koherensi metapolicy dalam formulasi dan adopsi asi k

113
Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Si. Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik 9 789799 330949 ISBN 978-979-9330-94-9 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Si. Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Si.

Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi

dengan Implementasi Kebijakan Publik

9 789799 330949

ISBN 979933094-7ISBN 978-979-9330-94-9Koherensi M

etapolicy dalam Form

ulasi dan Adopsi dengan Implem

entasi Kebijakan PublikProf. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M

. Si.

Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi

dengan Implementasi Kebijakan Publik

Page 2: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

iKata Pengantar

KOHERENSI METAPOLICYDALAM FORMULASI DAN ADOPSI

DENGAN IMPLEMENTASIKEBIJAKAN PUBLIK

Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Si.

CV. Maulana Media Grafika

Page 3: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

ii Kata Pengantar

Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan PublikPenulis : Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Si.

Copy Right © 2021 pada PenulisHak cipta dilindungi Undang-Undang, tidak diperkenankan memperbanyak isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Penulis Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)ISBN : 978-979-9330-94-9Lay Out : Angga HaryantoDesain Cover : Tim Kreatif Maulana Media GrafikaSumber Gambar Cover : www.google.image.comDiterbitkan Oleh : CV. Maulana Media Grafika Jalan Yupiter VII 53 C Bandung (022) 7564428 E-mail: [email protected]

Undang-undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Ro. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Page 4: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

iKata Pengantar

KATA PENGANTAR

Isi atau content buku ini adalah materi Pidato Pengukuhan Guru Besar/Professor dalam Bidang Ilmu Kebijakan Publik yang disampaikan oleh Penulis pada tanggal 3 Juli 2019 di Universitas Pendidikan Indonesia. Sejak dipresentasikan pada acara tersebut, substansi buku ini belum dilakukan revisi atau perubahan, hanya sistematika penulisannya diadaptasi menjadi mendekati sistematika suatu buku.

Penulis menyadari atas berbagai keterbatasan yang ada khususnya terkait keterbatasan waktu penulisan buku ini. Tentu hal tersebut berimplikasi kepada keluasan substansi. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk memperoleh input yang konstruktif guna penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi kontribusi akademik sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

Harapan Penulis, isi buku ini dapat memperluas wawasan akademik dalam bidang Ilmu Kebijakan Publik, baik bagi para akademisi, para birokrat, para mahasiswa, maupun bagi masyarakat umum yang berminat mendalami Ilmu Kebijakan Publik khususnya yang berkaitan dengan konsep metapolicy.

Bandung, 5 Juli 2019 Penulis

Page 5: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

ii Daftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

BAB 2 URGENSI KEBIJAKAN PUBLIK DANILMU KEBIJAKAN PUBLIK 6

BAB 3 KEPENTINGAN PUBLIK DAN NILAIETIKA KEBIJAKAN PUBLIK A. Kepentingan Publik (Public Interests) 15B. Nilai Etika dalam Kebijakan Publik 16

1. Ethics of Virtue 172. Deontological Ethics 193. Teleological Ethics 20

BAB 4 TEORI METAPOLICY DALAMKEBIJAKAN PUBLIK A. Esensi Teori Metapolicy 22B. Metapolicy dalam Formulasi Kebijakan Publik 32C. Metapolicy dalam Adopsi Kebijakan Publik 36D. Metapolicy dalam Implementasi Kebijakan Publik 40E. Metapolicy dalam Kontinum antara Society-Centred Models dengan State-Centred Models 44

1. The Society-Centred Models 452. The State-Centred Models 46

F. Metapolicy dalam Grand-Policies 48G. Fungsi Metapolicy dan Grand-Policies terhadap Immortalitas Negara-Bangsa 53

Page 6: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

iiiDaftar Isi

BAB 5 DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN KOHERENSI METAPOLICYA. Kerangka Berfikir Koherensi Metapolicy 57B. Deskripsi dan Pembahasan Koherensi Metapolicy 61

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 87

DAFTAR PUSTAKA 91INDEX 99DAFTAR RIWAYAT HIDUP 105

Page 7: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

iv Daftar Isi

Page 8: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

1Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

PendahuluanBab 1

Dengan segala kerendahan hati, saya mohon diperkenan untuk menyampaikan sebagian hasil kajian keilmuan saya dalam bidang Ilmu Kebijakan Publik, yang berjudul

“Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik.”

Hadirin yang sama-sama mencintai NKRI, izinkan saya menyampaikan pertanyaan provokatif untuk menggugah paham, rasa, dan spirit kebangsaan kita. Kita awali dengan pendekatan outward looking; apakah kita ingin NKRI dapat menjaga immortalitas negaranya dalam rentang waktu yang panjang seperti United Kingdom, USA, atau seperti Thailand? Kemudian mari kita lanjutkan dengan pendekatan inward looking; apakah NKRI yang dibangun berdasarkan Sumpah Pemuda Tahun 1928 ini ingin terjaga immortalitasnya dalam jangka panjang seperti Sriwijaya yang dibangun berdasarkan sumpah di bukit Siguntang, atau hanya ingin terjaga immortalitasnya selama ± 2,5 abad seperti Majapahit yang dibangun dengan Sumpah Palapa? Tentu kita semua ingin agar NKRI tetap terjaga immortalitasnya, sejahtera bangsanya, dan semakin berjaya dalam fora hubungan selaras antar bangsa yang berperadaban tinggi.

Namun tantangan yang menghadang untuk mewujudkan harapan tersebut tidak sederhana. Untuk melihat sepintas fenomena permasalahan yang ada pada negara kita, baik kita gunakan pandangan Acemoglu dan Robinson (2012: 398-403) yang menyatakan bahwa terdapat tiga unsur yang menyebabkan gagalnya suatu bangsa (Nation Fail), yaitu 1) The Lack of authority of the central state, 2) Much more fragmented elites, dan 3) change from central commando to crony capitalism. Dalam konteks

Page 9: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

2 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Negara RI, khususnya pasca Reformasi, otoritas pemerintahan pusat terhadap daerah mengalami pelemahan secara signifikan. Lebih dari itu, belakangan ini terjadi fragmentasi yang cukup mengkhawatirkan diantara para elit politik. Dua indikator tersebut dilengkapi dengan indikator yang ketiga, yaitu bahwa terjadinya fenomena dominasi crony capitalism dalam penguasaan ekonomi negara. Dengan demikian, ketiga indikator sebagai penyebab nation fail tersebut dalam realitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa kita akhir-akhir ini menunjukkan fenomena munculnya faktor-faktor sebagaimana dimaksud oleh Acemoglu dan Robinson (2012) sebagai pendorong ke arah to the collaps of the state.

Walaupun demikian, kita tidak boleh pesimistik, tetap harus optimistik. Bangsa ini akan dapat mencegah kemungkinan masa depan yang buruk (reduce the probability of bad future), atau akan mampu membuat masa depan yang lebih baik (making a better future), dengan cara membangun sistem yang memungkinkan bangsa kita dapat menenun masa depan (weaving the future: Plato) ke arah yang lebih baik. Implikasinya, untuk membuat kontruksi sosial (social construction) yang lebih baik ke depan maka perlu segera memantapkan metapolicy kebijakan publik yang sesuai dengan philosophische grondslag yang ditentukan oleh para Pendiri Negara yang derivasinya disesuaikan dengan karakter tuntutan zaman. Metapolicy itu hakikatnya berbicara tentang nilai fundamental dan kepercayaan normatif yang dipegang oleh para pembuat kebijakan (policy maker). Di sisi lain, nilai dan sistem keyakinan (belief system) itu berfungsi sebagai perceptual screening, behavioral channeling, dan general plan. Pada gilirannya, nilai (value) dan sistem keyakinan (belief system) akan memengaruhi perilaku aktor kebijakan publik. Hal ini sejalan dengan pandangan Sutton (1999: 15) yang menyatakan bahwa “They suggest that changes in belief system can trigger changes in policy”.

Page 10: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

3Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Sudah jamak diketahui oleh para ahli kebijakan publik bahwa ada kecenderungan untuk memisahkan secara dikhotomi antara formulasi dan adopsi atau pembuatan kebijakan (policy- making) dengan implementasi kebijakan publik (implementation of public policy). Dikhotomi tersebut tidak menguntungkan, bahkan menurut Sutton bisa membahayakan (is dangerous). Salah satu pengaruh paling penting dari dikhotomi antara pembuatan kebijakan dengan implementasi kebijakan adalah “the possibility for policy makers to avoid responsibility (Sutton, 1999: 23). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam praktiknya sering terjadi saling lempar tanggung jawab antar aktor kebijakan publik pada masing- masing tahapan kebijakan publik tersebut. Hal itu terjadi sebagai akibat dari tidak adanya koherensi metapolicy antar tahapan kebijakan publik padahal perihal pentingnya penguatan koherensi dan mengurangi resiko fragmentasi dalam kebijakan publik telah dikemukakan oleh Dror dalam Johnson dan Heilman (2014: 475-476), Robinson (2015:15), Denhardt and Denhardt (2007: 38), dan Farazmand (2007: 6). Dengan demikian, koherensi metapolicy ini sangat penting untuk menjembatani antar tahapan kebijakan publik serta sekaligus mencegah terjadinya dikhotomi dan fragmentasi dari para aktor kebijakan publik yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kegagalan kebijakan (policy failure). Implikasinya, koherensi metapolicy tersebut amat strategis, sebab koherensi metapolicy cenderung mengintegrasikan, mensinkronisasikan, dan menentukan arah, proses, output, serta outcomes kebijakan publik (public policy) yang diformulasikan, diadopsi, dan diimplementasikan.

Substansi output dan outcomes yang ingin diwujudkan oleh suatu kebijakan publik, akan tergantung kepada apa yang direncanakan sebagai hasil kegiatan formulasi yang dilakukan oleh aktor kebijakan publik, dalam posisi sebagai policy framer/ policy maker/policy formulator. Di sisi lain perilaku aktor

Page 11: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

4 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

kebijakan publik dalam memformulasikan kebijakan cenderung dipengaruhi oleh Nilai Dasar Metapolicy yang berfungsi sebagai belief system para aktor yang bersangkutan. Dengan demikian, Nilai Dasar Metapolicy cenderung menentukan efektivitas formulasi. Sebaliknya, tanpa Nilai Dasar Metapolicy yang benar maka perencanaan yang dihasilkan arahnya tidak akan berkoherensi dengan tujuan Nasional. Dengan kata lain, kegagalan memilih nilai dasar Metapolicy misalnya yang hanya didasarkan atas kepentingan pragmatis atau temporary atau didasari vested interest, maka hal itu dapat menyebabkan kegagalan formulasi. Konsekuensi kegagalan formulasi yang berimplikasi pada kegagalan perencanaan, hal itu juga berarti merencanakan kegagalan (policy failure). Sebab jika formulasi salah maka adopsi juga akan menghasilkan keputusan kebijakan (policy decision) yang salah. Jika adopsi salah maka kebijakan yang diimplementasikan tentu tidak akan menghasilkan output dan outcomes yang berkoherensi dengan kebutuhan Nasional (National interest). Sebaliknya, sebagus apapun formulasi yang dilakukan dan dihasilkan, apabila tidak diimplementasikan dengan benar maka berarti juga akan menghasilkan kegagalan kebijakan (policy failure), bisa dalam kategori non implementation policy atau unsuccessful policy. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa koherensi metapolicy dan adopsi dengan implementasi kebijakan cenderung menentukan kesuksesan kebijakan (succsessful policy). Singkatnya metapolicy cenderung menentukan efektivitas atau keberhasilan kebijakan publik.

Seperti kita ketahui bahwa fungsi metapolicy tersebut sangat penting, tapi sampai sekarang amat sedikit ahli kebijakan publik yang berminat mengkaji prinsip metapolicy tersebut (Wahab, 2012: 108). Menurut hemat saya, hal itu merupakan konsekuensi logis dari dominannya positivisme dalam Ilmu Kebijakan Publik. Bahkan sampai sekarang, positivisme masih sangat

Page 12: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

5Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

mempengaruhi alam pikiran para aktor (praktisi) kebijakan publik, sehingga abai terhadap metapolicy yang kedudukan dan fungsinya amat strategis. Inilah urgensi dari tema pidato saya ini, yaitu “Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik.”

Adapun Sistematika penyajian naskah ini adalah, pertama diawali dengan pemaparan yang bersifat esensial mengenai Urgensi Kebijakan Publik dan Ilmu Kebijakan Publik. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang kepentingan publik dan nilai etika kebijakan publik. Bagian dua ini meliputi kepentingan publik dan nilai etika dalam kebijakan publik yang terdiri dari ethics of virtue, deontological ethics, dan teleological ethics. Bagian tiga memaparkan tentang teori metapolicy dalam kebijakan publik. Bagian tiga ini meliputi pemaparan tentang esensi teori metapolicy, kemudian metapolicy dalam formulasi kebijakan publik, metapolicy dalam adopsi kebijakan publik, metapolicy dalam implementasi kebijakan publik, metapolicy dalam kontinum antara society-centred models dengan state centred models, metapolicy dalam grand-policies, dan fungsi metapolicy dan grand-policies terhadap immortalitas negara- bangsa. Bagian empat naskah ini memaparkan tentang deskripsi dan pembahasan koherensi metapolicy. Bagian empat ini meliputi kerangka berfikir metapolicy, serta deskripsi dan pembahasan koherensi metapolicy berbasis peraturan perundang-undangan dan dokumen perencanaan pembangunan. Naskah pidato ini diakhiri dengan bagian penutup, di dalamnya terdiri dari pemaparan yang lebih menggambarkan sebagai epilog dari naskah ini ketimbang kesimpulan, dilanjutkan dengan sebuah rekomendasi bagi para Pemimpin Pemerintahan Negara RI khususnya Eksekutif dan Legislatif. Kemudian bagian penutup ini diakhiri dengan ucapan terima kasih dari saya kepada berbagai pihak.

Page 13: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

6 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

ulisan tentang kebijakan publik dan ilmu kebijakan publik ini, demikian pula tentang formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik yang dipaparkan pada

bagian selanjutnya dalam naskah ini, tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau mengarungi samudra luas ilmu kebijakan publik. Naskah ini memang menggunakan pendekatan “bird eye view” suatu istilah dari Bertalanffy (1968) terhadap cakrawala ilmu kebijakan publik, namun dalam satu atau dua lirikan mata burung saja, sehingga tidak memotret secara luas seluas horizon, dan tidak mendalam atau mendetail sampai ke seluk beluk (teknokratis) ilmu kebijakan publik. Hal ini perlu diutarakan disini agar tidak terjadi kesalahpahaman dari sebagian pembaca terhadap kedalaman dan keluasan samudra ilmu kebijakan publik. Dengan kata lain, tulisan ini ibarat screenshoot, itupun hanya terpotret sebagian dari layarnya saja, dalam arti bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan secara mendalam tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu kebijakan publik secara komprehensif. Dalam naskah ini, uraian tentang kebijakan publik, ilmu kebijakan publik, konsep public interests, konsep etika dalam kebijakan publik, formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik hanya diuraikan secara sepintas, sebatas yang diperlukan untuk memberikan pemahaman dasar dalam kaitannya dengan tema yang dibahas dalam naskah ini, yaitu tentang koherensi metapolicy dalam public policy.

Dalam kehidupan masyarakat modern dan kompleks sekarang ini, setiap aspek kehidupan dipengaruhi baik langsung maupun

Urgensi Kebijakan Publikdan Ilmu Kebijakan Publik

Bab 2

T

Page 14: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

7Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

tidak langsung, eksplisit maupun implisit, oleh berbagai kebijakan publik. Anderson (2003:1) menyatakan bahwa “Public-Policies in a modern, complex society are indeed ubiquitous”. Kebijakan publik memiliki ruang lingkup yang luas. Melalui kebijakan publik, kita dapat memahami permasalahan apa yang sedang dihadapi dan sikap atau tindakan apa yang perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan pemerintah dalam menanggapi pelbagai masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Terkait ruang lingkup kebijakan publik ini ditegaskan oleh Dye (1984:25) yang diawali dengan pertanyaan “What can we learn about public policy? We can learn what government is doing (and not doing) in welfare, defense, education, civil rights, health, energy, taxation, and so on”. Implikasinya, aktivitas-aktivitas manusia dalam berbagai bidang kehidupan, baik di perdesaan maupun di perkotaan, tidak akan bisa terlepas dari pengaruh kebijakan publik (Nurdin 2017:1). Banyak sekali contoh kebijakan publik yang dirumuskan dan diimplementasikan yang telah memberikan pengaruh kepada kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam bidang pendidikan kita mengenal program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dalam bidang kesehatan dan ketenagakerjaan kita mengenal program BPJS, dalam bidang ekonomi-keuangan nasional kita juga mengenal program Amnesti Pajak, dan sebagainya.

Luasnya ruang lingkup tersebut menjadikan kebijakan publik amat menentukan nasib suatu bangsa; sebaliknya, baik buruknya kondisi suatu bangsa akan dipengaruhi oleh baik buruknya kebijakan publik (Nurdin, 2018: 9). Kejatuhan dan keberhasilan suatu Negara bangsa semakin ditentukan oleh “kehebatan” kebijakan publiknya, bukan oleh sumber daya alam, posisi strategis, dan bahkan politiknya (Nugroho, 2014:3). Dengan demikian maka kebijakan publik seyogyanya menjadi “concern”

Page 15: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

8 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

seluruh warga negara dalam berbagai bidang kehidupan (pembangunan) bangsa.

Kebijakan publik didefinisikan oleh banyak sarjana, secara beragam, untuk kepentingan kali ini, dipilih definisi yang bersifat generik saja, sebagaimana dikemukakan oleh Dye (1984: 1), Public policy is whatever governments choose to do or not to do. “Definisi ini sejalan dengan pendapat Anderson (2003: 3) yaitu “Public policies are thoose produced by government officials and agencies. Kedua definisi yang bersifat generik tersebut menitikberatkan pada aktor utama dari kebijakan publik, yaitu para pejabat dalam pemerintahan termasuk badan-badan atau lembaga-lembaga pemerintahan baik, legislatif, esksekutif, yudikatif dan lain- lain, baik di pusat maupun di daerah. Namun hendaknya tidak ditafsirkan bahwa kebijakan publik hanya melulu urusan pemerintah, melainkan juga urusan aktor-aktor kebijakan publik non pemerintah. Luas sempitnya peluang atau otoritas dari aktor kebijakan publik non pemerintah dalam kebijakan publik amat tergantung kepada sistem politik yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Selain definisi kebijakan publik yang menitikberatkan kepada otoritas aktornya, terdapat juga definisi yang menitikberatkan kepada prosesnya, outputnya, outcomesnya, dan sebagainya.

Tahapan kebijakan publik dapat disimplifikasi ke dalam empat tahap, yaitu formulasi, adopsi/legitimasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini Bowman (2005: 209) menambahkan siklus berikutnya setelah evaluasi kebijakan, yaitu tahap redesign. Di sisi lain Donahue (2003:471) berpendapat bahwa siklus pertama dari kebijakan publik adalah tahap agenda setting, analisis masalah, dan identifikasi kriteria, dan sebelum formulasi diawali dengan analisis kebijakan. Tahapan kebijakan yang lebih lengkap adalah perception/definition, aggregation,

Page 16: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

9Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

organization, representation, agenda setting, formulation, legitimation, budgeting, implementation, evaluation, dan adjusment/termination (Jones, 1984: 29). Mengenai tahapan siklus ini terdapat banyak perbedaan di antara para sarjana kebijakan publik, namun perbedaan tersebut tidak terlalu substantif.

Untuk memahami secara komprehensif mengenai tahapan siklus kebijakan publik, dapat dipotret melalui anatomi kebijakan publik yang secara visual dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar: 1 Anatomi Kebijakan Publik

Page 17: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

10 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan publik bisa dipersepsi memberi keuntungan dan kerugian, menyebabkan kesenangan, gangguan atau kesedihan, dan secara kolektif memiliki konsekuensi penting bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dengan kata lain Kebijakan publik merupakan bagian penting yang mempengaruhi kondisi kehidupan setiap orang yang dalam perspektif kebijakan publik disebut sebagai dampak kebijakan. Kondisi tersebut menunjukkan urgensi dari ilmu kebijakan publik bagi kepentingan masyarakat bahkan bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan Lasswell yang dikutip oleh Torgerson (2007: 19) dalam Fischer, at all (2007) yaitu: “The policy sciences promise intelligence capable of leading modern civilization away from an irrational path”. Jadi, menurut pandangan Lasswell yang telah menggagas ilmu kebijakan atau The Policy Sciences sejak Tahun 1920-an, ilmu kebijakan menjanjikan kecerdasan yang mampu menuntun peradaban modern jauh dari jalan yang tidak rasional. Oleh karena itu, kita seyogyanya memahami pentingnya ilmu kebijakan publik.

Dye (1984: 4) dan Anderson (2003: 1) mengemukakan tiga alasan mengapa perlu mempelajari ilmu kebijakan publik, yaitu alasan ilmiah, alasan profesional, dan alasan politis. Secara ilmiah, studi kebijakan publik adalah studi sistematis dan teliti tentang asal-usul, pengembangan, dan implementasi kebijakan publik, yang akan meningkatkan pemahaman kita tentang perilaku politik, tata kelola, dan implementasi kebijakan publik. Terkait hal terakhir ini, Lasswell menyatakan bahwa ilmu kebijakan menyangkut dua kerangka acuan yang dapat dipisahkan meskipun terjalin erat, yaitu “Knowledge of the policy process; knowledge in the process (Lasswell 1951 dalam Lasswell, 1970: 3).

Ilmu kebijakan publik secara eksplisit berorientasi untuk memecahkan masalah publik, yaitu guna memenuhi kebutuhan

Page 18: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

11Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

publik atau public interests (Deleon dan Martell, 2006: 32). Apabila ditinjau dari segi prosesnya, pendekatan studi kebijakan secara ilmiah adalah untuk mengembangkan pemahaman tentang proses pembuatan kebijakan yang inheren melibatkan konflik dan perjuangan di antara orang-orang (pejabat publik dan warga negara) dengan kepentingan, nilai, dan keinginan yang saling bertentangan. Proses tersebut dapat penulis gambarkan dalam skema sebagai berikut:

Gambar 2Proses Pembuatan Kebijakan Publik

Untuk melengkapi perspektif pengetahuan dan penajaman pemahaman tentang proses pembuatan kebijakan publik sebagaimana dikemukakan pada skema di atas, berikut ini dapat dilihat skema yang dikutip dari Sutton (1999), yaitu:

Page 19: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

12 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Gambar 3Interests In The Policy Formation Process Sumber: Keeley 1997, adapted from Meier

1991, dalam Sutton (1999: 26)

Penjelasan terkait gambar dari Sutton (1999) tersebut akan diuraikan bersamaan dengan pandangan Turner dan Hulme (1997: 64-70) dalam bahasan tentang metapolicy dalam kontinum antara Society-Centred Models dengan State- Centred Models, pada uraian selanjutnya dalam naskah ini.

Terkait dengan proses pembuatan kebijakan (policymaking process), terdapat tiga tujuan, yaitu pertama untuk menjelaskan adopsi suatu kebijakan, kedua meneliti atau mencari sebab dan akibat dari kebijakan publik dengan menerapkan metode ilmiah, rasional, empiris, dan objektif, ketiga untuk mengembangkan teori dan penjelasan yang dapat diandalkan.

Alasan perlunya memelajari kebijakan publik secara profesional, seseorang dapat mengejar karier sebagai praktisi, konsultan, analis atau evaluator kebijakan publik. Terkait dengan profesi sebagai analis, perlu dipahami bahwa varian dari analisis kebijakan adalah penelitian evaluasi, yang menilai seberapa baik kebijakan mencapai tujuan dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Page 20: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

13Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Adapun secara politis, alasan perlunya memelajari kebijakan publik adalah agar dapat berpartisipasi dalam advokasi kebijakan, menggunakan pengetahuan kebijakan publik untuk memformulasikan dan mempromosikan good public-policies that will have the right goals. Upaya penelitian advokasi kebijakan sering cenderung untuk menghasilkan data dan analisis yang sesuai dengan preferensi mereka. Meskipun sebenarnya studi kebijakan publik seyogyanya dimotivasi oleh the intent to be impartial.

Pengetahuan ilmiah dilihat dari sudut pandang tindakan manusia, dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat utama, yaitu pengetahuan yang relevan dengan kontrol lingkungan, kontrol masyarakat, dan pengetahuan tentang kontrol dari kontrol-kontrol itu sendiri (knowledge on the control of the controls themselves), that is, on meta-control (Dror, 1970:1). Kemudian dari tiga tingkat pengetahuan tersebut, yang paling lambat perkembangannya adalah pengetahuan meta-kontrol, yaitu pengetahuan tentang perencanaan dan pengoperasian sistem kontrol sendiri yang ia sebut sebagai “the public policymaking system”. Padahal menurut Dror (1970:1) “the most important implication of policy sciences is that they provide man with the ability to direct and control his future”. Dengan kata lain, sistem pembuatan kebijakan publik kedudukannya amat penting karena dapat memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengarahkan dan mengontrol masa depannya. Adapun yang dimaksud kontrol menurut Dror adalah meliputi regulating, governing, shaping, directing, influencing, and monitoring.

Jurang pemisah antara kapasitas untuk mengontrol lingkungan, masyarakat, dan individu di satu pihak, dengan pengetahuan tentang bagaimana memformulasikan dan mengadopsi serta bagaimana mengimplementasikan/ mengoperasikan sistem-

Page 21: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

14 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

sistem tersebut di pihak lain, dapat mengancam kelangsungan hidup dan perkembangan umat manusia. Untuk itu dipandang perlu to improve policymaking systems agar manusia dapat menggunakan kewenangannya secara bijaksana (to use wisely). Implikasinya agar kebijakan publik bersifat bijaksana maka menurut Dror dibutuhkan apa yang disebut sebagai “New values and belief system wich meet the new global role of controlling man” (Dror, 1970: 3). Pandangan senada menyatakan bahwa: “The policy sciences approach is explicitly value oriented” (Deleon dan Martell, 2006: 32). Tidak diragukan lagi bahwa Ilmu Kebijakan Publik kontemporer, masa kini dan masa yang akan datang, secara eksplisit berorientasi nilai, tidak value free atau value less, melainkan value loaded atau value laden. Orientasi nilai ini mengakui bahwa tidak ada masalah kebijakan publik yang terlepas dari komponen nilai. Dengan demikian, untuk dapat memahami hakikat masalah publik dan dalam memformulasikan, mengadopsi, mengimplementasikan, dan mengevaluasi atau menganalisis kebijakan publik, aktor kebijakan publik harus memahami komponen-komponen nilai yang memengaruhinya. Pemahaman tentang pentingnya nilai- nilai dan sistem keyakinan dalam formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik tersebut sebagaimana diuraikan di atas termasuk ranah atau dimensi metapolicy.

Page 22: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

15Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

A. Kepentingan Publik (Public Interests)sensi kebijakan publik dari suatu view of point adalah intervensi terhadap suatu kondisi yang dilakukan oleh government dan didukung oleh civil society dan

private sector (business), dengan tujuan untuk memenuhi atau mewujudkan public interests, common good, atau public weal. Kepentingan umum (public interests), common good, public weal adalah istilah-istilah yang digunakan ketika merujuk kepada kebaikan yang luas dan utuh yang menjadi orientasi suatu kebijakan publik atau dalam istilah Morgan (2001 : 151) adalah the good of the larger political whole.

Sulit menemukan definisi yang dianggap paling memuaskan tentang makna dari istilah-istilah tersebut. Pemaknaannya sering diasumsikan sebagai keinginan untuk menundukan kepentingan individu dengan seperangkat nilai- nilai komunal yang lebih besar. Menurut Gunn, 1969; Hirschman, 1997 dalam Morgan (2001 : 152), terkadang nilai- nilai tersebut bersifat religius dan terkadang lebih bersifat skuler. Terdapat empat asumsi penting tentang kepentingan publik, yaitu :

1. Kepentingan publik tidak dapat didefinisikan tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi subjek.

2. Keberadaan kepentingan publik adalah masalah artificial creation, an instrumental contrivance, daripada sesuatu yang diletakkan in the heavens, atau memiliki status moral universal seperti common good and public weal.

Kepentingan Publik dan Nilai Etika Kebijakan Publik

Bab 3

E

Page 23: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

16 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

3. Tujuan utama pemerintah adalah mengamankan keamanan yang semestinya.

4. Kepentingan publik tidak dipandang sebagai fondasi pemerintahan yang ideal, hanya yang terbaik (Gunn 1969 dalam Morgan 2001: 153).Selanjutnya Morgan (2001: 153) mengemukakan perlunya

menemukan keseimbangan antara dua aliran pemikiran tentang kepentingan publik, yang dapat disarikan sebagai berikut :

1. Aliran yang berpendapat bahwa perbedaan pendapat tentang kepentingan publik ada hubungannya dengan nilai-nilai demokrasi substantif, khususnya kesetaraan kondisi, tanpa mengorbankan kebebasan individu.

2. Aliran yang berpendapat bahwa kepentingan publik terutama menyangkut perdebatan tentang nilai-nilai prosedural dalam mengatur penentuan the common good. Prosedur ini dianggap penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.

B. Nilai Etika dalam Kebijakan PublikBerbicara tentang public interests, public good, common good,

atau public weal dalam kebijakan publik itu berarti berbicara tentang nilai, etika, dan tentu itu menyangkut metapolicy. Hal ini sejalan dengan pendapat Bryner (2006:433) bahwa: “Ethical issues permeate the design, implementation, and evaluation of many public- policies”. Implikasinya pertimbangan-pertimbangan etis diharapkan dapat mempedomani kegiatan para aktor kebijakan publik dalam mempromosikan kepentingan publik. Ini berarti kegiatan formulasi, adopsi, implementasi, maupun evaluasi kebijakan publik, hendaknya memerhatikan nilai etika sebagai standar pengukuran baik buruknya kebijakan publik

Page 24: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

17Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

baik proses maupun orientasi output dan outcomesnya. Untuk itu, dalam analisis kebijakan publik, hendaknya menggunakan pendekatan integratif yang mengombinasikan pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA) dengan pendekatan-pendekatan yang berakar pada analisis etis dan moral. Implikasinya kebijakan publik, bukan hanya menyangkut bagaimana mewujudkan public goods misal security, law and order, justice, liberty, dan welfare, melainkan hal penting lainnya adalah mengapa, berdasarkan apa, untuk kepentingan siapa, dan bagaimana dampak lingkungan yang dikehendaki.

Terinspirasi dari Cooper maka sistematika pembahasan etika kebijakan publik dikategorikan dan diurutkan secara kronologis mulai dari ethics of virtue, deontological, dan teleological ethics (Cooper, 2001: 131-205). Masing-masing kategori etika tersebut dikemukakan dalam naskah ini secara terbatas dalam kaitannya dengan metapolicy, tidak dibahas secara mendalam dengan pendekatan filsafat etika.

1. Ethics of VirtueEtika kebajikan atau etika keutamaan menjadi landasan etika

yang kuat bagi berbagai kebijakan dalam membangun sistem sosial, ekonomi, politik, dan sistem lainnya. The virtues should be the foundation of all ends, policies, and practices (Hart, 2001: 139). Tokoh utama yang dapat dianggap sebagai Pelopor Etika kebajikan adalah Aristoteles, yang salah satu ajarannya menegaskan bahwa setiap warga negara harus mengupayakan kesejahteraan sesama warga negara mereka, dan setiap warga negara mempunyai kewajiban moral untuk melampaui kepentingan dirinya sendiri (Hart, 2001: 133). Etika keutamaan ini lebih berpusat kepada dirinya sebagai agen etik, yang memiliki kesadaran sebagai makhluk yang memiliki kewenangan memilih standar etik dalam menentukan tujuan dan praktik atau implementasi suatu kebijakan.

Page 25: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

18 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Jadi, etika ini bersifat intrinsik, tidak bersifat ekstrinsik seperti etika deontologis dan etika utilitarian atau konsekuensialisme.

Di antara para Sarjana Kebijakan Publik yang menyinggung hubungan ethics of virtue dengan kebijakan publik antara lain adalah Waldo, Appleby, Frederickson, Cooper, dan Denhardt. Mereka mengakui pentingnya good character for public administration/public policy. Disadari bahwa pembuatan kebijakan dilakukan oleh individu-individu khususnya individu- individu yang mempunyai otoritas dalam organisasi pemerintah yaitu para pejabat publik yang dimotivasi oleh nilai-nilai etika yang dianutnya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa pengembangan organisasi pemerintah dan pembuatan kebijakan publik akan dipengaruhi oleh kapasitas moral individu untuk membuat keputusan kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip etika. Hal ini sejalan dengan pendapat Grosenick dan Gibson (2001: 243) yang menyatakan bahwa “... the moral capacity of the individual to make organizational decision based upon ethical principles”. Terkait dengan prinsip-prinsip etika keutamaan ini dapat dilihat empat dimensi kebaikan yang dikutif oleh Cooper (2001: 137) dari Oxford English Dictionary, yaitu prudence, justice, fortitude, dan temperance.

Terjadinya korupsi dalam suatu negara itu disebabkan karena lemahnya etika keutamaan dari pelaku. Penyebab utama kegagalan industri Amerika adalah disebabkan manajemen puncak yang tidak menjalankan fungsi manajemen berbasis etika keutamaan (Deming dalam Hart 2001: 147). Tidak diragukan lagi bahwa etika keutamaan mempengaruhi kesuksesan suatu kebijakan publik. Kondisi ini menuntut agar diadakan metapolicy yang spiritnya mendorong policymaker dan policy/program implementor berperan sebagai homo virtutis (makhluk manusia/ kebajikan/utama) dalam menjalankan tugasnya.

Page 26: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

19Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

2. Deontological EthicsPara ahli deontologi cenderung akan menjadi Pengacara,

Hakim, Jaksa, ahli konstitusi, administrator publik, Penjaga Kode Etik, para ahli agama, dan peran lainnya yang berkaitan dengan pernyataan nilai-nilai yang disepakati atau ditetapkan.

Kata “de” pada deontologis tidak berkonotasi negatif tetapi merupakan kesatuan dengan kata “deon” yang berasal dari akar kata kerja Yunani “deont” artinya untuk mengikat. Istilah “deon” mengacu kepada apa yang perlu dan mengikat.

Etika deontologis merupakan hukum atau peraturan umum yang mempedomani tindakan atau perilaku. Deontologis juga dapat dimaknai sebagai pengetahuan atau studi tentang kewajiban atau komitmen moral. Deontologi menghubungkan suatu nilai dengan prosedur atau praktik umum tertentu. Hukum sebagai nilai yang mengatur membutuhkan prinsip deontologis yang dapat menunjukkan kepada kita pola tindakan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati. Hukum harus adil, wajar, dan sama, tidak boleh menindas, aneh, atau menyimpang (Chandler, 2001: 179-182).

Etika deontologis menekankan perlunya kontrol prosedural sebagai ciri administrasi publik profesional, guna membatasi penyalahgunaan wewenang. Namun demikian etika deontologis juga menuntut setiap individu melakukan apa yang benar dan terhormat, agar organisasi tetap sehat. Kode etik memang bermanfaat sebagai alat bagi penegakkan etika deontologis namun tidak dapat menggantikan peraturan, hukum, atau kesepakatan (Chandler, 2001: 192). Dengan demikian para policymaker dan policy/program implementor, dituntut untuk menaati peraturan di satu sisi, dan di sisi lain sebagai homo virtutis perlu meningkatkan peran hati nurani untuk menjunjung

Page 27: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

20 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

tinggi kode etik. Implikasinya maka kebijakan publik yang diformulasikan dan diimplementasikan dapat menjaga eksistensi institusi/organisasi negara serta sekaligus menciptakan ketertiban dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Tanpa adanya kesadaran untuk menaati etika deontologis maka produk kebijakan dapat mengancam kelangsungan hidup negara dan mengabaikan public interests, public welfare, dan/atau public weal.

3. Teleological EthicsEtika teleogis atau lazim disebut etika utilitarianisme atau

etik konsekuensialisme, yaitu pendekatan penilaian etis terhadap standar benar dan salah secara moral, didasarkan kepada konsekuensi, manfaat, atau hasil yang dicapai. Referensi utamanya adalah perbandingan antara manfaat yang dihasilkan atau yang diharapkan akan dihasilkan (benefit produced or expected to be produced) dengan kebaikan atau keburukan dari konsekuensi keputusan (the goodness or badness of the consequences of the decision), Pops (2001: 195).

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa etika teleologis ini, selain disebut sebagai etika konsekuensialisme, lazim pula disebut etika utilitarianisme. Etika ini berfokus untuk menghasilkan kebaikan umum terbesar (the greatest general good). Prinsip dasar atau filosofi utilitarianisme adalah prinsip kebaikan bersama (the principle of the common good). Jeremy Bentham dan John Stuart Mill sebagai pelopor etika utilitarianisme mengatakan; “According to utilitarianism, being moral means doing what will bring about the greatest good for the greatest number of people. Every-one must be considered; then the moral thing to do is what is most helpful to the greatest number” (Clark, dalam Pops, 2001: 196). Intinya menurut utilitarianism ethics, sesuatu itu baik atau benar apabila menghasilkan kebaikan terbesar bagi sejumlah besar orang.

Page 28: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

21Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Etika Utilitarianisme bagi para aktor kebijakan terbagi ke dalam tiga tipe yaitu 1) Act Utilitarianism, 2) general utilitarianism, dan 3) rule utilitarianism. Act utilitarianism mengharuskan aktor kebijakan memperhitungkan manfaat dan beban/biaya dari setiap tindakan, dan tindakan itu sendiri dinilai atas konsekuensi aktual atau konsekuensi yang diharapkan. Sedangkan General utilitarianism, menghendaki agar setiap orang bertindak searah dengan tindakan yang dilakukan oleh aktor kebijakan publik. Adapun rule utilitarianism, mengarahkan perhatian pada konsekuensi yang dihasilkan dari penerapan peraturan yang konsisten. Pertanyaannya peraturan mana yang apabila diterapkan akan mendorong terwujudnya kebaikan umum terbesar (Pops, 2001; 196). Implikasi dari prinsip utilitarianisme ini terhadap kebijakan publik adalah, bahwa para pembuat dan pelaksana kebijakan publik harus berorientasi untuk memaksimalkan kebaikan atau kesejahteraan (maximizing good or welfare) bagi lebih banyak orang. Prinsip ini menurut aliran non utilitarian harus dilengkapi dengan prinsip persamaan (equity principle).

Dalam konteks mewujudkan public interests, kebijakan publik harus didasarkan kepada metapolicy yang mengarahkan kepada keseimbangan (equilibrium) atau jalan tengah antara act utilitarianism, general utilitarianism, dan rule utilitarianism. Dalam gambar besarnya atau secara makro, metapolicy harus menemukan jalan tengah antara ethics of virtue, deontological ethics, dan dengan teleological/consequencialism/utilitarianism ethics.

Page 29: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

22 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

A. Esensi Teori Metapolicyemua tahapan proses kebijakan publik mulai dari issue identification, Policy creation (formulation and legitimacy), public administration (implementation),

dan evaluation, selalu berbasis nilai (value based) atau berbasis ethics ( Donahue, 2003:471-472). Hal ini sesuai dengan pendapat Dror yang dikemukakan pertama kalinya pada tahun 1983 dan diterbitkan ulang pada tahun 2017, yaitu bahwa “Values as facts influencing policymaking“ (2017: xix). Implikasinya esensi metapolicy adalah di mana sistem nilai menjadi unsur esensial dalam pembuatan kebijakan. Hal ini sejalan dengan Hodgkinson (1978:180) yang menyatakan bahwa organizations tend to be governed by value imperatives...they may be described as metavalues. Pada bagian lain Hodgkinson menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut dapat dicirikan dengan berbagai cara seperti political, moral, religious, aesthetic, dan economic. Di sisi lain Dimensi nilai dibentuk oleh banyak unsur sebagaimana dikatakan oleh Farazmand (2007: 8) bahwa the value dimension is formed by a multitude of elements such as people, religion, belief, perception, formal policy, and informal habit. Menurut Hodgkinson nilai- nilai dapat memengaruhi orientasi sikap dan kecenderungan umum untuk bertindak. Ditegaskannya pula bahwa values have special relevance for administrative behaviour (Hodgkinson, 1978:121). Dengan demikian dapat dipahami bahwa metavalues dalam diskursus kebijakan publik dalam konteks makronya lebih tepat disebut metapolicy.

Teori Metapolicydalam Kebijakan Publik

Bab 4

S

Page 30: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

23Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Para policymaker atau policyframer dan implementing agencies/implementing actors/program implementor, disarankan untuk mempertimbangkan secara sungguh- sungguh dan menempatkan metapolicy sebagai titik sentral dalam kebijakan publik.

Hal ini sejalan dengan pandangan Lasswell (1970: 11) yang menyatakan bahwa “One is the clarification of goal, or the formulation of the value postulates to be pursued in policy analysis ... It is the normative (the preferential or the imperative)...” Mengingat pentingnya metapolicy ini sehingga Islamy (2001: 122) menyatakan bahwa kegagalan pejabat negara memfungsikan nilai-nilai sebagai pedoman (Guideline) dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik dapat menyebabkan gagalnya fungsi birokrasi negara secara total.

Konsep metapolicy pada hakikatnya adalah “policies on how to make policies” (Dror, 1970a: 1). Metapolicy sebagai pedoman pembuatan kebijakan publik menurut Dror (1970: 3-4) sangat membutuhkan nilai-nilai baru dan sistem-sistem kepercayaan yang memenuhi peranan global dari manusia yang berkuasa (new values and belief system which meet the new global role of controlling man). Dalam konteks hubungan antara nilai dengan metapolicy Dror mengemukakan dua kategori nilai, yaitu 1) nilai pola (pattern values) dan 2) nilai luaran (output values). Nilai pola mengacu pada nilai yang harus diwujudkan dalam pola pembuatan kebijakan, yang menuntut keterbukaan pemerintah untuk memungkinkan terjadinya partisipasi publik berkaitan dengan pola pembuatan kebijakan, yang mengejawantah proses dan peran institusi. Adapun nilai-nilai output terkait dengan nilai- nilai yang harus diwujudkan oleh produk kebijakan, seperti peningkatan lapangan kerja, penghapusan diskriminasi, peningkatan keamanan nasional, dan sebagainya (Dror, 2017: xvii).

Page 31: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

24 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Sejalan dengan itu Anderson (2003: 126-128) mengemukakan bahwa terdapat lima kategori nilai (five catagories of values) yang dapat memandu perilaku pembuat keputusan kebijakan yaitu 1) organizational values, 2) professional values, 3) personal values, 4) policy values, dan 5) ideological values.

Terkait dengan konsep metapolicy ini Johnson dan Heilman (2014: 470) dengan mengacu kepada pendapat Dror mengemukakan bahwa “Metapolicy is derived from assessing the fit between some posited fundamental values and the state of affairs in the real world”. Dengan demikian metapolicy diperoleh dari kecocokan hasil penilaian antara beberapa nilai dasar yang diajukan dengan keadaan dalam realitasnya. Lebih dari itu, metapolicy mengkaji mengapa suatu kebijakan diformulasikan dan diadopsi serta bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Implikasinya metapolicy lebih memfokuskan persoalan-persoalan yang bersifat filosofis dan politis ketimbang masalah-masalah yang bersifat teknis- administratif, seperti menjabarkan tujuan- tujuan kebijakan dalam prosedur rutin administrasi dan birokrasi (Wahab, 2012: 108-109).

Untuk menggambarkan pentingnya fungsi metapolicy ini, Johnson dan Heilman dalam Chan dan Chow (2007: 484) menyatakan bahwa konsekuensi dari ketidakcocokan metapolicy dapat melumpuhkan sistem pembuatan kebijakan atau bahkan mengarah kepada kehancuran kebijakan (paralyzing the policy- making system or even leading to the destruction of a policy). Dengan kata lain konsekuensi dari ketidakcocokan metapolicy dapat melemahkan sistem pembuatan kebijakan atau bahkan mengarah kepada kegagalan kebijakan (policy failure) baik dalam kategori non- implementation atau unsuccessful implementation. Sejalan dengan itu, dengan mengutip Kux (1990) Johnson dan Heilman memberikan contoh dampak yang tidak terkirakan

Page 32: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

25Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

sebagai akibat dari kesalahan metapolicy yaitu:“ Mikhail Gorbachev’s reformulation of the metapolicy from centralization to decentralization resulted in the disintegration of the former Soviet Union”. Jadi kekeliruan atau ketidakcocokan metapolicy dengan realitas objektif yang ada dalam proses transformasi bukan hanya dapat mengakibatkan kegagalan kebijakan (policy failure), tetapi lebih dari itu dapat berakibat pada kehancuran suatu negara-bangsa. Jadi, perlu ditekankan di sini bahwa metapolicy memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat vital dan strategis dalam pembuatan kebijakan publik. Namun, meskipun fungsi metapolicy tersebut sangat penting, tetapi ternyata amat sedikit sarjana kebijakan publik yang berminat mengkaji prinsip metapolicy tersebut. Hal ini diakui oleh Wahab (2012: 108) yang mengatakan bahwa masalah metapolicy ini sangat penting namun ternyata sangat sedikit para ahli di Indonesia yang menulis masalah metapolicy, dan dari yang sedikit itu pun yang menonjol hanya Alm. Soedjatmoko. Sejauh yang penulis pahami, Soedjatmoko (1983: 125-127) memang menulis tentang model kebutuhan dasar dan implikasinya dalam Kebijakan Nasional. Konten tulisan tersebut, pada prinsipnya membahas tentang pentingnya pendekatan kebutuhan dasar manusia dalam merumuskan suatu strategi pembangunan yang lebih efektif dan bersifat jangka panjang yaitu 25-30 tahun. .

Terkait dengan hakikat atau makna dari metapolicy, Dror (1970a: 1) menyatakan bahwa I use the term “metapolicy” to refer to policies on how to make policies. Ia menggunakan istilah metapolicy untuk merujuk pada kebijakan tentang bagaimana membuat kebijakan. Pada bagian lain Dror menyebut metapolicy sebagai pedoman utama untuk bertindak atau major guidelines for action. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Bastedo (2005: 1) yang menyimpulkan bahwa “… metapolicy is a useful conceptual construct for understanding policymaking”. Ini berarti

Page 33: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

26 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

metapolicy dipandang oleh Bastedo sebagai gagasan konseptual yang berguna untuk memahami pembuatan kebijakan. Bastedo juga mengidentikan istilah metapolicy sebagai a new conceptual anchor yang dapat dikembangkan dan difungsikan sebagai kerangka analisis dalam pembuatan kebijakan publik.

Metapolicy melandasi keseluruhan kebijakan secara makro, menyeluruh atau umum. Inti dari metapolicy sebagaimana dinyatakan oleh Dror adalah berkaitan dengan nilai-nilai dasar, contohnya ideologi demokrasi (democratic ideology). Senada dengan itu, Johnson dan Heilman (1987:470) menyatakan bahwa “metapolicy is derived from assessing the fit between some posited fundamental values and the state of affairs in the real world”. Dengan demikian secara singkat metapolicy diperoleh dari penilaian kecocokan antara beberapa nilai dasar dengan urusan yang nyata ada (dalam realitasnya).

Dror (1987: 471) menyarankan bahwa proses pembuatan metapolicy diakhiri dengan fase yang disebut “Determining Policy-making Strategy”. Sebagai contoh dalam perspektif pemerintah daerah, pertanyaan yang relevan di sini adalah sejauh mana pemerintah pusat memberikan kebijakan, pedoman, dan informasi, yaitu berupa strategi yang dapat digunakan oleh pejabat pemerintah daerah untuk memenuhi ketentuan/persyaratan kebijakan nasional. Fase pembuatan metapolicy ini menetapkan orientasi dan postur dasar yang akan diadopsi oleh pembuat kebijakan dalam situasi pembuatan kebijakan yang berbeda; misalnya apakah mereka akan cenderung membuat perubahan secara incremental atau inovasi beresiko yang memberikan manfaat maksimal ? Fase penentuan strategi pembuatan kebijakan ini meliputi:

a. Menentukan sejauhmana pembuatan kebijakan rasional pada bidang-bidang yang memungkinkan, b. Membangun

Page 34: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

27Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

doktrin dan metoda, c. Menentukan landasan atau asumsi dasar seperti tingkat aktivitas ekonomi dan populasi yang diharapkan menjadi andalan pembuat kebjakan,

b. Menetapkan instruksi substantif dan metodologi pembuatan kebijakan (Johnson and Heilman, 1987: 471).Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian di atas bahwa

metapolicy adalah kebijakan tentang bagaimana kebijakan akan dibuat. Sejalan dengan itu, untuk mempertajam pemahaman kita tentang metapolicy berikut ini adalah contoh pernyataan metapolicy dalam kaitannya dengan otonomi daerah dalam konteks privatisasi yaitu sebagai berikut:

a. Bahwa pemerintah pusat harus melakukan lebih sedikit dan bahwa pemerintah daerah termasuk pihak swasta harus berbuat lebih banyak tentang kebijakan tertentu.

b. Pemerintah memberi insentif pajak bagi investor swasta yang memasuki bidang proyek pekerjaan umum yang bersifat padat karya.Pernyataan-pernyataan problematik tersebut menyangkut

metapolicy secara substantive dari perspektif libertarian. Dror (1970a: 1-2) mengemukakan bahwa konsep metapolicy menyangkut dua hal yaitu 1) Karakteristik sistem pembuatan kebijakan (characteristics of the policymaking system), termasuk struktur, pola proses, personel input, dan output yang ditentukan; dan 2) kebijakan utama (master policies or megapolicies) atau kebijakan makro, yang meliputi strategi, tujuan umum, asumsi dasar, kerangka kerja konseptual, instrument kebijakan, dan arahan interpolicy yang serupa. Kategori kebijakan makro ini dijelaskan oleh Dror (1970: 10) sebagai public policymaking systems. Terkait dengan dua kategori metapolicy dari Dror tersebut, Chan dan Chow (2007:484) melabeli karakteristik sistem pembuatan kebijakan sebagai metapolicy konstitusional

Page 35: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

28 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

(constitutional metapolicy), sedangkan prinsip metapolicy dari segi kebijakan utama (master policies) diberi label metapolicy substantif (substantive metapolicy).

Lebih lanjut Dror (1970) mengemukakan dua kegunaan utama kerangka metapolicy, yaitu:

1. Dapat digunakan dengan pendekatan perilaku yaitu untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena aktual (masa lalu, sekarang, dan yang akan datang). Analisis perilaku metapolicy (metapolicy behavioral analysis) dapat meningkatkan pengetahuan kita tentang pembuatan kebijakan dengan memberikan kerangka karya yang lebih baik, untuk mengidentifikasi, mencari data dan mengembangkan model untuk variabel kebijakan yang saling terkait.

2. Konsep metapolicy juga dapat digunakan secara normative (normatively), untuk menggambarkan pengaturan metapolicy yang bagaimana yang dibutuhkan untuk pembuatan kebijakan yang lebih baik (better policy making).Untuk memberikan gambaran yang lebih konkrit bagaimana

penerapan konsep Metapolicy dalam pembuatan kebijakan publik Dror (1970:2-5) mengemukakan beberapa contoh masalah metapolicy (metapolicy Issue), dalam bahasa normatif, yaitu:

1. Modus operandi dasar sistem pembuatan kebijakan.2. Komponen utama sistem pembuatan kebijakan, terutama a)

organisasi, dan b) personel.3. Input informasi ke dalam pembuatan kebijakan.4. Metode pembuatan kebijakan utama Megapolicy utama,

khususnya a) Nilai dan Cakrawala Cut-off, b) sifat tujuan operasional, c) derajat inovasi, d) sikap terhadap resiko, dan e) preferensi waktu.

Page 36: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

29Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Hal mendasar dalam konsep pembuatan metapolicy konstitusional (constitutional metapolicy) di negara-negara berkembang adalah pembuat kebijakan (policymakers) menetapkan aturan-aturan dasar yang wajib dipedomani untuk mengatasi ketidakpastian dan memenuhi tantangan ekologis. Aturan-aturan atau doktrin-doktrin dasar tersebut mungkin cocok (compatible) atau tidak cocok dengan realitas objektif yang ada dalam proses transformasi. Konsekuensi ketidakcocokan dapat melemahkan sistem pembuatan kebijakan atau bahkan mengarah kepada kegagalan implementasi kebijakan (Johnson & Heilman, 1987:470). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang konsep dasar metapolicy konstitusional dan metapolicy substantif, dapat dikaji hasil penelitian Chan & Chow (2007:484-490) yang meneliti tentang metapolicy pada Republik Rakyat Cina (RRC).

Kesimpulan kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa dua prinsip metapolicy dasar konstitusional yang mendahului pembentukan RRC pada tahun 1949 tetap tidak berubah. Prinsip-prinsip tersebut adalah 1) Kepemimpinan partai, dan 2) Komando kesatuan. Dua prinsip tersebut telah memandu perumusan kebijakan administrasi negara. Untuk kepemimpinan partai, birokrasi ganda, telah beroperasi yang saling terkait antara negara dengan birokrasi partai. Birokrasi ganda didirikan dan dipertahankan untuk memastikan komando kesatuan di bawah kepemimpinan partai. Semua unit adalah instrumen otoritas pusat. Meskipun pejabat lokal memiliki kekuasaan untuk bertindak atas nama partai, namun tetap dikontrol oleh kader yang berorientasi ke pusat.

Implementasi prinsip metapolicy konstitusional melalui kepemimpinan partai dan komando, dalam operasionalnya mengadopsi doktrin metapolicy substantif dari “kader pengontrol partai” (the party controlling cadres). Untuk mewujudkannya

Page 37: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

30 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

diberlakukan Undang-undang Pegawai Negeri Sipil (The Civil Service Law) yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2006, yang menetapkan bahwa Partai memiliki kontrol manajemen penuh terhadap pegawai negeri, sehingga berdasarkan aturan tersebut tidak ada perbedaan antara pegawai negeri (state civil servants) dengan kader negara (Partai). Prinsip penting lainnya dari doktrin metapolicy substantif adalah persahabatan (comradeship). Doktrin ini telah berlaku secara konsisten sejak 1920-an. Doktrin ini mengatur bagaimana kader berinteraksi satu sama lain. Mereka harus menunjukkan kerja sama, dukungan, dan persaudaran (cooperation, support, and fraternity) dalam proses pembangunan negara. Metapolicy ini bekerja dengan baik sehingga menghasilkan sinergi dan dukungan timbal balik. Ketika dalam kesulitan, kader yang memiliki hubungan sosial yang baik (guanxi) dengan orang lain khususnya kader terkemuka, biasanya berhasil mendapatkan derajat dan tingkat kesalahan mereka ditafsirkan kembali (redeem the mistakes they have made). Metapolicy konstitusional menciptakan kondisi bagi kader untuk bertindak dengan cara yang dimaksudkan untuk memastikan stabilitas politik, dengan kepemimpinan dan kontrol partai, dan bahkan dapat membantu memfasilitasi pengembangan sosial ekonomi (Chan & Chow, 2007: 484-487).

Bastedo (2005: 5) mengemukakan bahwa metapolicy adalah “a New Conception of state policymaking”. Sebagaimana para penulis metapolicy lainnya, Bastedo juga merujuk karya Dror sebagai karya metapolicy lebih awal. Selanjutnya Bastedo (2005: 5) mengutip definisi metapolicy dari Majone (1989) “… the ideas, conceptualizations, and proposals edvanced by policy actors, analysts, academics, and bureaucratic experts who share and active interest in that policy”. Definisi tersebut menurut Majone adalah definisi metapolicy yang “a more sophisticated

Page 38: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

31Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

definition”. Penilaian tersebut memang rasional karena definisi metapolicy dari para penulis lainnya pada dasarnya berfokus kepada esensi metapolicy, yaitu nilai yang dijadikan tumpuan berfikir dalam kebijakan publik. Definisi dari Majone tersebut menegaskan bahwa metapolicy adalah gagasan tentang kebijakan publik sebelum diformulasikan dan diadopsi serta sebelum diimplementasikan, atau lebih tepatnya adalah ide, konsep, dan proposal yang mendasari formulasi kebijakan publik. Lebih dari itu Majone dalam Bastedo (2005: 5) memandang kegunaan metapolicy adalah untuk memahami lingkungan bagi analisis kebijakan, di mana konsep metapolicy sebagai sekumpulan gagasan yang mana semua gagasan adalah sama- sama benar dan kuat (all ideas are equally valid and powerful).

Selanjutnya Bastedo (2005) membahas secara panjang lebar tentang teori metapolicy dengan merujuk kepada sejumlah penulis dari sudut pandang teori kelembagaan. Ditinjau dari pendekatan ini, konsep metapolicy dinilai konsisten dengan tradisi kelembagaan, yang menekankan peran dari norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan- kepercayaan yang kuat dan adaptif di dalam proses kelembagaan. Konsep logika kelembagaan telah menjadi sarana untuk mengartikulasikan teori-teori tindakan dominan yang mendasari proses pelembagaan. Selain itu, logika kelembagaan dipandang sebagai sistem-sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang menonjol yang saling berhubungan pada organisasi. Hal itu diartikan sebagai prinsip-prinsip pengorganisasian yang digunakan untuk membuat keputusan. Lebih dari itu, logika kelembagaan menghasilkan gagasan bahwa ada ide dominan tunggal (a single dominant idea) yang memberikan gambaran akurat tentang metapolicy. Terkait hal ini, metapolicy juga merupakan templet untuk tindakan (template for action), sekumpulan karakteristik yang mengidentifikasi teori tindakan yang digunakan dalam pengembangan kebijakan.

Page 39: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

32 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

B. Metapolicy dalam Formulasi Kebijakan PublikUntuk mencapai status (agenda status) sebuah masalah publik

harus diubah menjadi isu (issue) yakni persoalan yang menarik perhatian pemerintah. Dengan demikian problem atau isu tersebut berubah status dari Systemic Agenda menjadi institutional Agenda. Apabila suatu isu telah memperoleh status institutional agenda maka berpeluang lebih besar untuk diformulasikan menjadi draft kebijakan publik.

Formulation is means to develop a plan, a method, a prescription, in this case for alleviating some need, for acting on a problem (Jones, 1984:77). Selanjutnya Jones menjelaskan bahwa formulasi adalah istilah yang lebih luas dari planning (perencanaan). Istilah formulasi meliputi juga usaha untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah- masalah publik (public problems).

Formulasi kebijakan merupakan suatu metode untuk membuat keputusan yang terkait dengan usulan yang meliputi identifikasi masalah (public interests), penentuan sasaran, metode, teknik, program untuk mencapai tujuan, mengatasi masalah, atau memenuhi kebutuhan masyarakat. Formulasi kebijakan melibatkan dua jenis aktivitas yang sangat berbeda, yaitu pertama memutuskan secara umum apa yang harus dilakukan untuk memecahkan suatu masalah atau isu kebijakan publik. Kemudian yang kedua merumuskan draft atau rancangan perundang-undangan, peraturan-peraturan administratif, atau perintah-perintah eksekutif dalam rangka mengatasi suatu isu atau memenuhi kebutuhan atau kepentingan publik (Anderson, 2003: 101 – 102). Ini berarti formulasi kebijakan merupakan bagian penting dari tahap awal pembuatan keputusan kebijakan, meskipun kegiatan formulasi kebijakan pun merupakan policy decision. Terkait dengan formulasi kebijakan publik ini dikenal

Page 40: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

33Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

model-model perumusan kebijakan publik, namun model-model tersebut tidak disinggung dalam naskah ini.

Dalam draft kebijakan sebagai hasil dari formulasi akan dapat diketahui tujuan dan prioritas-prioritas yang hendak diwujudkan, alternatif-alternatif metode yang akan digunakan dan yang lebih fundamental adalah nilai-nilai (metapolicy) apa yang mendasari atau menjiwai proses formulasi dan pemilihan substansi atau content of policy yang diformulasikan.

Formulasi adalah suatu aktivitas yang mengandung unsur politik. Oleh karena itu, biasanya banyak pihak yang terlibat dalam formulasi. Dengan kata lain dalam kegiatan formulasi tidak hanya melibatkan unsur birokrasi (government), melainkan melibatkan unsur masyarakat sipil, sektor bisnis dan media. Dalam konteks Good Government (tidak hanya dalam aktivitas formulasi, Graham At.all (2003:1) mengemukakan empat stakeholder yang harus dilibatkan dalam Good Governance, yaitu government, civil society, private sector, dan media. Sedangkan Koliba At.all (2010:71) hanya mengemukakan tiga aktor kebijakan yang perlu terlibat yaitu public, private, dan nonprofit. Adapun empat stakeholder dalam Good Governance menurut Graham (2003) tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 4 Stakeholder dalam Konteks Good GovernanceSumber: Graham, At.all (2003: 1)

Page 41: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

34 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Implikasinya akan terjadi tarik menarik kepentingan di antara stakeholders tersebut, yang tercermin dalam berbagai alternatif solusi yang ditawarkan oleh masing-masing pihak, disertai berbagai ikhtiar (efforts) agar usulannya mendapat dukungan sehingga diadopsi menjadi kebijakan publik.

Namun demikian, tidak jarang pada saat menentukan suatu kebijakan, para pemangku kepentingan di luar aktor kebijakan publik yang resmi, mereka memiliki agenda tersendiri dan mempengaruhi arah serta substansi kebijakan publik. Hal itu dalam perspektif public policy, disebut sebagai agenda setter/ lobbies. Adapun yang dimaksud dengan Agenda setter/lobbies, adalah sebuah agenda terselubung atau tidak nampak di permukaan (invisible), yang dimainkan oleh pihak- pihak tertentu yang memiliki hidden agenda dan memiliki pengaruh besar (baik secara politik, ekonomi dan lain-lain), terhadap para perumus dan penentu kebijakan publik. Implikasinya kebijakan yang telah diformulasikan dan diadopsi bisa jadi mengalami pergeseran dari rumusan dan tujuan semula. Agenda setter/lobbies sebenarnya bukan hanya secara terselubung (invisible) mempengaruhi terhadap formulasi dan adopsi, dan memang konotasinya lebih kuat ke arah itu, melainkan juga dengan hidden agenda mempengaruhi implementasi kebijakan. Dalam kondisi seperti ini amat diperlukan hadirnya metapolicy, agar semua pemangku kepentingan pada saat menentukan kebijakan, konsisten dengan nilai dasar metapolicy yang berlaku. Dengan demikian, rumusan kebijakan yang diputuskan dan diimplementasikan, akan tetap sejalan dengan hakikat dan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Posisi agenda setter/lobbies dalam konteks perumusan dan adopsi kebijakan tersebut, bahkan juga terhadap implementasi, secara visual dapat digambarkan sebagai berikut :

Page 42: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

35Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Gambar 5Posisi Agenda Setter/Lobbies dalam Konteks Formulasi, Adopsi,

dan Implementasi Kebijakan

Dapat dibayangkan apabila tidak ada metapolicy maka masing-masing pihak akan berfokus kepada kepentingan masing-masing dan tidak menaruh perhatian terhadap public interests atau national interests. Akibatnya, draft kebijakan publik yang diformulasikan akan tidak tentu arah. Lebih-lebih dalam masyarakat yang cenderung liberal-pragmatis dewasa ini, dalam era otonomi daerah, dan diberondong oleh gempuran kepentingan multi-national corporation maka dapat terlahir formulasi kebijakan yang disfungsional terhadap kelangsungan

Page 43: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

36 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

hidup bangsa. Dengan demikian, tidak ayal lagi bahwa keberadaan metapolicy adalah suatu keniscayaan dalam formulasi kebijakan publik, agar kebijakan publik tetap dalam kerangka NKRI untuk mencapai tujuan nasional.

Perlu pula ditekankan bahwa formulasi kebijakan memiliki makna strategis karena kebijakan publik yang diimplementasikan adalah hasil formulasi yang diadopsi menjadi kebijakan publik. Dengan demikian formulasi kebijakan merefleksikan kondisi bangsa masa depan yang ingin diwujudkan. Di sisi lain, gambaran masa depan yang tercermin dalam formulasi kebijakan amat ditentukan oleh metapolicy yang melandasi proses pembuatan kebijakan publik tersebut.

C. Metapolicy dalam Adopsi Kebijakan PublikUjung dari proses formulasi adalah adopsi dan/atau

legitimasi. Istilah Adopsi kebijakan digunakan oleh banyak pakar Ilmu Kebijakan Publik, antara lain Anderson (2003:119–120), Koliba S. At. all (2010:123), Nagel (2001:10) dan lain-lain. Adapun makna dari konsep adopsi kebijakan adalah keputusan kebijakan (policy decision) oleh otoritas formal yang berwenang mengambil keputusan (formal Authority to decide) yaitu pejabat publik (public officials) sehingga keputusan kebijakan tersebut memiliki bobot otoritas publik (weight of public authority). Implikasinya, meskipun individu dan organisasi non pemerintah juga berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan, otoritas formal untuk memutuskannya ada pada pejabat publik, seperti legislator, eksekutif, administrator, dan hakim. Adopsi kebijakan bukanlah seleksi dari sejumlah alternatif kebijakan yang menyeluruh, melainkan tindakan pada alternatif kebijakan yang dipilih atau diputuskan. Secara umum, keputusan kebijakan atau adopsi yang dibuat oleh pejabat publik akan dianggap legitimate

Page 44: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

37Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

jika pejabat tersebut memiliki legal authority untuk bertindak dan mereka memenuhi standar prosedur dan substantif yang berlaku.

Jones (1984: 110-111) tidak menggunakan istilah adopsi melainkan menggunakan istilah legitimasi. Jones mendefinisikan legitimasi sebagai “to give legal force to hence, to authorize or justify”. Jadi, legitimasi dimaknai sebagai memberi kekuatan hukum, wewenang atau proses penilaian terhadap (sesuatu) kebijakan yang diformulasikan.

Dengan demikian konsep legitimasi dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa suatu alternatif kebijakan yang diformulasikan telah memperoleh wewenang sesmi untuk dijalankan. Selanjutnya, Jones mengemukakan dua bentuk legitimasi yang dapat diidenfikasi dalam suatu sistem politik, yaitu pertama bentuk legitimasi yang memberikan wewenang (authorizes) kepada proses-proses politik (basic political processes) yang meliputi proses pengesahan proposal-proposal khusus mengenai pemecahan masalah-masalah publik (solving public problems). Adapun bentuk legitimasi yang kedua disebut bentuk legitimasi khusus, melalui mana program- program pemerintah disahkan atau mendapatkan persetujuan (approval). Bentuk yang pertama mengacu kepada pengesahan (legitimacy), sedangkan bentuk yang kedua mengacu pada persetujuan (approval).

Secara konsepsional istilah adopsi memiliki makna yang meliputi konsep legalitas dan legitimasi. Perbedaan makna konsep legalitas dengan konsep legitimasi tergambar dalam pandangan Lasswell (1970: 8) yang menyatakan “Every conceptual system concerned with policy is bound to distinguish between purely formalistic enacments and those that are expected to be applied.” Sejalan dengan itu Anderson (2003: 119–120), membedakan makna legitimasi dengan makna legalitas yaitu: “Legitimacy … is

Page 45: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

38 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

not the same as legality, although legality can contribute to belief in legitimacy, wich focuses people’s attention on the rightness or appropriatiness of government and its actions “. Jadi legitimasi tidak sama dengan legalitas. Adopsi kebijakan yang telah ditempuh melalui prosedur legal belum tentu legitimate. Suatu kebijakan yang tidak legitimate implementasinya cenderung tidak akan efektif atau bahkan tidak dapat diimplementasikan.

Sebagai ilustrasi untuk mempermudah pemahaman makna adopsi, legalisasi, dan legitimasi dalam konteks kebijakan publik maka dapat diutarakan contoh Kebijakan Publik tentang Badan Hukum Pendidikan, dimana kebijakan tersebut telah diadopsi dengan disahkannya Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Kebijakan tersebut memiliki legalitas yang kuat, namun kurang memiliki legitimasi. Salah satu indikatornya Undang-undang tersebut mendapat reaksi penolakan dari masyarakat luas dan digugat di Mahkamah Konstitusi RI. Kemudian Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan tersebut, sebagaimana dapat kita baca dalam Petikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 021/PUU-IV/2006, tanggal 22 Februari 2007, dengan alasan antara lain bahwa materi muatan (substansi) undang-undang tersebut dipandang bertentangan dengan konstitusi dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Selain itu, terdapat contoh lainnya, yaitu tentang Kebijakan Pelarangan Cantrang. Atas pertimbangan untuk mencegah masuknya ekosistem substrat tumbuhnya organisme dan rusaknya terumbu karang maka diadopsi salah satu alternative kebijakan berupa Kebijakan Pelarangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Net) atau Cantrang. Keputusan Kebijakan (Policy Decision) tersebut diambil oleh Pejabat yang berwenang mengambil keputusan dalam bidang

Page 46: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

39Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

tersebut (Public Officials) yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan RI, yang mana kebijakan tersebut telah dilegalisasi (mendapatkan legalitas) berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 71 Tahun 2016. Namun sejak Draft Peraturan Menteri tersebut diuji Publik, kemudian diadopsi dan dilegalisasi. Kebijakan tersebut kurang mendapatkan legitimasi khususnya dari target grup kebijakan itu sendiri, yaitu para Nelayan Pengguna Cantrang. Para Nelayan enggan mengganti alat tangkap tersebut karena Cantrang dinilai lebih menguntungkan. Desakan yang luas terhadap kebijakan tersebut mengakibatkan Pemerintah Lokal berkali-kali menunda implementasinya. Sebagai contoh Gubernur Jawa Tengah menerbitkan Surat Edaran Gubernur tentang Pemberian Izin melaut dan rekomendasi perpanjangan Izin Kapal Ikan 10-30 Gros Ton dengan Alat Tangkap Cantrang hingga Maret 2020 (Kompas, 21 April 2019). Kondisi tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa formulasi dan adopsi kebijakan publik tidak bisa dilepaskan dari konsep metapolicy khususnya dalam hal ini terkait dengan masalah nilai yang menjadi dasar pertimbangan kebijakan publik tersebut. Dengan demikian legalitas tidak serta merta berimplikasi legitimasi. Namun demikian, legalitas dapat berkontribusi positif terhadap kepercayaan masyarakat yang berimplikasi pada penguatan legitimasi. Adopsi kebijakan yang melibatkan publik, yaitu tidak hanya oleh pejabat publik melainkan melibatkan individu dan organisasi non pemerintah serta memenuhi kaidah-kaidah konstitusi. Hal tersebut dapat memengaruhi kekuatan legitimasi. Jadi, perlu ditekankan di sini bahwa legitimasi dari suatu adopsi kebijakan amat ditentukan oleh sejauhmana materi muatan atau substansi kebijakan yang diadopsi tersebut memenuhi harapan masyarakat atau merepresentasikan kepentingan publik (public interests).

Page 47: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

40 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Idealnya sebuah kebijakan yang diadopsi dan telah dilegalisasi, juga mendapat legitimasi yang luas dari sasaran kebijakan/ target grup kebijakan tersebut, sehingga dapat diimplementasikan dengan efektif. Apabila kebijakan pelarangan cantrang tersebut ditinjau dari perspektif implementasi kebijakan publik, maka kebijakan tersebut dapat dikategorikan mengalami kegagalan kebijakan (policy failure) dalam kategori tidak terimplementasi (non implementation) bukan kategori impelementasi yang tidak berhasil (unsuccessful implementation), karena kebijakan tersebut masih berpeluang untuk dapat diimplementasikan dengan baik di masa depan.

Formulasi kebijakan memiliki makna strategis karena implementasi kebijakan berawal dari hasil formulasi yang diadopsi. Dengan demikian formulasi kebijakan merefleksikan kondisi bangsa yang ingin dituju pada masa depan. Bagaimana gambaran masa depan yang ingin diwujudkan sebagaimana terumuskan dalam formulasi, tergantung metapolicy yang melandasinya.

D. Metapolicy dalam Implementasi Kebijakan PublikImplementasi kebijakan merupakan tahap tengan dari siklus

kebijakan publik, yaitu diawali dengan tahap formulasi, adopsi, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan proses pelaksanaan program untuk memungkinkan tujuan kebijakan tercapai sebagai output kegiatan pemerintahan (Grindle, 1980: 6). Implementasi kebijakan juga dapat diartikan sebagai proses menjalankan atau melakukan suatu keputusan otoritatif dari pemerintahan dalam arti luas Bowman (2005: 209). Adapun yang dimaksud dengan analisis implementasi kebijakan adalah “The study of why authoritative decisions (policies, plans, laws, and the like) do not lead to expected results (Berman, 1978 :

Page 48: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

41Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

4-5). Studi implementasi diklasifikasikan ke dalam tiga generasi, yaitu First-Generation Studies, Second-Generation Research, dan Third-Generation Research. (Bowman, 2005: 209-212, Keban, 2008: 77-78, dan Winter, 2006: 151-157). Studi implementasi generasi pertama diawali tahun 1973 dengan publikasi buku Pressman dan Wildavsky yang melihat implementasi sebagai suatu bentuk pelaksanaan kebijakan yang sangat bersifat top down di mana penilaiannya ditentukan oleh seberapa jauh terjadi deviasi antara desain kebijakan yang ditetapkan dengan implementasi kebijakan. Studi implementasi generasi kedua diawali pada tahun 1980- an, memfokuskan pada faktor-faktor yang menentukan keberhasilan implementasi terutama pencapaian tujuan-tujuan kebijakan. Terdapat dua pendekatan yang menonjol dalam generasi kedua ini, yaitu top-down dan bottom-up. Temuan penting dari generasi kedua ini adalah implementasi berbeda- beda sepanjang waktu, di antara kebijakan yang satu dengan kebijakan yang lain, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Adapun studi implementasi generasi ketiga diawali dengan karya Goggin dan kawan-kawan pada tahun 1990, mereka mensintesiskan ciri-ciri terbaik dari pendekatan- pendekatan top-down dan bottom-up, dalam upaya untuk menentukan variabel-variabel mana, dan dalam keadaan apa, mempengaruhi implementasi. Para pembuat kebijakan didorong untuk terlibat di dalam pemetaan ke depan dan pemetaan ke belakang (Bowman, 2005: 209-212, Keban, 2008: 77-78, dan Winter, 2006: 151-157).

Dewasa ini teori tentang analisis implementasi kebijakan publik jumlahnya relatif cukup banyak. Beberapa sarjana yang mengemukakan teori tersebut telah disinggung pada bagian terdahulu dalam naskah ini. Contoh teoritikus lainnya antara lain adalah Pelopor Penelitian Implementasi, yaitu Jeffrey L Presman dan Aaron Wildavsky (1973), Model Proses Implementasi

Page 49: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

42 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan dari Thomas B. Smith (1973), Model Proses Implementasi Kebijakan dari Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975), Implementasi sebagai Sebuah Proses Politik dan Administrasi dari Merilee S. Grindle (1980), Interaksi Faktor- Faktor Implementasi dari George C. Edward III (1980), Kerangka Proses Implementasi dari Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Tiga Kegiatan Implementasi dari Charles O. Jones (1984), Kesempurnaan Implementasi Kebijakan dari Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1984), Model Implementasi Terintegrasi dari Winter C. Soren (1990), dan beberapa teoritikus lain yang akan disinggung dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Sebenarnya kalau disimplifikasi terdapat dua pertanyaan pokok terkait analisis Implementasi Kebijakan Publik, yaitu 1) Apakah implementasi kebijakan sesuai dengan yang diadopsi, dan 2) Apakah memiliki dampak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk menjawab apakah implementasi kebijakan dijalankan dengan benar atau tidak, jawabannya dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu: 1) Managerial perspectives on implementation, 2) The political perspective on implementation, dan 3) The legal perspective on implementation (Rosenbloom, Kravchuk,dan Clerkin, 2009: 354-376).

Pendekatan manajerial (managerial perspectives on implementation), dalam perpektif ini kebijakan publik telah mengalami beberapa kali transformasi paradigma, yakni paradigma pertama adalah Paradigma Old Public Administration (OPA), kemudian berubah menjadi Paradigma New Public Management (NPM) atau New Public Governance (NPG), bertansformasi lagi menjadi Paradigma Pelayanan Publik Baru atau The New Public Service (NPS). Belakangan ini muncul paradigma Hybrid of Public Administration. Paradigma OPA berkembang pada abad 20 di mana salah satu tokohnya ialah

Page 50: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

43Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Max Weber. Pendekatannya bersifat top-down dan elitis yang bertumpu kepada prinsip hierarkhi dan meritokrasi. Paradigma NPM mulai muncul di sejumlah negara OECD pada tahun 1980- an. Paradigma NPG antara lain dikemukakan oleh Osborne (2006, 2010), di mana kebijakan publik amat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip pasar yang bertumpu pada prinsip efisiensi. Adapun paradigma NPS penggagas utamanya ialah Denhardt and Denhardt sebagaimana yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “The New Public Service” (2007). Graham, Amos, dan Plumptre (2003: 3-4) mengutif pandangan UNDP tentang Five Principles of Good Governance dan Human Rights Principles and Good Governance, yang mana prinsip-prinsip tersebut berkoherensi dengan prinsip-prinsip paradigma NPS. Pada tahun 2015 muncul paradigma Hybrid of Public Administration sebagaimana dikemukakan oleh Robinson (2015: 14), yang menyatakan bahwa dalam praktiknya dewasa ini banyak negara mengadopsi pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur dari paradigma atau model administrasi publik yang berbeda. Sebenarnya paradigma hybrid ini telah dipraktikan di USA pada awal tahun 2000-an (Koppell 2003 dalam Koliba at. all 2010: 74). Dalam paradigma ini diadopsi kombinasi organisasi publik dan swasta, kombinasi prinsip pasar dan masyarakat sipil serta kombinasi prinsip pasar dengan prinsip hierarkhi.

Perspektif politik dalam implementasi kebijakan publik (the political perspective on implementation), analisis implementasi dalam perspektif ini didasarkan pada seberapa baik kebijakan itu sesuai dengan nilai-nilai yang melekat dalam pendekatan politik. Adapun analisis implementasi ditinjau dari perspektif hukum (the legal perspective on implementation), fokusnya cenderung pada integritas konstitusional, perlindungan yang sama, keadilan (proses hukum prosedural), dan perlindungan hak-hak individu

Page 51: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

44 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

yang melakukan kontak dengan implementasi kebijakan publik (Rosenbloom, Kravchuck, Clerkin, 2009: 369-376).

Goodnow 1900 dalam Anderson (2003: 196) dan Berman (1978:1) menyatakan bahwa dalam memformulasikan keinginan negara (will of the state), hendaknya diawali dengan membuat pertimbangan-pertimbangan nilai (with making value judgments). Implikasinya memformulasikan dan mengadopsi suatu kebijakan seyogyanya berbasis nilai. Oleh karena itu apabila output dan outcomes kebijakan ingin terwujud sebagaimana yang dituju dalam kebijakan yang diformulasikan dan diadopsi, maka implementasi kebijakan pun hendaknya berbasis nilai yang berkoherensi dengan nilai yang melandasi formulasi dan adopsi kebijakan tersebut. Dengan kata lain, hendaknya terdapat koherensi metapolicy kebijakan mulai dari proses formulasi, adopsi, sampai dengan implementasi bahkan pada proses evaluasi kebijakan. Hal ini bermakna bahwa untuk suksesnya suatu kebijakan publik maka harus ada koherensi metapolicy dalam seluruh tahapan kebijakan publik.

E. Metapolicy dalam Kontinum antara Society-Centred Models dengan State-Centred ModelsDalam setiap tahapan dan satuan kurun waktu kebijakan

publik, hendaknya memuat keselarasan dan keseimbangan antara pendekatan yang berorientasi negara dengan pendekatan yang berorientasi sosial. Kebijakan publik hendaknya disesuaikan dengan kondisi gatra kehidupan nasionalnya masing-masing. Oleh karena itu, tidak bisa mengadopsi sepenuhnya model kebijakan dari suatu negara untuk diaplikasikan di negara kita.

Hal ini sejalan dengan pendapat Turner dan Hulme (1997:6) bahwa: Some policies have been effective in one place and not

Page 52: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

45Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

in others. There are countries where policy success in one sector contrasts with failure elsewhere. Implikasinya model kebijakan di NKRI yang memiliki karakteristik khas di dunia ini, di mana tidak ada satupun negara yang mirip dengan kondisi Asta Gatra Indonesia, maka perlu ditentukan model kebijakan khas Indonesia. Hal tersebut bertujuan agar Indonesia yang didirikan berdasarkan Sumpah Pemuda ini, tetap terjaga immortalitasnya. Dengan kata lain, agar Indonesia tidak terperosok ke dalam kategori Negara Gagal sebagaimana diisyaratkan oleh Acemoglu dan Robinson dalam bukunya Why Nations Fail (2012). Kuncinya adalah terletak pada model Metapolicy konstitusional dan Metapolicy Substantif yang dijalankan secara konsisten dalam jangka panjang.

Terdapat dua paradigma atau Model yang populer dalam proses formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik. Turner dan Hulme (1997: 64-70) dan Sutton (1999: 26-27) mengadopsi dan memodifikasi tipologi yang berguna dari model kebijakan yang dirumuskan oleh Grindle dan Thomas (1989), yang membedakan dua paradigma, yaitu 1) society- centred models, dan 2) State centred models.

1. The Society-Centred ModelsModel ini berpusat kepada masyarakat, di mana proses

kebijakan didasarkan pada hubungan kekuatan antara kelompok sosial seperti kelas dan kelompok kepentingan. Model ini terdiri atas 1) Social class analysis, 2) Pluralism, dan 3) Public Choice.

a. The Social Class AnalysisModel analisis kelas sosial menggunakan pendekatan Marxis

dan ketergantungan. Kebijakan dipandang sebagai hasil dari konflik antar kelas sosial. Tentu model ini tidak relevan dengan ideologi Pancasila.

Page 53: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

46 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

b. The PluralismModel Pluralism, memandang kebijakan publik sebagai

hasil konflik, tawar-menawar, dan pembentukan koalisi di antara sejumlah besar kelompok masyarakat, yang diorganisasikan untuk melindungi dan memajukan kepentingan-kepentingan bagi anggotanya. Ini adalah model Demokrasi Barat terutama versi USA.

c. The Public ChoiceAdapun model Public Choice, hampir mirip dengan Model

Pluralisme, perbedaannya pada persepsi politik. Pluralisme memandang bahwa kebijakan yang bijak adalah hasil persaingan kelompok kepentingan, sedangkan Public Choice tidak atau kurang memperhatikan aspek politik, melainkan lebih mementingkan kepentingan sendiri untuk mendapatkan sumber daya. Pendekatan model ini lebih kepada preferensi konsumen dalam ekonomi pasar.

2. The State-Centred ModelsModel State-Centred berfokus pada pengambilan keputusan

dalam konteks organisasi negara. Model ini terdiri atas The Rational Actorl, Bureaucratic Politics, dan State Interests.

a. The Rational ActorAdapun yang dimaksud aktor rasional di sini adalah figur

orang perorangan, pejabat pemerintah, atau lembaga- lembaga yang ada. Mereka berperilaku sebagai pemilih rasional terhadap alternatif-alternatif kebijakan yang tersedia. Fokus analisis dan tindakan model ini adalah pada pembuat keputusan (decision- makers) dan proses pengambilan keputusan (decision-process) pada sektor pemerintah.

Page 54: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

47Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

b. The Bureacratic PoliticsModel pengambilan keputusan ini memandang struktur negara

sebagai arena di mana pejabat publik terlibat dalam manuver politik untuk mengamankan hasil kebijakan yang diinginkan. Mereka membangun koalisi, tawar-menawar, kompromi, mengkooptasi, menjaga informasi, dan menyusun strategi untuk tujuan pribadi atau organisasi mereka. Tujuannya adalah kontrol atas proses kebijakan di bidang- bidang yang menjadi perhatian khusus bagi para aktor atau birokrat yang terlibat. Akibatnya, banyak terjadi kebijakan diputuskan berdasarkan kriteria yang kurang objektif karena adanya vested-interests dari decision-makers.

c. The State InterestsPendekatan kepentingan negara memandang kebijakan publik

dari perspektif umum di mana negara memiliki otonomi dalam mendefinisikan masalah-masalah publik dan mengembangkan solusinya. Negara dipandang memiliki kepentingan sendiri dalam konteks kepentingan kolektif dan integritas kewilayahan. Kepentingan negara ini dapat merujuk pada segala aspek aktivitas manusia mulai dari pembelaan negara hingga upaya mengubah moral publik. These state interests can refer to any aspect of human activity ranging from defence of the state to attempts to change public morals (Turner dan Hulme, 1997: 64-70). Lebih dari itu, dalam perspektif ini negara juga dipandang memiliki tingkat otonomi yang berbeda dan mungkin kepentingan yang berbeda dalam konteks hubungan negara dengan masyarakat.

Berdasarkan kontitusi, bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Prinsip unitarisme tersebut tetap dipertahankan bahkan pasca amandemen UUD 1945. Dalam amandemen tersebut, ditegaskan bahwa bentuk negara kesatuan tidak boleh diadakan perubahan, namun dikombinasikan dengan otonomi daerah yang luas. Di sisi lain

Page 55: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

48 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

konstitusi menegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara hukum. Lebih daripada itu, azas politik negara yang dianut adalah demokrasi konstitusional berdasarkan Pancasila. Dalam konteks aplikasi dua model kebijakan publik, yaitu antara the society- centred models dengan the state centred models pada Negara RI maka sesuai karakteristik bangsa kita kedua model kebijakan publik tersebut harus dipandang sebagai model kontinum, bukan dipandang sebagai alternatif yang harus dipilih salah satu model dari dua model tersebut. Implikasinya, harus ada metapolicy yang memberikan panduan jalan tengah yang mengarah kepada titik equilibrium dalam formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik. Namun demikian dari masing-masing model dari dua model tersebut seyogyanya terdapat satu tipe model prioritas bagi para policymarkers dan para program implementor. Misalnya dari model society-centred yang diprioritaskan adalah tipe public choice yang merupakan jalan tengah antara tipe social class analysis dengan pluralism. Adapun prioritas fokus dari state- centred models adalah tipe state interests model atau the state interests approach. Dalam konteks ini rational actor model dan bureaucratic politics atau decision-making model adalah para aktor yang harus dipandu oleh atau berorientasi kepada prinsip the state interests approach.

Dalam mengkaji koherensi metapolicy pada naskah ini hanya difokuskan bahwa kebijakan publik harus berada pada jalan tengah antara state-centred approach dengan society- centred approach.

F. Metapolicy dalam Grand-PoliciesMetapolicy bukan hanya harus dilihat dari dimensi

Metapolicy konstitusional yang berintikan pattern values dan Metapolicy Substantive yang berintikan output values, melainkan

Page 56: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

49Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

pada dua kategori metapolicy tersebut harus pula memerhatikan metapolicy dalam dimensi kewaktuan. Lazimnya, dimensi ini meliputi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Harus ada kesesuaian nilai kebijakan (metapolicy) antar jangka waktu tersebut. Implikasinya metapolicy jangka pendek hendaknya berkoherensi dengan metapolicy jangka menengah, dan metapolicy jangka menengah hendaknya berkoherensi dengan metapolicy jangka panjang. Pentingnya kebijakan jangka panjang telah dimulai sejak zaman Raja Darius dari Persia pada 520 SM: “Who initiated long-term strategic planning and administration (Farazmand, 2007: 6). Sejalan dengan itu Dror membagi kebijakan publik ke dalam dua kurun waktu, yaitu kebijakan rutin yang berkaitan dengan masalah saat ini (current issues) dan kebijakan jangka penjang yang disebut sebagai grand-policies yang merupakan strategi jangka panjang (long- term strategies). Dror menyatakan bahwa grand-policies which aim at massive effects on the future (Dror dalam Moran, Rein, dan Goodin, Ed., 2006: 80-81). Dengan demikian yang dapat dikategorikan Grand-policies adalah kebijakan jangka panjang yang memberikan dampak besar pada masa depan.

Lebih lanjut Dror mengatakan bahwa Grand-policies are value based, goal directed, and goal seeking (Dror dalam Moran, Rein, and goodin, Ed., 2006: 80-81). Dengan demikian Grand- policies bersifat value based atau value loaded/value laden, diarahkan untuk mewujudkan tujuan jangka panjang. Pada bagian lain, Dror menggambarkan bahwa Grand-policies sinonim dengan istilah dari Plato, yaitu weaving the future atau menenun masa depan secara kreatif, yaitu menggabungkan substansi dan proses yang saling bertentangan saat ini untuk membuat masa depan yang lebih baik (making a better future). Dengan kata lain, grand-policies bertujuan mengurangi kemungkinan masa depan yang

Page 57: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

50 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

buruk (reduce the probability of bad futures) untuk meningkatkan kemungkinan masa depan yang lebih baik.

Dimensi jangka waktu ini penting diperhatikan, agar dapat meningkatkan peluang untuk secara terus menerus menyempurnakan formulasi, adopsi, dan implementasi, bahkan evaluasi kebijakan publik dari waktu ke waktu. Tanpa memerhatikan aspek kewaktuan ini kita akan sulit mengukur keadaan akhir yang dihasilkan, apakah kebijakan publik dalam jangka panjang berkoherensi dengan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, atau sebaliknya output kebijakan akan semakin menjauh dari pelabuhan harapan atau mengalami policy failure. Kekhawatiran ini sejalan dengan pandangan Turner dan Hulme (1997: 64) yang menyatakan bahwa Alarmingly, the lessons from past policy have often not been learned. Kebijakan masa lalu seringkali tidak dijadikan pelajaran untuk kebijakan pada masa berikutnya. Kondisi ini menggambarkan kebijakan publik yang tidak berkelanjutan dan amat bersifat temporary serta pragmatis.

Terkait pentingnya metapolicy jangka panjang, dapat diperhatikan pernyataan Ingram, Schneider, and Deleon dalam Sabatier Ed. (2007: 95-97) Pierson and others have proposed that policy will continue an the same path long after external factors would suggest that it should have changed. Secara implisit mereka menyarankan agar kebijakan berlanjut dengan nilai dan pola yang sama kecuali faktor eksternal menuntut dilakukannya perubahan. Dalam bagian lain mereka menyarankan bahwa kebijakan untuk melakukan perubahan (ke arah konstruksi sosial yang lebih baik itu) harus memerhatikan faktor-faktor eksternal dan konsisten dalam jangka panjang. Lebih lanjut mereka menegaskan pula bahwa Desain kebijakan historis (Past and Current Policy Design) dan bahwa Desain kebijakan kontemporer (Future Policy

Page 58: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

51Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Design) memiliki efek jangka panjang (have a long-term effect). Metapolicy ditinjau dari aspek kewaktuan itu, meliputi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Metapolicy jangka pendek hendaknya berkoherensi dengan metapolicy jangka menengah dan jangka panjang. Dalam setiap satuan waktu tersebut hendaknya memuat keselarasan dan keseimbangan antara pendekatan yang berorientasi negara dengan pendekatan yang berorientasi sosial.

Implikasinya, metapolicy dalam Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) dan Rencana Kegiatan Pemerintah daerah (RKPD) yang dibiayai APBN/APBD dalam 1 tahunan harus berkoherensi dengan Metapolicy Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Metapolicy Rencanan Pembangunan Jangka Menengah harus berkoherensi dengan Metapolicy Rencana Pembangunan Jangka Panjang dengan kisaran 25-30 tahun.

Grand-policies yang berintikan metapolicy merupakan berbagai kombinasi pilihan kritis berbasis nilai dan strategi jangka panjang yang berefek besar di masa depan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas dapat dilihat ilustrasi dari contoh grand-policies baik yang bersifat makro maupun mikro. Contoh grand-policies yang bersifat makro antara lain adalah kebijakan perubahan dari sistem komando dalam bidang ekonomi atau etatisme menjadi sistem ekonomi pasar atau kapitalisme, kebijakan perubahan sistem sentralisasi pemerintahan menjadi sistem otonomi daerah atau desentralisasi. Sedangkan contoh grand- policies yang bersifat mikro yang sifatnya tidak menyeluruh, membangun wilayah terluar nusantara, kebijakan wajar dikdas 9 tahun, kebijakan menjadikan masyarakat pembelajar (efforts to become a learning society), kebijakan penguatan karakter baik bangsa, kebijakan mega proyek infra struktur, dan sebagainya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas maka dapat dilihat

Page 59: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

52 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

deskripsi contoh grand-policies mikro atau metapolicy substantif (master policy atau megapolicy) misalnya kebijakan pelarangan alat tangkap cantrang. Meskipun Kebijakan tersebut memang menunjukkan adanya fenomena kurang legitimate, karena adanya demo-demo penolakan dari nelayan yang yang didorong oleh kepentingan jangka pendek. Namun, sebenarnya kebijakan tersebut dapat dikategorikan Grand- Policies yang bersifat mikro (master policy atau megapolicy) karena berpeluang berefek besar di masa depan dan bersifat sarat nilai. Efek besar yang dapat ditumbuhkan di masa depan antara lain terjadinya peningkatan cadangan ikan laut nusantara. Di sisi lain, kebijakan pelayanan Cantrang bersifat value based atau value loaded karena kebijakan tersebut cenderung berdampak positif terhadap lingkungan termasuk biota laut Nusantara. Tidak akan banyak menteri yang tertarik dengan kebijakan yang dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang, sedangkan masa jabatan sebagai menteri hanya lima tahun. Kebijakan tersebut dapat dipersepsi tidak memerhatikan personal values, dalam arti berefek tidak populer bagi menteri yang bersangkutan karena kebijakan tersebut dapat dinilai oleh sementara pihak sebagai kebijakan yang tidak populer.

Contoh grand-policies dalam fora internasional, kita dapat menunjuk kepada kesepakatan PBB pada Bulan September 2000, yaitu yang disebut dengan Millenium Developmnent Goals (MBGs), dan kesepakatan PBB pada bulan Desember 2015 yang disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs). MDGs atau tujuan pembangunan millennium merupakan visi pembangunan dunia yang disepakati pada September 2000 dan berlaku selama 15 tahun sampai dengan September 2015. MDGs memuat delapan tujuan yang harus diwujudkan oleh Negara anggota pada tahun 2015. Kemudian sebagai kelanjutan dari MDGs maka pada tanggal 25 September 2015 PBB

Page 60: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

53Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

menyepakati visi pembangunan global yang disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang memuat tujuh belas tujuan pembangunan global (United Nations, 2018). Perlu dicatat bahwa antara visi pembangunan global dengan visi pembangunan nasional, memang tidak selalu sama dan sebangun. Hal ini disebabkan oleh adanya ruang perbedaan konsepsi antara universalisme dengan partikularisme (nasional), sebagai konsekuensi dari kekhasan karakter masing-masing negara.

G. Fungsi Metapolicy dan Grand-Policies terhadap Immortalitas Negara-BangsaBerbicara metapolicy bermakna berbicara mengenai esensi

dari Grand-Policies, yaitu strategi atau kebijakan publik berbasis nilai (value based) yang bertujuan jangka panjang (long-term). Grand-policies bagi Negara RI yaitu terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan terjaganya kelangsungan hidup (immortalitas) negara. Implikasinya berbicara metapolicy berarti berbicara kebijakan sebagai pedoman membuat kebijakan. Hal ini mengindikasikan adanya suatu sistem nilai yang mapan yang mendasari didirikannya negara ini yang harus senantiasa menjadi guiding principle dalam memformulasikan, mengadopsi, dan mengimplementasikan kebijakan publik.

Konsekuensi dari konstatasi tersebut adalah terdapat suatu nilai yang menjadi fondasi yang tidak boleh berubah yang harus ditaati khususnya oleh policymaker atau policyframer dan policy/program implementor. Tentu cara berfikir ini bertentangan dengan aliran pikiran dengan apa yang disebut sebagai postmodernism, post-truth, disruptionism, di mana paham- paham tersebut mensyaratkan tidak adanya nilai mapan yang dalam jangka panjang harus menjadi rujukan. Apabila kita benar- benar mencintai negara, kita seyogyanya tidak terhipnotis oleh

Page 61: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

54 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

aliran pikiran seperti itu. Postmodernism dikritik oleh Fox, yaitu bahwa: At wich point the postmodernist will attack the laws of contradiction as part of an accidental, eurocentric, phallocentric, white, power play (Fox, 2001: 125). Tentu saja bangsa kita harus berdiri tegak, tidak berada di bawah bayang-bayang permainan para aktor global. Ciri lain dari postmodern public policy adalah “truth is uncertain”, lebih dari itu “the postmodern condition has depoliticizing effects” (Schultz, 2004: 334). Penulis memosisikan diri bahwa kritikan tersebut tidak hanya berlaku terhadap postmodernisme melainkan berlaku pula terhadap post-truth dan disruptionism. Meskipun berbeda konteks namun ketiga konsep tersebut dalam posisi yang sama, yaitu posisi evaluatif terhadap standar kebenaran yang mengusung gagasan anti foundationalism. Jadi, dalam tataran tertentu postmodernism, post-truth, dan disruptionism mengandung nuansa destruktif terhadap eksistensi metapolicy. Implikasinya aliran pikiran seperti itu disfungsional terhadap kebijakan publik yang bertujuan menjaga immortalitas negara. Namun demikian kondisi yang ditimbulkan dari pengaruh aliran pemikiran seperti post-truth terhadap pemikiran masyarakat, dalam kebijakan publik harus dipandang sebagai faktor yang terkait dengan dimensi context of policy. Diketahui bahwa postmodernisme terdiri atas banyak aliran yang satu sama lain berbeda secara signifikan. Oleh karena itu, bagi kebijakan publik postmodernisme adalah paham yang bermata dua, di satu sisi berlawanan dengan eksistensi metapolicy sebagai konsekuensi dari ketidakpercayaannya kepada standar nilai. Di sisi lain, postmodernisme telah berjasa terhadap ilmu kebijakan publik karena telah memberikan kontribusi bermakna terhadap lahirnya paradigma New Public Service (NPS). Pada awalnya ilmu kebijakan publik amat dipengaruhi oleh pendekatan positivisme yang berpendapat bahwa ilmu sosial dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan yang

Page 62: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

55Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

digunakan dalam ilmu alam. Dalam pandangan tersebut fakta- fakta kehidupan sosial atau organisasi dapat dipisahkan dari nilai- nilai. Peran ilmu kebijakan publik adalah fokus pada fakta dan bukan pada nilai-nilai. Padahal dalam kehidupan sosial, fakta dan nilai-nilai sangat sulit dipisahkan, bahkan dalam memahami tindakan manusia nilai-nilai jauh lebih penting daripada fakta- fakta. Dalam kehidupan sosial perilaku manusia berbeda dari waktu ke waktu dan dari budaya ke budaya yang lain (Denhardt and Denhardt, 2007:39-42).

Apabila gagasan anti foundationalism seperti postmodernism, post-truth, dan disruptionism, diadopsi dalam kebijakan publik, maka kegagalan negara-bangsa ini tinggal menunggu waktu. Lebih-lebih Sistem Pemerintahan RI pada era reformasi ini menganut metapolicy otonomi di mana pemerintahan daerah memiliki wewenang menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren yang merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah (Pasal 9 ayat 4 Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah). Hal itu dapat berpotensi mengundang hadirnya tiga unsur yang menyebabkan gagalnya suatu Bangsa (Nation Fail) yaitu 1) The lack of authority of the central state, 2) Much more fragmented elites, 3) Change from central commando to crony capitalism... to the collapse of the state (Acemoglu dan Robinson: 2012: 398 – 403). Kondisi tersebut menuntut para policymaker dan program implementor untuk menghayati dan menaati metapolicy yang berfungsi sebagai panduan dalam menenun konstruksi sosial yang kohesif atau menurut istilah Plato adalah weaving the future sebuah proses untuk membuat masa depan yang lebih baik atau reduce the probability of bad futures (Moran, Rein, dan Goodin, 2006: 84). Jangan sampai kebijakan publik terombang-ambing oleh vested-interests yang berorientasi kepentingan jangka pendek.

Page 63: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

56 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Apabila lebih banyak para politisi berorientasi jangka pendek atau aji mumpung dan tanpa panduan metapolicy, maka dapat membahayakan masa depan negara-bangsa ini. Miller dan Fox mengatakan bahwa kebijakan publik ditentukan oleh para pemenang politik atau “the political victors, and the techniques of public administration are techniques of power (Miller dan Fox, 2007: 136 – 137). Oleh karena itu, metapolicy yang sesuai dengan ideologi negara perlu menjadi perhatian yang sangat serius dari semua komponen bangsa terutama para elit politik, birokrasi (Sipil, Polri, dan TNI), crony capitalism (meskipun ini tidak mudah), dan para akademisi yang berwawasan kebangsaan, agar immortalitas negara-bangsa terjaga dan keadilan sosial (public weal/public walfare) terwujud.

Page 64: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

57Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

A. KerangkaBerfikirKoherensi Metapolicyebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu dalam naskah ini, metapolicy dapat dipandang sebagai pola dasar, yaitu sekumpulan struktur-struktur dan sistem-

sistem yang secara konsisten mewujudkan skema interpretative tunggal (a single interpretative scheme). Pola dasar ini merupakan sekumpulan ciri beragam atau saling berkaitan yang harus disatukan untuk memberikan petunjuk bagi tindakan strategis organisasi (Bastedo, 2005: 5-7). Konsep metapolicy sangat penting dalam pembuatan kebijakan Negara, sebagaimana ditegaskan oleh Bastedo (2005; 39) bahwa “The concept of metapolicy proved to be a highly usefull understanding state policymaking”. Selain itu juga, metapolicy berguna untuk memusatkan perhatian pada asumsi yang mendasari pembuatan kebijakan. Lebih dari itu, metapolicy juga memberikan peluang untuk menganalisis nilai-nilai dan keyakinan mendasar dari mereka yang memiliki kekuasaan dalam sistem kebijakan. Manfaat tambahan dari kerangka metapolicy adalah bahwa ia bekerja pada tingkat analisis makro dan mikro. Metapolicy juga adalah template maka statusnya ada pada tingkat gagasan dan nilai serta pada tingkat struktur dan proses organisasi (Bastedo, 2005: 40-41). Dengan demikian, logis apabila diasumsikan bahwa metapolicy seyogyanya berkoherensi antara metapolicy dalam formulasi dan adopsi kebijakan dengan implementasi kebijakan tersebut.

Sistem pembuatan kebijakan harus secara konstan dievaluasi, dan bila perlu dirancang ulang untuk meminimalkan konsekuensi

Deskripsi dan PembahasanKoherensi Metapolicy

Bab 5

S

Page 65: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

58 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

negatif dari sub optimasi, untuk membangun dan memperkuat integrasi yang diperlukan, dan untuk memungkinkan stabilitas landasan nilai dasar, perubahan konstan dalam masalah, dan sumber daya yang dimasukan ke dalam sistem sesuai dengan tantangan lingkungan. Berdasarkan hal itu, pembuatan kebijakan yang optimal harus memiliki fase pembuatan metapolicy yang sangat maju atau yang dalam bahasa Johnson dan Heilman (2014: 475-476) must have a highly developed metapolicymaking phase for handling this task. Sejalan dengan itu Dror’s solution to this problem is to use national planning to develop coherent and comprehensive policy and policy implementation strategies consistent with metapolicy (Johnson dan Heilman, 2014: 475- 476). Dengan demikian, jelaslah urgensi dan signifikansi dari tema yang diangkat dalam naskah ini, yaitu koherensi metapolicy dalam formulasi dan adopsi dengan implementasi kebijakan publik.

Terkait dengan teori koherensi yang menjadi paradigma dalam mengkaji koherensi metapolicy ini, perlu ditegaskan bahwa Teori Koherensi di sini bukan dimaksudkan dengan teori koherensi dalam kajian epistomologis yang terjebak dalam perdebatan tak berkesudahan antara Teori Koherensi yang berakar dari mazhab rasionalisme dengan Teori Korespondensi yang berakar dari mazhab empirisme. Teori Koherensi dalam tulisan ini didasarkan pada prinsip bahwa koherensi ide-ide tidak hanya mencakup sistem ide sistematis melainkan juga ide-ide yang bersumber dari pengalaman sepanjang dan dalam perkembangan realitas serta konteks lingkungan strategisnya. Konteks lingkungan atau dalam bahasa Grindle (1980: 11) adalah context of Implementation adalah dimensi penting yang tidak bisa diabaikan dalam kebijakan publik. Pandangan senada dikemukakan oleh Lasswell (1970: 11) bahwa the distinctive outlook of policy scientists is problem-oriented as

Page 66: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

59Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

well as contextual. Sejalan dengan itu penulis meyakini bahwa Teori Koherensi lebih tepat digunakan dalam kajian metapolicy ini, karena metapolicy lebih fokus ke dalam aspek nilai dan logika dalam formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik dengan memperhatikan tantangan lingkungan strategisnya untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa.

Terwujudnya koherensi metapolicy dalam formulasi dan adopsi dengan metapolicy dalam implementasi kebijakan publik amat ditentukan oleh peran aktor kebijakan publik baik sebagai policy framers/policy makers/policy formulator, dalam perannya merumuskan draft kebijakan, atau aktor kebijakan sebagai decision makers yang mengadopsi kebijakan atau sebagai policy Implementor/Program Implementor seyogyanya setia kepada posisi etisnya sebagai Homo Virtutis yang merasa wajib mengejawantahkan public weal/public Wealfare senantiasa menaati etika deontologis untuk mewujudkan the greatest good for the greatest number of people sesuai dengan etika teleologis/ konsekuensialisme/ utilitarianisme, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan kejayaan negara yang merupakan koherensi pertumbuhan berdasarkan metapolicy dalam grand- policies dari kebijakan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, baik dalam tingkat Pemerintahan Kabupaten/ Kota, Provinsi, maupun tingkat Pemerintahan Pusat. Kerangka berpikir koherensi metapolicy tersebut dapat penulis refleksikan dalam skema sebagai berikut:

Page 67: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

60 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Gambar 6Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi den-

gan Implementasi Kebijakan Publik

Secara garis besar gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa metapolicy memberikan pedoman yang memastikan bahwa terdapat koherensi nilai dasar yang menjadi landasan berpikir dan bertindak para Aktor Kebijakan sebagi homo virtutis baik dalam konteks kelembagaan maupun dalam bentuk proses pembuatan dan implementasi kebijakan, senantiasa mencari jalan tengah antara state-centred approach dengan society-centred approach, sehingga dalam kebijakan jangka panjang (grand-policies) tujuan nasional dapat diwujudkan. Disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu yang tersedia dalam naskah ini terutama terkait dengan durasi waktu presentasinya maka gambar tersebut tidak dideskripsikan lebih lanjut.

Apabila teori metapolicy disimplifikasikan dalam bentuk kategori maka teori metapolicy terdiri atas dua dimensi, yaitu

Page 68: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

61Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

dimensi metapolicy konstitusional, dan dimensi metapolicy substantif. Dimensi metapolicy konstitusional, berintikan value pattern yang indikatornya terdiri atas 1) nilai dasar, 2) institusi (struktur organisasi), dan 3) proses/mekanisme yang meliputi strategi dan prosedur teknis. Adapun dimensi metapolicy substantif, berintikan value output, indikatornya terdiri atas 1) bidang-bidang substansi kebijakan, 2) standar etika kebijakan dan pendekatan perumusan kepentingan umum, 3) jangka waktu kebijakan, dan 4) keluaran (output) dan dampak (outcomes).

B. Deskripsi dan Pembahasan Koherensi MetapolicyDalam mendeskripsikan dan membahas koherensi metapolicy

pada naskah ini, akan diawali dengan deskripsi dan pembahasan terhadap Nilai dasar metapolicy antara Kebijakan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Provinsi dan Kebijakan Pemerintahan Kabupaten Kota, berbasis Peraturan Perundang-undangan dan Dokumen perencanaan pembangunan. Sejalan dengan itu dibahas pula seperlunya koherensi nilai dasar metapolicy antara kebijakan jangka panjang dengan kebijakan jangka menengah, dan jangka pendek. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap kedua fokus tersebut maka dapat ditarik hipotesis terkait koherensi metapolicy antara formulasi dan adopsi dengan implementasi kebijakan publik. Argumennya adalah kedua fokus tersebut bersifat konkret-normatif sehingga tingkat kesulitan pembuktiannya tidak terlalu tinggi. Apabila hasil kajian terhadap kedua fokus tersebut yang notabene sifatnya konkret- normatif ternyata tidak terdapat koherensi, maka pada fokus berikutnya yaitu koherensi metapolicy antar tahapan kebijakan yang notabene bersifat substantif-abstrak maka peluang tidak terdapatnya koherensi nilai dasar metapolicy cenderug lebih besar dibandingkan dengan fokus pertama dan kedua. Namun tentu kesimpulan tentang koherensi metapolicy

Page 69: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

62 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

antar tahapan kebijakan tersebut, karena dibangun atas dasar kesimpulan dari pembahasan fokus pertama dan kedua maka kesimpulan tentang fokus ketiga ini yaitu koherensi nilai dasar metapolicy dalam formulasi dan adopsi dengan implementasi kebijakan publik statusnya masih bersifat hipotesis. Pada gilirannya hipotesis tersebut diharapkan memotivasi para ahli kebijakan publik untuk menelitinya melalui survei mendalam dan komprehensif dengan memperhatikan representativitas berdasarkan rumus yang baku. Tentu riset tersebut harus dilakukan oleh lembaga riset yang besar dengan kredibilitas tinggi.

Koherensi metapolicy antara kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah dalam beberapa kasus menunjukkan adanya permasalahan yang kompleks. Apa yang terjadi pada pengambilan keputusan dan proses implementasi di tingkat pemerintah daerah, ketika perubahan besar arah kebijakan terjadi pada pemerintah pusat? Sejauh mana pejabat pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibentuk oleh Pemerintah pusat dengan cara yang benar. Pertanyaan- pertanyaan seperti ini penting karena kebijakan nasional pada setiap periode acapkali berbeda secara substansial yang berimplikasi pada perubahan peran spesifik yang diharapkan dari pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan nasional yang berubah tersebut. Hal ini merupakan indikasi pentingnya metapolicy, yang oleh Dror (1970a:10) didefinisikan sebagai “policies on how to make policies”. Dalam sistem pemerintahan RI manifestasi metapolicy dapat dipahami dari analisis terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang RI nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, dan Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, serta Undang-undang RI Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Page 70: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

63Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketiga Undang-undang tersebut tergambar bahwa pola dasar kebijakan publik Negara RI dapat dikategorikan cukup kompleks yang berimplikasi kepada pentingnya koherensi metapolicy. Kompleksitas koherensi metapolicy antara berbagai level kebijakan pada struktur Pemerintahan RI tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar 7Aplikasi Koherensi Metapolicy dalam Konteks Kebijakan

sebagai Pedoman Pembuatan Kebijakan

Secara singkat skema tersebut dapat dijelaskan bahwa Nilai- nilai Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah Nilai dasar Metapolicy yang harus berkoherensi antara kebijakan berbagai tingkatan pemerintahan, antar kebijakan berbagai jangkawaktu, dan berkoherensi antar tahapan kebijakan khususnya koherensi antara metapolicy dalam formulasi dan adopsi dengan implementasi kebijakan. Adapun metapolicy yang dimaksud dalam skema tersebut

Page 71: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

64 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

meliputi metapolicy konstitusional dan metapolicy substantif. Apabila koherensi metapolicy sebagaimana tergambar dalam skema tersebut termanifestasikan maka kesejahteraan dan keamanan bangsa sebagaimana terkandung dalam cita-cita dan tujuan nasional dapat diwujudkan di masa depan. Dengan alasan keterbatasan alokasi waktu penyajian naskah ini maka gambar tersebut tidak dideskripsikan lebih lanjut secara memadai.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 dinyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen perencanaan pembangunan untuk periode 20 tahun. Kemudian dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa RPJPN menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Di sisi lain pada Pasal 5 dijelaskan bahwa RPJMN menjadi acuan Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) yang merupakan pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lebih dari itu dalam Pasal 6 Undang-undang RPJPN tersebut ditentukan bahwa RPJPN menjadi acuan penyusunan RPJPD, di mana RPJPD tersebut menjadi Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam Pasal 5 ayat (3) Undang- undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dinyatakan bahwa Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJMD dan mengacu kepada RKP. Kemudian dalam Pasal 12 ayat (1) Permendagri RI Nomor 86 Tahun 2017 dijelaskan bahwa RPJPD disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan RTRW. Dilain pihak baik dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN maupun dalam Dokumen tentang Visi dan arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Tahun 2005-2025 sebagai lampiran dari Undang-undang Nomor 17

Page 72: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

65Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

tahun 2007 dipandang skeptis bahwa pesan nilai inti metapolicy yang dikandungnya diejawantahkan dalam RPJPD. Namun, dalam RPJMN Tahun 2004-2009 yang disahkan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 khususnya pada Bab II, Bab III dan Bab IV sarat bermuatan nilai metapolicy. Demikian pula dalam RPJMN Tahun 2015- 2019 yang dikukuhkan berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015, RPJMN tersebut dipandang sarat bermuatan nilai metapolicy khususnya pada Bab I sub bab 1.1 tentang meneguhkan kembali jalan ideologis. Masalahnya adalah apakah nilai-nilai metapolicy dalam dua RPJMN tersebut diejawantahkan secara sungguh-sungguh dalam RKP dan RKPD. Hal ini masih menjadi tanda tanya yang harus dikaji lebih lanjut terutama menyangkut koherensi metapolicy- nya. Lebih-lebih untuk RKPD karena sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (27) bahwa penyiapan RPJMD sepenuhnya menggunakan pendekatan teknokratik. Demikian pula instrumen pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, instrumen tersebut amat bersifat teknokratik dan tidak mengisyaratkan pentingnya koherensi metapolicy. Dengan demikian, jelas bahwa pedoman formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan menunjukkan kurangnya perhatian terhadap nilai inti metapolicy, lebih-lebih terhadap koherensinya. Untuk memperoleh gambaran tentang alur koherensi metapolicy dalam perencanaan pembangunan tersebut, dapat dilihat skema berikut ini.

Page 73: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

66 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Gambar 8Koherensi Metapolicy dalam Dimensi Jangka Waktu Ber-basis Peraturan Perundang-undangan dan Dokumen Peren-

canaan Pembangunan

Gambar tersebut melukiskan idealisme yang meniscayakan terdapatnya koherensi nilai dasar metapolicy antara kebijakan jangka panjang dengan jangka menengah dan jangka pendek. Lebih dari itu dalam memformulasikan dan mengimplementasi- kan kebijakan guna mewujudkan tujuan nasional, hendaknya menggunakan pendekatan state-centred approach dan society- centred approach serta memperhatikan dimensi lingkungan strategis yang mengiringinya dan yang diperkirakan akan timbul dalam jangka panjang.

Dalam konteks kebijakan jangka panjang, jangka menengah, dan kebijakan jangka pendek idealnya undang- undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Undang-undang tentang RPJPN, memberikan pedoman untuk menjamin terwujudnya

Page 74: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

67Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

koherensi metapolicy antar kebijakan tersebut. Namun kenyataannya dalam konteks koherensi metapolicy, kedua undang-undang tersebut masih banyak mengandung kelemahan, antara lain:

1. Tidak memberikan pedoman yang jelas bahwa harus ada koherensi nilai dasar antara kebijakan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

2. Tidak mengisyaratkan adanya keharusan untuk mengejawantahkan koherensi nilai dasar metapolicy antar dokumen-dokumen perencanaan tersebut, termasuk dalam formulasi dan adopsi dengan implementasi kebijakan publik atau program yang merupakan derivasinya.

3. Dari segi metapolicy substantif (value output), kebijakan dasar tersebut tidak memberikan arah yang jelas bagaimana koherensi nilai kebijakan-kebijakan tersebut dengan Nilai Dasar dan Tujuan Nasional. Dengan kata lain, tidak disertai pedoman bagaimana nilai dasar dan tujuan nasional tersebut menjadi acuan dalam kebijakan publik.Terkait dengan tujuan nasional, apabila kita simplifikasi, maka

tujuan nasional tersebut dapat dibagi ke dalam dua pendekatan, yaitu prosperity approach dan security approach. Dalam konteks metapolicy, tujuan nasional tersebut dapat dibagi ke dalam dua pendekatan yaitu 1) State-CentredApproach dan 2) Society-Centred Approach. Adapun State- Centred Approach dapat dimaknai adanya pesan yang kuat bahwa kebijakan publik hendaknya menghasilkan penguatan kelembagaan negara. Bukankah The State Must Maintain itself, demi menjaga immortalitasnya. Kemudian terkait perlunya penguatan kelembagaan negara ini, harus dimaknai juga sebagai perlunya penguatan birokrasi (Sipil dan TNI- POLRI), agar terjadi keseimbangan dengan penguatan peran Civil Society pada era 4.0 ini. Lebih dari itu, dalam rangka

Page 75: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

68 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

penguatan kelembagaan negara, perlu penguatan kontrol oleh Partai Politik baik langsung maupun tidak langsung terhadap pengejawantahan koherensi metapolicy. Sedangkan mengenai metapolicy konstitusional dalam aspek prosedur nampaknya sudah sangat lengkap. Adapun yang masih perlu mendapatkan penekanan adalah perlunya secara eksplisit memberikan arahan agar dipastikan terjadinya koherensi metapolicy baik antara kebijakan pusat dengan daerah, maupun antara kebijakan jangka panjang, jangka menengah dan dengan jangka pendek. Sedangkan dalam konteks society-centred approach, dapat dimaknai bahwa kebijakan publik harus diorientasikan bagi terwujudnya public walfare/public weal dan pemberdayaan masyarakat.

Undang-Undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, memang memberikan arahan agar Perencanaan Pembangunan Nasional dapat menjamin tercapainya tujuan negara. Namun hanya tercantum dalam konsideransnya, tidak tercantum dalam pasal-pasal yang bersifat memaksa (imperatif). Lebih dari itu ketentuan-ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut didominasi oleh pendekatan teknokratik-prosedural. Dalam arti, kurang menekankan arahan tentang pentingnya metapolicy, bahkan sama sekali tidak mengisyaratkan pentingnya koherensi metapolicy baik antara tahapan kebijakan publik, kebijakan publik antar tingkat pemerintahan, maupun koherensi metapolicy antar jangka waktu perencanaan pembangunan. Tidak terdapat pasal dalam kedua undang-undang tersebut yang memerintahkan bahwa dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan harus senantiasa diorientasikan terhadap terwujudnya tujuan nasional.

Dalam konteks pendekatan state-centred, MPR RI menerbitkan Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Namun

Page 76: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

69Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

pesan koherensi metapolicy dalam TAP tersebut tidak jelas. Di sisi lain terkait pendekatan society-centred, MPR RI menerbitkan TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sebagaimana dalam TAP tentang pemantapan persatuan dan kesatuan nasional, TAP tentang etika pun kurang memberikan arahan tentang pentingnya koherensi metapolicy, baik institusionalisasinya maupun arahan perlunya mengejawantahkan Nilai Dasar metapolicy pada berbagai level kebijakan publik.

Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2017. Dalam Pasal 2 ayat (1) PP tersebut dijelaskan bahwa masyarakat, yaitu orang perorangan warga negara, kelompok masyarakat, dan/atau organisasi kemasyarakatan berhak berpartisipasi dalam perumusan Perda dan Kebijakan Daerah. Namun dalam PP tersebut tidak ada pesan bahwa Nilai Dasar Metapolicy harus menjadi panduan dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik tingkat pemerintahan daerah. Perlu pila ditekankan disini bahwa PP tersebut lahir sebagai derivasi dari Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya sebagai derivasi dari ketentuan dalam Pasal 354 ayat (5).

Terkait koherensi metapolicy, Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN Tahun 1993-1998, dan TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999- 2004 mengandung pesan eksplisit tentang Landasan Nilai Dasar Metapolicy bagi kebijakan publik sebagaimana termktub dalam Bab II huruf A Alinea kedua, yang berbunyi: “Keseluruhan semangat, arah, dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Metapolicy dalam GBHN tersebut juga secara eksplisit termaktub dalam Bab II huruf G yaitu tentang Kaidah Penuntun,

Page 77: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

70 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

yang berbunyi: Penyelenggaraan Pembangunan Nasional mengacu pada kaidah penuntun yang merupakan pedoman bagi penentu kebijaksanaan Pembangunan Nasional. Pada GBHN tersebut dan pada GBHN-GBHN sebelumnya sarat berbasis Metapolicy Konstitusional yang berintikan Value Pattern, dan Metapolicy Substantif yang berintikan Value Output (master policy/mega-policies). Lebih dari itu, dalam GBHN-GBHN tersebut jelas termaktub secara eksplisit mengenai keharusan adanya koherensi metapolicy antara kebijakan pemerintahan pusat dengan kebijakan pemerintahan daerah, dan koherensi metapolicy antara kebijakan jangka menengah dengan kebijakan jangka panjang (Grand-policies). Koherensi metapolicy seperti itu masih tercantum secara eksplisit sampai dengan GBHN terakhir, yaitu GBHN tahun 1999-2004.

Keberadaan GBHN berakhir berdasarkan Perubahan III terhadap UUD NRI Tahun 1945 Pasal 3, pada tanggal 9 Nopember 2001, yang mana kewenangan MPR RI dalam menetapkan GBHN dihapus. Dalam GBHN terkandung arah kebijakan jangka panjang dan arah kebijakan jangka menengah. Arah kebijakan jangka panjang diakomodir dengan undang- undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan undang- undang tentang RPJPN, sebagaimana telah dibahas pada uraian terdahulu. Sedangkan arah kebijakan jangka menengah dalam GBHN diakomodir oleh RPJMN, yang mana pengesahannya merupakan wewenang Presiden RI dalam bentuk Peraturan Presiden.

Untuk memeroleh informasi tentang koherensi metapolicy, saya dibantu oleh sejumlah mahasiswa Jenjang S1, pada Bulan Juni 2019 melakukan survei ringan (dalam kategori pra survei) terhadap RPJPD/RPJMD dari sejumlah Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia. Survei dilakukan terhadap 212 RPJPD/RPJMN

Page 78: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

71Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

dari 215 Pemda, yaitu terdiri atas 1) sebanyak 34 Pemda Provinsi atau 100% dari keseluruhan jumlah Provinsi di Indonesia, 2) sebanyak 132 Pemda Kabupaten atau 31,73 % dari keseluruhan jumlah Kabupaten di Indonesia sebanyak 416 Pemkab, dan 3) sebanyak 49 Pemkot atau 50,00 % dari keseluruhan jumlah Pemkot di Indonesia sebanyak 98 Pemkot. Tujuan dari survei itu adalah untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang dinilai berkaitan dengan koherensi metapolicy. Namun data yang disajikan dalam naskah ini hanya informasi tentang proporsi jumlah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerahnya (RPJPD/RPJMD) mencantumkan atau tidak mencantumkan secara eksplisit Nilai Dasar Metapolicy Negara RI. Dengan kata lain, tidak semua data hasil survei tersebut disajikan dalam naskah ini. Perlu ditekankan bahwa sampel dalam survei ini diambil secara random namun tidak menggunakan teknik sampling yang standar atau tidak menggunakan rumus sampling yang baku. Dalam hal ini, sampel ditentukan secara random dan didasarkan atas kemudahan mengakses website resmi Pemda yang bersangkutan. Namun meskipun demikian, karena proporsi sampelnya cukup besar maka dapat dikategorikan representatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi terhadap Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah, yaitu RPJPD dan/atau RPJMD Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten, dan Pemkot. Survei ini dilakukan berbasis website resmi Pemda yang bersangkutan. Adapun hasilnya cukup mencengangkan, yaitu sebagaimana tergambar dalam tabel sebagai berikut:

Page 79: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

72 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Tabel: 1Daftar Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang Disurvei

tentang Keberadaan Nilai Dasar Metapolicy pada RPJPD/RPJMD Pemda yang bersangkutan.

No Provinsi Kab Kota1 Aceh 1. Kab Aceh Utara

2. Kab Aceh Barat3. Kab Aceh Tengah4. Kab Pidie5. Kab Aceh Selatan

1. Kota Banda Aceh

2 Bali 1. Kab Badung2. Kab Bangli3. Kab Buleleng4. Kab Jembrana

1. Kota Denpasar

3 Banten 1. Kab Lebak2. Kab Serang

1. Kota Serang2. Kota Tangerang

Selatan4 Bengkulu 1. Kab Kaur

2. Kab Lebong3. Kab Bengkulu

Selatan4. Kab Bengkulu

Utara5. Kab Renjang

Lebong Bengkulu

1. Kota Bengkulu

5 Gorontalo 1. Kab Gorontalo Utara

2. Kab Gorontalo3. Kab Pohuwato4. Kab Boalemo5. Kab Bone Bolango

6 DKI Jakarta

Page 80: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

73Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

7 Jambi 1. Kab Kerinci

8 Jawa Barat 1. Kab Bandung2. Kab Sumedang3. Kab Pangandaran4. Kab Bogor

1. Kota Bandung2. Kota Depok3. Kota Cirebon4. Kota Banjar

9 Jawa Tengah 1. Kab Jepara2. Kab Wonosobo3. Kab Bantul

1. Kota Tegal2. Kota Semarang

10 Jawa Timur 1. Kab Gresik2. Kab Trenggalek

1. Kota Probolinggo2. Kota Blitar3. Kota Surabaya4. Kota Madiun5. Kota Malang

11 Kalimantan Barat

1. Kab Kubu Raya2. Kab Landak3. Kab Bengkayang4. Kab Melawi

1. Kota Singkawang2. Kota Pontianak

12 KalimantanSelatan

13 Kalimantan Tengah

1. Kab Kapuas2. Kab Kantingan3. Kab Lamandau4. Kab Seruyan5. Kab Gunung Mas

1. Kota Palangkaraya

14 Kalimantan Timur

1. Kab Berau2. Kab Kutai

Kartanegara

1. Kota Kutai Barat2. Kota Bontang3. Kota Balikpapan4. Kota Samarinda

15 Kalimantan Utara

1. Kab Bulungan2. Kab Malinau3. Kab Nunukan4. Kab Tana Tidung

Page 81: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

74 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

16 BangkaBelitung

1. Kab Bangka Belitung2. Kab Bangka Selatan3. Kab Belitung4. Kab Belitung Timur

1. Kota Pangkalpinang

17 Riau 1. Kab Raja Ampat2. Kab Kuantan

Singingi3. Kab Rokan Hulu4. Kab Pelalawan5. Kab Bengkalis6. Kab Kepulauan

Meranti7. Kab Kampar8. Kab Siak

1. Kota Dumai

18 Lampung 1. Kab Pesisir Lampung Barat

2. Kab Way Kanan3. Kab Tanggamus4. Kab Tulang

Bawang5. Kab Pringsewu6. Kab Metro7. Kab Bandar

Lampung

1. Kota Palu

19 Maluku Utara 1. Kab Halmahera Utara

2. Kab Halmahera Tengah

3. Kab Kepulauan Sula

1. Kota Ternate2. Kota Tidore

Kepulauan

20 Maluku 1. Kab Biru2. Kab Kepulauan Aru3. Kab Maluku Tengah4. Kab Kepulauan

Tanimbar

1. Kota Ambon2. Kota Tual Maluku

Page 82: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

75Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

21 NTB 1. Kab Lombok Barat2. Kab Lombok

Tengah3. Kab Lombok Utara4. Kab Sumbawa

1. Kota Mataram

22 NTT 1. Kab Timor Tengah Selatan

2. Kab Sumba Barat3. Kab Manggarai4. Kab Lembata5. Kab Flores Timur6. Kab Ende

1. Kota Kupang

23 Papua 1. Kab Nabire2. Kab Mimika3. Kab Mappi4. Kab Pegunungan

Bintang5. Kab Intan Jaya6. Kab Puncak Jaya7. Kab Jayapura8. Kab Tolikara9. Kab Biak Numfor

24 Papua Barat 1. Kab Raja Ampat2. Kab Kaimana3. Kab Teluk

Wondama4. Kab Sorong5. Kab Tambrauw

25 Sulawesi Barat 1. Kab Majene2. Kab Mamasa3. Kab Polewali

Mandar4. Kab Mamuju5. Kab Pasangkayu6. Kab Mamuju Tengah

Page 83: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

76 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

26 Sulawesi Selatan

1. Kab Gowa2. Kab Donggala

1. Kota Makassar2. Kota Pare-pare3. Kota Tana Toraja

27 Sulawesi Tengah

1. Kab Morowali2. Kab Buol3. Kab Tolitoli4. Kab Sigi5. Kab Poso6. Kab Parigi Moutong

1. Kota Palu

28 Sulawesi Tenggara

1. Kab Bombana2. Kab Buton3. Kab Kolaka4. Kab Baubau5. Kab Muna6. Kab Konawe Selatan7. Kab Konawe

1. Kota Kendari

29 Sulawesi Utara 1. Kab Bolaang Mongondow

2. Kab Kepulauan Sangihe

3. Kab Minahasa

1. Kota Manado2. Kota Bitung3. Kota Tomohon

30 Sumatera Barat1. Kab Solok2. Kab Tanah Datar3. Kab Kepulauan

Mentawai4. Kab Ketapang

1. Kota Pariaman2. Kota Padang Panjang3. Kota Payukumbuh4. Kota Bukittinggi

31 SumateraSelatan

1. Kab Banyuasin2. Kab Ogan Ilir

1. Kota Palembang

32 Sumatera Utara1. Kab Samosir2. Kab Humbang

Hasundutan3. Kab Nias4. Kab Toba Samosir

1. Kota Padangsidempuan

2. Kota Binjai3. Kota Medan

33 D.IYogyakarta

1. Kab Gunungkidul2. Kab Bantul

1. Kota Yogyakarta

34 TelukCendrawasih

-

Page 84: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

77Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Adapun data Provinsi, Kabupaten, atau Kota yang mencantumkan dan yang tidak mencantumkan secara eksplisit Nilai Dasar Metapolicy dalam RPJPD dan/atau RPJMD Pemda yang bersangkutan, terdokumentasi pada penulis.

Data Koherensi Nilai Dasar sebagai hasil survei terhadap sejumlah Pemda sebagaimana termaktub pada tabel tersebut, dapat diklasifikasikan sebagaimana tertuang dalam tabel berikut ini.

Tabel: 2Rekapitulasi (Proporsi) Jumlah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang Mencantumkan dan yang Tidak Mencantumkan

Nilai Dasar Metapolicy pada RPJPD/RPJMD

NoJumlah Pemda yg

Disurvei (Provinsi/Kabupaten/Kota)

Jumlah RPJPD/RPJMD

yang Dapat Diakses

Jumlah Keberadaan Pancasila sebagai Nilai Dasar Meta-

policydalam RPJPD/RPJMD

Mencantumkan secara

Eksplisit

Tidak Mencantum-kan secaraEksplisit

1

34 Pem-prov

( 100 % dari seluruh Pemprov)

33 17(51.50 % )

16(48.50

%)

2

132 Pemkab( 31.73 % dari seluruh

Pemkab sebanyak 416)

130 51(39.23 %)

79(60.77

%)

3

49 Pemkot(50.00 % dari

seluruh pemkot sebanyak 98)

49 17(34.70 %)

32(65.30

%)

Jumlah Rata-rata 41.81 % 58.19 %

Page 85: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

78 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Perlu diutarakan di sini bahwa sebanyak 212 sumber Website Resmi Pemda yangdapat diakses dan dijadikan unit analisis ini, terdiri atas 33 Website Pemda Provinsi, 130 Website Pemda Kabupaten, dan 49 Website Pemkot. Keseluruhan Website tersebut terdokumentasi dalam daftar tersendiri, namun tidak dicantumkan dalam daftar pustaka, dengan alasan kalau-kalau dipandang oleh sementara pihak sebagai masalah sensitif. Namun demikian, seluruh data Website tersebut terdokumentasi dengan baik. Perlu pula saya tegaskan kembali bahwa hasil survei yang tergambar dalam tabel tersebut, masih perlu diverifikasi lebih lanjut, terutama menyangkut validitas Website-website yang diunduh. Oleh karena itu, survei ini masih dikategorikan sebagai pra survei.

Data hasil survei dalam tabel tersebut, menunjukkan bahwa sebanyak 100 % dari 34 Provinsi di seluruh Indonesia, dalam dokumen perencanaan pembangunannya yaitu RPJPD/RPJMD, ternyata sebanyak 48,50 % provinsi tidak mencantumkan secara eksplisit bahwa Pancasila sebagai landasan idiil kebijakan publik atau landasan bagi penyelenggaraan pembangunan di daerahnya. Kemudian sebanyak 31.73 % dari 416 Pemkab di seluruh Indonesia, dalam dokumen perencanaan pembangunannya yaitu RPJPD/RPJMD, ternyata sebanyak 60.77 % Pemkab tidak mencantumkan secara eksplisit bahwa Pancasila sebagai landasan idiil kebijakan publik atau landasan bagi penyelenggaraan pembangunan di daerahnya. Pada tingkat Pemerintahan Kota, sebanyak 50 % dari 98 Pemkot di seluruh Indonesia, dalam dokumen perencanaan pembangunannya yaitu RPJPD/RPJMD, ternyata sebanyak 65.30 % Pemkot tidak mencantumkan secara eksplisit bahwa Pancasila sebagai landasan idiil kebijakan publik atau landasan bagi penyelenggaraan pembangunan di daerahnya. Terdapat impresi bahwa pencantuman nilai dasar metapolicy dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah tersebut masih

Page 86: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

79Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

bersifat asesoris. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa pencantuman nilai dasar metapolicy inipun, belum atau kurang didukung oleh political will yang kuat, untuk memanifestasikan dan mengimplementasikannya dalam kebijakan publik. Data hasil survei tersebut di atas menunjukkan bahwa dewasa ini terdapat masalah besar dalam sistem pembuatan kebijakan publik (public policymaking) pada Negara RI.

Sebenarnya, dalam RPJMN baik RPJMN Tahun 2004- 2009 yang disahkan berdasarkan Perpres RI Nomor 7 Tahun 2005 maupun dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang disahkan berdasarkan Perpres RI Nomor 2 Tahun 2015, di mana kedua RPJMN tersebut dijadikan sumber perbandingan dalam naskah ini, konten kedua RPJMN tersebut telah memuat secara sufficient mengenai Koherensi Metapolicy dalam satu kondifikasi dokumen perencanaan pembangunan sebagaimana dalam konten GBHN. Namun, mengapa pengaruh RPJMN terhadap Koherensi Metapolicy khususnya antara kebijakan pusat dengan daerah, dan antara kebijakan jangka panjang dengan kebijakan jangka menengah dan jangka pendek, menunjukkan fenomena lebih lemah dibandingkan dengan GBHN? Hal itu paling tidak disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1. Bahwa sistem Pemerintahan RI pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945, menunjukkan gejala terjadinya Fragmentasi Birokrasi Pemerintahan, baik antara Birokrasi Pemerintahan Pusat dengan Birokrasi Pemerintahan Daerah, maupun antar Birokrasi Pemerintah Daerah satu sama lain. Hal ini sebagai konsekuensi dari dianutnya azas Otonomi Daerah, sungguh pun ketentuan tentang pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (4) UU RI Nomor 9 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa urusan yang

Page 87: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

80 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

diserahkan ke Daerah adalah hanya urusan Pemerintahan Konkuren.

2. Bahwa RPJMN yang adopsi/legitimasi/legalisasinya berdasarkan Peraturan Presiden RI tidak memiliki otoritas legal untuk membuat Peraturan yang imperatif tentang keharusan mewujudkan Koherensi Metapolicy jangka panjang. RPJMN hanya otoritatif menderivasi core vision Presiden RI dalam masa jabatannya (selama lima tahun). Hal itu berbeda dengan GBHN yang legitimasinya berbasis Ketetapan MPR, dimana secara sosiologis lebih otoritatif atau lebih legitimate untuk menentukan Grand- Policies yang bersifat expanded vision. Dengan kata lain GBHN yang merepresentasikan suara rakyat pemilik kedaulatan negara secara sosiologis dipandang lebih memiliki legitimasi untuk membuat ketentuan yang bersifat imperatif baik untuk kebijakan jangka menengah maupun untuk kebijakan jangka panjang, walaupun melebihi masa jabatan para Anggota MPR tersebut. Lebih dari itu, MPR RI secara sosiologis dipandang lebih berwibawa untuk menentukan metapolicy bagi kebijakan publik pada semua level Pemerintahan, dibandingkan dengan Presiden.Oleh karena itu, dengan memerhatikan kedua faktor tersebut

dan memerhatikan data hasil survei sebagaimana tertuang dalam tabel tersebut, maka dipandang perlu segera melakukan pembaharuan yang fundamental untuk merevisi sistem pembuatan dan implementasi kebijakan publik, baik antara kebijakan pusat dengan daerah maupun antara kebijakan jangka panjang, jangka menengah, dan dengan kebijakan jangka pendek.

Dengan demikian berdasarkan analisis terhadap koherensi Metapolicy sebagaimana telah diuraikan di atas maka penyebabnya dapat disimplifikasi dan dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :

Page 88: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

81Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

1. Bahwa Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Undang-undang tentang RPJPN ternyata menunjukkan fenomena amat bersifat teknokratis yang mana penyebabnya diduga karena para policy maker- nya dipengaruhi positivisme.

2. RPJMN tidak memiliki otoritas/legitimasi besar seperti yang dimiliki GBHN.

Kebijakan publik yang sukses (successful public policy) ditentukan oleh metapolicy yang melandasinya. Metapolicy Glasnosh dan Perestroika bukan hanya menghasilkan policy failure melainkan dapat menyebabkan hancurnya negara (the collaps of the state) Unisovyet. Sementara itu, prinsip metapolicy RRC sejak tahun 1949, yaitu Party Leadership (the party controlling cadres) dan Unitary Command mengantarkan RRC bukan hanya menjamin stabilitas melainkan juga telah secara nyata mendorong pertumbuhan negara tersebut menjadi salah satu dari dua negara adidaya di dunia. Di lain pihak metapolicy Amerika Serikat yang ditentukan pada tanggal 4 Juli 1776, yang termaktub dalam Declaration of Independence (Schultz, 2004: 471-474), yang substansinya berkoherensi dengan substansi pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Di dalamnya mengandung sejumlah Nilai Dasar Metapolicy antara lain bahwa mereka membentuk Pemerintahan Demokratis yang bertugas untuk menjamin hak Warga Negara yaitu hak atas kehidupan (life), kebebasan (liberty), keselamatan (safety), dan kebahagiaan (happiness). Di dalam Declaration of Independence mereka menyatakan bahwa mereka mendirikan negara merdeka berdasarkan keyakinan yang kuat pada perlindungan Tuhan yang Maha Kuasa (with a firm reliance on the Protection of Divine Providence) dan mereka bersama-sama berjanji kepada satu sama lain untuk saling menjaga kekayaan dan kehormatan suci mereka

Page 89: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

82 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

(we mutually pledge to each other our Lives, our Fortunes and our sacred Honor). Itu membuktikan bahwa Bangsa Amerika adalah Bangsa yang Religius, berwawasan kebangsaan yang kuat, berjanji diantara mereka untuk membangun negara hukum yang berorientasi untuk mewujudkan kebahagiaan (happiness) warga negaranya. Metapolicy tersebut tetap menjadi sumber spirit kebangsaan mereka atau sebagai “basic American values” sejak Tahun 1776 sampai sekarang. Salah satu buktinya pidato Presiden Donald J. Trump tanggal 20 Januari 2017 (www.washingtonpost. com), menyatakan “Together, We Will Make America Strong Again”, suatu diksi untuk menggugah kembali kesadaran bangsa Amerika terhadap terhadap “basic American values” atau nilai- nilai dasar metapolicy Amerika tahun 1776. Istilah “strong again” mengacu kepada kemenangan berbagai pertempuran dalam perang Amerika melawan Inggris yang berlangsung antara 19 April 1775 sampai 3 September 1783. Bandingkan pula diksi pada pidato tersebut, “Together, We Will ...” dengan diksi dalam Declaration of Independence 4 Juli 1776 yang berbunyi “We mutually pledge to each other”, maka dengan mudah kita pahami bahwa kedua diksi tersebut mengandung koherensi nilai spiritualitas metapolicy bangsa Amerika sejak 1776, bahwa Amerika milik bersama Bangsa Amerika dan bahwa mereka berjanji satu sama lain untuk saling menjaga kehormatan dan kebahagiaan sesama Bangsa Amerika. Sebagaimana diutarakan Trump bahwa Amerika Serikat adalah negara Anda (The United States of America, is your Country), kita akan membuat Amerika kaya, bangga, dan aman lagi (We Will Make America Wealthy, Proud, Safe Again). Nilai dasar metapolicy sebagaimana termaktub dalam Declaration of Independence tanggal 4 Juli 1776, yang disuarakan kembali Pidato Presiden Trump tanggal 20 Januari 2017 tersebut, telah mengantarkan Negara Amerika Serikat menjadi Negara Adidaya nomor satu di dunia.

Page 90: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

83Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Dua negara adidaya tersebut, yaitu RRC dan USA setia kepada metapolicy yang melandasi bangunan negaranya sejak didirikan. Inspirasi yang bisa kita petik dari metapolicy kedua negara tersebut adalah bahwa untuk menuju kejayaan negara maka bangsa Indonesia harus setia kepada metapolicy yang ditentukan pada tahun 1945 oleh para Pendiri Negara yang nilai dasarnya tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang nilai intinya adalah Pancasila. Salah satu nilai dasar dalam metapolicy terebut adalah tertuang dalam Alinea ketiga yaitu “Atas berkat rahmat Allah yang maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur ...” yang mana diksi tersebut nilai-nilainya berkoherensi dengan nilai-nilai dalam diksi Declaration of Independence Amerika Serikat yaitu “with a firm reliance on the protection of divine providence”. Perlu ditekankan bahwa terdapat koherensi Nilai Dasar Metapolicy yang dibuat oleh Para Pendiri Negara Amerika dengan Nilai Dasar Metapolicy yang dibuat oleh Para Pendiri Negara RI sebagai mana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945, bahwa Nilai Dasar Metapolicy kedua bangsa ini amat value loaded (value laden), kental berwawasan kebangsaan, dan amat religius. Dengan demikian agar negara RI menjadi kuat lagi (strong again) maka Nilai-Nilai Dasar Metapolicy Tahun 1945 yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945, harus secara konsisten dijadikan pedoman dalam formulasi, adopsi, dan implementasi kebijakan publik dari waktu ke waktu.

Berdasarkan hasil kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan dan terhadap dokumen perencanaan pembangunan, diketahui bahwa koherensi metapolicy dalam sistem pembuatan dan implementasi kebijakan publik jauh dari ideal. Dua Undang- undang yang berstatus sebagai metapolicy dalam arti sebagai Kebijakan Pedoman Pembuatan Kebijakan, yaitu Undang- Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 beserta kebijakan derivasinya, ternyata

Page 91: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

84 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

tidak value loaded, masih didominasi positivisme, terbukti konten dan arahan kebijakan yang dikandungnya hanya berisi pedoman yang bersifat teknokratis. Hal ini menunjukkan bahwa Pola Dasar Kebijakan Publik di Negara kita masih dipengaruhi oleh Paradigma Old Public Administration (OPA) dan Paradigma New Public Management (NPM) yang bernuansa positivistik paradigma tersebut sudah ketinggalan zaman, seyogyanya kita sudah beralih ke Paradigma New Public Service (NPS) dan/atau Paradigma Hybrid Public Administration (HPA). Paradigma NPS lebih value based. Pendekatan NPS berpandangan bahwa dalam kehidupan sosial, fakta, dan nilai- nilai tidak bisa dipisahkan, bahkan dalam banyak kasus, nilai- nilai lebih penting daripada fakta dalam memahami tindakan manusia atau values are more important than facts in understanding human action (Denhardt and Denhardt 2007: 40). Paradigma ini sejalan dengan pandangan Fukuyama (2018) yang menyatakan bahwa masyarakat 5.0 (Society 5.0) bertujuan untuk membangun masyarakat baru yang berpusat pada manusia (Aiming for a New Human-Centered Society). Lebih lanjut Fukuyama menjelaskan bahwa “ Digital transformation will create new values and is becoming a pilar of industrial policy in many countries (Fukuyama, 2018: 47). Istilah menciptakan nilai-nilai baru dalam pandangan Fukuyama tersebut hendaknya tidak dipersepsi bahwa dalam Society 5.0 sudah tidak diperlukan lagi basic values dari suatu bangsa yang menjadi landasan berdirinya negara yang bersangkutan. Jamak dipahami bahwa Bangsa Jepang adalah bangsa yang setia kepada nilai-nilai dasarnya. Oleh karena itu, logis jika nilai- nilai baru yang perlu diciptakan pada Society 5.0 sebagaimana dimaksudkan oleh Fukuyama bahwa nilai- nilai dalam kategori instrumental values, bukan nilai-nilai dalam kategori fundamental (basic) values. Dengan kata lain, metapolicy dalam era Society 5.0 perlu diperkuat dengan nilai- nilai instrumental baru sesuai

Page 92: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

85Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

dengan tantangan yang menggejala pada era revolusi industri 4.0. Tantangan bagi kebijakan publik Indonesia dalam era 4.0 akan semakin kompleks sebagaimana dikemukakan oleh Friedberg dan Hildebrand (2017) dalam Pellini, At.all. (2018: 155) bahwa “As Indonesia enters the Fourth Industrial Revolution, the complexity and range of public policy issues faced by the country are increasing...” Dalam konteks kebijakan publik, karakter tantangan pada setiap era merupakan faktor yang berpengaruh terhadap context of policy, sehingga tidak memengaruhi tingkat urgensi nilai dasar metapolicy yang merupakan nilai fundamental dari bangunan negara-bangsa (nation state) ini. Implikasinya nilai-nilai dasar metapolicy tetap amat penting sebagai landasan dalam membuat kebijakan pedoman pembuatan kebijakan baik pada era industri 4.0 maupun pada era masyarakat 5.0.

Dari segi metapolicy substantif yang berintikan value output bertujuan untuk memenuhi public interests/atau public weal/ public welfare. Kualitas dari metapolicy substantif tersebut ditentukan oleh disposisi Aktor Kebijakan Publik dalam eksistensi etisnya sebagai Homo Virtutis yang memiliki Free Choice dan Free Will, yang memiliki kesadaran intrinsik dilandasi staats idee yang merupakan nilai inti metapolicy, untuk merumuskan public interests tersebut berlandasakan nilai Etika Deontologis dan berorientasi nilai etika teleologis dalam menentukan masterpolicy atau megapolicy dalam konteks grand-policies. Peran tersebut amat strategis karena akan menentukan kebijakan substantif yang dihasilkan dalam arti sesuai dengan Nilai dasar Pancasila didirikannya NKRI. Dalam keselarasan antara State- Centred Approach dengan Society-Centred Approach, bukan dalam Paradigma New Public Management melainkan dalam konteks Paradigma New Public Service atau apat juga dengan Paradigma Hybrid Public Administration. Lebih dari pada itu,

Page 93: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

86 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

untuk memastikan peran aktor kebijakan publik tersebut secara benar, maka bukan hanya dibutuhkan Metapolicy Substantif melainkan dibutuhkan pula Metapolicy Konstitusional, yang berintikan value pattern. Secara garis besar peran tersebut akan dijalankannya oleh para aktor kebijakan publik dalam posisi sebagai Policy Formulator (Policy Framer/Policy Maker), posisi sebagai Decision Maker dalam mengadopsi suatu kebijakan, dan posisi sebagai Policy implementor/Program Implementor. Namun perlu kembali ditekankan di sini bahwa faktor dominan dari metapolicy adalah Nilai Dasar (basic values/fundamental values) dari metapolicy tersebut. Nilai dasar metapolicy inilah yang menjadi fokus bahasan sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu dari naskah ini.

Page 94: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

87Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

ebijakan publik menentukan nasib atau masa depan suatu bangsa. Implikasinya, seberapa baik konstruksi sosial suatu bangsa di masa depan, tergantung seberapa baik

kebijakan publiknya. Oleh karena itu, kebijakan publik harus dipahami dan mendapat perhatian semua komponen bangsa. Namun, memahami kebijakan publik, tidak cukup hanya dengan pendekatan impresionistik semata, melainkan, ini jauh lebih penting, kebijakan publik dipahami dengan pendekatan saintifik. Inilah salah satu urgensi dari Ilmu Kebijakan Publik (Public Policy Science) yaitu untuk menenun masa depan (weaving the future), menuju masa depan yang lebih baik (making better future), sesuai dengan Nilai Dasar Metapolicy khususnya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Koherensi metapolicy amat diperlukan antar setiap tahapan kebijakan khususnya antara tahap formulasi dan adopsi dengan tahap implementasi kebijakan publik. Sebab pada setiap tahap pembuatan kebijakan (policymaking) dan implementasi kebijakan (policy implementation) dalam negara demokrasi, cenderung melibatkan kelompok aktor kebijakan dari berbagai stakeholders dalam domain Good Governance (Government, Privat Sector/business, Civil Society Organization, dan Mass Media) yang berbeda antar tahapan kebijakan. Untuk itu agar terbangun koordinasi, konsistensi, integrasi, dan sinkronisasi baik antar tahapan kebijakan maupun antar aktivitas berbagai stakeholders tersebut, maka mutlak diperlukan Koherensi Nilai Dasar Metapolicy sebagai belief system yang memandu aktivitas aktor kebijakan dalam pembuatan kebijakan (policymaking) atau

Kesimpulan dan RekomendasiBab 6

K

Page 95: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

88 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

dalam formulasi dan adopsi, dan dalam mengimplementasikan kebijakan (policy implementing). Terkait dengan tahapan kebijakan tersebut perlu ditekankan di sini, bahwa pemilahan tahapan tersebut tidak benar-benar terpisah satu sama lain, karena dalam praktiknya pada setiap tahapan kebijakan terdapat kegiatan tahap kebijakan lainnya. Sebagai contoh, dalam tahap implementasi pun terdapat aktivitas formulasi dan adopsi. Lebih dari itu, perlu pula dikemukakan di sini bahwa aktor yang menentukan kebijakan publik dalam realitasnya tidak selalu hanya ditentukan oleh aktor kebijakan publik yang formal, melainkan terdapat fenomena empiris bahwa peran agenda setter atau lobbies yang sering kali bersifat invisible/hidden agenda, namun perannya amat menentukan terhadap kebijakan publik. Kondisi seperti itu makin memperkuat pentingnya koherensi metapolicy dalam kebijakan publik mikro dan makro, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang (grand-policies). Implikasinya, agar kebijakan publik dapat berjalan dengan sukses, dan dalam jangka panjang menjamin kelangsungan hidup bangsa guna mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka diperlukan metapolicy yang berkoherensi dengan nilai-nilai ideologi negara.

Bahwa metapolicy dalam konteks sebagai kebijakan pedoman pembuatan kebijakan (policies on how to make policies) yang fungsinya diemban oleh Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Undang- undang tentang RPJPN serta diemban oleh RPJMN yang disahkan berdasarkan Peraturan Presiden, tidak menjalankan fungsi pendorong esensialnya (essential driven) untuk memastikan secara efektif bagi terwujudnya koherensi Nilai Dasar Metapolicy, baik antar tahapan kebijakan, antar tingkat pemerintahan, maupun kebijakan antar jangka waktu kebijakan publik. Hal itu terbukti

Page 96: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

89Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

dari hasil survei yang menunjukkan bahwa rata-rata di atas 60% Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (RPJPD dan/atau RPJMD), Kabupaten/Kota di dalamnya tidak memuat secara eksplisit Nilai Dasar Metapolicy yang sesuai dengan konten dan spirit Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Hipotesisnya adalah jika Nilai Dasar Metapolicy tidak tercantum dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan maka derivasi kebijakan yang diimplementasikannya cenderung tidak berkoherensi dengan Nilai Dasar Metapolicy dan tujuan Nasional.

Berdasarkan hasil kajian terhadap koherensi metapolicy, ternyata undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan undang-undang tentang RPJPN tidak secara efektif berfungsi sebagai Kaidah Penuntun/Pedoman/Pola Dasar guna terwujudnya Koherensi Nilai Dasar Metapolicy dalam berbagai tahap kebijakan publik, kebijakan berbagai level pemerintahan, dan koherensi metapolicy antara kebijakan jangka panjang, jangka menengah, dan dengan kebijakan jangka pendek. Padahal sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa fungsi koherensi metapolicy adalah untuk meredusir terjadinya dikhotomi antar tahapan kebijakan, antar tingkat kebijakan, dan antar jangka waktu kebijakan publik, serta menjembatani fragmentasi birokrasi sebagai dampak dari otonomi daerah. Di lain pihak undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Undang- undang tentang RPJPN, serta Perpres tentang RPJMN tidak secara ideal berfungsi menjamin terwujudnya koherensi metapolicy secara efektif. Oleh karena itu untuk mengatasi maslah koherensi metapolicy dalam kebijakan publik terdapat dua alternatif solusinya, yaitu:

1. Segera merevisi Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007, atau

2. Segera mengamandemen/mengubah kembali Pasal 3 UUD

Page 97: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

90 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

NRI Tahun 1945 untuk memulihkan kembali kewenangan MPR RI dalam menetapkan GBHN.Rekomendasi tersebut akan fungsional apabila didukung oleh

political will dari Presiden RI, dari MPR, dari DPR, dan dari DPD RI.

-Via Media Aura -

Page 98: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

91Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

DAFTAR PUSTAKA

Acemoglu, Darom dan Robinson, James A. 2012. Why Nations Fail. New York: Crown Publishing Group.

Bastedo, Michael N. 2005. Metapolicy: Institutional Change and the Rationaliozation of Public Higher Education. Michigan : University of Michigan.

Berman, Paul. 1978. The Study of Macro and Micro Implementation of Social Policy. California: The Rand Corporation.

Bertalanffy, Ludwig V. 1968. General System Theory: Faoundations, Development, Applications. New York: George Braziller, Inc.

Bowman, Ann O’M. 2005. Policy Implementation. Rabin, Jack (Ed.). Pennsylvania: Taylor & Francis Group.

Bryner, Gary. 2006. Ethics and Public Policy. (Peters, B. Guy & Pierre, Jon Ed.). London: Sage Publications Ltd.

Chandler, Ralph C. 2001. Deontological Dimensions of Administrative Ethics Revisited.

Chan, Hon S. and Chow, King W. 2006. Public management policy and Practice in Western China, Metapolicy, Tacit Knowledge, and Implications for Management Innovation Transfer. The American Review of Public Administration. Volume 37. Number 4 December 2007. 479- 498. Sage Publications.

Cooper, Terry L (Ed). 2001. Handbook of Administrative Ethics. New York: Marcel Dekker Inc.

Deleon, Peter dan Martell, Christine R. 2006. The Policy Sciences: Past, Present, and Future (Peters, B. Guy & Piere, Jon Ed). London: Sage Publications Ltd.

Page 99: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

92 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Denhardt, Janet V and Denhardt, Robert B.2007. The New Public Service. New York: M.E. Sharpe, Inc.

Donahue, A.K. 2003. Ethics and Public Policy. Dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy diedit oleh Jack Rabin. New York: Marcel Dekker.

Dror, Yehezkel. 1970. Policy Sciences: Developments and Implications. The Rand Corporation, Santa Monica, California and the Hebrew University of Jerusalem (on leave), March 1970.

Dror, Yehezkel. 1970a. Social Science Metapolicy: Some Concepts and Applications. The Rand Corporation, Santa Monica, California and the Hebrew University of Jerusalem, Israel (on leave), May 1970.

Dror, Yehezkel. 2006. Traning for Policy Makers. Dalam Moran Michael., Rein M., dan Goodin R.E. (Ed). New York: Oxford University Press.

Dror, Yehezkel. 2017. Public Policymaking Reexamined. New York: Routledge.

Dye, Thomas R. 1984. Understanding Public Policy. 5th Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Edwards, G. C., 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C: Congressional Quarterly Press.

Farazmand, A. (Ed). 2007. Strategic Public Personnel Administration: A Conceptual Framework for Building and Managing Human Capital in the 21st Century. Westport, Connecticut London: Greenwood Publishing Group, Inc.

Fox, Charles J. 2001. The Use of Philosophy in Administrative Ethics. Cooper, Terry L. (Ed). New York: Marcel Dekker Inc. Fukuyama, Mayumi. 2018. Society 5.0: Aiming for a New Human- CenteredSociety.Japan: https://www.jef.or.jp/journal/.

Page 100: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

93Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Graham, John, Amos, Bruce, Plumptre, tim. 2003. Principles for Good Governance in the 21st Century. Ottawa- Canada: Institute On Governance.

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the third world. New Jersey: Princeton University Press.

Grindle. Merilee S., 1980. Policy Content and Context in Implementation. Dalam Grindle, M.S, Ed. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princeton University Press.

Grosenick, Leigh E. dan Gibson, Pamela A.. 2001.Governmental Ethics and Organizational Cilture. Cooper, Terry L. (Ed.) New York: Marcel Dekker Inc.

Guterres, Antonio. 2018. The Sustainable Development Goals Report. New York: United Nations

Hart, David K. 2001. Administration and The Ethics of Virtue. Cooper, Terry L. (Ed.) New York: Marcel Dekker Inc.

Hodgkinson, Christopher. 1978. Towards a Philosophy of Administration. New York: Basil Basck Well. Oxford.

Ingram, H., Schneider, Anne L,N Deleon, Peter. 2007. Social Construction and Policy Design, dalam Sabatier, Paul A. Ed. Theories of the Policy Process. Colorado: Westview Press.

Islamy, M. Irfan. 2001. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Johnson , Gerald W. and Heilman, John G. 1987. Metapolicy Transition and Policy Implementation: New Federalism ang Privatization Public Administration Review Vol. 47 no. 6 (Nov– Dec. 1987, pp. 468-478. Published by: Wiley on behalf of the American society for Public Administration.

Jones, C.O. 1984. An Introduction to the Study of Public Policy. 3 rd Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Page 101: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

94 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Jogyakarta: Gava Media.

Koliba Christopher, Meek Jack W, Zoa Asim. 2010. Governance Networks in Public Administration and Public Policy. Boca Raton London New York: CRC PressTaylor & Francis Group.

Kompas, 21 April 2019. Cantrang Masih Idola.Lasswell, Harold D. 1970. The Emerging Conception of The

Policy Sciences. Connecticut: American Elsevier Publishing Company, Inc.

Mazmanian, D.A. dan Sabatier dan P.A. 1983. Implementation and Public Policy. Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company.

Morgan, Douglas F. 2001. The Public Interest dalam Cooper Terry L. (Ed.). New York : Marcel Dekker, Inc.

Miller, Hugh T dan Charles J. 2007. Pastmodern Public Administration. NewYork: M. E. Sharpe, Inc.

Nagel, Stuart S. 2001. Social Policy, An Introduction, dalam Nagel, Stuart S, and Robb Amy (Ed). 2001, Handbook of Global Social Policy, New York: Marcel Dekker Inc.

Nugroho, R. 2014. Public Policy: Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Nurdin, Encep S. 2017. Teori-teori Analisis Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Maulana Media Grafika.

Nurdin, Encep S. 2018. Koherensi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum di Perguruan Tinggi. Bandung: FPIPS UPI.

Pellini, Arnaldo. At. al 2018. Knowledge, Politics and Policymaking in Indonesia. Singapore: Springer Nature Singapore Pte. Ltd.

Page 102: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

95Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Pops, Gerald M. 2001. A Teleological Approach to Administrative Ethics. Cooper, Terry L. (Ed.) New York: Marcel Dekker Inc. Robinson, Mark. 2015. From Old Public Administration to the New Public Service, Implications for Public Sector Reform in Developing Countries. UNDP: Global Centre for Public Service Excellence.

Rosenbloom, David H., Kravchuck, Robert S., dan Clerkin, Richard M. 2009. Public Administration, Understanding Management, Politics, and law in the Public Sector. Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Schultz, David. 2004. Encyclopedia of Poblic Administration & Public Policy.New York: Facts On File, Inc.

Smith, T.B., 1973. The Policy Implementation Process. Policy Sciences 4.

Soedjatmoko. 1983. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Sutton, Rebecca. 1999. The Policy Process: An Overview. London: Chameleon Press Ltd.

Torgerson, Douglas. 2007. Promoting the Policy Orientation: Lasswell in Context. dalam Fischer, Frank at. all. (Ed.) dalam handbook of Public Policy Analysis, Theory, Politics, and Methods London – New York: CRC Press.

Trump, Donald J. 2017. Trump’s full inauguration speech transcript, annotated, dalam <https://www.washingtonpost.com/news/thefix/wp/2017/01/20/donald-trumps-full-inauguration-speech-transcript- annotated/?noredirect=on&utm_term=.6a8677ecdb69>.

Turner, Mark, and Hulme, David/ 1997. Governance, Administration and Development, making the state works. New York: Palgrave.

Page 103: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

96 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Winter, Soren C., 1990. Handbook of Public Administration. London: Sage Publications Ltd.

Winter, Soren C. Deleon, Peter dan Martell, Christine R. 2006. Implementation. (Peters, B. Guy & Piere, Jon, Ed). London: Sage Publications Ltd.

Page 104: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

97Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Sumber Peraturan Perundang-undangan dan Dokumen Perencanaan Pembangunan :

1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 beserta Amandemen-amandemennya.

2. Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor II/MPR/1993, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

3. TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

4. TAP MPR RI Nomor V MPR/2000, tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

5. TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001, tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

6. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

7. Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

8. Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2015, tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2006, tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

10. Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2017, tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 86 Tahun 2017, tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Page 105: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

98 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

Sumber Website Khusus :Terdapat sebanyak 212 Website Resmi Pemerintah Daerah

di Indonesia, yaitu 33 Website Resmi Pemerintah Provinsi, 130 Website Resmi Pemerintah Kabupaten, dan 49 Website Resmi Pemerintah Kota di seluruh Indonesia, sebagai Sumber Dokumen RPJPD dan/atau RPJMD yang disurvei. Keseluruhan Data Website tersebut terdokumentasi dalam daftar tersendiri, namun tidak dicantumkan dalam daftar pustaka ini.

Page 106: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

99Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

IndexAAct Utilitarianism 21Adopsi 1, 5, 35, 36, 38, 39, 60advokasi 13Agenda setter/lobbies 34aksiologi 6a more sophisticated definition

30anatomi 9a new conceptual anchor 26an instrumental contrivance

15approval 37artificial creation 15a single dominant idea 31authorizes 37

Bbasic political processes 37behavioral channeling 2belief system 2, 4, 14, 23, 87better policy making 28bird eye view 6birokrasi 23, 24, 29, 33, 56,

67, 89bottom-up 41Bureaucratic Politics 46

Ccantrang 40, 52

characteristics of the policymaking system 27

civil society 15, 33common good 15, 16, 20constitutional metapolicy 28content of policy 33context of Implementation

58context of policy 54, 85Cost Benefit Analysis (CBA)

17crony capitalism 1, 2, 55, 56current issues 49

Ddecision-makers 47decision-process 46derivasi 69, 89desentralisasi 51destruktif 54Determining Policy-making

Strategy 26deviasi 41dikhotomi 3, 89directing 13disfungsional 35, 54diskriminasi 23diskursus 22disruptionism 53, 54, 55doktrin 27, 29, 30

Page 107: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

100 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Eefforts to become a learning

society 51ekologis 29ekosistem substrat 38ekstrinsik 18elit politik 2, 56empiris 12, 88empirisme 58epilog 5epistemologi 6equilibrium 21, 48equity principle 21essential driven 88etatisme 51Ethics of Virtue 17, 93evaluatif 54evaluator 12expanded vision 80

Fformal Authority to decide 36formulasi 3, 4, 5, 6, 8, 14, 16,

31, 32, 33, 34, 35, 36, 39, 40, 44, 45, 48, 50, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 65, 67, 69, 83, 87, 88, 99

foundationalism 54, 55Fragmentasi 79Free Choice 85Free Will 85

fundamental 2, 24, 26, 33, 80, 84, 85, 86

Future Policy Design 50

Ggeneral plan 2general utilitarianism 21governing 13government 7, 8, 15, 33, 38Grand-Policies 48, 53Guideline 23guiding principle 53

Hhidden agenda 34, 88hierarkhi 43homo virtutis 18, 19, 60Hybrid of Public

Administration 42, 43Iideological values 24idiil 78immortalitas 1, 5, 53, 54, 56imperatif 68, 80implementasi 3, 4, 5, 6, 8,

10, 14, 16, 17, 29, 34, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 50, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 67, 69, 80, 83, 87, 88, 99

implisit 7, 50incremental 26

Page 108: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

101Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

influencing 13, 22inheren 11institutional Agenda 32intervensi 15in the heavens 15intrinsik 18, 85invisible 34, 88inward looking 1issue identification 22

Kkapitalisme 51Koherensi 1, 5, 57, 58, 59,

60, 61, 62, 63, 66, 70, 77, 79, 80, 87, 89, 94

kolektif 10, 47komprehensif 6, 9, 62konkret-normatif 61Konkuren 80Konsekuensi 4, 29, 53konstatasi 53konstitusional 27, 29, 30,

43, 45, 48, 61, 64, 68kontemporer 14, 50Kontinum 44

Llegal authority 37legitimasi 8, 36, 37, 38, 39,

40, 80, 81legitimate 36, 38, 52, 80liberal-pragmatis 35

long-term strategic 49

Mmajor guidelines for action 25makro 21, 26, 27, 51, 57, 88Managerial perspectives on

implementation 42master policies 27, 28master policies or

megapolicies 27maximizing good or welfare

21meritokrasi 43meta-kontrol 13metapolicy 2, 3, 4, 5, 6, 12,

14, 16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 39, 40, 44, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89

metapolicy behavioral analysis 28

metavalues 22mikro 51, 52, 57, 88Millenium 52Millenium Developmnent

Goals (MBGs) 52monitoring 13

Page 109: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

102 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

multi-national corporation 35

NNational interest 4Nation Fail 1, 55nation state 85New Public Governance

(NPG) 42New Public Management

(NPM) 42, 84New Public Service (NPS)

42, 54, 84non implementation 4, 40non implementation policy 4non utilitarian 21normatif 2, 28, 61

OOld Public Administration

(OPA) 42, 84ontologi 6operandi 28organizational values 24otoritas 2, 8, 18, 29, 36, 80,

81otoritatif 40, 80outcomes 3, 4, 44, 61

output 3, 4, 17, 23, 27, 40, 44, 48, 50, 61, 67, 85

output values 23, 48outward looking 1

PPast and Current Policy

Design 50pattern values 23, 48perceptual screening 2personal values 24, 52perspektif libertarian 27philosophische grondslag 2Pluralism 45, 46Policy creation 22policy decision 4, 32, 36policy failure 3, 4, 24, 25,

40, 50, 81policy formulator 3, 59Policy Framer 86Policy Maker 86Policy-making 26policy values 24political will 79, 90positivisme 4, 54, 81, 84postmodernism 53, 54, 55post-truth 53, 54, 55pragmatis 4, 35, 50preferensi 13, 28, 46Privat Sector 87professional values 24Public Choice 45, 46public goods 17public interests 6, 11, 15, 16,

20, 21, 32, 35, 39, 85public officials 36

Page 110: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

103Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

public policy 3, 6, 7, 18, 34, 54, 81, 85

public problems 32, 37public weal 15, 16, 20, 56,

59, 68, 85public welfare 20, 85

Rrasional 10, 12, 26, 31, 46rational actor model 48redesign 8regulating 13representatif 71rule utilitarianism 21

SSeine Net 38signifikan 2, 54siklus 8, 9, 40sistematis 10, 58skema 11, 57, 59, 63, 64, 65skuler 15Social class analysis 45Social Construction 93society-centred 5, 48, 60,

68, 69society-centred approach

60, 68solving public problems 37staats idee 85State-Centred 44, 46state civil servants 30

State Interests 46, 47state interests approach 48substantif 9, 16, 27, 28, 29,

30, 37, 52, 61, 64, 67, 85substantif-abstrak 61substantive metapolicy 28sufficient 79Sustainable Development

Goals (SDGs) 52, 53Systemic Agenda 32

Tteknokratik-prosedural 68teknokratis 6, 81, 84template for action 31The Civil Service Law 30the collaps of the state 2, 81the good of the larger political

whole 15the intent to be impartial 13the party controlling cadres

29, 81The Policy Sciences 10, 91,

94the public policymaking

system 13The State Must Maintain itself

67to improve policymaking

systems 14top down 41to use wisely 14

Page 111: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

104 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Trawl 38

Uunsuccessful implementation

24, 40unsuccessful policy 4

Vvaliditas 78value 2, 14, 22, 23, 44, 49, 52,

53, 61, 67, 83, 84, 85, 86value based 22, 49, 52, 53, 84value free 14value less 14value loaded atau value laden

14

vested interest 4view of point 15

Wweaving the future 2, 49, 55,

87weight of public authority

36will of the state 44with making value judgments

44

Page 112: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

105Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

DAFTAR RIWAYAT HIDUPRiwayat pendidikan Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs.,

M.Si., adalah lulusan SDN Sukaharja III Rajadesa Ciamis, SMPN Rancah Ciamis, dan SMAN Banjar Ciamis. Kemudian melanjutkan studi Jenjang S-1 pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan di IKIP Bandung (ketika masuk menjadi Mahasiswa Baru pada tahun 1980 Jurusan tersebut bernama Civics Hukum, kemudian nama Jurusan tersebut berubah nama menjadi PKn dan Hukum, kemudian berubah lagi namanya menjadi PMPKn, dan sekarang Jurusan tersebut bernama Departemen PKn). Selanjutnya, yang bersangkutan menempuh pendidikan Jenjang S-2 yang pertama yaitu pada Jurusan Pendidikan Umum/Nilai pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam rangka memperluas perspektif keilmuannya, Encep Syarief Nurdin menempuh pendidikan Jenjang S-2 yang kedua, yaitu pada Program Magister Prodi Ilmu Administrasi Publik Sekolah Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Kemudian Pendidikan Jenjang S-3-nya pun ditempuhnya pada Prodi yang sama yaitu pada Program Doktor Prodi Ilmu Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Selain pendidikan formal, ia juga mengikuti berbagai kursus dan pelatihan, antara lain pelatihan di Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) di Jakarta, dan pelatihan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional RI (Kementerian Ristek dan Dikti).

Sekarang ini Sdr Encep Syarief Nurdin mendapat tugas tambahan sebagai Ketua Program Doktor dan Magister pada Prodi Pendidikan Umum dan Karakter SPs UPI. Selain menjadi Ketua Program Studi, saat ini ia juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pakar Pusat Kajian Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia. Sdr Encep Syarief

Page 113: Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi asi K

106 Koherensi Metapolicy dalam Formulasi dan Adopsi dengan Implementasi Kebijakan Publik

Nurdin sebelumnya, (dengan izin Rektor), pernah memangku Jabatan selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata YAPARI Bandung sebanyak dua periode, yaitu Periode 2007- 2011, dan Periode 2011-2016. Di kampus tersebut sekarang Sdr Encep Syarief Nurdin memangku Jabatan selaku Ketua Yayasan YAPARI- AKTRIPA, suatu Yayasan yang merupakan Badan Hukum Penyelenggara STIEPAR YAPARI Bandung dan SMK YAPARI-AKTRIPA Bandung.

Terkait dengan asosiasi profesi, Sdr. Encep Syarief Nurdin menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN). Selain itu yang bersangkutan juga menjadi Anggota Indonesian Association for Public Administration (IAPA). Lebih dari itu, Encep Syarief Nurdin, sekarang memangku Jabatan selaku Ketua Umum Asosiasi Dosen dan Pendidik Karakter Seluruh Indonesia (ADDIKSI).

Dalam konteks pengabdian profesional kepada masyarakat, Encep Syarief Nurdin pernah berpartisipasi dalam formulasi dan/atau implementasi suatu kebijakan publik dalam suatu unit organisasi pada beberapa kementerian, antara lain pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek- Dikti), pada Kementerian Kesehatan, pada Kementerian Keuangan, serta pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.