komisaris independen
TRANSCRIPT
KOMISARIS INDEPENDEN
Dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan Dewan Komisaris, keberadaan
Komisaris Independen adalah sangat diperlukan. Secara langsung keberadaan Komisaris
Independen menjadi penting, karna di dalam praktek sering ditemukan transaksi yang
mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik
( pemegang saham minorotas) serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia
yang menggunakan dana masyarakat di dalam pembiayaan usahanya.
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
Direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari
hubungan bisnis atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan.
Disadari bahwa menurut UUPT semua komisaris pada hakekatnya harus bersikap
independen dan diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara independen, semata-mata
untuk kepentingan perusahaan, terlepas dari pengaruh berbagai pihak yang memiliki kepentingan
yang dapat berbenturan dengan kepentingan pihak lain. Dengan demikian tanpa harus
mempertentangkan, pengertian Komisaris Independen di dalam UUPT sama dengan anggota
Dewan Komisaris.
Pertimbangan Independen adalah cara pandang atau penyelesaian masalah dengan
mengesampingkan kepentingan pribadi dan menghindari benturan kepentingan.
Profesional adalah penguasaan tugas atau pekerjaan yang didasarkan kepada keahlian dan
keterampilan yang teruji serta dukungan dedikasi dan etika profesi.
Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak
langsung terhadap kesinambungan perusahaan, termasuk didalamnya pemegang saham,
karyawan, pemerintah, pelanggan, pemasok kreditor, dan masyarakat.
Benturan Kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan
dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris atau pemegang saham utama
perusahaan.
Good Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam
jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
1. Afiliasi adalah :
a. Hubungan keluarha karena perkawinan dan keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertical;
b. Hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur , atau komisaris dari pihak tersebut;
c. Hubungan anatara 2 perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau
dewan komisaris yang sama;
d. Hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung,
mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut.
e. Hubungan anatara 2 perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama ; atau
f. Hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
2. Jabatan Eksekutif adalah jabatan yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
untuk kepentingan dan atas beban perusahaan.
3. Pemegang Saham Pengendalian adalah pemegang saham yang memiliki 20% atau lebih
saham perusahaan yang ditempatkan, atau pemegang saham yang memiliki kemampuan
untuk menentukan baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun
pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan merkipun jumlah saham yang dimiliki
kurang dari 20%
4. Pertimbangan Independen adalah cara pandang atau penyelesaian masalah dengan
mengesampingkan kepentingan pribadi dan menghindari benturan kepentingan.
5. Profesional adalah penguasaan tugas atau pekerjaan yang didasarkan kepada keahlian dan
keterampilan yang teruji serta didukung oleh dedikasi dan etika profesi.
6. Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepntingan secara langsung di dalam
pemegang saham, karyawan, pemerintah, pelanggan, pemasok, kreditor dan masyarakat.
Misi Komisaris Independen adalah mendorong terciptanya iklim yang lebih objektif dan menempatkan kesetaraan(fairness) di antara berbagai kepentingan perusahaan dan kepentingan stakeholder sebagai prinsip utama dalam pengambilan keputusan oleh Dewan Komisaris.
Komisaris independen harus mendorong diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance) pada perusahaan di Indonesia.
Tanggung Jawab Komisaris Independen
Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik(Good Corporate Governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan Dewan Komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik maka Komisaris Independen harus secara pro aktif mengupayakan agar Dewan Komisais melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada Direksi yang terkait, namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektivitas strategi tersebut.
b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajer-manajer profesional.c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem
audit yang bekerja dengan baik.d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupn
nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya.e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik.f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi dna
diterapkan dengan baik.
Tugas Komisaris Independen yang dimaksud pada butir F di atas antara lain berupa:
a. Menjamin transparasi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan.b. Pelakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang lain.c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara wajar dan
adil.d. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlakue. Menjamin akuntabilitas organ perseroan.
Wewenang Komisaris Independen
1. Komisaris independen mengetuai komite audit dan kimite nominasi.2. Komisaris independen berdasarkan pertimbangan yang rasional dan kehati-hatian berhak
menyampaikan pendapat yang berbeda dengan anggota dewan komisaris lainnya yang wajib dicatat dalam Berita Acara Rapat Dewan Komisaris dan pendapat yang berbeda yang bersifat material, wajib dimasukkan dalam laporan tahunan.
Posisi Komisaris Independen Dihadapkan dengan Posisi Board Of Director (BOD)
Secara teori dan praktik fungsi organ perseroan board of director/dewan direktur (BOD)
melakukan perbuatan kepengurusan, sedang fungsi dewan komisaris (Dekom) melakukan fungsi
kepengawasan, mereka harus melakukan kemampuan terbaiknya untuk kepentingan perseroan.
Emmy Yuhassarie (2000) mempertanyakan seberapa besar pengaruh komisaris independen pada
dewan komisaris dalam komposisi 30% lawan 70%. Meskipun ada yang berpendapat bahwa
sepanjang komisaris independen dapat melakukan dissenting, maka tidak ada masalah. Namun
tujuan menghadirkan komisaris independen bukan sekedar dissenting, tetapi mampu
menyeimbangkan pengambilan keputusan dewan komisaris. Oleh sebab itu, harus ada tolak ukur
penilaian kinerja board of director/dewan direktur. Atau performa perusahaan membaik, maka
kepada siapa the credit goes?
Dalam konstruksi hukum perseroan terbatas, maka kinerja perseroan adalah performa board
of director/dewan direktur. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa BOD menjalankan fungsi
kepengurusan. Oleh sebab itu, dapat dipertimbangkan untuk membuat tolok ukur atau kondisi
untuk dapat menilai performa dari Dekom.
Board of Director adalah pilihan pemegang saham yang mewakili kepentingan mereka. Oleh
karena itu, dewan ini tidak independen, tetapi dalam setiap masalah berpihak kepada pemegang
saham.
Konsep ini berdasarkan pemikiran bahwa perseroan didirikan oleh pemilik sebagai pemegang
saham terutama untuk kepentingannya. Perbedaan kepentingan juga dapat terjadi di antara
pemegang saham. Tidak jarang Perusahaan yang terdaftar di Bursa efek, terdapat berbagai
kelompok pemegang saham yang mempunyai kepentingan yang berlainan, terutama bagi
perusahaan yang mempunyai pemegang saham mayoritas dan minoritas, kepentingan tidak selalu
searah. Keadaan ini termasuk di Indonesia, semua perusahaan yang diperdagangkan di Bursa
efek selalu dikuasai pemegang saham mayoritas.
Kedudukan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar tidak dapat
dipersatukan dan sering tidak terwakili dalam pengambilan keputusan, menyebabkan
kewenangan dan kedudukannya tidak terwakili dalam pengambilan keputusan.
Bentuk dan Kualitas Pengawasan
Efektifitas dari komisaris independen sangat tergantung bagaimana desain dan kualitas
pengawasan harus diterapkan secara terus menerus, perilaku dan tanggung jawab hukum
terhadap komisaris, kedudukan komisaris independen didesain dan dituangkan kedalam anggaran
dasar perseroan. Keterkaitan antara aspek pengawasan dan tanggung jawab yuridis di dalam
setiap langkah usaha yang dilakukan manajemen akan sangat mempengaruhi kemandirian dan
keputusan yang dibuat oleh komisaris independen.
Kemampuan dan pemahaman komisaris indenpen terhadap bidang usaha emiten akan sangat
mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sesuai dengan tanggung jawab emiten
terhadap pemegang sahamnya. Komisaris independen tidak boleh secara gegabah memberikan
persetujuannya terhadap transaksi atau kegiatan emiten, yang secara material mengandung
informasi yang tidak benar atau menyesatkan (Pasal 80 ayat 1 UUPasar Modal No.8/1995)
Menurut Indra Safitri, seluruh keputusan yang dibuat oleh komisaris independen, tidak
terpisahkan dari berjalannya mekanisme internal kontrol di tubuh emiten termasuk adanya
komite audit. Komite audit memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasa untuk
disampaikan ke dewan komisaris. Anggota Komite audit disesuaikan dengan kompleksitas
perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Bagi
perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah,
perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat, perusahaan yang produk
dan jasanya dipergunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas
terhadap kelestarian lingkungan.
Komite audit diketuai oleh komisaris independen, dan anggotanya terdiri dari komisaris dan
atau pelaku profesi dari luar perusahaan. Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan
kemampuan akuntansi dan keuangan.
Ada rasa was was bila kita mencoba untuk melihat realita etika, kepatuhan hukum dan
praktik bisnis di Indonesia saat ini, menyangkut peran dari komisaris independen yang
ditempatkan di jajaran pengurus emiten.
Soal sejauh mana kesungguhan dan kesanggupan komisaris independen untuk dapat benar
benar independen dan mampu menolak pengaruh, intervensi atau tekanan dari manajemen atau
pemegang saham mayoritas yang memiliki kepentingan atas transaksi atau keputusan tertentu.
Sebab rata rata struktur kepemilikan saham emiten, masih terkait kontrol mayoritas pemegang
saham di dalam menjalankan perusahaannya, maka ketangguhan komisaris independen untuk
tidak menyerah dan terhindar dari unsur benturan kepentingan merupakan ujian berat. Jaman
Orde Baru banyak anak, saudara, cucu bahkan saudara jauh pejabat, petinggi atau mantan
jenderal yang duduk sebagai komisaris hanya sekedar bertujuan untu membuka akses hubungan
kousi antara pengusaha dan pemerintah. Sehingga pada waktu itu ada yang namanya komisaris
aktif dan tidak aktif.
1. Insentifitas pengawasan yang terus menerus mensyaratkan aktifitas dan perhatian setiap
individu yang terpilih sebagai komisaris independen, di dalam mengawasi kegiatan
perseroan tidak dapat terpecah dengan adanya pekerjaan atau kesibukan lainnya. Untuk
itu emiten yang memilki komisaris independen hendaknya mereka yang
berkemampuan , berpengetahuan serta mempunyai waktu dan intergritas yang tinggi di
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang ada.
2. Kualitas pengawasan juga ditentukan oleh bagaiman desain pengambilan keputusan
bersama jajaran komisaris lainnya dan terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh bursa
efek. PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) di dalam peraturan pencatatan Efek No.1- A: tentang
Ketentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di Bursa, dalam angka 1-a
menyebutkan tentang ratio komisaris independen yaitu: komisaris independen yang
jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen
sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris.
Menurut pendapat saya, apabila ingin mendapatkan akibat yang berarti terhadap kinerja
Dewan Komisaris, maka keanggotaan komisaris independen harus lebih dari jumlah sehingga
dapat outvoted dalam pengambilan keputusan. Alternatif lainnya adalah posisi yang lebih
menentukan atau memberikan pengaruh diberikan untuk posisi presiden komisaris. Dewan
komisaris dan dewan direksi bekerja untuk kepentingan perusahaan, baru kemudian pemegang
saham, bahkan dalam likuidasi pemegang saham memperoleh bagian terakhir (Pasal 149/2
UUPT). Persoalannya ialah pemegang saham juga investor, dan undang undang melindungi
kepentingan investor, mengapa setelah investor menjadi pemegang saham harus ditandingi
dengan komisaris independen, yang bekerja untuk kepentingan perseroan.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terdapat kekuasaan untuk menyetujui suatu
rencana kerja perseroan, tetapi apabila menurut dewan direksi dan businnes judgement dari
dewan direksi, rencana tersebut wajib diubah, maka dewan direksi wajib menjalankan rencana
tersebut yang menurut pertimbangannya paling baik untuk dijalankan guna kepentingan
perseroan. Dengan demikian manakala kepentingan perseroan tidak sejalan dengan putusan
RUPS, maka dewan direksi harus lebih mengutamakan kepentingan perseroan, sebab pada
akhirnya dewan direksi tidak dapat bersembunyi dibalik RUPS, atau komisaris, apabila
keputusan tersebut salah. Dengan kata lain, pemberian persetujuan RUPS, maupun komisaris
tidak dapat membebaskan direksi dari tanggung jawab atas kepengurusannya.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan RUPS dan komisaris bukanlah tindakan kepengurusan,
karena instruksi tersebut tidak wajib dilaksanakan oleh direksi. Dengan demikian direksi tetap
independen, terutama untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dilakukan atau tidak
dilakukan.
Hubungan Komite Audit dengan Komisaris Independen
Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia 2006, komite audit
bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa (1) laporan keuangan disajikan
secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (2) struktur pengendalian
internal perusahaan dilaksanakan dengan baik (3) pelaksanaan audit internal maupun eksternal
dilaksanakan sesuai standar audit yang berlaku dan (4) tindak lanjut temuan hasil audit
dillaksanakan oleh manajemen
Tugas Dan Tanggung Jawab Komite Audit
Tugas dan pembentukan Komite audit adlah untuk memberdayakan fungsi komisaris dalam
melakukan pengawasan. Komite Audit yang efektif akan membantu terciptanya keterbukaan, dan
pelaporan keuangan yang berkualitas, ketaatan terhadap peraturan yang berlaku dan pengawasan
internal yang memadai (Antonius Alijoyo, Subarto Zaini: 004), dengan kata lain, komite audit
memungkinkan Komisaris melakukan pengawasan yang efektif dalam tiga bidang berikut:
laporan keuangan; hasil usaha perusahaan; Rencana jangka panjang.
KASUS 1
FORUM DISKUSI 12
MEMBEDAH KASUS LIPPO : PELAJARAN BAGI KOMISARIS INDEPENDEN
Hotel Le Meridien, 22 April 2003
Pembicara :
1. Mas Achmad Daniri – Sekjen Komnas GCG
2. Suryantoro Budisusilo – Ketua Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI)
3. Mirza Adityaswara – Pengamat Perbankan dan Pasar Modal
4. Lin Che Wei – Pengamat Investasi dan Pasar Modal
5. Mariam Darus – Remy and Darus Law Offices
6. Ahmadi Hadibroto – Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI
Kasus Bank Lippo yang terjadi baru-baru ini cukup menghentak dunia bisnis di Indonesia.
Kalangan bisnis, pengamat, investor serta otoritas keuangan langsung memberikan reaksi yang
berbeda-beda tentang kasus Bank Lippo. Berbagai komentar keras datang dari kubu pengamat.
Sorotan utama jelas kepada top management (Dewan Direksi dan Komisaris) yang dianggap
sebagai pelaku dan tersangka utama kasus tersebut. Hal ini wajar karena persetujuan laporan
keuangan berasal dari kedua organ tersebut.
Dampak dari kasus ini tidak bisa dianggap kecil. Dampak yang paling besar tentunya adalah
terhadap kepercayaan investor. Setelah dalam beberapa tahun terakhir membangun kembali
kepercayaan investor, dengan adanya kasus yang bisa dikategorikan sebagai penipuan publik ini,
kepercayaan investor terhadap perusahaan di Indonesia akan semakin terpuruk. Untuk itulah
Paguyuban Komisaris Independen Indonesia memandang perlu untuk menyelenggarakan Forum
Diskusi ke 12 dengan tema “Membedah Kasus Lippo: Pelajaran bagi Komisaris Independen”.
Dalam paparannya, Lin Che Wei menekankan beberapa hal yang telah terjadi di Bank Lippo
yang menurutnya sangat kontradiktif. Ia mengambil contoh penunjukan komisaris independen.
Menurut Keputusan Direksi BEJ, komisaris independen adalah komisaris yang tidak memiliki
hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali. Dalam
praktek yang dilakukan di Bank Lippo, seseorang yang jelas-jelas merupakan pemegang saham
pengendali ditunjuk sebagai komisaris independen. Jelas terjadi ketidaksinkronan antara
komisaris independen menurut aturan dengan yang diimplementasikan oleh manajemen Bank
Lippo.
Penggantian Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Bank Lippo juga mencerminkan
ketidakadilan terhadap pemegang saham minoritas. Dari 9 komisaris yang ada, 5 berasal dari
pemerintah, sedangkan grup Lippo mencalonkan 4 komisaris. Dari komposisi ini jelas tercermin
tidak adanya perwakilan dari pemegang saham minoritas.
Mengenai ketidaktahuan Dewan Komisaris mengenai ketidakakuratan dalam laporan keuangan
(baik laporan tahunan, semester atau triwulan), Lin Che Wei menekankan bahwa tidak ada
alasan untuk itu. Hal ini dikarenakan seluruh laporan keuangan tanpa kecuali berada dibawah
pengawasan dewan komisaris. Tegasnya, ia menyatakan bahwa kasus Lippo merupakan
kulminasi dari kecacatan Anggaran Dasar perseroan serta kegagalan dari fungsi-fungsi
pengawasan yang seharusnya dijalankan secara optimal.
Mas Achmad Daniri memulai paparannya dengan menjelaskan bahwa cakupan pembahasannya
adalah mengenai proses pengambilan keputusan dalam masalah AYDA (Aset Yang Diambil
Alih). Karena menurutnya perbedaan penilaian AYDA yang menyebabkan perbedaan laporan
keuangan yang dipublikasikan. Kerangka pembahasannya adalah kerangka good corporate
governance dengan dasar pembahasan diambil dari informasi publik. Yang perlu digarisbawahi
menurutnya adalah bahwa meskipun AYDA merupakan aset yang harus segera dijual, namun
keputusan yang diambil harus melalui proses yang diformulasikan dari strategi yang jitu agar
nilai jualnya baik.
MIrza Adityaswara memaparkan mengenai permasalahan perbankan di Indonesia secara umum,
tidak secara spesifik membahas kasus Lippo. Ia menyoroti peranan bank yang sangat krusial
yaitu sebagai agen pembangunan. Mengingat peran tersebut maka bank harus memiliki investor
yang baik (kredibilitas yang tidak diragukan serta memiliki integritas yang tinggi). Hal ini
disebabkan karena industri perbankan merupakan industri yang kompleks, penuh dengan
peraturan-peraturan serta sangat bergantung pada kepercayaan para nasabah, dan ini semua
menyebabkan bank bertanggung jawab kepada masyarakat (public responsibility).
Senada dengan Lin Che Wei, ia menggarisbawahi bahwa penunjukan Dewan Komisaris di Bank
Lippo tidak memenuhi persyaratan, terutama tidak mewakili pemegang saham minoritas. Ia juga
menyoroti ketidakpekaan manajemen Bak Lippo terhadap public pressure yang sangat tinggi
namun tidak mendapat respon yang memadai dari pihak manajemen. Sebagai analis, ia
mensinyalir adanya tekanan oleh IMF terhadap pemerintah dalam kasus Bank Lippo. Mengenai
AYDA, Mirza menduga pada kasus Lippo AYDA kemungkinan besar digunakan sebagai salah
satu strategi buy back oleh grup Lippo.
Suryantoro Budisusilo yang mewakili profesi penilai (appraiser) menjelaskan bahwa saat ini
pemeriksaan penilai (appraiser) dalam kasus Lippo sudah selesai dilakukan oleh DJLK
Departemen Keuangan dan anggota MAPPI yang melakukan penilaian telah dijatuhi sanksi.
Pada dasarnya, sumber permasalahan yang ada berawal dari tidak diinformasikannya secara jelas
mengenai tujuan dari kegiatan penilaian (appraisal) oleh pihak manajemen kepada penilai. Baik
penilaian itu ditujukan dalam rangka penyusunan laporan keuangan atau untuk internal
manajemen (misalnya untuk kepentingan penyusunanbusiness plan). Sebagai aset non-
operasional dari sebuah bank, nilai AYDA haruslah berdasarkan nilai pasar.
Dalam kaitannya dengan kasus Lippo, Suryantoro menggarisbawahi 2 (dua) hal yang
menurutnya menarik untuk diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa dalam kontrak kerja
penilai tidak disebutkan penilaian (appraisal) dilakukan untuk laporan keuangan, tetapi
disebutkan untuk kepentingan internal manajemen (tidak dijelaskan secara spesifik) dan oleh
penilai sudah diminta untuk tidak dipublikasikan. Hal yang terjadi kemudian malah sebaliknya,
hasil penilaian digunakan untuk laporan keuangan dan dipublikasikan.
Hal yang kedua adalah mengenai nilai AYDA yang tercantum dalam laporan keuangan. Pada
laporan keuangan tertera angka Rp. 1,4 triliun, sedangkan angka yang berasal dari penilai adalah
sebesar Rp. 1,2 triliun. Hal yang lazim dipraktekkan menurut Suryantoro adalah seharusnya nilai
yang tercantum dalam laporan keuangan lebih kecil dari angka yang disajikan oleh penilai,
bukan malah sebaliknya.
Ahmadi Hadibroto sebagai perwakilan dari auditor eksternal, membatasi pemaparannya hanya
kepada laporan keuangan dan hal-hal yang berkaitan dengan laporan keuangan. Sehingga 2 (dua)
hal yang menjadi fokus pembahasannya adalah mengenai audit atas laporan kwartalan dan
masalah AYDA. Berkaitan dengan fokus pembahasan yang pertama, ia mempertanyakan perihal
audit atas laporan kwartalan. Menurutnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan tindakan audit
atas laporan kwartalan, baik itu dari BEJ maupun BAPEPAM.
Menurutnya AYDA bukanlah aset yang dapat digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan.
Sesuai dengan PSAK No. 31, AYDA harus dijual sesegera mungkin dan dinilai dari nilai jual
saat ini (netto). Fakta pada kasus Lippo adalah bahwa nilai AYDA masuk ke dalam laporan
keuangan bukan atas permintaan manajemen, namun akibat dari paksaan auditor eksternal. Hal
ini menurutnya wajar mengingat paksaan tersebut sesuai dengan standar praktek audit yang ada.
Senada dengan Suryantoro, Ahmadi menyarankan agar di masa yang akan datang hendaknya
manajemen diwajibkan untuk menyatakan secara spesifik dan konkrit tujuan dari penilaian
kepada penilai (appraiser), jangan hanya bersifat himbauan. Hal ini dipandang penting
mengingat begitu signifikannya pengaruh tujuan penilaian terhadap hasil penilaian nantinya.
Mengenai adanya laporan keuangan versi audited dan unaudited, menurutnya hal ini dipicu oleh
adanya kepanikan dari pihak manajemen dimana pada saat laporan tahunan perseroan harus
dipublikasikan, laporan keuangan yang dibuat oleh auditor belum disahkan secara formal. Ia
menegaskan bahwa isi laporan keuangan versi audited maupun unaudited seharusnya sama,
karena versi unaudited hanya tinggal menunggu disahkan saja.
Mariam Darus menyatakan bahwa kasus Lippo merupakan pelajaran penting untuk menguji
UUPT. Ia menggarisbawahi kewajiban komisaris dalam Perseroan Terbatas. Dalam KUHD,
komisaris merupakan kuasa dari RUPS, sehingga komisaris selalu mengacu kepada kepentingan
pemegang saham. Yang menarik adalah bahwa dalam UUPT komisaris mengemban amanat dari
Anggaran Dasar perseroan, sehingga dalam menjalankan fungsinya komisaris mengacu kepada
kepentingan perseroan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembicara serta masukan dari peserta forum adalah
bahwa kasus Bank Lippo menunjukkan kurangnya optimalisasi pengawasan yang dilakukan oleh
Dewan Komisaris, merujuk kepada pernyataan salah seorang komisaris yang mengakui bahwa ia
tidak melakukan pengawasan secara efektif akibat kesibukannya yang luar biasa pada jabatannya
yang lain.
Nuansa ketidak adilan terhadap pemegang saham minoritas sangat kental dalam kasus Bank
Lippo. Tidak adanya satupun perwakilan pemegang saham minoritas yang duduk pada kursi
direksi maupun komisaris perseroan merefleksikan bahwa prinsip kewajaran/kesetaraan
(fairness) sebagai salah satu prinsip good corporate governance belum diimplementasikan oleh
Bank Lippo.
Mengenai perangkat hukum, forum memandang perlunya diadakan pembaruan dan perbaikan
perundang-undangan secara menyeluruh, tidak parsial seperti yang dilakukan sampai dengan saat
ini. Akibat yang dirasakan dari perbaikan yang bersifat parsial adalah tidak adanya integrasi dari
perangkat hukum yang ada. Sebagai langkah konkrit kontribusi ISICOM terhadap masalah ini,
Mariam Darus menyarankan agar ISICOM sebagai tahap awal membuat proposal kepada
Departemen Kehakiman dan HAM RI untuk menjelaskan identitas lembaganya dan kemudian
berlanjut kepada penjelasan mengenai kepedulian ISICOM akan perundang-undangan di
Indonesia, khususnya yang berkaitan langsung dengan dunia usaha.
KASUS 2
Kasus Bank Century
Kasus Bank Century saat ini belum mencampai titik terang hal ini menjadi gempar bersamaan
dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pertama kali,
tahun 2008. Hingga di penghujung tahun 2011, kasus ini terus menjadi isu panas dalam
penegakan hukum yang dilakukan.
Lembaga hukum adhoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) para pimpinannya sudah
berganti. Pimpinan yang baru dibawah komando Abraham Samad, DPR menaruh harapan besar
agar kasus ini tuntas, memproses hukum mereka yang dinyatakan bersalah dalam skandal
menghebohkan selama pemerintahan SBY-Boediono mulai berdiri.
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank
Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang terjadi.
Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang wapres–dianggap tidak tegas
pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam menangani Bank Century,
tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008,
belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank
Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century
dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut
BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak
sehat.
Atas dasar laporan investigasi awal BPK inilah tak lama begitu DPR periode yang baru terbentuk
periode 2009-2014, bergulir Hak Angket Skandal Bailout Bank Century Rp 6,7 triliun. Hiruk-
pikuk kemudian terjadi. Saat itu, seluruh fraksi, termasuk fraksi Demokrat mendukung penuh
Hak Angket Century. Pansus Angket Century itu sendiri, terbentuk setelah disetujui Paripurna
DPR, pada 4 September 2009.
Satu persatu mereka yang dianggap relevan, baik keterangan para ahli, sampai mereka yang
dituding terlibat dalam skandal bailout ini, dipanggil DPR. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
di depan Pansus Angket Century, kemudian secara tegas mengatakan, bahwa pemberian suntikan
dana ke Bank Century, adalah sebuah perampokan. Jusuf Kalla tegas mengatakan, Bank Century
tidak berdampak sistemik terhadap bank-bank lain, jika ditutup.
Setahun kemudian, pada 3 Maret 2010, 6 fraksi (Golkar, PDI-P, Gerindra, Hanura, PKS, dan
PPP) mendukung Opsi C yang setuju adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam
mem-bailout Bank Century. Terjadi penyalahgunaan wewenang baik tindak pidana perbankan,
tindak pidana umum, pencucian uang, sampai tindak pidana korupsi.
Jelang penghujung tahun, KPK sudah memeriksa sekitar 70 an saksi terkait kasus Bank Century
ini. Mantan Menkeu Sri Mulyani, sampai Wakil Presiden Boediono, juga sudah diperiksa oleh
KPK. Alhasil, Tim pengawas Kasus Century DPR yang terbentuk pasca keputusan kemenangan
Opsi C, kecewa.
BPK, kemudian diminta untuk melakukan audit forensik untuk mendalami atas hasil audit
investigasi yang dilakukan sebelumnya. Hasilnya, sudah diserahkan secara resmi oleh BPK
kepada pimpinan DPR, pada 23 Desember lalu.
Fraksi-fraksi pendukung Opsi C tetap kecewa berat. Bahkan, memunculkan usulan agar audit
forensik dilakukan oleh auditor independen. Muncul juga gagasan lain yang membuat kubu
pemerintah sedikit was-was. Kasus Bank Century ini, lebih tepat diselesaikan secara politik
melalui Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR.
Jelang pergantian tahun, kasus ini masih terus ‘panas’ menjadi pergunjingan para politisi di DPR
mengiringi penantian aksi para pimpinan KPK yang baru, menuntaskan kasus skandal ini.
Fraksi-fraksi yang mendukung opsi C, samar-samar menyatakan dukungan bila HMP dilakukan.
Kubu menolak opsi C, tentu bersikap sebaliknya.
“Tahun berganti, kasus hukum ini akan tetap menjadi ‘bola liar’, dan diyakini akan tetap heboh
sampai kasus ini benar-benar tuntas. Tuntas diselesaikan secara hukum, mereka yang terlibat,”
kata politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, anggota timwas Century yang juga penggagas
hak angket skandal perbankan ini.
KASUS 3
Komisaris Independen PT Bhakti Investama Diperiksa KPK
Wed, 20/06/2012 - 11:58 WIB
JAKARTA, RIMANEWS - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memeriksa petinggi PT
Bhakti Investama terkait kasus dugaan suap terkait pengurusan restitusi pajak. Hari ini, KPK
memeriksa independen Bhakti Investama, Antonius Z Tonbeng.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi bagi TH," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan
Informasi KPK, Priharsa Nugraha, Rabu (20/6).
Antonius tiba di kantor KPK sekitar pukul 09.50 WIB mengenakan jas warna biru. Dia tidak
banyak berkomentar soal pemanggilannya kali ini.
Sebelumnya, KPK telah memanggil Direktur Utama PT Bhakti Investama Harry Tanoesudibjo
serta dua Direktur PT Bhakti Investama Darma Putra dan Wandhy Wira Riady.Saksi lainnya
yakni dua orang staf bagian keuangan di PT Bhakti Investama bernama Maya dan Lany.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Sidoarjo Selatan Jawa Timur Tommy Hendratno sebagai tersangka. KPK
juga menetapkan pengusaha James Ginarjo sebagai tersangka. James disebut-sebut sebagai
perwakilan perusahaan investasi, PT Bhakti Investama.
Rabu pekan lalu sekitar pukul 14.00 WIB tim KPK menangkap tiga orang di Rumah Makan
Sederhana di Jalan Abdullah Safii, Tebet, Jakarta Selatan. Di tempat penangkapan, tim KPK
menemukan amplop coklat berisi uang sekitar Rp280 juta.
Saat ini KPK sedang mendalami maksud pemberian uang yang diduga terkait pengurusan pajak
tersebut. Dugaan sementara, uang yang diberikan James kepada Tommy diduga untuk
memuluskan pemeriksaan lebih bayar pajak senilai Rp 3,4 miliar milik wajib pajak.
Sebelumnya, KPK mengajukan permintaan kepada Ditjen Imigrasi terkait pencegahan keluar
negeri atas nama Antonius Z Tonbeng pada 8 Juni 2012. KPK beralasan, pencegahan itu dalam
rangka jika yang bersangkutan dimintai keterangan tidak sedang keluar negeri.
Selain itu, KPK juga mengajukan pencegahan keluar negeri kepada Hendy Anuranto. Hendy
yang merupakan ayah Tommy Hindratno, tersangka dalam kasus ini ikut dicega karena yang
bersangkutan ikut ditangkap penyidik KPK, namun setelahnya dilepaskan.(yus/SM)
REFERENSI
http://gustiphd.blogspot.com/2011/10/komisaris-independen-dan-gcg.html
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/3%20Badriyah%20Rifa'i.pdf
http://www.isicom.or.id/publikasi_detail.asp?Pub_ID=12&nav=pubdetail
http://lismaaja.blogspot.com/2012/01/kasus-bank-century.html
http://www.rimanews.com/read/20120620/66524/komisaris-independen-pt-bhakti-investama-
diperiksa-kpk