komunikasi politik multiaktor dalam konflik …digilib.unila.ac.id/56144/2/tesis tanpa bab...

152
KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIK PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH PROVINSI JAMBI TAHUN 2015 (Tesis) Oleh : ZUHAIRI SANOFI PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2019

Upload: others

Post on 24-May-2020

28 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIK

    PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH

    PROVINSI JAMBI TAHUN 2015

    (Tesis)

    Oleh :

    ZUHAIRI SANOFI

    PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2019

  • ABSTRAK

    KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIK

    PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH

    PROVINSI JAMBI TAHUN 2015

    Oleh

    ZUHAIRI SANOFI

    Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) dinamika komunikasi politik

    multiaktor dalam proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 dan (2)

    peran KPU Kota Sungai Penuh dalam konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun

    2015. Dengan menggunakan tipe deskriptif dan metode studi kasus, adapun hasil

    yang diperoleh adalah komunikator politik utama sebelum konflik, yaitu (1)

    Paslon, (2) KPU Kota Sungai Penuh, dan (3) Panwas Kota Sungai Penuh,

    sedangkan pilihan institusi sebagai aktor konflik dan komunikator politik selama

    konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015, yaitu motif (1) Paslon HM-NJ

    membuktikan pelanggaran dan kecurangan pilkada, (2) KPU Kota Sungai Penuh

    melawan tuduhan, (3) Panwas Kota Sungai Penuh melaksanakan intervensi, (4)

    Bawaslu Provinsi Jambi menjalankan fungsi sebagai atasan panwas Kota Sungai

    Penuh dan sebagai bawahan Bawaslu RI, (5) LSM AMPKS mobilized

    participation, serta (5) Media massa cetak sebagai saluran komunikasi. Selama

    konflik berlangsung, pesan-pesan multiaktor cenderung sebagai penyebab konflik,

    dimana pesan politik peserta pilkada yang disadur dari visi dan misi

    bertransformasi menjadi pesan mencari keadilan pilkada, pesan politik

    penyelenggara pilkada mengenai mekanisme pilkada bertransformasi menjadi

    pesan pencitraan lembaga dan berorientasi pada strategi komunikasi contending

    dan problem solving, pesan LSM AMPKS cenderung menunjukkan persekutuan

    dan pesan media massa cetak sebagai salah satu pemicu eskalasi konflik. Tujuan

    komunikasi politik awalnya membangun citra politik, partisipasi politik,

    sosialisasi politik, pendidikan politik, dan opini publik, saat konflik berlangsung

    hanya fokus pada penciptaan opini publik. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam

    konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 sejalan dengan fungsi tugas,

    wewenang dan kewajiban sebagai penyelenggara pilkada.

    Kata Kunci: Komunikasi Politik, Multiaktor, Konflik Pilkada

  • ABSTRACT

    POLITICAL COMMUNICATION OF MULTIACTOR POLITICS IN THE

    CONFLICT OF ELECTION OF MAYOR AND VICE MAYORS IN

    SUNGAI PENUH JAMBI PROVINCE IN 2015

    By

    ZUHAIRI SANOFI

    This research aims to analyze (1) the dynamics of multiactor political

    communication involved in 2015 Sungai Penuh City Leader Election (Pilkada)

    conflict process, and (2) the role of Sungai Penuh General Election Commission

    (KPU Kota Sungai Penuh) during the conflict. By using descriptive and case

    study method, result shows that the main political communicators involved before

    conflict arised were (1) election participants (candidate pairs); (2) Sungai Penuh

    City General Election Commission, and (3) Panwas of Sungai Penuh City; while

    institutional choices as conflict actors and political communicators during the

    conflict were these motives: (1) HM-NJ candidate pairs proving electoral

    violations and fraud, (2) Sungai Penuh City General Election Commission

    fighting against the accusation, (3) Panwas of Sungai Penuh City doing

    intervention, (4) Bawaslu of Jambi Province performing role as superior of Sungai

    Penuh City Panwas as well as subordinate of Bawaslu RI, (5) Non-Governmental

    Organization for College Students and Students of Sungai Penuh City (NGO

    AMPKS) mobilized participation, and (6) Printed mass media as communication

    channel. During the occurence of conflict, multiactor messages are quite the cause

    of conflict; political messages of the local leader election participants adapted

    from vision and mission has transformed into a message of seeking electoral

    justice, while political message of election committee about election mechanism

    has transformed into a message of institutional imaging and oriented to

    contending and problem solving communication strategies. On the other hand, the

    messages of NGO AMPKS are more likely to take sides, and mass media

    messages are one that triggers conflict to escalate. If initially the purpose of

    political communication were to build a political image, political participation,

    political socialization, political education and public opinion; during the conflict it

    only focused on creating public opinion. The role of Sungai Penuh City General

    Election Committe during the 2015 Sungai Penuh City Leader Election conflict is

    in line with its functions of duties, authorities and obligations as regional

    election's organizers.

    Key Word: Political Communication, Multiactor, Local Election Conflict

  • KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIKPEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH

    PROVINSI JAMBI TAHUN 2015

    Oleh :

    ZUHAIRI SANOFI

    Tesis

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarMAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

    Pada

    Program Pascasarjana Magister Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

    PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG

    2019

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Kota Jambi pada tanggal 10 November 1983, anak dari

    pasangan Bapak H. A. Karim Taher dan Ibu Hj. Zurmaini. Penulis merupakan

    anak kelima dari enam bersaudara.

    Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan di Sekolah

    Dasar (SDN) Negeri No.166/III Desa Koto Renah pada Tahun 1995, kemudian

    melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Sungai Penuh

    dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah

    Menengah Umum (SMU) Negeri 2 Sungai Penuh dan lulus pada tahun 2001.

    Selanjutnya tahun 2002 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata 1 Program

    Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

    Bengkulu dan lulus tahun 2007. Pada tahun 2007-2008 penulis bekerja sebagai

    pegawai di PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk sebagai Account Officer (AO),

    selanjutnya pada tahun 2009-2010 bekerja di PT. Bank Syariah Mandiri (BSM)

    sebagai Pelaksana Marketing Support (PMS) . Pada tahun 2010 penulis mulai

    bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Instansi Sekretariat Komisi

    Pemilihan Umum (KPU) pada Satuan Kerja Sekretariat Kota Sungai Penuh

    hingga saat ini.

  • PERSEMBAHAN

    Kupersembahkan hasil karya ini kepada orang-orang yang berharga dalam

    hidupku :

    1. Kedua orangtuaku, Abah H. A. Karim Taher dan Mak Hj. Zurmaini;

    2. Kedua Mertuaku Ayah Noftiman Nasir dan Umi Hj. Metty Rosita serta

    Among dan Ajong;

    3. Kakak dan adikku Zurman Yani, Zabarul Bahri, Zulhadmi Nofrizal, Kasuma

    Puri Zuryani, dan Mery Rukmana Dewi;

    4. Istriku tercinta Intan Sherlin, S.Si, M.Sc. terimakasih atas dukungan serta

    perhatian yang diberikan kepada penulis;

    5. Anakku tersayang Zahra Syifa Sanofi dan Zaid Izzan Sanofi, penyemangat

    penulis selama menjalani kuliah ini.

    6. Institusiku Komisi Pemilihan Umum

    7. Almamaterku Universitas Lampung.

  • MOTTO

    "Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."

    Ali Imran (3 : 146)

  • SANWACANA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

    rahmat, karunia dan kasih sayang-Nyalah sehingga akhirnya penulis dapat

    menyelesaikan tesis ini yang berjudul : “Komunikasi Politik Multiaktor dalam

    Konflik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh Provinsi

    Jambi Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

    Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) pada Program Pascasarjana Magister Ilmu

    Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

    Tesis ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.

    Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

    terimakasih kepada :

    1. Bpk. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas

    Lampung;

    2. Bpk Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana

    Universitas Lampung;

    3. Bpk Dr. Syarief Makhya selaku Dekan FISIP Universitas Lampung;

    4. Bpk Drs. Hertanto, Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

    Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sekaligus Dosen Pembimbing

    Tesis, terimakasih atas seluruh bimbingan, saran, dan dukungan sehingga

    penulis bisa memahami makna sabar dan dapat menyelesaikan tesis dengan

    baik;

  • 5. Ibu Dr. Feni Rosalia, M.Si selaku Koordinator Sekretaris Program Studi

    Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung;

    6. Bpk Dr. Suwondo, M.A. selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas

    dukungan dan motivasinya;

    7. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A. selaku Pembimbing Utama Tesis, terimakasih

    atas bimbingannya yang terbaik, saran, dukungan serta motivasi kepada

    penulis;

    8. Bpk. Dr. Sindung Haryanto, M.Si., selaku Penguji Utama Tesis, terimakasih

    atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan,

    saran, baik terkait substansi tesis maupun tausiah kepada penulis, semoga

    tetap istiqomah;

    9. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar di Program Pascasarjana Magister Ilmu

    Pemerintahan FISIP Universitas Lampung;

    10. Narasumber tesis yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi

    informasi;

    11. Seluruh staf Administrasi di Program Pascasarjana Magister Ilmu

    Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan Karyawan TU FISIP

    Universitas Lampung yang ikut serta membantu dengan sabar dan melayani

    dengan baik;

    12. KPU RI yang telah bersedia memberikan kesempatan beasiswa kepada

    penulis;

    13. Komisioner, Sekretaris, Kasubbag, serta staf KPU Kota Sungai Penuh,

    terimakasih atas dukungannya;

  • 14. Mahasiswa MIP konsentrasi Tata Kelola Pemilu batch 2 (Ikhsan, Yuliza,

    Risma, Susi, Mery, Tohap, Agung, Muhajiroh, dan Silvi) termasuk Antoniyus,

    Chandra, dan Fajar serta rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Otonomi Daerah

    dan Manajemen Pemerintahan;

    15. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis

    yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

    Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

    kesempurnaan, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

    siapa saja yang membacanya.

    Wassalam,

    Bandar Lampung, Februari 2019

    Penulis,

    Zuhairi Sanofi

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

    ABSTRAK .............................................................................................................. ii

    ABSTRACT ........................................................................................................... iii

    LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv

    LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v

    SURAT PERNYATAAN....................................................................................... vi

    RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii

    PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii

    MOTTO ................................................................................................................. ix

    SANWACANA ....................................................................................................... x

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

    DAFTAR DIAGRAM .......................................................................................... xiii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

    I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

    A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 16

    C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 16

    D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 16

    II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 18

    A. Tinjauan Tentang Konflik ............................................................................ 18

    1. Pengertian Konflik dan Konflik Politik pada Pemilihan Kepala Daerah 18

    2. Konflik dalam Perspektif Komunikasi .................................................... 25

    3. Konflik Sebagai Akibat Komunikasi ...................................................... 29

    B. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik ......................................................... 31

    1. Definisi Komunikasi ............................................................................... 31

    2. Definisi Komunikasi Politik ................................................................... 38

    3. Komunikasi Politik Sebagai Penyebab Konflik Pilkada ......................... 48

    4. Komunikasi Politik dalam Upaya Resolusi Konflik ............................... 51

    5. Teori-Teori Penyebab Konflik ................................................................ 53

    C. Tinjauan Tentang Integritas Pemilu dan Kecurangan Pemilu ..................... 54

    D. Teori-teori yang Digunakan ......................................................................... 56

    D. Kerangka Teori............................................................................................. 63

  • III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 65

    A. Tipe Penelitian ............................................................................................. 65

    B. Fokus Penelitian ........................................................................................... 67

    C. Sumber Data dan Informan .......................................................................... 68

    D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 72

    E. Teknik Keabsahan Data ............................................................................... 75

    F. Teknik Analisis Data .................................................................................... 77

    IV. GAMBARAN UMUM .................................................................................. 80

    A. Gambaran Umum Kota Sungai Penuh ......................................................... 80

    1. Letak Geografis ....................................................................................... 80

    2. Batasan dan Wilayah Adminstratif ......................................................... 80

    B. Gambaran Umum Pilkada Serentak Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ......... 81

    C. Konflik dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Sungai Penuh

    Serentak Tahun 2015.................................................................................... 84

    1. Aktor-aktor dalam Konflik ..................................................................... 97

    2. Penyebab Konflik .................................................................................. 103

    3. Dampak Konflik .................................................................................... 108

    4. Resolusi Konflik ................................................................................... 111

    V. HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA ................................................ 115

    A. Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pemilihan Walikota dan Wakil

    Walikota (Pilwako) Sungai Penuh Tahun 2015 Sebelum Konflik ............ 115

    1. Sumber Komunikasi Politik .................................................................. 119

    a. Pasangan Calon Sebagai Sumber Komunikasi Politik .................... 122 b. Penyelenggara Pilkada Sebagai Komunikator Politik .................... 126 c. Analisa Sumber Komunikasi Politik Multiaktor pada Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 .............................................................. 138

    2. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai

    Penuh Tahun 2015 ................................................................................ 148

    a. Pesan Komunikasi Politik Pasangan Calon (Paslon) ...................... 148 b. Pesan Komunikasi Penyelenggara Pilkada ..................................... 163 c. Analisa Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor pada Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 ............................................................. 181

    3. Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai Penuh

    Tahun 2015 ........................................................................................... 190

    a. Tujuan Komunikasi Politik Paslon ................................................. 190 b. Tujuan Komunikasi Penyelenggara Pilkada ................................... 193 c. Analisa Tujuan Komunikasi Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai

    Penuh Tahun 2015 .......................................................................... 196

    B. Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pemilihan Walikota dan Wakil

    Walikota (Pilwako) Sungai Penuh Tahun 2015 Selama Konflik ............... 202

    1. Sumber Komunikasi Politik dan Aktor dalam Konflik Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 204

    a. Pasangan Calon HM-NJ .................................................................. 204

  • b. Penyelenggara Pilkada .................................................................... 208 c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) AMPKS ............................ 216 d. Media Massa Cetak ......................................................................... 220 e. Analisis Sumber Komunikasi Politik dan Aktor dalam Konflik

    Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ........................................ 224

    2. Isi (Pesan) Komunikasi Politik dalam Konflik Pilkada Kota Sungai

    Penuh Tahun 2015 ................................................................................ 229

    a. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Pasangan Calon HM-NJ................ 229 b. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Penyelenggara Pilkada .................. 239 c. Isi (Pesan) Komunikasi Politik LSM AMPKS ............................... 260 d. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Media Massa Cetak ....................... 263 e. Analisa Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik

    Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................... 269

    3. Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 287

    a. Tujuan Komunikasi Politik Paslon HM-NJ .................................... 287 b. Tujuan Komunikasi Politik Penyelenggara Pilkada........................ 289 c. Tujuan Komunikasi Politik LSM AMPKS ..................................... 291 d. Tujuan Komunikasi Politik Media Massa ....................................... 293 e. Analisa Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik Pilkada

    Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ..................................................... 295

    C. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Pilkada Kota Sungai Penuh

    Tahun 2015 ................................................................................................ 301

    1. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Demonstrasi .............. 302

    2. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Kebijakan ................... 306

    3. Analisa Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 309

    D.Analisis Kesesuaian Teori dan Fakta serta Analisis Taksonomi ................ 314

    VI. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 319

    A. Simpulan .................................................................................................... 319

    B. Saran ........................................................................................................... 322

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Rentetan konflik, pemicu dan akibat konflik pilkada di Indonesia ............. 2

    2. Jenis konflik dan aktor yang terlibat pada pilkada Sungai Penuh ............. 10

    3. Biodata Informan berdasarkan Inisial, Jenis Kelamin dan Umur ............. 69

    4. Penetapan pasangan calon, dukungan partai, dan nomor urut dalam

    Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ...... 83

    5. Penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara dalam Pemilihan Walikota

    dan Wakil Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................... 84

    6. Pemetaan arena dan aktor yang terlibat dalam konflik Pilkada Kota Sungai

    Penuh Tahun 2015 .................................................................................... 98

    7. Pemetaan Needs-Fears dalam konflik Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun

    2015 ........................................................................................................... 99

    8. Pemetaan potensi konflik dalam tahapan Pilkada Kota Sungai Penuh

    Tahun 2015 ............................................................................................. 102

    9. Pemetaan penyebab Konflik Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 .. 104

    10. Reduksi data dampak konflik pilkada Sungai Penuh Tahun 2015 .......... 109

    11. Resolusi konflik pilkada Sungai Penuh Tahun 2015 .............................. 112

    12. Perbandingan pemangku kepentingan dalam pilkada dan komunikator

    politik utama pilkada Kota Sungai Penuh ............................................... 121

    13. Visi dan Misi masing-masing Paslon pada Pilkada Kota Sungai Penuh

    Tahun 2015 ............................................................................................. 152

    14. Jadwal Kampanye masing-masing Paslon pada Pilkada Kota Sungai Penuh

    Tahun 2015 ............................................................................................. 155

    15. Komunikator politik utama sebelum konflik dan komunikator politik

    utama selama konflik .............................................................................. 204

    16. Pilihan Institusi dalam motif konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun

    2015 ......................................................................................................... 229

    17. Komunikasi politik Herman Muchtar-Nuzran Joher melalui saluran

    Demonstrasi/Unjuk rasa .......................................................................... 232

    18. Komunikasi politik Herman Muchtar-Nuzran Joher melalui saluran

    ajudikasi .................................................................................................. 239

    19. Komunikasi politik KPU Kota Sungai Penuh melalui saluran ajudikasi 242

    20. Rekapitulasi laporan dugaan pelanggaran pemilihan Walikota dan Wakil

    Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................................... 245

    21. Data 28 Laporan yang menjadi objek sengketa HM-NJ ......................... 246

    22. Komunikasi politik Panwas Kota Sungai Penuh secara informal sebelum

    memutus hasil sengketa paslon HM-NJ .................................................. 249

  • 23. Komunikasi politik Panwas Kota Sungai Penuh dalam sidang sengketa

    terkait Keputusan KPU Kota Sungai Penuh No. 52/kpts/kpu-kota-

    005.670934/2015 ..................................................................................... 250

    24. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara informal sebelum

    Panwas Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ ..... 254

    25. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara formal sebelum

    Panwas Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ ..... 255

    26. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara formal setelah Panwas

    Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ .................. 256

    27. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi setelah Panwas Kota Sungai

    Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ melalui saluran media

    massa ....................................................................................................... 257

    28. Headline pemberitaan Tribun Jambi & Jambi Ekspress bulan Desember

    2015 ......................................................................................................... 264

    29. Headline pemberitaan Jambi Independen & Jambi Ekspress bulan Januari

    2016 ......................................................................................................... 264

    30. Headline pemberitaan Jambi Independen & Jambi Ekspress bulan Februari

    2016 ......................................................................................................... 265

    31. Headline pemberitaan Jambi Ekspress bulan Maret 2016 ...................... 265

    32. Analisis kesesuaian teori dan fakta ......................................................... 314

  • DAFTAR DIAGRAM

    Diagram Halaman

    1. Pemetaan aktor dan hubungan antarpihak dalam konflik Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 ........................................................................ 97

    2. Skema dinamika proses komunikasi politik dalam konflik Pilkada Kota

    Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 313

    3. Analisis taksonomi komunikasi politik multiaktor dalam konflik Pilkada

    Kota Sungai Penuh Tahun 2015 .............................................................. 318

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran

    1. Data Hasil Wawancara

    2. Surat Persetujuan Riset

    3. Dokumentasi Foto Wawancara dengan Informan

    4. Dokumentasi terkait lainnya

  • DAFTAR SINGKATAN

    APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

    ASN : Aparatur Sipil Negara

    Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum

    BIN : Badan Intelijen Negara

    DKPP : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

    DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

    DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

    DPT : Daftar Pemilih Tetap

    Keppres : Keputusan Presiden

    KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara

    KPU : Komisi Pemilihan Umum

    KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah

    KPU RI : Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

    KPU SPN : Komisi Pemilihan Umum Kota Sungai Penuh

    Linmas : Perlindungan Masyarakat

    LSM AMPKS : Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Mahasiswa Pelajar

    Kerinci Sungai Penuh

    MA : Mahkamah Agung

    MK : Mahkamah Konstitusi

    Panwascam : Panitia Pengawas Kecamatan

    Panwas SPN : Panitia Pengawas Kota Sungai Penuh

  • Parpol : Partai Politik

    Paslon HM-NJ : Pasangan Calon Herman Muchtar-Nuzran Joher

    Pemda : Pemerintah Daerah

    Pemilu : Pemilihan Umum

    Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    Pilgub : Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur

    PKPU : Peraturan Komisi Pemilihan Umum

    PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan

    PPL : Panitia Pengawas Lapangan

    PPS : Panitia Pemungutan Suara

    PTUN : Peradilan Tata Usaha Negara

    Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja

    SK : Surat Keputusan

    SMS : Short Message Service

    TPS : Tempat Pemungutan Suara

    UU : Undang-Undang

    UUD : Undang-Undang Dasar

  • I . PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui prosedur

    pemilihan langsung oleh rakyat telah berlangsung lebih dari satu dekade sejak

    berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah, dan diimplementasikan mulai Tahun 2005, yang semulanya dipilih

    oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada praktiknya, selama

    masa transisi, pilkada di beberapa daerah belum sepenuhnya dilakukan sesuai

    dengan cara-cara pemilihan yang elegan dan konstitusional. Lebih ironis,

    pemimpin yang terpilih hanya karena hasrat berkuasa dan luasnya jaringan

    popularitas, bukan karena kompetisi berdampak pada sistem pemeritahan,

    seharusnya good governance bergeser menjadi bad governance (Alamsyah,

    2012: 772).

    Dewasa ini, merujuk pada kasus-kasus pilkada langsung beberapa daerah di

    Indonesia, menyisakan beberapa masalah krusial. Djohermansyah Djohan

    (Hikmat, 2014: 23) menyebutkan sedikitnya ada tujuh masalah yang mengikuti

    proses pilkada, yaitu tingginya biaya penyelenggaraan pilkada, meningkatnya

    eskalasi konflik horizontal di tengah masyarakat, maraknya gugatan proses

    pilkada, disharmoni dan rivalitas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah

    meningkat, tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan peserta pilkada

    langsung, maraknya politik uang, dan rendahnya partisipasi politik pemilih jika

    dilakukan dua putaran. Sedangkan menurut Tjenreng (2016: 4) menyebutkan

  • 2

    masalah pilkada langsung diantaranya, yaitu biaya pilkada yang membebani

    Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan kandidat, belum ada

    jaminan terpilihnya pemimpin daerah yang berkualitas serta fenomena konflik

    yang mendominasi kompleksitas persoalan pilkada langsung.

    Sebagai laporan, The Habibie Center mencatat, selama kurun waktu 2005-

    2013, pilkada secara langsung telah menimbulkan konflik di beberapa daerah

    di antaranya Kabupaten Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006),

    Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga

    (2011), Provinsi Aceh (2012), dan Kota Palopo (2013). Konflik berujung pada

    terjadinya tindakan anarkis dan kekerasan. Dalam rentang waktu yang sama,

    konflik kekerasan fisik menyebabkan korban jiwa sebanyak 70 orang, korban

    luka sebanyak 107 orang, 279 rumah rusak dan pertokoan dibakar (Pratama &

    Sinambela, 2016: 149).

    Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan literatur yang ada, konflik pilkada

    yang dipaparkan di atas terjadi pada tahapan yang bervariatif, pemicu konflik

    relatif berbeda, dan sebagian besar dampaknya hampir berorientasi pada

    kekerasan dan mengakibatkan timbulnya korban materi dan moril. Penjelasan

    terhadap rentetan konflik pada tabel berikut ini :

    Tabel 1. Rentetan konflik, pemicu dan akibat konflik pilkada di Indonesia

    Jenis

    Konflik Tahapan Pemicu Akibat Konflik

    Pemilihan

    Bupati

    dan Wakil

    Bupati di

    Padang

    Pariaman

    Pencalonan

    (Ruyella,

    2008)

    Perpecahan internal partai dan

    konflik antara partai dan KPUD

    (Ruyella, 2008). Partai yang

    terlibat yaitu Golkar, PAN, PPP,

    PDIP, PBB, PKS, dan beberapa

    partai lainnya yang mendatangi

    Penggembokan

    dan perusakan

    kantor KPU Kab.

    Padang Pariaman

    oleh Demostran

    (Ruyella, 2008:

  • 3

    Tahun

    2005

    kantor KPU Kab. Padang Pariaman

    (Iskandar, 2006: 10)

    109)

    Pemilihan

    Bupati

    dan Wakil

    Bupati

    Tuban

    Tahun

    2006

    Pasca

    pilkada

    (Saifullah,

    2011).

    Kekecewaan masyarakat Tuban

    terhadap pemerintahan Bupati

    Heny Relawati, faktor yang

    melatarbelakangi :

    1. Pemaksaan struktur baru dari struktur lama,

    2. Pengabaian struktur sosial,

    3. Terbentuknya suatu nilai yaitu keadilan yang dituntut

    masyarakat Tuban,

    4. Hancurnya tatanan sosuai antara rakyat yang kecewa dengan

    pemerintah,

    5. Pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan formal

    PKB Tuban, dan

    6. Kecurangan pada momentum pilkada (Saifullah, 2011: 5,

    183).

    Pendapat lain, penyebab konflik

    adalah adanya calon yang kalah

    berkompetisi melawan incumbent,

    dan kekecewaan para elit lokal

    termasuk pengusaha lokal yang

    sudah lama termarginalkan oleh

    keluarga incumbent (Marijan

    (2007: 4,6)

    Korban materi,

    berupa gedung

    pemerintahan,

    hotel, rumah

    pribadi, gudang,

    pompa bensin,

    kendaraan dan

    lainnya (Saifullah,

    2011).

    Pemilihan

    Gubernur

    dan Wakil

    Gubernur

    Provinsi

    Maluku

    Utara

    Tahun

    2007

    Konflik

    dimulai pada

    tahap

    pendaftaran

    calon,

    kampanye,

    dan puncak

    konflik pada

    tahapan

    rekapitulasi

    perolehan

    suara

    (Husen,

    2016: 1, 20)

    1. Ketidakpuasan calon yang tereliminasi karena tidak

    mencukupi syarat kursi 15%

    saat pencalonan,

    2. Perbedaan persepsi mengenai jadwal kampanye,

    3. Kecurangan suara yang dilakukan oleh Panitia

    Pemilihan Kecamatan (PPK)

    (Husen, 2016)

    Pendapat lain, akar konflik elit

    Maluku Utara dalam kaitannya

    dengan konflik elit lokal dalam

    pilkada Maluku Utara 2007-2008,

    dijelaskan dari tiga kejadian yang

    saling berkaitan dan bersifat

    turunan, yaitu:

    1. Pembentukan Provinsi Maluku Utara tahun 1999,

    2. Persaingan elit lokal yang

    Kerusuhan yang

    menyebabkan

    korban materi dan

    moril (Husen,

    2016: 3).

  • 4

    berada di belakang sosok

    Abdul Gaffur dan juga Thaib

    Armayin,

    3. Pilkada Maluku Utara 2001-2002 (Abbas, 2011: 231-232).

    Pemilihan

    Bupati

    dan Wakil

    Bupati.

    Gowa

    Tahun

    2010

    Pencalonan

    dan

    penetapan

    hasil

    (Nurmadina,

    2012: 4)

    Ketidakpuasan pasangan Andi

    Madusilla Idjo–Jamaluddin

    Rustam terhadap hasil pilkada

    yang memenangkan Ichsan Limpo-

    Abd Razak Bajidu yang diduga

    melakukan pemalsuan ijazah

    (Nurmadina, 2012).

    Munculnya

    kejadian-kejadian

    yang sporadis

    termasuk

    pembakaran bis,

    bangunan dan

    kantor cabang

    Golkar oleh

    orang-orang tak

    dikenal serta

    perkelahian antar

    pendukung

    setelah sang

    petahana dilantik

    tanggal 14

    Agustus 2010.

    Crisis Group Asia

    Report No197

    (2010: 26).

    Pemilihan

    Bupati

    dan Wakil

    Bupati

    Ilaga

    Tahun

    2011

    Pencalonan KPU menolak berkas pendaftaran

    Simon Alom sebagai calon bupati,

    karena Thomas Tabuni yang

    merupakan Ketua DPC Partai

    Gerinda Ilaga mencabut dukungan

    terhadap Simon Alom, sehingga

    massa pendukung Simon marah

    dan menyerang massa Thomas

    (kompas.com)

    Konflik

    mengakibatkan

    korban jiwa dan

    korban materi.

    Sedikitnya 17

    orang tewas, dan

    rumah Thomas

    Tabuni, mobil

    dinas, serta rumah

    adat setempat

    terbakar

    (kompas.com)

    Pemilihan

    Gubernur

    dan Wakil

    Gubernur

    Provinsi

    Aceh

    Tahun

    2012

    Pasca

    pilkada

    Konflik regulasi, Frasa ―jalur

    perseorangan/calon independen‖

    yang tercantum dalam pasal 256

    UU No.11 Tahun 2006 Tentang

    Pemerintahan Aceh menimbukan

    konflik yang berkepanjangan

    (Aklima, 2013: 3-7), lihat juga

    (Alihar, 2016: 28-29)

    Tindakan

    kekerasan,

    intimidasi,

    pemukulan, dan

    pembunuhan

    menjelang pilkada

    Kekerasan dan

    penembakan pada

    saat pilkada (57

    kasus teror dan

    intimidasi).

    Pemilihan

    Bupati

    Kampanye,

    penetapan

    Identifikasi aktor yang terlibat dan

    pelanggaran yang dilakukan

    Kantor

    pemerintah dan

  • 5

    dan Wakil

    Bupati

    Palopo

    Tahun

    2013

    hasil, dan

    pasca pilkada

    sebagai berikut: (1) KPUD

    (melakukan kecurangan dalam

    penghitungan, rekapitulasi dan

    penetapan suara), (2) pasangan

    calon (kampanye negatif, membagi

    bantuan menjelang pilkada, dan

    mobilisasi massa), (3) partai politik

    (kampanye hitam atau negatif dan

    bagi bahan pokok), (4) tim sukses

    dan massa pendukung (menyerbu

    kantor KPUD, membakar kantor

    pemerintah dan swasta, serta

    bentrok dengan massa pendukung

    lain) Permana (2010: 137) dalam

    Nasrulhaq dan Yulianto (2013: 5).

    swasta dibakar

    Bentrok

    antarmassa

    pendukung.

    Sumber : hasil penelitian diolah dari berbagai data sekunder, 2017

    Sebagian besar realitas konflik di atas dipelopori oleh rasa kekecewaan dan

    ketidakpuasan, baik dari personal kandidat, partai politik, maupun partisipasi

    masyarakat pendukung terhadap hasil pilkada. Begitu juga dengan akibat yang

    ditimbulkan, sebagian besar mengarah kepada kerusuhan dengan korban jiwa

    dan materil yang signifikan.

    Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, upaya dalam memperbaiki

    kualitas pilkada memunculkan alternatif berupa terobosan kebijakan politik

    dengan menerapkan pilkada secara serentak. Kebijakan pilkada serentak telah

    melalui proses yang panjang. Sebelumnya, mekanisme pemilihan sempat

    kembali bergeser dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh

    DPRD atas dasar hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 (UU

    No.22/2014) Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

  • 6

    Sebelum diimplementasikan, UU No. 22/2014 justru mendapat penolakan dari

    masyarakat luas karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan

    prinsip demokrasi dan akhirnya dicabut dengan dikeluarkannya Perppu No. 1

    Tahun 2014 (Hutapea, 2015: 7). Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU No.1/2015), selanjutnya diubah

    menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 2015 (UU No.8/2015) tentang

    Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

    Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

    Terbitnya UU No.1/2015, mengamanatkan pilkada serentak untuk pertama

    kalinya diselenggarakan pada tahun 2015. Tidak berlebihan jika sebagian besar

    pihak kuatir terhadap keberhasilan penyelenggaraanya, apalagi rekam jejak

    sejarah pilkada langsung sangat rentan terhadap konflik.

    Pemerintah meyakinkan sikap pesimis masyarakat melalui langkah-langkah

    antisipatif. Peneliti utama politik pemerintahan Indonesia, Prayudi (2015: 18),

    menyebutkan antisipasi pemerintah yaitu melalui APBN, pemerintah sudah

    mengalokasikan anggaran pengamanan pilkada serentak 2015 lalu, sebesar

    Rp691 miliar. Selain itu pemerintah melalui BIN dan penegak hukum

    memperkuat deteksi dini terhadap potensi gangguan keamanan dan melibatkan

    Satpol PP dan Linmas untuk menjaga ketertiban. Disisi lain, Kepolisian

    menerbitkan Surat Edaran Kapolri No. SR/6/2015 tentang Penanganan Ujaran

    Kebencian.

  • 7

    Pada penyelenggaraannya, pilkada serentak yang diikuti oleh 269 daerah (9

    Provinsi dan 260 Kabupaten/Kota) masih menyisakan persoalan-persoalan.

    Adapun beberapa persoalan yang tercatat pada penyelenggaraan pilkada

    serentak tahun 2015 dari berbagai indikator. Pertama, ketidaksiapan anggaran

    di beberapa daerah dan diskresi petahana kepala daerah yang menyebabkan

    anggaran menjadi tersandera, dan efisiensi anggaran dinilai gagal (Sadikin,

    2015: 28-31). Kedua, penyelesaian sengketa pencalonan yang berlarut-larut

    yang mengakibatkan pilkada diundur dan menjadi tidak serentak (Sinambela,

    Nathalia, dan Dewantara, 2015: 105). Ketiga, fenomena calon tunggal yang

    berdampak pada desain surat suara dan menurunnya partisipasi pemilih

    (Maharddhika dan Pratama, 2015: 109). Keempat, konflik vertikal antara

    penyelenggara dengan masyarakat terlebih pasangan calon yang

    mengakibatkan kebakaran, kekerasan, dan intimidasi (Pratama, dan Sinambela,

    2015: 150), dan kelima, mengenai proses penyelesaian sengketa terhadap 147

    permohonan ke Mahkamah Konstitusi (Laporan Hasil Penelitian Perludem,

    2015: 2-3).

    Berdasarkan laporan hasil penelitian Perludem diatas, salah satu daerah dari

    147 gugatan terhadap hasil pilkada tahun 2015 yang lalu adalah Kota Sungai

    Penuh Provinsi Jambi.1 Pilkada serentak Kota Sungai Penuh berbarengan

    dengan 5 daerah lain di wilayah Jambi, termasuk Provinsi Jambi. Pilkada

    serentak ini, merupakan pengalaman pahit bagi keberlangsungan demokrasi

    1 Gugatan yang diajukan teregistrasi di laman resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id, nomor registrasi

    143/PHP.KOT-XIV/2016, pokok perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Walikota Sungai Penuh Tahun 2015,

    pemohon H. Herman Muchtar , SE, MM, dan H. Nuzran Joher, S.Ag, M.Si

  • 8

    khususnya di Kota Sungai Penuh, karena berakhir dengan konflik. Konflik

    memang tidak diharapkan, namun kedatangannya tidak bisa diprediksi.

    Penyelenggaraan pilkada yang berakhir dengan konflik cenderung

    menghasilkan dampak yang negatif. Selain seperti yang tergambar dari akibat

    langsung konflik berupa korban materi maupun moril, juga mempengaruhi

    elemen-elemen lainnya. Nurhasim (2010: 111-112), menjelaskan beberapa

    dampak konflik pilkada. Pertama, adanya intervensi lembaga-lembaga

    penyelenggara dan institusi lainnya seperti Mahkamah Agung (MA) dan

    pemerintah pusat dalam menentukan hasil pilihan masyarakat.

    Kedua, intervensi dan penyelesaian hasil pilkada langsung justru menciptakan

    bentuk ketidaksiapan suatu pemilihan, artinya menunjukkan ketidaksiapan

    calon untuk mematuhi rule of game. Ketiga, pilkada menampakkan wajah

    democrazy, suatu lelucon demokrasi lokal, karena mirip dengan dagelan dan

    acap kali hasil pilihan rakyat dipelintir oleh kepentingan penyelenggara pemilu

    dan/atau institusi yang lebih tinggi.

    Keempat, rusaknya merit system dalam birokrasi pada sisi lain tentu akan

    membawa dampak bukan saja polarisasi jabatan, tetapi menyebabkan situasi

    konfliktual dalam tubuh birokrasi. Kelima, adanya fenomena degradasi hukum

    menjadi distorsi baru dalam proses pergantian kepemimpinan di tingkat lokal

    dengan berbagai pernik-pernik ketidakadilannya.

    Berdasarkan gambaran dampak konflik pilkada di atas, sebagian besar relevan

    dengan kondisi konflik yang terjadi pada pilkada Kota Sungai Penuh Tahun

  • 9

    2015. Gejala tersebut terlihat dari adanya intervensi lembaga adjudikasi seperti

    MK, PTUN, DKPP, bahkan ahli hukum dari unsur akademisi ikut

    mempengaruhi konflik, kepentingan penyelenggara pilkada sangat kentara

    dalam resolusi konflik, degradasi hukum penyelenggaraan pilkada, serta

    ketidaksiapan paslon dalam menerima hasil pilkada dan mematuhi aturan yang

    ditunjukkan melalui saluran demonstrasi.

    Fenomena konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 sejatinya tidak

    selalu berada dalam wujud, yang oleh Rusdiana (2015: 144-145) diindikasikan

    dalam bentuk demonstrasi, kerusuhan, serangan bersenjata, ataupun kematian.

    Akan tetapi, selain bentuk demonstrasi dan kerusuhan, konflik pilkada Kota

    Sungai Penuh juga mengarah pada apa yang disebut Plano, dkk (Surbakti,

    1992: 149), sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi

    (interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara

    kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan

    dasar lainnya yang satu sama lain saling bertentangan. Dengan demikian,

    makna benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti

    perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu,

    individu dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu,

    kelompok dengan pemerintah.

    Berdasarkan pola konflik pada pilkada Kota Sungai Penuh yang terjadi secara

    berkesinambungan, melibatkan beberapa aktor penting. Mengenai keterlibatan

    aktor dalam pilkada, Nurhasim, dkk (2010: 111) menjelaskan bahwa aktor

    utama yang terlibat dalam konflik adalah calon, tim sukses, keluarga-organisasi

  • 10

    underbow serta partai pengusung. Sementara aktor-aktor pendukung umumnya

    adalah kelompok-kelompok kepentingan dan etnik, organisasi massa dan

    keagamaan serta ada gejala terlibatnya birokrasi pemerintahan dan massa

    pemilih serta masyarakat umum.

    Dengan demikian, dalam konteks pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015,

    diidentifikasi aktor-aktor yang terlibat (multiaktor) antara lain paslon dan

    pendukung, penyelenggara pemilu, dan LSM. Adapun gambaran secara umum,

    jenis konflik dan keterlibatan multiaktor tersebut dijelaskan dalam tabel

    berikut:

    Tabel 2. Jenis konflik dan aktor yang terlibat pada pilkada Sungai Penuh

    Konflik 1

    (Demonstrasi dan

    Kerusuhan)

    Konflik 2

    (Kebijakan)

    Konflik 3

    (Kebijakan)

    Konflik 4

    (Kebijakan)

    • Kandidat & Pendukung

    Paslon HM-NJ vs

    • KPU Kota Sungai Penuh & Panwas

    2

    Kota Sungai

    Penuh

    • KPU Kota Sungai Penuh vs

    • Panwas Kota Sungai Penuh

    • Panwas Kota Sungai Penuh vs

    • Bawaslu Provinsi Jambi

    • Bawaslu Provinsi Jambi

    vs

    • LSM AMPKS

    Sumber : hasil penelitian diolah dari data sekunder, 2017

    Berdasarkan keterlibatan aktor dan jenis konflik yang terjadi pada pilkada Kota

    Sungai Penuh tahun 2015 di atas, asumsi yang disimpulkan peneliti dari kasus

    tersebut adalah lemahnya komunikasi, dalam hal ini komunikasi politik, yang

    mengakibatkan terciptanya konflik multiaktor yang berkesinambungan pada

    pilkada Kota Sungai Penuh. Kesimpulan ini senada dengan pandangan

    2 Terdapat perbedaan singkatan, dalam UU No.15/2011 menggunakan singkatan Panwaslu (panitia pengawas

    pemilihan umum, sedangkan dalam UU No.8/2015 singkatan yang digunakan Panwas (panitia pengawas

    pemilihan), akan tetapi lembaga yang dimaksud adalah sama. Pada penelitian ini, singkatan yang sering

    digunakan adalah Panwas, karena merujuk pada UU No.8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

    Walikota.

  • 11

    Pradhanawati (2011: 12) bahwa kerusuhan dan kekerasan yang sering terjadi

    pada pilkada disebabkan oleh penyelenggara pilkada (KPUD) tidak melakukan

    komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta/calon/kandidat, sehingga

    terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD dapat dikatakan merupakan

    lembaga yang super body. Akhirnya massa pendukung calon/kandidat

    melakukan protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah

    kerusuhan sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang

    ada hanya informasi-informasi yang tidak jelas.

    Berdasarkan pendapat Pradhanawati di atas, pada titik ini posisi penyelenggara

    menjadi paradoks. Di satu sisi, penyelenggara adalah lembaga sentral dalam

    penyelenggaraan pemilu, di sisi lain, pada situasi konflik, penyelenggara malah

    ikut terlibat sebagai aktor konflik, lebih ironis lagi, menjadi penghambat

    penyelenggaraan pemilu.

    Penyelenggara pemilu sebagai lembaga sentral menurut Wall, dkk (2006: 1)

    dalam buku Desain Penyelenggara Pemilu; Buku Pedoman Internasional

    IDEA, bahwa sebuah Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) adalah organisasi

    atau lembaga yang memiliki tujuan, dan bertanggung jawab secara legal, untuk

    menyelenggarakan sebagian atau semua elemen yang esensial untuk

    menyelenggarakan pemilu atau instrumen pelaksanaan demokrasi langsung

    lainnya. Elemen yang termasuk esensial untuk pelaksanaan pemilu diantaranya,

    menentukan siapa-siapa yang patut untuk dipilih, menerima dan memvalidasi

    para kandidat (untuk pemilu: partai dan/atau kandidat), melaksanakan polling,

    menghitung suara, dan mentabulasi suara. Selanjutnya, penelitian Pastor, 1999;

  • 12

    Lopez-Pintor, 2000, dan Wall, 2006 (UNDP, 2009) membuktikan bahwa

    struktur, keseimbangan, komposisi, dan profesionalisme badan pengelola

    pemilu (misalnya, komisi pemilihan) adalah komponen kunci dalam

    kesuksesan proses pemilu yang menghasilkan hasil yang sah dan dapat

    diterima.

    Oleh karena itu, komunikasi sangat penting dalam setiap dinamika

    penyelenggaraan pemilu. Komunikasi yang efektif antarpenyelenggara pemilu

    juga menjadi faktor penting untuk menghindari konflik. Menurut Quraishi, et.al

    (2016: 48) dalam buku terbitan International institute for Democracy and

    Electoral Assistence (IDEA) tentang Risk Management in Election

    menyebutkan ―Good and smooth communication among election officials is

    essential for security planning and rapid response to incidents”.

    Komunikasi yang dimaksud dalam konteks pilkada, mencakup komunikasi

    dengan penyelenggara di tingkat bawah, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan

    (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara

    Pemungutan Suara (KPPS) serta Panwaslu Kecamatan (Panwascam) dan

    Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Kondisi ini mempermudah bagi komisioner

    untuk merespon kebijakannya secara tepat dan benar jika terjadi pelanggaran.

    Proses pilkada yang merupakan bagian dari kegiatan interaksi yang

    berorientasi pada perebutan kekuasaan, dimana unsur-unsur pembicaraan dan

    informasi yang tersebar berada pada domain isu-isu politik. Oleh karena itu hal

    ini sekaligus menandakan bahwa interaksi dalam proses pilkada memuat

    komponen komunikasi politik.

  • 13

    Kemudian untuk memperkuat asumsi terkait fenomena komunikasi politik, ada

    beberapa penelitian yang relevan, antara lain :

    1. Penelitian Mahi M. Hikmat dalam judul Komunikasi Politik Calon Kepala

    Daerah pada Pemilihan Langsung (Studi Kasus pada Pemilihan Gubernur

    dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008).

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasangan calon kepala

    daerah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008

    menggunakan enam bentuk komunikasi politik, yakni: retorika, propaganda,

    public relation, kampanye politik, lobi politik, dan melalui media massa.

    Agitasi politik tidak digunakan dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur

    Jawa Barat karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Jawa Barat;

    Kesundaan. Para calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008

    telah melahirkan model komunikasi politik santun, yakni komunikasi politik

    yang berbasis budaya lokal; budaya masyarakat Jawa Barat yang someah

    hade ka semah, santun, tidak memaksa, dan mengutamakan kebersamaan.

    2. Penelitian Dewanto Putra Fajar dengan judul Komunikasi dan Konflik

    Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi

    Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan

    Pemerintah Kota Surakarta Berkenaan dengan Dana Banjir.

    Hasil Penelitian menunjukkan bahwa konflik terjadi antara warga dengan

    pemerintah kota secara disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kegagalan

    komunikasi pada program penundaan dana bantuan banjir dan relokasi yang

    dilakukan pemerintah kota. Sedangkan upaya resolusi konflik, pemerintah

    kota dan warga Bantaran sama-sama bertindak dan mengupayakan

  • 14

    komunikasi demi mencapai kesepakatan bersama dan resolusi konflik yang

    tepat. Hal itu membuat ada perspektif dialogis diantara dua pihak yang

    berseteru.

    3. Penelitian Nadia Wasta Utami dengan judul Komunikasi dalam Resolusi

    Konflik Beragama (Studi pada Upaya Komunikasi Aktor-Aktor dalam

    Resolusi Konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya).

    Hasil penelitian yang sekaligus menjadi pembeda dengan penelitian ini

    adalah fokus konflik pada kasus Ahmadiyah, ada empat aktor yang terlibat

    dalam penyelesaian konflik, yaitu Majelis Ulama Indonesia, Forum

    Kerukunan Beragama, Kepolisian Resort dan Badan Koordinator Pengawas

    Aliran Kepercayaan, serta strategi komunikasi yang digunakan berupa

    upaya persuasif dan dialogis. Sedangkan penelitian ini fokus pada konflik

    pilkada, dan aktor yang terlibat adalah calon, pendukung/tim sukses,

    penyelenggara pemilu, LSM.

    4. Penelitian Muhammad Ridwan dengan judul Komunikasi Politik dan

    Diplomasi Berbasis Kearifan Lokal dalam Masa Kampanye Pemilukada

    Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2011.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang berjalannya komunikasi politik

    dan diplomasi politik pada saat pilkada di Kabupaten Kuantan Singingi

    yang kurang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal. Timbulnya kerusuhan

    atau konflik di tengah-tengah masyarakat dalam pilkada dikarenakan tidak

    maksimalnya komunikasi politik dan diplomasi politik yang dilakukan oleh

    para kandidat calon Bupati dengan kearifan lokal yang melekat di dalam diri

  • 15

    masyarakat Kuantan Singingi, para calon hanya mengedepankan ambisi

    pribadi daripada ambisi dan keinginan rakyat.

    5. Penelitian Syahruni, Cangara, dan Baja dengan judul Konflik dalam

    Komunikasi Politik Antara Legislatif dan Eksekutif dalam Menyikapi

    Rencana RTRW di Kabupaten Bulukumba.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola hubungan komunikasi antara

    eksekutif dan legislatif dalam penyelesaian konflik dalam penetapan Perda

    RTRW Kabupaten Bulukumba yaitu melalui proses komunikasi organisasi

    formal dan komunikasi organisasi informal. Bentuk konflik yang terjadi

    antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan Perda RTRW Kabupaten

    Bulukumba adalah konflik antarorganisasi, yakni antara lembaga eksekutif

    dan legislatif Kabupaten Bulukumba.

    Dari berbagai fokus penelitian di atas, konflik pilkada Kota Sungai Penuh

    menarik untuk diteliti, pertama, melibatkan multiaktor yang meliputi paslon,

    pendukung, penyelenggara pemilu, dan LSM, artinya keterlibatan aktor utama

    dalam kontestasi pilkada yang seharusnya menjadi pondasi dalam

    mensukseskan pilkada. Kedua, konflik terjadi secara berkesinambungan

    dengan bentuk konflik yang bervariatif, sehingga dengan memahami penyebab

    konflik, dan resolusi konflik, menjadi pengalaman yang sangat berguna dalam

    tata kelola pemilu sebagai upaya mitigasi untuk pilkada yang akan datang.

    Ketiga, komunikasi politik adalah penting dalam proses politik, karena dengan

    komunikasi politik yang efektif cenderung akan meminimalisir konflik tidak

    mengalami eskalasi. Pemahaman ini sangat penting untuk diketahui oleh

  • 16

    penyelenggara pemilu dan stakeholder dalam mewujudkan pilkada yang

    berintegritas.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana dinamika komunikasi politik multiaktor dalam proses konflik

    pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015?

    2. Bagaimana peran KPU Kota Sungai Penuh dalam proses konflik pilkada

    Kota Sungai Penuh Tahun 2015?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Menganalisis dan mendeskripsikan dinamika komunikasi politik multiaktor

    dalam proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015.

    2. Menganalisis dan mendeskripsikan peran KPU Kota Sungai Penuh dalam

    proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang konflik

    pilkada bagi penyelenggara pemilu dan stakeholders melalui upaya:

    a. Revisi regulasi terkait pilkada, terutama hal yang cenderung multitafsir.

    b. Memperbaiki manajemen konflik pilkada,

    c. Perbaikan prosedur, sistem dan mekanisme kepemiluan.

    2. Manfaat Akademis,

  • 17

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kajian ilmu politik

    khususnya mengenai penanganan konflik pilkada dalam perspektif

    komunikasi politik melalui upaya:

    a. Perubahan kurikulum pengajaran Tata Kelola Pemilu (TKP),

    b. Melengkapi bahan ajar modul mata kuliah pencegahan dan penanganan

    konflik.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Tentang Konflik

    1. Pengertian Konflik dan Konflik Politik pada Pemilihan Kepala Daerah

    Konflik adalah suatu keniscayaan dalam bingkai interaksi kehidupan sosial

    manusia. Robbins (2008:173) dalam karyanya Perilaku Organisasi

    menyebutkan bahwa banyak defenisi mengenai konflik dengan makna

    berbeda-beda. Akan tetapi, ada poin kesamaan definisi-definisi tersebut,

    yaitu adanya pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk

    interaksi. Jadi, konflik (conflict) didefinisikan sebagai sebuah proses yang

    dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah

    mempengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif,

    sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.

    Robbins juga menegaskan bahwa definisi tersebut mencakup beragam

    tingkatan konflik—dari tindakan terang-terangan dan keras sampai ke

    bentuk-bentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat. Salah satu pola

    tingkatan konflik dapat dilihat dari tingkatan kekerasan (degree of violence)

    proses eskalasi konflik. Setidaknya ada enam tingkatan, yaitu kategori lisan

    (keresahan, keluhan) dan kategori tindakan (laporan, tekanan, ancaman,

    perusakan, hingga terjadinya pembunuhan). Prayogo (Rachmawan, 2016:

    196).

  • 19

    Gibson, et al. (Wahyono, 2010: 160) mengatakan bahwa hubungan saling

    tergantung dapat melahirkan konflik, apabila masing-masing komponen

    organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling

    bekerjasama satu sama lain.

    Dalam perkembangan kajian konflik, terdapat perbedaan pendapat mengenai

    keberadaan konflik. Wahyono (2010: 162), menjelaskan 3 (tiga) pandangan

    pokok mengenai konflik. Pertama, pandangan tradisional (the traditional

    view), menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai

    sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional

    menyatakan bahwa konflik disinonimkan dengan istilah kekerasan

    (violence), destruksi (destruction), dan ketidakrasionalan (irrationality).

    Kedua, pandangan hubungan manusia (the human relations view),

    menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam

    kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat

    dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan

    dirasionalisasikan.

    Ketiga, pandangan interaksionis (the interactionist view), konflik tidak

    hanya kekuatan positif dalam suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu

    untuk suatu kelompok agar dapat berikinerja efektif. Pandangan ini

    menjelaskan bahwa untuk menyatakan konflik itu seluruhnya baik atau

    buruk tergantung pad tipe konflik itu sendiri.

  • 20

    Domain terjadinya konflik bisa dimana dan kapan saja. Konflik tidak dapat

    dihindari dalam kehidupan manusia, baik itu dalam organisasi atau bahkan

    antarnegara (Omisore, 2014: 118). Secara umum, penelitian ini membatasi

    pengamatan pada bentuk konflik organisasi, dimana konflik intraindividual,

    interpersonal, dan antarkelompok semuanya melekat dalam konflik

    organisasi. (Lutant, 1992: 51).

    Lebih rinci, Handoko (1999: 349) membedakan lima jenis konflik dalam

    kehidupan organisasi, yaitu; konflik dalam diri individu, konflik antar

    individu dalam organisasi yang sama, konflik antar individu dan kelompok,

    konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, dan konflik antar

    organisasi. Dalam pandangan lain, Soekanto (1989: 90) membagi bentuk

    dan jenis-jenis konflik menjadi konflik pribadi, konflik rasial, konlfik antar

    kelas sosial, konflik politik antar golongan dalam satu masyarakat maupun

    antara negara-negara yang berdaulat, dan konflik yang bersifat internasional.

    Berdasarkan pembagian jenis konflik di atas, memperjelas arah penelitian

    ini. Selain dibatasi mengenai konflik organisasi, juga mengarah pada bentuk

    konflik politik. Artinya dalam sebuah konflik organisasi yang melibatkan

    individu, kelompok dan organisasi, salah satu yang menjadi objek dalam

    konflik terbangun dari isu-isu/ persoalan politik.

    Pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan

    kepentingan. Suatu konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi

    yang muncul dalam berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut

    diawali dengan hal-hal yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan

  • 21

    berproses menjadi suatu konflik (Hidayat, 2002: 124). Sedangkan Rauf

    (2001: 19) memandang konflik politik sebagai salah satu bentuk konflik

    sosial, dimana keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan

    konflik sosial dan politik adalah kata politik yang membawa konotasi

    tertentu bagi istilah konflik politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan

    negara/ pemerintah, para pejabat politik/pemerintahan, dan kebijakan.

    Pandangan Plano, dkk (Surbakti, 1992: 149), bahwa sebagai aktivitas

    politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang ditandai

    dengan bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan,

    kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar lainnya yang satu

    sama lain saling bertentangan. Dengan demikian, makna benturan diantara

    kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat,

    persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan

    kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan

    pemerintah.

    Mengenai konflik dalam pemilihan umum, Jeff Fischer (Senior Advisor for

    Governance and Elections at International Foundation fo Electoral System

    /IFES) dalam karyanya Electoral Conflict and Violence: A Strategy for

    Study and prevention telah berjasa mendeskripsikan mengenai konflik

    pemilu ini. Fischer (2002: 2) menjelaskan bahwa:

    “An electoral process is an alternative to violence as a means of

    achieving governance. However, when an electoral process is

    perceived as unfair, unresponsive or corrupt, its political legitimacy

    is compromised and stakeholders are motivated to go outside the

    established norms to achieve their political objectives. Electoral

    conflict and violence become tactics in political competition”.

  • 22

    Padangan Fischer diatas merupakan deskripsi nyata perkembangan

    demokratisasi Indonesia saat ini, khususnya pada level lokal. Masa transisi

    yang terpola masih sangat labil. Konsolidasi yang dibentuk masih jauh dari

    arah perbaikan. Ironis, kekerasan dan konflik dijadikan wadah taktik

    persaingan politik.

    Seterusnya, Fischer (2002: 3) juga menjelaskan bahwa konflik pemilu dan

    kekerasan dapat didefinisikan sebagai tindakan atau ancaman acak atau

    terorganisir untuk mengintimidasi, melukai secara fisik, memeras, atau

    menyalahgunakan pemangku kepentingan politik dalam upaya menentukan,

    menunda, atau mempengaruhi proses pemilu. Fischer juga mengidentifikasi

    bahwa konflik pemilu dan kekerasan dapat terjadi pada lima interval dalam

    kronologi pemilihan:

    1) Konflik identitas dapat terjadi selama proses pendaftaran ketika

    pengungsi atau migran lain yang dipaksa konflik tidak dapat membangun

    atau membangun kembali identitas resmi mereka yang diakui.

    2) Konflik kampanye dapat terjadi ketika saingan berusaha mengganggu

    kampanye lawan, mengintimidasi pemilih dan kandidat, dan

    menggunakan ancaman dan kekerasan untuk mempengaruhi partisipasi

    dalam pemungutan suara.

    3) Konflik pemungutan suara dapat terjadi pada Hari Pemilu ketika

    persaingan dimainkan di TPS.

  • 23

    4) Konflik hasil pemilu dapat terjadi dengan sengketa hasil pemilu dan

    ketidakmampuan mekanisme peradilan untuk menyelesaikan sengketa

    secara adil, tepat waktu, dan transparan.

    5) Konflik representasi dapat terjadi ketika pemilihan diselenggarakan

    sebagai peristiwa "zero sum" dan "pihak yang kalah" tidak diikutsertakan

    dalam pemerintahan.

    Selain itu, Fischer (2002: 3) juga menegaskan bahwa ketika konflik

    kekerasan terjadi, itu bukan hasil dari proses pemilihan; ini adalah gangguan

    dari proses pemilihan. Dalam pandangan lain, Höglund (2009: 415)

    mengkaji konflik pemilu dalam bentuk kekerasan melalui 2 (dua)

    pendekatan,. Pendekatan pertama, kekerasan pemilu dilihat sebagai sub-set

    kegiatan dalam konflik politik yang lebih besar dan merupakan bagian

    lintasan kekerasan etnis dan komunal di masyarakat. Pendekatan kedua,

    kekerasan pemilu dilihat sebagai jenis kecurangan pemilu sebagai upaya

    ―clandestine‖ (terselubung) untuk membentuk hasil pemilihan mencakup

    kegiatan pemungutan suara, pembelian suara, dan gangguan proses

    pendaftaran.

    Mengenai konflik pilkada, menurut Urbaningrum (1999) bahwa konflik

    pemilukada merupakan konflik politik, dan konflik politik dapat

    digolongkan dalam konflik sosial, terjadi diantara anggota masyarakat

    sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik

    politik berkaitan dengan penguasa politik atau keputusan yang dibuatnya

  • 24

    (keputusan politik). Masalah yang dipertentangkan dalam konflik politik

    berada pada tingkatan political.

    Seperti jenis kekerasan lainnya, mendefinisikan kekerasan pemilu menjadi

    masalah karakterisasi aktor, kegiatan, waktu, dan motif (Höglund, 2009:

    415). Pandangan yang serupa menurut Malik (2009: 6) bahwa pencegahan

    konflik-konflik kekerasan sejak awal selain dengan melakukan analisis

    terhadap sumber konflik baik yang bersifat latent ataupun manifest,

    melakukan deeskalasi (mencegah dan menyelesaikan konflik dengan

    kemampuan negosiasi, juga dilakukan dengan cara mendeteksi aktor-aktor

    yang terlibat konflik dan yang mempunyai kepentingan.

    Disisi lain, jika mengkaji suatu konflik, maka hal fundamental yang menjadi

    bagian rangkaian yang holistik dari proses pemetaan konflik adalah dengan

    mengetahui aktor-aktor yang terlibat. Fisher, et. al. (2000) menjelaskan

    salah satu alat bantu dalam menganalisis konflik, yaitu melalui pemetaan

    konflik. Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara

    grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik

    dan hubungan-hubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar,

    aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing

    memiliki peran terhadap konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang

    layar.

    Oleh karena itu, untuk memahami aktor-aktor konflik dalam konteks

    pilkada, Pandangan komisioner KPU RI Arief Budiman yang disampaikan

    dalam suatu pertemuan diskusi Forum Senator untuk Rakyat (FsuR) Kantor

  • 25

    Berita Politik RMOL dengan tajuk ―Memetakan Potensi Konflik dalam

    pilkada serentak‖ mengklasifikasi aktor-aktor yang berpotensi memicu

    konflik, antara lain :

    1) Peserta pilkada, apalagi bila pilkada hanya diikuti dua kandidat;

    2) Penyelenggara pilkada. Hanya saja sudah ada instrumen untuk

    mengkoreksinya melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

    (DKPP);

    3) Para pemilih;

    4) Pemerintah berkaitan dengan dana pilkada;

    5) TNI dan Polri yang mengawasi dan mengamankan pilkada. Ini berkaitan

    netralitas aparat dalam pilkada;

    6) Media massa. Media massa seringkali memanaskan situasi dengan

    pemberitaan tak berimbang (http://www.rmol.co/read/2015

    /08/23/214429/Inilah-6-Aktor-Potensial-Pemicu-Konflik-pilkada-

    Serentak-versi-KPU-)

    2. Konflik dalam Perspektif Komunikasi

    Untuk memahami interaksi yang rumit antara komunikasi dan konflik,

    Krauss & Morsella (2000: 3-10) dalam karyanya Communication and

    Conflict menjelaskan empat paradigm, yaitu empat model proses

    komunikasi serta hubungannya dengan konflik. Model ini secara singkat

    mengkaji kesalahan komunikatif yang merupakan sumber konflik, serta

    bagaimana dan mengapa komunikasi dapat memperbaiki konflik. Dalam

    http://www.rmol.co/read/2015%20/08/23/214429/http://www.rmol.co/read/2015%20/08/23/214429/

  • 26

    pengertian sederhana, komunikasi dapat menyebabkan konflik dan konflik

    bisa diselesaikan dengan berkomunikasi yang baik.

    Krauss & Morsella melihat proses komunikasi dari definisi yang umum

    dengan menarik konseptual komunikasi sebagai suatu bentuk transfer

    informasi. Informasi yang berasal dari satu bagian sistem diformulasikan ke

    dalam pesan yang ditransmisikan ke bagian lain dari sistem itu. Akibatnya,

    informasi yang berada di satu lokus datang untuk direplikasi pada yang lain.

    Informasi tersebut selanjutnya disebut sebagai ide atau representasi mental.

    Dalam bentuk yang paling mendasar, komunikasi manusia dapat diartikan

    sebagai proses di mana ide-ide yang terkandung dalam satu pikiran

    disampaikan ke pikiran lain. Kendati terlihat sebagai proses yang sederhana,

    kenyataannya uraian ini gagal dalam proses manusia berkomunikasi.

    1) The Encoding-Decoding Paradigm (Paradigma Enkoding-Dekoding)

    Konseptualisasi komunikasi yang paling mudah dapat ditemukan dalam

    paradigma Encoder/ Decoder, di mana komunikasi digambarkan sebagai

    transfer informasi melalui suatu kode. Kode adalah sistem yang

    memetakan serangkaian sinyal ke satu set makna. Krauss & Morsella

    mencontohkan melalui penyandian Morse. Setiap sinyal Morse ada satu

    dan hanya satu makna, dan untuk setiap artinya ada satu dan hanya satu

    sinyal. Krauss & Morsella menetapkan 3 (tiga) proposisi dalam

    mengasumsi komunikasi manusia sebagai encoding-decoding, pertama,

    dikodekan dalam pesan, dimana pesan berubah menjadi sinyal yang

    mengandung elemen korespondensi satu-ke-satu; kedua, pesan dikirim

  • 27

    melalui saluran ke penerima; ketiga, penerima menerjemahkan pesan agar

    sesuai dengan pesan yang dikirimkan.

    Selanjutnya, Krauss & Morsella menyebutkan faktor noise (kebisingan)

    dapat mengakibatkan makna pesan tidak dapat dipahami, pesan yang

    diterima tidak identik dengan yang ditransmisikan. Akan tetapi selain

    noise (kebisingan), fakor kognitif juga mempengaruhi pemahaman

    terhadap pesan yang dikirim. Walaupun pesan yang dikirim dan diterima

    dalam kondisi yang sama, referensi yang berbeda dalam memahami

    istilah pesan inilah yang mengakibatkan konflik dapat terjadi.

    2) Intentionalist Paradigm (Paradigma Niat)

    Paradigma niat pada intinya memandang bahwa proses komunikasi tidak

    mementingkan penggunaan kata, namun lebih menitikberatkan pada niat

    dan tujuan individu menggunakan pesan dalam proses komunikasi itu

    sendiri. Dalam pandangan lain bahwa niat, kepentingan serta tujuan

    seseorang dalam berkomunikasi sangat menentukan cara, bahasa yang

    digunakan, dan pesan yang akan disampaikannya. Pada titik ini, menurut

    Krauss & Morsella relevan dengan penggunaan bahasa dalam situasi

    konflik, terutama ketika konflik berasal dari perbedaan niat, tujuan, nilai,

    dan ideologi.

    3) The Perspective-Taking Pradigm (Paradigma penentuan perspektif).

    Paradigma penentuan perspektif mengasumsikan bahwa orang

    mempersepsikan dunia dari sudut pandang yang berbeda, karena

    pengalaman masing-masing individu pada tingkat tertentu bergantung

  • 28

    pada sudut pandangnya. Oleh karena itu pesan dirumuskan berdasarkan

    perspektif yang berbeda pula. Dalam kondisi konflik, akan semakin

    memperburuk keadaan jika tidak ditemukan persamaan persepsi dalam

    pemahaman sebuah pesan.

    Ada dua alasan konflik bisa terjadi dalam kondisi ini, yaitu tingginya

    perbedaan persepsi yang harus diakomodir oleh komunikator dan Kedua,

    konflik cenderung membuat perbedaan yang dirasakan di antara para

    peserta lebih menonjol, dan dengan demikian meningkatkan

    kecenderungan terbentuknya gap antara kelompok-kelompok dan di luar

    kelompok.

    4) The Dialogic Paradigm (Paradigma dialogis)

    Paradigm dialogis menjelaskan bahwa komunikasi merupakan

    kesepakatan bersama di antara pihak yang berkomunikasi. Komunikasi

    dianggap sebagai pencapaian bersama antara pengirim dan penerima

    pesan, yang telah berkolaborasi untuk mencapai beberapa tujuan

    komunikatif. Makna adalah "ditempatkan secara sosial" —berasal dari

    keadaan khusus dari interaksi — dan makna ucapan dapat dipahami

    hanya dalam konteks keadaan tersebut. Karena para peserta

    diinvestasikan dalam pemahaman, dan dipahami oleh, satu sama lain,

    pembicara dan lawan bicara memastikan bahwa mereka memiliki

    konsepsi yang sama tentang makna setiap pesan sebelum mereka

    melanjutkan pada proses berikutnya.

  • 29

    3. Konflik Sebagai Akibat Komunikasi

    Manusia mengatur dunianya dengan cara berkomunikasi yang menurutnya

    masuk akal dan bermakna. Akan tetapi, dalam berkomunikasi manusia

    sering mengedepankan ambisinya, sehingga menimbulkan salah pengertian

    dan menyebabkan terjadinya konflik sosial (Amin, 2017 : 103).

    Pendapat yang serupa menurut Raffel (Fajar, 2010: 25) bahwa penyebab

    konflik sebenarnya berasal dari bentuk-bentuk kegagalan berkomunikasi

    yang dapat menyebabkan satu pihak merasa terintimidasi, tertekan, atau

    terpaksa. Menurut Rusdiana (2015: 72), konflik terjadi karena adanya

    interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila ingin

    mengetahui konflik, berarti harus mengetahui kemampuan dan perilaku

    komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tetapi tidak semua

    konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers (Rusdiana,

    2015: 72), jika komunikasi adalah proses transaksi yang berupaya

    mempertemukan perbedaan individu secara bersama sama untuk mencari

    kesamaan makna, dalam proses itu pasti ada konflik. Konflik pun tidak

    hanya diungkapkan secara verbal, tetapi juga diungkapkan secara nonverbal.

    Seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan

    pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling

    baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan

    sebagai ―perang dingin‖ antara dua pihak karena tidak diekspresikan

    langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.

  • 30

    Berdasarkan definisi di atas, kegagalan akibat proses komunikasi bisa

    berasal dari komunikator, pesan, media, ataupun komunikannya. Dari sisi

    komunikator, Spitzberg & Cupach (Fajar, 2010: 25) menjelaskan bahwa

    kegagalan komunikasi bisa berasal dari diri individu sebagai komunikator

    atau komunikan, disebabkan oleh bentuk komunikasi yang agresif dan

    komunikasi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari komunikator yang tidak

    cakap sehingga akan mempengaruhi persepsi seseorang.

    Pesan sebagai penyebab konflik banyak dikaji oleh peminat komunikasi dari

    sisi penggunaan bahasa baik verbal maupun non-verbal. Seperti Adejimola

    (2009: 01) dalam karyanya Language and Communication in Conflict

    Resolution menjelaskan bahwa bahasa dalam tindakan dapat dilihat dalam

    bentuk lisan, non-verbal dan media tertulis. Karena itu, bahasa dan

    komunikasi adalah sine qua non di dunia kata-kata dan seterusnya meletus

    menjadi konflik atau perselisihan. Akan tetapi, Adejimola juga sepakat jika

    disisi lain bahasa dan komunikasi digunakan untuk resolusi konflik.

    Media sebagai penyebab konflik, terutama media massa sering

    menyebabkan berkembangnya masalah-masalah sosial yang menyeret pada

    konflik, dan citra buruk pada kognisi masyarakat juga terhadap media massa

    itu sendiri. Efek dari media massa membentuk proses perubahan sosial

    (Amin, 2017: 104). Oleh karena itu, Lazarsfeld & Merton (Benoit &

    Holbert, 2014 : 626) mengakui bahwa media massa bisa menghasilkan status

    tentang isu-isu publik, orang, organisasi, dan gerakan sosial. Disisi lain,

    pembertiaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh pada dua

  • 31

    hal. Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik dan

    kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik (Siebert,

    dkk. 1986).

    Aspek yang tidak kalah penting adalah komunikan sebagai penyebab

    konflik. Komunikasi yang tidak baik, bisa terjadi dikarenakan gaya

    berbicara atau budaya komunikasi suatu kelompok masyarakat tertentu

    seringkali menyinggung perasaan orang yang tidak memahaminya (Sukarno,

    2014: 32). Kondisi ini terjadi cenderung karena masyarakat memiliki

    persepsi yang berbeda dalam menanggapi isu-isu yang berkembang secara

    liar di masyarakat.

    Selanjutnya elemen pemicu konflik disisi komunikan adalah terbangunnya

    prasangka-prasangka yang tidak relevan. Prasangka adalah sikap terdistorsi,

    berat sebelah, atau tidak akurat kepada sebuah kelompok berdasarkan

    interpretasi cacat atau tidak lengkap atas informasi yang diperoleh lewat

    pengalaman langsung atau tidak langsung dengan sebuah kelompok (Ellis,

    2014: 415). Pada titik ini, dalam kehidupan politik, massa dapat digunakan

    oleh elite-elite tertentu di dalam mencapai tujuan dan kepentingannya

    (Sukarno, 2014: 32).

    B. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik

    1. Definisi Komunikasi

    Istilah komunikasi dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Kata komunikasi

    atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata Latin communis

  • 32

    yang berarti ―sama‖, communico, communicatio, atau communicare yang

    berarti ―membuat sama‖ (to make common) (Mulyana, 2005: 41). Selain itu,

    Velentzas (2014: 117) menambahkan, ―to communicate‖ berarti ―to make

    common‖ atau ―to make known‖, ―to share‖ dan termasuk alat interaksi

    manusia berupa verbal, non-verbal, serta alat elektronik.

    Perkembangan kajian-kajian komunikasi telah melahirkan definisi dan

    konsep komunikasi dari berbagai sudut pandang. Para akademisi telah

    mencoba segala usaha untuk mendefinisikan komunikasi, tetapi definisi

    tunggal tidak akan mungkin dilakukan dan tidak akan berhasil (Littlejohn

    dan Foss, 2009: 4)

    Sebagai dasar untuk mengarahkan penelitian ini, ada beberapa definisi atau

    konsep komunikasi yang relevan dan terkait langsung dengan bahasan fokus

    penelitian dengan memperhatikan prinsip definisi komunikasi. Frank Dance

    (1970), membagi 3 (tiga) kategori dimensi yang fundamental yang harus

    diperhatikan dalam membedakan komunikasi, yaitu (1) the level of

    observation, (2) the presence or absense of intent on the part of the sender,

    dan (3) the normative judgment (goodness-badness/ successful-

    unsuccessful) of the act.

    Littlejohn dan Foss (2009: 4-5) meringkas pemikiran Dance dalam buku

    Theories of Human Communication. Dimensi pertama adalah tingkat

    pengamatan atau keringkasan, maksudnya beberapa definisi termasuk luas

    dan bebas, yang lainnya terbatas. Definisi yang dibuat juga dapat difokuskan

    pada masing-masing level, beberapa level, atau seluruh level (Ruben dan

  • 33

    Stewart, 2014: 15-16) Perbedaan yang kedua adalah tujuan, maksudnya

    beberapa definisi hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan

    dengan maksud tertentu, yang lainnya tidak memaksakan pembatasan itu.

    Dimensi ketiga yang digunakan untuk membedakan definisi komunikasi

    adalah penilaian normatif. Artinya beberapa definisi menyertakan

    pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan atau ketepatan, sedangkan

    definisi yang lain tidak.

    Selanjutnya, Dance juga menyebutkan 15 komponen konseptual

    komunikasi, masing-masing disertai dengan definisinya yang mewakili

    komponen tersebut, yaitu komponen symbol/ verbal/ speech, understanding,

    interaction/ relationship/ social process, reduction of uncertainly, process,

    transfer/ transmission/ interchange, linking/ binding, communality, channel/

    carrier/ means/ route, replicating memories, discriminative response/

    behavior modifying/ response/ change, stimuli, intentional, time/ situation,

    and power.

    Akan tetapi, dari beberapa definisi diantaranya terkait dalam menjelaskan

    fenomena penelitian ini antara lain, pertama, komponen symbol/ verbal/

    speech. Definisi dari Hoben (1954: 77)

    ―communication is the verbal interchange of thought or idea.‖

    Kedua, komponen understanding. Definisi dari Andersen (1959):

    ―communication is the process by which we understand others and in

    turn endeavor to be understood by them. It is dynamic, constantly

    changing and shifting in response to the total situation.‖

  • 34

    Ketiga, komponen interaction/ relationship/ social process. Definisi dari

    Mead (1963: 107)

    “interaction, even on the biological level, is a kind of

    communication; otherwise common acts could not occur.”

    Serta keempat, komponen process. Definisi dari Berelson and Steiner (1964:

    254) :

    “communication: the transmission of information, ideas, emotions,

    skills, etc., by the use of the symbol-word, pictures, figures, graphs,

    etc. it is the act or process ot transmission that is usually called

    communication

    Dari berbagai konsep/ definisi yang menyebutkan tentang komunikasi dan

    komponen-komponen yang menyertainya, untuk mempermudah memahami

    tentang proses komunikasi, peminat komunikasi seringkali menggunakan

    paradigma Harold Lasswell (Ruben dan Stewart, 2014: 43) dalam karyanya

    The Structure and Function of Communication in Society, yaitu :

    ―bahwa cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah

    dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, Who Says What In Which

    Channel To Whom With What Effect.‖

    Dengan demikian, komponen dalam proses komunikasi setidaknya dengan

    menjawab 5 (lima) elemen, yaitu Who (Speaker), Says What (Message), in

    Which Channel (or Medium), To Whom (Audience or Listener), With What

    Effect. Selain komponen, komunikasi juga dikaji dari pola-pola yang

    melingkupinya. Menurut Moor dan Welgand (2005: 24), pola komunikasi

    (patterns of communication) adalah elemen-elemen kunci yang menjamin

    (ensure) terwujud dan bekerjanya norma-norma komunikasi dari komunitas

    tersebut.

  • 35

    Leavitt (1949) dalam karyanya Some Effect of Certain Communication

    Patterns Upon Group Performance menjelaskan pola komunikasi dan

    jenisnya. Kajian ini dikenal juga sebagai eksperimen Leavitt, dimana

    melibatkan 5 orang yang harus memainkan perannya layaknya dalam sebuah

    organisasi. Tujuan eksperimen ini memberikan gambaran pola mana yang

    lebih baik untuk berkomunikasi secara efektif dan cepat.

    Pola komunikasi yang diperkenalkan Leavitt, yaitu lingkaran (circle), rantai

    (chain), roda (wheel), Y, dan jaringan (network). Kesimpulan pola

    komunikasi ini adalah, pertama, pola komunikasi lingkaran ada pemimpin

    dan hierarki dalam anggota kelompok. Pemimpin hanya dapat

    berkomunikasi dengan anggota yang ada di sampingnya seperti bawahan

    langsung mereka. Komunikasi yang terbentuk cenderung satu arah dalam

    rantai komando.

    Kedua, pola komunikasi rantai memiliki kelemahan yang sama dengan

    lingkaran, yaitu rantai komando dan komunikasi satu arah. Bedanya,

    anggota dalam pola komunikasi rantai tidak bisa berkomunikasi dengan

    pemimpin kelompok. Jadi, para anggota mungkin tidak mendapatkan pesan

    yang tepat yang dikirim oleh pemimpin. Pemimpin bahkan tidak akan

    menyadari pesan terdistorsi. Serta feedback cenderung bisa terdistorsi.

    Ketiga, dalam pola roda ada pemimpin di pusat semua komunikasi,

    sedangkan yang lain adalah anggota yang berdiri pada tingkat yang sama

    dalam struktur. Semua anggota dapat berkomunikasi dengan pemimpin,

    begitu juga sebaliknya (komunikasi dua arah). Pola ini cenderung efektif

  • 36

    karena masalah komunikasi sedikit dan metode yang cepat, selain itu bisa

    meminimalisir distorsi informasi, serta mendorong umpan balik yang

    simultan.

    Keempat, pola komunikasi Y cenderung lebih rumit karena ada 3 (tiga)