kondisi politik dan ekonomi banten awal kemerdekaan
TRANSCRIPT
KONDISI POLITIK DAN EKONOMI BANTEN AWAL KEMERDEKAAN
1945-1947
Wilayah Banten awalnya hanyalah merupakan suatu daerah kadipaten dari
Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Banten Girang. Kemudian setelah masuk pengaruh
Islam, Banten menjelma menjadi salah satu kerajaan Islam besar di Nusantara. Masuknya
Belanda untuk pertama kalinya di bawah pimpinan Cornellis de Houtman pada 1596 dan
diikuti oleh bangsa asing lainnya di tahun-tahun berikutnya, menjadi awal dari semua
permasalahan di Kerajaan Banten. Di kemudian hari, hal ini juga menjadi akhir dari
kedaulatan Banten sebagai kerajaan yang besar. Ketidaksediaan Banten untuk bekerja
sama menjadi alasan bagi Belanda untuk bertindak tegas. Pada masa kepemimpinan
Thomas Stamford Raffles status Kerajaan Banten kemudian dihapuskan pada 1813
(Michrob, 1989:11).
Di bawah kekuasaan Raffles, status Banten menjadi sebuah daerah karesidenan
yang dipimpin seorang residen. Wilayah Banten pada saat itu dibagi menjadi empat
kabupaten yang sebelumnya hanya tiga pada masa Daendels, yaitu: Kabupaten Banten
Lor (utara), Kabupaten Banten Kidul (selatan), Kabupaten Banten Kulon (barat), dan
Kabupaten Banten Tengah. Pembagian wilayah di Banten ini terus berlanjut sampai
pertengahan abad ke-191. Melalui Regeering-Reglement (RR) 1854 wilayah administratif
Banten dibagi ke dalam empat wilayah kabupaten seperti saat pemerintahan Raffles,
1 Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Daendels pada 1808 Kerajaan Banten setelah pembumihangusan Keraton Susowan, Banten dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan yaitu Banten Hilir, Banten Hulu, dan Anyer, dan ketiga daerah ini berada di bawah pengawasan prefek/landrosambt. Kemudian berdasarkan Staatsblad 1828, No. 81 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Van der Capellen wilayah banten dibagi lagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Banten Utara dengan ibu kota Serang, Kabupaten Banten Barat dengan ibu kota Caringin, dan kabupaten Banten Selatan dengan ibu kota Lebak (Lubis, 2003: 94-96).
yaitu: Kabupaten Utara dengan ibu kota Serang, Kabupaten Barat dengan ibu kota
Caringin, Kabupaten Tengah dengan ibu kota Pandeglang, dan Kabupaten Selatan dengan
ibu kota Lebak. Pada akhir abad ke-19 wilayah administratif karesidenan Banten
diperluas lagi dengan penambahan empat afdeeling, yakni: Anyer, Pandeglang, Caringin,
dan Lebak (Lubis, 2003: 96).
Pada saat Jepang mendarat di Indonesia pada 10 Januari 1942 di Tarakan,
Kalimanatan Timur, Banten menjadi tujuan pendaratan selanjutnya dari pasukan Jepang.
Tepatnya di Teluk Banten (Merak) Jepang mulai menapakkan kakinya di Banten. Di
bawah pendudukan Jepang istilah karesidenan diganti menjadi shu yang dipimpin oleh
seorang shuchokan. Perubahan nama ini didasarkan atas penyetaraan dengan sistem
pemerintahan yang dianut Jepang. Pada masa pendudukan Jepang Kabupaten Tanggerang
masuk ke dalam karesidenan Banten. Kemudian setelah Indonesia merdeka wilayah
Banten kembali terdiri dari tiga kabupaten seperti masa pemerintahan Belanda, yaitu
Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak, sedangkan Kabupaten
Tanggerang dimasukkan ke dalam wilayah Karesidenan Jakarta Raya (Suharto, 2001:
38).
Saat Jepang menyerah kepada Sekutu, berita penyerahan tersebut tidak sampai ke
telinga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Hal ini tak lain karena pihak Jepang telah
menyegel segala bentuk siaran radio dari luar, dan hanya radio resmi milik Gunseikan
(pemerintah pendudukan Jepang) yang dapat menerima siaran tersebut. Berita tentang
penyerahan tersebut hanya sampai ke telinga orang-orang Jepang. Begitu pula di Banten,
hanya para pegawai pemerintahan Jepang yang mendapat kabar penyerahan pada 15
Agustus 1945 tersebut2. Bahkan pada 16 Agustus 1945 Shucokan Banten saat itu Kolonel
Ban Yokiyosi pergi ke Jakarta untuk memenuhi panggilan atasannya tanpa
memberitahukan perihal keberangkatannya kepada Fuku Suchokan Raden Tumenggung
Rangga Tirtasoejatna. Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh orang-orang Jepang
lainnya di Banten, baik yang bertugas di pemerintahan maupun militer. Kepergian orang-
orang Jepang tersebut juga tidak diberitahukan kepada wakil mereka di kantor-kantor
pemerintahan, yang sebagian besar orang-orang pribumi. Tampaknya tindakan orang-
orang Jepang tersebut mengikuti amanat dari kaisar Jepang yang disiarkan radio resmi
pemerintah pendudukan Jepang. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan kekosongan
kekuasaan di Banten di kemudian hari (Lubis, 2003: 163, dan Suharto, 2001: 74).
Perihal berita proklamasi kemerdekaan, masyarakat Banten belum banyak yang
mengetahuinya. Hanya sebagian kecil kalangan yang merupakan kaum intelektual yang
mengetahui berita tersebut melalui siaran radio. Mereka yang mengetahui tentang berita
tersebut berjumlah sedikit, sehingga belum berani meyampaikannya kepada umum.
Selain itu, mereka masih meragukan kebenaran berita tersebut, sehingga berita tersebut
tidak tersebar secara umum, dan beberapa dari mereka hanya membicarakannya lewat
mulut ke mulut di kalangan terbatas. Dengan demikian, situasi Banten saat itu masih
tenang dan kondusif, karena masyarakat belum mengetahui bahwa Indonesia sudah
merdeka, sehingga belum ada aksi serta perayaan kemerdekaan.
Berita tentang proklamasi kemerdekaan baru tersebar luas di masyarakat Banten
setelah datangnya para pemuda dari Jakarta yang diutus Chaerul Saleh untuk membawa
berita proklamasi untuk masyarakat Banten. Pemuda yang di antaranya terdiri dari 2 Berita tentang penyerahan Jepang di Banten sudah dahulu diketahui oleh sebagian kecil kaum intelekual Indonesia yang sebagian besar pegawai pemerintahan. Namun, mereka tidak berani bertindak lebih jauh dan membicarakannya secara terbuka kepada umum, mereka takut akan Jepang yang masih memilki kekuatan senjata lengkap (Suharto, 2001: 79).
Pandoe Kartawigoena, Abdoel Moeloek, dan Ibnoe Parna diutus untuk menemui para
tokoh masyarakat Banten di antaranya, K.H. Ahmad Khatib, K.H. Syam’un, Zulkarnaen
Surya, serta tokoh pemuda Ayip Dzuhri dan Ali Amangku mantan shodancho yugekitai.
Maksud kedatangan para utusan dari Jakarta adalah agar para tokoh tersebut dapat
meneruskan berita secara berantai kepada masyarakat di seluruh Banten. Bersamaan
dengan itu diserahkan juga beberapa lembar salinan teks proklamasi dan beberapa surat
kabar terbitan Jakarta yang memuat berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Mereka juga menyampaikan pesan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian
Jepang, dan menyerukan agar para pemuda merebut kekuasaan dari tangan Jepang
(Suharto, 2001: 80).
Menindaklanjuti kedatangan utusan dari Jakarta itu, maka beberapa pemuda yang
tergabung dalam API (Angkatan Pemuda Indonesia) berinisiatif untuk membentuk suatu
badan penerangan yang bertugas menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh penjuru
Banten. Para anggota badan ini berasal dari bekas anggota yugekitai yang ditarik menjadi
anggota API, mereka disebar ke berbagai penjuru Banten. Para anggota dikirim untuk
menggerakkan pemuda, dan ada yang menghubungi para ulama dan kiai di pesantren-
pesantren besar dengan tujuan agar mereka memberikan penerangan kepada masyarakat.
Selain menyampaikan kemerdekaan, badan penerangan ini juga mengobarkan semangat
juang masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan, juga menanamkan pemahaman
bahwa kemerdekaan ini bukanlah pemberian dari Jepang. Dalam waktu lima hari seluruh
masyarakat Banten sudah mengetahui tentang berita kemerdekaan (Lubis, 2003: 167, dan
Suharto, 2001: 81).
Suasana Banten sesaat setelah tersebarnya berita kemerdekaan Indonesia menjadi
memanas, ini tak lain karena semangat kemerdekaan yang tengah melanda pemuda saat
itu. Pada 27 Agustus 1945 para pemuda di Serang menurunkan bendera Jepang yang ada
di kantor-kantor pemerintahan dan kemudian mengibarkan bendera merah putih, dimulai
dari kantor karesidenan, kantor kabupaten, serta kantor-kantor yang dianggap penting.
Penurunan bendera ini berlangsung lancar dan tanpa hambatan sedikit pun dari pihak
Jepang. Tak hanya di kantor-kantor pemerintah, masyarakat pun turut mengibarkan
bendera merah putih di depan rumahnya masing-masing. Dalam waktu seminggu bendera
merah putih berkibar hampir di seluruh karesidenan Banten.
Bersamaan dengan peristiwa penurunan bendera Jepang tersebut, banyak orang
Jepang yang kemudian pergi meninggalkan Banten menuju Jakarta. Begitupun dengan
Shucokan Yokiyosi. Sementara orang-orang militer masih tetap berada di pos-pos untuk
menjaga status quo seperti yang telah disepakati bersama Sekutu. Kemudian peristiwa ini
berlanjut dengan pengusiran orang Jepang yang ada di Banten. Setelah diadakan
perundingan, pihak Jepang setuju untuk angkat kaki dari Banten dengan syarat pihak
BKR Banten bersedia menjamin keselamatan seluruh orang Jepang yang masih ada di
Banten, dan mengumumkan agar semua orang Jepang yang masih berada di Karesidenan
Banten untuk segera berkumpul di markas kempetai Serang, untuk selanjutnya dikawal
menuju Jakarta oleh BKR. Selain itu juga pihak Jepang bersedia untuk menyerahkan
senjatanya kepada pihak BKR sebelum dilucuti tentara Sekutu.
Sementara untuk mengumpulkan tentara Jepang yang berada di Gorda dan Sajira,
pihak kempetai meminta bantuan BKR karena khawatir akan tindakan-tindakan dari
masyarakat. Untuk itu, kemudian dikirim anggota BKR untuk menjemput tentara Jepang
tersebut. Namun, salah satu rombongan yang menjemput tentara Jepang di Sajira
mendapat hadangan dari masyarakat Warunggunung, mereka menyerbu ke dalam truk
yang berisi orang Jepang, dan berujung dengan adanya korban jiwa dari pihak Jepang.
Dengan adanya kejadian penyerbuan tersebut, pihak Jepang merasa kecewa dan
mengurungkan niatnya untuk menyerahkan senjatanya kepada pihak Banten. Melihat hal
tersebut beberapa perwakilan dari pemerintah daerah Banten mencoba berunding
kembali, namun dihiraukan pihak Jepang, tentara Jepang bahkan telah membuat barikade
di depan markas kempetai. Dengan adanya tindakan Jepang tersebut, para tokoh sepakat
untuk menyerang markas kempetai dan mengambil secara paksa senjata dari tangan
Jepang (Michrob, 1989: 151).
Tidak hanya orang-orang Jepang yang pergi meninggalkan Banten, beberapa
pegawai pamong praja yang berasal dari daerah Priangan pun turut pulang ke daerah
asalnya. Ini tak lain karena masyarakat Banten tidak menyukai orang-orang dari luar
daerah yang sengaja didatangkan untuk menjadi pegawai pamong praja, dan mereka
sering dijadikan sasaran kemarahan rakyat karena dianggap sebagai antek penjajah.
Prasangka demikian bertambah ketika adanya berita penyerahan Jepang serta proklamasi
kemerdekaan. Para pegawai pamong praja sebenarnya telah mengetahui kedua berita
tersebut lebih awal daripada masyarakat, namun mereka tidak berani menyampaikannya
bahkan untuk bertindak lebih jauh karena takut kepada Jepang. Bahkan tidak hanya
pegawai yang pergi, Raden Tirtasoejatna pun ikut pergi bersama keluarganya ke Bogor.
Sebenarnya Raden Tirtasoejatna telah ditunjuk oleh pemerintah republik untuk menjadi
Residen Banten (Michrob, 1989: 147).
Kepergian residen serta para pegawai menimbulkan sebuah kekosongan kekusaan
pemerintahan di Banten. Melihat keadaan demikian para pemuda berinisiatif untuk
melakukan pertemuan dengan para tokoh guna menunjuk pemimpin Banten. Pertemuan
yang dilakukan di rumah Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa (mantan ketua Dewan
Penasihat Karesidenan masa Jepang) menghasilkan keputusan penunjukan K.H. Tb.
Achmad Chatib3 sebagai Residen Banten, dan pada 6 Oktober 1945 pemerintah pusat
mengesahkan pengangkatan tersebut melalui telegram. Di samping itu, untuk urusan-
urusan mengenai pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang serta badan perjuangan
dan organisasi pemuda, ditunjuk Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa dan Ali Amangku
(Suharto, 2001: 86).
Tidak lama setelah ditunjuk sebagai Residen Banten, Residen Achmad Chatib
langsung menyusun kelengkapan pemerintahan daerah4, dan diputuskan bahwa pejabat
lama tetap pada kedudukannya masing-masing. Keputusan seperti ini diambil dengan
3 K.H. Tb. Achmad Chatib lahir dikampung Gayam, Cadasari, Pandeglang tahun 1895. Putera seorang ulama besar Pandeglang yaitu K.H. Tb. Muhammad Waseh. Ia merupakan murid dari K.H. Asnawi ulama besar dari Caringin. Achmad Chatib masuk dan aktif di SI (Sarekat Islam) serta menjadi ketua cabang Labuan. Perkenalan dengan ketua PKI seksi Banten Puradisastra membuatnya tertarik untuk mengikuti segala kegiatan PKI. Aktifitasnya bersama PKI ini membuatnya berurusan dengan pemerintah Belanda. Sebelum pecah pemberontakan PKI 1926 pemerintah menangkap dan mengasingkannya ke Boven Digul. Pada akhir tahun 1930-an Ia dipulangkan dan masih dalam pengawasan pemerintah. Kemudian pada masa pendudukan Belanda Ia dipanggil untuk mengikuti pendidikan tentara Peta, dan ditunjuk menjadi daidancho tentara Peta yang berkedudukan di Labuan (Suharto, 2001: 87).4 Susunan staf pemerintahan karesidenan sebagai berikut:Residen : K.H. Tb. Achmad ChatibWk. Residen : Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa (merangkap sebagai ketua KNID)Sekretaris : SoebariKabag. Umum : M. SastraadmadjaKabag. Keuangan : R. Abubakar SutawinangunKabag. peneranagan : H. Muhammad NurKabag. Kemakmuran : HirlanKabag. Sosial : SirlanKabag. Pertanian : TanuwidjajaKabag. Kesehatan : dr. PurwosudarmoKabag. Tenaga Kerja : H. Mas Gogo Rafiudin SandjadirdjaKabag. Kepolisian : Komisaris Oskar KoesoemaningratBupati Serang : R.T.A. Hilman DjajadiningratBupati Pandeglang : Mr. R.T. Djumhana WiriaatmadjaBupati Lebak : R.T. Hardiwinangoen (Suharto, 2001: 89).
pertimbangan dalam keadaan transisi seperti saat itu, para pejabat lama lebih mengetahui
administrasi pemerintahanan. Selain itu juga, dibentuk KNID dengan Dzoelkarnaen
Soeria Karta Legawa yang ditunjuk sebagai kepalanya. Komite ini bertindak sebagai
pengganti badan perwakilan rakyat yang bertugas membantu jalannya pemerintahan
daerah (Suharto, 2001: 89).
Penunjukan perangkat pemerintahan yang terdiri dari para pejabat lama,
memunculkan rasa ketidakpercayaan dari masyarakat terutama dari golongan pemuda.
Masyarakat menganggap para pejabat lama itu tidak akan memberikan kontribusi apa pun
terhadap pemerintah Banten. Mereka tak ubahnya sebagai antek-antek penjajah dan
warisan kolonial yang tidak memiliki semangat kemerdekaan dan tidak sejalan dengan
arus revolusi, serta ditakutkan nantinya akan membantu Belanda kembali yang memang
sudah datang kembali ke Indonesia. Banyak tuntutan untuk segera mengganti mereka
yang merupakan pejabat lama. Namun, residen beranggapan bahwa pejabat lama yang
memiliki keahlian masih sangat diperlukan demi berjalannya pemerintaha, sedangkan
untuk mendapatkan pejabat baru yang memenuhi syarat dan sejalan dengan kondisi
politik saat itu tidak mudah.
Dengan timbulnya rasa ketidakpuasan akan keputusan dari residen yang tetap
mempertahankan para pejabat lama, mengubah situasi politik di Banten saat itu. Muncul
aksi sepihak dari masyarakat yang dengan caranya sendiri menginterpretasikan
kemerdekaan dan kedaulatan rakyat. Melihat kondisi demikian, maka residen membentuk
sebuah panitia yang kemudian membagi dua kelompok pegawai berdasarkan unsur
pegawai. Unsur pertama terdiri dari para ulama yang menangani urusan di bidang
keamanan, sedangkan unsur kedua terdiri dari para pejabat dan pegawai lama yang
ditugasi bidang administrasi pemerintahan. Selain itu, residen juga mengeluarkan
pengumuman untuk para pamong praja lama yang masih ingin tinggal di daerah Banten
dipersilahkan bekerja terus sebagai pegawai pemerintah yang diperbantukan (Suharto,
2001: 110).
Rasa ketidakpuasan yang terpendam dalam diri sebagian masyarakat kemudian
mencapai puncaknya dengan munculnya suatu kelompok yang menamakan dirinya
Dewan Rakyat. Mereka kemudian mendatangi residen dan menyampaikan tuntutan agar
residen membatalkan surat pengangkatan para pegawai pemerintahan yang terdiri dari
pejabat lama serta menggantinya dengan orang-orang yang telah ditunjuk oleh Dewan
Rakyat. Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka terpaksa Dewan Rakyat akan melenyapkan
orang-orang yang dianggap “tidak disenangi rakyat” tersebut. Dewan Rakyat berisikan
orang-orang yang berjiwa radikal dan revolusioner, dan sebagian besar merupakan orang-
orang komunis. Dewan Rakyat ini sendiri dipimpin oleh Mohamad Mansur atau lebih
dikenal sebagai Ce Mamat5 (Suharto, 1996: 11).
Gerakan dari Dewan Rakyat ini mencapai puncaknya ketika pada 27 Oktober
1945 menemui residen di kantor karesidenan. Ce Mamat sebagai pimpinan memaksa
Residen K.H. Achmad Chatib agar menyerahkan kekuasaan kepadanya. Dengan melihat
banyaknya massa yang berkumpul di depan karesidenan, maka residen dengan terpaksa
menerima tuntutan itu karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bersamaan
dengan keluarnya maklumat tertanggal 28 Otober 1945 yang ditandatangani Ce Mamat,
5 Ce Mamat atau Mohamad Mansur pada tahun 1926 menjadi sekretaris PKI cabang Anyer dan turut serta dalam pemberontakan komunis di tahun yang sama. Namun, seiring dengan kegagalan aksinya ia melarikan diri ke Malaya, dan di sana ia kemudian bergabung dengan Partai Republik Indoenesia (PARI) bentukan Tan Malaka. Tahun 1932 ia kemudian kembali ke Banten dan menjadi seorang pengacara. Di masa pendudukan Jepang pun ia pernah dijebloskan ke penjara, dan baru dibebaskan tahun 1945. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia sebelum menjadi memimpin gerakan Dewan Rakyat ia merupakan ketua KNID Kabupaten Serang (Suharto, 2001: 112).
Bupati Serang Hilman Djajadiningrat, dan Residen Banten K.H. Achmad Chatib, dewan
mengambil alih kekuasaan Banten. K.H. Achmad Chatib tetap pada posisinya sebagai
residen, namun itu hanya simbol belaka, sedangkan segala kekuasaan dipegang oleh Ce
Mamat sebagai ketua Dewan Rakyat (Suharto, 2001: 114).
Dalam melakukan aksinya Dewan Rakyat sering bertindak radikal dan cenderung
melewati batas. Ini terlihat dengan maraknya aksi penggeledahan dan perampokan rumah
para priyayi oleh anggota Dewan Rakyat. Setelah menguasai karesidenan mereka
kemudian menguasai beberapa kantor jawatan yang dianggap penting, seperti Jawatan
Pos, Jawatan Listrik, Jawatan Kemakmuran, dan stasiun kereta api. Bahkan mereka
membuat lembaga semacam dewan perwakilan rakyat sendiri dan tidak mengakui
keberadaan KNID. Dalam bidang keamanan selain membentuk Laskar Gulkut6, dewan
juga membentuk kepolisian sendiri yang dinamakan Polisi Keamanan Rakyat. Untuk
bidang ekonomi dibentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang ditugasi mengelola
pendistribusian bahan pangan rakyat (Suharto, 2001: 115).
Kekesalan pemerintah memuncak setelah adanya penangkapan dewan terhadap
Komandan Resimen III Divisi 1000 Letkol. Entol Ternaya, dan Kepala Kepolisian
Karesidenan Banten Oskar Koesoemaningrat, serta terbunuhnya mantan Bupati Lebak
R.T. Hadiwinangun, maka Residen Achmad Chatib memerintahkan untuk melakukan
penumpasan. Di samping itu, kedatangan kedua tokoh nasional Soekarno beserta Moh.
Hatta di Banten yang menyampaikan pidato untuk menjaga persatuan dan menegakkan
negara Indonesia, serta menyerukan rakyat agar tidak berbuat menurut kehendak sendiri
turut mempengaruhi agar dilakukan penumpasan Dewan Rakyat. Akhirnya, aksi Dewan
6 Gulkut merupakan akronim dari gulung bukut. Bukut sendiri berarti sebagai tutup kepala yang biasa dipakai oleh para pamong praja saat itu. Laskar Gulkut dibentuk dewan untuk “menggulung” atau membunuh pamong praja (Suharto, 2001: 111).
Rakyat ini berakhir pada 8 Januari 1946. Serangan serentak yang dilakukan oleh pasukan
TKR di tiga kota yaitu Serang, Pandeglang, dan Rangkasbitung berhasil menumpas
anggota dewan, dan menangkap Ce Mamat setelah Ia melarikan diri ke Bogor. (Suharto,
2001: 120).
Di saat daerah-daerah lain di Indonesia yang pada saat itu kondisi keamanannya
tidak begitu kondusif seiring dengan kedatangan tentara Sekutu beserta NICA, serta
bentrokan-bentrokan fisik antara pihak republik dengan tentara Sekutu dan NICA yang
hampir terjadi di seluruh daerah-daerah republik tidak terjadi di Banten. Ini karena
Banten tidak mendapat gangguan dan menjadi sasaran pendaratan Sekutu. Sekutu hanya
mendarat di kota-kota besar, dan menganggap Banten bukan sebagai daerah yang sangat
penting untuk diduduki. Hal ini dilakukan Sekutu karena memang letak Banten yang
tidak begitu jauh dari Jakarta, sehingga Sekutu tidak perlu memfokuskan tugasnya di
Banten dan hanya mengamati situasi Banten dari daerah terdekat. Setidaknya sampai
dengan dilancarkannya Agresi Militer Belanda yang kedua pada tahun 1948, tidak ada
kekuataan besar dari pihak asing yang menduduki Banten selepas Indonesia merdeka.
Dengan tidak adanya kehadiran pihak Sekutu dan NICA di Banten, bukan berarti
tidak ada kontak antara masyarakat Banten dengan kekuatan asing yang berusaha
mengagalkan kemerdekaaan Indonesia. Melihat banyaknya tindakan tentara asing di
beberapa daerah yang terkadang tidak dapat ditolerir, pemerintah dan masyarakat secara
bersama-sama menentukan sikap politik terhadap tindakan tersebut. Mereka menyatakan
tidak dapat menerima kedatangan tentara asing itu di Banten, dan apabila ada tentara
asing yang memasuki wilayah Banten pemerintah beserta masyarakat tidak menjamin
keselamatan tentara asing tersebut (Merdeka, 1 Desember 1945).
Kondisi keamanan Banten dapat dikatakan relatif aman dari gangguan pihak
asing. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk daerah perbatasan, terutama di sisi timur
yang berbatasan dengan Karesidenan Jakarta Raya dan Karesidenan Bogor. Pada tahun
1946 banyak terjadi bentrokan antara pasukan Banten dengan Belanda di daerah garis
demarkasi. Saat akan dilancarkannya Agresi Militer pertama pada 20 Juli 1947 Belanda
membom Lapangan Udara Gorda yang belokasi di Serang, dan perairan Banten dimasuki
dua kapal perang Belanda yang kemudian menembaki gudang pelabuhan. Namun, usaha
provokasi pihak Belanda dapat diredam oleh tentara Banten yang membalas tembakan
itu, sehingga kedua kapal perang tersebut mundur. Usaha Belanda ini tak lain adalah
untuk memecah kekuatan dari TNI (Suharto, 2001: 165).
Saat Agresi Militer Belanda pertama dilancarkan pada Juli 1946, Belanda tidak
menyerang dan menduduki wilayah Banten. Belanda hanya memberlakukan blokade dan
isolasi terhadap Banten. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan penjagaan ketat
Banten dari daerah Mauk yang berada di sebelah utara sampai garis pantai Samudera
Hindia di selatan, serta melakukan pengawasan dan patroli di Perairan Selat Sunda, di
dekat Pelabuhan Merak. Isolasi dan blokade terhadap Banten dilakukan agar hubungan
Banten dengan daerah lain dan pemerintah pusat atau sebaliknya menjadi sulit. Selain itu,
juga untuk mengganggu proses integrasi Banten dengan pemerintah pusat, dan
melemahkan kedudukannya di Banten, sehingga menimbulkan rasa ketidakpercayaan
terhadap pemerintah pusat dan berharap Banten melepaskan diri dari Republik Indonesia
(Suharto, 2001: 168).
Adapun alasan Belanda tidak menduduki Banten didasarkan pada beberapa
kemungkinan. Pertama, dilihat dari segi ekonomi Banten bukanlah sebuah daerah yang
menguntungkan jika dikuasai. Kedua, dari segi politik Belanda meragukan Banten,
apakah Banten setelah dikuasai dapat dijadikan daerah yang berdiri sendiri di luar
Republik Indonesia, mengingat kebencian rakyat Banten yang begitu besar kepada
Belanda (Suharto, 2001: 168).
Dalam hal perekonomian, apa yang dihadapi Banten pada umumnya sama seperti
apa yang dialami Indonesia pada saat itu. Selepas keperpergian Jepang, ekonomi Banten
semakin anjlok karena memang keadaan demikian sudah terjadi sejak masa pendudukan
Jepang dari tahun 1942-1945. Kekurangan akan sandang dan pangan sewaktu
pendudukan Jepang meningkat menjelang akhir tahun 1944, dan bertambah buruk serta
meluas pada tahun berikutnya, dan ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Keadaan
demikian menciptakan ketegangan sosial seperti yang terjadi di Cinangka, Anyer pada 16
Agustus 1945. Saat itu para petani mendatangi rumah camat Cinangka untuk meminta
agar bahan sandang yang dikuasai segera diserahkan kepada rakyat, namun camat
menolak dan kemudian petani merampok rumahnya. Melihat situasi yang mulai tak
terkendali, camat Cinagka pergi untuk meminta bantuan ke Anyer. Camat beserta
rombongan wedana Anyer kemudian pergi ke Cinangka guna menyelesaikan masalah
tersebut. Namun, saat akan tiba rombongan langsung diserang petani dan mengakibatkan
terbunuhnya wedana Anyer, sementara anggota rombongan yang lain berhasil melarikan
diri (Suharto, 1996: 7).
Pada masa awal kemerdekaan kehidupan masyarakat Banten sangat menderita,
karena kondisi ekonomi yang masih belum mantap akibat eksploitasi yang dilakukan
Jepang semasa pendudukannya. Melihat kondisi yang demikian, maka tidak aneh
masyarakat menamakan masa itu dengan sebutan “jaman susah”. Dalam kehidupan
perekonomian, masyarakat Banten pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani,
baik sebagai petani penggarap atau pun pemilik sawah. Di samping itu, ada juga
kelompok masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang, tukang, dan nelayan.
Tidak jarang sebagian masyarakat petani bermigrasi ke daerah tetangga seperti Lampung
dan Jakarta untuk mendapat tambahan penghasilan. Masalah utama yang terjadi di
Banten pada awal-awal kemerdekaan adalah sekitar kelangkaan bahan pangan (Sumarlin,
tt: 66).
Adapun kelangkaan pangan yang melanda Banten disebabkan beberapa faktor
antara lain: tidak adanya tenaga pengolah sawah dikarenakan penduduk terutama kaum
laki-laki banyak yang dikirim ke perbatasan Banten-Tanggerang untuk mempertahankan
kemerdekaan. Sementara, penduduk laki-laki yang tersisa merupakan orang-orang yang
baru pulang dari kerja paksa oleh Jepang (romusha). Selain itu, irigasi tidak berjalan
dengan baik karena banyak saluran air yang tersumbat. Dengan kondisi yang seperti
demikian banyak masyarakat Banten yang terpaksa memakan makanan yang berasal dari
batang dan umbut (tunas muda) pepohonan tertentu yang bisa dimakan. Selain itu, banyak
juga yang memakan pohon berbangah dan ares gedang (batang pisang), umbut kelapa,
dedaunan, serta bulgur (bubur singkong). Tidak heran jika pada masa awal kemerdekaan
terjadi kelaparan di beberapa daerah, termasuk di Banten (Sumarlin, tt: 70).
Semasa Dewan Rakyat berkuasa di Banten, suatu dewan lain dibentuk guna
mengurusi perekonomian yang dinamakan dengan Dewan Ekonomi Rakyat. Dewan
Ekonomi Rakyat ini bertugas untuk mengatur distribusi pangan di masyarakat. Selain itu,
dewan juga mengambil alih cadangan beras, gula, garam, dan tapioka dari Jepang yang
kemudian membagi-bagikan kepada masyarakat secara langsung. Alih-alih untuk
menyelesaikan masalah dan membantu masyarakat, dewan yang berisi orang-orang
radikal dan revolusioner ini justru memperburuk keadaan. Selain itu, diharapkan
membantu masyarakat dalam mengatasi masalah ekonomi, dewan bukannya mendapat
simpati serta dukungan masyarakat untuk aksinya, masyarakat malah membenci semua
tindakan dewan. Ini tak lain karena dalam setiap aksinya dewan cenderung bertindak
melewati batas bahkan cenderung melakukan kekerasan (Suharto, 1996: 14).
Di samping kelangkaan bahan pangan, Banten pada masa-masa awal
kemerdekaan mengalami kelangkaan bahan sandang. Kelangkaan sandang ini lebih
dikarenakan perdagangan kain masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina, sehingga
masyarakat tidak sanggup lagi membelinya dengan harganya yang tinggi. Dengan
demikian, maka tidak heran saat itu banyak masyarakat yang memakai kain dari bekas
karung yang ditambal dan dijadikan pakaian, celana kampil (karung goni), dan sarung
kadut (karung) (Sumarlin, tt: 71).
Distribusi yang sangat terbatas juga menjadi salah satu faktor dari kelangkaan
barang-barang kebutuhan pokok di masyarakat. Ini terjadi tak lain karena kondisi sosial
dari masyarakat saat itu yang tidak mendukung dan mengakibatkan distribusi dari
barang-barang kebutuhan pokok tersendat bahkan tidak sampai ke tempat tujuan, karena
sering terjadi perampokan di tengah jalan atau juga dikorupsi oleh orang-orang yang
membawanya (Sumarlin, tt: 71).
Banten memiliki perusahaan perkebunan dan tanah guna usaha terdapat hampir di
seluruh wilayah, dengan rincian sebagai berikut: Kabupaten Serang terdapat 11
perusahaan dan 81 tanah guna usaha, Kabupaten Pandeglang terdapat 34 perusahaan dan
98 tanah guna bangunan, dan untuk Kabupaten Lebak terdapat 64 perusahaan dan 200
tanah guna usaha. Jumlah keseluruhan untuk perusahaan perkebunan dan tanah guna
usaha di wilayah Banten adalah 109 perusahaan dan 379 tanah guna usaha. Dari kondisi
tersebut, Karesidenan Banten memiliki hasil tanaman antara lain: padi, tebu, kacang,
kapas, kelapa, lada, kopi, karet, dan melinjo. Selain hasil tanaman, Karesidenan Banten
juga menghasilkan beberapa hasil ternak antara lain: ikan, kerbau, domba, kambing, dan
lembu. Di samping hasil alam di atas, hasil lain dari Banten didapat dari barang tambang
yang terdapat di Kabupaten Lebak yaitu: tambang emas di Cikotok, dan batu bara di
Bayah (Suharto, 2001: 42).
Masalah ekonomi yang melanda Banten disamping belum mantapnya kondisi
ekonomi Indonesia, juga karena kurangnya koordinasi dengan pemerintah pusat yang
berkenaan dengan keputusan-keputusan yang harus diambil untuk mengatasi masalah
ekonomi. Selain itu, Banten juga disibukkan dengan pengambilalihan kekuasaan dari
pihak Jepang serta pemulihan keamanan, dan pembentukan pemerintahan daerah yang
baru, sehingga mengakibatkan pemerintah belum mampu untuk mengatasi permasalah
ekonomi saat itu.
Selain itu, pemberlakukan blokade ekonomi Belanda atas Indonesia
berdampaknya terhadap perekonomian daerah. Beberapa macam barang kebutuhan
sehari-hari yang didatangkan dari luar jadi sulit didapat di Banten, meskipun ada
harganya menjadi sangat mahal.
Untuk mengatasi kesulitan akan kebutuhan barang-barang pokok masyarakat,
bermacam langkah diambil oleh pemerintah bersama masyarakat. Salah satunya dengan
cara menggunakan beberapa barang sebagai pengganti barang kebutuhan pokok. Barang-
barang pengganti tersebut, antara lain seperti mengganti bensin dengan bahan bakar hasil
pendestilasian karet. Kebutuhan akan gula disiasati dengan menggunakan gula merah.
Sabun cuci dengan buah kelerak atau ada beberapa orang yang mendirikan pabrik sabun
cuci menggunakan alat-alat sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan garam dapur,
masyarakat sepanjang pantai Selat Sunda dan Lautan Hindia membuat garam dengan cara
sederhana. Kebutuhan akan obat-obatan dipenuhi masyarakat dengan membuat sendiri
obatnya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di Banten (Suharto, 2001:
170).
Untuk mengatasi barang-barang yang tidak tersedia di Banten, Di daerah
perbatasan juga sering diadakan barter dengan masyarakat yang tinggal di daerah
kekuasaan Belanda. Selain itu, masyarakat juga seringkali menitipkan kepada tentara
yang bertugas di perbatasan agar mengusahakan barang-barang yang dibutuhkan melalui
orang yang akan masuk ke daerah kekuasaan Belanda. Bahkan terkadang sering
dilakukan usaha penyelundupan barang-barang dari daerah keuasaan Belanda (Majiah,
1993: 124).
Tidak hanya itu, untuk meningkatkan pendapat daerah Pemerintah mengeluarkan
peraturan yang diperuntukkan bagi para pedagang, dan menghimbau pedagang tidak
semaunya mengambil untung besar, untuk membantu masyarakat. Di dalam peratutan
tersebut juga disebutkan untuk para pedangang yang keluar wilayah Banten setelah
sekembalinya dari luar daerah, diharapkan membawa barang-barang terutama bahan
pakaian dan alat-alat yang diperlukan masyarakat dengan besaran yang sudah ditentukan,
yaitu sebanyak 50% dari harga barang yang diekspor. Namun, semua peratutan itu tidak
ada seorang pedangang pun yang mematuhinya (Suharto, 2001: 172)7.7 Sejak bulan September 1947, pemerintah memberlakukan peraturan mengenai barang-barang ekspor yang keluar. Semua pedagang diharuskan mempunyai lisensi untuk ekspor. Untuk memperoleh lisensi itu, seorang pedagang harus memiliki surat yang menunjukkan bahwa ia telah memasukkan barang-barang ke Banten, dan membayar pajak penghasilan serta diharuskan memberi sumbangan untuk pertahanan daerah.
Pembatasan ekspor juga diberlakukan terhadap beberapa komoditi, seperti kopi, kopra, dan minyak (Bureau Republik Indonesia No. 153, dalam Suharto, 2001: 172).