kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan …
TRANSCRIPT
KOLABORASI ANTARORGANISASI DALAM PENANGGULANGAN KEMACETAN LALULINTAS DIKOTA
MAKASSAR
Oleh:
DWI NUR HANDAYANI
NomorIndukMahasiswa : 105031001814
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2016
v
ABSTRAK
DWI NUR HANDAYANI, 2016. Kolaborasi Antarorganisasi dalam Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas di Kota Makassar. (Dibimbing oleh Abdul Mahsyar dan Ihyani Malik).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir Makassar Raya dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar dan mengetahui faktor penghambat proses kolaborasi antar-DISHUB, DTRB, dan PD.Parkir.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus dan jumlah informan sebanyak 8 orang yang terdiri atas DISHUB 4 orang, DTRB 2 orang, dan PD Parkir 2 orang. Data yang digunakan, yaitu data sekunder melalui penelusuran dokumen dan data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan sejak awal proses penelitian menggunakan langkah-langkah data reduksi, data display, dan verification.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi antar-Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir Makassar Raya masih kurang maksimal, hal tersebut terlihat pada proses kolaborasi antar-SKPD, yaitu: (1) face to face dialogue (dialog tatap muka) antar-Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir sudah dilakukan, namun pelaksanaanya belum maksimal, (2) komitmen melakukan kolaborasi yang masih kurang, (3) pemahaman bersama terkait apa yang ingin dicapai melalui proses kolaborasi masih kurang. Faktor penghambat proses kolaborasi antar-SKPD disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar-SKPD maupun dari perilaku pihak pengembang atau pembangun sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan.
Kata kunci : Kolaborasi, Kemacetan, Penanggulangan
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah Swt. Pencipta alam
semesta penulis panjatkan ke hadirat-Nya, semoga shalawat dan salam
senantiasa tercurah pada Rasululloh saw. beserta keluarga, sahabat, dan
orang-orang yang senantiasa istiqomah mencari ridho-Nya hingga di akhir
zaman.
Tesis dengan judul Kolaborasi Antarorganisasi dalam Penanggulangan
Kemacetan Lalu Lintas di Kota Makassar diajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Administrasi Publik Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Berbekal dari kekuatan doa dan ridho Allah Swt. semata, maka
penulisan tesis ini dapat terselesaikan meski dalam bentuk sederhana.
Sebagai bentuk karya ilmiah penulis menyadari bahwa banyak menghadapi
hambatan dan tantangan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini,
apalagi waktu, tenaga, biaya, serta kemampuan penulis yang sangat
terbatas. Namun, berkat bimbingan, bantuan, arahan serta petunjuk Dr. Abdul
Mahsyar, M.Si. sebagai pembimbing I dan Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si.
sebagai pembimbing II, yang dengan begitu baik dan penuh kesabaran
memberikan bimbingan kepada penulis menyediakan waktu, tenaga, serta
pikiran demi mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Gagasan
beliau merupakan kenikmatan intelektual yang tak ternilai harganya. Teriring
viii
doa semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa menggolongkan upaya-upaya
beliau sebagai amal kebaikan. Semoga apa yang diberikan dan diajarkan
selama proses bimbingan selama ini dapat bermanfaat buat penulis untuk
dijadikan sebagai bekal pelajaran dan pengalaman untuk menempuh
pendidikan lebih baik lagi ke depannya.
Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan teristimewa
dengan segenap cinta dan hormat yang tak lupa ananda sampaikan kepada
Dr. H. Abd. Rahman Rahim S.E., M.M. sebagai Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar, yang telah membina Universitas dengan sebaik-
baiknya. Kepada Prof. Dr. H.M. Ide Said. D.M., M.Pd. Direktur Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membina
Pascasarjana sebaik-baiknya. Kepada Dr. Abdul Mahsyar, M.Si. Ketua
Program Studi Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar. Kepada para Dosen Program Studi Administrasi Publik
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang dengan ikhlas
telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan
di kampus ini. Kepada segenap Staf Tata Usaha Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan pelayanan
administrasi dan bantuan kepada penulis dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sama kepada Kepala
Dinas Perhubungan Kota Makassar beserta para staf, Kepala Dinas Tata
Ruang dan Bangunan Kota Makassar beserta para staf, dan Direktur PD
ix
Parkir Makassar Raya beserta para staf anggotanya yang telah memberikan
informasi dan data kepada penulis yang dibutuhkan selama proses penelitian
hingga selesainya karya ini disusun.
Teristimewa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada kedua orang tua tercinta, tersayang serta terbaik Ayahanda
Abd. Rasyid dan Ibunda Hj. Munirah yang telah merawat dan mendidik
penulis sehingga penulis dapat menjalani kehidupan dan menapaki jenjang
pendidikan hingga saat ini. Kepada Ibu Dra. Hj. Fatimah Tola, M.Si. dan
segenap keluarga yang senantiasa memberi nasihat dan motivasi serta
bantuan, baik moril maupun materil. Semoga jeri payah Ayahanda dan
Ibunda serta segenap keluarga mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah Swt. Amin Ya Robbil Alamin.
Kepada rekan-rekan mahasiswa jurusan Administrasi Publik Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang tidak sempat
saya sebutkan satu per satu semoga segala bantuan, dukungan, dan
kebaikan serta spirit dibalas oleh Allah Swt. Serta buat semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini yang tidak sempat
disebutkan satu per satu terima kasih atas bantuannya.
Penulis menyadari pula bahwa selama menjadi mahasiswa Magister
Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Makassar pada tahun
akademik 2014/2015 hingga sekarang ini telah banyak memperoleh bantuan
x
maupun bimbingan dan dorongan moril dari semua pihak hingga studi penulis
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis masih serta-merta mengharapkan saran dan kritik
demi pengembangan wawasan penulis ke depannya. Semoga karya tulis ini
bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang
membutuhkan.
Terima kasih atas bantuan dan bimbingan kalian semua yang sungguh
amat tak ternilai, semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa membalasnya.
Makassar, 14 November 2016
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ..................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................... v
ABSTRACT ............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 13 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 13 D. Kegunaan Penelitian .................................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian ............................................................. 15 B. Tinjauan Teori dan Konsep ......................................................... 19
1. Kolaborasi ............................................................................... 19 2. Organisasi ............................................................................... 41 3. Kemacetan Lalu Lintas ............................................................ 54
C. Kerangka Pikir ............................................................................. 56 D. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian ....................................... 58
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 62 B. Jenis dan Tipe Penelitian ........................................................... 62
xii
C. Sumber Data dan Informasi Penelitian ....................................... 63 D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 65 E. Teknik Analisis Data ................................................................... 66 F. Keabsahan Data ......................................................................... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian ...................................... 69 B. Pemaparan Dimensi Penelitian dan Pembahasan ...................... 88
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .................................................................................... 119 B. Saran .......................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 122 RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Makassar ........... 70
Tabel 2 : Keadaan Pegawai Dinas Perhubungan Kota Makassar ........ 73
Tabel 3 : Keadaan Pegawai Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota
Makassar............................................................................... 79
Tabel 4 : Keadaan Pegawai PD Parkir Makassar Raya ....................... 83
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pikir ....................................................................... 58
Gambar 2 : Teknik Analisis Data Miles dan Huberman ............................ 67
Gambar 3 : Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Makassar ...... 74
Gambar 4 : Struktur Organisasi Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota
Makassar............................................................................... 80
Gambar 5 : Struktur Organisasi PD Parkir Makassar Raya ..................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan kolaborasi merupakan langkah tatanan
pemerintahan abad XXI. Untuk mengetahui posisi kolaborasi dalam
konteks administrasi publik dilakukan dengan mencermati konsep
tersebut dari berbagai perspektif keilmuan. Kolaborasi merupakan
relasi antara organisasi (sosiologi), relasi antarpemerintahan (ilmu
administrasi publik), aliansi strategis, network multiorganisasi. Mereka
saling berinteraksi melalui negosiasi, baik yang bersifat formal
maupun informal dalam suatu aturan yang disepakati bersama dan
rasa saling percaya. Walaupun hasil atau tujuan dari sebuah proses
kolaborasi tersebut mungkin bersifat pribadi, tetapi tetap memiliki hasil
atau keuntungan yang lain yang bersifat kelompok. Kolaborasi berarti
pihak-pihak yang otonom berinteraksi melalui negosiasi, baik secara
formal atau informal. Mereka bersama menyusun struktur dan aturan
pengelolaan hubungan antarmereka. Mereka merencanakan tindakan
atau keputusan untuk mengatasi isu-isu yang membawa mereka
bersama-sama. Mekanisme tersebut merupakan interaksi yang
menyangkut sharing atas norma dan manfaat yang saling
menguntungkan.
2
Pengertian di atas merupakan definisi kolaborasi yang
dikembangkan Thomson et al. (2006:21). Dalam konteks ini, terdapat
beberapa stakeholder yang memiliki tujuan yang sama dalam hal
penanggulangan kemacetan lalu lintas, sedangkan mereka memiliki
spesialisasi dan kapasitas yang berbeda-beda. Dengan demikian,
pemecahan masalah secara kolaborasi antarinstitusi menjadi hal yang
sangat perlu dilakukan.
Kolaborasi antarinstitusi menjadi isu penting dalam administrasi
publik mengingat banyak persoalan publik yang memiliki implikasi luas
yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara
tuntas jika hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja
(Sudarmo dalam Maharani, 2016:1). Salah satunya, masalah
penanggulangan kemacetan lalu lintas.
Masalah lalu lintas merupakan suatu masalah sulit yang harus
dipecahkan bersama dan sangat penting untuk segera diselesaikan.
Apabila masalah lalu lintas tidak terpecahkan maka semua kerugian
yang timbul akibat masalah ini akan ditanggung oleh masyarakat itu
sendiri dan apabila masalah ini dapat terpecahkan dengan baik maka
masyarakat sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya. Persoalan
kemacetan lalu lintas merupakan masalah publik yang harus ditangani
dan diselesaikan oleh pemerintah setempat dengan berbagai upaya
kebijakan yang harus dilakukan. Namun, penanganan secara teknis
3
oleh berbagai instansi terkait dalam penanggulangan kemacetan lalu
lintas ternyata belum efektif.
Ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan merupakan suatu
keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan
hak dan kewajiban setiap pengguna jalan, sedangkan kelancaran lalu
lintas dan angkutan jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan
pengguna angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di
jalan (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 32 dan 33).
Setiap pengguna jalan tentu saja menginginkan keadaan atau kondisi
seperti di atas, yaitu bebas dari hambatan dan kemacetan di jalan jika
sedang berlalu lintas, baik dalam kota maupun melakukan perjalanan
ke luar kota dengan menggunakan kendaraan bermotor roda empat
maupun roda dua.
Peningkatan jumlah kendaraan di daerah perkotaan
menyebabkan problem terhadap jalan raya dan lalu lintas itu sendiri
terutama pada jalan-jalan utama. Adanya aktivitas samping jalan
sering menimbulkan masalah. Selain itu, kapasitas jalan raya yang
tidak seimbang dengan peningkatan jumlah kendaraan, juga
bangunan yang menimbulkan bangkitan dan tarikan, di mana dampak
yang ditimbulkan akan berpengaruh terhadap arus lalu lintas.
Pembangunan suatu kawasan dan/atau lokasi tertentu
mempunyai pengaruh terhadap lalu lintas di sekitarnya. Analisis
4
dampak lalu lintas dipergunakan untuk memprediksi apakah
infrastruktur transportasi dalam daerah pengaruh pembangunan
tersebut dapat melayani lalu lintas yang ada (eksisting) ditambah
dengan lalu lintas yang dibangkitkan atau ditarik oleh pembangunan
tersebut. Jika prasarana yang ada tidak dapat mendukung lalu lintas
tersebut maka harus dilakukan kajian penanganan prasarana dan
pengaturan manajemen lalu lintas.
Bila ditinjau dari aspek hukum dengan diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 99 Ayat 1 yang berbunyi ‘setiap
rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur
yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib
dilakukan analisis dampak lalu lintas. Analisis dampak lalu lintas
merupakan studi khusus dari dibangunnya suatu fasilitas gedung dan
penggunaan lahan lainnya terhadap sistem transportasi kota.
Khususnya, jaringan jalan di sekitar lokasi gedung (Diun dan Arief
dalam Rachman, 2013:115). Sedangkan Tamin dalam Sumajow
(2013:3), analisis dampak lalu lintas pada dasarnya merupakan
analisis pengaruh pengembangan tata guna lahan terhadap sistem
pergerakan arus lalu lintas di sekitarnya yang dilakukan oleh
bangkitan lalu lintas yang baru, lalu lintas yang beralih, dan oleh
kendaraan keluar masuk dari atau ke lahan tersebut.
5
Hasil observasi awal peneliti melihat sebagian besar bangunan-
bangunan usaha di Kota Makassar yang telah dibuat tidak didukung
oleh lahan parkir yang memadai padahal dalam Perda Kota Makassar
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan secara umum telah
diatur mengenai keteraturan, kerapian, keindahan, kenyamanan, dan
keamanan dalam penataan bangunan di Kota Makassar. Sedangkan
dalam bidang pengelolaan perparkiran, menurut Pasal 1 Nomor 6
Peraturan Daerah Makassar Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum dalam Kota Makassar, Parkir
adalah memberhentikan dan menempatkan kendaraan bermotor di
tepi jalan umum yang bersifat sementara pada tempat yang telah
ditetapkan. Tetapi masih banyak para pelaku usaha atau masyarakat
yang tidak mematuhi aturan tersebut sehingga berkontribusi kepada
titik kemacetan yang terjadi semakin besar serta tidak ada kerja sama
yang berkelanjutan antara pihak-pihak yang terkait dalam proses
penanganan masalah publik tersebut.
Sanusi Anwar (Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia
mengungkapkan bahwa dengan merujuk pada Perda Kota Makassar
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan, hampir semua
bangunan di Kota Makassar melanggar. Masalah rasio parkir tidak
sebanding dengan besarnya bangunan yang menyebabkan
kemacetan (JPNN, 3/10/2014). Dari data tersebut ditunjukkan angka
yang sangat memperihatinkan di mana laju pertumbuhan
6
menunjukkan banyak bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan
asas-asas tata ruang dan bangunan kota sehingga citra kota menjadi
tidak bagus untuk dipandang karena berdampak langsung terhadap
keindahan kota. Sementara itu, banyak pemilik toko besar yang
menggunakan lahan di depan tokonya sebagai aktivitas bisnis yang
sebenarnya melanggar peruntukkannya. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Adi Rasyid Ali (Wakil Ketua DPRD Makassar) bahwa
sebagian bangunan di Kota Makassar melanggar aturan. Pelanggar
didominasi pemilik rumah toko. Pelanggaran itu, antara lain
ketidaksesuaian Izin Mendirikan Bangunan dengan pemanfaatan
lahan, penyerobotan fasilitas umum, dan tidak tersedianya perizinan
analisis mengenai dampak lingkungan serta kajian lalu lintas sehingga
menyebabkan kemacetan (AntaraSulSel.com, 25/3/2015).
Sebagaimana data yang diperoleh dari Upeks.co.id
(29/9/2015), bahwa lima puluh persen kemacetan di berbagai titik
jalan di Kota Makassar disebabkan oleh banyak tempat usaha yang
mengambil bahu jalan sebagai lahan parkir. Beberapa jalan yang
kerap menjadi langganan kemacetan ialah Jalan Panakukang,
Boulevard, dan Toddopuli. Bahkan tempat usaha di jalan tersebut
diduga tak memiliki analisis dampak lalu lintas (andalalin), sehingga
kemacetan sulit diatasi.
Fakta menunjukkan bahwa kemacetan di berbagai titik jalan di
Kota Makassar selain disebabkan oleh volume kendaraan yang
7
semakin meningkat yang tidak sebanding dengan luas jalan,
kemacetan juga disebabkan oleh banyak pusat kegiatan, seperti
tempat usaha, hotel, rumah makan, serta pusat perbelanjaan, ataupun
pusat-pusat kegiatan lainnya yang menggunakan bahu jalan sebagai
lahan parkir sehingga kerap menjadi langganan kemacetan akibat
para pelanggan atau pengunjung yang parkir secara semraut, seperti
di Jalan Pengayoman depan toko Bintang, Jalan Boulevard depan
rumah makan Apong, Jalan Ratulangi depan toko Agung, Jalan
Penghibur depan hotel MGH, dan sebagainya. Tempat parkir
bangunan komersial belum mampu memenuhi kebutuhan ruang parkir
pengunjung, fasilitas umum yang tidak dilengkapi dengan fasilitas
parkir memadai menyebabkan pengguna kendaraan parkir di bahu
jalan (on street parking) selain mengurangi kapasitas jalan raya yang
berimbas pada kelancaran lalu lintas.
Pemerintah tidak hanya mengandalkan pada kapasitas internal
yang dimiliki dalam penerapan sebuah kebijakan dan pelaksanaan
program. Keterbatasan kemampuan, sumber daya maupun jaringan
yang menjadi faktor pendukung terlaksananya suatu program atau
kebijakan, mendorong pemerintah untuk melakukan kolaborasi
dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah, pihak
swasta maupun masyarakat dan komunitas masyarakat sipil sehingga
dapat terjalin kolaborasi dalam mencapai tujuan program atau
kebijakan. Penanggulangan kemacetan lalu lintas melibatkan
8
beberapa instansi lain atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
dalam lingkup Kota Makassar, seperti Dinas Perhubungan, Satuan
Lalu Lintas, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, serta Perusahaan Daerah Parkir. Namun, dalam penelitian
tentang kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan
lalu lintas di Kota Makassar dibatasi pada kolaborasi yang dilakukan
oleh Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir Makassar Raya dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas.
Selama ini yang paling sering menjadi sorotan dalam
penanggulangan kemacetan yaitu Satuan Lalu Lintas dalam hal ini
Polisi Lalu Lintas, namun bukan hanya Polisi Lalu Lintas yang
bertanggung jawab dalam penanggulangan kemacetan. DISHUB,
DTRB, dan PD Parkir juga berperan dalam penanggulangan
kemacetan terkait dengan bangunan-bangunan pusat kegiatan,
seperti hotel, toko, rumah makan, ataupun pusat-pusat perbelanjaan
lainnya yang dapat menyebabkan kemacetan sebagai akibat tidak
tersedianya lahan parkir yang memadai dari bangunan-bangunan
tersebut. Berbicara soal pembangunan pusat kegiatan, seperti hotel,
rumah makan, toko, ataupun pusat-pusat perbelanjaan lainnya maka
akan terkait dengan pemberian izin sebelum pembangunan tersebut
dilakukan di mana DISHUB, DTRB, dan PD Parkir mempunyai
peranan penting yaitu DISHUB yang memberikan izin analisis dampak
9
lalu lintas harus melakukan kajian analisis dampak lalu lintas
(andalalin) terlebih dahulu terhadap rencana pembangunan. Setelah
persyaratan andalalin terpenuhi DTRB dapat menerbitkan IMB
begitupun PD Parkir dapat mengeluarkan surat penetapan tentang
titik parkir sebagaimana pada SOP penetapan parkir yang tentunya
dengan memperhatikan kajian andalalin. Oleh karena itu, meskipun
Polisi Lalu Lintas terlibat dalam penanggulangan kemacetan, namun
penelitian ini dibatasi hanya kolaborasi antar-DISHUB, DTRB, dan PD
Parkir sebab peneliti ingin melihat bagaimana kerja sama ketiga
instansi tersebut terkait dengan pemberian izin sebelum
pembangunan dilakukan sebab pembangunan pusat-pusat kegiatan
tanpa melalui kajian terlebih dahulu salah satu dampaknya tidak
tersedianya lahan parkir yang memadai sehingga dapat menyebabkan
kemacetan. Sedangkan Polisi Lalu Lintas dalam penanggulangan
kemacetan lebih kepada tugas penindakan dan penegakan aturan lalu
lintas, seperti pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas, traffic
light, dan marka jalan.
Pada penanggulangan kemacetan lalu lintas akan dilihat proses
kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, dan PD Parkir. Proses kolaborasi diawali dengan kajian
analisis dampak lalu lintas (andalalin) mengenai pembangunan
fasilitas gedung atau penggunaan lahan yang diterbitkan oleh Dinas
Perhubungan. Setelah dokumen analisis dampak lalu lintas (andalalin)
10
diperoleh, dilanjutkan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Ruang dan Bangunan berdasarkan
kajian analisis dampak lalu lintas mengenai suatu bangunan.
Selanjutnya, PD Parkir selaku penanggung jawab pengaturan
perparkiran sebagai salah satu instansi (perusahaan daerah) yang
diberikan kewenangan oleh pemerintah Kota Makassar untuk
menjalankan fungsi mengatur hal-hal yang menyangkut efisiensi dan
efektivitas pencapaian tujuan pelayanan dari sektor perparkiran
kepada masyarakat Kota Makassar dan dalam menyelenggarakan
kegiatan di bidang perparkiran yang diarahkan kepada pelayanan
masyarakat guna terciptanya ketertiban, keamanan, dan kenyamanan
lalu lintas.
Salah satu peran pemerintah, yaitu sebagai institusi penyedia
jasa, pemerintah bertujuan memenuhi permintaan, kebutuhan, atau
aspirasi dari masyarakatnya. Walaupun demikian, pelayanan yang
diberikan harus disesuaikan dengan kebijakan publik yang telah
ditentukan sebelumnya (Sangkala, 2012:196). Manajemen pelayanan
kolaboratif tidak membutuhkan hierarki, melainkaan hubungan yang
fungsional berbasis pada jejaring. Karena itu, mekanisme kerja yang
dikembangkaan dalam manajemen kolaboratif adalah mekanisme
kerja fungsional. Masing-masing melaksanakan kegiatan berdasarkan
pada fungsi yang diembannya dalam penyelesaian masalah publik
11
tertentu, sesuai dengan pembagian kerja yang disepakati bersama
(Dwiyanto, 2012:303).
Sependapat dengan argumentasi di atas bahwa organisasi
pada umumnya perlu kolaborasi dalam mengatasi suatu
permasalahan untuk mencapai suatu solusi dalam rangka pemecahan
masalah tersebut, sebagaimana Sink dalam Subarsono (2016:177),
menjelaskan kerja sama kolaboratif sebagai sebuah proses di mana
organisasi-organisasi yang memiliki kepentingan terhadap suatu
masalah tertentu berusaha mencari solusi yang ditentukan secara
bersama dalam rangka mencapai tujuan yang mereka tidak dapat
mencapai secara sendiri-sendiri. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketika organisasi-organisasi yang berkontribusi
mengatasi kemacetan dalam hal ini Dinas Perhubungan, Dinas Tata
Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir berjalan secara sendiri-sendiri,
tentu akan sulit menemukan solusi yang tepat dalam penanggulangan
kemacetan sehingga diperlukan adanya kolaborasi SKPD agar dapat
bersinergi dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Sink di atas, diharapkan
persoalan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar dapat teratasi
dengan adanya proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas
Tata ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan
kemacetan. Sebab, permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar bila ditelaah lebih jauh disebabkan karena masih kurangnya
12
kolaborasi antar-SKPD yang terlibat dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas. Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya oleh
Mahsyar (2014:14), bahwa kemacetan lalu lintas di jalan raya dapat
disebabkan oleh berbagai faktor maupun sumber penyebab terjadinya
kemacetan, hasil identifikasi penyebab kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur lalu lintas yang
ada atau dengan kata lain kemacetan yang terjadi sebagai akibat
kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam
menanggulangi kemacetan lalu lintas.
Kondisi ini terjadi karena untuk penanggulangan kemacetan
lalu lintas tidak hanya dilakukan oleh satu SKPD saja, tetapi dilakukan
oleh beberapa SKPD. Sehingga diperlukan proses kolaborasi dengan
berbagai SKPD terkait agar SKPD tersebut tidak berjalan masing-
masing dalam penanggulangan masalah kemacetan. Peran Dinas
Perhubungan diperlukan untuk melakukan analisis dampak lalu lintas
(andalalin) sehingga izin membangun baru diberikan setelah ada
kajian dari Dishub terkait analisis dampak lalu lintasnya, Dinas Tata
Ruang dan Bangunan agar tidak seakan-akan hanya bertugas
mengeluarkan izin pembangunan tanpa melakukan kontrol dan
memperhatikan standar ruang parkir terutama untuk bangunan-
bangunan pusat kegiatan sebelum mengeluarkan IMB serta
diperlukan manajemen lahan parkir oleh PD Parkir yang benar agar
dapat membantu mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas
13
dengan mengidentifikasi di mana seharusnya fasilitas parkir akan
disediakan, bagaimana pengelolaan dan peraturan parkir ditegakkan.
Hal inilah yang mendasari peneliti melakukan penelitian dengan judul
“Kolaborasi Antarorganisasi dalam Penanggulangan Kemacetan Lalu
Lintas di Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas
Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas di Kota Makassar?
2. Apa Faktor penghambat proses kolaborasi antar-Dinas
Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir
dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan,
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat proses kolaborasi antar-
Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD
Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar.
14
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Akademik
Bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan atau
rujukan bagi dunia perguruan tinggi khususnya jurusan Ilmu
Administrasi Publik dalam mengembangkan teoretis yang lebih
luas dan sebagai referensi bagi peneliti lain yang meneliti masalah
sejenis.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan pada berbagai
SKPD dalam lingkup Kota Makassar. Khususnya, Dinas
Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir
untuk melakukan kolaborasi dalam penanggulangan kemacetan
lalu lintas di Kota Makassar.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kolaborasi maupun penelitian tentang
kemacetan lalu lintas telah beberapa kali dilakukan, baik dari sudut
pandang Ilmu Administrasi Publik, Manajemen, Teknik
Pengembangan Wilayah Kota. Oleh karena itu, untuk mengawali
penelitian ini, ada beberapa kajian pustaka yang relevan dengan tema
penelitian peneliti di atas. Hal ini penting untuk mengambil entry point
penelitian, positioning penelitian serta perbedaan dengan penelitian
terdahulu. Beberapa penelitian sebelumnya adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2016:1), berjudul
“Kolaborasi Antar-Pelaksana pada Penataan dan Pembinaan Toko
Modern di Kota Surakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses dilakukan dengan memenuhi syarat-
syarat kolaborasi yang meliputi pemahaman yang sama terhadap
permasalahan yang dihadapi, saling percaya, dan itikad baik,
pemahaman terhadap batasan kewenangan, cara menciptakan
peraturan dan mekanisme mengatasi konflik, hanya saja koordinasi
internal dan eksternal kurang maksimal. Peran Satuan Kerja
Perangkat Daerah selaku pelaksana pada penataan dan pembinaan
toko modern di Kota Surakarta sudah sesuai dengan mekanisme
penataan dan pembinaan toko modern di Kota Surakarta yang diatur
16
dalam dasar penataan dan pembinaan toko modern di Kota Surakarta,
yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2011 dan Perwali Nomor 17-A Tahun
2012. Faktor yang menghambat proses kolaborasi terjadi pada faktor
budaya, yaitu ketergantungan kepada prosedur dan faktor
keterbatasan sumber daya manusia sehingga berakibat waktu
pengurusan perizinan sebagai bentuk penataan dan pembinaan toko
modern menjadi terlalu lama.
Penelitian yang dilakukan Mahsyar (2015:8) berjudul “Public
Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta dalam
Pengelolaan Aset Publik di Kota Makassar”. Hasil penelitian
menunjukkan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Makassar dengan pihak swasta dalam hal ini PT Tosan Permai Lestari
dalam berkolaborasi mengelola aset pemerintah memberikan dampak
positif berupa keuntungan secara win-win bagi kedua pihak termasuk
kepada masyarakat Kota Makassar. Bentuk kolaborasi yang dilakukan
melalui model contracting out dalam bentuk outsourching di mana
pihak kedua dalam hal ini pihak swasta diberi hak pengelolaan dengan
segala hak dan kewajibannya untuk memanfaatkan, mengelola
sarana, menjaga ketertiban dan keamanannya dalam jangka waktu 30
tahun dan setelah habis masa kontrak segala sarana dan fasilitas
yang ada diserahkan kembali kepada Pemerintah Kota Makassar.
Dengan kerja sama antara kolaboratif sektor swasta, pengembangan
17
aset publik dapat dilakukan dengan cepat dan meminimalkan
penggunaan anggaran pemerintah daerah.
Penelitian yang dilakukan Rosyadi dan Lestianingrum (2013:1)
berjudul “Permodelan Sampah Pemukiman Berbasis Manajemen
Kolaborasi (Studi Kasus di Desa Palimanan Barat Kabupaten
Cirebon)” Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan pola
kolaborasi antara pihak swasta dan masyarakat dalam membantu
pemerintah untuk mengatasi permasalahan sampah yang dihasilkan di
wilayah permukiman warga. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kolaborasi antara masyarakat dan sektor swasta dalam pengelolaan
sampah dapat dilakukan dengan baik. Faktor-faktor yang berperan
penting dalam membangun kolaborasi public-private ini, di antaranya
komitmen, partisipasi aktif semua aktor, profesionalisme, dan
transparansi. Hasil-hasil yang diperoleh dari kolaborasi public-private
ini adalah peningkatan pendapatan masyarakat melalui BUMDES,
peningkatan kapasitas institusi lokal, dan perbaikan lingkungan
permukiman.
Penelitian yang dilakukan Anugra dan Sardjito (2014:1) berjudul
“Penanganan Kemacetan Lalu Lintas di Koridor Jalan Kramat
Gantung, Surabaya”. Tahapan analisis yang dilakukan untuk
mencapai arahan penanganan kemacetan pada penelitian ini adalah
dengan mengetahui intensitas pelayanan jalan melalui traffic counting,
kemudian dikaitkan dengan jenis kegiatan sehingga menimbulkan
18
bangkitan pergerakan yang signifikan. Selain itu, faktor on street
parking juga memiliki andil dalam penelitian ini sehingga perlu
dianalisis penanganannya melalui simulasi peniadaan on street
parking. Tahap terakhir yaitu penentuan penanganan kemacetan.
Penanganan kemacetan yang ada di Koridor Jalan Kramat Gantung
adalah dengan penurunan kegiatan di Koridor Jalan Kramat Gantung,
pengendalian jenis kegiatan di Koridor Jalan Kramat Gantung,
penanganan intensitas pelayanan jalan melalui peniadaan ruang
parkir tepi jalan (On Street Parking), penanganan intensitas pelayanan
jalan melalui pengaturan peniadaan jenis bus.
Penelitian yang dilakukan Suyuti (2013:6) berjudul “Teknologi
Real Time Traffic Information System untuk Mengatasi Kemacetan
Lalu Lintas di Jalan Tol dalam Kota Jakarta”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan teknologi Real Time Traffic
Information System merupakan solusi yang paling tepat untuk
mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas di Jalan Tol dalam
Kota Jakarta. Tujuan teknologi tersebut adalah untuk mengoptimalkan
penggunaan ruas jalan tol. Jika jalan tol sudah padat, maka pengguna
jalan akan beralih ke jalan arteri, begitu pula sebaliknya. Pada suatu
titik tertentu akan dicapai kondisi equilibrium di mana volume lalu
lintas akan mencapai titik optimal.
Berdasar penelitian terdahulu sejauh yang peneliti temukan,
bahwa penelitian tentang kolaborasi dan kemacetan lalu lintas telah
19
beberapa kali dilakukan. Akan tetapi, dari beberapa penelitian yang
telah disebutkan dapat diketahui bahwa tidak ada yang khusus
membahas tentang kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas. Hal ini menarik untuk diteliti karena pada
kenyataannya kolaborasi dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan publik. Kemacetan lalu lintas merupakan
salah satu permasalahan publik yang dinamis karena untuk
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar melibatkan
banyak stakeholder. Oleh karena itu, kolaborasi antarorganisasi dalam
mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Makassar menjadi penting
untuk dilakukan.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Kolaborasi
Pada dasarnya ada berbagai macam bentuk kerja sama antara
pemerintah dengan masyarakat serta pihak swasta maupun pihak
yang terkait dalam pelayanan publik, manajemen pemerintahan atau
penyelesaian masalah publik. Beberapa di antaranya adalah
kolaborasi, sinergitas, kemitraan atau partnership, kerja sama maupun
joint venture. Istilah-istilah ini sebenarnya sebagai perwujudan dari
kerja sama antarindividu atau organisasi yang saling membantu,
saling menguntungkan, dan secara bersama-sama meringankan
pencapaian-pencapaian tujuan yang telah mereka sepakati bersama.
20
Terdapat perbedaan mendasar di antara kolaborasi dengan
kemitraan atau partnership. Adisasmita dalam Pratiwi (2015:12)
menyatakan kemitraan merupakan kerja sama, kesetaraan,
kebersamaan, kepedulian, dan jaringan kerja yang menumbuh
kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang
bermitra dalam menyelenggarakan pelayanan sosial (pembangunan).
Kemitraan biasanya dicirikan adanya perjanjian atau kontrak masing-
masing aktor mendapatkan keuntungan dari kerja sama karena sudah
berinvestasi sumber daya. Kemitraan mengarah pada privatisasi.
Kemitraan dilakukan untuk mengurangi peran pemerintah dan
meningkatkan peran swasta dalam kepemilikan aset publik. Dalam
kemitraan, sektor privat menerima kompensasi dan sektor publik
bertanggung jawab terhadap risiko dan bersifat jangka pendek.
Simatupang dalam Mulyadi (2015:6), joint venture (patungan)
merupakan bentuk kerja sama antara perusahaan nasional dengan
perusahaan asing yang berdiri sendiri dengan menghubungkan
potensi usaha termasuk know how dan modal, dalam perbandingan
yang telah ditetapkan menurut perjanjian atau kontrak yang sama-
sama telah disetujui. Sedangkan Geringer dalam Marzuki dan Lumeno
(2011:12), joint venture merupakan suatu tipe aliansi strategis khusus
yang memberikan peluang khusus pula untuk mengkombinasikan
kompetensi tertentu serta sumber daya perusahaan-perusahaan yang
berpartisipasi.
21
Di sisi lain, Menurut Lasker, Weiss, dan Miller dalam Pratiwi
(2015:108), konsep sinergi memiliki kesamaan dengan kolaborasi.
Dalam tulisannya yang berjudul “Partnership Synergy: a Practical
Framework for studying and strengthening the Collaborative
Advantage”, beberapa pakar mendefinisikan kolaborasi sebagai
berikut:
“Collaboration as a process that enables independent
individuals and organizations to combine their human and material
resources so that can accomplish objectives that they are unable to
bring abaout alone”.
Dalam jurnal tersebut kolaborasi didefinisikan sebagai proses
individual dan organisasi independen yang mengkombinasikan
sumber daya manusia dan sumber daya material untuk dapat
mencapai tujuan mereka, daripada mencapai tujuan tersebut
sendirian. Kekuatan untuk mengkombinasikan perspektif-perspektif,
sumber daya, dan keahlian dari sekelompok orang atau organisasi
disebut sinergi. Sinergi dimanifestasikan dalam pemikiran dan
tindakan sebagai hasil dari kolaborasi. Jadi, konsep sinergi dan
konsep kolaborasi mempunyai kesamaan yaitu proses kerja sama
individual atau organisasi yang saling mengkombinasikan berbagai
sumber daya, untuk mencapai tujuan agar menghasilkan sesuatu
yang lebih besar. Selain itu, kolaborasi juga didefinisikan sebagai
hubungan sinergis yang terbentuk ketika dua entitas atau orang atau
22
lebih yang bekerja sama menghasilkan sesuatu yang jauh lebih besar
daripada penjumlahan kemampuan dan kontribusi masing-masing
individu (Sankers dalam Kaswan, 2014:46).
Kaswan (2014:48), tiga bentuk kerja sama yang terkait dengan
kolaborasi, tetapi sebenarnya semuanya menggambarkan berbagi
sumber daya. Tingkatan itu adalah networking atau jejaring,
koordinasi, dan cooperation.
1) Networking atau jejaring (Awal kerja sama)
Networking atau jejaring didefinisikan sebagai pertukaran
informasi atau jasa antarindividu, kelompok, atau institusi. Dalam
istilah sederhana, jejaring hanyalah tindakan berbagi informasi
untuk keuntungan bersama. Jejaring adalah cara populer bekerja
dengan orang lain karena relatif sederhana dilakukan dan
menjanjikan keuntungan bersama bagi semua orang yang terlibat.
Jejaring juga cara yang paling informal dan tanpa komitmen untuk
bekerja dengan orang lain, dibandingkan koordinasi, koperasi dan
kolaborasi. Jejaring merupakan aktivitas sederhana berbagai
sumber daya, bukan kerja sama tim atau kolaborasi yang
sebenarnya. Jejaring sering dianggap sebagai langkah awal
mengidentifikasi peluang kolaboratif.
2) Koordinasi (kerja sama yang lebih tinggi)
Lebih formal dan lebih kompleks daripada jejaring ialah koordinasi
dalam pengertian sinkronisasi dan integrasi aktivitas, tanggung
23
jawab, kendali, kontrol, atau pengawasan untuk memastikan
penggunaan sumber daya secara efisien agar bisa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam istilah sederhana, koordinasi
menuntut bahwa tindakan tertentu harus dilakukan dan bahwa ada
berbagi informasi untuk keuntungan timbal balik dan untuk
mencapai tujuan bersama. Karena koordinasi merupakan cara
mencapai tujuan khusus, memerlukan pendekatan yang lebih
bersifat organisasi daripada jejaring, dan menuntut tingkat
keterlibatan dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Koordinasi
merupakan bagian terpadu kolaborasi, tetapi tidak bisa
menggantikan kolaborasi.
3) Cooperation atau kerja sama (lebih signifikan)
Cooperation atau kerja sama berarti rencana sukarela di mana
dua atau tiga entitas atau organisasi terlibat dalam pertukaran
yang saling menguntungkan sebagai pengganti kompetisi. Dalam
istilah sederhana, kerja sama memadukan ciri-ciri koordinasi
dengan berbagi sumber daya. Dengan demikian, selain bertukar
pengetahuan dan menyerasikan atau menyesuaikan aktivitas
untuk mencapai tujuan bersama, cooperation atau kerja sama
meliputi unsur tambahan berbagi sumber daya selain daripada
informasi. Meskipun memiliki tujuan yang sama bersifat khas bagi
pihak-pihak yang bekerja sama, tingkat keterkaitan dengan
sasaran itu mungkin berbeda-beda. Mungkin pihak lain tidak
24
banyak belajar dari pengalaman dan tidak bertumbuh. Oleh
karena itu, kerja sama tidak sesempurna kolaborasi karena
beberapa alasan. Meskipun pihak-pihak yang berkerja sama
mungkin mencapai tujuan bersama, namun mereka tidak selalu
meningkatkan kapasitas satu sama lain. Selain itu, pihak-pihak
yang bekerja sama tidak berbagi risiko, tanggung jawab, dan
penghargaan. Dalam kasus kolaborasi, semua sumber daya yang
ada, juga risiko, tanggung jawab, dan penghargaan atau imbalan
sepenuhnya dibagi.
4) Collaboration (kerja sama tim yang sebenarnya)
Kolaborasi atau kerja sama tim merupakan proses yang dapat
diuraikan menjadi bagian-bagian yang esensial. Sebagaimana
dengan koordinasi, tindakan tertentu diambil dan informasi dibagi
untuk keuntungan bersama dan untuk mencapai tujuan bersama.
Tetapi aktivitas kolaboratif jauh lebih strategis, menuntut semua
pihak meningkatkan kemampuannya satu sama lain, dan semua
menanggung risiko, tanggung jawab bersama, dan menerima
imbalan atau penghargaan bersama. Sekedar berbagi sumber
daya bukan kolaborasi, untuk kolaborasi yang sebenarnya, semua
pihak memerlukan tingkat komitmen yang lebih tinggi, kesatuan
tujuan, struktur yang memungkinkan komunikasi, partisipasi
kelompok, curah gagasan (brainstorming), dan kerja sama,
semuanya itu diperlukan untuk mencapai sesuatu yang jauh lebih
25
besar daripada yang mungkin. Kolaborasi adalah tentang bekerja
sama sebagai tim, berkembang atas dasar kerja sama,
mengusulkan dan menilai ide-ide kreatif baru, dan berkomunikasi
satu sama lain dalam lingkungan yang terbuka dan menghargai.
Kolaborasi ialah tentang tujuan bersama tim, bukan tujuan
individual para anggotanya.
Kerja sama menekankan pada terutama keselarasan mencapai
tujuan bersama dan tujuan bersama. Sementara itu, koordinasi(
coordination) mengacu pada kerja sama aktif. Koordinasi di
definisikan sebagai tindakan yang membuat aturan untuk tujuan-
tujuan bersama, kesesuaian dari berbagai elemen, harmonisasi pada
penerapan aturan interaksi dan menjadikan pihak-pihak yang terpisah
bekerja sama. Dibandingkan kerja sama, koordinasi menunjukkan
kegiatan yang lebih interaktif, proses pengambilan keputusan
bersama, di mana sebagian entitas lain yang terpisah saling
mempengaruhi keputusan lebih lanjut. Koordinasi dilakukan dengan
hanya memberikan sinyal atau berbagi informasi yang benar dan
kebijakan yang sama, kolaborasi menunjukkan kerja sama, proses
interaktif yang mengakibatkan keputusan dan kegiatan bersama.
Dengan hal tersebut menunjukkan, kolaborasi memiliki tingkat yang
lebih tinggi dari pelaksanaan bersama dan dapat dianggap sebagai
sebuah usaha tim.
26
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas mengenai bentuk-
bentuk kerja sama, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan
konsep kolaborasi sebagai bentuk kerja sama yang jauh lebih
strategis, tingkat komitmen yang lebih tinggi, kesatuan tujuan, struktur
yang memungkinkan komunikasi, seluruh pihak bekerja sama
membangun konsensus dan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan
yang lebih tinggi dibanding dengan bentuk kerja sama lainnya. Selain
itu, dengan berkolaborasi organisasi atau para stakeholder bisa lebih
bersinergi dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas. Sebab,
persoalan kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang kompleks
dan memerlukan tindakan kolaborasi segera oleh semua pihak yang
terkait dengan masalah tersebut. Adanya kompleksitas masalah yang
mengharuskan terjadinya kolaborasi ini dijelaskan dalam teori yang
dikembangkan oleh Hudson dan Hardy dalam Hafifa (2016:16), yakni
collaborative networks are unlikely to grow spontaneously but must be
“cultivated”. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa jaringan
kolaboratif tidak akan tumbuh secara spontan, melainkan harus
dibudidayakan. Mengenai hal tersebut dapat diketahui bahwa sebuah
kolaborasi tentu memiliki sebab-sebab yang mengakibatkan muncul
dan berkembangnya hal tersebut. Dalam konteks ini sebab yang
mengakibatkan kolaborasi yakni adanya kompleksitas dan saling
ketergantungan antarinstansi atau stakeholder dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas. Sejalan dengan pendapat
27
Innes dan Booher dalam Maharani (2016:10), kolaborasi dipandang
sebagai langkah terbaik dalam menangani suatu permasalahan.
Kolaborasi telah cukup sering digunakan untuk mengatasi masalah
yang sulit di mana beberapa stakeholder terkunci dalam konflik.
a. Pengertian Kolaborasi
Linden dalam Kaswan (2014:46), esensi kolaborasi ditunjukkan
oleh kata itu sendiri. Collaboration adalah tentang co-labor (kerja
sama), tentang joint effort, (usaha bersama) dan ownership
(kepemilikan). Hasil akhir bukan milik saya atau milik anda, tetapi milik
kita. Disini, kolaborasi didefinisikan sebagai berikut: kolaborasi terjadi
ketika orang dari organisasi (unit dalam organisasi) yang berbeda
menghasilkan sesuatu secara bersama-sama melalui usaha, sumber
daya, dan pengambilan keputusan bersama, dan berbagi kepemilikan
produk atau jasa akhir. Disisi lain, De Hoog dalam Maharani
(2016:21), menyatakan bahwa kolaborasi merupakan setiap kegiatan
bersama yang dilakukan oleh dua atau lebih lembaga yang bekerja
sama yang dimaksudkan untuk meningkatkan nilai publik secara
umum melalui kerja sama mereka daripada mereka bekerja secara
terpisah.
Ketika sebuah isu menegaskan adanya kolaborasi antarinstitusi
maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya di dalamnya
telah tercakup konsep collaborative governance karena paradigma
administrasi publik yang menekankan nilai-nilai citizenship dan atau
28
demokrasi secara tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekkan
governance, meskipun dimungkinkan juga stakeholder tertentu tidak
dilibatkan secara fisik tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin
diupayakan untuk diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam konteks ini stakeholder bisa didefinisikan sebagai pihak (atau
orang atau kelompok) yang berpengaruh atau menimbulkan suatu
dampak kepada pihak lain, atau pihak yang terpengaruh atau terkena
dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau pihak
yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan dalam pemecahan masalah secara bersama (Sudarmo
dalam Maharani 2016:22).
Dwiyanto (2012:251), menjelaskan secara terperinci bahwa
dalam kerja sama kolaboratif terjadi penyamaan visi, tujuan, strategi,
dan aktivitas antara para pihak, mereka masing-masing tetapi memiliki
otoritas untuk mengambil keputusan secara independen dan memiliki
otoritas dalam mengelola organisasinya walaupun mereka tunduk
pada kesepakatan bersama. Dari kedua pendapat tersebut maka
maksud pesan yang disampaikan hampir sama, yakni setiap
organisasi atau entitas yang tergabung di dalam kerja sama tersebut
memiliki kepentingan yang akan diusung di dalam sebuah kebijakan
dan masing-masing menawarkan solusi alternatif dari sebuah
permasalahan, namun tetap harus menjunjung kesepakatan bersama.
Mereka sepakat bekerja sama karena mereka memiliki kesamaan visi
29
dan tujuan untuk diwujudkan secara bersama-sama, yang mungkin
akan sulit dicapai ketika masing-masing bekerja sendiri. Oleh karena
itu, Fosler dalam Subarsono (2016:177), menjelaskan bahwa dalam
kerja sama kolaboratif para pihak yang terlibat secara sadar harus
melaksanakan alignment, shared vision, dan liabilities keseluruhannya
dilakukan atas kesepakatan bersama.
Kolaborasi dapat dirunut pemahamannya dari Ann Marie
Thomson dalam Pramusinto dan Purwanto (2009:113), dalam
tulisannya yang berjudul “Collaboration Processes: Inside The Black
Box”. Dijelaskan bahwa ada sebuah konsep yang mirip dengan kerja
sama tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yakni kolaborasi.
Kooperasi, koordinasi, dan kolaborasi berbeda dalam hal tingkat
kedalaman interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitasnya.
Sebuah kerja sama (co-operation) yang menggabungkan dua sifat,
yakni saling memberi atau bertukar sumber daya dan sifat saling
menguntungkan akan mengarah pada sebuah proses kolaborasi.
Definisi ini menunjukkan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan
yang lebih tinggi dalam kolaborasi daripada kooperasi dan koordinasi.
Kolaborasi merupakan proses kolektif dalam pembentukan sebuah
kesatuan yang didasari oleh hubungan menguntungkan (mutualisme)
dan adanya kesamaan tujuan dari organisasi atau individu-individu
yang memiliki sifat otonom. Mereka saling berinteraksi melalui
30
negosiasi, baik bersifat formal maupun informal dalam suatu aturan
yang disepakati bersama dan rasa saling percaya.
Kolaborasi dapat dimaknai sebagai suatu usaha penuh
kepercayaan yang didasarkan atas tidak adanya kecurigaan dan
kedewasaan pengertian atas peranan-peranan dan penugasan-
penugasan. Usaha ini lebih bersifat demokratis dan partisipatif.
Dengan demikian pada suatu kasus tertentu, kolaborasi dapat
diartikan keinginan untuk bertoleransi kepada tindakan-tindakan yang
cepat dan resmi dari pimpinan yang menginginkan perubahan agar
tercapai kemajuan organisasi. Pada kasus yang lain, kolaborasi
membangkitkan partisipasi bawahan untuk aktif terlibat dalam proses
perubahan dan pembaharuan yang telah direncanakan tersebut
(Thoha dalam Maharani, 2016:27).
Pengertian kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam
dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi
dalam arti normatif. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses
merupakan serangkaian proses atau cara mengatur atau mengelola
dan/atau memerintah secara institusional. Dalam pengertan ini,
sejumlah institusi, pemerintah maupun non pemerintah ikut dilibatkan
dengan porsi kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini
hanya terdiri dari institusi-institusi pemerintah saja. Sedangkan
kolaborasi dalam pengertian normatif merupakan aspirasi, atau tujuan-
tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya
31
dengan para partner atau mitranya (Ansel & Gash dalam Maharani,
2016:28).
b. Proses Kolaborasi (collaborative Process)
Ansel dan Gash dalam Rahmawati (2016:41), proses kolaborasi
lebih digambarkan sebagai sebuah siklus daripada sebuah proses
yang bertahap. Sebagai sebuah siklus sub komponen dalam proses
kolaborasi saling mempengaruhi satu sama lain. Proses kolaborasi ini
terdiri atas beberapa komponen yang saling mempengaruhi satu sama
lain yaitu:
1) Face to face dialogue (dialog tatap muka)
Kolaborasi didasarkan pada dialog tatap muka antara para
pemangku kepentingan. Sebagai proses yang berorientasi
konsensus, dialog tatap muka atau dapat disebut dialog langsung
diperlukan oleh para pemangku kepentingan untuk
mengidentifikasi peluang untuk keuntungan bersama.
2) Commitment to process (komitmen terhadap proses)
Tingkat komitmen pemangku kepentingan untuk kolaborasi adalah
variabel penting dalam menjelaskan keberhasilan atau kegagalan
penerapan Collaborative Governance. Commitment to process
dapat dicapai melalui: saling pengakuan (mutual recognition of
interdepandence), kepemilikan terhadap proses (shared
ownership of process), dan keuntungan yang didapat melalui
proses kolaborasi (openness to exploring mutual gain).
32
3) Shared Understanding (pemahaman bersama)
Pada beberapa poin dalam proses kolaboratif, stakeholder harus
mengembangkan pemahaman bersama tentang apa yang secara
kolektif dapat mereka capai bersama. Pemahaman bersama juga
bisa dimanifestasikan pada kesepakatan pada pendefinisian
masalah atau kesepakatan tentang pengetahuan yang relevan
yang diperlukan untuk mengatasi masalah. Pengembangan
pemahaman bersama dapat dilihat sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Sharing understanding dapat dilakukan melalui:
kejelasan misi (clear mission), pendefinisian masalah bersama
(common problem definition), dan pengidentifikasian nilai-nilai
umum (identification of common value).
Kramer dan Schmalenberg; weiss dan Davis; Bagss dalam
Rumanti (2009:46), elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang
efektif, yaitu:
1) Kerja sama
Adalah menghargai pendapat orang lain, bersedia untuk
memeriksa beberapa alternatif pendapat dan bersedia merubah
kepercayaan.
2) Asertivitas
Adalah kemauan anggota tim kolaborasi untuk menawarkan
informasi, menghargai pendekatan masing-masing disiplin ilmu
dan pengalaman individu, individu dalam tim mendukung
33
pendapat yang lain, menjamin bahwa pendapat masing-masing
individu benar-benar didengar dan adanya konsensus bersama
yang ingin dicapai.
3) Tanggung jawab di sini berarti masing-masing individu harus
mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus
bersama dan harus terlibat dalam pelaksanaannya,
mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan bersama
sebagai satu tim.
4) Komunikasi
Artinya bahwa setiap anggota harus untuk membagi informasi
penting, secara terbuka mampu untuk mengemukakan ide-ide
dalam pengambilan keputusan.
5) Koordinasi
Koordinasi diperlukan untuk efisiensi organisasi, mengurangi
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan.
6) Mutual respect and trust
Sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis
antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai
tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep
umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerja
sama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari
34
tanggung jawab, terganggunya komunikasi, dan koordinasi tidak
akan terjadi.
C. Prinsip-prinsip Kolaborasi
Hasil kerja kolaborasi yang besar dan/atau hebat bisa dicapai
jika dengan tepat menggunakan prinsip-prinsip atau kerangka kerja
kolaborasi. Kerangka itu oleh Kaswan (2014:53) adalah sebagai
berikut:
1) Melakukan hal-hal dasar dengan tepat. Dengan demikian,
mengetahui apa saja yang membentuk dasar-dasar usaha
kolaboratif itu penting, tetapi mengetahui dasar-dasar itu bahkan
lebih penting. Berikut elemen dasar kolaboratif: Pertama, memiliki
tujuan yang sama atau sasaran spesifik yang menjadi kepedulian
bersama tetapi tidak dapat dicapai sendiri. Kedua, mempunyai
keinginan mencari solusi kolaboratif, sekarang, dan bersedia
berkontribusi untuk mencapai usaha itu. Di sini kata kuncinya
keinginan, sekarang, dan kontribusi. Fakta bahwa kepentingan atau
sasaran yang sama tidak menjamin bahwa para anggota
berkolaborasi. Harus ada keinginan adanya perasaan mendesak.
Ketiga, adanya orang. Yang dimaksud dengan orang yang tepat
adalah orang yang mewakili stakeholder penting yang terlibat
dalam pekerjaan atau proyek, yang dapat membuat rencana dan
mempengaruhi orang lain dalam kelompoknya. Keempat, proses
terbuka. Semua anggota atau pihak menjalani proses yang terbuka
35
dan bisa dipercaya. Dalam penelitiannya mengenai kolaborasi
berbasis komunitas yang efektif, Chirslip dan Larson dalam Kaswan
(2014:54), menyebutkan bahwa kredibilitas dan keterbukaan proses
merupakan dua dari kunci kesuksesan. Kelima, pejuang yang kuat
dan berkomitmen. Mayoritas usaha kolaboratif yang sukses
ditandai dengan pejuang yang kuat dan enerjik.
2) Hubungan yang terbuka dan bisa dipercaya
Tanpa hubungan yang kuat tidak ada kepercayaan, tanpa
kepercayaan tidak ada kolaborasi. Pada saat kepercayaan telah
terbangun, orang bersedia saling memberi manfaat keraguan dan
mengambil risiko satu sama lain. Kolaborasi menyerahkan
sebagian kendali. Alasan lain bahwa hubungan sangat penting bagi
kolaborasi, adalah usaha kolaboratif bukan jalur langsung menuju
kesuksesan. Ada banyak pertemuan dan masa di mana hal-hal
sepele sering terjadi, ada kejutan-kejutan yang tidak selalu
menyenangkan. Ketika kita memasuki wilayah yang tidak dikenal,
sangat penting memiliki dukungan hubungan baik. Alasan ketiga,
kolaborasi menuntut banyak give and take (berbagi) dan hal itu
hanya mungkin ketika ada hubungan yang baik.
3) Mengembangkan Risiko Tinggi. Kebanyakan usaha kolaborasi
dimulai karena risikonya terlalu tinggi untuk membiarkan masalah
tersebut.
36
4) Menciptakan konstituen untuk kolaborasi
Konstituen untuk kolaborasi adalah kelompok atau beberapa
kelompok orang yang berkeyakinan kuat bahwa usaha kolaboratif
ada dalam kepentingan mereka, yang ingin mendukungnya, dan
yang memiliki pengaruh atas pihak-pihak yang terlibat. Kolaborasi
membutuhkan konstituen yang kuat untuk mengatasi kepentingan
pribadi secara individual yang dapat mencegahnya. Ada banyak
cara untuk menciptakan dan memelihara konstituen untuk
kolaborasi. Berikut ini adalah di antaranya:
a) Menciptakan tanda-tanda keberhasilan secara nyata dan
berbagi penghargaan secara luas.
b) Menetapkan sasaran yang jelas, dan sederhana yang
beresonansi dengan publik.
c) Menggunakan simbol untuk menguatkan kekuatan kemitraan.
d) Melibatkan stakeholder dalam setiap langkah.
e) Mendidik stakeholder melihat hubungan antara kolaborasi
dengan kepentingan pribadi mereka (Linden dalam Kaswan,
2014:57).
d. Manfaat Kolaborasi
Adapun manfaat kolaborasi yaitu, (Kaswan, 2014:51):
1) Kolaborasi yang efektif bisa menghasilkan proyek yang berkualitas
lebih baik, membuat tim lebih efisien, menciptakan lingkungan yang
lebih sehat, meningkatkan produktivitas dalam jumlah besar, dan
37
memungkinkan pertumbuhan yang lebih besar dalam organisasi
daripada yang pernah ada sebelum penekanannya pada
kolaborasi.
2) Organisasi bisa lebih bersinergi, pelayanan yang meningkat kepada
pelanggan, kepengurusan yang lebih baik. Kolaborasi yang efektif
merupakan komponen utama pengembangan yang dapat
menyampaikan nilai penghematan waktu yang signifikan lintas
organisasi.
3) Meningkatnya pembelajaran baik individual maupun organisasi.
Kolaborasi atau kerja sama tim membantu individu dan organisasi
belajar dan tumbuh dari saling berbagi pengetahuan, ide, misi, dan
sasaran.
4) Meningkatnya inovasi. Inovasi yang sebenarnya terjadi ketika
orang-orang dengan keragaman pengalaman, pengetahuan, dan
perspektif bekerja sama untuk mencapai sasaran bersama.
Kendatipun kolaborasi melibatkan pengelolaan berbagai ide yang
berbeda, kepribadian yang berbenturan, konflik, friksi dan oposisi
yang tidak bisa dihindarkan bersama datangnya berbagai orang
dengan cara mengerjakan sesuatu yang berbeda, namun hasilnya
akan lebih baik dan inovatif.
e. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Kolaborasi
Agranoff dan Mc Guire dalam Raharja (2008:68) menyatakan
bahwa ada empat penguat ikatan (kohesifitas) dalam kolaborasi.
38
Pertama, trust, tujuan bersama dan saling ketergantungan sumber,
relasi ketergantungan sumber, lingkungan dan pertukaran sumber
daya yang menjadikan satu dengan lainnya interdependen. Kedua,
shared belief and common purpose, sebagai pegangan kolaborasi.
Ketiga, mindset dan komitmen yang menggantikan metode tradisional
yang tidak berjalan. Keempat, kepemimpinan dan kemampuan
memandu menggantikan cara komando dan kontrol.
Kolaborasi yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan
lancar tanpa hambatan, karena melibatkan banyak stakeholder
seringkali menyebabkan keberlangsungan proses kolaborasi menjadi
terhambat. Diperlukannya penyesuaian antarpemangku kepentingan
agar bisa menyatukan visi, misi, tujuan yang dimiliki untuk diwujudkan
bersama. Karena berasal dari sektor yang berbeda, masing-masing
stakeholder seringkali memprioritaskan kepentingan dan tujuannya
sendiri dibandingkan tujuan yang telah ditetapkan bersama
stakeholder lain. Hal ini adalah salah satu yang menghambat
suksesnya kolaborasi, meskipun tidak sepenuhnya pihak yang
mengutamakan tujuannya tersebut melakukan tanpa alasan. Sudarmo
dalam Hafifa (2016:24), menyebutkan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terhambatnya proses kolaborasi, antara lain:
1) Ketidakjelasan batasan masalah
Ketidak jelasan batasan masalah ini biasanya disebabkan karena
masing-masing pemangku kepentingan tidak mampu melakukan
39
sharing informasi dengan baik sehingga batasan masalah sulit
dipahami bersama. Untuk itu diperlukan autentic dialogue agar
stakeholders mampu berperan aktif dalam proses pembagian
infomasi dan mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi.
2) Munculnya jurang perbedaan
Adanya jurang perbedaan ini disebabkan karena pihak yang
melakukan kolaborasi berasal dari bidang yang berbeda-beda
kemudian mereka berkumpul menjadi satu untuk menyelesaikan
suatu masalah yang hanya dapat diselesaikan secara bersama-
sama. Namun, terkadang perbedaan tersebut justru menjadi jurang
pemisah antarpemangku kepentingan karena masing-masing pihak
mempertahankan tujuannya masing-masing. Oleh karena itu, hal ini
perlu diselesaikan dengan pendekatan khusus agar masing-masing
stakeholder mau dan mampu untuk diajak bekerja bersama-sama
terkait masalah dan pemecahan masalah tersebut.
3) Kurangnya strategi inovatif
Kurangnya strategi inovatif juga menjadi salah satu faktor
penghambat terselenggaranya kolaborasi. Hal ini dapat terjadi
apabila para pemimpin dari kelompok yang berkolaborasi kurang
inovatif dalam menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks.
4) Terjadinya perubahan kesepakatan
Faktor selanjutnya yang dapat menyebabkan kolaborasi menjadi
terhambat adalah adanya perubahan kesepakatan. Kesepakatan
40
yang telah disetujui bersama pada awal proses kolaborasi bisa saja
berubah seiring dengan bertambahnya kepentingan masing-masing
pihak yang berkolaborasi.
5) Tidak adanya transparansi
Transparansi sangat diperlukan dalam proses apapun termasuk
kolaborasi. Apabila tidak ada hal tersebut justru akan menyebabkan
saling tidak percaya antarstakeholder. Padahal kepercayaan adalah
hal yang sangat diperlukan dalam proses kolaborasi, karena
dengan kepercayaan itulah yang dapat menentukan collaborative
governance dapat berlangsung dengan baik atau tidak.
Adapun faktor penghambat dan rintangan kolaborasi oleh
Agranoff dan Mc Guire dalam Raharja (2008:69), antara lain, Pertama,
keengganan untuk berbagi dengan orang lain yang tidak dikenal.
Kedua, keengganan menerima cara pemecahan masalah yang
diberikan pihak lain. Ketiga, keengganan berbagi pengetahuan karena
pengetahuan merupakan sumber kekuasaan. Adapun rintangan dalam
kolaborasi antarorganisasi bersifat internal-eksternal, yaitu:
1) Aspek internal
a) Perbedaan misi, orientasi profesional, struktur, dan proses
b) Perbedaan kapasitas dan teknologi yang diterapkan
c) Proteksi terhadap tumbuhnya kolaborasi
2) Aspek Eksternal
a) Kurangnya dukungan pemimpin
41
b) Hukum yang ketat dan aturan program yang mengikat
c) Berbagai pembatasan dalam penggunaan dana
d) Kecenderungan ekonomi
2. Organisasi
a. Pengertian Organisasi
Sudah banyak para ahli yang telah memberikan pendapatnya
untuk mendefinisikan organisasi. Definisi yang beragam dari masing-
masing para ahli memiliki kesamaan, bahwa organisasi dibentuk untuk
mencapai suatu tujuan bersama yang diinginkan. Pettes dalam
Mulyadi (2015:5), organisasi adalah sekumpulan individu yang bekerja
sama untuk mencapai tujuan dan unsur-unsurnya meliputi:
1) Suatu organisasi terbentuk dari sejumlah orang atau individu.
2) Organisasi dirancang atau dibentuk untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
3) Dalam organisasi terdapat suatu struktur formal yang
memungkinkan terjadinya komunikasi dan kolaborasi.
4) Dalam organisasi terdapat pembagian kerja yang dirancang untuk
mengalokasikan tanggung jawab, baik dalam penyusunan
kebijakan maupun dalam mengendalikan kegiatan yang dikerjakan
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kochler dalam Mulyadi (2015:6), organisasi adalah sistem
hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu
kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu, pandangan lain
42
bahwa organisasi sebagai suatu kesatuan, yaitu sekelompok orang
terlihat secara bersama-sama di dalam hubungan yang formal untuk
mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan Robbins dalam Tambunan
(2015:134), berpendapat bahwa organisasi adalah kesatuan (entity)
sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan
yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif
terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau
sekelompok tujuan. Berangkat dari definisi tersebut, Daft dalam Heene
et al. (2010:2), menjelaskan empat prinsip utamanya, yaitu:
1) Organisasi merupakan entitas-entitas sosial yang terdiri atas
manusia dan kelompok manusia. Fungsi penting dari keberadaan
organisasi sepenuhnya hanyalah dan tiada lain sebagai wahana
interaksi antarmanusia.
2) Organisasi akan senantiasa terarah pada tujuan tertentu,
dikarenakan keberadaan tujuan itulah merupakan perwujudan dari
alasan berdirinya suatu organisasi. Tanpa adanya tujuan yang
jelas, hal ini berarti organisasi tidak lagi memiliki alasan bagi
kehadirannya atau keberadaannya terhenti.
3) Organisasi mengandung sistem-sistem yang dikoordinasikan
secara rasional agar mampu meraih tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tugas-tugas keorganisasian secara objektif dipilah ke
dalam berbagai departemen agar tercapai tingkat efisiensi dan
efektivitas yang semakin tinggi.
43
4) Organisasi memiliki rambu-rambu pembatas yang relatif
teridentifikasi secara jelas yang menentukan unsur mana saja yang
termasuk bagian atau bukan dari organisasi itu.
Kepemimpinan dalam organisasi sangat penting karena
organisasi yang memiliki kepemimpinan yang baik akan mudah dalam
meletakkan dasar kepercayaan terhadap anggota-anggotanya,
sedangkan organisasi yang tidak memiliki kepemimpinan yang baik
akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari para anggotanya.
Organisasi tersebut akan kacau dan tujuan organisasinya tidak akan
tercapai (Rivai dan Murni dalam Kaswan, 2014:1).
Beberapa pakar telah memberikan definisi yang berbeda
tentang kepemimpinan, antara lain menurut Ordway Tead dalam
Syafi’ie (2009:2), kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang
memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain
menyelesaikan tugasnya. Sedangkan Sedarmayanti (2013:120),
kepemimpinan hakikatnya adalah:
1) Proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada
pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
2) Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara
kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, dan kerja sama yang
bersemangat dalam mencapai tujuan bersama.
44
3) Kemampuan mempengaruhi, memberi inspirasi, dan mengarahkan
tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
4) Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu.
5) Kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan.
Lebih lanjut Adair dalam Tambunan (2015:13), menyebutkan
beberapa fungsi-fungsi utama dari kepemimpinan, yaitu:
1) Merencanakan, yang meliputi: mencari semua informasi yang bisa
diperoleh, mendefinisikan tugas, tujuan atau sasaran kelompok,
membuat rencana yang bisa dijalankan (dalam kerangka
pembuatan keputusan yang tepat).
2) Memulai, yang meliputi: memberikan brifing kepada kelompok
mengenai tujuan dan rencana, menjelaskan mengapa tujuan atau
rencana itu perlu, mengalokasikan tugas kepada anggota-anggota
kelompok, menetapkan standar kelompok.
3) Mengendalikan, yang meliputi: mempertahankan standar kelompok,
mempengaruhi ritme kerja, memastikan semua tindakan dilakukan
ke arah sasaran, mendorong kelompok untuk bertindak atau
mengambil keputusan.
4) Menyokong, yang meliputi: menyatakan penerimaan terhadap
seseorang dan kontribusinya, mendorong kelompok atau individu,
menciptakan semangat tim, menyelesaikan perbedaan atau
membuat orang lain menjajaki perbedaan.
45
5) Menginformasikan, yang meliputi: memperjelas tugas dan rencana,
memberi informasi baru kepada kelompok agar mereka tetap
mengikuti perkembangan, menerima informasi dari kelompok,
meringkas saran dan ide secara berkaitan.
6) Mengevaluasi, yang meliputi: memeriksa apakah ide dapat
dijalankan, menguji konsekuensi solusi yang diusulkan,
mengevaluasi kinerja kelompok, membantu kelompok
mengevaluasi kinerja mereka sendiri.
Dalam suatu organisasi, bisa terdapat lebih dari seorang
pemimpin yang melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan
tingkatannya masing-masing. Adair dalam Tambunan (2015:59)
menyebutkan bahwa dalam hal organisasi, ada tingkatan atau wilayah
kepemimpinan, yaitu:
1) Kepemimpinan Tim
Pemimpin tim beranggota berkisar 10 sampai 20 orang dengan
tugas spesifik yang harus dicapai. Jenis kepemimpinan ini lebih
mengarahkan kepada pekerjaan yang bersifat teknis kepada
seseorang, tim atau kelompok kerja. Pemimpin ini berusaha untuk
membimbing dan mengarahkan para bawahannya untuk
melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan, sehingga tercapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan tim dituntut untuk memiliki keterampilan dalam hal
berkomunikasi yang efektif dan mampu melakukan kerja sama
46
yang baik dengan orang lain atau tim kerja. Keberhasilan peran
kepemimpinan dari seorang pemimpin tim, ditentukan oleh
keberhasilan sebuah tim dalam menyelesaikan pekerjaan dan
mencapai suatu tujuan.
2) Kepemimpinan Operasional
Merupakan pemimpin salah satu dari bagian utama organisasi dan
mengendalikan lebih dari satu pemimpin tim, menjadi pemimpin
dari para pemimpin.
3) Kepemimpinan Strategis
Merupakan pemimpin seluruh organisasi dan secara pribadi
mengarahkan sejumlah pemimpin operasional. Fungsi seorang
pemimpin strategis, yaitu memberikan arahan kepada organisasi
secara keseluruhan, memastikan benarnya strategi dan kebijakan,
membuat sesuatu terjadi (tanggung jawab eksekutif secara
keseluruhan), mengorganisasi atau me-reorganisasi
(keseimbangan keseluruhan dan bagian-bagiannya), memberi
semangat korporasi, menghubungkan organisasi dengan
organisasi-organisasi lainnya dan dengan masyarakat secara
keseluruhan, memilih pemimpin hari ini dan mengembangkan
pemimpin masa depan. Pada umumnya, jenis kepemimpinan
strategis dapat dikategorikan sebagai top manajemen di sebuah
organisasi.
47
Salah satu tanggung jawab penting dari seorang pemimpin
adalah bahwa ia seorang pembuat keputusan atas suatu masalah.
Pengambilan keputusan berlangsung dalam semua siklus kehidupan
organisasi. Pengambilan keputusan merupakan kegiatan fundamental
bagi para pemimpin. Untuk menghasilkan keputusan yang baik,
sebaiknya pemimpin membuat beberapa alternatif atau pilihan
keputusan dalam menyelesaikan satu masalah, dan pilihan tersebut
harus diperoleh dari orang-orang yang ada di dalam organisasi,
sehingga keputusan tersebut dapat mewakili semua kebutuhan atau
kepentingan orang banyak. Pengambilan keputusan yang terbaik
dapat diperoleh bila melibatkan sumber daya manusia yang ada di
dalam organisasi. Jadi, dapat disepakati bahwa pengambilan
keputusan dan pemacahan masalah merupakan fungsi inti dalam
tugas seorang pemimpin. Sebagaimana Daft dalam Tambunan
(2015:213), mendefinisikan pengambilan keputusan adalah proses
identifikasi permasalahan dan peluang kemudian menyelesaikannya.
Pada hakikatnya pengambilan keputusan adalah suatu
pendekatan yang sistematis terhadap suatu masalah yang dihadapi.
Pendekatan yang sistematis itu menyangkut pengetahuan tentang
hakikat masalah yang dihadapi, pengumpulan fakta dan data yang
relevan dengan masalah yang dihadapi, analisis masalah dengan
mempergunakan fakta dan data, mencari alternatif pemecahan
masalah, menganalisis setiap alternatif sehingga ditemukan alternatif
48
yang paling rasional, dan penilaian dari hasil yang dicapai sebagai
akibat keputusan yang diambil. Pengertian tersebut menunjukkan
dengan jelas beberapa hal, yaitu: Siagian (2011:39)
1) Dalam proses pengambilan keputusan tidak ada hal yang terjadi
secara kebetulan.
2) Pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara “asal jadi”
karena cara pendekatan kepada pengambilan keputusan harus
didasarkan kepada sistematika tertentu. Sistematika tertentu itu
perlu didasarkan kepada: Kemampuan organisasi dalam arti
tersedianya sumber-sumber materil yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan keputusan yang diambil, tenaga kerja yang tersedia
serta kualifikasinya untuk melaksanakan keputusan, filsafat yang
dianut oleh organisasi, situasi lingkungan internal dan eksternal
yang menurut perhitungan akan mempengaruhi roda administrasi
dan manajemen dalam organisasi.
3) Bahwa sebelum suatu masalah dapat dipecahkan dengan baik,
hakikat masalah itu harus terlebih dahulu diketahui dengan jelas.
Perlu diperhatikan bahwa pada hakikatnya, pengambilan keputusan
adalah pemecahan masalah dengan cara yang sebaik-baiknya.
4) Bahwa pemecahan tidak dapat dilakukan dengan hanya mencari
“ilham” atau dengan intuisi, akan tetapi juga perlu didasarkan
kepada fakta yang terkumpul dengan sistematis, terolah dengan
49
baik dan tersimpan secara teratur sehingga fakta-fakta atau data itu
sungguh-sungguh dapat dipercaya dan masih bersifat up to date.
5) Bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang dipilih dari
berbagai alternatif yang telah dianalisis secara matang.
Daft dalam Tambunan (2015:220), menyebutkan bahwa
pendekatan yang digunakan pemimpin untuk mengambil keputusan
dibagi kedalam tiga jenis, yaitu:
1) Model Klasik
Model klasik dipertimbangkan sebagai hal normatif yang berarti
model ini mendefinisikan bagaimana pengambil keputusan
sebaiknya membuat keputusan. Nilai dari model klasik adalah
kemampuannya untuk membantu pengambil keputusan menjadi
lebih rasional. Pengertian ini juga dibenarkan oleh Griffin dalam
Tambunan (2015:220) yang menuliskan bahwa model pengambilan
keputusan klasik adalah pendekatan yang memberikan petunjuk
dalam pengambilan keputusan yang mengatakan kepada manajer,
bagaimana mereka seharusnya membuat keputusan. Model ini
bergantung pada asumsi bahwa manajer adalah logis dan rasional
dan bahwa mereka membuat keputusan yang merupakan
kepentingan terbaik bagi organisasi.
2) Model Administratif
Adalah model pengambilan keputusan yang menggambarkan
bagaimana pemimpin yang sesungguhnya membuat keputusan
50
disituasi yang sulit, seperti yang dikarakteristikkan oleh keputusan
tidak terprogram, ketidakpastian dan ambiguitas. Model
administratif dianggap sebagai deskriptif yang berarti model ini
menjelaskan bagaimana pemimpin sesungguhnya mengambil
keputusan pada situasi yang kompleks dibandingkan dengan
mendikte bagaimana mereka seharusnya mengambil keputusan
menurut kondisi ideal yang teoritis. Griffin dalam Tambunan
(2015:221) menambahkan model administratif mendeskripsikan
mengenai bagaimana keputusan sering kali dibuat. Model
administratif merupakan model pengambilan keputusan yang
menunjukkan bahwa manajer: memiliki informasi yang tidak
lengkap, dibatasi oleh rasionalitas yang terbatas, cenderung untuk
merasa puas ketika membuat keputusan.
3) Model Politis
Model ini berguna dalam pembuatan keputusan tidak terprogram
ketika kondisi tidak pasti, informasi terbatas, dan terdapat
ketidaksepakatan antarpemimpin tentang tujuan mana yang harus
dicapai atau arah tindakan apa yang harus diambil. Griffin dalam
Tambunan (2015:221), mengatakan bahwa kekuatan politik adalah
elemen penting yang berkontribusi pada sifat pelaku dari
pengambilan keputusan. Elemen utama dari politik yaitu koalisi,
yang memiliki relevansi khusus dengan pengambilan keputusan.
51
Daft dalam Tambunan (2015:222), menyebutkan ada enam
langkah dalam proses pengambilan keputusan tingkat manajerial,
yaitu:
1) Pengenalan Persyaratan Keputusan
Artinya pemimpin menghadapi persyaratan sebuah keputusan
dalam bentuk permasalahan atau peluang. Permasalahan
(problem) timbul ketika pencapaian organisasi kurang dari yang
ditetapkan. Peluang (opportunity) timbul ketika pemimpin melihat
pencapaian potensial yang melebihi tujuan yang ditetapkan saat ini.
Kesadaran atas permasalahan atau peluang adalah langkah
pertama dalam alur keputusan dan membutuhkan pengawasan
terhadap lingkungan internal dan eksternal untuk isu-isu yang layak
memperoleh perhatian pihak manajerial.
2) Diagnosis dan Analisis Penyebab
Artinya pemimpin menganalisis faktor penyebab mendasar yang
dikaitkan dengan situasi keputusan. Dalam hal ini, bisa membuat
konsep sejumlah pertanyaan untuk mengelompokkan faktor
penyebab yang mendasar dari suatu permasalahan.
3) Pengembangan Alternatif
Artinya pemimpin mengumpulkan solusi alternatif yang
memungkinkan, yang merespon kebutuhan situasi dan mengoreksi
penyebab dasar. Alternatif keputusan dapat dianggap sebagai alat
52
untuk mengurangi perbedaan antara kinerja organisasi saat ini dan
yang diharapkan.
4) Pemilihan Alternatif yang Diinginkan
Setelah alternatif yang diinginkan dikembangkan, maka selanjutnya
alternatif tersebut harus dipilih. Pilihan keputusan adalah seleksi
atas sejumlah alternatif arah tindakan yang menjanjikan. Alternatif
terbaik adalah solusi yang paling sesuai dengan keseluruhan tujuan
dan nilai organisasi dan mencapai hasil yang diinginkan dengan
menggunakan sumber daya seminimal mungkin.
5) Implementasi Alternatif yang Dipilih
Tahap implementasi meliputi penggunaan kemampuan manajerial,
administratif, dan persuasif untuk menjamin alternatif yang dipilih
akan dijalankan. Keberhasilan akhir dari alternatif yang dipilih
tergantung dari apakah hal itu dapat diwujudkan dalam tindakan.
Oleh karena itu, dalam hal ini pemimpin harus memiliki sumber
daya atau energi banyak yang dibutuhkan untuk membuat
segalanya mungkin. Keahlian komunikasi, motivasi, dan
kepemimpin harus digunakan untuk melihat apakah keputusan itu
dapat dilakukan.
6) Evaluasi dan Umpan Balik
Pada tahap evaluasi dalam proses keputusan, pengambil
keputusan mengumpulkan informasi yang memberi tahu mereka
bahwa keputusan diimplementasikan dan apakah hal itu efektif
53
dilakukan untuk pencapaian tujuan. Umpan balik sangat penting
karena pengambilan keputusan merupakan proses yang
berkelanjutan dan tidak berujung. Umpan balik menyediakan
informasi bagi para pengambil keputusan yang dapat mempercepat
siklus keputusan baru.
b. Kolaborasi dalam Perspektif Teori Organisasi
Kolaborasi pada hakikatnya adalah suatu kerja sama yang
dilakukan antarorganisasi untuk mencapai tujuan bersama yang tidak
mungkin atau sulit dicapai apabila dilakukan secara individual atau
mandiri (independen). Dalam konteks ini terkandung dua hal penting;
Pertama, setiap organisasi pada awalnya adalah otonom (mandiri);
Kedua, karena adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan masing-
masing, tetapi terfokus pada tujuan atau obyek yang sama, organisasi
melakukan kerja sama dengan organisasi lainnya.
Ada tiga teori yang paling berpengaruh terhadap relasi
antarorganisasi dengan lingkungan. Ketiga teori tersebut, yaitu
ketergantungan sumber, population ecology, dan teori institusional
(Hatch dalam Raharja, 2008:11). Dalam kaitan dengan konsep
kolaborasi, tiga teori di atas dapat dijelaskan sebagai berikut;
Pertama, teori ketergantungan sumber menegaskan bahwa
keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung kepada kualitas
relasi yang mereka lakukan dengan organisasi lain; Kedua, teori
population ecology diterapkan bila lingkungan lebih menekankan
54
masalah teknis dan ekonomis; Ketiga, teori institutional diterapkan
pada lingkungan yang menekankan penyesuaian terhadap aturan oleh
organisasi.
3. Kemacetan Lalu Lintas
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang sangat pesat
telah mengakibatkan berbagai kesulitan, selain dari timbulnya
kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat dapat dikemukakan
kesulitan-kesulitan lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu kesulitan
tempat parkir untuk kendaraan-kendaraan bermotor disebabkan
bangunan-bangunan gedung atau ruko terletak sangat dekat di tepi
jalan raya sehingga menyebabkan terjadinya kongesti (kemacetan)
lalu lintas (Adisasmita, 2011:101). Oleh karena itu, pemerintah
seharusnya dapat bertindak tegas dan bijak untuk mengeluarkan surat
Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Agar pembangunan tidak merubah
pola ruang kota, yang dapat menimbulkan masalah publik. Pengusaha
seharusnya juga mampu membuat rencana bangunan yang efektif
dan efisien. Khususnya, lahan parkir yang memadai agar konsumen
yang datang, tidak parkir sembarangan. Karena parkir sembarangan
juga dapat menyumbang kemacetan.
Jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai
terjadi. Kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya
sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain. Kemacetan
total apabila kendaraan harus berhenti atau bergerak lambat.
55
Kemacetan lalu lintas terjadi bila ditinjau dari tingkat pelayanan jasa
yaitu pada kondisi lalu lintas mulai tidak stabil, kecepatan operasi
menurun relatif cepat akibat hambatan yang timbul dan kebebasan
bergerak relatif kecil. Jadi, kemacetan adalah turunnya tingkat
kelancaran lalu lintas pada jalan yang ada, dan sangat mempengaruhi
pelaku perjalanan, baik yang menggunakan angkutan umum maupun
angkutan pribadi, hal ini berdampak pada ketidaknyamanan serta
menambah waktu perjalanan bagi pelaku perjalanan.
Berbagai hal penyebab terjadinya kemacetan, dari tidak
terkendalinya jumlah kendaraan, pusat-pusat keramaian, pusat
perbelanjaan, disiplin pengendara bahkan tidak sedikit pembangunan
pusat perdagangan atau tempat-tempat usaha yang tidak
menyediakan tempat parkir bagi pengunjung bahkan jarak efisien
untuk menghindari kemacetanpun sering terabaikan. Ironisnya lagi
badan jalan dijadikan sebagai areal parkir kendaraan pengunjung.
Kemudian hal lain yaitu menyusul banyaknya ruko,
minimarket, pusat perbelanjaan, dan jenis bangunan lainnya yang
didirikan tanpa lahan parkir yang representatif, bahkan ada yang sama
sekali tidak memiliki lahan parkir. Secara otomatis kondisi seperti ini
menyebabkan masyarakat terpaksa menggunakan badan jalan
sebagai tempat parkir. Pembangunan pusat perdagangan melupakan
tempat parkir pengunjung bahkan jarak efisien untuk menghindari
56
kemacetanpun sering terabaikan. Ironisnya lagi badan jalan dijadikan
sebagai areal parkir kendaraan pengunjung.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian teoretis proses kolaborasi menurut Ansel
dan Gash dalam Rahmawati (2016:41), dan teori organisasi oleh
Robbins dalam Tambunan (2015:134), menjadi pijakan peneliti untuk
melakukan penelitian ini. Selain itu, peneliti juga mengacu pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Perda Kota Makassar No 15 Tahun 2004 tentang
Tata Bangunan secara umum telah diatur mengenai keteraturan,
kerapian, keindahan, kenyamanan, dan keamanan dalam penataan
bangunan di Kota Makassar. Sedangkan khususnya dalam bidang
pengelolaan perparkiran, menurut Pasal 1 No.6 Peraturan Daerah
Makassar Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Parkir Tepi
Jalan Umum dalam Kota Makassar, parkir adalah memberhentikan
dan menempatkan kendaraan bermotor di tepi jalan umum yang
bersifat sementara pada tempat yang telah ditetapkan. Tentunya
pada pasal tersebut sangat jelas menjastifikasi SKPD yang terkait
dalam hal ini peran Dinas Perhubungan diperlukan untuk melakukan
analisis dampak lalu lintas (andalalin) sehingga izin membangun bisa
diberikan setelah ada kajian dari Dishub terkait andalalinnya,
sehingga Dinas Tata Ruang dan Bangunan agar tidak seakan-akan
57
hanya bertugas mengeluarkan izin pembangunan tanpa melakukan
kontrol dan sebelum ada kajian analisis dampak lalu lintas mengenai
bangunan tersebut serta diperlukan manajemen lahan parkir oleh PD
Parkir.
Mengacu pada fenomena tersebut maka dalam penelitian ini
penulis mengkaji pada dua aspek, yaitu (1) Bagaimana proses
kolaborasi Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan
PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas dengan
mangacu pada teori proses kolaborasi yang dirumuskan oleh Ansel
dan Gash dalam Rahmawati (2016:41), (2) faktor penghambat proses
kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu
lintas.
Mengingat permasalahan kemacetan yang terjadi di Kota
Makassar semakin memperihatinkan dengan banyak bangunan atau
ruko yang tidak didukung oleh fasilitas perparkiran yang memadai.
Oleh karena itu, diharapkan organisasi atau SKPD terkait dalam hal
ini Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan mampu
berkolaborasi dengan PD Parkir dalam hal penanganan kemacetan
lalu lintas di Kota Makassar.
Tujuan utama dalam penelitian ini, adalah menciptakan
Kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan lalu
lintas di Kota Makassar dalam hal ini kolaborasi antar-Dinas
58
Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam
penanggulangan kemacetan di Kota Makassar. untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1: Kerangka Pikir
D. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian kali ini maka peneliti dapat
menjelaskan masing-masing unsur sebagaimana di bawah ini:
1. Fokus Penelitian
a. Mendeskripsikan proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan,
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
Proses Kolaborasi (Ansel dan Gash) a. Dialog tatap muka
b. Komitmen terhadap
proses
c. Pemahaman bersama
Kolaborasi Antar Organisasi (Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan dengan
PD Parkir)
Penanggulangan
Kemacetan Lalulintas
Faktor Penghambat - Kurangnya
komunikasi
- Perilaku
Pengembang atau
pembangun
59
b. Menguraikan faktor penghambat proses kolaborasi antar-Dinas
Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir
dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
2. Deskripsi fokus
Mengingat fokus penelitian yang diuraikan di atas maka perlu
peneliti mendeskripsikan fokus penelitian sebagai berikut:
a. Kolaborasi antarorganisasi adalah kolaborasi antar-Dinas
Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir
dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar. Di
mana aktivitas kolaborasi jauh lebih strategis, menuntut semua
pihak meningkatkan kemampuannya satu sama lain, dan semua
menanggung risiko, tanggung jawab bersama, dan menerima
imbalan atau penghargaan bersama. Proses kolaborasi terdiri atas
beberapa komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain
yaitu:
1) Face to face dialogue (dialog tatap muka)
Kolaborasi didasarkan pada dialog tatap muka antarorganisasi
Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD
Parkir sebagai proses yang berorientasi konsensus, dialog tatap
muka atau dapat disebut dialog langsung diperlukan oleh
organisasi Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, dan PD Parkir untuk mengidentifikasi
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
60
2) Commitment to process (komitmen terhadap proses)
Tingkat komitmen antarorganisasi Dinas Perhubungan, Dinas
Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam melakukan
kolaborasi atau kerja sama tim dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas di Kota Makassar Commitment to process
dapat dicapai melalui: saling pengakuan (mutual recognition of
interdepandence), kepemilikan terhadap proses (shared
ownership of process), dan keuntungan yang didapat melalui
proses kolaborasi (openness to exploring mutual gain).
3) Shared Understanding (pemahaman bersama)
Setiap organisasi Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, dan PD Parkir yang berkolaborasi dalam
penanggulangan kemacetan harus mengembangkan
pemahaman bersama tentang apa yang secara kolektif dapat
mereka capai bersama. Pemahaman bersama juga bisa
dimanifestasikan pada kesepakatan pada pendefinisian masalah
atau kesepakatan tentang pengetahuan yang relevan yang
diperlukan dalam penanggulangan masalah kemacetan lalu
lintas di Kota Makassar. Sharing understanding antarorganisasi
Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD
Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar dapat dilakukan melalui: kejelasan misi (clear
mission), pendefinisian masalah bersama (common problem
61
definition), dan pengidentifikasian nilai-nilai umum (identification
of common value).
b. Faktor Penghambat Kolaborasi
Kolaborasi yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan lancar
tanpa hambatan, karena melibatkan banyak stakeholder seringkali
menyebabkan keberlangsungan proses kolaborasi menjadi
terhambat. Faktor penghambat merupakan rintangan dalam
kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi
Selatan direncanakan selama 2 (dua) bulan dengan melihat
bagaimana proses kolaborasi antarorganisasi (Dinas Perhubungan
Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan
Perusahaan Daerah Parkir Makassar Raya) dalam penanganan
kemacetan yang terjadi di Kota Makassar. Dinas Perhubungan selaku
pemberi rekomendasi analisis dampak lalu lintas, Dinas tata ruang
selaku pemberi izin pemanfaatan ruang harus mengontrol atau
melakukan pengawasan terhadap pembangunan atau tempat-tempat
usaha yang disertai dengan penyediaan fasilitas perparkiran, dan PD
Parkir melakukan manajemen perparkiran yang baik agar tidak lagi
menimbulkan kemacetan sehingga dapat memelihara estetika
perkotaan.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
mendeskripsikan makna data-data empirik yang berkaitan dengan
harapan agar penelitian ini dapat menjelaskan dan menggambarkan
tentang kolaborasi antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan
lalu lintas di Kota Makassar. Tipe penelitian ini adalah studi kasus
63
untuk mengetahui kolaborasi antarorganisasi (Dinas Perhubungan,
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan Perusahaan Daerah Parkir)
dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
C. Sumber Data dan Informan Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder adalah sebagai berikut :
a. Data khusus (primer), adalah data yang diperoleh melalui hasil
observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi mengenai
kolaborasi antarorganisasi (Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang
dan Bangunan, dan Perusahaan Daerah Parkir) dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
b. Data umum (sekunder), adalah data yang dikumpulkan peneliti
yang sumbernya dari data-data sebelumnya menjadi seperangkat
informasi dalam bentuk dokumen, laporan-laporan, dan informasi
tertulis lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Peneliti
menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan
melengkapi informasi yang ada hubungannya dengan kolaborasi
antarorganisasi dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar.
64
2. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah aktor yang terlibat langsung di
lapangan untuk memberi informasi tentang situasi dan kondisi
mengenai kolaborasi antarorganisasi dalam mengatasi kemacetan lalu
lintas di Kota Makassar, untuk mendapatkan informasi yang sesuai
dengan permasalahan penelitian. Peneliti terlebih dahulu menetapkan
siapa saja yang menjadi informan, kemudian memilih informan yang
memiliki kapasitas untuk memberikan informasi sesuai dengan
masalah yang diteliti. Adapun informan penelitian yaitu :
a. Kepala Humas Dinas Perhubungan Kota Makassar.
b. Kepala Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data Dinas
Perhubungan Kota Makassar
c. Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota
Makassar
d. Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota
Makassar
e. Kepala Bidang Tata Bangunan Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Kota Makassar
f. Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Dinas Tata Ruang
dan Bangunan Kota Makassar
g. Kepala Bagian Umum PD Parkir Makassar Raya
h. Direktur Operasional PD Parkir Makassar Raya
65
Dasar pertimbangan pemilihan lokasi sebagai sumber data
dalam penelitian ini adalah:
a. Dinas Perhubungan Kota Makassar, merupakan unit pelaksana
teknis yang terkait dengan melakukan kajian analisis dampak lalu
lintas (andalalin) terhadap bangunan atau penggunaan lahan.
b. Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, merupakan unit
pelaksana teknis yang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan.
c. PD Parkir Kota Makassar, merupakan unit pelaksana teknis
pengelolaan parkir tepi jalan umum dalam daerah Kota Makassar.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penilitian ini dilakukan melalui:
1) Observasi (pengamatan), yaitu peneliti melakukan pengamatan dan
pencatatan langsung yang secara sistematis terhadap masalah
yang berkaitan dengan proses kolaborasi antarorganisasi dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
2) Interview (wawancara) digunakan oleh peneliti adalah wawancara
bebas terpimpin, artinya peneliti mengadakan pertemuan langsung
dengan petugas pemerintah, dan wawancara bebas artinya peneliti
bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya.
3) Studi Kepustakaan (dokumentasi), teknik yang digunakan peneliti
untuk mengetahui secara konseptual tentang permasalahan-
66
permasalahan yang sedang diteliti dengan membaca literatur
khususnya yang berhubungan dengan proses kolaborasi
antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas.
E. Teknik Analisis Data
Peneliti pada penelitian ini menggunakan teknik analisis
kualitatif, dengan menggunakan analisis data model Miles and
Huberman dalam Sugiyono (2015:247), yakni (a) Mengumpulkan data
sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, (b) Data reduksi adalah
data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
simpulan maka perlu dicatat secara teliti dan rinci, artinya mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, (c) Data display
atau menyajikan data, maka data terorganisasikan tersusun dalam
pola hubungan sehingga akan semakin mudah dipahami, (d) Data
langkah ketiga dalam analisis data yaitu penarikan simpulan dan
verifikasi.
Untuk lebih jelasnya peneliti menampilkan sesuai yang
digambarkan di bawah ini:
67
Gambar 2: Teknik Analisis Data oleh Miles dan Huberman
F. Keabsahan Data
Data penelitian yang dikumpulkan diharapkan dapat
menghasilkan penelitian yang bermutu atau data yang kredibel oleh
karena itu, peneliti melakukan pengabsahan data dengan berbagai hal
sebagai berikut:
1. Perpanjangan masa pengamatan
Peneliti akan melakukan perpanjangan masa pengamatan jika data
yang dikumpulkan dianggap belum cukup maka dari itu peneliti
dengan melakukan pengumpulan data, pengamatan, dan
wawancara kepada informan, baik dalam bentuk pengecekan data
maupun mendapatkan data yang belum diperoleh sebelumnya.
Oleh karena itu, peneliti menghubungi kembali para informan dan
mengumpulkan data sekunder yang masih diperlukan.
Data Display Data Collection
Data Reduction
Conclution Drawing/Verifyingi
68
2. Teknik Meningkatkan Ketekunan
Data yang diperoleh peneliti di lokasi penelitian akan diamati secara
cermat untuk memperoleh data yang bermakna. Oleh karena itu,
peneliti akan memperhatikan secara cermat apa yang terjadi di
lapangan sehingga dapat memperoleh data yang sesungguhnya.
3. Triangulasi
Untuk keperluan triangulasi maka dilakukan tiga cara yaitu :
a) Triangulasi Sumber, yaitu pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengecek pada sumber lain keabsahan data yang
telah diperoleh sebelumnya.
b) Triangulasi Teknik, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari
satu sumber dengan menggunakan bermacam-macam cara atau
teknik tertentu untuk diuji keakuratan dan ketidakakuratannya.
c) Triangulasi Waktu, yaitu triangulasi waktu berkaitan dengan
waktu pengambilan data yang berbeda agar data yang diperoleh
lebih akurat dan kredibel dari setiap hasil wawancara yang telah
dilakukan pada informan.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian
1. Deskripsi Geografis Kota Makassar
Secara geografis wilayah Kota Makassar terletak di pesisir pantai
Barat bagian Selatan Sulawesi Selatan, pada titik koordinat 119
derajat bujur Timur dan 5,8 derajat lintang Selatan dengan ketinggian
yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota
Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0-
5 derajat ke arah Barat, diapit dua muara sungai yakni Sungai Tallo
yang bermuara di bagian Utara kota dan Sungai Jeneberang yang
bermuara di Selatan kota.
Secara administratif Kota Makassar mempunyai batas-batas
wilayah, yaitu sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa,
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene Kepulauan,
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah Barat
berbatasan dengan Selat Makassar. Topografi pada umumnya berupa
daerah pantai.
Luas wilayah Kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih
175,77 kmଶ yang terbagi ke dalam 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Selain memiliki wilayah daratan, Kota Makassar juga memiliki wilayah
kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai Kota Makassar.
Adapun pulau-pulau di wilayahnya merupakan bagian dari dua
70
Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah. Pulau-pulau ini
merupakan gugusan Pulau-pulau Karang sebanyak 12 pulau, bagian
dari gugusan Pulau-pulau Sangkarang, atau disebut juga Pulau-pulau
Pabbiring atau lebih dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde.
Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Lanjukang (terjauh), Pulau
Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone Tambung, Pulau
Kodingareng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau
Kodingareng Keke, Pulau Samalona, Pulau Lae-lae, Pulau Gusung,
dan Pulau Kayangan (terdekat) dan ditambah luas wilayah perairan
kurang lebih 100 kmଶ.
Tabel 1: Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Makassar
NO KECAMATAN LUAS AREA (ܕܓ)
PERSENTASE TERHADAP LUAS KOTA MAKASSAR
1 Mariso 1,82 1,04
2 Mamajang 2,25 1,28
3 Tamalate 20,21 11,50
4 Rappocini 9,23 5,25
5 Makassar 2,52 1,43
6 Ujung Pandang 2,63 1,50
7 Wajo 1,99 1,13
8 Bontoala 2,10 1,19
9 Ujung Tanah 5,94 3,38
10 Tallo 5,83 3.32
71
Lanjutan tabel 1
11 Panakkukang 17,05 9,70
12 Manggala 24,14 13,73
13 Biringkanaya 48,22 27,43
14 Tamalanrea 31,84 18,12
MAKASSAR 175,77 100
Sumber: (BPS Kota Makassar 2015)
Tabel di atas menunjukkan bahwa kecamatan yang terluas di
Kota Makassar yaitu Kecamatan Biringkanaya dengan luas area 48,22
kmଶ atau sebesar 27,43 persen sedangkan kecamatan yang terkecil
yaitu Kecamatan Mariso dengan luas area hanya 1,82 kmଶ atau
sebesar 1,04 persen dari keseluruhan luas wilayah Kota Makassar.
2. Deskripsi Kelembagaan Dinas Perhubungan Kota Makassar
Dinas Perhubungan Kota Makassar merupakan salah satu
bentuk dari reformasi pemerintahan di daerah, dimulai dengan
ditetapkannya undang-undang tentang perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah sebagai upaya mewujudkan otonomi
daerah yang lebih luas, sekaligus diharapkan membawa perubahan
yang signifikan dalam hubungan tata pemerintahan dan hubungan
keuangan, terkhusus terhadap pembaharuan penting dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Permasalahan lalu lintas yang ada sekarang merupakan salah
satu tanggung jawab dari Dinas Perhubungan Kota Makassar yang
72
merupakan instansi pemerintah yang mengatur permasalahan lalu
lintas di Kota Makassar.
a. Visi dan Misi Dinas Perhubungan Kota Makassar
Visi
“Menuju transportasi perkotaan yang terpadu, berkelanjutan,
berorientasi global dan ramah lingkungan”. Di mana makna pokok
yang terkandung dalam visi Dinas Perhubungan Kota Makassar
tersebut, antara lain :
1) Transportasi perkotaan, secara harfiah mengandung makna
transportasi yang mampu melayani dan beroperasi di wilayah
perkotaan Makassar dan sekitarnya.
2) Terpadu, artinya pelayanan transportasi harus sinergi dengan
moda transportasi yang lainnya, yaitu transportasi darat, laut,
dan udara.
3) Berkelanjutan, artinya pembangunan dan pelayanan transportasi
dilakukan secara terus menerus tidak bergantung pada kondisi
tertentu.
4) Berorientasi global, artinya sejalan dengan visi Kota Makassar
maka pembangunan transportasi harus sejalan dengan
perkembangan teknologi dan bermanfaat bagi masyarakat.
5) Ramah lingkungan, artinya teknologi transportasi yang dipilih
haruslah teknologi yang ramah terhadap lingkungan guna
kelangsungan bumi.
73
Misi :
1) Mewujudkan sarana transportasi yang aman, handal, ramah
lingkungan terjangkasi masyarakat;
2) Mewujudkan prasarana transportasi yang berkualitas dan
memiliki standar nasional dan internasional;
3) Meningkatkan kenyamanan dan keselamatan transportasi;
4) Meningkatkan aksebilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa
perhubungan;
5) Meningkatkan manajemen transportasi perkotaan yang mudah
diakses melalui jaringan transportasi terpadu;
6) Memberdayakan sumber daya aparatur dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dengan budaya tertib berlalu lintas;
7) Memperkecil tingkat pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas yang
disebabkan oleh transportasi.
b. Keadaan Pegawai Dinas Perhubungan Kota Makassar
Penggambaran keadaan pegawai di Kantor Dinas Perhubungan
Kota Makassar akan dikemukakan berdasarkan status pegawainya.
Tabel 2: Keadaan Pegawai Dinas Perhubungan Kota Makassar
Keterangan Frekuensi Persentase
PNS
Kontrak
119
468
20,3 %
79,7 %
Jumlah 587 100%
Sumber: (Data Sekunder Dishub Kota Makassar 2016)
74
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai
Dishub berstatus sebagai pegawai kontrak dengan jumlah 468
orang atau sebesar 79,7% dari keseluruhan jumlah pegawai.
c. Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Makassar
Gambar 3: Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Makassar
KEPALA DINAS PERHUBUNGAN
SEKRETARIS
KEPALA SUB BAGIAN UMUM & KEPEGAWAIAN
KEPALA SUB BAGIAN KEUANGAN
KEPALA SUB BAGIAN PERLENGKAPAN
KEPALA BIDANG LALU LINTAS
KEPALA BIDANG TEKNIK SARANA DAN
PRASARAN
KEPALA BIDANG ANGKUTAN
KEPALA BIDANG PENGENDALIAN OPERASIONAL
KEPALA SEKSI ANGKUTAN LAUT
KEPALA SEKSI TERMINAL
KEPALA SEKSI KETERTIBAN LLAJ
KEPALA SEKSI PENGUMPULAN &
PENGOLAHAN DATA
KEPALA SEKSI PERPARKIRAN
KEPALA SEKSI MANAJEMEN LALU
LINTAS
KEPALA SEKSI PRASARANA LALU
LINTAS
KEPALA SEKSI TEKNIK KENDARAAN & PERBENGKELAN
KEPALA SEKSI BIMBINGAN KESELAMATAN LLAJ
KEPALA SEKSI ANGKUTAN
BARANG
KEPALA SEKSI ANGKUTAN
ORANG
KEPALA SEKSI REKAYASA LALU
LINTAS
KEPALA UPTD PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR
KASUBAG TATA USAHA
75
d. Tugas dan Fungsi Dinas Perhubungan
Dinas Perhubungan mempunyai tugas pokok merumuskan,
membina, dan mengendalikan kebijakan di bidang perhubungan
meliputi lalu lintas, angkutan, pengendalian operasional, teknik, dan
prasarana lalu lintas.
Dinas Perhubungan dalam melaksanakan tugas pokok,
menyelenggarakan fungsi:
1) Penyusunan rumusan kebijakan teknis di bidang lalu lintas,
angkutan, pengendalian operasional, teknik dan prasarana lalu
lintas.
2) Penyusunan dan penyelenggaraan manajemen rekayasa lalu
lintas jalan, analisis dampak lalu lintas dan penetapan rencana
umum jaringan transportasi jalan.
3) Pelaksanaan pengendalian dan pengawasan di bidang
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan serta pembinaan
penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi, terminal,
perparkiran, jaringan trayek, kelas jalan, angkutan kota,
angkutan taksi, angkutan sewa, angkutan pariwisata, angkutan
khusus penumpang, angkutan perbatasan, angkutan barang,
perbengkelan serta persyaratan teknik dan laik jalan.
4) Pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan
penyidikan pelanggaran sesuai kewenangannya.
76
5) Pemberian perizinan, pengawasan, dan pelayanan umum di
bidang perhubungan darat dan perhubungan laut.
6) Pelaksanaan perencanaan dan pengendalian teknis operasional
pengelolaan keuangan, kepegawaian, dan pengurusan barang
milik daerah yang berada dalam penguasaannya.
7) Pelaksanaan kesekretariatan dinas.
8) Pembinaan unit pelaksana teknis.
3. Deskripsi Kelembagaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota
Makassar
Berdasarkan Peraturan Walikota Makassar Nomor 17 tahun
2014 tentang Uraian Tugas dan Fungsi Jabatan Struktural pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar menyatakan bahwa tugas
pokok Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar adalah
merumuskan, membina, dan mengendalikan kebijakan di bidang
penataan dan pemanfaatan ruang, pengendalian kawasan, penataan
bangunan, pengawasan, dan pengendalian.
Dalam melaksanakan tugas pokok, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan Kota Makassar mempunyai fungsi :
1) Menyusun rumusan kebijakan teknis operasional dan pengendalian
pemanfaatan ruang dan bangunan
2) Menyusun rumusan kebijakan teknis operasional di bidang
penataan bangunan
77
3) Pengkajian, pembinaan, dan pengawasan gambar situasi
bangunan dan penyelenggaraan dokumentasi
4) Pengendalian dan pemberian izin dan pelayanan umum di bidang
penataan ruang wilayah Kota Makassar serta pendiri bangunan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Visi dan Misi Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar
Visi
Menjadikan Kota Makassar sebagai Kota Dunia dengan
Mewujudkan Integritas Penataan Ruang dan Bangunan yang
Berwawasan Lingkungan serta Kondusif untuk Semua.
Arti dari Visi tersebut sebagai berikut :
1) Kota Dunia: sebagai Kota Metropolitan, Kota Makassar dapat
menjadi kota yang dapat menata lingkungannya sesuai dengan
peruntukan ruang-ruang kota agar dapat bersaing dan mempunyai
keunggulan komparatif dengan kota lainnya, serta kota yang
mampu mengefektifkan potensi sumber daya manusia dan
sumber daya alamnya pada satu karakter budaya masyarakatnya
yang spesifik dan mendunia.
2) Integritas: dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Dinas
Tata Ruang dan Bangunan mengedepankan integritas atau
keterkaitan program-program instansi vertikal lainnya sehingga
secara simultan dapat mewujudkan suatu perencanaan yang
handal tentang penataan ruang dan bangunan.
78
3) Tata Ruang: adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang
dilakukan melalui proses perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian ruang yang tetap merujuk pada Rencana Tata
Ruang dan Wilayah Kota Makassar.
4) Berwawasan Lingkungan: paradigma baru penataan ruang dan
bangunan adalah melakukan penataan bangunan dan gedung
dengan mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
5) Kondusif Untuk Semua: atmosfir tata kota, bangunan dan
lingkungan yang aman, nyaman, lancar, dan produktif bagi semua
aktivitas, serta terwujudnya interaksi harmonis, simbiosis,
mitralistis antara komunitas lokal, nasional maupun internasional.
Misi
Meningkatkan kualitas lingkungan melalui pengendalian dan
pengawasan pemanfaatan ruang serta penataan bangunan.
1) Penegakan peraturan perundang-undangan secara konsisten
dalam penataan ruang melalui pengawasan, pengusutan, dan
penertiban.
2) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
3) Mengoptimalkan sumber daya retribusi untuk peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
79
b. Keadaan Pegawai DTRB Kota Makassar
Pegawai adalah pelaksana tugas perkantoran baik dari segi fisik
maupun dari segi materialnya. Dalam hal ini pegawai adalah manusia
yang mempunyai sifat keterbatasan pikiran, waktu, tenaga, dan lain-
lain. Dari keterbatasan-keterbatasan yang ada kiranya perlu mendapat
suatu bentuk pembinaan-pembinaan, seperti pelatihan kerja dan
sebagainya. Penggambaran keadaan pegawai di Kantor DTRB Kota
Makassar akan dikemukakan, antara lain berdasarkan golongan
kepangkatan.
Tabel 3: Keadaan Pegawai DTRB Kota Makassar Berdasarkan Golongan
Pangkat/Golongan Jumlah Pegawai Persentase (%)
II/a 2 2,6 %
II/b 6 7,7%
II/c 10 12,8%
II/d 1 1,3%
III/a 9 11,5%
III/b 19 24,3%
III/c 11 14,1%
III/d 13 16,7%
IV/a 6 7,7%
IV/b 1 1,3%
Jumlah 78 100 %
Sumber: (Data Sekunder DTRB Kota Makassar 2016)
80
Tabel di atas menunjukkan bahwa golongan yang mendominasi
pada Kantor DTRB Kota Makassar yaitu golongan III/b dengan jumlah
19 orang atau sebesar 24,3%. Golongan pegawai juga berpengaruh
pada kinerja seseorang sehingga dengan demikian diharapkan dapat
terjalin koordinasi dan terbina kerja sama yang baik serta target yang
telah ditentukan sebelumnya dapat tercapai.
c. Struktur Organisasi DTRB Kota Makassar
Gambar 4: Struktur Organisasi DTRB Kota Makassar
KEPALA DINAS
SEKRETARIAT
SUBBAGIAN UMUM & KEPEGAWAIAN
SUBBAGIAN KEUANGAN
SUBBAGIAN PERLENGKAPAN
BIDANG PENATAAN & PEMANFAATAN
RUANG DAN FASUM FASOS
BIDANG TATA BANGUNAN
BIDANG PENGKAJIAN DAN
RETRIBUSI
BIDANG PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN
SEKSI PENATAAN RUANG
SEKSI PEMANFAATAN RUANG & FASUM
FASOS
SEKSI PENELITIAN &
PENGEMBANGAN
SEKSI PENGALIHAN FUNGSI BANGUNAN
SEKSI PETA SITUASI &
PENGUKURAN
SEKSI DETAIL & TEKNIK
ARSITEKTUR
SEKSI PENELITIAN ADMINISTRASI
SEKSI PENELITIAN TEKNIS
SEKSI PENETAPAN RETRIBUSI
SEKSI PENGAWASAN BANGUNAN
&PEMANFAATAN RUANG
SEKSI HUKUM, PENGADUAN &
TINDAKAN
SEKSI EVALUASI, MONITORING &
PELAPORAN
81
4. Deskripsi Kelembagaan PD Parkir Makassar Raya
Perusahaan Daerah (PD) Parkir Kota Makassar didirikan
berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kotamadya DATI II Ujung
Pandang No. 5 Tahun 1999, tentang: pendirian Perusahaan Daerah
Parkir Makassar Raya Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang
No.19 Tahun 1999, Seri D, Nomor 6, kemudian diubah dengan Perda
Kota Makassar, No.16, Tahun 2006.
Pemikiran Pemerintah Kota Makassar untuk membentuk
Perusahaan Parkir Makassar Raya didasari atas prinsip-prinsip
efesiensi dan efektivitas pencapaian tujuan pelayanan dari sektor
perparkiran kepada masyarakat Kota Makassar. Di samping itu,
kegiatan perparkiran di Kota Makassar juga merupakan salah satu
objek yang mempunyai prospek untuk menunjang Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kota Makassar. Jadi, dengan kehadiran Perusahaan
Daerah Parkir Makassar Raya, selain diharapkan menunjang
pelaksanaan otonomi daerah juga dapat meningkatkan PAD Kota
Makassar.
a. Visi dan Misi PD Parkir Kota Makassar
Visi
Optimalisasi pelayanan perparkiran yang tertib, aman, nyaman,
terkendali, dan berwawasan lingkungan dalam mewujudkan Makassar
sebagai kota dunia.
82
Misi
1) Membentuk sistem perparkiran untuk menunjang kelancaran lalu
lintas dan mengoptimalkan fungsi jalan.
2) Membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) perparkiran yang
berkualitas dan profesional.
3) Meningkatkan efisiensi perparkiran dengan fasilitas pendukung.
4) Meningkatkan dan mengembangkan fungsi Satuan Ruang Parkir
(SRP) tepi jalan sepanjang tidak mengganggu kelancaran lalu
lintas.
5) Mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber
dari jasa parkir.
b. Keadaan Pegawai PD Parkir Makassar Raya
Pegawai adalah pelaksana tugas perkantoran baik dari segi fisik
maupun dari segi materialnya. Dalam hal ini pegawai adalah manusia
yang mempunyai sifat keterbatasan pikiran, waktu, tenaga, dan lain-
lain. Dari keterbatasan-keterbatasan yang ada kiranya perlu mendapat
suatu bentuk pembinaan-pembinaan, seperti pelatihan kerja dan
sebagainya.
Efektif tidaknya suatu organisasi tetap tergantung pada orang-
orang yang membantu dalam menyukseskan pengelolaan retribusi
parkir yang ada dalam kantor tersebut. Kualitas dan kemampuan dari
para pegawai tentunya menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan kerja
yang optimal sehingga mencapai tujuan yang telah direncanakan.
83
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penggambaran
keadaan pegawai di Kantor PD Parkir Makassar Raya akan
dikemukakan, antara lain berdasarkan status pegawainya dan jenis
kelamin.
Tabel 4: Keadaan Pegawai Kantor PD Parkir Makassar Raya
Keterangan Frekuensi Persentase (%)
Status pegawai:
Pegawai Organik
Pegawai Kontrak
Tenaga Honorer
50
78
19
34 %
53,1 %
12,9 %
Jumlah 147 100 %
Jenis Kelamin:
Laki-laki
Perempuan
110
37
74,8%
25,2%
Jumlah 147 100%
Sumber: (Data Sekunder PD Parkir Makassar Raya 2016)
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai PD
Parkir Makassar Raya berstatus sebagai pegawai kontrak dengan
jumlah 78 orang atau sebesar 53,1% dan pegawai organik berjumlah
50 orang atau sebesar 34% serta tenaga honorer hanya berjumlah 19
orang atau 12,9%. Sedangkan keadaan pegawai PD Parkir Makassar
Raya berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar
84
berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 110 orang atau sebesar
74,8% dan perempuan hanya berjumlah 37 orang atau sebesar 25,2%.
c. Struktur Organisasi PD Parkir Makassar Raya
Gambar 5: Struktur Organisasi PD Parkir Makassar Raya
WALIKOTA MAKASSAR
Ir.H.MOH.RAMDHAN POMANTO BADAN PENGAWAS
-Ir. Mappincara A.Baso, I.A.I -Ir. Haeruddin Hafied
-Muhammad Dahsyat DIREKTUR UTAMA
Ir.H.IRIANTO AHMAD
KELOMPOK
JABATAN FUNGSIONAL DIREKTUR UMUM
Ir.RUSDI MUHADIR
KABAG UMUM
Ir.ASRARUDDIN
KABAG KEUANGAN
RAHMADAYANTI, SE
DIREKTUR OPERASIONAL
SYAFRULLAH, SE
KABAG PRODUKSI
SYARIFUDDIN. B,S.Pd
KABAG PENGELOLAAN
Drs.MA’MUR SAID
KASIE PERLENGKAPAN
Drs.RIANTO MULIYONO
Plt.KASIE ADM.& KEPEGAWAIAN MAHDINAR, SE
KASIE HUMAS KASIE KASIR SURIANY SUYUTI,
SE
Plt.KASIE PEMBUKUAN SURIANI, SE
KASIE ANGGARAN
MUNAWAR, S.Kom
KASIE PERALATAN MUH.IQBAL
EFFENDY, SE
Plt.KASIE PENDATAAN
ARFAH S
KASIE PENETAPAN
DAHRIR, ST
Plt.KASIE PENAGIHAN
AMRULLAH, S.Ag
KASIE PELATARAN UMUM
NURSALIM, SE
Plt.KASIE INSIDENTIL
ANDI AGUS
85
d. Tugas dan Fungsi PD Parkir Makassar Raya
PD Parkir Makassar Raya sebagai salah satu badan usaha dalam
lingkup Pemerintah Kota Makassar merupakan manifestasi dan
perpanjangan tangan Pemerintah Kota dalam mengelola sektor
perparkiran. PD. Parkir Makassar Raya diharapkan dapat menunjang
pelaksanaan otonomi daerah juga dapat meningkatkan PAD Kota
Makassar.
1) Badan Pengawas
Badan Pengawas bertugas mengawasi dan membina perusahaan
secara terus menerus, baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik diminta maupun tidak diminta.
Fungsi dari badan pengawas PD Parkir Makassar Raya adalah
sebagai berikut :
a) Merumuskan kebijaksanaan untuk perusahaan secara terarah
dalam bidang penanaman modal untuk penggunaan dana sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
b) Meneliti dan mengevaluasi lebih lanjut atas laporan perhitungan
usaha Perusahaan Daerah.
c) Membuat kebijaksanaan dan menetapkan kedudukan
kepegawaian Perusahaan Daerah dan penghasilannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
86
d) Melaksanakan fungsi lain yang dianggap perlu oleh badan
pengawas dalam mengembangkan Perusahaan Daerah sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
2) Direktur Utama
Direktur Utama mempunyai tugas untuk mengkoordinir dalam
bidang teknik operasional perparkiran bidang umum termasuk
pengelolaan keuangan dana administrasi untuk mencapai tujuan.
Direktur Utama juga bertugas untuk memberikan laporan kepada
Badan Pengawas terdiri dari Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi,
Laporan Keuangan dan Operasi
Fungsi dari Direktur Utama PD. Parkir Makassar Raya adalah
sebagai berikut :
a) Merencanakan kegiatan Perusahaan Daerah untuk jangka
panjang, mengawasi, dan mengkoordinir dalam bidang teknik
operasional perparkiran bidang umum termasuk pengelolaan
keuangan dana administrasi untuk mencapai tujuan.
b) Memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak dan mewakili
perusahaan keluar.
c) Secara berkala mengadakan penilaian terhadap manfaat dan
efisiensi dari sistem dan prosedur administrasi yang berlaku.
d) Sebagai pengambil inisiatif dalam penempatan, pemindahan,
dan pemberhentian pegawai serta menentukan batas ganti rugi
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
87
3) Direktur Umum
Direkrut Umum mempunyai tugas dalam mengkoordinasikan dan
mengendalikan kegiatan di bidang administrasi umum, keuangan,
dan kesekretariatan.
Direktur Umum PD Parkir Makassar Raya mempunyai fungsi
sebagai berikut :
a) Merencanakan dan mengendalikan sumber-sumber
pendapatan, serta mengatur penggunaan kekayaan
perusahaan.
b) Mengendalikan pendapatan dari hasil penagihan, baik dari tarif
perparkiran maupun iuran usaha perparkiran.
c) Mengawasi dan mengusahakan penagihan retribusi secara
intensif dan efektif, menetapkan sumber-sumber, dan cara lain
untuk mendapatkan modal dengan syarat ringan bila
diperlukan.
d) Mengusulkan kepada Direktur Utama penyesuaian tarif retribusi
parkir dan perubahan dalam bidang kepegawaian, pembelian
dan sebagainya sesuai dengan perkembangan dan keadaan
perusahaan.
4) Direktur Oprasional
Direktur Operasional mempunyai tugas dalam hal merencanakan,
memimpin, mengkoordinasikan, dan mengawasi kegiatan-kegiatan
bagian produksi dan bagian pengelolaan.
88
Adapun fungsi dari Direktur Operasional PD. Parkir Makassar Raya
adalah sebagai berikut :
a) Menetapkan kebijakan teknis pengelolaan dan kegiatan operasi
lebih efisien, efektif, dan murah.
b) Merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan parkir
pada unit-unit parkir dan pelataran parkir yang dikelola swasta.
c) Mengatur tata cara pelayanan perparkiran sebaik-baiknya bagi
pemakai jasa (masyarakat) serta menyusun kegiatan
pembinaan teknik operasional perparkiran.
d) Menyusun rencana dan program kerja pelayanan operasional
pengelolaan perparkiran.
e) Melaksanakan pengendalian, pengawasan segala bentuk
peralatan operasional dan peralatan kerja atau alat pelindung
diri milik Perusahaan Daerah.
B. Pemaparan Dimensi Penelitian dan Pembahasan
1. Proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar
Isu kolaborasi dalam pembinaan organisasi merupakan suatu isu
yang amat penting di mana kolaborasi diletakkan sebagai aspek
fundamental sekaligus sebagai karakter pokok dari pembinaan
organisasi. Kolaborasi dapat diartikan sebagai suatu usaha penuh
kepercayaan yang didasarkan atas tidak adanya kecurigaan dan
89
kedewasaan pengertian atas peranan-peranan dan penugasan-
penugasan. Usaha ini lebih bersifat demokratis dan partisipatif.
Dengan demikian, pada suatu kasus tertentu kolaborasi dapat berarti
keinginan untuk bertoleransi kepada tindakan-tindakan yang cepat
dan resmi dari pimpinan yang menginginkan perubahan dan
pembaharuan yang telah direncanakan.
Kolaborasi terus berkembang dalam pemerintahan karena
adanya kompleksitas dan saling ketergantungan antarinstitusi, di
mana penanganan suatu masalah publik sangat sulit dilakukan oleh
satu institusi pemerintah saja, melainkan memerlukan kolaborasi agar
permasalahan publik dengan segala kompleksitasnya dapat teratasi
dengan baik. Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
dan PD Parkir yang terlibat dalam kolaborasi harus menyadari peran
masing-masing demi tercapainya tujuan kolaborasi. Kerja sama
diinisiasi atas keterbatasan kapasitas, sumber daya maupun jaringan
yang dimiliki masing-masing pihak, sehingga kerja sama dapat
menyatukan dan melengkapi berbagai komponen yang mendorong
keberhasilan pencapaian tujuan bersama. Dalam upaya tersebut ada
terkandung tindakan bersama atau terkoordinasi yang dilakukan
anggota tim untuk mencapai tujuan bersama tim tersebut.
Penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar
merupakan tanggung jawab yang dilakukan oleh banyak organisasi
perangkat daerah atau SKPD sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
90
Untuk itu, diperlukan kolaborasi antarorganisasi dalam
penanggulangan kemacetan lalu lintas.
Adapun hasil penelitian dan pembahasan mengenai kolaborasi
antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan yang
dideskripsikan sebagai berikut:
a) Face to face dialogue (dialog tatap muka)
Kolaborasi didasarkan pada dialog tatap muka antara para
pemangku kepentingan. Sebagai proses yang berorientasi konsensus,
dialog tatap muka atau dapat disebut dialog langsung diperlukan oleh
para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi peluang untuk
keuntungan bersama (Ansel dan Gash dalam Rahmawati, 2016:42).
Dalam mewujudkan kerja sama atau kolaborasi, dialog tatap
muka atau komunikasi dua arah (timbal balik) antarinstansi atau
lembaga dengan para pemangku kepentingan dalam konteks bertemu
dan bermusyawarah untuk mencapai suatu konsensus yang
disepakati merupakan keputusan kolektif dan menjadi tanggung jawab
bersama. Untuk itu, semua pemangku kepentingan yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas harus
dikondisikan untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Kepala Humas Dishub kota
Makassar:
“Jelas, kita akan komunikasi dengan tata ruang bahkan setiap kita adakan forum kita undang karena terkait masalah andalalin. Andalalin itu di setiap toko atau bangunan yang harus memiliki lahan parkir. Jelas kita terkait dengan tiga-
91
tiganya ini dengan PD Parkir juga termasuk (hasil wawancara AS, 18 Agustus 2016). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dialog tatap muka atau
komunikasi dua arah (timbal balik) antar-Dinas Perhubungan dengan
SKPD terkait dilakukan dalam bentuk forum. Dinas Perhubungan
selaku leading sector setiap akan mengadakan forum terkait masalah
kemacetan lalu lintas maka Dinas Perhubungan akan mengundang
Dinas Tata Ruang dan Bangunan terkait analisis dampak lalu lintas
(andalalin) sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Izin
Mendirikan Bangunan bagi pembangunan pusat kegiatan seperti
hotel, rumah makan, dan pusat perbelanjaan ataupun pusat-pusat
kegiatan lainnya yang akan menimbulkan gangguan kelancaran dan
kemacetan lalu lintas. Selain itu, Dinas Perhubungan juga
mengundang PD Parkir terkait penataan perparkiran, sebab ketiga
instansi tersebut terkait satu sama lain dalam penanggulangan
kemacetan.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Kepala Seksi
Pengumpulan dan Pengolahan Data Dishub Kota Makassar.
“Sudah ada diadakan dialog antar-SKPD jadwalnya setiap bulan sekali. Di situ kita membahas masalah-masalah mengenai Kota Makassar seperti masalah kemacetan lalu lintas”(hasil wawancara FST, 22 Agustus 2016).
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sudah diadakaan
dialog antar-SKPD setiap bulan sekali yang membahas masalah-
masalah di Kota Makassar termasuk masalah kemacetan lalu lintas.
92
Hal ini relevan dengan pernyataan Ansel dan Gash dalam Rahmawati
(2016:42) bahwa kolaborasi didasarkan pada dialog tatap muka antara
para pemangku kepentingan. Sebagai proses yang berorientasi
konsensus, dialog tatap muka atau dapat disebut dialog langsung
diperlukan oleh para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi
peluang untuk keuntungan bersama. Dalam melakukan dialog tatap
muka antar-Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
dan PD Parkir dalam rangka penanggulangan kemacetan lalu lintas di
Kota Makassar diperlukan adanya komunikasi dua arah (timbal balik)
antar-SKPD tersebut.
Komunikasi sangat penting bagi organisasi, sebab tanpa
komunikasi maka saluran informasi yang dibutuhkan bagi organisasi
tidak akan masuk dengan baik bagi organisasi (Tambunan, 2015:254).
Namun, pernyataan lain disampaikan oleh Kepala Seksi Penelitian
dan Pengembangan DTRB Kota Makassar bahwa:
“Dialog atau komunikasi berjalan kurang maksimal dengan Dinas Perhubungan, tetapi pemohon IMB yang harus berkomunikasi langsung dengan pihak Dishub dalam hal mengurus analisis dampak lalu lintas untuk berkas IMBnya yang menjadi kelengkapan administrasi dan persyaratan mutlak dalam mengurus IMB. Begitupun, dengan pihak PD Parkir komunikasi timbal balik tidak maksimal tetapi DTRB mengsyaratkan area parkir dalam pengurusan IMB (hasil wawancara IK, 5 September 2016)”. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kurangnya
komunikasi timbal balik (dialog) antara Dinas Perhubungan dengan
93
DTRB terkait masalah andalalin, begitupun komunikasi timbal balik
antara DTRB dan PD Parkir yang tidak maksimal.
Hal senada yang dikemukakan oleh Direktur Operasional PD
Parkir menyatakan bahwa:
“Kami dilibatkan kalau sudah terjadi kekacauan maka akan turun di lapangan. Karena persoalannyakan ini tidak layak sebenarnya diberi izin karena dia punya place untuk parkir sangat sempit, tidak sesuai dengan kebutuhan meja makan yang ada di ruang makannya (jadi tidak ada komunikasi atau zero komunikasi di situ). Di situlah ada ego sektoral, kami ke sana juga mau lakukan komunikasi, tapi kami selalu dipimpong, jadi sudalah. Kita fokus mau cari pendapatan penataan, jadi kami ini ke depan Insya Allah, kita akan melakukan komunikasi kekeluargaan dulu dengan SKPD terkait, kalau bisa ada orang kami yang duduk di situ atau kalau bisa kami dilibatkanlah setiap ada suatu rumah makan baik di jalan protokol atau di jalan manapun yang memang memerlukan kajian, apa salahnya kami dilibatkan. Memang dalam undang-undang yang disebut DISHUB karena terkait Andalalin. Jadi, PD Parkir ada masalah baru turun menata (hasil wawancara SH, 16 Agustus 2016).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan pernyataan
antar-SKPD, di mana dari pihak Dishub menyatakan bahwa dalam
penanggulangan kemacetan mereka melakukan dialog atau
komunikasi dengan SKPD terkait setiap bulan atau seminggu sekali.
Namun, dari pihak DTRB dan PD Parkir menyatakan bahwa dialog
atau komunikasi timbal balik berjalan kurang maksimal sehingga dapat
dikatakan bahwa dalam melakukan kolaborasi ketiga SKPD tersebut
kurang bersinergi padahal DTRB selaku pihak yang mengeluarkan Izin
Mendirikan Bangunan punya andil dalam penanggulangan kemacetan
terkait dengan bangunan-bangunan, seperti ruko, hotel, rumah makan,
94
dan pusat-pusat perbelanjaan ataupun pusat-pusat kegiatan lainnya
yang menggunakan badan jalan untuk memarkir kendaraan
konsumennya disebabkan tidak tersedianya lahan parkir yang
memadai serta dari pihak PD Parkir menyatakan bahwa mereka baru
dilibatkan ketika terjadi kekacauan, padahal secara langsung pihak PD
Parkir sangat berperan dalam penataan perparkiran.
Selain itu, hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa dialog
tatap muka atau komunikasi dua arah (timbal balik) antar-DISHUB,
DTRB, dan PD Parkir yang dilakukan dalam bentuk forum atau rapat
baru dilakukan apabila ada persoalan-persoalan urgen yang muncul di
Kota Makassar, khusus di transportasi, bagian sarana jalan,
kemacetan, dan sebagainya. Seperti penertiban parkir di Jalan
Boulevard dan di Jalan Hertasning Baru, mereka baru melakukan
rapat untuk melakukan penertiban di jalan tersebut setelah terjadi
kemacetan. Sedangkan menurut hemat peneliti dialog atau
komunikasi timbal balik dalam bentuk forum itu harus rutin dilakukan
untuk mengevaluasi atau mengantisipasi hal-hal yang membuat
kemacetan di Kota Makassar.
Keterlibatan secara langsung face to face (dialog tatap muka)
dari instansi yang bersangkutan sudah dilakukan, namun
pelaksanaannya belum maksimal karena masing-masing instansi
terkesan bekerja sendiri dan hanya melaksanakan sesuai yang ada
pada bidang masing-masing padahal suatu organisasi yang
95
menerapkan prinsip-prinsip kolaborasi di mana terdapat distribusi
kuasa dan kewenangan secara proporsional maka setiap keputusan
bersama harus melalui dinamika dialog bahkan perdebatan di antara
stakeholder. Seperti halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmawati dengan judul Kolaborasi Antardaerah Pawonsari dalam
Penyelesaian Konflik Antarnelayan di Perairan Pacitan, Wonogiri, dan
Gunung kidul, hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa face to
face dialog menjadi jantung dari proses kolaborasi untuk pembentukan
trust, commitment, dan understanding.
Komunikasi timbal balik atas dasar saling menghargai satu
sama lain merupakan fundamen dalam membangun kerja sama.
Tanpa komunikasi timbal balik maka akan terjadi dominasi satu
terhadap yang lainnya yang dapat merusak hubungan yang sudah
dibangun.
b) Commitment to process (komitmen terhadap proses)
Berbagai hal penyebab terjadinya kemacetan selain tidak
terkendalinya jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan luas
jalan juga disebabkan banyak ruko, hotel, rumah makan, pusat
perbelanjaan, dan jenis bangunan lainnya yang didirikan tanpa lahan
parkir yang representatif sehingga para konsumen menggunakan
badan jalan sebagai tempat parkir yang pada akhirnya menyebabkan
kemacetan. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
komitmen dari SKPD terkait agar kolaborasi atau kerja sama tim
96
dalam penanggulangan kemacetan. Kolaborasi menekankan pada
penciptaan hubungan kerja sama yang didasari oleh komitmen dalam
pencapaian tujuan yang dapat menguntungkan pihak-pihak terlibat
(stakeholder) di dalamnya.
Berdasarkan pernyataan oleh Kepala Humas Dishub Kota
Makassar bahwa:
”Masih belum begitu maksimal. Inilah yang saya katakan masih banyak perlu koordinasi sama Dinas Tata Ruang untuk andalalin (hasil wawancara AS, 18 Agustus 2016). Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa komitmen antar-
SKPD dalam melakukan kolaborasi masih belum maksimal sehingga
perlu dilakukan koordinasi dengan DTRB terkait masalah andalalin.
Analisis dampak lalu lintas memang telah dilaksanakan, namun
pelaksanaannya masih belum optimal sehingga sangat diperlukan
komitmen antar-SKPD dalam melakukan kolaborasi sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing.
Melavill et.al, dalam Amu (2012) melihat kolaborasi sebagai
serangkaian kegiatan yang saling terkait yang dilakukan oleh mitra
untuk mengatasi masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.
Kolaborasi akan jalan dengan baik apabila dilakukan koordinasi
terhadap instansi-instansi yang terkait.
Hal senada dikemukakan oleh Kepala Bidang Tata Bangunan
DTRB Kota Makassar bahwa:
“DTRB, Dishub, dan PD Parkir perlu duduk bersama dalam sebuah forum untuk mensosialisasikan kepada masyarakat
97
tentang analisis dampak lalu lintas dan kebutuhan parkir yang menjadi salah satu syarat dalam proses pemberian izin terutama untuk izin hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, ruko, dan semua pusat kegiatan yang dapat memberikan dampak kepada kemacetan (hasil wawancara IC, 2 September 2016)”.
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan komitmen antar-SKPD dalam penanggulangan
kemacetan DISHUB, DTRB, dan PD Parkir perlu duduk bersama
dalam sebuah forum untuk mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang perlunya melakukan kajian analisis dampak lalu lintas dan
kebutuhan parkir sebagai persyaratan dalam pemberian izin terutama
untuk izin hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, ruko, dan semua
pusat kegiatan yang dapat memberikan dampak kepada kemacetan.
Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 2 (Permenhub
Nomor PM 75 Tahun 2015, yang dimaksud pusat kegiatan berupa
bangunan untuk: (a) kegiatan perdagangan, (b) kegiatan perkantoran,
(c) kegiatan industri, (d) fasilitas pendidikan, yaitu sekolah/universitas,
lembaga kursus, (e) fasilitas pelayanan umum, yaitu rumah sakit,
klinik bersama, bank, (f) stasiun pengisian bahan bakar umum, (g)
hotel, (h) gedung pertemuan, (i) restaurant, (j) fasilitas olahraga, (k)
bengkel kendaraan bermotor, dan bangunan lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Operasional PD
Parkir menyatakan bahwa:
“Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Dinas Perhubungan, maupun PD Parkir masih perlu untuk meningkatkan komitmen
98
bersama dalam mewujudkan penataan kota yang bebas kemacetan (hasil wawancara SH, 16 Agustus 2016)”. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa komitmen untuk
melakukan kolaborasi atau kerja sama tim antarinstansi masih kurang
sehingga untuk mewujudkan penataan kota yang bebas kemacetan
DISHUB, DTRB, dan PD Parkir perlu meningkatkan komitmen
bersama dalam melakukan kolaborasi. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ansel dan Gash (2016:42) bahwa tingkat komitmen pemangku
kepentingan untuk kolaborasi adalah variabel penting dalam
menjelaskan keberhasilan atau kegagalan penerapan kolaborasi.
Hasil observasi dan telaah dokumen peneliti melihat bahwa
kurangnya komitmen antarinstansi dalam melakukan kolaborasi dapat
dilihat pada diterbitkannya IMB tanpa memperhatikan standar ruang
parkir berdasarkan hasil kajian andalalin pengembang langsung
melaksanakan pembangunan sehingga penyediaan lahan parkir tidak
representatif. Jika para SKPD betul-betul berkomitmen dalam
melakukan kolaborasi atau kerja sama untuk penanggulangan
kemacetan maka tidak akan diterbitkan IMB jika penyediaan tempat
parkir tidak memenuhi syarat berdasarkan dokumen kajian analisis
dampak lalu lintas terlebih dahulu sehingga tidak ada lagi penggunaan
bahu ataupun badan jalan untuk parkir seperti depan toko Bintang dan
depan toko Alaska di Jalan Pengayoman yang pengunjungnya selalu
ramai, namun tempat parkirnya yang tidak memadai sehingga
menggunakan badan jalan untuk parkir. Sebagaimana pada PP No.32
99
Tahun 2011 bahwa hasil analisis dampak lalu lintas merupakan salah
satu persyaratan pengembang atau pembangun untuk memperoleh
IMB. Jadi, menurut hemat peneliti bahwa komitmen atau kesediaan
untuk bekerja sama antarinstansi masih kurang sehingga
menyebabkan ketidaksinergian antarinstansi dalam melaksanakan
tugasnya inilah yang menjadi faktor minimnya andalalin yang
dikeluarkan berbeda jauh dengan kondisi pembangunan. Serta pihak
DISHUB, DTRB, dan PD Parkir baru melakukan teguran pada pihak
pembangun atau pengembang setelah bangunan tersebut telah jadi,
tentu hal ini semakin menjadi sulit untuk dilakukan penataan karena
bangunan sudah jadi yang mestinya dari awal betul-betul dilakukan
kajian mendalam mengenai bangkitan atau tarikan yang akan
ditimbulkan dari suatu pembangunan.
Selain masih kurangnya komitmen antarinstansi dalam
melakukan kolaborasi atau kerja sama untuk penanggulangan
kemacetan juga ditambah dengan masih lemahnya sanksi. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas
Dishub Kota Makassar menyatakan bahwa:
“Kita tidak punya kewenangan, jangankan kita langsung dicopot kalau ada sanksi. Makanya saya bilang ada kewenangan sebenarnya sih kalau kita mau terapkan. Semua sebenarnya berjalan lancar tapi karena adanya kebijakan. Itu hotel Miko tidak ada andalalin, katanya sudah mengurus sampai sekarang tidak ada. Lho....gimana mau mengurus, sudah mau selesai barangnya, bagaimana kita mau analisis, bagaimana ada saran-saranta parkirannya begini-begini. Tujuannya ini kita bentuk dokumen andalalin, kita bisa membantu user bagaimana parkirnya, bagaimana kapasitas tamuta dengan
100
lahan parkirnya, bagaimana kemacetannya, apa bisa dibuatkan rekayasa untuk di luarnya sehingga tidak ada tundaan waktu di depan, apalagi daerah di sana, daerah macet memang, parkir di mana-mana (hasil wawancara AC, 29 Agustus 20016)”.
Hal senada yang dikemukakan Kepala Seksi Penelitian dan
Pengembangan DTRB Kota Makassar yang menyatakan bahwa:
“DTRB tidak punya kewenangan kalau sudah terlanjur seperti itu, artinyakan kita cuma bisa berharap untuk ke depannya bangunan-bangunan yang akan dibangunkan kembali yang jelas kita sudah catat. Oh.....ini dulunya yang tidak punya, misalnya besok-besok dia akan membangun lagi kita akan perketat di situ karena kalau sudah terlanjur seperti itu kita agak susah untuk suruh membongkarnya karena sudah bangunan jadi. Apalagi tidak ada denda seharusnyakan dibuatkan denda. Makanya kita lemah di situ, juga diaturan atau sanksi (hasil wawancara IK, 5 September 2016)”.
Dari hasil wawancara di atas ditunjukkan bahwa pihak Dinas
Perhubungan dan Dinas Tata Ruang dan Bangunan tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penindakan kepada bangunan-
bangunan yang sudah terlanjur melanggar, hal ini diperparah dengan
tidak adanya sanksi atau denda yang diberlakukan sehingga masih
banyak bangunan, seperti ruko, rumah makan, hotel, dan pusat
perbelanjaan atau pusat kegiatan lainnya yang berdiri tanpa
mengantongi analisis dampak lalu lintas, namun surat IMBnya bisa
diterbitkan sehingga ketersediaan lahan parkir yang memadai tidak
diperhatikan oleh para pembangun. Hal inilah yang menyebabkan PD
Parkir sulit melakukan penataan perparkiran sehingga kemacetan
masih sulit teratasi.
Selain itu, hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa selama
ini, selain masih lemahnya komitmen antar-SKPD dalam melakukan
101
kolaborasi atau kerja sama tim juga masalah komitmen pemerintah
yang masih kurang sehingga masih sangat lemah dalam hal
penindakan atau sanksi terhadap para pembangun yang melanggar
sehingga masih banyak ditemukan bangunan pusat kegiatan tidak
memiliki tempat parkir yang representatif yang pada akhirnya
menggunakan badan jalan untuk parkir.
Hal di atas tidak sejalan dengan teori Sanctyeka dalam
Rahmawati (2016:49) bahwa besar dan kuatnya komitmen pimpinan
(eksekutif dan legislatif), seringkali menghasilkan keberanian dalam
mengambil langkah inovasi walaupun dari segi regulasi terkadang
masih lemah. Kolaborasi akan terbangun dengan kuat dan permanen
jika ada komitmen satu sama lain terhadap kesepakatan-kesepakatan
yang dibuat bersama.
c) Shared Understanding (pemahaman bersama)
Pada beberapa poin dalam proses kolaboratif, stakeholder
harus mengembangkan pemahaman bersama tentang apa yang
secara kolektif dapat mereka capai bersama. Pemahaman bersama
juga bisa dimanifestasikan pada kesepakatan pada pendefinisian
masalah atau kesepakatan tentang pengetahuan yang relevan yang
diperlukan untuk mengatasi masalah (Ansel dan Gash dalam
Rahmawati, 2016:42).
Sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Seksi Rekayasa
Lalu Lintas bahwa:
102
“Dishub sudah memahami tugasnya dalam melakukan kajian mengenai andalalin, hanya saja mungkin proses mengurus andalalin membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan pembangunan masih berlangsung. Pihak DTRB juga masih lemah dalam hal pengawasan bangunan. Sehingga terjadilah dampak-dampak kemacetan yang tidak diinginkan” (hasil wawancara JL, 18 Agustus 2016)”. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa Dinas
Perhubungan sudah memahami tugasnya dalam melakukan kajian
andalalin hanya saja proses mengurus andalalin yang membutuhkan
waktu cukup lama sementara pembangunan sudah mendesak untuk
dilakukan, ditambah lagi lemahnya pengawasan bangunan yang
dilakukan oleh pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan sehingga
terjadilah dampak-dampak kemacetan yang tidak diinginkan.
Sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Seksi Penelitian
dan Pengembangan DTRB bahwa:
“DTRB dalam hal memberi IMB akan mempersyaratkan andalalin bagi bangunan-bangunan yang dapat memberikan dampak kemacetan. Selain andalalin, penyediaan lahan parkir wajib diadakan juga. Selama persyaratan andalalin dan penyediaan lahan parkir belum memenuhi, maka pihak DTRB tidak akan memproses IMB”. (hasil wawancara IK, 5 September 2016)”. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa DTRB dalam hal
memahami tugasnya dalam melakukan kolaborasi maka DTRB telah
mempersyaratkan andalalin bagi bangunan-bangunan yang dapat
memberikan dampak kemacetan sebelum mengeluarkan IMB. Namun,
berdasarkan hasil observasi peneliti hal tersebut dapat kita lihat
berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan terbukti
103
dengan masih banyak bangunan yang tidak memenuhi syarat
andalalin terkait penyediaan lahan parkir yang tidak memadai seperti
toko Agung di Jalan Ratulangi yang para konsumen sampai
menggunakan bahu bahkan badan jalan untuk parkir dan tidak adanya
perhitungan yang matang untuk kendaraan berputar dan kembali ke
jalan sehingga menjadi titik awal kemacetan di sekitar jalan tersebut.
Oleh karena itu, menurut hemat peneliti jika pihak Dinas Perhubungan
dan DTRB betul-betul sudah memahami apa yang menjadi tugasnya
tentu hal tersebut tidak akan terjadi.
Kolaborasi tidak akan terjadi apabila para SKPD tidak
mengetahui makna kolaborasi itu sendiri. Analisis dampak lalu lintas di
Kota Makassar memang telah dilaksanakan, namun pelaksanaannya
masih belum optimal, hal ini disebabkan oleh tidak konsistennya
pelaku usaha untuk mematuhi semua persyaratan menyangkut
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam
penanggulangan kemacetan setiap SKPD harus mengembangkan
pemahaman bersama mengenai apa yang ingin dicapai melalui proses
kolaborasi atau kerja sama tim. Dalam hal penanggulangan kemacetan
lalu lintas memang diperlukan pemahaman bahwa peranan Dinas
Perhubungan dalam hal ini sangat vital karena menjadi instansi yang
menerbitkan andalalin, namun tetap harus melibatkan DTRB sebab
analisis dampak lalu lintas harus merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan proses perencanaan, evaluasi rancang
104
bangun, dan pemberian izin, begitupun dengan pihak PD Parkir harus
dilibatkan karena dalam andalalin perkiraan kebutuhan tempat parkir
yang representatif merupakan hal penting untuk dilakukan sehingga
PD Parkir dapat berkontribusi bagaimana sebaiknya sistem penataan
perparkiran. Untuk melaksanakan analisis dampak lalu lintas, memang
telah dibentuk tim analisis dampak lalu lintas yang dibentuk oleh
Walikota yang susunan keanggotaannya terdiri dari instansi terkait
yang mempunyai tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan andalalin.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Rekayasa
Lalu Lintas bahwa:
“Jadi begini, andalalin itu dilakukan atau dianalisa oleh konsultan yang memang tahu mengenai transportasi. Nah, ketika jadi dokumennya Dinas Perhubungan sebagai leadernya, ada namanya tim evaluasi andalalin. Tim evaluasi itu penguji, penguji-penguji ini yang mau bertanya kepada konsultan mengenai apa yang sudah dikaji terkait dengan bangkitan yang mau dibangun. Terdiri dari sarana dan prasarana yaitu Dinas Perhubungan, kemudian dari Kepolisian dan dari Dinas PU. Sekarang kita tambah yang terkait dengan itu yaitu Tata Ruang, Satpol PP, Dinas Pariwisata, Dinas Perdagangan. Banyak SKPD yang terkait. Jadi, sama-sama kita bertanggung jawab memberikan masukan ketika nanti apa dampak yang kira-kira muncul dengan adanya bangunan itu (hasil wawancara JL, 18 Agustus 2016)”.
Hasil wawancara di atas menjelaskan bahwa kajian analisis
dampak lalu lintas dilakukan oleh konsultan yang memang mengetahui
tentang transportasi. Setelah dokumen analisis dampak lalu lintas jadi
ada tim evaluasi DISHUB sebagai leading sector yang terdiri atas
beberapa SKPD melakukan evaluasi atau memberikan saran dan kritik
terhadap hasil kajian andalalin apakah sudah sesuai dengan kriteria
105
atau belum, Jika prasarana yang ada tidak dapat mendukung lalu
lintas tersebut maka harus dilakukan kajian penanganan prasarana
dan pengaturan manajemen lalu lintas.
Hal senada yang dikemukakan oleh Kepala Seksi Manajemen
Lalu Lintas Dishub Kota Makassar bahwa:
“Diaturan itu Permen 75/2016 memang ada tim evaluasi minimal tujuh, itu ada beberapa instansi terkait seperti kepolisian, PU, Perijinan, Perindag, dll. Jadi, ada SOPnya, ada aturan luasnya, ada lahan parkirnya, terus tidak semua bangunan itu harus punya andalalin karena ada kriterianya, bila mana tidak masuk kriteria tapi menimbulkan kemacetan, kita tetap buatkan analisis rekayasa lalu lintas karena tidak sesuai kita buatkan dokumen lalu lintas. Makanya, kita arahkan ke analisis rekayasa lalu lintas. Jadi, tidak semua yang membangun itu harus buat dokumen andalalin. Misalnya kafe harus minimal 50 kursi di dalamnya. kalau misalnya masuk kriteria kita buatkan dokumen andalalin tapi kalau tidak termasuk dikriteria itu tetap kita buatkan analisis rekayasa lalu lintas. Karena banyak sekarang tidak memenuhi kriteria andalalin tapi menimbulkan kemacetan. Seperti di Mie Titi, kalau dilihat dari bangunannya kecil tapi menimbulkan (padat sekali), coba lihat Apong, sampai sekarang belum mengurus andalalin (hasil wawancara AC, 29 Agustus 2016)”.
Dari uraian di atas ditunjukkan bahwa untuk mengatasi
kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya bangunan
pusat kegiatan atau pusat perbelanjaan maka instansi yang berkaitan
dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas dalam melakukan kerja
sama tim atau kolaborasi harus memahami perlunya analisis dampak
lalu lintas sebelum IMB dikeluarkan oleh DTRB agar ketersediaan
lahan parkir dapat memadai sehingga kendaraan yang parkir tidak
tumpah pada badan jalan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Warpani dalam Adisasmita (2011:173), perparkiran berkaitan erat
106
dengan kebutuhan ruang, sedangkan sediaan ruang terutama di
daerah perkotaan sangat terbatas bergantung kepada luas wilayah
kota, tata guna lahan, dan di bagian wilayah kota yang mana. Setiap
pelaku lalu lintas mempunyai kepentingan yang berbeda dan
menginginkan fasilitas parkir sesuai dengan kepentingannya. Selain
itu, lokasi tempat parkir dengan tempat yang dituju harus berada
dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki, karena
kebutuhan tempat parkir adalah fungsi dari kegiatan.
Namun, SKPD yang punya andil dalam penanggulangan
kemacetan masih kurang memahami pentingnya dilakukan kajian
analisis dampak lalu lintas sehingga antar-SKPD dalam melakukan
kolaborasi atau kerja sama tim masih kurang memahami apa yang
ingin dicapai melalui proses kolaborasi.
Pada beberapa poin dalam proses kolaboratif, stakeholder
harus mengembangkan pemahaman bersama tentang apa yang
secara kolektif dapat mereka capai bersama atau dalam melakukan
kolaborasi harus mencari pemahaman yang sama terhadap
permasalahan yang dihadapi. Hasil penelitian Maharani (2016:1) juga
menunjukkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses dilakukan
dengan memenuhi syarat-syarat kolaborasi yang meliputi pemahaman
yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi, pemahaman
terhadap batasan kewenangan, hanya saja koordinasi internal dan
eksternal kurang maksimal. Pemahaman bersama juga bisa
107
dimanifestasikan pada kesepakatan pada pendefinisian masalah atau
kesepakatan tentang pengetahuan yang relevan yang diperlukan untuk
mengatasi masalah. Pengembangan pemahaman bersama dapat
dilihat sebagai bagian dari proses pembelajaran. Sharing
understanding dapat dilakukan melalui: kejelasan misi (clear mission),
pendefinisian masalah bersama (common problem definition), dan
pengidentifikasian nilai-nilai umum (identification of common
value)(Ansell and Gash, 2012:560).
2. Faktor penghambat proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
Kolaborasi yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan
lancar tanpa hambatan karena melibatkan banyak stakeholder
seringkali menyebabkan keberlangsungan proses kolaborasi menjadi
terhambat. Faktor penghambat merupakan rintangan dalam kolaborasi
antarorganisasi dalam penanggulangan kemacetan. Adapun faktor
penghambat proses kolaborasi antar-Dishub, DTRB, dan PD Parkir
dalam penanggulangan kemacetan, yaitu:
a. Kurangnya komunikasi
Komunikasi mempengaruhi tercapainya kolaborasi karena
komunikasi merupakan suatu proses pertukaran informasi
antarkelompok satu dengan kelompok lainnya dan dengan adanya
komunikasi partisipasi anggota yang melakukan kerja sama
antarorganisasi yang berbeda akan semakin tinggi dan dengan
108
komunikasi akan dapat menyampaikan tugas serta hal-hal yang
penting yang berkaitan dengan pekerjaan masing-masing (Qamal,
2016:41). Namun, proses kolaborasi antar-SKPD dalam
penanggulangan kemacetan masih kurang dalam hal komunikasi
antar-SKPD. Seperti halnya yang dikatakan oleh Kabag Umum PD
Parkir Makassar.
“Jadi begini, itulah kelemahannya karena selama ini kurangnya komunikasi dengan DTRB (baik secara langsung atau tidak langsung) karena kita juga tidak bisa mengintervensi tugas pokok dan fungsinya mereka. Seharusnya itu sebelum mereka membuat IMB itu, adakan menurut DISHUB bagaimana. Tapi kalau pihak DISHUB mungkin sudah ada koordinasinya mereka karena ada andalalin, tapi kalau ke PD Parkir belum ada (hasil wawancara AN, 15 Agustus 2016)” Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa selama ini faktor
penghambat dalam melakukan kolaborasi antar-Dinas Perhubungan,
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir yaitu masih
kurangnya komunikasi antar-SKPD tersebut. Hal senada yang
dikemukakan oleh Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan DTRB
Kota Makassar bahwa:
“Belum ada keinginan dari masing-masing dinas untuk membahas bersama dalam suatu forum tentang kerja sama dan koordinasi dalam hal penataan bangunan dan perparkiran”(hasil wawancara, IK 5 September 2016)”. Dari hasil wawancara di atas sejauh peneliti mengetahui bahwa
setiap instansi yang terkait dalam izin mendirikan suatu kegiatan atau
usaha bekerja secara individu kurangnya saling komunikasi dalam
melakukan kolaborasi atau kerja sama tim padahal komunikasi sangat
109
diperlukan dalam kolaborasi sehingga terjadi sharing informasi. Hal
tersebut, menyebabkan tidak sedikit para pengembang atau
pengusaha yang sudah memiliki izin amdal, namun untuk izin
andalalin tidak ada, ada juga yang sudah ada IMB pengembang
langsung melaksanakan pembangunan, begitu juga sebaliknya.
Sehingga tidak adanya kolaborasi atau kerja sama tim antar-SKPD
menyebabkan ketidaksinergian antarinstansi yang menjadi faktor
minimnya andalalin yang dikeluarkan berbeda jauh dengan kondisi
pembangunan di kota saat ini.
b. Perlikau pihak pengembang atau pembangun
Selain kurangnya komunikasi dari DISHUB, DTRB, dan PD
Parkir penyebab lain dari faktor penghambat kolaborasi dalam
penanggulangan kemacetan juga disebabkan oleh perilaku dari pihak
pengembang atau pembangun, yakni kurang pahamnya para
pengembang atau pengusaha untuk mendirikan bangunan yang
diperuntukkan sebagai pusat kegiatan atau usaha yang diwajibkan
memiliki izin andalalin.
Seperti dikutip dari pernyataan Kabag Umum PD Parkir
Makassar sebagai berikut:
“Sebenarnya peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam hal ini. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam kemacetan, yaitu jalan, kendaraan, pengguna jalan, dan regulasi tata ruang yang akan dijadikan tempat parkir. Seperti pengusaha-pengusaha hotel depan jalan, seharusnya perlu pihak tersebut menyediakan tempat parkir yang cukup, bila perlu lantai 1 nya dijadikan tempat parkir dan lantai 2 nya dijadikan hotel. Sehingga kendaraannya tidak menumpuk
110
hingga keluar batas jalan (hasil wawancara AN, 15 Agustus 2016)”. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa faktor ini lebih
melihat kepada sisi pemilik usaha atau hotel yang berada di pinggiran
jalan. Mengapa demikian, ketika pengguna kendaraan yang akan
singgah di suatu tempat atau menginap di hotel pinggiran jalan maka
diperlukan tempat yang cukup memadai untuk menampung
kendaraan-kendaraaan tersebut. Sehingga pengusaha sebagai
penyedia tempat parkir harus jeli melihat hal ini.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Seksi Manajemen
Lalu Lintas Dishub Kota Makassar bahwa:
’’Cuma yang menjadi kendala terkadang, misalnya di sepanjang Boulevard yang ruko-ruko itukan tadinya ada lahan parkirnya, sudah dibangunimi semua. Coba siapa yang bisa disalahkan di situ?? Kembali ulangki toh....masyarakat selalu Dinas Perhubungan....kemacetan-kemacetan. Padahal kita sudah semaksimal mungkin, sudah shif-shif anggota/brigade kita bentuk 250 orang shifmilah siang, malam, pagi, subuh-subuh tapi toh masyarakat awamkan tidak mau tahu bahwa kondisi sebenarnya ini dari perbuatannya sendiri sehingga macet, coba dia disiplin berlalu lintas, coba disiplin semua pengusaha untuk mendirikan bangunan, coba disiplin semua user kafe/resto pasti bagus semua, tapi itukan kenyataannya tidak karena ada kebijakan terkadang tidak sesuai keinginanta. Baruki mau pergi kasi surat teguran, dipanggil maki (anunya ini, anunya itu) itulah yang menjadi kendala. Jadi, intinya sudah ada kerja sama (hasil wawancara AC, 29 Agustus 2016)”. Hal senada yang dikemukakan oleh Kepala Seksi Penelitian dan
Pengembangan DTRB Kota Makassar bahwa:
“Karena umumnya bangunan-bangunan yang sudah ada kadang tidak mengindahkan aturan yang ada. Mereka tetap menggunakan lahan yang seharusnya disediakan untuk parkir dibangun full” (hasil wawancara, IK 5 September 2016)”.
111
Dari hasil uraian di atas ditunjukkan bahwa selain faktor dari
kurangnya komunikasi antar-SKPD kurang pahamnya juga para
pengembang atau pengusaha untuk mendirikan bangunan yang
diperuntukkan sebagai pusat kegiatan atau usaha yang diwajibkan
memiliki izin andalalin sehingga lahan yang seharusnya di
peruntukkan untuk tempat parkir juga digunakan untuk membangun,
padahal dengan disediakannya lahan untuk parkir para konsumen
dapat mengatasi semrautnya perparkiran dan menciptakan
perparkiran yang ideal. Hal ini relevan dengan pernyataan Adisasmita
(2011:175) bahwa perparkiran yang ideal adalah berparkir di luar jalan
berupa fasilitas pelataran (taman) parkir atau bangunan (gedung)
parkir.
Selain itu, berdasarkan hasil observasi peneliti melihat bahwa
perilaku pihak pengembang atau pengusaha yang kurang memahami
ketersediaan lahan parkir yang memadai untuk tempat usahanya
salah satu contohnya pada rumah makan Apong di Jalan Boulevard
yang mengambil badan jalan untuk parkir kendaraan para pengunjung
atau konsumen sebab pihak pengusaha kurang memperhatikan
ketersediaan lahan parkir yang memadai untuk konsumennya
sehingga menggunakan badan jalan untuk memarkir kendaraannya
yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan
tersebut.
112
Berhasil tidaknya kolaborasi atau kerja sama tim yang
dilakukan antar-SKPD tersebut dalam penanggulangan kemacetan
sangat tergantung kepada kualitas relasi atau hubungan dengan
SKPD lain yang terkait dengan penanggulangan masalah kemacetan,
hubungan tersebut, antara lain dapat terwujud melalui komunikasi
atau dialog antar-SKPD, komitmen serta pemahaman bersama
mengenai permasalan yang sedang dihadapi. Pernyataan tersebut
relevan dengan salah satu teori yang paling berpengaruh terhadap
relasi antarorganisasi dalam kaitannya dengan konsep kolaborasi
yaitu teori ketergantungan sumber yang menegaskan bahwa
keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung kepada kualitas
relasi yang mereka lakukan dengan organisasi lain (Hatch dalam
Raharja, 2008:11).
Kekuatan proses kolaborasi sangat ditentukan oleh face to
fece dialog, komitmen dan pemahaman bersama semua pihak yang
terlibat di dalamnya. Seperti halnya dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas pasti harus melibatkan beberapa instansi terkait.
Sebab banyak instansi atau SKPD yang terlibat dalam persoalan jalan
raya tersebut sehingga diperlukan kolaborasi dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas.
3. Pembahasan
Setiap SKPD yang terlibat dalam kolaborasi harus menyadari
peran masing-masing demi tercapainya tujuan kolaborasi.
113
Penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar merupakan
tanggung jawab yang dilakukan oleh banyak organisasi perangkat
daerah atau SKPD sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Untuk itu,
diperlukan kolaborasi agar Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang
dan Bangunan, dan PD Parkir dapat bersinergi melaksanakan
tugasnya dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas.
Dialog tatap muka atau komunikasi dua arah (timbal balik)
antar-Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD parkir dilakukan dalam
bentuk forum. Dinas Perhubungan selaku leading sector setiap akan
mengadakan forum terkait masalah kemacetan lalu lintas maka Dinas
Perhubungan akan mengundang DTRB terkait analisis dampak lalu
lintas (andalalin) sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
Izin Mendirikan Bangunan bagi pembangunan pusat kegiatan seperti,
hotel, rumah makan, dan pusat perbelanjaan lainnya yang akan
menimbulkan gangguan kelancaran dan kemacetan lalu lintas. Selain
itu, Dinas Perhubungan juga mengundang PD Parkir terkait penataan
perparkiran, sebab ketiga instansi tersebut terkait satu sama lain
dalam penanggulangan kemacetan. Dialog antar-SKPD diadakan
setiap bulan sekali yang membahas masalah-masalah di Kota
Makassar termasuk masalah kemacetan lalu lintas.
Dalam melakukan dialog tatap muka antar-Dinas Perhubungan,
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir dalam rangka
penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota Makassar diperlukan
114
adanya komunikasi dua arah (timbal balik) antar-SKPD tersebut.
Komunikasi sangat penting bagi organisasi, sebab tanpa komunikasi
maka saluran informasi yang dibutuhkan bagi organisasi tidak akan
masuk dengan baik bagi organisasi (Tambunan, 2015:254). Namun,
pernyataan lain disampaikan oleh DTRB bahwa dalam
penanggulangan kemacetan masih kurang maksimal dialog atau
komunikasi timbal balik yang dilakukan antara Dinas Perhubungan
dengan DTRB. Begitupun, dari pihak PD Parkir sendiri baru dilibatkan
ketika sudah terjadi kekacauan di lapangan.
Ada perbedaan pernyataan antar-SKPD, di mana dari pihak
Dishub menyatakan bahwa dalam penanggulangan kemacetan
mereka melakukan dialog atau komunikasi dengan SKPD terkait
setiap bulan. Namun, dari pihak DTRB dan PD Parkir menyatakan
bahwa dialog atau komunikasi timbal balik berjalan kurang maksimal
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam melakukan kolaborasi ketiga
SKPD tersebut kurang bersinergi, padahal DTRB selaku pihak yang
mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan punya andil dalam
penanggulangan kemacetan terkait dengan bangunan-bangunan,
seperti ruko, hotel, rumah makan, atau pusat-pusat perbelanjaan
lainnya yang menggunakan badan jalan untuk memarkir kendaraan
konsumennya disebabkan tidak tersedianya lahan parkir yang
memadai serta dari pihak PD Parkir menyatakan bahwa mereka baru
115
dilibatkan ketika terjadi kekacauan, padahal secara langsung pihak PD
Parkir sangat berperan dalam penataan perparkiran.
Keterlibatan secara langsung face to face (dialog tatap muka)
yang dilakukan dalam bentuk forum dari instansi yang bersangkutan
sudah ada dilakukan, namun pelaksanaannya belum maksimal karena
dialog tatap muka atau komunikasi dua arah (timbal balik) antar-Dinas
Perhubungan dengan SKPD terkait yang dilakukan dalam bentuk
forum atau rapat baru dilakukan apabila ada persoalan-persoalan
urgen yang muncul di Kota Makassar, khusus di transportasi, bagian
sarana jalan, kemacetan, dan sebagainya. Sedangkan dialog atau
komunikasi timbal balik itu harus rutin dilakukan untuk mengevaluasi
atau mengantisipasi hal-hal yang membuat kemacetan di Kota
Makassar.
Diperlukan komitmen dari SKPD terkait agar kolaborasi atau
kerja sama tim terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam
penanggulangan kemacetan. Kolaborasi menekankan pada
penciptaan hubungan kerja sama yang didasari oleh komitmen dalam
pencapaian tujuan yang dapat menguntungkan pihak-pihak terlibat
(stakeholder) di dalamnya.
Komitmen Dinas Perhubungan, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan, dan PD Parkir masih belum maksimal sehingga menurut
hasil wawancara dengan Dinas Perhubungan perlu dilakukan
koordinasi. Demikan pula meningkatkan komitmen antar-SKPD dalam
116
penanggulangan kemacetan Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD
Parkir perlu duduk bersama dalam sebuah forum untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang perlunya melakukan
kajian analisis dampak lalu lintas dan kebutuhan parkir sebagai
persyaratan dalam pemberian izin terutama untuk izin hotel, rumah
makan, pusat perbelanjaan, ruko, dan semua pusat kegiatan yang
dapat memberikan dampak kepada kemacetan.
Komitmen untuk melakukan kolaborasi atau kerja sama tim
antar-SKPD masih kurang sehingga untuk mewujudkan penataan kota
yang bebas kemacetan Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD Parkir
perlu meningkatkan komitmen bersama dalam melakukan kolaborasi.
Selain masih kurangnya komitmen antarinstansi dalam melakukan
kolaborasi atau kerja sama untuk penanggulangan kemacetan juga
ditambah dengan masih lemahnya sanksi. Pihak Dishub dan DTRB
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap
bangunan-bangunan yang sudah terlanjur melanggar. hal ini
diperparah dengan tidak adanya sanksi atau denda yang diberlakukan
sehingga masih banyak bangunan, seperti ruko, rumah makan, hotel,
dan pusat perbelanjaan lainnya yang berdiri tanpa mengantongi
analisis dampak lalu lintas, namun surat IMBnya bisa diterbitkan
sehingga ketersedian lahan parkir yang memadai tidak diperhatikan
oleh para pembangun. Hal inilah yang menyebabkan PD Parkir sulit
117
melakukan penataan perparkiran sehingga kemacetan masih sulit
teratasi.
Pada beberapa poin dalam proses kolaboratif, stakeholder
harus mengembangkan pemahaman bersama tentang apa yang
secara kolektif dapat mereka capai bersama. Dalam memahami
tugasnya dalam melakukan kolaborasi atau kerja sama pihak DTRB
menyatakan bahwa Dinas Perhubungan sudah menjalankan tugasnya
dalam melakukan kajian andalalin dan pihak DTRB dalam hal memberi
IMB telah mempersyaratkan andalalin bagi bangunan-bangunan yang
dapat memberikan dampak kemacetan hanya saja proses mengurus
andalalin yang membutuhkan waktu cukup lama sementara
pembangunan sudah mendesak untuk dilakukan, ditambah lagi
lemahnya pengawasan bangunan yang dilakukan oleh pihak DTRB
sehingga terjadilah dampak-dampak kemacetan yang tidak diinginkan.
Namun, hal tersebut dapat kita lihat berbanding terbalik dengan apa
yang terjadi di lapangan terbukti dengan masih banyak bangunan yang
tidak memenuhi syarat andalalin terkait penyediaan lahan parkir yang
tidak memadai. Jika pihak Dinas Perhubungan dan DTRB betul-betul
sudah memahami apa yang menjadi tugasnya tentu hal tersebut tidak
akan terjadi.
Kolaborasi yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan
lancar tanpa hambatan, karena melibatkan banyak stakeholder
seringkali menyebabkan keberlangsungan proses kolaborasi menjadi
118
terhambat. selama ini faktor penghambat dalam melakukan kolaborasi
antar-Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD Parkir yaitu masih
kurangnya komunikasi antar-SKPD tersebut. Sehingga sulit melakukan
sharing informasi antar-SKPD yang berkolaborasi. Oleh karena itu,
menyebabkan ketidaksinergian antarinstansi yang menjadi faktor
minimnya andalalin yang dikeluarkan berbeda jauh dengan kondisi
pembangunan di kota saat ini.
Selain kurangnya komunikasi dari SKPD terkait, penyebab lain
dari faktor penghambat kolaborasi dalam penanggulangan kemacetan
juga disebabkan oleh perilaku dari pihak pengembang atau
pembangun, yaitu kurang pahamnya para pengembang atau
pengusaha untuk mendirikan bangunan yang diperuntukkan sebagai
pusat kegiatan atau usaha yang diwajibkan memiliki izin andalalin.
Sehingga lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk tempat parkir
juga digunakan untuk membangun, padahal dengan disediakannya
lahan untuk parkir para konsumen dapat mengatasi semrautnya
perparkiran dan menciptakan perparkiran yang ideal.
119
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang
dikaji sebelumnya dalam tesis ini, maka peneliti merumuskan
simpulan dari hasil penelitian ini, yaitu:
1. Kolaborasi antar-Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata
Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir masih
kurang maksimal dengan melihat pada proses kolaborasi antar-
Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan
Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir, yaitu: (a) face to face
dialogue (dialog tatap muka) antar-Dinas Perhubungan Kota
Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan
PD Parkir sudah dilakukan, namun pelaksanaannya belum
maksimal, (b) komitmen antar-Dinas Perhubungan Kota
Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan
PD Parkir dalam melakukan kolaborasi masih kurang karena
masing-masing SKPD atau instansi terkesan bekerja sendiri-
sendiri dan hanya melaksanakan sesuai yang ada pada bidang
masing-masing juga ditambah dengan masih lemahnya sanksi
yang diterapkan, (c) pemahaman bersama antar-Dinas
Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Kota Makassar, dan PD Parkir dalam melakukan kolaborasi
120
masih kurang memahami apa yang ingin dicapai melalui proses
kolaborasi sehingga tidak terwujud sinergitas antar-SKPD
tersebut dalam penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar.
2. Faktor penghambat proses kolaborasi antar-Dinas Perhubungan
Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar,
dan PD Parkir, baik disebabkan oleh faktor internal yaitu
kurangnya komunikasi antar-SKPD maupun dari faktor eksternal
yaitu perilaku pihak pengembang atau pembangun sehingga
secara tidak langsung dapat mempengaruhi Dinas Perhubungan,
DTRB, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan.
B. Saran
Tanpa adanya kolaborasi antar-SKPD maka penanggulangan
kemacetan tidak akan berjalan sinergi, oleh karena itu:
1. Perlunya melakukan komunikasi sesering mungkin melalui face to
face dialog antara Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Kota Makassar, dan PD Parkir untuk
membahas penanggulangan kemacetan lalu lintas di Kota
Makassar. Setiap instansi yang terkait dengan kolaborasi antar-
DISHUB, DTRB, dan PD Parkir dalam penanggulangan
kemacetan lalu lintas agar dapat bersinergi satu sama lain.
121
2. Memperkuat jalinan komunikasi atau koordinasi antar-Dinas
Perhubungan Kota Makassar, Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Kota Makassar, dan PD Parkir dalam penanggulangan kemacetan
lalu lintas. Dari pihak pemerintah Kota Makassar agar lebih
memperketat sanksi bagi pembangun atau pengembang yang
memiliki surat IMB tanpa disertai kajian analisis dampak lalu lintas
sehingga pembangunan pusat-pusat kegiatan skala besar
diwajibkan maupun skala kecil yang disinyalir dapat menimbulkan
dampak terhadap kemacetan lalu lintas diwajibkan untuk membuat
analisis dampak lalu lintas dan bagi pusat-pusat kegiatan yang
telah beroperasi tanpa adanya analisis dampak lalu lintas
diupayakan untuk membuat analisis dampak lalu lintas guna
mempermudah menentukan cara penanggulangan yang timbul
akibat dari pembangunan pusat kegiatan yang bersangkutan.
122
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Sakti Adji. 2011. Jaringan Transportasi (Teori dan Analisis). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Amu, Roslina. (2012). Kolaborasi Pengelolaan Sampah di Kota Palu,
(Disertasi). Universitas Negeri Makassar. Ansell, Chris & Gash, Alison. 2012. Collaborative Governance in Theory
and Practice. Jurnal JPART 18: 543-571. AntaraSulSel.com. 2015. DPRD Makassar Sebut Pembongkaran Gedung
Setengah Hati, (Online). 2 April 2016 Anugra, Fajar Fitra & Sardjito. Penanganan Kemacetan Lalu Lintas di
Koridor Jalan Kramat Gantung, Surabaya. Jurnal Teknik Pomits, Volume 3, Nomor 1 Tahun 2014.
Dwiyanto. 2012. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan
Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Efendi, Rahmadani. 2014. Jaminan Kenyamanan Pejalan Kaki dalam Tata
Kelola Transportasi (Transportation Governance) di Kota Yogyakarta, (Skripsi). Universitas Negeri Yogyakarta.
Hafifa, Rahmy. 2016. Collaborative Governance dalam Forum Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan Kota Surakarta, (Skripsi). Universitas Sebelas Maret.
Heene, Aime, dkk. 2010. Manajemen Strategik Keorganisasian Publik.
Bandung: Refika Aditama. JPNN.com. 2014. Bangunan di Tanah Daeng Banyak yang Liar, (Online).
2 April 2016. Kaswan. 2014. Leadership dan Teamworking. Bandung: Alfabeta. Lestianingrum, Erna & Rosyadi, Slamet. Permodelan Sampah Pemukiman
Berbasis Manajemen Kolaborasi (Studi Kasus di Desa Palimanan Barat Kabupaten Cirebon). Jurnal Pembangunan Pedesaan, Volume 13, Nomor 2 Tahun 2013.
Maharani, K Endang. 2016. Kolaborasi Antar-Pelaksana pada Penataan
dan Pembinaan Toko Modern di Kota Surakarta. (Tesis). Universitas Sebelas Maret Surakarta.
123
Mahsyar, Abdul. Model Koordinasi Antar-Instansi Pemerintah dalam Penanggulangan Kemacetan di kota Makassar. Jurnal El-Riyasah, Volume 5, Nomor 2 Tahun 2014.
Mahsyar, Abdul. Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan
Swasta dalam pengelolaan Aset Publik di Kota Makassar. Jurnal Administrasi Publik, Volume 12, Nomor 1 Tahun 2015.
Marzuki, P.F & Lumeno, S.S. Persepsi Risiko terhadap Penyediaan dan Pengelolaan Tenaga Kerja dalam International Joint Venture pada Proyek Infrastruktur. Jurnal Teknik Sipil, Volume 18, Nomor 1 Tahun 2011.
Mulyadi, Deddy. 2015. Perilaku Organisasi dan Kepemimpinan Pelayanan. Bandung: Alfabeta.
Mulyadi, Hary. Lisensi Paten dan Implikasinya terhadap Pelaksanaan Alih
Teknologi pada Perusahaan Patungan (Joint Venture). Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015.
Pramusinto, Agus & Purwanto, Erwan Agus. 2009. Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media. Pratiwi, Diyah Rahayu. 2015. Sinergitas Antar-Stakeholders dalam
Program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta. (Skripsi). Universitas Sebelas Maret.
Qamal. Koordinasi Kepolisian dan Dinas Perhubungan dalam Penertiban
Becak Motor di Kota Makassar. Jurnal Administrasi Publik, Volume 6 Nomor 1 Tahun 2016.
Rachman, Abdul. 2013. Implementasi Pengelolaan Parkir di Kota
Makassar. (Disertasi). Universitas Negeri Makassar. Rahardja, Sam’un Jaja. 2008. Kolaborasi Pengelolaan Sumber Daya Air
Sungai: Tinjauan dari Perspektif Kelembagaan. FISIP Universitas Indonesia.
Rahmawati, Aulia. 2016. Kolaborasi Antar-Daerah Pawonsari dalam
Penyelesaian Konflik Antar-Nelayan di Perairan Pacitan, Wonogiri dan Gunung Kidul. (Tesis). Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Rumanti, Erlina. 2009. Analisis Pengaruh Pengetahuan Perawat tentang
Indikator Kolaborasi terhadap Praktek Kolaborasi Perawat Dokter di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Amino Gondohutomo Semarang. (Tesis). Universitas Diponegoro.
124
Sangkala. 2012. Dimensi-Dimensi Manajemen Publik. Yogyakarta: Ombak.
Sedarmayanti. 2013. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi,
dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama. Siagian, Sondang P. 2011. Filsafat Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Subarsono. 2016. Kebijakan Publik dan Pemerintahan Kolaboratif.
Yogyakarta: Gava Media. Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta. Sumajow, Josef. Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) Kawasan
Kampus Universitas SAM Ratulangi. Jurnal Media Engineering, Volume 3, Nomor 2 Tahun 2013.
Suyuti, Rusmadi. Teknologi Real Time Traffic Information System untuk Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas di Jalan Tol dalam Kota Jakarta. Jurnal Konstruksia, Volume 4, Nomor 2 Tahun 2013.
Syafi’ie, Inu Kencana. 2009. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia.
Bandung: Refika Aditama. Tambunan, Toman Sony. 2015. Pemimpin dan Kepemimpinan.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Thomson, Ann Marie; James L Perry. 2006. “Collaboration Processes :
Inside the Black Box”. Public Administration on Review. 66 (s1). 20-32.
Upeks.co.id. 2015. Hotel Melanggar Picu Kemacetan di Panakkukang, (Online). 2 April 2016.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Perda Kota Makassar No 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan
Perda Kota Makassar Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum dalam Kota Makassar.
PP Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
INSTRUMEN INFORMAN PENELITIAN
Data Informan Nama : Jenis Kelamin : Jabatan :
1. Apakah dalam menanggulangi kemacetan Dinas Perhubungan sebagai
leading sector melakukan kolaborasi atau kerja sama tim dengan Dinas
Tata Ruang dan Bangunan, dan PD Parkir? 2. Selama ini, bagaimana dialog face to face atau komunikasi timbal balik
antara Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD Parkir dalam penanggulangan
kemacetan?
3. Sejauh ini, bagaimana komitmen yang dibangun antara Dinas
Perhubungan, DTRB, dan PD Parkir untuk melakukan kolaborasi dalam
penanggulangan kemacetan?
4. Sejauh ini, bagaimana pemahaman Dinas Perhubungan, DTRB, dan PD
Parkir dalam melakukan kolaborasi untuk penanggulangan kemacetan?
5. Apakah Dinas Perhubungan punya kewenangan untuk melakukan
tindakan terhadap bangunan pusat-pusat kegiatan yang tidak punya
Andalalin?
6. Apakah hanya Dinas Perhubungan yang berwenang melakukan kajian
Andalalin?
7. Bagaimana tindakan yang dilakukan oleh DTRB kepada para pembangun
atau pengembang yang ingin mengurus IMB tanpa dilengkapi kajian
analisis dampak lalu lintas?
8. Bagaimana bentuk tindakan yang dilakukan terhadap bangunan pusat
kegiatan yang sudah terlanjur berdiri tanpa dilengkapi andalalin?
9. Sejauh ini, bagaimana peran PD Parkir dalam mengatasi semrautnya
perparkiran akibat kendaraan yang parkir di bahu atau di badan jalan?
10. Sejauh ini, apakah pelaksanaan kolaborasi antara Dinas Perhubungan,
DTRB, dan PD Parkir sudah mendapatkan solusi yang efektif dalam
penanggulangan kemacetan?
11. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Dinas Perhubungan, DTRB, dan
PD Parkir dalam melakukan kolaborasi atau kerja sama dalam
penanggulangan kemacetan?
DOKUMENTASI WAWANCARA
Wawancara dengan Kepala Humas Dinas Perhubungan kota Makassar
wawancara dengan Kepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Makassar
Wawancara dengan Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas Dishub Kota Makassar
Wawancara dengan Kepala seksi Penelitian dan Pengembangan DTRB Kota Makassar
Wawancara dengan Direktur Operasional PD Parkir Makassar Raya
Wawancara dengan Kabag Umum PD Parkir Makassar Raya
Foto-foto penggunaan tempat parkir
Depan Toko Bintang di jalan Pengayoman
Depan toko Agung di jalan Ratulangi pada siang hari
Depan toko Agung di jalan Ratulangi pada malam hari
Depan hotel Boulevard di jalan Boulevard
Depan hotel MGH di jalan Penghibur
Depan rumah makan Apong di jalan Boulevard
RIWAYAT HIDUP
Dwi Nur Handayani dilahirkan di Ele Desa Lompo Tengah
Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru pada tanggal 21
Januari 1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara, buah kasih sayang pasangan Abdul Rasyid
dan Hj. Munirah.
Penulis memulai pendidikan di bangku SD Centre Ele Kecamatan
Tanete Riaja pada tahun 1998. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan
Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Tanete Riaja pada tahun 2004
dan pendidikan Menengah Atas di SMA Negeri 1 Tanete Rilau pada tahun
2007. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu di
Universitas Muhammadiyah Makassar dan lulus pada Jurusan Imu
Administrasi Negara pada Fakultas Sosial dan Politik. Dan pada tahun 2014
penulis terdaftar sebagai mahasiswi pada Program Pascasarjana dan
mengambil Program Ilmu Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Berkat rahmat Allah Swt. dan iringan doa dari orang tua, saudara dan
semua sahabat, perjuangan panjang penulis dalam mengikuti pendidikan di
perguruan tinggi ini dapat berhasil dengan tersusunnya tesis yang berjudul”
Kolaborasi Antarorganisasi dalam Penanggulangan Kemacetan Lalu Lintas di
Kota Makassar”.