satu
novel yang memuat konflik agama
adalah novel berjudul Kantring Genjer-
Genjer karya Teguh Winarsho A.S.
(selanjutnya ditulis KGG).
Novel KGG digunakan sebagai
objek penelitian ini karena novel tersebut
erat kaitannya dengan kondisi
masyarakat yang tidak bisa lepas dari
konflik sosial, salah satunya adalah
konflik agama, yang cukup sering terjadi
di Indonesia. Konflik sosial, khususnya
agama, yang menjadi fokus peneliti
adalah konflik antara kelompok abangan
dan santri. Istilah abangan dan santri
merujuk pada hasil penelitian Geertz
mengenai masyarakat Jawa dalam
golongan-golongan agama. Geertz
(1981) membagi masyarakat Jawa dalam
3 tipe kategori atau varian, yaitu
abangan, santri, dan priayi. Tradisi
keagamaan abangan, yang terutama
sekali terdiri dari pesta keupacaraan yang
disebut slametan, kepercayaan yang
kompleks dan rumit terhadap makhlus
halus, dan seluruh rangkaian teori dan
praktik pengobatan, sihir dan magis.
Sementara itu, tradisi keagamaan
kalangan santri tidak hanya terdiri atas
pelaksanaan yang cermat dan teratur atas
pokok peribadatan Islam seperti salat,
puasa, dan haji, tetapi juga suatu
keseluruhan yang kompleks dari
organisasi sosial, kedermawanan, dan
politik Islam (Geertz, 1981: 6–7).
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 57
Abangan dalam penelitian ini
adalah individu muslim Jawa yang masih
mempertahankan nilai-nilai kejawen.
Kelompok abangan tidak melaksanakan
ibadah salat lima waktu yang diwajibkan
dalam Islam. Kelompok abangan lebih
mendasarkan diri secara spiritual kepada
tradisionalisme Jawa maupun ritus-ritus
lokal seperti slametan dan lain-lain.
Sebaliknya, santri melihat bahwa
seseorang belum dikatakan Islam bila
tidak melaksanakan syariat, terutama
ibadah salat lima waktu dan melarang
hal-hal tidak sesuai ajaran Islam.
Dalam novel KGG, kelompok
abangan diwakili oleh kelompok Sadikin
dan Ki Sangir dan para cantrik
padepokannya yang mencoba
mempertahankan unsur-unsur spiritual
dan kebudayaan Jawa. Sebaliknya,
kelompok santri diwakili oleh Kyai
Barwani dan para santrinya yang masih
konservatif dan memperjuangkan
kemurnian ajaran Islam, dan
menganggap ajaran kelompok Sadikin
dan Ki Sangir tidak sesuai syariat Islam.
Kyai Barnawi menolak keras ajaran
Sadikin dan Ki Sangir karena dianggap
ajaran yang sesat dan najis. Kedua
kelompok pun berusaha untuk saling
menyingkirkan lawannya.
Alasan lain novel KGG menarik
untuk diteliti adalah karena novel ini
memiliki kelebihan dalam menampilkan
latar cerita. Dalam novel KGG
digambarkan nuansa pedesaan Jawa
yang kental, lengkap dengan kondisi
sosiokultural masyaratnya yang masih
percaya dengan hal-hal yang mistis dan
magis. Selain itu, meskipun latar waktu
dalam novel KGG adalah pada sekitar
tahun 60-an, tetapi masih sangat relevan
dengan kondisi realitas masyarakat
zaman sekarang yang sering kali masih
berkonflik karena perbedaan
kepercayaan beragama.
Berdasarkan ulasan di atas, novel
KGG menjadi penting untuk dikaji
karena: (1) novel KGG mencerminkan
kehidupan sosial masyarakat yang tidak
bisa lepas dari konflik, khususnya
konflik agama, (2) novel KGG berisi
cerminan bagaimana perbedaan
keyakinan agama bisa menimbulkan
konflik di masyarakat yang disebabkan
oleh kepentingan sebagian orang untuk
kepentingan tertentu, salah satunya
meraih kekuasaan, (3) sejauh
pengetahuan peneliti, novel KGG belum
pernah dikaji dengan menggunakan
kajian sosiologi sastra.
Rumusan masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah; (1)
bentuk konflik antara kelompok abangan
dan santri dalam novel KGG dan (2)
penyebab terjadinya konflik antara
kelompok abangan dan santri dalam
novel KGG. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menghasilkan deskripsi dari
rumusan masalah yang sudah dipaparkan
sebelumnya.
Kaitan erat antara sastra dan
masyarakat menjadikan kajian tentang
sastra memerlukan sebuah disiplin ilmu
yang mendukung, yakni sosiologi sastra.
Sosiologi sastra menurut Damono (2010,
hlm. 2) yakni pendekatan terhadap sastra
yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Sementara itu, sosiologi
sastra menurut Endraswara (2013: 77)
adalah cabang penelitian sastra yang
bersifat reflektif. Penelitian ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat
sastra sebagai cermin kehidupan
58 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
masyarakat. Arenanya, asumsi dasar
penelitian sosiologi sastra adalah
kelahiran sastra tidak dalam kekosongan
sosial. Kehidupan sosial akan menjadi
picu lahirnya karya sastra. Karya sastra
yang berhasil atau sukses yaitu yang
mampu merefleksikan zamannya.
Selain menggunakan pendekatan
sosiologi sastra, penelitian ini juga
menggunakan teori konflik Simmel
untuk mendukung analisis masalah yang
telah dirumuskan. Teori konflik Simmel
berpendapat bahwa kekuasaan, otoritas,
atau pengaruh merupakan sifat dari
kepribadian individu yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik.
Misalnya, ketika orang frustasi di kelas
bawah atau kelas pekerja, mungkin
bermusuhan dengan yang makmur.
Begitu juga anggota-anggota kelompok
minoritas akan bermusuhan dengan
struktur kekuasaan yang sudah mapan
(Wirawan, 2012: 60).
Simmel (dalam Soekanto &
Yudho, 1986: 65) memandang konflik
sebagai suatu variabel yang mewujudkan
berbagai taraf intensitas maupun
kekerasan. Titik ekstrim proses tersebut
adalah persaingan dan perkelahian.
Persaingan lebih banyak berkaitan
dengan perjuangan yang teratur untuk
mencapai tujuan tertentu yang secara
mutual bersifat eksklusif, sedangkan
yang sebaliknya berlaku dalam
perkelahian.
Simmel (dalam Faruk, 2012: 36)
membedakan beberapa jenis konflik
yang dapat menimbukan akibat sosial
yang berbeda, yaitu konflik pertandingan
antagonistik, konflik hukum, konflik
mengenai prinsip-prinsip dasar, konflik
antarpribadi, konflik kepentingan, dan
konflik dalam hubungan intim atau
akrab. Kemudian Simmel (dalam
Soekanto & Yudho, 1986: 63)
menyatakan bahwa konflik tidak
mungkin dihindari dan dipisahkan dalam
masyarakat, tetapi dapat dibedakan
dalam analisis. Oleh sebab itu, konflik
tidak akan pernah lenyap dari panggung
kehidupan masyarakat, kecuali lenyap
bersamaan dengan lenyapnya
masyarakat.
Kajian terhadap novel KGG
sebelumnya pernah dilakukan oleh Safe’i
(2015) dari Program Pascasarjana Ilmu
Sastra, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada dengan tesis
berjudul “Novel Kantring Genjer-Genjer
Karya Teguh Winarsho: Analisis
Strukturalisme Genetik Lucien
Goldmann”. Penelitian yang dilakukan
oleh Safe’i ini menjelaskan mengenai
(1) struktur teks novel KGG berpusat
pada relasi antartokoh dan objek-objek
yang ada sekitarnya; (2) pandangan
dunia pengarang yang berdasarkan
analisis struktur teks novel KGG
adalah humanisme teosentris; (3)
kajian sosial budaya masyarakat yang
ada di sekitar penciptaan novel KGG,
novel KGG bukan hanya merupakan
karya imajinatif pengarang semata,
melainkan novel yang mempunyai
kaitan erat dengan masyarakatnya.
Persamaan penelitian Safe’i dengan
penelitian ini adalah objek kajian
penelitian, yakni novel KGG dan
pendekatan yang digunakan, yakni
sosiologi sastra. Selanjutnya
perbedaannya terletak pada fokus
masalah yang dikaji dan teori yang
digunakan.
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 59
Di samping itu, Zaahiroh (2018)
dari Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Surabaya meneliti
tentang konflik sosial dalam novel yang
menggunakan teori konflik Georg
Simmel, yakni skripsi berjudul “Konflik
Sosial dalam Novel Maryam Karya
Okky Madasari (Perspektif Georg
Simmel)”. Penelitian yang dilakukan
oleh Zaahiroh ini memiliki kesaaman
dengan penelitian ini, yakni sama-
sama menganalisis konflik sosial
dalam novel dengan menggunakan
teori konflik Georg Simmel. Pada
penelitian Zaahiroh konflik sosial
yang dominan juga konflik agama,
yakni konflik warga penganut
Ahmadiyah yang mendapat
diskriminasi dari masyarakat dan
pemerintah setempat. Perbedaannya
hanya terletak pada novel yang
dijadikan objek kajian.
Selanjutnya, penelitian ini
menggunakan metode kualitatif.
Kemudian pendekatan dalam penelitian
ini adalah pendekatan sosiologi sastra.
Pendekatan sosiologi sastra adalah
pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan (Damono, 2010: 2).
Dalam hal ini, sosiologi sastra melihat
sejauh mana karya sastra menjadi cermin
dari realitas sosial masyarakat.
Selanjutnya penelitian ini dihubungkan
dengan teori-teori pendukung lainnya,
khususnya teori konflik Simmel, untuk
menganalisis bentuk dan penyebab
konflik antara kelompok abangan dan
santri dalam novel.
Sumber data penelitian ini terdiri
atas dua sumber, yakni sumber data
primer berupa novel yang berjudul
Kantring Genjer-genjer karya Teguh
Winarsho A.S. dan sumber data sekunder
berupa artikel, skripsi, tesis, dan buku-
buku yang berkaitan dengan sosiologi
sastra, teori konflik Simmel, serta varian
masyarakat abangan dan santri. Data
yang diperoleh adalah teks tertulis berupa
kutipan-kutipan kata, kalimat, dan
paragraf yang diambil dari sumber data
yang berhubungan dengan rumusan
masalah. Pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan teknik baca-
catat. Data yang terkumpul kemudian
dianalisis dengan teknik deskriptif
kualitatif.
Adapun langkah-langkah analisis
data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut (1) membaca semua bagian teks
dalam novel KGG; (2) melakukan
penandaan dan pencatatan data yang
berhubungan dengan penelitian, yaitu
identifikasi konflik antara kelompok
abangan dan santri dalam novel KGG;
(3) menganalisis data yang menunjukkan
bentuk dan penyebab terjadinya konflik
antara kelompok abangan dan santri
dalam novel KGG dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra dan teori
konflik Georg Simmel; (4)
mengintrepretasikan bentuk konflik dan
penyebab terjadinya konflik antara
kelompok abangan dan santri dalam
novel KGG; (5) membuat simpulan dari
analisis dan intrepretasi yang sudah
dilakukan; dan (6) membuat laporan
hasil penelitian, disajikan dalam bentuk
deskriptif.
60 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Konflik antara Kelompok
Abangan dan Santri dalam Novel
KGG
Bentuk konflik sosial menurut Simmel
(dalam dalam Faruk, 2012: 36) antara
lain konflik pertandingan antagonistik,
konflik hukum, konflik mengenai
prinsip-prinsip dasar, konflik
antarpribadi, konflik kepentingan, dan
konflik dalam hubungan intim atau
akrab. Dalam novel KGG, bentuk konflik
yang terjadi antara kelompok abangan
dan santri, meliputi konflik pertandingan
antagonistik, konflik hukum, konflik
menenai prinsip-prinsip dasar, konflik
kepentingan, dan konflik dalam
hubungan intim atau akrab. Berikut ini
penjelasan mengenai bentuk konflik
antara kelompok abangan dan santri
yang terdapat dalam novel KGG.
Konflik Pertandingan Antagonistik
Dalam novel KGG terdapat konflik
pertandingan antagonistik antara
padepokan Sadikin dan Pesantren Kyai
Barnawi. Sadikin dan Ki Sangir yang
ingin membesarkan padepokannya
merasa terancam dengan acaran Kyai
Barnawi yang bisa berpotensi
membubarkan cantrik-cantriknya.
Sementara Kyai Barnawi marah karena
ia kehilangan banyak santrinya yang ikut
bergabung bersama padepokan Sadikin
dan Ki Sangir hingga hanya tersisa
sembilan santri saja. Maka, kedua belah
pihak sama melakukan apa pun untuk
menyingkirkan lawannya yang dianggap
menghalangi tujuannya. Hal tersebut
tampak pada kutipan berikut.
“Beri tahu Sadikin dan Ki Sangir agar
menghentikan ajaran sesatnya. Ajak
teman-teman kalian pulang. Suruh
mereka kembali ke jalan Gusti Allah!”
Pesan terakhir Kyai Barnawi sebelum
keluar meninggalkan surau dengan
wajah merah menahan amarah
(Winarsho, 2007: 14–15).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa
Kyai Barnawi merasa pesantrennya
terancam dengan keberadaan padepokan
Sadikin dan Ki Sangir. Tidak mau
pesantrennya ditinggalkan semua
santrinya dan memilih berguru ke
padepokan Sadikin, Kyai Barnawi
mengustus santrinya untuk menemui
Sadikin dan Ki Sangir. Hal tersebut
merupakan bentuk tantangan Kyai
Barnawi. Sebaliknya, Sadikin pun
merasa keberaan Kyai Barnawi bisa
mengancam padepokan yang baru ia
rintis bersama Ki Sangir. Hal tersebut
membuat Sadikin marah dan menantang
balik Kyai Barnawi, seperti yang tampak
pada kutipan berikut.
“Katakan pada Barnawi, malam nanti
aku mengajaknya bertarung. Jika aku
kalah padepokan ini akan kububarkan.
Tapi jika dia yang kalah, pesantrennya
akan kubakar!” Berkata begitu,
Sadikin meludah (Winarsho, 2007:
15–16).
Dari kutipan tersebut dapat diperjelas
bahwa Sadikin dan Ki Sangir yang sejak
awal sudah merasa keberadaan pesantren
dan ajaran Kyai Barnawi bisa
membubarkan padepokannya, malah
semakin tertantang dengan adanya
tantangan dari Kyai Barnawi. Sadikin
yang memiliki tubuh yang kebal, tak
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 61
mati-mati meski beberapa kali bunuh diri
dan didukung Ki Sangir yang memiliki
ilmu kanuragan pun menantang Kyai
Barnawi yang sudah tua itu untuk
bertarung dengannya, karena Sadikin
yakin pasti ia akan menang menang
menghadapi seorang yang sudah tua
seperti Kyai Barnawi.
Konflik pertandingan antagonistik
yang terjadi lebih dominan datang dari
kelompok Sadikin kepada Kyai Barnawi,
Sehingga Sadikin ingin menggunakan
cara kekerasan untuk menundukkan Kyai
Barnawi dan menguasai Dusun Panjen.
Seperti yang tampak pada kutipan
berikut.
Suatu malam mereka berhasil
menghadang Kyai Barnawi dan dua
orang santrinya saat baru pulang
mengisi pengajian dari dusun Palung.
Di tempat itu pula Kyai Barnawi dan
seorang santrinya dihabisi. Santri
satunya berhasil kabur. Paginya Kyai
Barnawi ditemukan para santrinya
mati dengan kondisi mengenaskan
(Winarsho, 2007: 109).
Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan
bahwa satu-satunya cara untuk
menyingkirkan Kyai Barnawi adalah
dengan membunuhnya. Ki Sangir telah
berhasil menyingkirkan Kyai Barnawi,
seseorang yang menurutnya bisa
menghalanginya membangun padepokan
di Dusun Panjen meskipun dengan cara
yang keji.
Konflik Hukum
Dalam novel KGG, salah satu bentuk
adanya konflik hukum adalah adanya
perbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum, baik hukum negara maupun
hukum agama, yang melibatkan Kyai
Barnawi dan para santrinya sebagai
pelaku, sedangkan penduduk Dusun
Panjen yang sebagian cantrik padepokan
Ki Sangir sebagai korban. Hampir
sebulan penduduk Dusun Panjen
diresahkan oleh para pencuri yang selalu
mengambil barang-barang berharga
milik penduduk Panjen, seperti beras,
gandum, ubi, jagung, singkong, pisang,
sepeda, emas-emasan, dan radio. Para
pencuri tersebut adalah santri utusan
Kyai Barnawi yang memang
diperintahkan untuk menjarah harta
penduduk Panjen yang dianggap Kyai
Barnawi telah musyrik. Menurut Kyai
Barnawi, mencuri untuk berjuang
menegakkan agama Allah itu
diperbolehkan. Sementara itu, bagi
penduduk Panjen yang rata-rata adalah
cantrik di padepokan Sadikin dan Ki
Sangir, mencuri tetaplah kejahatan, dan
menurut Ki Sangir, pencuri wajib
dipotong-potong tangannya dan dirajang-
rajang kakinya. Hal tersebut tampak
dalam kutipan berikut.
Dan…keresahan penduduk Panjen
kian buncah lantaran sudah hampir
sebulan gerombolan pencuri belum
tertangkap. Beberapa orang mengaku
pernah melihat kelebat para pencuri,
namun seperti siluman mereka tiba-
tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah
terendus jejak apalagi bayangan
mereka. Beberapa orang lagi pernah
melihat gerombolan pencuri itu
mengendap-endap masuk serambi
surau, tapi begitu dilihat ke dalam
hanya kelengangan yang ada. Dendam
yang tak tertahan membuat laki-laki
dewasa penduduk Panjen dan para
cantrik Ki Sangir berjaga-jaga setiap
62 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
malam. Mereka tidak lagi menjadi
pengangkut batu kali, sebab tugas
menumpas kejahatan jauh lebih mulia.
Seorang pencuri harus dipotong-
potong tangannya, dirajang-rajang
kakinya! Begitu Ki Sangir berfatwa
dalam berbagai kesempatan dengan
mata merah nyalang (Winarsho, 2007:
41–42).
Dari kutipan tersebut terdapat kontradiksi
antara Ki Sangir dan Kyai Barnawi. Kyai
Barnawi sebagai seorang ulama, yang
selalu mengajarkan hidup harus sesuai
dengan syariat Islam dan perpedoman
pada Alquran tetapi malah
memerintahkan santrinya mencuri.
Sebaliknya, Ki Sangir yang tidak
menjalankan syariat Islam dan menjalani
ilmu hitam bersekutu dengan setan, tetapi
malah memerintahkan untuk memotong
tangan pencuri apabila tertangkap, yang
merupakan hukuman bagi pencuri
menurut Islam. Dari sinilah timbul
adanya konflik hukum antara kelompok
dan kelompok, yakni antara Padepokan
Sadikin dan Ki Sangir beserta penduduk
Dusun Panjen dan Kyai Barnawi beserta
santrinya.
Konflik hukum berlanjut ketika
Kyai Barnawi memprovokasi penduduk
Dusun Panjen dan sekitarnya bahwa
kelompok Ki Sangir adalah antek Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada saat
situasi politik negeri sedang panas karena
PKI dituduh oleh kubu Soeharto sebagai
dalang dibalik pembunuhan para
Jenderal. Soeharto pun berhasil
menyebarkan isu dan provokasi bahwa
PKI melakukan pemberontakan dan
ingin merebut kekuasaan Presiden.
Bahkan, PKI diisukan tidak beragama,
tidak bertuhan, dan isu negatif lainnya.
Sehari kemudian beberapa santri Kyai
Barnawi mengajak penduduk Gelang,
Kawul, Loba, Pangetan dan beberapa
dusun di sekitar Panjen memburu
anak buah Ki Sangir yang masih
hidup. Dibantu aparat Kodim mereka
berhasil menghasut penduduk bahwa
kelompok Ki Sangir adalah PKI.
Akhirnya satu per satu cantrik Ki
Sangir berhasil mereka tangkap dan
sembelih. Sebagian digantung untuk
peringatan bagi yang lain. Juga
anggota keluarganya. Mayat mereka
dibuang ke jurang bukit Cuwuk,
sebagian dihanyutkan di kali
(Winarsho, 2007: 113).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa
Kyai Barnawi memprovokasi penduduk
Dusun Panjen dan sekitarnya bahwa
kelompok Ki Sangir adalah antek PKI.
Meskipun tuduhan Kyai Barnawi tidak
nemiliki bukti yang kuat, hanya
berdasarkan asumsi bahwa Ki Sangir
tidak memiliki agama dan yang tidak
beragama itu komunis, tetapi di tengah
kondisi politik yang sudah panas ia
berhasil meyakinkan penduduk.
Selanjutnya, bersama aparat kodim yang
saat itu memang Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) atau
sekarang menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) ditugasi untuk
menumpas PKI, penduduk berhasil
menagkap para cantrik Ki Sangir. Tanpa
proses peradilan dan terbukti bersalah,
para cantrik pun langsung disembelih
dan mayatnya sebagian digantung,
dibuang di jurang bukit Cuwuk, dan
sebagian dihanyutkan di kali.
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 63
Konflik mengenai Prinsip-prinsip
Dasar
Dalam novel KGG, konflik mengenai
prinsip-prinsip dasar adalah perbedaan
pendapat atau pandangan mengenai
agama sebagai pegangan hidup. Kyai
Barnawi merupakan tipikal Islam
konservatif yang memperjuangkan
kemurnian ajaran Islam dan menganggap
ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat,
menyekutukan Allah. Sedangkan Sadikin
dan Ki Sangir yang mencoba
mempertahankan unsur-unsur
kebudayaan Jawa dalam praktik
keagamaan (kejawen) dan menganggap
Kyai Barnawi lupa pada akar budaya
sebagai orang Jawa.
“Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat!
Najis! Gusti Allah pasti mengutuk
mereka. Kalian jangan percaya ilmu
yang bersumber dari kekuatan iblis
dan setan. Hanya Al-qur’an satu-
satunya pegangan hidup yang akan
menyelamatkan nasib kalian.
Mengerti?!” ucap Kyai Barnawi
tengah malam pada beberapa
santrinya yang masih bertahan di
surau yang hampir roboh (Winarsho,
2007: 14).
Kyai Barnawi merupakan ulama yang
konservatif, ia dengan tegas mengatakan
hanya Alquran satu-satunya pegangan
hidup bagi manusia dan hanya kepada
Allah manusia menyembah dan
memohon pertolongan. Jadi, selain
menyembah dan memohon pertolongan
kepada Allah, menurut Kyai Barnawi
merupakan perbuatan syirik atau
menyekutukan Allah Swt., termasuk
yang diajarkan Sadikin dan Ki Sangir di
padepokannya. Sementara itu, menurut
Ki Sangir, Kyai Barnawilah yang lupa di
mana ia berada, ia membawa ajaran
Islam dari Arab, tetapi tidak bisa
menyesuaikan dengan budaya Jawa.
Seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut.
“Hanya ini pilihan terakhir untuk
mengaburkan ajaran Kyai Barnawi.
Dia membawa ajaran Islam dari tanah
Arab tapi lupa di mana sekarang
berada. Penduduk tanah Jawa lebih
percaya segala bentuk sesaji dan
kekuatan mistis yang berpangkal dari
alam; tanah, api dan udara. Mereka
harus selalu kita ingatkan untuk tetap
menjaga warisan para leluhur sebelum
keturunan mereka dikutuk menjadi
sekumpulan monyet atau babi!”
(Winarsho, 2007: 18).
Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan
bahwa menurut Ki Sangir, Kyai Barnawi
tidak menyesuaikan ajaran Islam dengan
kondisi sosial budaya masyarakat Jawa.
Penyebaran Islam di tanah Jawa oleh
Walisongo sendiri dilakukan dengan cara
akulturasi budaya. Budaya masyarakat
Jawa sebelum masuknya Islam yang
masih sangat dipengaruhi oleh Hindu
Buddha tetap dilestarikan, tetapi disisipi
nilai-nilai Islam melalui perangkat
budaya, selanjutnya dibersihkan dari
unsur-unsur syirik.
Kyai Barnawi dan Ki Sangir
memiliki perbedaan prinsip-prinsip dasar
mengenai agama. Keduanya sama-sama
memegang teguh prinsip yang
diyakininya. Kyai Barnawi yang
merupakan ulama yang konservatif
berusaha untuk mengatur hidup menurut
aturan-aturan agama Islam. Ajaran di
64 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
pesantren Kyai Barnawi menolak adat-
istiadat dan ritual Jawa dan
menggantinya dengan adat-istiadat yang
sesuai dengan hukum syariat Islam yang
berkiblat pada negara-negara Arab.
Sementara kelompok padepokan Ki
Sangir sebagai tipikal aliran kebatinan
atau kejawen berusaha untuk tetap
mempertahankan tradisi leluhurnya.
Kepercayaan aliran kebatinan ditentukan
oleh kepercayaan pada berbagai macam
roh, makhluk halus, danyang, atau
penunggu suatu tempat yang tidak dapat
dilihat, yang dapat menimbulkan
kecelakaan dan penyakit apabila mereka
dibuat marah atau kurang hati-hati.
Konflik Kepentingan
Dalam novel KGG, salah satu bentuk
konflik kepentingan adalah kepentingan
pribadi dari masing-masing pemimpin
kelompok, baik Kyai barnawi maupun
Sadikin dan Ki Sangir dibalik hegemoni
agama kepada penduduk Panjen.
Beberapa kali mencoba bunuh diri
terjun ke kali, tapi hanya membuat
kakinya perlahan-lahan remuk dan
membusuk. Kepalanya tengkleng ke
kiri, jalannya pincang, tapi tetap tak
mati. Orang-orang kemudian
menganggapnya sakti. Beberapa
orang datang ingin berguru. Sadikin
tak bisa menolak akhirnya mendirikan
padepokan demi mendapatkan
kekayaan (Winarsho, 2007: 12).
Sejak awal Ki Sangir paham Kyai
Barnawi akan menjadi ancaman besar
bagi padepokan. Ajaran-ajaran Kyai
Barnawi bisa membuat para cantrik
bubar. Itu artinya ia tak bisa makan
enak dan menghisap tembakau tjap
Tjitoek yang harganya cukup mahal
(Winarsho, 2007: 16).
Dari kutipan tersebut jelas bahwa tujuan
Sadikin mendirikan padepokan karena
ingin mendapat kekayaan setelah dirinya
tidak bisa bekerja sebagai kuli
pengangkut batu lagi karena kakinya
pincang dan kepalanya tengkleng ke kiri.
Lalu Sadikin mengangkat Ki Sangir
sebagai pimpinan padepokan, Ki Sangir
pun akhirnya merasakan hidup yang
lebih enak, bisa merokok dengan
tembakau yang mahal.
Sama halnya di balik maksud Kyai
Barnawi untuk menuntun penduduk
Panjen di jalan kebenaran sesuai dengan
syariat Islam, ternyata ingin membangun
pesantrennya agar bisa menyaingin
kemegahan pedepokan Sadikin. Setelah
ia menjadi kaya dan pesantrennya
megah, Kyai Barnawi memanfaatkannya
untuk berpoligami.
Pesantren Kyai Barnawi akhirnya bisa
berdiri megah menyaingi padepokan
Sadikin. Santrinya mulai bertambah
banyak tapi justru datang dari luar
Panjen, seperti Kranji, Luwung,
Srabeg, Kendang, Semplak, Granti
dan beberapa dusun di pesisir selatan
yang mayoritas penduduknya miskin
dan bodoh. Kyai Barnawai menikah
lagi dengan dua santri perempuannya
setelah istri pertamanya meninggal
hanya beberapa saat setelah ia minta
izin menikah (Winarsho, 2007: 56).
Setelah pesantern Kyai Barnawi berdiri
megah, secara otomatis pesantrennya
pun memiliki reputasi yang baik dan
kabar tersebut tersebar hingga luar
daerah. Tidak butuh waktu lama setelah
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 65
istri pertamanya meninggal, Kyai
Barnawi pun menikahi kedua santri
perempuannya. Sebagai seorang ulama,
Kyai Barnawi terkesan
menggampangkan poligami yang
sebenarnya syaratnya sangat berat.
Konflik dalam Hubungan Intim atau
Akrab
Dalam novel KGG, bentuk konflik dalam
hubungan intim dan akrab terjadi dalam
internal kelompok padepokan, yakni
antara Sadikin dan Ki Sangir yang sama-
sama ingin menyingkirkan satu sama lain
agar bisa menjadi orang nomor satu di
padepokan. Konflik internal tersebut
sangat berpengaruh terhadap konflik
eksternal dengan pesantren Kyai
Barnawi. Tujuan awal untuk
menyingkirkan Kyai Barnawi menjadi
tertunda. Berikut kutipannya.
Tapi diam-diam Sadikin memendam
gusar. Ia sadar sesungguhnya tak
memiliki kesaktian apa-apa kecuali
berkali-kali bunuh diri tapi tidak mati.
Kesaktian dan pamor Ki Sangir bisa
menjungkirkannya dalam sekejap
menjadi makhluk paling hina serupa
kadal. Terpikir oleh Sadikin suatu saat
harus membunuh Ki Sangir agar tetap
menjadi orang nomor satu di
padepokan (Winarsho, 2007: 19).
Sadikin ingin menyingkirkan Ki Sangir
karena tidak ingin suatu saat nanti ia
kalah pamor oleh Ki Sangir dan terbuang
dari padepokan, biar bagaimanapun
Sadikin merasa padepokan tersebut
dialah yang mendirikannya, maka ia pun
juga harus menjadi nomor satu di
padepokan tersebut. Sementara itu,
kekecewaan Ki Sangir kepada Sadikin
terdapat pada kutipan berikut.
Ki Sangir diam-diam kecewa sebab
Sadikin seperti lupa padepokannya
bisa maju pesat semata-mata karena
campur tangannya. Kini setelah
kesuksesan ada di depan mata laki-
laki pincang itu mulai berani
lancang. ... Ia baru ingat ternyata
bukan hanya Kyai Barnawi yang
menjadi ancaman padepokan tapi
justru Sadikin sendiri. Ia harus
menyingkirkan semua ancaman dan
itu akan lebih baik jika dimulai dari
orang terdekat (Winarsho, 2007:
20).
Ki Sangir merasa sikap Sadikin berubah.
Sadikin telah lancang dan lupa bahwa
kesuksesan padepokan sekarang ini
adalah karena jasa Ki Sangir. Sikap
Sadikin yang demikian, tentulah
dianggap Ki Sangir bisa mengancam
posisinya di padepokan. Untuk itu, Ki
Sangir ingin menyingkirkan Sadikin.
Biar bagaimanapun, Ki Sangir merasa
padepokan ini menjadi sukses semata-
mata karena jasanya.
Penyebab Konflik antara Kelompok
Abangan dan santri dalam Novel KGG
Sesuai dengan bentuk konflik antara
kelompok abangan dan santri dalam
novel KGG yang telah ditemukan dan
jelaskan sebelumnya, maka penyebab
konflik antara kelompok abangan dan
santri dalam novel KGG terdiri atas
penyebab konflik pertandingan
antagonistik, penyebab konflik hukum,
penyebab konflik menenai prinsip-
66 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
prinsip dasar, dan penyebab konflik
kepentingan.
Penyebab Konflik Pertandingan
Antagonistik
Konflik pertandingan antagonistik dalam
novel KGG disebabkan oleh adanya rasa
khawatir dari Kyai Barnawi atas
keberadaan padepokan Sadikin bisa
membuat santri-santrinya pergi
meninggalkan pesantren. Begitupun
sebaliknya, Sadikin dan Ki Sangir juga
merasa keberadaan Kyai Barnawi
dengan ajaran-ajaranya bisa
membubarkan para cantrik dan
menghalanginya untuk membangun
padepokan menjadi lebih besar. Hal
tersebut tampak pada kutipan berikut.
Tapi Kyai Barnawi murka.
Pesantrennya hanya berjarak tiga ratus
meter dari padepokan Sadikin.
Pesantren tua yang merupakan rumah-
rumah panggung terbuat dari papan
kayu peninggalan Belanda itu
kehilangan lima belas santrinya kabur
mengikuti ajaran Ki Sangir. Setiap
hari Kyai Barnawi murung, gelisah.
Puluhan tahun mengajarkan Al-qur’an
dan kitab kuning seolah sia-sia
(Winarsho, 2007: 14).
Mengetahui Kyai Barnawi sangat vokal
dalam menentang keberadaan
padepokannya, Sadikin dan Ki Sangir
pun juga merasa resah. Mereka tidak
ingin tujuannya untuk membesarkan
padepokan gagal dengan keberaan Kyai
Barnawi karena jika cantrik-cantrik di
padepokannya bubar, Sadikin dan Ki
Sangir tidak bisa hidup enak lagi.
Sejak awal Ki Sangir paham Kyai
Barnawi akan menjadi ancaman besar
bagi padepokan. Ajaran-ajaran Kyai
Barnawi bisa membuat para cantrik
bubar. Itu artinya ia tak bisa makan
enak dan menghisap tembakau tjap
Tjitoek yang harganya cukup mahal
(Winarsho, 2007: 16).
Mengetahui Kyai Barnawi sangat vokal
dalam menentang keberadaan
padepokannya, Sadikin dan Ki Sangir
pun juga merasa resah. Mereka tidak
ingin tujuannya untuk membesarkan
padepokan gagal dengan keberaan Kyai
Barnawi, karena jika cantrik-cantrik di
padepokannya bubar, Sadikin dan Ki
Sangir tidak bisa hidup enak lagi. Jadi,
adanya rasa khawatir pada lawan akan
menghalangi tujuannya adalah penyebab
konflik pertandingan antagonistik antara
Padepokan Sadikin dan pesantren Kyai
Barnawi.
Penyebab Konflik Hukum
Dalam novel KGG, penyebab adanya
konflik hukum didasarkan atas perintah
Kyai Barnawi kepada para santrinya
untuk mencuri harta milik penduduk
Panjen, dengan alasan mencuri untuk
kepentingan membangun Islam itu
diperbolehkan. Penyebab konflik hukum
lainnya adalah ketika Kyai Barnawi
menuduh kelompok Ki Sangir Sebagai
antek PKI.
Memang perih hidup dalam belenggu
kemiskinan. Ujian terberat yang bisa
membuatmu tergelincir dalam kufur,
begitu tertulis dalam sebuah kitab.
Menahan sahwat lebih mudah dari
pada menahan haus dan lapar. Kyai
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 67
Barnawi pun menyerah, angkat tangan
silau melihat padepokan Sadikin
berdiri megah serupa kerajaan
Sulaiman. Duh, Gusti, apakah salah
jika aku menandingi padepokan
Sadikin meski harus menyuruh para
santriku mencuri? Jerit Kyai Barnawi
berkali-kali selepas shalat malam
sembari tengadah menghadap langit
(Winarsho, 2007: 28).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa
yang menyebabkan Kyai Barnawi
memerintah santrinya untuk mencuri
adalah karena iri dan tergoda melihat
kemegahan padepokan Sadikin
sementara dirinya begitu miskin dan
pesantrennya hampir ambruk. Sebagai
seorang ulama sudah bisa dipastikan
bahwa ia mengetahui dan memahami
bahwa mencuri itu dilarang oleh
agama dan negara, hal ini
menimbulkan konflik batin pada diri
Kyai Barnawi sebelum akhirnya
membuat keputusan untuk
memerintahkan santrinya mencuri.
Penyebab konflik hukum lainnya
adalah ketika Kyai Barnawi menuduh
kelompok Ki Sangir Sebagai antek PKI.
Seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut.
Kyai Barnawi menuduh kelompok Ki
Sangir antek PKI. Alasannya agama
Ki Sangir tidak jelas. Malah Ki Sangir
menganggap dirinya sebagai Tuhan.
Ki Sangir sesungguhnya tidak
bertuhan alias atheis. Dan atheis sama
saja dengan PKI. PKI adalah atheis!
Begitu kesimpulan Kyai Barnawi.
Dengan alasan itu Kyai Barnawi
menyuruh santrinya membunuh Ki
Sangir. Di pihak lain, Ki Sangir
menuduh Kyai Barnawi telah
menyerobot lahan sawah penduduk
dan biang kerok pencurian hingga
membuat penduduk dusun Panjen
mlarat (Winarsho, 2007: 108-109).
Isu PKI yang sedang memanas tersebut
dimanfaatkan oleh Kyai Barnawi, ia
menuduh kelompok Ki Sangir adalah
antek PKI. Menurut Kyai Barnawi PKI
itu tidak bertuhan, tidak bertuhan berarti
PKI. Maka dari itu PKI dilarang oleh
negara dan antek-anteknya sedang diburu
untuk dimusnahkan. Hal tersebut
menyebabkan konflik hukum yang pada
akhirnya kelompok Ki Sangir ditangkap
dan dibunuh dengan sadis oleh penduduk
yang dibantu aparat Kodim.
Penyebab Konflik mengenai Prinsip-
prinsip Dasar
Konflik mengenai prinsip-prinsip dasar
dalam novel KGG disebabkan oleh
perbedaan keyakinan beragama antara
Kyai Barnawi dan Sadikin serta Ki
Sangir dan kedua belah pihak sama-sama
tidak memiliki rasa toleransi terhadap
perbedaan ajaran agama yang berbeda
dengan yang diyakininya.
Tapi suatu hari Kyai Barnawi benar-
benar tak bisa menahan murka melihat
Sadikin dan Ki Sangir mulai terang-
terangan menyuruh para cantrik
mengirim sesaji berupa potongan
kepala kambing betina bunting untuk
perempuan iblis penunggu kali. “Agar
Nyi Ratu Krasak mau berdamai
dengan kalian! Ingatlah bahwa Nyi
Ratu Krasak akan melindungi kalian
dari setiap bencana dan musim
paceklik lewat perantara Pangeran
Sejati!” Begitu ucap Ki Sangir
berulang-ulang. Memang benar sejak
68 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
itu tak ada lagi pengangkut batu yang
mati menggelinding dari ketinggian.
Tak ada godaan dari perempuan iblis
laknat dengan panggilan suaranya
yang merdu atau lambaian tangan
(Winarsho, 2007: 25).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa
setelah penduduk Panjen melakukan
slametan dengan mengirim sesaji kepada
Nyi Ratu Krasak, sudah tidak ada lagi
kuli pengangkut batu yang mati
menggelinding dari ketinggian. Hal
tersebut, tentu saja membuat Kyai
Barnawi marah, yang pertama karena
Sadikin dan Ki Sangir telah menyuruh
penduduk Panjen untuk melakukan hal
syirik dengan menyembah selain Allah
dan kedua karena setelah penduduk
melakukan slametan benar-benar sudah
tidak ada lagi gangguan dari wanita iblis
itu. Sementara itu, selama ini ia
berceramah untuk memohon
perlindungan hanya kepada Allah, tetapi
masih saja banyak penduduk Panjen
yang meninggal dunia akibat godaan
wanita iblis tersebut. Hal tersebutlah
yang menyebabkan terjadinya konflik
mengenai prinsip-prinsip dasar, yakni
prinsip beragama antara Kyai Barnawi
dan Sadikin serta Ki Sangir.
Penyebab Konflik Kepentingan
Dalam novel KGG, konflik yang terjadi
antara padepokan Sadikin dan pesantren
Kyai Barnawi disebabkan oleh adanya
kepentingan pribadi dari masing-masing
pemimpin kelompok, baik Kyai Barnawi
maupun Sadikin dan Ki Sangir. Hal
tersebut timbul karena adanya
kesempatan atau peluang yang dimiliki
oleh subjek untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Penyebab Sadikin mendirikan
padepokan agar dirinya bisa
mendapatkan kekayaan adalah karena
dirinya yang tidak mati-mati setelah
berkali-kali mencoba bunuh diri, hingga
orang-orang menganggap dirinya sakti
dan berguru kepadanya. Kesempatan
tersebut dimanfaatkan oleh Sadikin
untuk mendapatkan kekayaan dengan
cara mendirikan padepokan yang
mengajari ilmu kanuragan dan ilmu
kehidupan lainnya kepada penduduk
Panjen. Berikut kutipannya.
Beberapa kali mencoba bunuh diri
terjun ke kali, tapi hanya membuat
kakinya perlahan-lahan remuk dan
membusuk. Kepalanya tengkleng ke
kiri, jalannya pincang, tapi tetap tak
mati. Orang-orang kemudian
menganggapnya sakti. Beberapa
orang datang ingin berguru. Sadikin
tak bisa menolak akhirnya mendirikan
padepokan demi mendapatkan
kekayaan. Terimakasih, gusti, di balik
kakiku yang pincang dan kepalaku
tengkleng ke kiri rejeki datang tak
terduga-duga. Demikian Sadikin
merasa pantas bersyukur. Tetapi ia
sadar tak memiliki kesaktian apa pun,
kecuali berkali-kali bunuh diri dan
tidak mati. Sadikin kemudian
mengangkat Ki Sangir sebagai
pimpinan padepokan (Winarsho,
2007: 12).
Seperti halnya Sadikin, tujuan Kyai
Barnawi memperjuangkan Islam juga
memiliki kepentingan tertentu,
sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan berikut.
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 69
Kyai Barnawi tersenyum lembut.
Harum minyak kasturi di surbannya
mengembang. “Sekali lagi Jaenab,
setiap cobaan selalu ada hikmanya,
ingatlah itu! Hanya Rasulullah yang
beristri sembilan sebab beliau adalah
manusia pilihan. Beliau adalah
seutama manusia yang pernah ada di
muka bumi ini. Umatnya hanya
dibolehkan beristri empat. Itu pun
hanya untuk mereka yang bisa berlaku
adil pada istri-istrinya seperti… diriku.
Dan…Jaenab, seandainya kamu tidak
keberatan aku ingin menjadikanmu
istri yang ke empat. Siapa tahu ini
memang hikmah dari cobaan yang
menimpamu.” (Winarsho, 2007: 64).
Setelah pesantren Kyai Barnawi menjadi
besar, megah, dan memiliki banyak
santri, ia lalu menikah lagi setelah istri
pertamnya meninggal. Bahkan pada saat
salah satu santrinya Jaenab habis
diperkosa oleh Mondir, Kyai Barnawi
pun memanfaatkannya untuk menikahi
Jaenab menjadi istri keempatnya dengan
alasan ingin menolongnya.
Penyebab konflik dalam hubungan
intim atau akrab
Dalam novel KGG, konflik dalam
hubungan intim atau akrab yang terjadi
antara Sadikin dan Ki Sangir disebabkan
oleh timbulnya rasa tersinggung dan
sakit hati atas sikap atau perkataan orang
lain, dalam hal ini adalah kerabat yang
sudah akrab kepada dirinya. Sadikin
tersinggung karena kakinya yang
pincang dan lehernya yang tengkleng
ditatap aneh oleh Ki Sangir, sedangkan
Ki Sangir sakit hati karena Sadikin
menyarankan dirinya untuk membunuh
anaknya. Berikut kutipannya.
... Ki Sangir mengajak Sadikin
berembug mengatur siasat agar
penduduk Panjen tak berpaling dari
padepokan. ... Ki Sangir terus berpikir
keras hingga tiba-tiba di kepalanya
terbesit ide cemerlang saat melihat
kaki Sadikin yang pincang dan
kepalanya tengkleng ke kiri. ...
Sadikin yang merasa terhina kaki
pincangnya ditatap dengan cara aneh
oleh Ki Sangir hampir meludahi
wajah laki-laki di depannya itu
(Winarsho, 2007: 16–17).
Dari kutipan tersebut dapat diketahui
bahwa penyebab timbulnya kebencian
Sadikin terhadap Ki Sangir adalah
Sadikin yang merasa terhina saat Ki
Sangir menatap kakinya yang pincang
dan lehernya yang tengkleng ke kiri
meskipun secara verbal Ki Sangir tidak
menghina fisik Sadikin, tetapi dari cara
Ki Sangir memandangnya dengan
tatapan yang aneh, hal itu tentu membuat
Sadikin tersinggung.
Selanjutnya, Sadikin yang sakit
hati terhadap Ki Sangir pun tidak tinggal
diam. Ia mengusulkan agar Ki Sangir
membunuh anaknya yang menjadi santri
di pesantren Kyai Barnawi, seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut.
“Bagaimana dengan anakmu, Sangir?
Dia menjadi santri Kyai Barnawi. Aku
kawatir dia yang akan menghalang-
halangi langkahmu sendiri. Apakah
tidak sebaiknya dia dibunuh?” ... Ki
Sangir yang baru menghisap
tembakau tersedak batuk-batuk.
Dadanya panas mendengar ucapan
Sadikin. Ia tidak percaya laki-laki
pincang itu melontarkan kalimat
seperti itu. Hanya binatang yang tega
70 ALAYASASTRA, Volume 17, No. 1, Mei 2021
membunuh darah daging sendiri
(Winarsho, 2007: 19–20).
Perkataan Sadikin tersebut seketika
membuat Ki Sangir panas. Demi bisa
melancarkan rencana untuk
menyingkirkan Kyai Barnawi, Sadikin
tega menyarankan Ki Sangir agar
membunuh anaknya sendiri.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dipaparkan sebelumnya mengenai
konflik antara kelompok abangan dan
santri dalam novel KGG, maka
diperoleh simpulan sebagai berikut.
Bentuk konflik antara kelompok
abangan dan santri dalam novel KGG
berdasarkan teori konflik Simmel
meliputi (1) konflik pertandingan
antagonistik; (2) konflik hukum; (3)
konflik mengenai prinsip-prinsip
dasar; (4) konflik kepentingan, dan (5)
konflik dalam hubungan intim atau
akrab.
Konflik merupakan fenomena
tidak bisa dihindari dan sering terjadi
dalam masyarakat. Konflik dalam
masyarakat terjadi karena adanya
kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan tertentu. Konflik
antarkelompok beragama, termasuk
kelompok abangan dan santri
seringkali terjadi karena masing-
masing berusaha mempertahankan
ajaran yang diyakininya dan tidak
adanya rasa toleransi terhadap
kepercayaan lain yang berbeda dengan
yang diyakininya.
Selain itu, konflik antara
kelompok abangan dan santri dalam
novel KGG juga tidak lepas dari
kepentingan individu pemimpin
kelompok untuk mencapai tujuan
politisnya. Faktor disasosiatif seperti
kebencian, kecemburuan, dan lain
sebagainya memang menjadi
penyebab terjadinya konflik. Oleh
sebab itu, kepentingan-kepentingan
kekuasaan memanfaatkan unsur agama
agar dapat mencapai tujuan politisnya,
dari cara yang sehat hingga harus
menggunakan kekerasan untuk
meniadakan pihak lawan.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. (2010).
Sosiologi Sastra Pengantar
Ringkas. Tangerang Selatan:
Editum.
Endraswara, Suwardi. (2013).
Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Center for Academic
Publishing Service (CAPS).
Faruk. (2012a). Metode Penelitian
Sastra; Sebuah Penjelajahan
Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Faruk. (2012b). Pengantar Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Geertz, Clifford. (1981). Abangan,
Santri, Priayi dalam Masyarakat
Jawa. Terjemahan Aswab
Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Haryanto, Sindung. (2012). Spektrum
Teori Sosial: dari Klasik hingga
Postmodern. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Noor, Redyanto. (2004). Pengantar
Pengkajian Sastra. Semarang:
FASindo.
Konflik antara Kelompok Abangan dan Santri... (Sugiono dan Mulyono) 71
Safe’i, Badarudin. (2015). “Novel
Kantring Genjer-Genjer Karya
Teguh Winarsho: Analisis
Strukturalisme Genetik Lucien
Goldmann”. Tesis pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada.
Soekanto, Soerjono dan Winarno
Yudho. (1986). Georg Simmel:
Beberapa Teori Sosiologis.
Jakarta: RaJawali.
Winarsho, Teguh. (2007). Kantring
Genjer-genjer. Lamongan:
Pustaka Pujangga.
Wirawan, Ida Bagus. (2012). Teori-
teori Sosial dalam Tiga
Paradigma (Fakta Sosial, Definisi
Sosial, dan Perilaku Sosial).
Jakarta: Kencana.
Zaahiroh, Irma Tri. (2018). “Konflik
Sosial dalam Novel Maryam
Karya Okky Madasari (Perspektif
Georg Simmel)”. Skripsi pada
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Surabaya.