komposisi - magisterseniusu.com · alamat penyunting: fakultas ilmu budaya universitas sumatera...

167
i

Upload: trananh

Post on 03-Mar-2019

404 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

i

Page 2: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

ii

KOMPOSISI

Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Seni, ISSN: 2301-6000

Komposisi diterbitkan dua kali setahun setiap Februari dan Agustus oleh Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara dengan tujuan untuk menyebarluaskan tulisan atau informasi ilmiah berupa hasil penelitian lapangan seni beripa kajian dan penciptaan

dalam bidang Ilmu-ilmu seni

Pembina: Rektor Universitas Sumatera Utara

Penanggung Jawab:

Dekan Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Sumatera Utara, Dr. Budi Agustono, M.S.

Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D.

Ketua Penyunting:

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

Sekretaris Penyunting: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.

Dewan Penyunting:

Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. Dr. Muhizar Muchtar, M.S.

Dr. Dardanila, M.Hum. Drs. Fadlin, M.A.

Penyunting Pelaksana:

Brian Titus Tarigan, S.Sn., M.Sn. Fitri Evita, S.Pd., S.E., M.Sn.

Nadra Akbar Manalu, S.Pd., M.Sn. Suharyanto, S.Pd., M.Sn.

Alamat Penyunting:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia

Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail: [email protected] Komposisi menerima sumbangan tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Pedoman penulisan tercantum pada halaman dalam sampul belakang. Penulis yang artikelnya dimuat dalam Jurnal Studia Kultura akan memperoleh imbalan dua eksemplar Jurnal Studia Kultura. Semua tulisan yang diterbitkan dalam Studia Kultura idak harus menggambarkan pendapat dan pikiran para penyunting. Harga langganan per tahun untuk 2 nomor Studia Kultura adalah Rp 100.000 untuk pelanggan pribadi dan Rp 150.000 untuk pelanggan lembaga/perpustakaan, ditambah ongkos kirim Rp 30.000.

Page 3: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

iii

KOMPOSISI Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Seni

ISSN: 2301-6000 Keputusan tentang pemuatan artikel dalam Jurnal Studia Kultura dilakukan melalui proses penilaian secara anonim oleh penyunting. Penyunting bertanggung jawab untuk memberikan telaah konstruktif terhadap artikel yang dimuat, dan apabila dipandang perlu penyunting menyampaikan hasil evaluasi artikel kepada penulis. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemuatan artikel adalah: terpenuhinya persyaratan format penulisan, serta sumbangan artikel terhadap perkembangan ilmu budaya dalam pengertian luas. Penulis harus menyatakan bahwa artikel yang dikirim ke Jurnal Studia Kultura belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Artikel ditulis dengan menggunakan MS Word 2000 atau terbaru dan dikirimkan dalam bentuk satu eksemplar hasil cetakan dan satu berkas elektronik dalam disket 3,5” atau dalam lampiran (attachment) melalui e-mail. Artikel yang diusulkan untuk dimuat dalam Jurnal Studia Kultura hendaknya ditulis dengan mengikuti pedoman penulisan sebagai berikut. 1. Artikel diketik dengan spasi ganda pada kertas A4 (210 x 297 mm). 2. Panjang artikel maksimum 10.000 kata. 3. Margin atas, bawah, kiri, dan kanan 1 inci. 4. Semua halaman sebaiknya diberi nomor. 5. Setiap gambar atau table (kalau ada) diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar, serta sumber

kutipan. 6. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu. Contoh:

a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis: (Siregar 2001). Jika disertai nomor halaman: (Siregar 2001:103). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis: (Wellec dan Waren 1985). c. Satu sumber kutipan dengan lebi dari dua penulis: (Bagus dkk. 1996). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang berbeda: (Koentjaraningrat 1992, Bangun 1997). e. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama: (Kayam 1992, 1995). Jika tahun publikasi sama: (Kayam 1993a,

1993b). f. Sumber kutipan yang berasal dari pekerjaan suatu lembaga sebaiknya menyebutkan akronim lembaga yang

bersangkutan, misalnya: (LIPI 1995). Isi tulisan disusun dengan memperhatiakn susunan sebagai berikut:

a. Abstrak, yang meliputi: masalah, tujuan, metode, dan hasil, maksimum 200 kata (dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris).

b. Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat. c. Tinjauan Pustaka/Kerangka Teoretis, yang memaparkan secara kritis tinjauan pustaka/kerangka teoretis yang

menjadi latar belakang atau landasan pembahasan. d. Metode Penelitian, memuat pendekatan yang digunakan, pengumpulan data, definisi dan pengukuran variabel serta

metode dan teknik analisis yang digunakan. e. Analisis/Pembahasan, yang berisi analisis masalah yang dikemukakan dengan mengikuti baku penulisan ilmiah. f. Implikasi dan Keterbatasan (khususnya utuk tulisan yang bersumber dari penelitian), yang menjelaskan implikasi

temuan-temuan dan keterbatasan penelitian dan jika perlu dapat memberikan saran untuk penelitian aau kajian yang akan datang.

g. Daftar Pustaka, yang memuat hanya sumber-sumber yang diacu di dalam tulisan, dengan ketentuan sebagai berikut. i. Daftar pustaka disusun menuru urutan abjad secara kronologis sesuai dengan nama penulis atau lembaga dan tahun

publikasi. ii. Susunan setiap pustaka adalah: (a) untuk buku teks: Nama penulis. Tahun publikasi. Judul buku teks. Edisi. Kota

Penerbitan: Penerbit.; (b) untuk jurnal: Nama penulis. Tahun publikasi. “Judul artikel.” Nama Jurnal. Volume dan nomor: halaman, lembaga penerbit dan nomor ISSN (kalau ada).; (c) untuk sumber elektronik: Nama penulis. Tahun publikasi (kalau ada). Judul Artikel. Alamat situs web (Tanggal sumber diperoleh dari internet). Contoh:

Alisyahbana, S. Takdir. 1981. “Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” Prisma. No. 11. Jakarta: LP3ES. Kayam, Umar. 1981. Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta: UGM Press.

Kasper, G. 1997. Can Pragmatic Competence be Taught? http://www.nfire. hawaii.edu/Net Works/NW06/ (18 April 2002).

h. Biografi Singkat, yang memuat secara ringkas biodata penulis artikel.

Page 4: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

iv

Komposisi, Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Seni ISSN: 2301-6000

DAFTAR ISI

Dari Penyunting ii

Daftar Isi ii

Komodifikasi Kain Tradisional Karo Pada Era Globalisasi 1-25 Brian Titus Tarigan Pengaruh Latar Belakang Budaya Terhadap Aspek Narasi Simbolik 26-35 Karya Tiga Perupa Medan Fitri Evita Ketoprak Dor di Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan, Tekstual, dan Musik 36-50 Suharyanto Analisis Struktur Teks, Makna, dan Melodi Onang-Onang Pada Adat 51-71 Perkawinan Mandailing Di Panyabungan Mutiara Efendi Nasution Tari Inai Pada Upacara Malam Berinai Masyarakat Melayu Di Kota Binjai: 72-84 Analisis Struktur dan Makna Suci Purnanda Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-Tulan Analisis Struktur, 85-98 Fungsi dan Makna Pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar Nadra Akbar Manalu Analisis Struktur Tari Guel Pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 99-111 Maghfirah Murni Bintang P Memahami Adat Dalam Kebudayaan Melayu 112-133 Muhammad Takari Manajemen Kelompok Paduan Suara Di Kota Medan: 134-160 Studi Kasus Consolatio Choir Dan Methodist-2 Chamber Choir Halomoan Tampubolon

Page 5: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

v

DARI PENYUNTING

Komposisi merupakan ruang untuk berkreasi dengan meletakkan elemen-elemen seni menjadi apa saja yang bermakna, baik itu pada seni musik, seni tari, maupun seni rupa. Dalam karya seni, komposisi dari elemen-elemen yang digunakan disusun sedemikian rupa, agar menciptakan karya yang memberikan kesan bermakna. Komposisi bukan hanya berhubungan dengan penciptaan seni saja tetapi juga pengkajian, terutama yang mendekati seni dari sisi estetik, struktural, dan fungsional. Jadi dengan demikian, komposisi adalah materi utama dalam dunia akademik kesenian.

Jurnal Komposisi ini merupakan jurnal tahun ke-6, nomor 12, yang ditulis oleh delapan alumni Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan seorang dosen. Kajian tulisan dalam jurnal ini meliputi beberapa tulisan yang mengkaji beberapa bidang seni. Yang pertama adalah seni rupa, yang ditulis oleh dua orang yakni Brian Titus Tarigan dan Fitri Evita. Dalam terbitan kali ini, Brian mengkaji komodifikasi uis yakni kain tenunan tradisional Karo, yang sarat dengan simbol-simbol dan makna budaya, namun tidak lupa penyesuaiannya dengan perkembangan teknologi dan bisnis industri kerajinan. Di lain sisi, bidang seni rupa ini dikaji oleh Fitri Evita yang menyoroti pengaruh budaya (etnik dan pergaulan antar etnik) dalam karya tiga perupa di Sumatera Utara. Dalam kajian ini terbukti bahwa kebudayaan dalam bentuk gagasan atau ide sangat berkait erat dengan ekspresi dalam seni rupa.

Bidang kajian berikut adalah seni pertunjukan yang diulas secara rinci oleh Suharyanto. Seni pertunjukan itu adalah ketoprak dor, sebagai kesenian yang menjadi identitas kebudayaan masyarakat Jawa Deli (Jadel). Di dalam kajiannya Suharyanto menemukan berbagai peristiwa sejarah tumbuh dan berkembangnya kesenian ini, termasuk akulturasinya dengan wilayah Sumatera Utara yang heterogen secara kultural.

Mutiara Efendi nasution mengkaji onang-onang dari pendekatan linguistik dan juga etnomusikologis. Onang-onang yang dikajinya merupakan ekspresi dari kebudayaan masyarakat mandailing yang menggunakan komunikasi lisan dalam bentuk nyanyian yang estetik dan sarat dengan ajaran-ajaran kebudayaan.

Selanjutnya, terdapat tiga penulis dan pengkaji di bidang seni tari. Pertama adalah Suci Purnanda yang mengkaji tari iani dalam perkawinan adat Melayu di Binjai. Tari inai ini memiliki motif, frase, dan bentuk yang mengeksprersikan imitasi alam dalam tarian. Tarian ini juga simbolisasi dari berbagai kearifan lokal terutama distilisasi dalam bentuk gerak. Penulis seni tari berikutnya adalah Ndra Akbar manalu, yang mengkaji landek dalam adat ngampeken tulan-tulan (merupakan bentuk peningkatan stratifikasi kubur dalam konteks kebudayaan Karo). Tarian ini sangat berkait erat dengan sistem kekerabatan Karo, yang secara umum terkodifikasi dalam rakut sitelu (tiga unsur dalam sistem kekerabatan). Penulis berikutnya Maghfirah Murni Bintang Permana yang menulis tentang tari guel pada masyarakat Gayo di Aceh. Tarian ini sarat akan makna-makna kebudayaan. Tari guel juga memiliki berbagai fungsi dalam konteks kebudayaan masyarakat Gayo.

Salah satu yang mengkaji adat adalah Muhammad Takari, yang memfokuskan perhatian pada adat Melayu. Dalam tulisan ini Takari menyoroti timbul dan eksisnya adat Melayu karena faktor manusia beradaptasi dan memanfaatkan alam. Selanjutnya dengan pendekatan etnosains dijumpai empat stratifikasi adat Melayu, yakni: adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat, dan adat istiadat. Jadi adat merupakan inti dari kebudayaan Melayu.

Di akhir jurnal ini, Halomoan Tampubolon mengkaji manajemen atau pengelolaan dua paduan suara di kota Medan, yakni: Consolatio Choir Dan Methodist-2 Chamber Choir. Dalam analisisnya dijumpai bahwa paduan suara ini memiliki tujuan-tujuan organisasional yang mempengaruhi sistem manajemen yang digunakannya.

Page 6: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

vi

.

Page 7: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

1

KOMODIFIKASI KAIN TRADISIONAL KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Oleh : Brian Titus Tarigan Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Uis Karo is a must functional in society culture Karo, which is able to become a identity and existence Karo ethnic in the cultural and sociological pluralism. Uis Karo has differences within color, structure, and motif. That difference related to time and place of their use in implementation of the traditional ceremonies Karo. Nowadays, Uis Karo has become an object to be modified. The focus of this study was to discuss : (1) the original structures of Uis Karo, (2) the structures of commodification Uis Karo (3) the impact and the meaning of commodification Uis Karo and (4) the factors why the commodification of Uis Karo occurred.

Keywords: Creative Industries, Commodification, Globalization, Uis Karo

1. Pengenalan Uis Karo

Indonesia telah menghasilkan karya-karya seni budaya yang luar biasa. Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dengan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti batik, tenun, wayang, tarian, yang ada sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya. Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya. Salah satunya adalah kebudayaan tenun tradisional dari suku Karo yaitu Uis Karo.

Uis Karo merupakan bagian dari pengetahuan tradisional, karena uis dibuat secara bertahap oleh masyarakat Karo secara turun temurun sejak dahulu di daerah Sumatera Utara. Uis terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing mempunyai makna, fungsi, waktu dan kegunaannya tersendiri. Pada saat ini uis Karo merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat dan budaya Suku Karo dimana mereka berada. Selain digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo. Uis Karo didominasi warna merah dan hitam, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang berwarna emas, dan putih. Uis terbuat dari bahan kapas yang kemudian dipintal dan ditenun secara manual dan diwarnai menggunakan zat pewarna alami. Pembuatannya secara tradisional tidak jauh berbeda dengan pembuatan ulos Toba, yaitu menggunakan gedogan.

Masyarakat Karo khususnya wanita bukanlah penenun seperti wanita Batak Toba. Wanita Karo lebih memilih berladang karena keuntungan dari hasil bertani yang begitu besar dibandingkan menenun. Menurut Liwen Tarigan salah satu bukti masyarakat Karo bertenun adalah terdapat dalam mangmang (mantra, nyanyian, kalimat sakti dan pendek berupa nasihat) pada Beka Buluh yang dilakukan pada acara adat berbunyi: enda ia, iampeken kami man bandu nakku, uis Nipes Beka Buluh bekas nini tole ertenun, kerah i angin-ianginken, bencah i embun-embunken, em tandanna kam sebayak bebere penghulu.

Dalam bukunya Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia (2009) dan Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition (1993) disebutkan, setidaknya sudah sangat lama orang Karo berhenti menenun uis. Hal ini sebabkan suburnya tanah Karo berkat keberadaan gunung berapi, seperti Sinabung sehingga membuat pertanian di Karo lebih menjadi penopang hidup masayarkat Karo. Sehingga aktivitas menenun uis Karo pun ditinggalkan demi pertanian. Dari hasil pertanian ini, masyarakat Karo, masyarakat Karo mampu membeli tekstil impor yang didatangkan dari India (Tamil) dan Eropa oleh para pedagang di wilayah Kesultanan Aceh.

Usaha penenunan di tanah Karo tidak terlalu banyak seperti suku Batak Toba, masyarakat Karo memilih untuk memproduksi bahan baku utama uis Karo sendiri. Dalam usaha penenunan suku Karo menurut buku Tribal Communities in the Malay World Historical, Cultural and Social (2002), ada 2 kelompok kecil dalam memproduksi bahan baku uis Karo, yaitu Sinuan Bunga dan Sinuan Gamber. Kelompok Sinuan Bunga adalah masyarakat fokus memproduksi dan mengembangkan kapas, mereka biasanya berdomisili di Binjai, Sunggal, Laucih, Delitua dan Patumbak. Hasil pemintalan mereka diperdangkan ke masyarakat Karo yang datarannya lebih tinggi, seperti daerah Sibolangit, Kelompok ini

Page 8: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

2

dijuluki Sinuan Gamber (penanam gambir) karena mereka memproduksi gambir untuk memproduksi pewarna tenunan yang dicelupkan pada benang kapas. Kapas didagangkan dari wilayah Sinuan Bunga ke bagian lebih tinggi dari Tanah Karo setelah diadakan pemintalan oleh orang-orang Karo.

Seiring dengan era globalisasi, para pekerja di uis Karo meninggalkan profesinya yang berhubungan dengan dunia tenun dan beralih ke profesi yang lain. Ada mereka yang berpindah profesi karena tuntutan zaman yang mengharuskan mereka bekerja di sektor-sektor seperti perkebunan, menjadi petani, menjadi pegawai pemerintah, menjadi buruh di kota hingga yang merantau ke luar Sumatera. Sejak masa itulah bekerja di bidang uis Karo semakin banyak ditinggalkan oleh masyarakat Karo yang lebih disibukkan dengan usaha menanam cabe, jeruk, kopi, tomat, dan palawija lainnya. Perlahan namun pasti, kegiatan menenun uis Karo menjadi hal yang langka dari tanah Karo. Kini di tanah Karo sudah tidak terdapat lagi penenun tradisional. Kebutuhan masyarakat Karo akan kain tenun disuplai oleh penenun-penenun di Samosir dan sekitarnnya. 2. Penggunaan Uis Karo secara Tradisional

Pada umumnya uis Karo ini dipakai dan digunakan dalam upacara adat untuk jile-jile (kemegahan) dengan cara igonjeken (diselempangkan ke pinggang hingga menutup mata kaki) atau icabingken (dipakai di bahu menutup badan bagian atas terutama dada dan punggung). uis Karo juga dipergunakan sebagai tudung oleh wanita dan bulang-bulang oleh pria pada pesta perkawinan.

Selain pemakaian pada tubuh, uis Karo juga diaplikasikan masyarakat Karo sebagai dekorasi dalam upacara perkawinan seperti alas dari pinggan tempat memberikan tukur atau perdalin emas yang berupa mahar. Uis Karo juga dipakai oleh pengatin baru masyarakat Karo dengan disangkutkan sebagai hiasan tempat tidur mereka agar pengantin hidup dengan tenang dalam mengarungi bahtera rumah tangga ke depannya. Jenis uis yang dipakai pengantin baru ini adalah jenis uis Nipes dan uis Kapal.

Pada upacara mengket rumah (memasuki rumah baru) terutama rumah adat biasanya uis Karo berjenis uis kapal diikatkan pada tiang rumah tersebut dengan istilah Ngosei binangun supaya nanti rumah dan penghuninnya tetap kuat dan sehat.

Berdasarkan laporan penelitian pengumpulan dan dokumentasi ornamen tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980, uis Karo memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bidang tengah kain biasanya berisi unsur-unsur corak geometri seperti garis-garis lurus, garis putus-putus dan bersifat hanya sebagai penghias.

2. Pengetang-ngetang/Ketang-ketang yakni batas antara bidang tengah kain dengan ambu-ambu yang berfungsi sebagai penguat ujung-ujung kain berupa hiasan geometris.

3. Sebagian uis Karo memilki ambu-ambu/rambu, yaitu hiasan berupa benang berjumbai pada pinggir atas dan bawah kain.

4. Gadingna merupakan batas antara bidang tengah kain dan pinggir kain. 3. Jenis-jenis Uis Karo

Menurut A.G. Sitepu pada bukunya mengenai seni kerajinan tradisional Karo seri B, terdapat 18 corak jenis uis Karo. Dia juga berpendapat bahwa jumlah jenis uis berbeda-beda pada setiap daerah, hal ini diakibatkan oleh pengaruh dari kebudayaan suku luar dan keadaan geografis. Dalam buku Pilar Budaya Karo tulisan Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G Sitepu, dalam masyarakat Karo terdapat 19 jenis uis Karo. uis Karo tersebut adalah uis julu, uis teba, uis arinteneng, uis batu jala, uis kelam-kelam, uis beka

Page 9: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

3

buluh, uis gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip jongkit/kapal jongkit, uis gatip cukcak, uis gara-gara, uis pementing, uis pengalkal, uis parembah, uis jujung junjungen, uis nipes ragi mbacang, uis nipes padang rusak, uis nipes mangiring, dan uis nipes benang iring.

Beberapa di antara uis Karo tersebut sekarang sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Uis Karo tersebut hanya digunakan dalam kegiatan acara budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme sehingga saat ini tidak digunakan dan ditenun lagi.

1.Uis Julu. Uis ini memilki warna hitam kebiru-biruan dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Ketang-ketangnnya berwarna merah dan hitam yang disebut juga ketang-ketang bujur. Selain itu, ada juga jenis uis julu yang memiliki ketang-ketang sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pada pinggir ujung uis ini terdapat memilki rambu (jumbai). Uis ini memiliki ketebalan seperti uis jongkit/gatip. Fungsi dari uis julu adalah : (a) Sebagai pakaian wanita yang berfungsi sebagai pembalut tubuh dari dada bagian atas hingga ke pergelangan kaki (abit) pada upacara adat yang mengharuskan berpakaian adat lengkap,(b)Uis ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (manéh-manéh) pada saat orang tua (baik pria maupun wanita) yang sudah lanjut usia telah meninggal dunia (istilah Karo cawir metua, ketika semua anaknya telah menikah), (c) Nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, (d)Sebagai cabin (sebagai selimut) dan (d) Gonjé atau sarung untuk laki-laki.

2.Uis Teba. Uis ini termasuk uis yang tebal. Uis teba memiliki warna hitam kebiru-biruan dengan corak daris-garis putih berbentuk liris yang memilki kemiripan dengan uis julu, yang perbedaannya adalah garis-garis pada uis teba agak jarang sedangkan pada uis julu agak rapat. Uis ini memiliki rambu (jumbai) pada bagian pinggir ujungnya. Uis teba ini juga memilki ketang-ketang berwarnanya merah dan putih. Selain itu ada juga jenis uis teba yang memilki sirat atau ukiran. Fungsi dari uis teba adalah : (a) Sebagai manéh-manéh, contohnya jika seorang perempuan meninggal dunia maka manéh-manéhnya diberikan uis teba kepada saudaranya laki-laki, (b) Sebagai tudung bagi wanita (hanya boleh ditudungkan oleh orang tua yang berumur lebih kurang 50 tahun keatas), (c) Untuk nambari uis orang tua (memberikan uis kepada orang tua perempuan jika usianya sudah lanjut dan semua anaknya telah berumah tangga), (d) Sebagai alas pinggan, yaitu sebagai tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak perempuan, dan (e). Uis teba juga dijadikan sebagai wujud rasa hormat kepada Kalimbubu.

3. Uis Pengalkal. Uis pengalkal hampir sama bentuknya dengan uis pementing. Uis ini memilki warna hitam dan bergaris-garis dipinggirnya. Uis digunakan oleh perempuan untuk mengikat ndawa.

4. Uis Batu Jala. Uis ini memilki warna hitam pekat. Pada sebelah pinggir kanan dan kiri uis ini terdapat warna putih dengan ragam hias cekili kambing. Uis baru jala ini tipis dan tidak memakai ambu-ambu. Fungsi dari uis baru jala adalah : (a) Sebagai tudung bagi anak gadis pada waktu pesta guro-guro aron (pesta muda-mudi), dan (b), Sebagai kadangen yaitu uis yang diselendangkan pihak laki-laki dengan tiga lapis yaitu uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.

5. Uis Ariteneng. Jenis uis ini berwarna hitam agak pekat polos dan memakai ambu-ambu. Pada bagian sebelah atas dan bawah uis ariteneng terdapat les berwarna putih dan biru muda. Pada bagian kiri dan kanan uis ini terdapat pengetang-ngetang dalam bentuk ragam hias. Uis ini termasuk uis tebal. Fungsi dari uis ariteneng adalah : (a) Sebagai alas pinggan pasu yaitu tempat emas kawin yang akan diberikan kepada keluarga pengantin perempuan, (b) Sebagai alas pinggan pasu (memiliki arti supaya roh-roh menjadi tenang), (c) Sebagai alas tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (makan bersama) pada malam dalam memasuki pelaminan, (d) Sebagai pembalut tiang pada mengket rumah (pesta adat peresmian atau memasuki rumah baru baru), (e) Uis arinteneng ini juga disangkutkan di dinding ruang depan ruang tamu supaya roh-roh menjadi tenang, (f) Sebagai alat membayar utang adat kepada kalimbubu dalam acara adat duka cita, (g) Untuk ngiap tendi (memanggil roh), (h) Sebagai upah tendi (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi disaat nantinya mereka memiliki keturunan, (i) Menjadi lanam (alas

Page 10: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

4

untuk menjungjung kayu api ketika memasuki rumah baru), (j) Diberikan sebagai parembah apabila seseorang anak laki-laki termama-mama tendinya atau seseorang anak perempuan terbibi (saudara ayahnya yang perempuan) tendinya, (k) Sebagai lapik (alas) bibit padi di ladang, (l) Pada upacara njujung beras piher, uis ini di pakai dengan makna “tenang tendi i rumah” yang berarti ketentraman, (m) Sebagai isi lemari, yang bermaksud supaya pemikiran sang empunya rumah teneng (tenang). uis Karo ini diikat dengan padang teguh supaya tendi (roh) tetap berada di dalam rumah, dan (n) Pada logo tanah Karo Pijer Podi, uis Arinteneng dipakai dalam melambangkan kesentosaan.

6. Uis Kelam-kelam. Uis ini memiliki warna hitam polos. Uis kelam-kelam tidak pakai ambu-ambu/rambu. Uis kelam-kelam ini terbuat dari kain putih yang dicelup warna hitam. Meskipun jenis uis Karo ini termasuk tipis, uis ini memiliki sifat yang lebih keras. Fungsi dari Uis kelam-kelam adalah : (a) Sebagai tudung orang tua, (b) Sebagai morah-morah (kado untuk laki-laki pada pesta upacara kematian wanita lanjut usia) dan yang menerima morah-morah ini ialah puang kalimbubu, dan (c) Sebagai Kadangen yaitu uis yang diselendangkan pihak laki-laki dengan tiga lapis yaitu uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.

7. Uis Beka Buluh. Uis beka buluh memiliki warna dasar merah cerah dan pada bagian tengah terdapat garis-garis berwarna kuning violet, ungu, putih. Warna beka buluh zaman dahulu hanya kuning, merah dan putih. Pada bagian tepi uis ini terdapat ragam hias Karo dengan benang emas. Jenis uis Karo ini juga sering disebut bulang-bulang. Menurut aturan adat dahulu yang boleh memakai uis beka buluh adalah hanya laki-laki. Fungsi dari Beka Buluh adalah : (a) Sebagai bulang-bulang yaitu penutup kepala. Pada saat pesta Adat, uis ini dipakai putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan. Uis ini dilipat dan dibentuk menjadi mahkota pada saat pesta perkawinan, mengket rumah (peresmian bangunan), dan cawir metua (upacara kematian bagi orang tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut), (b) Sebagai pertanda (céngkok-céngkok/tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segitiga, (c) Sebagai maneh-maneh yaitu setiap putra Karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu (paman, saudara laki-laki dari ibu, pihak yang dihormati) agar dia berhasil dalam hidupnya, (d) Pada saat acara duka, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tersebut berupa mahkota yang biasa dikenakannya yaitu uis beka buluh, (e) Uis beka buluh memiliki ciri gembira, tegas dan elegan. Uis ini merupakan simbol wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang putra Karo, (f) Uis ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita sebagai pengganti uis jujung-jujungen, (g) Uis ini juga memiliki posisi yang tinggi karena letaknya pada pada bagian atas seperti kepala dan bahu yang melambangkan kepemimpinan, dan (h) Pada logo Pijer Podi tanah Karo, uis ini dipakai dalam melambangkan kepemimpinan.

8. Uis Gobar Dibata. Uis Gobar ini termasuk uis yang tipis dan berukuran kecil. Uis ini memilki warna biru tua, hitam, merah dan putih. Uis ini juga sering disebut uis Jinujung. Fungsi utama dari uis gobar dibata adalah untuk berberjinujung (pemuja roh nenek moyang), uis ini dipakai sewaktu erpangir kulau dan ngelandekken galuh (menarikan pisang).

9. Uis Gatip Gewang. Uis gatip gewang ini memilki warna hitam dan memiliki corak ragam hias berwarna putih. Uis gatip gewang ini termasuk jenis uis yang tebal dan memakai ambu-ambu. Fungsi dari uis gatip gewang sama dengan uis gatip cukcak yaitu uis yang dipergunakan sebagai ndawa bagi perempuan dan sebagai abit (sarung) bagi laki-laki. Perbedaannya dengan uis gatip cukcak adalah tidak memakai benang emas.

10. Uis Gatip Cukcak/Uis Kapal. Uis ini termasuk jenis uis yang tebal sehingga masyarakat Karo menyebutnya uis Kapal. Uis ini termasuk uis yang memiliki ambu-ambu. Uis ini berwarna hitam dan

Page 11: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

5

memilki corak bintik-bintik putih pada bagian tengah. Fungsi dari uis gatip cukcak ini sama dengan uis gatip gewang yaitu digunakan sebagai ndawa bagi perempuan dan sebagai abit (sarung) bagi laki-laki.

11. Uis Gara-gara. Uis ini termasuk jenis uis yang tebal dan memilki ambu-ambu. Warna dasar dari uis ini ialah merah tua dan terdapat garis-garis kecil dengan warna garis putih di bagian tengah yang mempunyai ragam hias bermotif ular sawah. Uis ini juga mengunakan benang berwarna emas. dari uis gara-gara ini adalah: (a) Di-pergunakan seba-gai tudung pada pesta adat seperti pesta perkawinan dan pesta mema-suki rumah baru. Tudung ini ben-tuknya lebih pendek dari tudung teger lim-pek, dan (b), Sebagai ndawa anak-anak (ketika anak-anak digen-dong, uis ini diabitkan sekalian menjadi selimutnya ketika tidur). Dipakai wanita sehari-hari sebagai penutup kepala di desa.

12. Uis Gatip Jongkit/Kapal Jongkit. Uis gatip jongkit ini termasuk jenis uis yang tebal dan memilki ambu-ambu. Warna dasar dari uis ini adalah warna merah dan bercorak putih dan hitam. Fungsi dari uis gatip jongkit ini adalah sebagai gonje (sebagai kain sarung) pada laki-laki ketika acara pesta adat. uis ini dipakai oleh laki-laki untuk semua upacara Adat seperti: acara pesta perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro Aron yang mengharuskan berpakaian adat lengkap. Uis gatip jongkit ini juga menunjukkan karakter kuat dan perkasa. Uis ini juga diberikan sebagai cabin (selimut) untuk kalimbubu jika dia bermalam di rumah anak beru.

14. Uis Pementing. Uis Karo ini termasuk jenis uis yang tebal dan memiliki ambu-ambu. Uis ini berwarna gelap dan memilki corak putih berukuran kecil. Uis ini dipakai laki-laki dan dipergunakan sebagai benting (ikat pinggang) bagi laki-laki yang memakai uis julu sebagai sarung. Uis ini juga disebut dalam bahasa Toba adalah ulos ragi jenggi.

15. Uis Parembah. Uis ini memilki arti kain gendongan. Uis ini termasuk jenis uis yang tebal dan memiliki ambu-ambu. Uis perembah memilki warna dasar merah bercorak putih dan kuning. Penggunaan uis ini harus sepasang yaitu parembah ndawa dan uis pangalkal. Fungsi dari uis perembah ialah sebagai alat menggendong anak kecil. Pada umumnya pihak anak beru membawa anaknya kepada kalimbubu dengan maksud meminta uis perembah, sehingga pihak kalimbubu harus menyediakan dan menyerahkan seperangkat uis perembah. Pemberian uis perembah ini bermaksud agar anak tersebut sehat-sehat, dengan doa lampas mbelin ula sakit-sakit, sirang lau ras beras maka sirang ernande erbapa yang berarti mendoakan supaya anak tersebut lekas besar dan sehat-sehat, panjang umur, dan mampu mandiri dengan berpisah dengan ibu dan ayah.

16. Uis Jujung-Junjungen. Uis ini termasuk jenis uis yang tebal dan memiliki ambu-ambu dari benang emas. Uis ini memilki warna merah kekuning-kuningan. Uis ini digunakan sebagai jujungen yang diletakkan diatas tudung sewaktu mendadakan pesta seperti, pesta perkawinan (dipakai oleh pengantin perempuan), guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan pesta mengket rumah mbaru oleh kemberahan (istri tuan rumah). Pada saat uis ini jarang digunakan, dan diganti dengan uis beka buluh. Menurut Norma Br Tarigan, pergantian uis jujung-jujungen menjadi uis beka buluh untuk tudung berawal dari tukang salon yang pinter menghias yang bernama Pudin, bukan dari suku Karo. Dari hasil desain tudung yang yang mirip dengan suku Minangkabau, masyarakat Karo mengikuti tudung dengan uis beka buluh.

17 Uis Nipes. Uis nipes biasanya digunakan sebagai maneh-maneh (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas pinggan pasu (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat. Kain ini jenisnya lebih tipis dari jenis uis Karo lainnya dan uis ini memilki bermacam-macam motif dan warnanya seperti warna merah, coklat, hijau, dan ungu. Pemakaian kain ini sering dipakai sebagai selendang bagi wanita. Berikut jenis-jenis uis nipes :

Page 12: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

6

(a). Uis Nipes Ragi Mbacang, Uis ragi mbacang sering juga disebut dengan Uis Ragi Barat. Uis nipes ragi mbacang memiliki warna dasar merah bergaris emas. Uis ini termasuk jenis uis yang tipis. Uis nipes ragi mbacang dipakai sewaktu waktu pesta adat hanya untuk perempuan sebagai langge-langge yaitu lapisan sebelah luar kain sarung. Uis nipes ragi mbacang men-jadi bagian yang tak terpisahkan dari pakaian tradisional adat Karo lengkap

(b). Uis Nipes Padang Rusak, Warna dasar uis nipes padang rusak adalah merah dan memilIki corak ragam hias yang beragam. Uis nipes padang rusak ini juga dipakai sebagai langge-langge (selen-dang) oleh perempuan baik pada pesta maupun dalam sehari-hari.

(c). Uis Nipes Mangiring, Uis nipes mangiring ini berwarna merah dengan corak garis merah, kuning dan putih, kainnya tipis. Fungsi uis nipes ini sebagai langge-langge (selendang bahu bagi perempuan) dalam upacara adat duka cita.

(d). Uis Nipes Benang Iring. Uis nipes benang iring ini berwarna merah bergaris putih ditambah benang emas, Fungsi uis nipes ini sebagai langge-langge (selendang bahu bagi perempuan) dalam upacara adat duka cita. 4. Bentuk Komodifikasi Uis Karo

Dalam buku Encyclopedia of Marxism, Karl Marx mengemukakan pengertian komodifikasi merupakan transformasi hubungan, sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Komodifikasi mendeskripsikan suatu cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna (nilai artistik dan nilai kebudayaan) menjadi nilai tukar (nilai ekonomi). Menurut Piliang (2003) komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke dalam bentuk seni dan kebudayaan pada umumnya. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan obyek dan proses. Komoditas dipahami sebagai suatu segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Modifikasi adalah suatu proses perubahan (desain dan fungsi) dalam komodifikasi.

Kemampuan untuk berubah secara terus-menerus merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan (kesenian) tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Soedarsono (1995) dalam Jumal Seni Budaya mengatakan cepat atau lambat, kebudayaan selalu akan berubah. Transformasi itu bisa berkaitan dengan bentuknya, tetapi kerap pula berkaitan dengan nilai-nilainya. Bentuk komodifikasi uis Karo dalam bab ini ini dikaji dari segi kajian budaya melalui analisis-analisis yang menjelaskan komodifikasi produksi, nilai artistik, nilai budaya dan distribusi.

Dahulu kala uis Karo ditenun melalui alat tenun tradisional yang disebut gedogan. Alat tenun gedongan ini masih bisa kita jumpai di Pangururan, Samosir. Alat tenun gedogan ini hanya terdiri dari bambu dan kayu untuk mengaitkan benang lungsi saja. Bilah-bilah kayu dan bambu pada alat ini ujung-ujungnya dikaitkan pada tiang atau pondasi rumah si penenun. Kemudian, ujung satunya terikat pada badan penenun. Alat tenun ini digunakan oleh penenun dengan posisi badan duduk di lantai atau tanah. Penggunaan alat tenun gedogan tidak ditemukan lagi di tanah Karo. Dengan menggunakan alat tenun gedogan, proses untuk memproduksi selembar uis Karo membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan mencapai beberapa minggu. Dalam buku Manusia Adat Karo, Tridah Bangun berpendapat, sehelai uis

Page 13: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

7

Karo biasanya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu dengan waktu pengerjaan 9 jam sehari. Untuk memudahkan penenun, gedokan diganti dengan ATBM (alat tenun bukan mesin). ATBM adalah alat tenun uis yang digunakan oleh pekerja yang terbuat dari kayu. Bahan kayu yang digunakan untuk mebuat ATBM adalah kayu jati sehingga bisa bertahan hingga puluhan tahun. ATBM memilki prinsip yang sama dengan alat tenun gedongan. ATBM merupakan sebuah hasil modifikasi alat tenun yang digerakkan oleh injakan kaki untuk mengatur naik turunnya benang lungsi pada waktu masuk keluarnya benang pakan, dipergunakan sambil duduk di kursi. Kursi yang digunakan dalam menggunakan ATBM adalah kursi yang terbuat dari kayu, berbentuk kotak, tidak memiliki sandaran punggung.

Menurut pardetuk.com, istilah ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) tidaklah tepat, karena secara prinsip kerjanya merupakan peralihan ke mesin. Nama yang lebih tepat adalah ATSM (Alat Tenun Semi-Mesin). Perkembangan jumlah ATSM pada awalnya di tahun 1980 akhir juga terjadi karena faktor ekspansi benang dari pulau Jawa. Sejak saat itu pemintalan benang tradisional ditinggalkan oleh penenun. ATBM terbuat dari kayu yang dipasangi beberapa perlengkapan, sehingga menjadi satu unit ATBM. ATBM digerakkan secara manual dengan menggunakan kaki dan tangan. Dengan menggunakan ATBM, penenun dapat duduk di kursi dengan kaki mengayun pedal dan tangan menarik pengungkit sehingga pekerjaan menjadi mudah dan cepat selesai.

Seiring perkembangan teknologi, ATBM ini kemudian ditingkatkan lagi kemampuanya dengan adanya sistem Jacquart (zakat). Alat tenun Jacquard ditemukan oleh seorang perajin topi jerami yang bernama Joseph Marie Charles (Jacquard) pada tahun 1804 - 1805. Kelebihan ATBM Jacquart dibanding ATBM biasa adalah menghasilkan berbagai jenis ragam hias dalam struktur yang kaya dan beraneka ragam bentuk. ATBM Jacquard ini dijalankan dengan sistem kartu yang dilubangi kartu Braille yang memilki algoritma pola penenunan. Kartu-kartu yang terbuat dari kertas duplex tersebut memberi perintah pada mesin untuk menghasilkan kain dengan ragam hias yang tidak bias dihasilkan oleh gedokan dan ATBM biasa. Alat tenun Jacquard memiliki sistem penggerak independen pada setiap helai benangnya, sehingga dapat menghasilkan berbgai struktur ragam hias yang sangat beragam.

Seiring dengan perkembangan zaman di bidang fashion, para penenun modern seperti Trias Tambun juga memproduksi barang-barang fashion wanita berbahan dasar uis Karo, seperti dompet dan tas. Barang-barang fashion hasil modifikasi uis ini dijual sebagai karya inovasi para penenun di gallerynya yang terletak di jalan Sisingamangaraja No.1 Kabanjahe. Selain Trias Tambun, ada seniman musik Karo yang bernama Averiana Barus yang ikut memodifikasi uis Karo. Dia mengembangkan usaha kerajinan kreatif dalam jenis fashion baik untuk wanita dan pria dengan memanfaatkan uis Karo sebagai "kulit" dari produknya

Page 14: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

8

Dengan memiliki merk label Uwish Details yang merupakan gabungan dari "you wish" “uis” dan “detail” ia memproduksi modifikasi uis Karo dalam bentuk, dompet, tas, dasi, kalung, bantal sofa hingga batik bermotif uis Karo. Semua produk yang dia pasarkan merupakan produk hasil kerajinan tangan. Awalnya dia hanya memanfaatkan kain tenun uis Karo yang sudah usang untuk digunakan sebagai bahan untuk merajut produk aksesoris busana. Kemudian dia memamerkan karyanya tersebut di berbagai media sosial seperti Instagram. Dengan semakin banyak produk yang dia pamerkan, semakin ramai pula calon pembeli yang menanyakan ketersediaan produk modifikasi uis Karo tersebut. Averiana Barus pun semakin serius menggarap produk aksesoris busana dan kini memasok bahan uis Karo dari pengrajin tenun di sekitar kota Medan. Produk fashion hasil modifikasi uis Karo yang ia pasarkan tidak terlalu mengedepankan nilai-nilai filosofis uis Karo, tetapi sebagai seorang seniman Karo, dia membuat ciri tradisional dari uis Karo tetap ingin ia pertahankan dalam produknya. Kini produk Uwish Details banyak tersebar ke daerah yang relatif banyak dihuni oleh masyarakat Karo perantauan, seperti Riau, Jakarta, Bandung, Papua termasuk luar negeri seperti Belanda, Malaysia dan Jepang.

Komodifikasi budaya terjadi pada proses produksi uis Karo. Proses penenunan kini dibuat dengan sistem industri. Motivasi para pelaku di penenunan yang semakin business oriented. Komodifikasi dapat dilihat disini yaitu mengubah nilai pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) di mana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009). Komodifikasi merupakan suatu proses memodifikasi suatu produk tradisional (uis Karo) dengan mengalami perubahan ukuran, bentuk (tradisional menjadi modern), dan penyederhanaan, sesuai dengan permintaan konsumen dan tuntutan pasar. Jika dihubungkan dengan kebudayaan maka komodifikasi merupakan upaya untuk menjadikan segala sesuatunya (kebudayaan) untuk meraup keuntungan. Komodifikasi nilai (content) menjelaskan bagaimana nilai kebudayaan yang diproduksi menjadi komoditas yang ditawarkan.

Proses komodifikasi ini menghasilkan berbagai bentuk produk baru yang berbeda dari bentuk aslinya. proses perubahan bentuk tersebut muncul dari inovasi dan kreatifitas desainer, konsumen, hingga industri itu sendiri, sebagai suatu karya seni yang memiliki nilai ekonomi. Perubahan bentuk tersebut harus memilki nilai yang bisa dijual atau diperdagangkan, nilai tersebut adalah nilai artistik dan nilai kultural. Nilai artistik (artistic value) adalah nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan dan nilai budaya (cultural value) adalah nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan.

Jika dikaji dari nilai seni rupa, uis Karo merupakan sebuah karya tenun ikat yang memiliki nilai kebudayaan, dan nilai artistik. Nilai artistik uis Karo uis Karo merupakan suatu objek seni rupa yang bisa dilihat dan dikomodifikasi dari segi modifikasi, bentuk fisik, motif, warna hingga penggabungan dengan unsur yang lain. Nilai kebudayaan uis Karo merupakan nilai-nilai keluhuran yang terdapat pada masing-masing jenis uis Karo.

Modifikasi uis Karo secara ekstrim juga dilakukan oleh masyarakat-masyarakat kreatif seperti Averiana Barus pada karya-karyanya di Uwish Details. uis Karo kini yang telah mereka hasilkan menjadi barang pakai seperti bahan jas, rompi, syal, gaun terusan wanita, kain gorden, bed cover, taplak meja, bakal baju, hiasan dinding, aneka tas, dompet, topi, serta aneka cindramata fashion lainnya. Meskipun sebagian besar uis Karo telah dikomodifikasikan, uis Karo tetap merupakan sebuah karya tenun ikat yang memiliki nilai kebudayaan, Nilai kebudayaan uis Karo merupakan nilai-nilai keluhuran adat yang menjadi

Page 15: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

9

panutan dalam menuntun masyarakat Karo dalam memproduksi dan pemakaiannya. Setiap jenis uis Karo memiliki masing-masing nilai kebudayaan yang telah ditetapkan oleh leluhur masyarakat terdahulu berdasarkan konsep ruang dan waktu sebagai kearifan lokal masyarakat Karo. Nilai kebudayaan tersebut bias dilihat dari aturan-aturan dalam bentuk, fungsi, cara pemberian dan cara pemakaian uis Karo tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan ini semakin memudar, menghilang seiring dengan perubahan struktur masyarakat Karo yang semakin larut dalam modernisme. Anak-anak muda suku Karo tidak begitu hapal dengan jenis dan fungsi uis Karo dalam melakukan suatu adat, baik pernikahan, mengket rumah atau pesta adat lainnya. Kini mereka memakai uis Karo menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan mengadopsi gaya-gaya terbaru dalam memakai selendang/kain dengan alasan kekinian.

Di zaman globalisasi ini, pengrajin dan desainer saat ini memiliki keleluasaan untuk berkreasi terhadap

uis Karo. Mereka mampu menangkap apa kemauan pasar dan trend yang sedang hangat. Beberapa bentuk produksi berubah dalam proses dan produk yang dihasilkan. Bentuk visual merupakan aspek paling fundamental dalam sebuah desain. Sekarang ini uis Karo didesain secara radikal dalam bentuk kemeja, jaket, sandal, gorden, penutup meja, dompet, bed cover, dan fashion lainnya. Ini merupakan salah satu pola perindustrian dengan menggunakan budaya menjadi komoditas.

Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form, follows, meaning “ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala baru, yakni “form, follows, function” artinya segala bentuk hasil produksi dibuat berdasarkan fungsinya. contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa fungsi khusus seperti uis buat pernikahan, uis buat acara duka dan uis Karo lainnya.

Tabel 1 : Hubungan antara Era/Teks, Prinsip dan Relasi/Pertandaan dalam estetika.

Era/Teks Prinsip Relasi/Pertandaan (Model Semiotika)

Klasik/ pramodernisme Bentuk Mengikuti

Makna

Penanda/ makna ideologis

Modernisme Bentuk Mengikuti

Fungsi

Penanda/ fungsi

Posmodernisme Bentuk Mengikuti

Kesenangan

Penanda/ penanda (makna) ironis

(Sumber: Piliang 1998,1999)

Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola “form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat menyenangkan si pemakai atau konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi barang fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil produksi

Page 16: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

10

ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai pakem, makna dan fungsi tidak lagi menjadi prinsip dalam desain posmodernime. Posmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku, desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu. 5. Komodifikasi Uis Karo sebagai karya Estetika Postmodern

Komodifikasi uis Karo merupakan sebuah fenomena perubahan yang terjadi pada uis dalam bentuk warna, motif dan bentuk. Komodifikasi pada umumnya dilakukan oleh desainer uis dengan mencampurkan bahan-bahan diluar bahan asli uis Karo yang disebut dengan “kolase”. Kolase merupakan tehnik pembuatan sebuah karya seni rupa dua dimensi yang menggunakan berbagai macam paduan bahan. Ide mencampurkan uis Karo sebaga produk budaya menjadi elemen dari budaya modern adalah contoh dari seni postmodern.

Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form, follows, meaning “ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala baru, yakni pola “form, follows, function”, artinya segala bentuk hasil produksi dibuat berdasarkan fungsinya. contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa fungsi khusus seperti uis buat pernikahan, uis untuk acara duka dan acara adat lainnya.

Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola “form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat menyenangkan si pemakai/konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi barang fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil produksi ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai budaya, makna dan fungsi tidak lagi menjadi prinsip dalam desain posmodernime. Posmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku (pakem), desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu.

Menurut Charles Jencks, dalam buku What is Post-modernism? New York: St Matin’s Press, Posmodernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Posmodernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda, ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme. Piliang (2003) melihat lima idiom wacana estetika postmodern adalah; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Konsep-konsep estetik tersebut secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna, dan juga anti makna.

Gaya desain dan landasan filsafat postmodern adalah : (a) Bukan berdasarkan dogma, (b) Penolakan terhadap kemurnian Modernisme, (c) Historisme, (d) Eklektik, (e) Pluralisme, (f) Parodi, (g) Kitch, (h) Reaksi terhadap teknologi computer, (i) Hilangnya batas antara high dan mass culture, (j) Melayani tuntutan komersial, (k) Selalu berhubungan dengan sejarah seni dan desain, dan Bentuk klasik dibungkus bentuk tradisional mutakhir.

Postmodernisme adalah kondisi ketika kebudayaan memalingkan mukanya ke masa lalu, lewat kecenderungan pastiche yaitu istilah yang mengacu pada pengertian keberadaan pinjaman (terutama) unsur-unsur pada seni dan budaya masa lalu (Piliang, 2003: 209). Suatu pinjaman yang dimaksud dapat berupa teks-teks apa saja seperti kebudayaan, sejarah, estetika dan termasuk idiom-idiom estetika itu sendiri. Hasil dari pinjaman dari masa lalu tersebut, dapat ditegaskan bahwa pastiche merupakan suatu bentuk imitasi murni, tiruan, atau duplikasi sesuatu dari masa lalu.

Postmodern merayakan warisan-warisan budaya masa lalu dalam rangka mengangkat dan mengapresiasinya (Pilliang, 2010). Pastiche mengambil bentuk-bentuk teks atau bahasa estetik dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya kedalam konteks semangat zaman masa kini. pastiche merupakan imitasi murni, yang menjadikan desain kehilangan pamornya, dan yang ada hanyalah budaya desain yang dijiplaknya. Karena itu pula, pastiche juga dapat disebut satu bentuk parodi sejarah atau menurut Umberto Eco “perang terhadap sejarah” (Piliang, 2003).

Komersialisasi budaya merupakan suatu proses membuka pintu lebih luas kepada desainer-desiner. Desainer memiliki kebebasan berekspresi dengan memodifikasi uis Karo. Desainer modifikasi ini bias disebut dengan seniman postmodern. Mereka mampu membuktikan, bahwa tradisi dan tren dapat berjalan

Page 17: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

11

berdampingan dengan suatu karya modifikasi menarik. Karya modifikasi uis Karo adalah termasuk karya pastiche (peminjaman unsur-unsur budaya masa lalu), miskin orisinalitas, bersifat memakai, dan mengimitasi ide yang lain. Penggunaan bakal uis Karo sebagai bahan suatu karya adalah sebuah karya pastiche, di mana keberadaan uis Karo merupakan sebuah karya yang memilki bentuk, warna dan ragam hias yang sudah pernah ada.

Pengulangan dalam dunia fashion menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul dan muncul kembali. Pengulangan dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama dengan semangat kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada produk fashion komodifikasi uis Karo yaitu baju kemeja hasil modifikasi uis Karo yang memakai ragam hias uis Karo. Kemeja ini memilki kesan, makna dan pesan pencitraan visual yang memunculkan kebudayaan asli Karo yang sejatinya tidak dipakai pada kemeja.

Seni posmodern memberi pengertian, memungut masa lalu sebgai penolakan atas modernsime dunia sekarang ini. Seni postmodern memperlihatkan gejala simplifikasi, daur ulang gaya, serta pembauran batas batas antara seni dan budaya massa. seni postmodern pada dasarnya bebas dimasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Bentuk jas dan dasi dengan motifuis Karo merupakan percampuran dua kebudayaan seperti budaya barat dan budaya masyarakat Karo.Unsur-unsur dua kebudayaan menyatu membongkar batas-batas budaya menjadi sebuah parodi.

Hutcheon (1985) mendefinisikan parodi, seba-gai suatu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang

dicirikan oleh kecenderungan ironik. Di dalam lingkup desain, parodi adalah desain yang diciptakan untuk tujuan mengekspre-sikan perasaan tidak senang, tidak puas, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Parodi merupakan bentuk representasi pelencengan, penyimpangan, dan plesetan makna representasi palsu (false representation). Piliang (2003) menekankan bahwa parodi sebagai satu bentuk diskursus selalu memperalat diskursus pihak lain, untuk menghasilkan efek makna yang berbeda. Sebagai satu bentuk representasi palsu, dalam diskursus parodi terdapat dua suara yang berperan. Dua suara ini tidak saja direpresentasikan dalam diskursus parodi, akan tetapi juga menunjuk pada dua konteks pengungkapan yang berbeda, yaitu pengungkapan yang ada sekarang dan sebelumnya. Pengungkapan yang terdahulu digunakan oleh seniman dan desainer untuk tujuan ekspresinya.

Karya-karya postmodern juga menampilkan produk seni kitsch yang dianggap selera rendah, sampah artistik. Kitsch yang didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo-art) murahan dan tanpa selera.

Page 18: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

12

Kitsch mengadaptasi satu medium ke medium lain atau satu tipe seni ke tipe lainnya. Kitsch didasarkan oleh semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Produksi kitsch lebih didasarkan oleh semangat memassakan seni tinggi dan membawanya menjadi produksi massal melalui proses demitoisasi nilai-nilai. Piliang (1999) mengatakan bahwa di dalam desain produk, banyak didapati penggunaan imitasi bahan yaitu penggunaan bahan-bahan tiruan untuk memberikan efek dan kesan bahan alamiah. Produk-produk komodifikasi uis karo juga banyak memakai bahan-bahan bukan asli tenun dan didesain hingga memberikan kesan tradisional.

Camp adalah satu idiom estetik yang masih menimbulkan pengertian kontradiktif yang sering diasosiasikan dengan pembentukan makna, atau kemiskinan makna (Piliang,1999). Satu pihak mengasosiasikan dengan pemben-tukan makna, dan di sisi lain justru diasosiasikan dengan kemiskinan makna. camp merupakan satu model “estetisisme” atau satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian “keartifisialan” dan penggayaan. Camp merupakan jawaban atas kebosanan, dan memberikan jalan keluar ilusif dari kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan modern, melalui cara mengisinya dengan pengalaman melakukan peran dan sensasi lewat ketidaknormalan dan ketidak-orisinilan.

Orisinalitas bukanlah menjadi masalah penting dalam estetika postmodern. Ini terlihat pada karya-karya champ. Pada karya champ ini terjadi penambahan atau pengayaan sebagai upaya pengindahan yang dianggap berlebihan. Estetika champ lebih tertarik pada permainan dari pada makna. Sebagai satu bentuk seni, camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan gaya, dengan mengorbankan isi. Camp sangat anti dengan sifat alamiah, yang dalam hal ini bertolakbelakang sengan kitsch. Bentuk-bentuk komodifikasi uis karo hanya memadukan berbagai ragam hias dengan tenun asli karo tanpa mengetahui fungsi asli dari ragam hias dan uis tersebut. Hal ini merupakan suatu bentuk dari teriakan lantang menentang kebosaan formal bahwa bentuk, fungsi dan desain uis karo dapat bermacam-macam. Salah satu contoh champ pada komodifikasi uis karo adalah penggunaan uis beka buluh yang seharusnya hanya boleh dipakai oleh laki-laki, kini wanita juga boleh memakainya dengan berbagai modifikasi modern.

Page 19: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

13

Menurut Baudrillard, estetika posmodern juga ditandai dengan kekacauan makna, dimana terjadi keterputusan pada rantai penandaan. Kesimpangsiuran makna ini disebut schizophrenia, dimana bentuk-bentuk dipermainkan dalam kerangka perubahan, perceraian, pergeseran, ketimbang keselesaian, kesatuan dan integritasnya. Dalam dunia kebudayaan dan seni, istilah skizofrenia digunakan hanya sebagai metafora untuk menggambarkan persimpang-siuran dalam penggunaan bahasa. Kekacauan pertandaan tersebut ada pada gambar, teks, atau objek. Pada sebuah karya seni, estetika skizofrenia dapat dilihat dari keterputusan dialog antar elemen yang tidak lagi berkaitan sesamanya sehingga makna sulit ditafsirkan (Piliang, 2003).

Skizofrenia merupakan istilah psikoanalisis yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia (Piliang, 2003). Namun demikian dalam perkembangannya wacana ini berkembang dan digunakan untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk didalamnya peristiwa bahasa (Lacan), fenomena social ekonomi, sosial politik (Deleuze dan Guattari), dan fenomena estetika (Jameson).

Pada karya seni postmodern, bahasa estetika skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan, meskipun bahasa itu sudah ada pada era sebelumnya. Dalam diskursus postmodern, estetika skizofrenia dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar (Piliang, 2003). Salah satu contoh estetika skizofrenia pada komodifikasi uis karo adalah dipakainya uis karo pada acara-acara bukan adat sehingga menghasilkan kekacauan makna terhadap uis karo tersebut.

Dari sekian banyak bentuk bahasa estetika yang dipakai dalam karya postmodern produk modifikasi uis karo, semuanya adalah bentukan dari peniruan ruang representasi realitas yang pernah ada sebelumnya. Tuntutan utama dalam karya postmodern adalah kreatifitas sang desainer supaya desain tidak kehilangan keotentikan, orisinalitas dan mengahasilkan makna yang terkesan ambigu. Karya tersebut menggunakan estetika 'peniruan' terhadap gaya desain karya lain yang dianggap lebih modern, dan menghasilkan bentuk dan makna baru yang bisa mengundang perdebatan.

Komodifikasi kebudayaan merupakan sebuah seni postmodern yang menampil-kan representasi budaya kebebasan dan melabrak seluruh kon-vensi konvensi seni klasik dan modern. Budaya modern mampu mengungkung kreatifitas desainer dan berbalik ke titik kulminasinya yang mampu mengusung peradapan hiper-realitas. Baudrillard menjelasakan estetika postmodern terma-suk bagian estetika yang tidak lagi membedakan mana yang indah mana yang jelek. Seni postmodern tidak lagi membedakan mana kelihatan, mana yang tersembunyi. Seni postmodern mengabdikan dirinya pada pusaran ekstasi kegairahan. Seni postmodern juga selalu menyerap unsur-unsur lain yang saling bertentangan. Boudrillard berpendapat pelanggaran aturan budaya yang merupakan bagian dari unsur estetika klasik adalah disengaja untuk memunculkan nilai estetika baru yang mencirikan gaya postmodern itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diartikan bahwa komodifikasi uis Karo banyak berdampak negatif terhadap kelangsungan aturan-aturan adat yang sudah diatur oleh leluhur zaman dulu. Aturan dalam memakai uis Karo yang dulu dianggap keharusan, sekarang tidak lagi menjadi keharusan lagi karena uis Karo telah kehilangan nilai-nilai keutamaannya.

Page 20: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

14

6. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi Uis Karo 6.1 Perubahan Mata Pencarian Masyarakat dan Penenunan Tradisional

Masyarakat Karo khususnya didataran tinggi dikenal subur dan makmur berkat alamnya. Keadaan geografis yang baik sehingga menjadikan Tanah Karo subur dan dapat ditumbuhi oleh berbagai macam hasil bumi seperti buah dan sayuran menyebabkan masyarakat lebih memilih bekerja di bidang pertanian. Kesuburnya tanah Karo juga berkat keberadaan gunung yaitu seperti gunung berapi Sinabung dan gunung Sibayak. Salah satu faktor keberhasilan pertanian tanah Karo adalah sarana dan prasarana pada pendistribusian hasil pertanian sangat memadai hingga ke daerah pelosok. Pendistribusian hasil panen di tanah Karo ada sejak zaman Kolonial Belanda, pada awal tahun 1900an, dimana mereka sudah membangun jalan yang menghubungkan kawasan pesisir ke tanah Karo untuk memperkenalkan pertanian kentang di Berastagi.

Salah satu efek buruk dari keberhasilan pertanian tanah Karo adalah aktivitas menenun uis ditinggalkan. Masyarakat Karo yang lebih disibukkan dengan usaha menanam jagung, kentang, jeruk, kopi, tomat, cabe, dan palawija lainnya. Secara perlahan usaha dan kegiatan dalam menenun uis Karo semakin hari semakin ditinggalkan. Perempuan Karo yang biasanya bekerja di bidang uis Karo juga mulai kehilangan kemampuan ketrampilan dan kecekatannya dalam menenun uis.

Masyarakat Karo lebih memilih bekerja di sektor-sektor seperti pertanian, perkebunan, hingga menjadi pegawai pemerintah. Menenun pada masyarakat Karo identik dengan kemiskinan, kampungan, dianggap statusnya rendah karena di dalam usaha penenunan tidak ada masa depan dengan penghasilan yang sedikit. Seorang peneliti tenun di Sumatera Utara, Fadlin Muhammad Djafar mengemukakan hasil penelitiannya di desa Lingga, bahwa di Lingga tidak terdapat lagi penenun tradisional. Hal ini diperkuat terdapat sisa-sisa alat penenunan yang tidak lagi dipergunakan sejak 1950an. Kini uis Karo sebagai penanda identitas orang Karo ini tidak lagi ditenun oleh orang Karo sendiri. Uis Karo menjadi peluang rezeki bagi wilayah lain, yang sumber alamnya tidak sebagus di tanah Karo. Daya beli masyarakat Karo yang kuat menjadi rezeki bagi para penenun dari Toba Samosir untuk menenun uis Karo.

Masyarakat zaman sekarang memandang pekerjaan menenun identik dengan kemiskinan, pekerjaan yang ketinggalan zaman. Kini di tanah Karo tidak ada lagi penenun tradisional, begitu juga di Samosir penenun mulai berkurang, yang dulu masih ada kini menjadi sepi dan kosong, seorang ahli antropologi dari Belanda yang sudah melakukan riset di Sumatera Utara selama 35 tahun, Sandra Niessen mengatakan bahwa pada saat ini tradisi tenun tradisional Karo sudah berhenti selama seratus tahun. Hal ini juga hampir sama dengan Ulos Batak sudah hampir punah karena minimnya jumlah penenun baik menenun uis maupun ulos.

Sekarang ini penenun tradisional uis Karo (gedongan) hanya ada di Samosir. Kismeria boru Sipahutar adalah seorang penenun uis Karo yang masih aktif di Desa Bonan Dolok Samosir. Dia memiliki kemampuan khsusus menenun uis Karo jenis jongkit sejak dia masih remaja. Dia mengaku bahwa pekerjaan bertenun di Samosir sudah menjadi tradisi dilakukan bagi anak perempuan mulai dari remaja hingga orangtua. Selain desa itu masih ada masyarakat toba yang menenun uis Karo seperti, Desa Lumban Suhi-Suhi, Pangururan, Desa Silalahi dan desa Paropo di Kabupaten Dairi. Mereka adalah masyarakat Toba yang tetap eksis dan mengandalkan hidup mereka dari menenun uis Karo yaitu uis gara. Mereka beranggapan salah satu penurunan produksi uis Karo yang mereka produksi adalah tidak adanya bantuan atau dukungan pemerintah untuk membina mereka, termasuk dalam permodalan, sangat minim.

Jumlah penenun yang masih aktif jumlahnya sangat sedikit dan sebagian besar dari mereka adalah orang yang sudah lanjut usia, Kenyataannya mereka adalah generasi penenun yang terakhir, tak ada generasi muda yang menenun. Banyak faktor yang menyebabkan jumlah penenun mulai minim, seperti kesulitan ekonomi karena menenun identik dengan kemiskinan. Orang tua zaman sekarang juga tidak mau jika anaknya menjadi seorang penenun. Penenun juga dianggap suatu pekerjaan yang ketinggalan zaman. Selain faktor tersebut, alat tenun tradisional yaitu gedokan sudah mulai terpinggirkan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hasil tenun ATBM mampu menguasai pasar tenun (uis dan ulos) dengan harga bisa relatif lebih murah dari hasil gedongan sehingga hasil penenun tradisonal gedongan tersingkir. Gedongan merupakan alat penenunan yang lambat sehingga dimodernisasi dengan ATBM yang memiliki kemampuan lebih produktif.

6.2. Perubahan Tingkat Pendidikan Masyarakat Karo

Pendidikan memiliki fungsi sosial yang menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Pengaruh pendidikan dalam kebudayaan suatu masyarakat begitu besar, dengan pendidikanlah martabat masyarakat

Page 21: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

15

tersebut dihargai. Begitu juga dengan orang-orang Karo yang berhasil di dunia pendidikan dan mampu mengangkat martabat masyarakat Karo tersebut. Pendidikan juga memilki efek terhadap kebudayaan. Pendidikan juga dianggap menyebarkan budaya barat atau westernisasi gaya hidup ala Barat sebagai identitas modern menganggap budaya lokal terbelakang. Semakin maju pendidikan maka semakin besar pula peluang untuk meninggalkan kebudayaan tradisional, karena kebudayaan tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman sehingga unsur nilai kebudayaan tersebut berangsur-angsur hilang. Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, semakin terbuka pikiran masyarakat dalam mengembangkan budaya Karo dengan cara mereka masing-masing, salah satunya adalah Tantri Arihta. Dia merupakan seorang lulusan Kriya Tekstil dan Mode, Institut Teknologi Bandung yang mengembangkan industri kreatif di bidang busana kontemporer bernuansa uis Karo. Dia memeksplorasi berbagai ragam hias dengan tren masa kini sebagai busana yang modern. Dia menciptakan busana kontemporer dengan penonjolan ragam hias Karo yang memilki citra yang bervariasi, elegan dan kasual. Tantri berharap uis Karo semakin mengemuka, dan sejajar dengan kain tenun Nusantara yang sudah lebih dahulu mengemuka seperti songket, ulos Batak, tenun Flores, tenun Dayak, dan tenun lainnya.

Pada tahun 1992, seorang putra Karo lulusan Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung bernama Sahat Tambun, pulang ke kampung halamannya di Kabanjahe dengan tujuan memodernisasi kerajinan uis Karo agar tetap diminati oleh masyarakat. Dia membuka usaha Trias Tambun dengan ilmu yang dia pelajari ketika kuliah dan pengalamannya mempelajari detail seluk- beluk metode menenun mulai dari alat tenun tradisional gedogan hingga alat tenun bukan mesin (ATMB ) di Pekalongan (Jawa Tengah) dan Gresik (Jawa Timur.) Selain itu dia juga mempelajari uis Karo dari para pengrajin tradisional yang masih setia menenun. Sahat Tambun merupakan pionir usaha uis Karo di kabanjahe dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dalam memproduksi uis Karo. Berbekal pengalaman dan pendidikan akademis yang dimiliki, dia mampu membuat inovasi terbaru untuk uis Karo dengan memadukan unsur ragam hias tradisional Karo menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Jacquard yang selama ini tidak bisa diaplikasikan melalui alat tenun gedongan. Selain memproduksi uis Karo, dia juga memproduksi bakal baju uis Karo hingga fashion seperti tas dan dompet berlapis uis Karo. 6.3 Motivasi Pelestarian Uis Karo

Tren cara berbusana modern pada masyarakat tidak bisa menjadi tolak ukur kemajuan suatu masyarakat, karena cara berbusana hanyalah sebuah penanda jati diri sebuah masyarakat yang erat kaitannya dengan ciri budaya masyarakat tersebut. Cara berbusana modern merupakan hasil dari kebudayaan daur ulang dan bisa disebut budaya recycling (pengulangan). Cara berbusana yang telah berkembang di masyarakat era modernisme merupakan kebudayaan daur ulang fashion era klasik/pramodernisme. Budaya recycling berasal produk masa lalu diasimilasikan dengan kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat historisisme, rekonstruksi, duplikasi namun juga menciptakan kesan unik untuk menarik perhatian.

Semangat menghadirkan dan memvisualkan kembali nuansa atau gaya-gaya lama disebut sebagai recycling. Recycling dalam dunia fashion menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul dan muncul kembali. Recycling dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama dengan unsur kebaharuan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi visualisasi, pencitraan, hingga menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu kesatuan.Recycling sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali makna atas eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta seniman/desainer, dan semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi modernitas dengan pemaknaan kembali sesuai dengan wacana berfikir era form, follow, meaning.

Dengan mengulang suatu budaya masa lalu, akan menimbulkan kesan semangat dan historisisme yang mampu menarik perhatian masyarakat. Averiana Barus yang awalnya memodifikasi uis Karo dengan memanfaatkan uis Karo yang sudah usang untuk digunakan sebagai bahan dasar produk kerajinannya. Uis Karo juga diduar ulang oleh actor Tanta Ginting yang memadukan dengan pakaian modern seperti kemeja, beskap, dan kimono. Mereka berpendapat bahwa keberadaan uis Karo yang hanya dipakai dalam acara tradisonal membuat uis Karo jauh dari keseharian, sehingga perlu kreativitas dalam pelestarian uis Karo. 6.4 Pengaruh Perkembangan Industri Kreatif Pariwisata

Kabupaten Karo merupakan salah satu daerah tujuan wisata utama di provinsi Sumatera Utara yang kaya akan obyek wisata, baik wisata alamnya, agrowisata, wisata seni, wisata peninggalan sejarah dan budaya, Potensi sektor pariwisata yang dimiliki Kabupaten Karo sangat besar karena letak geografis di

Page 22: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

16

jalur peristrirahatan atau rest area dari berbagai daerah di Provinsi Sumatera Utara. Selain daerah wisatanya, tanah Karo juga terkenal dengan berbagai ragam beberapa festival rutin yang digelar setiap tahunnya, seperti Pesta Bunga dan Buah dan Pesta Mejuah-juah.

Melihat banyaknya potensi obyek wisata, didukung dengan kesenian dan kebudayaan masyarakat Karo, maka sangat wajarlah sektor pariwisata ini ditetapkan sebagai andalan dalam mengembangkan daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo. Pariwisata sebagai indusri goods and service (barang dan jasa) potensial didalam mendukung kemajuan suatu daerah dibidang ekonomi. Pariwisata dapat digolongkan kedalam lingkup bisnis karena pada dasarnya pariwisata identik dengan usaha komersil untuk mendapatkan benefit (keuntungan) dari penjualan produk tangible (nyata) dan intangible (tidak nyata). Salah satu contoh dari produk tangible (nyata) di dunia pariwisata adalah souvenir.

Produsen souvenir bekerja sama dengan toko-toko souvenir dalam memproduksi dan mendistribusikan produk-produk mereka. Tujuan utama dari memproduksi souvenir adalah untuk bisnis, dimana mereka melihat bahwa dengan membuka atau mendirikan took souvenir/art-shop akan mendapat nilai ekonomi yang besar.

Pariwisata melalui proses komersialisasi serta dorongan pelaku bisnis dengan motif-motif ekonomi yang terlibat justru merangsang kreatifitas. Pariwisata menimbulkan proses komoditisasi terhadap budaya lokal seperti uis Karo. Kedatangan wisatawan ke tanah Karo juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan barang-barang produk tangible (nyata) seni sebagai souvenir. 7. Dampak dan Makna Komodifikasi Uis Karo 7.1 Perubahanan Nilai-Nilai dan Pelestarian Kebudayaan

Kebudayaan tidaklah bersifat statis karena kebudayaan akan selalu berubah. Perubahan kebudayaan tidak pernah terelakkan dari kehidupan manusia, karena dalam kebudayaanlah manusia memanifestasikan pikiran, perasaan, sikap dan kehendaknya. Kebudayaan akan selalu berkembang dan berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tanpa adanya pengaruh yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan, sejajar dengan perubahan waktu, salah satu contoh, yaitu bentuk dan cara pemakaian busana tradisional masyarakat Karo. Pada zaman globalisasi saat ini, busana tradisional sudah tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dalam arti yang tradisional, namun telah melebihi dari batas-batas fungsionalnya yang semula.

Komodifikasi busana tradisional masyarakat Karo merupakan contoh sebuah realitas baru terbentuk dalam masyarakat, dimana penampilan berbusana menjadi signifikansi atau pembeda dalam masyarakat. Busana merupakan suatu simbol sosial yang dapat memberikan identitas kebudayaan terhadap seseorang. Lebih dari itu pakaian juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi simbolis dan makna-makna sosial. Tanda dan simbol yang melekat dengan busana yang dipakai oleh mereka menjadi penanda diferensiasi atau pemisah dengan kelompok dominan dengan kelompok subodinat, superior berbeda dengan inferior, yang kaya berbeda dengan yang miskin dan seterusnya.

Menurut Van Dick, pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan perbedaan status dan pandangan politik atau religius, dengan demikian cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan idea tertentu (Nordholt, 2005). Hal tersebut menjelaskan bahwa pemilihan busana oleh seorang pengantin juga turut merepresentasikan identitasnya. Penggunaan busana tradisional adat Karo di acara-acara adat tradisional secara tidak langsung akan menimbulkan suatu pemahaman bahwa pemakainya adalah orang suku Karo.

Busana dapat dimetaforakan sebagai “kulit sosial dan kulit budaya”, yang dapat menunjukkan identitas pemakainya dan juga menentukan citra hingga status sosial. Sedangkan menurut Koentjaraningrat pakaian juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Thomas Caycle berpendapat bahwa pakaian menjadi pelambang jiwa (emblems of the soul) dan menurut ahli semiotika, Umberto Eco, “Aku berbicara lewat pakaianku” (i speak through my cloth).

Masyarakat Karo yang semakin kontemporer dalam mengkonsumsi budaya popular termasuk dalam hal berbusana, tumbuh dan berkembang dalam budaya modern. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan daya beli masyarakat menyebabkan menguatnya keinginan masyarakat untuk merubah gaya berpakaian mereka. Perubahan budaya dan sosial akan membentuk sebuah estetika baru. Estetika berkaitan dengan kondisi sosial, sementara kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh lingkunganya. Perkembangan busana tradisional masyarakat Karo saat ini muncul dengan desain dan gaya perpaduannya dengan budaya luar.

Page 23: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

17

Dari busana pengantin gaya masyarakat Karo akan muncul beragam kreasi, bagaimana seorang kreatif yang memodifikasi busana, dan pemakainya mengadaptasi dari budaya luar.

Masyarakat mau memakai suatu produk fashion modifikasi uis Karo sebenarnya bukan karena fungsinya, tetapi lebih karena keinginan mendapatkan citra dari fashion tersebut sebagai, status sosial, identitas dan berbagai motivasi pembeda lainnya. Busana beserta atribut pelengkapnya merupakan salah satu produk kebudayaan yang berkaitan erat dengan nilai-nilai sosial yang memiliki makna dibalik unsur visualnya. Penggunaan busana tradisional tidak terlepas dari tujuan untuk memperpelihatkan identitas dan karakter pemakainya.

Perubahan kebudayaan di kehidupan di masyarakat di pengaruhi oleh globalisasi. Globalisasi juga memiliki peranan penting di dalam proses akulturasi, asimilasi, sampai homogenisasi atau penyeragaman budaya. Di samping itu, budaya luar mampu mempengaruhi semua ranah kehidupan, termasuk pendidikan, nilai-nilai budaya asli yang sebelumnya sakral dan menjadi bagian dari jati diri masyarakat mengalami penurunan dan tidak bermakna lagi. Efek globalisasi memiliki dampak yang negatif terhadap kelangsungan budaya lokal, dimana pengaruh-pengaruh budaya luar akan menyebabkan terjadinya penyeragaman budaya. Nilai adat yang dulu dijunjung tinggi masyarakat Karo setempat kini mulai memudar. Masyarakat lebih mementingkan nilai estetika dan ekonomi dibandingkan nilai pekem dalam berbusana secara adat. Hal tersebut akan terjadi degradasi nilai budaya yang terkandung dalam modifikasi cara berbusana tersebut.

Selain memiliki dampak negatif, komodifikasi kebudayaan juga memiliki dampak positif yaitu pelestarian kebudayaan ke arah yang lebih modern. Menurut Herskovits, setiap kebudayaan tumbuh dan berkembang secara dinamis, sehingga berlandaskan akan hal ini dia berpendapat bahwa pelestarian kebudayaan pada hakekatnya tidaklah menghalang-halangi perubahan termasuk yang di timbulkan oleh penerimaan unsur-unsur kebudayaan luar, apalagi yang diperlukan dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa. Masuknya unsur-unsur luar tersebut tidak akan meruntuhkan kerangka dasar kebudayaan yang telah dipelihara nenek moyang kita. Perubahan sifat masyarakat yang lebih mau mengkonsumsi komodifikasi uis Karo akan memunculkan kembali nilai-nilai leluhur yang hampir terlupakan. 7.2 Peningkatan Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil kemampuan penginderaan seseorang terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pada umumnya pengetahuan manusia sebagaian besar diperoleh melalui indera mata dan telingan (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru dari lingkungannya.Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu pendidikan, informasi, sosial, kebudayaan, ekonomi, pengalaman dan usia.

Dalam era globalisai, kebudayaan modern mampu mempengaruhi kebudayan tradisional masyarakat melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Salah satu pengaruh kebudayaan modern tersebut adalah komodifikasi uis Karo. uis Karo yang pada awalnya dikerjakan oleh perempuan Karo dengan alat tradisional gedogan. Kini dunia penenunan mulai tersentuh dengan unsur-unsur pengetahuan dan tekonogi modern. Peningkatan pengetahuan tentang teknik alat tenun bukan mesin, mendorong masyarakat untuk beralih kepada sistem yang lebih modern yang mengutamakan produktifitas dan efisiensi kerja.

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) merupakan alat yang digunakan oleh para seniman tenun secara manual dengan tenaga manusia. ATBM yang berukuran kecil dipakai untuk menenun sambil duduk. Diperkirakan Orang Mesir kuno dan orang Cina kuno sudah mengenal alat tenun bukan mesin sejak 4000 SM. Pelopor ATBM pada pada produksi uis Karo adalah pak Sahat Tambun yaitu pria kelahiran Kabanjahe yang bertahun-tahun menimba ilmu tentang textile. Dia merupakan lulusan dari sekolah Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung.Seiring perkembangan teknologi, ATBM ini kemudian ditingkatkan lagi kemampuanya dengan adanya sistem Jacquart (zakat). Alat tenun jacquard ditemukan oleh seorang perajin topi jerami yang bernama Joseph Marie Charles (Jacquard) pada tahun 1804 - 1805. Sahat Tambun memilki beberapa ATBM jenis Jacquard, dia secara langsung memesan dari pekalongan. Menurutnya Kelebihan ATBM Jacquart dibanding ATBM biasa adalah mampu menghasilkan berbagai jenis ragam hias dalam struktur yang kaya dan beraneka ragam bentuk. ATBM Jacquart merupakan suatu inovasi dari ATBM biasa. Dari perubahan diatas, tergambar bagaimana seorang ahli tenun yang belajar

Page 24: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

18

mengembangkan usaha produksi uis Karo dengan berbagai inovasi teknologi dari luar. Sahat Tambun dituntut untuk belajar dan memahami teknologi penenunan masyarakat modern agar dapat memproduksi uis Karo lebih banyak dan waktu yang relatif singkat.

Fenomena perubahan dalam produksi uis Karo identik dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Jaques Ellul (1998), yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi telah membuka babak baru bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan berupa informasi dengan inisiatif sendiri. Halangan yang menghambat informasi dengan sendirinya menghilang oleh inisiatif kuat masyarakat yang ingin mengetahui dan mempelajari lebih jauh apa sedang terjadi. Kini mayarakat mampu memiliki akses terhadap teknologi dimanapun demi meningkatkan taraf hiduf mereka.

7.3 Peningkatan Kesejahteraan Dalam Ekonomi Kreatif

Pada tahun 2005, John Howkins secara sederhana menjelaskan Ekonomi Kreatif yang simpulkan adalah kegiatan ekonomi yang ada dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang. Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemajuan.Istilah Ekonomi Kreatif mulai dikenal secara global sejak munculnya buku “The Creative Economy: How People Make Money from Ideas” (2001) oleh John Howkins. Howkins menyadari lahirnya gelombang ekonomi baru berbasis kreativitas setelah melihat pada tahun 1997 Amerika Serikat menghasilkan produk-produk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) senilai 414 Miliar Dollar yang menjadikan HKI ekspor nomor 1 Amerika Serikat. Howkins dengan ringkas mendefinisikan Ekonomi Kreatif, yaitu: The creation of value as a result of idea. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Industri kreatif pada Kerajinan merupakan salah satu sub sektor kegiatan ekonomi kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal).

Industri komodifikasi uis Karo dalam konteks ekonomi kreatif mengandung makna kesejahteraan bagi masyarakat Karo. Uis Karo hadir dalam bentuk tampilan baru yang diarahkan untuk kepentingan nilai ekonomi. Berkembangnya industri kreatif dengan modifikasi uis Karo turut membuka lapangan kerja baru dan mengembangkan industri yang sudah ada. Pada usaha tenun Trias Tambun, sang pemilik mengatakan mereka merekrut tenaga-tenaga dari luar Karo seperti, suku Jawa, Nias hingga Padang. Dengan banyaknya pekerja, sehingga proses produksi uis Karo semakin produktif. Hal ini berdampak kepada pihak-pihak yang terlibat dalam komodifikasi uis Karo seperti penjual benang, pendistribusi uis, dan penjual uis.

Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan alur pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007). Meningkatnya produksi komodifikasi uis Karo memicu peningkatan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga kondisi ekonomi masyarakat juga dapat meningkat. Perubahan ekonomi berakibat dari hulu sampai ke hilir, dari tingkat pengrajin sampai pedagang, dan desainer. Masyarakat dapat memperbaiki keadaan ekonominya dengan bekerja atau dapat menciptakan lapangan kerja sendiri yang berkaitan langsung dengan proses produksi, distribusi serta proses komodifikasi uis Karo tersebut. 8. Makna Komodifikasi uis Karo

Komodifikasi kebudayaan telah melahirkan berbagai aspek pemaknaan, baik pemaknaan diberikan berdasarkan objek, pencipta objek, maupun pemberi makna itu sendiri. Komodifikasi uis Karo mengalami perubahan makna. Pengertian makna secara leksikon adalah arti, maksud atau juga pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sebuah makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu objek. Untuk memahami makna komodifikasi uis Karo, teori hipersemiotika menjadi sangat penting, karena komodifikasi merupakan sebuah karya seni yang memiliki unsur-unsur postmodern yang bercirikan tanda-tanda yang melebihi realitas (hiperealitas) sehingga memunculkan pemaknaan baru (hipersemiotika). Hipersemiotika merupakan ilmu yang mengkaji pemaknaan baru sebagai bagian dari kajian budaya.

Barthes (Piliang, 2003) mengembangkan sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi (connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang

Page 25: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

19

menjelaskan hubungan tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti. makna ini merupakan makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita atau makna apa adanya. makna denotasi mengacu kepada kata atau kelompok kata yang didasarkan pada hubungan lugas antara satuan bahasa dan suatu wujud yang ada di luar bahasa seperti orang, benda, tempat, sifat, proses ataupun kegiatan tertentu. Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan, dan bisa menjadi makna kiasan yang terbentuk secara metaforis. makna konotasi juga mengacu pada nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman.

Dari penelitian makna komodifikasi uis Karo, secara denotatif komodifikasi uis Karo memiliki makna sebagai proses perubahan uis Karo itu sendiri yang semula bukan komoditas menjadi barang-barang komoditas. Munculnya makna baru menurut Barthes, karena adanya “penundaan” hubungan penanda (bentuk) dan petanda (makna). Sedangkan secara konotatif, komodifikasi uis Karo adalah nilai rasa atau arti yang ada dalam proses komodifikasi uis Karo yang mendukung terlaksananya atau terciptanya komodifikasi. Uis Karo mengalami dinamika dengan pertambahan atau perluasan makna-makna konotasi atau disebut dengan gejala diversifikasi makna (Hoed, 2008). 8.1 Perubahan Makna Sakral Ke Fun

Uis Karo sebagai sebuah karya seni dan budaya yang memiliki pakem atau sebuah aturan adat yang menjadi panutan dalam menuntun masyarakat Karo baik dalam memproduksinya hingga pemakaiannya. Setiap jenis uis Karo memiliki masing-masing pakem yang telah ditetapkan oleh leluhur masyarakat terdahulu berdasarkan konsep ruang dan waktu sebagai kearifan lokal masyarakat Karo. Pakem tersebut bias dilihat dari aturan-aturan dalam bentuk, fungsi, cara pemberian dan cara pemakaian uis Karo tersebut. Namun demikian aturan-aturan tersebut kini semkin memudar seiring dengan masyarakat Karo yang menerima budaya luar. Masyarakat Karo tak begitu paham untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan dalam penggunaan uis tersebut seperti cara memakai, siapa yang memakai, waktu kapan tepatnya memakai dan pada acara apa memakai uis tersebut. Masyarakat Karo juga dengan leluasa memodifikasi uis Karo dengan perpaduan bahan-bahan yang modern.

Perkembangan globalisasi telah mendorong berbagai bentuk kebebasan manusia untuk berproduksi, distribusi dan konsumsi terhadap segala hal termasuk uis Karo. Dalam industri kreatif modifikasi uis Karo, pengrajin dan desainer memiliki keleluasaan untuk berkreasi. Pengrajin harus mampu menangkap bagaimana kemauan pasar dan trend yang sedang hangat. Beberapa bentuk produksi berubah dalam proses dan produk yang dihasilkan hingga modifikasi yang radikal seperti mengubah bentuk dan fungsi.

Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form, follows, meaning“ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala baru, yakni “form, follows, function”, artinya segala bentuk hasil produksi dibuat berdasarkan fungsinya. Contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa fungsi khusus seperti uis buat pernikahan, uis buat acara duka dan uis Karo lainnya.

Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola “form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat menyenangkan si pemakai/konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi barang fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil produksi ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai pakem, makna dan fungsi tidak lagi menjadi prinsip utama dalam desain posmodernime. Posmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku (pakem), desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu.

Komodifikasi kebudayaan merupakan sebuah seni postmodern yang melabrak seluruh konvensi-konvensi seni klasik dan modern. Baudrillard menjelasakan estetika postmodern termasuk bagian estetika yang tidak lagi membedakan mana yang indah mana yang jelek. Seni postmodern tidak lagi membedakan mana kelihatan, mana yang tersembunyi. Seni postmodern mengabdikan dirinya pada pusaran ekstasi kegairahan. Seni postmodern juga selalu menyerap unsur-unsur lain yang saling bertentangan. Boudrillard berpendapat pelanggaran pakem yang merupakan bagian dari unsur estetika klasik adalah disengaja untuk memunculkan nilai estetika baru yang mencirikan gaya postmodern itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa komodifikasi uis Karo berdampak negatif terhadap kelangsungan pakem-pakem yang sudah diatur oleh leluhur zaman dulu. Aturan dalam memakai uis Karo

Page 26: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

20

yang dulu dianggap keharusan, sekarang tidak lagi menjadi keharusan lagi karena uis Karo telah kehilangan nilai-nilai keutamaannya.

8.2 Makna Kreativitas

Sumartono (2006) mengatakan bahwa kreativitas merupakan usaha manusia yang menyatukan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide-ide baru yang lebih baik. Ide-ide baru (kreativitas) senantiasa dikaitkan dengan masalah yang dihadapi serta adanya kesempatan atau peluang yang harus dimanfaatkan sebagai suatu bentuk solusi terhadap masalah yang dihadapi.

Donatella Versace sebagai desainer busana memaparkan bahwa kreativitas lahir dari berbagai masalah, dari pertemuan konflik-konflik yang ada “ Creativity comes from a conflict of ideas”. Kreativitas dapat mendekontrusi tradisi dan adat istiadat membuka kemungkinan makna-makna baru. Dengan demikian kreativitas membuat wacana baru yang diharapkan membawa makna-makna baru yang membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Salah satu bentuk kreativitas adalah bentuk busana. Busana menjadi objek dimana disainer mengembangkan seluruh potensi kreativitasya untuk menghasilkan karya-karya terbaik mereka. Busana merupakan bagian dari komodifikasi budaya.

Komodifikasi uis Karo merupakan suatu produk kreativitas dari para seniman atau desainer. Mereka memodifikasi uis Karo sedemikian rupa sehingga berubah wujud menjadi karya-karya yang diminati oleh masyarakat modern. Perpaduan bentuk desain tradisional dan modern yang menjadi bahan inspirasi mereka untuk mencipta karya-karya baru yang mampu memenuhi selera masyarakat.

Penciptaan karya kreatif berbahan uis Karo terjadi melalui proses perpaduan budaya akulturasi, asimilasi, motif dan gaya dari berbagai budaya baik dalam teknik, pengembangan bentuk, ragam hias, warna, hingga desain. Komodifikasi uis Karo merupakan daya atau usaha kreatif para desainer dalam memproduksi modifikasi uis Karo dengan memanfaatkan teknologi seperti ATBM, mesin jahit hingga komputer. Dari kreatifitas tersebut, desainer dapat membuat modifikasi uis Karo dengan efisien, cepat hingga mampu memproduksi massal.

Kreativitas dalam memproduksi modifikasi uis Karo bukanlah merupakan suatu fenomena yang menunjukan dirinya sendiri sebagai realitas ungkapan budaya, tetapi lebih merupakan suatu fenomena yang menghadirkan fenomena lain yang ada di balik komodifikasi uis Karo yakni desakan ekonomi. Kreativitas dalam komodifikasi tersebut menjadi semacam tanda yang menghadirkan sesuatu yang ada di baliknya yakni kepentingan ekonomi.

Barthes mengemukanam bahwa tanda-tanda budaya memiliki hubungan yang kompleks dengan reproduksi ideologi, sehingga uis Karo sebagai tanda budaya dalam proses komodifikasinya senantiasa berkaitan erat dengan ideologi tertentu yakni ideologi kapitalis. Hal ini terjadi karena hubungan antara manusia dalam fenomena ini adalah hubungan pasar atau kapitalis, di mana produk modifikasi uis Karo merupakan media sekaligus tanda yang membentuk hubungan tersebut dalam hubungan interaksi permintaan dan penawaran. Produk modifikasi uis Karo berperan sebagai tanda dalam membangun hubungan antara manusia melalui pasar, sehingga pengemasan tanda tersebut (produk modifikasi uis Karo) harus memiliki kelebihan diantara produk yang lain untuk menarik dikonsumsi oleh pasar. Supaya produk modifikasi uis Karo diterima pasar, seharusnya hal yang paling dasar dari pengemasan produk tersebut adalah kreativitas dan inovasi dalam memodifikasi uis Karo. Oleh sebab itu, yang menjadi makna dasar dari proses komodifikasi uis Karo adalah kreativitas. 8.3 Makna Pelestarian Budaya

Masuknya berbagai budaya asing melalui berbagai media, membuat masyarakat dengan mudah menerima kebudayaan tersebut. Kebudayaan leluhur yang sudah lama dianut mulai dilepaskan satu-persatu dan kalah ditelan oleh kebudayaan asing. Perubahan kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut M.J Herskovits setiap kebudayaan tumbuh dan berkembang secara dinamis, sehingga pelestarian kebudayaan pada hakekatnya tidaklah menghalang-halangi perubahan termasuk yang di timbulkan oleh penerimaan unsur-unsur kebudayaan luar, apalagi yang diperlukan dalam upaya peningkatan harkat serta kualitas hidup bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata pelestarian berarti perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada Bab I, Pasal 1, ayat 2 dinyatakan bahwa: “Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan

Page 27: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

21

memanfaatkannya”. Definisi pelestarian untuk uis Karo juga mengandung upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan uis Karo dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Melindungi berarti memberi upaya untuk mencegah dari kepunahan, mengembangkan adalah upaya meningkatkan potensinya sesuai dengan perkembangan zaman, dan memanfaatkan berarti mempergunakan potensi yang ada pada uis Karo untuk menjaga fungsinya dalam bermasyarakat.

Menurut Dinalmudra, sebuah peninggalan budaya dengan muatan-muatan nilai budayanya dapat dikemas dengan bentuk-bentuk yang lebih bersifat ekonomis dan marketable. Hal ini secara otomatis akan menggiring warisan budaya pada sebuah perspektif komodifikasi warisan budaya. Uis Karo termasuk artefak peninggalan budaya (heritage) yang dapat didefinisikan sebagai perangkat-perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya (Putra, 2004). Pada dasarnya, setiap kebudayaan sebagai milik suatu masyarakat, dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.

Ada beberapa jenis uis Karo yang tidak ditemui lagi pada saat ini seperti uis batu jala dan uis gobar dibata. Jenis uis ini menjadi punah akibat berkembangnya budaya pada masyarakat Karo, seperti masuknya agama Kristen. Jenis uis Karo yang punah biasanya berhubungan dunia aninisme, sehingga jenis uis Karo tersebut layak dijadikan objek dalam pelestarian budaya.

Pelestarian budaya berupaya mempertahankan keadaan dan keberadaan suatu peninggalan generasi masa lampau melalui proses inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi. Pelestarian budaya bermanfaat untuk mengetahui, memahami, dan menghargai prestasi-prestasi atau pencapaian-pencapaian nenek-moyang leluhur kita dahulu. Pelestarian budaya dapat sebagai sumber inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik tanpa mengulangi kesalahan masa lalu dan merupakan modal yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Salah satu pelestarian budaya Karo adalah dengan memodifikasi uis Karo.

Peran designer dan penenun dalam memodifikasi uis Karo, tidak hanya berdampak pada pelestarian uis Karo itu sendiri beserta ragam hiasnya, akan tetapi juga melestarikan budaya menenun kepada generasi berikutnya. Komodifikasi budaya sebagai sebuah bagian dari dunia kapitalis ikut secara langsung mempertahankan nilai-nilai tradisional untuk menjadi sebuah objek yang bisa dieksplorasi dari nilai ekonomi. Meskipun motivasi utama adalah untuk nilai ekonomi, ternyata terjadi reinventasi terhadap berbagai jenis uis hingga ragam hias tradisional Karo tersebut.

Pelestarian nilai-nilai budaya sesungguhnya merupakan suatu seleksi dan sekaligus pemeliharaan nilai-nilai tradisional yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam pelestarian budaya, mungkin ada unsur-unsur lama yang ditinggalkan, karena sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kehadiran komodifikasi uis Karo merupakan transformasi dari uis Karo tradisional yaitu perubahan yang direncanakan untuk melestarikan nilai-nilai leluhur yang terkandung di dalamnya. Komodifikasi uis Karo juga mampu menjaga nilai-nilai leluhur tersebut dari keterpinggiran dan kepunahan, dengan cara mengkomodifikasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Penjelasan tersebut menjelaskan bahwa komodifikasi uis Karo merupakan sebuah usaha yang dilakukan dengan sadar karena mengandung makna pelestarian budaya.

8.4 Makna Identitas

Menurut Koentjaraningrat, (1987) identitas budaya adalah ciri khas suatu kebudayaan yang membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan yang lain. Identitas terbentuk dari berbagai jenis unsur kebudayaan, seperti lambang, sistem nilai, norma, adat dan kesenian. Masyarakat Karo terikat oleh adanya kesatuan budaya seperti pemakaian bahasa Karo, adat Karo dan berbusana adat Karo. Kebudayaan Karo yang dijiwai oleh bentuk visual dari uis Karo yang merupakan bagian dari busana tradinasional masyarakat Karo yang sekaligus sebagai identitas budaya pada masyarakat Karo.

Komodifikasi busana tradisional masyarakat Karo merupakan contoh sebuah realitas baru terbentuk dalam masyarakat, dimana penampilan berbusana menjadi signifikansi atau pembeda dalam masyarakat. Busana dapat dimetaforakan sebagai “kulit sosial dan kulit budaya”, yang dapat menunjukkan identitas pemakainya dan juga menentukan citra. Sedangkan menurut Koentjaraningrat pakaian juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.

Makna identitas dalam komodifikasi uis Karo dapat dilihat dari fungsi yang utama yaitu berhubungan dengan cara berbusana. Busana merupakan suatu simbol sosial yang dapat memberikan identitas kebudayaan terhadap seseorang. Lebih dari itu pakaian juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi simbolis dan makna-makna social. Tanda dan simbol yang melekat dengan busana yang dipakai oleh

Page 28: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

22

mereka menjadi penanda diferensiasi atau pemisah dengan kelompok dominan dengan kelompok subodinat, superior berbeda dengan inferior, yang kaya berbeda dengan yang miskin dan seterusnya.

Fungsi busana bagi manusia adalah sangat vital yaitu perlindungan, perhiasan dan tanda luhur. Bagi manusia, busana merupakan cerminan suatu nilai dari dalam pemakainya. Busana juga memberikan nilai kesopanan yang berhubungan dengan norma-norma sehingga penampakannya menunjukkan sebuah ekpresi sebagai suatu sistem dalam kelompok masyarakat.

Simbol-simbol tertentu ditambahkan pada busana untuk menambah kepantasan dan keluhuran. Pakaian dengan kedudukan tertentu merupakan syarat keharusan supaya manusia tampil sebagai manusia yang beradab. Pakaian juga mengkomunikasikan apa yang dianggap kehalusan wanita, keperkasaan pria, kesopanan kelas atas, dan apa yang dianggap kekasaran kelas bawah (Lury,1998). Drijarkara (1969) mengemukakan bahwa martabat manusia tercermin dari cara berbusana. Cara berbusana seseorang tercermin martabat, kedaulatan, dan kekuasaannya. Manusia berdasarkan kemampuannya memakaikan dirinya dengan hiasan-hiasan sehingga dengan demikian mencerminkan statusnya. Pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan perbedaan status dan pandangan politik atau religius, dengan demikian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan idea tertentu (Nordholt, 2005).

Manusia juga menjadikan pakaian-pakaian sebagai sebuah alat pembeda baru dalam masyarakat modern untuk mengkomunikasikan identitas sosial yang berhubungan dengan kesukuan. Sehingga pakaian menjadi suatu kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok sosial.

Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah system tanda (signs). Cara kita berpakaian merupakan sebuah tanda untuk menunjukan siapa diri kita dan nilai budaya apa yang ada pada identitas kita. Thomas Caycle berpendapat bahwa pakaian menjadi pelambang jiwa (emblems of the soul) dan menurut ahli semiotika, Umberto Eco, “Aku berbicara lewat pakaianku” (I speak through my cloth). Seseorang yang menggunakan modifikasi uis Karo pada acara formal pasti sedang mengkomunikasikan sesuatu tentang status kesukuannya. Dalam pandangan yang lebih luas komodifikasi uis Karo dipandang sebagai penanda sebuah identitas bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Identitas berusaha dibangun, digali, ditafsirkan sebagai bentuk pelestarian budaya masa lalu dan diperkenalkan kembali dalam bentuk transformasi budaya. 8.5 Makna Estetika

Estetika adalah ilmu yang sangat dekat dengan filosofi seni yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Menurut ahli filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten, estetika merupakan ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Unsur estetika dalam komodifikasi uis Karo sangat berpengaruh dalam menarik konsumen untuk membeli produk modifikasi uis Karo. Desainer memiliki peran sangat penting dalam memproduksi karya komodifikasi yang memilki nilai keindahan secara estetika. Unsur-unsur estetika tersebut meliputi wujud yang menyangkut masalah bentuk, struktur, keseimbangan (keseimbangan simetri dan non simetri), komposisi, gerak (irama), harmoni menyangkut masalah kesesuaian atau keserasian. Selain unsur keseimbangan (balance), desainer juga harus menerapkan unsur estetika yang lain seperti dalam memodifikasi uis Karo seperti kesatuan (unitiy), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symetri), dan perlawanan (contras). Estetika merupakan suatu unsur yang sangat mempengaruhi dalam memodifikasi uis Karo. Uis Karo yang indah berasal dari desain yang kuat dari kesan estetikanya.

Unsur-unsur modernisasi yang melebur dalam kebudayaan lokal telah menghasilkan sebuah bentuk fenomenda kebudayaan baru. Hal ini bisa dilihat apa yang terjadi pada masyarakat Karo modern yang lebih memilih unsur-unsur estetika daripada nilai-nilai leluhur. Keseimbangan antara nilai-nilai budaya tradisional dengan teknik-teknik busana modern dalam keadaan timpang. Kini nilai estetika modern berpusat sebagai nilai utama dalam berbusana. Nilai-nilai kebudayaan leluhur kalah dengan nilai-nilai kebudayaan modern. Komodifikasi pada uis Karo menampilkan unsur estetika baru berupa cara berbusana dalam karya estetika postmodern. Cara berbusana masyarakat Karo sekarang merupakan bagian dari modernitas

Page 29: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

23

9. Kesimpulan Uis Karo merupakan kain tradisional Karo yang digunakan sebagai pakaian adat dalam berbagai

kegiatan masyarakat Karo yaitu dalam kehidupan sehari-hari dan pada upacara adat, seperti pesta pernikahan, pesta kesenian, upacara kematian, pesta memasuki rumah baru, pesta tahunan dan lain-lain. Uis Karo memiliki perbedaan didalam warna, motif dan fungsi. Perbedaan tersebut berkaitan dengan waktu dan tempat penggunaannya pada pelaksanaan kegiatan upacara tradisional adat Karo. Masyarakat Karo memahami bahwa uis Karo merupakan salah satu benda yang tak terpisahkan dalam setiap kegiatan kebudayaan masyarakat Karo. Uis Karo merupakan suatu unsur kelengkapan dalam budaya masyarakat Karo yang mampu menjadi identitas dan keberadaaan suku Karo ditengah masyarakat banyak.

Salah satu efek dari globalisasi adalah Komodifikasi kebudayaan. Komodifikasi merupakan suatu fenomena pada era kekinian (posmodern) karena menghadirkan sesuatu yang unik sehingga menjadikannya berbeda dibanding era sebelumnya. Komodifikasi merambah ke kebudayaan masyarakat Karo, salah satunya adalah kain tenun tradisional yaitu uis karo. Perkembangan zaman menjadikan uis Karo sebagai suatu komoditi yang layak diperadangankan dengan berbagai variasi bentuk dan harga.

Kekhasan uis Karo merupakan sumber inspirasi berbagai kaum kreatif untuk mendulang keuntungan rupiah. Komodifikasi uis karo terjadi mulai dari semua aspek yang berhubguan dengan uis Karo yaitu mulai dari tahapan produksi hingga tahapan distribusi. Pada tahapan produksi, komodifikasi terjadi pada motif, warna, bentuk, desain hingga pakem uis tersebut. Perubahan total pada uis Karo merupakan tuntutan pasar khususnya konsumen yang selalu menginginkan karya-karya yang modern, berbeda dan terupdate. Masyarakat sangat berperan dalam mengkomodifikasi uis Karo baik sebagai produsen maupun konsumen.

Pada designer menerima semua permintaan konsumen dalam menghasilkan suatu karya modifikasi uis Karo yang banyak bertentangan dengan pakem masyarakat tardisoinal karo. Pada proses distribusi komodifikasi uis Karo, terjadi perluasan kegiatan ekonomi modern seperti penggunaan website, media social, dan pamaran-pameran kerajinan.

Penggunaan modifikasi uis Karo kini menjadi simbol diferensiasi dan eksitensi status suku Karo diantara suku-suku lainnya. Komodifikasi uis Karo terjadi akibat faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi seperti perubahan mata pencarian masyarakat, kondisi penenunan tradisional yang mulai meredup, kesenian dan kebudayaan Karo yang mulai ditinggalkan, tingkat pendidikan dan motivasi pelestarian uis Karo. Sedangkan faktor external komodifikasi uis Karo adalah pengaruh kain Songket, pengaruh media sosial dan tuntutan industri kreatif pariwisata.

Komodifikasi budaya merupakan sebuah fenomena sosial yang memiliki dampak baik secara sosial budaya maupun secara ekonomi. Dampak komodifikasi tersebut adalah perubahanan nilai-nilai kebudayaan, dampak peningkatan pengetahuan beserta peningkatan kesejahteraan dalam industri kreatif. Komodifikasi kebudayaan telah melahirkan berbagai aspek pemaknaan, baik pemaknaan diberikan berdasarkan objek, pencipta objek, maupun pemberi makna itu sendiri. Fenomena komodifikasi uis Karo dalam masyarakat Karo mengungkapkan berbagai makna-makna baru. Makna tersebut adalah perubahan makna kesakralan manjadi makna kesenangan, makna kreativitas, makna pelestarian budaya, makna identitas dan makna estetika.

Daftar Pustaka Arihta, Tantri. Eksplorasi Visual Kain Tradisional uis Gara Pada Produk Busana Siap Pakai Wanita, Bandung: Program Studi

Sarjana Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Suku Karo. Yayasan Pendidikan Bangun Jakarta: PT. Kesain Blanc Indah. Bartes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra. Barus, Andi Satria Putranta. 2016. Memaknai Yesus lewat pemakaian Ulos dalam Adat suku Karo. Benjamin, Geoffrey. Chou, Cynthia. 2002. Tribal Communities in the Malay World Historical, Cultural and Social, ISEAS / IIAS. Daldjoen, N. 1979. Perubahan Sosial dan Tanggapan Manusia. Badung: Penerbit Alumni. Dharsono. 2007. estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Djelantik. 1990. estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Elsa, 2007. Sumatera Utara Terus Berbenah, Kriya Indonesian Craft, Vol 05. Fadlin, Muhammad Djafar. Songket Melayu Batubara: Eksistensi Dan Fungsi Sosiobudaya, Medan: Jurnal Akademi Pengajian

Melayu UM, Departemen Etnomusikologi USU. Ginting, Leo Joosten. Dan Ginting, Kriswanto. 2014. Tanah Karo Selayang Pandang. Medan: Penerbit Bina Media Perintis. Ginting, Seridah Ritha Gustina. 2011, Deskriptif Tari Lima Serangkai Pada Masyarakat Karo, Medan: Skripsi Universitas

Sumatera Utara Fakultas Sastra Departemen Etnomusikologi Gintings, Pdt. Dr. E.P. 1999. Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe: Abdi Karya

Page 30: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi: Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

24

Juliana, Netty. 2014, Kreasi Ragam Hias uis Barat, Medan : Fakultas Teknik Jurusan Tata Busana / PKK UNIMED, Jurnal Seni Rupa FBS UNIMED Vol.10 No.02, Juni 2014.

Hussin, Haziyah. 2006, Motif Alam dalam Batik dan Songket Melayu, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail, Siti Zainon. 1994, Tekstil Tenunan Melayu, Keindahan Budaya Tradisional Nusantara, Kuala Lumpur. 61. Persiaran

Mewah. July Drusilla Manik, "Makna Ragam Hias Ulos Batak Toba Bagi Masyarakat Batak Toba"(Sumatera Utara), (Kertas Karya,

Program Pendidikan Nongelar Dalam Bidang Keahlian Usaha Wisata 2010), Lambertus, Langa. 2013. Komodifikasi Warisan Budaya Tenun Ikat Masyarakat Bena, Kabupaten Ngada, Flores Dalam Era

Globalisasi, Bali: Tesis Pascasarjana Udayana. Laurie, Leavanny. 2015. Analisis Bauran Pemasaran Dalam Meningkatkan Penjualan Kain Tenun Tradisional Karo Pada Trias

Tambun Kabanjahe. Medan: Program Studi Ilmu Administrasi Niaga/Bisnis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Maleong, Lexy, J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. Meliala, Terang Malem Sembiring. 2007. Indahnya Perkawinan Adat Karo. Marius, Jelamu Ardu. 2006. Kajian Analitik Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan, IPB September 2006, Vol. 2, No. 2. Niessen, Sandra. 2009. Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia. Leiden: KITLV PRESS. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo-Indonesia. Medan: Penerbit Bina Media Perintis, Rahayu, Tri. 2005, Membaca Hiper-realitas Desain Produk dalam Representasi Budaya Post-Modern. Jurnal Universitas Katholik

Parahyangan.Bandung. Richard Sinaga, Adat Budaya Batak dan Kekristenan (Jakarta: Dian Utama, 2000 Santoso, Tien. 2010. Tata Rias & Busana Pengantin Seluruh Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama Sebda, Arsinta. 2014, Analisis Potensi Pariwisata Kabupaten Karo, Medan: Skripsi Program Studi Ekonomi Pembangunan

Dapertemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara Sembiring, Mberguh, dan Barus. U.C. 1995. Sejemput Adat Budaya Karo (Sekilas Adat Budaya Karo). Siburian, Nessya Presella. (2015) Modifikasi Ulos Batak (Studi Etnografi Tentang Perubahan Fungsi Dan Ekonomi Kreatif).

Medan: Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Sinuraya, DK. Em. P. Bunga Rampai Sejarah Gereja Batak Karo Protestan, Jilid I. Medan: Percetakan Endo Sitepu, A. G. 1980. Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo. Kabanjahe: Percetakan Toko Barus. Sitepu, A. G. 1997. Ragam Hias Ornamen Tradisional Karo. Kabanjahe. Sitepu, Anton. 2015. Nyanyian Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah: Kajian Semiotik dan Musikologi,

Medan: Penciptaan Dan Pengkajian Seni Universitas Sumatera Utara. Sitepu, Sempa. Sitepu, Bujur. Sitepu. A.G. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: Forum Komunikasi Masyarakat Karo (FKMK) SU.

BALI Scan & Percetakan. Sukanto Surjono, 1981. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. VII, Penerbit UI Press. Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi, edisi kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suwati Kartiwa. 2007. Tenun Ikat, Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Tarigan, Sarjani. 1986. Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupan Masa Kini. Medan: Si B N B Press. Penerbit Balai Adat

Budaya Karo Indonesia. Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Medan: Si B N B Press. Penerbit Balai Adat Budaya

Karo Indonesia. Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya. Medan: Si B N B Press. Penerbit Balai Adat Budaya

Karo Indonesia. Tarigan, Sarjani. 2016. Mengenal Rasa, Karsa dan Karya Kebudayaan Karo. Medan: Si B N B Press. Penerbit Balai Adat Budaya

Karo Indonesia. Tenaya ,A.A. Ngr Anom Mayun K..2014. Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali di Tengah Perkembangan Industri Kreatif

Fesyen di Denpasar, Bali: Tesis Pascasarjana Udayana. Tinarbuko, Sumbo. 2008, Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. __________. CLT.2009/WS/9, Ringkasan Eksekutif Laporan Dunia UNESCO Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan

Dialog Antar budaya. __________. 1995. Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat Batak Karo. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat

Jenderal Kebudayaan Museum Sumatera Utara 1994/1995. __________. 1980. Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat Batak Karo dan Laporan Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi

Ornamen Tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980 __________ 2008. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009‐2015” serta “Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri

Kreatif 2009‐2015, Departemen Perdagangan RI Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Internet antaranews.com; baskorodiskomvis.blogspot.co.id; bataktextile.com; batakgaul.com; dgi-indonesia.com; karoland.blogspot.co.id kendesign.com; kompasiana.com; medanbisnisdaily.com; medi-s.blogspot.co.id; pandertuk.id; tobatabo.com (semuanya diunduh April 2017)_ Daftar Narasumber 1. Sahat Tambun.(62) Pengusaha Tenun, Pelopor ATBM di tanah Karo.Alamat Jln. Sudirman No. 65 Kabanjahe 2. Adrianus Ganjangen Sitepu. (82) Mantan Kepala Museum Sumatera Utara, Penulis, Ahli Uis & Ornamen Tradisional Karo

Alamat Jln. Jamin Ginting, Pasar 6, Gang Rejeki No.5, Medan 3. Liwen Tarigan (75) Tokoh Adat Karo, Mantan Camat Simpang Empat, Alamat Jln. Katepul Kabanjahe

Page 31: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi : Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

25

4. Segel Karo Sekali (64) Petani, Tokoh Adat Karo Seberaya, Mantan kepala desa Seberaya.Pengetua Adat, Alamat Desa Seberaya.

5. Norma br Tarigan (69) Tokoh Kesenian Karo. Mantan Perkolong-kolong, Pengajar Tarian Karo anak-anak dan muda-mudi, Alamat Desa Seberaya

6. Jalan Surbakti (71) Tokoh Adat Karo Surbakti, Petani top Desa Surbakti. Mantan kepala desa Surbakti Alamat Desa Surbakti. 7. Leo Joosten Ginting, Pastor, Pemandu di Museum Pusaka Karo Berastagi, Pemerhati budaya Karo, Penulis buku-buku Karo,

Alamat Museum Pusaka Karo Berastagi. 8. Christina Br Barus. Manejer pemasaran Tenun Trias Tambun. Alamat Jln. Sudirman No. 65 Kabanjahe. 9. Thamrin Tarigan. (63) Pemerhati budaya Karo khususnya ragam hias. Alamat Jln. Veteran No. 107 Kabanjahe. 10. Fadlin Muhammad Dja’far. Dosen Etnomusikologi USU, Pemerhati Tenun Sumatera Utara khususnya Songket. 11. Nd Emy, Penjahit/Designer, Penjual Uis Karo. Alamat Komplek Kabanjahe Plaza 20. 12. Nesen Br Surbakti. (52) Penjahit/Designer, Penjual Uis Karo. Alamat Komplek Kabanjahe Plaza. 13. Mak Maro. Penjahit/Designer, Penjual Uis Karo. Alamat Komplek Kabanjahe Plaza No 41. 14. Minar Br Manurung. (55) Penjahit/Designer, Penjual Uis Karo. Alamat Komplek Kabanjahe Plaza. 15. Nd. Maskalia. Penjual Uis Karo. Alamat Jln. Sudirman No. 35 Kabanjahe. 16. Nd. Sahat. Penjual Uis Karo. Alamat Pajak Kain Pusat Pasar Kabanjahe. 17. Nd. Deddy Sitepu. Penjual Uis Karo. Alamat Pajak Kain Pusat Pasar Kabanjahe. 18. Bg Abadi Bangun.: Tata Rias Busana (Ose) dan Make Up Adat Karo. Alamat Jln. Padang No.22 Kabanjahe (Devi Salon)

Page 32: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

26

PENGARUH LATAR BELAKANG BUDAYA TERHADAP ASPEK NARASI SIMBOLIK KARYA TIGA PERUPA MEDAN

Oleh: Fitri Evita

Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT The substance of the problem delivered is the influence of cultural from three artists Medan so bring up the work that has aspects of cultural symbolic narrative. Context this research is fine art work, that is art of painting, instalation art, and performance art. There is Rasinta Tarigan, Mangatas Pasaribu, and M. Yatim Mustafa who have different cultural backgrounds, that is etnic Karo, Batak Toba and Java Deli. Research on the narrativeaspects of their work, based on the visualsign and symbols depicted, found naratives of form Karo cultural narative and christianityon the work Rasinta Tarigan, narrative, cultural narratives symbols Batak Toba at the work Mangatas Pasaribu. While in the work of M. Yatim Mustafa for a universal narrative. In their work, found a paradoxical narrative, the story of mithology, legend, social criticism, values of life, related with each cultural background, includes: cultural narrative, spritual, religion, political ideology and power, and the traditional versus modern narrative, local versus global, and economic value, humanity value, fraternity and harmony. Keyword: Naration, symbol, culture, visual art and value.

1. Pendahuluan

Medan sebagai ibu kota Sumatera Utara adalah kota metropolitan disebut juga sebagai kota urban, memiliki masyarakat yang pluralisme berasal dari etnik-etnik atau suku-suku sekitarannya, yaitu Sumatera Utara. Bila ditinjau dari sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni rupa modern dan seni rupa kontemporer, Medan merupakan sentralnya di Sumatera Utara. Tetapi, bila mencari unsur-unsur seni rupa tradisi dalam konteks kebudayaan etnik yang ada, haruslah merambah ke area yang lebih luas lagi hingga ke daerah-daerah di Sumatera Utara. Karena seni tradisi yang ada dibawa masuk oleh penduduk-penduduk yang berasal di Sumatera Utara, seperti unsur kebudayaan Batak Toba, Karo, Melayu, Simalungun, Nias, Pakpak Dairi, sampai pada kebudayaan di luar pulau Sumatera seperti: Jawa, Tionghoa, Konghuchu, India, dan lain sebagainya. Berdasarkan latar belakang kebudayaan tradisi bawaan yang beragam pada masyarakat Medan, ditemukan karya-karya seni rupa yang mengandung aspek naratif tradisi, walaupun dikemas secara modern dan kontemporer, dengan memunculkan tanda-tanda simbolik visual pada karya.

Karya seni rupa yang mengandung aspek narasi simbolik selalu menjadi amat menarik bagi pencintanya, baik bagi kalangan awam maupun profesional karena terdapat cerita dan pemaknaan di dalamnya. Simbol-simbol yang digambarkan menjadi misteri serta menarik untuk dikaji dan diteliti guna diperoleh kesimpulan terhadap makna yang terkandung pada karya dan gagasan apa yang ada pada si senimannya.

Dari kecenderungan seniman-seniman (perupa) Medan yang menuangkan ide/gagasannya dengan berkreativitas seni sebagai responsi budaya (art for culture device) berpola narasi simbolik ini perlu teliti dan dikaji, apalagi memiliki aspek naratif dari latar belakang kebudayaannya. Dalam penelitian ini, dipilih seniman-seniman yang memiliki eksistensi dalam berkarya seni rupa berpola narasi simbolik, memiliki profesionalitas dan produktivitas dalam berkarya, dan karya-karya mereka diakui oleh masyarakat sebagai karya yang memiliki nilai-nilai yang menyiratkan kehidupan masyarakat setempat. Tentunya banyak pihak-pihak yang dimintai argumentnya mengapa seniman dan karya tertentu yang dipilih, sementara yang lain tidak.

Seniman-seniman yang diteliti adalah: Rasinta Tarigan, Mangatas Pasaribu, dan M. Yatim Mustafa. Mereka dipilih mewakili karakteristik keberagaman idiologi Sumatera Utara, yaitu etnisitas kesukuan yang melekat dalam diri mereka. Rasinta dengan simbol-simbol ideologi budaya Karo, Mangatas dengan simbol-simbol budaya Batak Toba-nya, dan Yatim seorang suku Jawa (Jawa Deli) dengan ideologinya. Ketiganya, sama-sama memberikan peranan penting dalam perkembangan seni rupa di Medan.

Latar belakang kebudayaan dari tiga seniman seni rupa yang diteliti sekaligus meliputi pengalaman berkeseniannya amatlah penting diulas, adalah untuk melihat gagasan dan nilai-nilai budaya yang diterapkan dalam karya masing-masing. Seperti ungkapan Uhi (2016: 161) yang menyatakan bahwa:

Page 33: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

27

Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana persepsi manusia terhadap lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan memotivir setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya, serta menyangkut pola hidup, juga mengenai tata cara kemasyarakatan.

Karya seni murni dengan gagasan berpola narasi simbolik dalam bentuk narasi budaya (art for culture devise) menarik untuk dikaji dan dianalisis makna yang terkandung di dalamnya, cocok dengan ungkapan Cobley dan Jansz (2002: 136-137) yang menyatakan: Kebudayaan adalah sebuah totalitas informasi yang tidak bersifat turun temurun, namun diperoleh, dipertahankan dan ditransmisikan di antara berbagai kelompok sosial manusia. Karena kebudayaan dibangun di atas bahasa alami. Lotman dalam Cobley dan Jansz menyarankan bahwa salah satu cara untuk mengklasifikasikan budaya adalah berdasarkan konseptualisasinya tentang tanda. Kim, Yang dan Hwang (2010: 18), menyatakan dalam buku yang dieditori oleh mereka, yang berjudul “Indegenous and Culture Psycology: Memahami Orang Dalam Konteksnya”, menyatakan: “Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam budaya tertentu, budayanya terasa sangat alamiah”.

Hal tersebut, menjadi daya tarik oleh peneliti untuk meneliti karya seni rupa yang bertemakan budaya. Apalagi, dilatar belakangi oleh budaya yang sama oleh pelukisnya. Sekaligus untuk mencari keterkaitan pola gagasan dari si senimannya dengan latar belakang budayanya yang memiliki nilai-nilai hingga membangun konsep pemikiran simbolis dalam bahasa rupa yang dapat diungkapkan dengan bahasa verbal.

2. Narasi Simbolik

Narasi sebagai ranah disiplin ilmu bidang sastra menjadi mungkin dan menarik untuk disandingkan dan masuk dalam ranah kajian seni rupa. Narasi yang merupakan sebuah cerita bersifat abstraksi formalistik dalam karya sastra, masuk ke dalam ranah seni rupa melebur dan terintegrasi direfleksikan melalui tanda-tanda atau simbol-simbol hasil imajinasi yang diciptakan oleh seniman ke dalam karya seni, sehingga bisa diapresiasi oleh penikmat seni, dan dikritisi oleh kritikus seni. Tak jarang kemudian seniman kembali memaparkan relasi kode-kode simbolik yang dimunculkan dalam karyanya hingga menjadi sebuah narasi verbalistik.

Simbol merupakan kesepakan atau konvensi. Setiap kebudayaan cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan konsep-konsep yang mempunyai arti tetap dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk, mengkombinasi bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi. Seperti yang disebutkan oleh Cobley dan Jansz (2002: 33): “simbol adalah tanda terhubung dengan objek tertentu semata-mata karena kesepakatan, misalnya kata bendera.”

Menurut Saidi (2008 :32): “Penerapannya pada karya rupa sebagai objek kajian, narasi simbolik diartikan sebagai cerita tersembunyi di balik karya rupa yang diungkapkan melalui berbagai simbol atau secara simbol (simbolik).” Kuntjara (2006: 17) juga menjelaskan kaitannya simbol dan bahasa, sebagai berikut:

Bahasa merupakan salah satu simbol yang digunakan manusia untuk memungkinkannya menyampaikan makna dan memaknai simbol secara aktif. Manusia menafsirkan makna dari suatu kata atau ungkapan kejadian, dan meresponnya tergantung pada makna yang ditafsirkan.

Berbeda dengan narasi pada karya sastra yang tampil dalam bentuk bahasa atau teks yang terstruktur (verbal), narasi simbolik merupakan sebuah narasi yang dapat dipahami melalui relasi simbol-simbol visual (non verbal) yang ditampilkan dengan cara menganalisisnya atau mengonstruksi makna dari simbol-simbol yang ditampilkan. Dalam karya seni rupa misalnya, ditemukan banyak lukisan, relief-relief pada candi-candi ataupun patung-patung yang memunculkan figur-figur mitologi, seperti putri duyung (mermaid), dewa-dewa dalam kepercayaan Yunani, Hindu dan sebagainya, bahkan dalam karya-karya seni rupa pada etnik-etnik budaya yang ada di Indonesia.

Pemaparan figur-figur mitologi sebagai simbol memunculkan ranah narasi yaitu mitos1 yang perlu dikaji dan dijelaskan. Di luar dari konteks figur-figur mitologi, paparan gambar-gambar sebagai wujud

1Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Mitos bukanlah konsep/gagasan, melainkan

suatu cara signifikasi, suatu bentuk yang tidak ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan), melainkan oleh cara

Page 34: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

28

simbolik dan representasi teknik yang digunakan dalam karya, mampu membuat orang lain yang melihat berupaya memahami maknanya, dan cerita apa yang ada dibalik karya tersebut, dan siapa yang membuatnya. Apakah karya tersebut mengandung narasi mitos, legenda, kritik sosial dan keagamaan, atau hanya menarasikan keindahan alam. Sebagai contoh, seperti lukisan Ratu Pantai Selatan yang dilukiskan oleh Basuki Abdullah dan seniman-seniman lainnya. Bagi rakyat Indonesia khususnya pulau Jawa yang sudah mengenal sosok wanita yang selalu disimbolkan berbaju hijau pupus tersebut, mampu menimbulkan rasa mistis oleh para penikmat karya seni atau apresiator. Namun, bagi orang yang belum melihat dan mengerti sosok legendaris tersebut, hanya bisa melihat sosok tersebut dari sisi kecantikan, kemolekan dan unsur tradisi yang melekat pada baju yang dikenakan.

Dalam kajian semiologi, Barthes menjabarkan pemahamannya akan hubungan antara mitos, penanda, dan petanda dengan cara menarik perbedaan antara denotasi dan konotasi. Tugas Semiologi melampaui denotasi-denotasi tersebut untuk mendapatkan berbagai konotasi tanda, melakukannya berarti akan mengungkap bagaimana mitos bekerja melalui tanda-tanda tertentu. Dengan cara seperti ini, lokasi mitos yang dikonstruksikan, dibuat dan bersifat historis dapat ditemukan. Maka, konotasi-konotasi mitos dapat diidentifikasi. Mitos berfungsi sebagai ideologi juga memiliki fungsi mentransformasikan sejarah menjadi alam. Fungsi mitos sebagai ideologi dapat dilihat dari bagaimana mitos itu dapat dikonstruksikan dan mempertahankan maknanya sebagai kekuatan sistematis, yang menjadi makna-makna yang berakar pada berbagai situasi historis maupun kepentingan golongan, pergeseran, sebagaimana yang dikatakan Barthes dari semiologi menuju ideologi (Strinati, 2016: 142-143). Barthes juga menyebutkan tentang unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional adalah “kode teka-teki” (kode hermeneutik) yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran. Dalam narasi, ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita (Sobur, 2003: 65).

Jadi, narasi simbolik dimaksudkan seperti berusaha menemukan cerita di dalam karya seni rupa (visual art). Selain narasi dan ciri kebudayaan (cultural trait) yang disimbolkan dalam sebuah karya seni rupa, maka dapat ditemukan dan dikenali daerah kebudayaan-nya (culture area) narasi itu berasal. 3. Latar Belakang Budaya dan Narasi Simbolik dalam Karya Tiga Seniman Seni Rupa Medan 3.1 Penerapan Seni Lukis aspek Narasi Simbolik dari Budaya Karo oleh Rasinta Tarigan

Rasinta Tarigan, lahir di Kabanjahe (Tanah Karo), pada 30 Agustus 1941, merupakan dosen dan juga guru besar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Selain aktif mengajar dan menjalankan perannya sebagai dokter gigi, Rasinta Tarigan tetap aktif melukis dan aktif berpameran baik pameran tunggal dan pameran bersama di dalam negeri maupun luar negeri, di antaranya di Medan, Jakarta, Penang, Saigon, San Diego, dan dua kali pameran di Herford, Jerman, dan masih banyak lagi.

Selain pernah belajar melukis atas bimbingan almarhum M. Kameil yang sebagai anggota pada perkumpulan ASRI (Angkatan Seni Rupa Indonesia) sekitar tahun 1960-an, Rasinta juga menyempatkan diri untuk mengikuti kursus melukis di Bonn, Jerman saat mendapat kesempatan belajar di Jerman (1971-1976) dan mengunjungi pameran-pameran dan museum-museum seni di sana.

Bila merujuk pada estetika seni lukis modern, karya lukisnya merupakan karya yang representatif dengan visualisasi seperti abstraksi geometrik segitiga dengan paduan gambar-gambar simbol budaya Karo yang disusunnya seperti kolase dengan memunculkan figur perempuan berbusana adat Karo dan rumah-rumah adat Karo.

Mengapa Rasinta Tarigan melukiskan “gigi” pada kanvasnya, ternyata dimulai setelah tamat dari dari dokter gigi, dimana pada saat itu ia lebih intensif dalam berkarya seni lukis. Inspirasi tentang menempelkan gambar “gigi” pada lukisannya ternyata ia lihat dari tragedi jatuhnya pesawat Mandala Air Line di antara Bandara Polonia dan Jalan sekitar Padang Bulan Medan, pada September 2015. Ketika itu Rajainal Siregar meninggal bersama Tengku Rizal Nurdin Karena kondisi jasadnya yang terbakar hingga tidak dikenali, ternyata dengan gigi bisa dideteksi mana jasad dari Rajainal Siregar dan juga dapat diketahui jasad dari Tengku Rizal Nurdin.

Dari kasus itulah, ia melihat bahwa gigi merupakan suatu simbol identitas atau simbol dari pada kekekalan. Walaupun dengan api, dia tidak hancur. Ia merasakan filosofi suatu kekekalan bisa disimbolkan dengan gigi, sehingga ia menempelkan gigi-gigi dalam lukisannya. Supaya kiranya, budaya-budaya Karo

mitos disampaikan. Mitos bukan hanya disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan atau tulisan), namun bisa dalam bentuk campuran antara verbal dan non verbal, misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan dan komik. Semuanya dapat digunakan dalam menyampaikan pesan (lihat Sobur, 2003, hlm. 224).

Page 35: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

29

akan kekal dalam lukisan, karena dengan perubahan zaman kemungkinan budaya Karo akan punah. Rasinta merasa bahwa budaya Karo ini merupakan kebudayaan yang unik, karena di Karo cuma ada lima merga: Tarigan, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring dan Ginting. Itulah makanya disebut dengan “Merga Silima”. Biar bagaimanapun, orang Karo tidak boleh kawin dengan semerga. Jadi bagaimanapun dan dimanapun berada, orang Karo memiliki kekerabatan.

Ketaatan Rasinta sebagai seorang ummat Kristen, mungkin dilandasi oleh kedekatannya dengan kakeknya yang bernama Demu Tarigan, yang dulunya merupakan assisten dari missionaris Belanda pertama di Karo bernama pendeta Neumann, yang juga telah menjodohkan kakek dan neneknya. Sosok pendeta Neumann ini pernah masuk dalam karyanya (lihat gambar 1.1) dilukiskan secara nrealistik dikelilingi simbol-simbol segitiga budaya Karo dan trinitas beserta rumah adat Karo juga simbol merpati dan salib. Secara tak langsung, Rasinta juga melukiskan tentang sejarah masuknya agama Kristen pada masyarakat Karo.

Gagasan simbol-simbol segitiga pada setiap karya Rasinta memiliki maksud dalam dua konsep filosofi, yaitu konsep kebudayaan Karo dan agama Kristen. Dari segi adat, segitiga dalam lukisan Rasinta merupakan konsep filosofi Dalihan natolu (dalam budaya Batak) dan konsep Rakut si telu atau daliken sitelu dalam budaya Karo. Sedangkan dari segi agama Kristen merupakan konsep trinitas2 dalam agama Kristen.

Kegemaran Rasinta dalam menulis dan membacakan puisi juga tampak pada beberapa karyanya. Dimana figur-figur serta tanda-tanda simbolis budaya Karo-nya dilukiskan seperti kolase, seperti pada gambar 1.2 di bawah ini.

Pada karya lukis Rasinta Tarigan di atas yang berjudul “Kampung Karo” dalam analisis peneliti, adalah narasi yang memceritakan tentang suasana kampung Karo, yang dalam sajian tanda-tandanya di-sampaikan seperti menulis puisi yang dipindahkan dalam bentuk visual, dengan meng-kisahkan gambaran aktivi-tas-aktivitas di kampung Karo tersebut yang men-cerminkan kebuda-yaan Karo, baik dari sisi perempuan Karo, laki-laki Karo, pemusik Karo, tanah Karo yang subur, bunga di tanah Karo, dan lain sebagainya. Bisa jadi, karya ini merupakan sebuah memori atau kenang-an Rasinta terhadap suasana kampung Karo hingga dikisahkannya secara visual (lukisan). Kisah kedamaian kampung Karo pun dipertegas dengan masuknya agama Kristen yang disim-bolkan de-ngan simbol-simbol segitiga (trinitas). Sebagaimana diketahui bahwa dahulu, orang Karo memiliki kepercayaan animisme, yang dikenal dengana sebutan Pamena3.

2Trinitas/tritunggal merupakan doktrin utama dalam kekristenan, bahwa satu Allah sebagai tiga pribadi. Secara

harfiah kata latin dari trinitas berarti “tiga serangkai”, berasal dari kata “trinus” yang artinya “rangkap tiga”. Yang menyatakan bahwa Allah adalah tiga pribadi (hipotesis) yang sehakikat (Yesus Kristus) dan Roh Kudus sebagai “satu Allah dalam tiga pribadi Illahi”.

3Pamena adalah kepercayaan tradisional orang Karo yang disebut dengan Parbegu. Saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pamena (Kineteken Si Pemena) yang mengsakralkan dan menghormati roh leluhur.

Page 36: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

30

Simbol-simbol trinitas yang dilukiskan dalam bentuk segitiga, salib, merpati, juga matahari yang bersinarkan segitiga-segitiga (simbol trinitas dan daliken si telu), perempuan-perempuan Karo yang ditandai dengan mengenakan pakaian pengantin Karo, juga rumah rumah Karo, ragam-ragam hias Karo, sering hadir dalam lukisan Rasinta Tarigan, seperti pada karyanya yang berjudul “Erupsi Gunung Sinabung”, “Teror”, “Pakpak Telu Sendalanen” dan “Perempuan Karo”, serta pada hampir seluruh karya seni lukis murninya.

Karya Rasinta Tarigan dapat disebut sebagai karya narasi kebudayaan yang memiliki fenomena semiotis. Fenomena semiotis tersebut dapat dianalisis dari objek-objek dan figur-figur yang ditampilkan. Bila melihat tanda warna yang dilukiskan, Rasinta kerap memakai warna yang sering digunakan pada motif ragam hias gerga rumah adat Karo, yang terdiri dari paduan dan percampuran warna merah, biru, kuning keemasan, putih dan hitam. Pada tia-tiap warna tersebut dipercaya mewakili sistem kekerabatan pada masyarakat Karo, yaitu sistem kekerabatan yang terbentuk dari Merga Silima. Merah mewakili merga Ginting, biru; merga Tarigan, kuning keemasan; merga Karo-Karo dan hitam; merga Sembiring.

Pada karyanya yang kerap menghadirkan ikon, indeks dan simbol trinitas (simbol kebudayaan Karo dan agama Kristen) sebagai fakta religius, telah menunjukkan bahwa di dalam dirinya telah melekat nilai ketuhanan. Dengan hadirnya tokoh yang menyebarkan agama Kristen di Tanah Karo pada karyanya menunjukkan iman dan nilai religius Rasinta dengan mencerminkan sikap penghargaan terhadap Tuhan sekaligus penghormatan kepada tokoh-tokoh yang dilukiskannya. Selain itu, Rasinta juga menjunjung tinggi nilai-nilai kultural kebudayaannya, yaitu budaya Karo.

3.2 Penerapan Seni Rupa Aspek Narasi Simbolik dari Budaya Batak Toba oleh Mangatas Pasaribu

Mangatas Pasaribu, lahir di Sibolga pada 10 November 1956. Sebagai seorang seniman yang aktif di bidang seni lukis, instalasi dan performance art. Mangatas juga seorang dosen di program studi pendidikan seni rupa di Fakultas Bahasa dan Seni Unimed yang merupakan lulusan program studi pendidikan seni rupa IKIP Medan dan Magister program studi penciptaan karya seni lukis di ISI Yogyakarta.

Dari gaya melukis yang terkadang abstraksi geometrik dan terkadang abstrak ekspresif, Mangatas juga memiliki gaya melukis yang bertema budaya Batak Toba yang direfleksikan ke dalam karyanya, seperti yang dijelaskan oleh Triyanto dan kawan-kawan (2015: 121-122), tema lukisannya merupakan refleksi peninggalan kebudayaan masa lalu khususnya dari Batak Toba, yang menggugah inspirasinya, kemudian diolah menjadi penanda karakter etnik pada lukisannya. Temanya seperti: artefak Batak Kuno, adegan dalam ritual upacara, sampai ke-cerapan sistem religi Batak yang menganut paham kosmis dalam tiga strata, yaitu Banua Ginjang (tempat penyebab Mula Jadi Na Bolon/penyebab pertama), Banua Tonga (tempat berada manusia) dan Banua Toru (dilambangkan sebagai tempat dunia naga berkuasa).

Page 37: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

31

Karya Mangatas Pasaribu memiliki narasi-narasi yang mengandung nilai-nilai budaya, walaupun mengandung narasi universal juga. Dalam berkarya, Mangatas tidak tetap hanya pada seni lukis saja, tetapi juga instalasi dan performance art. Pada karya-karya seni lukisnya ditemukan narasi yang mengkisahkan mitology budaya Batak Toba, seperti lukisannya yang diberinya judul “Si Boru Deang Parujar”, dan “Mulanya Si Raja Batak”, yang mengajak untuk mencari tahu kisah mitology budaya Batak Toba tersebut.

Melalui lukisan yang diberinya judul “Si Boru Deang Parujar” (gambar 1.3), penikmat seni jadi

mengetahui kisah tentang Si Boru Deang Parujar yang merupakan seorang yang pandai menenun, hingga kisah tentang awal mula terbentuknya alam semesta dana tokoh-tokoh seperti Mulanya Si Raja Bolon, Batara Guru, Naga Padoha Ni Aji, serta manusia pertama yang dilahirkan di bumi dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Kemudian, melalui lukisannya yang berjudul “Mulanya Si Raja Batak” (gambar 1.4), banyak orang jadi mengetahui kisah tentang Pohon Hayat Batak Toba (pohon Tumburjati atau Hariara Sundung di Langit) beserta manuk Hulambujati yang bertengger di atasnya, Naga Padoha Ni Aji, dan gunung Pusuk Buhit di Kawasan sekitar Danau Toba.

Pada karya Mangatas yang berjudul “Si Boru Deang Parujar” selain mengandung nilai ketuhanan, juga mengandung ideologi tentang kekuasaan dan politik. Berkaitan dengan mitos awal mulanya semesta terbentuk (bulan, bintang, matahari dan bumi). Dari kekuasaan Mulajadi Na Bolon dan Batara Guru yang mengatur perjodohan terhadap Si Boru Deang Parujar menyebabkan Si Boru Deang Parujar melakukan tindakan-tindakan politik untuk bebas dari jerat kekuasaan Mulajadi Na Bolon dan Batara Guru. Begitu pula dengan lukisan Mangatas yang berjudul “Mulanya si Raja Batak”, yang mengkonotasikan tentang asal muasal manusia berkuasa di tanah Batak Toba.

Page 38: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

32

Pada karya Mangatas di atas yang merupakan karya performance art dengan hasil berupa karya instalasi, diberinya judul “Terjerembab”. Warna-warna yang digunakannya merupakan warna pada kosmologi budaya Batak Toba, yaitu merah, hitam dan putih, tetapi memiliki narasi simbolik yang universal. Narasi yang terkandung di dalamnya meliputi tentang nilai-nilai budaya, ketuhanan, dan nilai sosial.

Lubis (2015: 39) menyatakan bahwa: Kesadaran kolektif terhadap warisan tradisi masa lalu, tidak hanya ada sewaktu mereka

berada pada lingkungan tradisi, akan tetapi juga setelah mereka menjadi masyarakat urban. Kesadaran kolektif ini berakar pada muatan agama dan budaya yang bersifat represif.

Ungkapan di atas, cocok dengan nilai-nilai kebudayaan, spiritual dan religius yang terdapat pada karya

Mangatas Pasaribu yang berjudul “Terjerembab”. Dimana mengandung narasi yang mempersonifikasikan benda-benda visual dalam karya instalasinya sebagai manusia yang tanpa disadari membuat dirinya terjerembab. Sebagai pesan yang berlandaskan kesadaran kolektif terhadap kepedulian nasib dan masa depan manusia.

3.3 Penerapan Seni Lukis Aspek Narasi Simbolik dari Budaya Jawa oleh M. Yatim Mustafa

M. Yatim merupakan putra Jawa kelahiran Sumatera (Jawa Deli) yang lahir di Medan, pada 23 Desember tahun 1957, dikenal sebagai pelukis realis dan still life yang mendirikan Sanggar Rowo di Tanjung Morawa, Medan. M. Yatim telah banyak mendidik sekaligus memunculkan seniman-seniman Medan yang memiliki keahlian melukis realis yang kompetitif. Bambang Triyogo, Marwan, Didi Prihadi, Cecep Priyono, Wisesa, Erdi, dan Endy Pribadi adalah di antara beberapa seniman yang pernah belajar melukis di Sanggar Rowo.

Menurut pengakuan Yatim perihal pengalamannya selama belajar dengan Dullah, bahwa Dullah hanya mengajarkan tentang cara dan sikap hidup bila ingin hidup sebagai pelukis, bukan secara teknis. Bila melukis secara teknis, murid-murid Dullah diwajibkan untuk melukis langsung ke alam. Dullah tidak ada mengajarkan melukis, atau mengajarkan membuat warna langit dan warna lainnya. Murid-murid Dullah diharapkan mampu menangkap warna yang ada di alam.4

Sama seperti Dullah, realisme dan naturalis merupakan karya yang digeluti oleh Yatim, karena bisa menghidupi diri dan keluarganya. Menurutnya, realisme itu sangat penting. Dia menggambarkan bahwa, dalam hidup melalui melukis, pelukisnya harus bisa memilah-milah mana lukisan untuk kepuasan pribadi dan mana lukisan yang untuk dijual. Sehingga seseorang yang ingin menjadi pelukis harus belajar dan menguasai realisme, dengan kualitas yang baik. Karena di Medan, kondisinya tidak mempunyai iklim yang faham akan karya seni rupa. Dengan kondisi itulah yang menjadikan rata-rata dari pelukis Medan memiliki

4Berdasarkan wawancara dengan M. Yatim pada hari Senin, tanggal 12 Juni 2017, pukul 14.00 – selesai.

Page 39: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

33

keahlian yang banyak, seperti patung, taman, poster, reklame dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Medan, yang sifatnya melayani dalam karya seni rupa.5

Sebagai orang Jawa yang lahir di Medan, Yatim mengakui bahwa culture Jawa dalam dirinya tentu tidak bisa sama dengan orang Jawa yang memang lahir dan hidup di Jawa. Tetapi, ada yang tidak bisa dibuang dalam diri, yang disebut genetik atau sifat bawaaan yang cenderung tekun, rapi dan bersih. Karakter tersebut, apakah ada pengaruhnya dengan berkarya? Yatim menjawab: “pasti ada dong, orang Jawa cenderung lebih ulet, dan lebih rapi. Secara sikap kerjalah. Tapi secara pola hidup, tentunya sudah terpengaruh oleh lingkungan.”

Yatim melukiskan tentang perjuangan para perempuan-perempuan pada wilayah kebudayaan Batak Toba, yang dilukiskan secara realistik. Karya-karya tersebut berjudul “Tandok” dan “Memanen Bawang”. Pada karya yang berjudul “Tandok”, menarasikan tentang kesabaran dari seorang nenek (opung) yang kesehariannya mengannyam tandok. Dari suasana rumah, baju yang dikenakan, Yatim melukiskan kemiskinan seorang nenek pengannyam “tandok” tersebut tetapi, nenek tua yang digambarkan berkisar 70-an tahun usianya ini, masih menunjukkan semangat hidup dan berjuang, terlihat dari banyaknya jumlah tandok yang dikerjakannya. Latar belakang kebudayaan Jawa Yatim yang terkenal melukis stil life tampak pada cara Yatim menyusun objek-objek pendukung dapur si opung, yaitu dilukiskannya guci retak dan guci yang berada di belakang si opung (lihat gambar 1.6).

Pada zaman dahulu, lukisan-lukisan still life selalu menggambarkan bunga, buah-buahan, benda-benda

seperti sepatu, peralatan makan dan guci. Untuk kepuasan dalam berkesenian, kali ini Yatim melukiskan still life dengan elemen visual yang berbeda, yaitu: kuburan Tionghoa, yang dilihat oleh banyak orang merupakan still life yang aneh, mengandung sindiran, dan kritik. Menurutnya lukisan kuburan Tionghoanya merupakan “the new still life”, hingga menarik perhatian dari majalah Lee Monde di Francis. Karyanya ini dikategorikan kontemporer, karena ada shocking, funny and satire, yang keluar dari melukis still life kebanyakan.6 Bagi Yatim, pada lukisan still life kuburan Tionghoa-nya bertujuan untuk mengingatkan orang-orang akan kehidupan dunianya. Katanya, “karena bisnis yang begitu pesat, moralpun hilang”. Selain still life yang bervisualisasi kuburan China, Yatim juga melukiskan still life yang bervisualisasi kuburan muslim dan tumpukan sampah.

5Ibid. 6Ibid.

Page 40: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

34

Untuk karya M. Yatim Mustafa yang berjudul “Tandok” memiliki nilai-nilai kebudayaan, spiritual dan ketuhanan, yang memiliki teknik dengan penghayatan yang tinggi terhadap estetika modern, sehingga memunculkan karya berikutnya yang berjudul Still Life I, Still Life II, Still Life III, yang berwujud kuburan-kuburan dan tumpukan sampah yang dinilai aneh, cocok dengan ungkapan Uhi (2016: 91-92), yang menyatakan:

Menghayati keindahan dapat menyebabkan manusia berpindah ke alam religi. Kekaguman terhadap “sesuatu” dapat berdampak pada sikap pemujaan dan penyembahan Tuhan, sehingga nilai estetika dapat menjadi munculnya nilai religius atau nilai ketuhanan.

4. Penutup

Seni rupa sebagai cabang karya seni selain musik dan tari, merupakan karya seni yang mengandalkan indra penglihatan. Bentuk ekspresinya dituangkan dalam bentuk goresan berupa titik, garis, tekstur, bentuk dan warna. Kemampuannya menyusun ungkapan ekspresi visual tersebut dengan komposisi menarik menjadi nilai estetika tersendiri yang dapat dirasakan. Dalam menikmati dan memahami karya seni rupa, tidaklah hanya dengan mengamati bentuk estetisnya saja, tetapi dapat dipahami maksud si senimannya, seperti ide dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh si senimannya. Maka dengan memahami aspek naratif dari sebuah karya seni, kita dapat menemukan ideologi dari si seniman dan aspek nilai yang terkandung pada karya. Selain itu, dengan mengamati dan meneliti latar belakang kebudayaan dan pendidikan dari si seniman, dapatlah ditarik keterkaitan dan hubungan kultural yang melandasi terciptanya sebuah karya seni.

Pada karya lukis Rasinta Tarigan ditemukan narasi-narasi budaya Karo, yaitu budaya yang melekat dalam dirinya serta narasi ketuhanan dan kekristenan, sesuai dengan keyakinannya. Selain latar belakang budaya, juga ditemukan hubungan latar belakang pendidikan dan profesinya sebagai seorang dokter gigi dan guru besar di Fakultas Kedokteran Gigi pada karyanya yang kerap melukiskan dan menempelkan gigi pada lukisannya.

Karya seni rupa Mangatas Pasaribu, baik seni lukis, instalasi dan performance art walaupun memiliki narasi simbolik kebudayaan Batak Toba sesuai dengan identitas kesukuannya, juga terdapat narasi universal juga. Karya-karyanya mengandung nilai-nilai budaya, narasi mitology Batak Toba, nilai-nilai kerukunan, nilai-nilai religy dan ketuhanan.

M. Yatim Mustafa yang merupakan keturunan Jawa Deli tercermin pada visualisasi karya yang dilukiskannya secara realistik. Tampilan lukisannya mengesankan ketelatenan dan keuletan watak orang Jawa yang melekat dalam dirinya terefleksikan pada karya yang terkesan rapi dan bersih. Selain itu, watak orang Jawa yang pandai beradaptasi terhadap lingkungan tinggalnya, menunjukkan empati Yatim terhadap kebudayaan lokal Sumatera Utara, sehingga memunculkan beberapa karya realistik yang mengangkat tema narasi simbolik budaya perempuan Batak Toba dan Karo. selain itu juga ditemukan narasai-narasi

Page 41: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

35

paradoks dengan menawarkan kekuatan idenya seperti karya still life yang bervisualisasi kuburan China, kuburan muslim dan sampah. Selain itu kekuatan dan kekuatan still life karyanya terefleksikan dalam karya blue periodnya.

Andil seorang apresiator dan penonton seni rupa dalam menanggapi karya yang ada di hadapannya sangatlah penting. Karena itu, seorang seniman harus bekerja keras untuk bisa menciptakan karya seni yang baik yang berasal dari ide-nya, sebagai tempat untuk peluasan pengalaman dan pengetahuan baru bagi si penonton dan pengamat (apresiator), meskipun dilain pihak tidak ada tanggapan.

Walaupun memiliki karakteristik yang berbeda dan latar belakang budaya yang berbeda, pada karya ketiga seniman yang dianalisis, ditemukan memiliki narasi-narasi yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Seperti: (1) Narasi kebudayaan, spiritual dan religius. (2) Narasi ideologi politik dan kekuasaan. (3) Narasi Tradisi versus modernitas, lokal versus global. (4) Nilai ekonomi. (5) Nilai kemanusian, persaudaraaan dan kerukunan. Daftar Pustaka Kim, Uichol., Yang, Kuo-Shu., Hwang, Kwang-Kuo., (ed.,). 2010. Undegenous and Cultural Pshycologi. Memahami Orang

dalam Konteksnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan. Sebuah Panduan Praktis. Yogyakarta: Graha Ilmu. Lubis, H.M Ridwan., (Saukani, Imam, ed.). 2015. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial.

Jakarta: Prenadamedia grup. Cobley, Paul., Jansz, Litza., Apignanesi, Richard (ed.). 2002. Mengenal Semiotika. For Benginner. Bandung: Mizan. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Strinati, Dominic. 2016. Popular Culture. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea. Triyanto. R., Sembiring, Dermawan., Tarigan, Nelson. 2015. Seni Lukis Medan, Potensi dan Perkembangannya. Medan: Unimed

Press. Uhi, Jannes Alexander. 2016. Filsafat Kebudayaan. Konstruksi Pemikiran Cornelis Anthonie Van Peursen dan Catatan

Reflekstifnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 42: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

36

KETOPRAK DOR DI SUMATERA UTARA: ANALISIS PERTUNJUKAN, TEKSTUAL, DAN MUSIK

Suharyanto

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

e-mail: [email protected]

Abstract This study examines and obtains the results of three aspects of Ketoprak Dor: (a) performances, (b) textual, and (c) musical structures. From the side (A) performance structure, Ketoprak Dor show consists of the first scene, the second scene, the third scene, the fourth scene, the fifth scene and the sixth scene consisting of the introductory / Exposition, crisis (turning point) and settlement / falling action. Then viewed the textual (B) aspect, the language used is Javanese krama and ngoko, the language of intermingling between Javanese, Malay, Karo, and local ethnic. From the point of view (C) of musical structure, Dor ketoprak music is divided into 3 (three) main parts of Panembromo music or music for opening show, sampak or main melody motif to change every scene of the show and music "likes" used for scene fight.

Keyword: Ketoprak Dor, Jawa Deli , panembromo, sampak 1. Pendahuluan

Sumatera Utara adalah salah satu wilayah administratif dan juga kebudayaan di pulau Sumatera yang mempunyai sistem sosial masyarakat heterogen yang terbagi atas penduduk asli (native people) yang terdiri atas etnik-etnik: Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Nias, Pakpak, dan Nias dengan total persentase 48,31% dan Melayu 4,92%. Sumatera Utara juga dihuni oleh masyarakat pendatang, dengan populasi terbanyak yang terdiri atas suku Jawa 32,62%, Minangkabau 2,66%, Tionghoa 3,07%, serta suku pendatang lain 8,5 %. Sedangkan Pola persebaran masyarakat terbagi menjadi masyarakat perbukitan, wilayah daratan, perkebunan, serta wilayah pesisir. Masyarakat yang menetap dalam kurun waktu lama di Sumatera Utara telah mengalami fase perubahan pola sosial termasuk dibidang kebudayaan. Mulai bergesernya makna dan fungsi kebudayaan leluhur disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial disekitarnya.

Masyarakat Jawa yang berdomisili di Sumatera Utara disebut dengan masyarakat Jawa Deli atau Jawa kontrak. Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para penguasa pada zaman kolonialisme, mereka ditempatkan dikawasan-kawasan terdalam atau daerah-daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali lagi ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan diperkebunan yang mereka mencari tempat. Istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan bekerja sebagai kuli perkebunan di Tanah Deli (Sumatera Utara). Mereka bekerja sebagai kuli pada perkebunan tembakau di Medan atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli, ketika masa kontrak habis mereka memilih untuk tinggal dipedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang.

Menurut Reid (2001:232), perpindahan orang Jawa di Sumatera secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia yaitu sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880-an, bersama-sama dengan kuli orang Tionghoa mereka dibawa ke Sumatera Timur. Disisi lain Said (1977:188) menjelaskan bahwa jumlah kuli kontrak pribumi adalah mencapai 40.000 jiwa sebagian besarnya adalah orang Jawa. Setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak lagi disebabkan untuk menggantikan orang Cina yang pada masa itu sudah tidak terlalu menguntungkan VOC.

Masyarakat Jawa yang sudah lama berdomisili di Sumatera Utara memiliki beberapa kebudayaan yang dibawa dari tanah Jawa seperti wayang kulit, wayang wong, angguk, reog Ponorogo, jathilan, kuda kepang, tayub, ludruk, sintren, dan ketoprak. Dari sekian banyak kesenian Jawa yang masih ada dan berkembang hingga saat ini, paling banyak menarik perhatian ialah kesenian Ketoprak Dor. Ketika masyarakat Jawa yang berasal dari pulau Jawa khususnya dari daerah Surakarta atau Jawa Tengah melihat pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli akan mengalami keterkejutan budaya (cultureshock).

Page 43: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

37

Karena sebagian besar dari pertunjukan Ketoprak Dor tidak sama bahkan sangat berbeda dengan Ketoprak Mataraman.

Menurut Ladislao Székely dalam Rizaldi bahwa diantara para imigran Jawa nenek moyang para pemain Ketoprak Dor sampai ke Medan. Mereka didatangkan dari berbagai tempat di Jawa dan dikontrak selama tiga tahun, berdasarkan undang-undang kolonial, Ordonansi Kuli 1880. Kalau dalam masa kontrak melarikan diri, mereka diburu, ditangkap, dan dihukum dengan brutal. Perlakuan buruk itu sering membuat para kuli mengamuk, marah membabi-buta karena tekanan keputus-asaan. Di tengah-tengah situasi seperti itu dan naluri untuk bertahan melalui seni, Ketoprak Dor lahir. Gending-gending yang masih mereka ingat dari kampung mereka mainkan dengan menggunakan alat musik Melayu, harmonium, alat musik sejenis akordion, ‘Jidor’ atau ‘tektek Dor’, yaitu gendang sejenis tambur yang dilengkapi kentongan (slit drum) berukuran kecil, dan kendang Jawa yang biasa dipakai mengiring wayang. Para kuli tak mungkin berharap ada gamelan tersedia, apalagi mengharap pendopo megah berlantai marmer, adem, dan angin yang berhembus semilir, seperti di Jawa. Di luar sana, dilahan buka kebun, hanya ada alas: hutan belantara yang digambarkan melalui pewayangan sebagai tempat yang “pekat dan ganas,” tempat dimana segala yang buas, jin, dan konsep kejahatan bersembunyi, atau sebalik-nya, garing setelah “babat alas” dilakukan dengan tunggul tegakan yang terbakar dan harus dicangkul dengan teknik membalik tanah yang terkenal dikuasai orang-orang Banyumas itu.

Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer di Jawa Tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Ketoprak berasal dari kata tok dan prak yaitu bunyi dari kentongan dan keprak. Dua alat musik yang terbuat dari bambu dan dipakai dalam teater rakyat tersebut. Kentongan yang bila dipukul berbunyi tok sedangkan keprak bagian samping kanan kirinya dipecahkan, sehingga ketika dipukul berbunyi prak. Kesenian Ketoprak berbentuk pertunjukan drama musikal atau opera tradisional Jawa. Di dalam pertunjukannya seni tradisional ini terdapat beberapa unsur yang saling terkait dalam membangun bentuk pertunjukannya. Seperti unsur gerak tari atau gaya tarian, unsur sastra, unsur teater, nyanyian rakyat (folksong), perlakonan watak, unsur musik tradisional serta tata panggung.

Menurut Sudarsono (2002:228) genre pertunjukan tradisional Ketoprak berasal dari Surakarta. Para senimannya kemudian menyebutnya sebagai Ketoprak Mataram atau Ketoprak Nengnong. Pertunjukan Ketoprak konon merupakan sebuah pertunjukan yang sangat ramai dikunjungi oleh penontonnya di pulau Jawa, khusunya didaerah Yogyakarta dan sekitarnya. Pertunjukan Ketoprak yaitu seni teater yang menggunakan dialog, drama, tarian, dan musik. Digelar disebuah panggung dengan mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng dan lainnya dengan diselingi lawak.

Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat percampuran dialek yang diucapkan oleh para pemain. Menurut pengamatan sementara peneliti, dialek yang digunakan sangat unik seperti penggunaan dialek Jawa, Melayu, Tioghoa, serta Batak Toba di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Para pemain kebanyakan tidak menggunakan teks cerita atau lakon yang baku. Hal ini sangat berbeda dengan pertunjukan Ketoprak Mataram yang disetiap lakon pertunjukannya pemain membaca teks yang sudah disiapkan. Selain itu, di dalam pertunjukannya terdapat banyak sekali penggunaan bahasa lokal (slang) dan dialek tradisional yang sudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal diucapkan oleh para pemain Ketoprak Dor. Seperti alamak jang, cak, awak, balek, begadoh, iya pulak, dan lain sebagainya.

Dalam penggunaan tembang atau lagu-lagu Jawa Ketoprak Dor mengunakan beberapa bentuk tembang yang dianggap lazim dilagukan yaitu tembang Macapat Matra Pucung, Mijil, Kinanti, Gamboh dalam cengkok ketoprakan atau gaya khas untuk panggung Ketoprak, sehingga biasa disebut juga mijil Ketoprakan atau pucung Ketoprakan atau kinanti Ketoprakan. Menurut Suroso (2015:43) gaya tembang ketoprakan ini dianggap tidak lagi sesuai dengan kaidah nilai seni-tembang yang baku, yang menjadi acuan kalangan kaum priyayi atau elit Jawa di Sumatera Utara, tembang pada Ketoprak dipandang sebagai "rendah" atau "kasar."

Fenomena pertunjukan Ketoprak Dor ini menarik untuk dikaji serta di dalami bagaimana struktur pertunjukan Ketoprak Dor serta struktur musik yang disajikan di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Fokus yang dilakukan dalam menganalisis struktur pertunjukan dan struktur musik Ketoprak Dor ini menggunakan dua disiplin ilmu utama dalam bidang seni, yakni yang pertama kajian seni pertunjukan dan yang kedua etnomusikologi (kadangkala di Indonesia disebut musikologi etnik).

Page 44: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

38

2. Konsep Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang

atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep yang diatas maka Ketoprak Dor dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.

Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu dan Karina (2016:6) mengatakan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: (1) Pemanggil kekuatan gaib, (2) Penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat pemujaan, (3) Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (4) Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, (5) Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, (6) Pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, (7) Perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, (8) Sebagai ritual kesuburan, (9) Memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) Mengusir wabah penyakit, (11) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12) Sebagai hiburan pribadi, (13) Sebagai representasi estetis (tontonan), (14) Sebagai media propaganda, (15) Sebagai penggugah solidaritas sosial, (16) Sebagai pembangun integritas sosial, (17) Sebagai pengikat solidaritas nasional, (18) Sebagai alat komunikasi, dan sebagainya.

Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan satu sama lain (Sedyawati,1981:58-60).

Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat beberapa ciri khas yang menjadi pedoman tidak tertulis walaupun sebenarnya tidak ada pakem yang baku dalam penyajiannya. Diantara ciri khas tersebut adalah: a. Dialog berbahasa Jawa b. Cerita yang ditampilkan merupakan cerita tentang raja-raja yang merupakan dongeng rakyat,

legenda, mitos, ataupun cerita baru yang merupakan gubahan sutradara Ketoprak Dor itu sendiri. c. Iringan musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor yang paling utama adalah kentrung (berbentuk

kentongan kecil) dan jidor, dan irama dan melodi musiknya bersifat repetitif atau pengulangan-pengulangan disaat selingan atau pergantian adegan.

3. Landasan Teori

Untuk mengkaji sejauh apa fungsi seni pertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer dalam Takari dan Heristina (2008:15-16), teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.

Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain. Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.

Untuk mengkaji struktur musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor, peneliti menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi atau alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan digunakan metode dekripsi pertunjukan oleh Milton Singer. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh Malm (1977:15).

Page 45: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

39

Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada (ambitus); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli, tentunya dengan melihat beberapa kali pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli kemudian mencatat lagu-lagu yang sering dimainkan dalam pertunjukan, mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut dimainkan, kemudian merekam lagu-lagu yang sering dimainkan.

Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu (2016:9) mengatakan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: (1) pemanggil kekuatan gaib, (2) penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat pemujaan, (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (4) peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, (5) pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, (6) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, (7) perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, (8) sebagai ritual kesuburan, (9) memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) mengusir wabah penyakit, (11) melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12) sebagai hiburan pribadi, (13) sebagai representasi estetis (tontonan), (14) sebagai media propaganda, (15) sebagai penggugah solidaritas sosial, (16) sebagai pembangun integritas sosial, (17) sebagai pengikat solidaritas nasional, dan (18) sebagai alat komunikasi, dan sebagainya.

Sedangkan untuk mengkaji tentang semiotika seni pertunjukan, Peneliti menggunakan teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna yang diciptakan dan dikomuniasikan melalui simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Pendekatan seni salah satu usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: (1) kata-kata, (2) nada bicara, (3) mimik, (4) gestur, (5) gerak, (6) make-up, (7) gaya rambut, (8) kostum, (9) properti, (10) setting, (11) lighting, (12) musik, dan (13) efek suara.

Ketiga belas unsur pertunjukan ini akan peneliti gunakan untuk menganalisis pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli dalam berbagai kegunaannya. Diantara wilayah kajian itu salah satunya adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu, setiap alat musik diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah-masalah teoretis perlu pula dicatat.

Untuk mengkaji makna tekstual, Peneliti menggunakan teori semiotik bahasa oleh Halliday. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama- sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Dalam pandangan Halliday (1978:13-114) struktur sosial berhubungan dengan konteks sosial, pola-pola hubungan sosial, dan kelas atau hierarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan memberikan arti kepada berbagai jenis konteks sosial tempat makna-makna itu dipertukarkan. Kelompok sosial sangat menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi. Sebagai contoh, relasi antara status dan peran pelibat secara jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial yang berjenjang. Pola-pola lingual yang digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang diasosiasikan dengan strategi.

Menurut Halliday (1978:123) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa,

Page 46: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

40

misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, pertetangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial.

Haliday secara khusus mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut: (1) Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap atau perasaan pemakainya. (2) Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain, seperti rujukan, rayuwan, permohonan atau perintah. (3) Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan. (4) Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi, ilmu pengetahuan atau budaya. (5) Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra. (6) Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atau sesuatu hal. (7) Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan pemakainya.

Tekstual kebahasaan yang disampaikan oleh para pemain Ketoprak Dor merupakan penggambaran dari struktur sosial masyarakat Jawa Kontrak yang hidup di zaman perbudakan Belanda. Masyarakat Jawa Kontrak banyak melupakan struktur bahasa Jawa asli bahkan penggunaan bahasa pada masyarakat Jawa Kontrak terdengar sangat kasar. Tekstual kebahasaan yang digunakan oleh para pemain Ketoprak Dor adalah bahasa komunikasi daerah setempa yakni Melayu, Karo dan Batak yang menghubungkan antara maksud dari pertunjukan Ketoprak Dor dengan penonton pertunjukan. Persentase tekstual bahasa yang diucapkan oleh para pemain Ketoprak Dor didominasi oleh bahasa lokal daerah setempat serta dikolaborasikan dengan penggunaan bahasa Jawa.

Dalam mengkaji teks dialog pada cerita Joko Bodo, peneliti menggunakan teori semiotika dari Barthes. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (1995:168) hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya. 3. Metode Penelitian

Dalam rangka penelitian terhadap eksistensi Ketoprak Dor, dengan fokus perhatian kepada struktur dan makna pertunjukan dan tekstual, serta struktur musik pengiring teater ini, peneliti menggunakan peneltian lapangan (field work). Penelitian lapangan merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan pengetahuan mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak peneliti. Penelitian lapangan biasa dilakukan untuk memutuskan ke arah mana penelitiannya berdasarkan konteks.

Namun demikian, menurut Neuman etnografi hanyalah merupakan perluasan dari penelitian lapangan. Etnografi mendefinisikan kembali bagaimana penelitian lapangan harus dilakukan. Menurut Roice Singleton (1988:308), penelitian lapangan berasal dari dua tradisi yang terkait yakni antropologi dan sosiologi, dimana etnografi merupakan studi antropologi dan etnometodologi merupakan studi sosiologi. Etnografi memberikan jawaban atas pertanyaan apakah budaya suatu kelompok individu, sedangkan etnomethodologi memberikan jawaban atas orang memahami kegiatan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat berprilaku dengan cara yang diterima secara sosial. Penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif dimana peneliti mengamati dan berpartisipasi secara langsung dalam penelitian skala sosial kecil dan mengamati budaya setempat. Banyak mahasiswa senang dengan penelitian lapangan karena terlibat langsung dalam pergaulan beberapa kelompok orang yang memiliki daya tarik khas.

Page 47: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

41

Douglas menyatakan bahwa sebagian dari apa yang peneliti sosial benar-benar ingin belajar, dapat dipelajari hanya melalui keterlibatan langsung seorang peneliti di lapangan. Secara sederhana Metode pengamatan penelitian lapangan (field research) dapat didefinisikan yaitu secara langsung mengadakan pengamatan untuk memperoleh informasi yang diperlukan, misalnya ketika peneliti ingin meneliti bagaimana peran opinion leader dalam suku tertentu menggiring audience-nya untuk mempercayai hal-hal tertentu. Hal ini menggunakan metode field research guna mendapatkan hasil yang akurat dan pasti, dimana peneliti ikut tinggal, bergaul, dan melakukan kegiatan sosial lainnya demi mendapatkan kesimpulan yang sesuai dari apa yang ada di lapangan. 4. Istilah Deli

Deli ialah nama kesultanan Melayu mempunyai corak Islam yang berkuasa di Medan dan sekitarnya pada periode sekitar abad 17 sampai pertengahan abad 20 Masehi. Menurut Avan (2012:42-43) sebutan Deli menunjuk kepada keseluruhan wilayah yang berada dalam kekuasaan Deli yang merujuk pada nama resmi kesultanan diwilayah tersebut. Berkat makmur dan berkembangnya kampung Medan Putri sebagai pusat koloni kebun di Deli orang-orang lebih mengidentikkan Medan sebagai Deli. Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup perlahan-lahan. Deli memang telah menjadi koloni Holland (Belanda) yang paling menonjol di Sumatera Timur. Hindia Belanda yang berpusat di Buitenzorg dan berorientasi ke pulau Jawa menyebut tempat ini sebagai Het Dollar Landsh. Het Dollar Landsh adalah sebutan untuk koloni Deli yang berarti Tanah Dolar.

Sedangkan menurut Takari (2012:1-2) istilah Deli merujuk kepada pengertian kerajaan atau kesultanan yang ada di Sumatera Utara, dengan ikonnya yaitu Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Maksun. Deli juga merujuk kepada pengertian Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra), yang meliputi kawasan-kawasan Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan,dan Labuhanbatu pada masa sekarang ini. Selain itu istilah Deli juga merujuk kepada pengertiannya sebagai wilayah kebudayaan masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara yang memiliki beberapa kesultanan, yang pernah berjaya mengalami masa keemasan, dan kemudian mengalami “penurunan” kekuasaan, terutama dalam konteks revolusi sosialdan pascanya. Istilah Deli digunakan untuk berbagai atributmulai dari perusahaan Belanda seperti tembakau Deli, karet Deli, Deli Spoorweg Matschaapij (DSM), Deli Rubberplanters Vereeniging, sampai kepada sebutan merantau ke Deli, Melayu Deli, Jawa Deli, irama Melayu Deli, lagak Deli, guit Deli, mentiko Deli, gaya Deli, dan lain-lainnya.

Deli juga merupakan salah satu bagian dari wilayah Sumatera Timur (East Coast of Sumatra). Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli (Volker 1928:192-193). Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20% (dua puluh persen) dari luas pulau Sumatera (Pelzer,1985:31). Diantara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur. 5. Sejarah Masyarakat Jawa Deli

Menurut Sabrina (1999:1) kedatangan peminat-peminat Belanda ke Tanah Deli bemula dari peranan seorang turunan Arab yang bernama Sayid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih pada awal tahun 1863. Pedagang tembakau yang pertama sekali tertarik untuk menanam tembakau di Deli ialah Firma J.F van Leeuwen, dan mengirim pegawainya antara lain Tuan Jacobus Nienhuys dari pulau Jawa untuk datang ke Deli menggunakan kapal Josephine. Kemudian, Sultan Mahmud memberikan kepada mereka tanah dekat Labuhan (Tanjung Sepassai) secara erfpacht (kesepatana kontrak) selama 20 tahun. Walaupun mengalami berbagai kesulitan, dengan ketabahan Neinhuys ternyata tembakau Deli yang dikirim ke Rotterdam pada bulan Maret 1864 memberikan titik terang. Tembakau Deli sangat baik sebagai pembalut cerutu, hoppig en god brandeddekblad.

Panen tembakau perdana pada tahun 1865 sukses dengan gemilang dan menjadi perbincangan di Eropa karena mutunya yang sangat baik hingga terjual 189 pak daun tembakau dengan harga jual 149 sen/pound. Tersedianya lahan dan kualitas tembakau yang sangat baik kemudian mendorong minat pemodal-pemodal besar untuk menanamkan sahamnya di daerah ini. Untuk melanjutkan usaha penanaman tembakau, Nienhuys menyediakan dana sebesar $10.000 dan membentuk perusahaan perkongsian atau bekerja sama dengan P.W Jansen dan G.C Clemen yang bernama Deli Maatschappij.

Page 48: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

42

Suatu kenyataan sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1889 di Deli telah terdapat 170 perkebunan tembakau, meskipun jumlah tersebut menurun secara perlahan-lahan, seperti pada tahun 1914 tercatat 101 perkebunan. Pada tahun 1930 terdapat 72 perkebunan tembakau dan pada tahun 1940 tercatat 43 perkebunan tembakau.

Suksesnya produksi tersebut didukung oleh tenaga kerja (buruh) yang membuka lahan, memelihara, memproduksi, serta membuat fasilitas-fasilitas perkebunan. Tenaga setempat (masyarakat yang mendiami wilayah Sumatera Timur) yang diharapkan ternyata mengalami kegagalan, karena umumnya masyarakat tidak terbiasa bekerja sebagai buruh. Pada umumnya mereka terbiasa bekerja di kebun sendiri yang cukup luas. Akibatnya dipakailah buruh Cina dari Pulau Pinang dan India (Keling) yang berasal dari Semenanjung Malaya (jajahan Inggris) untuk dijadikan pekerja. Pada tahun-tahun berikutnya terlihat penurunan jumlah kuli Cina dan India, hal ini disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan mereka serta adanya proteksi oleh Inggeris. Selain itu, kuli-kuli Cina yang dikirim seringkali adalah para penjahat yang terlibat kejahatan disana. Menurut Sinar (1971:163) gaji para pekerja kuli kontrak ditaksir sekitar $3.50 sementara gaji bersih pengusaha Belanda pada saat itu sekitar $60-$70. Terbukti dari seringnya terjadi konflik sesama buruh maupun dengan pihak perkebunan. Pihak perkebunan pun akhirnya mencari langsung tenaga kuli Cina ke negerinya, namun karena biaya transportasi dan agen kuli terlalu besar akhirnya usaha tersebut dihentikan (Said, 1990:38).

Kondisi tersebut membuat pemilik perkebunan akhirnya menggunakan jasa pencari kerja atau werk (dalam bahasa Inggris disebut broker) yang bernaung dibawah AVROS (Algemeene Vereniging Rubberplanters Oostkust van Sumatra) untuk mencari dan mendatangkan tenaga kerja serta buruh Jawa yang tersedia dalam jumlah besar serta harganya yang relatif murah. Berdasarkan sifat dan produktivitasnya, buruh-buruh Jawa ini tidak jauh berbeda dengan buruh Cina. Pengambilan buruh ini sebahagian dilakukan dengan cara menipu dengan menjanjikan upah yang besar. Ada pula yang dipaksa dengan menangkapi dan disuruh menandatangani perjanjian yang mereka tidak tahu isinya dan dijanjikan bujuk rayu dengan pemberian upah yang tinggi atau disebut dengan Penale Sanctie.

Jumlah buruh Jawa yang didatangkan pada tahun 1884, ada sekitar 1.771 kuli, pada tahun 1900 sudah mencapai 25.224 jiwa, dan meningkat terus pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1929, kuli Jawa diperkebunan Sumatera Timur telah mencapai 239.281 jiwa, dan pada tahun 1930 total penduduk Jawa di daerah ini telah mencapai 589.836 jiwa atau 35% dari total penduduk Sumatera Timur (Reid, 1987:850. Jumlah ini melebihi jumlah penduduk pribumi (Melayu, Karo, Simalungun) yang berjumlah 580.879 jiwa (34,5%), sedangkan jumlah orang Eropa hanya sekitar 11.079 Jiwa, Cina 192.882 jiwa, sedangkan India dan timur asing lainnya berjumlah 18.904 jiwa. Menurut Chatib (1995:10), sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja Penale Sanctie berganti menjadi istilah kontrak kerja bebas. Kontrak kerja bebas bermakna bahwa setelah kontrak berakhir, para kuli tidak bisa lagi mendapatkan upah dari kolonial Belanda. Kehidupan tenaga-tenaga kerja diperkebunan Sumatera Timur berada dibawah naungan pihak pengusaha perkebunan dan terpisah dengan aktivitas masyarakat diluarnya.

Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan dari daerah asal sampai ditempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka. Seiring pertumbuhan dan perkembangan perkebunan terjadi mobilitas penduduk yang tinggi kewilayah Deli. Pada awal abad ke-20 ada gelombang penduduk dari Jawayang tidak merupakan bagian dari kuli kontrak. Mereka adalah kelompok orang-orang Jawa priyayiyang datang karena berbagai kepentingan tugas, baik tugas dinas maupun dagang. Orang-orang Jawa dari kelompok ini tidak ingin meninggalkan kebudayaan yang mereka bawa dari tanah asalnya. Interaksi antara Jawa Priyayi dengan orang Jawa perkebunan yang telah keluar dari perkebunan dan telah tinggal di wilayah pinggiran perkotaan dimungkinkan terjadi karena adanya perpindahan pemukiman para buruh Jawa keluar daerah perkebunan.

Suku Jawa menempati jumlah populasi penduduk terbanyak yakni berkisar 35% dari total penduduk di Sumatera Utara. Penyebab perpindahan suku Jawa ke Sumatera Utara antara lain karena adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong orang Jawa untuk berpindah ke berbagai wilayah di Indonesia terutama di Sumatera. Sedangkan pada masa orde baru, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan didesa, kekurangan lahan pertanian serta kurangnya lapangan pekerjaan.

Page 49: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

43

Selain itu alasan masuknya gelombang masyarakat Jawa karena faktor kedinasan dalam pekerjaan serta faktor kemauan sendiri untuk mencari peruntungan hidup.

Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti didaerah Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut kota Jawa (Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat sejumlah migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ, terutama di negeri bagian Johor, Selangor, serta berbagai tempat lainnya, seperti Melaka, Kedah, Perlis, dan lain-lain.

Awalnya, kedatangan suku Jawa di daerah ini adalah sebagai buruh yang dipaksa bekerja sebagai budak pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara disebabkan karena pada waktu itu perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh bangsa asing kekurangan tenaga kerja (1990:53). Seiring dengan pertambahan waktu, kehidupan ekonomi masyarakat Jawa di Sumatera Utara mengalami perkembangan yang cukup pesat. Saat ini orang Jawa ditempat ini telah menggeluti berbagai bidang pekerjaan seperti; Gubernur, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara (TNI), Polisi (POLRI), wiraswasta, mekanik, buruh, petani, seniman, akademisi, politisi dan sebagainya. Dengan persebaran masyarakat Jawa yang sangat luas, mereka kemudian membuka suatu lahan untuk dijadikan kampung dan biasanya langsung diberi nama, seperti Kelurahan Karangsari yang ada di kota Medan. Kampung Jawa di Pematang Siantar, dan masih banyak lagi daerah-daerah yang diberi nama oleh suku Jawa yang ada di Sumatera Utara. Disana-sini kampung-kampung Jawa dibangun dengan nama asal Jawa seperti Desa Sukamulya, Desa Tanjungsari, Sei Babalan, Tanah Jawa, dan lain-lain meniru nama daerah asal di Jawa. 6. Gambaran Umum Ketoprak Mataram Jawa Dan Ketoprak Dor Jawa Deli Sebagai Seni Teater Rakyat

Ketoprak merupakan salah satu dari jenis teater tradisional yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Seni pertunjukan tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan. Menurut Murgianto dan Bandem (1996:140-142), Ketoprak adalah sebuah bentuk teater yang berlakon dengan unsur-unsur utama dialog, tembang, dan dagelan. Pelaku-pelakunya terdiri dari pria dan wanita, sedang pertunjukannya diiring dengan gamelan. Gerak laku pemain cenderung realistik walaupunpada awal perkembangannya ada sedikit unsur tari di dalamnya. Adakalanya peranan pria harus dilakukan oleh pemain wanita, tetapi sebaliknya pada masa lalu para pemain pria memerankan peran wanita. Cerita yang dibawakan biasanyaberupa cerita babad, sejarah, dan cerita-cerita asing yang berasal dari Arab (seribu satu malam) dan Cina (sampek eng tay). Dialog antar pemain yang tidak tertulis dalam skrip dibawakan dalam bahasa Jawa dan bahasa etnik setempat.

Menurut Kayam (2000:342) menjelaskan bahwa Ketoprak sesungguhnya berasal dari Jawa Tengah tepatnya dari Klaten. Pencipta kesenian ini belum dapat diketahui oleh para peneliti. Namun, menurut Lisbijanto (2013:1) Ketoprak diciptakan oleh RM Wreksoniningrat dari Surakarta pada tahun 1914 M. RM Wreksodiningrat merupakan seniman yang banyak berkecimpung dalam dunia tari dan wayang orang. Pada suatu ketika dia mempunyai ide untuk membuat suatu pertunjukan yang dapat dengan mudah menceritakan suasana kehidupan di dalam lingkungan kerajaan. Ketoprak baru terbentuk sebagai pertunjukan pada awal abad ke-20. Para ahli menguraikan proses terbentuknya Ketoprak menjadi beberapa periodisasi besar yakni Ketoprak Lesung (1887 M-1925 M), Ketoprak Peralihan (1925 M – 1927 M), Ketoprak Gamelan (1927 M- sekarang).

Soemardjono (1992:2-3) menjelaskan bahwa Ketoprak mempunyai ciri ciri cerita yang biasanya sudah dikenal dalam masyarakat (legenda, dongeng, sejarah, babad, fiktif) baik dari dalam maupun luar negeri. Penyutradaraan pada Ketoprak mempunyai ciri-ciri : (1) Naskah Singkat, (2) Naskah sederhana, (3) Naskah lengkap tanpa dialog. Secara umum struktur penyutrdaraan susunan pertunjukan Ketoprak menurut Trias (2015:5) terdiri dari: dapukan (tokoh yang akan diperankan)/baik terancang maupun spontanitas. Dapukan disini bahasa lainnya adalah casting, penuangan cerita, dapat bersama-sama atau perorangan, pengaturan bagian-bagian yang lain dilaksanakan secara terancang, maupun spontanitas, pementasan dapat berjalan, meskipun dalang (sutradara) tidak mengendalikan, konsep penyutradaraan tidak meninggalkan unsur: sereng (kereng/serius), sengsem (terhanyut, terlena), lucu dan bobot (isi), penyutradaraan dilakukan secara luwes

Page 50: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

44

Pada pertunjukan Ketoprak, set panggung terdiri atas layar (drop) dan sebeng-sebeng (wings). Umumnya menggunakan panggung berukuran 7m x 2,5 m (meskipun terkadang kurang luas) serta menggunakan penerangan berupa lampu-lampu dekoratif berwarna sebagai pemberi efek suasana. Dahulu pertunjukan Ketoprak menggunakan alat penerangan berupa oncor (sejenis obor bambu), serta lampu petromag (lampu kecil yang berbahan minyak lampu atau petromag). Pertunjukan biasanya malam hari, berlangsung antara 3 sampai 4 jam. Pada umumnya pementasan Ketoprak mempunyai dua sasaran yaitu sasaran komersial dan sasaran non komersial. Pementasan komersial misalnya pementasan yang dimaksudkan untuk mencari uang dengan cara melakukan pertunjukan keliling kampung atau ditempat lain. Sedangkan non komersial misalnya untuk keperluan orang yang punya hajat, hari-hari besar dan lain-lain.

Ketoprak Dor merupakan bentuk kesenian yang dibawa oleh para buruh kontrak diperkebunan. Lazimnya perpindahan penduduk akan membawa tradisi asal ke tempat yang baru, seperti sistem sosial, sistem budaya dan lain-lain. Kesenian juga terbawa karena secara psikologis dan emosional pengaruh daerah asal masih sangat kuat di samping untuk menunjukkan eksistensi kelompok maupun hanya sebagai hiburan semata.

Tutiek (1988:7) menjelaskan bahwa kesenian ini bagi buruh Jawa di Sumatera Timur mempunyai fungsi yang sangat besar. Lewat pasar malam yang selalu diadakan oleh pihak perkebunan pada hari pembagian gaji diadakan berbagai jenis hiburan antara lain Ketoprak Dor. Dengan tujuan memperpanjang kontrak kerja oleh pihak perkebunan sering pula diadakan berbagai jenis perjudian dan hiburan yang pada gilirannya akan merugikan kaum buruh. Menurut Naiborhu (2016:46) Ketoprak Dor lahir karena secara psikologis dan emosional masih terdapat pengaruh sentral kebudayaan di samping untuk menunjukkan eksistensi kelompok maupun hanya sebagai hiburan semata. Pihak perkebunan juga mendukung keberadaan kesenian tersebut, terutama untuk memberi rasa betah para buruh Jawa di Tanah Deli. Selain itu, kesenian ini juga diharapkan dapat menunjang dan mendorong rasa kebersamaan antar anggota masyarakat Jawa, sehingga pihak kolonial akan terbantu karena para buruh menjadikan daerah ini sebagai kampung halaman ke dua bagi mereka.

Kemunculan group-group Ketoprak Dor diperkebunan Sumatera Timur diperkirakan sekitar tahun 1920-an merupakan sebuah fenomena biasa dan sengaja diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan beberapa perubahan sesuai perkembangan budaya. Faktor yang mempengaruhi munculnya grup-grup Ketoprak Dor ini adalah karena eksistensi dan identitas komunitas yang didasarkan pada ikatan emosional sebagai satu etnis yang harus tetap hidup di tengah semaraknya budaya-budaya dengan masing-masing pendukungnya, kemudian juga didorong akan perlunya suatu jenis hiburan yang dapat memberi kepuasan bagi pendukungya.

Menurut Torang (2016:37) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor penyebab munculnya Ketoprak Dor pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, khususnya Deli. Pertama, sebagai alasan eksistensi dan identitas diri serta kelompok yang didasarkan pada ikatan emosional sebagai satu suku yang harus tetap survive ditengah semaraknya budaya dengan masing-masing pendukungnya di Sumatera Timur. Kedua, didorongakan perlunya hiburan yang dapat memberi kepuasan bagi para pendukungnya. Hiburan ini diperlukan juga sebagai kompensasi dari segala derita hidup sebagai kuli/buruh kontrak diperkebunan, karena minimnya fasilitas hiburan yang tersedia dan tingginya penderitaan yang dialami. Penderitaan karena kesewenang-wenangan ‘toean keboen’ sebagai penguasa tunggal didaerahnya. Perkebunan dapat dikatakan sebagai ‘negara dalam negara’. Oleh karena perkebunan memiliki peraturan-peraturan sendiri. Tingkat kehidupan sosial sangat rendah dengan segala fasilitas yang memprihatinkan. Gaji yang diperoleh pada awal dan pertengahan bulan tidak mencukupi untuk biaya kebutuhan hidup sehari-hari pada bulan itu. Tahun 1920-1921 gaji buruh hanya 55 sen sehari, dan pada tahun 1935-1937 turun menjadi 30 sen dan setelah dipotong berbagai jenis pajak, menjadi sekitar 5 sen per hari. Padahal gaji di Jawa pada masa tersebut telah mencapai 80 sen/hari. Ketiga, Kolonial memang mengijinkan munculnya berbagai jenis hiburan bahkan mengharapkannya supaya para buruh tetap betah ditempat ini, lalu dengan demikian dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Pertunjukan dilakukan pada saat sebelum maupun sesudah gajian dengan dihadiri oleh pihak perkebunan walaupun hanya sekejab. Saat-saat seperti ini kemudian dimanfaatkan oleh penduduk untuk beraktifitas sehingga menambah ramainya suasana hari gajian. Perjudian turut serta mengambil bagian pada keramaian ini, penjualan candu, pelacuran juga marak. Akhirnya, aktivitas ini semua menjadi jebakan bagi para buruh untuk menghabiskan sisa gajinya yang mengakibatkan tetap menghamba pada perkebunan.

Page 51: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

45

Ketoprak Dor adalah salah satu bentuk teater tradisional yang tumbuh dan berkembang didaerah perantauan. Ketoprak Dor memiliki kemiripan dengan pertunjukan teater bangsawan Melayu. Menurut Tan (1997:45) teater bangsawan ialah sebuah pementasan teater tradisional komedi yang berasal dari Tanah Melayu sejak tahun 1870an. Teater bangsawan dikenal sebagai komidi bangsawan, dardanella dan opera/komedi stambul. Lakon yang dibawakan berasal dari Timur Tengah dan India.

Sedangkan gerakan tarian pada pertunjukan Ketoprak Dor dimulai pada saat pembukaan pertunjukan dan setiap pergantian adegan.Tarian Ketoprak Dor adalah tarian pembauran antara ronggeng Melayu dan ronggeng Jawa. Ronggeng Melayu ialah bentuk tarian sosial yang terdapat pada etnis Melayu. Menurut Takari dan Fadlin (2014:53), terdapat kesamaan dan keterkaitan ronggeng atau joget diwilayah nusantara diihat dari kesejarahan, fungsi dan gerak. Dalam kebudayaan etnik Melayu terdapat beberapa istilah Ronggeng yaitu Joget, pakpung, gamat dan dondang sayang. Sedangan dalam kebudayaan Jawa dan Sunda istilah Ronggeng mempunyai kesamaan yaitu Lengger, Tayub, Pajoge, Gandot dan Ibing.

Menurut Suroso (2012:48) ketika melakukan gerakan tarian banyak mengunakan unsur ragam gerak tarian Melayu. Dalam hal ini ronggeng Ketoprak Dor teridentipikasi menggunakan gerakan 1) melenggang, 2) gerakan 3). gemulai, 4). gerak sauk dan 5). Melayah. kelima gerak ini adalah ragam gerak yang dimiliki oleh tarian Melayu. Sedang pada gerakan penari pria selain terlihat adanya gerak sebetan ludruk (gerak tari dari Jawa Timur). Di dalam adegan percintaan akan ada tari berpasangan antara tokoh wanita dan tokoh pria,dan di dalam hal ini ditemukan penggunaan juga gerak gerak tari Melayu seperti yang telah disebutkan diatas yang digunakan oleh tokoh pria.

Menurut Laila (2015:30-32) deskripsi gerak tari dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdiri dari gerak sembah/matur untuk tarian pembuka adalah gerakan mengkatupkan kedua belah tangan sehingga mempertemukan kedua tapak tangan baik dalam posisi tinggi meupun rendah. Gerak sembah diartikan sebagai permohonan kepada Tuan yang mulia untuk memulai penyajian Ketoprak Dor. Gerak gemulai adalah gerak berjalan dengan posisi tangan yang diayunkan seperti memberikan keseimbangan pada gerak kaki. Gerak melenggang sebagaimana orang berjalan yang ditarikan dalam bentuk tgerak ditempat, gerak berayun, gerak memutar kanan dan kiri serta gerak maju dan mundur. Gerak gemulai diadopsi dari gerak Ronggeng Melayu yang berpusat pada tangan. Gerak tangan dapat berupa gerak tangan satu atau gerakan kedua tangan. Gerak gemulai lebih diperuntukkan untuk tarian bertempo lambat. Gerak gemulai menyatakan untuk kehalusan dan kelembutan. Gerak Sauk adalah gerak tarian tangan mengangkat dari bawah hingga setinggi punggung atau dada. Biasanya dilakukan dengan tangan kanan. Gerak sauk bersumber dari gerak tangan dalam silat Melayu yang menggunakan posisi kuda-kuda. Gerak sampur adalah gerakan menggunakan selendang baik dengan menggunakan satu atau kedua tangan. Penggunaan selendang dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kebiasaan para pelaku Ketoprak Dor. Gerak melayah ialah kemampuan gerak kaki untuk mengitari orang-orang, benda dan lain sebaianya. Umumnya gerak melayah menggunakan langkah kedua kaki baik dengan teknik langkah ganda maupun teknik langkah melenggang. Gerak sabetan adalah gerakan yang beranjak dari satu tempat ketempat yang lain dengan pola-pola tertentu dengan menggunakan gerakan tangan dan kaki secara silih berganti. Gerak Sabetan adalah gerakan tari yang berasal dari daerah Jawa serta dimodifikasi oleh pelaku Ketoprak Dor dengan gerakan yang lebih sederhana. Gerak perang biasanya ditarikan dengan improvisasi oleh para pemainnya. Tidak ada patokan yang jelas dari gerakan yang ditampilkan. Biasanya gerakan ini diiringi oleh tempo cepat dan semangat. Gerak ronggeng adalah gerakan menari bersama-sama sembari berpantun atau bernyanyi saling bersahutan. Gerak ronggeng biasanya diiringi tempo cepat. Selain itu gerak ronggeng juga merupakan ungkapan kegembiraan dan suka cita. Gerak ronggeng pada Ketoprak Dor diadopsi dari tarian Melayu.

Ketoprak Dor mempunyai ciri-ciri yang sama dengan teater tradisional lainnya di Indonesia. Adapun ciri-ciri umum teater tradisional menurut Santosa (2008:24), yaitu: cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi, atau kehidupan sehari-hari, pementasan dipanggung terbuka, lapangan maupun halaman rumah. Pementasannya sederhana dan apa adanya, penyajian dengan dialog, tarian, dan nyanyian ceritanya berdasarkan dongeng dan sudah turun temurun, unsur lawakan selalu muncul, nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan dan dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus yaitu tertawa dan menangis, pertunjukan mempergunakan tetabuhan atau musik tradisional, penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab bahkan terlibat dalam pertunjukan dan berdialog langsung dengan pemain, mempergunakan bahasa daerah, tempat Pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton), bahasa yang digunakan ialah bahasa daerah setempat yang

Page 52: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

46

tentu lebih akrab di telinga masyarakat sekitar, seringkali terdapat unsur nyanyian serta tari-tarian di dalamnya, dilakonkan dengan banyak improvisasi di dalamnya, terjadi banyak interaksi antara pemain dengan penonton.

Dalam penampilannya Ketoprak Dor lebih menekankan kebebasan ekspresi dari individual pemain. Pada pertunjukan Ketoprak Dor tidak menggunakan teks tertulis serta menggunakan bahasa Jawa campuran yang bersifat Jawa ngoko. Cerita atau lakon yang ditampilkan juga tidak berdasarkan naskah yang tertulis serta lebih mengutamakan tema dan hiburan. Pada setiap pertunjukan Ketoprak Dor diusahakan oleh seniman pendukungnya agar selalu menarik perhatian dari para penontonnya. Misalnya dengan menampilkan pertunjukkan yang mempunyai unsur kepahlawanan, serta kejujuran. Busana yang digunakan oleh para pemain Ketoprak Dor menggunakan busana percampuran kebudayaan Melayu, Jawa, dan Eropa.

Secara strategis wilayah keberadaan Ketoprak Dor bisa dijumpai pada wilayah perkebunan seperti Sei Mencirim, Helvetia, Tanjung Mulia, Langkat dan Teluk Mengkudu. Beberapa dari kelompok Ketoprak Dor sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menampilkan pertunjukannya. Hal ini disebabkan oleh putusnya kaderisasi antar pemain, berpindah lokasi kediaman pemain dan pemusik, dan alasan sepinya peminat dari pertunjukan Ketoprak Dor tersebut. Ketoprak Dor yang hingga kini masih terus aktif dan bertahan selalu menampilkan pertunjukan minimal 2 atau 3 kali dalam setahun. Alasan utama para seniman Ketoprak Dor tersebut karena Ketoprak Dor adalah warisan budaya yang berasal dari orang tua dan harus dilestarikan.

Kelompok Ketoprak Dor Jawa Deli menggunakan istilah Langen. Secara harfiah langen atau lelangen berarti kelompok hiburan atau seni pertunjukan. Adapun nama kelompok Ketoprak Dor yang masih melakukan pertunjukan adalah Ketoprak Dor Langen Sri Wulandari pimpinan Bapak Samigun di Kecamatan Helvetia Timur aktif 1960, Ketoprak Dor Langen Mardi Agawe Rukun Santosa (LMARS) kecamatan Tanjung Mulia Medan pimpinan Bapak Suriat. Kelompok Ketoprak Dorini berdiri pada tahun 1965, Sanggar Langen Setio Budi Lestari sudah ada pada tahun 1968an Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal dipimimpin oleh Bapak Jumadi serta dibina oleh Bapak Suparman, Ketoprak Dor Langen Mudo Siswo Budoyo Langkat pimpinan Bapak Wakijan, Ketoprak Dor Langen Wahyu Tri Budoyo pimpinan Bapak Akhmad Ompay didesa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan-Tembung aktif sejak 2010, Langen Pujakesuma kampung manggis Km 10,5 Kota Binjai sejak 1971 pimpinan bapak Sunardi, Langen Buluh Cina sejak 1973, dan Langen Madyo Tresno Tanah Seribu Kota Binjai sejak 1987 pimpinan Bapak Tamino 4. Lakon atau Cerita Pertunjukan

Sejak masuknya kesenian Ketoprak Dor ke tanah Deli, cerita atau lakon Ketoprak Dor telah mengalami perubahan-perubahan sampai sekarang. Perubahan meliputi tema cerita, isi cerita, tata bahasa, fungsi maupun tempat pertunjukan. Penyebab perubahan itu dikarenakan pengaruh lingkungan budaya di tanah Deli yang terdiri dari beragam suku.

Pengaruh budaya setempat seperti Melayu pada Ketoprak Dor terlihat pada beberapa lakon atau cerita yang dibawakan seperti cerita Anak Durhaka, Hangtuah, Legenda Putri Hijau serta lagu lagu bernuansa Melayu seperti lagu Indung Indung, Injit-Injit Semut dan Lancang Kuning. Menurut bapak Jumadi pertunjukan Ketoprak Dor umumnya menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan yang terjadi di dalam cerita kerajaan Jawa, juga merupakan teater rakyat yang mengangkat kisah kepahlawanan dan kisah-kisah kehidupan sosial masyarakat Jawa sehari-hari. Beberapa cerita dari Jawa yang sering dibawakan antara lain Joko Bodo, Arya Panangsang, Lutung Kasarung, Damar Wulan, Menak Jinggo, Tiga Putra Kembar, Raden Panji, Bunga Kecubung Putih, Taman berdosa. Tema yang terkandung dalam lakon atau cerita pertunjukan terdiri atas tema pendidikan, pertanian, nilai sejarah serta kepahlawanan. Cerita yag ditampikan oleh kelompok Ketoprak Dor Jawa Deli sering disebut dengan istilah stambul jawi.

Lakon atau cerita yang disampaikan tidak terikat pada pola yang ada pada bahasa Jawa. Para pemain lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia, Melayu atau bahasa etnik setempat. Cerita yang dibawakan pun kebanyakan sudah dirubah atau dimodifikasi, tidak lagi sama persis dengan cerita sebenarnya. Beberapa faktor penyebabnya ialah pada zaman dahulu sulitnya didapat literasi atau buku dari cerita tersebut. Dugaan lain yaitu tidak sempurnanya penyampaian cerita yang didengar dari orang tua atau pelaku sebelumnya.

Lakon atau cerita Joko Bodo berasal dari tanah Jawa Tengah serta dibawakan versi kelompok Ketoprak Dor Jawa Deli memiliki 6 (enam) struktur adegan. Menurut Hudson (2012:42-43) struktur

Page 53: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

47

babak pertunjukan pada teater tradisional terbagi menjadi 6 (enam) bagian yakni 1) Eksposisi (perkenalan), 2) Insiden permulaan (komplikasi), 3) Konflik (rising action), 4) Klimaks/krisis (turning point), 5) Penyelesaian (falling action), 6) Keputusan. Sebenarnya jumlah babak pertunjukan pada Ketoprak Dor tidak bisa ditentukan karena babak pertunjukan ini disesuaikan dengan cerita dan pesanan penyelenggara. Secara umum babak perunjukan pada Ketoprak Dor terdiri dari pembuka, inti cerita (goro-goro) dan penutup. Biasanya setiap pertunjukan Ketoprak Dor memiliki tidak lebih dari 5 babak pertunjukan setiap penampilannya 5. Instrumen musik

Instrumen musik adalah bagian yang sangat penting di dalam sebuah pertunjunkan teater rakyat. Ketoprak Dor Jawa Deli mempunyai struktur komposisi instrumen musik yang sangat jauh berbeda dengan Ketoprak di Jawa. Biasanya pertunjukan Ketoprak diiringi dengan seperangkat Gamelan Pelog dan Slendro dengan berbagai komposisi gendhing dan pathet yang dimainkan. Secara umum instrument musik pengiring pada Ketoprak Dor terdiri atas alat musik utama pembawa melodi oleh accordion, harmonium atau keyboard serta alat musik ritmik oleh kendang Jawa, Kendang Jidor dan drum set. Pada instrumen musik Ketoprak Dor terdapat beberapa instrumen perkusi (membranphone) yang sangat mendominasi seperti Kendang Jidor, Drum Set, Kendang Jawa, Keyboard, kadang kadang dicampur dengan instrumen musik elektronik (electrophone) seperti gitar bass, gitar elektrik, keyboard, harmonium, gendang Melayu, dan accordion.

Instrumen musik yang dimiliki oleh kelompok kelompok Ketoprak Dor Jawa Deli tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh sangat langka dan mahalnya harga sebuah alat musik seperti harmonium yang harus didatangkan langsung dari Malaka di Malaysia. Untuk menggantikan peran harmonium tersebut, biasanya kelompok Ketoprak Dor Jawa Deli mengganti dengan instrument keyboard yang relatif lebih terjangkau dari harga dan mudah di dalam penggunaan serta memiliki variasi bunyi sample suara musik yang banyak.

Menurut Bapak Suriat, Instrumen Harmonium dan accordion pada pertunjukan Ketoprak Dor diperoleh dari masyarakat Melayu. Pada awal terbentuknya Ketoprak Dor Jawa Deli, bunyi suara yang dihasilkan oleh kendang Jidor mengeluarkan suara dangdut yang dikombinasikan dengan pukulan keprak. Namun, kemudian suara tersebut menghasilkan suara dor dan prak yang menjadi ciri khas dari kesenian Ketoprak Dor tersebut.

Perubahan alat musik pada pertunjukan Ketoprak Dor disebabkan oleh sulitnya ditemukan alat musik gamelan di daerah perkebunan baik dari bahan baku maupun pembuat gamelan tersebut. Selain itu alasan perubahan alat musik lainnya ialah karena mahalnya harga seperangkat alat musik gamelan dikarenakan transportasi yang sulit terkangkau. Sehingga para seniman Ketoprak Dor mencari alternatif lain yaitu menggunakan menggabungkan alat musik etnik setempat dengan alat musik yang tersedia. Adapun posisi pemain dan ansambel instrumen musik pengiring Ketoprak Dor disusun di sebelah kiri atau kanan dari panggung pertunjukan dan pemain musik menghadap ke pemain atau pelakon pertunjukan. Hal ini dikarenakan supaya para pemusik senantiasa selaras memainkan musik dengan setiap gerakan adegan yang diperankan oleh pemain. 6. Struktur Musik Ketoprak Dor Jawa Deli

Bentuk musik pengiring Ketoprak Dor Jawa Deli tidak sama dengan bentuk musik pengiring Ketoprak yang ada di Jawa. Dari mulai penggunaan instrumen musik sampai pada penggunaan nada yang tidak terbatas pada tonalitas tangga nada pentatonik Jawa saja. Pada ansambel musik iringan Ketoprak Dor lebih menggunakan tonalitas nada-nada diatonis dan kromatis barat sebagai pengolahan iringannya. Terdapat juga lagu lagu etnik lokal yang dibawakan oleh pemain dan pemusik Ketoprak Dor seperti lagu piso surit, lasam (etnik karo), lancang kuning, tanjung katung (etnik Melayu) serta lagu populer yang sedang hits.

Sementara bentuk tembang yang dinyanyikan tidak sama dengan tembang Ketoprak yang ada di Jawa. Melodi musik yang bernuansa melodi minor terkadang dicampur dengan melodi mayor bahkan terkesan asal-asalan (suka-suka) dan kasar. Berbeda dengan bentuk melodi gamelan iringan Ketoprak Jawa dengan menggunakan laras pelog dan pakem serta bentuk melodi yang jelas. Bentuk musik dalam Ketoprak Dor lebih bersifat heterofoni. Secara umum bentuk musik pada pertunjukan Ketoprak Dor terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar yaitu musik pembuka/panembromo, musik sampak dan musik asal-

Page 54: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

48

asalan (digunakan untuk adegan perkelahian). Panembromo adalah ‘tembang’ atau nyanyian selamat datang atau welcome song yang dilakukan oleh pemimpin rombongan Ketoprak Dor. Panembromo biasa digunakan untuk menyambut tamu atau kata sambutan yang ditembangkan. Bentuk komposi musik panembrama adalah berbentuk tembang macapat mijil dan giar giar. Terdapat 11 jenis lagu dalam tembang macapat yang masing-masingnya memiliki kharakteristik dan watak yang berbeda. Kesebelas tembang macapat tersebut adalah Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung. Menurut Ibu Sumiati mijil merupakan sebuah bagian kisah kehidupan manusia yang menggambarkan tentang sebuah biji atau benih yang lahir ke dunia. Mijil menjadi gambaran dari dimulainya perjalanan seorang anak manusia yang masih suci dan masih memerlukan perlindungan.

Sampak merupakan gending dengan struktur dalam satu rangkaian notasi balungan gending sebanyak satu gong disusun atas gatra yang jumlahnya tidak menetu, dalam setiap gatra kempul dibunyikan empat kali, kenong delapan kali (Palgunadi, 2002:522). Sampak Digunakan untuk adegan sedih, tegang dan perpindahan antar adegan. Pada pertunjukan Ketoprak Dor, musik sampak dimainkan hanya untuk pengiring adegan tanpa diiringi tembang atau vokal. Menurut bapak Jumadi musik suka-suka dipergunakan untuk adegan perkelahian. Istilah asal-asalan atau suka-suka berasal dari melodi yang dimainkan oleh pemain harmonium atau keyboard elektrik. Inti dari permainan motif ini ialah penonton dapat merasakan adegan peperangan dengan penuh ketegangan dan dilakukan berulang-ulang hingga pemain selesai berimprovisasi. Keunikan dari musik asal-asalan ini ialah masuknya lagu Pucuk Pisang sebagai melodi pokok dalam adegan perkelahian. 7. Kesimpulan

Masyarakat yang menetap dalam kurun waktu lama di Sumatera Utara telah mengalami fase perubahan pola sosial termasuk di bidang kebudayaan. Kebudayaan leluhur mulai bergeser makna dan fungsinya disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial sekitar. Disamping itu, dalam perkembangannya berbagai bentuk kebudayaan ini juga mengalami perubahan-perubahan baik dari segi bentuk maupun dari segi isi pertunjukannya. Ketoprak Dor salah satu kebudayaan dari seni pertunjukan masyarakat Jawa yang banyak sekali mengalami perubahan. Ketoprak Dor merupakan onomatope (tiruan bunyi) dari suara alat musik utama bernama kendang Jidor yang menghasilkan suara “Dor” jika alat musik tersebut dipukul. Keberadaan Ketoprak Dor sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1940-an yaitu di daerah Pematang Siantar.

Masyarakat Jawa yang melihat pertunjukan Ketoprak Dor akan mengalami keterkejutan budaya (culture shock) Jika dilihat dari keseluruhan aspek yang menyangkut pertunjukan Ketoprak Dor seperti busana, gaya bahasa, tarian, musik pengiring, dan cerita yang dibawakan. Ketoprak Dor tidak menggunakan alat musik gamelan seperti ketoprak yang ada di daerah Jawa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa pembauran antara bahasa Jawa, Melayu, Karo, dan etnis setempat. Kostum yang dipakai oleh pemain juga merupakan bentuk asimilasi budaya timur tengah (turki) dan Portugis. Tarian yang dibawakan adalah modifikasi antara tarian Melayu dan Jawa, serta melodi yang dibawakan bernuansa Jawa, Melayu bahkan terkadang melodi yang dibawakan mempunyai makna improvisasi yang tidak menyerupai skala melodi apapun dan terkesan asal-asalan.

Sebagai salah satu bentuk produk asimilasi budaya yang ada di tanah Deli, Ketoprak Dor yang lahir dari perbudakan Belanda di ordenim (perkebunan) adalah penggambaran dari masyarakat Jawa pada masa tersebut. Sebenarnya masyarakat Jawa diperkebunan ingin sekali menampilkan dan mempertunjukan kesenian Ketoprak seperti di daerah Jawa. Namun, sulitnya mendapatkan gamelan dengan harga yang sangat mahal serta transportai yang dsusah menjadi kendala utama. Diperparah lagi dengan upah yang mereka terima tidak sebanding dengan kerja yang mereka lakukan diperkebunan. Para pekerja perkebunan dipaksa untuk membeli semua bahan kebutuhan dari Belanda. Dengan kata lain gaji yang mereka terima harus kembali ke tangan Belanda dengan cara membuat pusat hiburan, menjual perhiasan dengan harga mahal, mengadakan bandar perjudian serta hiburan lainnya. Dampak dari ekonomi pekerja perkebunan tersebut terasa hingga aspek kesenian yang mereka bawa. Ketoprak Dor dibawakan dengan alat musik yang sederhana dan mudah dibuat yaitu gendang Jidor, kendang merupakan alat musik khas Jawa, serta harmonium adalah alat musik dari India yang diduga adalah pemberian dari pedagang India pada waktu itu, serta accordion adalah alat musik dari Melayu.

Cerita yang dibawakan meskipun masih terdapat cerita dari daerah Jawa namun versi yang dipertunjukan saat melakoni Ketoprak Dor sudah banyak berubah dan dimodifikasi. Alasan utama

Page 55: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

49

berubahnya ialah kurangnya pengetahuan dari para pemain dengan cerita sebenarnya serta tuntutan dari keinginan pemilik hajat dan penonton. Artinya setiap kelompok Ketoprak Dor mempunyai versi yang berbeda meskipun judul yang dibawakan adalah sama. Disatu sisi Ketoprak Dor memiliki unsur Jawa dan disisi lain Ketoprak Dor memiliki pengaruh Melayu dan etnis setempat yang kuat. Kini beberapa kelompok Ketoprak Dor masih tetap mempertunjukan kesenian rakyat ini. Meskipun dalam sebulan mereka tampil hanya 1 (satu) atau 2 (dua) kali. Biasanya penampilan dari Kelompok Dor ini masih dapat disaksikan pada acara perkawinan, sunatan serta acara kesenian yang diselenggarakan oleh institusi pemerintahan dan akademisi. Daftar Pustaka Ahimsa, Dedy Shri, dkk. 2000. Ketika orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press Aulia, Emil W. 2006. Berjuta-juta dari deli: satu hikajat koeli contract. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum Avan, Alexander. 2012. Parijs Van Soematra. Medan: Rainmaker Publishing Bandem, I Made dan Sal Murgianto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Bali: Kanisius Barz, Gregory and Timothy J. Cooley. New Perspective for Fieldwork in ethnomusicology: second edition. 2008. London:

Oxford University Basyarsah II, T. Lukman Sinar. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: USU Press Beng, Tan Sooi. 1997. Bangsawan: A Social and Stylistic History of Popular Malay Opera. Kuala Lumpur. The Asian Centre Bonoe, Pono. 2003. Kamus musik. Yogyakarta: Kanisius Breman, Jan. 1997. Menjinakkan sang kuli. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia : ilmu gosip, dongeng dan lain lain. Jakarta: Grafiti Pers Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra Denzin, Norman K., Yvonna S. Lincoln., 1995. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dharsono. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains Eargle, Jhon M. 1990. Music, Sound, & Technology. New York: Van Nostrand Reinhold Erwin, Tengku Sabrina. 1999. Sejarah Tembakau Deli. Medan: PTP. Nusantara-II (PERSERO) Fauzannafi, Muhammad Zamzam. 2005. Ketoprak Dor: Menari Diantara Dominasi dan Keberagaman. Yogyakarta: Kepel Press Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Temprint Halliday, M.A. K. Hasan R. 1985. Language Context, and text:Aspect of language in a social semiotic Perspective. London:

Oxford University Press .Hariadi, Selamat. 2015. “Judul Skripsi: “Studi Deskriptif Ketoprak Dor OlehSanggar Langen Setio Budi Lestari Pada Upacara

Adat Perkawinan Jawa Di Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai”. Medan. USU Jazuli. M. 2006. Manajemen Seni Pertunjukan. Jakarta: Graha Ilmu Jenks, Chris. 2013. Culture : Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kaelan, 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, budaya, filsafat, seni , agama dan humaniora.

Yogyakarta: Paradima Kayam, Umar. 2000. Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan. Yogyakarta: Galang Press Koentjaraningrat,1995. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Kodijat, Latifah. 1994. Istilah-istilah musik. Jakarta: Djambatan Kurniawan, Trias Untung. 2015. Seni Budaya kelas XII : Materi Pengetahuan Ketoprak. Yogyakarta: Erlangga Lisbijanto, Harry, 2014. Ketoprak. Jakarta: Graha Ilmu Malm, William P. 1967. Music Culture of the pasific, the Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall-Inc Mansur, Yahya. 1988. Sistem Kekerabatan Dan Pola Pewarisan. Jakarta: Fikata Marsden, William.1999.Sejarah Sumatra. Bandung: Remaja Rosdakarya Martono, Dwijo. 2011. Palupi Basa Jawa. Yogyakarta: Jendela Merriam. Allan P. 1964. The Antropology of Music. Chicago: Northwestren University Press Muchtar, Muhizar dkk. 1993. Kata Benda dan Kata Sifat Bahasa Melayu Deli. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebuudayaan Muhammad. 1992. Sejarah teater dan film di Sumatera Utara. Medan: Bali scan Murgianto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Naiborhu, Torang dan Nina Karina. 2016. “Laporan Hibah Bersaing dengan judul: Model Pengembangan Kesenian Tradisional

Ketoprak Di Sumatera Utara”. Medan. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset,Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Lembaga Penelitian USU Medan

Najieb, Chatib. 1995. “Para Pendatang di Kota Kota Sumatera Timur”. Medan. USU Nettle, Bruno.1983.The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Chicago: University Press Niel, Robert Van. 2009. Munculnya elite modern Indonesia. Bogor: Grafika Mardi Yuana Grossberg, Lawrence. Nelson, Cary. dan Treichler, Paula. ed. 1992. Cultural Studies New York: Routledge. Paeni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia : Sistem Sosial. Jakarta: Rajagrafindo Parret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan etnisitas. Jakarta: KPG Post, Jennifer C. 2003. Etnomusicology a Guide To Reserach. New York and London: Routledge Prier, Karl-Edmund. 2009. Kamus musik. Yogyakarta: Pusat musik liturgi Purwadi. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa. Jakarta: Galang Press Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Royce, Anya Peterson. 2007. Antropologi Tari. Bandung: STSI Press

Page 56: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

50

Rosmawaty. 2011. Seni Drama. Medan: Unimed Press Santosa, Eko. 2008. Seni Teater Jilid I, II dan III. Jakarta: Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional Said, Muhammad. 1977. Suatu zaman delap di deli : Koeli kontrak tempo doeloe dengan derita dan kemarahannya. Medan:

Waspada Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajagrafindo Sholikin. Muhammad. 2010. Ritual dan tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi Siagian, Rizaldi. 2015. “Di tengah Perbudakan Lahir Ketoprak Dor”. Kompas. Edisi 13 Desember 2015 Sinar, Tengku Luckman. 1971. “Sari Sedjarah Serdang djilid I”. Medan: USU Siswanto. 2008. Tuntunan Karawitan. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi Smart, Barry dan George Ritzer. 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media Soedarsono, R.M. 2002. Seni pertunjukan indonesia di era globalisasi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Soemardjono. Marsidah. 1992. Tuntunan Seni Kethoprak. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Spat, C. 1989. Bahasa Melayu: Tata Bahasa dan Selayang Pandang. Jakarta: Balai Pustaka Spiller, Henry. 2004. Gamelan: The Tradition Sound Of Indonesia. California: ABC-CLIO Spivak, Gayatri. 2008. Etika, Subalternitas dan Kritik Penalaran. Yogyakarta: Paraton Sudarmanto. 2014. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Semarang: Widya Karya Sumarno, Aji Jawoto. 2008. Mengenal Kesenian Nasional 3: Ketoprak.Semarang: Bengawan Ilmu Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Bentang Budaya Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan sumatera. Yogyakarta: Karsa Takari, Muhammad dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press Uhlenbeck. E.M. 1964. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Umri, S.H. 2012. Cerita Rakyat Melayu Klasik Sumatera Utara. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Provinsi Sumatera Utara Wulandari, Lestari. 2016. “Judul Penelitian: Pergeseran Ketoprak Dor Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Mempertahankan

Identitas Jawa Deli di Dusun VII, Desa Sei Mencirim, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Medan. Universitas Negeri Medan

Page 57: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

51

ANALISIS STRUKTUR TEKS, MAKNA, DAN MELODI

ONANG-ONANG PADA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI PANYABUNGAN

Oleh: Mutiara Efendi Nasution

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budayam Universitas Sumatera Utara

e-mail: [email protected]

ABSTRACT This paper is intended to evaluate, and acknowledge the existence of onang-onang as a happiness song of the narrative singing of the panortor in the area Panyabungan Kab. Mandaling Natal (Panyabungan, Kota siantar, Hulu Pungkut and Desa Habincaran) of North Sumatra. To investigate the conceptual description of the Mandailing community in terms of its existence, singing concept, socialization process, and matters related to the ethnomusicological aspects, an analysis of the lyrics of the songs and the music is carried out.To reveal problem in this paper, the qualitative method is used by means of multidisciplinary approach in which the emphasis is focused on semiotic and ethnomusicological approaches supported by other sciences. Method of investigation is classified into preparation; implementation; and report writing by watching, observing, and recording onang-onang orall, and visually, interview and analytical activities on the lyrics and the structural aspects of the musical melody were carried out.The research results showed that onang-onang is a hata andung reflecting the experience and life of the panortor and the community where this song lived. This fact was evidently revealed through the lyrics and the musical melodious flow, in which the singer described panortor's life, ideals, expectations, and social situation of the culture where he belonged. This lyric is created spontaneously using metaphorical language in structural and semiotic approaches. In ethnomusicological manner, the arrangement of the lyrics and the song is done using euphonic technique (a technique used to beautify the sound by adding and reducing syllables), syllabic (one note for each syllable addition and reduction), This is arranged in the form of musical melody in tethratonic (four notes) melody which was repeated over and over again however the next material tended to be always new (strophic). Thus, it can be concluded that this song emphasized more on the lyrics than on the music (logogenic). Keywords: onang-onang, siriaon, text, euphonic, strophic, and logogenic.

1. Pendahuluan

Penduduk asli di wilayah Mandailing Natal umumnya hidup sebagai petani sawah yang juga mengerjakan perkebunan karet dan kopi milik mereka sendiri. Selain bertani sebahagian orang Mandailing Natal mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang, pengusaha pengangkutan darat dan bekerja sebagai Pegawai Negeri. Suku Mandailing sebagai penduduk asli di wilayah Mandailing dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Pengembangan agama Islam yang intensif terjadi di wilayah Mandailing disekitar dekade ketiga abad ke-19 , pada waktu kaum Paderi dari wilayah Minangkabau memasuki wilayah tersebut untuk mengembangkan agama Islam.

Penduduk asli Mandailing Natal sangat terikat dengan huta (tempat kelahiran atau desa kelahiran masing-masing masyarakat) sehingga orang-orang Mandailing Natal menggunakan nama desa atau huta asalnya sebagai identitas untuk diri mereka masing-masing. Misalnya orang Mandailing Natal yang berasal dari desa yang bernama Huta Bargot dalam pembicaraan sesama orang Mandailing Natal akan menyebut dirinya sebagai orang Huta Bargot. Barangkali sikap orang Mandailing Natal yang sangat terikat dengan desa atau huta asalnya masing-masing itu tumbuh menjadi suatu kekuatan yang mendorong. Dalam buku Fonologi Bahasa Angkola karya SR. H. Sitanggang (1997:12-16) Orang-orang Mandailing Natal menciptakan ciri-ciri khas bagi masyarakat desanya. Sehingga pada gilirannya muncul lah berbagai variasi dalam berbagai aspek kehidupan pada masyarakat desa atau huta yang berlain-lainan. Keadaan yang bervariasi itu antara lain kelihatan dalam pelafalan atau pengucapan berbahasa.

Dalam membicarakan Onang-onang sebagai nyanyian adat Mandailing kiranya perlu juga dikemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan Mandailing yang diatur menurut adat atau budaya masyarakat yang bersangkutan. Sebab lirik onang-onang sebagai nyanyian adat tidak jarang mengandung isi yang ada kaitannya dengan sistem kemasyarakatan Mandailing. Misalnya yang berkaitan dengan status kelompok-kelompok masyarakat dalam sistem kemasyarakatan Mandailing yang disebut Dalian Na Tolu (tiga tumpuan).

Suku Mandailing menganut garis keturunan patrilineal dan mempunyai satu sistem kemasyarakatan tersebut sesuai dengan keadannya yang memang didukung oleh atau terletak pada tiga tumpuan. Ketiga tumpuan tersebut terdiri dari tiga kelompok fungsional yang satu sama lain terikat oleh hubungan kekerabatan berupa ikatan darah (blood ties) dan ikatan perkawinan (affinity). Ketiga kelompok fungsional tersebut masing-masing dinamakan Mora, yakni kelompok pemberi anad gadis (wife givers), Kahanggi, yakni kelompok satu keturunan dan Anak Boru, yakni kelompok penerima atau pengambil anak gadis (wife takers).

Dalam bukunya Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam: Seni Budaya Tradisional Daerah Tapanuli Selatan, Padangsidimpuan Secara umum, seni musik yang terdapat pada masyarakat Mandailing dapat digolongkan ke dalam dua

Page 58: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

52

bagian besar, yaitu musik vokal (ende) dan musik instrument (gondang). Salah satu contoh dari musik vokal (ende) adalah onang-onang. Sedangkan salah satu contoh dari musik instrument (gondang) adalah gordang sambilan. Semua upacara adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Mandailing dibagi menjadi dua jenis. Masing-masing ialah upacara adat siriaon, yaitu upacara adat yang mengandung suka cita dan upacara adat siluluton, yaitu upacara adat yang berkenaan dengan hal-hal yang mengandung duka, seperti misalnya upacara adat kematian.

Menurut Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam (1989), pada adat upacara masyarakat Mandailing mengatakan :

Masyarakat Mandailing terdapat pula penggolongan upacara adat yang didasarkan kepada besar kecilnya upacara adat yang diselenggarakan. Apabila suatu upacara adat disembelih kerbau, dan upacara adat tersebut dihadiri oleh Raja dan Na Mora Na Toras dari berbagai desa atau huta yang menjadi tetangga dari huta tempat diselenggarakannya upacara adat tersebut, maka upacara adat tersebut digolongkan sebagai upacara adat na godang (upacara adat yang besar). Tetapi apabila untuk suatu upacara adat yang disembelih hanya kambing atau ayam dan tidak dihadiri oleh Raja-Raja dan Na Mora Na Toras dari huta tetangga, maka upacara adat tersebut digolongkan sebagai upacara adat na menek (upacara adat kecil).

2. Pengenalan Onang-Onang

Onang-onang ini diorbitkan seseorang dengan suara dan gaya yang bebas diluar perkampungan, dan dengan suara yang agak tinggi. Bila secara terpimpin dan teratur, dalam waktu-waktu tertentu boleh dikumandangkan dalam rumah atau dalam kampung. Seperti dalam upacara mahorja, marbodong. Yaitu pada pesta upacara adat. Orang yang melakukan onang-onang disebut dengan tukang onang-onang atau panggora (paronang-onang). Namun disaat zaman Mandailing dahulu, onang-onang ada juga yang menyebutkan istilahnya adalah jeir.

Sebelum masuknya Belanda, Mandailing adalah wilayah yang sangat luas sehingga banyak ragam bahasa yang digunakan di Mandailing. Onang-onang yang disebut milik Sipirok dan Angkola, sementara Jeir adalah milik Mandailing ialah presepsi yang salah. Onang-onang juga adalah milik masyarakat Mandailing. Karena Bangsa Mandailing (1922) ialah terdiri dari sebelah timur (sungai siak), sebelah utara (asahan), sebelah selatan (sipitang/lubuk sikaping) dan sebelah barat (pantai barat).

Pada masa dahulu masyarakat Mandailing mempunyai banyak ragam upacara adat yang secara garis besarnya menjadi dua bahagian, yaitu upacara adat Siriaoan (yang bersifat suka cita) dan upacara adat Siluluton atau Sidangolon (yang bersifat duka cita). Pada masa sekarang sebahagian besar upacara adat yang pernah ada dalam masyarakat Mandailing pada masa dahulu sudah menghilang. Hilangnya berbagai upacara adat lama itu disebabkan berbagai hal. Antara lain karena kesukaran ekonomi, sehingga tidak cukup biaya untuk menyelenggarakannya. Penyebab lain juga karena telah masuknya agama Islam ke Mandailing sehingga jenis upacara adat siluluton yang biasanya melangsungkan berbagai ritual acara, namun tidak lagi dilaksanakan. Yang masih selalu diselenggarakan oleh orang Mandailing pada masa ini ialah upacara adat siriaon, khususnya upacara adat perkawinan. Oleh karena itu dalam konteks upacara adat yang demikian itulah fungsi onang-onang akan ditinjau.

Pada bahagian yang terdahulu telah dikemukakan bahwa onang-onang merupakan nyanyian adat yang khusus dipergunakan untuk mengiringi tarian adat yang disebut tor-tor. Dalam suatu upacara adat perkawinan di Mandailing yang disebut Mata Ni Horja

Pada waktu berbagai macam tor-tor tersebut ditarikan mengikuti irama gondang tor-tor masing-masing biasanya seorang paronang-onang (penyanyi onang-onang) berdiri di dekat rombongan pargondang atau paruning-uningan (pemain musik tradisional) dan mengiringi tarian adat tersebut dengan onang-onang. Setiap tor-tor yang ditarikan akan diiringi dengan onang-onang yang liriknya berbeda-beda satu sama lain. Karena lirik yang dinyanyikan untuk mengiringi tor-tor harus sesuai isinya dengan status sosial orang-orang yang menarikannya atau dengan kedudukannya dalam upacara adat sedang diselenggarakan.

3. Fungsi Onang-onang Dalam Upacara Adat Perkawinan 3.1 Onang-onang sebagai sarana komunikasi

Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa umumnya isi teks atau lirik onang-onang bukan merupakan ungkapan perasaan atau pikiran pribadi orang yang menyanyikannya. Tetapi suatu rangkaian narasi yang dianggap perlu dikomunikaskan oleh paronang-onang (penyanyi onang-onang) kepada pendengarnya, yakni khalayak yang menghadiri upacara adat dimana onang-onang itu sedang dinyanyikan. Biasanya, paronang-onang sudah mendapatkan data diri dari si pemilik acara. Baik data diri pribadi siapa yang akan diceritakan dalam onang-onang nantinya, dalam hal apa acara itu dibuat. Data diri sipemilim acara dan tujuan acara dibuat sangatlah penting diketahui oleh penyanyi onang-onang, karena segala isi dari lirik onang-onang nanti adalah menceritakan latar belakang si empunya acara dan maksud didirikannya acara.

Kalau diperhatikan, dalam sifatnya yang naratif pada lirik atau teks onang-onang pada umumnya berisi ungkapan tentang status sosial orang yang sedang manortor (melakukan tarian adat) dan hal-hal yang penting hubungannya dengan orang yang bersangkutan, puji-pujian atau sanjungan terhadap orang tersebut. Selain dari isi yang demikian itu teks onang-onang mengandung pula ungkapan-ungkapan tentang keadaan tempat dimana tor-tor dilakukan, dan tidak jarang

Page 59: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

53

pula teks onang-onang yang mengandung ungkapan dan harapan untuk mendapat hal-hal yang baik dalam kehidupan. Seperti misalnya tuah, kemuliaan, semangat hidup dan solidaritas sosial.

Pola dari Isi teks onang-onang yang dipergunankan dalam ansambel gondang ada lima macam, yakni : (1) Pembukaan, (2) Penjelasan maksud upacara, (3) Cerita latar belakang panortor, (4) Pujian dan Nasehat (5) Do’a

3.2 Onang-onang sebagai sarana sosialisasi adat Pada kesempatan yang demikian onang-onang juga dapat menjadi sarana soasialisasi adat. Sebab liriknya yang

dinyanyikan untuk mengiringi berbagai macam tor-tor banyak mengandung isi yang berkaitan dengan adat-istiadat. Misalnya ungkapan yang menggambarkan status, fungsi dan unsur-unsur dalian na tolu, juga yang mengungkapkan fungsi na poso na uli bulung (generasi muda) dan juga ungkapan yang menggambarkan makna lambang-lambang adat seperti bendera kain adat dan lain sebagainya. Karena ungkapan-ungkapan yang berisi aspek adat itu disampaikan dalam bentuk nyanyian tentu orang-orang merasa terkesan mendengarnya. Dengan perkataan lain, unsur artistik musikal yang terdapat dalam onang-onang membuatnya menjadi suatu sarana sosialisasi adat yang efektif dan komunikatif. Sebab kedua unsur tersebut membuat orang merasa lebih tertarik dan senang mendengar onang-onang yang liriknya banyak mengandung ungkapan mengenai aspek-aspek adat Mandailing.

4. Onang-onang Pada Masa Sekarang

Aspek musikal atau melodi pada nyanyian adat (onang-onang) tersebut boleh dikatakan hampir tidak mengalami perubahan sama sekali. Tetapi aspek tekstualnya cukup banyak mengalami perubahan. Artinya, pada masa dahulu umunya paronang-onang selalu menggunakan kata-kata adat atau kata-kata sastra Mandailing untuk lirik onang-onang. Yang dimaksud dengan kata-kata adat dalam hal ini ialah kata-kata bahasa Mandailing yang selalu dipergunakan dalam upacara atau pidato-pidato adat. Sedangkan yang dimaksud dengan kata-kata sastra Mandailing adalah kata-kata yang biasanya dipergunakan dalam sastra lisan Mandailing, seperti misalnya cerita rakyat Mandailing yang dinamakan turi-turian.

Terjadinya berbagai perubahan sosial budaya dalam masyarakat Mandailing menyebabkan upacara adat semakin jarang diselenggarakan. Keadaan yang demikian ini menyebabkan onang-onang pun semakin jarang pula dinyanyikan. Sebab onang-onang menurut tradisi masyarakat Mandailing hanya dinyanyikan dalam upacara adat untuk mengiringi tor-tor. Para paronang-onang di Mandailing yang dahulu banyak jumlahnya semakin lama semakin berkurang, karena satu demi satu tutup usia. Sedangkan penggantinya dikatakan tidak lahir Karena generasi muda tidak lagi terdorong untuk mempelajari onang-onang yang sudah semakin jarang dinyanyikan. Disamping itu apresiasi generasi muda dalam masyarakat Mandailing terhadap onang-onang sebagai nyanyian adat yang tradisional semakin berkurang akibat pengaruh banyaknya lagu-lagu hiburan yang lebih disukai oleh generasi muda tersebut.

5. Onang-onang dan Paronang-onang 5.1 Paronang-onang sebagai penyanyi tradisional

Hal lazimnya onang-onang hanya dinyanyikan oleh orang-orang tertentu saja yang disebut Paronang-onang. Untuk dapat menjadi paronang-onang (yang baik), seseorang memerlukan sejumlah persyaratan. Baik yang bersifat alamiah maupun persyaratan dipelajari sebagai keterampilan (skill). Persyaratan yang bersifat alamiah itu antara lain ialah bakat, kualtias vokal yang baik dan kualitas pernafasan yang lumrah disebut nafas yang panjang. Dalam hal ini yang dipandang sebagai bakat ialah kemampuan yang dibawa lahir oleh seseorang yang membuatnya dapat dengan mudah menyanyikan irama atau melodi onang-onang tanpa lebih dahulu banyak mempelajarinya secara khusus. Biasanya seseorang mengembangkan bakatnya untuk menjadi paronang-onang hanya dengan banyak memperhatikan bagaimana caranya paronang-onang menyanyi. Kemudian berdasarkan hasil pengamatan itu dia berlatih. Selanjutnya dia mencoba kepandaiannya dalam upacara adat.

Kualitas vokal yang baik diperlukan seseorang yang ingin menjadi paronang-onang agar khalayak suka dan senang mendengar suaranya pada waktu maronang-onang (menyanyikan onang-onang). Sedangkan kualitas pernafasan yang baik diperlukan agar ia dapat menyanyikan lirik onang-onang sesuai dengan tuntutan melodi nyanyian tersebut. Tanpa adanya terputus-putus pada bahagian-bahagian yang seharusnya pengucapan lirik dilakukan dengan satu tarikan nafas.

Persyaratan penting bagi seorang paronang-onang yang dapat dipelajarinya dari orang lain ialah pengetahuan tentang adat-istiadat Mandailing. termasuk di dalamnya penguasaan istilah-istilah adat dan kemampuan menggunakan ragam bahasa adat yang diperlukan untuk menciptakan lirik onang-onang yang baik. Karena onang-onang dalam tradisi masyarakat Mandailing baik dahulu sampai sekarang hanya bisa dinyanyikan oleh orang-orang yang benar-benar dapat menyanyikan onang-onang sebagaimana mestinya menurut ketentuan adat. Maka paronang-onang dapat digolongkan sebagai penyanyi tradisional. Yaitu penyanyi yang terikat oleh tradisi atau aturan-aturan adat yang hidup turun-temurun dalam masyarakat Mandailing.

Page 60: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

54

5.2 Paronang-onang sebagai pencipta lirik

Lirik onang-onang sifatnya tidak permanen, tetapi keadaannya selalu berubah-ubah sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringinya. Selain itu perubahan liri onang-onang tergantung pula kepada pengantin yang dinyanyikan. Artinya, masing-masing paronang-onang boleh dikatakan tidak akan menyanyikan lirik yang identik meskipun itu mengiringi tor-tor yang sama jenisnya. Setiap paronang-onang sesungguhnya adalah juga pencipta lirik onang-onang yang dinyanyikannya. Dalam masyarakat Mandailing tidak terdapat orang yang berfungsi sebagai pencipta lirik onang-onang kecuali para paronang-onang itu sendiri. Penciptaan lirik onang-onang oleh paronang-onang tidak dilakukan dengan cara menuliskannya. Tetapi lirik yang diperlukan diciptakan di dalam pikiran si paronang-onang pada saat ia menyanyi, kemudian diucapkan langsung sebagai nyanyian. Oleh sebab itulah maka dapat dikatakan bahwa lirik onang-onang diciptakan secara spontan oleh paronang-onang pada saat ia bernyanyi mengiringi tor-tor.

Untuk dapat menciptakan lirik onang-onang yang baik yaitu lirik yang benar-benar sesuai sebagai narasi bagi tor-tor yang diiringinya, relevan pula isi kata-katanya dengan status yang manortor, dapat melukiskan suasana dan keadaan upacara adat dengan tepat dan baik serta memakai bahasa yang berkadar sastra, paronang-onang haruslah mempunyai bahan referensi yang cukup. Bahan referensi tersebut tentu saja yang berkenaan dengan adat-istiadat, ragam bahasa stastra, tor-tor maupun materi lain yang berkaitan dengan budaya Mandailing. Penguasaan unsur bahasa yang baik, yaitu yang mengandung kadar sastra juga amat penting bagi seorang paronang-onang sebagai pencipta lirik. Sebab unsur bahasa tersebut merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan baik buruknya kualitas lirik onang-onang yang akan diciptakan. Karena baik buruknya kualitas lirik langsung menunjukkan kepada khalayak bagaimana kemampuan dan kualitas paronang-onang sebagai pencipta lirik, maka masyarakat umumnya menjadikan kualitas paronang-onang itu sendiri sebagai kriteria untuk menilai baik buruknya kualitas seorang paronang-onang. Menurut lazimnya masyarakat Mandailing pada masa yang lalu member kedudukan yang terpandang bagi seorang paronang-onang ditengah masyarakat apabila ia dinilai mampu menciptakan lirik-lirik yang baik bagi onang-onang yang dinyanyikan dalam berbagai upacara adat.

5.3 Kedudukan paronang-onang dalam masyarakat Dalam bukunya Abd. Rahman Dalimunte dan Sondah Pohan: Adat Daerah Tapanuli Selatan Surat Tumbago

Holing (1985), pada masa yang lalu, paronang-onang sebagai salah satu unsur fungsional dalam sistem upacara adat dengan sendirinya mendapata kedudukan yang penting dalam masyarakat Mandailing. Oleh karena itu setiap huta (desa) sebagai suatu kelompok masyarakat (komunitas) mempunyai beberapa orang paronang-onang yang berfungsi untuk mengiringi tor-tor dalam berbagai upacara adat yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tersebut. Dalam menjalankan fungsinya itu paronang-onang tidak diberi upah. Sebab penyelenggaraan upacara adat merupakan kegiatan yang dilakukan secara gotong royong suka rela. Namun demikian, untuk menjalankan peranannya dalam suatu adat secara bersama-sama dengan pemain musik (paruning-uning) biasanya paronang-onang diundang dengan cara adat. Artinya undangan paronang-onang disampaikan dengan menyuguhkan sirih adar (burangir adat), dan paronang-onang diperluakukan sebagaimana halnya dengan pemain musik.

Dalam hal ini paronang-onang bukan sebagai penyanyi biasa tetapi mempunyai fungsi khusus sebagai penyanyi nyanyian adat, maka kedudukannya dihormati dalam masyarakat. Dalam hubungan ini ada paronang-onang yang disebut sebagai paronang-onang bagas godang (semacam penyanti istana). Paronang yang demikian adalah paronang-onang yang sengaja dipelihara oleh raja karena keahliannya lebih menonjol dari paronang yang lainnya. Sudah sejak lama onang-onang sebagai nyanyian adat Mandailing dalam proses kepunahan, maka dengan sendirinya kedudukan paronang-onang pada masa ini sudah banyak mengalami perubahan. Paronang-onang pun sekarang sudah amat langka dan susah didapat. Regenerasi dikalangan paronang-onang boleh dikatakan tidak pernah terjadi sejak berkurangnya secara drastis penyelenggaraan upacara adat dalam masyarakat pedesaan di Mandailing. kalaupun masih ada, dua atau tiga orang yang bisa maronang-onang (menyanyikan onang-onang) di Mandailing. Dan masyarakat tidak lagi memberikan kedudukan kepada mereka seperti kedudukan yang diberikan kepada mereka pada masa lalu.

6. Hubungan Gondang Dengan Onang-onang 6.1 Gondang sebagai musik pengiring onang-onang

Menurut tradisi onang-onang hanya dinyanyikan apabila gondang dibunyikan untuk mengiringi tor-tor. Dengan perkataan lain onang-onang tidak dinyanyikan apabila tor-tor tidak ditarikan dengan iringan gondang. Keadaan ini dengan jelas menunjukkan bahwa eksistensinya onang-onang tergantung secara mutlak kepada tor-tor dan gondang pengiringnya sebagai suatu kesatuan mutlak antara dua unsur yakni tari dan musik. Menilik keadaan yang demikian, ada kemungkinan bahwa pada mulanya gondang tidak sengaja diciptakan untuk mengiringi onang-onang secara khusus. Tetapi bisa jadi gondang diciptakan pada mulanya adalah khusus untuk pengiring tor-tor. Dan kemudian musik tersebut untuk mengiringi onang-onang. Sebab eksistensinya tor-tor mutlak tergantung kepada musik gondang dan eksistensinya onang-onang mutlak pula tergantung kepada tor-tor. Keadaan ini memperjelas kedudukan dan peranan onang-onang sebagai pemberi narasi bagi tor-tor.

Page 61: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

55

Diatas sudah dikemukakan bahwa irama atau melodi onang-onang yang dinyanyikan untuk mengiringi bermacam-macam tor-tor hanya satu macam saja. Tetapi irama musik gondang yang dipergunakan untuk mengiringi bermacam-macam sesuai dengan ragam tor-tor yang diiringinya. Hal ini menunjukkan bahwa irama musik gondang tidak tergantung kepada melodi onang-onang dan juga tidak sebaliknya. Dengan perkataan lain irama atau melodi onang-onang berdiri sendiri demikian pula irama musik gondang pengiringnya. Tetapi dalam mengiringi tor-tor keduanya menjadi satu kesatuan. Keadaan sekarang, onang-onang sudah tidak tergantung lagi secara mutlak kepada tor-tor dan gondang. Artinya kadang-kadang onang-onang dinyanyikan dengan iringan gondang dalam keadaan yang terlepas dari tor-tor. Misalnya dalam acara kesenian tradisional Mandailing yang disiarkan dari radio. Dalam acara tersebut onang-onang dinyanyikan tanpa ada orang yang menarikan tor-tor. Tetapi keadaan yang demikian ini adalah keadaan yang terlepas dari tradisi lama masyarakat Mandailing. Atau dapat dikatakan sebagai suatu “tradisi baru” yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Contoh lain juga bisa ditemukan dalam upacara adat perkawinan. Banyak ditemukan bahwa masyarakat Mandailing yang mengadakan upacara adat perkawinan yang ingin melangsungkan horja godang dengan menaikkan gondang dan onang-onang, tidak lagi diiringi dengan tor-tor. Dikarenakan sudah tidak adanya lagi minat muda-mudi yang ingin manortor dalam acara adat. Dan raja-raja yang benar-benar tau mengenai adat pun sudah pergi mendahului. Alhasil keluaraga raja-raja sebagai penerus pun sudah tidak lagi memahami bagaimana prosesi upacara adat di Mandailing. Hal itu juga dikarenakan turunan raja-raja banyak yang hidup di perantauan.

6.2 Pargondang dan paronang-onang

Dalam memelihara status dan menjalankan peranannya sebagai penyanyi tradisional dalam masyarakat Mandailing, paronang-onang tergantung kepada pargondang atau paruning-uningan. Sebab paronang-onang praktis tidak dapat menjalankan peranan dan fungsinya kalau pargodang tidak menjalankan peranan mereka tanpa harus disertai oleh paronang-onang. Karena aktivitas paronang-onang tergantung secara mutlak kepada aktivitas pargondang dalam upacara adat, maka dengan sendirinya paronang-onang selalu menjalin hubungan akrab dengan pargondang, dan keduanya sama-sama merupakan unsur fungsional dalam sistem upacara adat. Dari astu segi dapat dilihat bahwa paronang-onang menjalankan peranan yang lebih kreatif dari pargondang. Sebab dalam setiap kali menjalankan aktivitasnya yang tergantung kepada kegiatan pargondang, paronang-onang harus maronang-onang. Sementara pargondang hanya memainkan musik menurut pola irama yang permanen dan tidak menciptakan sesuatu. Karena adanya peranan paronang-onang maupun pargondang yang fungsional dalam sistem upacara adat, maka keduanya mendapat kedudukan yang cukup dihargai di tengah-tengah masyarakat Mandailing pada masa yang lampau.

7. Beberapa Aspek Tekstual Onang-onang 7.1 Ragam bahasa lirik onang-onang

Menurut H. Pandapotan Nasution dalam bukunya Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman (2005) bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di daerah Mandailing dan di daerah-daaerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesama etnik Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen (irama) yang lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. Sesuai dengan pemakaiannya bahasa Mandailing terdiri dari :

a. Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat) b. Bahasa andung (bahasa waktu bersedih) c. Bahasa parkapur (bahasa waktu di hutan) d. Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari) e. Bahasa bura (bahasa waktu marah/kasar)

Singkatnya, ada bahasa biasa, bahasa bersedih, bahasa marah, bahasa datu (spiritual) dan bahasa di hutan. Ragam bahasa ini mempunyai istilah-istilah tersendiri yang berlainan Dari istilah-istilah ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Karena hata andung mengandung nilai sastra yang punya kekuatan untuk menggugah perasaan orang lain, maka ragam bahasa inilah yang banyak dipakai dalam lirik onang-onang yang dicampur sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Kadang-kadang ragam bahasa hata andung disebut orang juga sebagai ragam bahasa adat. Sebab ragam bahasa tersebut banyak dan sering dipergunakan dalam upacara adat. Oleh sebab itulah makan orang juga mengatakan bahwa lirik onang-onang menggunakan bahasa adat.

7.2 Aspek sastra dalam lirik onang-onang

Di atas telah dikemukakan bahwa lirik onang-onang biasanya mempergunakan ragam bahasa hata andung yang mengandung nilai sastra dicampur sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Lirik onang-onang yang tidak banyak mempergunakan ragam bahasa tersebut dianggap kurang baik mutunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek sastra ikut menentukan mutu lirik onang-onang. Dituntunnya penggunaan ragam bahasa yang mengandung nilai sastra untuk lirik onang-onang bertujuan agar lirik tersebut ketika dinyanyikan dapat dengan mudah menggugah perasaan atau emosi khalayak yang mendengarnya. Kekuatan bahasa yang dapat menggugah perasaan itu lahir dari aspek artistik (keindahan) yang terkandung di dalam ragam bahasa hata andung.

Kedudukan aspek sastra dalam lirik onang-onang kelihatan hampir bersifat mutlak. Sebab lirik onang-onang harus senantiasa mempergunakan istilah-istilah ragam hata andung agar dapat dipandang baik. Demikianlah menurut tradisi

Page 62: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

56

lama masyarakat Mandailing yang kini sudah tidak dapat lagi menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Penekanan aspek sastra dalam lirik onang-onang tidak pada persajakan atau persamaan bunyi kata pada akhir setiap baris lirik. Tetapi penekanannya ialah pada pemilihan dan penggunaan kata-kata yang diambil dari ragam bahasa sastra yang disebut hata andung tersebut.

7.3 Bentuk lirik onang-onang

Untuk mendapatkan contoh lirik onang-onang yang dinyanyikan dalam upaacara adat seperti upacara adat perkawinan di Mandailing sudah terbilang sukar. Sebab pada masa belakangan ini sudah jarang masyarakat Mandailing menyelenggarakan upacara adat yang didalamnya terdapat onang-onang. Apabila ada masyarakat mengadakan upacara adat perkawinan pun tidak semuanya menggunakan onang-onang didalam bagian dari acara tersebut. Hal ini dikarenakan zaman yang tidak lagi menuntut tentang budaya. Bahkan dari segi pakaian adat Mandailing saja sudah banyak dirubah oleh perias pengantin dan juga dari kemauan pengantin tersebut. Apabila masyarakat Mandailing mengadakan upacara adat perkawinan yang di dalamnya menggunakan acara onang-onang pun tetap tidak seperti dahulu yang lengkap dengan iringan tor-tor.

Pengguna tor-tor dalam upacara adat perkawinan pada masa sekarang ialah mereka yang merasa dirinya adalah keturunan raja-raja adat. Apabila pun tidak begitu halnya, mereka adalah golongan orang-orang yang terbilang sangat mampu (kaya) sehingga mereka bisa melangsungkan acara di gedung dikarenakan juga sudah sangat jarang didapatkan halaman bolak dalam melangsungkan upacara adat perkawinan. Biasanya mereka yang golongan kaya (pejabat daerah) melangsungkan pesta perkawinan di gedung dan di dalamnya terdapat acara onang-onang yang diiringi dengan tor-tor pengantin maupun rombongannya. Namun apabila masyarakat yang ingin mengadakan pesta perkawinan dengan mengandalkan onang-onang tetapi tidak di gedung (halaman rumah), bisa saja tetap mengadakan onang-onang dengan panaek gondang tanpa diiringi tor-tor. Tidak adanya iringan tor-tor dalam onang-onang tersebut dikarenakan berbagai macam alasan yang tentunya sudah disepakati oleh yang punya acara. Hal demikian biasanya bukan lagi pesta mangadati (mengadati acara) hanya saja sebagai simbolis orang Mandailing (musik tradisional).

Jumlah bait dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu kesempatan juga bervariasi. Ada lirik yang terdiri dari 10 baris dalam setiap bait, ada tiga belas baris dalam setiap bait dan bahkan ada juga yang lima belas baris setiap bait. Jumlah bait dari lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu kesempatan juga bervariasi. Tetapi pada intinya pola dalam teks lirik onang-onang memiliki lima tema dan setiap bait mewakili isi dari tema. Dengan melihat kenyataan seperti yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa bentuk dan struktur atau susunan lirik onang-onang tidak tetap. Tetapi berbeda-beda sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringi atau tergantung dari narasi yang ingin diungkapkan. Ini tentunya tergantung kepada paronang-onang yang menciptakan dan sekaligus menyanyikannya.

7.4 Tema atau isi lirik onang-onang

Pada umumnya bait pertama lirik onang-onang mengandung isi yang bertemakan pembukaan yang didalamnya terkandung pula rasa syukur atas terlaksananya acara. Sedangkan tema atau isi yang terkandung dalam bait-bait berikutnya bermacam ragam. Tetapi kalau tilik secara garis besarnya tema yang bermacam ragam itu umumnya berkenaan dengan :

a. Status orang yang sedang melakukan tor-tor b. Puji-pujian atau sanjungan kepada yang sedang manortor c. Aspek adat-istiadat Mandailing d. Keadaan dan suasana upacara adat ketika onang-onang dinyanyikan e. Keadaan lingkungan tempat upacara adat diselenggarakan f. Sarana-sarana dan benda-benda adat yang dipergunakan dalam upacara adat g. Harapan-harapan untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama atau doa selamat untuk orang-orang tertentu

yang diutamakan dalam upacara adat, seperti misalnya pasangan pengantin h. Pemupukan solidaritas sosial dan pelestarian adat-istiadat. Beberapa dari sejumlah tema pokok yang dikemukakan ini dapat sekaligus muncul dalam lirik yang dinyanyikan

oleh seorang paronang-onang untuk satu kali kesempatan bernyanyi. Lirik onang-onang tidak lazim hanya diisi dengan satu tema tunggal saja. Tema pokok yang dikemukakan di atas, biasanya selalu muncul berulang-ulang dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk mengiringi berbagai jenis tor-tor yang ditarikan dalam satu upacara adat. Untuk dapat mengenal bentuk, struktur maupun isi atau tema lirik onang-onang secara kongkrit, akan dituliskan contoh teks lirik onang-onang yang ditranskripsikan dari rekaman upacara adat perkawinan dari saudara Anwar dan Hanan di Panyabungan pada tanggal 17 September 2016 ialah sebagai berikut :

Page 63: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

57

1.Pembukaan

Ile onang baya

Marulak ulak mambasu botohon i

Majawek ma di rodang baya rodang on

Marulak ulak hata sidokkon on i

Hata boti ni onang baya onang on

Por udan ale adi ma ambolas i

Di arangan jolo sinonoan i

Parjolo hami mandokon baya horas i

Tu suhut ale si baya habolonan i

Di arangan jolo sinonoan i

Tubu ale ayu baya baringin i

Tu suhut ale siha ale baya bolonan i

Selamat jolo panjang baya umur i

Lopus ma jolo baya tu jolo ni ari on

Page 64: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

58

Allai le taronang da baya onang

2. Latar Belakang si Empunya Acara (maksud acara)

Ile onang baya onang

Hombang ratus ale hombang baya ribu i

Sayur inang matua baya bulung i Sampe ho inang marpahompui tambihul i

Sanga pe mar sege-sege di halaman i

On ma inang pama da pangidoan i Mamarpar ho inang songon dabuar Manyalapsap ni songon mata ni ari i Marsinondang ko inang da songon bulan i Lopus ma tu jolo ni ari i Antong ale mudah ma mudahan i Di naek jolo mata ni ari on I parkuik-kuik ni baya alihi on

Page 65: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

59

Dipanguas ni boyo baya panoppa i Diparungut-ungut dibujing parbabo i

Diatia le buaya mar kangarion Dioban ko amang da tu tapian i Tapian ale raya ma bangunan i Na marpangir baya marpale-paleon Na marpangir utte baya mungkur i Na mangayupkon siha baya poso on i Na mangayupkon siha baya bujingan i Manuju ale adat baya matobang i Allaile taronang da boti baya onang

3. Isi

Ile onang baya onang

On ma inang appe baya ibana on

Gordang ningku baya sambilan i

Gordang sambilan mandailing natal on

Page 66: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

60

Na tarbonggalon baya na tarjamita i Sian na jolo ranja baya sannari on Antong ale mudah-mmudahan i

Lolot jolo inang umur mangolu on Anso selamat tu baya jolo ni ari on On ma inang pamabayangidoan i Pangidoan baya di matobang i Sanga pe dongan na dua tolu on Allai le taronang daboti baya onang

4. Nasehat

Ile onang baya onang

Motor baya nalaos baya tu madan i

Pasisir naon baya manaek mijur on

Ta pangidohon mada jolo tu Tuhan i

Salamat ale da panjang baya umur on

Dung mulak ko inang sian tapian i

Page 67: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

61

Di bagas godang ko amang di upa i

Upa-upa tondi baya tu badan i

Ulang tondi mu mang mardao-dao i

Anso rumbuk amang padonok-donok i On ma amang pamabayangidoan i

Mula targompang ko inang tar sulandit i

Adong buse baya di togu-togu i Anso ale da baya parsiluan ta i Ima tu jolo baya ni moran ta i

Antong ale mudah ma mudahan i Panjang hayat ko amang da panjang umur on

Lopus ma tu jolo baya ni ari on Allahi ale taronang da baya boti onang

5. Penutup/Do’a

Ile onang baya onang

Page 68: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

62

Marulak-ulak mambasu botohon on

Majawek ma di rodang baya rodang i Marulak-ulak hata sidokkon i Hata boti ni onang baya onang i Ampe madung lalu ma cita-cita i Cita-cita le ni suhut baya bolon i Umpak si ucok le baya di anggunan i Sanga pele di bagasan da anggunan i Inanta sorimapada on Na mandokon ale baga baya baga on Mula magodang le si baya da lian i

Di baen do su gogo da ni roha i

Manjalaki le rongkap daa ni tondi na i Antong ale mudah ma mudahan i Ampot ale muda baya di na harnop on

Page 69: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

63

Tubu si jungkot baya di rubaen on Angan-angan muyu mada na joloan on I kobulkon Tuhan mada baya saon nari on Allai le taronang da baya boti onang

8. Analisis Struktur dan Semiotik Teks Onang-onang Dalam bukunyaDeryck Cooke: The Language of Music (1959:21) mengatakan bahwa sesungguhnya musik adalah

‘ekstramusikal’, dalam pengertian bahwa musik mirip dengan puisi yang ‘ekstraverbal’ karena nada seperti halnya kata mempunyai konotasi emosional. Demikian pula musik adalah mengungkap ekspresi yang paling tinggi bagi emosi yang universal dan dengan cara yang sangat pribadi. Sebagaimana halnya puisi sebagai karya estetis yang bermakna dan mempunyai arti, maka lirik onang-onang juga adalah ungkapan perasaan yang bersifat narasi, penyajinya yang disampaikan secara musikal melalui kata-kata dan bahasa puitis yang penuh makna. Kata-kata tersebut tentu saja merupakan sebuah struktur. Struktur disini adalah berupa susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik dan saling menentukan.

Dalam mengkaji teks nyanyian, secara langsung akan dihadapkan kepada hal-hal yang cukup sulit. Sebagaimana dikemukakan oleh Alan P. Merriam bahwa penggunaan bahasa pada teks nyanyian secara teknis dapat dibagi ke dalam beberapa pendekatan. Diantaranya melalui pendekatan euphony atau euphonious (sifat bunyi yang enak di dengar telinga) yang bertujuan untuk mencapai efek musikal serta memberikan kesan yang menyenangkan melalui penambahan maupun pengu-rangan huruf atau sillabel dalam teks. Juga penggunaan kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan (methaphore) serta perumpamaan-perumpamaan (allegoric), termasuk juga dengan mengubah bunyi yang terdapat dalam bahasa ujaran sehari-hari ke dalam bunyi tertentu yang sama sekali berbeda. Oleh karena itu teks nyanyian sebagai bahasa sudah merupakan sistem semiotik atau sistem ketandaan yang mempunyai arti.

Dari definisi dan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik mempunyai pengertian yang sangat luas, oleh karena itu dalam tulisan ini analisis semiotik yang dilakukan dibatasi pada aspek pembacaan heuristik dan hermeneutik saja. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama berdasarkan struktur bahasa atau arti gramatikalnya (denotatif), sedangkan pembacaan hermeneutik disebut juga retroaktif adalah pembacaan dengan pemberian makna (arti dari arti) atau memberi tafsiran atas teks tersebut berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konotatif).

8.1 Analisis struktur heuristik isi teks onang-onang

Seperti telah disebutkan sebelumnya, berikut ini akan dianalisis teks onang-onang berdasarkan analisis heuristik (arti gramatikal atau denotatif); dan analisis hermeneutik (makna, arti dari arti, tafsir atau konotatif, retroaktif). Berikut adalah analisis struktur tingkat pertama secara heuristik, arti gramatikal, atau denotative dari teks onang-onang. Onang-onang yang akan dibahas pada penelitian ini adalah onang-onang yang terdapat pada upacara adat perkawinan di Panyabungan Mandailing Natal. Onang-onang terdiri dari 5 (lima) pola yakni pembukaan, latar belakang, isi, nasehat dan do’a. dalam setiap pola, tidak bisa disamakan terdiri dari berapa baris dalam setiap baitnya. Dan ditambah lagi karena onang-onang ini adalah nyanyian yang tercipta secara spontan saat disajikan.

Memang harus diakui pula bahwa adalah hal yang sulit menciptakan baris yang teratur untuk setiap bait pada kelompok nyanyian andung dimana teks sebagai ungkapan isi hati dan perasaan penyajinya adalah tercipta secara spontan. Selain itu patut pula diperhatikan bahwa nyanyian jenis andung adalah jenis musik yang lebih mengutamakan teks daripada melodi musiknya (Inggris: logogenic). Maka dengan demikian wajar saja apabila tiap baris pada bait jumlahnya berbeda-beda.

Page 70: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

64

Struktur Teks: Onang-onang

Pola

Teks Onang-onang (Mandailing-Indonesia)

1 (Pembukaan)

2 (Latar belakang)

Ile onang…. Baya onang…, Marulak-ulak mambasu botohon i, Manjawek ma dirodang baya rodangon, Marulak-ulak hata sidokkonon i, Hata boti ni onang baya onangon, Por udan ale adi ma ambolas i, Di arangan jolo Sinonoan i, Parjolo hami mandokon baya horas i, Tu suhut ale si baya habolonan i, Di arangan le ni baya Sinonoan i, Tubu ale ayu baya baringin i, Tu suhut ale siha ale baya bolonan i, Selamat jolo panjang baya umur i, Lopus ma jolo baya tu jolo ni ari on, Allai le taronang da baya onang… Ile onang… baya onang (ini tak bisa diartikan dengan bahasa Indoneia) Berulang-ulang membasuh (bagian-bagiannya), Berwudhulah di rawa-rawa, Berulang-ulang kata yang akan disampaikan, Kata yang disampaikan dalam onang-onang, Deraslah hujan yang sangat deras, Dihutan disaerah sinonoan, Lebih dulu kami ucapkan kata horas, Kepada yang punya acara yaitu suhut dan yang dibesarkan, Dihutan yang ada disinonoan, Tumbuhlah kayu beringin, Kepada yang punya acara yang dibesarkan, Selamat lah dan panjang umur, Sampailah kedepan harinya, Allaile le taronang da baya onang (ini tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia). Ile onang… Baya onang… Hombang ratus ale hombang baya ribu i, Sayur inang matua baya bulung i, Sampe ho inang marpahompui tambihul i, Sanga pe marsege-sege di halaman i, On ma inang pama dapangidoan i, Mamarpar ho inang songon dabuar i, Manyalapsap ni songon mata ni ari i, Marsinondang ko inang da songon bulan i, Lopus ma tu jolo ni ari i, Antong ale mudah ma mudahan i, Di naek jolo mata ni ari on, I parkuik-kuik ni baya alihi on, Dipanguas ni bayo baya panoppa i, Diparungut-ungut dibujing parbabo i, Diatia le buaya mar kangarion, Dioban ko amang da tu tapian i, Tapian ale raya ma bangunan i, Na marpangir baya marpale-paleon, Na marpangir utte baya mungkur i, Na mangayupkon siha baya poso on i, Na mangayupkon siha baya bujingan i,

Page 71: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

65

3

(Isi)

Manuju ale adat baya matobang i, Allaile taronang da boti baya onang.. Ile onang… baya onang (ini tak bisa diartikan dengan bahasa Indonesia Berkembanglah beratus-ratus kembanglah beribu-ribu, Sampai dia tua ke depannya, Sampai kamu memiliki cucu hingga turunannya, Inilah permintaan kami, Menyebarlah seperti dabuar (dabuar adalah rotan yang mudah menyebar), Seterang dan secerah matahari, Bercahaya seperti bulan, Sampai kedepannya, Beginilah perasaan (isi hati) kami, Saat matahari terbit, Saat elang bersuara (menyuarakan suaranya), Diwaktu hausnya dia (wanita) membabat (padi), Saat keadaan gadis yang merasa sedih dikala membabo (membersihkan padi di sawah), Disaat buaya berjemur, Dibawalah ke tapian (tempat pemandian), Tapian pengantin pada hari itu, Berpangirlah dan lalu diusapkan, Yang berpangir memakai jeruk mungkur, Yang meninggalkan masa lajang, Yang meninggalkan masa gadis, Menuju masa tua, Allaile le taronang da baya onang (ini tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia). Ile onang… Baya onang… On ma inang appe baya ibana on Gordang ningku baya sambilan i Gordang sambilan Mandailing Natal on Na tarbonggalon baya na tarjamita i Sian na jolo ranja baya sannari on Antong ale mudah-mudahan i Lolot jolo inang umur mangolu on Anso salamat tu baya jolo ni ari on On ma inang pamabayangidoan i Pangidoan baya di matobang i Sanga pe dongan na dua tolu on Allai le taronang daboti baya onang Ile onang… baya onang (ini tak bisa diartikan dengan bahasa Indonesia) Inilah inang (inang bisa diartikan ibu, bisa diartikan sayang) yang sebenarnya, Gordang sambilan itu, Gordang sambilan Mandailing Natal ini, Yang sudah menyebar yang selalu dibicarakan orang-orang, Dari dahulu sampai sekarang, Ya,, beginilah harapan kami, Panjanglah mudah-mudahan umur, Inilah permintaan itu, Permintaan disaat sudah tua, Ataupun permintaan kawan-kawan dan sanak, Allaile le taronang da baya onang (ini tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia).

Page 72: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

66

4 (Nasehat)

5 (Do’a/Penutup)

Ile onang… Baya onang… Motor baya nalaos baya tu Medan i Pasisir naon baya manaek mijur on Ta pangidohon mada jolo tu Tuhan i Salamat ale da panjang baya umur on Dung mulak ko inang sian tapian i Di bagas godang ko amang di upa i Upa-upa tondi baya tu badan i Ulang tondi mu mang mardao-dao i Anso rumbuk amang padonok-donok i On ma amang pamabayangidoan i Mula targompang ko inang tar sulandit i Di tiop ko padang baya tobu i Marompa ho inang baya marambit on Adong buse baya di togu-togu i Anso ale da baya parsilua nta i Ima tu jolo baya ni mora nta i Antong ale mudah ma mudahan i Panjang hayat ko amang da panjang umur on Lopus ma tu jolo baya ni ari on Allahi ale taronang da baya boti onang Ile onang… baya onang (ini tak bisa diartikan dengan bahasa Indoneia) Angkutan yang hendak pergi ke Medan, Sewa ini pun yang akan naik dan turun, Kita pintalah kepada Tuhan kita, Selamat lah dan panjang umur, Setelah pulang kamu nak (pria/bayo pangoli) dari tapian itu, Di rumah adat lah kamu nak (pria/bayo pangoli) ditempatkan, Upa-upa (ritual dalam pelaksanaan pengangkat jiwa atau semangat “tondi” agar menetap dibadan) lah pada jiwa di badan, Agar menyatulah jiwa dan badan/raga, Janganlah jiwa mu berjauhan dengan badan/ragamu, Agar tetap berkumpul seia sekata dan berdekatan, Inilah nak (bayo pangoli) permintaan, Apabila terjatuh kamu nak (wanita/boru na ni oli) terpeleset, Berpeganglah kamu pada batang tebu, Menggendonglah kamu nak (boru na ni oli) memakai kain gendongan, Ada pula yang dipegang (dituntun), Agar ada oleh-oleh (keturunan), Itu lah nanti kepada keluarga mora (keluarga perempuan/boru na ni oli), Ya,, inilah perasaan harapan kami, Panjang hayat mu dan umurmu, Sampai kedepan harinya, Allaile le taronang da baya onang (ini tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia). Ile onang…. Baya onang… Marulak-ulak mambasu botohon on Majawek ma dirodang baya rodang i Marulak-ulak hata sidokonon i Hata boti ni onang baya onang i Ampe madung lalu ma cita-cita i Cita-cita le ni suhut baya bolon i

Page 73: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

67

Umpak si ucok le baya di anggunan i Sanga pe le di bagasan da anggunan i Inanta sorimapada on Na mandokon ale baga baya baga on Mula magodang le si baya da lian i Di baen do su gogo da ni roha i Manjalaki le rongkap da ni tondi na i Antong ale mudah ma mudahan i Ampot ale muda baya di na harnop on Tubu si jungkot baya di rubaen on Angan-angan muyu mada na joloan on I kobulkon Tuhan mada baya saon nari on Allai le taronang da baya boti onang Ile onang… baya onang (ini tak bisa diartikan dengan bahasa Indonesia) Berulang-ulang membasuh (bagian-bagiannya), Berwudhulah di rawa-rawa, Berulang-ulang disampaikan kata yang disampaikan, Kata yang ada di onang-onang, Sampailah waktu apa yang dicita-citakan, Cita-cita dari yang punya acara, Saat dia (bayo pangoli) dalam buaian, Atau didalam ayunan, Ibu dari si bayo pangoli, Yang melaksanakan niat yang sangat dibangga dan di idamkan, Kalau si bayo pangoli ini sudah besar, Kulakukan sekuat tenagaku (ku = ibu bayo pangoli), Mencari jodohnya, Ya… Beginilah perasaan kami, Mudah-mudahan ditanah yang subur, Tumbuhlah sijungkot (sijungkot adalah sayur yang mudah tumbuh tanpa ditanam), Angan-angan kalian lah ini dulunya, Dikabulkan Tuhanlah pada masa ini, Allaile le taronang da baya onang (ini tidak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia).

8.2 Euphoni teknik memperindah bunyi dalam teks onang-onang

Satu hal yang sangat lazim dalam penggarapan teks atau lirik lagu dalam berbagai kebudayaan musikal di dunia ialah penambahan, pengurangan atau penghilangan huruf (sillabel) dalam satu atau beberapa kalimat lagu tanpa mengubah arti dari lirik tersebut. Teknik seperti ini disebut euphony atau euphonious (sifat bunyi yang enak di dengar telinga) yaitu satu teknik yang bertujuan untuk mencapai efek musikal serta memberikan kesan yang ‘menyenangkan’ melalui penambahan maupun pengurangan huruf (sillabel) dalam teks atau dengan menambah atau menghilangkan sillabel pada sebuah kata.

Page 74: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

68

Euphoni pada lirik onang-onang (perkawinan Anwar dan Hanan)

Pola Baris/

Larik Euphony

(dinyanyikan) Seharusnya Arti kata (dalam Indonesia)

2 3 4 5

6 11 16 2 10 4 6 11 16,17,18 19 6 8 10 11 15

pama [da]pangidoan mudah [ma] mudahan diatia appe pa[mabaya]ngidoan ta dung pa[mabaya]ngidoan nta mudah [ma] mudahan madung umpak sori[ma]pada baga [baya] baga mudah [ma] mudahan

pangidoan mudah-mudahan di[h]atia [h]appe pangidoan [i]ta [ma]dung pangidoan [n]ita mudah-mudahan ma[n]dung [do]mpak soripada baga-baga mudah-mudahan

Permintaan Semoga Ketika Ternyata Permintaan Kita Setelah/sudah Permintaan Kita Semoga Sudah Saat/ketika Wanita yang dihormati Besarnya keinginan dan kasih sayang kepada si anak Semoga

8.3 Analisis hermeneutik isi teks onang-onang

Adapun maksud-maksud tertentu yang dalam penuturannya disampaikan secara hermeneutik (konotatif) adalah terkait erat dengan etika berbahasa bagi masyarakat Mandailing. Dalam etika berbicara bagi masyarakat ini, adalah hal yang tidak lazim apabila suatu maksud disampaikan secara langsung. Misalnya, dalam menyebut nama seseorang yang dihormati karena umur atau derajat kekerabatannya lebih tinggi, haruslah menggunakan unsur metaforik. Keluarga tuan rumah yang mengadakan upacara adat disebut dengan suhut, sebutan kepada ibu yang telah membesarkan atau pun sebutan kepada anak perempuan yang disayangi biasanya disebut dengan inang, sebutan kata amang yang seharusnya mengartikan ayah, namun dikonteks ini merupakan sebutan kepada anak laki-laki yang dikasihi, ibu yang telah membesarkan si anak laki-laki yang mengadakan upacara disebut dengan inanta soripada. Selain itu di dalam teks onang-onang ini, ditemukan pula kata-kata yang pengertiannya tergantung atau terikat kepada kata-kata atau kalimat sebelum dan sesudahnya (baya, ile, onang, taronang,) dalam artian bahwa kalimat tersebut baru mempunyai arti hanya apabila dikaitkan dengan kalimat di atasnya atau dengan kalimat berikutnya. Secara harafiah arti atau maksudnya baru muncul dan akan berubah-ubah sesuai kalimat yang mendahului dan didahuluinya.

8.4 Analisis semiotik onang-onang pada adat perkawinan di Panyabungan

Sebagai contoh dalam teks onang-onang seperti yang telah diuraikan di atas, kalimat “Ile onang…… baya onang….”. Secara harfiah kata ‘ile onang…. Baya onang..’ di atas tidaklah memiliki arti. Apa isi, maksud dan tujuan kata ini harus mengacu pada kalimat selanjutnya. Patut diduga bahwa teks ini merupakan titik awal dari ungkapan emosi jiwa penyajinya. Membawa pikirannya ke suasana selanjutnya, atau dengan kata lain bahwa kalimat tersebut merupakan awal dari ungkapan-ungkapan yang memberikan penguatan dari isi-isi berikutnya.

Marulak-ulak mambasu botohoni Manjawek ma di rodang baya rodangon Marulak-ulak hata sidokononi Hata boti ni onang baya onangon

Dari kalimat di atas, baris kalimat pertama dan kedua adalah tidak ada arti yang tersirat di dalamnya. Tapi setelah kalimat ketiga dan keempat barulah bisa dilihat apa hubungan dari kalimat sebelumnya. Kata botohoni adalah anggota badan yang diberkaitan dalam wudhu. Wajah, tangan, ubun-ubun kepala, kedua telinga, dan kedua kaki, saat berwudhu akan dilakukan secara berulang-ulang. Kata manjawek yang artinya berwudhu digunakan karena proses pada waktu berwudhu dilakukan berulang kali pada bagian-bagian tubuh. Dan isi dari onang-onang adalah berulang kali dikatakan seolah sama dengan apa yang dilakukan pada proses wudhu. Maka dari itu semiotik pada kata majawek adalah kata onang-onang yang juga dilakukan berulang-ulang ibarat melakukan wudhu yang berulang-ulang.

9. Transkripsi dan Analisis Musikal Teks Onang-onang

Berikut ini peneliti yang dibantu oleh Mario Sinaga (mahasiswa etnomusikologi Universitas Sumatera Utara) akan memulai melihat secara detail dan menganalisis lebih dalam setiap unsur-unsur yang ada di dalam Onang-onang yang dinyanyikan oleh Aspan Matondang dalam acara adat perkawinan Anwar dan Hanan. Sebagai langkah awal dalam rangkaian untuk menganalisis onang-onang penulis akan mulai menganalisis bentuk-bentuk dalam struktur lagu ini, yaitu frasa.

Page 75: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

69

Dalam Onang-onang ini penulis melihat hasil dari transkipsi yang telah dibuat atau digambarkan kedalam notasi balok, yaitu memiliki dua frasa :

Frasa A:

5 5 5 5 5 4 4 4 2 4 2 4 4 2 2 2

Frasa B:

2 2 2 3 2 3 4 4 4 4 4 3 4 3 4 2 4 3 4 3 2 2

9.1 Tangga nada

Tangga nada dalam musik barat dapat diartikan sebagai satu kumpulan not yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang telah ada (baku) sehingga memberikan karakter tertentu dalam onang-onang. Berikut adalah tangga nada dari onang-onang. Berdasarkan tangga nada yang dipakai dalam lagu onang-onang di atas, penulis melihat bahwa nada yang dipakai dalam onang-onang adalah Ges-As-Bes-Ces-Des-Es-F-Ges’.

9.2 Wilayah nada Wilayah nada dalam sebuah komposisi musik adalah jarak antara nada terendah dengan nada tertinggi yang ada

pada melodi tersebut. Untuk mempermudah peneliti dalam mendapatkan wilayah onang-onang, maka melodi onang-onang tersebut akan dimasukkan ke dalam garis paranada untuk dapat melihat dengan jelas susunan nada-nada yang ada pada lagu tersebut, dengan tujuan untuk mempermudah peneliti dalam melihat nada terendah dan tertinggi dalam lagu tersebut. Wilayah nada onang-onang dapat kita lihat pada gambar dibawah, berikut adalah wilayah nada dari yang terendah hingga tertinggi.

Dalam gambar diatas dapat dilihat pengguaan nada terendah dan tertinggi dalam onang-onang yaitu nada As sebagai nada terendah sedangkan nada Des sebagai nada tertinggi. Pada lagu onang-onang, peneliti menyimpulkan dari kutipan diatas bahwa bentuk melodi lagu Onang-onang adalah bentuk strofic dimana dalam lagu Onang-onang tersebut dinyanyikan dengan melodi yang sama namun teksnya bervariasi. 9.3 Kontur (Contour)

1. Ascending, yaitu garis melodi yang sifatnya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi. seperti tampak pada gambar dibawah:

2. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya turun dari nada yang tinggi ke nada yang rendah. seperti tampak pada gambar dibawah:

3. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari (a) nada yang rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke nada yang rendah atau dari (b) nada yang tinggi ke nada yang rendah, kemudian kembali ke nada yang tinggi. Seperti tampak pada gambar dibawah:

4. Statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap atau apabila gerakan-gerakn intervalnya terbatas. Seperti tampak pada gambar dibawah:

Page 76: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

70

9.4 Nada dasar

Bruno Nettl mengemukakan ada tujuh cara untuk menentukan nada dasar (pitch center/tonalitas). Pernyataan ketujuh disepakati peneliti untuk menjadi patokan nada dasar pada onang-onang yang berbunyi, “Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan diatas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik tampaknya adalah berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab dengan gaya musik tersebut akan dapat ditentukan tonalitas dari musik yang diteliti”.

10. Kesimpulan

a. Sebagai nyanyian adat, onang-onang bersifat narasi (narrative) sesuai dengan fungsinya untuk memberikan narasi bagi tor-tor.

b. Lirik onang-onang yang pada umumnya hanya diciptakan secara spontan oleh paronang-onang yang menyanyikan pada waktu mengiringi tor-tor, mengandung peran untuk sosialisasi (pendidikan) adat dalam masyarakat Mandailing. Lirik onang-onang tidak mempunyai struktur dan bentuk yang tetap, tetapi selalu berubah-ubah mengikuti jenis tor-tor yang diiringinya. Tetapi pola pada umumnya sama, sebab senantiasa tujuannya sama.

c. Aspek sastra merupakan unsur yang sangat penting dalam lirik onang-onang pada masa dahulu oleh karena itu penciptaan lirik onang-onang mengutamakan penggunaan ragam bahasa sastra yang disebut hata andung.

d. Bentuk musik pengiring nyanyian onang-onang ditentukan oleh jenis tor-tor yang diiringinya, dengan perkataan lain semua jenis musik gondang untuk tor-tor yang diiringi dengan onang-onang dapat dipergunakan sebagai musik pengiring bagi onang-onang.

e. Onang-onang sebagai nyanyian adat yang memiliki lirik hata andung adalah merupakan cermin pengalaman dan refleksi kehidupan dari panortor serta masyarakat tempat nyanyian ini hidup. Hal ini nyata terungkap melalui lirik maupun alunan melodi musiknya, yaitu tentang kehidupan pribadi panortor, kehidupannya, cita-citanya, harapannya, dan situasi sosial masyarakatnya.

f. Garapan melodi musiknya secara umum bentuknya adalah strofic, yaitu teks lagu yang selalu berubah-ubah se-suai ungkapan perasaan penyajinya, sedangkan melodi musiknya adalah tetap yang digarap dalam bentuk perulangan-perulangan (Inggris: repetitif). Karena itu nyanyian ini dapat dikatakan lebih menonjolkan isi atau pesan teksnya daripada aspek garapan melodisnya (logogenic).

g. Selain itu, pada nyanyian ini juga dipakai teknik eufonis (sifat bunyi yang enak didengar telinga) yaitu satu teknik yang bertujuan untuk mencapai efek musikal serta memberikan kesan yang ‘menyenangkan’ melalui penambahan maupun pengurangan huruf (sillabel) dalam teks atau dengan cara menghilangkan huruf pada sebuah kata.

h. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik tampaknya adalah berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab dengan gaya musik tersebut akan dapat ditentukan tonalitas dari musik yang diteliti. Dari kutipan diatas penulis melihat pernyataan ketujuh disepakati penulis untuk menjadi patokan nada dasar pada lagu onang-onang. Maka nada dasar onang-onang dalam tulisan ini adalah nada Fes.

Daftar Pustaka Alam, Ch, Sutan Tinggi Barani Perkasa. 1984. Seni Budaya Tradisional Daerah Tapanuli Selatan. Padangsidimpuan. Alam, Ch, Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam. 2013. Kesenian Daerah Tapanuli Bahagian Selatan Gondang Tor-tor Gordang

Sambilan Angkola-Sipirok Padang Lawas Mandailing. Medan: Mitra. Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Daulay, Ismail Rahmad. Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajaran pada UNP “Nilai-Nilai Edukatif dalam Lirik Nyanyian Onang-

Onang Pada Acara Pernikahan Suku Batak Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara”. Hanafiah, Ali. 1980. Parumpamaan di Hata Angkola-Mandailing. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek

Penerbitan Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah. Hartini, Sri, dkk. 2012. Fungsi dan Peran Gordang Sambilan Pada Masyarakat Mandailing. Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda

Aceh. Hopkins, Pandora. 1996. “The Purpose of Transcription.” Dalam Journal for the Society of Ethnomusicology. Ann Arbor Michigan. Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Lubis, H. Syahmerdan. 1997. Adat Hangoluan Mandailing. Medan. Tanpa penerbit. Maulana, Achmad, dkk. 2008. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Absolut. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evaston Ill: North-western University Press Naiborhu, Torang. 2002. Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora pada

Universitas Gadjah Mada “Ende-Ende Merkejemen: Nyanyian Ratap Penyedap Kemenyan Di Hutan Rimba Pakpak-Dairi Sumatera Utara Analisis Semiotik Teks dan Konteks”. Yogyakarta.

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Sumatera Utara: FORKALA. Nattiez, Jean Jaques. 1990. Music and Discourse. Toward a Semiology of Music. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Page 77: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

71

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York. Nettl, Bruno. 1983. The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts. Urbana, Illinois, Chicago, London: University

of Illinois Press. Parinduri, Mhd. Bakhsan. 2009. Kamus Bahasa Mandailing. Medan: Penerbit Anggora. Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan Natolu. Bandung: Grafiti. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Edisi

Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya). Ratih, Rina . 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR Sadie, Stanley. 1980. The New Grove’s Dictionary of Music and Musicians. London, New York: Macmillan Publisher Limited. Scholes, Robert. 1974. Structuralism in Literature. New Heaven and London: Yale University Press. Seeger, Charles. 1958. “Prescriptive and Descriptive Music Writing.” Musical Quarterly . Singer, Robert L. 1978. “Philosophical Approach to Transcription.” Dalam Discourse in Ethnomusicology: Essays in Honor of

George List. Indiana University Archieve. Stein, Leon. 1962. Structure & Style : The Study and Analysis of Musical Froms Summy: Birchard Music. Soedarsono, R.M. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI. Supanggah, R. (ed.). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Bentang Budaya. Tarigan, Henry Guntur. 1995. Pengajaran Semantik (Bandung: Angkasa). Taufiq, Wildan. 2016. Semiotika Untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an. Bandung: YRAMA WIDYA Van Gennep, Arnold. 1960. The Rites Of Passage. London: The University of Chicago. Daftar Narasumber

1. Hasanul Arifin Nasution (Gelar Patuan Mandailing/ Raja Panusunan Kota Siantar). 2. Erwin Syahputra Nasution (Gelar Mangaraja Gunung Pandapotan). 3. Fakhrur Rozi (Gelar Sutan Kumala di Aceh). 4. Long Nasution (Gelar Mangaraja Soangkupon). 5. Parlaungan (Gelar Sutan Borotan). 6. Onggara Lubis (Gelar Mangaraja Lubis). 7. Aspan Matondang (Paronang-onang dari Desa Habincaran Kota Nopan). 8. Ridwan Nasution (Paronang-onang / Pargondang di Kota Medan).

Page 78: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

72

TARI INAI PADA UPACARA MALAM BERINAI MASYARAKAT MELAYU DI KOTA BINJAI: ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA

Suci Purnanda

Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstract

This research discusses about Inai Dance At Night Ceremony Berinai Malay Community In The City Of Binjai: Analyzed Structure And Meaning. The focus of this research, the author has analyzed two aspects of Inai Dance at berInai night ceremony in the context of the Malay traditional wedding ceremony in the city of Binjai. These two aspects are: (1). The structure of Inai Dance, dan (2). The meaning of Inai Dance inside the culture of Malay people in Binjai city. Thus the main purpose of this study was to analyze the structure of Inai Dance, and to analyze the meaning of the range of motion in this Inai Dance, which is referred to berinai night ceremony in the context of the Malay traditional wedding ceremony in the city of Binjai. In This study, the writer used qualitative interpretative methods, which is applied four critical theories, namely: Structure Dance Theory, Music Theory, Semiotic Theory and Signifying Theory. The result from this analysis is to show the structure of Inai Dance consist of some aspects, those are the motion that consist of opening, content, and closing movement and has elevent range of motion which taken from the motion of silat. Silat is a martial art in the Malay culture. Starts with free pattern, and then divided inti pair pattern, circle pattern, and the last was four direction pattern. The pattern concept of Inai Dance is free and varied. Musical accompaniment for Inai Dance used ensemble composed of violin and accordion with the melody, plus two ronggeng drum that consit of the main and sub drums with rentak music. The song dan rentak that used patam-patam. The meaning of Inai Dance is to keep the bride from supernatural disturbance that come from human or supernatural creature and the all of dance motions are to teach the process of the journey of life and event in the world to all society proponent.

Keywords: marriage, dance, Inai, structure, meaning.

1. Pendahuluan

Binjai adalah salah satu kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Binjai merupakan daerah pertanian dan juga dikenal dengan wilayah peternakannya yang cukup luas. Komoditas andalan Kotamadya Binjai adalah rambutan, dan dikenal sebagai penghasil rambutan terbesar di Sumatera Utara. Selain itu kawasan ini juga memiliki kemajuan yang cukup pesat pada sektor perekonomian, hal ini disebabkan penduduk Binjai yang semakin bertambah setiap tahunnya. Seperti terlihat dengan banyaknya industri yang berdiri di daerah ini, sehingga memberikan dampak terhadap penduduk di sekitarnya. Selain itu, wilayah Binjai juga terkenal dengan seni budayanya. Masyarakat Melayu di Binjai memiliki berbagai bentuk kesenian, yang memiliki fungsi di dalam kehidupan mereka. Diantara bentuk-bentuk kesenian Melayu tersebut adalah : Barzanji dan Marhaban, Pantun, Hadrah, Rinjis-rinjis dan Anak Ikan, Tari Serampang Dua Belas, Tari Persembahan, Tari Zapin atau Gambus, Tari Inai, Ronggeng, dan lain-lain.

Berdasarkan keseluruhan bentuk kesenian yang ada tersebut, diantaranya memiliki fungsi di dalam upacara pernikahan (perkawinan), terutama Tari Inai, tari persembahan, dan silat. Upacara pernikahan dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Kota Binjai di dalam pelaksanaannya berlandaskan kepada tata cara adat Melayu dan agama Islam. Dalam hal ini masyarakat Melayu mempunyai konsep dasar yaitu adat bersendikan syarak (hukum Islam), dan syarak bersendikan kitabullah (Al-Qur’an). Untuk diketahui, adat istiadat persandingan Melayu pada asalnya tertib dan rumit dilaksanakan. Kehalusan estetika bangsa jelas terlihat di dalam pelaksanaan adat tersebut. Adat istiadat persandingan Melayu harus mengikuti protokol halus kekeluargaan, seni yang tertib beradat dan kaya budayanya.

Berdasarkan kesejarahan, seni pertunjukan Melayu dimulai dari masa Animisme, Hindu, Budha, Islam, dan pengaruh budaya barat. Dalam proses perkembangannya, pengaruh Islam mendominasi budaya Melayu sejak abad 14, sehingga agama Islam menjadi dasar dari semua aktifitas budaya. Masyarakat Melayu menjadikan seni pertunjukan berhubungan antara satu daerah dengan daerah lain yang berbudaya Melayu, seperti bentuk-bentuk seni musik dan seni tari. Bentuk-bentuk seni yang ada seperti, kesenian zapin, penggunaan rentak dalam klasifikasi seni musik yaitu senandung, joget, mak inang, lagu dua, zapin, dan lain sebagainya.

Page 79: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

73

Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota Binjai, yang dilakukan pada acara malam berinai. Dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu, pada umumnya malam berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajangnya untuk terakhir kali. Tari Inai pada Masyarakat Melayu Kota Binjai dapat dikatakan sebagai pelengkap upacara adat oleh golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik saja. Sebab jika Tari Inai atau upacara malam berinai tidak diadakan, maka keesokan harinya upacara pernikahan akan tetap dapat dilangsungkan.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji dua aspek dari Tari Inai, yaitu struktur tari dan hubungan musik iringan, serta kajian terhadap makna gerak Tari Inai dalam kebudayaan Melayu di Kota Binjai, Provinsi Sumatera Utara. Struktur gerak akan difokuskan terhadap deskripsi gerak tari yang meliputi ragam gerak, hitungan dan siklus, pola lantai, busana, properti tari, dan hal-hal sejenis. Kemudian untuk musik iringan meliputi alat-alat musik yang digunakan di dalam Tari Inai. Untuk makna akan difokuskan kepada bagaimana Tari Inai menyumbangkan perannya di dalam kehidupan masyarakat Melayu di Kota Binjai.

Tari Inai memiliki pergerakan kaki dan juga tangan yang terbilang sulit dipahami dibandingkan dengan beberapa tarian Melayu lainnya. Dalam pergerakan tarian ini terus berkelanjutan di dalam sebuah lingkaran yang dilakukan terus menerus. Dalam hal ini, Tari Inai mempunyai beberapa gerakan yang merupakan gabungan dari tarian yang terdapat dalam beberapa gerakan bunga silat. Gerakan seperti silat dan posisi duduk akrobatik yang dikenal dengan nama meliuk, dimana para penari membungkukkan badannya kedepan atau merebahkan badan ke belakang. Pada pelaksanaan Tari Inai saat ini, penari biasanya di persembahkan oleh dua orang penari laki-laki berjumlah genap dan bisa lebih dari dua penari, yaitu empat penari, maupun enam penari yang menggunakan properti piring dan dulang sebagai alas. Hal ini disebabkan dalam penyajiannya, Tari Inai diawali dengan melakukan gerakan silat yang bersifat refleks dan saling berlawanan dengan mengisi gerakan dan ruangan yang kosong antara penari yang satu dengan penari yang lainnya, untuk itu diperlukan pasangan agar dapat melakukan gerakan tersebut. Namun terlebih dahulu, para penari akan memberikan sembah penghormatan kepada calon pengantin. Kemudian dilanjutkan dari posisi depan, dengan melakukan tarian penghormatan ke empat arah yang menandai dimulainya urutan ragam gerak tari. Tari Inai juga menggunakan istilah-istilah gerak tertentu yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan terciptalah gerakan-gerakan variatif sesuai ide para penari. Gerakan yang terdapat pada Tari Inai ialah merupakan kombinasi dari bentuk gerak olah tubuh berdasarkan gerak-gerak hewan atau kejadian-kejadian alam, sehingga gerakannya hampir menyerupai gerakan jurus-jurus yang terdapat di beberapa perguruan silat.

Sedangkan alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi Tari Inai ini adalah sebuah biola dan sebuah akordion yang berfungsi sebagai pembawa melodi, satu atau dua buah gendang Melayu (gendang ronggeng), dan sebuah gong. Rentak musik yang disajikan berdasarkan irama musik silat seperti yang telah diketahui bahwa musik dari Melayu Kota Binjai yang selalu digunakan adalah musik Melayu yang berirama dan bertajuk patam-patam. Namun dari hasil pengamatan di lapangan, alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tari hiburan Melayu adalah sebuah biola, sebuah akordion, sebuah gendang ronggeng, dan keyboard. Sedangkan alat musik untuk mengiringi Tari Inai adalah dua buah gendang ronggeng yaitu gendang induk dan gendang anak sebagai rentak atau tempo, sebuah akordion dan satu buah biola sebagai pembawa melodi. Hal itu dipengaruhi karena adanya perubahan dalam penggunaan alat musik, akan tetapi musik dalam penyajian Tari Inai tetap menggunakan tempo patam-patam.

Busana yang digunakan oleh penari Inai adalah busana adat Melayu dengan memakai tutup kepala seperti peci atau ikat kepala, mengenakan baju Gunting Cina atau baju Kecak Musang dan celana panjang longgar, kemudian memakai sesamping yaitu kain sarung atau songket yang dibentuk segitiga atau sejajar dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut. Properti yang digunakan pada tarian berfungsi sebagai pelengkap saja atau juga sebagai alat pendukung gerak tari tersebut. Properti yang digunakan pada Tari Inai suku Melayu di Kota Binjai, penari menggunakan piring dan lilin yang sudah dinyalakan, serta Inai yang sudah ditumbuk mengelilingi lilin. Masing-masing penari memegang dua buah piring untuk tangan kanan dan tangan kiri.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan Tari Inai dalam setiap upacara adat Melayu telah mengalami pergeseran. Dahulu tari ini penting digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu, terutama pada waktu acara malam berinai, namun dalam penerapan di masa sekarang hanya sebagai salah satu

Page 80: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

74

pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Disesuaikan juga dengan tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan. Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Melayu semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana, namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan.

Berdasarkan penelitian ini penulis akan memperhatikan pertunjukan Tari Inai dalam upacara malam berinai pada upacara perkawinan adat masyarakat Melayu di Kota Binjai. Adapun aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam penulisan ini adalah bagaimana struktur tari, hubungan musik iringan, dan makna dalam penyajiannya pada upacara malam berinai masyarakat Melayu di Kota Binjai? Gerak-gerak yang bagaimanakah yang diekspresikan penari Inai ini, apa saja istilah-istilah dan maknanya menurut para penari Melayu? Kemudian di dalam penyajian Tari Inai digunakan musik pengiring. Selanjutnya bagaimanakah proses penyajian Tari Inai tersebut? 2. Konsep

Bagi masyarakat Melayu, tari menjadi sebuah kegiatan untuk mengungkapkan keinginan dan ekspresi mereka, dalam berbagai acara yang bertujuan menyampaikan kehendak sesuai keinginan dan harapan. Bentuk-bentuk tari yang dipertunjukkan disesuaikan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Beragam jenis tari dengan berbagai pola penggarapan, mereka pertunjukkan dengan memunculkan masing-masing ciri khas dari ke Melayuan. Ciri-ciri dalam karya tari tersebut adalah tetap mempertahankan norma-norma adat dalam penciptaannya, dengan Islam sebagai panduan bagi mereka. Dengan kata lain Islam sebagai agama yang dianut dan norma adat Melayu menjadi dasar dalam tari-tari Melayu, baik dalam tari tradisi maupun tari-tari kreasi. Hal ini dikarenakan pada masa lalu pusat-pusat pemerintahan atau kerajaan-kerajaan Melayu, hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, yang menyebabkan terpengaruhnya kesenian yang mereka miliki dengan masyarakatnya para pendatang yang juga membawa kebudayaannya. Selain itu suku Melayu juga dulunya ahli berdagang, yang juga memberikan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Disini kita bisa melihatnya pada bentuk-bentuk kesenian seperti kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Sinar, 1982:3).

Seperti penjelasan diatas, melalui pendapat T. Luckman Sinar (1982:5-12), jenis-jenis tari Melayu dapat dibagi dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot) atau biasa disebut juga dengan tari “tari ahoi”. Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Gobuk, yang ditarikan dengan membawa mayang dari pohon kelapa, dengan gerak buai (mengayunkan mayang seperti menidurkan anak), kemudian penari berjalan di atas gobuk (kendi) berjumlah 7 atau 9 buah. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “malam berinai besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semi religius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasulullah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu zapin. Keempat, kelompok tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-patam, dan tari Persembahan. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai”.

Dengan melihat posisinya sebagai tari yang memiliki arti melindungi calon pengantin dan tuan rumah dari hal-hal yang mengganggu jalannya upacara pernikahan. Maka Tari Inai sebagai topik dalam penelitian ini, merupakan tari yang masuk dalam 4 kelompok tari diatas yaitu sebagai kelompok tari perang. Hal ini berkaitan dengan upacara pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Melayu sebagai gabungan dua faktor yang saling melengkapi, yaitu aspek syari’at sebagaimana yang diajarkan di dalam agama Islam dan aspek adat. Setiap upacara pernikahan dalam budaya Melayu melibatkan adat-istiadat dan agama yang akan dilakukan secara tertib dan berurutan dari awal sampai akhir.

Page 81: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

75

Dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu, pada umumnya yang melaksanakan acara malam berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajang untuk terakhir kalinya. Kegiatan upacara berinai ini biasanya disertai dengan Tari Inai dan musik iringannya. Tari Inai dalam kebudayaan Melayu sangat berkaitan erat dengan upacara pernikahan terutama di saat malam berinai. Diawali dengan penampilan Tari Inai, kemudian pengantin wanita dipasangkan Inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orangtuanya, keluarga, dan teman-teman dekatnya.

Berbicara mengenai struktur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana bagian-bagian yang berhubungan antara satu dengan yang lain, atau bagaimana menyatukan bagian-bagian tersebut. Dalam konteks struktur Tari Inai, yang akan di diskusikan dalam tulisan ini adalah bagaimana mendeskripsikan gerak yang ada, demikian juga halnya dengan pola lantai, serta properti dan busana yang digunakan, hal-hal yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan.

Sedangkan tari itu sendiri merupakan komunikasi nonverbal yang lebih banyak menonjolkan gerak yang memiliki makna. Gerak tersebut dikomunikasikan dengan penonton sehingga penonton tidak bisa secara langsung memahami apa yang menjadi tujuan gerak. Gerak hanya perlambang dalam komunikasi. Hal ini dikatakan oleh Liliweri (2002:178) bahwa komunikasi nonverbal merupakan komunikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, dan kontak mata. Sebagai contoh dalam Tari Inai, seorang pemain kalau tidak hati-hati atau terlalu sombong, akan mendapat hukuman, yaitu dapat terjatuh pada saat melakukan gerakan ataupun menjatuhkan properti sehingga tidak mampu hadir kembali di arena Tari Inai. Gerak yang tidak menyentuh lawan juga merupakan simbol. Akan tetapi, gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan menyerang dan bertahan seperti halnya silat biasa. Namun, dalam Tari Inai gerak itu hanya dari jarak jauh dan ini merupakan fakta nyata, dan termasuk dalam dicent-indexical-sinsign (sebuah gerak yang muncul dan memerlukan penjelasan atas gerak tersebut dalam Tari Inai). 3. Landasan Teori

Untuk mengkaji struktur dan memecahkan permasalahan makna yang terkandung di dalam simbol-simbol estetik dan fenomena budaya yang terdapat pada kesatuan pertunjukan Tari Inai, penulis berpedoman pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu teori yang akan digunakan untuk menganalisis struktur, mendeskripsikan gerak Tari Inai, hubungan musik iringan, dan makna Tari Inai.

Dalam meneliti struktur Tari Inai, penulis akan menganalisis dan mendeskripsikan bagaimana gerakan-gerakan yang terdapat dalam Tari Inai. Menurut Djelantik, penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama. Ditambah dengan penyesuaian ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, semuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (1990:23). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara perkawinan masyarakat Melayu. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelaku dan penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna sendiri. Landasan teori ini akan difungsikan untuk mempertajam analisis dan untuk mengembangkan kepekaan atas fenomena di dalam eksistensi Tari Inai dalam kesatuan seni upacara malam berinai.

Pengkajian semiotika di bidang estetis mencakup semua jenis seni, yaitu seni bangunan, teater, lukis, pahat, ukir, patung, seni rupa, seni sastra, seni suara, musik, tari, arsitektur, interior, batik, dan sebagainya (Santosa, 1993:20). Teori semiotika digunakan untuk melihat dampak dan makna dinamika Tari Inai pada masyarakat Kota Binjai. Pembahasan penelitian ini diarahkan pada rumusan masalah ketiga, yaitu apakah dampak dan makna relasi dalam dinamika Tari Inai pada masyarakat Kota Binjai, Sumatera Utara.

Sebuah simbol atau kumpulan simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Konsep adalah makna yang disepakati bersama diantara pelaku komunikasi, makna yang disepakati bersama adalah makna denotatif, sedangkan konotasi merupakan gambaran atau makna pribadi (Langer, 1951:34). Dengan mengacu pada teori yang telah dikemukakan diatas, maka untuk mengkaji makna tari dalam pertunjukan Tari Inai, penulis menitik beratkan pada teori semiotik

Page 82: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

76

yang dikemukakan oleh Suzzane K. Langer, dengan membagi menjadi dua simbol. Tari Inai akan dapat dilihat menggunakan makna diskursif dan makna presentasional melalui penjelasan makna yang tergandung di dalam gerakan tari tersebut.

Di sisi lain, Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda tetapi dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah merupakan rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (Wimbrayardi, 1988:13-14). Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo. Musik merupakan audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak didalam ruang dan waktu (Sachs, 1993:1-4 dan Blacking 1974:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya.

Untuk mendeskripsikan musik iringan Tari Inai dan menganalisis hubungan musik pengiring dengan gerak Tari Inai, dalam hal ini penulis akan menggunakan teori Nettl (1964:98) yang memberikan dua pendekatan yaitu : 1). Kita dapat menguraikan dan menganalisis apa yang kita dengar, 2). Kita dapat menulis apa yang kita dengar tersebut diatas kertas dan kita dapat mendeskripsikan apa yang kita lihat tersebut. Kemudian penulis akan menggambarkan musiknya secara sederhana melalui tabel bersama gerak tari yang telah dideskripsikan, dan diharapkan dapat mewakili hubungan Tari Inai dan musik pengiring tersebut.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2011:2). Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, metode kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiyono, 2011:7,8,9).

Dijelaskan secara deskriptif, ialah data yang dikumpulkan bukanlah angka-angka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan dengan penamaan kualitatif (Djajasudarma, 1993:15).

Proses memperoleh data atau informasi pada setiap tahapan (deskripsi, reduksi dan seleksi) tersebut dilakukan secara sirkuler, berulang-ulang dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Setelah peneliti memasuki obyek penelitian atau sering disebut sebagai situasi sosial (yang terdiri atas, tempat, pelaku/orang-orang, dan aktivitas), peneliti berfikir apa yang akan ditanyakan.

1. Setelah berfikir sehingga menemukan apa yang akan ditanyakan, maka peneliti selanjutnya bertanya pada orang-orang yang dijumpai pada tempat tersebut.

2. Setelah pertanyaan diberi jawaban, peneliti akan menganalisis apakah jawaban yang diberikan itu betul atau tidak.

3. Kalau jawaban atas pertanyaan dirasa benar, maka dibuatlah kesimpulan. (Sugiyono, 2011:20). Untuk meneliti Tari Inai pada upacara malam berinai masyarakat Melayu di Kota Binjai, penulis

menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Miller (1990:3), yang mengatakan “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : 1). tahap sebelum ke lapangan, 2). pekerjaan lapangan, 3). analisis data, dan 4). penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.

Page 83: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

77

5. Gambaran Umum Masyarakat Melayu di Kota Binjai Menurut Tengku Lah Husni, Orang Melayu adalah kelompok yang menyatukan diri dalam ikatan

perkawinan antar suku, dan selanjutnya memakai adat resam serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari (Husni, 1957:7). Selanjutnya Husni menyebutkan lagi bahwa, orang Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan turunan campuran antara orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir Sumatera Timur dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis dan Arab yang selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar : Islam, beradat, berbudaya, berturai dan berilmu (Husni, 1975:100). Berturai adalah mempunyai susunan-susunan sosial dan berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan di antara individu.

Pelzer (1985:18-19) menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di Sumatera Timur tersebut diperkirakan sebagai keturunan dari para migrant dari berbagai daerah kebudayaan seperti : Semenanjung Melaka, Jambi, Palembang, Jawa, Minangkabau, Bugis, yang telah menetap dan bercampur di wilayah setempat. Percampuran dan adaptasi Melayu dalam pengertian sebagai kelompok etnik dangan kelompok etnik lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera, semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Demikian dapat disimpulkan bahwa orang Melayu terdiri dari berbagai macam asal-usul sehingga membentuk suatu kelompok atau masyarakat yang mendiami daerah pesisir dan daerah sepanjang sungai hilir, mereka hidup didaerah maritim dan kelangsungan hidupnya sangat erat berkaitan dengan lingkungan alam di laut maupun pesisir.

Begitu juga pada daerah penelitian penulis yakni di Kota Binjai terletak di dataran rendah, yang dominan menggunakan adat-istiadat Melayu, Kota Binjai terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain : Melayu, Karo, Jawa, Tionghoa, Nias, Batak Toba, dan yang lain-lain pada umumnya memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Usman Pelly (1990:84) bahwa suku bangsa lain yang menetap di Binjai terbagi (1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu, dengan alasan bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Binjai, (2) suku pendatang antara lain: suku Jawa, suku Karo, suku Nias, suku Tionghoa, suku Batak Toba, suku Simalungun, suku Pakpak-Dairi, suku pesisir Sibolga, dan suku Mandailing.

Seperti halnya dengan suku Melayu di Sumatera Utara, yang menyebar di wilayah pesisir pantai Timur, seperti Tanjung Balai, Asahan, Langkat, Serdang Bedagai, Binjai, dan Kota Medan. Bahwa mereka menjadi Melayu dikarenakan menjalankan budaya yang sama, adat yang sama dengan berpedoman pada Islam sebagai agama yang mayoritas dianut. Suku Melayu di Kota Binjai pun mempunyai resam dan adat tradisi yang turun temurun dengan memiliki nilai-nilai agama Islam.

Masyarakat Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Meski demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua masyarakat Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini termasuk masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan tradisi (animisme dan dinamisme).

Dalam kehidupan suku Melayu, upacara adat menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dan sering dilaksanakan oleh masyarakat Melayu. Hal ini selalu berkaitan dengan mata pencaharian hidup masyarakatnya, adat istiadat, dan agama serta kepercayaan suku Melayu. Seperti dalam hal perikanan, upacara biasanya dilakukan ketika hendak ke laut, dengan melakukan kenduri. Bertujuan untuk mengharapkan hasil yang didapat akan berlimpah dan terhindar dari gangguan makhluk gaib penunggu laut. Dalam hal pertanian juga dilakukan kegiatan yang dilakukan setelah panen padi, upacara ini bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur atas hasil yang telah didapatkan. Selain beberapa upacara tersebut, upacara perkawinan juga merupakan peristiwa penting yang dilakukan dengan berbagai proses tahapan dari meminang hingga perkawinan dilangsungkan.

Selain itu, ada pula kebiasaan suku Melayu yang bahkan sudah menjadi adat, yaitu salah satu adat-istiadat suku bangsa Melayu yang sangat penting adalah upacara tepung tawar. Upacara ini biasanya dilakukan pada kejadian penting, seperti perkawinan, pertunangan, sunatan, atau jika seseorang kembali dengan selamat dari sesuatu perjalanan atau terlepas dari bahaya. Tepung tawar juga dilakukan apabila seseorang mendapatkan rezeki tidak terduga sebelumnya. Tepung tawar ini dilakukan dengan pengharapan seseorang itu akan tetap selamat dan bahagia. Dalam adat istiadat Melayu, tepung tawar memiliki arti menghapuskan atau membuang segala penyakit. Sumber lain menyebutkan tepung tawar

Page 84: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

78

dilakukan sebagai perlambangan mencurahkan rasa kegembiraan dan sebagai rasa syukur atas keberhasilan, hajat, acara atau niat yang akan atau yang telah dapat dilaksanakan, baik terhadap benda bergerak (manusia) maupun benda mati (yang tidak bergerak).

Sedangkan pada sistem kekerabatan dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara berdasarkan pada pihak bapak maupun ibu, dan masing masing-masing anak wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian, garis keturunan ditentukan berdasarkan pada sistem patrilineal atau garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Namun, dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patrilineal, yaitu berdasarkan garis keturunan ayah.

Selain itu masyarakat Melayu di Kota Binjai juga memiliki berbagai genre kesenian, yang difungsikan di dalam kehidupan mereka. Kesenian-kesenian ini hidup dan berkembang terus sampai sekarang, diantaranya seperti: Barzanji dan Marhaban, Pantun, Hadrah, Rinjis-rinjis dan Anak Ikan, Tari Serampang Dua Belas, Tari Persembahan, Tari Zapin atau Gambus, Tari Inai, Ronggeng, dan lain-lain. 6. Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu di Kota Binjai

Jika dilihat secara sosial, budaya, maupun agama tujuan perkawinan adalah untuk menjaga struktur sosial, terutama kekerabatan dalam kelompok etnik atau yang lebih besar adalah seluruh kelompok manusia di dunia. Dengan demikian, melalui perkawinan ini, maka akan terjaga hubungan kekerabatan yang berakar dari hubungan darah. Institusi perkawinan ini akan menjaga eksistensi dan istilah kekerabatan seperti: ayah, ibu, nini, moyang, anak, cucu, cicit, piut, dan seterusnya. Begitu pentingnya institusi perkawinan ini dalam kebudayaan Melayu, sehingga diatur oleh adat Melayu, secara rinci, berlapis-lapis, namun menjadi identitas yang khas. Sebagai contoh hubungan kekerabatan karena faktor perkawinan ini menjadikan dirinya yang berasal dari etnis lain dapat dikatakan masuk menjadi Melayu karena faktor perkawinan.

Namun demikian, selaras dengan konsep adat yang dipakai dalam kebudayaan Melayu yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, maka adat perkawinan Melayu juga mengacu kepada ajaran Islam mengenai perkawinan. Terapannya dalam kebudayaan Melayu, selain menggunakan konsep perkawinan dalam Islam, juga diselaraskan dengan budaya Melayu, yang membedakan upacara perkawinan ini dengan negeri-negeri Islam di seluruh dunia.

Perkawinan dalam perspektif adat Melayu merupakan salah satu masa dalam siklus kehidupan setiap manusia yang bernilai religius dan budaya. Apabila dibandingkan dengan fase kehidupan yang lainnya, maka perkawinan dapat dikatakan sangat khas dan dipandang sebagai peristiwa yang sangat khusus. Perhatian kultural berbagai pihak yang berkepentingan dengan acara (istiadat) perkawinan ini, akan banyak tertumpu kepadanya. Di antaranya adalah mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai dilaksanakan.

Penjelasan mengenai tahap-tahap, terminologi dan ciri khas perkawinan etnis Melayu, akan dijelaskan pada bab ini khususnya yang berada dalam wilayah kebudayaan melayu Sumatera Utara. Pada kebudayaan etnis Melayu dikawasan Kota Binjai ini, biasanya berjalan secara konseptual dan praktik, atas persetujuan keluarga dari kedua belah pihak calon pengantin. Biasanya pernikahan akan dilakukan jika masing-masing calon pengantin sudah dewasa dan akil baligh. Ini berarti seorang pria dan wanita dapat dinikahkan oleh tuan kadi apabila telah dewasa (akil baligh menurut hukum Islam).

Pembagian upacara perkawinan Melayu merupakan salah satu bagian penting yang menyertai serangkaian upacara pernikahan menurut adat budaya Melayu. Rangkaian upacara dan adat istiadat perkawinan Melayu yang biasanya dilalui oleh sepasang mempelai pengantin sebelum, selama, dan setelah pernikahan meliputi:

1. Merisik melalui Penghulu Telangkai (merisik kecil, merisik resmi) 2. Meminang (ikat janji, tukar tanda) 3. Jamu Sukut 4. Mengantar Bunga Sirih. 5. Malam Berinai (berinai curi, berinai kecil, berinai besar) 6. Akad Nikah 7. Berandam dan mandi berhias 8. Bersanding (tepung tawar, nasi berhadap-hadapan) 9. Mandi berdimbar 10. Meminjam pengantin.

Page 85: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

79

Diantara rangkaian upacara adat istiadat perkawinan Melayu diatas, maka acara berinai merupakan perhelatan yang memiliki makna dan tujuan untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan diri, dan melindungi calon pengantin dari hal-hal yang tidak baik. Bentuk kegiatannya bermacam-macam dengan tujuan mempersiapkan calon pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Hal yang paling dikenal dalam upacara ini biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dilakukan. Disamping itu tujuannya juga untuk memperindah calon pengantin agar terlihat lebih bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga.

Upacara berinai diadakan sehari sebelum pelaksanaan akad nikah di rumah pengantin perempuan dan dihadiri oleh famili dan teman-teman terdekat dari calon pengantin. Ada tiga upacara berinai yaitu berinai curi, berinai kecil dan berinai besar. Adapun pelaksanaan malam berinai yang dilakukan oleh pihak laki-laki hanya tepung tawar oleh keluarga dan teman-temannya saja, sedangkan malam berinai yang dilakukan oleh pihak perempuan ialah serangkaian acara sakral malam berinai diawali dengan kenduri arwah (mendoakan leluhur), bersalaman kepada kedua orangtua (memohon restu) sebelum calon pengantin wanita duduk diatas pelaminan, kemudian dilanjutkan oleh acara hiburan dan kemudian Tari Inai ditampilkan sebagai pelengkap kesakralan dan menandakan dimulainya upacara malam berinai tersebut.

Biasanya malam berinai dilakukan selama 3 malam berturut-turut yakni : Malam berinai pertama disebut Malam Inai Curi ialah pengantin yang diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia tidur sehingga tidak ketahuan. Pada pelaksanaan malam berinai ini sebelumnya disepakati terlebih dahulu oleh teman-teman dari calon pengantin secara diam-diam, agar acara ini dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah diatur dan tidak diketahui sama sekali oleh calon pengantin. Malam kedua disebut malam Inai kecil, pengantin wanita dihiasi, didandani dan didudukkan di atas pelaminan. Dalam pelaksanaan malam berinai ini, sebelumnya telah mengundang dan melibatkan sanak keluarga, tetangga, dan kerabat seperti; saudara ayah atau saudara ibu baik laki-laki maupun perempuan, untuk menghadiri acara tersebut serta meminta mereka untuk ikut menepungtawari calon pengantin. Lalu dilanjutkan dengan malam Inai besar, pada saat pengantin duduk di pelaminan inilah Tari Inai dan kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat, hadrah, gambus, dan ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan acara tersebut. Namun Tari Inai ditampilkan terlebih dahulu sebelum tarian Melayu lainnya, kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya terlebih dahulu oleh kedua orangtuanya, lalu kemudian dilanjutkan dengan keluarga, yang secara berurutan terdiri dari : datu, nini, abah, emak, akak, uwak, uda, uwak ulung, uwak ngah, uwak alang, uwak utih, uwak andak, uwak uda, uwak ucu, dan yang terakhir adik serta teman-teman dekatnya. Setelah semua acara selesai dan pada saat pengantin wanita dipasangkan inai inilah yang sebenarnya disebut berinai besar. Tetapi kini malam berinai hanya dilakukan satu malam dan acara sakralnya diadakan dirumah pihak perempuan saja karena faktor dana dan waktu yang kurang mendukung. Sehingga, malam berinai yang dilakukan hanya malam berinai besar saja yang dihadiri seluruh keluarga dan kerabat pihak perempuan.

Tari Inai merupakan salah satu upacara adat masyarakat Melayu di Kota Binjai yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Jika Tari Inai atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan harinya akan tetap berlangsung. Kesenian Tari Inai adalah merupakan seni pertunjukan yang melibatkan tari dan musik. Dahulu, malam berinai dilakukan dalam waktu yang bersamaan oleh pasangan calon pengantin. Hanya saja secara teknis dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan dilakukan di rumahnya sendiri, begitu pula dirumah pengantin laki-laki. Namun, kini hanya dilakukan di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin pria tidak dilakukan upacara malam berinai. Akan tetapi inai akan dihantar dari rumah pengantin perempuan kerumah si calon pengantin laki-laki. Kemudian menurut adat diadakan tepung tawar dan dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekat calon pengantin laki-laki.

Rentak musik yang disajikan berdasarkan irama musik silat seperti yang telah diketahui bahwa musik dari Melayu Kota Binjai yang selalu digunakan adalah musik Melayu yang berirama dan bertajuk patam-patam. Gendang patam-patam merupakan sebuah istilah musikal dalam kebudayaan musik Karo. Selain pada kebudayaan musik Karo, istilah patam-patam ini juga dapat ditemukan dalam kebudayaan musik Melayu. Seperti pada awal mulanya judul musik ini terkenal di wilayah Melayu khususnya daerah Melayu Asahan. Sedangkan pada masyarakat Karo, patam-patam merupakan judul sebuah komposisi

Page 86: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

80

instrumental musik tradisional. Komposisi yang dimaksud tersebut adalah melodi dan juga ritem yang dihasilkan dari permainan gendang lima sendalanen.

Dari hasil pengamatan dilapangan, alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi Tari Inai ini adalah sebuah biola, akordion, gendang ronggeng dan keyboard. Hal itu dipengaruhi karena adanya perubahan dalam penggunaan alat musik, akan tetapi musik dalam penyajian Tari Inai hingga saat ini masih tetap menggunakan rentak patam-patam. 7. Analisis Struktur Tari Inai

Menurut Budiman (1999:111-112), strukturalisme adalah sebuah cara berfikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur, yaitu di dalamnya akan menitik beratkan pada usaha mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Penjelasan struktural berusaha untuk mengidentifikasi dan menyusun unit-unit dalam sebuah sistem untuk menemukan hubungan atau pola yang lebih mendalam dan mendasar dari suatu kejadian atau serangkaian kejadian. Penjelasan berusaha untuk menyelidiki fenomena yang mendasar aturan-aturan, prinsip-prinsip, atau konvensi yang menghasilkan makna permukaan.

Fenomena Tari Inai merupakan dialektika antara teks pertunjukan dan penonton. Apabila kaidah dialektis itu diformulasikan, terlebih dahulu harus diketahui dan dijelaskan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh penonton; peneliti harus mengetahui apakah penonton diharuskan melihat apa yang di lihat atau penonton diberikan suatu kebebasan dan peneliti harus menempatkan persepsi dalam urutan utama.

Pendekatan strukturalisme ala Budiman, dalam penelitian ini di gunakan untuk memahami berbagai macam teks yang dapat dibaca pada Tari Inai dalam kesatuan pertunjukan malam berinai di Kota Binjai. Struktur Tari Inai adalah sejumlah unsur yang secara sistematik saling membuat ikatan satu dengan yang lain, yaitu : (1). Ritual, di dalamnya terdapat bagian peralatan atau properti, perilaku dan mantra atau doa; (2). Koreografi, meliputi tampilan, formasi (pola lantai), hingga busana; (3). Deskripsi struktur ragam gerak tari, meliputi istilah-istilah atau penyebutan nama ragam gerak; (5). Musik pengiring, terdiri dari bentuk gendang sebagai pengatur tempo, biola sebagai pembawa melodi.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soedarsono (1975:75) bahwa bentuk sebuah pertunjukan dapat dilihat dari keseluruhan elemen-elemen yang terdapat dalam tari tersebut. Adapun elemen-elemen yang dimaksud adalah gerak, musik, kostum, perlengkapan, pola lantai, penari, dan tempat pertunjukan. Keseluruhan elemen-elemen tersebut merupakan satu kesatuan struktur.

Begitu pula analisis struktural dalam Tari Inai ini adalah penyajian yang tidak terlepas dari segala unsur-unsur utama tari, baik itu gerak dasar tarian, susunan tarian, pola lantai, serta unsur-unsur pelengkap tari, yaitu penggunaan properti dan pengenaan busana tradisional Melayu. 7.1 Struktur ritual dalam Tari Inai

Pertunjukan Tari Inai yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat di wilayah Kota Binjai, di dalam setiap pergelarannya tidak lepas dari aspek ritual. Sampai saat ini, para pendukung pertunjukan ini baik penari, pawang, pemusik, maupun penonton adalah orang Melayu.

Dalam hal ini, pawang sebagai pusat kosmos dalam Tari Inai pada setiap pergelarannya selalu mengadakan upacara ritual, baik di awal, di pertengahan, maupun di akhir pertunjukan. Pawang mengadakan ritual dengan kelengkapan ritual dan properti yang akan digunakan. Dalam kaitannya dengan seluruh pertunjukan, ritul ini merupakan permohonan selamat kepada Tuhan dengan mengajak semua mahkluk penghuni desa baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, untuk bersama-sama menikmati pertunjukan Tari Inai. Permohonan selamat ini ditujukan khususnya untuk yang punya hajad sekeluarga yaitu terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik atau saudara kandung dari calon mempelai, para pembantu hajadan seperti sanak keluarga baik dari pihak ayah ataupun ibu, para penari, pemusik, pembawa acara, petugas lampu, sound sistem, dekorator, dan lain-lain, juga para tamu dan penonton/masyarakat desa sekitarnya.

Pada saat melaksanakan ritual ini, hal pertama yang dilakukan oleh pawang adalah menghadapi semua peralatan tari berupa seluruh properti yang hendak dimainkan. Yang terdiri dari piring, inai yang telah ditumbuk, dan juga lilin. Kemudian ia membaca doa sambil membakar lilin. Tujuan lilin tersebut dinyalakan adalah untuk menunjukkan bahwa lilin memiliki makna penerangan yang artinya senantiasa mampu menerangi pasangan calon pengantin dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang akan

Page 87: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

81

dihadapi kedepan, serta memberikan tuntunan kepada keseluruhan pihak yang terlibat terutama pemilik hajad hingga acara berakhir.

Perilaku di atas membuktikan bahwa di dalam mengawali dan melakukan pertunjukan, senantiasa dilakukan ritual yang berfungsi untuk mensucikan diri agar di dalam melakukan pergelaran didasari dengan ketulusan hati, ikhlas tanpa pamrih, kecuali berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, sesungguhnya manusia melakukan kesenian adalah usaha mendekatkan diri kepadaNya, dengan kata lain adalah berdoa. Penjelasan tersebut memberikan penegasan bahwa di dalam kesenian tradisional tidak akan terlepas dari unsur ritual. Bahkan dari perangkat yang paling kecil pun diberikan norma-norma tertentu dan norma-norma tersebut sesungguhnya visualisasi dari ritual.

Dengan demikian fungsi pertunjukan Tari Inai, selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan kehidupan manusia dalam “berhubungan” dengan alam nyata maupun alam gaib. Berhubungan dengan alam nyata adalah perilaku yang dilaksanakan dalam kehidupan di dunia, yang selalu berhubungan antara diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan sesama manusia, dengan lingkungan sekitar, seperti binatang, tumbuhan, air, tanah, api, udara, dan lain sebagainya (ekosistem). Sedangkan hubungan dengan alam gaib, yaitu melakukan hubungan antara dirinya dengan yang dipertuhan/yang dipercaya (sesuatu yang menguasai dirinya) yang tak kasat mata. Membina hubungan dengan alam nyata, dapat dilakukan secara visual yang dapat diukur, seperti sopan santun, ramah tamah, dermawan, dan sebagainya. Sedangkan membina hubungan dengan alam gaib, hanya dapat dilakukan melalui hubungan transcedental, yaitu dengan melakukan perilaku yang bersifat transenden, seperti puasa, amalan, dan upacara ritual.

7.2 Deskripsi Gerak Tari Inai

Pertunjukan Tari Inai bukanlah satu-satunya pertunjukan dalam konteks upacara perkawinan adat Melayu.Pertunjukan ini hanya merupakan salah satu bahagian saja dari berbagai seni pertunjukan dalam satu rangkaian upacara adat perkawinan Melayu secara lengkap. Ketika calon pengantin wanita telah duduk di pelaminan inilah Tari Inai dan kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat, dedeng (gurindam), hadrah, gambus, ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan acara tersebut.

Menurut persepsi masyarakat Melayu, pada zaman dulu Inai diartikan sebagai penambah tenaga jasmani dan rohani yang memakainya serta menolak bala atau musibah, terutama bahaya yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk halus yang jahat. Sejalan dengan informasi yang dikemukakan oleh Zulkarnaini, Tari Inai ditampilkan di depan pelaminan, gunanya untuk menghormati calon pengantin, memberikan perlindungan dan menambah kekuatan serta ketahanan fisik maupun batin (menurut konsep religi animisme Melayu, sebelum masuknya Islam). Dalam sistem kosmologinya, etnik Melayu pada umumnya percaya bahwa penyakit pertama kali datang dari ujung kaki dan tangan, maka pada bahagian inilah Inai ditempelkan.

Setelah masuknya Islam, kegunaan Tari Inai untuk menjaga calon pengantin berangsur-angsur tidak lagi dipercayai. Setelah masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu, dan dijadikan sebagai pandangan hidup berupa adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, maka kegunaaan Tari Inai adalah sebagai hiburan yang mengandung nilai-nilai estetis dan ekspresi ritual, sebagai salah satu identitas budaya Melayu dalam aktivitas perkawinan. Sedangkan fungsinya, dapat saja sebagai pengabsahan pengantin secara adat, meneruskan generasi, pengintegrasian masyarakat, perlambangan, pengungkapan esetetis, emosi jasmani, dan lainnya. Setelah selesainya upacara malam berinai ini, maka pada malam tersebut diselenggarakan juga hiburan dengan pertunjukan musik dan tarian Melayu lainnya, seperti hadrah, burdah, rodat, ronggeng, dan lain-lain. Ini semua dilakukan di rumah pihak calon mempelai perempuan. Setelah semua terlaksana maka keesokan harinya dilaksanakan upacara akad nikah.

Djelantik (1990:23) mengemukakan bahwa penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari, ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi. Koreografi ini memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Dikarenakan dalam penyajian tarian Inai ini secara umum menggunakan gerakan-gerakan yang merupakan kombinasi dari gerak-gerak hewan atau kejadian-kejadian alam. Sebahagian gerakannya diambil dari gerak-gerak variatif pencak silat, yang merupakan olahraga beladiri tradisional khas Melayu.

Sehingga dapat diartikan gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis

Page 88: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

82

serta mengandung makna-makna tersendiri. Dengan demikian struktur disini adalah bagian-bagian yang melengkapi Tari Inai dalam pertunjukannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapan-tahapannya. Struktur gerak Tari Inai memiliki 11 (sebelas) ragam (kalimat gerak), letaknya dari awal tarian hingga keluarnya penari dari ruangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Almahdi pada tanggal 17 maret 2017, menjelaskan tentang arti dari ragam yang berjumlah 11 bahwa angka tersebut merupakan angka yang dianggap sangat disukai oleh makhluk gaib penunggu alam, karena setiap angka ganjil seperti 3,5,7,9,11 akan mampu mendatangkan para makhluk gaib tersebut, sehingga mampu mendorong potensi manusia untuk menembus batas spiritual, kegelapan, misteri, dan berakhir pada pencerahan. Hal ini didukung oleh pendapat Rosman Lubis (2001) yang menulis tentang keajaiban angka 11 dalam Al-Quran. Penjelasan dengan cara menghitung nilai numerik dari lafadz Allah yang memiliki unsur bilangan 11, selain itu kalimat Al-Asma’ul Husna juga terdiri dari 11 huruf Arab.

Jika ditinjau dari konsep dasar Melayu yang berazaskan agama Islam, maka hal ini dapat diterima dan dipercayai oleh masyarakat Melayu sebagai aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta mengandung makna tersendiri. Keterikatan antara adat Melayu dengan Islam tercermin dalam ungkapan “adat bersendikan syarak (hukum Islam), syarak bersendikan kitabullah (Alquran)”. Salah satu fungsi adat dalam adat Melayu adalah untuk menjaga syariat Islam, yang berarti adatlah yang menjaga hukum (syariat). Dalam menjalankan kegiatan adat, suku Melayu tetap berlandaskan pada ajaran Islam, hal-hal yang mengenai peraturan adat disesuaikan dengan aturan-aturan dalam Islam. Selain itu, mereka juga taat dalam menjalankan kewajiban yang diajarkan dalam Islam.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Tari Inai diawali dengan melakukan gerak penghormatan kepada calon pengantin dan para tamu undangan. Kemudian melakukan gerak silat Melayu yang variatif. Kedua penari yang saling bertarung menggunakan jurus yang berbeda-beda pula. Gerakan silat yang dilakukan tersebut dikenal dengan istilah tangkapan yaitu dipukul, ditangkis, dan dijatuhkan. Dipukul berarti melakukan penyerangan, ditangkis merupakan perlawanan pada saat mendapat serangan, dan dijatuhkan berarti sudah dapat melumpuhkan lawan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga gerakan ini memiliki arti bahwa dalam menghadapi masalah hendaklah kita memiliki cara agar dapat mempertahankan diri dari hal-hal yang dapat menganggu kehidupan kita dimanapun berada. Dilanjutkan dengan bagian isi yang ditandai melakukan ke sebelas ragam gerak tari secara berurutan. Pada bagian akhir ditutup dengan sembah penghormatan kepada calon mempelai.

Ragam-ragam gerak ini merupakan simbol sifat-sifat manusia dewasa yang sudah mampu merasakan segala sesuatu yang di dapatkan. Cita-citanya adalah hidup dengan gembira, maka selalu berusaha untuk mencapainya. Meski demikian, usaha tersebut tidak selamanya berjalan dengan mulus. Maka harus dilalui dengan segala kenikmatan dan kesengsaraan yang sudah dialami. Jika bekal untuk kembali kepadaNya sudah siap dan merasa cukup, maka ia selalu ingin mempercepat menemuiNya. Hal ini diperkuat dengan pandangan menyatunya dua kutup yang bertentangan, yakni langit dan bumi sudah menjadi satu kesatuan, artinya tidak ada tinggi dan rendah, tidak ada baik dan buruk, dan sebagainya, maka tinggal satu kesatuan antara makhluk dan penciptanya, yaitu yang ditandai dengan sembah penutup (terakhir), setelah itu berjalan menuju “tujuan akhir” kehidupan. Dengan demikian seluruh struktur gerak Tari Inai menggambarkan perjalanan dan perilaku kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Pernik-pernik yang ada di dalamnya merupakan isi dan dinamika yang harus dijalani atau bahkan harus ditinggal. 8. Analisis Makna Tari Inai

Tari Inai di Kota Binjai merupakan fenomena sosial yang memiliki kaitan dengan masyarakat pendukungnya. Tarian ini dipahami sebagai sebuah cermin interaksi dinamis pada masyarakat pendukungnya, yaitu simbol yang menghantarkan pembentukan makna dalam realitas kehidupan sehari-hari di alam nyata (dunia nyata).

Jika dilihat berdasarkan teori Langer yang digunakan untuk mengkaji makna dalam ragam gerak Tari Inai, maka dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Simbol Diskursif : merupakan makna pembagian dalam gerakan Tari Inai ini, contohnya seperti gerakan buaya melintang tasik, ular todung meniti riak, berokik melintas batas, dan setiap gerakan lainnya memiliki makna tersendiri dalam tarian ini. Bahkan simbol hewan yang terdapat dalam tarian ini pun memiliki arti, contohnya seperti elang yang secara umum berhubungan dengan ha-hal yang bersifat spiritual, posisi atau kedudukan yang tinggi dan semangat pantang menyerah yang terus menyala. Kemudian ular yang memiliki keterbatasan fisik namun tidak menghalangi gerakan lincahnya sehingga ular dianggap sebagai lambang keuletan, kekuatan, kesederhanaan, dan kebijaksanaan. Dengan demikian,

Page 89: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni, Nomor 12

83

yang masuk menjadi makna diskursif dan juga memiliki makna sebagai aturan yang telah di sepakati bersama dalam tarian ini, contohnya seperti; gerakan sembah dan memberikan piring yang berisikan inai kepada calon pengantin, gerakan ini merupakan kesepakatan bersama yang harus dilaksanakan dan merupakan kewajiban sebagai simbol dalam tarian ini.

2. Simbol Presentasional : dalam Tari Inai memiliki makna secara keseluruhan yang menggunakan simbol ini dalam mengartikannya menjadi suatu pesan yang ingin disampaikan, tidak terbagi-bagi seperti simbol diskursif diatas. Maka dari itu, penggunaan simbol presentasional digunakan untuk mengetahui makna secara keseluruhan dalam Tari Inai yang digelar secara hakiki bukan sekedar untuk ditonton, sebagai pengisi waktu dalam menanti persiapan acara pernikahan, tetapi merupakan konsep yang dipersiapkan secara matang untuk disampaikan kepada pengamat (bagai guru memberikan petuah kepada murid-murid) yang berfungsi sebagai pencerahan hidup dan kehidupan. Hal ini dapat dipahami karena hampir seluruh peristiwa yang terjadi dalam kesatuan tampilan tarian ini memiliki makna tentang ajaran budi pekerti. Konsep tersebut dapat dilihat melalui relasi unsur-unsur dari struktur Tari Inai dalam kesatuan pertunjukan pada malam berinai. 9. Kesimpulan

Melalui kajian-kajian yang telah dilakukan, berupa serangkaian pngumpulan data dan menganalisisnya, maka penelitian ini menghasilkan beberapa temuan yang perlu mendapatkan kesimpulan. Kesimpulan ini adalah jawaban dari dua pokok permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu : stuktur gerak Tari Inai dan makna gerak Tari Inai. Susunan kesebelas gerak Tari Inai merupakan pengembangan dari gerakan silat dan menggunakan istilah-istilah gerak tertentu yang akan mengalami perubahan sesuai ide kreatif para penari. Umumnya penari Inai berjumlah genap atau berpasangan misalnya 2 (dua) penari, 4 (empat) penari, maupun 6 (enam) penari yang menggunakan properti piring. Atraksi Putar Piring merupakan atraksi penari melakukan gerak memutar piring dalam posisi berguling. Penari melakukan proses kayang, atraksi ini juga adalah atraksi yang sangat unik dan selalu digemari oleh penonton karena atraksi ini juga mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Penari juga harus memperhatikan bagian tubuhnya, jika tidak memperhatikan kemungkinan akan mengakibatkan terbakarnya baju dari penari tersebut.

Musik iringan Tari Inai dibawakan oleh satu ensambel musik yang terdiri dari: satu biola, satu akordion, dan dua buah gendang ronggeng Melayu. Biola dan akordion berfungsi membawakan melodi, sedangkan gendang ronggeng membawakan irama atau rentak di dalam budaya musik Melayu. Melodi dan rentak musik iringan untuk Tari Inai disebut dengan rentak patam-patam. Dalam Tari Inai musik iringan sangatlah penting, agar tari dapat dinikmati secara keseluruhan dengan baik. Karena pada dasarnya musik sebagai pembentuk suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak dalam tari ini.

Tari Inai pada kesatuan acara malam berinai, merupakan seni pertunjukan tradisional yang memiliki ciri-ciri; bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan yang hadir sebagai kelengkapan upacara religi, dan menyiratkan ajaran moral, ajaran agama dan tujuan hidup yang intinya memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian yang hadir (penonton) juga merupakan bagian dari acara tersebut, yang membutuhkan tuntunan melalui simbol-simbol yang diungkapkan dalam pertunjukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seni tradisional pada dasarnya adalah sarana mengungkap petuah dari guru (tampilan seni pertunjukan dari berbagai aspek) kepada muridnya (penonton). Sedangkan untuk pemilihan waktu tidak sembarangan, tetapi dipilih waktu yang paling baik, diantara menjelang malam hingga tepat tengah malam.

Bentuk atau wujud yang tampak secara visual tersebut bukan sekedar memenuhi kebutuhan estetika atau ritual semata, akan tetapi merupakan simbol-simbol yang menyimpan makna mendalam berkaitan dengan perilaku kehidupan manusia. Segala atribut visual (termasuk istilah, perilaku, masa/waktu) yang tampak dalam peristiwa pertunjukan tersebut merupakan simbol-simbol yang harus dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Simbol-simbol tersebut berfungsi ganda yaitu; sebagai petanda peristiwa/kejadian di dalamnya termasuk permohonan/doa yang diungkapkan melalui upacara ritual sebelum dan saat pertunjukan berlangsung, dan sebagai penanda peristiwa yang memiliki makna dari simbol-simbol visual yang sekaligus berfungsi sebagai penuntun bagi pengamatnya. Dengan demikian Tari Inai bukan hanya sekedar tari hiburan untuk menanti persiapan di gelarnya acara pernikahan namun

Page 90: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

84

sekaligus merupakan tuntunan yang perlu direnungkan dan direfleksikan pada kehidupan sehari-hari agar sampai pada tujuan hidup.

Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, Heddy Shri.2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Aini, Syarifah, 2013. Tari Inai Dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis : Deskripsi Gerak, Musik

Iringan, dan Fungsi. Skripsi: Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara. Asmita, Linda. 1994. Studi Deskriptif Musik Inai dalam Konteks Upacara Perkawinan Melayu di Desa Batang Kuis dan Desa

Nagur, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).

Ayu, Yarita, Dian. 2016. Analisis Semiotika Dalam Ragam Gerak Tari Sigeh Penguten, Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS. Djelantik, 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Effendy, Tenas, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta : Balai Kajian dan Pengembangan

Budaya Melayu dan Penerbit Adicita. Febriyanti, Sukman, Fifie. 2014. Makna Simbolik Tari PAOLLE Dalam Upacara Adat Akkawaru Di Kecamatan Gantarangkeke,

Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan, tesis: Program Penciptaan dan Pengkajian Seni Pasca Sarjana, Institut Seni Yogyakarta.

Husni, Tengku, Lah, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Husni, Tengku, Lah, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan : B. P. Lah Husni.

Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2006. Seni dalam Ritual Agama.Yogyakarta: Pustaka. Hadi, Sumandiyo, Y, Prof. Dr. 2007. Kajian Tari, Teks dan Konteks.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Koentjaraningrat. (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Schribner’s Sons. Marlina, Maru, Dewi, 2005. Pergeseran Fungsi dan Simbol Tari Inai di Kota Medan, Skripsi: Sendratasik, Universitas Negeri

Medan. Merriam, Alan P., 1964. The Antropology of Music. Chicago Nortwestem University. Nettl, Bruno, 1992. “Etnomusicoloy : Some Definitions, Problems and Directions.” Music and Many Cultures : An Introduction.

Elizabeth May (ed.) California : University California Press. Sinar, Tengku, Luckman, 1985. Kesenian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu. Makalah Seminar Keserasian

Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan. Sinar, Tengku, Luckman, 1994. Jatidiri Melayu. Medan : Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia. Takari, Muhammad, Zaidan dan Fadlin. 2014. Adat Perkawinan Melayu Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya. Medan :

Universitas Sumatera Utara Press.

Page 91: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

85

LANDEK DALAM UPACARA ADAT NGAMPEKEN TULAN-TULAN

ANALISIS STRUKTUR, FUNGSI DAN MAKNA PADA MASYARAKAT KARO DI DESA TIGA JUHAR

Nadra Akbar Manalu

Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

Email : [email protected]

Abstract The aim of this research is to analyze the structure, function, and meaning of landek in traditional ceremony ngampeken tulan-tulan of Karo society. On the writing, there are some theories used that related to the research. Such as structure theory, function theory, and meaning theory. Timing of the research based on the traditional ceremony implementation. The place is Tiga Juhar village, Sinembah Tanjung Muda districts, Deli Serdang. Population and sample of this research are every person that involved in traditional ceremony of ngampeken tulan-tulan. Data collection technique is including observation, interview, literature study, documentation, and analyze by descriptive qualitative method.Based on the research, ngampeken tulan-Tulan that means in Bahasa mengangkat tulang (raise bones), is a traditional ceremony that still exist in Karo Society. It is for giving the last respect to parents who died and build up geriten (monument or special building to keep the bones and skull). Landek in ngampeken tulan-tulan has a role to deliver meaning in the ceremony process by the dance movement and express the feeling of grieving families to patient and not dissolved in sadness. Landek as a non verbal communication in Ngampeken Tulan-Tulan can be seen in the structure and the form of performances. To analyze the function of landek individually and socially as a communication media and cultural continuity. The meaning and process of landek while dancing that involving the system of family in Karo society called sangkep nggeluh. Sangkep nggeluh has their own task and duty based on tradition. The symbol of landekis as a deliver meaning in ngampeken tulan-tulan, where sukut, kalimbubu, and anak beru dancing (landek) following the rhythm of music and accompanied by poetry (pengapul) from perkolong-kolong Keywords : ceremony, landek, structure, function, meaning

1. Pendahuluan

Batak Karo sebagai salah satu dari suku Batak yang berada di Kabupaten Karo terletak di daerah datara tinggi, dikelilingi pegunungan dengan ketinggian 140-1400 meter diatas permukaan laut. Terhampar di antara Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 20500 LU, 30190 LS, 970550-980380 BT (Tarigan, 2008:3). Kabupaten Karo tanahnya subur, memiliki hawa pegunungan yang sejuk, sehingga memungkinkan untuk menjadi lahan pertanian, yang akhirnya menjadi mata pencaharian utama masyarakat Karo. Selain daerah yang sejuk, masyarakat Karo memiliki kesenian yang turun-menurun masih dilestarikan hingga sekarang. Kesenian yang dilestarikan menjadi ciri khas yang identik dari masyarakat Karo. Suku asli Karo tidak hanya menepati wilayah kependudukan di Kabupaten Karo tetapi meluas hingga ke wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Menurut Tarigan (2011:5) pada masa pemerintahan Belanda yang menjalankan kekuasaan di daerah tanah Karo mulai pada tahun 1911, suku Karo terbagi menjadi dua wilayah yaitu Karo Gugung (gunung) dan Karo Jahe (hilir). Pemerintah Belanda menjalankan penetapan batas-batas administrasi pemerintahnya sejalan dengan siasat politik Devide Et Impera yang ingin memecahkan suku Karo. Politik tersebut memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Batas administrasi wilayah terbagai menjadi wilayah Karo Langkat, Karo Deli & serdang (saat ini Deli Serdang) dan Tanah Tinggi Karo (Kabanjahe). Batasan-batasan wilayah tersebut menyebabkan penyebaran masyarakat Karo setiap wilayahnya. Hingga saat ini wilayah tersebut hampir didominasi oleh suku Karo, seperti yang menetap di derah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Hal ini dapat diperjelas bahwa Karo gugung menunjukan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi atau di daerah pegunungan, sedangkan Karo jahe menunjukan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang mendiami wilayah hilir atau dataran rendah.

Suku asli penghuni Kabupaten Deli Serdang adalah suku Melayu, Karo, dan Simalungun. Suku pendatang yang menempati wilayah ini yaitu suku Jawa, Batak Toba, Minang, Banjar, Mandailing, Angkola dan lain sebagainya. Suku Karo hampir mendominasi wilayah di Kabupaten Deli Serdang. Secara adat istiadat masyarakat Karo gugung atau Karo jahe tidak memiliki perbedaan satu sama lain,

Page 92: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

86

hanya karena perbedaan letak geografis antara dua kelompok suku Karo, terjadilah perbedaan dari dialek atau gaya berbicara dan masyarakat Karo gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo jahe lebih banyak mengalami alkuturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama dengan etnik Melayu. Dalam berkesenian kedua wilayah tersebut juga tidak memiliki perbedaan yang berkaitan dengan adat istiadat, termasuk upacara adat pesta perkawinan atau upacara kematian seperti upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Kebudayaan yang dimiliki suku Karo sampai saat ini masih tetap dijaga dan dilestarikan dalam aktifitas sehari-hari, seperti kegiatan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Upacara ini masih dilaksanakan di wilayah Karo jahe, dengan tetap berpijak pada aturan-aturan yang berlaku secara turun temurun. Salah satu desa yang masih melaksanakannya adalah Desa Tiga Juhar yang berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Deli Serdang. Desa ini masih melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan dan kesenian Karo lainnya dengan baik. Membahas kesenian pada masyarakat Karo memiliki keberagaman diantaranya tari, musik dan seni rupa dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka menjadikan kesenian sebagai upaya dalam mewujudkan keinginan, penghormatan pada yang diyakininya termasuk didalamnnya adalah seni tari. Secara umum tari pada masyarakat Karo disebut dengan landek. (Tarigan, 2008:123) menyatakan dalam budaya Karo, penyajian landek erat hubungan dengan kontekstual kegiatan yang dilaksanakan. Dengan perkataan lain, keberadaan landek ditentukan konteks dari penyajiannya/acara.

Konteks penyajian landek pada masyarakat Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu konteks penyajian dalam kepercayaan, konteks penyajian dalam hiburan dan konteks penyajian dalam adat (Tarigan, 2008:123). Oleh karena adanya perbedaan konteks penyajian, maka dalam pengelompokan tari Karo dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu tari kepercayaan, tari hiburan, dan tari adat.

Landek adalah seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling terhubung melalui pola dan gagasan musik. Landek pada masyarakat Karo menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan duka (Prinst, 2004:145). Hal tersebut dapat dipertegas oleh pernyataan Danis, Ginting (2015:283) tari memiliki lima fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi yang memiliki nilai estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan dan mengisahkan suatu cerita. Kedua, tarian dapat mejadi bagian ritual dan berfungsi komunal. Ketiga, tari dapat menjadi bentuk reaksi dan memenuhi berbagai kebutuhan fisik, psikologis dan sosial atau hanya sekedar sebuah pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam fungsi sosial. Kelima, orang menari sebagai cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan dan vitalitas mereka. Fungsi tari dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada gerak landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Menurut Petrus Tarigan (wawancara 20 April 2017) landek masih dipertahankan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sampai saat ini dan landek masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Karo sebagai pengungkapan perasaan suka cita yang dituangkan melalui gerak landek. Upacara adat ngampeken tulan-tulan awalnya dimulai dari proses penggalian kuburan, selanjutnya kerangka tulang-tulang manusia yang sudah meninggal (tengkorak) diangkat, kemudian dicuci dengan air dan selanjutnya dibersihkan dengan lau penguras atau perasan jeruk purut. Kerangka/tulang-tulang yang sudah dibersihkan, disusun kembali kedalam peti dengan dilapisi kain putih. Penyusunan dimulai dari tengkorak kepala, karena jika tidak ditemukannya tengkorak kepala dari kuburan yang digali (dibongkar), maka upacara adat ngampeken tulan-tulan tidak dapat dilaksanakan. Setelah tengkorak kepala, dilanjutkan kerangka tulang yang lainnya yang melengkapi dari seluruh kerangka tubuh manusia. Tengkorak yang telah tersusun kedalam peti kemudian diusung oleh pihak kalimbubu, sukut dan anak beru untuk dimasukkan kedalam tugu atau geriten yang telah dibangun oleh pihak sukut. Upacara adat ngampeken tulan-tulan ini masih dipercayai dan masih dilaksanakan sebagai acara adat masyarakat Karo. Ngampeken tulan–tulan yang dalam bahasa Indonesia adalah mengangkat tulang, suatu upacara adat yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo tujuannya memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal atau membangun geriten sebagai simbol penghormatan.

Dahulunya geriten merupakan bangunan tradisional yang beratapkan ijuk memiliki empat buah tiang dengan ukuran ±4x4. Saat ini geriten mengalami perubahan bentuk, perubahannya dapat dilihat dari bangunan yang sudah menggunakan bahan semen atau keramik. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fungsi atau tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan. Perubahan terjadi akibat pengaruh modrenisme dan perubahan kepercayaan masyarakat Karo terhadap keyakinan beragamanya.

Page 93: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

87

Keberandaan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini memiliki peranan menyampaikan maksud dalam proses upacara adat melalui gerak tari. Hal tersebut bertujuan untuk menyampaikan maksud isi hati keluarga yang sedang berduka agar sabar untuk tidak terlarut dalam kesedihan. Kehadiran landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dimaksud untuk membuat acara lebih meriah dan keluarga kembali dalam suasana suka cita. Sebagai tari upacara atau ritual adat, pelaksanaan landek biasanya terkait dengan sistem kekerabatan masyarakat Karo yang dikenal dengan istilah sangkep nggeluh. Gerak landek yang dilakukan oleh sangkep nggeluh dan rangkaian upacara ini sebagai media komunikasi untuk menyampaikan tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan. Bagaimana keterkaitan tersebut merupakan suatu kajian yang menarik untuk dibahas dan dijadikan tulisan ilmiah. Melihat hal tersebut maka penulis memilih topik kajian yang akan difokuskan pada “Struktur, Fungsi dan Makna Landek Dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan Pada Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar”. 2. Konsep

Konsep merupakan salah satu unsur dari sebuah penelitian. Pengertian konsep adalah unsur penelitian yang penting dan merupakan defenisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan suatu abstrak, suatu fenomena atau fenomenon alami (Effendi, 1982:7). Dalam pelaksanaan landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan terdapat struktur yang memiliki fungsi dan terdapat makna dalam setiap gerakannya. Menurut A.R Radcliffe-Brown (2007:68) struktur didefinisikan sebagai satuan tata hubungan di antara entitas (satuan berwujud) yang ada. Struktur juga dapat menunjukan tatahubungan antara bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Dalam penulisan ini struktur dapat dilihat dalam pembagian proses pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan dari awal hingga akhir yang berhubungan antara satu dengan yang lain berkaitan dengan landek. Proses upacara adat ngampeken tulan-tulan terbagi tiga tahapan yaitu proses perencanaan, pelaksanaan dan penutupan.

Dalam pelaksanaan upacara struktur landek memiliki makna, menurut Innis (1985:10) dalam pemancaran pesan melibatkan semua bentuk perlakuan dan konteks pewujudannya. Makna digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Penyampai pesan akan memilih lambang-lambang atau tanda tertentu dan disusun secara sistematis untuk mewujudkan makna tertentu, karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna bersifat subyektif. Tari mengirimkan tanda-tanda yang dimilikinya juga dengan perkakas bunyi. Jadi, Landek merupakan media komunikasi penyampai pesan melalui gerak yang memiliki makna disetiap prosesnya. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan bertujuan untuk menghantarkan maksud dari proses upacara yang dituangkan melalui gerak berasal dari apa yang dirasakan oleh anggota keluarga dan masyarakat dan diiringi dengan musik sesuai dengan susunan upacara yang ditetapkan oleh adat suku Karo.

Tari yang dalam bahasa Karo adalah landek merupakan salah satu kesenian pada masyarakat Karo. Tari merupakan cabang seni dari salah satu warisan budaya yang dikembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan daerah setempatnya. Menurut Soedarsono (1976:12) tari memiliki beberapa fungsi sosial yaitu sebagai penunjang berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti dalam upacara, kehidupan, siklus kepercayaan, hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia. Fungsi stimulan yakni memberi dorongan sebagai emosi secara individual maupun secara kelompok. Selanjutnya menurut Yulianti (1975:28) tari sebagai fungsi komunikasi yakni hubungan manusia dengan lingkungan dan dalam masa lampau dengan kekuatan penguasaan yang dilaksanakan. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan berfungsi sebagai tari upacara media penyampai pesan dituangkan melalui gerak landek. Dasar dari gerak landek terbagi menjadi tiga yaitu ndek merupakan gerak naik turun dan pondasi kekuatan kaki dilutut. Pengodak merupakan singkronisai antara gerak dan musik atau kelompok. Selanjutnya tanlempir adalah gerak tangan yang lentik dan lembut. Pada hakekatnya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan tari religi dari masyarakat Karo yang menganut kepercayaan Pemena, dengan melakukan kegiatan upacara yang berhubungan dengan arwah (begu). Landek sebagai media komunikasi yang berfungsi menyampaikan tujuan dari pelaksanaan upacara kepada arwah (begu), melalui gerak landek diikuti iringan gendang lima sendalanen dan perkolong-kolong sebagai bentuk permohonan, meminta keselamatan dan berkat dalam pelaksanaan upacara ngampeken tulan-tulan agar dapat terlaksana dengan lancar. Saat ini upacara adat ngempeken tulan-tulan tidak lagi sebagai upacara religi tetapi sebagai upacara adat yang bertujuan

Page 94: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

88

memberi penghormatan dalam sistem kekerabatan. Landek dalam upacara adat tetap dalam konteks sebagai media komunikasi yang dilakukan oleh sangkep nggeluh.

Menurut Prinst (2004:145), landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan duka. Pengertian landek juga dikutip dari Sembiring (2012:9), bahwa landek merupakan dasar pemikiran masyarakat Karo dalam menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Menurut Perangin-angin (wawancara 20 April 2017) landek merupakan seni gerak dalam tradisional tari Karo. Gerak-gerak tersebut ada yang melambangkan kesedihan, kegembiraan. Landek merupakan perlambangan dalam budaya Karo yang artinya dapat diartikan sendiri oleh penari-penari berdasarkan gerak dasar Karo.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa landek merupakan sebuah gerak dari kegiatan masyarakat Karo untuk menyampaikan maksud tertentu disampaikan lewat gerak tari. Landek yang terdapat dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dapat diamati keterkaitannya dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan, yang di dalamnya terdapat struktur, fungsi dan makna yang berhubungan dengan sistem kekerabatan dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan. Menurut Ali (1998:7) Upacara adat merupakan sebuah tanda-tanda kebesaran atau hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau agama. Upacara menurut pendapat Poerdarminta (1999:16) merupakan hal sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau menurut agama.

1. Peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.

2. Perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting. Dapat dikatakan pula adat adalah aturan yang lazim disimpulkan bahwa upacara adat adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan mewujudkan kebiasaan yang selalu dilakukan serta memiliki peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan upacara adat yang dilakukan turun menurun dan telah ada pada masa penyebaran agama Hindu. Saat ini upacara adat ngampeken tulan-tulan dilakukan sebagai upacara adat masyarakat Karo untuk penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia, dengan melakukan proses upacara adat dari proses penggalian kuburan hingga kembali dimasukkan kedalam geriten atau bangunan khusus yang dianggap sebagai simbol penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal. Upacara adat ngampeken tulan-tulan menurut Petrus Tarigan (wawancara 20 April 2017), menjelaskan bahwa ngampeken tulan–tulan dapat diartikan adalah mengangkat tulang, merupakan salah satu upacara adat yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Karo dimana tujuannya adalah memberi penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal dan membangun rumah atau geriten (tugu) untuk orang yang sudah meninggal.

Dahulunya upacara ini memiliki unsur kepercayaan perbegu atau mistic didalamnya karena masyarakat Karo masih menganut paham agama Pamena, setelah pergeseran zaman akhirnya upacara ini beralih fungsi menjadi upacara adat. Upacara ini baru bisa dilaksanakan 5-10 tahun setelah orang tua tersebut meninggal. Upacara ini tidak memiliki hari atau tanggal khusus pelaksanaannya, upacara ini terbentuk dari kesepakatan keluarga. Dalam upacara tersebut memiliki aturan-aturan dalam pelaksanaan baik dalam upacara penggalian kubur ataupun upacara adat. Upacara diatur oleh system kekerabatan atau sangkep nggeluh dimana masing-masing kelompok seperti sukut, kalimbubu dan anak beru memiliki masing-masing tugas dan tanggung jawab sesuai dengan tugas mereka berdasarka aturan adat istiadat sesuai kelompok atau masing-masing golongan.

Menurut Sinulingga (wawancara 5 April 2017), upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan ritual tertinggi dari ritual-ritual yang ada pada masyarakat Karo, ritual ini sebagai simbol penghormatan kepada leluhur atau kepada orang yang sudah meninggal. Sama halnya dengan penjelasan di atas, upacara ini merupakan upacara kematian yang saat ini sudah beralih fungsi sebagai upacara adat. Dalam kehidupan masyarakat Karo, upacara ini masih dianggap sebagai upacara adat yang memiliki nilai kesakralan atau upacara terbesar dan tertinggi dari upacara-upacara adat lainnya yang terdapat pada masyarakat Karo. Upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini masih dilaksanakan dan dilestarikan secara baik oleh masyarakat Karo. Menurut Perangin-angin (wawancara 20 April 2015) sependapat dengan penjelasan diatas upacara ini ditujukan untuk penghormatan kepada leluhur dipercaya kegiatan upacara ini dapat mempersatukan keluarga-keluarga yang masih tidak saling kenal.

Page 95: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

89

3. Landasan Teori Menganalisis sebuah penelitian yang dituangkan dalam tulisan dengan tepat kepada topik yang dikaji

maka diperlukan teori yang tepat dan menjadi acuan dalam membahas tulisan ini. Penulisan ini akan menggunakan teori yang dapat memecahkan permasalahan struktur, makna dan fungsi, terkandung di dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan dan landek hadir sebagai media komunikasi yang dituangkan melalui gerak. Membahas struktur, Levi Strauss mempunyai pandangan tentang struktur berkaitan dengan budaya. Strukturalisme Levi Strauss merupakan salah satu paradigma dalam antropologi yang memudahkan kita untuk menangkap dan memahami berbagai fenomena budaya yang terjadi, dilakukan dan diterapkan oleh berbagai suku pemilik kebudayaan masing-masing termasuk seni di dalamnya. Hal ini dapat membantu mengungkap fenomena seni yang di ungkapkan atau diekspresikan masyarakat. Levi Strauss membedakan pemahaman struktur menjadi dua macam, yaitu struktur luar atau lahir (surface structure), dan struktur dalam atau batin (deep structure) (Ahimsa, 2001:20). Dalam antropologi budaya landek dalam masyarakat Karo sebagai media komunikasi yang memiliki struktur gerak. Tari dapat dilihat sebagai fenomena kebahasaan karena keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan perasaan ini dikomunikasikan kepada orang lain. Jadi tari sebenarnya adalah sebuah media komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat dijelaskan sebagai totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya mempunyai pola tata urutan sesuai dengan konteks budayanya. Upacara adat ngampeken tulan-tulan memiliki aturan pelaksanaan upacara yang tersusun berdasarkan aturan budaya suku Karo.

Malinowski (Ihromi, 2006:89) fungsionalisme yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Menurut Soedarsono (1986:96) tari berfungsi sebagai berikut: 1. Sarana upacara sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi

dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan demi keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini masih kuat unsur-unsur kepercayaan kuno yang masih hidup dalam suasana budaya purba.

2. Sarana hiburan atau pergaulan dengan maksud untuk memeriahkan atau melakukan pertemuan, bahkan memberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang mempunyai kegemaran akan menari.

3. Sarana pertunjukan atau tontonan yang bertujuan untuk memberi hidangan pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan sebagai suatu persyaratan seni tari dari penontonnya. Teori ini menjadi acuan peneliti menganalisi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan

mengarah pada sarana upacara. Dapat dipahami bahwasanya landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai tari upacara untuk persembahan kepada orang yang sudah meninggal dan diangkat kembali tengkoraknya untuk diposisikan di tempat yang tertinggi yaitu bangunan geriten dan menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagai masyarakat yang melaksanakan upacara ini khusus keluarga yaitu sangkep nggeluh. Landek dalam upacara tidak menutup kemungkinan akan menjadi sarana hiburan karena adanya tempat masyarakat untuk mengekspresikan dirinya melalui gerakan tari serta pada akhir acara ada landek suka cita untuk mengekspresikan kebahagian telah melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam ilmu komunikasi “tanda” merupakan sebuah interaksi makna yang disampaikan kepada orang lain melalui tanda-tanda. Dalam berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa lisan namun dengan tanda tersebut juga dapat berkomunikasi, ada atau tidaknya peristiwa struktur yang dikemukakan dalam sesuatu, suatu kebiasaan semua itu dapat disebut tanda (Zoezt, 1993:18).

Saussure (1857-1913) dan Peirce (1839-1914) merupakan dua tokoh yang mengembangkan semiotika secara terpisah. Saussure dari Eropa dan Peirce dari Amerika Serikat. Menurut Saussure tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda disitu ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, penanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama Sumbo dalam Ginting (2015:55).

Page 96: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

90

Menurut Peirce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batasan-batasan tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang oleh Peirce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila di interpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretan. Jadi, interpretan adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Peirce terkenal dengan nama segi tiga semiotik Sumbo dalam Ginting (2015:55).

Teori yang menegaskan konsep dan istilah yang biasa digunakan dalam bidang komunikasi yaitu teori Langer. Teori ini memberika sejenis standardisasi untuk tradisi semiotik dalam kajian komunikasi. Langer merupakan seorang filsuf yang memikirkan simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan. Tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsep, simbol dan bahasa. Bintang merespon tanda, tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan menggunakan simbol. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan memuat seseorang untuk berfikir tetang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah “sebuah instrumet pemikiran”. Simbol adalah konseptualitas manusia tentang satu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu. Misalnya tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara langsung. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja secara langsung. Sebuah simbol atau kumpulan bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati bersama-sama diantara pelaku komunikasi. Bersama makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif. Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan kompleks diantara simbol, objek, dan manusia yang melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi). Langer mencatat bahwa proses manusia secara utuh cenderung abstrak. Ini adalah sebuah proses yang mengesampingkan detail dalam memahami objek, peristiwa, atau situasi secara umum.

Menurut Royce dalam Widaryanto (2007:209) makna tari secara tersirat sedang membandingkan aspek-aspek komunikasi dari perilaku tari dengan media ekspresi yang lain. sebuah kapasitas ekspresi tari terkadang dianggap paling efektif sebagai pembawa makna. Tari dan komunikasi telah berjalan diatas analogi yang mengesankan antara tari dan bahasa. Analogi ini memberikan dugaan bahwa tari berfungsi sama sebagai mana bahasa dan juga memiliki kapasitas-kapasitas yang sama. Tari secara literal dan figuratif seperti halnya dengan sebuah bahasa.

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan petandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi ketika makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara adat ngampeken tulan-tualan masyarakat Karo pada era moderen, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosisi tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami secara utuh Sumbo dalam Ginting (2015:56). Munculnya berbagai tipe perubahan dan pemaknaan pada spiritual upacara adat ngampeken tulan-tulan masyarakat Karo pada era modern dan pengaruh agama menyebabkan terjadinya perkembangan konsep tanda dalam landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian membicarakan megenai tatacara pelaksanaan penelitian, sedangkan prosedur penelitian membicarakan alat-alat yang digunakan dalam mengukur atau mengumpulkan data penelitian. Dengan demikian, metode penelitian melingkupi prosedur penelitian dan teknik penelitian. Dalam metode penelitian ada jenis-jenis metode penelitian terkait dengan jenis penelitiannya. Dalam penelitian landek

Page 97: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

91

dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan pada masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar digunakan metode kualitatif. Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).

5. Masyarakat Karo di Desa Tiga Juhar

Desa Tiga Juhar adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan STM Hulu Kabupaten Deli Serdang. Desa Tiga Juhar memiliki letak geografis sebelah Utara berbatasan dengan desa Ranggitgit, sebelah Timur berbatasan dengan desa Sumbil, sebelah Barat berbatasan dengan desa Ranggitgit dan sebelah Selatan berbatasan dengan desa Durian Emblang, memiliki ± 430 kepala keluarga dan terdapat 1000 jiwa penduduk (Wawancara kepala desa Tiga Juhar 2017). Masyarakat Karo di desa Tiga Juhar disebut masyarakat Karo Jahe karena menempati wilayah hilir atau dataran rendah. Masyarakat Karo di desa Tiga Juhar sudah mengalami akulturasi dengan budaya lain. Menurut kepala desa Tiga Juhar, desa tersebut berdiri pada tahun 1950-an hiangga saat ini penduduk di desa Tiga Juhar terus maju dan berkembang. Desa Tiga Juhar memiliki objek wisata yang menarik di daerahnya. Hal yang menarik dari objek wisata di desa ini ialah selain objek wisatanya yang indah, desa ini memiliki daya tarik tersendiri yang dapat dilihat dari objek wisata berbasis kearifan lokal, seperti adat istiadat atau kebudayaan masyarakat setempat. Objek wisata di desa ini yang dekenal oleh masyarakat luas diantaranya:

1. Objek wisata Danau Linting 2. Objek wisata Jembatan Gantung memiliki panjang 165 m dengan kedalaman 135 m 3. Objek wisata air terjun tarunggang 4. Objek wisata air terjun gren enyon 5. Objek wisata gua rumah liang

Objek-objek wisata tersebut dalam proses pengembangan oleh pemerintah setempat, salah satu tujuannya untuk menambah pendapatan bagi masyarakat di desa Tiga Juhar. seperti yang telah dikatakan di atas, tidak hanya objek wisata yang dikembangkan, menurut kepala desa Tiga Juhar yakni bapak Daniel Barus, desa Tiga Juhar yang mayoritasnya adalah suku Karo dan akan menonjolkan kebudayaan Karo di tempat-tempat objek wisata tersebut. Masyarakat di desa Tiga Juhar mayoritas bermata pecaharian sebagai petani, karena berdasarkan letak geografisnya mendukung untuk lahan pertanian. Hasil pertanian seperti sawit, karet dan salak. Selain bercocok tanam perternakan juga merupakan mata pencaharian masyarakat desa Tiga Juhar terutama memelihara kerbau, babi, kambing, ayam dan bebek. Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai binatang yang membantu petani bekerja disawah, babi pada umumnya digunakan masyarakat Karo untuk pelaksanaan pesta adat sebagai konsumsi utama, selain itu babi, kerbau, ayam, kambing dan bebek juga banyak dijual untuk menambah pendapatan atau perekonomian keluarga. Disamping itu, mata pencaharian masyarakat Karo sebahagian besar bekerja di perusahaan perkebunan, sebagai pedagang, industri, sebagai pegawai negeri sipil, diperternakan dan jasa angkutan.

Asal usul berdirinya desa Tiga Juhar pada awalnya penduduk yang pertama kali datang di desa Tiga Juhar adalah marga Barus dan merupakan seorang pejuang melawan penjajah pada masa lampau. Marga Barus tinggal dan menetap di desa ini, hingga saat ini masyarakat di desa Tiga Juhar menganggap bahwa marga Barus lah sebagai pendiri desa Tiga Juhar. Setelah marga Barus baru datang marga dari suku Karo yang lain yaitu marga Karo-karo, marga Ginting, marga Sembiring, marga Perangin-angin dan marga Tarigan, setelah itu masyarakat berkembang dan ditambah oleh masyarakat pendatang seperti Jawa, Minang, Batak Toba, Batak Mandailing, Aceh, dan suku Pak-pak. Kedatangan suku pendatang lain tidak menjadikan desa tersebut kehilangan identitasnya, hingga saat ini penduduk di desa Tiga Juhar masih mayoritas adalah suku Karo. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi ditengah-tengah masyarakat di desa Tiga Juhar umumnya menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa kesehariannya selain menggunakan bahasa Indonesia. Arti dari nama desa Tiga Juhar itu sendiri yaitu diambil dari nama pohon yang dahulunya banyak tumbuh di desa Tiga Juhar tersebut yaitu pohon Juhar, jadi arti dari kata “Tiga” yaitu “pasar” dan “Juhar” yaitu “Pohon Juhar”. Jadi arti dari nama desa tersebut, hanya berasal dari arti kata “pasar pohon juhar” yang menandakan lokasi tersebut banyak ditumbuhi pohon juhar. Maka disepakati nama desa tersebut denga kata “Tiga Juhar”.

Page 98: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

92

Masyarakat Karo di desa Tiga Juhar awalanya masih mempercayai kepercayaan parbegu, seiring perkembangan zaman dan masuknya penyebaran agama maka mayarakat Karo mulai meyakini agama Nasrani ataupun agama Islam. Kegiatan-kegiatan upacara masyarakat Karo beralih fungsi menjadi upacara adat begitu juga masyarakat Karo yang berada di desa Tiga Juhar. Pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan saat ini mayoritas agama Nasrani yang tetap melaksanakan upacara, karena bagi mereka upacara ini sudah tidak ada lagi berkaitan dengan hal-hal mistik atau pemujaan setan. Upacara ini sudah menjadi upacara adat, tidak ada unsur mistik ataupun religi maka umat agama Nasrani masih melaksanakannya sebagai upacara adat. Bagi umat islam sendiri upacara ini tidak dilakukan sama sekali, karena bagi umat islam menggali kuburan orang yang sudah dikuburkan di yakini akan menyiksa orang yang sudah meninggal.

Masyarakat Karo memiliki sebuah komunitas terbentuk dari sebuah budaya yang menjadi patron bagi mereka dalam berhubungan dengan sang Pencipta, alam dan khususnya hubungan antara sesama manusia. Kelahiran dan kematian merupakan suatu hal yang mempengaruhi kekeluargaan dalam silsilah merga. Merga suatu ikatan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat Karo atau dengan kata lain tidak terlepas dari kepribadian orang Karo dalam kehidupannya walaupun dalam bentuk yang paling sederhana sekali, kita akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan keluarga, sistem ekonomi, politik, status sosial, agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengetahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Setinggi apapun pangkat Dia, atau serendah apapun Dia, maka aturan dan tutur marga tetap dijunjung olah masyarakat Karo.

Masyarakat Karo mempunyai sistem kekerabatan, hal ini terjadi karena masyarakat ingin mempertahankan sistem kehidupan keluarga untuk kelangsungan hidup dalam mempertahankan nilai-nilai yang dimilikinya, terutama yang berkaitan dengan jati diri. Munculnya sistem kekerabatan disebabkan terjadinya perkawinan antar merga (marga) dan sub merga lain, kemudian perkawinan itu menghasilkan keturunan sebagai akibat terjadilah kelompok keluarga baru disamping ada keluarga yang lama (Yulianus, 2006:4). Sangkep nggeluh adalah suatu sistem kekeluargaan yang secara garis besar terdiri dari senina, anak beru, dan kalimbubu. Sangkep nggeluh diperkecil menjadi Tutur siwaluh dan Tutur siwaluh menjadi Rakut sitelu. Lembaga sosial yang tedapat dalam masyarakat Karo terdiri atas tiga kelompok yang secara garis besar terdiri dari sukut, anak beru dan kalimbubu. Dalam rakut sitelu yang terdiri dari Sukut merupakan sebutan bagi orang yang punyai hajatan, atau yang sedang melaksanakan pesta. Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dinikahi. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, dapat disebut dengan istilah “Dibata idah” artinya Tuhan yang dapat dilihat. Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan satu keluarga.

Terdapat berbagai macam kesenian pada masyarakat Karo yaitu musik, tari dan seni rupa. Dikaitkan ddengan landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan, terdapat ketiga unsur tersebut di dalam pelaksanaan upacara. Unsur musik diwakilkan dengan hadirnya perkolong-kolong dan alat musik gendang lima sendalanen, tari yang dalam pelaksanaan upacara ini terdapat tari adat yang merupakan tarian yang melibatkan unsur sangkep nggeluh di dalamnya, sedangkan seni rupa sendiri terdapat sebuah bangunan geriten yang dibangun begitu megah sebagai makna penghormatan terakhir untuk orang tua yang sudah meninggal. 6. Landek pada Masyarakat Karo

Pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan merupakan upacara adat yang memiliki beberapa unsur, salah satunya memiliki unsur penghormatan yang dilakukan masyarakat ke pada orang yang sudah meninggal. Upacara adat ngampeken tulan-tulan awalnya memiliki sebuah kepercayaan perbegu yang berkaitan dengan hal-hal gaib, tetapi masuknya agama sehingga kepercayaan kepada hal-hal yang di anggap mistik tersebut luntur dan mengubah persepsi upacara ini sebagai upacara adat. Dalam pelaksanaannya terdapat dua proses upacara yaitu upacara engkur-kur kuburen dan upacara adat, dan pelaksanaan upacara ini juga terdapat struktur tari (landek) yang memiliki fungsi dan makna tersendiri dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Pada proses upacara adat terdapat landek di dalam pelaksanaannya. Landek memiliki tujuan penyampai maksud yang dituangkan melalui gerak di dalam prosesi upacara. Gerak landek yang dilakukan dalam upacara disebut juga pengalo-ngalo dempak ayo, yang maksudnya dalam upacara ini landek dapat menyampaikan suatu pesan tetang upacara adat ngampeken tulan-tulan yang dituangkan lewat gerakan tangan dengan diturunkan dan diangkat keatas dan henjutan kaki (ndek) mengikuti irama

Page 99: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

93

musik diiringi syair (pengapul) dari perkolong-kolong. Gerak landek itu menjadi suatu komunikasi yang berhubungan denga sangkep nggeluh. Landek yang dilakukan dalam upacara ngampeken tulan-tulan sesuai aturan yang sudah ada dalam upacara dimana sangkep nggeluh berperan penting di dalamnya. Landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan digunakan untuk menyimbolkan rasa hormat masyarakat Karo dalam sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan tersebut dapat dilihat lewat bentuk penyajian landek. Selain menonjolkan sistem kekerabatan dalam pelaksanaanya, landek dalam upacara ini juga mengikat sopan santun dan yang penting adalah rasa hormat terhadap keluarga.

Gerakan dasar landek pada upacara adat ngampeken tulan-tulan antara laki-laki dan perempuan hampir sama gerakannya. Posisi tangan memilki tiga bagian posisi gerak dan memilki arti sebagai berikut:

1. Tangan di atas (dibata datas): Posisi tangan ini memilki makna atau arti gerakan yang mengarahkan tangannya keatas ke arah pencipta dengan maksud menghormati pencipta penguasa dari segalanya dan memohon berkat ke pada sang penguasa.

2. Tangan di tengah (dibata tengah): Posisi tangan ini memiliki makna kebatinan tersendiri bagi masyarakat Karo yang memaknai gerakan ini sebagai penghormatan kepada sesuatu yang menguasai bumi.

3. Tangan di bawah (dibata teruh): Posisi tangan ini memiliki makna penghormatan kepada alam kematian. Dimana masyarakat Karo mempercayai suatu alam kematian untuk penghormatan dan ketenangan bagi leluhur yang sudah meninggal.

4. Posisi tangan perempuan saat terbuka dan berada dibawah menyatakan penghormatan kepada kalimbubu (kalimbubu memiliki istilah dibata ida Tuahan yang kelihatan atau posisi yang paling dihormati dalam tutur sangkep nggeluh).

Pola-pola gerak dalam landek menunjukkan posisi masyarakat dalam melandek pada berbagai kegiatan. Landek pada masyarakat Karo menggambarkan aktivitas kehidupan mereka yang dituangkan lewat tari. Landek merupakan tarian untuk menyampaikan cerita dalam kegiatan masyarakat Karo baik itu suka dan duka (Prinst, 2004:145).

Terdapat bentuk penyajian landek dalam upacara engkur-kur kuburan dan upacara adat ngampeken tulan-tulan. Landek pada proses engkur-kur kuburan pada tahun 1980-an tidak lagi dilaksanakan karena dianggap memiliki unsur magis. Sedangkan landek dalam proses upacara adat masih dilaksakan karena dianggap sebagai sebuah ritual adat. landek dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan memiliki struktur dan memiliki makna yang dapat dilihat dalam bentuk perilaku ketika menari (landek) yang melibatkan sistem kekerabat masyarakat Karo disebut sangkep nggeluh. Dalam interaksi sangkep nggeluh masing-masing memiliki keterkaitan dan fungsi yang berbeda-beda berdasarkan sistem kekerabatan. Dimana setiap pekerjaan atau tugas sudah diatur secara adat.

Struktur gerak yang memiliki makna dapat diamati pada saat permulaan landek atau menari diawali sukut dan anak beru menari bersama, sukut sebagai tuan rumah dan anak beru sebagai pihak keluarga yang telah melaksanakan upacara dari awal hingga akhir (panitia), selanjutnya sukut yang menyambut senina. Sukut (tuan rumah) melakukan gerakan landek dengan kaki dihenjutkan (endek), dan kedua tangan terbuka dengan posisi telapak tangan mengarah keatas menyambut senina yang datang ikut menari (landek) mengikuti sukut, gerakan landek tersebut memiliki maknayang dilihat darisukut dan senina sebagai tuan rumah (keluarga terdekat) memohon doa kepada Tuhan agar dilancarkan acaranya.

Kemudian sukut dan senina menari (landek) kembali menyambut kalimbubu, sukut dan senina melakukan gerakan dengan struktur gerak kaki dihenjutkan (endek), kedua tangan terbuka dan telapak tangan mengarah kebawah sambil menundukkan kepala (memberi hormat), kemudian bersama-sama melakukan gerakan yang sama seperti awal begitu juga kalimbubu yang menari (landek) dengan gerak kaki dihenjutkan (endek) dan kedua tangan terbuka dengan posisi telapak tangan mengarah ke atas serta diturunkan ke bawah, memiliki makna bahwa sukut dan senina meminta restu kepada kalimbubu sebagai anggota keluarga yang memiliki kedudukan tertinggi dan paling dihormati, kalimbubu juga ikut larut dalam suasana suka cita. Selanjutnya sukut, senina dan kalimbubu menari menyambut teman meriah (undangan dan masyarakat) makna dari gerakan ini menandakan hubungan keluarga dengan lingkungan masyarakat yang terjalin dengan baik. Selanjutnya sukut, senina, kalimbubu dan teman meriah menyambut anak beru.

Gerakan sukut, senina dan kalimbubu serta teman meriah sama seperti awal gerakan yang dilakukan sukut dengan kaki dihenjutkan (endek), tangan dibuka dan telapak tangan mengarah keatas, begitu juga

Page 100: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

94

yang dilakukan oleh anak beru, makna dalam gerakan ini merupakan penyampaian rasa terimakasi sukut, senina dan kalimbubu kepada anak beru yang sudah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pelaksana upacara adat ngampeken tulan-tulan dari awal hingga akhir acara, kemudian sebagai rasa suka cita karena telah mengadakan upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai penghormatan terakhir kepada orang tua yang sudah meninggal sambil mengikuti irama musik dan syair (pengapul) dari perkolong-kolong. Selanjutnya diakhir acara kalimbubu memberikan restu untuk pembangunan geriten dan memberikan semangat kepada keluarga yang ditinggalkan untuk tidak larut dalam kesedihan.

Gerak landek dalam upacara ini menggunakan tiga dasar gerak yaitu endek (kaki turun dan naik), jole/pengodak (goyang badan) dan tanlempir (lentik jari atau tangan yang gemulai). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagaimana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki. Pengodak atau odak dalam gerakan ini unsur endek juga harus terlihat ketika penari melakukakn odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik. Sementara ole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan ke depan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti gung dan panganak. Tanlempir merupakan gerakan yang diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika kedua tangan di atas bahu. Terdapat istilah ncemet jari dalam tanlempir yang diperlukan saat melakukan gerak petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi. Busana yang digunakan dalam pelaksanakaan upacara tidak ada aturan khusus dalam pengaturan berpakaian, namun khusus dari pihak sukut menggunakan busana kebaya, tudung dan uis, begitu juga laki-laki menggunakan lengkap kemeja disertai jas, celana panjang, bekah bulu, bulang, cekok-cekok dan gonje sebagai pakaian adat masyarakat Karo. Pada pihak kerabat yang lain bisa menggunakan pakaian kebayak dengan kain (kampoh), laki-laki memakai pakaian rapi disertai sarung (mekar), atau dapat dikatakan busana sehari-hari. Musik dalam pelaksanaan upacara ini diiringi oleh musik tradisi, dengan irama yang bersenandung sesuai irama musik Karo sebagai musik pengiring untuk dapat mengungkapkan hati yang sedang bersuka cita. Alat- alat musik yang digunakan dalam upacara ini yaitu sarune, gendang singindungi, gendang singanaki, panganak, gung (gendang lima sendalanen). Waktu pelaksanaan upacara selama dua hari, namu kesepakatan pelaksanaanya disepakati sebulan sebelum pelaksanaan upacara.

7. Struktur Landek dalam Upacara Adat Ngampeken Tulan-tulan Aktivitas-aktivitas dalam masyarakat yang melibatkan landek sebagai salah satu materi yang

dipersiapkan, didapat secara turun temurun, melalui aktifitas ini mereka mewariskan tidak hanya sistem kekerabatan, tetapi seluruh keteraturan dengan norma adat menjadi bagian yang diwariskan. Pelembagaan melalui sistem kekerabatan rakut sitelu memberikan wadah terjaganya sistem ini.Upacara ngampeken tulan-tulan juga mengikuti sistem ini, seluruh proses kegiatan dengan landek sebagai media memberikan kelegaan bagi penyelenggara, karena kewajiban mereka selaku keluarga yang masih hidup untuk menyelesaikan seluruh rangkaian proses upacara. Wujud terimakasih, doa, harapan, kasih sayang tertuang dari rangkaian kegiatan, dan melandek mewujudkan pemaknaan kebahagiaan, suka cita mereka pada yang meninggal.

Pelaksanaan kegiatan adat, sepenuhnya dilakukan oleh keluarga dengan musyawarah dari rakut sitelu. Mereka bergotong royong untuk semua hal-hal yang diperlukan dalam upacara. Setiap kekurangan, kendala akan dibicarakan dan dicari jalan keluarnya, sehingga keterlibatan rakut sitelu tampak nyata pada upacara ngampeken tulan-tulan. Pada saat acara melandek, pihak-pihak yang melandek juga mempersiapkan posisinya sesuai status dalam rakut sitelu, mereka dengan patuh turut dalam proses penyajiannya. Status di luar rakut sitelu tidak digunakan, tidak ada pangkat yang tinggi, jabatan yang hebat, ekonomi yang mapan, yang ada hanyalah kepatuhan pada atuaran dalam upacara dengan mematuhi sistem kekerabatan. Landek yang terdapat dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan yaitu landek mulih-mulih, landek odak-odak dan landek seluk atau silengguri.

Landek berdasarkan pemikiran masyarakat Karo merupakan dasar dari menciptakan gerak landek, hal ini memunculkan berbagai aturan dalam pelaksanaan landek seperti menjaga pandangan mata, arah tangan, lenggokan pinggul, antara laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan pada saat melandek.

Pada stuktur musik dalam pelaksanaan upacara adat ngampeken tulan-tulan terdapat tiga gendang pengiring landek yaitu gendang simalungen rayat, gendang odak-odak dan gendang silengguri. Gendang yang dimaikan dalam upacara adat ini berbeda irama disesuaikan dengan struktur landek yang ditariakan

Page 101: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

95

oleh sangkep nggeluh. Gendang simalungen rayat merupakan gendang pengiring untuk landek mulih-mulih. Pada upacara adat ngampeken tulan-tulang, gendang simalungen rayat berirama lembut, tempo musik yang dimankan juga tidak cepat, hal tersebut dikarenakan gendang simalungen rayat merupakan gendang pengiring sangkep nggeluh untuk menyampaikan kata-kata petuah atau nuri-nuri. Gendang berikutnya adalah gendang odak-odak. Dalam upacara adat ngempeken tulan-tulan, gendang odak-odak dimainkan saat mengiringi landek odak-odak. Pada gendang odak-odak irama yang dimainkan dengan tempo yang lebih cepat, landek odak-odak pada penyajian ini mengikuti tempo musik yang dimainkan oleh gendang odak-odak. Irama yang gendang odak-odak ini dimainkan setalah gendang mulih-mulih karena gendang odak-odak menggambarkan rasa gembira bagi sangkep nggeluh karena telah selesai memberika kata-kata sambutan. gendang silengguri meruapakan gendang yang terakhir dimainkan pada saat upacara adat ngampeken tulan-tulan dilaksanakan. Gendang silengguri dimainkan untuk mengiringi landek seluk. Irama gendang silingguri lebih cepat dari pada landek odak-oddak. Pada umumnya irama gendang ini mengarahkan penari kepada trance, namun dalam upacara adat ini penari hanya melandek dengan penuh semangat untuk menggambarkan rasa bahagia karena telah melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan, maka dari itu gendang silingguri menggunakan irama yang cepat dan gembira.

Struktur teknik gerak landek yaitu : a. Gerak landek mulih-mulih

Landek mulih-mulih dapat dikatakan sebagai landek adat di setiap pelaksanaan upacara adat masyarakat Karo. Begitu juga dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan, landek yang digerakkan beriiringan dengan petuah-petuah (nuri-nuri) atau katoneng-katoneng yang disampaikan sangkep nggeluh secara bergantian diiringi gendang simalungen rayat.

b. Gerak landek odak-odak Landek odak-odak merupakan landek yang ditarikan setelah selesai melakukan landek mulih-mulih. Landek odak-odak ini sebagai perwujudan kegembiraan setelah selesai menyampaikan petuah-petuah atau katoneng-katoneng. Ragam gerak landek odak-odak sama dengan ragam gerak landek mulih-mulih perbedaan hanya terletak pada tempo landek odak-odak lebih cepat mengikuti gendang odak-odak.

c. Gerak landek seluk Landek seluk merupakan tarian yang diiringi dengan gendang silengguri. Dalam penyajian landek ini sebenarnya selalu menggunakan kain putih atau uis dagangen. Landek ini hadir pada akhir upacara dimana landek sebagai tari yang menunjuka rasa bahagia karena telah terlaksananya upacara adat ngampeken tulan-tulan. Landek seluk identik dengan tarian mengarah ke trance, namun dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan tarian ini hanya sebagai upacara adat, tidak ada unsur mistisnya.

8.1 Landek pada proses upacara engkur-kur kuburen Setelah proses engkur-kur kuburen dalam upacara ngempeken tulan-tulan, terdapat landek dalam

sebuah ritual yang disebut perumah tendi. Landek dalam ritual perumah tendi ini hanya dilakukan oleh guru yang dipercaya dapat menghubungkan pihak keluarga atau sangkep nggeluh kepada arwah yang telah meninggal, dalam hal ini orang tua yang diangkat kembali tulang-tulangnya untuk dipindahkan kedalam geriten. landek pada proses ini adalah landek seluk/silengguri, guru menggerakkan tubuhnya mengikuti gendang silengguri yang dibawakan pemusik (sierjabaten). Setelah acara perumah tendi, keesokkan harinya peti yang berisikan tulang-tulang diusung oleh pihak sangkep nggeluh menuju jambur dengan berjalan kaki. Setiap menjumpai persimpangan sangkep nggeluh berhenti dan bersama-sama melandek dan dalam hal ini maksimal tiga persimpangan dan masing-masing berdurasi 15 menit atau menyelesaikan satu instrumen gendang, yang dilaksanakan dalam prosesi ini. Sierjabatan juga ikut dalam pelaksanaannya sampai ke jambur untuk memainkan musik mengiringi sangkep nggeluh untuk melandek. Terdapat dua bentuk penyajian landek dalam prosesi ini yaitu landek mulih-mulih dan landek odak-odak. Saat ini dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan tidak ada lagi upacara perumah tendi karena setelah masuknya ke percayaan agam Nasrani di Tanah Karo, ritual perumah tendi dihilangkan dianggap sebagai ritual memuja setan karena memanggil arwah yang sudah meninggal, sebab ritual ini merupakan ritual dari peninggalan kepercayaan perbegu.

Page 102: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

96

8.2 Landek pada proses upacara adat Prosesi upacara adat ngampeken tulan-tulan. Proses upacara adat biasanya dilakukan di los atau

jambur. Dalam upacara adat masyarakat Karo orang yang berperan penting ialah sangkep nggeluh, telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam upacara adat selalu berkaitan dengan sitem kekerabatan yang menjadi simbol sebuah upacara sebagai rasa penghormatan terhadap leluhur dengan mengikuti aturan yang sudah diatur secara turun-menurun.

Proses ini di awali oleh syair (pengapul) atau katoneng-katoneng (teks lagu yang dinyanyikan secara spontan) yang dibawakan perkolong-kolong penyampai pesan riwayat orang yang sudah meninggal kepada kerabat dan pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggalkan, biasanya dengan irama yang senduh atau sedih yang diiringi gendang lima sendalanen. Anak beru dan sukut melandek bersama dengan gerak landek mulih-mulih sambil menyampaikan kata-kata atau katoneng-katoneng dari sukut kepada anak beru yang telah melaksanakan upacara dengan lancar dan penghormatan anak beru kepada sukut sebagai penyerahan pelaksaan selanjutnya kepada pihak sukut. Setalah landek mulih-mulih, sukut dan anak beru melakukan landek odak-odak untuk menggambarkan rasa syukur dapat melaksanakan upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Selanjutnya suku melandek menyambut senina yang datang, diikuti senina sepembaren, senina separibanen, senina sipangalon. Sukut dan senina melandek mulih-mulih dengan memberikan hormat kepada kalimbubu dilanjutkan kalimbubu simadadaret, puang kalimbubu, kalimbubu bena, kalimbubu ntua dan puang silima marga. Mereka saling bergantian masuk dan melakukan landek mulih-mulih sebagai penyampaian isi hati mengikuti irama syair (pengapul) dari perkolong-kolong. Selanjutnya sukut, seninan dan kalimbubu melandek odak-odak menujukkan rasa kegembiraan karen sukut telah memberikan penghormatan kepada kalimbubu serta telah memberikan kata-kata sambutan atau ketoneng-ketoneng yang ditujukan kepada kalimbubu, orang tua yang sudah meninggal dan seluruh masyarakat pendukung upacara. Setelah itu phak keluarga dari sangkep nggeluh secara berkeseluruhan bergantian melandek untuk menyampaikan rasa suka cita pada upacara adat ngampeken tulan-tulan ini.

Setelah penyambutan kepada kalimbubu, kalimbubu melandek mulih-mulih sambil memberikan petuah-petuah dan nasehat berhadap-hadapan dengan pihak sukut. Setelah selesai memberikan petuah-petuah kalimbubu dan sukut melandek odak-odak. Acara selanjutnya teman meriah melandek mulih-mulih menyampaikan katoneng-katoneng dan pada saat ini anak beru ikut kembali melandek bersama sukut, dan di akhir sangkep nggeluh melandek bersama dengan landek seluk/silengguri menggambarkan suka cita karena telah terlaksananya upacara. Landek seluk dalam konteks ini bukan mengarah pada trance tetapi pada upacara adat yang menyatakan rasa suka cita. Terakhir pembayaran utang adat dari sukut kepada kalimbubu yang diberikan oleh anak beru semua melandek mulih-mulih, katoneng-katoneng bisa di sampaikan oleh protokol atau perkolong-kolong dan selanjutnya semua melandek seluk karena telah selesainya upacara adat ngampeken tulan-tulan tersebut. 9. Fungsi dan Makna

Pada pebahasan ini fungsi landek terdapat berbagai macam fungsi diantaranya; a. Fungsi individu Berkaitan dengan fungsi individual dalam tari, maka dapat diterjemahkan

bahwa, kebutuhan seseorang dalam menyampaikan keinginannya bisa dilakukan dalam berbagai cara, salah satunya pengungkapan yang dilakukan melalui tari. Landek yang juga dapat dikatakan dengan tari, pada awalnya dilakukan oleh seseorang untuk menyampaikan hasrat dan keinginannya.

b. Fungsi sosial, Landek memiliki chiri khas ataupun karakteristik tersendiri yang menyimbolkan bagaimana pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, dan adat istiadat yang masyarakat Karo miliki.

c. Fungsi landek dalam upacara khususnya upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai upacara penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal dengan melalukan gerakan landek yang dilakukan oleh keluarga (sangkep nggeluh). dalam hal ini landek memiliki fungsi kesinambungan budaya dan sebagai media komunikasi.

Dari struktur dan fungsi menghasilkan makna dari proses awal penggalian kuburan atau engkur-kur kuburan dan proses upacara adat yang dapat dilihat dari landek yang ditarikan oleh sangkep nggeluh. Landek dalam budaya Karo awalnya juga memiliki makna sebuah proses ritual yang semuanya dalam gerakan-gerakan landek adalah perlambangan. Terdapat makna dari masing-masing landek yang terdapat dalam upacara ini yaitu;

Page 103: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

97

a. Landek mulih-mulih bagi masyarakat Karo adalah landek adat. landek ini selalu hadir pada setiap pelaksanaan upacara yang ada ditengah-tengah masyarakat Karo. Landek mulih-mulih melambangkan hubungan manusia dengan dibata tengah dan dibata teruh. Ragam pertama memiliki makna menghormati dibata tengah, posisi tangan ini memiliki makna kebatinan tersendiri bagi masyarakat Karo yang memaknai gerakan ini sebagai penghormatan kepada sesuatu yang menguasai bumi. Dalam gerakkan ini tergolong juga sebuah gerakan penghormatan kepada kalimbubu. Posisi tangan perempuan saat terbuka dan berada dibawah menyatakan penghormatan kepada kalimbubu (kalimbubu memiliki istilah dibata ida Tuahan yang kelihatan atau posisi yang paling dihormati dalam tutur rakut sitelu) begitu juga dengan gerak laki-laki. Ragam ke dua memiliki makna suatu proses penghormatan dari dibata tengah ke dibata teruh. Ragam ke tiga tangan di bawah dibata teruh, posisi tangan ini memiliki makna penghormatan kepada alam kematian. Dimana masyarakat Karo mempercayai suatu alam kematian untuk penghormatan dan ketenangan bagi leluhur yang sudah meninggal.

b. Landek odak-odak sebagai gerakan tari yang menyesuaikan dengan musik atau singkronisasi landek dengan gendang. Makna landek ini dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan ialah gerakan yang menyatakan kegembiraan, karena landek ini di tarikan setelah landek mulih-mulih (memberikan kata-kata sambutan dan penghormatan), jadi bagi masyarakat Karo khususnya sangkep nggeluh dalam upacara ngampeken tulan-tulan dapat memberikan kata-kata sambutan dan telah selesai menyampaikannya hingga selesai, itu merupakan sesuatu kegembiraan, maka kegembiraan tersebut di lambangkan dengan landek odak-odak.

c. Landek seluk yang diiringi gendang sulingguri pada masyarakat Karo pada umumnya mengarah pada trance terlihat pada saat melakukan gerakkan landek, karena berkaitan dengan roh-roh atau kepercayaan mistic. Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan, landek ini tetap terdapat unsur trance namun buka memiliki tujuan kepada hal mistic, landek ini tetap pada penghormatan adat. Tempo gendang pada ragam gerak ini libih kencang dari landek yang lain. landek ini memiliki makna sebagai penyampaian rasa haru dan bahagia bagi sangkep nggeluh karen mereka telah melaksanakan upacara ini hingga akhir dan mereka merasakan kebahagiaan karena bisa memberikan penghormatan kepada leluhurnya dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan.

10. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya mengenai penelitian landek dalam

upacara adat ngampeken tulan-tulan analisis struktur, makna dan fungsi, dapat dihasilkan kesimpulan dalam penilitian ini sebagai berikut. Bentuk penyajian dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan yang dalam bahasa Indonesianya mengangkat tulang-tulang, melaksanakan dua proses upacara. Proses pertama yaitu proses penggalian kuburan (engkur-kur kuburan) dan yang kedua yaitu proses upacara adat yang dilaksanakan di jambur. Dalam proses upacara adat sangkep nggeluh sebagai kelompok masyarakat yang berperan penting dalam upacara untuk melakukan landek sebagai penyampai isi hati tujuan dari upacara adat ngampeken tulan-tulan.

Makna landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan adalah sebuah komunikasi non verbal yang hadir dalam upacara adat melalui sangkep nggeluh. Struktur landek berkaitan dengan susunan upacara yang melibatkan rakut sitelu pada proses upacaranya. Dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan terdapat dua prosesi upacara yaitu prosesi engkur-kur kuburan dan upacara adat. Rakut sitelu memiliki struktur yang menjadi lambang penghormatan untuk memperkuat tujuan upacara adat ngampeken tulan-tulan yang dituangkan melalui gerak landek. Fungsi landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan sebagai media komunikasi antara manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia yang dituangkan melalui gerak. Dalam upacara landek sebagai media komunikasi kepada Tuhan, alam dan sesama manusia yang berisi penyampaian makna dari rasa suka cita yang dirasakan dalam upacara. Saat landek hadir dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan memiliki makna yang bertujuan untuk hormat menghormati, rasa suka cita, cerminan budaya, dan penyampai sebuah keberhasilan pelaksanaan upacara dalam satu kelompok masyarakat.

Dikatakan landek adat adalah landek yang melibatkan sistem kekerabatan di dalamnya. Jadi, landek dalam upacara adat ngampeken tulan-tulan ialah landek adat karena keterkaitannya dengan sangkep nggeluh dalam proses upacara adat ngampeken tulan-tulan dari proses awal hingga akhir upacara. Landek

Page 104: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

98

sebagai media penyampai maksud dari tujuan upacara adat dengan iringan syair (pengapul) yag dibawakan perkolong-kolong dengan irama senduh dan sedih serta berisi petuah-petuah. Daftar Pustaka Achmadi, Narbuko. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Ahimsa, Putra. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Jakarta: Galang Press Anya, Peterson Royce. 2007. Antropologi Tari. Bandung :Sunan Ambu Bangun, Payung. 2008. Kiras Bangun. Bekasi: IKAPI Blumer Herbert. 1969. Symbolic interactionism. Engle wood cliffs: N.J Prentice Hall Brahmo Putro.1999. Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman. Kaban Jahe: Dlik Sader Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Grup Effendy, Onong Uchajana. 1989. Kamus Komunikasi, Bandung: Mandar Maju Gintings E.P. 1999. Religi Karo. Kaban Jahe: Abdi Karya. Ginting. P.P. 2015. “Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Karo Pada Era Globalisasi”. Desertasi S-3 Kajian Budaya

Universitas Udayana Denpasar Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni dalam ritual agama. Yogyakarta. Pustaka Hadeli. 2006. Metode Penelitian Kependidikan. Padang: Quantum Teaching Hermin, Kusmayati, 1989. Makna Tari dalam Upacara di Indonesia”.Jakarta: pidato Hutajulu, Rithaony. 2007. Jurnal Gender dan Musik pada Masyarakat Karo. Jakarta: KP Desantara J.H Neumann. 1972. Sejarah Batak-Karo Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara Kayam,Umar. 1981.Seni, Tradisi, Masyarakat,(seri Esni No.3) Jakarta: Sinar Harapan Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Koentjaraningrat 1987.Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Koentjaraningrat 1969.Rintangan-rintangan Mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.Seri No.I/2.Jakarta : Brahtara. Langer, Susanne K. 1953. Problems Of Art. New York: Charles Sribner’s Son’s Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Nugrahaningsih, RHD dan Heniwati, Yusnizar.2012. EditorTARI (Identitas dan Resistensi). Medan: UNIMED PRESS Nuryani, Dewi. 2011. Kajian foklor upacara tradisi busih di Desa Keton Kulon. Skripsi Universitas Muhammadyah Purworejo Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cutural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta: Mizan Publika. Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Yayasan Massa Prinst, Darwin, SH. 2004. Adat Karo, Medan : Bina Media Perintis. Poerwadarminta, W.J.S. 1984.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka Poerwadarminta, W.J.S 1999. Kamus Besar BahasaIndonesia Jakarta: Balai Pustaka Putro, Brahma. 1995. Sejarah Karo. Medan: Ulih Saber Rahma, Sitti. 2004.“Guro-guro Aron Pada Mayarakat Karo: Kajian Terhadap Perubahan Bentuk Pertunjukan”. Tesis S-2

Antropologi SPsUniversitas Negeri Medan Rouged. 1985. Music and Trance: A General Theory Of Relations Between and Possesion. Chicago: The University of Chicago

Press Roland, Barthes. 2010. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta : Balai

Pustaka Sarjani, T, 2008. Dinamika orang karo. Budaya dan modernisme. Medan: Abdi Karya Sarjani, T, 2014. Pengadilan Keradjaan Tanah Tinggi Karo Doeloe. Medan: Balai Adat Karo Indonesia Sarjani, T. 2011. Kepercayaan orang Karo. Medan BNB Press Sedyawati, Edi. 2007.Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta : Raja grafindo persada Sembiring, Norita N. 2010. Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara.

Dalam Budiawan (ed). Ambivalensi Post-kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 73—92.

Sinar, Tengku, Luckman. 2005. The History of Medan In The Olden Times. Medan:PERWIRA. Singarimbun, Masri. 1960. Seribu Perumpamaan Karo. Medan Ulih Saber. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Supranto, J. 2004. Proposal Penelitian dan Contoh. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-PRESS) Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Antusen Bilangen Ibas Kalak Karo. Makna Bilangan pada Masyarakat Karo. Bandung: FPBS

IKIP Tarigan, Kumalo. 2006. “Mangmang: Analisi dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera

Utara”. Penang: Tesis S2 Etnomusikologi Universitas Sains Malaysia. Tarigan, Perikuten. 2004. Tradisional Karo. Medan: USU Press Widaryanto 2007.Antropologi Tari. Bandung: Sunan Ambu PRESS STSI Widada, Rh. 2009. Saussure untuk sastra: sebuah metode kritik sastra struktural. Yogyakarta: Jalasutra. Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas. Media, Kematian, dan Identitas Budaya

Minoritas. Yogyakarta: UII Press

Page 105: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

99

ANALISIS STRUKTUR TARI GUEL PADA MASYARAKAT

GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH

Oleh: Maghfirah Murni Bintang P Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstract Guel dance is a dance which reflects the life of Gayonese community; it comes from the story of a brother and sister in the period of Linge Kingdom. This study was focused on the structure of Guel dance which was related to the social affairs of its community. The objective of the research was to analyze the Gayonese Guel dance structure in Central Aceh and to describe the idioms of aesthetic concept through its artistic technical structure. Guel dance structure consists of form/outside structure and content/inside structure. Form structure is closely related to show structure which includes the element in supporting the dance which consists of the structures of choreography, movement, music, and form. Choreography structure consists of the elements of movement, characterizing, norm/adat, communication, makeup and costume, accompanying music, and show location. Content/inside structure is related to the expression of aesthetic concept which becomes the symbol of Gayonese and their community’s moral values, adat, and religion. These symbols are clearly seen in Guel dance show in four acts (munatap act, redep dep act, ketibung act, and cincang nangka act). Each of them has a plot which is embodied in the way of movement which has the meaning of Gayonese life. Meanwhile, as a hint for an event, it has the meaning of visual symbol which also functions as guidance for its observer. Keywords: Guel Dance, Gayo, Analysis, Structure, Symbol

1. Latar Belakang Kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan menjadi kegiatan yang ada pada suku Gayo. Dalam bidang

kesenian, suku Gayo memiliki beragam kesenian mulai dari tarian, musik, sastra, dan teater. Tari Guel merupakan tari tradisi suku Gayo yang sudah cukup lama ada dan tercipta berdasarkan cerita rakyat tentang abang, adik, Sengeda dan bener Meria. Tari ini diciptakan dengan menjadikan alam sebagai sumber dalam pengolahan gerak, dan menjadikan gajah sebagai inti cerita karena alam memberikan insfirasi yang cukup banyak bagi masyarakat dalam menuangkan ungkapan kreatifitas mereka. Dalam hal ini ada pepatah klasik suku Gayo yang menyatakan tentang karya tari adalah kata “kepur nunguk tari nuwo (kepurni unguk tarini wo)”. Kata ini menyiratkan tentang gerakan dua ekor jenis burung yang menjadi dasar tari Gayo (Dinas Pariwisata Kab. Aceh Tengah, 2015: 13).

Dari gerakan burung ini kemudian tercipta tari-tari tradisi suku Gayo lainnya dan menjadikan alam/binatang sebagai sumber dalam kreatifitas kesenian masyarakatnya. Gerakan burung juga menjadi gerakan yang ada dalam tari Guel, yang terdapat pada gerak ‘jentik kedidi’ yang berdiri di atas pematang sawah, melompat-lompat untuk mencari makanan. Tidak heran apabila hewan menjadi sumber inspirasi masyarakat Gayo, dikarenakan masyarakat meyakini ada hubungan antara kehidupan hewan dengan kehidupan manusia, tercermin dalam isi cerita tari Guel. Penempatan Gajah putih sebagai inti cerita merupakan bentuk inspirasi pada kehidupan hewan.

Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah di kenal masyarakat Aceh sebagai asal mulanya Tari Guel, Guel di kenal sebagai tari yang berasal dari Gayo, yang didalamnya menyatu antara gerak, musik, seni sastra serta pertunjukannya dibagi dalam 4 babakan.

Dalam perkembangannya, tari Guel saat ini tidak hanya dilakukan dengan format ditarikan oleh dua orang penari laki-laki saja. Para seniman menuangkan kreatifitas mereka dengan menata kembali tari Guel dengan variasi gerak dan pola lantai yang menarik, baik dari jumlah penari yang menjadi 4 orang ataupun lebih, menyertakan penari perempuan dalam bagian cerita tanpa merusak format yang sudah ada.

Suku Gayo terbagai empat sub suku yaitu Gayo Lues, Gayo Deret, Gayo Lut, dan Gayo Serbajadi. Sebenarnya keempat suku ini adalah satu, yang membedakannya hanyalah wilayah tempat tinggal. Suku Gayo Lues berada di Kab. Gayo Lues, suku Gayo Lut (laut) atau disebut Gayo Laut Tawar mendiami sekitar danau Laut Tawar, Gayo Serbejadi, di daerah sekitar Serbejadi – Sembuang Lukup, termasuk kedalam daerah Aceh Timur. Manakala suku Alasdi daerah Alas yang berbatasan dengan daerah Gayo Lues.

Page 106: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

100

2. Upacara Adat, Struktur, dan Estetik Menurut Anto Soemarman (2003: 15), bahwa adat merupakan wujud idil dari kebudayaan yang berfungsi

sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam kebudayaannya sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi lebih khusus dalam empat yakni tingkat budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan aturan-aturan khusus. Upacara-upacara adat yang dimiliki suku Gayo sangat beragam dan berbeda satu dengan lainnya, namun tetap menjalankan konsep adat/syarak opat sebagai sandaran/pedoman dalam mengatur kegiatan adat yang mereka lakukan. Kehadiran tari sebagai media dalam pelaksanaannya juga dikarenakan adanya kesepakatan dari sistem adat serta pemaknaan dari tari itu sendiri, untuk disertakannya tarian dalam proses kegiatan upacara. Sistem adat yang berlaku bagi suku Gayo menjadi penguat bagi masyarakatnya untuk melakukan kegiatan, karena mereka telah menjalankan adat sesuai dengan sisten yang mereka akui, serta tidak melanggar dari norma-norma agama. Upacara-upacara adat yang ada dilakukan dengan menyertakan kesenian sebagai bagian dari ritual pelaksanaan, baik yang dilakukan untuk upacara, ataupun sebagai hiburan bagi mereka sendiri. Upacara-upacara adat ini menjadi wadah yang tepat dalam menjaga dan mewariskan bentuk-bentuk kesenian yang ada termassuk tari Guel.

Menurut teori, strukturalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang elemen-elemennya dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau aturan. Dengan demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami sebagai sistem penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.

Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur pertunjukan tari dan musik. Struktur mencakup etika pembawaan tari dan musik, makna tari maupun prosesnya, serta tujuan pertunjukannya. Penjelasan tentang struktur tari Guel dapat menjelaskan bagaimana keberadaan tari ini pada masyarakatnya, sehingga mereka dapat memahami kenapa tari Guel harus dan layak untuk dipertunjukan dan dipertahankan keneradaannya.

Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok yang sering disebut; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast).Adanya ungkapan rasa keindahan dan pengaruh psikologis yang dialami para pelaku kesenian, hal ini merupakan tanggapan keindahan terhadap benda seni tersebut yang tentunya karena adanya pengalaman estetik yang telah mereka peroleh. Sementara estetika itu sendiri dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan, (Effendy, 1993). Keindahan juga menyngkut keseimbangan dan keteraturan ukuran yakni ukuran material, yang melihat dari unsur-unsur dalam karya tari sebagai ungkapan dari masyarakatnya.

Dengan kata lain sebuah karya seni dilihat tidak hanya dari sisi bentuknya saja, melainkan keseluruhan dari elemen yang ada merupakan ungkapan dari masyarakat pemiliki karya tersebut. Sehingga estetika terbentuk dari pemahaman masyarakatnya, dan dilihat dengan bagaimana kita dapat mersakannya. Dengan demikian keindahan berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya, oleh karena dalam melihat keindah sebuah karya dapat dilihat dari isi tarian yang melatar belakanguinya dan bentuk/wujud dari karya tari tersebut.

3. Teori Estetika

Keindahan adalah susunlah kualitas atau pokok tertentu yang didalamnya terdapat beberapa unsur yaitu; adalah kesatuan (unity) keselarasan (harmony) kesetangkupan (symmetry) keseimbangan (balance) dan pertentangan (contrast). Kesemuanya ini saling terkait di dalam sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia.

Menjawab permasalahan hadirnya tari Guel digunakan pendapat Janet Wolf dalam bukunya berjudul The Social Production Of Art tentang aspek kesejarahan dan dibantu dengan teori sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dikatakan bahwa perkembangan seni tidak bisa terlepas dari masyarakat pemiliknya (seni produk masyarakat) (Janet Wolf dalam Slamet, 2012:19).

Menjawab tentang alasan hadirnya tari Guel, digunakan pendapat dari Talcott Parson dalam Harsja W. Bachtiar dalam Birokrasi dan Kebudayaan buku Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (Editor Alfian) yang menyatakan

Kebudayaan merupakan suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti pada laku ujaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antar satu dengan lain. Unsur terkecil dari sistem ini, yang biasanya dinamakan sistem budaya, adalah simbol sehingga kebudayaan bisa juga ditanggapi sebagai suatu sistem simbol. Sistem simbol ini terdiri dari empat perangkat

Page 107: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

101

yaitu, simbol-simbol konstitutif yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama, simbol-simbol yang membentuk ilmu pengetahuan, simbol-simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan, dan terakhir simbol-simbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresif (Alfian, 1985:66).

Menjawab tentang permasalahan koreografi digunakan konsep Y. Sumandiyo Hadi tentang koreografi

kelompok dan di bantu dengan teori laban tentang efford dan shape. Y. Sumandiyo Hadi (2003), menjelaskan bahwa struktur elemen koreografi dapat dilihat melalui tujuh tahap yaitu sebagai berikut.

Orientasi garapan menjelaskan dasar pijakan dan arah pengembangan dari garapan tari itu, sedang dasar pemikiran akan memberikan keterangan tentang konsep-konsep garapan tari yang meliputi aspek-aspek atau elemen-elemen koreografi antara lain, gerak tari, ruang tari, iringan/musik tari, judul tari, tema tari, tipe/jenis/sifat tari, mode atau cara penyajian, jumlah penari, jenis kelamin dan postur tubuh, tata rias, tata busana, tata cahaya atau stage lighting, dan properti tari atau perlengkapan lainnya (Hadi, 2003:85-86).

Tari Guel merupakan tarian kelompok yang ditarikan oleh lebih dari empat orang. Tarian ini fokus kepada kemampuan kelompok, bukan kepada individunya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama, saling ketergantungan atau terkait satu sama lainnya, agar menjadi satu kesatuan yang kompak. Menurut Y.Sumandiyo Hadi dalam bukunya Koreografi Bentuk-Tekhnik-Isi.

Pendekatan koreografis baik menyangkut masalah bentuk, tekhnik dan isi sangat

berhubungan dengan aspek-aspek koreografi kelompok seperti aspek jumlah penari dan jenis kelamin, aspek motif gerak, aspek struktur ruang, dan aspek struktur waktu ( Y.Sumandiyo Hadi, 2011:81).

Berkaitan dengan penjelasan di atas mengenai bentuk dan struktur elemen koreografi pada tari Guel, di

dalam pembahasan nantinya akan dijelaskan dan memilah-milah bagian tersebut. Pembahasan mengenai bentuk dan struktur elemen koreografi ini akan di bahas pada bab 3.

Menjawab pemaknaan bentuk tari Guel digunakan teori dari Desmond Moris dalam buku yang berjudul Manwaching : A Field Guide To Human Behavior yaitu tentang perilaku, yang dapat dipahami setiap perilaku manusia mengandung makna atau tanda. Disebutkan bahwa, dalam kaitannnya tantang tari Guel digunakan model analisis tentang religi display, yes or no, status display, dan clothing display.. Makna gerak yang berkaitan dengan tari Guel dijelaskan sebagai berikut.

Religious display, Status display, Yes no signal, dan Clothing signal. Religious display: menjelaskan tentang keagamaan, tentang tingkah laku, berkelakuan, dan bergerak. Status display : menunjukkan status sebagai penggabaran dalam hal ini makna dua belas yang dianggap mempunyai peranan penting dalam masyarakat desa Seuneulop. Yes no signal: menjelaskan apakah itu suatu tanda apa tidak. Clothing signal : menjelaskan tentang busana atau kostum yang dipakai pada saat penampilan. Kostum yang seperti apa dibutuhkan (Desmond Moris, 1997:63-213).

Kemudian untuk menjelaskan mengenai makna simbolis tari Guel di Kabupaten Aceh Tengah,

menggunakan teori yang dikemukakan oleh Allegra Faller Syneder judul Dance Symbol. Di dalamnya menjelaskan bagaimana “proses yang terjadi di dalam masyarakat kemudian terwujud ke dalam bentuk (teks) sehingga menjadi simbol”. Penjelasan oleh Allegra Faller Syneder secara keseluruhan berbicara mengenai konteks (simbol) menjadi wujud (teks). Berkaitan dengan simbol-simbol (Jazuli, 2013) kesenian melalui simbol-simbol yang ada merupakan sebuah fenomena kebudayaan yang di dalamnya memiliki fungsi dan peran untuk menyampaikan berbagai pesan, gagasan, dan nila-nilai budaya (M. Jazuli, 2013 :157).

4. Adat Istiadat Gayo

Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunya sistem adat, begitu juga dengan suku Gayo yang mendiami wilayah dataran tinggi, mempunyai adat sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Menurut

Page 108: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

102

Mahmud Ibrahim (2007: 5) pada sekitar tahun 1115 Masehi, raja (reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh penduduk Negeri Lingga (negeri Linge) disebut “Petu Merhum Mahkota Alam” untuk pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para ulama dan pemimpin masyarakat Lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di Istana raja Lingge (reje Lingge) Umah Adat Pitu Ruang neggeri Lingge oleh raja Petu Mehrum mahkota Alam.

Foto 1 : Rumah adat suku Gayo yang dinamakan juga dengan umah adat pitu ruang

Rumah panggung /umah adat pitu ruang tidak hanya sebuah bangunan yang dijadikan tempat tinggal, namun rumah ini menjadi milik suku, dengan fungsi dan kegunaan yang menyertainya. Rumah ini terdiri dari panggung dengan tangga masuk berada di luar rumah, sedangkan pintu rumahnya tingginya sekitar 1.50 m. Saat masuk ke “rumah orang” harus pelan-pelan karena naik tangga tidak boleh terburu nafsu. Kemudian juga harus hati-hati, karena tangga sering kena hujan sehingga sering licin. Selanjutnya saat dibukakan tuan rumah kita harus menunduk karena atas pintu lebih rendah dari pada kita. Bila kita “masuk rumah” orang dengan kepala tengadah, maka kepala kita akan terbentur. Akan tetapi setelah kita masuk diterima tuan rumah, maka terlihat ruangan yang sangat luas untuk berkumpulnya keluarga serta tamu, sehingga terlihat keterbukaan, keikhlasan dari suku Gayo dalam menjalin persaudaraan sesuai dengan kesepakatan yang di atur dalam sistem adat Gayo.

Sistem adat itu sendiri termuat dalam kitab mereka, terdiri dari 45 pasal berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat istiadat dari zaman dahulu hingga sekarang dan tetap dilaksanakan pasal demi pasal dalam semua keadaan mengenai keadatan. Sementara itu umah adat pitu ruang juga dijadikan sebagai simbol/lambang dari Kabupaten Aceh Tengah yang memiliki filosopy berdasarkan adat yang telah mereka sepakati.

Adat yang telah disusun sebanyak empat puluh lima pasal menjadi panutan bagi suku Gayo yang didalamnya tertuang aturan tata krama dalam sistem bermasyarakat seperti dalam pepatah Gayo :

“munatur murip sibueten sarak opat,in penguet ni ahlak menenah buet, menyoki belide remet, melupeti junger, mubantah hakim, menumpang ale, munyugang edet i engon ku bekase”

(tata krama dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga akhlakul karimah, tidak membuat kekerasan atau pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan, supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).

Pepatah ini menyiratkan tentang menjalani kehidupan bahwa adat berbicara mutlak-mutlakan, berjalan

memakai tongkat, hakikat sesuatu disimpan dengan baik, syarat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam mengenal mana yang hak mana yang baik, sementara adat membedakannya. Sesuatu yang wajib harus dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat dilakukan kapan dan dimana saja.

Pelaksanaan adat ini dipakai dalam semua unsur dari hal yang terkecil sampai yang terbesar serta mempunyai aturan dalam penyelesaiannya yang harus dipatuhi dan dijalankan. Fungsi dari adat itu sendiri yaitu: 1. Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai kebiasaa-kebiasaan. Adanya ada

dikarenakan manusia hidup berkelompok-kelompok lalu membuat berbagai keputusan disebut peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka dan dipandang sebagai undang-undang tanpa tertulis.

Page 109: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

103

2. Adat Gayo bernilai spritual dan berorientasi kepada akhlakul karimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar (salah bertegah benar berpapah). Adat gayo, jelas menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak adat adalah hablumminannas.

3. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial) masyarakat, terikat dengan “murip ikanung edet, mate ikamnung bumi, murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati dikandung bumi/tanah, hidup harus benar, mati harus suci).

4. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagai suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku, atu mulabang kepapan’ (sudah melembaga)

5. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing berfungsi laksana undang-undang. 6. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuai perbuatan 7. Adat istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi sebagai warisan

sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat (Hakim, 1998: 14). Dengan demikian fungsi adat ini tampak jelas untuk mengatur kehidupan yang berlaku dengan menjadikan

ajaran Islam sebagai pedoman. Dalam arti apabila ada kekeliruan yang terjadi, maka akan dikembalikan kepada Al Qur’an dan yang membuat adat tersebut. Fungsi adat ini menjadi sistem yang berlaku pada masyarakat Gayo. Di dalam sistem adat Gayo ada tahapan adat yaitu, mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang Gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genapmupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), bersikemelen (kompetitif). Tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai “utama” yang disebut “harga diri” (mukemel). untuk mencapai harga diri itu, seorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai “penunjang”. Nilai – nilai penunjang itu adalah: “tertib”, “setia”, “kasih sayang”, “kerja keras”, “amanah”, “musyawarah”, “tolong- menolong”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dengan adat seperti zat dengan sifat, seperti dalam pepatah Gayo.

“edet mugenal hokum mubeza Kuet edet muperala agama Rengang edet benasa nama Edet menukum musifet ujud Ukum munukum musifet kalam Edet sifetni resam, resam itinyo edet Edet atan astana, hokum atan agama Dewe hadis ulaken ku empuwe Edet turah berujud Fiil turah berupe Semi turah bertubuh

(adat mencari hukum dijadikan neraca Bila kuat adat terpeliharalah agama Renggang adat rusaklah nama Adat menghukum bersifat wujud Hukum menghukum bersifat pasti Adat sifatnya resam, resam ditinjau adat Sumber adat dari istana, hukum dalam agama Berselisih pendapat tentang hadist dikembalikan ke firman Berselisih pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya Adat harus dibuktikan Fiil harus mempunyai rupa Semi harus bertubuh (Hakim, (1998:14).

5. Agama Sebagaimana halnya kebanyakan wilayah di negeri ini, mayoritas penduduk Kabupaten Aceh Tengah

memeluk agama lslam, diikuti oleh Kristen Katolik, Protestan, Persentase umat lslam sekitar 96,4 persen lebih. Masyarakat Gayo yang berdomisili di Takengon mayoritas memeluk agama Islam. Namun ada beberapa pendatang.

Page 110: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

104

Suku Gayo dengan Islam sebagai agama yang dominan dianut, tidak menjadikan masyarakatnya menutup pada bentuk-bentuk hiburan yang menyertakan kesenian dalam materi acara. Kesenian sudah ada sejak sebelum agama Islam masuk ke wilayah Gayo, yang kemudian memasukkan ajaran Islam dalam pertunjukan dan dijadikan sebagai media memperkenalkan dan pengajaran tentang Islam. Pertunjukan kesenian dilakukan dalam memperingati Maulid nabi, Isyrak mikraj, perayaan setelah hari raya Idul Adha, dan memasukkan ajaran Islam sebagai aturan dalam pertunjukan, yang juga menempatkan kesenian Aceh sarat dengan ajaran Islam di dalamnya.

6. Upacara Adat

Masyarakat Gayo melakukan berbagai kegiatan upacara adat yang telah ada sejak zaman nenek moyang mereka hingga sekarang. Upacara-upacara adat tersebut mereka lakukan sebagai bentuk dari kepatuhan dalam menjaga sistem adat yang sudah mereka sepakati.Syarak opat sebagai panduan dalam system adat menjadi patokan utama dalam pelaksanaan upacara-upacara adat yang mereka lakukan. Upacara-upacara adat yang ada antara lain: Turun Mani, Sunet rasul, Kenduri Ulu Nueh, Mulongom Umah dan Ngerje(perkawinan). Upacara Turun Mani adalah upacara Akikahan7, biasanya dilaksanakan pada hari ketujuh anak yang baru lahir, dengan mengadakan syukuran semoga anak yang di aqiqah menjadi anak yang sholeh dan sesuai dengan harapan kedua orang tua. Upacara Sunet Rasul adalah upacara Khitanan, biasanya dilaksanakan sesudah beberapa hari anak tersebut disunat. Upacara Kenduri Ulu Nueh adalah upacara yang dilakukan sebelum memulai bersawah. Upacara Mulongom Umah adalah upacara yang dilaksanakan pada saat menempati rumah yang baru selesai dibangun. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat ini menjadi bukti akan kepatuhan masyarakat dengan aturan-aturan yang menjadi pedoman mereka dalam menjalankan kehidupan. 7. Asal Mula Tari Guel

Bener Meria ia lukiskan seekor Gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud asli.

Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule. Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan membakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak-gerak yang tidak beraturan, bergerak kesana kemari mengikuti bunyi yang berasal dari benda-benda yang dipukul untuk memancing sang Gajah.

Perlakuan rombongan Sengeda akhirnya menarik perhatian Gajah putih untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah. Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai Gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan dan mengikuti Sengeda ke istana sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak oleh kaum ibu-ibu yang dilewati oleh rombongan. Perjalanan ini dilakukan hingga berhari-hari hingga sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Dari proses pencarian Gajah hingga terbujuknya Gajah dengan bunyi-bunyian dan berdasarkan dari gerak-gerak Gajah,terciptalah tari Guel dengan Gajah sebagai insfirasi penciptaan.Dalam pertunjukan tari Guel, yang sering dijumpai pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, adalah kepatuhan dari Sengeda atas perintah raja dan kasih sayangnya pada Benar Meria menjadi rangkaian susunan tari yang indah.

Sumber di atas merupakan isi cerita dari tari Guel, sementara untuk nama Guel diambil dari proses pencarian dalam membangunkan dan membawa Gajah. Kata “Guel” dalam bahas Gayo berarti “bunyi” yang

7Kegiatan ini merupakan salah satu kewajiban yang dilakukan oleh umat muslim bagi yang mampu pada anaknya yang baru lahir,

dengah melakukan ucapan syukur (kenduri) dan mengundang tetangga, keluarga untuk hari bahagia, biasanya acara aqiqah sekaligus acara untuk pemberian (penabalan) nama bagi anak.

Page 111: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

105

didapat dari pukulan berbagai benda yang menimbulkan suara. Diceritakan, ketika Gajah tidak mau bangun, maka Sengeda dan rombongan berupaya untuk dapat menaklukkan Gajah, dengan gerakan memohon dan mengajak Gajah seperti bersalaman hingga 7 kali. Akhirnya dengan rasa tulus dari Sengeda dan rombongan dalam merayu Gajah, Gajah pun mau untuk di bawa ke istana.

8. Karakter Tari Guel

Dalam tari Guel karakter tari di bagi 3 penokohan yaitu, karakter Sengeda atau Guru Didongyakni penari yang mengajak Beyi (aman Mayak) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (pelaminan). Karakter Bener Meriah yang menjadi Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (pengantin laki-laki). Peran pendukung yaitu pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.

Penguatan karakter dalam sisi gerak, tidak begitu jauh berbeda antara karakter Sengeda dan karakter Bener Meriah. Secara konsep tari Guel, gerak yang dilakukan Bener Meriah sebagai Gajah putih tidaklah sebanyak gerakan yang dilakukan oleh Sengeda. Karakter Bener Meriah (Gajah putih) lebih banyak melakukan gerakan diakhir babak. Peran Gajah putih diawali dengan melakukan gerakan berlari kecil kemudian duduk, dan selanjutnya menunggu peran Sengeda untuk mengajaknya ke istana. Pada tahapan ini, gajah putih menirukan gerakan yang dilakukan Sengeda yang menonjolkan pada gerak-gerak Gajah, berjalan lambat dengan gerak lembut, merentangkan tangan, menggerakkan telinga dan menggoyangkan belalai. Selain itu pola gerak melengkungkan jemari dengan merapatkan membentuk seperti ujung belalai gajah terlihat sangat khas dan menjadi ciri dari tari Guel. Gerakan Gajah ini juga dilakukan oleh karakter Sengeda dan penari pendukung, sehingga isi cerita tentang Gajah Putih sangat terasa, selain gerakan Gajah, dalam tari Guel juga menampakkan gerakan burung. Terlihat pada gerakan tangan merentang, kaki diinjit, kemudian berputar, menukik tajam dengan membungkukkan badan, seolah-seolah mencari mangsa dengan penuh kewaspadaan. Keseluruhan gerakan yang dilakukan merupakan gerak-gerak dari alam ini kemudian disusun/ditata menjadi rangkaian gerak dalam Guel, dan dilakukan oleh kedua karakter dalam tari Guel ini.

Karakter lain dalam tari Guel terlihat pada pembedaan dalam pemakaian busana, biasanya karakter Sengeda (Guru Didong) memakai pakaian kerawang Gayo berwarna Hitam, sedangkan karakter Bener Meriah yang berperan menjadi Gajah putih, memakai pakaian krawang Gayo dan kain yang berwarna putih. Untuk peran penari pendukung, biasanya memakai pakaian Krawang Gayo berwarna Hitam sama dengan pakaian Sengeda, demikian juga dengan pakaian penari perempuan.

Pemakaian dari busana dalam tari Guel di atas mengikuti pakaian yang dipakai dalam sistem sarak opat, yaitu: 1. Pakaian Raja, warna dasar hitam dengan warna motif kerawang didominasi oleh warna kuning. 2. Pakaian imem, warna dasar hitam dengan warna motif kerawang didominasi warna hijau. 3. Pakaian petue, warna asar hitam dengan warna motif kerawang didominasi oleh warna merah hati. Pakaian rayat genap mupakat, warna dasar hitam dengan marna motif kerawang didominasi oleh warna putih 9. Pertunjukan Tari Guel

Penyajian tari Guel dilaksanakan pada saat acara Mah Bai dalam rangkaian upacara perkawinan. Tujuan dari menyertakan tari ini adalah sebagai penyambutan untuk menghormati rombongan mempelai laki-laki yang datang dengan keluarga dan kerabatnya. Pada saat ini lah tari Guel memegang peran utama, melalui tarian, upacara penghormatan sebagai wujud rasa gembira, ikhlas, bahagia tersampaikan.

Seperti yang dikatakan oleh Sal Murgianto tentang teori bentuk, yang membedakan menjadi dua yaitu bentuk yang tidak terlihat dan bentuk yang terlihat. Bentuk yang tidak terlihat dapat diamati dari batin penari itu sendiri meliputi perasaan maupun isi hatinya. Kemudian dituangkan melalui bentuk yang terlihat, meliputi gerak-gerak dalam tarian dan juga ekspresi dari sang penari.

Tari Guel adalah tari yang ditampilkan secara berkelompok, dan dapat menyesuaikan dengan konteks pertunjukan. Pada kegiatan upacara perkawinan, tari Guel ditarikan oleh 1-4 penari laki-laki dan 6-10 penari wanita. Tari Guel dipertunjukan pada acara perkawinan yaitu pada penyambutan mempelai. Selain untuk acara perkawinan, tari Guel juga dipertunjukan pada acara penyambutan tamu-tamu daerah, dengan pola garapan yang berbeda namun tetap memegang aturan dan struktur dari format tari Guel yaitu adanya empat babakan.

Pada awalnya, bentuk pertunjukan tari Guel hanya ditarikan oleh 2 orang penari yaitu yang berperan sebagai Sengeda dan yang berperan sebagai Gajah Putih (Bener Meriah). Dalam perkembangannya, tari Guel mulai menambahkan jumlah penari dan penambahan pada penari wanita sebagai pelengkap dari pertunjukan.

Page 112: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

106

Perubahan ini dilakukan dalam acara perkawinan dan pertunjukan sebagai apresiasi dari sebuah karya seni. Penamahan yang ada tidak mengganggu dari format yang sudah ada sejak awal, penambahan dilakukan untk memeriahkan pertunjukan serta mempertajam dari cerita yang disampakan, sehingga pesan-pesan dari tarian dapat tersampaikan.

10. Deskripsi Tari Guel Secara hirarkis struktur bentuk tari Guel dibagi menjadi empat bagian, yaitu; bagian Babak Menatap, babak

Redep/Dep, babak Ketibung, babak cincang nangka. Dari masing-masing bagian tersebut secara berstruktur terbentuk dari kalimat gerak, ragam tari, dan motif gerak. Keempat babakan yang ada dalam tari Guel tertuang dalam beberapa ragam gerak yang berpijak pada gerak-gerak tari tradisi dan diiringi lagu/musik. Dalam bahasa Gayo istilah yang menyatukan gerak dan lagu disebut dengan sining, sehingga sining merupakan perpaduan dari gerak dan lagu/nyanyian.

Pembabakan dalam Tari Guel

No Babak Penjelasan Gambar

1. Munatap Diawali dengan guru didong masuk ke dalam pentas dengan gerak kaki diinjit dan bergerak maju, dilanjutkan dengan gerak jentik kedidi, sining lintah, semar kalang dan kepur nunguk, kemudian duduk.

- Posisi gajah putih duduk dengan menangkupkan kedua tangan di paha

- Setelah mendapat bujukan dari Sengeda, perlahan gajah putih menyelubungi badannya dengan kain untuk perlahan bangkit

- Gajah putih bangkit dari duduknya 2. Redep dep Gajah putih berkenan mengikuti

permintaan sengeda. Gajah putih bangun dari tempatnya dan menuruti gerakan-gerakan yang diperagakan oleh sengeda

Page 113: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

107

- Gajah putih berhasil dibujuk dan kemudian berdiri mengikuti Sengeda

- Posisi gajah putih yang menerima keinginan Sengeda - Gajah putih mengikuti gerakan yang dilakukan Sengeda

3. Ketibung Kesediaan gajah putih untuk mengikuti permohonan sengeda makin terlihat dengan memperlihatkan gerakan-gerakan tari yang diperagakan sengeda yang kemudian diikuti gajah putih

4. Cincang nangka

Gerakan yang dilakukan cenderung bebas, pertanda permohonan telah dikabulkan dengan ikutnya gajah putih dalam rombongan ke istana linge diiringi dengan lagu ‘turun ku belang’ dan lagu gedek-gedek’ menyatakan tarian telah selesai dan penari keluar tempat pertunjukan.

Page 114: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

108

- Bentuk gerak seperti Sengeda mengajarkan gerakan setengah duduk dan berdiri yang menunjukkan kegembiraan gajah putih. Gerak dilakukan mengikuti irama yang semakin lama semakin cepat

- gerakan dilakukan dengan berganti-ganti pola lantai melingkar dan tegak lurus

- Pada posisi berdiri, penari yang membawa beras masuk edalam pentas dengan menabur beras dan bunga kepada sengeda dan bener merie dengan berkeliling mengitari sengeda dan bener merie

- Berbagai ragam gerak yang diinginkan penghulu mungkur dan penghulu bedak untuk dilakukan sengeda dan bener merie.

- Iringan rombongan melakukan gerak-gerak yang bervariasi hingga ke istana dengan mengantarkan gajah putih.

- Sengeda memberi salam persembahan penyerahan gajah putih kepada Sultan Aceh dengan khidmat.

Page 115: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Bab II: Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya Dalam Konteks Globalisasi

109

11. Tata Rias dan Busana Pemakaian rias dan busana merupakan bahagian dari elemen pendukung sebuah tarian, penggunaannya akan berbeda dari masing-masing tarian sesuai dengan tujuan dari pelaksanaannya

Foto 3.1: Busana penari Bener Meriah dan busana penari Sengeda, keduanya memakai busana daerah Gayo dengan ciri khas tenunan kerawang Gayo

(Dokumentasi: Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Tengah )

Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan. Th. I. No. 1 Jakarta. Adi Pramono, M. Soleh. 1984. Gerak Permainan Gunungsari Patrajaya; Sebuah Analisis bentuk dan Gaya pada Wayang Topeng

Malang : Skripsi Sarjana Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta (tidak diterbitkan). Ahimsa Putra, 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. Tekstual dan Kontekstual. Makalah Seminar Seni Partunjukan Indonesia (tidak diterbitkan).

Surakarta: STSI Alma, M. Hawkins. 1990. Mencipta Lewat Tari 9diterjemahkan oleh Y. Sumandiyo Hadi0. Yogyakarta;ISI Alisjahbana, Sutan Takdir. 1989. (Cetakan ke 4). Antropologi Baru. Jakarta: Aian Rakyat. Bachtiar, Harsya W. 1980/1981. Kreativitas: Usaha Memelihara Kehidupan Budaya, Analisis Kebudayaan. 2: 13-18 Bachtiar, Hasyim, 1985. “Birokrasi dan Kebudayaan”, dalam Alfian, (ed). Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta:

PT Gramedia Bachtiar, Hasyim, 1985. Sistem Budaya di Indonesia. Dalam Bachtiar Harsya W., Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek

Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Jago Copy Blogspot (Eds). Budaya dan Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PT Hinindita.

Baghdadi, Abdurrahman Al. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vokal, Musik dan Tari. Jakarta: Gema Insani Press. Budhisantosa, S. 1980/1981. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan, Majalah Analisis Kebudayaan Budiman,

Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS Denzin, Norman K; Yvona S. Lincoln, (ed). 1994. Handbook of Qualitative Research. London- New Delhi: SAGE Publications. Djamil, M. Junus, 1950. Gajah Putih. Kuta Rja; Lembaga Kebudayaan Atjeh. Dinas Kebuadayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kab. Aceh Tengah, 2015. Tari Guel. Sibuku Media, Takengon Aceh

Tengah. Jannah, Raudhatul. 2016. ‘Sining dalam tari Guel pada masyarakat Gayo di desa Kemili Aceh Tengah; Kajian Tekstual, skripsi

S-1 Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara. Foucoult, M. 1973. The Order of Thinks: An Archeology of the Human science. New York: Pantheon. Geerts, Clifford, 1973. Interpretation of Culture. Selected Essays. New York: Geerts, Clifford. 1968. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Geerts, Clifford, 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. New Jersey: Princenton University Press. Hurgronje. C.S. (1985). Aceh di Mata Kolonialisme. Penerjemah. Ng. Singarimbun-Cet I – Jakarta. YayasanSoko Guru Hadi, Sumandiyo, 2005. Sosiologi Tari Yogyakarta: Pustaka Jaya

Page 116: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

110

Hadi Sumandiyo, 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: PUSTAKA. Hadi Sumandiyo, 2007. Kajian Tari, Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher Hawkin, Alma M. 1964. Creating Trough Dance. New Jersey: Printice Hall Inc. Haviland, W.A. 1985a. Antropologi: Jilid 1. Terjemahan R.G. Soekadijo. Tanpa tahun. Jakarta: Erlangga. Haviland, W.A, 1985b. Antropologi: Jilid 2. Terjemahan R.G. Soekadijo. Tanpa tahun. Jakarta: Erlangga. Ibrahim, Mahmud. (2007). Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon. Yayasan Maqamammahmuda Takengon. Jannah, Raudhatul. 2016. ‘Sining di dalam Tari Guel. Pada Masyarakat Gayo di desa Kemili Aceh Tengah; Kajian Tekstual. Kadir. S. (1960). “Perkembangan Agama Islam di Gayo”. Kutaraja. Naskah Ketik. Kadir, Abdul. (Penterjemah). Diktat Estetika. Jilid I. Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. (seri Esni No. 3) Jakarta: Sinar Harapan. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Koentjarangingrat. (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Koentjarangingrat, 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kroeber, A.L. 1952. The Natural of Culture. Chicago: The University of Chicago Press. Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Schribner’s Sons. Lincoln, Y.S and Guba, E.G. 1984. Naturalistic Inquiry. California: SAGE Pub. Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer. (terjemahan: Nin Bakdi Sumanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press. Meri, La. 1968. Dane Composition, The Basic Elements. Terjemahan Soedarsono, 1985. Yogyakarta: Lagaligo. Miles, Mattew B., Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Moleong, J. Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh.(1972). Bagaimana Islam Memandang Kesenian. Majelis Adat Aceh. (2005). “Fatwa AdatdanPokok-pokok Pikiran. Hasil Raker MAA Kab. Aceh Tenggara. Kutacane. Mahmud asy-Syafrowi, Wahid Najmudian, dan M. Ikhsan, 2010. Mana ada orang yang miskin kerana sedekah dan Silaturahim.

Mutiara Media, Yogyakarta. Melalatoa. M.J. (1982). KebudayaanGayo. Jakarta. PN. BalaiPustaka Melalatoa. M.J. (1983). “Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo”. Disertasi.

Dalam Ilmu Sastra Universitas Indonesia. Jakarta Noerhadi, Toeti Heraty. 1992. “Semiotik”, Matra. 71: 110 – 115. O’Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Terjemahan: Yasogama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Parson, Tolcot. 1951. The Structure of Soscial Action..2nded. New York: McGraw-Hill. Patton, Mchael Quin. 1990. Qualitative Evaluations and Research Methods. Newbury Park: SAGE Pub. Peacock, L. James. 1968. Rites of Modernization (Simbolic and Social Aspects of Indonesia Proletarian Drama). Chicago: The

University of Chicago. Pujasworo, Bambang. 1982. Studi Analisa Konsep Estetis Koreografis Tari Bedhaya Lambangsari. Skripsi Seniman Tari

Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta. Soedarso 1998. Seni dan Keindahan, dalam Pidato Ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI

Yogyakarta. Yogyakarta: 30 Mei 1998. Said. Mohammad.(2007) Jilid II.Aceh Sepanjang Abad. Medan Strauss, Anselm L, and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedure and Techniques.

London: Sage Publications. Sutopo, HB. 1990. Struktur Kritik Holistik.Sebuah Pendekatan Kritik Seni yang terbuka dan Luwes. Makalah Disajikan Dalam

Seminar Lokakarya Penelitian Kualitatif di Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan FPBS IKIP Surabaya. Sunny. Ismail. Ed. (2000) Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta. Bharata Karya Aksara. Strauss. Levi. C. (1963). Structural Anthropology. New York. Basic Books. Inc. Syamsudin. T. at.al (1985). “UpacaraTradisional Daerah Istimewa Aceh. Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam dan

Keepercayaan”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta.

Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Waters, Malcom. 1994. Modern Sosiological Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World. Inc. Wido, Soerjo Minarto. 2002. Dasar-Dasar Komposisi dan Koreografi. Malang: Universitas Kanjuruhan Malang (tidak

dipublikasikan). Daftar Informan 1. Nama : Teuku Aga

Umur : 23 tahun Alamat : Kampung Kemili Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah Pekerjaan : Koreografer tari, salah satu pelatih Sanggar Renggali, dan penari guel.

2. Nama : Syukri Tomas

Umur : 30 tahun Alamat : Takengon, Aceh Tengah Pekerjaan : Pemain suling Gayo. Pekerjaan sehari-hari PNS

Page 117: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Bab II: Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya Dalam Konteks Globalisasi

111

3. Nama : H. Ibrahim Kadir Umur : 75 tahun Alamat : Jl.Mess Time Ruang No.4, Kampung Kemili Kec. Bebesen Kabupaten Aceh Tengah Pekerjaan : Penggiat seni, Koreografer tari

4. Nama : Ja’far Umur : 70 tahun Alamat : Tekering Kec.Bukit Kab.Bener Meriah Pekerjaan : Dewan Mahkamah Adat Gayo (MAG)

5. Nama : Bahar Umur : 45 tahun Alamat : Simpang tiga, Bener Meriah Pekerjaan : Penulis buku dan kolektor buku adat Gayo, Pekerjaan sehari-hari PNS

6. Nama : Usman Umur : 52 tahun Alamat : Reje Guru, Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Pekerjaan : Pelatih tari guel dan pengrajin kerawang

7. Nama : Yusrijal Umur : 50 tahun Alamat : Kampung Pendere, Lorong Teganing, Aceh Tengah Pekerjaan : Pelatih tari guel, pemilik sanggar oloh Gayo, dan pembuat alat musik suling dan teganing. Beliau

juga guru SD

8. Nama : Dra. Suryani Umur : 48 tahun Alamat : Bale Redelong, Kec. Bukit, Kab. Bener Meriah Pekerjaan : Pencinta budaya yang mengetahui banyak mengenai adat-beradat suku Gayo dan kolektor buku

Gayo. Pekerjaan sehari-hari PNS

9. Nama : Mahmudin Ariga Umur : 21 tahun Alamat : Pondik baru, Bener Meriah Pekerjaan : Penari

10. Nama : Bukhari Umur : 53 tahun Alamat : Takengon, Aceh Tengah Pekerjaan : Mahkamah Adat Gayo (Bener Meriah)

Page 118: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

112

MEMAHAMI ADAT DALAM KEBUDAYAAN MELAYU

Muhammad Takari

Program Studi MPPSn FIB USU dan Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia Email: [email protected]

Abstract

Throughout this article the authors describe customs in Malay culture. The method which used for this study is the qualitative, by means of in-depth interviews of the adat leaader in the Malay culture. The theory used in this paper is the theory of ethnosciences, which views knowledge in culture by a group of people (in this case the Malay World community), according to their own point of view. The result obtained from this ethnoscience study is that adat is the deepest core in Malay culture that is the foundation of filling the life and organizing between individuals. In addition, there are four stratifications of the Mrelayu custom, namely: (1) adat sebenar adat (as a natural law of God), (2) adat yang diadatkan, a system of leadership in the most general sense, (3) adat yang teradat, habits that are in a certain period become customary, become part of change and continuity, and (4) adat istiadat, custom, which means the manifestation of ritual or ceremony

Keywords: culture, custom, ethnosciece, adat, system.

1. Pengenalan

Adat adalah inti atau nukleus dari tamadun (sivilisasi) Melayu. Oleh itu, boleh ditafsirkan bahawa adat dalam budaya Melayu ini, telah ada sejak manusia Melayu ada. Adat selalu dihubungkaitkan dengan bagaimana manusia mengiris dirinya, kumpulan, serta hubungan manusia dengan alam (sama ada alam nyata mahupun gaib atau supernatural), dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan demikian adat memiliki makna yang “sinonim” dengan kebudayaan.

Mengikut Husin Embi et al. (2004:85) adat merupakan peraturan yang dilaksanakan (diamalkan) secara tutun-temurun dalam sesebuah masyarakat, hingga menjadi hukum dan peraturan yang harus dipatuhi. Sementara istiadat adalah peraturan atau cara melakukan sesuatu yang diterima sebagai adat. Adat dan istiadat memiliki hubungan yang rapat, dan dipandang sebagai alat yang berupaya mengatur kehidupan masyarakat, yang matlamatnya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kerukunan hidup. Adat-istiadat membentuk budaya, yang kemudian mengangkat martabat masyarakat yang mengamalkannya.

Menerusi pendapat Zainal Kling (2004:41) kebiasaan dan ketetapan corak kehidupan kelompok manusia tidak hanya ditentukan oleh sifat saling maklum balas sesama mereka sahaja, tetapi juga ditentukan oleh kesatuan dengan alam—atau kebiasaan sikap terhadap alam di tempat manusia itu bermastautin dan berusaha mencari kehidupan. Setiap hari, secara tetap manusia mencari rezeki dari sumber-sumber alam (dan juga jasa), baik siang maupun malam, juga menurut perjalanan matahari dan bulan, turun naik dan pasang surut air laut, dan juga ketetapan perubahan musim hujan, panas, dan angin. Di daerah-daerah di luar khatulistiwa, bahkan dikenal empat musim, iaitu: panas, daun gugur, dingin, dan semi. Sifat alam yang sangat tetap ini menetapkan pula prilaku manusia, yang berhubung dengan keadaan alamnya untuk dapat menentukan jadwal kerja dan mencari sumber kehidupan mereka.

Mengikut pandangan penulis, keadaan alam lingkungan manusia inilah yang kemudian melahirkan pelbahai tamadun mereka sendiri, yang berbeza dari satu kelompok manusia dengan kumpulan manusia lain. Dalam masyarakat yang tinggal di kawasan laut, pastilah mereka menumpukan kehidupannya pada ekosistem laut. Mereka akan mencari ikan dengan berbagai-bagai spesiesnya, menanam rumput laut, membangun kerambah untuk beternak ikan, mengolah hutan bakau dengan segala kekayaan alamnya, menanam kelapa (kelambir) dan tumbuhan khas pesisir pantai, sampai juga mengadakan sarana perpelancongan maritim, membuat perahu dengan teknologinya, sampan, jermal, dan sejenisnya. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan mereka adalah kebudayaan maritim.

Demikian pula bagi mereka yang tinggal di wilayah daratan, maka kegiatan-kegiatan dalam rangka kehidupannya selalu berkait erat dengan wilayah darat, seperti bercocok tanam padi, jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, kelapa, juga sayur-mayur seperti: kol, wortel, sawi, kangkung, dan lainnya. Ada pula yang bercocok tanam di persawahan. Dalam perkembangan zaman, ada pula yang menanam tanam-tanaman

Page 119: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

113

keras seperti kelapa sawit, karet, coklat, kayu manis, dan lain-lain. Mereka ini pun membentuk kebudayaan darat atau kalau berada di pegunungan disebut juga highland cultures. Begitu pula untuk masyarakat manusia yang hidup di daerah kutub (utara atau selatan) mereka memiliki identiti budaya seperti pakaian yang relatif tebal untuk menjaga temperatur tubuh. Mereka juga makan makanan yang banyak mengandung protein dan lemak seperti daging, juga minum minuman yang dapat memanaskan tubuh selalu seperti sake, bir, anggur, vodka, dan lain-lainnya.

Dalam konteks itu, kelompok manusia terpaksa pula harus menyusun sistem sosial dan budaya yang mengatur hubungan mereka ini dalam konteks merespons alam sebagai sumber mencari nafkahnya. Tanpa upaya bertindak bersama dan secara tersusun secara sistemik ini, maka manusia akan menghadapi masalah kehidupan. Oleh itu, muncullah kelakuan yang menjadi kebiasaan, dan hubungan sosiologikal berupa pengelompokkan. Semua ini melahirkan norma, adat, dan undang-undang untuk mengawal, mengatur, serta menyelaraskan kekuasaan semua individu yang terbabit dalam kegiatan kelompok masyarakat manusia tersebut.

Tindak balas manusia sama ada secara individu mahupun kemudian berkembang menjadi kelompok, terhadap semua hukum alam ini, membuat manusia menjalin organisasi. Kelompok organisasi-organisasi sosial dan budaya manusia ini adalah luajam segala tindak balas manusia terhadap alam atau ekologinya. Norma-norma atau hukum yang diberlakukan secara bersama inilah yang di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara disebut dengan adat. Dengan demikian adat sebenarnya manifestasi kebudayaan manusia pada umumnya. Termasuk juga dalam kebudayaan Melayu. 2. Konsep tentang Adat Melayu

Mengikut Zainal Kling (2004), dari segi etimologi, adat berasal dari bahasa Arab yang bererti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang telah menerima pengaruh Islam dan tamadun Arab, mengetahui arti dan konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahawa hampir semua masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, sama ada masyarakat itu telah menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep itu dengan erti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini termasuk masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan tradisi (animisme dan dinamisme), atau telah menganut agama Kristian—seperti masyarakat Iban, Bidayuh, Kenyah, Kayan, dan Kalabit di Sarawak; Murut, Kadazan (Dusun) di Sabah; Dayak Kalimantan; Batak Toba, Karo, di Sumatera Utara; dan Toraja di Sulawesi, dan juga suku bangsa Filipina, hingga melahirkan sebuah kesatuan dasar budaya serantau yang sangat menarik.

Dalam masyarakat tradisi Alam Melayu, konsep adat memancarkan hubungan mendalam dan bermakna di antara manusia dengan manusia juga manusia dengan alam sekitarnya, termasuk bumi dan segala isinya, alam sosiobudaya, dan alam gaib. Setiap hubungan itu disebut dengan adat, diberi bentuk tegas dan khas, yang diluahkan menerusi sikap, aktiviti, dan upacara-upacara. Adat ditujukan maknanya kepada seluruh kompleks hubungan itu, sama ada dalam erti intisari eksistensi sesuatu, dasar ukuran buruk dan baik, peraturan hidup seluruh masyarakat, mahupun tata cara perbuatan serta perjalanan setiap kelompok institusi.

Adat muncul sebagai struktur dasar dari seluruh kehidupan dan menegaskan ciri kepribadian suatu masyarakat. Oleh itu, adat biasanya memiliki cerita atau mitos suci, watak-watak asal-usul yang gagah dan unggul, serta memberikan dasar makna terhadap setiap peristiwa dalam siklus hidup manusia, serta eksistensi institusi dalam masyarakatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat tradisi, adat memiliki kedudukan suci hingga mencapai martabatnya; dipancarkan oleh kelakuan yang benar serta halus; sebuah ciri kehidupan yang menyerap sistem kepercayaan, hukuman, dan denda. Setiap individu yang melanggar, menyelewengkan, melebihi, mengurangi, atau menafikannya, akan menerima balasan dan hukuman, sama ada melalui pemegang kekuasaan adat itu sendiri mahupun Tuhan dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya, setiap yang berhasil melaksanakan adat, akan berkuasa, berwibawa, juga memegang, menjalankan, dan patuh kepada adat.

Dengan demikian, adat memberi makna konfigurasi yang mendalam, serta makna kestrukturan dalam sebuah masyarakat dan kebudayaannya. Adat merupakan identitj (jatidiri) yang berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat dan kelompok kecil masyarakat tersebut. Setiap kelompok akan dikenali oleh kelompok lain dengan perbezaan adatnya. Dalam rangka ini, adat juga menjadi identiti subkultur tertentu, seperti masyarakat Melayu membezakan adat orang Kelantan, Melaka, Perak, Johor, Deli, Riau, Bengkulu, Bangka-Belitung, Palembang, Kutai, Pontianak, dan lainnya. Demikian pula

Page 120: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

114

konsep yang sama dipergunakan untuk membezakan atau mengenali orang asing di luar konteks masyarakat Melayu.

Kegagalan kultural orang bukan Melayu, dalam rangka mengikuti cara orang Melayu duduk, makan, atau bersalaman pada upacara perkahwinan misalnya, adalah kerana adat yang mereka gunakan berbeza dengan adat Melayu. Jika kesalahan adat ini berlaku sesama masyarakat Melayu, maka dengan sendirinya ia akan mendatangkan hukuman atau sanksi. Paling tidak seseorang itu dilarang berbuat atau menyebut sesuatu, kalau pun tidak dimarahi dengan hukuman tidak tahu adat atau tidak beradat. Dengan demikian adat memiliki fungsi (pengenalan) dan juga normatif (hukuman). Kedua fungsi ini berlaku dalam rangka hubungan manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam (sama ada alam kasat mata mahupun alam gaib).

Mengikut Tenas Effendy salah satu yang dihindari oleh orang Melayu adalah ia tidak tahu adat atau tidak beradat. Pernyataan ini bukan hanya sekedar hinaan, yang dimaknai secara budaya adalah kasar, liar, tidak bersopan santun, tidak berbudi—tetapi juga ia tidak beragama, kerana adat Melayu adalah berdasar pada agama. Jadi tidak beradat sinonim maknanya dengan tidak beragama (2004:57).

Ungkapan adat Melayu menjelaskan, biar mati anak, jangan mati adat mencerminkan betapa pentingnya eksistensi adat dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dalam konsep etnosains Melayu, dikatakan bahawa mati anak duka sekampung, mati adat duka senegeri, yang menegaskan keutamaan adat yang menjadi anutan seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi lain, makna ungkapan adat biar mati anak jangan mati adat mengandung makna bahawa adat (hukum adat) wajib ditegakkan, walaupun harus mengorbankan keluarga sendiri. Maknanya adalah adat adalah aspek mendasar dalam menjaga harmoni dan konsistensi internal budaya, yang menjaga keberlangsungan struktur sosial dan kesinambungan kebudayaan secara am. Jika adat mati maka mati pula tamadun masyarakat pendukung adat tersebut.

Mengikut Husin Embi et al. (2004:85) masyarakat Melayu kaya dengan adat-istiadat, yang diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Komitmen yang ditunjukkan oleh masyarakat Melayu terhadap adat ini, jelas tergambar dalam ungkapan berikut ini.

Kecil dikandung ibu, Besar dikandung adat, Mati dikandung tanah.

Biar mati anak, Jangan mati adat. Laksmana berbaju besi, Masuk ke hutan melanda-landa, Hidup berdiri dengan saksi, Adat berdiri dengan tanda.

Lebih jauh mengikut Tenas Effendi (2004:58) masyarakat Melayu menyatakan bahawa, Apa tanda Melayu sejati? Adat resamnya pakaian diri. Apa tanda Melayu terbilang? Adat dipakai pusaka disandang. Apa tanda Melayu bertuah? Memegang amanat ia amanah. Jadi tipe ideal seorang Melayu adalah ia memahami, menjalankan, dan menghayati adat. Sehingga ia akan selalu menggunakan adat dan pusaka budaya dalam kehidupannya, dan ia menjadi orang yang amanah (salah satu tipe ideal kepimpinan dalam Islam).

Pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Melayu adalah berfungsi untuk mengatur hampir semua sisi kehidupan, memberikan arahan dan landasan dalam semua kegiatan, mulai dari hal yang besar sampai kepada hal yang paling kecil. Adat mengajar orang untuk menjadi manusia beradab, bersopan-santun, toleransi, saling menghormati, tahu diri, tolong-menolong—agar dapat menciptakan suasana kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, adat Melayu bersumber dan mengacu kepada ajaran Islam. Oleh kerana itu adat dijadikan identiti setiap pribadi orang Melayu. Sesuai dengan ajaran adat Melayu, kalau hendak tahu kemuliaan umat, tengok kepada adat-istiadatnya, bahasa menunjukkan bangsa, adat menunjukkan umat.

Page 121: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

115

3. Empat Kategori Adat Melayu Dalam rangka menentukan kebijakan dan arah peradaban Melayu, maka masyarakat Melayu

mendasarkannya kepada institusi generik yang disebut adat. Dalam rangka menghadapi dan mengisi globalisasi, masyarakat Melayu telah membuat strategi budayanya. Strategi ini diarahkan dalam adat Melayu. Adat Melayu berasas kepada ajaran-ajaran agama Islam, yang dikonsepkan sebagai adat bersendikan syarak—dan sayarak bersendikan kitabullah.

Yang dimaksud syarak adalah hukum Islam atau tamadun Islam. Di sisi lain kitabullah artinya adalah Kitab Suci Allah (Al-Qur’an), atau merujuk lebih jauh dan dalam adalah wahyu Allah sebagai panduan manusia dalam mengisi kebudayaannya.

Dalam melakukan arah budayanya orang Melayu memutuskan untuk menerapkan empat bidang (ragam) adat. Mengikut Lah Husni (1986) adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, iaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat-istiadat. Keempat bidang adat ini saling bersinerji dan berjalin seiring dalam mengawal polarisasi kebudayaan Melayu secara umum. Apapun yang diperbuat orang Melayu seharusnya berdasar kepada ajaran-ajaran adat ini.

Namun perlu diketahui bahawa beberapa pakar dan pelaku budaya Melayu, menyebutkan hanya tiga kategori adat saja, tidak sampai empat iaitu adat-istiadat. Namun ada pula yang menyebutkannya dalam empat kategori. Yang jelas keempat-empatnya memiliki hubungan yang sinerji dan saling menguatkan. Namun jika ditilik dari sudut pandang, maka kategori pertama adalah yang paling dasar, holistik, menyeluruh, Sedangkan kategori kedua, ketiga, dan keempat adalah turunan dari yang pertama. Begitu juga ketiga adalah turunan dari pertama dan kedua. Juga keempat adalah turunan dari pertama, kedua, dan ketiga. Kategori yang pertama adalah mutlak dan absolut menurut hukum yang diciptakan Allah. Kategori kedua, ketiga, dan keempat, adalah bersifat perkembangan ruang dan waktu di dalam kebudayaan, sama ada itu berupa aktiviti sosial, mahupun juga benda-benda atau artefak kebudayaan. Berikut ini diuraikan tentang empat kategori adat Melayu. 4.1 Adat yang Sebenar Adat

Mengikut Tenas Effendi (2004:61) adat yang sebenar adat adalah inti adat yang berdasar kepada ajaran agama Islam. Adat inilah yang tidak boleh dianjak-alih, diubah, dan ditukar. Dalam ungkapan adat dikatakan, dianjak layu, diumbat mati; bila diunjuk ia membunuh, bila dialih ia membinasakan.

Adat berdasar kepada pengertian manusia terhadap eksistensi dan sifat alam yang kasat mata ini. Berdasarkan pengertian ini, maka muncullah ungkapan-ungkapan seperti adat api membakar, adat air membasahi, adat lembu melenguh, adat kambing mengembik, dan lain-lain. Sifat adalah sesuatu yang melekat dan menjadi penciri khas benda atau keadaan, yang membezakannya dengan benda atau keadaan lain. Itulah sebenarnya adat, sesuatu yang tidak dapat disangkal sebagai sifat keberadaannya. Tanpa sifat itu benda atau keadaan tadi, tidak wujud seperti keadaannya yang alami.

Manusia Melayu membuat penyesuaian dalam masa yang lama berdasarkan pengetahuan terhadap semesta alam, atau adat yang sebenar adat yakni hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dari adaptasi ini muncul sistem kepercayaan yang tegas dan formal terhadap alam, kekuatan alam, dan fungsi alam. Menurut tanggapan mereka seluruh alam ini menjadi hidup dan nyata, terdiri dari makhluk dan kekuatan yang mempunyai hubungan dengan manusia dalam susunan kosmologi yang telah diatur oleh Allah.

Melalui tindak balas terhadap alam ini, maka cara hubungan yang teratur diadakan berdasarkan sikap hormat dan saling bergantung antara manusia dengan alam. Satu rangka sikap yang terpancar dalam sistem tabu (pantangan) diwujudkan untuk mengatur hubungan harmoni tersebut. Mengikut pandangan Zainal Kling (2004:42) satu himpunan ilmu kepawangan, kebomohan, dan kedukunan diwujudkan untuk memastikan hubungan tersebut selalu seimbang dan tenteram. Di sinilah fungsi watak-watak dalam masyarakat diperankan oleh pawang, dukun, bomoh, belian, manang, dan sejenisnya. Mereka ini berfungsi penuh menghubungkan alam manusia (alam sosial) dan pengalaman pancaindra dengan alam gaib melalui kegiatan jampi, mantera, serapah, dan sejenisnya.

Oleh itu, bukan saja golongan perantara alam gaib itu mengetahui tentang benda dan sumber alam seperti tumbuhan, hewan, dan ciri-ciri alam nyata seperti air, api, udara, dan lainnya, namun mereka juga mempunyai pengetahuan dan kekuatan untuk berhubungan dengan makhluk gaib yang terdapat dalam sistem kosmologinya. Mereka adalah kelompok perantara dan titik pangkal antara dua alam: alam sosial

Page 122: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

116

dan alam supernatural. Mereka inilah yang selanjutnya juga menjadi ahli teori dan ideologi sistem adat masyarakatnya.

Dalam gagasan masyarakat Alam Melayu hubungan manusia dengan alam sentiasa dijaga agar terbentuk keseimbangan dan ketenteraman. Mereka menjaga segenap kelakuan manusia yang bisa mencemari, merusak, atau merubah keseimbangan dan ketenteraman hubungan dengan alam gaib yang menjadi pernyataan dan manifestasi kepada hidupnya alam. Sistem pantang dan larang memastikan supaya kelakuan atau tabiat manusia senantiasa hormat terhadap perwujudan alam. Apabila berlaku pelanggaran terhadap adat yang mengatur hubungan manusia dengan alam, yang dampaknya adalah mengacau hubungan, seperti berlakunya pelanggaran pantang larang, perlakuan kelintasan atau sebagainya, maka perlu diadakan sebuah upacara yang dilakukan oleh pawang, bomoh, atau manang untuk memujuk makhluk gaib dan mengembalikan keadaan hubungan yang baik kembali antara kedua alam.

Dengan demikian, maka timbul pula adat-istiadat atau upacara perobatan untuk mengobati sakit yang telah dikenakan terhadap seorang manusia yang melanggar hubungan baik itu. Dalam bentuk yang sangat berkepanjangan, seorang pawang akan mengadakan seperti main puteri di Kelantan, berkebas di Melaka, berayun atau bebelian di Sarawak, bobohizan di Sabah, ulit mayang di Terengganu, gebuk di Serdang Sumatera Utara, gubang di Asahan Sumatera Utara, belian di Riau, untuk menghubungi alam gaib, memujuk, memuji, dan meminta dengan jaminan baru bahawa kesilapan tidak dilakukan lagi, memohon maaf, dan membantu si sakit agar sembuh. Seorang pawang Melayu sentiasa membawa jampi atau mantra dengan kalimat seperti: “Aku tahu asalmu,” apabila meminta atau menghalau anasir sakit yang dibuat oleh makhluk gaib.

Demikianlah pengetahuan manusia Melayu terhadap alam kasat mata dan supernatural dengan segala makhluknya, menentukan hubungan manusia dengan alam dalam keadaan harmoni. Pengetahuan ini memastikan sistem ekologi dan alam alam sekitar yang tidak dirosak dan tidak dihormati. Pengetahuan ini juga memastikan ekosistem yang bersimbiosis antara manusia dan alam (nyata dan supernatural). Tidak ada eksploitasi yang berlebihan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap eksistensi semua makhluk, termasuk datangnya bencana alam seperti banjir, tsunami, gunung meletus, dan lain-lainnya. Ini semua adalah realitas kultural adat yang sebenar adat, yang tidak lapuk di hujan, dan tak lekang di panas, hukum alam yang tidak berubah dalam dimensi ruang dan waktu.

Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat:

Pisang emas bawa belayar, Masak sebiji di dalam peti, Hutang emas dapat dibayar, Hutang budi dibawa mati. Askar berperang gagah berani, Melawan Feringgi dengan bismillah, Apa yang terjadi di dunia ini, Sudah menjadi hukumnya Allah.

(b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan berdasar kepada berbuat kerana Allah bukan kerana ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada hidup sandar-menyandar, pisang seikat digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu harus dibenarkan, yang salah disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat lembu menguak, tak mungkin berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah sebagai berikut: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).

Dalam konteks globalisasi budaya, ragam adat ini diterapkan kepada realitas bahawa Allah menetapkan hukumnya kepada alam. Oleh kerana itu, ketetapan Allah ini harus dibaca sebagai kenyataan

Page 123: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

117

bahawa Allah itu Maha Kuasa. Realitas alam yang pasti dan eksak tersebut haruslah dijadikan sandaran dalam mengisi kebudayaan. Adat air laut asin misalnya adalah ketentuan Allah. Kemudian manusia bisa mengelolanya menjadi garam. Demikian juga lautan tersebut adalah sebuah habitat alam yang menyediakan berbagai sumber alam seperti ikan dengan berbagai spesiesnya, tumbuhan laut, dan lainnya yang dapat difungsikan untuk kehidupan manusia, bahkan bernilai ekonomis.

Dalam kebudayaan misalnya, orang di Dunia Timur selalu cenderung bergotong-royong dan mengisi spiritualnya, orang di Dunia Barat (Oksidental) cenderung berpikir rasional, tepat waktu, dan tanpa basa-basi. Ini juga hukum alam yang diberikan Tuhan. Oleh itu, orang Melayu harus bijaksana mengambil nilai-nilai yang benar untuk peradabannya yang diambil dari Dunia Timur maupun Barat. Dengan demikian proses mengadun budaya secara bijaksana sangatlah penting. Ini dibuktikan menerusi sumbangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara. Ke depan sangatlah mungkin kebudayaan Melayu menjadi cultura franca di Nusantara ini. Hukum alam yang bersumber dari ketetapan Allah ini, ada yang telah diungkap oleh manusia dengan ilmu pengetahuan yang serba terbatas dibanding ilmu pengetahuan Allah. Berbagai rahasia Ilahi terhadap alam yang diciptakannya yang telah diungkap manusia adalah hukum Archimedes, hukum gravitasi bumi oleh Newton, hukum kekekalan energi dan hukum relativitas oleh Einstein, hukum aerodinamika oleh B.J. Habibie, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi masih lebih banyak lagi rahsia Allah yang belum dapat diungkapkan oleh manusia dan ilmu pengetahuannya sampai saat ini.

Dalam ajaran agama Islam, alam dan hukum yang dibuat oleh Allah untuknya terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai penciptaan, seperti penciptaan Arsy, kursi Allah (kekuasaan dan ilmu-Nya); penciptaan lawhul mahfuz, penciptaan langit dan bumi, gunung, laut, sungai, hewan, serangga, makhluk hidup di air, bintang, udara, bulan, matahari, malam, siang, hujan, penciptaan jin, pengusiran iblis dari rahmat Allah, dan lain-lainnya. Dengan demikian masalah alam dan hukumnya yang telah ditentukan Tuhan meliputi alam makrokosmos dan mikrokosmos. Selain alam yang kasat mata, ada pula alam supernatural sesuai dengan iman dalam Islam. Namun inti ajaran Allah mengenai alam dan hukumnya ini adalah Allah berkuasa atas semua ciptaan-Nya. Allah yang mengatur apa yang diciptakannya itu. Dengan demikian adat yang sebenar adat ini dalam kebudayaan Melayu, mengacu kepada konsep Allah adalah Khalik, sementara manusia dan alam semesta (termasuk jin dan iblis) adalah makhluk Allah. Keadaan yang seperti ini dijelaskan melalui firman Allah pada Al-Qur’an sebagai berikut.

(1) Surah Al-Baqarah ayat 22

Artinya: 22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; kerana itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

Page 124: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

118

(2) Surah Al-Baqarah ayat 164

Artinya: 164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

(3) Surah Al-Kahfi ayat 51

Artinya: 51. Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.

Surah Al-Baqarah ayat 22 di atas memberikan dimensi pembelajaran bagi umat Islam, iaitu Allah

yang menjadikan bumi dan segala isinya sebagai hamparan bagi segenap manusia. Di sisi lain, di bahagian atasnya ada langit sebagai atap. Seterusnya Allah menurunkan air (hujan) dari langit. Berkat air hujan ini, di bumi tumbuhlah berbagai tumbuhan, dan menghasilkan buah-buahan yang juga sebagai rezeki kepada semua manusia. Hanya satu permintaan Allah akan kasih dan sayangnya yang tidak terhingga ini, yakni kita sebagai manusia jangan membuat sekutu-sekutu bagi Allah.

Selanjutnya pada surah Al-Baqarah ayat 164, Allah berfirman bahawa dalam menciptakan langit dan bumi Allah juga mengatur terjadinya siang dan malam. Begitu juga apa-apa yang ada di laut adalah untuk digunakan oleh segenap manusia. Selain itu, Allah menurunkan air dari langit, dan air ini mengaliri bumi kembali setelah kemarau. Allah juga menciptakan berbagai jenis haiwan di bumi. Demikian pula udara (angin) dan awan yang berada antara langit dan bumi. Semua ini adalah tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah, bagi kaum yang memikirkan. Dalam kenyataannya ada pula kaum yang tidak memikirkannya dan tidak mengakui keesaan dan kebesaran Allah, bahkan ada yang tidak percaya akan adanya Allah.

Kedua firman Allah dalam Al-Qur’an tersebut menyebutkan tentang alam nyata atau alam kasat mata. Walaupun sebenarnya keseluruhan alam ciptaan Tuhan ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia yang juga diberikan Tuhan kepadanya, belum mampu mengetahui secara sempurna mengenai alam dan makhluk kasat mata ciptaan Tuhan ini, seperti jasad renik, amuba, protozoa, haiwan-haiwan, tumbuhan, bumi, bulan, bintang, planet, satelit, galaksi, tata surya, dan seterusnya.

Selain ciptaan Allah yang kasat mata, terdapat juga makhluk-makhluk ciptaan Allah yang bersifat gaib, yang berada dalam alam supernatural. Ini juga difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, salah satunya pada surah Al-Kahfi ayat 51 seperti terurai di atas. Melalui firman-Nya ini, Allah menerangkan bahawa ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Allah tidak menghadirkan iblis dan segenap

Page 125: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

119

keturunannya untuk menyaksikan penciptaan alam. Allah tidak pula mengambil orang-orang yang menyesatkan manusia itu sebagai penolong.

Dari tiga ayat Al-Qur’an tersebut terbersit dengan jelas kepada kita yang mau berpikir dan mengimani Allah. Pertama adalah Allah Maha Kuasa, dan dengan kekuasan-Nya Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Kedua, Allah juga yang mengatur segala ciptaan-Nya tersebut. Tujuannya adalah untuk kepentingan manusia. Ketiga Allah juga menciptakan makhluk-makhluk dalam dua bentuk, iaitu yang kasat mata dan yang gaib. Ini juga tanda-tanda Allah itu Maha Kuasa. Keempat, hanya satu permintaan Allah kepada manusia, iaitu jangan menyekutukan Allah, mengakui adanya Ilah (Tuhan) lain selain Allah Subhana Wata’ala. 4.2 Adat yang Diadatkan

Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut. Kemudian pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang.

Adat yang diadatkan ini maknanya mengarah kepada sistem-sistem sosial yang dibentuk secara bersama, dalam asas musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Adat yang diadatkan juga berkait erat dengan sistem politik dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan polarisasi yang tepat sesuai dengan perkembangan dimensi ruang dan waktu yang dilalui masyarakat Melayu.

Lebih jauh Tenas Effendy (2004:61) menjelaskan bahawa adat yang diadatkan adalah semua ketentuan adat-istiadat yang dilakukan atas dasar musyawarah dan muafakat serta tidak menyimpang dari adat sebenar adat. Adat ini dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Adat yang diadatkan ini dahulu dibentuk melalui undang-undang kerapatan adat, terutama di pusat-pusat kerajaan, sehingga terbentuklah ketentuan adat yang diberlakukan bagi semua kelompok masyarakatnya.

Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeza dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).

Arah adat yang diadatkan ini adalah berasas kepada sistem pemerintahan atau pengelolaan masyarakat. Dalam konteks kekinian, strategi adat yang diadatkan ini diterapkan oleh negara-negara rumpun Melayu. Indonesia menerapkan sistem demokrasi, iaitu kekuasaan ada di tangan rakyat. Bentuk pemerintahan presidensial. Pemilihan umum dilakukan lima tahun sekali. Kemudian disertai dengan otonomi daerah. Gejolak sosial pun terjadi seeiring dengan pemilihan kepala-kepala daerah (pilkada). Malaysia sebagai negeri rumpun Melayu lainnya menerapkan sistem kesultanan, yang dipimpin secara bergilir oleh Yang Dipertuan Agong secara musyawarah di antara sultan-sultan (dan Tuan Yang Terutama) seluruh Malaysia. Sistem pemerintahannya juga menerapkan demokrasi parlementer, dan kebijakan multipartai, yang berbasis nasional dan agama. Dalam kebudayaan Melayu, raja (ada juga yang menyebut sultan) adalah pemimpin tertinggi. Sultan adalah wakil Allah di muka bumi, yang harus ditaati dan dihormati segala keputusan dan kebijakannya. Raja juga sebagai seorang pemimpin tertinggi dalam pemerintahan dan kenegaraan, ia juga adalah pempimpin agama, iaitu imam bagi seluruh umat yang dipimpinnya. Bagaimanapun seorang sultan juga memikul tanggung jawab untuk rakyat yang dipimpinnya, yang dipandu oleh ajaran-ajaran agama Islam. Raja di dalam peradaban Melayu adalah raja yang bijaksana, rendah hati, mengutamakan kepentingan umat yang dipimpinnya, dan bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT.

Dalam konteks Malaysia kini, gejolak politik pun muncul kerana gesekan antara kepentingan Barisan Nasional dan Barisan Alternatif. Yang jelas apa pun bentuk pemerintahan di negeri-negeri rumpun

Page 126: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

120

Melayu tujuan utamanya adalah untuk menuju masyarakat yang madani, adil, dan makmur (baldatun thoyibatun warabbun ghofur).

Dalam konteks ajaran Islam pun, sistem kepimpinan ini juga telah diarahkan oleh Allah melalui Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat yang memuat tema tentang kepimpinan dalam perspektif Islam adalah sebagai berikut.

(a) Surah As-Sajdah ayat 24

Artinya: 24. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.

(b) Al-Anbiyaa’ ayat 73

Artinya: 73. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.

(c) Surah An-Nisaa’ ayat 34

Artinya: 34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh kerana Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh kerana Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Sesuai dengan firman Allah tersebut, maka pemimpin dalam budaya masyarakat Melayu adalah diturunkan Allah kepada umat (termasuk masyarakat Melayu). Pemimpin ini memberikan petunjuk berdasarkan arahan dari Allah, dan pemimpin itu adalah orang yang sabar (menghadapi semua tantangan) dalam membawa kesejahteraan umat yang dipimpinnya.

Page 127: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

121

Seterusnya, pemimpin umat itu selalu mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang (shalat), menunaikan zakat, dan yang terpenting adalah hanya menyembah kepada Allah saja (tidak menyekutukan Allah). Dengan demikian pemimpin (sebenar, bukan pemimpin untuk cobaan) yang diturunkan Allah itu adalah orang yang saleh dan patuh kepada perintah Allah, menjauhi segala larangan Allah, dan mengerjakan semua perintah Allah.

Selanjutnya dalam konteks kajian gender (terutama dalam konteks rumah tangga Islam atau yang lebih luas negeri Islam), maka di dalam ajaran agama Islam, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Ini merupakan petunjuk Allah, bahawa laki-laki memang diciptakan Allah untuk memimpin wanita, bukan sebaliknya. Antara laki-laki dan wanita adalah saling melengkapi atau komplementer. Sementara wanita yang saleh dan taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak ada, maka Allah memelihara mereka, dan akan menjadi penghuni surga.

Dimensi pembelajaran kepimpinan dari firman Allah ini adalah laki-laki memang diciptakan untuk memimpin wanita dengan karakteristik yang diberikan Allah kepadanya. Namun demikian, laki-laki juga tidak boleh semena-mena terhadap wanita yang dipimpinnya. Atau juga setiap wanita yang beriman kepada Allah tidak akan pernah melakukan kesetaraan gender, kerana memang tidak diciptakan untuk setara dalam segala-galanya, tetapi saling melengkapi. Jadi yang benar adalah kemitraan gender. Ada hal-hal yang tidak terdapat dalam diri laki-laki dan juga sebaliknya.

Nabi Muhammad SAW merupakan seorang yang sangat sopan dalam bertutur kata, jujur, tidak pernah berdusta, dan luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat setiap muslim dan umat manusia mengagumi Nabi Muhammad. Sampai saat ini, Rasulullah Muhammad dikagumi ramai orang di seluruh pelosok dunia kerana kepribadiannya yang amat luar biasa. Michael H. Hart di dalam bukunya yang bertajuk The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh di dunia ini, di dalam sejarah dunia.

Dalam hal ini Nabi Muhammad memiliki prilaku dan akhlak yang mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umat beliau. Nabi Muhammad tidak memandang seseorang dari status sosial, ras, warna kulit, suku bangsa, atau golongan. Ia selalu berbuat baik kepada siapa saja—bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya. Di dalam Al-Quran pula, beliau disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling agung.

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu iaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al-Ahzab: 21).

Rasulullah Muhammad SAW. memiliki akhlak dan sifat-sifat yang sangat mulia. Oleh kerana itu hendaklah kita berpedoman dan menghayati sifat-sifat Nabi ini dalam kehidupan yang kita jalani. Adapun secara garis besar, ada empat sifat Nabi Muhammad dalam konteks kepimpinannya, iaitu sidik, amanah, tabligh, dan fathonah. 4.2.1 Sidik

Siddiq yang berasal dari kata bahasa Arab arti harfiahnya adalah benar. Benar adalah suatu sifat yang mulia yang menghiasi akhlak seseorang yang beriman kepada Allah dan kepada hal-hal yang gaib. Ia merupakan sifat pertama yang wajib dimiliki para Nabi dan Rasul yang dikirim Tuhan ke alam dunia ini untuk membawa wahyu dan agamanya.

Pada diri Rasulullah SAW. bukan hanya perkataannya yang benar, tetapi perbuatannya juga benar, yakni sejalan dengan ucapannya. Jadi mustahil bagi Rasulullah SAW itu bersifat pembohong, penipu, pendusta, dan sebagainya.

Page 128: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

122

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.S. An-Najm, 4-5). Dalam konteks ini, sebagai pemimpin Melayu, termasuk pemimpin adat, sudah semestinya dan

wajib berkata benar. Dasar dari kebenaran itu adalah wahyu-wahyu Allah, iaitu Al-Qur’an. Apa tanda pemimpin sejati, dengan Al-Qur’an ia bersebati; apa tanda pemimpin Melayu, bersifat sidik setiap waktu; apa tanda seorang pemimpin, di jalan Allah ia berjalin. 4.2.2 Amanah

Sifat Rasulullah berikutnya adalah amanah, yang artinya benar-benar dipercaya. Ia sangat menjaga

sesuatu yang dibebankan dan diberikan wewenang kepadanya. Jikalau sebuah urusan diserahkan kepada Rasulullah, maka orang yang menyerahkan urusan tersebut percaya bahawa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah penduduk Kota Mekah memberi gelar kepada Nabi Muhammad SAW dengan Al-Amin yang artinya terpercaya, jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa saja yang beliau ucapkan, dipercayai dan diyakini penduduk Mekah, kerana beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta. Sifat amanah Rasulullah ini tercermin dalam ayat Al-Qur’an berikut ini.

Artinya: Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu (Q.S. Al-A'raaf: 68). Dengan demikian, maka mustahillah Nabi Muhammad SAW. itu berlaku khianat terhadap orang-

orang yang memberinya amanah (kepercayaan penuh). Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan kedudukannya sebagai Rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan keluarganya, namun yang dilakukan Rasulullah adalah semata-mata untuk kepentingan Islam melalui ajaran Allah SWT.

Pada saat Rasulullah Muhammad SAW ditawarkan pemerintahan, harta, dan wanita oleh kaum Quraisy, agar Nabi meninggalkan tugas yang diembankan Allah kepadanya iaitu menyiarkan agama Islam, Nabi Muhammad menjawab dengan tegas: ”Demi Allah… wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suci ini, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan Islam atau aku hancur kerananya.”

Walaupun kaum kafir Quraisy kemudian mengancam akan membunuh Nabi Muhammad, namun Rasulullah tidak gentar dan tetap menjalankan amanah Allah yang diterimanya. Setiap orang muslim seharusnya memiliki sifat amanah seperti Rasulullah SAW.

Amanah dalam konteks kepimpinan Melayu adalah tercermin dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan amanah ia berdiri; apa tanda Melayu jati, dipercaya orang di seluruh negeri, apa tanda Melayu jati, membela yang benar tegas dan berani. 4.2.3 Tabligh

Tabligh artinya menyampaikan. Dalam hal ini, segala firman Allah SWT. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, disampaikan oleh Rasulullah. Tidak ada yang disembunyikan walaupun firman Allah tersebut menyinggung Nabi Muhammad sendiri, seperti pada ayat Al-Qur’an berikut ini.

Page 129: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

123

Artinya: Supaya Dia mengetahui, bahawa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu (Q.S. Al-Jin: 28).

Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, kerana telah datang seorang buta kepadanya” (Q.S. 'Abasa: 1-2). Dalam suatu riwayat hadits, dikemukakan bahawa firman Allah (Q.S. 'Abasa: 1) turun berkaitan

dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, oleh kerana itu Rasulullah berpaling darinya dan tetap melayani pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Maka ayat ini turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah SAW (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.)

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut menurut norma acuan etika yang umum adalah hal yang wajar. Pada saat sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu kita tidak suka diganggu oleh orang lain. Namun untuk standar seorang Nabi, itu tidak cukup bagi Allah. Oleh kerana itulah Allah SWT telah menegur Nabi Muhammad SAW, melalui firman-Nya seperti terurai di atas.

Sebagai seorang yang bersifat tabligh, meskipun ayat tersebut menyindirnya, Nabi Muhammad SAW tetap menyampaikannya kepada seluruh umatnya, bahkan seluruh manusia dan jin. Itulah sifat seorang Nabi. Jadi, mustahil Nabi itu kitman atau menyembunyikan wahyu Allah.

Sifat tabligh atau menyampaikan ini, dalam konteks budaya Melayu, dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan adat berikut ini. Apa tanda Melayu jati, bersifat tabligh di dalam diri; apa tanda Melayu jati, menyampaikan yang benar tiada menafi; apa tanda Melayu jati, ajaran Allah disampainya pasti.

4.2.4 Fathonah

Secara etimologis, kata fathonah di dalam bahasa Arab artinya dalam bahasa Melayu adalah bijaksana. Dalam koteks kenabian, mustahillah seorang Rasul Allah itu bersifat bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits, maka Rasulullah Muhamamd SAW memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa.

Nabi Muhammad harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT kepada kaumnya sehingga mereka mau memeluk Islam. Nabi Muhammad juga harus pandai berdebat (berhujah) dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya: santun, beretika, berwibawa, dan tegas.

Dalam sejarah peradaban dunia, tercacat bahawa Rasulullah SAW, mampu mengatur dan mengelola umatnya sehingga berhasil mentransformasikan bangsa Arab jahiliah yang pada awalnya bodoh, kasar, bengis, berpecah-belah, dan serta selalu berperang antarsuku—kemudian menjadi bangsa yang berperadaban dan berpengetahuan. Semuanya itu memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa, yang terdapat dalam diri Rasulullah SAW.

Dalam konteks kepimpinan Melayu sifat fathonah atau bijaksana ini tercermin dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan bijaksana ia menyeri; apa tanda pemimpin bijaksana, berpadu benar kata dan amalnya; apa tanda pemimpin Melayu, arif dan bijak tiada ragu.

4.2.5 Sifat-sifat Utama Pemimpin dalam Perspektif Budaya Melayu

Page 130: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

124

Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin itu memiliki sifat-sifat utama. Menurut Tenas Effendi (2013), adat Melayu sangat mengutamakan pemimpinnya, yang disanjung dengan bermacam sebutan, dan dijadikan lambang budaya yang sarat nilai-nilai dasar identitas Melayu yang Islami. Melalui ungkapan adat dinyatakan bahawa pemimpin adalah: orang yang dituakan oleh kaumnya, yang dikemukakan oleh bangsanya, yang ditinggikan seranting, yang didahulukan selangkah, yang disanjung dijunjung tinggi, yang disayang serta dihormati. Selain itu, pemimpin dalam adat Melayu adalah bagaikan kayu besar di tengah padang, yang dari jauh mula nampak, yang dari dekat mula bersua, yang ke atas ia berpucuk, yang di tengah ia berbatang, dan yang di bawah berurat tunggang, rimbun daunnya tempat berteduh, kuat dahannya tempat bergantung, besar batangnya tempat bersandar, dan kukuh akarnya tempat bersila. Seterusnya pemimpin dalam konteks adat Melayu adalah bagaikan tanjung pumpunan angin, bagaikan teluk timbunan kapar, bagai pucuk jala pumpunan ikan, bagaikan kemuncak payung panji. Yang disebut dengan pemimpin umat adalah yang menjunjung amanah laut dan darat, sumpah dipegang, janji diingat, mengabdi untuk kepentingan umat, kepentingan sendiri tiadalah ingat.

Kewajiban pemimpin menurut adat Melayu adalah membawa kesejahteraan umat, mana yang kusut wajib diselesaikan, mana yang keruh wajib dijernihkan, mana yang melintang wajib diluruskan, mana yang berbonggol wajib ditarahkan, mana yang kesat wajib diampelaskan, mana yang menyalah wajib dibetulkan. Pemimpin berkewajiban memberikan contoh teladan, menyampaikan tunjuk ajaran, memelihara kampung halaman, menjaga alam lingkungan berpijak pada keadilan, berdiri di atas kebenaran, menjaga marwah diri, umat, kampung, bangsa, adat dan lembaga, serta hukum dan undangnya.

Begitu beratnya tugas dan kewajiban pemimpin, maka seorang pemimpin dalam adat Melayu wajib mendasarkan semua keputusan dan kegiatannya pada nilai-nilai agama Islam. Pemimpin yang mendasarkan diri pada agama akan menjadi seorang yang berkepribadian terpuji, handal, piawi, arif, bijaksana, adil, jujur, amanah, cerdas, berani, tabah, dan berbagai akhlak terpuji lainnya (Tenas Effendi, 2013:4).

Sifat-sifat utama pemimpin dalam budaya Melayu adalah sebagai berikut. 1 Berpegang teguh kepada agama Allah, 2. amanah, menunaikan sumpah, mengabdi, dan membela umat, 3. jujur dan sangat anti kepada khianat, 4. berakhlak mulia dalam pergaulan sosialnya, 5. memahami diri dan sistem sosial yang dibangun bersama, 6. arif, 7. bijaksana, 8. berilmu dan memahami pranata sosial, 9. berani, 10. berhati tabah, 11. berlapang dada, 12. tulus dan ikhlas, 13. bertimbang rasa, 14. rendah hati, 15. pemurah hati, 16. hemat dan cermat, 17. tunak dan rajin, dan 18. tangkas dan tegas (Tenas Effendi, 2013:5-13). Demikian kira-kira pemahaman mengenai adat yang diadatkan di dalam peradaban Melayu pada umumnya. 4.3 Adat yang Teradat

Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. Walaupun terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan, antara akhlak dan pengetahuan.

Adat yang teradat ini merupakan konsep masyarakat Melayu terhadap kesinambungan dan perubahan, yang merupakan respons terhadap dimensi ruang dan waktu yang dijalani manusia di dunia ini. Manusia, alam, dan seisinya, pastilah berubah menurut waktu dan zamannya. Namun demikian, perubahan pastilah tetap disertai dengan kesinambungan. Artinya hal-hal yang berubah sedrastis apapun pastilah tetap disertai dengan kesinambungan yang berasal dari era-era dan keadaan sebelumnya. Memang perubahan tersebut ada yang perlahan dan pasti, namun tidak jarang pula perubahan itu bersifat cepat, drastis, dan spontan. Dalam kajian sejarah perubahan ini ada yang sifatnya evolutif dan ada pula yang revolutif. Itulah inti konseptual dari adat yang teradat menurut orang-orang Melayu.

Menurut Lah Husni, perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu perhelatan adat, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak lagi. Jika dulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).

Demikian pula, kalau dahulu kala dalam adat perkawinan Melayu digunakan serunai untuk mengiringi persembahan tari inai, maka sekarang alat musik ini digantikan oleh akordion. Kalau dahulu orang Melayu selalu menggunakan teater makyong, kini lebih sering menonton drama serial di televisi-televisi. Jikalau dahulu kala orang Melayu bertanam padi di sawah dan memanennya dengan disertai

Page 131: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

125

acara mengirik padi kemudian dijemur dan ditumbuk, kini pada masa panen padi tersebut tidak lagi diirik, langsung diolah dengan mesin pengirik, dan kemudian digiling. Kalau dahulu anak-anak muda Melayu bercinta malu-malu, kini sudah berubah yakni terang-terangan bergandeng tangan, seperti yang digambarkan melalui lantunan lagu oleh Tan Sri S.M. Salim.

Cinta dulu-dulu, Cinta malu-malu, Cinta zaman sekarang, Di depan orang, Ia pegang-pegang tangan. Dengan demikian, dalam konteks zaman, adat yang teradat inilah yang memberikan ruang bagi umat

Melayu untuk mengikuti perkembangan zaman. Kata kunci perubahan adalah merujuk kepada strategi adat yang teradat ini.

Menurut ajaran Islam perubahan dan kontinuitas alam (termasuk kebudayaan) pastilah terjadi, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an.

(a) Surah Al-An’aam ayat 73.

Artinya: 73. Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah," dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

(b) As Sajdah ayat 4

Artinya: 4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Dalam melihat ruang dan waktu, termasuk perubahan dan kontinuitasnya, maka setiap muslim

menyandarkannya kepada Allah, bahawa waktu dan ruang itu Allah yang menciptakan dan mengaturnya. Termasuk pula penciptaan alam semesta beserta isinya dan juga proses alam serta datangnya hari kiamat ketika ditiup sangkakala.

Selanjutnya, dalam menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antaranya (seperti angin, awan, dan lainnya), Allah melakukan proses selama enam masa. Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Dengan demikian dalam proses penciptaan ini terjadi perubahan dan kontinuiti, sama ada dari sisi ruang mahupun waktu. Ini pun terus terjadi dari zaman ke zaman. Ini pula yang menjadi dasar dari konsep adat yang teradat.

Page 132: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

126

Dalam hal kesenian, perubahan-perubahan juga terjadi di sepanjang masa hidup dan berkembangnya kesenian tersebut. Misanya dalam seni zapin, awalnya adalah difungsikan dalam upacara perkahwinan dan hanya ditarikan oleh penari laki-laki. Kini telah difungsikan dalam berbagai konteks sosial lain seperti menyambut tetamu, festival, eksplorasi gerak dan musik yang baru, dan juga ditarikan oleh kaum wanita. Demikian juga selain dari seni pertunjukan tradisional, para seniman Melayu juga sangat kreatif membuat tari-tari dan musik garapan baru yang berakar dari kesenian tradisi. Dari Malaysia kita dapat sumbangan kesenian seperti lagu Cindai karya cipta Pak Ngah Suhaimi yang dipopularkan oleh Datuk Siti Nurhalijah. Begitu juga dari Indonesia kita kenal lagu Laksmana Raja Di Laut yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami. Dari Medan lagu Makan Sireh untuk iringan tari Persembahan, diberi sentuhan budaya kekinian oleh Cek Dahlia Abu Kasim Sinar dengan vokalnya oleh Darmansyah. 4.4 Adat-istiadat

Adat-istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya. Adat-istiadat ini adalah ekspresi dari kebudayaan Melayu. Upacara di dalam kebudayaan Melayu juga mencerminkan pola pikir atau gagasan masyarakat Melayu. Upacara jamu laut misalnya adalah sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan rezeki melalui laut. Oleh kerananya kita mestilah bersyukur dengan cara menjamu laut. Begitu juga upacara seperti gebuk di Serdang yang mengekspresikan kepada kepercayaan akan pengobatan melalui dunia supernatural. Demikian pula upacara mandi berminyak, merupakan luahan dari sistem kosmologi Melayu yang mempercayai bahawa dengan hidayah Allah seseorang itu bisa kebal terhadap panasnya minyak makan yang dipanaskan di atas belanga. Demikian pula upacara mandi bedimbar dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai aplikasi dari ajaran Islam, bahawa selepas hubungan suami dan istri keduanya haruslah melakukan mandi wajib (junub). Seterusnya upacara raja mangkat raja menanam di Kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur adalah ekspresi dari kontinuitas kepimpinan, iaitu dengan wafatnya sultan maka ia digantikan oleh sultan yang baru yang menanamkan (menguburkannya). Demikian juga untuk upacara-upacara yang lainnya dalam kebudayaan Melayu sebenarnya adalah aktiviti dalam rangka menjalankan strategi kebudayaan Melayu, agar berkekalan dan tidak pupus ditelan oleh ruang dan waktu.

Dalam realitasnya, sejauh penelitian yang kami lakukan, adat-istiadat (upacara) Melayu itu dapat dikategorikan sebagai berikut. I. Adat-istiadat yang berkaitan dengan siklus hidup: 1. Adat-istiadat bersalin.

a. Adat-istiadat melenggang perut, b. Adat-istiadat menempah mak bidan, c. Adat-istiadat mandi sampat, d. Adat-istiadat potong tali pusat, e. Adat-istiadat naik buaian (mengayun anak), f. Adat-istiadat mencecah tanah (turun tanah), g. Adat-istiadat bercukur.

2. Adat semasa anak-anak. a. Adat-istiadat bercukur, b. Adat-istiadat berkhitan (berkhatan atau sunnat), c. Adat-istiadat belajar dan mengaji, d. Adat-istiadat berkhatam Al-Qur’an, e. Adat-istiadat bertindik.

3. Adat-istiadat perkawinan. a. Adat-istiadat merisik, b. Adat-istiadat meminang, c. Adat-istiadat berinai, d. Adat-istiadat berandam dan menempah mak andam, e. Adat-istiadat berbesan, f. Adat-istiadat mandi bedimbar (berhias), g. Adat-istiadat bertandang, h. Adat-istiadat menyalang,

Page 133: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

127

i. Adat-istiadat menjemput atau berkampung. 4. Adat kematian. II. Adat yang berkait dengan kegiatan pertanian dan maritim. a. Adat-istiadat membuka tanah (mulaka ngerbah), b. Adat-istiadat bercocok tanam (tabur benih, mulaka nukal), c. Adat-istiadat berahoi (mengirik padi), d. Adat-istiadat turun perahu, e. Adat-istiadat bersimah berpuar, puja kampung, bersih kampung, atau berobat kampung, f. Adat-istiadat menjamu laut. III. Adat pengobatan melalui bomoh (dukun, pawang). a. Adat-istiadat berobat, b. Adat-istiadat berkebas, c. Adat-istiadat memutus obat, d. Adat-istiadat menilik bomoh, e. Adat-istiadat gebuk. IV. Adat olahraga tradisi dan seni pertunjukan. 1. Bersilat atau lintau. a. Adat-istiadat membuka gelanggang, b. Adat-istiadat menghadap guru atau sembah guru, c. Adat-istiadat tamat silat. 2. Pertujukan, musik, tari, dan teater, a. Adat-istiadat buka panggung, b. Adat-istiadat pertunjukan, c. Adat-istiadat tamat panggung. V. Adat makan atau jamuan. a. Adat-istiadat makan dan minum, b. Adat-istiadat berhidang: seperah, dulang, kepala lauk (menghidang), c. Adat-istiadat menjamu ketua atau pengurus adat, d. Adat-istiadat bersirih puan (sebelum makan), e. Adat-istiadat kenduri (jamu sukut). VI. Adat-istiadat pelantikan pengurus adat. VII. Adat-istiadat komunikasi budi bahasa. a. Adat-istiadat berbahasa, b. Adat-istiadat bertegur sapa. VIII. Adat-istiadat takwim Islam. a. Menyambut awal Muharram, b. Hari Asyura 10 Muharram, c. Safar, d. Maulid Nabi (Maulidur Rasul), e. Kenduri arwah (bulan Sya’ban), f. Puasa (Ramadhan), g. Hari Raya Idul Fitri, h. Hari Raya Kurban (Idul Adha), dan lain-lain. Dalam konteks perkembangan zaman, adat-istiadat yang bermakna kepada upacara atau ritual ini juga mengalami perkembangan-perkembangan. Upacara ini ada yang berkaitan dengan kegiatan budaya seperti politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, agama, ekonomi, dan lain-lainnya.

Pada masa kini, dalam konteks Indonesia, upacara atau adat-istiadat ini dapat juga ditemui seperi upacara pembukaan pekan olahraga, pembukaan gedung baru, upacara melepas jamaah haji, upacara menyambut kepulangan haji, upacara pembukaan kampanye partai politik, upacara bendera, upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia, upacara pembukaan dan penutupan pekan budaya, dan lain-lain. Dengan demikian adat-istiadat ini juga mengalami perkembangan-perkembangan selaras dengan perkembangan zaman.

Page 134: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

128

5. Fungsi Adat Menurut Tenas Effendy (2004:66-67) fungsi adat dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai berikut.

1. Menjabarkan nilai-nilai dasar Islam. Tidak dapat dipungkiri bahawa adat Melayu pada hakekatnya adalah penjabaaran nilai-nilai agama Islam, yang dianut masyarakatnya. Melalui adat dan kelembagaan adat inilah beragam nilai yang Islami dikembangkan, kemudian disebarkan ke tengah masyarakat. Nilai ini kemudian dijadikan identitas kemelayuan yang bersebati dengan Islam. Dari sini muncul pendapat yang menyatakan bahawa kemelayuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh etnisitas saja tetapi juga melalui agama yang dianut iaitu Islam, beradat Melayu, dan berbahasa Melayu. Dengan demikian kemelayuan seseorang menjadi luas, yang terwujud dari berbagai latar belakang suku dan puak.

2. Menjadi identiti yang Islami. Adat Melayu yang berakar dari agama Islam ini kemudian menjadi identitas kemelayuan, sehingga tidak dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan mereka. Oleh kerana itu seorang yang bukan beragama Islam kemudian menganut agama Islam, sejak dahulu disebut sebagai masuk Melayu. Sebaliknya jika seorang Melayu keluar dari agama Islam ia disebut dengan keluar dari Melayu, dan gugurlah hak-haknya sebagai orang Melayu, dan adat kemelayuannya.

3. Menjadi perekat persebatian dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fungsi utama institusi adat adalah sebagai perekat persebatian (integrasi) masyarakaat dalam kehidupan sosialnya. Fungsi ini amat penting kerana masyarakat Melayu di Nusanatara ini hidup dalam komunitas yang heterogen. Kemajemukan ini memerlukan simpai dan perekat yang dapat menyatukan masyarakat yang beragam itu daalam tatanan kehidupan yang aman dan damai, saling hormat-menghormati, saling bantu-membantu, dan lainnya. Hal ini diungkapkan dalam adat senasib sepenanggungan, seaib, dan semalu.

6. Nilai-nilai Adat

Dalam konteks mewujudkan fungsi institusi adat, tentulah harus mengacu kepada nilai dasar adat dan budaya Melayu yang telah teruji ketangguhan dan keluhurannya. Adat ini diterapkan sejak berabad-abad yang lampau, seiring dengan adanya orang Melayu di dunia ini. Nilai-nilai dasar inilah yang selama berabad-abad silam mampu menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin dengan keberagaman suku dan puak, kaum, dan bangsa di bumi Melayu.

Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam adat inilah yang perlu dikembangkan dan disebarluaskan dalam kehidupan berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam adat Melayu menurut Tenas Effendy (204:69-78) adalah sebagai berikut. 1. Nilai keterbukaan

Budaya Melayu yang selalu disebut sebagai budaya bahari8 adalah kebudayaan yang sifatnya terbuka. Melalui keterbukaan inilah masyarakatnya menjadi mejemuk demikian pula budayanya menjadi ikut heterogen juga. Pembauran lintas suku, umat, dan lintas negara, selama ratusan tahun telah melahirkan masyarakat Melayu yang heterogen. Kemelayuam tidak lagi semata-mata mengacu kepada etnik, yang mendasarkan pada genealogis atau hubungan darah, melainkan terbentuk dari keberagaman keturunan yang disimpai oleh kesamaan nilai Islam, budaya, dan bahasa.

Islam pun mengajarkan kepada segenap umatnya untuk terbuka. Islam tidak memandang kasta dan derajat manusia. Islam menerima siapa pun tanpa syarat untuk menjadi muslim. Islam sangat menghargai perbedaan-perbedaan di antara manusia, yang memang diciptakan oleh Allah sedemikian rupa. Islam tidak membedakan antara kaum Quraisy dengan Habsyi, Melayu, Pashtun, Kurdi, Tamil, Benggali, Hokkian, Kwong Fu, Korea, India, Anglo Sakson, Latin, dan seterusnya. Islam

8Kata bahari berasal dari bahasa Arab iaitu bahar yang artinya laut. Budaya bahari ini, sifat utamanya adalah terbuka

terhadap semua budaya dunia. Orang-orang di dunia yang berada dalam kebudayaan maritim umumnya adalah orang yang terbuka, dan selalu mengelola berbagai kebudayaan dunia. Kota-kota atau bandar-bandar besar juga dalam sejarah peradaban dunia selalu tumbuh di kawasan pesisir atau sungai-sungai. Budaya bahari atau maritim ini, biasanya bertumpu pada kegiatan perdagangan, mengelola hasil-hasil laut, saling meminjam dan mengelola budaya dalam lingkup global, dan sejenisnya. Berbagai bandar di Alam Melayu mengekspresikan budaya bahari ini, seperti Melaka yang menjadi pelabuhan perdagangan terkenal di abad-abad pertengahan, Siak Sri Indrapura sebagai kawasan maritim di Riau, Kerajaan Haru di Sumatera Utara, dan lain-lainnya. Oleh kerana itu tidaklah mengherankan bahawa budaya bahari ini menjadi tulang punggung dalam perkembangan peradaban masyarakat Melayu.

Page 135: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

129

mendudukkan posisi manusia berdasarkan nilai-nilai universal kemanusiaan, melalui panduan ajaran-ajaran Allah.

2. Nilai keislaman Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran agama Islam. Nilai keislaman

sangatlah dominan dan menjadi acuan dasar budaya Melayu. Budaya Melayu menyatu dengan Islam ini tercermin dalam ungkapan adat, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai; sah kata syarak, benar kata adat, bila bertelikai adat dengan syarak, tegaklah syarak, dan sebagainya.

Namun demikian, tidaklah bermakna bahawa budaya orang Melayu menolak masyarakat yang tidak ada akidah, bahkan sebaliknya menganjurkan untuk hidup saling hormat-menghormati, saling menghargai, saling bertenggang rasa, tolong-menolong, dan seterusnya. Nilai inilah yang sejak dahulu mampu mewujudkan kerukunan hidup antara umat beragama di bumi Melayu.

3. Nilai keturunan bersama Nilai ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan seketurunan, iaitu sama-sama keturunan

Adam dan Hawa. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, menyadarkan seseorang akan nenek moyangnya yang sama, yakni berasal dari rumpun Melayu yang satu. Nilai ini mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti yang seluas-luasnya. Nilai ini menyebabkan setiap individu dan kelompok maupun puak untuk berpikir jernih menjaga tali keturunan yang seasal tersebut, sehingga mereka terhindar dari perpecahan dan disintegrasi sosial. Hal ini terungkap dalam pantun Melayu.

Ketuku batang ketakal, Kedua batang keladi mayang, Sesuku kita seasal, Senenek kita semoyang. Melalui nilai keturunan bersama inilah masyarakat Melayu dapat menyatu dalam sebuah

kebudayaan. Yang menyatukan orang-orang Melayu itu di mana pun adalah nilai ini. Mereka itu bisa saja berasal dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan menjadi dirinya sebagai warga masyarakat Melayu. Bahkan orang-orang India, China, Arab, atau yang lainnya dapat menjadi Melayu, dengan cara masuk ke dalam kultur dan agama orang Melayu yang berpaksikan kepada agama Islam.

Di Sumatera Timur sebagai contoh, etnik mana pun dapat menjadi Melayu, selaras dengan kearifan lokalnya. Melayu di kawasan Langkat, Deli, Serdang, sampai Batubara menyatukan Melayu, dan memasukkan siapapun menjadi pada tiga kategorial iaitu: Melayu asli, Melayu semenda, dan Melayu seresam. Melayu asli maksudnya keturunan dan nenek moyangnya memang orang Melayu, apakah itu dari Sumatera sendiri, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan lainnya. Kategori kedua adalah Melayu semenda,9 yakni orang yang awalnya merupakan etnik bukan Melayu, kemudian kawin dengan orang Melayu, mengamalkan kebudayaan Melayu dan menjadi Melayu. Kategori yang ketiga adalah Melayu seresam, artinya orang yang awalnya adalah etnik-etnik di Nusantara, kerana kesadarannya akan budaya Melayu, kemudian mengamalkannya, dan menganggap dirinya sebagai orang Melayu. Kesemua kategori ini didasari oleh nilai-nilai budaya dan agama bahawa kita adalah satu keturunan bersama. Dahulunya adalah satu keluarga yakni keturunan Adam dan Hawa. Kemudian berkembang dan terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa, agar saling mengenal dan mengasihi sesamanya. Yang mulai di depan Allah adalah mereka yang bertakwa.

4. Nilai etika dan moral Nilai adat lainnya adalah etika dan moral. Di dalam adat ini terkandung nilai saling memelihara

hubungan antar individu maupun kelompok. Nilai ini mengajarkan dan menyadarkan agar hidup saling menjaga sopan dan santun baik pribadi maupun sosial. Kita harus menjaga hubungan baik, menjaga

9Pada kebudayaan masyarakat Pesisir (yang juga sebagai bagian dari masyarakat Melayu) di pantai barat Sumatera Utara

sampai ke Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam, kebudayaan mereka secara umum disebut dengan adat sumando, yang menempatkan hubungan perkawinan ini menjadi kunci utama dalam integrasi sosialnya. Adat sumando juga mengacu kepada konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah.

Page 136: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

130

marwah, menghindari prilaku hujat-menghujat, maki-memaki, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, dan seterusnya yang dapat menimbulkan aib dan malu bagi orang maupun dirinya sendiri.

Ungkapan adat Melayu mengatakan bahawa tanda hidup seaib semalu, yang buruk sama dibuang, yang keruh sama dijernihkan, yang kusut sama diselesaikan; salah besar diperkecil, salah kecil dihabisi. Selanjutnya dikatakan pula aib jangan didedahkan, malu jangan disingkapkan, juga aib orang jangan dibilang, aib diri yang kita kaji.

5. Nilai kebersamaan Nilai kebersamaan ini mencakup hal-hal yang berkait dengan nilai senasib dan sepenanggungan,

nalai seanak dan sekemanakan, seinduk sebahasa, senenek dan semamak, seadat sepusaka, sepucuk setali darah, sesampan dan sehaluan, dan seterusnya.

Nilai kebersamaan yang terkandung dalam adat Melayu, merupakan pemahaman dan penghayatan terhadap sistem sosial, yang memang perlu ada di dalam sebuah masyarakat. Sistem sosial inilah yang diatur oleh adat. Sistem sosial akan memandu kepada polarisasi yang benar dan terarah. Demikian juga apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan sosial, maka adat memberikan sanksi-sanksi berupa sanksi sosial dan budaya, sampai terusirnya seseorang dalam masyarakat adat. Jadi nilai-nilai kebersamaan ini dikandung dalam adat Melayu, untuk menjaga konsistensi internal kebudayaan. Nilai kebersamaan ini dalam konteks sosial diterapkan dalam musyawarah, komunikasi secara kultural, dan seterusnya.

6. Nilai cita-cita bersama Adat Melayu juga mengandung niali-nilai untuk mencapai cita-cita bersama. Di dalam ajaran

aadat ini setiap individu pastilah mempunyai cvita-cita, baik cita-cita di dunia dan terlebih lagi untuk menuju akhirat. Cita-cita setiap individu ini bisa saja berbeda sesuai dengan amanah yang diberikan Allah kepada dirinya. Ada pula cita-cita tersebut yang sama atau hampir sama dengan orang lain. Namun demikin, adat Melayu mengatur arah yang benar tentang cita-cita bersama ini, yang tumbuh dari cita-cita individu, kelompok kecil, sampai kumpulan besar, iaitu Melayu secara umum. Cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah menegakkan ajaran Allah di muka bumi ini sebagai rahmat kepada seluruh alam. Selain itu cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah melakukan kontinuitas dan perubahan kebudayaan sesuai dengan perkembangan zaman. Cita-cita bersama lainnya adalah menegakkan sistem sosial dunia, yang heterogen, berkeadilan, dan tidak ada penistaan terhadap satu kelompok manusia pun di dunia ini. Cita-cita seterusnya orang Melayu di dunia ini adalah membentuk persatuan dan kesatuan geobudaya, iaitu sama-sama dalam kebudayaan Melayu yang sama, yang terdiri dari beberapa negara bangsa. Namun intinya kebersamaan juga dapat dijalin dengan bangsa serumpun Melayu di mana pun di dunia ini. Kebersamaan ini bagi orang Melayu adalah hakikat dari kekuatan politik, budaya, dan sosial. Semakin menjadi kecil dan berkabilah-kabilah (berkelompok kecil), maka semakin tidak kuatlah posisi politiknya. Sebaliknya apabila bersatu, maka kita akan menjadi kuat.

7. Nilai kekuasaan dan martabat Nilai lainnya yang terdapat dalam adat Melayu adalah nilai kekuasaan dan martabat. Di dalam

kebudayaan Melayu, pada hakekatnya setiap orang diberikan Allah kekuasaannya masing-masing. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Dialah yang memimpin alam ini. Selain itu setiap individu diberikan berbagai kelebihan dan perannya masing-masing. Ia akan menjadi kuat dan terpolarisasi dengan baik dan benar ketika ia mampu mensinerjikan kemampuannya ini dengan orang lain atau kelompok lain. Ia akan menjadi terhormat dan bermartabat ketika ia mampu menjadi sumber inspirasi atau sumber keadilan dan kebersamaan sosial terhadap sesamanya.

Kekuasaan dan martabat seorang Melayu sebenarnya tidak ditentukan oleh kedudukan sosial yang diperolehnya atau materi yang dikumpulkannya. Kekuasaan dan martabat orang Melayu mencakup aspek yang multidimensional. Artinya kekuasaan dan martabat tetap mengacu kepada perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, panduannya adalah ajaran Islam. Seorang yang dikatakan berkuasa dan bermartabat jika ia dapat menjadi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil’alamin). Dengan demikian berbagai sifat-sifat agung akan muncul dari dalam dirinya, seperti: rendah hati, tidak sombong, suka menolong sesama, bertakwa, tujuan hidupnya dunia dan akhirat sekaligus, dan hal-hal sejenisnya.

Kekuasaan dan martabat seorang Melayu, mencakup kecerdasan sosialnya. Artinya kekuasaan dan martabat ini ditentukan juga oleh interaksi seorang melayu dengan masyarakat sekitar, dan juga masyarakat secara luas. Kecerdasan sosial ini, didukung oleh faktor-faktor: intelegensia, emosional,

Page 137: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

131

dan juga spiritual. Pada hakekatnya, setiap orang di dunia ini dianugerahi oleh Allah kemampuan intelektual, iaitu berpikir secara logis, dalam konteks menggunakan pikirannya. Namun selain itu di dalam diri manusia juga harus diasah kemampuan mencerdaskan emosionalnya. Artinya ia harus mampu memanajemeni dirinya terhadap perasaan yang muncul. Kalau sedih tidak terlalu dalam, kalau marah tidak terlalu meledak-ledak, kalau gembira tidak terlalu tertawa terbahak-bahak, dan seterusnya. Jadi emosi adalah bahagian dari pengendalian diri. Ini dapat diperoleh melalui latihan-latihan berpuasa, yang gunanya adalah mengendalikan diri dari hawa nafsu. Namun hawa nafsu juga tidak dimatikan, hanya diarahkan ke arah yang benar. Selain itu, terdapat juga kecerdasan spiritual. Ini penting dilakukan sebagai bahagian mengarahkan diri seseorang ke jalan yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kecerdasan spiritual adalah salah satu bahagian dari cara kontemplasi diri akan hakekat hidup, juga mengarahkan seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan dan segala makhluk serta alam lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan. Jadi dengan selalu mengasah kecerdasan spiritual ini, seseorang akan mendapatkan berkah di dalam hidup, baik itu berupa material, dan terutama spiritualnya akan menjadi lebih kaya. Dampaknya ia akan selalu beribadah dan ingat kepada Tuhan, ia akan menjadi manusia yang menyayangi sesamanya, tanpa membeda-bedakan segala perbedaan, kerana pada dasarnya setiap manusia adalah awalnya satu.

8. Nilai musyawarah (mesuarat) Nilai lainnya dari adat Melayu adalah nilai musyawarah. Nilai musyawarah ini adalah substansi

dari kebersamaan sosial dan religiusitas dalam rangka merembukkan kepentingan secara bersama. Setiap permasalahan sosial dan budaya dapat dipecahkan dan diselesaikan dengan cara bermusyawarah. Institusi musyawarah ini juga sebagai salah satu pengendalian dan pengawasan sosial, yang tujuannya adalah untuk kepentingan bersama.

Dalam musyawarah ini juga terkandung nilai-nilai mufakat, yang artinya walaupun keputusan bersama itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan dan konsepkan, namun kerana telah menjadi keputusan bersama, maka dengan ikhkas kita menerimanya dan bahkan mempertahankan keputusan itu dengan sekuat tenaga dan upaya. Nilai musyawarah untuk mencapai mufakat ini adalah ekspresi dari nilai-nilai demokrasi dalam adat Melayu dan Dunia Islam.

Dalam menjalankan musyawarah untuk mencapai mufakat ini, yang diutamakan adalah ketulusan untuk menyelesaikan secara bersama-sama. Dalam musyawarah mufakat sebenarnya sangat dihindari voting atau keputusan yang sifatnya mempertentangkan dua atau beberapa pilihan yang berbeda, dan cenderung melihatnya secara praktis iaitu suara yang terbanyak ialah yang menang.

Dalam musyawarah muafakat sebenarnya intinya bukan demikian, tetapi adalah kebulatan sikap, dan pembelajaran dengan wawasan kultural yang holistik, serta menimba ilmu pengetahuan dari semua orang, dan hal-hal sejenis. Demikianlah kira-kira nilai-nilai yang terkandung di dalam adat Melayu.

Page 138: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

132

Bagan Hubungan Budaya, Adat, dan Ragam Adat dalam Kebudayaan Melayu

Daftar Pustaka a. Kitab Suci Al-Qur’an. b. Buku, Artikel, Majalah, Jurnal, Koran, Skripsi, Tesis, Disertasi, Makalah, Kamus, Ensiklopedi, dan Sejenisnya Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni

Malaysia Melaka. A. Rais B.N., 1983. Peranan, Nelayan, dan Perkawinan dalam Tata Cara Adat-istiadat Melayu Deli Serdang. Lubuk

Pakam: (Tanpa Penerbit). Amran Kasimin, 2002. Perkawinan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ediruslan Amanriza, t.t. Adat Perkawinan Melayu Riau. Riau: Unri Press. Gough, E.K., 1959. “The Nayars and the Definition of Marriage.” Journal of the Royal Anthropological Institute, pp. 23-34. Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia. New YorK: St. Martin's Press. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E.

Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1994, (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo), Surabaya: Usaha Nasional.

Hart, Michael H., 1990. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Carol Publishing Group. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka. Hasbullah Ma’ruf, 1977. Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu Sumatera Timur. Medan. Haviland, William A., 1999. Antropologi (penerjemah R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga. Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya. Husin Embi (et al.), 2004. “Adat Perkawinan di Melaka.” di dalam, Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004.

Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. Metzger, Laurent, 1994. “Kekuatan dan Kelemahan Orang Melayu: Suatu Pandangan Seorang Asing,” Alam Melayu,

Yaacob Harun (ed.), Kuala Lumpur: Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya, pp. 158-175. Muhammad Ali Zainuddin dan O.K. Gusti, 1995. Intisari Adat dalam Hal Pinang-meminang dan Perkawinan Menurut Adat

Resam Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: Grup Tepak Melayu Telangkai Pelestari Adat Kebudayaan Melayu. Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal.

Medan: Jurusan Etnomusikoligi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni). Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera

Utara Press.

Page 139: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

133

Muhammad Takari dan Fadlin, 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya. Muhammad Takari dan Fadlin, 2014. Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ulmu Seni. Medan: Universitas

Sumatera Utara Press. O.K. Gusti bin O.K. Zakaria, 2005. Upacara Adat-Istiadat Perkawinan Suku Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: (Tanpa

Penerbit). O.K. Moehad Sjah, 2012. Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara

Press. Ramlan Damanik, 2002. “Fungsi dan Peranan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Deli.” Medan: Universitas

Sumatera Utara. Tenas Effendy, 1994. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Tenas Effendy, 2004. Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan

Pengembangan Budaya Melayu. Tenas Effendy, 2013a. Sifat-sifat Utama Pemimpin Melayu. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2013b. Tunjuk Ajar Melayu tentang Wakil. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2013c. Tunjuk Ajar Melayu tentang Pemberi dan Penerima Amanah. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau. Tenas Effendy, 2014. “Pentingnya Amalan Adat dalam Masyarakat Melayu.” dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin

(ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. Tengku Admansyah, 1987. Peranan Budaya Melayu Sebagai Sub Kultur Kebudayaan. Rantauprapat. Tengku Luckman Sinar, 1994. Adat Perkawinan dan Tata Rias Pengantin Melayu. Medan: Lembaga Pembinaan dan

Pengembangan Seni Budaya Melayu. Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P.

Lah Husni. Tengku Muhammad Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar

Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan. Tengku Muhammad Lah Husni,1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. Yuscan, 2007. Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera Timur. Medan: Pengurus Besar Majelis Adat Budaya

Melayu Indonesia. Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat

Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. c. Internet Tom Ibnur, dalam http://sriandalas.multiply.com/journal/item/25 Wardah Fazri, menulis artikel dalam http://female.kompas.com/read/2010/02/02 /19150389/Prosesi.Pernikahan.Adat.Palembang http://jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/0/adatperkawinan-melayu-melaka http://id.wikipedia.org/wiki/Zapin http://wikipedia.org

Page 140: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

134

MANAJEMEN KELOMPOK PADUAN SUARA DI KOTA MEDAN:

STUDI KASUS CONSOLATIO CHOIR DAN METHODIST-2 CHAMBER CHOIR

Oleh : Halomoan Tampubolon

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara e-mail: [email protected]

Abstract

Choir is a group of singers which are classified by their range of vocal. Choirs in Medan are mostly denominated by church, school, university and religious department of any institution. It can be said that choirs in Medan are flourished rapidly, it is shown in the number of choirs in Medan that gain many achievements at national and international level. However, there are some choirs, which have owned any achievements in national and international level, fail to maintain their existence. What is the key to mantain the existence of a choir? Is the existence of a choir related with their management? This research is focused to analysis about: How is the management of (a) organization, (b) production, and (c) marketing in two choirs in Medan, Consolatio Choir and Methodist-2 Chamber Choir. Keywords: Choir, Management, Organization, Production, Marketing,

1. Keberadaaan Paduan Suara di Kota Medan

Keberadaan paduan suara (koor) di kota Medan adalah dimulai dari masuknya Agama Kristen ke Tanah Batak serta penyebarannya, pentingnya koor di gereja serta dimasukkannya koor dalam kurikulum pendidikan. Dalam tulisan ini, keberadaan koor dideskripsikan sekitar tahun 1985-1980, tahun 1980-1990, dan sesudah tahun 1990 yang dipengaruhi oleh keberadaan Ansembel HKBP Nommensen yang melatarbelakangi berdirinya paduan suara Consolatio Choir. Perkembangan paduan suara baik di Sekolah-sekolah SD, SMP, dan SMA, dan di Perguruan Tinggi, paduan suara Instansi Pemerintahan & Swasta, dan paduan suara independen turut dideskripsikan.

1.1 Masuknya Agama Kristen Penyebaran agama Kristen ke Indonesia khususnya di Sumatera Utara, baik Kristen Katolik maupun Kristen Protestan memiliki sejarah yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama dalam pengenalan akan Juruselamat yang diyakini Agama Kristen Katolik maupun Kristen Protestan. Penyebaran kekristenan di Sumatera Utara pertama kali dilakukan oleh missionaris Kristen Protestan.

Salah satu Pekabaran injil (PI) yang membuahkan hasil adalah usaha yang dilakukan Ludwiq Ingwer Nommensen, seorang pendeta yang diutus Rheinische Mision Gesellschaft (RMG) sebuah organisasi gereja Jerman di kota Bremen. Pada tanggal 7 Oktober 1861 RMG membuka suatu daerah penginjilan baru di Sumatera, “Bataklanden” atau Tanah Batak. Daerah penginjilan baru ini diberi nama “Battamission” yang kemudian disebut “ Batak mission “ atau “Mission – Batak“. Tanggal lahir Batak Mission ditentukan pada 7 Oktober 1861 bertepatan dengan tanggal dari rapat pertama para penginjil RMG di Tanah Batak dan tanggal tersebut sekaligus menjadi tanggal berdirinya gereja Huria Kristen Batak Protestan (Pardede, 2011:36).

Sejak awal pemberitaan Injil, salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh para missionaris adalah nyanyian-nyanyian dan musik gerejani. Ada tiga cara yang di terapkan oleh para missionaris pada saat melakukan tugasnya yaitu; berkhotbah, mengajar, dan menyanyi. Sedangkan salah satu ciri khas pengajaran para missionaris adalah lebih menekankan pendidikan melalui musik karena mereka menganggap orang Batak terkenal suka nyanyian (Pardede, 2011:62). 1.2 Koor Dalam Kurikulum Pendidikan

Di kalangan HKBP, sejak kedatangan missionaris sampai institusi HKBP ada, HKBP memikirkan pentingnya koor di gereja hingga pelajaran koor ini dimasukkan dalam kurikulum di lembaga pendidikan di HKBP serperti: Sekolah Karteket di Parausorat - Sipirok, Sekolah Pendeta Di Seminari Pansurnapitu, Seminari Sipoholon, Sekolah Penginjilan Wanita (Bibelvrow) di Laguboti, Sekolah Theologia Menengah HKBP, Fak. Theologia Univ. HKBP Nommensen, Sarjana Muda

Page 141: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

135

Theologia HKBP, Sarjana Lengkap Theologia HKBP (Pardede, 2011:95-99). Selain di kalangan gereja, pada SMK Musik dan Perguruan Tinggi yang memiliki Jurusan Seni di Sumatera Utara, koor juga dimasukkan sebagai mata pelajaran/ mata kuliah. 1.3 Keberadaan Koor Tahun 1950-1980

Menurut Sianipar, keberadaan paduan suara di Medan jauh sebelum 1950 sudah ada di kalangan gereja-gereja baik gereja Protestan maupun Katolik. Paduan Suara di perguruan tinggi-perguruan tinggi dibentuk dalam mengisi kegiatan seremonial universitas, seperti wisuda, diesnatalis, dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara (USU) misalnya, sejak berdiri tahun 1957 telah membentuk paduan suara untuk mengisi kegiatan wisuda. Namun paduan suara tersebut masih bersifat sementara, dibentuk hanya saat mempersiapkan kegiatan wisuda saja.

Demikian halnya paduan suara yang ada di IKIP Medan (saat ini menjadi Universitas Negeri Medan – Unimed). Sejak IKIP Medan didirikan tahun 1963, paduan suara dibentuk hanya untuk mengisi kegiatan wisuda saja. Setelah kegiatan wisuda selesai, paduan suara tersebut tidak dibubarkan dan dibentuk kembali saat menjelang wisuda berikutnya. 1.4 Keberadaan Koor Tahun 1980-1990 Menurut Dermawan Purba, Paduan Suara di Universitas Sumatera Utara (USU) berdiri sejak dibukanya jurusan Etnomusikologi pada tahun 1979. Dalam rangka mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Mahasiswa di Jakarta tahun 1980, Paduan Suara USU dibentuk dan dipimpin oleh Rizaldi Siagian. Keanggotaannya berasal dari berbagai fakultas yang ada di USU seperti: Fakultas Ilmu Budaya, Hukum, Ekonomi, Pertanian, dan Teknik. Paduan Suara USU berlatih di Gelanggang Mahasiswa. Kegiatan yang dilakukan selain mengisi acara wisuda adalah memenuhi undangan mengisi acara pada kegiatan kegubernuran, kegiatan kementerian, kegiatan di Televisi Republik Indonesia (TVRI) dalam acara “Cintaku Negeriku” dan mengikuti kegiatan festival paduan suara . Sejak keberangkatan Rizaldi Siagian ke Amerika untuk menempuh studi S-2, Pada tahun 1982-1991 Paduan Suara USU dipimpin oleh Setia Dermawan Purba. Sejak tahun 1991 Paduan Suara USU dipimpin oleh Torang Naiborhu karena Setia Dermawan Purba melanjutkan studi S-2 di Universitas Indonesia.

Menurut Sianipar, Paduan Suara Mahasiswa (PSM) IKIP Medan diprakarsai dan dipimpin oleh Nurdin Hasiholan Nainggolan, salah seorang Dosen Jurusan Seni yang juga merupakan pencipta lagu Mars IKIP Medan. Kegiatan yang dilakukan selain mengisi kegiatan wisuda adalah mengikuti festival paduan suara. Pada tahun 1980 PSM IKIP Medan mengikuti mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Mahasiswa di Jakarta. Pada tahun 1983, PSM IKIP Medan kembali mengikuti Pesparani (Pesta Paduan Suara Gerejani) di Jakarta dengan dirigen Corry Situmeang dan Theodora Sinaga sebagai pianist.

Sejak Perubahan kelembagaan IKIP Medan menjadi Universitas Negeri Medan yang peresmiannya dilaksanakan pada bulan Februari 2000 dengan SK Presiden No. 124 Tahun 1999, tanggal 7 Oktober 1999 PSM IKIP berubah nama menjadi PSM Unimed. Saat ini PSM Unimed tersebut lebih dikenal dengan nama Paduan Suara Solfeggio Unimed sebagai paduan suara yang telah mengharumkan nama Unimed lewat prestasi yang diraihnya baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. 1.5 Pengaruh Ansembel HKBP Nommensen Setelah 1990 Keberadaan Ansambel HKBP Nommensen yang didirikan Edward Van Ness membawa perubahan yang sangat penting di dalam perkembangan paduan suara di kota Medan, dimulai dari berdirinya Paduan Suara Consolatio sebagai pengaruh keberadaan Ansambel HKBP Nommensen. Sesuai perkembangan waktu, para anggota Consolatio yang telah mendapatkan pengalaman musik paduan suara dari Consolatio tidak sedikit mendirikan paduan suara yang turut meramaikan pertumbuhan paduan suara di kota Medan.

2. Perkembangan Paduan Suara 2.1 Paduan suara di sekolah-sekolah SD, SMP, dan SMA Paduan suara tingkat Sekolah Dasar (SD), tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di sekolah-sekolah umumnya memiliki peran

Page 142: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

136

untuk menyanyikan lagu-lagu nasional dan lagu kebangsaa Indonesia Raya pada saat pelaksanaan upacara di sekolah-sekolah. Namun tidak semua sekolah memiliki paduan suara. Umumnya paduan suaranya bersifat sementara, yang dibentuk jika ada kebutuhan akan paduan suara. Paduan suara untuk mengisi kegiatan Natal misalnya, umumnya akan dibentuk dan dilatih oleh pihak sekolah atau meminta pelatih dari luar sekolah untuk melatihnya, demikian juga untuk memenuhi undangan mengikuti Kompetisi Paduan Suara yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Medan, yang dilaksanakan setiap tahun.

Berikut ini adalah nama-nama paduan suara sekolah yang aktif dan diantaranya ada yang pernah menyelenggarkan konser, mengikuti kompetisi tingkat nasional dan tingkat internasional; Paduan Suara Beata Voice Choir SD St Antonius I dan II Medan, Paduan Suara Solagratia SMAN 1 Medan, Paduan Suara Choir of Nazareth SMAN 2 Medan, Paduan Suara Koinonia SMAN4 Medan, Paduan Suara Sollennell Carol SMAN 5 Medan, Paduan Suara Hallelujah SMAN7 Medan, Paduan Suara Clementine Choir SMAN 8 Medan, Paduan Suara Igreya SMAN 10 Medan, Paduan Suara Clarabel SMAN12 Medan, Paduan Suara St. Chronicles St. Thomas 1, Paduan Suara Altiora Quaerite Choir SMA Budi Murni-1, Paduan Suara SMA Methodist-1 dengan nama Methodist-1 Youth Choir, Paduan suara SMA St. Thomas 3 dengan nama Santa Sisilia Choir,

2.2 Paduan suara di perguruan tinggi Sebagaian besar paduan suara yang ada di perguruan tinggi awalnya bertujuan untuk mengisi acara-acara seremonial kampus, misalnya wisuda, diesnatalis , lustrum, capping day yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, pengukuhan guru besar, perayaan keagamaan kristiani, seperti paskah dan natal. Berikut ini adalah paduan suara yang ada di Perguruan Tinggi di kota Medan beserta kegiatannya. a. Paduan suara di Universitas Sumatera Utara (USU). Paduan suara-paduan suara di USU yang

masih beraktifitas secara konsisten adalah: Paduan suara Consolatio USU, Paduan El Shaddai USU, Paduan Suara Mahasiswa USU, Paduan Suara Transeamus Pertanian USU, Paduan Suara Syalom Fakultas Ilmu Komputer USU.

b. Paduan suara di Universitas HKBP Nommensen ada Paduan Suar Concordia. c. Paduan suara di Universitas Negeri Medan (Unimed). Nama-nama paduan suara di Unimed dan

masih beraktifitas secara konsisten adalah: Solfeggio Choir Unimed, Paduan Suara Vivace (Jurusan Seni Musik – FBS, Paduan Suara Messa de Voce (Jurusan Seni Musik – FBS), Paduan Suara Consonanza (Jurusan Seni Musik – FBS), Paduan Suara El-Senyor (Jurusan Biologi-FMIPA), Paduan Suara Philadelpia (Jurusan Sastra-FBS), Paduan Suara Gelora (Mahasiswa Katolik), Paduan Suara Santo Martinus (UK-KMK). Paduan Suara IKBKK (Jurusan Kimia-FMIPA), Paduan Suara IKBKF (Jurusan Fisika-FMIPA), Paduan Suara IKBKM (Jurusan Matematika-FMIPA), Paduan Suara UKMKP (Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Protestan), Paduan Suara Gema Sangkakala (FIP-Unimed), Paduan Suara Magnificum Et Bonum (Jurusan Ekonomi – FE), Paduan Suara Eklesia (gabungan beberapa Fakultas), Paduan Suara Ostentus.

d. Paduan suara di Universitas Prima, ada Paduan Suara Mahasiswa Universitas Prima. e. Paduan suara di Politeknik Negeri Medan (Polmed), ada Paduan suara Kantate dan Paduan Suara

Dominic. f. Paduan suara di Universitas Katolik Santo Thomas Medan, ada Paduan Suara Mahasiswa Unika

St.Thomas Sumatera Utara g. Paduan suara instansi di pemerintahan & swasta. Instansi pemerintahan dan swasta, umumnya

membentuk paduan suara dalam perayaan-perayaan kegiatan keagamaan, seperti dalam menyambut paskah maupun natal. Paduan suara yang dibentuk umumnya bersifat sementara, hanya dibentuk saat menyambut kegiatan perayaan tersebut seperti PT Perkebunan Socfindo, PTPN 2 dan 4, serta instansi lainnya.

h. Paduan suara independen. Paduan suara independen yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tidak terikat dengan instansi atau lembaga lain. Berikut adalah nama-nama aduan suara independen di kota Medan; (1) Paduan Suara Crescendo Studio Choir, (2) Paduan Suara Anak Crescendo Studio Choir, (3) Paduan Suara Ozora, (4) Paduan Suara Medan Chamber Singers, (5) Paduan Suara Medan Community Male Choir, (6) Paduan Suara Vox Angelicus, (7) Paduan Suara e Deum Voice, (8) Paduan Suara e Deum Children Voice, (9) Paduan Svara Sacra Choir,

Page 143: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

137

(10) Paduan Suara My Sparkling Female Choir, (11) Paduan Suara Gloria Patri Choir, (12) Paduan Suara Todah Male Choir, (13) Paduan Suara Vox Seraphim, (14) Paduan Suara Gita Sonora Choir, (15) Paduan Suara Excelsis, (16) Paduan Suara Nommensen Male Choir, (17) Paduan Suara Lux Caesti Choir, (18) Paduan Suara Glorify Martubung (19) Paduan Suara Medan Male Chamber Singer, (20) Paduan Suara Wijaya, (21) Paduan Suara Osentus, (22) Paduan Suara Regina Caeli, (23) Paduan Suara Invictus, (24) Paduan Suara Karya Murni, (25) Lux Sacrum Choir.

3. Fenomena di Tengah Pertumbuhan Paduan Suara

Pesatnya pertumbuhan paduan suara di kota Medan pantas mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakan paduan suara kota Medan dan luar Medan. Pesatnya paduan suara ternyata tidak hanya berdampak baik, namun juga berdampak buruk bagai beberapa paduan suara. Fakta yang ada, ada beberapa paduan suara yang kehilangan anggota karena angotanya tidak lagi latihan sejak diajak oleh orang lain masuk paduan suara lain. Strategi yang dilakukan untuk menarik minat anggota salah satunya dengan “menjual” program kegiatan besar yang diprogramkan di paduan suara yang mengajaknya .

Motivasi paduan suara yang mengajak umumnya memiliki kerinduan berpretasi di tingkat nasional maupun internasional dengan melewatkan masa “berproses” yang seharusnya ada mulai dari orientasi & pembinaan pengetahuan musik, latihan yang tentu membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak singkat. Sifat instan sebagai fenomena menjadi hal buruk dari keberadaan beberapa paduan suara yang lahir dengan keanggotaan yang di comot dari paduan suara-paduan suara lain.

4. Manajemen Organisasi

Berkesenian dapat dilakukan secara individu, misalnya menari, membaca puisi, menyanyi solo, bermain musik solo, atau berpantomim. Banyak seniman berhasil dan terkenal karena berkesenian secara individu. Namun ada juga kesenian yang akan lebih baik jika dilakukan secara berkelompok atau memang harus berkelompok, misalnya teater, drama, sinetron, atau ketoprak, band, orkestra, dan menarikan tari serampang dua belas. Karena sudah sering menjalankan kesenian secara berkelompok dan anggota kelompok sudah cocok satu dengan yang lain, banyak seniman seni pertunjukan kemudian membentuk grup (Permas Achsan, 2003:15).

4.1 Manajemen Organisasi Consolatio Choir

Pemimpin yang paling tinggi di organisasi Consolatio Choir adalah Badan Pengurus Harian. Pemimpin paling tinggi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah yang memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan di luar Rapat Anggota. Pemimpin di level berikutnya (menengah) adalah Seksi dan Pelatih, dan pemimpin di level bawah adalah anggota. Posisi tersebut dapat digambarkan seperti bagan berikut.

Bagan 4.1 Kepemimpinan di Consolatio Choir

4.1.1 Visi dan Misi Misi merupakan alasan dasar mendirikan organisasi atau membentuk grup musik seni

pertunjukan. Misi juga tercantum dalam anggaran dasar organisasi. Organisasi seni pertunjukan sering kali merupakan organisasi yang digerakkan oleh misi (mission-driven organization), sehingga misi selalu menjadi motivator dasar bagi berdirinya organisasi (Achsan Permas, 2003:41). Pernyataan misi

BPH

Seksi & Pelatih

Anggota

Page 144: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

138

umumnya mengandung 4 (empat) hal yaitu why (maksud atau alasan mendirikan organisasi), what (bidang kegiatan yang akan dilaksanakan), who (siapa yang akan dilibatkan), dan how (cara dan nilai-nilai yang dianut dalam melaksanakan kegiatan).

Visi dan misi merupakan patron, focus, pusat arah, dan acuan dalam menjalankan roda organisasi, jika ada perilaku yang berlaku diluar kebiasaan organisasi, maka visi dan misi dapat menjadi kontrol atas hal-hal tersebut. Eksistensi sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh visi dan misi organisasi tersebut. Visi Consolatio Choir adalah: (1) Menjunjukkan eksistensi mahasiswa/ alumni Kristen di masyarakat (2) membentuk pribadi yang disiplin, bertanggung jawab, mandiri dan takut akan Tuhan. Misi Consolatio Choir adalah: (1) Sebagai sarana pelayanan dan kesaksian, (2) Sebagai wadah pengembangan minat dan bakat dalam bidang seni musik., (3) meningkatkan dan memperkaya wawasan akan paduan suara. 4.1.2 Perencanaan program kegiatan Kalau mau tetap bertahan atau terus maju dan berkembang, organisasi seni pertunjukan perlu memiliki cita-cita (gambaran masa depan yang diinginkan). Organisasi seni pertunjukan perlu memikirkan kegiatan apa saja yang akan dilakukan dalam beberapa tahun ke depan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Kalau organisasi lupa memikirkan masa depan, dan terjebak oleh kegiatan operasional sehari-hari maka akan sulit untuk membuat langkah atau lompatan yang besar dan bermanfaat bagi anggotanya. Dalam situasi tersebut organisasi bisa kurang serius dan fokus mengupayakan untuk melengkapi kostum atau mencari dana untuk membangun atau merehabilitasi tempat latihan. Untuk menjamin masa depan, organisasi perlu menyepakati arah, sasadan, dan program jangka panjangnya (Permas Achsan 2003:35). Paduan suara Consolatio setiap kegiatannya selalu berdasarkan program yang sudah dibuat, dan dengan perencanaan-perencanaan yang disusun dalam 1 (satu) sampai 2 (dua) tahun ke depan. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh paduan suara ini semuanya bersifat terencana. Perencanaan yang dibuat biasanya berdasarkan dengan apa yang membangun paduan suara ini, baik spiritual maupun materi. Hal inilah yang membuat paduan suara ini dapat menjalankan organisasi. Kegiatan yang pernah dilaksanakan sejak Consolatio berdiri adalah: (1) Kunjungan Gereja, (2) Memenuhi Undangan, (3) Konser Tahunan, (4) Menyelenggarakan Kompetisi Paduan Suara, (5) Mengikuti Kompetisi Paduan Suara, (6) Rekaman. 4.1.3 Kesekretariatan

Dalam menjalankan roda sebuah organisasi, kesekretariatan menjadi hal yang penting. Tempat berkumpulnya para anggota organisasi dalam mengadakan kegiatan-kegiatan umumnya dilaksanakan di sekretriat. Sekretariat Consolatio Choir, beralamat di Jl. Bunga Mawar No. 49 A Pasar 5 Padang Bulan, Medan. Sekretariat ini juga digunakan sebagai tempat latihan. Sekretariat tersebut merupakan sebuah rumah kontrakan yang disewa oleh Consolatio Choir. Sekretriat ini juga berfungsi sebagai sarana penghubung antara Consolatio dengan pihak luar. Hampir seluruh kegiatan Consolatio berpusat di sekretariat. Sekretariat di disain sedemikian rupa dan dilengkapi dengan alat yang menunjang kemajuan organisasi. Arsip-arsip dokumentasi seluruh kegiatan dipusatkan di sekretariat. Untuk memaksimalkan penggunaan ruangan yang ada, setiap ruang difungsikan sesuai dengan kebutuhan. Ada ruang kamar, ruang kantor, studio latihan, ruang perlengkapan, ruang kostum, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. 4.1.4 Iuran Keanggotaan

Umumnya di dalam mendukung roda organisasi yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, organisasi tersebut pada umumnya akan mendiskusikan tentang perlu tidaknya hal iuran bersama seluruh anggota. Sejak Consolatio berdiri, pengurus paduan suara ini tidak pernah memungut iuran dan tidak ada iuran. Jika ada kebutuhan paduan suara yang perlu ditanggung bersama-sama dalam nilai yang tidak memberatkan, maka seluruh anggota paduan suara dimintakan untuk memberikan sumbangan semampunya, tanpa memaksa. Jika keadaan beberapa anggota tidak memungkinkan untuk memberikan sumbangan, hal tersebut tidaklah menjadi masalah.

Page 145: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

139

4.1.5 Struktur Organisasi

Struktur organisasi ini terdiri dari pelindung, pembina, pengurus, dewan senior, dan anggota. Pembina Paduan Suara Consolatio Universitas Sumatera Utara adalah perseorangan di luar anggota Paduan Suara Consolatio Universitas Sumatera Utara yang memberikan perhatian dan dukungan bagi Paduan Suara Consolatio. Pengurus terdiri dari Badan Pengurus Harian, Seksi-seksi, dan Konduktor. Dewan senior adalah angora luar biasa yang pernah aktif sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sejak bergabung. Pembina, Pengurus dan Dewan Senior diangkat melalui Rapat Anggota untuk periode (satu tahun) dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Sistem kepemimpinan Consolatio memiliki keunikan tersendiri, dimana antara manajemen dan pelatih/ dirigen memiliki saat-saat sebagai pemimpin dan saat sebagai bagian yang dipimpin. Pada saat diadakan rapat-rapat dalam organisasi, yang menjadi pemimpin saat tersebut adalah manajemen yakni Badan Pengurus Harian (BPH), dan pelatih sebagai peserta rapat. Namun disaat jam proses latihan, pelatihlah yang menjadi pemimpin. Demikian juga disaat pertujukan berlangsung, dirigenlah yang menjadi pemimpin. Ada masa kekuasaan yang dimiliki dan ada kekuasaan yang tidak dimiliki dalam satu periode tertentu. BPH bertugas untuk memenuhi kebutuhan organisasi termasuk kebutuhan dalam hal latihan.

Bagan 4.1.5 Struktur Organisasi Consolatio Choir

Sistem dan struktur yang tercipta di dalam paduan suara ini berpedoman pada peraturan-peraturan yang ada di dalam paduan suara Consolatio, yang telah disepakati bersama oleh seluruh anggota paduan suara. Peraturan tersebut berupa AD/ART. a. Pengurus

Di dalam membantu tugas-tugas kepengurusan yang lebih spesifik, BPH dapat mengangkat kepanitiaan untuk menangani kegiatan tertentu dibawah pengawasan BPH, sehingga BPH dapat lebih fokus memikirkan dan menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan roda organisasi secara keseluruhan. Pada kegiatan berikut ini misalnya, panitia khusus dipilih dan diangkat dalam menjalankan kegitan seperti konser, kegiatan dalam mengikuti kompetisi, kegiatan menyelenggarakan kompetisi, acara natal, dan ulangtahun Consolatio.

Kegiatan dalam satu tahun bisa saja memiliki program dengan jumlah 3 (tiga) atau lebih program kerja. Jika program tersebut ditangani oleh BPH sendiri, dikhawatirkan program tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan. Fungsi BPH adalah sebagai control atau melakukan tugas pengawasan terhadap progress kepanitiaan. Dalam hal-hal yang bersifat mendesak, jika hal-hal yang akan diputuskan sudah diatur dalam AD/ ART, maka BPH dapat mengambil keputusan tersebut. Namun jika hal-hal yang akan diputuskan belum pernah disinggung di AD/ ART, maka Rapat Anggotalah yang dapat memutuskannya.

Berikut ini adalah deskripsi tugas dan tanggung jawab Badan Pengurus Harian Consolatio Choir: • Mengangkat/ menunjuk seksi-seksi, tim kerja, koordinator pelaksanaan, maupun panitia yang dibutuhkan dalam gerak pelayanan Paduan Suara Consolatio. • Memimpin setiap pertemuan atau kegiatan Paduan Suara Consolatio. • Memimpin setiap pertemuan atau kegiatan Paduan suara Consolatio, baik yang rutin maupun non rutin. • Mengontrol dan mengawasi gerak Pelayanan Paduan Suara Consolatio.

BPH

S. Humas S. Sosial dan Kerohanian

S. Perleng-kapan

S. Kon-sumsi

S. Kostum S. Kerumah-tanggaan

S. Pengem-bangan

S. Partitur

Pelatih

PHBK

Page 146: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

140

• Mengkoordinir dan bertanggung jawab terhadap regenerasi dan kesinambungan pelayanan Paduan Suara Consolatio. • Mengkoordinir administrasi Paduan suara Consolatio. • Menjalin dan membina hubungan kerjasama yang baik ke dalam dan keluar PS Consolatio.

b. Pelatih Pada perkembangan paduan suara belakangan ini, ada banyak pelatih paduan suara yang

adalah sekaligus menjadi dirigen di sebuah paduan suara. Umumnya pelatih yang sekaligus menjadi dirigen dalam satu paduan suara, memiliki kedekatan batin dengan para anggotanya . Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh jumlah pertemuan antara pelatih dengan anggota yang cukup tinggi, sejak latihan sampai pada penampilan. Selain kemampuan pelatih menjadi seorang motivator juga, pelatih juga harus mampu menjiwai keadaan anggotanya. Karena Consolatio berlandasakan kekristenan, maka pelatih juga dituntut untuk mampu membangun kerohanian anggota.

Dalam efektifitas latihan, pelatih umumnya meminta koordinator persuara yang berfungsi sekaligus menjadi perpanjangan tangan pelatih (pelatih sopran, pelatih alto, pelatih tenor, dan pelatih bass) untuk melatih lagu secara khusus perkelompok suara.

Berikut ini merupakan job description pelatih di Consolatio: • Memimpin PSC di dalam setiap latihan. • Memimpin (conducting) PSC di dalam setiap acara yang diikuti. • Menyusun dan mempersiapkan lagu lagu yang akan dilatih dan dinyanyikan, baik untuk

latihan maupun untuk acara-acara yang diikuti PSC. • Menyusun dan mengkoordinir jadwal latihan khusus dan latihan tambahan (jika diperlukan).

c. Seksi-seksi. Dalam membantu pelaksanaan tugas kepengurusan, Pengurus Consolatio dibantu oleh seksi-

seksi seperti; Seksi humas, Seksi sosial dan kerohanian, Seksi perlengkapan, Seksi konsumsi, Seksi kostum, Seksi kerumahtanggaan, Seksi pengembangan, Seksi partitur, Keanggotaan dan sistem perekrutan.

d. Syarat keangotaan Anggota organisasi ini adalah mahasiswa dan alumni Universitas Sumatera Utara dan non-

Universitas Sumatera Utara yang beragama Kristen (Protestan maupun Katolik) yang menerima visi dan misi organisasi ini. Pengangkatan anggota dilakukan melalui orientasi penerimaan anggota dan disahkan melalui rapat pengurus. Ketentuan mengenai pelaksanaan orientasi di atur dalam Anggaran Rumah Tangga. Keanggotaan berkahir apabila anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, pindah agama, dikeluarkan dari organisasi, dan tidak aktif selama lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan secara tertulis yang disetujui oleh BPH.

Perekrutan/ penerimaan anggota baru dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun, atau setiap semester, mengikuti semester yang ada di USU. Informasi tentang penerimaan dilakukan lewat poster-poster, spanduk, dan belakangan ini dengan menggunakan media social. Pada saat Consolatio mengadakan kegiatan kunjungan gereja misalnya, Consolatio juga menggunakan kesempatan tersebut untuk menginformasikan penerimaan anggota baru. Demikian juga pada kegiatan lainnya seperti konser, informasi penerimaan anggota baru juga disampaikan lewat buku acara konser.

e. Orientasi Seluruh calon anggota yang telah direkrut, tidaklah otomatis menjadi anggota Consolatio.

Para calon anggota tersebut diwajibkan mengikuti masa orientasi, yang waktu dan tempatnya ditentukan kemudian oleh manajemen, yakni Badan Pengurus Harian. Jika pada masa orientasi ini calon anggota dapat mengikutinya dan dinyatakan lulus, maka calon anggota tersebut akan menerima Surat Ketetapan pengangkatan menjadi anggota. Sebaliknya, jika tidak dapat mengikutinya atau dinyatakan tidak lulus, maka calon anggota tersebut secara otomatis gugur. Jika calon anggota yang tidak lulus berkeinginan untuk mencoba kembali mengikuti penerimaan anggota, maka calon anggota tersebut dapat mencoba kembali pada penerimaan anggota berikutnya.

Page 147: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

141

f. Jenis keanggotaan Paduan Suara Consolatio merupakan salah satu paduan suara mahasiswa yang berlandaskan

kekristenan (Kristen Protestan dan Kristen Katolik) yang berada di bawah naungan USU. Keinginan anggota Consolatio yang telah menyelesaikan pendidikan di USU untuk tetap melayani bersama membuat pengurus untuk membedakan jenis keanggotaan paduan suara ini. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: (a) Anggota Biasa, merupakan mahasiswa baik dari USU maupun di luar USU yang telah mengikuti masa orientasi paduan suara dan dinyatakan lulus oleh Badan Pengurus Harian. (b) Anggota Luar Biasa, merupakan anggota paduan suara Consolatio yang sudah lulus dari USU (tidak lagi menjadi sebagai mahasiswa) dan masih berkeinginan untuk tetap terlibat langsung dalam pelayanan Consolatio.

g. Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)

Pada perjalanan Consolatio, AD/ART telah ditetapkan. Pada tahun 2004, AD/ART direvisi sesuai dengan kebutuhan organisasi bahkan sudah dibakukan. Dalam hal evaluasi yang sifatnya urgent, tanpa menunggu evaluasi semester dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dengan mengadakan rapat anggota. Dalam melakukan evaluasi anggota, unsur yang mengevaluasi adalah BPH, pelatih, dan koordinatoor suara.

4.2 Manajemen Organisasi Methodist-2 Chamber Choir

Dalam membentuk dan mengelola sebuah paduan suara, membutuhkan beberapa hal berikut ini yakni: wadah yang mendukung, pelatih dan juga konduktor yang memiliki pengetahuan musik, anggota berdisiplin yang akan dilatih, memiliki visi dan misi serta program yang jelas, memiliki sistem kepengurusan yang baik beserta organisasi dan strukturnya, memiliki sistem latihan yang baik, dan memiliki sistem pengajaran sikap yang baik. Selain itu, kesadaran dalam melayani sangat dibutuhkan sehingga kerjasama dengan rasa kekeluargaan dapat terjalin erat dan terbangun. Tanpa hal tersebut di atas, umumnya organisasi paduan suara tidak dapat bertahan secara konsisten. Hal lain yang mendukung adalah sikap yang baik, ramah, jujur, komunikatif, tidak dominan, peduli dengan kemajuan tim, sabar, memiliki sikap bergaul. Maksud tidak dominan dalam tulisan ini adalah sifat pribadi baik pengurus maupun anggotanya tidak terlalu menonjolkan sifat ego dalam organisasi.

Pemimpin yang paling tinggi di organisasi MCC adalah Pembina yang berfungsi juga sebagai pelatih dan konduktor. Pemimpin di level berikutnya (menengah) adalah pengurus sebagai pelaksana program, dan pemimpin di level bawah adalah anggota. Posisi tersebut dapat digambarkan seperti bagan berikut.

Bagan 4.2 Kepemimpinan di Methodist-2 Chamber Choir

4.2.1 Visi & Misi MCC memiliki Visi dan Misi MCC sebagai berikut: (1) melayani Tuhan dan mempermuliakan

namaNya, (2) membawakan kidung puji-pujian ditempat-tempat yang membutuhkan untuk saling menghibur dan menguatkan, (3) menjadi sebuah wadah di sekolah Perguruan Kristen Methodist-2 Indnesia (PKMI) mempersiapkan materi untuk event-event musik di Sekolah, (4) menjalin hungan yang baik dengan paduan suara lain dalam mengembangkan musik paduan suara.

Di sekolah sering diadakan pameran pendidikan, sering kedatangan tamu, atau kegiatan sekolah hal tersebut banyak melibatkan MCC. Visi dan Misi dijadikan sebagai patron, rambu di dalam menjalankan roda pelayanan, bahan untuk melakukan introspeksi diri dan evaluasi.

Pembina

Pengurus

Anggota

Page 148: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

142

4.2.2 Perencanaan Program Kerja Pada bagian perencanaan program kegiatan ini, program kegiatan yang dimaksud hanyalah

berupa program kegiatan secara garis besar. Program kegiatan yang telah diimplementasikan/ direalisasikan dapat dilihat pada Bab IV Manajemen Produksi, sebagai bagian dari produksi paduan suara Methodist-2 Chamber Choir.

MCC merencanakan beberapa kegiatan setiap tahunnya. Kegiatan berikut ini adalah kegiatan yang pernah dilaksanakan sejak MCC berdiri, antara lain: (1) Pelayanan Mingguan di Gereja, (2) Memenuhi Undangan, (3) Konser Tahunan. 4.2.3 Kesekretariatan

Gedung Konser, Concert Hall Grha Methodist yang berlamat di Jl. P. Merak Jingga No. 5 Medan merupakan tempat latihan sekaligus menjadi sekretariat MCC. Di dalam gedung tersebut ada satu ruangan yang dikhususkan untuk sekretariat MCC yang lebih banyak difungsikan sebagai tempat penyimpanan inventaris. Penggunaan secretariat tersebut tidak berbayar karena memang bagian dari Gereja Methodist Indonesia Merak Jingga, tempat pelayanan tetapnya MCC. 4.2.4 Iuran Anggota

Dalam rangka menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki di paduan suara MCC, iuran keanggotaan diwajibkan kepada seluruh anggota dengan jumlah Rp 10.000,-/ bulan untuk pelajar/ mahasiswa, dan Rp 20.000,-/ bulan untuk anggota yang sudah bekerja. Kegunaan dana tersebut adalah saat merayakan acara syukuran seperti ulang tahun, pernikahan, dan sebagainya. Ketentuan dalam perayaan sudah ada, untuk yang berlulang misalnya akan dirayakan jika yang bersangkutan hadir pada waktu ulangtahunnya berketepatan dengan waktu harus latihan. Jika ada anggota yang ulangtahun tidak pada saat jam latihan, maka ulang tahun tersebut tidak akan dirayakan, kecuali Pembina, Wakil Pembina dan Penasehat. 4.2.5 Struktur Organisasi

Struktur organisasi yang dimiliki MCC berbeda dengan paduan suara pada umumnya. MCC memiliki struktur dalam organisasi yang dimulai dari Penasihat, Pembina, Wakil Pembina, Ketua, Sektretaris, Bendahara, Seksi Kerohanian, Seksi Inventaris, dan Seksi Pelaksana. Urutan di atas merupakan urutan kepemipinan yang diterapkan di MCC. Mulai dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan seksi-seksi disebut Pengurus MCC sebagai pelaksana program. Pembina yang berfungsi sekaligus sebagai pelatih dan konduktor yang dibantu oleh wakil pembina, berada di atas pengurus. Pengurus menjalankan pelaksaan tugas kepengurusan yang disampaikan oleh pembina. Walaupun posisi pelatih dan konduktor berada di atas pengurus, bukan berarti menjadi alasan untuk otoriter/ diktator di dalam organisasi. Dalam pengambilan sebuah keputusan, unsur organisasi Pembina dan Penguruslah yang berperan. Sejak MCC berdiri, kepengurusan tidak pernah lebih dari 8 (delapan) orang, hal ini dikarenakan jumah anggota yang diurus paling banyak hanya 35 (tiga puluh lima) orang saja. a. Ketua pengurus

Dalam kepengurusan organisasi paduan suara MCC, dipimpin oleh seorang ketua. Tugas-tugas keseharian yang harus diemban oleh ketua umumnya adalah:

• Mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan dengan latihan. • Memimpin rapat-rapat yang diadakan. • Menyampaikan informasi-informasi penting kepada seluruh anggota dalam perjalanan

kegiatan MCC. Tugas-tugas yang dilakukan seluruh pengurus adalah dibawah pengawasan Pembina dan wakil

Pembina. Dalam mendiskusikan beberapa hal di internal paduan suara, Ketua sering berhubungan langsung dengan wakil Pembina dalam meminta arahan dan pembinaan.

Page 149: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

143

Bagan 4.2.5 Struktur Organisasi Methodist-2 Chamber Choir b. Sekretaris pengurus

Dalam mendukung ketua pengurus, diangkat satu orang sekretaris yang kesehariannya memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: • Memperhatikan hal-hal kewajiban organisasi dalam perayaan ulangtahun anggota yang jatuh di

hari latihan. • Mengurus hal-hal yang berhubungan dengan administrasi organisasi seperti surat menyurat,

dan lain sebagainya. Sekretaris sering dibantu oleh wakil Pembina di dalam menjalankan tugas-tugas

kesekretariatan terutama yang berhubungan dengan urusan eksternal. c. Bendahara pengurus

Dana merupakan salah satu urat nadi sebuah organisasi paduan suara. Tanpa adanya dana akan sulit mencapai visi dan misi serta program yang direncanakan. Pengelolaan dana organisasi diharapakan terkelola dengan baik sehingga program-progam yang akan dicapai dapat dilaksanakan. Tugas-tugas bendahara di MCC umumnya: • Mengkoordinasikan hal-hal yang berhubungan dengan pengadaan dana dalam memenuhi

kebutuhan organisasi. • Mengelola keuangan organisasi dan memberikan laporan keuangan dalam jangka waktu yang

ditentukan. Jangka waktu ditentukan berdasarkan kebutuhan sesuai kesepakatan rapat. • Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan konsumsi latihan maupun konsumsi sebuah

kegiatan. d. Pelatih

Dalam mempersiapkan kegiatan, Pembina sebagai serorang pelatih memimpin latihan-latihan yang telah dijadwalkan. Pelatih yang baik, pelatih yang mampu untuk melihat kemampuan, kelebihan sekaligus kekurangan, dan karater suara anggotanya dalam bernyanyi. Berikut ini merupakan tugas-tugas yang dilakukan pelatih yang sekaligus menjadi dirigen di MCC: • Memimpin MCC di dalam setiap latihan dan penampilan (dirigen). • Menentukan lagu yang akan dilatih sesuai dengan program kegiatan yang ditetapkan lewat

rapat program. • Menyusun jadwal dan sasaran yang akan dicapai perpertemuan/ perlatihan, termasuk latihan

khusus dan latihan tambahan jika diperlukan. e. Seksi-seksi

Dalam membantu pelaksanaan tugas kepengurusan, Pengurus Consolatio dibantu oleh seksi-seksi seperti; Seksi humas, Seksi sosial dan kerohanian, Seksi inventarisasi, Seksi pelaksana.

Wakil Pembina

SeksiKerohanian

SeksiPelaksana

Seksi Inventarisasi

Pengurus

Pembina

Penasehat

Page 150: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

144

f. Syarat keanggotaan Syarat keanggotaan untuk menjadi anggota MCC tidak memandang batas umur, status dan gender. Siapa saja yang rindu bergabung dengan MCC, yang penting yang bersangkutan adalah seorang Kristen (Protestan maupun Katolik) yang memiliki attitude yang baik dan memiliki motivasi dan komitmen yang tinggi untuk melayani Tuhan, akan diterima sesuai dengan proses penerimaan di MCC. Paduan suara MCC merupakan paduan suara yang berlandaskan kekristenan, baik Protestan maupun Katolik.

Tabel 4.2.6 Manajemen Organisasi No Uraian Consolatio Choir Methodist-2 Chamber Choir 1 Kepemimpinan Demokratis. Demokratis. 2 Aliran Manajemen Manajemen Mutu dan perilaku. Manajemen Mutu dan perilaku. 3 Manajemen Seni Non Tradisional. Non Tradisional. 4 AD/ART Ada. Tidak Ada.

5 Visi dan Misi

Visi: (1) Menjunjukkan eksistensi mahasiswa/ alumni Kristen di masyarakat. (2) Membentuk pribadi yang disiplin, bertanggung jawab, mandiri dan takut akan Tuhan. Misi: (1) Sebagai sarana pelayanan dan kesaksian. (2) Sebagai wadah pengembangan minat dan bakat dalam bidang seni musik. (3) Meningkatkan dan memperkaya wawasan akan paduan suara.

(1) melayani Tuhan dan mempermuliakan namaNya, (2) membawakan kidung puji-pujian ditempat-tempat yang membutuhkan untuk saling menghibur dan menguatkan, (3) menjadi sebuah wadah di sekolah Perguruan Kristen Methodist-2 Indnesia (PKMI) mempersiapkan materi untuk event-event musik di Sekolah, (4) menjalin hungan yang baik dengan paduan suara lain dalam mengembangkan musik paduan suara.

6 Struktur Organisasi Ada. Ada.

7 Penasehat Tidak ada. Ada.

8 Periodisasi

Ada. Tidak jarang lewat dari masa kepengurusan yang ditentukan dikarenakan padatnya kegiatan paduan suara.

Tidak Ada. Jika ada pengurus yang tidak mampu lagi mengemban tugas, Rapat diadakan untuk memilih penggantinya.

9 Iuran Bulanan Tidak Ada. Ada. 10 Pembagian Tugas Spesifik dan merata. Spesifik dan merata. 11 Perencanaan Kerja Ada. Ada. 12 Pengawasan Ada. Ada.

13 Evaluasi (Penghargaan & Sanksi)

Ada. Ada.

14 Sekretariat Ada. Sistem Sewa. Ada. Milik Sendiri.

15 Sistem Perekrutan

1. Memiliki sistem non comotan. 2. Tidak Selalu Melaksanakan Audisi.

1. Memiliki sistem non comotan. 2. Selalu Melaksanakan Audisi.

16 Asas Kekristenan (Protestan & Katolik). Kekristenan (Protestan & Katolik).

17 Jumlah Anggota 30 orang- 40 orang. 20 - 30 orang. 18 Kekuasaan Rapat Anggota. Rapat Pengurus dan Pembina.

Page 151: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

145

Tertinggi 19 Tahun Berdiri 1989. 1995.

20

Jumlah akar paduan suara yang dimiliki sejak berdiri

31 (tiga puluh satu) paduan suara, dan dari pengamatan yang ada berpotensi untuk terus bertambah. Satu paduan suara.

21 Jumlah Alumni 700 orang. 178 orang.

5. Manajemen Produksi Produksi adalah segala kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan atau menambah guna atas

suatu benda, atau segala kegiatan yang ditujukan untuk memuaskan orang lain melalui pertukaran (Partadireja, 1985:21). Produksi adalah semua kegiatan dalam menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa, dimana untuk kegiatan tersebut diperlukan faktor-faktor produksi (Sumiati, 1987:60). Menurut Ahyari (1997:67) produksi optimal suatu kegiatan akan terpenuhi oleh beberapa faktor berikut: (a) tersedianya bahan dasar, (b) tersedianya kapasitas mesin-mesin yang dimiliki, (c) tersedianya tenaga kerja, (d) besarnya permintaan akan hasil produksi, (e) tersedianya faktor-faktor produksi yang lain.

Dari pendapat-pendapat di atas, dalam perpaduansuaraan penulis menyimpulkan bahwa produksi adalah segala kegiatan yang dilakukan suatu kelompok paduan suara yang merupakan hasil maupun puncak dari kegiatan seperti konser, kegiatan dalam memenuhi undangan baik festival maupun non festival, kaset rekaman (CD/ VCD/ DVD) dan kegiatan lainnya. Produksi tersebut dapat dicapai dengan: (a) tersedianya program kegiatan, dan reportoir/ partitur, (b) tersedianya kesempatan untuk mengasah kemampuan dan skill lewat proses latihan, (c) tersedianya tenaga kerja sebagai pelaksana program, (d) adanya kebutuhan akan hasil produksi.

Penulis mendeskripsikan manajemen produksi paduan suara Consolatio Choir dan Methodist-2 Chamber Choir yang terdiri dari: program kegiatan sebagai tujuan produksi (kunjungan gereja, memenuhi undangan, konser, menyelenggarakan kompetisi paduan suara, mengikuti kompetisi paduan suara, rekaman), partitur sebagai bahan produksi, program latihan sebagai proses produksi, kepanitiaan sebagai tenaga produksi, prestasi dan kegiatan sebagai hasil produksi. 5.1 Manajemen Produksi Consolatio Choir 5.1.1 Program kegiatan sebagai tujuan dasar produksi

Paduan Suara Consolatio telah merencanakan banyak kegiatan setiap tahunnya. Kegiatan berikut ini adalah kegiatan yang pernah dilaksanakan sejak Consolatio berdiri, antara lain: (1) Kunjungan Gereja, (2) Memenuhi Undangan, (3) Konser Tahunan, (4) Menyelenggarakan Kompetisi Paduan Suara, (5) Mengikuti Kompetisi Paduan Suara, (6) Rekaman, dan (7) Christmas Caroling. 5.1.2 Partitur sebagai bahan dasar produksi

Pada awal Consolatio berdiri, lagu-lagu yang dipilih untuk dilatih dalam program yang akan digelar adalah lagu-lagu rohani kekristenan (Katolik dan Protestan). Dalam sejarah musik, pada awalnya lagu yang lebih banyak diciptakan adalah lagu-lagu Katolik seperti lagu-lagu Gregorian. Namun seiring perkembangan jaman sejak era Renaissans (± tahun 1450 – 1600) sampai dengan saat ini lagu-lagu Protestan lebih mendominasi dalam reportoir yang ada.

Program-program lagu yang dipilih Consolatio pada awal berdirinya masih diperuntukkan dalam program kunjungan ke gereja-gereja. Namun seiring perjalanan waktu, dan adanya kebutuhan di dalam mempelajari lagu sekuler (non rohani), Consolatio akhirnya mempelajari lagu-lagu sekuler lewat latihan, dan belakangan ini Consolatio telah banyak menampilkan karya yang bersifat sekuler.

5.1.3 Program latihan sebagai proses produksi

Menurut Listya (2007:77) beberapa hal yang tercakup dalam sebuah rencana latihan adalah: (a) latihan/ pelenturan fisik, (b) latihan vocal, (c) latihan pendengaran, dan (d) latihan mental. Dalam penelitian yang dilaksanakan penulis, penulis menemui bahwa latihan yang dilaksanakan Consolatio Choir adalah (a) latihan regular, (b) latihan fisik, (c) latihan teknik vocal, (d) latihan teknik vokal, (e) latihan teknik bernyanyi, (f) latihan pemahaman lagu, (g) latihan khusus persuara.

Page 152: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

146

5.1.4 Kepanitiaan sebagai tenaga kerja produksi Pada dasarnya susunan kepanitiaan yang pernah dan selalu dibentuk oleh manajemen Consolatio

adalah sama, hanya saja untuk beberapa seksi tinggal menyesuaikan dengan menambah atau menguranginya. Kepanitiaan dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni Panitia Inti (Ketua, Sekretaris, dan Bendahara) dan Panitia Seksi. Di samping itu ada bagian yang berperan mendukung kegiatan sebagai bagian dari Consolatio non-kepanitiaan, yakni tenaga sukarelawan. Tenaga sukarelawan adalah tenaga yang sangat dibutuhkan pada saat pertunjukan berlangsung. Berikut ini adalah salah satu susunan kepanitiaan dalam menangani sebuah konser. 5.1.5 Prestasi dan kegiatan sebagai hasil produksi

Menurut kamus populer prestasi ialah hasil sesuatu yang telah dicapai (Purwodarminto, 1979 : 251). Prestasi tidak datang begitu saja, prestasi diraih dengan melewati banyak proses. Motivasi yang kuat, konsistensi, komitmen, disiplin yang baik dan ditangani oleh manajemen yang baik akan menghasilkan prestasi dan prestasi yang semakin meningkat.

Berikut ini adalah beberapa prestasi Consolatio Choir 2 (dua) tahun terakhi yang dituliskan berdasarkan tahun; • Tahun 2015 - Menyelenggarakan konser Tahunan yang ke-26, November 2015 di Medan Adventis Hall. - Mengisi acara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 di rumah dinas Gubernur Sumatera

Utara, Agustus 2015. - Menelenggarakan konser Mid Year dan konser Sempre All Unison, Juni dan Juli 2015. • Tahun 2016 - Menyelenggarakan Konser Kedua puluh tujuh, “Enchanting North Sumatera”, Concert Hall

Graha Methodist, Medan, 27 November 2016. - Mengisi acara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 di rumah dinas Gubernur Sumatera

Utara, Agustus 2016. - Menyelenggarakan Konser “Enchanting North Sumatera”, Pekan Baru, Juni 2016.

5.2 Manajemen Produksi Methodist-2 Chamber Choir 5.2.1 Program kegiatan sebagai tujuan dasar produksi

Program kegiatan MCC dalam setahun umumnya adalah: terlibat pada pelayanan mingguan di gereja, memenuhi undangan yang datang, dan menyelenggarakan konser tahunan. Dalam perjalanan Methodist-2 Chamber Choir, paduan suara ini belum pernah mengikuti kompetisi paduan suara dan belum pernah menyelenggarakan kompetisi paduan suara. Hal ini disebabkan padatnya kegiatan anggota paduan suara ini di sekolah masing-masing dan di pekejaan masing-masing yang membuat tidak cukup waktu dalam mempersiapkan diri mengikut sebuah kompetisi paduan suara. Di samping hal tersebut persiapan konser-konser dan pelayanan mingguan sudah sangat padat untuk diikuti. Namun tidak tertutup kemungkinan suatu waktu MCC mengikuti sebuah kompetisi paduan suara.

Menurut Daud Kosasih, kompetisi paduan suara merupakan ujian untuk mengetahui posisi dan nilai sesuatu paduan suara yang diukur berdasarkan kapasitas dewan juri dan kapasitas sebuah festival. Jumlah lagu dalam satu kategori dalam kompetisi umumnya maksimal 3 (tiga) buah lagu yang dipersiapkan dalam waktu yang tidak singkat. Penasehat mendukung MCC untuk focus pada kegiatan konser yang mempersiapkan 16-20 lagu dalam pelayanannya. 5.2.2 Partitur sebagai bahan dasar produksi

Setiap paduan suara umumnya memilih alasan tersendiri dalam pemilihan reportoir. Ada paduan suara yang memilih gospel, ada yang memilih reportoir karya musica sacra dengan alasan tertentu. MCC dalam menentukan reportoirnya mempertimbangkan materi suara anggota dan umur rata-rata anggotanya. Hampir seluruh kategori lagu pernah dibawakan oleh MCC, kecuali lagu karya musica sacra dari jaman music abad ke-16 sampai abad ke-19, menurut Daud tidak mungkin memaksakan reportoir tersebut pada usia remaja .

Daud Kosasih memilih reportoir folklore (lagu daerah) dan lagu-lagu yang diminati anggotanya yang sebagian besar merupakan reportoir yang dihasilkan internal MCC, baik oleh Daud Kosasih maupun oleh Ken Steven yang sama-sama lulusan Asian Institutu of Liturgy and Music – Philippina

Page 153: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

147

jurusan kompisisi. Penetapan formasi yang menarik dengan pemakaian koreografi pada setiap konsernya merupakan bukti kedisiplinan MCC dalam mengembangkan minat dan bakat anggota MCC dan juga dalam membangun image atau citra di kalangan masyarakat penikmat dan pencinta paduan suara. Membuat anggota enjoy di dalam menikmati music. Reportoir karya abad ke-20 atau abad kontemporer juga menjadi salah satu reportoir pilihan MCC dalam menentukan lagu pada konser-konsernya selain beberapa karya gospel.

Dalam memperoleh partitur belakangan ini mengalami banyak kemudahan. Partitur diperoleh dengan membeli dari penyedia jasa penjualan partitur lewat media internet dan membeli dari toko-toko musik yang menyediakan penjualan partitur yang ada di Bandung (Bandung Choral Society), Taiwan, Malaysia, dsb saat MCC pernah ke kota/ Negara tersebut. Di samping itu ada juga karya dari internal, karya Daud Kosasih dan Ken Steven yang merupakan komposer di Medan. Pembelian lewat media on line juga dilakukan dalam memenuhi kebutuhan partitur. 5.2.3 Program latihan sebagai proses produksi

Program latihan yang ada di MCC adalah dengan melaksanakan latihan regular dan latihan khusus perkelompok suara. Latihan yang konsisten akan sangat berpengaruh dengan hasil yang akan dicapai. Karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seluruh anggota paduan suara, maka latihan fisik sangat jarang dilaksanakan. Untuk Latihan teknik pernafasan, teknik vocal, teknik bernyanyi, dan pemahaman lagu umumnya sama dengan paduan suara Consolatio. 5.2.4 Kepanitiaan sebagai tenaga kerja produksi

Menangani sebuah konser membutuhkan perhatian yang khusus. Dalam menjalankan program konser, umumnya dilaksanakan oleh panitia konser yang telah dibentuk oleh pengurus MCC. Kepanitiaan sendiri dibagi menjadi 2 (dua) bagian yakni: (1) panitia inti yang terdiri dari Ketua beserta koordonatoor-koordinatoor yang membantunya (Koordinatoor konser, koordinator reuni, dan koordinatoor Album Kenangan , Sekretaris dan Bendahara dan, (2) panitia seksi, dan (3) stage manager. 5.2.5 Prestasi dan kegiatan sebagai hasil produksi

Prestasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini juga merupakan kegiatan yang dicapai selama 5 (lima) tahun terakhir, sebagai berikut; Tahun 2015

- Menyelenggarakan Konser Amway EDC Night Recognation, 15 Pebruari 2014. - Menyelenggarakan Konser Medan Male Chamber Singers, Konser Amal Sinabung, 22 Maret

2014. - Menyelenggarakan Konser Medan, 22nd WACCM, 11-I5 Juli 2014. - Menyelenggarakan Konser Konser XVI ”All Times Favorite”, 23 November 2014. - Menyelenggarakan Konser Perayaan Natal The Mission, Desember 2014. - Menyelenggarakan Konser Drama Musikal ”Glorious Impossible”, 23-24 Desember 2014

Tahun 2016 - Menyelenggarakan Konser Malam Cap Go Me, Grha Methodist, 5 Maret 2015. - Menyelenggarakan Konser Konser XVII “My Tribute”, 16 Mei 2015. - Menyelenggarakan Konser Methodist Women’s Conference, 3 Agustus 2015. - Menyelenggarakan Konser di Sibu, Malaysia, 11-15 September 2015. - Menyelenggarakan Konser Malam Kesenian Persahabatan Paduan Suara ke-4, Medan 2015,

15 November 2015. - Menyelenggarakan KONSER XVIII ”The Father’s Gift Of Love”, 12-13 Desember 2015.

Tahun 2017

- Menyelenggarakan KONSER XIX “Migth Cross”, 25 Maret 2016. - Menyelenggarakan Konser Believe Once More, Chan Hong Da & ESO Singapore, 5 Juni

2016. - Menyelenggarakan Konser di Tebing Tinggi GMI Ostrom, 8 Oktober 2016. - Menyelenggarakan Konser XX ”Make My Life A Song”, 12 November 2016. - Menyelenggarakan Special Concert, Sebelum berangkat ke Korea Selatan, 7 Mei 2017.

Page 154: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

148

Tabel 5.2.5 Manajemen Produksi

No. Uraian Consolatio Choir Methodist-2 Chamber Choir

1 Program Kegiatan

Kunjungan gereja, memenuhi undangan, konser, menyelenggarakan kompetisi paduan suara, rekaman, christmas caroling.

Pelayanan Mingguan di Gereja, memenuhi undangan, konser.

2 Pengadaan Reportoir

Didonimasi dari ekternal, karena belum memiliki SDM yang mumpuni dalam membuat komposisi lagu dan aransemen lagu serta memiliki waktu yang cukup dalam menciptakan karya komposisi dan arransemen.

Dari Internal dan Eksternal, karena telah memiliki dua orang SDM yang mumpuni dalam membuat komposisi dan arransemen lagu. Kedua SDM tersebut lulusan Asian Institute of Liturgy and Music - Philippina jurusan komposisi.

3 Kemampuan Komposisi/ Arr. Lagu

Belum Produktif. Produktif.

4 Fokus Produksi Lagu. Lagu dan reportoir.

5 Penguasaan pelatih memainkan piano

Tidak Mahir. Mahir.

6 Latar Belakang Pendidikan Pelatih

Satu orang Lulusan Teknik Sipil USU (otodidak) dan satu orang lagi lulusan Etnomusikologi USU (formal).

Lulusan S-2 dari Asian Institute of Liturgy and Music Philippine (formal).

7 Upaya pemahaman lagu

Menjalin komunikasi dengan komposer, pakar musik dan ahli bahasa.

Menjalin komunikasi dengan komposer, dan ahli bahasa.

8 Jumlah Latihan Reguler 2 Kali Seminggu. 2 Kali Seminggu.

9 Jumlah Latihan Intensive 7 Kali Seminggu (Setiap hari). 3 Kali Seminggu.

10 Jumlah Jam Latihan Perlatihan dalam satu hari

Lebih dari 2 Jam. Maksimal 2 jam.

11 Citra yang dibangun

1. Konser pada bulan November setiap tahunnya. 2. Paduan suara yang mempertahankan musica sacra sebagai citranya, walaupun lagu diluar musica sacra tetap mampu dibawakan.

1. Lagu-lagu dibawakan dengan koreografi dan kostum yang menarik. 2. Membawakan karya menarik abad ke-20, kontemporer, gospel, pop song, pop jazz, folklore (lagu daerah).

12 Jumlah kostum dalam sebuah konser

2 (dua). Lebih dari 2 (dua).

13 Tempat latihan Sekretariat, Gereja, dan gedung-gedung lainnya. Gedung konser.

14 Tempat penyelenggaraan konser

Sewa. Milik Sendiri.

Page 155: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

149

15

Penyelenggaraan Pelatihan/ Seminar Paduan Suara

Pernah. Pernah.

16 Tenaga Ahli Tokoh-tokoh musik paduan suara dari luar Consolatio. Pendiri (Daud Kosasih).

17

Perhatian terhadap kultur etnis sumatera utara

Memiliki kesadaran dalam melestarikan lagu etnis sebagai warisan budaya dengan membawakannya pada setiap konser..

Memiliki kesadaran dalam melestarikan lagu etnis sebagai warisan budaya dengan membawakannya pada setiap konser.

6. Manajemen Pemasaran

Menurut Achsan Permas (2003:101) Pemasaran adalah suatu proses yang membantu organisasi seni pertunjukan menukarkan sesuatu karya seni yang mempunyai nilai atau manfaat bagi publik penontonnya dengan sesuatu (nama, posisi, uang) yang dibutuhan organisasi seni pertunjukan tersebut.

Manajemen suatu organisasi seni pertunjukan perlu menyusun langkah-langkah yang ptraktis dan sistematis sehingga kegiatan pemasarnnya menjadi efisien dan efektif.

Ada 5 (lima ) langkah pemasaran yang dilakukan oleh organisasi seni pertunjukan, yakni: (1) menentukan sasaran pemasaran, (2) penentuan posisi, (3) melakukan audit pemasaran, (4) pengembangan rencana pemasaran, dan (5) pengembangan kampanya promosi. 6.1 Manajemen Pemasaran Consolatio 6.1.1 Penentuan sasaran pemasaran

Penentuan sasaran pemasaran akan memberikan arah bagi seluruh upaya pemasaran organisasi. Sasaran pemasaran ada 2 (dua) jenis yang dapat ditetapkan untuk dicapai suatu organisasi, yakni sasaran tindakan dan sasaran citra. Sasaran tindakan atau action adalah sasaran berupa suatu hasil yang spesifik dan dapat diukur bagi suatu organisasi seni pertunjukan. Sasaran ini dapat berupa sasaran jumlah pengunjung atau penonton, jumlah pendapatan dalam rupiah, dapat juga berupa frekuensi atau lamanya pertunjukan, atau dapat juga berupa saat kapan akan tercapai sasaran itu (Permas Achsan, 2003:105).

Pada penyelenggaraan konser paduan suara Consolatio Choir, sasaran tindaknyannya adalah menentukan waktu dan tempat diselenggarakannya konser, menentukan reportoir yang akan dibawakan, menentukan durasi konser, menentukan siapa yang menjadi sasaran pengunjung serta jumlah pengunjung, menentukan waktu awal dalam memulai memasarkan tiket.

Sasaran citra atau image adalah sasaran berupa yang ingin dibentuk bagi organisasi seni pertunjukan. Sasaran citra merupakan sasaran jangka panjang tetap harus ditetapkan untuk kegiatan jangka pendek. (Permas Achsan, 2003:106). Sasaran ini perlu diperjelas dengan menetapkan citra diantara kelompok publik penonton yang mana. Sasaran ini merupakan sasaran jangka panjang dan sulit untuk dicapai dalam waktu pendek. Meskipun demikian, sasaran ini harus ditetapkan dan dicoba untuk dicapai dalam setiap kegaitan angka pendek.

Penetapan bulan November sebagai bulan konsernya paduan suara Consolatio setiap tahunnya merupakan sasaran citra yang telah dibangun oleh Consolatio. Dalam perjalanannya selama 27 (dua puluh tujuh) tahun, dalam citra masyarakat penikmat dan pencinta paduan suara di kota Medan bahwa bulan November adalah bulan konsernya paduan suara Consolatio. Paduan suara lain yang ingin menyelenggarakan konser akan berupaya untuk menghindari penyelenggaraan konser pada bulan tersebut, kalaupun harus pada bulan tersebut, paduan suara tersebut adakan datang menemui Consolatio Choir menanyakan tanggal konsernya.

Page 156: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

150

6.1.2 Penentuan posisi Penentuan posisi atau lebih dikenal dengan positioning adalah usaha untuk menempatkan

keunikan yang unggul dari organisasi dalam pikiran atau benak public sesuai dengan keninginan manajemen. Posisi yang unik ini penting karena diperlukan dalam persaingan yang semakin ketat. Dengan memiliki posisi yang unik, dan unggul di pikiran public maka organisasi seni pertunjukan memiliki perbedaan yang positif dibanding pesaing-pesaingnya. Penentuan posisi adalah usaha menempatkan keunikan yang unggul dari organisasi seni pertunjukan. (Permas Achsan, 2003:107).

Penentuan posisi harus (1) melihat keinginan public penonoton, (2) melihat posisi pesaing, (3) mengenali kekuatan yang sesuai dengan keinginan public dan memiliki keunggulan dari pesaing. Apabila organisasi telah dapat mengenali kekuatan dan keunggulan dirinya yang sejalan dengan citra, sesuai dengan keinginan public kekuatan itulah yang dapat dikembangkan menjadi posisi atau positioning organisasi. Kemudian positioning ini dikembangkan dan diungkapkan menjadi slogan organisasi (Permas Achsan, 2003:107).

Sejak awal berdirinya, Consolatio berkomitmen untuk mempertahankan konsistensinya dalam membawakan karya-karya musica sacra pada konser-konsernya, yakni karya mulai dari abad Musik Era Renaissance ( ± tahun 1450 – 1600), Musik Era Baroque (± tahun 1600 – 1750), Musik Era Klasik ( ± tahun 1750 – 1820), Musik Era Romantik (± tahun 1820 – 1900), Musik Era Abad 20 dan Kontemporer (± tahun 1900 – saat ini). 6.1.3 Audit pemasaran

Dalam melakukan audit pemasaran, Consolatio Choir melakukan pertanyaan 6P, yakni: (1) Apa produk kegiatan yang diselenggarakan? Apakah produk tersebut tepat dan memuaskan konsumen? (2) Siapa saja konsumennya? Apakah Consolatio memiliki konsumen yang tepat dan memahami manfaat yang diberikan? (3) Apakah harga produk sudah tepat? Apakah harga tiket tanda masuk tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah? (4) Apakah tempat dan lokasi diselenggarakannya kegiatan tepat? Apakah tempat mudah dicapai (accessible) konsumen? (5) Apakah produksi sudah tepat? Dapatkah Consolatio memenuhi permintaan dengan tepat? (6) Apakah promosi Consolatio sudah tepat? Apakah Consolatio menggunakan teknik-teknik yang efektif yang memotivasi (calon) konsumen untuk datang dan menonton? 6P ini memberikan kerangka central yang akan digunakan untuk memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasaran (marketing issues), yaitu melakukan diagnosis permasalahan dan mengembangkan rencana pemasaran. 6.1.4 Pengembangan rencana pemasaran

Rencana pemasaran adalah cetak biru (blue print) yang akan dijadikan pedoman untuk mencapai sasaran. Bila Consolatio Choir membuat rencana untuk program yang sudah ada, di dalam rencana pemasaran ini diuraikan kekuatan dari upaya pemasaran saat ini dengan perubahan-perubahan dan perbaikan yang diperlukan. Sedangkan bagi produk yang sama sekali baru, segala elemen dihimpun untuk mengawali pemasaran yang efektif. Setelah perumusan sasaran pemasaran dan draf perencanaan pemasaran yang mengacu pada pertanyaan 6P selesai disiapkan, maka berikutnya adalah langkah pengimplementasian. 6.1.5 Pengembangan kampanye promosi

Kampanye promosi adalah semua cara untuk berkomunikasi secara persuasif dengan pihak-pihak yang dianggap berkepentingan (dengan orientasi: dunia luar). Kampanye promosi ini sangat penting bagi orangisasi seni pertunjukan untuk memantapkan citra, mendatangkan pengunjung, mencari dan, dan sebagainya (Permas Achsan, 2003:110). Bentuk kampanya promosi bisa sangat beragam, misalnya poster, iklan TV dan presentasi. Promosi yang baik akan terdiri dari berbagai elemen seperti: target audiens dan sasaran, pesan, komunikator, saluran komunikasi, teknik, anggaran dan implementasi.

Promosi yang baik terdiri dari elemen-elemen berikut ini: (1) Target audiens [publik, pengunjung, penyandang dana], (2) sasaran, (3) pesan/ kalimat yang akan digunakan, (4) saluran komunikasi [non personal/ personal], (5) komunikator/ siapa yang akan melakukan, (6) teknik, (7) anggaran (Permas Achsan, 2003:114).

Page 157: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

151

6.1.5.1 Target audiens dan sasaran

Target audiens yang paling jelas adalah publik, dengan sasaran agar mereka menjadi penonton. Publik yang maksudkan dalam tulisan ini adalah seluruh masyarakat aktifis, pencinta, dan penikmat paduan suara, dan para pendukung dana. Pada kegiatan-kegiatan kunjungan gereja, Consolatio selalu memanfaatkan moment tersebut untuk melakukan promosi tentang kegiatan-kegiatannya termasuk konser. Consolatio juga menyampaikan kesediaannya untuk melayani keluarga jemaat yang akan melangsungkan acara pernikahan suci di gereja, perayaan syukuran ulangtahun, kegiatan wisuda kampus-kampus, kegiatan lounching produk, dan lain sebagainya. 6.1.5.2 Pesan

Dalam berkomunikasi, Consolatio memilih untuk konsisten. Namun berkomunikasi dengan calon audiens dengan calon sponsor berbeda sesuai dengan target yang akan dicapai. Demikian pula aspek pesan yang ditekankan bagi calon sponsor dan calon penonton adalah berbeda. Misalnya Consolatio selalu menyuguhkan pertunjukan konser yang menghibur dan berkesan saat berkomunikasi dengan calon audiens. Sedangkan kepada (calon) sponsor pesan yang disampaikan adalah ramainya jumlah penonton yang hadir, sehingga konser Consolatio akan menjadi media promosi yang potensial bagi sponsor. Yang penting bagi Consolatio adalah bahwa pesan tersebut disampaikan dalam bahasa yang komunikatif bagi kelompok yang jadi sasaran, agar mereka termotivasi untuk beraksi sesuai dengan yang diharapkan. 6.1.5.3 Komunikator

Siapa yang menyampaikan pesan dalam promosi juga sangat mempengaruhi hasilnya. Komunikator yang tidak tepat mungkin justru akan menyebabkan pesan tidak sampai dengan baik atau mengganggu pesan tersebut. Atas kesadaran terebut, Consolatio selalu menggunakan komunikator yang berbeda untuk target audiens yang berbeda dan selalu menempatkan unsur anggota paduan suara yang dianggap mampu, seperti senior, BPH, Panitia Inti dalam kepanitiaan (Ketua, Sekretaris, dan Bendahara). 6.1.5.4 Saluran komunikasi

Pesan-pesan promosi Consolatio Choir disampaikan kepada target audiens melalui berbagai saluran. Pada dasarnya ada 2 (dua) kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok yang sifatnya nonpersonal, yaitu yang dirancang untuk tidak disampaikan secara pribadi tetapi disampaikan dengan cara-cara lain, misalnya iklan, brosur, poster, promosi media sosial, dan sebagainya. Kelompok kedua adalah yang bersifat personal yaitu yang disampaikan secara pribadi. Secara informal, teman-teman yang memahami visi dan misi organisasi juga bisa menjadi saluran komunikasi personal dan efektif termasuk sahabat-sahabat dari paduan suara yang lain yang bersedi untuk menjadi saluran komunikasi promosi Consolatio Choir. 6.1.5.5 Teknik

Consolatio melakukan teknik-teknik berikut yang bisa dipakai dalam kampanye promosi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: a. Poster, biasanya ditempelkan ditempat-tempat yang strategis, yang berisi keterangan lengkap

tentang apa yang akan dipertunjukkan, pemain-pemain utama, tempat pertunjukan dan kapan, dimana tiket bisa dibeli, dan harganya, dsb. Supaya menarik, biasanya poster diberi ilustrasi yang menarik, yang mencolok, agar orang langsung tertarik untuk membaca dan mencari tahu lebih lanjut berberbagai informasi yang perlu tersebut. Umumnya pemasangan poster tidak membayar pajak karena berumur pendek.

b. Brosur, leaflet, flyer atau sejenisnya biasanya bersifat lebih permanen (bisa untuk bertahun-tahun) dan berisi informasi tentang organisasi Consolatio, pendirinya, misi dan visinya, karya-karyanya, serta alamatnya, dsb. Hampir semua brosur Consolatio disertai foto-foto berwarna dan dicetak di kertas berkualitas, karena brosur ini memang akan membawakan citra organisasi yang bersangkutan. Informasi yang tertulis umumnya dalam bahasa Indonesia dan dwi bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Salah satu varisasi dari brosur adalah kalender yang menyampaikan

Page 158: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

152

karya-karya Consolatio Choir sebagai organisasi seni pertunjukan yang bersangkutan disertai informasi dasar seperti yang telah disebutkan di atas.

c. Iklan, merupakan bentuk promosi yang mahal karena pemuatannya harus membayar. Namun Consolation Choir senantiasa berupaya meyakinkan media masa yang ditemuai untuk diyakinkan akan manfaatnya bila dikaitkan dengan konser yang digelar. Media masa berkemungkinan untuk bekerjasama dengan melakukan barter dimana iklan Consolatio dapat dipasang gratis dengan memasang logo media yang bersangkutan sebagai sponsor pada iklan.

d. Siaran Pers, yaitu bentuk promosi lain yang juga berhubungan dengan media masa, tapi bukan iklan. Perbedaan utama antara siaran pers dan iklan adalah bahwa siaran pers ini adalah berita dan karenanya tidak dibayar. Oleh karena itu siaran pers tidak dapat digunakan pada sembarang pertunjukan, tapi hanya pada proyek yang khusus, misalnya pergelaran pesona sumatera yang dibawakan Consolatio Choir yang membawakan lagu-lagu etnis Sumatera Utara pada konser ke-27 tanggal 27 November 2016 di Concert Hall Grha Methodist.

e. Direct Mail atau surat langsung. Walaupun belum terlalu umum dibandingkan dengan Negara-negara maju, Consolatio Choir juga menggunakan teknik ini yang dapat digunakan untuk menyampaikan suatu konser, maupun mengundang menjadi anggota, dsb. Pada direct mail yang perlu diperhatikan adalah pada siapa akan dikirim (harus terseleksi) sebab ini akan merupakan suatu surat (yang bisa dilampiri brosur, dsb).

f. Media Sosial, merupakan media yang sangat efektif dalam melakukan promosi terhadap kegiatan-kegiatan paduan suara karena dalam media sosial tersebut Consolatio Choir dan anggotanya sudah terhubung dengan publik pengguna media sosial.

g. Diskon, merupakan salah satu strategi pemasaran yang dilakukan adalah dengan memberikan diskon terhadap pembelian tiket konser. Diskon diberikan jika calon penonton membeli tiket pada tanggal yang ditentukan. Umumnya tanggal yang ditentukan adalah tanggal awal mula distribusi terhadap tiket dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan tiket dapat segera terjual.

h. Perluasan genre pertunjukan, perluasan dilakukan selain memperkaya pengalaman paduan suara di dalam membawakan genre musik paduan suara, perluasan tersebut juga menambah daya tarik penonton untuk hadir pada konser.

i. Menjaga kepercayaan pelanggan dan kualitas pertunjukan. Kepuasan pelanggan akan tercipta dengan kualitas konser yang terjaga. Hal tersebut akan menjadi citra tersendiri di dalam hati penonton yang akan menantikan konser-konser yang akan digelar berikutnya. Keterlambatan dalam memulai sebuah konser dari waktu yang diinformasikan sebelumnya akan mempengaruhi kepercayaan pelanggan terhadap paduan suara tersebut dalam hal waktu.

Selain itu dalam melakukan pemasaran dan pencarian dana, Consolatio melakukan aksi pencarian dana berupa: penawaran kerjasama melalui proposal, penjualan merchandise, penjualan tiket konser, aksi penjualan makanan, permohonan bantuan dana lewat “take and list”, melaksanakan lelang koor pada saat mengadakan kunjungan-kunjungan gereja.

5.1.5.6 Anggaran Anggaran promosi yang dimaksudkan adalah anggaran perkiraan yang akan diterima dari sponsor

dan donator. Consoloati Choir menyusun anggaran promosi dengan beberapa macam pendekatan, misalnya: pendekatan “semampunya”, atau “% dari pendapatan yang diharapkan”. Namun pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan “semampunya”.

5.1.5.7 Implementasi

Implementasi kampanye promosi meliputi produksi dari bahan-bahan promosi dan tindak lanjut dari tiap-tiap teknik. Consolatio Choir memaksimalkan bakat keahlian yang dimiliki anggotanya dalam bidang-bidang promosi seperti: mengembangkan pesan yang komunikatif, mendisain poster dan brosur, dan sebagainya.

Page 159: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

153

6.2 Manajemen Pemasaran Methodist-2 Chamber Choir Pada prinsipnya dalam pagelaran sebuah konser, implementasi manajemen pemasaran yang

dilaksanakan oleh Methodist-2 Chamber Choir memiliki banyak kesamaan dengan manajemen pemasaran yang dilaksanakan oleh Consolatio Choir, mulai dari prinsip penetapan waktu dan tempat konser, reportoir, tiket, kampanye iklan, dan lain sebagainya yang pada prinsipnya berorientasi untuk memuaskan para audiens & stakeholder melakukan pemasaran sebagai pertukaran nilai atas sebuah produksi.

6.2.1 Penentuan sasaran pemasaran

Pada penyelenggaraan konser paduan suara Methodist-2 Chamber Choir, sasaran tindakan yang dilakukan pada prinsipnya sama dengan apa yang dilakukan oleh paduan suara Consolatio. Sasaran tindaknyannya adalah menentukan waktu dan tempat diselenggarakannya konser, menentukan reportoir yang akan dibawakan, menentukan durasi konser, menentukan siapa yang menjadi sasaran pengunjung serta jumlah pengunjung, menentukan waktu awal dalam memulai memasarkan tiket.

Setelah itu panitia pelaksana kegiatan menghitung seluruh kebutuhan dana konser yang akan menjadi dana pengeluaran panitia. Kemudian panitia akan menentukan margin keuntungan dan menentukan total dana yang harus dihasilkan sebagai saldo nantinya. Setelah itu panitia akan menghitung kapasitas gedung konser dan menentukan jumlah tempat duduk perkategori tiket mulai dari tiket Platinium, Gold, dan Silver. Kemudian panitia membuatkan simulasi atas harga masing-masing jenis tiket sesuai dengan jumlah tempat duduk masing-masing jenis tiket. Setelah simulasi sesuai dengan margin keuntungan, maka panitia akan meninjau kembali apakah harga masing-masing tiket terjangkau oleh masyarakat atau tidak. Jika harga masing-masing jenis tiket masih dianggap kemahalan untuk kalangan masyarakat penikmat paduan suara, maka panitia akan meninjau ulang margin. Setalah mendapatkan harga masing-masing jenis tiket yang dianggap telah realistis kemudian panitia menetapkan harga dan jumlah masing-masing jenis tiket yang akan dicetak untuk selanjutnya didistribusikan.

Sasaran citra yang dibangun Methodist-2 Chamber Choir di tengah masyarakat penikmat dan pencinta paduan suara adalah konsistensinya dalam mempertahankan konser yang digelar dengan membawakan karya lagu daerah/ folklore, popsong, jazz, dan lagu menarik lainnya. Koreografi dengan kostum-kostum pendukung menjadi citra tersendiri yang memeriahkan konser yang digelar setiap tahunnya sejak konser perdana digelar. 6.2.2 Penentuan posisi

Methodist-2 Chamber Choir menjadi paduan suara yang turut dalam melestarikan lagu-lagu daerah nusantara sebagai warisan leluhur. Di samping itu Methodist-2 Chamber Choir menjadi paduan suara yang konsisten menyajikan karya gabungan nyanyian dan koreografi menjadi sebuah positioning, yang pegelaran berikutnya senantiasa dinantikan para pemerhati dan penikmatnya. 6.2.3 Audit pemasaran

Audit pemasaran yang dilakukan Methodist-2 Chamber Choir sebagai langkah dalam melakukan pemasaran, adalah dengan melakukan pertanyaan 6P, yakni: (1) reportoir apa saja yang dibawakan dalam konser? (2) Siapa saja yang akan hadir menonton kosner yang digelar? (3) Berapa harga tiket masuk konser sesuai dengan tiket Platinum, Gold, dan Silver. (4) Dimana saja dapat memperoleh tiket konser? (5) reportoir apa saja yang dapat memenuhi keinginan public, (6) Hal apa saja yang dipromosikan kepada publik agar public yang termotivasi untuk mau menonton.

6.2.4 Pengembangan rencana pemasaran 6.2.4.1 Implementasi

Pada tahap implementasi, tahapan perencanaan Methodist-2 Chamber Choir sudah dilewati dan mulai membangun. Hal-hal yang yang menjadi perhatian Methodist-2 Chamber Choir dalam implementasi adalah sebagai berikut: a. Memutuskan langkah-langkah konkrit yang perlu. Langkah tersebut lebih spesifik yakni

menetapkan tugas-tugas utama yang harus dilaksanakan dalam mengimplementasikan rencana pemasaran. Dalam memutuskan langkah-langkah konkrit, pertanyaan 6P pada audit pemasaran

Page 160: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

154

diuji lagi, apakah masih ada pertanyaan dan masalah yang perlu dibereskan agar rencana pemasaran terwujud.

b. Membagi tugas dan tanggung jawab. Membentuk kepanitiaan sebagai penanggung jawab dalam melaksanakan tiap langkah pemasaran. Pembagian tugas dan tanggung jawab dilakukan berdasarkan kapasitas dan kemampuan masing-masing anggota.

c. Menentukan batas waktu dalam mengimplementasikan. Menentukan hal-hal yang menjadi prioritas, mana prioritas tinggi dan mana prioritas yang lebih fleksibel. Pembatasan waktu dalam mengimplementasikan merupakan salah satu target waktu yang dicapai. Monitoring terhadap batas waktu ini dilakukan dengan teratur untuk meminimumkan faktor kegagalan.

d. Mengkonfirmasikan anggaran dalam pemasaran. Anggaran dalam pemasaran dilakukan sedetail mungkin sehingga hal-hal yang berhubungan dengan anggaran dalam pemasaran terukur dan tidak teradapat ketidakseimbangan biaya anggaran dengan biaya anggaran dengan biaya riil.

6.2.4.2 Tip Implementasi Dalam memaksimalkan langkah-langkah implementasi Methodist-2 Chamber Choir melakukan

tip implementasi sebagai bagian dari strategi dalam menyukseskan implementasi rencana pemasaran dengan: a. Menentukan mata rantai komando yang jelas. Mata rantai sebagai prosedur operasional di dalam

pemasaran dilakukan dengan menentukan penanggung jawab-penanggung jawab. Bendahara kepanitiaan sebagai bagian dari kepanitiaan inti merupakan komando/ penanggung jawab tertinggi, komando berikutnya adalah koordinator publikasi dan tikecting yang merupakan penanggung jawab menengah dan seluruh anggota yang menjalankan tugas-tugas pemasaran merupakan penanggung jawab level paling bawah.

b. Memastikan para petugas merasa terlibat dan mengetahui keadaan yang paling mutakhir dari segenap perkembangan yang terjadi. Bendahara sebagai komando tertinggi melakukan upaya-upaya pendekatan agar para petugas/ penanggung jawab dengan sadar melakukan tugas-tugas pemasaran yang diemban. Bendahara selalu melakukan update dari penanggung jawab lainnya dan saling berkomunikasi untuk saling mengetahui tentang perkembangan yang terjadi.

c. Bersikap fleksibel dan responsive. Memiliki sikap responsive/ tanggap terhadap kondisi yang ada merupakan sikap yang tetap menjaga terjalinnya shubungan yang baik dengan publik merupakan sikap yang dimiliki Seluruh anggota. Sikap responsive juga dibutuhkan di dalam organisasi. Sikap tidak kaku juga merupakan sikap yang disenangi publik pada umumnya dalam memenangkan pasar. Misalnya dalam menjalankan implementasi pemasaran, ada calon audiens berjumlah 10 (sepuluh) orang meminta diskon, dengan bijak dan koordinasi yang singkat, para petugas memberikan keputusan terhadap permintaan tersebut.

d. Melakukan evaluasi dan penyempurnaan secara teratur. Salah satu control yang juga dilakukan oleh Methodist-2 Chamber Choir adalah melakukan update terhadap aktifitas pemasaran setiap selesai latihan. Perkembangan yang ada dari seluruh anggota dan penanggung jawab wajib dilaporkan untuk selanjutnya di lakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan strategi pemasaran yang dibutuhkan dalam menyempurnakan hasil pemasaran. Hal tersebut dilakukan dengan teratur dan berkelanjutan.

6.2.5 Pengembangan kampanye promosi 6.2.5.1 Target audiens dan sasaran Target audiens dan sasaran dalam pengembangan kampanye promosi adalah publik, dengan sasaran agar mereka menjadi penonton. Publik yang maksudkan dalam tulisan ini adalah seluruh masyarakat aktifis, pencinta, dan penikmat paduan suara, dan para pendukung dana, baik sponsor maupun donatur. Selain itu paduan suara – paduan suara lain sebagai aktifis paduan suara turut menjadi target audiens. Methodist-2 Chamber Choir melakukan pendataan untuk menyurati dan melakukan promosi terhadap seluruh paduan suara yang ada di daerah kota Medan sekitarnya. 6.2.5.2 Pesan Pesan dalam berkomunikasi disampaikan dalam bahasa yang komunikatif bagi kelompok yang jadi sasaran, agar mereka termotivasi untuk beraksi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam berkomunikasi, Methodist-2 Chamber Choir membedakan cara berkomunikasi terhadap calon audiens

Page 161: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

155

dengan calon penyandang dana. Misalnya pesan yang disampaikan kepada audiens adalah dengan menyuguhkan pertunjukan konser yang menghibur dan berkesan. Sedangkan kepada (calon) sponsor pesan yang disampaikan adalah tentang ramainya jumlah penonton yang hadir, sehingga konser yang akan digelar menjadi media promosi yang potensial bagi sponsor. 6.2.5.3 Komunikator Tepat tidaknya komunikator dalam mengkomunikasikan pesan kepada audiens menentukan keberhasilan tujuan berkomunikasi. Siapa yang menyampaikan pesan dalam promosi sangat mempengaruhi hasilnya. Komunikator yang tidak tepat mungkin justru akan menyebabkan pesan tidak sampai dengan baik atau malah mengganggu pesan tersebut. Menyadadari hal tersebut Methodist-2 Chamber Choir selalu menggunakan komunikator yang berbeda untuk target audiens yang berbeda 6.2.5.4 Saluran komunikasi Pada dasarnya ada 2 (dua) kelompok besar saluran komunikasi yang digunakan Methodist-2 Chamber Choir. Kelompok pertama adalah kelompok yang sifatnya nonpersonal, yaitu yang dirancang untuk tidak disampaikan secara pribadi tetapi disampaikan dengan cara-cara lain, misalnya iklan, brosur, poster, promosi media sosial, dan sebagainya. Kelompok kedua adalah yang bersifat personal yaitu yang disampaikan secara pribadi. Secara informal, teman-teman yang memahami visi dan misi organisasi juga bisa menjadi saluran komunikasi personal dan efektif termasuk sahabat-sahabat dari paduan suara yang lain yang bersedi untuk menjadi saluran komunikasi promosi. 6.2.5.5 Teknik Teknik-teknik berikut ini merupakan teknik yang juga dipakai oleh Methodist-2 Chamber Choir dalam melakukan kampanye promosi, yakni: (a) Poster, (b) Brosur, leaflet, flyer atau sejenisnya biasanya bersifat lebih permanen, (c) Iklan, (d) Siaran Pers, (e) Direct Mail atau surat langsung, (f) Media Sosial, (g) Diskon, (h) Perluasan genre pertunjukan, (i) Menjaga kepercayaan pelanggan dan kualitas pertunjukan. 6.2.5.6 Anggaran

Anggaran promosi yang dimaksudkan adalah anggaran perkiraan yang akan diterima dari sponsor dan donator. Methodist-2 Chamber Choir menyusun anggaran promosi dengan beberapa macam pendekatan, misalnya: pendekatan “semampunya”, atau “% dari pendapatan yang diharapkan”. Namun pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan “semampunya”. 6.2.5.7 Implementasi

Implementasi kampanye promosi meliputi produksi dari bahan-bahan promosi dan tindak lanjut dari tiap-tiap teknik. Methodist-2 Chamber Choir memaksimalkan bakat keahlian yang dimiliki anggotanya dalam bidang-bidang promosi seperti: mengembangkan pesan yang komunikatif, mendisain poster dan brosur, dan sebagainya namun jika tidak ada maka Methodist-2 Chamber Choir akan memintakan bantuan dari biro jasa dengan menyampaikan isi pesan yang akan dipromosikan.

Tabel 6. Manajemen Pemasaran

No. Uraian Consolatio Choir Methodist-2 Chamber Choir

1 Sasaran Pemasaran Seluruh lapisan masyarakat.

Sebagian besar kalangan Perguruan/ Gereja Methodist dan sebagian lagi lapisan masyarakat..

2 Citra yang dibangun Paduan Suara Musica Sacra. Paduan Suara Berkoreografi.

Page 162: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

156

3 Teknik yang digunakan dalam pemasaran

a. Poster. b. Brosur, leaflet, flyer atau sejenisnya. c. Iklan. d. Siaran pers. e. Direct mail atau surat langsung. f. Media sosial. g. Diskon. h. Perluasan genre pertunjukan. i. Menjaga kepercayaan pelanggan dan kualitas pertunjukan.

a. Poster. b. Brosur, leaflet, flyer atau sejenisnya. c. Iklan. d. Siaran pers. e. Direct mail atau surat langsung. f. Media sosial. g. Diskon. h. Perluasan genre pertunjukan. i. Menjaga kepercayaan pelanggan dan kualitas pertunjukan.

4 Aksi Jual Makanan

Ada. Di lakukan saat kunjungan gereja dan di luar kunnjungan gereja.

Tidak ada.

5 Aksi Taken List Ada. Tidak ada.

6

Aksi cari dana lelang lagu pada kebaktian/ kunjungan gereja

Ada. Tidak ada.

7 Kerjasama sponsorship Ada. Ada.

8 Sponsor tetap Tidak ada. Tidak ada.

9 Penjualan merchandise, Ada. Tidak ada.

7. Kesimpulan 7.1 Manajemen organisasi

Manajemen kepempinan organisasi kelompok paduan suara Consolatio Choir dan Methodist-2 Chamber Choir adalah kepemimpinan yang bersifat demokratis yang mengikutsertakan bawahannya serta memberi kesempatan bawahan untuk berdiskusi. Hal tersebut terlihat dari setiap pengambilan keputusan selalu mengadakan rapat yang menjunjung tinggi kemufakatan.

Manajemen organisasi yang dimiliki paduan suara secara umum adalah manajemen organisasi seni non tradisional, hal tersebut dibuktikan bahwa sistem pembagian tugas sudah lebih spesifik dan sangat jarang dialami tumpang tindih tugas. Demikian juga dalam hal sistem rekruitmen, sangat menghindari anggota paduan suara “cabutan”. Kedua paduan suara ini menganut 2 (dua) aliran manajemen organisasi sekaligus, yaitu: (1) aliran perilaku yakni aliran yang disebut juga aliran manajemen hubungan manusia. Aliran ini memusatkan kajiannya pada aspek manusia dan perlunya manajemen memahami manusia, (2) aliran manajemen mutu, yaitu memfokuskan pemikiran pada usaha-usaha untuk mencapai kepuasan pelanggan atau konsumen.

Kedua paduan suara ini merupakan organisasi pelayanan paduan suara yang berasaskan kekristenan (Protestan dan Katolik). Hal tersebut terlihat dari reportoir/ nyanyian yang dikumandangkan kedua paduan suara ini yakni nyanyian pujian kepada Tuhan dan penghiburan kepada masyarakat umum serta wilayah pelayanan kedua paduan suara tersebut salah satunya adalah gereja.

Paduan suara Consolatio dan Methodist-2 Chamber Choir memiliki visi dan misi sebagai dasar/ fondasi organisasi dan merupakan pernyataan cita-cita, keingingan, atau harapan dari para pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi mengenai bentuk dan karakteristik organisasi di masa depan. Visilah yang akan mengarahkan (atau menjadi petunjuk jalan) bagi organisasi di masa yang akan datang.

Page 163: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

157

Kedua paduan suara ini memiliki perencanaan dan program kerja yang terukur dan konsisten, kreatif dalam menentukan tempat latihan, memiliki struktur organisasi mulai dari; pembina, BPH, Pelatih/ Konduktor, Seksi-seksi dan anggota.

Kedua organisasi ini memiliki pembagian tugas untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pekerjaan, memiliki sistem perekrutan tersendiri yang menghindari sistem pencomotan anggota, memiliki sistem kekeluargaan, gotong royong, dan tolong menolong yang mempererat persaudaraan di tengah organisasi dan menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi banyak tantangan organisasi. 7.2 Manajemen produksi

Paduan suara sebagai produksi jasa, menurut memiliki faktor produksi sebagai berikut: (a) tersedianya program kegiatan, dan reportoir/ partitur, (b) tersedianya kesempatan untuk mengasah kemampuan dan skill lewat proses latihan, (c) tersedianya tenaga kerja sebagai pelaksana program, (d) adanya kebutuhan akan hasil produksi. keempat faktor tersebut akan menghasilkan (e) prestasi dan kegiatan sebagai hasil produksi.

Manajemen produksi Consolatio Choir dan Methodist-2 Chamber Choir adalah relatif sama. Perbedaan utama kedua kelompok suara ini adalah jumlah program kegiatan. Program kegiatan sebagai tujuan dasar produksi yang dimiliki Consolatio Choir adalah melaksanakan kegiatan: (1) kunjungan gereja, (2) memenuhi undangan, (3) konser tahunan, (4) menyelenggarakan kompetisi paduan Suara, (5) Mengikuti Kompetisi Paduan Suara, (6) Rekaman, dan (7) Christmas Caroling. Berbeda dengan Methodist-2 Chamber Choir yang memiliki program kegiatan seperti: (1) Pelayanan ibadah mingguan di gereja, (2) memenuhi undangan, dan (3) konser tahunan. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa jumlah kegiatan berbanding lurus dengan kuantitas latihan.

Reportoir dan partitur sebagai bahan dasar produksi yang menjadi ciri khas/ citra paduan suara Consolatio Choir & Methodist-2 Chamber Choir adalah berebeda. Consolatio Choir membawakan hampir seluruh karya dalam berbagai kategori, namun yang menjadi citra paduan suara ini adalah karya-karya musica sacra yang selalu dibawa pada konser-konsernya, yakni karya mulai dari abad Musik Era Renaissance ( ± tahun 1450 – 1600), Musik Era Baroque (± tahun 1600 – 1750), Musik Era Klasik ( ± tahun 1750 – 1820), Musik Era Romantik (± tahun 1820 – 1900), Musik Era Abad 20 dan Kontemporer (± tahun 1900 – saat ini).

Berbeda dengan Consolatio Choir, Methodist-2 Chamber Choir jarang membawa karya musica sacra dan lebih banyak membawa reportoir karya abad ke-20 atau abad kontemporer, popsong, pop jazz, folklore (lagu daerah), gospel dan lagu-lagu yang diminati anggotanya. Penetapan formasi yang menarik dengan pemakaian koreografi pada setiap konsernya merupakan upaya dalam membangun citra di kalangan masyarakat penikmat dan pencinta paduan suara.

Program latihan sebagai proses produksi yang dilakukan kedua paduan suara ini adalah latihan regular, latihan fisik, latihan teknik pernafasan, latihan teknik vokal, latihan teknik bernyanyi, latihan pemahaman lagu, latihan khusus persuara, kecuali latihan fisik jarang dilaksanakan oleh Methodist-2 Chamber Choir.

Kepanitiaan sebagai tenaga kerja produksi dimiliki kedua paduan suara untuk melaksanakan program-program yang telah direncanakan dan ditetapkan. Kepanitiaan Consolatio Choir umumnya terdiri dari: ketua, sekretaris, bendahara, seksi peralatan, seksi konsumsi, seksi partitur, seksi kostum, seksi publikasi, seksi dokumentasi, seksi dana, dan tim artistik. Kepanitian Methodist-2 Chamber Choir terdiri dari ketua, sekretaris, bendaraha, koordinatoor konser, koordinatoor reuni, seksi acara, seksi brosur & booklet, seksi dekorasi, seksi kostum, koordinatoor pelaksana, koordinatoor publikasi & ticketing, koordinatoor usher, koordinatoor gedung, koordinatoor lighting, multi media, dan sound sistem.

Prestasi dan Kegiatan Sebagai Hasil Produksi dimiliki oleh kedua paduan suara tersebut. Consolatio Choir memiliki prestasi yang diraih dari tingkat lokal, nasional sampai pada tingkat internasional. Demikian juga Methodist-2 Chamber Choir yang aktif melakukan konser di dalam dan di luar negeri. Prestasi dan kegiatan yang diraih dengan disiplin yang kuat, dan perilaku konsisten dalam menyelenggarakan kegiatan.

Page 164: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

158

7.3 Manajemen pemasaran Manajemen pemasaran yang dilakukan kedua kelompok paduan suara ini dapat dikatakan sama. Keduanya menggunakan langkah pemasaran sebagai berikut: a. Menentukan sasaran pemasaran (sasaran tindakan dan sasaran citra). b. Menentukan posisi/ slogan. c. Melakukan audit pemasaran. d. Melakukan pengembangan rencana pemasaran (mulai dari perumusan sasaran pemasaran, draf

perencanaan pemasaran, dan implementasi). e. Pengembangan kampanye promosi dengan melakukan: (1) target audiens dan sasaran, (2) pesan,

(3) komunikator, (4) saluran komunikasi, (5) teknik dengan poster, brosur, leaflet, flyer atau sejenisnya biasanya bersifat lebih permanen, iklan, siaran pers, direct mail atau surat langsung, media sosial, diskon, perluasan genre pertunjukan, menjaga kepercayaan pelanggan dan kualitas pertunjukan, (6) anggaran, dan (7) impelmentasi.

Daftar Pustaka Abidin, Zainal. 2007. Analisis Eksistensial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Ahyari, Agus. 1997. Manajemen Produksi. Yogyakarta: BPFE. Amir Pasaribu, 1953, Riwayat Musik dan Musisi. Jakarta: Gunung Agung. Assauri, Sofyan. 1980. Manajemen Produksi & Operasi. Jakarta: LBFE UI. Assauri, Sofyan. 2004. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Rajawali Press. Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Darma, Agus. 2003. Manajemen Supervisi. Jakarta: Gafindo Persada. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Depdikbud, 1997. Studi Kasus. Jakarta: Depdikbud. Fattah, Nanang. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. H., A., Pandopo. 1984. Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. Jakarta: BPK Gunung

Mulia. Handoko, T Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-UGM Handoko, T. Hani. 2012. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hendrardjo. 1999. Kepemimpinan Instan. Jakarta: Erlangga. Ibrahim, Bafadal. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Kartono, Kartini. 2002. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kasiyan. 2013. Seminar. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Kodijat. Latifah. 1989. Istilah-istilah Musik, Jakarta: Djambatan. Lewis, dkk. 2004. Kinerja organisasi. Yogyakarta: UGM. Lewin, K., R. Lippitt, dan R. White. 1930. Patterns of Aggressive Behaviour. New York: Group in Social Work. Linggono, Budi, 2013. Apreasi Musik 1, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Listya, Agastya Rama. 2007. A-Z Direksi Paduan Suara. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia. Luthans, Fred. 2008. Perilaku Organisasi, (Alih Bahasa V.A Yuwono, dkk), Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: ANDI. Lumbantobing, Andar. 1992. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Martasudjita, E. 2011. Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. McNeill, J. Rhoderick, 1998. Sejarah Musik 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Merriam, Alam P. 1964. The anthropology of music. Chicago: Northwestern University Press. Miles, Mattew B. dan Huberman A.M. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Miftah, Thoha. 2005. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moleong, J. Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ngalim, M. Purwanto. 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Niven, Paul R. 2003. Balance Scorecard Step by Step for Government and Non Profit Agencies. New Jersey: John Willey &

Sons, Inc. Pardede, Boho. 2011. Koor Di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP): Analisis Sejarah, Fungsi dan Struktur Musik. Tesis.

(Tidak diterbitkan). Medan Partadireja, Ace. 1985. Pengantar Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Pearson dan Robinson. 2007. Manajemen Strategi. Jakarta: Salemba Empat. Permas, Achsan, Chrysanti Hasibuan-Sedyono, et al. 2003. Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan. Jakarta: Penerbit

PPM.

Page 165: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

159

Peter F. Drucker. 1985. Innovation and Entrepreunership Practice and Principles. New York: Harper & Row, Publiser, Inc. Pramayuda. 2010. Belajar Vokal Dasar dan Paduan Suara . Bandung: Alfabeta Pranadjaja. 1976. Seni Menyanyi. Jakarta. Baru. Prier, Karl-Edmund. 1994. Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20. Yogyakarta: Gema Duta Wacana. Prent, K. C. M. dkk. 1969. Kamus Latin - Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Purba, Elisabeth. 2015. Kajian Manajemen Organisasi, Poduksi, dan Pemasaran Grup Musik di Kota Medan. Tesis. (Tidak

diterbitkan). Medan. Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2007. Manajemen. Jakarta: Erlangga. Rudy, My. 2008. Panduan Olah Vokal. Yogyakarta: Med Press. Sagala, Syaiful. 2000. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Simanungkalit, N. 2008. Teknik Vokal Paduan Suara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Sitompul, Binsar. 1999. Paduan Suara dan Pemimpinnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Soedarsono, R. M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Solihin, Ismail. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: Erlangga. Stoner, J. A. F., & Freeman, R. E. 1996. Manajemen. Fifth Edition. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall A Division

of Simon & Schuster, Inc. Sufyarma. M. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2006. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sumati, Budiman. 1987. Sari Sastra Indonesia. Surakarta: PT Intan Prawira. Sumadi, Suryabrata. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali. Syafarudin. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Syukur, Abdul. 2005. Ensiklopedi Umum untuk Pelajar. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Takari, Muhammad. 2008. Manajemen Seni. Medan: Studi Kultura FS-USU Templar. 2006. The Rules of Management. Jakarta: Erlangga. Terry, George R. 2006. Prinsip-Prinsip Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara. Wibisono, Dermawan. 2006. Manajemen Kinerja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wibowo, Mungin Eddy. 2001. Model Konseling Kelompok di Sekolah Menegah Umum. Disertasi. (Tidak diterbitkan).

Bandung. Wibowo, 2014. Manajemen Kinerja, Edisi keempat. Jakarta: Rajawali Pers. Daftar Narasumber 1. Nama : Tony Siagian, Tanggal lahir: 24 Mei 1962, Pekerjaan: PT. RAPP, Alamat : Duri – Pekan Baru,

Aktifitas Musik: Pendiri Consolatio Choir, Pelatih, Dirigen, Juri. 2. Nama: Immanuel Ariesto Sirait, S.Sn, Tanggal lahir: 8 April 1984, Pekerjaan: Dosen, Alamat : Jl. Pelajar Medan,

Aktifitas Musik: Dirigen & Pelatih Consolatio Choir. 3. Nama: Daud Kosasih, Tanggal lahir: 10 April 1964, Pekerjaan: Direktur Musik Era Musika, Alamat: Piezza Residence

Jl. Gaperta Medan, Aktifitas Musik: Pendiri Methodist-2 Chamber Choir, Dirigen & Pelatih Methodist-2 Chamber Choir, Pembicara.

4. Nama: Johnny Halim, Tanggal lahir: 2 Maret 1971, Pekerjaan: Staff Pengajar Era Musika, Alamat: Piezza Residence Jl. Gaperta Medan, Aktifitas Musik: Assisten Pembina Methodist-2 Chamber Choir, Dirigen, Pelatih Vokal.

5. Nama: Emmy Simangunsong, Tanggal lahir: 3 January 1961, Pekerjaan: Dosen FBS Universitas HKBP Nommensen, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pembicara, Juri.

6. Nama: Evita Simanungkalit, Tanggal lahir: 11 Agustus 1972, Pekerjaan: Tenaga Pengajar di SD Penabur Jakarta, Alamat: Jakarta, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor .

7. Nama: Sondang Sitorus, Tanggal lahir: 24 Desember 1966, Pekerjaan: Guru Seni di SMP Tanjung Gading, Alamat: Tanjung Gading – Medan, Aktifitas Musik: Pelatih Vokal, Konduktor, Penyanyi.

8. Nama: Kristina Ritonga, Tanggal lahir : 2 Mei 1977, Pekerjaan: Owner My Sparkling Female Choir, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor.

9. Nama: Edward C. Van Ness, Tanggal Lahir: 26 Desember 1947, Pekerjaan : Kepala Sekolah Sumatera Conservatory, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor.

10. Nama: Tommyanto Kandisaputra, Tanggal Lahir: 8 November 1963, Pekerjaan: Owner Bandung Choral Society, Alamat: Bandung, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor, Pembicara, Juri.

11. Nama: Horas Simangunsong, Tanggal lahir: 2 Mei 1985, Pekerjaan: Pegawai Swasta, Alamat: Medan Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor.

12. Nama: Mangaratua Simanjuntak, Tanggal lahir: 19 November 1974, Pekerjaan: Musisi Alamat: Medan Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor.

13. Nama: Erika Sigalingging, Pekerjaan: Musisi, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pianis. 14. Nama: Harapan Sianipar, Tanggal lahir: 25 Mei 1960, Pekerjaan: Guru Kesenian, Alamat: Medan Aktifitas Musik:

Pelatih, Konduktor, Juri. 15. Nama: Ken Steven, Tanggal lahir: 10 September 1993, Pekerjaan : Guru Musik, Alamat: Medan Aktifitas Musik:

Komponis, Pelatih, Konduktor, Juri. 16. Nama: Nina Martini Nainggolan, Tanggal lahir: 13 Nopember 1962, Pekerjaan: Guru Musik, Alamat: Medan,

Aktifitas Musik: Pianist, Pelatih, Konduktor. 17. Nama: Agustina Samosir, Tanggal lahir: 17 Agustus 1971, Pekerjaan: Guru Musik, Alamat: Medan, Aktifitas

Musik: Pelatih, Konduktor.

Page 166: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

Komposisi, Jurnal Ilmu-ilmu Seni Nomor 12

160

18. Nama: Nov Belson Sitompul, Tanggal lahir: 16 November 1985, Pekerjaan: Pegawai Swasta, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor.

19. Nama: Setia Dermawan Purba, Tanggal lahir: 28 Agustus 1956, Pekerjaan : Dosen Etnomusikologi, Alamat: Lubuk Pakam, Aktifitas Musik: Pembina Vokal, Dirigen, Juri.

20. Nama: Anton Sitepu, Tanggal lahir: 30 Oktober 1963, Pekerjaan: Guru Musik, Alamat: Medan, Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor, Juri.

21. Nama: Hendra Fisher Sinulingga, Tanggal lahir: 22 Juni 1985, Pekerjaan: Wiraswasta, Alamat: Medan Aktifitas Musik: Pelatih, Konduktor, Juri.

Page 167: KOMPOSISI - magisterseniusu.com · Alamat Penyunting: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Jalan Universitas No. 19 Medan 20155, Indonesia Telefon/Faks: 061-8215956; e-mail:

161