kisah inspiratif dokter

10
Kiprah Dokter Muda di Negeri Afrika Husni Mubarak Zainal bisa dibilang dokter yang lain daripada yang lainnya. Walaupun asli dan besar di Indonesia tetapi dokter muda ini melalang buana demi pengabdiannya sebagai dokter sampai ke pedalaman negeri Afrika bersama organisasi kemanusiaan medis internasional bernama Médecins Sans Frontières atauDoctors Without Borders. Sebut saja negara-negara seperti Malawi, Sierra Leone dan wilayah Afrika lainnya pernah didatanginya. Harry Prasetyo dari kabarinews.com kali ini berkesempatan melakukan wawancara dengan Husni Mubarak Zainal mengenai serpak terjangnya sebagai dokter muda di negeri Afrika, berikut petikannya. Kabari: Bisa diceritakan bagaimana awalnya Anda dapat mengabdi sesuai profesi Anda sebagai dokter di negara Afrika? Saya bekerja di negara-negara Afrika sejak bergabung dengan organisasi kemanusiaan medisDoctors Without Borders/Dokter Lintas Batas (MSF) yang menyediakan layanan medis di negara-negara yang mengalami krisis kemanusiaan, khususnya di benua Afrika. Pertama kali saya mendengar tentang MSF adalah saat bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004. Waktu itu, saya terkesan dengan cara kerja MSF yang bisa cepat menyediakan layanan medis di situasi darurat bencana. MSF masih memiliki beberapa program di Indonesia saat itu, sehingga tidak sampai 48 jam, MSF sudah tiba di Banda Aceh dan mulai mendirikan layanan medis termasuk pembedahan, selain juga membagikan makanan serta mendirikan fasilitas air dan sanitasi. Saat itu saya masih mahasiswa, tapi saya menyimpan cita-cita untuk bekerja sebagai dokter di situasi kemanusiaan yang sangat membutuhkan seperti di lokasi bencana atau daerah yang terkena dampak konflik. Saya lalu mengirim lamaran kerja ke MSF tahun 2011 saat masih bekerja sebagai dokter PTT di Buton Utara, Indonesia. Hingga kini, saya sudah bekerja di empat penugasan, Malawi, Sudan Selatan, Sierra Leone, dan sebentar lagi Pakistan.

Upload: intanapriliana

Post on 14-Jul-2016

6 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

aaa

TRANSCRIPT

Page 1: kisah inspiratif dokter

Kiprah Dokter Muda di Negeri Afrika

Husni Mubarak Zainal bisa dibilang dokter yang lain daripada yang lainnya. Walaupun asli dan besar di Indonesia tetapi dokter muda ini melalang buana demi pengabdiannya sebagai dokter sampai ke pedalaman negeri Afrika  bersama organisasi kemanusiaan medis internasional bernama  Médecins Sans Frontières atauDoctors Without Borders. Sebut saja negara-negara seperti Malawi, Sierra Leone dan wilayah Afrika lainnya pernah didatanginya. Harry Prasetyo dari kabarinews.com kali ini berkesempatan  melakukan wawancara dengan Husni Mubarak Zainal mengenai serpak terjangnya sebagai dokter muda di negeri Afrika, berikut petikannya.

Kabari: Bisa diceritakan bagaimana awalnya Anda dapat mengabdi sesuai profesi Anda sebagai dokter di negara Afrika?

Saya bekerja di negara-negara Afrika sejak bergabung dengan organisasi kemanusiaan medisDoctors Without Borders/Dokter Lintas Batas (MSF) yang menyediakan layanan medis di negara-negara yang mengalami krisis kemanusiaan, khususnya di benua Afrika. Pertama kali saya mendengar tentang MSF adalah saat bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004. Waktu itu, saya terkesan dengan cara kerja MSF yang bisa cepat menyediakan layanan medis di situasi darurat bencana. MSF masih memiliki beberapa program di Indonesia saat itu, sehingga tidak sampai 48 jam, MSF sudah tiba di Banda Aceh dan mulai mendirikan layanan medis termasuk pembedahan, selain juga membagikan makanan serta mendirikan fasilitas air dan sanitasi. Saat itu saya masih mahasiswa, tapi saya menyimpan cita-cita untuk bekerja sebagai dokter di situasi kemanusiaan yang sangat membutuhkan seperti di lokasi bencana atau daerah yang terkena dampak konflik. Saya lalu mengirim lamaran kerja ke MSF tahun 2011 saat masih bekerja sebagai dokter PTT di Buton Utara, Indonesia. Hingga kini, saya sudah bekerja di empat penugasan, Malawi, Sudan Selatan, Sierra Leone, dan sebentar lagi Pakistan.

Kabari: Jika dilihat dari usia dokter tergolong muda, apakah ini merupakan tantangan tersendiri bagi Anda dengan berkunjung ke negara-negara Afrika dan memberikan pelayannannya kesana?

Tentang usia, sampai sekarang belum pernah menjadi kendala. Bekerja dengan MSF berarti harus siap ditempatkan di daerah-daerah terpencil di sudut dunia karena MSF memilih bekerja di daerah yang sangat membutuhkan dan belum mendapat bantuan yang cukup (bahkan nama negaranya mungkin tidak pernah saya sadari ada di peta), saya juga harus siap bekerja dengan rekan-kerja dari

Page 2: kisah inspiratif dokter

berbagai negara, dengan range usia dan pengalaman yang berbeda pula. Di Sierra Leone kemarin, saya ditugaskan di bangsal anak bersama dua dokter anak yang senior, yang seorang dari Tiongkok dan yang satu lagi dari Norwegia. Meski saya dokter termuda dalam tim, saya bertugas sebagai team leader yang bertugas mengatur jadwal kerja para dokter, menyusun protokol kesehatan bersama-sama,  mengadakan pelatihan medis bagi tenaga medis di rumah sakit, mengatur rujukan pasien ke RS lainnya. Usia hanya salah satu faktor. Hal yang lebih penting adalah ketekunan untuk selalu belajar dan juga punya pengalaman berorganisasi – dua hal ini yang saya tempa sejak masih kuliah. Dalam menangani kondisi medis pasien, tentunya saya selalu belajar dari rekan-rekan dokter yang lebih senior di MSF dan tak pernah berhenti belajar dari buku-buku teks medis. MSF juga mengadakan pelatihan untuk terus meningkatkan kemampuan para staf medisnya, misalnya baru-baru ini saya mengikuti pelatihan manajemen pelayanan medis.

Kabari: Tentu ini merupakan perjalanan tersendiri bagi hidup Anda. Tepatnya di kota-kota mana saja di Afrika  yang Anda kunjungi? Lantas apa yang yang Anda temukan disana dan apa yang dikerjakan Anda? misalnya tingkat kemiskinan, atau kesehatannya seperti apa bisa dijelaskan? Bagaimana dengan penyakit HIV / AIDS sendiri di sana?

Tempat penugasan pertama saya adalah Malawi, di sana HIV/AIDS adalah penyebab kematian utama anak muda. MSF membantu Kementerian Kesehatan untuk mendesentralisasi layanan bagi pasien-pasien HIV dan TBC di desa-desa supaya para pasien yang miskin di desa-desa bisa ikut tes HIV dan mendapat pengobatan di desa mereka sendiri, tanpa harus pergi jauh dan meninggalkan pekerjaan mereka di desa. Lokasi tugas saya adalah puskesmas Thekerani, di perbatasan Mozambique. Staf medis di Malawi terbatas dan beban kerjanya cukup tinggi. Tak jarang, kita harus melakukan tugas-tugas dari A sampai Z, mulai dari:

Page 3: kisah inspiratif dokter

pendaftaran pasien, tes laboratorium sederhana, mencarikan obat, hingga mengganti sprei tempat tidur pasien. Tak sedikit pasien di Malawi yang datang dari daerah-daerah yang jauh, mereka jalan kaki berjam-jam, bahkan ada yang jalan kaki beberapa hari untuk mencapai klinik kami.

Kalau di Sudan Selatan, situasinya berbeda karena lokasi kerja saya adalah kamp pengungsi. Sampai sekarang, kondisi di Sudan Selatan masih sangat memprihatinkan. Sudan Selatan adalah negara termuda di dunia yang terbebas dari Sudan (Utara) pada tahun 2011.  Di Sudan Selatan, lokasi kerja saya adalah kamp pengungsian Doro di negara bagian Maban. Wilayah kerja saya tandus dan gersang, dijejali barisan tenda-tenda pengungsi. Jadi, benar-benar seperti perkampungan besar in the middle of nowhere. Setiap hari, klinik kami di Doro hampir selalu kewalahan karena jumlah pasien melebihi kapasitas klinik. Sebagian besar pengungsi tiba dalam keadaan sangat lemah dan dehidrasi setelah berjalan kaki berhari-hari. Anak-anak yang kurang gizi, lemah, dan lesu selalu mengisi ruangan klinik. Kami sempat menghadapi wabah Hepatitis E akibat kondisi sanitasi di kamp sangat buruk.

Kabari: Selain di kota tersebut dimana lagi Anda ditempatkan?

Penempatan ketiga saya di Sierra Leone, negara yang pernah hancur karena perang saudara selama satu dekade. Sampai sekarang, Sierra Leone masih menempati peringkat bawah dalam hal pembangunan manusia, hal ini bisa dilihat dari angka kematian ibu dan anak yang sangat tinggi. Satu dari tiga anak di sana meninggal sebelum berusia lima tahun. Pemerintah sudah menggratiskan layanan kesehatan untuk ibu dan balita, namun masih banyak kekurangan: misalnya, ada fasilitas kesehatan di sebuah desa namun tenaga medis dan persedian obat-obatannya tidak ada. Saya sering dengar cerita dari ortu pasien yang ke klinik, tetapi dokternya tidak ada atau obatnya habis sehingga harus beli sendiri di luar. Di Sierra Leone, MSF mengelola sebuah rumah sakit (RS) rujukan untuk ibu hamil dan anak-anak dengan penyakit kritis di desa Gondama, distrik Bo.

Saya bertugas di bangsal anak RS tersebut bersama ’clinical health officers’ dan perawat setempat serta rekan dokter anak dari Tiongkok, Kenya, Norwegia. Karena RS kami adalah RS rujukan, anak-anak yang dibawa ke RS MSF umumnya adalah pasien yang sudah dirawat di klinik atau RS lain namun kondisinya tidak membaik. Jadi, kondisi pasien banyak yang sudah sangat lemah ketika tiba. Ada juga pasien yang datang tanpa membawa catatan medis, atau sudah diberi obat herbal yang sayangnya justru memperparah kondisi mereka.  Sierra Leone sendiri adalah daerah

Page 4: kisah inspiratif dokter

endemis malaria, terkadang orangtua menyepelekan penyakit itu dan membawa anak-anak ke RS baru ketika keadaannya sudah parah, misalnya saat anak sudah terkena malaria otak atau cerebral malaria, yaitu saat malaria menginfeksi otak hingga anak dapat jatuh koma.

Kabari: Bagaimana dengan perasaan Anda sendiri  melihat suatu tempat yang jauh dari tempat kelahiran Anda dan menemukan suatu kondisi yang mungkin tidak mengenakkan? apakah itu sudah resiko tersendiri yang memang harus dijalankan oleh dokter?

Perasaan saya? Tentu sebagai dokter saya sedih melihat pasien yang kondisinya tidak membaik, padahal semua hasil diagnosis sudah kami tindak lanjuti, obat yang ada kami berikan. Di awal penugasan saya dengan MSF, saya sempat sangat khawatir tidak bisa menolong para pasien. Untungnya saya tidak sendiri, dan spesialis MSF di kantor pusat bisa dikontak sewaktu-waktu. Apabila saya menemukan kondisi pasien yang tidak pernah saya temui sebelumnya, saya tidak segan membuka buku, belajar lagi, bertanya kepada senior dan spesialis MSF. Hal yang terpenting adalah sebagai dokter kita sudah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Bahkan ketika kondisi pasien tampak seolah tak mungkin diselamatkan, kita harus memberikan setiap detail perawatan yang mampu kami berikan di RS MSF.

Kabari: Tentu sebagai dokter pasti akan merasa senang jika  melihat pasiennya sembuh bagaimana dengan Anda sendiri? Selain menjalani profesi sebagai dokter apa saja yang Anda lakukan untuk menghabiskan waktu disana?

Page 5: kisah inspiratif dokter

Ya, tentu saya sangat gembira kalau keahlian yang saya miliki bisa membawa kebaikan bagi hidup seseorang. Untuk menghabiskan waktu, tergantung saya sedang ditugaskan di mana. Di Sierra Leone kemarin, cukup kondusif karena saya tinggal di Bo, sebuah kota kecil. Jadi, saya bisa membeli bahan-bahan mentah di pasar, dan memasak. Saya dan kolega MSF yang lain suka menonton Jamie Oliver’s 15 minute recipes, dan sering ingin mempraktikkannya. Sayangnya, di tempat tinggal kami tidak ada banyak pilihan sayur selain daun singkong dan papaya hahaha. Beberapa kali kami juga menyempatkan berkunjung ke obyek-obyek wisata seperti pantai, dan lainnya. Kalau sehari-hari, di waktu luang saya membaca buku, menulis atau berolahraga.(1009)

http://kabarinews.com/kiprah-dokter-muda-di-negeri-afrika/67450

Page 6: kisah inspiratif dokter

Terpanggil Sumpah Dokter, Husni Mubarak Zainal Bergabung di MSF

Laporan Wartawan Tribun Timur, Muthmainnah Amri

TRIBUNNEWS.COM - Dr Husni Mubarak Zainal benar-benar memegang sumpah jabatannya. Terngiang,"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan," yang merupakan lafal Sumpah Dokter Indonesia.

Memang terkesan simpatik. Namun sayangnya hanya segelintir dokter yang ingin bekerja murni untuk kemanusiaan. Bagi dokter Médecins Sans Frontières (MSF) atau disebut Dokter Lintas Batas ini, kemanusiaan adalah dasar perjuangannya berbakti pada masyarakat. Bukan hanya di tanah air Indonesia, Husni, sapaan akrabnya, bahkan telah mengobati pasiennya hingga ke pedalaman selatan Afrika.

Tribun termasuk beruntung dapat bertemu putra asli Sidrap ini disela liburannya ke Makassar. Ditemui di sebuah cafe di bilangan Pengayoman Makassar, pria kelahiran 5 April 1985, ini ramah dan banyak menebar senyum. Sambil menikmati lasagna buatan cafe itu, antusiasmenya sharing pengalaman selama menjadi dokter satu satunya asal Indonesia di  Selatan benua Afrika pun membuncah.

Pria 28 tahun ini mengawali petualangan medisnya saat menjadi anggota suatu organisasi medis. Organisasi itu concern turun ke daerah pascabencana. Pada 2008 lalu, ia pun menjadi satu dari sejumlah dokter yang mengobati korban gempa di Padang. Dari sini, ia merasa terpanggil untuk mengobati pasien di mana pun ia dapat diterima.

Hingga pada 2010, pria berkacamata ini mengikuti program pegawai tidak tetap (PTT) bagi dokter muda yang telah lulus dan ditempatkan di daerah manapun di seluruh Indonesia. Sulung dari enam bersaudara ini ditugaskan di Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara.

Minatnya bergabung di MSF setelah tahu organisasi itu turun langsung saat penanganan korban tsunami Aceh pada 2009 lalu. Maka, dokter

Page 7: kisah inspiratif dokter

lulusan Universitas Hasanuddin ini pun mulai mencari tahu informasi tentang MSF di internet sembari menjadi dokter PTT di Buton Utarahttps://id.berita.yahoo.com/terpanggil-sumpah-dokter-husni-mubarak-zainal-bergabung-di-220622794.html

Joserizal Jurnalis, Che Guevara Tanpa Senjata

TEMPO.CO, Jakarta -Suatu hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Seorang pria paruh baya meneriakinya. "Pak dokter, pak dokter." Seketika Joserizal

Jurnalis menoleh dan kaget melihat orang tersebut. Pria itu kemudian menyalaminya

memakai tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. "Saya Dominingus

dokter," kata pria itu.

Agak bingung, Joserizal akhirnya engeh bahwa Dominingus adalah korban

konflik Ambon 1999. Dia yang mengamputasi tangannya dengan gergaji kayu,

diterangi lampu senter, dan menggunakan madu sebagai antibiotik. Dominingus

terkena sabetan parang. "Konflik itu (Ambon) membuat saya takut suara ketukan

tiang listrik," ujar Joserizal.

Suara ketukan itu ia dengarnya di Galela, Ambon, ketika menjadi tenaga

medis di sana. Ketika itu dentang tiang listrik layaknya alarm tanda bahaya,

memberitahukan ada “musuh” datang. Masih ingat dibenaknya ia terkepung selama

sebulan dan dihantui serangan ribuan orang yang mabuk dan membawa parang.

"Mereka menyembelih orang dan memakan jantungnya," ujar Joserizal mengenang.

Peristiwa Maluku itu pemicu berdirinya MER-C (Medical Emergency Rescue

Committe) di tahun 1999. Saat itu tidak ada satu lembaga internasional pun yang mau

terlibat. Sehingga ia berinisiatif mendirikan MER-C--yang merupakan lembaga

swadaya masyarakat di bidang kegawatdaruratan medis. Menurut Joserizal, MER-C

berasaskan Islam, tapi ia menjamin tidak membedakan korban yang harus ditolong.

Sudah 15 tahun Spesialis Bedah Umum Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia ini melakukan pertolongan medis di beberapa wilayah konflik. Di antaranya

Maluku, Mindanao, Aceh, Poso, Afghanistan, Sudan, Irak, dan Gaza Palestina.

Pengalaman di Gaza merupakan kisah paling mengharukannya. Ia merasakan

dentuman bom dan dihadang tentara Israel saat membawa bala bantuan pada 2009. 

Ia masuk Gaza ketika kota seluas 48 kilo meter persegi itu dalam keadaan

terkepung. Tank Israel berada di semua lini. Tapi anehnya, kata dia, tentara tidak bisa

Page 8: kisah inspiratif dokter

masuk kota Gaza. Karena setiap tank mendekat, pejuang Palestina melemparkan elpiji

ke kepala tank itu di malam hari. "Itu membuat Israel terpukul mundur," ujarnya.

Kini, Joserizal amat berharap Rumah Sakit Indonesia yang digagas MER-C

sejak 2008 bisa beroperasi. Apalagi di tengah situasi runyam yang saat ini tengah

dihadapi warga Gaza. Sebanyak 170 (sekarang sudah 800-an) orang tewas akibat

serangan militer Israel. Akibat situasi itu juga suplier peralatan medis di Palestina

tutup sehingga cukup sulit memfungsikan rumah sakit itu.

http://www.tempo.co/read/news/2014/08/04/115597193/Joserizal-Jurnalis-Che-Guevara-Tanpa-Senjata