komplikasi yang terjadi pada trauma kapitis

Download Komplikasi Yang Terjadi Pada Trauma Kapitis

If you can't read please download the document

Upload: intan-lindia-sari

Post on 30-Nov-2015

248 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KOMPLIKASI YANG TERJADI PADA TRAUMA KAPITIS KomplikasiKebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.Kejang.Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Penatalaksanaan Medik Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000).Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut : Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma. Berikan oksigenasi. Awasi tekanan darah Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik. Atasi shock Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.Pemberian analgetikaPengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.

Pemeriksaan Dianostik:CT Scan:mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak.MRI:sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.Angiografi Serebral:menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.EEG:memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.Sinar X:mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).BAER (Brain Eauditory Evoked):menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..PET (Pesikon Emission Tomografi) :menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.Pungsi Lumbal CSS :dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.Kimia/elektrolit darah:mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK.GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.Respon pupil mungkn lenyap.Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

Mekanisme cedera kepalaAkselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.Contoh : akibat pukulan lemparan.Deselerasi.Contoh : kepala membentur aspal.Deformitas.Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Tipe-Tipe Trauma :

Trauma Kepala Terbuka:Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius.Trauma Kepala Tertutup

Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan kerusakan struktur otak.Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.

Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited inMansjoer, dkk, 2000: 4):Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarangPasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusingPasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepalaTidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)KonkusiAmnesia pasca traumaMuntahTanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).

Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)Penurunan derajat kesadaran secara progresifTanda neurologis fokalCidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226):Cidera kepala ringan /minorSKG 13-15Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.

Cidera kepala sedangSKG 9-12Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.

Cidera kepala beratSKG 3-8Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.

Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma yang di bagi menjadi :Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30 menitCidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorakCidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.Aktivitas/ IstirahatGejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.Tanda : Perubahan kesehatan, letargi Hemiparase, quadrepelgia Ataksia cara berjalan tak tegap Masalah dalam keseimbangan Cedera (trauma) ortopedi Kehilangan tonus otot, otot spastikSirkulasiGejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi) Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).Integritas EgoGejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.EliminasiGejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.Makanan/ cairanGejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.Tanda : Muntah (mungkin proyektil) Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).NeurosensorisGejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma Perubahan status mental Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) Wajah tidak simetri Genggaman lemah, tidak seimbang Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah Apraksia, hemiparese, QuadreplegiaNyeri/ KenyamananGejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.Tnda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.PernapasanTanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak Ronki, mengi positif KeamananGejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaanTanda : Fraktur/ dislokasi Gangguan penglihatan Gangguan kognitif Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuhInteraksi SosialTanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

TRAUMAKAPITISPosted in Neurologi by DokMud's Blog 3 Votes

PENDAHULUAN(4)Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.DEFINISITrauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (1)SINONIM (1)Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injuryPATOFISIOLOGI (1)Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :1. Besar dan kekuatan benturan2. Arah dan tempat benturan3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturanSehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : Lesi bentur (Coup) Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media) Lesi kontra (counter coup)Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosisAkibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri)Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri.Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu.Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous.Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.MONITORING KLINIS(1,5)Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif perkembangan tingkat kesadaran penderita per-jam dan per-hari secara ketat, dibuatlah suatu Skala Koma Glasgow (oleh Bryan Jennett) yang menyangkut masalah buka mata, repons verbal dan respons motorik. Pelaksanaannya sangat mudah sehingga bisa cepat di mengeti dan diterapkan oleh para perawat. Jika pengamatan tingkat kesadaran penderita trauma kapitis tidak cukup lengkap atau hanya dengan SKG, maka belumlah dapat menggambarkan keadaan neurologik penderita yang sebenarnya.Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai dengan :1. Monitor fungsi batang otakBesar dan reaksi pupilOkulosefalik respons (Dolls eye phenomen)Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atasCentral neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan ponsApneustic breathing : lesi di ponsAtaxic breathing : lesi di medulla oblongata3. Pemeriksaan fungsi motorikKekuatan ototRefleks tendon, tonus otot4. Pemeriksaan funduskopi5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu EEGMeskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang dilakukan pada semua kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin dilakukan.SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5)NilaiBuka Mata Spontan 4Atas perintah 3Terhadap nyeri 2Tak ada reaksi 1Respons Verbal Orientasi baik 5Bingung-bingung 4Kata-kata ngawur 3Kata-kata tak dimengerti 2Tak ada reaksi 1Respons Motorik Gerak turut perintah 6Menghindari terhadap nyeri 5Flexi withdrawal 4Flexi abnormal 3Ekstensi terhadap nyeri 2Tak ada reaksi 1Dengan bantuan pemeriksaan radiologi X foto polos/Brain CT-Scan/MRI dapat melihat kelainan-kelainan berupa fraktur, edema, kontusio jaringan, hematoma intrakranial dan lain-lain.KLASIFIKASI(1,3,4)Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :1. Komosio serebri2. Kontusio serebri3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5. Fraktur kranii tertutup b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%) 1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri) 3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatifSebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra yang membagi klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Skala Koma Glasgow-nya yaitu :Mild head injury SKG score : 13-15Moderate head injury SKG score : 9-13Severe head injury SKG score : < 8 Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih dalam dan lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak kerusakan otaknya. 1. KOMOSIO SEREBRI (1,2) (gegar otak, insiden : 80 %) Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala - tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom. 2. KONTUSIO SEREBRI (1,2,3) (memar otak, insiden : 15-19 %) Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menitFase I = fase shockKeadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik- respirasi dangkal dan cepat- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular- tekanan darah menurun- refleks tendon dan kulit menghilang- babinsky refleks positif- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemahFase II = fase hiperaktif central vegetatif- temperatur tubuh meninggi- pernafasan dalam dan cepat- takikardi- sekret bronkhial meningkat berlebihan- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal- refleks-refleks serebral muncul kembaliFase III = cerebral oedemaFase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak ditanggulangi secepatnya.Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesensTemperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau menghilang kecuali lesinya luas.Gejala lain :Fokal neurologik : Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity Babinsky refleks Afasia, hemianopsia, kortikal blindness Komplikasi saraf otak :- fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)- fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI- herniasi uncus, gangguan N. III- farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII- perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total- fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid Gangguan organik brain sindroma : deliriumKontusio Serebri pada Anak-anakKontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda dengan dewasa antara lain :1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan kesadaran dan kejang-kejang.3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap trauma.Diagnostik bantu :1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI2. LP bercampur darah3. EEG abnormal3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3)Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater. Insiden terjadinya 1-3 %.Patofisiologi dan SimptomatologiHematoma ini disebabkan oleh :1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis posterior. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai 75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai timbulnya penurunan kesadaran ulang. Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara superposisi dengan kontusionya.Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada dinding periosteum kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal.Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala seperti dibawah :1. adanya lucid interval2. kesadarn yang makin menurun3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N. III terjerat5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)7. kejang8. bradikardiJika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan yang di atas, tapi sebagai berikut :1. lusid interval tidak jelas2. fraktur kranii daerah oksipital3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum5. pupil isokorbiasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum pecah maka prognosanya jelek.Diagnosa bantu1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang2. Brain CT-Scan3. Arteriografi karotis4. EEG abnormal5. LP tekana meninggi jernih4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3)Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid. Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah bergabung dengan likuor serebrospinalPenyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :1. trauma kapitis2. kaheksia3. gangguan diskrasia darahlokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti sendir.Klasifikasi :a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hariAkut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.Diagnosis bantu :- CT-Scan- LP berdarah- Arteriografi karotis- EEG abnormalb. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hariGejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri. Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan.Diagnosa bantu : sama dengan akut SDHPrognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 % kembali sembuh sempurna.c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahunPecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti, hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma. Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi.Gejala awal :1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi jaringan otak di daerah sekitar hematoma2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI5. hemiparesis yang pelan-pelan6. pupil bisa anisokor7. tekanan LP meninggi5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3)Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun multiple.Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.6. FRAKTUR BASIS KRANII (1,2,3)Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum- keluar darah dari telinga dan likuorrhoe- parese N. VII dan VIII sering dijumpai2. Fraktur basis kranii posterior- unilateral/bilateral orbital hematom (Brills hematom)- gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum- perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.3. Fraktur basis kranii posterior- gejala lebih berat, kesadaran menurun- tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA TRAUMA KAPITIS(1)X Foto TengkorakFraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab :1. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak2. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal3. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi frakturJenis foto :1. Foto antero-posterior2. Foto lateral3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas fragmen tulang yang melesak masukKeterangan gambar :1. epidural hematoma/subdural hematom2. intra serebral hematoma3. impresio/depressed fraktur4. herniasi uncusJenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3)1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu.2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal sutura tidak melebihi 2 mm)CT-Scan Otak(1)Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.Angiografi (1)Sistem rapid serial film 10 film/detikMemakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lainJenis angiografi :- karotis (paling sering)- vertebralis (jarang)Cara melakukan dengan ;1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada trauma kapitis penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural hematomanya.PRIORITAS PENANGGULANGAN CEDERA KEPALA AKUT(1)a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baikc. Evaluasi tingkat kesadarand. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)e. Amati jejas di bagian tubuh lainnyaf. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scang. Perhatikan pupilh. Atasi oedema serebrii. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalorij. Monitor tekanan intra kranialk. Pengobatan simptomatis atau konservatifl. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatifOEDEMA SEREBRI(1)Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik lokal atau pengaruh umum yang merusak.Jenis-jenis1. Vasogenik oedema serebri2. sitotoksik oedema serebri3. osmotik oedema serebri4. hidrostatik oedema serebriVasogenik Sitotoksik Osmotik HidrostatikKausa BBB kapiler Sodium pump Osmotik Gangguan absorbsi LSCLokalisasi Subs. alba Alba + grisea Alba + grisea Subs. AlbaPermeabilitas vaskuler Meningkat Normal Normal NormalHistologis Ekstraseluler Interseluler Ekstra / intra EkstraselulerUnsur Plasma Plasma Air Air + NaPada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat 10-15 mmHg.1. Vasogenik oedema serebriLesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :- trauma kapitis- stroke- iskhemia- radang : meningitis, ensefalitis- space occupying lesion : tumor otak- malignant hipertensi- konvulsi2. Sitotoksik oedema serebriIni bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otakSitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :- neonatal asphyxia- cardiac arrest- zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal3. Osmotik oedema serebriBila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus :- water intoksikasi- hemodialisis yang terlalu cepat4. Hidrostatik oedema serebriIni terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal). Contohnya pada hidrosefalus.Pengobatan Odema Serebri1. Hipertonic Solution TherapyPengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.Contoh cairan hipertonik :a. Manitolb. GlyserolPemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa : Dehidrasi berat Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :- dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka darah akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan mengaburkan gejala perdarahan yang sebenarnya- cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri- cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baruKontraindikasi : Renal Failure Hepatic Failure Congestive Heart FailureManitola. Mempunyai efek :- meninggikan cerebral blood flow- meninggikan eksresi Na+ urine- menurunkan tekanan likuor serebro spinal- diuresis secara ekstremJika berlebihan dapat menyebabkan :- dehidrasi berat- hipotensi- takikardi- hemokonsentrasi- overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka bisa terjadi rebound phenomenb. DosisManitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang, renal failureGliserola. Sifat dan kegunaannya :- meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di otak dibandingkan dengan efek diuresisnya- dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energi- tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies darah- tidak mempunyai efek rebound phenomenb. Dosis- per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan terlihat efek penurunan tekanan intra kranial- per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5 cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan menetap bertahan selama 12 jamJika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi efek diuresis. Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi : hemolisis intravaskuler hemoglobinuria gastric iritasi nonketotic hiperosmolar hiperglikemia2. KortikosteroidSifat dan kegunaannya :Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara : membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran melindungi sel otak dari anoksia memperbaiki sistem sodium pump memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel otak berkurangDosis : dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4 jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari) methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam kemudian taffering offHati-hati pada perdarahan lambung.Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan. Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.3. BarbituratBerguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :a. menurunkan metabolisme otakb. menstabilkan membran selc. menurunkan aktivitas lysozimd. menurunkan tekanan intra kraniale. menurunkan pembentukan oedema otakf. melindungi sel otak terhadap iskhemiaDosis :Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg %.Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.4. Hipothermi30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah. Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan hanya dalam 5 hari saja.5. Hiperventilasi ArtifisialMemakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.PENATALAKSANAAN(4)Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi.2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala.4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.5. Menilai tinglcat keparahanPedoman Penatalaksanaan1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT- Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:- Hematoma epidural- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel- Kontusio dan perdarahan jaringan otak- Edema serebri- Obliterasi sisterna perimesensefalik- Pergeseran garis tengah- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan tindakan berikut ini :- Elevasi kepala 30o- Hiperventilasi- Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama- Pasang kateter Foley- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasiPenatalaksanaan Khusus1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal- Foto servika1jelas normal- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukanKriteria perawatan di rumah sakit:- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal- Intoksikasi obat atau alkohol- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi- Monitor tekanan darah- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).- Profflaksis trombosis vena dalam- Profilaksis ulkus peptik- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.- CT Scan lanjutanKomplikasi Cedera Kepala Berat1. Kebocoran cairan serebrospinal2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.4. Kejang pasca traumaPROGNOSIS(4)Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.DAFTAR PUSTAKA1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 20042. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 20053. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 20044. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 20005. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000Epilepsi setelah benturan di kepala : Patofisiologi dan Penatalaksanaan Epilepsi Post Trauma Kapitis

I. PENDAHULUAN

Epilepsi post trauma merupakan teka-teki yang masih dilingkupi misteri. Epilepsi post traumatik atau Post Traumatic Epilepsy (PTE) adalah sindroma klinik dimana seseorang menderita bangkitan berulang setelah trauma/post traumatic seizures (PTS) akibat dari cedera otak traumatik /traumatic brain injury (TBI) atau kerusakan otak yang disebabkan trauma fisik.

Epilepsi post trauma merupakan kelainan kronik berulang, diduga penyebabnya adalah adanya trauma otak. Trauma ini dapat disebabkan oleh trauma kepala atau gejala sisa (sequele) dari operasi otak. Istilah epilepsi post trauma harus dibedakan dengan bangkitan post trauma, yaitu bangkitan yang merupakan sequele dari trauma otak. Jika bangkitan muncul dalam 24 jam setelah trauma, hal itu disebut bangkitan post trauma tipe segera. Bangkitan post trauma yang terjadi 1 minggu setelah trauma disebut bangkitan post trauma tipe awal. Sedangkan bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cedera disebut bangkitan post trauma tipe lambat. Sekitar 20% orang yang pernah mengalami 1 kali bangkitan post trauma tipe lambat, selanjutnya tidak pernah mengalaminya lagi, maka ini tidak dapat disebut sebagai epilepsi post trauma. PTE kira-kira 5% dari semua kasus epilepsi dan lebih dari 20% dari kasus epilepsi simtomatik.

Trauma kepala, melalui mekanisme yang belum jelas, akan pemicu serangkaian proses yang menghasilkan epileptogenesis. Seseorang yang mengalami trauma kepala memiliki resiko 3 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bangkitan epilepsi dibanding orang pada umumnya.

Seseorang yang mengalami bangkitan karena trauma (PTS) tidak selalu mengalami PTE, namun istilah PTS dan PTE dalam lateratur sering dapat digunakan bergantian. Tulisan kedokteran biasanya mengartikan PTE sebagai "satu atau lebih bangkitan tanpa provokasi (unprovoked) yang terjadi setelah trauma kepala". Tidak diketahui bagaimana memperkirakan siapa yang akan mengalami dan yang tidak akan mengalami epilepsi setelah TBI. Tulisan ini akan membahas berbagai aspek dari epilepsi post trauma, termasuk istilah yang tepat, epidemiologi dari gangguan ini, mekanisme pembentukan epileptogenesis, dan beberapa pertimbangan klinik

II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Dengan tujuan untuk mengerti epilepsi post trauma, berbagai bentuk trauma kapitis telah dijelaskan. Trauma kapitis tertutup adalah trauma yang tidak menembus tulang kepala. Trauma-trauma ini sering berakibat kehilangan kesadaran, meskipun sementara dan dapat dihubungkan dengan besarnya kerusakan dari otak tergantung beratnya trauma. Trauma kapitis terbuka adalah trauma dimana tulang kepala ditembus oleh sesuatu obyek, seperti yang terjadi pada luka tembak atau luka benda tajam. Dalam tipe trauma ini, pasien bisa tidak mengalami kehilangan kesadaran meskipun trauma yang berat atau bahkan fatal. Konkusio diartikan sebagai trauma akibat dari goncangan atau getaran yang keras dari otak disertai gangguan fungsional sesaat yang berhubungan (misalnya kehilangan kesadaran, kejang, amnesia, atau kehilangan kemampuan berpikir). Kontusio adalah memar pada jaringan otak dengan masih bertahankan struktur aslinya. Terdapat 2 bentuk kontusio: coup dan counter coup. Cedera Coup dimaksudkan pada trauma otak tepat di bawah dari tempat terjadinya benturan, sebaliknya trauma counter coup adalah trauma terjadi pada bagian distal dari tempat benturan. Hippocampus, tempat yang sangat epileptogenik, sering menjadi sasaran pada trauma counter coup.

Ada dua bentuk perdarahan intrakranial yang penting untuk membahas trauma kapitis yaitu hematom epidural dan subdural. Kedua bentuk perdarahan tersebut dapat terjadi bersamaan, hanya berbeda dimana tempat terjadinya. Hematom epidural merupakan perdarahan yang terjadi di atas lapisan duramater dan sering dihubungkan dengan fraktur pada tulang temporal atau parietal dan laserasi dari arteri atau vena meningea media. Pasien tetap sadar saat trauma tetapi secara bertahap mengalami gangguan neurologis yang akan meningkat secara bertahap sampai kehilangan kesadaran dalam beberapa jam atau hari sesudahnya sehingga dapat menimbulkan kematian jika dibiarkan. Hematom subdural merupakan perdarahan yang terjadi di bawah lapisan duramater. Darah cenderung berkumpul dengan cepat pada hematom epidural karena rupturnya arteri sementara hematom subdural dapat berkembang lebih lambat karena ruptur dari vena. Karena hal ini, pengamatan yang cermat setelah trauma kepala perlu dilakukan untuk mencegah pasien dari krisis neurologis setelah terlihat sembuh total. Manifestasi klinik dari kedua jenis trauma ini dapat saling tumpang tindih dan mengenali jenis trauma ini mungkin tidak dapat dilakukan hingga dilakukan CT-scan atau dilakukan operasi.

Setelah trauma kapitis, ada 2 kategori luas dari bangkitan berdasarkan waktu terjadinya : yang dapat terjadi awal atau lanjut. Bangkitan awal adalah bankitan akut yang terjadi sebagai akibat efek fisik dari trauma ( dalam satu atau dua minggu setelah cedera). Bangkitan lambat terjadi setelah pasien sembuh dari akibat trauma dan terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah trauma terjadi. Dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Serangan lanjut yang berulang yang diperkirakan sebagai epilepsi post trauma.

III. EPIDEMIOLOGI

Penelitian-penelitian menemukan bahwa insidensi PTE berkisar dalam rentang 1,9 sampai lebih dari 30% dari penderita TBI, dengan bervariasi berdasarkan beratnya trauma dan waktu dari terjadinya TBI. Dewasa muda, adalah kelompok risiko paling tinggi mengalami trauma kapitis, juga memiliki angka PTE yang lebih tinggi. Pada usia yang lebih tua juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi epilepsi, 10% anak-anak dengan TBI berat dan 16-20%nya menjai PTE setelah dewasa. PTE lebih umum pada laki-laki dibanding wanita, dan puncak kejadiannya antara usia 15-24 tahun. Tidak jelas mengapa beberapa pasien mengalami PTE, sementara lainnya dengan trauma yang sama tidak. Insiden epilepsi pada populasi umum diperkirakan antara 0,5-2%, insidensi epilepsi post trauma untuk seluruh tipe trauma kapitis adalah 2-2,5% pada penduduk sipil. Insiden ini meningkat hingga 5% pada pasien bedah saraf. Jika hanya trauma kapitis berat (biasanya GCS kurang dari 9) yang diperhitungkan, insidennya adalah 10-15% pada dewasa dan 30-35% pada anak. Insiden bangkitan post trauma mencapai 50% pada anggota militer, studi ini termasuk pasien-pasien dengan trauma kapitis akibat trauma penetrasi. Insidensi epilepsi setelah trauma kapitis ringan tanpa komplikasi sama pada populasi militer dan populasi umum.

Jenis dan keparahan dari trauma kapitis juga memegang peranan dalam menentukan risiko menjadi epilepsi. Pada penelitian di Olmsted County, Minnesota, faktor risiko dari bangkitan lanjut (tunggal maupun berulang) adalah kontusio cerebri dengan hematom subdural, fraktur tulang kepala, kehilangan kesadaran, atau amnesia lebih dari satu. Penelitian trauma kapitis di Vietnam juga menemukan bahwa terdapat peningkatan resiko bangkitan jika terdapat pecahan logam yang bertahan di otak, ada hematom intracranial, atau pasien mengalami defisit neurologis menetap setelah trauma. Tingkat dari kehilangan jaringan otak sebagai akibat dari trauma juga secara positif berhubungan dengan kemungkinan terjadi epilepsi. Dilaporkan insidensi PTE bervariasi dari dibawah 5% untuk trauma kapitis secara umum sampai 25-30% untuk trauma kapitis tertutup yang berat dengan hematoma, dan lebih dari 50% pada korban perang yang selamat dari trauma luka tembak. Fraktur kompresi tulang kepala dan hematom intracranial juga berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya bangkitan lanjut. Risiko yang meningkat setelah hematom intrakranial merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena adanya darah pada parenkim otak merupakan salah satu faktor yang sedang diteliti berhubungan dengan epilepsi post trauma.

IV. PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN KLINIS

Manifestasi klinik bangkitan post trauma bisa berupa apapun dari bangkitan parsial sederhana maupun kompleks, termasuk bangkitan umum sekunder maupun bangkitan umum tonik-klonik, seringkali keduanya bersamaan. Kebanyakan bangkitan post trauma tipe awal adalah bangkitan parsial, sedangkan bangkitan post trauma tipe lambat lebih bervariasi, yang sering bangkitan umum, baik primer maupun sekunder. Tidak ada penemuan spesifik pada pemeriksaan fisik.

Pasien yang datang dengan trauma kapitis sedang dan berat harus dilakukan CT-scan segera, dan harus diulang jika keadaan pasien tidak ada perbaikan. Pemeriksaan imaging juga harus diulang pada cedera ringan dengan komplikasi adanya bangkitan atau perubahan status mental selama masa pemulihan. EEG hanya mempunyai peran terbatas dalam evaluasi pasien dengan bangkitan post trauma awal yang memperlihatkan perubahan perilaku yang berulang. Disini tidak berguna dalam memprediksi terjadinya PTE. Bangkitan post trauma tipe awal lebih sering terjadi pada anak berumur kurang dari 5 tahun, pada pasien dengan defisit neurologis fokal, dan pada pasien dengan fraktur kepala linear dan impresi.

V. FAKTOR RISIKO EPILAPSI POST TRAUMA KAPITIS

Tidak jelas kenapa beberapa pasien mengalami PTE sementara yang lainnya tidak.Genetik mungkin berperan dalam risiko seseorang mengalami PTE, orang-orang dengan alel ApoE-4 mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap PTE. Alel haptoglobin Hp2-2 dapat menjadi faktor risiko genetik lainnya, mungkin karena ikatanya pada hemoglobin yang rendah dan oleh karena itu dapat menyebabkan lebih banyak besi yang keluar dan merusak jaringan. Namun, sebagian besar penelitian menemukan bahwa memiliki anggota keluarga dengan epilepsi tidak meningkatkan secara bermakna risiko terjadinya PTS.

Semakin parah trauma kapitis, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami PTE lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa trauma kapitis ringan tidak membuat peningkatan risiko terjadi PTE. Kira-kira setengah dari trauma saraf berat mengalami PTE. Perkiraan lainnya menghitung risiko PTE 5% dari semua pasien TBI dan 15-20% untuk TBI berat. Salah satu penelitian menemukan bahwa resiko 30 tahun terjadinya PTE adalah 2,1% pada TBI ringan, 4,2% pada TBI sedang dan 16,7% pada TBI berat, seperti yang terlihat pada tabel.

Kira-kira 50% pasien dengan trauma kapitis tembus akan mengalami PTE, seperti yang banyak terjadi pada orang-orang militer ataupun akibat korban peperangan yang sering dihubungkan juga dengan luasnya lesi di otak. Hematom intracranial merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting untuk PTE. Hematom subdural memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya PTE daripada hematom epidural, mungkin karena menyebabkan kerusakan yang lebih banyak pada jaringan otak. Sebagai tambahan, peluang terjadinya PTE berbeda-beda pada lokasi terjadinya lesi di otak, kontusi otak yang terjadi pada salah satu dari lobus parietalis memiliki risiko 19% dan pada lobus temporalis 16%. Bila kontusio terjadi bilateral (pada kedua sisi), resikonya 26% untuk lobus frontalis, 66% untuk parietal dan 31% untuk temporal.

Risiko seseorang mengalami PTE akan meningkat jika PTS terjadi, tetapi kejadian PTS tidak berarti kemudian epilepsi pasti akan terjadi. Namun, banyak faktor risiko untuk PTE dan PTS awal yang sama, sehingga tidak diketahui apakah PTS merupakan faktor risiko terhadap PTE. Seseorang yang memiliki bangkiatn tunggal lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada orang-orang yang mengalami PTS awal. Status epileptikus, bangkitan yang terus-menerus atau serangan multipel berturut-turut sering dihubungkan dengan terjadinya PTE, keadaan ini terjadi pada 6% dari semua TBI dan 42% pada PTE. Kecepatan dan ketepatan mengakhiri status epileptikus akan mengurangi kemungkinan terjadinya PTE.

Kerusakan pada jaringan setelah pembedahan dapat menyebabkan PTE. Pada pembedahan intrakranial berulang membuat risiko yang lebih tinggi pada PTE lanjut, hal ini mungkin karena pasien-pasien ini lebih memiliki faktor-faktor yang berhubungan dengan trauma otak yang berat, seperti hematom yang besar atau pembengkakan pada otak.

VI. PATOFISIOLOGI

Terdapat banyak teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penyebab serangan kronik setelah trauma kapitis. Diantaranya adalah pembentukan radikal bebas yang merusak parenkim otak, peningkatan pada aktifitas eksitasi setelah trauma, dan perubahan pada fungsi inhibisi dari otak. Berbagai bentuk penelitian pada hewan telah dikembangkan untuk menggali kemungkinan dari jenis trauma kapitis yang berbeda dari konkusio sampai trauma kapitis dengan luka tembus.

Karena darah pada parenkim otak dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi, meskipun mekanisme dari teori ini masih digali. Hemoglobin diteliti sebagai bahan yang terlibat dalam epileptogenesis. Begitu terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak, sel darah merah akan mengalami lisis dengan kemudian melepaskan hemoglobin yang akan dipecah menjadi hemin dan besi. Kedua bahan hasil pemecahan tersebut telah terbukti mempengaruhi fungsi fisiologis pada transmisi di sinaps yang dapat menyebabkan penbentukan serangan PTE. Darah yang berkumpul di otak setelah trauma dapat merusak jaringan otak dan berakibat timbulnya epilepsi. Produk hasil-hasil dari penguraian hemoglobin dari darah bersifat toksik terhadap jaringan otak. "The Iron Hypothesis" yang masih dipertahankan bahwa PTE akibat kerusakan oleh radikal bebas oksigen, dimana pembentukannya dikatalisis oleh besi dari darah. Percobaan pada hewan dengan menggunakan tikus menunjukkan bangkitan epileptik dapat dihasilkan dengan menyuntikkan besi ke dalam otak. Besi menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss. Radikal bebas merusak sel otak dengan melakukan peroksidase terhadap lapisan lipid di membran sel. Besi dari darah juga mengurangi aktifitas dari enzim yang disebut nitrit oxide synthase, sebagai faktor lainnya yang diduga berperan terhadap terjadinya PTE.

Seperti halnya bentuk epilepsi yang lain, bangkitan dapat umum atau parsial. Sesaat setelah trauma kapitis, bangkitan biasanya umum, sementara kejadian bangkitan parsial meningkat sejalan dengan berjalan waktunya setelah trauma. Onset dari PTE dapat terjadi dalam waktu singkat setelah cedera atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian setelah trauma kapitis. Untuk alasan yang masih belum diketahui, trauma kapitis dapat menyebabkan perubahan di otak yang menyebabkan timbulnya epilepsi. Ada beberapa mekanisme yang dikemukakan dengan cara bagaimana TBI dapat menyebabkan PTE, lebih dari satu mekanisme tersebut dapat terjadi pada satu pasien.

Kindling hipotesis menegaskan bahwa hubungan antar neuron-neuron yang baru dibentuk di otak dan menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Sinaps ditata kembali di hipocampus. Penataan kembali dari jaringan saraf-saraf tsb dapat membuatnya lebih mudah dirangsang. Bangkitan yang terjadi sesaat setelah TBI dapat menyusun kembali jaringan saraf yang hal ini selanjutnya akan menimbulkan serangan-serangan kembali yang terjadi secara berulang dan spontan. Neuron-neuron yang dalam keadaan hipereksitabilitas karena trauma dapat membentuk fokus epilepsi di otak yang akan menimbulkan bangkitan dikemudian hari. Sebagai tambahan, neuron-neuron inhibisi kemungkinan akan menghilang.

Eksitotoksistas merupakan kemungkinan faktor lain dalam penyebab PTE. TBI menyebabkan jumlah neurotransmitter glutamat dan aspartat banyak dilepaskan, yang mungkin dihubungan dengan timbulnya bangkitan. Sebagai tambahan, pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti GABA dapat berkurang. Overaktivasi dari reseptor biokimiawi dan respon terhadap neurotransmitter eksitasi seperti glutamat menyebabkan pembentukan radikal bebas dan hal ini menyebabkan eksitotoksisitas. Sel otak menjadi rusak karena eksitasi berlebihan dari reseptor untuk asam amino eksitatorik pada membran neuron. Kalsium diduga sebagai ion utama yang terlibat dalam eksitotoksisitas. Reseptor eksitatorik glutamat penting untuk masuknya ion kalsium kedalam sel yang dapat menimbulkan kematian sel, dan dapat menimbulkan efek permanen pada sel sebagai fokus epileptogenik yang kronik akan mengikuti eksitotoksisitas karena pelepasan neurotransmitter eksitasi yang berlebihan saat terjadi bangkitan. Glutamat menyebar luas di otak seperti halnya cairan ektrasel, neurotransmitter ini terlibat dalam banyak fungsi. Glutamat dalam jumlah besar memiliki efek eksitotoksik terhadap otak, pada saat yang bersamaan, glutamat juga berperan sebagai prekursor dari neurotransmitter inhibisi GABA (-aminobutirit acid), sehingga efeknya pada patogenesis epilepsi mungkin lebih rumit.

Teori lain menyatakan adanya perubahan pada otak setelah trauma kepala, menyebabkan hilangnya fungsi neurotrasmiter inhibisi GABA yang penting untuk mencegah aktifitas kejang. Teori lain menyatakan fungsi neurotrasmiter inhibisi bukan menghilang, akan tetapi hanya berkurang dengan akibat yang serupa. Aktivitas GABAergik merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada fungsi otak normal.

Bidang lainnya yang sedang diteliti adalah peran dari inhibisi dalam proses epileptogenesis dan bagimana trauma dapat mengganggu sistem tersebut dan menyebabkan aktifitas serangan muncul. Reaksi dari otak terhadap trauma kelihatannya bermacam-macam dan agak rumit, dengan menggunakan binatang uji coba terbentuknya epileptogenesis hanya akan dapat diterapkan sebagian saja pada manusia karena berbagai gangguan multipel meskipun kecil dapat muncul dari trauma otak. Paling sering, kombinasi dari berbagai faktor mendasari pembentukan aktifitas bangkitan. Satu penelitian yang menarik (meskipun sangat kontroversial) yang diterbitkan akhir-akhir ini menemukan bahwa pencegahan bangkitan dengan fenobarbital dapat menunda perbaikan fungsi setelah adanya trauma pada otak tikus (Montanez et al., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa adanya bangkitan itu sendiri mungkin merupakan suatu mekanisme perlindungan otak dari trauma dan merupakan mekanisme pemulihan. Dengan demikian, ada anggapan bahwa terapi pencegahan bangkitan yang diberikan saat segera setelah cedera kepala (atau profilaksis) dapat memberikan hasil yang lebih merugikan daripada menguntungkan.

VII. PENATALAKSANAAN

Pasien yang dengan trauma kapitis baik yang ringan atau berat harus dilakukan CT scan sesegera mungkin dan perlu diulang jika keadaan pasien tidak bertambah baik. Pencitraan juga harus diulang pada kasus trauma kapitis ringan yang disertai kejang atau hal-hal yang tidak terduga (misalnya perubahan akut gangguan perilaku/mental) selama masa penyembuhan pasien. EEG (elektroencephalogram) hanya memiliki peran yang terbatas dalam evaluasi pasien dengan PTE yang mengalami perubahan tingkah laku yang berulang, demikian juga EEG tidak berguna dalam memprediksi perkembangan PTE.

Pada pasien dengan trauma kapitis berat, terapi standar penggunaan fenitoin untuk profilaksis terhadap kejang dalam penatalaksanaan akut dari pasien. Jika serangan tidak terjadi, disarankan untuk menghentikan pengobatan setelah 1-2 minggu (Langendorf dan Pedley, 1997). Akan tetapi berdasarkan studi terbaru menunjukkan bahwa pencegahan awal terhadap kejang setelah trauma kapitis dapat mengakibatkan penyembuhan yang tertunda, hal ini perlu pengamatan yang sangat cermat untuk aplikasi klinis selanjutnya. Pengobatan awal dengan fenitoin belum terbukti mengurangi insidensi serangan lanjut, yang mengindikasikan bahwa obat ini tidak memiliki efek pada pembentukan PTE. Sehingga saat ini banyak diterapkan dalam praktek adalah menyediakan terapi awal selama beberapa minggu pada pasien dengan trauma kapitis sedang hingga trauma berat untuk mencegah kejang post trauma awal yang dapat sebagai komplikasi akut dari pasien tetapi tidak dapat digunakan untuk pencegahan jangka panjang.

Pada orang-orang dengan bangkitan tunggal tanpa diketahui penyebabnya, keputusan akan dimulai atau tidak pemberian obat anti epilepsi tergantung pada resiko dari seseorang tersebut untuk mengalami bangkitan selanjutnya. Sementara bangkitan awal pertama tidak berhubungan dengan bangkitan berulang selanjutnya. Bangkitan lanjut tunggal memiliki 65-90% kemungkinan berkembang menjadi bangkitan berulang. Karena risiko ini, pengobatan jangka panjang disarankan pada pasien yang mengalami bangkitan lanjut tunggal. Fenitoin merupakan obat pilihan dalam mengobati dan mencegah bangkitan awal dan lanjut sementara carbamazepine dan valproate juga terbukti berguna dalam pengobatan bangkitan lanjut.

Orang-orang dengan PTE dapat diberi obat antiepilepsi (OAE) untuk mencegah bangkitan lebih lanjut. Akan tetapi, meskipun OAE dapat mencegah bangkitan selama dikonsumsi, ternyata OAE tersebut tidak mengurangi terjadinya bangkitan setelah dihentikan. Pasien biasanya resisten terhadap terapi obat-obatan.Obat antiepilepsi dapat menghilangkan bangkitan pada kira-kira 35% orang dengan PTE, sisanya PTE yang tidak respon terhadap pengobatan dapat dilakukan terapi pembedahan untuk menghilangkan fokus epileptogenik di otak, meskipun hal ini lebih sulit dari pada menghilangkan fokus epilepsi karena sebab lainnya. Pembedahan sepertinya kurang berguna pada PTE daripada epilepsi bentuk lainnya karena fokus epiletogenik kurang terlokalisir. Namun, pada orang-orang dengan sklerosis mesial temporal, yang dapat dijumpai pada kira-kira sepertiga dari orang dengan PTE yang sulit diatasi dengan OAE, pembedahan sepertinya akan memiliki hasil yang baik.

Secara garis besar penatalaksanaan pasien dengan epilepsi post trauma yaitu: Bila terjadi kejang pada pasient setelah trauma kepala yang baru terjadi, perlu ditentukan adanya perdarahan intrakranial atau adanya perubahan gangguan metabolik lain yang dapat menimbulkan kejang (mis. hiponatremia).Pada pasien dengan kondiosi stabil dan tidak ditemukan gangguan metabolik lain (elektrolit serumnya dalam batas normal) dan status neurologis sama dengan sebelum kejang, pemeriksaan laboratorium lebih lanjut tidak dibutuhkan.Perlu diperhatikan apakah terjadi bangkitan epileptik pertama setelah trauma kepala atau kemungkinan bangkitan susulan selanjutnya.Lakukan MRI otak pada semua pasien dengan kejang post trauma.Jika MRI tidak tersedia, CT scan kepala dapat menggantikan. CT kurang sensitif dibanding MRI, tapi dapat digunakan untuk melihat adanya perdarahan intrakranial yang membutuhkan intervensi segera.EEG berguna terutama untuk menentukan lokasi fokus epilepsi dan untuk membantu menentukan prognosis.EEG tidak berguna dalam memprediksi kemungkinan bangkiatn post trauma, namun, dapat membantu dalam prediksi kemungkinan kambuh sebelum penghentian OAE.

VIII. PROGNOSIS

Prognosis dari PTE lebih buruk bila dibandingkan dengan jenis epilepsi lain yang tidak diketahui sebabnya. Dalam satu studi ditemukan bahwa seseorang yang mengalami trauma otak dengan PTE membutuhkan waktu pemulihan lebih lama, mengalami lebih banyak problem-problem kognitif, kendala motorik dan aktivitas harian dibangdingkan orang dengan trauma yang sama tanpa PTE. Temuan ini menegaskan bahwa PTE merupakan indikator dari trauma otak yang lebih berat, daripada sebagai komplikasi yang memperburuk keluaran. Penelitian lainnya menemukan bahwa PTE berhubungan dengan keluaran sosial dan fungsional yang lebih buruk tetapi tidak memperburuk rehabilitasi pasien atau kembalinya ke pekerjaan. Meskipun orang dengan PTE dapat kesulitan mendapat pekerjaan jika mereka mengakui memiliki kejang, terutama melibatkan pekerjaan pengoperasian mesin-mesin berat.

Kira-kira setengah dari kasus PTE mengalami remisi. Semakin lama seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi. Namun, kasus-kasus PTE yang onsetnya lama setelah trauma akan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami remisi. Pertanyaan yang muncul, berapa lama seseorang dengan PTE masih mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami kejang dibandingkan populasi umum lainnya masih kontroversial. Sebagian besar penderita PTE memiliki serangan pertama dalam 2 tahun setelah TBI, angkanya dapat mencapai 80-90% atau lebih. Orang-orang tanpa serangan dalam 3 tahun setelah trauma memiliki kemungkinan hanya 5% untuk mengalami epilepsi. Salah satu penelitian menemukan bahwa orang yang bertahan dari trauma kepala mengalami peningkatan resiko terjadinya PTE hingga 10 tahun setelah TBI sedang dan lebih dari 20 tahun setelah TBI berat.

DAFTAR PUSTAKA29OctCedera Kepala SRS

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISIMenurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

2.2. PATOFISIOLOGIFungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :1. Cedera PrimerKerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera SekunderKerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.

Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :

CPP = MAP - ICP

CPP : Cerebral Perfusion PressureMAP : Mean Arterial PressureICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3. Edema SitotoksikKerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran SelDipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. ApoptosisSinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat dihentikan.

2.3. PATOLOGIDari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak) dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).

2.3.1. KERUSAKAN FOKAL2.3.1.1. Kontusio kortikal dan laserasiKontusio kortikal dan laserasi bisa terjadi di bawah atau berlawanan (counter-coup) pada sisi yang terkena, tapi kebanyakan melibatkan lobus frontal dan temporal. Kontusio biasanya terjadi multiple dan bilateral. Kontusio multiple tidak depresi pada tingkat kesadaran, tapi hal ini dapat terjadi ketika perdarahan akibat kontusio memproduksi ruang yang menyebabkan hematoma.

2.3.1.2. Hematoma intracranialPerdarahan intracranial dapat terjadi baik di luar (ekstradural) maupun di dalam dura (intradural). Lesi intradural biasanya terdiri dari campuran dari hematoma subdural dan intraserebral, walaupun subdural murni juga terjadi. Kerusakan otak bisa disebabkan direk atau indirek akibat herniasi tentorial atau tonsilar.

2.3.1.3. Intraserebral (Burst lobe)Kontusio di lobus frontal dan temporal sering mengarah pada perdarahan di dalam substansia otak, biasanya dihubungkan dengan hematoma subdural yang hebat.Burst Lobe adalah definisi yang biasanya digunakan untuk menerangkan penampakan dari hematoma intraserebral bercampur dengan jaringan otak yang nekrotik, ruptur keluar ke ruang subdural.

2.3.1.4. SubduralPada beberapa pasien, dampaknya bisa mengakibatkan ruptur hubungan vena-vena dari permukaan kortikal dengan sinus venosus, memproduksi hematoma subdural murni dengan tidak adanya bukti mendasar adanya kontusio kortikal atau laserasi.

2.3.1.5. EkstraduralFraktur cranii merobek pembuluh darah meningeal tengah, mengalir ke dalam ruang ekstradural. Hal ini biasanya terjadi pada regio temporal atau temporoparietal. Kadang-kadang hematoma ekstradural terjadi akibat kerusakan sinus sagital atau transvesal.

2.3.1.6. Herniasi tentorial/tonsillar (sinonim: cone)Tidak seperti tekanan intrakranial tinggi yang secara direk merusak jaringan neuronal, tapi kerusakan otak terjadi sebagai akibat herniasi tentorial atau tonsillar.Peningkatan tekanan intrakranial yang progresif karena hematoma supratentorial, menyebabkan pergeseran garis tengah (mid line). Herniasi dari lobus temporal medial sampai hiatus tentorial juga terjadi (herniasi tentorial lateral), menyebabkan kompresi dan kerusakan otak tengah..Herniasi tentorial lateral yang tidak terkontrol atau pembengkakan hemispheric bilateral difus akan mengakibatkan herniasi tentrorial central.Herniasi dari tonsil serebellar melalui foramen magnum (herniasi tonsillar) dan berikut kompresi batang otak bawah bisa diikuti herniasi tentorial central atau yang jarang terjadi, yaitu traumatik posterior dari fossa hematoma.

2.3.2. KERUSAKAN DIFUS2.3.2.1. Diffused Axonal Injury (DAI)Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam, kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan influs Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui 4, dapat memainkan peranan dalam hal ini.dengan adanya gen APOE Tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian.DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses biomekanis, DAI terjadi karena adanya proses deselerasi yang menyebabkan syringe trauma (tergunting) karena adanya gaya yang simpang siur.2.3.2.2. Iskemia serebralIskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya autoregulasi, terbukti adanya vasodilatasi serebral.Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis. Kelebihan glutamat dan akumulasi radikal bebas juga bisa mengkontribusikan kerusakan neuronal. Penyebab lain iskemia serebral adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion basalis dan batang otak. (4,5,6)

2.4. GAMBARAN KLINISAssesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor terbaik.

Glasgow Coma Scale (Dewasa)Respon Mata Terbaik (4) 4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terorientasi baik4. Bingung / disorientasi3. Kata-kata tidak tepat2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami1. Tidak ada respon verbal

Respon Motorik Terbaik (6)6. Mematuhi perintah5. Melokalisasi rasa nyeri4. Menghindari nyeri3. Fleksi terhadap nyeri2. Ekstensi terhadap nyeri1. Tidak ada respon motorik

Glasgow Coma Scale (Pediatric)Respon Mata Terbaik (4)4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan3. Menangis tidak tepat2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih1. Tidak ada respon vokal

Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. Grimace adalah alternatif dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi.

Grimace Response (5)5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh stimuli3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri2. Menyeringai ringan pada nyeri1. Tidak ada respon pada nyeri

Respon Motor Terbaik (6)6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh4. Menghindari rangsang nyeri3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate)2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate)1. Tidak ada respon pada nyeri

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik (7).

2.5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALACedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramter.* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Keparahan cedera.* Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15* Sedang : GCS 9-13* Berat : GCS 3-8

c. MorfologiFraktur tengkorak kraniium linear/stelatum; depresi/non depresi;terbuka/tertutupbasis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhannervus VIILesi intracranial fokal epidural, subdural, intraserebral.difus konkusi ringan, konkusi klasik, cederaaksonal difus (2).

2.6. DIAGNOSIS2.6.1. AnamnesisDiagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.Anamnesis lebih rinci tentang:a. Sifat kecelakaan.b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)

2.6.2. Indikasi Rawat Inap :1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.2. Fraktur tulang tengkorak.3. Terdapat defisit neurologik.4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.5. Adanya faktor sosial seperti :a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur.2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.5. Kejang, pingsan.6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5).

2.7. PEMERIKSAAN2.7.1. Pemeriksaan FisikHal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien.Status fungsi vitalYang dinilai dalam status fungsi vital adalah: Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury). Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran. Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

Status kesadaran pasienCara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik.

Status neurologisPemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis..Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin

2.7.2. Pemeriksaan PenunjangFoto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

2.8. PENANGGULANGAN PERAWATANSetelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut.1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktu